PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT HUKUMNYA
Oleh :
DEDE ROHYADI 102044125037
KONS ENT RAS I P ERA DIL AN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1429 H/2008 M
PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT HUKUMNYA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
DEDE ROHYADI 102044125037
Di Bawah Bimbingan
Dr. Yayan Sofyan, M.Ag. NIP. 150 277 911
KONS ENT RAS I P ERA DIL AN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT HUKUMNYA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 10 Desember 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 150 169 102
(……………...)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 150 285 972
(……………...)
3. Pembimbing : Dr. Yayan Sofyan, M.Ag NIP. 150 277 911
(……………...)
4. Penguji I
: Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (……………...) NIP. 150 210 422
5. Penguji II
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 150 169 102
(……………...)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya bagi seluruh alam semesta, serta atas bimbingan rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang di ajukan guna memperoleh gelar sarjana Hukum Islam Jurusan Al-ahwal Asyakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada panutan Umat Islam, Nabi Muhammad SAW beserta Keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini juga terwujud tidak terlepas atas peran, bimbingan dan bantuan banyak pihak dengan penuh ketulusan memberikan inspirasi, dukungan semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas dengan ganjaran yang setimpal. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan penghargaan yang setinggitingginya dan rasa terima kasih kepada: 1.
Prof.Dr.Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Drs.A.Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Yayan Sofyan M.Ag, pembimbing penulis yang telah banyak memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 4. Bapak. Drs. Masnun, SH, Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya, dan Bapak Drs. Ana Suryana, Kepala Kantor Urusan Agama Sodonghilir yang
meluangkan
waktunya untuk bersedia melayani penulis dengan senang hati untuk diwawancarai dengan suasana santai dan terbuka. 5. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Dayat dan Ibunda Kiyah, dengan ketulusan dan kasih sayang telah mendidik penulis dengan menanamkan nilai-nilai agama dan moral dan senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis. Kakak-kakak penulis (A. Diding & Teh Enung, A Kukun & Teh Susi, A Yana) Tak lupa Mang Uud & Bi Aroh. yang telah banyak memberikan dorongan Moril maupun Materil untuk kesuksesan penulis. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, pak Mahmudin Spd.I, Afaz SHI, Isnur SHI, Helmy Karomah SHI. Kang Uef SHI. MSi. Akmal Salim Ruhana SHI. Special Ade Liawati CS. Meraka adalah orang-orang yang selalu memberikan keceriaan, Masukan kepada penulis di saat penulis dilanda kesusahan kesedihan dll. 9. Teman-teman penulis di HIMALAYA Jakarta, Abdul Azis. Tatang Podonghol. Dan tak lupa Kawan-kawan di IPPC yang tidak pernah bosan mengingatkan penulis, dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Nuhun atas segala dukungan dan motivasinya.
10. Teman-teman seperjuangan di HMI, sahabat-sahabat di PMII, IMM. Terima kasi atas pergaulannya, persahabatan dan pengertiannya. Demikianlah penulis berharap, dengan adanya skripsi ini, semoga dapat dijadikan bahan masukan bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut. Sebagai manusia penulis merasa banyak sekali kekurangan dan kelemahan dalam menguraikan skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca dengan harapan tulisan ini menjadi lebih baik.
Ciputat, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................
6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
7
D. Metode Penelitian .................................................................
8
E. Sistematika Penulisan ............................................................
10
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ...................
11
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya .........................
11
B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya .......
17
C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang ......................
27
BAB II
D. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang dan Akibat dari Perceraian ........................... BAB III
BAB IV
BAB V
39
WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA ......................................................................
44
A. Dasar Hukum dan Sejarah ......................................................
44
B. Kondisi Umum Masyarakat Kecamatan Sodonghilir ..............
49
PERCERAIAN DI KECAMATAN SODONGHILIR .............
55
A. Hukum Perceraian di Luar Pengadilan ...................................
55
B. Perceraian di Luar Pengadilan ................................................
56
C. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama
59
D. Akibat Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan Agama ..........
64
E. Analisa Penulis ......................................................................
69
PENUTUP .................................................................................
72
A. Kesimpulan ............................................................................
72
B. Saran-Saran ............................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
75
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
78
A. Lampiran 1: Hasil Wawancara 1. Wawancara dengan Bapak Drs. Masnun, SH., Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya ......................................................................................
78
2. Wawancara dengan Bapak Drs. Ana Suryana, Kepala KUA Kecamatan Sodonghilir .......................................................................................
80
3. Wawancara dengan Bapak K. Abdul Majid, Anggota MUI Kecamatan Sodonghilir .......................................................................................
82
4. Wawancara dengan Ibu Yeti ..............................................................
83
5. Wawancara dengan Ibu Evi ...............................................................
85
6. Wawancara dengan Ibu Erna .............................................................
87
7. Wawancara dengan Ibu Andang ........................................................
89
8. Wawancara dengan Ibu Mula ............................................................
91
9. Wawancara dengan Bapak Suryana ...................................................
93
B. Lampiran 2: Surat Keterangan Wawancara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dengan kepentingan manusia lainnya. Kepentingan yang saling berseberangan tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan jika tidak diikat dalam sebuah hukum yang harus ditaati bersama. Karena dengan sebuah hukum yang mengatur antara kepentingan tersebut diharapkan akan tercipta sebuah ketertiban sosial, sehingga memberikan kesejahteraan bagi sebanyak-banyaknya manusia. Demi kepentingan di atas, maka terciptalah sebuah hukum yang mengatur setiap kegiatan manusia. Sampai pada masalah yang paling urgen dalam hal ini adalah masalah pernikahan. Rupanya pernikahan ini menuntut untuk di bentuknya hukum yang mengikutinya. Seperti hubungan antara suami dan isteri, ayah dan anak, ataupun ibu dan anak Namun demikian, lagi-lagi manusia bukan makhluk yang terbebas dari kesalahan. Meskipun telah diatur dengan hukum sedemikian rupa masih saja kita jumpai permasalahan-permasalahan antara manusia yang disebabkan oleh beberapa faktor. Hal demikian bisa terjadi karena kedua belah pihak saling melalaikan kewajibannya sehingga hak yang seharusnya didapat tidak diperoleh. Salah satu tujuan dari adanya syari’at pernikahan adalah untuk mewujudkan keadaan di mana suami maupun istri mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam hidup. Ketenangan dan kebahagiaan ini akan tercapai apabila keduanya
baik suami istri
memahami sekaligus
melaksanakan
hak dan
kewajibannya masing-masing ketika pihak suami maupun istri ini tidak lagi menjalankan hak dan kewajibannya, maka pintu perceraian akan terbuka lebar. Dalam hal ini perceraian bisa diartikan sebagai jalan keluar untuk pemutusan ikatan perkawinan yang tidak bisa dipertahankan lagi. Perceraian merupakan suatu kata yang tidak dapat dipisahkan dari kata perkawinan karena merupakan kelanjutan yang selalu berhubungan satu sama lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya pasangan suami isteri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya kasih sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar bahkan bisa menjadi hilang menjadi kebencian. Kalau kebencian sudah datang dan suami isteri tidak dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dan memulihkan kembali rasa kasih sayang tersebut, maka akan berakibat negatif terhadap anak keturunannya.1 perceraian diakui sebagai jalan keluar terakhir dari kemelut keluarga dan hal ini baru diperbolehkan bila tidak ada jalan keluar lain. Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk merusak dan menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.2 Perkawinan merupakan prilaku makhluk hidup agar kehidupan dalam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia. Akan tetapi juga pada tanaman dan hewan. 1 H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Prenada Persada, 2000), Cet. ke-1, h. 98 2 Slamat Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. ke-1 h. 10
Dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa: ”perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsâqan ghalîdan untuk mentaati perintah Allah swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Dalam hal ini akad perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan yang suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah di dalamnya. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga tujuan perkawinan yakni terwujudnya keluarga yang sejahtera lahir batin dapat terwujud.4 Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik. Pada dasarnya tujuan perkawinan menurut undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan: ”perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5 Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia (sakinah) yang kekal, namun perjalanan dan fakta sejarah menunjukan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan 3 4
Inpres R.I. No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, 2002, h. 14
Amir Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. ke-1, h. 206 5 Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 1, (Bandung: Fokus Media, 2005), Cet. pertama, h.2
suami istri yang perkawinannya ”terpaksa” harus berakhir di tengah jalan6 putusnya perkawinan dapat terjadi karena berbagai hal. Baik karena meninggal dunia atau karena faktor lain seperti: faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan-pandangan hidup dan sebagainya. Seringkali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Apabila faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka mereka akan dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, apabila faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian sebagai jalan terakhir yang akan ditempuhnya. Talak atau perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci Allah. Oleh karena itu, bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kesinambungan.7 Dalam konteks keIndonesiaan perceraian sendiri diatur oleh Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975 sebagaimana tercantum dalam pasal 19, dan dalam KHI pasal 116. bagi kedua pasangan suami istri yang hendak bercerai terlebih dahulu mengajukan ke Pengadilan Agama. Bagi suami harus mengajukan permohonan izin talak, sedangkan bagi istri harus terlebih dahulu mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah menangani tentang masalah perceraian. Yang mana perceraian ini harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, atau dengan kata lain bahwa perceraian tidaklah Sah 6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-1, h. 101 7
269
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). Cet. ke-4, h.
secara hukum yang berlaku di Indonesia, apabila dilakukan di luar sidang Pengadilan Agama, Sesuai dengan Undang-undang perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dalam hal ini hakim yang berhak. Akan tetapi masih banyak fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, di mana pasangan suami istri yang melakukan perceraian tanpa melalui Pengadilan Agama, sehingga hak-hak istri dan anak setelah perceraian nyaris diabaikan, seolah-olah setelah perceraian itu tidak ada lagi beban yang harus di tanggung oleh suami. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum. Dengan kondisi semacam ini, bagaimana akan diingkari adanya persepsi bahwa masyarakat kita masih ada yang ketidakhormatan atas hukum (disrespecting law), entah mengapa? Semua ini terjadi mungkin karena tidak paham akan hukum, atau mungkin menganggap sepele terhadap sebuah perkawinan? Dengan munculnya fenomena perceraian seperti di atas maka, penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah "PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI KECAMATAN
SODONGHILIR,
TASIKMALAYA
DAN
AKIBAT
HUKUMNYA". Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama mempersulit perceraian (cerai hidup),
karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia.8 Semoga tulisan yang ada dalam skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah masalah perceraian. Secara tertulis masalah perceraian diatur dalam pasal 115 KHI , pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang salah satu persyaratan untuk melakukan perceraian yaitu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Dengan kata lain, perceraian tidaklah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia apabila dilakukan di luar pengadilan. Bila ditinjau dari ketentuan yuridis, maka fenomena cerai di bawah tangan tentu sangat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dalam skripsi ini, penulis membatasi masalah seputar fenomena cerai di bawah tangan, dan cerai yang dimaksud adalah cerai talak dan cerai gugat. Selain itu, untuk memudahkan dalam menyusun karya ilmiah, penulis membatasi lokasi yang akan dijadikan objek penelitian hanya di kecamatan Sodonghilir. 2. Perumusan Masalah Dari latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
8
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), Cet. ke-1, h. 60
1. Apa argumentasi mereka yang cerai di luar Pengadilan Agama. 2. Kendala apa saja yang dihadapi yang bercerai di luar Pengadilan Agama. 3. Bagaimana tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Nikah, dan Ulama setempat terhadap cerai di luar Pengadilan Agama. C.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan, dan argumentasi mereka 2. Untuk mengetahui dampak dari perceraian di luar prosedur pengadilan bagi pelaku. 3. Untuk mengetahui tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Nikah dan Ulama setempat tentang perceraian di luar Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motovasi, tindakan dan lain-lain, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 9
9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. ke-21, h. 6
Metode penelitian
adalah
suatu usaha untuk menemukan, mengem-
bangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan dengan penyelidikan yang kritis. 2. Sumber Data Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data peneltian dari berbagai sumber, sebagai berikut: a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku atau teks-teks lain, membaca dan memahami serta menganalisa hal yang berkaitan dengan masalah perceraian, khususnya perceraian di luar Pengadilan Agama. b.
Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dari lapangan yang ada relevansinya
dengan
skripsi
ini.10
Dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan wawancara langsung secara mendalam dengan pegawai Pencatat Nikah Sodonghilir, hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya dan ulama setempat. Juga wawancara langsung dengan pihak yang melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Selain itu, juga dilakukan observasi di lapangan, terutama berkaitan dengan fenomena cerai di bawah tangan yang terjadi di masyarakat Kecamatan Sodonghilir. 3. Teknik Pengumpulan Data Seperti yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam. Wawancara penulis 10
Ibid., h. 3
lakukan kepada para pejabat di lingkungan Peradilan Agama dan tokoh ulama, yaitu kepada hakim Pengadilan Agama, Drs. Masnus, SH., Kepala KUA Sodonghilir, Drs. Anas Suryana, anggota MUI Sodonghilir, Kiai Abdul Majid. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan pihak-pihak yang bercerai di bawah tangan yang terjadi di Kecamatan Sodonghilir, di antaranya Ibu Yeni, Ibu Andang, Ibu Evi, Ibu Mula, Ibu Erna dan Bapak Suryana. Setelah melakukan wawancana tersebut, penulis mengubah hasil wawancara ke dalam bahasa tulisan, untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis. E.
Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab yaitu: Bab Pertama, Pendahuluan, yang meliputi, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, Tinjauan Umum Tentang Perceraian, yang meliputi: pengertian perceraian dan dasar hukumnya, macam-macam perceraian dan hukum menjatuhkannya, pemeriksaan sengketa perceraian, dan alasan yang membolehkan perceraian menurut undang-undang dan akibat perceraian. Bab Ketiga, Wilayah Hukum Pengadilan Agama Tasikmalaya, yang meliputi: dasar hukum dan sejarah, dan kondisi umum masyarakat Kecamatan Sodonghilir.
Bab Keempat, Gambaran Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir, meliputi: hukum perceraian di luar pengadilan, perceraian di luar Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir, faktor-faktor terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama di Kecamatan Sodonghilir, akibat hukumnya, dan analisa penulis. Bab Kelima, Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Perceraian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau putus.11 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim masdar dari kata “ ًِْْ َ-ُِْ ُ-َََ” yang semakna dengan kata ‘ ’اِْرَ لdan ‘ُ ’اﻝْكyaitu melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.12 Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di antaranya: Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan talak dengan : 13
.ِِْ َِ اﻝوَاجِ وَإِ"ْ!َ ءِ اﻝَََِْ اﻝو%ِ (ِ'& رَا
Artinya : “Talak adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri”. Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, al-Fiqih ala alMazahib al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163 12
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al-Ma’arif), 1990, Cet. ke-7, h. 9
13
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al- Kitab al-Arabi, 1973), Cet. ke-2, Jilid 2, h. 241
14
.ٍْص9ُ07َ6 ٍ5ْ3َِ% ِ2+ِ( َُ ن0ُْ" َْ حِ أَو-+,إِزَاﻝَُ اﻝ
Artinya : “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan kata-kata tertentu”. Kemudian Abu Zakaria al-Anshari menjelaskan talak dengan “ 15
.ِِ اﻝ ;َق5ْ3َِ% َِ ح-+,(ِ'& =َْ<ِ اﻝ
Artinya” “Melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak”. Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti talak. Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya talak, yaitu hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya berorientasi pada tindakan seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang terjadi dalam talak raj’i. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam putusan pemerintah N0.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
14
Abdurahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah al-Kubra, t.th.), jilid 4 h. 278 15
Abu Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, (Semarang: Syirkah an-Nur Asia, t.th.), juz 2, h.
undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian
perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Senada dengan Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan dapat disebabkan karena perceraian dan dapat pula terjadi karena talak. Talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan.16 Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya apabila ia merasa sudah tidak dapat lagi mempertahankan perkawinannya tersebut. Sebaliknya gugatan cerai dapat diajukan oleh istri kepada suaminya dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. 2. Dasar Hukum Perceraian Masalah
perceraian
merupakan
suatu
masalah
yang
banyak
diperbincangkan jauh sebelum adanya Undang-undang Perkawinan, karena kenyataannya dalam masyarakat sekarang ini banyak perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian dan tampaknya hal tersebut terjadi dengan mudah. Adakalanya perceraian tersebut terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menyebabkan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia,
16
Djoko Prakaoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), Cet. ke-26, h. 178
kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang ada dalam penjelasan umum Undang-undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.17 Dalam hal ini agama Islam telah terlebih dahulu mengatur sedemikian rupa masalah perceraian ini dengan menurunkan ayat-ayat al-Qur’an dan Haditshadits Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut sehingga mempunyai dasar hukum dan aturannya sendiri, di antaranya yaitu: Surat al-Baqarah/2: 230
(230 :ةH )اﻝ... ُEََْD ًَْ زَوCِ-ْ,َ Bَ( <ُ َْ% ْ>ِ6 ُ2َِنْ ََ!َ @َ;َ َ?ِ'& ﻝAَ@ Artinya: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain …” (al-Baqarah/2: 230) Surat al-Baqarah/2: 231
ُْه9ُ(+َ َُْْوْفٍ أَوPِ% >ُْه9ُ-ِQْ6َRَ@ >ُ!َََْ>َ أSََHَ@ ََ ءQ+,ُ اﻝTَُْ وَإِذَا > ُ2َQْ3َ" َTََW ْ<ََ@ َXَِْ'ْ ذَﻝ3َ ْ>َ6ََِارًا ﻝََِْ<ُوْا وY >ُْه9ُ-ِQْPَ َVََُْوْفٍ وPِ% (231:ةH )اﻝ... Artinya: “Apabila kamu menthalaq istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiyaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri..." (al-Baqarah/2: 231) Surat al-Baqarah/2: 232
...>ُ!َِ?ْ>َ أَزْوَا-ْ,َ ْْهُ> أَن9ُُ[َْ َ;َ@ >ُ!َََْ>َ أSََHَ@ ََ ءQ+,ُ اﻝTَُْ وَإِذَا (232:ةH)اﻝ Artinya: “Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya…" (al-Baqarah/2: 232)
17
K. Wantik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h. 36
Surat al-Thalaq/65: 1
ّ_ْا ا9ُْا اﻝِْ<ةَ وَا9ُ0ْ(َْ وَأTِ!ِ<ِِْهُ> ﻝ9َُ َ@ ََ ءQ+,ُ اﻝTَُْ ِ\& إِذَاH,َ]أَ&!َ اﻝ (1 : )اﻝ ;ق... ْTُ-%َر Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah…" (atThalaq/65:1) Selain ayat-ayat tersebut terdapat pula hadits-hadits Nabi yang dipahami sebagai dasar hukum perceraian, antara lain:
ِ ْلِ ا9َُ =َ!ْ<ِ رBِ@ ٌaِb َ( َ\ُِ وَه2َََْا6ُِ ََ ا2"َََ أPُ= ِ>ْ%ْ<ِ ا_ِ اHَ= ْ>َ= _ ِ2ََْ= ُ_ اBَْلَ ا_ِ ﺹ9ََُ بِ ر7ْْ>ُ اﻝ%ََ اPُ= ََلRَQَ@ َTََِ و2ََْ= ُ_ اBَﺹ Tُe َaِْ?َ Tُe ََ!ْ َ Bَ( َ!ْ-ِQْPُِ ﻝTُe َ!ََُِْْ@ ُE&ُ6 ََ @ََ لXَِ =َ>ْ ذَﻝTََو Bَِ اﻝِْ<ةُاﻝXَِْ@ iَP ْْ'َ أَنHَh ََ ََ ءg َْْ<ُ وَإِن% َXَQْ6َ ءَ اg ْ إِنTُe ،َُ!ْ َ 18 ( رى7H اﻝE )روا.َُ ءQ+,ََ ا_ُ أَنْ ُ ََ ﻝَ!َ اﻝ6َأ Artinya: “Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya ibnu Umar telah menthalaq istrinya, sedang isrinya itu dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw., maka Umar Ibnu Khatab menanyakan hal yang demikian kepada Rasulullah saw, beliau bersabda: suruhlah agar merujuk istrinya itu, kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau ia boleh menthalaqnya. Menthalaq istri agar menjalankan masa iddahnya.” (H.R. Bukhari)
ٍ ْ-َ% ْBِ%َْلِ ا_ِ وَأ9َُ=!ْ<ِر َ Bََ= ُ آَ نَ اﻝ ;َق:ََ لh ُ2ْ,َ= ُ_ِ\َ اYَ سٍ رHَ= ِ>ْ%=َ>ِ ا َ س, إِن اﻝ:َِ ب7ْْ>ُ اﻝ%ََ اPُ= َ;َثِ وَا(ِ<َةٍ @ََ لnََ َُ اﻝPُ= َِ@َ;َِ>ْ ﺥ6 ِ>َْْ,ََو .ْTِ!ََْ= ُE َ[ْ6َRَ@ ِ2ََْ= ُE َ,َْ[ْ6َْ ا9ََ@ ٌِ أَ"َ ة2ِْ@ ْTُ!َْ ﻝpَ" ََ<ْ آh ٍْ6ُ اBِ@ ْا9َُqََْْ<ِ اh 19 (TQ6 E)روا Artinya: “Dari ibnu Abbas r.a., ia berkata : Adalah thalaq pada masa Rasulullah saw. Masa Abu Bakar dan dua tahun masa pemerintahan Umar, thalaq tiga jatuh satu, maka berkata Umar ibnu Khatab: Sesungguhnya manusia tergesa 18 19
Al- Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut, Darul-Fikr, 1958), Jilid 7, h. 52
Imam Abi Husen Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Hadits ke-1472, (Beirut, Darul-Fikr, 1992), Juz1, h. 688
pada urusan yang boleh mereka lakukan perlahan, lalu aku lakukan yang demikian atas mereka.” (H.R. Muslim) Al-Qur’an dan hadits telah mengatur masalah perceraian ini dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat kita lihat dengan diberikannya batasan kepada suami yang ingin menceraikan istrinya dan merujuknya kembali. Islam membolehkan suami merujuk istrinya sampai talak yang kedua, tetapi jika telah sampai pada talak yang ketiga maka suami tidak mempunyai hak lagi untuk merujuk istrinya itu, kecuali mantan istrinya tersebut telah menikah dengan pria lain dan oleh suaminya yang kedua tersebut telah diceraikan kembali. Barulah setelah itu suami yang pertama dapat rujuk kembali kepada mantan istrinya tersebut. Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada masa jahiliyyah, di mana laki-laki boleh saja mentalak istrinya beberapa kalipun dia kehendaki. Kemudian setiap kali akan habis masa iddahnya, maka dirujukinya kembali sehingga hal ini terjadi berulang-ulang kali.20 B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya 1. Macam-macam Perceraian Menurut perspektif hukum Islam di Indonesia cerai atau talak itu terbagi menjadi beberapa macam tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya. Ditinjau dari boleh tidaknya suami kembali kepada mantan istrinya terbagi menjadi dua macam yaitu: a. Talak Raj’i 20
Bakri A, Rahman dan A. Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/B.W. (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981), h. 41
Talak raj’i menurut etimologi adalah di mana suami dapat rujuk kembali, sedangkan menurut istilah fikih adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah betul-betul dikumpulinya, talak yang bukan sebagai ganti mahar yang dikembalikan serta talak itu baru dijatuhkannya sekali.21 Menurut H. A Fuad Said dalam bukunya Perceraian Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan talak raj’i yaitu talak suami kepada istri yang telah dicampuri, baik dengan sharih (terang) maupun kinayah (sindiran).22 Ditambahkan pula oleh A. Zuhdi Muhdhor bahwa talak satu atau talak dua tersebut tanpa ada penebus talak dari istri untuk suami serta rujuknya suami tidak perlu adanya akad baru.23 Tidak ada perbedaan dengan pengertian yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 118 bahwa yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.24
b. Talak Ba’în Talak ba’in adalah talak untuk yang ketiga kalinya atau talak yang dijatuhkan sebelum istri dikumpuli dan talak yang jatuh dengan tebusan oleh 21
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 58
22
H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998), Cet. ke-
30, h. 55 23
A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), (Bandung: Al-Bayan, 1999), Cet. ke-2, h. 94 24
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Op.Cit., h. 57
istri kepada suaminya (khulu). Talak ba’in ini terbagi kedalam dua macam yaitu: 1) Talak Ba’în Shugrâ Talak ba’in shugra yaitu talak yang kurang dari tiga kali yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Menurut A. Zuhdi Mudhor talak ba’in shugra juga termasuk talak satu dan dua.25 Adapun yang termasuk talak ba’in shugra sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 119 Kompilasi Hukum Islam ayat 2 yaitu: 1) Talak yang terjadi qabla al-dukhul (sebelum berhubungan seksual) 2) Talak dengan tebusan atau Khulu’ 3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama26 “Talak yang terjadi qabla al-dukhul” ialah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang belum pernah dicampuri. Istri yang demikian boleh ditalak tetapi ia tidak mempunyai masa iddah, oleh karena itu suami dilarang rujuk kepadanya sebab rujuk itu hanya diperbolehkan pada masa iddah. Sebagaimana ketentuan Allah dalam surat al- Ahzab ayat 49 yang berbunyi:
ُه9&QَPَ ْْ'ِ أَنHَh > > ْ ِ6 >ُه9ُPَُْ Tُe َِ ت,ِ6ْtُPُْ اﻝTُْ?َ-َ" ا إِذَا9ُ,َ6ِ>َ ءَاrَ أَ&!َ اﻝ ًِPَ ً(هُ> َ َا9ُ(+ ََهُ> و9ُ+َPَ@ َ!َ"ِ >ْ =ِ <ةٍ ََْ <&و6 >ِ!ْ ََ= ْT ُ-ََ ﻝPَ@ (49 :(ابu)ا Artinya:
25
A. Zuhdi Muhdor, Loc.Cit.
26
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Op.Cit., h. 58
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menggaulinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab/33:49) Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai masa iddah, karena itu ia tidak bisa dirujuk oleh mantan suaminya kecuali dengan akad yang baru. “Talak dengan tebusan atau dengan khulu’ “adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada suami dan atas persetujuan suaminya. Penyebabnya karena suami cacat atau karena sebab yang lainnya, sedangkan tebusan tersebut bisa juga merupakan pengembalian mahar dari istri.27 Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa khulu’ ialah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang terjadi atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar istri membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya.28 Ketentuan mengenai hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang mana inti dari ayat tersebut menjelaskan
bahwa
khulu’
adalah
perceraian
dengan
tebusan
berdasarkan kesepakatan suami istri tersebut atau dalam bahasa perundang-undangan disebut dengan gugat cerai dengan tebusan (iwadh).
27 28
A. Zuhdi Muhdor, Op. Cit., h. 95
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. ke-1, h. 251
“Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama” yaitu talak atau perceraian yang keputusannya dijatuhkan oleh Pengadilan Agama di mana
sebelumnya
salah
satu
pihak
(suami/istri)
mengajukan
permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan untuk keperluan tersebut. Contohnya seperti perceraian yang terjadi karena suami melanggar ta’lik talak.29 Jadi ketiga jenis talak di atas semuanya termasuk kategori talak ba’in shugra dengan konsekuensi suami dilarang rujuk kembali kepada mantan istrinya, akan tetapi apabila suami tersebut masih menginginkan kembali kepada mantan istrinya, maka menurut Kompilasi Hukum Islam suami tersebut
boleh menikahinya dengan syarat harus dengan akad
nikah baru walaupun wanita tersebut belum habis masa iddah maksudnya bila mantan suami tersebut bermaksud hendak mengadakan akad nikah baru, maka tidak perlu menunggu sampai masa iddahnya selesai. 2) Talak Ba’în kubrâ Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat drujuk dan tidak dapat dinikahi kembali. Kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.30 Menurut Sayuti Thalib yang termasuk talak ba’în kubrâ yaitu:
29
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-1, h.
123-126 30
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Loc.Cit.
a) Talak itu berupa talak tiga b) Perceraian karena li’an karena pasangan suami istri tersebut tidak diperbolehkan kawin lagi untuk selamanya.31 Talak yang ketiga kalinya itu adalah talak yang peristiwanya terjadi sebanyak tiga kali dan bukan talak yang dijatuhkan suami tiga kali sekaligus/berturut-turut, karena dalam Kompilasi Hukum Islam ada kata “terjadi” yang berarti ada kejadian/peristiwa talak yang mendahului talak ketiga tersebut yaitu talak satu dan talak dua. Di sini dapat kita lihat bagaimana kehati-hatian Kompilasi Hukum Islam dalam menyusun redaksi tentang talak tiga, karena para ulama fikih juga sepakat atas keharaman talak tiga yang diucapkan sekaligus. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengkategorikan talak tiga yang diucapkan sekaligus, apakah jatuh talaknya atau tidak. Implikasi yang ditimbulkan dari talak ba’in kubra ini adalah suami tidak dapat rujuk dan tidak dapat menikahi mantan istrinya lagi, kecuali apabila mantan istrinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan wanita tersebut telah habis masa iddahnya, maka suaminya yang pertama boleh menikahi mantan istrinya itu kembali. Bila ditinjau dari sisi apakah talak itu sesuai dengan yang disyari’atkan oleh agama Islam atau tidak, maka talak itu terbagi menjadi dua macam yaitu: a) Talak Sunny 31
Sayyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. ke-5, h. 103-104
Talak sunny secara etimologi berarti talak sunnah atau talak yang diperbolehkan. Menurut Sayyid Sabiq talak sunny adalah talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang yang mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum dicampuri selama bersih itu.32 Pengertian di atas sama dengan yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 121 mengenai talak sunny. Talak sunny dijatuhkan sekali oleh suami atau istri yang suci dan belum dicampuri dalam waktu suci tersebut sebagaimana firman Allah surat at-Thalaq ayat 1 yang isinya adalah memerintahkan kepada para suami yang ingin menceraikan istri-istrinya hendaklah pada saat yang memungkinkan istri untuk beriddah yaitu setelah bersih atau suci dari haid atau nifas dan belum disetubuhi dalam waktu suci tersebut. b) Talak Bid’i Talak bid’i adalah talak yang bertentangan dengan syar’i yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut atau seorang mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga secara terpisahpisah dalam satu tempat.33 2. Hukum Menjatuhkan Talak
32
Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 42 H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Pekawinan Islam, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), Cet. ke-2, h. 223 33
Dalam Islam, talak tidaklah disukai dan sangat dibenci oleh Allah SWT karena dapat merusak hubungan baik dan kemaslahatan antara suami istri. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
:َTََِ و2ََْ= ُ_ اBَْلُ ا_ِ ﺹ9ََُ لَ رh :ََ لh ُ2ْ,َ= ُ_ِ\َ اYَََ رPُ= ْ>َ= ( داود9% أE )روا.ُْ<َ ا_ِ =َ وََ' اﻝ ;َق,ِ= ُِ اﻝْ?َ;َلaَSْ%َأ Artinya : “Dari Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda: “sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah Talak”. (HR. Abu Daud) Adapun Mengenai hukum menjatuhkan talak apabila dilihat dari kemaslahatan dan kemadharatannya, maka hukum talak ada 5 (lima), yaitu:34 a. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim dari istri dan dari suami (QS. 4: 35). Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan,
pertengkaran,
perselisihan,
atau
bahkan
menjerumuskan
keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib bagi keduanya. b. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagai ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan madharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Talak seperti ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Kedua,
34
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. ke-1, h. 208-210
menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah dari Umar r.a Rasulullah SAW bersabda : Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. c. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulanya yang hanya mendatangkan madharat dan menjatuhkan mereka dari tujuan pernikahan. d. Sunnah, yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, seperi shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. e. Mahzhur (terlarang), yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid. Para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak seperti ini disebut juga dengan talak bid’ah karena menyalahi sunnah Rasulullah Saw dan mengabaikan perintah Allah SWT.35 Jumhur ulama termasuk Malikiyyah, syafi’iyyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa talak termasuk hal yang diizinkan, tetapi lebih baik bila tidak melakukannya kecuali jika terpaksa, karena akan merusak hubungan kasih sayang. Karena itu, menurut mereka hukum talak dapat berubah menjadi haram, makruh, wajib, dan sunnah. Haram bila akibat talak itu akan mengakibatkan ia melakukan perbuatan zina atau jika talaknya talak bid’i. makruh bila ia (suami) sebenarnya suka dengan pernikahan itu, atau ia sedang mengharapkan
35
Ibid., h. 210
keturunan, atau ia tidak khawatir akan berbuat zina apabila bercerai. Wajib apabila suami sudah tidak mampu lagi untuk memberikan nafkah, atau karena sumpah ila’ tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan. Sunnah bila istrinya adalah seorang yang ucapan-ucapannya kotor, sehingga ia khawatir akan melakukan perbuatan terlarang jika masih bersamanya.36 C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan, yakni untuk mempersulit terjadinya perceraian (pasal 39), maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-undang No. 03/2006 Pasal 65, jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 115). Adapun tata cara atau prosedurnya dapat dibedakan menjadi dua macam: 1. Cerai Talak Cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan berdasarkan hukum Islam dalam memutuskan akad nikah antara suami istri. (1) Apabila suami hendak menceraikan istrinya, maka harus menempuh jalur hukum yaitu melalui gugat permohonan ke Pengadilan Agama (PA). Menurut ketentuan pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut: “seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”
36
Taufik Abdullah, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 92
Adapun bunyi pasal 67 huruf A Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut: “Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas, memuat: a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu dan termohon yaitu istri.” Jadi talak itu tidak bisa dilakukan secara sepihak, tetapi harus bersifat dua pihak dalam kedudukan : suami sebagai pihak “pemohon”, dan istri sebagai pihak “termohon”. Dalam rumusan pasal 14 PP No. 09/1975, dijelaskan pula beserta pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yang berbunyi: “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Selengkapnya, masalah tempat permohonan itu diajukan, diatur dalam pasal 66 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut: (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. (4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka pemohon diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (5) Permohonan tentang pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan 37 Dengan demikian, kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam mengadili gugat cerai talak diatur dalam pasal 66 tersebut agar gugatan tidak salah alamat, dan gugat cerai talak harus diajukan suami kepada Pengadilan Agama yang berpedoman kepada petunjuk yang telah ditentukan dalam pasal 66 di atas. Dengan memperhatikan ketentuan yang digariskan dalam pasal tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam perkara cerai talak ini didasarkan pada “tempat kediaman termohon”, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada si istri (Peraturan Menteri Agama RI No. 03/1975). Selain itu, ayat (5) di atas memberikan peluang diajukannya kumulasi objektif atau gabungan tuntutan. Ini dimaksudkan agar dalam mencari 37
279
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-5, h.
keadilan melalui Pengadilan dapat menghemat waktu, biaya dan sekaligus menyelesaikan perkara semua tuntutan.38 Mengenai muatan dalam permohonan tersebut, selanjutnya pasal 67 Undang-undang No. 07/1989 ini menyatakan: Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat: a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon (suami), dan termohon (istri), b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (sebagaimana yang dirinci dalam pasal 19 PP/No. 09/1975 jo. Pasal 116 (Kompilasi Hukum Islam). Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (pasal 130 Kompilasi Hukum Islam). Langkah selanjutnya adalah mengenai pemeriksaan oleh pengadilan, yang diatur dalam pasal 68 UU No. 07/1989 yakni disebutkan: 1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepanitraan. 2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan:
38
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara PA, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 66
“Pengadilan
yang
bersangkutan
mempelajari
isi
surat
yang
dimaksudkan pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil." Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan: “pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pengiriman surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatunya yang berhubungan dengan maksud perceraian.” (Pasal 131 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum persidangan dimulai,
setiap kali persidangan tidak menutup
kemungkinan untuk mendamaikan mereka. Karena persidangan semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam sekali persidangan. Mengenai hal ini, pasal 28 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Agama RI No. 03/1975 menjelaskan: 3) Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada (BP4) setempat agar kepada suami –istri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 4) Pengadilan Agama setelah memperhatikan hasil usaha BP4 bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, dan berpendapat
adanya alasan untuk talak, maka diadakan sidang untuk menyaksikan talak dimaksud 39 Langkah berikutnya diatur dalam pasal 70 Undang-undang No. 07/1989, sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP No. 09/1975: 1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. 2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, istri dapat mengajukan banding. 3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. 4) Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. 5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadiri sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya. 6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri 39
Departemen Agama RI, Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Binpapera, 1981), h. 219
atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama dan ikatan perkawinan mereka tetap utuh (lihat pasal 131 ayat (2), (3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam) Selanjutnya, itu diatur dalam pasal 17 PP No. 09/1975 sebagai berikut: “Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.” Isi pasal 17 PP No. 09/1975 tersebut kemudian dirinci lagi dalam pasal 131 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: “Setelah sidang penyaksian ikrar talak, PA membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap talak yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada PPN yang mewilayahi tempat tiggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri, dan helai keempat disimpan oleh PA.” Langkah terakhir dari pemeriksaan perkara cerai talak ini ialah penyelesaian perkara sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 71 Undang-undang No. 07/1989 tentang Peradilan Agama: 1) Panitra mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
2) Hakim
membuat
penetapan yang
isinya
menyatakan bahwa
perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. 2. Cerai Gugat Bentuk perceraian lain yang diatur dalam Undang-undang adalah “Cerai gugat”. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat ini tidak banyak perbedaan dengan cerai talak. Undang-undang No. 07/1989, tentang Peradilan Agama dan PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tidak membedakan antara khulu’ dengan “cerai gugat”, karena kedua-duanya merupakan perceraian yang terjadi atas permintaan istri. Jadi dengan demikian, khulu’ termasuk kategori cerai gugat. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 09/1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan dalam hal teknis, yang menyangkut kompetensi wilayah pengadilan seperti dalam cerai talak, mengalami sedikit perubahan dalam Undang-undang No. 07/1989. tentang Peradilan Agama perubahan dimaksud terlihat pada: Pertama, dalam pp No. 09/1975 gugatan perceraian bisa diajukan oleh suami atau istri, maka dalam Undang-undang No. 07/1989 dan Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh istri (atau kuasanya). Kedua, pada prinsipnya pengadilan tempat mengajukan gugatan perceraian menurut PP No. 09/1975 diajukan di pengadilan yang mewilayahi tempat tergugat, sedangkan menurut Undang-undang No. 07/1989 dan
Kompilasi Hukum Islam ialah di pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman penggugat40 Oleh sebab itu Undang-undang No. 07/1989 memberikan penjelasan dengan selengkap-lengkapnya mengenai tata cara cerai gugat dalam pasal- pasal yang berkenaan dengan hal tersebut. Pasal 73 misalnya, menyatakan: i. gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tepat kediaman bersama tanpa izin tergugat. ii. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. iii. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada PA Jakarta Pusat. Asas pemeriksaan cerai gugat pada prinsipnya tunduk sepenuhnya kepada tata tertib yang diatur dalam Hukum Acara perdata, dalam hal ini HIR atau RBG. Namun demikian, khusus untuk perkara perceraian, Undang-undang No. 07/1989 mengatur asas tersendiri. Di samping asas dan tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat tunduk sepenuhnya pada ketentuan hukum acara perdata serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-undangNo.
40
Ahmad Rafiq, Op.Cit, h. 301
07/1989 ini, tata tertib pemeriksaan juga harus berpedoman pada asas-asas umum baik yang diatur dalam Undang-undang No. 14//1975, maupun asas-asas yang dicantumkan dalam UU No. 07/1989 ini. Adapun mengenai asas-asas yang menjadi pedoman pemeriksaan perkara cerai gugat sama dengan asas umum yang berlaku dalam pemeriksaan perkara cerai talak. Karenanya, masalah ini tidak akan diuraikan lagi pada bagian ini. Namun demikian, pada bagian ini akan dikemukakan secara ringkas apaapa yang menjadi asas umum dimaksud yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam ketentuan pasal 80 ayat (1) Undang-undang No. 07/191989 yang menjelaskan: “pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim selambatlambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepanitraan” 2. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup Meskipun sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 81 Undang-undang No. 07/1989 jo. Pasal 146 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 81 ayat (2) dan pasal 146 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, pasal 34 PP No. 09/1975).
3. Pemeriksaan di sidang pengadilan dihadiri suami istri atau wakil yang mendapat kuasa khusus dari mereka. Hal ini menjadi faktor penting bagi lancarnya pemeriksaan perkara di persidangan. Karena itu pasal 142 Kompilasi Hukum Islam menegaskan: 1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. 2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. 4. Upaya mendamaikan diusahakan selama proses pemeriksaan berlangsung. Hal ini ditegaskan dalam pasal 82 ayat (4). Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan, dan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Setelah perkara gugatan perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Pasal 147 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitra Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing yang bersangkutan.”41 Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan serta PP No. 09/1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang perkawinan, menyatakan bahwa terjadinya perceraian adalah terhitung mulai saat pernyataan perceraian itu
41
M Yahya Harahap, Op.Cit., h. 257-258
dinyatakan oleh suami dalam sidang Pengadilan Agama yang diadakan untuk menyaksikan perceraian itu. Dan dalam hal terjadinya gugatan perceraian, maka perceraian terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan Pengadilan Agama dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila telah diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Putusan yang demikianlah yang diberikan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan pengukuhan ini bersifat administratif dan tidak bernilai yuridis. Namun apabila dimintakan banding oleh salah satu pihak atas putusan Pengadilan Agama itu, maka putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum dan belum dapat dikukuhkan. Demikian juga jika dimintakan kasasi.42 D. Alasan yang Membolehkan Perceraian menurut Undang-undang dan Akibat dari Perceraian 1. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Kemudian mengenai alasan perceraian itu dijelaskan lebih rinci oleh Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu pada pasal 19 yang berbunyi: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
42
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1995), Cet. ke-5, h. 121
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.43 2. Akibat-akibat Perceraian Dengan adanya putusan Perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, bukan berarti masalah perceraian ini selesai, akan tetapi masih ada akibat-akibat hukum lainnya yang ditimbulkan dari perceraian tersebut yaitu menyangkut masalah anak-anak, hubungan suami istri dan harta kekayaan mereka. a. Mengenai anak-anak Dalam hal anak-anak yang masih menyusui kepada ibunya, apabila terjadi perceraian maka ibunya tetap berhak untuk menyusui dan memelihara anak itu, kemudian ayahnya juga tetap berkewajiban untuk memberi nafkah
43
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-1, h. 358
pemeliharaan dan pendidikan anaknya dari bayi hingga dewasa dan dapat mandiri. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga telah mengatur masalah ini yang dimuat dalam pasal 41 yaitu : 1) Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak,
pengadilan
memberi
keputusannya. 2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang
diperlukan
anak
itu,
bilamana
bapak
dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri. b. Mengenai Hubungan Suami Istri Bagi pasangan yang telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri, selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut. Mut’ah yang diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau uang.
Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam pasal 149 yaitu : 1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul. 2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. 3) Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al-dukhul. 4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. c. Mengenai Harta Bersama Islam tidak mengenal adanya percampuran antara harta kekayaan suami istri yang telah ada sebelum pernikahan. Harta kekayaan tersebut tetap menjadi milik masing-masing pihak selama mereka tidak menentukan lain. Apabila selama perkawinan mereka memperoleh harta, maka harta tersebut dinamakan harta syirkah yaitu harta yang menjadi milik bersama suami istri, oleh karena itu dalam Islam ada harta suami istri yang telah dicampur dan ada juga harta yang tidak dicampur. Dalam hal harta kekayaan yang bercampur yang didapatkan selama perkawinan karena usaha bersama suami istri, menjadi milik bersama dari suami istri dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kemudian apabila ikatan perkawinan tersebut putus baik karena perceraian maupun karena
salah satu pihak meninggal dunia, maka harta bersama tersebut dibagi dua antara suami istri. Masalah yang berhubungan dengan harta kekayaan suami istri ini telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam secara mendalam yang terjadi dari pasal 95 sampai pasal 97.
BAB III WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA
A. Dasar Hukum dan Sejarah 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Tasikmalaya Pengadilan Agama Tasikmalaya dibentuk berdasarkan penetapan Menteri Agama No. 06/47. 2. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Tasikmalaya44 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Gol. Terakhir RH.Abu Bakar RH. Usman KH. Moh. Sayuti RHA. Dasuki AA. Yunus KH. Endang Djarkasih RM. Syarif Ishak KHM. Musa Drs. Elon Dahlan Umar Mansur Syah, SH IV/a Drs. H. Ahmad Sudja’i IV/a Drs. HR. Muhamad VI/a Moh. Saleh Kastiwa, SH. VI/a Drs. Memet M. Soleh, SH. VI/c Drs. H.I. Nurchalis, Sy. SH. VI/c H. Didin Fathudin, SH.MH. VI/c Drs. Mahmud Yunus,MH. Nama
Pendidikan Terakhir Ponpes Ponpes Ponpes Ak.B. Arab Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana Sarjana
Tahun Menduduki Jabatan 1950 1955-1957 1957-1963 1963-1964 1964-1978 1978-1981 1981-1989 1989-1995 1995-1997 1997-2000 2000-2001 2001-2004 2004-2006 2006-Sekarang
44 Pengadilan Agama Tasikmalaya, Naskah Yurisdiksi Pengadilan Agama Tasikmalaya Tahun 2006-2007, h. 1
3. Sejarah Terbentuknya Pengadilan Agama Tasikmalaya dan Perkembangannya Kenyataan kehidupan dan perkembangan Pengadilan Agama kini adalah hasil perjalanan sejarahnya, sehingga apa yang ada sekarang ini adalah hasil proses perubahan, penembahan, dan lain-lain. Hal mana bagi Pengadilan Agama Tasikmalaya memperlihatkan perkembangan kehidupannya tidak lepas dari bentuk dan perkembangan daerahnya itu sendiri, baik dari segi organisasi kemasyarakatan (pemerintahan) maupun dari perkembangan sosial budaya serta kontinuetasnya sampai sekarang.45 Terbentuknya Pengadilan agama Tasikmalaya berkaitan pula dengan perkembangan Tasikmalaya sebagai Kabupaten atau nama pengikat wilayah pemerintahan. Team peneliti hari jadi kabupaten Tasikmalaya menemukan enam moment sejarah untuk dijadikan pangkal menentukan hari jadi.46 Dalam enam moment itu mengandung unsur-unsur pembaharuan, kedinamisan, kreatifitas, kesadaran bermasyarakat, kesadaran pemerintahan sendiri dan kedaulatan atas wilayahnya. Ke enam moment itu adalah:47 a. Galunggung menurut Prasasti Geger Hanjuang b. Periode Pemerintahan di sukakerta. c. Berdirinya Sukapura dan Perkembangannya. d. Perpindahan Ibukota Kabupaten. Sukapura ke Manonjaya (1334)
45
Ibid., h. 2
46
Ibid. Ibid., h. 3
47
e. Perpindahan Ibukota Kabupaten. Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya 1 Oktober 1901 yang kemudian diikuti perubahan nama Kabupaten. Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya pada Januari 1913. f. Tasikmalaya dalam lingkungan negara RI (Undang-undang No. 1/1945 tanggal 23 November 1945 dan Undang-undang No. 22/1950 tanggal 8 Agustus 1950. 4. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Tasikmalaya Pengadilan
Agama
Tasikmalaya
pertama
dibentuk
berdasarkan
penetapan Menteri Agama No. 6 Tahun 1947, Pengadilan Agama disebut pakauman. Pemisahan dan Pencabutan Pengadilan Agama terjadi pada awal tahun 1950. Setelah proklamasi kemerdekaan terjadi perubahan integral, pada tanggal 3 Januari 1946, terbentuklah kementerian agama, hal mana semua pegawai-pegawai pakauman (termasuk Raad Agama) diangkat semata-mata oleh kebijakan presiden dan bupati. Setelah terbentuknya kementerian agama tersebut, wewenang untuk mengangkat penghulu dan ketua Raad Agama ditetapkan menjadi wewenang Kementrian Agama.48 Pakauman (Raad Agama) semula bertempat di Manonjaya, sewaktu pemerintahan Sukapura. Kabupaten Sukapura pindah ke Tasikmalaya, pakaumanpun ikut pindah, lokasinya di sebelah Selatan Masjid Agung Tasikmalaya, sedang untuk ruang Raad agama bertempat di ruang depan Kantor Urusan Agama, setelah ada pemisahan pada tahun 1950 pindah ke sebelah utara Masjid Agung, kemudian pindah lagi ke Jl. Sutisnasenjaya yang bangunannya 48
Ibid., h. 5
disatukan dengan Departemen Agama, kemudian pindah lagi ke Jl. Bebedahan II No. 30 Tasikmalaya sampai sekarang.49 5. Keadaan Personil dan keadaan perkara Jumlah Personil Pengadilan Agama Tasikmalaya masih sangat terbatas, sehingga jumlah kemampuan administratif dan teknis para petugas perlu terus ditingkatkan terutama tenaga administrasinya dengan ditunjang oleh sarana fisik yang memadai, walaupun setiap tahun terus mendapat tambahan pegawai baru yang sampai sekarang berjumlah 46 orang pegawai tetap ditambah 10 orang tenaga honorer dengan perincian sebagai berikut:50 1. Ketua dan Wakil Ketua
= 2 orang
2. Hakim
= 10 orang
3. Panitera
= 1 orang
4. Pejabat struktur dan Fungsional
= 30 orang
5. Tenaga Pelaksana/ Staf
= 3 orang
6. Tenaga Honorer
= 10 orang
Sejak berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang peraturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Kompilasi Hukum Islam, maka peranan Pengadilan Agama semakin bertambah, sehingga jumlah kemampuan administratif dan teknis para petugas perlu terus ditingkatkan dan
49
Ibid.
50
Ibid., h. 6
ditunjang oleh sarana fisik yang memadai dengan keadaan perkara Tahun 2005 sebanyak 2. 108 perkara.51 6. Daerah Bahwa dengan perkembangan dan kemajuan Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Tasikmalaya pada khususnya serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mengatur
dan
mengurus
rumah
tangga
sendiri
perlu
meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan kemajuan pada masa yang akan datang. Bahwa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Bahwa Pengadilan Agama Tasikmalaya mempunyai wilayah yirisdiksinya Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya. 52
51
Ibid.
52
Ibid., h. 7
B. Kondisi Umum Masyarakat Kecamatan Sodonghilir Kecamatan Sodonghilir terletak sebelah Barat daya kabupaten Tasikmalaya, dengan luas wilayah seluas 11.186 Ha terdiri dari:53 1. Lahan sawah
: 3.074 Ha
2. Kolam
:
3. Lahan darat
: 7.982 Ha
4. Perkebunan
: 1.400 Ha
5. Pemukiman
: 4.582 Ha
130 Ha
1. Batas Wilayah Kecamatan Sodonghilir Sebelah Utara
: Berbatasan dengan
kecamatan Taraju
dan kecamatan
Puspahiang Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Bantar Kalong Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kecamatan Taraju dan Kecamatan Bojong gambir
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kecamatan Tanjungjaya dan kecamatan Parung ponteng.54
2. Orbitrase Jarak Tempuh Ke ibu kota negara : 325 kilo meter Ke ibu kota propinsi: 150 kilo meter Ke ibu kota kabupaten: 50 Kilo meter55 3. Jumlah desa, 12 desa, yaitu: 1. Desa Sodonghilir 53
Kecamatan Sodonghilir, Diktat Geografi Kecamatan Sodonghilir Tahun 2006-2007, h. 1
54
Ibid., h. 2
55
Ibid.
2. Desa Cukangkawung 3. Desa Cikalong 4. Desa Muncang 5. Desa Cipaingeun 6. Desa Leuwidulang 7. Desa Parumasan 8. Desa Raksajaya 9. Desa Spatnunggal 10. Desa Cukangjayaguna 11. Desa Pakalongan 12. Desa Sukabakti56 4. Jumlah penduduk - Laki-laki
: 31.349 Jiwa
- Perempuan
: 31.440 Jiwa
- jumlah kepala keluarga
: 15.494 Jiwa
- Jumlah WNA
:-
Jiwa
Jumlah Penduduk menurut Usia - 00-05 Tahun
: 4.387 Jiwa
-06-15 Tahun
: 11.364 Jiwa
-16-60 Tahun
: 44.355 Jiwa
56
Ibid., h. 3
-61 ke atas Tahun
: 2.677 Jiwa57
5. Mata Pencaharian Penduduk - Jumlah Penduduk Usia Kerja
: 39.083 Jiwa
- petani
: 29.061 Jiwa
- Pedagang
: 1.683 Jiwa
- Home Industri
:
617 Jiwa
- Buruh Karyawan
:
2.951 Jiwa
- PNS
:
725 Jiwa
- TNI/ POLRI
:
27 Jiwa
- Pensiun
:
315 Jiwa58
6. Latar Belakang Pendidikan - SD
: 27.496 Jiwa
- SLTP
: 7.600 Jiwa
- SLTA
: 3.966 Jiwa
- Perguruan Tinggi
: 1.881 Jiwa
Latar Belakang Agama - Islam
: 63. 357 Jiwa
- kristen/katolik
:
- Jiwa
-Hindu
:
- jiwa
- Budha
:
- Jiwa59
57
Ibid.
58
Ibid., h. 4
59
Ibid.
POTENSI PENDIDIKAN 1. Sarana dan Prasarana Pendidikan - SD
: 62 Buah
-SMP
: 9 Buah
- SMA
: 4 Buah60
2. Jumlah Murid - SD
: 6.990 Orang
- SMP
: 3.374 Orang
- SMA
: 1.239 Orang61
3. Jumlah Guru - SD
: 355 Orang
- SMP
: 148 Orang
- SMA
: 72 Orang
4. Jumlah Tidak Sekolah - Tidak tamat SD
: 46 Orang
- Tidak melanjutkan ke SMP
: 37 Orang
- Buta hurup/aksara
: 53 Orang
- Rata-rata lama sekolah
: 6,3 Orang
POTENSI KESEHATAN 1. Fasilitas Kesehatan
60
Ibid.
61
Ibid. h. 5
- Puskesmas
: 1 Orang
- Puskesmas pembantu
: 5 Orang
- Rumah bersalin/ bidan
: 5 Orang
- Klinik
: 5 Orang
- Posyiandu
: 73 Orang62
2. Tenaga Kesehatan - Dokter Umum
: - Orang
- Dokter Gigi
: - Orang
- Bidan
: 5 Orang
- Perawat
: 10 orang
- Perawat Gigi
: 1 Orang63
POTENSI EKONOMI 1. Lembaga Perekonomian Masyarakat - Industri Perusahaan
: 1 buah
- BUMN/BUMD
: 3 buah
- Parawisata
: - buah
- Hotel
: - buah
- Perusahaan Jasa
: 49 buah
- Kelomok Usaha Kecil
: 25 Buah
- Usaha perorangan
: 27 Buah
62
Ibid.
63
Ibid.
- Koperasi
: 6 Buah
- UPK
: 1 Buah64
64
Ibid., h. 6
BAB IV PERCERAIAN DI KECAMATAN SODONGHILIR
A. Hukum Perceraian di Luar Pengadilan Berbicara tentang perceraian di luar pengadilan, tidak dapat dilepaskan dengan pendapat fiqih ulama klasik. Jika ditilik lebih seksama, nampaknya tidak satupun para imam madzhab yang mengharuskan adanya tempat khusus, termasuk di pengadilan, yang membuat sah terjadinya perceraian. Dengan kata lain, di tempat mana saja yang pantas dan layak, bisa membuat sah terjadinya perceraian selama memenuhi persyaratan dan rukunnya.65 Pendapat ulama klasik tersebut di atas, tidak terlepas dengan kondisi ril pada masanya yang memang bentuk ada lembaga peradilan seperti pada saat sekarang. Namun demikian pada masa sekarang ini, juga banyak ditemui para ulama dan kiai yang berpendapat sahnya perceraian di luar pengadilan. Salah satunya yaitu Kiyai. Abdul Madjid, anggota MUI Kecamatan Sodonghilir, yang mengatakan bahwa perceraian sah walaupun dilakukan di hutan ataupun di lautan, tidak harus di Pengadilan Agama. Hanya saja menurut beliau, undang-undang yang mengharuskan perceraian di Pengadilan Agama itu lebih baik, karena itu adalah usaha pemerintah untuk meminimalisir perceraian.66 Menurut penulis, meskipun secara hukum Islam perceraian sah dilakukan di luar pengadilan, namun akan lebih baik jika dilakukan di pengadilan sesuai dengan
65
Abdul Madjid, Wawancara Pribadi, Sodonghilir: 1 Januari 2007
66
Ibid.
ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Perceraian di Pengadilan Agama mempunyai pengaruh dan dampak positif, di antaranya: 1. Tidak mudahnya perceraian dapat mengurangi tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat. 2. Hakim yang mengadili perceraian mengatur masalah nafkah bagi istri dan anak paska perceraian, termasuk hak asuh anak (hadhanah). 3. Secara sosial, dengan terbukanya perceraian di Pengadilan Agama dapat menimbulkan keadilan bagi suami-istri, seperti adanya peluang bagi pihak lain untuk menikahi mereka melalui KUA. Selain itu, dengan perceraian di muka Pengadilan Agama menghindari fitnah akibat telah jelasnya status perceraian mereka.67 B. Perceraian di Luar Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir Pada dasarnya masalah perceraian ini sudah diatur dalam peraturan pemerintah No 9/1975, dan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang ditujukan khusus bagi umat Islam, mulai dari Instansi atau lembaga mana yang berhak mengurus perceraian, siapa yang berhak menceraikan, tata cara perceraian dan lain-lain sampai alasan-alasan yang diperbolehkan terjadinya perceraian. Akan tetapi banyak masyarakat yang tidak tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, hal ini terbukti dengan tidak dilakukannya perceraian yang tidak sesuai dengan prosedur perundang-undangan,
67
Masnun, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya: 16 Januari 2007
yang umumnya perceraian yang terjadi pada masyarakat Sodonghilir tidak melalui prosedur Pengadilan Agama (PA).68 Gambaran perceraian masyarakat kecamatan Sodonghilir berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pelaku perceraian di bawah tangan, ibu Yeti terungkap bahwa proses perceraian mereka dilakukan secara kekeluargaan, maksudnya perceraian mereka dapat selesai dengan mempertemukan keluarga suami (Ayah dan Ibu) dan keluarga si istri (Ayah dan Ibu) serta dihadiri oleh beberapa saksi, biasanya pihak yang bercerai membawa saksi masing-masing, terutama orang yang di percaya oleh yang hendak bercerai sebelum terjadinya perceraian, kedua belah pihak (suami istri) dinasehati supaya setelah perceraian nanti tidak terjadi permusuhan apalagi ada rasa dendam, dari pihak yang merasa kurang puas dengan perceraian yang terjadi. Setelah dinasehati maka suami mengucapkan lafadz talak di depan para saksi maka terjadilah perceraian, kemudian si suami membuat surat yang berisi bahwa si istri telah di ceraikan, baik talak satu, dua ataupun tiga dan ditandatangani oleh suami sebagai alat bukti bahwa hubungan suami istri telah putus. Ini terlihat dari dari ungkapan ibu Yeti: "Saya bercerai di rumah tahun 2005 akhir. Saya bercerai dengan kekeluargaan dengan dihadiri oleh saksi-saksi dari saya, dan suami saya. Kakek saya yang membimbing pengucapan talak satu, kakak saya saksi dari saya, sedangkan saksi dari suami saya yaitu pamannya."69 Selain cara kekeluargaan yang melibatkan kedua orang tua dari kedua belah pihak dan tokoh atau ulama setempat, perceraian dapat terjadi hanya dengan kesepakatan kedua belah pihak (suami-istri). Sebagai bukti bahwa ikatan 68 69
Yeti)
Ana Suryana, Wawancara Pribadi, Sodonghilir: 10 Januari 2007 Hasil wawancara dengan ibu Yeti, pada tanggal 4 Januari 2007 (Sodonghilir: Kediaman ibu
perkawinan mereka telah berakhir, suami membuat surat yang ditandatangani, sebagai alat bukti. walaupun hanya dengan tulisan tangan. Dan ada yang sama sekali tidak memakai surat cerai, cukup si suami mengucapkan ikrar talak secara lisan saja. Adapun perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan, menurut pendapat salah satu hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya yang berhasil peneliti wawancarai, Masnun SH. menyatakan: “Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan sudah jelas perceraian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan akan merugikan bagi pihak-pihak yang bercerai dan perceraian tersebut harus di ajukan ke Pengadilan untuk memperoleh keputusan perceraian yang mempunyai kekuatan hukum tetap”70 Sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39: 1. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. C. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Kecamatan Sodonghilir Faktor penyebab masyarakat kecamatan Sodonghilir melakukan perceraian di luar pengadilan, jika dilihat dari kondisi masyarakat Sodonghilir berdasarkan hasil penelitian penulis adalah: 70
Masnun, Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya, 16 Januari 2007
1. Faktor Ekonomi Biaya persidangan yang begitu besar, memicu terjadinya perceraian di luar Pengadilan. Ini bisa dirasakan oleh masyarakat kecamatan Sodonghilir yang mayoritas ekonominya lemah, sehingga mereka tidak sanggup membayar persidangan.71 Menurut hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya yang berhasil kami wawancara, Drs. Masnun, S.H. bahwa salah satu yang memberatkan masyarakat melakukan perceraian di luar Pengadilan biasanya karena mereka terbebani masalah biaya Pengadilan, karena memang biaya Pengadilan sangat besar bagi orang-orang yang berekonomi menengah ke bawah, padahal Pengadilan yang bersangkutan dapat memberikan keringanan biaya jika benar-benar tidak mampu.72 Hal ini dialami oleh Ibu Andang, dia melakukan cerai di luar Pengadilan Agama karena merasa terbebani oleh masalah biaya administrasi. Andang mengatakan: “Biaya cerai di Pengadilan itu mahal, kalau punya uang lebih baik di gunakan untuk biaya hidup sehari-hari.”73 2. Masalah Waktu Selain masalah biaya persidangan juga ada faktor penting yang mengakibatkan mereka melakukan perceraian di luar pengadilan yaitu masalah proses persidangan yang begitu lama, sedangkan mereka ingin sekali masalah perceraian itu cepat selesai. 71
Masnun, Loc.Cit. Ibid. 73 Ibu Andang, Wawancara Pribadi, Sodonghilir, 7 Januari 2007
72
Sebagaimana diungkapkan oleh responden yang bernama: Evi, yang peneliti wawancarai pada tanggal 5 Januari 2007 di kediamannya. Beliau mengatakan: “Cerai lewat pengadilan itu lama, bisa sampai bulan-bulan sedangkan saya ingin cepat-cepat bercerai karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap suami saya yang dingin, kalau tidak lewat pengadilan bisa lebih cepat, tinggal menulis talak yang ditandatangani oleh suami, ataupun suami saya langsung mengucapkan lafadz talak, dengan begitu saya langsung bisa bercerai, lagi pula saya bercerai baik-baik dan suami saya baru menjatuhkan talak 1, jadi kalau ingin kembali lagi tinggal balik lagi, kalau cerai ke Pengadilan baru talak 1 lalu ingin kembali lagi harus bagaimana? saya rasa akan buang-buang waktu."74 3. Masalah Pribadi yang Harus Ditutupi Mereka menganggap bahwa perceraian yang di lakukan di Pengadilan itu masalah mereka atau kemelut yang mengakibatkan mereka bercerai akan di ketahui oleh banyak orang Hal ini dirasakan oleh salah seorang responden kami yang bernama Andang seorang pengajar honorer di Sekolah Dasar, dia bercerai di luar Pengadilan Agama karena tidak ingin penyebab perceraiannya diketahui oleh banyak orang apalagi sampai diketahui oleh wali murid dan rekan seprofesinya, oleh karena itu dia bercerai hanya dihadiri oleh suami, kedua orang tua, saksi dan seorang ulama setempat. Hal ini terungkap ketika peneliti melakukan
74
Evi)
Hasil wawancara dengan ibu Evi pada tanggal 5 Januari 2007 (Sodonghilir: Kediaman ibu
wawancara dengan Andang tanggal 7 Januari 2007 di kediamannya. Ia mengatakan: “Maaf sekali bukan saya tidak tahu masalah perceraian harus di laksanakan di Pengadilan tapi saya tidak mau perceraian saya di ketahui banyak orang, sebab saya tidak mau kemelut rumah tangga saya jadi bahan pembicaraan orang.”75 4. Jarak - Tempuh Jarak tempuh ke pengadilan yang jauh dari Kecamatan Sodonghilir yang mengakibatkan mereka enggan melakukan perceraian di Pengadilan, jika di ukur dengan jarak kurang lebih 50 km, dengan waktu tempuh sekitar 2 jam, dan memakan biaya transportasi sekitar Rp 40.000,00/pp/perorang. Hal ini di ungkapkan oleh salah seorang responden yang bernama Suryana: “Saya sebenarnya tidak mau bercerai, tapi karena istri saya sangat tidak menghormati saya sebagai kepala keluarga, akhirnya saya memutuskan untuk bercerai dengan cara baik-baik, tidak jalur hukum yang berlaku, cukup bagi saya dengan menyerahkan istri saya pada ibu bapaknya, tidak ada perlu sidang segala, masalahnya jarak Sodonghilir ke Tasikmalaya itu jauh.”76 Hal tersebut senada juga dikatakan oleh salah satu hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya Masnun, SH pada waktu wawancara:
75
Ibu Andang, Loc.Cit.
76
Suryana, Wawancara Pribadi, Sodonghilir, 10 Januari 2007
“Selain masalah biaya yang sangat dominan, bisa jadi mereka enggan bercerai di sini, karena jarak yang jauh kalau di lihat dari letak geografis, itu juga bisa menyebabkan mereka tidak mau bercerai di Pengadilan.”77 5. Sudah Menjadi Suatu Kebiasaan (adat) Sudah menjadi kebiasaan, di mana mereka yang bercerai sebelumnya tidak lewat pengadilan jadi mereka yang hendak bercerai mengikuti kebiasaan pihak yang cerai sebelumnya, mengikuti yang bercerai sebelum mereka. Anggapan ini di katakan oleh responden kami yang bernama Mula: “Kalau di daerah kita sangat jarang yang bercerai ke Pengadilan, dari semenjak saya kecil, lagi pula yang bercerai sebelum saya juga tidak lewat Pengadilan, cukup bagi saya cerai di sini saja, mengikuti yang sudah-sudah.”78 Menurut kepala Kantor Urusan Agama
kecamatan Sodonghilir, Ana
Suryana bahwa: perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan sudah merupakan kebiasaan masyarakat khususnya masyarakat kecamatan kami, karena sebelum ditetapkan Undang-undang yang mengatur masalah perceraian, masyarakat sudah sejak dulu melakukan perceraian dengan hanya menulis surat talak yang ditandatangani oleh suami dan sampai sekarang hal tersebut sulit dirubah.79 6. Kurangnya Kesadaran Hukum
77 78 79
Masnun, Loc.Cit. Ibu Mula, Wawancara Pribadi, Sodonghilir, 8 Januari 2007 Ana Suryana, Loc.Cit.
Berangkat dari suatu kebiasaan mereka bercerai tanpa prosedur Pengadilan Agama, maka mereka bisa di katakan orang yang tidak taat hukum, dan kurang sadar terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai masalah perceraian. hal ini di ungkapkan oleh responden yang bernama Yeti: “Sebenarnya saya mengetahui kalau cerai itu harus ke Pengadilan, tapi dengan beberapa faktor, terutama masalah biaya jadi saya tidak bisa menjalankan aturan hukum yang berlaku.”80 Dan perkataan ini bisa diperkuat oleh pernyataan kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Sodonghilir. Bapak Drs. Ana Suryana: “Pada dasarnya masyarakat kecamatan Sodonghilir ini sedikit banyak sudah mengetahui tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perceraian. Pihak Kantor Urusan Agama juga suka memberikan penyuluhan jika mereka hendak melangsungkan pernikahan, yang di katakan oleh naib di dalam ta’lik talak, jika melakukan perceraian hendaklah dilakukan di Pengadilan Agama setempat”81 D. Akibat Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan Agama di Kecamatan Sodonghilir
80 81
Ibu Yeti, Wawancara Pribadi, 4 Januari 2007
Ana Suryana, Kepala Kantor Urusan Agama Sodonghilir, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya 10 Januari 2007
Sebelum dipaparkan hasil dari penelitian, sebelumnya akan dijelaskan pengertian dari akibat. Akibat yaitu “ sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil dari pekerjaan, keputusan atau keadaan yang mendahuluinya.82
1. Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Agama terhadap Status Perceraian Sesuai dengan undang-undang perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya undang-undang perkawinan secara efektif, yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimungkinkan terjadinya perceraian di luar prosedur Pengadilan. Untuk perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Namun nampaknya, dengan ditetapkannya undang-undang perkawinan tersebut tidak begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat kecamatan Sodonghilir, yang sudah terbiasa dengan melakukan perceraian di luar prosedur Pengadilan, padahal perceraian tersebut dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap status perceraian, yaitu status perceraian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, karena putusan cerai tersebut tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Hal ini diperkuat dengan perkataan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Tasikmalaya Drs.Masnun, SH pada waktu wawancara "Suatu 82
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. ke-1, h. 15
Perceraian yang tidak dilakukan di Pengadilan sudah sangat jelas status hukumnya, bahwa perceraian tersebut tidak sah, berdasarkan pasal 115 KHI".83 Pada dasarnya dalam Islam membenarkan seorang suami yang akan menceraikan istrinya hanya cukup diucapkan di depan istrinya atau orang lain maka jatuhlah talak, akan tetapi dalam hidup bernegara ada yang memerintah, dan sebagai warga negara kita harus taat kepada peraturan pemerintah, selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam itu sendiri, karena taat kepada pemerintah merupakan bagian dari kewajiban sebagai umat Muslim. Pemerintah membentuk suatu peraturan tentang perceraian bertujuan agar tertib administrasi seperti halnya masalah pencatatan perkawinan, kelahiran anak serta mempersulit perceraian. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan prinsip hukum Islam mengenai perceraian yaitu mempersulit terjadinya perceraian. 2. Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Agama Terhadap Istri Perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan akan berpengaruh dan mempunyai dampak negatif terhadap istri, yaitu: a. Karena perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan tidak memiliki surat cerai yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga si janda menikah lagi maka akan mendapatkan kesulitan dengan pihak Kantor Urusan Agama. Karena setiap janda yang hendak menikah lagi harus memiliki surat cerai dari Pengadilan.
83
Masnun, Loc.Cit.
Hal ini dialami oleh responden kami yang bernama Mula dan Erna, dia sangat susah untuk bisa menikah lagi lewat Kantor Urusan Agama. Sehingga dia menempuh jalur menikah kedua kali lewat nikah di bawah tangan. b. Setelah terjadinya perceraian (cerai di luar Pengadilan ) si istri tidak mendapatkan haknya setelah bercerai, seperti nafkah selama masa iddah, tempat untuk tinggal, pakaian pangan. Hampir dari seluruh responden perempuan yang berhasil penulis wawancara, mengatakan semuanya tidak mendapatkan hak yang semestinya di dapat setelah bercerai. 3. Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Bagi Suami Akibat perceraian di luar Pengadilan tidak hanya berpengaruh terhadap istri tapi juga berpengaruh terhadap suami. Sama halnya dengan istri, suami yang melakukan perceraian di luar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika hendak menikah lagi dengan perempuan lain. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak akan memiliki surat cerai yang sah dan memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga jika hendak menikah lagi melalui pihak Kantor Urusan Agama tidak akan mengizinkan sampai ada surat yang sah dari Pengadilan. Hal tersebut dialami oleh responden penulis, yang bernama Suryana. Dia mengatakan bahwa perceraian yang di lakukan di luar Prosedur Pengadilan menyebabkan dia tidak bisa menikah lagi melalui
Kantor Urusan Agama.
Akhirnya dia mengambil jalur menikah di bawah tangan. 4. Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Agama Terhadap Anak
Setiap perceraian pasti akan menimbulkan akibat negatif bagi setiap orang yang berkaitan dengan pasangan suami istri yang bercerai tersebut, baik dari pihak istri, suami, maupun bagi keluarga kedua belah pihak, terlebih lagi perceraian tersebut akan mempengaruhi si buah hati, baik perceraian tersebut dilakukan di luar Pengadilan maupun di dalam Pengadilan. Bagi seorang anak, suatu perpisahan (perceraian) kedua orang tuanya merupakan hal yang dapat mengganggu kondisi kejiwaan, yang tadinya si anak berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, hidup bersama dengan memiliki figur seorang ayah, dengan figur seorang ibu, tiba-tiba berada dalam lingkungan keluarga yang penuh masalah yang pada akhirnya harus tinggal hanya dengan salah satu figur, ibu ataupun ayah.84 Perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan tidak akan berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak, tetapi terkadang si ayah tidak memberi nafkah secara teratur dan dalam jumlah yang tetap. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak ada yang dapat memaksa si ayah ataupun ibu untuk memberi nafkahnya secara teratur baik dari waktu memberikan nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah yang diberikan. Jika perceraian dilakukan di Pengadilan Agama hal tersebut akan ditetapkan oleh Pengadilan, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 156 poin (f).
84
Hukumonline,com/detail,asp/focus diakses tanggal 4 April 2007
Dalam kasus ini, Abil tempat tanggal lahir Tasikmalaya 05 Mei 2003, ayahnya bernama Jodhi dan ibunya bernama Yeti, Dia (Abil) merupakan salah satu dari sekian banyak korban dari hancurnya sebuah keluarga karena kedua orang tua mereka bercerai. Jika perceraian kedua orang tua mereka dilakukan di Pengadilan. Begitu juga dengan Dian, lahir Tasikmalaya 26 Juni 1998. ayahnya bernama Kusnadi dan ibunya bernama Andang. Dari mulai usia 1 tahun, sampai sekarang belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah kandung sendiri. Bahkan nafkah lahir pun dari ayahnya bisa di katakan minim, Sampai sekarang usia sembilan tahun. Sudah ke jenjang dunia pendidikan di SD. Tapi dia bersyukur masih mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Tetapi mengenai nafkah sehari-hari Dian di tanggung sama ibunya sendiri, dan saudara dari ibunya. E. Analisa Penulis Di Negara Indonesia ini sangat jelas bahwa pada dasarnya perkara perceraian merupakan perkara yang kewenangannya dimiliki oleh Pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Selain lembaga Pengadilan yang sah, keputusannya dianggap tidak sah dan tidak mengikat serta tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini merujuk kepada pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: “Putusnya perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Akan tetapi tidak selamanya suatu hukum selalu dipatuhi oleh masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat kecamatan Sodonghilir yang mempunyai kesadaran hukum yang sangat minim, walaupun pada dasarnya masyarakat kecamatan Sodonghilir sebagian sudah mengetahui peraturan mengenai perceraian. Hal ini berdasarkan pada pernyataan kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Sodonghilir, yang sudah dijelaskan di muka. Dalam hal seperti ini banyak sekali faktor yang melatar belakangi masyarakat kecamatan Sodonghilir melakukan perceraian di luar Pengadilan, salah satu faktor yang sangat mendasar yaitu perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan sudah menjadi adat kebiasaan dan masyarakat menganggap bahwa perceraian seperti itupun sudah sah, selain faktor kebiasaan (adat) faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama perceraian di luar Pengadilan. Walaupun lembaga yang berwenang tidak memberikan sangsi pidana secara langsung, akan tetapi banyak sekali dampak negatif yang masyarakat akan merasakan. Status perceraian mereka yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak diputuskan di depan sidang Pengadilan Agama, yang menyebabkan tidak dapat menikah kembali di Kantor Urusan Agama karena tidak memiliki surat keputusan dari Pengadilan Agama. Dampak negatif dari perceraian di luar Pengadilan tidak hanya berdampak terhadap suami istri saja tetapi terhadap anak pun mempunyai dampak negatif. Si anak tidak mendapatkan nafkah secara teratur karena tidak ada suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum sehingga tidak dapat memaksa pihak ayah untuk
memberikan nafkahnya secara teratur baik dari waktu pemberiannya maupun jumlah materi yang diberikan. Sangat disayangkan sekali bahwa tidak adanya sangsi bagi pihak yang melakukan perceraian di luar Pengadilan sehingga kebiasaan seperti ini akan terus berjalan di masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan seperti Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama ataupun pemerintah tingkat desa sekalipun tidak begitu mendalam, sehingga masyarakat tidak betulbetul sadar akan hukum.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pada dasarnya masyarakat kecamatan Sodonghilir mengetahui tentang hukum atau peraturan yang mengatur mengenai masalah perceraian, tetapi tidak mengetahui dengan pasti diatur dalam undang-undang, pasal dan ayat berapa, hanya saja untuk mematuhi hukum yang telah berlaku masih sangat minim sekali. Karena dalam masyarakat itu sendiri perceraian yang dilakukan di luar pengadilan sudah merupakan suatu adat kebiasaan sehingga masyarakat dapat menerimanya. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di luar pengadilan : a. Karena faktor Ekonomi, masyarakat menganggap bahwa biaya ke Pengadilan sangat besar sehingga mereka enggan melakukan perceraian di pengadilan karena tidak terjangkau dengan keadaan ekonomi. b. Karena faktor waktu, masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan Agama menganggap bahwa perceraian yang melalui proses pengadilan akan memakan waktu yang sangat lama. c. Masyarakat menganggap perkara perceraian merupakan permasalahan keluarga, sehingga penyebab atau alasan perceraian harus ditutupi dan tidak ingin diketahui oleh masyarakat (lingkungan) sekitarnya.
d. Karena akibat seringnya perceraian di luar pengadilan ini terjadi maka dianggap hal ini merupakan hal yang biasa (adat) yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kecamatan Sodonghilir. e. Kurangnya kesadaran masyarakat Sodonghilir terhadap hukum yang berlaku. Mengenai masalah perceraian. f. Wilayah kekuasaan Pengadilan Agama yang jauh dari kecamatan, sehingga menjadikan alasan masyarakat tidak mau bercerai di Pengadilan. 3. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan akan berdampak terhadap banyak orang, bukan hanya pada istri atau suami yang melakukan perceraian akan tetapi bagi mereka yang mempunyai anak, anak-anak merekapun akan terkena dampaknya. Dampak bagi suami dan istri yang melakukan perceraian di luar pengadilan akan menyulitkan mereka akan menikah lagi. Karena tidak ada surat cerai yang disahkan oleh pengadilan, di samping itu istri yang diceraikan sulit menuntut nafkah iddah kepada suami yang menceraikannya. Sedangkan bagi anak tidak akan mendapatkan nafkah hidup yang jelas. Bahkan sama sekali tidak, mendapatkan haknya dari orang tua laki-laki (Bapak), karena tidak ada putusan hukum yang dapat memaksa. B. Saran-saran 1. Rendahnya kesadaran hukum masyarakat Muslim Indonesia khususnya berkenaan dengan masalah-masalah seputar hukum perkawinan, termasuk di dalamnya hukum perceraian, mengakibatkan kurangnya mereka memfungsikan Pengadilan Agama secara efektif bila sedang berhadapan dengan masalah-
masalah tersebut. Oleh karena itu diharapkan kepada lembaga-lembaga terkait dan berwenang (Kantor Urusan Agama) untuk memberikan bimbingan dan pengarahan tentang masalah hukum perkawinan, kepada masyarakat secara intensif. 2. diharapkan dalam undang-undang perkawinan ditentukan sanksi yang jelas dan tegas terhadap perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan. Walaupun sudah terdapat saksi pidana dalam hukum perkawinan sebagaimana ketentuan yang berlaku selama ini. 3. Bagi para akademisi, supaya mengkaji lebih dalam mengenai hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, agar tidak hanya praktisi hukum saja yang lebih menghiasi hukum perkawinan di Indonesia. Dan melakukan simulasi dan pelatihan lainnya lebih ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta Ichtiar baru Van Hoeve, 2002 Abidin, Slamat Drs. dan Drs. H. Aminuddin. Fikih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, cet. Ke-1 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta, Raja Grapindo Persada, 1995, cet. Ke-1 Anshari al-, Abu Zakariya, Fathul Wahab, Semarang: Syirkah an-Nur Asia, t.th., juz 2 Arto, Mukti, Drs. H. SH., Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. ke-5 Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, cet. Pertama. Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Beirut, Darul-Fikr, 1958, Jilid 7 Departemen Agama RI, Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, Jakarta: Proyek Binpapera. 1981 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998, Cet. Ke-1 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, cet. Ke-1 Hamdani, H.S. Al-, Risalah Nikah: Hukumk Pekawinan Islam, Jakarta, Pustaka Amani, 2002, cet. Ke-2. Imam Abi Husen Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Hadits ke-1472, Beirut, Darul-Fikr, 1992, Juz 1 Inpres R.I. No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, 2002 Jaziri, al-, Abdurahman, Al-Fiqh ‘ala al-Arba’ah, Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah alKubra, t.th., jilid 4 Masnun, Drs., S.H, Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya, 16 Januari 2007 Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004
Muhdor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), Bandung, Al-Bayan, 1999, cet ke-2 Nurudin, Amir Azhari dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, cet. Pertama Prakaoso, Djoko, S.H dan I Ketut Murtika, S.H, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, 1987, cet. Ke-26 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1. Rahman, A., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta, Raja Grapindo Persada, 2002, cet. Ke-1 Rahman, Bakri A, dan A. Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UndangUndang Perkawinan dan Hukum Perdata/B.W. Jakarta, Hida Karya Agung, 1981 Rasyid, Roihan A,. Hukum Acara PA, Jakarta: Rajawali Press.1994 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Raja Grapindo Persada. 2000, Cet Ke-4 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al- Kitab al-Arabi, 1973, cet. 2, jilid 2 Saekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 2004, cet. Ke-8 Said, H. A. Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1998, cet. Ke-30 Saleh, K. Wantik S.H. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1978 Sayyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta, UI Press, 1986, cet. Ke-5 Simanjuntak, P.N.H. MA., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan : 1999 Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Islam, Jakarta :PT. Raja Grapindo Persada, 2004, Cet. Pertama. ______________, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-1
Suryana, Ana, Drs., Kepala Kantor Urusan Agama Sodonghilir, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya 10 Januari 2007 Thalib, Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: UI Press. 1995, Cet ke-5. Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 1, Bandung: Fokus Media, 2005, Cet. pertama Usman, Husaeni, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 2001 Zein, Satria Effendi M. Prof. Dr. H. MA., Problematika Hukum Kontemporer, Jakarta: PT Prenada Persada, 2000, cet. Ke-1
Keluarga Islam
Lampiran-Lampiran
HASIL WAWANCARA Nama
: Drs. Masnun, SH.
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya
Hari/Tanggal
:16 Januari 2007
Waktu/ Tempat : Jam 13.00, di ruang hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya. 1.
Bagaimana Bapak menanggapi permasalahan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama? Jawab: Pengadilan itu bersifat pasif, tidak mencari perkara. Tapi menunggu perkara yang datang, untuk dicarikan solusi masalah yang harus diselesaikan.
2.
Menurut Bapak, Bagaimana dengan status perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama? Jawab: Bagi umat Islam, yang mencari keadilan perceraian itu baru dianggap sah, kalau perceraian itu di lakukan di depan sidang Pengadilan. Menurut hukum Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115.
3.
Apakah Pengadilan Agama memberikan sanksi kepada pasangan suami istri yang melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama? Jawab: Tidak, tugas PA hanya menerima, memeriksa serta memutuskan perkara, yang menindak masalah itu yang berwenang yaitu polisi, itu juga kalau ada yang mengadu dari salah satu pihak yang bercerai.
4.
Bagaimana dengan bagian pemerintah seperti RT, Penghulu (PPN) yang menceraikan pasangan suami istri? Jawab: saya kurang begitu tahu, tapi kalau mereka ketahuan melakukan hal itu, mereka bisa dijerat hukuman penjara dan dendaan.
5.
Menurut Bapak, siapa saja yang biasanya melakukan perceraian di luar PA dan apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perceraian di luar PA? Jawab: Biasanya masyarakat golongan ekonomi lemah, tingkat pendidikan yang minim, penyebabnya banyak, bisa terjadi karena masalah biaya, jarak tempuh, kurang sadar akan hukum, dan adanya oknum yang melegalkan nikah di bawah tangan.
6.
Apakah di pengadilan ini terdapat perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan setelah mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan? Jawab: Ada, mereka datang ke sini langsung, karena mereka kesulitan jika ingin menikah lagi melalui KUA.
7.
Dalam perkara perceraian, apakah pengadilan Agama ini dapat memberikan keringanan biaya? Jawab: Bisa, perkara prodeo ( perkara Cuma-cuma), itu diatur dalam HIR, siapa saja yang mendapatkan keringanan biaya? Jawab: Masyarakat kurang mampu, yang memenuhi syarat, dengan membawa surat miskin dari Kepala Desa, yang diketahui oleh Camat.
8.
Apakah dalam setiap perceraian, Pengadilan menetapkan jumlah nominal nafkah anak istri? Jawab: Ya, kalau mereka cerai di sini, Pengadilan akan memutuskan, suami untuk memberikan nafkah anak nafkah istri selama iddah, uang Mut’ah, jumlah nominalnya tergantung kesepakatan dan kemampuan suami.
9.
Bagaimana tindakan Pengadilan, jika suami istri mengingkari putusan tentang pemberian nafkah anak yang memiliki kekuatan hukum tetap dari PA? Jawab: Kalau memang ada pengaduan dari istri, lalu melapor ke Pengadilan maka dilakukan eksekusi, pemanggilan terhadap suami lalu menanyakan perihal pengingkarannya.
10. Apa tindakan yang akan dilakukan oleh PA untuk mengatasi perceraian di luar Pengadilan? Jawab: Secara berkala PA sini sudah melakukan penyuluhan, tetapi belum secara menyeluruh, baru wilayah terdekat saja bekerja sama dengan Pemda. dan Insyaallah lain kesempatan akan ke Sodonghilir.
HASIL WAWANCARA Nama
: Drs. Ana Suryana.
Jabatan
: Kepala KUA Kecamatan Sodonghilir
Hari/Tanggal
: 28-12 2006
Waktu/Tempat : Jam 16.oo, Rumah Kediaman 1. Bagaimana, menurut Bapak perceraian yang di lakukan di depan ulama setempat atau aparat setempat, Rt dan PPN? Jawab: Membuat masyarakat mengerti dan sadar hukum itu memang sulit, padahal mereka tahu hukum perceraian. Tetapi karena perceraian yang dilakukan di luar pengadilan sudah menjadi kebiasaan, apalagi bagi masyarakat pedesaan. Mereka menganggap perceraian seperti itu sah. Karena menurut pemahaman ke Islam mereka itu dapat dikatakan sah. mereka Jangankan melalui surat (tulisan) dengan ucapan saja sudah di anggap sah. 2. Apakah orang yang telah bercerai di luar Pengadilan dapat menikah lagi di KUA sini? apa alasannya? Jawab: Tidak, karena tidak ada surat bukti yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Apakah ada kasus perceraian yang di tangani pihak KUA sini? Jawab: Tidak, karena di sini tidak berhak, menangani kasus perceraian. 4. Apakah KUA mempunyai kewenangan dalam menindak pihak-pihak yang menceraikan dan menikahkan, padahal mereka tidak berwenang, seperti ulama, PPN dan RT? Jawab: Tidak KUA sama sekali tidak mempunyai kewenangan. 5. Bagaimana dengan BP4, apakah berfungsi sebagai badan penyuluhan? Jawab: Ya, karena BP4 berfungsi sebagai pemberi nasehat, jika mereka tetap mau mengakhiri rumah tangganya. 6. Apakah suami istri yang bercerai di luar Pengadilan melaporkan kepada kepala KUA? Jawab: Jarang sekali, mungkin mereka takut diperintahkan untuk mengajukan perceraiannya ke Pengadilan. 7. Bagaimana jika calon mempelai memalsukan status, misalnya dia sudah janda, tetapi mengaku dia masih perawan, apakah bapak akan menikahkannya?
Jawab: Jika memang pihak kami tidak mengetahui, ada pemalsuan status dari pihak kelurahan, maka tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menikahkan mereka. 8. Mengapa mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan menurut bapak? Jawab: Faktor ekonomi yang paling mempengaruhi, karena masyarakat kami ini, kelas ekonomi menengah kebawah. Selain itu juga mereka itu kurang sadar akan hukum yang berlaku, karena mereka kebanyakan mengikuti perceraian orang-orang sebelumnya. Tidak melalui Pengadilan.
HASIL WAWANCARA Nama
: K. Abdul Majid
Jabatan
: Anggota MUI Kecamatan Sodonghilir
Hari/ Tanggal : Senin, 1 Januari 2007 Tempat 1.
: Rumah kediaman K. Abdul Majid
Sejak kapan bapak aktif di MUI kecamatan? Jawab: Sudah 10 Tahun yang lalu. tepatnya Tahun 1997
2.
Bagaimana tanggapan Bapak mengenai perceraian di luar Pengadilan Agama? Jawab: Menurut bapak pribadi biasa-biasa aja, Cuma memang masalah ini kalau tidak di tanggapi secara serius bisa menyebabkan hal-hal yang tidak diharapkan
dari
para
pihak
yang
melakukan
perceraian,
bisa
mengakibatkan konflik keluarga, setelah bercerai biasanya mereka saling bermusuhan. anak- anak mereka menjadi terbengkalai. 3.
Bagaimana Menurut Bapak Hukum perceraian tersebut? Jawab: Perceraian tersebut tetap saja sah, sesuai dengan sebuah riwayat hadis yang artinya "Tiga perkara kesungguhannya dipandang bener, main-main juga dipandang bener pula, yaitu: nikah, talak, dan cerai" sebab perceraian itu tidak harus dilakukan di pengadialan kalau memang si yang berceraian tidak mau bercerai di Pengadialan. masalah tersebut hanya administrasi saja, tapi alangkah lebih baik kalau kita ikiti aturan negara kita karena hal itu setidaknya bisa mengurangi tikat perceraian.
HASIL WAWANCARA Nama
: Yeti
Hari/tanggal
: Kamis, 04-01 2007
Waktu/Tempat : 11.oo/ Kediaman ibu Yeti 1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 2 tahun. 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Tidak ada lagi kecocokan, lebih pokoknya faktor ekonomi dan tekanan jiwa. 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: saya bercerai di rumah. 4. Kapan anda bercerai? Jawab: Tahun 2005 akhir 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Saya bercerai dengan kekeluargaan dengan di hadiri oleh saksi-saksi dari saya, dan suami saya. 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Kakek saya. Yang membimbing pengucapan talak satu. 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? Jawab: kakak saya saksi dari saya, dan paman dari suami saksi dari dia. 8. Mengetahui tidak, anda kalau mau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Tahu, harus di Pengadilan Agama 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan? Jawab: Karena
proses bercerai di pengadilan lama dan yang paling penting
ekonomi saya kurang mencukupi untuk biaya ke Pengadilan .karena saya yang menggugat cerai pada suami saya. 10. Apakah perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan adil menurut anda? Jawab: Tidak, karena saya tidak mendapat, apa-apa dari hasil perceraian, walaupun saya yang minta cerai. 11. Apakah anda mendapat kesulitan setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan?
Jawab: Ya, karena saya bingung tidak mempunyai surat cerai, kalau mau menikah lagi lewat KUA. 12. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Tidak, makanya saya menyesali, karena tidak mendapat apa-apa dari suami saya, yang sepantasnya saya dapat, nafkah iddah dan sebagainya. 13. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Tidak, saya malu, karena saya tahu kalau bercerai itu, harus di Pengadilan. 14. Setelah bercerai, apakah mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda? Jawab: Kalau untuk saya tidak sama sekali, karena saya yang minta cerai katanya, untuk anak saya saja si (Abil). Memberi hanya satu kali selama saya cerai. Itupun saya yang minta. 15. Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai? Jawab: Dibicarakan, hanya anak kami itu masih kecil, jadi diasuh saya, tapi saya juga perlu menafkahi diri dan anak, jadi saya cari uang, akhirnya si Abil di asuh sama ibu saya. 16. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: Tidak, karena belum ada harta yang berharga. kecuali si buah hati. 17. Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda? Jawab: Tidak sama sekali.nafkah selama hidup bersama juga kurang.
HASIL WAWANCARA Nama
: Evi
Hari/tanggal
: Jum’at/ 05-01- 2007
Waktu/Tempat : 14.00/ kediaman Evi 1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 2 Tahun 5 bulan 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Tidak ada lagi kecocokan, sikap suami yang dingin, yang selalu saya jengkel dengan sikapnya. 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: Di rumah orang tua saya, karena saya belum punya rumah sendiri. 4. Kapan anda bercerai? Jawab: Tahun 2004 Akhir 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: secara kekeluargaan saja. 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Ulama setempat, yang dianggap bisa menceraikan secara baik-baik. 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? Jawab: Saksi dari saya dan saksi dari dia, serta kedua orang tua saya dan mertua saya. 8. Sepengetahuan anda kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: ya, harus ke Pengadilan Agama 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan? Jawab: selain faktor ekonomi, saya ingin cepat-cepat bercerai, jadi kalau di Pengadilan mungkin prosesnya lama. bisa berbulan-bulan, sedangkan saya ingin cepat-cepat cerai. 10. Apakah perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan adil menurut anda? Jawab: kurang adil, karena merugikan, semua beban di tanggung saya. Yang membayar yang menceraikan harus saya. 11. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas, tetapi secara aturan saya melanggar Pengadilan. 12. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Belum pernah
13. Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda? Jawab: Tidak, karena saya yang ingin bercerai (cerai gugat), untuk anak juga tidak, paling kakek dari bapaknya yang suka memberi. 14. Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai? Jawab: Tidak, hanya saja saya yang harus bertanggung jawab, sebab anak kami masih kecil. 15. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: Tidak, paling pakaian dia yang dibawa dari rumah ibu saya. 16. Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda? Jawab: Tidak.
HASIL WAWANCARA Nama
: Erna
Hari/tanggal
: Sabtu/06-01-2007
Waktu tempat
: 16.00/ Rumah
1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 4 Bulan 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Pertengkaran, sering cemburu. 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: Di rumah Penghulu. 4. Kapan anda bercerai? Jawab: 26 Desember 2005 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Lancar 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Penghulu yang dulu menikahkan saya. 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? Jawab: Orang tua, saksi-saksi dari pihak istri, dan suami. Serta RT. 8. Menurut anda, kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Di Pengadilan Agama 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di rumah? Jawab: ingin cepat, dan damai 10. Apakah perceraian yang dilakukan di rumah adil menurut anda? Jawab: Adil 11. Apakah anda mendapat kesulitan setelah melakukan perceraian di rumah? Jawab: Ya, ternyata saya tidak bisa menikah melalui KUA, oleh penghulu. Karena saya tidak mempunyai surat cerai. Akhirnya saya menikah di bawah tangan. 12. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas, karena saya bisa bercrai 13. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Tidak, hanya lewat penghulu saja.
14. Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda? Jawab: Tidak, anak saya tidak punya. 15. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: Tidak. 16. Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda? Jawab: Tidak, karena saya yang minta bercerai.
HASIL WAWANCARA Nama
: Andang
Hari/tanggal
: Minggu/ 07-01-2007
Waktu/Tempat : 16.00/ Rumah 1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 1 Tahun 5 Bulan 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Karena suami saya, tidak menafkahi lahir batin saya, selama menikah, hanya waktu pengantin baru saja. 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: Di rumah Ibu saya. 4. Kapan anda bercerai? Jawab: Tahun 1999 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Kekeluargaan 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Ulama setempat 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? Jawab: Orang tua, saksi dari istri (saya), dan dari Suami 8. Kalau menurut anda, melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: ya, harus di Pengadilan 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan? Jawab: Saya malu, harus ke Pengadilan karena saya seorang guru, takut ketahuan akibat dari Perceraian saya di ketahui oleh teman seprofesi saya. 10. Apakah perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan adil menurut anda? Jawab: Tidak, merugikan saya, karena saya yang harus menanggung semua resiko, karena saya yang meminta cerai. 11. Apakah anda mendapat kesulitan setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan? Jawab: ya, karena saya tidak mempunyai surat cerai yang di keluarkan oleh Pengadilan. jika saya hendak menikah lagi kemungkinan besar susah menikah lagi lewat KUA. 12. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Secara emosi ya puas, tapi kalau menurut aturan saya merasa dirugikan.
13. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Tidak, mungkin jika saya hendak menikah lagi, baru saya akan bicara tentang setatus saya yang sudah janda. 14. Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda? Jawab: Tidak, karena saya minta bercerai, dan saya mempunyai pekerjaan. 15. Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai? Jawab: Dibicarakan, tapi karena si Dian masih Kecil, baru 1 Tahun jadi saya yang harus mengurus dia. 16. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: Tidak, karena pernikahan saya baru, jadi belum ada yang di hasilkan bersama. 17. Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda? Jawab: Tidak, karena proses perceraiannya tidak jalur hukum, jadi tidak ada
HASIL WAWANCARA Nama
: Mula
Hari/tanggal
: Senin/08-01-2007
Waktu/Tempat : Jam 15.00/Kediaman Mula 1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 1 Tahun 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Karena suami saya sering berbohong kepada saya. 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: Di rumah saya 4. Kapan anda bercerai? Jawab: Juni, 2006. 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: lancar, secara kekeluargaan 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Ulama setempat, RT. 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? 8. Menurut anda kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Yang saya tahu, harus di Pengadilan 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan? Jawab: Semenjak saya kecil, yang bercerai itu tidak lewat Pengadilan. akhirnya dari perceraian mereka baik-baik saja, saya juga mengikuti mereka yang bercerai sebelum saya, dan perceraian saya juga lancar-lancar saja 10. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas 11. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Belum. 12. Apakah ada kendala setelah bercerai tidak lewat Pengadilan? Jawab: ya, setelah saya melakukan perceraian pertama, terus saya hendak ingin menikah lagi, ternyata saya tidak bisa dinikahkan oleh pihak KUA, akhirnya saya menikah yang kedua tidak lewat KUA. 13. Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda?
Jawab: Tidak, karena saya yang meminta bercerai. Anak tidak punya 14. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: Tidak. 15. Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda. Jawab: Memberi lima ratus ribu, tapi saya tidak tahu uang hak apa yang dia berikan
HASIL WAWANCARA Nama
: Suryana
Hari/tanggal
: Selasa/ 10-01-2007
Waktu/Tempat : Jam 13.00/Rumah 1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 1 Tahun 2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Istri yang kurang menghormati keluarga saya; 3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: Di rumah mertua saya. 4. Kapan anda bercerai? Jawab: Tahun 2005 5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Secara kekeluargaan 6. Siapa saja yang menceraikan anda? Jawab: Ulama di tempat istri, Rt. 7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda? Jawab: RT. Saksi-saksi dari saya dan dari istri saya, serta kedua mertua saya. 8. Menurut anda kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Di Pengadilan 9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan? Jawab: Ya, masalah uang, biaya yang mahal, dan selain itu juga masalah jarak, Sodong – Tasik yang jauh, kalau menurut saya, lagi pula istri saya juga menerima kalau bercerai di rumah. 10. Apakah perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan adil menurut anda? Jawab: Cukup Adil. Karena bisa damai. 11. Apakah anda mendapat kesulitan setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan? Jawab: Ya, saya mau menikah lagi tidak bisa ke KUA. Karena tidak mempunyai surat cerai. Akhirnya saya menikah yang kedua kali tidak lewat jalur KUA, jalur belakang. 12. Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas
13. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Tidak 14. Setelah bercerai apakah, mantan istri anda di berikan nafkah, dan anak anda? Ya sebesar 1.000.000,00. saya belum punya anak. 15. Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan istri anda sewaktu bercerai? Jawab: tidak