KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
1
PEREMPUAN, KEKUASAAN DAN MEDIA MASSA: Sebuah Studi Pustaka Joko Sutarso Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta Email :
[email protected] ABSTRAK Peran media massa dalam membentuk opini publik sangat penting. Opini public ini berperan penting komunikasi dan mencitrakan perempuan. Politik adalah perebutan makna “kebenaran umum”. Hal yang dianggap sebagai kebenaran umum itu akhirnya diputuskan sebagai sebagai sebuah kebijakan atau keputusan politik. Media massa memiliki posisi yang strategis, terutama dengan kemampuannya sebagai sarana legitimasi dan delegitimasi terhadap kekuasaan. Citra yang dibentuk oleh media massa sebagai sarana untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap keabsahan tindakan penguasa dan kekuasaannya. Biasnya konstruksi pemberitaan tentang perempuan disamping hasil kebijakan media tetapi juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat partisipasi perempuan bekerja di media. Kata kunci: Perempuan, Hegemoni Kekuasaan, Politik dan Media Massa. dari peran penting media massa dalam
PENDAHULUAN Peran media massa menjadi sangat
komunikasi politik, terutama dalam fungsi
penting dalam masyarakat modern sekarang
pengembangan opini dan media juga sering
ini. Aktivitas media dalam melaporkan
terlibat dalam pembentukan wacana publik.
seringkali
Menurut Redi Panuju (2002: 1) opini
memberi dampak yang signifikan bagi
publik (public opinion) merupakan suatu
perkembangan politik. Media bukan saja
akumulasi citra yang tercipta atau diciptakan
menjadi sumber informasi bagi khalayak
oleh suatu proses komunikasi. Citra tentang
pembaca, namun juga bisa menjadi faktor
suatu realitas faktual selalu bermuka banyak
pedorong
terjadinya
(multi faced) atau berdemensi banyak karena
perubahan politik. Pertautan media massa
perbedaan persepsi diantara para partisipan
dengan perubahan politik ini tidak terlepas
komunikasi.
peristiwa-peristiwa
atau
politik
mempercepat
Setiap
terjadi
perubahan
2
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
partisipan
komunikasi,
pergeseran-pergeseran
terjadi citra.
pula Arah
MEDIA DAN OPINI PUBLIK
pergeseran citra itu sangat tergantung pada
Dalam sebuah kampanye politik,
siapa saja yang terlibat dalam proses
opini publik bekerja dalam fungsi (Panuju,
komunikasi itu. Proses terbentuknya opini
2002:
publik bermula dari dari realitas faktual
membangun
tertentu yang kemudian menjadi wacana
dukungan dalam suatu pemilihan tidaklah
dalam proses komunikasi. Dalam hal ini
mudah karena tidak hanya menyangkut
fakta empiriknya adalah sama, tetapi yang
kebutuhan riil masyarakat terhadap seorang
berubah adalah dinamika komunikasinya.
wakil
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang
diperkenalkan. Faktor psikologis sering lebih
mempengaruhi terbetuknya opini publik,
berperan dalam menggalang suara misalnya
yaitu faktor psikologis, sosiologis politis,
menyangkut perasaan “dibutuhkan” atau
dan budaya.
identifikasi kontestan sebagai bagian dari
24-32):
atau
1).
citra
Membetuk baru.
pemimpin
atau
Memperoleh
politik
yang
Opini publik terbentuk oleh adanya
kelompoknya. Dalam sebuah kampanye,
aktivitas komunikasi yang bertujuan untuk
persoalan komunikasi adalah menyangkut
mempengaruhi atau mempersuasi orang atau
poses
pihak lain. Dalam proses mencapai suatu
ditawarkan dengan kebutuhan riil maupun
kesepakatan atau konsensus, dimungkinkan
psikologis segmen pemilihnya. Dalam tahap
terjadi proses transaksional antara pihak-
membentuk
pihak yang menjalin komunikasi. Proses
komunikasi dapat dilakukan secara terus
transaksional
menerus untuk meningkatkan kesadaran
itu
dapat
berujud
tawar
penyesesuaian
dan
merk
produk
membangun
produk
citra,
menawar (bargaining), tekanan (coersive),
terhadap
agitasi atau provokasi maupun ancaman-
awareness) sebelum akhirnya memutuskan
ancaman (intimidasi). Bila masing-masing
memilih
pihak tidak mencapai konsensus, adaptasi,
Mempertahankan
modifikasi atau kombinasi ide atau makna
terbangun. Mempertahankan citra positif
politik yang diperebutkan maka muncul
memiliki tingkat kesulitan tinggi, karena
konflik,dan masing-masing pihak berusaha
berkaitan dengan kinerja dan prestasi yang
untuk memenangkan dominasi terhadap
sudah dicapai selama ini. Mempertahankan
wacana.
citra ini penting terutama dalam rangka
atau
atau
yang
mendukung. citra
yang
(brand
2). sudah
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
3
mempertahankan para pendukung loyal serta
dalam menyusun strategi pembentukan opini
berpotensi lebih meyakinkan pemilih baru.
publik
3). Memperbaiki citra yang terpuruk. Ketika
Menguatkan atau mempertahankan citra
kepercayaan
terpuruk
ketika berada di puncak. Kesulitan semakin
maka
tinggi dan masalah juga semakin kompleks
pembelaan diri seringkali tidak berguna.
ketika kandidat berada di puncak kekuasaan.
Berdiam diri sering bermanfaat, sambil
Sebagai figur yang sukses, gerak-gerik dan
menunggu citra buruk tersebut mencapai
pembicaraanya menjadi bahan pengamatan
titik kulminasi dan kemudian mereda. Media
dan pemberitaan pers sehingga semakin
dapat membentuk opini positif justru dengan
sempit wilayah pribadinya. Di satu sisi,
menampilkan
lebih
ketika di puncak ibaratnya merupakan awal
humanistik, misalnya dari sisi keluarga, anak
mulai (start) yang bagus karena telah
atau
memiliki brand image yang kuat dalam
karena
citra
publik
demikian
buruk
sisi
menimpa,
lain
aktivitas
yang
sehari-hari
diluar
kesibukannya bekerja. Sisi humanisme ini
bagi
sebuah
kontestan.
5).
masyarakat.
sering memberikan alasan pemaaf terhadap
Dalam rangka pembentukan opini
kesalahan dan kekeliruan, misalnya karena
publik, media umumnya melakukan tiga
ada anggapan umum bahwa kesalahan dan
kegiatan
kekeliruan
adalah
produksinya.
Menguatkan
citra
manusiawi.
4).
sekaligus
dalam
Pertama,
proses
menggunakan
menguatnya
simbol-simbol politik atau bahasa (language
pesaing. Dalam sebuah pemilihan dengan
of politic). Kedua, melaksanakan strategi
prinsip one man one vote, jumlah pemilih
pengemasan pesan (framing strategies).
adalah tetap. Ini berbeda dengan produk
Ketiga, melakukan agenda media (agenda
barang
setting) yaitu memilah dan memilih mana
karena
konsumsi,
pangsa
pasar
dan
permintaan dapat di-create (diciptakan) atau
yang
bahkan
demikian
disesuaikan dengan garis kebijakan yang
pesaing
ditetapkan media (Hamad, 2004: 2). Garis
otomatis akan merupakan ancaman potensial
kebijakan tersebut biasanya merupakan hasil
yang
turunnya
kompromi dengan berbagai kepentingan
dukungan suara pemilih. Oleh karena hasil
redaksional dan pengusaha media dengan
pengamatan terhadap keunggulan pesaing
kekuatan atau kekuasaan di luar media,
potensial
terutama
diperluas
meningkatnya
dapat
.
citra
Dengan kontestan
mengakibatkan
merupakan
informasi
penting
dimuat
dan
kekuatan
mana
yang
kapital
tidak,
ataupun
4
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
kekuasaan negara. Hal ini bisa dipahami
Penggunaan simbol atau lambang
mengingat media massa hidup di dalam dan
politik ini bagi pembicara (komunikator),
tidak dapat lepas dari sistem politik yang
berarti: 1). untuk menyadarkan (sense)
melingkupinya.
pendengar akan sesuatu yang dinyatakan
Dengan
demikian,
penggunaan
untuk
kemudian
memikirkan;
2).
simbol atau pemilihan kata-kata untuk
menyatakan perasaan (felling) atau sikap
mengungkapkan
suatu
dirinya terhadap obyek; 3). untuk memberi
kejadian atau pembicaraan kandidat atau
tahu (convey) sikap pembicara tentang
tokoh politik akan mempengaruhi makna
khalayaknya; 4). untuk menunjukkan tujuan
yang muncul dalam realitas yang dibentuk
atau hasil yang diinginkan oleh pembicara
oleh
atau penulis baik disadari atau tidak.
media
komunikasi
atau
melaporkan
massa. politik,
Dalam para
bertukar
citra-citra
atau
melalui
simbol-simbol
konteks
komunikator makna-makna
atau
lambang-
Sedangkan bagi (komunikan),
kepentingan pendengar tanda
berfungsi:
1).
menunjukkan (indicating) pusat perhatian;
lambang politik melalui proses komunikasi
2).
dalam
memberi
ciri
(characterizing);
3).
Dalam
sebuah
membuat dirinya sadar akan permasalahan
politik
adalah
(realizing); 4). memberi nilai (valuing)
perebutan makna “kebenaran umum”. Hal
positif atau negatif; 5). mempengaruhi
yang dianggap sebagai kebenaran umum itu
(influencing) khalayak untuk menjaga atau
akhirnya diputuskan sebagai sebagai sebuah
mengubah
kebijakan atau keputusan politik (Wijaksana,
mengendalikan suatu kegiatan atau fungsi;
2004). Bagi massa yang sadar makna politik
dan (7) untuk mencapai tujuan (purposing)
yang dikampanyekan itu, maka ia akan
yang ingin dicapainya dengan memakai
mendukung kebijakan atau keputusan politik
kata-kata tersebut (Hamad, 2004: 19-20).
media
kampanye
massa.
misalnya,
yang menguntungkan atau minimal tidak merugikan
kepentingan
kelompoknya.
Reaksi
diri
sebaliknya
komunikasi
akan
menggambarkan proses penseleksian dan
kampanye
dianggap
merugikan
bagi
kelompoknya.
untuk
atau
penyorotan
kepentingan
6).
Konsep framing digunakan dalam
terjadi bila makna yang disampaikan dalam tidak
status-quo;
digunakan
aspek-aspek
khusus
untuk
sebuah
adil
dan
realitas oleh media. Analisis ini mewakili
diri
dan
tradisi yang mengedepankan pendekatan dan perspektif multidispliner untuk menganalisis
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
fenomena dan aktivitas komunikasi (Sobur,
pembuatan
2004: 162). Menurut Eriyanto (2002: 68)
mengindikasikan
framing adalah untuk mengetahui bagaimana
kepentingan itu, tetapi juga bisa menjelaskan
perspektif atau cara pandang yang digunakan
hendak
oleh
untuk
diangkat dalam wacana tersebut (Hamad,
menyeleksi isu atau menulis berita. Cara
2004: 22). Pada akhirnya fakta tidak
pandang atau perspektif itu pada akhirnya
ditampilkan apa adanya, namun diberi
menentukan fakta apa yang diambil, bagian
bingkai
mana yang ditonjolkan atau dihilangkan,
makna yang spesifik melalui proses seleksi
berita apa yang dimuat dan apa tidak dimuat,
dan penajaman terhadap demensi-demensi
di halaman berapa, dsb. Ada dua aspek
tertentu
penting dalam framing. Pertama, memilih
(Sudibyo, 2001: 157).
wartawan
atau
redaksi
sebuah
wacana
tidak
5
adanya
dibawa
kemana
saja
berbagai
isu-isu
yang
(frame) sehingga menghasilkan
dari
fakta
yang
diberitakan
fakta atau realitas. Proses pemilihan fakta
Terakhir adalah bagaimana media
atau realitas ini dengan asumsi bahwa
menyediakan ruang dan waktu bagi sebuah
wartawan tidak mungkin melihat sebuah
peristiwa (fungsi agenda setting). Sebuah
peristiwa tanpa perspektif tertentu yang telah
peristiwa akan memperoleh perhatian publik
dimiliki
sebelumnya.
apabila media menyediakan ruang dan waktu
Pemilihan fakta itu menyangkut mana yang
untuk memuat atau memberitakan peristiwa
dipilih (included) dan mana yang dibuang
tersebut. Semakin besar ruang serta semakin
(excluded). Kedua, menuliskan fakta. Proses
banyak dan sering frekuensi waktu yang
ini berhubungan dengan bagaimana fakta
diberikan akan semakin besar perhatian yang
yang dipilih disajikan kepada khalayak.
diberikan oleh khalayak kepada topik atau
Misalnya dengan pemilihan kata, kalimat
sumber berita. Salah satu dampak agenda
dan proposisi untuk memberi penekanan.
seting ini adalah lahirnya gambaran realitas
Bisa juga dengan strategi penempatan berita,
yang
ditempatkan sebagai headline, di halaman
sebagaimana media mengkonstruksikannya
pertama
dsb.
(Hamad, 2004: 24). Namun teori ini
Pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas
mendapat kritik, karena agenda media di sisi
berbagai
ataupun
lain juga ditentukan oleh agenda khalayak
eksternal media, baik teknis, ekonomis,
(Sudibyo, 2001: 13). Konsekuensi dari teori
politis,
ini
wartawan
atau
itu
halaman
kepentingan
ataupun
dalam,
internal
idiologis.
Sehingga
menempel
adalah
di
apabila
benak
media
khalayak
tidak
6
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
merepresentasikan apa yang diinginkan oleh khalayak, maka media akan ditinggal oleh
MEDIA
pembacanya. Atau pembaca yang cerdas
KEKUASAAN
akan
berusaha
membaca
media
DAN
HEGEMONI
Pekerjaan di belakang meja redaksi
dan
membandingkan berita di berbagai
MASSA
(newsroom)
sangat
menentukan
hasil
massa untuk berusaha mendapatkan realitas
konstruksi realitas yang disajikan kepada
sebenarnya.
khalayak. Newsroom akhirnya bukanlah
Dengan
tiga tindakan sebagaimana
sebuah
ruang
hampa
yang
sekedar
dikemukakan di atas maka gambaran realitas
menyalurkan informasi yang diperoleh untuk
perempuan dalam politik sangat tergantung
disajikan kepada khalayak, tidak lebih dan
bagaimana
media
memberi
symbol,
tidak kurang. Banyak kepentingan dan
mengemas,
dan
menyajikan
kepada
pengaruh dalam ruang pemberitaan ini, yaitu
maka
meliputi: Pertama, faktor individual. Faktor
kemungkinan muncul bias media sangat
ini berhubungan dengan latar belakang
besar karena media berada dalam realitas
professional dan idialisme pengelola media.
sosial
Latar belakang individual seperti jenis
khalayak.
Dengan
yang
sarat
demikian
dengan
berbagai yang
kelamin, umur, dan agama sedikit banyak
kompleks dan beragam. Berkaitan dengan
berpengaruh terhadap konstruksi realitas.
kekuasaan, menurut Louis Althusser dalam
Kedua, level rutinitas media. Rutinitas media
Alex Sobur (2002: 30), media massa
berhubungan dengan mekanisme dan proses
memiliki posisi yang strategis, terutama
penentuan berita yang dianggap layak
dengan
disajikan.
kepentingan,
konflik
dan
kemampuannya
fakta
sebagai
sarana
Umumnya
setiap
media
terhadap
mempunyai ukuran yang biasa dan rutin
dapat
dipakai untuk menilai apa yang disebut
dipahami mengapa seorang penguasa merasa
berita yang layak disajikan dan apa yang
berkepentingan dengan konstruksi realitas
tidak, sesuai dengan pertimbangan dan
politik dan kekuasaan yang dibentuk oleh
kebijakan media maupun pertimbangan dari
media
untuk
segi segmen pembacanya. Ketiga, level
masyarakat
organisasi. Level organisasi berhubungan
terhadap keabsahan tindakan penguasa dan
dengan struktur organisasi yang diasumsikan
kekuasaannya.
berpengaruh terhadap pemberitaan. Dalam
legitimasi
dan
kekuasaan.
Dengan
massa
membangun
delegitimasi demikian
sebagai kepercayaan
sarana
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
7
sebuah organisasi media melibatkan banyak
pilihan tema dan konstruksi berita. Afiliasi
orang
dan
koran dengan partai atau kekuatan politik
wartawan, redaksi,
tertentu, membuktikan betapa kepentingan
pemasaran, sirkulasi, dsb. Masing-masing
segmen pembaca yang dilayani menjadi
bisa jadi memiliki kepentingan, visi dan
penting
oreintasi yang berbeda-beda, yang pada
dalam sebuah berita. 3). Pihak eksternal,
akhirnya berpengaruh pada pemberitaan.
utamanya pemerintah dan lingkungan bisnis.
Keempat, level ekstramedia atau faktor-
Tipe pemerintah akan berpengaruh terhadap
faktor diluar organisasi media yang dianggap
isi dan kebijakan pemberitaan. Dalam
berpengaruh terhadap produksi berita, yakni:
pemerintah yang otoriter maka diperlukan
1). Sumber berita. Sumber berita pada
kesediaan media untuk berkompromi dengan
dasarnya bukan obyek yang netral, namun
kekuasaan
memiliki kepentingan yang pada akhirnya
menyelamatkan
akan berpengaruh terhadap informasi yang
pembreidelan.
diberikan. Sumber berita akan berusaha
pemerintahan yang demokratis, media massa
menghindari
yang
dapat mengambil peran sebagai kekuatan
menimbulkan citra yang buruk dan bisa
infrastruktur masyarakat dalam mewujudkan
merugikan. Bahkan sumber berita akan
pemerintahan
berusaha mempengaruhi agar berita yang
demokratis. 4). Level Idiologi. Idiologi di
disajikan akan meningkatkan citra atau
sini diartikan sebagai kerangka berpikir,
menjadi pembelaan diri atas kesalahan yang
kerangka refrensi
telah diperbuat. 2). Sumber penghasilan
yang dipakai dalam melihat sebuah realitas.
media. Sumber penghasilan di sini dapat
Idiologi
berupa iklan atau pelanggan (costumer)
kebiajakan media dalam menyajikan realitas
media. Media memerlukan mereka agar
(Sudibyo, 2001:11-12).
dengan
berbagai
kepentingan, misalnya
dari
fungsi
pemberitaan
dalam
mengkonstruksi
semakin
besar,
media
realitas
agar dari
upaya
Sebaliknya
yang
dapat
dalam
transparan
dan
atau perspektif tertentu
berpengaruh
terhadap
isi
dan
dapat survive, sehingga seringkali media
Terlibatnya kekuasaan dalam kontrol
harus berkompromi dengan isi pemberitaan
terhadap pers seringkali tidak terhin-darkan
agar tidak merugikan pihak-pihak yang
dan mengakibatkan munculnya hegemoni.
selama ini menjadi sumber penghasilan
Hegemoni menurut Hull (1998: 1) adalah
media. Demikian juga pelanggan atau
proses di mana melalui media massa idiologi
segmen pembaca akan berpengaruh terhadap
“dominan”
disampaikan,
kesadaran
8
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
dibentuk, dan kuasa sosial dijalankan.
Dalam hal ini laki-laki
Sejumlah perangkat idiologi diangkat dan
dominan dan perempuan dalam posisi
diperkuat oleh media massa, diberikan
tersubordinasi dan hubungan yang asimetris
legitimasi
secara
ini terus direproduksi oleh laki-laki melalui
menyolok kepada khalayak yang berada
sosialisasi dan konstruksi budaya patriarki
dalam jangkauan media massa yang besar
(Abdullah, 2001: 49).
dan
didistribusikan
dalam posisi
akhirnya
Salah satu institusi dalam masyarakat
menentukan visi atau pandangan suatu
yang berperan penting dalam mengarahkan
kelompok budaya terhadap realitas (Hamad,
terjadinya hegemoni terhadap nilai-nilai dan
2004:
akhirnya
idiologi tertentu adalah media massa dengan
mengakibatkan pada situasi yang oleh
menggunakan bahasa sebagai sarana penting
Habermas sebagaimana dikutip oleh May
untuk melayani fungsi hegemoni yang
Lan (2002: 33) disebut distorsi komunikasi
dilakukan atas nama idiologi. Media massa
yang sistematis (systematically distorted
menjadi
communication).
memperebutkan
jumlahnya.
Idiologilah
20).
Hal
ini
yang
pada
Komunikasi
ini
tempat wacana,
pertempuran karena
barang
bebas
siapa yang memenangkan pertempuran itu ia
berkomunikasi karena adanya distorsi yang
bisa mendominasi dan melakukan hegemoni
berasal dari hambatan dan paksaan yang
(Panuju, 2002: 43). Melalui bahasa, orang
berasal dari luar diri orang tersebut. Hal ini
diarahkan agar menilai dan memandang
terjadi karena satu pihak
berada dalam
problematika sosial dalam kerangka yang
posisi dominan dan ada pihak lain yang
sudah ditentukan oleh suatu kelompok atau
tersubordinasi.
komunikasi
kelas sosial tertentu yang sedang berkuasa.
berjalan satu arah (monolog) dan tidak
Bahasa menjadi senjata terselubung yang
terjadi dialog. Berjalan dari kelompok yang
dipergunakan oleh pihak yang mendominasi
berkuasa terhadap kelompok masyarakat
atau sedang berkuasa untuk menekan,
yang tersubordinasi. Hal semacam ini tentu
mengendalikan dan membuat diam mereka
kontraproduktif
prinsip-prisip
yang tersubordinasi. Bahasa dan media
komunikasi dalam alam demokrasi. Dalam
menjadi dua kekuatan yang mengkonstruksi
konteks gender, hal ini menghasilkan pola
realitas, dan realitas yang dibentuk adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan
realitas menurut kepentingan pusat-pusat
yang bersifat asimetris, tidak seimbang.
kekuasaan yang kemudian berjalin dengan
menyebabkan
seseorang
Akibatnya
dengan
tidak
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
kepentingan media sendiri untuk bertahan
berita.
hidup (Sunarto, 2000: 106). Keterkaitan
dipandang
yang erat antara kepentingan pengusaha
ekonomi dan elit politik bersaing untuk
media yang memiliki kepentingan dengan
menguasainya.
laba, pengembalian modal dan keberlang-
organisasi (organizational approach). Bila
sungan
dengan
dalam pendekatan politik-ekonomi, isi media
untuk
ditentukan oleh kekuatan di luar media maka
mempertahankan kekuasaannya di sisi lain,
dalam pendekatan ini pengelola media
bukanlah rahasia lagi. Dengan kondisi ini
secara internal sebagai pihak yang aktif
maka sulit mengharapkan realitas disajikan
dalam proses pembentukan dan produksi
kepada
media. Layak tidaknya sebuah berita dimuat
usaha
di
kepentingan
satu penguasa
masyarakat
konstruksi
sisi
realitas
pembaca yang
dengan
obyektif
dan
Dalam
sangat
sebagai
Mengenai pengaruh faktor di luar
media.
alat
ini,
dan
Ketiga,
dari
media
sehingga
Kedua,
tergantung
profesionalitas
mendidik.
pendekatan
9
elit
pendekatan
pertimbangan
idealisme
pengelola
pendekatan
kulutralis
redaksi media yang turut menentukan isi dan
(culturalist approach). Pendekatan ini cukup
kebijakan pemberitaan, Sudibyo (2001: 2-4)
moderat karena merupakan gabungan antara
menjelaskan
pendekatan:
pendekatan ekonomi-politik dan pendekatan
politik-ekonomi
organisasi. Proses produksi sebuah berita
(political-economy approach). Pendekatan
merupakan hasil dari mekanisme yang rumit
ini mengatakan bahwa isi media lebih
yang yang melibatkan faktor internal media
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi
dan
dan politik di luar
pendekatan ini pengaruh dari luar bersifat
Pertama,
Faktor
dengan pendekatan
orientasi
modal/kapital seringkali
tiga
dan
lebih
pengelolaan media.
faktor
eksternal
media.
Dalam
pemilik
media,
tidak langsung, atau bahkan seringkali tidak
pendapatan
media
disadari
menentukan
daripada
idealisme para wartawannya. Pola dan jenis
oleh
wartawan
namun
tetap
memberi pengaruh pada konstruksi realitas yang disampikan kepada khalayak.
pemberitaan ditentukan oleh kepentingan ekonomi, politik dan modal yang merupakan kekuatan kapital yang menguasai media.
MEDIA
Kekuatan ini secara langsung dan koersif
JAWAB SOSIAL
mempengaruhi kebijakan redaksional sebuah
MASSA
DAN
TANGGUNG
10
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
disebut
sebagai
memberikan publisitas kepada pemerintah
keempat
dalam
dan institusi lainnya. Di sini media massa
kehidupan sosial, politik dan demokrasi
berfungsi sebagai watchdog, atau pengawas
(Sobur,
dengan
bagi kinerja partai politik maupun organisasi
pembangunan demokrasi di suatu negara
publik lainnya. Hal ini bisa dilakukan
berkembang seperti Indonesia, pers secara
dengan cara memberitakan suatu peristiwa
normatif mempunyai tugas–tugas dan peran
politik secara proposional dan apa adanya.
penting sebagai berikut (Hamad, 2004: 177):
Kelima, media massa dapat menjadi saluran
Pertama,
Pers kekuatan
seringkali atau
pilar
2002:
30).
Berkaitan
massa
harus
untuk
(inform)
dalam
(advocacy) mengenai berbagai perspektif
pengertian “surveilence” atau monitoring
politik dan tidak berusaha memihak pada
mengenai mengenai apa yang terjadi di
satu kekuatan politik. Hal ini sejalan dengan
sekitar masyarakatnya. Misalnya, informasi
pernyataan Gramsci dalam Sobur (2002: 30)
mengenai partai politik mana yang paling
bahwa media sebagai arena pergulatan antar
konsen terhadap isu perempuan, platform
idiologi yang saling berkompetisi (the battle
parpol mana yang paling realistis, dan
ground for competing ideologies). Dengan
kandidat atau parpol mana paling mampu
kompetisi
melakukan perbaikan; Kedua, media massa
argumentasi yang paling kuat, dapat diuji
harus mendidik (educate) mengenai makna
mana yang paling masuk akal dan paling
dan manfaat dari penyajian fakta-fakta
mungkin dilaksanakan. Dalam hal ini,
dengan tetap mempertahanan obyektivitas
Charlotte Ryan dalam Sudibyo (2001: 220)
dalam menganalisis fakta-fakta tersebut;
melihat media massa sebagai media diskusi
Ketiga, media massa harus menyediakan
antara berbagai pihak dengan idiologi dan
satu platform untuk publik mengenai wacana
kepentingan yang berbeda-beda. Mereka
politik, memfasilitasi pembentukan opini
akan berusaha untuk menonjolkan kerangka
publik
pemikiran, perspektif, konsep dan klaim
media
menginformasikan
dan
menyiapkan
opini
balikan
kepentingan
pemberdayaan
dimungkinkan
dapat
(feedback) dari mana saja asalnya. Hal ini
interpretatif
dapat
memaknai objek wacana. Dalam konteks
terjadi
bila
pers
dapat
bersifat
masing-masing
dicari
wacana media
dalam
independen dan tidak partisan sehingga
inilah
massa kemudian
dapat melaksanakan fungsi pendidikan bagi
menjadi arena perang simbolik antara pihak-
para pemilih (voters education). Keempat,
pihak yang berkepentingan dengan suatu
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
objek
wacana.
Dilihat
dari
khalayak
11
penjaga yang mengawasi pemerintah; 4).
pembaca sebagai konsumen produk berita,
Melayani
pembaca yang cerdas juga akan memakai
mempertemukan pihak pembeli dan penjual
strategi tertentu dalam menyiasati bias media
melalui jasa periklanan; 5). Menyediakan
dalam menyampaikan realitas. Misalnya
hiburan, terutama hiburanyang baik dan
dengan membaca objek wacana dengan
mendidik; 6). Menyediakan dana sendiri
menggunakan berbagai media yang secara
sehingga bebas dari tekanan pihak-pihak
idiologi berbeda-beda.
tertentu yang memiliki kepentingan tertentu
Hal
ini
tentu
tidak
lepas
dari
sistem
ekonomi
dengan
(Budiharsono, 2003: 52). Semangat
kebijakan (politik) komunikasi yang diambil
pers untuk berpihak
oleh masing-masing negara. Teori Tanggung
kepada rakyat ini antara lain ditunjukkan
Jawab Sosial misalnya, berkembang di AS
oleh Jurgen Habermas (1971) dalam Panuju
setelah
(2002:
Teori
Liberal
yang
cenderung
186)
yang
menyatakan
bahwa
memberi kebebasan yang luas kepada pers
sesungguhnya media massa adalah sebuah
ternyata
public
memberi
dampak
buruk
bagi
sphere
(ruang
publik)
yang
masyarakat, sehingga muncul himbauan
semestinya dijaga dari berbagai pengaruh
berbagai kalangan agar pers yang menempati
dan interest. Pengaruh dan interes kekuasaan
kedudukan
menjadi
yang
terhormat
dalam
suatu
yang
perlu
diwaspadai,
masyarakat AS ikut bertanggung jawab
mengingat kekuasaan akan terus berusaha
terhadap kebaikan bersama masyarakat.
mempertahankan dan bahkan memperluas
Untuk itu pers ikut melaksanakan tanggung
pengaruhnya. Dengan demikian bukan hanya
jawab sosial tersebut, oleh karena itu pers
melegitimasi kekuasaan namun juga perlu
harus menjalankan fungsi-fungsi sebagai
merasionalisasi kekuasaan. Dengan kata
berikut: 1). Melayani sistem politik dengan
lain,
menyediakan
hendaknya
informasi,
diskusi,
dan
secara normatif kebebasan pers dapat
dimanfaatkan
untuk
argumentasi tentang masalah yang dihadapi
melakukan pendidikan dan pemberdayaan
oleh masyarakat; 2). Memberi penerangan
masyarakat.
rupa
Kebebasan dan kemerdekaan media
sehingga dapat mengambil keputusan terbaik
massa yang demikian luas di era reformasi
untuk
Menjaga
sekarang ini dapat tumbuh ke dua arah.
kepentingan hak-hak perseorangan sebagai
Pertama, kebebasan itu menjadi jalam
kepada
masyarakat
sedemikian
kepentingannya;
3).
12
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
pembuka bagi demokratisasi karena setiap
artikel
anggota
pembentukan
masyarakat
menyampaikan
diperbolehkan
aspirasi
dengan
bebas.
yang
merupakan
berperan opini
wacana
besar
publik. yang
dalam
Feminitas membentuk
Namun di sisi lain, kebebasan yang luas juga
subyektivitas praktik-praktik sosial yang
dapat menjadi hambatan yang serius bagi
menciptakan identitas perempuan, menata
proses
karena
hidupnya,
mengatur
menyampaikan
sosialnya
dengan
demokratisasi
kesimpangsiuran
media
sesama
maupun
ini dapat dijadikan sebagai alat mobilisasi
mengintervensi tubuhnya.
opini masyarakat atas sebuah fakta. Hal ini
dikatakan
erat
kepentingan
Subono (2003: 56) mengatakan bahwa
kelompok-kelompok tertentu yang berimbas
gender bukanlah sekedar sebuah aspek
pada keberadaan pers. Akhirnya kedua hal
penting dari cara “orang lain” melihat “kita”,
ini akan menjadi paradoks di tengah
tetapi juga sangat mempengaruhi cara “kita”
kebebasan pers setelah bebas dari era
melihat dan memahami “diri kita sendiri”.
dengan
laki-laki
perempuan
realitas kepada khalayak. Kedua, kebebasan
hubungannya
dengan
hubungan-hubungan
Cludette
atau
bahkan
Sebagaimana
Baldacchino
dalam
Menurut May Lan ( 2002: 9-10) hasil
otoritarianisme (Panuju, 2002:61).
pengamatanya PARTISIPASI PEREMPUAN DI MEDIA
perempuan
MASSA
menunjukkan
Bagaimana media menyajikan dan
terahadap dalam
berita
konstruksi di
media
kecenderungan-
kecenderungan sebagai berikut: Pertama,
menginterpretasikan sebuah realitas dalam
materi berita tentang perempuan
bentuk berita dan dampaknya terhadap
disajikan dalam surat kabar masih sering
pembaca sudah sering dibahas. Demikian
menampilkan perempuan sebagai obyek
pula
perempuan
yang diekploitasi karena keperempuanannya.
direpresentasikan dalam berita di media
Hal ini terlihat jelas dalam tayangan
massa
berbagai
dasarnya
bagaimana
menjadi media
menarik masa
karena
berperan
pada dalam
iklan,
ditampilkan
perempuan
dengan
seronok
yang
seringkali sehingga
dengan
mempertegas peran seksisnya. Dengan kata
identitas gendernya yang disebut feminitas,
lain, mainstreaming media menganggap
baik melalui berita maupun iklan,
atau
perempuan sebagai komoditas (Utari, 2011:
melalui idealisasi peran perempuan lewat
57). Kedua, perempuan dalam berbagai
mengkonstruksikan
perempuan
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
13
berita di surat kabar menunjukkan bahwa
sistem struktur dan praktik sosial yang
mereka masih belum mengalami kesetaraan
menempatkan
sebagaimana
perjuangkan
kelompok yang mendominasi, melakukan
selama ini. Ketiga, frekuensi berita berkaitan
opresi dan mengeksploitasi perempuan. Ada
dengan isu perempuan dan pemberdayaan
dua bentuk yaitu patriarki domestik (private
tidak
patriarchy) dan patriarki publik (public
yang
berjalan
mereka
secara
kontinyu,
tetapi
kaum
laki-laki
sebagai
mengarah pada peristiwa tertentu, misalnya
patriarchy).
Hari Kartini dan Hari Ibu. Disamping itu,
menitikberatkan kerja rumah tangga sebagai
berita-berita
tentang
suatu bentuk stereotipe yang melekat pada
misalnya
kaum perempuan. Dalam konsep budaya
kasus buruh Marsinah, penganiayaan tenaga
Jawa misalnya, tugas domestik perempuan
kerja wanita (TKW) di satu sisi dan yang
ini dijabarkan dalam peran tradisionalnya
terancam hukuman mati karena membunuh,
seperti: masak, macak, manak atau memasak
perdagangan perempuan dan anak, dsb.
makanan untuk keluarga, berdandan untuk
Keempat, perempuan dan masalah mereka
suami, dan melahirkan dan membesarkan
mendapat
anak ( Arimbi (ed.), 1988: 24). Sedangkan
insidental
ketidakberdayaan
perempuan,
porsi
yang
kecil
dalam
Patriarki
domestik
patriarki publik yang menekan partisipasi
pemberitaan di media massa umum. tersebut
perempuan yang lebih besar adalah berasal
terlihat bahwa pemberitaan dalam surat
dari sistem yang terbentuk di tempat kerja
kabar pada umumnya masih bias gender. Hal
dan dalam pemerintahan negara, misalnya
ini terjadi karena: Pertama, karena idiologi
menyangkut pantas atau tidaknya perempuan
besar yang bersumber dari budaya patriarkhi
menjadi
tentang kesetaraan yang masih memasung
berkembang
sikap dan pemikiran para pekerja pers, yang
meningkatnya
kebanyakan masih didominasi laki-laki.
perempuan dalam sektor publik.
Dengan
mengamati
hal
pemimpin
politik.
sejalan
Hal
dengan
tuntutan
ini
semakin
terhadap
peran
belum
Rendahnya keterlibatan perempuan
dipahaminya konsep dan isu gender oleh
dalam sektor publik ini akhirnya juga
para pekerja pers. Ini menyangkut perspektif
berpengaruh
dari wartawan atau editor media.
perempuan
dalam
pekerjaan
Berdasarkan
catatan
PWI
Kedua,
adanya
kemungkinan
Budaya patriarkhi menurut Sylvia Walby dalam Lan (2002: 14) merupakan
terhadap
keterlibatan pers.
(Persatuan
Wartawan Indonesia) jumlah pekerja pers
14
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
masih berkisar 9,8% atau 461 pekerja pers
Misalnya,
perempuan dari 4.687 pekerja pers laki-laki.
lainnya harus berjaga beberapa hari dan
Sedangkan jumlah pekerja pers perempuan
malam terus menerus agar tidak kehilangan
untuk surat kabar Kompas pada tahun 1999
momentum lengsernya Soeharto pada Mei
adalah 15% dan Jawa Pos 6% (Lan, 2002:
1997. Ketiga, berkaitan dengan faktualisasi
129). Sedangkan Ashadi Siregar dkk (ed.)
berita yang bermain diantara kepentingan
(1999: 19) dalam penelitiannya terhadap
realitas dengan kepentingan penguasa, maka
sembilan suratkabar harian besar di Jawa
tugas pekerja pers memiliki kecenderungan
(Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Pos
beresiko cukup besar. Resiko tersebut dapat
Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat,
dalam berbagai bentuk, mulai dari somasi,
Suara Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya
tuntutan hukum di pengadilan, sampai tindak
Pos)
kekerasan yang bisa merenggut nyawa.
mencatat
bahwa
rata-rata
rasio
wartawan
dan
pekerja
pers
perempuan dalam penerbitan pers hanya
Secara lebih terinci Ashadi Siregar
10.94%, dengan rasio jumlah berkisar dari
dkk. (ed.) (1999: 7-8) menjelaskan persoalan
5,92% sampai 16,27%.
gender
Rendahnya jumlah perempuan yang
yang
serius
berkaitan
dengan
eksistensi dan posisi jurnalis perempuan.
bergabung dalam pers menurut May Lan
Pertama,
(2002:
karena:
perempuan yang berkisat antara 5-15% dari
Pertama, pekerjaan sebagai wartawan sering
seluruh wartawan penerbitan pers seluruh
diidentikkan sebagai pekerjaan laki-laki atau
harian terkemuka di Indonesia. Jumlah yang
maskulin. Penampilan wartawan dengan
kecil
mengenakan jaket rompi, membawa notulen
lemahnya posisi tawar (bargaining position)
dan bullpen, dan mencangklong kamera
dalam
dapat menggambarkan citra maskulin ini.
perempuan
Kedua, berkaitan dengan kerja wartawan
lainnya.
sebagai yang berkaitan dengan penyajian
perempuan tersebut masih berada pada level
informasi yang cepat, hangat, aktual, faktual.
bawah dalam struktur kerja kerja redaksional
Dengan tuntutan penyajian semacam ini
pers, yakni sebagai wartawan lapangan.
maka jam kerja menjadi tidak tentu, bahkan
Hanya satu orang yang sudah menduduki
tidak perduli dengan jam kerja, bisa pagi,
posisi sebagai redaktur pelaksana, itupun
siang dan malam atau bahkan beberapa hari.
berada dalam satu tim kerja dengan empat
129-131),
antara
lain
masalah
ini
jumlah
membawa
jurnalis
konsekuansi
memperjuangkan
pada
kepentingan
atau
kepentingan
strategis
Kedua,
kebanyakan
jurnalis
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
15
orang laki-laki. Ketiga, pembagian kerja
semata karena pada dasarnya persepsi
redaksional yang seksis, di mana jurnalis
sebuah media massa terhadap realitas pada
perempuan lebih banyak ditempatkan pada
akhirnya adalah hasil refleksi dari persepsi
liputan-liputan yang stereotype perempuan
masyarakat tempat di mana media tersebut
atau
dianggap
hidup dan eksis. Mengapa citra perempuan
sebagai lunak (soft), seperti dunia hiburan,
dalam media massa belum menunjukkan
budaya, pendidikan, kesehatan, pariwisata,
perkembangan yang menggembirakan dan
dsb. Keempat, meskipun tidak mencolok,
perempuan sekedar menjadi obyek dari
ada sejumlah jurnalis perempuan yang
kekuatan patriarki karena pada dasarnya
mendapat perlakuan yang berbeda, terutama
realitas sosial dan budaya dalam masyarakat
dalam
memang
masalah-masalah
yang
mendapatkan
tunjangan,
demikian
adanya
(Ibrahim,
2001:108). Dengan kata lain, konstruksi
dibandingkan dengan jurnalis laki-laki. Manajemen pers sering menerapkan
realitas yang tercermin dalam media massa
model sex-line, di mana pekerja pers
sesungguhnya adalah cermin dari realitas
perempuan dan laki-laki ditempatkan pada
masyarakatnya.
bidang kerja yang yang dianggap cocok dengan konstruksi sosial
yang sudah
PENUTUP
budaya
Citra perempuan dalam politik sangat
masyarakat. Ada pembedaan yang bisa
dipengaruhi oleh bagaimana media massa
gender dalam melihat spesifikasi pekerjaan.
bekerja. Media massa bekerja membentuk
Ada pekerjaan yang dianggap “maskulin”
opini publik dengan demikian media massa
sehingga di situ hampir selalu ditempatkan
dapat mengkonstruksi atau mendekonstruksi
pekerja
citra
terbentuk
dan
berakar
laki-laki
dan
dalam
pekerjaan
yang
perempuan
dalam
Bila
perempuan
dan
dianggap “feminine” sehingga di situ lebih
konstruksi
cocok bila ditempatkan pekerja perempuan.
kekuasaan masih bias, hal itu di atas tidak
Hal ini tentu tidak begitu saja berlaku bagi
dapat
penerbitan
khusus
kebijakan media massa semata karena pada
seperti
dasarnya persepsi sebuah media massa
majalah wanita, tabloid wanita, dsb. Namun
terhadap realitas pada akhirnya adalah hasil
tidak semua hal di atas dapat dipersalahkan
refleksi dari persepsi masyarakat tempat di
sebagai kesalahan kebijakan media massa
mana media tersebut hidup dan eksis.
diperuntukkan
yang bagi
memang perempuan,
tentang
politik.
dipersalahkan
sebagai
kesalahan
16
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
Dengan kata lain, konstruksi realitas yang
adalah cermin dari realitas masyarakat di
tercermin dalam media massa sesungguhnya
mana
media
itu
tumbuh.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Terawang. Arimbi, dkk. (ed.). 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastik (Seri Siasat Kebudayaan). Yogyakarta: Kanisius. Budiharsono, Suyuti S. 2003. Politik Komunikasi. Jakarta: Grasindo. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Idiologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit. Ibrahim, Marwah Daud. 2001. “Perempuan dan Komunikasi: Beberapa Catatan sekitar Citra Perempuan dalam Media” dalam Ibrahim, Idi Subandi dan Suranto, Hanif. 2001. Wanita dan Media: Konstruksi Idiologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Rosdakarya. Lan, May. 2002. Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru. Yogyakarta: Kalika. Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa: Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siregar, Ashadi dkk. (ed.). 1999. Media dan Gender: Perspektif Gender atas Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y dan The Ford Fundation. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Subono, Nur Iman. 2003. “Menuju Jurnalisme yang Berperspektif Gender” dalam Jurnal Perempuan No. 28 Tahun 2003 hal. 55-66. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS. Sunarto. 2000. Analisis Wacana: Idiologi Gender Media Anak-anak. Semarang: Mimbar. Suparno, Indriyati. 2005. Masih dalam Posisi Pinggiran: Membaca Tingkat Partisipasi Perempuan di Kota Surakarta. Surakarta: SPEK-HAM, UCN dan Pustaka Pelajar. Utari, Prahastiwi. 2011. “Media Sosial, New Media dan Gender dalam Pusaran Teori Komunikasi” dalam Junaedi, Fajar. 2011 Komunikasi 2.0: Teoritasi dan Implikasi. Yogyakarta: Buku Litera, Aspikom dan Perhumas BPC Yogyakarta
KomuniTi, Vol.IV No.1 Januari 2012
17
Wijaksana, M.B. 2004. Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik. Jakarta: YJP dan AusAID.