PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
TRI SATYATAMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2008
Tri Satyatama NRP E 051054025
ABSTRAK TRI SATYATAMA. Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan LILIK BUDI PRASETYO. Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan salah satu dari beberapa taman nasional baru di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2004. Kegiatan ekowisata di kawasan ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh pengelola sebelumnya, yaitu Perum Perhutani, meskipun kawasan ini mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi lokasi interpretasi alam. Dengan perubahan status menjadi taman nasional, maka peluang pengembangan ekowisata menjadi lebih besar mengingat pengelolaan yang lebih intensif oleh sebuah Unit Pelaksana Teknis dan pengembangan ekowisata telah disebutkan dalam Rencana Pengelolaan sebagai salah satu kegiatan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Sebagai bagian dari ekowisata, interpretasi alam merupakan media untuk menjembatani pengunjung suatu kawasan dengan sumber daya alam yang ada pada kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun perencanaan beberapa jalur interpretasi alam di kawasan TNGMB berdasarkan potensi sumber daya yang ada dan demand penggunanya, dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis. Pemilihan jalur interpretasi alam dengan berdasarkan kriteria potensi sumber daya alam dan kebutuhan (demand) pengguna dilakukan dengan menggunakan sarana Query Builder yang tersedia di dalam ArcView GIS 3.3. Berdasarkan sintesis antara potensi jalur dan kebutuhan (demand) pengguna, terdapat 8 jalur yang memenuhi kriteria, yaitu jalur Selo - puncak, Tekelan - puncak, Selo II dan III, Tekelan IV, TWA - Krinjingan, TWA - Watu Tadah dan TWA - “Dufan”.
ABSTRACT TRI SATYATAMA. Various Nature Interpretation Tracks Planning in Mount Merbabu National Park Central Java Using Geographic Information System. Under directions of E.K.S. HARINI MUNTASIB and LILIK BUDI PRASETYO. Mount Merbabu National Park is one among several new national parks in Indonesia which was established in 2004. Ecotourism activities in this area have not been properly developed by Perum Perhutani, as the past management authority, although the area is very potential to be developed as an ecotourism site for activities such as nature interpretation, apart from camping and hiking which are already carried out. With the change of the area status into a national park, the opportunity of ecotourism development is increased as the area is presently managed by a focused management authority, The Mount Merbabu National Park Office. As a part of ecotourism, nature interpretation is a mean to relate visitors to natural resources, which is an urgent need for Mount Merbabu National Park. The objective of this research is to develop an interpretation plan of vaious tracks in the Park, based on the tracks’ resources and users’ demands. The selection of user-oriented nature interpretation tracks done by using the Query Builder tool available in ArcView GIS 3.3. The synthesis of tracks’ resources and users demand resulted in 8 criteriafulfilling tracks, e.g. Selo - summit, Tekelan - summit, Selo II, Selo III, Tekelan IV, TWA - Krinjingan Waterfall, TWA - Watu Tadah Waterfall dan TWA - “Dufan”. The planning of these selected tracks includes mapping and interpretation scenarios. Keywords : nature interpretation, Mount Merbabu National Park, GIS
c Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
TRI SATYATAMA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Judul Penelitian
: Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam
Nama NIM Program Studi Sub Program Studi
: : : :
di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis Tri Satyatama E 051054025 Ilmu Pengetahuan Kehutanan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F NIP. 131760834
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. NIP. 130891386
Tanggal Ujian : 19 Desember 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat hidayah, karunia dan petunjuk-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih adalah perencanaan wisata alam, dengan judul Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah mulai bulan Juni hingga Agustus 2007. Terima kasih penulis ucapkan kepada Profesor Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Untung Suprapto selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu beserta staf, Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA selaku Ketua Sub Program Studi, dan rekan-rekan Magister Profesi 2006 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2008 Tri Satyatama
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solo Jawa Tengah pada tanggal 8 April 1973 dari ayah Pararto S.D. (alm.) dan ibu Erlijani Siregar (almh.). Penulis merupakan putra ke-tiga dari tiga bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Solo jurusan Biologi. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, mengambil jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1997. Penulis bekerja pada Departemen Kehutanan dan ditempatkan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah sejak tahun 2000 hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI .............................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ......................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................
xiv
I. PENDAHULUAN ..................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................
3
1.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................................
4
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................
5
1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................
7
2.1. Interpretasi Alam .......................................................................................
7
2.2. Perencanaan Interpretasi ...........................................................................
12
2.3. Taman Nasional ........................................................................................
19
2.4. Sistem Informasi Geografis .......................................................................
23
III. METODE PENELITIAN........................................................................................
26
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................
26
3.2. Bahan dan Alat ..........................................................................................
26
3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ...................................................................
26
3.4. Metode Pengumpulan Data .......................................................................
26
3.5. Metode Analisis Data ................................................................................
30
IV. KEADAAN UMUM LOKASI ................................................................................
34
4.1. Sejarah Kawasan TN Gunung Merbabu ...................................................
34
4.2. Letak dan Luas TN Gunung Merbabu .......................................................
34
4.3. Aksesibilitas ..............................................................................................
36
4.4. Keadaan Fisik dan Biologi .........................................................................
37
4.5. Iklim ...........................................................................................................
38
4.6. Hidrologi ...................................................................................................
39
4.7. Topografi ...................................................................................................
40
4.8. Geologi dan Tanah ....................................................................................
40
4.9. Tata Guna Lahan ......................................................................................
42
4.10. Sarana dan Prasarana Wisata ..................................................................
43
x
Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................
44
5.1.
Jalur Verifikasi .........................................................................................
44
5.2.
Sarana dan Prasarana Interpretasi Alam ................................................
62
5.3.
Aksesibilitas Jalur ....................................................................................
65
5.4.
Karakteristik dan Demand Pengguna (Pendaki) TN Gunung Merbabu ..............................................................................
5.5.
66
Karakteristik dan Demand Pengguna (Pengunjung) TN Gunung Merbabu ..............................................................................
77
5.6.
Aspek Sosial Budaya ..............................................................................
84
5.7.
Kebijakan Balai TN Gunung Merbabu .....................................................
88
5.8.
Analisis Potensi Flora dan Fauna ...........................................................
89
5.9.
Analisis Pengembangan Interpretasi Alam .............................................
95
5.10. Sintesis ...................................................................................................
100
5.11. Perencanaan Jalur Interpretasi Alam ......................................................
106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................
128
6.1.
Kesimpulan ..............................................................................................
128
6.2.
Saran .......................................................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
130
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Target responden dan informasi yang ingin didapatkan ...........................
28
Tabel 2
Pengelompokan umur responden pendaki gunung ..................................
29
Tabel 3
Pengelompokan umur responden pengunjung .........................................
29
Tabel 4
Data yang diperlukan dan metode pengambilannya.................................
30
Tabel 5
Daftar wilayah administrasi yang berbatasan langsung dengan TN Gunung Merbabu ................................................................................
35
Tabel 6
Daftar jalur pendakian dan non pendakian dilakukannya verifikasi ..........
44
Tabel 7
Rute jalur pendakian Selo.........................................................................
45
Tabel 8
Data rekaman GPS Receiver jalur pendakian Selo ..................................
47
Tabel 9
Rute jalur pendakian Tekelan - Puncak ....................................................
49
Tabel 10 Data rekaman GPS Receiver jalur pendakian Tekelan - Puncak ............
48
Tabel 11 Rute jalur Selo - Mata Air .........................................................................
51
Tabel 12 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Mata Air ...................................
52
Tabel 13 Rute jalur Tekelan - Watu Tadah ..............................................................
53
Tabel 14 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Watu Tadah .......................
53
Tabel 15 Rute jalur TWA Tuk Songo - Tekelan .......................................................
55
Tabel 16 Data rekaman GPS Receiver jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ................
55
Tabel 17 Rute jalur Tekelan - Krinjingan..................................................................
56
Tabel 18 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Krinjingan...........................
57
Tabel 19 Rute jalur Tekelan - “Dufan”......................................................................
58
Tabel 20 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - “Dufan”...............................
58
Tabel 21 Rute jalur Selo - Jurang Warung...............................................................
60
Tabel 22 Data rekaman GPS Receiver Jalur Selo - Jurang Warung.......................
60
Tabel 23 Data spasial obyek lainnya .......................................................................
61
Tabel 24 Karakteristik responden pendaki...............................................................
66
Tabel 25 Skoring terhadap nilai-nilai faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian .................................................................
69
Tabel 26 Matriks hasil kuesioner pendaki................................................................
75
Tabel 27 Karakteristik responden pengunjung ........................................................
78
Tabel 28 Matriks hasil kuesioner pengunjung..........................................................
83
Tabel 29 Jumlah jenis flora fauna hasil verfikasi pada setiap jalur .........................
90
Tabel 30 Skoring potensi jalur pendakian dan non pendakian ................................
99
xii
Halaman Tabel 31 Modifikasi dan penggabungan jalur ......................................................... 100 Tabel 32 Alternatif jalur interpretasi alam ................................................................ 100 Tabel 33 Karakteristik jalur sesuai keinginan (demand) pengguna ........................ 101 Tabel 34 Preferensi pengguna TNGMB terhadap Interpretasi Alam ....................... 103 Tabel 35 Jalur Interpretasi Alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna ........... 104 Tabel 36 Jalur terpilih berdasarkan preferensi penggunanya ................................. 105 Tabel 37 Jalur tidak terpilih ..................................................................................... 105 Tabel 38 Rencana jalur Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu ........................ 105 Tabel 39 Rencana kegiatan Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu ................. 126 Tabel 40 Klasifikasi jalur Interpretasi Alam berdasarkan kelompok umur pengguna ................................................................................................. 126
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Kerangka pemikiran perencanaan Interpretasi Alam di TNGMB dengan menggunakan SIG...................................................................
6
Gambar 2
Bagan alir tahapan perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982)
17
Gambar 3
Bagan alir proses penelitian Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di TNGMB dengan menggunakan SIG.....................
33
Gambar 4
Peta lokasi penelitian............................................................................
36
Gambar 5
Peta jalur dilakukannya kegiatan verifikasi...........................................
45
Gambar 6
Profil jalur pendakian Selo - Puncak.....................................................
47
Gambar 7
Profil jalur pendakian Tekelan - Puncak ..............................................
50
Gambar 8
Profil jalur non pendakian Selo - Mata Air ............................................
52
Gambar 9
Profil jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah ................................
54
Gambar 10 Profil jalur non pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan..........................
55
Gambar 11 Profil jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan ....................................
57
Gambar 12 Profil jalur non pendakian Tekelan - ”Dufan”.........................................
59
Gambar 13 Profil jalur non pendakian Selo - Jurang Warung .................................
60
Gambar 14 Overlay jalur verifikasi pada kelas lereng TNGMB ..............................
63
Gambar 15 Overlay jalur verifikasi terhadap ketinggian kawasan TNGMB.............
64
Gambar 16 Jalur yang pernah dilewati ...................................................................
67
Gambar 17 Sumber informasi jalur pendakian .......................................................
68
Gambar 18 Modus pendakian ................................................................................
68
Gambar 19 Tujuan pendakian .................................................................................
69
Gambar 20 Faktor yang paling mempengaruhi dalam memilih jalur pendakian .....
69
Gambar 21 Alasan utama memilih jalur yang sering dilalui ....................................
70
Gambar 22 Jalur yang paling disukai .....................................................................
70
Gambar 23 Tingkat kemiringan jalur yang disukai .................................................
71
Gambar 24 Pola beristirahat dalam pendakian ......................................................
71
Gambar 25 Preferensi tempat beristirahat dalam pendakian .................................
72
Gambar 26 Kondisi responden ketika melakukan pendakian ................................
72
Gambar 27 Obyek daya tarik jalur pendakian ........................................................
72
Gambar 28 Pengetahuan responden pendaki mengenai Interpretasi Alam............
73
Gambar 29 Preferensi terhadap dasar kegiatan interpretasi alam .........................
74
Gambar 30 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam ..............................................
74
xiv
Halaman Gambar 31 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam .............................
74
Gambar 32 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam ...............................................
75
Gambar 33 Modus kunjungan ................................................................................
79
Gambar 34 Tujuan kunjungan ................................................................................
79
Gambar 35 Obyek daya tarik tempat wisata ..........................................................
79
Gambar 36 Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata ..........................................
80
Gambar 37 Bagian yang disukai dari tempat wisata ..............................................
80
Gambar 38 Tingkat penghasilan responden pengunjung .......................................
80
Gambar 39 Pengetahuan responden pengunjung mengenai Interpretasi Alam .....
81
Gambar 40 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam ........................
81
Gambar 41 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam ..............................................
82
Gambar 42 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam ............................
82
Gambar 43 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam ..............................................
83
Gambar 44 Overlay jalur verifikasi pada zonasi TNGMB ........................................
91
Gambar 45 Overlay jalur verifikasi terhadap tipe vegetasi kawasan TNGMB.........
92
Gambar 46 Hasil dijitasi manual ............................................................................. 101 Gambar 47 Pengisian atribut masing-masing jalur alternatif .................................. 102 Gambar 48 Pemililihan jalur Interpretasi Alam dengan Query Builder ................... 103 Gambar 49 Pengubahan Vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk Shapefile .. 106 Gambar 50 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Tekelan-Puncak... 115 Gambar 51 Peta obyek interpretasi alam pada jalur non pendakian di Wilayah Seksi Pengelolaan I TN Gunung Merbabu ............................. 116 Gambar 52 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Selo - Puncak ...... 122 Gambar 53 Peta obyek interpretasi alam pada jalur Selo II dan Selo III................. 123 Gambar 54 Peta pengelompokan jalur Interpretasi Alam berdasarkan Kelompok Umur peserta....................................................................... 127
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Kuesioner untuk pengunjung
Lampiran 2
Kuesioner untuk pendaki
Lampiran 3
Kuesioner untuk pengelola TNGMB
Lampiran 4
Foto-foto
Lampiran 5
Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Mata Air
Lampiran 6
Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Puncak
Lampiran 7
Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Puncak
Lampiran 8
Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Watu Tadah
Lampiran 9
Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Krinjingan
Lampiran 10 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - “Dufan” Lampiran 11 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Jurang Warung Lampiran 12 Data jumlah pendaki dan pengunjung Lampiran 13 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Mata Air (Non Pendakian) Lampiran 14 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Puncak (Pendakian) Lampiran 15 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Puncak (Pendakian) Lampiran 16 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan- Watu Tadah (Non Pendakian) Lampiran 17 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - TWA Tuk 9 (Non Pendakian) Lampiran 18 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Krinjingan (Non Pendakian) Lampiran 19 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Dufan (Non Pendakian) Lampiran 20 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Jurang Warung (Non Pendakian) Lampiran 21 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Mata Air (Non Pendakian) Lampiran 22 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Puncak (Pendakian) Lampiran 23 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Puncak (Pendakian) Lampiran 24 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Watu Tadah (Non Pendakian) Lampiran 25 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - TWA Tuk 9 (Non Pendakian) Lampiran 26 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Krinjingan (Non Pendakian) Lampiran 27 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Dufan (Non Pendakian) Lampiran 28 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Jurang Warung (Non Pendakian) Lampiran 29 Perbandingan rekapitulasi hasil inventarisasi flora TN G. Merbabu Lampiran 30 Perbandingan rekapitulasi hasil inventarisasi fauna TN G. Merbabu
xvi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 5.725 Ha.
Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan alih fungsi
kawasan hutan lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani serta Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah menjadi sebuah taman nasional. Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara).
Dalam
Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006) disebutkan bahwa kawasan taman nasional ini memiliki nilai-nilai penting seperti keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi hidro-orologi, potensi pariwisata alam dan religius, serta potensi pemberdayaan masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Dephut 1990), taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Dengan demikian
maka kegiatan ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diperbolehkan di dalam kawasan konservasi ini.
MacKinnon et al. (1993)
menyatakan bahwa kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar di banyak negara tropika, mendatangkan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi negara, dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Rancangan pengelolaan kawasan yang terdapat di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006) memuat pemanfaatan kawasan, yang salah satu kegiatannya adalah pengembangan wisata alam. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan Hutan Lindung Gunung Merbabu dan sekitarnya telah dimanfaatkan sebagai tempat
2
melakukan aktivitas di luar ruang seperti berkemah dan mendaki gunung, khususnya oleh para pecinta alam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bumi perkemahan di TWA Tuk Songo Kopeng dan Wana Wisata Kopeng, serta beberapa jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu. Namun ekowisata di kawasan ini belum dikelola atau dimanfaatkan secara optimal oleh Perum Perhutani selaku pemangku kawasan sebelumnya. Padahal kawasan tersebut mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi lokasi interpretasi alam. Dengan
perubahan
status
menjadi
taman
nasional,
maka
peluang
pengembangan ekowisata akan menjadi lebih besar mengingat pengelolaan yang lebih intensif oleh sebuah Unit Pelaksana Teknis dan pengembangan ekowisata telah disebutkan dalam Rencana Pengelolaan sebagai salah satu kegiatan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Interpretasi alam walaupun di Indonesia belum banyak dikenal, sebenarnya bukan sesuatu hal yang benar-benar baru, terbukti dengan telah diterbitkannya berbagai publikasi mengenai interpretasi sejak tahun 1950-an. Salah satunya adalah Interpreting Our Heritage yang ditulis oleh Freeman Tilden pada tahun 1957,
seseorang
yang
dianggap
sebagai
Bapak
Interpretasi,
yang
mendefinisikan interpretasi alam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan benda-benda aslinya, melalui pengalaman langsung di lapangan dan dengan media ilustratif seperti foto, slide, film dan sebagainya.
Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa istilah interpretasi
muncul karena keluhan pengunjung yang datang ke suatu kawasan. Semua keindahan, keunikan dan kekhasan kawasan tersebut hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang saja, itupun kalau bertemu dengan orang-orang yang mengerti tentang flora, fauna, sejarah, tanah dan sebagainya.
Akhirnya terjadi suatu
kesepakatan bahwa pengunjung yang datang ke suatu kawasan memerlukan suatu pelayanan yang dapat mengungkapkan keindahan dan kekhasan kawasan tersebut, sehingga dapat mendatangkan suatu inspirasi sekaligus memenuhi keinginan pengunjung untuk mengetahui keadaan kawasan tersebut. Interpretasi bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan tentang alam saja namun juga untuk menjelaskan pengertian dan apresiasi terhadap lingkungan dengan cara menyampaikan nilai-nilai sumber daya alam serta nilai sejarah dan budayanya yang penting. Program interpretasi juga berusaha untuk menjelaskan dasar pembentukan lingkungan (Ditjen PHPA 1988).
3
Di Indonesia, khususnya di kawasan konservasi lingkup Departemen Kehutanan seperti taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, program interpretasi alam masih sangat jarang disediakan oleh pengelola kawasan. Beberapa taman nasional yang telah mempunyai program interpretasi alam antara lain Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Karimunjawa. umumnya
Kegiatan wisata alam di Taman Nasional Gunung Merbabu
berupa
perkemahan
dan
pendakian
gunung,
sehingga
para
penggunanya belum mendapat nilai tambah unsur-unsur wisata minat khusus lainnya, seperti rewarding, enriching dan learning. Interpretasi alam sebagai salah satu kegiatan dalam ekowisata dapat dikembangkan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu untuk memberikan nilai tambah yang belum didapatkan tersebut. interpretasi
alam
dilaksanakan
dengan
Penyusunan perencanaan
melakukan
identifikasi
masalah,
inventarisasi, verifikasi, analisis dan sintesis data serta pengambilan keputusan. Penggunaan teknologi informasi, khususnya Sistem Informasi Geografis, dalam perencanaan maupun pengelolaan suatu kawasan konservasi merupakan suatu keharusan pada saat ini. Hal ini dikarenakan dengan Sistem Informasi Geografis dapat dilakukan pemetaan, analisis, pengelolaan atau pengubahan terhadap data kawasan menurut kondisinya yang terkini secara cepat, mudah serta dengan biaya yang relatif rendah. Penggunaan Sistem Informasi Geografis akan
sangat
membantu
pengelola
suatu
kawasan
konservasi
dalam
merencanakan kebijakan atau keputusan yang akan diambil berkaitan dengan pengelolaan kawasan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian
mengenai perencanaan interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu ini dilaksanakan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis. 1.2. Perumusan Masalah Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Dephut 1990). Hingga saat ini pemanfaatan secara lestari kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu khususnya dalam hal ekowisata baru sebatas perkemahan dan pendakian gunung saja. Kenyataan tersebut merupakan peluang bagi pengelola untuk
mengubah
persepsi
tentang
konservasi
sekaligus
meningkatkan
4
kesadaran masyarakat dan memberikan manfaat atau nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya para pengunjung dan pendaki Taman Nasional Gunung Merbabu.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memberikan nilai tambah tersebut adalah dengan interpretasi alam.
Hal ini
sesuai dengan tujuan interpretasi alam yaitu sebagai media komunikasi antara sumber daya alam dan manusia yang berinteraksi dengannya.
Dengan
interpretasi alam diharapkan para pengunjung maupun pendaki atau siapapun yang berinteraksi dengan Taman Nasional Gunung Merbabu, kesadaran akan pentingnya pelestarian alam dapat ditingkatkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dilaksanakan secara optimal dengan memberikan manfaat, nilai tambah, kepuasan yang maksimal serta meningkatkan kesadaran bagi para pengunjung, maka diperlukan penelitian yang mendalam terlebih dahulu. 1.3. Kerangka Pemikiran Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) mempunyai potensi fisik, biologis dan sosial budaya yang menyebar secara spasial di dalamnya. Sebagai implementasi fungsi pemanfaatan kawasan yang tertuang dalam Rencana Pengelolaannya,
Taman
Nasional
Gunung
Merbabu
perlu
melakukan
pengembangan lebih lanjut terhadap ekowisata yang sudah berjalan di kawasan tersebut
untuk
memberikan
nilai
tambah
bagi
pengunjung
sekaligus
meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengambil kebijakan akan pentingnya pelestarian alam dengan program-program interpretasi alam. Suatu perencanaan, termasuk perencanaan interpretasi alam, perlu mengetahui terlebih dahulu sumber daya (supply) yang dimiliki dan kebutuhan (demand) pasarnya terlebih dahulu.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
perlu dilakukan penelitian mengenai interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu yang dapat dilaksanakan secara optimal sesuai kondisi, potensi dan karakteristik kawasan yang merupakan sisi supply serta kebutuhan pengunjung dan pendaki yang merupakan sisi demand, sekaligus dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Penelitian dilakukan dengan tahap :
inventarisasi data primer maupun sekunder serta survei karakteristik dan kebutuhan pengunjung, verifikasi data dan posisi spasialnya, analisis, sintesis dengan bantuan Sistem Informasi Geografis dan penyusunan perencanaan interpretasi alam.
5
Beberapa data dan survei yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain : kondisi & potensi ekosistem, flora & fauna, jalur pendakian & non pendakian, data spasial kawasan, sarana dan prasarana interpretasi alam, aksesibilitas, karakteristik dan kebutuhan/keinginan pengguna serta potensi sosial budaya di kawasan konservasi ini. Hasil penelitian berupa peta rencana interpretasi alam secara spasial yang dapat digunakan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu khususnya pengembangan interpretasi alam oleh Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Gambar 1 menunjukkan kerangka pemikiran Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menyusun perencanaan beberapa jalur interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu Propinsi Jawa Tengah, berdasarkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan preferensi dari pengguna dengan menggunakan bantuan aplikasi Sistem Informasi Geografis. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat digunakan bagi perencanaan dalam upaya pengembangan ekowisata khususnya interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
6
TN GUNUNG MERBABU
Potensi Fisik
Potensi Biologis
Potensi Sosial Budaya
SPASIAL - Pemberian nilai tambah bagi pengunjung TNGMB PENGEMBANGAN INTERPRETASI ALAM
- Peningkatan kesadaran masyarakat dan pengambil kebijakan
PENGELOLAAN
PENELITIAN
INVENTARISASI DATA & SURVEI
VERIFIKASI DATA
ANALISIS DATA
SINTESA
-
Kondisi & potensi ekosistem Flora dan fauna Jalur pendakian dan non pendakian Data spasial kawasan Sarana & prasarana interpretasi alam Aksesibilitas Karakteristik dan demand pengguna Sosial budaya kawasan TNGMB PERENCANAAN INTERPRETASI ALAM
PETA SPASIAL RENCANA INTERPRETASI ALAM
Gambar 1 Kerangka pemikiran Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Interpretasi Alam Cara paling langsung bagi masyarakat umum untuk mempelajari kawasan yang dilindungi adalah melihatnya sendiri (MacKinnon et al. 1990).
Penting
artinya bagi mereka untuk mendapat kesan pertama yang baik. Harus selalu diingat bahwa mendidik bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan akhir. Kawasan konservasi memerlukan dukungan dan penghargaan dari pengunjung, dan pengunjung perlu dibuat senang. Cara untuk menyampaikan hal tersebut pada masyarakat adalah melalu jasa informasi dan interpretasi. Tilden (1975) mendefinisikan interpretasi alam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan benda-benda aslinya, melalui pengalaman langsung di lapangan dan dengan media ilustratif seperti, foto, slide, film dan sebagainya. Selanjutnya Sharpe (1982) menyatakan interpretasi adalah suatu mata rantai antara pengunjung dan sumber daya alam yang ada. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa interpretasi dalam taman nasional berbeda dengan informasi. Interpretasi bukanlah sekedar daftar berisi fakta, melainkan mencoba mengungkapkan konsep, arti dan hubungan keterkaitan gejala alam. Interpretasi berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tujuan dan kebijakan taman serta berusaha mengembangkan perhatian bagi keperluan perlindungan.
Interpretasi juga harus mendidik
pengunjung untuk menghargai kawasan perlindungan bagi wilayah dan bangsa. Menurut Ditjen PHPA (1988), interpretasi konservasi alam adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan kepada pengunjung kawasan konservasi alam dan merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan dan inspirasi serta promosi. bahasa
Kegiatan interpretasi itu diselenggarakan dengan menggunakan yang
mempertemukan
mudah
dimengerti
pengunjung
oleh
dengan
pengunjung
obyek-obyek
dan
dengan
interpretasi,
cara
sehingga
pengunjung dapat memperoleh pengalaman langsung melalui panca inderanya seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman atau perabaan. Muntasib (2003b) menyimpulkan bahwa interpretasi alam adalah suatu seni dalam memberikan penjelasan tentang suatu kawasan wisata alam kepada pengunjung sehingga dapat memberikan inspirasi, menggugah pemikiran untuk
8
mengetahui menyadari, mendidik dan bila mungkin menarik minat pengunjung untuk ikut melakukan konservasi. Kegiatan wisata alam dan ekowisata berkaitan erat dengan pembelajaran dan kesadaran lingkungan.
Jika ekowisata
dimaksudkan untuk mempromosikan suatu perjalanan yang bertanggung jawab maka penyelenggaraan ekowisata harus mempunyai bekal interpretasi dan pendidikan tentang kawasan yang akan ditawarkan. 2.1.1. Sejarah Perkembangan Interpretasi di Indonesia Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun maka tinjauan sejarah perkembangan interpretasi dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu (Muntasib 2003b) : 1. Periode 1980 - 1990 Merupakan periode peletakan dasar interpretasi di Indonesia.
Usaha
pengembangan interpretasi tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan mengikuti mata kuliah dan merasakan langsung bagi para dosen serta para pengelola taman wisata alam dan taman nasional yang sekolah atau berkesempatan mengikuti kursus di negara-negara barat, terutama di Amerika Serikat. Pada periode tersebut mulai dikenalkan mata kuliah di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Pendidikan Konservasi dan Interpretasi.
Juga pada periode ini
telah diterbitkan buku ”Pedoman Interpretasi Taman Nasional” oleh Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata (pada tahun 1988). Bahkan dalam struktur organisasi telah terdapat penugasan untuk interpretasi. interpretasi juga mulai diadakan di Pusdiklat Kehutanan.
Pelatihan-pelatihan Beberapa taman
nasional sudah pula mengembangkan berbagai program interpretasi serta tandatanda interpretasi di lapangan (papan nama, papan interpretasi, media interpretasi dan sebagainya). 2. Periode 1991 - 2000 Periode ini merupakan periode dorman dari interpretasi namun menjelang akhir 2000 dengan makin gencarnya pengembangan ekowisata, serta mulai disadarai oleh para pelaku ekowisata bahwa interpretasi merupakan salah satu kunci keberhasilan ekowisata, walaupun saat itu beberapa taman nasional mulai memiliki kegiatan-kegiatan berkaitan dengan interpretasi. 3. Periode 2000 - sekarang Pada periode ini perhatian terhadap interpretasi mulai meluas bukan hanya di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perguruan-perguruan Tinggi Kehutanan, namun sudah meluas kepada berbagai kegiatan yang berkaitan
9
dengan wisata alam dan ekowisata. Apalagi dengan Deklarasi Quebec serta Tahun Ekowisata dan Pegunungan Nasional Tahun 2002 dan rekomendasi dari lokakarya
tersebut
salah
satunya
interpretasi
sebagai
prioritas
untuk
dikembangkan. Diharapkan pada periode ini mulai diteruskan sosialisasi tentang perlunya interpretasi bagi pengembangan wisata alam dan ekowisata. 2.1.2. Unsur-unsur Interpretasi Unsur-unsur interpretasi ada tiga (Ditjen PHPA 1988), yaitu : a). Pengunjung Beberapa hal yang berkaitan dengan pengunjung yang perlu dianalisis dan diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan interpretasi antara lain : 1). Tempat-tempat yang paling banyak mendapat perhatian pengunjung 2). Asal sebagian besar pengunjung 3). Distribusi musiman pengunjung 4). Persentase jumlah pengunjung yang melewati pintu utama dan pintu lainnya. Informasi yang harus dikumpulkan untuk mengetahui karakteristik pengunjung dalam rangka penyusunan program interpretasi adalah : 1). Proporsi pengunjung nusantara dan mancanegara 2). Ukuran kelompok, distribusi umur dan tingkat pendidikan 3). Distribusi musiman kunjungan, waktu berkunjung, lama tinggal dan frekuensi kunjungan ulang 4). Jenis transportasi, tema dan media yang paling menarik bagi pengunjung. b). Pemandu Wisata Kualitas tenaga pemandu wisata sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam interpretasi. Syarat pemandu wisata harus mempunyai kemampuan : 1). Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu (flora, fauna, sejarah, geologi atau budaya) yang berkaitan dengan obyek wisata 2). Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa serta sekaligus mempraktekkannya 3). Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara baik dan benar. c). Obyek Interpretasi Obyek bersangkutan
interpretasi dan
adalah
digunakan
segala
sebagai
yang obyek
ada dalam
di
dalam
kawasan
menyelenggarakan
interpretasi. Terdapat dua macam obyek interpretasi yaitu obyek sumberdaya alam, dan obyek sejarah dan budaya (Ditjen PHPA 1988).
Agar program
10
interpretasi dapat berlangsung dengan baik, maka pemilihan dan penggunaan serta pemeliharaan obyek interpretasi perlu dilaksanakan. Dalam pemilihan obyek interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat sumberdaya alam, sejarah dan budaya yang menjadi obyek interpretasi.
Ciri-ciri utama obyek interpretasi yang harus
diperhatikan adalah (FAO 1976, diacu dalam Rahmat 1996) : a). Ciri-ciri geologis 1). Strata geologis yang representatif 2). Strata yang menunjukkan asal-usul suatu daerah 3). Tanda-tanda kehidupan prasejarah dan perkembangan evolusi yang berasosiasi dengan geologis 4). Ciri-ciri fisiografis seperti gua, jembatan alam, kawah, air terjun, danau, mata air dan delta sungai. b). Ciri-ciri biologis 1). Flora dan fauna yang khas dan penting 2). Tapak di mana satwa sering terlihat 3). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan ekologis yang penting 4). Spesimen yang menarik/khusus seperti pohon raksasa, pohon berumur ratusan tahun dan tanaman hibrida 5). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan penting antara manusia dengan lingkungan seperti perubahan vegetasi dan artefak (benda-benda sederhana seperti alat atau perhiasan yang menunjukkan keindahan). c). Ciri-ciri Sejarah Manusia 1). Tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan manusia primitif seperti tapak budaya prasejarah, reruntuhan, artefak dan piktograf sistem tulisan kuno 2). Tanda-tanda yang menunjukkan adanya budaya suatu suku 3). Tapak, artefak dan dokumen yang berhubungan dengan sejarah penghuni 4). Tanda-tanda yang menunjukkan penggunaan sumberdaya pada masa lalu seperti perubahan vegetasi, bekas penggergajian, pertambangan dan peternakan. 2.1.3. Tipe Interpretasi Menurut kegiatannya, Aldridge (1972), diacu dalam Muntasib (2003a) membagi interpretasi alam ke dalam empat tipe, yaitu :
11
a). Interpretasi tempat historis (bersejarah) Merupakan seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya b). Interpretasi tempat alami Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batubatuan, tanah, flora, fauna dan manusia c). Interpretasi lingkungan hidup Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d). Pendidikan pelestarian Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni. 2.1.4. Metode Interpretasi Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi berdasarkan 2 (dua) faktor yaitu obyek interpretasi dan pengunjung (Ditjen PHPA 1988). Menurut Berkmuller (1981), metode interpretasi terbagi atas : a). Dengan pemandu (Guided Trails/GT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan pemandu b). Pemanduan sendiri (Self Guided Trails/SGT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan tanda (Sign in Place, Audio Trail, Leaflet dan Marker Trail). Sharpe (1982) menganjurkan agar metode SGT digunakan dalam keadaan frekuensi pengunjung tinggi dan ketersediaan pemandu terbatas. Sedangkan menurut Soedargo et al. (1989), secara garis besar metode interpretasi lingkungan terdiri dari : a). Pelayanan langsung (personal service), yaitu dilakukan langsung oleh petugas interpretasi kepada pengunjung b). Pelayanan tidak langsung (non-personal service), yaitu dilakukan melalui suatu media di mana petugas interpretasi tidak berhubungan langsung dengan pengunjung. 2.1.5. Sarana Interpretasi Menurut Muntasib (2003a), sarana interpretasi terdiri dari : a). Jalan setapak interpretasi
12
1) Jalan setapak yang memerlukan kehadiran pemandu wisata alam 2) Jalan setapak yang tidak memerlukan kehadiran pemandu wisata alam tetapi lengkap dengan petunjuk-petunjuk (guided trails) b). Wisma cinta alam, yang merupakan tempat transit terprenting dari suatu kawasan karena disini pengunjung mendapat sambutan dan mendapat bekal informasi yang dibutuhkan c). Pusat informasi, yang sebenarnya merupakan tempat transit kedua dari pengunjung untuk lebih memperjelas atau melengkapi informasi yang sudah didapatkan di wisma cinta alam d). Jalur interpretasi, yang merupakan jalur khusus yang digunakan untuk orangorang yang memeasuki kawasan dengan lingkungan yang sangat menarik untuk tujuan menghargai nilai-nilai kawasan yang dipandu oleh petugas kawasan tersebut e). Bumi Perkemahan, yaitu tempat menikmati alam dengan santai, bermalam dalam tenda di tempat terbuka. 2.1.6. Program Interpretasi Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat rekreasi itu sendiri.
Intinya,
bahwa program interpretasi menghubungkan sumberdaya alam atau budaya suatu areal dengan pengunjung yang menggunakan berbagai macam variasi. Sedangkan menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu tertentu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi adalah garis-garis besar cerita yang akan menjadi tuntunan dalam pelaksanaan interpretasi.
Demikian pula
dijelaskan bahwa “materi interpretasi” adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan yang akan menjadi isi dan maksud interpretasi yang diprogramkan tersebut.
Selain itu dijelaskan pula
bahwa media interpretasi adalah alat untuk berkomunikasi dengan pengunjung dalam rangka penyelenggaraan interpretasi seperti foto, poster, slide, video, brosur, booklet dan leaflet. 2.2. Perencanaan Interpretasi 2.2.1. Sasaran Perencanaan Agar perencanaan sesuai dengan kondisi, situasi dan kemampuan dari
13
lokasi yang ada, maka menurut Bradley, diacu dalam Sharpe (1982) seharusnya suatu perencanaan memiliki ciri-ciri berikut : a. Dapat dipergunakan Program yang direncanakan terutama perkembangan fasilitas interpretasi, harus dapat dilaksanakan oleh semua orang. Perhatian utama ditujukan pada keselamatan pengunjung dan pemisahan penggunaan jalan angkutan umum dengan yang bukan angkutan umum, terutama dalam hal interaksi dengan subyek interpretasinya. b. Efisien Fasilitas yang dipergunakan seharusnya efisien dari segi pelayanan, penggunaan dan pembiayaan serta penggunaannya dapat membantu program interpretasi. c. Dapat mengungkapkan keindahan Menyediakan suatu paket yang bervariasi tetapi kompak pada sebuah karakteristik yang ada, indah dan sensitif serta menimbulkan bayangan atau gambaran dari subyek interpretasinya. d. Fleksibel (lentur) dan selektif Perencanaan interpretasi merupakan suatu proses dinamis, maka diperlukan kesederhanaan, fleksibilitas dan pemilihan sasaran dari perencanaan interpretasi. Fasilitas yang mendukung dapat dipilih sesuai dengan program yang disusun, tema yang baru atau teknik-teknik yang baru, bisa dikembangkan apabila fasilitas yang mendukung sudah tersedia.
Pesan
interpretasi sebaiknya berkembang, sehingga pengunjung dapat lebih tertarik, mengerti, merenungkan dan mengevaluasi sesuai dengan apa yang harus didapatnya. Program yang bagus akan selalu dipilih oleh pengunjung. e. Kerugian atau kerusakan yang sekecil mungkin pada komunitas dan kebudayaan Dilema
dari
pengembangan
suatu
kawasan
wisata
adalah
tekanan
pengunjung yang dapat menimbulkan kerusakan alam dan kebudayaan. Maka perencanaan interpretasi harus memperhitungkan supaya tekanan yang ditimbulkan oleh pengunjung sekecil mungkin, misalnya tumbuhan atau binatang dapat dilihat
dari tempat-tempat tertentu yang tidak akan
menimbulkan kerusakan, namun pengunjung tetap terpuaskan. untuk jenis-jenis yang langka dan jarang.
Terutama
14
f. Penggunaan sumberdaya yang optimum Problem utama dalam penyusunan perencanaan interpretasi adalah cara penempatan kegiatan manusia dengan sumberdaya yang ada, supaya seoptimum mungkin bisa ditunjukkan, nyaman tetapi sekecil mungkin menimbulkan kerusakan sumberdaya, sehingga selalu diperlukan perbaikanperbaikan dari program-program yang sudah ada atau menyusun program yang baru sama sekali. g. Partisipasi publik Diperlukan pula pendapat umum atau saran-saran dari publik untuk menyusun suatu perencanaan program interpretasi.
Sebagai suatu kritik sekaligus
sebagai acuan dalam penyusunan program selanjutnya. 2.2.2. Prospektus Perencanaan Grater (1976), diacu dalam Muntasib (2003a) mengatakan bahwa sebelum menyusun perencanaan program interpretasi disusun dulu suatu “prospektus” yang merupakan suatu perencanaan akhir tentang apa yang dipikirkan dan direncanakan oleh interpreter.
Prospektus ini bisa panjang ataupun pendek,
tetapi yang penting adalah mudah dimengerti dan merupakan suatu data dasar untuk perkembangan interpretasi. Garis besar prospektus adalah sebagai berikut : a. Tinjauan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasinya b. Pernyataan tentang ringkasan tujuan program interpretasi c. Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh : 1). Pernyataan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasikan untuk dapat membuat ruang lingkup perencanaannya 2). Pernyataan tentang ringkasan tujuan dari program interpretasi 3). Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi : a. Lingkungan 1). Cuaca dan iklim 2). Lokasi 3). Letak geografis 4). Sejarah alam (geologi, biologi dan ekologi) 5). Nilai sejarah 6). Nilai arkeologi 7). Nilai-nilai tertentu.
15
b. Pengunjung 1). Asal 2). Tingkat ekonomi 3). Latar belakang (a). Umum (b). Peneliti 4). Pola kunjungan 5). Aktivitas
interpretasi,
melalui
biro
perjalanan
atau
suatu
organisasi. 4). Program Interpretasi a. Sekarang (memilih aktivitas dan fasilitas yang teliti) 1). Pusat pengunjung 2). Tempat pemberhentian 3). Tanda-tanda interpretasi 4). Peralatan pelayanan sendiri (self-guiding devices), 5). Pelayanan personal : (a). Jalan kaki, mendaki, wisata (b). Penugasan di tempat asalnya (on-site assignment) (c). Penugasan di luar tempat aslinya (off-site assignment) (d). Demonstrasi (e). Panggung terbuka dan program api unggun. e. Fasilitas audio visual f. Publikasi untuk publik : 1). Folder, peta dan sebagainya 2). Publikasi yang berhubungan dengan lokasi dan menggunakan gambar-gambar 3). Petunjuk atau pemandu dengan booklet atau leaflet 4). dan lain-lain. g. Perpustakaan : 1). Dapat digunakan oleh umum sepuas-puasnya 2). Bagaimana cara penggunaannya h. Koleksi buku-buku Tipe daftar dan garis besar dari koleksi yang ada (biologi, geologi, historis, sejarah dan sebagainya). 6). Studi yang mendukung program interpretasi, daftar studi yang ada atau
16
dibuat tingkatan perencanaan interpretasi dan programnya 7). Peningkatan keahlian staf a. Saat ini b. Rencana peningkatan keahlian selanjutnya. 8). Perkiraan harga untuk rencana program sebagai suatu tindak dari fasilitas dan aktivitas yang diberikan pada poin 5 9). Peta lokasi secara keseluruhan dengan garis besar fasilitas dan aktivitas yang jelas. Prospektus ini akan menggambarkan perkembangan semua program interpretasi untuk seluruh wilayah atau kawasan dan merupakan suatu garis besar. Prospektus ini sebaiknya dibuat untuk paling sedikit 3 tahun atau setiap tahun fiskal, sehingga dapat digunakan juga pegangan bagi kelompok-kelompok yang ikut menangani, misalnya arsitektur lansekap, arsitek, teknisi dan sebagainya. Prospektus ini merupakan inti program interpretasi. 2.2.3. Tahap Perencanaan Menurut Sharpe (1982) tahapan-tahapan dalam perencanaan interpretasi yaitu : Tahap 1. Menentukan tujuan Tujuan adalah pemandu untuk tindakan-tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan interpretasi. Tahap 2. Inventarisasi dan pengumpulan data Tujuan dalam tahap inventarisasi ini adalah mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumberdaya serta keindahan alam. Aspek-aspek yang diidentifikasi antara lain : fisik, biologi dan lingkungan budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar, yang berfungsi dalam efektivitas penyampaian informasi interpretasi.
Selain itu, inventarisasi ini
diperlukan sebagai sebuah pertimbangan dalam pemakaian lahan dan kesempatan untuk memasukkan kegiatan interpretasi di dalamnya. Teknik-teknik inventarisasi yang digunakan tergantung terhadap sumber informasinya. Sebagai prosedur standar adalah : mencari literatur yang terbaru, menguji kembali data yang telah dipetakan, wawancara terhadap pengelola, masyarakat dan orang-orang yang sudah berpengalaman di lapangan. Tahap 3. Analisis Data-data yang diperoleh dalam inventarisasi haruslah menggambarkan
17
kondisi yang berbeda untuk seluruh elemen yang mencakup alam dan sistem budaya. Dalam analisis data, informasi-informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan kritik dan saran untuk pengembangan rencana interpretasi dan disusun dalam sistem yang interaktif. Hal lain yang diperlukan dalam tahap analisis yaitu mengidentifikasi potensi dan tema-tema interpretasi. Dasar tema bisa saja berupa seputar ciri khusus dari suatu daerah, atau yang sifatnya lebih umum dan unik. Tahap 4. Sintesa dan alternatif perencanaan Tahap ini merupakan tahapan untuk memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasikan masing-masing penerapannya.
Rancangan
dan ide imajinatif menjadi penting, penyediaan selang pemilihan antara alternatif yang sama baiknya dengan basis untuk seleksi program. Tahap 5. Perencanaan Tahap dan proses perencanaan menitikberatkan pada pemilihan alternatif, yaitu sesuatu yang lebih memuaskan untuk semua kepentingan. Dalam tahap ini perencana harus melakukan perbaikan yang diperlukan dan mulai melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh, termasuk pendugaan secara terperinci dan dampak implementasinya. Tahap 6. Implementasi Mencakup kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemilihan cara dan tempat pelaksanaan interpretasi. Langkah ini bertujuan untuk melaksanakan penyampaian cerita sekaligus memecahkan masalah yang timbul. Tahap 7. Evaluasi dan perbaikan rencana Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan dalam melihat kelanjutan dari suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan dapat tercapai.
Evaluasi
dilakukan terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumberdaya serta dampak program terhadap para pengguna. Masukan
Tujuan
Inventarisasi & Pengumpulan Data
Analisis
Sintesis
Rencana
Implementasi
Umpan Balik
Gambar 2 Bagan alir tahapan perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982)
Evaluasi
18
Knapp dan Benton (2004) menyimpulkan 4 hal pokok sebagai syarat suatu interpretasi alam yang berhasil, yaitu : a). Harus berhubungan dengan pengunjung b). Harus mencoba mencapai tujuannya melalui teknik-teknik yang inovatif c). Memenuhi kebutuhan dasar program interpretasi d). Lebih menjangkau masyarakat luas. Hal tersebut sejalan dengan Rachmawati dan Muntasib (2002) yang menyatakan bahwa dalam menyusun interpretasi maupun berbagai program interpretasi, pelibatan masyarakat sekitar maupun pengunjung sangatdiperlukan sehingga perencanaan maupun program yang disusun dapat dipergunakan oleh pengunjung. Menurut Ditjen PHPA (1988), hal-hal yang perlu disiapkan dalam sebuah interpretasi adalah : a. Rencana satuan atau unit interpretasi Satuan unit interpretasi yang pokok meliputi : 1). Lokasi interpretasi Lokasi interpretasi merupakan bagian dari kawasan yang digunakan untuk kegiatan interpretasi.
Perencanaan lokasi interpretasi sangat berkaitan
dengan analisa potensi sumberdaya alam, situs, topografi, keselamatan dan kenyamanan pengunjung serta analisa pengunjung kawasan yang bersangkutan. 2). Jalan setapak interpretasi Dalam perencanaannya jalan setapak interpretasi harus lengkap dengan obyek-obyek interpretasi. 3). Papan informasi dan pal-pal interpretasi Papan informasi dan pal-pal informasi ini meliputi : papan penunjuk arah, papan nama, papan informasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk papan), dan pal-pal interpretasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk pal-pal). 4). Pusat informasi Pusat informasi ini harus dapat berfungsi sebagai pengubah alam pikiran pengunjung dari suasana luar ke dalam lingkungan kawasan yang dikunjungi. Di dalam pusat informasi disajikan materi mengenai kondisi dan segala sesuatu yang sedang terjadi dalam kawasan yang dikunjungi.
19
b. Rencana kegiatan Rencana kegiatan dalam interpretasi disusun dengan melaksanakan beberapa hal pokok, yaitu : 1). Menyiapkan tinjauan terhadap maksud, tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan
yang
bersangkutan
sebagai
materi
dasar
interpretasi
keseluruhan. 2). Mengumpulkan dan menganalisa data tentang obyek-obyek interpretasi dan data tentang pengunjung.
Data obyek interpretasi hendaknya
mencakup seluruh potensi alam, dan potensi sejarah serta budaya yang dapat diungkap. 3). Mengidentifikasi kebutuhan tenaga untuk penugasan, unit interpretasi yang digunakan dan sarana lain yang diperlukan. 4). Menyiapkan materi interpretasi untuk masing-masing program interpretasi. c. Rencana penugasan Rencana penugasan yang perlu disiapkan meliputi : penjadwalan, pokokpokok masalah spesifik yang akan dikomunikasikan, penyusunan skenario cerita, dan penentuan personil untuk pelaksanaan interpretasi. 2.2.4. Obyek Interpretasi Menurut kegiatannya, Soewardi (1978), diacu dalam Rahmat (1996) membagi interpretasi alam ke dalam 4 (empat) tipe, yaitu : a. Interpretasi tempat historis (bersejarah) Menjelaskan hal-hal masa lampau dalam hubungannya dengan tata lingkungan dan kondisi sosial b. Interpretasi tempat alami Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batu-batuan, tanah, flora, fauna dan manusia c. Interpretasi lingkungan hidup Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d. Interpretasi pendidikan pelestarian Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni. 2.3. Taman Nasional Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Dephut 1990), taman nasional adalah
20
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
MacKinnon et al.
(1993) mengutarakan bahwa taman nasional adalah kawasan alami dan berpemandangan indah yang dilindungi atau dikonservasi secara nasional atau internasional serta memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi. Kawasan tersebut relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan yang dilindungi. Ciri taman nasional adalah : 1) Adanya karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Terdapat spesies tertentu yang endemik, terancam punah atau langka; 3) Merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman spesies; 4) Terdapat lanskap atau daerah yang bergeofisik dengan nilai estetik seperti gletser, mata air panas, dan lainnya; 5) Berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, air tanah dan iklim; 6) Memiliki fasilitas wisata alam; dan 7) Terdapat peninggalan budaya. Fungsi taman nasional sesuai dengan Strategi Konservasi Sedunia (IUCN 1991, diacu dalam Roslita 2001) adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga kehidupan 2. Perlindungan keragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah) 3. Pemanfaatan spesies atau ekosistem secara lestari, yang mendukung kehidupan penduduk serta menopang sejumlah industri. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, taman nasional merupakan salah satu bentuk Kawasan Pelestarian Alam, selain Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Dephut 1998).
Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya
Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas : a).
zona inti; b). zona
pemanfaatan; c). zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
21
b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. Merupakan
kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kawasan hutan Gunung Merbabu ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135 / Menhut-II / 2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 5.725 Ha. Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan alih fungsi kawasan hutan lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani dan TWA Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah menjadi sebuah taman nasional. Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara).
Kawasan ini
mempunyai fungsi yang penting baik secara ekologis, hidrologis, ekonomis maupun sosiokultural. Selain sebagai habitat berbagai flora dan fauna. Gunung Merbabu merupakan daerah tangkapan air yang sangat besar pengaruhnya bagi ketersediaan air pada daerah-daerah yang berada di bawahnya. Kawasan hutan di lereng Gunung Merbabu telah mengalami degradasi karena penjarahan dan perambahan (BKSDA Jawa Tengah 2006). Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Nasional dipimpin oleh seorang Kepala.
UPT Taman
UPT Taman Nasional melakukan
penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. UPT Taman Nasional menyelenggarakan fungsi-fungsi
22
(Dephut 2007) : a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional b. Pengelolaan kawasan taman nasional c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional d. Pengendalian kebakaran hutan e. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya g. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan h. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional i. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Klasifikasi UPT Taman Nasional adalah sebagai berikut (Anonim 2007): a. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai Besar Taman Nasional; b. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II yang disebut dengan Balai Taman Nasional. 2.3.1. Konsep dan Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Setyono (2003) menyatakan bahwa untuk lebih mengoptimalkan program ekowisata di taman nasional maka konsep pengembangan ekowisata tersebut harus bertumpu pada hal-hal sebagai berikut : - Pengembangan ekowisata disesuaikan dengan kondisi kawasan taman nasional itu sendiri dengan memprioritaskan unggulan atau spesifikasi dari potensi kawasan tersebut, dan unggulan tersebut harus siap untuk dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi - Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di kawasan taman nasional tetap mengacu kepada fungsi utama taman nasional sebagai wahan penelitian, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta sistem penyangga kehidupan - Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional harus mampu memicu pertumbuhan industri pariwisata alam yang ramah lingkungan, memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan mendorong
23
perluasan, pemerataan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan - Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang memerlukan perhatian dan kontribusi semua instansi dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait - Pengembangan dan pengelolaan ekowisata pada kenyataannya di lapangan masih mengandalkan fenomena alam yang kurang bisa dijual, sehingga bila perlu melakukan modifikasi sedikit yang tujuannya untuk meningkatkan daya jual tanpa mengurangi nilai kealamian dari kawasan tersebut - Mengadakan kolaborasi dengan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjadi suatu ekosistem pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, melalui berbagai program kerjasama dan pelibatan masyarakat lokal baik secara langsung atau tidak langsung dalam pengelolaan ekowisata di taman nasional. 2.4. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) mula-mula dikenal pada awal tahun 1980-an (Puntodewo et al. 2003).
Sejalan dengan
berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, Sistem Informasi Geografis (SIG) berkembang sangat pesat pada era 1990-an. Aronoff (1991), diacu dalam Roslita (2001) mengutarakan definisi SIG adalah sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan dan memanipulasi informasi geografis.
Empat komponen dasar SIG : 1)
Masukan data (data input), komponen pengubah data yang ada (existing) menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; 2) Manajemen data (data management); 3) Manipulasi dan analisis (manipulation and analysis); dan 4) Keluaran (output). Bentuk hasil dari SIG sangat beragam kualitas, kecepatan dan kemudahannya, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy.
Sistem Informasi Geografis
adalah alat yang mampu menangani data spasial.
Pada SIG, data yang
berformat dijital dalam jumlah besar dapat dikelola dan diubah dengan cepat dan biaya rendah per unit. Sejalan dengan Aronoff, Puntodewo et al. (2003) menyatakan bahwa secara harafiah, SIG dapat diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang
24
bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu system koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya.
Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan
data
berbagai
pada
suatu
titik
tertentu
di
bumi,
menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, tren, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya. SIG merupakan alat bantu dalam perencanaan, yang akan mempermudah perencana untuk melakukan berbagai analisis tata ruang yang menggunakan fungsi-fungsi pemodelan peta seperti penelusuran data, tumpang tindih peta. Selain SIG, alat bantu lainnya yang dapat digunakan dalam pembangunan dan peremajaan basis data dari SIG dan mendukung aplikasi SIG seperti penjejakan (tracking), pengumpulan data (inventory) adalah GPS (Global Positioning System).
Menurut Abidin (1998), diacu dalam Roslita (2001), kegunaan GPS
untuk SIG antara lain : sebagai pengkorelasi data, untuk ground truthing, sebagai pedijitasian bumi, untuk pemanggilan data dan analisa. 2.4.1. Fungsi dan Kegunaan SIG SIG bukan sekedar sebagai alat atau tools dalam membuat peta, kelebihan atau kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam menganalisa suatu data geografis, walaupun produk-produk SIG sering disajikan dalam bentuk peta (Prahasta 2002). Aronoff (1989), diacu dalam Nanggara (2005) mengklasifikasikan fungsi analisis dari SIG sebagai berikut : a. Pemeliharaan dan analisis spasial Terdiri dari konversi format, transformasi geometrik, transformasi antara dua proyeksi peta, konflaksi, edge matching, mengedit elemen grafik dan penipisan garis koordinat. b. Pemeliharaan dan analisis dari data atribut Fungsi pengeditan data atribut dan fungsi query atribut c. Analisis integrasi data spasial dan data atribut Klasifikasi pencarian keterangan, operasi overlay, operasi tetangga dan fungsi konektivitas
25
d. Format keluaran Anotasi peta, label, penentuan tekstur dan jenis garis serta simbol grafik. Maryadi (2003) menyatakan SIG dapat digunakan untuk melakukan zonasi daerah tujuan wisata berdasarkan fungsi kawasan. Dengan SIG dapat dipetakan daerah-daerah yang rawan berdasarkan kondisi lingkungannya : curah hujan, kemiringan lereng, serta jenis tanah.
Penggabungan informasi ini bertujuan
untuk kepentingan keamanan wisatawan maupun untuk mencegah kerusakan lingkungan. Sehingga walaupun suatu kawasan dijadikan daerah tujuan wisata namun kemampuan lingkungan untuk tetap menerima wisatawan perlu diperhatikan sehingga keberlanjutan pemanfaatan tetap terjaga. 2.4.2. Komponen SIG Komponen SIG menurut Prahasta (2002) adalah sebagai berikut : a. Perangkat keras, berkaitan dengan peralatan yang dipakai.
Dalam hal ini
perangkat keras yang sering digunakan adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner b. Perangkat lunak, berkaitan dengan sistem operasi SIG yang mengandung program-program yang mengawasi jalannya operasi-operasi sistem c. Data dan informasi geografis, SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan. 2.4.3. Perangkat Lunak ArcView ArcView merupakan salah satu perangkat lunak SIG dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Prahasta 2002). Salah satu versi dari perangkat lunak ini adalah ArcView GIS 3.3. ArcView memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query (pertanyaan) basisdata spasial maupun non-spasial, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Kemampuan ArcView secara umum antara lain sebagai berikut : a. Pertukaran data : membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format perangkat lunak SIG lainnya b. Melakukan analisis statistik dan operasi matematis c. Menampilan informasi (basisdata) spasial maupun atribut d. Menjawab query spasial maupun atribut e. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG f. Membuat peta tematik g. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG lainnya dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB).
Taman Nasional
o
Gunung Merbabu secara geografis terletak pada 7 27’ 13” LS dan 110o 26’ 22” BT dengan ketinggian mencapai ± 3.142 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu berada di dalam wilayah Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara), Propinsi Jawa Tengah. 3.2. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah lain peta-peta tematik kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, baik dalam bentuk dijital maupun print out, alat tulis, kamera, GPS (Global Positioning System) Receiver, teropong, buku-buku pengenal jenis flora dan fauna, perangkat keras berupa komputer beserta perangkat lunak pendukungnya. 3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang diambil dalam pelaksanaan penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis,yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer adalah
seluruh data yang diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan penelitian. 3.4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 3.4.1. Studi Literatur Metode ini bertujuan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian. Data yang diperlukan tersebut antara lain berupa informasi mengenai kawasan seperti Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu, peraturan/regulasi yang berkaitan dengan kawasan taman nasional dan pemanfaatannya, peta-peta tematik kawasan, aksesibilitas, data flora dan fauna, tipe ekosistem, obyek alam lainnya, data keadaan kawasan seperti iklim, curah hujan, data jumlah pengunjung dan pendaki, sarana dan prasarana
27
interpretasi alam, serta sejarah, ritual maupun mitos yang berkembang di tengah masyarakat sekitar kawasan. 3.4.2. Pemeriksaan (verifikasi) dan Pengamatan Langsung Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian (verifikasi) antara data sekunder yang diperoleh dengan kondisi kenyataan di lapangan, sekaligus untuk mengamati dan mencatat segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi alam. Kegiatan pemeriksaan dan pengamatan langsung ini juga bertujuan untuk merekam track jalur dan koordinat posisi flora fauna dan objek yang menarik dengan menggunakan GPS Receiver. a. Verifikasi jalur pendakian dan non pendakian Data jalur pendakian dan non pendakian hasil studi literatur maupun wawancara dengan pendaki, petugas Perhutani dan masyarakat setempat diverifikasi keberadaan, kondisi, dicatat karakteristik dan waktu tempuhnya. Track jalur-jalur tersebut dicatat dengan alat GPS Receiver. b. Verifikasi Flora Verifikasi dilakukan di sepanjang jalur pendakian dan jalur non pendakian TNGMB untuk mendata keberadaan dan jenis-jenis flora berdasarkan data hasil studi literatur. Pencatatan koordinat posisi dengan alat GPS Receiver dilakukan pada lokasi-lokasi yang terdapat jenis-jenis flora yang penting/khas/langka atau ekosistem yang menarik.
Bagi jenis-jenis flora yang penting/khas/langka
dilakukan pencatatan untuk studi lanjutan tentang manfaat/kegunaan serta perannya dalam ekosistem. Pengenalan jenis di lokasi/lapangan dilakukan bersama pengenal jenis dari Balai KSDA Jawa Tengah. c. Verifikasi Fauna Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi fauna terkini di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu di sepanjang jalur pengamatan (jalur pendakian maupun jalur non pendakian) dan membandingkannya dengan data dari hasil studi literatur. Data yang diambil dalam kegiatan ini antara lain : nama jenis, waktu penjumpaan dan lokasinya. Titik perjumpaan dicatat dengan alat GPS Receiver. Waktu pengamatan dilakukan pada siang hari (pukul 06.00 WIB 18.00 WIB). d. Verifikasi sarana dan prasarana interpretasi alam Sarana dan prasana interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu diverifikasi keberadaan dan lokasinya dalam kegiatan ini.
Lokasi
28
sarana dan prasarana interpretasi alam direkam posisinya dengan alat GPS Receiver. e. Verifikasi obyek-obyek alam dan fenomena alam yang menarik Pengamatan dilakukan untuk verifikasi keberadaan obyek-obyek alam dan fenomena alam yang terdapat di kawasan seperti mata air, sungai dan sebagainya.
Lokasi obyek-obyek alam dan fenomena alam yang menarik
kemudian dicatat dengan alat GPS Receiver. f. Pengamatan Aspek Sosial Budaya Dalam kegiatan ini dilakukan pengamatan kesiapan masyarakat di sekitar jalur pendakian dan non pendakian terhadap aktivitas wisata alam pada umumnya dan interpretasi alam pada khususnya. Pelaksanaan kelima verifikasi dilakukan secara bersamaan. Dalam kegiatan verifikasi tersebut juga dilakukan pengambilan dokumentasi (foto) jalurjalur pendakian dan non pendakian, flora fauna, sarana dan prasarana interpretasi alam yang ada serta obyek-obyek alam dan keindahan alam yang dijumpai. 3.4.3. Wawancara Metode
ini
dilakukan
terhadap
target
responden
tertentu
untuk
mendapatkan informasi mengenai pengetahuan responden terhadap aspek tertentu dari Taman Nasional Gunung Merbabu. Tabel 1 memperlihatkan target responden dan informasi yang ingin didapatkan. Tabel 1 Target responden dan informasi yang ingin didapatkan No. 1.
Target Responden Pendaki
2.
Pengunjung
3.
Pengelola TNGMB
4.
Tokoh Masyarakat
Informasi yang diinginkan Karakteristik pendaki Kebutuhan / keinginan (demand) pendaki Preferensi jalur pendakian Alasan pemilihan jalur pendakian Karakteristik pengunjung Kebutuhan / keinginan (demand) pengunjung Rencana pengembangan kawasan TNGMB di masa yang akan datang - Sejarah, ritual, mitos dan lain-lain yang berhubungan dengan kawasan TNGMB
-
Kriteria dari target responden adalah sebagai berikut : 1. Pendaki Pendaki gunung yang memenuhi syarat sebagai responden di sini adalah pengunjung Taman Nasional Gunung Merbabu yang pernah melakukan
29
pendakian hingga puncak Gunung Merbabu melalui minimal 2 (dua) jalur yang berbeda, dengan pendakian yang terakhir dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan. Tabel 2 menunjukkan pengelompokkan umur responden pendaki gunung dapat dilihat pada. Tabel 2 Pengelompokan umur responden pendaki gunung No.
Kelompok Umur (KU)
1. 2. 3. 4.
KU 1 KU 2 KU 3 KU 4
Kisaran Umur < 15 tahun 15-24 tahun 25-35 tahun >35 tahun
2. Pengunjung Kriteria pengunjung di sini adalah orang yang memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tujuan berwisata, pendidikan atau penelitian; datang sendirian atau lebih; bermalam (berkemah) maupun tidak; tetapi tidak melakukan kegiatan pendakian sekalipun pendakian tersebut tidak dimaksudkan hingga sampai puncak. Tabel 3 menujukkan pengelompokan umur responden pengunjung dapat dilihat pada. Tabel 3 Pengelompokan umur responden pengunjung No.
Kelompok Umur (KU)
1. 2. 3. 4.
KU 1 KU 2 KU 3 KU 4
Kisaran Umur < 15 tahun 15-24 tahun 25-35 tahun >35 tahun
3. Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu Yang dimaksud pengelola di sini adalah Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. 4. Tokoh masyarakat Responden ini terdiri dari warga desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang dianggap sebagai sesepuh atau dihormati oleh masyarakat dan mengetahui sejarah dan mitos yang terdapat di Gunung Merbabu. Daftar pertanyaan atau kuesioner bagi masing-masing target responden dapat dilihat pada lampiran.
30
Tabel 4 Data yang diperlukan dan metode pengambilannya No. 1. 2. 3.
Data
4.
RPTN TNGMB Peta tematik kawasan Jalur pendakian dan non pendakian Data flora dan fauna
5.
Tipe ekosistem
6.
Obyek alam lainnya
7. 8. 9.
Sejarah kawasan Aksesibilitas Sarana dan prasarana Interpretasi Alam Jumlah pengunjung
10 11. 12. 13. 14. 15.
Karakteristik pengunjung dan pendaki Kebutuhan / keinginan pengunjung dan pendaki Preferensi jalur pendakian Alasan pemilihan jalur Sejarah, ritual dan mitos
Jenis Data Sekunder Sekunder Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Sekunder Sekunder Primer Sekunder
Studi Literatur Studi Literatur Studi Literatur Verifikasi Studi Literatur Verifikasi Studi Literatur Verfikasi Studi Literatur Verfikasi Studi Literatur Studi Literatur Studi Literatur Verfikasi Studi Literatur
Primer
Wawancara
Lokasi Pengambilan Kantor BTNGMB Kantor BTNGMB Kantor BTNGMB Lokasi Kantor BTNGMB Lokasi Kantor BTNGMB Lokasi Kantor BTNGMB Lokasi Kantor BTNGMB Kantor BTNGMB Kantor BTNGMB Lokasi Kantor BTNGMB Perum Perhutani Lokasi
Primer
Wawancara
Lokasi
Primer Primer Primer
Wawancara Wawancara Wawancara
Lokasi Lokasi Tokoh masyarakat
Metode
3.5. Metode Analisis Data Setelah tahap pengumpulan dan verifikasi data, dilakukan pengolahan data dengan tahap : analisis data dan sintesis data yang sekaligus merupakan penyusunan perencanaan interpretasi alam. 3.5.1. Analisis Data Dalam tahap ini dilakukan pengolahan terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Data-data potensi sumberdaya alam, pengunjung dan sebagainya kemudian diuraikan dan dianalisa sesuai dengan kriteria masing-masing. Analisis yang dilakukan antara lain sebagai berikut : a. Analisis jalur pendakian dan non pendakian serta kondisi dan potensi sumberdaya alam Posisi spasial track jalur pendakian maupun non pendakian, flora, fauna dan obyek alami lainnya yang tercatat dalam GPS Receiver dipindahkan ke dalam komputer dengan perangkat lunak GPS Utility. Kondisi jalur dan sumber daya alam dianalisis untuk bahan pertimbangan perencanaan interpretasi alam. Manfaat/kegunaan, peran serta informasi penting lain dari ekosistem, flora dan fauna yang penting/unik/langka dicari melalui studi literatur sebagai bahan perencanaan interpretasi alam.
31
b. Analisis karakteristik pengguna (pendaki dan pengunjung) Data hasil wawancara yang telah dilakukan selanjutnya diuraikan dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan karakteristik pendaki dan pengunjung, seperti komposisi (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan), preferensi terhadap obyek/sumberdaya alam tertentu serta kebutuhan/keinginan tertentu dalam melakukan kegiatan interpretasi alam. c. Analisis preferensi penggunaan jalur pendakian Hasil kuesioner terhadap pengguna jalur pendakian (dalam hal ini adalah para pecinta alam di kota/kabupaten sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu) dianalisis dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan jalur yang menjadi preferensi, kemampuan menjelajah alam, waktu tempuh pada jalur pendakian, preferensi terhadap obyek/sumberdaya alam tertentu serta kebutuhan/keinginan tertentu dalam melakukan kegiatan interpretasi alam. d. Analisis sejarah dan mitos Data mengenai sejarah dan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dianalisis potensinya untuk digunakan dalam perencanaan interpretasi alam. e. Analisis pengembangan interpretasi alam pada jalur pendakian dan non pendakian Data kondisi dan potensi biofisik jalur-jalur yang telah dikumpulkan dan dianalisis pada tahap-tahap sebelumnya dianalisis kemungkinan atau potensinya untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam. f. Analisis Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya masyarakat di sekitar jalur pendakian dan non pendakian
dianalisis
untuk
menilai
kesiapannya
dalam
menghadapi
pengembangan wisata alam dan interpretasi alam. Perangkat
lunak
ArcView
GIS
3.3.
digunakan
untuk
melakukan
penampalan (overlay) pada peta dijital terhadap berbagai data yang diperoleh dari tahap sebelumnya, seperti jalur pendakian dan non pendakian yang diverifikasi, flora dan fauna serta obyek lainnya, sehingga dapat diketahui posisinya secara geografis, kondisi topografi, posisi pada zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dan berbagai informasi lainnya.
32
3.5.2. Sintesis Data Tahap ini merupakan tahap penggabungan antara potensi sumber daya yang
tersedia
(supply)
di
jalur-jalur
yang
telah
diverifikasi
dengan
kebutuhan/keinginan (demand) pengguna untuk selanjutnya dipilih alternatif interpretasi alam. Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis pada tahap-tahap sebelumnya seperti
kondisi
dan
potensi
biofisik
jalur
serta
preferensi
atau
kebutuhan/keinginan (demand) pendaki dan pengunjung dalam melakukan kegiatan interpretasi alam diubah menjadi atribut dalam perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Sarana Query Builder yang tersedia di ArcView GIS 3.3. digunakan untuk mendapatkan jalur-jalur yang terpilih untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam dengan menggabungkan antara kondisi jalur dan preferensi pengguna. Selanjutnya dibuat peta rencana jalur-jalur interpretasi alam dari jalur-jalur yang telah terpilih dengan menggunakan Query Builder tersebut di atas. Rencana jalur-jalur interpretasi alam tersebut dapat dikembangkan oleh pengelola kawasan menjadi berbagai program interpretasi alam yang sesuai ketersediaan obyek interpretasi, sarana dan prasarana pemanduan yang akan dibangun, serta sesuai jumlah personil dan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Gambar 3 memperlihatkan bagan alir proses penelitian ini.
33
INVENTARISASI DATA (Studi Literatur)
POTENSI TN GUNUNG MERBABU
FISIK -
BIOLOGIS
Mata air Sungai Gua Jalur, dll
SOSIAL BUDAYA
- Flora - Fauna - Tipe Ekosistem, dll
VERIFIKASI DATA INVENTARISASI DATA (Wawancara) - Karakteristik pengunjung & pendaki - Kebutuhan pengunjung & pendaki - Preferensi penggunaan jalur pendakian - Sejarah, mitos & ritual
-
Sejarah Mitos Ritual Kesiapan, dll
Peta Dasar - Topografi - Zonasi TN - Sungai - Jalan, dll
ANALISIS DATA
Kebijakan TNGMB
SINTESA DATA
PETA RENCANA BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TNGMB
Gambar 3
Bagan
alir
proses
penelitian
Perencanaan
Beberapa
Jalur
Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis
IV. KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu Kawasan hutan Gunung Merbabu sebelum menjadi kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional, merupakan Hutan Lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani serta Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah. Hingga pada tanggal 4 Mei 2004 terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 135/Menhut-II/2004, tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu Seluas ± 5.725 (Lima Ribu Tujuh Ratus Dua Puluh Lima) hektar, yang terletak di Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali, Propinsi Jawa Tengah menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006). Dengan diterbitkannya SK Menteri Kehutanan tersebut di atas, maka untuk sementara pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu adalah Balai KSDA Jawa Tengah sampai terbentuknya UPT Taman Nasional dan ditunjuknya Kepala Balai Taman Nasional definitif. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor : SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukkan Pengelola Taman Nasional Kayan Mentarang, Lorentz, Manupeu - Tanah Daru, Laiwangi - Wanggameti, Danau Sentarum, Bukit Dua Belas, Sembilang, Batang Gadis, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Tesso Nilo, Aketajawe - Lolobata, Bantimurung - Bulusaurung, Kepulauan Togean, Sebangau dan Gunung Ciremai. Akhirnya mulai tahun 2006 kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Taman Nasional Gunung Merbabu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P29/Menhut-II/2006 tanggal 2 Juni 2006, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional. 4.2. Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Merbabu Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu mempunyai luas 5.725 ha yang secara geografis terletak pada 7º 27’ 13’’ LS dan 110º 26’ 22’’ BT dengan ketinggian dari + 600 ± 3.142 meter di atas permukaan laut, berada dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah.
35
Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu berbatasan dengan 37 desa pada 7 kecamatan yang masuk wilayah 3 kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali. Tabel 5 Daftar wilayah administrasi yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merbabu No. KABUPATEN KECAMATAN DESA KETERANGAN 1.
Semarang
2.
Boyolali
Getasan
Kopeng Jetak Batur Tajuk Njlarem Ngadirojo Sampetan Ngargoloko Candisari Ngagrong Jeruk Senden Tarubatang Selo Samiran Lencoh Jrakah Wonolelo Wulunggunung Banyuroto Ketundan Kaponan Kenalan Gondangsari Jambewangi Muneng Munengwarangan Daleman Kidul Petung Banyusidi Pakis Kragilan Pogalan Surodadi Genikan Jogonayan Tejosari
Ampel
Selo
3.
Magelang
Sawangan
Pakis
Candimulyo Ngablak
110°20'
Enklave Enklave
110°25'
PETA KAWASAN TN. GUNUNG MERBABU
KECAMATAN GRABAG
KABUPATEN SEMARANG
U
KECAMATAN PAKIS
1
0
7°25'
7°25'
KECAMATAN GETASAN
KETERANGAN :
1
2 Km
36
Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian 4.3. Aksesibilitas Perjalanan dari Semarang (ibukota Propinsi Jawa Tengah) ke kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dicapai melalui beberapa alternatif, antara lain : -
Semarang - Magelang - Selo, dengan jarak ± 115 km dengan waktu ± 3 jam
-
Semarang - Boyolali - Selo, dengan jarak ± 90 km dengan waktu tempuh ± 2 jam, atau
-
Semarang - Salatiga - Getasan, dengan jarak ± 60 km dengan waktu tempuh + 1,5 jam. Kondisi jalan menuju lokasi cukup baik dan dapat ditempuh dengan
menggunakan kendaraan umum/pribadi. Sedangkan untuk mencapai puncak Gunung Merbabu dapat dilakukan dari jalur-jalur pendakian yang dimulai dari beberapa desa, yaitu : -
Desa Tarubatang (Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali)
-
Desa Lencoh (Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali)
-
Desa Ngagrong (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali)
-
Desa Jlarem (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali)
-
Desa Candisari (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali)
-
Desa Guolelo (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali)
-
Dusun Tekelan (Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang)
37
-
Desa Kenalan (Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang)
-
Desa Genikan (Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang)
-
Desa Wonolelo (Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang). Sebenarnya pada setiap desa-desa terakhir di kaki Gunung Merbabu
terdapat jalan setapak yang dapat digunakan sebagai jalur untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, baik secara langsung (jalur tunggal) maupun bertemu dengan jalur lain pada ketinggian/titik tertentu. Namun biasanya jalan setapak tersebut merupakan jalur penduduk setempat dalam mencari kayu bakar serta keperluan lainnya, dan bukan merupakan jalur pendakian resmi atau yang umum digunakan para pendaki gunung. 4.4. Keadaan Fisik dan Biologi 4.4.1. Keadaan Fisik Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak pada ketinggian + 600 - 3.142 m di atas permukaan laut dengan topografi sebagian besar merupakan daerah pegunungan dengan bentuk lapangan berbukit-bukit sampai bergununggunung dengan adanya jurang dan tebing yang curam dengan derajat kemiringan mulai 30° hingga 80°. Secara umum Gunung Merbabu memiliki bentuk lahan lereng atas berbatuan piroklastik (bersifat lepas-lepas) yang tidak terkikis kuat. Dari segi potensi hidrogeologis, bentuk lahan ini lebih mampu menyimpan air karena didasari oleh aliran lava dan pecahan-pecahan batuan lava yang menjadi media masuknya air hujan ke dalam tanah. Dengan demikian banyak dijumpai sumbersumber air yang mampu memenuhi ketersediaan air hingga musim kemarau. Namun di sebagian lereng, bentuk lahan piroklastik ini disebabkan oleh bentuk fisiknya yang merupakan daerah bayangan hujan (leeward side) sehingga tidak mempunyai tenaga potensial untuk mengangkut materi vulkan kecuali banjir yang terjadi pada waktu-waktu tertentu. Akibatnya secara hidrogeologis daerah ini kurang mampu menyimpan air, karena itu sumber-sumber air yang ada hanya memiliki debit yang kecil. 4.4.2. Keadaan Biologi Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terdiri dari beberapa tipe ekosistem, yaitu : -
Ekosistem Hutan Hujan Tropika Pegunungan Rendah,
-
Ekosistem Hutan Hujan Tropika Pegunungan Tinggi, dan
38
-
Ekosistem Hutan Tropika Sub Alpin. Apabila digunakan klasifikasi vegetasi hutan Indonesia menurut Van
Steenis (Soerianegara dan Indrawan 1982), maka kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu mempunyai formasi hutan sebagai berikut : -
Formasi Hutan Hujan Pegunungan (elevasi 1.000 – 2.400 m dpl)
-
Hutan Hujan Sub Alpin (elevasi 2.400 – 3.150 m dpl) Hutan Hujan Tropika Pegunungan Rendah sebagian besar berupa hutan
sekunder dengan jenis tanaman Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima noronhae), Bintami (Podocarpus sp.) yang merupakan vegetasi yang ditanam oleh Perum Perhutani ketika kawasan Gunung Merbabu masih berstatus Hutan Lindung. Ekosistem Hutan Hujan Tropika Pegunungan Tinggi ditumbuhi jenisjenis antara lain Dempul (Glochidion sp.), Jurang (Villebrunea rubescens), Keraminan (Dysoxylum sp.), Lotrok (Nauclea obtuse), Luwing (Ficus hispida), Akasia (Acacia decurens), Puspa (Schima noronhae), Kemlandingan gunung (Albizzia montana), Sowo (Engelhardia serrata), Tanganan (Schefflera elliptica) dan Pasang (Quercus spicata). Sedangkan ekosistem Hutan Tropika Sub Alpin berada di sekitar puncak Gunung Merbabu yang ditumbuhi Edelweis (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rumput-rumputan. Keragaman fauna yang ada antara lain Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
Elang
jawa
(Spizaetus
bartelsi),
Elang
hitam
(Ichtinaetus
malayensis), Ayam hutan (Gallus varius), Gagak kampung (Corvus enca), Alapalap (Falco sp.), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Burung kacamata (Zosterops montanus), dan Gelatik batu (Parus major). 4.5. Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan Gunung Merbabu mempunyai iklim tipe B dengan nilai Q = 31,42%, dengan curah hujan berkisar antara 2.000 - 3.000 mm. Suhu sepanjang tahun berkisar antara 17º C - 30º C. 4.6. Hidrologi Gunung Merbabu merupakan kawasan pengatur tata air di daerah di bawahnya. Pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten Boyolali terdapat beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Babrik, Kali Tanggi, Kali Soko, Kali Rejoso, Kali Jarak, dan Kali Batang.
Beberapa sumber mata air yang
muncul dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat di sekitarnya seperti
39
Tuk Sipendok (Petak 23 Perhutani), Tuk Muncar, Tuk Buyaran, Tuk Sampetan, Tuk Grenjeng (Kecamatan Ampel), Tuk Babon, Tuk Gentong, Tuk Talangan (Kecamatan Selo). Dari beberapa mata air tersebut, Tuk Sipendok mempunyai debit air yang paling besar yaitu ± 30 liter/detik. Sedangkan pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten Magelang beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Sendoyo, Kali Candiroto, Kali Kediran, Kali Mangu, Kali Grenjengan, dan Kali Marong.
Beberapa mata air yang muncul di beberapa
lokasi kawasan gunung dimanfaatkan sebagai sumber mata air bagi masyarakat setempat, seperti Tuk Abang (Petak 32 Perhutani Desa Wonolelo) yang dimanfaatkan oleh penduduk Dusun Candran, Umbul Nglempong Sikendi (Petak 26 Perhutani), Umbul Kukusan yang dimanfaatkan oleh penduduk Dusun Kenalan dan Dusun Kewiran. Kondisi hidrologi Gunung Merbabu dipengaruhi oleh aspek geofisik permukaan
seperti
(hidromorfometri),
sifat
sifat
morfologi
batuan
(hidromorfologi),
(hidrogeologi),
sifat
sifat cuaca
morfometri dan
iklim
(hidromeorologi - klimatologi). Dari sifat morfologi, lereng Gunung Merbabu ke arah wilayah Boyolali didominasi oleh batuan bermateri lava, sedang ke arah wilayah Magelang lebih didominasi oleh batuan bermateri piroklastik. Ditinjau dari aspek cuaca dan iklim wilayah Boyolali merupakan daerah bayangan hujan (leeward side), sedang wilayah Magelang merupakan wilayah hujan (windward side). Pada citra Landsat TM berwarna (Color Composite) tampak jelas daerah bayangan hujan tampak lebih cerah karena refleksi dari lahan kering. Sebagai konsekuensinya ditinjau dari aspek hidrogeologi Gunung Merbabu memiliki potensi hidrologi yang cukup mencolok. Ketersediaan air di wilayah Magelang lebih permanen daripada di wilayah Boyolali. Kondisi sungai yang mengalir ke arah lereng Barat lebih permanen daripada ke arah lereng Timur. Banyak mata air dijumpai di lereng barat mulai dari mata air Sobleman yang menjadi hulu Sungai Bulak dan Sungai Gendil. Mata air Kecitran mengalir ke Kali Mangu dan yang cukup besar mata air Ketundan yang mengalir ke Sungai Soti (Sotikawah) Kondisi yang menarik ditinjau dari aspek hidrologi adalah pada peralihan lereng timur dan lereng selatan, di daerah peralihan ini ditemukan fenomena peralihan kondisi basah dan kering. Batas wilayah kering yang tegas di wilayah Desa Ngagrong dan kondisi basah dijumpai di wilayah Desa Selo.
Hal ini
berpengaruh pada kondisi tanaman dan kondisi penggunaan lahan dan produksi pertaniannya.
Di wilayah Ngagrong masih banyak dijumpai pertanian lahan
40
kering, sedang di wilayah Selo dijumpai pertanian lahan basah karena perbedaan ketersediaan air wilayah. 4.7. Topografi Berdasarkan analisis peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan, diperoleh bahwa sebagian besar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki kemiringan lereng Kelas II (8-15%). Secara keruangan untuk kemiringan lereng kelas lI tersebar hampir merata di sekeliling lereng Gunung Merbabu mulai dari lahan kawasan hutan hingga lahan milik. Namun secara spasial sebagian besar berada pada lereng bagian bawah atau lereng bawah dari Gunung Merbabu, kecuali di daerah Desa Batur dan Desa Tajul yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Getasan.
Kemiringan lereng Kelas II juga terdapat di
wilayah Desa Gondangsari dan Tejosari. Sebagian lagi tersebar di wilayah Desa Banyuroto dan Candisari. Kemiringan lereng Kelas III (15-25%) sebagian besar tersebar di wilayah Kecamatan Ampel di lereng Gunung Merbabu bagian Timur, dan di wilayah Kecamatan Pakis di lereng Gunung Merbabu bagian Barat. Kemiringan lereng IV (25-40%) berada diantara kemiringan lereng III (15-25%) seperti yang terjadi di wilayah Desa Candisari, Boyolali, dan di wilayah Ketundan, Pakis, Magelang. Sedangkan untuk Kelas V hanya terdapat pada puncak atau igir (ring wall) Gunung Merbabu yang seolah-olah mengelilingi puncaknya. 4.8. Geologi dan Tanah Gunung Merbabu tidak mempunyai kawah yang aktif karena tergolong gunung api tua yang sudah lama tidak aktif lagi, dan pada puncaknya membentuk dataran tinggi yang lebar dengan beberapa puncak-puncak tersebar secara terpisah karena dahulu mempunyai 9 kawah. Gunung Merbabu terbentuk oleh proses-proses yang berasal dari aktivitas gunung api (vulkanik), sehingga bentuk lahannya secara umum adalah bentuk lahan vulkan.
Materi yang
dilepaskan oleh gunung berapi dapat berupa material lepas (piroklastik) atau juga berupa lelehan lava.
Endapan material yang dilepaskan oleh letusan
gunung api tersebut membentuk karakteristik morfologi (permukaan) bumi yang khas, sehingga berpengaruh juga pada sifat permukaan bumi tersebut. Begitu juga pada Gunung Merbabu, terdapat endapan yang berasal dari material lepas dan juga terdapat endapan yang berasal dari material lelehan lava.
Proses
41
pengikisan (erosi) yang berlangsung pada gunung ini mulai dari terkikis kuat hingga terkikis sedang. Proses erosi yang terkuat terletak pada bagian lereng gunung sebelah selatan hingga barat daya, yaitu mulai dari Desa Lencoh, Jrakah, hingga Wonolelo dan tersebar pada wilayah lereng atas.
Proses erosi yang kuat
ditandai oleh banyaknya lereng terjal dan igir-igir yang lancip serta lembah yang curam. Kenampakan tersebut dapat terlihat dengan jelas melalui analisis visual citra Landsat TM (Thematic Mapper). Material yang terdapat pada bagian lereng gunung ini merupakan material lepas (piroklastik), ditandai oleh kerapatan pola aliran tinggi dan tebing sungai yang terjal serta materialnya mudah terkikis karena daya rekatnya kurang kuat. Pada bagian Barat dari Gunung Merbabu ini, proses erosi bersifat sedang hingga kuat, baik pada lereng atas maupun pada lereng tengah. Material yang terdapat pada bagian ini merupakan material piroklastik. Kondisi semacam ini banyak terdapat pada lereng atas di Desa Kenalan dan Desa Genukan yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pakis.
Karakteristik erosi ditandai oleh
adanya fenomena igir-igir yang agak tajam, tetapi tidak setajam pada bagian yang tererosi kuat. Pada bagian Utara dan bagian Tenggara, didominasi oleh material bekas lelehan lava (lava flow).
Hal ini ditandai dengan bentuk permukaan yang
bergelombang dan banyak ditemui singkapan batuan. Pada kedua daerah ini, proses erosi bersifat sedang dan ditandai oleh bentuk igir-igirnya tidak terlalu tajam dan pola alirannya tidak begitu rapat. Hal ini disebabkan karena material endapan lelehan lava lebih resisten daripada material endapan piroklastik. Bentukan proses ini tersebar mulai dari lereng atas hingga lereng tengah. Sebelah Utara terletak pada daerah sekitar Kopeng dan sebelah Tenggara pada daerah sekitar Selo. Bagian Timur Laut hingga Timur lereng Gunung Merbabu, didominasi oleh proses erosi tingkat sedang dengan material endapan piroklastik. Baik itu pada lereng atas, maupun pada lereng tengah seperti yang terletak di daerah Ngadirejo - Candisari, Kecamatan Ampel. Proses erosi sedang, ditandai oleh pola aliran yang tidak terlalu rapat dan igirnya juga tidak terlalu tajam. 4.9. Tata Guna Lahan Pada umumnya daerah pegunungan didominasi oleh semak belukar, terutama mulai dari lereng tengah hingga sebagian lereng atas. Begitu juga
42
pada Gunung Merbabu, sebaran semak belukar terdapat pada lereng tengah hingga lereng atas.
Hal ini disebabkan oleh tidak begitu banyaknya aktifitas
manusia pada wilayah tersebut.
Pada sebagian wilayah lereng atas juga
terdapat tutupan lahan rumput hingga lahan kosong. Tanaman tegakan jarang sekali ditemui pada lereng atas, karena wilayah tersebut memang tidak cukup memungkinkan untuk tumbuhnya tanaman tegakan. Pada wilayah lereng tengah, perbandingan antara penggunaan lahan kebun campur/perkebunan dan semak belukar cukup imbang dan di beberapa tempat di Sawangan dan Selo juga ditemui sebaran rumput/lahan kosong. Aktivitas manusia banyak terdapat pada lereng bawah, yang ditandai dengan adanya tegalan di lereng Timur Laut hingga Selatan dan sawah mulai dari lereng Utara hingga lereng Barat Daya. Tanaman tegalan yang terdapat pada lereng Gunung Merbabu, merupakan jenis sayur-sayuran dan buah. Sayur-sayuran dan buah tersebut didistribusikan ke kota-kota sekitar Jawa Tengah, seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang.
Kondisi alam yang sedemikian rupa,
memang sangat cocok untuk pertanian tersebut, sehingga sebagian besar masyarakatnya hidup dari hasil bercocok tanam komoditas ini.
Bentuk
penggunaan lahan di lereng Gunung Merbabu secara dominan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu (1) di lereng Barat yang merupakan daerah basah, banyak mata air dan sungai permanen, seperti yang terjadi mulai dari unit geoekologi Denokan - Jrakah, Sobleman - Kecitran, Damar - Ngablak, dan Kopeng - Ngaduman. Pada bagian ini pada lahan milik banyak dijumpai sawah irigasi, sedang pada kawasan hutan berupa tegakan Pinus rapat cukup luas, dan pada lereng atas dan puncaknya berupa belukar rapat, (2) di lereng bagian Timur yang merupakan daerah bayangan hujan, mata air kecil hingga hampir tidak ada, sungai tidak permanen bahkan sering terjadi banjir, seperti yang terjadi pada unit geoekologi Sidorejo - Ngargoloka, dan Ngagrong Selowangan. Pada bagian ini pada lahan milik didominasi tanaman tembakau dan jagung, sedang pada kawasan hutan ditumbuhi tegakan Pinus jarang tidak begitu luas, dan pada lereng atas hingga puncak berupa semak belukar jarang. 4.10. Sarana dan Prasarana Wisata 4.10.1. Sarana dan Prasarana Wisata di TWA Tuk Songo Kopeng Pada saat dilakukan pengambilan data, Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo Kopeng yang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 (tentang Perubahan Fungsi Kawasan
43
Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu) berubah status dan masuk dalam wilayah Taman Nasional Gunung Merbabu, masih dikelola oleh Perum Perhutani dan belum diserahterimakan kepada Balai KSDA Jawa Tengah yang selanjutnya bertugas menyerahkannya kepada Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Sarana dan prasarana wisata yang ada di kawasan TWA Tuk Songo pada saat pengambilan data dilakukan antara lain : -
Taman bermain dan kolam renang
-
Shelter, jalan setapak dan jembatan
-
Gerbang/pintu masuk kawasan
-
Pos jaga petugas
-
Mushola dan toilet.
4.10.2. Sarana dan Prasarana Wisata di Pintu Masuk Tarubatang (Selo) Sarana dan prasarana wisata yang ada di pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dibangun oleh Perum Perhutani dan Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali. Sarana dan prasarana yang tersedia antara lain : -
Bumi Perkemahan
-
Shelter, jalan setapak dan jembatan
-
Toilet.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Jalur Verifikasi Pemilihan jalur dilakukannya verifikasi ini didasarkan pada 2 kriteria, yaitu : -
Merupakan jalur yang banyak didatangi pengunjung dan/atau dilalui pendaki
-
Mempunyai aksesibilitas yang mudah. Verifikasi dilakukan pada 8 jalur yang terdiri dari 2 jalur pendakian yaitu
jalur pendakian Selo (yang dimulai dari Dusun Genting, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali), dan jalur Tekelan (Dusun Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang), serta 6 jalur non pendakian dimana 2 jalur dimulai dari Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, 3 jalur berada/dimulai dari Dusun Tekelan dan 1 jalur dimulai dari kawasan TWA Tuk Songo Kopeng. Selama pelaksanaan verifikasi di lapangan dilakukan pula perekaman data spasial jalur pendakian maupun non pendakian menggunakan alat GPS Receiver merk Garmin seri e-Trex SUMMIT. Perekaman data dilakukan setiap jarak 100 m (1 HM) atau kurang dari 100 m apabila penangkapan sinyal lemah dan pada obyek-obyek
atau
lokasi
khusus/tertentu.
Penunjukkan
angka
akurasi
penangkapan sinyal pada alat selalu dijaga dibawah 10 m, kecuali apabila memang keadaan lokasi yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan angka akurasi yang kecil. Pada grafik profil yang disajikan, fluktuasi yang ekstrim merupakan pengaruh dari skala ketinggian dan jarak yang digunakan, atau perbedaan antara ketinggian sebenarnya dengan akurasi penerimaan alat GPS Receiver yang digunakan serta peta dasar yang dipakai. Tabel 6 Daftar jalur pendakian dan non pendakian dilakukannya verifikasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jalur Selo - Puncak Tekelan - Puncak Selo - Mata Air Tekelan - Watu Tadah TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan - Krinjingan Tekelan - ”Dufan” Selo - Jurang Warung
Jenis Jalur Pendakian Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian
Jarak Tempuh (Lapang) 6.050 m 6.125 m 900 km 1.000 m 1.000 m 450 m 725 m 2.800 m
Waktu Tempuh Normal 7 jam 7 jam 45 menit 1 jam 45 menit 30 menit 1 jam 3 jam
Gambar 5 menunjukkan tampilan (layout) jalur verifikasi yang di-overlay pada peta kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Gambar 5 Jalur dilakukannya kegiatan verifikasi
45
46
5.1.1. Jalur Pendakian Selo - Puncak Jalur pendakian Selo (Desa Tarubatang) merupakan jalur utama pendakian dari sisi Selatan Gunung Merbabu yang mempunyai aksesibilitas yang mudah dan populer di kalangan para pendaki. Base start Desa Tarubatang berada di tepi batas kawasan TN Gunung Merbabu. Kondisi fisik jalur Selo berupa jalan setapak dari tanah, yang menjadi jalan aliran air ketika hujan turun. Pada jalur ini terdapat percabangan jalur (Pada Pos I Dok Malang di ketinggian + 2.194 m dpl) yang bertemu kembali dengan jalur utamanya pada ketinggian + 2.592 m dpl (Pos III Watu Tulis), namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah, sehingga hanya penduduk setempat saja yang masih bisa mengenali jalur ini. Mulai jarak 3.900 m dan ketinggian + 2.777 m dpl terdapat ekosistem sabana yang di kalangan pendaki yang biasa mendaki gunung ini disebut Sabana I dan Sabana II. Sabana I dipisahkan oleh sebuah bukit dengan Sabana II (pada jarak 4.500 m dan ketinggian + 2.867 m dpl). Tabel 7 Rute jalur pendakian Selo No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rute Start Batas Kawasan - Pos I Dok Malang Pos I Dok Malang - Pos Bayangan (Dok Cilik) Pos Bayangan (Dok Cilik) - Pos II Pandean Pos II Pandean - Pos III Watu Tulis Pos III Watu Tulis - Sabana I Sabana I - Sabana II Savana II - Puncak Triangulasi Puncak Triangulasi - Puncak Kenteng Songo
Jarak 1.725 m 600 m 500 m 500 m 500 m 1.000 m 1.000 m 225 m
Jarak Akumulasi 1.725 m 2.325 m 2.825 m 3.325 m 3.825 m 4.825 m 5.825 m 6.050 m
Ketinggian (m dpl) 2.194 2.274 2.420 2.592 2.777 2.867 3.122 3.157
Seluruhnya terdapat 66 titik yang direkam dengan menggunakan GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 57 titik HM, 3 titik pos pendakian yang pada pengukuran jarak lapang tidak tepat (kurang atau lebih dari) 100 m (selanjutnya disebut ”diluar HM”), 1 titik lokasi longsor, 1 titik puncak diluar HM, 1 titik lokasi memori (nisan) dan 1 titik lokasi bermalam tim.
Tabel 16 menyajikan data
rekaman alat pada titik-titik utama jalur pendakian Selo - puncak. Profil jalur pendakian Selo - puncak secara mayoritas menanjak dan hampir tidak ada yang menurun. Bagian (segmen) jalur yang terlihat datar hanya sebagian kecil (+ 300 m) yang kemungkinan besar merupakan profil lokasi Sabana I - Sabana II. Gambar 6 menunjukkan profil jalur pendakian Selo – puncak.
47
Tabel 8 Data rekaman GPS Receiver jalur Pendakian Selo No.
Start Batas Kawasan Pos I Dok Malang Pos Bayangan (Dok Cilik) Pos II Pandean Pos III Watu Tulis Sabana I Sabana II Puncak Triangulasi Puncak Kenteng Songo
Ketinggian (m dpl) 1.854 2.194 2.274 2.420 2.592 2.777 2.867 3.122 3.157
2804 2479 2154 1829
Ketinggian (m)
3070
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Koordinat BT LS 110° 27' 04.5" 07° 29' 02.3" 110° 27' 20.8" 07° 28' 23.8" 110° 27' 14.8" 07° 28' 13.2" 110° 27' 04.0" 07° 28' 06.2" 110° 26' 46.6" 07° 28' 05.4" 110° 26' 43.1" 07° 27' 52.8" 110° 26' 38.0" 07° 27' 39.1" 110° 26' 23.3" 07° 27' 17.5" 110° 26' 26.4" 07° 27' 13.1"
Rute
0
850
1700
2550
3400
4250
5082
Jarak (m) Gambar 6 Profil jalur pendakian Selo - Puncak (tanpa skala) Dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini dilakukan pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna. Hasil pengamatan dan pencatatan tersebut adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Selo - puncak melewati semua tipe hutan yang ada di TN Gunung Merbabu, yaitu Hutan Hujan Pegunungan pada ketinggian + 1.800 - + 2.500 m dpl dan Hutan Hujan Sub Alpin pada ketinggian + 2.500 - + 3.150 m dpl. Pada jalur ini terdapat ekosistem khas pegunungan, yaitu ekosistem sabana yang mulai tumbuh pada ketinggian + 2.777 m dpl hingga puncak. Kalangan pendaki biasa menyebutnya dengan nama Sabana I dan Sabana II. Sabana I yang mulai dijumpai pada jarak 3.900 m dan ketinggian + 2.777 m dpl terpisah dari Sabana II (pada jarak 4.500 m dan ketinggian + 2.867 m dpl) oleh sebuah bukit. Vegetasi yang tumbuh di ekosistem sabana ini antara lain Kemlandingan gunung atau Sengon gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) rumput-rumputan seperti Bubarjaran dan herba
48
Kupingan. Kondisi ekosistem pada jalur ini bervariasi antara ekosistem yang masih utuh, lembab (jarak 1.800 m, ketinggian + 2.200 m dpl) dengan pohon-pohon yang ditumbuhi lumut dan ada pula yang terganggu akibat adanya tanah longsor pada posisi jarak lapang 2.000 m, ketinggian + 2.200 m dpl) serta kebakaran (dilewati jalur pada jarak 1.900 m, ketinggian + 2.211 m dpl dan pada jarak 2.300 m, ketinggian + 2.280 m dpl).
Pada beberapa titik di jalur ini terdapat pula
ekosistem yang terganggu akibat penebangan liar. b. Flora dan Fauna Flora yang dijumpai di jalur ini tercatat 46 jenis yang terdiri dari flora berkayu maupun tidak berkayu.
Jenis yang ada antara lain Pinus (Pinus
merkusii), Puspa (Schima wallichii), Kina (Chinchona sp.), Rustania, Bintami (Podocarpus imbricata), Cemara gunung (Casuarina junghuhniana), Akasia (Acacia decurrens), Kaliandra (Calliandra sp.), Kantung semar (Nepenthes sp.), Sowo (Engelhardia serrata), Pasang (Quercus spicata), Wuru (Litsea sp.), Dempul (Glochidion sp.), Picis (Nauclea lanceolata), Dadap (Erythrina sp.), Wilodo (Ficus fistulosa), Kemlandingan gunung atau Sengon gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rumput-rumputan seperti Merangan dan Bubarjaran. Sedangkan fauna yang tercatat dalam kegiatan verifikasi di jalur ini berjumlah 52 jenis, terdiri dari 2 jenis mamalia dan 50 jenis aves. Salah satu fauna yang menarik adalah Rekrekan (Presbytis fredericae) atau Lutung kelabu yang merupakan primata endemik Jawa Tengah yang dilindungi. Selain Lutung kelabu, fauna yang menarik lainnya adalah Ayam hutan hijau (Gallus varius). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 14 dan 22. 5.1.2. Jalur Pendakian Tekelan - Puncak Jalur Tekelan berawal dari Dusun Tekelan yang lokasinya berdekatan dengan TWA Tuk Songo Kopeng (Dusun Tekelan merupakan enklave TN Gunung Merbabu) dan merupakan salah satu jalur pendakian dari sisi Utara Gunung Merbabu yang sudah banyak dikenal di kalangan pendaki serta mempunyai aksesibilitas relatif mudah. Kondisi fisik jalur Tekelan sebagian besar berupa jalan setapak dari tanah dan sebagian kecil berupa batu-batuan lepas.
Pada bagian tertentu jalur ini
49
terdapat jalur yang mengalami erosi akibat aliran air dan membentuk parit hingga kedalaman parit mencapai 1 meter. Tabel 9 Rute jalur Tekelan - Puncak No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Rute
Jarak
Start Batas Kawasan - Pos I Pending Pos I Pending -Pos II Ijo / Pereng Putih Pos II Ijo / Pereng Putih - Pos III Gumuk Mentul Pos III Gumuk Mentul - Pos IV Lempong Sampan Pos IV Lempong Sampan - Puncak I Pertapaan Puncak I Pertapaan - Pos V Pemancar Pos V Pemancar - Puncak II Watu Tulis Puncak II Watu Tulis - Pos VI Helipad Pos VI Helipad - Puncak III Gegersapi Puncak III Gegersapi - Puncak IV Syarif Puncak III Gegersapi - Puncak V Ondorante Puncak V Ondorante - Puncak VI Kenteng Songo Puncak VI Kenteng 9 - Puncak VII Triangulasi
700 m 900 m 775 m 600 m 550 m 600 m 25 m 600 m 300 m 425 m 500 m 300 m 225 m
Jarak Akumulasi 700 m 1.600 m 2.375 m 2.975 m 3.525 m 4.175 m 4.200 m 4.800 m 5.100 m 5.525 m 5.600 m 5.900 m 6.125 m
Ketinggian (m dpl) 1.933 2.160 2.342 2.509 2.729 2.915 2.916 (tidak tercatat) 3.002 3.140 3.118 3.157 3.122
Kurang lebih terdapat 69 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 59 titik HM, 3 titik pos pendakian diluar HM”, 2 titik lokasi pertigaan jalur, 2 titik puncak diluar HM, 2 titik lokasi memori (nisan) dan 1 titik lokasi mata air. Data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur pendakian Tekelan - puncak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Puncak No.
Rute
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Base Start Tekelan (KOMPPAS) Start Batas Kawasan Pos I Pending Pos II Ijo / Pereng Putih Pos III Gumuk Mentul Pos IV Lempong Sampan Puncak I Pertapaan Watu Gubug Pertigaan ke Cunthel Pos V Pemancar TNI + Puncak II Watu Tulis Pal Batas Kabupaten Pos VI Helipad Kawah Puncak III Gegersapi Pertigaan Syarif - Kenteng Songo Puncak IV Syarif Puncak V Ondorante Puncak VI Kenteng Songo Puncak VII Triangulasi
Koordinat BT LS 110° 25' 41.4" 07° 24' 55.4" 110° 25' 41.4" 07° 24' 55.4" 110° 25' 47.1" 07° 25' 16.9" 110° 25' 56.9" 07° 25' 39.7" 110° 26' 10.0" 07° 25' 49.1" 110° 26' 11.8" 07° 25' 59.2" 110° 26' 18.7" 07° 26' 15.7" 110° 26' 18.1" 07° 26' 19.6" 110° 26' 12.8" 07° 26' 30.6" 110° 26' 13.1" 07° 26' 36.1" 110° 26' 15.8" 07° 26' 45.0" 110° 26' 18.1" 07° 26' 48.0" 110° 26' 20.6" 07° 26' 51.3" 110° 26' 26.2" 07° 26' 51.3" 110° 26' 31.1" 07° 26' 59.4" 110° 26' 33.8" 07° 26' 58.8" 110° 26' 27.7" 07° 27' 04.9" 110° 26' 26.4" 07° 27' 13.1" 110° 26' 23.3" 07° 27' 17.5"
Ketinggian (m dpl) 1.662 1.752 1.933 2.160 2.342 2.509 2.729 2.737 2.886 2.915 2.883 2.910 (tidak tercatat)
3.002 3.096 3.140 3.118 3.157 3.122
Grafik profil jalur Tekelan - puncak (Gambar 7) menunjukkan jalur yang mayoritas menanjak dengan sedikit segmen jalur yang menurun dan mendatar.
50
Grafik yang terputus disebabkan oleh adanya enklave yang dilewati jalur ini,
2790 2440 1740
2090
Ketinggian (m)
3075
sehingga tidak ditampilkan oleh ArcView.
0
900
1800
2700
3600
4500
5289
Jarak (m)
Gambar 7 Profil jalur pendakian Tekelan - Puncak (tanpa skala) Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna pada jalur pendakian Tekelan - puncak adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Tekelan - puncak sama dengan jalur Selo - puncak yang melewati semua tipe hutan di TN Gunung Merbabu, yaitu Hutan Hujan Pegunungan pada ketinggian + 1.752 - + 2.500 m dpl dan Hutan Hujan Sub Alpin pada ketinggian + 2.500 - + 3.150 m dpl. Ekosistem pada jalur Tekelan - puncak relatif terganggu dan kondisi hutannya lebih terbuka daripada jalur Selo - puncak. Hal ini kemungkinan akibat kebakaran yang sering melanda (dalam jalur dilewati pada jarak 1.300 m, ketinggian + 2.065 m dpl, jarak 2.100 m, ketinggian + 2.267 m dpl, pada jarak 3.100 m, ketinggian + 2.358 m dpl dan pada jarak 4.700 m, ketinggian + 2.868 m dpl) ditambah dengan adanya penebangan liar serta jenis tanah yang rawan erosi. Selain itu terdapat pula ekosistem kebun pada tanah milik yang dilewati jalur. b. Flora dan Fauna Jenis flora yang dijumpai di jalur ini tercatat 47 jenis, baik flora berkayu maupun tidak berkayu seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Akasia (Acacia decurrens), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum Perhutani, disamping jenis-jenis alami seperti Pasang (Quercus spicata), Dempul (Glochidion sp.), Lotrok (Nauclea obtuse), Luwing (Ficus hispida), Sowo
51
(Engelhardia serrata), Bambu Cendani (Bambusa multiplex) dan lain-lain. Pada tipe Hutan Hujan Sub Alpin tumbuh jenis-jenis Kemlandingan gunung (Albizzia montana), Edelweiss (Anaphalis javanica), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rumput-rumputan seperti Merangan dan Bubarjaran. Adapun fauna yang tercatat berjumlah 13 jenis, terdiri dari 2 mamalia dan 11 aves. Jenis fauna yang cukup menarik di jalur ini antara lain Elang hitam (Ichtinaetus malayensis), Alap-alap (Falco sp.) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 15 dan 23. 5.1.3. Jalur Non Pendakian Selo - Mata Air Jalur Selo - mata air ini mempunyai pola yang jalur tidak memutar kembali ke Desa Tarubatang karena sebenarnya merupakan jalan menuju desa lainnya (Desa Surodadi). Jalur ini melewati camping ground yang berada di sekitar pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sebuah mata air pada jarak + 200 m yang airnya dimanfaatkan penduduk untuk keperluan sehari-hari dan juga oleh para pengunjung yang berkemah. Di sekitar mata air tersebut terdapat batu memori (nisan) mahasiswa UNS tanpa nama yang meninggal pada tahun 1992 di lokasi tersebut akibat kecelakaan ketika mengikuti pendidikan dasar pecinta alam. Kondisi fisik jalur ini pada bagian awalnya berupa jalan berbatu namun setelah lokasi mata air jalur berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 11 Rute jalur Selo - Mata Air No. 1. 2. 3. 4.
Rute Start Batas Kawasan - Camping ground Camping ground - Pertigaan ke puncak Pertigaan ke puncak - Mata Air Mata Air - Akhir Pengamatan
Jarak 50 m 50 m 100 m 700 m
Jarak Akumulasi 50 m 100 m 200 m 900 m
Ketinggian (m dpl) 1.854 1.864 1.825 1.824
Tercatat 10 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang merupakan titik HM seluruhnya. Tabel 12 memperlihatkan titik-titik utama jalur non pendakian Selo - mata air.
52
Tabel 12 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Mata Air No. 1. 2. 3. 4.
Koordinat BT LS 110° 27' 04.5" 07° 29' 02.3" 110° 27' 34.2" 07° 28' 51.1" 110° 27' 34.4" 07° 28' 51.6" 110° 27' 51.7" 07° 29' 03.8"
Rute Start Batas Kawasan + Camping Ground Pertigaan ke puncak Mata Air Akhir Pengamatan
Ketinggian (m dpl) 1.854 1.864 1.825 1.824
Profil jalur non pendakian Selo - mata air (Gambar 8) mempunyai kecenderungan menurun dengan sedikit variasi tanjakan dan turunan yang masih
1818 1828 1838 1848 1854 1798 1808
Ketinggian (m)
tergolong landai.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1032
Jarak (m)
Gambar 8 Profil jalur non pendakian Selo - Mata Air (tanpa skala) Berikut hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur non pendakian ini. a. Ekosistem Kondisi ekosistem pada jalur ini relatif masih utuh untuk suatu Hutan Sekunder. b. Flora dan Fauna Kegiatan verifikasi mencatat 26 jenis flora berkayu maupun tidak berkayu di jalur ini.
Jenis-jenis tersebut yang mendominasi diantaranya Pinus (Pinus
merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), dan jenisjenis lain. Sedangkan fauna yang tercatat sebanyak 25 jenis, terdiri dari 1 jenis mamalia dan 24 jenis aves. Fauna yang keberadaannya cukup menarik di jalur Selo - mata air antara lain Ayam hutan hijau (Gallus varius) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
53
Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 13 dan 21. 5.1.4. Jalur Non Pendakian Tekelan - Watu Tadah Jalur ini relatif datar, hanya ada sedikit bagian yang menanjak.
Jarak
tempuhnya dari batas kawasan hingga lokasi Watu Tadah + 1.000 m, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam saja. Untuk menuju batas kawasan dari base start Tekelan diperlukan waktu sekitar 10 menit berjalan kaki. Pada jalur ini dapat ditemui pemandangan yang indah pada lembah hutan tanaman Pinus dan pada sungai kecil yang berada di lembah antara dua punggungan. Watu Tadah merupakan air terjun (musiman) yang membentuk sungai kecil.
Letaknya yang tersembunyi di sebuah tebing dan jalur akses
menuju lokasi yang berbeda dengan jalur pendakian membuat jalur ini dan obyek-obyeknya tidak dikenal selain oleh penduduk setempat. Keseluruhan jalur berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 13 Rute jalur Tekelan - Watu Tadah No. 1. 2. 3. 4.
Rute Start Batas Kawasan - Hutan Pinus Hutan Pinus - Tebing Batu Tebing Batu - Dasar Lembah (Sungai Kecil) Dasar Lembah (Sungai Kecil) - Watu Tadah
Jarak 50 m 600 m 150 m 200 m
Jarak Akumulasi 50 m 650 m 800 m 1.000 m
Ketinggian (m dpl) 1.725 1.728 1.744 1.812
Seluruhnya terdapat 11 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang semuanya merupakan titik HM. Penangkapan sinyal dari satelit oleh GPS Receiver di lokasi air terjun Watu Tadah sulit karena posisinya dikelilingi tebing menyebabkan akurasi yang didapat sangat rendah (+ 15 m). Tabel 14 menyajikan data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah. Tabel 14 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Watu Tadah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Rute Base Start Tekelan (KOMPPAS) Start Batas Kawasan Hutan Pinus + Akasia Tebing Batu Dasar Lembah (Sungai Kecil) Watu Tadah
Koordinat BT LS 110° 25' 41.4" 07° 24' 55.4" 110° 25' 42.4" 07° 24' 46.8" 110° 25' 46.4" 07° 24' 51.8" 110° 25' 48.7" 07° 25' 01.3" 110° 25' 51.5" 07° 25' 10.6" 110° 25' 52.3" 07° 25' 16.8"
Ketinggian (m dpl) 1.662 1.725 1.726 1.718 1.744 1.812
Profil jalur Tekelan - Watu Tadah secara umum menanjak, dengan variasi turunan di awal jalur dan beberapa segmen yang mendatar (Gambar 9).
1751 1764 1726 1701 1676
Ketinggian (m)
54
0
175
350
525
700
875
988
Jarak (m)
Gambar 9 Profil jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah (tanpa skala) Dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini dilakukan pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna. Hasil pengamatan dan pencatatan tersebut disampaikan berikut ini. a. Ekosistem Jalur Tekelan - Watu Tadah mempunyai 3 tipe ekosistem, yaitu ekosistem Hutan Hujan Pegunungan, ekosistem sungai dan ekosistem danau air tawar (pada lingkungan air terjun Watu Tadah yang terdapat genangan air). Kondisi ekosistem Tekelan - Watu Tadah relatif masih utuh. b. Flora dan Fauna Flora yang tercatat di jalur Tekelan - Watu Tadah berjumlah 47 jenis, baik yang berkayu maupun tidak berkayu, seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia (Acacia decurrens), Pasang (Quercus spicata), Kina (Chinchona sp.), Dempul (Glochidion sp.), Umbel-umbelan (Sauauria sp.), Rustania, Lotrok (Nauclea obtuse), Semantung (Ficus hispida), Luwing (Ficus hispida), Pampung (Oenanthe javanica), serta Pakis Galar (Cyathea contaminans). Dalam verifikasi hanya tercatat 5 jenis fauna yang terdiri dari 1 mamalia yaitu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan 4 jenis aves yaitu Alap-alap (Falco sp.), Gagak kampung (Corvus macrorynchos), burung Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), dan Sepah gunung (Pericrocotus miniatus). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 16 dan 24.
55
5.1.5. Jalur Non Pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan Jalur ini berawal dari pintu masuk TWA Tuk Songo dan berakhir pada perbatasan antara kawasan taman wisata alam ini dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan (enklave). Dari batas antara kawasan TWA Tuk Songo dengan tanah milik, untuk menuju base start Tekelan dapat ditempuh berjalan kaki kurang dari 10 menit melewati kebun dan rumah penduduk Dusun Tekelan. Panjang jalur ini + 1.000 m dengan vegetasi didominasi tanaman Pinus dan Puspa. Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan berupa jalan setapak dari tanah. Tabel 15 Rute jalur TWA Tuk Songo - Tekelan No. 1. 2. 3. 4.
Rute
Jarak
Gerbang Kawasan TWA Tuk 9 - Taman Bermain Taman Bermain - Tanjakan Pinus Tanjakan Pinus - Jalan Tembus Cunthel Jalan Tembus Cunthel - Batas Kawasan TWA
50 m 50 m 100 m 800 m
Jarak Akumulasi 50 m 100 m 200 m 1.000 m
Ketinggian (m dpl) 1.725 1.728 1.744 1.630
Data hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur TWA Tuk Songo - Tekelan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16 Data rekaman GPS Receiver jalur TWA Tuk Songo - Tekelan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Rute Gerbang TWA Tuk Songo Kopeng Taman Bermain Tanjakan Pinus Pertigaan - Jalan Tembus ke Cunthel Perbatasan
Koordinat (UTM) BT LS 110.4209883 -7.4006017 110.4215233 -7.4009867 110.4221250 -7.4033267 110.4225317 -7.4061583 110.4229617 -7.4071033
Ketinggian (m dpl) 1.410 1.409 1.467 1.601 1.612
Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan mempunyai profil yang menanjak, terutama pada jarak 200 hingga 800 m pertama, yang merupakan segmen antara awal hutan Pinus dengan pertemuan dengan jalan tembus ke Dusun Cunthel
1538 1488 1438 1388
Ketinggian (m)
1575
(Gambar 10).
0
200
400
600
800
1067
Jarak (m)
Gambar 10 Profil jalur non pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan (tanpa skala)
56
Sebenarnya di dalam TWA Tuk Songo juga terdapat jalur pengunjung dan obyek-obyek alami seperti air terjun musiman, hutan alam, mata air dan sungai yang dapat dimanfaatkan untuk interpretasi alam, namun karena lokasinya yang berada di lembah membuat alat GPS Receiver yang digunakan tidak mampu menangkap sinyal dari satelit untuk mencatat track jalurnya. Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur ini adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Ekosistem jalur TWA Tuk Songo - Tekelan yang berupa ekosistem Hutan Sekunder relatif utuh dan hanya sedikit terganggu. b. Flora dan Fauna Pada jalur non pendakian ini, jenis flora yang mendominasi adalah Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii). Hal ini dapat dimaklumi mengingat jenis-jenis tersebut merupakan flora yang ditanam oleh Perum Perhutani selaku pengelola TWA Tuk Songo sebelumnya. Jenis fauna yang dijumpai juga sangat sedikit, hanya 3 jenis yang kesemuanya termasuk aves, yaitu Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) dan Wiwik kelabu (Cuculus merulinus). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 17 dan 25. 5.1.6. Jalur Non Pendakian Tekelan - Krinjingan Jalur ini merupakan jalur dari Dusun Tekelan menuju air terjun lain di dalam kawasan TN Gunung Merbabu yang disebut oleh masyarakat setempat dengan nama air terjun Krinjingan. Untuk menuju batas kawasan yang menjadi awal jalur ini diperlukan waktu sekitar 5 menit berjalan kaki dari base start Tekelan. Jalur ini awalnya sama dengan jalur menuju ”Dufan”, namun berpisah di sebuah pertigaan pada jarak 50 m. Jalur yang tidak memutar ini medannya cenderung datar dan agak menurun, panjangnya + 450 m, dapat ditempuh dengan waktu 15 menit saja dengan kondisi fisik jalur berupa jalan setapak. Tabel 17 Rute jalur Tekelan - Krinjingan No. 1. 2.
Rute Start kawasan - Pertigaan ke “Dufan” Pertigaan ke “Dufan” - Air Terjun Krinjingan
Jarak 50 m 400 m
Jarak Akumulasi 50 m 450 m
Ketinggian (m dpl) 1.643 1.620
57
Hanya terdapat 6 titik yang direkam pada jalur ini dengan menggunakan alat GPS Receiver. Jumlah tersebut meliputi 5 titik HM dan 1 titik diluar HM. Penangkapan sinyal dari satelit oleh GPS Receiver di lokasi Air Terjun Krinjingan sulit karena posisinya yeng berada di bawah tebing sehingga keakuratannya sangat rendah (+ 20 m). Berikut hasil rekaman alat GPS Receiver pada titik-titik utama jalur non pendakian Tekelan - Air Terjun Krinjingan. Tabel 18 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Krinjingan No. 1. 2. 3. 4.
Koordinat BT LS 110° 25' 41.4" 07° 24' 55.4" 110° 25' 41.9" 07° 24' 35.3" 110° 25' 43.0" 07° 24' 36.9" 110° 25' 50.7" 07° 24' 44.8"
Rute Base Start Tekelan (KOMPPAS) Start kawasan Pertigaan ke “Dufan” Air Terjun Krinjingan
Ketinggian (m dpl) 1.662 1.643 1.622 1.620
Gambar 11 menunjukkan profil jalur Tekelan - Krinjingan yang cenderung
1612 1588 1563 1538
Ketinggian (m)
landai dan menurun, dengan satu variasi tanjakan yang tidak terlalu curam.
0
75
150
225
300
407
Jarak (m)
Gambar 11 Profil jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan (tanpa skala) Kondisi ekosistem serta jenis-jenis flora dan fauna pada jalur ini adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Jalur Tekelan - Krinjingan mempunyai 1 tipe ekosistem, yaitu ekosistem Hutan Sekunder pada ketinggian + 1.643 - + 1.620 m dpl. Pada musim hujan diperkirakan terbentuk danau dan sungai kecil di sekitar air terjun Krinjingan. b. Flora dan Fauna Jenis flora baik berkayu maupun tidak berkayu yang tercatat di jalur ini hanya berjumlah 10 jenis.
Diantara jenis-jenis tersebut adalah Pinus (Pinus
merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia
58
(Acacia decurrens), Kina (Chinchona sp.) dan rumput Alang-alang (Imperata cylindrica). Fauna yang dijumpai sebanyak 4 jenis yang semuanya termasuk jenis aves, yaitu Alap-alap (Falco sp.), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Bentet (Lanius schach), dan Trocokan atau Merbah crocok (Pycnonotus goiavier). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 18 dan 26. 5.1.7. Jalur Non Pendakian Tekelan - ”Dufan” ”Dufan” atau ”Dunia Fantasi” adalah julukan yang diberikan KOMPPAS (KomunitasPeduli Puncak Syarif, yang merupakan kelompok pemuda Dusun Tekelan yang merawat jalur pendakian Tekelan - puncak) kepada suatu tempat yang nama sebenarnya adalah Wetan Pereng.
Dufan berupa lembah yang
ditubuhi hutan Pinus dengan sungai kecil (Kali Bacin) di dasarnya. Lokasi ini mempunyai pemandangan yang indah ke atas (arah puncak Gunung Merbabu) maupun ke bawah (arah Salatiga). Jalur Tekelan - ”Dufan” yang berupa jalan setapak dari tanah, polanya memutar kembali ke posisi awal dimulainya jalur. Tabel 19 Rute jalur Tekelan - “Dufan” No. 1. 2. 3.
Rute Start kawasan - Pertigaan ke Krinjingan Pertigaan ke Krinjingan - “Dufan” “Dufan” - Batas Kawasan
Jarak 50 m 350 m 325 m
Jarak Akumulasi 50 m 400 m 725 m
Ketinggian (m dpl) 1.643 1.662 1.683
Terdapat 9 titik yang direkam di jalur ini dengan menggunakan alat GPS Receiver, meliputi 8 titik HM dan 1 titik puncak diluar HM (Tabel 20). Tabel 20 Data Rekaman GPS Receiver Jalur Tekelan - “Dufan” No. 1. 2. 3. 4. 5.
Rute Base Start Tekelan (KOMPPAS) Start kawasan Pertigaan ke Krinjingan “Dufan” Batas Kawasan
Koordinat BT LS 110° 25' 41.4" 07° 24' 55.4" 110° 25' 41.9" 07° 24' 35.3" 110° 25' 43.0" 07° 24' 36.9" 110° 25' 48.3" 07° 24' 46.9" 110° 25' 41.5" 07° 24' 39.7"
Ketinggian (m dpl) 1.662 1.643 1.622 1.662 1.683
Berbeda dengan jalur Tekelan - Krinjingan yang cenderung datar dan menurun, profil jalur Tekelan - Dufan agak menanjak dengan sedikit variasi turunan (Gambar 12).
1637 1612
Ketinggian(m)
1651
59
0
125
250
375
500
625
716.7
Jarak (m) Gambar 12 Profil jalur non pendakian Tekelan - ”Dufan” (tanpa skala) Hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna pada jalur non pendakian Tekelan - ”Dufan” adalah sebagai berikut : a. Ekosistem Kondisi ekosistem jalur Tekelan - ”Dufan” yang berada pada ketinggian + 1.643 hingga + 1.683 m dpl dapat dikatakan utuh untuk Hutan Sekunder. b. Flora dan Fauna Jumlah flora yang tercatat di jalur ini sebanyak 15 jenis, baik flora berkayu maupun yang tidak berkayu.
Jenis Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima
wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata), Akasia (Acacia decurrens), Kina (Chinchona sp.), Waru (Hibiscus macrophyllus), serta rumput seperti Alang-alang (Imperata cylindrica) dan Blabakan merupakan contoh flora yang tercatat di jalur ini. Adapun fauna yang tercatat hanya 6 ekor, yang semuanya merupakan jenis aves, yaitu Alap-alap (Falco sp.), Bentet (Lanius schach), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Prenjak (Prinia familiaris), dan Trocokan atau Merbah crocok (Pycnonotus goiavier). Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 19 dan 27. 5.1.8. Jalur Non Pendakian Selo - Jurang Warung Jalur ini berawal dari titik yang sama dengan jalur pendakian Selo - puncak, namun berpisah pada pertigaan Pitikan dan bertemu dengan jalur Selo - mata air di ujungnya. Kondisi fisik jalur seluruhnya berupa tanah. Dengan panjang +
60
2.800 m (belum termasuk jalur Selo - mata air) diperlukan waktu sekitar 3 jam untuk menempuhnya. Tabel 21 Rute jalur Selo - Jurang Warung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rute
Jarak
Start kawasan - Pertigaan Pitikan Pertigaan Pitikan - “Surga Burung” “Surga Burung” - Pertigaan (Pinus - Surodadi) Pertigaan - Hutan Pinus Hutan Pinus - Akasia Akasia - Pal Batas TN Pal Batas TN - Lembah Lembah - Jalur Selo - Mata Air
600 m 100 m 200 m 200 m 700 m 425 m 575 m 100 m
Jarak Akumulasi 600 m 700 m 900 m 1.100 m 1.800 m 2.225 m 2.700 m 2.800 m
Ketinggian (m dpl) 1.939 1.967 1.974 1.977 1.829 1.816 1.812 1.800
Sedikitnya pada jalur ini terdapat 26 titik yang direkam dengan menggunakan alat GPS Receiver yang semua merupakan titik HM (Tabel 22). Tabel 22 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Jurang Warung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Koordinat BT LS 110° 27' 04.5" 07° 29' 02.3" 110° 27' 35.7" 07° 28' 43.7" 110° 27' 38.5" 07° 28' 39.2" 110° 27' 42.9" 07° 28' 39.0" 110° 27' 48.5" 07° 28' 36.0" 110° 27' 49.5" 07° 28' 41.6" 110° 27' 57.1" 07° 28' 52.1" 110° 27' 53.8" 07° 29' 01.6" 110° 27' 51.9" 07° 29' 02.4"
Rute Start kawasan Pertigaan Pitikan “Surga Burung” Pertigaan (Pinus - Surodadi) Hutan Pinus Akasia Pal Batas TN Lembah Pertemuan Jalur Selo - Mata Air
Ketinggian (m dpl) 1.854 1.961 1.978 1.974 1.977 1.829 1.816 1.812 1.800
Jalur Selo - Jurang Warung mempunyai profil medan yang bervariasi dengan perbandingan yang relatif sama antara segmen jalur yang menanjak dan
1875 1825 1775
Ketinggian (m)
1949
segmen jalur yang menurun, namun secara umum medan ini tidak terlalu berat.
0
500
1000
1500
2000
2500
2873
Jarak (m) Gambar 13 Profil jalur non pendakian Selo - Jurang Warung (tanpa skala)
61
Berikut hasil pengamatan kondisi ekosistem serta pencatatan flora dan fauna dalam kegiatan verifikasi pada jalur non pendakian Selo - Jurang Warung. a. Ekosistem Jalur Selo - Jurang Warung yang berada pada ketinggian + 1.729 - + 2.500 m dpl melewati tipe Hutan Hujan Pegunungan yang didalamnya terdapat Hutan Sekunder. Kondisi ekosistem pada jalur ini bervariasi antara ekosistem yang masih utuh serta lembab dengan pohon-pohon yang rapat dan ekosistem yang cenderung homogen dan terbuka. b. Flora dan Fauna Jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Kina (Chinchona sp.), Rustania, Bintami (Podocarpus imbricata), Cemara gunung (Casuarina junghuhniana), Kaliandra (Calliandra sp.), Sowo (Engelhardia serrata), Pasang (Quercus spicata), Wuru (Litsea sp.), Dempul (Glochidion sp.), Picis (Nauclea lanceolata), Dadap (Erythrina sp.), Wilodo (Ficus fistulosa), dan Bambu Cendani (Bambusa multiplex) merupakan beberapa contoh dari 32 jenis flora yang ditemui di jalur ini. Sedangkan fauna yang tercatat sebanyak 48 jenis, semuanya jenis aves. Pada jarak 100 - 400 m dari pertigaan Pitikan dijumpai beragam jenis burung (setidaknya 33 jenis) sehingga tempat ini dapat disebut sebagai ”Surga Burung”. Selengkapnya daftar jenis-jenis flora fauna hasil inventarisasi pada jalur ini dapat dilihat dalam Lampiran 20 dan 28. 5.1.9. Data Spasial Obyek Lainnya Beberapa obyek atau lokasi khusus yang tidak tepat berada di jalur verifikasi juga direkam posisi spasialnya dengan GPS Receiver yang digunakan. Tabel 23 menampilkan data spasial obyek atau lokasi khusus lainnya. Tabel 23 Data spasial obyek Lainnya No.
Obyek
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Mata Air Alur Longsor Lokasi Kantung Semar Memori Heri Susanto Lokasi Kemah (Sabana II) Watu Lumpang Base Start Tekelan Watu Gubug Kawah Candradimuka Mata Air tersembunyi Memori Sugiyanto
Koordinat BT LS 110° 27' 34.4" 07° 28' 51.6" 110° 27' 13.2" 07° 28' 20.0" 110° 27' 14.1" 07° 28' 16.1" 110° 26' 42.1" 07° 28' 01.4" 110° 26' 33.8" 07° 27' 36.4" 110° 26' 30.8" 07° 27' 28.5" 110° 25' 34.3" 07° 24' 43.1" 110° 26' 18.1" 07° 26' 19.6" 110° 26' 20.6" 07° 26' 51.3" 110° 26' 22.6" 07° 26' 53.0" 110° 26' 26.6" 07° 27' 11.7"
Ketinggian (m dpl) 1.825 2.199 2.253 2.674 2.860 2.918 1.662 2.737 tdk tercatat
2.867 3.135
Jalur Selo Selo Selo Selo Selo Selo Tekelan Tekelan Tekelan Tekelan Tekelan
62
Seluruh data spasial jalur yang diperoleh dalam verifikasi ditampalkan (overlay) dalam program ArcView GIS 3.3. Gambar 14 menunjukkan overlay jalur pada kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sedangkan Gambar 15 menunjukkan overlay jalur terhadap ketinggian kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. 5.2. Sarana dan Prasarana Interpretasi Alam Mengingat Balai TN Gunung Merbabu merupakan UPT yang masih baru, maka sarana dan prasarana wisata di kawasan TN Gunung Merbabu merupakan sarana dan prasarana yang dibangun oleh pengelola sebelumnya (Perum Perhutani) dan umumnya bukan sarana dan prasarana interpretasi alam. Sarana dan prasarana interpretasi alam yang telah tersedia antara lain Wisma Bina Cinta Alam yang berada di kantor Balai TN Gunung Merbabu di Boyolali, dan shelter atau pos pendakian (hanya terdapat di jalur Tekelan puncak).
Papan petunjuk yang ada merupakan papan petunjuk arah, bukan
papan interpretasi alam dan hanya terbuat dari lembaran seng yang dipaku ke batang pohon di kanan - kiri jalur pendakian, bertuliskan nama kelompok pecinta alam pembuat papan petunjuk arah tersebut serta arah menuju puncak. 5.2.1. Jalur Pendakian Selo - Puncak Sarana dan prasarana wisata yang ada di jalur pendakian Selo - puncak masih sangat minim.
Di sepanjang jalur pendakian ini pos pendakian yang biasa
digunakan para pendaki untuk beristirahat masih berupa tanah datar yang kosong, belum ada bangunan permanen ataupun semi permanen. Jalur Selo kondisi fisiknya berupa jalan setapak dari tanah, belum ada pengerasan dengan batu yang ditata.
Ketika hujan turun jalur tersebut menjadi jalan aliran air
sehingga rawan terjadi erosi. 5.2.2. Jalur Pendakian Tekelan - Puncak Sedangkan sarana dan prasarana wisata pada jalur Tekelan - puncak adalah pos-pos pendakian yang dibangun oleh kelompok pemuda pecinta alam Dusun Tekelan yang bernama KOMPPAS (Komunitas Peduli Puncak Syarif). Pos-pos pendakian tersebut berupa bangunan permanen (Pos I Pending yang berada di atas tanah milik), bangunan semi permanen berdinding dan beratap dari seng (Pos II Ijo/Pereng Putih) dan bangunan semi permanen yang terbuat dari batang kayu dan beratap seng (Pos III Gumuk Mentul).
Gambar 14 Overlay jalur verifikasi pada kelas lereng TNGMB
63
Gambar 15 Overlay jalur verifikasi terhadap ketinggian kawasan TNGMB
64
65
Kondisi fisik jalur Tekelan menuju puncak berupa jalan setapak dari tanah atau batuan lepas yang secara alami terdapat pada jalur tersebut. Sebagian jalur ini (khususnya yang kondisi alamnya terbuka) mengalami erosi cukup berat akibat aliran air dan membentuk parit hingga kedalaman parit mencapai 1 meter. 5.2.3. Jalur Non Pendakian Seluruh jalur non pendakian (Selo - Mata Air, Tekelan - Watu Tadah, TWA Tuk Songo - Tekelan, Tekelan - ”Dufan”, Tekelan - Watu Tadah, Selo - Jurang Warung) sama sekali tidak mempunyai sarana dan prasarana interpretasi alam. Jalur-jalur tersebut juga belum mengalami perbaikan kualitas dan masih berupa jalan setapak dari tanah. Secara umum
sarana dan prasarana interpretasi alam di TN Gunung
Merbabu masih minim, dan bahkan dapat dikatakan belum ada, sehingga apabila dikembangkan jalur interpretasi alam di taman nasional ini perlu dilakukan beberapa kegiatan seperti pengerasan jalur, pembuatan papan interpretasi alam, pembangunan shelter, petunjuk arah, pemberian tali pengaman pada bagian jalur yang rawan/terjal. 5.3. Aksesibilitas Jalur Rute perjalanan dari kota Semarang yang merupakan ibukota Propinsi Jawa Tengah menuju base start jalur pendakian maupun non pendakian yang diverifikasi (dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan pribadi roda 2 atau 4) adalah sebagai berikut : 5.3.1. Jalur Pendakian Selo - Semarang - Boyolali - Selo - Desa Tarubatang dengan jarak ± 95 km dengan waktu tempuh ± 2 jam 30 menit. Kondisi jalan sampai dengan Kota Kecamatan Selo beraspal halus, namun dari Kota Kecamatan Selo ke Desa Tarubatang sebagian aspal jalan rusak hingga menyerupai jalan makadam. Selain itu jalan Kota Kecamatan Selo - Desa Tarubatang sempit sehingga hanya dapat dilalui 1 kendaraan roda 4. 5.3.2. TWA Tuk Songo Kopeng - Semarang - Salatiga - Kopeng dengan jarak ± 55 km dengan waktu tempuh + 1 jam 30 menit Sejak dari kota Semarang hingga Kopeng kondisi jalan seluruhnya beraspal halus.
Dari TWA Tuk Songo ke Dusun Tekelan ditempuh dengan
berjalan kaki melalui jalan setapak dan kebun masyarakat selama + 30 menit.
66
5.3.3. Jalur Pendakian Tekelan - Semarang - Salatiga - Kopeng - Dusun Tekelan, dengan jarak ± 60 km dengan waktu tempuh + 1 jam 30 menit Kondisi jalan mulai dari kota Semarang hingga Kopeng beraspal halus, sedangkan dari Kopeng ke Dusun Tekelan separuh bagian akhir jalan berupa jalan makadam. 5.4. Karakteristik dan Demand Pengguna (Pendaki) TN Gunung Merbabu Sebanyak 33 responden pendaki gunung ditemui di lokasi (base start) pendakian maupun di masing-masing sekretariat (basecamp) kelompok mereka di kota Solo, Magelang, Salatiga dan Semarang. 5.4.1 Karakteristik Responden Pendaki Responden pendaki gunung didominasi oleh responden laki-laki sebanyak 29 orang atau sekitar 87,9%.
Hal ini mungkin berkaitan dengan anggapan
masyarakat mengenai kegiatan pendakian yang merupakan kegiatan alam bebas yang berbahaya dan hanya pantas dilakukan oleh para lelaki. Rata-rata usia responden 22-23 tahun, dengan kisaran umur 15 - 30 tahun. Tingkat pendidikan responden umumnya adalah lulus SMA (84,8%) disusul lulus SMP dan Perguruan Tinggi (S1) yang masing-masing mempunyai persentase yang sama, yaitu sebesar 6,1%. Sedangkan untuk pekerjaan, didominasi responden yang masih berstatus mahasiswa yaitu sekitar 78,8%. Hal ini sesuai kenyataan di masyarakat bahwa kegiatan mendaki gunung umumnya dilakukan oleh mahasiswa. Berdasarkan
sebaran
asal
komunitas
pendaki,
hasil
kuesioner
menunjukkan asal responden terbanyak dari kota Solo (15 orang atau 45,5%), disusul oleh asal komunitas kota Semarang sebanyak 8 orang (24,2%). Tabel 24 menunjukkan rekapitulasi karakteristik responden pendaki.
Tabel 24 Karakteristik responden pendaki No.
Karakteristik
Persentase (%)
Keterangan
1
2
3
4
1.
2.
Jenis Kelamin - Laki - laki - Perempuan Kelompok Umur a. KU 1 ( < 15 tahun ) b. KU 2 ( 15 – 24 tahun ) c. KU 3 ( 25 – 35 tahun ) d. KU 4 ( > 35 tahun )
87,9 12,1 0 75,8 24,2 0
67
1
2
3.
4.
5.
3
Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana (S1) Pekerjaan Pelajar Mahasiswa Wirausaha Karyawan Swasta Freelance Belum Bekerja Asal Semarang Salatiga Solo Magelang
4
0 6,1 84,8 3,0 6,1 6,1 78,8 3,0 6,1 3,0 3,0 24,2 12,1 45,5 18,2
5.4.2. Pengetahuan Jalur Pendakian Rata-rata responden mengetahui 4 jalur pendakian. Dari jalur yang mereka ketahui tersebut, 36,4% responden atau 12 orang pernah melalui jalur pendakian Tekelan dengan waktu tempuh sekitar 7-8 jam, dan 27,3% atau 9 orang pernah mendaki melalui jalur pendakian Selo dengan waktu tempuh sekitar 6 - 7 jam. 6% 9% 37%
Tekelan Selo Wekas
21%
Guolelo Ngagrong
27%
Gambar 16 Jalur yang pernah dilewati
5.4.3. Sumber Informasi Jalur Pendakian Untuk sumber informasi mengenai jalur-jalur pendakian, hampir semua responden pendaki atau sekitar 93,9% menyatakan bahwa mereka mengetahui informasi suatu jalur pendakian dari teman, hanya 6,1% yang mencari informasi mengenai jalur pendakian dengan cara melihat peta. Tidak ada responden yang mengaku mendapatkan informasi dari koran/majalah serta dari promosi pengelola (dalam hal ini Balai Taman Nasional Gunung Merbabu).
Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh masih kurangnya koran/majalah yang mengulas tentang pendakian khususnya di Gunung Merbabu serta kurangnya promosi
68
yang dilakukan oleh pihak pengelola yang pada saat penelitian dilakukan merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang masih baru. 6%
Teman Peta
94%
Gambar 17 Sumber informasi jalur pendakian 5.4.4. Modus dan Tujuan Pendakian Hampir semua (96,7%) responden melakukan perjalanan pendakian secara berombongan, hanya satu orang atau sekitar 3% yang melakukan pendakian sendirian.
Hal ini masih mungkin terjadi karena belum adanya
larangan atau aturan mengenai perjalanan yang mengharuskan lebih dari 1 orang (minimal 2 orang).
Dari perjalanan pendakian secara berombongan,
ternyata paling banyak pendaki melakukannya dalam rombongan besar (diatas 10 orang) yaitu sebanyak 54,5% sedangkan pendaki yang melakukan dalam rombongan kecil ada sebanyak 42,4%.
Untuk pendaki yang mengadakan
pendakian dalam rombongan kecil paling banyak mengadakan perjalanan pendakian dengan 0 - 4 orang yaitu sebanyak 8 responden (57,1%), sedangkan sisanya sekitar 42,9% berrombongan 5 hingga 9 orang. 3%
Sendiri 42% 55%
Kelompok Kecil Kelompok Besar
Gambar 18 Modus pendakian Tujuan responden melakukan pendakian yang utama adalah untuk rekreasi (54,5% atau 18 orang) dan melakukan pendakian massal (24,2% atau 8 orang).
69
24%
Rekreasi Pendidikan 3%
Penelitian
55%
Lain-lain 18%
Gambar 19 Tujuan pendakian 5.4.5. Faktor yang Paling Mempengaruhi Responden dalam Memilih Suatu Jalur Pendakian Untuk mengetahui faktor apa yang paling mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian, dilakukan skoring terhadap nilai-nilai yang diberikan. Tabel 25 Skoring terhadap nilai-nilai faktor yang paling mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian Nilai Skoring
Sangat Baik 5
Baik 4
Biasa 3
Tidak Baik 2
Sangat tidak baik 1
Dengan pilihan faktor berjumlah 17 macam, maka kemungkinan jumlah skor tertinggi adalah 165 (atau 17 x 5), dan kemungkinan jumlah skor terendah adalah 17 (atau 17 x 1). Dari hasil penjumlahan terhadap jawaban yang diberikan responden, ternyata faktor yang mempunyai nilai skor paling besar adalah faktor pemandangan alam dengan jumlah skor 137, diikuti oleh faktor kesejukan udara dan faktor pengalaman sebelumnya (early experience) yang masing-masing mempunyai jumlah skor 131 dan 125. 160 137
140 120 100 80 60 40 20 0
131 115
125
119
121 120 119 118 114 112112 109 107 117 105 100
Kondisi hutan Pemandangan Alam Kesejukan udara Aksesibilitas Pengalaman sebelumnya Informasi dari teman Jarak Tempuh Waktu Tempuh Topografi Jalur Kondisi fisik jalur Kondisi Ekosistem jalur Keamanan Jalur Sarpras pada jalur Jarak Base Start dari kota asal Kondisi Base Start Biaya total yang diperlukan Jenis Satwa yang dijumpai
Gambar 20 Faktor yang paling mempengaruhi dalam memilih jalur pendakian
70
5.4.6. Alasan Utama Memilih Jalur yang Paling Sering Dilalui Untuk pertanyaan alasan apa yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui ternyata alasan pemandangan alam merupakan alasan tertinggi bagi 39,4% atau 13 orang responden.
Alasan
tertinggi kedua yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui adalah waktu tempuh (33,3% atau 11 responden), sedangkan alasan tertinggi ketiga adalah jarak tempuh yang disebutkan oleh 27,3% atau 9 orang responden. 27% 39% Pemandangan Waktu Tempuh Jarak Tempuh
33%
Gambar 21 Alasan utama memilih jalur yang paling sering dilalui 5.4.7. Preferensi Jalur Pendakian Sedangkan untuk jalur yang paling disukai, sebanyak 33,3% responden atau 11 orang yang menyatakan menyukai jalur pendakian lewat Selo. Hal ini mungkin disebabkan akses ke lokasi yang mudah dicapai, tersedianya angkutan umum untuk menuju lokasi dan kondisi jalur pendakian yang nyaman dan mudah ditempuh.
Urutan kedua ditempati oleh jalur Wekas dan jalur Tekelan, yang
sama-sama disukai oleh 7 orang responden atau sekitar 21,2%. 3% 3% Selo
3% 15%
34%
Wekas Tekelan Guolelo Ngablak
21%
Ngagrong 21%
Tidak Ada
Gambar 22 Jalur yang paling disukai 5.4.8. Preferensi Tingkat Kemiringan Jalur Pendakian Untuk tingkat kemiringan jalur pendakian, sebanyak 23 orang atau sekitar 69,7% responden yang menyukai jalur yang mempunyai kombinasi kemiringan antara terjal dan landai.
Mungkin menurut mereka jalur yang demikian tidak
71
membuat mereka bosan dan tidak terlalu menguras tenaga mereka. Sedangkan responden yang menyukai jalur pendakian yang landai hanya sebesar 27,3% (9 orang) dan hanya 3,0% (1 orang) menyukai jalur pendakian yang terjal. 27%
Landai Terjal 3%
Kombinasi
70%
Gambar 23 Tingkat kemiringan jalur pendakian yang disukai 5.4.9. Pola Beristirahat dalam Pendakian Dalam melakukan pendakian, 60,6% atau 23 orang responden pendaki menyatakan paling sering beristirahat pada tempat-tempat tertentu (seperti pos pendakian, shelter, padang rumput dan lain-lain). Pada urutan kedua 27,3% atau 9 responden menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan waktu, dan pada urutan terakhir hanya 12,1% atau 4 responden yang menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan jarak tempuh tertentu. Untuk responden pendaki yang menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan jarak, menyebutkan kisaran jarak tempuh 1 hingga 2 km untuk beristirahat atau rata-rata 1,8 km.
Sedangkan responden pendaki yang
menyatakan paling sering beristirahat berdasarkan waktu, melakukan pendakian selama 15 menit hingga 1 jam terlebih dahulu baru kemudian beristirahat. 12%
Jarak 27%
Waktu Tempuh Tempat Tertentu
61%
Gambar 24 Pola beristirahat dalam pendakian 5.4.10. Preferensi Tempat Beristirahat dalam Pendakian Ketika melakukan pendakian di Gunung Merbabu, mayoritas pendaki memilih pos pendakian sebagai urutan pertama tempat untuk beristirahat (20 orang atau sekitar 66,6% responden), disusul tempat di bawah puncak dan di shelter yang dipilih 5 orang atau sekitar 17,2% responden sebagai tempat pilihan pertamanya untuk beristirahat. Ini mungkin karena di pos pendakian biasanya
72
sudah tersedia banyak fasilitas, misalnya di sekitar pos terdapat mata air dan biasanya letak pos pendakian yang strategis, seperti tempatnya luas, datar dan terlindung dari angin serta biasanya pos pendakian dibangun di tempat yang sudah
diperhitungkan
dimana
kondisi
pendaki
diperkirakan
mengalami
penurunan sehingga memerlukan tempat beristirahat. 17%
Pos Pendakian 17%
Di Bawah Puncak Shelter 66%
Gambar 25 Preferensi tempat beristirahat dalam pendakian 5.4.11. Kondisi Responden Ketika Melakukan Pendakian Kondisi responden ketika mulai melakukan pendakian 33,3% berada dalam kondisi yang baik, sedangkan sisanya (66,7%) dalam kondisi yang sangat baik.
33% Baik Sangat Baik 67%
Gambar 26 Kondisi responden ketika melakukan pendakian 5.4.12. Obyek Daya Tarik Jalur Pendakian Obyek yang membuat pendaki senang dalam melakukan pendakian di Gunung Merbabu ternyata didominasi oleh obyek pemandangan. Sebanyak 17 orang (51,5%) responden menempatkan obyek pemandangan sebagai pilihan pertama mereka mengenai obyek yang disenangi dalam perjalanan pendakian, disusul kondisi medan sebanyak 8 orang (24,2%). Hal ini sesuai dengan tujuan mereka yang banyak melakukan pendakian untuk tujuan rekreasi. 18%
3% 3%
24%
Tumbuhan Hewan Medan Pemandangan Jarak Tempuh
52%
Gambar 27 Obyek daya tarik jalur pendakian
73
5.4.13. Pengetahuan Responden Pendaki Mengenai Interpretasi Alam Dari 33 orang responden yang diwawancarai ternyata mayoritas responden menyatakan tidak tahu tentang interpretasi alam, ada sekitar responden, dan sisanya sekitar 21,2% menyatakan tahu, walaupun menurut peneliti jawaban mereka tentang interpretasi alam tidak ada satupun yang tepat.
Hal ini
memberikan gambaran pada kita bahwa sangat rendah sekali pengetahuan masyararakat tentang interpretasi alam, karena responden yang notabene adalah pendaki atau pencinta alam yaitu orang yang sebagian besar waktunya mereka luangkan untuk kegiatan alam bebas ternyata hampir semuanya tidak memahami mengenai interpretasi alam, apalagi masyarakat umum. 21%
Tahu dan benar Tahu tapi salah Tidak Tahu
79%
Gambar 28 Pengetahuan responden pendaki mengenai Interpretasi Alam Namun setelah responden diberi penjelasan oleh peneliti mengenai interpretasi alam, ternyata hampir semua responden (97%) menyatakan bahwa interpretasi alam adalah suatu hal yang penting untuk diselenggarakan. Bahkan sekitar 97% responden langsung menyatakan minatnya jika kegiatan interpretasi alam ini diselenggarakan di lokasi pendakian ini. 5.4.14. Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Ketika ditanya mengenai dasar pembentukan kegiatan interpretasi alam, ternyata jalur interpretasi alam yang dibuat berdasarkan kelengkapan (melewati berbagai obyek interpretasi alam seperti flora fauna, sungai, air terjun dll) menempati urutan pertama, dimana 23 responden atau 69,7% memilih indikator ini. Menurut para responden dengan jalur interpretasi alam yang lengkap maka akan lebih lengkap pula pengetahuan mereka tentang alam. Sedangkan urutan kedua (6 orang atau 18,2%) untuk kegiatan interpretasi alam ini didasarkan pada kemiringan jalur dan urutan terakhir adalah kegiatan interpretasi alam dirancang berdasarkan durasi dengan responden 4 orang atau 12,1%.
74
12%
18%
Durasi Slope Kelengkapan
70%
Gambar 29 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam 5.4.15. Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam Untuk durasi suatu jalur interpretasi alam, ternyata mayoritas responden menginginkan interpretasi alam yang durasinya lebih dari 3 jam (42,4%) Hal ini mungkin karena menurut mereka durasi yang lainnya terlalu pendek.
Pada
urutan kedua, responden memilih interpretasi alam dengan durasi 1,5 jam (24,2%). 3 jam (18,2%). 6%
24%
1 jam 1 jam 30 mnt
43%
2 jam 3 jam > 3 jam 9% 18%
Gambar 30 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam 5.4.16. Preferensi Kemiringan / Slope Jalur Interpretasi Alam Mayoritas responden (75,8% atau 25 orang) lebih menyukai kemiringan jalur interpretasi alam yang merupakan kombinasi dari kemiringan yang landai dan terjal, yang mungkin disebabkan jika jalur interpretasi alam terjal akan menguras tenaga mereka dan tidak akan sempat menikmati keindahan alam, dan jika jalur terlalu landai mungkin kurang menantang serta cepat membuat mereka bosan. 21%
3%
Landai Terjal Kombinasi
76%
Gambar 31 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam
75
5.4.17. Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Dari segi jalur interpretasi alam, ternyata kebanyakan (69,7%) responden pendaki menyukai jalur yang sampai ke puncak, seperti tujuan utama mereka dalam melakukan pendakian.
Adapun responden yang menginginkan jalur
pendek (dekat batas kawasan) 21.2% atau 7 orang, sedangkan yang mengusulkan hingga ketinggian menengah hanya 9,1% atau hanya 3 orang saja. 9%
21% Hingga Puncak Pendek Ketinggian Menengah 70%
Gambar 32 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam Tabel 26 menunjukkan hasil kuesioner terhadap responden pendaki. Tabel 26 Matriks hasil kuesioner pendaki No.
Karakteristik
Persentase (%)
1
2
3
4
Pengetahuan Jalur Pendakian Jalur Yang Pernah dilalui Tekelan Selo Wekas Guolelo Ngagrong Sumber Informasi Jalur Pendakian Teman Koran/Majalah Promosi dari Pengelola Kawasan Melihat Peta Modus Pendakian Sendiri Kelompok Kecil ( - orang) Kelompok Besar ( - orang) Tujuan Pendakian Rekreasi Pendidikan Penelitian Lain-lain Faktor yang paling berpengaruh dalam memilih jalur pendakian Pemandangan alam Kesejukan udara Pengalaman sebelumnya Alasan yang membuat responden memilih suatu jalur pendakian yang paling sering dilalui Pemandangan alam Waktu tempuh Jarak tempuh
-
Rata-rata 4 jalur
1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Keterangan
36,4 27,3 21,2 9,1 6,1 93,9 0 0 6,1 3,1 42,4 54,5 54,5 18,2 3,1 24,2
Pendakian Massal
137 131 125
Skoring Skoring Skoring
39,4 33,3 27,3
1
76
1
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
2
Preferensi Jalur Pendakian Jalur Selo Jalur Wekas Jalur Tekelan Jalur Ngagrong Jalur Ngablak Jalur Guolelo Tidak Ada Jalur Favorit Preferensi Slope Jalur Pendakian Landai Terjal Kombinasi Pola Beristirahat dalam Pendakian Tempat tertentu Berdasar waktu tertentu Jarak tempuh tertentu Preferensi Tempat Beristirahat Pos Pendakian Tempat di bawah puncak Shelter Tempat Lainnya Kondisi responden melakukan pendakian Sangat baik Baik Obyek Daya Tarik Jalur Pendakian Tumbuhan Hewan Kondisi Medan Pemandangan Jarak Tempuh Pengetahuan Interpretasi Alam Tahu dan jawaban tepat Tahu tapi jawaban tidak tepat Tidak tahu Minat Terhadap Kegiatan Interpretasi Alam Ya Tidak
3
33,3 21,2 21,2 3,0 3,0 15,2 3,0 27,3 3 69,7 60,6 27,3 12,1 66,6 17,2 17,2 14,0 33,3 66,7 3,0 3,0 24,2 51,5 18,2 0 21,2 78,8 97,0 3,0
Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam
Durasi Kemiringan Jalur Kelengkapan Interpretasi Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 1 Jam 30 Menit 2 Jam 3 Jam > 3 Jam Preferensi Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai Terjal Kombinasi Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak Pendek (Dekat Batas Kawasan) Hingga ketinggian menengah
12,1 18,2 69,7 6,1 24,2 9,1 18,2 42,4 21,2 3,0 75,8 69,7 21,2 9,1
4
77
5.5. Karakteristik dan Demand Pengguna (Pengunjung) TN Gunung Merbabu Sebanyak 30 orang berhasil didapatkan sebagai responden di lokasi TWA Tuk Songo Kopeng Kabupaten Salatiga dan di areal wisata yang sekaligus merupakan pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Tarubatang di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. 5.5.1. Karakteristik Responden Pengunjung Dari hasil wawancara didapatkan gambaran karakteristik responden pengunjung didominasi oleh responden yang berjenis kelamin laki-laki, ada sekitar 28 orang responden yang berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini mungkin
berkaitan dengan kebiasaan di masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, termasuk pemimpin ketika melakukan perjalanan atau kunjungan. Sedangkan usia responden rata-rata 26 tahun dengan kisaran responden termuda berusia 15 tahun dan yang tertua 47 tahun. Menurut asal responden ternyata pengunjung berasal dari kota-kota di sekitar lokasi penelitian dengan jumlah terbanyak berasal dari kota Salatiga yaitu 9 orang atau sekitar 30,0%, sedangkan yang berasal dari Magelang dan Boyolali masing-masing ada 4 orang dan yang berasal dari Solo dan Yogyakarta masingmasing berjumlah 3 orang serta sisanya berasal dari Klaten, Semarang, Jepara dan Sukoharjo. Responden mayoritas mempunyai tingkat pendidikan terakhir SMA, yaitu 21 orang atau sekitar 70,0%, sedangkan yang berpendidikan SMP hanya 5 orang serta yang berpendidikan tinggi yaitu jenjang diploma dan sarjana masingmasing 1 dan 3 orang.
Dari jenis pekerjaan, mayoritas responden bekerja
sebagai pegawai swasta dan mahasiswa, masing-masing sebanyak 13 orang (43,3%) dan 8 orang (26,70%) sedang sisanya responden bekerja sebagai wiraswasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pelajar serta 2 orang responden yang menyatakan bahwa pada saat ini belum bekerja. Sekitar 73,30% responden ternyata belum menikah, hal ini mungkin karena jumlah responden yang didapat dalam penelitian ini banyak yang masih berstatus mahasiswa maupun pelajar. Tabel 27 menunjukkan karakteristik responden pengunjung.
78
Tabel 27 Karakteristik responden pengunjung No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Karakteristik Jenis Kelamin - Laki - laki - Perempuan Kelompok Umur a. KU 1 ( < 15 tahun ) b. KU 2 ( 15 – 24 tahun ) c. KU 3 ( 25 – 35 tahun ) d. KU 4 ( > 35 Tahun ) Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana (S1) Pekerjaan Pelajar Mahasiswa Wirausaha PNS Karyawan Swasta Tidak Bekerja Asal Semarang Salatiga Boyolali Solo Yogya Magelang Klaten Sukoharjo Jepara Status Pernikahan Menikah Belum Menikah
Jumlah
Keterangan
93,3 6,7 0 53,3 33,3 13,3 0 16,7 70,0 3,3 10,0 6,7 26,70 10,0 6,7 43,3 6,7 3,3 33,3 13,3 10,0 10,0 13,3 3,3 3,3 3,3 26,7 73,3
5.5.2. Modus dan Tujuan Kunjungan Mayoritas pengunjung datang bersama teman (83,33%), 4 orang responden datang bersama rombongan keluarga dan ada 1 responden yang datang bersama kelompok organisasi. Rata-rata responden datang bersama 6 hingga 7 orang teman. Tujuan kunjungan adalah berpiknik (60,00%) dan berkemah (40,00%). Tampaknya responden melakukan kunjungan untuk sekedar berpiknik dengan teman dan keluarga untuk melepaskan kepenatan akibat rutinitas sehari-hari.
79
3%
0%
13%
Sendiri Bersama Teman Rombongan Kelompok Organisasi
84%
Gambar 33 Modus kunjungan
40% Rekreasi Berkemah 60%
Gambar 34 Tujuan kunjungan 5.5.3. Obyek Daya Tarik Tempat Berwisata Ketika ditanya tentang apa yang disukai dari lokasi tempat mereka melakukan kegiatan wisata, responden paling banyak menyatakan menyukai kesejukan udara di sekitar lokasi (16 orang atau 53,3%). Kemudian disusul oleh faktor pemandangan alam yang disukai oleh 9 orang (30,0%) responden. 17%
Kondisi Hutan Pemandangan alam
53%
Kesejukan udara 30%
Gambar 35 Obyek daya tarik tempat wisata 5.5.4. Lama Waktu Kunjungan Responden Kisaran lama responden dalam berkunjung ke lokasi berkisar antara 2 hingga 24 jam dengan rata-rata lama kunjungan responden sekitar 10 - 11 jam. 5.5.5. Kegiatan yang Dilakukan di Tempat Wisata Sebanyak 11 responden atau sekitar 36,7% melakukan kegiatan menikmati kesejukan udara di lokasi tempat mereka melakukan wisata, disusul oleh mereka yang melakukan kegiatan camping atau menikmati pemandangan alam yang sama-sama dilakukan oleh 9 orang atau 30,0%.
80
3% 30% Berkemah
37%
Menikmati keindahan alam Menikmati kesejukan udara Lain-lain
30%
Gambar 36 Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata 5.5.6. Bagian yang Disukai dari Tempat Wisata Mayoritas responden (43,3% atau 13 orang) menyatakan bahwa bagian yang disukai dari tempat mereka melakukan wisata adalah bagian hutan alam, disusul bagian hutan pinus (30,0% atau 9 orang), kemudian diikuti oleh bagian camping ground dan air terjun yang dipilih oleh 5 orang (16,7%) dan 3 orang (10,0%). 10% 30% Hutan Pinus Camping Ground Hutan alam Air Terjun
43% 17%
Gambar 37 Bagian yang disukai dari tempat wisata 5.5.7. Tingkat Penghasilan Responden Pengunjung Menurut tingkat penghasilan, pengunjung kebanyakan berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Sekitar 90% responden mempunyai penghasilan dibawah 1 juta rupiah per bulan, yaitu 40% responden berpenghasilan di bawah 500 ribu rupiah per bulan dan 50% berpenghasilan antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah, serta hanya sekitar 10% responden yang mempunyai penghasilan antara 1 juta hingga 2 juta rupiah.
Hal ini mungkin
disebabkan karena kebanyakan responden terdiri dari mahasiswa dan pelajar, bahkan ada responden yang belum bekerja. 10%
40%
< Rp. 500 Ribu Rp. 500 Ribu, - < Rp. 1 Juta Rp. 1Juta - < Rp. 2 Juta
50%
Gambar 38 Tingkat penghasilan responden pengunjung
81
5.5.8. Pengetahuan Responden Pengunjung Mengenai Interpretasi Alam Ketika ditanya mengenai istilah interpretasi alam, hanya 3 orang atau 10% responden yang menyatakan tahu tentang interpretasi alam, meskipun jawaban mereka tentang interpretasi alam tidak sepenuhnya benar. Setelah responden diberi penjelasan oleh peneliti tentang interpretasi alam, semua responden (100%) menyatakan atau menganggap pentingnya interpretasi alam, dan sekitar 25 orang (83,33%) langsung menyatakan minatnya untuk mengikuti apabila di lokasi penelitian ada kegiatan interpretasi alam. 10%
Tahu dan Benar Tahu tapi salah Tidak Tahu
90%
Gambar 39 Pengetahuan responden pengunjung mengenai Interpretasi Alam 5.5.9. Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Ketika responden dimintai pendapatnya mengenai 3 hal dasar pembuatan jalur kegiatan interpretasi alam, yaitu durasi, kemiringan/slope jalur dan kelengkapan ternyata kebanyakan menempatkan kelengkapan interpretasi alam diurutan pertama, yaitu sebanyak 17 orang (56,70%), karena mereka berpendapat semakin lengkap interpretasi alam, maka akan menambah pengetahuan mereka. Sedangkan sisanya menganggap durasi 23,3% (7 orang) dan kemiringan jalur 20,0% (6 orang) lebih dikarenakan keterbatasan waktu yang dipunyai responden, serta kondisi fisik mereka yang juga terbatas. 23% Durasi Kemiringan Jalur 57%
Kelengkapan Interpretasi 20%
Gambar 40 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam 5.5.10. Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam Mengenai durasi jalur interpretasi alam ini, secara kumulatif sebanyak 21 orang
(70%)
responden
menyatakan
keinginannya
mengikuti
kegiatan
interpretasi alam mempunyai durasi lebih dari 2 jam, dengan perincian ada 7
82
orang ingin berdurasi 2 jam, 7 orang ingin berdurasi 3 jam dan sisanya 7 orang ingin mempunyai durasi lebih dari 3 jam. 23%
13% 1 Jam 17%
1 Jam 30 Menit 2 Jam 3 Jam
23%
> 3 Jam 24%
Gambar 41 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam 5.5.11. Preferensi Kemiringan / Slope Jalur Interpretasi Alam Jenis kemiringan yang paling disukai dalam interpretasi alam adalah kombinasi antara keduanya, antara terjal dan landai, pendapat ini didukung oleh 25 responden (83,30%). Hal ini mungkin dikarenakan jika jalur interpretasi alam terlalu landai akan membuat mereka cepat bosan, tetapi jika jalurnya terlalu terjal akan membuat responden cepat merasa lelah. Pendapat ini dinyatakan oleh 4 orang responden yang memilih jalur landai dan hanya 1 orang menginginkan kemiringan yang terjal. 13% 3% Landai Terjal Kombinasi 84%
Gambar 42 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam 5.5.12. Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Untuk posisi jalur interpretasi ternyata peminatnya sama antara jalur interpretasi alam hingga puncak dan jalur interpretasi alam yang pendek (dekat batas kawasan), masing-masing diminati oleh 13 orang responden (43,30%), sedangkan sisanya 4 orang lebih suka jika jalur interpretasi alam hanya sampai ketinggian menengah.
Ini mungkin disebabkan jika jalur hanya sampai
ketinggian menengah responden merasa belum menemukan kepuasan batin jika dibandingkan dengan jika jalur interpretasi alam hingga menuju puncak.
83
13%
44%
Hingga puncak Pendek (Dekat Batas Kwsn) Hingga ketinggian menengah
43%
Gambar 43 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam Tabel 28 menunjukkan hasil kuesioner terhadap responden pengunjung. Tabel 28 Matriks hasil kuesioner pengunjung No.
Karakteristik
Persentase (%)
Keterangan
1
2
3
4
1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
Modus Kunjungan Sendiri Bersama Teman Rombongan Kelompok Organisasi Tujuan Kunjungan Rekreasi Berkemah Pendidikan Penelitian Hal yang paling disukai dari tempat wisata Kondisi Hutan Pemandangan alam Kesejukan udara Lain-lain Lama Kunjungan Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata Berkemah Menikmati keindahan alam Menikmati kesejukan udara Lain-lain Bagian yang paling disukai dari tempat wisata Hutan Pinus Camping Ground Hutan alam Air Terjun Sungai Penghasilan Rata-rata dalam sebulan < Rp. 500.000,Rp. 500.000, - < Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000, - < Rp. 2.000.000,> Rp. 2.000.000, Pengetahuan Interpretasi Alam Tahu dan jawaban tepat Tahu tapi jawaban tidak tepat Tidak tahu Minat Terhadap Kegiatan Interpretasi Alam Ya Tidak Preferensi Terhadap Dasar Kegiatan Interpretasi Alam Durasi Kemiringan Jalur Kelengkapan Interpretasi
0 83,33 13,3 3,3 60,0 40,0 0 0 13,3 30,0 53,3 3,3 2 hingga 24 jam 30,0 30,0 36.7 3,3 30,0 16,7 43,3 10,0 0 40 50 10 0 0 10 90 83,3 16,7
23,3 26,7 50,0
rata-rata 10 - 11 jam
84
1
11.
12.
13.
2
3
Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 1 Jam 30 Menit 2 Jam 3 Jam > 3 Jam Preferensi Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai Terjal Kombinasi Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak Pendek (Dekat Batas Kawasan) Hingga ketinggian menengah
4
13,3 16,7 23,3 23,3 23,3 13,3 3,3 83,3 43,3 43,3 13,3
5.6. Aspek Sosial Budaya 5.6.1. Kesiapan Masyarakat Setempat Kesiapan masyarakat setempat dalam hal wisata alam dapat dilihat dari keberadaan masyarakat yang melayani pengunjung atau pendaki, seperti penyediaan sarana penginapan (homestay) atau persinggahan sebelum melakukan
pendakian
(base
start),
pembuatan
suvenir,
ketersediaan
pemandu/penunjuk jalan dan pembawa barang (porter) dalam pendakian serta inisiatif pembuatan paket wisata pendakian. a. Masyarakat Dusun Tekelan Kesiapan masyarakat Desa Tarubatang (jalur Selo) tercermin dari penyediaan base start bagi para pendaki yang berjumlah 4 rumah. Base startbase start tersebut sejatinya merupakan rumah tinggal pribadi namun dibuka bagi para pendaki yang memerlukan tempat beristirahat sejenak sebelum melakukan pendakian dengan mengutip biaya sekitar Rp. 5.000,- untuk setiap pendaki.
Umumnya para pemilik base start juga bersedia melayani apabila
pendaki memerlukan makanan. Sebuah warung di dusun ini menjual suvenir seperti kaos, pin dan stiker yang bertema pendakian Gunung Merbabu melalui jalur Selo.
Selain itu beberapa pemuda setempat tergabung dalam Maspala
(Masyarakat Pemuda Selo Pecinta Alam) yang melayani pendaki yang memerlukan jasa pemandu dan porter. Maspala juga berperan dalam merawat jalur pendakian serta turut menangani korban kecelakaan pendakian maupun kebakaran di Gunung Merbabu. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu juga telah merangkul para pemuda ini untuk disiapkan menjadi sukarelawan (volunteer) taman nasional tersebut. Selain itu beberapa anggota Maspala telah mendapat pelatihan pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006.
85
b. Masyarakat Sekitar TWA Tuk Songo Kopeng Adapun kesiapan masyarakat sekitar TWA Tuk Songo Kopeng lebih kepada wisata massal dengan banyaknya penginapan (homestay) yang tersedia di sekitar taman wisata alam tersebut.
Selain itu banyak penduduk yang
menjajakan makanan dan minuman dengan cara diasong sambil menawarkan tikar sewaan bagi pengunjung.
Namun muncul keluhan dari pengunjung
terhadap cara para pengasong dalam menjajakan dagangannya yang tidak menyenangkan. c. Masyarakat Dusun Tekelan Sedangkan kesiapan Dusun Tekelan dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya base start pendaki yang dikoordinir KOMPPAS (Komunitas Peduli Puncak Syarif). Seperti base start di Selo (Desa Tarubatang), base start KOMPPAS merupakan rumah penduduk yang dibuka bagi para pendaki sebagai tempat persinggahan sebelum melakukan pendakian sekaligus menyediakan makanan. KOMPPAS yang merawat jalur pendakian Tekelan telah mencoba merintis paket wisata pendakian yang diberi nama Seven Summit atau Tujuh Puncak.
Paket ini merupakan paket pendakian melalui jalur Tekelan
menuju puncak Gunung Merbabu yang melewati 7 buah puncak (lebih tepatnya 4 puncak semu yang berupa puncak bukit/punggungan dan 3 puncak sebenarnya yaitu puncak Syarif, puncak Kenteng Songo dan puncak Trianggulasi). Suvenir pendakian juga dibuat oleh KOMPPAS namun produksinya tidak kontinyu. Kelompok yang telah
dibina Balai KSDA Jawa Tengah sebagai Kader
Konservasi jauh hari sebelum terbentuknya organisasi Balai TN Gunung Merbabu ini juga menyediakan jasa pemandu dan porter bagi pendaki yang membutuhkan.
Beberapa anggota KOMPPAS juga telah mengikuti pelatihan
pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006. 5.6.2. Mitos di Gunung Merbabu Secara umum terdapat mitos yang berkembang di kawasan Gunung Merbabu, yaitu dilarang memakai pakaian berwarna hijau atau merah ketika melakukan pendakian serta dilarang mengeluh atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan ketika melakukan pendakian.
86
5.6.3. Cerita Rakyat Selain itu terdapat kepercayaan atau cerita rakyat mengenai kerajaan di Gunung Merbabu, tokoh nenek moyang yang bernama Mbah Syarif dan cerita tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. a. Kerajaan Merbabu Menurut salah satu versi cerita yang berkembang, pada jaman dahulu ketika masa Mataram kawasan Gunung Merbabu ini merupakan sebuah kerajaan yang pusat pemerintahannya di Puncak Kenteng Songo. Salah satu tokoh kerajaan (kemungkinan Ratu) tersebut bernama Dewi Retno Asih.
Setiap
mengadakan perjalanan ke Gunung Merapi pasti melewati Taman Keputren yang mempunyai keistimewaan yaitu memiliki 9 mata air, yang sekarang menjadi Umbul Songo. Kerajaan tersebut mempunyai 2 kelompok pasukan, yaitu pasukan yang berseragam merah dan pasukan yang berseragam hijau. Konon siapapun yang menyamai atau memakai pakaian berwarna merah akan diusir oleh pasukan merah ini. Oleh karena itu para pendaki disarankan tidak menggunakan baju berwarna merah.
Berdasarkan pengalaman, pendaki yang mengalami
kecelakaan di gunung ini umumnya menggunakan pakaian berwarna merah. Sedangkan orang yang memakai pakaian berwarna hijau akan dianggap teman oleh pasukan hijau, sehingga akan dituntun/digiring masuk ke dalam pasukan ini. Seperti pakaian berwarna merah, para pendaki sebaiknya tidak menggunakan baju berwarna hijau.
Kejadian yang sering menimpa orang yang berpakaian
hijau antara lain kesurupan dan kehilangan jalur. Di kawasan Gunung Merbabu dipercaya juga terdapat sarana dan prasarana sebagaimana sebuah ibukota kerajaan, seperti gerbang, alun-alun, pasar dan menara pengintai untuk pertahanan. Yang disebut alun-alun adalah Pos IV Lempong Sampan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat sebelum menghadap raja sekaligus tempat berlatih para prajurit. Posisi pasarnya berada di sebelah barat Lempong Sampan, disebut Pasar Setan.
Sedangkan yang
menjadi gerbang adalah Watu Gubug, yang dahulu disebut Gunung Pertapan yang menjadi tempat berkumpul/pertemuan rakyat yang akan menghadap raja. Rakyat atau orang-orang yang akan menuju pusat kerajaan diintai melalui menara pengintai yang pada saat ini menjadi tempat berdirinya menara TNI yang di dekatnya terdapat Watu Tulis. Konon dahulu terdapat prasasti di lokasi ini,
87
namun sudah tidak ditemui pada saat ini. Setelah itu baru masuk ke lingkungan keraton, yaitu Puncak Kenteng Songo. Beberapa pendapat berbeda pengertian mengenai batu berlubang (kenteng) yang terdapat di Puncak Kenteng Songo. bahwa
batu-batu
tersebut
merupakan
tungku
Ada yang menyebutkan perapian,
ada
yang
menganggapnya sebagai tempat menyimpan harta, dan ada pula yang berpendapat bahwa kenteng tersebut pada jaman dahulu kala merupakan pondasi tiang/sokoguru (Bahasa Jawa = umpak).
Pada saat ini batu-batu
berlubang di Puncak Kenteng Songo hanya 5 buah, 1 buah berada di sekitar Sabana II (Jalur Selo), dan beberapa diambil oleh paranormal dan dibawa turun ke Salatiga dan kota-kota lainnya.
Namun dikatakan apabila seseorang
mempunyai kemampuan lebih (seperti paranormal) maka akan melihat bahwa kenteng di puncak tersebut berjumlah 9 (Bahasa Jawa = songo). Mengenai 1 buah kenteng yang terpisah dan berada di sekitar Sabana II, diceritakan bahwa pada suatu ketika ada orang yang berniat membawanya turun melalui jalur Selo dengan cara menggelindingkannya ke bawah, namun orang tersebut menderita sakit dan tidak meneruskan niatnya sehingga kenteng tersebut dibiarkan (ditinggal) di lokasinya yang sekarang. Kata Merbabu sendiri berasal dari kata ”meru” yang berarti gunung dan ”babu” yang berarti budak atau perempuan, sehingga Gunung Merbabu dianggap sebagai gunung perempuan, sedangkan pasangannya adalah Gunung Merapi yang diposisikan sebagai gunung laki-laki. Anggapan tersebut masih dipercaya hingga saat ini dan dikaitkan dengan korban kecelakaan pendakian di Gunung Merbabu yang umumnya berjenis kelamin laki-laki. Konon apabila seseorang mempunyai hajat tertentu maka untuk mendaki Gunung Merapi wajib melewati Gunung Merbabu terlebih dahulu dengan rute Puncak Kerto (atau yang sekarang disebut Puncak Syarif) - Kenteng Songo - Gunung Merapi agar hajat tersebut terkabul. b. Mbah Syarif Mbah Syarif yang bernama asli Syarifudin ini merupakan tokoh antagonis dari Demak yang dipercaya mempunyai kesaktian tinggi. Suatu ketika Mbah Syarif ini berurusan dengan pihak yang berwenang sehingga melarikan diri (buron) ke kawasan Gunung Merbabu kemudian tinggal dan membuat rumah di salah satu puncak Gunung Merbabu, yaitu Puncak Kerto sehingga puncak tersebut diganti namanya menjadi ”Puncak Syarif”.
Konon kabarnya bukti
88
keberadaan Mbah Syarif ini dapat dilihat dengan adanya peralatan dapur dan tanaman sayuran yang terdapat di lereng timur Puncak Syarif. Makam Mbah Syarif dipercaya berada di lingkungan Puncak Syarif. c. Galar Wutah dan Asal Muasal Dusun Tekelan Konon di jalur Tekelan - puncak terdapat lokasi yang dinamakan Galaran karena banyak tumbuh pohon Galar atau Awar-awar (Ficus septica).
Pohon
Galar ini tidak pernah berbunga, namun pada suatu ketika berbunga dan meneteskan madu dari bunga tersebut. Tetesan madu pohon Galar tersebut menjelma menjadi sesosok manusia sakti yang bernama ”Galar Wutah” dan menguasai (Bahasa Jawa = bahurekso) daerah tersebut. Pada sisi lain, terdapat sebuah dusun di kaki Gunung Merbabu bernama Gili Busung yang pada suatu saat mengalami bencana kekeringan dan banyak penduduknya yang meninggal. Pemimpin dusun yang bernama Kyai Tekel menemui Galar Wutah dan meminta air untuk dialirkan ke dusunnya.
Si Galar Wutah bersedia memberikan air
dengan syarat mereka harus pindah dari dusun mereka yang sekarang, yaitu Gili Busung. Kyai Tekel menyetujui dan akhirnya Galar Wutah mengeluarkan air dari tanah dengan menancapkan tongkat ke dalam tanah. Untuk memenuhi janjinya Kyai Tekel kemudian memindahkan dusun ke tempat yang sekarang menjadi Dusun Tekelan. 5.7. Kebijakan Balai TN Gunung Merbabu 5.7.1. Kebijakan Terkait Pembagian Wilayah Pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dibagi ke dalam 2 (dua) seksi pengelolaan, yaitu Seksi Pengelolaan I Kopeng yang meliputi wilayah Kecamatan Getasan (Kabupaten Semarang), Kecamatan Ampel dan Selo (Kabupaten Boyolali) dan Seksi Pengelolaan II Krogowanan yang meliputi wilayah Kecamatan Sawangan, Pakis, Ngablak dan Candimulyo (Kabupaten Magelang). 5.7.2. Kebijakan Terkait Wisata Alam Di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu pengembangan wisata alam merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan kawasan, namun karena pada saat penelitian dilakukan UPT Balai Taman Nasional Gunung Merbabu relatif baru terbentuk, pengembangan wisata alam belum optimal dan baru memberi perhatian pada kegiatan pendakian Gunung Merbabu. Jalur pendakian Gunung Merbabu yang dinilai aktif dan menjadi fokus Balai TN Gunung Merbabu ada 5, yaitu :
89
-
Jalur Pendakian Selo (Desa Tarubatang, Kec. Selo, Kab. Boyolali)
-
Jalur Pendakian Tekelan (Dusun Tekelan, Desa Batur, Kec. Getasan, Kab. Semarang)
-
Jalur Pendakian Cuntel (Dusun Cuntel, Desa Batur, Kec. Getasan, Kab. Semarang)
-
Jalur Pendakian Wekas (Desa Kedakan, Kec. Pakis, Kab. Magelang)
-
Jalur Pendakian Candisari (Desa Candisari, Kec. Ampel, Kab. Boyolali).
5.7.3. Kebijakan Terkait Zonasi Taman Nasional Berdasarkan rencana pengelolaannya, Taman Nasional Gunung Merbabu dibagi ke dalam 5 (lima) zonasi, yaitu : -
Zona Inti I
-
Zona Inti II
-
Zona Rimba
-
Zona Pemanfaatan dan
-
Enklave. Hasil overlay jalur verifikasi pada peta zonasi Taman Nasional Gunung
Merbabu menunjukkan hanya jalur TWA - Tekelan, jalur Tekelan - Krinjingan serta sebagian dari jalur Tekelan - ”Dufan” dan jalur Tekelan - Watu Tadah yang berada pada Zona Pemanfaatan, sedangkan jalur-jalur lainnya melewati Zona Rimba, Zona Inti II, bahkan Zona Inti I yang berada di sekeliling puncak Gunung Merbabu. Gambar 44 menunjukkan overlay jalur verifikasi pada zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu. 5.8. Analisis Potensi Flora Dan Fauna Hutan Hujan Tropika Pegunungan Rendah maupun Hutan Hujan Tropika Pegunungan Tinggi di kawasan Gunung Merbabu tidak terlalu lebat karena merupakan peralihan antara Hutan Hujan Tropika di Jawa Barat yang relatif lebih basah dan Hutan Hujan Tropika di Jawa Timur yang relatif lebih kering, serta kawasan hutan Gunung Merbabu yang sering dilanda kebakaran hutan sehingga suksesi pertumbuhannya sering terganggu.
Selain itu penebangan liar untuk
mendapatkan kayu bakar, batang Pakis maupun pembuatan arang yang banyak dilakukan masyarakat mengurangi keutuhan hutannya. Demikian juga dengan ekosistem Hutan Tropika Sub Alpin yang sering mengalami kebakaran, menambah kesan kering kawasan taman nasional ini.
90
Gambar 45 menunjukkan overlay jalur verifikasi pada peta tipe vegetasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Verfikasi flora fauna yang dilakukan memperoleh data 84 jenis flora (baik flora berkayu maupun tidak berkayu) serta 81 jenis fauna yang terdiri dari 78 jenis aves dan 3 jenis Mamalia (Tabel 29). Tabel 29 Jumlah jenis flora fauna hasil verifikasi pada setiap jalur No.
Jalur
1. Selo - Puncak 2. Tekelan - Puncak 3. Selo - Mata air 4. Tekelan - Watu Tadah 5. TWA Tuk 9 - Tekelan 6. Tekelan - Krinjingan 7. Tekelan - ”Dufan” 8. Selo - Jurang Warung Total
Jenis Jalur
Pendakian Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian
Jumlah Jenis Fauna Flora
52 13 25 5 3 4 6 48 81
46 47 26 25 13 10 15 32 84
Inventarisasi flora fauna yang dilakukan Balai KSDA Jawa Tengah di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali pada tahun 2005 (BKSDA Jawa Tengah 2005a) memperoleh data 101 jenis flora, 29 jenis fauna yang terdiri dari 25 jenis aves, dan 4 jenis mamalia. Sedangkan inventarisasi lanjutan yang dilakukan oleh institusi yang sama di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang masuk wilayah Kabupaten Magelang pada tahun 2005 (BKSDA Jawa Tengah 2005b) mencatat data flora sebanyak 88 jenis, serta mencatat 28 jenis fauna yang terdiri dari 23 jenis aves, 1 jenis insekta dan 4 jenis mamalia. Dibandingkan dengan data tersebut maka hasil verifikasi penelitian ini mendapatkan data flora yang lebih sedikit namun menghasilkan data fauna yang lebih banyak. Hal ini ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode dan tujuan antara inventarisasi dengan verifikasi, serta perbedaan kemampuan tim dalam hal identifikasi, khususnya dalam identifikasi fauna. Beberapa hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan, diantaranya adalah : -
Dari keseluruhan jalur yang diamati pada penelitian ini (8 jalur) hanya 1 jalur yang sama dengan jalur inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah, yaitu jalur non pendakian Selo - Jurang Warung
-
Jalur yang diambil dalam kegiatan inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah bukan merupakan jalur pendakian utama.
Gambar 44 Overlay jalur verifikasi pada zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu
91
Gambar 45 Overlay jalur verifikasi terhadap tipe vegetasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu
92
93
Apabila dilakukan perbandingan lebih lanjut terhadap data flora yang terdapat dalam semua data (data inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali, Magelang dan hasil penelitian ini) maka flora yang tercatat pada ketiga sumber data ada 39 jenis, yang hanya terdapat dalam inventarisasi di Boyolali ada 31 jenis, yang hanya terdapat dalam inventarisasi di Magelang 9 jenis dan yang hanya didapat dalam penelitian ini ada 31 jenis.
Flora yang
terdapat dalam inventarisasi di Boyolali dan Magelang ada 23 jenis, yang terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan penelitian ini hanya ada 2 jenis dan yang terdapat dalam hasil inventarisasi di Magelang dan penelitian ini ada 7 jenis. Adapun hasil perbandingan lebih lanjut terhadap data fauna yang terdapat pada semua sumber data (Balai KSDA Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali, Magelang dan hasil penelitian ini), hanya 7 jenis fauna terdapat dalam ketiga sumber data tersebut. Fauna yang hanya tercatat dalam hasil inventarisasi di Boyolali ada 10 jenis, fauna yang hanya terdapat di dalam hasil inventarisasi di Magelang ada 13 jenis dan yang merupakan hasil penelitian ini saja ada 57 jenis. Sedangkan fauna yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan Magelang ada 1 jenis saja, yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Boyolali dan penelitian ini ada 8 jenis dan fauna yang hanya terdapat dalam hasil inventarisasi di Magelang dan penelitian ini ada 7 jenis. Beberapa jenis flora dan fauna yang ditemui dalam kegiatan verifikasi yang menarik untuk dimanfaatkan dalam interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu antara lain : a. Kantung semar (Nepenthes sp.) Merupakan flora yang unik, karena mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya.
Dalam verifikasi,
Kantung semar yang disebut penduduk Desa Tarubatang dengan nama ”Kala Pecika” dijumpai pada jalur pendakian Selo, pada jarak 2.200 m dari awal jalur pada ketinggian + 2.253 m dpl. Posisi tumbuhnya tepat di jalur pendakian, pada tepi sebelah kiri.
Semua jenis dari genus Nepenthes statusnya dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Dephut 1999).
Air yang terdapat di dalam kantung
tumbuhan ini dapat diminum, serta dipercaya penduduk setempat dapat mengobati sakit mata.
94
Hasil kegiatan inventarisasi Balai KSDA Jawa Tengah (BKSDA Jawa Tengah 2005a dan 2005b) juga menyebutkan jenis ini dijumpai di Boyolali maupun Magelang. Menurut informasi penduduk Dusun Tekelan, pada jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah sebenarnya terdapat Kantung semar, namun saat ini telah habis diburu untuk dijual sebagai tanaman hias. b. Kerangenan Berfungsi sebagai penghangat badan, dengan cara meremas dan menggosokkan daunnya di tangan kemudian diusapkan ke bagian tubuh yang terasa dingin. c. Bintami (Podocarpus imbricata) Pada jarak 400 m (ketinggian + 1.913 m dpl) jalur Selo - puncak terdapat sebatang pohon Bintami yang sudah berumur 80 tahun.
Jenis ini umumnya
dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Heyne 1987a). d. Edelweis (Anaphalis javanica) Flora ini merupakan flora khas pegunungan yang dikenal dengan bunganya yang abadi. Di kawasan TN Gunung Merbabu, Edelweis tumbuh pada ketinggian mulai + 2.420 m dpl. e. Cantigi (Vaccinium varingifolium) Tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan khas pegunungan, berupa perdu. Cantigi atau Sentigi atau Manis rejo tahan terhadap belerang sehingga lazim ditemui di dekat kawah dan solfatara. Daun mudanya dapat dimakan dengan rasa agak nyaman, begitu pula dengan buahnya yang hitam (Heyne 1987c). f. Arben (Fragraria indica) Perdu yang banyak ditemui sepanjang jalur-jalur pendakian ini mempunyai buah yang mirip buah Arbei (sehingga dinamakan Arben, yang berarti ’seperti Arbei’). Buahnya yang berwarna merah cerah (bahkan merah tua atau hitam) dan berair dapat dimakan, dengan rasa tawar atau manis asam (Heyne 1987b). g. Lutung kelabu (Presbytis fredericae) Lutung kelabu atau Rekrekan merupakan primata endemik Jawa Tengah yang statusnya dilindungi, yang salah satu habitatnya adalah Gunung Merbabu. Satwa ini hidup di hutan tropik atau hutan pegunungan mulai dari 350 – 1.500 m dpl (Supriatna dan Wahyono 2000). Kegiatan verifikasi menjumpai sekelompok (+ 8 ekor) satwa ini sedang berkumpul pada ketinggian + 2.287 m dpl, pada posisi tebing punggungan sebelah kanan jalur pendakian Selo - puncak.
95
Berbagai jenis burung juga dapat menjadi obyek interpretasi alam, terutama pada jalur non pendakian seperti Selo - Jurang Warung. Selain data fauna hasil verifikasi tersebut, berdasarkan data Balai KSDA Jawa Tengah terdapat jenis-jenis endemik yang dapat dimanfaatkan dalam interpretasi alam, seperti Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) dan Macan tutul (Panthera pardus). 5.9. Analisis Pengembangan Interpretasi Alam Pengembangan Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut : - Banyak didatangi pengunjung dan/atau dilalui pendaki - Mempunyai aksesibilitas yang mudah - Mempunyai potensi pemandangan, ekosistem alami atau sumber daya alam yang langka dan unik serta sosial budaya yang menarik untuk dimanfaatkan dalam kegiatan interpretasi alam - Merupakan jalur yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam. Seluruh
jalur
yang
telah
kekurangannya masing-masing.
diverifikasi
mempunyai
kelebihan
dan
Kelebihan suatu jalur dapat langsung
dimanfaatkan dalam rangka kegiatan interpretasi alam. Demikian juga dengan kekurangan yang dimiliki suatu jalur, dapat pula digunakan dalam kegiatan interpretasi alam namun diperlukan suatu pengetahuan dan seni tersendiri untuk memanfaatkan kekurangan tersebut.
Dengan kata lain, kelebihan dan
kekurangan menjadi peluang suatu jalur untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam. 5.9.1. Potensi Jalur Pendakian Selo - Puncak Jalur pendakian Selo mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam karena merupakan jalur utama pendakian dari sisi selatan Gunung Merbabu yang telah banyak dikenal di kalangan pendaki dan banyak didatangi pengunjung. Aksesibilitas menuju ke lokasinya juga relatif mudah. Selain itu adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi yang lembab serta sumber daya alam yang langka dan dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa seperti Kantung semar (Nepenthes sp.) dan Lutung kelabu atau Rekrekan (Presbytis fredericae) ditambah dengan pemandangan alam yang indah di jalur ini meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan.
Keberadaan Lutung kelabu
96
yang merupakan primata endemik Jawa Tengah merupakan fenomena yang menarik karena menurut Supriatna dan Wahyono (2000), satwa ini hidup di hutan tropik atau hutan pegunungan mulai dari 350 – 1.500 m dpl, namun verifikasi menjumpai satwa ini pada ketinggian + 2.287 m dpl, cukup jauh dari kisaran ketinggian habitat yang diketahui.
Hal ini mungkin menunjukkan adanya
penurunan kualitas hutan Gunung Merbabu sehingga memaksa mereka mencari habitat yang lebih tinggi. Bagian (segmen) jalur yang mengalami peristiwa kebakaran hutan dan tanah longsor dapat pula dimanfaatkan dalam interpretasi alam untuk menjelaskan tentang proses suksesi dalam ekologi hutan.
Daerah yang
mengalami erosi dan longsor dapat digunakan untuk menerangkan pentingnya menjaga kelestarian tutupan hutan.
Demikian pula peranannya dalam mitos
sosial budaya Gunung Merbabu seperti Puncak Kenteng Songo dan Watu Lumpang termasuk adanya 1 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu, menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan interpretasi alam di jalur ini. Pada jalur ini juga terdapat percabangan jalur (di dekat Pos I Dok Malang di ketinggian + 2.194 m dpl) yang bertemu kembali dengan jalur utamanya pada ketinggian + 2.592 m dpl (Pos III Watu Tulis), namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah, sehingga hanya penduduk setempat saja yang masih bisa mengenali jalur ini. Jalur cabang ini dapat digunakan sebagai jalur alternatif yang tidak ke puncak. 5.9.2. Potensi Jalur Tekelan - Puncak Sebagai jalur yang banyak dilalui pendaki dan aksesibilitas yang relatif mudah serta lokasinya yang berdekatan dengan TWA Tuk Songo Kopeng, jalur Tekelan - puncak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam. Adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi, ekosistem sungai serta pemandangan alam yang indah merupakan nilai tambah bagi jalur ini untuk dikembangkan. Peranan jalur Tekelan - puncak yang besar dalam mitos sosial budaya Gunung Merbabu seperti Tuk Songo, Puncak Pertapan, Watu Tulis, Puncak Kenteng Songo dan Puncak Syarif termasuk 2 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu merupakan potensinya yang lain untuk dipertimbangkan dalam perencanaan interpretasi alam.
97
5.9.3. Potensi Jalur Selo - Mata Air Meskipun jalur Selo - Mata Air ini merupakan jalur yang pendek, namun masih mempunyai potensi dan nilai tambah untuk dikembangkan menjadi sebuah jalur interpretasi alam, seperti lokasinya yang berada sekitar di jalur yang banyak dilalui pendaki, yaitu jalur Selo dan juga cukup banyak didatangi pengunjung, serta mempunyai aksesibilitas yang mudah. Jalur ini melewati camping ground, ekosistem hutan sekunder dan sungai, ditambah fauna yang keberadaannya cukup menarik seperti Ayam hutan hijau (Gallus varius) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sebuah mata air dan terdapat batu memori (nisan) mahasiswa UNS yang meninggal pada tahun 1992 di lokasi tersebut akibat kecelakaan ketika mengikuti pendidikan pecinta alam, yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam interpretasi alam. Karakteristik jalurnya yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam merupakan suatu bahan pertimbangan tambahan.
Pada titik tertentu jalur ini bertemu/menyambung dengan jalur non
pendakian yang lain, yaitu jalur Selo - Jurang Warung. Apabila kedua jalur ini digabungkan akan didapat sebuah jalur interpretasi alam yang komprehensif. 5.9.4. Potensi Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan Jalur ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki jalur lain, yaitu berawal di kawasan TWA Tuk Songo yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki.
Demikian pula dengan aksesibilitasnya yang sangat mudah, tidak
dimiliki jalur lain. Kelebihan lain dari jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ini adalah adanya mata air dan air terjun di dalam kawasan taman wisata alam ini, serta melewati ekosistem hutan sekunder dan ekosistem kebun. Keberadaannya sebagai jalur penghubung antara TWA Tuk Songo dan Dusun Tekelan dan kemungkinannya untuk dipadukan dengan jalur lain dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi perencanaan interpretasi alam. 5.9.5. Potensi Jalur Tekelan - Watu Tadah Hal-hal yang menjadikan jalur ini berpotensi jalur interpretasi alam antara lain adalah berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki, mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah.
Potensi lain dari jalur ini untuk
dapat dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam adalah adanya ekosistem hutan sekunder, air terjun Watu Tadah dengan pemandangan alam yang indah, serta berbagai fauna seperti Alap-alap (Falco sp.) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ada di tebing menuju air terjun Watu Tadah. Selain itu karakteristik fisik jalur Tekelan - Watu Tadah aman bagi pengunjung. Jalur ini
98
juga masih mempunyai kemungkinan untuk digabung dengan jalur lain di sekitarnya, yaitu jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan dan Tekelan - Dufan. 5.9.6. Potensi Jalur Tekelan - Krinjingan Berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki serta mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah merupakan potensi jalur ini. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder dan air terjun dengan pemandangan alam yang indah meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam, apalagi dengan karakteristik fisik jalur yang landai sehingga aman bagi pengunjung. 5.9.7. Potensi Jalur Tekelan - Dufan Seperti jalur lain yang berawal dari Dusun Tekelan, jalur ini berada pada jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki disamping aksesibilitas yang relatif mudah sehingga menjadikannya berpotensi sebagai jalur interpretasi alam sesuai kriteria yang digunakan. Selain mempunyai ekosistem hutan sekunder, jalur ini juga mempunyai pemandangan alam yang indah dan karakteristik jalur yang relatif landai sehingga aman untuk kegiatan interpretasi alam. 5.9.8. Potensi Jalur Selo - Jurang Warung Jalur non pendakian Selo - Jurang Warung berpotensi untuk dimanfaatkan dalam interpretasi alam karena beberapa keunggulannya, seperti aksesibilitas yang mudah dan berawal dari jalur yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki, melewati 2 tipe ekosistem (hutan sekunder dan ekosistem kebun) dengan dominasi hutan sekunder dari jenis Pinus (Pinus merkusii) dan jenis Akasia (Acacia decurrens), terdapat bagian (segmen) jalur yang dihuni berbagai jenis fauna khususnya aves (burung) yang beraneka ragam, serta mempunyai bagian (egmen) jalur yang berpemandangan alam yang indah. Jalur ini berujung pada jalur non pendakian Selo - mata air sehingga apabila keduanya dipadukan/digabung
akan
didapatkan
sebuah
jalur
interpretasi
yang
komprehensif. Selanjutnya dilakukan skoring terhadap potensi yang dimiliki masingmasing jalur dengan kemungkinan nilai total tertinggi 36 poin dan terendah 7 poin. Hasil penilaian yang dilakukan menunjukkan nilai tertinggi diperoleh jalur Selo - puncak sebesar 29 poin, disusul jalur Tekelan - puncak dan jalur Tekelan Watu Tadah dengan nilai yang sama yaitu 27 poin, sedangkan nilai terendah diperoleh 2 jalur non pendakian yaitu jalur TWA Tuk Songo - Tekelan dan jalur Tekelan - Dufan dengan nilai yang sama yaitu sebesar 22 poin (Tabel 30).
99
100
5.10. Sintesis Dalam tahap ini dilakukan penggabungan hasil penelitian potensi biofisik dan sosial budaya dengan keinginan atau kebutuhan (demand) pengguna yang terdiri dari pendaki dan pengunjung Taman Nasional Gunung Merbabu. Sintesis dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu : Langkah Pertama : Dilakukan perencanaan jalur-jalur baru dari jalur yang telah diverifikasi dengan cara modifikasi jalur ataupun penggabungan 2 jalur/lebih pada jalur-jalur yang
memungkinkan
untuk
dilakukan
penggabungan.
Modifikasi
dan
penggabungan yang dilakukan didasarkan pada : -
Adanya percabangan atau pertemuan 2 jalur/lebih
-
Adanya jalan/jalur tembus (shortcut) diantara 2 jalur/ lebih dan
-
Kedekatan lokasi jalur-jalur yang akan digabungkan. Tujuan modifikasi dan penggabungan ini adalah untuk mendapatkan
alternatif jalur-jalur yang lebih komprehensif sesuai demand pengguna. Tabel 31 menunjukkan hasil modifikasi dan penggabungan yang dilakukan. Tabel 31 Modifikasi dan penggabungan jalur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jalur I Selo - Puncak Selo - Jurang Warung Tekelan - Krinjingan TWA Tuk Songo - Tekelan TWA Tuk Songo - Tekelan TWA Tuk Songo - Tekelan
Jalur II
Jalur III
Jalur Mati Selo Selo - Mata Air Tekelan - ”Dufan” Tekelan - Krinjingan Tekelan - ”Dufan” Tekelan – ”Dufan” Tekelan - Watu Tadah -
Jalur Hasil Selo II* Selo III** Tekelan IV** TWA - Krinjingan ** TWA - “Dufan” ** TWA - Watu Tadah**
* Modifikasi ** Penggabungan
Dari modifikasi dan penggabungan tersebut maka terdapat 14 alternatif jalur yang dapat dikembangkan untuk Interpretasi Alam (Tabel 32). Tabel 32 Alternatif jalur Interpretasi Alam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jalur Selo – Puncak Tekelan – Puncak Selo– Mata Air Tekelan – Watu Tadah TWA Tuk Songo – Tekelan Tekelan – Krinjingan Tekelan – ”Dufan” Selo – Jurang Warung Selo II Selo III Tekelan IV TWA - Krinjingan TWA - Watu Tadah TWA - “Dufan”
Jenis Jalur
Jarak Tempuh
Waktu Tempuh
Pendakian Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian Non Pendakian
6.050 m 6.125 m 900 m 1.000 m 1.000 m 450 m 725 m 2.800 m 4.700 m 3.700 m 1.175 m 1.650 m 2.200 m 1.850 m
7 jam 7 jam 45 menit 1 jam 45 menit 30 menit 1 jam 3 jam 4 jam 3 jam 30 menit 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam
101
Langkah Kedua Penyusunan karakteristik masing-masing jalur yang telah diverifikasi sesuai dengan demand pengguna terhadap kegiatan interpretasi alam (Tabel 33). Tabel 33 Karakteristik jalur sesuai keinginan (demand )pengguna No.
Nama Jalur
Kisaran Durasi
Posisi Jalur
1
2
3
4
5
Selo - Puncak Tekelan - Puncak Selo - Mata Air Tekelan - Watu Tadah TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan - Krinjingan Tekelan - ”Dufan”
420 menit 420 menit 45 menit 60 menit 45 menit 30 menit 60 menit
Hingga Puncak Hingga Puncak Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas)
Terjal Terjal Landai Landai Landai Landai Landai
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
2
Selo - Jurang Warung Selo II Selo III Tekelan IV TWA - Krinjingan TWA - Watu Tadah TWA - “Dufan”
Kemiringan
3
4
5
180 menit 240 menit 210 menit 120 menit 120 menit 120 menit 120 menit
Pendek (Dekat batas) Menengah Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas)
Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi
Langkah Ketiga : Dilakukan pembuatan jalur dengan cara dijitasi manual di atas masingmasing jalur tersebut pada theme baru dalam ArcView GIS 3.3 (Gambar 46).
Theme baru
Dijitasi manual di atas jalur
Gambar 46 Hasil dijitasi manual
102
Langkah Keempat : Dilakukan pengisian atribut dari masing-masing jalur hasil dijitasi dengan fields dan data Nama Jalur, Kisaran Durasi, Posisi Jalur dan Kemiringan seperti yang terdapat di dalam Tabel 33 di atas (Gambar 47).
Fields
Data
Gambar 47 Pengisian atribut masing-masing jalur alternatif Langkah Kelima : Sebelum pemilihan jalur rencana interpretasi alam dengan menggunakan Query Builder, dilakukan penetapan nilai-nilai preferensi yang akan digunakan. Preferensi yang digunakan untuk mendapatkan jalur-jalur yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam adalah preferensi durasi, kemiringan/slope dan posisi jalur interpretasi alam yang berada pada peringkat I (pertama). Hasil kuesioner pendaki dan pengunjung menunjukkan bahwa preferensi durasi 1 jam 30 menit (atau sama dengan 90 menit) hingga 3 jam (atau sama dengan 180 menit) menduduki peringkat I secara kumulatif, sedangkan peringkat II ditempati durasi interpretasi alam > 3 jam (atau sama dengan > 180 menit). Adapun preferensi kemiringan/slope jalur pada peringkat I adalah jalur dengan kemiringan jalur yang bervariasi atau kombinasi medan yang terjal dan landai, sedangkan peringkat II ditempati oleh karakteristik medan yang landai. Namun untuk posisi jalur interpretasi hasil kuesioner agak berbeda, dimana para responden pendaki menempatkan jalur hingga ke puncak pada peringkat I, dan jalur pendek (dekat batas kawasan) pada peringkat II, sedangkan para
103
responden pengunjung menempatkan jalur hingga ke puncak dan jalur pendek (dekat batas kawasan) pada peringkat yang sama, yaitu peringkat I, serta jalur hingga ketinggian menegah pada peringkat II. Tabel 34 Preferensi pengguna TN Gunung Merbabu terhadap Interpretasi Alam No. 1.
2.
3.
Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 1 Jam 30 Menit 2 Jam 3 Jam > 3 Jam Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai Terjal Kombinasi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak Pendek (Dekat Batas Kawasan) Hingga ketinggian menengah
Persentase (%) Pendaki Pengunjung
Peringkat
6,1 24,2 9,1 18,2 42,4
13,3 16,7 23,3 23,3 23,3
III / III
21,2 3,0 75,8
13,3 3,3 83,3
II / II III / III I/I
69,7 21,2 9,1
43,3 43,3 13,3
I/I II / I III / II
I/I II / II
Langkah Keenam : Berikutnya dimasukkan kriteria yang ditetapkan dari masing-masing preferensi (durasi, kemiringan dan posisi jalur atau kombinasinya) pada Query Builder yang tersedia dalam ArcView GIS 3.3. Apabila di dalam peta terdapat jalur yang memenuhi kriteria yang dimasukkan, maka jalur tesebut akan dalam keadaan aktif dan mempunyai warna yang berbeda dengan jalur yang tidak memenuhi kriteria.
Sedangkan di dalam tabel atribut, jalur yang memenuhi
kriteria akan tersorot/highlighted dengan warna kuning (Gambar 48). Query Builder
Jalur Terpilih
Kriteria yang dimasukkan dlm Query Builder (Query Expression) Jalur Terpilih di dlm tabel atribut
Gambar 48 Pemilihan jalur Interpretasi Alam dengan Query Builder
104
Operasi
dengan
menggunakan
Query
Builder
menghasilkan
jalur
interpretasi alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna sebagai berikut : Tabel 35 Jalur Interpretasi Alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna No. 1.
Preferensi Tunggal
Ekspresi Kriteria ([Durasi] > 90 ) and ([Durasi] <= 180)
[Slope] = "Kombinasi"
[Posisi Jlr] = "Hingga Puncak" 2.
3.
Perpaduan 2 Preferensi Durasi+Slope
Jalur Terpilih TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo II Tekelan - Puncak Selo - Puncak
(([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi"))
TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung
Durasi+Posisi (1)
(([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180)) and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak")
Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria
Durasi+Posisi (2)
(([Durasi] > 90) and ([Durasi] <= 180)) and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)")
TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung
Slope+Posisi
([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak") ([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)")
Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung Selo III
(90 < [Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi")and ([Posisi Jlr] = "Hingga Puncak") ([Durasi] > 90 ) and ([Durasi] <= 180) and ([Slope] = "Kombinasi") and ([Posisi Jlr] = "Pendek (Dkt Bts Kws)")
Tidak ada jalur yang memenuhi kriteria
Perpaduan 3 Preferensi Durasi+Slope+ Posisi
TWA - Krinjingan TWA - Dufan TWA - Watu Tadah Tekelan IV Selo - Jurang Warung
Dalam Tabel 35 diatas dapat dilihat bahwa keinginan (demand) pendaki maupun pengunjung untuk mendapatkan suatu jalur interpretasi alam dengan perpaduan 2 preferensi atau lebih yang mengandung kriteria “hingga ke puncak” tidak dapat dipenuhi.
105
Dari proses pemilihan jalur interpretasi alam berdasarkan preferensi penggunanya, ternyata hanya 9 dari 14 alternatif jalur yang terpilih, dan 5 jalur tidak terpilih. Tabel 36 Jalur terpilih berdasarkan preferensi penggunanya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kisaran Durasi
Posisi Jalur
Kemiringan
180 menit 420 menit 240 menit 210 menit 420 menit 120 menit 120 menit 120 menit 120 menit
Pendek (Dekat batas) Hingga Puncak Menengah Pendek (Dekat batas) Hingga Puncak Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas)
Kombinasi Terjal Kombinasi Kombinasi Terjal Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi
Nama Jalur
Kisaran Durasi
Posisi Jalur
Kemiringan
Selo - Mata Air Tekelan - Watu Tadah TWA Tuk Songo - Tekelan Tekelan - Krinjingan Tekelan - ”Dufan”
45 menit 60 menit 45 menit 30 menit 60 menit
Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas)
Landai Landai Landai Landai Landai
Nama Jalur Selo - Jurang Warung Selo - Puncak Selo II Selo III Tekelan - Puncak Tekelan IV TWA - Krinjingan TWA - Watu Tadah TWA - “Dufan”
Tabel 37 Jalur tidak terpilih No. 1. 2. 3. 4. 5.
Dari 9 jalur yang terpilih, dilakukan penghapusan terhadap 1 jalur lagi, yaitu jalur Selo - Jurang Warung. Penghapusan ini dilakukan karena rute jalur Selo Jurang Warung hampir sama dengan jalur Selo III dan untuk menempuh jalur tersebut juga melewati jalur Selo - Mata Air yang berhubungan dengan jalur Selo - Jurang Warung.
Dengan demikian hanya terdapat 8 jalur yang dapat
dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam sesuai dengan keinginan (demand) pengguna (Tabel 38). Tabel 38 Rencana jalur Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu No.
Nama Jalur
Kisaran Durasi
Posisi Jalur
Kemiringan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selo - Puncak Selo II Selo III Tekelan - Puncak Tekelan IV TWA - Krinjingan TWA - Watu Tadah TWA - “Dufan”
420 menit 240 menit 210 menit 420 menit 120 menit 120 menit 120 menit 120 menit
Hingga Puncak Menengah Pendek (Dekat batas) Hingga Puncak Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas) Pendek (Dekat batas)
Terjal Kombinasi Kombinasi Terjal Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi
Langkah Ketujuh : Untuk keperluan pembuatan peta rencana Interpretasi Alam dilakukan pengubahan dari vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk shapefile dengan menggunakan fasilitas “Convert to Shapefile” pada menu dropdown “Theme” dari
106
setiap jalur terpilih, sehingga masing-masing menjadi sebuah theme baru. Hal ini perlu dilakukan agar pada setiap theme jalur dapat dilakukan perubahan ukuran, warna dari garis polygon serta penambahan atribut data, keterangan, hotlink dan sebagainya secara mandiri tanpa bercampur dengan theme lainnya.
Menu dropdown “Theme”
Fasilitas “Convert to shapefile”
Vertex terpilih (aktif)
Theme jalur hasil dijitasi manual dalam keadaan aktif “editing”
Jalur yang telah diubah, menjadi theme tersendiri
Gambar 49 Pengubahan Vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk Shapefile 5.11. Perencanaan Jalur Interpretasi Alam Sebagai tahap terakhir dilakukan perencanaan terhadap 8 jalur yang akan dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu. Perencanaan interpretasi alam ini dilakukan berdasarkan Pedoman Interpretasi Taman Nasional (Ditjen PHPA 1988). 5.11.1. Rencana Satuan atau Unit Interpretasi a. Lokasi Interpretasi Lokasi interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu berada di kawasan TWA Tuk Songo Kopeng dan Dusun Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang termasuk Seksi Pengelolaan I Taman Nasional Gunung Merbabu, yaitu jalur Tekelan - Puncak, Tekelan IV, TWA Krinjingan, TWA - Watu Tadah dan TWA - “Dufan” serta di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali yang termasuk Seksi Pengelolaan II Taman Nasional Gunung Merbabu, yaitu jalur Selo - Puncak, Selo II dan Selo III.
107
b. Jalur Interpretasi Sesuai dengan hasil sintesa terhadap potensi sumberdaya alam dan demand pengguna kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang telah dilakukan, interpretasi alam berada pada 8 jalur yaitu : 1) Jalur Tekelan - Puncak Pada awal jalur interpretasi Tekelan - Puncak ini dapat disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu atau yang biasa disebut enklave. Di sebelah kiri jalur dapat dilihat hutan yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sedangkan di sebelah kanan yang berupa tanah yang ditumbuhi berbagai jenis pohon atau lahan pertanian yang ditanami bermacam komoditi pertanian merupakan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan.
Hutan Sekunder pada
kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum Perhutani, merupakan bahan untuk menceritakan sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Pada jarak + 200 m ketinggian 1.802 m dpl terdapat pohon Galar atau Awar-awar (Ficus septica) yang bisa digunakan untuk menceritakan kisah ”Galar Wutah” dan asal muasal Dusun Tekelan. Selanjutnya pada jarak + 300 m dapat dijumpai tumbuhan Murbei atau Besaran menurut penduduk Tekelan. Murbei merupakan pakan ulat sutera, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menjelaskan manfaat tumbuhan ini. Pos I Pending dapat dicapai setelah berjalan + 700 m. Pada pos yang berupa bangunan permanen ini berdiri di atas tanah milik masyarakat ini dapat disampaikan mengenai bak pengendali dan pipa air yang berada di sekitarnya. Pada jarak + 900 m terdapat sungai kecil di dasar lembah yang bernama Kali Sowo.
Di sungai kecil ini dapat diceritakan siklus air dan kaitannya dengan
hutan.
Pada jarak + 1.200 m ketinggian + 2.037 m dpl, jalur meninggalkan
enklave dan memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Perbatasan antara tanah milik dan kawasan ditandai dengan adanya tumbuhan Bambu Cendani (Bambusa multiplex) atau Pringgendani menurut masyarakat setempat yang memanfaatkan bambu jenis ini sebagai ajir tanaman pertanian mereka. Lokasi bekas kebakaran yang melanda jalur ini pada bulan Agustus 2006 ditemui pada jarak + 1.300 m ketinggian + 2.065 m dpl. Disini dapat disampaikan pentingnya mencegah kebakaran hutan dan dapat pula
108
diceritakan kesulitan yang dihadapi apabila terjadi kebakaran di medan yang terjal dan sulit untuk mendapatkan air seperti di gunung ini. Proses suksesi yang berlangsung juga dapat menjadi bahan untuk menjelaskan proses alamiah yang terjadi setelah suatu kawasan dilanda kebakaran hutan. Peralihan tipe vegetasi yang mulai terlihat pada jarak + 1.500 m dan ketinggian + 2.111 m dpl. Sebagai informasi bagi pengunjung perlu dijelaskan di sini pengaruh ketinggian terhadap ekosistem hutan dan karakteristik pohonpohonnya. Selanjutnya Pos II Pos Ijo yang berupa bangunan semi permanen dari seng bercat hijau dan berada pada jarak + 1.650 m ketinggian + 2.160 m dpl dapat digunakan untuk beristirahat dan menikmati pemandangan di bawahnya. Dapat disampaikan pula pos ini dinamakan juga Pos Pereng Putih karena berada di sekitar tebing yang batuannya berwarna putih mulai dari pos ini hingga jarak + 2.000 m. Selepas dari Pereng Putih pada jarak + 2.100 m ketinggian + 2.200 m dpl terdapat tikungan jalur yang dinamakan “Nglongok” yang berarti “melihat ke bawah” karena dari lokasi ini pemandangan ke bawah serta Pereng Putih dapat terlihat dengan jelas. Lokasi Pos III Gumuk Mentul dapat dicapai setelah berjalan + 2.375 m dengan ketinggian + 2.342 m dpl. Pos ini berupa bangunan semi permanen dari batang kayu dan atap seng.
Di lokasi ini pengunjung dapat beristirahat dan
diberi penjelasan nama Gumuk Mentul yang berarti bukit kecil yang bergelombang, sesuai dengan keadaan di sekitarnya. Pada jarak + 2.500 m dan ketinggian + 2.363 m dpl dapat dijumpai tumbuhan Arben yang buahnya dapat dimakan ketika sudah matang dengan rasa manis keasaman. Setelah melewati jalur yang menanjak sejauh + 450 m, sampailah di Pos IV Lempong Sampan pada ketinggian + 2.509 m dpl yang tumbuhannya sebagian berupa rumput-rumputan. Pos ini tidak memiliki bangunan apapun namun dapat digunakan untuk membuka tenda dan bermalam.
Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat setempat, pada jaman dahulu Pos IV Lempong Sampan merupakan alun-alun kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat sebelum menghadap raja sekaligus tempat berlatih para prajurit dan di sebelah barat Lempong Sampan merupakan pasarnya. Cantigi (Vaccinium varingifolium) yang merupakan tumbuhan khas pegunungan berupa perdu mulai dapat dijumpai selepas Lempong Sampan. Di sini dapat disampaikan bahwa tumbuhan ini tahan terhadap belerang dan lazim ditemui di dekat kawah dan
109
solfatara. Daun mudanya dapat dimakan, begitu pula dengan buahnya yang hitam. Puncak Pertapan atau Watu Gubug yang berada pada ketinggian + 2.729 m dpl merupakan persinggahan berikutnya setelah menempuh jarak + 3.600 m dan jalur yang menanjak dari Pos IV Lempong Sampan.
Dinamakan Watu
Gubug karena di lokasi ini terdapat batu yang berongga seperti sebuah gubug dan digunakan untuk bertapa. Konon Mbah Syarif, tokoh yang pernah mendiami Puncak Syarif juga sempat berlindung di sini dari hujan dan terik matahari. Selama perjalanan menuju lokasi ini akan terlihat atau hanya terdengar suara burung Anis gunung (Turdus poliocephalus). Seperti di beberapa gunung lain seperti Gunung Merapi dan Gunung Lawu, burung ini sering menjadi teman perjalanan para pendaki di sekitar jalur pendakian. Khusus di Gunung Lawu, burung ini disebut Jalak Gading.
Puncak Pertapan juga mempunyai cerita
tersendiri seperti Pos IV Lempong Sampan. Konon, lokasi ini dahulu disebut Gunung Pertapan dan menjadi tempat berkumpul rakyat sebelum menghadap raja di puncak Gunung Merbabu. Pada jarak + 4.100 m di ketinggian 2.885 m dpl terdapat titik pertemuan jalur pendakian Cunthel. Mendaki 50 m dari pertigaan tersebut akan dijumpai menara antena komunikasi TNI (ketinggian + 2.900 m dpl). Konon pada jaman dahulu rakyat yang menuju pusat kerajaan diintai melalui menara pengintai yang berada di tempat yang sama dengan menara TNI yang sekarang. Di sekitar menara TNI tersebut pada jarak + 4.200 m terdapat Puncak Watu Tulis. Dinamakan demikian karena dahulu terdapat batu bertulis (prasasti) bertuliskan huruf Jawa kuno di lokasi ini. Jalur selepas Puncak II Watu Tulis cenderung menurun pada sebuah punggungan. Rumput Bubarjaran mulai dapat dijumpai pada jarak + 4.400 m di ketinggian + 2.898 m dpl, namun di jalur ini tidak terdapat sabana seperti yang terdapat pada jalur Selo – Puncak. Di sini dapat disampaikan bahwa pada sisi selatan Gunung Merbabu akan dijumpai daerah yang ditumbuhi rumput jenis ini sehingga membentuk sebuah sabana.
Selanjutnya pada jarak + 4.600 m pada
ketinggian + 2.883 m dpl terdapat pal batas kabupaten yang dapat digunakan untuk menyampaikan bahwa Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Semarang, Boyolali dan Magelang. Setelah berjalan jarak + 4.800 m ketinggian + 2.910 m dpl sampailah di Pos IV Helipad. Pos ini dinamakan demikian karena berupa dataran yang menyerupai landasan
110
helikopter. Sekitar 50 m jalur berada di punggungan yang diapit dua kawah yaitu Kawah Candradimuka di sebelah kanan dan Kawah Mati di sebelah kiri. Kedua kawah sedikit mengeluarkan asap putih dan bau belerang. Jalur pada jarak + 4.900 m ketinggian + 2.977 m dpl disebut sebagai “Jembatan Setan” karena medannya yang sangat terjal dan memerlukan tenaga yang besar untuk melewatinya. Puncak III Geger Sapi dapat dicapai setelah menempuh jarak + 5.100 m. Lokasi pada ketinggian + 3.000 mdpl ini disebut demikian karena berada pada punggungan/tebing yang terlihat seperti punggung (Bahasa Jawa=geger) seekor sapi.
Selanjutnya jalur bervariasi turun dan menanjak sekitar 300 m hingga
berada pada pertigaan menuju Puncak IV atau Puncak Syarif (ke kiri) dan puncak-puncak lain seperti Puncak Kenteng Songo serta Puncak Triangulasi (ke kanan). Puncak Syarif yang berada di ketinggian + 3.140 m dpl dicapai setelah berjalan menanjak + 125 meter ke arah kiri dari pertigaan tersebut. Pada puncak yang juga mempunyai nama Puncak Kerto ini dapat dikisahkan cerita tentang tokoh yang bernama Mbah Syarif.
Sedangkan Puncak V Ondorante dapat
dicapai setelah berjalan + 125 ke arah kanan dari pertigaan tersebut. Pada jarak + 5.850 ketinggian + 3.135 m dpl terdapat nisan memori Sugiyanto pendaki dari STIKUBANK Yogyakarta yang meninggal pada tahun 2001.
Di sini dapat
diceritakan kronologi kecelakaan yang menimpanya. Puncak Kenteng Songo yang berada pada ketinggian + 3.157 m dpl. dicapai setelah jarak Puncak Kenteng Songo + 5.900 m.
Di sini dapat
diceritakan kepercayaan masyarakat tentang keberadaan batu berlubang di puncak ini. Sekitar 225 m dari Puncak Kenteng Songo atau jarak total + 6.125 m sampailah pada Puncak Triangulasi yang berada pada ketinggian + 3.122 m dpl. 2) Jalur Tekelan IV Jalur ini berawal di Dusun Tekelan yang merupakan salah satu Base Start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu.
Posisi Base Start Dusun
Tekelan berada pada 110 25’ 41.4” BT 07 24’ 55.4” LS dengan ketinggian + 1.662 m dpl.
Di sini dapat diterangkan bahwa Dusun Tekelan berada di dalam
enklave atau tanah milik yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, termasuk sejarah atau cerita rakyat tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. Selanjutnya jalur melewati kebun dan pemukiman penduduk menuju perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Watu Tadah.
Dari awal
111
jalur ini terdapat pemandangan hutan Pinus yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak sambil menerangkan manfaat getah pohon Pinus sebagai bahan baku Gondorukem dan terpentin.
Air terjun Krinjingan dapat dicapai
setelah menempuh jarak + 450 m. Di lokasi ini dapat disampaikan proses siklus air dan tutupan hutan yang mempengaruhi debit air terjun ini. Mata air dan bak pengendali air yang berada di dekat air terjun Krinjingan dapat melengkapi penjelasan siklus air tersebut dan pemanfaatannya bagi penduduk Dusun Tekelan. Untuk menuju “Dufan”, jalur kembali ke percabangan di awal jalur ini dan berbelok ke kiri.
Pakis galar (Cyathea contaminans) yang batangnya
dimanfaatkan untuk media tanaman anggrek dapat ditemui pada jarak + 100 dari percabangan tersebut.
Antanan atau Pegagan (Centella asiatica) yang
bermanfaat untuk mengobati radang hati, campak, bronkhitis dan lain-lain juga terdapat di sekitar bagian (segmen) jalur ini.
Pada jarak + 300 m dari
percabangan terdapat pohon Kina (Chinchona sp.) yang kulitnya merupakan bahan baku obat malaria. Setelah berjalan + 400 m dari perbatasan sampailah di lokasi “Dufan” atau Wetan Pereng. “Dufan” merupakan lembah berpemandangan alam yang indah dengan sungai Kali Bacin yang terdapat di dasar lembah. Selanjutnya jalur memutar mengambil ke kanan pada pertigaan yang ada di sekitar “Dufan”. Selanjutnya setelah menempuh jarak + 300 m dari “Dufan”, jalur akan sampai di perbatasan antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan.
Perjalanan dari ”Dufan” menuju
perbatasan kemungkinan akan diwarnai oleh suara burung Alap-alap (Falco sp.) yang statusnya dilindungi ini.
Di antara “Dufan” dan batas kawasan dapat
disampaikan manfaat Alang-alang (Imperata cylindrica) yang banyak tumbuh di sepanjang jalur tersebut sebagai pereda panas/demam. Tumbuhan Mendang yang biasanya merupakan jenis tumbuhan pionir setelah terjadinya kebakaran hutan banyak ditemui di sekitar batas kawasan. 3) Jalur TWA Tuk Songo - Air Terjun Krinjingan Jalur ini berawal di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng yang berada pada ketinggian + 1.410 m dpl. Dalam jarak 100 m akan melewati sebuah taman bermain yang berada di hutan tanaman Pinus. Disini dapat disampaikan bahwa hutan sekunder pada kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan jenisjenis seperti Pinus (Pinus merkusii) dan Puspa (Schima wallichii). Pohon-pohon
112
tersebut ditanam oleh Perum Perhutani yang merupakan pengelola kawasan ini sebelum berubah menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu, sehingga dapat diceritakan pula sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Selanjutnya jalur mendaki sekitar 400 m.
Setelah itu jalur akan bertemu
pertigaan yang menghubungkan TWA Tuk Songo dengan Dusun Cunthel dan Dusun Tekelan yang keduanya merupakan Base start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu. Untuk menuju Dusun Tekelan diambil arah ke ke kiri sedangkan ke Dusun Cunthel ke arah kanan. Sekitar 500 m jalur akan sampai pada perbatasan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan. Di sini disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan enklave atau pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Ketika
melewati Dusun Tekelan dapat disampaikan asal muasal Dusun Tekelan. Selain itu jenis-jenis tanaman pertanian di jalur ini dapat dijadikan bahan interpretasi alam. Selanjutnya jalur melewati kebun dan pemukiman penduduk hingga kembali berada pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan “Dufan”. Pada jarak + 50 m terdapat percabangan jalur menuju air terjun Krinjingan (kiri) dan “Dufan” (kanan). Pemandangan hutan Pinus yang indah bisa dinikmati di sini, selain penyampaian informasi mengenai manfaat dari getah pohon Pinus (Pinus merkusii) sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin. Perjalanan menuju air terjun Krinjingan akan diwarnai oleh suara burung Alapalap (Falco sp.) yang terbang di sekitar jalur ini.
Di sini dapat disampaikan
mengenai status dan karakteristik dari burung pemangsa (raptor) ini. Setelah menempuh jarak + 450 m dari awal perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan “Dufan”, sampailah pada air terjun Krinjingan. Di lokasi ini dapat disampaikan siklus air yang mempengaruhi debit air terjun ini.
Selain itu
keberadaan mata air dan bak pengendali air di dekat air terjun Krinjingan dapat pula ditambahkan untuk menjelaskan siklus air tersebut dan manfaatnya bagi penduduk Dusun Tekelan. 4) Jalur TWA Tuk Songo - Watu Tadah Seperti jalur TWA Tuk Songo - Krinjingan, jalur ini juga berawal di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng yang berada pada ketinggian + 1.662 m dpl.
113
Sebuah taman bermain yang berada di hutan tanaman Pinus akan terlihat dalam jarak + 100 m. Disini dapat diceritakan sejarah pembentukan Taman Nasional Gunung Merbabu. Selain itu disampaikan juga jenis-jenis yang ditanam oleh Perum Perhutani seperti Pinus (Pinus merkusii) dan Puspa (Schima wallichii) yang membentuk hutan sekunder. Selanjutnya sekitar 400 m ke depan jalur mendaki dan bertemu pertigaan yang menghubungkan TWA Tuk Songo dengan Dusun Cunthel (ke arah kiri) dan Dusun Tekelan (ke arah kanan). Kedua dusun ini merupakan Base Start jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu yang sudah banyak dikenal di kalangan pendaki gunung. Setelah berjalan + 500 m jalur akan sampai pada perbatasan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tanah milik masyarakat Dusun Tekelan. Di sini disampaikan bahwa Dusun Tekelan merupakan enklave atau pemukiman yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Disamping itu juga dapat diceritakan sejarah atau cerita rakyat tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan. Selain itu jenis-jenis tanaman pertanian di jalur ini dapat dijadikan bahan interpretasi alam. Selanjutnya jalur sama dengan jalur pendakian Tekelan - Puncak dengan melewati kebun dan pemukiman penduduk hingga kembali berada pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Watu Tadah. Dari awal jalur ini hingga 300 m ke depan terdapat pemandangan hutan Pinus yang indah. Pada jarak + 400 m dengan ketinggian terdapat pohon Kina (Chinchona sp.) yang dapat dimanfaatkan untuk obat penyakit malaria.
Sebelah kiri jalur pada jarak +
terdapat sungai kecil yang hanya berair pada musim hujan namun lingkungannya cukup lembab meskipun pada musim kemarau. Dapat diceritakan di sini bahwa sebenarnya pada tempat ini dahulu terdapat banyak tumbuhan Kantung semar (Nepenthes sp.), yaitu spesies tumbuhan dilindungi Undang-undang yang mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya. Namun pada saat ini tumbuhan tersebut sulit ditemui karena telah habis diburu untuk dijadikan tanaman hias. Pada jarak + 900 m terdapat sarang burung Alap-alap (Falco sp.) di atas tebing sebelah kanan jalur.
Di sini dapat disampaikan mengenai status dan
karakteristik dari burung pemangsa (raptor) ini. Pemandangan ke arah atas dari titik ini juga menarik. Setelah menempuh jarak + 1.000 m dari awal perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu
114
sampailah di air terjun Watu Tadah yang tersembunyi dan dikelilingi tebing. Di sini juga dapat diceritakan peristiwa meninggalnya seorang pendaki yang tersesat dan baru di ketemukan beberapa minggu setelah hilang di sekitar lingkungan air terjun ini. 5) Jalur TWA - “Dufan” Jalur ini sama dengan jalur TWA - Krinjingan hingga sampai pada perbatasan tanah milik penduduk dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu pada jalur menuju air terjun Krinjingan dan “Dufan”.
Namun dari
percabangan yang berada di dekat perbatasan tersebut diambil jalur ke kanan untuk menuju lokasi “Dufan”.
Di sini tersaji pemandangan hutan Pinus yang
indah. Informasi mengenai manfaat dari getah pohon Pinus (Pinus merkusii) sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin dapat disampaikan di sini.
Pada jarak + 100 dari perbatasan terdapat Pakis Galar (Cyathea
contaminans).
Batang jenis pohon ini banyak dimanfaatkan untuk media
tanaman anggrek.
Selain itu terdapat pula Antanan atau Pegagan (Centella
asiatica) yang bermanfaat untuk mengobati radang hati, campak, bronkhitis dan lain-lain. Pohon Kina yang kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat malaria dapat ditemui pada jarak + 300 m dari perbatasan. Lokasi “Dufan” atau Wetan Pereng setelah berjalan + 400 m dari perbatasan. Di sini terdapat lembah dengan pemandangan alam yang indah. Selain itu pada sungai Kali Bacin yang terdapat di dasar lembah dapat disampaikan informasi mengenai siklus air. Selanjutnya perjalanan diteruskan dengan mengambil jalur ke kanan (memutar) pada pertigaan yang ada di lingkungan “Dufan” ini. Jalur akan sampai di perbatasan antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik penduduk Dusun Tekelan setelah berjalan + 300 m dari “Dufan”.
Selama
menempuh jarak tersebut dapat disampaikan manfaat Alang-alang (Imperata cylindrica) yang banyak tumbuh di sepanjang jalur tersebut sebagai pereda panas/demam.
Pada perbatasan akan banyak dijumpai tumbuhan Mendang
yang biasanya merupakan jenis tumbuhan pionir setelah terjadinya kebakaran hutan. Perjalanan dari ”Dufan” menuju perbatasan juga diwarnai oleh suara burung Alap-alap (Falco sp.) yang terbang di sekitar jalur ini, sehingga dapat disampaikan mengenai karakteristik dari burung yang statusnya dilindungi ini. Gambar 50 dan 51 menunjukkan beberapa jalur Interpretasi Alam yang berada dalam wilayah Seksi Pengelolaan I Taman Nasional Gunung Merbabu.
115
116
117
6) Jalur Selo - Puncak Jalur ini dimulai dari pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang berada di Desa Tarubatang yang berada pada ketinggian + 1.854 m dpl.
Di lingkungan pintu masuk ini terdapat areal yang biasanya
digunakan untuk berkemah (Camping ground).
Ekosistem di awal jalur
merupakan Hutan Sekunder dengan jenis-jenis seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Bintami (Podocarpus imbricata) yang ditanam oleh Perum
Perhutani, yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi sejarah
kawasan konservasi ini sejak sebelum ditunjuk sampai menjadi taman nasional. Selain itu dapat pula disampaikan manfaat getah pohon Pinus yang cukup dominan di areal ini sebagai bahan Gondorukem dan Terpentin yang merupakan campuran berbagai zat kimia yang berguna bagi manusia, salah satunya sebagai campuran cat. Pada jarak 400 m (ketinggian + 1.913 m dpl) dapat ditemui sebatang
pohon Bintami
(Podocarpus imbricata)
yang sudah berumur 80
tahun. Di sini dapat disampaikan bahwa jenis pohon ini banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Pada jarak 600 - 800 m tanaman Puspa padat dan dominan sehingga dapat diceritakan manfaat jenis pohon ini sebagai pakan satwa (daun mudanya) sekaligus menjadi habitat berbagai jenis burung yang dapat dilihat di sini. Selain itu terdapat pula tumbuhan bawah seperti Cakar Ayam (Selaginella plana) yang bermanfaat sebagai obat batuk, penurun panas dan pencuci darah.
Setelah
menempuh jarak 800 m akan dijumpai pertigaan ”Pitikan”, dimana jalur ke kiri akan menuju puncak, sedangkan jalur ke kanan menuju ”Surga Burung” dan daerah Jurang Warung. Pohon Kina (Chinchona sp.) yang terkenal sebagai obat malaria dapat ditemui setelah berjalan sekitar 1000 m.
Pada lokasi yang berada pada
ketinggian + 2000 m dpl ini hutan sekunder mulai berkurang dan berangsur digantikan dengan hutan alam pegunungan.
Hal ini bisa digunakan untuk
menceritakan pengaruh ketinggian terhadap ekosistem hutan dan karakteristik pohon-pohonnya. Pada jarak 1200 m terdapat pohon Kayumanis (Cinnamommum sp.) dan Kerangenan (nama latinnya tidak teridentifikasi). biasa
digunakan sebagai penyedap
Pohon Kayumanis kulitnya
masakan, sedangkan daun pohon
Kerangenan dapat digunakan untuk penghangat badan dengan cara meremas dan menggosokkannya ke tubuh.
118
Selanjutnya Pos I Dok Malang yang berada di ketinggian + 2.194 m dpl dapat ditemui setelah berjalan sekitar 1700 m.
Pos pendakian yang berupa
tanah terbuka tanpa bangunan ini dapat digunakan untuk beristirahat sejenak. Sekitar 100 m dari pos ini terdapat percabangan yang merupakan jalan pintas menuju Pos III Watu Tulis, namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah. Jalan pintas yang sudah tidak aktif (mati) ini merupakan jalur interpretasi alam Selo II. Berjalan 200 m dari Pos I Dok Malang jalur sedikit menurun, di sini pohon-pohon ditumbuhi berbagai jenis lumut yang menunjukkan daerah ini mempunyai kelembaban yang lebih tinggi. Pada jarak 1900 m terdapat daerah yang mengalami kebakaran hutan pada tahun 2006 sehingga kondisi hutannya terbuka.
Namun kondisi ini dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan
pentingnya mencegah kebakaran hutan dan proses suksesi yang berlangsung disini dapat menjadi bahan untuk menjelaskan proses alamiah tersebut. Pada jarak 2000 m terdapat sebuah alur. Alur ini disebabkan oleh bencana longsor yang terjadi di awal tahun 2007 yang aliran lumpurnya mencapai pemukiman penduduk dan meminta korban jiwa.
Hal ini bisa menjadi bahan diskusi
mengenai pentingnya melestarikan hutan untuk mencegah terjadinya bencana longsor. Tumbuhan Kantung semar (Nepenthes sp.) dapat dijumpai pada jalur ini setelah menempuh jarak 2.200 m dari awal jalur dan pada ketinggian + 2.253 m dpl. Kantung semar yang disebut penduduk Desa Tarubatang dengan nama ”Kala Pecika” merupakan flora yang unik, karena mempunyai kemampuan menjebak serangga dengan cairan yang ada di dalam kantungnya. Uniknya lagi, penduduk setempat mempercayai air di dalam kantung dapat menyembuhkan sakit mata. Selain itu dapat disampaikan pula bahwa tumbuhan ini statusnya dilindungi sehingga hanya hasil budidaya saja yang boleh diperdagangkan. Selanjutnya pada jarak 2.300 m ketinggian 2274 m dpl perjalanan akan sampai di Pos II bayangan Dok Cilik. Disebut pos bayangan karena sebenarnya pos ini bukanlah pos pendakian yang ”resmi”. Disini dapat diceritakan bahwa pos bayangan ini terbentuk karena jarak antara Pos I Dok Cilik dan Pos II Pandean terlalu jauh (+ 1.100 m) sehingga pendaki memerlukan sebuah pos diantara keduanya untuk beristirahat. Bila sedang beruntung, kawanan Lutung kelabu (Presbytis fredericae) atau Rekrekan yang merupakan primata endemik Jawa Tengah dapat dilihat sedang berkumpul pada jarak 2400 m dan ketinggian
119
+ 2.287 m dpl, pada posisi tebing punggungan sebelah kanan jalur pendakian Selo - puncak.
Satwa ini statusnya juga dilindungi perundang-undangan. Pada
jarak 2.700 m dapat dijumpai pohon Jurang atau Urang-urangan (Villebrunea rubescens) yang bunganya menjadi makanan burung Katik dan Sesap madu. Pada ketinggian 2.800 m sampailah di Pos II Pandean. Lokasi pos yang berada pada ketinggian + 2.425 m
vegetasinya merupakan peralihan antara
hutan hujan pegunungan dan hutan hujan sub alpin, sehingga kondisinya agak terbuka dengan pohon-pohon yang tumbuh sporadis. Setelah berjalan sekitar 3000 m, pada ketinggian + 2.464 m dpl mulai tumbuh Edelweis (Anaphalis javanica).
Flora ini merupakan flora khas pegunungan yang dikenal dengan
bunganya yang abadi. Selanjutnya pada jarak 3.400 m ketinggian 2.592 m dapat ditemui Pos III Watu Tulis. Pada pos pendakian tanpa bangunan ini terdapat sebuah batu yang banyak bertuliskan coretan para pendaki. Di sini dapat disampaikan himbauan agar tidak melakukan tindakan vandalisme yang mengurangi atau merusak keindahan alam seperti coretan pada batu dan sarana prasarana pendakian maupun pahatan pada batang-batang pohon. Pos III ini juga sering disebut sebagai ”Bukit Penyesalan” karena banyak pendaki yang menyesal mengira bukit ini sudah dekat dengan puncak Gunung Merbabu. Di lokasi inilah bertemu jalur pendakian Selo - Puncak dengan jalur non pendakian Selo II. Pada jarak + 3600 m ketinggian + 2.674 m terdapat nisan memori Hery Susanto, seorang pendaki gunung dari Surabaya yang meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1997. Kecelakaan pendakian yang dialami almarhum dapat diceritakan disini. Mulai jarak 3.900 m dan ketinggian + 2.777 m dpl terdapat ekosistem sabana yang di kalangan pendaki yang biasa mendaki gunung ini disebut Sabana I dan Sabana II. Sabana I dipisahkan oleh sebuah bukit dengan Sabana II (pada jarak 4.500 m dan ketinggian + 2.867 m dpl). Sabana yang indah ini didominasi rumput Bubarjaran.
Pemandangan Gunung Merapi yang megah
dapat dilihat dari lokasi ini. Jalur yang melewati sabana panjangnya mencapai + 900 m. Puncak Triangulasi yang berada pada jarak 5.487 m ketinggian + 3.122 m dpl, dapat dicapai sekitar 1 jam dari Sabana II dengan perjuangan yang berat karena medan jalur yang terjal. Sekitar 225 m dari Puncak Triangulasi atau jarak total + 5.625 m sampailah pada Puncak Kenteng Songo yang berada pada
120
ketinggian + 3.157 m dpl. Dari kedua puncak ini dapat dilihat pemandangan alam secara menyeluruh tanpa halangan. Di sini dapat diceritakan mengenai berbagai pendapat yang berbeda mengenai batu berlubang (kenteng) di Puncak Kenteng Songo.
Selain itu dapat pula dijelaskan mengenai tumbuhan Cantigi
atau Sentigi atau Manis rejo yang mempunyai nama ilmiah Vaccinium varingifolium yang merupakan tumbuhan khas pegunungan, tahan terhadap belerang sehingga lazim ditemui di dekat kawah dan solfatara. 7) Jalur Selo II Sejak awal jalur (pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu) hingga ke Pos III Watu Tulis, interpretasi alam di jalur ini sama dengan interpretasi alam jalur Selo - Puncak.
Pada Pos III Watu Tulis jalur ini terpisah dari jalur Selo -
puncak dengan mengambil jalur ke kiri (arah barat). Berjalan sekitar + 100 dari Watu Tulis akan dijumpai areal yang mengalami kebakaran hutan, sehingga kondisinya terbuka, banyak batang pohon yang menghitam menjadi arang dan mati walaupun proses suksesi yang ditandai dengan tumbuhnya jenis-jenis tumbuhan bawah seperti Sapen dan Mendang dan berbagai jenis rumput. Selain itu banyak ditemui tumbuhan perdu yang dinamakan Arben. Arben mempunyai buah yang mirip buah Arbei (sehingga yang berarti ’seperti Arbei’) yang dapat dimakan, dengan rasa manis keasaman. Jalur ini akan melewati areal tersebut sepanjang + 750 m.
Setelah itu jalur akan menempuh medan yang penuh
dengan Alang-alang (Imperata cylindrica) sepanjang + 200 m. Akar tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai pereda panas/demam. hutan sekunder yang tidak terbakar.
Kemudian jalur melewati
Setelah + 500 m jalur akan bertemu
kembali dengan jalur pendakian Selo - puncak. 8) Jalur Selo III Sejak awal jalur (pintu masuk Taman Nasional Gunung Merbabu) hingga ke pertigaan ”Pitikan” interpretasi alam di jalur ini sama dengan interpretasi alam jalur Selo – Puncak.
Namun mulai dari pertigaan tersebut jalur berbelok ke
kanan menuju ”Surga Burung” yang berjarak sekitar 100 m. Pada lokasi ini dapat dijumpai berbagai jenis burung seperti Pleci atau Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Cikrak daun (Philloscopus erivirgatus), Sikatan belang (Ficedula westermanni), Sepah gunung (Pericrocotus miniatus), Ceret gunung (Cettia volcania), Bentet (Lanius schach), Sepah hutan (Pericrocotus flameus), Kipasan biasa (Rhipidura javanica), Kipasan ekor merah (R. phoenicura), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Sikatan ninon (Eumyas indigo), Gelatik batu (Parus major), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Cikrak kutub (Philloscopus
121
borealis), Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan lain-lain. Pada jarak 900 m ketinggian + 1.954 m dpl jalur akan berada di tepi jurang yang lembab.
Salah satu tumbuhan yang ada adalah Pakis Galar (Cyathea
contaminans) yang batangnya biasa digunakan sebagai media tanaman anggrek. Tidak jauh akan terdapat pertigaan, jalur yang lurus menuju Desa Surodadi sedangkan jalur yang ke kiri menuju hutan Pinus yang dapat dijangkau setelah 200 m. Di hutan Pinus yang merupakan tanaman tahun 1979 ini juga dapat dilihat berbagai jenis burung, salah satunya Sepah hutan (Pericrocotus flameus) yang biasa terbang berkelompok dari pohon ke pohon.
Di sini juga dapat
disampaikan manfaat dari getah pohon Pinus sebagai bahan baku pembuatan Gondorukem dan terpentin. Selanjutnya jalur menurun dan melewati pohon-pohon dari jenis Akasia dekuren pada jarak + 2.100 hingga 2.200 m. Pada Setelah menempuh jalur sepanjang 2.225 m akan dijumpai pal batas yang berjumlah 2 buah. Di sini dapat diceritakan bahwa pal batas berfungsi sebagai tanda batas antara kawasan Taman Nasional Merbabu dengan tanah milik masyarakat. Adapun bentuk dari 2 pal yang berbeda tersebut menunjukkan waktu pemasangannya, dimana pal yang berbentuk persegi dipasang lebih dahulu pada masa awal pengelolaan Perhutani, sedangkan pal yang berbentuk bulat merupakan pal yang terbaru. Setelah menempuh jarak + 2.800 m sampailah pada lembah dengan sungai kecil di dasarnya. Meskipun sungai ini musiman namun suasana lembab cukup terasa dengan banyaknya tumbuhan sejenis suplir dan Pakis Galar. Sekitar 100 dari lembah jalur bertemu dengan jalan setapak yang menghubungkan Desa Tarubatang dengan Desa Surodadi. Untuk kembali ke Desa Tarubatang, jalur menuju ke arah kanan. Pada jarak + 3.600 m ketinggian + 1.864 m dpl terdapat mata air. Di sini dapat disampaikan siklus air dan peranan hutan dalam menyimpan air hujan.
Di sekitar mata air ini terdapat nisan memori
mahasiswa UNS yang meninggal pada tahun 1992. Kronologi kecelakaan yang terjadi juga dapat diceritakan. Selanjutnya jalur berakhir di pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu setelah menempuh jarak + 3.800 m. Gambar 52 menunjukkan peta jalur Interpretasi Alam Selo - Puncak, sedangkan Gambar 53 menunjukkan peta jalur Interpretasi Alam Selo II dan Selo III yang berada dalam wilayah Seksi Pengelolaan II Taman Nasional Gunung Merbabu.
122
123
124
c. Papan informasi dan pal-pal interpretasi Papan informasi yang berupa papan penunjuk arah, papan nama, papan informasi interpretasi. Papan penunjuk arah terutama perlu dipasang pada awal jalur
dan
pertigaan-pertigaan
jalur
yang
bertujuan
pengunjung pada jalur interpretasi yang diikuti.
untuk
mengarahkan
Papan nama dipasang pada
tempat-tempat tertentu seperti air terjun, sungai, pos pendakian dan pada lokasi tumbuhan tertentu untuk menjelaskan nama, nama daerah, nama ilmiah, keistimewaan serta manfaat tumbuhan yang bersangkutan.
Papan informasi
interpretasi alam ditempatkan pada awal jalur maupun lokasi-lokasi tertentu untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan interpretasi seperti nama jalur, peta jalur, waktu tempuh dan materi interpretasi alam yang ada di masingmasing jalur. Sedangkan pal-pal interpretasi sedapat mungkin dibuat sepanjang jalur dengan jarak antar masing-masing jalur sejauh 100 m. Pal-pal interpretasi ini berguna
untuk
membantu
pengunjung
mengetahui
lokasi suatu
materi
interpretasi berdasarkan buku panduan interpretasi alam yang disediakan. Papan informasi dan pal interpretasi diberi warna berbeda untuk tiap jalur. d. Wisma Bina Cinta Alam Untuk dapat mewujudkan fungsinya sebagai pengubah alam pikiran pengunjung dari suasana luar ke alam lingkungan kawasan yang dikunjungi, maka Wisma Bina Cinta Alam harus menyajikan materi mengenai kondisi dan segala sesuatu yang ada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, termasuk kegiatan interpretasi alam. Selain itu disajikan pula materi mengenai taman nasional-taman nasional atau kawasan konservasi lain yang ada di seluruh Indonesia, serta program-program konservasi yang perlu disebarluaskan. Materi yang perlu disediakan dalam Wisma Bina Cinta Alam ini antara lain : -
Peta kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta topografi dan vegetasi kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta lokasi sarana dan prasarana di kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta jalur interpretasi alam TN Gunung Merbabu
-
Maket kawasan TN Gunung Merbabu
-
Panil sejarah TN Gunung Merbabu
-
Panil foto-foto potensi TN Gunung Merbabu
-
Panil foto-foto kegiatan TN Gunung Merbabu
-
Peta kawasan konservasi di seluruh Indonesia
125
-
Panil foto-foto kawasan konservasi di seluruh Indonesia
-
LCD projector dan film dokumentasi mengenai TN Gunung Merbabu dan kawasan konservasi lain di seluruh Indonesia
-
Panil tata tertib pengunjung
-
Pustaka
-
Brosur mengenai TN Gunung Merbabu
-
Brosur mengenai kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu
-
Buku panduan kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu.
e. Pusat informasi Untuk dapat mewujudkan fungsinya sebagai pusat data dan informasi mengenai kawasan yang dikunjungi, maka pusat informasi harus menyajikan seluruh materi mengenai kondisi, program interpretasi dan segala sesuatu yang terjadi dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Selain itu pusat
informasi juga berfungsi sebagai tempat pendaftaran ulang dan pemeriksaan barang bawaan para pendaki Taman Nasional Gunung Merbabu. Beberapa hal yang perlu disediakan dalam pusat informasi ini antara lain : -
Peta kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta topografi dan vegetasi kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta lokasi sarana dan prasarana di kawasan TN Gunung Merbabu
-
Peta jalur interpretasi alam TN Gunung Merbabu
-
Maket kawasan TN Gunung Merbabu
-
Panil sejarah TN Gunung Merbabu
-
Panil foto-foto potensi TN Gunung Merbabu
-
Panil foto-foto kegiatan TN Gunung Merbabu
-
Panil tata tertib pengunjung
-
Brosur mengenai TN Gunung Merbabu
-
Brosur mengenai kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu
-
Buku panduan kegiatan interpretasi alam di TN Gunung Merbabu
-
Tempat pendaftaran ulang sekaligus pemeriksaan barang bawaan pendaki. Pusat informasi perlu dibangun di pintu masuk TWA Tuk Songo Kopeng
dan pintu masuk Desa Tarubatang. 5.11.2. Rencana Kegiatan Interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dilakukan dengan menyusun beberapa bentuk kegiatan. bentuk kegiatan interpretasi alam tersebut.
Tabel 39 menyajikan bentuk-
126
Tabel 39 Rencana kegiatan Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu No. Program Interpretasi 1. Kemah Konservasi
2. Pengenalan dan pengamatan jenis flora fauna, birdwatching
3. Lintas alam, pendakian
Materi Yang Disiapkan - Pengenalan peraturan dan tata tertib - Pengenalan proses-proses penyangga kehidupan - Pengenalan konsepsi KSDAH & E - Sejarah konservasi di dunia dan di Indonesia - Sejarah TN Gunung Merbabu - Pengenalan potensi flora fauna di jalur interpretasi TN G. Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Pengenalan cara-cara survival di hutan - Sejarah penyebaran jenis flora fauna di dunia dan di Indonesia - Pengenalan tipe-tipe ekosistem, potensi flora fauna di jalur interpretasi TN Gunung Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Pengenalan perilaku satwa - Identifikasi dan klasifikasi jenis flora fauna - Pengenalan peraturan dan tata tertib pendakian - Sejarah TN Gunung Merbabu - Pengenalan proses-proses penyangga kehidupan di jalur interpretasi TN Gunung Merbabu - Pengenalan potensi flora fauna di jalur interpretasi TN G. Merbabu, ciri khas, status hukum dan manfaatnya - Mitos dan sejarah Gunung Merbabu
5.11.3. Klasifikasi Jalur Interpretasi Alam Berdasarkan Kelas Umur Peserta Untuk membantu calon peserta kegiatan Interpretasi Alam dalam memilih jalur interpretasi berdasarkan kemampuan fisik mereka, pada kedelapan jalur tersebut dilakukan klasifikasi jalur berdasarkan kelompok umur peserta (Tabel 40). Tabel 40 Klasifikasi jalur Interpretasi Alam berdasarkan KU pengguna No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Jalur Selo - Puncak Selo II Selo III Tekelan - Puncak Tekelan IV TWA - Krinjingan TWA - Watu Tadah TWA - “Dufan”
Kisaran Durasi
Jarak Tempuh
Kemiringan
Kelompok Umur
420 menit 240 menit 210 menit 420 menit 120 menit 120 menit 120 menit 120 menit
6.050 m 4.700 m 3.700 m 6.125 m 1.175 m 1.650 m 2.200 m 1.850 m
Terjal Kombinasi Kombinasi Terjal Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi
KU 2, 3 KU 2, 3 KU 1, 2, 3 KU 2, 3 KU 1, 2, 3, 4 KU 1, 2, 3, 4 KU 1, 2, 3, 4 KU 1, 2, 3, 4
Keterangan : KU 1 : < 15 tahun KU 3 : 25 – 35 tahun
KU 2 : 15 – 24 tahun KU 4 : > 35 tahun
Gambar 54 menunjukkan klasifikasi jalur interpretasi alam berdasarkan kelompok umur peserta pada peta Taman Nasional Gunung Merbabu.
Gambar 54 Peta pengelompokan jalur Interpretasi Alam berdasarkan Kelompok Umur peserta
127
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan sintesis antara potensi jalur dan kebutuhan (demand) pengguna, maka terdapat 8 jalur yang memenuhi kriteria untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu, yaitu jalur Selo - puncak, Tekelan - puncak, Selo II dan III, Tekelan IV, TWA - Krinjingan, TWA - Watu Tadah dan TWA - “Dufan”. Jalur Selo - puncak memiliki kekhasan ekosistem sabana dan flora fauna yang dilindungi atau endemik seperti Lutung kelabu (Presbytis fredericae) dan Kantung semar (Nepenthes sp.), jalur sejauh + 6.050 m, memerlukan waktu tempuh normal + 7 jam dengan tingkat kesulitan tinggi karena medan yang terjal dan menanjak. Sedangkan jalur Tekelan - puncak (+ 6.125 m) mempunyai kedudukan penting dalam aspek sosial budaya masyarakat sekitar Gunung Merbabu, memiliki kondisi ekosistem hutan hujan pegunungan yang relatif terganggu akibat sering terbakar.
Waktu tempuh normal jalur ini + 7 jam, juga mempunyai
ekosistem sabana (tidak seluas pada jalur Selo - puncak). Tingkat kesulitan jalur ini juga tinggi karena medan yang cenderung terjal dan menanjak. Jalur Selo II merupakan jalur yang mempunyai kondisi ekosistem serupa jalur Selo - puncak, dengan kekhasan ekosistem sabana dan flora fauna yang dilindungi atau endemik seperti Lutung kelabu (Presbytis fredericae) dan Kantung semar (Nepenthes sp.). Panjang jalur ini + 4.700 m dengan waktu tempuh + 4 jam dan memiliki tingkat kesulitan sedang, dengan kombinasi medan yang mendaki dan menurun. Jalur Selo III yang mempunyai kelebihan pada keanekaragaman fauna, khususnya fauna, berjarak tempuh + 3.700 m dan dapat ditempuh dalam 3 jam serta memiliki tingkat kesulitan rendah dengan medan yang landai. Untuk jalur Tekelan IV, kondisi ekosistemnya didominasi oleh hutan sekunder berupa hutan Pinus. Jalur yang mempunyai pemandangan alam yang indah ini panjangnya hanya + 1.175 m, dengan tingkat kesulitan yang rendah karena medannya yang cenderung landai, waktu tempuh 2 jam atau bahkan kurang. Ekosistem jalur TWA - Krinjingan berupa hutan sekunder dengan jarak tempuh + 1.650 m dan waktu tempuh sekitar 2 jam. Kondisi medan jalur ini relatif landai dan memiliki tingkat kesulitan rendah.
129
Jalur TWA - Watu Tadah yang merupakan jalur non pendakian umumnya berupa ekosistem hutan sekunder dengan panjang jalur + 2.200 m, waktu tempuh 2 jam dan tingkat kesulitan yang rendah. Jalur TWA - “Dufan” yang mempunyai pemandangan indah juga memiliki kondisi ekosistem yang didominasi hutan sekunder, jarak tempuh + 1.850 m dan waktu tempuh 2 jam, tingkat kesulitan yang rendah serta kondisi medan landai. 6.2. Saran Bagi pengembangan wisata alam khususnya interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, beberapa saran yang diajukan adalah : - perlu dilakukan penelitian serupa pada jalur pendakian maupun non pendakian yang lain di kawasan taman nasional ini - Jalur-jalur yang telah diteliti hendaknya segera dikembangkan dan dipasarkan sehingga dapat bermanfaat bagi pengunjung, masyarakat dan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005a. Inventarisasi Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali. Semarang : Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005b. Inventarisasi Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang. Semarang : Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2006. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu. Semarang : Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta : Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Jakarta : Dephut. [Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan. Bogor. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta _______ . 1987b. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta _____ _ . 1987c. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta Knapp D, Benton MG. 2004. Elements to Succesful Interpretation : A Multiple Case Study of Five National Parks. Journal of Interpretation Research Volume 9 No. 2. : 9-26. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. MacKinnon, J., K Phillips dan B van Ballen. 1992. Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Seri Panduan Lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
131
Maryadi D. 2003. Peluang Pengembangan Ekowisata di Kawasan Rawa Danau dan Sekitarnya, Kabupaten Serang, Propinsi Banten [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muntasib EKSH. 2003a. Interpretasi Wisata Alam. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Muntasib EKSH. 2003b. Perkembangan Interpretasi di Indonesia. Di dalam : Muntasib EKSH dan Rachmawati E, editor. Pengembangan Interpretasi dan Wisata Alam; Bogor, 9 Desember 2003. Studio RA dan E DKSHE Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 20-28. Prahasta E. 2002. Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView. Penerbit Informatika. Bandung. Puntodewo A, Dewi S, Tarigan J. 2003. Sistem Informasi Geografis : Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Center for International Forestry Research. Bogor. Rahmat UM. 1996. Prospektus Interpretasi Wisata Agro di Taman Buah Mekarsari Cileungsi Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rachmawati E, Muntasib EKSH. 2002. Pendidikan Konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun. Media Konservasi Volume VII No. 3 : 113-120. Roslita. 2001. Perencanaan Lanskap Wisata di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Propinsi Jambi Menggunakan Sistem Informasi Geografis [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setyono D. 2003b. Interpretasi Ekowisata di Taman Nasional. Di dalam : Muntasib EKSH dan Rachmawati E, editor. Pengembangan Interpretasi dan Wisata Alam; Bogor, 9 Desember 2003. Studio RA dan E DKSHE Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 13-19. Sharpe GW. 1982. Interpreting The Environment. John Wiley & sons. New York. Soedargo S, Muntasib EKSH, Rinaldi D. 1989. Interpretasi Lingkungan. Media Konservasi Volume II No. 3 : 49-53. Soerianegara I, Indrawan A. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. Tilden F. 1975. Interpreting Our Heritage. The University of North Carolina Press. Chapel Hill, North Carolina.
Lampiran 1. Kuesioner untuk pengunjung KUESIONER UNTUK PENGUNJUNG No. Responden Lokasi Wawancara Tanggal Nama Responden Asal Responden Jenis Kelamin Umur Responden Pendidikan Terakhir Pekerjaan Status Pernikahan 1.
2.
: : : : : : : : : :
………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. …………………………………………………..
Anda berkunjung bersama dengan ? a. Sendiri c. Rombongan Keluarga (……..orang)
b. Teman (……..orang) d. Kelompok organisasi (……..orang)
Kunjungan Anda di tempat wisata ini dalam rangka ? a. Piknik b. Berkemah d. Penelitian e. Lain-lain
c. Pendidikan
3.
Apa yang Anda sukai dari tempat ini? a. Kondisi Hutan b. Pemandangan alam c. Kesejukan udara d. Lain-lain, (sebutkan)……………………………..
4.
Berapa lama Anda berkunjung di tempat ini ? ……………jam
5.
Apa yang anda lakukan di tempat ini? a. Camping c. Menikmati kesejukan udara
6.
b. Menikmati keindahan alam d. Lain-lain, (sebutkan)……………
Bagian mana yang Anda sukai dari tempat ini? a. Hutan Pinus b. Camping ground d. Air terjun e. Sungai
c. Hutan alam f. Lain-lain, (sebutkan)
7.
Berapa penghasilan rata-rata Anda per bulan? a. Kurang dari Rp. 500.000,b. Rp. 500.000,- hingga Rp. 1.000.000,c. Rp. 1.000.000,- hingga Rp. 2.000.000,- d. Lebih dari Rp. 2.000.000,-
8.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan Interpretasi Alam? a. Ya b. Tidak
9.
Bila jawaban no. 8 Ya, maka tuliskan pengetahuan Anda mengenai Interpretasi Alam : ………………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………..
10. (Pewawancara memberikan penjelasan mengenai Interpretasi Alam sebelumnya) Apakah kegiatan Interpretasi Alam penting untukdiselenggarakan di tempat wisata ini? a. Ya b. Tidak
11. Apakah Anda berminat mengikuti apabila terdapat kegiatan Interpretasi Alam di kawasan wisata ini? a. Ya b. Tidak 12. Apabila terdapat kegiatan Interpretasi Alam di kawasan TNGMB, mana yang Anda pilih (urutkan) : PILIHAN URUTAN ALASAN Durasi Kemiringan Jalur Kelengkapan Interpretasi 13. Dari pertanyaan no. 12, durasi kegiatan Interpretasi Alam mana yang Anda pilih : a. 1 jam b. 1,5 jam c. 2 jam d. 3 jam e. Lebih dari 2 jam 14. Dari pertanyaan no. 12, kemiringan jalur Interpretasi Alam mana yang Anda pilih: a. Landai b. Terjal c. Kombinasi keduanya 15. Mana yang lebih anda pilih : a. jalur Interpretasi Alam hingga puncak b. jalur Interpretasi Alam yang melingkar (tidak ke puncak) c. jalur Interpretasi Alam hingga ke ketinggian menengah
TERIMA KASIH ATAS WAKTU YANG ANDA LUANGKAN UNTUK WAWANCARA INI
Lampiran 2. Kuesioner untuk pendaki KUESIONER UNTUK PENDAKI No. Responden Lokasi Wawancara Tanggal Nama Responden Asal Responden Jenis Kelamin Umur Responden Pendidikan Terakhir Pekerjaan Status Pernikahan
: : : : : : : : : :
………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. ………………………………………………….. …………………………………………………..
1.
Berapa jalur pendakian menuju puncak yang Anda ketahui terdapat di G. Merbabu ? ……….jalur, yaitu : a. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) b. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) c. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) d. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) e. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) f. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) g. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) h. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) i. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) j. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..)
2.
Dari mana Anda mengetahui informasi mengenai jalur-jalur pendakian tersebut? a. Teman b. Koran c. Promosi dari pengelola d. Melihat Peta e. Lain-lain, (sebutkan)……………………………
3.
Dari jalur pendakian menunju puncak yang Anda ketahui terdapat di G. Merbabu, masing-masing berapa kali Anda telah melaluinya hingga puncak? a. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam b. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam c. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam d. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam e. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam f. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam g. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam h. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam i. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam j. Jalur …………………………..( ………………..kali) waktu tempuh ………….jam
4.
Anda melakukan pendakian ke puncak bersama dengan ? a. Sendiri b. Kelompok Kecil (……..orang) c. Kelompok Besar (……..orang)
5.
Anda melakukan pendakian ke puncak G. Merbabu dalam rangka ? a. Rekreasi b. Pendidikan (Diksar dll) c. Penelitian d. Lain-lain (sebutkan)………………………………………
6.
Terdapat faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi Anda dalam memilih jalur. Berilah penilaian ! NILAI Sangat ALASAN Sangat Tidak Baik Biasa Tidak Baik Baik Baik Kondisi hutan Pemandangan Alam Kesejukan udara Aksesbilitas Early Experience (Pengalaman sebelumnya) Informasi dari teman Jarak Tempuh Waktu Tempuh Topografi Jalur Kondisi fisik jalur Kondisi Ekosistem jalur Keamanan Jalur Sarpras pada jalur Jarak Base Start dari kota asal Kondisi Base Start Biaya total yang diperlukan Jenis Satwa yang dijumpai di jalur tersebut
7.
Dari jalur pendakian yang paling sering Anda lalui, alas an apa yang membuat Anda memilih jalur tersebut ? (Urutkan dari yang paling utama hingga terakhir) ALASAN URUTAN Kondisi hutan Pemandangan Alam Kesejukan udara Aksesbilitas Early Experience (Pengalaman sebelumnya) Informasi dari teman Jarak Tempuh Waktu Tempuh Topografi Jalur Kondisi fisik jalur Kondisi Ekosistem jalur Keamanan Jalur Sarpras pada jalur Jarak Base Start dari kota asal Kondisi Base Start Biaya total yang diperlukan Jenis Satwa yang dijumpai di jalur tersebut
8.
Dari beberapa jalur pendakian menuju puncak yang Anda telah lalui, jalur manakah yang paling Anda sukai? Jalur……………………
9.
Tingkat Kemiringan jalur pendakian yang manakah yang lebih Anda sukai? a. Landai b. Terjal c. Kombinasi keduanya
10. Dalam melakukan pendakian, paling sering Anda beristirahat berdasarkan : a. Jarak b. Waktu Tempuh c. Tempat tertentu (sebutkan)…. …. 11. Jika jawaban no. 10 adalah a, Anda beristirahat setiap (sebutkan)………………….
12. Jika jawaban no. 10 adalah b, Anda beristirahat setiap (sebutkan)…………………. 13. Tempat yang paling disukai untuk beristirahat dalam mendaki ke puncak (urutkan) : TEMPAT POSISI/LOKASI URUTAN ALASAN Shelter Pos Pendakian Padang Rumput Di bawah puncak Tempat Lain ….…….. 14. Bagaimana kondisi fisik Anda ketika melakukan pendakian ? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang Baik 15. Apakah yang membuat Anda senang mendaki diGunung Merbabu? : OBYEK URUTAN Tumbuhan Hewan Kondisi Medan Pemandangan Jarak Tempuh Lainnya…………….…….. 16. Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan Interpretasi Alam? a. Ya b. Tidak 17. Bila jawaban no. 16 adalah Ya, maka tuliskan pengetahuan Anda mengenai Interpretasi Alam : ……………………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………….. 18. (Pewawancara memberikan penjelasan mengenai Interpretasi Alam sebelumnya) Apakah kegiatan Interpretasi Alam penting untuk diselenggarakan di tempat wisata ini? a. Ya b. Tidak 19. Apakah Anda berminat mengikuti apabila terdapat kegiatan Interpretasi Alam di kawasan wisata ini? a. Ya b. Tidak 20. Apabila terdapat kegiatan Interpretasi Alam di kawasan TNGMB, mana yang Anda pilih (urutkan) : PILIHAN URUTAN ALASAN Durasi Kemiringan Jalur Kelengkapan Interpretasi 21. Dari pertanyaan no. 20, durasi kegiatan Interpretasi Alam mana yang Anda pilih : a. 1 jam b. 1,5 jam c. 2 jam d. 3 jam e. Lebih dari 2 jam 22. Dari pertanyaan no. 20, kemiringan jalur Interpretasi Alam mana yang Anda pilih: a. Landai b. Terjal c. Kombinasi keduanya 23. Mana yang lebih anda pilih : a. jalur Interpretasi Alam hingga puncak b. jalur Interpretasi Alam yang melingkar (tidak ke puncak) c. jalur Interpretasi Alam hingga ke ketinggian menengah TERIMA KASIH ATAS WAKTU YANG ANDA LUANGKAN UNTUK WAWANCARA INI
Lampiran 3. Kuesioner untuk pengelola TNGMB KUESIONER UNTUK PENGELOLA TNGMB Tanggal Wawancara Nama Responden Jabatan Responden
: : :
………………………………………………….. ………………………………………………….. …………………………………………………..
1.
Apakah rencana Balai TNGMB dalam hal pengembangan ekowisata ? …………………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………….
2.
Berapa jalur pendakian menuju puncak yang Balai TNGMB ketahui terdapat di G. Merbabu ? ……….jalur, yaitu : a. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) b. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) c. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) d. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) e. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) f. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) g. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) h. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) i. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) j. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..)
3.
Dari jalur-jalur pendakian menuju puncak tersebut, mana yang akan difokuskan oleh Balai TNGMB untuk dikembangkan ? a. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) b. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) c. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) d. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..) e. Jalur …………………………..(Base Start Desa………….Pemilik………………..)
TERIMA KASIH ATAS WAKTU YANG ANDA LUANGKAN UNTUK WAWANCARA INI
Lampiran 4 Foto - foto
Foto 1. Bumi Perkemahan (Selo)
Foto 2. Mata Air (Selo)
Foto 3. Kantung Semar (Selo)
Foto 4. G. Merapi dilihat dari Sabana
Foto 5. Puncak Triangulasi
Foto 6. Puncak Kenteng Songo
Foto 7. Edelweis
Foto 8. Cantigi
Foto 9. Base Start Tekelan
Foto 11. Air Terjun Watu Tadah
Foto 13. Pos III Gumuk Mentul (Tekelan)
Foto 15. Tebing Pereng Putih (Tekelan)
Foto 10. Hutan Pinus (Tekelan)
Foto 12. Air Terjun Krinjingan
Foto 14. Watu Gubug (Tekelan)
Foto 16. Puncak Syarif
Gambar 50 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Tekelan - Puncak
115
Gambar 51 Peta obyek interpretasi alam pada jalur non pendakian di wilayah Seksi Pengelolaan I TN Gunung Merbabu
116
Gambar 52 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Selo - Puncak
122
Gambar 53 Peta obyek interpretasialam pada jalur Selo II dan Selo III
123