PERENCANAAN PELAYANAN PUBLIK (Studi Penanganan Pengaduan Masyarakat tentang Pelayanan Publik di Bagian Humas, Sekretariat Daerah Kota Parepare, Propinsi Sulawesi Selatan) Nirmalasari Haya, Andy Fefta Wijaya, Imam Hanafi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 163 Malang Email :
[email protected] Abstract: Public Service Planning ( Study of Public Complaint Handling About Public Service in Human Resource Division, Local Secretary of Parepare city Province of South Sulawesi). Handling of complaints as the product of public service in the City of Parepare is a service that accommodates a variety of suggestions, ideas, criticisms and expectations of the people of Parepare. The expectation to provide excellent quality of service in the context of complaint handling that is managed in Public Relations Department of Setdako Pare-Pare, has not been fully realized. Inresponsiveness of service providers units in handling complaints becomes a crucial problem that occurs in this service. Therefore, this study seeks to provide an alternative model as a planning solution for better complaints handling. Planning approach that is used in the context of the handling of complaints in Parepare is top-down and technocratic approaches. This is a qualitative research that aims to describe and analyze the handling of public complaints in the municipal government of Parepare, to examine the public participation in this service, and to review the planning of the service. Keywords: Planning, Public Service, Public Complaint Handling Abstrak: Perencanaan Pelayanan Publik (Studi Penanganan Pengaduan Masyarakat tentang Pelayanan Publik di Bagian Humas, Sekretariat Daerah Kota Parepare, Propinsi Sulawesi Selatan). Penanganan pengaduan masyarakat sebagai produk pelayanan publik di Kota Parepare merupakan layanan yang menampung berbagai saran, ide, harapan maupun kritik dari masyarakat Kota Parepare. Harapan untuk mewujudkan pelayanan berkualitas dalam konteks penanganan pengaduan yang dikelola di Bagian Humas, Setdako Parepare, ternyata belum sepenuhnya terwujud. Ketidakpedulian unit-unit penyelenggara layanan menangani keluhan menjadi persoalan pelik yang terjadi pada layanan ini. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya memberikan model alternatif sebagai solusi untuk merencanakan penanganan pengaduan yang lebih baik. Pendekatan perencanaan yang digunakan dalam konteks penanganan pengaduan masyarakat di Kota Parepare adalah pendekatan teknokratik bersifat top down. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penanganan pengaduan masyarakat di Pemkot Parepare, mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam layanan tersebut, serta menggambarkan tentang perencanaan penanganan pengaduan masyarakat di Pemkot Parepare. Kata Kunci: Perencanaan, Pelayanan publik, dan Penanganan Pengaduan Masyarakat
PENDAHULUAN Konsep otonomi daerah sebagai
rumah tangganya sendiri. Hal ini secara
sebuah kerangka kebijakan desentralisasi
tegas diulas dalam undang-undang nomor
menghasilkan kewenangan yang luas bagi
32 tahun 2004 tentang penyelenggaraan
pemerintah daerah. Implikasi dari penerapan
otonomi daerah. Kewenangan ini menurut
desentralisasi ini memberikan kedaulatan
Syakrani
bagi pemerintah daerah untuk mengatur
mengandung nilai perubahan, transformasi
dan
Syahrani
(2009,
h.
3)
dan
perbaikan
yang
kemudian
Pelayanan. Harapan sederhana dari rumusan
diterjemahkan dalam pencapaian kualitas
perencanaan
menuju tata kelola pemerintahan yang baik
penyelenggaraan pelayanan publik yang
(good governance).
berkualitas.
Perwujudan tata kelola pemerintahan
ini
adalah
Untuk
mendukung
tersebut,
Pemkot
terciptanya
terlaksananya
yang baik antara lain bisa dicapai melalui
misi
penyelenggaraan pelayanan publik yang
membuat kerangka hukum yang mengatur
berkualitas. Oleh karena itu, wajar jika
tentang praktek penyelenggaraan pelayanan
kemudian isu-isu tentang penyelenggaraan
publik. Dasar hukum tersebut adalah Perda
pelayanan berkualitas selalu menjadi topik
Kota Parepare Nomor 9 Tahun 2012 tentang
hangat
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yang
dalam
rumusan
perencanaan
dibuat
maupun daerah. Secara teoritis, perencanaan
perlindungan dan kepastian hukum dalam
diperlukan
hubungan
mengambil
langkah
rangka
telah
pembangunan baik di tingkat nasional dalam
dalam
Parepare
antara
memberikan
pemerintah
daerah,
terbaik untuk mencapai suatu tujuan. Dalam
masyarakat dan penyelenggara pelayanan
pandangan Waterston dalam Conyers (1981,
publik di Kota Parepare.
h. 4) perencanaan diterjemahkan sebagai
Sesungguhnya
esensi
usaha secara sadar, yang terorganisasi dan
dikeluarkannya aturan ini agar pelayanan
dilakukan secara terus menerus untuk
publik
memilih
dari
pelayanan publik yang semestinya. Hal ini
untuk
mengingat dalam praktek penyelenggaraan
sejumlah
alternatif alternatif
yang
terbaik
yang
ada
mencapai tujuan tertentu.
pelayanan
Dalam kaitannya dengan konteks perencanaan
tersebut,
berjalan
publik
kaidah-kaidah
masih
yang
sering
banyak dikeluhkan
untuk
masyarakat. Setidaknya berdasarkan hasil
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
Pusat Studi Kependudukan UGM (2003)
baik menjadi langkah serius yang diambil
dalam Anwaruddin (2004, h. 16) keluhan
Kota Parepare untuk mewujudkan Kota
tersebut terutama berhubungan dengan: (1)
Parepare sebagai kota pelayanan. Langkah
ketidakjelasan
ini menjadi salah satu agenda perencanaan
pelayanan;
Kota Parepare yang dituangkan dalam
diskriminasi pelayanan yang didasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
pada hubungan pertemanan, afiliasi politik,
Daerah (RPJMD) Tahun 2008-2013 yang
etnis, bahkan agama; (3) panjangnya rantai
bertujuan
misi
birokrasi, dan semakin membudayanya suap
pembangunan Kota Parepare sebagai Kota
dan pungutan-liar; (4) orientasi pelayanan
untuk
upaya
ketimpangan
sesuai
mewujudkan
waktu, (2)
biaya,
masih
dan
cara
terdapatnya
yang tidak memuaskan dan (5) budaya
Upaya strategis untuk menciptakan
pelayanan yang berkembang ke arah budaya
layanan pengaduan yang efektif kemudian
kekuasaan; (6) prinsip pelayanan bukan
dirumuskan dalam renstra setdako Parepare.
didasarkan
pada
distrust,
Penerbitan SOP sebagai salah satu harapan
sementara
prosedur
untuk
dari renstra ini pun terwujud di tahun 2011,
untuk
dengan lahirnya Perwali No. 52 tentang
memfasilitasi; dan (7) kewenangan untuk
SOP Penanganan Keluhan Masyarakat. SOP
melayani terdistribusi pada banyak satuan
ini pada hakekatnya bertindak sebagai
birokrasi.
pedoman atau panduan untuk mengarahkan
mengontrol
tetapi
diterapkan
perilaku,
Bagi ketidakpuasan terima
trust
bukan
masyarakat
kritis,
bentuk
jalannya penanganan pengaduan. Namun,
pelayanan
yang
mereka
catatan sms pengaduan pada tanggal 30
layanan
Agustus 2012 dan 15 Oktober 2012 yang
mendorong
pengguna
tersebut mengungkap keluhan-keluhannya
mengungkap
ke berbagai media cetak. Langkah ini
pemerintah terhadap aduan-aduan
ditempuh
penyedia
masuk, sesungguhnya mengindikasikan ada
pelayanan bisa memperbaiki pelayanannya
proses yang tidak berjalan dalam SOP
dan berupaya menciptakan pelayanan yang
tersebut. Padahal sebuah layanan pengaduan
berkualitas. Hal ini terjadi di Kota Parepare.
sejatinya akan bermanfaat, jika aduan
Kehadiran aduan-aduan melalui media lokal
mendapat
setempat yang sejatinya ditujukan kepada
layanan pengaduan seperti dikemukakan
Pemkot Parepare, menggelitik pemerintah
Ombudsman Western Australia (2011, h. 1-
kota untuk membuka layanan pengaduan
5), sebagai sumber perbaikan pelayanan
guna mengakomodir aduan-aduan tersebut.
publik akan lebih mudah dicapai. Kondisi
Oleh karena itu, sejak tahun 2008, Pemkot
ini tentunya bertentangan dengan cita-cita
Parepare membuka layanan pengaduan yang
pemerintah
dikelola di Bagian Humas, Sekretariat
RPJMD, Perda No. 9 Tahun 2012 tentang
Daerah Kota (Setdako) Parepare. Tujuan
Penyelenggararaan Pelayanan Publik serta
awal lahirnya layanan ini adalah untuk
Renstra
menghilangkan sekat antara pemerintah kota
hakekatnya
dan
rangka
menyelenggarakan pelayanan publik yang
menyampaikan keinginan, kebutuhan, ide,
berkualitas dalam rangka mewujudkan Kota
saran maupun kritik masyarakat terhadap
Parepare sebagai Kota Pelayanan.
dengan
masyarakat,
harapan
dalam
pemerintah kota terkait pelayanan dan pembangunan di Kota Parepare.
tentang
tanggapan.
kota
Setdako
ketidakpedulian
Sehingga
yang
Parepare
bertekad
Tujuan
tertuang
dalam
yang
tujuan
dalam
yang kuat
pada untuk
penelitian
ini
adalah mendeskripsikan dan menganalisis
penanganan Pemkot partisipasi
pengaduan
Parepare,
masyarakat
mengkaji
masyarakat
dalam
di
tersebut,
serta
menggambarkan
tentang
perencanaan
layanan
masyarakat di Pemkot Parepare. tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan guna mencapai suatu tujuan. Makna serupa kembali ditegaskan dalam sudut pandang peraturan yang berbicara
TINJAUAN PUSTAKA Secara teoritis penanganan keluhan (complaint handling) diterjemahkan menurut Vos (2008) dalam Arenawati (2011, h. 132), sebagai bentuk kegiatan operasional yang secara langsung ditujukan untuk membantu pelanggan (masyarakat) mengatasi keluhan mereka. Dari defenisi ini, bisa dipastikan bahwa urusan keluhan atau pengaduan masyarakat merupakan praktek pelayanan publik yang perlu diberikan oleh penyedia layanan. Sebagai salah satu produk pelayanan publik, penanganan pengaduan menurut Tang (2009) dalam efficiency unit (2009, h. 2) menjadi simbol ciri pemerintahan yang baik. Jika asumsinya demikian, maka menjadi masuk akallah ketika layanan pengaduan menjadi salah satu target perencanaan yang diagendakan dalam pembahasan perencanaan pembangunan di suatu daerah. Secara teoritis perencanaan berguna untuk menentukan langkah yang tepat dalam rangka mencapai suatu tujuan di masa akan datang. Makna ini sekaligus merupakan esensi dari terjemahan perencanaan seperti dikemukan sejumlah ahli. Waterston dalam Conyers (1981, h. 4) misalnya, memaknai perencanaan sebagai usaha secara sadar, yang terorganisasi dan dilakukan secara terus menerus untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Demikian juga dengan Tarigan (2003, h. 1) yang mendefenisikan perencanaan sebagai suatu
penanganan
tentang
pengaduan
banyak tentang perencanaan. Undangundang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menerjemahkan perencanaan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa yang akan datang secara tepat, melalui urutan pilihan, dengan tetap memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan selanjutnya memiliki beberapa pendekatan. Dalam Peraturan Menteri dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah pendekatan perencanaan pembangunan daerah terdiri atas pendekatan perencanaan teknokratis, partisipatif, politis, top-down dan bottom-up. Wrihatnolo dan Nugroho (2006, h. 157-161), mendefenisikan pendekatan-pendekatan ini sebagai berikut; perencanaan teknokratik dianalogikan sebagai proses perumusan perencanaan yang melibatkan pandangan pengamat profesional, dimana hasil pemikirannya akan dijadikan sebagai kesimpulan yang memuat tentang kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam menyusun perencanaan. Oleh karena itu,
model
perencanaan
ini
kemudian
ditafsirkan sebagai perencanaan yang mengandung perspektif akademis pembangunan. Selanjutnya perencanaan partisipatif merupakan model perencanaan yang menghendaki keterlibatan semua stakeholders. Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, perencanaan partisipatif diwujudkan melalui musyawarah yang melibatkan semua stakeholders dari seluruh aparat penyelenggara negara mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif, serta masyarakat, kaum rohaniwan, pemilik usaha, kelompok professional, organisasiorganisasi non-pemerintah, dan sebagainya. Sementara itu, proses top-down dan bottomup, merupakan proses perencanaan yang antara lain bertujuan untuk menyelaraskan program-program agar dapat menjamin
publik yang merupakan kesimpulan dari defenisi perencanaan (Waterston dalam Conyers) dan arti pelayanan publik (Dwiyanto) secara singkat dapat disimpulkan sebagai usaha secara sadar yang dilakukan dalam memilih alternatif terbaik oleh birokrasi publik dalam rangka memenuhi kebutuhan warga pengguna sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sementara itu, defenisi pengaduan menurut Queensland Government (2006, h. 1) dimaknai sebagai ungkapan ketidakpuasan yang disampaikan secara langsung maupun melalui tulisan oleh masyarakat atas ketidaknyamanan pelayanan maupun sikap dari petugas atau agency dalam memberikan pelayanan.
adanya sinergisitas dari semua kegiatan pemerintah dan masyarakat. Proses topdown dan bottom-up ini sesungguhnya lebih mencerminkan proses dalam pemerintahan, yaitu dari lembaga/departemen dan daerah ke pemerintah pusat. Tulisan ini mengarah pada perencanaan pelayanan publik terkait sektor pengaduan masyarakat. Oleh karena itu, kajian pusataka dalam tulisan ini juga menjelaskan tentang perencanaan pelayanan publik dan pengaduan masyarakat. Secara teoritis, pelayanan publik menurut Dwiyanto (2008, h. 136) merupakan produk birokrasi publik yang diterima warga pengguna maupun masyarakat secara luas yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. Sehingga makna perencanaan pelayanan
Defenisi ini relevan dengan makna pengaduan yang dikemukakan Efficiency unit (2009, h. 6), yang menyebut pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan masyarakat atas implementasi kebijakankebijakan pelayanan dari lembaga penyedia pelayanan, termasuk di dalamnya sikap pegawai yang tidak ramah dalam memberikan pelayanan. Defenisi-defenisi ini menunjukkan bahwa pengaduan berbicara tentang ungkapan atau ekspresi ketidakpuasan pengguna layanan/masyarakat atas pelayanan publik yang diberikan lembaga penyelenggara pelayanan publik. Ini berarti, pengaduan merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat. Partisipasi oleh Dwiyanto (2008, h. 190-191) diakui penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di
era otonomi daerah. Mengutip pendapat Rayner (1997), Dwiyanto menjelaskan bahwa posisi strategis pemerintah daerah adalah sebagai ujung tombak penyedia layanan publik bagi masyarakat. Dimana, salah satu fungsi penting yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menjadi forum dimana masyarakat dapat menegosiasikan apa yang menjadi kepentingan mereka, menyampaikan rasa keprihatinan mengenai masalah-masalah yang mengganggu mereka dan mencari konsensus atau mengakomodasi kepentingan orang lain. Kewenangan yang dimiliki daerah tersebut tentunya dapat mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat apabila pemerintah daerah mampu membangun demokrasi pada tingkat lokal (local level democracy) melalui peningkatan partisipasi publik. Pengaduan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka menyampaikan ide, harapan, saran maupun kritik kepada pemerintah, setidaknya telah menempatkan masyarakat sebagai elemen penting yang terlibat dalam proses pemerintahan di daerah. Dalam sudut pandang administrasi publik, konsep mengedepankan partisipasi warga ini, merupakan ajakan-ajakan yang dikampanyekan dalam teori The New Public Services (NPS). Teori ini menurut Denhardt dan Denhardt, (2003, h. 27), sejatinya berbicara tentang konsep democratic citizenship, yang mendudukkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dalam konteks pelayanan publik. Implikasi logis dari teori ini tentunya mengarah pada
terbukanya keran partisipasi yang luas bagi masyarakat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis perencanaan pelayanan publik tentang sektor penanganan pengaduan masyarakat yang diselenggarakan di Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Parepare. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif secara deskriptif. Lokasi penelitian dipilih di Bagian Humas, Setdako Parepare, karena selain bagian ini menjadi lembaga yang mengelola penanganan pengaduan, juga dikarenakan peneliti memiliki kedekatan secara kultur dan emosional dengan masyarakat Kota Parepare, sehingga lebih memudahkan peneliti untuk memperoleh data penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan melalui kegiatan pengamatan secara langsung untuk melihat kondisi penanganan pengaduan masyarakat di Bagian Humas, Setdako Parepare, yang kemudian diikuti dengan pencatatan tertulis terhadap hasil observasi tersebut. Sementara itu, wawancara dilakukan secara mendalam dengan informan-informan terkait antara lain informan di Bagian Humas Setdako Parepare, Bappeda, Unit-Unit Penyelenggara Pelayanan (SKPD), dan masyarakat. Selanjutnya terkait dokumentasi, dokumen yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dokumendokumen resmi dan dokumentasi foto. Dokumen resmi berupa dokumen-dokumen
perencanaan, dokumen peraturan, dokumen tentang layanan pengaduan masyarakat, grafik sms pengaduan, dan data tentang catatan jumlah sms pengaduan yang masuk, sementara dokumentasi foto berisi tentang foto-foto sosialisasi pengaduan masyarakat dan berita terkait pengaduan HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan pengaduan sebagai salah satu jenis pelayanan publik di Kota Parepare, merupakan layanan yang menampung tentang ide, saran, harapan dan kritik yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah kota terkait penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di Kota Parepare. Untuk menghasilkan penanganan pengaduan yang bermutu, strategi perencanaan disusun untuk mendukung terlaksananya tujuan tersebut. Dalam renstra Setdako Parepare tahun 2008-2013, layanan pengaduan ditargetkan bisa memiliki Sebuah Standar Operasional Prosedur (SOP). Itu berarti dokumen aturan yang mengatur SOP tersebut patut hadir untuk mengawal jalannya penanganan pengaduan. Pada tahun 2011, SOP ini terwujud dengan diterbitkannya Perwali No. 52 Tahun 2011 tentang SOP Penanganan Keluhan Masyarakat. SOP ini kemudian menjadi pedoman yang mengatur jalannya penanganan pengaduan di Pemkot Parepare. Konteks penanganan pengaduan masyarakat lazimnya seperti model pelayanan publik pada umumnya, yang mengatur hubungan antara masyarakat sebagai pengguna layanan dan pemerintah kota sebagai penyedia layanan. Untuk
mengatur hubungan antar penyedia dan pengguna layanan ini, Pemkot Parepare lalu menerbitkan Perda Kota Parepare No. 9 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Aturan ini menurut pasal 2, Bab II, dalam Perda tersebut, dimaksudkan “sebagai dasar hukum guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam hubungan antara pemerintah daerah, masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik dalam Kota Parepare.” Selain sebagai bentuk perlindungan hukum yang mengatur tentang hubungan antara pemerintah daerah, masyarakat dan penyelenggara layanan, perda ini juga memuat tentang kaidah-kaidah pelayanan yang harus dipatuhi oleh sebuah lembaga pelayanan. Salah satu kewajiban lembaga pelayanan yang ditekankan dalam peraturan ini adalah memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam menjalankan pelayanan. Bagi Bagian Humas, Setdako Parepare, kewajiban ini sudah dipenuhi melalui lahirnya SOP Penanganan Keluhan Masyarakat. SOP ini memuat tentang standar-standar pelayanan yang harus dijalankan oleh Unit Penanganan Keluhan (UPK) dan Unit-unit penyelenggara Pelayanan (SKPD). Standar pelayanan pada hakekatnya berbicara tentang ukuran, mekanisme dan kepastian pelayanan. Dalam penelitian ini, ukuran-ukuran pelayanan ditinjau melalui 9 (sembilan) dimensi pelayanan untuk melihat kondisi penanganan pengaduan di Pemkot Parepare, yang meliputi: komitmen pimpinan, visibilitas dan aksesibilitas, responsif/umpan balik, ketepatan waktu,
objektifitas, transparan, rahasia, kesederhanaan dan dokumentasi pengaduan. Selain membahas kondisi penanganan pengaduan di Pemkot Parepare, penelitian ini juga mengupas tentang partisipasi masyarakat dan perencanaan penanganan pengaduan ini. Penanganan Pengaduan Masyarakat
Komitmen Pimpinan Organisasi
Fakta yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan layanan pengaduan di Pemkot Parepare, belum dilandasi komitmen yang kuat dari para pimpinan di tingkat SKPD. Hal ini didasari atas ketidakpedulian SKPDSKPD sebagai unit penyelenggara layanan dalam merespon aduan masyarakat. Dari catatan grafiks sms pengaduan (Gambar 1), hanya sedikit SKPD yang merespon pengaduan yang masuk.
Gambar 1. Grafik Sms Pengaduan Sumber: Dokumen Bagian Humas, Setdako Parepare (Data Diolah)
Laporan ini tentunya menegaskan bahwa kualitas komitmen para pimpinan SKPD masih begitu buruk, sehingga kinerja
keluhan harus dimunculkan dalam mengelola penanganan pengaduan. Efficiency unit (2009, h. 10-11) dan
yang mereka tunjukkan sebagai pihak yang berkewajiban menanggapi aduan tidak berjalan dengan baik. Padahal, dalam mengelola penanganan pengaduan masyarakat, komitmen pimpinan menjadi pondasi dasar untuk menciptakan layanan penanganan pengaduan yang baik. Saleh (2009, h. 94), setuju mendudukkan komitmen pimpinan sebagai salah satu kunci utama dalam membangun sebuah penanganan pengaduan. Saleh menegaskan bahwa prinsip “good will” yang ditunjukkan dengan adanya niat baik pimpinan sebuah organisasi dalam menerima dan mengelola
Ombudsman Western Australia (2011, h. 15) juga menyimpulkan pandangan serupa. Efficiency unit dan Ombudsman Western Australia memandang bahwa berjalannya sistem pengaduan yang efektif harus didukung oleh komitmen dari pimpinan dan organisasi. Islami (2009, h. 2) selanjutnya menjadikan komitmen yang kuat dari pimpinan sebagai syarat bagi sebuah lembaga untuk membuat sistem dan prosedur komplain yang baik. Visibilitas dan Aksesibilitas Pengaduan
Dalam Perwali No. 52 Tahun 2011 tentang
SOP
Masyarakat,
Penanganan visibilitas
Keluhan
diterjemahkan
sebagai bentuk pelaksanaan penanganan keluhan
masyarakat
yang
akan
disosialisasikan secara luas, dimasukkan dalam
agenda
pelaksanaan
sosialisasi
pemerintah daerah serta dimuat dalam situs resmi
pemerintah
daerah.
Sementara
aksesibilitas didefenisikan sebagai bentuk keluhan yang dapat disampaikan melalui berbagai
media,
singkat/sms,
antara
sambungan
lain
pesan
telepon
atau
handphone, email dan dapat diakses melalui website resmi Pemerintah Daerah. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan para informan yaitu Kabag Humas dan Kasubag MPM Bagian Humas, Setdako Parepare, sosialisasi pengaduan pada dasarnya telah dijalankan menurut kaidah visibilitas yang tertuang dalam SOP Penanganan Keluhan Masyarakat. Publikasi dilakukan secara gratis melalui harian lokal di kota setempat (Parepos), website Humas di (http://pengaduan.setdako.pareparekota.go. id/), dan diinformasikan melalui agenda pertemuan pekanan Pemkot Parepare di acara coffee morning. Hal ini disebabkan karena belum adanya anggaran sosialisasi kegiatan pengaduan. Parepos bisa dimanfaatkan karena adanya kontrak halaman Humas di harian tersebut, sehingga publikasi layanan pengaduan bisa diikutsertakan di halaman itu. Sedangkan website adalah milik Pemkot Parepare, begitupun juga agenda coffee morning
adalah agenda pertemuan pemerintah kota. Ketiadaan anggaran sosialisasi ini, mengakibatkan tidak maksimalnya sosialisasi pengaduan ke masyarakat. Kendati demikian, antusias masyarakat yang memanfaatkan layanan pengaduan ini sudah cukup tinggi (Lihat Gambar 1). Hal ini berarti, ketidakmaksimalan sosialisasi ini mengandung makna bahwa secara umum, informasi terkait pengaduan sudah banyak diketahui oleh masyarakat Kota Parepare hanya memang belum sepenuhnya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat di Kota Parepare. Dalam pandangan The British Standards Institution (BSI 2004) dalam George, Graham and Lennard (2007, h. 15), informasi adalah salah satu prinsip penanganan pengaduan yang harus disampaikan secara jelas agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana proses pengaduan berjalan. Sementara itu, akses dalam layanan pengaduan ini disalurkan melalui kontak sms pengaduan di nomor (081241350077), dengan
aplikasi
sistem
sms
gateway
sehingga cukup memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aduannya. Sayangnya, pelapor masih harus dikenakan biaya sms saat mengirimkan aduannya. Seharusnya, menurut The British Standards Institution (BSI 2004) dalam George, Graham and Lennard (2007, h. 15), aksesibilitas pada prinsipnya dihadirkan dalam bentuk layanan gratis yang diperoleh masyarakat dalam menyampaikan keluhan. Oleh karena itu, ide
ini
penting
diadopsi
untuk
merencanakan pengembangan penanganan
pengaduan yang lebih baik di Kota Parepare.
dalam
Sementara itu, kemudahan akses menurut
ditunjukkan dengan adanya daya tanggap
Efficiency unit (2009, h. 10-11), tidak
dari penyedia layanan untuk memenuhi
sekedar menghadirkan saluran pengaduan
harapan,
yang mudah digunakan masyarakat, tapi
tuntutan dari pengguna layanan. Hal ini
bagaimana
berarti,
saluran
pengaduan
ini
Dwiyanto
(2006,
keinginan,
h.
143-144)
aspirasi
pelayanan
maupun
berkualitas
belum
terinformasi secara luas kepada masyarakat,
terwujud dalam penanganan pengaduan di
agar mereka bisa mengaksesnya dengan
Bagian Humas, Setdako Parepare.
mudah.
Hal
ini
juga
berarti
bahwa
Ketidakpedulian
unit-unit
sosialisasi secara maksimal perlu dilakukan
penyelenggara
agar informasi tentang layanan pengaduan
merupakan tindakan melanggar ketepatan
dapat terpublikasi secara luas ke masyarakat.
waktu penanganan yang telah ditetapkan
Oleh
dalam
karena
itu,
agenda
yang
perlu
layanan
SOP
ini
Penanganan
sekaligus
Keluhan
dituangkan dalam perencanaan penanganan
Masyarakat. Sebagai informasi, standar
pengaduan selanjutnya di Kota Parepare
waktu
adalah mengusulkan anggaran sosialisasi
tersebut
kegiatan pengaduan agar informasi tentang
merespon dan 5 hari untuk menindaki dan
layanan ini terumumkan secara luas.
menyelesaikan. Dengan kondisi demikian,
Responsif/Umpan
Balik
dan
Ketepatan waktu
penanganan adalah
3
berdasarkan hari
waktu
SOP untuk
ukuran waktu-waktu tersebut, tidak lagi dipedulikan oleh unit-unit penyelenggara
Hasil penelitian ini menunjukkan
layanan. Hal ini berarti pula bahwa Perwali
respon dari unit-unit penyelenggara layanan
No. 52 tahun 2011 yang memuat SOP
dalam menanggapi aduan-aduan masyarakat
Penanganan Keluhan Masyarakat, belum
masih
sepenuhnya
sangat
kurang
(Gambar
1).
dilaksanakan
dengan
baik.
Rendahnya respon dari SKPD-SKPD ini
Efficiency unit (2009, h. 10-11) mengatakan
mengakibatkan sebagian besar aduan-aduan
bahwa esensi dari ditetapkannya standar
tidak mendapat tanggapan. Padahal, ini
waktu penanganan adalah untuk dipatuhi.
adalah kewajiban unit-unit penyelenggara
Karena memang menurut Kepmenpan No.
layanan
63 Tahun 2003 tentang pedoman umum
yang
termuat
dalam
SOP
Penanganan Keluhan Masyarakat. Dalam
penyelenggaraan
teori kualitas pelayanan publik, memberi
organisasi publik pada prinsipnya harus
tanggapan
kriteria
memiliki ukuran waktu yang pasti dalam
pelayanan yang mendukung terwujudnya
menyelenggarakan pelayanan publik untuk
pelayanan berkualitas. Responsiveness atau
mencapai
responsivitas
pelayanan.
adalah
salah
menurut
satu
Lenvine
(1990)
target
pelayanan
dalam
publik,
menyelesaikan
Langkah efektif yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan ini adalah mempublikasikan kinerja SKPDSKPD yang terlibat dalam penanganan pengaduan melalui website humas, tempat layanan pengaduan di publikasikan, dengan cara mengklasifikasikan aduan-aduan berdasarkan SKPD-SKPD yang berkewajiban menangani aduan tersebut. Dengan model tersebut, kinerja SKPD yang malas menanggapi akan terbaca oleh publik dan akan teridentifikasi oleh pimpinan. Hal ini perlu difikirkan untuk merencananakan pengembangan sistem penanganan pengaduan yang lebih baik karena penanganan pengaduan yang berjalan selama ini belum mampu menghasilkan kinerja yang berkualitas. Sebagai informasi,
bersifat rahasia. Bentuk objektifitas yang dilakukan UPK adalah melayani seluruh sms-sms pengaduan yang masuk secara adil dan tidak dikriminatif sesuai arahan yang dituangkan dalam perwali No. 52 Tahun 2011. Tindakan ini sejalan dengan pemikiran para ahli. Ombudsman Western Australia (2011, h. 1-5) mengatakan bahwa sebuah penanganan pengaduan harus memiliki unsur objektifitas, sehingga setiap keluhan dapat ditangani secara objektif, adil dan tidak bias. Queensland Government (2006, h. 2-3) juga menegaskan hal serupa, bahwa sebuah layanan penanganan pengaduan yang efektif pada prinsipnya membutuhkan penilaian secara adil dan objektif. Karena hal ini menurut Efficiency Unit (2009, h. 9), merupakan hak bagi setiap
sistem pengaduan yang dioperasikan saat ini, hanya menampilkan arus mudik aduan yang masuk dari hari ke hari, aduan yang ditanggapi dan tidak ditanggapi. Aduanaduan tidak dikelompokkan menurut SKPD yang harus menanganinya dan tanggapantanggapan yang muncul juga belum menerangkan sumber SKPD secara jelas. Oleh karena itu, klasifikasi aduan berdasarkan SKPD yang menangani disertai dengan capaian-capaian hasil penanganan perlu dibuat agar peningkatan kinerja SKPD-SKPD dalam melakukan penanganan pengaduan sebagai output dari model ini diharapkan dapat tercapai. Objektifitas, Transparan dan Rahasia Penanganan pengaduan yang berlangsung selama ini di Bagian Humas, Setdako Parepare, pada prinsipnya telah dilaksanakan secara objektif, transparan dan
warga masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan adil dalam penanganan pengaduan yang berlangsung di semua lembaga pemerintah. Sementara itu, bentuk transparansi yang
dilakukan
UPK
adalah
dengan
mempublikasikan arus mudik pengaduan pada
website
(http://pengaduan.setdako.pareparekota.go. id/). Tindakan ini sebagai bentuk ketaatan UPK pada Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Efficiency
Unit
(2009,
h.
10-11),
menjelaskan bahwa transparansi ini penting karena pengadu harus diberitahu alasan tentang hasil yang dicapai terkait laporan pengadu. Selanjutnya, terkait unsur rahasia, kewajiban ini sangat dijunjung tinggi oleh UPK, dengan menjaga betul kerahasiaan
pelapor sebagai kode etik UPK. Tindakan
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
ini menurut para ahli menjadi salah satu
Efficiency unit (2009, h. 10-11)
adab penanganan pengaduan yang harus
Johnston (2001) dan Johnston dan Mehra
dilakukan dengan penuh tanggungjawab.
(2002) dalam George, Graham dan Lennard
Oleh karena itu, Ombudsman Western
(2007, h. 15), juga mengatakan bahwa
Australia (2011, h. 1-5), Efficeinecy unit
sebuah layanan pengaduan harus tampil
(2009, h. 10-11), serta Johnston (2001) and
sebagai layanan yang mudah digunakan dan
Johnston and Mehra (2002) dalam George,
prosedurnya tidak rumit. Karena, menurut
Graham and Lennard (2007, h. 15), sepakat
Islami (2009, h. 8), kesederhanaan prosedur
menetapkan kewajiban menjaga kerahasiaan
pelayanan itu merupakan salah satu dimensi
informasi
pelayanan yang harus dihadirkan untuk
pelapor
tanggungjawab
sebagai
tugas
pengelola
dan
penanganan
menciptakan pelayanan berkualitas. Fakta tentang sistem yang baik
pengaduan.
Kesederhanaan
dan
Dokumentasi
Pengaduan Dengan menggunakan sistem sms gateway yang diterapkan sejak tahun 2012 hingga
saat
ini,
proses
penanganan
pengaduan di Bagian Humas, Setdako Parepare, Sistem
maupun
menjadi ini
semakin
menjadikan
sederhana. penanganan
pengaduan tidak lagi harus menempuh proses panjang dan waktu yang lama seperti sistem penanganan pengaduan sebelumnya yang masih bersifat manual, sehingga penyelesaian penanganan bisa berlangsung cepat. Tindakan ini paling tidak telah mematuhi rambu-rambu pelayanan yang digariskan Kepmenpan No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Prinsip kesederhanaan menurut Kepmenpan No. 63 Tahun 2003 pada hakekatnya berbicara tentang prosedur pelayanan publik yang tidak berbelit-belit,
menjadi faktor pendukung yang membuat penanganan pengaduan di Pemkot Parepare semakin
sederhana.
Tidak
hanya
itu,
penggunaan aplikasi sistem ini juga ikut bekerja
dengan
sendirinya
mendokumentasikan pengaduan di Bagian Humas,
Setdako
Parepare,
pendokumentasian
tidak
manual
sistem
seperti
sehingga
lagi
bersifat
penanganan
pengaduan yang diterapkan sebelumnya dan segala aktifitas pengaduan terdokumentasi dengan baik serta tersimpan secara rapi. Sistem
dalam
teori
pelayanan
publik
memang menjadi elemen penting yang ikut mendukung
terwujudnya
pelayanan
berkualitas. Albrecht dan Zemke (1990) dalam
Dwiyanto
(2006,
h.
140-141),
menerangkan bahwa terbentuknya kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, SDM
penyedia
pelanggan
layanan,
(customers)
strategi,
dan
(Gambar
2).
Albrecht dan Zemke melanjutkan bahwa
penerapan sistem pelayanan yang baik
kualitas
baik
ditandai dengan hadirnya perangkat atau
biasanya lahir dari sistem pelayanan publik
peralatan yang mampu mendukung prosedur,
yang dijalankan dengan baik. Dwiyanto
kecepatan proses, dan kualitas keluaran
(2008, h. 141-142) lalu menerjemahkan
(output) yang akan dihasilkan.
pelayanan
publik
yang
Strategi Pelayanan
Customers
SDM
Sistemm
Gambar 2. Segetiga Pelayanan Publik Sumber: Albrecht dan Zemke, 1990 dalam Dwiyanto (2008, h. 141)
Satu temuan dalam penelitian ini mengungkap
Parepare,
yang
menggunakan aplikasi sistem sms gateway,
penanganan pengaduan yang diaplikasikan
diprediksi bisa berlangsung cepat mengikuti
di Bagian Humas, Setdako Parapare. Namun,
dukungan sistem yang berjalan, sehari pun
fakta lain yang juga perlu dibenarkan adalah,
selesai.
ternyata tidak cukup dengan sistem yang
Partisipasi masyarakat
untuk
majunya
Setdako
sistem
baik
tentang
Humas,
menjadikan
penanganan
Tingkat
partisipasi
masyarakat
pengaduan sukses. Persoalan pelik yang
berdasarkan data pada grafik sms pengaduan
ditemukan dalam penelitian ini adalah
(Gambar 1) menunjukkan masyarakat Kota
ketidakseriusan
Parepare
layanan
unit-unit
menanggapi
penyelenggara
aduan,
sehingga
cukup
antusias
menggunakan
layanan pengaduan ini. Jika dianalogikan
mengakibatkan keterlambatan penanganan
dengan
bahkan mencapai titik yang lebih parah
antusiasme masyarakat di Kota Parepare
yaitu ketidakpedulian menangani aduan.
telah mencapai tahap citizen power (Gambar
Oleh karena itu, masuk akal kata Albrecht
3),
dan Zemke, bahwa kualitas pelayanan akan
semakin luas, semakin kritis dan aduan-
tercapai jika terbentuk interaksi antara
aduan masyarakat merupakan hasil kontrol
sistem pelayanan, SDM penyedia layanan,
yang mereka lakukan terhadap praktek-
strategi, dan pelanggan (customers), yang
praktek pelayanan publik yang mereka
membentuk
dapatkan. Hanya saja, aduan-aduan tersebut
pola
segitiga
pelayanan
(Gambar 2). Jika kolaburasi ini terjadi, praktek penanganan pengaduan di Bagian
teori
dimana
belum
partisipasi
keterlibatan
sepenuhnya
Arnstein,
warga
berdampak
sudah
pada
keseriusan unit-unit penyelenggara layanan untuk menanganinya.
Gambar 3. Tangga Partisipasi Masyarakat menurut Sherry R.Arnstein, Eight Rungs on The Ladder of Citizen Participation. Sumber: Arnstein (1969, h. 2)
Model tangga partisipasi Arnstein
ini,
pengambilan
keputusan
masih
pada gambar di atas, menggambarkan
didominasi oleh pemerintah berkuasa. Pada
tentang kemajuan partisipasi masyarakat.
anak tangga 6 (partnership), 7 (delegated
Arstein (1969, h. 2) menjelaskan bahwa
power) dan 8 (citizen control) merupakan
anak tangga 1 (manipulation) dan anak
tahap citizen power, dimana masyarakat
tangga 2 (therapy), merupakan level non
telah terlibat secara luas baik berpendapat,
participation, dimana pemegang kekuasaan
melakukan
belum membuka ruang partisipasi bagi
pengambilan keputusan
publik, hanya berperan dalam mengarahkan
negosiasi,
kontrol
hingga
Terbukanya layanan pengaduan ini,
masyarakatnya. Selanjutnya level tokenism
sejatinya
terdiri atas anak tangga 3 (informing), 4
partisipasi masyarakat di Kota Parepare
(consultation), dan 5 (placation). Pada level
telah terbuka lebar. Dalam sudut pandang
tokenism ini, keran partisipasi mulai terbuka
administrasi publik, konsep mengedepankan
bagi
partisipasi warga ini, merupakan ajakan-
publik.
Anak
tangga
3
dan
4
menegaskan
bahwa
ruang
menunjukkan bahwa publik telah diberi
ajakan yang dikampanyekan dalam
kesempatan bersuara dalam memberikan
The New Public Services (NPS). Teori ini
informasi dan konsultasi kepada pemerintah.
menurut Denhardt dan Denhardt, (2003, h.
Sementara anak tangga 5 menunjukkan
27), sejatinya berbicara tentang konsep
bahwa kesempatan berpartisipasi semakin
democratic citizenship, yang mendudukkan
lebar dan memperkenankan rakyat miskin
masyarakat
untuk berpartisipasi. Hanya saja, pada level
dalam konteks pelayanan publik. Sehingga,
sebagai
pemilik
teori
kedaulatan
masyarakat
pantas
mendapatkan
ruang
partisipasi dalam wilayah sektor publik. Perencanaan Penanganan Pengaduan Pendekatan teknokratik bersifat top
undangan yang berlaku di Indonesia. Restra
down merupakan pendekatan perencanaan
perencanaan
yang digunakan dalam layanan pengaduan
layanan ini hingga berakhir pada anggaran
di Pemkot Parepare. Dalam pandangan
kegiatan pengaduan (Gambar 4). Dalam
Nugroho dan Wrihatnolo (2006, h. 157)
kajian teori perencanaan, proses-proses ini
proses teknokratik merupakan perumusan
dianalogikan sebagai penyusunan tahap
perencanaan yang melibatkan pandangan
perencanaan yang menurut pandangan Abe
pengamat
(2005, h. 77-84), disusun mulai dari
profesional,
pemikirannya
hasil
Parepare yang
menjadi
dokumen
memandu
jalannya
dijadikan
sebagai
penyelidikan,
memuat
tentang
identifikasi daya dukung, perumusan tujuan,
diperlukan
kemudian dilanjutkan dengan menetapkan
dalam menyusun perencanaan. Sementara
langkah yang akan diambil untuk menyusun
proses top down dilanjutkan Wrihatnolo dan
apa saja yang ingin dilakukan, dan berakhir
Nugroho (2006, h. 161) diartikan sebagai
pada anggaran untuk membiayai target dari
perencanaan dalam pemerintahan, yang
tujuan yang hendak dicapai. Hal ini relevan
dilaksanakan dengan tujuan antara lain
dengan
untuk menyelaraskan program-program agar
dikemukakan Waterston dalam Conyers
dapat menjamin adanya sinergisitas antara
(1981,
kegiatan pemerintah dan masyarakat.
perencanaan sebagai usaha secara sadar,
kesimpulan
akan
dimana
Setdako
yang
kebutuhan-kebutuhan
Mekanisme
yang
perencanaan
perumusan
makna h.
4)
perencanaan yang
masalah,
seperti
menerjemahkan
pada
yang terorganisasi dan dilakukan secara
layanan pengaduan yang dikelola di Bagian
terus menerus untuk memilih alternatif yang
Humas, Setdako Parepare ini, pada dasarnya
terbaik dari sejumlah alternatif yang ada
berjalan sesuai alur perencanaan yang
untuk mencapai tujuan tertentu.
dituangkan dalam peraturan perundangRPJMD Gambar 4. Alur Perencanaan Layanan Pengaduan Masyarakat di Bagian Humas, Setdako Parepare Sumber: Hasil wawancara dan Dokumen Perencanaan (Data Diolah)
Renstra (Pengadaan sarana pengaduan Masyarakat (sms cenre) Rancangan Renja SKPD
Renja SKPD (Penyebarluasan informasi penyelenggaraan pemerintahan
Rancangan Renja SKPD RKPD (Penyebarluasan informasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah (sms centre)
APBD
Gambar 4. Alur Perencanaan Layanan Pengaduan Masyarakat di Bagian Humas, Setdako Parepare Sumber: Hasil Wawancara dan Dokumen Perencanaan (Data diolah)
KESIMPULAN
utama
Penanganan pengaduan masyarakat
memperbaiki
penyelenggara
kinerja
layanan.
unit-unit Pendekatan
yang diselenggarakan Pemkot Parepare di
teknokratik
bawah pengelolaan Bagian Humas, Setdako
pendekatan perencanaan yang digunakan
Parepare, merupakan layanan yang dibentuk
dalam layanan pengaduan Pemkot Parepare.
bersifat
top
down
adalah
dengan tujuan untuk menghilangkan sekat antara pemerintah kota dan masyarakat, dalam rangka menyampaikan keinginan, kebutuhan,
ide,
saran
maupun
kritik
masyarakat terhadap pemerintah kota terkait pelayanan
dan
pembangunan
di
Kota
Parepare. Realitas yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan tersebut Besarnya
belum
sepenuhnya
antusias
terlaksana.
masyarakat
yang
mengakses layanan pengaduan tidak disertai dengan antusias unit-unit penyelenggara layanan merespon aduan-aduan tersebut. Buruknya
kinerja
unit-unit
penyelenggara layanan yang ditunjukkan dengan
ketidakpedulian
menangani
pengaduan menjadi persoalan serius yang terjadi dalam layanan pengaduan di Pemkot Parepare. Lemahnya komitmen pimpinan diidentifikasi
sebagai
faktor
kuat
ketidakseriusan SKPD-SKPD memberikan pelayanan yang baik. Mempublikasikan kinerja
SKPD-SKPD
melalui
website
Humas dengan cara mengklasifikasikan aduan berdasarkan SKPD yang menangani aduan sehingga terumumkan kepada publik dan teridentifikasi oleh pimpinan menjadi saran yang ditawarkan dalam penelitian ini untuk
merencanakan
penanganan
pengaduan yang lebih baik dengan sasaran
DAFTAR PUSTAKA Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Pustaka Jogja Mandiri. Yogyakarta. Anwaruddin, Awang. 2004. “Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik melalui Reformasi Birokrasi.” Jurnal ilmu administrasi 1 (1): 16-37. Diunduh dari http://beta.stialanbandung.ac.id/imag es/stories/jurnal_administrasi/10402awang.pdf, Pada Tanggal 03 Maret 2013. Arenawati. 2011. “Complaint Management sebagai Wujud Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah.” E-Jurnal Laboratorium Administrasi Negara [Internet] 1 (1): 128-136. Diunduh dari http://labane.fisip-untirta.ac.id/wpcontent/uploads/2011/06/21%20Are nawati.pdf. Pada Tanggal 15 Mei 2013 Arnstein, Sherry.R. 1969. “A Ladder of Citizen Participation.” JAIP 35 (4): 216-224. Diunduh dari:http://api.ning.com/files/Km5qE 7j9dhssqTJd5Z*rO4L213AggzPiks Vhkb64lzk_/ALadderofcitizenpartici pation.pdf, Pada Tanggal 15 Mei 2013 Conyers, Diana. 1981. Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Denhardt, Janet V dan Denhardt, Robert B. 2003. The New Public Service: Serving Not Steering. ME Sharpe Inc., New York. Dwiyanto, A. 2008. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan
Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Efficiency unit. 2009. Serving The Community by Improving The Customer Service: A Guide to Complaints Handling and Public Enquiries. The Government of the Hong kong Special Administrative Region. Diunduh dari http://www.eu.gov.hk/english/public ation/pub_bp/files/A_Guide_to_Co mplaints_Handling_and_Public_Enq uiries.pdf, Pada Tanggal 29 Mei 2013. George,Mike, Graham,Cosmo and Lennard, Linda. 2007. Complaint handling:Principles and Best Practice. Report for energywatch. Centre for Utility Consumer Law. University of Leicester. Diunduh dari http://www2.le.ac.uk/departments/la w/research/cces/documents/Complai nthandlingPrinciplesandBestPracticeApril2007_000.pdf, Pada Tanggal 29 Mei 2013 Islamy, M. Irfan. 2009. Manajemen Komplain dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik [Internet]. Bahan Ajar pada Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Brawijaya. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/20197 045/Manajemen-Komplain-dalamRangka-Meningkatkan-KualitasPelayanan-Publik, pada tanggal 09 juni 2013 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelegaraan Pelayanan Publik Ombudsman Western Australia. 2011. Complaint Handling Systems Checklist. The Ombudsman's Report 2009-10 Survey of Complaint Handling Practices in the Western Australian State and Local Government Sectors. Diunduh dari http://www.ombudsman.wa.gov.au/P
ublications/Documents/guidelines/C omplaint-handling-systemsChecklist.pdf, Pada Tanggal 29 Mei 2013. Peraturan Daerah Kota Parepare Nomor 5 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2008-2013 Peraturan Daerah Kota Parepare Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Peraturan Walikota Parepare Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Keluhan Masyarakat Kota Parepare Queensland Government: Public Service Commission. 2006. Complaint Management Systems. Diunduh dari http://www.psc.qld.gov.au/publicatio ns/directives/assets/2006-13complaints-managementsystems.pdf, Pada Tanggal 15 Mei 2013. Saleh , Akhmad.M. 2009. Public Service Communication. Bahan Ajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya. Syakrani dan Syahrani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance. Pustaka Belajar, Yogyakarta. Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Wrihatnolo, Randy. R dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia, Sebuah Pengantar dan
Panduan. Penerbit PT. Elex Media
Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta.