STRATEGI ORANG TUA BEDA AGAMA DALAM MENDIDIK ANAK (Studi Kasus Tiga Keluarga Beda Agama di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga Tahun 2013) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh FANI FARIDA NIM 111 09 136 JURUSAN TARBIYAH PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013
MOTTO
YATIM BUKANLAH YANG TELAH MENINGGAL ORANG TUANYA, TETAPI SEBENARNYA YATIM ITU ADALAH YATIM ILMU DAN BUDI PEKERTI (Al-Mahfudzoh)
PERSEMBAHAN Untuk Bapak dan Ibu yang menjadi motivasiku Untuk mas Tri dan dek Yaya yang selalu menyemangatiku Untuk mas Mirza Kamal yang menginspirasiku Untuk teman-teman PAI 2009 yang luar biasa Untuk Keluarga besar Pondok Pesantren ANNIDA Untuk Keluarga besar LDK Darul Amal STAIN Salatiga Untuk Keluarga besar Kelurahan Mangunsari Untuk Keluarga besar TPQ ANNIDA Salatiga
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya skripsi dengan judul Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga di Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2013) bisa diselesaikan. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Sang Teladan Utama, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam, juga kepada para shahabat, keluarga dan orang yang istiqomah mengikuti petunjuk Beliau. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak terkait. Sungguh menjadi kebahagiaan yang tiada tara penulis rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M. Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Siti Asdiqoh, M. Si., selaku Ketua Prodi PAI. 3. Mufiq, M. Phil., selaku Pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing, memberikan petunjuk dan meluangkan waktunya dalam penulisan skripsi ini. 4. Winarno, M. Pd., selaku dosen pembimbing akademik penulis yang membantu penulis selama menuntut ilmu di STAIN Salatiga.
5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu, bagian akademik dan staf perpustakaan yang telah memberikan layanan serta bantuan kepada penulis. 6. Bapak Rohmad, Ibu Purwanti, mas Tri, dan dek Kamalia yang telah memberikan dukungan, moril, materiil, dan spiritual kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 7. Mas Mirza Kamal pelipur laraku. 8. Bapak Nardi sekeluarga, terimaksih nasihat-nasihatnya. 9. Teman-teman PPL SMKN2 Salatiga. 10. Teman-teman KKN WIGRAMA. 11. Keluarga besar Wiyono Magelang yang memberiku banyak ilmu dan pengalaman. Semoga ukhuwah kita selalu terjaga. 12. Bapak Sony sekeluarga, Bapak Iknasius sekeluarga, dan Bapak Budi sekeluarga selaku keluarga beda agama di kelurahan Mangunsari yang meluangkan waktu serta memberikan bantuan kepada penulis untuk penelitian. 13. Keluarga besar Pondok Pesantren AN-NIDA Jazakumullah ahsanul jaza‟ atas dukungan, motivasi serta inspirasinya. 14. Keluarga Besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal STAIN Salatiga. Teruslah berkarya dan berjuang di jalan cinta para pejuang.
vi
15. Teman-teman senasib seperjuangan PAI 2009, khususnya Hima Nurusshofiati, Khabibah Tri Nurlaili, dan Umi Khafidloh. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya. 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan dorongannya. Atas segala hal tersebut, penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah Azza wa Jalla mencatatnya sebagai amal sholeh yang akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Aamiin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan baik dalam isi maupun metodologi. Untuk itu saran dan kritik yang membangun penulis harapkan dari berbagai pihak guna kebaikan penulisan di masa yang akan datang. Semoga skripsi bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Salatiga, 29 Juli 2013 Penulis
Fani Farida
ABSTRAK Farida, Fani. 2013. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga di Keluraha Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2013). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Mufiq, M. Phil. Kata Kunci: Strategi Mendidik dan Beda Agama. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Di dalam keluarga mereka pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, nilai-nilai moral, norma sosial, dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam satiap keluarga tentulah berbeda. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai 1) variasi keberagamaan pada keluarga beda agama,2) bagaimana strategi mendidik anak dalam keluarga beda agama, dan 3) apa saja faktor pendukung dan penghambat keluarga beda agama dalam mendidik anak. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi dengan mengamati secara langsung pada sumber-sumber tertentu. Wawancara dengan bertanya secara langsung kepada objek penelitian secara mendalam dan jujur untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan skripsi ini. Dan dokumentasi dengan mengambil data pada sumber arsip, catatan, foto, dan sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak memiliki kesamaan dengan keluarga yang lainnya, yang membedakan hanya dalam menentukan keyakinan agama anak. Namun para orang tua beda agama tidak menjadikan perbedaan agama sebagai masalah yang besar. Dengan adanya sikap dewasa, toleransi, dan kebebasan melakukan rutinitas keagamaan masing-masing maka keutuhan dan keharmonisan keluarga dapat terjalin dengan baik. Dari penelitian ini pendidikan anak dibebankan kepada ibu. Sebab ibu sebagai figur dan pendidik dalam keluarga karena ayah banyak waktu di luar untuk bekerja.
DAFTAR ISI SAMPUL......................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................
iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN..................................................................
iv
KATA PENGANTAR .................................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Fokus Penelitian .....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
7
D. Penegasan Istilah ....................................................................
8
E. Manfaat Penelitian ..................................................................
9
F. Metode Penelitian ...................................................................
10
G. Sistematika Penulisan .............................................................
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Strategi Mendidik ...................................................................
15
1. Pengertian Strategi Mendidik .............................................
15
2. Tanggungjawab Keluarga dalam Proses Pendidikan..........
18
a. Pengenalan dan Pengembangan Sikap Sosial Awal .......
22
b. Bimbingan Awal Kepribadian........................................
24
c. Proses Pertumbuhan Afeksi dalam Keluarga .................
25
3. Keluarga dan Pembentukan Status .....................................
26
a. Pendidikan Akhlak .........................................................
26
b. Mandiri ..........................................................................
28
c. Toleransi ........................................................................
29
4. Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak................
30
5. Kendala dan Dampak Negatif Kegagalan dalam Mendidik Anak ...................................................................................
33
B. Keluarga Beda Agama ............................................................
34
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama .................................
34
2. Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam ....................................................... i.
Perkawinan antara Perempuan Muslimah dan Laki-laki Non-Muslim ..................................................................
ii.
35
Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik.......................................................
iii.
35
38
Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab ......................................................................
39
3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama ......................
42
i.
Keabsahan Perkawinan ..................................................
43
ii.
Pencatatan Perkawinan ..................................................
44
iii.
Status Anak....................................................................
44
4. Problem Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga
Beda Agama .......................................................................
47
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A.
B.
Deskriptif Objektif Penelitian ..............................................
51
1. Letak Geografis Kelurahan Mangunsari...........................
51
2. Struktur Pemerintahan Kelurahan Mangunsari ................
51
3. Keadaan dan Jumlah Penduduk Kelurahan Mangusari ....
57
4. Keadaan Sosial Agama .....................................................
58
5. Keadaan Sosial Pendidikan ..............................................
58
6. Keadaan Sosial Ekonomi ..................................................
59
Data Temuan Penelitian .......................................................
61
1. Data Umum ......................................................................
61
2. Data Khusus......................................................................
64
a. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak ..........................................................................
64
b. Interaksi dalam Pendidikan Agama Anak ...................
66
c. Faktor Pendukung dan Penghambat ............................
71
d. Tanggapan Anak dalam Didikan Pasangan Beda Agama .......................................................................
74
BAB IV ANALISIS DATA A. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak .......
77
B. Interaksi dalam Pendidikan Agama Anak ..............................
79
C. Faktor Pendukung dan Penghambat .......................................
81
D. Tanggapan Anak dalam Didikan Pasangan Beda Agama ......
85
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
86
B. Saran .......................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1
Pedoman Wawancara
Lampiran
2
Transkip Wawancara
Lampiran
3
Foto
Lampiran
4
Surat Ijin Penelitian
Lampiran
5
Surat Keterangan Penelitian
Lampiran
6
Suran Keterangan Selesai Penelitian
Lampiran
7
Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran
8
Daftar Nilai SKK
Lampiran
9
Lembar Bimbingan Skripsi
Lampiran
10
Riwayat Hidup Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bentuk yang sempurna bila dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia juga dibekali akal agar dapat menjalani kehidupan dan mengelola bumi dengan baik. Bekal terakhir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Bila ditinjau dari ajaran Islam, setidaknya ada dua tujuan dari diciptakannya manusia di dunia ini, yakni sebagai abdi dan sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sedangkan sebagai khalifah, manusia berperan sebagai wakil Tuhan untuk bisa mengelola kehidupan di bumi ini dengan baik (Jalaluddin, 2001:32). Termasuk salah satu peran manusia sebagai khalifah di bumi adalah mengembangkan potensi kecerdasan yang telah diberikan oleh Tuhan agar dapat dikembangkan dengan baik. Mengembangkan potensi tersebut bisa dimulai dari awal membimbing dan mendidik anak-anak. Anak-anak adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada setiap orang tua dan telah dibekali dengan potensi-potensi yang sangat penting untuk dikembangkan demi kesuksesan kehidupannya pada masa mendatang. Potensi yang diberikan Tuhan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja agar anak berkembang dengan sendirinya. Atau, dibiarkan saja potensi yang dahsyat
itu sehingga tidak berkembang dan akhirnya malah berakibat menjadi tidak berguna bagi kehidupan mereka. Di sinilah sesungguhnya dirasa perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anak. Di sinilah dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi orang tua untuk bisa memberikan asuhan dan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Asuhan dan pendidikan yang baik sudah tentu tidak hanya di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan keluarga. Di sini juga perlu ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan keuarga. Keseimbangan dalam arti pengembangan kecerdasan dan penerapan nilai yang diterapkan di sekolah berbanding lurus dengan pendidikan yang dibangun dalam keluarga (Jalaluddin, 2001:33-37). Peran orangtua memang tidak bisa dipandang ringan atau kecil dalam memberikan asuhan dan pendidikan bagi anak-anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan hanya dipercayakan kepada sekolah yang favorit dan terbaik, melainkan juga di rumah pun perlu asuhan dan pendidikan yang baik. Sebelum
memahami
potensi
anak
dan
bagaimana
cara
mengembangkannya, perlu bagi kiranya untuk memahami teori dalam perkembangan anak. Teori pertama yang perlu diketahui adalah teori nativisme. Teori ini pertama kali digagas dan dikemukakan oleh Schopenhauer. Menurut teori ini, perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor natives, yaitu faktor-faktor keturunan yang merupakan faktor yang dibawa pada waktu melahirkan.
Teori ini meyakini bahwa faktor yang paling memengaruhi dalam perkembangan manusia adalah pembawaan sejak lahir atau boleh dibilang ditentukan oleh bakat. Para ahli yang menganut teori ini mengklaim bahwa unsur yang paling memengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetik individu yang diturunkan dari orang tuanya. Keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Ada banyak pendekatan yang baik dalam mendidik anak dan semua orangtua melakukan kesalahan-kesalahan kecil dalam mendidik anak mereka. Anak-anak bisa menerima kesalahan orang tua, mereka bahkan tidak memperhatikan hal tersebut. Anak-anak yang merasa disayangi orang tua bisa mengatasi hal tersebut. Pendidikan dalam keluarga haruslah diterapkan dengan sebaik mungkin, agar anak tumbuh dengan baik dan terjadi perubahan yang positif pada diri anak (Silvana Rimm: 258, 2003) Dalam era globalisasi terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi hasil modernisasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi; saling bertentangan dan bertabrakan nilainilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang; atau saling kerjasama (ecletic) yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru (Qodri Azizi: 20, 2003). Pembicaraan di atas menggambarkan bahwa Masyarakat kita semakin kritis terhadap tatanan hukum formal yang ada di Indonesia.
Kehidupan beragama semakin terbuka dan longgar. Dengan alasan bahwa semua agama mempunyai konsep ketuhanan dan konsep amal baik (dalam Islam: amal sholih), maka ada yang berpendapat bahwa nikah dengan orang yang beda agama adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam Islam. Mereka yang beragama Islam biasanya mendasarkan diri pada ayat Alquran yang berbunyi: ...
....
“ (Dan dihalalkan mengawini) …wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya… “ (QS 5: 5). Namun dari ayat ini pula perbedaan pendapat itu muncul, ada yang menghalalkan ada yang mengharamkan pernikahan beda agama. Kalau dicermati lebih dalam lagi, pendapat yang membolehkan menikah beda agama itu lebih berlaku pada pernikahan antara pria muslim dengan wanita non muslim. Sedangkan mengenai wanita muslim yang mau menikah dengan pria non-muslim, sepengetahuan penulis masih jarang ada ulama yang tegas-tegas berani memperbolehkannya. Keberatankeberatan pernikahan beda agama di Indonesia biasanya lebih banyak berkaitan dalam masalah pendidikan anak nantinya. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, ternyata di tengahtengah masyarakat kita Indonesia banyak terjadi pernikahan beda agama.
Hal ini bisa dilihat dari adanya masyarakat yang melakukan pernikahan beda agama. Berangkat dari kenyataan ini, peneliti bermaksud mengangkat fenomena pernikahan beda agama ini dalam konteks transformasi strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak. Strategi orang tua dalam mendidik anak tentulah berbeda-beda antara orang tua yang satunya dengan yang lain. Cara yang digunakanpun unik dan memiliki ciri yang khas meskipun dalam keluarga memiliki keyakinan yang sama dan tentunya akan lebih unik dan menarik lagi apabila dalam keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda. Melihat fenomena keluarga yang memiliki keyakinan berbeda dalam satu keluarga tentulah mereka dituntut untuk bersama-sama menyatukan visi, terutama dalam masalah mendidik anak-anaknya. Persoalan anak bukanlah hal yang sepele apalagi dalam lingkup keluarga berbeda agama, sehingga penulis bermaksud menggali informasi khususnya bagi mereka yang berbeda agama mengenai stretegi mereka dalam mendidik anak. Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian secara deskriptif dan analitis melalui judul “Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga Beda Agama di Kelurahan Mangunsari, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2012/2013) . B. Fokus Penelitian Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:
1. Bagaimana variasi keberagamaan pada keluarga beda agama? 2. Bagaimana strategi mendidik anak dalam keluarga beda agama? 3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat keluarga beda agama dalam mendidik anak? C. Tujuan Penelitian Pasangan beda agama yang dimaksud adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama, yang kemudian membentuk sebuah keluarga. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui bagaimana variasi keberagamaan pada keluarga beda agama.
2. Untuk mengentahui bagaimana stretegi mendidik anak dalam keuarga beda agama. 3. Untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat keluarga beda agama dalam mendidik anak. D. Penegasan Istilah Agar mempermudah pemahaman serta untuk menentukan arah yang jelas dalam menyusun penelitian ini, maka penulis memberikan penegasan dan maksud penulisan judul sebagai berikut. 1. Strategi Mendidik
Strategi merupakan rencana besar yang bersifat meningkat, efisien, dan produktif guna mengefektifkan tercapainya tujuan. Strategi merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. ((kamus besar bahasa Indonesia,edisi ke tiga, balai pustaka, Jakarta, 2007: 1092). Mendidik berbeda makna dengan mengajar. Mengajar
lebih
khusus pada menyalurkan atau menyampaikan pengetahuan saja. Sedangkan mendidik tidak hanya cukup dengan hanya memberikan ilmu pengetahuan ataupun keterampilan, melainkan juga harus ditanamkan pada anak didik nilai – nilai dan norma – norma susila yang tinggi dan luhur. Sehingga di sini orang tua yang memiliki tanggungjawab mendidik haruslah dapat mendidik secara menyeluruh. (Sahlan, 2006:2) Peneliti menyimpulkan strategi mendidik adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengambil keputusan untuk memecahkan masalah secara menyeluruh hingga terjadi perubahan yang sesuai dengan yang diharapkan. 2. Orang Tua Beda Agama Orang tua adalah orang yang melahirkan, merawat, memelihara dan mendidik anak-anaknya sejak dari buaian hingga dewasa. Orang tua merupakan pembimbing dan pendidik dalam keluarga yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Merekalah yang mula-mula menerima
kewajiban dan tanggungjawab atas pemeliharaan dan pendidikan putraputrinya (Sahlan, 2006:15). Beda agama, berasal dari dua kata yaitu beda dan agama. Pengertian beda secara bahasa yaitu yang menjadikan berlainan (tidak sama) antara benda yang satu dengan benda yang lain (ketidaksamaan) menurut WJS Poerwadarminta. Sedangkan pengertian agama yaitu segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa, dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (WJS Poerwadarminta ).
E. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Dapat memeperkaya kepustakaan, dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya tentang strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan kepada para pemabaca, dan pengetahuan bagi
masyarakat agar tidak melakukan pernikahan beda agama sebab resikonya sangat besar bagi orang tua yang melakukan pernikahan beda agama dan status anak. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Setiap penelitian memerlukan pendekatan dan jenis penelitian yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan multi strategi. Strategi-strategi yang bersifat interaktif, seperti observasi langsung, observasi partisipan, wawancara mendalam, dokumendokumen, teknik-teknik perlengkapan seperti foto, rekaman, dan lainlain (Nurul Zuriah, 2006:95). Melalui metode kualitatif penulis dapat mengenal orang (subjek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia ini. Penulis dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan dengan masyarakat mereka sehari-hari, mempelajari kelompok-kelompok dan pengalaman-pengalaman yang mungkin belum penulis ketahui sama sekali. Yang terakhir metode kualitatif memungkinkan penulis menyelidiki konsep-konsep yang dalam pendekatan penelitian lainnya intinya akan hilang. Konsepkonsep seperti keindahan, rasa sakit, keimanan, penderitaan, frustasi,
harapan, dan kasih sayang dapat diselidiki sebagaimana orang-orang yang sesungguhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. (Sugiono, 2007:30). 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data. Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi di tengah-tengah objek penelitian dan melakukan pengamatan, wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas lainnya demi memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Peneliti turun langsung ke kancah penelitian, tanpa mewakilkan pada orang lain, agar kegiatan yang berkaitan dalam menggali, mengidentifikasi data informasi dan fenomena yang muncul dilapangan dapat diperoleh secara akurat. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian Sesuai judul penelitian, lokasi penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Waktu penelitian antara 12 Juni- 19 Juli 2013. 4. Sumber Data Sumber data diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diantaranya orang tua beda agama di kelurahan Mangunsari. Sedangkan sumber sekunder diantaranya orang-orang terdekat keuarga beda agama seperti anak, ketua RT, serta sumber lain
yang bias dijadikan reverensi seperti dokumen-dokumen maupun surat-surat penting. 5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. a. Wawancara Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapat mengenai suatu hal (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2007:1270). Teknik wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin secara jujur dan detail. Teknik wawancara penulis gunakan untuk mengetahui strategi yang dilakukan orang tua beda agama dalam mendidik anak. b. Observasi Observasi adalah peninjauan secara cermat (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2007:794). Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomenafenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi 1995). Metode observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan fenomena-fenomena yang dijadikan pengamatan (Anas Gudiyono:1996). Metode ini peneliti gunakan
untuk mengetahui dan mengamati secara langsung mengenai strategi para orang tua beda agama dalam mendidik anak di Mangunsari Sidomukti Kota Salatiga. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah metode penelitian ditujukan pada penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui sumbersumber dokumen (Surakhmad, 1985:132). Metode ini dimaksudkan untuk
pengambilan data yang
diperoleh dengan bahan-bahan yang tersimpan (arsip). Arti lain dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal variable yang berupa catatan, transkip, buku, majalah, notulen rapat, lagger, agenda dan sebagainya (Sutrisno Hadi:1998). Metode ini penulis gunakan untuk mencari data para orang tua beda agama di Mangunsari Sidomukti Kota Salatiga. 6. Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan,
dan
bahan-bahan
lain
yang
dikumpulkan
untuk
meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya kepada orang lain (Nurul Zuriah, 2006, 217). Prosedur analisis dalam penelitian ini adalah : penyusunan data, pengolahan data dengan mengklasifikasikan data ke dalam kategori-
kategori yang jumlahnya lebih terbatas sesuai dengan data yang diperlukan, organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu dan penemuan hal-hal yang penting untuk dipelajari. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. 7. Pengecekan Keabsahan Data Pada tahab pengecekan keabsahan data peneliti banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau pengumpulan dari data yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya (Nurul Zuriah, 2006, 217). Dalam pengecekan keabsahan data, peneliti melakukan cross check dengan beberapa sumber lain yang terkait. 8. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian menguraikan proses pelaksanaan penelitian di antaranya: penelitian pendahuluan yaitu penyusunan proposal dan perencanaan penelitian, pengembangan desain, penelitian sebenarnya di mana peneliti hadir langsung di lokasi penelitian, dan penulisan laporan. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dalam lima bab yang secara sistematis penjabarannya sebagai berikut: Bab I, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian. Bab II, berisi tentang kajian pustaka penjabaran strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak.
Bab III, membahas tentang gambaran umum lokasi penelitian dan paparan hasil penelitian. Bab IV, analisis tentang strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak. Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Strategi Mendidik 1. Pengertian Strategi Mendidik Strategi merupakan rencana besar yang bersifat meningkat, efisien, dan produktif guna mengefektifkan tercapainya tujuan. Maksudnya strategi merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:1092). Pada sisi lain, setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik anaknya secara baik dan berhasil. Mereka berharap mampu membentuk anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbakti terhadap orang tua, berguna bagi dirinya,
keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, Negara, juga bagi agamanya, serta anak yang cerdas memiliki kepribadian yang utuh. Mendidik, tampak sederhana sekali. Akan tetapi, hal yang menyangkut praktik mendidik itu sendiri tidak sesederhana sebagaimana yang tertulis. Ada beberapa hal yang seyogyanya mendapat perhatian dari para orang tua tentang perbuatan mendidik itu. Mendidik adalah membantu
dengan
sengaja
pertumbuhan
anak
dalam
mencapai
kedewasaan melalui bimbingan. Bimbingan diartikan sebagai proses untuk membantu anak mengenal dirinya sendiri dan dunianya. Pada dasarnya, anak itu sendiri telah memiliki potensi dan kemampuan untuk menuju kedewasaannya (Sahlan, 2006:2). Hal-hal yang harus menjadi perhatian orang tua dalam strategi mendidik adalah: a. Mendidik dalam kedewasaan. b. Mendidik dengan memberi teladan. c. Mendidik dalam kedisiplinan. d. Mendidik dalam kemandirian anak. Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut hidarapkan agar dalam mendidik anak dapat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, tujuan umum dari semua kegiatan mendidik adalah kedewasaan, dan dalam kedewasaan itu anak juga perlu adanya pendidikan yang lain yang harus diterapkan dirumah agar berjalan seimbang (Sahlan,2006:12)
a. Mendidik dalam kedewasaan Jika menyimak sebuah motto yang berasal dari buah pemikiran seorang tokoh pendidikan nasional bangsa kita, Ki Hajar Dewantara, yang berbunyi “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang artinya “Di depan menjadi teladan, di tengah (bersama-sama anak) membina kemauannya, mengikuti dari belakang”. Dari motto tersebut, dapat diungkap satu pemahaman bahwa dalam mendidik atau membimbing anak menuju kedewasaan, anak tidak dijadikan sebagai objek atau sasaran yang akan dikenai perbuatan. Malah sebaliknya, anak harus ikut aktif dalam proses pendidikan itu. Anak menduduki status yang sama dengan yang mendidik (orang tua), yakni sebagai subjek atau pelaku kegiatan pendidikan. Akan tetapi, dalam proses mendidik kedewasaan orang tua harus selalu mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang dimaksud pengawasan di sini adalah bahwa selama dalam proses pendidikan itu, anak senantiasa berada dalam kendali perilaku mendidik itu sendiri, di mana anak yang dididik maupun orang tua yang mendidik tetap menduduki statusnya yang benar serta tidak kehilangan haknya (Sahlan, 2006:2-5). b. Mendidik dengan memberi teladan
Sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga, hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan seorang ibu begitu penting dan strategis dalam proses pendidikan anak. Terutama pada saat permulaan di mana seorang anak harus memperoleh pendidikan bagi kepentingan pertumbuhan, perkembangan, dan mendapatkan contoh perilaku yang baik. Keutamaan itu jelas tidak bisa digantikan oleh orang lain. Unsur-unsur keterikatan batin, keakraban pergaulan, dan pengenalan terhadap individu anak merupakan beberapa faktor pendukung kuat atas keberhasilan pendidikan terhadap anak dalam keluarga, dan hal itu hanya dimiliki oleh seorang ibu. Sikap keterbukaan pencurahan isi hati, pelampiasan emosi anak cenderung lebih memperoleh tempat yang pas jika disampaikan kepada ibu daripada kepada bapak. Dengan begitu, haruslah diyakini secara jujur bahwa seorang ibu begitu menentukan dalam mendidik anak di rumah atau dalam keluarga, dan dalam rangka membentuk generasi penerus yang beriman dan bertaqwa, berkualitas dalam moral, mental, dan intelektualnya. Bisa jadi tak ada anak yang baik tanpa ibu yang baik. Ibu sebagai penutan yang dapat diteladani secara ikhlas; sebagai motivator terhadap pertumbuhan dan perkembangan rasa, cita, dan karsa anak; sebagai pengawal hati nurani anak, pengayom jiwa anak-anaknya. Hal tersebut merupakan bentuk
lain dari peranan yang perlu dibawakan oleh seorang ibu dalam menjalankan fungsi dan tugas selaku pendidik dalam keluarga (Sahlan, 2002:85-88).
c. Mendidik dalam kedisiplinan Menurut kamus, kata “disiplin” memiliki beberapa makna di antaranya, menghukum, melatih, dan mengembangkan kontrol diri anak. Pendapat Marilyn E. Gootman, Ed. D dalam bukunya Ibnu Nizar, bahwa disiplin akan membentuk anak untuk mengembangkan kontrol dirinya, dan membantu anak mengenali perilaku yang salah lalu mengoreksinya. Disiplin bisa membentuk kejiwaan pada anak untuk memahami peraturan sehingga anak pun mengerti kapan saat yang tepat untuk melaksanakan peraturan, dan kapan pula harus mengesampingkan. Sedangkan peraturan itu sendiri ada dalam keseharian anak. Kondisi kejiwaannya memang masih butuh untuk diatur sehingga seorang anak akan merasa tenteram bila hidup teratur. Sebagai contoh adalah peraturan tentang makan, beribadah, sekolah, bermain, dan belajar. Akan lebih efektif dan berhasil secara maksimal jika disiplin itu disosialisasikan kepada anak, dilaksanakan terlebih dahulu oleh orang tuanya serta lingkungannya. Anak juga akan mudah menerapkan peraturan tersebut bila ada penghargaan
atau hukuman yang jelas. Halangan yang paling sering ditemukan dalam meningkatkan disiplin anak adalah pada lemahnya penerapan peraturan. Dan hambatan itu kadang sering dating dari orang tuanya, dengan kurangnya kesabaran, konsostensi, dan kasih sayang dalam mendidik anak adalah hal yang sering luput dicermati orang tua dalam mendidik anak dan membuyarkan penerapan disiplin anak (Ahmad Ibnu Nizar, 2009:5-6) d. Mendidik dalam kemandirian Seseorang yang mampu menghargai prinsip mandiri akan memperoleh status terhormat dari segi agama dan sosial, di mana tangan yang berada di atas lebih terhormat dari tangan yang di bawah. Status ini akan tumbuh apabila keluarganya sejak dini memberikan peluang kepada anak untuk hanya dapat memperoleh sesuatu melalui kemandirian, juga melalui penghargaan terhadap sikap rajin bekerja terhadap berbagai percobaan sebagai pengembangan bakat anak (Nur Ahid, 2010:150). 2. Tanggung Jawab Keluarga dalam Strategi Mendidik Anak. Keluarga adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih saying, ghirah dan sebagainya. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah dan suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian
dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakan mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya. Perkawinan menjadi salah satu bagian penting masalah keagamaan. Sebab setiap agama berbicara tentang perkawinan dan memiliki aturan-aturan khusus bagaimana pelaksanaan perkawinan para pemeluknya. Tidak ada satu agamapun yang mengutuk dan melarang perkawinan bagi pemeluknya. Pada dasarnya setiap agama menilai dan menetapkan perkawinan itu sebagai suatu yang suci, agung, mulia, indah dan sacral, serta merupakan bagian penting dalam kehidupan keagamaan (Nur Ahid, 2010:75-76). Anak-anak
di
lingkungan
keluarga
pertama
mendapatkan
pengaruh, karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati. Lahirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan semenjak manusia itu ada. Ayah dan ibu di dalam keluarga sebagai pendidiknya, dan anak sebagai si terdidiknya. Keluarga merupakan pendidikan informal. Tugas keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak, agar anak berkembang secara baik. Anak yang karena satu dan lain hal tidak mendapatkan pendidikan dasar secara wajar ia mengalami kesulitan dalam perkembangan berikutnya (Sikun Pribadi,1981:87) Keluarga memiliki tanggungjawab dalam membentuk pola kepribadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali
berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan nilai-nilai moral, norma sosial, dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga bukan semata-mata berkewajiban menyediakan nafkah, tetapi dibebani mengendalikan rumah tangga sehingga setiap anggota keluarga dapat menikmati makna keluarga dan agar setiap anggota keluarga dapat secara terus menerus maningkatkan kualitas pribadinya dalam berbagai segi, baik segi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, segi penguasaan pengetahuan dan sebagainya. Ayah sebagai pemimpin adalah menjadi panutan bagi anggota keluarga terutama anak-anaknya. Bagi anak yang berusia tiga tahun tumbuh pandangan bahwa ayahnya adalah manusia yang ideal yang akhirnya membawa kepada pemikiran seolah-olah ayahnya itu Tuhan. Kedudukan ayah dalam pribadi anak sungguh mengagumkan sebagai seorang yang sempurna dan tidak akan mati. Anak memandang orang tua dengan khayalannya bukan atas dasar kenyataan yang ada, dan ini merupakan pertumbuhan awal dari rasa agama. Kekaguman dan penghargaan terhadap ayahnya penting untuk membina jiwa, moral, dan pikiran sampai usia lebih kurang lima tahun dan inilah yang akan menumbuhkan kepercayaan terhadap Tuhan (Zakiyah Daradjat, 1989:50)
Mengatur
keluarga
agar
selalu
tenteram
sehingga
tidak
mengganggu lingkungan pendidikan yang utama. Seorang ibu hendaknya mengarahkan anaknya dalam pendidikan. Pengatuaran kegiatan yang dilakukan ibu, harus melibatkan anggota keluarga terutama anak-anak dalam rangka mendidik dan membiasakan mereka. Anak yang lebih dewasa diberi tugas yang lebih berat, dan sebaliknya anak yang masih kecil diberi tugas yang ringan. Mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan intelektual seperti membaca, memperbaiki alat rumah tangga, perjalanan bersama dan lain-lain, menurut berbagai peneliti dan ahli pendidikan merupakan tindakan yang menunjang perkembangan intelektual anak. Partisipasi anak seperti itu bukan hanya berguna bagi anak, tetapi juga menguntungkan bagi orang tua, karena ia sendiripun melaksanakan kegiatan tersebut dengan lebih bersungguh-sungguh dan lebih berhatihati yang pada akhirnya meningkatkan kualitas dan manfaat interaksi antara keduanya. Dilibatkannya anak dalam kegiatan rumahtangga adalah untuk melatihnya agar rajin bekerja dan kemampuan melaksanakan tugas. Anak diberi tugas tertentu, diberi wewenang dan tanggungjawab untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Anak jangan dibiarkan berpangku tangan meskipun orang tuanya mampu menyediakan pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tanpa terikat dengan tugas tertentu, anak kurang memiliki bahkan dapat menumbuhkan sikap manja dan
kurang mandiri. Orang tua memang berkewajiban membantu anak dalam memenuhi kebutuhan mereka, akan tetapi tidak boleh berlebihan dalam menolongnya, sehingga kehilangan kemampuan untuk mandiri (Sudardji, 1988:79). a. Pengenalan dan pengembangan sikap sosial awal Manusia pada dasarnya adalah individu-individu yang mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat. Kehidupan akan bermakna bilamana dia hidup ditengah-tengah manusia lain. Oleh sebab itu, Imam Qastalani dalam bukunya Nur Ahid menyatakan bahwa salah satu cabang dari iman seseorang adalah kemampuannya bermasyarakat (Nur Ahid, 2010:106). Kemampuan mengadakan kontak sosial dan bermasyarakat tumbuh sejak masa kanak-kanak, yakni melalui hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya yang kemungkinan berkembang melalui pergaulan dengan anak-anak di sekitarnya. Keluarga adalah lingkungan pertama bagi proses pertumbuhan sikap sosial dan kemampuan hubungan social anak. Dalam keluarga berlangsung perkembangan sikap sosial awal yang akan menopang perkembangan sikap sosial selanjutnya. Kemampuan bergaul yang diperoleh di lingkungan keluarga akan mendasari kemampuan bergaul yang lebih luas. Keluarga sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari subsistem yakni fungsi-fungsi hubungan ayah dengan anak, ibu
dengan anak, dan hubungan antara anak dengan anak yang lain. Sebagai sebuah sistem sosial keluarga berhubungan dan punya saling ketergantungan tertentu dengan keluarga dan sistem sosial lain. Segala macam hubungan sosial itu mempunyai nilai dan arti edukatif bagi anak-anak (Sudardji, 1988: 68-69) Dalam hubungan sosial tersebut anak akan memahami tentang bagaimana menghargai orang lain, mengetahui cara berkomunikasi dengan orang lain, dan memahami bahwa kebebasannya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam berbagai kesempatan kegiatan keagamaan yang bercorak sosial. Sebaiknya anak dilibatkan. Hal demikian akan menumbuhkan sikap sosial sekaligus menumbuhkan sikap sosial yang dimotivasi agama. Prinsip keseimbangan harus ditumbuhkan di lingkungan keluarga. Hal-hal yang memperkecil prinsip ini dihindarkan, seperti orang tua yang bersikap pilih kasih, tidak adil, memanjakan yang berlebihan, terlalu banyak menolong dalam masalah yang tidak sewajarnya dan sebagainya. Sejalan dengan kehidupan sosial, maka peran manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Masyarakat dalam ruang lungkup yang paling sederhana yaitu keluarga, hingga ke ruang lingkup yang lebih luas yaitu sebagai warga antar bangsa. Keluarga sebagai
unit sosial yang paling kecil, terdiri atas ayah, ibu, dan anakanaknya. Sedangkan dalam konteks bangsa dan umat, terdiri atas kelompok komunitas, etnis, ras, maupun keluarga (Jalaluddin, 2001: 23). b. Bimbingan awal kepribadian Keluarga sebagai tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk beragama. Pergaulan hidup bersama di dalam keluarga akan memberi andil yang besar bagi pembentukan kepribadian anak. Apakah anak akan mempunyai kepribadian yang kuat dan menghargai diri pribadinya atau menjadi anak yang berkepribadian lemah. Hal ini tergantung dari latar belakang pengalaman di lingkungan keluarga. Pengaruh keluarga terhadap kepribadian anak itu besar, meskipun dalam ukuran yang relatif tidak sama. Di dalam masyarakat anak dengan sifat orang tuanya, baik dalam arti positif atau negatif. Porsi keluarga dalam pembentukan kepribadian lebih banyak dari segi pengalaman. Justru itu keluarga harus memberikan pengalaman yang positif, baik aspek pengembangan anak sebagai makhluk individu, social, susila, maupun sebagai makhluk yang beragama. Dari segi
susila misalnya, anak menyaksikan penampilan susila yang agung
di
rumah,
maka
memungkinkan
sekali
akan
berkepribadian yang agung pula. Sehubungan dengan itu seorang wanita begitu menikah sudah siap untuk menjadi istri atau ibu yang bertanggungjawab terhadap keserasian rumah tangganya. Istri menjadi cermin apakah rumah tangganya akan menjadi surga atau neraka bagi keluarga. Jika lahir anak, maka tanggungjawabnya bertambah berat, yakni sebagai pendidik utama bagi anaknya. Anak harus menjadi pusat perhatian, lebih-lebih pada usia kanak-kanak. Dari keterangan tersebut di atas, dapat diambil garis besarnya, bahwa pengalaman yang dilalui anak di lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap kepribadiannya. Oleh sebab itu, situasi rumah tangga hendaknya dapat menunjang terbentuknya kepribadian yang baik (Nur Ahid,2010:112-113).
c. Proses pertumbuhan afeksi dalam keluarga Tidak
hanya
memperhatikan
perkembangan
pikiran
manusia tetapi juga memperhatikan perkembangan perasaan. Melaui perkembangan perasaan itulah seseorang akan mampu menangkap dan menghayati makna keindahan, kesusilaan, dan makna-makna lain yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam
kehidupan. Keluarga muslim yang mencerminkan individu muslim tidak terlepas dengan pengalaman nilai-nilai keislaman. Hal-hal yang perlu diperankan oleh keluarga berkenaan dengan pengembangan aspek perasaan atau afeksi anak menurut pendapat Abdul Aziz El-Qussy dalam bukunya Nur Ahid ialah kebutuhan rasa aman, kasih sayang, penghargaan, kebebasan, rasa sukses, dan kebutuhan akan satu kekuatan pembimbung atau pengendali. Ibu sebagai orang yang paling dekat harus memahami hal ini, sehingga mendekapnya di saat anak merasa kedinginan, menyusu dan sebagainya. Hal demikian merupakan pelimpahan kehangatan dan kasih saying. Degan terpenuhinya berbagai kebutuhan, anak akan merasa bahagia, tenang, tenteram, dan merasa aman. Keadaan yang demikian ini merupakan permulaan dari kepercayaan diri (Nur Ahid, 2010:114-115) 3. Keluarga dan Pembentukan Status Teori
empirisme,
berpendapat
bahwa
perkembangan
dan
pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996:52). a. Pendidikan Akhlak
Masalah akhlak adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan akhlak seorang mengganggu ketenteraman yang lain, jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak akhlaknya, maka akan guncanglah keadaan masyarakat itu. Keluarga lebih banyak berperan dalam pembinaan moral terutama pada masa kanak-kanak. Pertama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya, terutama anak-anak yang masih belum enam tahun, di mana mereka belum memahami katakata dan simbol yang abstrak (Zakiyah Daradjat, 1989:20). Semua perbuatan anak merupakan cermin dari orang tuanya atau pangkal pada perbuatan orang tua sendiri. Hal ini memberi beberapa pengertian antara lain: 1) Orang tua mempunyai pengaruh dasar atas perkembangan anak secara integral; 2) Kehidupan
etik
dan
agama
anak
merupakan
proses
pengoperasian dari etik dan agama orang tuanya; 3) Perkembangan
perasaan
etik
melalui
pengertian dan kesadaran tentang kesusilaan;
tahapan
menuju
4) Sebelum
anak
mengerti
kesusilaan,
orang
tua
perlu
mempersiapkan dengan memberi contoh perilaku yang etis pula. Keluarga seharusnya mentampakkan perasaan bangga terhadap moral yang tinggi dan bangga terhadap keluarga yang menjalankan perintah agama dengan baik, sebab dengan kebanggaan itu mempermudah terbinanya moral status pada diri anak yang akan dihormatinya dalam kehidupan anak (HM. Arifin, 1978:103). Hasan
Langgulung
menambahkan
dinantara
kewajiban
keluarga dalam hal mendidik akhlak diantaranya yaitu: a) Memberi contoh baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anakanaknya untuk memegang akhlaknya yang diajarkannya. Di antara kata-kata mutiara yang terkenal dari Sahabat Ali R.A adalah: Medan perang pertama adalah dirimu sendiri, jika kamu telah mengalahkannya, tentu kamu akan mengalahkan yang lain. Jika kamu kalah di situ, niscaya di tempat lain kamu akan lebih kalah. Jadi berjuanglah di situ lebih dahulu. b) Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan sarana praktis di mana mereka dapat mempraktekkan akhlak yang diterima dari orang tuanya.
c) Memberikan tanggungjawab yang sesuai kepada anak-anaknya supaya mereka bebas memilih dalam tindak-tanduknya. d) Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana. e) Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat kerusakan dan lain-lain lagi cara di mana keluarga
dapat
mendidik
akhlak
anak-anaknya
(Hasan
Langgulung,1979:78). b. Memberikan ilmu yang wajib kepada anak Keluarga berkewajiban mengajarkan ilmu fardhu’ain kepada anak-anaknya yaitu yang menyangkut Al-Qur’an dan ilmu ibadah dasar, seperti ihwal beribadah kepada Tuhan yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kewajiban sehari-hari seorang muslim. Al-Toumy
al-Syaibani
dalam
bukunya
Nur
Ahid
menegaskan bahwa termasuk ilmu yang benar adalah ilmu yang merupakan cara untuk mencapai kemajuan ekonomi, kemakmuran dan menambah produktivitas. Hal ini sekaligus sebagai suatu persyaratan dalam pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi. Orang tua berkewajiban mengajarkan ilmu yang bermanfaat dengan penekanan pada ilmu yang akan
menjadikan anak untuk mampu hidup mandiri (Nur Ahid, 2010:129-134). c. Toleransi UUD 1945 menjamin semua agama untuk berkembang. Semua penganut agama mempunyai posisi yang sama di mata Negara. Apaun agama yang dianut, mereka adalah bangsa Indonesia. Mereka adalah saudara sebangsa yang juga punya hak untuk menjalankan kegiatan-kegiatan ibadah menurut keyakinan dan agama masing-masing. Parameter utama untuk dapat memelihara keragaman adalah mengelola kemampuan toleransi (KH. Abdurrahman Wahid, 2010:170). Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial. Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang
toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Sikap toleransi dan menghormati agama lain akan menghindarkan ekstrimisme dalam beragama. Ekstrimisme adalah sebuah tindakan membahayakan umat manusia. Sebab akan menimbulkan prasangka, kekakuan, dan kebekuan. Ekstrimisme awal perpecahan umat manusia, dan menggiring pada perselisihan internal dan eksternal (Khotimatul Husna, 2006:54).
4. Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agamis, akan semakin banyak unsure agama, maka sikap tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama (Zakiyah Daradjat, 1989:55). Pendidikan agama dan spiritual bagi anak-anak adalah termasuk bidang-bidang yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Membekali anak-anak dengan pengetahuan agama dan kebudayaan yang sesuai dengan umurnya dalam bidang akidah,
ibadah, muamalah dan sejarah. Begitu juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang betul untuk menunaikan syi’ar-syi’ar dan kewajiban-kewajiban agama dan menolongnya mengembangkan sikap agama yang benar, yang termasuk mula-mula sekali adalah iman yang kuat kepada Tuhan, dan selalu mendapat pengawasan dari padanya dalam segala perbuatan dan perkataan (Nur Ahid, 2010:140-141). Ilmu pengetahuan hanya dapat mengisi dan mengembangkan pikiran. Untuk mengisi perasaan diperlukan pengalaman dan pendidikan yang diterima sejak kecil, yang akan dapat menjadikan perasaan sejalan dengan pikiran. Apabila pengalaman dan pendidikan yang dilalui di masa kecil kurang membawa ketenteraman, maka perasaan orang itu akan guncang dan kemampuan berpikirnya akan mejadi tidak tenang. Di sinilah pentingnya fungsi keimanan (Zakiyah Daradjat, 1987:13). Cara-cara praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk menanamkan semangat keagamaan pada diri anak sebagai berikut: a. Memberitahukan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Tuhan dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu. b. Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak kecil hingga penunaian itu menjadi kebiasaan yang mendarah daging, mereka melakukannya dengan kemauan sendiri dan merasa tenteram sebab mereka melakukannya.
c. Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang sesuai di rumah dan di mana mereka berada. d. Membimbing mereka membawa bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Tuhan untuk menjadi bukti kehalusan system ciptaan itu dan atas wujud dan keagungannya. e. Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama, dan lain-lainnya. Dari keterangan tersebut di atas, memberi petunjuk kepada keluarga agar melaksanakan pendidikan, mengharuskan orang tua mendidik anak-anaknya akan iman dan akidah yang betul dan membiasakan mengerjakan syariat agama (Hasan Langgulung, 1979:372). 5. Kendala dan Dampak Negatif Kegagalan dalam Mendidik Anak Dalam melakukan suatu pekerjaan, kerap kali muncul kendalakendala yang dapat menghambat proses pelaksanaan pekerjaan tersebut, juga dapat menggagalkan tujuan yang hendak dicapai. Begitupun dalam mendidik anak, tidak sedikit kendala yang harus dihadapi oleh orang tua, antara lain sebagai berikut. a. Kendala internal Kendala internal bersumber dari dalam diri anak. Kendalakendala itu dapat berupa anak malas untuk belajar, keinginan
bermain yang berlebihan, sikap tidak mau dididik atau sikap melawan. b. Kendala eksternal Kendala eksternal bersumber dari luar diri anak. Kendalakendala itu dapat berupa perilaku orang tua yang terlalu keras, terlalu otoriter, terlalu memanjakan, terlalu khawatir, terlalu lemah, terlalu egois, terlalu pesimis, terlalu banyak aturan dan permintaan, dan hubungan yang kurang harmonis dengan anak. Kendala lain yang termasuk kendala eksternal ini adalah kendala ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan, hubungan antara ayah dan ibu yang tampak di mata anak kurang harmonis karena sering bertengkar di hadapan anak. Sementara itu, hubungan dengan kakak atau adik yang kurang harmonis pun dapat menjadi kendala eksternal. Tidak sedikit kasus keributan, konflik di antara sesama anak di dalam sebuah keluarga dengan berbagai penyebabnya. Adapun dampak negatif kegagalan dalam mendidik anak adalah; 1) Anak akan tumbuh dan berkembang tanpa terkendali, tidak terarah sesuai dengan norma-norma pendidikan, susila, dan agama. 2) Menjadi beban yang tidak ringan bagi keluarga, masyarakat, dan Negara.
3) Menjadi ancaman dan gangguan terhadap integritas, persatuan, dan kesatuan bangsa, serta keamanan dan kenyamanan lingkungan (Sahlan, 2006:89-90). B. Keluarga Beda Agama 1. Pengertian Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama pada dasarnya berarti perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan yang beda agama satu sama lain. Perkawinan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan masih dijumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari pasangan para selebritis saja. Beberapa contoh dari pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong, Ira Wibowo-Katon Bagaskara, Dewi Yull-Rae Sahetapi (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Sihasale. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada suatu akidah agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti itu kirakira dapat dirumuskan seperti ini, “Agama tidak boleh dibawa-bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting saling mencintai apa tidak?”. Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada penganutnya ialah perkawinan (pernikahan)
yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa sinta dan kasih saying. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinanbeda-agama-menurut.html). Jadi yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama ialah perkawinan orang Islam (pria atau wanita) dengan orang bukan Islam (pria dan wanita) (Zuhdi, 1996:4). 2.
Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam Mengenai masalah perkawinan beda agama ini Islam membedakan hukumnya menjadi tiga macam (Zuhdi, 1996:4). a. Perkawinan antara Perempuan Muslimah dengan Laki-Laki Non Muslim Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik (Suhadi, 2006:36). Baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme dan Hinduisme, maupun pemeluk agama dan kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme, dan sebagainya (Zuhdi, 1996:6). Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, ialah: 1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
…
....
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. 2. Ijma’ para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan pria Kristen atau Yahudi karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam menjalankan
ajaran-ajaran
agamanya,
kemudian
terseret
kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala
keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya (Zuhdi. 1996:67).
b. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari Islam, menyembah sapi, perempuan beragam politeisme (Sabiq, 1980:152). Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221: ...
....
Artinya:” Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yangberiman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu” (Zuhdi: 1996:4). Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat distansi jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para Nabi, hari akhirat beserta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada
kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup, yakni Muhammad S.A.W. kecuali kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang menganut agama dan syariat yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk mengikuti agama suaminya. Apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan, keimanan, dan keislaman (Suhadi, 2006:38-39). c. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh kawin dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5; ...
....
Artinya:” Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu” (Zuhdi, 1996:5). Secara redaksional dan dhahirnya ayat laki-laki muslim diperbolehkan mengawini wanita Ahlul Kitab, namun Syaltut dalam fatwanya menyatakan sebagai berikut:
Jika Allah telah melarang kepada wanita Muslimah kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, karena menjaga (kekhawatiran) pengaruh kekuasaan dan dominasi suaminya terhadapnya, maka Islam juga memandang, bahwa sesungguhnya jika seorang muslim itu telah bergeser dari posisinya yang semestinya dalam keluarga (sebagai pemimpin), dan menyerahkan urusannya kepada istrinya yang non Islam itu, sehingga ia hanya membebek saja, sudah seharusnya ia dilarang mengawini wanita Ahlul Kitab itu (Salman Arief, 2003:126). Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahlul Kitab adalah haram. Sama haramnya
dengan
perempuan
musyrik.
Alasannya
karena
perempuan Ahlul Kitab juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini Q.S
AL-Maidah/5:5
Baqarah/2:221.
dianulir
(naskh)
dengan
Q.S
Al-
(http://raja1978.blogspot.com/2008/08/kajian-
perkawinan-beda-agama-menurut.html). 3. Poblem-Problem Perkawinan Beda Agama Pasangan beda agama yang dimaksud adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama, yang kemudian membentuk sebuah keluarga. Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan beda agama di Indonesia belum diakui. Merujuk Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. ” Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, secara de jure, pernikahan beda agama tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. ”Dari kalimat “menurut hukum masingmasing agamanya dan keprcayaannya itu”banyak diterjemahkan bahwa perkawinan hanya sah dalam konteks pasangan suami istri adalah seagama. Pemahaman ini yang menjadi rujukan formal para pelaksana hukum di Indonesia (Suhadi, 2006: 20) Namun pada prateknya, secara de facto, praktek pernikahan beda agama ternyata banyak dilakukan oleh orang Indonesia, seperti contoh-contoh para artis Indonesia belakangan banyak yang melakukan pernikahan beda agama seperti Nia Zulkarnain (Islam) dengan Ari Sehasale (non-Islam), Jamal Mirdad (Muslim) dengan Lidya Kandauw (non-Islam), antara Katon Bagaskara (non-Islam) dengan Ira Wibowo (Islam), Dewi Yul (Islam) dengan Ray Sahetapi (non-Islam). a. Keabsahan perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai
dengan
ajaran
agama
masing-masing.
Namun,
permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masingmasing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al-Baqara/2:221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang. (Suhadi, 2006:23). b. Pencatatan perkawinan Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk Agama Islam dan dan di luar Agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan
beda
agama
yang
dilangsungkan
tersebut
memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan
menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan (pasal 21 ayat (1) UUP). (Qodri Azizi, 2006:20) c. Status anak Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 43 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya (pasal 2 ayat (2). Pasal 43 ayat (1) UUP). (http://www.bphntv.net/index.php?option=com content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-bedaagama&catid=28:konsultasi-hukum&itemid=128,
20
Juni
2011). Selain problem-problem di atas, penulis juga menemukan dari sumber lain, yaitu: 1) Perkawinan beda agama lebih mengundang persoalanpersoalan
yang
dapat
mengguncangkan
kestabilan
kehidupan rumah tangga yang berakhir pada hancurnya
sendi-sendi
kehidupan
perkawinan
atau
pemutusan
perkawinan. 2) Kemungkina terjadi erosi iman Pasangan kawin beda agama biasanya bukannya semakin bertambah keimanan mereka terhadap agamanya, tetapi sebaliknya semakin melemahkan iman mereka. Dan demi “toleransi” dan “kerukunan” masing-masing mereka melepaskan prinsip-prinsip aqidah agamanya sendiri dan tanpa disadari telah terjadi “erosi iman”. 3) Terjadinya pola hidup sekuler Dengan terjadinya erosi iman yang dialami oleh pasangan suami istri tersebut akan berlanjut dengan mengakibatkan pasangan tersebut melakukan perilaku sekuler, yang berakibat pasangan tidak mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, karena menganggap bahwa agama adalah urusan dengan Tuhan, tidak ada hubungannya dengan
manusia,
sehingga
ajaran
agama
tidak
tersosialisasikan atau teramalkan dalam kehidupan seharihari. 4) Terjadinya konflik berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian Perkawinan beda agama menimbulkan terjadinya konflik-konflik yang berlarut-larut tanpa adanya suatu
penyelesaian baik itu karena salah satu pasangan tidak mau cerai. Karena salah satu pasangan tidak mau cerai, dan ingin
mempertahankan
keutuhan
keluarga,
sehingga
hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah tangga ini. Termasuk di dalamnya mengenai persoalan terhadap pola didikan terhadap anak, jika terjadi kesenjangan dengan orangtuanya maka berdampak pula ke anak, karena orangtua sebagai teladan bagi anak, jika memiliki keyakinan yang berbeda tentu berdampak dalam cara mereka mendidik anak. 5) Kemungkinan salah satu pasangan akan terkucil dalam kelompok masyarakat agama. Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan perkawinan yang seagama atau seiman. Karena setelah memasuki duni keluarga/berumah tangga diharapkan dalam kehidupan sehari-hari ajaran agama yang dianutnya turut mewarnai dan berperan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, sesuai dengan tujuan pokok perkawinan tersebut. perkawinan beda agama tidak akan pernah memuaskan kedua pihak. Kedua agama tidak merelakan terjadinya perkawinan beda agama. Maka apabila perkawinan tersebut terjadi, kedua pihak akan terucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama
sekali pihak masing-masing keluarga. Karena dalam masyarakat kita perkawinan bukan hanya antara dua individu, melainkan perkawinan yang melibatkan keluarga kedua belah pihak, bahkan komunitas agama yang ikut terlibat. 6) Kemungkinan terjadinya derita mental dari salah satu pasangan kawin beda agama. Sering
terjadi
demi
agar
perkawinan
dapat
berlangsung dan mengikuti tata cara Islam sewaktu menikah, salah satu pasangan berpindah agama, namun dalam perjalanan, suami berbalik kembali memeluk agama yang semula dianutnya. Hal ini dapat menimbulkan derita mental bagi si istri untuk bisa diterima dalam lingkungan keluarganya karena ia telah kawin demi suami yang berbeda agama, bahkan ini bisa berkaitan pemutusan hubungan perkawinan (Mustafidah, 2008:33-35). 7) Terjadinya kesenjangan dan kecenderungan pilih kasih, sebab jika anak yang mengikuti agama ibunya maka lebih disayang ibunya, dari pada anak yang mengikuti agama ayahnya. 4. Problem Pengamalan Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama
Problem akibat perbedaan keyakinan dalam perkawinan cukup member dampak negative terhadap anak. Di antara kasus yang terjadi adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama. Misalkan saja, ketika seorang suami
(yang
beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke Gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri. Bagitupun ketika Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di satu sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan kebaktian di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka. Ada seorang ibu yang beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga
itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas social, perbedaan pendidikan, semua itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi. Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama. Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama memiliki anak. Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-istri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing. Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumahtangga. Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumahtangga.
Contoh pelaksanaan sholat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah sholat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukarmenukar pengalaman untuk memaknai hidup. Jika kedua orang tua mempunyai agama yang berbeda, lantas mana yang seharusnya pantas diikuti anak dalam beribadah, padahal kedua-duanya samasama berjasa dalam mendidik dan membesarkannya. Suasana yang begitu indah dan religious itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah. Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumahtangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis. Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang
sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tidak ada, maka rasa sepi semakin terasa. Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis orangtua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang
bagus
bagi
anak.
(http://www.bantu-
nikah.com/2010/10/nikah-beda-agama.html#axzz1PbGBL5jl,20 Juni 2011).
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Deskripsi Objektif Penelitian 1. Letak geografis kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga Kelurahan Mangunsari merupakan salah satu kelurahan yang ada di wilayah kecamatan Sidomukti Kodya Salatiga Propinsi Jawa Tengah, dan luas wilayah 290.770 KM2 yang dibagi menjadi 14 RW dan 87 RT, dengan bentuk permukaan tanah daratan. Adapun batas wilayah kelurahan Mangunsari adalah sebagai berikut : a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Sidorejo Lor b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kumpul Rejo c. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kalicacing d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Dukuh 2. Struktur
pemerintahan
kelurahan
Mangunsari,
Kecamatan
Sidomukti, Kota Salatiga Kelurahan Mangunsari secara administrasi berada di wilayah
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga.
Dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan, baik tugas rutin maupun tugas pembangunan, seorang kepala kelurahan dibantu oleh perangkat kelurahan, yaitu terdiri atas :
Kepala Kelurahan
: Siti Sulami, S.E
Sekretaris
: Anik Umi Widayati
Ka-Sie Pemerintahan
: Sri Mulyana Sumarningsih, S.H
Ka-Sie Trantib
: Sutrisno, S.E
Ka-Sie Ekonomi dan Pembangunan
: Proklamirta Sinto, S.H
Ka-Sie Sosial dan Kesra
: Kristi Handayani, S.E
Dengan Struktur Organisasi sebagai berikut :
Lurah Siti Sulami, S.E
Sekretaris Anik Umi.W
Ka-Sie Trantib Sutrisno,S.E
Ka-Sie EkBang Proklamirta, S.H
Ka-Sie Pemr. Sri Mulyana, S.H
DAFTAR NAMA KETUA RT DAN RW YANG MENJADI FOKUS PENELITIAN di
Ka-Sie SosKes Kristi H, S.E
KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN SIDOMUKTI TAHUN 2013 NO RT/RW
NAMA
JABATAN
1.
RW II
BAMBANG SOEDOWO
KETUA RW II
2.
RT 01
SUDARTO
KETUA RT 01
3.
RW IV
SLAMET GIARJO
KETUA RW IV
4.
RT 01
FX. JOKO SUKMONO
KETUA RT 01
5.
RW V
AGUS HARDJONO
KETUA RW V
6.
RT 01
AGUS KARYANTO
KETUA RT 01
3. Keadaan dan jumlah penduduk kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga a. Jumlah penduduk
: 17.060
1) Jumlah penduduk awal
: 17.074 orang
2) Total jumlah kelahiran
: 17 orang
3) Total jumlah kematian
: 15 orang
4) Total penduduk datang
: 25 orang
5) Total penduduk pindah
: 41 orang
6) Total WNA
: 36 orang
7) Jumlah penduduk akhir
: 17.060 orang
b. Jumlah penduduk total berdasarkan jenis kelamin 1) Jumlah penduduk laki-laki
: 8.422 orang
2) Jumlah penduduk perempuan
: 8.638 orang
c. Jumlah penduduk total berdasarkan DP4 1) Jumlah penduduk laki-laki
: 4.392 orang
2) Jumlah penduduk perempuan
: 5.170 orang
d. Jumlah kepala keluarga berasarkan jenise kelamin 1) Kepala keluarga laki-laki
: 4.297 orang
2) Kepala keluarga perempuan
: 886 orang
4. Keadaan sosial agama dan kepercayaan kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga a. Penduduk berdasarkan agama 1) Islam
: 12.625 orang
2) Kristen protestan
: 3.647 orang
3) Katolik
: 787 orang
4) Hindu
: 8 orang
5) Budha
: 33 orang
6) Kong hu cu
: 0 orang
7) Kepercayaan
: 0 orang
b. Sarana peribadatan 1) Masjid
: 17
2) Mushola
: 19
3) Gereja
:6
4) Vihara
:0
5) Pura
:0
5. Keadaan Sosial Pendidikan Masyarakat Mangunsari bisa dikatakan baik dan peduli terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari data statistic tingkat pendidikan masyarakat kelurahan Mangunsari pada keterangan berikut; a.
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan : 1) Tidak/ belum sekolah
: 2.272 orang
2) Tidak tamat SD/ sederajat
: 1.934 orang
3) Tamat SD
: 2.840 orang
4) Tamat SLTP
: 2.694 orang
5) Tamat SLTA
: 5.131 orang
6) Diploma I/II
: 172 orang
7) Diploma III
: 1.559 orang
8) Strata I/ Diploma IV
: 1.345 orang
9) Strata II
: 139 orang
10) Strata III
: 14 orang
b. Sarana pendidikan yang terdapat di kelurahan Mangunsari adalah sebagai berikut: 1) TK
:5
2) SD
:7
3) SLTP
:2
4) SLTA
:4
5) Pondo Pesantren
:0
6) Madrasah
:1
7) Slb
:1
6. Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan penduduk Mangunsari berdasarkan mata pencaharian: a. Belum/tidak bekerja
: 2.941 orang
b. Mengurus rumah tangga
: 2.1939 orang
c. Pelajar/mahasiswa
: 3.607 orang
d. Pensiunan
: 509 orang
e. PNS
: 628 orang
f. TNI
: 57 orang
g. POLRI
: 44 orang
h. Perdagangan
: 96 orang
i. Petani/pekebun
: 15 orang
j. Peternak
: 3 orang
k. Industri
: 8 orang
l. Konstruksi
: 4 orang
m. Transportasi
: 16 orang
n. Karyawan swasta
:3.358 orang
o. Karyawan BUMN
: 63 orang
p. Karyawan BUMD
: 20 orang
q. Karyawan honorer
: 85 orang
r. Buruh harian lepas
: 1.678 orang
s. Buruh
: 40 orang
t. Kesehatan
: 37 orang
u. Pastor/pendeta
: 22 orang
v.
: 1 orang
Anggota DPRD
w. Dosen
: 55 orang
x. Guru
: 169 orang
A. Data Temuan Penelitian 1. Data Informan Dalam melakukan penelitian, penulis berhasil mendapatkan informan tiga keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, dari ketiga keluarga tersebut berstatus sebagai orang biasa, artinya bukan berasal dari status sosial pejabat atau pegawai negeri, mereka berstatus sebagai pekerja swasta dan hanya sebagai pengurus rumah tannga. Karena ketiga keluarga tersebut penulis jadikan objek penelitian, kiranya penulis perlu cantumkan inisial nama, usia, dan inisial anak kandung mereka. Hal tesebut dapat dilihat dari table I dan II sebagai berikut: Table I No
SUAMI
ISTRI
AGAMA
USIA
1
SP
YT
K.J/I
36/35 tahun
2
IC
SY
K.K/I
39/36 tahun
3
BP
KT
K.P/I
47/43
tahun Sumber: hasil wawancara dengan orang tua kawin beda agama pada tanggal 28 Juni- 4 Juli 2013
Keterangan : Responden I; Keluarga pasangan suami SP beragama Kristen Jawa (KJ) dan istri YT beragama Islam (I). Responden II; Keluarga pasangan suami IC beragama Kristen Katolik (KK) dan istri SY beragama Islam (I). Responden III; keluarga pasangan suami BP beragama Kristen Protestan (KP) dan istri KR beragama Islam (I). Table II Daftar Nama, Usia, dan Keberagamaan Anak No KELUARGA NAMA ANAK
USIA
AGAMA
1
YK
13 tahun
I
YH
10 tahun
I
JL
11 bulan
I
I
2
II
NI
6 tahun
I
3
III
BD
20 tahun
KP
KR
15 tahun
KP
Sumber: Hasil wawancara dengan orang tua beda agama pada tanggal 28 juni-4 Juli 2013 2. Data Temuan Penelitian
a. Deskripsi Variasi Keagamaan pada Keluarga Beda Agama Variasi keberagamaan pada keluarga beda agama yang peneliti peroleh dari hasil wawancara terdapat berbeda-beda variasi, berikut akan penulis paparkan dari hasil wawancara dengan ketiga keluarga beda agama. Hasil wawancara dengan keluarga I SP yang beragama Kristen Jawa dengan YT yang beragama Islam. “Kami dari awal memang sudah beda agama, kemudian dengan keinginan dan cinta kami memutuskan untuk menikah, kami menikah secara Islam suami disyahadat untuk Islam dulu, kemudian setelah menikah suami saya belum tepanggil hatinya untuk masuk Islam, saya yang diajak keagamanya tetapi saya yang tidak mau, hingga kami punya anak pertama dan masih menjadi perdebatan hingga memutuskan anak-anak ikut ke agama saya, papanya yang mengalah. Keluarga kami ini kalau saya (SP) agamanya Kristen Jawa dan istri saya Islam, dan saya juga jarang ke Gereja karena sering ada kesibukan di hari minggu, sebagai gantinya ya saya membaca Al-Kitab sendiri di rumah, anak-anak ini kalau sholat sama mamanya yang JL saya ajak karena masih kecil nanti malah mengganggu mama dan kakak-kakaknya sholat”. (hasil wawancara dengan keluarga I (SP) dan (YT)pada tanggal 28 Juni 2013) “Saya tadi habis nyekar ke makam orang tua saya dan mertua juga, meskipun saya agamanya Nasrani tetapi tetap nyekar sebab sudah tradisi, sebernya saya tidak terpaku hari atau apa mbak, ya kalau saya lega ya saya ke makam, kadang ditanya sama tetangga hari apa ini kok nyekar, ya saya jawab gak perlu hari khusus, semua hari baik jadi kapanpun saya mau ya ke makam. Itu juga sebagai pendidikan terhadap anak-anak saya bahwa semua hari itu baik tidak perlu fanatik untuk melakukan apapun harus terpatok hari” tambahan dari istrinya, “kalau saya kemaren nyekar ke makamnya” (hasil wawancara dengan keluarga I (SP) dan (YT)pada tanggal 5 Juli 2013)
Keberagamaan anak
“Saya sebagai ibu ya saya yang menuntun mereka ke jalan yang baik, mengenai agama ya mereka tetap ikut saya sebab papanya jarang di rumah, untuk kedepannya nanti ketika mereka sudah dewasa dan mampu menentukan ya saya serahkan ke mereka, untuk saat ini masih dalam didikan dan aturan saya sebab seorang ibu itu cermin, jika ibunya baik ya anak-anak dan keluarga tentu baik”. (hasil wawancara dengan keluarga I (YT)pada tanggal 28 Juni 2013) Berikut juga penuturan dari keluarga yang lain. Keluarga II pasangan IC yang beragama Kristen Protestan dengan SY yang beragama Islam. “Sejak awal kami memang berbeda agama, saya IC bertemu dengan SY ini usianya sudah tidak muda lagi, dan kami merasa cocok, saya melamar dan mengatakan yang sejujurnya dengan keluarga besar SY selang beberapa hari kami diberi restu dengan syarat nikah secara Islam dan saya disyahadat, setelah menikah saya masih ikut kegiatan keagamaan di RT ini seperti pengajian rutin RT maupun RW, tetapi tidak berjalan lama dan saya kembali ke agama saya lagi. Istri saya beri kebebasan untuk tetap Islam dan menjalankan rutinitas keagamaannya. Saya (SY) yang beragama Islam biasanya menjalankan ibadah sholat isya‟ berjamaah dengan NI anak saya”. “kalau saya (IC) yang beragama Kristen Katolik ya beribadahnya di Gereja, ayah saya seorang pendeta dan saya juga sering ikut kebaktian bersama bapak saya kalau pas lagi tidak bekerja”. (Wawancara dengan keluarga II (IC) dan (YT), pada 1 juli 2013). Keberagamaan anak “NI ini sudah kelihatan aktif dalam agama Islam, kami masukkan ke TPQ juga aktif tidak merasa minder, karena selalu kami didik menjadi orang yang mandiri dan agama tidak kami permasalahkan. Sehari saja NI tidak berangkat TPQ dia menyesal dan nangis, sebab ketinggalan dengan tema-temannya. Kakek NI yang dari Bapak juga mendudung NI TPQ dengan menanyai mengenai keaktifan NI dan mengenai biaya administrasi Nuya juga meskipun kakeknya beragama Nasrani. Tidak ada diskriminasi terhadap NI dari keluarga besar Bapak sebab kami sudah mengerti dan saling toleransi, NI juga pernah bertanya kalau pas dia sholat sama ibunya „kok bapak gak sholat, ayo bapak sholat bareng‟ dan saya ketawa dengan menjawab ya nanti bapak nyusul NI sama ibuk duluan saja”
(Wawancara dengan keluarga II (IC) dan (YT), pada 1 juli 2013).
Penuturan dari keluarga III pasangan BP yang beragama Kristen Protestan dengan KT yang beragama Islam. “saya (istri) yang beragama Islam sendiri di rumah mbak, jadi melaksanakan ibadah sendirian, anak-anak kalau hari minggu ke Gereja sama bapaknya, saya juga kadang mengingatkan dan membantu mempersiapkan untuk berangkat ke Gereja.” Tambahan dari suami “saya Kristen Protestan mbak, dan anak-anak memang ikut ke agama saya”. “Saya (istri) yang beragama Muslim sendiri di rumah ya tetap memberikan contoh yang baik terhadap mereka. Anak saya kadang mengingatkan saya dalam hal sholat, sebab mereka tidak mengetahui jika dalam Islam ketika wanita menstruasi tidak melaksanakan sholat. Kalau saya (bapak) ya tetap selalu memberikan contoh yang baik terhadap anak, saya ajak mereka ke Gereja ketika hari minggu saya libur”. (Wawancara dengan bapak Budi dan ibu Kuntari, pada 4 Juli 2013). Keberagamaan anak “dari awal kami membina rumah tangga sudah menjadi kesepakatan bahwa anak-anak nantinya ikut ke agama saya semua”. (hasil wawancara dengan BP pada tanggal 4 Juli 2013).
b. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak Strategi orang tua beda agama dalam mendidik anak adalah dengan memberikan pendidikan dan bimbingan yang baik dan layak sesuai yang diinginkan. Hal ini berdasarkan penuturan YT dari keluarga I: “Anak saya berikan arahan untuk masuk di Sekolah yang umum, saya masukkan ke TPQ juga karena untuk saat ini anak ikut agama saya (Islam), jadi yang mengatur masalah pendidikan saya, karena menurut saya penanaman pendidikan pertama itu ya seorang ibu, jadi saya bimbing mereka sesuai agama saya dan saya beri mereka pendidikan yang baik”
“Kami selalu memberikan contoh yang baik terhadap anak-anak kami, sebab orang tua kan sebagai figur bagi mereka, jadi apapun yang kami lakukan sebagai contoh mereka. Apalagi mereka masih anak-anak dan butuh arahan dari kami terutama saya sebagai ibu”. (hasil wawancara dengan SP dan YT pada tanggal 28 Juni 2013).
Begitu pula penuturan dari keluarga II; “NI anak kami ini karena masih kecil ya saya suruh dididik sesuai keinginan ibunya, sebab dia (istri) yang lebih tahu tentang kebutuhan Nuya, ibunya yang meilih untuk menyekolahkan di SD Muhammadiyah plus sebab, yang paling dekat rumah dan agar mendapatkan pendidikan keagamaan yang untuk proses awal pertumbuhannya, Nuya juga dimasukkan ke TPQ sebab NI yang minta, ya kami menuruti sebab itu baik untuk NI” (Wawancara dengan IC, pada tanggal 1 Juli 2013).
Tambahan penuturan dari keluarga II hampir sama dengan keluarga I, yang berbeda pada keluarga III dimana seorang ibu beragama Islam dan anak-anaknya Nasrani. Berikut kutipan hasil wawancaranya. “walaupun anak-anak berbeda agama dengan saya, akan tetapi dalam hal pendidikan saya tetap bertanggungjawab dan ikut mendidik mereka, seperti memberikan tambahan bimbingan untuk ikut les. Saya ajarkan untuk selalu menghormati orang tua meskipun kami berbeda agama, saya berikan pemahaman terhadap mereka agar dapat memahami dan dewasa dalam menanggapi perbedaan dalam keluarga kami, anak-anak sudah bisa mengatur waktunya sendiri antara jam sekolah, bermain, membantu orang tua dan kegiatan-kegiatan lainnya”. (hasil wawancara dengan keluarga III (BP) dan (KT) pada tanggal 4 Juli 2013) c. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Mendidik Anak Mengenai faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam mendidik anak pada keluarga beda agama, ternyata dari ketiga keluarga yang penulis teliti hampir semua sama.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan para informan. Keluarga I. “anak-anak kami yang pertama dan kedua ini tidak hanya sekolah umum saja akan tetapi juga saya masukkan ke TPQ karena menurut saya perlu dengan tambahan pelajaran keagamaan, dan mereka juga menyadari. Awal-awal dulu saya dan papanya yang sering mengingatkan jam berangkat TPQ, makan, bermain, belajar, dan kegiatan lain. Tetapi sekarang mereka sudah bisa mengetahui dan membedakan kapan waktunya bermain, sekolah, belajar, dan makan. Jadi kami hanya memantau saja, kalaupun kadang nakal dan kelewatan itu papanya yang mengatasi karena yang mereka segani papanya”. (hasil wawancara dengan keluarga I (SP) dan (YT) pada tanggal 28 Juni 2013)
Hambatan dalam mendidik yang penulis temukan pada wawancara dengan keluarga I, berikut hasil wawancaranya. “Pada saat itu anak kami sedang mendapatkan tugas Pendidikan Agama Islam yaitu membaca ayat al-Qur‟an, bertanya pada saya SP, saya jawab saja “Kamu itu orang Indonesia, bukan orang Arab jadi kalau tidak bisa baca arab ya tidak apa-apa sebab tidak wajib, saya sebagai ibunya ya saya ajari kalau nilainya jelek kan ya saya juga merasa rugu”. (hasil wawancara dengan keluarga I (SP) dan (YT) pada tanggal 28 Juni 2013) Penuturan dari keluarga II “NI meskipun masih kecil dan belum punya adik, dia sudah menunjukkan sikap dewasa dan mandiri, seperti, berangkat sekolah sendiri, persiapan juga sendiri meskipun tetap saya awasi dan bantu, tahu waktu kapan dia bermain, belajar dan makan juga sendiri bisa rapi tanpa harus saya suapi. NI ini kadang juga menanyakan kenapa bapak tidak pernah sholat”. (hasil wawancara dengan keluarga II (IC) dan (SY) pada tanggal 1 Juli 2013)
Tambahan dari bapak IC mengenai sekolah anaknya. “karena saya beragama Kristen di KTP saya juga Kristen, sehingga ada kendala ketika kemaren mendaftarkan sekolah NI ini, ibunya berkeinginan masuk di SD Muhammadiyah Plus karena
dekat dengan rumah, jadi saya mengurus sayrat-syarat itu sangat kesulitan, saya menghadap ke Kepala Sekolahnya langsung dan kemudian saya diberi ijin sehingga NI dapat sekolah disana”. (hasil wawancara dengan keluarga II (IC) dan (SY) pada tanggal 1 Juli 2013)
Penuturan keluarga III mengenai hambatan dan pendukung “anak-anak kami kan sudah besar semua dan mereka bisa memahami perebadaan di keluarga kami ini, mereka sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri dan mengatur waktu, sekolah, les, dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka seharihari, baik urusan sekolah maupun pribadi, kalau mau main kerumah teman atau kemana juga pamit dan tahu waktu, bisa diandalkan untuk urusan rumah seperti bersih-bersih dan membantu yang lain, karena saya dan bapak kan kerja sering pulang malam”. (hasil wawancara dengan keluarga III (BP) dan (KT) pada tanggal 4 Juli 2013)
Tambahan dari ibu KT mengenai keluhan dalam keberagamaan di keluarganya. “ya mau gimana lagi mbak, kalau anak-anak harus ikut agama Bapaknya, ya terpaksa saya sendiri menjalankan agama saya”
BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi Variasi Keberagamaan pada Keluarga Beda Agama Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga keluarga beda agama, peneliti menyimpulkan bahwa variasi keberagamaan pada setiap keluarga berbeda-beda.
1. Kristen Jawa dengan Islam Pada keluarga satu varisai keagamaannya adalah Kristen Jawa suami dan istri Islam, sedangkan anak-anak pada keluarga satu beragama Islam semua mengikuti agama ibunya. (Kode wawancara kel. I (SP), (YT), 28-06-2013) Rutinitas keagamaan yang dijalankan keluarga satu seperti keluarga pada umumnya yaitu menjalankan kewajiban agama sesuai ajaran agama masing-masing seperti sholat, puasa, dan sebagainya bagi yang Islam, dan ke Gereja bagi yang Kristen. Melestarikan tradisi ziarah ke makam leluhur yang telah meninggal dunia dan suami yang memimpin ke makam akan tetapi untuk berdoa masing-masing. (Kode wawancara kel. I (SP), (YT), 05-07-2013). 2. Kristen Katolik dengan Islam Keluarga dua memiliki variasi keberagamaan yang berbeda dengan keluarga satu, yaitu pada keluarga dua suami beragama Kristen Protestan dan istri Islam. Anak mengikuti agama istrinya. Rutinitas keagamaan berjalan dengan baik seperti sholat, puasa, dan ke Gereja. (Kode wawancara kel. II (IC), (SY), 01-07-2013) 3. Kristen Protestan dengan Islam Varisai yang terdapat pada keluarga tiga Kristen Protestan dan Islam, pada keluarga ini terdapat kesepakatan
bahwa anak-anak harus ikut ke agama ayah yaitu Kristen Protestan. Sehingga istri sendiri yang beragama Islam dan tetap menjalankan rutinitas keagamaan sesuai ajarannya. (Kode wawancara kel. III (BP),(KT), 04-07-2013). B. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak Dari hasil wawancara dengan orang tua yang melakukan perkawinan beda agama, mengenai strategi dalam mendidik anak yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka antara lain: 1. Menyekolahkan anaknya di sekolah formal yaitu sekolah yang sesuai kebutuhan anaknya. Diberi tambahan sekolah nonformal yaitu sekolah untuk menambah pengetahuan keagamaan anaknya (untuk yang Muslim) dan bimbingan belajar mata pelajaran tertentu bagi yang muslim maupun non-muslim. Sekali waktu diberikan pendidikan tambahan di rumah (misalnya diberi bimbingan belajar ketika ada tugas dari sekolah). (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)). 2. Memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam menjalankan aturan di rumah dan masyarakat (misalnya berperilaku yang sopan terhadap orang tua, teman, dan tetangga) (Kode wawancara (SP,YT/ 28-062013), (IC,SY/ 01-07-2013), (BP,KT,/04-07-2013)). 3. Kedewasaan yang dimiliki oleh anak sehingga dapat menyikapi perbedaan keberagamaan pada keluarganya. (Kel. III/BP,KT/ 04-072013)
4. Kemandirian yang tertanam pada diri anak melalui strategi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. (Kode wawancara (SP,YT, 28062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)). 5. Sikap disiplin yang diajarkan kepada anak dalam kehidupan seharihari. (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)). Keluarga sebagai pendidikan pertama bagi anak, dalam hal ini menggambarkan betapa pentingnya memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya, sebab mereka butuh pendidikan yang baik, bimbingan yang baik, dan figur teladan yang baik, karena mereka hidup dalam keluarga yang berkeyakinan berbeda. Dengan pendidikan yang baik diharapkan dapat menjadikan anak berperilaku yang baik sesuai norma-norma yang diajarkan di Sekolah maupun di rumah. Ibu sebagai panutan yang dapat diteladani secara ikhlas; sebagai motivator terhadap pertumbuhan dan perkembangan rasa, cita, dan karsa anak; sebagai pengawal hati nurani anak, pengayom jiwa anakanaknya. Hal tersebut merupakan bentuk lain dari peranan yang perlu dibawakan oleh seorang ibu dalam menjalankan fungsi dan tugas pendidik dalam keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi proses pertumbuhan sikap sosial dan kemampuan berhubungan sosial anak. Disini orang tua sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari yang sudah tentu harus mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, dan kedewasaan.
Berlangsungnya hubungan sosial ada kaitannya dengan pembinaan kepribadian anak sebagai makhluk individu. Ia harus mengerti secara objektif tentang dirinya agar mudah menempatkan dirinya di dalam pergaulan. Sebab, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta sikap toleran agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan secara harmonis. Dengan adanya sikap sosial awal yang baik dalam keluarga akan tercipta keharmonisan hidup masyarakat. Masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana yaitu keluarga, hingga ke masyarakat yang lingkupnya lebih luas. Terbukti pada anak dari keluarga I yang dapat menciptakan sikap sosial yang baik sehingga dapat menjadi bagian dari badan hukum pada salah satu Gereja di Jakarta, meskipun mamiliki latar belakang keluarga yang berbeda agama tidak membuat minder dan malu dengan rekan pengurus Gereja. Begitupula dengan anak-anak pada keluarga yang lain, mereka tumbuh dan bersosial dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya, baik dengan teman-teman dilingkungan tempat tinggal maupun dengan teman-teman sekolahnya. Perbedaan kayakinan orang tua tidak membuat anak mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar, terbukti anak mereka dapat mendapatkan pendidikan yang baik dan berteman dengan baik pada sekolah formal yaitu SD Muhammdaiyah
Plus dan lembaga pendidikan non-formal yaitu pada Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). C. Faktor Pendukung dan Penghambat Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan, diperoleh data bahwa terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam menjalankan pendidikan dan interaksi dalam pendidikan agama anak. 1.
Faktor Pendukung a. Adanya sikap kedewasaan Dengan adanya sikap kedewasaan dalam keluarga beda agama akan menjadikan kehidupan keluarga menjadi harmonis, terutama dalam keluarga beda agama. Akan sangat menjadi faktor pendukung jika sikap dewasa dijalankan dengan baik dan benar, sebab, dalam keluarga yang berbeda keyakinan akan mungkin sekali terjadi percekcokan dalam menentukan agama anak, jika dari pihak orang tua tidak ada rasa untuk mengalah dan memahami kemauan anak maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga, belum lagi jika orang tua (misal ayah) yang beragama Nasrani berkeinginan mengajak pasangannya untuk masuk ke agamanya,
sedangkan
pasangannya
tetap
mempertahankan
keyakinannya sendiri. Sehingga perlu sekali menanamkan sikap kedewasaan dalam kehidupan rumah tangga pada pasangan beda agama.
Dengan kedewasaan yang dimiliki masing-masing individu dalam keluarga diharapkan dapat saling mengendalikan emosi, dapat mengatur kemauannya, dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan,
dan
sudah
dapat
melakukan
pertimbangan-
pertimbangan. Peranan sikap dewasa dalam keluarga beda agama menjadi hal terpenting dalam mewujudkan keutuhan keluarga, sebab jika tidak maka keluarga tidak akan berjalan dengan baik. Dengan adanya saling dewasa orang tua dapat mengendalikan emosi masing-masing demi kepentingan keluarga dan anak-anak, dapat mempertimbangkan dengan baik mengenai pendidikan yang dibutuhkan anak dan status keberagamaan anak. (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)). b. Menanamkan sikap toleransi Toleransi yang diterapkan dalam keluarga beda agama tentu menjadi hal terpenting, sebab dengan adanya toleransi akan terwujud kehidupan keluarga yang harmonis, damai, dan sejahtera. Tidak saling mengolok-olok keyakinan anggota keluarga lain. Keharmonisan dan keutuhan keluarga beda agama jika di dalamnya tertanam rasa toleransi yang tinggi, dengan toleransi masing-masing
individu
dapat
menjalankan
agama
sesuai
ajarannya. (Kode wawancara (SP,YT, 28-062013), (IC,SY, 01-072013))
c. Tidak terjadi pola hidup sekuler dalam keluarga beda agama Dengan adanya sikap dewasa dan toleransi yang diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, maka sangat minim sekali akan terjadi pola hidup sekuler. Masing-masing anggota keluarga tetap menjalankan rutinitas keagamaan masing-masing. Bagi yang memeluk agama Islam tetap menjalankan kewajibannya, begitu pula dengan yang Nasrani tetap menjalankan ibadahnya sesuai ajarannya. Terbukti, menjalankan
masing-masing
agama
sesuai
anggota
keluarga
saling
ajarannya.
Bahkan,
saling
mengingatkan satu sama lain, hal tersebut tentu tidak luput dari adanya sikap dewasa dan toleransi. (Kode wawancara (SP,YT, 28062013), (IC,SY, 01-07-2013), (BP,KT, 04-07-2013)).
2. Faktor Penghambat a. Tidak toleransi Mengarungi kehidupan rumah tangga tidaklah mudah, tidak menutup kemungkinan akan senantiasa berjalan sesuai yang diharapkan meskipun memiliki keyakinan yang sama sudah tentu pasti terdapat masalah-masalah. Begitu pula dalam keluarga yang berkeyakinan berbeda. Konflik tersebut dipicu oleh keinginan salah
satu orang tua yang menginginkan anaknya mengikuti agamanya, akan tetapi ayahnya tidak memberikan ijin. Sebab ayahnya sangat otoriter sehingga semua anaknya harus mengikuti agama ayahnya. Hal tersebut menbuat seorang ibu merasa didiskriminasi. (BP,KT, 04-07-2013)). b. Kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama anak. Berdasarkan data di awal, terlihat bahwa anak dari dua keluarga sangat kritis terhadap orang tuanya, yaitu dengan menanyakan kenapa ayahnya tidak sholat dan mencoba mengajak ayahnya sholat, dan tidak hanya itu tetapi juga menanyakan mengenai tugas dari sekolahnya perihal pelajaran membaca ayat Alquran. Hal tersebut membuat anak merasa malas, kurang bersemangat, dan termotivasi. Peranan orang tua sangat penting untuk member semangat, bimbingan, dan teladan yang baik dalam hal memberikan pendidikan secara menyeluruh agar anak-anaknya menjadi manusia yang beragama dan giat menjalankan ajaran agamanya. (SP,YT, 28-062013) c. Terjadinya hambatan dalam mendaftarkan anak sekolah ke sekolah Islam, karena bapaknya beragama Non-Islam. (IC,SY, 01-07-2013)
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang “Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Tiga Keluarga di Kelurahan Mangunsari, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga Tahun 2013)”, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Deskripsi Variasi Keberagamaan pada Keluarga Beda Agama Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga keluarga beda agama, peneliti menyimpulkan bahwa variasi keberagamaan pada setiap keluarga berbeda-beda. a. Kristen Jawa dengan Islam b. Kristen Katolik dengan Islam c. Kristen Protestan dengan Islam 2. Strategi Orang Tua Beda Agama dalam Mendidik Anak a. Menyekolahkan anaknya di sekolah formal yaitu sekolah yang sesuai kebutuhan anaknya. Diberi tambahan sekolah nonformal yaitu sekolah untuk menambah pengetahuan keagamaan anaknya (untuk yang Muslim) dan bimbingan belajar mata pelajaran tertentu bagi yang muslim maupun non-muslim. Sekali waktu diberikan pendidikan tambahan
di rumah (misalnya diberi bimbingan belajar ketika ada tugas dari sekolah). b. Memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam menjalankan aturan di rumah dan masyarakat (misalnya berperilaku yang sopan terhadap orang tua, teman, dan tetangga). c. Kedewasaan yang dimiliki oleh anak sehingga dapat menyikapi perbedaan keberagamaan pada keluarganya. d. Kemandirian yang tertanam pada diri anak melalui strategi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. e. Sikap disiplin yang diajarkan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari. 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan, diperoleh data bahwa terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam menjalankan pendidikan dan interaksi dalam pendidikan agama anak. a. Faktor Pendukung 1) Adanya sikap kedewasaan Dengan kedewasaan yang dimiliki masing-masing individu dalam keluarga diharapkan dapat saling mengendalikan emosi, dapat mengatur kemauannya,
dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan, dan sudah dapat melakukan pertimbangan-pertimbangan. 2) Menanamkan sikap toleransi Toleransi yang diterapkan dalam keluarga beda agama tentu menjadi hal terpenting, sebab dengan adanya toleransi akan terwujud kehidupan keluarga yang harmonis, damai, dan sejahtera. Tidak saling mengolok-olok keyakinan anggota keluarga lain. 3) Tidak terjadi pola hidup sekuler dalam keluarga beda agama Dengan adanya sikap dewasa dan toleransi yang diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, maka sangat minim sekali akan terjadi pola hidup sekuler. Masingmasing anggota keluarga tetap menjalankan rutinitas keagamaan masing-masing. Bagi yang memeluk agama Islam tetap menjalankan kewajibannya, begitu pula dengan yang Nasrani tetap menjalankan ibadahnya sesuai ajarannya. b. Faktor Penghambat 1) Tidak toleransi Mengarungi kehidupan rumah tangga tidaklah mudah, tidak menutup kemungkinan akan senantiasa berjalan sesuai yang diharapkan meskipun memiliki
keyakinan yang sama sudah tentu pasti terdapat masalah-masalah. Begitu pula dalam keluarga yang berkeyakinan berbeda. Konflik tersebut dipicu oleh keinginan salah satu orang tua yang menginginkan anaknya mengikuti agamanya, akan tetapi ayahnya tidak memberikan ijin. Sebab ayahnya sangat otoriter sehingga semua anaknya harus mengikuti agama ayahnya. Hal tersebut menbuat seorang ibu merasa didiskriminasi. 2) Kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama anak. Berdasarkan data di awal, terlihat bahwa anak dari dua keluarga sangat kritis terhadap orang tuanya, yaitu dengan menanyakan kenapa ayahnya tidak sholat dan mencoba mengajak ayahnya sholat, dan tidak hanya itu tetapi juga menanyakan mengenai tugas dari sekolahnya perihal pelajaran membaca ayat al-Qur’an. 3) Terjadinya hambatan dalam mendaftarkan anak sekolah ke sekolah Islam, karena bapaknya beragama Non-Islam.
B. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan di atas, di mana sedemikian kompleksnya strategi yang diberikan orang tua dalam mendidik anak dari keluarga beda agama, berkaitan dengan strategi mendidik oleh orang tua dan interaksi dalam memberikan pendidikan agama anak, maka saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah: 1. Penulis sarankan agar memberikan pendidikan yang baik dan bimbingan sesuai kebutuhan dan kondisi anak, maka sebagai orang tua yang bijak dan juga sebagai pendidik utama bagi anakanaknya sangatlah memiliki pengaruh
yang besar dalam
meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak berikutnya, agar anak dapat berkembang dengan baik. Dan sangat penting dalam keluarga membentuk pola kepribadian anak melalui nilai dan norma yang diberikan oleh orang tuanya. 2. Bagi mereka yang sudah mempunyai suami atau istri yang bukan Islam, bawalah dia masuk Islam, dan kalau dia tidak mau, sadarilah bahwa setiap pilihan sudah pasti membawa resiko, tetapi resiko karena berpihak pada Allah, sudah ada jaminan tertentu dari Allah. Karena Allah sudah menjanjikan bahwa bagi siapa yang bersungguh-sungguh dengan Allah, Dia akan menunjukkan jalan keluar untuk mengatasi resiko dari sikap yang diambilnya. Dalam islam, pintu taubat senantiasa terbuka, tetapi hanya satu kali. Lebih dari satu tidak akan diterima.
3. Untuk menghindari dan meminimalisir konflik yang berdampak pada anak, maka penulis sarankan agar kedua orang tua harus: menciptakan suasana keluarga yang harmonis, berkomunikasi dengan anak sesuai dengan taraf berpikir anak, memberikan keteladanan yang baik, memberikan gambaran-gambaran tentang masing-masing agama, serta memberikan kebebasan pada anak untuk berpikir dan memilih. 4. Jangan sampai ada pernikahan beda agama, karena terdapat unsur pendidikan yang tidak baik di dalamnya sehingga menjadikan anak terbiasa berbohong karena terdapat pendidikan tersembunyi yang tidak disadari yaitu member contoh untuk berbuat bohong, dan hal tersebut selalu bahkan harus dilakukan oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA Adi wikarta, Sudardji. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud. Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahmad Azhar, Basyir. 2003. Falsafah Ibadah dalam Islam. Yogyakarta: UII Press. Ahmad Ibnu Nizar, Imam. 2009. Membentuk dan Meningkatkan Disiplin Anak Sejak Dini. Yogyakarta: DIVA Press Arief, Salman. 2003. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam: Antara Fakta dan Realita. Jakarta: LESFI. Arifin, HM. 1978. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: PT Bulan Bintang. Arikunto, Suharsini. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Ash Shidieqi, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditunjau dari Segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: PT Bulan Bintang. Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al-Ikhlas. Biddulph, Steve. 2006. Mendidik Anak dengan Cinta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Daradjat, Zakiah. 1989. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiah. 1978. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog Kerukunan Antar Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Hilma Hadi, Kusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandiri Maju. Husain, Khairiah. 1996. Konsep Ibu Teladan. Surabaya: Risalah Gusti. Husna,Khotimatul. 2006. 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun Toleransi. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara. Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Langgulung, Hasan. 1979. Pendidikan Islam: Suatu Analisa SosioPsikologi. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Pribadi, Sikun. 1981. Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Yayasan Sekolah Istri Bijaksana. Purwanto, Ngalim. 1989. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remadja Karya. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: balai Pustaka. Salamullah, Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. Salamullah, Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani.
Shihab, Quraish. 1999. Wawasan A-Qur‟an: Tafsir Mudhu‟I atas Berbagai Permasalahan Umat. Bandung: Mizan. Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeda. Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: Lkis. Surakhmad, Winarno. 1986. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Syafei, Sahlan. 2006. Bagaimana Anda Mandidik Anak. Bogor: Ghalia Indonesia. Tabroni, Suproyogo Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Zuhdi, Musjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Pendidikan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Sinar Grafika. http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agamamenurut.html. http://raja1978.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agamamenurut.html. http://www.bphntv.net/index.php?option=com content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-bedaagama&catid=28:konsultasi-hukum&itemid=128, 20 Juni 2011. http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-bedaagama.html#axzz1PbGBL5jl,20 Juni 2011.