PERESAPAN BAHAN PENGAWET 1. Faktor-faktor terhadap Peresapan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peresapan kayu dapat dibedakan faktor dari luar dan faktor dari dalam kayu. Faktor dari luar meliputi
Metode pengawetan
Lama perlakuan
Jemis bahan pengawet
Konsentrasi bahan pengawet
Viskositas larutan atau suhu larutan
Tekanan yang digunakan
Garis perekat menghalangi peresapan
Faktor dari dalam kayu meliputi
Kadar air kayu
Kayu gubal atau teras
Jenis kayu atau struktur kayu
Aspirasi noktah
Casehardening Dalam hal struktur kayu, yang berpengaruh pada peresapan yalah diameter noktah dan jumlah noktah per satuan luas. Kerapatan kayu tidak berpengaruh pada peresapan karena kerapatan tidak mempengaruhi permeabilitas dinding sel. Permeabilitas dipengaruhi oleh adanya ekstraktif, resin dan endapanendapan lain di dalam kayu seperti tilosis dan kapur. Aspirasi noktah terjadi pada pengeringan kayu dengan oven. Aspirasi noktah
dapat diperbaiki dengan cara pengukusan. Kcepatan peresapan arah longitudinal yang terjadi pada ujung-ujung kayu jauh lebih besar daripada peresapan lateral. Hal ini disebabkan karena peresapan longitudinal dipengaruhi oleh gaya kapiler dari pori-pori kayu. Pada bahan pengawet larut air kecepatan peresapan longitudinal dapat mencapai 20 kalinya peresapan lateral, sedangkan dengan bahan pengawet larut minyak, 15 kalinya.
Universitas Gadjah Mada
2. Absorbsi, Retensi dan Penetrasi Bahan Pengawet
Absorbsi didefinisikan sebagai jumlah larutan bahan pengawet yang meresap ke dalam kayu segera sesudah proses pengawetan selesai, dinyatakan dalam berat per satuan volume kayu. Absorbsi lazim dinyatakan dalam kg per meter kubik volume kayu. Dengan demikian rumus absorbsi sebagai berikut: Berat kayu sesudah -
Berat kayu sebelum
diawetkan (kg)
diawetkan (kg)
Absorbsi = Volume kayu (m3) Retensi adalah jumlah bahan pengawet tanpa pelarut yang meresap dan tertinggal di dalam kayu. Untuk menghitung retensi dapat dilakukan dua cara sebagai berikut. Petama, retensi teoritis, yang dilakukan dengan mengalikan absorbsi dengan konsentrasi larutan. Retensi teoritis = Absorbsi x Konsentrasi larutaan Kedua, retensi aktual atau retensi yang nyata-nyata ada di dalam kayu, yaitu dengan menghitung selisih berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan pada kadar air yang sama. Apabila kadar air sama tersebut disebut kadar air kering udara, maka rumus retensi aktual sebagai berikut. Berat kayu kering udara sesudah diawetkan (kg)
Bertat kayu kering udara -
sebelum diawetkan (kg)
Retensi aktual = Volume kayu (m3) Absorbsi dan retensi bahan pengawet dinyatakan di dalam satuan berat maka konsentrasi larutan bahan pengawet harus dihitung atau diukur menurut perbandingan berat. Dengan demikian maka di dalam larutan dengan konsentrasi 1% terdapat satu gram bahan pengawet di dalam 100 gram larutan, atau 1 kg bahan pengawet di dalam 100 kg larutan. Karena larutan terdiri atas bahan yang dilarutkan (yaitu bahan pengawet) dan pelarut_ maka di dalam larutan dengan konsentrasi 1%, terdapat 1 gram
Universitas Gadjah Mada
bahan pengawet dan 99 gram pelarut di dalam 100 gram larutan, atau 1 kg bahan pengawet dan 99 kg pelarut di dalam 100 kg larutan. Apabila pelarutnya air, maka 99 gram air volumenya 99 cm3 dan 99 kg air volumenya 99 dm3 atau 99 liter. Contoh perhitungan. 1) Sebatang kayu gergajian berukuran 8x10x400 cm diawetkan dengan Impralit CKB konsentrasi 5%. Berat awal kayu 20,736 kg. Segera sesudah diawetkan, beratnya menjadi 22,5 kg. Berapa retensi teoritis yang dicapai? Penyelesaian Volume kayu = 0,08 x 0,10 x 4 m3 = 0,032 m3 Absorbsi total = (22,5 — 20,376) kg = 2,124 kg Retensi total = 2.124 kg x 0,05 = 0,1062 kg 0,1062 kg = 3,319 kg/m3
Retensi = 0,032 m3
2) Pada contoh di atas apabila diinginkan retensi 6,5 kg/m, sampai berat berapa kayu harus diawetkan? Penyelesaian Retensi 6,5 kg m, berarti retensi total = 6,5 kg/m x 0,032 m = 0,208 kg 0.208 kg Absorbsi total = __________ = 4,16 kg 0,05
Berat kayu segera sesudah diawetkan = 20,736 kg + 4,16 kg = 24,896 kg
Untuk memperoleh retensi aktual, kayu harus memiliki kadar air yang sama pada saat sebelum dan sesudah diawetkan. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan mengkondisikan kayu tersebut di dalam suatu ruangan yang sama pada kondisi suhu dan kelembaban yang sama, sampai diperoleh kadar air seimbang. Kadar air seimbang
Universitas Gadjah Mada
ini terjadi manakala kayu tidak berkurang lagi beratnya atau beratnya menjadi konstan. Penetrasi bahan pengawet yalah kedalaman peresapan bahan pengawet di dalam kayu, diukur dalam mm, cm atau inci. Untuk mengukurnya, sesudah kayu diawetkan dan dikering-udarakan, kayu dibelah atau dipotong melintang pada jarak yang cukup dari Ujung kayu. Apabila penetrasi sukar diamati, diperlukan pereaksi kimia untuk memperjelas warna baham pengawet di dalam kayu. Di bawah ini diberikan 4 perekasi kimia, masing-masing untuk mengamati penetrasi Cu (tembaga), As (arsen), B (boron) dan F (fluor) yang terkandung dalam bahan pengawet yang meresap di dalam kayu.
Uji penetrasi tembaga Pereaksi: Larutan bufer A. 1 bagian amonia pekat 6 bagian air suling B. 5 gram asam rubianat dalam 900 ml alkohol + I00 ml aseton Semprotkan atau laburkan larutan A, kemudian larutan B. Kehadiran tembaga ditunjukkan oleh warna gelap kebiruan.
Uji penetrasi arsen Pereaksi: A. 2,5 g kalium iodida I,3 g iod (I2) B. 1 g kanji 87 ml air suling Campurkan I ml larutan A dengan 32 ml larutan B. Laburkan atau semprotkan pada permukaan kayu yang diawetkan. Biarkan selama beberapa menit. Kehadiran As (III) ditunjukkan oleh hilangnya warna biru.
Uji penetrasi boron Pereaksi: A. 2 g ekstrak kurkuma dalam I00 ml alkohol B. 80 ml alkohol + 20 ml HCl yang dijenuhkan denganasam salisilat Semprotkan atau laburkan perekasi A, kemudian pereaksi B pada potongan melintang contoh uji. Kehadiran boron ditunjukkan oleh warna merah jambu.
Universitas Gadjah Mada
Uji penetrasi fluor Pereaksi: A. 1 g zirkon-oksichlorida 47 ml HC1 70 ml air suling B. 1 g alizarin-3 asam sulfonat natrium 119 g air suling Semprotkan atau laburkan pereaksi A, kemudian pereaksi B pada bidang potongan kayu. Kehadiran fluor ditunjukkan oleh warna merah jambu.
Manakah yang lebih penting, retensi ataukah penetrasi? Keduanya penting. Proses pengawetan harus menghasilkan retensi dan penetrasi tertentu. Untuk keperluan bahan bangunan di Indonesia, disyaratkan penetrasi minimim 10 mm untuk semua jenis bahan pengawet larut air. Persyaratan retensi berbeda-beda tergantung jenis bahan pengawet dan tempat penggunaannya. Di bawah ini diberikan persyaratan retensi untuk masing-masing bahan pengawet larut air untuk keperluan bahan bangunan di Indonesia (Tabel 7). Menurut standard komersial CS 250-62 dari AWPA (American Wood Preserver's Association), untuk pancang laut S. Pine, peresapan minimum 4 inci atau minimum 90% kayu gubal dan retensi minimum 25 pcf (bahan pengawet larut minyak) pada 3 inci terluar dari 20 pengeboran. Standard CS 249-62 untuk pancang Douglas _fir, kayu gubal minimum 1 inci, penetrasi minimum 1 inci atau 85% kayu gubal apabila kayu gubal lebih besar dari 1 inci dan retensi minimum 20 pcf dalam 2 inci terluar pengeboran. Retensi untuk bahan pengawet larut air 1/3 sampai I pcf (pound per cubic foot) dan lebih tinggi untuk lingkungan yang lebih keras. Untuk kreosot di darat, 6-I0 pcf untuk bantalan, 8-10 pcf untuk tiang dan 8-12 pcf untuk kayu dan papan.
Universitas Gadjah Mada
Tabel 7. Persyaratan Retensi Bahan Pengawet Larut Air Untuk Keperluan Perumahan di Indonesia Retensi (kg/m3) Al A2 Tanalith CT 106 Bahan aktif garam anhidrida 4,6 6,6 4,6 6,6 Formulasi Celcure A (P) Bahan aktif garam 5,6 8,0 Formulasi 5,9 8,4 Kemira K33 Bahan aktif oksida 3,3 4,7 Formulasi 4,6 6,6 Osmose K33 Bahan aktif oksida 3,4 4,8 4,7 Formulasi 6,7 Wolmanit CB Bahan aktif garam 8,0 11,4 Formulasi 8,2 11,7 Diffusol CB Bahan aktif pram anhidrida 6,4 9,1 Formulasi 6.4 9,1 Impralit CKB Bahan aktif garam 8,0 11,4 Formulasi 8,2 11,7 Basilit CFK Bahan aktif garam 6,0 8,6 Formulasi 6,0 8,6 Koppers Formula 7 Bahan aktif garam 6,0 8,6 Formulasi 6,0 8,6 6,0 8,6 Celsol Bahan aktif garam Formulasi 10,1 7, Keterangan: Al. penggunaan di bawah atap tanpa kontak langsung 1 dengan tanah; A2, Jenis bahan pengawet
Jenis retensi
penggunaan di luar atap tanpa kontak langsung dengan tanah. Sumber: Martawijaya, A dan S. Abdurrohim (1984)
Universitas Gadjah Mada