PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN KAWASAN BUDAYA KAMPUNG LENGKONG KYAI, TANGERANG
ROBBY CHANDRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016 Robby Chandra NIM A44110065
ABSTRAK ROBBY CHANDRA. Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO. Kampung Lengkong Kyai merupakan suatu lanskap budaya yang menyimpan nilai-nilai sejarah di dalamnya. Keberadaan kampung ini di tengahtengah pengembangan kota mengancam kelestarian nilai-nilai sejarah tersebut. Tujuan umum penelitian ini adalah merencanakan lanskap untuk pelestarian Kampung Lengkong Kyai berdasarkan karakteristik dan signifikansi lanskap budaya. Tahapan penelitian terdiri atas persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Analisis dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan signifikansi dari lanskap budaya, sehingga dapat ditentukan zona-zona yang menyusun kesatuan unit lanskap Kampung Lengkong Kyai. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian yang akan diterapkan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Hasil evaluasi digunakan sebagai arahan dalam tahap perencanaan lanskap. Konsep dasar perencanaan yaitu membuat Kampung Lengkong Kyai sebagai kampung dengan identitas karakteristik lanskap budaya yang kuat dan berkelanjutan melalui tindakan konservasi. Hasil akhir penelitian ini dituangkan dalam bentuk gambar rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai. Kata kunci: lanskap budaya, karakteristik lanskap, signifikansi, perencanaan lanskap
ABSTRACT ROBBY CHANDRA. Landscape Planning for the Preservation of Cultural Areas in Lengkong Kyai Village, Tangerang. Supervised by QODARIAN PRAMUKANTO. Lengkong Kyai Village is a cultural landscape that holds the values of history. The existence of this village in the middle of urban development threaten the preservation of the historical values. The general purpose of this study is to make a landscape plan for the preservation of Lengkong Kyai Village based on the characteristics and significances of the cultural landscape. Research stages consists of preparation, inventory, analysis, synthesis and planning. The analysis was performed to determine the characteristics and significances of the cultural landscape, so it can be determined zones which compose the unity of Lengkong Kyai Village landscape unit. Then performed an evaluation to produce conservation measures recommendations to be applied in the cultural landscape of Lengkong Kyai Village. Results of the evaluation are used as direction in the landscape planning stages. The basic planning concept is to make Lengkong Kyai Village as the village with a great cultural landscape characteristic identity and sustainable through conservation measures. The final results of this research are arranged as landscape planning for the preservation of Lengkong Kyai Village. Key words: cultural landscape, landscape characteristic, significance, landscape planning
PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN KAWASAN BUDAYA KAMPUNG LENGKONG KYAI, TANGERANG
ROBBY CHANDRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
++". '&(. '$$$. $( &. +$)+ ."(*'$. ,($. +-.
#&+$. $ %$. -. $'$. #.
%-. $'.
.
()++. %!.
'.
'#+ $)%. .
%($. ##$.
)+.%!.
$". +"+(.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Adapun skripsi ini berjudul “Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang” dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini dibantu dan didukung oleh berbagai pihak, oleh karena itu penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi 2. Ibu Vera Dian Damayanti, S.P., MSLA. dan Ibu Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik 3. Ibu Dr. Ir. Nurhayati, M.Sc. dan Ibu Fitriyah Nurul H. Utami S.T., M.T. selaku dosen penguji skripsi 4. Orang tua atas dukungan dan doa-doanya selama ini 5. Bapak H. Mukri Mian selaku narasumber terkait informasi sejarah dan budaya Kampung Lengkong Kyai 6. Instansi-instansi terkait yang membantu perizinan dan menyediakan datadata pendukung penelitian: Kesbangpol Provinsi Banten, Kesbangpol Kabupaten Tangerang, Bappeda Kabupaten Tangerang, Disporabudpar Kabupaten Tangerang, BMKG, Kecamatan Pagedangan dan Desa Lengkong Kulon 7. Penduduk Kampung Lengkong Kyai, atas penerimaannya saat melakukan penelitian 8. Teman-teman yang membantu penyusunan skripsi dan survei lapang 9. Harkyo Hutri Baskoro, Aditya Pratama, Irma Tri Yuliandari, Rezza Mien Nugraha dan Nurul Fauziah Dabibah selaku teman dan senior satu bimbingan skripsi 10. Seluruh teman-teman Arsitektur Lanskap IPB angkatan 47 dan 48 11. Serta seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang baik secara langsung maupun tidak langsung bagi semua pihak, khususnya penduduk Kampung Lengkong Kyai.
Bogor, April 2016 Robby Chandra
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Kerangka Pikir TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kebudayaan Lanskap Budaya dan Sejarah Perencanaan Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah Pola Perkampungan Sunda Pola Kampung Lengkong Kyai Karakteristik Lanskap Budaya Signifikansi Budaya METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Data dan Informasi Alat Metode dan Tahapan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Data Aspek Biofisik a. Topografi dan Kemiringan Lahan b. Geologi dan Tanah c. Iklim d. Hidrologi e. Penggunaan dan Penutupan Lahan f. Vegetasi Data Aspek Budaya a. Sejarah Kawasan b. Adat Istiadat c. Pola Permukiman dan Arsitektur Rumah Adat d. Kebudayaan Naratif Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya 1. Landuse dan Aktivitas 2. Pola Organisasi Ruang 3. Respon Terhadap Lingkungan Alam
x xi 1 1 2 2 2 3 3 4 4 4 5 7 8 8 9 9 10 12 12 17 17 19 19 19 24 26 26 31 32 32 32 34 36 38 38 40 43
x 4. Tradisi Budaya 5. Jejaring Sirkulasi 6. Batas Pemisah 7. Vegetasi Terkait dengan Landuse 8. Bangunan, Struktur dan Objek 9. Kelompok-kelompok (Clusters) 10. Situs Arkeologi 11. Elemen Skala Kecil Analisis Signifikansi Lanskap Budaya Nilai Penting Estetika Nilai Penting Sejarah Nilai Penting Sosial dan Spiritual Nilai Penting Ilmiah Pembobotan Nilai Penting Sintesis Konsep dan Pengembangan Konsep Ruang Konsep Sirkulasi Konsep Tata Hijau Rencana Lanskap Rencana Ruang Rencana Sirkulasi Rencana Tata Hijau SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
44 47 51 51 54 56 58 58 60 62 65 65 67 68 71 73 75 75 76 76 76 77 77 82 82 82 83 85
DAFTAR TABEL 1 Konsep dasar tata ruang Sunda 2 Data dan informasi penelitian 3 Karakteristik lanskap budaya 4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya 5 Luas kelas lereng Kampung Lengkong Kyai 6 Hasil perhitungan analisis air Sungai Cisadane 7 Kriteria interpretasi citra satelit untuk kelas penutupan lahan 8 Perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014
5 10 14 15 19 26 27 30
xi 9 Persentase perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014 10 Perkembangan landuse dan aktivitas di Kampung Lengkong Kyai berdasarkan periode 11 Karakteristik-karakteristik lanskap pembentuk zona 12 Karakteristik yang digunakan dalam penilaian signifikansi lanskap budaya 13 Hasil pembobotan nilai penting 14 Evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai 15 Rekomendasi vegetasi untuk rencana tata hijau
30 40 60 62 68 71 77
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian 2 Pola perkembangan permukiman Sunda secara umum 3 Ilustrasi konsep elemen 4 Ilustrasi konsep orientasi dan mitos 5 Peta lokasi penelitian 6 Diagram tahapan penelitian 7 Peta orientasi kawasan penelitian 8 Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai 9 Peta kemiringan lahan Kampung Lengkong Kyai 10 Peta geologi Kecamatan Pagedangan 11 Peta jenis tanah Kampung Lengkong Kyai 12 Grafik suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata dan jumlah curah hujan rata-rata bulanan tahun 2005 – 2014 13 Peta lokasi stasiun BMKG 14 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2004 15 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014 16 (a) Kebun sayur; (b) hutan bambu yang tersisa 17 Pola permukiman Kampung Lengkong Kyai 18 Bentuk rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 19 Denah rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 20 Silsilah Raden Arya Wangsakara 21 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 17-18 22 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 23 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang 24 Konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai berdasarkan konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda menurut Salura (2007) 25 Kegiatan mempelajari agama Islam di masjid
3 6 7 7 9 13 18 20 21 22 23 24 25 28 29 31 35 36 36 37 41 42 43 46 47
xii 26 Pemanfaatan sungai sebagai jalur transportasi oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu 27 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 28 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang 29 (a) Akses masuk kampung dari Jalan BSD Boulevard Utara (bagian Timur kampung); (b) akses masuk kampung dari Jalan BSD Raya Barat (bagian Barat kampung) 30 (a) Sirkulasi jalan besar; (b) sirkulasi jalan setapak 31 Sirkulasi di area pemakaman 32 Gerbang besar area pemakaman 33 Gerbang kecil area pemakaman 34 (a) (b) Ragam vegetasi di area pemakaman; (c) ragam vegetasi di area pemakaman sebelah masjid 35 (a) Ragam vegetasi pada pekarangan samping rumah (pipir); (b) ragam vegetasi pada teras 36 Rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 37 (a) Masjid Jami Al Muttaqin tempo dulu; (b) Masjid Jami Al Muttaqin saat ini 38 Musala Al Azhari 39 (a) Bangunan makam Raden Arya Wangsakara tempo dulu; (b) bangunan makam Raden Arya Wangsakara saat ini 40 Kelompok-kelompok (clusters) di Kampung Lengkong Kyai 41 (a) (b) Batu menhir; (c) papan nisan pada makam leluhur Kampung Lengkong Kyai 42 Pagar bambu pada rumah warga Kampung Lengkong Kyai 43 Peta zonasi analisis signifikansi lanskap budaya 44 Rumah bergaya arsitektur semi tradisional pada zona I 45 Rumah bergaya arsitektur modern pada zona II 46 Aktivitas melukis kaligrafi di Kampung Lengkong Kyai 47 Peta hasil analisis signifikansi lanskap budaya 48 Block plan 49 Konsep ruang 50 Konsep sirkulasi 51 Fungsi vegetasi pada masing-masing ruang 52 Rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai 53 Gambar potongan A – A' 54 Gambar potongan B – B'
47 48 49
49 50 50 50 51 52 53 54 55 56 56 57 58 59 61 63 63 67 70 74 75 75 77 79 80 81
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia telah melalui banyak peristiwa bersejarah yang menjadi bagian dari perjalanan bangsa. Mulai dari zaman kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, Buddha dan Islam, hingga zaman penjajahan bangsa-bangsa Eropa, telah banyak meninggalkan situs dan kawasan bernilai budaya dan sejarah. Situs dan kawasan bersejarah tersebut merupakan suatu aset berharga yang menggambarkan kehidupan masyarakat di masa lalu. Berkembangnya suatu perkotaan tidak menutup kemungkinan dapat pula menggerus keberadaan dari situs dan kawasan bernilai sejarah tersebut. Hal ini dapat menghilangkan bukti sejarah yang pernah terjadi di masa lampau. Berkembangnya berbagai macam agama dan kepercayaan di Indonesia seperti Hindu, Buddha, dan Islam pada zaman kerajaan, turut mempengaruhi terbentuknya tatanan lanskap pekampungan yang khas. Seperti halnya menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) bahwa lanskap sejarah dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Dengan demikian pengaruh dari adanya interaksi agama yang dibawa oleh bangsa asing terhadap masyarakat lokal pada zaman kerajaan telah memperkaya pola-pola perkampungan di Indonesia. Kampung Lengkong Kyai merupakan kampung yang berada di Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Letak kampung ini berdampingan dengan kawasan pengembangan Kota Bumi Serpong Damai (BSD). Kata Lengkong diambil dari nama daerah asal pendiri kampung, Raden Arya Wangsa Di Kara dibesarkan yaitu Kampung Lengkong di Kecamatan Panjalu, Ciamis Utara (Mian 1983). Raden Arya Wangsa Di Kara, atau Raden Arya Wangsakara adalah seorang ulama dan dapat dipastikan adalah Pangeran Arya Wiraraja II yang berasal dari Kerajaan Islam Sumedang Larang, yang pindah dari Sumedang ke Banten untuk menghindar dari tekanan Kerajaan Mataram dan pemberontakan Dipati Ukur (Tjandrasasmita 2009). Khamdevi (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pola Kampung Lengkong Kyai mengikuti posisi arah kiblat dan secara unik terletak pada bibir sungai yang juga mengikuti posisi arah kiblat. Selain itu, penempatan makam pendiri kampung ini di atas bukit memiliki benang merah dengan kebiasaan yang terjadi pada masyarakat dan kerajaan-kerajaan Jawa pada umumnya mengenai dunia dan akhirat. Selanjutnya dari sudut pandang sejarah, Kampung Lengkong Kyai telah dilalui oleh banyak peristiwa bersejarah, terutama yang mewarnai sejarah Tangerang. Beberapa peristiwa sejarah berlangsung semenjak zaman Kerajaan Mataram, lalu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC Belanda (Tjandrasasmita 2009), hingga pada masa kemerdekaan, terutama menjadi salah satu basis Masyumi (Mian 1983, dalam Khamdevi 2012) dan juga menjadi area pertempuran Mayor Daan Mogot, yang dikenal sebagai pertempuran lengkong (Seno 2011, dalam Khamdevi 2012). Posisi Kampung Lengkong Kyai yang terletak berdampingan dengan Kota Bumi Serpong Damai (BSD) sangat rentan akan dampak dari pengembangan
2 wilayah kota tersebut, yang lambat laun bukan tidak mungkin akan menggerus keberadaan Kampung Lengkong Kyai. Terlebih lagi wilayah perkampungan di sekitar Kampung Lengkong Kyai mulai pudar tergantikan perumahan dan fungsi baru. Hal ini tentunya akan berdampak hilangnya nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah lama menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat setempat. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya Kampung Lengkong Kyai, di mana fungsi-fungsi ruang yang ada dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat menjadi perhatian dalam menentukan perencanaan yang sesuai.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. mengidentifikasi karakteristik lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai; 2. menganalisis signifikansi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai; 3. menyusun perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya Kampung Lengkong Kyai.
Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam melestarikan lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai; 2. mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya dari lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai.
Kerangka Pikir Tatanan lanskap budaya pada dasarnya berbeda-beda di setiap daerah. Hal ini terjadi karena interaksi antara budaya masyarakat lokal serta karakteristik biofisik lanskap yang saling mempengaruhi dan berbeda pada setiap daerah. Keunikan lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai terbentuk dari karakter biofisik dan proses budaya masyarakat yang terjadi di dalamnya. Kedua faktor tersebut membentuk karakteristik lanskap budaya yang perlu dianalisis dan diinterpretasikan untuk mengetahui dan mempertahankan nilai-nilai penting dalam penyusunan konsep perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya. Selanjutnya, konsep tersebut dituangkan dalam bentuk perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya Kampung Lengkong Kyai. Diagram kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Menurut Starke dan Simonds (2006), lanskap adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Lanskap juga dinyatakan sebagai suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilah berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan suatu betukan lanskap yang menerima campur tangan, masukan atau binaan, pengelolaan dari manusia dari tingkatan intensitas yang kecil sampai yang tinggi sekali.
4 Kebudayaan Menurut Taylor (1897) dalam Sulaeman (2012) menyatakan kebudayaan ataupun yang disebut peradaban, mengandung pengertian yang luas meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Selanjutnya Kroeber dan Klukhohn (1950) dalam Sulaeman (2012) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsensus) yang mendekati. Definisinya adalah: kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi, cita-cita atau paham, terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.
Lanskap Budaya dan Sejarah Lanskap budaya didefinisikan sebagai suatu area geografis, meliputi baik budaya dan sumber daya alami dan cagar alam, berasosiasi dengan kejadian historis, kegiatan, atau seseorang atau memperlihatkan nilai budaya atau keindahan lainnya (Birnbaum 1994). Selanjutnya Tisler (1979) dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001) mendefinisikan lanskap budaya ini sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan juga nilai dan tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah (historical landscape) yang secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past), merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu di dalamnya. Lanskap sejarah memiliki karakter yang terdiri atas atau yang dapat diamati dari karakter utama kawasan, situs atau tapak tersebut dan hubungan-hubungannya terhadap tapak. Kedua hal ini, terutama, dibentuk oleh 2 (dua) faktor, yaitu: 1. historic/prehistoric feature, yaitu feature yang terletak di atas atau di bawah permukaan tanah (seperti lanskap), dan 2. informasi-informasi sejarah yang berhubungan dengan tapak tersebut (seperti cerita rakyat, legenda, atau catatan sejarah proses terjadinya suatu tapak).
Perencanaan Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah Perencanaan adalah suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik mencapai keadaan tersebut (Starke dan Simonds 2006). Ditegaskan oleh Harris dan Dines (1988) bahwa tindakan pelestarian lanskap sejarah ini tidak hanya memenuhi persyaratan keindahannya saja, tetapi juga persyaratan kultural dan teknologikal
5 yang terdapat atau tersedia di kawasan yang akan dilestarikan. Perencanaan kawasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar, memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan, dan merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan masa lalunya (Nurisyah dan Pramukanto 2001). Menurut Harris dan Dines (1988) beberapa tujuan dari perencanaan lanskap sejarah adalah: 1. mempreservasi karakter keindahan dari bangunan atau area: a. menekankan pada keberlanjutan masa dahulu dan saat ini, b. melengkapi suatu struktur sejarah, c. menahan penurunan karakter pada lingkungan, d. menginterpretasikan kehidupan sejarah seseorang, kejadian, maupun tempat. 2. mengkonservasi sumber daya: a. melindungi pepohonan, semak, dan berbagai macam material tanaman, b. memperpanjang kehidupan pada elemen tapak, c. memperbaiki dan merehabilitasi elemen yang sudah tidak berfungsi lagi, d. mengurangi pemeliharaan. 3. memfasilitasi pendidikan lingkungan: a. mengilustrasikan selera, proses, teknologi pada masa lalu, b. mengevaluasi penerapan penggunaan teknologi pada masa lalu dan saat ini. 4. mengakomodasi kebutuhan akibat perubahan pada kawasan permukiman baik di perkotaan, sub-urban atau perdesaan.
Pola Perkampungan Sunda Menurut Salura (2007) dalam kebudayaan Sunda konsep tentang perkembangan tempat (patempatan) terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap awal yang terdiri dari satu hingga tiga rumah dan disebut dengan umbalan. Kemudian berkembang menjadi babakan yang terdiri dari empat hingga enam rumah dan berkembang menjadi kawasan yang lebih besar dengan jumlah rumah lebih dari enam dan disebut dengan kampung (Gambar 2). Di samping itu, dalam kebudayaan masyarakat Sunda diterapkan beberapa aturan dalam penataan ruang yang menjadi ciri khas bagi permukiman Sunda, Aturan tersebut berdasarkan informasi yang bersumber dari literatur Sunda (pantun bogor) dalam cerita Sanghyang Siksa Kandang Karesian bahwa terdapat tiga konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda (Salura 2007). Tiga konsep tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Konsep dasar tata ruang Sunda No. Konsep Uraian 1 Elemen Cai nyusu, imah, pipir dan buruan 2 Orientasi Sanghyang wuku, luhur, tengah dan handap 3 Mitos Alam (jagat) padanan tubuh manusia Sumber: Salura (2007)
6
Sumber: Dahlan (2009)
Gambar 2 Pola perkembangan permukiman Sunda secara umum Konsep elemen merupakan tata ruang mikro dalam permukiman Sunda di mana dalam sebuah ruang kecil dibentuk oleh elemen sumber air (cai nyusu), rumah (imah), pekarangan samping rumah (pipir) dan pekarangan depan rumah (buruan) (Gambar 3). Adapun untuk konsep orientasi saat ini lebih dikenal dengan konsep lemah-cai, luhur handap dan kaca-kaca. Di samping itu terdapat mitos dalam konsep ruang masyarakat Sunda yang menerangkan bahwa ruang merupakan manifestasi dari alam yang dipadankan dengan manusia yang memiliki wadah (tubuh) dan isi (jiwa). Ruang harus berfungsi sebagai wadah bagi seluruh aktivitas dari masyarakat dan juga harus memiliki isi atau menjadi sumber kekuatan dalam menjaga stabilitas dalam kehidupan. Dalam hal ini isi dapat berupa bentuk fisik maupun non-fisik. Bentuk fisik biasa disimbolkan dengan batu, makam, pohon atau benda lainnya yang dianggap keramat oleh masyarakat. Sedangkan bentuk non-fisik biasa disimbolkan dengan kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau dikenal dengan istilah karuhun (Salura 2007). Gambar 4 mengilustasikan konsep orientasi tata ruang Sunda dan konsep mitos ruang yang merupakan manisfestasi dari alam yang dipandankan sebagai tubuh (wadah) dan jiwa (isi) manusia. Konsep lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dengan demikian dalam konsep tata ruang Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman (kampung). Konsep luhur-handap merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam. Adapun konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi
7 pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan harmonis baik secara vertikal maupun horizontal (Salura 2007).
Sumber: Dahlan (2009)
Gambar 3 Ilustrasi konsep elemen
Sumber: Dahlan (2009)
Gambar 4 Ilustrasi konsep orientasi dan mitos
Pola Kampung Lengkong Kyai Khamdevi (2012) menjelaskan, pola Kampung Lengkong Kyai adalah linear dan mengikuti posisi arah kiblat, di mana bagian memanjang bangunan, terutama hunian, menghadap Utara yang merupakan sungai dan Selatan yang merupakan bukit.
8 Lebih jauh lagi Khamdevi (2012) menjelaskan bahwa kampung lama dari Kampung Lengkong Kyai berada pada lapis pertama yang dekat dengan bibir Sungai Cisadane. Pola dan posisi bangunan kampung ini berpola linear dan terpusat, di mana hampir 100% mengikuti posisi arah kiblat. Bagian yang memanjang dari bangunannya menghadap bukit dan sungai. Bukit, makam dan sungai serta masjid merepresentasikan hubungan timeline sejarah dan juga hubungan analogi dunia akhirat dalam kaitannya dengan Ketuhanan yang berlaku umum pada masyarakat Jawa.
Karakteristik Lanskap Budaya Menurut McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999), karakteristik lanskap adalah bukti nyata kegiatan dan kebiasaan masyarakat yang menduduki, mengembangkan, menggunakan dan membentuk lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999) menyebutkan terdapat sebelas karakteristik lanskap perdesaan, antara lain: landuse dan aktivitas; pola organisasi ruang; respon terhadap lingkungan alam; tradisi budaya; jejaring sirkulasi; batas pemisah; vegetasi terkait dengan landuse; bangunan, struktur dan objek; kelompok-kelompok (clusters); situs arkeologi dan elemen skala kecil. Empat karakteristik pertama merupakan proses yang merupakan instrumen pembentuk lahan, sedangkan tujuh karakteristik lainnya merupakan elemen fisik yang terlihat di lapang. Sistem klasifikasi terhadap sebelas karakteristik ini dikembangkan untuk membaca lanskap perdesaan dan memahami kekuatan alam dan budaya yang membentuknya. Sistem klasifikasi karakteristik lanskap ini adalah alat untuk mengumpulkan dan mengorganisir informasi. Karakteristik proses mendefinisikan tema tertentu dari suatu lanskap. Sedangkan karakteristik elemen fisik mendefinisikan fitur bersejarah dari suatu lanskap.
Signifikansi Budaya Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam Piagam Burra, signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah dan sosial atau spiritual yang penting untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilainilai atau tempat-tempat yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan objek-objek terkait. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang akan datang.
9 Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur, dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu. Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan lima nilai penting yang dimiliki oleh suatu sumber daya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial. Nilai penting estetika didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan, membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi kelompok tertentu.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Lengkong Kyai, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Peta lokasi penelitian
10 Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama 6 (enam) bulan yang dimulai dari bulan April tahun 2015 hingga September tahun 2015.
Data dan Informasi Data dan informasi yang diperlukan berupa aspek biofisik dan budaya Kampung Lengkong Kyai yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Berikut ini merupakan tabel data dan informasi yang dikumpulkan selama penelitian. Tabel 2 Data dan informasi penelitian No. 1
2
Jenis data
Aspek Biofisik Topografi
Interpretasi
Spasial
Deskriptif
√
-
Elevasi, kemiringan lahan Formasi batuan, jenis tanah Suhu udara, kelembaban udara, curah hujan Jenis tanaman, fungsi tanaman Penggunaan lahan Penutupan lahan Pemanfaatan sungai, tingkat pencemaran sungai
Bappeda & survei
Wawancara & studi literatur Wawancara & studi literatur Survei, wawancara & studi literatur Survei, wawancara & studi literatur
Geologi dan tanah
√
√
Iklim
-
√
Vegetasi
√
√
Penggunaan lahan
√
√
Penutupan lahan
√
√
Hidrologi
√
√
-
√
Sejarah kawasan
Budaya Sejarah
Sumber data
Adat istiadat
-
√
Adat istiadat masyarakat
Pola permukiman
-
√
Pola permukiman
Arsitektur rumah
-
√
Bentukan rumah
Bappeda & survei BMKG
Survei & wawancara Bappeda & survei Bappeda & survei Bappeda, survei & wawancara
11 Tabel 2 Data dan informasi penelitian (lanjutan) No.
Aspek
Keterangan:
Kebudayaan naratif
Jenis data Spasial Deskriptif √
Interpretasi Pantun, puisi, cerita, tembang, sejarah
Sumber data Wawancara & studi literatur
Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Kab. Tangerang) BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
Aspek Biofisik Topografi Peta topografi memuat informasi garis kontur pada tapak yang berfungsi untuk delineasi kelas kemiringan lahan (slope) dan elevasi kawasan studi. Geologi dan Tanah Data geologi dan tanah berguna untuk mengetahui jenis pemanfaatan lahan yang sesuai berdasarkan jenis tanah yang dihasilkan melalui proses mineralisasi dari bahan induk (batuan). Berdasarkan jenis tanah juga dapat diindikasikan kepekaan erosinya. Iklim Data yang dikumpulkan antara lain suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata serta curah hujan bulanan rata-rata. Data ini digunakan untuk menginterpretasikan kondisi iklim wilayah yang dapat menentukan kesesuaian lahan untuk kenyamanan dalam pemanfaatan lahan tertentu. Vegetasi Data vegetasi dikumpulkan untuk mengetahui jenis vegetasi yang digunakan oleh warga Kampung Lengkong Kyai dalam kehidupan sehari-hari seperti sebagai bahan pengobatan tradisional, bahan bangunan, perkakas rumah tangga dan pertanian, bahan untuk membuat kerajinan tangan dan sebagainya. Data vegetasi yang dikumpulkan terdiri dari jenis dan bagian vegetasi yang dimanfaatkan, serta cara penggunaan dan kegunaannya. Penggunaan Lahan Data penggunaan lahan berfungsi sebagai informasi untuk mengetahui lokasilokasi penggunaan lahan seperti pertanian, perkebunan, permukiman dan sebagainya, serta lokasi-lokasi yang memiliki nilai pada kawasan tersebut. Penutupan Lahan Data penutupan lahan diperoleh dengan mendelineasi jenis penutupan lahan pada citra satelit. Data klasifikasi penutupan lahan digunakan untuk mengetahui tipe penggunaan lahan dan pola pemanfaatan lahan serta elemen fisik yang membentuknya. Hidrologi Data hidrologi yang digunakan berupa data Sungai Cisadane. Data ini digunakan untuk mengetahui kondisi sungai dan pemanfaatan sungai yang dilakukan oleh warga Kampung Lengkong Kyai. Aspek Budaya Sejarah Informasi sejarah diperoleh untuk mengiterpretasikan sejarah terbentuknya Kampung Lengkong Kyai serta peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah
12
terjadi dalam proses pembentukkan kampung tersebut. Selain itu keberadaan benda-benda bersejarah seperti artefak, makam, bangunan dan lain-lain menjadi suatu pertimbangan tersendiri dalam perencanaan lanskap. Adat Istiadat Informasi adat istiadat masyarakat diperoleh untuk menginterpretasikan nilainilai adat istiadat yang ada pada masyarakat setempat baik yang teraga maupun tidak teraga, sehingga dapat diketahui adanya fungsi ruang sebagai wadah aktivitas adat masyarakat. Pola Permukiman Informasi mengenai pola permukiman diperoleh untuk mengiterpretasikan bentuk atau pola dari susunan struktur bangunan dan fasilitas-fasilitas yang ada, di mana pola tersebut merupakan suatu nilai budaya yang penting untuk dilestarikan. Arsitektur Rumah Informasi mengenai arsitektur rumah diperoleh untuk menginterpretasikan bentukan rumah masyarakat asli Kampung Lengkong Kyai yang masih terjaga dengan berbagai keunikan yang ada. Kebudayaan Naratif Informasi mengenai kebudayaan naratif diperoleh untuk menginterpretasikan hasil krativitas masyarakat dalam bentuk pantun, puisi, cerita, tembang, naskah sejarah dan sebagainya, sehingga dapat diketahui karakteristik bentang alam dan sejarah yang tersirat pada karya tersebut.
Alat Kegiatan penelitian ini menggunakan beberapa alat pada saat survei lapang dan pengolahan data. Pada saat survei lapang alat-alat yang digunakan antara lain kamera digital, alat Global Positioning System (GPS), voice recorder dan alat tulis. Sedangkan pada saat pengolahan data alat yang digunakan yaitu komputer dengan beberapa software penunjang, antara lain: Microsoft Office, ArcGIS, Google Earth, AutoCAD dan Adobe Photoshop.
Metode dan Tahapan Penelitian Metode yang digunakan secara umum dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Tahapan penelitian meliputi persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Diagram tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Detail tahapan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Persiapan Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan antara lain penetapan tujuan penelitian, pengumpulan informasi awal tentang Kampung Lengkong Kyai, penyusunan peta dasar (preliminary map) dan persiapan alat-alat survei yang akan digunakan.
13
Gambar 6 Diagram tahapan penelitian 2. Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data dan informasi. Metode pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan dua cara, yaitu survei lapang yang bertujuan untuk mendapatkan data primer dan studi pustaka untuk mendapatkan data sekunder. Survei lapang dilakukan dengan cara pengamatan langsung di mana pengamatan dan pengambilan data difokuskan pada aspekaspek biofisik dan budaya yang akan dianalisis. Untuk pengambilan data fisik dilakukan pemetaan dengan melakukan tracking menggunakan GPS yang selanjutnya dikompilasi dengan base map. Selain itu, dilakukan juga wawancara terhadap key informant (H. Mukri Mian) untuk memperoleh informasi terkait aspek budaya. Bahan-bahan studi pustaka untuk memperoleh data sekunder mengenai informasi topografi, geologi dan tanah, iklim, penggunaan lahan, penutupan lahan dan hidrologi dikumpulkan dari data-data yang dimiliki dinas dan instansi terkait serta literatur dari berbagai sumber. 3. Analisis Analisis dilakukan berdasarkan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Tahap ini meliputi identifikasi karakteristik lanskap budaya dan analisis signifikansi/nilai penting dari lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai.
14 a. Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya Identifikasi karakteristik lanskap budaya merujuk pada sebelas karakteristik lanskap perdesaan yang dikemukakan oleh McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999). Deskripsi masing-masing karakter dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik lanskap budaya No. 1
Karakteristik Landuse dan aktivitas
2
Pola organisasi ruang
3
Respon terhadap lingkungan alam
4
Tradisi budaya
5
Jejaring sirkulasi
6
Batas pemisah
7
Vegetasi terkait dengan landuse
8
Bangunan, struktur dan objek Kelompokkelompok (clusters) Situs arkeologi
9
10
11
Elemen skala kecil
Deskripsi Landuse dengan aktivitas yang melatarbelakanginya merupakan kekuatan manusia yang berpengaruh dalam membentuk dan mengorganisasi masyarakat perdesaan. Hubungan antara komponen fisik utama (politik, ekonomi, teknologi dan lingkungan alam) dalam mempengaruhi organisasi masyarakat dalam pola permukiman, kedekatan terhadap pasar dan ketersediaan transportasi. Respon masyarakat terhadap sumber daya utama (gunung, padang rumput, sungai, danau dan hutan) dalam menentukan lokasi dan organisasi ruang masyarakat; iklim dalam menentukan posisi bangunan, material konstruksi, lokasi klaster bangunan dan struktur; fisiografi dan ekologi dalam menentukan tradisi landuse, metode konstruksi dan adat sosial. Tradisi mempengaruhi cara menggunakan, mengokupasi dan membentuk lahan. Sistem transportasi manusia, barang dan bahan mentah dari satu tempat ke tempat lain baik itu akses internal masyarakat desa maupun akses regional di sekitarnya. Batas pemisah merupakan delineasi kepemilikan lahan dan penggunaan lahan, seperti pemisahan area dengan fungsi khusus dengan pagar atau tembok batu tertutup. Keberagaman vegetasi berhubungan langsung dengan pola penggunaan lahan, baik itu vegetasi indigenous, naturalized maupun introduksi. Keberadaan bangunan, struktur dan objek untuk melayani kebutuhan manusia berkenaan dengan penguasaan dan penggunaan lahan. Pengelompokan/grouping bangunan, pagar dan elemen lain sebagai resultan dari fungsi, tradisi sosial, iklim dan pengaruh lain baik budaya dan alam. Keberadaan situs prasejarah maupun sejarah seperti fondasi bangunan, perubahan vegetasi dan permukaan lahan yang masih tersisa. Keberadaan elemen skala kecil seperti jembatan kecil, rambu, pagar, gerbang, tugu triangulasi dan sebagainya yang melengkapi setting lanskap perdesaan.
Sumber: McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999)
Empat karakteristik pertama merupakan proses yang menjadi instrumen pembentuk lanskap budaya. Sedangkan tujuh karakteristik lainnya merupakan elemen fisik pembentuk lanskap yang terlihat di lapang. Keluaran dari tahapan ini yaitu deskripsi karakteristik lanskap dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics) Kampung Lengkong Kyai. b. Analisis Signifikansi Lanskap Budaya Pada awal analisis signifikansi lanskap budaya dilakukan penentuan zonazona lanskap budaya berdasarkan hasil identifikasi karakteristik lanskap budaya.
15 Selanjutnya dilakukan pembobotan pada masing-masing zona. Mengacu pada Piagam Burra (Australia ICOMOS 1999), maka ada empat kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual dan ilmiah. Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi dibagi menjadi tiga yaitu signifikansi rendah, sedang dan tinggi. Langkah terakhir yaitu mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011) adalah sebagai berikut. = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori Signifikansi Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK Interval Kelas (IK)
Tabel 4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya No. 1
Estetikab a. Landusea 1)
b. Arsitektur rumah2)
c. Elemen lanskap3)
d. Integritas/unitya 4)
2
Skor
Kriteria
Sejarahb a. Elemen lanskapa
b. Area/ruanga
Rendah (1)
Sedang (2)
Tinggi (3)
Terjadi perubahan penggunaan lahan >50% Didominasi >50% oleh rumah bergaya arsitektur modern
Terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 25-50% Didominasi >50% oleh rumah semi tradisional yang menggunakan material modern tapi tetap memiliki corak/gaya tradisional Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya 50-75% Lanskap memiliki unity dan integritas karakter yang lemah dengan sekitarnya
Terjadi perubahan penggunaan lahan <25%
Terdapat kurang dari 5 elemen bersejarah dengan umur >50 tahun Terdapat area atau tempat bersejarah di masa lalu namun saat ini sudah berubah fungsi
Terdapat lebih dari 5 elemen bersejarah dengan umur >50 tahun Area atau tempat bersejarah masih dipertahankan dan terdapat landmark /penanda
Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya <50% Lanskap tidak memiliki kesatuan/unity dan karakternya tidak harmonis dengan lingkungan sekitar Tidak terdapat elemen bersejarah dengan umur >50 tahun Tidak terdapat area atau tempat yang memiliki nilai sejarah kejadian penting di masa lalu
Didominasi >50% oleh rumah yang memiliki gaya arsitektur tradisional dan keaslian
Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya >75% Lanskap memiliki unity yang kuat dan karakter yang harmonis dengan sekitarnya
16 Tabel 4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya (lanjutan) No. 3
4
Kriteria Sosial/Spiritualb a. Area/ruang5)
Rendah (1) Area/ruang dan aktivitas sosial budaya masyarakat sudah tidak ada lagi
b. Norma/aturan adat6)
Norma atau aturan adat sudah sepenuhnya ditinggalkan oleh masyarakat
c. Tradisi budaya7)
Masyarakat sudah sepenuhnya meninggalkan tradisi adat yang mengandung nilai spiritual
Ilmiahb a. Aktivitas8)
b. Elemen lanskap
Aktivitas yang bernilai pendidikan tidak ada/sudah hilang Tidak ada elemen yang memiliki nilai pengetahuan/ilmiah
Skor Sedang (2)
Tinggi (3)
Aktivitas sosial budaya masyarakat masih berjalan namun area atau ruang untuk beraktivitas sudah tidak ada atau sebaliknya Norma atau aturan adat mulai menghilang/hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Nilai spiritual dalam tradisi masyarakat mulai menghilang/hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat
Masih terdapat area atau tempat penting bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial budaya
Masih terdapat aktivitas yang bernilai pendidikan namun sudah mulai hilang Hanya beberapa elemen saja yang memiliki nilai pengetahuan yang tinggi
Terdapat aktivitas yang dipertahankan dan berpotensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan Setiap elemen memiliki nilai pengetahuan yang tinggi sehingga dapat bermanfaat bagi pendidikan
Norma atau aturan adat masih sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat Masyarakat umumnya masih melakukan tradisi ritual adat pada acara tertentu
a
[Dimodifikasi dari Harris dan Dines (1988)]; b[Australia ICOMOS (1999)] Sumber: Hasibuan (2014) dengan modifikasi. 1) Mengacu pada landuse Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. 2) Mengacu pada bentuk arsitektur rumah khas Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 yang menyerupai rumah adat betawi.
3) Mengacu pada kondisi elemen lanskap Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. 4) Mengacu pada konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai berdasarkan konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda menurut Salura (2007). 5) Mengacu pada aktivitas sosial budaya masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. 6) Mengacu pada norma/aturan adat yang dianut masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. 7) Mengacu pada tradisi budaya masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 1920. 8) Mengacu pada aktivitas masyarakat Kampung Lengkong Kyai yang bernilai pendidikan pada abad ke 19-20.
17 4. Sintesis Hasil dari analisis terhadap karakteristik dan signifikansi lanskap budaya ini kemudian disintesis untuk menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian yang akan diterapkan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai sesuai dengan tingkat signifikansinya. Bentuk tindakan pelestarian tersebut mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran; pengembangan yang meliputi penelitian, revitalisasi dan adaptasi; serta pemanfaatan. 5. Perencanaan Pada tahap awal perencanaan dilakukan penetapan konsep perencanaan lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Kemudian dilakukan pengembangan konsep perencanaan berupa konsep ruang, konsep sirkulasi dan konsep tata hijau. Selanjutnya dibuat hasil akhir berupa rencana lanskap (landscape plan) yang dituangkan dalam bentuk rencana ruang, rencana sirkulasi dan rencana tata hijau.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kampung Lengkong Kyai atau disebut juga Kampung Lengkong Ulama merupakan salah satu kampung yang terletak di wilayah Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (Gambar 7). Secara geografis Kampung Lengkong Kyai terletak pada 6˚17′1,10″ LS 6˚17′18,30″ LS dan 106˚38′54,60″ BT - 106˚39′14,30″ BT. Batas wilayah Kampung Lengkong Kyai saat ini yaitu sebelah Timur berbatasan dengan Jalan BSD Boulevard Utara, sebelah Barat berbatasan dengan Jalan BSD Raya Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Jakarta Nanyang School dan sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cisadane. Kampung Lengkong Kyai memiliki luas sebesar 15,7 ha. Lokasi Kampung Lengkong Kyai berada di tepi Sungai Cisadane yang memisahkan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Menurut data dari Komunitas Lengkong Oelama Movement, pada tahun 2011 Kampung Lengkong Kyai dihuni sebanyak 250 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 1.091 jiwa yang terdiri dari 571 laki-laki dan 520 perempuan. Suku yang bermukim di Kampung Lengkong Kyai didominasi oleh dua suku utama yaitu suku Sunda dan keturunan Arab. Sebagian besar masyarakat Kampung Lengkong Kyai menggunakan bahasa Sunda dalam berinteraksi dengan sesama warga kampung. Mata pencaharian masyarakat Kampung Lengkong Kyai sebagian besar adalah wiraswasta dan guru yang mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang berlokasi di lingkungan Kampung Lengkong Kyai. Struktur kelembagaan Kampung Lengkong Kyai dipimpin oleh seorang jaro. Jaro dapat diartikan sebagai kepala dusun yang mengemban jabatan satu tingkat di bawah kepala desa atau setingkat dengan ketua rukun warga (RW). Selanjutnya di bawah jaro terdapat tiga ketua rukun tetangga (RT) yang bertanggung jawab menangani administrasi kependudukan masyarakat kampung di wilayah masing-masing.
Gambar 7 Peta orientasi kawasan penelitian
18
19 Data Aspek Biofisik a. Topografi dan Kemiringan Lahan Topografi Kampung Lengkong Kyai memiliki elevasi 20 sampai 45 meter di atas permukaan laut. Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, Kampung Lengkong Kyai memiliki topografi berbukit, semakin ke Tenggara memiliki kontur yang semakin tinggi. Berdasarkan peta elevasi dapat dibuat peta kemiringan lahan. Tabel 5 dan Gambar 9 merupakan tabel luas kelas lereng dan peta kemiringan lahan. Kelas lereng ditentukan menjadi lima kelas berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980) yaitu 0-8% (datar), 8-15% (landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam) dan >40% (sangat curam). Tabel 5 Luas kelas lereng Kampung Lengkong Kyai Kelas lereng Klasifikasi Luas (m2) Persentase luas (%) 0-8% Datar 55.915,49 35,63 8-15% Landai 21.407,68 13,64 15-25% Agak curam 16.728,25 10,66 25-40% Curam 27.429,61 17,48 >40% Sangat curam 35.434,11 22,58 156.915,14 100,00 Total Persentase luas dari tertinggi sampai terendah yaitu lahan dengan kelas lereng 0-8% yang diklasifikasikan sebagai lahan datar menunjukkan persentase luas tertinggi sebesar 35,63% dari total area penelitian. Kelas lereng >40% yang diklasifikasikan sebagai lahan sangat curam menunjukkan persentase luas sebasar 22,58%. Kelas lereng 25-40% yang diklasifikasikan sebagai lahan curam menunjukkan persentase luas sebesar 17,48%. Kelas lereng 8-15% yang diklasifikasikan sebagai lahan landai menunjukkan persentase luas sebesar 13,64%. Kelas lereng 15-25% yang diklasifikasikan sebagai lahan agak curam menunjukkan persentase luas terendah yaitu 10,66% dari total area penelitian. b. Geologi dan Tanah Formasi geologi di Kecamatan Pagedangan tersusun dari beberapa satuan batuan, di antaranya batuan gunung api tuf banten (QTvb), endapan permukaan aluvium (Qa), batuan gunung api endapan gunung api muda (Qv) dan batuan sedimen formasi genteng (Tpg). Peta geologi Kecamatan Pagedangan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, Kampung Lengkong Kyai termasuk dalam bagian satuan batuan endapan permukaan aluvium (Qa). Satuan batuan ini terdiri dari lempung, pasir, kerikil, kerakal dan bongkahan. Jenis tanah di Kampung Lengkong Kyai berdasarkan data RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2011-2031 merupakan asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan (Gambar 11). Dalam Soepardi (1983) dijelaskan sifat yang menonjol dan penting dari tanah latosol adalah terbentuknya keadaan granular. Keadaan itu merangsang drainase dalam yang sangat baik. Selanjutnya, liat-hidro-oksida dari tanah latosol tidak mempunyai sifat plastisitas dan kohesi yang menjadi ciri liat silikat daerah sedang. Ini memungkinkan pengolahan tanah latosol segera setelah hujan lebat tanpa menyebabkan keadaan fisik tanah yang
Gambar 8 Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai
20
Gambar 9 Peta kemiringan lahan Kampung Lengkong Kyai
21
Gambar 10 Peta geologi Kecamatan Pagedangan
22
Gambar 11 Peta jenis tanah Kampung Lengkong Kyai
23
24 tidak memuaskan. Berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980) menurut kepekaannya terhadap erosi, tanah latosol masuk dalam kriteria agak peka. c. Iklim Data iklim diperoleh dari tiga stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terdekat dengan lokasi penelitian (Gambar 13). Stasiun BMKG tersebut yaitu, Stasiun Geofisika Kelas I Tangerang yang terletak pada 6˚6′0″ LS dan 106˚22′48″ BT dengan elevasi 14 mdpl, Stasiun Klimatologi Kelas II Pondok Betung yang terletak pada 6˚15′36″ LS dan 106˚45′0″ BT dengan elevasi 26 mdpl, dan Stasiun Meteorologi Kelas III Budiarto-Curug yang terletak pada 6˚16′12″ LS dan 106˚34′12″ BT dengan elevasi 46 mdpl. Data yang diperoleh terhitung selama 10 tahun yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2014 (Gambar 12). Suhu Udara Rata-rata Tahun 2005-2014 (˚C) 28,0 27,8 27,6 27,4 27,2 27,0 26,8 26,6 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
O kt
Nov
Des
Kelembaban Udara Rata-rata Tahun 2005-2014 (% ) 86 84 82 80 78 76 74 72 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
O kt
Nov
Des
O kt
Nov
Des
Jumlah Curah Hujan Rata-rata Bulanan Tahun 2005-2014 (mm) 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Sumber: BMKG
Gambar 12 Grafik suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata dan jumlah curah hujan rata-rata bulanan tahun 2005 – 2014
Gambar 13 Peta lokasi stasiun BMKG
25
26 Berdasarkan data dari tiga stasiun terdekat BMKG diketahui suhu rata-rata Kampung Lengkong Kyai yaitu 27,28 ˚C, dengan suhu minimum terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu 26,66 ˚C dan suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober yaitu 27,9 ˚C. Kelembaban udara rata-rata Kampung Lengkong Kyai yaitu 79,14%, dengan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan September yaitu 73,3% dan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 84,26%. Curah hujan rata-rata bulanan Kampung Lengkong Kyai yaitu 174,60 mm dan termasuk dalam kategori curah hujan sedang. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 324,16 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September yaitu 70,16 mm. d. Hidrologi Kualitas air sungai di kawasan studi diketahui berdasarkan hasil pantauan tahun 2013 dan 2014 mengenai tingkat pencemaran tiga sungai di Tangerang Selatan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Tangerang Selatan. Hasil analisis air Sungai Cisadane dihitung dengan metode STORET dan standar baku mutu kelas II sesuai PP No. 82 tahun 2001 yang disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis STORET kelas II menghasilkan kesimpulan bahwa seluruh bagian sungai (lokasi pantau) dalam kondisi tercemar berat dengan skor STORET lebih kecil dari sama dengan minus 30. Lokasi titik pantau terdekat dengan Kampung Lengkong Kyai yaitu Cilenggang menunjukkan nilai rekap STORET kelas II pada tahun 2013 dan 2014 masing-masing sebesar minus 78 dan minus 102. Tabel 6 Hasil perhitungan analisis air Sungai Cisadane Titik pantau Rekap storet kelas II Klasifikasi Nama Lokasi 2013 2014 sungai Cisadane Kranggan -110 -126 Tercemar berat Cisauk -116 -122 Tercemar berat Cilenggang -78 -102 Tercemar berat Cihuni -84 -92 Tercemar berat Gading Serpong -114 -122 Tercemar berat Sumber: BLHD Kota Tangerang Selatan
Saat ini air Sungai Cisadane dimanfaatkan masyarakat kampung untuk kebutuhan rumah tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK). Dalam cakupan yang lebih luas Sungai Cisadane yang mengalir di Kabupaten Tangerang berfungsi sebagai sumber air baik untuk pengairan lahan pertanian maupun untuk keperluan rumah tangga. Di samping itu, Sungai Cisadane juga berfungsi sebagai pengendali banjir pada musim hujan, sumber penghasil ikan dan sumber penghasil pasir untuk bahan bangunan. Dalam sejarah, dahulu Sungai Cisadane juga difungsikan sebagai prasarana lalu lintas orang dan barang (Ekadjati, Hardjasaputra dan Mulyadi 2004). e. Penggunaan dan Penutupan Lahan Penutupan lahan di Kampung Lengkong Kyai diklasifikasikan berdasarkan hasil interpretasi citra satelit yang berasal dari Google Earth (https://earth.google.com). Data citra satelit yang diinterpretasi diambil dari dua
27 waktu yang berbeda yaitu tahun 2004 dan 2014 (Gambar 14 dan Gambar 15). Hal ini dilakukan untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang terjadi pada selang waktu tersebut di Kampung Lengkong Kyai. Interpretasi visual penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan kunci interpretasi yang dilihat dari warna, bentuk, ukuran, bayangan, pola dan tekstur (Tabel 7). Terdapat lima kelas penutupan lahan yang diinterpretasikan yaitu permukiman, vegetasi (pohon), vegetasi (semak dan groundcover), lahan pertanian dan perkerasan. Tabel 7 Kriteria interpretasi citra satelit untuk kelas penutupan lahan Penutupan lahan
Warna
Bentuk
Ukuran
Bayangan
Pola
Tekstur
Permukiman
Coklat muda
Geometris
Sedang
Ada
Terkonsentrasi
Halus – kasar
Vegetasi (pohon)
Hijau tua
Organik
Kecil – besar
Ada
Menyebar
Kasar
Vegetasi (semak dan groundcover)
Hijau muda
Organik
Kecil – besar
Tidak ada
Menyebar
Halus
Lahan pertanian
Hijau muda – hijau tua
Geometris
Kecil – besar
Tidak ada
Terkonsentrasi
Halus
Perkerasan
Abu-abu – putih
Geometris
Kecil – besar
Tidak ada
Terkonsentrasi
Halus
Citra
Berdasarkan interpretasi kelas penutupan lahan terhadap dua citra satelit pada tahun 2004 dan 2014 (Gambar 14 dan Gambar 15) didapatkan data perubahan luas penutupan lahan pada rentang waktu tersebut (Tabel 8). Kemudian dari data perubahan luas penutupan lahan tersebut didapatkan persentase perubahan luas penutupan lahan dari tahun 2004 hingga 2014 (Tabel 9). Pada jenis penutupan lahan permukiman tidak terjadi perubahan penutupan lahan permukiman ke jenis penutupan lahan lain. Pada jenis penutupan lahan vegetasi (pohon) perubahan penutupan lahan menjadi permukiman sebesar 18,57%, menjadi vegetasi (semak dan groundcover) sebesar 34,46%, menjadi perkerasan sebesar 1,55% dan yang tetap menjadi vegetasi (pohon) sebesar 45,42%. Pada jenis penutupan lahan vegetasi (semak dan groundcover) perubahan penutupan lahan menjadi permukiman sebesar 1,85%, menjadi vegetasi (pohon) sebesar 28,07%, menjadi perkerasan sebesar 7,53% dan yang tetap menjadi vegetasi (semak dan groundcover) sebesar 62,55%. Pada jenis penutupan lahan berupa lahan pertanian perubahan penutupan lahan menjadi permukiman sebesar 25,32%, menjadi vegetasi (pohon) sebesar 35,45%, menjadi vegetasi (semak dan groundcover) sebesar 39,23% dan yang tetap menjadi lahan pertanian sebesar 0%.
Gambar 14 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2004
28
Gambar 15 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014
29
30 30
Tabel 8 Perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014
Tahun 2004 (m2)
Jenis penutupan lahan
Tahun 2014 (m2) Vegetasi (semak dan groundcover) 0 28.752,40
Lahan pertanian 0 0
Permukiman Vegetasi (pohon) Vegetasi (semak dan groundcover) Lahan pertanian Perkerasan
50.686,95 15.492,67
Vegetasi (pohon) 0 37.898,97
310,91
4.718,85
10.514,77
1.514,04 0
2.119,50 0
Total
68.004,57
44.737,32
Permukiman
Perkerasan
Total
0 1.295,01
50.686,95 83.439,05
0
1.265,05
16.809,58
2.346,02 0
0 0
0 0
5.979,56 0
41.613,19
0
2.560,06
156.915,14
Tabel 9 Persentase perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014
Tahun 2004 (%)
Jenis penutupan lahan Permukiman Vegetasi (pohon) Vegetasi (semak dan groundcover) Lahan pertanian Perkerasan
100 18,57
Vegetasi (pohon) 0 45,42
Tahun 2014 (%) Vegetasi (semak dan groundcover) 0 34,46
Lahan pertanian 0 0
1,85
28,07
62,55
25,32 -
35,45 -
39,23 -
Permukiman
Perkerasan
Total
0 1,55
100 100
0
7,53
100
0 -
0 -
100 -
31 Berdasarkan peta penutupan lahan tahun 2004 dan wawancara dengan penduduk setempat diketahui penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai pada tahun 2004 dibagi menjadi empat jenis yaitu permukiman, pertanian, area pemakaman dan hutan bambu. Sedangkan pada saat ini, berdasarkan peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014 dan survei lapang, penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai terdegradasi karena dampak dari pembangunan menjadi hanya dua jenis yaitu permukiman dan area pemakaman. Perubahan penggunaan lahan terjadi cukup signifikan, terutama pada jenis penggunaan lahan pertanian dan hutan bambu yang berubah fungsi menjadi permukiman relokasi untuk menampung penduduk kampung lain di sekitar Kampung Lengkong Kyai yang terkena penggusuran proyek pembangunan kota baru. f. Vegetasi Mata pencaharian penduduk Kampung Lengkong Kyai sudah beralih dari sektor pertanian ke sektor-sektor lain di luar aktivitas pertanian seperti perdagangan dan jasa. Hanya segelintir orang yang masih bertahan di sektor pertanian tersebut dengan memanfaatkan bidang-bidang lahan yang ada (Gambar 16) dengan cara berkebun. Tanaman-tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman-tanaman yang biasa dikonsumsi warga sehari-hari antara lain mentimun (Cucumis sativus), gambas atau oyong (Luffa acutangula), singkong (Manihot utilissima), pisang (Musa acuminata) dan pepaya (Carica papaya). Hasil panen dari semua tanaman budidaya tersebut tidak dipasarkan ke luar kampung, melainkan dijual kepada penduduk Kampung Lengkong Kyai. Dengan begitu harga jual komoditas-komoditas tersebut tidak terlalu mengikuti standar pasar, melainkan berdasarkan kesepakatan tawar menawar antara petani dengan pembeli. Selain itu di Kampung Lengkong Kyai terdapat hutan bambu (Gigantochloa apus) (Gambar 16) yang batangnya dimanfaatkan penduduk sebagai bahan bangunan, membuat alat transportasi (getek), membuat pagar dan bahan kerajinan rumah tangga. Menurut jaro Kampung Lengkong Kyai, populasi bambu yang ada sudah sangat berkurang. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan relokasi permukiman penduduk dari kampung lain ke Kampung Lengkong Kyai, sehingga dilakukan alih fungsi lahan dari hutan bambu menjadi permukiman.
(a)
(b)
Gambar 16 (a) Kebun sayur; (b) hutan bambu yang tersisa
32 Data Aspek Budaya a. Sejarah Kawasan Kampung Lengkong Kyai juga dikenal masyarakat dengan nama-nama lain seperti Lengkong Ulama, Lengkong Santri dan Lengkong Sumedang. Disebut demikian karena kampung ini pada masa lampau ditempati oleh seorang ulama atau kyai yang berasal dari Sumedang yang dikenal dengan nama Raden Arya Wangsakara (Tjandrasasmita 2009). Raden Arya Wangsakara adalah seorang pangeran Kerajaan Sumedang Larang yang bergelar Pangeran Wiraraja II, atau terkenal dengan julukan Imam Haji Wangsakara atau Kiayi Lenyep. Beliau merupakan putra dari Pangeran Wiraraja I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang dan Putri Dewi Cipta anak dari Raden Kidang Palakaran cucu Pucuk Umun Banten (Mian 1983). Jika dilihat dari silsilah yang ada, ayah beliau berasal dari Sumedang dan Cirebon, sedangkan pihak ibu berasal dari Banten. Pada tahun 1633 M, Raden Arya Wangsakara direstui oleh Sultan Banten untuk membangun kembali daerah bekas kekuasaan Pucuk Umun yang ditinggalkan ketika menderita kekalahan dalam menghadapi serangan Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf putra dari Maulana Hasanuddin. Adapun peresmian dan penobatan tersebut dilakukan di suatu tempat bekas petilasan Pucuk Umun yaitu Kadu Agung Tigaraksa. Hal ini menjadi asal muasal daerah tersebut dinamai Tigaraksa, yaitu karena terdapat tiga raksaan (penguasa) yakni Pucuk Umun, Sultan Banten dan Raden Arya Wangsakara. Batas daerah tersebut di sebelah Timur yaitu Sungai Cipamungkas (Cisadane) dan di sebelah Barat yaitu Sungai Cidurian. Setelah peresmian itu Raden Arya Wangsakara membangun dan menggarap daerah tersebut dengan mengambil tempat petilasan/kedudukan di tepian Sungai Cisadane yang kemudian beliau namakan Lengkong (Mian 1983). Menurut salah seorang tokoh masyarakat Kampung Lengkong Kyai, H. Mukri Mian, terdapat dua versi asal muasal kawasan tersebut disebut Lengkong. Pertama, kata lengkong diambil dari nama daerah asal leluhur Raden Arya Wangsakara di Panjalu, Ciamis Utara, di mana di daerah ini terdapat salah satu kampung bernama Kampung Lengkong. Kedua, nama lengkong berasal dari kata lingkung atau dilingkung kali yang bermakna dikelilingi sungai. Terlihat dari kondisi geografis Kampung Lengkong Kyai yang diapit oleh dua sungai, yaitu satu sungai besar, Sungai Cisadane dan satu sungai kecil, Sungai Cipicung. b. Adat Istiadat Sejak awal Kampung Lengkong Kyai didirikan, kawasan ini berkembang dengan berbasis sebagai pesantren yang identik dengan kaidah-kaidah Islam. Dalam sejarahnya diketahui Kampung Lengkong Kyai penuh dibanjiri santrisantri yang datang dari luar daerah untuk memperdalam pengetahuan agama Islam. Seiring banyaknya santri maka lambat laun terbentuklah pondok-pondok di sekitar pesantren hingga menjadi sebuah kampung. Dengan begitu adat istiadat masyarakat Kampung Lengkong Kyai tidak terlepas dari pengaruh syatiat-syariat Islam. Ditambah lagi pada sekitar tahun 1700-an akhir etnis Arab masuk dan menetap di Kampung Lengkong Kyai karena hubungan perdagangan dan pergaulan. Kedatangan etnis Arab tersebut kian membaur dengan masyarakat
33 lokal sehingga menambah unsur-unsur budaya lokal, seperti pemberian nama yang menggunakan marga Arab. Terhitung kurang lebih terdapat 24 marga Arab yang ada di Kampung Lengkong Kyai antara lain, Al Athos, Al Amri, Al Kaf, Aulagi, Banhar, Badeges, Abri, Al Wini, Maskati, Asiri, Mas’id, Anggawi, Bazeber, Sungkar, Al Habsyi, Abd. Aziz, Balpas, Bin Pariz, Hamdun, Al Jabri, Al Idrus, Biamin, Basawat dan Audoh. Selain itu, jenis kebudayaan Arab yang berkembang di Kampung Lengkong Kyai antara lain seni kaligrafi dan musik gambus. Seni kaligrafi atau yang juga dikenal sebagai seni menulis indah amat diminati dan ditekuni oleh masyarakat Kampung Lengkong Kyai. Bahkan karena keistimewaan dan keunikan seni kaligrafi Lengkong, banyak santri dari penjuru Tangerang sengaja datang dan menimba ilmu seni kaligrafi di Kampung Lengkong Kyai. Musik gambus merupakan hiburan favorit penduduk Kampung Lengkong Kyai yang sering ditampilkan dalam acara-acara perayaan pernikahan. Kebudayaan Kampung Lengkong Kyai menjadi suatu identitas lokal bagi masyarakatnya. Terdapat beragam jenis aktivitas budaya yang masih terus dilestarikan hingga kini. Aktivitas budaya tersebut meliputi tradisi keagamaan, budaya komunikasi, hingga budaya berpakaian. Beberapa jenis aktivitas budaya tersebut antara lain marhabaan, make samping, nabuh bedug dan haul Raden Arya Wangsakara. 1. Marhabaan Tradisi marhabaan adalah tradisi membaca manakib (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini dilakukan ketika sedang diadakannya acara aqiqah dan acara maulidan. Biasanya dalam kegiatan marhabaan dibacakan manakib Nabi secara bergiliran. Karena buku sejarah Nabi yang dibaca cukup banyak, maka ditunjuklah beberapa kokolot kampung untuk membacakan manakib tersebut. Pemuda Kampung Lengkong Kyai terkadang juga berperan sebagai pembaca manakib apabila para kokolot yang hadir kurang atau sedang berhalangan. Biasanya pemuda yang ditunjuk untuk membaca manakib adalah pemuda yang sudah terlatih sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar ketika marhabaan, pemuda tersebut lancar membacanya. Ketika kegiatan marhabaan berlangsung, selain pembaca manakib, turut hadir juga masyarakat Kampung Lengkong Kyai mulai dari orang tua hingga anak-anak. Mereka aktif dalam kegiatan marhabaan sebagai orang yang menjawab dan mempertegas pembacaan manakib. Ketika seorang pembaca manakib membacakan kata “Nabi Muhammad” maka semua yang hadir serentak menjawab “shollu alaih atau shollallahi alaihi wa sallam”. 2. Make Samping Masyarakat Kampung Lengkong Kyai khususnya laki-laki dalam kebiasaan sehari-hari lebih senang memakai samping (kain sarung) dibandingkan memakai celana. Kebiasaan ini sudah turun-temurun dilakukan. Tidak terdapat batasan umur, mulai dari bapak-bapak sampai pemuda turut melakukan kebiasaan ini baik dalam melakukan ibadah salat, mengajar atau melakukan aktivitas sehari-hari. Tradisi ini dilakukan dengan harapan ketika melakukan perjalanan mereka selalu mengingat salat. Mereka tidak perlu susah payah mencari atau meminjam kain untuk salat, karena mereka sudah memakainya.
34 3. Nabuh Bedug Kegiatan tradisi nabuh bedug biasa dilakukan pada awal hingga akhir bulan Ramadhan di halaman masjid. Pada malam bulan Ramadhan selepas melaksanakan ibadah salat tarawih, para kokolot dan pemuda Kampung Lengkong Kyai beramai-ramai menabuh bedug. Mereka bergantian memukul bedug yang jumlahnya sebanyak empat buah. Acara puncak nabuh bedug yaitu pada malam takbiran. Pada malam takbiran di dalam masjid beberapa orang melantunkan takbir, sedangkan di luar beberapa orang lainnya menabuh bedug. Acara ini berlangsung hingga datangnya waktu subuh. Acara nabuh bedug juga biasa dilakukan ketika malam takbiran pada perayaan hari raya Idhul Adha. Biasanya acara nabuh bedug tersebut dilakukan dari mulai tanggal 9 sampai 13 Dzulhijjah atau sampai habis hari tasrik. 4. Haul Raden Arya Wangsakara Haul Raden Arya Wangsakara merupakan acara peringatan hari lahirnya Raden Arya Wangsakara. Acara ini rutin diperingati oleh masyarakat Kampung Lengkong Kyai setiap tanggal 1 Syaban dalam kalender Hijriah. Hingga peringatan pada tahun 2015, haul Raden Arya Wangsakara sudah mencapai haul yang ke-399. Acara ini kerap dihadiri oleh tokoh-tokoh penting seperti tokohtokoh masyarakat di Kampung Lengkong Kyai, Kepala Desa Lengkong Kulon hingga Bupati Kabupaten Tangerang. Selain kebudayaan-kebudayaan yang tersebut di atas terdapat suatu keuikan dalam penyebutan arah pada masyarakat Kampung Lengkong Kyai. Letak Kampung Lengkong Kyai memanjang mengikuti alur Sungai Cisadane di sebelah Utara, yang pada posisinya mengalir dari Timur ke Barat. Seperti diketahui, Sungai Cisadane merupakan sungai yang mengalir dari Gunung Salak di sebelah Selatan hingga bermuara di Laut Jawa di sebelah Utara Kampung Lengkong Kyai. Berdasarkan perspektif tersebut masyarakat Kampung Lengkong Kyai biasa menyebut arah aliran Sungai Cisadane yang melewati kampung dengan sebutan girang ka hilir yang merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang berarti Selatan ke Utara. Sedangkan apabila dilihat di peta, arah aliran Sungai Cisadane yang melewati Kampung Lengkong Kyai adalah dari Timur ke Barat. Hal ini menjadi suatu kekhasan tersendiri bagi masyarakat Kampung Lengkong Kyai. c. Pola Permukiman dan Arsitektur Rumah Adat Kampung Lengkong Kyai pada awal berdirinya merupakan sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa pondok dan sebuah musala yang hingga kini masih berdiri dan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Seiring ramainya santri yang hendak belajar agama Islam maka dibangunlah Masjid yang kini bernama Masjid Jami Al Muttaqin untuk menampung santri-santri tersebut. Berdirinya masjid turut diikuti dengan berdirinya pondok-pondok di sekitar masjid yang posisinya mengikuti posisi masjid. Akhirnya, lambat laun banyak santri yang bermukim dan menetap di sana. Gubuk-gubuk santri yang bertipe panggung dengan atap julang ngapak berubah menjadi rumah-rumah hingga membentuk sebuah permukiman kampung (Mian 1983, dalam Khamdevi 2012). Kampung Lengkong Kyai terletak di tepi Sungai Cisadane yang alurnya secara kebetulan sesuai dengan arah kiblat. Arah kiblat yang dimaksud yaitu arah
35 bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah salat. Posisi arah kiblat ini sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat, yang menyebutkan kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke Barat Laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing. Selanjutnya, berdasarkan analisis figure ground yang dilakukan oleh Khamdevi (2012), diketahui bahwa pola kampung ini memiliki pola linear dan terpusat ke masjid. Namun pola linear ini justru tidak umum seperti pola desa yang ada di Indonesia umumnya. Seharusnya dengan kampung ini berada di sisi sungai, maka ia harus mengikuti pola alur sungainya. Namun ini tidak, justru ia menentang pola lingkungan alaminya. Lebih jauh Khamdevi (2012) menjelaskan bahwa pola-pola bangunan secara umum, selain masjid, sepertinya memang mengikuti posisi kiblat, dengan sisi yang memanjang menghadap ke arah Utara (sungai) dan Selatan (bukit/makam) (Gambar 17).
Sumber: Khamdevi (2012)
Gambar 17 Pola permukiman Kampung Lengkong Kyai Rumah-rumah penduduk yang ada di Kampung Lengkong Kyai hampir seluruhnya sudah berubah mengikuti gaya arsitektur modern. Hanya tersisa satu unit rumah berarsitektur lokal yang dilestarikan menjadi cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten (Gambar 18). Rumah berukuran sekitar 5×6 meter persegi ini sebagian besar masih berbahan dasar kayu dan satusatunya bangunan yang masih menunjukkan kekunoannya dari bangunanbangunan di sekitarnya. Rumah ini berdiri di atas pondasi yang masif. Sekilas ornamen yang ada, seperti daun jendela dan daun pintu serta kusen kayu menampakkan kemiripan dengan rumah-rumah betawi tempo dulu. Jendela dan daun pintu memiliki daun pintu ganda. Lantai berwarna merah hati yang terbuat dari tanah liat. Bagian dalam rumah ini sebagian besar masih belum mengalami perubahan dan masih tampak terurus. Pilar-pilar penopang atap beranda rumah
36 terbuat dari susunan bata dan ditambah besi tempa sebagai hiasan penunjang. Rumah ini memiliki tujuh ruang, yang terdiri dari teras, ruang tengah, tiga kamar tidur, dapur dan kamar mandi (Gambar 19). Ruang-ruang pada rumah tersebut berfungsi sebagaimana rumah-rumah pada umumnya.
Gambar 18 Bentuk rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai
Sumber: hasil survei di lapang
Gambar 19 Denah rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai d. Kebudayaan Naratif Terdapat suatu bentuk naskah yang disusun oleh H. Mukri Mian yang merupakan sesepuh di Kampung Lengkong Kyai. Dalam naskah tersebut dijelaskan secara rinci tentang tokoh Raden Arya Wangsakara, sejarah Kerajaan Sumedang Larang, perjuangan Raden Arya Wangsakara menghadapi kompeni Belanda, silsilah Raden Arya Wangsakara (Gambar 20), silsilah Kerajaan Sumedang Larang, hingga sejarah berdirinya Kampung Lengkong Kyai. Naskah tersebut disusun pada tahun 1983 dan dipersembahkan kepada segenap warga
37 keturunan Raden Arya Wangsakara khususnya, dan umumnya bangsa Indonesia (Mian 1983, dalam Tjandrasasmita 2009). Menurut penuturan H. Mukri Mian, naskah tersebut disusun berdasarkan naskah kuno peninggalan leluhur Kampung Lengkong Kyai yang ditulis dengan bahasa Sunda dan Jawa, huruf Arab serta menggunakan tinta cina. Naskah kuno tersebut beliau terjemahkan dalam bahasa Indonesia agar mudah dimengerti.
Sumber: Mian (1983)
Gambar 20 Silsilah Raden Arya Wangsakara
38 Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya Karakteristik suatu lanskap budaya dapat dinilai dari dua hal, yaitu elemen fisik (tangible) dan elemen non-fisik (intangible). Menurut McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999), karakteristik lanskap budaya terbentuk dari sebelas elemen lanskap. Empat elemen pertama merupakan proses yang menjadi instrumen pembentuk lanskap budaya dan bersifat intangible yang terdiri atas landuse dan aktivitas, pola organisasi ruang, respon terhadap lingkungan alam, dan tradisi budaya. Sedangkan tujuh elemen lainnya merupakan elemen tangible sebagai komponen fisik pembentuk lanskap yaitu jejaring sirkulasi, batas wilayah, vegetasi terkait dengan landuse, bangunan, struktur dan objek, kelompokkelompok (clusters), situs arkeologi dan elemen skala kecil. 1. Landuse dan Aktivitas Pola penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan aktivitas penduduk kampung yang bergerak dinamis. Menurut sejarah, Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu merupakan sebuah pesantren tempat ulama-ulama di wilayah Tangerang menuntut ilmu agama Islam pada masa Kesultanan Banten (sekitar abad ke 17-18). Pemilihan lokasi pesantren di wilayah tersebut disebabkan letaknya yang strategis tersembunyi dan terlindungi oleh alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil yang juga merupakan upaya Raden Arya Wangsakara untuk menghidar dari ancaman VOC (Khamdevi 2012). Pembentukan pesantren diawali pada tahun 1633 dengan pembangunan musala serta beberapa pondokpondok santri (Mian 1983). Pada tahun 1640 perkembangan agama Islam di Lengkong amat pesat yang ditandai dengan banyaknya ulama Banten dan santri dari luar daerah yang berorientasi ke Lengkong. Selanjutnya pada masa itu dibangun sebuah masjid untuk menampung jamaah yang lebih banyak dan sebagai tempat berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Kemudian pada tahun 1720 Raden Arya Wangsakara wafat dalam pertempuran melawan VOC dan dimakamkan di Kampung Lengkong Kyai. Makam Raden Arya Wangsakara bersebelahan dengan makam-makam ulama lain dalam suatu area pemakaman. Area pemakaman tersebut menurut penjaga makam saat ini, Ahmad Hamdan sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu dengan makam tertua yang ditemukan yaitu makam Ahmad Syeikh Balar. Pada masa perjuangan revolusi (sekitar abad ke 19-20) keberadaan Lengkong yang dahulu merupakan sebuah pesantren telah berkembang dan menjadi sebuah kampung dengan banyaknya ulama dan santri yang menetap dan membangun pondok-pondok. Pondok-pondok santri yang sebelumnya bertipe panggung dengan atap julang ngapak berubah menjadi rumah-rumah hingga membentuk sebuah permukiman kampung (Mian 1983, dalam Khamdevi 2012). Rumah-rumah tersebut secara arsitektural menampakan kemiripan dengan rumahrumah betawi tempo dulu yang dapat diamati dari rumah tradisional yang masih ada hingga sekarang dengan usia sekitar 100 tahun. Aktivitas penduduk Kampung Lengkong Kyai pada masa itu pun semakin kompleks. Berdasarkan wawancara dengan H. Mukri Mian pada masa tersebut diketahui terdapat aktivitas pertanian pada lahan sawah di Kampung Lengkong Kyai. Aktivitas pertanian tersebut merupakan upaya penduduk kampung yang kian bertambah untuk memenuhi
39 kebutuhan pangan. Keberadaan hutan bambu yang menutupi Kampung Lengkong Kyai pun dimanfaatkan penduduk untuk menghasilkan batang bambu sebagai bahan pembuatan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti alat transportasi (getek), pagar, kerajinan rumah tangga serta sebagai bahan bangunan. Batang bambu tersebut juga diperjualbelikan keluar kampung dengan sistem pendistribusian memanfaatkan aliran sungai. Selain sebagai tempat pendidikan agama Islam eksistensi Kampung Lengkong Kyai juga mendukung perjuangan revolusi bangsa Indonesia dengan dijadikannya Kampung Lengkong Kyai sebagai basis pertahanan laskar rakyat melawan tentara Belanda pada tahun 1946. Kegiatan pendidikan Kampung Lengkong Kyai pun kian berkembang dengan dibangunnya madrasah pada tahun 1949 dan majelis taklim pada tahun 1984. Berkembangnya aktivitas penduduk yang kompleks sebagai sebuah kampung kian memudarkan fungsi awalnya sebagai sebuah pesantren ditandai dengan mulai berkurangnya jumlah santri pada tahun 1949 hingga aktivitas pesantren yang hilang total pada tahun 1957. Upaya pemugaran fasilitas-fasilitas ibadah dilakukan yaitu pada tahun 1936. Masjid Jami Al Muttaqin dipugar untuk pertama kalinya dan konstruksinya diganti dari yang sebelumnya berbahan dasar kayu dan bambu menjadi bahan beton. Selanjutnya pada tahun 1963 dibangun menara sebagai kelengkapan bangunan masjid. Pada saat ini Kampung Lengkong Kyai menjadi sebuah kampung yang berada di tengah-tengah pengembangan kota baru. Lahan-lahan dan kampungkampung lain di sekitar Kampung Lengkong Kyai telah beralih fungsi menjadi permukiman modern dan sarana-sarana pelengkapnya. Aktivitas pertanian penduduk Kampung Lengkong Kyai pun telah hilang seiring alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman. Tepatnya pada tahun 2010 dibangun permukiman relokasi di bagian Barat Kampung Lengkong Kyai untuk menampung pendudukpenduduk kampung lain yang tergusur. Hutan bambu yang menutupi kampung pada masa lalu pun kini sudah menyusut hingga hanya tersisa patch-patch berukuran kecil. Jumlah rumah yang ada di Kampung Lengkong Kyai semakin bertambah dan mulai meninggalkan pola dan bentuk-bentuk tradisional. Menurut H. Mukri Mian fasilitas-fasilitas ibadah yang ada seperti masjid dan musala sudah jauh berubah dari bentuk aslinya pada masa lalu dan telah beberapa kali mengalami pemugaran. Usaha pemerintah daerah untuk pelestarian kampung telah dilakukan, salah satunya dengan menetapkan area pemakaman di Kampung Lengkong Kyai sebagai Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Tangerang pada tahun 2012. Pemugaran terhadap makam dilakukan dengan renovasi bangunan makam Raden Arya Wangsakara, pemugaran makam-makam kuno, pemugaran pagar area pemakaman dan pembangunan jalan, gerbang dan lapangan pada area pemakaman. Selain itu saat ini makam Raden Arya Wangsakara dan satu rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten. Pada Tabel 10 diuraikan perkembangan landuse dan aktivitas di Kampung Lengkong Kyai berdasarkan periode.
40 Tabel 10 Perkembangan landuse dan aktivitas di Kampung Lengkong Kyai berdasarkan periode Masa Kesultanan Banten (abad ke 17-18) Pada masa awal pembentukannya, lokasi Kampung Lengkong Kyai tersembunyi dan terlindungi oleh alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil (Khamdevi 2012) Tahun 1633 R.A. Wangsakara mendirikan pesantren (musala) di tepi Sungai Cisadane (sekarang Kampung Lengkong Kyai) atas restu dari Sultan Banten (Mian 1983) Tahun 1640 dibangun masjid untuk menampung santri-santri yang datang (Mian 1983) Pembangunan masjid diikuti berdirinya pondok-pondok santri bertipe panggung dengan atap julang ngapak di sekitar masjid (Khamdevi 2012) Tahun 1720 R.A. Wangsakara wafat dan dimakamkan di Kampung Lengkong Kyai (wawancara dengan H. Mukri Mian) Area pemakaman sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu (wawancara dengan penjaga makam, Ahmad Hamdan)
Masa perjuangan revolusi (abad 19-20) Terdapat aktivitas pertanian pada lahan sawah di Kampung Lengkong Kyai (wawancara dengan H. Mukri Mian) Pemanfaatan hutan bambu sebagai penghasil batang bambu (wawancara dengan H. Mukri Mian) Rumah-rumah penduduk menampakan kemiripan dengan rumah betawi tempo dulu (Khamdevi 2012) Tahun 1936 Masjid dipugar dan konstruksinya diganti dengan bahan beton (Mian 1983) Tahun 1946 Kampung Lengkong Kyai menjadi basis pertahanan laskar rakyat melawan tentara Belanda (wawancara dengan H. Mukri Mian) Tahun 1949 dibangun madrasah di Kampung Lengkong Kyai (Mian 1983) Tahun 1957 aktivitas pesantren hilang (wawancara dengan H. Mukri Mian) Tahun 1963 dibangun menara sebagai kelengkapan bangunan masjid (Mian 1983) Tahun 1984 dibangun majelis taklim di dekat masjid (Mian 1983)
Masa sekarang Vegetasi bambu yang menutupi kampung menyusut (wawancara dengan H. Mukri Mian dan pengamatan) Lahan pertanian dialih fungsikan menjadi permukiman (wawancara dengan H. Mukri Mian dan pengamatan) Tahun 2010 dibangun permukiman relokasi di bagian Barat Kampung Lengkong Kyai (wawancara dengan H. Mukri Mian dan pengamatan) Tahun 2012 area pemakaman di Kampung Lengkong Kyai ditetapkan sebagai Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Tangerang (wawancara dengan H. Mukri Mian) Tahun 2012 Makam R.A. Wangsakara dijadikan cagar budaya (Disbudpar Provinsi Banten) Tersisa satu rumah tradisional yang masih bertahan dan juga ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2012 (wawancara dengan H. Mukri Mian dan pengamatan)
2. Pola Organisasi Ruang Pola organisasi ruang diinterpretasikan dari sebaran ruang-ruang berupa jenis-jenis penggunaan lahan (landuse) yang ada. Informasi mengenai perkembangan landuse dan aktivitas yang terjadi di Kampung Lengkong Kyai diinterpretasikan secara lebih mendalam. Terdapat tiga periode perkembangan landuse di Kampung Lengkong Kyai. Pada masing-masing periode pola
41 organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai mengalami perubahan seiring dengan perkembangan landuse dan aktivitas yang melatarbelakanginya. Dari informasi landuse dan aktivitas, pola organisasi ruang pada awal pembentukan Kampung Lengkong Kyai tepatnya pada masa Kesultanan Banten (abad ke 17-18) tidak terlalu kompleks. Pada masa ini Kampung Lengkong Kyai merupakan sebuah pesantren. Penggunaan lahan yang ada berupa permukiman dengan dua bangunan utama yaitu musala dan masjid serta pondok-pondok santri di sekelilingnya. Permukiman tersebut dikelilingi hutan bambu dan semak belukar serta dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil (Sungai Cipicung). Pada bagian Selatan kampung yang berbentuk bukit digunakan sebagai area pemakaman. Gambar 21 merupakan pola organisasi ruang Kampung lengkong Kyai pada abad ke 17-18.
Gambar 21 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 17-18 Pola organisasi ruang pada masa perjuangan revolusi (abad ke 19-20) berkembang menjadi lebih kompleks dari masa sebelumnya. Pada masa ini Kampung Lengkong Kyai yang sebelumnya merupakan sebuah pesantren telah berkembang menjadi sebuah kampung. Permukiman mengalami perluasan dengan semakin banyaknya rumah para santri dan ulama yang datang dan menetap di Kampung Lengkong Kyai. Selain itu beberapa fasilitas berupa madrasah dan majelis taklim juga dibangun pada masa ini. Terdapat penggunaan lahan untuk pertanian pada bagian Barat kampung untuk memenuhi kebutuhan pangan seiring bertambahnya penduduk kampung. Hutan bambu di sekeliling kampung yang
42 sebelumnya tumbuh liar dimanfaatkan penduduk untuk menghasilkan batang bambu. Sementara itu bukit pada bagian Selatan kampung tetap digunakan sebagai area pemakaman penduduk. Gambar 22 merupakan pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20.
Gambar 22 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 Pada masa sekarang pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai telah berkembang dari masa-masa sebelumnya. Permukiman semakin bertambah luas seiring bertambahnya penduduk kampung. Pada bagian Barat kampung yang sebelumnya merupakan lahan pertanian telah tergusur proyek pengembangan kota baru, sehingga tidak ada lagi lahan pertanian yang tersisa. Saat ini bagian Barat kampung beralih fungsi menjadi permukiman relokasi. Kondisi hutan bambu yang ada semakin menyusut. Selanjutnya Sungai Cipicung yang melingkungi kampung kini sudah tidak mengalir air lagi. Area pemakaman pada bagian Selatan kampung hingga kini masih dipertahankan dan kini batas-batasnya semakin jelas dengan dijadikannya area pemakaman tersebut sebagai Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Tangerang. Gambar 23 merupakan pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang.
43
Gambar 23 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang 3. Respon Terhadap Lingkungan Alam Manusia di dalam kehidupannya tidak dapat terlepas dari interaksi terhadap lingkungan alam. Lingkungan alam dapat mempengaruhi cara manusia beradaptasi dalam kondisi tertentu guna menjamin keberlangsungan hidup. Bentuk respon manusia terhadap lungkungan alam tersebut sangat beragam. Hal ini dapat dilihat pada gaya arsitektur rumah, pola perkampungan dan cara bercocok tanam (Hasibuan 2014). Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu dikelilingi hutan dengan banyak pepohonan besar dan rumpun bambu. Adanya sumber daya tersebut dimanfaatkan oleh penduduk kampung dalam pembangunan rumah dan pembuatan alat transportasi berupa rakit (getek). Pada rumah tradisional yang ada di Kampung Lengkong Kyai sebagian besar masih menggunakan bahan dasar kayu pada bagian dinding dan bambu pada bagian atap. Selain itu, dapat juga ditemui alat transportasi rakit yang dibuat dengan bahan dasar bambu dan sering digunakan penduduk untuk menyebrang ataupun pergi ke suatu tempat dengan mengikuti aliran sungai. Menurut informasi yang ada, jalur transportasi alternatif masyarakat Tangerang khususnya Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu adalah Sungai Cisadane dengan menggunakan alat transportasi berupa rakit dan perahu. Selain pemanfaatan vegetasi, respon terhadap lingkungan alam juga dapat terlihat pada pola perkampungan. Jika dilihat pada peta elevasi, Kampung Lengkong Kyai memiliki kontur yang berbukit dengan elevasi yang rendah pada
44 tepi sungai. Dengan kondisi topografi kampung yang berbukit, bentuk perkampungan terlihat diadaptasikan sedemikian rupa sehingga mampu menunjang kehidupan penduduk. Bukit dengan elevasi yang tinggi dimanfaatkan sebagai area pemakaman. Dengan demikian area pemakaman dianggap sebagai suatu tempat yang suci sehingga diposisikan di bagian atas kampung. Selanjutnya permukiman diposisikan di bagian tengah pada lahan yang relatif datar dan dekat dengan sumber air berupa sungai. Penempatan permukiman di sini bukan tanpa perhitungan, melainkan justru kedekatan dengan sumber air yang merupakan sumber kehidupan bagi penduduk merupakan suatu upaya untuk menunjang kebutuhan hidup. Selain itu kedekatan permukiman dengan Sungai Cisadane yang relatif lebar turut memberikan pengaruh iklim mikro. Hembusan angin yang cukup dari arah sungai memberikan kenyamanan pada sekitar area permukiman. Jenis tanah latosol yang terdapat pada Kampung Lengkong Kyai memiliki keunggulan jika dimanfaatkan sebagai area sawah. sifat yang menonjol dan penting dari tanah latosol adalah terbentuknya keadaan granular. Keadaan itu merangsang drainase dalam yang sangat baik. Selanjutnya, liat-hidro-oksida dari tanah latosol tidak mempunyai sifat plastisitas dan kohesi yang menjadi ciri liat silikat daerah sedang. Ini memungkinkan pengolahan tanah latosol segera setelah hujan lebat tanpa menyebabkan keadaan fisik tanah yang tidak memuaskan (Soepardi 1983). Dengan sifat tanah yang demikian baik, masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu memanfaatkannya sebagai lahan sawah. Selain itu posisinya yang dekat dengan sungai juga memudahkan masyarakat dalam mengairi lahan sawah tersebut. 4. Tradisi Budaya Jika dilihat dari sejarah terbentuknya, Kampung Lengkong Kyai didirikan oleh Raden Arya Wangsakara yang merupakan seorang Pangeran Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan ini merupakan kerajaan Sunda bercorak Islam yang cukup besar pada masanya. Warisan budaya Sunda yang dibawa oleh Raden Arya Wangsakara turut diaplikasikan dalam konsep-konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai. Merujuk pada aturan penataan ruang yang menjadi ciri khas bagi permukiman Sunda menurut Salura (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda yaitu elemen, orientasi dan mitos. Konsep elemen merupakan tata ruang mikro dalam permukiman Sunda di mana dalam sebuah ruang kecil dibentuk oleh elemen sumber air (cai nyusu), rumah (imah), pekarangan samping rumah (pipir) dan pekarangan depan rumah (buruan) (Salura 2007). Tata ruang mikro dalam hal ini mencakup lingkungan sekitar rumah. Konsep elemen ini dapat dilihat pada rumah tradisional yang ada di Kampung Lengkong Kyai. Rumah tradisional (imah) ini memiliki sebuah pekarangan samping (pipir) dan sumber air (cai nyusu) yang berasal dari sungai. Keberadaan pekarangan depan (buruan) tergantikan dengan teras yang biasa ditemui pada rumah-rumah tradisional betawi untuk menerima tamu. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya akulturasi antar budaya akibat hubungan perdagangan dan pergaulan. Konsep orientasi terdiri dari tiga konsep antara lain konsep lemah-cai, luhur-handap dan kaca-kaca. Ketiga konsep ini dapat diinterpretasikan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Konsep lemah-cai yang ada di Kampung Lengkong Kyai ini sesuai dengan pendapat Salura (2007) yang
45 menggambarkan sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dalam konsep tata ruang Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman (kampung). Posisi Kampung Lengkong Kyai terlihat strategis dengan adanya bukit di bagian Selatan dan sungai di bagian Utara. Bukit di sini melambangkan tanah, dan dimanfaatkan sebagai makam dengan nilai-nilai spirtual yang ada. Sedangkan sungai melambangkan air, dan dimanfaatkan oleh penduduk kampung sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari (Gambar 24). Demikian juga dengan konsep luhur-handap yang menggambaran hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam (Salura 2007), di mana dalam tata ruang masyarakat Sunda konsep luhur-handap biasa divisualisasikan dengan penempatan hutan keramat di bagian atas, permukiman di bagian tengah dan pertanian di bagian bawah. Pada kondisi lanskap Kampung Lengkong Kyai abad ke 19-20 dapat diinterpretasikan bahwa terdapat pola penempatan penggunaan lahan dengan konsep luhur-handap. Pada bagian Selatan kampung yang membentuk bukit dengan elevasi yang tinggi dan tutupan vegetasi, dijadikan sebagai area pemakaman yang memiliki nilai spiritual tinggi bagi penduduk kampung. Penempatan makam pada bukit merupakan suatu wujud penghormatan terhadap arwah leluhur. Hal ini serupa dengan penempatan hutan keramat di bagian atas yang merupakan bagian dari konsep luhur-handap. Selanjutnya, penempatan permukiman berada di bagian tengah dan lahan pertanian di bagian bawah semakin menunjukkan visualisasi konsep tersebut (Gambar 24). Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan (Salura 2007). Visualisasi dari konsep ini yaitu adanya batas-batas alami dari ruang lingkup kampung seperti hutan, lahan pertanian, sungai dan sebagainya. Dari data yang ada telah diinterpretasikan bahwa terdapat batas-batas alami pada Kampung Lengkong Kyai berupa kontur berbukit dan hutan bambu yang mengelilingi kampung (Gambar 24). Konsep yang terakhir dalam konsep tata ruang masyarakat Sunda yaitu konsep mitos yang menerangkan bahwa ruang merupakan manifestasi dari alam yang dipadankan dengan manusia yang memiliki wadah (tubuh) dan isi (jiwa) (Salura 2007). Konsep isi (jiwa) pada Kampung Lengkong Kyai terlihat dari terdapatnya makam yang disucikan dan memiliki nilai spiritual tinggi. Sedangkan konsep wadah (tubuh) terlihat dari terdapatnya ruang-ruang dalam keseluruhan unit kampung sebagai tempat beraktivitas penduduk kampung (Gambar 24). Keunikan lain dari Kampung Lengkong Kyai yaitu pola permukimannya yang mengikuti arah kiblat yang merupakan pengaruh dari agama Islam yang dibawa oleh Raden Arya Wangsakara sebagai pendiri kampung. Pemilihan lokasi Kampung Lengkong Kyai dinilai memiliki pertimbangan khusus. Hal ini terlihat dari posisinya yang tepat berada di tepi sungai yang secara kebetulan arah alirannya mengarah ke Barat Laut atau searah dengan kiblat. Posisi yang demikian selain berorientasi ke arah kiblat juga mempengaruhi pola bangunan-bangunan yang ada mengikuti alur sungai. Uniknya hampir secara seragam sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Kampung Lengkong Kyai sisi panjangnya mengarah ke arah kiblat, sedangkan sisi lebarnya mengarah ke Timur Laut (sungai) dan Barat Daya (bukit/makam).
46
Gambar 24 Konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai berdasarkan konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda menurut Salura (2007) Selain konsep tata ruang, aktivitas budaya masyarakat Kampung Lengkong Kyai juga merupakan bagian dari tradisi budaya yang ada. Aktivitas budaya yang dilakukan oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai tidak terlepas dari ruang. Ruang digunakan sebagai tempat untuk beraktivitas, baik itu perayaan, kesenian, pertemuan maupun aktivitas sehari-hari. Aktivitas budaya yang ada di Kampung Lengkong Kyai sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Seperti beberapa aktivitas budaya yang telah diinventarisasi antara lain marhabaan, make samping, nabuh bedug dan haul Raden Arya Wangsakara, semuanya berkaitan erat dengan unsur-unsur keislaman. Aktivitas-aktivitas budaya tersebut berpusat pada masjid. Masjid dijadikan sebagai ruang dalam melakukan aktivitas yang berhubungan dengan keagamaan. Tidak hanya pada hari-hari tertentu saja, aktivitas beribadah dan mempelajari kitab suci Al-Qur’an yang rutin dilakukan juga berpusat pada bangunan masjid (Gambar 25). Hal ini juga bermakna bahwa masjid menjadi tempat berkumpul, berinteraksi dan silaturahmi antar penduduk kampung dalam suatu bentuk acara keagamaan. Selain bentuk tradisi keagamaan, tradisi budaya Sunda yang dibawa oleh pendiri kampung juga menjadi suatu identitas Kampung Lengkong Kyai. Penerapan konsep-konsep perkampungan Sunda yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi suatu bentuk visualisasi kebudayaan tersebut. Walaupun pada beberapa aspek terjadi akulturasi dengan budaya lain, seperti gaya arsitektur rumah yang menyerupai rumah adat betawi. Selain itu bentuk tradisi budaya lainnya, yaitu masih digunakannya bahasa Sunda dalam berinteraksi dengan sesama penduduk kampung. Bentuk tradisi bahasa ini merupakan kekayaan intelektual yang harus dijaga kelestariannya.
47
Gambar 25 Kegiatan mempelajari agama Islam di masjid 5. Jejaring Sirkulasi Khamdevi (2012) dalam penelitiannya menyatakan, dahulu pintu masuk ke lokasi Kampung Lengkong Kyai bisa melalui jalur sungai yang berada pada sisi Timur kampung dan juga bisa melalui jalur darat yang berada pada sisi Barat kampung. Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa dahulu (sekitar abad ke 19-20) hanya terdapat satu akses jalan darat menuju dan keluar Kampung Lengkong Kyai, sedangkan akses yang satu lagi dapat dilalui dengan cara menyebrangi sungai (Gambar 26). Alat transportasi yang digunakan untuk menyebrangi sungai berupa rakit (getek) yang terbuat dari bahan dasar bambu. Saat ini rakit sudah tidak lagi digunakan sesering dahulu sebab telah dibangun infrastruktur jembatan untuk menyebrangi sungai di bagian Timur kampung di luar kawasan penelitian. Selain sebagai akses keluar masuk kampung, pada masa lalu aliran sungai juga dimanfaatkan penduduk kampung sebagai jalur transportasi pengiriman barang, seperti pengiriman batang bambu dan hasil-hasil pertanian.
Sumber: Kompasiana.com
Gambar 26 Pemanfaatan sungai sebagai jalur transportasi oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu
48
Sumber: Khamdevi (2012)
Gambar 27 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 Saat ini akses keluar masuk Kampung Lengkong Kyai terdiri dari dua gerbang utama, yang pertama terletak pada Jalan BSD Boulevard Utara (bagian Timur kampung) dan yang kedua terletak pada Jalan BSD Raya Barat (bagian Barat kampung). Kedua akses ini saling berhubungan dan membentuk jalur yang melewati Kampung Lengkong Kyai. Sirkulasi yang ada di Kampung Lengkong Kyai terdiri atas sebuah jalan besar dan jalan setapak. Sirkulasi Jalan besar merupakan sirkulasi utama yang melewati Kampung Lengkong Kyai dan dapat dilalui oleh dua kendaraan roda empat berlawanan arah sekaligus. Sirkulasi jalan setapak merupakan sirkulasi yang membelah permukiman dan menghubungkan rumah- rumah penduduk dengan objek-objek penting seperti musala dan masjid. Sirkulasi ini bercabang-cabang dengan satu titik temu yang terletak persis di depan masjid. Terdapat juga jalan setapak menuju sungai yang biasa digunakan penduduk kampung jika hendak memanfaatkan air sungai. Jika diperhatikan pola sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada bagian Timur berbentuk organik dan bercabang dengan berpusat pada satu titik temu yaitu Masjid Jami Al Muttaqin. Pola sirkulasi ini terbentuk karena sebaran rumahrumah yang ada berpusat pada masjid tersebut. Hal ini sesuai dengan sejarah terbentuknya kampung, di mana rumah-rumah tersebut dibangun dengan berpusat pada bangunan masjid yang telah lebih dulu ada. Sementara itu pola sirkulasi kampung pada bagian Barat berbentuk grid seperti banyak dijumpai pada kompleks permukiman modern. Sikulasi ini baru terbentuk beberapa tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, bagian Barat kampung merupakan area relokasi dari kampung-kampung sekitar. Dapat diinterpretasikan bahwa pengaplikasian
49 pola sirkulasi grid pada bagian ini yaitu untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebagai permukiman penduduk. Pola grid membagi permukiman menjadi blokblok dan menghubungkannya. Hal ini memudahkan dalam menentukan batasbatas lahan yang akan dibangun rumah.
Gambar 28 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang
(a)
(b)
Gambar 29 (a) Akses masuk kampung dari Jalan BSD Boulevard Utara (bagian Timur kampung); (b) akses masuk kampung dari Jalan BSD Raya Barat (bagian Barat kampung)
50
(a)
(b)
Gambar 30 (a) Sirkulasi jalan besar; (b) sirkulasi jalan setapak Selain itu terdapat juga sirkulasi jalan pada area pemakaman. Sirkulasi di dalam area pemakaman saat ini terbuat dari perkerasan yang bercabang dan memusat pada bangunan utama yaitu bangunan makam Raden Arya Wangsakara. Terdapat lima buah gerbang masuk menuju area pemakaman, dua di antaranya merupakan gerbang besar dan tiga lainnya merupakan gerbang kecil untuk pejalan kaki. Semenjak area pemakaman mengalami pemugaran dan dijadikan sebagai Taman Makam Pahlawan Kabupaten Tangerang pada tahun 2012, dibuat sebuah akses berupa jalan perkerasan yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Akses jalan ini tidak terbuka untuk umum melainkan hanya dibuka pada saat-saat tertentu.
Gambar 31 Sirkulasi di area pemakaman
Gambar 32 Gerbang besar area pemakaman
51
Gambar 33 Gerbang kecil area pemakaman 6. Batas Pemisah Dalam Khamdevi (2012) dijelaskan bahwa pada masa awal pembentukannya, Kampung Lengkong Kyai letaknya strategis tersembuyi dan terlindungi oleh alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Elemen-elemen alami tersebut merupakan batas Kampung Lengkong Kyai pada masa itu. Pada masa selanjutnya yaitu pada masa perjuangan revolusi (abad ke 19-20) di mana Kampung Lengkong Kyai telah lebih berkembang, batas-batas kampung juga mengalami perubahan. Seperti yang dijelaskan oleh H. Mukri Mian, bahwa pada masa itu di bagian Barat kampung dibatasi oleh lahan pertanian. Pada bagian Selatan hingga Timur kampung dibatasi bukit dengan hutan bambu serta vegetasi lainnya. Sementara pada bagian Utara kampung dibatasi Sungai Cisadane. Perubahan penggunaan lahan turut mempengaruhi elemen-elemen alami yang menjadi batas fisik Kampung Lengkong Kyai. Berdasarkan survei lapang, pada masa sekarang tutupan vegetasi yang menjadi batas kampung pada masa lalu telah menyusut. Sementara itu, batas berupa lahan pertanian telah menghilang karena perubahan penggunaan lahan pada kawasan ini. Karena adanya pembatasan kawasan akibat pengembangan kota baru, kini Kampung Lengkong Kyai dibatasi dengan dinding-dinding beton yang memisahkan kampung ini dengan kawasan luar. Dinding-dinding beton ini membentang pada bagian Timur, Selatan dan Barat. Sedangkan pada bagian Utara kampung masih dibatasi aliran Sungai Cisadane. 7. Vegetasi Terkait dengan Landuse Keragaman penggunaan lahan yang ada di Kampung Lengkong Kyai ditumbuhi dengan berbagai jenis vegetasi. Beberapa jenis vegetasi yang ada seringkali dapat ditemukan di tempat lain pada penggunaan lahan yang sama.
52 Sehingga vegetasi yang ada pada Kampung Lengkong Kyai merupakan vegetasi yang umum dijumpai. Beragam jenis vegetasi dapat dijumpai pada area pemakaman, kebun dan permukiman khususnya pada bagian teras dan pekarangan samping rumah (pipir) warga. Jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada area pemakaman diantaranya berfungsi sebagai peneduh dan penunjang estetika makam. Beberapa jenis tanaman pohon yang ada antara lain mahoni (Swietenia mahogani), jati (Tectona grandis), trembesi (Samanea saman), tabebuya (Tabebuia sp.), beringin (Ficus benjamina), glodokan tiang (Polyalthia longifolia), ginje (Thevetia peruviana). Sementara jenis tanaman semak dan perdu yang ada antara lain jarak pagar (Jatropha curcas) dan hanjuang (Cordyline terminalis). Selain area pemakaman utama, terdapat juga area pemakaman yang berlokasi di sebelah masjid di tengahtengah permukiman. Pada makam tersebut jenis vegetasi yang dijumpai sedikit berbeda di antaranya yaitu kamboja (Plumeria sp.), jelly palm (Butia capitata), mawar (Rosa sp.) dan jatropa (Jatropha pandurifolia). Fungsi dari vegetasi yang ada yaitu sebagai penunjang estetika makam.
(a)
(b)
(c) Gambar 34 (a) (b) Ragam vegetasi di area pemakaman; (c) ragam vegetasi di area pemakaman sebelah masjid Selanjutnya pada permukiman khususnya pada bagian teras dan pekarangan samping rumah (pipir) warga, vegetasi yang ada cukup beragam. Pada bagian teras (depan rumah) vegetasi yang ada antara lain euphorbia (Euphorbia milii), drasena (Dracaena sanderiana), drasena (Dracena surculosa), sirih belanda (Scindapsus aureus), pepaya (Carica papaya), suplir (Adiantum sp.), melati (Jasminum sambac), katuk (Sauropus androgynus) dan anthurium (Anthurium sp.). Penempatan tanaman pada bagian teras yang digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu memiliki fungsi sebagai penunjang estetika. Selain itu terdapat juga beberapa jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Tanaman
53 tersebut antara lain tanaman sirih belanda yang daunnya biasa digunakan untuk mengobati mimisan dan penyakit gatal alergi pada kulit, tanaman pepaya yang daunnya biasa digunakan untuk mengobati sakit perut balita, dan tanaman katuk yang daunnya biasa dikonsumsi untuk melancarkan air susu ibu (ASI). Selanjutnya pada bagian pekarangan samping rumah (pipir) vegetasi yang ada antara lain kersen (Muntingia calabura), mangga (Mangifera indica), beringin (Ficus benjamina), hanjuang (Cordyline terminalis), keladi (Calladium sp.), sri rezeki (Aglaonema sp.), gelombang cinta (Anthurium plowmanii), suji (Dracaena angustifolia), binahong (Anredera cordifolia), miana (Coleus atropurpureus) dan sembung (Blumea balsamifera). Pada bagian pipir tanaman memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai penunjang estetika rumah, tanaman peneduh, tanaman obat-obatan dan tanaman penghasil buah untuk dikonsumsi. Tanaman suji, binahong, miana dan sembung merupakan tanaman yang berfungsi sebagai obatobatan. Tanaman kersen dan mangga merupakan tanaman yang berfungsi sebagai tanaman peneduh sekaligus juga sebagai penghasil buah. Semantara tanaman jenis lainnya pada bagian pipir berfungsi sebagai penunjang estetika rumah.
(a)
(b)
Gambar 35 (a) Ragam vegetasi pada pekarangan samping rumah (pipir); (b) ragam vegetasi pada teras Penduduk kampung biasa memanfaatkan petak-petak lahan yang terbengkalai atau belum didirikan bangunan sebagai tempat untuk berkebun. Hasil dari kebun tersebut tidak dipasarkan ke luar kampung, melainkan dijual kepada penduduk Kampung Lengkong Kyai. Dengan begitu harga jual komoditaskomoditas tersebut tidak terlalu mengikuti standar pasar, melainkan berdasarkan kesepakatan tawar-menawar antara petani dengan pembeli. Tanaman-tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman-tanaman yang biasa dikonsumsi warga sehari-hari antara lain mentimun (Cucumis sativus), gambas atau oyong (Luffa acutangula), singkong (Manihot utilissima), pisang (Musa acuminata) dan pepaya (Carica papaya). Selain itu terdapat juga populasi bambu (Gigantochloa apus) yang dimanfaatkan penduduk sebagai bahan bangunan, membuat alat transportasi (getek), membuat pagar dan bahan kerajinan rumah tangga. Vegetasi bambu ini memiliki nilai penting bagi kampung ini, karena pada masa lalu Kampung Lengkong Kyai terkenal sebagai penghasil bambu dengan kualitas yang baik.
54 8. Bangunan, Struktur dan Objek Bangunan, struktur dan objek yang memiliki karakteristik yang khas dan bernilai penting pada masa lalu di Kampung Lengkong Kyai terdiri atas rumah tradisional, Masjid Jami Al Muttaqin, Musala Al Azhari dan makam Raden Arya Wangsakara. Rumah tradisional yang ada di Kampung Lengkong Kyai ini masih terjaga keasliannya dan telah dijadikan cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten. Rumah berukuran sekitar 30 m2 dan luas tanah sebesar 260 m2 ini sebagian besar masih berbahan dasar kayu dan satu-satunya bangunan yang masih menunjukkan kekunoannya dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Rumah ini berdiri di atas pondasi yang masif. Sekilas ornamen yang ada, seperti daun jendela dan daun pintu serta kusen kayu menampakkan kemiripan dengan rumah-rumah betawi tempo dulu. Jendela dan daun pintu memiliki daun pintu ganda. Lantai berwarna merah hati yang terbuat dari tanah liat. Bagian dalam rumah ini sebagian besar masih belum mengalami perubahan dan masih tampak terurus. Pilar-pilar penopang atap beranda rumah terbuat dari susunan bata dan ditambah besi tempa sebagai hiasan penunjang. Rumah ini memiliki tujuh ruang, yang terdiri dari teras, ruang tengah, tiga kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Ruang-ruang pada rumah tersebut berfungsi sebagaimana rumah-rumah pada umumnya. Terdapat juga halaman samping rumah yang dimanfaatkan untuk menanam tanaman dan memelihara hewan peliharaan. Menurut pemilik rumah, Ibu Saropah, rumah ini kurang lebih telah berusia 100 tahun dan telah direnovasi sebanyak satu kali.
Gambar 36 Rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai Masjid Jami Al Muttaqin merupakan masjid yang memiliki nilai historis tinggi bagi penduduk Kampung Lengkong Kyai. Masjid ini dibangun pada tahun 1640 seiring dengan pesatnya perkembangan agama Islam di Kampung Lengkong Kyai. Dari segi arsitektur saat ini masjid ini tidak terlalu memiliki gaya arsitektur yang unik karena sudah beberapa kali dipugar dan terpengaruh gaya arsitektur modern. Menurut Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tangerang (2012) dahulu masjid ini memiliki bentuk segi empat, atap stupa susun dua, posisi menara berada pada serambi Utara masjid bentuknya seperti Masjid Agung Banten, serta terdapat tempat air wudu berbentuk kolam berada di bagian pintu masuk arah Timur dari masjid. Selanjutnya berdasarkan penjelasan dalam Mian (1983) bentuk atap yang terdiri dari dua tingkat memiliki makna tersendiri, yaitu tingkat pertama (atas) melambangkan tariqat manusia untuk menuju ke arah keridhaan Allah SWT, sedangkan tingkat kedua (bawah)
55 melambangkan syariat daripada amal perbuatan manusia. Upaya pemugaran masjid ini pertama kali dilakukan pada tahun 1936 dengan mengubah konstruksinya dari yang sebelumnya berbahan dasar kayu dan bambu menjadi bahan beton. Selanjutnya pada tahun 1963 dibangun menara sebagai kelengkapan bangunan masjid. Fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah juga dijadikan sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam dan mempelajari Al-Qur’an. Selain itu masjid juga berfungsi sebagai tempat berkumpul, berinteraksi dan silaturahmi masyarakat dalam suatu acara-acara keagamaan. Pada bagian samping masjid terdapat sebidang tanah yang digunakan sebagai makam. Terdapat beberapa buah makam pada area tersebut, salah satu makam merupakan makam Syeikh Mustaqim bin Darda yang merupakan seorang ulama asal Yaman. Makam beliau merupakan salah satu dari tiga makam yang sering dikunjungi para peziarah di samping makam lainnya yaitu makam Raden Arya Wangsakara dan makam Syeikh Azhari bin Nashib yang terletak pada area pemakaman.
(a)
(b)
Sumber: Khamdevi (2012) dan dokumentasi lapang
Gambar 37 (a) Masjid Jami Al Muttaqin tempo dulu; (b) Muttaqin saat ini
Masjid Jami Al
Musala Al Azhari merupakan tempat peribadatan warga Kampung Lengkong Kyai selain Masjid Jami Al Muttaqin yang hingga kini masih tetap digunakan. Seperti Masjid Jami Al Muttaqin, musala ini juga kental akan nilainilai historis. Menurut informasi sejarah dari sesepuh kampung, Azhari, diketahui bahwa musala ini berdiri lebih dahulu dibandingkan masjid tepatnya pada tahun 1633. Musala tersebut pada zaman dahulu difungsikan sebagaimana sebuah pondok pesantren dengan santri-santri yang datang dari daerah Tangerang maupun luar Tangerang. Sama seperti masjid, dahulu Musala Al Azhari juga memiliki gaya arsitektur yang unik dengan dinding terbuat dari separuh batu-bata dan separuh papan kayu. Selain itu, dahulu jendela yang digunakan tebuat dari kayu serta lantai terbuat dari tanah liat. Kini Musala Al Azhari memiliki gaya arsitektur yang lebih modern dengan dinding terbuat dari beton dan lantai terbuat dari keramik. Fungsi musala kini yaitu selain sebagai tempat ibadah salat, juga sebagai tempat kegiatan majelis taklim yang rutin diadakan setiap hari Kamis dan lebih difokuskan untuk mengajarkan ilmu agama kepada ibu-ibu.
56
Gambar 38 Musala Al Azhari Makam Raden Arya Wangsakara merupakan makam utama dari area pemakaman yang ada di Kampung Lengkong Kyai. Makam ini berada di dalam sebuah bangunan permanen di tengah area pemakaman, berdampingan dengan 26 buah makam lain termasuk makam Syeikh Azhari bin Nashib, salah satu ulama besar Kampung Lengkong Kyai. Jika dihitung sejak wafatnya Raden Arya Wangsakara pada tahun 1720, saat ini makam ini telah berusia 296 tahun. Saat ini bangunan makam telah dipugar oleh Pemerintah Daerah Tangerang pada tahun 2012 dan dijadikan sebagai cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten. Banyak pengunjung berdatangan dari luar Kampung Lengkong Kyai untuk berziarah di makam Raden Arya Wangsakara. Menurut penjaga makam, Ahmad Hamdan, kegiatan ziarah dilakukan pada waktu-waktu yang tidak menentu. Namun biasanya kegiatan ini akan ramai menjelang hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan hari-hari besar umat Islam lainnya.
(a)
(b)
Sumber: Kompasiana.com dan dokumentasi lapang
Gambar 39 (a) Bangunan makam Raden Arya Wangsakara tempo dulu; (b) bangunan makam Raden Arya Wangsakara saat ini 9. Kelompok-kelompok (Clusters) Clusters merupakan kelompok bangunan, struktur, objek atau fitur lainnya yang terdapat pada area-area tertentu seperti pertanian atau permukiman. Pada Kampung Lengkong Kyai, clusters yang ada dapat diidentifikasi dari peta penutupan lahan. Pada peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014 dapat dilihat bahwa terdapat penutupan lahan permukiman yang terbagi
57 menjadi dua kelompok yaitu di sebelah Barat dan Timur. Dua kelompok bangunan tersebut terlihat memiliki pola dan orientasi yang berbeda. Kelompok bangunan yang ada di sebelah Timur merupakan Kampung Lengkong Kyai di mana terdapat rumah tradisional, Masjid Jami Al Muttaqin dan Musala Al Azhari. Pola kelompok bangunan-bangunan ini memanjang mengikuti aliran Sungai Cisadane dan berorientasi ke arah kiblat. Sedangkan kelompok bangunan yang ada di sebelah Barat merupakan kelompok bangunan yang kini disebut sebagai Kampung Cipicung. Kampung ini merupakan kampung yang dibangun sebagai permukiman relokasi penduduk dari kampung-kampung sekitar yang tergusur karena adanya pengembangan kota baru. Dalam sejarahnya, area ini merupakan bagian dari Kampung Lengkong Kyai yang dulunya merupakan lahan pertanian dan sebagian hutan bambu. Secara geografis kampung ini terlihat sebagai satu kesatuan dengan wilayah Kampung Lengkong Kyai namun secara administrasi kampung ini terpisah karena masuk dalam wilayah administrasi Rukun Warga (RW) yang berbeda. Pola dari kelompok bangunan ini membentuk pola grid dengan badan jalan sebagai pemisah. Dapat diinterpretasi bahwa pola ini merupakan pola yang umum ditemukan pada permukiman-permukiman modern.
Gambar 40 Kelompok-kelompok (clusters) di Kampung Lengkong Kyai Selain clusters berupa bangunan, terdapat juga clusters berupa area pemakaman. Area pemakaman ini berada pada bagian bukit dengan elevasi yang lebih tinggi dari permukiman. Area pemakaman ini dikhususkan untuk pemakaman penduduk Kampung Lengkong Kyai. Terdapat beberapa unit makam dari zaman dahulu yang telah dipugar dengan perkerasan dan keramik. Dari
58 sekian banyak makam yang ada, terdapat satu bangunan inti yang di dalamnya terdapat makam pendiri kampung, Raden Arya Wangsakara. 10. Situs Arkeologi Pada Kampung Lengkong Kyai situs arkeologi yang ditemukan yaitu batu menhir dan papan nisan pada makam-makam leluhur kampung. Batu menhir ini berupa batu berbentuk lonjong atau persegi dengan ukiran tertentu yang ditanam di atas makam dengan posisi tegak berdiri sebagai batu nisan atau penanda makam. Penduduk Kampung Lengkong Kyai tidak menggunakan batu menhir sebagai media pemujaan roh leluhur, melainkan hanya sebagai batu nisan atau penanda makam karena sejak zaman dahulu kehidupan penduduk Kampung Lengkong Kyai sudah sangat kental dengan syariat Islam. Selain itu terdapat juga sebuah papan nisan kuno dengan informasi identitas nama dan daerah asal orang yang dimakamkan. Dari informasi pada papan nisan tersebut diketahui bahwa orang yang dimakamkan tersebut berasal dari Desa Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Palembang, Sumatera Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dahulu Kampung Lengkong Kyai juga dikunjungi dan disinggahi oleh orang-orang dari luar Tangerang, bahkan dari luar Pulau Jawa.
(a)
(b)
(c) Gambar 41 (a) (b) Batu menhir; (c) papan nisan pada makam leluhur Kampung Lengkong Kyai 11. Elemen Skala Kecil Karakter sebuah lanskap khususnya lanskap budaya tidak terlepas dari komponen atau elemen pembentuk dalam skala kecil. Elemen ini berkontribusi
59 dalam membentuk karakter sebuah lanskap budaya karena memiliki kaitan erat dengan berbagai aktivitas kehidupan serta budaya masyarakat (Hasibuan 2014). Pagar bambu merupakan elemen skala kecil yang biasa digunakan oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai sebagai pembatas halaman rumah. Jumlah popuasi tanaman bambu yang melimpah di Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu membuat banyak masyarakat memanfaatkan jenis tanaman ini, salah satunya sebagai bahan pembuatan pagar. Penggunaan pagar bambu pada rumah-rumah penduduk memberikan suatu kekhasan tersendiri pada lanskap Kampung Lengkong Kyai. Saat ini hanya terdapat beberapa rumah yang masih menggunakan pagar bambu, selebihnya sudah menggunakan pagar dengan bahan beton dan besi. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya populasi tanaman bambu yang ada di Kampung Lengkong Kyai, sehingga masyarakat mulai beralih ke bahan yang lebih modern dan mudah didapat.
Gambar 42 Pagar bambu pada rumah warga Kampung Lengkong Kyai Berdasarkan hasil identifikasi terhadap sebelas karakteristik lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai yang bersifat tangible maupun intangible, maka dilakukan karakterisasi. Karakterisasi terhadap lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai menghasilkan deskripsi karakter lanskap dan penentuan zonazona lanskap budaya yang akan dianalisis nilai signifikansinya pada masingmasing zona tersebut. Tipe karakter lanskap biasanya dijelaskan dalam kata atau kalimat yang mencerminkan pengaruh dominan terhadap karakter lanskap (Swanwick 2002). Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai dapat disimpulkan bahwa tipe karakter lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai adalah lanskap permukiman dengan pola tata ruang Sunda yang berbasis pada sumber daya alam lokal serta kental akan pengaruh agama Islam. Pengaruh agama Islam terlihat dari objek-objek penting serta aktivitas sosial, seni dan budaya masyarakat, yang secara keseluruhan memperlihatkan eksistensi agama Islam pada lanskap budaya tersebut. Dalam lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai juga diidentifikasi karakteristik kuncinya yaitu elemen atau gabungan beberapa elemen yang dapat memberikan sense of place yang berbeda pada suatu tempat (Swanwick 2002). Elemen yang memiliki pengaruh karakteristik yang kuat terhadap terbentuknya karakter lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai adalah bangunan, struktur dan objek yang terdiri atas rumah tradisional, masjid, musala dan area pemakaman dengan makam utama yaitu makam Raden Arya Wangsakara, serta aliran sungai dengan orientasi arah kiblat yang unik.
60 Analisis Signifikansi Lanskap Budaya Analisis signifikansi suatu lanskap budaya dilakukan untuk mengetahui seberapa penting nilai-nilai yang ada dan masih bertahan pada lanskap budaya. Tahap awal analisis signifikansi lanskap budaya dilakukan dengan menentukan zona-zona lanskap budaya. Zona-zona lanskap budaya dikelompokkan menjadi tiga bagian seperti yang dapat dilihat pada Gambar 43. Zona I merupakan permukiman yang terletak pada bagian Timur kampung. Zona II merupakan permukiman yang terletak pada bagian Barat kampung. Zona III merupakan area pemakaman yang terletak pada bukit di bagian Selatan kampung. Zona-zona tersebut terbentuk berdasarkan hasil identifikasi karakteristik lanskap budaya. Masing-masing zona memiliki karakteristik pembentuk yang membedakannya sebagai suatu sub unit dalam suatu unit kampung. Karakteristik-karakteristik pembentuk masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Karakteristik-karakteristik lanskap pembentuk zona No.
Karakteristik
1
Landuse dan aktivitas
2 3
Pola organisasi ruang Respon terhadap lingkungan alam Tradisi budaya Jejaring sirkulasi
4 5
6 7 8
Batas pemisah Vegetasi terkait landuse Bangunan, struktur dan objek
9 10
Kelompok-kelompok (clusters) Situs arkeologi
11
Elemen skala kecil
I Penggunaan lahan berupa permukiman yang sudah lama ada (sejak tahun 1633) -
Zona II Penggunaan lahan berupa permukiman yang baru dibangun (pada tahun 2010) -
Sirkulasi berbentuk organik dan berpusat pada masjid
Sirkulasi berbentuk grid
Didominasi bangunan semi tradisional dan berpola mengarah kiblat -
Didominasi bangunan modern dan tidak berpola mengarah kiblat -
-
-
Terdapat penggunaan pagar bambu
Tidak terdapat penggunaan pagar bambu
III Penggunaan lahan berupa area pemakaman
Sirkulasi berupa jalan setapak dan berpusat pada bangunan makam Raden Arya Wangsakara Didominasi objek berupa makam
Terdapat elemenelemen penanda makam kuno -
Gambar 43 Peta zonasi analisis signifikansi lanskap budaya
61
62 Langkah selanjutnya dilakukan penilaian pada masing-masing zona. Proses penilaian signifikansi lanskap budaya dilakukan berdasarkan hasil identifikasi sebelas karakteristik lanskap budaya. Standar penilaian yang menjadi acuan adalah kondisi lanskap Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. Pada masa itu Kampung Lengkong Kyai telah berkembang menjadi sebuah kampung dengan karakteristik lanskap budayanya yang khas dari masa sebelumnya yang merupakan sebuah pesantren. Selain itu, penilaian juga didukung oleh data-data hasil studi pustaka, survei lapang dan wawancara. Hubungan antara sebelas karakteristik lanskap budaya dengan aspek-aspek penilaian signifikasi lanskap budaya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Karakteristik yang digunakan dalam penilaian signifikansi lanskap budaya Nilai penting No. Karakteristik Estetika Sejarah Sosial/spiritual Ilmiah a b c d a b a b c a b 1 Landuse dan √ √ √ aktivitas 2 Pola organisasi √ √ √ √ √ √ ruang 3 Respon terhadap √ lingkungan alam 4 Tradisi budaya √ √ √ √ √ 5 Jejaring sirkulasi √ √ 6 Batas pemisah √ √ 7 Vegetasi terkait √ landuse 8 Bangunan, struktur √ √ √ √ √ dan objek 9 Kelompok√ √ kelompok (clusters) 10 Situs arkeologi √ √ √ 11 Elemen skala kecil √ √ Nilai Penting Estetika a. Landuse Pada zona I perubahan penggunaan lahan terjadi kurang dari 25%, karena penggunaan lahan tidak berubah dari sebelumnya yaitu permukiman. Pada zona II penggunaan lahan sebelumnya merupakan hutan bambu dan pertanian, sedangkan sekarang telah berubah menjadi permukiman. Oleh karena itu perubahan lahan yang terjadi pada zona II digolongkan sebesar lebih dari 50%. Pada zona III perubahan penggunaan lahan terjadi kurang dari 25%, karena perubahan lahan tidak berubah dari sebelumnya yaitu area pemakaman. b. Arsitektur Rumah Kampung Lengkong Kyai memiliki arsitektur rumah tradisional yang menyerupai rumah adat betawi tempo dulu. Kekhasan arsitektur rumah terlihat
63 dari segi material bangunan yang menggunakan bahan dasar kayu serta karakteristik bangunan yang menunjukkan kesan antik. Kesan antik terlihat dari ornamen-ornamen bangunan seperti jendela dan pintu yang memiliki daun pintu ganda. Kemudian terdapat juga pilar-pilar penopang atap beranda rumah yang terbuat dari susunan bata dengan tambahan besi tempa sebagai hiasan penunjang. Kesan antik juga terlihat dari lantai rumah yang berwarna merah hati dan terbuat dari tanah liat serta bentuk atap yang membentuk limas segi empat.
Gambar 44 Rumah bergaya arsitektur semi tradisional pada zona I
Gambar 45 Rumah bergaya arsitektur modern pada zona II Berdasarkan pengamatan di lapang, pada zona I didominasi rumah bergaya arsitektur semi-modern lebih dari 50%. Rumah bergaya arsitektur semi tradisional merupakan rumah yang masih mempertahankan ornamen-ornamen tradisional namun material bangunan yang digunakan sudah beralih menggunakan material yang lebih modern seperti penggunaan beton pada dinding rumah (Gambar 44). Beberapa elemen yang masih sering ditemui pada rumah-rumah bergaya semimodern ini yaitu pilar-pilar penopang atap beranda rumah dan atap yang membentuk limas segi empat. Selanjutnya pada zona II lebih dari 50% didominasi
64 oleh rumah bergaya arsitektur modern yang tidak mempertahankan lagi ciri khas arsitektur tradisional Kampung Lengkong Kyai (Gambar 45). Sedangkan pada zona III tidak dilakukan penilaian mengenai aspek arsitektur rumah. c. Elemen Lanskap Pada zona I elemen lanskap yang dominan yaitu bangunan. Terdapat dua bangunan penting pada zona ini yaitu musala dan masjid yang menurut wawancara dengan sesepuh kampung, letaknya tidak berubah namun mengalami perubahan pada bentuk dan penggunaan material. Sementara pada bangunanbangunan lain keaslian letaknya ditentukan berdasarkan pola permukiman dengan arah bangunan yang mengarah kiblat. Menurut Mian (2001) dalam Khamdevi (2012), bahwa pola ini tidaklah mengikat dan tergantung bentuk kaveling yang dimiliki. Walau begitu, pola ini justru memudahkan dalam menentukan mana yang merupakan bangunan yang lama dan mana yang baru. Letak bangunan pada zona I sebagian besar masih mengikuti pola tersebut. Namun bentuk dan penggunaan material dari bangunan tersebut sebagian besar telah berubah. Selain itu penggunaan elemen skala kecil berupa pagar bambu pada rumah-rumah sudah jarang terlihat dan hanya ditemukan pada beberapa rumah. Berdasarkan pengamatan pada zona I keaslian elemen digolongkan sebesar 50-75%. Pada zona II elemen lanskap berupa bangunan terbilang tidak asli. Hal ini disebabkan pada abad ke 19-20 zona II merupakan hutan bambu dan lahan pertanian. Selain itu penggunaan elemen skala kecil berupa pagar bambu juga tidak ditemukan. Berdasarkan pengamatan pada zona II keaslian elemen lanskap digolongkan sebesar kurang dari 50%. Pada zona III elemen lanskap yang dominan yaitu makam. Berdasarkan wawancara dengan penjaga makam, letak makam-makam lama tidak berubah sejak dahulu. Kondisi beberapa makam lama saat ini telah dipugar dengan penggunaan material beton dan keramik. Namun penggunaan elemen-elemen yang bersifat arkeologis seperti batu menhir dan nisan kuno sebagai penanda makam tidak dihilangkan. Bangunan makam Reden Arya Wangsakara juga telah dipugar dengan bentuk yang lebih modern. Selain itu terdapat juga penambahan infrastruktur di area pemakaman yang kini telah menjadi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Tangerang berupa sirkulasi perkerasan, pagar pembatas, pintu gerbang dan lapangan. Berdasarkan pengamatan pada zona II keaslian elemen lanskap digolongkan sebesar 50-75%. d. Integritas/Unity Konsep luhur handap dalam pola tata ruang Kampung Lengkong Kyai divisualisasikan dengan penempatan makam di bagian atas, permukiman di bagian tengah dan pertanian di bagian bawah. Letak dan jenis penggunaan lahan pada zona I dan zona III sesuai dengan konsep tersebut. Berdasarkan hal tersebut zona I dan zona III digolongkan memiliki unity yang kuat dan karakter yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan zona II digolongkan tidak memiliki kesatuan (unity) dan karakternya tidak harmonis dengan lingkungan sekitar karena area terbangun ini secara tidak langsung telah menghilangkan batas-batas kampung berupa tutupan vegetasi serta lahan pertanian yang memiliki nilai penting serta merupakan bagian dari pola tata ruang kampung.
65 Nilai Penting Sejarah a. Elemen lanskap Pada zona I terdapat beberapa elemen bersejarah dengan umur lebih dari 50 tahun antara lain Musala Al Azhari, Masjid Jami Al Muttaqin beserta makam di sampingnya dan satu rumah tradisional yang tersisa. Berdasarkan hal tersebut zona I digolongkan memiliki kurang dari lima elemen bersejarah dengan umur lebih dari 50 tahun. Sedangkan pada zona II tidak terdapat elemen bersejarah dengan umur lebih dari 50 tahun karena zona ini dengan penggunaan lahan sebagai permukiman baru terbentuk pada tahun 2010. Pada zona III cukup banyak terdapat elemen bersejarah yang berupa makam-makam lama dengan usia hingga 300 tahun. Makam-makam lama tersebut ditandai dengan batu menhir dan nisan kuno. Selain itu terdapat makam utama yaitu makam Raden Arya Wangsakara yang kini telah dijadikan cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten dengan umur 296 tahun. Berdasarkan hal tersebut zona III digolongkan memiliki lebih dari lima elemen bersejarah dengan umur lebih dari 50 tahun. b. Area/ruang Pada zona I area/ruang atau tempat bersejarah masih dipertahankan hingga kini begitu juga dengan fungsinya. Ruang atau tempat bersejarah tersebut yaitu Musala Al Azhari yang dahulu berfungsi sebagai pesantren sekaligus juga sebagai tempat penyebaran agama Islam di wilayah Tangerang yang dipelopori oleh Raden Arya Wangsakara beserta ulama-ulama lain. Selain itu terdapat juga Masjid Jami Al Muttaqin. Masjid ini memiliki fungsi yang serupa dengan Musala Al Azhari, yaitu selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat penyebaran agama Islam pada masa lalu. Banyak ulama-ulama besar yang dilahirkan dari tempat ini. Dalam sejarahnya, tidak hanya dari wilayah Tangerang, kampung ini juga banyak disambangi oleh santri dari luar Tangerang. Sementara itu pada zona II tidak terdapat area/ruang atau tempat yang memiliki nilai sejarah kejadian penting di masa lalu. Pada zona III area/ruang atau tempat bersejarah yang ada yaitu makam Raden Arya Wangsakara. Menurut sejarah beliau wafat pada tahun 1720 dalam pertempuran melawan VOC dan dimakamkan pada area tersebut. Sosok beliau sebagai pendiri kampung, ulama sekaligus juga pahlawan perjuangan menjadikan makam beliau memiliki sebuah nilai historis dan spiritual tersendiri. Hingga kini banyak peziarah yang datang dari luar Kampung Lengkong Kyai ke makam Raden Arya Wangsakara. Berdasarkan hal tersebut zona III digolongkan memiliki area atau tempat bersejarah yang masih dipertahankan dan terdapat landmark penanda pada area tersebut. Nilai Penting Sosial dan Spiritual a. Area/Ruang Penduduk Kampung Lengkong Kyai dalam melakukan aktivitas-aktivitas budaya terkait dengan nilai sosial dan spiritual tidak terlepas dari area atau ruang. Area atau ruang tersebut menjadi tempat berlangsungnya kegiatan berkumpul, berinteraksi dan silaturahmi penduduk kampung dalam suatu bentuk acara yang
66 menjadi tradisi. Pada zona I masih terdapat ruang atau tempat penting bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial budaya yaitu Masjid Jami Al Muttaqin dan Musala Al Azhari yang telah berdiri sejak awal terbentuknya kampung. Sedangkan pada zona II terdapat musala sebagai sebuah ruang, namun musala ini hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja. Sebagian penduduk pada zona II mengikuti acara-acara seperti marhabaan dan nabuh bedug pada zona I. Pada zona III area atau ruang yang ada bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial budaya berupa lapangan dan makam Raden Arya Wangsakara. Lapangan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang pada tahun 2012 tersebut saat ini digunakan oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai sebagai tempat untuk memperingati haul Raden Arya Wangsakara dan hari-hari besar lainnya seperti hari kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan makam Raden Arya Wangsakara merupakan ruang bagi penduduk kampung untuk berziarah. b. Norma/Aturan Adat Kampung Lengkong Kyai memiliki suatu norma yang tidak mengikat namun menjadi kebiasaan yang khas dari penduduk kampung tersebut, kebiasaan tersebut yaitu make samping (mengenakan kain sarung). Make samping tidak hanya dilakukan oleh orang tua saja namun juga remaja khususnya pria dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kebiasaan ini dilakukan dengan harapan ketika melakukan perjalanan mereka selalu mengingat salat. Pada zona I kebiasaan ini terlihat masih banyak dilakukan oleh beberapa orang. Sedangkan pada zona II kebiasaan ini sudah mulai ditinggalkan. Zona III yang berupa area pemakaman memiliki norma khusus. Penduduk Kampung Lengkong Kyai memiliki kepercayaan bahwa makam merupakan tempat yang sakral sehingga kegiatan-kegiatan pada area tersebut sangat dibatasi. Masyarakat percaya bahwa apabila norma tersebut dilanggar akan terjadi sesuatu yang buruk yang dikenal penduduk sekitar dengan istilah kualat. Hingga kini kepercayaan itu masih diyakini oleh penduduk Kampung Lengkong Kyai. c. Tradisi Budaya Penduduk Kampung Lengkong Kyai hingga kini masih terus melestarikan tradisi adat dan kebudayaannya. Aktivitas budaya masyarakat seperti marhabaan, nabuh bedug dan haul Raden Arya Wangsakara masih terus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Semua penduduk baik orang tua maupun remaja turut aktif dalam kegiatan tersebut. Beberapa penduduk Kampung Lengkong Kyai juga terlihat masih melakukan aktivitas bercocok tanam pada petak-petak lahan di sekitar permukiman dengan jenis tanaman-tanaman kebutuhan sehari-hari. Aktivitas bercocok tanam juga merupakan aktivitas budaya yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Kampung Lengkong Kyai dalam hal memanfaatkan sumber daya alam. Penduduk pada zona I secara umum masih aktif dalam melakukan aktivitasaktivitas budaya tersebut. Selain itu terdapatnya lahan kebun di sekitar permukiman pada zona I menandakan masih aktifnya penduduk melakukan aktivitas bercocok tanam. Sedangkan penduduk pada zona II, nilai spiritual dalam tradisi masyarakat mulai menghilang, beberapa aktivitas budaya seperti
67 marhabaan, nabuh bedug dan haul Raden Arya Wangsakara hanya dilakukan oleh sebagian penduduk saja. Pada zona II juga tidak ditemukan lahan kebun. Tradisi budaya yang terdapat pada zona III yaitu peringatan haul Raden Arya Wangsakara. Sebelumnya peringatan ini dilaksanakan di Masjid Jami Al Muttaqin pada zona I. Untuk menampung banyaknya tamu yang datang maka saat ini kegiatan tersebut dilakukan di lapangan pada area pemakaman. Nilai Penting Ilmiah a. Aktivitas Nilai penting ilmiah atau ilmu pengetahuan dapat dilihat melalui aktivitas budaya masyarakat dan potensi ilmu pengetahuannya. Aktivitas budaya masyarakat yang memiliki nilai pengetahuan diantaranya kegiatan marhabaan, kegiatan majelis taklim dan aktivitas melukis kaligrafi. Marhabaan adalah tradisi membaca manakib (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini dilakukan ketika sedang diadakan acara aqiqah dan acara maulidan. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh lapisan penduduk Kampung Lengkong Kyai. Selain itu terdapat juga kegiatan majelis taklim yang merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap minggu untuk mempelajari secara mendalam pengetahuan agama Islam. Selanjutnya di Kampung Lengkong Kyai juga berkembang aktivitas melukis kaligrafi yang telah ada sejak dulu dan diajarkan turun-temurun dari generasi ke generasi (Gambar 46). Karya-karya kaligrafi Kampung Lengkong Kyai pun sudah cukup dikenal di daerah Tangerang dan sekitarnya. Seni kaligrafi ini juga merupakan warisan budaya masyarakat yang selain memiliki nilai pengetahuan dan budaya juga memiliki nilai ekonomi. Pada zona I aktivitas-aktivitas tersebut masih bertahan dan rutin dilaksanakan oleh penduduk hingga kini. Sedangkan pada zona II aktivitas-ativitas tersebut sudah mulai hilang dan hanya dilakukan oleh sebagian penduduk saja. Sementara itu pada zona III tidak terdapat aktivitas yang memiliki nilai pendidikan.
Gambar 46 Aktivitas melukis kaligrafi di Kampung Lengkong Kyai b. Elemen Lanskap Bila dilihat dari segi elemen lanskap yang memiliki potensi ilmu pengetahuan, Kampung Lengkong Kyai memiliki satu contoh rumah tradisional yang masih terjaga keasliannya. Rumah ini menjadi suatu objek yang berpotensi untuk dipelajari dan diteliti terkait arsitektur tradisonal masyarakat Tangerang khsusnya Kampung Lengkong Kyai. Selain itu elemen lanskap lain yang memiliki potensi ilmu pengetahuan yaitu elemen-elemen yang dibuat dengan sumber daya
68 alam lokal seperti pagar bambu yang merupakan kreasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam. Elemen-elemen tersebut dapat ditemukan pada zona I. Sedangkan pada zona II tidak ditemukan rumah dengan arsitektur tradisional serta elemen skala kecil berupa pagar bambu. Pada zona III, elemen lanskap yang memiliki potensi ilmu pengetahuan dapat dilihat pada batu menhir dan nisan kuno pada beberapa makam lama. Elemen-elemen tersebut digunakan penduduk Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu untuk menandai makam. Pada nisan kuno terdapat ukiran-ukiran yang berisi informasi mengenai identitas orang yang dimakamkan. Elemen-elemen tersebut berpotensi untuk dipelajari dan diteliti terkait perilaku penduduk Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu dalam menandai makam serta informasi-informasi mengenai waktu, asal, dan sistem penamaan orang-orang yang datang dan menetap di Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu. Penggunaan vegetasi dengan fungsi-fungsi tertentu juga merupakan elemen lanskap yang memiliki nilai pengetahuan. Pada zona I beberapa rumah yang ada masih mananam vegetasi dengan fungsi sebagai tanaman obat tradisional. Sedangkan pada zona II kebiasaan masyarakat menanam tanaman obat tidak ditemukan. Sementara itu pada zona III penggunaan vegetasi lebih difungsikan sebagai peneduh dan penunjang estetika makam. Namun kondisi dari vegetasi yang ada saat ini terlihat tidak tertata dengan baik. Pembobotan Nilai Penting Berdasarkan hasil penilaian terhadap empat kriteria nilai penting yang terdiri atas nilai penting estetika, sejarah, sosial/spiritual dan ilmiah maka dilakukan pembobotan untuk melihat tingkat signifikansi lanskap budaya pada masing-masing zona (Tabel 13). Pembobotan ini bertujuan menentukan prioritas zona-zona yang akan dilestarikan dalam tahap perencanaan lanskap.
Nilai penting
Estetika
Sejarah Sosial/spiritual Ilmiah Total
Tabel 13 Hasil pembobotan nilai penting Zona Aspek I II Landuse 3 1 Arsitektur rumah 2 1 Elemen lanskap 2 1 Integritas/unity 3 1 Elemen lanskap 2 1 Area/ruang 3 1 Area/ruang 3 2 Norma/aturan adat 2 1 Tradisi budaya 3 2 Aktivitas 3 2 Elemen lanskap 2 1 28 14
III 3 2 3 3 3 3 3 3 1 2 26
Zona III dinilai dengan hanya menyertakan sepuluh aspek analisis, untuk itu dilakukan penyetaraan pada zona III terhadap zona I dan II yang dinilai berdasarkan sebelas aspek analisis.
69 y x a b
= = = =
Nilai zona III sebelum penyetaraan Nilai zona III sesudah penyetaraan Jumlah aspek analisis zona III Jumlah keseluruhan aspek analisis
Jadi sesudah dilakukan penyetaraan nilai zona III adalah 28,6. Selanjutnya dilakukan perhitungan interval kelas (IK) untuk menentukan selang tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi lanskap dibagi menjadi tiga kategori yaitu tingkat signifikansi rendah, sedang, dan tinggi. Perhitungan interval kelas dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Interval Kelas (IK) SMa = 33 SMi = 11 Jumlah Kategori Interval Kelas (IK)
= Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori
= 3 (rendah, sedang dan tinggi) = 33 – 11 = 7,333 = 7 (dibulatkan) 3
Signifikansi Tinggi
= SMi + 2IK + 1 sampai SMa = 11 + 2(7) + 1 sampai 33 = 26 sampai 33 Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) = 11 + 7 + 1 sampai 11 + 2(7) = 19 sampai 25 Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK = 11 sampai 11 + 7 = 11 sampai 18 Berdasarkan hasil pembobotan nilai penting, diketahui bahwa zona I, zona II dan zona III pada Kampung Lengkong Kyai memiliki jumlah skor masingmasing 28, 14 dan 28,6. Zona I dan zona III berada dalam selang interval 26 sampai 33, sedangkan zona II berada dalam selang interval 11 sampai 18. Dengan demikian, zona I dan zona III termasuk dalam kategori signifikansi tinggi, sedangkan zona II termasuk dalam kategori signifikansi rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa zona I dan III memiliki prioritas yang lebih tinggi dibanding zona II dalam tindakan pelestarian. Zona I dan zona III kemudian ditetapkan sebagai Blok Inti, sedangkan zona II ditetapkan sebagai Blok Penyangga. Peta hasil analisis signifikansi lanskap budaya dapat dilihat pada Gambar 47.
Gambar 47 Peta hasil analisis signifikansi lanskap budaya
70
71 Sintesis Pada tahap sintesis dilakukan evaluasi terhadap lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai berdasarkan hasil identifikasi karakteristik dan analisis signifikansi lanskap budaya. Hasil evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai dengan usulan pelestariannya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai No. 1
Blok Blok Inti Permukiman
Kondisi Kampung Lengkong Kyai saat ini Pola permukiman mengarah kiblat, namun pada lapisan luar permukiman beberapa bangunan tidak mengikuti pola tersebut. Arsitektur rumah penduduk bergaya semi tradisional, yaitu masih mempertahankan ornamen-ornamen tradisional namun material bangunan yang digunakan sudah beralih ke material yang lebih modern. Terdapat beberapa bangunan penting terkait nilai sejarah yaitu Masjid Jami Al Muttaqin, Musala Al Azhari, madrasah, majelis taklim dan sebuah rumah tradisional. Sirkulasi jalan setapak berbentuk organik dan berpusat pada masjid. Pada beberapa rumah masih digunakan elemen skala kecil berupa pagar bambu yang khas. Pada beberapa rumah masih terdapat pekarangan yang biasa dimanfaatkan warga sebagai tempat bercocok tanam. Terdapat petak lahan yang dijadikan kebun sayur dengan berbagai vegetasi untuk konsumsi warga setempat. Jumlah vegetasi yang menjadi batas kampung saat ini sudah menyusut dan terancam habis. Tidak ada budidaya vegetasi lokal yang menjadi identitas daerah. Terdapat aktivitas adat seperti marhabaan, nabuh bedug, make samping dan haul Raden Arya Wangsakara yang masih terus dilaksanakan.
Usulan pelestarian Permukiman pada Blok Inti ditetapkan sebagai permukiman inti Penataan posisi rumah penduduk sesuai dengan pola yang ada yaitu mengarah kiblat. Merevitalisasi rumah-rumah penduduk yang bergaya arsitektur modern untuk kembali menampilkan bentuk dan ornamen-ornamen tradisional khas Kampung Lengkong Kyai. Merevitalisasi bentuk-bentuk bangunan penting bernilai sejarah yang sudah berubah seperti Masjid Jami Al Muttaqin dan Musala Al Azhari untuk lebih memperlihatkan gaya tradisional seperti masa lalu disertai dengan prinsip adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini. Mempertahankan bentuk sirkulasi yang berpusat pada masjid. Menggunakan elemen skala kecil berupa pagar bambu untuk mempertahankan keharmonisan estetika lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Memberdayakan pekarangan warga untuk dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam tanaman penunjang estetika, tenaman peneduh, tanaman obat dan tanaman penghasil buah untuk konsumsi.
72 Tabel 14 Evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai (lanjutan) No.
Blok
Area pemakaman
Kondisi Kampung Lengkong Kyai saat ini Terdapat produk seni berupa lukisan kaligrafi yang juga dipasarkan keluar kampung. Terdapat kesenian musik gambus, yang sering dimainkan saat perayaan pernikahan.
Terdapat bangunan makam R.A. Wangsakara dan ulama lain di dalamnya, namun bentuk bangunan ini kurang mendukung karakter lanskap tersebut. Sirkulasi pada area pemakaman berpusat pada bangunan makam R.A. Wangsakara. Beberapa makam masih terbengkalai, hanya ditandai dengan batu atau batang bambu. Terdapat lapangan perkerasan yang digunakan untuk upacara peringatan hari-hari besar nasional. Area pemakaman dibatasi dengan tembok beton
Usulan pelestarian Mempertahankan, menata dan bila perlu menambah vegetasi pada pekarangan dan petak lahan sesuai dengan fungsi masing-masing yang dapat memberikan manfaat ekologi, estetika, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Kampung Lengkong Kyai. Menambah jumlah vegetasi untuk memperjelas kembali batas-batas Kampung Lengkong Kyai. Membudidayakan vegetasi lokal sebagai identitas daerah. Mempertahankan aktivitas budaya yang masih dilaksanakan maupun yang sudah mulai ditinggalkan, dan menanamkan nilai-nilai budaya tersebut kepada generasi-generasi penerus melalui edukasi. Mengedukasi penduduk tentang tata cara menghasilkan produk seni tersebut dengan pelatihan dan pembentukan komunitas untuk mempertahankan nilai pengetahuan dan budaya serta dapat juga mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Merevitalisasi bangunan makam R.A. Wangsakara dengan menampilkan bentuk dan ornamen-ornamen bergaya tradisional khas Kampung Lengkong Kyai. Mempertahankan dan memperjelas sirkulasi pada area pemakaman. Merekonstruksi makammakam yang masih terbengkalai. Mempertahankan dan mengupayakan pemeliharaan infrastruktur yang ada di sekitar area pemakaman. Membersihkan area pemakaman dari vegetasi liar, serta menata vegetasi yang ada untuk meningkatkan estetika makam.
73 Tabel 14 Evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai (lanjutan) No.
2
Blok
Blok Penyangga Permukiman
Kondisi Kampung Lengkong Kyai saat ini Terdapat signage Taman Makam Pahlawan pada area pemakaman Pada area pemakaman terdapat vegetasi yang berfungsi sebagai peneduh dan penunjang estetika makam, namun kurang tertata dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Pola permukiman tidak mengarah kiblat, sehingga tidak sesuai dengan karakteristik lanskap budaya yang ada. Arsitektur rumah penduduk bergaya modern yang tidak mempertahankan lagi ciri khas arsitektur tradisional Kampung Lengkong Kyai Sirkulasi kampung berbentuk grid yang membagi bangunan menjadi blok-blok.
Usulan pelestarian
Permukiman pada Blok Penyangga ditetapkan sebagai permukiman penyangga. Pola permukiman dan pola sirkulasi tetap mempertahankan yang sudah ada untuk mengoptimalkan penggunaan lahan. Merevitalisasi rumah-rumah penduduk dengan menampilkan bentuk dan ornamen-ornamen bergaya tradisional khas Kampung Lengkong Kyai untuk memperkuat karakteristik serta menciptakan keharmonisan dengan permukiman inti.
Konsep dan Pengembangan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai, diketahui terdapat zona-zona di dalamnya. Zona-zona tersebut dikelompokkan menjadi Blok Inti dan Blok Penyangga. Pada Blok Inti terdapat ruang permukiman dan area pemakaman, sedangkan pada Blok Penyangga terdapat ruang permukiman. Bentuk-bentuk tindakan pelestarian pada masingmasing blok telah dijabarkan pada Tabel 14. Konsep dasar perencanaan yang diterapkan pada Kampung Lengkong Kyai adalah membuat Kampung Lengkong Kyai sebagai kampung dengan identitas karakteristik lanskap budaya yang kuat dan berkelanjutan melalui tindakan konservasi. Tindakan konservasi yang dilakukan untuk mewujudkan konsep perencanaan ini yaitu dengan cara mengkonservasi zona-zona berupa landuse dan aktivitas budaya di dalamnya. Dengan pertimbangan adanya aktivitas budaya masyarakat yang telah bergeser dan kondisi lanskap sekitar Kampung Lengkong Kyai yang telah jauh berubah, maka tindakan konservasi dilakukan dengan prinsip adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Rencana blok (block plan) dapat dilihat pada Gambar 48.
Gambar 48 Block plan
74
75 Konsep Ruang Konsep ruang yang diterapkan pada Kampung Lengkong Kyai didasarkan pada konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai. Area pemakaman berada pada bukit di bagian Selatan kampung. Permukiman inti terletak di tengah kampung. Permukiman penyangga berada pada bagian Barat kampung yang dahulu merupakan lahan pertanian dan sebagian hutan bambu. Selanjutnya, hutan bambu yang masih tersisa dijadikan sebagai pembatas antara permukiman inti dan permukiman penyangga. Ilustrasi konsep ruang dapat dilihat pada Gambar 49.
Gambar 49 Konsep ruang Konsep Sirkulasi Konsep sirkulasi yang diterapkan pada Kampung Lengkong Kyai yaitu menghubungkan ruang-ruang dan objek-objek penting di dalamnya yang berhubungan dengan aktivitas penduduk. Sirkulasi dibagi menjadi dua jenis yaitu jalan utama dan jalan setapak. Jalan utama merupakan jalan yang mengubungkan dua ruang dengan tingkat aktivitas tinggi yaitu permukiman inti dan permukiman penyangga disertai dua akses keluar masuk kampung di bagian Barat dan Timur. Jalan setapak berada pada masing-masing ruang untuk menghubungkan objekobjek penting di dalamnya. Ilustrasi konsep sirkulasi dapat dilihat pada Gambar 50.
Gambar 50 Konsep sirkulasi
76 Konsep Tata Hijau Konsep tata hijau didasarkan pada fungsi-fungsi vegetasi pada masingmasing ruang. Pada area pemakaman diaplikasikan vegetasi dengan fungsi peneduh dan penunjang estetika. Pada permukiman, khususnya pekarangan rumah penduduk diaplikasikan vegetasi dengan fungsi peneduh, penunjang estetika, tanaman obat dan tanaman penghasil buah. Pada petak lahan kebun yang terletak di permukiman inti diaplikasikan tanaman sayur dan buah untuk konsumsi penduduk. Pada sekeliling kampung dibatasi dengan vegetasi riparian yang berfungsi mengkonservasi tanah dan air. Selain itu dilakukan juga budidaya tanaman lokal yang menjadi identitas daerah.
Rencana Lanskap Proses perencanaan lanskap dilakukan dengan menuangkan konsep-konsep perencanaan yang telah ditentukan menjadi sebuah hasil akhir berupa gambar rencana lanskap (landscape plan). Selain itu dilakukan juga penataan ruang-ruang pada kedua blok berdasarkan evaluasi lanskap pada Tabel 14. Rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai dapat dilihat pada Gambar 52. Rencana Ruang Rencana ruang dibuat berdasarkan pola tata ruang Kampung Lengkong Kyai serta pertimbangan kebutuhan akan ruang terkait aktivitas penduduk saat ini. Terdapat tiga ruang yaitu permukiman inti, permukiman penyangga dan area pemakaman. Ketiga ruang tersebut dikonservasi untuk melestarikan karakteristik lanskap budaya serta aktivitas budaya di dalamnya. 1. Permukiman inti Permukiman inti merupakan permukiman asli Kampung Lengkong Kyai yang lebih dulu ada dibanding permukiman penyangga. Permukiman inti memiliki pola yang khas yaitu pola bangunan mengarah kiblat serta terdapat objek-objek penting bernilai sejarah. Pada permukiman inti juga terdapat petak lahan yang dimanfaatkan penduduk sebagai kebun untuk konsumsi penduduk. Luas permukiman inti sebesar 5,7 ha. 2. Permukiman penyangga Permukiman penyangga merupakan permukiman yang baru terbentuk terkait adanya kebijakan relokasi penduduk dari kampung-kampung lain. Pola permukiman penyangga berbeda dengan permukiman inti serta tidak ada objekobjek penting bernilai sejarah. Luas permukiman penyangga sebesar 2,4 ha. 3. Area pemakaman Area pemakaman merupakan area yang disucikan oleh penduduk kampung. Area ini terletak pada bukit di bagian Selatan kampung. Pada area ini terdapat banyak makam-makam leluhur kampung, termasuk makam pendiri kampung, Raden Arya Wangsakara dan beberapa ulama lain. Luas area pemakaman sebesar 3,6 ha.
77 Rencana Sirkulasi Rencana sirkulasi dikembangkan mengikuti pengembangan konsep sirkulasi sebelumnya dengan membagi jalur sirkulasi menjadi dua, yaitu jalan utama dan jalan setapak. a. Jalan utama merupakan jalan yang menghubungkan permukiman inti dan permukiman penyangga. Jalan ini juga merupakan batas fisik antara permukiman inti dan area pemakaman. Akses keluar masuk kampung berada pada kedua ujung jalan utama di bagian Timur dan Barat. b. Jalan setapak merupakan jalur pejalan kaki yang terdapat pada masing-masing ruang dan menghubungkan objek-objek penting di dalamnya. Jalan ini juga menghubungkan ruang-ruang yang letaknya berdekatan. Pada permukiman inti jalan setapak berbentuk organik dan berpusat pada masjid. Pada permukiman penyangga jalan setapak berbentuk grid. Pada area pemakaman jalan setapak berpusat pada bangunan makam Raden Arya Wangsakara. Rencana Tata Hijau Rencana tata hijau dikembangkan mengikuti pengembangan konsep tata hijau. Penataan vegetasi dilakukan berdasarkan fungsi-fungsinya pada masingmasing ruang. Selain itu dibudidayakan juga tanaman lokal sebagai identitas daerah yaitu rambutan parakan (Nephelium lappaeum) yang merupakan tanaman khas Tangerang. Diagram fungsi vegetasi pada masing-masing ruang dapat dilihat pada Gambar 51. Rekomendasi vegetasi dalam rencana tata hijau dapat dilihat pada Tabel 15.
Gambar 51 Fungsi vegetasi pada masing-masing ruang Tabel 15 Rekomendasi vegetasi untuk rencana tata hijau No. Nama lokal Area pemakaman 1 Hanjuang 2 Kamboja
Nama ilmiah Cordyline terminalis Plumeria sp.
Fungsi tanaman Penunjang estetika Penunjang estetika
78 Tabel 15 Rekomendasi vegetasi untuk rencana tata hijau (lanjutan) No. 3 4 5
Nama lokal Glodokan tiang Mahoni Tabebuya
Nama ilmiah Polyaltha longifolia Swietenia mahogani Tabebuia sp.
6 Ginje Thevetia peruviana Teras (depan rumah) 1 Suplir Adiantum sp. 2 Anthurium Anthurium sp. 3 Pepaya Carica papaya 4 Drasena Dracaena sanderiana 5 Drasena Dracaena surculosa 6 Euphorbia Euphorbia milii 7 Melati Jasminum sambac 8 Katuk Sauropus androgynus 9 Sirih belanda Scindapsus aureus Pekarangan samping rumah (pipir) 1 Sri rezeki Aglaonema sp. 2 Binahong Anredera cordifolia 3 Gelombang cinta Anthurium plowmanii 4 Sembung Blumea balsamifera 5 Keladi Calladium sp. 6 Hanjuang Cordyline terminalis 7 Miana Coleus atropurpureus 8 Suji Dracaena angustifolia 9 Mangga Mangifera indica 10
Kersen
Muntingia calabura
11
Rambutan parakan
Nephelium lappaeum
Fungsi tanaman Penunjang estetika Peneduh Peneduh dan penunjang estetika Penunjang estetika Penunjang estetika Penunjang estetika Tanaman obat Penunjang estetika Penunjang estetika Penunjang estetika Penunjang estetika Tanaman obat Tanaman obat Penunjang estetika Tanaman obat Penunjang estetika Tanaman obat Penunjang estetika Penunjang estetika Tanaman obat Tanaman obat Peneduh dan tanaman penghasil buah Peneduh dan tanaman penghasil buah Peneduh dan tanaman penghasil buah
Petak lahan (kebun) 1 Pepaya Carica papaya Tanaman konsumsi 2 Mentimun Cucumis sativus Tanaman konsumsi 3 Gambas Luffa acutangula Tanaman konsumsi 4 Singkong Manihot utilissima Tanaman konsumsi 5 Pisang Musa acuminata Tanaman konsumsi a Batas kampung 1 Ara songsang Asystasia gangetica Konservasi tanah dan air 2 Talas Coloasia esculenta Konservasi tanah dan air 3 Rumput janggut Digitaria longiflora Konservasi tanah dan air 4 Kirinyuh Eupatorium odoratum Konservasi tanah dan air 5 Bambu apus Gigantochloa apus Konservasi tanah dan air 6 Pisang Musa paradisiaca Konservasi tanah dan air 7 Rumput gajah Pennisetum purpureum Konservasi tanah dan air 8 Meniran Phyllanthus niruri Konservasi tanah dan air 9 Jotong kuda Synedrella nodiflora Konservasi tanah dan air 10 Wedelia Wedelia trilobata Konservasi tanah dan air a [Batas kampung berupa vegetasi riparian Sungai Cisadane] Sumber: Siahaan (2012)
Gambar 52 Rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai
79
Gambar 53 Gambar potongan A – A'
80
Gambar 54 Gambar potongan B – B'
81
82
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai dapat disimpulkan bahwa tipe karakter lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai adalah lanskap permukiman dengan pola tata ruang Sunda yang berbasis pada sumber daya alam lokal serta kental akan pengaruh agama Islam. Pengaruh agama Islam terlihat dari objek-objek penting serta aktivitas sosial, seni dan budaya masyarakat, yang secara keseluruhan memperlihatkan eksistensi agama Islam pada lanskap budaya tersebut. Adapun elemen yang memiliki pengaruh karakteristik yang kuat terhadap terbentuknya karakter lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai adalah bangunan, struktur dan objek yang terdiri atas rumah tradisional, masjid, musala dan area pemakaman dengan makam utama yaitu makam Raden Aria Wangsakara, serta aliran sungai dengan orientasi arah kiblat yang unik. Berdasarkan hasil analisis signifikansi lanskap budaya terhadap tiga zona di Kampung Lengkong Kyai, disimpulkan bahwa, zona I (permukiman sebelah Timur) dan zona III (area pemakaman) termasuk dalam kategori signifikansi tinggi, serta zona II (permukiman sebelah Barat) termasuk dalam kategori signifikansi rendah. Oleh karena itu, zona I dan III memiliki prioritas yang lebih tinggi dibanding zona II dalam tindakan pelestarian. Berdasarkan indentifikasi karakteristik lanskap budaya serta analisis signifikasi lanskap budaya, disusun sebuah perencanaan lanskap yang dituangkan dalam bentuk rencana ruang, rencana sirkulasi dan rencana tata hijau. Rencana ruang untuk pelestarian Kampung Lengkong Kyai terdiri atas ruang permukiman inti, permukiman penyangga dan area pemakaman. Rencana sirkulasi dikembangkan dengan membagi jalur sirkulasi menjadi dua, yaitu jalan utama dan jalan setapak. Rencana tata hijau dikembangkan berdasarkan fungsi-fungsi vegetasi pada masing-masing ruang.
Saran Dalam proses pelestarian lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat setempat, pihak pengembang dan stakeholders lain sangat diperlukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan dasar pelestarian lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai bagi pemerintah daerah dan pihak-pihak lain yang berwenang.
83
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni R. 2011. Assessment lanskap sejarah kawasan Empang untuk mendukung perencanaan tata ruang Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Australia ICOMOS] Australia International Council on Monuments and Sites. 1999. The Burra Charter: The Australia ICOMOS Charter for Places of Cultural Significance. Burra (AU): Australia ICOMOS. Awat R. 2011. Sumberdaya Budaya Keraton Buton: Nilai Penting Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan. Fahimuddin MM, editor. Bau-bau (ID): Penerbit Respect. [Bappeda Kabupaten Tangerang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tangerang. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031. Tangerang (ID): Bappeda Kabupaten Tangerang. Birnbaum CA. 1994. Protecting cultural landscape: planning, treatment and management of historic landscapes. National Park Service [Internet]. [diunduh 2015 Feb 10]. Tersedia pada: http://www.nps.gov/tps/how-topreserve/preservedocs/preservation-briefs/36Preserve-Brief-Landscapes.pdf. [BLHD Kota Tangerang Selatan] Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Tangerang Selatan. 2014. Hasil Pantauan 2013 dan 2014 Tentang Tingkat Pencemaran Tiga Sungai di Tangsel, Sungai Cisadane, Sungai Angke dan Sungai Pesanggrahan. Tangerang Selatan (ID): BLHD Kota Tangerang Selatan. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2014. Suhu Udara Ratarata Bulanan, Kelembaban Udara Rata-rata Bulanan, Curah Hujan Rata-rata Bulanan Tahun 2005-2014. Jakarta (ID): BMKG. Dahlan MZ. 2009. Perencanaan lanskap kawasan wisata budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor (Pendekatan Community Based Planning) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Disporabudpar Kabupaten Tangerang] Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tangerang. 2012. Inventarisasi dan Dokumentasi Data Seni Budaya Kabupaten Tangerang. Tangerang (ID): Disporabudpar Kabupaten Tangerang. Ekadjati ES, Hardjasaputra AS, Mulyadi M. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang (ID): Pemerintah Kabupaten Tangerang. Harris CW, Dines NT. 1988. Time Saver Standards for Landscape Architecture. New York (US): McGraw-Hill, Inc. Hasibuan MSR. 2014. Penilaian lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Khamdevi M. 2012. Kajian pola permukiman khas Kampung Lengkong Ulama, Serpong, Banten. Dimensi [Internet]. [diunduh 2015 Jan 15]; 39(1):31-36. Tersedia pada: http://www.academia.edu/2770652/Kajian_Pola_Permukiman_Khas_Kamp ung_Lengkong_Ulama_Serpong_Banten.
84 [Komunitas Love] Komunitas Lengkong Oelama Movement. 2011. Jumlah Penduduk Kampung Lengkong Ulama. Tangerang (ID): Komunitas Love. McClelland L, Keller L, Keller G, Melnick R. 1999. Guidelines for evaluating and documentating rural historic landscapes. National Register Bulletin [Internet]. [diunduh 2015 Feb 10]. Tersedia pada: http://www.nps.gov/history/nr/publications/bulletins/nrb30/. [Mentan] Menteri Pertanian. 1980. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta (ID): Mentan. Mian M. 1983. Sejarah Kampung Lengkong. Tangerang (ID): tanpa penerbit. [MUI] Majelis Ulama Indonesia. 2010. Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat. Jakarta (ID): MUI. Nurisyah S, Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah: Bahan Perkuliahan Perencanaan Lanskap. Bogor (ID). Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Rottle ND. 2008. Cultural Landscape: Balancing Nature and Heritage in Preservation Practice. Longstreth R, editor. Minneapolis (US): The University of Minnesota Pr. Salura P. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung (ID): PT. Cipta Sastra Salura. Seno. 2011. Lengkong Kulon, desa yang nyaris hilang. Kompasiana. Siahaan R. 2012. Peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): tanpa penerbit. Starke BW, Simonds JO. 2006. Landscape Architecture. New York (US): McGraw-Hill Education. Sulaeman MM. 2012. Ilmu Budaya Dasar, Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya Dasar/ISBD/Social Culture. Bandung (ID): Refika Aditama. Supriadi MA. 2010. Nilai penting Leang Mandauseng dan Leang Tengngae. Bulletin Somba Opu. 13(17):7-8. Swanwick C. 2002. Landscape Character Assessment: Guidance for England and Scotland. Edinburgh (GB): The Countryside Agency & Scottish Natural Heritage. Tjandrasasmita U. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta (ID): Gramedia.
85
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 31 Maret 1993 dari pasangan Bapak Chandra dan Ibu Sumarni. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dengan kakak bernama Chairul Chandra. Penulis menempuh pendidikan formal yang dimulai dari TK Islam Cahaya Agung pada tahun 1997 hingga 1999, dan dilanjutkan di SD Negeri Pondok Benda VI pada tahun 1999 hingga 2005. Kemudian pada tingkat menengah penulis mengeyam pendidikan di SMP Negeri 1 Pamulang pada tahun 2005 hingga 2008 dan dilanjutkan di SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan (program IPA) pada tahun 2008 hingga 2011. Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan, salah satunya pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM-M) sebagai ketua kelompok dengan judul “Prof. Vandal Sebagai Agen Pengontrol Vandalisme di Kalangan Remaja Melalui Taman Kreatif”. Program tersebut dilaksanakan pada tahun 2013 dan memperoleh pendanaan hingga tingkat IPB.