PERBEDAAN TINGKAT STRES SEBELUM DAN SETELAH PELATIHAN MANAJEMEN STRES PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR DI ASRAMA ACEH
Yulisya Damayanti Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta 55166
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pe rbedaan tingkat stres sebelum dan setelah pelatihan manajemen stres pada mahasiswa. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala stres.Rancangan penelitian yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design. Analisis penelitian yang digunakan adalah analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dengan uji hipotesis menggunakan analisis uji t-test untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pelatihan manajemen stres dalam mengurangi stres pada kelompok eksperimen. Hasil penelitian yaitu p ada pre test dan post test stres menunjukkan bahwa ada perbedaan stres pada kelompok ekperimen dengan nilai t= 13,215, p=0,000, p<0,05. Kesimpulan penelitian ini adalah a da perbedaan tingkat stres yang signifikan pada kelompok eksperimen setelahb diberikan pelatihan manejemen stres Kata kunci : Mahasiswa, Manajemen Stres, Stres.
Abstract This study aims to determine the pe rbedaan stress levels before and after stress management training to the students. The data was collected using a stress scale.The study design used is the One-Group Pretest-Posttest Design. Analysis of the study is a quantitative analysis. Quantitative analysis with hypothesis testing using t-test analysis to determine whether there is influence of stress management training in reducing stress in the experimental group.The results are on the pre-test and post-test showed that there were differences in stress stress in the experiment with the value t = 13.215, p = 0.000, p <0.05.The conclusion of this study is that there are significant differences in the level of stress in the experimental group after being given stress management training Keywords: Students, Stress Management, Stress.
PENDAHULUAN Penelitian Clay (Purwanti, 2005) di San Fansisco State Collage terhadap sejumlah mahasiswa berprestasi tinggi, mengenai berbagai alasan atas keberhasilan belajar mereka. Clay menyimpulkan bahwa keberhasilan belajar dipengaruhi oleh kebiasaan belajar yang baik sebanyak 38%, minat yang tinggi mencapai tingkat 25%, inteligensi mencapai tingkat 15%, faktor keluarga
5%, dan faktor-faktor lain sebanyak 22%. Dengan demikian, kebiasaan studi yang baik paling besar pengaruhnya terhadap tingkat keberhasilan mahasiswa. Mahasiswa pada dasarnya akan mengalami berbagai kendala dan tuntutan yang harus dijalaninya, ketika menjadi seorang mahasiswa. Tuntutan tersebut mulai dari keluarga yang mengharapkan nilai indeks prestasi yang tinggi atau bagi mahasiswa yang sudah menempuh seluruh perkuliahan Perguruan tinggi sebagai salah satu wadah pendidikan diharapkan dapat membantu peserta didiknya untuk menjadi orang-orang yang dapat memberikan sumbangan pemikiran atas terwujudnya pembangunan. Mahasiswa sebagai manusia ilmiah diharapkan mampu menjadi sumber daya yang dapat menciptakan keharmonisan dan kedinamisan pembangunan bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka seorang mahasiswa harus memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga setelah lulus atau meraih gelar kesarjanaan, ia benar-benar mampu menjadi manusia berkualitas yang dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama kuliah dalam lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan sosial masyarakat. Namun demikian, untuk mencapai keberhasilan diperlukan usaha yang kuat dan keras. Tidak sedikit hambatan dalam mencapai dan mempertahankan kinerja akademik.untuk segera menyelesaikan masa studi, hingga tuntutan dari tempat fakultas dengan batasan waktu perkuliahan. Kondisi tersebut akan membuat mahasiswa menjadi individu yang tertekan, terutama dikarenakan kondisi lingkungan yang menekannya. Kondisi yang menekan tersebut salah satunya disebutkan sebagai stres. Stres suatu keadaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Keadaan yang tercipta ini merupakan suatu keadaan yang sangat mengganjal dalam diri individu karena adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan yang ada (Chaplin, 200). Taylor (1995) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang tidak seimbang antara sumber pribadi (personal resources) dengan tuntutan yang dimiliki. Ketidakseimbangan tersebut dinilai oleh individu sebagai sebuah kondisi yang berbahaya dan mengancam keberadaannya. Stres adalah tuntutan terhadap sistem yang menghasilkan ketegangan, kecemasan dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra (Sundberg dkk, 2007). Markam (2003) menganggap stres merupakan keadaan ketika beban yang dirasakannyaterlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya. Sarafino (1994) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan. Stres berdasarkan teori kognitif dikatakan bahwa stres timbul sebagai reaksi subjektif setelah seseorang melakukan perbandingan antara implikasi negatif dari kejadian yang menegangkan dengan kemampuan atau sumber daya yang memadai untuk mengatasi kejadian tersebut, sehingga stres terjadi karena seseorang memandang besar akibat dari kejadian yang menegangkan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Berdasarkan wawancara pada tiga orang mahasiswa pada tanggal 15 November 2012 diperoleh informasi bahwa sebagian besar pernah mengalami tekanan baik dari keluarga, lingkungan tempat tinggal, atau dari tempat perkulihannya. Tekanan-tekanan ini sering menimbulkan reaksi yang beragam mulai dari pusing, mual, keringat dingin, masuk angin, bahkan sampai ada yang dirawat dirumah sakit, emosinya juga menjadi tidak stabil hingga terkadang mudah marah, menangis dan mengurung diri dikamar terkadang juga malah menghindari tekanan atau masalah dengan jalan-jalan dan membuang waktu diluar akhirnya menjadi malas untuk mengerjakan tugas kuliah ataupun tugas akhir. Pada penelitian ini, peneliti ingin mencoba menurunkan stres pada mahasiswa dengan
memberikan pelatihan mengenai manajemen stres. Smet (1994) mengatakan bahwa manajemen stres memfokuskan pada pengurangan reaksi stres. Tujuan manajemen stres adalah untuk mengontrol stres sehingga menjadi tidak berbahaya dan tidak lagi mengancam. Menurut Meichenbaum & Jaremko (Taylor, 1995) Menejemen stres yaitu memberikan pembelajaran mengenal stres dan bagaimana mengenali sumber stres yang muncul dalam kehidupannya, serta dapat mempraktekkan teknik manajemen stres pada suatu peristiwa. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai kegunaan manajemen stres, antara lain Antoni dkk (2000) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh manajemen stres kognitif perlakuan pada kecemasan pria gay yang terinveksi HIV. Hasil yang diperoleh adalah perlakuan manajemen stres kognitif perlakuan terbukti efektif untuk menurunkan kecemasan pria gay yang terinfeksi HIV. Pada tahun 2006 Antoni kembali melakukan penelitian untuk melihat pengaruh manajemen stres untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker payudara. Tujuan penelitian ini adalah mengajarkan para wanita agar memiliki strategi koping yang baik dalam menghadapi sumber stres sehari-hari dan mengoptimalkan potensinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan manajemen stres dapat mengurangi kecemasan, meningkatkan kesadaran terhadap gejalan dan sumber stres, membantu memindahkan pikiran negatif pada penderita kanker payudara. Taylor (1995) menjelaskan bahwa manajemen stres dapat dipelajari dan dapat diberikan dengan tehnik individu seperti konseling dan workshop. Pada umumnya manajemen stres diberikan dalam bentuk workshop atau pelatihan. Begitu pula pada penelitian ini akan memberikan manajemen stres dengan pendekatan pelatihan. Pendekatan pelatihan dipilih karena pelatihan merupakan suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah aspek kognitif, afektif serta hasil ketrampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Johnson dan Johnson (2001) menyatakan bahwa metode pelatihan berdasarkan prinsip experintal learning, yaitu bahwa perilaku manusia terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk menambah efektivitas dan semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan dan berjalan dengan otomatis serta individu semakin berusaha memodifikasi perilaku yang sesuai dengan situasi. Pelatihan manajemen stres pada mahasiswa yang diberikan, diharapkan mampu mengatasi permasalahan akibat tekanan yang dialaminya baik dari lingkungan akademisi atau dari keluarga secara mandiri, sehingga para mahasiswa dapat memaknai pengalaman yang dirasakannya dan dijalaninya secara positif dan lebih baik. Pelatihan stres dalam upaya menurunkan stres pada mahasiswa oleh peneliti untuk mengetahui psebelum dan setelah pelatihan stres Apakah ada tingkat stres mahasiswa setelah diberikan pelatihan stres. Tinjauan Pustaka Stres adalah suatu keadaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Keadaan yang tercipta ini merupakan suatu keadaan yang sangat mengganjal dalam diri individu karena adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan yang ada (Chaplin, 2002). Taylor (1995) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang tidak seimbang antara sumber pribadi (personal resources) dengan tuntutan yang dimiliki. Ketidakseimbangan tersebut dinilai oleh individu sebagai sebuah kondisi yang berbahaya dan mengancam keberadaannya. Stres adalah tuntutan terhadap sistem yang menghasilkan ketegangan, kecemasan dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra (Sundberg dkk, 2007). Markam (2003) menganggap stres merupakan keadaan ketika beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya.
Sarafino (1994) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan. Sutherland dan Cooper (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa kebanyakan definisi tentang stres dibagi atas tiga macam : a. Definisi yang menekankan stres sebagai stimulus, yaitu kekuatan atau dorongan terhadap individu yang menimbulkan reaksi ketegangan atau perubahan-perubahan fisik pada individu. Kejadian atau lingkungan yang menimbulkan perasaan tegang tersebut disebut stresor. Stresor dapat meliputi suatu rentang yang luas, seperti : (1) kejadian katastropik, contohnya: tsunami dan gempa bumi, (2) kejadian hidup yang utama, contohnya: kehilangan orang yang dicintai atau kehilangan pekerjaan, (3) keadaan yang kronis, contohnya: menderita penyakit radang sendi yang menahun. b. Definisi yang menekankan stres sebagai respon, yaitu respon individu baik yang bersifat fisiologik berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat, seperti jantung berdebar, mulut menjadi kering, perut mulas dan tubuh berkeringat maupun respon yang bersifat psikologik yang meliputi berbagai bentuk perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan terhadap sumber stres yang berasal dari lingkungan. Sumber stres tersebut merupakan situasi atau peristiwa dari luar yang bersifat mengancam individu. c. Definisi yang menekankan stres sebagai interaksi antara stimulus dan respon, yaitu stres merupakan akibat dari interaksi antara stimulus yang bersumber dari lingkungan dan respon individu terhadap stimulus tersebut. Stres dipandang sebagai bentuk interaksi yang unik antara stimulus dan kecenderungan individu untuk merespon dengan cara tertentu. Stres berdasarkan teori kognitif dikatakan bahwa stres timbul sebagai reaksi subjektif setelah seseorang melakukan perbandingan antara impilkasi negatif dari kejadian yang menegangkan dengan kemampuan atau sumber daya yang memadai untuk mengatasi kejadian tersebut, sehingga stres terjadi karena seseorang memandang besar akibat dari kejadian yang menegangkan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Dari beberapa definisi stres diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi setiap tekanan yang ditujukan atau dialami oleh dirinya dari lingkungannya. Selain itu, menurut Taylor (1995) ada beberapa macam respon terhadap stres dan respon itu berakibat secara fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku. Respon-respon tersebut sebagai berikut : a. Respon fisiologis Ada banyak respon fisiologis terhadap stres yang melibatkan sistem saraf dan endokrin. Stres mengakibatkan sistem saraf simpatik menjadi aktif, sehingga tekanan darah meningkat, detak jantung lebih cepat, konduksi kulit meningkat, dan pernafasan juga bertambah. Ini terlihat antara lain ketika individu dihadapkan pada keadaan yang membuat stres, tiba-tiba wajahnya memucat, berkeringat dingin, dan jantungnya berdebar keras. b. Respon kognitif Respon kognitif terhadap stres meliputi hasil-hasil dari proses penilaian dan kemampuan kontrol individu. Respon kognitif juga meliputi respon stres yang tidak direncanakan seperti kebingungan dan ketidakmampuan berkonsentrasi, gangguan performansi pada tugas-tugas kognitif, dan pikiran-pikiran tak wajar, intrusif dan berulang-ulang. c. Respon emosional dan perilaku Respon emosional meliputi ketakutan, kecemasan, kegembiraan, merasa malu, marah, depresi, dan juga sikap yang sabar, tabah, atau penyangkalan. Respon perilaku sebenarnya tak
terbatas, tergantung sifat dari keadaan stres. Dua kategori yang umum dari respon perilaku adalah melawan stresor (fight) atau melarikan diri dari ancaman (flight). Sarafino (1994) ada 4 pola gangguan yang merupakan respon terhadap stres : a. Emosi, yaitu gangguan perasaan yang muncul antara lain cemas, mudah tersinggung, marah, gelisah, depresi, sensitif, gugup, sedih, dan perasaan bersalah yang berlebihan. b. Kognisi, yaitu gangguan pada fungsi pikir, antara lain kurang konsentrasi, mudah lupa, tidak mampu membuat keputusan. c. Perilaku, pola gangguan perilaku yang mungkin timbul akibat stres seperti misalnya, ketidakmampuan bersosialisasi, gangguan dalam hubungan interpersonal dan peran sosial. d. Fisiologis, yaitu gangguan kesehatan fisik seperti tegang, gemetar, mudah lelah, sakit kepala, jantung berdebar-debar, sakit perut, sulit tidur, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa reaksi stres yang disebutkan di atas, peneliti dalam penelitian ini untuk mengukur skala stres yang dialami mahasiswa akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) bahwa respon stres mengakibatkan muncul gangguan emosi, gangguan kognisi, gangguan perilaku dan gangguan fisiologis. Reaksi terhadap stres bervariasi antara individu satu dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada individu yang sama. Menurut Smet (1994) perbedaan ini sering disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial, yang dapat mengubah dampak stresor bagi individu di antaranya adalah : a. Variabel individu : umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik, inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi, dan kondisi fisik. b. Karakteristik kepribadian : introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, tipe A, kepribadian ketabahan (hardiness), pusat kendali (locus of control), kekebalan dan ketahanan. c. Variabel sosial-kognitif : dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial dan kontrol pribadi yang dirasakan. d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial. e. Strategi koping. Selanjutnya ditambahkan oleh Markam (2003) yang mengatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat berupa: a. Frustasi, timbul bila ada aral melintang antara keinginan individu dan maksud atau tujuan individu. Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya: bencana alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai, norma-norma dan adat-istiadat. Sebaliknya frustasi yang berasal dari dalam individu, seperti: cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan frustasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri. b. Konflik, bila kita tidak tahan memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Misalnya: memilih mengurus rumah tangga atau aktif di kegiatan kantor. c. Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan individu mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap dirinya namun tidak disesuaikan dengan kemampuannya sendiri atau tidak mau menerima dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi dilakukan secara berlebih-lebihan. Tekanan dari luar, misalnya: atasan di kantor menuntut pekerjaan cepat diselesaikan sementara waktu yang disediakan sering mendesak. d. Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba sehingga menimbulkan stres yang berat. Hal ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, kegagalan usaha ataupun kematian. e. Faktor sosial, Faktor ini berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti kesesakan (crowding),
kebisingan (noise) dan tekanan ekonomi. Berpijak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres dapat muncul jika individu tidak dapat mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya seperti tekanan dalam pekerjaan, konflik dengan orang sekitar, harapan yang tidak sesuai dengan keinginan, tidak dapat menyadari atau menerima dirinya dengan apa adanya, dan kesehatan yang tak kunjung-kunjung sembuh pun dapat menimbulkan stres. Manajemen Stres Menejemen stres adalah kemampuan individu untuk mengelola stres yang timbul dalam kehidupan sehari-hari (Schafer, 2000). Taylor (1995) menjelaskan bahwa manajemen stres dapat dipelajari dan dapat diberikan dengan tehnik individu seperti konseling dan workshop. Pada umumnya manajemen stres diberikan dalam bentuk workshop atau pelatihan. Smet (1994) mengatakan bahwa manajemen stres memfokuskan pada pengurangan reaksi stres. Tehnik-tehnik yang digunakan antara lain terapi kognitif perlakuan, relaksasi, biofeedback, restrukturisasi kognitif, stres inoculation training, dan hipnosa. Individu juga dapat belajar bagaimana menggunakan gaya koping yang sesuai dengan situasi yang dihadapi. Tujuan manajemen stres adalah untuk mengontrol stres sehingga menjadi tidak berbahaya dan tidak lagi mengancam. Evers dkk (2006) menyatakan bahwa perlakuan manajemen stres meliputi 3 bentuk, yaitu: a. Primer intervention, yaitu perlakuan yang mengubah kondisi lingkungan, seperti level pekerjaan yang dapat menyebabkan stres. b. Secondary prevention program, dirancang untuk membantu individu memiliki perilaku manajemen stres yang efektif seperti relaksasi, meditasi, latihan dan cogtinive reframing. Tritmen inilah yang sering digunakan sehingga dapat membantu individu agar lebih efektif untuk mengelola stres. c. Tertiary level intervention, seperti konseling dan psikoterapi, yang dirancang untuk individu yang mengalami kondisi klinis seperti kecemasan, depresi ataupun penganiayaan. Menurut Meichenbaum dan Jaremko (Taylor, 1995) ada tiga tahap dalam program menejemen stres yaitu: 1. Tahap pertama, partisipan manajemen stres belajar mengenal stres dan bagaimana mengenali sumber stres yang muncul dalam kehidupannya. 2. Tahap kedua, partisipan mendapatkan dan mempraktekkan keterampilan koping terhadap stres. 3. Tahap ketiga, partisipan mempraktekkan tehnik manajemen stres ini pada suatu peristiwa dan dilihat keefektifannya.
Pelatihan Manajemen Stres Pengenalan manajemen stres pada penelitian ini dilakukan melalui pendekatan pelatihan, hal ini dipilih karena pelatihan adalah metode pembelajaran yang mempunyai tujuan mengubah aspek kognitif, afektif, dan keterampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Pelatihan manajemen stres ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Menurut Yalom (dalam Ayusmi, 2008) menyebutkan bahwa kelebihan pendekatan keompok adalah adanya faktor-faktor kuratif anata lain dengan mendengarkan partisipan lain dalam kelompok maka partisipan tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalahnya. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait pelatihan manajemen stres antara lain: Iglesias dkk (2005) meneliti efektifitas program manajemen stres pada mahasiswa yang mengambil
jurusan farmasi dan kimia. Penelitian ini dirancang suatu program manajemen stres yang dinamakan SMPP (Stres Management Pilot Programme) yang terdiri dari sumber daya psikoedukasi, pelatihan keterampilan koping, latihan pernafasan, relaksasi, imagery, cognitive restructuring, dan manajemen waktu. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa mahasiswa mengalami penurunan tingkat kecemasan, rasa marah, neuroticism, ketidakberdayaan dan salivary cortisol. Di Indonesia juga pernah dilakukan penelitian yang terkait dengan pelatihan manajemen stres oleh Ayusmi (2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen stres guna meningkatkan manajemen diri pada penderita diabetes tipe 2. Pelatihan ini meliputi mengenali emosi, mengenal stres dan sumber stres, stategi koping, dan berlatih tehnik relaksasi. Dari penelitian ini diperolah hasil bahwa ada perbedaan timngkat manajemen diri diabetes antara kelompok yang diberikan pelatihan manajemen stres dan kelompok yang tidak diberikan pelatihan manajemen stres. Pada penelitian kali ini peneliti menggunakan modul pelatihan yang akan dimodifikasi dari aspek-aspek pelatihan manajemen stres dari Ayusmi (2008): a. Membangun kohesivitas kelompok; hal ini dilakukan untuk menumbuhkan suasana rileks serta saling mengenal antara anggota kelompok dan fasilitator sehingga dapat menunbuhkan suasana akrab. b. Mengenal emosi; tujuannya adalah partisipann mampu mengenal jenis emosi positif dan negatif serta memahami adanya hubungan antara emosi dengan stres. c. Mengenal stres dan sumber stres (stressor); tujuannya adalah partisipan mampu mengenali gejala fisiologis dari stres yang dirasakan dan mengenali peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan stres. d. Relaksasi; tujuannya yaitu melatih partisipan supaya mampu mengelola stres yang dialaminya dengan menggunakan tehnik relaksasi pernafasan dan otot. Membangun kohesivitas kelompok adalah kekuatan ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok dalam suatu kerjasama, berpartisipasi aktif, saling menolong, saling mendukung, saling percaya, dan mematuhi peraturan yang ada. Kohesivitas kelompok dapat memberikan pengaruh positif pada partisipan penelitian, dimana partisipan merasa tidak sendiri dalam menghadapi masalah dan dapat saling memotivasi. Partisipan akan diajarkan mengenai apa itu stres dan sumber-sumber stres dalam kehidupan. Diharapkan setelah mengenal stres dan sumber stres, partisipan memahami bahwa stres dapat berakibat buruk terhadap kehidupannya, dan dengan mengenal stres para remaja diharapkan akan memberikan reaksi yang tepat ketika berhadapan dengan stres. Partisipan kemudian akan diberikan relaksasi, karena relaksasi dapat dikatakan sebagai salah satu alternatif untuk mengelola stres. Pengaruh Pelatihan Manajemen Stres Terhadap Penurunan Stres Pada Mahasiswa Kognisi adalah istilah yang mengelompokkan proses-proses mental seperti mengamati, mengenali, membayangakan, menilai, dan melakukan penalaran. Paradigma kognitif berfokus pada bagaimana manusia menyusun berbagai pengalaman mereka, bagaimana mereka membuat pengalaman-pengalaman tersebut menjadi masuk akal, dan bagaimana mereka menghubungkan berbagai pengalaman masa kini dengan berbagai pengalaman masa lalu yang disimpan dalam memori (Davison, 2006). Individu dalam menginterpretasikan sebuah peristiwa atau kejadian sangat berkaitan dengan tujuan pribadi dan kesehatan, hasil dari penilaian tersebut adalah keyakinan yang positif
atau negatif. Interpretasi tersebut dikenal dengan penilaian kognitif yang memiliki dua bagian tersendiri, yaitu proses penilaian dan keyakinan yang dihasilkannya (Atkinson, 1993). Teori penilaian kognitif tentang stres menyatakan bahwa stres timbul sebagai reaksi subjektif setelah seseorang melakukan perbandingan antara impilkasi negatif dari kejadian yang menegangkan dengan kemampuan atau sumber daya yang memadai untuk mengatasi kejadian tersebut. Dalam teori ini, stres terjadi karena seseorang memandang besar akibat dari kejadian yang menegangkan ini, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Dobson (dalam Sunberg, 2007) menyatakan bahwa aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku, dapat dimonitor dan diubah, sedangkan perubahan perilaku yang diinginkan dapat dipengaruhi melalui perubahan kognitif. Terdapat perbedaan mendasar dari yang diungkapkan oleh Beck dan Ellis tentang penerapan terapi kognitif yang dilakukan, Ellis menekankan pada substansi pikiran yang irrasional, sementara menurut beck disfungsi keyakinan menjadi suatu masalah karena mereka tidak sesuai dengan proses kognitif yang umum terjadi, bukan karena ketidakrasionalannya (Beck & Weishaar dalam Oemarjoedi, 2003). Meichenbaum (dalam Oemarjoedi, 2003) menyebutkan bahwa dalam menggunakan teknik kognitif akan mengembangkan prosedur stres-inoculation yang menganalogikan kondisi psikologis dan tingkah laku dengan proses imunisasi terhadap status biologis. Pola pikir kognitif akan memunculkan pemikiran yang positif atau negatif, ketika yang muncul adalah pola pikir yang negatif maka dapat memunculkan suatu permasalahan dimana salah satunya adalah stres. Menurut Taylor (1995) stres merupakan kondisi yang tidak seimbang antara sumber pribadi (personal resources) dengan tuntutan yang dimiliki. Keseimbangan tersebut dinilai oleh individu sebagai kondisi yang berbahaya dan mengancam keberadaannya. Markam (2003) menganggap bahwa stres adalah keadaan di mana beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya. Sarafino (1994) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan. Mahasiswa terkadang akan muncul sikap pesimis hal tersebut dapat dikarenakan oleh berbagai hal seperti dikarenakan semangat yang rendah untuk mengejar ketertinggalan akademiknya, tidak adanya pengawasan langsung dari orang tua membuat mahasiswa terkadang lupa pada fungsi tugasnya sebagai mahasiswa sehingga lebih mengutamakan kegiatan diluar kampus, selain hal tersebut terdapat beberapa mahasiswa juga yang tertekan dikarenakan waktu yang semakin sempit untuk menyelesaikan masa studinya dan tekanan dari keluarga serta lingkungan yang selalu bertanya tentang kelulusan. Menurut Hardjana (1994) manajemen stres adalah suatu usaha untuk mengelola stres dengan tujuan mengurangi atau meniadakan dampak negatif stres dengan menangani dampak stresnya sendiri. Dalam pelatihan manajemen stres ini mahasiswa akan diajarkan beberapa keterampilan baru dalam mengelola stres yang dialaminya. Tahapan dalam pelatihan manajemen stres ini adalah (1) membangun kohesivitas kelompok; (2) mengenal emosi; (3) mengenal stres dan sumber stres; (4) relaksasi. Manajemen Stres yang akan dilaksanakan pada penelitian ini meliputi membangun kohesivitas kelompok; hal ini dilakukan untuk menumbuhkan suasana rileks serta saling mengenal antara anggota kelompok dan fasilitator sehingga dapat menumbuhkan suasana akrab. Mengenal emosi; tujuannya adalah partisipann mampu mengenal jenis emosi positif dan negatif serta memahami adanya hubungan antara emosi dengan stres. Mengenal stres dan sumber stres (stressor); tujuannya adalah partisipan mampu mengenali gejala fisiologis dari stres yang
dirasakan dan mengenali peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Relaksasi; tujuannya yaitu melatih partisipan supaya mampu mengelola stres yang dialaminya dengan menggunakan tehnik relaksasi pernafasan dan otot. Dengan diberikannya pelatihan manajemen stres ini para mahasiswa diharapkan akan lebih dapat beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Penelitian ini bertujuan untuik mengetahui apakah ada perbedaan tingkat stres mahasiswa setelah mendapatkan pelatihan menejemen stres. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian ekperimen, dengan menggunakan variabel bebas berupa pelatihan menejemen stres, variabel tergantung berupa stres. Rancangan ekperimen yang digunakan adalah one-group pretest-posttest design, pada desain ini, diawal penelitian dilakukan pengukuran terhadap variabel tergantung pada subjek. Kemudian setelah diberikan perlakuan dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel tergantung pada subjek dengan alat ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala. Skala merupakan daftar pertanyaan yang harus dijawab atau harus diisi oleh subjek. Jawaban tersebut digunakan oleh peneliti untuk menyimpulkan keadaan subjek yang diteliti. Model penskalaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan model summated reating methode subjek diminta memilih salah satu dari alternatif-alternatif jawaban yang sesuai dengan keadaan subjek. Alternatif-alternatif jawaban tersebut terdiri dari jawaban sangat tidak sesuai (STS), tidak sesuai (TS), sesuai (S), dan sangat sesuai (SS). Butir-butir dalam skala disusun dengan memperhatikan sifat favourable dan unfavourable. Skor untuk jawaban setiap kriteria yang termasuk favourable adalah sangat tidak sesuai (STS) mendapat skor 1, tidak sesuai (TS) mendapat skor 2, sesuai (S) mendapat skor 3, sangat sesuai (SS) mendapat skor 4. Untuk item unfavourable skor penilaian adalah sangat tidak sesuai (STS) mendapat skor 4, tidak sesuai (TS) mendapat skor 3, sesuai (S) mendapat skor 2, sangat sesuai (SS) mendapat skor 1. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala stres, skala stres disusun oleh peneliti berdasarkan aspek stres dari Sarafino (1998) antara lain gangguan fisikal, gangguan emosional, gangguan intelektual, gangguan interpersonal. Berdasarkan aspek tersebut kemudian akan dijabarkan dalam 40 aitem. Azwar (2001) menerangkan valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya suatu alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat, sedangkan reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. a. Validitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah. Terkandung di sini pengertian bahwa valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pegukuran yang dikehendaki dengan tepat. Validitas juga mengandung pengertian kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid, tidak sekedar mampu mengungkapkan data-data dengan tepat akan tetapi juga harus
memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut. Cermat berarti pengukuran tersebut mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya diantara subjek yang satu dengan yang lainnya. Validitas pada penilitian ini hanya berlaku untuk validitas skala stres. Pengujian validitas dimaksudkan untuk mengetahui bahwa alat ukur mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan pegukuran. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan validitas yang destimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment. Validitas isi yang digunakan adalah logical validity tercermin dalam aitem-aitem yang disusun berdasarkan teori yang disusun peneliti. Validitas ini lebih banyak didasarkan relevansi isi pertanyaan yang disusun berdasarkan kisi-kisi yang tepat sesuai dengan tujuan penelitian. b. Reliabilitas Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Pengkuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliable. Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti kepercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, kosistensi, dan sebagainya. Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengikuran dapat dipercaya. Estimasi reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi internal (internal consistency) yang dimaksud untuk menghindari masalah-masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes ulang dan pendekatan bentul paralel (Azwar, 2001). Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administration). Oleh karena itu, pendekatan ini memiliki nilai praktis dan efisien yang tinggi. Uji reliabilitas dilakukan pada item-item yang telah dipilih. penghitungan reliabilitas yang digunakan dalam penelitian adalah dengan menggunakan formula Alpha Cronbach (Azwar, 2001). Penghitungan uji reliabilitas dengan menggunakan bantuan komputer program Satistical Product and Service Sollution (SPSS) For Windows 19.0. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Metode yang digunakan untuk melihat tingkat stres mahasiswa sebelum diberikan pelatihan manajemen stres dengan setelah diberikan pelatihan manajemen stres, hasil data dapat di lihat melalui analisis uji independent sample t-test. Analisis untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik uji independent sample t-test mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat stress sebelum dan setelah pelatihan manajemen stres pada mahasiswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 13 januari 2013, subjek yang dijadikan populasi penelitian ini adalah mahasiswa yang tinggal di asrama aceh. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang sebelumnya telah melalui tahap-tahap konfirmasi dengan pengelola asrama aceh. Dalam penelitian ini subjek 10 orang, sebelum pelatihan dimulai semua peserta diberikan lembar skala pre test setelah semua peserta selesai mengisi lembar skala pre test setelah selesai mengisi lembar skala stres para peserta langsung masuk pada sesi pelatihan, dimulai dari perkenalan antar seluruh subjek, trainer, dan juga observer ini bertujuan agar peserta dapat saling mengenal, merasa nyaman, terjalin suasana dekat dan akrab antar peserta dan tim pelatihan sehingga termotivasi untuk mengikuti pelatihan, menumbuhkan suasana rileks dan mengurangi
ketegangan bagi para peserta serta menumbuhkan motivasi peserta untuk dapat mengikuti keseluruhan proses pelatihan dan manfaat yang dapat diperoleh dari pelatihan. Setelah perkenalan masuk sesi kedua yaitu Mengenal Emosi dari kelompok eksperimen yang terdiri dari 10 orang ini dibagi dua lagi menjadi 5 orang perkelompoknya lalu fasilitator mangajak subjek untuk bermain “menjaga harta karun” Permainan ini merupakan permainan kompetisi antar kelompok. Setiap kelompok akan mempunyai sebuah keranjang yang harus diisi dengan bola-bola kecil. Setiap kelompok harus berkompetisi memperebutkan bola-bola yang berada di dalam keranjang di tengah ruangan ini untuk mengisi keranjang kelompoknya masing-masing, jika bola dalam keranjang tengah sudah habis, peserta bebas dan boleh merebut bola dari keranjang kelompok lain. peserta boleh merebut bola dalam keranjang kelompok lain atau hanya mempertahankan bola dalam keranjang kelompok peserta saja. Tujuan permainan ini adalah memperoleh bola sebanyak-banyaknya. Setelah permainan “menjaga harta karun ” selesai, setiap peserta diminta duduk membentuk lingkaransesuai kelompoknya. Kemudian fasilitator membagikan lembar emosi kepada setiap peserta. Pada lembar peserta diminta untuk memberi tanda pada macam-macam emosi yang ada di lembar tersebut yang sesuai dengan emosi yang dirasakan saat proses permainantadi dan fasilitator menunjuk beberapa peserta untuk menceritakan pengalamannya selama permainan dan menjelaskan emosi apa saja yang dirasakannya. Mengenal emosi ini bertujuan untuk mengidentifikasikan emosi-emosi yang muncul pada peserta, peserta dapat membedakan emosi negatif dan emosi positif, peserta dapat memahami bahwa emosi negatif yang muncul itu menyebabkan ketidaknyamanan dan ketegangan pada diri peserta. Sesi selanjutnya yaitu sesi mengenal stres dan sumber stres Kegiatan pertama yang dilakukan untuk mengajak peserta mengenal stres adalah peserta diajak mengikuti permainan “Trust Me”yaitu dimana para peserta diberikan selembar kertas kosong dan sebuah pena agar perserta dapat menuliskan rahasianya dikertta itu, disini peserta mau tidak mau dituntut untuk percaya kepada peserta lain dan trainer karna rahasia para peserta terbebut akan diacak dan ditukar denganpeserta lainnya, permainan ini cukup memancing stress para peserta. Setelah permainan ini selesai trainer mengajak peserta untuk menceritakan pengalamannya dan fasilitator mengarahkan peserta pada gambaran situasi yang membuat stres pada permainan “Trust Me” Kegiatan kedua fasilitator mengajak peserta untuk ambil bagian dalam sebuah permainan. Permainan ini dilakukan agar peserta merasakan langsung situasi yang menekan, agar peserta lebih memahami gambaran stres itu sendiri. Permainan ini dinamakan permainan “Menyusun Menara Impianku” Peserta membentuk2 kelompok kelompoknya terdiri dari 5 orang, fasilitator meletakkan kartu remi di atas meja sesuai dengan jumlah kelompok. Kelompokkelompok kecil tersebut berdiri secara berbaris di depan meja dengan jarak tidak terlalu dekat, peserta diarahkan agar setiap kelompok saling bekerja sama, setiap kelompok harus menyusun menara setinggi mungkin tanpa bantuan apapun. Setiap anggota kelompok mendapatkan kesempatan secara bergilir untuk menyusun menara dalam waktu 30menit, setelah permainan selesai, peserta diminta tetap berkumpul dengan kelompoknya masing-masi dan fasilitator meminta perwakilan kelompok untuk menceritakan pengalaman apa yang dirasakan selama permainan berlangsung. Dari dua kegiatan yang telah dilakuka sebelumnya diharapkan dapat membantu peserta mengerti mengenai gambaran stres. Fasilitator diharapkan dapat mengarahkan dua kegiatan ini sesuai dengan tujuan pada sesi ini. Pengarahan dilakukan mengenai definisi stres itu sendiri dan sumber-sumber stres yang ada. Setelah 2 kegiatan selesai dilakukan refleksi dan diskusi mengenal
stress dan sumber stress daqn fasilitator menanyakan apa perasaan dan pengalaman apa yang timbul dari dua kegiatan yang dilakukan? Gambaran definisi stres? Gambaran sumber-sumber stres? Sesi yang terakhir yaitu Relaksasi kedua kelompok kontrol dan eksperimen dikumpulkan menjadi satu lalu diberikan relaksasi, relaksasi yang diberikan relaksasi pernafasan tetapi fasilitator tak lupa mengajarkan relaksasi otot. Relaksasi bertujuan agar peserta mengenal tehnik bagaimana mengelola emosinya, peserta mampu mempraktekkan tehnik mengelola emosi ini dan membantu peserta melepaskan ketegangan saat mengalami emosi negatif atau stress, setelah penutupan semua peserta diberikan lembar skala post test . Hasil penelitian menunjukkan diterimanya hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu ada perbedaan tingkat stres mahasiswa setelah diberikan pelatihan manajemen stres. Berdasarkan kategorisasi stres sebelum diberikan pelatihan mayoritas subjek termasuk kategori sedang sebesar 90 % dan kategorisasi stres mahasiswa setelah diberikan pelatihan termasuk kategori sedang cenderung rendah sebesar 60 % dari 10 subjek. Pengalaman stres mahasiswa yang mengikuti pelatihan majanemen stres mengalami penurunan tingkat stresnya, hal tersebut dikarenakan mahasiswa mengalami perubahan dalam mempersepsikan tentang stres yang dialami. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan kognisi yang ada dalam setiap mahasiswa, kognisi adalah istilah yang mengelompokkan proses-proses mental seperti mengamati, mengenali, membayangakan, menilai, dan melakukan penalaran. Paradigma kognitif berfokus pada bagaimana manusia menyusun berbagai pengalaman mereka, bagaimana mereka membuat pengalaman-pengalaman tersebut menjadi masuk akal, dan bagaimana mereka menghubungkan berbagai pengalaman masa kini dengan berbagai pengalaman masa lalu yang disimpan dalam memori (Davison, 2006). Individu dalam menginterpretasikan sebuah peristiwa atau kejadian sangat berkaitan dengan tujuan pribadi dan kesehatan, hasil dari penilaian tersebut adalah keyakinan yang positif atau negatif. Interpretasi tersebut dikenal dengan penilaian kognitif yang memiliki dua bagian tersendiri, yaitu proses penilaian dan keyakinan yang dihasilkannya (Atkinson, 1993). Teori penilaian kognitif tentang stres menyatakan bahwa stres timbul sebagai reaksi subjektif setelah seseorang melakukan perbandingan antara impilkasi negatif dari kejadian yang menegangkan dengan kemampuan atau sumber daya yang memadai untuk mengatasi kejadian tersebut. Dalam teori ini, stres terjadi karena seseorang memandang besar akibat dari kejadian yang menegangkan ini, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Dobson (dalam Sunberg, 2007) menyatakan bahwa aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku, dapat dimonitor dan diubah, sedangkan perubahan perilaku yang diinginkan dapat dipengaruhi melalui perubahan kognitif. Terdapat perbedaan mendasar dari yang diungkapkan oleh Beck dan Ellis tentang penerapan terapi kognitif yang dilakukan, Ellis menekankan pada substansi pikiran yang irrasional, sementara menurut beck disfungsi keyakinan menjadi suatu masalah karena mereka tidak sesuai dengan proses kognitif yang umum terjadi, bukan karena ketidakrasionalannya (Beck & Weishaar dalam Oemarjoedi, 2003). Meichenbaum (dalam Oemarjoedi, 2003) menyebutkan bahwa dalam menggunakan teknik kognitif akan mengembangkan prosedur stres-inoculation yang menganalogikan kondisi psikologis dan tingkah laku dengan proses imunisasi terhadap status biologis. Pola pikir kognitif
akan memunculkan pemikiran yang positif atau negatif, ketika yang muncul adalah pola pikir yang negatif maka dapat memunculkan suatu permasalahan dimana salah satunya adalah stres. Menurut Taylor (1995) stres merupakan kondisi yang tidak seimbang antara sumber pribadi (personal resources) dengan tuntutan yang dimiliki. Keseimbangan tersebut dinilai oleh individu sebagai kondisi yang berbahaya dan mengancam keberadaannya. Markam (2003) menganggap bahwa stres adalah keadaan di mana beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya. Sarafino (1994) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan . Menurut Hardjana (1994) manajemen stres adalah suatu uasaha untuk mengelola stres dengan tujuan mengurangi atau meniadakan dampak negatif stres dengan menangani dampak stresnya sendiri. Dalam pelatihan manajemen stres ini remaja yang orangtuanya bercerai akan diajarkan beberapa keterampilan baru dalam mengelola stres yang dialaminya. Tahapan dalam pelatihan manajemen stres ini adalah (1) membangun kohesivitas kelompok; (2) mengenal emosi; (3) mengenal stres dan sumber stres; (4) relaksasi. Manajemen Stres yang dilaksanakan pada penelitian ini meliputi membangun kohesivitas kelompok; hal ini dilakukan untuk menumbuhkan suasana rileks serta saling mengenal antara anggota kelompok dan fasilitator sehingga dapat menunbuhkan suasana akrab. Mengenal emosi; tujuannya adalah partisipann mampu mengenal jenis emosi positif dan negatif serta memahami adanya hubungan antara emosi dengan stres. Mengenal stres dan sumber stres (stressor); tujuannya adalah partisipan mampu mengenali gejala fisiologis dari stres yang dirasakan dan mengenali peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Relaksasi; tujuannya yaitu melatih partisipan supaya mampu mengelola stres yang dialaminya dengan menggunakan tehnik relaksasi pernafasan dan otot. Dengan diberikannya pelatihan manajemen stres ini para mahasiswa diharapkan akan lebih dapat beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Proses pelatihan berlangsung dengan baik, setiap peserta dapat mengikuti jalannya pelatihan tanpa terkendala. Diawal pelatihan tampak seluruh peserta antusias, mahasiswa banyak menceritakan tentang pengalaman yang mereka alami terutama yang menjadi hambatan mereka selama ini. Selain itu para mahasiswa juga antusias untuk mengikuti pelatihan ini dikarenakan memiliki harapan besar agar dapat mengelola stres yang sering mereka alami. Setelah pelatihan semua mahasiswa menyatakan senang dan mendapatkan ilmu baru yang nantinya akan mereka terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. KESIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa pelatihan manajemen stres dapat menurunkan tingkat stres pada mahasiswa. Jadi stres yang dialami mahasiswa akan menurun setelah diberikan pelatihan menejemen stres.Kategorisasi tingkat stres mahasiswa sebelum diberikan pelatihan manajemen stres pada kategori sedang dan kategori tinggi, setelah diberikan pelatihan manajemen stres termasuk dalam kategori sedang dan rendah. Berdasarkan hasil observasi selama pelatihan berlangsung semua subjek sangat antusias mengikuti pelatihan mulai dari sesi perkenalan, karena mereka tingggal ditempat yang sama sehingga keakraban itu memang sudah ada karena mereka sudah saling mengenal sehingga fasilitator tidak
kesulitan di sesi perkenalan, sesi mengenal emosi semua subjek juga sangat bersemangat mengikuti permainan “menjaga harta karun” dan menceritakan pengalamannya dan cukup fokus mendengarkan fasilitator saat memberikan materi mengenal emosi, saat sesi mengenal stres dan sumber stres berlangsung subjek juga masih antusias mengikuti kegiatan yang diberikan, diwaktu permainan “menyusun menara” semua subjek terlihat marah, kesal, kecewa dan panik disaat waktu yang diberikan sudah habis sedangkan banguanan dari kartu remi belum tersusun, sesi relaksasi semua subjek juga sangat menikmati saat pelatihan relaksasi berlangsung, disela kegiatan ada 1 subjek yang memang terlihat kurang bersemangat dalam mengikuti pelatihan sesekali membuka handphone, diwaktu mengisi skala post test subjek ini mengajak teman disampingnya berbincang. Dari hasil wawancara setelah pelatihan didapatkan informasi bahwa semua peserta pelatihan menyatakan senang dan mendapatkan ilmu baru yang nantinya akan mereka terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa stres pada mahasiswa dapat ditanggulangi dengan menerapkan ilmu yang telah diberikan pada pelatihan manajemen stres sehingga ketika menghadapi stres dapat segera menangulanginya. DAFTAR PUSTAKA Antoni, M. H., Cruess, D.G., Lutgendorf, S., Kumar, M., Ironson, G., Klimas, N., Fletcher, M.A., & Schneiderman, N. 2000. Cognitif-Behavioral Stress management Intervention Effect on anxiety, 24-hr urinary norepinephrine output, and t-cytotoxic/supperssor cell over time among symptomatic HIV-infected gay men. Journal of consulting an clinical psychology, 68, 31-45. Antoni, M. H.,lechner, S. C., Glucks, S., Kazi, A., Wimberly, S.R., Sifre, T., Urcuyo, K. R., & Philips, K. 2006. How stres management improves quality of life after treatment for breast cancer. Journal of consulting an clinical psychology, 74, 1134-1152. Atkinson, R.L., Atkinson, R. C., Smith, E.E., Bem, D.J. 1993. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara Ayusmi, W. 2008. Pelatihan Manajemen Stres untuk Meningkatkan Manajemen Diri Diabetes pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis. Yogyakarta: Program Magister Psofesi Psikologi UGM. Azwar.S. 2001.Penyusunan Skala Psikologi.:Pustaka Pelajar Offset. Cahyadi, A. 2011. Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap Stres Pada Orang Tua dengan Anak Autis. Tesis. Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M., 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Evers, K. E., Prochaska, J. O., Johnson, J. L., Mauriello, L. M., Padula, J. A.,% Prochaska, J.M. 2006. A Randomized Clinical Trial of a Population and Transtheorectical Model-based Stress Management Intervention. Health Psychology, 25, 521-529. Hadi.S. 2000. Statistik I. Yogyakarta. Andi Offset Haryani, V.D. 2011. Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Stres Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Mahasiswa. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi: Universitas Ahmad Dahlan. Hasan, A. B. P. 2008. Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada. Hardjana, A.M., 1994. Stres Tanpa Distres: Seni mengelola Stres. Yogyakarta: Kanisius. Iglesias, S.L., Azzara, S., squillace, M., Jeifetz, M., Arnais, M.R.L., Desimone, M.M., Diaz, L.E. 2005. A study of the effectiveness of a stres management programme for collage students. Pharmacy eduacation, 5, 27-31. Johnson D.W. & Johnson, F.P. 2001.Joining Together : Group Theory and Group Skills. Boston: Allyn & Bacon. Karjuniwati . 2010. Pengaruh Pelatihan Regulasi Emosi Terhadap Pengurangan Stres Dan Peningkatan Optimisme Pada Penganggur Di Yogyakarta. Tesis. Magiser Profesi Psikologi. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya : Universitas Islam Indonesia. Markam, S. 2003. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: UI Press Muis, T., Setyaningsih, D. 2009. Pengaruh Penerapan Kombinasi Musik Klasik Dan Latihan Relaksasi Untuk Menurunkan Stres Pada Siswa Kelas XI IPA 2 SMA Intensif Taruna Pembangunan Surabaya. Surabaya: Prodi Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa. Oemarjoedi, A.K. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Kreative Media.Jakarta Purwanti. 2005. Hubungan Antara Self-Handicapping dan Pesimisme dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Tesis UGM Salas, E. & Cannon-Bowers.J. A. 2001. The Science of Training : A Decadeof Progress. Annual Review of Psychology, , 471-499.
Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology ; Biopsychosocial Interaction 2nd. New York : John Willey & Sonc, Inc Schafer, W. 2000. Stres Management for Wellness. California: Thompson Inc Seniati,L.,Yulianto, A., Setiadi, B.N. 2005. Psikologi Eksperimen. Jakarta: PT.IndeksKelompok Gramedia. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta:PT Grasindo. Sundberg, D.N., Winebarger, A.A., Taplin, J.R. 2007. Psikologi Klinis, Edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suryabrata, S. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali. Taylor, S.E. 1995. Health Psychology. Singapore: McGraw-Hill Book Co