PERBEDAAN TINGKAT RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI ORANG TUA YANG BEDA AGAMA DAN ORANG TUA YANG TIDAK BEDA AGAMA
OLEH SUSANA DAIRU GENYA BIRA 802010710
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN TINGKAT RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI ORANG TUA YANG BEDA AGAMA DAN ORANG TUA YANG TIDAK BEDA AGAMA
Susana Dairu Genya Bira Berta Esti Ari Prasetya Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat religiusitas antara remaja akhir dari orangtua beda agama dengan remaja akhir dari orangtua seagama. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Penelitian ini menggunakan kuesioner / skala sebagai alat pengumpulan data utama. Instrumen yang disusun berdasarkan pendapat Azwar (2008)yang digunakan dalam penelitian memenuhi syarat valid dan reliabel. Berdasarkan hasil uji t diperoleh nilai uji (nilai t hitung) sebesar 2,357 dengan probabilitas sebesar 0,011. Ini berarti bahwa ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan remaja dari orangtua seagama”, dimana remaja dari orangtua seagama memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi dibanding remaja dari orangtua beda agama.
Kata Kunci : Perbedaan Tingkat Religiusitas Remaja Akhir, Orangtua Seagama, Orangtua Beda Agama
i
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the difference in the level of religiosity among late adolescents of parents of different religions with teenagers end of parental coreligionists. The populationin this studyis a Christian University student Satya Wacana Salatiga. Sampling technique used incidental sampling, the sampling technique based on chance. This study used a questionnaire / scale as the primary data collection tool. The instrument is based on the opinion Azwar (2008) were used in the study are eligible valid and reliable. Based on test results obtained value t test (t value) amounted to 2,357 with probability equal to 0.011. This means that there are differences in the level of religiosity among adolescents of parents of different religions with teenagers from parents in religion", where teenagers from parents religionists have higher levels of religiosity than adolescents of parents of different religions
Keyword :Difference on level of religiosity adolescent, Parents religionists, Parents Interfaith
ii
1
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Masa transisi inilah yang memungkinkan remaja dapat menimbulkan masakrisis
yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilakumenyimpang. Perilaku menyimpang ini bisa menyimpang dari norma hukum,norma agama dan norma yang dianut masyarakat atau dalam istilah psikologidisebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.Hall menyebut masa ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan orang-orang yang dekat, misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono 1993: 16). Beberapa penelitian tentang perilaku kenakalan yang dilakukan oleh pelajarmenyebutkan bahwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkandata yang diungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), kasuspenyalahgunaan narkoba terus meningkat di kalangan remaja. Dari 2,21% (4 jutaorang) pada tahun 2010 menjadi 2,8% (sekitar 5 juta orang) pada tahun 2011.Yang berikutnya adalah seks bebas. Contoh kenakalan remaja dalam pergaulanseks bebas akan bersangkutan dengan HIV/AIDS. Ketiga adalah tawuran antarpelajar yang belakangan ini semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya(www.Republika.co.id,2012).Bentuk lain dari kenakalan yang dilakukan remaja yaitu banyaknya remajayang kerap menyimpan gambar/video porno di telepon seluler mereka,pelajar bolos sekolah dan pergi ke di warung internet (warnet)dan game online, merokok dan minum minuman keras. Kartono (1990) mengatakan bahwa pada umumnya kenakalan merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif; juga menampilkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang
2
bermanfaat. Dalam hal ini remaja memerlukan suatu pegangan yang dapat memberikan rasa
aman dan perlindungan sehingga remaja tidak terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang (Kartono, 1990). Salah satu hal yang bisa mengendalikan penyimpangan remaja adalah nilai-nilai religi yang telah diinternalisasikan dalam diri remaja (Rahmawati, Hadjam dan Afiatin, 2002). Internalisasi nilai-nilai norma agama dapat mendidik kaum remaja memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan memiliki penghayatan serta perilaku yang sesuai dengan perintah agama (Sudarsono, 2008). Religiusitas dibutuhkan untuk dijadikan pedoman dalam melakukan suatu perbuatan. Menurut Daradjat (1992), bahwa religiusitas atau pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang yang gelisah. Semakin dekat orang dengan Tuhan maka akan makin tentramlah jiwanya, maka semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran hidup. Sebagai aspek penting kehidupan, agama memang menjadi pegangan hidup manusia. Religiusitas atau keberagamaan sangat diperlukan dalam kehidupan remaja, sebagai pedoman, penuntun dan sebagai pegangan remaja dalam masa pencarian identitasnya. Sejak lahir manusia telah memiliki potensi keagamaan di dalam dirinya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, orangtualah yang mampu meletakkan dasar bagi perkembangan dan kematangan religiusitas anak (Hurlock, 1990). Oleh karena itu, orangtua diharapkan dapat membantu remaja dalam menyelesaikan tahap-tahap perkembangannya termasuk perkembangan religiusitas atau keberagamaan. Namun terkadang, orangtua sering kali menjadi sumber konflik bagi perkembangan sejumlah remaja, termasuk di dalamnyaperkembangan religiusitas (Suryani, Lilis, Winda dan Azizah,2008). Salah satu faktor yang menyebabkan konflik dalam perkembangan religiusitas adalah faktor keagamaan orangtua. Pada orangtua beda agama, masalah agama adalah hal yang paling potensial menimbulkan konflik baik dari pihak orangtua sendiri maupun dari pihak remaja. Konflik
3
tersebut selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan religiusitas anak. Remaja yang berasal dari orangtua beda agama, dapat mengikuti keyakinan (agama) ayahnya atau ibunya, adapula orangtua yang sudah menegosiasikan masa depan agama anaknya sejak awal akan ikut siapa agamanya. Kondisi-kondisi tersebut baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa kebingungan pada remaja, karena norma dan nilai pada masa anakanak diperoleh dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat lainnya (Monks, Knoers, Haditomo, 2002). Thomas (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) yang menyatakan bahwa kebanyakan remaja dari orangtua beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orangtuanya. Djajasinga (2001) menemukan bahwa remaja dari orangtua beda agama menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang baik. Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) menemukan bahwa remaja dari orangtua beda agama memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap sesama namun jarang melakukan ritual keagamaan. Kondisi remaja dari orangtua beda agama sebagaimana disebutkan menunjukkan rendahnya religiusitas remaja, karena hanya sebagian dimensi religiusitas dilaksanakan, sedangkan yang lain belum dilaksanakan atau diabaikan. Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) mengatakan bahwa rendahnya religiusitas remaja dalam keluarga beda agama dapat disebabkan karena kurangnya sosialisasi pengetahuan agama dari kedua orangtua, anak juga kurang bisa meyakini karena remaja memiliki referensi pengetahuan pembanding (agama lain) atau remaja merasa tidak enak terhadap orangtua yang berlainan agama dengannya. Berbeda dengan remaja yang mempunyai orangtua yang seagama, mereka memiliki religiusitas yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena remaja dari orangtua seagama memberikan sosialisasi dan dukungan yang lebih
4
besar kepada remaja untuk meyakini satu agama, yaitu agama orangtuanya. hasil penelitian yang dilakukan Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) yang menyatakan bahwa anak yang kedua orangtuanya beragama sama memiliki komitmen yang tinggi terhadap agama, sebaliknya remaja dari orangtua beda agama mempunyai komitmen yang rendah. Adanya perbedaan temuan ini, mendorong peneliti untuk mengungkap lebih jauh tentang ada tidaknya perbedaan tingkat religiusitas antara remaja akhir dari orangtua beda agama dengan remaja akhir dari orangtua seagama.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Religiusitas Pengertian religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah religere yang berarti mengikat (Thouless dalam Bharata, 2006). Glover dalam Widari (2011), mengemukakan bahwa religiusitas merupakan tujuan dan intensitas keyakinan religius seseorang, termasuk keyakinan akan adanya Tuhan, hubungan antara keyakinan dan tindakan personal, usaha religius, dan konsistensi antara keyakinan dan tindakan. Afiatin sebagaimana dikutip oleh Firmansyah (2010) mengemukakan bahwa religere berarti melaksanakan dengan sangat teliti atau dapat pula diartikan menyatukan diri.
Aspek-aspek Religiusitas Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994) bahwa ada lima aspek religiusitas yaitu :
5
a. Aspek Ideologi atau keyakinan, yaitu aspek dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dan sebagainya. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar. b. Aspek Peribadatan, yaitu aspek keberagaman yang berkaitan dengan sejumlah perilaku yang sudah ditetapkan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci. c. Aspek Penghayatan, yaitu aspek yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat. d. Aspek Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. e.
Aspek Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya Religiusitas pada Remaja Akhir Dewasa ini perkembangan teknologi sangat gencar sekali. Hal ini terlihat dari beberapa fenomena terkait barang dan alat-alat teknologi. Contoh paling nyata adalah penggunaan telepon seluler atau ponsel dan internet. Perkembangan teknologi tersebut membawa dampak yang positif, antara lain berupa kemudahan dalam berkomunikasi. Namun di sisi lain kemajuan teknologi berdampak negatif terutama pada remaja. Untuk menghindari dampak negatif dari perkembangan teknologi yang kian pesat ini, maka penanaman nilai religiusitas sangat diperlukan sejak masih remaja (Harahap dalam Valentina, 2009). Masalah
agama
merupakan
salah
satu
aspek
penting
yang
perlu
ditumbuhkembangkan dalam diri remaja. Glock dan Stark sebagaimana dikutip Widari (2011), agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang
6
terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Nilai agama adalah aturan, patokan, standar baku yang berkaitan dengan baik-buruknya sikap manusia dalam hubungannya antar sesama manusia maupun dengan sang Pencipta (Tuhan). Berhasil tidaknya penanaman nilai keagamaan pada masa anak akan sangat menentukan baik buruknya perilaku keagamaan seseorang pada masa selanjutnya. Nilai-nilai keagamaan pada remaja akan tumbuh dan berkembang pada jiwa melalui proses pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan tentang nilai-nilai keagamaan, akan menimbulkan ketidakpedulian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan (Darajat, 1994). Pengembangan nilai agama pada remaja akan berkisar pada kehidupan sehari-hari, secara khusus penanaman nilai keagamaannya adalah meletakkan dasar-dasar keimanan, kepribadian/budi pekerti yang terpuji dan kebiasaan ibadah sesuai kemampuan masingmasing. Rasa keagamaan dan nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak. Perhatian remaja terhadap nilainilai dan pemahaman agama akan muncul manakala mereka sering melihat dan tertib dalam upacara-upacara keagamaan, dekorasi dan keindahan rumah ibadah, rutinitas, ritual orangtua dan lingkungan sekitar ketika menjalankan peribadahan (Mardiya, 2007).
Perkembangan Religiusitas Remaja Akhir Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin, 1997) perkembangan jiwa beragama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor sebagai berikut : a. Pertumbuhan pikiran dan mental Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain
7
masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Dalam mengatasi kegalauan batin ini para remaja cenderung untuk bergabung dalam kelompok teman sebaya untuk berbagi rasa dan pengalaman. Untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Namun demikian dalam kenyataannya apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa yang mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialami para remaja. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Dalam situasi yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka lebar (Jalaluddin, 1997). b. Perkembangan perasaan
Menurut Jones (dalam Hurlock, 1990) perubahan minat religius selama masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan. Adanya perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan penggunaan keyainan serta khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi. c. Perkembangan moral Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga mencakupi: 1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. 2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. 3) Submissive, merasakan adanya keraguan tehadap ajaran moral dan agama.
8
4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat. d. Sikap dan minat Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Remaja Akhir Menurut Jalaluddin (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religiusitas remaja adalah : a. Peran Orangtua Peran orangtua sangatlah menentukan dalam pembentukan sikap keagamaan. b. Pendidikan Keluarga Pedidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Peran keluarga sangatlah berhubungan dengan jiwa keagamaan individu. Sang Ibu yang tidak begitu taat terhadap ajaran agama Islam juga berpengaruh terhadap sang anak dan menjadikan anak sama seperti keagamaan sang ibu: tidak begitu kuat dan kental ajaran agamannya,
jarang melakukan ibadah. Highes dalam Choiriyah (2009),
menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki remaja sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. c. Lingkungan Institusional Kurikulum sekolah memberi pengaruh dan membantu kepribadian anak. Lingkungan sekolah yang mayoritas Islam beserta kegiatan keislaman memberikan warna keislaman pada dirinya. Menurut Alvie (2012), terdapat beberapa pendapat mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan religiusitas remaja :
9
a. Faktor intern Secara garis besarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain: 1) Faktor kognitif, mengacu pada remaja yang memiliki mental masih abstrak, mereka hanya mengkaji isu-isu agama dengan berpatokan pada dasar-dasar agama tanpa memperdalaminya lebih lanjut. 2) Faktor personal, mengacu pada konsep individual dan identitas, individual maksudnya seseorang itu selalu menyendiri sedangkan identitas maksudnya proses menuju pada kestabilan jiwa. 3) Faktor hereditas, perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama maka akan timbul rasa berdosa dan perasaan seperti ini yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang. 4) Tingkat usia, pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan mereka. Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. 5) Kepribadian, dalam kondisi normal secara individu manusia memiliki perbedaan dalam
kepribadian
dan
perbedaan
ini
diperkirakan
berpengaruh
terhadap
perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. 6) Kondisi kejiwaan, seorang yang mengidap schizoprenia akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional sedangkan penderita infantil autisme (berperilaku seperti anak-anak) akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.
10
b. Faktor ekstern Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan. Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan dalam pandangan Islam sudah lama disadari.. 2) Lingkungan institusional, yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa kegamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi. Kurikulum, hubungan guru dan murid serta hubungan antar teman dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh sebab pada prinsipnya perkembangan jiwa keagaman tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. 3) Lingkungan masyarakat, yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keberagamaan sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Keagamaan Orangtua Batasan Orangtua Orangtua adalah ayah dan ibu, figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anakanaknya (Mardiya, 2010). Orangtua disini lebih condong kepada sebuah keluarga, karena keluarga adalah sebuah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan yang formal yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa (Ahmadi, 1999). Khairuddin (dalam Valentina, 2009)
11
mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami-istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa orangtua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.
Keagamaan Orangtua Menurut Arifin seperti dikutip Andia (2013), pengertian Agama dapat dilihat dari dua (2) aspek yaitu : a. Aspek Subyektif (pribadi manusia) Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya. b. Aspek Objektif. Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan yang bersifat manuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan kehendak ajaran tersebut.Poerwadarminta (2003) memberikan arti keagamaan sebagai sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, atau soal-soal keagamaan.Indonesia adalah negara multi agama, dimana negara mengakui kebebasan beragama warganya. Adanya kebebasan beragama tersebut menimbulkan dampak terjadi perkawinan antar agama, sehingga terdapat keluarga beda agama atau orangtua yang berbeda agama.
12
Orangtua Beda Agama Terbentuknya keluarga atau orangtua beda agama disebabkan karena perkawinan beda agama. Pernikahan antar agama menurut Rusli dan Tama dalam Eoh (1996) adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan antara dua individu yang memeluk agama berbeda disebut interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage (Robinson, 2005). Menurut Handrianto (dalam Djajasinga, 2004), Pernikahan Beda Agama adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” Pengertian ini mengandung substansi bahwa di dalam pernikahan beda agama, suami–istri mempertahankan perbedaan agama ketika menikah dan berkeluarga. Menurut Nasution (2011), pasangan suami istri beda agama dapat berupa: 1) Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan satu berasal dari suatu kepercayaan etis non-teologis, misalnya antara seorang Katolik dengan seorang Humanis. 2) Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang berasal dari belahan bumi bagian barat dan yang satu lagi berasal dari belahan bumi bagian timur, seperti antara pemeluk Kristen dengan pemeluk Taoisme, Hindu atau Budha. 3) Kedua belah pihak pemeluk agama yang berbeda, namun mempunyai sedikit banyak persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli kitab, seperti antara pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi.
13
4)
Kedua belah pihak memeluk agama yang berbeda, namun merupakan pembagian besar disatu agama yang sama seperti Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Orangtua Seagama Definisi „orangtua seagama‟ dapat didefinisikan dari masing-masing kata yang membentuk kalimat tersebut. Arti dari „Orangtua‟ adalah ayah ibu kandung, orang yang dianggap tua, orang-orang yang dihormati (disegani) di kampung; tetua (Kamus besar Bahasa Indonesia, 2000). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan orangtua adalah ayah dan ibu kandung atau pasangan suami istri yang melahirkan anak. Kata ‟seagama‟ berasal dari kata‟agama‟ dan diberi awalan se-. Awalan se- digunakan untuk menyatakan satu, seluruh, sama, setelah. Dalam gabungan kata seagama, mengandung makna „sama‟ (Kamus besar Bahasa Indonesia, 2000). Berdasarkan arti dari masing-masing kata tersebut, maka kata „seagama‟ dapat diberi pengertian satu agama atau beragama sama. Jadi orangtua seagama berarti suami istri yang menganut agama yang sama. Terbentuknya keluarga seagama adalah karena pasangan suami istri dikukuhkan dalam suatu pernikahan suatu agama. Anak yang lahir dari orangtua seagama umumnya menganut agama yang sama dengan kedua orangtua mereka.
Implikasi Keagamaan Orangtua terhadap Kondisi Perkembangan Religiusitas Remaja Akhir Peran orangtua dalam menanamkan rasa keagamaan sangat penting. Kebenaran pandangan ini disampaikan Artanto (2006) yang mengungkapkan bahwa gagasan yang dimiliki remaja mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran. Melalui pengajaran orangtua dan gurunya remaja memiliki gambaran tentang siapa dan bagaimana Tuhan. Tittley (dalam Idrus, 2004) secara lebih tegas menyatakan bahwa kunci dari perkembangan kepercayaan seseorang adalah rumah, tempat dibangkitkan dan diterimanya kepercayaan (Iman).
14
Menurut Yob (1998), agama yang dianut seseorang berperan sebagai dasar yang mempengaruhi nilai yang dianut, apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah oleh orang tersebut. Remaja yang mendapat ajaran nilai-nilai agama yang cukup dari orangtuanya, akan lebih mampu menghadapi membedakan apa yang baik dan tidak baik, apa yang patut dan tidak patut. Remaja dari orangtua yang menganut agama yang sama cenderung lebih sedikit mengalami konflik dalam perkembangan terutama dalam perkembangan rasa keagamaan. Karena sejak kecil, kedua orangtua telah meletakkan dasar-dasar keagamaan. Remaja juga secara langsung dapat meniru dan kemudian menerima nilai-nilai agama yang ditanamkan oleh orangtua, baik melalui sikap maupun perbuatan sehari-hari. Menurut Murtadho (2004), orangtua beda agama sering menyebabkan munculnya kebimbangan rasa agama remaja yang terlahir dalam keluarga beda agama terutama di usia remaja. Kebimbangan ini dapat terjadi ketika kedua orangtuanya sama-sama mengajarkan doktrin agama masing-masing kepadanya. Berbeda dengan anak yang terlahir dari orangtua seagama, karena keduanya mengajarkan doktrin yang sama. Religious Doubt atau kebimbangan rasa agama akan menjurus pada munculnya konflik dalam diri pada remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pemilihan antara mana yang baik dan buruk, atau yang benar dan salah. Konflik tersebut dapat berupa keraguan untuk memilih salah satu agama dan keraguan akan agama yang dipilihnya, apakah agama itu benar atau sebaliknya (El-Minangkabawy, 2011). Konflik lain juga yang kemungkinan akan dihadapi anak dari orangtua tidak seagama adalah berupa konflik moral. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Belina (2007), tidak dapat dipungkiri banyaknya tekanan-tekanan secara psikologis maupun sosial yang dirasakan oleh anak pada pasangan beda agama. Secara psikologis anak mendapatkan tekanan dalam dirinya. Konflik moral yang dialami anak dari orangtua beda agama antara lain berkembangnya kesalahfahaman, ketidakpercayaan dan hubungan yang kaku dengan
15
orangtua. Perilaku ini menunjukkan rendahnya kualitas keberagamaan atau religiusitas seseorang.
Perbedaan Tingkat Religiusitas Remaja Akhir dari Orangtua Beda Agama dengan Remaja Akhir dari Orangtua Seagama Fenomena global yang terjadi banyak memberikan dampak negatif bagi perkembangan anak, Oleh karena itu penanaman nilai-nilai keagamaan dalam jiwa anak secara dini sangat dibutuhkan. Dalam hubungan itu, keluarga diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling dasar untuk mewujudkan pembangunan kualitas manusia dalam lembaga ketahanan untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berakhlak. Pranata keluarga merupakan titik awal keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Harahap, 1999). Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak dari lingkungan keluarga akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan di tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat. Orangtua yang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik generasigenerasinya untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk tindakan yang menyimpang. Bagi orangtua yang seagama, penanaman nilai religiusitas pada anak relatif mudah, karena anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orangtua dalam aktivitas keagaman. Ketika rasa keagamaan itu sudah tumbuh pada diri anak, maka orangtua memberikan latihanlatihan keagamaan. Latihan yang dilakukan sejak kecil dan dengan cara yang tetap, maka ketika anak menginjak dewasa akan memiliki kepedulian yang tinggi pada kehidupan beragama dalam kesehariannya. Anak dengan orangtua yang seagama akan lebih mudah memahami nilai keagamaan, karena nilai-nilai tersebut akan dipelajari dari sikap dan perilaku keagaman orangtuanya sehari-hari (Pratiwi, 2012). Berbeda dengan anak dari orangtua beda agama. Landis (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) menyebutkan bahwa pasangan yang ekstrim perbedaan agamanya, seperti Katolik–Protestan, menciptakan banyak permasalahan dalam penyesuaian pernikahan,
16
meskipun ada juga sedikit dari mereka yang sukses melewatinya. Bossard & Boll yang dikutip Hikmatunnisa dan Takwin (2007) menyebutkan bahwa anak dengan orangtua beda agama memiliki potensi masalah. Ketika lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama mana dapat menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing pasangan umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak. Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Misalkan kedua orangtua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan tidak enak hati bila harus memilih salah satu dari agama yang dianut orangtuanya (Viemilawati, 2002). Perbedaan orangtua dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, baik secara psikologis maupun religius, baik itu terhadap pasangan maupun anak. Pasangan adalah subyek dari pernikahan beda agama. Namun demikian, anak akan terkena dampaknya. Pada prosesnya penanaman agama pada anak yang mempunyai orangtua berbeda agama, berpengaruh dalam pemahaman awal anak mengenai agama, karena dengan perbedaan pelaksanaan agama yang ada dapat memberikan kebingungan-kebingungan pada anak). Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan anak dari orangtua beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orangtuanya. Djajasinga (2001) menemukan bahwa anak-anak ini menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang baik. Viemilawati (2002) menemukan bahwa mereka memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap sesama namun ritual tidak wajib dilakukan. Keluarga adalah sumberkepribadian seseorang. Didalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasaryang membentuk kepribadian seseorang Satiadarma (2001).Keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Karena sejak dilahirkan anak diasuh dalam keluarga sehingga pertumbuhan dan perkembangan hidupnya
17
tidak akan terlepas dari apa yang akan disediakan atau diberikan oleh keluarga. Faktor keluarga yang mempengaruhi perilaku anak dan remaja diantaranya adalah hubungan orang tua, pola asuh orang tua, komunikasi dengan orang tua, juga persepsi anak tentang orangtua. Demikian halnya mengenai tingkat religiusitas anak. Di dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengenalnilai-nilai luhur yang diajarkan setiap agama. Kedua orangtuanyalah yang harusmengenalkan, mengajarkan dan sekaligus pemberi contoh penerapan nilai-nilai luhur itu bagi anak-anaknya. Jika nilai-nilai luhur agama sudah di tanamkan sejak dinikepada anak, maka nilai-nilai itulah nantinya yang akan membimbing danmembentuk jiwa anak tersebut. Dengan demikian perihal keberagamaan orang tua juga turut membentuk pribadi anak termasuk religiusitas anak. Anak akan mempersepsikan apa yang dilihat, diamati dan dicontohkan oleh orangtuanya.
Hipotesis Penelitian ”Ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orang tua beda agama dengan remaja dari orang tua seagama, dimana religiusitas remaja dari orang tua seagama lebih tinggi dibanding religiusitas remaja dari orang tua beda agama”. Secara statistik, hipotesis yang diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: H0 : µ = 0, artinya tingkat religiusitas remaja dari orangtua beda agama sama dengan (=) tingkat religiusitas remaja dari orangtua seagama atau dengan perkataan lain, tidak terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan remaja dari orangtua seagama H1 : µ ≠ 0, artinya tingkat religiusitas remaja dari orangtua beda agama tidak sama dengan (≠) tingkat religiusitas remaja dari orangtua seagama atau dengan perkataan lain, terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan remaja dari orangtua seagama.
18
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian komparatif, yaitu sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab akibat, dengan menganalisis faktorfaktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu (Prastowo, 2011).
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2010). Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 58 orang, terdiri dari 29 orang sampel dari orangtua seagama dan 29 orang sampel dari orangtua beda agama.
Alat Ukur Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala, yaitu Skala Religiusitas. Skala Religiusitas disusun oleh peneliti berdasarkan teori Glock dan Stark yang dikutip Ancok dan Suroso (1994), yaitu meliputi aspek-aspek (1) aspek ideologi atau keyakinan, (2) aspek peribadatan, (3) aspek penghayatan, (4) aspek pengetahuan, (5) aspek pengamalan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode try out terpakai yang artinya data yang digunakan untuk try out juga digunakan sekaligus sebagai data penelitian. Alasan peneliti menggunakan metode try out terpakai adalah karena sulitnya mendapat partisipan, khususnya kelompok partisipan yang orangtuanya beda agama.
19
Pengujian daya beda item dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri. Standar nilai korelasi yang digunakan adalah 0,30. Dengan demikian item-item yang memiliki koefisien korelasi ≥ 0,30 dikatakan memiliki daya beda yang memuaskan, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi < 0,30 dikatakan memiliki daya beda yang rendah. Uji beda item dilakukan terhadap 30 item. Dari hasil uji yang dilakukan didapatkan bahwa semua item (30 item) dinyatakan valid, dimana item yang valid memiliki nilai r yang berkisar antara 0,375 sampai 0,796. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan formula Alpha Cronbach. Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,919, yang menunjukkan bahwa itemitem dalam skala religiusitas mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.
Metode Analisa Data Analisis dilakukan menggunakan metode statistik, yaitu uji hipotesis dua rata-rata. Untuk itu teknik analisis data yang digunakan adalah t – test (Uji – t).
HASIL PENELITIAN Analisis Deskriptif Tabel 1 Tingkat Religiusitas Remaja Akhir dari Orang Tua Seagama dan Orang Tua Beda Agama
Orangtua seagama Orangtua beda agama
Skor >93
Kategori Tinggi
N 15
% 51,72
Min 95
Max 111
Mean 103,07
Std Dev 4,832
69-89
Sedang
13
44,83
72
88
81,46
4,841
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2014 Tabel di atas memperlihatkan jumlah responden remaja akhir dari orang tua seagama berdasarkan tingkat religiusitas. Kategori religiusitas tinggi, jumlah responden sebanyak 15 orang (51,72%), skor minimum 95, skor maksimum 111, mean 103,07 dan standar deviasi
20
4,832. Sedangkan tingkat religiusitas remaja akhir dari orang tua beda agama, kategori religiusitas sedang, jumlah responden sebanyak 13 orang (44,83%), skor minimum 72, skor maksimum 88, mean 81,46 dan standar deviasi 4,841.
Deskripsi Variabel Tabel 2 Deskripsi Variabel Kategori Orangtua Seagama OrangtuaBeda Agama
N 29
Mean 93,517
Std. Deviation 12,76
Minimum 56
Maximum 111
29
84,621
15,82
48
110
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2014 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa untuk kategori variabel religiusitas remaja dari orangtua seagama, memiliki nilai mean 93,517, standar deviasi 12,76, nilai minimum 56 dan nilai maksimum 111. Sedangkan untuk kategori variabel religiusitas remaja dari orangtua beda agama, memiliki nilai mean 84,621, standar deviasi 15,82, nilai minimum 48 dan nilai maksimum 110.
Uji Asumsi a. Uji Normalitas Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parameters a,b Most Extrem e Di fferences
Mean Std. Deviati on Absolute Positive Negati ve
Kolmogorov-Sm irnov Z As ymp. Sig. (2-tailed) a. Test di stribution is Norm al. b. Calculated from data.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2014
Orangtua Seagama 29 93,52 12,758 ,135 ,085 -,135 ,727 ,666
Orangtua Beda Agam a 29 84,62 15,824 ,143 ,081 -,143 ,768 ,597
21
Dari tabel di atas terlihat nilai uji normalitas yang dinyatakan oleh hasil uji Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 0,727 untuk data variable orangtua seagama dengan nilai signifikansi sebesar 0,666 dan untuk data variable orangtua beda agama nilai uji sebesar 0,768 dan nilai signifikansi sebesar 0,597. Nilai signifikansi kedua variable > α (0,05), sehingga data yang diuji dikatakan berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Data Test of Homogeneity of Variances Skor_Angket Levene Statistic ,732
df1
df2 1
56
Sig. ,396
Dari tabel di atas terlihat nilai uji sebesar 0,732 dengan tingkat signifikansi 0,396 >α (0,05), sehingga data yang diuji dikatakan bersifat homogeny. Uji t Hasil uji t diperoleh nilai uji (nilai t hitung) sebesar 2,357 dengan signifikansi pada pengujian satu sisi sebesar 0,011. Nilai signifikansi tersebut <α (0,05). Berdasarkan hasil uji ini, berarti terdapat perbedaan yang signifikan dari rata-rata data yang diuji, atau dengan perkataan lain bahwa kedua data yang duji menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa “Ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan remaja dari orangtua seagama”, diterima atau terbukti. Rata-rata hasi penelitian menunjukkan bahwa remaja dari orangtua seagama memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi dibanding remaja dari orangtua beda agama.
22
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara remaja akhir dari orangtua seagama dengan remaja akhir dari orang tua beda agama, dimana tingkat religiusitas remaja akhir dari orangtua seagama cenderung lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh mean dari tingkat religiusitas remaja akhir dari orangtua seagama sebesar 93,517 sedangkan tingkat religiusitas remaja akhir dari orangtua beda agama sebesar 84,621. Dari hasil uj t diperoleh nilai t hitung sebesar 2,357 dengan signifikansi sebesar 0,011 (p < 0,05), membuktikan bahwa hipotesis yang mengatakan “Ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan remaja dari orangtua seagama” diterima. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Murtadho (2004) yang menyatakan orangtua beda agama sering menyebabkan munculnya kebimbangan rasa agama remaja yang terlahir dalam keluarga beda agama terutama di usia remaja. Kebimbangan ini dapat terjadi ketika kedua orangtuanya sama-sama mengajarkan doktrin agama masing-masing kepadanya. Berbeda dengan anak yang terlahir dari orangtua seagama, dimana keduanya mengajarkan doktrin yang sama. Hal ini karena tinggi rendahnya tingkat religiusitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor pribadi melainkan juga karena pengaruh faktor eksternal terutama orangtua. Religiusitas yang berkembang pada manusia sejak usia dini merupakan proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dan pengaruh yang datang dari luar diri manusia itu sendiri. Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiusitas yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupan sehari-hari (Mardiyah, 2010). Peranan orangtua dalam pembentukan karakter anak memang sangat penting apalagi dalam membentuk kepribadian yang bersifat religiusitas. Orangtua merupakan sarana pertama kali bagi anak dalam menerima sosialisasi, jadi peran keluarga dalam membentuk
23
karakter anak memang sangatlah penting. Anak akan menjadi apa kelak orangtua sangatlah berpengaruh, baik buruknya anak dalam masyarakat juga berpengaruh pada pola didik orang tua, karena orangtua merupakan cerminan anak. Pendidikan agama yang diberikan terhadap anak banyak berpengaruh terhadap pembentukan religiusitas anak (Artanto, 2006). Dalam hal keagamaan, orangtua juga mempunyai peranan yang sangat penting, bukan hanya sebagai pendidik dan pembimbing saja, tetapi juga sebagai pembina kesiapan anak dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama, oleh karena itu orangtua harus mampu menjadi teladan bagi putra-putrinya. Menurut Daradjat sebagaimana dikutip Hana (2011), bahwa pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya, terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina pertama adalah orangtua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui oleh anak waktu kecilnya, akan merupakan unsur penting dalam pribadinya, demikian halnya dengan pembentukan sikap religiusitas. Umumnya, remaja yang lahir dari orangtua seagama umumnya menganut agama yang sama dengan kedua orangtua mereka. Berbeda dengan remaja yang lahir dari pasangan orangtua beda agama, dimana remaja harus memilih salah saatu agama dari orangtuanya atau memiliki agama yang bahkan berbeda dari kedua orangtuanya. Remaja yang mendapat ajaran nilai-nilai agama yang cukup dari orang tuanya, akan lebih mampu menghadapi membedakan apa yang baik dan tidak baik, apa yang patut dan tidak patut (Choiriyah, 2009). Lebih tingginya tingkat religiusitas remaja dari orangtua seagama dalam penelitian ini mungkin disebabkan remaja dari orangtua yang menganut agama yang sama cenderung lebih sedikit mengalami konflik dalam perkembangan terutama dalam perkembangan rasa keagamaan. Karena sejak kecil, kedua orangtua telah meletakkan dasar-dasar keagamaan. Remaja juga secara langsung dapat meniru dan kemudian menerima nilai-nilai agama yang ditanamkan oleh orang tua, baik melalui sikap maupun perbuatan sehari-hari. Bagi orang tua yang seagama, penanaman nilai religiusitas pada anak relatif mudah, karena anak akan
24
mengikuti apa yang dilakukan oleh orangtua dalam aktivitas keagaman. Ketika rasa keagamaan itu sudah tumbuh pada diri anak, maka orangtua memberikan latihan-latihan keagamaan. Karena latihan itu dilakukan sejak kecil dan dengan cara yang tetap, maka ketika anak menginjak dewasa akan memiliki kepedulian yang tinggi pada kehidupan beragama dalam kesehariannya. Anak dengan orang tua yang seagama akan lebih mudah memahami nilai keagamaan, karena nilai-nilai tersebut akan dipelajari dari sikap dan perilaku keagaman orangtuanya sehari-hari (Pratiwi, 2012). Kondisi seperti dipaparkan di atas kurang bisa dialami oleh remaja dari orangtua beda agama karena masing-masing dari mereka tetap menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya masing-masing. Menurut Murtadho (2004), orangtua beda agama sering menyebabkan munculnya kebimbangan rasa agama remaja yang terlahir dalam keluarga beda agama terutama di usia remaja. Kebimbangan ini dapat terjadi ketika kedua orangtuanya sama-sama mengajarkan doktrin agama masing-masing kepadanya. Berbeda dengan anak yang terlahir dari orangtua seagama, dimana keduanya mengajarkan doktrin yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja akhir dari orangtua beda agama dengan remaja akhir dari orangtua seagama, dimana tingkat religiusitas remaja akhir dari orangtua seagama cenderung lebih tinggi.
25
Saran Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan : 1) Bagi Orangtua Orangtua harus selalu konsisten dalam mengajarkan agama pada anak-anak terutama dalam tahap perkembangan remaja akhir. Jika dapat, sebaiknya orangtua menghindari adanya perbedaan agama dalam keluarga, karena berdampak kurang baik bagi perkembangan religiusitas remaja. 2) Bagi Remaja Remaja harus dapat memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap agama yang dianutnya, bagi remaja yang memiliki orangtua berbeda agama, sebaiknya secara mandiri menentukan sikap terhadap agama yang dianut, tidak hanya menuruti anjuran atau suruhan orangtua. 3) Untuk Peneliti Selanjutnya Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang tingkat religiusitas remaja akhir dengan menambah variabel lain seperti pengaruh tempat tinggal misalnya antara yang tinggal dengan orangtua dan yang bukan tinggal dengan orangtua, atau variabel lain yang relevan dan perlu pembuktian kembali pada sampel yang berbeda.
26
DAFTAR PUSTAKA Afiatin, T. (1998). “Religiusitas Remaja : Studi tentang Kehidupan Beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam SE. Firmansyah. (Ed). (2010).Analisis Pengaruh Tingkat Religius Pasien terhadap keputusan menggunakan jasa kesehatan.(Skripsi). Semarang:Undip. Online dalam http://eprints.undip.ac.id. Afif, M. (2012). Perkembangan Moral, Religious, dan Spiritual Pada Masa Anak-Anak Akhir. Diunduh 4 Nop 2014, darihttp://mutiarafatur.blogspot.com/ Ahmadi, A. (1999). Psikologi Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Alfauzi, M. H.(2012). PerkembanganReligiusitasUsiaAnakdanImplikasinyadalam PAI. Diunduh 10 Nop 2014 darihttp://alfablitar.wordpress.com/ Alvie. (2012). Perkembangan Rasa Agama DariAnak-AnakHinggaRemaja. Diunduh 12 Nop 2014 darihttp://alfiyatuss.blogspot.com/. Ancok, D. & Suroso, F.N. (1994). Psikologi Islami : Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Arifin, M. (1997). “Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia”. Dalam Andia (Ed) “Pengertian Keberagamaan”. Diunduh 21 Nop 2014 dari http://www.referensimakalah.com/ Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. RinekaCipta. Artanto, D.R. (2006). Konsep Tuhan Pada Anak Usia Akhir Operasional Konkret. Psikologika,11(21). Diunduh 14 November 2013 dari www.journal.uii.ac.id. Azwar, S. (2008). Sikap Manusia-Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar _______.(2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Chatters, L. M. (2000).Religion &Health : Influence of Religiosity for Alcohol Use Among Protestants. Science Study Religion,32(441-556). Retrieved May 28, 2014 from jod. sagepub.com. Choriyah, A. (2009). Pengembangan Keagamaan pada Anak Usia Dini. (Skripsi). Diunduh dari digilib.uin-suka.ac.id/. Darajat,Z. (1994). Kesehatan Mental dalam Keluarga. Jakarta:Pustaka Antara. Dister, N.S. (1988). Psikologi Agama. Yogyakarta :Kanisius Djajasinga, R. D. (2004). Gambaran Internalisasi dan Komitmen Beragama pada Anak dari Orang Tua Berbeda Agama.Diunduh dari digilib.ui.ac.id/. Eoh, O.S. (1996). Perkawinan Antar Agama: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
27
Glock, C & Stark, R. (1965). “Religion and Society in Tension”. Dalam, D. Ancok dan FAnshariSuroso (Ed).1994. Psikologi Islam : Solusi Islam Atas Problema-Problema Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hana, C.(2011). Pengaruh Religiusitas Terhadap Kreativitas Siswa. Diunduh 12 Desember 2014, dari http://2centra.blogspot.com/. Harahap, H. S.(1999). Islam : Konsep & Imlementasi Pemberdayaan. Yogyakarta : Tiara Wacana. _______(1999). “Islam : Konsep & Imlementasi Pemberdayaan”. Dalam Valentina.(Ed). S. Peran Orang Tua dalam Mengembangkan Religiusitas Anak. (Skripsi). Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta:Erlangga. _______. (1999). PerkembanganAnak. Jilid 2.Jakarta:Erlangga. Idrus, M. (2004).KeraguanKepadaTuhanpadaRemaja.Psikologika, 21(27-34) Diunduh 31 November 2013 dari www.academia.edu. Ismail, W. (2009). Analisis Komparatif Perbedaan Tingkat Religiusitas Siswa di Lembaga Pendidikan Pesantren, MAN dan SMUN. Lentera Pendidikan,12(1). Diunduh 12 Februari 2014 dari uin-alauddin.ac.id.html Jalaluddin, H. (1997). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kartono, K. (1990). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: CV. Mandar Maju. Khairudin. (1985). “Sosiologi Keluarga”. Dalam Valentina, S. (Ed). 2009. Peran Orang Tua dalam Mengembangkan Religiusitas Anak. (Skripsi). Surakarta:Universitas Sebelas Maret. Kaye, J., & Raghavan, S. K. (2002). Spiritualityin Disability and Illness : The Psychology of Religion and Coping. Theory, Research, Practice. New York : Guilford. Madjid, R. (1997). Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung :Mizan Pustaka. Mangunwijaya, Y. B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta :Gramedia Mardiya.(2010). Memahami Perkembangan Nilai Moral, Keagamaan pada Anak. Diunduh 28 Mei 2014 dari www.kulonprogokab.go.id/ Monks, F.J., Knoers, A. M. P., & Haditomo, S. R. (2002). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Nasution, DU. (2011). Kepuasan Perkawinan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama. Diunduh 6 Maret 2014 darihttp://repository.usu.ac.id/
28
Pasaribu, ACR. (2008). Hubungan antara Religiusitas dengan Penalaran Moral pada Remaja Akhir. Visi 16(3). Diunduh 12 Februari 2014 dari akademik.nommensen-id.org/. Poerwadarminta, W.J.S. (2003). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Prastowo, A.(2011). Memahami Metode-metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoristis dan Praksis. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Pratiwi, N.I. (2012). Pola Asuh Anak pada Pernikahan Beda Agama. (Skripsi). Diunduh 12 Februari 2014 dari repository.gunadarma.ac.id Pratiwi, S.W.(2009). Hubungan antara Tingkat Religiusitas dan Pengetahuan Seksualitas dengan Intensitas Masturbasi pada Mahasiswa yang Tinggal di Kos. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi,11(2).12 Februari 2014 dari publikasiilmiah.ums.ac.id/. Sari, FY. (2011). Hubungan antara Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan Pada Dewasa Dini. Diunduh 12 Februari 2014 dari repository.usu.ac.id. Sindo, A. Dt. P. (2012). Agama dan Keberagamaan, Sebuah Klarifikasi untuk Toleransi. pakasril. Diunduh 6 Maret 2014 dari http://pakasril.wordpress.com/. Sudarsono. (2008). Kamus Konseling. Jakarta:Renika Cipta. Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Suryani, Lilis dkk. (2008). Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Susilaningsih. (2013). Perkembangan Religiusitas pada Usia Anak. Makalah, Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Fak.Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diunduh6 Maret 2014 dari http://kbalfalah.blogspot.com/. Thomas L.M (2002). “FIRE UP Your Learning”. Dalam H. Mila dan B. Takwin (Ed). 2007. Pengaruh Perbedaan Agama Orang Tua terhadap Psychological Well-Being dan Komitmen Beragama Anak. Jurnal Psikologi Sosial, Vol.13 No.02. hal 157-165. Diunduh 12 Februari 2014 dari http://library.gunadarma.ac.id/ Thouless, R.H. (1992). “Pengantar Psikologi Agama”. Dalam W. Bharata (Ed). 2006. Perbedaan Religiusitas Pada Remaja Santri Pondok Pesantren dengan Remaja SekolahMenengah Umum. (Sktpsi). Malang:Universitas Muhammadiyah. Dinduh dari http://www.academia.edu. Glover, RJ. (1997). “Relationship in Moral Reasoning and Religion Among Members of Conservative, Moderate, and Liberal Religious Groups”. Dalam S. Widari. (Ed). 2011. Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Remaja. (Skripsi). Medan:USU. Diunduh dari repository.usu.ac.id.
29
Viemilawati, J. (2002). “Penghayatan dan Pembentukan Identitas Agama pada Anak dari Keluarga Beda Agama”. Dalam H. Mila dan B. Takwin (Ed). Pengaruh Perbedaan Agama Orang Tua terhadap Psychological Well-Being dan Komitmen Beragama Anak. Jurnal Psikologi Sosial, Vol.13 No.02. hal 157-165. Diunduh 12 Februari 2014 dari http://library.gunadarma.ac.id/ Yusuf, S. & Dahlan, M. (2001). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya offset.