Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
1
2
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Perempuan Memberdayakan Dirinya
Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim Gender, Kemiskinan, dan Demokratisasi dari Dalam ke Luar
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
3
© 2008 Konsorsium Program Penelitian mengenai Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim: Jender, Kemiskinan, dan Demokratisasi dari dalam ke luar, Southeast Asia Research Centre, City University of Hong Kong Seluruh Hak Cipta Dilindungi. Tidak satu bagian pun dari publikasi ini yang dapat direproduksi, disimpan dalam system penyimpanan, dalam bentuk dan cara apapun , atau disebarluaskan secara elektronik, difotokopi, direkam, melalui internet, atau lainnya tanpa izin tertulis para penulis. Buku ini merupakan capaian program Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim, didanai oleh the UKaid. Guna dimanfaatkan bagi negara-negara berkembang. Pandangan-pandangan yang dikemukakan tidak mesti merupakan pandangan Ukaid.
Edisi Bahasa Inggris Publikasi pertama pada tahun 2008 dalam bahasa Inggris di Pakistan ISBN No. 978-962-442-306-8
4 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Diterbitkan oleh the Research Programme Consortium on Women’s Empowerment in Muslim Contexts: gender, poverty and democratisation from the inside out Southeast Asia Research Centre (SEARC), City University of Hong Kong 7th Floor, Block 2, To Yuen Building, 31 To Yuen Street, Kowloon Hong Kong Special Administrative Region, People’s Republic of China Tel: (852) 3442 6321/ 3442 6214 - Fax: (852) 3442 0103 Email:
[email protected] - Website: http://www.wemc.com.hk Sampul depan dan disain tampilan oleh Muhammad Asim Edisi Bahasa Indonesia Publikasi pertama pada tahun 2010 dalam bahasa Indonesia di Indonesia Diterbitkan oleh Semarak Cerlang Nusa, Consultancy, Research Education for Social Transformation (SCN-CREST) Jl. Gurame I No.3A. RT.03 RW.09, Pasar Minggu, JAKARTA 12520 Telp/Fax: + 62-21-78834920 E-mail :
[email protected] Website : http://www.scn-crest.org Sampul depan dan disain tampilan di adaptasi dari edisi bahasa Inggris oleh: Imam Syahirul A.
Edisi bahasa Inggris Penulis dan Editor Utama Vivienne Wee (Direktur WEMC) Farida Shaheed (Deputi Direktur WEMC) Diselesaikan pada tahun 2008, dokumen berjalan ini terus dikembangkan dengan kontribusi dan input dari:
Sekretariat Koordinator Penelitian: Felma Joy Tadios-Arenas dan Sadia Ahmed, dibantu oleh Phoebe So Koordinator Komunikasi: Edna Aquino dan Lin Chew Edisi Bahasa Indonesia Penterjemah: Suzanna Eddyono Editor : Sri Wiyanti Eddyono
5 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Anggota-anggota Komite Menejemen Penelitian Samina Choonara (Shirkat Gah Women’s Resource Centre) Maria Jaschok (International Gender Studies, Oxford University) Amy Sim (Centre for Environment, Gender and Development) Catherine Chiu (Southeast Asia Research Centre, City University of Hong Kong) Homa Hoodfar (Women Living Under Muslim Laws) Kausar S. Khan (Department of Community Health Sciences, Aga Khan University) Sri Wiyanti Eddyono (Semarak Cerlang Nusa) Risma Umar (Solidaritas Perempuan)
Didedikasikan kepada ‘Lisa’ (Professor Elisabeth Croll) Dan ‘Toni’ (Zaitun Mohammed Kasim). Yang akan senantiasa bersama kita semangatnya
6
Lisa sangat melambangkan seorang feminis akademis yang pribadinya berinterseksi dengan akademisnya melalui sebuah komitmen personal terhadap perubahan sosial. Untuk waktu yang singkat, dia bertugas sebagai penasehat kami, menyentuh kami dengan kilasan cita-cita dan keyakinannya, membimbing kami dengan perhatian yang tiada henti atas inti gagasan dari proyek kami. Kami berhutang budi kepadanya untuk memberikan karya kami yang terbaik.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Toni mengisi proyek ini dengan energi dan kemauan baik. Berkomitmen terhadap perubahan sosial dan kesetaraan bagi perempuan, dia menghiasi dengan analisisnya yang tajam, membimbing yang lain, memberikan advokasi kritis, dan menjalani kewarganegaraan dengan selera humor yang tinggi. Sebagai penasehat kami, dia mengajarkan kepada kami bahwa menciptakan suatu cara yang inovatif memastikan hak-hak perempuan untuk menentang dan melawan susunan kekuasaan yang ada tidak hanya diperlukan, tetapi juga dapat menyenangkan.
Pernyataan Kami berhutang budi kepada para perempuan yang telah berbagi kepada kami pengalaman-pengalaman mereka dalam pemberdayaan dan pelemahan di China, Indonesia, Iran, dan Pakistan, sebagaimana juga di situasi lintas batas. Kami berharap bahwa buku ini akan, dengan cara tertentu, mendukung inisiatif mereka atas pemberdayaan, sebagaimana juga dapat menjadi pemberdaya sejati terhadap semua perempuan yang tidak terberdayakan. Komentar yang mendalam dari anggota-anggota Consortium Advisory Group (CAG) WEMC yang mendukung terhadap evolusi dari kerangka kerja penelitian yang didiskusikan dalam buku ini: • Dr. Noeleen Heyzer: Wakil Sekretaris Jendral UN dan Sekretaris Eksekutif dari Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP); mantan Ketua CAG WEMC, 1 Juli2006 – 3 Agustus 2008. • Professor Yakin Ertürk: Pelapor Khusus PBB mengenai Kekerasan terhadap Perempuan dan Professor, Departemen Sosiologi, Universitas Teknik TImur Tengah, Ankara, Turkey; Anggota, CAG WEMC, 1 Juli 2008 – 2 Agustus 2008; Ketua CAG WEMC, 3 Agustus 2008 – sekarang.
Secara khusus, kami sangat berterima kasih atas kontribusi yang tak ternilai dari: • Almarhum Professor Elisabeth Croll: mantan Professor mengenai Antropologi Cina dan mantan Wakil Ketua di Bidang Urusan Luar, Sekolah Penelitian mengenai Oriental dan Afrika, Universitas London, yang meninggal dunia pada 3 Oktober 2007, Anggota, CAG WEMC 1 Juli 2006 – 3 Oktober 2007 • Almarhum Zaitun Mohamed Kasim: mantan Konsultan dan Pelatih Utama, Sister in Islam, Malaysia, yang meninggal dunia pada tanggal 4 Juni 2008; anggota CAG WEMC 1 Juli 2005 – 4 Juni 2008. Kami mendedikasikan buku ini untuk mereka sebagai apresiasi atas apa yang kami pelajari dari mereka dalam waktu yang singkat tetapi sangat berharga. Kami mengharapkan kontribusi di masa mendatang dari dua anggota CAG baru dalam edisi selanjutnya dari buku ini:
7 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
• Professor Bina Agarwal, Professor Ekonomi, Institut Pertumbuhan Ekonomi, Universitas Dehli, Dehli, India; Anggota, CAG WEMC, 1 Juli 2006 – sekarang.
• Savitri Goonesekere: Professor Emeritus di bidang Hukum, Universitas Colombo dan ANggota Badan, Centre for Women’s Research [CENWOR], Colombo, Sri Lanka; Anggota, CAG WEMC, 25 September 2008 – sekarang. • Zainah Anwar: Anggota Badan, Sister in Islam (SIS), Kuala Lumpur, Malaysia; Anggota CAG WEMC, 24 September 2008 – sekarang. Kami berterima kasih kepada Departemen Riset Pusat dari Departemen UK mengenai Pembangunan Internasional (DFID) untuk dukungan atas Women’s Empowerment In Muslim Contexts: Gender, Poverty And Democratization From The Inside Out. Secara Khusus, kami mengumumkan adanya dukungan yang tak terhingga dari Tracy Tasker, Mike Battcock, Malcolm Worboys, and Sue Read (Departemen Riset Pusat), dan Gerard Howe and Kemi Williams (Tim Kesetaraan dan Hak-hak dalam Divisi Kebijakan dan Riset). Kami juga berterima kasih kepada City University, Hongkong, terutama South East Asia Research Centre (SEARC), karena menjamu WEMC dan dukungannya yang diberikan terhadap proyek dan publikasi ini. Semua peneliti yang terlibat dalam WEMC berkontribusi untuk mewujudkan kerangka penelitian bersama, melalui keterlibatan mereka dalam dokumentasi dan analisis prosesproses pemberdayaan perempuan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang melemahkan. 8 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Kami dengan sepenuh hati mengakui komitmen dan usaha-usaha bersama dari Komite dan Sekretariat Manajemen Riset WEMC, yang telah memungkinkan terwujudnya buku ini: • Kontribusi dari Samina Choonara, Maria Jaschok, dan anggota-anggota lain dari Komite Manajemen RIset – Catherine Chiu, Amy Sim, Soma Hoodfar, Kausar S. Kahan, Sri Wiyanti Eddyono, dan Risma Umar. • Kinerja yang penuh dedikasi dari Sekretariat WEMC Felma Joy, Tadios-Arenas dan Sadia Ahmed (Koordinator Riset), dan Mandy Wong (Koordinator Administrasi dan Keuangan), sebagaimana juga kepada Phoebe So Yuen Man (Rekanan Riset Senior, WEMC di SEARC). Apapun kesalahan yang terdapat dalam buku ini bukanlah tanggung jawab kami semata. Vivienne Wee and Farida Shaheed
Daftar Isi Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim: gender, kemiskinan dan demokratisasi dari dalam keluar (WEMC)
11
1. 1.2. 1.3.
12 14 18
Singkatan Apakah WEMC? Mengapa Konteks Muslim? Mengapa WEMC Memilih Fokus Penelitian Khusus?
Konseptualisasi Pemberdayaan sebagai Transformasi Hubungan Kekuasaan 2.1.
Membuat Strategi yang Berasal dari Riset Mendasar mengenai Pemberdayaan 3.1. 3.2. 3.2.1. 3.2.2.
3.2.3. 3.2.4.
Menuju Komparasi Peristilahan atas Pemahahaman yang Berbeda terhadap ‘Pemberdayaan’ Pertanyaan Inti Penelitian Pandangan-pandangan Perempuan dan Analisis atas Kekuasaan, Pemberdayaan, dan Pelemahan Perempuan Terlibat dalam Kontestasi Kekuasaan di sekitar Mekanisme Kontrol yang Digunakan oleh Dorongan-dorongan yang Melemahkan Strategi-strategi Perempuan bagi Pemberdayaan dan Dukungan yang Mereka Gerakkan Hasil-hasil dari Inisiatif-inisiatif Perempuan untuk Pemberdayaan
Kesimpulan Refrensi
26 28 35 37 41 51 52 55 59
61 79 83 91 94
9 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Apakah ‘Empowerment’ itu dan Mengapa Hal itu Menjadi Masalah bagi Perempuan? 2.2. Kapasitas Perempuan untuk Membuat Keputusan Otonom 2.3. Transformasi Hubungan Kekuasaan yang Tidak Diinginkan dan Tingkat Tengah (Meso Level) yang Kritis 2.3.1. Tingkat Tengah (Meso Level) Yang Kritis 2.3.2. Strategi-strategi Indigenous Pemberdayaan Perempuan pada Tingkat Tengah (Meso Level)
25
Bab Satu
Pertemuan pertama dari Consortium Advisory Group (CAG) WEMC di City University of Hong Kong (16-17 Desember 2006): [Depan dari kiri ke kanan] Alm. Elisabeth Croll, Sri Wiyanti Eddyono, Farida Shaheed [Tengah dari Kiri Ke Kanan] Khadija Zaheer, Sayyeda Reza, Salma Safitri Rahayaan, Vivienne Wee, Homa Hoodfar, Noeleen Heyzer, Amy Sim, Alm. Zaitun Mohamed Kasim, Neng Dara Affiah [Belakang dari Kiri ke Kanan] Gerard Howe, Maria Jaschok, Tracy Tasker, Catherine Chiu
10 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bab Satu Pemberdayaan (empowerment) Perempuan dalam Konteks Muslim: Gender, Kemiskinan dan Demokratisasi dari Dalam Keluar
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
11
1.1. Singkatan Apakah WEMC? WEMC adalah singkatan dari Konsorsium Program Penelitian terhadap ‘Women’s Empowerment in Muslim Contexts: Gender, kemiskinan, dan demokratisasi dari dalam keluar.’ Konsorsium ini dibentuk untuk membahas menyelesaikan adanya kesenjangan pengetahuan – yaitu, bagaimana untuk mencapai pemberdayaan perempuan. Kesenjangan ini adalah menyangkut tahap-tahap pencapaian dari Millenium Development Goals (MDGs)1. Institusi-institusi yang menerima bahwa Tujuan ketiga (mendukung kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan) adalah ‘suatu syarat untuk mengurangi kemiskinan dan mencapai semua tujuan MDGs’2 mengakui bahwa terdapat tidak cukup pengetahuan mengenai bagaimana mencapat tujuan ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Departemen untuk Pembangunan Internasional (DFID) pada tahun 2005: Terdapat konsensus yang luas mengenai apa saja prioritas-prioritas untuk mencapai pemberdayaan perempuan… Akan tetapi kita masih sangat jauh dari pencapaian hal-hal tersebut dalam prakteknya dan terdapat sedikit kesepahaman mengenai bagaimana cara mencapainya. Penelitian-penelitian terkini yang menyangkut isu-isu ini relatif hanya sebagai pelengkap dan bersifat anekdot. Apa yang berhasil dalam satu konteks tidak terlihat berhasil dalam konteks yang lain dan terdapat kekurangan analisis dan sintesis antar konteks empiris yang berbeda dalam menarik pelajaran bersama. Organisasi-organisasi dan pembuat keputusan yang bekerja untuk memberdayakan perempuan perlu untuk mengetahui lebih dalam mengenai strategi-strategi apa yang berhasil guna, dan strategi yang mana yang tidak berhasil dan mengapa hal ini dapat terjadi dalam situasi yang berbeda. Terdapat kebutuhan yang kuat mengenai sebuah ‘narasi’ yang baru yang dapat membentuk kembali strategi-strategi dan pendekatan-pendekatan praktis baik pada level nasional maupun internasional, yang dibangun berdasa keberhasilan-
12 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
1
2
Millennium Development Goal 3 (MDG3) – Mendukung kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Lihat http://www.un.org/millenniumgoals/ gender.shtml The UK ’s contribution to achieving the Millennium Development Goals. 2005, London: HM Government, hal .28.
keberhasilan terakhir dan menjembatani kesenjangan antara ‘kenyataan hidup’ golongan miskin dan kegiatan pengambilan keputusan pada semua lini. (Penekanan Kami) WEMC menetapkan secara pasti untuk membangun suatu narasi pemberdayaan perempuan yang akan sungguh-sungguh menjembatani kesenjangan antara kenyataan hidup perempuan dan pengambilan keputusan pada semua lini. Untuk melakukan hal itu, pertanyaan-pertanyaan yang baru harus dilontarkan untk memperoleh pengetahuan baru. Narasi yang baru itu harus menunjukkan sebuah cerita baru yang secara akurat menggambarkan pemahaman mengenai bagaimana perempuan dapat diberdayakan dan menjalani pemberdayaan dalam kehidupan nyata mereka. Kerangka penelitian ini mencakup:
1. Membuat konsep kunci secara eksplisit yang menggarisbawahi tugas dari Konsorsium WEMC 2. Menunjukkan apa yang inovatif dari konsep-konsep ini – yaitu, bagaimana konsep-konsep tersebut menstruktur sebuah narasi baru mengenai pemberdayaan perempuan. 3. Menetapkan pertanyaan inti penelitian yang dibahas oleh WEMC di semua lokasi 4. Menyediakan petunjuk yang mendukung dan terbuka bagi pemahaman lebih lanjut
Publikasi pertama dari kerangka penelitian WEMC ini sebagai dokumen publik ditujukan untuk membagi pemahaman konsorsium selama kira-kira dua tahun setelah pembentukannya.3 Diharapkan bahwa kerangka kerja ini akan berkembang lebih lanjut selama perjalanan program ini. Mengkombinasikan penelitian, pengembangan kapasitas dan komunikasi, WEMC meluncurkan programnya pada tanggal 1 Juli 2006, untuk: • Memperlihatkan strategi-strategi yang indigenous dan berarti bagi perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. • Mendukung perempuan-perempuan yang menghadapi sistem yang menekan, termasuk agenda politis Islamis dan kekuatan-kekuatan lain yang memiskinkan
3
Versi yang lebih awal dari kerangka penelitian ini terdapat sebagai dokumen internal yang disirkulasikan hanya di dalam konsorsium.
13 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
5. Menggambarkan implikasi dari penguatan kapasitas, komunikasi, dan wilayah untuk pengembangan di masa depan.
dan memarginalkan perempuan, dan • Mendukung pemberdayaan perempuan sebagai demokratisasi dari dalam keluar Konsorsium ini memiliki delapan partner kunci: 1. Southeast Asia Research Centre (SEARC), City University of Hongkong – Partner Utama. 2. Shirkat Gah Women’s Resource Centre (SG), Pakistan. 3. Depatment of Community Health Science, Aga Khan University (AKU), Pakistan. 4. Centre for Environment, Gender and Development (ENGENDER), Hongkong. 5. International Gender Studies Centre (IGS), Queen Elizabeth House, Oxford University, United Kingdom 6. Semarak Cerlang Nusa (SCN), Indonesia 7. Solidaritas Perempuan (SP), Indonesia 8. Women Living Under Muslim Law (WLUML), Kantor Koordinasi Regional – Asia.
14 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Partner-partner konsorsium ini bekerja di lima komponen penelitian, terdiri dari empat titik negara – China, Indonesia, Iran, dan Pakistan – dan sebuah komponen lintas batas yang meliputi pekerja migran Indonesia dan pengungsi dan pemukim kembali Afghan.4 Alasan-alasan untuk memilih komponen-komponen ini adalah sebagaimana dijelaskan dibawah ini:
1.2. Mengapa Konteks Muslim? Menaruh perhatian terhadap hambatan-hambatan yang mengganjal kemajuan kesetaraan gender, Radhika Coomaraswamy, mantan Rapporteur Khusus UN untuk Kekerasan terhadap Perempuan mengamati:5 Terdapat banyak penulisan mengenai hukum, penetapan standar, program yang direncanakan, tetapi permasalahan terbesar … adalah bahwa orang-orang menggunakan budaya dan agama untuk menolak hak-hak perempuan. 4 5
Untuk informasi lebih lanjut mengenai WEMC, termasuk para partner kunci, lihat
Radhika Coomaraswamy dikutip dalam S. Cameron-Moore, 5 Mei 2005, ‘Violence against women rising in South Asia: UN’, Islamabad: Reuters, dapat dilihat di
Penggunaan budaya dan agama untuk menolak hak-hak perempuan adalah lebih kepada suatu fonomena global dibanding sebagai fonomena khusus dalam konteks muslim. Akan tetapi, konteks muslim memberikan sebuah contoh yang sangat signifikan mengenai dinamika kekuasaan yang secara aktif tidak memberdayakan perempuan karena berkembangnya pengaruh Islamis politikus yang meng-klaim bahwa agama itu sendiri mensyahkan – bahkan menuntut – untuk tidak memberdayakan perempuan. Penggunaan budaya dan agama yang serupa untuk meligitimasi tidak memberdayakan perempuan dapat dilihat pada konteks non muslim. Temuan penelitian WEMC atas Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim karenanya memiliki relevansi langsung dengan konteks non muslim yang dipengaruhi oleh konstruksi politiko-religius yang tidak memberdayakan.
Rancangan yang bermotivasi politis ini menolak perbedaan historis dan kenyataan kontemporer di lebih dari satu milyar Muslim di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim mayoritas dan diaspor Muslim. Mitos yang diyakini Islamis politikus mengenai sebuah ‘dunia Muslim’ yang tunggal dan homogen menekankan bahwa hanya terdapat satu jalan untuk menjadi Muslim ataupun menjadi perempuan Muslim. Agenda yang didorong oleh suatu mitos seperti itu adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat dengan cara membungkam setiap pandangan dan gagasan yang bertentangan (termasuk tradisi keagamaan lainnya), sehingga melumpuhkan otonomi masyarakat secara umum dan otonomi perempuan secara khusus. Agenda-agenda politik yang intoleran seperti itu menghambat baik pembangunan yang adil dan demokratisasi. Membalikan konstruksi dan agenda-agenda seperti itu sangatlah penting bagi Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim. Tugas ini terutama penting dalam
15 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Dalam konteks muslim, mereka yang menentang hak-hak perempuan adalah pemegang tradisi patriarkal atau kekuatan politis baru yang menggunakan struktur patriarkal yang ada untuk tidak memberdayakan perempuan. Pihak yang terakhir dengan demikian me-revitalisasi dan me-relegitimasi pihak yang awal dalam sebuah penggabungan kekuatan yang saling menguntungkan bagi kekuatan patriarkal yang lama dan yang baru. Didukung oleh ambisi pembangunan-kekuasaan mereka, Islamis politikus mencoba untuk menerapkan konstruksi mereka atas suatu konsep ‘perempuan Muslim’ sebagai batu pertama bagi suatu konstruksi yang senada, ‘dunia Muslim’ yang tak dapat diubah . Sistem gender totalistik dari Islamis politikus dengan demikian menguatkan struktur patriarkal yang sudah ada, menekan praktek-praktek yang lebih ke arah kesetaraan-gender, dan mereduksi perempuan hanya sebagai sebuah penandadefinisi simbolis tanpa hak.
menghadapi meningkatnya mode internasionalis yang diadopsi oleh kaum Islamis untuk menyebarkan mitos bahwa tidak memberdayakan perempuan adalah syah dan sangat dituntut oleh agama. Berlawanan dengan mitos ini, bukti-bukti historis menunjukkan adanya fakta bahwa perempuan-perempuan di berbagai konteks Muslim yang berbeda telah lama menegosiasikan hak-hak mereka melalui strategi-strategi yang indigenous.6 Untuk memahami dinamika Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim, penting untuk mengeksplorasi, mempertanyakan dan menunjukkan berbagai cara dalam mana Islam digunakan sebagai legitimasi dan de-legitimasi, baik mendukung maupun melawan perempuan. Berkembangnya penyatuan ideologi pada kekuatan-kekuatan yang tidak memberdayakan pada tingkat internasional adalah suatu karakteristik yang jelas pada pengalaman tidak terberdayakan yang dialami oleh perempuan dalam konteks Muslim. Dalam era ketidakamanan, terdapat bukti-alamiah yang diperlukan untuk menunjukkan pengetahuan yang lemah dari komunitas internasional mengenai masyarakat Muslim, terutama mengenai bagaimana Islamis politikus bersatu dengan kaum patriarkal lainnya dalam mengeksploitasi budaya dan agama untuk melegitimasi pelemahan perempuan dan bagaimana para perempuan dalam kondisi yang relatif tidak terjangkau, berjuang memberdayakan diri mereka sendiri dalam konteks Islam.
16
Menolak keragaman sejarah, budaya, struktur sosial dan politik, sumber daya ekonomi, dan juga hukum dan konsep mengenai perempuan dalam konteks Muslim, penerapan visi monolitik kaum Islamis mendukung:
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
1. Suatu miskonsepsi bahwa aspirasi dan perjuangan bagi hak-hak perempuan adalah gagasan yang asing dalam konteks Muslim. 2. Pemiskinan budaya yang membatasi perempuan terhadap poin-poin referensi alternatif untuk bertindak sebagai agen dan otonomi. Pengurangan secara politis terhadap kemungkinan yang dicita-citakan ini menghambat perempuan untuk bertindak sebagai agen dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal itu juga menghambat intervensi kebijakan yang mengarah kepada pemberdayaan perempuan, meliputi baik agenda-agenda kebijakan nasional maupun internasional, seperti Platform beijing bagi Aksi dan Millenium Development Goals, yang ditolak karena dianggap ‘alien’ sebagai ‘asing’ dan sebagai ‘agenda orang lain’. 6
Dalam peristilahan kami, istilah ‘indigenous’ merujuk pada usaha-usaha perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam konteks sosio-kultural mereka sendiri, tanpa merujuk pada identitas asal perempuan itu sendiri.
Para perempuan yang menentang penerapan yang bermotivasi politis atas ‘ke-Muslim-an’ sering di cap dan diserang sebagai bukan Muslim ‘sejati’ atau ‘yang baik’. Mereka dituduh mengkhianati ‘komunitasnya’, diasingkan, diancam, dikutuk, dilecehkan, dan tidak dimanusiawikan, melalui suatu hukuman paksa yang didasarkan atas ‘tradisi’ atau ‘agama’. Bahaya yang mereka alami tidak hanya meliputi bahaya fisik atau psikologis, tetapi juga pengasingan sosial yang diikuti oleh penarikan semua dukungan yang ada, pembekuan modal sosial dan bahkan kehilangan total atas keanggotaan sosial. Menghadapi hambatan yang kejam tersebut, para perempuan secara konsisten bertindak untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Kebanyakan, akan tetapi, berjuang sendiri, strategi mereka biasanya tidak terdokumentasi, usaha-usaha mereka dibungkam dengan kekerasan yang diposisikan sebagai ‘tradisi’ atau ‘agama’. Jadi, merupakan prioritas penting untuk mendokumentasikan dan menganalisa bagaimana perempuan itu sendiri menggunakan budaya dan agama, diantara berbagai sumber daya, untuk membentuk ulang hubungan kekuasaan yang tidak menguntungkan tersebut pada berbagai tingkatan. Sebuah pemahaman yang mendalam mengenai strategi pemberdayaan mereka yang indigenous akan membantu untuk melawan kekuatan tidak memberdayakan yang diterapkan oleh kaum Islamis politikus atas nama ‘agama’.
• Pada tingkat makro, kelompok-kelompok politiko-religius nasional, sering bersekutu dengan kelompok-kelompok di negara lain atau dengan jaringanjaringan internasional, mungkin mencoba untuk membentuk ulang hukum dan kebijakan-kebijakan untuk mencakup gagasan-gagasan ketidaksetaraan-gender. • Pada tingkat meso, kelompok-kelompok politiko-religius lokal mungkin mencoba juga untuk melakukan hal yang sama dengan hukum dan kebijakan-kebijakan lokal, sering beraliansi dengan kelompok-kelompok dan jaringan-jaringan nasional dan internasional. Sebagai tambahan, kelompok-kelompok kekerabatan yang patriarkal mungkin mencoba untuk menerapkan nilai-nilai dan praktek yang tidak memberdayakan, bergabung dengan kelompok-kelompok politiko-religius. • Pada tingkat mikro, individual mungkin mencoba menerapkan nilai-nilai dan praktek yang tidak memberdayakan dalam hubungan interpersonal ke tingkat yang lebih luas, sering didukung oleh trend pada tingkat meso dan makro.
17 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penggunaan budaya dan agama untuk tidak memberdayakan perempuan mewujudkan diri dalam berbagai bentuk pada tingkatan yang berbeda:
Dinamika kekuasaan yang bekerja pada tiap tingkatan sangat khas. Saling melengkapi dan juga kontradiksi mungkin muncul diantara tingkatan yang berbeda. Terdapat kebutuhan untuk memahami dinamika kekuasaan inter dan antar tingkatan, dan untuk menilai dampaknya atas masing-masing terhadap pemberdayaan perempuan, sehingga strategi-strategi yang efektif dapat diformulasikan untuk mengatasi hal-hal tersebut. Tanpa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang tidak memberdayakan ini, tidak mungkin untuk mencapai pemberdayaan perempuan. Perempuan dapat diberdayakan hanya dengan mengatasi kekuatan-keuatan yang tidak memberdayakan, yang lama maupun yang baru.
18 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penting untuk mengklarifikasikan bahwa WEMC memberikan perhatian kepada perempuan dalam konteks sosial dimana ‘ke-Muslim-an’ membentuk dimensi kunci, tidak hanya dengan perempuan yang diidentifikasikan sebagai ‘Muslim’ dengan satu atau lain cara. Sebagai tambahan untuk menyatakan dimana mayoritas populasi adalah Muslim, ‘konteks Muslim’ termasuk perempuan non Muslim yang tinggal di dalam kondisi seperti itu sebagaimana kaum minoritas Muslim yang tinggal dalam populasi non Muslim yang lebih banyak, dimana ‘ke-Muslim-an’ berfungsi sebagai karakteristik yang membedakan antara minoritas dan mayoritas. WEMC tidak memandang kehadiran Islam sebagai satu-satunya, atau bahkan kekuatan terpenting pendorong sebuah sistem gender. Sebaliknya, sebagaimana dipaparkan dalam bab-bab berikutnya, kami berpendapat bahwa berbagai faktor yang majemuk berkombinasi dalam menciptakan sebuah sistem gender yang mendefinisikan kondisi dimana pemberdayaan perempuan terjadi. Kami juga, bahkan, mempertimbangkan bahwa berbagai ragam pandangan orang dalam konteks dimana ‘ke-Muslim-an’ secara signifikan akan dipengaruhi, diantara berbagai faktor lain, oleh pemahaman mereka akan keterlibatan dengan agama – sebuah situasi yang menekankan kembali secara langsung atas sistem gender dimana perempuan berada.
1.3. Mengapa WEMC memilih Fokus-fokus Penelitian Tertentu? WEMC memutuskan untuk memfokuskan diri pada konteks Muslim di Asia karena hampir separuh dari kaum Muslim dunia tinggal di China, Indonesia, Iran dan Pakistan dibawah kondisi yang beragam tidak hanya antar negara tetapi juga dalam setiap negara. Keragaman tersebut sering dianggap berlebihan dengan menyebarnya konstruksi stereotipe atas ‘ke-Muslim-an’ dan ‘perempuan Muslim’ yang dipromosikan oleh kaum Islamis politikus. WEMC memeriksa cara-cara dengan mana konstruksi semacam ini, disebarkan melintasi perbatasan, dan berdampak pada realitas lokal –
sebagai contoh, dengan memperkuat patriarki yang berakar pada budaya dan mengurangi ruang gerak dan hak-hak perempuan yang telah lama berlangsung. Sebagai tambahan, sebuah komponen lintas-batas yang meliputi pekerja migran Indonesia dan pengungsi (serta pemukim kembali) Afghan di Iran, karena migrasi, dalam satu bentuk atau lainnya, menghadirkan kesempatan-kesempatan dan tantangantantangan baru bagi pemberdayaan perempuan. Dengan memfokuskan [ada empat titik negara ditampah komponen lintas-batas, WEMC mampu membandingkan, diantara berbagai hal: 1. Negara-negara dengan mayoritas Muslim (Indonesia, Iran, Pakistan) dengan minoritas Muslim di negara sekuler (China) 2. ‘Kaum Republik” Islamis, dengan derajat lebih besar atau kecil, (Iran, Pakistan) dengan negara sekuler, dengan derajat lebih besar atau kecil, (Indonesia, China) 3. Perempuan Muslim sebagai warga negara di negara-negara mereka sendiri (China, Indonesia, Iran, Paksitan) dengan mereka yang bermigrasi ke negara-negara lain, baik sebagai pekerja atau sebagai pengungsi, termasuk pengalaman mereka sebagai pemukim kembali (pekerja migran Indonesia dan pengungsi Afghan di Iran) 4. Perempuan dari komunitas Muslim dan non-Muslim (Pakistan, Iran, Indonesia)
6. Interaksi antara kekuatan-kekuatan internasional, nasional, dan lokal, baik yang mendukung maupun yang menghambat pemberdayaan perempuan (di semua lokasi) Analisis komparatif dari aspek-aspek tersebut dan aspek lainnya akan memberikan sebuah pengetahuan baru mengenai pemberdayaan perempuan di berbagai konteks Muslim di negara-negara yang diteliti, dengan relevansi yang lebih luas bagi situasi Muslim dan non Muslim lainnya. Penerapan atas sebuah pengetahuan baru seperti ini dapat menunjukkan secara lebih detail cara-cara tertentu bagi masyarakat sipil, badanbadan pembangunan, pemerintah dan komunitas internasional untuk mengkatalisasi dan mendukung keterwakilan perempuan bagi pemberdayaan, di dalam maupun di luar negara-negara yang diteliti.
19 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
5. Jangkauan proses demokratisasi pada tingkat makro, meso, dan mikro (di berbagai lokasi)
Meneliti dengan dan untuk Perempuan Para peneliti dan para responden di Hong Kong (Gambar 1), Pakistan (Gambar 2) and Indonesia (Gambar 3 & 4)
20 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Pekerja domestik Indonesia: menyeleng garakan protes menentang undang-undang perburuhan Hong Kong.
Hong Kong, Komponen Lintas Batas Dari Tragedi Personal menjadi Aksi Bersama untuk Perubahan Sebuah fokus penting dari penelitian lintas batas WEMC ini adalah terhadap pekerja migran Indonesia dan permasalahan-permasalahan mereka mengenai eksploitasi berdasar kelas dan gender. Hal ini termasuk perempuan Indonesia muda yang bekerja di Hongkong sebagai pekerja domestik dan diperlakukan tidak sepantasnya oleh agen-agen dan majikan mereka. Contoh berikut menggambarkan bagaimana tragedi personal menjadi dasar aksi bersama untuk perubahan.
21 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Menurut ketua dan pendiri ATKI (sebuah asosiasi pekerja migran), Eni Lestari, adalah setelah dia melarikan diri dari majikannya dan menjadi pengungsi di sebuah rumah perlindungan maka dia belajar dari pekerja migran lain bagaimana dan mengapa migran Indonesia seharusnya membentuk organisasi mereka sendiri. Aktivitas mengorganisasi pekerja migran non Indonesia di dalam rumah perlindungan meyakinkan Lestari dan rekan-rekan seperjuangnannya bahwa satusatunya jalan untuk menyesaikan permasalahan eksploitasi di dalam pekerja migran adalah melalui aksi bersama. Bagi banyak orang seperti dia, hal ini menandai suatu titik balik, dimana pendidikan yang mereka terima mengenai diskursus hakhak internasional, retorika politik, dan perkembangan organisasional merupakan kunci untuk berkembangnya mereka ke dalam perspektif yang majemuk, merubah dunia pandang mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan dunia dalam arti luas. Mentor organisasional menyediakan petunjuk, pelatihan ketrampilan, pendidikan, dan pendampingan praktis dalam fase kritis kelompok dan pembentukan kesadaran, yang memungkinkan para pekerja untuk memahami permasalahan individual mereka adalah merupakan permasalahan kolektif berdasar atas kelas, alih-alih sebagai ketidakberuntungan tersendiri.
Disarikan dari: Amy Sim. 2008.’Perempuan versus Negara: Pemberdayaan dan Kepemimpinan dalam pekerja migran asal Indonesia’. Tulisan Penelitian WEMC yang dikirimkan kepada Journal Migrasi Asia Pasifik.
Gambar: Menekankan pada anak perempuan’ Pendidikan di Gansu,China
China Budaya sebagai Penghambat Pendidikan Perempuan
22 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
I
nterview yang dilakukan Ma Yaping menunjukkan bahwa orang-orang dalam komunitas menggunakan ‘budaya’ dan ‘tradisi’ untuk merasionalisasi pembatasan bagi anak perempuan dan perempuan untuk mendapatkan hak mereka atas pendidikan. ‘Lebih mudah untuk memperkerjakan anak perempuan, mereka dapat membantu dalam urusan rumah tangga, pada dasarnya, adalah merupakan tradisi untuk melebihkan laki-laki atas perempuan.’ – (interview dengan kader kota) ‘Laki-laki di desa tidak memasak (tertawa), tidak mencuci pakaian, tidak membersihbersihkan, ini adalah pekerjaan perempuan… Anak perempuan umur 12 dan 13 membantu dalam urusan rumah tangga, dan mereka mudah untuk disuruh-suruh.’ – (Intervies dengan perempuan penduduk desa) ‘Tradisi kami (dari) etnis minoritas adalah bahwa laki-laki tidak memasak, mencuci pakaian atau membersihkan rumah, itu adalah pekerjaan perempuan. Jika laki-laki mengerjakan hal itu, itu akan menjadi bahan lelucon bagi yang lain.’ – (Interview dengan perempuan penduduk desa).
Yang lebih penting, informasi yang kami kumpulkan menunjukkan bahwa tradisi ‘lakilaki di dalam, perempuan diluar’ dalam budaya lokal menciptakan sikap terhadap peran gender yang meluas ke arah pendidikan, tercermin dalam gagasan bahwa tidak perlu bagi perempuan untuk menjadi melek huruf. Ini adalah alasan utama ketiadaan dukungan bagi pengembangan pendidikan nasional bagi perempuan dan keluarga dari komunitas, dan efeknya terasa dalam tingginya angka drop out dari sekolah di kalangan anak perempuan. Disarikan dari: Ma Yaping, 2008. ‘Researching on Education and Development among Muslim women in Gansu, China’. Tulisan Penelitian WEMC, tidak dipublikasikan.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
23
Gambar: Maria Jaschok dari IGS dengan kolega risetnya , Shui Jingjun dan para responden di mesjid perempuan, Henan, China
24 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bab Dua Merumuskan Konsep Pemberdayaan ( Empowerment ) sebagai Transformasi Hubunganhubungan Kekuasaan
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
25
2.1. Apakah Pemberdayaan ‘ Empowerment ‘ dan Mengapa Penting bagi Perempuan? ‘Empowerment’ (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pemberdayaan) merupakan istilah yang saat ini digunakan secara luas oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis, pembuat kebijakan, juga Bank Dunia, walaupun biasanya istilah itu dipahami secara berbeda. Perhatian kami di sini adalah pada penggunaannya dalam diskursus pembangunan dan implikasinya terhadap bagaimana ‘pemberdayaan’ perempuan dikonseptualisasikan. Jangkauan tujuan kami adalah untuk memahami bagaimana perempuan dapat dan melakukan ‘pemberdayaan’ diri mereka sendiri; untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang menghambat mereka dan pihak-pihak yang mendukung ‘pemberdayaan’ mereka, dengan menguatkan hal yang pertama (‘pemberdayaan’ diri perempuan sendiri) sambil mengurangi yang kedua (kekuatan yang menghambat).
26 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Mengingat akar kata ‘empowerment’ adalah ‘power’ (kuasa), logislah bahwa setiap pengujian ‘pemberdayaan’ seharusnya mengandung analisis dinamika kekuasaan yang implisit dalam seluruh hubungan sosial, ekonomi, kultural, dan politik. Oleh karena itu, ironis bahwa bahkan istilah ‘pemberdayaan’ dan ‘pemberdayaan perempuan’ digunakan secara luas dalam diskursus pembangunan, dan upaya-upaya untuk mengukur meningkatnya ‘pemberdayaan’, diskusi-diskusi ‘pemberdayaan’ semakin lepas dari struktur kekuasan yang mempengaruhi perempuan dalam dunia nyata. Pemutusan ‘pemberdayaan’ dari akarnya ‘kuasa’ adalah problematis karena ini menghalangi kejelasan konseptual yang diperlukan untuk rencana pembangunan yang efektif. Literatur pembangunan mengimplikasikan suatu kumpulan besar pembuat kebijakan, praktisi-praktisi dan institusi-institusi pembangunan, kini sepakat bahwa ‘pemberdayaan perempuan’ adalah suatu unsur penting, mungkin kritikal, dalam pembangunan untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, tetap terdapat kecenderungan yang relatif memandang bahwa tidak adanya kekuasaan perempuan muncul dari kurangnya pendidikan, kesehatan atau keterampilan lainnya dan kurangnya aset-aset perempuan. Keengganan untuk menampilkan struktur kekuasaan yang didialami perempuan merupakan pengabaian serius yang menghambat
upaya-upaya untuk mendukung ‘pemberdayaan perempuan’, terlepas dari deklarasi itikad baik, sebagaimana dikemukakan misalnya pada Millenium Development Goal 3 – ‘Mempromosikan keadilan jender dan ‘pemberdayaan perempuan’. Melalui pertimbangan-pertimbangan rekan-rekan peneliti mengenai bagaimana ‘pemberdayaan’ dapat didefinisikan, WEMC mengembangkan definisi kerja ‘pemberdayaan’ sebagai suatu peningkatan kapasitas untuk membuat keputusankeputusan otonom yang mentransformasikan hubungan kekuasan yang tidak diinginkan. Sejalan dengan definisi umum ini, ‘pemberdayaan perempuan’ didefinisikan sebagai peningkatan kemampuan untuk mempertanyakan, menentang dan pada akhirnya mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan terjenderkan yang tidak diinginkan dan seringkali dilegitimasikan dengan mengatasnamakan ‘budaya’.
Konsorsium Program Penelitian WEMC memandang kekuasaan sebagai pusat untuk ‘pemberdayaan’ perempuan. Menurut pemahaman kami adalah salah kaprah mengasumsikan bahwa perempuan akan di’berdayakan’ dari posisi nol—yaitu dari suatu posisi tanpa kekuasaan ke posisi dengan kekuasaan, seolah-olah kekuasaan adalah ‘suatu hal yang dapat dimiliki oleh individu dalam jumlah lebih besar atau lebih kecil’ (Young, 1990:31). Sebaliknya kami melihat perempuan sudah ditempatkan dalam struktur kekuasaan yang melemahkan (disempower). Dengan kata lain, perempuan tidak memiliki pilihan lain kecuali berjuang untuk diberdayakan dari suatu posisi pelemahan
27 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Dari pemahaman ‘pemberdayaan’ yang demikian, meningkatnya indikator-indikator bersekolah dan membaiknya kesehatan dapat meningkatkan status perempuan tetapi ini tidak secara langsung memberdayakan perempuan jika hubungan-hubungan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari melemahkan mereka dengan cara mencegah mereka bersikap otonom dan mengambil keputusan sendiri. Intervensi-intervensi pembangunan yang secara efektif mengurangi ketimpangan tidak diragukan meningkatkan akses perempuan untuk membangun titian kekuasaan. Diskursus kebijakan publik dan hukum secara signifikan berkontribusi menciptakan sebuah lingkungan yang mempromosikan agensi perempuan. Akan tetapi, faktor-faktor amelioratif ini tidak mengubah hubungan kekuasaan yang ada. Tanpa yang lain, faktorfaktor itu saja, tak dapat membawa ‘pemberdayaan’ perempuan; mereka hanya menyediakan kondisi-kondisi yang lebih memungkinkan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Tanpa merestruktur hubungan-hubungan kekuasaan, pemulihan kondisi hanya akan membentuk kembali alam hubungan-hubungan kekuasaan, dalam tampilan, yang berbeda menahan perempuan mendapatkan hakhaknya.
dalam jaringan kompleks struktur dimana mereka berada yang memiliki dimensidimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya. WEMC merumuskan konsep ‘kuasa’ sebagai suatu fenomena kualitatif relasional yang dibentuk oleh dorongan-dorongan kompetitif, bukan relasi kuantitatif untuk jumlah yang meningkat. Sebagai peneliti, perhatian kami tidak pada pengukuran ‘pemberdayaan’ untuk melihat siapa yang lebih atau kurang di’berdayakan’ pada suatu waktu tertentu, sebab pengujian statis demikian tidak membantu kita memahami bagaimana perempuan di’berdayakan’. Sebaliknya, perhatian kita adalah pada kapasitas perempuan untuk berpikir sebagai agen bebas, mampu untuk membuat keputusan otonom yang mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak diinginkan. Dua bagian dari pernyataan ini memunculkan pertanyaan yang harus dijawab: 1. Kapasitas perempuan untuk membuat keputusan otonom: Apakah yang memungkinkan perempuan memiliki kapasitas membuat keputusan-keputusan otonom? Apakah signifikansi otonomi bagi perempuan dalam konteks yang berbeda-beda? 2. Mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak diinginkan: Bagaimana dan sampai tingkatan apa hubunga-hubungan kekuasaan yang tak diinginkan direorientasikan sehingga akan mendukung ‘pemberdayaan’ perempuan? 28 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
2.2. Kapasitas Perempuan untuk Membuat Keputusan Otonom Premis dasar WEMC adalah perempuan dapat di’berdaya’ hanya melalui agensi mereka sendiri – yaitu keputusan dan aksi yang dilakukan sebagai subyek pemberdayaan mereka sendiri. Kami melihat proses pemberdayaan tidak hanya refleksi imej sebaliknya dari proses pelemahan. Dengan kata lain: ketika perempuan dapat dilemahkan sebagai obyek kekuasaan oleh pihak-pihak dominan lain, mereka tidak dapat di’berdaya’ dengan cara yang sama – yaitu sebagai obyek pemberdayaan belaka. Sebaliknya, perempuan sendiri perlu menolak pengaturan kekuasaan yang melemahkan mereka dan tidak melihat hal itu sebagai hukum sah, ditentukan sebelumnya atau sebagai hukum Tuhan yang harus mereka patuhi, mau atau tidak. Tanpa penolakan subyektif mereka terhadap pengaturan demikian, bahkan ketika struktur dan hubungan-hubungan yang ada diubah
atau bahkan dihilangkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, hubungan kekuasaan yang tidak diinginkan dapat dengan mudah direproduksi, termasuk oleh beberapa perempuan yang menginternalisir hubungan itu sebagai tatanan sosial dan budaya yang sah. Bagaimana perempuan sampai pada momen pencapaianpemberdayaan? Jawaban kita terinspirasi dari Freire (1970:31): “Supaya yang tertindas dapat berjuang untuk pembebasan mereka, mereka harus melihat realitas penindasan tidak hanya sebagai suatu dunia tertutup tanpa jalan keluar, melainkan situasi terbatas yang dapat mereka ubah. Persepsi ini penting tetapi bukan suatu kondisi yang memadai untuk pembebasan; ini harus menjadi dorongan yang memotivasi tindakan pembebasan.... Yang tertindas dapat mengatasi kontradiksi yang memerangkap mereka hanya jika persepsi ini mendukung perjuangan untuk membebaskan diri mereka”.
7
8
Di Indonesia, jilbab mengacu pada suatu tipe penutup kepala yang mentup rambut, telinga, dan leher, membiarkan hanya wajah yang tampak. Temuan ini memperkuat bukti yang didokumentasikan oleh sejarawan di awal bekerjanya ideologi komunis di komunitas pedesaan dan di kalangan perempuan di China. Lihat misalnya Hinton (1966).
29 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Kalangan yang skeptis barangkali bertanya-tanya apakah perempuan tak berpendidikan yang miskin memahami dan menghargai proses refleksi sebagai suatu sarana untuk pemberdayaan. Temuan peneliti-peneliti WEMC menemukan dari focus group discussion (FGD) pada tahun 2007 di Bulukumba, Makassar, Indonesia, membuktikan bahwa perempuan miskin tak berpendidikan menyadari kebutuhan mereka terhadap ruang sebagai tempat berbagi pengalaman mereka. FGD yang diorganisir WEMC terbukti merupakan pengalaman yang membuka mata; perempuan-perempuan desa itu kini terinspirasi untuk bersikukuh agar pemimpin-pemimpin formal desa mengundang mereka berpartisipasi dalam diskusi publik untuk menjamin agar suara mereka didengar (Rustam dkk., 2008:52). Bulukumba terutama signifikan mengingat ‘hukum syariah’ yang secara kaku baru-baru ini diterapkan di desa itu, diikui dengan pembentukan ‘polisi syariah’ untuk menerapkannya. Tidak puas dengan apa yang mereka pandang sebagai pendidikan yang tidak memadai, perempuan-perempuan merasa ‘terlalu terlambat’ bagi mereka untuk mengejar pendidikan formal. Walaupun demikian, mereka ingin lebih banyak diskusi yang memungkinkan mereka untuk membicarakan dan didengar mengenai isu-isu seperti kewajiban mengenakan jilbab7 yang diharuskan pada seluruh perempuan di desa8 mereka.
Sentimen yang sama diekspresikan dalam FGD di Pakistan. Sebuah FGD mengumpulkan perempuan-perempuan perkotaan di Vehari (selatan Punjabi) di salah satu distrik termiskin di negeri itu. Dalam penyimpulan diskusi itu, pembicara – perempuan-perempuan miskin, kelas menengah bawah, beberapa berpendidikan, lainnya tidak yang tidak mengenal satu sama lain—berterima kasih kepada tim untuk kesempatan yang unik itu guna merefleksikan dan mendiskusikan isu-isu terkait perempuan, jender, dan pemberdayaan. Mereka secara khusus meminta sesi yang lebih banyak untuk memungkinkan mereka melanjukan refleksi bersama dan diskusi mereka. Di North West Frontier Province (NWFP) yang menderita akibat partai-partai politikkeagamaan yang militan, baik di dalam maupun di luar kantor, sekelompok perempuan Kristen di perkotaan sangat menghargai kesempatan untuk berdiskusi yang disediakan WEMC. Mereka mengakhiri FGD dengan doa kolektif bagi kesuksesan proyek penelitian dan untuk keberlanjutan kesempatan proses reflektif9 semacam itu. Temuan-temuan demikian menguatkan keyakinan kalangan peneliti WEMC mengenai pentingnya kesempatan-kesempatan yang meningkatkan kapasitas reflektif perempuan semacam itu diciptakan dan dipromosikan sehingga refleksi mereka dapat menuju aksi untuk pemberdayaan mereka sendiri. Akan tetapi, proses aktual refleksi dan aksi adalah jalan penting yang harus dilakukan perempuan untuk diri merekasendiri. Yang dapat dilakukan para teman dan pendukung mereka hanyalah menyediakan sarana yang sesuai (misalnya secara metaforis: peta, kompas, makanan, dan air) untuk perjalanan mereka. Kita tidak boleh salah antara dukungan dengan perjalanan. 30 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bagaimana kita tahu apakah perempuan telah benar-benar melakukan perjalanan refleksi dan aksi vis a vis struktur kekuasaan tempat mereka berada? WEMC menjawab pertanyaan ini dengan melihat transformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak diinginkan sebagai hasil refleksi dan aksi perempuan. Pemberdayaan perempuan – jika dan memang betul-betul terjadi—tak dapat dihindarkan mendestabilisasi dan mengguncang hubungan-hubungan kekuasaan yang ada. Akan tetapi antara refleksi dan aksi, terdapat kebutuhan terhadap suatu katalisator perubahan dalam berpikir yang mempertanyakan dan akhirnya membalikkan legitimasi konfigurasi kekuasaan yang ada dan secara simultan menciptakan suatu legitimasi hubungan-hubungan baru yang diinginkan atau yang aktual. Proses berpikir transformatif ini dilacak pada perempuan-perempuan di seluruh situs penelitian kita – khususnya China, Indonesia, Iran, Pakistan, dan konteks lintas batas yang melibatkan pekerja migran Indonesia dan pengungsi Afganistan serta migran kembali. 9
Sirkat Gah, WEMC Field Reports 2006 (South Punjab) dan 2007 (Peshawar, NWFP).
Bagian tersulit pemberdayaan perempuan terletak pada transformasi hubunganhubungan kekuasaan yang terjenderkan yang secara sistematis melemahkan mereka. Tidak terdapat ada cara ajaib yang dapat memberdayakan perempuan dengan memintas isu-isu kekuasaan yang fundamental. Perempuan tidak dapat diempower melalui sulapan tangan, sebagaimana terjadi sebelumnya. Walaupun demikian, perlu untuk memahami bahwa pemberdayaan tidak mesti suatu kemajuan linear. Mempertanyakan struktur dan hubungan-hubungan yang ada merupakan suatu hal yang penting namun bukan kondisi awal yang memadai. Menolak otoritas dan struktur kekuasaan saat ini cenderung membuat aksi, bukannya tak terhindarkan. Perempuan mungkin secara sadar memilih untuk tidak mengambil kesempatan untuk menentang konfigurasi kekuasaan yang ada sebagaimana diindikasikan oleh temuan-temuan lapangan dan analisis literatur WEMC. Keputusan untuk menentang status quo tergantung pada visi perempuan mengenai diri mereka sendiri dan potensi masa depan mereka seperti halnya penilaian mereka mengenai sumber-sumber potensial dukungan yang dapat mereka gerakkan untuk mengatasi rintangan dan resiko maupun biaya yang mengikutinya. Terdapat indikasi, perempuan membuat keputusan-keputusan strategis untuk menentang suatu wilayah hubungan kekuasaan, namun terlihat seolaholah tidak menentang wilayah hubungan kekuasaan lainnya. Satu tugas kunci penelitian WEMC adalah untuk memahami motif-motif apa yang memungkinkan perempuan melakukan aksi untuk perubahan dan faktor-faktor yang mendorong pilihan-pilihan strategis mereka.
Diagram berikut ini menggambarkan bagaimana secara bersama-sama elemen-elemen berbeda terlibat dalam pemberdayaan dan dispemberdayaan perempuan secara sistematis:
31 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bahkan ketika perubahan terjadi sebagai hasil aksi otonomi perempuan, pertanyaan kritisnya adalah apakah hal ini semata-mata merupakan jeda dalam hubungan kekuasaan dan karenanya merupakan suatu mekanisme penyesuaian. Atau, apakah hal itu merupakan retakan pengaturan kekuasaan yang ada yang mengarah pada rekonfigurasi struktural sesuai dengan keinginan perempuan, atau alternatif lain untuk menghilangkannya. Jawaban-jawaban untuk pertanyaan ini penting untuk memberi dukungan yang memadai guna membantu menjamin bahwa struktur kekuasaan ditransformasikan secara permanen ke konfigurasi yang lebih berkeadilan jender.
Diagram 1: Jalan perempuan untuk pemberdayaan dan dukungan atau hambatan yang dialaminya. Sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1, bahkan ketika kesempatan-kesempatan ada, ini hanya cenderung diakses perempuan jika: (i) Perempuan mengetahui adanya kesempatan-kesempatan itu. 32
(ii) Kesempatan-kesempatan itu dihadirkan oleh struktur-struktur yang mendukung.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
(iii) Faktor-faktor penghambat yang menghalangi kesempatan-kesempatan itu dapat diatasi. (iv) Perempuan sendiri memandang kesempatan-kesempatan itu relevan dengan konteks persepsi mereka mengenai diri dan orang lain serta relevan dengan pandangan mereka tentang masa depan. WEMC berupaya untuk memahami proses dunia nyata pemberdayaan perempuan dalam rangka memberi masukan bagaimana inisiatif pemberdayaan mereka dapat sebaik-baiknya dikuatkan. Untuk ini, pertama-tama perlu mengidentifikasi hambatanhambatan yang dihadapi perempuan dan bagaimana mereka mengelola untuk mengatasi hal itu, hakikat dukungan yang dapat dimobilisir perempuan, diskursus yang digunakan perempuan dalam keterlibatan mereka, dan keluaran dari inisiatif pemberdayaan tersebut. Melakukan triangulasi informasi demikian akan memungkinkan pemahaman
yang lebih baik mengenai kesempatan-kesempatan dan tekanan-tekanan terhadap pemberdayaan yang ditemui perempuan dalam realitas kehidupan mereka. Selain itu karena perempuan disituasikan dalam sistem jender yang berbeda-beda, pemberdayaan mereka perlu terjadi dalam sistem jender yang dapat dibedakan. Suatu sistem jender merupakan suatu sistem konstruksi dan pengaturanyang menata standarstandar khusus untuk laki-laki dan perempuan serta hubungan-hubungan diantara keduanya dalam bentuk hirarki relatif atau kesetaraan relatif. Interseksi dengan bentukbentuk hubungan kekuasaan lainnya, sistem jender yang beragam menghasilkan berbagai ruang bagi inisiatif dan pemberdayaan perempuan, diiringi dengan tekanan-tekanan yang dapat dibedakan, beragam sumber dukungan, dan akses berbeda terhadap deretan sumber-sumber. Perempuan bukanlah kelompok seragam yang tidak dapat dibedakan bahkan dalam sistem jender yang sama. Perempuan atau kelompok perempuan tertentu menikmati hak-hak tertentu atau mengalami diskriminasi yang berasal dari identitas selain jender, antara lain seperti kelas, etnisitas, dan agama. Ruang terstruktur bagi perempuan untuk membuat keputusan otonom bisa jadi lebih besar atau lebih kecil atau dibentuk dengan suatu cara tertentu tergantung pada interseksi kompleks antara sistem jender (bersifat hirarki secara relatif atau setara jender secara relatif) dan sistem-sistem hubungan kekuasaan lainnya, memproduksi berbagai kondisi untuk pemberdayaan atau dispemberdayaan perempuan yan berbedabeda. - Ideologi-ideologi dan praktek-praktek kekerabatan (patrilineal/patrifiliatif, matrilineal/matrifiliatif, bilateral, dan sebagainya). - Struktur kekuasaan lokal (feodal, birokrasi, berdasarkan kekerabatan, berdasarkan kelas, maupun kombinasi-kombinasinya). - Hubungan-hubungan kelas (kesukuan, petani, kaum miskin perkotaan, kelas pekerja, kelas menengah, kelas atas, aristokrat, dan sebagainya). - Identitas-identitas kolektif (agama, sekte, kelas, kasta, etnisitas, dan sebagainya). - Status-status legal (warga negara, pemukim, pekerja migran, pengungsi, dan sebagainya). - Lokasi geografis (pedesaan, sub-perkotaan atau perkotaan), termasuk kedekatan dengan sumber-sumber dan pusat-pusat kekuasaan.
33 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Hal in meliputi antara lain misalnya:
- Rejim politik (otoritarian, demokratis, sekuler, teokratis, atau kombinasikombinasinya). - Konteks kultural (tradisional, modern, sekuler, keberagamaan, dan lain-lain). - Sistem ekonomi (pre-industrial, mengalami industrialisasi, atau sudah terindustrialisasi). - Akses terhadap dan gerakan ke lokasi lain (misalnya kemungkinan untuk perjalanan dan migrasi dalam dan ke luar negeri). Selanjutnya, dalam interseksi yang kompleks ini, individu perempuan diposisikan secara berbeda dalam hal biografis usia, urutan lahir, status kekerabatan, status perkawinan, kemampuan fisik, dan sebagainya. Sebagai tambahan, dalam masyarakat yang sangat terdiferensiasi, perempuan yang sama mungkin hidup dalam sistem jender yang berbedabeda secara simultan, masing-masing dengan aturannya sendiri. Sebagai contoh, sistem jender yang beroperasi di rumah, bisa jadi berbeda dari tempat kerja dan juga berbeda dari yang beroperasi di ruang publik yang perlu dilintasi perempuan dari satu peta jender ke yang lainnya.
34 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Sistem organisasi sosial yang berinterseksi memilliki hubungan langsung dengan kemiskinan, sebagaimana diindikasikan oleh penelitian yang menggunakan alat uji partisipatoris untuk memahami arti kemiskinan bagi mereka yang merasakan dampak negatifnya. Hal ini dibuktikan dengan temuan-temuan WEMC di Pakistan, sebagai contoh, partisipan jarang, kalaupun pernah, mendefinisikan kemiskinan dalam hal ekonomi semat. Pembedaan status ekonomi pada suatu komunitas tertentu dipandang oleh partisipan penelitian (laki-laki dan perempuan) berhubungan secara langsung antara lain dengan kepemilikan sosial – kekeluargaan, etnis, suku, dan keagamaan, seperti halnya juga akses terhadap institusi negara dan pengaruh politik. Perempuan menempatkan budaya keluarga sebagai hal terpenting terhadap kemiskinan relatif yang mereka alami, dan terhadap potensi jalan yang mereka bayangkansebagai pemberdayaan10. Kombinasi dampak faktor-faktor sosial semacam itu, tidak memadai dijawab dalam perencanaan kebijakan.
10
Lihat, misalnya Government of Pakistan (sekitar 2003), Government of Sindh, Government of Punjab (2003). Penelitian oleh Shirkat Gah Women’s Resource Centre.
Pemberdayaan seringkali terjadi dalam suatu sistem jender spesifik sehingga rute pemberdayaan untuk seorang perempuan bisa jadi tidak pas, bermakna, atau pun berbeda bagi yang lain. Efektifitas pengukuran untuk mendukung strategi pemberdayaan perempuan perlu dikaitkan sejumlah signifikan, walaupun tidak seluruhnya, elemen-elemen yang berinterseksi. Pemikiran ini mendasari penekanan kita pada pembelajaran dan pemahaman mengenai strategi-strategi indigenouspemberdayaan perempuan—yaitu, upaya-upaya perempuan untuk memperoleh hak-hak mereka dalam konteks sosio kultural mereka, sesuai dengan kondisi khusus mereka. Pengetahuan dasar semacam itu merupakan dasar yang perlu untuk merencanakan aksi atau memformulasikan kebijakan apa pun guna mendukung proses pemberdayaan kelompok tertentu perempuan.
2.3. Mentransformasikan Hubungan-hubungan Kekuasaan yang Tidak Diinginkan dan Tingkat Meso yang Kritikal
WEMC menyarankan agar pemberdayaan perempuan menyingkirkan intervensi yang konvensional karena ini mengabakan struktur kekuasaan yang beroperasi pada tingkat meso, berada di antara perempuan dan institusi-institusi negara. Kami berargumentasi bahwa faktor-faktor pendorong tingkat meso mengkonstruksikan sistem jender yang paling nyata bagi perempuan, dengan kehadiran aturan-aturan kepantasan dan kepemilikan, ganjaran dan hukuman yang tertanam dalam struktur-struktur kekuasaan tertentu. WEMC berargumentasi, kebijakan-kebijakan dan program-program nasional yang mendukung pemberdayaan perempuan tidak dapat efektif jika implementasinya terhambat oleh struktur kekuasaan pada tingkat mesoyang tegak di antara perempuan dan institusi-institusi negara. Kebijakan-kebijakan dan program-program demikian akan memasukkan hal-hal yang terkait dengan Beijing Platform for Action, Convention Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang dikeluarkan PBB, dan the Millennium Development Goals (MDG’s).
35 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Interseksi dialektis antara perempuan sebagai individu dan struktur kekuasaan tempat hidup mereka adalah penting. Ketika kesempatan-kesempatan dan tekanan-tekanan untuk pemberdayaan perempuan melekat dalam struktur tersebut, kapasitas perempuan guna menjadi agensi manusia memiliki potensi untuk merubah struktur itu. Kita sepakat dengan argumen Giddens (1984) bahwa struktur dan agensi dalam hubungannya satu sama lain harus dianalisis .
Memahami hakikat struktur kekuasaan dan cara dinamika kekuasaan bermain di luar realitas hidup perempuan merupakan hal penting. Tanpa mengakui dan mengemukakan dinamika dan struktur kekuasaan ini, tidak lah memadai, bahkan sia-sia, mengarahkan upaya formulasi kebijakan yang lebih sempurna pada tingkat makro. Ada kebutuhan untuk membalikkan kesalahan-kesalahan tersebut tetapi keyakinan bertahan bahwa kebijakan makro saja mendorong orang seperti ‘pasien’ pembangunan11. Pengabaian terhadap agensi masyarakat mengurangi dasar pemberdayaan, menyebabkan kegagalan sistematis.
36 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Banyak diskursus pembangunan cenderung memperlakukan ruang kehidupan publik seperti pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, dan sistem hukum—sebagai fokus utama pemberdayaan perempuan. Kecenderungan diskursus pembangunan dan dokumen-dokumen kebijakan menggunakan istilah seperti ‘pemberdayaan ekonomi’ perempuan, ‘pemberdayaan hukum’, ‘pemberdayaan politik’, dan sebagainya, dapat menyesatkan karena formulasi-formulasi ini berasumsi bahwa intervensi eksternal dapat membawa pemberdayaan perempuan, misalnya penguatan kesempatan ekonomi, perluasan melek hukum, peningkatan akses perempuan untuk partisipasi politik, dan sebagainya. Tentu saja perempuan dapat menggunakan politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan sumber-sumber lainnya untuk pemberdayaan mereka, tetapi sumbersumber ini dan yang berasal dari mereka sendiri bukanlah bagian ataupun pengganti proses kontestasi yang, kami yakin, penting bagi terjadinya ‘pemberdayaan’—yaitu transformasi hubungan-hubungan kekuasaan. Sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan bersama-sama dengan agama dan budaya hanyalah bagian dari arena di mana kontestasi berlangsung dan bukannya kontestasi itu sendiri. Ini masuk akal karena wilayahwilayah ini tidak bertindak sendiri, tapi dijalankan oleh aktor-aktor manusia dalam interaksi satu sama lain, baik dalam aliansi maupun oposisi. Formulasi yang lebih akurat adalah pemberdayaan perempuan dengan sarana sumber-sumber hukum atau sektor hukum, sarana sumber-sumber politik atau dalam sektor politik, dan sebagainya. Selanjutnya, peneliti-peneliti WEMC berargumentasi, seperti para aktivis feminis lainnya, bahwa kemajuan yang dicapai di suatu wilayah tidak secara otomatis terjadi transfer ke wilayah lainnya, sebab alasan sederhana bahwa dinamika kekuasaan yang berbeda mungkin berlangsung di wilayah-wilayah yang berbeda. Kuncinya adalah fokus 11
Sebagaimana dikemukakan oleh Amartya Sen (2004:1), ‘Untuk menggunakan pembedaan abad pertengahan, mereka yang membutuhkan menuntut perhatian, demikian juga agen-agen, yang kebebasannya untuk memutuskan apa yang bernilai dan bagaimana mendapatkannya dapat diperluas jauh melampaui pemenuhan kebutuhan kita.’ Lihat juga Sen (1999).
pada kontestasi kekuasaan yang aktual daripada konteks-konteks manapun lainnya di mana kontestasi dapat berlangsung secara kebetulan.
2.3.1. Tingkat Meso yang Kritikal Dinamika-dinamika kekuasaan yang mendisempower yang terjadi di lapangan biasanya diabaikan oleh intervensi kebijakan, program dan pembangunan. Konsekuensi terhadap fokus berlebihan pada tingkat makro adalah adanya kecenderungan untuk mengabaikan dorongan-dorongan yang merongrong yang beroperasi pada tingkat meso. Perbedaan krusial antara tingkat makro dan meso terletak pada lingkup kekuasaan masing-masing. Lingkup yang tersedia pada tingkat makro adalah kekuasaan pemerintahan sepenuhnya teritorial negara. Sebaliknya, ruang lingkup pada tingkat meso adalah kekuasaan yang dilokalisir dalam sebagian teritorial negara, seperti propinsi, kabupaten/kota, desa, rumah tangga. Oleh karena propinsi, kabupaten/kota, dan unit-unit administratif lainnya bagaimanamun juga adalah bagian dari struktur negara, ini (menurut pandangan WEMC secara sala) diasumsikan bahwa sebagai makro melingkupi yang meso. Asumsi yang mendasarinya adalah apa yang ditentukan pada tingkat makro akan secara otomatis mengalir ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, dan sekali pemerintahan pada tingkat makro tegas, tidak perlu memerhatikan dinamika kekuasaan yang berlangsung di tingkat meso.
Habermas (1991) merupakan salah satu dari sedikit orang yang memberi perhatian pada tempat pertemuan antara negara dan masyarakat ini, yang ia sebut ‘the public 12
Lihat, misalnya Yang (1989), Shaheed (2002), Wee (2002), Wee dan Jayasuriya (2002), Mosse (2005), van Ufford dan Giri (2003), dan lain-lainnya.
37 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Alasan yang lebih struktural yang melandasi kecenderungan untuk mengabaikan tingkat meso adalah bahwa ini merupakan tingkatan di mana negara dan masyarakat bertemu. Tempat pertemuan ini umumnya diabaikan oleh ilmuwan sosial yang cenderung untuk fokus pada negara (misalnya ilmuwan politik) atau pada masyarakat (misalnya sosiolog). Kecenderungan ini dalam diskursus pembangunan barangkali dapat dijelaskan dalam terminologi suatu bias implisit pada teori ‘modernisasi’ yang merendahkan nilai-nilai tradisi sebagai sisa-sisa masa lalu yang tidak relevan. Pendekatan yang bias ini mengabaikan sekumpulan penting literatur antropologi, sosiologi, ilmu-ilmu sosial lainnya yang sejak lama yang menunjukkan interpenetrasi masyarakat, budaya, dan politik negara12.
sphere’. Akan tetapi ia menyamakan ‘public sphere’ sebagai dorongan tak berbahaya yang secara ideal ‘dibentuk dari orang-orang privat yang berkumpul bersama sebagai publik dan mengartikulasikan kebutuhan masyarakat dengan negara’ (Habermas 1991:176). Konseptualisasi tempat pertemuan masyarakat-negara ini didifusikan dalam diskursus pembangunan, misalnya ‘civil society’ menjadi dilihat sebagai suatu kebutuhan untuk dipromosikan, sementara ‘society’ demikian diam-diam diabaikan (lihat juga Scott, 1999). Akan tetapi kita mengabaikan ‘society’ dengan resiko yang ditanggung, sebab itu tidak sekedar selalu tak berbahaya atau bahkan netral. ‘Public sphere’ tak selalu beroperasi demi kebaikan seluruh anggota masyarakat dalam negosiasinya dengan negara. Pada saat yang sama, negara tidak selalu sekuasa yang mungkin dibayangkan dalam tingkatan teritorialnya dan sering terjadi pertemuan de-facto antara struktur-struktur pemerintahan yang non-formal dan formal, terlepas dari dan diabaikan oleh formulasi-formulasi dejure.
38
Pengalaman lapangan WEMC di seluruh tempat mengindikasikan bahwa struktur kekuasaan dan dinamika kekuasaan yang berlokasi di tingkat meso dapat dan beroperasi secara otonom dari negara pada tingkat makro dan di beberapa kasus, dapat mengancam akar eksistensi negara, sebagai contoh melalui agenda nasionalis-agama dan nasionalisetnis untuk membentuk pemerintahan otonom/independen. Agenda demikian selalu terjenderkan, sebab misalnya, suatu konsruksi islamis mengenai seorang ‘perempuan Muslim’ integral dengan penciptaan negara Islam.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penelitian perempuan dalam konteks yang spesifik diperlukan untuk meneliti apakah dan sampai tingkatan makro yang bagaimana kebijakan-kebijakan dimaksudkan mendukung perempuan sungguh-sungguh dan menyentuh kehidupan perempuan di lapangan. WEMC mencoba menjawab kesenjangan pengetahuan ini di lokasi-lokasi penelitian. Penelitian WEMC dengan demikian membuka temuan baru dengan melacak: a) Bagaimana kebijakan-kebijakan tanpa dapat dihindarkan merembes melalui dinamika-dinamika tingkat meso sebelum mencapai perempuan. b) Bagaimana aksi-aksi perempuan berinteraksi dengan struktur-struktur tingkat meso dan dengan implikasi kebijakan apa.
Diagram 2: Apa yang terjadi pada tingkat makro, meso, dan mikro.
Untuk memahami kompleksnya struktur kekuasaan dimana perempuan berada, perlu mengadopsi secara simultan pendekatan bottom-up dan top-down. Yang pertama fokus pada refleksi dan aksi-aksi perempuan pada isu-isu pemberdayaan, sementara yang kedua fokus pada kebijakan-kebijakan yang sangat relevan dengan pemberdayaan perempuan, baik sebagai pendukung maupun penghambat. Dengan mengombinasikan kedua pendekatan tersebut, problematika yang signifikan pada tingkat meso menjadi tampak jelas melalui tak terhindarkannya saringan kebijakan tingkat meso sebagai penghalang yang harus diatasi perempuan jika akan mengakses kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang mendukung pada tingkat makro. Pada tingkat meso itulah aktor-aktor dekat negara dan non-negara menjadi paling aktif karena tingkat ini secara relatif berjarak dari pusat kekuasaan di tingkat makro
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
39
sementara pada saat yang sama ia menyediakan kesempatan-kesempatan sosio-kultural untuk mengintervensi individu-individu dan rumah tangga pada tingkat mikro. Oleh karena itu, pada tingkat mesolah kita menemukan kontestasi dan aliansi antara aktoraktor, aktor-aktor dekat negara, dan aktor-aktor non-negara. Kontestasi dan aliansi ini membentuk konteks yang di dalamnya pemberdayaan atau pelemahan berlangsung. Begitu struktur kekuasaan tingkat meso dipegang oleh aktor-aktor dekat negara, kebijakan-kebijakan yang menyeluruh dapat dihalangi jika tidak sejalan dengan agendaagenda politik independen aktor-aktor tersebut. Perhatian yang lebih sungguh-sungguh perlu dicurahkan pada dorongan-dorongan terhadap tingkat meso yang beroperasi di lapangan, terutama cara aktor-aktor lokal negara, aktor-aktor dekat negara, dan aktoraktor non-negara membentuk sistem jender dalam ruang konteks spesifik yang ada bagi pemberdayaan perempuan.
40 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Secara umum, kami menemukan bahwa semakin negara gagal bertanggungjawab terhadap warga negaranya dan menjalankan kewajibannya, semakin besarlah ruang yang terbuka bagi aktor-aktor dekat negara dan non-negara untuk menopang klaim politiknya dan menggenggam konstituen. Aktor-aktor dekat negara dan non-negara ini dapat beroperasi pada tingkat nasional dan lokal (misalnya nasionalis-etnis atau nasionalis-agama) atau pada suatu tingkat internasional (seperti pan-Islamis). Semua ini dapat memaksakan klaimnya pada sesama yang percaya, sesama etnis sebagai ‘keinginan bangsa’, yang sehararusnyalah memperoleh negara mereka sendiri, merdeka dari negara bangsa yang ada, atau alternatifnya, berhak berasumsi melakukan kontrol terhadap negara yang ada. Untuk agenda universal pan Islamis, mencaplok negara yang ada hanyalah langkah awal menuju pembangunan kerajaan yang lebih besar (bahkan global). Dalam konteks ini, budaya, agama, identitas etnis, sejarah, semuanya menjadi berguna sebagai sarana ideologi untuk mencaplok konstituen. Ironisnya, kebijakan-kebijakan desentralisasi, yang seharusnya membantu tata pemerintahan yang baik, kadangkala mengakibatkan pencaplokan struktur-struktur kekuasaan pada tingkat meso oleh aktor-aktor dekat negara. Misalnya di Indonesia, konsekuensi tak diinginkan dari desentralisasi adalah bahwa pemerintah lokal propinsi, kabupaten/kota, dan desa semakin dicaplok oleh politisasi Islam. Ketika proposal penelitian WEMC disusun pada tahun 2005, kami mengidentifikasi ada sembilan lokasi pada lima propinsi sebagai tempat ‘hukum syariah’ diinstitusionalkan. Akan tetapi, Bush (2007), ‘memperkirakan terdapat 78 regulasi lokal di 52 kabupaten dan kota, tidak termasuk surat keputusan atau peraturan bupati, walikota, dan gubernur,
atau rancangan yang belum disetujui parlemen lokal (DPRD)’. Regulasi-regulasi lokal ini memaksakan kepada masyarakat terutama perempuan berbagai norma perilaku yang dianggap Islami. Sama-sama menuntut perhatian, di Pakistan sejak awal program WEMC pada tahun 2006, politisasi Islam bersenjata telah sepenuhnya menguasai sebuah wilayah di bagian utara Pakistan, seluruhnya menggantikan aparatus negara dan aturan-aturan formal negara. Di Asia Selatan, berbagai studi mencatat adanya pengambilalihan yang tidak sah oleh elit kekuasaan tradisional atas mekanisme negara modern dalam skala luas, bahkan disaat tidak terdapat program-program desentralisasi (Tambiah, 2002). Di Pakistan, blokade efektif kebijakan nasional oleh kekuatan-kekuatan di tingkat meso terbukti selama beberapa waktu dalam gerakan koersif yang mencegah perempuan menggunakan hak pilih atau tetap berada di kantor politik. Sejak tahun 2000, ‘proses devolusi’ telah membuat masalah menjadi lebih kompleks dengan membuka forum baru yang dapat dicaplok oleh elit-elit lokal, termasuk forum-forum resolusi konflik alternatif yang disponsori oleh negara (Shirkat Gah, 2006).
2.3.2. Strategi-strategi indigenous pemberdayaan perempuan pada tingkat meso Strategi-strategi indigenous pemberdayaan perempuan signifikan terutama pada tingkat meso. Klaim tanpa dasar dibuat oleh aktor-aktor lokal negara, aktor-aktor dekat negara, dan aktor-aktor non-negara bahwa pemberdayaan perempuan adalah asing secara kultural dan tidak sah secara politik. Jika berhasil, klaim yang demikian merupakan pemiskinan kultural yang dipaksakan yang menghilangkan poin-poin referensi alternatif bagi perempuan untuk melakukan agensi, dengan mendelegitimasikan inisiatif-inisiatif pemberdayaan mereka sendiri. Pelemahan yang dihasilkan dapat memperburuk sampai pada poin dimana pelemahan tersebut secara sistematis diinstitusionalisasikan sebagai ‘tradisi’ dan ‘budaya’, untuk ditransmisikan lintas generasi, dan buruknya, untuk diinternalisasi oleh perempuan dan anak-anak perempuan sendiri sebagai ‘norma’.
41 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Di komunitas Muslim di China, peneliti-peneliti WEMC menemukan bahwa desentralisasi dan privatisasi pendidikan memunculkan inisiatif lokal untuk lebih mengikat sekolah-sekolah kepada mesjid-mesjid, kepada tradisi-tradisi Islam tertentu, atau kepada institusi-institusi yang didanai pihak asing. Ini memunculkan isu penting untuk diteliti menyangkut dampak dalam pembentukan moralitas perempuan demikian pula mobilitas sosial perempuan.
Kalangan yang skeptis dapat meragukan apakah inisiatif-inisiatif perempuan pada tingkat mikro dan meso memiliki efek kumulatif terhadap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan pada tingkat makro, yang cenderung dilihat sebagai sesuatu yang ‘riil’, tingkat yang penting dalam politik negara. Kami melihat pandangan yang demikian diekspresikan, misalnya, oleh Mason dan Smith (2003:4): “Perilaku individual sangat dipengaruhi oleh norma-norma dan karena itu, transformasi pola-pola perilaku skala luas, sebagaimana yang syaratkan ‘pembangunan’, bukan hanya perubahan-perubahan yang dihasilkan rasionalitas individua, lterutama melibatkan transformasi sistem yang dikontrol secara ideologis, “. Amartya Sen (sebagai contoh, 1999, 2000) mengkritik perspektif yang demikian sebab hanya menguntungkan agensi yang dijalankan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam membuat kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan tingkat makro, mengabaikan agensi untuk yang lainnya. Sebagaimana dicatat oleh Sen (1999:137), terdapat kebutuhan untuk melihat ‘orang-orang—bahkan penerima program— sebagai agen daripada sebagai pasien yang tak bergerak’13. Sen (1999:288) menjelaskan: “Suatu pendekatan untuk keadilan dan kebebasan yang berpusat pada kebebasan substantif fokus pada agensi dan penilaian-penilaian individual; mereka tidak dapat dilihat semata-mata sebagai pasien yang kepadanya keuntungan akan didistribusikan oleh proses pembangunan. Orang dewasa yang bertang gungjawab harus mempertanggungjawabkan kesejahteraa mereka sendiri; merekalah yang memutuskan bagaimana menggunakan kemampuan mereka. Akan tetapi kemampuan seseorang secara aktual (tidak hanya menikmati secara teoritis) tergantung pada karakter pengaturan sosial yang krusial bagi kebebasan individual. Dan dalam hal itu, negara dan masyarakat tidak dapat melepaskan tanggungjawab”.
42 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Pandangan yang diadopsi WEMC mengenai krusialnya isu struktur dan agensi ini adalah diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan multilapis sehingga dapat dipahami kompleksitas realitas strukturasi dan agensi-agensi yang saling berinteraksi. Di sisi lain, kami sepakat dengan Sen bahwa ada kebutuhan untuk tidak mmbesarbesarkan kesalahan-kesalahan namun tetap yakin bahwa kebijakan-kebijakan tingkat makro saja tidak dapat mendorong manusia sebagai ‘pasien’ pembangunan. Pengabaian agensi masyarakat melemahkan fondasi banyak kebijakan dan programpembangunan, 13
Sen (2004:1) menjelaskan penggunaannya terhadap istilah ‘pasien’ sebagai berikut: ‘Untuk menggunakan pembedaan masa pertengahan, kita tidak hanya pasien yang kebutuhannya menuntut perhatian, tetapi juga agen-agen yang kebebasannya untuk memutuskan apa yang bernilai dan bagaimana mendapatkannya dapat diperluas jauh melampaui pemenuhan kebutuhan kita.
mengakibatkan kegagalan sistem. Tentu saja, sebagaimana ditunjukkan oleh Sen (1999:189-203), pengakuan terhadap agensi perempuan adalah kritikal bagi suksesnya intervensi pembangunan pada seluruh rangkaian isu-isu, termasuk distribusi makanan, pertahanan anak, dan sebagainya. Oleh karena itu, perempuan bertindak sebagai agensi dalam mencari pemberdayaanyang memiliki jangkauan yang jauh, efek-efek yang bersifat lintas batas pada banyak isu-isu pembangunan lainnya. Keputusan-keputusan dan aksi-aksi individu perempuan, terutama ketika beraksi bersama-sama, dapat membuat perbedaan besar melampaui konteks mereka saat itu. Di sisi lain, WEMC mengambil pendekatan yang lebih kritis untuk formasi ‘strukturstruktur’, melihat formasi semacam itu sebagai suatu proses ‘strukturasi’ daripada struktur ‘negara’ atau ‘masyarakat’ yang telah ditentukan sebelumnya. Kami melihat pendekatan ini terutama berguna untuk memahami negara-negara dalam berbagai mutasi ‘pembentukan bangsa’, ‘pembentukan negara’, atau bahkan ‘pembentukan masyarakat’, termasuk negara-negara maju dan sedang berkembang. Dengan memandang negara sebagai proses dinamis strukturasi, ketimbang struktur statis, kita dapat lebih mampu untuk memahami mengapa kesepakatan dan kebijakan mengenai pemberdayaan perempuan pata tingkat internasional dan nasional saja tidak memadai.
Dalam konteks ini, pertanyaan krusial yang perlu diajukan mengenai agensi perempuan adalah pada tingkatan mana perempuan dapat membentuk dan membentuk kembali endemi hubungan kekuasaan pada strukturasi yang dengan berbagai cara memberi keuntungan perempuan tidak saja secara individual, tetapi secara kolektif. Sebelum perempuan dapat menjalankan agensi mereka sebagai individu warga negara yang berinteraksi secara terpisah dan langsung dengan struktur negara yang mengatur dari tingkat makro ke bawah. Mereka seringkali harus menegosiasikan hubungan-hubungan kekuasaan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat meso dan mikro, termasuk hubungan-hubungan kekuasaan dalam keluarga mereka, komunitas dan pengelompokan-pengelompokan sosial lainnya.
43 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Membentuk strukturasi demikian tentu saja adalah menginteraksikan agensi-agensi aktor-aktor yang berlokasi pada tingkat yang berbeda-beda dengan kepentingan, agenda, dan sumber-sumber yang berbeda-beda dalam berbagai konfigurasi aliansi dan oposisi. Kekuasaan relatif aktor-aktor ini pada tingkat yang berbeda-beda dapat mengarah ke strukturasi tertentu kekuasaan negara pada tingkat makro dan meso, dalam hubungan dengan kekuasaan dekat negara dan kekuasaan non-negara. Gambaran yang dihasilkan jauh lebih kompleks daripada struktur negara statis tempat kebijakankebijakan makro secara sederhana mengalir ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Dalam diskursus pembangunan terkini, penekanan diletakkan pada kebutuhan bagi perempuan untuk mengklaim hak-hak, menuntut akuntabilitas dari negara dalam mengimplementasikan kesepakatan internasional dan kebijakan-kebijakan nasional yang mendukung pemberdayaan dan hak-hak perempuan. Ketika tidak diragukan pentingnya bagi perempuan untuk menuntuk hak-hak, mereka tidak dapat melakukannya secara efektif sebagai warga negara jika hubungan mereka dengan negara diblok oleh kekuatan-kekuatan tingkat meso. Tidak pula sekedar himbauan untuk mengadopsi suatu pendekatan bottom-up memadai, jika jalan dari bawah ke atas dihambat kepentingan-kepentingan yang sangat berkuasa, dengan agenda selain pemberdayaan perempuan yang mengontrol struktur-struktur yang berlokasi di antara perempuan dan struktur-struktur kekuasaan yang lebih luas. Proses perempuan untuk dapat menjalankan hak-hak kewarganegaraan secara penuh penting dikaitkan dengan perempuan menjadi agen pemberdayaan mereka sendiri, menegosiasikan dan mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
44 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Untuk alasan sebagaimana dikemukakan di atas, inisiatif-inisiatif perempuan pada tingkat mikro dan meso seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang kurang penting, tidak signifikan, dan tanpa efek kumulatif terhadap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di tingkat makro. Sebaliknya, pelaksanaan hak-hak warga negara mereka tergantung pada kemampuan mereka untuk menegosiasikan hak-hak yang diterima pada tingkat mikro dan meso—sebagai contoh, dalam keluarga mereka, kaum mereka, komunitas mereka, pemukiman mereka, dan sejenisnya. Suksesnya negosiasi hak-hak perempuan jika berlanjut dan progresif, dapat berdampak kumulatif dalam mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak diingankan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui kapan dampak transformatif yang demikian terjadi dan kapan pula tidak, seperti halnya apakah yang memungkinkan dan apakah hambatan-hambatan keberhasilan transformasi. Dalam banyak diskursus pembangunan, terdapat asumsi bahwa perubahan tejadi hanya dengan menaikkan inisiatif-inisiatif perempuan. Penelitian WEMC mengindikasikan bahwa menaikkan, menurunkan, seperti halnya mempertahankan tingkat yang sama, dapat menghadirkan pilihan-pilihan yang sama valid dan strategis bagi pemberdayaan perempuan, tergantung pada kondisi-kondisi yang di dalamnya perempuan menjalankan inisiatif mereka. Terdapat kebutuhan untuk beranjak dari asumsi yang meyakinkan bahwa menaikkan sebuah proses unilinear atau bahwa menaikkan pasti selalu ‘baik’. Pemetaan WEMC mengenai strategi-strategi indeginous perempuan sejauh ini
mengindikasikan bahwa kelayakan skala strategis tergantung pada ruang yang tersedia bagi perempuan untuk pengakuan hak-hak mereka. Matriks berikut ini mengilustrasikan pilihan-pilihan skala strategi-strategi impowermen perempuan.
Diagram 3: Menaikkan, menurunkan, dan melanjutkan strategi-strategi dan inisiatif-inisiatif perempuan.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
45
Matriks pada Diagram 3 memperlihatkan bagaimana strategi-strategi perempuan dapat dinaikkan, diturunkan, atau tetap pada level yang sama. Ketika ruang pengakuan hak-hak perempuan meluas, aksi-aksi individual dapat terekspresi ke dalam upayaupaya bersama (kolektif) menjadi diorganisir, kemudian diinstitusionalisasikan. Perbedaan antara apa yang kolektif dengan yang diorgansir adalah tingkatan permanennya. Perempuan dapat berkumpul bersama, misalnya untuk demonstrasi, tetapi ini tidak mesti berakhir lebih lama daripada kegiatan itu atau menghasilkan suatu organisasi yang permanen. Di sisi lain, diinstitusionalisasikan adalah menjadi bahkan lebih permanen daripada sekedar diorganisir, dengan kemungkinan adanya perubahan yang terjadi menimbulkan norma-norma. Institusionalisasi, seperti persoalan-persoalan dan hak-hak utama perempuan ke dalam institusi yang ada, secara umum merupakan suatu mode ideal terjadinya perubahan sosial. Akan tetapi, apakah ini yang menjadi persoalan?
Ketika ruang bagi perempuan dikurangi untuk menyaingi struktur kekuasaan dan menegakkan hak-hak mereka, — misalnya sebagai hasil tekanan negara—perubahan yang diinstitusionalisasikan dapat terjadi sebaliknya, dan inisiatif-inisiatif yang diorganisasikan atau kolektif dapat tidak diturunkan menjadi aktifitas-aktifitas individual. Demikian pula, ketika ruang statis, tidak meluas atau tidak pula menyempit, keberlanjutan aktifitas yang berlangsung, pada tingkat apa pun, mungkin merupakan pilihan yang paling mungkin dilakukan. Apakah menurunkan atau melanjutkan ini masing-masing musti menunjukkan kemunduran atau stagnasi? WEMC menemukanpentingnyauntuk tidak mengacaukan antara skala aksi perempuan dengan arah dan maksud strategi mereka. Kami berargumentasi, jauh lebih penting menaruh perhatian pada maksud daripada arah strategi. Mengapa? Ini karena sebagai dorongan yang memotivasi, arah dan maksud strategi perempuan dapat mengambil bentuk yang jamak—privat atau publik, individual atau kolektif, lebih atau kurang terorganisir. Hal ini dapat dinaikkan atau diturunkan, dan sebagainya. Maksud WEMC adalah untuk memetakan lebih dari sekedar bentuk-bentuk aksi perempuan: yaitu bermaksud memetakan hasrat perempuan untuk pemberdayaan dan potensi dari hasrat ini untuk mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang berupaya mengontrol, mengurangi atau menyingkirkan perempuan.
46 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Apakah hasrat untuk pemberdayaan semacam itu ada di kalangan perempuan akar rumput? Apakah hasrat ini memiliki potensi untuk mentransformasikan hubunganhubungan kekuasaan yang tidak diinginkan? Sudahkah transformasi semacam itu berlangsung? Mengapa? Bagaimana? Jika transformasi seperti itu belum terjadi, mengapa demikian? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab WEMC. Dengan temuan-temuan mendokumentasikan contoh-contoh inisiatif-inisiatif yang dimunculkan perempuan sendiri untuk pemberdayaan, penelitian WEMC membuktikan validitas pendekatan kami, walaupun dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Strategi-strategi yang dibesarkan perempuan untuk pemberdayaan individual dan kolektif pada tingkat mikro dan meso merupakan benih yang ditanamkan dalam realitas tertentu yang bisa tumbuh ke dalam proses yang kita sebut ‘demokratisasi dari dalam ke luar’, yang mengacu pada meningkatnya keterlibatan perempuan sebagai warga negara penuh dengan kapasitas untuk mengklaim hak-hak dan yang menjadi keuntungan mereka. Oleh karena dorongan-dorongan tingkat meso merupakan hambatan struktural bagi perempuan yang mengklaim hak-hak kewarganegaraannya, kapasitas mereka untuk mentransformasikan dorongan-dorongan ini mestinya
merupakan bagian dan paket dari capaian status warga negara penuh mereka, mampu untuk menuntut akuntabilitas negara. Demokratisasi dari dalam ke luar itu dengan demikian tak terhindarkan merupakan suatu proses bottom-up, menghubungkan strategistrategi pemberdayaan perempuan pada tingkat mikro dan meso untuk penegakan hak-hak kewarganegaraan mereka pada tingkat makro. Pada bagian bersejarah itu ketika kelompok-kelompok politik melemahkan perempuan dengan menggunakan nama ‘tradisi’ atau ‘agama’, pemberdayaan perempuan melalui strategi-strategi indeginous adalah suatu dorongan pengambilalihan yang menguntungkan secara kultural, menghadirkan alternatif yang lebih berkeadilan jender daripada paksaan ‘tradisi’ dan ‘agama’ patriakal sebagai kebenaran tunggal. Kehadiran suara-suara perempuan dari dalam, menuntut keadilan jender dalam terminologi lokal, juga dapat mengarah pada pemahaman demokrasi selain demokrasi dari dalam ke luar—yaitu, pembangunan masyarakat demokratis yang diarahkan secara internal, yang akuntable bagi seluruh warga negaranya, laki-laki maupun perempuan. Demokratisasi dari dalam ke luar, dalam hal ini, memiliki signifikansi geopolitik dalam suatu dunia tempat retorika ‘demokrasi’ bahka digunakan sebagai alat untuk melegitimasikan penaklukan militer. Pemberdayaan perempuan sebagai demokratisasi dari dalam ke luar dengan demikian memiliki potensi untuk memperoleh dua capaian utama: a) Meningkatnya partisipasi politik perempuan sebagai penuntut hak dan sebagai capaian akhir negosiasi hak-hak mereka pada tingkat mikro dan meso. 47 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
b) Pembangunan masyarakat demokratis yang diarahkan secara internal yang bertanggungjawab terhadap seluruh warganegaranya, berbeda dari demokrasi imitasi yang memaksa dari luar.
Mendefinisikan ulang peran-peran jender: SCN di Cianjur, Jawa Barat, Indonesia
Indonesia Menggugat interpretasi-interpretasi agama yang melemahkan perempuan
48 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Ketika agama sering kali dikutip oleh laki-laki yang mendapatkan keuntungan dari sistem jender untuk mendefinisikan peran-peran perempuan, beberapa perempuan menggugat definisi demikian melalui pendidikan keagamaan dan menantang definisidefinisi peran laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial dan bukan sebagai perintah agama. Ilustrasi berikut ini menggambarkan proses ini di kalangan perempuan di Cianjur, Jawa Barat. Di mesjid dekat rumahnya, TSH memimpin beberapa kelompok pengajian beranggotakan perempuan. Menurutnya, ia perlu menyadarkan orang yang berargumentasi bahwa perempuan seharusnya berdoa di rumah, bukan di mesjid, termasuk pada perayaan-perayaan agama. Ia menjelaskan bahwa upayanya adalah untuk menolak diskriminasi jender sebagai bagian dari agama. OH adalah ustadzah yang aktif di Majelis Taklim. Menurut pendapatnya, pendidikan merupakan suatu bagian penting pengembangan pribadi perempuan. Karena kesempatan menuntut pendidikan lebih tinggi tampaknya terbatas bagi perempuan desa di Cianjur, mereka harus mendapatkan pendidikan informal sejauh yang mereka bisa. Ini artinya, perempuan harus mempelajari agama dan mendapatkan pengetahuan umum untuk meningkatkan posisi mereka di masyarakat. Ia sering menemukan
perempuan berjuang terhadap diskriminasi jender bahkan dalam pengajaran agama dan di antara guru-guru agama laki-laki. Ibu OH berpendapat, nilai-nilai Islam sama bagi laki-laki dan perempuan dan bahwa semua orang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama satu sama lain. Ia aktif berpartisipasi dalam memberikan argumentasi tandingan terhadap pemimpin-pemimpin agama yang melihat kepemimpinan perempuan dalam aktivitas politik sebahai hal yang melanggar prinsip-prinsip Islam. FT adalah guru di suatu sekolah agama yang berusia 25 tahun. Sebagai anak dari pemimpin agama di desa, ia memperoleh keuntungan dari pengalaman mengajar ayahnya. Saat ini ia salah satu peneliti lokal WEMC dari Rahima. FT memiliki pengalaman buruk dalam menghadapi diskriminasi jender dengan beberapa pemimpin agama di sekolah agama yang sangat konservatif yang menggunakan teks agama yang disebut Uqudul-Lujjayn yang meletakkan dasar-dasar tugas dan tanggungjawab perempuan menikah. FT menolak menggunakan teks ini yang ia pandang sebagai bias terhadap hak-hak perempuan. Ia pikir, pemimpin-pemimpin agama yang menggunakan teks ini menghambat jalan perempuan di Cianjur untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak mereka. Sebagai kompensasi, ia mencoba untuk memperdalam pemahamannya melalui asal-usul turunnya hadits (tradisi oral mengenai ucapan dan perbuatan Nabi) yang menggunggat diskriminasi jender. Materi-materi yang ia pandang berguna adalah berasal dari forum Pengembangan Kapasitas Guru-guru Agama Perempuan yang diorganisir oleh Rahima.
Nurohmah, Lely, Fatimah Hasan, AD Kusumaningtyas dan Dini Anitasari Sabaniah. 2008. ‘Cianjur: The pemberdayaan strategies and the role of Majelis Tak’lim in the process of women’s pemberdayaan against the strengthening of Islam politication in Cianjur. A case study on Mulyasari Village, Mande District, Cianjur Regency’. Laporan Penelitian WEMC.
49 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Dikutip dari:
50
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bab Tiga Menyusun strategi dari penelitian grounded tentang pemberdayaan perempuan
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
51
3.1. Menuju leksikon komparatif pemahaman ‘pemberdayaan‘ yang berbeda-beda Cakupan persoalan utama penelitian WEMC adalah untuk memahami bagaimana perempuan dapat dan memberdayakan diri mereka sendiri berhadapan dengan dororongan-dorongan yang melemahkan yang seringkali dilegitimasikan oleh budaya dan agama. Jangkauan persoalan penelitian ini merupakan ‘red thread14’ yang mengintegrasikan seluruh aktifitas penelitian.
52 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Realitas multi-level yang kompleks yang dihadapi penelitian ini tidak dapat dijawab oleh pendekatan simplisistik penelitian positivis yang hanya sekedar menuai fakta dari lapangan. Justru sebaliknya, penelitian diakarkan dalam realitas hidup yang dialami partisipan kita – yaitu bagaimana perempuan terlibat dalam penelitian kita. Untuk memastikan proses penelitian berdasarkan realitas yang demikian, proses penelitian dimulai dengan eksplorasi gagasan-gagasan perempuan sendiri mengenai ‘pemberdayaan’ dan ‘pelemahan’. Interaksi awal –kemudian dibuktikan lagi dalam interaksi-interaksi setelahnya—segera memperlihatkan perlunya membangun lexicon komparatif mengenai ‘pemberdayaan’ dan ‘pelemahan’ di seluruh komponen penelitian yang berbeda sebab istilah ‘kuasa’ dan ‘pemberdayaan’ memiliki makna yang sangat bervariasi pada konteks budaya dan linguistik yang berbeda. Hal ini berimplikasi lebih luas bagi penelitian dan intervensi guna mendukung ‘pemberdayaan’ perempuan. Pengembangan lexicon akan berkontribusi pada pemahaman mengenai pemberdayaan’ dan ‘pelemahan’ dalam diskursus pembangunan yang lebih sensitif terhadap budaya setempat. Kami yakin, hal ini akan merupakan sarana penting bagi kerja-kerja pemberdayaan perempuan terkait lainnya dalam konteks geografis, linguistik dan budaya yang berbeda-beda.
14
Istilah ‘red thread’ mengacu pada ancaman yang ada di seluruh bagian struktur.
Satu-satunya negara yang memiliki kata bermakna setara dengan istilah pemberdayaan adalah bahasa Persia di Iran, yaitu tawana-mandi. Ini berarti proses meningkatkan kekuasaan. Di Pakistan, walaupun tawana dikenal sebagai padanan istilah Parsia, kata itu digunakan dalam bidang energi dan bukan untuk ‘pemberdayaan’. Ketika peneliti mengidentifikasi istilah-istilah yang mendekati ‘pemberdayaan’ pada tiga atau empat bahasa daerah, kata-kata itu jarang sekali digunakan. Yang paling mendekati istilah ‘pemberdayaan’ adalah istilah dalam bahasa nasional Urdu, yaitu khud mukhtar (dalam kondisi otonom) dan ba-ikhtiar (memiliki otoritas atau kekuasaan). Namun istilahistilah ini, terutama yang terakhir, tidak digunakan secara umum. Para responden pada awalnya salah mendengar ba-ikhtiar menjadi sebaliknya, be-ikhtiar (tanpa memiliki otoritas atau kekuasaan). Ini menunjukkan, isilah terakhir lebih umum digunakan. Terlepas dari ambigitas linguistik ini, para peneliti Pakistan dapat menanyakan secara langsung pemahaman perempuan mengenai ‘pemberdayaan’ dengan menggunakan istilah yang mendekati, ba-ikhtiar dan khud-mukhtar.
Kompleksitas yang demikian juga terjadi di China. Di China istilah kuasa dan rights sangat mirip. Istilah ‘pemberdayaan’ diterjemahkan ke bahasa China secara bervariasi dan terjemahan yang paling populer, fuquan, berkonotasi pemberian hak kepada perempuan. Walaupun demikian, mengingat perubahan cepat dan progresif legislatif di China, istilah itu diterima sebagai sesuatu yang tidak relevan, atau justru seringkali dianggap sebagai suatu istilah yang menghina kemajuan yang telah dicapai perempuan
53 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Pada situs penelitian lainnya, pertanyaan yang sama tidak dapat diajukan secara langsung karena istilah untuk konsep ini problematis. Di Indonesia, istilah ‘pemberdayaan’ secara resmi telah diterjemahkan menjadi ‘pemberdayaan’ (kondisi diberdayakan) atau ‘penguatan’ (kondisi dikuatkan), sementara istilah kekuasaan sama sekali tidak mengemuka walaupun istilah untuk ‘kuasa’ terdapat dalam Bahasa Indonesia, yaitu kuasa. Para peneliti dalam tim Indonesia berpendapat, ketika Istilah dalam bahasa Inggris pertama kali diterjemahkan, elemen ‘kuasa’ sengaja ditanggalkan sehingga istilah baru tidak tampak mengancam mereka yang berkuasa. Hasilnya, konsep ‘pemberdayaan’ yang sebenarnya telah dilemahkan sejak awal. Selain itu, karena pemberdayaan merupakan kata bentukan baru, kata itu tidak dikenal luas, selain orangorang yang bekerja di beberapa departemen kementrian, media, dan NGO. Perempuan yang mendengarkan istilah ini, langsung mengasosiasikannya dengan proyek pembangunan pemerintah atau lembaga-lembaga donor internasional. Istilah itu sama sekali tidak dipahami sebagai suatu proses yang menentang pengaturan kekuasaan yang melemahkan kekuasaan perempuan.
China sejak tahun 194915. Dengan demikian, terdapat suatu sub-teks postkolonial di kalangan beberapa aktivis perempuan China yang selama bertahun-tahun menolak yang mereka nilai sebagai gerakan politik keras ‘perempuan Barat’. Pada beberapa kasus, hal ini mendorong perempuan mengambil jarak dari advokasi untuk hak-hak perempuan yang eksplisit dan sebaliknya lebih menyukai ‘feminisme yang lebih halus’. Ini direpresentasikan oleh istilah nüxing zhuyi (perempuanisme atau femininisme) yang sebagaimana dikemukakan Ko and Zheng (2007), mendorong popularitasnya dari fleksibilitas semantiknya. Hal ini memungkinkan mereka untuk menegosiasikan terminologi mereka sendiri tanpa terlihat ‘mengancam’. Penggunaan konsep seperti ‘pemberdayaan’ memiliki implikasi dikonstruksikan sebagai hal yang asing16.
54
Penolakan sub-teks pos-kolonial ini, barangkali juga dapat ditemukan di kalangan perempuan di negara-negara lain. Ini bermakna bagi penelitian ini. Sebagaimana dikemukakan di atas, Politisasi islam dan bentuk patriarkat lainnya di konteks budaya lain sama-sama mengklaim bahwa hak-hak perempuan asing bagi masyarakat ‘tradisional’ dan dengan demikian tidak sah. Walaupun demikian, terdapat perbedaan kunci antara dua posisi – yaitu antara yang ingin menempatkan hak-hak perempuan dalam konteks kultural mereka sendiri, termasuk interpretasi Islam mereka versus mereka yang menolak hak-hak perempuan dalam bentuk apa pun. Pembedaan ini penting untuk suatu pemahaman bagaimana pemberdayaan perempuan dapat secara indigenous dikondisikan dari dalam, dengan cara yang mendialogkan secara kreatif dan produktif dengan diskursus universal hak-hak perempuan.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Terutama di Indonesia dan China, peneliti menemukan pemahaman perempuan mengenai kuasa dan pemberdayaan dengan cara lain, yang akan perlu dibuat eksplisitdala leksikon komparatif yang direncanakan. Di Indonesia, peneliti menemukan bahwa cara memasuki pembicaraan mengenai ‘pemberdayaan’ yang paling memadai termasuk menanyakan mengenai insiatif perempuan untuk memperbaiki kehidupan mereka atau menanyakan perempuan siapakah yang menurut mereka memiliki ‘power’ (kuasa) dan ‘authority’ (kekuasaan), daripada menggunakan istilah yang menyesatkan, pemberdayaan. Pendekatan yang sama diadopsi di China. Walaupun demikian, penting untuk mencatat bahwa pendekatan yang tidak langsung ini mengimplikasikan: untuk sementara 15
16
Ko dan Zheng menulis (2007:4), ‘Hak-hak kekuasaan perempuan (nüquan), dialami sebagai suatu kejatuhan drastis dari suatu kategori diutamakan yang diterjemahkan dari Barat modern melalui Jepang di akhir periode Qing (peralihan abad 19) ke statusnya yang samar-samar dan tak berdasar di pertengahan abad keduapuluh. Lihat, misalnya Min (1999).
mungkinlah mendiskusikan inisiatif-inisiatif perempuan sebagaimana terjadi, sangatlah sulit untuk mendiskusikan ‘pemberdayaan’ sebagai suatu konsep. Konsep relevan lainnya dapat didiskusikan relatif lebih mudah, seperti kuasa, hak-hak, dan tanggungjawab. Leksikon komparatif yang direncanakan akan menganalisis bagaimana berbagai konsep ini saling terkait. Untuk sampai pada leksikon komparatif, seluruh jejak peneliti WEMC menganalisis dan mengkontekstualisasikan diskursus pada cakupan persoalan bagaimana perempuan dapat berkuasa atas diri mereka sendiri berhadapan dengan dorongan-dorongan yang melemahkan. Dokumentasi tentang hal tersebut dan analisis penggunaan, maknamakna dan implikasinya merupakan kritikal untuk pembangunan pengetahuan baru seputar pemberdayaan perempuan. (Sama kritikalnya bagi komunikasi dan pengembangan kapasitas WEMC). Baik leksikon maupun penelitian tidak dibatasi pada pandangan perempuan mengenai pemberdayaan dan isu-isu terkait; penelitian juga mencakup pandangan perumus kebijakan, implementator, pemimpin-pemimpin komunitas, seperti halnya diskursus relevan di media dan budaya populer.
3.2. Pertanyaan-pertanyaan Inti Penelitian
1. Pandangan dan analisis perempuan mengenai kuasa, pemberdayaan, dan pelemahan. A. Bagaimana perempuan menginterpretasikan dan menganalisis dorongandorongan pelemah yang mereka hadapi? (i)
Pada level negara dan masyarakat manakah dorongan-dorongan pelemah ini berlokasi: makro, meso, mikro dan dalam konteks yang manakah (misalnya formal/informal, religius/sekuler, terkait dengan negara/ masyarakat)?
55 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Memulai dengan suatu pemetaan kontekstual sistem jender dan struktur kekuasaan yang mempengaruhi pengalaman-pengalaman, pemahaman dan visi perempuan, WEMC merancang ruang lingkup permasalahannya. Dengan menanyakan pertanyaanpertanyaan inti penelitian yang sama pada seluruh tim di negara-negara dan konteks penelitian yang berbeda-beda, kita terlibat dalam suatu proses berulang-ulang yang memungkinkan data komparatif diperoleh dan dianalisis, memperjelas signifikansi berbagai kondisi yang mengarah pada hasil yang berbeda-beda. Pertanyaan-pertanyaan inti penelitian ini memandu dan membentuk penelitian WEMC di seluruh lokasi.
(ii) Dengan cara apakah dorongan-dorongan pelemahan ini bertemu atau memisah satu satu sama lain? (iii) Dengan cara apakah dorongan-dorongan yang melemahkan ini berhubungan dengan kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik tertentu? B. Kemungkinan-kemungkinan untuk pemberdayaan apa sajakah yang dibayangkan perempuan dalam realitas kehidupan mereka dalam menghadapi dorongandorongan yang melemahkan kekuasaan mereka? (i)
Apakah sumber-sumber kekuasaan yang dapat mereka alirkan dalam situasi mereka dan dalam wilayah kehidupan yang manakah?
(ii) Bagaimanakah sumber-sumber kekuasaan ini berbeda menurut jender dan atribut-atribut lainnya, seperti agama, etnisitas, kelas, kekerabatan, lokalitas, dan sebagainya? (iii) Apakah sumber-sumber kekuasaan ini berkaitan dengan kebijakankebijakan dan praktek-praktek negara tertentu yang spesifik? 2. Perempuan terlibat dalam kontestasi kekuasaan dan mekanisme kontrol yang digunakan oleh dorongan-dorongan yang melemahkan. C. Bagaimana perempuan menghadapi, menahan, dan mengatasi mekanisme kontrol yang digunakan oleh dorongan-dorongan yang melemahkan. 56
(i)
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bagaimana perempuan menahan, menghindar, dan menghapus kekerasan berdasarkan jender?
(ii) Bagaimana perempuan mengakses dan mengontrol sumber-sumber yang ada yang menjadi bagian dan membangun blok kekuasaan? Dan bagaimana hal ini bertambah dan berkurang menurut waktu? (iii) Bagaimana perempuan terlibat dalam interpretasi-interpretasi yang berkeadilan jender atau konstruksi identitas, budaya dan agama untuk melegitimasikan penegakan hak-hak mereka. (iv) Bagaimana perempuan mengakses sarana-sarana dan forum-forum negara dan non-negara untuk menegakkan hak-hak dan membuat keputusan untuk pemberdayaan individual dan kolektif. 3. Strategi-strategi untuk pemberdayaan dan dukungan yang mereka gerakkan D. Bagaimana perempuan menaikkan strategi-strategi pemberdayaan dari individual,
kolektif, terorganisir, ke tingkat yang terinstitusionalisasikan? Dalam kondisikondisi apakah mereka menurunkan inisiatif-inisiatif mereka – dari yang terinstitusionalisasikan, terorganisir, kolektif, ke level yang individual? E. Sumber-sumber dukungan apakah yang dapat digerakkan perempuan untuk pemberdayaan mereka? (i) Pada tingkat negara dan masyarakat yang manakah sumber-sumber dukungan ini berada – makro, meso, mikro – dan dalam konteks (misalnya formal/ informal, keberagamaan/sekuler, berkaitan dengan negara/masyarakat)? (ii) Jenis dukungan apakah yang tersedia bagi perempuan? (iii) Apakah yang perlu diubah untuk meningkatkan dukungan bagi inisiatifinisisatif perempuan termasuk perubahan-perubahan pada kebijakan dan praktik-praktik? 4. Capaian inisiatif-inisiatif perempuan untuk pemberdayaan F. Apakah capaian inisiatif-inisiatif peempuan untuk pemberdayaan? Pada tingkat apa dan di wilayah kehidupan yang manakah perubahan-perubahan ini terjadi? Apakah perempuan lebih mampu untuk menegaskan hak-hak atas tubuh dan pikiran mereka?
(ii) Apakah perempuan lebih mampu untuk menegakkan hak-hak mereka sebagai warganegara secara penuh dan sederajat? (iii) Sudahkan dorongan-dorongan yang melemahkan telah ditransformasikan dan hubungan-hubungan kekuasaan direstrukturisasi bagi keuntungan pemberdayaan perempuan? (iv) Apakah ini meliputi perubahan-perubahan dalam kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek? Suatu narasi yang implisit menggarisbawahi pertanyaan-pertanyaan inti sebagai berikut: konstruksi kekuasaan – kontestasi kekuasaan – strategi bagi pemberdayaan—capaian. Sebagaimana diperlihatkan di Bab 2 sebelumnya, pemberdayaan perempuan perlu terjadi dalam konteks hubungan-hubungan kekuasaan. Penelitian telah mulai dengan fakta mengenai pelemahan perempuan, yang dengan demikian mengharuskan pemberdayaan mereka. Jika perempuan sudah berkuasa, mereka tidak perlu diberdayakan. Tidak ada pula perempuan yang secara kebetulan tanpa kuasa, sebaliknya perempuan-perempuan tersebut dilemahkan. Untuk mengidentifikasi bagaimana
57 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
(i)
perempuan dapat difasilitasi dalam inisiatif-inisiatif mereka guna menemukan jalan untuk pemberdayaan, pentinglah pertama-tama memahami bagaimana perempuan sendiri menginterpretasikan dan menganalisis dorongan-dorongan yang melemahkan yang mereka hadapi sebagai protagonis dalam relitas-realitas kehidupan mereka sendiri. Sementara dalam teori ada tersirat keterhubungan yang berkelanjutan dalam narasi, penelitian empiris di lapangan menampilkan momen historis realitas sosial perempuan berbeda-beda dan ini memerlukan fleksibilitas dalam urutan dan cara pertanyaanpertanyaan diajukan. Walaupun terdapat variasi-variasi sesuai konteks tertentu, pertanyaan-pertanyaan inti penelitian membentuk dasar untuk membandingkan dan mengintegrasikan kerja WEMC di seluruh lokasi yang berbeda-beda. Seperangkat pertanyaan yang sama melindungi dari potensi resiko fragmentaso, di sisi lain ini memungkinkan tim peneliti untuk menstruktur studi mereka secara cukup otonom sesuai dengan konteks yang berbeda-beda, secara beragam menangkap isu kunci yang mungkin atau juga tidak berkaitan dengan konteks-konteks lain. Secara simultan, seperangkat pertanyaan-pertanyaan inti ini memungkinkan jawaban yang berbeda-beda, tak terhindarkan muncul dari konteks yang berbeda-beda untuk dibandingkan pada suatu kontinum sehingga perbedaan tidak mengarah pada diskoneksi arah. Proses lintas budaya perbandingan dan sintesis penting untuk mencapai empat tujuan WEMC: 58 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
1. Untuk mendokumentasikan, menganalisis, dan melipatgandakan strategi-strategi yang dengan berhasil mentransformasikan pelemahan. 2. Untuk memungkinkan, memvalidasi, dan menguatkan agensi-agensi perempuan sebagai insider 17 menentang sruktur-struktur yang melemahkan dan mempromosikan demokratisasi. 3. Untuk membangun kapasitas analitis strategi aliansi yang mengkatalisis penelitian dan aksi transformatif. 4. Untuk menemukan cara dimana tata pemerintahan yang baik, demokratisasi, dan pembangunan yang semestinya dapat menguatkan dan mendukung agensi perempuan. 17
‘Insider’ dan ‘outsider’ merupakan konsep relative. Bagi WEMC, ’insider’ meliputi seluruh perempuan yang hidup dalam konteks Muslim yang diteliti, termasuk perempuan-perempuan non-Muslim dalam konteks demikian. ’Outsider’ merupakan mereka yang di luar konteks-konteks tersebut.
3.2.1. Pandangan dan Analisis Perempuan tentang kuasa, pelemahan, dan pemberdayaan Pertanyaan penelitian A: Bagaimana perempuan menginterpretasikan dan menganalisis dorongan-dorongan yang melemahkan yang mereka hadapi? Pertanyaan penelitian B: Apakah kemungkinan bagi pemberdayaan yang dibayangkan perempuan dalam realitas hidup mereka, dalam berhadapan dengan dorongan-dorongan yang melemahkan.
Pertanyaan B dan sub-pertanyaan yang terkait membentuk langkah logis berikutnya dalam menemukan jalan bagi pemberdayaan perempuan. Jika perempuan menyimpan rasa tanpa harapan bagi pemberdayaan mereka sendiri dalam situasi kini mereka, tidaklah mungkin mereka akan menjalankan agensi untuk mengklaim hak-hak dan mengemkuasa diri mereka sendiri karena mereka akan melihat upaya itu akan jatuh dalam kegagalan, bahkan jika mereka dapat mengidentifikasi dan tentu saja menganalisis dorongan-dorongan yang melemahkan. Sebagaimana diargumentasikan di depan, perempuan dapat diemkuasa hanya melalui agensi mereka sendiri—yaitu melalui proses dan siklus refleksi, keputusan, dan aksi mereka sendiri sebagai subyek pemberdayaan mereka. Selanjutnya, perempuan harus mempercayai adanya kesempatan-kesempatan untuk sukses dalam bertindak bagi pemberdayaan mereka. Bagi yang berupaya untuk mendukung dan menyuarakan inisiatif-inisiatif perempuan, perlu mengetahui apakah
59 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Pertanyaan A dan sub-pertanyaan yang terkait meluncurkan narasi pemberdayaan dari perspektif perempuan. Identifikasi, deskripsi, dan analisis perempuan mengenai dorongan-dorongan yang melemahkan mereka, membuka jalan bagi eksplorasi lebih lanjut mengenai dorongan-dorongan ini, termasuk lokasinya pada tingkat yang berbedabeda dalam negara dan masyarakat (mikro, meso, makro) dalam konteks yang beragam (misalnya formal/informal, religus/sekuler, terkait negara/masyarakat), demikian pula searah ataukah berbeda arah satu sama lain dan keterkaitannya dengan kebijakan dan praktik-praktik tertentu. Dalam mempertahankan kerangka kerja keseluruhan WEMC, fokus berada pada tingkat meso – yaitu konteks kekuasaan yang dilokalisir, mulai dari keluarga dan komunitas, di mana aktor-aktor lokal , aktor-aktor yang dekat dengan negara, dan aktor-aktor non-negara beroperasi dalam kontestasi atau aliansi.
pilihan yang dibayangkan perempuan untuk diri mereka sendiri dalam realitas hidup mereka, berhadapan dengan dorongan-dorongan yang melemahkan yang akan mereka atasi. Sama juga pentingnya adalah menggali penilaian perempuan dan sumber-sumber potensial bagi upaya aktual yang mereka ajukan. Hal ini meliputi pemahaman sumbersumber kekuasaan apakah yang diidentifikasi perempuan sebagai sumber-sumber yang tersedia atau yang dibutuhkan dalam situasi tertentu mereka, dan manakah dari sumbersumber ini yang dilihat menjalankan pengaruh yang lebih besar. Sebagai contoh, apakah perempuan melihat sumber-sumber kekuasaan berikut ini: pendidikan, penghasilan, kepemilikan tanah/rumah, pengetahuan agama, pergi haji, memiliki anak-anak (jika demikian, anak laki-laki atau perempuan)? Sumber-sumber kekuasaan manakah yang akan memiliki pengaruh dalam aspek-aspek kehidupan mereka? Apakah mereka percaya sumber-sumber kekuasaan ini dapat diakses seluruh perempuan atau dibatasi untuk beberapa—misalnya, berdasarkan jender dan atribut-atribut lainnya, seperti agama, etnis, kelas, kekerabatan, lokalitas? Melacak keterkaitan yang mungkin antara sumber-sumber kekuasaan ini dan kebijakan-kebijakan serta praktik-praktik negara akan memperjelas kelayakan pengukuran-pengukuran yang potensial.
60
Jawaban terhadap pertanyaan A dan B, menyangkut refleksi dan analisis perempuan mengenai kekuasaan, pelemahan, dan pemberdayaan, termasuk aspek-aspek terkait jender dan otoritas, akan memberikan pandangan yang kritikal pada bagaimana yang terbaik untuk mendekati pertanyaan C, D, dan E yang fokus pada strategi-strategi perempuan dalam kontestasi kekuasaan.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
3.2.2. Perempuan terlibat dalam kontestasi kekuasaan di sekitar mekanisme kontrol yang digunakan oleh dorongan-dorongan yang melemahkan. Pertanyaan penelitian C: Bagaimana perempuan menjawab, menahan, dan mengatasi mekanisme kontrol yang digunakan oleh dorongandorongan yang melemahkan. Paling krusial, pertanyaan C dan sub-pertanyaan yang terkait memperjelas kontestasi kekuasaan antara perempuan dan dorongan-dorongan yang melemahkan mereka. Menyadari bahwa pelemahan meliputi proses sosial, kultural, ekonomi dan politik, seperti halnya juga pemberdayaan, kami mengidentifikasi empat mekanisme kontrol yang digunakan oleh dorongandorongan pelemahan dalam kehidupan perempuan. Kontestasi kekuasaan mengikuti ketika perempuan menahan mekanisme kontrol ini, dengan hasil penting yang meningkatkan atau menghalangi pemberdayaan perempuan.
Tabel 2. Empat kunci kontestasi kekuasaan
2. Pembatasan pada perempuan untuk mengakses dan mengambil bagian dalam bangunan blok-blok kekuasaan. 3. Mengucilkan perempuan dari saluran-saluran kekuasaan dan forum-forum pengambilan keputusan.
Versus
1. Berbagai bentuk kekerasan yang berdasarkan jender
Strategi-strategi untuk emkuasa-ment yang digunakan oleh perem-puan dalam menegakkan hak-hak mereka 1. Resistensi terhadap, menghindar dari dan eliminasi kekera-san yang berdasarkan jender. 2. Peningkatan akses untuk dan kontrol terhadap sumber-sumber yang membentuk bangunan blok-blok kekuasaan, dengan demikian memunculkan distri-busi sumbersumber yang lebih berkeadilan jender.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
61
Mekanisme kontrol yang digu-nakan oleh dorongan-dorongan yang melemahkan
4. Interpretasi misoginis terha-dap budaya dan agama yang digunakan untuk melegitimasi pelemahan perempuan, sementara melegitimasi pemberdayaan mereka.
3. Meningkatkan akses untuk dan menggunakan saluran-saluran dan forum-forum ini untuk menegakkan hak-hak dan membuat keputusan. 4. Interpretasi-interpretasi atau konstruksi budaya dan agama perempuan yang berkeadilan jender untuk melegitimasi penegakan hakhak mereka sehing ga mentransformasi ke-kuasaan yang baru diperoleh ke dalam kekuasaan yang diterima secara sosial.
Kontestasi kekuasaan 1:
Menghadapi kekerasan sebagai suatu mekanisme kontrol 62 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Kekerasan berdasarkan jender, mekanisme kontrl yang pertama, meliputi bentukbentuk kekerasan yang aktual dan mengancam, interpersonal dan sistematis. Penggunaan kekerasan oleh dorongan-dorongan yang melemahkan membuat ini berbahaya bagi perempuan untuk menjalankan agensi sebagai orang yang otonom. Contoh-contoh berbagai bentuk kekerasan yang diungkap oleh penelitian kami meliputi: a) Kekerasan sanksi negara melalui hukum dan legalisasi kekerasan sebagai hukuman (misalnya pasal-pasal Undang-undang untuk cambuk, amputasi dan dilempar batu sampai meninggal di Pakistan dan Iran, seperti juga ‘sweeping18’ dan pencambukan di Indonesia. b) Hukum keluarga yang merongrong hak-hak perempuan dapat mengakibatkan mempromosikan tindakan-tindakan kekerasan interpersonal (di Iran, Pakistan, dan Indonesia).
18
Istilah ‘sweeping’ (digunakan sebagaimana istilah Bahasa Inggris) ditarik dari penggunaan militer Indonesia untuk menghapuskan pemberontakan dan subversi di suatu daerah demarkasi.
c) Tidak tampaknya operasi norma-norma, nilai-nilai dan pikiran yang dikemukakan oleh adat-istiadat, praktik-praktik dan/atau ‘Syariah’ dalam kehidupan seharihari komunitas Muslim, mengurangi otonomi perempuan, seperti halnya mobilitas fisik dan sosial (misalnya sunat perempuan di Indonesia, kewajiban menutup kepala di Iran dan beberapa wilayah di Indonesia, tekanan-tekanan pada mobilitas fisik dan sosial di China19). d) Kekerasan yang sebabkan oleh aktor-aktor dekat negara, seperti kelompokkelompok politik-agama (di Indonesia dan Pakistan). e) Pembungkaman perempuan dan bahkan peneliti mengenai insiden kekerasan berdasarkan jender, dengan komunikasi apapun mengenai kekerasan semacam itu dilihat sebagai ancaman terhadap kepentingan komunal sehingga secara potensial bahkan mengundang lebih banyak kekerasan (di kalangan beberapa muslim di China).
Pendekatan yang holistik diperlukan untuk mendokumentasikan pilihan-pilihan, diskursus, strategi-strategi perempuan dalam merespon kekerasan yang berdasarkan jendersebgai suatu bentuk kontrol. Di Indonesia, Iran, Pakistan, dan penelitian lintas batas, sistem hukum ditelaah sebagai suatu penghambat maupun yang mendukung sisten kekuasaan yang tidak berkeadilan jender dan mentoleransi kekerasan berdasarkan
19 20
Penelitian oleh Lanzhou University, Gansu. Penelitian oleh Shirkat Gah Women’s Resource Centre.
63 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Adalah penting untuk fokus pada bentuk-bentuk kekerasan berdasarkan jender yang ada di mana-mana dan sistematis karena hal ini cenderung untuk menormalisir kekerasan terhadap perempuan sebagai hak laki-laki, masyarakat, dan negara, pada saat yang sama juga melegitimasi bentuk-bentuk interpersonal kekerasan. Penelitian di Pakistan menyarankan bahwa hasrat untuk menjalankan kontrol terhadap seksualitas perempuan menggarisbawahi kekerasan sebagai mekanisme kontrol, terutama tetapi tidak semata-mata—terbukti dalam respons responden laki-laki. Kekerasan dan kontrol terhadap seksualitas perempuan terikat dengan konsep tertentu maskulinitas dan kelaki-lakian yang juga perlu untuk dieksplorasi20. Menjelaskan bagaimana perempuan menangkis kekerasan sebagai kunci mekanisme kontrol, terutama sebagai kontrol terhadap seksualitas mereka—bagaimana mereka menahan, menghindar dari, dan mencoba untuk mengeliminasi kekerasan yang ditujukan pada mereka— dengan demikian merupakan hal yang sangat penting.
jender, serta sebagai dukungan potensial terhadap Undang-undang yang dapat dan digunakan untuk melindungi perempuan dari kekerasan. Penelitian kami menanyai penggunaan dan respon perempuan-perempuan terhadap sistem hukum dan mekanisme alternatif untuk memperbaiki, termasuk eksplorasi mengenai bagaimana hal ini dapat digunakan secara efektif untuk menghadapi kekerasan berdasarkan jender. Di Pakistan, persoalan utama adalah bagaimana negara merespon kekerasan berdasarkan jender, seperti penampungan bagi perempuan, dapat dibuat mejadi lebih efektif. Di Indonesia dan negara-negara lainnya, ketegangan antara hukum sekuler dan interpretasiinterpretasi yang dihadirkan oleh pengadilan ‘syariah’ dan institusi setempat membentuk fokus utama21. Penelitian juga menganalisis respon perempuan terhadap kekhususan politik, hukum, kultural, sosial dan historis tertentu sebagai konteks yang mendukung atau menghambat kemampuan mereka untuk membuat pilihan-pilihan aman dan efektif.
Kontestasi kekuasaan 2:
Mengatasi hambatan-hambatan perempuan pada akses untuk dan kontrol terhadap sumber -sumber sumber-sumber 64 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Dorongan-dorongan yang melemahkan menempatkan pembatasan-pembatasan pada akses untuk dan kontrol sumber-sumber perempuan untuk menghalangi akses mereka membangun blok-blok kekuasaan. Fokus-fokus penelitian WEMC ada pada tiga sumber kunci: a) Kesehatan – akses untuk kondisi kesehatan dan kesejahteraa, pelayanan kesehatan yang terkait, informasi dan pengetahuan, terutama menyangkut kesehatan reproduksi, kepercayaan sosial dan kultural seputar kesehatan perempuan, dan sebagainya. b) Ekonomi—akses untuk penghidupan dan pekerjaan (termasuk pekerjaan di luar negeri), kontrol terhadap penghasilan dan aset-aset, dan sebagainya. c) Pendidikan—akses untuk bersekolah, informasi dan pengetahuan (misalnya publikasi, informasi hukum, dan sebagainya) sumber-sumber sosial dan kultural (misalnya pengetahuan agama, dan lain-lain).
21
Penelitian oleh Semarak Cerlang Nusa.
Hal-hal ini merupakan sumber-sumber kunci karena mereka menyediakan dasar-dasar bagi kehidupan, penghidupan, dan pengetahuan perempuan. Jika kekurangan hal-hal ini, perempuan sangat terhambat ketika mereka ingin menjalankan agensi sebagai orang-orang yang otonom. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana perempuan memenej untuk mengakses dan menjalankan kontrol terhadap sumber-sumber yang demikian berhadapan dengan dorongan-dorongan yang melemahkan.
Sumber -sumber kesehatan Sumber-sumber WEMC berupaya untuk memahami (i) pandangan-pandangan perempuan mengenai sumber-sumber yang manakah yang mereka pandang perlu bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka, (ii) apakah mereka memiliki akses yang memadai untuk sumbersumber itu, (iii) apakah akses mereka dihambat oleh dorongan-dorongan yang melemahkan tertentu, dan (iv) apakah inisiatif yang diambil perempuan guna mendapatkan akses untuk sumber-sumber kesehatan. Sumber-sumber kesehatan 22
Penelitian oleh Southeast Asia Research Centre.
65 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Sebuah pertanyaan terpisah adalah apakah dengan meningkatkan akses-akses untuk sumber-sumber demikian memungkinkan perempuan menjadi teremkuasa, dan jika memang demikian halnya, apakah pemberdayaan mereka di satu sektor sosial dapat ditransfer ke atau memfasilitasi proses dalam sektor lain. Penelitian perlu menginvestigasi bagaimana peningkatan akses untuk sumber-sumber jenis tertentu berdampak pada persepsi perempuan mengenai diri dan akses mereka untuk sumbersumber lainnya. Fokus kami adalah pada penggunaan sumber-sumber ini sebagai pembangunan blok-blok kekuasaan, bukannya pada akumulasi sumber-sumber ini semata-mata sebagai social goods. Yang terpenting terletak pada penggunaan sumbersumber yang tersedia untuk memajukan agenda-agenda kekuasaan tertentu. Pertanyaan kemudian adalah apakah, dalam kondisi-kondisi bagaimana, dan bagaimana perempuan menggunakan peningkatan akses mereka untuk sumber-sumber sebagai bangunan blokblok untuk pemberdayaan. Pertanyaan yang lebih luas berpengaruh terhadap sistem jender adalah apakah suatu inisiatif pemberdayaan yang demikian dilakukan untuk kepentingan individual atau kepentingan kolektif perempuan. Penelitian WEMC di Guangzhou, China, mengindikasikan bahwa bahkan ketika perempuan berhasil dalam karir mereka, pemberdayaan individual mereka tidak mesti mewujud dalam keuntungan-keuntungan kolektif untuk perempuan lain atau untuk perempuan sebagai suatu kolektifitas22.
adalah berkaitan dengan isu-isu kekerasan terhadap perempuan, termasuk sumbersumber yang akan diperlukan perempuan untuk mencegah dan pulih dari kerusakan fisik dan psikologis. Permasalahan utama penelitian kesehatan di Pakistan adalah menyangkut keadilan. Isu-isu keadilan merupakan suatu permasalahan dalam diskursus pembanguna internasional selama dua dekade, tetapi di tahun 2003 dibentuknya Komisi Badan Kesehatan Dunia mengenai Social Determinants of Health mendorong nilai-nilai kesetaraan menjadi dipentingkan dengan legitimasi resmi yang baru. Dari perspektif pemberdayaan perempuan, analisis kesetaraan ini penting karena membantu untuk menemukan dan memfokuskan perhatian pada sistem-sistem yang menciptakan ketidaksetaraan/kesenjangan-kesenjangan yang mendasari perbedaan-perbedaan kesehatan, daripada menghapus indikator-indikator kesehatan pada suatu waktu tertentu. Suatu istilah relatif, kesetaraan mengharuskan perbandingan antara kelompokkelompok yang disituasikan secara berbeda-beda dalam terminologi mortalitas dan faktor-faktor pendorong sosial, ini dilakukan dengan menggunakan pelapisan yang ditentukan oleh masing-masing masyarakat. Inti pelapisan demikian adalah keanggotaan kolektif yang akan ditentukan, misalnya oleh jender, kelas, etnisitas, agama, populasi minoritas/mayoritas. Hasil negatif apapun yang dapat dicegah dipandang tidak setara sehingga permasalahan mengenai ketidaksetaraan sangat terkait dengan isu-isu ‘keadilan’. Suatu analisis mengenai ktidaksetaraan dilakukan pada tingkat komunitas mempercepat suatu proses refleksi dan analisis yang sebaliknya, memberikan dasar bagi aksi potensial untuk perubahan. 66 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Kerentanan dalam kesehatan tidak hanya berkaitan dengan faktor-faktor resiko yang muncul dari kondisi-kondisi biologi, tetapi pada kerentanan sosial. Penelitian menganalisis, kerentanan berasal dari faktor-faktor seperti jender, kemiskinan, ras, etnis, dan lokasi geografis untuk menjelaskan sumber-sumber ketidaksetaraan23. Mencari tahu apakah yang akan memungkinkan suatu reorientasi penyediaan layanan kesehatan dan transformasi sosial, penelitian mengeksplorasi implikasi hubunganhubungan penting dalam hal ketidaksetaraan yang menghambat kesejahteraan perempuan. Dari perspektif pemerintahan, penelitian menyelidiki dampak reformasi devolusi terhadap kesehatan dan kesetaraan dan bagaimana perencanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan dapat dibuat lebih mendukung proses pemberdayaan perempuan.
23
Kausar S. Khan, ‘Equity and Poverty: Non-threatening entry& challenging the status quo’. Makalah penelitian WEMC yang tidak dipublikasikan.
Sebuah aspek kunci proses yang demikian adalah untuk memfasilitasi analisis perempuan mengenai dinamika kekuasaan yang beroperasi dalam komunitas mereka. Melakukan analisis kesetaraan memungkinkan perempuan untuk mencatat ketidakadilan dalam komunitas mereka and untuk memprioritaskan ketidakmerataan (ketidak-merataan-ketidakmerataan) yang manakah yang mereka yakini paling penting dikurangi. Secara simultan, perempuan difasilitasi untuk menginterogasi kebijakankebijakan pemerintah dalam analisis mereka mengenai realitas-realitas hidup mereka. Refleksi-diskusi-pertukaran kolektif ini membantu perempuan untuk mengartikulasikan permasalahan, informasi, dan rekomendasi yang mereka ingin usung ke sektor-sektor dan tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Data yang dihasilkan akan memungkinkan WEMC untuk melokalisir mekanisme kontrol yang beroperasi di wilayah kesehatan, sebagaimana dibandingkan dengan wilayah kehidupan lainnya, dan untuk menginvestigasi pengurangan mekanisme kontrol membatasi akses perempuan untuk sumber-sumber kesehatan (misalnya melalui mobilitas fisik yang lebih besar) memungkinkan mereka untuk merenegosiasikan aspek-aspek kehidupan mereka24 lainnya.
24 25
Penelitian oleh Departement of Community Health Sciences, Aga Khan University. Penelitian oleh Centre for Environment, Gender and Development.
67 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penelitian di Indonesia dan dengan pekerja-pekerja migran Indonesia menelaah dampak diskursus Islamis dan mekanisme kontrol terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Isu-isu kesehatan pekerja migran perempuan seringkali diabaikan oleh pemerintah Indonesia, walaupun pekerja-pekerja ini merupakan sumber penting pemasukan dari luar negeri. Persoalan-persoalan pekerja migran perempuan juga cenderung disisihkan gerakan-gerakan perempuan yang konvensional. Selain menilai kegagalan negara dalam menghadapi permasalahan ini dan menyelesaikan isu-isu kesehatan pekerja migran pada tingkat keseriusan yang layak mereka peroleh, penelitian ini mendokumentasikan kesenjangan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, mengidentifikasi dan mendukung inisiatif dan strategi-strategi25 para pekerja. Di China, Iran, dan Pakistan, penelitian menginvestigasi apakah kesehatan menghadirkan wilayah yang kurang memunculkan perdebatan dengan kemungkinan lebih besar untuk agensi perempuan. Untuk alasanalasan yang fungsional saja, bahkan dalam rumahtangga, komunitas dan negara yang patriarkal akan membutuhkan kepatuhan perempuan untuk memperoleh tingkat kesehatan minimal sekalipun jika mereka akan memenuhi tugas produksi ekonomi, reproduksi sosial dan biologis yang dibebankan pada mereka. Dalam kasus ini, apakah
perempuan sendiri memengaruhi akses relatif mereka untuk sumber-sumber kesehatan atau mobilitas untuk alasan-alasan kesehatan guna menjalankan agensi yang lebih besar mengatasi wilayah kesehatan? Kemungkinan terakhir diteliti dengan membandingkan studi-studi kasus. Studi kasus pertama di Iram melihat pada bagaimana sistem sukarelawan pekerja kesehatan perempuan pemerintah memeroleh hasil yang tidak diduga yang menyediakan sukarelawan perempuan dengan kesempatan untuk menjalankan agensi melampaui domain kesehatan yang memungkinkan mereka untuk memainkan peran yang lebih besar dalam merespon kebutuhan komunitas perempuan, daripada yang pernah direncanakan. Penelitian ini menginvestigasi bagaimana peran penguatan diri pekerjapekerja sukarelawan memercepat perubahan-perubahan dalam kehidupan mereka sendiri, perubahan di kalangan komunitas perempuan tempat mereka bekerja, dan potensi perubahan-perubahan itu untuk lebih jauh dari skema yang menjadi kajian26.
68 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Studi kasus kedua di Pakistan berpusat pada sistem Lady Health Workers pemerintah yang memperkenalkan kira-kira 60.000 perempuan. Penelitian mencari tahu implikasi bagi pemberdayaan perempuan, termasuk perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan pekerja-pekerja perempuan sendiri dan dampak kehadiran mereka meningkatnya mobolitas pada persepsi dan dinamika kekuasaan yang dijenderkan di lokasi-lokasi mereka. Ini dilengkapi dengan studi kasusyang bertolak belakang yang menelaah bagaimana perawat didisemkuasa oleh sikap-sikap dan praktik-praktik sosial terhadap perawat dalam sektor kesehatan dan dalam masyarakat secara luas. Penelitian melacak inisiatif-inisiatif para perawat sendiri untuk menentang dan merubah dorongan-dorongan yang melemahkan yang mereka hadapi dan melacak dampak berantai dari pelemahan para perawat dan inisiatif-inisiatif untuk mengemkuasa diri mereka sendiri terhadap pasien-pasien mereka27. Peneliti-peneliti di Gansu, China, menemukan bahwa bahkan di mana pemerintah lokal mulai untuk merancang klinik dasar untuk beberapa komunitas Muslim yang paling tidak diuntungkan, anggota-anggota komunitas ini yang paling membutuhkan, perempuan-perempuan, tidak memiliki akses untuk itu. Tabu kultural, dikemas dengan aturan-aturan Islam, menghalangi perempuan untuk memasuki ruang ‘tidak bersih’ (percampuran jender) dan untuk mendapatkan advis dokter. Penyediaan ruang ‘aman’ oleh peneliti-peneliti WEMC untuk pertemuan-pertemuan dengan perempuan lokal 26 27
Penelitian oleh Women Living Under Muslim Laws dan sejawat. Penelitian oleh Departement of Community Health Sience, Aga Khan University.
pertama-tama menghadirkan ruang diskursif untuk diskusi-diskusi mengenai perasaan ‘takut’ dan mengenai karakter utama ‘penghambat’ setempat yang dihadapi perempuan. Hanya dengan berdasarkan keterlibat yang ‘grounded’ dan dekat semacam itulah, dapat dilakukan fasilitasi perubahan, yang memperhitungkan interpretasi-interpretasi kebiasaan komunal dan individual, tanpa melanggar agensi perempuan-perempuan yang terbungkam. Metodologi-metodologi kesaksian hidup dan etnografi penting untuk melacak perubahan sosial dalam lingkungan yang kompleks28.
Sumber -sumber ekonomi Sumber-sumber Akses untuk dan kontrol atas sumber-sumber ekonomi memainkan suatu peran yang fundamental dalam pemberdayaan perempuan. Tim-tim peneliti yang berbeda-beda menginvestigasi strategi-strategi perempuan untuk mengakses dan mengontrol sumbersumber ekonomi dalam berhadapan dengan dorongan-dorongan yang melemahkan.
Di Iran, penelitian menelaah perempuan yang mencari pemberdayaan ekonomi melalui ekonomi formal dan informal, termasuk kerjasama dan jaringan ekonomi. Kerjasama dan jaringan diulas dari perspektif pengorganisasian perempuan seputar sumber-sumber ekonomi sebagai sarana mengubah hubungan-hubungan jender. Sebagai tambahan, titik temu antara akses untuk pendidikan dan sumber-sumber ekonomi diuji dengan membandingkan perempuan terdidik, yang memprioritaskan kemandirian ekonomi sebagai kunci bagi pemberdayaan diri, dengan perempuan yang diharuskan bekerja untuk bertahan.
28
Penelitian oleh the International Gender Studies, Oxford University dan kolese di Lanzhou University, Gansu.
69 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Di China, kesempatan-kesempatan dan tekanan-tekanan ekonomi secara beragam diuji oleh perempuan-perempuan di komunitas-komunitas Muslim yang berbeda-beda, dalam kaitan dengan faktor-faktor eksternal (misalnya keanggotaan geo-politik dan etno-religius vis-a-vis negara sebagai pengendali agenda-agenda pembangunan tertentu), serta faktor-faktor internal komunitas (seperti jender, usia, dan kelas) atau tradisi Muslim tertentu. Mengingat keragaman kelompok etnis yang membentuk populasi Muslim di China, dan dampak kondisi-kondisi ekonomi,budaya, dan agama, penelitian empiris yang hati-hati didasarkan pada studi kasus spesifik dan grounded, dengan kriteria jelas untuk analisis komparatif.
Untuk digunakan di berbagai komponen penelitian WEMC adalah persepsi dan pemahaman perempuan-perempuan mengenai kemiskinan, dengan dampaknya yang terjenderkan dan kebutuhan untuk jaminan ekonomi da elemen-elemen kritikal. Mitra di China terutama tertarik mendokumentasikan pemahaman perempuan sendiri mengenai kemiskinan, termasuk dampak pengurangan modal sosial dan dislokasi29. Pada saat yang sama, pemahaman mereka berinteraksi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, konsepsi negara mengenai kemiskinan, jaringan pengaman sosial dan peran, jika ada, bahwa prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan berperan dalam menerjemahkan kebijakan menjadi aksi. Konteks China terutama kompleks mengingat struktur ganda pemerintah (pusat/negara dan admnistrasi-administrasi etnis) di wilayah yang ditujukan bagi ‘minortitas etnis’, sebagaimana kasus di lokasi penelitian kami. Tegangan-tegangan bukannya tidak sering diselesaikan dengan mengorbankan hak-hak dan kepentingan perempuan.
70 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penelitian di Pakistan menerangkan definisi-definisi dan pemahaman mengenai ‘kemiskinan’ dan pentingnya mereka diberi sumber-sumber ekonomi sebagai sebab bagi hubungan-hubungan terjenderkan yang tidak setara sebagai sarana menjalankan kontrol dan sebagai jalan potensial untuk pemberdayaan. Membandingkan kategorikategori berbeda perempuan yang memperoleh penghasilan kontan dengan yang lainnya yang tidak berpenghasilan kontan, akan menjelaskan ruang temu akses sumber-sumber ekonomi dan pemberdayaan. Dampak terdiferensiasinya berbagai tipe pekerjaan yang menguntungkan dianalisis untuk melihat apakah karakter kerja itu sendiri menghalangi atau menguatkan kecenderungan strategi-strategi pemberdayaan. Strategi reduksi kemiskinan pemerintah dan program pendanaan baru yang responsif jender dianalisis untuk melihat apakah kebijakan-kebijakan merespon kebutuhan-kebutuhan yang diekspresikan perempuan30.
29
30
Penelitian dilakukan di kalangan beberapa minoritas Muslim yang paling tidak beruntung, di barat daya China: nasionalitas Dongxiang dan Baoan. Penelitian oleh Shirkat Gah Women’s Resource Centre.
Sumber -sumber pendidikan Sumber-sumber Target Millenium Development Goal 3 (MDG3): ‘Mempromosikan keadilan jender dan emkuasa pemberdayaan perempuan’ adalah untuk ‘mengeliminasi kesenjangan jender dalam pendidikan primer dan sekunder, paling tidak pada 2005, dan di seluruh tingkat pendidikan tidak melampaui 201531’. Permasalahan kita dengan sumber-sumber pendidikan melampaui masuk sekolah. Tentu saja, sebagaimana diperlihatkan di suatu forum WEMC32, bahkan ketika kebijakan berupaya untuk meningkatkan masuknya anakanak perempuan ke sekolah, hal ini tidak menyelesaikan sistem yang bias jender pada tingkat-tingkat mikro dan meso, mengarahkan orang tua, termasuk para ibu, untuk menanamkan modalnya menyekolahkan anak laki-laki dengan mengorbankan anak perempuan. Mengingat meluasnya pelemahan sistematis yang demikian, fokus kita adalah apakah dan bagaimanakah akses anak-anak perempuan dan perempuan untuk memperoleh dan menggunakan sumber-sumber pendidikan sebagai bangunan blokblok kekuasaan yang dapat mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang terjenderkan, daripada sekedar meningkatnya jumlah anak-anak perempuan yang masuk sekolah.
Di Pakistan, pendidikan diperhitungkan dari perspektif inisiatif-inisiatif perempuan sendiri. Satu contoh kasus adalah dua perempuan bersaudara yang mulai mengajar anak-anak di lingkungan tetangga mereka sementara mereka sendiri hanya anak-anak sekolah di kelas 4 dan kelas 6. Sekarang berusia 20 dan 18 tahun, keduanya menjalankan sebuah sekolah jalanan untuk 500 murid. Pertanyaan yang diajukan adalah
31 32
33
Lihat http://www.un.org/millenniumgoals/gender.sthml The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) mempresentasikan Research Programme Consortium on Women’s Pemberdayaan in Muslim Context (WEMC) pada suatu forum yang diberinama, ‘Where’s the Power in Women’s Pemberdayaan?’ pada 4 Agustus 2008 di United Nations Conference Centre di Bangkok. Lihat http://www.unescap.org/ ESID/GAD/Events/WEMC-Forum/index.asp Penelitian oleh kolese WEMC-IGS di Henan, China tengah.
71 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
WEMC membandingkan kesempatan-kesempatan yang pecah bagi pemberdayaan anak-anak perempuan dan perempuan yang disediakan oleh sistem pendidikan yang berbeda-beda—yang dibiayai pemerintah versus swasta, sekuler versus keagamaan. Penelitian meluas ke mode-mode pendidikan informal, seperti kesadaran hukum dan pendidikan untuk pemilih (misalnya di Indonesia dan Pakistan), dan seperti citizenship dan pendidikan keterampilan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Muslim yang dipimpin perempuan (misalnya di China)33.
pada tingkat manakah inisiatif kesuksesn mereka itu untuk pendidikan mewujud ke pemberdayaan bagi diri mereka sendiri, rekan-rekan guru pembantu, dan komunitas. Studi kasus kedua, menyangkut seorang perempuan yang berhasil pertama kali menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak perempuan di daerahya yang sangat terpencil di Balochistan yang dalam prosesnya, tidak mematuhi norma-norma sosial, menentang parameter program pendidikan yang ia sendiri terlibat di dalamnya, dan terlebih lagi, menegosiasikan dengan keluarganya sendiri untuk menunda perkawinannya sampai ia berhasil dengan upayanya itu. Dalam kasus ini, pertanyaan pentingnya adalah apakah ia dipandang terlalu keras kepala guna dihadirkan sebagai model nyata untuk ditiru, walaupun ia telah membuka jalan bagi pendidikan anakanak perempuan di wilayah itu. Di Afganistan, pendidikan anak-anak perempuan menjadi fokus politik untuk kontestasi antara rejim yang berbeda-beda, setelah hal itu sangat dipromosikan selama periode pro-Soviet dan kemudian dilarang di bawah pemerintahan Taliban. WEMC mendokumentasikan keberhasilan perempuan Afganistan melakukan strategi guna mendapatkan akses untuk sumber-sumber pendidikan dalam situasi yang berbedabeda sebagai pengungsi dengan pendidikan bawah tanah di Iran dan kembali dari pengungsian ke Afganistan. Penelitian melihat bagaimana perempuan mendefinisikan dan meredefinisikan posisi perempuan dalam keluarga, komunitas, dan kehidupan publik mereka, termasuk analisis capaian dan implikasi strategi-strategi mereka untuk mengubah persepsi-persepsi masyarakat mengenai peran-peran jender. 72 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Kontestasi Kekuasaan 3:
Mengakses saluran-saluran kekuasaan dan forumforum pengambilan keputusan Mekanisme kontrol ketiga adalah penyingkiran perempuan dari saluran-saluran kekuasaan dan forum-forum pengambilan keputusan yang secara simultan menghalangi perempuan dari kesempatan-kesempatan untuk mengartikulasikan mersoalanpersoalan, prioritas-prioritas, dan kebutuhan-kebutuhan mereka serta memblokir akses untuk saluran-saluran penting guna mempengaruhi negara dan masyarakat. Penelitian meneliti bagaimana perempuan menentang, mengatasi atau melewati penghalangpenghalang untuk mengakses forum-forum, struktur-struktur dan proses-proses pengambilan keputusan. Pada tingkat negara, ini meliputi wilayah-wilayah politik
dan administratif (misalnya partai-partai politik, keanggotaan, posisi-posisi dalam pemerintahan lokal). Dalam ruang lngkup kekuasaan ini, penelitian mengeksplorasi bagaimana interseksi pemerintahan negara sistem-sistem paralel non-formal pemerintahan lokal yang berdasarkan pada hukum adat, dampak terhadap prosesproses pemberdayaan perempuan, dan dengan implikasi apakah terhadap mobilitas mereka dan pengambilan keputusan. Pasal-pasal Undang-undang kebijakan-kebijakan bagi perempuan seperti halnya perlakuan hukum hak-hak perempuan, terutama relevan sebab hal-hal ini menginstitusionalisasi akses atau hambatan untuk perempuan secara umum dan kelompok-kelompok perempuan secara khusus—contohnya, mereka yang menjadi bagian minoritas etnis dan agama, yang menjadi subyek dari lapisan hukum dan kebijakan-kebijakan lainnya. Kebijakan-kebijakan kunci dan Undanng-undang telah diidentifikasi oleh masing-masing komponen penelitian. Peneliti-peneliti di Iran, Pakistan dan Indonesia sama-sama berbagi fokus pada proses-proses politik. Di Indonesia, tema penelitian keseluruhan memfokuskan pada keterlibatan perempuan dalam kontestasi antara Politisasi islam dan gerakan demokratisasi, menguji pembukaan ruangruang untuk perempuan melalui demokratisasi sebagaimana ditutupnya ruang-ruang itu melalui aksi-aksi aktor-aktor politik.
Permasalahan khusus di Pakistan adalah dampak pengukuran affirmative action di bawah pemerintahan lokal yang membawa puluhan ribu perempuan ke dalam proses politik. Hampir seluruhnya adalah pendatang baru, tanpa pengalaman politik sebelumnya, perempuan-perempuan ini berada dan beroperasi dalam tingkat meso yang kritikal. Di antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah apakah makna hal tersebut bagi perempuan-perempuan yang memasuki pemerintahan tingkat lokal, apakah strategi yang mereka gunakan untuk meningkatkan suara mereka dalam prosiding, apakah dan bagaimana aksi-aksi yang demikian berkaitan dengan agenda pemberdayaan
73 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Di Iran, di mana proses politik formal telah membuka ruang bagi perempuan dari tingkat lokal sampai nasional, penelitian melacak bagaimana strategi-strategi perempuan untuk keterlibatan politik, secara individual dan kolektif, walaupun adanya tekanan-tekanan dalam operasi yang harus mereka lakukan. Bayangkan bahwa dampak partisipasi politik tidak terbatas pada kandidat perempuan yang berhasil, penelitian mengeksplorasi apa artinya pemilihan yang gagal bagi perempuan, bagaimana ini berdampak terhadap kehidupan mereka dan pada perempuan-perempuan konstituen mereka.
perempuan, dan sampai tingkat manakah perwakilan perempuan lokal (konselor) membentuk suatu sumber dukungan bagi konstituen perempuan. Sebab pengambilan keputusan yang signifikan terjadi di luar proses politik, penelitian WEMC menjangkau pada institusi-institusi non-formal dan non-negara pemerintahan lokal dan kontestasi perempuan atas dan untuk ruang-ruang publik. Kontestasi dimanifestasikan melalui aturan-aturan berpakaian perempuan, juga mobilitas dan kehadiran perempuan di ruang-ruang publik. Bagaimana penampilan dan pakaian perempuan diregulasikan dan oleh siapa? Metode-metode apakah yang digunakan perempuan untuk secara meningkat mendorong perubahan atau untuk menekan tuntutan-tuntutan untuk konformitas? Pada tingkatan manakah aksi-aksi yang dilakukan oleh perempuan, secara individual, kolektif aau dalam bentuk terorgansir, menentang struktur kekusaan? Juga diteliti adalah strategi-strategi perempuan untuk melindungi atau meningkatkan kehadiran perempuan di ruang publik, misalnya melalui demonstrasi, partisipasi dalam kegiatan-kegiatan olahraga lokal dan transnasional, menempati taman-taman, menggunakan media yang berbeda-beda, seperti Web site. Di Indonesia, penelitian melacak mobilitas perempuan di ruang publik terkait dengan penampilan, perilaku dan interaksi sosial. Suatu momen penting adalah pemilihan umum tahun 2009, muara mendatang, yang strategi-strategi partisipasi perempuan, pendidikan politik dan lobi yang terorganisir akan krusial untuk membentuk arah masa depan negeri tersebut34. 74 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penelitian lintas batas dengan/mengenai pekerja migran perempuan telah mengidentifikasi interpenetrasi kepentingan-kepentingan publik dan pribadi dalam migrasi tenaga kerja sebagai tantangan kunci bagi pekerja-pekerja perempuan. Sementara hukum Indonesia secara mengejutkan progresif dalam hal-hal tertentu menyangkut hak-hak perempuan, terjemahan hukum ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi perempuan migran, sangatlah problematis. Sebagai hasilnya, pekerja migran perempuan memfokuskan pada menggugat kebijakan-kebijakan, regulasiregulasi administratif, dan praktik-praktik badan-badan pemerintah, daripada hukum per se, khususnya ketika kebijakan-kebijakan, regulasi dan praktik-praktik ini, menekankan konstruksi yang melemahkan pada hak-hak pekerja perempuan sebagai ‘perempuan Muslim’.
34
Penelitian oleh Solidaritas Perempuan, Semarak Cerlang Nusa, dan sejawat mereka serta Southeast Asia Centre for Research, City University, Hong Kong.
Penelitian lintas batas mengenai pengungsi Afganistan dan pengungsi yang kembali ke negaranya, mengulas pengalaman-pengalaman partisipasi perempuan dan mobilisasi mereka untuk mempengaruhi dalam proses loya jirga, proses pembuatan konstitusi, dan hukum keluarga. Di China, tradisi-tradisi indigenous mengenai okupasi spasial, termasuk implikasiimplikasi ruang perempuan sendiri (misalnya sekolah, mesjid-mesjid, asosiasi tradisional perempuan cha’i) diteliti sebagai situs untuk konstruksi identitas, untuk mensensitifkan isu-isu kekuasaan dan alokasi sumber-sumber, untuk menentang konstruksi utama yang berkembang mengenai perempuan sebagai bagian dari relitas ‘inner’ (nei), dan untuk menentang asumsi mengenai posisi otoritas. Lebih lanjut, koeksistensi beragam ruang politik di China, dimana etnisitas, agama, dan geografi menandakan kategori negara mengenai kepemilikan dan hak-hak yang hadir bersamaan, mengarah pada suatu penelitian/aksi penting yang memfokuskan pada pembangunan aliansi yang menjangkau seluruh penanda identitas yang terbagi-bagi. Penelitian yang dilakukan di barat daya China mengeksplor implikasi aliansi-aliansi semacam itu, yang dibentuk oleh Federasi Perempuan di luar dukungan dana negara, untuk representasi politik perempuan dan pembentukan ruang masyarakat sipil.
Kontestasi Kekuasaan 4:
Mekanisme kontrol keempat terletak pada mode-mode produksi legitimasi, termasuk interpretasi-interpretasi misoginis mengenai budaya dan agama, yang digunakan untuk melegitimasikan pelemahan perempuan dan secara simultan mendelegitimasi pemberdayaan mereka. Di antara dorongan-dorongan yang menggunakan mekanisme kontrol ini adalah Politisasi islam yang mengklaim bahwa agama itu sendiri memberi sanksi dospemberdayaan perempuan. Mereka bukanlah satu-satunya sarana untuk mendelegitimasikan pemberdayaan perempuan; yang lainnya melakukan hal yang sama dengan mengatasnamakan ‘budaya’, ‘bangsa’, ‘tradisi’, dan ‘warisan’. Tentu saja, legitimasi melekat dalam seluruh pengaturan kekuasaan sehingga mekanisme ini menggarisbawahi dan dan mengiringi mekanisme kekuasaan lainnya. Terlalu sering diabaikan dalam penelitian mengenai pemberdayaan, legitimasi adalah unsur kritikal untuk mempertahankan status quo yang perlu untuk dipertanyakan karena
75 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Memerangi legitimasi pelemahan perempuan dan delegitimasi pemberdayaan mereka.
mempertanyakan legitimasi pengaturan-pengaturan kekuasaan yang ada adalah langkah pertama yang penting untuk menolak dorongan-dorongan yang melemahkan yang sangat dilegitimasikan. Sumber-sumber legitimasi dan mode-mode produksi legitimasi di seluruh lokasi penelitian dieksplorasi dengan mempertanyakan sumber-sumber legitimasi budaya, politik, ekonomi, agama, dan sekuler yang dapat menyerahkan pada otoritas, baik dorongan-dorongan yang melemahkan perempuan ataupun pemberdayaan perempuan itu sendiri. Sumber-sumber legitimasi dan kontestasi yang mengiringinya sangat terkait dengan konstruksi identitas individual dan kolektif – bersumber dari diri maupun yang dipaksakan—yang berfungsi untuk melegitimasi maupun mendeligitimasikan pemberdayaan perempuan. Setidaknya, tiga perangkat isu yang dipelajari: a) Peran, penggunaan dan interpretasi budaya dan agama, termasuk tradisi-tradisi oral dan tekstual, sebagai acuan referensi untuk mempromosikan lingkungan yang memungkinakn ataupun yang tidak memungkinkan bagi pemberdayaan perempuan dalam konteks yang berbeda-beda. b) Sistem nilai yang saling berkompetisi dan penggunaan ‘sejarah’ sebagai jastifikasi – baik dorongan-dorongan yang melemahkan maupun oleh perempuan untuk mengemkuasa diri mereka sendiri.
76 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
c) Lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda: akses perempuan untuk dan penggunaan lembaga-lembaga ini, seperti halnya praktik-praktik kebiasaan/adat yang tidak diformalkan tetapi sangat terstruktur yang memiliki status seperti hukum, sebagian dikatakan dirunut dari Islam selainnya dirunut dari sumbersumber lain. Penelitian kita mendokumentasikan kemampuan perempuan untuk mengosiasikan dan mematahkan pembentukan dan pola-pola pelemahan yang ada, melalui penggunaan inovatif sumber-sumber simbolis—sejarah, ideologis, budaya, agama, karisma, campuran, dan sebagainya. Hal ini bisa mengikuti alternatif-alternatif elaborasi konstruksi utama masa lampau dan masa depan dengan (i) mengklaim kembali sejarah yang ditekan, dan (ii) membayangkan alternatif masa depan kolektif. Di China, penelitian menelaah ketegangan-ketegangan saat ini yang terjadi antara konstruksi identitas perempuan Muslim, sebagaimana yang muncul di Cina tengah dari tradisi mengenai ruang tersendiri dan kepemimpinan perempuan, interpretasi patriarkal lokal mengenai Islam (termasuk klaim-klaim mengenai ‘cetak biru
fundamentalis’), dan paradigma pembangunan sosialis yang sekuler dan berorientasi pada modernisme yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Fokus di Pakistan adalah pada penolakan mengakui hak perempuan atas hukum melalui keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik adat, pada bagian yang hilang dalam hukum formal, dan pada ketegangan-ketegangan antara praktik-praktik adat dan hukum formal. Dengan suatu pandangan untuk mengidentifikasi poin peningkatan yang terbaik mendukung akses perempuan untuk hak-hak, penelitian berupaya untuk menunjukkan faktor-faktor yang manakah yang menghalangi atau mendukung akses perempuan untuk hak-hak legal (misalnya kurangnya informasi mengenai hukum negara, akses yang tidak memadai untuk struktur-struktur negara yang ada, cengkeraman kuat praktik-praktik dan prosesproses tradisional. Dalam hal ini, satu aspek penting adalah persepsi komunitas mengenai legitimasi hukum negara versus praktik-praktik adat. Aspek kritikal kedua adalah untuk membandingkan forum-forum alternatif untuk resolusi konflik baru yang didanai oleh pemerintah, dan yang diciptakan oleh inisiatif perempuan sendiri untuk keadilan. Di bawah rubrik isu payung di Indonesia (pemberdayaan perempuan dalam konteks kontestasi antara politisasi Islam dan demokratisasi), penelitian menguji: a) Pemaksaan konstruksi identitas yang melemahkan pada perempuan melalui formalisasi ‘hukum syariah’ melalui hukum dan regulasi lokal pada tingkat provinsi, kota/kabupaten, dan dengan meningkat pada tingkat desa.
Penelitian dengan/mengenai pekerja migran Indonesia memfokuskan pada bagaimana rejim mengenai yang disebut ‘perlindungan’ yang terus dipertahankan untuk mereka oleh negara (di bawah tekanan dari sumber-sumber publik dan keagamaan), berada di jantung beberapa dari praktik-praktik yang paling eksploitatif dan opresif yang dihadapi perempuan migran. Legitimasi rejim yang demikian dengan mengatasnamakan yang seharusnya disebut ’kemusliman’ membuat eksploitasi terutama sulit untuk dihapuskan.
35
Penelitian oleh Solidaritas Perempuan, Semarak Cerlang Nusa, dan sejawat mereka serta Southeast Asia Centre for Research, City University, Hong Kong.
77 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
b) Resistensi perempuan terhadap konstruksi yang melemahkan ini dalam konteks masyarakat perkotaan dan pedesaan, termasuk jalan balik menuju konstitusi hukum nasional yang mendukung, sebagaimana halnya interpretasi-interpretasi Islam dan budaya lokal yang berkeadilan jender35.
Penelitian lintas batas pada pengungsi Afganistan menelaah peran kunci yang dimainkan pendidikan dalam menstimulir diskurusus yang berkompetisi di seputar konstruksi perempuan dalam situasi politik yang berbeda-beda. Aspek lain dari penelitian ini adalah kontestasi atas hak-hak perempuan, peran dan tanggungjawab, terutama di wilayah reformasi legal dalam hukum status personal.
Persilangan mekanisme kontrol Mekanisme kontrol yang diidentifikasi WEMC tidaklah berdiri sendiri-sendiri tetapi bekerja secara bersama-sama. Perempuan mengalami dampak gabungan dari berbagai mekanisme itu, daripada dampak secara berseri dari satu mekanisme ke mekanisme lainnya. Tidak adanya akses untuk sumber-sumber – utamanya sumber-sumber ekonomi – melemahkan kekuasaan pengambilan keputusan perempuan, mempengaruhi eksklusi mereka dari forum-forum pengambilan keputusan. Tidak adanya sumber-sumber ekonomi meningkatkan kerentanan terhadap kekerasankekerasan berdasarkan jender, dan secara negatif berdampak pada pengambilan keputusan perempuan terhadap tubuh mereka sendiri, misalnya, dalam hal pilihanpilihan kontrasepsi, sebagaimana diperlihatkan oleh Panda dan Agarwal (2005) dan Agarwal dan Panda (2007). 78 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Akses perempuan untuk sumber-sumber, misalnya fasilitas-fasilitas kesehatan atau kesempatan-kesempatan pendidikan dan pekerjaan, dihalangi oleh legitimisa yang diberikan pada penguasa yang melarang atau mengontrol kehadiran perempuan di ruang-ruang publik. Di bawah penerimaan masyarakat terhadap kekerasan berdasarkan jender, kemiskinan ekonomi dan kesehatan, terdapat proses legitimasi yang mempromosikan pelemahan perempuan sebagai ‘alami’ atau ‘ditetapkan Tuhan’ menyebabkan pandangan yang demikian diinternalisasi sebagai hal yang tak tergoyahkan dikalangan laki-laki dan perempuan. Mereview kekerasan sebagai mekanisme kontrol, WEMC telah memproduksi dan menyebarluaskan makalah strategi: Rejecting ‘cultural’ justification for violence against women: strategies for women’s rights advocates’, yang mengidentifikasi sepuluh strategi untuk menampik alasan-alasan ‘budaya’ untuk kekerasan terhadap perempuan36. Interkoneksi antara mekanisme-mekanisme kontrol semacam itu terbukti dalam temuan-temuan penelitian WEMC. 36
Hal ini dapat diunduh dari http://www.wemc.com.hk/web/culture_and_VAW.htm
Di Indonesia, komunitas matrilineal secara tradisional memberikan perempuan hakhak yang kuat atas tanah dan kontrol terhadap sumber-sumber alam, tetapi ini sekarang terancam oleh campurtangan Politisasi islam yang memperkuat dominasi laki-laki. Pertarungan atas tanahmenjadi bagian dari ketegangan-ketegangan politik antara aktoraktor sekuler dan keagamaan, termasuk aktor-aktor negara, dekat negara, dan nonnegara. Agresifnya pengedepanan suatu identitas tunggal yang melemahkan, dengan mengorbankan identitas-identitas kompleks yang berlapis-lapis, mengurangi hak-hak dan aset-aset ekonomi perempuan Indonesia yang selama ini ada. Bahkan pekerja migran perempuan, yang bekerja di luar negeri, didisemkuasa oleh klaim-klaim Islamis yang ditujukan pada mereka sebagai perempuan-perempuan rentan yang membutuhkan penjagaan laki-laki dan oleh legitimasi Islamis praktik-praktik patriarkal, seperti poligini, yang berdampak sangat jauh bagi penghidupan perempuan. Tim-tim peneliti untuk Indonesia dan pekerja migran Indonesa memfokuskan pada bagaimana perempuan bertindak menampik tekanan-tekanan Islamis ini, dan bagaimana mereka meningkatkan akses untuk dan kontrol terhadap sumber-sumber penting. WEMC dengan demikian, mempelajari diskursus perempuan, strategi-strategi dan mode-mode pengorganisasian untuk mencapai hal ini. Kesempatan-kesempatan sekaligus tekanan-tekanan migrasi sebagai suatu strategi ekonomi juga ditelaah untuk migran-migran internal dan internasional.
Pertanyaan Penelitian D: Bagaimana perempuan menaikkan skala strategi mereka untuk pemberdayaan –dari individual, kolektif, terorganisir, sampai ke tingkat terinstitusionalisasikan? Dalam kondisi-kondisi apakah perempuan menurunkan skala inisiatif-inisiatif mereka? Pertanyaan Penelitian E: Apakah sumber-sumber dukungan yang dapat dimobilisasi perempuan untuk pemberdyaan mereka? Pertanyaan D berupaya untuk mencari tahu bagaimana strategi-strategi perempuan untuk pemberdayaan mereka dan bagaimana mereka menaikkan skala strategi mereka dari pemberdayaan individual ke pemberdayaan kolektif, terorganisir, dan
79 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
3.2.3. Strategi-strategi perempuan untuk pemberdayaan dan dukungan mobilisasi mereka.
terinstitusionalisasi dalam cara yang melibatkan dan menguntungkan perempuan sebagai suatu kolektif. Sebaliknya, situasi-situasi apakah yang mengharuskan perempuan untuk menurunkan skala inisiatif dan terinstitusionalisasi, menjadi terorganisir, dari terorganisir ke ad hoc, dan dari kolektif ke individual? Jawaban yang ditarik dari analisis data yang dikumpulkan untuk pertanyaan-pertanyaan prosiding (A, B, dan C), seperti halnya dari data yang secara eksplisit mengenai strategi-strategi pemberdayaan. Setelah mengidentifikasi lokasi-lokasi pengorganisasian perempuan (lokasi-lokasi publik dan privat, formal dan informal, sekuler dan keagamaan), temuan-temuan penelitian membantu menjelaskan dinamika dan dampak pegorganisasian perempuan sebagai asosiasi-asosiasi yang ekslklusif perempuan, dalam kelompok-kelompok umum tolong-menolong dan advokasi, sebagai bagian dari aliansi dan koalisi. Kami berupaya untuk memahami apa yang mendorong perempuan untuk memilih satu pilihan atau pilihan lainnya, dampak dari pilihan-pilihan mereka mengenai isu-isu yang dibahas, kemampuan perempuan untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka sendiri dan opiniopini mereka, seperti halnya kemungkinan-kemungkinan untuk peran-peran perempuan sebagai pimpinan dan mengadvokasi insiatif-inisiatif baru. Intervensi yang manakah atau kondisi-kondisi manakah yang penting terhadap keberhasilan mengorganisir perempuan? Bagaimana perempuan memperoleh jalan masuk ke institusi (yang manakah) dan mempengaruhi diskursus (yang manakah)? 80 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Gerakan perempuan merupakan fokus utama penelitian WEMC pada seluruh komponen penelitian, dengan penekanan pada gerakan-gerakan perempuan yang berakar secara kultural sebagai kendaraan indigenous yang penting bagi: • Mengadvokasi hak-hak perempuan dan undang-undang yang mendukung • Mempromosikan kewarganegaraan setara perempuan • Menahan serangan tiba-tiba Politisasi islam Kerja di dalam gerakan-gerakan ini, dalam arti hubungan-hubungan kekuasaan internal yang kompleks, perbedaan-perbedaan kelas, dan potensi hegemoni posisi-posisi kepemimpinan, sangatlah penting untuk menelaah kapasitas mereka guna menghadapi tantangan-tantangan dorongan-dorongan yang melemahkan secara efektif. Kepemimpinan perempuan—aktualisasi kekuasaan dan otoritas mereka untuk kepentingan-kepentingan individual dan kolektif—yang sangat penting untuk pembangunan gerakan, dijelaskan melalui studi-studi kasus perempuan yang
menjalankan agensi dalam posisi kepemimpinan: keagamaan, sekuler, formal dan informal. Menguak apakah makna dan implikasi dari ‘kepemimpinan perempuan dalam konteks Muslim’, dokumen-dokumen penelitian dan analisis bentuk-bentuk kepemimpinan yang diterima saat terakhir serta kontestasi perempuan untuk pengembangan peran-peran kepemimpinan, dalam wilayah kehidupan yang berbedabeda, dan di antara berbagai konstituen yang berbeda-beda. Terkait dengan hal ini adalah sumber-sumber otoritas yang ada, demikian pula otoritas yang inovatif, seringkali ditentang yang diciptakan oleh perempuan untuk kepemimpinan mereka sendiri. Dalam hal legitimasi dan peran-peran contoh, keterkaitan dan legitimasi historis dapat diambil kembali oleh perempuan dalam konteks kontemporer. Di China, Pakistan, dan Indonesia, sejarah perempuan memberikan ilustrasi tantangan-tantangan yang kreatif terhadap konstruksi sosial keperempuanan dan masyarakat yang dipaksakan oleh patriarki yang oportunistik. Penelitian ini juga akan mencari tahu benih-benih alternatif sistemik dalam pemberdayaan perempuan dengan memperjelas pandangan-pandangan mengenai masa depan kolektif perempuan.
Di seluruh komponen penelitian, satu unsur kunci yang secara konsisten diidentifikasi oleh perempuan sebagai yang krusial untuk kapasitas mereka guna mengorganisir adalah akses mereka untuk ruang-ruang otonom. Tanpa ruang-ruang mereka sendiri untuk mendiskusikan, merencanakan, dan mengorganisir, mereka terbatas untuk mengidentifikasi dan menemukan solusi-solusi individual persoalan-persoalan keseharian mereka. Sebagai contoh, di kalangan pekerja migran perempuan, ruangruang dalam masyarakat sipil yang memungkinkan mereka di Hongkong untuk mengorganisir secara otonom telah sangat memperkuat peran kolektif mereka dalam proses-proses politik mengirim dan menerima negara-negara. Sebaliknya, tidak adanya ruang masyarakat sipil di Macau dan Taiwan mengakibatkan lemahnya atau tidak adanya pengorganisasian yang otonom sehingga kehadiran kolektif tidak signifikan di ruang publik. Di China, di mana bentuk-bentuk jelas pengorganisasian dipandang
81 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Penggunaan sumber-sumber perempuan sebagai blok-blok bangunan kekuasaan (Pertanyaan C) adalah sama pentingnya. Ketika perempuan memenej untuk menjalankan kontrol terhadap sumber-sumber, tetap muncul pertanyaan mengenai penggunaan terhadap yang mana hal ini dilakukan. Apakah hal-hal ini menguntungkan hanya bagi individu-individu perempuan yang memperoleh akses untuk dan kontrol terhadap sumber-sumber ini atau apakah sumber-sumber tersebut dikumpulkan sebagai kapital sosial kolektif untuk sesuatu yang lebih besar milik perempuan sebagai suatu kolektivitas?
sebagai hal yang problematis, perempuan mencari ‘tempat-tempat aman’ yang memungkinkan mereka untuk berkumpul di seputar kegiatan-kegiatan yang dapat diterima, termasuk penelitian, keterampilan, kesehatan, dan bisnis-bisnis kecil. Studi kasus perempuan mengorganisir mencakup hal-hal berikut ini: • Strategi-strategi untuk melindungi atau mengambil ruang-ruang publik. • Inisiatif-inisiatif dalam wilayah legal untuk menghadapi kekerasan terhadap perempuan. • Pengorganisasian seputar kesenjangan, kesehatan, dan hak-hak perempuan. • Meluaskan akses untuk dan kontrol atas sumber-sumber ekonomi. • Mempercepat pemberdayaan melalui diskusi-diskusi dan aksi-aksi kolektif. Suatu arus investigasi yang paralel membandingkan berbagai bentuk pengorganisasian, mempertanyakan apakah terdapat perbedaan-perbedaan antara perempuan mengorganisir sebagai bagian dari asosiasi yang lebih umum versus asosiasi eksklusif perempuan, antara mengorganisir sebagai bagian dari gerakan-gerakan sosial dengan mengorganisir sebagai komunitas berdsarkan organisasi-organisasi khusus yang lebih kecil.
82 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Pertanyaan D berkaitan secara langsung dengan pertanyaan E yang memfokuskan pada sumber-sumber dukungan yang dimenej perempuan untuk memobilisasi guna pemberdayaan mereka. Jawaban-jawaban akan membantu untuk menunjukkan karakter dan bentuk dukungan yang paling berguna bagi pemberdayaan perempuan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Jelas penting untuk membedakan antara sumbersumber khusus dukungan yang perlu dimobilisir dari mengatasi sumber-sumber penghambat tertentu. Lebih lanjut, identifikasi aktor-aktor, sumber-sumber, dan isntitusi-institusi pendukung perempuan membutuhkan kerangka pengujian kebijakan pada tingkat nasional dan propinsi guna memahami diskursus dan isi kebijakankebijakan yang relevan dengan perempuan dan untuk melacak implementasi kebijakan, utamanya pada tingkat meso. Diterapkan di seluruh komponen penelitian yang berbedabeda, kerangka itu akan memungkinkan analisis komparatif kebijakan-kebijakan, inisiatif-inisiatif legal dan regulasi-regulasi administratif sebagai sumber penghambat pemberdayaan perempuan.
3.2.4. Capaian-capaian inisiatif-insisiatif perempuan untuk pemberdayaan
Pertanyaan F: Apakah capaian-capaian inisiatif-inisiatif perempuan untuk pemberdayaan? Pada tingkatan manakah dan dalam wilayah kehidupan apakah perubahan-perubahan ini terjadi? Pertanyaan F terkait dengan sub-pertanyaan-sub-pertanyaan yang secara bersama-sama membentuk seluruh gambar dengan memfokuskan pada capaian-capaian inisiatifinisiatif perempuan. Ini dapat diilustrasikan sebagaimana berikut:
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
83
Diagram 4: Proses pemberdayaan Jika kita membaca gambar di atas dari kiri ke kanan, kita dapat melacak narasi sebagai berikut: 1. Perempuan memiliki pandangan-pandangan dan analisa-analisa mereka sendiri mengenai kekuasaan, pelemahan, pemberdayaan. Tidak hanya perempuan mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis dorongan-dorongan yang melemahkan yang membentuk terutama dalam realitas kehidupan mereka, mereka juga mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan pemberdayaan di masa depan. 2. Dorongan-dorongan pelemahan secara beragam berlokasi di tingkat makro, meso dan mikro. Penelitian WEMC memfokuskan pada dorongan-dorongan pada tingkat meso yang keberadaan dan arti pentingnya cenderung diabaikan, dengan batasan bahwa tingkat meso dimulai dari keluarga dan termasuk institusi-institusi sosial non-negara. 3. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam kontestasi kekuasaan seputar mekanisme kontrol – kekerasan, sumber-sumber, ruang-ruang publik, pengambilan keputusan, dan legitimasi
84 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
4. Untuk menahan, menghindar dari dan mengatasi mekanisme kontrol yang demikian, perempuan menggunakan strategi-strategi dan melakukan inisiatif yang skalanya dapat dinaikkan dari tingkat individual ke kolektif, terorganisir, dan terinstitusionalisasikan, sangat terkait dengan tingkat mikro, meso, dan makro. Sebaliknya, skala inisiatif-inisiatif dapat diturunkan. 5. Pandangan dan analisis ini, kontestasi kekuasaan, strategi-strategi dan inisiatifinisiatif, seperti halnya dukungan yang dimobilisir, memuncak pada seperangkat capaian-capian tertentu, jika pemberdayaan dipandang telah dicapai. Sebagaimana didefinisikan di atas, ‘pemberdayaan adalah meningkatnya kapasitas untuk membuat keputusan yang otonom yang mentransformasikan hubunganhubungan kekuasaan yang tidak diinginkan’. Tiga capaian khusus diidentifikasi sebagai manifestasi-manifestasi mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak diinginkan: a) Tuntutan perempuan yang lebih besar mengenai hak-hak atas pikiran dan tubuh perempuan: kami mellihat ini terutama sebagai capaian tingkat mikro. Adalah penting untuk fokus pada pikiran dan tubuh perempuan, sebab
perempuan harus merefleksikan, menganalisis dan memutuskan sebelum mereka dapat bertindak untuk pemberdayaan mereka sendiri. Inisiatif-inisiatif perempuan untuk menjalankan kebebasan berpikir dan ekspresi diteliti bersama dengan inisiatif untuk memastikan integritas tubuh dan kontrol personal atas seksualitas, mobilitas, pakaian, perilaku sehari-hari, kerja mereka sendiri, hakhak reproduktif, dan sebagainya. Selanjutnya, hak-hak perempuan atas pikiran dan tubuh mereka merupakan hal-hal penting bagi hak-hak kewargaan mereka: tanpa yang pertama, sulit untuk menjalankan yang berikutnya.
c) Hubungan-hubungan kekuasaan yang terstruktur yang mentransformasikan dorongan-dorongan yang melemahkan untuk keuntungan kolektif perempuan: kami melihat ini utamanya sebagai capaian tingkat meso. WEMC berargumentasi bahwa pemberdayaan perempuan harus menghasilkan rekonfigurasi hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ke yang lebih setara-jender dan mendemokrasikan masyarakat sebagaimana diharapkan.
85 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
b) Tuntutan perempuan yang lebih besar mengenai hak-hak mereka sebagai warganegara sepenuhnya dan setara: kami melihat hal ini utamanya sebagai capaian tingkat makro. Analisis yang menjangkau kondisi-kondisi, karakterkarakter dan dampak interaksi-interaksi perempuan tidak hanya dengan aktoraktor institus negara tetapi juga dengan aktor-aktor sub-negara, dekat-negara, dan non-state yang berada di antara perempuan dengan negara. WEMC menilai ketegangan-ketegangan antara perempuan sebagai ‘warganegara’ dan perempuan sebagai anggota kolektifitas sosial non-negara, termasuk keluarga, kelompo kekerabatan, kelompok etnis, ekonomi lokal, dan kelompok-kelompok keagamaan. Kami menanyakan apakah menjalankan hak-hak warganegara perempuan secara aktual mengarahkan mereka untuk menjadi penuntut hakhak yang terlibat dalam politik membuat negara akuntabel. Faktor-faktor lainnya apakah yang mencegah ini terjadi? Sudahkah diskurusus-diskurusus dan strategistrategi perempuan untuk pemberdayaan didasarkan pada kewarganegaraan yang setara, mampu untuk menangkis agenda-agenda nasionalisme-agama dan nasionalisme-etnis, dan dengan tingkat keberhasilan yang bagaimana? Akhirnya, WEMC meneliti untuk melacak keterkaitan-keterkaitan dengan kekuatankekuatan Islamis global, dipolitisasikan dan kekuatan-kekuatan globalisasi dalam hal dampaknya pada insiatif-inisiatif pemberdayaan perempuan seperti halnya juga konstruksi negara, hak-hak kewaranegaraan, dan jender.
Pemandangan dari pelatihan workshop untuk penelitipeneliti WEMC di China (gambar 1), Hongkong (gambar 2), Pakistan (gambar 3) dan Indonesia (gambar 4).
Belajar untuk mempelajari
86 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Membangun gerakan perempuan di Iran
Iran
Menyusun strategi untuk perubahan: penahanan pada Women’s Day
87 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Ada seruan untuk berjalan dalam parade di depan Majlis (Parlemen) untuk menandai perayaan 8 Maret International Women’s Day, dan untuk menyerukan keadilan jender. Bukannya kebetulan, beberapa hari sebelum 8 Maret, kasus-kasus pengadilan dibuka kembali untuk banyak perempuan-perempuan pemimpin yang ditahan pada 12 Juni 2006 pada suatu parade. Dalam suatu penunjukan solidaritas, banyak pemimpinpemimpin gerakan, termasuk pimpinan-pimpinan utama yang tidak mendukung parade jalanan pada waktu itu, seperti Mahbobeh Abbasgholizadeh dan Shadi Sadr, mengorganisir suatu demonstrasi di depan pengadilan pada hari persidangan untuk mencatatkan keberatan mereka terhadap penahanan-penahanan dan tuntutan-tuntutan terhadap aktivis-aktivis perempuan. Mereka bersikeras bahwa protes damai dan hak untuk mengorganisir dan berdemonstrasi dijamin bagi seluruh warganegara di bawah konstitusi. Walaupun tidak terdapat lebih dari 60 atau 70 pengunjuk rasa, aparataparat keamanan menahan tiga puluh lima perempuan. Penahanan kolektif gerakan perempuan menjadi suatu berita utama internasional. Dalam upaya mensabotase demnstrasi itu, perempuan-perempuan itu ditahan beberapa hari, dan beberapa disekap beberapa minggu sebelum mereka dituntut dan dilepaskan berdasarkan jaminan. Ironisnya, aksi pemerintah Iran menimbulkan lebih besarnya perhatian nasional daripada yang diperoleh demonstrasi jika penahanan tidak dilakukan dan ini juga membuat berita utama internasional. Sementara TV dan radio di Iran dikontrol oleh Negara, perhatian internasional sangat besar dan meliputi program-program di Aljazair, BBC dan CNN. Banyak perempuan pergi ke gerakan melawan di depan Majlis untuk demonstrasi sebagaimana direncanakan, sementara lainnya mengorganisasikan pertemuan-pertemuan dalam ruangan-ruangan besar dan kecil dan ratusan pertemuan perempuan diorganisir di rumah-rumah pribadi dengan plakat-plakat dan poster-poster,
yang kemudian diposkan di berbagai website dan blog. Perayaan itu terutama menuntut pengorbanan dan emosional, menyebabkan beberapa pemimpin tetap di penjara. Banyak perempuan memperbaharui sumpah mereka untuk berjuang bagi kesetaraan hukum perempuan, tak perduli apapun resikonya. Menurut sebuah pengamat internasional, International Women’s Day di tahun 2007 telah menjadi Iranian Women’s Day sedunia.
Dikutip dari: Homa Hoodfar, Fatemeh Sadeghi, 2008. ‘Against all Odds: The Building of a Women’s Movement in the Islamic Republic of Iran (1979-2007). Makalah hasil penelitian WEMC, tidak dipublikasikan.
88 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Mendiskusikan pemberdayaan di Pakistan
Pakistan Menegosiasikan konstruksi-konstruksi budaya kekuasaan di Balochistan Dalam focus group discussion di kota perbatasan yang terpencil Usta Mohammed, Balochistan, yang terkenal karena meningkatnya kasus-kasus pembunuhan perempuanperempuan muda atas nama kehormatan laki-laki, perempuan berbicara kepada tim peneliti mengenai pemahaman mereka tentang kekuasaan tan tanpa kekuasaan.
Dikutip dari: Khadija Zaheer, 2008. ‘Shifting Margins: Women, Gender, and the Role of Kuasa in Development’. Makalah hasil penelitian WEMC, tidak dipublikasikan.
89 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Perempuan menikah yang berpartisipasi dalam focus group discussion mengartikulasikan apa yang tampaknya perspektif paradoksal berlakunya dan dampak kekuasaan dalam suatu perkawinan. Pada satu sisi, perempuan mengacu pada suami sebagai sumber dari ikhtiar (kekuasaan/otoritas/kontrol) mereka sementara di sisi lain laki-laki diidentifikasikan sebagai sumber dari be-ikhtiar (ketidakberdayaan). Sebagai contoh, mereka mengatakan: ‘kekuasaan/otoritas/kontrol datang dari laki-laki’ dan ‘laki-laki lah yang tertua, jadi ia memiliki kekuasaan/otoritas/kontrol, dan karena perempuan adalah isterinya, ia memperoleh kekuasaan/otoritas/kontrolnya dari suaminya’. Contoh-contoh ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan menampilkan dirinya sendiri melalui penegasan kontrol dan otoritas, didukung oleh sumber-sumber legitimasi seperti konvensi-konvensi sosial, tradisi, atau dorongan-dorongan agama. Anak laki-laki tertua dilihat sebagai pemegang alami kekuasaan/otoritas/ karena masyarakat dan adatistiadat (keduanya dipandang tidak hanya tak dapat didebat tetapi juga sebagai yang alamiah) memberikannya posisi itu. Sebab kekuasaan dihadirkan sebagai suatu atribut maskulin, seorang perempuan dapat memperolehnya hanya secara tidak langsung melalui hubungannya dengan laki-laki dalam kehidupannya.
Shirkat Gah— tim WEMC dengan responden di Vehari, Pakistan.
90 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
KESIMPULAN Jalan ke depan
91
K
erangka penelitian WEMC merupakan peta yang terus berubah, memandu perjalanan kolektif kami untuk memetakan pemberdayaan perempuan. Dalam wilayah yang hanya sebagian dieksplorasi, ini sepantasnyalah suatu peta yang sedang dalam pembuatan, terus-menerus memerlukan penyesuaianpenyesuaian untuk memasukkan pembelajaran baru dan pandangan-pandangan mengenai solusi-solusi lama dan baru terhadap persoalan-persoalan yang belum terlacak. Walau kami telah mengembangkan kerangka secara memadai untuk digunakan bersama dalam dokumen publik ini, publikasi ini baru satu batu pijakan dalam suatu perjalanan yang lebih panjang dari penelitian dan pembelajaran yang terus-menerus. Untuk di masa mendatang, kami berniat untuk memproduksi edisi lain kerangka ini sebagai batu pijakan lainnya dalam pembelajaran kami, dikembangkan dan diorientasikan dengan temuan-temuan, pelajaran-pelajaran, dan refleksi-refleksi baru.
92 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Proses penelitian WEMC didisain untuk mengalami perubahan, dalam cara yang sama sebagaimana kemajuan-kemajuan pemberdayaan perempuan, dari gagasan dan aspirasi untuk siklus aksi-refleksi-aksi. Proses itu memungkinkan kami guna mengembangkan pembelajaran kami dalam kemitraan dengan berbagai jangkauan perempuan yang bekerjasama dengan kami, termasuk akademik, aktivis, perempuan-perempuan di akar rumput, perempuan-perempuan individu komunitas, perempuan-perempuan yang berkelompok secara lepas, pemimpin-pemimpin dan anggota-anggota gerakan sosial, seperti juga mereka yang bekerja dalam arena dengan agenda internasional. Harapan kami adalah apapun yang kami pelajari bersama dari dokumentasi reflektif dan analisis bersama pengalaman-pengalaman perempuan dalam menentang dorongan-dorongan yang mendisempower dalam kehidupan mereka, dalam jangka panjang akan menginspirasi dan mendukung keberlanjutan pemberdayaan perempuan sebagai suatu kolektif. Pembelajaran yang kolaboratif dan difasilitasi dengan perempuan-perempuan dalam komunitas mereka dan dengan kelompok-kelompok serta jaringan-jaringan dalam masyarakat sipil merupakan bagian dari penyetaraan. Yang lainnya terlibat dengan pembuat keputusan kunci dalam forum-forum tingkat meso yang sesuai dengan konteksnya dan di wilayah-wilayah pada tingkat makro. Hanya dengan demikian kami dapat mempercepat suatu perubahan paradigmatig dalam memahami bagaimana pemberdayaan perempuan dapat dicapai dalam konteks Muslim dan di luarnya.
Mengingat keterbatasan durasi proyek ini, Konsorsium WEMC memprioritaskan sebagai tujuannya, kebutuhan untuk mempercepat suatu massa kritis yang meningkat dan berkelanjutan dalam masyarakat sipil yang ditopang oleh pengetahuan transformatif dan jaringan-jaringan pendukung, akan terus bekerja untuk perubahan-perubahan struktural jangka panjang. Struktur-struktur kekuasaan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan mereka sehari-hari telah ada jauh sebelum kebijakan-kebijakan, programprogram, dan proyek-proyek yang seharusnya memberdayakan mereka. Strukturstruktur kekuasaan ini tampaknya akan tetap bertahan jauh setelah perubahan pemerintah, dan program-program serta proyek berakhir. Oleh karena itu, adalah prioritas WEMC bahwa dalam waktu singkat yang kami miliki, pembelajaran yang dipelajari mengenai pemberdayaan perempuan sangat kuat berakar dalam komunitas lokal dan diorganisir di kalangan perempuan-perempuan itu sendiri sehingga pada akhirnya sebagai warga negara yang terberdaya, mereka dapat mengklaim hak-hak penuh dan yang dijamin dalam struktur-struktur negara yang responsif.
Pada akhirnya, transformasi tergantung pada perempuan sendiri mempertayakan, menentang, dan membentuk kembali hubungan-hubungan kekuasaan terjenderkan yang tidak diinginkan dalam konteks yang beragam. Suatu transformasi semacam itu tidaklah sederhana, tidak unilinear, dan bukan suatu proses teknis yang dapat berdampak dalam jangka pendek atau melalui suatu perintah yang top-down. Namun proses transfomasi struktural yang sulit, kompleks, multi dimensi, berjangka panjang dan secara lokal grounded harus terjadi jika perempuan akan menjadi subyek yang pemberdayaan dalam kehidupan mereka sendiri. Tujuan kami adalah untuk menciptakan suatu kontribusi yang bertahan terhadap perlunya transformasitransformasi ini, tentu saja ini diperlukan semua kita melalui kerja pemetaan, dokumentasi, anallisis dan pembelajaran mutual yang terus-menerus.
93 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Dalam usia proyek ini, kami hanya dapat mendukung, memfasilitasi, atau menginspirasikan mereka yang berupaya untuk menciptakan perubahan bagi pemberdayaan kolektif perempuan dalam konteks lokal, nasional atau lintas batas. Harapan kami adalah, seperti ragi yang membuat roti atau anggur, kontribusi kecil namun penting kami dan menginformasikan keputusan-keputusan dan aksi-aksi yang berdampak pada kondisi-kondisi struktural yang membentuk realitas-realitas kehidupan perempuan. Pengetahuan dan pemahaman baru yang dikembangkan melalui penelitian grounded dengan perempuan dimaksudkan untuk menginformasikan cara pembuat kebijakan dan praktisi-praktisi pembangunan mendekati isu-isu berjangkauan luas yang kompleks yang mengikuti pemberdayaan perempuan.
REFERENSI 94
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Bush, Robin L. 2007, “Regional ‘Shari’ah’regulation in Indonesia: anomaly or symptom?” Unpublished working paper presented at the Indonesia Update Forum. Canberra: Australian National University. September. Coomaraswamy, Radhika quoted by S. Cameron- Moore. ‘Violence against women rising in South Asia: UN’. Dawn, 5 May 2005. Islamabad: Reuters. http://www.dawn.com/ 2005/05/05/int11.htm Department for International Development (DFID). 2005. Factors that enhance women’s empowerment. Background Document. Department for International Development (DFID). 2005. The UK’s contribution to achieving the Millennium Development Goals. London: HM Government. Freire, Paulo. 1970. Pedagogy of the oppressed. New York: Continuum Publishing Corporation. Giddens, Anthony. 1984. The constitution of society: outline of the theory of structuration. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Habermas, Jürgen. 1991. The structural transformation of the public sphere: an inquiry into a category of bourgeois society. Trans. Thomas Burger with Frederick Lawrence. Cambridge, MA: MIT Press. First published in German in 1962. Hinton, William. 1966. Fanshen. New York: Monthly Review Press. Kasulis, W. P. 1991. ‘Religion and politics: cultural background of the Soka Gakkai’, in Charles Wei-hsun Fu and Gerald Spiegler, eds., Movements and issues in world religions. New York: Greenwood Press. Ko, Dorothy and Wang Zheng (eds). 2007. Translating Feminisms in China. Oxford: Blackwell. Mason, Karen Oppenheim & Herbert L. Smith. 2003. Women’s empowerment and social context: results from five Asian Countries.Washington DC: The World Bank. Min, Dongchao. 1999. ‘Translations of ‘feminism’ and ‘gender’ into Chinese’. Unpublished working paper. Mosse, David (2005) Cultivating development: an ethnography of aid policy and practice. London; Ann Arbor, MI.: Pluto Press. Pakistan Planning Commission, Government of Pakistan. Circa 2003. Between hope and despair: Pakistan participa-
95 Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Agarwal, Bina and Pradeep Panda. 2007. ‘Toward freedom from domestic violence: the neglected obvious’. Journal of Human Development, 8(3), November.
tory assessment national report. Panda, Pradeep and Bina Agarwal. 2005. ‘Marital violence, human development and women’s property status in India’, World Development 33(5): 823-250. Planning and Development, Government of Punjab. 2003. Between hope and despair: Pakistan participatory assessment - Punjab report. Planning and Development, Government of Sindh. 2003. Between hope and despair: Pakistan participatory assessment - Sindh report. Scott, James. 1999. Seeing like a state: how certain schemes to improve the human condition have failed. New Haven: Yale University Press.
96
Sen, Amartya. 1999. Development as freedom. New York: Knopf.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
Sen, Amartya. 5 February 2004. ‘Why we should preserve the spotted owl’, London Review of Books 26(3): 1. Shaheed, Farida. 2002. Imagined citizenship: women, state and politics in Pakistan. Lahore: Shirkat Gah. Shirkat Gah. 2006. Mapping of resources available to women with respect to family law and gender-based violence in 17 districts. Unpublished report. Lahore: Shirkat Gah.
Tambiah, Yasmin (ed.). 2002. Women & governance in South Asia: reimagining the state. Colombo: International Centre for Ethnic Studies. United Nations Millenium Development Goals. Goal 3: Promote gender equality and empower women. http://www.un.org/ millenniumgoals/gender.shtml van Ufford, Philip Quarles and Ananta Kumar Giri. 2003. A moral critique of development: in search of global responsibilities. London: Routledge for EIDOS. Wee, Vivienne. 2002. ‘Ethno-nationalism in process: ethnicity, atavism and indigenism in Riau’, The Pacific Review 15(4), pages 497-516. Wee, Vivienne & and Kanashiska Jayasuriya. 2002. ‘New geographies and temporalities of power: exploring the new fault lines of Southeast Asia’, The Pacific Review 15(4), pages 475-496. Yang, Mayfair. 1989. ‘The gift economy and state power in China’. Comparatives Studies in Society and History 31(1): 25-54. Young, Iris Marion. 1990. Justice and the politics of difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Perempuan Memberdayakan Diri Mereka Sendiri
97