2
Motivasi merupakan pendorong atau penggerak perilaku individu. Demikian halnya dengan perilaku anggota Polri dalam bertugas memberikan pelayanan terhadap masyarakat dipengaruhi oleh motivasi. Setiap anggota Polri dituntut memiliki motivasi kerja yang tinggi di dalam dirinya (intrinsic motivation) untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang abdi masyarakat dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan pelayanan, melindungi dan mengayomi masyarakat dengan ketulusan hati (ikhlas dan humanis). Motivasi kerja seseorang dalam suatu organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik. Perkembangan teori motivasi selanjutnya diketahui bahwa ternyata faktor intrinsik dinilai lebih mampu untuk meningkatkan motivasi pekerja dibandingkan dengan faktor ekstrinsik. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Herzberg (dalam Luthan, 2006) yang mengatakan bahwa hanya faktor-faktor intrinsik (motivator) yang lebih mampu memotivasi karyawan dalam pekerjaan. Studi yang dilakukan oleh Wasono (2011) mengenai motivasi intrinsik 160 orang anggota Polri yang berdinas di kewilayahan menunjukkan hasil seperti tergambar di bawah ini: 66 (41,25%)
70 60 50
43 (26,88%)
40 27 (16,88%)
30 20
16 (10%) 8 (5%)
10 0 Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi Sekali
Gambar 1. Hasil Studi Motivasi Intrinsik (Wasono, 2011)
3 Berdasarkan Gambar 1 di atas terlihat bahwa sekitar 68,12% atau sebanyak 109 orang memiliki motivasi intrinsik dalam kategori sedang sampai dengan rendah sekali, dengan gambaran 41,25% (66 orang) tergolong dalam kategori sedang, 16,88% (27 orang) kategori rendah dan 10% (16 orang) masuk dalam kategori rendah sekali. Berdasarkan data tersebut di atas, maka 68,12% subyek penelitian belum memiliki motivasi intrinsik kategori tinggi seperti yang diharapkan untuk menunjang pelaksanaan tugas dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi bekerja karyawan adalah gaya kepemimpinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Maddock dan Fulton (1998) bahwa pemimpin adalah motivator dan kepemimpinan adalah motivasi. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya memperkenalkan sesuatu yang baru atau unik, melainkan menciptakan penggunaan motif, emosi, fitur dan manfaat yang diperoleh di tempat kerja untuk menumbuhkan motivasi bawahan (Maddock & Fulton, 1998). Moss dan Ritosa (2007) menilai bahwa kepemimpinan transformasional
mampu
memunculkan
dan
mengatur
kondisi
emosi
(psychological wellbeing) karyawan, sehingga tidak mengandalkan proses rasional dalam menumbuhkan motivasi karyawan. Motivasi yang muncul dalam kondisi seperti ini tidak hanya sekedar motivasi ekstrinsik, namun juga motivasi instrinsik dari karyawan. Joo, Yoon, dan Jeung (2012) melihat bahwa pemimpin transformasional mampu membuat karyawan termotivasi secara instrinsik melalui artikulasi penyampaian visi secara menarik sehingga karyawan bersedia untuk terlibat dalam pencapaian tujuan jangka panjang. Pada saat ini paradigma kepemimpinan di Polri masih cenderung bersifat otoriter. Hal ini merupakan dampak bawaan dari sejarah pernah digabungnya
4 Polri dengan TNI dalam ABRI dalam jangka waktu yang cukup lama. Reformasi Polri setelah dipisahkan dari ABRI belum bisa secara tuntas merubah budayabudaya bawaan militerisme tersebut. Pada saat ini, kepemimpinan otoriter yang pada umumnya diterapkan dalam organisasi Polri memerlukan evaluasi atau pengkajian kembali apabila Polri ingin berubah menjadi polisi sipil (civilian police). Perubahan gaya kepemimpinan yang efektif dalam organisasi Polri akan mempengaruhi motivasi kerja personil Polri dalam melaksanakan tugasnya, termasuk dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam penelitian Wasono (2011) menunjukkan beberapa informasi tentang adanya permasalahan-permasalahan motivasi intrinsik anggota Polri yang bersumber dari luar dirinya, antara lain pola kepemimpinan dan kebijakan pimpinan yang dirasakan anggota kurang memperhatikan kondisi yang sedang dialaminya. Hal tersebut berdampak pada munculnya perilaku atau sikap yang menunjukkan menurunnya motivasi intrinsik anggota dalam pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat. Sikap dan perilaku tersebut diantaranya adalah munculnya perasaan jenuh, malas dan bosan terhadap rutinitas pekerjaan, mengeluh terhadap gaya kepemimpinan dan kebijakan yang ada, berkurangnya semangat kerja, berkurangnya hasrat untuk berkembang dan maju (Wasono, 2011). Dari hasil studi tersebut terlihat keadaan psychological wellbeing anggota yang rendah dan menyebabkan adanya penurunan motivasi dari dalam diri anggota Polri yang bersangkutan (intrinsic motivation). Walaupun motivasi bukanlah merupakan hal yang paling determinatif dalam performa kerja, namun motivasi tidak bisa dilepaskan sebagai salah satu determinasi utama performasi kerja (Jewell dkk.,1998). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Amabile, Goldfarb dan Brackfield (dalam Gagne dan Deci, 2005) yang mengatakan bahwa
5 faktor-faktor ekstrinsik secara tidak langsung akan berpengaruh pada faktorfaktor intrinsik dalam motivasi individu. Berdasarkan uraian di atas maka sudah selayaknya pola kepemimpinan yang ada di Polri dilakukan perubahan dari pola kepemimpinan yang cenderung otoriter ke kepemimpinan transformasional. Hal ini sejalan dengan reformasi kultural Polri menuju kepolisian sipil (civilian police). Kepemimpinan otoriter lebih banyak menyebabkan kecemasan dan tekanan mental terhadap anggotanya dalam melaksanakan tugas. Anggota bekerja lebih dikarenakan dorongan motivasi untuk melaksanakan perintah (menggugurkan kewajiban) dari atasan atau bahkan karena rasa takut kepada atasannya, bukan atas dorongan motivasi dari dalam dirinya (motivasi intrinsik) untuk melaksanakan tugas dengan ketulusan hati (ikhlas) dan humanis sebagai abdi masyarakat. Hal ini berdampak kepada performa kinerjanya yang tidak optimal dalam memberikan pelayanan, misalnya anggota akan bekerja lebih baik apabila diawasi atau karena ada atasannya, ketika atasan tidak ada atau sedang tidak melakukan pengawasan maka akan bekerja semaunya sendiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan organisasi kepolisian di Indonesia. Proses reformasi yang dilakukan Polri setelah terpisah dari ABRI meliputi aspek struktural, instrumental, dan kultural. Sutanto (2005) mengatakan bahwa reformasi dalam aspek struktural dan instrumental telah memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan, serta semakin mengemukanya paradigma baru sebagai polisi yang berwatak sipil (civilian police), sementara itu pembenahan aspek kultural masih terus berproses dan ternyata bukan pekerjaan yang mudah untuk mencapainya karena berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku manusia (Sutanto, 2005). Arti harfiah polisi
6 sipil (civilian police) adalah polisi yang beradab dan menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, seperti hak individu yang sentral, kebebasan (freedom), transparansi, pertanggungjawaban publik dan lain-lain (Farouk, 2012). Dalam prinsip demokrasi, polisi sipil wajib menampilkan hubungan yang bersifat akrab dengan masyarakat melalui pendekatan kemanusiaan (humanis) daripada menggunakan pendekatan kekuasaan (otoriter) dalam memberikan pelayanan kepada mereka. Hal ini sesuai dengan tugas pokok Polri yang dirumuskan dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002, Pasal 13, yaitu: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Menegakkan hukum, 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka pelayanan kepada masyarakat secara humanis merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan kinerja Polri. Hasil penelitian Ridwan (2010) menemukan rendahnya skor penilaian masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh Polri. Selain itu, penilaian anggota Polri sendiri mengenai pelayanan mereka menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada penilaian masyarakat. Hal ini mengindikasikan akan kurang pekanya anggota kepolisian terhadap kualitas pelayanan yang mereka berikan. Survei yang dilakukan oleh Handayani (2011) menyebutkan bahwa masyarakat cenderung menganggap Polri kurang sungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam hal laporan perkara yang tidak ditindaklanjuti dengan cepat. Menurut Jewell dan Siegall (1998), kinerja individu dalam organisasi berkaitan erat dengan motivasinya. Performa kinerja pelayanan Polri yang belum optimal dapat disebabkan oleh masih rendahnya motivasi kerja anggota Polri
7 dalam melaksanakan tugas. Motivasi kerja anggota Polri merupakan suatu faktor yang mendorong anggota Polri untuk berbuat sesuatu atau dorongan untuk melakukan kegiatan tertentu (Subhan, 2009). Motivasi kerja anggota Polri merupakan suatu jaminan keberhasilan organisasi Polri untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. Menurut Kantabutra (2008), motivasi kerja anggota Polri adalah salah satu prediktor tidak langsung peningkatan kepuasaan masyarakat sebagai obyek pelayanan kinerja anggota Polri. Motivasi kerja anggota polisi merupakan suatu dorongan yang berasal dari dalam diri anggota kepolisian itu sendiri sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam konteks sosial (Amstrong & Murlis, 2003). Motivasi merupakan suatu penggerak yang ada di dalam diri manusia untuk memunculkan perilaku (Ryan & Deci, 2000) dan kinerja individu (McShane & Von, 2010). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor individu yang mempengaruhi kualitas perilaku pelayanan anggota Polri terhadap masyarakat adalah motivasinya. Secara umum, motivasi diartikan sebagai kekuatan yang mendorong individu untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Menurut Steers dan Porter (1983),
motivasi
merupakan
suatu
usaha
yang
dapat
menimbulkan,
mengarahkan dan memelihara atau mempertahankan perilaku yang sesuai dengan lingkungannya. Motivasi adalah proses dalam diri seseorang yang mendorong perilaku ke arah tujuan yang ingin dicapai (Munandar, 2001). Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2005), motivasi merupakan perilaku yang berfokus pada faktor-faktor dari dalam diri untuk mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya. Menurut Luthans (2006), motivasi adalah suatu proses yang
8 dimulai dengan defisiensi fisiologis dan psikologis untuk menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk suatu tujuan atau insentif. Motivasi mencakup 3 (tiga) elemen yang saling bergantung dalam konteks sosial (Luthans, 2006), yaitu : 1. Kebutuhan. Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis, contohnya kebutuhan muncul saat sel dalam tubuh kehilangan makanan atau minuman. 2. Dorongan. Dorongan terbentuk untuk mengurangi kebutuhan, contohnya kebutuhan akan makanan dan minuman diterjemahkan sebagai dorongan lapar dan haus. 3. Insentif. Insentif yang didefinisikan sebagai semua yang akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan, contohnya adanya insentif cenderung akan memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis dan akan mengurangi dorongan. Jadi menurut Luthans (2006), motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu. Kesediaan untuk mengerahkan usaha tersebut sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya, baik secara fisiologis maupun psikologis. Motivasi seseorang memegang peran penting dalam kehidupan di lingkungan kerja. Nadler dan Lawler III (dalam Kolb, Rubin, & Osland, 1991) menghubungkan motivasi dengan unjuk kerja, bahwa motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan upaya tinggi dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan untuk memenuhi suatu kebutuhan individu, sehingga kebutuhan individu harus sesuai dan konsisten dengan tujuan organisasi. Seseorang yang termotivasi akan melaksanakan upaya substansial
9 untuk menunjang tujuan-tujuan kesatuan kerjanya dan organisasi secara umum. Seorang yang tidak termotivasi, hanya akan memberikan upaya minimum dalam bekerja (Martono dalam Kurnia, 2008). Herzberg (dalam Schultz & Schultz, 1994) menemukan dua kelompok faktor motivasi yang mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi yang disebut teori dua faktor (motivator-hygiene). Teori dua faktor Herzberg sangat berhubungan dengan teori hierarki kebutuhan dari Maslow, dimana faktor hygiene sama dengan kebutuhan tingkat rendah dari teori hierarki kebutuhan Maslow dan faktor intrinsik (motivator) sama dengan kebutuhan tingkat tinggi dari teori
hierarki
Maslow
(dalam
Luthans,
2006).
Faktor
hygiene
hanya
meningkatkan motivasi sampai dengan batas tertentu dan menjadi titik awal atau landasan untuk motivasi. Secara umum, motivasi intrinsik diartikan sebagai kekuatan yang muncul dari dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Brehm dan Kassin (1993) mengatakan bahwa motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri individu. Motivasi intrinsik merupakan suatu bentuk motivasi yang memiliki kekuatan besar dimana seseorang merasa nyaman dan senang dalam melakukan tugas yang disesuaikan dengan nilai tugas itu (Deci & Ryan ,1987). Menurut Beach (1975), motivasi intrinsik merupakan suatu hal yang terjadi selama seseorang menikmati suatu aktivitas dan memperoleh kepuasan selama terlibat dalam aktivitas tersebut. Self Determination Theory (Ryan & Deci, 2000) mengartikan motivasi intrinsik sebagai suatu dorongan untuk melakukan sesuatu karena minat dalam mencapai kepuasan atau hal yang menyenangkan. Seseorang yang punya motivasi intrinsik tinggi akan berusaha untuk memilih tugas-tugas yang membuat mereka
10 dapat mengembangkan kemampuan baru, dapat melatih kreativitas, dan menjadi sangat terlibat pada pekerjaan mereka (Amabile, Hill, Hennesey & Tighe, 1994). Penelitian ini lebih menfokuskan pada penggunaan dimensi-dimensi motivasi intrinsik yang dikembangkan oleh Campbell dan Pritchard (dalam Dunnette dan Hough, 1976) berdasarkan teori dua faktor dari Herzberg, yaitu: a. Prestasi (achievement), merupakan keinginan individu untuk menyelesaikan tugas dengan melibatkan usaha individu dalam menghadapi persaingan dan tantangan. b. Penghargaan (recognition), merupakan keinginan individu untuk mendapatkan pengakuan sosial atas kemampuan atau keahliannya dalam menyelesaikan tugas yang rumit dan penting. c. Tanggung jawab (responsibility), merupakan keinginan individu untuk dapat melakukan tugas dan tanggung jawab yang baik dan memadai. d. Kemajuan (advancement), merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa pekerjaan yang diperoleh sekarang ini memberikan kemajuan dalam bekerja, pekerjaan memberikan kesempatan individu untuk menambah wawasan, mengembangkan bakat dan kemajuan. e. Perkembangan (development), merupakan suatu kondisi dimana individu merasakan bahwa pekerjaan yang ada saat ini mampu memberikan kemajuan tidak hanya dalam bidang pekerjaan namun meluas pada bidang kehidupan. f. Pekerjaan itu sendiri (the work it self),
merupakan suatu kondisi dimana
individu merasa senang dengan pekerjaannya karena pekerjaan itu sendiri. Individu menyukai pekerjaan tersebut karena diikuti dengan minat, bakat yang dimiliki.
11 Sanusi dan Sutikno (2009) mengatakan bahwa perubahan gaya kepemimpinan bisa menyebabkan perubahan iklim atau bahkan budaya dalam suatu organisasi. Pemimpin masa depan merupakan seorang yang mampu membentuk suatu kultur atau sebuah sistim nilai berdasarkan prinsip prinsip yang kuat, membentuk kultur dalam suatu organisasi yang dipimpinnya, memiliki kemampuan menghadapi tantangan yang besar oleh perkembangan yang dinamis (Muchtarom, 2010). Seni kepemimpinan yang baik diperlukan untuk memimpin di organisasi yang bersifat sipil, oleh karena itu pemimpin harus memiliki gaya kepemimpinan tersendiri diantaranya seperti gaya kepemimpinan transformasional (Burns, 1978). Kartini
(1994)
menyatakan
bahwa
fungsi
kepemimpinan
adalah
memandu, menuntun, membimbing, membangun, memotivasi, dan membuat jaringan komunikasi serta membawa pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju berdasarkan ketentuan waktu dan perencanaan. Setiap pemimpin akan memperlihatkan gaya kepemimpinannya lewat ucapan, sikap, tingkah laku yang dirasakan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Gaya kepemimpinan yang tepat akan menimbulkan motivasi anggotanya untuk berprestasi dalam bekerja. Sukses dan tidaknya karyawan dalam berkerja dapat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya. Seorang pemimpin dituntut untuk memberikan perhatian lebih guna memenuhi kebutuhan karyawan di tempat kerja sehingga karyawan memiliki motivasi tinggi, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi (Borhani, Jalali, Abbaszadeh, & Haghdoost, 2013). Bass (1985) mengembangkan teori gaya kepemimpinan berdasar dua konstrak utama, yaitu kepemimpinan transformasional dan transaksional. Moss dan Ritosa (2007) menyatakan bahwa pembedaan dua gaya kepemimpinan ini
12 pertama kali ditemukan oleh Burns melalui pemeriksaan terhadap para pemimpin politik,
tetapi
kemudian
disempurnakan
oleh
Bass.
Kepemimpinan
transformasional terjadi ketika pemimpin mampu menghasilkan kesadaran pada karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok diatas kepentingan pribadi, sehingga secara sadar bersedia untuk mendukung pencapaian tujuan dan misi organisasi, sedangkan kepemimpinan transaksional menentukan adanya proses pertukaran untuk memenuhi kebutuhan karyawan, sehingga kedua belah pihak merasakan manfaat atas transaksi pertukaran tersebut (Bass, 1990). Perbedaan dua gaya kepemimpinan ini kemudian diteliti oleh Limsila dan Ogunlana (2008) yang menemukan bahwa kepemimpinan transformasional mampu menciptakan efektivitas, kepuasan, motivasi berusaha, dan komitmen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional. Hal ini disebabkan
karena
pemimpin
transformasional
akan
membicarakan
visi
bersama, menetapkan ekspektasi yang tinggi atas kinerja karyawan, mengenali adanya perbedaan individu, dan menunjukkan dukungan sehingga pemimpin terlihat karismatik di hadapan karyawan, menginspirasi, menstimulasi intelektual karyawan, dan mampu memenuhi kebutuhan emosional karyawan (Bass, 1990). Kepemimpinan
transformasional
merupakan
kepemimpinan
yang
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu (Yukl, 2010). Liu, dkk. (2010) menjelaskan bahwa salah satu aspek dalam kepemimpinan transformasional yaitu individual consideration mencerminkan perilaku pemimpin yang menunjukkan kepedulian terhadap perasaan dan kebutuhan pengikut. Pemimpin yang transformasional bersedia menyediakan waktu dan berempati untuk mendengarkan bawahan. Hal ini kemudian dapat meningkatkan ikatan emosional karyawan, kepuasan kerja, serta menurunkan
13 stres (Sharifirad, 2013). Wright, Monyhan, dan Paandey (2012) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh penting secara tidak langsung terhadap misi valensi melalui pengaruhnya terhadap kejelasan tujuan organisasi dan mendorong motivasi pelayanan. Penelitian yang dilakukan Park dan Rainey (2008) menemukan bahwa kepemimpinan organisasi bisa berperan dalam membina motivasi pelayanan publik dan misi valensi. Penerapan kepemimpinan transformasional dalam sebuah organisasi akan membuat para bawahan merasa dipercaya, dihargai, loyal, dan respek kepada pimpinannya. Hal ini menyebabkan bawahan akan memiliki motivasi untuk melakukan tugas lebih dari yang diharapkan (Avolio, Zhu, Koh, & Bhatia, 2004). Ho (2012) juga menyampaikan bahwa kepemimpinan transformasional mempengaruhi komitmen organisasi dimana pemimpin memberikan inspirasi atas motivasi bawahan, kecerdasan dan etika kerja serta memperkuat bimbingan kerja, menciptakan visi, mendorong inovasi, mendukung, dan memperhatikan individu. Pandangan lain disampaikan Walumbwa, Wang, Lawler, dan Shi (2004) menyatakan bahwa pemimpin transformasional dapat menumbuhkan loyalitas karyawan dengan bertindak sebagai role model. Karyawan akan menunjukkan rasa hormat, rasa percaya, dan mengidentifikasi diri secara emosional terhadap atasan dan organisasi. Perilaku pemimpin ini kemudian memunculkan rasa keterikatan emosional bawahan yang kuat terhadap organisasi, sehingga mereka akan bersikap loyal dan termotivasi untuk bekerja secara optimal bagi kemajuan organisasi. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Joo, Yoon, dan jeung (2012), Moss dan Ritosa (2007), serta Ho (2012) mengungkap kepemimpinan transformasional dengan mengacu pada aspek-aspek yang disampaikan oleh
14 Bass (1990). Terdapat 4 aspek yang digunakan untuk mengukur kepemimpinan transformasional yaitu: 1. Idealized influence/Charisma Pemimpin menumbuhkan kesadaran atas visi dan misi, menanamkan kebanggan, serta mampu mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari bawahan. 2. Inspirational motivation Pemimpin mengkomunikasikan adanya harapan tinggi atas kinerja bawahan, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya, serta mampu mengungkapkan tujuan penting melalui penggambaran yang sederhana. 3. Intellectual stimulation Pemimpin berupaya untuk meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, dan kemampuan pemecahan masalah bawahan. 4. Individual consideration Pemimpin memberikan perhatian pribadi, memperlakukan setiap karyawan secara individual, bersedia bertindak sebagai pelatih, dan memberikan saran pada bawahan. Menurut Burns (1978) untuk memperoleh model yang lebih baik tentang kepemimpinan transformasional, maka gaya kepemimpinan transformasional perlu dipertentangkan dengan gaya kepemimpinan transaksional. Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai gaya kepemimpinan yang berdasarkan otoritas birokratis dan legitimasi pada organisasi, mengedepankan standar kerja dan tugas, berorientasi tugas, fokus pada penyelesaian tugas pegawai, dan menggunakan penghargaan dan hukuman operasional untuk mempengaruhi kinerja pegawai.
15 Bass (dalam Yukl, 1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin transaksional dengan bawahan tercermin dari tiga hal, yaitu: 1. Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan. 2. Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan. 3. Pemimpin
responsif
terhadap
kepentingan
pribadi
bawahan
selama
kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan bawahan. Bass
(1990)
mengemukakan
bahwa
karakteristik
kepemimpinan
transaksional terdiri dari dua aspek, yaitu: 1. Imbalan kontingen. Pemimpin memberitahu bawahan tentang apa yang harus dilakukan bawahan jika ingin mendapatkan imbalan tertentu dan menjamin bawahan akan memperoleh apa yang diinginkannya sebagai pengganti usaha yang telah dilakukan. 2. Manajemen eksepsi. Pemimpin
berusaha
mempertahankan
prestasi
dan
cara
kerja
dari
bawahannya. Apabila ada kesalahan yang dilakukan bawahan maka pemimpin baru bertindak untuk memperbaikinya. Manajemen eksepsi dibagi menjadi dua, yaitu: a. Manajemen eksepsi aktif. Pemimpin secara aktif mencari kesalahan bawahannya, dan jika ditemukan akan mengambil tindakan seperlunya. b. Manajemen eksepsi pasif.
16 Pemimpin hanya bertindak jika ada laporan kesalahan, sehingga tanpa ada informasi/laporan maka pemimpin tidak mengambil tindakan apa-apa. Ryff (1989) mendefinisikan psychological wellbeing sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri (penerimaan diri), hubungan positif dengan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup
mereka
lebih
bermakna,
serta
berusaha
mengeksplorasi
dan
mengembangkan dirinya. Psychological wellbeing pada karyawan didefinisikan sebagai keadaan emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian seorang karyawan atas pekerjaan dan pengalamannya (Sharifirad, 2013). Harter, Schmidt, dan Keyes (2012) menilai psychological wellbeing sebagai kondisi emosional dan penilaian positif karyawan terhadap hubungan di tempat kerja, sehingga berdampak pada kinerja dan kualitas hidup. Sharifirad (2013) menilai bahwa psychological wellbeing pada karyawan menjadi tema yang menarik perhatian para peneliti karena dianggap mampu mengurangi efek negatif dari stres di tempat kerja seperti frustasi, depresi, kecemasan serta berbagai penyakit fisik termasuk penyakit kardiovaskular dan tekanan darah tinggi. Beberapa dampak yang ditimbulkan ini dinilai dapat mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan (Voorde, Paauwe, & Veldhoven, 2012). Deci dan Ryan (2000) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki rasa kompeten terhadap pelaksanaan tugas atau aktivitasnya, akan meningkatkan motivasi intrinsik dari seseorang tersebut dalam bertindak atau beraktivitas. Kemampuan seseorang untuk memilih cara bagaimana mengerjakan suatu aktivitas dapat menunjukkan adanya peningkatan motivasi intrinsik (Enzle,
17 Regeveen dan Look, 1991). Hal ini disebabkan oleh adanya rasa bahagia atau sejahtera (psychological wellbeing) dalam melakukan tugas atau aktivitasnya. Penelitian yang dilakukan Rehman, Malik, dan Taj (2006) menunjukkan bahwa profesional medis yang berusia lebih tua memiliki psychological wellbeing dan motivasi kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesional medis yang usianya lebih muda dalam bidang pelayanan publik. Hasil penelitian yang dilakukan
Kaur
(2013)
menemukan
bahwa
kesejahteraan
psikologis
(psychological wellbeing) memiliki peran penting dalam meningkatkan motivasi karyawan. Psychological wellbeing yang dirasakan karyawan dalam organisasi memfasilitasi motivasi karyawan untuk berusaha bekerja yang lebih baik, membangun kepercayaan diri, mengembangkan bakat, aktif dalam kerja sama tim, meningkatkan komitmen karyawan, semangat juang yang tinggi, produktif, efisiensi, pelayanan yang baik dan kualitas kehidupan pribadi yang lebih baik. Kesejahteraan mental (psychological wellbeing) karyawan memiliki dampak yang signifikan pada tingkat motivasinya dan memfasilitasi pencapaian tujuan perusahaan. Karyawan dengan pencapaian wellbeing akan mengalami proses peleburan self image menjadi organizational image (Munir, dkk., 2012), sehingga menganggap bahwa kesuksesan organisasi menggambarkan kesuksesan pribadinya sehingga bersedia mengerahkan usaha atau termotivasi secara lebih demi pencapaian tujuan organisasi. Gaol (2014) menyatakan bahwa untuk mempertahankan karyawan, perusahaan mengadakan program keselamatan, kesehatan, serta program pelayanan. Program keselamatan dan kesehatan kerja untuk memelihara kondisi fisik karyawan, sedangkan program pelayanan untuk memelihara kondisi mental dan motivasi kerja karyawan (Gaol, 2014). Program
18 pelayanan yang dimaksud disini adalah program psychological wellbeing karyawan. Menurut Katsikas (2009), performa seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh adanya keterampilan fisik semata, akan tetapi juga dipengaruhi oleh adanya keadaan psikologis pada diri seseorang tersebut. Kondisi psikologis seseorang yang merasakan dirinya dalam keadaan sejahtera (psychological wellbeing) akan berpengaruh terhadap motivasinya dalam bekerja. Motivasi yang timbul dari dalam diri dapat mempengaruhi kinerja (performance) anggota kepolisian, baik dalam hubungannya dengan internal organisasi maupun eksternal organisasi, yaitu masyarakat sebagai obyek pelayanan Polri (Subhan, 2009). Motivasi intrinsik memiliki hubungan dengan perilaku berorientasi pelayanan pelanggan (Lestari, Etikariena, & Tobing ,2014 dan Noor & Muhammad ,2005). Robbin dan Judge (2012) menyatakan bahwa motivasi disebabkan oleh arah tujuan individu. Seseorang yang memiliki perasaan nyaman dan senang (psychological wellbeing) sebagai karyawan maka akan muncul motivasi dari dalam dirinya (intrinsik) untuk menunjukkan perilaku memberikan pelayanan yang baik. Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur psychological wellbeing mengacu pada pandangan Palmer (2005), yaitu: 1. Manageable workload Kemampuan karyawan untuk mengelola beban kerja yang tinggi sehingga tidak memberikan konsekuensi negatif sebagai dampak dari overwork (Casey & James, 2005). Overwork sendiri berkaitan dengan situasi dimana karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan hingga tidak memiliki cukup waktu dan sumber daya untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan baik (Maslach & Leiter, 2001).
19 2. Personal control at work Menunjukkan adanya evaluasi subjektif dari individu sebagai cerminan dari penilaian individu tersebut tentang sejauh mana dirinya mampu mengontrol situasi kerjanya (Dudek, Merecz, dan Makowska, 2002). 3. Support from supervisor and colleagues Supervisor
merupakan
pihak
yang
mengimplementasikan
kebijakan
organisasi. Ketika karyawan merasa bahwa atasan cenderung positif ke arah mereka dan memperhatikan kesejahteraan, maka hal ini dapat bertindak sebagai sumber daya psikologis maupun emosional yang penting. Situasi ini kemudian dapat mengurangi ketegangan karyawan akibat tuntutan pekerjaan (Selvarajan, Cloninger, & Singh, 2013). Dukungan yang diberikan oleh atasan berhubungan positif dengan kepuasan kerja, sedangkan dukungan yang diberikan
rekan
kerja
berhubungan
negatif
dengan
intensi
untuk
meninggalkan organisasi (Burke, Moodie, Dolan, & Fiksenbaum, 2012). 4. Positive relationship at work Kondisi, proses, dan mekanisme dalam hubungan organisasi yang mampu meningkatkan kapasitas individu untuk berkembang dan belajar sehingga berhasil dalam menghasilkan sesuatu yang baru bagi organisasi. Hal tersebut kemudian memunculkan adanya ketahanan kerja baik di level individu, kelompok, maupun organisasi (Dutton & Ragins, 2007). 5. A reasonably clear role Aspek ini dapat dijelaskan sebagai kejelasan peran yang menunjukkan adanya perasaan subjektif karyawan tentang cukup atau tidaknya jumlah informasi relevan yang diterima atas perannya (Minda, 2000). Karyawan dengan kejelasan peran yang tinggi akan memiliki pemahaman yang lebih
20 jelas terkait persyaratan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan baik (Whitaker, Dahling, & Levy, 2007). 6. A sense of control of involvement Apostolou (2000) memandang setiap karyawan sebagai manusia yang unik, bukan seperti mesin serta terlibat dalam membantu pencapaian tujuan organisasi. Masukan yang disampaikan oleh masing-masing karyawan akan dihargai dan dipertimbangkan oleh pihak manajemen. Karyawan dan pihak manajemen mengakui bahwa setiap karyawan terlibat dan berperan dalam menentukan kelangsungan bisnis organisasi. Keterlibatan karyawan ini merupakan proses memberdayakan karyawan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan manajerial dan peningkatan kegiatan sesuai dengan level karyawan tersebut di organisasi. Penelitian
Kelloway
dan
Barling
(2010)
menemukan
bahwa
kepemimpinan transformasional memiliki hubungan positif dengan indikator psikologis, antara lain quality work life, kepuasan kerja, psychological well being dan kebahagiaan. Penelitian yang dilakukan oleh Weberg (2010), Munir, Nielsen, Garde, Albertsen, dan Carneiro (2012), Liu, Siu, dan Shi (2010), serta Sharifirad (2013) menunjukkan adanya peran kepemimpinan transformasional atasan dalam memunculkan psychological wellbeing karyawan. Gilbreath dan Benson (2004) meneliti pengaruh perilaku pengawasan atasan (pemimpin) terhadap wellbeing karyawan dengan menggunakan perbandingan antara pengawasan struktural dan pengawasan yang disertai perhatian (pengawasan positif). Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku pengawasan positif dengan gaya kepemimpinan transformasional (misalnya: mengontrol karyawan secara lebih sering, berkomunikasi dan mengaturnya secara baik, memperhatikan karyawan
21 dan kesejahteraannya) membuat kontribusi yang signifikan secara statistik terhadap psychological wellbeing karyawan yang melebihi dari pengaruh faktor lainnya, seperti usia, gaya hidup, dukungan sosial dari rekan kerja dan rumah, stres kerja dan pengalaman hidup. Penelitian Van Dierendonck, Haynes, Borrill, dan Stride (2004) menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan yang berkualitas tinggi berhubungan kuat dengan peningkatan psychological wellbeing karyawan. Penelitian Bono dan Ilies (2006) menunjukkan bahwa pemimpin transformasional memungkinkan pengikut mereka untuk mengalami emosi positif. Kepemimpinan transformasional dapat mengurangi stres kerja yang dialami individu sebagai dampak adanya fungsi mentoring yang diterima bawahan (Sosik & Godshalk, 2000). Penelitian Arnold, Turner, Barling, Kelloway, dan McKee (2007) menemukan adanya hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan psychological wellbeing yang dimediasi secara penuh atau sebagian oleh penemuan makna dalam pekerjaan. Nielsen, Yarker, Randall, dan Munir (2009) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional dapat memastikan terciptanya psychological wellbeing, dimana karyawan merasa memiliki kontrol terhadap dirinya sebagai individu dan juga sebagai bagian dari kelompok yang kompeten. Sharifirad (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepemimpinan transformasional dan psychological wellbeing pada karyawan. Hasil ini didukung oleh Liu, dkk. (2010) yang menyatakan bahwa kepemimpinan positif
(transformasional)
dimana
pemimpin
menunjukkan
semangat,
keterampilan, dan kepercayaan diri untuk menginspirasi bawahan akan memiliki potensi untuk berdampak jangka panjang bagi bawahan seperti kepercayaan, komitmen, dan psychological wellbeing.
22 Weberg (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki hubungan positif terhadap kepuasan kerja, kesehatan, dan psychological wellbeing karyawan. Penelitian Munir, dkk. (2012) menemukan adanya
hubungan
psychological
positif
wellbeing.
antara
Pemimpin
kepemimpinan transformasional
transformasional dipandang
dan
mampu
mencegah terjadinya psychological wellbeing yang rendah karena pemimpin menginspirasi karyawan untuk berkembang dalam pekerjaannya. Selain itu, pemimpin juga memberikan perhatian secara personal kepada karyawan serta mendukung terciptanya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. West, Borrill, Dawson, Scully, Carter, Anelay, Patterson, dan Waring (2002) menyampaikan bahwa kepemimpinan transformasional memberikan kesempatan pada individu untuk mengevaluasi kompetensi dan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan di tempat kerja sehingga berdampak pada tingkat kepuasan kerja dan psychological wellbeing karyawan. Kepemimpinan transformasional mampu mendukung bawahan melalui pemberian umpan balik yang efektif dan komunikatif. Kepemimpinan transformasional menghasilkan hubungan positif antara atasan dan bawahan untuk memenuhi kebutuhan karyawan sehingga tercipta kualitas hidup yang positif, termasuk psychological wellbeing (Ghadi, Fernando, & Caputi, 2010). Menurut Maddock dan Fulton (1998), kepemimpinan adalah motivasi dan seorang pemimpin adalah motivator, obyek orientasi bawahannya, membantu survive, harapan, teman, serta membantu penyesuaian diri bagi karyawan. Lingkungan kerja yang kondusif sangat penting diciptakan oleh pemimpin agar karyawan merasa nyaman (psychological wellbeing) dalam melaksanakan tugas dan termotivasi secara intrinsik untuk mencapai kinerja (performance) terbaik.
23 Perasaan nyaman dan kondisi yang menyenangkan dalam lingkungan kerja dapat didefinisikan sebagai qualilty of work life (Huang, Lawler, & Lei, 2007). Salah satu bentuk quality of work life adalah kesejahteraan mental (psychological wellbeing). Penelitian, buku, dan literatur tentang kepemimpinan sudah banyak sekali, namun literatur tentang kepemimpinan dalam kaitannya dengan motivasi masih sedikit (Maddock & Fulton, 1998). Seorang pemimpin organisasi sangat perlu mengetahui tentang apa yang bisa memotivasi karyawan, pelanggan, pasien, dan bahkan untuk dirinya sendiri. Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian tentang motivasi, lebih dalam lagi yaitu tentang motivasi intrinsik yang masih sedikit dilakukan penelitian. Social Cognitive Theory mampu menjelaskan keempat variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Social Cognitive Theory yang dikemukakan Bandura (2002) mengatakan bahwa manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Asumsinya adalah bahwa faktor dari dalam dan luar individu saling mempengaruhi untuk membentuk suatu perilaku. Faktor dari dalam yang dimaksud adalah faktor-faktor personal seperti belief, emotion, expectations, dan self perception, sedangkan faktor dari luar seperti reward, punishment, kondisi lingkungan, dan lain-lain (Feist & Feist, 2008). Berkaitan dengan penelitian ini, maka motivasi intrinsik dapat terbentuk melalui faktor eksternal yaitu hubungan anggota Polri dengan atasannya (kepemimpinan transformasional atau kepemimpinan transaksional) dan faktor internal yaitu persepsi dirinya terhadap kesejahteraan mentalnya (psychological wellbeing).
24 Peneliti ingin mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional terhadap motivasi intrinsik, baik secara langsung atau melalui mediator psychological wellbeing. MacKinnon, Coxe, dan Baraldi (2012) menyatakan bahwa hubungan mediasi terjadi ketika variabel bebas
mempengaruhi
varabel
mediator,
selanjutnya
variabel
mediator
mempengaruhi variabel tergantung. Hal ini menjelaskan bahwa variabel mediator merupakan variabel yang mentransmisikan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung. Oleh karena itu, variabel mediator merupakan variabel yang berada di urutan kausal antara dua variabel yaitu variabel bebas dan tergantung (MacKinnon, Fairchild, & Fritz, 2007). Berdasarkan penjelasan dari artikel dan penelitian terdahulu yang sudah diuraikan dari awal, maka peneliti melihat adanya
sebuah
hubungan
antara
kepemimpinan
transformasional
dan
kepemimpinan transaksional dengan psychological wellbeing dan hubungan antara psychological wellbeing dengan motivasi intrinsik. Sesuai dengan cita-cita reformasi Polri untuk menjadi polisi sipil setelah terpisah dari ABRI, maka salah satu metode yang bisa dilakukan untuk meningkatkan motivasi intrinsik anggota Polri dalam melaksanakan tugas pelayanan adalah perubahan gaya kepemimpinan transformasional para pimpinan/atasan Polri. Hal ini dikarenakan motif bawahan dalam bertugas di bawah kepemimpinan transformasional merupakan motif dan kebutuhan tingkat tinggi, bermotivasi intrinsik, dan moral, yaitu: penghargaan diri dan aktualisasi diri (Bass, 1999). Dengan demikian, anggota Polri dalam bertugas lebih didasari rasa tulus dan ikhlas dalam melayani masyarakat dan tidak mengharapkan imbalan atas pelayanan yang diberikan.
25 Aspek-aspek dalam kepemimpinan transformasional (Bass, 1999) relevan dengan pencapaian motivasi intrinsik anggota Polri. Aspek idealized influence seorang pemimpin transformatif mampu mempengaruhi anggotanya untuk bersedia mengedepankan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi. Pemimpin transformatif memiliki visi dan tujuan yang jelas, mampu membangun kepercayaan dan rasa hormat dari anggotanya. Pemimpin transformatif mampu menunjukkan bahwa bersama-sama mereka mampu mencapai kinerja melampui standar dan memfasilitasi berbagai upaya yang dilakukan anggotanya untuk mencapai tujuan.
Pemimpin yang menunjukkan inspirational motivation akan
mendorong anggotanya untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya. Hal ini disebabkan
pemimpin
mampu
menginspirasi
anggota
untuk
mengatasi
penurunan kondisi psikologis dengan menanamkan kekuatan dalam mengatasi rintangan atau hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas. Selanjutnya, intellectual stimulation yang dilakukan pemimpin transformatif dapat secara aktif menstimuli, mendukung dan mengembangkan ide-ide baru / kreatif dan cara-cara baru dalam melaksanakan tugas, sehingga lebih efektif dan efisien. Aspek terakhir
berkaitan
memberikan
dengan
perhatian
individual
consideration,
kebutuhan-kebutuhan
dimana
anggota
dan
pemimpin potensi
pengembangannya, antara lain melalui pendelegasian, bimbingan, dan umpan balik kerja yang bersifat konstruktif. Berdasarkan uraian di atas maka kepemimpinan transformasional mampu meningkatkan motivasi intrinsik anggota Polri dalam bekerja dengan cara mempengaruhi anggota untuk mengutamakan kepentingan organisasi (institusi) Polri, menginspirasi anggota untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya, menstimuli ide-ide inovatif dan kreatif, meningkatkan motif anggota pada tingkat
26 yang lebih tinggi, yaitu: self-esteem dan aktualisasi diri (bentuk pencapaian psychological
wellbeing
yang
tinggi).
Dengan
demikian,
penerapan
kepemimpinan transformasional diharapkan mampu meningkatkan psychological wellbeing anggota dan selanjutnya dapat memicu motivasi intrinsik anggota Polri dalam bertugas memberikan pelayanan prima kepada masyarakat secara tulus, ikhlas, dan humanis. Hal ini dikarenakan motivasi intrinsik memiliki peran terhadap perilaku yang berorientasi pelayanan (Lestari, Etikariena, & Tobing, 2014 dan Noor & Muhammad, 2005). Menurut Burns (1978) untuk memperoleh model yang lebih baik tentang kepemimpinan transformasional, maka gaya kepemimpinan transformasional perlu dipertentangkan dengan gaya kepemimpinan transaksional. Oleh karena itu,
untuk
lebih
meyakinkan
ketepatan
pemilihan
gaya
kepemimpinan
transformasional dalam meningkatkan motivasi intrinsik anggota Polri, maka peneliti ingin menguji dengan gaya kepemimpinan lainnya, yaitu kepemimpinan transaksional. Peneliti ingin menguji juga peran kepemimpinan transaksional terhadap motivasi intrinsik, baik secara langsung maupun melaui mediator psychological wellbeing. Perbedaan dua gaya kepemimpinan ini telah diteliti oleh Limsila dan Ogunlana (2008) yang menemukan bahwa kepemimpinan transformasional mampu menciptakan efektivitas, kepuasan, motivasi kerja, dan komitmen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional. Hal ini disebabkan karena pemimpin transformasional akan membicarakan visi bersama, menetapkan ekspektasi yang tinggi atas kinerja karyawan, mengenali adanya perbedaan individu, dan menunjukkan dukungan sehingga pemimpin terlihat karismatik di hadapan karyawan, menginspirasi, menstimulasi intelektual karyawan, dan mampu memenuhi kebutuhan emosional karyawan (Bass, 1990).
27 Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, maka peneliti tertarik untuk menguji peran kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap motivasi intrinsik, baik secara langsung maupun dengan peran psychological wellbeing sebagai mediator seperti terlihat dalam kerangka penelitian di bawah ini:
Kepemimpinan Transformasional
Motivasi Intrinsik
Psychological Wellbeing
Kepemimpinan Transaksional
Gambar 2. Kerangka Penelitian
Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menguji
peran
kepemimpinan
transformasional dan kepemimpinan transaksional terhadap motivasi intrinsik melalui peran mediator psychological wellbeing.
Hipotesis Penelitian 1. Kepemimpinan transformasional berperan secara efektif terhadap motivasi intrinsik dengan melalui peran mediator psychological wellbeing.
28 2. Kepemimpinan transaksional tidak berperan secara efektif terhadap motivasi intrinsik dengan melalui peran mediator psychological wellbeing.