PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL Alim Bathoro1
Abstract
Since the reformation era in 1999, idealism of clean governance and authority likely has wide change reflecting in wish to figth againts corruption, collusion, and nepotism (KKN), Unfortunately, after it run well . In order hand, people are waiting for it, because th people need the fair, swift, and clean government service. This research focuses on this phenomenon taking place at the section of Building Estasblisment permit (IMB), Public Work Agency, and Section of Company Registration permit Lisence (SIUP) and Section of Company Registration Certificate (TDP) of trade and Industriy Agency of Bekasi Regency. How far is service quality of government apparatus to the community that reguests such permits. The design of research is descriptive by using qualitative approach methods of which the data and information are collected from various sources such as informant (key and turn) supportes by library data, and documents in accordance with the setting and field of research. The instrument for collecting information is the research by using procedures of data collecting consisting of observation, interview, document, photo, audio visual and library research, then it processed, tested on the validity by using triangulation technique and interpretation. Keyword : Clean Governance, Corruption, Collusion, Nepotism and Authority
A. Latar Belakang Di Indonesia dalam masa Orde Baru (Orba), secara umum proses pelayanan civil mengalami distorsi yang cukup kuat, sehingga dengan demikian boleh jadi masyarakat merasa tidak terlayani secara optimal. Buruknya layanan civil ini boleh jadi karena 1
kuatnya paradigma politik trilogi pembangunan, yang salah satunya ingin mewujudkan stabilitas nasional yang tinggi. Stabilitas itu dijabarkan oleh Orba yang dimaknai oleh kontrol politik yang kuat, agar pembangunan tidak terganggu. Salah satu contoh adalah konsep massa mengambang, dan 5 paket UU politik tahun
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.
12 85, yang telah ‘memperkosa’ hak asasi warga negara. Selain itu, pemberlakuan izin yang bermacam-macam jenisnya di tingkat pemerintah daerah (pemda) seperti izin prinsip, dan izin membangun, disatu sisi pemberian izin ini adalah kebijakan pemda untuk mengatur agar dunia usaha atau membangun bangunan berjalan selaras dengan kebijakan pemda yang lain. Tapi disisi lain, pemberlakuan izin ini menimbulkan adanya ongkos, yang kadang dalam pelaksanaanya terjadi mark up. sehingga akhirnya layanan civil yang tadinya beritikad mengatur justru menimbulkan distorsi yaitu, korupsi dan kolusi. Dalam perkembangan sekarang ini, distorsi seperti itu tidaklah populer, karena kontrol masyarakat cukup kuat, Oleh karena itu wajar bila tuntutan peningkatan pelayanan kepada masyarakat merupakan keniscayaan di depan mata para birokrat, sehingga pelayanan yang memuaskan adalah dambaan masyarakat. Pelayanan yang memuaskan adalah pelayanan yang. Didukung oleh perilaku aparat yang baik. Dengan perilaku aparat yang baik itu berdampak pada kualitas pelayanan yang baik, bertanggungjawab, adil, cepat dan tepat. Namun, keinginan masyarakat itu tampaknya bertepuk sebelah tangan, karena dalam dalam penelitian oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) (Kompas, 13 Maret 2000) Indonesia terburuk dalam birokrasi di Asia dan tidak mengalami perbaikan dibandingkan tahun 1999, padahal sebelumnya th 1998 dan 1995 Indonesia telah pula dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia oleh PERC dan Transparency International (TI). Riset PERC tersebut memperkuat pendapat Robert Klitgaard tentang korupsi di kalangan pegawai negeri, menurut Klitgaard Korupsi justru marak di pemerintah daerah. Lebih jauh (Klitgaard, 2002:1), mengatakan : Di berbagai negara di dunia , korupsi paling banyak dijumpai di tingkat lokal,
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
dalam pemerintah daerah. Sebagai contoh, menurut sebuah penelitian di Jepang, jumlah pegawai pemerintah provinsi tiga kali lipat jumlah pegawai pemerintah pusat, tetapi korupsi yang dilaporkan lima belas kali lipat dan, jumlah pejabat yang ditangkap empat kali lipat. Dengan demikian perilaku korupsi adalah sebuah keniscayaan di Indonesia, sehingga bisa jadi perilaku tersebut juga secara endemik terjadi pula di Kabupaten Bekasi. Yang menarik seperti yang sudah diungkap di awal bab ini, Bekasi adalah salah satu kawasan industri yang diincar oleh para investor dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian, lumrah bila jumlah perusahaan yang berada di Kabupaten Bekasi besar. Dan, jumlah perusahaan yang terdaftar relatif banyak atau secara kumulatif hingga September 2001 berjumlah 6.454. Hanya saja menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia tahun 1994 (dalam Basyaib, 2002:22) ditemukan bahwa “Walaupun pemerintah sudah menghapus semua biaya untuk memperoleh izin penanaman modal, para investor masih tetap harus membayar Rp 5-30 juta setiap izin.” Hasil penelitian LPEM itu tentu menyedihkan karena akibat yang kentara menurut (Mohammad Ikhsan dalam Basyaib, 2002:31) mempengaruhi daya tarik investasi di Indonesia. B. Metode Penelitian B. 1. Sumber Data Sumber data penelitian kualitatif berupa kata-kata dan tindakan yang diperoleh peneliti dari informan (kunci dan guliran), yang didukung data tambahan seperti dokumen tentang IMB, TDP, SIUP berupa naskah, data tertulis maupun foto. Sumber data tersebut dikelompokkan sebagai berikut : B. 1. 1. Informan Informan, yaitu orang-orang yang dapat diamati serta memberikan data dan informasi baik berupa kata-kata atau tindakan, serta
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
mengetahui dan memahami berbagai masalah yang diteliti. Informan (kunci dan guliran) yang ditunjuk dalam penelitian ini, tapi mengingat asas praduga tak bersalah dalam tindak korupsi maka informan kunci dan guliran hanya disajikan dengan kode. Hal ini dilakukan agar tugas pokok penelitian ini untuk melihat fenomena korupsi sebagai wacana, bukan mendahuhului proses hukum. Meski demikian saya dapat menyajikan informan kunci dan guliran menurut umur, agama, dan pendidikan B. 1. 2. Kepustakaan Kepustakaan, adalah salah satu sumber mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian seperti buku teks, bahan bacaan, koran, literatur, ataupun karya tulis ilmiah seperti misalnya tesis, jurnal ilmiah, hasil seminar, laporan penelitian dan lain-lainnya. Kepustakaan yan dimaksudkan adalah buku yang berkaitan dengan teori dan metode penelitian guna menunjang penulisan tesis. B. 1. 3. Dokumen Dokumen, merupakan sumber data dalam bentuk arsip, data statistik, serta berbagai laporan-laporan, termasuk berbagai peraturanperaturan, perundang-undang atau aturan dan ketentuan serta naskah penting lainnya. Dokumen dapat bersifat resmi dan pribadi. B. 2. Letak dan Lokasi Penelitian Letak penelitian ini adalah keadaan dimana berlangsungnya observasi dan wawancara kepada kelompok masyarakat sebagai informan yang sempat diwawancarai setelah mendapatkan pelayanan yang diberikan oleh aparat di Kabupaten Bekasi. Sedangkan lokasi penelitian adalah di Kantor Dinas PU seksi IMB, Kantor Dinas Perindag seksi SIUP dan TDP Kabupaten Bekasi. Selain itu dilakukan juga di rumahrumah informan baik informan kunci dan guliran sehingga lebih terbuka.
13 B. 3. Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data B. 3. 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipatif dengan wawancara tanpa struktur yang dilakukan kepada beberapa kelompok informan tentang perilaku dan pelayanan civil oleh aparat pemerintah yang bersangkutan di Kantor Dinas PU dan Kantor Dinas Perindag. B. 3. 2. Pencatatan Data Pencatatan data dilakukan terhadap berbagai macam catatan, baik yang berupa kata-kata inti, pokok isi pembicaraan dan pengamatan langsung di lapangan, yang dilakukan dengan didasari pada adanya ketepatan dan struktur. Ketepatan berarti kemampuan peneliti untuk menghasilkan data setepat-tepatnya. Sedangkan struktur adalah pencatatan data dan informasi yang pada mulanya bersifat umum kemudian diarahkan pada hal yang bersifat khusus. Sebagai contoh konkritnya antara lain melakukan pencatatan data secara umum tentang pelayanan IMB, TDP, dan SIUP. B. 4. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari seluruh rangkaian kegiatan semenjak tahap awal turun ke lapangan seperti mengolah data hasil wawancara dengan para informan sempai tahap akhirnya, selanjutnya data yang diperoleh mulai diolah dengan melakukan penelaahan terhadap seluruh data dan iformasi yang didapat dan tersedia dari berbagai sumber (wawancara, pengamatan, telaah dokumen, audio visual, alat perekam, dan studi kepustakaan). Kemudian melakukan abstraksi, yaitu membuat rangkuman inti, proses, pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalamnya, dengan kata lain menghaluskan pencatatan data dan informasi. B. 5. Teknik Pengujian Keabsahan Data Teknik pengujian keabsahan data memerlukan suatu teknik pemeriksaan yang didasarkan sejumlah kriteria yang derajat kepercayaan
14 (credibility), keteralihan (tranferability), ketergantungan (dependendability), dan kepastian (confirmability). Selanjutnya didukung dengan memanfaatkan sesuatu di luar data untuk pengecekan atau pembanding terhadap data (triangulasi) (Moleong, 1999 : 178). Istilah triangulasi pertama kalinya dipergunakan Denzin dalam (Creswell, 1994 : 174), bahwa : “The term triangulation, a term borrowed from navigation and military strategy, to argue for the combination of methodologies in the studdy of the same phenomenon”. Hal tersebut dapat saja dilakukan dengan beberapa jalan yaitu : 1. Membandingkan data hasil pengamatan peneliti dengan data hasil wawancara dengan informan. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang telah dikatakan oleh orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu atau setiap harinya. 4. Membandingkan keadaan seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan dari orang lain seperti rakyat atau masyarakat biasa, orang berpendidikan menengah atau tinggi,orang berada, orang pemerintahan. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. C. Kerangka Teori C.1 Tugas Dan Fungsi Pemerintah Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga seluruh sistem ketertiban dan keamanan di dalam mana masyarakat tetap menjalani kehidupan sehari-harinya secara wajar. Dengan demikia, keberadaan pemerintahan adalah karena suatu komitmen bersama antara pemerintah dengan pihak yang diperintah (rakyatnya sendiri) dimana komitmen tersebut dapat dipegang apabila rakyat merasakan bahwa pemerintah memang melindungi, memberdayakan dan mense-
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
jahterakannya. Tugas utama pemerintah menurut (Kaufman dalam Thoha, 1995:101) adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Secara umum tugas pokok pemerintahan mencakup unsur pelayanan. C.1.1. Pelayanan Selain tugas dan fungsi yang wajib dan harus dijalankan oleh pemerintah seperti telah diuraikan di atas, maka yang perlu kita ketahui lagi adalah masalah pelayanan yang ternyata dibutuhkan orang semenjak berada dalam kandungan ibunya, hingga akhirnya ke liang kubur. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya mengetahui dan memahami pengertian pelayanan itu sendiri. Berkaitan dengan konsep pelayanan, (Ndraha, 2000:59) mengatakan bahwa : “Layanan dapat diartikan sebagai produk dan dapat juga diartikan sebagai cara atau alat yang digunakan oleh provider dalam memasarkan atau mendistribusikan produknya”. Selain itu, terdapat beberapa karakteristik dalam pemberian pelayan yang harus dimiliki oleh suatu perusahaan pemberi layanan, seperti yang diutarakan (Nisjar dalam Sedarmayanti, 2000:195) antara lain : 1. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan, sehingga terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit–belit (time consuming). 2. Pelayanan diberikan secara jelas dan pasti, sehingga ada suatu kejelasan dan kepastian bagi pelanggannya dan menerima pelayan tersebut. 3. Pemberian pelayanan senantiasa diusahakan agar pelayanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien. 4. Memberikan pelayanan senantiasa memperhatikan kecepatan dan ketetapan waktu yang sudah ditentukan. 5. Pelanggan setiap saat dapat dengan mudah memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan pelayanan secara
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
terbuka. 6. Dalam berbagai kegiatan pelayanan baik teknis maupun administrasi, pelanggan selalu diperlakukan dengan motto : “costumer is king and cutomer is always right”. C. 1.2. Perilaku Selain pelayanan aparat, maka perilaku aparat dalam melayani juga tak kalah pentingnya serta berpengaruh dalam upayanya meningkatkan tingkat pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Perilaku adalah fungsi dari interaksi person atau individu dengan lingkungannya. Pemahaman ini, misalnya seorang staf IMB, SIUP, TDP melayani warga masyarakat yang mengajukan izin, petugas parkir yang selalu melayani pemilik kendaraan bermotor, tukang pos yang mengantarkan surat ke alamat yang hendak dituju. Mereka akan berperilaku berbeda antara satu sama lainnya di lingkungan yang berbeda. Tingkah laku akan selalu muncul dan timbul dalam setiap bentuk kontak sosial yang dipelajari dalam psikologi sosial. Tingkah laku inilah yang akhirnya membentuk perilaku individu, (A.M. Chorus dalam Ahmadi, 1993:3) Perilaku (behavior) adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lngkungan (masyarakat, alam, teknologi, atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian, menurut Ndraha (1997:33). Selanjutnya, Winardi (1989:230) berpendapat juga tentang perilaku bahwa : “Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu”. C. 2. Korupsi Hubungan erat antara pemerintah dan masyarakat berlangsung dalam kerangka pelayanan civil, suatu fungsi yang dipegang pemerintah. Dengan tumbuhnya masyarakat
15 dalam berbagai bidang seperti ekonomi, industri, politik, dan hukum, maka makin luas pula layanan yang harus disediakan oleh pemerintah. C. 2.1. Korupsi di Pemerintah Daerah Menurut Klitgaard (2002 : 1), korupsi justru paling banyak terjadi di tubuh pemeritnah daerah. Hal itu dibenarkan oleh Liu tentang maraknay korupsi di RRC, tingkat korupsi di daerah yang mencemaskan petinggi Beijing, Liu (dalam Lubis, 1993:76). Di Indonesia, menurut Masduki (dalam Kiltgaard, 2002:xxiii) korupsi di daerah adalah dampak negatif otonomi daerah. Lebih jauh Masduki mengatakan: Program otonomi daerah sejatinya dapat menjadi salah satu terapi untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang sangat rentan bagi terjadinya penyimpangan kekuasaan, sebagaimana ditampilkan oleh pemerintah Orde Baru. Tetapi apa yang terjadi? Desentralisasi hampir mendominasi seluruh kewenangan pusat ke daerah kecuali kewenangan dalam bidang luar negeri, pertahanan, keuangan, peradilan, dan agama, maka pelbagai penyimpangan kekuasaan yang selama ini terjadi di pusat telah bergeser ke daerah. Selain itu, hampir semua proses pemilihan kepala daerah diwarnai politik yang melibatkan anggota DPRD dan kalangan bisnis yang mencukongi kandidat kepala daerah. Hal senada juga diungkapkan Legowo (dalam Klitgaard, 2002:xxiii).Dengan demikian jelaslah bahwa secara nyata korupsi di pemerintah daerah adalah dampak masalah kebijkan politik yaitu otonomi daerah, yang memberikan kekuasaan politik yang dominan kepada pemerintah daerah. C. 2. 2. Definisi Korupsi Menurut Alatas (1987:12) “ada tiga klasifikasi korupsi yaitu, penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Pen-
16 yuapan menurut Wertheim (dalam Alatas 1987: 11) adalah : Apabila pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh orang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar dapat perhatian istimewa pda kepentingan-kepentingan si pemberi Sedangkan pemerasan menurut Wertheim (dalam Alatas 1987:11) adalah “permintaan pemberian-pemberian atau hadiah oleh pegawai negeri seperti dalam pelaksanaan tugas-tugas publik”. Nepotisme menurut Alatas (1987:11) adalah “Pengangkatan sanak saudar, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan publik tanpa memandang jasa mereka maupun kosekuensi-konsekuensinya pada kesejahteraaan publik.” Secara definisi korupsi menurut Messi (dalam Basyaib 2002:89), “Definisi minimal dari korupsi adalah penyalahgunaa kekuasaan untuk kepentingan pribadi.”. Definisi itu masih sering dipakai untuk menjelaskan berbagai bentuk, jenis, dan tingkat korupsi. Paling tidak dalam UU No 31/1999 tentang tindak pidana korupsi dikatakan : Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara. Sementara itu, Syed Husin Alatas (1987:3) mendefinisikan “korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.” Dalam perkembangannya, definisi korupsi juga mengalami metamorfosis, dari pendekatan individual ke pendekatan politik, seperti yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard. Menurut Klitgaard (2002:3), ada korupsi yang dilakukan secara freelance, artinya pejabat secara sendiri-sendiri atau kelompok kecil menggunkan wewenang yang dimilikinya untuk menerima suap. Dan, menurut Klitgaard ada pula yang lebih canggih karena melibatkan struktur kekuasaan yang ada.
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
D. Hasil Penelitian D. 1. Aktivitas Kerja dan Korupsi D. 1.1. Pelayanan yang Dirasakan Masyarakat Di lokasi penelitian ternyata penyakit birokrasi itu muncul, seperti yang dituturkan oleh para informan dari masyarakat. Karena dalam pelayanan perizinan di seksi perizinan IMB, SIUP dan TDP Kabupaten Bekasi kualitasnya mengecewakan, para informan dari masyarakat mengatakan bahwa pelayanan berbelit-belit. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang mengajukan IMB, TDP dan SIUP. Informan Didi mengungkapkan pihaknya pernah mencoba untuk mengajukan perizinan sesuai dengan prosedur yang ada, tanpa memberikan uang pelicin, tetapi ternyata permohonan perizinan tidak kunjung selesai, Sehingga menurut informan tersebut pelayanan yang diberikan aparat berbelit-belit sehingga tidak tepat waktu. Boleh dikatakan pelayanan yang diberikan tidak cepat, padahal kecepatan memberikan pelayanan adalah penting, karena bila dilihat sudut masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah. Sementara itu, pemeritnah sebagai lembaga birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, Saefullah (1999:5). Sehingga, wajar bila informan ataupun masyarakat menuntut haknya memperoleh pelayanan yang cepat. Padahal hubungan pemberian izin tersebut di dalam ilmu pemerintahan dikenal dengan hubungan pemerintahan (governance relations) yaitu hubungan yang terjadi antara yang diperintah dengan pemerintah satu terhadap yang lain pada suatu posisi dan peran, menurut Ndraha (2000:21). Yang jelas, hal ini akan terus terjadi karena pemerintah sebagai unit kerja publik yang bertindak sebagai provider tunggal akan jasa dan layanan civil. Sementara masyarakat sebagai pihak yang diperintah di pihak lain tidak dapat berbuat banyak kare-
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
na berada di pihak yang lemah atau tidak memiliki wewenang apapun untuk memprotes pelayanan itu. Kalau pun ditempuh proses hukum maka jaminan akan kepastian hukum masih lemah, oleh karenanya para informan menerima saja apa yang diberikan aparat dalam proses pemberian izin itu, yang penting izin dapat keluar, sehingga beban atau target kerja dari pemohon izin tidak terganggu. Keadilan adalah hasrat yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya dan seseorang dikatakan berbuat adil kalau ia memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya, tidak melanggar hak dan kebebasan setiap orang, memandang setiap orang sama harkat dan martabatnya, dan mempermalukan setiap orang secara layak dalam semua pertukaran barang dan jasa, the (1998:17- 18). Hal yang sama juga diungkapkan Wiradharma (1999:85) dan Suseno (1994:81). Dan, pelayanan akan disebut adil, jika pelayanan mencapai dan dinikmati setiap orang yang berhak sebagaimana mestinya. Maka dari itu, karena pelayanan IMB, TDP, SIUP yang diberikan birokrat di Kabupten Bekasi tidak sebagaimana mestinya, pelayanan tersebut dapat dikatakan tidak adil, karena persyaratan illegal yang harus dipenuhi yakni adanya uang tambahan. Secara umum uang tambahan itu dapat dikategorikan pungutan liar. Kebiasaan memberikan uang tambahan dalam prakteknya menjadi semacam budaya organisasi karena secara merata terjadi dalam setiap perizinan yang dijadikan obyek penelitian. Bila melihat kembali apa yang dimaksud dengan perilaku organisasi, yakni telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Maka, perilaku organisasi adalah sarana manusia bagi mencapai tujuannya, yaitu keuntungan, menurut Davis dan Newstrom (1996:55). D. 1. 2. Jenis Korupsi Dengan adanya fakta uang tambahan
17 dalam pelayanan civil, maka hal itu dapat diklasifikasikan menjadi pemerasan aparat kepada masyarakat yang mengajukan izin. Pemerasan itu menurut Alatas (1987:11) adalah perilaku korupsi. Ada tiga klasifikasi korupsi yaitu, penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme, Alatas (1987:12). Sedangkan, pemerasan menurut Wertheim (dalam Alatas, 1987:11) adalah permintaan pemberian-pemberian atau hadiah oleh pegawai negeri, seperti dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Korupsi menurut UU No 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatakan korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.” Biasanya para usahawan memberikan uang para pejabat, agar memperoleh apa yang diperlukan, bila tidak begitu maka akan memakan tempo yang panjang dan berbelit-belit lantaran aturan-aturan yang sangat birokratis, para usahawan itu mengaku cuma membeli hak-haknya saja, dengan perkataan lain, para usahawan membiarkan dirinya diperas. Pejabat-pejabat pemerintah memaksa para usahawan memberikan suapan yang bila tidak begitu usahanya akan mengalami kemacetan.(Alatas, 1987:20-21). Berikut ini akan akan saya rincikan beberapa macam korupsi yang terjadi di lokasi penelitian, yakni pertama, pemerasan, yang akan dijelaskan lebih rinci lagi dalam bentuk sasaran pemerasan, dan nominal serta jenis pemerasan. Kedua, nepotisme dalam rekruitmen pegawai. D. 1. 3. Pemerasan a. Sasaran Pemerasan Korupsi yang dilakukan birokrat itu itu melekat pada jabatannya maka sasaran juga tergantung pada jabatan yang diembannya. Seorang birokrat mungkin melakukan korupsi sesuai dengan jabatan atau pembagian kerja yang ada di kantornya. Seperti seorang Korwil IMB di suatu wilayah tentu sasaran kliennya
18 adalah pemohon IMB di wilayahnya. Dalam pembagian kerja intern di Seksi Perizinan IMB, IMB perumahan di bagi dalam beberapa korwil untuk memudahkan pelayanan. Sedangkan IMB untuk industri ditangani langsung oleh kepala seksi. Tidak bertanggunjawabnya aparat terhadap tugas rutin yang diembannya telah menyebabkan pelayanan civil terganggu, Sehingga masyarakat terugikan secara materi dan rasa keadilan, karena untuk memperoleh pelayanan yang baik mereka harus memberi uang pada aparat yang memberi izin. b. Jenis dan Nominal Pemerasan Kecepatan pelayanan aparat sangat tergantung adanya uang tambahan. Dalam praktek korupsi di lokasi penelitian dilakukan dengan berbagai cara, pertama dengan penentuan prosentase, kedua dengan imbalan sukarela dari masyarakat, ketiga dengan melakukan mark up biaya retribusi. Danu seorang manager bagian perizinan perusahaan pengembang mengatakan bahwa dirinya dimintai uang oleh seorang pejabat di Kasi Perizinan IMB yang meminta tarif 10% untuk setiap izin dari total retribusi yang diberikan, sehingga menurut informan Danu bila rata-rata nilai bangunan pabrik itu Rp. 3 milyar, retribusinya 2% dari Rp. 3 milyar sehingga nilainya Rp. 60 juta. Pejabat tersebut meminta 10 %nya, sehingga perusahaan tempat Danu bekerja membayar total Rp 60 juta + (Rp 60 juta x 10%) = Rp. 66 juta, demikian juga izin untuk perumahan di kawasan yang dikembangkan oleh perusahaan tempat Danu bekerja. Dan, tarif 10% itu merupakan tarif langganan. Sedangkan informan Victor mengaku membayar uang ilegal dengan sukarela artinya tidak ditentukan sebelumnya berapa prosentasenya, untuk setiap perizinan yang ia ajukan. Victor saat ini menjabat pemimpin perusahaan real estat menengah di Kabupaten Bekasi. Bagi Victor menganggap pemberian uang tambahan oleh dirinya kepada aparat bukan nyogok. Uang tambahan yang diberi-
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
kannya jika ia ada dana untuk setiap izin yang diajukannya, semua itu dilakukan karena Victor tahu persis kesejahteraaann pegawai di Kabupaten Bekasi. Sementara itu, praktek mark up biasanya dilakukan dalam izin rumah-pertokoan (ruko) kecil. Hal ini dapat terjadi karena perincian biaya biasanya tidak sampai ke pemohon IMB, artinya pemohon IMB membayar sesuai kesepakatan lisan. Seperti yang terjadi ketika peneliti menemui Rukmana yang sedang meneliti secara seksama berkas IMB rumah toko kecil milik seorang pengusaha di Serang Bekasi, Rukmana menuturkan bahwa nilai satu jutaan yang sedang ia hitung itu tidak diketahui sama sekali oleh pengaju izin. Menurut Rukmana dalam prakteknya nilai retribusi IMB yang harus dibayar oleh pengaju izin bisa tiga kali lipat. Sedangkan untuk TDP juga terjadi hal serupa, yakni aparat meminta tambahan untuk setiap izin yang keluar, seperti yang diungkapkan Cori yang mengaku memberikan tambahan uang agar perizinan lancar, sehingga pekerjaan dirinya di departemen SDM dan Umum sebuah perusahaan komponen lancar. Sedangkan tambahan uang yang ia berikan pada birokrat dalam pengurusan izin jumlahnya antara Rp. 25.000-50.000. Sedangkan total untuk TDP, Victor mengeluarkan Rp 300.000 itu termasuk ongkos para birokrat mengurusnya ke Kanwil Bandung, sehingga Cori tidak perlu mengurus ke Bandung. Menurut Victor, untuk TDP sebenaranya tidak berbelit asal ada duitnya, tapi kalau IUI (Izin Usaha Industri) sudah ada duitnya berbelit lagi. Maksimal untuk IUI Rp 3 juta dana perusahaan keluar. Dengan uang tersebut maka perizinan yang ia ajukan menjadi lancar. D. 1. 3. Nepotisme dalam Seleksi Awal Penerimaan Pegawai Organisasi ditempat penelitian juga tidak mampu memberikan contoh yang baik kerena timbulnya nepotisme dalam rekruitmen pegawai, hampir seluruh informan kunci punya
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
kaitan kekeluargaan dengan pegawai lain di Kabupaten Bekasi atau Departemen Dalam Negeri. Boleh dikatakan sebagian besar informan kunci berasal dari keluarga priyayi sesuai klasifikasi Cliffort Geertz, yang memiliki kemampuan mobilitas vertikal cukup tinggi. Dengan demikian para informan kunci berasal dari keluarga yang cukup, sehingga sekolah di perguruan tinggi adalah sebuah keniscayaan dan bukan kemewahan. Indra staf Dinas PU menuturkan bahwa bapaknya adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil dengan pangkat VI B, awalnya ia adalah pegawai di kantor pusat sebuah departemen di Jakarta, namun dengan alasan tertentu ia memutuskan pindah ke Kabupaten Bekasi. Hanya saja seperti yang dituturkan seorang informan dari masyarakat yang kebetulan kawan dekatnya, mengatakan bahwa Indra mempunyai saudara-saudara sepupu di Kantor Kabupaten Bekasi. Inilah yang memudahkannya pindah dari Pusat (sebuah departemen di Jakarta) ke Kabupaten Bekasi. Menurut Indra kepindahannya sangat didorong oleh pimpinannya sekarang, sehingga kepindahannya tidak memerlukan uang sogokan. Padahal menurut pengakuan Indra biasanya untuk masuk ke kantor Kabupaten Bekasi apalagi bagian yang ‘basah’ membutuhkan uang pelicin. Demikian juga Krisna bapaknya mantan pejabat di sebuah pemerintahan kota di DKI Jakarta dengan pangkat VI B, tak aneh bila sang anakpun kemudian mengikuti jejaknya melalui jalur STPDN. Sedangkan Setyanugraha (bukan nama sebenarnya) meski pegawai kontrak ternyata juga berasal dari keluarga pegawai negeri. Bahkan, saudara kandung Setyanugraha juga PNS di Kabupaten Bekasi, dan menurut Krisna saudara kandung Setyanugraha itu sekarang menduduki jabatan penting, oleh karenanya Setyanugraha tidak terlalu risau dengan masa depannya, karena bantuan saudara-saudaranya tetap mengalir, termasuk penempatannya di bagian IMB. Demikian pula Dirgantara, Rukmana juga be
19 rasal dari keluarga PNS Kabupaten Bekasi. Adanya hubungan kekerabatan dalam penerimaan pegawai tentu merugikan organisasi, karena recruitment pegawai sebenarnya adalah proses untuk mendapatkan sejumlah calon tenaga kerja yang bermutu, untuk jabatan di sebuah organisasi. Selanjutnya ketepatan penerimaan karyawan akan terlihat dari penilaian karya setelah para pekerja melaksanakan tugas-tugas pokoknya pada periode tertentu, menurut Nawawi (1997:169). Namun, bila dari awal proses penerimaan bermasalah, maka kualitas aparat yang diterima menjadi pertanyaan besar. Oleh karena itu, kemungkinan bahwa proses seleksi dan penerimaan pegawai di Kabupaten Bekasi yang berbau nepotisme dan kronimse mempunyai kontribusi terhadap perilaku korupsi tetaplah ada. D. 1. 4. Perilaku Korupsi Dengan demikian, perilaku aparat yang memeras setiap masyarakat pada setiap layanan yang diberikan oleh aparat dapat dikategorikan memperkaya diri dan perbuatan melawan hukum, serta merugikan perekonomian negara. Demikian pula praktek nepotisme dalam penerimaan pegawai, yang semuanya itu berdampak pada melemahnya kualitas pelayanan pada masyarakat.Padahal seharusnya aparat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi pelayanan perizinan harus tetap mengacu para perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik itu Peraturan Daerah Kabupaten DT II Bekasi No 7 tahun 1996 tentang Izin Mendirikan Bangunan di wilayah Kabupaten Bekas, Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bekasi No 17 Tahun 1999. atau UU no 1 tahun 1995. tentang perseroan terbatas dan UU No 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan. Seharusnya tugas pokok dan fungsi tersebut kemudian diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas dari setiap dinas dan seksi yang ada, secara jujur dan bertanggungjawab. Artinya, setiap aparat sebagai tenaga pelaksana pelayanan civil perlu berbuat, bersikap, bertingkah laku dan berperilaku baik, bertang-
20 gungjawab sebagai acuan atau norma dalam bertindak. Hanya saja, yang ditemukan selama pengamatan perilaku baik, bertanggungjawab dan sesuai etika yang berkembang tidak nampak di lapangan. Tentu ini mengecewakan terutama para informan dari masyarakat, meski dalam ungkapan yang berbeda-beda. Artinya, ada yang menganggap hal itu wajar karena kesejahteraan pegawai, atau ada yang mengaku sangat tidak menyukai. Namun, secara prinsip mereka rata-rata tidak menyukai perilaku aparat perizinan tersebut. Hanya karena tidak ada pilihan lain maka meski terjadi korupsi mereka tetap mengajukan perizinan yang mereka butuhkan. Berikut ini akan penulis jelaskan tentang beberapa faktor pendukung perilaku korupsi dalam pelayanan civil. 1. Perilaku Individu Menurut Gerungan (2000:181) pada dasarnya perilaku individu itu juga sangat tergantung pada lingkungan keluarganya dan masyarakatnya. Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari adanya interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya, Thoha (1998:29). Hal itu berarti seorang individu dengan lingkungannya sangat menentukan perilaku keduanya secara langsung, Pandji Anoraga (1995:11). Tingkah laku ini akan selalu muncul dan timbul dalam setiap bentuk kontak sosial yang dipelajari dalam psikologi sosial. Tingkah laku inilah yang akhirnya membentuk perilaku individu. Lingkungan melingkupi segala hal di luar diri seseorang maupun dari dalam diri nya, baik yang bersifat fisik maupun ide yang memberikan pengaruh, memberikan rangsangan (stimulan) hingga memunculkan suatu reaksi atau respons. Dalam hal ini ada lingkungan dalam diri orang tersebut dan ada lingkungan di luar dirinya, menurut Gumarsa (dalam Sofian, 1999:190). Oleh karena itu, untuk melihat sejauhmana kontribusi perilaku individu penulis mencoba menelaah hal-hal yang mempengaruhi perilaku individu.
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
a. Gaji Rendah dan Motivasi Aparat Melakukan korupsi Motivasi berkaitan dengan dorongan yang mempengaruhi perilaku setiap orang di dalam organisasi dan tingkat komitmen yang ditunjukkan oleh para pegawai terhadap pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, menurut Barry Cushway dan Derek Lodge (1999:2) Menurut Gerungan (2000:140) pengertian dari motivasi adalah “merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.”. Semua tingkah laku manusia pada dasarnya mempunyai motif. Salah satu pendorong perilaku korupsi didorong adalah rendahnya gaji, yang berakibat rendahnya kesejahteraaan mereka. Dalam PP No 11/03 tentang peraturan gaji pegawai negeri sipil sebagai pengganti peraturan pemerintah sebelumnya, jumlah gaji pokok pegawai negeri sipil untuk golongan III(A-D) terendah Rp 905.400 dan tertinggi 1.463.200. Memang ada pendapatan tambahan seperti tunjangan jabatan misalnya. Namun, jumlahnya tidak terlalu banyak, untuk ukuran kepala seksi dan staf. Sehingga tak aneh bila informan dari Staf Perizinan IMB Krisna mengatakan gajinya sebagai pegawai gol IIIA hanya cukup untuk makan bersama istri dan seorang anak, namun tidak cukup bila untuk ngontrak rumah petak di sekitar Kantor Kabupaten Bekasi, Oleh karena itu, Krisna dengan agak sinis mengatakan bahwa kadang pidato pejabat hanya meninabobokan para pegawai untuk hidup selalu hemat, padahal mereka tahu para pejabat hidup dengan berlebih. Maka dari itu, Krisna menganggap ucapan Bupati Bekasi (beberapa saat sebelum penelitian ini dibuat) yang menganjurkan bila PNS sudah menjadi pilihan hidup maka jangan berharap kaya, dianggap Krisna terlalu klise karena dalam praktiknya yang kaya adalah pimpinan-pimpinan itu. Beban berat hidup Krisna telah mendorongnya untuk mencari tambahan dengan menjadi calo IMB.
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
b. Rendahnya Pemahaman Agama Aparat Pelayanan Pengungkapan kehidupan agama informan kunci ini didasarkan atas asumsi bahwa pemahaman keagamaan akan mempengaruhi munculnya niat berperilaku korupsi. Pemahaman tentang agama akan menjadi kontrol perilaku dalam diri individu. Dalam hubungan sibernetikanya, agama akan memberikan pengawasan pada sistem budaya manusia dalam berperilaku, menurut Madjid (dalam Sudarsono, 24). Seluruh informan kunci beragama Islam, dan sebagaian besar dari mereka secara relatif rutin melaksanakan sholat lima waktu, bahkan sebagaian telah melaksanakan rukun ke 5 yakni haji seperti Tony dan Nova Ada satu informan yang merupakan aktivis keagamaan, seperti Indra misalnya yang mengaku orang tuanya adalah aktivis Nahdatul Ulama bahkan sekarang aktif di sebuah partai NU, di samping itu isteri Indra adalah aktivis perempuan NU juga. Sedangkan ketika kuliah, Indra juga aktif di organisasi kerohanian Islam kampusnya. Tampaknya, dengan adanya pehamaan keagamaan itulah, maka Indra relatif steril dari korupsi. Selain itu kepedulian akan bahaya korupsi ternyata juga bagian dari petuah sang bapak, yang mantan PNS. Namun, sikap Indra tersebut adalah sikap yang jarang ditemui pada informan-informan lain, karena mereka sebagian besar tidak peduli dengan adanya praktek pemerasan. Hal ini tercermin dari sikap informan Staf perizinan IMB Krisna dan Setyanugraha yang secara usia tidak berbeda jauh dengan Indra. Baik Krisna dan Setyanugraha tidak merasa berdosa untuk melakukan korupsi seperti yang diungkapkan Krisna. Bagi Krisna sah-sah saja mereka menerima uang dari masyarakat, karena mereka menganggap masyarakat memberikan itu secara sukarela, dan secara nominal uanguang tersebut membantu kehidupan seharihari. Namun demikian, meski melakukan peme-
21 rasan pada masyarakat yang mengajukan izin, ternyata para informan kunci mempunyai kepedulian terhadap ibadah-ibadah rutin. Seperti yang ditemui oleh peneliti ketika waktusholat dzuhur atau ketika puasa Ramadhan, para informan rata-rata menunaikan ibadahibadah itu. Hanya saja, mereka rata-rata mereka tidak merasa berdosa memeras atau meminta uang tambahan pada masyarakat yang mengajukan izin. c. Lingkungan Keluarga Boleh dikatakan lingkungan keluarga adalah pembentuk pertama perilaku individu yang kemudian bertemu dengan lingkungan yang lebih luas yakni masyarakat, bahwa Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara diri dan lingkungannya. Pengaruh orang tua juga berpengaruh pada perilaku para informan kunci. Seperti yang terjadi pada Indra seorang informan Staf Dinas PU yang pernah menolak tawaran menjadi calo IMB. Menurut Indra bapaknya adalah pensiuanan pegawai negeri sipil yang tidak mau melakukan korupsi, tapi tidak mampu untuk melawan korupsi, dan memilih sikap masa bodoh pada rekanrekannya yang melakukan korupsi. Menurut Indra sikap orang tuanyalah yang membentuk sikapnya yang tidak mau korupsi. Menurut Indra godaan korupsi selalu muncul karena dengan mudah dilakukan olehnya. Hal sama ditemui pada Rukmana mengungkapkan bahwa ketika sang bapak menjadi camat dan wedana, bapaknya relatif bersih dari korupsi. Sehingga, ketika itu menurutnya hidup lebih banyak susah ketimbang senangnya, sehingga ketika pensiun keluargannya tidak terlalu berlebihan materi. Namun demikian, kekurangan materi ketika pensiun itulah yang menurut informan dari Staf Perizinan IMB Rukmana membuat dirinya sekarang hanya menjadi staf, boleh jadi menurut Rukmana bila saja ketika itu posisi camat seperti sekarang artinya menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), maka nasibnya tidak seperti sekarang yang
22 menurutnya sangat pas-pasan. Oleh karena itu, Rukmana relatif terbuka dengan perilaku korupsi, artinya bila ia mencari uang tambahan dari pelayanan yang diberikannya hal tersebut menurunya tidak menjadi masalah. Perbedaan sikap kedua informan, meski berasal dari keluarga yang sama-sama tidak menikmati korupsi, menunjukkan adanya pengaruh di luar lingkungan keluarga yang membentuk perilaku korupsi aparat dalam memberikan pelayanan IMB, TDP, dan SIUP. Kemungkinan yang membentuk adalah lingkungan tempat kerja yang akan dibahas setelah ini 2. Perilaku Organisasi Perilaku individu dapat dipengaruhi berbagai faktor baik lingkungan kerja ataupun keluarganya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perilaku seseorang senantiasa mengalami perubahan. Dalam arti baik-buruk sebuah lingkungan seseorang akan berpengaruh pada perilaku seseorang. Perilaku (behavior) adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lngkungan (masyarakat, alam, teknologi, atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian, menurut Ndraha (1997:33). Lingkungan tempat kerja tampaknya berpengaruh terhadap sikap seeorang terhadap korupsi. Sebagai contoh adalah perbedaan sikap Informan dari Staf Perizinan Indra dan Rukmana tentang korupsi dimana Indra anti korupsi sedangkan Rukmana terbuka terhadap korupsi, padahal sama-sama dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak korupsi. Bila dilihat dari pengalaman kerja, boleh jadi hal tersebut disebabkan Indra belum ada 5 tahun kerja di Dinas PU Kabupaten Bekasi, sedangkan Rukmana sudah lebih dari 15 tahun bekerja di Kabupaten Bekasi, meskipun hal ini masih dapat diperdebatkan, tetapi paling tidak ini menunjukkan adanya tingkat per-
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
bedaan pengaruh berdasarkan waktu berinteraksi dengan lingkungan kerja. Untuk lebih mengetahui sejauhmana pengaruh perilaku organisasi yang korup dalam pelayanan civil, penulis akan mencoba menjelaskan dari berbagai faktor yang menyebabkan perilaku organisasi yang korup. a. Kepemimpinan yang Lemah Melawan Korupsi Di lokasi penelitian baik di Seksi Perizinan IMB, TDP dan SIUP, boleh dikatakan kurang kondusif untuk merangsang individu memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat. Karena struktur kekuasaan telah menyebabkan individu melakukan pungutan liar agar dapat memberikan upeti pada atasannya. Seperti yang diungkapkan seorang informan yang menjabat staf perizinan IMB. Menurutnya pemberian tempat yang dianggap basah biasanya berimplikasi pada setoran yang secara periodik harus disampaikan kepada atasannya, dan bila hal itu sampai telat atau tidak berkenan di hati atasan yang telah ‘berjasa’ tersebut maka, yang bersangkutan biasanya akan langsung ditegur. Dengan demikian jelaslah, bahwa lingkungan tempat kerja sangat rentan terjadinya korupsi, karena semua lini berusaha atau berkompetisi mendapatkan uang tambahan dari masyarakat yang mengajukan izin. Sehingga wajar, bila faktor teladan atau panutan tidak ada, sehingga perilaku korupsi terjadi dengan mudah dalam pelayanan civil b. Kerjasama dalam Memeras Rakyat Di Hongkong untuk contoh, sesuai dengan laporan komisi independen pemantau korupsi pada akhir th 70-an telah melaporkan adanya apa yang disebut dengan ‘jaringan’ korupsi, di mana korupsi itu di lakukan oleh sekelompok aparat pemerintah yang melakukan pengumpulan dan dan distribusi uang. Kasus yang mereka temukan sebagian besar terjadi di departemen Polisi dan beberapa departemen lain. Di sana ada aturan main, tidak ada
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
aparat yang diperbolehkan menahan uang pribadi sebelum dibagikan ke atasannya untuk persetujuan, semakin tinggi jabatan semakin banyak upeti yang diterima. Korupsi organisasi menempatkan tindakan aparat pemerintah dalam mengeksploitasi kekuasaan dalam peraturan pasar atau memonopoli atas sumber daya vital dengan mengambil keuntungan keuangan dan materi untuk organisasi. Keuntungan semacam itu sering dilakukan dengan cara melanggar peraturan atau ketetapan, dan dibebankan pada biaya masyarakat dan negara, Xiaobo Lu (2000:276). Dalam penelitian ini tampaknya hal serupa ditemukan. Meskipun awalnya agak susah untuk mengetahui ada-tidaknya suatu bentuk kerjasama untuk korupsi, karena sifatnya yang tertutup. Namun akhirnya fakta kerjasama korupsi mulai terbuka ketika seorang kepala seksi pernah mengatakan bahwa hasil pungutan liar setiap izin yang diberikan kemudian dibagi-bagi kepada staf dan bawahannya. Seperti yang diungkapkan oleh Tony, bahwa ia meminta uang tambahan pada masyarakat adalah wajar, karena mereka yang mengajukan adalah pebisnis yang akan mencari uang. Dan, uang itu ia bagikan kepada anak buahnya secara merata. Kasus yang lebih besar adalah ketidakjelasan kelanjutan Pusat Pelayanan Terpadu. Pemerintah Kabupaten Bekasi pada awalnya berhasrat untuk melakukan pelayanan terpadu untuk melayani beberapa perizinan. Namun demikian, hingga penelitian ini dilakukan ternyata pusat pelayanan terpadu itu, belum dilaksanakan, hanya sebagian kecil yang beroperasi (2 loket). Sedangkan sebagian besar pelayanan kembali ke kantor dinas masingmasing. Ihwal belum terealisasinya pelayanan terpadu itu menurut Rukmana dikarenakan kemungkinan hilangnya rejeki tambahan dari pungutan liar yang diterima para birokrat. Rukamana menuturkan bahwa sebenarnya kalau pimpinan tegas bisa saja Pusat Pelayanan
23 Terpadu berjalan, tetapi masalahnya hal itu terkait dengan rejeki tambahan yang biasa diterima, yang kemungkinan bisa berkurang karena konsekuensi dari Pusat Pelayanan Terpadu adalah keterbukaan tarif retribusi yang ditarik dari setiap izin yang diberikan. Sebenarnya kalau pimpinan Kabupaten tegas maka bisa saja, karena di Kota Bekasi Pusat Pelayanan seperti ini sudah berjalan dan tarif retribusinya terbuka. Kebijakan Pusat Pelayanan Terpadu tersebut, hingga kini tidak dicoba untuk diberlakukan kembali, disamping itu para wakil rakyat di DPRD dan media massa tampaknya tidak mencoba untuk mengkritisi tidak jalannya Pusat Pelayanan Terpadu itu. Ketidakberdayaan anggota DPRD, tampaknya juga berkaitan dengan rejeki tambahan yang biasanya diperoleh dari sebuah kantor dinas, seperti yang ditemui peneliti ketika menginterviu pegawai dinas PU yang pernah ditawari menjadi calo IMB. Sementara itu menurut Indra dalam struktur kekuasaan di Kabupaten Bekasi, Dinas PU juga merupakan ‘kasir’ Kabupaten untuk halhal yang tidak ada dalam anggaran. Dinas PU menurut Indra dengar kerap dijadikan kasir tidak resmi pemerintah kabupaten, Kepala Dinas (Kadin) PU diminta oleh pimpinan untuk menjamu tamu kabupaten, kunjungan kerja, rapat-rapat DPRD dll. Untuk itu menurut Indra maka Kadin minta ke kepala seksi (kasi) atau pimpinan proyek (Pimpro), sehingga mau tak mau kasi minta pada masyarakat dan Pimpro minta ke kontraktor. Sehingga saat ini menurut Indra setiap dana pemerintah turun ketika proyek itu 95% selesai itu langsung dipotong untuk Kadin, Kasubdin, Kasi, Pimpro. Selain itu ada implikasi lain dari banyaknya uang ilegal yang beredar, misalnya seperti yang terjadi di Seksi Perizinan IMB, di mana jabatan kasi tidak mengalami rotasi atau pergantian jabatan selama dua periode, hal itu diungkapkan informan Danu, yang telah puluhan tahun berurusan dengan Nova hingga penelitian ini dibuat. Danu mengatakan bahwa selama ia
24 berhubungan dengan IMB, ia selalu berhubungan dengan Nova. Dan Danu mengaku sudah berusrusan dengan Nova selama puluhan tahun. Bagi Danu hal itu tidak wajar karena orang bekerja rela tidak naik pangkat selama puluhan tahun. Melihat kenyataan di atas tampaknya korupsi yang terjadi sudah demikian merajalela dan melibatkan berbagai dinas dan unsur. Oleh karenanya boleh dikatakan di lokasi penelitian telah terjadi korupsi yang sistematik yang tidak hanya melibatkan politisi dan birokrat tapi juga masyarakat, khususnya masyarakat pers yang sebenaranya diharapkan mengontrol kehidupan politik. Maka dari itu, benarlah ungkapan bahwa korupsi adalah penghancuran bangunan politik melalui kebejatan moral, Girling (dalam Basyaib, 2002:93). Jika Seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas, dalam arti orang lain tidak dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu, maka kemungkinan besar akan kita temukan korupsi di situ, (Klitgaard, 2002:29). E. Pembahasan Penelitian Dengan adanya fakta bahwa korupsi di lokasi penelitian terjadi karena adanya perilaku individu dan organisasi, maka ada tiga pertanyaan yang perlu dijawab untuk dapat menempatkan perilaku korupsi di Kabupaten Bekasi. Pertama, apakah perilaku korupsi tersebut bersifat individual atau organisasional (sistematik) dan bagaimanakah upaya menurunkan tingkat korupsi Kedua, mengapa hal tersebut dapat terjadi, dan ketiga, sejauhmana tanggungjawab masyarakat untuk mengurangi tingkat korupsi itu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terutama diperoleh dari sumber-sumber yang berhubungan langsung dengan ko-
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
rupsi di Kabupaten Bekasi. Namun demikian, menurut hemat peneliti, akan lebih bermanfaat kiranya bila analisis final dari korupsi di Kabupaten Beksi itu ditempatkan dalam suatu kajian yang lebih luas, agar alat-alat eksplanasi, yang dikembangkan untuk menjelaskan pola-pola perilaku korupsi birokrat di negaranegara lain, dapat dimanfaatkan. Satu aliran pemikiran dalam kepustakaan mengenai studi tentang korupsi sistematik, yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard, bahwa Korupsi akan terjadi bila terjadi monopoli kekuasaan, kemudian birokrat yang dapat mengeluarkan izin menurut seleranya.Korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistematik antara pelaku institusi politik (politisi maupun birokrat) dengan pelaku ekonomi (ekonomi privat maupun masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan semaca situasi dilematis dalam menentukan batas-batas lingkup ‘publik dan ‘privat’, John Girling (dalam Hamid, 2002:93). Sementara itu, birokrasi pelayanan publik menggambarkan suatu mata rantai yang menyatukan konfigurasi hubungan-hubungan yang berbeda antara satu dan lain individu, atau antara satu dan lain posisi sosial. Pola-pola korupsi tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan individu yang tertanam di dalam dan di pengaruhi oleh ikatan-ikatan sosial yang menyatukan aktor-aktor dalam suatu pola interaksi telah melatakkan individu sebagai aktor pasif dari tekanan-tekanan lingkungan sosialnya. Akhirnya jaringan sosial tersebut lebih merupakan rambu-rambu yang bersifat membatasi suatu diskresi, Dony Ardyanto (dalam Basyaib, 2002: 114). Peneltian di Indonesia yang senada dengan penelitian Dony, mendudukan korupsi sebagai korupsi yang sistematik juga diungkapkan oleh Sudirman (dalam Basyaib, 2002:121-124) dan Lin Cin Wei (dalam Basyaib, 2002:72-73). Berbeda dengan hal tersebut, ada juga penelitian korupsi di Indonesia sebagian cen-
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
derung berpendapat bahwa korupsi dilakukan secara individual karena misalnya menghubungkan secara diametral korupsi dengan gaji yang rendah, seperti yang dilakukan oleh Theodore Smith di tiga daerah di Indonesia. Di Indonesia korupsi tersebar luas sejak Hindia Belanda. Sistem hukum yang dipaksakan oleh Belanda untuk sebagian besar tidak mampu menyentuh hubungan patrimonial menurut tradisi. Kalau Belanda menghancurkan hubungan itu melalui peraturan langsung akan mengakibatkan kekacauan sistem kolonial. Mengingat sejarah panjang tentang korupsi di Indoesia tersebut, rendahnya gaji dan fungsi pemerintah yang diperluas, maka jelaslah diperlukan investasi besar, jika menginginkan korupsi lenyap di Indonesia, Smith (dalam Lubis, 1993:68). Gaji rendah di lingkungan pegawai negeri memaksa mereka untuk menambahkan penghasilannya dengan cara yang halal, sementara jika gaji mereka tinggi mereka akan takut melakukan korupsi, sebab bila ketahuan itu berarti suatu kehilangan besar, Rijckeghem dan Weder (dalam Basyaib, 2002:58). Dan dalam perundangan UU anti korupsi tersirat mendukung untuk mendudukan pelaku korupsi sebagai individu, UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dikatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara”. Manakah yang paling tepat untuk menjelaskan fenomena korupsi di Kabupaten Bekasi, faktor organisasional atau justru faktor-faktor individual. Untuk menjawabnya barangkali pendapat Thomas S Kuhn dapat dipakai untuk menjawab kecenderungan tentang perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru. Karena ilmu pengetahuan tidak dapat berjalan dan berkembang tanpa paradigma, paling tidak menurut Kuhn, maka hancurnya paradigma lama harus selalu menunggu lahirnya paradigma baru, dan oleh karena itu kedua aktivis ini harus-
25 lah terjadi secara bersamaan. Kuhn (dalam Suwarsono, 1994 :243). Menilik pendapat Kuhn tersebut, maka seharusnya paradigma lama tentang penyebab korupsi lebih disebabkan oleh faktor-faktor individual akan gugur dengan sendirinya, setelah muncul paradigma baru yakni korupsi politik atau korupsi sistematik. Namun demikian, pendapat Kuhn ini tampaknya masih dapat diperdebatkan, karena secara fakta sosial faktor-faktor individual masih nampak, sehingga boleh dikatakan dalam hal korupsi ini teori Kuhn tampak kurang memperhatikan daya tahan paradigma lama dan terlalu sederhana menterjemahkan perdebatan paradigma lama dan baru. Dan, pada kenyataanya, dalam penelitian yang saya lakukan, fakta-fakta sosial tentang perilaku korupsi lebih mendukung adanya faktor-faktor yang saling barkait, baik itu faktor politik dan non politik. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa perdebatan pendukung-pendukung kedua teori itu. Sebenarnya boleh dikatakan tidak terlalu kontradiktif, hanya saja pembedaan penyebab utama itu berdampak pada identifikasi dan implementasi pemberantasan korupsi. Misalnya, masalah moral dan etika, atau dalam bahasa Syed Husen Alatas kelemahan pengajaran agama dan etika. Bisa jadi bagi pendekatan struktural yang sekular, akan mengatakan bahwa terjadinya korupsi disebabkan oleh lemahnya sebuah struktur kekuasaan yang terlalu kuat, seandainya kekuasaan itu terbagi sehingga bila ada mekanisme cheks and balances, maka korupsi akan tereduksi dengan sendirinya. Korupsi dapat berkurang bila ada pemisahan kekuasaan, ada kontrol dan perimbangan, keterbukaan, sistem peradilan yang baik dan definisi yang jelas mengenai peranan, tanggung jawab, aturan dan batas-batas, dan korupsi tidak dapat berkembang dalam budaya demokrasi, persaingan, bila ada sistem kontrol yang baik, dan ada tempat orang untuk memiliki hak informasi dan hak mengajukan
26 pengaduan, (Klitgaard, 2002:29) Sementara, bagi pendukung non sekular, mengatakan bahwa masalah utama disekitar korupsi adalah rendahnya internalisasi nilainilai agama dalam diri setiap individu yang tersangkut korupsi. Dan, perbedaan pendapat yang memahami korupsi secara sekular dan non sekular ini telah ada sejak lama diakhir tahun 1960-an, misalnya pendapat JS Nye (dalam Lubis 1993:64) yang mengeluarkan masalah korupsi dari konteks moral dengan mencoba menganalisis biaya dan manfaat perilaku korupsi, kelompok ini dikenal sebagai revisionis. Dan pendapat ini kemudian dikuatkan oleh beberapa peneliti, termasuk penelitian di Indoensia yang dilakukan Smith. Sedangkan yang yang menentang mengeluarkan masalah korupsi dari konteks moral adalah Syed Husin Alatas (1987:30), yang berpendapat atau mengasumsikan bila korupsi dianggap ada biaya dan manfaat maka berarti hal itu terlalu menyederhanakan persoalan dan tidak melihat bahaya korupsi. Saya tidak ingin terjebak dalam perbedaan itu, karena dalam penelitian yang saya lakukan baik itu di Seksi Perizinan IMB Dinas PU, Seksi TDP, dan Seksi SIUP Dinas Perindag, ternyata faktor-faktor organisasional jelas ada, demikian juga faktor-faktor yang berhubungan moral individu. Dan hasil penelitian ini mendukung pendapat Syed Husin Alatas, bahwa penyebab perilaku korupsi, adalah sistem politik dan rendahnya moral individual. Korupsi terjadi karena ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi, kelemahan pegnajaran agama dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tiadanya hukuman keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal, keadaan masyarakat, (Alatas, 1987:76). Artinya kedua faktor baik individu dan organisasi saling berpengaruh dalam perilaku korupsi di
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
Seksi Perizinan IMB, Seksi TDP. dan Seksi SIUP, akan tetapi karena organisasi pemerintah itu juga sebuah lembaga politik yang merupakan salah satu dari sebuah sistem politik nasional, yang memiliki wewenang, maka derajat pengaruhnya perilaku korupsi organisasional (sistemik) lebih kuat daripada perilaku korupsi individual. Maka dari itu, korupsi tersebut tampak mapan dan bersifat rutin dalam kehidupan pelayanan civil di Kabupaten Bekasi. Kemapanan tersebut terbukti dengan tidak mampunya masyarakat untuk memprotes pelayanan civil yang koruptif tersebut. Pertanyaan kedua, mengapa perilaku korupsi tersebut dapat terjadi, melihat hasil penelitian di atas, tampaknya sistem politik yang ada telah gagal untuk mengontrol korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh (Klitgaard, 2002:29) bahwa pada dasarnya untuk mengurangi korupsi harus ada mekanisme checks and balances. Mekanisme ini memang ada dan sudah ada sub-sub sistemnya, seperti DPRD Kabupaten Bekasi, media massa, dan LSM. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut di Kabupaten Bekasi juga menikmati korupsi yang ada, sehingga pengontrolan jalannya sistem terutama dalam pelayanan IMB, TDP dan SIUP tidak sebagaimana yang diharapkan. Ihwal terjadi distorsi checks and balances tersebut ditemukan dalam penelitian ini, seperti yang disampaikan oleh dua orang informan dari staf perizinan IMB, dan laporan tentang perilaku buruk beberapa anggota DPRD yang menyuburkan perilaku korupsi juga dibahas oleh media massa, dibeberapa daerah seperti di Sukabumi (Media Indonesia, 24 Juli 2003), Surabaya (Media Indonesia, 24 Juli 2003), Padang (Media Indonesia, 24 Juli 2003), dan beberapa kota lain. Adapun di Kabupten Bekasi seperti yang dituturkan oleh oleh Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bekasi Herry Koesaeri yang menyatakan adanya individu anggota DPRD yang menjadikan dinas tertentu sebagai ladang penghasilan sampingan (Republika, 8 Mei 2003). Sekedar informasi
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
tambahan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Bekasi ketika peneltian ini dilakukan bernama Sub Dinas Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum, tempat penelitian tentang perizinan IMB dilakukan Dan, menurut informasi terakhir Subdin Cipta Karya dijadikan dinas tersendiri, beberapa saat setelah penelitian ini dibuat. Dengan demikian, mekanisme yang normal menurut khazanah demokrasi ternyata tidak ampuh untuk mengurangi korupsi yang ada di Kabupaten Bekasi. Sehingga dalam posisi seperti ini tampaknya boleh dikatakan sistem politik yang ada telah mengalami kegagalan dalam mengurangi korupsi. Sementara sistem hukum nasional, hingga saat ini masih belum menggembirakan. Di Kabupaten Bekasi, kasus korupsi yang sampai ke meja hijau saat ini hanya sedikit sekali dibandingkan dugaan perilaku korupsi yang ada. Dan, kasus korupsi yang sampai pengadilan hingga kini hanya satu yakni kasus korupsi tanah Kas Desa yang melibatkan beberapa pejabat dan mantan pejabat Kabupaten Bekasi. Dengan lemahnya checks and balances, serta lemahnya law enforcement tersebut di atas maka sistem yang berjalan di Kabupaten Bekasi mengalami kegagalan. Dengan kegagalan sistem ini masyarakatlah yang menjadi korban, mengajukan perizinan diperas oleh aparat perizinan, mengadukannya ke aparat penegak hukum kurang ditanggapi, akhirnya masyarakat memilih untuk diam, dan menuruti keinginan aparat pemerintah untuk diperas secara sukarela, hanya saja bila hal itu terjasi terus menerus bisa jadi hal tersebut menjadi bahan bakar timbulnya konflik sosial. Apabila masyarakat tak memiliki proses yang sudah melembaga untuk mengartikulasikan tujuan dan menyelesaikan konflik, maka setiap kelompok atau organisasi yang mempunyai keluhan, tuntutan, atau gagasan politik, akan berusaha mempengaruhi politik. Caracara yang digunakan masing-masing kelom-
27 pok akan berbeda dan mencerminkan sifat serta kemampuan yang khas. Yang kaya akan menyuap, mahasiswa akan menimbulkan hura-hara, kaum buruh akan mogok, massa rakyat akan berdemontrasi, dan militer akan melakukan kudeta. Karena sistem sosial tidak berjalan benar, Huntington (dalam Sundhaussen, 1986 : 458). Dan, secara nasional konflik tersebut telah terjadi pada tahun 1998, dengan munculnya gerakan reformasi. Salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme atau dikenal dengan KKN. Gerakan reformasi 1998, telah mengakhiri rezim Orba, yang kemudian secara politik membuka kran demokratisasi, hal itu ditandai dengan dibukannya kesempatan mendirikan partai politik, dan dilanjutkan dengan adanya Pemilihan Umum tahun 1999. Dengan adanya Pemilu 1999, di Kabupaten Bekasi sebenarnya telah membuka sistem monolitik selama 30 th, yang selama itu telah menjadikan Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya dominasi partai-partai non Golkar , seperti PDIP, PPP, PAN, dan beberapa partai lain yang turut meramaikan kehidupan demokrasi. Hanya saja, sayangnya ketika penelitian ini dibuat, partai-partai yang memiliki wakil di DPRD Kabupaten Bekasi tersebut kurang berdaya untuk mengontrol kegiatan pemerintah Kabupaten Bekasi, khususnya perilaku korupsi di dinas-dinas yang dijadikan obyek penelitian. Maka dari itu, kegagalan sistem dan korupsi merupakan dua entitas yang saling mempengaruhi satu sama lain, dan bila salah satunya tidak mengalami perbaikan yang cukup berarti, maka akan terjadi konflik sosial, dan bila tidak terjadi perbaikan yang bermakna setelah konflik sosial, maka akan terjadi kembali perilaku korupsi. Dengan demikian, ketiga hal tersebut membentuk sebuah siklus yang tidak berujung pangkal, seperti dibawah ini;
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
28 Gambar 4: Lingkaran Korupsi Perilaku korupsi
Kegagalan Sistem
Konflik Sosial Oleh karena itu, berkaitan dengan pertanyaan sejauhmana tanggungjawab masyarakat sebagai stake holder dalam perilaku korupsi ini, maka jawaban yang relatif tepat adalah memberdayaan masyarakat agar memiliki kesadaran dalam menentukan pilihan politik terhadap partai politik yang ada. Karena pada hakekatnya masyarakat adalah stake holder yang memiliki hak mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan secara bebas. Untuk memunculkan kesadaran itu, mutlak diperlukan pendidikan politik yang baik sehingga dapat menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dengan demikian, korupsi sistemik di Kabupaten Bekasi itu dampak dari kegagalan sistem politik nasional yang tidak terbentuk secara baik. Apalagi, era reformasi sekarang, yang memunculkan masa transisi demokrasi, yang serba rawan baik dari segi sosial, maupun keamanan. Dengan demikian di masa itu biasanya melestarikan korupsi sistemik yang sudah ada, dan berusia lebih lama daripada usia demokrasi di Indonesia. Akhirnya, penelitian ini menyiratkan bahwa sistem politik yang tidak jelas dan tidak padulah yang membuat korupsi demikian sistematik dan solid, serta didukung oleh individu-individu yang menikmati korupsi sebagai bagian kehidupan birokrasi. Sehingga hal itu berimplikasi sangat luas termasuk dalam watak atau budaya organisasi birokrasi di Kabupaten Bekasi, yang cenderung mendukung model Weber tentang otoritas birokratis patrimonial dan menolak otoritas birokratis legal rasional. Padahal dalam era sekarang ini birokratis legal rasional adalah dambaan pemerintahan moderen. Dengan munculnya masalah korupsi
di Indonesia pada umumnya dan Kabupaten Bekasi pada khususnya, sejak dahulu kala telah menghambat munculnya sosok birokrasi yang legal rasional. Dari keseluruhan data dan informasi beberpa sumber yaitu informan kunci dan guliran secara keseluruhan berjumlah 15 orang, peneliti melakukan pengujian ulang atau pembanding terhadap data yang diperoleh yang dikenal dengan triangulasi. Informan dalam pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1. Kelompok Informan 1 adalah para pimpinan Seksi Perizinan IMB, TDP dan SIUP 2. Kelompok Informan 2 adalah para staf Seksi Perizinan IMB, TDP, dan SIUP 3. Kelompok Infoman 3 adalah Masyarakat perusahaan kecil, menengah, dan besar. Selanjutnya data tersebut diuji dengan teknik pemeriksaan keabsahan data atau triangulasi sebagai berikut : F. KESIMPULAN DAN SARAN F. 1. Kesimpulan 1. Pelayanan yang diberikan oleh aparat belum didukung oleh penghayatan pengetahuan tentang pelayanan sehingga kualitas pelayanan kurang baik dan kurang bertanggungjawab. Hal ini berakibat pelayanan tidak dapat dilaksanakan secara cepat, baik dan adil, meskipun sebenarnya aparat telah mendapat pendidikan tentang pelayanan pada masyarakat. 2. Rendahnya penghayatan pengetahuan tentang pelayanan tersebut mengakibatkan munculnya perilaku korupsi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Dengan adanya perilaku korupsi maka pelaksanaan pelayanan menjadi kurang cepat, kurang tepat dan kurang adil. 3. Perilaku korupsi dalam pelayanan disebabkan perilaku individual dan or-
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
ganisational, sehingga dua perilaku tersebut membentuk perilaku korupsi yang terorganisir dan sistemik. Sehingga kebijakan tentang Pusat Pelayanan Terpadu yang awalnya untuk memberikan pelayanan yang baik dan bertanggungjawab, tidak dapat terlaksana karena adanya kepentingan aparat yang terganggu aktivitas korupsinya bila kebijakan tersebut dilaksanakan. 4. Upaya menurunkan perilaku korupsi mengalami hambatan yang cukup berarti karena perilaku korupsi sudah demikian terorganisir dan sistemik. Untuk itu untuk menurunkannya melalui pendekatan sistem. Hanya saja, pendekatan sistem juga mengalami kendala dengan adanya beberapa anggota DPRD yang juga menikmati hasil korupsi di lokasi penelitian. 5. Sedangkan upaya menurunkan perilaku korupsi melalui pengawasan dari masyarakat juga mengalami hambatan, karena ada beberapa media, atau LSM tertentu yang menikmati hasil korupsi dengan jalan memeras aparat yang melakukan korupsi. 6. Dengan demikian, korupsi yang terjadi di lokasi penelitian adalah sebuah lingkarang korupsi yang tidak berujung pangkal. F. 2. Saran F. 2. 1. Saran konseptual untuk pengembangan ilmu antara lain : 1. Dari segi keilmuan, perlu ada pemahaman bersama dari pemerhati ilmu pemerintahan dan politik bahwa selama ada monopoli kekuasaan dengan berbagai variasinya ditambah wewenang minus akuntabilitas, selama itu pula akan terus ada korupsi. Di samping itu, bila gaji pegawai negeri kecil dan ia tidak mendapat tambahan lain
29 atau insentif atas prestasinya. Dan, bila sanksi terhdap korupsi jarang ditegakkan serta ringan pula, maka dapat dipastikan bahwa korupsi akan merajalela. 2. Korupsi seharusnya dianggap sebagai kajian tersendiri dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, agar pemahaman menjadi komprehensif dan tidak ketinggalan dengan kecanggihan serta bahaya korupsi itu sendiri. Sehingga suatu saat kita akan melihat pusat-pusat studi korupsi dalam 5-10 tahun mendatang di Universitas Padjadjaran, dan universitas-universitas besar di negeri ini. Dan, kualitasnya tidak kalah dengan Pusat Kajian Amerika, Perempuan, Timur Tengah yang ada dewasa ini. F. 2. 2. Saran konseptual untuk kepentingan praktek 1. Kunci pemberantasan korupsi adalah mengubah struktur kekuasaan yang status qua, agar kekuasaan yang selama ini termonopoli para birokrat dan politisi menjadi milik seluruh lapisan rakyat, artinya rakyat memiliki akses yang kuat dalam mengkritisi kebijaksanaan di tingkat daerah. Untuk dapat memiliki akses yang kuat maka pendidikan politik bagi rakyat sangat strategis, karena berkaitan dengan pilihan terhadap partai yang dipilihnya. 2. Selain itu pendidikan dan pelatihan bagi birokrat harus diperbaiki kualitasnya agar mereka dapat meningkatkan kemampuan menegakkan manajemen (enforcing power) pemerintahan. Dengan demikian pendekatan dua sisi yaitu pendekatan pada struktural dan aspek manajemen dapat menjadi solusi untuk mengurangi korupsi yang menghadapi kemandekan. 3. Wewenang pemberian izin dan prosedur meminta izin perlu dikomunikasi-
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
30 kan secara jelas dan transparan kepada masyarakat, jangan ditutup-tutupi sehingga baik birokrat dan masyarakat tahu akan hak dan kewajibannya berkaitan dengan izin yang diajukan. Dengan transparansi ini, membuat para birokrat akan lebih bertanggungjawab, sementara rakyat menjadi sadar akan
hak dan kewajibannya. 4. Menjauhi rasa permusuhan dengan para birokrat, karena dengan memusuhi maka akan mempersulit pemberantasan korupsi itu sendiri, yang paling aman adalah menjadikan para birokrat adalah agen pendukung pemberantasan itu sendiri.
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32
31
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, 1994, Psikologi Sosial Jakarta, Penerbit PT Rineka Cipta. Ahmadi, Abu, 1999, Psikologi Sosial, penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta. Anaroga, Pandji dan Sri Suyati, 1995, Perilaku Keorganissian, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.Atkinson, Rita, Richard C dan Hilgard, Ernest R, 1994, Pengantar Psikologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Alatas, Syed Husin, 1987, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta. Azwar, Azrul, 1996, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Basyaib, Hamid, Nono Anwar M dkk (ed), 2002, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia jilid 1-4, Aksara, Jakarta. Britton, Peter, 1996, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, LP3ES, Jakarta. Creswell, JW. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative. Thousand Daks, London, New Delhi, Sage Publication. Cushway, Barry & Derek Logge, 1999, Organitational Behavior and Design (Penerjemah Sularno Tjptowardoyo), Jakarta. Flexmedia Komputindo Gramedia. Davey, Kenneth, 1998, Pembiayaan Pemerintah Daerah, UI Press, Jakarta. Davis, Keith dan John W Newstrom, 1996, Perilaku Dalam Organisasi, Erlangga, Jakarta. Garna, Judistira K, 1996, Ilmu-ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi, PPs UNPAD, Bandung. Gasperz, Vincent, 1997, Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gerungan, 2000, Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung.
Gie, The Liang, 1998, Kode Etik bagi petugas Pemerintahan, Pustaka Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta. Kansil, C.S.T, 1978, Sistem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Bandung. Kiltgaard, Robert dkk, 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, Parnership For Governance Reform, Jakarta. Kumorotomo, Wahyudi, 1996, Etika Adminitrasi Negara, PT Radja Grafindo Perkasa, Jakarta. Likert, Rensis, 1989, Organisasi Manusia, Erlangga, Jakarta. Lubis, Mochtar & James C Scoot (ed),1993, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Lukman, Sampara, 1999, Manajemen Kualitas Pelayanan, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Makmun, Abin Syamsudin, 1998, Psikologi Kependidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung. McGlynn, Frank & Tuden, Arthur (ed), 2000, Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik, UI Press, Jakarta. Moenir, H.A.S, 1995, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Moleong J. Lexy, 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Muhaimin, Yahya A, 1990, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980, LP3ES, Jakarta. Muhammad, Abdul Kadir, 1997, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosiolegal atas Konstituante 19561959, Grafiti, Jakarta. Nawawi, H. Hadori, 1997, Manajemen Sumber
32 Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif, Yogyakarta, Gajahmada Universty Press. Ndraha, Taliziduhu, 2000, Ilmu PemerintahanI, BKU Ilmu Pemerintahan IIP-Unpad, Jakarta. ...., 2000, Ilmu Pemerintahan II, BKU Ilmu Pemerintahan IIP-Unpad, Jakarta. ...., 2000, Teori Budaya Organisasi, BKU Ilmu Pemerintahan IIP-Unpad, Jakarta.. ...., 1989, Konsep Admintrasi dan Adminitrasi di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Osborne, David & Ted Gaebler, 2000, Reinventing Goverment, Memwirausahakan Birokrasi, Penerbit PPM, Jakarta. Osborrne, David dan Peter Plastrik, 2000, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Penerbit PPM, Jakarta. Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Transparency International Indonesia, Jakarta. Raphael, DD, 1992, Problem of Political Philoshophy, Humanities Press International Inc, USA. Redjo, Samugyo Ibnu, 1998, Analisis Pementahan di Indonesia, Media Fisip Unpad Press, Bandung. Revrison Baswir, 1999, Pembangunan Tanpa Perasaan, Pustaka Pelajar-Elsam, Yogyakarta. Ryaas, M Rasyid, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Yarsif Watampone Jakarta. Scott, James C, 2000, Senjatanya OrangOrang Yang Kalah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sedarmiyati, 2000, Restrukturisasi dan pemberdayaan Organisasi untuk Menghadapi Dinamika perubahan Lingkungan, CV Mandar Maju, Bandung. Siagian, S.P, 1987, Teknik Menumbuhkan dan Memelihara Perilaku Organisasional, Haji Mas Agung, Jakarta. Soedjatmoko, 1984, Dimensi Manusia dalam
Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil
Pembangunan, LP3ES, Jakarta. Sudarsono, 1998, Gigolo dan Seks Resiko Penularan dan pencegahan PMS, PPK UGM-Ford Foundation, Yogyakarta. Sugiarto, Endar, 1999. Psikologi Pelayanan Dalam Industri Jasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Supranto, Johanes, 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suwarsono, Alvin Y. So, 1994, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta. Sundhaussen, UlF, 1986, Politik Milik Indonesia 1945-1965, Jakarta, LP3ES. Thoha, Miftah, 1995, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi, PD Batang Gadis, Jakarta. Tyson, Shaun dan Tono Jackson, 2000, Perilaku Organisasi, Penerbit Andi, Jakarta. Winardi, J, 1989, Perilaku Organisasi, Penerbit Tarsito, Bandung. Woworuntu, Bob, 1997, Dasar-dasar Ketrampilan Abdi Negara Melayani Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Artikel: Djaenuri, M. Aris, 1999, Manajemen Pelayanan Umum, Institiut Ilmu Pemerintahan, Jakarta. Jaferson Kameo, 2003, Menggali Akar Korupsi, Media Indonesia (Maret), Jakarta. Saefullah, A Djadja, 1999, Reformasi Pelayanan Umum, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bandung. Lu, Xiaobo, 2000. Organizational Corruption in China, Comparative Poitics (April) Kompas, 13 Maret 2000 Media Indonesia, 24 Juli 2003 Republika, 8 Mei 2003