BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Percepatan Pembangunan Industri Gas Bumi Laporan Akhir Kajian
DIREKTORAT SUMBER DAYA ENERGI, MINERAL DAN PERTAMBANGAN November 2012
KATA PENGANTAR
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir gas bumi terbesar di dunia. Namun ironisnya, pemenuhan kebutuhan gas di Indonesia masih banyak mengalami kendala sehingga sampai saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan gas secara maksimal. Padahal pemanfaatan gas ini diproyeksikan untuk menggantikan sebagian porsi bahan bakar minyak yang semakin terbatas. Secara umum, walaupun cadangan gas Indonesia kecil namun jumlahnya sangat menjanjikan bila dibandingkan dengan cadangan minyak yang jauh menipis, apalagi bila ditambah cadangan gas unconventional yang saat ini sedang dirintis. Di masa mendatang, dengan banyaknya penemuan cadangan gas di dunia, gas akan berpotensi menjadi energi yang murah dan menjadi sumber energi yang strategis. Industri gas bumi mengalami transformasi melalui proses deregulasi di tahun 2001 dengan terbitnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan UU Migas tahun 1960. Dengan UU ini, peranan Pertamina berubah dari monopoli operator dan regulator menjadi fokus sebagai operator. Sebagai gantinya, dibentuklah BP Migas dan BPH Migas untuk melaksanakan pengendalian dan pengaturan di sektor hulu dan hilir migas Indonesia. Dalam perjalanannya, UU Migas ini mengalami banyak perubahan dengan adanya pembatalan-pembatalan beberapa pasal melalui putusan MK. Banyaknya judicial review dan pembatalan ini menunjukkan adanya permasalahan dalam kebijakan migas. Penyusunan Kajian “Percepatan Pembangunan Industri Gas Bumi” dilakukan untuk memetakan permasalahan dan bottlenecking di sektor gas yang selama ini menghambat pemanfaatan gas. Dari hasil pemetaan ini diharapkan dapat tersusun usulan strategi untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi. Kajian ini disusun melalui studi literatur, diskusi, dan seminar untuk mendapatkan masukan dari narasumber dan para para pihak terkait. Sebagai penutup, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penyusunan kajian ini, mulai dari persiapan, diskusi, seminar, sampai dengan penulisan laporan. Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi dalam rangka pembangunan dan pengembangan pembangunan industri gas bumi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Saran dan kritik sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, Desember 2012 Direktur Sumber Daya Mineral, Energi dan Pertambangan Ir. Montty Girianna, M.Sc., MCP, Ph.D.
i
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menentukan permasalahan pembangunan industri gas bumi dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi. Penyusunan kajian dilakukan melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan seminar yang mengundang berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas baik dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi atau universitas, serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini. Berdasarkan kondisi saat ini, gas berpotensi sebagai energi masa depan Indonesia selain energi terbarukan menggantikan minyak bumi. Hal ini didasarkan pada kecenderungan banyaknya penemuan lapangan baru gas dan peningkatan produksi gas sementara kondisi produksi minyak bumi dan penemuan lapangan baru cenderung menurun. Namun demikian, dengan adanya kesenjangan lokasi antara pusat kebutuhan dan pusat pasokan banyak hal yang harus dibenahi terutama infrastruktur penghubung. Sampai saat ini, banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia diantaranya adalah proses deregulasi sektor migas yang dimulai tahun 2001 dengan deregulasi peran monopoli Pertamina sebagai operator sekaligus regulator berubah menjadi hanya sebagai operator. Sementara peran regulator di sektor hulu dipegang Pemerintah yang dilaksanakan oleh BP Migas dan di sektor hilir, BPH Migas berperan sebagai regulator bersama-sama Ditjen Migas. Proses deregulasi ini bertujuan untuk menciptakan iklim kompetisi pada industri gas yang pada akhirnya diharapkan dapat memberi keuntungan pada konsumen akhir. Walaupun demikian, sampai saat ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang belum terselesaikan dengan proses deregulasi yang telah dilakukan. Apabila tidak diatasi dengan baik, permasalahan ini dapat terus menghambat pembangunan industri gas bumi dalam negeri. Perencanaan Inftrastruktur serta kebijakan alokasi dan harga yang belum jelas merupakan permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan untuk mempercepat pembagunan industri gas bumi. Untuk itu, beberapa hal yang perlu segera dilakukan adalah: (i) Percepatan Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang mencakup penyempurnaan aspek kelembagaan pengelola migas, integrasi antara sektor hulu dan hilir, penyempurnaan mekanisme dan substansi RIJTDGB, penyempurnaan prioritas alokasi yang diantaranya termasuk usulan renegosiasi porsi gas ekspor, transparansi biaya produksi (produsen dan konsumen) dalam mendukung penetapan kebijakan harga gas, keterlibatan aktif pemerintah dalam mekanisme seleksi (lelang) konsumen gas, penyempurnaan kebijakan fiskal melalui perubahan porsi bagi hasil kontraktor dalam skema KKS (menjadi bertambah) dan penerapan subsidi gas
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i ABSTRAK ..................................................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 1.3 Tujuan dan Sasaran ..................................................................................... 1.4 Ruang Lingkup Studi .................................................................................. 1.5 Pendekatan Studi ........................................................................................ 1.6 Sistematika Laporan ...................................................................................
1 2 3 4 4 5
BAB 2 PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA 2.1 Potensi Gas Bumi Indonesia ....................................................................... 6 2.2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia ........................................ 8 BAB 3 DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI 3.1 Struktur Industri Gas .................................................................................. 13 3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal ...................................................................... 15 3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi ................................................ 16 3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum ......................................... 17 3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ........................................... 19 3.2 Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia ................................................... 21 3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia ..................... 23 3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia ................................... 26 3.3 Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia .................................. 30 3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu ..... 31 3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga ................................................................ 36 3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir) ....................................... 39 BAB 4 KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS 4.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas ...................................................................... 4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk ................................... 4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik ................................................ 4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya ................................ 4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi .............................
iii
41 41 42 47 48
4.2 Infrastruktur Gas Indonesia ....................................................................... 54 4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ........................... 54 4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ..................................... 56 BAB 5 STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS DALAM NEGERI 5.1 Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas ................................................ 60 5.1.1 Skenario Subsidi ............................................................................... 61 5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM ................................................ 63 5.1.3 Pengurangan Emisi CO2 .................................................................. 67 5.2 Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri ................................. 67 5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas ....................................... 68 5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri ................................................. 74 5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri ................................... 77 BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 84 6.2 Rekomendasi ............................................................................................. 86 6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi .............................................................. 90 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 93
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia .............................................. 8 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia ................................. 9 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 ...................... 9 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia ... 10 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan 10.000 MMSCFD ...................................................................................... 11 Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011) ....... 12 Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi ................................................................. 13 Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi .............................................................. 16 Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum ....................................... 17 Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ......................................... 19 Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi .............................................. 22 Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi ................................................................. 23 Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas .......................................................... 26 Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas 27 Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa ............................................................... 31 Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) ....................................................................................................... 32 Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik 2006-2012 ................................................................................................. 34 Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian ................... 36 Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali . 44 Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian Barat .......................................................................................................... 44 Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian Timur ......................................................................................................... 45 Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis Angkutan (a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum Beroperasi (b) ............................................................................................. 49 Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG ...................................................... 52 Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor Transportasi (2012) .................................................................................... 53 Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri .......................... 56 Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa .......................................................... 59 Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk Angkutan Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum 2010 ........................................................................................................... 59
v
Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario 25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor Transportasi oleh Gas Bumi (2009) .............................................................................................. Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas yang Diangkut ........................................................................................... Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas ........................... Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling ........................ Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 ............... Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X) ........................... Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu ......
vi
65 69 71 71 74 80 81
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20
Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011 .............................. 7 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011) ................. 12 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor Konsumen .................................................................................................... 33 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil ......... 38 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum .......................... 40 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD) ........ 41 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas (dalam MMSCFD) ...................................................................................... 42 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik .............. 43 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk ............................................... 47 Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PGN) ... 48 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan (2010) ........................................................................................................... 50 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Mensubstitusi BBM Angkutan Umum .............................................. 51 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab sampai dengan 2015 ................................................................................... 53 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas ..................... 58 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan BBM Non-subsidi untuk Industri dan Listrik ............................................... 62 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar di Sektor Transportasi oleh Gas (2015) ....................................................... 66 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor Industri dan Listrik oleh Gas 2015) ............................................................. 66 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012) .......... 78 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN ................. 78 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 .................................................... 80
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengembangkan gas bumi
khususnya dalam pengembangan ekspor gas bumi cair (liquefied natural gas: LNG). Namun demikian, pengembangan industri gas bumi untuk pemanfaatan dalam negeri masih sangat lambat terutama dalam pengembangan infrastruktur gas. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini gas sering kali hanya dianggap sebagai komoditi sumber penerimaan negara. Seiring dengan penurunan produksi dan kenaikan harga minyak dunia akhir-akhir ini, pemerintah mulai melihat peluang gas sebagai sumber energi dan juga sebagai bahan baku untuk industri dalam negeri. Pengelolaan gas bumi mulai ditata kembali dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi beserta beberapa peraturan pelaksanaannya. Pembenahan regulasi tersebut telah mengubah kegiatan usaha gas bumi menjadi bersifat lebih mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Hal lain yang menjadi pokok perubahan adalah pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah, pengatur, dan pelaku usaha; pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama (unbundling); serta penekanan pada liberalisasi sektor hilir dengan juga penekanan pada prioritas pemanfaatan gas bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk menunjang pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001, dibentuklah Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melalui PP No. 42 tahun 2002 dan PP No. 67 tahun 2002. Sementara, Pertamina yang dalam UU No. 8 tahun 1971 bertindak sebagai “operator, regulator, dan pemegang Kuasa Pertambangan”, diubah menjadi sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT Persero) yang hanya bertindak sebagai operator melalui Keputusan Presiden No. 57/2002. Perkembangan terakhir, BP Migas telah dibubarkan melalui Keputusan MK tanggal 13 November 2012 setelah dilakukan Judicial Review terhadap UU No. 22 tahun 2001. Sebagai pengganti, Presiden mengintruksikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) 1
untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas (SKSP Migas) yang secara struktural berada di bawah KESDM. Terlepas dari pembubaran BP Migas tersebut, banyak pembenahan lain yang telah dilakukan. Diantaranya adalah ditetapkannya beberapa regulasi baik berupa kebijakan prioritas alokasi untuk dalam negeri maupun kebijakan pengaturan pengusahaan gas dalam negeri. Namun demikian, strategi atau langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri masih belum jelas terlihat. Kajian ini membahas gambaran industri gas bumi secara umum, industri hilir gas bumi, mekanisme pengembangan industri hilir gas bumi, serta pengalaman beberapa negara lain dalam mengembangkan industri hilir gas bumi. Berdasarkan pemahaman terhadap teori, analisis dan pengalaman negara lain dalam mengembangkan industri gas bumi, kajian ini mencoba untuk menarik pelajaran khususnya mengenai pengembangan industri hilir gas bumi untuk dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Di tengah reformasi sektor energi yang sedang dilakukan saat ini, di samping belum optimalnya pengembangan industri hilir gas bumi di tanah air, kajian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam proses transformasi industri hilir gas bumi Indonesia dan mendukung peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
1.2
Perumusan Masalah Kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.5 tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan bahwa porsi atau peran gas bumi dalam energy mix akan meningkat dari 20,4 persen pada tahun 2011 menjadi sebesar 30 persen pada tahun 2025. Target ini memiliki konsekuensi bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi dan penggunaan gas alam di dalam negeri dengan laju pertumbuhan yang tinggi, sekaligus juga menurunkan ketergantungan pada energi minyak bumi. Dengan kebijakan ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih baik dari saat ini dan keuangan negara akan lebih hemat dengan berkurangnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan energi yang harus ditanggung oleh pemerintah dalam APBN dari tahun ke tahun sehingga alokasinya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan terutama infrastruktur di luar Jawa dalam mewujudkan pemerataan pembangunan.
2
Kebijakan pengalihan pemanfaatan energi dari minyak ke gas untuk keperluan dalam negeri harus segera dilakukan mengingat kondisi potensi migas kita yang telah bergeser dari minyak ke gas. Gas bumi merupakan sumber energi yang paling tepat dan siap menjadi energi pengganti minyak. Beberapa pihak juga menganggap gas bumi sebagai ‘jembatan’ pemanfaatan energi dari dominasi fosil ke energi terbarukan. Selain itu, banyak juga faktor eksternal dan global yang akan mempengaruhi pola konsumsi gas bumi di dalam negeri seperti: 1. Kondisi geopolitik yang mencerminkan situasi perdagangan gas (LNG) di tataran regional dan global. Ini akan mempengaruhi posisi harga gas terutama di kawasan Asia yang akan berdampak secara tidak langsung pada kondisi supply-demand gas Indonesia di masa datang. 2. Fluktuasi kenaikan harga minyak yang tajam di pasar internasional telah berdampak langsung terhadap permintaan dan harga gas di dalam negeri terutama oleh industri dan pembangkit listrik yang ingin beralih dari BBM ke gas bumi. 3. Kondisi infrastruktur dan kebijakan harga yang akan menentukan pasokan gas. 4. Kebijakan hilirisasi sektor dan revitalisasi industri pupuk yang sedang dicanangkan pemerintah saat ini diperkirakan akan berdampak pula pada pertumbuhan kebutuhan dalam negeri yang pesat. Salah satu kebijakan hilirisasi tersebut adalah kebijakan peningkatan nilai tambah mineral dan pertambangan melalui industri pengolahan dan pemurnian.
1.3
Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kajian ini adalah untuk menentukan permasalahan pembangunan
industri gas bumi dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi. Tujuan selanjutnya adalah untuk mendukung stakeholders pengembangan gas bumi sehingga memiliki landasan yang kuat serta cukup komprehensif dalam melakukan percepatan pembangunan industri gas bumi. Adapun sasaran kegiatan kajian ini adalah tersusunnya kebijakan strategis dalam rangka mempercepat pembangunan industri gas bumi di Indonesia.
3
1.4
Ruang Lingkup Studi Ruang lingkup kajian ini adalah:
a. Inventarisasi dan evaluasi peraturan dan ketentuan berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan gas bumi terutama untuk pemanfaatan kebutuhan dalam negeri. b. Identifikasi masalah-masalah yang ada dalam pengembangan industri gas bumi. c. Analisis kajian akademis sebagai landasan penyusunan pedoman pengembangan gas untuk pemanfaatan dalam negeri. d. Perumusan alternatif kebijakan
pengembangan industri gas bumi untuk
pemanfaatan dalam negeri.
1.5
Pendekatan Studi Metode penelitan percepatan pembangunan industri gas bumi ini akan dilakukan
melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan seminar yang mengundang berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas baik dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi atau universitas, serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini. Para pakar dan pengamat yang memiliki keahlian di bidang gas bumi dijadikan narasumber dalam rangkaian seminar dan diskusi tersebut untuk memperkaya kajian ini. Untuk dapat memperoleh informasi yang akurat dari kalangan industri gas bumi, juga dilakukan interview langsung dengan melakukan kunjungan lapangan ke beberapa industri pengguna gas bumi meliputi pabrik kertas, pabrik pupuk, pabrik kaca, pabrik semen dan smelter tembaga, dan pemasok gas. Dengan kunjungan kerja tersebut diharapkan dapat diperoleh berbagai informasi mengenai permasalahan dan kondisi di lapangan yang dihadapi langsung oleh pelaku industri, serta peran penting penggunaan gas bumi dalam proses industri. Cakupan data yang akan digunakan dalam kajian ini umumnya dimulai dari periode 2001 sampai dengan 2011 sepanjang data tersebut tersedia dan cukup akurat untuk digunakan. Periode ini dinilai dapat mewakili perkembangan dan perilaku yang terjadi dalam industri gas bumi Indonesia, mengingat banyak perkembangan penting yang terjadi terutama menyangkut permintaan dan suplai gas bumi di dalam negeri
4
sehingga hal ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan industri gas bumi nasional ini di masa depan.
1.6
Sistematika Laporan Penulisan kajian ini dilakukan secara sistematis dan terdiri atas enam bab
sebagai berikut: a. Bab I yang berisi mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dilakukannya kajian, serta metode penelitan yang digunakan dalam kajian ini. b. Bab II yang mencakup perkembangan industri gas bumi di Indonesia mulai dari
cadangan, produksi, dan pemanfaatan gas bumi di Indonesia. c. Bab III yang menguraikan deregulasi dan kebijakan alokasi dan gas bumi yang
telah dan sedang dilakukan di Indonesia. d. Bab IV yang mencakup kebutuhan, pasokan, dan infrastruktur gas bumi Indonesia e. Bab V yang menguraikan strategi dan upaya percepatan dan perluasan pemanfaatan
gas bumi di dalam negeri. f.
Bab VI yang akan menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat digunakan untuk mempercepat pembagunan industri gas bumi nasional.
5
BAB 2 PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA
2.1
Potensi Gas Bumi Indonesia Dalam hal pengembangan industri gas bumi, di tahun 1980-an, Indonesia
termasuk salah satu negara yang pertama kali menerapkan teknologi LNG untuk keperluan ekspor dengan tujuan utama Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ekspor gas bumi belakangan dilakukan juga melalui pipa ke Singapura dan Malaysia. Namun beberapa tahun terakhir ini pemerintah berupaya untuk mengalihkan ke pasar domestik sebagai pengganti minyak yang produksinya sudah menurun seperti halnya konversi minyak tanah ke LPG. Selain itu, faktor peningkatan kebutuhan gas dalam negeri yang tinggi pada tahun-tahun terakhir ini juga ikut mendorong hal ini. Sektor utama pengguna gas bumi Indonesia adalah sektor listrik, dan industri. Sebagai salah satu sumber energi, pangsa gas dalam bauran energi di Indonesia masih rendah, terlebih bila dibandingkan dengan minyak bumi. Pada tahun 2011, pemanfaatan gas baru sekitar 20,4 persen dari energi total Indonesia. Berdasarkan Perpres 5 tahun 2006, pemerintah menargetkan penggunaan gas alam menjadi 30 persen dari total penggunaan energi pada tahun 2025. Sementara berdasarkan Draft KEN terakhir (2012), penggunaan gas akan digantikan oleh energi terbarukan dan diproyeksikan menurun menjadi 20 persen di tahun 2025 dan akan menurun menjadi 15 persen di tahun 2050. Walaupun secara persentase menurun, diperkirakan jumlah riil kebutuhan gas (untuk energi) akan terus meningkat menjadi 50–54 MTOE atau 5.800– 6.200 MMSCFD dari pemanfaatan gas dalam negeri saat ini di kisaran 4.200 MMSCFD. Secara geografis, Indonesia sebenarnya memiliki banyak cekungan migas. Berdasarkan data cadangan sumber daya yang dikeluarkan oleh KESDM, sampai tahun 2011 potensi sumber daya energi fosil atau hidrokarbon yang dimiliki masing-masing jenis energi ini adalah sebagaimana tabel berikut.
6
Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011
No
1 2 3 4
Energi Fosil (Tidak terbarukan)
Sumber Daya (SD) 56.6 334.5 104.8 453
Cadangan (Cad)
Rasio SD/Cad (persen) 14 51 18 -
Produksi (Prod)
MinyakBumi (miliarbarel) 7.99**) 0.346 Gas Bumi(TSCF) 152.89 2.9 Batubara (miliar ton) 20.98 0.254 Coal Bed Methane /CBM (TSCF) *) dengan asumsi tingkat produksi tetap dan tidak ada penemuan prospek baru Sumber : KESDM, 2011.
Rasio Cad/Prod (Tahun)*) 23 55 83 -
Data tersebut menunjukkan bahwa kekayaan cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia terutama minyak bumi tidaklah seperti yang selalu digambarkan dan dibayangkan selama ini. Kenyataan yang ada di lapangan saat ini, dalam penemuan lapangan baru cadangan gas bumi cenderung lebih banyak dari pada minyak bumi. Jika dibanding dengan tingkat produksi saat ini, produksi minyak bumi akan habis dalam jangka waktu 23 tahun, adapun cadangan gas bumi masih cukup tersedia dalam jumlah besar untuk diproduksi selama 55 tahun lagi. Di tingkat global pun, cadangan gas dunia meningkat lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan cadangan minyak. Selain gas bumi, Indonesia memiliki potensi unconventional gas berupa CBM, sebesar 453 TSCF yang besarnya tiga kali lipat dari cadangan gas bumi yang ada saat ini, dan shale gas, walaupun sampai saat ini belum diketahui dengan pasti besarnya jumlah sumber daya yang dimiliki. Indikasi awal yang diperoleh dari hasil pemboran oleh KKS menunjukkan bahwa angka cadangan shale gas kemungkinan sangat besar dengan sebagian besar berada di laut dalam. Cadangan gas Indonesia tersebar dengan jumlah terbesar berturut-turut terdapat di Kawasan Natuna sebanyak 51,46 TSCF (33,65 persen), Sumatera sebanyak 33,48 TSCF (21,9 persen), Papua sebanyak 24,32 TSCF (15,91 persen), Kalimantan sebanyak 18,33 TSCF (12 persen), Laut Timur – Arafuru 15,22 TSCF (9,95 persen). Sementara sisanya berada di Jawa sebesar 10,1 TSCF (6,1 persen) dan Sulawesi sebesar 4,23 TSCF (2.8 persen) (Gambar 1). Konfigurasi cadangan gas ini didukung oleh tren penemuan cadangan di bagian timur Indonesia dan umumnya di daerah laut dalam.
7
Gambar 1 Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia (Ditjen Migas, 2012)
2.2
Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia Produksi gas bumi Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan
disertai penurunan produksi minyak, sektor migas Indonesia telah bergeser dari dominasi minyak ke dominasi gas di tahun 2002 (Gambar 2). Pada tahun 2012 catatan produksi minyak sampai bulan April menunjukkan produksi minyak 880 ribu barel oil equivalen (BOE), sementara produksi gas mencapai 1,432 juta BOE (sekitar 63,94 persen dari keseluruhan migas). Walaupun sempat menurun hingga tahun 2007 namun pertumbuhan produksi gas tahun 2002 – 2012 secara umum meningkat sebesar 1,3 persen. Sementara pada rentang tahun yang sama produksi minyak menurun sebesar 3,5 persen. Kecenderungan ini akan terus berlanjut seiring dengan kecenderungan lebih banyaknya penemuan daerah prospek gas dibanding prospek minyak dan rencana produksi yang termuat dalam Plan of Development (PoD) (Gambar 3).
8
OIL (MBOPD) 1,800
GAS (MBOEPD)
Dominasi Minyak
Dominasi Gas
1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
OIL (MBOPD)
1,683 1,631 1,589 1,582 1,624 1,288 1,407 1,515 1,338 1,362 1,445 1,299 1,387 1,539 1,575 1,487 1,535 1,612 1,624 1,570 1,557 1,557 1,500 1,415 1,342 1,252 1,127 1,096 1,063 1,006 955
GAS (MBOEPD)
198
320
407
393
434
424
457
595
619
633
675
731
769
865
979
960
958
977 1,062 1,079 1,214 1,097 1,306 1,310 1,227 1,161 1,185 1,133 1,257 1,431 1,397 1,306 1,150 1,107 1,126 1,157 1,487
Gambar 2 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia (BP Migas, 2012)
Seperti halnya cadangan gas, tingkat produksi gas bumi Indonesia tersebar di beberapa lokasi. Lokasi terbesar yang memiliki produksi tertinggi adalah Kalimantan Timur sebesar 32 persen dari produksi nasional, disusul dengan Sumatera Bagian Tengah dan Selatan sebesar 21 persen yang kemudian disusul oleh Papua dan Riau serta Jawa Barat masing-masing sebesar 18 persen dan 14 persen. Sisanya diproduksi di berbagai lokasi lainnya. Banyu Urip Tunu 13C
Kaltim (Total E&P)
Peciko 7B
Kaltim (Total E&P)
Terang Sirasun
Jatim (Kangean Energy)
Sumpal Rubi South Mahakam
Ande-Ande Lumut Madura BD Kepodang
Sumsel (COPI Grissik) Sulbar (Pearl Oil Sebuku) Kaltim (Total E&P)
Jateng (MCL) Kepri (Genting Natuna Oil) Jatim (Husky Madura) Jateng (PCML)
DOMINASI GAS
Maluku (Inpex Masela) IDD – Gendalo Hub
Sulteng (JOB Pertamina –
Senoro
Kaltim (Chevron Indonesia
IDD – Gehem Hub
Masela
Kaltim (Chevron Indonesia
Kaltim (Chevron Indonesia
IDD - Bangka
Jangkrik
Kaltim (ENI Muara Bakau)
Peciko 7C
Kaltim (Total E&P)
: Minyak Bumi
: Gas Bumi : Minyak dan Gas Bumi
Gambar 3 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 (Ditjen Migas, 2012)
9
Sementara dari jumlah permintaan domestik berdasarkan kontrak gas yang ada, lokasi yang memiliki demand paling banyak adalah Sumatera Bagian Tengah dan Selatan sebesar 34 persen yang disusul oleh daerah Jawa Bagian Barat sebesar 31 persen. Jawa Bagian Tengah dan Timur serta Kalimantan Timur menempati urutan selanjutnya dengan 18 persen dan 11 persen. Sisanya tersebar di lokasi lainnya. Perbandingan gambaran kondisi lokasi suplai dan kebutuhan gas dapat dilihat pada Gambar 4. Kondisi perbedaan lokasi ini memerlukan kebijakan pemerintah untuk mempercepat infrastruktur transportasi gas atau bila perlu membuat konsentrasi industri baru mendekati sumber dari gas. Pemanfaatan Gas Bumi, 2011 (4.277 mmscfd)
Produksi Gas Bumi, 2011 (8.922 mmscfd)
Gambar 4 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia (BP Migas dalam Widodo, 2012)
Pada tahun 2015, berdasarkan Neraca Gas Nasional (2010-2025), sebaran produksi gas tidak banyak berubah, dengan total pasokan kurang-lebih 10.000 MMSCFD1 (Gambar 5). Kalimantan Bagian Timur diproyeksikan dapat memproduksi gas sampai dengan 2.900 MMSCFD, Sumatra Bagian Tengan/Selatan 2.000 MMSCFD, Papua 1.200 MMSCFD, dan Natuna 675 MMSCFD. Cadangan gas di Papua dan Natuna cukup besar dan cukup layak untuk dipercepat pengembangannya, sehingga produksinya dapat ditingkatkan masing-masing menjadi lebih dari 2.000 MMSCFD.
1
Neraca Gas Nasional (2010-2025), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010
10
Maluku bag sel Papua
Sulbag-sel Sulbag-teng Kalbag-tim Jabag tim Jabag-teng
Jabag-bar Sumbag-teng-sel Sumbag-ut NAD Kep.Riau-Natuna -
SUPPLY (MMSCFD)
500
1.000
Kep.RiauNatuna
NAD
Sumbag-ut
Sumbagteng-sel
675
389
266
1.995
1.500
2.000
Jabag-bar Jabag-teng Jabag tim Kalbag-tim
1.107
166
842
2.892
2.500
3.000
Sulbagteng
Sulbag-sel
Papua
Maluku bag sel
317
76
1.245
-
Gambar 5 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan 10.000 MMSCFD (Neraca Gas Indonesia, 2010-2025)
Berdasarkan data pemanfaatan gas dari Ditjen Migas, walaupun sempat agak berfluktuasi di tahun 2009 dan 2010, secara umum konsumsi gas dalam negeri meningkat 1,21 persen seiring dengan penurunan ekspor gas Indonesia sebesar rata-rata 0,72 persen. Penurunan ekspor ini selain karena peningkatan kebutuhan dalam negeri juga karena habisnya beberapa kontrak ekspor. Peningkatan konsumsi dalam negeri di beberapa tahun mendatang diperkirakan masih belum signifikan sehubungan dengan keterbatasan transmisi dan jaringan distribusi di Indonesia. Secara sektoral, pengguna utama gas adalah sektor pupuk dan petrokimia, sektor kelistrikan, dan sektor industri. Selebihnya adalah pemanfaatan untuk keperluan sendiri (termasuk untuk peningkatan produksi migas dan sebagai bahan baku LPG) dan hilang (termasuk yang dibakar). Porsi pemanfaatan sektor pupuk dan petrokimia, cenderung tetap di kisaran dari 7–10 persen produksi gas. Sementara itu, porsi gas untuk sektor industri mengalami peningkatan. Walaupun sempat turun signifikan di tahun 2009 dan 2010, pertumbuhan rata-rata pemanfaatan gas untuk sektor industri di tahun 2002 sampai 2011 mencapai 7,7 persen. Sementara porsi gas untuk sektor kelistrikan cenderung berfluktuasi. Dari tahun 2002 sampai 2009 terjadi peningkatan sebesar ratarata 8,3 persen per tahun dan setelah itu menurun sebesar rata-rata 14 persen sampai tahun 2011. Penurunan ini diperkirakan akan terus berlangsung seiring dengan selesainya beberapa proyek pembangkit 10.000 MW tahap I yang sebagian besar 11
berbahan bakar batubara. Porsi untuk pemanfaatan sendiri (own use) pada kurun waktu tahun 2002–2011 menurun sebesar rata-rata 6,99 persen. Tabel 2 dan Gambar 6 memperlihatkan konsumsi gas sejak tahun 2002, yakni untuk ekspor dan pemanfaatan dalam negeri. Tabel 2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011) PRODUKSI TOTAL (BSCFD)
2002 8.320
%
2003 % 8.640
2004 % 8.280
2005 8.180
%
2006 8.093
%
2007 7.686
%
2008 8.210
693,2 462,9 1.021,4
705,8 446,8 1.056,8
8,6 711,0 8,8 679,1 8,8 575,1 5,5 463,8 5,7 502,3 6,5 542,6 12,9 1.219,3 15,1 1.083,3 14,1 1.361,5
7,0 6,6 16,6
Pemanfaatan Domestik (MMSCFD) Pupuk + Petrokimia Listrik Industri (termasuk PGN) Own Use (termasuk Lifting, Kilang, dan LPG) Loose (Flare& Kondensat) TOTAL DOMESTIK
728,0 538,0 678,0
8,8 6,5 8,1
1.166,6 440,6 3.551,2
14,0 5,3 42,7
1.128,1 13,1 407,1 4,7 3.593,0 41,6
992,9 997,4 350,4 357,9 3.520,8 42,5 3.564,7
12,2 974,6 12,0 943,4 12,3 1.066,2 4,4 347,2 4,3 295,6 3,8 298,2 43,6 3.715,9 45,9 3.503,7 45,6 3.843,6
Pemanfaatan Ekspor (MMSCFD) LNG LPG GAS TOTAL EKSPOR
4.535,5 6,8 226,5 4.768,8
54,5 0,1 2,7 57,3
4.709,9 54,5 15,5 0,2 323,6 3,7 5.049,0 58,4
4.390,3 53,0 4.124,4 15,5 0,2 0,0 353,4 4,3 490,9 4.759,2 57,5 4.615,3
50,4 3.934,5 48,6 3.562,6 46,4 3.682,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 6,0 442,6 5,5 619,7 8,1 683,9 56,4 4.377,1 54,1 4.182,3 54,4 4.366,4
703,4 512,8 841,6
8,1 5,9 9,7
8,4 5,6
%
2009 8.389 795,0 962,0 961,0
%
9,5 11,5 11,5
2010 8.386
%
2011 % 8.981
716,4 734,2 790,4
8,5 708,8 8,4 8,8 721,4 8,6 9,4 1.356,4 16,1
13,0 1.010,0 3,6 493,0 46,8 4.221,0
12,0 790,4 5,9 507,0 50,3 3.538,4
9,4 672,1 8,0 6,0 501,3 5,9 42,2 3.960,0 47,0
44,9 3.345,0 0,0 0,0 8,3 823,0 53,2 4.168,0
39,9 3920,2 0,0 9,8 927,4 49,7 4.847,6
46,7 3.543,7 42,0 0,0 0,0 11,1 924,5 11,0 57,8 4.468,2 53,0
Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20%
10% 0% 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
TOTAL EKSPOR
Listrik
Industri (termasuk PGN)
Pupuk + Petrokimia
Own Use (termasuk Lifting, Kilang, dan LPG)
Loose (Flare& Kondensat)
2010
2011
Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011)
12
BAB 3 DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI
3.1
Struktur Industri Gas Sebagaimana halnya minyak bumi, kegiatan industri gas bumi dapat dibedakan
ke dalam dua kelompok utama yaitu kegiatan hulu (upstream) dan hilir (downstream). Di antara kedua kelompok kegiatan itu, kadang ditambahkan pula kegiatan antara (midstream). Gambar 7 memperlihatkan diagram rantai nilai industri gas bumi.
Ijin Tambang
|
Eksplorasi
UPSTREAM
Eksploitasi
Marketing dan Transport
| ANTARA |
Pengolahan dan Processing
Partai besar
HILIR
Partai kecil
|
Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi (Nugroho, 2004)
Dalam rangka pengembangan industri, banyak negara melakukan perubahan dalam struktur dan pengaturan industri gas dengan membuka kompetisi pada gas dan transportasinya. Sejak tahun 1984, Amerika Serikat memisahkan segmen pasokan gas buminya dari segmen pipa transmisi antar negara bagian, menderegulasi produksi gas bumi dan niaga umum, dan memperkenalkan sistem kompetisi dalam penentukan transmisi gas antar negara bagian. Sementara itu, Inggris membuka kompetisi pada industri gasnya dalam hal tertentu ketika Pemerintah Inggris memulai privatisasi British Gas dan melanjutkannya pada segmen niaga umum dan mempromosikan gas resale. Mulai tahun 1998, Inggris menjadi negara dengan industri gas bumi paling kompetitif di dunia. Keberhasilan Amerika Serikat dan Inggris dalam merestrukturisasi industri gas setidaknya telah banyak menginspirasi negara-negara di dunia untuk mengembangkan industri gas masing-masing. Argentina pernah melakukan perubahan pada industri gasnya di tahun 1992 dengan adanya pemisahan dan kemudian privatisasi produksi gas, transportasi dan distribusi. Perusahaan distribusi dan niaga umum dapat membeli langsung dari produsen gas tanpa melalui perusahaan pengangkut gas, meskipun pada tahun-tahun belakangan ini ada indikasi nasionalisasi perusahaan minyak dan gas. Di lain pihak, Meksiko membuka kompetisi di industri gas pada tahun 1993 dan Hungaria 13
memisahkan dan melakukan privatisasi pada perusahaan distribusi gas pada tahun 1994–1995. Saat ini, banyak negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika Selatan akan melakukan perubahan pada industri gasnya untuk meningkatkan efisiensi dan menarik investasi baru. Negara-negara ini melihat banyaknya manfaat dari perubahan yang dilakukan negara-negara terdahulu. Walaupun demikian, pemerintah yang akan melakukan reformasi industri gas pasti menghadapi tugas yang berat. Diperlukan adanya kajian untuk melihat sejauhmana viability kompetisi pada industri gas secara keseluruhan dan di dalam masing-masing segmen, dengan mengidentifikasinya melalui sifat ‘natural monopoli’ dari gas itu sendiri. Selain itu, juga diperlukan adanya formulasi khusus dari kebijakan dan aturanaturan serta merancang mekanisme hubungan yang efisien dari segmen yang diregulasi mapun yang dideregulasi. Keberlangsungan kompetisi dalam industri gas ditentukan oleh tiga faktor yaitu: teknologi, ukuran pasar, dan entry barrier. Faktor teknologi akan mempengaruhi skala keekonomian, sementara ukuran pasar mempengaruhi banyaknya perusahaan yang dapat berkompetisi secara efisien dalam pasar gas, sedangkan entry barrier akan mempengaruhi sejauh mana perusahaan baru dapat memasuki pasar. Faktor-faktor tersebut menentukan keefisienan industri dalam model statis. Sementara model dinamis dari industri gas menggabungkan perubahan-perubahan dari faktor-faktor di atas dalam merefleksikan dinamika lingkungan pada tataran operasional. Perkembangan teknologi, ketidakpastian pasokan dan kebutuhan, dan perubahan peraturan mempengaruhi keberlangsungan dari kompetisi industri gas dalam jangka panjang dan hal ini harus dikaji pada masing-masing segmen industri gas bumi secara terpisah. Mengingat sifat monopoli alamiah pada kegiatan distribusi dan transportasi gas, diperlukan adanya pengaturan terkait keekonomian untuk menghindari penyalahgunaan kekuatan pasar dari perusahaan gas yang telah ada. Tujuan utama dari pengaturan tersebut adalah efisiensi ekonomi dengan didukung fairness dan transparansi. Pengaturan ini menggunakan beberapa instrumen untuk mengatur harga gas dan pelayanannya, di antaranya instrumen tingkat pengembalian (IRR) dan pembatasan harga. Dengan instrumen IRR, utililiti gas diharuskan menentukan tarif gas bumi sedemikian rupa sehingga laba yang dihasilkan tidak melebihi IRR yang telah ditentukan. IRR target biasanya ditentukan dengan mengacu pada bidang dengan profil 14
risiko yang hampir sama. Sementara, instrumen price cap menentukan harga maksimum yang dapat dibebankan perusahaan gas kepada konsumennya selama periode tertentu, misalnya tiga–lima tahun. Setelah itu, pihak regulator mereview dan menentukan price cap baru. Selama periode tersebut, peningkatan pendapatan hanya dapat dilakukan dengan efisiensi. Instumen ini harus disertai dengan kebijakan standar pelayanan dan keselamatan agar melindungi kondumen dalam mendapat pasokan yang handal. Esensi dari efisiensi yang dilakukan adalah untuk memastikan bahwa tarif/harga jasa transportasi dan distribusi gas telah mencerminkan keekonomiannya dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, tidak harus melalui penetapan harga tetapi juga melalui insentif yang diberikan pemerintah. Jika iklim kompetisi produksi gas dan perdagangan berlangsung baik, harga dan persyaratan harus dideregulasi untuk menciptakan pasar yang efisien. Jika produsen, trader dan supplier dibatasi dalam penentuan harga atau dalam memasuki pasar, maka pelaku pasar lainnya akan mendapatkan kekuatan pasar untuk menentukan harga yang tinggi. Negara kecil umumnya memiliki tingkat kompetisi yang terbatas dalam pasar gasnya, karena pasar tidak cukup besar untuk mendukung operasi secara efisien. Di negara-negara ini, regulator harus fokus untuk mempermudah persyaratan dibanding mengatur perusahaan dalam negeri, sehingga kompetitor luar negeri dapat dengan mudah masuk sebagai kekuatan penyeimbang. Deregulasi yang dilakukan banyak negara telah menghasilkan tipe struktur industi gas bumi. Perubahan struktur yang paling penting adalah Open Access, yaitu membuka segmen transportasi gas ke pihak ke tiga, dan Unbundling, dengan memisahkan perdagangan gas dengan transportasi gas.
3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal Tipe ini adalah struktur tradisional dari industri gas bumi di mana produksi, transportasi dan distribusi dilakukan oleh satu perusahaan yaitu perusahaan gas terintegrasi. Perusahaan seperti ini umumnya memiliki posisi eksklusif dalam pasokan gas ke konsumen dan diatur ketat karena posisi monopolinya di pasar. Badan pengawas biasanya menggunakan instrumen IRR atau price cap untuk mencipatakan efisiensi ekonomi dan membatasi kekuatan pasar dari perusahaan. Tipe ini kurang fleksible 15
dalam situasi pasar dinamis dan regulasi sering kali tidak cukup berpengaruh pada efisiensi operasi. 3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan terintegrasi yang menguasai transmisi, distribusi dan layanan (service). Perusahaan gas tersebut kemudian menjual produk-produknya dalam bentuk bundled: gas itu sendiri, jasa transmisi, dan layanan distribusi ke konsumen, baik konsumen besar maupun konsumen kecil . Dalam mekanisme ini, tidak ada pilihan bagi produsen dan konsumen untuk mengatur alternatif jasa, dan praktis tidak terjadi kompetisi di antara pemberi jasa. Gambar 8 memperlihatkan konsep industri gas dalam transisi.
Produsen
Jasa Transmisi, Distribusi,
Konsumen
Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi (Nugroho, 2004 diolah kembali)
Dari gagasan kompetisi di segmen produksi tersebut, nampak bahwa sampai saat ini Indonesia masih menerapkan mekanisme ini. Mekanisme bundling ini, meskipun sederhana, masih menyisakan “keunggulan” yaitu dapat dimanfaatkan untuk menerapkan subsidi silang antara segmen rantai gas dan kategori konsumen. Tipe kompetisi di segmen produksi ini, memisahkan segmen produksi dari segmen lain di industri gas bumi dan melahirkan kompetisi di antara produser sehingga menghasilkan produksi yang lebih efisien dibandingkan tipe integrasi vertikal. Produsen menjual gas bumi ke perusahaan gas yang kemudian dijual kembali ke konsumen. Transaksi antara produsen dan perusahaan gas mengembangkan pasar gas niaga umum di mana gas diperdagangkan untuk dijual kembali. Contoh dari perusahaan tipe ini adalah British Gas sebelum privatisasi tahun 1986 yang membeli gas bumi dari lebih 140 produsen. Pada tipe ini, pengaturan dibutuhkan untuk membatasi kekuatan pasar dari perusahaan gas terhadap produsen dan konsumen. Harga konsumen diatur dengan mekanisme yang sama dengan model integrasi vertikal, sementara harga gas yang dijual 16
produsen diatur melalui mekanisme tender di mana produsen memberi penawaran untuk memasok ke perusahaan gas. Harga yang terbentuk akan mencerminkan nilai pasar dari gas bumi, jauh lebih baik dari harga yang ditentukan oleh regulator. Perusahaan gas monopoli seringkali menghalangi akses langsung produsen dan konsumen karena regulasi yang tidak tegas atau karena kekuatan pasarnya. Oleh karenanya, beberapa negara mengupayakan untuk membuka transportasi dan distribusi ke sistem kompetisi.
3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum Dalam tipe ini, produsen menjual gas ke perusahaan transmisi yang kemudian menjual kembali gas tersebut ke perusahaan layanan distribusi. Selanjutnya, perusahaan distribusi tersebut menjual gas ke konsumen kecil maupun niaga umum. Di sisi lain, niaga umum juga dapat membeli gas secara bebas dan langsung baik dalam bentuk bundled maupun unbundled dari masing-masing service provider. Gambar 9 memperlihatkan secara skematik tipe akses terbuka yang namun masih terbatas untuk konsumen besar. Konsumen Kecil
Konsumen Besar umum
Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum (Nugroho, 2004 diolah kembali)
Tipe akses terbuka untuk niaga umum ini memungkinkan open access pada transportasi. Pada tipe ini perusahaan gas dapat menyediakan dua jenis pelayanan yaitu penyediaan gas ke konsumen dan penyediaan jasa transportasi ke niaga umum dan industri. Perusahaan gas dipisahkan secara vertikal menjadi unit/perusahaan transportasi dan beberapa unit distribusi dan menyediakan akses terbuka pada jaringan pipanya. Industri gas di Amerika Serikat antara tahun 1985 dan 1992 adalah contoh dari industi
17
gas tipe ini. Demikian pula dengan industri gas ketika di unbundling menjadi pemasok gas dan operator pipa di tahun 1996. Rezim ‘open akses’ menciptakan efisiensi di pasar niaga umum gas dan menguntungkan pasar. Keuntungan produsen dengan open akses ini adalah meningkatnya jumlah pembeli dan menurunnya masalah ‘monopsoni’ seperti tipe kompetisi di segmen produksi. Perusahaan distribusi dan konsumen besar diuntungkan dengan adanya akses langsung ke segmen produksi dan memiliki banyak pilihan dalam pasokan gas. Namun, untuk perusahaan transportasi, tipe akses terbuka ini lebih sulit dari pada tipe vertikal maupun tipe kompetisi di segmen produksi karena harus mengkoordinasikan gas miliknya dan gas milik pihak ketiga melalui jaringan pipa. Transaksi dalam pasar konsumen besar gas biasanya dilakukan secara langsung sehingga ketika ada intermediasi hal ini menjadi kompleks dan biaya transaksi dari open access menjadi lebih mahal. Hal ini lebih banyak merugikan konsumen kecil ketimbang peluang untuk mendapatkan yang lebih murah. Lebih jauh, hal ini juga menciptakan peluang usaha bagi trader yang dapat mengumpulkan kebutuhan dan suplai untuk konsumen kecil dengan membeli gas dan jasa transportasi atas nama sendiri. Trader akan membebankan biaya untuk transaksi intermediasi dan meminimasi biaya gas dan jasa transportasinya dengan membeli jumlah yang banyak. Terdapat tiga tujuan utama pengaturan yang penting dalam tipe industri gas ini yaitu melindungi konsumen dari kekuatan pasar perusahaan gas, menciptakan kompetisi di pasar niaga umum, dan mencegah kekuatan pasar dari perusahaan pipa terhadap jaringan pipanya. Harga konsumen diatur dengan pengaturan IRR dan price cap. Harga niaga umum gas dideregulasi jika ada kompetisi di pasar. Bila tidak, sebaiknya terlebih dahulu menghilangkan entry barrier sebelum mengatur harga secara langsung. Hal ini dikarenakan pengaturan harga niaga umum tidak menciptakan perdagangan yang kompetitif. Harga jasa transportasi atau access price adalah faktor paling penting dalam mencapai kompetisi dan efisiensi di level pasar niaga umum. Hal ini karena perusahaan transportasi yang tidak diatur dapat membebani access price yang mahal atau mencabut akses demi monopsoni power. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan access price optimal dengan prinsip efisiensi yang meliputi biaya transportasi kepada pihak 18
ketiga dan keuntungan segmen transportasi pipa dalam pasokan gas. Harga ini memberi perusahaan transportasi insentif yang tepat dalam menyediakan open access dengan memastikan hanya pemakai yang membayar lebih murah untuk niaga umum gas yang akan memakai jasa transportasi.
3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan transmisi, yang kemudian menjualnya kembali ke perusahaan distribusi. Perusahaan pemasok (supplier) adalah afiliasi dari perusahaan distribusi. Perusahaan service adalah supplier lain yang dapat melakukan services penjualan gas, baik dalam bentuk bundled maupun unbundled. Konsumen besar maupun kecil bebas memilih penyediaan layanan gas. Gambar 10 memperlihatkan skema mekanisme liberalisasi penuh, yang telah diterapkan di beberapa negara industri. Service (D1) Konsume n Kecil Service (D2, D3) Niaga umum
Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh (Nugroho, 2004 diolah kembali)
Tipe ini memperlihatkan unbundling — pemisahan pasokan gas dari jasa transportasi dan distribusi — dan deregulasi penuh pasar gas bumi. Alasan utama unbundling adalah kemampuan perusahaan transportasi dalam menghindari kompetisi di pasar niaga umum gas melalui langkah selain harga seperti jasa transportasi dengan kualitas rendah. Unbundling mengurangi distorsi. Selain itu, unbundling juga memfasilitasi pengembangan banyak perusahaan pemasok yang membeli gas di pasar niaga umum, menjual kembali di hilir, dan menggunakan perusahaan jasa transportasi dan
perusahaan
distribusi.
Kompetisi
antar
perusahaan
pasokan
menekan
melambungnya harga jual dan memfasilitasi akses langsung dari segmen produksi ke konsumen. Peningkatan kompetisi dan deregulasi di pasar gas mengurangi perlunya 19
pengaturan harga di level wholesale dan membutuhkan regulasi yang memberi fleksibilitas harga di level retail. Dalam hal ini, pengaturan IRR kurang efektif dibandingkan dengan pengaturan price cap. Proses unbundling sendiri terbagi menjadi 4 tahap, yang penerapannya tergantung dari kerumitan operasional jaringan dan aspek keekonomian jaringan. Empat tahap unbundling berturut-turut adalah: i) Accounting Unbundling (pemisahan akuntasi antara kegiatan pengangkutan dan niaga); ii) Functional Unbundling (pemisahan fungsi antara kegiatan pengangkutan dan niaga); iii) Legal Unbundling (pemisahan perusahaan antara kegiatan pengangkutan dan niaga); dan iv) Ownership Unbundling (pemisahan kepemilikan antara kegiatan pengangkutan dan niaga). Jaringan pipa transmisi, karena mudah secara operasional dan dampak finansialnya tidak terlalu besar, dapat langsung menerapkan legal atau ownership unbundling. Di lain pihak, jaringan pipa distribusi, dengan tingkat kerumitan operasional dan dampak finansial yang cukup tinggi, pada umumnya dimulai dari accounting unbundling terlebih dahulu sebelum dilakukan tahapan unbundling berikutnya. Beberapa jaringan distribusi gas bumi di negara-negara Eropa dan USA, sampai dengan saat inipun masih ada yang hanya dapat menerapkan accounting dan functional unbundling saja, padahal deregulasi bisnis gas bumi di sana telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tipe liberalisasi penuh, pasar gas mengalami transformasi yang signifikan dalam mengakomodasi kebutuhan dari pelaku pasar yang mencari pengaturan dan perdagangan lebih fleksibel dari tipe akses terbuka untuk niaga umum. Gas diperdagangkan melalui kontrak jangka pendek untuk memenuhi pasokan dan kebutuhan dalam jangka pendek dan memberi pelaku pasar fleksibilitas. Pengembangan pasar jengka pendek dan spot price menciptakan efisiensi di keseluruhan pasar gas karena harga terus ditentukan secara likuid dan, dengan kompetisi, harga gas menjadi lebih efisien. Pelaku pasar menggunakan spot price sebagai harga acuan dalam kontrak gas bilateral dan hasilnya kebanyakan gas diperdagangkan dalam spot price. Perdagangan gas jangka pendek menciptakan volatilitas dalam volume dan harga sehingga meningkatkan ketidakpastian kebutuhan jasa transportasi. Di beberapa periode, kebutuhan dapat melebihi kapasitas yang ada, di lain periode mungkin turun di bawah kapasitas. 20
3.2
Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Negara Republik Indonesia memiliki semua
hak akan minyak dan gas dalam wilayahnya yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Pasal 33) dan dalam pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaannya, pengaturan mengenai gas baik eksplorasi maupun produksi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 dan peraturan pelaksanaannya. Setelah diberlakukannya undang-undang ini, Pertamina, sebagai operator lapangan yang sebelumnya juga menjadi wakil negara dalam tanggung jawab pengaturan kegiatan hulu minyak dan gas (regulator), beralih hanya menjadi operator saja. Tugas ini kemudian diserahkan kepada BP Migas, yang dibentuk sebagai sebuah Badan Hukum Milik Negara, dan juga KESDM (Ditjen Migas). Sementara untuk kegiatan sektor hilir, meliputi pengolahan, transportasi, penyimpanan dan perdagangan, merupakan tanggung jawab BPH Migas. Pengusahaan hulu sektor minyak dan gas dilakukan melalui sebuah Kontrak Bagi Hasil (Profit Sharing Contract/PSC), yang ditandatangani bersama BP Migas. Berdasarkan PSC, kontraktor berhak atas persentase tertentu dari minyak dan/atau gas bumi. Kegiatan hulu dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia atau pun perusahaan asing, dengan catatan satu perusahaan hanya dapat tercatat dalam satu PSC. Untuk sektor hilir, kegiatan usaha harus dilakukan oleh perusahaan Indonesia. Dalam praktiknya, perusahaan asing dapat berpartisipasi dengan terlebih dahulu mendirikan anak perusahaan lokal dan memperoleh ijin usaha hilir dari Pemerintah. Secara umum, UU No. 22 tahun 2001 mengamanatkan pengutamaan alokasi gas untuk dalam negeri melalui kebijakan efektifitas pengaturan sektor hulu dengan hilir. Kebijakan ini dilakukan dengan memisahkan kegiatan badan usaha sektor hulu dengan sektor hilir (Pasal 10). Selain itu dalam UU ini ditegaskan pula tentang kemungkinan pemanfaatan fasilitas secara bersama-sama untuk usaha Transportasi Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum (Pasal 8). Untuk pemanfaatan dalam negeri, dalam peraturan pelaksanaan Permen ESDM No. 3 tahun 2010 telah diatur mengenai urutan sektor atau kegiatan prioritas yang 21
mendapat alokasi gas, yaitu untuk kegiatan lifting minyak, pupuk, listrik dan lainnya. Sementara dalam kegiatan pengusahaan gas bumi, badan usaha dapat memperoleh ijin niaga dan ijin transportasi secara bersamaan. Dengan kata lain, badan usaha dapat bertindak sebagai transporter di suatu kesempatan dan trader di kesempatan lainnya. Berikut ini adalah bagan kerangka regulasi dan skema pengusahaan gas bumi di Indonesia.
Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)
22
Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)
3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia UU no. 22 tahun 2001 mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir sehingga perlu dibentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur Hilir Migas. BP Migas dibentuk setelah adanya PP No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Posisi BP Migas ini begitu strategis, langsung di bawah Presiden berkooordinasi dengan KESDM dalam hal pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Ketua BP Migas dipilih oleh Presiden setelah mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM dan mendapat persetujuan DPR. Sebagai BHMN, BP Migas bersifat non-profit dan untuk mendanai kegiatannya BP Migas menerima fee sekitar 1 persen dari pendapatan negara di kegiatan hulu. Sebagai regulator hulu, BP Migas, memiliki tugas dan kewenangan berikut ini : a. Memberi rekomendasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
sehubungan dengan persiapan dan tender wilayah kerja dan kontrak kerja sama; b. Menandatangani PSC; c. Menganalisis
dan memberi rekomendasi kepada ESDM terkait Plan of
Development (POD) pertama untuk persetujuan KESDM; d. Menyetujui POD selanjutnya; e. Menyetujui program kerja dan anggaran (Work Program & Budget / WP&B); 23
f.
Memantau pelaksanaan kontrak kerja sama; dan
g. Menunjuk penjual (minyak/gas) hak Pemerintah (BP Migas mengumpulkan bagian
gas Pemerintah tetapi harus menunjuk pihak lain untuk menjual gas). Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah kontrak antara perusahaan dengan BP Migas dan berlaku mengikat secara hukum yang diatur oleh dan berlaku sesuai dengan hukum Indonesia. Sesuai dengan konstitusi, negara melalui pemerintah memiliki semua minyak dan gas dalam wilayahnya. Kepemilikan gas bumi tetap di tangan negara cq Pemerintah dari produksi sampai transportasi ke pembeli pihak ketiga. KKS meliputi eksplorasi sampai produksi. Ketentuan umum dalam KKKS sejak diberlakukannya UU 22 tahun 2001 adalah : Jangka waktu 30 tahun Periode eksplorasi 6 tahun yang dapat diperpanjang (jika tidak ada penemuan komersil selama periode eksplorasi, KKS dapat dihentikan) Persyaratan pengiriman program kerja eksplorasi kepada BP Migas untuk persetujuan dan ketaatan terhadap program kerja yang disetujui Perusahaan menunjuk operator pengelola KKS Pemerintah Indonesia berhak mendapat bagian produksi KKS yang dikenakan penyesuaian sesuai dengan formula pengeluaran :
Untuk produksi minyak bumi umumnya setelah dipotong cost recovery adalah: 62,5 persen : 37,5 persen
Untuk produksi gas bumi setelah dipotong cost recovery adalah: perusahaan 71,4 persen : 28,6 persen
BP Migas dapat meminta perusahaan KKS untuk menawarkan hingga 10 persen kepemilikan kepada perusahaan/pemerintah Indonesia. Selain itu, BP Migas juga dapat meminta kepemilikan ini kepada BUMD. Hal ini dilakukan dengan ketentuan bahwa investor Indonesia harus membayar biaya akuisisi kepemilikan dan memenuhi komitmen semua keuangan yang timbul. KKS dapat dikenai PPh, Bea Masuk tertentu termasuk tax holiday untuk waktu yang disepakati. Operator diminta untuk mengikuti aturan tender dan pengadaan dengan transparan. Kepemilikan perusahaan dalam KKS ditransfer atau dialihkan. Perselisihan di bawah KKS diselesaikan oleh internasional arbitrase. 24
Ketentuan KKS mensyaratkan perusahaan untuk menawarkan kepemilikan kepada BUMD pada saat persetujuan POD. Selain itu, di banyak tender KKS, Pertamina diberi keistimewaan untuk mendapat 15 persen kepemilikan dari WKP setelah negosiasi secara bisnis to bisnis dengan pemenang tender. Untuk penerimaan negara dari gas terdiri dari pajak dan non pajak. Penerimaan pajak terdiri pajak perusahaan dan pajak perorangan. Penerimaan bukan pajak terdiri dari kewajiban produksi dan penerimaan lainnya dalam bentuk biaya eksplorasi dan bonus lain (seperti bonus produksi). Umumnya komposisi bagi hasil untuk gas adalah 70 (pemerintah) : 30 (Perusahaan). Secara teori, perusahaan dapat menegosiasikan komposisi bagi hasil ini. Masing-masing pemerintah dan perusahaan dapat menerima porsi produksi dalam bentuk in kind. Selain porsi produksi, pemerintah juga memperoleh pemasukan dari pajak penghasilan dari perusahaan dengan besaran 44 persen untuk perusahaan. Biaya operasi, biaya modal dan bonus menjadi pengurang dari penghasilan kena pajak. Pemerintah juga berhak mendapatkan signature and production bonus berdasarkan kesepakatan KKS. Untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, kontraktor hulu migas diwajibkan menyisihkan 25 persen dari gas bagian mereka untuk Domestic Market Obligation (DMO) lima tahun sejak mulai produksi. Apabila BP Migas tidak mendapatkan pembeli potensi dalam negeri atau negosiasi dengan pembeli potensial gagal, perusahaan dapat meminta persetujuan BP Migas untuk menjual kuantitas DMO di pasar internasional. Secara lengkap skema DMO dapat dilihat pada gambar berikut ini.
25
Keterangan : DM = Domestic Market; FM = Free Market
Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas (BP Migas, 2011)
Pada tanggal 11 November 2012, MK melalui keputusannya membatalkan beberapa pasal UU No. 22/2001 yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang BP Migas dan membubarkan BP Migas. Fungsi BP Migas kemudian diambil alih oleh Kementerian ESDM melalui unit baru dibawah Menteri ESDM, yakni Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas dan semua kontrak dengan BP Migas tetap berlaku (Perpres 95/2012 serta KepMen ESDM No. 3135/K/08/MPF/2012) sedangkan semua pekerja BP Migas diberikan gaji dan tunjangan jabatan sesuai ketentuan sebelum pengalihan (Kepmen No 3136/K/08/MPF/2012).
3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia Penerapan UU No. 22 tahun 2001 telah mengubah tata kelola usaha gas. Otoritas kebijakan kegiatan pengusahaan gas bumi di Indonesia dipegang oleh KESDM cq. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas). Sementara di sektor hulu, kegiatan pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh BP Migas. Untuk sektor hilir, kegiatan pengaturan dilakukan oleh KESDM cq BPH Migas secara bersama-sama (Gambar 14). 26
Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas (KESDM, 2011)
Ditjen Migas, dengan dibantu BP Migas, mengatur ketersediaan pasokan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, serta harga gas bumi untuk konsumen industri, listrik, transportasi dan komersial. Ditjen Migas bersama-sama dengan BPH Migas mengatur ketersediaan infrastruktur jaringan pipa gas bumi. Di samping itu, Ditjen Migas mengatur ketersediaan infrastruktur pipa untuk gas, seperti pipa dedicated hilir, pipa untuk kepentingan sendiri dan jaringan pipa gas kota, serta infrastruktur non-pipa, seperti CNG Station dan LNG Receiving and Gas Refasification Terminal. Dilain pihak, BPH Migas mengatur tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa (gas pipeline toll fee), harga gas bumi untuk konsumen rumah tangga dan pelanggan kecil, dan kegiatan usaha transmisi dan distribusi gas bumi melalui pipa (Open Acces, Hak Khusus, Akun Pengaturan). Berdasarkan Permen ESDM No. 7 tahun 2005, Ijin Kegiatan Hilir diperlukan untuk tiap jenis kegiatan hilir secara terpisah. Sebagai contoh, untuk transportasi gas dibutuhkan Ijin Usaha Transportasi Gas. Apabila perusahaan melakukan kegiatan hilir yang bersinggungan dengan kegiatan hilir lainnya, perusahaan hanya perlu mendapatkan satu ijin usaha. Selain Ijin Usaha yang dikeluarkan Menteri ESDM, transportasi gas yang melalui bagian pipa transmisi dan jaringan distribusi memerlukan hak khusus yang dikeluarkan oleh BPH Migas. Hak khusus ini diberikan melalui proses lelang yang dilaksanakan BPH Migas. Satu hak khusus akan diberikan kepada perusahaan untuk area segmen transmisi atau jaringan distribusi. 27
Pada saat ini Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) merupakan pedoman dasar yang digunakan sebagai acuan investasi dan pengembangan pasar domestik serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi bagi badan usaha dalam kerangka kegiatan usaha hilir gas bumi, yang dapat disesuaikan dan disempurnakan setiap tahun berdasarkan usulan BPH Migas. BPH Migas berwenang menentukan akses untuk sistem transportasi, interkoneksi dan kerjasama antar sistem pipa. BPH Migas berwenang meninjau dan mengawasi pengaturan jalur pipa gas dan infrastruktur terkait. BPH Migas telah mengeluarkan regulasi mengenai persyaratan pihak ketiga untuk masuk akses fasilitas pengangkutan yang dimiliki pemegang ijin khusus. BPH Migas mengatur bahwa pemegang ijin khusus harus mengijinkan akses pihak ketiga pada fasilitas transportasi gas bumi di bawah ketentuan khusus yang disepakati antara pemegang ijin khusus dengan pihak ketiga. Jika pemegang ijin khusus menolak untuk memberikan akses pihak ketiga ke jalur pipa gas, maka pemegang ijin khusus harus memberikan alasan kepada BPH Migas dengan ketentuan jika BPH Migas menilai alasan tersebut tidak berdasar, BPH Migas dapat mencabut ijin khususnya. Apabila kapasitas pemegang ijin khusus menurun dan terjadi kekurangan pasokan gas, badan usaha dapat meminta persetujuan BPH Migas untuk mengembangkan kapasitasnya. Opsi lainnya, jika pemegang ijin khusus tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar untuk pasokan gas, BPH Migas akan membuka segmen baru pada jalur sama untuk dilelang. Pada situasi ini, pemegang ijin khusus baru akan tetap memiliki ijin khususnya terhadap segmennya. Kebijakan Open Access Regulasi open access dijelaskan pada pasal 46 ayat 1, UU No.22/2001 yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa oleh BPH Migas dilakukan untuk optimasi dan mencegah terjadinya monopoli pemanfaatan fasilitas pipa transmisi dan distribusi gas bumi oleh badan usaha tertentu. Dalam rangka mengimplementasikan aturan tersebut, BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 15/P/BPHMIGAS/VII/2008, tentang Pemanfaatan Bersama Fasilitas Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Open Access).
28
Kebijakan Unbundling Regulasi unbundling adalah peraturan untuk memisahkan kegiatan bisnis yang bersifat monopoli alamiah dari kegiatan bisnis yang dapat dikompetisikan. Kegiatan yang bersifat monopoli alamiah dalam hal ini adalah pengangkutan gas melalui jaringan pipa, sedangkan kegiatan yang dapat dikompetisikan adalah kegiatan niaga gas. Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa diatur dan ditetapkan oleh BPH Migas (Pasal 46 ayat (3) huruf (d) Undang-Undang No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi). BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 16/P/BPH Migas/VII/2008, tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. Metode yang digunakan oleh BPH Migas dalam menentukan tarif adalah metoda Cost of Service, di mana BPH Migas menentukan IRR yang wajar yaitu maksimal sama dengan WACC (Weighted Average Cost of Capital). Cost of service adalah jumlah pendapatan yang berhak pemilik jaringan pipa (Transporter) peroleh, sehingga pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh transporter dalam menjalankan kegiatan usahanya, serta mendapatkan keuntungan yang wajar dari modal yang telah diinvestasikan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung toll fee adalah (Cost of Service)/(Gas Volume Flowing Trough Pipeline). WACC dihitung berdasarkan rumus ((CD (1-T)D/(D+E))+(( CE E)/(D+E)), dimana D adalah jumlah modal pinjaman (Debt), E adalah jumlah modal sendiri (Equity), T adalah tarif pajak pendapatan, CD adalah bunga modal pinjaman, dan CE adalah biaya modal sendiri. CE dihitung berdasarkan rumus Rf + (BPMEM+ICRP), dimana Rf (Risk Free Rate) adalah tingkat pengembalian investasi bebas risiko, yaitu tingkat bunga surat utang yang dikeluarkan oleh negara Amerika Serikat (US Treasury Bond), atau beta adalah fluktuasi portfolio investasi bidang usaha hilir gas bumi dibandingkan dengan pasar (stock market). Pasar di sini adalah Bursa Efek Indonesia. BPMEM adalah Base premium for mature equity market, yaitu premi pasar yang telah mempunyai peringkat AAA, ICRP adalah Indonesia country risk premium, yaitu premi risiko investasi di Indonesia, yang saat ini dalam katagori BB+2.
2
Contoh perhitungan – Sebuah perusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa, telah berinvestasi dan mulai beroperasi tahun 2012 dan menhajukan tarif kepada BPH Migas, Berapakah IRR yang ditetapkan BPH Migas dalam menentukan Tarif jika diketahui bahwa nilai investasi pipa adalah USD 10.000.000 yang didanai dengan modal pinjaman sebesar 50% (USD 5.000.000) dengan
29
Akun Pengaturan Sebagaimana telah diketahui, suatu jaringan pipa gas dapat dimanfaatkan secara bersama (open access) apabila telah ada tarif yang ditetapkan oleh regulator pada jaringan tersebut. Regulator dapat menentukan tarif apabila tersedia data akun pengangkutan yang terpisah dari data akun kegiatan niaga, oleh karena itu syarat minimal suatu jaringan dapat di open acces adalah telah melaksanakan accounting unbundling. Terkait dengan accounting unbundling dan pengumpulan data akun pengangkutan, BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan No. 21/2011 tentang Akun Pengaturan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Transmisi. Akun Pengaturan untuk jaringan pipa distribusi gas bumi belum dibuat oleh BPH Migas karena jaringan distribusi gas bumi sampai dengan saat ini masih ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan pipa dedicated hilir. Akun Pengaturan dilaporkan oleh Badan Usaha kepada BPH Migas setiap tahun, dan digunakan oleh BPH Migas sebagai bahan untuk mengevaluasi tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.
3.3
Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia Berdasarkan regulasi, kebijakan alokasi gas bumi di Indonesia ditetapkan oleh
pemerintah. Melalui Permen ESDM No 3 tahun 2010, pemerintah menetapkan prioritas pemanfaatan gas bumi dalam negeri secara berurutan mulai dari lifting minyak, industri pupuk, listrik dan industri lainnya. Kebijakan ini banyak menimbulkan perdebatan dari konsumen gas terutama dari sektor industri. Alasan utamanya adalah pemerintah lebih mendahulukan sektor yang berpotensi menambah penerimaan negara secara cepat (lifting minyak) dibandingkan sektor yang memiliki banyak faktor nilai tambah seperti sektor industri. Untuk penentuan harga jual gas, berdasarkan regulasi yang ada terdapat beberapa otoritas yang berwenang menetapkan tergantung konsumen pemakainya (Gambar 15).
bungan pinjaman 6% dan modal sendiri sebesar 50% (USD 5.000.000). Berdasarkan data tahun 2012: Rf = 3.95 %, US Treasury Bond Rate, ß = 1.141, ß PT PGN , BPMEM = 6.00% , dan ICRP = 3.60%. Dengan data tersebut, maka CE = 3.95% + 1.141 (6.00% + 3.60%) = 14.90%. Kemudian D = USD 5.000.000, E = Modal Sendiri = USD 5.000.000, T= 25%, CD =6.00%, dan CE = 14.90%. Dengan hasil perhitungan parameter tersebut maka WACC = 8.75%. Dengan kata lain IRR yang digunakan untuk menentukan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Badan Usaha Pengangkutan ini adalah 8.75%.
30
Menteri
Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir Untuk Pengguna Tertentu
BPH Migas
Harga Gas Hilir Untuk Rumah Tangga
Badan Usaha
Harga Gas Hilir Untuk Pengguna Umum
Konsumen dari Gas Produsen (sebagai penjual)
Konsumen Rumah Tangga
Konsumen dari Gas Badan Usaha Niaga
Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa
3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu Dalam hal penetapan harga gas di hulu (well head price) dan harga gas hilir untuk pengguna tertentu seperti halnya pada sektor transportasi, BP Migas ikut berperan sesuai dengan fungsinya dengan menunjuk penjual gas bagian negara (biasanya Produsen) (Gambar 16). Setelah itu, khusus untuk harga gas di hulu produsen selaku penjual akan mencari pembeli dan bernegosiasi. BP Migas akan mengawasi proses negosiasi tersebut. Hasil negosiasi oleh BP Migas ini kemudian diusulkan kepada Menteri ESDM untuk dievaluasi oleh Kementerian ESDM, dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Migas (Ditjen Migas). Dalam melakukan evaluasi, Ditjen Migas melakukan klarifikasi dengan BP Migas, dan jika disetujui, maka Menteri akan menyampaikan persetujuan tersebut kepada BP Migas. Selanjutnya, produsen dan konsumen gas melakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang diketahui oleh Kementerian ESDM. Dengan demikian, baik harga maupun volume gas dalam setiap perjanjian yang dilakukan oleh kontraktor KKS dengan pembeli gas, harus atas sepengetahuan dan persetujuan pemerintah, melalui Ditjen Migas.
31
DIAGRAM ALIR PENETAPAN HARGA GAS BUMI
PENETAPAN MESDM
Menteri ESDM
1
Usulan
2
Setuju
3
Tidak Setuju
3
2
1 DITJEN MIGAS
Belum memenuhi syarat 2011 © BPMIGAS – All rights reserved
Ya
Tidak
BPMIGAS
Penunjukan penjual
Sepakat PRODUSEN / PENJUAL
EVALUASI
Negosiasi
KONSUMEN / PEMBELI
PJBG
20
Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) (BP Migas, 2012)
Harga gas hulu sendiri ditentukan melalui berbagai pertimbangan. Berdasarkan PP No. 30/2009 tentang Perubahan atas PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas Pasal 72 dan Permen ESDM No. 21/2008 tentang Pedoman Penetapan Harga Jual BBM dan Gas Bumi Pasal 5, pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut : a. Harga gas bumi harus mengacu kepada keekonomian pengembangan lapangan dan infrastruktur, yakni fasilitas alir gasnya, serta mempertimbangkan keekonomian konsumen gas bumi. b. Harga gas bumi dapat berupa eskalasi, yakni dikaitkan dengan harga minyak bumi, dikaitkan dengan harga produk, serta dikaitkan dengan harga kombinasi harga produk dan harga minyak bumi. c. Pemilihan model harga gas bumi harus mempertimbangkan pendapatan negara dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang optimal. d. Penetapan harga gas bumi mempertimbangkan kesetaraan antara kepentingan produsen dan konsumen gas bumi. Dengan kata lain, untuk melindungi produsen dan konsumen gas bumi, model harga gas bumi dapat menggunakan formulasi yang dikaitkan dengan minyak dan/atau produk konsumen (urea, amonia, LPG, dll). Berikut adalah contoh model formula harga gas hulu yang saat ini digunakan di Indonesia.
32
Tabel 3 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor Konsumen No
Jenis Harga Gas
1
Harga Tetap (sepanjang kontrak)
Keterangan Digunakan untuk pembeli jenis Pembangkitan Listrik dan Industri. Banyak digunakan pada periode sebelum 2004, pada saat harga BBM domestik relatif rendah dan dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas dalam negeri. Dalam beberapa tahun terakhir penggunaannya terbatas pada gas flare dan jual-beli gas jangka pendek. Contoh : Harga Gas untuk Industri = 5,4 USD/MMBTU.
2
Harga Ekskalasi Tahunan
Penggunaan eskalasi harga gas sebagai faktor penyeimbang penurunan laju produksi dan sejalan dengan peningkatan pertumbuhan perekonomian dan peningkatan harga minyak bumi dunia. Harga eskalasi ini banyak digunakan untuk pembeli jenis pembangkitan listrik dan industri. Contoh : Harga Gas untuk industri = USD 5/MMBTU Eskalasi 3 persen per tahun.
3
Harga dikaitkan Harga Minyak atau Gas
Digunakan untuk pembeli dalam bisnis hulu dan hilir minyak serta ekspor (kegiatan produksi migas dan kilang minyak). Contoh : Harga Gas Untuk Ekspor LNG Jepang= 0,987x0,154xJCC+0,34.
4
Harga dikaitkan dengan produk konsumen
Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan baku (amonia, pupuk dan methanol). Harga gas untuk pupuk = 5,75+0,2(NH3-350)/32+0,3(UreaG329)/26.
5
Harga kombinasi dikaitkan dengan minyak dan produk konsumen
Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan baku (amonia, pupuk dan methanol). Harga gas untuk pupuk = C1x(NH3-25)/155+C2xICP/15+(C3x(NH3225)/32).
Gas untuk kepentingan domestik umumnya dialirkan melalui pipa, baik langsung dari kontraktor KKS ke konsumen, maupun melalui jaringan pipa transmisi milik badan usaha, seperti BUMN Pertamina ataupun PGN, untuk sampai ke konsumen. Harga gas untuk pasar domestik ini umumnya jauh lebih rendah dari harga gas untuk ekspor. Dalam kontrak antara Chonoco Phillips dengan PT PGN yang ditandatangani 33
pada tahun 2005, untuk penjualan gas sampai dengan tahun 2023, harga gas yang disetujui BP Migas adalah sebesar US$ 1,85 per MMBTU. Secara garis besar, harga gas hulu rata-rata ke pasar domestik mencapai US$ 3,8 per MMBTU. Namun, sejak tahun 2006, harga pipa gas domestik meningkat , dan beranjak dari US$ 3,81 (2006) menjadi US$ 5,64 (20012), seperti terlihat dalam Gambar 17.
Perkembangan Harga Gas dan ICP tahun 2006 – 2012
Keterangan: Sebelum tahun 2009, harga gas rata-rata masih menggunakan harga flat.
Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik 2006-2012 (BP Migas, 2012)
Khusus penjualan gas hulu untuk ekspor mengacu kepada ketentuan sebagai berikut: i) harga gas bumi/LNG/gas pipa untuk ekspor tidak lebih rendah dari harga gas bumi domestik yang paling tinggi untuk peruntukan yang sama; ii) model harga gas bumi/LNG/gas pipa yang digunakan dikaitkan dengan harga minyak bumi dengan tetap memberikan keuntungan yang maksimal bagi negara; dan iii) harga gas bumi/LNG/gas pipa yang disepakati sedapat mungkin dilakukan peninjauan secara periodik untuk disesuaikan dengan kondisi pasar yang berlaku. Sebelum tahun 2000, selama kurang lebih 30 tahun, Indonesia mendominasi struktur pasar internasional LNG bersama negara lainnya seperti Malaysia dan Brunei. Formula harga LNG dan kondisi yang disepakati berdasarkan negosiasi langsung tanpa 34
23
melalui tender, yang sangat menguntungkan pihak produsen (market seller) dan bersifat jangka panjang. Pada awal tahun 2000-an, menjelang akan dikembangkannya proyek Tangguh, mulai muncul sejumlah negara produsen baru yang akan segera memasuki pasar seperti Qatar, Oman, Nigeria, Algeria, Australia, Alaska dan Sakhalin. Akibatnya harga pasar LNG yang semula dipegang seller mulai beralih ke buyer, sehingga harga ditetapkan melalui tender karena banyaknya negara produsen LNG. Dengan beralih ke buyer market, perjanjian penjualan LNG (Sales Purchasing Agreement/ SPA) umumnya bersifat jangka pendek, dan harga tidak lagi ditentukan pada tingkat yang menguntungkan produsen. Terlebih lagi dengan selesainya pembangunan train kilang LNG di Malaysia dan Australia yang tidak disertai komitmen atau kontrak dari pembeli, sehingga harga yang ditawarkan oleh proyek atau kilang LNG yang belum atau baru direncanakan untuk dibangun ini tertekan lebih rendah lagi. Surplus kapasitas (excess capacity) kilang LNG ini pada umumnya dijual dengan kontrak jangka pendek (spot market). Kondisi seperti ini kemungkinan akan berlanjut dengan adanya excess supply gas dari Amerika Serikat sebagai efek dari keberhasilan pengembangan shale gas. Harga LNG untuk pasar Asia umumya mengacu kepada index Japanese Crude Cocktail (JCC), melalui rumusan P=0,122(JCC)+1,2367, dimana JCC dinyatakan dalam US$ per barel, dan P adalah harga LNG dalam US$ per MMBTU. Dengan demikian jika harga JCC adalah US$ 40 per barel, maka harga LNG dipatok sekitar US$ 6 per MMBTU. Saat ini, harga minyak mentah berada di atas US$ 100 per barel, dengan mengacu kepada rumusan JCC ini, maka harga LNG mencapai US$ 13-14 per MMBTU. Kontrak-kontrak LNG untuk pasar Asia yang ditandatangani sebelum tahun 2002, mengacu kepada rumusan JCC ini. Untuk kontrak-kontrak setelah itu, harga LNG cenderung menurun. Kontrak LNG ke Guangdong pada tahun 2005 mencerminkan adanya perubahan harga LNG. Rumusan JCC di koreksi dengan menerapkan slope yang jauh lebih kecil, sehingga harga LNG menjadi jauh lebih murah. Dengan rumusan Guangdong, harga LNG hanya mencapai US$ 7-8 per MMBTU jika harga minyak mentah mencapai US$ 100 per barel. Gambar 18 mencerminkan rumusan harga LNG untuk pasar Asia.
35
10.00 P(Japan)
9.00
Japan P=0.1226(JCC)+1.2367
P(Guangdong)
Actual P(Japan), contracts before 2002 P(Fujian)
LNG Price (CIF), $/MMBTU
8.00 7.00 6.00 5.00
Guangdong (China) P=0.052(JCC)+2.1133
4.00 3.00
Fujian (China) P=0.0525(JCC)+1.34
2.00 10
20
30 40 50 JCC Crude Oil Prices (CIF), $/bbl
60
70
Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian
Harga gas pipa ekspor terus meningkat dari US$ 7/MMBTU (2006) menjadi US$ 16,73/MMTU. Harga gas pipa ekspor telah meningkat dua kali lebih dari harga di tahun 2006, dan ini mengikuti tren harga ekspor LNG yang juga naik mendekati US$ 15/MMBTU pada tahun 2012. Dalam kurun waktu yang sama, kenaikan ini relatif sangat besar dibandingkan dengan kenaikan harga gas domestik.
3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga Penentuan harga gas untuk rumah tangga dan pelanggan kecil kecil dilakukan oleh BPH Migas. Berdasarkan Peraturan BPH Migas No. 22/VII/2011, golongan rumah tangga didefinisikan sebagai konsumen gas bumi yang pemanfaatannya untuk kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemanfaatan gas bumi sampai 50 m3/bulan. Sementara pelanggan kecil adalah konsumen gas bumi yang pemanfaatannya untuk kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemakaian gas bumi sampai 1.000 m3/bulan.
36
Rumah tangga dan pelanggan kecil digolongkan masing-masing dalam dua golongan berdasarkan kemampuan daya beli konsumen gas bumi dan sifat kegiatan sebagai berikut: 1. Rumahtangga RT-1 meliputi rumah susun, rumah sederhana, rumah sangat sederhana dan sejenisnya, sementara RT-2 meliputi rumah menengah, rumah mewah, apartemen dan sejenisnya. 2. Pelanggan kecil PK-1 meliputi rumah sakit pemerintah, puskesmas, panti asuhan, tempat ibadah, lembaga pendidikan pemerintah, lembaga keagamaan, kantor pemerintah, lembaga sosial dan sejenisnya, sementara PK-2 meliputi hotel, restoran/rumah makan, rumah sakit swasta, perkantoran swasta, lembaga pendidikan
swasta,
pertokoan/ruko/rukan/pasar/mall/swalayan
dan
kegiatan
komersil lainnya. Perhitungan harga gas bumi ditentukan dengan menggunakan metode indeks harga konsumen yang dikeluarkan oleh BPS untuk komoditi gas, bahan bakar, penerangan dan air dengan batasan minimum 10 m3/bulan dan maksimum 50 m3/bulan untuk rumah tangga. Untuk pelanggan kecil, batasan minimum penggunaan sebesar 50 m3 dan maksimum 1.000 m3/bulan. Apabila pemakaian melebihi batas tersebut, harga jual akan dikenai biaya tambahan sebesar 20 persen dari harga gas. Penetapan harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil dilakukan melalui dua mekanisme tergantung jenis investasinya: a. Untuk gas yang seluruh investasinya dibiayai badan usaha, penetapan harga didasarkan IRR yang ditetapkan oleh Badan Pengatur yang mengacu pada besaran WACC. Berikut adalah rumusan singkat mengenai WACC.
37
b. Untuk gas yang seluruhnya investasinya dibiayai pemerintah didasarkan pada biaya pembelian gas bumi, biaya operasional dan pemeliharaan fasilitas, biaya administrasi dan umum, pajak-pajak, retribusi daerah dan pendapatan (hasil dari perkalian volume penjualan gas bumi dengan besaran harga gas bumi) serta margin badan usaha yang besarnya ditetapkan oleh BPH Migas Tabel 4 menunjukkan besaran harga gas bumi untuk rumah tangga di beberapa area distribusi. Tabel 4 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil Area Distribusi
Banten (PGN)
Bogor (PGN)
Bekasi (PGN)
Cikampek (Karawang)
Jakarta (PGN)
Cirebon (PGN)
Palembang (PGN)
Jenis Pelanggan
Harga (Rp/m3)
Rumah Tangga 1
2.477
Rumah Tangga 2
3.973
Pelanggan Kecil 1
2.477
Pelanggan Kecil 2
2.849
Rumah Tangga 1
2.720
Rumah Tangga 2
3.263
Pelanggan Kecil 1
2.720
Pelanggan Kecil 2
3.127
Rumah Tangga 1
2.668
Pelanggan Kecil 2
3.069
Rumah Tangga 2
3.202
Pelanggan Kecil 1
2.668
Rumah Tangga 1
2.668
Rumah Tangga 2
3.202
Pelanggan Kecil 1
2.668
Pelanggan Kecil 2
3.069
Rumah Tangga 1
2.618
Rumah Tangga 2
3.141
Pelanggan Kecil 1
2.618
Pelanggan Kecil 2
3.010
Rumah Tangga 1
1.714
Rumah Tangga 2
2.056
Pelanggan Kecil 1
1.714
Pelanggan Kecil 2
1.971
Rumah Tangga 1
2.259
Rumah Tangga 2
2.711
Pelanggan Kecil 1
2.259
Pelanggan Kecil 2
2.598
38
Dasar Hukum Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 111/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 108/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 109/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 110/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 107/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 112/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 113/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Area Distribusi
Jenis Pelanggan
Harga (Rp/m3)
Rumah Tangga 1
2.458
Rumah Tangga 2
2.949
Pelanggan Kecil 1
2.458
Pelanggan Kecil 2
2.827
Rumah Tangga 1
2.507
Rumah Tangga 2
3.009
Pelanggan Kecil 1
2.507
Pelanggan Kecil 2
2.883
Rumah Tangga 1
2.496
Rumah Tangga 2
2.995
Pelanggan Kecil 1
2.496
Pelanggan Kecil 2
2.870
Rumah Tangga 1
2.496
Rumah Tangga 2
2.995
Pelanggan Kecil 1
2.496
Pelanggan Kecil 2 Rumah Tangga 1 Rumah Tangga 2 Pelanggan Kecil 1 Pelanggan Kecil 2
2.870 2.838 3.406 2.838 3.264
Tarakan (Perusda)
Rumah Tangga
2.802
Depok (Jabar Energi)
Rumah Tangga
2.790
Rumah Tangga 1
2.250
Rumah Tangga 2
2.750
Rumah Tangga
2.773
Medan (PGN)
Surabaya - Gresik (PGN)
Sidoarjo-Mojokerto (PGN)
Pasuruan - Probolinggo (PGN)
Batam (PGN)
Palembang (SP2J)
Bekasi (Sinergi Patriot)
Dasar Hukum Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 117/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 114/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 115/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007
Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 116/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007 Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 118/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal 21 Agustus 2007 Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 23/P/BPH Migas/VII/2011 Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 24/P/BPH Migas/VII/2011 Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 20/P/BPH Migas/II/2011 Keputusan Kepala BPH Migas Nomor : 25/P/BPH Migas/XII/2011
3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir) Penetapan harga gas untuk pengguna umum (hilir) dilakukan secara business to business oleh perusahaan (badan usaha). Berdasarkan hasil verifikasi BPH Migas terhadap kegiatan niaga gas bumi melalui pipa dedicated hilir dari tahun 2008 sampai 2012, harga gas bumi rata-rata yang dijual oleh badan usaha niaga dedicated hilir mengalami kenaikan sebesar 14,5 persen per tahun. Pada tahun 2008, harga jual gas bumi rata-rata adalah USD 3,99/MMBtu, sedangkan pada kuartal II tahun 2012 telah mencapai USD 6,89/MMBtu sementara harga jual gas rata-rata PGN sebagai badan usaha niaga terbesar mencapai USD 8,45/MMBTU (Tabel 5).
39
Tabel 5 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Harga rata-rata (USD/MMBtu)
3,99
4,68
5,19
6,16
6,89
40
BAB 4 KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS
4.1
Kebutuhan dan Pasokan Gas
4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk Melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk dan Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, industri pupuk menjadi salah satu prioritas penerima gas nasional. Industri ini strategis dalam mendukung sektor pertanian untuk menjalankan program ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional. Walaupun demikian, dampak dari kebijakan tersebut masih dipertanyakan. Data menunjukkan realisasi pemanfaatan gas untuk industri pupuk selama enam tahun terakhir cenderung stagnan dikisaran angka 600 MMSCFD (Tabel 6). Tabel 6 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
539,1 (6,6 %)
520 (6,4 %)
542,1 (7,1 %)
575,4 (7,1 %)
618 (7,4 %)
618,2 (6,3 %)
615,3 (7,3 %)
Sumber : Ditjen Migas (2011)
Untuk tahun 2011 sendiri, alokasi gas bumi untuk pupuk sesuai dengan kontrak adalah 11,3 persen namun pada realisasinya alokasi gas untuk industri pupuk hanya 7,3 persen. Jumlah ini pun masih di bawah kebutuhan industri pupuk berdasarkan kontrak gas antara produsen pupuk dan produsen gas sebesar 793 MMSCFD (Tabel 7). Sementara, gas untuk ekspor justru meningkat dari 50,4 persen berdasarkan contracted demand menjadi 55,4 persen pada realisasinya. Selain itu, untuk peningkatan produksi dan pemakaian sendiri menigkat dari 4,5 persen yang dialokasikan menjadi 6,5 persen pada realisasi
41
Tabel 7 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas (dalam MMSCFD) TAHUN
KAPASITAS
PABRIK
2012 - 2030 55,00
PEMASOK
KONTRAK PJBG
PERTAMINA EP
s.d 2012
45,00
-
MEDCO Blok SSE
s.d 2018
62,50
-
PERTAMINA
s.d 2012
62,50
-
PERTAMINA
s.d 2012
East Kal PSC
s.d. 2012
PUSRI IB
570
2009 – 2011 55,00
PUSRI II
570
PUSRI III
570 570
(ton/hari)
PUPUK SRIWIDJADJA PUSRI IV PUSRI II B
*)
PUSRI III B PUSRI IV B TOTAL PUSRI
*)
86,00
*)
86,00 225,00
313,00
700
91,00
PKT - 2
570
80,00
80,00
East Kal PSC
s.d. 2018
PUPUK KALIMANTAN PKT - 3 TIMUR PKT - 4
570
62,00
62,00
East Kal PSC
s.d. 2017
570
52,00
52,00
East Kal PSC
s.d. 2022
*)
285,00
317,00
60,00
60,00
Medco (Blok A)
2011 – 2019
PIM-2
570
50,00
50,00
Medco (Blok A)
2011 - 2019
110,00
110,00 BP West Java
s.d. 2017
PKC 1A
586
60,00
PKC 1B
570
48,00
*)
910
TOTAL PKC PKG 1
460
PKG 2 *) TOTAL PKG
570
TOTAL KEBUTUHAN PUPUK
48,00
Pabrik beroperasi s.d 2011
Total E&P, Sebuku &Tangguh Diversion
600
PKC 2
PETROKIMIA GRESIK
123,00
PIM-1 TOTAL PIM
PUPUK KUJANG CIKAMPEK
-
1.155.000
TOTAL PKT PUPUK ISKANDAR MUDA
Pabrik beroperasi sampai dengan tahun 2011
86,00 2.871.000
PKT - 1
PKT – 5
KETERANGAN
Pertamina EP
s.d. 2008
Pabrik beroperasi s.d 2011
**)
86,00 108,00
134,00
65,00
65,00
Kodeco & KEI
60,00
Blok Cepu
65,00
125,00
793,00
999,00
s.d. 2015
Sumber : Berbagai sumber diolah kembali
4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik Saat ini kapasitas total pembangkit tenaga listrik terpasang (installed capacity) mencapai 41.9 GW, di mana PLN memiliki 31.7 GW dan Independent Power Producers (IPP) sebesar 7.3 GW. Pada neraca gas 2012–2025, alokasi gas untuk listrik (berdasarkan kontrak) tahun 2011 mencapai 14,99 persen. Dalam realisasi, pemanfaatan gas untuk listrik hanya mencapai 8,6 persen dengan jumlah mencapai 721,4 MMSCFD. Kekurangan pasokan gas ini mengakibatkan PLN terpaksa menggunakan BBM dan membeli dari beberapa badan usaha niaga gas seperti PGN yang tentunya lebih memberatkan keuangan PLN. Tabel 8 memperlihatkan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik, kontrak pembelian gas dan pasokan gas di seluruh kawasan Indonesia, serta perkiraan realisasi pasokan gas sampai dengan tahun 2020. Pada tahun 2010, kebutuhan gas mencapai 1.602 BBTUD, sedangkan kontrak gas hanya mencapai 1.407 BBTUD. Meskipun demikian, diperkirakan realisasi pasokan gas (berdasarkan alokasi gas BP Migas) untuk 42
pembangkit listrik diperkirakan hanya mancapai 1.003 BBTUD. Pada tahun 2020, untuk membangkitkan tambahan 4093 MW, gas yang dibutuhkan diperkirakan akan mencapai 1.904 BBTUD. Volume gas yang sudah dikontrak sebesar 1.011 BBTUD, dan realisasi alokasi gas diperkirakan hanya mencapai 973 BBTUD.
Tabel 8 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik (PLN, 2012) Kawasan/Daerah
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
DEMAND Batam Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Jambi Bangka Lampung Kalseltengtim Sulawesi Selatan Sulut-Gorontalo dan Sulteng Papua Indonesia Timur Tersebar Jawa Bagian Barat Jawa Bagian Tengah Jawa Bagian Timur Bali TOTAL DEMAND
48 152 50 145 51 30 39 3 15 738 331 1,602
88 152 50 147 60 68 48 4 16 717 25 332 1,707
88 51 86 60 126 67 66 48 4 4 24 835 161 342 1,962
88 39 86 70 126 67 1 10 66 48 4 8 24 861 166 357 9 2,030
88 39 86 70 126 67 1 10 66 48 4 8 25 784 166 343 9 1,940
88 39 86 70 106 65 3 10 66 48 4 8 25 651 166 404 9 1,848
88 35 86 65 106 57 3 10 66 48 4 13 25 643 166 403 11 1,829
88 29 86 65 106 57 3 10 66 48 5 9 25 608 140 404 12 1,761
88 29 86 65 106 57 4 10 66 57 5 9 25 751 130 404 12 1,904
CONTRACT Batam Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Jambi Bangka Lampung Kalseltengtim Sulawesi Selatan Sulut-Gorontalo dan Sulteng Papua (potensi) Indonesia Timur Tersebar Jawa Bagian Barat Jawa Bagian Tengah Jawa Bagian Timur Bali TOTAL CONTRACT
41 28 40 126 47 44 53 2 681 385 1,447
81 15 122 44 98 51 64 53 4 605 25 463 1,625
81 15 117 62 57 51 84 53 4 442 161 442 1,569
81 15 113 62 57 51 84 53 4 407 166 360 1,453
81 15 110 62 57 51 54 53 25 4 354 166 342 1,374
81 15 100 62 57 51 54 53 25 4 305 166 339 1,312
81 15 100 62 26 44 52 53 25 4 269 166 327 1,224
81 15 100 62 18 40 52 53 25 4 133 140 299 1,022
81 15 100 62 18 40 52 53 25 4 133 130 298 1,011
SUPPLY / CONSUMPTION Batam Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Jambi Bangka Lampung Kalimantan Sulawesi Selatan Sulut-Gorontalo dan Sulteng Papua Indonesia Timur Tersebar Jawa Bagian Barat Jawa Bagian Tengah Jawa Bagian Timur Bali TOTAL SUPPLY
41 15 126 43 25 53 2 515 372 1,192
81 15 5 44 107 47 37 53 4 513 25 392 1,323
81 15 100 62 57 47 57 53 4 384 161 360 1,381
81 15 100 62 57 47 57 53 4 354 166 290 1,286
81 15 100 62 57 47 32 53 25 4 311 166 260 1,213
81 15 100 62 57 47 32 53 25 4 270 166 290 1,202
81 15 100 62 26 40 32 53 25 4 270 166 280 1,154
81 15 100 62 18 40 32 53 25 4 153 140 260 983
81 15 100 62 18 40 32 53 25 4 153 130 260 973
Kebutuhan gas untuk pembangkit listrik saat ini mencapai 1.602 BBTUD untuk membangkitkan listrik sebesar 11 GW, dan sebagian besar gas tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik di Jawa dan Bali (67 persen), disusul kawasan Indonesia bagian barat (28 persen), dan sisanya untuk kawasan Indonesia bagian timur (5 persen). Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan dua kawasan dengan kebutuhan akan gas untuk pembangkit listrik terbesar. Jawa barat membutuhkan sekitar 738 BBTUD sedangkan 43
Jawa Timur sebanyak 331 BBTUD. Pada tahun 2012, Jawa Timur belum memanfaatkan gas untuk pembangkit listrik, namun mulai tahun 2013, gas akan segera dibutuhkan untuk pembangkit listrik. Namun demikian, kebutuhan akan gas ini tidak semuanya terpenuhi. Volume dari Kontrak Jual Beli Gas (PJBG) antara pemasok gas dengan PLN belum mencukupi volume permintaan akan gas. Di samping itu, volume gas yang sudah dikontrak pun serangkali tidak dapat dipenuhi oleh pemasok gas. Gambar 19, 20 dan 21 memperlihatkan ketidakmampuan pasokan dan kontrak gas untuk kebutuhan gas dari pembangkit PLN. 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2012
2013
2014
2015
DEMAND
2016
2017
SUPPLY
2018
2019
2020
CONTRACT
Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali (PLN, 2012)
600 500 400 300 200 100 0 2012
2013
2014 DEMAND
2015
2016
2017
CONTRACT
2018
2019
2020
SUPPLY
Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian Barat (PLN, 2012) 44
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2012
2013
2014
2015
DEMAND
2016 contract
2017
2018
2019
2020
supply
Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian Timur (PLN, 2012)
Kebutuhan PLN akan gas sampai saat belum terpenuhi. Kendala yang dihadapi, di samping kendala yang berkaitan dengan ketersediaan alokasi gas yang terbatas, berkaitan dengan hal-hal yang di luar kemampuan penjual atau pemasok gas (KKKS atau PGN). Pertama, kondisi (level playing field) Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) seringkali tidak seimbang antara penjual dan pembeli gas (PLN). Volume pasokan gas seringkali tidak sesuai PJBG terutama disebabkan oleh kendala kondisi subsurface ataupun kondisi surface di lapangan gas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian pasokan gas untuk pembangkit listrik. Namun demikian, PJBG umumnya tidak menganut adanya penalti atau Delivery-or-Pay (DOP) bila pemasok underperform, sedangkan PLN dikenakan Take-or-Pay (TOP) bila tidak bisa menyerap gas. Shortfall hanya sebagai pengurang kewajiban PLN, bukan sebagai jaminan pasokan. Kedua, perhitungan volume atau cadangan reservoir gas yang meleset, sehingga pasokan gas tidak sesuai dengan kontrak yang disebutkan dalam PJBG 3 . Hal ini terutama disebabkan karena kondisi sumur gas yang sudah tua (mature) sehingga mengalami early-decline yang cukup besar. Beberapa contoh kasus dimana produksi gas mengalami penurunan produksi yang lebih cepat dari perkiraan PJBG adalah: i) PJBG Salamender ke Belawan, di mana sumur gas mengalami penurunan menjadi nol (0) pada akhir 2012, padahal komitmen atau kontrak pasokan adalah sampai tahun 2017; ii) PJBG Kalila ke Teluk Lembu, di mana sumur gas mengalami penurunan dari 3
Untuk dapat mengembalikan volume ke pasokan awal, pemasok meminta adanya kenaikan harga (PLN, 2012)
45
30 BBTUD (kontrak) menjadi 3 BBTUD; iii) PJBG HESS ke Gresik, pasokan gas tidak sesuai kontrak, penurunan dari 100 BBTUD sesuai dengan PJBG original, diamandemen menjadi 76 BBTUD, tetapi realisasi pasokan hanya 55 BBTUD; iv) PJBG WMO ke Gresik, dari 123 BBTUD, realisasi hanya 100 BBTUD; v) PJBG CNOOC ke Cilegon, turun dari 80 BBTUD menjadi 76 BBTUD; vi) PJBG Pertamina ke Belawan, off-spec karena kandungan air, pasokan berhenti sebelum waktunya; dan vii) PJBG Semco ke PLTG Tanjung Batu dan Semberah, tidak sesuai PJBG karena kondisi sumur. Ketiga, alokasi atau penyaluran gas ke PLN kalah prioritasnya terhadap alokasi gas untuk yang lain, seperti untuk lifting minyak dan impor. Sebagai contoh, shutdown akibat pemeliharaan fasilitas sumur Jambi Merang akan mengakibatkan menurunnya pasokan gas PGN (dari COPY) ke PLN, karena COPY harus menggantikan pasokan gas Jambi Merang ke Chevron, untuk keperluan lifting minyak. Di samping itu, alokasi gas untuk PLN menjadi second priority terhadap kontrak gas ke Singapura. Keempat, adanya permintaan kenaikan harga dari pemasok gas pada masa PJBG. Pemasok, atas rekomendasi BP Migas, meminta kenaikan harga gas pada masa PJBG karena berbagai sebab, antara lain adalah adanya kenaikan biaya operasi dan pemeliharaan, investasi baru untuk bisa mempertahankan pasokan gas, dan sebagainya4. Kelima adalah terbatasnya fleksibilitas pola penyaluran gas dari KKKS ataupun PGN ke PLN serta infrastruktur gas. Operasi dari pembangkit listrik PLN mengikuti beban permintaan listrik (load follower) sehingga diperlukan adanya swing rate antara base-load dan peak-load. Operasi seperti ini tidak dapat diikuti oleh pola penyaluran gas dari pemasok, sehingga, dengan terbatasnya infrastruktur gas, kelebihan pasokan gas di suatu lokasi pembangkit listrik tidak dapat disalurkan ke lokasi yang lain. Sebagai contoh, dengan terbatasnya fasilititas jaringan pipa gas PGN, keperluan gas swap dari lapangan Gajah Baru ke Muara Tawar sebesar 40 BBTUD tidak dapat dilaksanakan.
4
Plan of Development (POD) dan biaya Cost Recovery dari kegiatan pengembangan lapangan gas adalah atas persetujuan BP Migas
46
4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya Kebutuhan sektor industri selain pupuk akan mencapai 1.282,86 MMSCFD (Kemenperin, 2012). Sebagian besar diperuntukkan sebagai energi sebanyak 1.057,86 MMSCFD. Dari jumlah tersebut, sebanyak 758,78 MMSCFD diperuntukkan sebagai utilitas. Kebutuhan ini akan meningkat menjadi 1.368,63 MMSCFD di tahun 2013 dan 1.420,92 MMSCFD di tahun 2014. Diperkirakan industri petrokimia akan banyak mengalami peningkatan kebutuhan di tahun 2013 sebesar 31,11 persen (Tabel 9). Tabel 9 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk No
Industri
2012
Bahan Baku (Petrokimia) 225.00 Energi 1,057.86 Kontak Langsung dengan 299.08 produk '- Utilitas 115.85 '- Logam 80.00 '- Kaca 71.93 '- Glassware 24.30 '- Semen 7.00 Utilitas 758.78 TOTAL 1,282.86 Sumber: Kemenperin, 2012 diolah kembali 1 2
2013
2014
2020
2025
295.00 1,073.63
295.00 1,125.92
598.00 1,237.00
783.00 1,252.00
309.46
309.59
353
353
115.97 80.00 81.19 24.30 8.00 764.17 1,368.63
116.10 80.00 81.19 24.30 8.00 816.33 1,420.92
884 1,835.00
899 2,035.00
Pada periode 2014-2020, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata 4,26 persen per tahun menjadi 1.835 MMSCFD. Pada periode ini, kebutuhan industri petrokimia akan meningkat 11,78 persen per tahun, jauh dari kebutuhan industri lainnya. Sementara pada periode 2020-2025, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata per tahun 2,07 persen menjadi 2.035 MMSCFD. Pemenuhan kebutuhan gas untuk sektor industri (di luar industri pupuk dan petrokimia) umumnya dilakukan dengan melakukan kontrak dengan perusahaan penyalur gas diantaranya PT. PGN, PT. Pertagas, dan beberapa trader gas. Kondisi yang dihadapi oleh industri nasional hingga saat ini, quota pasokan yang telah disepakati oleh pemasok gas belum dapat dialirkan ke masing-masing industri seperti ditunjukkan dalam tabel berikut ini. 47
dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PT. PGN)(PGN) Tabel 10 Kontrak Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail
2011 Kontrak Realisasi SBU Distribusi Wil. I Jawa Bagian Barat (*) SBU Distribusi Wil. II Jawa Bagian Timur SBU Distribusi Wil. III Sumbagut (**) TOTAL
BBTUD 2012 Kontrak Perkiraan
329,0
310,3
329,0
320,0
149,4
147,8
149,4
144,0
84,9 563,3
82,3 540,4
84,9 563,3
72,0 536,0
(*) Industri di luar PLN, Krakatau Daya Listrik dan Independent Power Plant. (**) Industri di luar PLN Batam.
Sumber : PGN dalam Presentasi Kemenperin 2012
4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi Kebutuhan gas untuk transportasi masih relatif sedikit dibandingkan dengan kebutuhan gas untuk listrik dan industri. Kebutuhan gas, atau untuk transportasi biasa disebut Bahan Bakar Gas (BBG), untuk angkutan umum baik di daerah perkotaan (kotakota besar) maupun kabupaten dapat diperkirakan dari jumlah angkutan umum dan konsumsi BBM untuk setiap jenis angkutan umum. Jenis angkutan umum yang ada di Indonesia terdiri dari: (i) Bus Ukuran Besar (BB); (ii) Bus Ukuran Sedang (BS); (iii) Bus Ukuran Kecil (BK); (iv) Mobil Penumpang Umum (MPU); dan (v) Taxi. Jumlah angkutan umum di seluruh Indonesia pada tahun 2010 mencapai sekitar 415.200, dimana 50 persen dari jumlah tersebut merupakan Mobil Penumpang Umum, diikuti dengan Bus Kecil (21 persen) dan Taxi (14 persen), dan sebagian kecil bus sedang/besar. Jumlah kendaraan umum tersebut, lebih dari 100 ribu berada di Jabodetabek. Sementara itu jumlah angkutan umum untuk provinsi Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat hanya memiliki sekitar lebih dari 25 ribu kendaraan, seperti terlihat dalam Gambar 22.
48
125,000
100,000
75,000
50,000
Bus Kecil, 21%
-
Mobil Penumpang Umum, 50%
25,000
Taxi, 14%
JABODETABEK JAWA TENGAH SUMATERA UTARA JAWA TIMUR SULAWESI SELATAN JAWA BARAT BALI RIAU KALIMANTAN TIMUR LAMPUNG JAMBI SUMATERA BARAT SUMATER SELATAN NUSA TENGGARA BARAT NANGGROE ACEH DARUSSALAM PAPUA (IRIAN JAYA) KALIMANTAN SELATAN NUSA TENGGARA TIMUR KEPULAUAN RIAU MALUKU BENGKULU IRIAN BARAT BANTEN DI YOGYAKARTA SULAWESI TENGGARA SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA KALIMANTAN TENGAH SULAWESI UTARA SULAWESI BARAT KALIMANTAN BARAT GORONTALO BANGKA BELITUNG
Bus Besar, 7% Bus Sedang, 8%
Kendaraan
Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis Angkutan (a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum Beroperasi (b).
Selanjutnya, apabila melihat jumlah angkutan di kota-kota besar, terdapat 23 kota yang memiliki angkutan umum di atas 2.000 kendaraan. Ada tiga kota dengan jumlah angkutan umum di atas 10.000 kendaraan, tertinggi di DKI Jakarta dengan jumlah 73 ribu kendaraan dan diikuti Medan dengan 27,3 ribu serta Surabaya sebanyak 10,8 ribu kendaraan. Delapan kota dengan jumlah angkutan umum antara 5 sampai 10 ribu kendaraam adalah antara lain kota Bogor, Bandung, Tangerang, Jambi, Makasar, Balikpapan, dan Depok, seperti terlihat di Tabel 11. Apabila BBM untuk semua armada angkutan umum di 23 kota ini disubstitusi dengan BBG akan dibutuhkan 254,98 MMSCFD. Namun demikian, sementara ini substitusi secara keseluruhan belum dapat dilakukan karena keterbatasan jaringan transmisi/distribusi gas dan ketidakpastian pasokan gas. Sehubungan dengan itu, substitusi BBM ke BBG harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan potensi ketersediaan pasokan gas dan pertumbuhan armada angkutan umum.
49
Tabel 11 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan (2010) Bus Besar
Bus Sedang
Bus Kecil
Mobil Penumpang Umum
TAXI
TOTAL
1 KOTA DKI JAKARTA
4.064
4.944
26.002
14.204
23.778
72.992
2 KOTA MEDAN
3.000
4.208
9.667
9.691
751
27.317
3 KOTA SURABAYA 4 KOTA PEKANBARU
463 8.000
-
-
6.180 600
4.131 472
10.774 9.072
238 192
72 12
4.462 12
3.392 5.454
1.201
8.164 6.871
89 3.037
-
300 2.220
2.401 971
3.698 30
6.488 6.258
9 KOTA MAKASSAR 10 KOTA BALIKPAPAN
56 18
271 257
285 30
4.000 5.070
1.216 400
5.828 5.775
11 KOTA DEPOK 12 KOTA BEKASI
157 264
46 211
568 -
281 1.665
4.072 2.771
5.124 4.911
13 KOTA SEMARANG 14 KOTA DENPASAR
62 -
852 -
1.000 -
1.890 3.000
958 1.657
4.762 4.657
15 KOTA MALANG 16 KOTA PADANG 17 KOTA PALEMBANG
920 87 -
150 285 468
2.000 504
345 2.919 2.015
470 327 114
3.885 3.618 3.101
18 KOTA BATAM 19 KOTA BANDAR LAMPUNG
25 -
13 -
-
2.942
2.938 15
2.976 2.957
-
595 25
958 183
1.388 2.308
-
2.941 2.516
564 -
297 -
630 -
432 2.000
536 -
2.459 2.000
21.236
12.706
48.821
73.148
49.535
205.446
Kota
No
5 KOTA BOGOR 6 KOTA BANDUNG 7 KOTA TANGGERANG 8 KOTA JAMBI
20 KOTA SALATIGA 21 KOTA JAYAPURA 22 KOTA SURAKARTA 23 KOTA CIANJUR TOTAL
Berdasarkan rata-rata konsumsi BBM bahwa bus besar membutuhkan rata-rata sebesar 125 liter per hari dan bus kecil serta mobil penumpang umum sebesar 20 liter, maka konsumsi BBM untuk angkutan umum adalah sebesar 12,6 juta liter/hari. Apabila jumlah BBM tersebut disubstitusi ke BBG, maka kebutuhan BBG untuk mensubstitusi BBM untuk angkutan umum adalah sebanyak 441,56 MMSCFD, seperti terlihat dalam Tabel 10. Dari jumlah konsumsi tersebut, maka provinsi yang memiliki kebutuhan BBG di atas 25 MMSCFD adalah Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, dan Sumatera Utara. Apabila melihat tingkat konsumsi di kota-kota, maka terdapat 26 kota yang membutuhkan konsumsi di atas 1 MMSCFD dengan total seluruh kebutuhan adalah sebesar 266 MMSCFD. Diantara 26 kota ini, Jakarta membutuhkan BBG di atas 80 MMSCFD, sedangkan kota-kota Pekanbaru, Medan, Jambi, dan Surabaya adalah kota yang memiliki konsumsi BBG jauh di bawah Jakarta, namun di atas 10 MMSCFD. Sementara itu, apabila melihat jumlah kebutuhan BBG untuk angkutan umum di setiap kabupaten terlihat bahwa kebutuhannya lebih kecil dari 10 MMSCFD. Terdapat sekitar 34 kabupaten dengan kebutuhan BBG diatas 1 MMSCFD. Namun demikian, diantara 34 kabupaten tersebut, terdapat 3 kabupaten yaitu: Tangerang, Malang, dan Bandung 50
dengan kebutuhan diatas 5 MMSCFD, dengan jumlah kebutuhan gas sebanyak 19,48 MMSCFD. Tabel 12 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Mensubstitusi BBM Angkutan Umum No
Jenis Angkutan Umum
Jumlah Angkutan Umum
Jenis BBM
Konsumsi BBM (liter/hari-Unit )
Kebutuhan BBM (juta liter/hari)
1
Bus Ukuran Besar
27.611
Solar
125
3,5
2
Bus Ukuran Sedang
33.116
Solar
36
1,2
3
Bus Ukuran Kecil
87.189
Solar
20
1,8
4
Mobil Penumpang Umum
208.283
Premium
20
5
Taxi
58.945
Premium
35
TOTAL
No
Jenis Angkutan Umum
Solar/ Premium
4,2 2,1 12,6
Jumlah Angkutan Umum
Jenis BBM
Konsumsi BBG (MMSCFD/Unit)
Kebutuhan BBG (MMSCFD)
1
Bus Ukuran Besar
27.611
Solar
0,004375
120,80
2
Bus Ukuran Sedang
33.116
Solar
0,00126
41,73
3
Bus Ukuran Kecil
87.189
Solar
0,0007
61,03
4
Mobil Penumpang Umum
208.283
Premium
0,0007
5
Taxi
58.945
Premium
0,001225
TOTAL
145,80 72,21 441,56
Apabila substitusi akan dilakukan di 26 kota, beberapa hambatan adalah besarnya dana yang dibutuhkan untuk investasi jaringan transmisi/distribusi gas dan penyediaan converter kit, ketersediaan pasokan gas, kesiapan sumber daya di masingmasing pemerintah kota, dan payung hukum pelaksanaan substitusi BBM ke BBG di masing-masing wilayah. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010, telah direncanakan kota/kabupaten terpilih yang akan mendapatkan giliran substitusi dari BBM ke BBG dengan potensi sumber pasokan gasnya sampai dengan tahun 2015. Kota-kota tersebut terutama adalah Jakarta, Medan, Surabaya, Sengkang, Semarang, Kabupaten Bekasi, Palembang, Cilegon, dan Gresik. Pemilihan kota tersebut didasarkan pada keadaan pasokan gas. Total kebutuhan BBG untuk kota-kota tersebut adalah sebesar 140,57 MMSCFD. Namun demikian, pasokan gas yang ada hanya mencapai sebesar 138,39 51
MMSCFD atau sekitar 98 persen. Seperti terlihat dalam Gambar 23, kota Jakarta dan Medan adalah kota yang mengalami defisit, sedangkan yang surplus adalah Semarang dan Palembang. Kebutuhan gas dihitung berdasarkan kebutuhan gas pada tahun 2010, sedangkan potensi pasokan gas dihitung untuk kurun waktu 2011-2015.
71
JAKARTA
81,28 17,2
MEDAN
32,90 25,9
SURABAYA
11,41
SENGKANG
0,8 4,70
SEMARANG
5,48 3,49 1
BEKASI (Kabupaten)
3,25 12,01
PALEMBANG
2,49
CILEGON
2,5 1,04
GRESIK
2,5 0,00 0
10
20
30
PASOKAN BBG (MMSCFD)
40
50
60
70
80
90
KEBUTUHAN BBG (MMSCFD)
Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG
Selanjutnya, secara rinci pemenuhan gas secara bertahap: (i) untuk tahun 2010 sudah dapat dimulai di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Palembang; (ii) tahun 2011 dimulai di Gresik dan Kab. Bekasi; (iii) Tahun 2012 ditambah dengan Cilegon; (iv) tahun 2014 ditambah dengan Sengkang; dan (v) tahun 2015 diperluas ke Semarang (Tabel 13).
52
Tabel 13 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab sampai dengan 2015 (Sumber: PerMen ESDM 19/2010)
PT PGN
84.2 24.3
PT Pertagas
9.9 4.0 3.7 3.5 2.5 2.0 1.1 1.0 1.0 0.8 0.4
Medco MUMD Gresik PT EHK PT Banten Inti Gasindo PT Sadikun Niagamas 0
20
40
MMSCFD
60
80
100
Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor Transportasi (2012)
Gambar 24 memperlihatkan jumlah gas yang dipasok dan dialokasikan sesuai dengan PerMen ESDM 19/2010 berdasarkan perusahan pemasok gas. PT PGN akan memasok 84,2 MMSCFD (61 persen), PT Pertamina EP (18 persen) dan PT Pertagas (7 persen). PT PGN akan memanfaatkan FSRU yang saat ini sedang dibangun di Medan, sebagai receiving terminal gas dan akan menerima gas yang dipasok dari lapangan gas Tangguh. Ketiga, Badan Usaha (dua BUMN dan satu anak perusahaan BUMN) ini akan memasok gas 118,4 MMSCFD (85 persen) dari kebutuhan gas untuk kota/kabupaten tersubstitusi. Sisanya (15 persen) akan dipasok oleh badan usaha swasta dan BUMD. Pembelian gas pipa dari produsen gas dilakukan melalui Perjanjian Jual Beli Gas 53
(PJBG) atau Gas Sale Purchase Agreement (GSPA) dengan harga gas pipa yang disesuaikan dengan harga keekonomian gas, yakni mengacu kepada ongkos produksi gas dari produsen.
4.2
Infrastruktur Gas Indonesia
4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia Infrastruktur gas pertama kali dibangun oleh PT PERTAMINA pada tahun 1965, yaitu pipa gas transmisi Cilamaya-Cilegon untuk keperluan pabrik baja. Gas yang dialirkan oleh pipa transmisi tersebut kemudian dijadikan sumber pasokan gas untuk distribusi di kawasan yang dilintasi pipa, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Cilegon, dan supply ke pabrik pupuk Kujang di Cikampek. Pada tahun 1993, PT PGN mulai merencanakan pembangunan pipa gas transmisi ruas Grissik-Duri, yang dapat diselesaikan pembangunannya pada tahun 1998. PT PGN kemudian memperkenalkan konsep Jaringan Pipa Gas Bumi Indonesia Terintegrasi pada tahun 1998, yang melibatkan delapan (8) ruas utama pipa transmisi. Pada kurun waktu 1998-2003, PT PGN membangun ruas pipa Grissik-Singapura yang dilanjutkan dengan pembangunan ruas South Sumatra West Java (SWJ) dalam kurun waktu 2003-2007. Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan secara resmi Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Berdasarkan rencana induk tersebut, pada tahun 2006, BPH Migas telah memberikan tiga (3) lisensi untuk pembangunan tiga (3) ruas pipa transmisi. Namun demikian, pembangunan dari ketiga ruas tersebut sampai saat ini belum dapat dilaksanakan. Jaringan pipa distribusi untuk gas (tidak selalu dari gas bumi, namun juga dari batubara dan minyak tanah) sudah ada sejak jaman Belanda namun kapasitasnya relatif kecil. Jaringan tersebut dibangun di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, dan Makasar, dan sampai saat ini umumnya jaringan tersebut masih berfungsi dengan baik. Sampai dengan tahun 2003, PT PGN telah memperluas dan mengoperasikan jaringan pipa distribusi di 13 wilayah. Saat ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal MIGAS sedang menyiapkan pengembangan jaringan distribusi rumah tangga di 18 kota, dengan target penyelesaiannya pada tahun 2014.
54
LNG Plant Bontang (mulai ekspor tahun 1977) di Kalimantan Timur dan Arun di Aceh (1978) merupakan dua LNG Plant yang digunakan untuk memasok LNG ke Jepang, Korea, dan Taiwan. Pada tahun 2010, LNG Plant Tangguh di Papua mulai mengekspor LNG ke Cina. LNG Plant di Donggi Senoro saat ini sedang dalam tahap persiapan pembangunan, dengan tujuan untuk memasok LNG ke luar negeri. Walaupun kebutuhan gas di dalam negeri, terutama di pulau Jawa, meningkat cukup besar, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai LNG Receiving Terminal. Pembangunan 2 LNG terminal yang diprakarsai oleh PT PERTAMINA, PT PGN, dan PT PLN di Medan (Sumatera Utara) dan Muara Karang (Jawa Barat) mulai disiapkan sejak tahun 2006, namun sampai saat ini pengembangnnya terkendala oleh ketidakpastian alokasi pasokan gas dan pembelinya (off-taker). Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dari Compressed Natural gas (CNG) mulai beroperasi di Indonesia tahun 1984, di mana pada saat itu PT PERTAMINA bertindak baik sebagai operator maupun regulator industri bahan bakar gas (BBG). Pada tahun itu terdapat 16 unit SPBG/CNG yang dibangun, akan tetapi saat ini (2010) hanya ada 6 unit yang masih dapat beroperasi. Penyebab utamanya adalah harga BBG yang relatif rendah sehinga pengembangan dan pengoperasian SPBG menjadi tidak layak secara ekonomi. Dibandingkan dengan negara lain yang mengembangkan CNG, seperti India dan Pakistan, pengembangan industri CNG di Indonesia hampir tidak berarti. Sampai dengan saat ini, infastruktur gas yang tersedia masih terbatas. Jaringan pipa gas transmisi (open access) sepanjang 3.633,69 km yang membentang di sepanjang Sumatera Bagian Tengah dan Selatan memasok gas ke Jawa Bagian Barat. Jaringan distribusi sepanjang 689,08 km mengalirkan gas ke kota-kota di Sumatera dan sepanjang 3.244,66 km ke kota-kota di Jawa. Walaupun di Indonesia telah dibangun infrastruktur pengolahan LNG, yakni LNG Liquefaction Plant di Arun 12,65 MMTPA, Bontang 21,64 MMTPA, dan Tangguh 7,6 MMTPA yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemasok LNG terbesar di dunia dengan total kapasitas LNG 42,09 MMTPA, namun semuanya digunakan untuk ekspor. Gambar berikut ini menunjukkan infrastruktur yang sudah eksisting dan rencana pengembangan berikutnya.
55
ARUN
NATUNA
6.8 MTPA (6 trains)
BONTANG
In progress
Transmission pipe (Existing)
22.59 MTPA (8 trains)
Transmission pipe (Plan)
2
TANGGUH
LNG Plant
7,6 MTPA (2 trains)
LNG Receiving Terminal/ FSRT*
4 5
6 8 1
3
DONGGI-SENORO LNG Plant-Planned (2 MTPA/ 1 train)
7 MASELA LNG Plant-Planned (4.5 MTPA)
Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2011 - 2025, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah/Timur membutuhkan tambahan suplai gas yang tidak dapat dipenuhi dari wilayah tersebut; 1
FSRT by PT Nusantara Regas (JV PT Pertamina dan PT PGN) capacity 3 MTPA in the end of 2011
2
FSRT by PGN capacity 1,5 - 2 MTPA In the end of 2011
3
FSRT by Pertamina capacity 3 MTPA 2012
4
Small Scale LNG Receiving Terminal Halmahera capacity 30 MMSCFD
5
Small Scale LNG Receiving Terminal Samarinda capacity 30 MMSCFD
6
Small Scale LNG Receiving Terminal Balikpapan capacity 15 MMSCFD
7
Small Scale LNG Receiving Terminal Bali capacity 25 MMSCFD
8
Small Scale LNG Receiving Terminal Pomalaa capacity 25 MMSCFD
*) FSRT = Floating Storage and Regasification Terminal
Sumber : Ditjen Migas (2012)
Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri
Selain
rencana
pengembangan
di
atas,
pemerintah
sudah
merintis
pengembangan gas kota di beberapa lokasi yang berdekatan dengan sumber gas sejak tahun 2008. Beberapa kota yang sudah dikembangkan adalah Surabaya, Palembang, Tarakan, Depok, Bekasi (dua fase), Sidoarjo (dua fase), Bontang, Sengkang, dan Jabodetabek (khusus rusun). 4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia Pemanfaatan LNG – Sumber gas yang akan digunakan untuk pembangkit listrik berada di Kalimantan dan Papua. Untuk itu, gas dalam bentuk Lequified Natural Gas (LNG) akan dikirimkan dari sumber-sumber gas ke Jawa dan Sumatra. Fasilitas terminal penerima (receiving terminal) dan regasifikasi telah dan akan dibangun di beberapa tempat. Saat ini, Floating Storage Receiving Unit (FSRU) West Java sudah beroperasi dan menerima LNG dari Bontang serta memasok LNG ke pembangkit listrik di Muara karang sejak bulan Mei 2012, sebesar 180 BBTUD. Pasokan LNG ke pembangkit listrik Tanjung Priok sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena dapat dimanfaatkannya pipa PHE ONWJ. Saat ini beberapa fasilitas atau infrastruktur 56
gas masih dalam tahap pengembangan, yakni FSRU Lampung, Revitalisasi Arun, FSRU Jawa Tengah, Mini LNG untuk Indonesia Timur, dan Mini LNG Bali. Pemanfaatan CNG – Disamping LNG, Compressed Natural Gas (CNG) akan dimanfaatkan untuk pembangkit lsitrik. Sampai saat ini masih dalam tahap konstruksi adalah i) fasilitas CNG Jakabaring, dengan kapasitas 3 BBTUD, dan direncanakan untuk Commercial Operating Date (COD) pada tanggal 15 Desember 2012; ii) CNG Sungai Gelam, dengan kapasitas 4.5 BBTUD, dan direncanakan untuk COD pada Januari 2013. Fasilitas CNG yang saat ini dalam tahap pengadaan/prakualifikasi adalah: i) Marine CNG Gresik – Lombok dengan kapasitas 5 BBTUD; ii) Marine CNG Gresik – Bawean dengan kapasitas 0.35 BBTUD. Sementara ini fasilitas CNG yang saat ini masih dalam tahap kajian adalah i) CNG Tambak Lorok, dengan kapasitas 15-17 BBTUD; ii) CNG Muara Tawar, dengan kapasitas 16 BBTUD; iii) CNG Grati, dengan kapasitas 16 BBTUD; dan iv) CNG Bangkanai, dengan kapasitas 4 BBTUD. Trans Java Gas Pipe line – Trans Java Pipeline sepanjang 700 km akan dibangun dengan mengikutsertakan investasi Badan Usaha (BUMN dan Swasta). Saat ini baru jaringan pipa Cilegon – Sunyaragi yang sudah terbangun oleh PT Pertamina Gas. Dua ruas lainnya yang dimiliki oleh perusahaan ini akan dibangun, yakni dari Cirebon ke KHT, dan dari Tegalgede ke Muara Tawar, masing-masing sepanjang 84 km dan
140 km. PT Rekayasa Industri akan membangun ruas Cirebon-Semarang
sepanjang 255 km, dengan kapasitas 350 – 500 MMSCFD. Sedangkan ruas Semarang ke Gresik akan dibangun oleh PT Pertamina Gas sepanjang 271 km, dengan kapasitas 350 – 500 MMSCFD. Ruas pipa dari EJGP (East Java Gas Pipeline) sepanjang 20 km akan dibangun oleh PT Pertamina Gas, melalui skema BOO dengan PT PLN. Gambar 26 memperlihatkan jaringan gas pipa Trans Java, baik yang saat ini sudah terbangun, maupun yang akan dibangun.
57
Tabel 14 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas
No 1
Infrastruktur Gas FSRU Teluk Jakarta for Muara Karang Combined Cycle Plants. • • • • •
2
: 3 MTPA : 594 TBTU : May 2012 - 2022 : May 2012 : 11,93 MT for 11 years @ avr
Arun Revitalization Project for Belawan Combined Cycle Plant and other industries. • • • •
3
Total capacity Total Contract Period Onstream Secured supply 150 bbtud
Total capacity Volume for PLN Onstream Source
PT Pertamina
: 300 bbtud : 100 bbtud : Q4 2013 : BP Tangguh and others
FSRU Lampung for West Java Power Plants and Industries. • Total capacity • Onstream
Developer PT Nusantara Regas (Pertamina & PGN)
PT PGN, Tbk
: 400 bbtud : Q4 2014
4
Feasibility study is now carried out by PLN and Pertamina for implementation of Mini LNG Facility in eastern region (East Kalimantan, Sulawesi) and Bali
PT PLN
5
Trans Java Pipe Line
PT Pertamina Gas
Cilegon – Sunyaragi (Existing Pipeline): Cirebon – KHT, Tegalgede – Muara Tawar: Pertamina Gas Various size & capacity Perlu penyesuaian kapasitas agar dapat berintegrasi Cirebon – Semarang: Rekayasa Industri 255 km, 350 – 500 MMSCFD Semarang – Gresik: Pertamina Gas 271 km, 350 – 500 MMSCFD EJGP - Grati: Pertamina Gas (BOO) dgn PLN 20 km x 20” – 130 MMSCFD
58
Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa (Ditjen Migas, 2012) JABODETABEK JAWA TENGAH JAWA TIMUR RIAU SUMATERA UTARA SULAWESI SELATAN JAWA BARAT JAMBI BALI KALIMANTAN TIMUR SUMATERA BARAT LAMPUNG SUMATER SELATAN KEPULAUAN RIAU NUSA TENGGARA TIMUR NUSA TENGGARA BARAT NANGGROE ACEH DARUSSALAM BENGKULU PAPUA (IRIAN JAYA) KALIMANTAN SELATAN DI YOGYAKARTA MALUKU BANTEN SULAWESI TENGGARA IRIAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA KALIMANTAN TENGAH SULAWESI UTARA SULAWESI BARAT KALIMANTAN BARAT GORONTALO BANGKA BELITUNG
125
100
75
50
25
0
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
0
JABODETABEK JAWA TENGAH JAWA TIMUR RIAU SUMATERA UTARA SULAWESI SELATAN JAWA BARAT JAMBI BALI KALIMANTAN TIMUR SUMATERA BARAT LAMPUNG SUMATER SELATAN KEPULAUAN RIAU NUSA TENGGARA TIMUR NUSA TENGGARA BARAT NANGGROE ACEH DARUSSALAM BENGKULU PAPUA (IRIAN JAYA) KALIMANTAN SELATAN DI YOGYAKARTA MALUKU BANTEN SULAWESI TENGGARA IRIAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA KALIMANTAN TENGAH SULAWESI UTARA SULAWESI BARAT KALIMANTAN BARAT GORONTALO BANGKA BELITUNG
BBG (MMSCFD)
BBM (Liter/hari)
Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk Angkutan Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum 2010 (Ditjen Migas, 2012)
59
BAB 5 STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS DALAM NEGERI
5.1
Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas Sejak tahun 1950, pemerintah telah menerapkan kebijakan penyediaan bahan
bakar minyak (BBM) murah untuk kebutuhan bahan bakar di dalam negeri. Kebijakan tersebut bertahan lebih dari 50 tahun, dan selama kurun waktu tersebut kebijakan ini tidak berdampak negatif baik terhadap penyediaan energi secara nasional, maupun anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN). Hal ini dimungkinkan karena semua kebutuhan BBM dapat dipenuhi oleh produksi minyak bumi yang menjadi bagian pemerintah (government take) dalam kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract – PSC) minyak bumi 6 . Namun sejak tahun 1997, seiring dengan berkurangnya produksi minyak bumi nasional, kebutuhan BBM di dalam negeri harus juga dipenuhi oleh BBM dan minyak mentah impor. Sejak saat itu, penyediaan BBM murah harus dipenuhi melalui subsidi, yang mencerminkan selisih harga BBM dalam negeri dengan harga pasar (internasional)7. Nilai subsidi ini terbukti semakin membesar seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia, di samping kebutuhan nasional akan BBM yang terus meningkat. Selain memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), subsidi BBM juga ditengarai menurunkan pendapatan devisa nasional serta menyebabkan distorsi harga energi, sehingga energi alternatif (selain minyak) tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Subsidi BBM juga mempunyai sumbangan terhadap pemborosan penggunaan BBM dan peningkatan emisi karbon-dioksida (CO2) – pencemaran lingkungan. Di samping itu, manfaat dari penerapan subsidi BBM seringkali kurang mencapai kelompok sasaran yang ditargetkan semula, yakni masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya sebagian besar (70%) dari subsidi BBM ini dinikmati oleh masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas – masyarakat dengan kendaraan bermotor. Dengan memperhatikan 6
Dikenal berbagai bentuk kontrak produksi minyak bumi, seperti Kontrak Kerja Sama (KKS), atau Kontrak Bagi Hasil (KBH). Dalam KPS, dari total produksi minyak bumi, ada sebagaian yang menjadi milik Pemerintah (Government Take) dan sebagian lagi menjadi milik kontraktor/pengembang. 7 Mid-Oil Platts Singapore (MOPS).
60
hal-hal tersebut, substitusi BBM menjadi sangat penting. Substitusi ini dapat dilakukan oleh jenis energi selain minyak bumi, yang tersedia dengan cadangan yang cukup besar di dalam negeri serta relatif lebih murah – yakni gas bumi. Pemanfaatan gas bumi – bahan bakar gas (BBG) – untuk mengganti BBM dapat mereduksi dampak negatif dari kebijakan subsidi BBM, yang selama ini diterapkan, antara lain (i) pengurangan permintaan volume BBM secara nasional dan nilai subsidi BBM yang harus dianggarkan dalam APBN, (ii) peningkatan penghematan devisa negara, dan (iii) peningkatan potensi efisiensi biaya operasi konsumen energi. Di samping itu, karena BBG merupakan energi yang lebih bersih dibandingkan dengan BBM, emisi CO2 yang dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar lebih sedikit.
5.1.1 Skenario Subsidi Pada tahun 2015, konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium diperkirakan akan mencapai 23,9 juta KL dan solar 12 juta KL. Substitusi BBM sektor transportasi oleh gas dapat dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan ketersediaan infrastruktur gas dan pasokan gas untuk dalam negeri, misalnya dimulai dengan 25 persen substitusi, 50 persen, dan 75 persen dari total kebutuhan BBM nasional. Di samping untuk sektor transportasi, skenario substitusi BBM juga dilakukan untuk sektor-sektor yang mengkonsumsi solar non-subsidi, seperti industri dan listrik. Skenario substitusi dilakukan dengan memperhatikan kesiapan sektor ini dalam melakukan fuel-switching dari BBM ke BBG. Pentahapan substitusi BBM oleh gas dapat dilakukan dengan berbagai skenario, baik untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi maupun untuk BBM non-subsidi di sektor industri dan listrik. Tabel 15 memperlihatkan skenario substitusi BBM oleh gas dengan tahapan 25 persen untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi (Skenario I), 50 persen untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi (Skenario II). Saat ini pemanfatan BBG sebagai bahan bakar di sektor transportasi masih sangat marginal, sehingga persentase BBG di sektor transportasi dapat dianggap ‘nol’. Mengganti 25 persen dan 50 persen BBM bersubsidi dengan BBG (Skenario I dan Skenario II), berarti meningkatkan peranan BBG di sektor transportasi. Skenario III sama dengan Skenario I, yakni mengganti 25 persen BBM bersubdisi di sektor transportasi oleh gas, namun ditambah dengan substitusi 5 persen solar di sektor industri, dan 15 persen solar di sektor energi/pembangkit listrik. Saat ini 61
(data tahun 2007) persentase BBG di dalam portofolio bahan bakar industri adalah 23,7 persen, dan substitusi BBM oleh gas sebanyak 5 persen menjadikan peranan BBG meningkat menjadi 28,7 persen. Sedangkan substitusi 15 persen solar untuk listrik menjadikan peranan BBG meningkat dari 15,6 persen menjadi 30,6 persen. Beberapa skenario substitusi BBM lainnya dapat dikembangkan dari tiga skenario dasar ini.
Tabel 15 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan BBM Non-subsidi untuk Industri dan Listrik Jenis BBM Bersubsidi/nonsubsidi
Proyeksi Volume BBM tahun 2015 (Juta KL)
Skenario Substitusi BBM I
II
III
Substitusi BBM bersubsidi
Premium
23,9
25%
50%
25%
Solar
12,0
25%
50%
25%
Substitusi BBM nonsubsdidi
Solar industri
10,2
0%
0%
5%
Solar Listrik
16,5
0%
0%
15%
Harga gas ekspor saat ini berkisar antara US$ 12-14 per MMBTU, sedangkan harga gas di dalam negeri sekitar US$ 7 per MMBTU. Dua skenario harga gas digunakan untuk memanfaatkan gas didalam negeri, yakni harga gas yang sesuai dengan harga ekspor (Skenario P1) dan harga gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor (Skenario P2). Penjualan gas di dalam dengan harga ekspor merupakan kondisi yang sangat ideal, dimana penerimaan negara dari gas tidak akan mengalami penurunan, dan pelaksanaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan skenario dimana harga gas dijual didalam negeri dengan harga yang lebih rendah. Ketiga Skenario substitusi BBM oleh gas (Skenario I, II, dan III) dan dua Skenario harga gas di dalam negeri (Skenario P1 dan P2) menjadi acuan dalam pembahasan dan simulasi substitusi BBM oleh gas, dan analisa selanjutnya akan didasarkan pada skenario-skenario tersebut.
62
5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM Substitusi BBM oleh gas bumi dapat mengurangi belanja subsidi BBM. Di samping permintaan akan BBM di dalam negeri akan berkurang, penyediaan BBM per juta kilo liter lebih mahal dibandingkan dengan penyediaan bahan bakar gas. Biaya penyediaan BBM termasuk ongkos pengilangan dan pemurnian minyak mentah (baik minyak mentah yang diproduksi dalam negeri maupun impor), ongkos transportasi, serta biaya pembelian BBM impor, sedangkan biaya penyediaan gas adalah ongkos likuifaksi, shipping fee, gasifikasi (untuk CNG/LNG) dan/atau ongkos transportasi pipa (sistem pipa). Dalam tahun 2009, pembelian BBM impor dilakukan dengan harga sekitar Rp. 5.300 per liter untuk premium dan sekitar Rp. 5.400 untuk solar, sedangkan gas diekspor dengan harga yang lebih murah, yakni sekitar Rp. 2.800 per liter ekivalen. Pada tahun 2009, realisasi penerimaan negara dari minyak dan gas bumi adalah Rp. 175,9 trilyun. Belanja subsidi untuk memenuhi konsumsi 37,7 juta KL BBM domestik mencapai Rp. 41,6 trilyun 8 . Dengan jumlah belanja subsidi tersebut, penerimaan netto dari minyak dan gas bumi adalah Rp. (175,9-41,6) = Rp. 134,3 trilyun. Sustitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari minyak dan gas bumi secara netto, bahkan mengalami peningkatan karena belanja subsidi BBM berkurang. Gambar 5 memperlihatkan bahwa jika Skenario I substitusi BBM (25 persen BBM bersubsidi untuk sektor transportasi) oleh gas diterapkan pada tahun 2009, maka belanja subsidi BBM akan menurun dari Rp. 41,6 trilyun menjadi Rp. 34,5 trilyun, atau penghematan sekitar Rp. 7,1 trilyun (17 persen), dan penerimaan netto dari minyak dan gas bumi menjadi Rp. 141,5 trilyun. Seperti terlihat dalam gambar, penghematan ini akan semakin besar jika substitusi BBM oleh gas dinaikkan menjadi dua kali lipat (Skenario II). Dengan substitusi 50 persen BBM, penghematan subsidi mencapai Rp. 14,2 triyun, atau 34 persen dari belanja subsidi tanpa substitusi BBM, dan penerimaan netto dari minyak dan gas bumi menjadi Rp. 148,5 trilyun. Substitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari minyak dan gas bumi, apabila harga gas di dalam negeri ditentukan sama dengan harga gas ekspor. Apabila harga gas untuk domestik lebih rendah dari harga ekspor, maka 8
BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar, yang dikonsumsi sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi, saat ini merupakan komponen utama dari BBM bersubsidi, yakni mencapai 33,2 juta KL atau 88 persen dari total volume BBM bersubsidi. Tidak seperti Minyak Tanah yang terus dikurangi melalui konversi ke LPG, Premium merupakan jenis BBM berubsidi yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, seiring dengan pertumbuhan kendaraan bermotor, yang secara nasional cukup tinggi.
63
penerimaan pemerintah dari penjualan gas akan menurun. Namun penurunan penerimaan ini juga diikuti dengan penurunan belanja subsidi yang lebih besar, sehingga secara netto, penerimaan negara mengalami perbaikan. Seperti terlihat dalam Gambar 28, substitusi 50 persen BBM bersubsidi oleh gas (Skenario II) dengan harga gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor (Skenario P2), akan menurunkan penerimaan negara dari Rp. 175,9 trilyun menjadi Rp. 171,4 trilyun, namun penghematan dari belanja subsidi sebesar Rp. 14,2 trilyun menjadikan netto penerimaan negara, sebesar Rp. 144,1 trilyun, lebih baik dari netto penerimaan negara tanpa substitusi, yakni Rp. 134,4 trilyun.
64
50% substitusi & harga gas = 75% harga ekspor
50% substitusi & harga gas = harga ekspor
25% substitusi & harga gas = harga ekspor
Tidak ada substitusi Net Penerimaan MIGAS (Trilyun, 2009) Subsidi BBM (Trilyun)
134.3 41.6
180
170
160
150
140
130
120
110
100
Tidak ada substitusi
25% substitusi & harga 50% substitusi & harga 50% substitusi & harga gas = harga ekspor gas = harga ekspor gas = 75% harga ekspor 141.4 148.5 144.1 34.5 27.4 27.4
Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario 25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor
Transportasi oleh Gas Bumi (2009)
65
Tabel 16 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar di Sektor Transportasi oleh Gas (2015) Pengurangan Emisi (juta ton CO2) Volume (juta KL)
Emisi CO2 (juta ton)
Premium Transportasi
23,86
Solar Transportasi Total
11,98 35,8
BBM
Substitusi BBM (25%)
Substitusi BBM (50%)
Substitusi BBM (75%)
57,59
2,74
5,48
8,23
34,29 91,88
2,08 4,82
4,17 9,65
6,25 14,48
5,2%
10,5%
15,8%
Pengurangan
Tabel 17 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor Industri dan Listrik oleh Gas (2015) Pengurangan Emisi (juta ton CO2) BBM
Subtitusi 5% Solar Subtitusi 15% Solar Sektor Industri Sektor Listrik
Subtitusi 5% Solar Industri + 15% Solar Listrik
Volume (juta KL)
Emisi CO2 (juta ton)
Solar Industri
10,2
29,27
1,62
-
1,62
Solar Listrik
16,5
47,19
-
11,26
11,26
Total Pengurangan
26,7
76,46
1,62 2,1%
11,26 14,7%
12,88 16,8%
66
5.1.3 Pengurangan Emisi CO2 Substitusi BBM oleh gas bumi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) karena tingkat emisi BBG jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat emisi BBM. Berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pembakaran per MMBTU ekivalen, premium menghasilkan 73,09 kg CO2, sedangkan gas alam/CNG menghasilkan 59,27 kg CO2. Tabel 16 memperlihatkan potensi penurunan emisi CO2 pada tahun 2015 untuk substitusi Premium dan Solar dengan gas untuk sektor transportasi, dan Tabel 17 untuk substitusi solar dengan gas di sektor industri dan listrik. Seperti terlihat dalam tabel, 25% substitusi BBM di sektor transportasi (Skenario I) akan menurunkan emisi CO2 sebesar 4,82 juta ton per tahun, dan 50% substitusi (Skenario II) akan menurunkan 9,65 juta per tahun. Substitusi BBM Skenario III akan memberikan penurunan emisi CO2 yang jauh lebih besar, yakni (4,82+12,88)=17,7 juta ton9. Hasil simulasi, baik dengan Skenario I, II maupun III, secara umum menunjukkan bahwa substitusi BBM ke gas memiliki dampak positif, baik terhadap keuangan negara maupun lingkungan hidup. Dengan demikian, maka peningkatan penggunaan gas perlu didorong melalui strategi pengembangan yang tepat.
5.2
Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri Sesuai dengan konstitusi UUD 1945, pemanfaatan sumber daya alam termasuk gas
harus dikuasai Negara dan digunakan sebesar – besar untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan berbagai manfaatnya baik sebagai bahan baku industri kimia dan salah satu sumber energi termasuk juga sebagai sumber pendapatan negara menjadikan posisi gas bumi sangat strategis, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tataran global. Kebijakan gas yang tepat seyogyanya meningkatkan nilai competitiveness dari negara produsen gas. Pembangunan industri gas dalam negeri khususnya dalam mengoptimalisasikan pemanfaatan gas dalam negeri dipengaruhi beberapa faktor yang di antaranya sangat menentukan keberhasilan dan percepatan pembangunan industri gas dalam negeri yang dilakukan. Dari faktor-faktor itu, berikut adalah faktor kunci dalam keberhasilan optimalisasi 9
Penurunan emisi ini akan menyumbang cukup signifikan kepada target penurunan emisi nasional. Menurut Rencana Aksi Nasional penurunan gas Rumah Kaca (RAN-GRK), target penurunan emisi gas rumah kaca secara nasional adalah 26% dari tingkat emisi Business as Usual (BAU) pada tahun 2020, dimana upaya mitigasi di sektor energi menyumbang sekitar 6% dari target nasional, yakni sekitar 30 juta ton CO2.
67
pemanfaatan gas dalam negeri yaitu: (i) Pengembangan infrastruktur gas bumi, (ii) Kebijakan Alokasi (iii) Kebijakan Harga
5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas
Sesuai dengan karakteristik kepulauan, Indonesia memiliki tantangan dalam pengembangan konektifitas nasionalnya. Masalah jaringan perhubungan, logistik, maupun infrastruktur energi seperti halnya gas menjadi tantangan untuk Indonesia. Selain itu khusus yang terakhir, posisi geografis dari sumber cadangan gas dan pusat kebutuhan gas yang terpisah membutuhkan perencanaan infrastruktur yang komprehensif dari hulu ke hilir agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan gas dalam negeri. Dalam kaitan tersebut, sudah seharusnya kebijakan yang ada saat ini lebih diarahkan pada intensifikasi pengembangan infrastruktur gas. Sejak beberapa tahun lalu, gas lebih berfungsi sebagai komoditi dengan tujuan ekspor. Dengan kebijakan itu, Indonesia menjadi salah satu negara pelopor pengembangan infrastruktur LNG sebagai moda transportasi ekspor. Seiring dengan pulihnya pembangunan setelah era reformasi, kebutuhan akan gas sebagai sumber energi meningkat. Terlebih lagi dengan menipisnya cadangan minyak yang selama ini menjadi energi utama Indonesia disertai peningkatan harga yang signifikan di tahun akhir tahun 2000-an. Dengan perubahan paradigma ini, Indonesia sudah mulai mencanangkan pengutamaan gas untuk keperluan dalam negeri. Walaupun demikian, sampai saat ini pasokan gas Indonesia yang cukup besar belum cukup memenuhi kebutuhan akan gas itu sendiri. Hal ini disebabkan pasokan gas yang ada sudah diikat melalui perjanjian ekspor yang dilakukan sebelumnya dengan pertimbangan ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri. Pertimbangan ini selain faktor harga menjadi alasan produsen lebih cenderung menjual gas ke luar negeri. Akibatnya kontrak gas ke dalam negeri umunya lebih pendek yang berkisar 2–10 tahun. Padahal dari segi ekonomi, pay back period investasi dari industri tersebut umumnya berjangka panjang 20–30 tahun. Dengan sifat fisiknya, gas memerlukan infrastruktur khusus untuk menyalurkan dari produsen ke konsumen. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki karakteristik geografis kepulauan yang terpisah-pisah. Moda transportasi gas dapat berupa pipa atau LNG beserta FSRU dan fasilitas regasifikasinya. Selain moda transportasi, fasilitas pengolahan berupa 68
kilang atau SPBG untuk keperluan transportasi menjadi hal yang tersendiri. Khusus untuk infrastruktur transportasi, jaringan pipa masih menjadi benchmark sebagai syarat penting pengembangan gas termasuk di Indonesia. Secara umum infrastruktur gas dibagi menjadi tiga jenis yaitu infrastruktur transmisi yang berfungsi menyalurkan gas antar wilayah, infrastruktur distribusi yang berfungsi menyalurkan gas ke konsumen akhir dalam wilayah tertentu, infrastruktur pendukung seperti FSRU, SPBG, Mother station dan lainnya. Dari data BPH Migas, kapasitas infrastruktur transmisi sebenarnya masih jauh di atas realisasi gas yang diangkut (Gambar 29) sehingga seharusnya bukan suatu kendala
14000 12000 mmscfd
10000 8000 6000 4000 2000 0 Kapasitas (mmscfd)
2002 895
2003 895
2004 2215
2005 2215
2006 2215
2007 2215
2008 2215
2009 2010 2011 11336 11336 11496
756
2631
3671
3732
1006
1006
1634
1634
1634
1634
1634
3634
3634
3647
Realisasi gas (mmscfd) Panjang (m)
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
km
pemanfaatan gas dalam negeri.
Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas yang Diangkut (Sumber : BPH Migas, 2012)
Hal ini menunjukkan belum optimalnya perencanaan infrastruktur yang ada sehingga kurang terintegrasi dan belum efektifnya kebijakan open access. Oleh karenanya perlu adanya review terhadap perencanaan infrastruktur gas yang termuat di Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi (RIJTDGB) baik dari mekaniseme maupun substansinya. RIJTDGB ini merupakan rencana pembangunan jaringan transmisi dan distribusi Gas Bumi yang pada kenyataannya tidak selalu dapat diimplementasikan secara otomatis karena terlalu banyak
faktor
ketidakpastiannya.
Beberapa
hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penyempurnaan RIJTDGB adalah : RIJTDGB tidak mencantumkan volume yang akan dialirkan, panjang maupun diameter pipa, dan besaran tekanannya.
69
RIJTDGB hanya menggambarkan pipa transmisi, sedangkan pipa distribusi hanya digambar kotak (area). Padahal di dalam jaringan pipa distribusi terdapat pipa gas bertekanan tinggi dan berkapasitas besar seperti feeder line dan pipa induk distribusi yang memiliki panjang dan diameter bisa melebihi pipa transmisi. Oleh karena itu, pipa-pipa distribusi bertekanan tinggi dan berkapasitas besar tersebut perlu dimasukkan dalam RIJTDGB. RIJTDGB tidak mencantumkan berapa jalur pipa yang akan dibangun dan tidak mencantumkan apakah pipa tersebut bisa lewat laut atau darat atau sebagian lewat laut dan sebagian lewat darat (contoh East Natuna ke Jawa). RIJTDGB tidak mencantumkan dari satu sumber bisa dialirkan ke berbagai tujuan, serta tidak mencantumkan pula dari satu sumber pasokan dapat diangkut menggunakan berbagai moda transportasi seperti pipa dan kapal LNG/CNG. Beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam RIJTDGBN. Mekanisme penyusunannya perlu diperkaya dengan menyebutkan lokasi sumber Gas Bumi yang ada (bisa dilihat dari Neraca Gas Bumi Nasional), mencantumkan kemungkinan lokasi Gas Bumi yang bisa dialirkan
(demand),
menyebutkan
kemungkinan
moda
transportasi
lainnya
selain
menggunakan pipa misalnya LNG dan CNG. Selanjutnya agar RITJDGBN dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sebaiknya didasarkan pada kepentingan nasional, kepentingan daerah, keekonomian dan life time dari jaringan pipa transmisi dan distribusi tersebut. Selain kualitas perencanaan pada RIJTDGB, penyebab lain belum optimalnya pemanfaatan gas dalam negeri adalah belum optimalnya dukungan jaringan distribusi. Data BPH Migas menunjukkan bahwa kapasitas distribusi tidak meningkat secara signifikan di kisaran 2000 – 3000 MMSCFD (Gambar 30). Terhambatnya pengembangan jaringan distribusi diantaranya karena penerapan kebijakan unbundling perlu dibarengi pengaturan lebih lanjut dalam pengusahaan gas agar tidak menghambat pengembangan jaringan distribusi gas. Berdasarkan data BPH Migas tahun 2012, pertumbuhan jaringan distribusi dari tahun 2008–2011 rata-rata 1,15 persen sementara pertumbuhan gas yang diniagakan mencapai 15,32 persen.
70
3000 mmsvfd
2500 2000 1500 1000 500 0 Kapasitas (mmscfd)
2002 2384
2003 2384
2004 2384
2005 2605
2006 2625
2007 2933
2008 2934
2009 2938
2010 2977
2011 3037
Panjang (m)
3128
3128
3128
3920
3937
3955
3955
3972
4016
4058
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
km
3500
Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas (Sumber: BPH Migas, 2012)
Kondisi ini menunjukkan semakin banyaknya gas yang diniagakan tanpa diimbangi fasilitas distribusi yang artinya semakin banyak badan usaha niaga tanpa fasilitas. Dengan kebijakan unbundling, badan usaha lebih memilih usaha niaga dibanding usaha pengangkutan. Kondisi ini juga didukung oleh mekanisme pemilihan pembeli gas (beauty contest) yang kurang selektif seperti yang termuat dalam PTK BP Migas No. 29 tahun 2009. Penentuan pemenang lelang hanya mengacu pada peningkatan penerimaan negara (dari peningkatan harga gas) dan kurang mengedepankan komitmen pembeli dalam mengembangkan jaringan distribusi gas. Akibat lebih lanjut adalah high cost economy dengan perpanjangan rantai dalam bisnis gas bumi. Gambar 31 di bawah ini memberikan gambaran realitas pelaksanaan kebijakan unbundling di beberapa wilayah distribusi gas Indonesia.
Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling
71
Regulasi Unbundling di Indonesia diatur dalam Permen MESDM Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa10. Secara konsep, tujuan dari kebijakan ini sangat baik untuk menjaga fairness dalam usaha gas. Namun dengan kebijakan ini, para pelaku usaha lebih condong menanamkan uangnya pada usaha niaga yang memiliki resiko lebih rendah dari usaha pengangkutan. Selain itu, jumlah investasi yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur gas bernilai besar. Dengan kondisi infrastruktur gas Indonesia yang belum matang, kebijakan unbundling kurang berdampak baik pada pengembangan infrastruktur gas. Selain itu dalam implementasinya regulasi ini tidak mengenal pentahapan ubundling yang seharusnya dilakukan dan langsung menuju legal unbundling. Untuk penerapan kebijakan open access, saat ini BPH Migas baru dapat menerapkan open access pada jaringan pipa transmisi saja, karena dari sisi teknik operasional mudah dilakukan. BPH Migas belum dapat menerapkan open access pada Jaringan Pipa Distribusi, karena jaringan tersebut oleh Pemerintah ditetapkan sebagai Jaringan Pipa Katagori Dedicated Hilir. Untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan infrastruktur gas bumi di dalam negeri beberapa yang perlu diusulkan: i) Semua jaringan pipa distribusi maupun jaringan transmisi hendaknya berkatagori open access yang dilakukan secara bertahap dimulai dari accounting unbundling sampai legal unbundling; ii) Open Access pada jaringan distribusi hendaknya juga dilakukan secara bertahap di mulai dari jaringan tekanan tinggi dulu sebab lebih mudah dilihat dari aspek teknik operasionalnya. Kompleksnya permasalahan perencanaan infrastruktur gas memerlukan peran aktif pemerintah. Namun permasalahan klasik dalam infrastruktur adalah pendanaan. Sejak krisis ekonomi dan keuangan tahun 1998, belanja infrastruktur Indonesia terus menurun, dari puncaknya pada tahun 1995 sebesar 9,2 persen dari GDP menjadi kira-kira 3,2 persen pada tahun 2005, dan kemudian sedikit meningkat menjadi 3,9 persen pada tahun 2009. Menurunnya belanja infrastruktur sudah barang tentu menyebabkan penyediaan infrastruktur menjadi tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan akibat pertambahan penduduk.
10
Ayat 1 dari Pasal 19: Badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus pada ruas transmisi dan/atau wilayah jaringan distribusi dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki dan / atau dikuasainya. Ayat 2 dar Pasal 19: Dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus pada ruas transmisi dan/atau wilayah jaringan distribusi melakukan ke giatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimilikinya dan/ atau dikuasainya, wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga gas bumi melalui pipa. Huruf (c) dari Pasal 31: Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Badan Usaha yang telah melaksanakan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.
72
Oleh sebab itu, pemerintah perlu membuat terobosan baru dalam mengintensifkan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) pada pembangunan infrastruktur gas. Upaya
peningkatan
kelembagaan
dan
peraturan-perundangan
dalam
bidang
infrastruktur juga sudah meningkat. Terbitnya UU Migas dan peraturan pelaksananya bertujuan untuk mengurangi monopoli Pemerintah dan memungkinkan keterlibatan sektor swasta termasuk dalam pengadaan infrastruktur gas. Salah satu kendala penting dalam kaitan dengan mempercepat pembangunan bidang infrastruktur ini adalah proses pembebasan lahan. Dengan terbitnya UU pengadaan lahan, setengah dari permasalahan ini selesai. Saat ini, Perpres pelaksana UU pengadaan lahan sedang difinalisasikan. Dalam rangka pengembangan kerangka kelembagaan, Pemerintah telah berupaya melakukan berbagai langkah terobosan guna mendukung pelaksanaan KPS. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur telah diubah untuk kedua kalinya melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagai salah satu komite tingkat kementerian telah direvitalisasi melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2011. Sementara itu, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) melalui anak perusahaannya PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) serta PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) juga telah beroperasi secara penuh masing-masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Landasan hukum operasional PT PII telah ditetapkan melalui Perpres 78/2010 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 260/2010. Hambatan dalam bidang pembiayaan swasta meskipun masih ada namun sebenarnya dapat disiasati. Sebagaimana diketahui, jangka-waktu pengembalian modal (payback period) dari proyek-proyek KPS biasanya panjang, yang tidak sesuai dengan masa jatuh-tempo sumber dana perbankan. Selain itu, prinsip kehati-hatian yang diterapkan dalam perbankan di Indonesia juga tidak memungkinkan penerapan pola pembiayaan project financing karena tidak adanya jaminan (collateral) atas pinjaman. Namun dengan semakin stabil dan kuatnya perekonomian Indonesia dan semakin tingginya kepercayaan asing terhadap ekonomi kita, maka kemungkinan bagi masuknya investor asing dalam bidang infrastruktur dan diperolehnya pinjaman dana asing oleh investor dalam negeri menjadi terbuka lebar
73
Selain permasalahan di atas, masalah klasik lainnya peraturan yang bersifat tumpang tindih, belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya, dan proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta tidak dipersiapkan dengan matang sehingga beberapa proyek belum clear n clean. Belum lagi masalah keterbatasan sumber daya manusia untuk KPS ini dan koordinasi yang lemah antar instansi Dengan rumitnya proses KPS ini, pembangunan infrastruktur gas juga sebaiknya dilakukan oleh pemerintah melalui pendanaan APBN seluruhnya terutama pada infrastrukturinfrastruktur kunci seperti FSRU dan beberapa ruas jaringan pipa tertentu yang strategis sementara pembangunan pipa lainnya bisa dikerjakan melalui skema KPS atau swasta murni. Sumber pendanaan untuk pembangunan tersebut dapat berasal dari iuran pemakaian gas (setelah dikurangi biaya operasi BPH Migas) atau melalui penerapan depletion premium dari dana bagi hasil migas atau dengan mengajak partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini alokasi gas untuk dalam negeri lebih diutamakan yang ditandai dengan kontrak, namun dalam realisasinya seringkali tidak maksimal. Sebagai contoh, berikut ini perbandingan alokasi gas tahun 2011 berdasarkan kontrak.
Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 (Ditjen Migas, 2012)
Dari dua grafik di atas, diketahui bahwa alokasi untuk ekspor dan peningkatan produksi minyak cenderung aman. Sementara untuk industri pupuk dan listrik cenderung menurun. Beberapa industri pupuk dan listrik mengatasi kekurangan pasokan ini melalui
74
badan usaha niaga seperti PGN, Pertagas dan lainnya sehingga alokasi sektor industri lainnya ikut meningkat. Pergeseran alokasi gas untuk ekspor lebih sulit dengan adanya adanya konsekuensi ekonomi dan bisnis (sanksi penalti) yang akan dihadapi pemerintah dengan pengurangan alokasi ekspor. Akibatnya apabila terjadi krisis gas, yang pertama kali diamankan adalah alokasi gas untuk ekspor. Contoh nyata dalam hal ini adalah kasus rebutan alokasi antara ekspor ke Singapura, lifting minyak Chevron dan untuk PLN Muara karang yang akhir-akhir ini menjadi bahan audit BPK. Dalam kasus ini ekspor menjadi prioritas pertama, selanjutnya lifting minyak dan kemudian untuk listrik (PLN) itu sendiri. Dengan pertimbangan tersebut, memang tidak ada yang dapat dilakukan pemerintah selain dari renegosiasi baik dari segi harga atau jumlah alokasi. Terkait urutan prioritas pemanfaatan gas dalam negeri, pemerintah menempatkan kegiatan lifting minyak sebagai prioritas pertama sebelum pupuk, listrik dan industri lainnya. Pada kegiatan lifting minyak, gas berfungsi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap yang akan diinjeksikan sebagai proses Enhance Oil Recovery (EOR). Dengan adanya EOR, produksi minyak bumi dapat dipertahankan yang menjadi salah satu potensi pendapatan negara. Efek selanjutnya adalah keterjaminan pasokan BBM bersubsidi. Secara umum, pengaruh dari alokasi gas untuk lifting adalah ketahanan energi namun kurang memberi nilai tambah. Sementara dalam industri pupuk yang menjadi prioritas selanjutnya, gas bumi lebih berperan sebagai bahan baku dimana gas berperan sekitar 50–60 persen dari struktur biaya produksi pupuk. Penguatan industri pupuk ini diharapkan dapat meningkatkan industri pertanian nasional. Namun yang kadangkala terjadi adalah ekspor pupuk yang diantaranya dilakukan secara ilegal. Sementara dalam kelistrikan, gas digunakan sebagai sumber energi untuk pembangkitan listrik. Secara umum, gas memiliki kelebihan dibanding sumber energi lainnya diantaranya relatif lebih bersih, memiliki faktor kapasitas yang tinggi dan relatif lebih murah. Sebagai pengguna prioritas terakhir adalah industri lainnya. Secara karakteristik, industri memiliki nilai tambah yang tinggi. Pada industi ini umumnya gas digunakan sebagai bahan bakar. Sebagian di antaranya kontak langsung dengan produk yang umumnya tidak dapat digantikan dengan bahan lain seperti dalam industri logam, keramik, kaca, gelas dan 75
semen. Pada industri petrokimia, gas lebih berperan sebagai bahan baku. Keunggulan gas dalam proses produksi di sektor industri adalah lebih efisien dibanding sumber energi lainnya yang akan menjadikan harga kompetitif untuk keunggulan industri domestik yang selanjutnya akan berdampak pada penguatan perekonomian nasional. Dengan demikian, kebijakan alokasi gas saat ini lebih cenderung ditujukan pada kegiatan strategis seperti peningkatan produksi minyak bumi namun cenderung kurang produktif dan kurang bernilai tambah. Sementara kegiatan produktif menjadi prioritas di bawahnya. Selain dari strategi alokasi gas, kebijakan pengembangan sektor hulu gas perlu dikaji agar lebih mendukung iklim investasi sehingga kegiatan eksplorasi lebih berkembang dan tentunya akan banyak penemuan play gas yang baru. Dengan begitu cadangan gas lebih meningkat dan kesinambungan pasokan akan lebih terjamin dalam beberapa tahun mendatang. Dari hasil kegiatan pemboran sumur eksplorasi yang dilakukan selama periode yang sama 2001 sampai dengan 2011 antara rencana kegiatan pemboran, realisasi kegiatan pemboran dengan adanya sumur yang menghasilkan (discovery) dapat menunjukkan besarnya sukses rasio. Dari tahun ke tahun, angka sukses rasio ini mengecil. Jika pada tahun 2001 sampai 2004, sukses rasio masih sebesar di atas 51,5 persen, namun sejak tahun 2005 sampai 2010 rata sukses rasio ini rata-rata hanya berada di kisaran 41 persen. Penurunan sukses rasio ini kemungkinan karena eksplorasi dilakukan sebagian besar di wilayah timur dan umumnya di daerah laut dalam. Sementara wilayah barat umumnya telah dieksplorasi secara mendalam. Perkembangan teknologi eksplorasi di tahun-tahun itu tidak membantu banyak seiring perbedaan kondisi geologi bawah permukaan wilayah timur dan wilayah barat. Dengan pengenalan kondisi geologi melalui intensifikasi kegiatan eksplorasi, success ratio ini diperkirakan dapat meningkat kembali. Kebijakan insentif yang dapat diterapkan adalah Split untuk produsen gas bertambah dan Split pemerintah berkurang yang tentunya dibarengi dengan klausul yang menguntungkan terhadap pemerintah seperti harga jual gas untuk domestik yang dapat ditekan sesuai dengan kemampuan keekonomian pasar dalam negeri. Dampak berantai dari kebijakan ini adalah menggiatnya kembali kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lapangan gas; tumbuhnya infrastruktur gas bumi (jaringan transmisi dan distribusi gas bumi baik melalui pipa maupun LNG) dan sarana aplikasi gas bumi secara komersial tanpa bantuan APBN, serta tumbuhnya perekonomian nasional yang berbasis energi murah. 76
Selain itu, kebijakan penyertaan pemerintah daerah dalam bentuk Participating Interest (PI) sebesar 10 persen pada kegiatan hulu migas harus dilakukan secara selektif karena pada praktik di lapangan, kebijakan ini malah membuat program pengembangan lapangan migas terhambat. Risiko kegiatan usaha hulu yang besar membuat pemerintah daerah membutuhkan waktu lama untuk mencari mitra usaha (partner) yang mampu menyerap risiko finansial yang timbul pada kegiatan eksploitasi tahap lanjut. Makin besar lapangan produksi yang akan dikerjakan, makin lama pula waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan mitra yang sesuai. Hal yang mungkin perlu dikaji adalah justru kebijakan participating interest di sisi hilir migas. Selain risiko usaha di hilir yang tidak sebesar di hulu, kebijakan ini juga diharapkan dapat memicu peningkatan infrastruktur migas yang menjadi syarat investasi di hilir, sementara pemerintah pusat lebih berperan aktif dalam penentuan atau jaminan alokasi gas. Contoh sederhana adalah pembangunan jaringan gas kota yang melibatkan partisipasi pemerintah daerah melalui penyertaan BUMD sebagai operator.
5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri Jumlah cadangan gas Indonesia yang besar ini jika dibanding cadangan dunia sebenarnya tidak signifikan yaitu 1,7 persen (nomor sebelas dunia) namun dalam tingkat regional Asia Pasifik jumlah ini merupakan yang terbesar di atas Australia yang hanya 1,6 persen. Kondisi cadangan gas yang merata di Asia Pasifik menjadikan tingkat kompetisi di pasar regional menjadi ketat. Saat ini dengan perkembangan cadangan gasnya, Australia dan Malaysia menjadi kompetitor utama. Ditambah dengan perkembangan shale gas di Amerika Serikat yang akan mengakibatkan oversuplai di tingkat domestik Amerika. Akibatnya produsen gas AS akan melirik pasar Asia Pasifik dan juga Eropa sehingga persaingan gas secara global akan lebih ketat di masa mendatang dan harga gas regional Asia cenderung menurun. Harga gas di hulu ditentukan melalui kontrak jual beli gas antara KKKS dengan pembeli gas, dan sebelum berlaku harga gas ini terebih dahulu mendapat persetujuan dari KESDM dengan pengawasan BP Migas. Harga gas di hulu rata-rata yang berlaku adalah US$ 3,8 per MMBTU. Harga masing-masing kontrak bervariasi, mulai dari US$ 1,8 per MMBTU untuk PJBG antara ChonocoPhillips dengan PT PGN, US$ 2,2 per MMBTU untuk 77
kontrak EP Pertamina dengan PT PGN, dan sebagainya. Tabel 18 memperlihatkan hargaharga gas di hulu untuk beberapa kontrak PJBG yang sudah berlaku saat ini.
Tabel 18 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012)
No 1 2
Kontraktor KKS ChonocoPhillips EP Pertamina (Region Sumatra)
Pembeli Gas
Harga (US$/MMBTU)
PGN PGN
1,85 2,20
Harga hasil Renegosiasi - Mei 20120 (US$/MMBTU) 5,60 5,50
Harga gas di hulu yang berlaku saat ini dianggap terlalu rendah, dibandingkan dengan harga gas untuk ekspor. Harga gas untuk kontrak dengan Malaysia dari blok Natuna B adalah US$ 5,5 per MMBTU. Bahkan saat ini harga gas yang berlaku internasional (jika kontrak dilakukan sekarang) mencapai US$ 12-16 per MMBTU. BP Migas kemudian meninjau kembali harga gas hulu ini dan pada bulan Mei 2012 memfasilitasi renegosiasi harga gas untuk beberapa PJBG yang sudah berlaku (amandemen) dan juga untuk konrak PJBG yang baru 12 . Untuk penjualan gas dari KKKS ChonocoPhillips, misalnya harga gas kemudian ditetapkan meningkat dari US$ 1,85 menjadi US$ 5,6 per MMBTU, dan juga ditetapkan bahwa harga gas akan menjadi US$ 6,5 per MMBTU pada tahun 2014. Renegosiasi dilakukan untuk mendongkrak harga gas hulu menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU. Argumen BP Migas merenegosiasi kenaikan harga adalah untuk memberikan kepastian pasokan dan ketersediaan gas di dalam negeri. PGN adalah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pengangkutan gas melalui pipa serta tata niaga gas – gas transporter dan trader. PGN membeli gas dari KKKS dan menyalurkannya melalui jaringan pipa gas transmisi miliknya. Disamping itu, PGN juga memberikan layanan pengangkutan gas pipa, dengan menerapkan toll-fee (US$0,41 per MMBTU) dan service fee (US$ 2 per MMBTU) bagi perusahaan-perusahaan yang akan memanfaatkan jaringan transmisi gas pipa milik PGN. Sebagai trader, PGN membeli gas dari sejumlah KKKS, kemudian menjualnya kepada konsumen akhir, seperti PLN dan industri. Tabel 19 memperlihatkan pembelian gas dari 12
Kepala BP Migas akan merenegosiasi harga gas hulu yang baru untuk 14 kontrak (Mei 2012)
78
beberapa KKKS dan harga yang disepakati. Chonoco Phillips merupakan Kontraktor KKKS dengan penjualan gas terbanyak (64 persen) dibandingkan dengan kontraktor KKS lainnya. Tabel 19 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN
1
ChonocoPhillips
1,85
Proporsi dari total pembelian gas (persen) 64
2
Pertamina Pagar Dewa
2,2
21
3
Pertamina Jawa Barat
2,5
5
4
Medco Lematang
2,65
5
5
Medco Keramasan
2,65
4
6
Ellips
NA
1
No
Harga (US$/MMBTU)
Kontraktor KKS
PGN menjual gas ke konsumen akhir dengan harga yang bervariasi, dengan memasukkan komponan harga gas yang di beli dari KKKS, toll-fee, dan service-fee. Dengan harga rata-rata gas hulu US$ 3,8 per MMBTU, maka harga gas rata-rata ke konsumen adalah US$ 6,2 per MMBTU. Dengan adanya kenaikan harga gas hulu (hasil renegosiasi BP Migas), dimana harga gas hulu naik menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU, PGN kemudian memberlakukan harga gas hiir baru, yakni dengan menaikkan rata-rata 55 persen dari harga gas yang berlaku saat ini, menjadi US$ 10,2 per MMBTU. Peran PGN dalam tata niaga gas sangat besar. Dari sebelas perusahaan yang bergerak di niaga gas, selama kuartal pertama 2012, PGN melakukan transaksi jual/beli migas sebesar 665,34 MMSCFD, yakni 88,5 persen dari total transaksi jual beli gas di dalam negeri. Dari sejumlah itu, kurang lebih 150 MMBTU atau 22,5 persen dijual oleh PGN ke PLN (Tabel 20).
79
Tabel 20 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 (BPH Migas, 2012)
Dengan perannya yang sangat dominan di dalam tata niaga gas dalam negeri, kenaikan harga yang diberlakukan oleh PGN sangat ‘memukul’ konsumen. Ongkos produksi naik mengikuti kenaikan harga gas. Pemerintah yang diinisiasi KESDM dan Kementerian Perindustrian, kemudian memutuskan untuk mereskedul kenaikan harga gas, baik itu harga gas hilir maupun hulu. Untuk harga gas hilir, kenaikan dilakukan secara bertahap, kenaikan 35 persen pada tanggal 1 September 2012, dan kenaikan 15 persen pada bulan April 2012. Dengan demikian kenaikan 50 persen (bukan 55 persen seperti yang ditetapkan oleh PGN), dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 8 bulan. Menurut jadwal kenaikan harga gas ini, pada taanggal 1 September 2012, harga gas PGN akan naik dari US$ 6,2 per MMBTU menjadi US$ 8,2 per MMBTU, dan pada tanggal 1 April 2013 mencapai US$ 9,0 per MMBTU. Di samping itu, kenaikan harga gas hulu juga akan ditinjau kembali. Gambar 33 memperlihatkan jadwal penyesuaian harga gas hulu dan hilir. 1 April 2013
1 September 2012
15%
35%
X=6 USD/MMBTU (Hilir)
Y=3.8 USD/MMBTU (Hulu)
Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X) 80
Untuk penetapan harga di hulu, mekanisme seleksi pembeli (konsumen) gas itu sendiri yang diatur melalui Peraturan Tata Kelola (PTK) BP Migas No. 29 tahun 2009. Untuk kepentingan umum – termasuk untuk kebutuhan energi di daerah penghasil, kelistrikan (PLN), kebutuhan lifting, pupuk, petrokimia, BBG dan Citygas - dilakukan melalui penunjukan langsung sementara untuk kepentingan bisnis – kelistrikan untuk kawasan industri, LPG, industri, eksport, dan lain-lain dilakukan melalui Beauty Contest (lelang terbatas) (Gambar 34).
Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu (BP Migas, 2011)
Dari mekanisme penentuan harga jual gas hulu, walaupun dalam persetujuan akhir berada di tangan pemerintah cq KESDM, namun peran pasif pemerintah dalam proses ini sedikit banyak mempengaruhi keputusan pemenang yang kurang tepat. Apabila pengawasan BP Migas kurang optimal, proses lelang dan penentuan harga mungkin saja akan lebih mencerminkan kepentingan produsen sebagai penjual yang ditunjuk BP Migas. Selain itu proses ini kadang kala menumbuhkan peluang badan usaha niaga terbatas (trader gas bumi tanpa fasilitas distribusi) yang dapat mendongkrak harga gas bumi di titik konsumen akhir (end user). Dampaknya, produsen gas bumi tidak dapat menyalurkan gasnya secara langsung pada konsumen akhir pada tingkat harga yang lebih kompetitif. 81
Khusus untuk sektor hilir, penetapan harga gas lebih diberikan kepada badan usaha niaga dan kurang memperhatikan kepentingan konsumen akhir. Oleh karenanya perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai harga gas di tingkat konsumen. Selain untuk melindungi kepentingan konsumen akhir, hal ini juga bertujuan juga untuk mencegah adanya praktik ‘calo atau makelar’ gas tanpa infrastruktur yang dapat membebani keekonomian gas di tingkat konsumen. Mekanisme pengaturan tersebut dapat melalui pengaturan IRR atau cap price di konsumen.
Kotak I Ilustrasi Sederhana Penerapan Kebijakan Subsidi Gas Asumsi Harga BBM bersubsidi = Rp.4500/ltr = $80/bbl = $12/MMBTU Harga LNG = $18/MMBTU Biaya cryogenic $3/MMBTU, Harga gas yang diterima kontraktor sebelum LNG plant = 18 – 3 = $15/MMBTU Asumsi biaya produksi gas (cost recovery) $3/MMBTU Bagian Kontraktor = 30% ($15-$3) + $3 = $6,6/MMBTU Dan bagian Pemerintah $15 - $6,6 = $8,4/MMBTU Dibandingkan dengan Harga BBM bersubsidi = $12/MMBTU Harga gas yang diterima dari ekspor LNG = $15/MMBTU Bagian Kontraktor $6,6 (44%) dan Pemerintah $8,4 (56%) Agar gas dapat mensubstitusi BBM bersubsidi, harga gas diturunkan, menjadi $8/MMBTU Dan agar Kontraktor tidak dirugikan, ia tetap mendapat $6,6/MMBTU, sedangkan Pemerintah mendapat $1,4/MMBTU Simple Cost Benefit Analysis. Dengan menjual gas di dalam negeri seharga $8/MMBTU, pemerintah menanggung opportunity loss $7/MMBTU Harga impor BBM, asumsi $130/bbl, dijual dengan harga subsidi $80/bbl. Pemerintah menanggung subsidi $50/bbl atau $8/MMBTU Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah untung $1 untuk setiap MMBTU substitusi gas terhadap BBM bersubsidi. Pemerintah menanggung opportunity loss $8,4 - $1,4 = $7/MMBTU Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah memperoleh keuntungan $1 untuk setiap MMBTU substitusi gas terhadap BBM bersubsidi.
Selain harmonisasi mekanisme penetapan harga gas di hulu dan di tingkat konsumen akhir dari trader, kebijakan yang perlu diusulkan adalah kebijakan subsidi gas untuk melindungi kerugian dari produsen. Dengan kebijakan ini harga gas yang diterima Kontraktor 82
tetap menarik, tetapi gas dijual kepada konsumen domestik tertentu dengan harga cukup menarik untuk mendorong konsumen meninggalkan BBM yang disubsidi. Selain keuntungan ekonomi, subsidi gas lebih cenderung lebih sulit disalahgunakan dibanding subsidi BBM. Walaupun demikian, pengambilan kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak menambah beban keuangan negara sehingga pada prakteknya penerapan kebijakan subsidi gas ini harus dilakukan simultan dengan pengurangan subsidi BBM dalam skala energi yang sama. Untuk mengimplementasikan hal ini perlu banyak upaya dalam pengembangan infrastruktur gas terutama pada sektor transportasi.
83
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1
Kesimpulan Peranan gas bumi Indonesia di masa mendatang akan menjadi kunci dalam
memperkuat perekonomian nasional baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku industri. Hal ini tidak lepas dari tren pergeseran peningkatan cadangan dan produksi migas dari dominasi minyak ke dominasi gas yang dipengaruhi kondisi geologi dan cekungan sedimen Indonesia. Di periode 2002 - 2012, produksi gas Indonesia meningkat rata-rata 1,3 persen sementara produksi minyak justru menurun rata-rata sebesar 3 persen. Peningkatan harga minyak dunia di periode tersebut tidak secara signifikan meningkatkan cadangan dan produksi minyak Indonesia. Sementara itu, kemunculan beberapa negara-negara produsen gas yang baru di kawasan Asia yang menyebabkan harga gas regional menurun tidak menyurutkan tren perkembangan penemuan lapangan gas baru di Indonesia. Dalam kondisi demikian, sebenarnya Indonesia telah menyiapkan berbagai perangkat kebijakan dan program peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri. Salah satunya adalah Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam Perpres No. 5 tahun 2006 yang salah satunya menargetkan porsi gas dalam bauran energi akan meningkat menjadi 30 persen (nomor dua setelah batubara 33 persen) di tahun 2025 dengan tingkat konsumsi gas dalam negeri meningkat dari 212,8 SBM menjadi 832 SBM. Untuk mendukung tercapainya target itu, beberapa kebijakan teknis sudah dikeluarkan pemerintah mulai dari RIJTDGB yang dimulai tahun 2006, neraca gas yang dimulai tahun 2007 dan diperbaharui setiap tahun sampai pada pengaturan mengenai kegiatan usaha gas melalui Permen No. 19 tahun 2009 dan alokasi gas melalui Permen ESDM No. 3 tahun 2009. Namun demikian, sampai saat ini pemanfaatan gas bumi masih saja rendah. Walaupun secara konsumsi riil gas Indonesia meningkat namun sampai tahun 2011 porsi gas Indonesia justru menurun dari 22,4 persen di tahun 2005 menjadi 20,4 persen. Pemanfaatan gas dalam negeri sendiri hanya meningkat sedikit dari 43,6 di tahun 2005 menjadi 47 persen. Sektor pengguna utama gas dalam negeri adalah pupuk – petrokimia, listrik dan industri dengan pertumbuhan sektor industri yang paling cepat yaitu rata-rata 7,7 persen per tahun dari tahun 2001 – 2011.
84
Perlambatan pemanfaatan gas ini tidak lepas dari efek proses deregulasi industri gas Indonesia yang diamanatkan UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Beberapa hal pokok dari UU itu adalah pemisahan sektor hulu dan hilir dengan BP Migas sebagai pelaksana pengawasan dan pengendalian di sektor hulu dan BPH Migas sebagai pengatur kegiatan usaha di sektor hilir. Prinsip pokok dari proses deregulasi ini adalah penghapusan monopoli usaha migas melalui sistem kompetisi yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dengan memaksimalkan penerimaan atau keuntungan negara. Mekanisme efisiensi kegiatan usaha migas dilakukan melalui kebijakan pengaturan open access dalam pemanfaatan infrastruktur dengan tetap menjunjung aspek fairness melalui kebijakan unbundling usaha pengangkutan dan usaha niaga. Sementara mekanisme efektifitas dilakukan melalui penetapan prioritas alokasi gas. Pada perkembangan proses deregulasi melalui UU No. 22 tahun 2001 dan peraturan di bawahnya, terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2 terkait kewajiban pasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 21 Desember 2004, dan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU yang berkaitan dengan posisi BP Migas yang tidak konstitusional pada tanggal 13 November 2012 sehingga harus dibubarkan. Untuk mengisi kekosongan lembaga, sampai terbentuk tugas BP Migas dialihkan kepada Kementerian ESDM melalui Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas (SKSP Migas) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 95 tahun 2012 dan Kepmen ESDM No. 3135 dan 3136 . Permasalahan pokok dalam mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah permasalahan infrastruktur, pengaturan harga dan penetapan alokasi gas. Permasalahan infrastruktur lebih disebabkan perencanaan infrastruktur yang ada melalui RIJTDGB belum bersifat terintegrasi antara penyediaan dan kebutuhan gas. Perencanaan infrastruktur RIJTDGB kurang memperhatikan perencanaan sektor lainnya seperti industri, listrik dan pupuk sehingga penempatan infrastruktur gas kurang efektif dalam memaksimalkan kebutuhan gas dalam negeri sehingga infrastruktur gas yang ada kurang termanfaatkan dengan optimal. Sementara permasalahan harga lebih disebabkan oleh tidak adanya pengaturan penetapan harga hilir di tingkat konsumen (pengguna umum) oleh pemerintah dan selama ini dilakukan oleh badan usaha secara business to business. Akibatnya banyak tumbuh
85
badan usaha niaga (trader) tanpa fasilitas dan perkembangan jaringan distribusi gas yang lambat. Permasalahan prioritas alokasi gas sebenarnya sudah dicoba diselesaikan melalui Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk dalam Negeri, namun sampai saat ini berdasarkan realisasi penyaluran gas, porsi ekspor masih lebih prioritas dari pemanfaatan dalam negeri. Selain itu, dari urutan prioritas pengguna gas yang diatur dalam Permen ESDM tersebut masih menjadi perdebatan di antara stakeholder gas itu sendiri baik dari pihak pemerintah (KESDM, Kemenperin, dan lain-lain) maupun dari pihak pengguna gas (pupuk, industri, listrik, migas).
6.2
Rekomendasi
Mempertimbangkan hasil dari kajian ini, beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah sebagai berikut : 1. Percepatan Revisi UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Harus diakui bahwa lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas didasari oleh semangat reformasi termasuk di sektor migas dengan konsep deregulasi baik di sektor hulu dan hilir. Namun demikian, akibat proses penyusunan UU tersebut dilakukan secara cepat timbul beberapa masalah lainnya. Pada beberapa kesempatan, pasal-pasal dalam UU ini dibatalkan MK dengan pertimbangan tidak sesuai dengan semangat konstitusi UUD 1945. Atas dasar itulah, perlu segera dikeluarkan revisi terhadap UU Migas. Berdasarkan data dari DPR, revisi UU Migas sudah masuk ke dalam Prolegnas sejak tahun 2010 atas inisiatif DPR. Namun sampai saat ini draft usulan belum sekalipun dibahas. Tidak hanya itu, Naskah Akademik sebagai persyaratan pembahasan juga masih dalam tahap penyiapan. Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam UU ini adalah : (a) Penyempurnaan Aspek Kelembagaan : Bubarnya BP Migas melalui keputusan MK merupakan salah satu hal yang perlu menjadi perhatian. Walaupun saat ini peran BP Migas diambil alih oleh SKSP Migas yang berada di bawah KESDM, namun untuk ke depannya perlu segera dipikirkan badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk mengelola usaha hulu migas serta mekanisme koordinasi antar lembaga. Beberapa opsi bentuk kelembagaan yang 86
mengemuka saat ini adalah BUMN, BHMN atau langsung pemerintah sendiri melalui KESDM. Penentuan lembaga ini perlu memperhatikan alasan putusan MK mengenai pembubaran BP Migas yang salah satunya inefisiensi pengelolaan dan menimbulkan bias kewenangan negara dalam pengelolaan migas yang dalam hal ini diwakili pemerintah melalui kementerian sektor (ESDM) sehingga apapun bentuk kelembagaan itu seyogyanya berada di bawah Menteri sebagai otoritas penetap kebijakan. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, dalam lembaga ini perlu dibentuk dewan pengawas (semacam Wali Amanat atau Dewan Komisaris yang anggotanya tidak hanya berasal dari sektor energi tetapi juga berasal dari pemanfaat migas) (b) Integrasi Sektor Hulu – Hilir Selama ini pemisahan antara hulu dan hilir yang juga disertai pembentukan BP Migas dan BPH Migas mengakibatkan sulitnya mencapai target dan sasaran sebagaimana yang ditetapkan dalam perencanaan gas. Sebagai contoh banyaknya proyek infrastruktur gas yang direncanakan saat ini seringkali mengalami penundaan beberapa tahun lamanya. Hal ini disebabkan karena dalam perencanaannya, kurang memperhatikan pasokan (hulu) atau kebutuhan (hilir). Selain itu, pemisahan badan pelaksana hulu dan pengatur hilir yang memiliki indeks kinerja kunci yang berbeda seringkali mempersulit koordinasi. Sebagai contoh walaupun dalam visi dan misi BP Migas dan BPH Migas memiliki kesamaan untuk memaksimalkan kemakmuran masyarakat namun BP/SKSP Migas lebih berorientasi untuk memaksimalkan penerimaan negara, tanpa memandang kemampuan dan daya beli konsumen gas dalam negeri. Sementara BPH Migas dalam salah satu visinya justru bertujuan untuk lebih mengutamakan peningkatan pemanfaatan gas melalui persaingan usaha yang sehat. Oleh karenanya sebaiknya hanya ada satu lembaga yang berfungsi pelaksana, dan pengatur migas (hulu dan hilir) yang berada di bawah KESDM. Sementara itu, Ditjen Migas melepaskan fungsi pengaturan untuk lebih fokus dalam fungsinya sebagai otoritas penetap dan pengawas kebijakan. 2. Penyempurnaan RIJTDGB Dalam menyempurnakan RIJTDGB, penyempurnaan yang diambil di antaranya mengenai mekanisme dan substansi dari RIJTDGB di antaranya :
87
• Membuat lebih detail dari aspek teknis jaringan pipa yang direncanakan baik pipa transmisi maupun distribusi. Data-data teknis itu diantaranya volume yang akan dialirkan, panjang maupun diameter pipa, dan besaran tekanannya, jumlah jalur dan kondisi akses pipa. • Memuat lebih banyak skenario atau alternatif moda transportasi. • Proses penyusunannya perlu memperhatikan neraca gas, rencana sektor perindustrian, pupuk, kelistrikan dan sektor lainnya pemanfaat gas. 3. Penyempurnaan Prioritas Alokasi dan Kebijakan Harga Gas Dalam Negeri (a) Renegosiasi Porsi Gas Ekspor dan Penyempurnaan Kebijakan Alokasi Gas Karena keterbatasan pasokan gas domestik dalam memenuhi kebutuhan pengguna gas dalam negeri, perlu dilakukan dua hal penting yaitu : (i) renegosiasi ekspor gas yang bertujuan mengurangi porsi gas yang diekspor suntuk dialihkan untuk penggunaan dalam negeri; (ii) penyempurnaan kebijakan alokasi gas yang tepat sasaran dan disepakati oleh berbagai sektor pengguna baik dari kementerian maupun asosiasi selaku perwakilan swasta. Kebijakan alokasi gas saat ini yang terdapat pada Permen ESDM No. 3 tahun 2010 cenderung lebih bersifat ‘ESDM’ sentris dan kurang mengakomodir sektor di luar ESDM. Kebijakan ini hanya mengedepankan penerimaan negara secara langsung melalui alokasi gas untuk lifting minyak. Sementara sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi seperti industri dan listrik menjadi urutan prioritas terakhir. Padahal dari proses peningkatan nilai tambah itu, terdapat potensi penerimaan negara yang tinggi dan dalam jangka waktu lama. Benefit jangka panjangnya adalah tingkat competitiveness negara akan terangkat yang akan mendukung tumbuhnya investasi di sektor industri yang menyerap tenaga kerja lebih banyak di banding sektor produksi minyak. Kebijakan alokasi hasil kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam Rencana Alokasi Gas dalam jangka waktu 5 tahun. Bila diperlukan, BUMN seperti PGN dan Pertagas dapat dilibatkan melalui penugasan khusus untuk mengawal terlaksananya rencana alokasi gas tersebut. (b) Transparansi Biaya Produksi (Konsumen dan Produsen) dalam Mendukung Penetapan Kebijakan Harga Gas Sesuai dengan putusan MK tahun 2004, penetapan harga BBM dan gas bumi dilakukan oleh pemerintah dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Hal ini 88
ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa. Walaupun demikian, kebijakan harga gas dari pemerintah harus juga mencerminkan tingkat keekonomian agar mendorong investor migas dalam mengembangkan lapangan-lapangan gas. Dalam rangka memaksimalkan penerimaan negara, kebijakan harga gas saat ini masih berpihak pada produsen sehingga perlu didorong adanya kewajiban transparansi biaya produksi baik dari pihak hulu (produsen), tengah (pengangkut) dan hilir (konsumen). Dengan transparansi ini, pemerintah dapat mengambil kebijakan pengaturan harga gas yang layak untuk konsumen dalam negeri di berbagai level dengan berbagai mekanisme baik penetapan langsung atau secara model. (c) Keterlibatan Aktif Pemerintah dalam Mekanisme Seleksi Konsumen Gas Selama ini peran pemerintah dalam proses seleksi konsumen gas dalam negeri kurang aktif dan hanya sebatas persetujuan akhir. Selama ini peran BP Migas (sekarang SKSP Migas) dan Produsen memegang peranan penting dalam seleksi tender. Penunjukan produsen gas sebagai penjual gas bumi bagian pemerintah seperti yang saat ini terjadi dan ketentuan anggaran BP Migas yang berasal dari pendapatan negara dari sektor hulu migas (sekitar 1 persen) menciptakan hasil lelang yang lebih mengutamakan pendapatan negara tanpa melihat kepentingan pembangunan lainnya. Akibatnya kepentingan ekspor saat ini lebih diprioritaskan karena menguntungkan dari segi harga. Untuk itu, peran aktif pemerintah dalam proses seleksi dan negosiasi harga gas bagian pemerintah perlu dikedepankan. Apabila diperlukan, pemerintah dapat menugaskan BUMN sebagai penjual gas bagian pemerintah dengan pengawasan langsung di bawah pemerintah. 4. Penyempurnaan Kebijakan Fiskal untuk Pemanfaatan Gas dalam Negeri Beberapa terobosan kebijakan fiskal yang dapat diambil oleh pemerintah adalah: (a) Penambahan Porsi Bagi Hasil Kontraktor dalam Skema KKS Saat ini, meskipun dalam beberapa tahun ini terjadi peningkatan produksi gas yang signifikan namun tidak sebanding dengan peningkatan cadangan gas. Selain itu risiko eksplorasi, dengan menurunnya faktor success ratio, menjadi tantangan tersendiri. Dalam rangka itu diperlukan adanya kebijakan fiskal yang menarik dapat menarik investor untuk mengeksplorasi daerah-daerah baru di antaranya dengan menambah 89
porsi bagian kontraktor dalam KKS. Saat ini kebijakan bagi hasil gas umumnya adalah 70 persen bagian pemerintah dan 30 persen bagian pengembang. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai perubahan pola bagi hasil ini, baik untuk gas conventional maupun unconventional. Sebaiknya, penerapan kebijakan ini dikombinasikan dengan peningkatan porsi gas DMO apabila proyek pengembangan hulu berhasil. (b) Penerapan Subsidi Gas Subsidi gas dilakukan dengan pertimbangan adanya gap harga ekspor gas dengan kemampuan daya beli konsumen dalam negeri. Pemberian subsidi ini sebaiknya diberikan terutama sektor-sektor yang masih menggunakan BBM seperti sektor transportasi. 5. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Open Access dan Unbundling Selama ini pelaksanaan kebijakan open access dan unbundling belum efektif dalam mencapai pengembangan gas yang efisien dan transparan. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan kebijakan dilakukan secara cepat tanpa melalui pentahapan dan kurang memperhitungkan kondisi riil. Selain itu faktor tidak adanya dukungan regulasi lainnya menjadikan kebijakan ini tidak efektif.
6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi Sebagai tindak lanjut dari rekomendasi ini, berikut adalah matriks tindak lanjut untuk para pemangku kepentingan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi.
90
No.
Pemangku Kepentingan
Rekomendasi
1.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
1. 2.
Memimpin koordinasi pelaksanaan strategi kebijakan percepatan pembangunan industri gas Mengkoordinasikan kajian tentang nilai manfaat gas terhadap berbagai sektor untuk menentukan prioritas alokasi gas
2.
Kementerian PPN/ Bappenas
1.
Memimpin koordinasi perencanaan strategi percepatan pembangunan industri gas (termasuk penyusunan Rencana Induk Pengembangan Industri Gas) Melakukan kajian penyusunan model pengembangan industri gas bersama-sama stakeholder gas lainnya. Menjadi instansi yang menghubungkan sektor di bidang ekonomi dengan bidang lainnya (Kesra dan Polhukkam) terkait pemanfatan gas dalam negeri
2. 3. 3.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
1. 2.
3. 4. 5. 4.
Kementerian Keuangan
1.
Koordinasi dengan Komisi VII DPR untuk mempercepat pembahasan UU Migas termasuk fasilitasi restrukturisasi kelembagaan migas guna percepatan pengembangan gas bumi Melakukan inventarisasi dan pengkajian peraturan perundangan yang menghambat upaya percepatan pembangunan industri gas bumi (termasuk aturan dan mekanisme pemilihan pemenang lelang gas dan lain-lain) serta mengusulkan penyempurnaan kebijakan tersebut. Fasilitasi perijinan terkait penyediaan gas dan pembangunan infrastruktur gas di tingkat pusat dan daerah Melakukan percepatan penemuan cadangan baru melalui penyempurnaan kebijakan kontrak kerja sama (termasuk melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas bersama Kementerian Keuangan) dan kebijakan terkait lainnya. Mempermudah proses persetujuan POD yang pertama
3. 4. 5.
Memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan dalam rangka percepatan pembangunan industri gas bumi baik di hulu maupun di hilir Memberikan dukungan dan evaluasi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang keuangan negara mendukung percepatan pemanfaatan gas bumi dalam negeri. Melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas (bersama KESDM) Pelaksanaan insentif fiskal bagi pengembangan pemanfaatan gas bumi jika diperlukan. Pengkajian mekanisme subsidi gas dan pelaksanaannya untuk mempercepat pengembangan industri gas bumi.
2.
5.
Kementerian Perindustrian
1. 2. 3. 4.
Inventarisasi kebutuhan gas untuk sektor industri Melakukan kajian prioritisasi kluster industri yang memakai gas Mengembangkan industri peralatan (konverter dan lainnya) yang mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang industri yang mendukung konversi BBM ke BBG
6.
Kementerian Pertanian
1. 2. 3.
Melakukan inventarisasi kebutuhan gas dari industri pupuk Melakukan kajian mengenai insentif harga gas untuk pupuk bersama Kementerian Keuangan dan mengusulkan hasilnya Melakukan pengawasan hasil produksi pupuk agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan untuk diekspor
91
7.
Kementerian Negara BUMN
1. 2.
Pelaksanaan restrukturisasi korporat guna mendukung pengembangan pemanfaatan gas bumi. Sinkronisasi antar BUMN terkait untuk bisa mengoptimalkan penggunaan gas untuk kepentingan domestik.
8.
Kementerian Perhubungan
1. 2.
Meningkatkan fungsi infrastruktur transportasi terutama kendaraan untuk mendukung konversi BBM ke BBG Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang transportasi yang mendukung konversi BBM ke BBG
9.
Kementerian Kehutanan
1.
Memberikan dukungan kebijakan terkait optimalisasi penggunaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan infrastruktur gas Mempercepat penyelesaian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha hulu dan hilir gas sesuai persyaratan yang ditetapkan
2. 10.
Kementerian Hukum dan HAM
11.
BPH Migas
Memberikan dukungan pengharmonisasian peraturan perundangan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi 1.
Evaluasi regulasi dan kebijakan yang ada untuk mendukung percepatan pengembangan pemanfaatan gas bumi termasuk usaha hilirnya.
2.
Fasilitasi percepatan pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi gas untuk kebutuhan domestik.
3.
Mengusulkan perbaikan kelembagaan Migas
12.
Badan Pertanahan Nasional
Mempercepat pemberian hak atas tanah yang dipergunakan untuk mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi (terutama dalam hal pembangunan infrastruktur)
13.
Pemda (Provinsi dan Kota/Kabupaten)
Melakukan percepatan dan kemudahan perijinan yang terkait dengan upaya percepatan pembangunan industri gas bumi
92
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2012. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi [Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Mahkamah Konstitusi. Jakarta __________.2012. Rancangan Kebijakan Energi Nasional. Bahan Presentasi. Dewan Energi Nasional. Jakarta. __________. 2012. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Bahan Presentasi. BPH Migas. Jakarta _________. 2012. Strategi dan Peran PLN Dalam Pemanfaatan Gas untuk Pembangkit PLN. PT. PLN (Persero). Bahan Presentasi. Jakarta _________. 2012. Strategi dan Peran PGN dalam Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi Dalam Negeri. PT. PGN. Bahan Presentasi. Jakarta __________. 2012. Kebijakan Hilir Pengembangan Gas Bumi. Bahan Presentasi. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta. __________. 2010. Pemanfaatan Gas untuk Kebutuhan dalam Negeri – Implikasinya Terhadap Penyediaan Infrastruktur Gas Bumi. Bahan Presentasi. Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan. Bappenas. Jakarta __________. 2010. Neraca Gas Indonesia, 2010-2025. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta _________. 2012. Oil and Gas In Indonesia (Investment and Taxation Guide) 2012. Pricewatercopper. Jakarta Arsegianto. 2012. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Gas Untuk Kebutuhan Domestik. Bahan Presentasi. ITB. Bandung Baskoro, Michael. 2011. Alligning Indonesia’s Gas Chain for Optimation of Open Access, Gas Bundling and Tariff Policies. Bahan Presentasi. Indogas-2011. Jakarta Girianna, Montty. 2012. Economic Value Defines The Path For Gas Market. Jakarta Post. Jakarta Girianna, Montty dkk. 2011. Structuring Domestic Gas Market. IRSA. Jakarta Girianna, Montty. 2011. Gas To Benefit The Country’s Growing Economy. Jakarta Post. Jakarta Girianna, Montty. 2009. Seeking Revision To Our LNG Price For Fujian Market. Jakarta Post. Jakarta Girianna, Montty. 2007. Challenges And Potential Of Domestic Gas Market. Jakarta Post. Jakarta Juris, Andres. 1998. The Emergence Of Markets In The Natural Gas Industry. Public Policy For Private Sector. World Bank. Washington Nafis, Popi Ahmad. 2012. Strategi Penetapan Harga Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung Pemanfaatan Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BP Migas. Jakarta Nugroho, Hanan. 2004. Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan Dan Gagasan. Majalah Perencanaan Pembangunan. Bappenas. Jakarta 93
Nugroho, Hanan. 2011. A Mosaic of Indonesian Energy Policy. ITB Press. Bogor Nugroho, Hanan. 2012. Energi Dalam Perencanaan Pembangunan. ITB Press. Bogor Purwanto, Widodo. 2012. Pengembangan Pasar Gas Bumi Dalam Negeri dan Mekanisme Pricing (International Best Practices). Bahan Presentasi. UI. Jakarta. Purwanto, Sri Wahyu. 2012. Strategi Pengaturan Usaha Hilir Gas Bumi Dalam Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BPH Migas. Jakarta. Wagimin, Naryanto. 2012. Kebijakan Alokasi Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung Pemanfaatan Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta Tanduk, Tony. 2012. Dukungan Dan Peran Gas Bumi Terhadap Pembangunan Sektor Industri Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Kementerian Perindustrian. Jakarta. Tjandranegara, Abdul Qoyum. 2012. Ekspor Gas Bumi & Lifting Minyak Dgn Gas Bumi Berakibat Negara Kehilangan Devisa. Bahan Presentasi. Jakarta Safiun, Ahmad. 2012. Kebutuhan Gas Dari Sektor Industri. Bahan Presentasi. FIPGB. Jakarta. Soedarmo, Erie. 2012. Prospek Bisnis Industri Gas Serta Upaya Peningkatan Nilai Tambah Produk Gas Bumi. Bahan Presentasi. Jakarta Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan as Bumi Untuk Dalam Negeri. KESDM. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2000 tentang Kegiatan Usaha Hilir Gas Bumi. KESDM. Jakarta. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 2002 tentang Badan Pengatur dan Penyediaan Hilir Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta. Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.
94