0
PERILAKU MELUKAI DIRI SENDIRI (SELF-INJURIOUS BEHAVIOR)
Aloysius Soesilo FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Dipresentasikan pada acara Diskusi Ilmiah “Perilaku Sembrono dan Psikologi Kesehatan” Fakultas Psikologi – UNIKA SOEGIJAPRANATA – SEMARANG 22 November 2013
1
ABSTRAK
Self-injurious behavior is defined as intentional self-induced harming of one’s own body resulting in tissue destruction or damage, without suicidal intent and for purposes not socially sanctioned. It is frequently reported among young adolescents. This complex and perpelxing behavior has been gaining a more serious attention from the scientific community because research evidence indicates prevalence of self-injurers has alarmingly increased in many countries. Unfortunately, literature on this topic is almost nonexistent in Indonesian. This article presents a preliminary review of literature that outlines the current state of understanding regarding this perplexing behavior. Three major topics covered in this articles include who self-injures, why people self-injure, and what effective psychotherapies for this problem.
Keywords: self-injurious behavior, adolescents
2
PERILAKU MELUKAI DIRI SENDIRI (SELF-INJURIOUS BEHAVIOR) Aloysius Soesilo Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
PENGANTAR Di dalam literatur bahasa Inggris, ada banyak nama yang beredar yang merujuk pada perillaku melukai diri, seperti self-harm, deliberate self-harm, self-injurious behavior, self-injury, self-wounding, para suicide, self-mutilatiopn, episodic and repetitive self-injury, dan autodestructive behavior (Lihat Mangnall & Yurkovich, 2008). Perilaku melukai-diri (selanjutnya disingkat PMD dalam artikel ini) harus dibedakan dari perilaku dengan internsi bunuh-diri (suicidal) atau percobaan bunuh diri. Perilaku melukai-diri didefinisikan sebagai pengrusakan yang langsung dan dengan sengaja terhadap jaringan tubuh yang terjadi tanpa intensi yang disadari untuk bunuh-diri. Luka atau kerusakan jaringan yang ditimbulkan sifatnya minor hingga moderat sehingga tidak mengancam jiwa si pelaku. Rentang keragaman perilaku yang masuk dalam definisi ini adalah mengiris, menyayat, mencakar, membuat lebam, menggigit dan menyulut api atau membakar, dan yang menjadi sasaran adalah jaringan tubuh sendiri. Tindakan lain yang juga masuk dalam kategori PMD adalah overdosis dan mengorek-orek luka yang ada sehingga timbul rasa sakit. Perilaku ini bisa terjadi secara episodik atau kontinyu, dan frekuensi kejadian ini bisa menjadi petunjuk mengenai tingkat keparahan dari PMD (Piero, Sarno, Perego, Gallucci, & Madeddu, 2012; Walsh, 2007). Perilaku ini terjadi tanpa adanya psikosis dan/atau hendaya (impairment) intellektual (Mangnall & Yurkovich, 2008).
3
SIAPA YANG MELUKAI DIRI SENDIRI? Usia Awal Perilaku
Sumber utama dari apa yang kita ketahui tentang perilaku melukai diri sendiri adalah dari riset pada populasi pasien. Usia awal kemunculan (onset) perlaku ini secara tipikal adalah 13 atau 14 tahun (Klonsky & Muehlenkamp, 2007). Di dalam lietratur, juga dijumpai kasus-kasus yang terjadi sebelum usia ini atau pada orang dewasa dengan frekeunsi dan intensitas beragam.
Bentuk-Bentuk Perilaku Melukai Diri
Berdasarkan studi dengan sampel nontreatment yang terbesar sejauh ini, bentuk perilaku yang paling umum adalah menggaruk atau mencakar secara berlebihan. Untuk bentuk perilaku menggaruk ini, area-area tubuh yang paling cenderung mengalami luka adalah lengan, kemudian jari-jari tangan, pergelangan tangan, paha, dan perut. Sedangkan dari sampel treatment, bentuk perilaku yang paling lazim adalah mengiris atau menyayat kulit, yang diperbuat oleh lebih dari 70% dari subyek yang melukai diri (Nock, Joiner, Gordon, Lloyd-Richardson, & Prinstein, 2006). Penting untuk diperhatikan bahwa pada kebanyakan individu ini, cara atau metode melukai diri bisa lebih dari satu. Di samping itu, perbuatan ini dilakukan hanya sekali atau beberapa kali saja. Namun ada kalangan mereka dalam jumlah yang lebih kecil terlibat dalam perlaku ini secara kronis. Pelaku kronis seringkali mengalami dorongan-dorongan yang kuat untuk melukai diri dan pada saat yang bersamaan mereka juga berupaya keras untuk menahannya (Klonsky & Muehlenkamp, 2007).
Prevalensi
Angka lebih tinggi ditunjukkan oleh remaja dan dewasa awal dibandingkan dengan usia di atasnya. Inilah kelompok yang memiliki resiko paling besar untuk PMD. Penelitian baik di Amerika Serikat maupun di Kanada menunjukkan bahwa 14% - 15%
4
remaja melaporkan bahwa sekurang-kurangnya sekali mereka melakukan PMD (Klonsky & Muehlenkamp, 2007). Penelitian lain yang dikutip oleh Klonsky dan Muehlenkamp menunjukkan bahwa 46% dari anak kelas 9 dan kelas 10 pernah terlibat PMD, dan dari kelompok ini, 14% menyayat kulit dan 12% membakar kulit mereka. Studi epidemiologis di kalangan remaja Australia melaporkan prevalensi PMD antara 5%-9%, dan insidens pada kelompok inpatient bisa jauh lebih tinggi, dengan estimasi sebesar 40% (Swannell, Martin, Scott, Gibbons, & Gifford, 2008). Angka prevalensi yang cukup tinggi di luar kelompok usia ini barangkali juga ditunjukkan oleh orang yang menyandang disabilitas intelektual. PMD telah dilaporkan sebagai suatu karakteristik dari 8% hingga 15% dari penyandang disabilitas intellektual di Inggris yang dirawat di rumahsakit, dan 5% hingga 12% dari mereka yang hidup dalam masyarakat, dengan usia yang bervariasi. Namun bila ditilik menurut kelompok usia tertenu, dan dalam setting tertentu, angka prevalensi bisa mencapai 35% (Furniss & Biswas, (2012); Oliver, Hall, & Murhy, 2005; Taylor, Oliver, & Murphy, 2011). PMD merupakan problem yang relatif banyak dijumpai pada kelompok ini karena perilaku ini berasosiasi dengan berbagai penanda resiko (risk markers) seperti tingkatan disabilitas, kelemahan (impairment) sensoris, dan autisme.
Gender
Perkiraan orang pada umumnya adalah lebih banyak wanita ketimbang pria melukai diri sendiri. Namun berbagai studi skala besar paling kini memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua jender. Perbedaan yang penting barangkali lebih terletak pada bentuk atau metode pelukaan diri. Wanita lebih cenderung membuat sayatan dan garukan/cakaran, sedangkan pria membuat luka bakar atau memukuli diri (Pierro, dkk., 2012). Studi yang menarik oleh Lund, Wangby-Lund dan Bjarehed (2011) dengan partisipan remaja dalam jumlah besar dilakukan untuk melihat relasi dua arah (bidireksional) antara problem-problem psikologis dan PMD. Hipotesis studi ini mengenai relasi bidireksional antara problem-problem psikologis dan PMD didukung oleh kelompok remaja putri, dan bukan oleh remaja putra, walau ada evidensi bahwa
5
problem-problem psikologis merupakan faktor resiko untuk PMD di kalangan remaja putra, dan bukan demikian halnya pada remaja putri. Absennya problem-problem psikologis ditemukan sebagai faktor protektif terhadap PMD hanya untuk remaja putra, dan bukan untuk remaja putri. Temuan ini melahirkan spekulasi bahwa PMD mempunyai peran yang berbeda di dalam perkembangan psikopatologi untuk remaja putri daripada remaja putra.
KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS Ada karakteristik-karakteristik psikologis pada mereka yang melakukan PMD. Berikut ini adalah beberapa karakteistik yang menonjol disimpulkan dari berbagai riset. Karakteristik-karakteristik ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling bertautan dan dimanifestasikan bersama.
Emosionalitas Negatif
Dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan PMD, mereka yang terlibat dalam PMD mengalami emosi-emosi negatif yang lebih sering dan lebih intens dalam kehidupan sehari-hari. Pelaku PMD ditemukakan menunjukkan skor tinggi pada pengukuran untuk temperamen negatif, disregulasi emosi, depresi, dan anxietas. Pengalaman yang intens dalam emosi-emosi negatif merupakan alasan utama bagi PMD, dan PMD pada gilirannya bisa secara berkala dirasakan oleh subyek meringankan atau mengurangi beban distres emosional (Klonsky, 2007, dalam Klonsky & Muehlenkamp, 2007; Walsh, 2007). PMD juga secara luas dikonseptualisasikan sebagai problem dalam mengontrol impuls-impuls (Svirko & Hawton, 2007; Taylor, Peterson, & Fischer, 2012). Impulsivitas juga berasosiasi dengan gangguan makan (eating disorders), khususnya bulimia nervosa dan anorexia nervosa. Kendati terdapat evidensi bahwa impulsivitas terlibat di dalam asosiasi antara gangguan makan dan PMD, meningkatnya impulsivitas sendiri tidak dapat menjelaskan adanya asosiasi ini.
6
Favazza dan Siemeon (1995, dalam Svirko & Hawton, 2007) membagi PMD ke dalam dua kategori, yakni PMD impulsif dan PMD kompulsif. PMD impulsif (misalnya, menyayat, membakar, memukul, membenturkan anggota badan) sifatnya episodik dan menghasilkan kepuasan, ego-syntonic, dan sering dipicu oleh kejadian-kejadian eksternal, dan tidak banyak perlawanan oleh si individu. PMD kompulsif (mencabuti rambut, mencakar, menggigiti kuku) sifatnya habitual dan repetitif, disertai dengan perlawanan terhadap dorongan-dorongan ego-dystonic. PMD impulsif secara signifikan berkorelasi dengan kesukaan untuk mencari hal-hal baru (noverlty-seeking), suatu kualitas personal (trait) yang diyakini bertautan dengan impulsivitas. PMD kompulsif berkorelasi dengan penghindaran sakit (harm avoidance), suatu kualitas pribadi yang bersinggungan dengan karakteristik-karakteristik obssesif-kompulsif (Svirko & Hawton, 2007).
Defisit Dalam Ketrampilan Emosi (Emotion Skills)
Di samping adanya peningkatan emosi negatif, mereka juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengelola pengalaman, kesadaran, dan ekspresi emosi. Contohnya, studi oleh Gratz et al., 2002, dan studi lainnya oleh Zlotnick et al., 1996, yang dikutip oleh Klonsky dan Muehlenkamp, menemukakan bahwa subyek PMD lebih mudah mengalami periode-periode disosiasif, di mana sepanjang periode ini pengalaman emosi mengalami hambatan. Subyek sering mendeskripsikan pengalaman emosional mereka seperti “merasa tidak ada apa-apa” atau “merasa tidak nyata” selama episode disosiatif. Selain itu subyek cenderung mengalami aleksithimia (kesulitan dalam mengidentifikasikan atau memahami emosi-emosi mereka sendiri), serta kurang sadar atau waspada akan emosi mereka. Ciri lainnya adalah kesulitan untuk mengekspresikan emosi dibandingkan orang yang tidak melakukan PMD. Masih sedikit yang kita ketahui mengenai bagaimana PMD dipengaruhi oleh, dan pada gilirannya mempengaruhi, aspek-aspek lain dalam kesehatan mental selama masa perkembangan: sejauh mana sebenarnya problem-problem psikologis bertindak sebagai faktor resiko untuk PMD dan sebaliknya.
7
Menurut Lund, Wangby-Lund dan Bjarehed (2011), evidensi bahwa PMD seringkali berkembang di dalam distres emosional yang tinggi menunjukkan bahwa distres emosional merepresentasikan sebuah faktor resiko untuk berkembangnya PMD. Sedangkan untuk macam-macam problem lainnya (contohnya, problem teman sebaya, problem konduk, dan hiperaktivitas), Lund dkk., menyatakan tidak ada formulasi teoretik yang sama kuatnya mengenai peran mereka sebagai faktor penyerta (predisposing factors) untuk berkembangnya PMD, tetapi secara teoretis memang terdapat sejumlah kemungkinan. Misalnya, remaja yang sudah mengalami problem perilaku agresif, atau kesulitan/hambatan dalam mengendalikan perilaku agresif, bisa mempunyai batas ambang (threshold) yang lebih rendah untuk mengarahkan perilaku agresif terhadap diri sendiri dalam bentuk PMD.
Derogasi-Diri (Self-Derogation)
Subyek dengan PMD sering melakukan derogasi-diri. Yang dimasudkan dengan karakteristik ini adalah pengalaman emosional yang intens untuk mengkritik, mengecam, menghukum, membenci, atau marah terhadap diri sendiri. Menurut Klonsky, individu yang tinggi dalam emosionalitas negatif maupun derogasi-diri beresiko tinggi pula untuk PMD, kendati riset sejauh ini belum secara spesifik menggali lebih jauh kombinasi kedua karakteristik dalam kaitannya dengan terjadinya PMD. Temuan oleh Ross dan Heath (2003, dalam Mangnall dan Yurkovich, 2008) menyimpulkan bahwa individu yang melukai-diri memperlihatkan derajat yang lebih besar untuk rasa kebencian disertai kehendak menghukum yang diarahkan ke luar diri (extrapunitive) dan rasa kebencian yang diarahkan untuk menghukum diri (intrapunitive). Contoh dari yang pertama adalah sikap sinis, membenci, atau mudah menjadi marah, sedangkan contoh yang kedua adalah meragukan diri-sendiri, rasa bersalah, dan mengecam diri-sendiri. Tendensi untuk menjadi mudah marah atau gusar, dan pada saat yang bersamaan mengalami kebencian-diri serta rasa bersalah bisa berakibat pada menjadikan diri sendiri sebagai target dari perasaan-perasaan negatif ini.
8
DIAGNOSIS PSIKIATRIK Borderline Personality Disorder
Di dalam DSM edisi 4, revisi teks (2000), PMD muncul hanya sekali sebagai suatu simptom dari borderline personality disorder (BPD). Hubungan antara PMD dan gangguan kepribadian ini tidaklah mengherankan oleh karena emosionalitas negatif dan disregulasi emosi merupakan karakteristik utama untuk keduanya. Oleh karena itu terdapat bukti yang kuat bahwa subyek dengan PMD memperlihatkan lebih banyak simptom-simptom yang ada pada BPD. PMD sebagai satu kriterion untuk borderline personality disorder di dalam DSMIV dinilai oleh Wilkinson dan Goodyer (2011) sebagai tidak tepat untuk beberapa alasan. Pertama, banyak klinisian percaya bahwa diagnosis gangguan kepribadian selayaknya tidak diberikan untuk anak dan remaja oleh karena kepribadian mereka masih berkembang. Kedua, PMD sering ditemukan pada pasien dengan gangguan psikiatrik, termasuk depresi, PTSD, anxietas, conduct disorder, dan substance misuse disorder. Ketiga, PMD bisa saja hadir dan menjadi suatu problem bagi individu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan mental atau gangguan kepribadian. Keempat, asumsi mengenai BPD bisa mengarah pada bias di dalam persepsi klinisian mengenai seorang remaja yang tengah mengalami gangguan mental. Ada resiko kalau kita sekedar menerjemahkan informasi mengenai tritmen yang sebenarnya diperoleh dari populasi usia dan klinis yang berbeda. Perkembangan yang menggembirakan adalah PMD telah memperoleh pengakuan sebagai kategori diagnostik sendiri dan nama yang diusulkan dalam DSM-V (2010) adalah: non-suicidal self-injury.
Gangguan-Gangguan Depresif dan Anxietas
Simptom-simptom depresif dan anxietas juga berasosiasi secara signifikan dengan PMD (Pierro, dkk., 2012). Seperti halnya dengan borderline personality
9
disorder, depresi dan anxietas ditandai oleh emosionalitas negatif dan disregulasi emosi. Semakin tinggi tingkat depresi dan anxietas maka semakin sering tindak PMD terjadi. Menurut Klonsky, anxietas, dan bukan depresi, mempunyai relasi lebih kuat dengan PMD. Spekulasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa anxietas lebih bersangkutan dengan emotional arousal ataupun tekanan emosional yang acapkali mengarah pada PMD. Studi oleh Andover, Pepper, Ryabchenko, Orrico dan Gibb (2005, dalam Mangnall & Yurkovich, 2008) mencoba meneliti perbedaan antara anxietas dan depresi di kalangan pelaku PMD dengan bentuk sayatan dan bentuk-bentuk yang lain. Temuan studi ini menunjukkan bahwa pelaku PMD secara signifikan memiliki lebih banyak simptom-simptom depresi dan anxietas dibandingkan dengan kelompok kontrol. Apabila dibedakan menurut bentuk PMD-nya, mereka yang menyayat diri menunjukkan secara signifikan tingkat anxietas lebih daripada benuk-bentuk PMD lainnya, tetapi keduanya mempunyai tingkat depresi yang sama. Sebuah survei yang melibatkan siswa-siswa kelas 6, 9 dan 12 dengan jumlah total 136.549 siswa (jumlah siswa putra dan putri hampir seimbang) untuk melihat problem-problem kesehatan mental, faktor-faktor resiko potensial dan faktor-faktor protektif dilakukan oleh Taliaferro, Muehlenkamp, Borowsky, McMorris dan Kugler (2012) di Minnesota. Hasil survei ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara konsisten yang membedakan pelaku PMD dan bukan pelaku untuk kedua jenis jender adalah adanya masalah kesehatan mental, simptom-simptom depresif, ketiadaanharapan (hopelessness), physical abuse, hubungan dangkal dengan orangtua, minggat dari rumah, dan perilaku diet maladaptif. Khususnya untuk kelompok putra, di samping faktor-faktor di atas, sejumlah faktor pembeda lainnya adalah tindak kekerasan, sedangkan untuk kelompok putri, sexual abuse, relasi yang dangkal dengan orang dewasa (bukan orangtua), dan merokok. Faktor-faktor resiko yang memperbesar peluang PMD dan percobaan bunuh-diri adalah problem kesehatan mental, simptomsimptom depresif, ketiadaan-harapan, sexual abuse dan minggat dari rumah.
Substance Abuse
10
PMD dan substance abuse sama-sama mengandung tindakan yang merugikan atau menyakiti diri secara fisiologis, dan oleh karena itu perbuatan keduanya dilatarbelakani oleh proses-proses psikologis yang mirip. Joiner( 2005, dalam Klonsky & Muehlenkamp, 2007) berteori bahwa penggunaan zat-zat berbahaya berperan dalam menciptakan habituasi (pembiasaan) dalam individu untuk melakukan kekerasan yang ditimbulkan oleh diri sendiri. Memang ada temuan bahwa inidividu dengan subtance disorders lebih banyak melakukan PMD daripada bukan pengguna zat terlarang. Temuan bahwa PMD mempunyai kualitas adiktif juga didukung oleh sejumlah studi lainnya. Misalnya Crowe dan Bunclarck (200, dalam Mangnall & Yurkovich, 2007) melihat bahwa PMD yang repetitif sering disertai juga dengan adiksi lainnya seperti alkohol dan obat-obat terlarang (drugs).
Childhood Abuse
Relasi antara PMD dan child abuse sedikit lebih problematik. Ada sekalangan profesional dalam kesehatan mental yang berpendirian kuat bahwa pelaku PMD pernah mengalami abuse pada masa kecil, khususnya yang berkonotasi seksual. Bagi kalangan ini, PMD adalah semacam pengulangan kembali tindak abuse yang pernah terjadi pada diri subyek. Namun sejumlah riset yang lebih baru menyimpulkan bahwa child sexual abuse dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah faktor resiko (proxy risk factor) untuk PMD. Dengan kata lain, child sexual abuse dan PMD bisa berhubungan karena keduanya berkorelasi dengan faktor-faktor resiko psikologis yang sama. Jadi, walau child abuse bisa memainkan peranan penting untuk PMD, namun banyak dari mereka yang pernah mengalami abuse tidak mengembangkan PMD, dan sebaliknya juga bahwa mereka yang melakukan PMD belum pernah mengalami abuse. Dalam ranah abuse ini, temuan oleh Pierro dkk. (2012) terhadap 267 partisipan non-klinis (188 wanita dan 79 pria; rentang usia 16-19 tahun) di Italia menarik untuk disebutkan di sini. Temuan lain dari studi mereka juga disampaikan pada bagian lain dalam artikel ini. Pierro dkk., ingin melihat hubungan antara PMD dengan malatritmen (maltreatment) berupa physical neglect, sexual abuse, dan physical abuse. Mereka menemukan bahwa sexual abuse berasosiasi dengan adanya PMD dan frekuensinya,
11
physical abuse hanya dengan adanya PMD dan physical neglect dengan keseriusan (severity) PMD. Dengan kata lain, partisipan dengan latar belakang sexual abuse lebih cenderung daripada populasi “normal” untuk melakukan PMD dan lebih banyak melakukan PMD daripada kelompok partisipan dengan jenis abuse lainnya. Partisipan dengan physical abuse cenderung untuk melakukan paling tidak sekali PMD dalam hidupnya dan jenis abuse ini tidak memprediksikan severitas PMD. Berlawanan dengan physical abuse, adanya physical neglect tidak memperbesar peluang terjadinya PMD namun mempresiksikan severitas PMD di kalangan pelaku PMD.
Bunuh-diri (Suicide)
Perilaku suisidal berbeda dari PMD dari segi fenomenologi, karakteristik, dan intensinya, walaupun mereka memiliki kesamaan dalam sejumlah faktor-faktor resiko psikologis. Individu dengan PMD tidak selalu beresiko untuk bunuh-diri oleh karena banyak pula di antara mereka yang tidak pernah melakukan percobaan bunuh-diri atau bahkan tidak berpikiran untuk itu (suicidal thoughts). Tetapi apabila sampel klinis (inpatients) dan sampel nonklinis dibandingkan, persentasi sampel klinis lebih besar (70%) menunjukkan bahwa individu dengan PMD melaporkan percobaan bunuh-diri, sekurang-kurangnya sekali mencoba, dibandingkan dengan sampel nonklinis (50%) (Klonsky & Muehlenkamp, 2007). Habituasi terhadap rasa sakit fisik dalam interaksi dengan sejumlah variabel lainnya telah dihipotesiskan sebagai meningkatkan resiko percobaan bunuh-diri dan PMD (Taylor, Peterson, & Fischer, 2012). Model teoretik ini menerangkan bahwa individu dengan resiko tinggi untuk percobaan bunuh-diri atau PMD melalui karakteristik pribadi (traits) yang negatif akan berkemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam PMD jikalau mereka sudah terbiasa dengan rasa sakit. Bila memang demikian halnya, model ini bisa menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan dalam hal variabel ini antara inidividu yang masih melakukan PMD dan mereka yang memiliki riwayat PMD. Jacobson, Muehlenkamp, Miller dan Turner (2008) melakukan studi atas 227 partisipan outpatient, dengan usia berkisar antara 12 hingga 19 tahun (M = 15.08 tahun,
12
SD = 1.72 tahun) yang terlibat dalam berbagai bentuk PMD. Kemudian partisipan dibagi ke dalam empat kelompok: PDM tanpa sengaja, PMD nonsuisidal, percobaan bunuh diri, dan percobaan bunuh-diri disertai PMD. Temuan studi ini menyimpulkan bahwa partisipan yang terlibat dalam PMD, apapun bentuknya, cenderung memiliki karakteristik-karakteristik yang ada pada borderline personality disorder daripada mereka yang tidak terlibat dalam PMD. Dari aspek tingkat ideasi suisidal, tidak dijumpai perbedaan antara kelompok pertama dan kedua. Temuan ini menguatkan pandangan mengenai pentingnya membedakan PMD yang suisidal dan PMD nonsuisidal.
MENGAPA MELUKAI DIRI SENDIRI? Para peneliti dan teoresi telah lama berspekulasi tentang mengapa orang melukai diir sendiri. Walau ada kesamaan perilaku PMD, motivasi di baliknya bisa sangat berbeda-beda. Tetapi masing-masing fungsi atau motivasi tidak musti bersifat ekslusif.
Regulasi Afek
Ada beberapa definisi regulasi afek, dan satu definisi dikemukakan di sini untuk pembahasan kita. Menurut Gratz (2007) regulasi afek atau emosi merupakan sebuah konstruk yang berdimensi jamak yang mencakup (a) kesadaran, pemahaman, dan penerimaan emosi, (b) abilitas untuk berbuat yang terarah pada tujuan, dan untuk mengekang perilaku-perilaku impulsif, ketika mengalami emosi-emosi negatif, (c) kelenturan dalam menggunakan strategi situasional untk memodulasi intensitas dan/atau durasi respons-respons emosinal, dan (d) kesediaan untuk mengalami emosiemosi negatif sebagai bagian dari aktivitas pemaknaan dalam kehidupan. Regulasi afek nampaknya menjadi fungsi yang paling menonjol dalam PDM. PMD paling sering menjadi suatu strategi untuk meringankan emosi negatif yang menegangkan dan membebani (Gratz, 2007; Klonsky, 2007; Polk & Liss, 2009). PMD cenderung didahului oleh emosi-emosi seperti kemarahan, kecemasan, kesedihan,
13
frustasi, depresi, rasa bersalah dan rasa malu dan selanjutnya diikuti oleh perasaan lega dan tenang setelah PMD dilakukan (Walsh, 2007). Taylor, Peterson dan Fischer (2012) tidak menemukan perbedaan antara individu yang masih melakukan PMD dan individu yang memiliki riwayat PMD dari pengukuran aspek-aspek impulsivitas, dorongan motif sosial untuk PMD, atau afek positif. Namun mereka berpendapat bahwa individu yang masih melakukan PMD sebagai cara untuk meregulasi afek negatif akan berpeluang besar untuk mengulang-ulang perilaku ini dalam perkembangan selanjutnya.
Menginginkan Sensasi
Aktivitas-aktivitas yang penuh resiko seperti skydiving atau bungee jumping merupakan aktivitas yang memberika sensasi yang luar biasa bagi pelakunya. Sensasi semacam inilah yang juga ingin dialami oleh pelaku PMD, sebagai mana dikemukakan oleh Klonsky dan Muehlenkamp (2007). Fungsi ini lebih sedikit diteliti dari pada fungsifungsi lainnya, walaupun aktivitas olahraga semacam ini semakin banyak digemari orang.
Penghukuman-Diri
Motivasi yang berkaitan dengan penghukuman-diri atau dengan kemarahan yang diarahkan pada diri sendiri banyak diungkapkan oleh individu dengan PMD. Pola ini konsisten dengan temuan Klonsky ataupun peneliti lainnya mengenai derogasi-diri dan harga-diri rendah pada individu yang melakukan PMD. Bersinggungan dengan apa yang telah dikatakan di atas tentang regulasi afek, inidividu-individu ini merasakan PMD sebagai sesuatu yang wajar dan memberikan kelegaan dan pelepasan ketika mengalami distres. Oleh karena itu, fungsi penghukuman-diri ini juga merupakan alasan yang paling umum diungkapkan utuk PMD (Polk & Liss, 2009). Luka sayatan, luka bakar atau benturan, dan juga purging (dalam kasus gangguan makan) dan olahraga di luar batas dilaporkan oleh pasien sebagai satu bentuk penghukuman-diri (Svirko & Hawton, 2007).
14
Perlawanan terhadap Disosiasi (Anti-disosiasi)
Perasaan bahwa diri ini tidak ada atau tidak ada yang dirasakan bisa menjadi beban pengalaman yang menakutkan. Dalam episode disoasiatif seperti ini, ketakutan diputuskan dari sumbernya oleh pelaku dengan cara PMD. Luka atau rasa sakit fisik yang dimunculkan oleh perbuatan ini bisa menolong si subyek untuk memperoleh kembali rasa dirinya (sense of self). Ada perasaan yang lain yang ingin dirasakan daripada perasaan kosong dan tidak real (Polk & Liss, 2009). Untuk alasan ini, Klonsky menggunakan istilah feeling generation untuk mengacu pada fungsi antidisosiasi dari PMD. Secara umum disosiasi merujuk pada semacam akses yang terpisah atau paralel ke kesadaran di mana dua atau lebih proses atau konten mental tidak berasosiasi satu sama lain atau tidak terintergrasi. Sebagai konsekuensinya, kesadaran individu mengenai emosi atau pikirannya mengalami kemunduran dan dihindari. Relasi yang kuat antara PMD dan disosiasi telah ditemukan dalam banyak studi (Klonsky & Muehlenkamp, 2007; Svirko & Hawton, 2007). PMD digunakan sebagai cara untuk menimbulkan sensasi fisik dan untuk mengakhiri pengalaman disosiatif. Salah satu alasan yang diungkapkan oleh subyek adalah PMD membuat mereka merasakan sesuatu daripada tidak ada yang dirasakan dan dengan demikian mereka merasa diri mereka real (back to a sense of realness).
Perlawanan Terhadap Bunuh-Diri (Antisuicide)
Oleh beberapa ahli, PMD dikarakterisasikan sebagai cara untuk menahan atau melawan dorongan untuk percobaan bunuh-diri. Sensasi dan rasa sakit sebagai akibat dari PMD dirasakan oleh individu untuk mencegah godaan dan ideasi untuk bunuh-diri. Fungsi ini lalu mirip dengan regulasi afek karena PMD bisa memperkecil beban emosiemosi negatif yang kuat yang bisa mengarahkan individu untuk menjadi suisidal (Polk & Liss, 2009).
15
PMD pada umumnya memang bukan soal bunuh-diri, walau beberapa individu yang terlibat PMD bisa menjadi suisidal. Walsh (2007) mengingatkan bahwa kendati perilaku masing-masing bisa berbeda, keduanya dapat terjadi di dalam individu yang sama. Individu-individu tertentu mungkin saja mulai dari metode-metode PMD dengan tingkat letalitas yang rendah menuju ke metode-metode PMD dengan letalitas yang tinggi. Yang terakhir ini semakin menyerupai bunuh-diri atau percobaan bunuh-diri dengan menggunakan senjata api, menggantungkan diri, dan overdosis. Dari taraf ini yang sangat rawan ini, individu bisa berpaling kembali ke metode yang rendah letalitasnya. Dengan kata lain, terjadi semacam siklus dalam tingkat letalitas. Klinisian perlu secara saksama mengeksplorasi motivasi-motivasi yang kompleks untuk PMD pada diri kliennya. Individu yang menyatakan bahwa mereka melakukan PMD untuk mati memiliki resiko yang lebiih besar untuk melakukan bunuh-diri daripada mereka yang terlibat dalam PMD untuk kepentingan regulasi emosi atau faktor-faktor interpersonal.
Pengaruh dan Batas-Batas (Boundaries) Antarpribadi
Walaupun sebagian dari konsekuensi PMD menghasilkan penguatan negatif (yakni, berkurangnya ketegangan sebagai konsekuensi dari PMD), sebagian lain dari konsekuensi dapat memperbesar rasa sakit emosional pada pelaku. Beberapa contoh dari konsekuensi terakhir ini adalah rasa malu, bersalah, menyesal, dan rasa terisolasi atau kesepian dari relasi sosial (Gratz, 2007; Muehlenkamp, Brausch, Quigley, & Whitlock, 2013). Agresivitas juga membedakan individu PMD dari individu non-PMD, namun temuan Pierro dkk.,(2012) menunjukkan bahwa agresivitas tidak berhubungan dengan frequensi tindak PMD. Dengan kata lain, individu dengan tingkat agresi interpersonal yang lebih tinggi memperlihatkan peluang yang lebih besar untuk menjadi pelaku daripada mereka yang kurang agresif. Namun subyek PMD dengan tingkat agresi interpersonal yang lebih tinggi tidak harus diartikan bahwa mereka akan terus bertahan dengan perilaku ini dibandingkan dengan non-PMD.
16
PMD mungkin saja dilakukan untuk menggugah afeksi dari seseorang yang dicintai atau significant other bagi si individu. Atau, PMD dimaksudkan oleh pelaku untuk memperoleh respons yang menguatkan (reinforcement) dari figur otoritas dalam lingkungan di mana individu berada (Oliver, Hall, & Murphy, 2005). Untuk maksudmaksud seperti ini, PMD berfungsi sebagai cara untuk mempengaruhi orang lain dan menciptakan ikatan relasi. Bagi individu-individu tertentu, PMD digunakan untuk menegaskan batas-batas antara dirinya dan orang lain. Tubuh dengan goresangoresan luka sayatan atau luka bakar menjadi pembeda yang memisahkan dia dari lingkungannya dan dari orang lain. Bagi kelompok individu ini, PMD dianggap membantu dirinya untuk merasa bebas,otonom dan lain dari orang lain. Studi oleh Pierro dkk., (2012) mencoba untuk melihat ciri-ciri kualitas (traits) kepribadian, relasi keluarga, dan episode malatritmen dalam hubungannya dengan terjadinya PMD dan tingkat keseriusnya. Dari aspek kepribadian, terdapat korelasi positif antara kondisi-kondisi cemas, depresif, agresif, dan impulsif dengan PMD. Temuan ini juga banyak dijumpai kemiripannya dengan riset-riset lainnya, termasuk yang dikaji dalam tulisan ini. Dalam hal relasi keluarga, kualitas hubungan dengan ibu muncul sebagai aspek yang paling penting untuk terjadinya PMD. Hubungan yang baik dengan ibu menurunkan peluang terjadinya PMD. Di kalangan partisipan dengan PMD, kualitas relasi dengan ayah dan ibu berkorelasi dengan tingkat keseriusan (severity) PMD. Partisipan melukai diri lebih sering apabila relasi dengan ayah memburuk dan bila mereka lebih mengidentifikasi diri dengan ayah. Di dalam kasanah riset klinis, isu mengenai kovariasi kondisi-kondisi resiko dalam keluarga telah diteliti dengan menggunakan expressed emotion (EE) sebagai konstruk teoretik. EE merepresentasikan suatu indeks mengenai iklim afektif di dalam rumah, yang mencakup respons-respons ayah atau ibu atau caregiver lainnya di dalam suatu interviu terbuka. Beberapa studi (lihat dalam Michaelson & Bhugra, 2012) menunjukkan asosiasi yang positif antara EE dan PMD. Artinya, PMD berkorelasi dengan adanya kualitas-kualitas negatif dan tidak terkontrol dalam lingkungan afektif pada keluarga dengan EE yang tinggi, misalnya kritik, penolakan, overproteksi, pelanggaran boundaries, dan afek negatif. Remaja yang hidup dalam kondisi semacam
17
ini akan merasa samakin kehilangan harapan, tertekan, depresif, terperangkap, dan pengalaman ini semua membawanya pada PMD sebagai cara penyelamatan diri. Jadi, motivasi-motivasi interpersonal untuk PMD bisa mencakup kehendak/hasrat untuk berkomunikasi, menekan orang lain, bersaing dengan pelaku PMD lainnya, menyelesaikan konflik, dan membangun keintiman. Oleh karena itu penting bagi klinisian untuk mempertimbangakn fungsi-fungsi intrapersonal dan interpersonal semacam ini. Jikalau individu dipandang sebagai sebuah sistem yang kompleks, bertumbuhkembang dalam interaksi dengan lingkungannya dan terdiri dari sejumlah subsistem yang berinteraksi dengan individu, maka mudah diperkirakan bahwa problem-problem penyesuaian yang berbeda-beda akan berpengaruh satu terhadap yang lain dengan aneka ragam cara selama masa perkembangan individu. Misalnya, apabila PMD cenderung berkembang dalam individu dengan keretanan emosional ketika mereka diperhadapkan dengan suatu trauma, maka problem dengan kerentanan emosional akan menjadi sebuah faktor resiko bagi berkembangnya PMD. Sebaliknya, jika tindakan PMD mengarah pada reaksi-reaksi negatif dari orangtua, guru dan teman sebaya sedemikian rupa yang mengusik relasi interpersonal, atau menuju pada anxietas, kemarahan, rasa malu, rasa bersalah, dan penyesalan atas perilaku desktruktif-diri pada si individu, maka PMD akan menjadi faktor resiko untuk berkembangnya problemproblem emosional dan interpersonal (Lund, Wangby-Lund & Bjarehed, 2011).
PSIKOTERAPI APA YANG TERBUKTI EFEKTIF? Banyak strategi terapetik yang digunakan untuk PMD adalah moda-moda psikoterapi yang semula digunakan untuk gangguan-gangguan mental spesifik dan kondisi-kondisi komorbid yang berkaitan dengan PMD, misalnya depresi, anxietas dan borderline personality disorder. Oleh karena itu terbuka ruang cukup lebar bagi pilihan terapeutik untuk menangani kasus PMD. Pada bagian ini, akan dibahas secara singat tiga kategori besar pendekatan terapeutik yang dinilai efektif berdasarkan fakta empirik.
18
Pendekatan Kognitif-Behavioral
Beberapa terapi spesifik yang termasuk dalam ranah ini adalah problem-solving therapy, dialectical behavior therapy dan cognitive-behavioral therapy yang baku (Wilkinson & Goodyer, 2011) . Walaupun masing-masing terapi ini memiliki komponenkomponen yang unik, namun ada beberapa teknik yang dimiliki bersama oleh ketiga: (a) asesmen fungsional terhadapPMD yang menjadi bahan utama bagi tritmen, (b) pelatihan ketrampilan-ketrampilan spesifik (misalnya, pemecahan masalah, toleransi terhadap distres, komunikasi asertif), (c) intervensi behavioral (misalnya, eksposur, penjadwalan aktivitas, penghilangan pengungatan), dan (d) implementasi restrukturing kogntif (Klonsky & Muehlenkamp, 2007).
Pendekatan Psikodinamik
Kebanyakan tritmen dalam ranah ini semula dirancang untuk menangani bordeline personality disorder (BPD), namun oleh karena PMD sering dijumpai dalam kasus BPD maka PMD juga dijadikan target tritmen. Elemen-elemen terapeutik dalam berbagai moda dalam ranah pendekatan ini adalah perhatian pada relasi masa lalu dan membangun relasi baru, relasi interpersonal yang positif, peningkatan kesadaran (awareness) dan ekspresi afek, dan pengembangan self-image pada subyek (Klonsky & Muehlenkamp, 2007).
Pendekatan Kelompok
Satu modus terapi kelompok diberikan di sini sebagai contoh, yakni Acceptance-based Emotion Regulation GroupTherapy yang dikembangkan oleh Grantz dan Gunderson (2006; Gratz, 2007). Terapi kelompok ini sebenarnya banyak menggunakan dialectical behavioral therapy dan terapi lainnya yang berbasis penerimaan, yaitu acceptance and commitment therapy. Terapi ini dikembangkan untuk secara sistematis menangani masing-masing dimensi dalam regulasi emosi seperti: kesadaran, pemahaman, dan penerimaan emosional; kemampuan untuk mengontrol perilaku ketika mengalami emosi
19
negatif; menggunakan strategi non-avoidant dalam regulasi emosi; dan kemampuan untuk mengintegrasikan emosi-emosi negatif dalam aktivitas mencari makna dalam kehidupan. Kelompok bertemu seminggu sekali selama 14 kali, dan dalam setiap sesi pertemuan ada fokus tematik yang diproses dalam kelompok.
KESIMPULAN Perilaku melukai diri sendiri merupakan perilaku yang kompleks, tidak homogen dalam penampilan, karakteristik dan fungsi-fungsinya. Dan artikel ini mencoba untuk memaparkan masing-masing isu tersebut. PMD perlahan-lahan mulai menjadi problem kesehatan. Kebanyakan sumber yang dipakai dalamriviu ini menunjukan evidensi meningkatnya kasus PMD di negara-negara maju dan negara berkembang. Bahkan dikawatirkan, fenomen perilaku ini bergerak menyebar dari populasi klinis ke nonklinis. Sayang angka prevalensi untuk Indonesia tidak jelas. Tidak mustahil kita akan menjumpai kasus-kasus semacam ini. Namun informasi dalam bahasa Indonesia tentang PMD masih amat minim. Oleh karena itu, artikel ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Ada kebutuhan untuk mendidik tidak hanya calon profesinal dan profesional di bidang kesehatan mental, tetapi juga orangtua dan guru untuk mengenali secara dini tanda-tanda PMD pada anak. Identifikasi dini simptom-simptom dan intervensi tepat waktu merupakan salah satu langkah preventif yang paling baik untuk PMD dan perilaku suisidal.
20
DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., tex rev.). Washington, DC: APA. American Psychiatric Association (2010). Non-suicidal self-injury, dalam APA DSM-5, http://www.dsm5.org/ProposedRevisions/Pages/propsedrevision.asp Furniss, F., & Biswas, A.B. (2012). Recent research on aetiology, development and phenomenology of self-injurious behaviour in people with intellectual disabilities: A systematic review and implications for treatment. Journal of Intellectual Disability research, 56, 453-475. Gratz, K.L. (2007). Targeting emotion dysregulation in the treatment of self-injury. journal of ClinicalPsychology: In Session, 63, 1091-1103. Gratz, K.L., & Gunderson, J.G. (2006). Preliminary data on an acceptance-baseemotion regulation group intervention for deliberate self-harm among women with borderline personality disorder. Behavior Therapy, 37, 25-35. Jacobson, C.M., Muehlenkamp, J., Miller, A.L., & Turner, J.B. (2008). Psychiatric impairment among adolescents engaging in differenttypes of deliberate selfharm. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 37, 363-375. Klonsky, E.D., & Muehlenkamp, J.J. (2007). Self-injury: A research review for the Practitioner. Journal of Clinical Psychology: In Session, 63, 1045-1056. Lund, G., Wangby-Lund, M., & Bjarehed, J. (2011). Deliberate self-harm and psychological problems in young adolescents: Evidence of a bidirectional relationship in girls. Scandinavian Journal of Psychology, 52, 476-483. Mangnall, J., & Yurkovich, E. (2008). A literature review of deliberate self-harm. Perspectives in Psychiatric Care, 44, 175-184. Michaelson, D., & Bhugra, D. (2012). Familly environment, xpressed emotion and adolescent self-harm: A review of conceptual, empirical, cross-cultural and clinical perspecctives. International Review of Psychiatry, 24, 106-114. Muehlenkamp, J., Brausch, A., Quigley, K., & Whitlock, J. (2013). Interpersonal features and functions of nonsuicidal self-injury. Suicide and Life-Threatening Behavior, 43, 67-80. Nock, M.K., Joiner, T.E., Gordon, K.H., Lloyd-Richardson, E., & Prinstein, M.J., (2006). Non-suicidal self-injury amoing adolescents: Diagnostic correlates and relation to suicide attempts. Psychiatry Research, 144, 65-72 Oliver,C., Hall, S., & Murphy, G. (2005). The early development of self-injurious behaviour: Evaluating the role of social reinforcement. Journal of Intellectual Disability Research, 49, 591-599. Pierro, R.D., Sarno, I., Perego, S., Gallucci, M., & Madeddu, F. (2012). Adolescent Nonsuicidal self-injury: The effects of personality traits, family relationships and Maltreatment on the presence and severity of behaviours. European Child and Adolescent Psychiatry, 21, 511-520. Polk, E., & Liss, M. (2009). Exploring themotivations behind self-injury. Counselling Psychology Quaterly, 22, 233-241. Svirko, E., & Hawton, K. (2007). Self-injurious behavior and eating disorders: The extent and nature of the association. Suicide and Life-Threatening Behavior, 37, 409-421.
21
Swannell, S., Martin, G., Scott, J., Gibbons, M., & Gifford, S. (2008). Australian Psychiatry, 16, 98-103. Taliaferro, L.A., Muehlenkamp, J.J., Borowsky, I.W., McMorris, B.J., & Kugler, K.C. (2012). Factors distinguishing youth who report self-inurious behavior: A population-based sample. Academic Pediatrics, 12, 205-213. Taylor, L., Oliver, C., & Murphy, G. (2011). The chronicity of self-injurioous behaviour: A long-term follow-up of a total population study. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities, 24, 105-117. Taylor, J., Peterson, C.M., & Fischer, S. (2012). Motivations for self-injury, affect, and impulsivity: A comparison of individuals with current self-injury to individuals with a history of self-injury. Suicide and Life-Threatening Behaviior, 42, 602-613 Walsh, B. (2007). Clinical assessment of self-injury: A practical guide. Journal of Clinical Psychology: In Session, 63, 1057-1068. Wilkinson, P., & Goodyer, I. (2011). Non-suicidal self-injury. European Child and Adolescent Psychiatry, 20, 103-108.