3
Peremajaan Isolat Streptomyces spp. Enam isolat Streptomyces spp. yaitu IVNF1-1, PS4-16, PS1-4, PD2-9, SLW8-1, dan B56-2 diremajakan pada media YMB (Yeast Malt Broth) (Lampiran 1) yang telah diberi asam nalidiksat (antibakteri) dan griseovulvin (antifungi), selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dan diaerasi dengan kecepatan pengocokan 100 rpm. Setelah 7-10 hari, isolat digores pada media YMA (Yeast Malt Agar) dan Oatmeal (Lampiran 1) dengan inkubasi selama 7-10 hari pada suhu ruang. Produksi Filtrat Kultur yang Mengandung Senyawa Antibakteri dari Isolat Streptomyces spp. Isolat Streptomyces spp. yang berusia 7 hari dipindahkan dengan menggunakan sedotan plastik steril (θ 1.1 cm) dari media Oatmeal ke dalam 75 ml media ISP4 (International Streptomyces Project 4) (Lampiran 1) dengan pH 7. Inkubasi dilakukan pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm, suhu ruang selama 5 hari. Biakan disentrifugasi pada 12 000 g (J2-21, Beckman, USA), 4OC, selama 10 menit untuk mendapatkan supernatan. Tiga perempat bagian supernatan dipekatkan pada suhu -30OC sampai volumenya setengah volume awal. Sedangkan satu perempat bagian supernatan tidak dipekatkan. Penentuan Jumlah Sel S. mutans. Sebanyak 100 µl biakan S. mutans diinokulasikan pada medium Muller Hinton Broth, selanjutnya diinkubasi secara anaerob dalam anaerobic jar pada suhu 37OC selama 24 jam. Kekeruhan suspensi sel diukur berdasarkan standar McFarland (Lampiran 2). Jumlah sel yang digunakan untuk uji antagonis yaitu standar McFarland No. 1 dengan jumlah sel sekitar 3 X 108 sel/ml. Uji Antagonis Filtrat Kultur Streptomyces spp., Minyak Atsiri Daun Sirih, dan NaF terhadap S. mutans. Minyak atsiri daun sirih dilarutkan dalam etanol, sedangkan NaF dilarutkan dalam air destilata. Konsentrasi etanol yang digunakan sebagai pelarut yaitu berdasarkan hasil uji kelarutan minyak atsiri dalam berbagai konsentrasi etanol. Konsentrasi etanol terendah yang mulai melarutkan minyak atsiri digunakan sebagai pelarut, sehingga diperoleh larutan minyak atsiri dan NaF dengan konsentrasi % (b/v) 0.10; 0.25; 0.50; 0.75; dan 1.00 (Yunilawati 2002). Sebagai kontrol yaitu etanol (konsentrasi berdasarkan hasil uji kelarutan) untuk uji antagonis minyak atsiri daun sirih
serta akuades steril untuk uji antagonis NaF. Kontrol negatif uji antagonis filtrat kultur Streptomyces spp. menggunakan akuades steril, sedangkan kontrol positif yaitu cakram kertas berdiameter 6 mm yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi 10 µg. Uji antagonis filtrat kultur Streptomyces spp., minyak atsiri daun sirih, dan NaF dilakukan dengan teknik cawan cakram kertas (paper disk plate). Sebanyak 0.1 ml biakan bakteri target yang telah mencapai jumlah sekitar 3 X 108 sel/ml (standar McFarland No. 1) disebar pada permukaan media Muller Hinton Agar (Lampiran 1) dengan konsentrasi agar 10% (b/v) dan dibiarkan mengering selama 5-10 menit. Selanjutnya ditempatkan cakram kertas berdiameter 8 mm di atasnya. Pada setiap cakram kertas diteteskan 15 µl larutan uji. Setiap uji dilakukan secara duplo. Cawan petri diinkubasi secara anaerob dalam anaerobic jar pada suhu 37OC selama 48 jam. Isolat Streptomyces sp. yang menghasilkan zona hambat terbesar terhadap S. mutans, dikeringbekukan pada suhu -30OC untuk mendapatkan filtrat kultur kering. Selanjutnya filtrat kultur kering tersebut ditimbang untuk menentukan bobot keringnya. Filtrat kultur dengan kepekatan lima kali filtrat awal diuji antagonis terhadap S. mutans.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi S. mutans dari Sampel Plak Gigi. Pengamatan mikroskopis terhadap lima isolat bakteri hasil isolasi pada perbesaran 1000 kali menunjukkan bahwa bentuk sel bakteri tersebut bulat, penataan sel berantai atau berpasangan, dan Gram positif, sesuai dengan kontrol S. mutans serotipe e. Karakteristik tersebut merupakan ciri umum Streptococcus spp., untuk menentukan bahwa lima isolat tersebut adalah S. mutans maka dilakukan uji fisiologis. Salah satu isolat Streptococcus spp. yang diamati dengan mikroskop pada perbesaran 1000 kali, dapat dilihat pada gambar 1.
0.1 mm Gambar 1 Morfologi koloni Streptococcus spp. di bawah mikroskop pada perbesaran 1000 kali
3
4
Tabel 1 Uji fisiologis isolat Streptococcus spp. dan S. mutans serotipe e Kode isolat Karakteristik 1 2 3 4 5 S. mutans serotipe e Produksi Asam dari: Sorbitol + + + + + + Manitol + + + + + + Inulin + + + + + Laktosa + + + + Hidrolisis Arginin -
S. mutans (Holt et.al 1994) + + + + -
Ket: + : 90% atau lebih galur positif - : 90% atau lebih galur negatif
Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa isolat Streptococcus spp. 2, 4, dan 5 mempunyai karakteristik fisiologis S. mutans berdasarkan kemampuan dalam memfermentasi sorbitol, manitol, inulin, dan laktosa, serta tidak menghidrolisis arginin. Kemampuan tersebut juga dimiliki oleh S. mutans serotipe e. Isolat Streptococcus sp. 1 dan Streptococcus sp. 3 tidak mempunyai karakteristik fisiologis S. mutans karena tidak mampu memfermentasi laktosa pada Streptococcus sp. 1 dan tidak mampu memfermentasi inulin dan laktosa pada Streptococcus sp. 3. Reaksi positif fermentasi gula ditandai dengan berubahnya warna medium dari ungu menjadi kuning, sedangkan reaksi negatif ditandai dengan tidak berubahnya warna medium. Berdasarkan hasil uji fisiologis, S. mutans serotipe e (Gambar 2) dan S. mutans 5 (Lampiran 3) tidak dapat memfermentasi gula inulin dan laktosa secara keseluruhan. Hal ini dapat terlihat pada warna medium inulin dan laktosa yang mengandung unsur warna ungu dan kuning. Warna ungu pada medium tersebut menunjukkan gula yang belum difermentasi, sedangkan warna kuning menunjukkan gula yang telah difermentasi. Semua isolat uji tidak menghidrolisis arginin, hal ini ditandai dengan tidak berubahnya warna medium (warna medium tetap ungu).
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
(a) (b) Gambar 2 Respon fisiologis S. mutans serotipe e (a) dan S. mutans 4 (b) dalam fermentasi sorbitol (1), manitol (2), inulin (3), dan laktosa (4), serta hidrolisis arginin (5)
Satu dari tiga isolat S. mutans, yaitu S. mutans 4 (Gambar 2) digunakan sebagai bakteri target dalam uji antagonis. Ciri morfologi koloni S. mutans 4 dan S. mutans serotipe e pada medium TSY20B yaitu warna koloni kuning bening, bentuk koloni bulat dengan tepian licin, elevasi seperti tetesan, dan permukaan halus (Gambar 3).
0.1 mm
0.1 mm
(a) (b) Gambar 3 Morfologi koloni S. mutans serotipe e (a) dan S. mutans 4 (b) pada medium TSY20B di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali Destilasi Minyak Atsiri Daun Sirih. Dua kilogram sirih basah setelah dikeringanginkan selama ±2 hari mengalami penurunan bobot menjadi 900 gram. Destilasi daun sirih menghasilkan minyak dengan volume ±7 ml. Pada awalnya, minyak yang dihasilkan berwarna kuning keruh dan masih mengandung air. Setelah ditambahkan natrium sulfat anhidrat yang berfungsi sebagai penyerap air, minyak yang dihasilkan menjadi berwarna kuning jernih dengan bau khas sirih. Minyak atsiri mulai larut dalam etanol 50% (v/v), ditandai dengan warna keruh dan bersatunya fraksi minyak dengan etanol. Kelarutan minyak atsiri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi etanol yang digunakan. Peremajaan Isolat Streptomyces spp. Enam isolat Streptomyces spp. yang ditumbuhkan pada media YMA dan Oatmeal
4
5
membutuhkan waktu 7-14 hari untuk mencapai koloni dewasa. Pada mulanya ke-6 isolat membentuk miselia aerial berwarna putih, ketika isolat berusia 7 hari miselia aerial sudah berwarna merah muda pada isolat IVNF1-1, PS4-16, PS1-4, dan PD2-9, abu-abu pada SLW8-1, dan putih kehitaman pada B562 (Gambar 4).
Tabel 2 Rata-rata diameter zona hambat filtrat kultur Streptomyces spp. terhadap S. mutans 4 Diameter Zona Hambat (mm)* Kode Filtrat Tidak Filtrat Isolat Dipekatkan Dipekatkan 2 Kali Filtrat Awal IVNF1-1 2.12±0.18 3.50±0.71 PS4-16 PS1-4 PD2-9 SLW8-1 B56-2 * Diameter zona hambat rata-rata dari dua ulangan
10 mm
10 mm
(a)
(b)
5 mm
5 mm
(a)
(b)
10 mm
10 mm
(c)
(d)
5 mm
10 mm
10 mm
(e) (f) Gambar 4 Pertumbuhan Streptomyces IVNF11 (a), PS4-16 (b), PS1-4 (c), PD2-9 (d), SLW8-1 (e), dan B56-2 (f) umur 7 hari pada media YMA Aktivitas Penghambatan Filtrat Kultur Streptomyces spp. terhadap S. mutans. Berdasarkan tabel 2, dari 6 isolat Streptomyces spp. yang diuji, isolat IVNF1-1 mampu menghambat S. mutans 4. Lima isolat Streptomyces spp. yaitu PS4-16, PS1-4, PD29, SLW8-1, dan B56-2 tidak mampu menghambat S. mutans 4 (Lampiran 4). Filtrat kultur IVNF1-1 umur lima hari menghasilkan bobot kering sebesar 5 µg/µl. Berdasarkan bobot keringnya, konsentrasi (b/v) filtrat kultur IVNF1-1 yang tidak dipekatkan yaitu 0.50%, dipekatkan dua kalinya menjadi 1.00%, dan dipekatkan 5 kalinya menjadi 2.50%. Zona hambat yang dihasilkan pada konsentrasi (b/v) 0.50%, 1.00%, dan 2.50% secara berturut-turut 2.12±0.18 mm, 3.50±0.71 mm, dan 7.38±0.53 mm (Gambar 5). Zona hambat yang dihasilkan merupakan diameter seluruh zona dikurangi diameter cakram kertas sebesar 8 mm.
(c) Gambar 5 Kemampuan penghambatan filtrat kultur IVNF1-1 pada konsentrasi (b/v) 0.50% (a), 1.00% (b), dan 2.50% (c) terhadap pertumbuhan S. mutans 4 Uji antagonis ampisilin pada konsentrasi 10 µg terhadap S. mutans 4 dengan dua ulangan, menghasilkan zona hambat sebesar 22.62±0.53 mm (Gambar 6).
5 mm
Gambar
6
Kemampuan penghambatan ampisilin pada konsentrasi 10 µg terhadap pertumbuhan S. mutans 4
Aktivitas Penghambatan Minyak Atsiri Daun Sirih dan NaF terhadap S. mutans. Hasil pengukuran zona hambat minyak atsiri daun sirih dan NaF terhadap S. mutans 4
5
6
menunjukkan besar yang berbeda pada setiap konsentrasi (Tabel 3). Kemampuan minyak atsiri dan NaF dalam menghambat S. mutans ditunjukkan dengan terbentuknya daerah bening disekitar cakram kertas. Tabel 3 Rata-rata diameter zona hambat minyak atsiri daun sirih dan NaF terhadap S. mutans 4 Diameter Zona Hambat Konsentrasi (mm)* % (b/v) Minyak NaF Atsiri Kontrol -a -b 0.10 0.75 0.25 1.12±0.18 0.50 0.50 1.75±0.35 1.00±0.71 0.75 3.25±0.35 2.25±0.35 1.00 3.88±0.18 3.00±0.35 * Diameter zona hambat rata-rata dari dua ulangan a b
etanol 50% (v/v) akuades
Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa minyak atsiri daun sirih telah menghambat S. mutans 4 pada konsentrasi 0.10% (b/v), sedangkan NaF baru menghambat pada konsentrasi 0.25% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri dan NaF yang diuji, maka semakin besar zona hambatnya terhadap S. mutans. Etanol 50% sebagai pelarut minyak atsiri daun sirih, terbukti tidak bersifat antagonis terhadap S. mutans 4 karena tidak menghasilkan zona hambatan. . Pembahasan Isolasi dan Identifikasi S. mutans dari Sampel Plak Gigi. Dalam isolasi S. mutans dari sampel plak gigi dibutuhkan medium yang selektif untuk memudahkan terisolasinya bakteri tersebut. Medium TSY20B merupakan medium yang selektif untuk mengisolasi S. mutans karena mengandung sukrosa dengan konsentrasi 20% dan antibiotik basitrasin 200 unit/liter. Tingginya konsentrasi sukrosa dan adanya antibiotik basitrasin akan menghambat pertumbuhan bakteri mulut lain yang sensitif basitrasin dan kadar gula tinggi seperti S. salivarius (Schaeken et.al 1986). Streptococcus mutans merupakan bakteri anaerobik fakultatif yang tumbuh lebih baik pada kondisi anaerob dibandingkan dengan kondisi aerob dan kondisi lingkungan yang mengandung 5% CO2 (Holt et.al 1994). Pertumbuhan S. mutans dalam medium padat pada kondisi anaerob menunjukkan morfologi koloni lebih rapat dan subur daripada kondisi aerob. Streptococcus mutans yang tumbuh
pada kondisi aerob akan mengalami gangguan pertumbuhan, karena keberadaan oksigen mempengaruhi metabolisme gula, produksi asam, toleransi tegangan, ketahanan dalam plak gigi, dan kapasitas pembentukan biofilm (Takahashi et.al 1987; Iwami et.al 2000; Takahashi-Abbe et.al 2001; Ahn & Burne 2007). Ahn & Burne (2007) melaporkan bahwa penurunan kapasitas pembentukan biofilm pada kondisi aerob disebabkan oleh adanya gen atlA yang ekspresinya dipengaruhi oleh oksigen. Gen atlA menyandikan autolisin yang diperlukan untuk biogenesis permukaan sel dan pematangan biofilm. Pengamatan mikroskopis pada perbesaran 1000 kali terhadap lima isolat bakteri hasil isolasi dari plak gigi manusia menunjukkan karakteristik Gram positif, bentuk sel bulat berpasangan atau berantai. Hasil pengamatan sesuai dengan kontrol positif S. mutans serotipe e, tetapi karakteristik tersebut merupakan ciri umum yang dimiliki genus Streptococcus. Oleh karena itu, Uji fisiologis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan membedakan S. mutans dari genus Streptococcus lain yang ada di dalam mulut. Hasil uji fisiologis S. mutans serotipe e dan 3 isolat Streptococcus spp. menunjukkan bahwa bakteri tersebut memfermentasi gula sorbitol, manitol, inulin, dan laktosa, serta tidak menghidrolisis arginin. Holt et.al (1994) melaporkan bahwa ciri-ciri fisiologis tersebut dimiliki oleh S. mutans. Pada reaksi positif fermentasi gula terjadi perubahan warna medium dari ungu menjadi kuning, hal ini disebabkan oleh dihasilkannya asam laktat dari metabolisme gula yang menyebabkan pH medium turun. Jika arginin dapat dihidrolisis maka pH akan naik, karena pemecahan arginin menghasilkan amonia yang cenderung menaikan pH medium (Hamada & Slade 1980). Reaksi perubahan warna pada uji fermentasi gula dan hidrolisis arginin disebabkan oleh adanya reagen Bromcresol Purple sebagai indikator pH yang berwarna ungu pada suasana netral, ungu tua atau gelap pada suasana basa, dan kuning pada suasana asam (Rollins & Joseph 2000). Aktivitas Penghambatan Minyak Atsiri Daun Sirih dan NaF terhadap S. mutans. Minyak atsiri daun sirih mulai larut dalam etanol 50% (v/v) yang ditandai dengan dihasilkannya warna keruh pada larutan uji. Menurut Guenther (1990), kelarutan minyak atsiri dalam etanol ditandai dengan dihasilkannya larutan berwarna jernih, sedikit berkabut, berkabut, sedikit kabur, kabur,
6
7
sedikit keruh, keruh, dan suram. Etanol digunakan sebagai pelarut minyak atsiri karena minyak atsiri larut dalam pelarut organik, selain itu etanol 50% (v/v) tidak bersifat antibakteri terhadap S. mutans. Hal ini ditandai oleh tidak terbentuknya zona hambatan disekitar cakram yang mengandung 15 µl etanol 50% (v/v). Minyak atsiri daun sirih mulai menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap S. mutans 4 pada konsentrasi 0.10% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri yang duji, semakin besar zona hambat yang dihasilkan. Daya hambat minyak atsiri daun sirih lebih besar dibandingkan NaF pada setiap konsentrasi. Aktivitas penghambatan minyak atsiri daun sirih disebabkan oleh adanya senyawa fenol dan turunannya, salah satunya adalah kavikol (Yunilawati 2002). Senyawa fenol dan turunannya merupakan bahan aktif antibakteri yang bekerja dengan cara mendenaturasi protein sehingga sel bakteri mengalami kerusakan (Pelczar & Chan 1988). Nakahara et.al (1993) dan Hamilton-Miller (2001) melaporkan bahwa beberapa senyawa polifenol pada ekstrak teh terbukti dapat melakukan mekanisme penghambatan terhadap S. mutans, diantaranya bersifat bakteriostatik dan bakterisidal tehadap S. mutans dan S. sobrinus, menghambat perlekatan S. mutans, menghambat aktivitas amilase dari bakteri dan saliva, dan menghambat enzim glukosiltransferase yang mensintesis glukan tidak larut air. Senyawa NaF mulai menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap S. mutans 4 pada konsentrasi 0.25% (b/v), zona hambat meningkat seiring meningkatnya konsentrasi NaF yang diuji. Fluor merupakan kelompok halogen yang dapat menginaktifkan enzim yang membutuhkan kalsium atau magnesium dengan cara mengikat logam-logam tersebut (Pelczar & Chan 1988). Streptococcus mutans melakukan metabolisme karbohidrat melalui proses glikolisis menggunakan beberapa enzim, salah satunya adalah enolase. Bila terdapat ion fluor, kerja enolase akan dihambat karena ion fluor akan berikatan dengan Mg2+ yang merupakan kofaktor enolase, sehingga enolase menjadi tidak aktif. Hal ini mengakibatkan fosfoenolpiruvat tidak dapat disintesis sehingga proses glikolisis yang merupakan mekanisme pembentukan energi tidak berjalan. Dengan demikian, pertumbuhan S. mutans menjadi terhambat karena kekurangan
energi untuk pertumbuhannya (Bunick & Kashket 1981). Dalam bidang kesehatan gigi dan mulut, fluor banyak digunakan dalam tablet, obat kumur, dan pasta gigi (Ellwood & Fejerskov 2003). Konsentrasi fluor yang umum digunakan dalam pasta gigi yang beredar yaitu 880-1500 ppm (part per million) atau sama dengan NaF pada konsentrasi 0.19-0.33% (b/v) (Nugroho et.al 2002). Pada penelitian ini, S. mutans mulai terhambat oleh NaF pada konsentrasi 0.25% (b/v) yang mengandung fluor 1131 ppm. Aktivitas penghambatan minimum S. mutans pada konsentrasi 0.25% (b/v) berada pada kisaran konsentrasi fluor yang umum digunakan dalam pasta gigi yang beredar. Aktivitas Penghambatan Filtrat Kultur Streptomyces spp. terhadap S. mutans. Aktivitas antibakteri filtrat kultur IVNF1-1 terhadap S. mutans 4, meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi senyawa antibakteri dalam filtrat kultur tersebut. Hal ini dapat dilihat dari besarnya zona hambatan yang dihasilkan pada setiap konsentrasi uji. Zona hambat tersebut meningkat setelah dilakukan pemekatan dari konsentrasi (b/v) 0.5% menjadi 1.00% dan 2.5%. Yuliani (1999) dan Ifdal (2003) melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat kepekatan filtrat kultur yang mengandung senyawa antibakteri, maka semakin luas pula zona hambatan yang dihasilkan. Adanya peningkatan aktivitas antibakteri filtrat kultur setelah dipekatkan, disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi senyawa antibakteri pada filtrat kultur tersebut. Madigan et.al (2006) melaporkan bahwa senyawa antibakteri yang dihasilkan Streptomyces diduga merupakan mekanisme adaptasi dan pertahanan terhadap bakteri lain pada lingkungan kompleks seperti pada tanah yang merupakan habitat asli bagi sebagian besar Streptomyces. Zona hambat yang dihasilkan filtrat kultur IVNF1-1, minyak atsiri daun sirih, dan NaF terhadap S. mutans, dapat dibandingkan pada konsentrasi (b/v) 0.50% dan 1.00%. Zona hambat filtrat kultur IVNF1-1 pada konsentrasi 0.50% (b/v) yaitu 2.12±0.18 mm. Zona hambat tersebut lebih besar dari zona hambat minyak atsiri daun sirih dan NaF pada konsentrasi yang sama, secara berurutan yaitu 1.75±0.35 mm dan 1.00±0.71 mm. Zona hambat filtrat kultur IVNF1-1 pada konsentrasi 1.00% (b/v) yaitu 3.50±0.71 mm. Pada konsentrasi yang sama, zona hambat tersebut lebih besar dari zona hambat NaF
7
8
yaitu 3.00±0.35 mm, tetapi lebih kecil dari zona hambat minyak atsiri daun sirih yaitu 3.88±0.18 mm. Pada penelitian ini, kondisi produksi senyawa antibakteri 6 isolat Streptomyces spp. disesuaikan dengan kondisi optimasi produksi senyawa antibakteri pada isolat IVNF1-1, yaitu menggunakan media ISP4, pH 7, dan aerasi 100 rpm (Fadhilah 2007). Media ISP4 merupakan media yang miskin nutrisi dan mengandung banyak mineral dengan sumber karbon pati. Media yang miskin nutrisi akan menekan pertumbuhan, sehingga memicu diekskresikannya metabolit sekunder. Kondisi produksi dibuat dengan aerasi 100 rpm karena Streptomyces merupakan bakteri tanah aerob obligat (Madigan et.al 2006). Fadhilah (2007) melaporkan bahwa Streptomyces sp. IVNF1-1 yang ditumbuhkan pada kondisi teraerasi memproduksi metabolit sekunder yang lebih cepat daripada kondisi tanpa aerasi. Metabolit sekunder dihasilkan selama fase stasioner pertumbuhan, pada fase ini nutrisi lingkungan mulai berkurang, pertumbuhan sel menjadi lambat sehingga akan menstimulasi sel untuk memproduksi metabolit sekunder. Media produksi dibuat dengan pH 7 karena Streptomyces tumbuh baik pada suasana netral sampai basa (Madigan et.al 2006). Pada kondisi produksi tersebut, filtrat kultur 5 isolat Streptomyces spp. yaitu PS4-16, PS1-4, PD2-9, SLW8-1, dan B56-2 tidak mampu menghambat S. mutans 4, baik pada filtrat yang tidak dipekatkan maupun setelah dipekatkan dua kali filtrat awal (Tabel 2) (Lampiran 4). Hasil uji antagonis tersebut mengindikasikan bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan 5 isolat Streptomyces spp. dan logam yang terkandung dalam media ISP4 seperti Fe, Mn, dan Zn tidak bersifat antibakteri terhadap S. mutans 4. Sebaliknya senyawa metabolit sekunder Streptomyces sp. IVNF1-1 mampu menghambat pertumbuhan S. mutans 4, baik pada konsentrasi (b/v) 0.50%, 1.00%, dan 2.50% dengan zona hambat secara berturut-turut 2.12±0.18 mm, 3.50±0.71 mm, dan 7.38±0.53 mm. Perbedaan aktivitas penghambatan pertumbuhan S. mutans 4 oleh Streptomyces spp. yang diuji, kemungkinan disebabkan oleh metabolit sekunder yang dihasilkan Streptomyces spp. memiliki kemampuan antibakteri yang beragam. Senyawa antibakteri yang dihasilkan isolat PS4-16, PS1-4, PD2-9, dan B56-2 tidak mampu menghambat pertumbuhan S. mutans 4, tetapi mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain. Hal ini dibuktikan oleh Ifdal (2003), Andri (2004),
dan Lestari (2006) yang melaporkan bahwa isolat PS1-4 dan B56-2 menghasilkan senyawa antibakteri yang menghambat B. subtilis dan X. axonopodis. Desriani et.al (2004) dan Prasetyaningrum (2007) juga melaporkan bahwa isolat PD2-9, PS1-4, dan PS4-16 menghasilkan senyawa antibakteri yang menghambat EPEC. Pelczar & Chan (1988) menyatakan bahwa senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh Streptomyces tidak selalu efektif terhadap semua jenis bakteri, hal ini disebabkan tiap spesies atau galur mikroorganisme memiliki kerentanan yang berbeda-beda terhadap berbagai senyawa antimikrob. Uji antagonis ampisilin terhadap S. mutans 4 dilakukan untuk melihat daya hambat antibiotik yang telah dikomersilkan. Berdasarkan standar diameter zona hambat Kirby-Bauer, bakteri gram positif tergolong resisten ampisilin pada konsentrasi 10 µg jika diameter zona hambat yang dihasilkan 28 mm, serta tergolong sensitif jika diameter zona hambat yang dihasilkan 29 mm (Madigan et.al 2006). Zona hambat ampisilin pada konsentrasi 10 µg terhadap S. mutans 4 yaitu 22.62±0.53 mm, hasil tersebut mengindikasikan bahwa S. mutans 4 bersifat resisten terhadap ampisilin yang diujikan. Jumlah sel bakteri yang digunakan pada metode Kirby-Bauer yaitu 1.5 X 108 sel/ml (McFarland 0.5) (Deshpande 2007), sedangkan pada penelitian ini jumlah sel S. mutans 4 yang digunakan yaitu 3 X 108 sel/ml (McFarland 1). Resistensi S. mutans 4 terhadap ampisilin pada penelitian ini, kemungkinan disebabkan oleh jumlah sel yang lebih besar dari metode KirbyBauer. Pada konsentrasi 0.5% (b/v) filtrat kultur IVNF1-1 yang mengandung 75 µg filtrat kultur kering, menghasilkan zona hambat sebesar 2.12±0.18 mm. Zona hambat tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan zona hambat yang dihasilkan ampisilin pada konsentrasi 10 µg. Rendahnya zona hambat yang dihasilkan isolat IVNF1-1 disebabkan oleh kondisi filtrat yang masih mengandung senyawa-senyawa pengotor, sedangkan ampisilin kemurnian senyawa antimikrobnya tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemurnian senyawa antimikrob filtrat kultur IVNF1-1, sehingga terbebas dari senyawasenyawa pengotornya. Dari hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya, isolat Streptomyces sp. IVNF1-1 menunjukkan kemampuan dalam menghasilkan senyawa antibakteri yang berspektrum luas, karena mampu menghambat
8
9
bakteri Gram positif (S. mutans) dan Gram negatif (EPEC) (Yuliani 1999; Desriani et.al 2004; Fadhilah 2007; Prasetyaningrum 2007).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tiga dari lima isolat Streptococcus spp. hasil isolasi dari plak gigi manusia mempunyai karakteristik fisiologis S. mutans, yaitu memfermentasi sorbitol, manitol, inulin, dan laktosa, serta tidak menghidrolisis arginin. Satu dari tiga isolat S. mutans, yaitu S. mutans 4 digunakan sebagai bakteri target dalam uji antagonis. Dari 6 isolat Streptomyces spp. yang diuji, isolat IVNF1-1 mampu menghambat pertumbuhan S. mutans 4. Zona hambat filtrat kultur IVNF1-1 pada konsentrasi 0.50% (b/v) yaitu 2.12±0.18 mm. Zona hambat tersebut lebih besar dari zona hambat minyak atsiri daun sirih dan NaF pada konsentrasi yang sama, secara berurutan yaitu 1.75±0.35 mm dan 1.00±0.71 mm. Zona hambat filtrat kultur IVNF1-1 pada konsentrasi 1.00% (b/v) yaitu 3.50±0.71 mm. Pada konsentrasi yang sama, zona hambat tersebut lebih besar dari zona hambat NaF yaitu 3.00±0.35 mm, namun lebih kecil dari zona hambat minyak atsiri daun sirih yaitu 3.88±0.18 mm. Saran Perlu dilakukan pemurnian senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. IVNF1-1, sehingga dapat diuji antagonis terhadap S. mutans pada berbagai konsentrasi.
DAFTAR PUSTAKA Ahn SJ, Burne RA. 2007. Effects of oxygen on biofilm formation and the atlA autolysin of Streptococcus mutans. J Bacteriol 189(17): 6293-6302. Andri C. 2004. Kajian potensi Streptomyces sp. PS1-4 sebagai penghasil senyawa bioaktif pengendali bakteri patogen tanaman kedelai. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bunick FJ, Kashket S. 1981. Enolases from fluoride-sensitive and fluoride-resistant Streptococci. Infect Immun 34(3):856-863. Clancy KA, Pearson S, Bowen WH, Burne RA. 2000. Characterization of
recombinant, ureolytic Streptococcus mutans demonstrates an inverse relationship between dental plaque ureolytic capacity and cariogenicity. Infect immun 68(5): 2621-2629. Deshpande P. 04 Apr 2007. Antimicrobial susceptibility testing by disc diffusion method. Protocol online. Desriani, Lestari Y, Meryandini A. 2004. Penapisan isolat Streptomyces spp. penghasil protein penghambat âlaktamase. Hayati 11(3):88-92. Ellwood R, Fejerskov O. 2003. Clinical Use of Fluoride. Di dalam: Fejerskov O, Kidd EAM, editor. Dental Caries the Desease and it’s Clinical management. USA: Black Well Munksgaard. Fadhilah AM. 2007. Optimasi produksi senyawa anti â-laktamase dari Streptomyces sp. IVNF1-1 penghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare EPEC KI-I. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Guenther E. 1990. The Essential Oils. New York: Robert Krieger. Hamada S, Slade HD. 1980. Biology, immunology, and cariogenicity of Streptococcus mutans. Microbiol Rev 44(2): 331-384. Hamilton-Miller JMT. 2001. Anti-cariogenic properties of tea (Camellia sinensis). J Med Microbiol 50:299-302. Hardie JM, Whiley RA. 1991. The Genus Streptococcus Oral. Di dalam: Balows A, Truper HG, Dworkin M, Harder V, Schleifer KH, editor. The Prokaryotes. Ed ke-2. Volume ke-2. New York: SpringerVerlag. Hendarto AW, Ayati H, Fatma D. 1989. Penggunaan beberapa antibiotika dan pola resistensi kuman terhadap antibiotika tersebut dalam profesi kedokteran gigi. Di dalam: Susilowati SU, Karmiati M, Gunawan M, Dharmautama M, editor. Kumpulan Makalah Ilmiah Kongres Nasional PDGI XVII. Jakarta: Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
9