14
BAB II TINJAUAN TEORITIS KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR
2.1
SUMBERDAYA TANAH DAN AIR
Tanah dan air merupakan sumberdaya paling fundamental. Tanah merupakan media utama dimana manusia bisa mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, tambang dan tempat dilaksanakannya berbagai aktifitas. Air merupakan zat kehidupan, dimana tidak satupun makhluk hidup yang tidak membutuhkan air. 2.1.1 Fungsi Tanah Secara fisik, tanah merupakan benda heterogen yang terbentuk dari partikel-partikel mineral organik dari berbagai ukuran. Diantara partikel-partikel tersebut terdapat poripori yang berisi air dan udara, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk oleh hasil kerja interaksi antara iklim (i) dan jasad hidup (o) terhadap suatu bahan induk (b) yang dipengaruhi oleh topografi (r) dan waktu (w). Fungsi hubungan tersebut adalah sebagai berikut:
T = ∫ ( i , o , b , r , w) Di mana T adalah tanah dan masing-masing perubah adalah faktor-faktor pembentuk tanah tersebut di atas. Sebagai produk alami yag heterogen dan dinamik, maka ciri perilaku tanah berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dan berubah dari waktu ke waktu. Berdasarkan nilai kegunaannya, tanah digolongkan ke dalam 3 (tiga) jenis nilai (jayadinata, 1999 : 28), yaitu: 1. Nilai keuntungan, yaitu nilai yang berkaitan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas. 2. Nilai kepentingan umum, yaitu nilai yang berkaitan dengan pelayanan dan perbaikan kehidupan masyarakat. 3. Nilai sosial, yaitu hal mendasar bagi kehidupan manusia yang memuat nilai pelestarian, tradisi dan kepercayaan.
15
2.1.2 Air Tanah Air tanah merupakan sumber air tawar yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan air bersih serta irigasi lahan pertanian. Berbeda dengan air permukaan, air tanah memiliki vitalitas yang lebih besar dalam pemenuhan kebutuhan kegiatan penduduk. Faktorfaktor yang mendorong pemilihan air tanah lebih besar dibandingkan dengan air pemukaan (Suripin, 2004 : 141) antara lain: 1. Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga kebutuhan bangunan / jaringan pendistribusi air lebih murah. 2. Debit (produksi) air tanah relatif lebih stabil pada kondisi tertentu. 3. Relatif lebih bersih dari pencemaran dibanding air permukaan. 4. Kualitasnya lebih seragam 5. Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut atau tumbuhan dan binatang air. Akifer atau kantong penyimpanan air tanah di bawah permukaan bumi terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu akifer dangkal dengan kedalaman antara 5 – 7,5 m serta akifer dalam dengan kedalaman lebih dari 25 m. 2.1.3 Hubungan Antara Air dan Tanah Sebagaimana dijelaskan, bahwa air potensial yang banyak digunakan bagi kebutuhan kegiatan penduduk adalah air tanah. Dalam skema penyimpanan air di dalam tanah terdapat proses yang disebut dengan infiltrasi tanah, yaitu gerakan peresapan air yang menembus pori tanah secara vertikal. Lapisan-lapisan tanah yang dilalui oleh air hingga tertangkap oleh akifer digambarkan sebagai berikut:
16
Muka Tanah
Intermadiate Zone
Zona Kapiler
Zona Jenuh
Muka Air Tanah
Zona Hampir Jenuh
Zona Aerasi
Zona Tak Jenuh
Soil – Water Zone & Zona Akar
Akifer (Air Tanah)
Lapisan Kedap Air Sumber: Sarief, 1985
Gambar 2.1 Pembagian Profil Tanah
Menurut Gambar diatas, definisi-definisi parsial ruang di bawah tanah di definisikan sebagai berikut: Lapisan tak jenuh adalah lapisan yang tidak seluruh pori-pori mikro tanah terisi air. Bila sejumlah air terdapat di permukaan tanah, karena penyesuaian tegangan, dibantu oleh gaya gravitasi, air tersebut akan mengalir melalui pori-pori besar, akan membasahi seluruh profil kecuali bila ada lapisan kedap yang menghalanginya. Lapisan jenuh air adalah lapisan yang seluruh pori-pori tanah terendam air. Air yang ditambahkan pada permukaan tanah, baik yang berasal dari hujan maupun
17 irigasi, akan menembus permukaan tanah, mula-mula mendesak udara pori makro, kemudian pori mikro. Gaya-gaya yang bekerja pada gerakan ke bawah ini adalah gaya gravitasi dan gaya kapiler. Porositas adalah persentasi bagian suatu mineral yang berupa pori-pori terhadap volume totalnya. 2.2
TATA GUNA LAHAN
Menurut istilah geografi umum, ruang (space) adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang permukaan bumi melingkupi setinggi lapisan atmosfer. Ruang permukaan bumi yang secara spasial luas, unsur-unsur di dalamnya berubah baik oleh faktor alam maupun perbuatan manusia. Menurut geografi regional, ruang merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografi. Batas geografi adalah batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya. Sehingga penggunaan lahan dapat berarti pula tata ruang (Jayadinata 1999 : 12). Menurut FAO (1995), lahan memiliki fungsi sebagai berikut (dalam: Rayes, 2006 : 2) : Fungsi Produksi, yaitu sebagai basis bagi berbagai sistem penunjang kehidupan melalui produksi biomassa yang menyediakan makanan serta bahan biotik lainnya bagi manusia. Fungsi pengatur iklim, yaitu sebagai sumber dan rosot gas rumah kaca dan menentukan neraca energi global bagi pantulan, serapan dan transformasi dari energi radiasi matahari dan daur hidrologi global. Fungsi hidrologi, yaitu sebagai pengatur simpanan dan aliran sumber daya air tanah dan air permukaan serta mempengaruhi kualitasnya. Fungsi penyimpanan, yaitu merupakan sumber berbagai bahan mentah dan mineral untuk dimanfaatkan manusia. Fungsi pengendali sampah dan polusi, yaitu sebagai penerima, penyaring, penyangga dan pengubah senyawa-senyawa berbahaya. Fungsi ruang kehidupan, yaitu sebagai penyedia sarana fisik untuk tempat tinggal manusia, industri dan aktivitas sosial lainnya.
18 Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan masyarakat tentang bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. 2.2.1
Perencanaan Tata Guna Lahan
Perencanaan tata guna lahan merupakan inti praktek perencanaan kota dan wilayah, sehingga merupakan kunci untuk mengarahkan pembangunan. Oleh sebab perencanaan kota / wilayah bersifat menyeluruh dan integral, maka suatu rencana tata guna lahan merupakan unsur fungsional dari suatu proses menyeluruh. Proses perencanaan tata guna lahan dapat dilihat pada bagan sebagai berikut (Catanese 1996 : 271): Hasil pemantauan dan kondisi-kondisi yang berubah
Identifikasi masalah dan peluang masyarakat
Kumpulan informasi
Pelaksanaan program
Analisis informasi
Mewujudkan rencana menjadi program
Menentukan sasaransasaran masyarakat
Pemilihan rencana yang dikehendaki
Membandingkan rencanarencana alternatif
Menciptakan rencanarencana alternatif
Gambar 2.2 Proses perencanaan tata guna lahan Sumber : Catanese 1996 : 271
Berdasarkan diagram tersebut, dapat diketahuhi bahwa proses perencanaan tata guna lahan
secara umum tidak jauh berbeda dari proses perncanaan aspek lain. Proses
tersebut menggambarkan bahwa perencanaan tata guna lahan merupakan bagian dari proses perencanaan yang lebih lengkap. Sebagai contoh bahwa tahap identifikasi permasalahan, pengumpulan informasi dan analisa data sudah terlaksana pada proses perencanaan yang lebih komprehensif. 2.2.2 Kawasan Budidaya Kawasan budidaya adalah suatu wilayah yang dimanfaatkan untuk kegiatan manusia dalam rangka kegiatan dan penghidupannya. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang diharapkan dapat menampung semua kegiatan masyarakat, pemerintah dan swasta
19 dengan tetap mempertahankan asas penatagunaan tanah yaitu lestari, optimal dan seimbang. Strategi pokok dalam pengembangan kawasan budidaya adalah sebagai berikut (Revisi RTRW Kabupaten Subang 2003 - 2012): 1. Pengelolaan kawasan budidaya melalui pemanfaatan sumber daya wilayah secara optimal dengan batasan daya dukung lingkungan. 2. Penentuan prioritas dalam pemanfaatan kawasan budidaya agar terjadi efisiensi dalam penggunaan sumber daya wilayah dan tujuan-tujuan pokok pengembangan wilayah dapat tercapai. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan budidaya agar tidak terjadi konflik antar sektor kegiatan. 2.2.3 Kawasan Lindung Pola pengelolaan kawasan lindung meliputi langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung. Langkah-langkah pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya antara lain (Kodoatie, 2003 : 112) : Mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan selalu dapat terjamin. Mengendalikan hidrologis wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta untuk melindungi ekosistem yang khas di kawasan bergambut. Memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Strategi pokok pengembangan kawasan lindung berdasarkan Revisi RTRW Kabupaten Subang 2003-2012 adalah sebagai berikut : 1. Pemantapan fungsi kawasan lindung sesuai dengan arahan menurut Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Pemantapan kawasan lindung diarahkan pula pada perlindungan kawasan pesisir (hutan mangrove) berupa perlindungan keanekaragaman biota serta ekosistemnya dan melindungi kawasan rawan bencana. 2. Pencegahan kegiatan budidaya di atas kawasan lindung, kecuali kegiatan yang tidak mengganggu fungsi lindung.
20 3. Pemantauan dan pengendalian kegiatan budidaya yang telah berlangsung di atas kawasan lindung agar tidak menimbulkan gangguan terhadap fungsi lindung. 4. Penertiban terhadap kegiatan budidaya yang telah berlangsung di atas kawasan lindung yang terbukti telah menimbulkan gangguan fungsi lindung. 5. Melakukan rehabilitasi terhadap kawasan lindung yang telah mengalami kerusakan untuk mengembalikan fungsinya. 2.2.4 Perubahan Penggunaan Lahan Amatan spasial terhadap karakteristik binaan suatu wilayah menyangkut berbagai perspektif, diantaranya sudut pandang ekonomi sebagai aktor penggerak pertumbuhan wilayah. Perekonomian mendominasi alasan suatu pembangunan infrastruktur dilakukan dengan mengedepankan asas pemerataan pelayanan penduduk (Tarigan, 2006). Sebagaimana disebutkan dalam bahasan sebelumnya, terdapat 3 (tiga) tujuan utama pembangunan dalam konteks pengembangan wilayah, yaitu (Pastor et al., 2000 : 155): 1. Mewujudkan pertumbuhan ekonomi, meliputi; penciptaan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas serta sinergisitas pasar antar wilayah. 2. Menciptakan keberlanjutan lingkungan, meliputi; efisiensi sumber daya alam serta perbaikan kondisi lingkungan. 3. Membangun kerangka sosial yang kuat.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tata Guna Lahan Penentu dalam tata guna lahan bersifat sosial, ekonomi, dan kepentingan umum (Jayadinata 1999 : 157). 1. Perilaku masyarakat Dalam penggunaan lahan terdapat nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola tradisional dan sebagainya. Tingkah laku atau tindakan manusia menunjukkan cara bagaimana manusia atau masyarakat bertindak dalam hubungannya dengan nilai-nilai (values) dan cita-cita (ideas) mereka. Nilai dan cita-cita tersebut merupakan hasil pengalaman manusia dalam perekonomian dan kebudayaan tertentu dari keadaan tertentu, dan merupakan pelengkap dari naluri-naluri dasar dalam kehidupan manusia. Tingkah laku dan kehidupan manusia mempunyai sebab
21 dan tujuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai. Tingkah laku manusia dalam tata guna lahan disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi. Hal yang menentukan nilai tanah secara sosial dapt diterangkan dengan prose ekologi yang berhubungan dengansifat fisik tanah , dan dengan proses organisasi yang berhubungan dengan masyarakat yang semua mempunyai kaitan dengan tingkah laku dan perbuatan kelompok masyarakat. Tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh: -
Konsentrasi penduduk
-
Pemusatan dan pemencaran, atau terkumpulnya penduduk disebabkan oleh prasarana sosial ekonomi.
-
Segregasi penduduk (terkumpulnya kelompok sejenis sehingga terpisah dari kelompok yang lain).
-
Dominasi penduduk atau hal yang menonjol (misalnya prestise untuk tinggal di bagian kota tertentu).
-
Serbuan penduduk atau invasi dari kelompok lain yang berbeda dalam keadaan sosial, ekonomi dan budaya. Jika kelompok baru mengalahkan kelompok lama , hal itu disebut dengan suksesi.
2. Kepentingan umum sebagai penentu Kepentingan umum yang menjadi penentu dala tata guna lahan meliputi kesehatan, keamanan, moral dan kesejahteraan umum (termasuk kemudahan, kenikmatan dan keindahan) dan sebagainya. Di dalam kota harus terdapat pengaturan untuk penyediaan hal-hal tertetu bagi kehidupan sosial keluarga dan masyarakat, seperi pemenuhan kesehatan, pemenuhan pendidikan dan estetika serta beberapa perlindungan terhadap kecapaian, polusi udara, cahaya matahari, bahaya moral dan sebagainya. Pengaturan dapat berbentuk ukuran seperti rapat penduduk, luas rumah dan halaman, pencegahan polusi, penggunaan tertentu bagi tempat-tempat yang berbahaya (banjir dan sebagainya), pengaturan lalu lintas, penempatan lokasi industri, penyediaan ruang terbuka dan sebagainya. 3. Penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi Dalam kehidupan ekonomi, daya guna dan biaya adalah penting. Oleh karena itu diadakan pengaturan tempat sekolah agar ekonomis, program rekreasi yang ekonomis berhubungan dengan pendapatan per kapita dan
22 sebagainya. Pola tata guna lahan yang disebabkan oleh kehidupan ekonomi dapat diterangkan melalui teori jalur terpusat, teori sektor dan teori pusat lipatganda.
Alih Fungsi Lahan Nilai lahan dapat berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat pengelolanya. Perubahan nilai lahan inilah yang selanjutnya mendorong terjadinya konversi lahan. Penentuan nilai lahan yang ditetapkan berdasarkan keuntungan ekonomis berpengaruh terhadap terhadap proses konversi lahan ke penggunaan lain, misalnya lahan pertanian ke lahan perumahan. Hal ini disebabkan tingkat produktivitas kegiatan yang dilakukan pada suatu lahan dapat menyebabkan kecenderungan konversi sehingga produktivitas dan nilai lahan menjadi lebih tinggi. (Pohan, 1999. Dalam Firdaus, 2005 : 37). Konversi lahan secara umum dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi guna lahan menjadi penggunaan lain yang disebabkan oleh berubahnya nilai guna suatu lahan. Nilai guna yang berubah dapat berupa tingkat harga atau jenis manfaat misalnya manfaat sosial, layanan publik, budaya dan sejarah. Istilah lain yang sama adalah alih fungsi lahan yakni perubahan fungsi atau konversi yang menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya alam dari satu penggunaan ke penggunaan lain. (Kustiwan, 1996. Dalam Firdaus, 2005 : 37). Alih fungsi lahan dipengaruhi oleh banyak faktor baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal konversi lahan meliputi; pertumbuhan rumah tangga petani pengguna lahan, perubahan luas penggunaan lahan, potensi lahan dan aktor yang terlibat dalam penggunaan lahan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari: pertumbuhan penduduk, pergeseran struktur ekonomi wilayah dan pengembangan kawasan terbangun.
Pendapat Kivell (1993) Mengenai Perubahan Penggunaan Lahan Kivell (1993) berargumen bahwa beberapa hal mendasar terbentuknya sebuah pola penggunaan lahan pada suatu wilayah adalah adanya kekuatan dari kebijakan pengembangan wilayah, faktor ketersediaan lahan, serta pola perkembangan perekonomian. Kivell menjelaskan bahwa faktor perkembangan penduduk pada suatu kondisi bukan merupakan faktor utama penyebab perubahan guna lahan hijau menjadi
23 kawasan terbangun. Sebagaimana argumentasi Bourne (1976) (dalam Kevill, 1993), terdapat 4 faktor utama penyebab perubahan penggunaan lahan, yaitu: 1. Eksistensi dari urban edge, yaitu faktor sub urbanisasi 2. Restrukturaisasi atau pembaharuan di pusat wilayah 3. Pengembangan infrastruktur, terutama jaringan transportasi 4. Faktor pengembangan industri yang menjauhi pusat kota atau spill over effect dari kegiatan industri, serta berkembangnya wilayah pinggiran sebagai pusat kegiatan tertentu Khusus dalam kausel ke empat, Kivell (1993) berpendapat bahwa kegiatan industri yang melahirkan sektor non basis merupakan faktor signifikan berubahnya wajah fisik suatu wilayah. Perubahan tersebut diterjemahkan sebagai berkembangnya sektor sekunder dan tersier, maupun berkembangnya sektor primer tertentu untuk memenuhi bahan baku industri. 2.3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERESAPAN AIR HUJAN
2.3.1 Proses Peresapan Air ke Dalam Tanah Kawasan resapan air berfungsi untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah resapan air tanah untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir baik untuk kawasan bawahnya maupun kawasan yang bersangkutan. Dalam mengkaji peresapan air hujan, dikenal beberapa definisi istilah sebagai berikut : Presipitasi adalah volume air hujan yang turun dikurangi penguapan (evaporasi dan evapotransiprasi). Refleksi dari presipitasi menjadi 2 (dua), yaitu limpasan permukaan (run off) dan peresapan ke dalam tanah. (Lisley, 1982 dalam Susilawati, 2000 : 28). Dalam formula, diterjemahkan sebagai berikut :
P = Ro − I ............................................................................................... (2-1) Dimana: P
= Presipitasi (mm)
Ro
= Limpasan Permukaan (mm)
I
= Infiltrasi (mm)
Infiltrasi adalah proses meresapnya air ke dalam tanah melewati permukaan tanah. (Sarief, 1985 : 234) Perkolasi adalah pergerakan air di dalam tanah melalui soil moisture zone (lingkungan sejumlah kecil air si antara sela-sela tanah yang menyebabkan
24 kebasahan tanah) pada unsaturated zone, sampai mencapai muka air tanah pada saturated zone. (Sarief, 1985 : 234) Presipitasi dengan intensitas i
Infiltrasi
Perkolasi
Aliran Air Permukaan
Aliran Air Tanah
Sumber : Sarief, 1985 : 234
Muka Tanah
Muka Air Tanah
Gambar 2.3 Komponen-Komponen Aliran Air Di Atas dan Di Dalam Tanah
Kapasitas Infiltrasi (fp) adalah kecepatan infiltrasi maximum yang bisa terjadi. Kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh kondisi permukaan, termasuk lapisan tanah paling atas. Kecepatan Infiltrasi (fa) adalah kecepatan infiltrasi yang terjadi sesungguhnya. Kecepatan infiltrasi dipengaruhi oleh intensitas hujan dan kapasitas infiltrasi. Apabila i < fp, maka fa
25 2.3.2
Faktor Alamiah
2.3.2.1 Karakteristik Hujan Karakteristik hujan diterjemahkan sebagai lamanya hujan dan intensitas hujan yang terjadi. Durasi hujan lebat akan menyebabkan pengurangan kapasitas infiltrasi secara konstan, karena: Pemadatan permukaan tanah yang terjadi karena pukulan butir-butir air hujan. Pembengkakan tanah liat (clay) serta butiran-butiran humus. Penyumbatan pori-pori dengan partikel-partikel kecil yang terbawa masuk bersama dengan air hujan. Terjeratnya gelembung-gelembung udara dalam pori-pori. 2.3.2.2 Kondisi Permukaan Tanah Kondisi permukaan tanah yang sangat berpengaruh terhadap infiltrasi adalah ada atau tidak adanya tanaman. Akar membuat tanah lebih porus, serta jalan akar mempermudah perpindahan air sehingga akibatnya aliran permukaan lebih kecil, sedangkan kemungkinan air untuk berinfiltrasi lebih besar. Penutup tanaman (daun dan batang) melindungi tanah terhadap peristiwa pemadatan tanah oleh butiran air hujan dengan jalan mengintersepsi lebih dahulu. Akar tanaman mengikat partikel-partikel dengan cara mekanik (pergerakan), sehingga mencegah tergerusnya partikel-partikel tersebut (peristiwa erosi). Pada tanah gundul / kosong, kelembaban tanah akan berkurang, sehingga terjadi pemadatan tanah oleh butir-butir air hujan serta penggerusan partikel-partikel halus. 2.3.2.3 Topografi Derajad kemiringan dan panjang lereng merupakan dua sifat utama dari topografi yang mempengaruhi kemampuan resap lahan terhadap air hujan. Makin curam dan panjang sebuah lereng makin besar pula kecepatan limpasan air, sehingga peresapan yang terjadi kecil. 2.3.2.4 Jenis Tanah Jenis tanah merupakan sistematika pengelompokan atau penamaan tanah berdasarkan karakteristik tanah. Kapasitas infiltrasi pada beberapa jenis tanah dijelaskan sebagai berikut:
26 Tabel 2.1 Kapasitas Infiltrasi Beberapa Macam Tanah No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Tanah Pasir Bergeluh (loamy sand) Geluh (loam) Geluh Berliat (silt loam) Geluh Berlempung (clay loam) Lempung (clay)
Kapasitas Infiltrasi (mm/jam) 25 - 40 12,5 – 25 7,5 – 15 0,5 – 2,5 <0,5
Sumber: Arsyad (1976), dalam Suripin, 2004 : 51.
Jenis tanah yang terdapat di wilayah studi memiliki karakteristik sebagai berikut (Suripin, 2001): Alluvial adalah Tanah endapan baru, berlapis-lapis dengan kandungan pasir kurang dari 60%. Umumnya jenis tanah Alluvial memiliki tingkat permeabilitas yang cukup baik Latosol adalah Tanah dengan kadar liat lebih dari 60%, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam. Umumnya kurang permeabel Regosol adalah Tanah bertekstur kasar dengan kandungan pasir lebih dari 60%. Umumnya berdrainase baik namun peka terhadap erosi. 2.3.2.5 Jenis Batuan Penyusun Sifat batuan yang terdapat di bawah lapisan mempengaruhi proses infiltrasi air ke dalam tanah oleh gaya gravitasi dan tarikan hisapan (hidraulik). Sifat batuan di bawah lapisan tanah menentukan kecepatan infiltrasi air. Menurut Suripin (2001), semakin tinggi tingkat permeabelitas maka semakin baik dalam mendukung peresapan air. Batuan yang memiliki rongga atau pori besar, serta banyak mengandung pasir dan kerikil cenderung lebih permeabel. 2.3.3 Kemampuan Resap Berdasarkan Pola Penggunaan Lahan Tata guna lahan akan berpengaruh terhadap persentase air yang meresap ke dalam tanah dengan aliran permukaan (limpasan). Pada lahan yang banyak tertutup beton bangunan, air hujan yang mengalir di permukaan akan lebih besar dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah. Hubungan antara tata guna lahan dengan daya resap tanah terhadap air hujan dijelaskan sebagai berikut.
27 Tabel 2.2 Daya Resap Tanah Pada Berbagai Kondisi Permukaan Tanah Kondisi Permukaan Tanah Daya Resap Tanah Terhadap Air Hujan (%) 1. Daerah hutan, pekarangan lebat, kebun, ladang berumput 80-100 2. Daerah taman kota 75-95 3. Jalan tanah 40-85 4. Jalan aspal, lantai beton 10-15 5. Daerah dengan bangunan terpencar 30-70 6. Daerah permukiman kepadatan sedang 5-30 7. Daerah permukiman padat 10-30 Sumber: Kusnaedi, 2002 : 10 No.
Volume air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah dialirkan sebagai limpasan permukaan (run off). Limpasan permukaan memiliki pengertian sebagai bagian dari air hujan yang jatuh di atas daerah tangkapan yang dikeluarkan dari daerah tersebut dalam bentuk aliran. Perbandingan antara bagian hujan yang membentuk limpasan langsung dengan total hujan yangb terjadi disebut dengan koefisien pengaliran. Nilai koefisien pengaliran dipengaruhi oleh tata guna lahan, kemiringan lahan, jenis dan kondisi tanah. Besarnya koefisien pengeliran disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 2.3 Nilai Koefisien Pengaliran Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah No. I.
II. III.
IV. V. VI. VII. VIII. IX.
Jenis Permukaan Lahan Rerumputan a. Tanah Pasir dengan kelerengan 2% b. Tanah Pasir dengan kelerengan 2-7% c. Tanah Pasir dengan kelerengan >7% d. Tanah Gemuk dengan kelerengan 2% e. Tanah Gemuk dengan kelerengan 2-7% f. Tanah Gemuk dengan kelerengan >7% Perdagangan a. Daerah Kota Lama b. Daerah Pinggiran Perumahan a. Perumahan tidak padat (20 rumah/ha) b. Perumahan kepadatan sedang (20-60 rumah/ha) c. Perumahan padat (60-160 rumah/ha) Industri a. Daerah Ringan b. Daerah Berat Pertamanan / Makam Kawasan Hutan Kawasan Perkebunan Kawasan Pertanian (Sawah, Tegalan) Jalan a. Aspal b. Beton c. Batu
Sumber: Milam, 1998 & Susilawati, 2000
Nilai f 0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35 0,75 – 0,95 0,50 – 0,72 0.25 – 0.40 0.40 – 0.70 0.70 – 0.80 0,50 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,05 – 0,2 0,05 – 0,3 0,27 - 0,47 0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85
28
Untuk mengetahui jumlah air hujan yang meresap kedalam suatu kawasan dipergunakan formula perhitungan Sunarto (1985) yaitu:
Ia =
cH ( βA) ............................................................................................(2-2) 1000
Dimana: Ia
= Imbuhan Alami (m3/tahun)
c
= Angka koefisien resap (c = 1 – f)
H
= Curah hujan tahunan (mm/tahun)
ßA
= Luas Kawasan Guna Lahan
Hasil perhitungan menggunakan formula ini digunakan untuk mengkaji besarnya peresapan air yang terjadi dari intensitas hujan tertentu. Berdasarkan perhitungan ini kondisi permukaan tanah merupakan faktor penentu terjadinya peresapan air. Nilai koefisien resap (c) merupakan angka yang menggambarkan kondisi permukaan tanah tertentu dimana semakin kecil faktor perkerasan tanah, semakin besar nilai resapannya. 2.4
KONSERVASI LAHAN
Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan dalam konteks melindungi sistem tata air merupakan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Prinsip dasar dari kajian konservasi adalah perencanaan berbasis lingkungan. Muatan perencanaan tersebut mengandung 3 (tiga) nilai pokok, yaitu (Kozlowski et. Al., 1986 : 1) : 1. Pembangunan dan transformasi lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan manusia. 2. Preservasi dan perlindungan elemen-elemen lingkungan terhadap dampak negatif dari kegiatan manusia dan bencana alam. 3. Rehabilitasi dan restorasi elemen lingkungan yang telah mengalami kerusakan atau degradasi. Berdasarkan prinsip konservasi tersebut, arah konservasi peresapan air dalam kerangka pengembangan wilayah mencakup 3 (tiga) nilai regionalisme, yaitu sinergisitas antara
29 efficiency regionalism, equity regionalism serta environmental regionalism yang diterjemahkan dalam 2 (dua) kajian (Pastor et al., 2000 : 156), yaitu : 1. Konservasi tanah dan air. 2. Pengendalian pertumbuhan, pembangunan dan pengembangan wilayah. 2.4.1
Konservasi Tanah
2.4.1.1 Konservasi Secara Vegetatif
Upaya konservasi tanah dan air ada dapat dilakukan melalui upaya konservasi secara vegetatif (Wani 2001 : 109). Konservasi tanah secara vegetatif pada lahan non pertanian dilakukan penanaman pada seluruh lahan sepanjang waktu. Jika pada upaya konservasi tanah dengan cara mekanis hanya dapat diperoleh manfaat dengan adanya penurunan laju erosi, maka dengan cara vegetatif diperoleh dua manfaat sekaligus yaitu penurunan laju erosi dan peningkatan kemampuan peresapan air. Penurunan laju erosi yang diperoleh dari cara vegetatif terjadi karena adanya penurunan energi hujan (sebagai akibat adanya intersepsi oleh tajuk daun) yang sampai ke permukaan tanah, dan sekaligus adanya penurunan volume serta kecepatan limpasan permukaan. Penurunan volume limpasan permukaan ini terjadi karena adanya perbaikan sifat fisik tanah, dalam hal ini struktur dan ruang pori tanah, sehingga jumlah air yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi) menjadi besar. Pada dasarnya semua jenis tanaman dapat digunakan untuk pekerjaan konservasi tanah dan air, namun pemilihan jenis tanaman akan sangat menentukan keberhasilan upaya konservasi. Jika dalam konservasi tanah juga diharapkan terjadi konservasi air, maka penggunaan tanaman yang mempunyai laju evapotranspirasi tinggi (misalnya pinus) supaya dihindari. Persyaratan pemilihan tanaman bagi metode konservasi ini antara lain: 1. Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga membentuk jaringan akar yang rapat. 2. Pertumbuhannya cepat, sehingga mampu menutup tanah dalam waktu singkat. 3. Mempunyai nilai ekonomis, baik kayu maupun hasil sampingannya. 4. Dapat memperbaiki kualitas / kesuburan tanah. 2.4.1.2 Konservasi Secara Mekanis
Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi (Kodoatie, 2003 : 239) : Memperlambat aliran permukaan.
30 Menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak tanah. Memperbesar kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi
tanah. Meyediakan air bagi tanaman.
Sedangkan usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam metode mekanis antara lain : Pengolahan tanah Pengolahan tanah menurut garis kontur Pembuatan terras Pembuatan saluran air (waterways) Pembuatan dam pengendali (check dam) 2.4.1.3 Sumur Resapan
Sumur resapan adalah sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah (Kusnaedi 2002 : 1). Sumur resapan merupakan kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi menaikkan air tanah ke permukaan. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah. Fungsi sumur resapan diantaranya adalah: 1. Pengendali banjir 2. Konservasi air tanah 3. Menekan laju erosi Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah. Tujuan utama dari sumur resapan ini adalah memperbesar masuknya air ke dalam tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih banyak masuk ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah
31 pemukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat. Jumlah aliran permukaan akan menurun karena adanya sumur resapan. Pengaruh positifnya bahaya banjir dapat dihindari karena terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat dapat dihindarkan. Menurunnya aliran permukaan ini juga akan menurunkan tingkat erosi tanah. Tabel 2.4 Model Sumur Resapan Kolektif Sesuai Dengan Kondisi Lingkungan Model Sumur Resapan Yang Kedalaman Muka Air Tanah Ketersediaan Lahan Diterapkan Kolam resapan dangkal Dangkal (<5m) Luas Sumur dalam Dalam (>5m) Sempit Parit berorak Dangkal (<5m) Sempit Sumber: Kusnaedi, 2002 : 26
2.4.2
Pengendalian pertumbuhan, pembangunan dan pengembangan wilayah
2.4.2.1 Pendekatan Batas Ambang (Threshold Analysis)
Hal yang mendasari Threshold Analysis adalah munculnya pemahaman terhadap pentingnya memfasilitasi pembangunan dan kelestarian lingkungan / SDA. Perencanaan lingkungan yang rasional mencerminkan sebuah proses konservasi sumber daya wilayah untuk meminimalisasi dampak negatif jangka panjang sebuah komponen lingkungan dari kondisi sekarang (Kozlowski, 1986 : 35). Proses perencanaan lingkungan yang rasional memuat 2 (dua) komponen (IUCN, 1982. dalam Kozlowski, 1986 : 35) : 1. Perencanaan institusional yang ditujukan kepada masyarakat, dan pelaku pembangunan untuk memperhatikan masalah konservasi secara spesifik. 2. Perencanaan fisik untuk memfasilitasi sinergisitas antara lingkungan dengan kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan dari sebuah konservasi. Penjelasan di atas memperjelas bahwa metode perencanaan lingkungan memuat analisis kompleksitas hubungan antara kegiatan penduduk (pembangunan) dengan sumber daya alam. Kegiatan penduduk membutuhkan serta memiliki ketergantungan kepada sumber daya alam, sehingga kegiatan penduduk dan pembangunan harus berdampingan dengan limitasi atau batas ambang sumber daya alam. Kausal tersebut penting terkait kawasan lindung yang memiliki nilai ekologi yang tinggi, sehingga tujuan utama dari
32 perencanaan lingkungan adalah menciptakan basis pemikiran dalam menentukan arah pengelolaan dan pembangunan kawasan lindung. Batas Ambang (Threshold) didefiniskian sebagai batasan / limitasi secara fisik dari perluasan kegiatan pembangunan atau perluasan kota, dimana kegiatan pembangunan pada tahap selanjutnya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana biasanya. 2.4.2.2 Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga prinsip (Sonny 2002 : 175), yaitu: 1. Prinsip demokrasi Prinsip ini menjamin agar pembangunan dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama seluruh rakyat. 2. Prinsip keadilan Prinsip ini pada dasarnya mau menjamin bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut proses pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. 3. Prinsip keberlanjutan Prinsip ini mengharuskan kita untuk merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang, untuk melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya tidak hanya dalam dimensi jangka pendek. Prinsip ini sejalan dengan kenyataan bahwa sumber daya ekonomi terbatas, aspek sosial budaya dan lingkungan hidup adalah aspek yang berdimensi jangka panjang, dan bahwa pembangunan berlangsung dalam ruang ekosistem yang mempunyai interaksi rumit. Prinsip ini mengharuskan kita untuk memilih alternatif pembangunan yang lebih hemat sumber daya dan mampu mensinkronkan aspek konservasi dengan aspek pemanfaatan secara arif.
33
BAB II............................................................................................................................. 14 TINJAUAN TEORITIS KONSERVASI LAHAN UNTUK MELINDUNGI KEMAMPUAN PERESAPAN AIR .............................................................................. 14 2.1 SUMBERDAYA TANAH DAN AIR............................................................ 14 2.1.1 Fungsi Tanah........................................................................................... 14 2.1.2 Air Tanah ................................................................................................ 15 2.1.3 Hubungan Antara Air dan Tanah............................................................ 15 2.2 TATA GUNA LAHAN .................................................................................. 17 2.2.1 Perencanaan Tata Guna Lahan ............................................................... 18 2.2.2 Kawasan Budidaya ................................................................................. 18 2.2.3 Kawasan Lindung ................................................................................... 19 2.2.4 Perubahan Penggunaan Lahan ................................................................ 20 2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERESAPAN AIR HUJAN 23 2.3.1 Proses Peresapan Air ke Dalam Tanah ................................................... 23 2.3.2 Faktor Alamiah ....................................................................................... 25 2.3.2.1 Karakteristik Hujan............................................................................. 25 2.3.2.2 Kondisi Permukaan Tanah.................................................................. 25 2.3.2.3 Topografi ............................................................................................ 25 2.3.2.4 Jenis Tanah ......................................................................................... 25 2.3.2.5 Jenis Batuan Penyusun........................................................................ 26 2.3.3 Kemampuan Resap Berdasarkan Pola Penggunaan Lahan..................... 26 2.4 KONSERVASI LAHAN ................................................................................ 28 2.4.1 Konservasi Tanah ................................................................................... 29 2.4.1.1 Konservasi Secara Vegetatif............................................................... 29 2.4.1.2 Konservasi Secara Mekanis ................................................................ 29 2.4.1.3 Sumur Resapan ................................................................................... 30 2.4.2 Pengendalian pertumbuhan, pembangunan dan pengembangan wilayah 31 2.4.2.1 Pendekatan Batas Ambang (Threshold Analysis) ............................... 31 2.4.2.2 Pembangunan berkelanjutan ............................................................... 32
Tabel 2.1 Kapasitas Infiltrasi Beberapa Macam Tanah.................................................. 26 Tabel 2.2 Daya Resap Tanah Pada Berbagai Kondisi Permukaan Tanah ..................... 27 Tabel 2.3 Nilai Koefisien Pengaliran Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah ............. 27 Tabel 2.4 Model Sumur Resapan Kolektif Sesuai Dengan Kondisi Lingkungan .......... 31 Gambar 2.1 Pembagian Profil Tanah.............................................................................. 16 Gambar 2.2 Proses perencanaan tata guna lahan ............................................................ 18 Gambar 2.3 Komponen-Komponen Aliran Air Di Atas dan Di Dalam Tanah .............. 24