PERANAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
PERANAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
PERANAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
ABSTRAK Salamatul Firdaus (NIM. 109011000277), Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 Tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara orang tua mendidik kecerdasan emosional anak yang sesuai dengan perspektif pendidikan Islam, serta upaya dari orang tua dalam mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional anaknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Kualitatif dipahami sebagai metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sedangkanpenelitian kepustakaan (library research) dimaknai sebagai segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi dari sumber-sumber pustaka yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun meliputi melatih anak untuk mengenali emosi diri, Melatih anak untuk mengelola emosi, Melatih Anak Memotivasi Diri sendiri, Melatih Anak Untuk Mengenali Emosi Orang Lain. Peran ini dapat dikenalkan oleh orang tua melalui nilai-nilai yang dipraktekkan oleh diri orang tua sendiri melalui kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati serta mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik. Tujuan dari peran ini akan lebih cepat tercapai jika orang tua menerapkan atau menggunakan pola/metode asuh otoritatif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak dan menuntut mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga. Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya dengan memberikan peran dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan inilah yang membuat anak diakui dan dihargai keberadaannya.
i
ABSTRACT
Salamatul Firdaus (NIM. 109011000277), The Role of Parents Educating Emotional Intelligence in Children Aged 6-12 Years in the Perspective of Islamic Education. This study aims to find out how parents educate their children's emotional intelligence in accordance with Islamic educational perspective, and also to know how the efforts of parents to optimize the development of their emotional intelligence. This study used a qualitative research approach with methods of library research (library research). Understood as a qualitative research methods used to examine the condition of natural objects, where the researcher is a key instrument, data collection techniques as triangulation, data analysis is inductive, and qualitative research results further emphasize the significance of the generalization. While the library research (library research) is defined as all the efforts made by researchers to gather information from literature sources relevant to the topic or issue that will be or are being studied. In the process of data analysis, the author uses descriptive analysis method which consists of four activities, namely data collection, data reduction, data presentation, and conclusion. The results showed that the role of parents in educating their emotional intelligence of children aged 6-12 years covering train children to recognize emotions, train children to manage emotions, son motivate yourself coaching, coaching kids to recognize emotions others. This role can be introduced by parents through the values practiced by themselves parents, through affection afirmasif, teach manners, developing empathy and teaches the meaning of honesty and realistic thinking. The purpose of this role will be more quickly achieved if parents apply or use the pattern / authoritative parenting methods. Authoritative parents respect the child's independence and requires them to meet the standards of high responsibility to the family. Kids appreciated the presence and ability to provide a role in everyday life. A sense of trust that makes a child is recognized and respected existence.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah dengan tulus penulis persembahkan kehadirat Allah SWT. karena atas segala limpahan nikmat yang tak terhitung jumlahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai suri tauladan yang sempurna bagi seluruh ummat manusia. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak dapat menyelesaikan tanpa bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, LC.MA selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Heny Narendrany Hidayati, M.Pd., dosen pembimbing penulis, yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sampai penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Moh. Zaedi Rumli dan Ummi Hj. Sopiyah (Alm), dan Ibu Aminah sebagai ibu angkatku yang selalu mendoakan, mendukung, menasehati, mengarahkan, mengorbankan waktu, tenaga dan biaya, sehingga penulis dapat melaksanakan semua kegiatan mulai dari awal hingga akhir, mulai dari perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Kakak-kakakku tersayang, Yayah Romsyiah, Abdul Muslikh, Fitriyanti, Ahmad Baedowi, Aan Nurhayati dan A. Yanto beserta A Darta yang senantiasa memberi motivasi dan masukan kepada penulis. 6. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang penuh inspiratif dan pemberi motivasi. 7. Sahabat-sahabat PAI angakatan 2009 khususnya kelas G yang penuh kisah, suka duka, canda tawa, dan senantiasa menyemangati dan memberi masukan untuk skripsi ini. 8. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam goresan ucapan teima kasih ini. Penulis ucapkan terima kasih, semoga semangat keilmuan dan persahabatan kita senantiasa berjalan terus. Aamiin ya robbal ‘aalamiin. Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Dan penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan. Aamiin ya robbal ‘aalamiin.
Ciputat, 15 Juli 2016 Penulis
Salamatul Firdaus
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ........................................................................................................... i ABSTRACT ....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Massalah ........................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8 C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 8 D. Rumusan masalah ................................................................................... 9 E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................ 9 BAB II ACUAN TEORI A. Konsep Pendidikan Islam ...................................................................... 11 1. Pengertian Pendidikan Islam ............................................................. 11 2. Tujuan Pendidikan Islam .................................................................. 17 B. Teori Kecerdasan Emosional ................................................................ 20 1. Pengertian Kecerdasan ..................................................................... 20 2. Pengertian Emosi ............................................................................. 22 3. Perkembangan Emosi Anak ............................................................. 25 4. Pengertian Kecerdasan Emosional ................................................... 31 5. Komponen Kecerdasan Emosional ................................................... 34 6. Perkembangan Kecerdasan Emai Anak ............................................ 38 C. Peran Orang Tua ................................................................................... 42 v
1. Pengertian Peran ............................................................................... 42 2. Pengertian Orang Tua ....................................................................... 43 3. Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga .................................... 45 D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................... 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian .................................................................. 49 B. Metode Penulisan .................................................................................. 49 C. Fokus Penelitian .................................................................................... 50 D. Prosedur Penelitian................................................................................ 50 BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan Hasil Analisis Deskriptif .......................................................... 53 1. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam .................................. 53 2. Emosi dalam Perspektif Ilmuan Islam ................................................ 58 3.Karakteristik Fase Perkembangan Emosi ............................................ 64 4. Pola Asuh Orang Tua sebagai Stimulan Kecerdasan Emosional ......... 69 B. Interpretasi Hasil Analisis ..................................................................... 74 1. Pola Pengasuhan Islami Sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan Emosional ....................................................................................... 74 2. Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak dalam Pendidikan Islam ............................................................................................... 86 C. Pembahasan .......................................................................................... 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................................... 102 B. Implikasi ............................................................................................. 102 C. Saran ................................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Mengembangkan potensi pada diri seorang anak, benar-benar merupakan upaya yang sangat penting untuk dilakukan, terutama di kalangan orang tua sebagai pendidik utama dan pertama di keluarga. Kebenaran akan hal tersebut sebaiknya tidak dipandang sepele karena menyangkut banyak hal yang sangat fundamental bagi masa depan individual sang anak, masa depan keluarga dan lingkungan sekitarnya, bahkan bagi masa depan agama serta bangsanya. Jika suatu bangsa berhasil membangun generasi yang unggul dalam berbagai aspek kehidupan, maka akan mendapatkan posisi terhormat di tengah pergaulan dunia. Masa anak-anak adalah penentu masa depan. Baik atau buruknya masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan anak-anak bangsa. Oleh karena itu mulai dari awal manusia harus mendapat perhatian dan pendidikan yang baik, yang mampu untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab, berkepribadian, berbudi pekerti luhur, dan berintelektual tinggi. Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya.1 Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki 1
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj AlTarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji, (Bandung: Al-Bayan, 1997), Cet. I, h. 35. 1
2
bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan oleh orang tua. Dan juga perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Dilihat dari ajaran islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil.2 Hal ini merupakan suatu wujud pertanggungjawaban dari setiap orang tua anak kepada khaliknya. Dalam Al-Qur-an ada banyak ayat yang menyerukan keharusan orang tua untuk selalu menjaga dan mendidik seluruh anak-anaknya, sebagaimana yang ditegaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tarhim:6)3 Kesadaran untuk mencerdaskan anak, tentulah dimiliki oleh setiap orang tua yang bijak. Betapa banyaknya orang tua bekerja keras, membanting tulang, mencari biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi cerdas. Sebagian diantara mereka bahkan rela hidup sederhana, mengorbankan apa yang bisa dikorbankan, untuk mendapatkan anak-anak yang didambakan ini. Tetapi persoalannya adalah bahwa pengorbanan dan kerja keras para orang tua yang mengharapkan anak-anak cerdas ini, seringkali tidak disertai dengan
2
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 7, hal. 160. 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Qur’an, 2009), hal. 560.
3
kesadaran dan pengetahuan (know why dan know how) yang memadai tentang mencerdaskan anak itu sendiri.4 Mayoritas orang tua menilai cerdas tidaknya seorang anak hanya dilihat dari sisi kecerdasan intelektualnya saja tanpa menghiraukan faktor apa yang telah mempengaruhinya, sehingga anaknya itu bisa berprestasi. Orang tua akan sangat bangga apabila anaknya mendapatkan prestasi akademik yang gemilang di kelas maupun di sekolahnya. Padahal, dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) berperan sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti, banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpinpemimpin di berbagai kelompok. membuktikan eksistensinya.
Disinilah
kecerdasan emosi (EI)
5
Menurut Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, guru besar Fakultas Psikologi UI, ia berkata: “Pintar saja tidak cukup. Berbagai pengalaman menunjukkan, banyak anak yang ‘berhasil’ di sekolah atau tergolong anak pandai dan juara kelas, ternyata tidak berhasil dalam kehidupan. Sebaliknya, ada anak yang tidak terlalu pandai, namun karena memiliki kemampuan sosial yang lebih baik, ia lebih berhasil dalam mengarungi hidup di masyarakat.”6 Seringkali kita menjumpai seseorang yang mengalami kegagalan bukan disebabkan kecerdasan intellegensinya yang rendah, namun cenderung karena kecerdasan emosinya yang rendah. Daniel Goleman dalam Emotional 4
Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal. 2. 5 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Agra Publishing, 2008), cet. 43, hal. xvi-xvii. 6 AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono, “Pintar Saja Tidak Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997.
4
Intellegence mengatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan bagian terpenting dari kecerdasan yang lain. Ia juga memaparkan bahwa manusia mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan yang berlainan yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya IQ saja, akan tetapi kecerdasan emosional-lah yang memegang peranan. Sungguh, intelektualitas tak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional.7 Goleman juga berpandangan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemempuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup
kemampuan-kemampuan yang berbeda
tapi saling
melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murniyang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga dalam bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.8 Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya adalah tugasnya para guru dan institusi pendidikan, Sementara mereka sendiri asyik dengan profesinya sendiri. Implikasi dari pendapat ini adalah munculnya ketidakpedulian orang tua terhadap perkembangan spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang ditudingnya adalah guru dan institusi pendidikan. Pendapat seperti ini jelas keliru dan merugikan diri kita sendiri. Bagaimanapun, guru, sekolah dan institusi pendidikan lainnya, hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan anak-anak kita. Tugas utama mencerdaskan anak, tetaplah ada pada orang tua itu sendiri.9
7
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1996) cet. I, hal. 38 8 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-7. Hal. 170. 9 Suharsono, op. cit., hal. 2-3.
5
Dari beberapa hasil penelitian yang sudah ada, menunjukkan bahwa pola asuh orang tua juga ikut berkontribusi dalam mengembangkan kecerdasan emosi sang anak. Dari salah satu penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional siswa. Apabila pola asuh orang tua baik atau tinggi, maka semakin baik pula dan meningkat pula kecerdasan emosional siswa. Terdapat 3 macam pola asuh orang tua, yakni otoriter, permisif dan demokratis. Namun, idealnya orang tua menerapkan pola asuh demokratis, karena dengan pola asuh demokratis anak akan mampu menerapkan prilaku yang bersahabat, rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersikap sopan, mau bekerjasama, rasa ingin tahu yang tinggi dan berorientasi terhadap prestasi.10 Pola asuh demokratis juga sesuai dengan perkembangan anak pada usia ini sehingga hal tersebut mengacu pada kecerdasan emosional anak.11 Pada saat ini, dunia pendidikan sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukan sikap yang kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran,
melakukan
tindakan
kriminal,
pencurian,
penodongan,
penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Perbuatan itu benar-benar telah meresahkan masyarakat dan para aparat keamanan.12 Salah satu peneyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusan yang diharapkan adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.13 Sebagian para pendidik khususnya para guru belum sepenuhnya menerapkan dan megembangkan kecerdasan emosi yang dimiliki oleh anak didiknya. Mereka hanya fokus pada 10
Ridhoyanti Hidayah, “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota Malang”, UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013. Hal.133. 11 Nur Dian Oktafiany, “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”, Jurnal PPKN UNJ Online, Vol. 1, 2013, hal. 14. 12 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 45. 13 Ibid., hal. 46.
6
pengembangan kognitifnya saja. Padahal masih banyak potensi peserta didik yang apabila di eksplore lebih dalam lagi akan ditemukan potensi-potensi yang tersembunyi dari anak tersebut. Menurut Dr. Seto Mulyadi selaku pemerhati masalah anak, melihat adanya kecenderungan anak mengalami kesulitan emosional, seperti mudah merasa kesepian dan pemurung, mudah cemas, bertindak agresif, kurang menghargai sopan santun dan lainnya. “Ini semua akan sangat merugikan perkembangan anak-anak itu sendiri, meskipun mungkin mereka tampil sebagai anak-anak yang pintar.”14 Dengan mengembangkan keterampilan emosi dan sosial pada anak, ia akan lebih mampu mengatasi berbagai masalah yang timbul selama proses perkembangannya menuju manusia dewasa. Tidak hanya itu, dengan melatih dan mengasah keterampilan emosi dan sosialnya, anak-anak pun akan lebih mampu mengatasi tantangan-tantangan emosionalnya dalam kehidupan modern ini. Disinilah peranan pendidik dan orang tua khususunya sangat dibutuhkan dalam usaha membantu anaknya untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosinya. Lahirnya tema ini terinspirasi dari lingkungan tempat tinggal penulis sendiri, tema penelitian ini muncul dari pengalaman pribadi dan pengamatan sekilas di lingkungan keluarga besar penulis, yang mana mayoritas orang tua masih berpandangan dan meyakini bahwa kecerdasan intelektual merupakan aspek yang sangat penting dan berpengaruh dalam meraih prestasi atau kesuksesan anaknya. Oleh sebab itu, para orang tua hanya fokus pada pengembangan kecerdasan intelektualnya dan spiritualnya saja. Padahal, yang memiliki peran penting dalam meraih kesuksesannya itu bukan saja dari IQ anak tersebut, melainkan ada faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam memepengaruhinya. Salah satunya adalah kecerdasan emosional yang sangat berpengaruh dalam perkembangan anak didik. Dan juga, menurut beberapa ahli yang bergelut di bidang ini menjelaskan bahwa kecerdasan emosional 14
Seto Mulyadi dalam Surya Makmur Nasution, “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa Depan”, Artikel Kompas, 3 Desember 1997, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2005).
7
juga bisa dididik dan dikembangkan selayaknya kecerdasan intelektual, mungkin yang berbeda hanya dalam cara mendidik dan pengembangannya saja. Menurut penulis sendiri, merubah paradigma berfikir mereka dari cara mendidik anak sacara klasik kepada pendidikan modern saat ini merupakan tanggung jawab kita semua sebagai generasi muda yang nantinya kelak akan menjadi orang tua juga. Karena dalam mengembangkan keterampilan emosional anak harus didukung dengan pengetahuan yang cukup bagi orang tua agar menghasilkan anak-anak yang memiliki rasa empati yang tinggi, dapat mengelola emosi negatif dan positif, mampu mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan masih banyak lagi keterampilan-keterampilan yang akan dimiliki anak tersebut. Pada akhirnya, penulis memfokuskan penelitian ini pada anak usia 6 hingga 12 tahun, karena pada usia ini anak sudah mulai mengenal dan memahami emosi dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh sebab itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Dari sini, tinggal bagaimana orang tua akan mendidik dan mengarahkan anaknya, karena orang tualah yang sangat berpengaruh dalam pengendalian emosinya. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila yang terjadi sebaliknya, maka anak juga akan cenderung kurang stabil emosinya.15 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan tersebut yang kemudian penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul berikut: “Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 Tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam”. 15
Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik: Mata Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 64.
8
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya kontribusi keluarga, khususnya kedua orang tua agar proses perkembangan aspek emosional anak dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Berdasarkan realita yang ada, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:16 1. Masih banyak orang tua yang lebih menekankan Intellectual Qoution (IQ) dari pada Emotional Qoution (EQ). 2. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya karena mayoritas orang tua (ibu dan bapak) sibuk dengan pekerjaannya sehingga berdampak pada buruknya sikap dan prilaku anak. 3. Pendidikan kecerdasan emosional belum sepenuhnya diterapkan dalam lingkungan pendidikan.
C. Pembatasan Masalah Supaya penelitian ini dapat terarah dan ruang lingkupnya lebih jelas, maka penulis membatasi permasalahan-permasalahan yang muncul. Adapun batasan-batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Peranan Orang tua yang dimaksud disini adalah tindakan, tanggung jawab orang tua terhadap anaknya baik dalam mendidik, membimbing, melindungi dan menghidupi dengan cara-cara yang tepat dan kondisi keluarga tempat si anak tinggal.
2.
Kecerdasan emosional yang dimaksud disini adalah kemampuan anak untuk memahami perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga bisa berinteraksi dengan baik. Kecerdasan emosi juga melahirkan sifat dan sikap positif seperti percaya diri, jujur, rendah diri, sabar, empati, bijkaksana dan lain sebagainya. Mendidik kecerdasan emosional tidak dapat disandarkan hanya kepada guru di sekolah tetapi harus ada peran serta orang tua secara aktif.
16
Identifikasi ini berdasarkan hasil dari pengamatan di sekitar tempat tinggal penulis di Desa Lohbener Kec. Lohbener Kab. Indramayu.
9
3.
Usia anak dibatasi 6-12 tahun. Karena pada usia ini, anak bersifat realistik, ingin tahu, ingin belajar, dan ingin bisa.17 Anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. 18
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok, yaitu : “Bagaimana peranan orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun menurut perspektif pendidikan islam?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian Adapuun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin mengetahui bagaimana cara orang tua mendidik kecerdasan emosional anaknya yang sesuaidengan perspektif pendidikan islam dan juga untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya dari orang tua dalam mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional anaknya. Sedangkan untuk hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dalam proses pembelajaran, yaitu: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan mengembangkan kecerdasan emosional anak. 2. Penelitian ini menjadi bahan pertimbangan bahwa dalam proses pembelajaran tidak hanya berorientasi pada perkembangan intelektual anak semata, akan tetapi kecerdasan emosional anak juga perlu dikembangkan secara lebih maksimal.
17
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hal. 157. 18 Syamsu Yusuf, op.cit, hal. 63.
10
3. Untuk memberikan masukan bagaimana seharusnya orang tua mendidik kecerdasan emosional anak menurut perspektif pendidikan islam. 4. Untuk memperluas paradigma berfikir dan khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan islam di dalam keluarga khususnya pada orang tua anak.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” jelas menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan islam. Sebelum membahas pengertian pendidikan menurut islam itu sendiri, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas definisi pendidikan menurut para pakar, setelah itu barulah membahas apa pendidikan menurut Islam. Pembahasan tentang apa itu pendidikan menurut Islam yang terutama didasarkan keteranganketerangan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan juga pendapat dari para pakar pendidikan Islam. Kata
“pendidikan”,
dalam
bahasa
Yunani,
dikenal
dengan
namapaedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare, artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam).
Bahasa
Belanda
menyebut
istilah
pendidikan
dengan
namaopvoeden, yang berarti membesarkan atau mendewasakan, atau voden artinya memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebutkan dengan istilah educate/education, yang berarti to give moral and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual. 1 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
untuk
memiliki
1
kekuatan
spiritual
keagamaan,
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet.I, hal.16. 11
12
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2 Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.3 Sedangkan Lodge berpendapat bahwa pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman.Orang tua mendidik anaknya, anak mendidik orang tuanya,
guru
mendidik
muridnya,
dan
juga
murid
mendidik
gurunya.Semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Begitu juga yang disebut dan dilakukan oleh orang lain terhadap kita, dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian ini mengartikan bahwa kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan.4 Sahal Mahfud menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar yang membentuk watak dan prilaku secara sistematis, terencana, dan terarah.5 Dalam beberapa literatur, Ahmad Tafsir menyimpulkan bahwa pendidikan adalah “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal dan hati.”6 Untuk menambah kejelasan tentang konsep dasar pendidikan dalam perspektif islam, berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian secara etimologi maupun terminologi tentang pendidikan. Dalam bahasa arab telah dijumpai tiga istilah yang sering digunakan untuk mengartikan pendidikan atau pendidikan islam, yakni Ta’dib, Ta’lim, dan Tarbiyah. 2
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Undang-Undang Repulik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), hal. 5. 3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. Ke-7, hal. 24. 4 Ibid., hal. 25. 5 M. Bashori Muchsin, Moh Sulthon, dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), Cet. I, hal. 3. 6 Tafsir, op.cit., hal. 26.
13
Kata Ta’lim berasal dari kata ‘alama - ya’lamu yang berarti mengecap atau memberi tanda. Atau, bisa juga berasal dari kata ‘alima – ya’lamu yang berarti mengerti atau memberi tanda.Dan ada juga yang menjelaskan bahwa kata ta’lim itu berasal dari akar kata ‘allama – yu’allimu – ta’liiman yang berarti mengajar atau memberi ilmu.Beberapa akar kata tersebut dapat disederhanakan bahwa kata ta’lim berarti upaya memberikan tanda berupa ilmu atau mengajarkan sesuatu ilmu pada seseorang agar memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Seseorang mengajarkan ilmu kepada orang lain agar orang tersebut memiliki ilmu pengetahuan, ini berarti yang disentuh adalah aspek kognitif. 7 Kata Ta’dib berasal dari kata aduba – ya’dubu, yang berarti melatih atau mendisiplinkan diri. Atau bisa juga berasal dari kata adaba – ya’dubu, yang berarti menjamu atau memberi jamuan dengan cara sopan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa ta’dib berasal dari kata addaba – yuaddibu – ta’diiban, yang berarti mendisiplinkan atau menanamkan sopan santun. Jadi, kata ta’dib dapat disimpulkan sebagai upaya menjamu atau melayani atau menanamkan atau mempraktikkan sopan santun kepada seseorang agar bertingkah laku yang baik dan disiplin.Dalam bahasa pendidikan hal tersebut bararti wilayah afektif dan psikomotorik, maksudnya seseorang diajak untuk berdisiplin dan bertingkah laku positif.8 Sedangkan kata tarbiyah,berasal dari kata raba – yarbuw yang berarti tumbuh, tambah, dan berkembang. Atau bisa pula dari kata rabiya – yarba, yang berarti tumbuh menjadi besar atau dewasa.Dan bisa juga berasal dari kata rabba – yurabbiy – tarbiyyatan, yang artinya memperbaiki, mengatur, mengurus, memelihara atau mendidik.Dari beberapa istilah asal diatas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti upaya memelihara, mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau fitrah
7 8
Yasin, op.cit., hal. 20 Yasin, op.cit., hal. 21
14
manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau sempurna.9 Dari beberapa istilah diatas, yang sering populer digunakan untuk mengartikan pendidikan atau pendidikan islam adalah kata tarbiyah atau tarbiyah islamiyah. Kendati banyak para ahli pendidikan islam yang berbeda pendapat mengenai kata yang lebih tepat untuk mengertikan istilah pendidikan islam tersebut. Muhammad al-Naquib al-Attas berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk mengartikan pendidikan atau pendidikan islam adalah ta’dib dan bukan tarbiyah, karena tarbiyah terlalu luas dan mencakup pula pendidikan untuk hewan, sedangkan ta’dib hanya berlaku untuk manusia. Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa istilah yang tepat untuk mengartikan pendidikan islam adalah tarbiyah. Tarbiyah, maknanya mengandung empat unsur pokok.Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi manusia.Ketiga, membimbing dan mengarahkan seluruh fitrah manusia menuju kesempurnaan, dan
keempat, dilaksanakan secara berangsur-
angsur atau bertahap. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam al-Baidlawi, bahwa yang mengena untuk mengartikan pendidikan islam adalah tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu dengan cara bertahap sedikit demi sedikit sehingga mencapai kesempurnaan.10 Sementara Abdul Fatah Jalal dalam Kitab Min Ushul al-Tarbiyyah alIslamiyah berpendapat bahwa istilah ta’lim justru lebih tepat untuk mengartikan pendidikan islam karena maknanya
lebih universal,
sedangkan tarbiyah hanya tepat untuk pengasuhan anak kecil. Ia menjelaskan bahwa ta’lim itu lebih luas dibandingkan tarbiyah¸karena Rasulullah saw ketika mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada umat islam
9
Yasin, op.cit., hal. 22. Yasin, op.cit., hal. 23.
10
15
tidak sekadar membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang bersifat pemahaman, tanggungjawab, dan amanah. 11 Berdasarkan adanya perbedaan pendapat diatas, hasil Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on Mulim Education) yang diselengarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, di Jeddah pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang jelas mengenai istilah yang tepat untuk mengartikan pendidikan islam, namun dalam rekomendasinya konferensi tersebut menyimpulkan bahwa untuk menjelaskan tentang pendidikan islam boleh menggunakan kata ta’lim, ta’dib dan tarbiyah.12 Setelah mengetahui beberapa penjelasan secara etimologi untuk mengartikan pendidikan islam, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa pengertian terminologi pendidikan islam, kendati tidak perlu lagi memperdebatkan kata ta’lim, ta’dib atau tarbiyah. Yang lebih penting adalah hakikat dari makna pendidikan islam itu sendiri. Pengertian pendidikan islam menurut rumusan Seminar Nasional tentang Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 adalah sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani manusia
menurut
ajaran
islam
dengan
hikmah
mengarahkan,
membelajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran islam. Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di Islamabad, Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran islam.13 Omar
Muhammad
at-Toumy
al-Syaibani
mengatakan
bahwa
pendidikan islam merupakan usaha mengubah tingkah laku individu dalam 11
Yasin, op.cit, hal. 22. Tafsir, loc. cit, hal. 28. 13 Yasin, op.cit, hal.24. 12
16
kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, dan perubahan itu dilandasi oleh nilai-nilai islam.14Sedangkan Marimba mendefinisikan pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan ruhani manusia berdasarkan
hukum-hukum
islam
menuju
kepada
terbentuknya
kepribadian manusia yang utama menurut ukuran islam.15 Ahmad D. Marimbamengartikan pendidikan islam sebagai suatu bimbingan jasmaniah dan rohaniah menuju terbantuknya kepribadian utama menurut ukuran islam.16 Nur Uhbiyati sendiri mendefinisikan pendidikan islam itu sebagai suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan muslim baik duniawi maupun ukhrawi.17 Menurut Syah Muhammad A. Naquib al-Attas pendidikan islam adalah usaha yang dilakukan pendidikan terhadap peserta didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.18 Ahmad Tafsir juga menyimpulkan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam. Lebih singkatnya, pendidikan islam itu adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin. 19 Bimbingan yang dilakukan oleh orang tersebut bisa berlangsung di dalam keluarga, masyarakat, maupun di sekolah/madrasah secara formal, sedangkan
14
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 13. Yasin.op. cit.hal. 24 16 Muchsin, op. cit., hal. 6. 17 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 13. 18 Muchsin, op.cit.,hal. 6. 19 Tafsir, op.cit., hal. 32 15
17
wilayah sasaran pendidikan islam itu adalah mencakup aspek jasmani dan ruhani (akal dan hati). Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinya, manusia tidak merasa keberatan atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya.20 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ahli pendidikan islam berbeda pendapat mengenai rumusan pendidikan islam. Ada yang menitikberatkan pada segi pembentukan akhlak anak, ada pula yang menuntut pendidikan teori dan praktik, sebagian lagi menghendaki terwujud
kepribadian
muslim,
dan
lain-lain.
Perbedaan
tersebut
diakibatkan sesuatu hal yang lebih penting. Namun perbedaan tersebut terdapat titik yang persamaan yaitu pendidikan islam dipahami sebagai suatu proses pembentukan manusia menuju terciptanya insan kamil. Dengan demikian, pendidikan agama islam merupakan bimbingan secara sadar dan terus menerus dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar) baik secara individual maupun secara kelompok, sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara utuh dan benar, meliputi: aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan muamalah), dan akhlak (budi pekerti). 2. Tujuan Pendidikan Islam Para ahli pendidikan telah memberikan definisi tentang tujuan pendidikan islam, dimana rumusan atau definisi yang satu berbeda dengan definisi yang lain. Walaupun demikian, pada hakekatnya tujuan dari pendidikan islam itu sendiri adalah sama, mungkin hanya beda redaksinya saja.
20
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. IV, hal. 6.
18
Menurut Zakiah Dradjat,21 tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahaptahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan agama menurut Mahmud Yunus22 ialah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi pada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia. Abd ar-Rahman an-Nahlawi berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaan mereka berdasarkan islam yang dalam proses akhirnya bertujuan untuk merealisasikan ketaatan dan penghambaan kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.23 Tujuan ini lebih menekankan pada kepasrahan kepada Tuhan yang menyatu dalam diri secara individual maupun sosial. Muhammad Athiyah al-Abrasy menyatakan bahwa tujuan pendidikan islam adalah untuk membentuk akhlak mulia, persiapan menghadapi kehidupan dunia akhirat, persiapan untuk mencari rizki, menumbuhkan semangat ilmiah, dan menyiapkan profesionalisme subjek didik. Dari lima rincian tujuan pendidikan tersebut, semuanya harus menuju pada titik kesempurnaan yangsalah satu indikatornya adalah adanya nilai tambah secara kuantitatif dan kualitatif.24 Zakiah Daradjat25 juga mengklasifikasikan tujuan pendidikan menjadi beberapa bagian: 21
Zakiah Dradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), Cet. X, hal. 29. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1992), hal.13. 23 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009), hal. 29. 24 Ibid., hal. 28 25 Dradjat, op.cit, hal. 31 22
19
a. Tujuan Umum Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semnua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Tujuan pendidikan islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tahap-tahapan dalam mencapai tujuan itu pada pendidikan formal, dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan instruksional. b. Tujuan Akhir Pendidikan islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula.tujuan akhir pendidikan islam itu dapat dipahami dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (Q.S. Al-Imran: 102)26 Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupaka ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan itu yang dapat dianggap sebagai tujuan akhirnya. Insan kamil yang mati dan akan menghadap Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan islam. 26
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Qur’an, 2009), hal. 63.
20
c. Tujuan Sementara Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurangkurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik. Banyak sekali konsep dan teori tujuan Pendidikan Islam yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan maupun dewasa ini. Namun dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep dan teori tujuan pendidikan islam tersebut merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik bagi masyarakatnya.27
B. Teori Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Sebelum mendefinisikan arti dari kecerdasan emosional, alangkah baiknyamelihat dulu arti kata dari kecerdasan dan emosional.Menurut Howard Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Sedangkan menurut Alfred Binet dan Theodore Simon, kecerdasan terdiri dari tiga komponen: kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan, dan kemampuan mengkritik diri sendiri. 28 Piaget29 juga mengatakan, “Intellegence is what you use when you don’t know what to do (kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).” Dan juga Jhon W. Santrock 27
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hal. 27. 28 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intellegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 81. 29 Ibid., hal. 83
21
mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman.30 Suharsono31 memaknai kecerdasan sebagai kemampuan manusia untuk menyelesaikan problem dengan benar dan waktu yang relatif singkat.Pada
intinya,
orang
yang
memiliki
kemampuan
untuk
memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan usia biologisnya. Misalnya, bila Ali dapat memecahkan suatu soal matematika dengan benar dan lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak sebayanya, maka Ali dapat dikatan sebagai anak yang cerdas. Tetapi, bila Mansur (seorang anak yang lebih muda usianya, misalnya kelas III) dapat memecahkan soal untuk kelas V dengan benar dan relatif cepat dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak usia kelas V, maka Mansur bisa dikatakan sangat cerdas. Intellegensi atau kecerdasan, merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia. Intellegensi ini diperoleh sejak lahir, dan sejak itu pula potensi intellegensi ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan individu, dan manakala sudah berkembang, maka fungsinya semakin berarti lagi bagi manusia yaitu akan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungannya. Kemampuan intellegensi dalam arti yang disebutkan terakhir bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir, melainkan merupakan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai seorang individu.32 Jadi kecerdasan itu bisa dididik dan dikembangkan sejak seseorang itu lahir ke dunia ini, dengan kata lain, orang tua yang memiliki kecerdasan yang tinggi belum tentu akan mewarisi kecerdasan itu kepada anaknya. Anak tidak memiliki taraf kecerdasan yang sudah terbentuk dan 30
Jhon. W. Santrock, Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1, Edisi Kesebelas, hal. 317. 31 Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (EQ) dengan Intelegensi Spritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal. 34 32 M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan , (Jakarat: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2001), cet. III, hal. 111.
22
tidak juga memiliki tempo perkembangan yang tidak bisa diubah. Lingkungan dapat meningkatkan atau menurunkan taraf kecerdasan anak, terutama pada masa-masa permulaan hidupnya.33 Oleh karena itu, persoalan berkenaan dengan kecerdasan adalah – berbeda dengan tinggi, berat, dan usia – kecerdasan tidak dapat diukur secara langsung. Kita tidak dapat membuka tempurung kepala seseorang untuk melihat seberapa banyak kecerdasan yang ia miliki, kita hanya dapat mengevaluasi kecerdasan secara tidak langsung dengan cara mempelajari dan membandingkan tindakan kecerdasan yang ditunjukkan oleh orangorang.34 Maka fokus kecerdasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecerdasan yang berkaitan dengan emosi. Dari beberapa definisi kecerdasan diatas, penulis menyimpulkan arti dari kecerdasan itu sendiri sebagai
kemampuan
menggunakan
ilmu
dengan
efektif
dan
menggabungkan informasi yang didapat dari penyesuaian diri dengan situasi secara tepat dan efektif. 2. Pengertian Emosi Selanjutnya, akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.35 Menurut Richard S. Lazarus yang dikutip oleh M. darwis Hude dalam bukunya, mendefinisikan emosi sebagai berikut: Emotion: Differently described and explained by different psychologist, but all agree that is a complex state of the organism, involving bodily changes of a widespread character, --in breating, pulse, gland secretion, etc. –and, on the mental side, a state of excitement or perturbation, marked by strong feeling, and usually an impulse toward a difinite form of behaviour. If the emotion is intense there is some 33
Joan Beck, Meningkatkan Kecerdasan Anak, (Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994), hal. 14. Santrock, op.cit, hal. 317. 35 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional Terj. dari Emotional Intellegenceoleh T. Hermaya, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1996), Cet.1, hal. 7. 34
23
disturbance of the intellectual functions, a measure of dissosiation, and a tendency towards action of an ungraded or protopathic character. Beyond this description anything else would mean an entrance into the controversial field. (Emosi: dilukiskan dan dijelaskan secara berbeda oleh psikolog yang berbeda, namun semua sepakat bahwa emosi adalah bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan fisik dari karakter yang luas –dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar, dsb- dan, dari sudut mental, adalah suatu keadaan senang atau cemas, yang ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat akan terjadi sejumlah gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecenderungan terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji. Diluar deskripsi ini, hal lain akan berarti masuk ke dalam bidang yang kontroversial).36 M. Darwis Hude sendirimengartikan emosi sebagai gejala psikofisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap dan tingkah laku serta diekspresikan dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi bahagia meledak-ledak, ia secara psikis memberi kepuasan, tapi secara fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.37 Netty Hartati mengartikan emosi sebagai suasana kesadaran individu. Emosi lebih kompak dari pada perasaan, dan emosi dapat timbul dari kombinasi beberapa perasaan.Singkatnya, perasaan merupakan bagian dari emosi. Jadi emosi dapat dapat didefinisikan sebagai stirred up or aroused
36
M. Darwis Hude, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal.17. 37 Ibid., hal. 18
24
state of the human organization (emosi merupakan sesuatu keadaan yang bergejolak dalam diri manusia). 38 Berbeda dengan Netty Hartati, Triantoro Safariamengartikan emosi sebagai bentuk komunikasi yang dapat mempengaruhi orang lain. Guratan ekspresi yang terlihat pada raut muka seseorang adalah bagian dari emosi.Sejak dahulu di dalam kehidupan masyarakat primitif, dan di dalam dunia buas binatang, guratan ekspresi merupakan bentuk komunikasi seperti kata-kata.Saat sekarang pada masyarakat modern, guratan ekspresi merupakan bentuk komunikasi yang lebih cepat dari kata-kata. 39 Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu mengenai emosi atau bersikap negatif terhadap emosi karena kurangnya pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain. Emosi berperan penting dalam kehidupan.Menurut banyak bukti, perasaan adalah sumber daya terampuh yang kita miliki. Emosi adalah penyambung hidup bagi kesadaran diri dan kelangsungan diri yang secara mendalam menghubungkan kita dengan diri kita sendiri dan dengan orang lain, serta dengan alam dan kosmos.40 Banyak para ahli yang berbeda-beda pendapat dalam mengartikan emosi ini, karena pada saat mereka mendefinisikan arti emosi tersebut, kondisi emosi mereka juga berbeda-beda. Penulis sendiri mengartikan emosi sebagai perubahan reaksi tubuh dalam menghadapi situasi tertentu. 38
Netty Hartati, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 89-90. Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. I, hal.16. 40 Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, (Bandung: Kaifa, 2000), Cet. I, hal. 19. 39
25
Dengan kata lain emosi merupakan suatu gejala perubahan psiko-fisiologis yang bergejolak dalam diri manusia yang kemudian akan diekspresikannya dalam bentuk sikap dan tingkah laku. 3. Perkembangan Emosi Anak Pada setiap individu yang berkembang, perkembangannya meliputi semua aspek kepribadian termasuk emosinya. Seiring berjalannya waktu, perkembangan emosi terpengaruh oleh budaya, sehingga membentuk polapola ekspresi dan pengendalian emosi.Menurut Bimo
Walgito,41
perkembangan emosi setiap individu yang normal umumnya terdapat memiliki gejala-gejala kejiwaan atau pernyataan-pernyataan jiwa yang secara garis besarnya dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: a. Gejala
pengenalan
(kognisi)
yang
termasuk
kegiatan
psikis
pengenalan/kognisi ini adalah gejala-gejala jiwa seperti pengamatan, tanggapan, ingatan, asosiasi, fantasi, berpikir, dan intellegensi. b. Gejala jiwa perasaan (emosi), gejala jiwa ini dibagi menjadi 2 bagian: perasaan-perasaan rendah (jasmaniah)dan perasaan-perasaan luhur (ruhaniah). Perasaan-perasaan jasmaniah seperti perasaan pengindraan dan perasaan kita. Sedangkan perasaan ruhaniah, seperti perasaan keindahan, perasaan ke-Tuhanan, perasaan sosial, perasaan kesusilaan dan perasaan intelektual. c. Gejala jiwa kehendak (konasi): gejala kehendak ini ada 2 macam, yaitu gejala kehendak yang indrawiah dan gejala kehendak ruhaniah. Contoh dari kehendak indrawiah seperti trofisme, refleks, insting, nafsu, kebiasaan, keinginan dan kecenderungan. Semua gejala kehendah di atas tidak dipengaruhi oleh pikiran, dan gejala kehendak yang ruhaniah, yaitu kemauan. d. Gejala campuran yang termasuk gejala pikir ini adalah minat dan perhatian, kelelahan dan sugesti.
41
Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. Ke-II, hal. 60
26
Pembagian gejala-gejala kejiwaan seperti ini banyak dipopulerkan oleh para psikologi Eropa guna memudahkan orang dalam mempelajari gejala-gejala kejiwaan pada manusia yang normal, karena setiap individu manusia yang normal dan berbudaya dimanapun berada pada dirinya terdapat keempat jenis gejala-gejala tersebut baik gejala pengenalan, gejala perasaan (emosi), gejala kehendak, gejala-gejala campuran seperti disebutkan diatas.42 Dalam diri individu biasanya memiliki emosi dominan. Menurut Hurlock,43 emosi dominan adalah salah satu atau beberapa jenis emosi yang berpengaruh kuat terhadap perilaku individu. Emosi dominan tidak ditentukan oleh faktor bawaan tetapi lebih berhubungan dengan faktor lingkungan tempat individu tumbuh, berhubungan dengan orang yang berarti untuk kehidupannya dan bimbingan yang diterima dalam mengendalikan emosi.
Emosi dominan pada diri individu akan
mempengaruhi kepribadian anak dan memengaruhi kemampuan sosialnya. Emosi yang dominan akan menentukan suasana hati yang dirasakan. Anak yang memiliki emosi dominan riang, akan memandang ringan rintangan yang menghalangi langkahnya. Dalam perkembangannya secara umum, emosi memliki fungsi dan peranan dalam kehidupan seseorang sebagai berikut: a. Merupakan bentuk komunikasi sehingga anak dapat menyatakan segala kebutuhan dan perasaannya pada orang lain. Sebagai contoh, anak yang merasakan sakit atau marah biasanya mengekspresikan emosinya dengan menangis. Menangis merupakan bentuk komunikasi anak dengan lingkungannya pada saat ia belum mampu mengutarakan perasaannya dalam bentuk bahasa verbal. Demikian pula halnya ekspresi tertawa terbahak-bahak, ataupun memeluk ibunya dengan erat. Ini merupakan contoh bentuk komunikasi anak yang bermuatan emosional. 42 43
Hartati,op.cit.,hal. 92-93. Mashar, op.cit, hal. 68
27
b. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, antara lain: 1) Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian
lingkungan
sosial
terhadap
dirinya.
Penilaian
lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai dirinya sendiri. Penilaian ini akan membentuk konsep diri anak berdasarkan perlakuan tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak sering mengekspresikan ketidaknyamanannya dengan menangis, lingkungan sosialnya akan menilai ia sebangai anak yang “cengeng”. Anak akan diperlakuan sesuai dengan penilaiannya tersebut, misalnya entah sering mengolo-olok anak, mengucilkan atau menjadi overprotective. Perlakuan lingkungan terhdap anak berpengaruh terhadap penilaian dan kepribadian diri anak. 2) Emosi
menyenangkan
atau
tidak
menyenangkan
dapat
memengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang dapat diterima lingkungannya. 3) Emosi dapat memengaruhi iklim psikologis lingkungan. Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan dapat menentukan iklim psikologis lingkungan. Artinya jika ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu, misalnya permainan menjadi tidak menyenangkan, timbul pertengkaran, atau malah bubar. 4) Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi suatu kebiasaan. Artinya, jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut dan lingkungan pun menyukainya, maka anak akan melakukan perbuatan tersebut berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
28
5) Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat menghambat atau mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stres atau ketakutan dalam menghadapi situasi, dapat menghambat anak ini untuk melakukan aktivitas. Misalnya, seorang anak yang menolak bermain finger painting (melukis dengan jari tangan) karena takut akan mengotori bajunya dan dimarahi orang tuanya. Aktivitas finger painting
sangat baik
untuk melatih motorik halus dan indra peraba, namun karena hambatan emosional yang dialami, anak menjadi kehilangan keberanian untuk mencobanya dan kesempatan pengembangan dirinya terhambat.44 Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil dan kurang kontrol (seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif, mudah mengeluh, kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil. Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat atau bahagia). Ketika anak menginjak usia 6 tahun, ia akan memiliki keterikatan yang baik dengan orang tuanya, dan dalam batas-batas tertentu akan terhindar dari ketakutan dan kegoncangan. Ia akan memahami dengan baik
44
Mashar, op.cit, hal. 70.
29
emosi dan perasaannya, serta mampu mengungkapkannya dengan bahasa yang tepat. Pada usia antara tujuh hingga delapan tahun, kesadaran anak atas kehidupan pribadi dan privasi-nya akan bertambah. Ia akan lebih bersinggungan dengan gagasan dan emosi khususnya. Pada usia ini pula anak mulai membandingkan dirinya dengan teman seusianya. Ia akan lebih memperhatikan kemampuannya, serta apa yang sanggup dan tidak sanggup dilakukannya. Pada usia antara 9 hingga 10 tahun, perhatian anak pada permainan emajiner akan berkurang. Ia akan bertambah agresif dalam menekan teman-temannya. Karena ia mulai mempunyai perasaan bersalah, terkadang ia tidak membutuhkan orang lain yang menunjukkan benar atau salahnya suatu perbuatan.45 Menurut Aliah B. Purwakania Hasan, anak pada usia ini mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi dan juga menguasai keterampilan
regulasi
perilaku
yang
memungkinkan
mereka
menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Pada usia ini anak juga lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada teman-temannya daripada orang tuanya, karena mereka mengharapkan emosi negatif dari teman-temannya, seperti ejekan. 46 Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap
45
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ AlAthifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. I, hal. 67. 46 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 168-169.
30
aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi, mengajarkan tugas, dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya, apabila yang menyertai proses itu emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru sepatutnya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Upaya yang dapat dilakukan, antara lain: a. Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan (seperti, guru bersikap atau tidak judes) b. Memperlakukan peserta didik sebagai individu yang mempunyai harga diri (seperti, tidak menganaktirikan atau menganakemaskan anak, tidak mencemoohkan anak, dan menghargai anak) c. Memberikan nilai secara objektif d. Menghargai hasil karya peserta didik dan sebagainya. 47 4. Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilibatkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Solovey dari Harvard University dan Jhon Mayor dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.48 Menurutnya kualitas-kualitas itu meliputi : empati, mengungkapkan dan
memahami
perasaan,
mengendalikan
amarah,
kemandirian,
menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat. 47 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-13, hal. 181-182. 48 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dariHow to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 5.
31
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “kemampuan merasakan dan mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi (seperti menerima perspektif orang lain), kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional (seperti, memahami peran emosi dalam hubungan
pertemanandan
pernikahan),
kemampuan
menggunakan
perasaan guna melancarkan pemikiran (seperti, berada dalam suasana hati yang positif yang dikaitkan dengan pemikiran kreatif), serta kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain (seperti, kemampuan mengendalikan amarah)”.49 Sedangkan Daniel Goleman mengartikan kecerdasan emosional dengan kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan orang lain. Lanjutnya, orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang laindengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpinpemimpin alamiah, orang yang mampu menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas sebagai panduan bagi kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh orang disekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan, mereka membuat orang lain merasa tenteram, dan menimbulkan komentar, ‘menyenangkan sekali bergaul dengannya.’50 Cooper dan Sawaf dalam bukunya Executive EQ, yang dikutip oleh Agus Efendi mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai berikut: “Emotional Intellegence is ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotion as a source of human energy, information, connection, and influence.” (Kecerdasan emosional adalah 49
Santrock, op. cit., hal. 326. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intellegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 171-172. 50
32
kemempuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sumber energi manusia, informasi, hubungan, dan pengaruh). 51 Menurut Agus Efendi sendiri menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional itu antara lain adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan, mengelola dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi
dan
sosial,
kecerdasan
dalam
memahami,
mengenali,
meningkatkan, mengelola dan memimpin motivasi diri sendiri dan orang lain untuk mengoptimalkan fungsi energi, informasi, hubungan dan pengaruh bagi pencapaian-pencapaian tujuan yang dikehendaki dan ditetapkan. 52 Sesuai definisi tentang Kecerdasan emosional (EI) yang disampaikan oleh Daniel Goleman, yaitu kesanggupan untuk memperhitungkan atau menyadari situasi tempat kita berada, untuk membaca emosi orang lain dan emosi kita sendiri, serta untuk bertindak dengan cepat. Oleh sebab itu, keterampilan untuk dapat mengenali kapan anda merasakan suatu emosi dan mengidentifikasi parasaan anda serta kepekaan terhadap hadirnya perasaan dalam diri orang lain merupakan salah satu sisi dari kecerdasan emosional itu. Menyadari satu perasaan ketika perasaan itu sedang berlangsung adalah juga landasan kecerdasan emosional yang paling kita butuhkan.53 Dari definisi ini, kecerdasan Emosional mempunyai empat dimensi, yaitu: a. Mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi. Yaitu dengan cara mampu membaca emosi yang tergambarkan pada wajah, suara, gerak anggota badan, alunan musik, intisari cerita, dan juga mampu mengungkapkan emosi-emosi ini dengan baik. Mampu membedakan 51
Ibid., hal. 172. Ibid., hal. 173. 53 Andreas Hartono, EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), Cet. II, hal.11 52
33
emosi orang lain, bentuk, dan tulisan, baik melalui suara, ekspresi wajah dan tingkah laku. b. Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual. Dengan cara mampu mengaitkan emosi tertentu dengan tindakan responsive akal, emosi mampu mengurutkan prioritas berpikir atau emosi mampu mengarahkan kita untuk memikirkan suatu masalah yang jauh lebih penting daripada masalah-masalah lainnya. c. Memahami
dan
menganalisa
emosi.
Menambah
kemampuan
menganalisa masalah-masalah emosi, menganalisa emosi untuk membedakan antara emosi yang serupa dan emosi yang bertolakbelakang, dan menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan seharihari. Mampu menafsirkan tanda-tanda yang disampaikan emosi. Memahami nilai dan arti emosi dalam kehidupan manusia dan keberlangsungan hudipnya. d. Mengelola emosi. Memahami sejauh mana perilaku social dapat mempengaruhi emosi, pengendalian emosi sendiri atau emosi orang lain,
dan
mengetahui perkembangan
emosi
sendiri.
Mampu
bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya. Mampu membantu orang lain untuk mengenali dan memanfaatkan emosinya. Jadi
kecerdasan
emosional
(Emotional
Intellegence)
adalah
merupakan kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan orang lain, mengatur emosi dan dapat mengekspresikan emosi tersebut secara tepat hingga mampu menyesuaikan diri secara mental terhadap lingkungan yang dihadapi serta mampu merespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Dan juga kecenderungan untuk bertindak serta suatu sikap yang dimiliki seseorang yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, karena kecerdasan IQ tidak menjamin keberhasilan tanpa adanya kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional dalam hidupnya, ia akan lebih bertanggung jawab, lebih tegas, lebih populer, dan mudah bergaul,
34
lebih bersifat sosial dan suka menolong, lebih memahami orang lain, lebih tenggang rasa, penuh perhatian, lebih pintar menerapkan strategi yang lebih peduli lingkungan untuk menyelesaikan masalah antar pribadi, lebih harmonis, lebih demokratis, dan lebih trampil dalam menyelesaikan konflik. Kecerdasan emosi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan ini, terbukti merupakan dasar penting untuk menjadi manusi dewasa yang bertanggung jawab, penuh perhatian dan cinta kasih, serta produktif.Berbagai penelitian dalam bidang psikologi anak membuktikan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah anak-anak yang bahagia, percaya diri, populer dan lebih sukses di sekolah.Mereka lebih mampu menguasai gejolak emosi, menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain, bisa mengelola stress dan memiliki kesehatan mental yang baik. Mengacu dari definisi-definisi kecerdasan emosional diatas, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu kemampuan atau keterampilan seseorang untuk memotivasi diri sendiri dan dapat memahami, mengenali, merasakan dan mengelola emosi atau perasaan diri sendiri maupun orang lain dan mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Dengan memiliki kemampuan itu, maka seseorang akan dengan mudah membaca reaksi dan perasaan orang lain, pintar dalam menangani perselisihan yang muncul dalam kegiatan masyarakat sehingga akan memudahkan kita dalam berinteraksi seharihari. 5. Komponen Kecerdasan Emosional Dalam buku Psikologi Perkembangan karya Desmita, Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu:54
54
Desmita,Psikiologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-7, hal.170-172.
35
a. Mengenali emosi diri – kesadaran diri (knowing one’s emotions-selfawareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, kesadaran diri dapat membantu mengelola diri sendiri dan hubungan antar personal serta menyadari emosi dan pikiran sendiri. Semakin tinggi kesadaran diri, maka akan semakin pandai dalam menangani perilaku negatif pada diri sendiri. b. Mengelola emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola dan mengarahkan emosinya dengan baik. Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, melainkan juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk emosi yang tidak menyenangkan. c. Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang. Ini berarti bahwa antara motivasi dan emosi mempunyai hubungan yang sangat erat. Perasaan (emosi) menentukan tindakan seseorang, dan sebaliknya perilaku sering kali menentukan bagaimana emosinya. Bahkan menurut Goleman, motivasi dan emosi pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggerakkan. Motivasi menggerakkan manusia untuk meraih sasaran, emosi menjadi
36
bahan
bakar
untuk
motivasi,
dan
motivasi
pada
gilirannya
menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan. d. Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) – empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Hal ini berarti orang yang memiliki kecerdasan emosional ditandai dengan kemampuannya untuk memahami perasaan atau emosi orang lain. Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti melalui nada suara, ekspresi wajah, garak-gerik, dan sebagainya. Kemampuan mengindra, memahami, membaca perasaan dan emosi orang lain melalui pesan-pesan non-verbal inimerupakan intisari dari empati. e. Membina hubungan (handling relationships), yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Singkatnya, keterampilan sosial merupakan seni mempengaruhi orang lain. Kelima aspek emosi ini, oleh Syamsu Yusuf dijabarkan dalam pemetaan yang sistematis berdasarkan aspek/unsur dan ciri-ciri kecerdasan emosi,55 yang ditunjukan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Aspek Emosi dan Karakteristik Pelakunya ASPEK
KARAKTERISTIK PELAKU a. Mengenal dan merasakan emosi diri
1. Kesadaran Diri
sendiri b. Memahami penyebab perasaan yang
55
Yusuf, op.cit, hal. 113.
37
timbul c. Mengenal pengaruh perasaan dalam tindakan a.
Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah secara baik
b.
Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat
c.
Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang
2. Mengelola emosi
lain d.
Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga
e.
Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa (stress)
f.
Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan
3. Memanfaatkan emosi secara Produktif
a.
Memiliki rasa tanggung jawab
b.
Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c.
Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif
a.
Mampu menerima sudut pandang orang lain
4. Empati
b.
Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.
Mampu mendengarkan orang lain
a.
Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan
5. Membina hubungan
orang lain. b.
Dapat menyelesaikan konflik dengan
38
orang lain c.
Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d.
Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya
e.
Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain
f.
Memerhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok
g.
Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama
h.
Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain
6. Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Anak usia dini merupakan masa usia emas dimana perkembangan otakatau berkembang sangat pesat atau lebih tepatnya saat yang penting untukmerangsang kemampuan berpikir anak secara optimal. Belajar sejak kecil berartimenerapkan pengetahuan yang dibutuhkan otak anak selama tahun-tahun awalperkembangan mereka.Pembelajaran yang tepat sejak dini diharapkan dapatmenunjang perkembangan mental yang dapat meningkatkan motivasi belajar agarlebih bergairah dan lebih cerdas. Anak
selain
tumbuh
secara
fisik,
juga
berkembang
secara
psikologis.Tidak bisa anak yang dulu sewaktu masih bayi tampak begitu lucu dan penurut,sekarang pada usia 3 tahun misalnya, juga tetap dituntut untuk lucu dan penurut.Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya dan anak menampilkan berbagaiperilaku sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase perkembangan tersebut. Anak
usia
3-4
tahun
sudah
mempunyai
kemampuan
empati
meskipunmasih sesuai dengan egosentrisnya. Meskipun masih sangat kecil
39
kemampuanempatinya, kalau kita kembangkan dengan baik tentunya anak usia prasekolah dansekolah dasar mempunyai ketahanan mental yang luar biasa. Kalau kita amatisecara cermat, anak usia 3 – 4 tahun senang bermain dengan berpura-pura menjadiorang dewasa. Mereka meniru tingkah laku orang dewasa yang sedang bekerja,misalnya mencuci piring, memasak, mengendarai mobil, menggendong bayi,menjadi guru dan sebagainya. Bagi anak-anak, kegiatan menirukan tersebutsebagai kesempatan untuk belajar memahami orang lain dan rasa keingintahuannya dapat tersalurkan.56
Dalam upaya mendidik atau membimbing anak, agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin, maka bagi para pendidik, orang tua, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pendidikan anak, perlu dan dianjurkan untuk memahami perkembangan anak, karena ada beberapa alasan berikut: a. Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan. b. Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya. c. Pengetahuan terhadap perkembangan anak dapat membantu mereka mengembangkan diri, dan memecahkan masalah yang dihadapinya. d. Melalui pemahaman tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkambangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. 57 Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada umur 6 atau 7 tahun biasanya anak telah matang untuk memasuki sekolah dasar. Pada masa ini, secara relatif anakanak lebih mudah dididik dari pada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci lagi menjadi dua fase, yaitu:
56 57
Shapiro,op.cit.,hal. 49-51. Yusuf, op.cit, hal. 12.
40
a. Masa kelas rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak-anak pada masa ini antara lain sebagai berikut. 1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi. 2) Sikap
tunduk
kepada
peraturan-peraturan permainan
yang
tradisional. 3) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri. 4) Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain. 5) Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dinggap tidak penting. 6) Pada masa ini (terutama usia 6-8 tahun) anak menghendaki nilai yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak. b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9 atau 10 tahun sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini ialah: 1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal
ini
menimbulkan
adanya
kecenderungan
untuk
membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis. 2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar. 3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli yang mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor (bakat-bakat khusus). 4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
41
5) Pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah. 6) Anak-anak pada masa usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Dalam permainan itu biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri. Berbeda dengan Alisuf Sabri, ia menyebutkan masa ini sebagai “masa tidak rapih”, “masa bertengkar” dan “masa menyulitkan”. Anak-anak pada masa ini disebut usia tidak rapih karena mereka cenderung tidak memperdulikan atau ceroboh dalam penampilan dan kamarnya juga sangat berantakan. Masa ini disebut usia bertengkar karena pada masa ini sering terjadi pertengkaran antara anak dengan keluarga lainnya, sehingga suasana rumah adakalanya tidak menyenangkan. Dan masa ini ini oleh orang tua disebut dengan masa menyulitkan karena anak-anak tidak mau lagi menurut perintah, mereka lebih banyak dipengaruhi/menuruti temantemannya daripada orang tua dan anggota keluarga lainnya. 58 Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut poeral. Berdasarkan penelitian para ahli, sifat-sifat khas anak-anak masa poeral ini dapat diringkas dalam dua hal, yaitu: a. Ditujukan untuk berkuasa: sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak poeral ditujukan untuk berkuasa; apa yang diidam-idamkannya adalah si kuat, si jujur, si juara dan sebagainya. b. Ekstraversi: berorientasi keluar dirinya; misalnya, untuk mencari teman sebayanya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Anak-anak masa ini membutuhkan kelompok-kelompok sebaya, pada mereka dorongan bersaing besar sekali, karena itu masa ini sering diberi ciri sebagai masa “competitive socialization”. Suatu hal penting pada masa ini ialah sikap anak terhadap otoritas (kekuasaan), khususnya otoritas orang tua dan guru. Anak-anak poeral 58
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hal. 155.
42
menerima otoritas orang tua dan guru sebagai suatu hal yang wajar. Justru karena hal tersebut, anak-anak mengharapkan adanya pihak orang tua dan guru serta pemegang otoritas orang dewasa lain.59 C. Peran Orang Tua 1. Pengertian Peran Menurut Friedman,
Peran adalah serangkaian perilaku
yang
diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal.
Peran didasarkan pada
ketentuandan harapan, peran yang menerangkan apa yang individuindividu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.60 Sedangkan
menurut Soerjono
Soekantomendefinisikan peranan
sebagai: Suatu konsep perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. 61 Peran dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Peran Formal (Peran yang Nampak Jelas). Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga. Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istriibu adalah peran sebagai penyedia, pengatur rumah tangga, memberikan perawatan, sosialisasi anak, rekreasi, persaudaraan (memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal ), terapeutik, seksual. b. Peran Informal (Peran Tertutup). Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya tidak tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal
59
Yusuf,op.cit, hal. 24-26. Pengertian Peran Menurut Para Ahli,2015, (http://www.sarjanaku.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. 61 Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com).Di akses pada tanggal 15 januari 2016. 60
43
mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada atribut-atribut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal.62 Apabila peran ibu digabungkan dengan dengan peran ayah maka akan disebut peran orang tua, pastinya pengertian peran orang tua ini akan lebih luas sehingga perilaku-perilaku yang diharapkan akan lebih beraneka ragam. Ketika kata peran dikaitkan dengan kata “orang tua”, maka bisa memiliki arti sebagai bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh kedua orang tua baik ayah maupun ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia telah menjalankan suatu peran. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan dan saling bertentangan satu sama lain. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya. Tidak semua orang mampu mengemban perannya dengan baik karena ketidaktahuan mereka akan posisi kedudukannya, sehingga banyak orang yang mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya karena tidak tahu fungsi dan kedudukannya itu. Oleh sebab itu alangkah baiknya peranan dilaksanakan
oleh
orang-orang
yang
dianggap
mampu
untuk
melaksanakan perannya. Dan jika suatu peran dilaksanakan dengan baik maka dapat mewujudkan kehidupan manusia yang aman dan damai. 2. Pengertian Orang Tua Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai peran dan tanggung jawab orang tua, wajarlah apabila terlebih dahulu mengetahui siapakah 62
Aditya., loc.cit.
44
sebenarnya yang disebut “orang tua” dalam pendidikan yang berlangsung dalam rumah tangga. Karena Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.63 Istilah orang tua bukanlah kata yang asing lagi di dengar di dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, Orang tua biasa diartikan sebagai Ibu dan bapak kandung atau bisa juga orang yang dianggap sudah tua. Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan.Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak jugalah yang mengasuh dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya.Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.64 Jadi, orangtua atau ibu dan bapak memegang peranan yang sangat penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak.Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh kasih sayang. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak yang menjadi temanya dan yang pertama untuk dipercayainya.
63
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 162. 64 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), Cet. Ke-17, hal. 46.
45
Dari pengertian diatas penulis mengartikan orang tua (ibu/bapak) sebagai orang yang melahirkan, merawat, mendidik dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dalam berbagai macam aspek kehidupan. Mereka inilah yang terutama dan utama memegang peranan dalam kelangsungan hidup suatu rumah tangga atau keluarga. 3. Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga Lingkungan pertama dan utama yang dikenal anak adalah lingkungan keluarga. Orangtua adalah guru, pembimbing, sekaligus pendorong yang paling utama bagi anak-anak. Orang tua hendaknya dapat memetakan langkah-langkah anak demi keberhasilan mereka di masa mendatang. Melalui orang tua itulah anak pertama kali belajar tentang kebenaran dan kemudian menanamkan kepercayaan atas kebenaran itu. Akan tetapi, realitas saat ini tampaknya menunjukan fenomena yang lain. Kenyataan-kenyataan ekonomi membuat orangtua terpaksa lebih keras bekerja untuk memberi nafkah bagi keluarganya. Hal ini berarti sebagian orangtua semakin kekurangan waktu yang dapat mereka gunakan bersama anak-anak. Kondisi diatas semakin diperparah lagi dengan kemajuan teknologi, khususnyateknologi media audio visual seperti televisi. Televisi sebagai salah satu kemajuan teknologi komunikasi saat ini dapat dinikmati dengan mudah. Televisi berbagai saluran dapat dinikmati dan mampu menjangkau komunikan dari berbagai pelosok. Televisi menjadi hiburan yang ekonomis, menarik dan praktis. Televisi juga menjadi media yang sangat mendominasi aktivitas keluarga. Keluarga bebas menikmati sajian sesuai dengan selera tanpa seleksi dan tidak jarang anak sebagai anggota keluarga hanya berinteraksi dengan televisi daripada dengan anggota keluarga lainnya termasuk orangtua. Berhadapan dengan realitas tersebut, tentu kita tidak harus bersikap ekstrim dengan membuang atau mematikan televisi. Hal yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah menyiasati dengan sebaik mungkin dalam
46
upaya tetap membina komunikasi yang intensif dengan anak sebagai bagian dari pelaksanaan tanggung jawab pendidikan. Orangtua sebagai orang pertama dan utama dalam membentuk perilaku anak hendaknya mampu menyediakan waktu yang memadai untuk berkumpul bersama keluarga. Hal yang lebih penting adalah kualitas pertemuan yang dilakukan secara
intensif
dan bukan kuantitas
pertemuan.kesempatan berkumpul harus dimanfaatkan untuk saling berkomunikasi antar anggota keluarga dengan menumbuhkan keakraban sesamanya. Dalam situasi demikian diharapkan orang tua memberi makna pendidikan atau pengaruh yang bermanfaat dalam perkembangan anak. Semenjak awal kehadirannya di muka bumi, setiap anak melibatkan peran penting orang tuanya, seperti peran pendidikan. Peran-peran pendidikan seperti ini tidak hanya menjadi kewajiban bagi orang tua, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi orang tua. Mendidik anak sudah kewajiban setiap orang tua. Dari aspek ajaran islam,
mendidik
anak
merupakan
kewajiban
orang
tua
untuk
mempersiapkan anak-anaknya agar memiliki masa depan gemilang dan tidak ada lagi kekhawatiran terhadap masa depannya kelak, yakni masa depan yang baik, sehat, dan berdimensi spiritual tinggi. Semua prestasi itu tidak mungkin diraih orang tua tanpa pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Secara sosial-psikologis, keterlibatan orang tua dalam mendidik anakanaknya adalah tuntutan sosial dan kejiwaannya. Sebab, pada umumnya setiap individu berkeinginan memiliki posisi terhormat di hadapan orang lain dan setiap individu menyakini bahwa kehormatan adalah kebutuhan naluri insaniahnya. Tidak seorang pun menjatuhkan martabatnya sendiri di hadapan orang lain. Dalam konteks ini, anak adalah simbol sosial dan kebanggaan psikologis orang tua di lingkungan sosialnya. Lingkungan (yang baik) juga akan ikut berbangga hati jika terdapat anak, generasi
47
penerus yang berkualitas mampu meninggikan martabat dan nama baik lingkungan sosial dan bangsanya. 65 Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya bersifat kodrati. Suasana dan strukturnya berjalan secara alami untuk membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.66 Dengan demikian, kewajiban tebesar untuk mendidik anak-anak berada di pundak orang tua. Pendidikan islam dalam keluarga tidak harus terbelenggu dalam ketradisionalan. Sudah waktunya bagi orang tua untuk menguasai ilmu-ilmu cara mendidik yang baik dan profesional, sehingga nantinya diharapkan dapat melahirkan anak yang lebih bermutu dalam penguasaan dan pengamalan ajaran agamanya. D. Hasil Penelitian yang Relevan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan yaitu dari hasil penulis sebelumnya. Kajian yang relevan tersebut antara lain adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Khairatul Magfirah yang berjudul “Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang digunakannya adalah metode deskriptif. Dan hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spritual anak di lingkungan tersebut dapat dikatakan kurang baik dan masih perlu ditingkatkan lagi. Hal tersebut dikarekan mayoritas orang tua sibuk bekerja.67
65
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009), hal. 40. 66 Bahri, op.cit, hal. 163. 67 Khairul Magfirah, “Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
48
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraidah yang berjudul “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dan dalam pengolahan datanya menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science). Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap Perkembangan Akhlak anak. Artinya Semakin tinggi kecerdasan Emosional anak maka semakin tinggi pula tingkat perkembangan Akhlak Anak.68 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Khalidah dengan judul “Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.).69 Jenis penelitian tersebut adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut adalah memberikan saran-saran dan cara praktis dan mudah kepada orang tua dan pendidik untuk mengajarkan pada anak bagaimana: membina persahabatan, bekerja dalam
kelompok, berpikir realistis,
menghadapi dan mengatasi
kegagalan, mengendalikan emosi, pentingnya sopan santun, dan lain sebagainya.
Penjaringan, Jakarta Utara)”, Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak dipublikasikan. 68 Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan. 69 Nurul Khalidah, “Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas Tariyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah peran orang tua dalam mendidik dan mengembangakan kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun yang sesuai dengan pandangan islam. Sedangkan waktu penelitian dilakukan pada semester IIX (Dua Belas) mulai dari bulan Januari 2015 sampai dengan selesai. B. Metode Penulisan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Secara terminologis penelitian kualitatif ingin menggambarkan suatu strategi inkuiri secara akurat yang memiliki perbedaan dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada pengumpulan dan analisis data numerik.1 Menurut Sugiyono, “Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.2 Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Metode ini di dasarkan pada pertanyaan dasar, yaitu bagaimana.3 Metode deskriptif menurut Bugin, “Metode yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas 1
Suprapto, Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial, ( Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013), hal. 34. 2 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), Cet. Ke-4, hal. 1. 3 W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), Cet. Ke-4, hal. 19. 49
50
sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.”4 Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. C. Fokus Penelitian Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan kajian pada bagaimana cara orang tua mendidik kecerdasan emosional anak yang sesuai dengan pandangan ajaran agama islam. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada kecerdasan emosional yang dimiliki anak usia 6-12 tahun dan bagaimana cara mendidiknya. D. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji tentang bagaimana peran orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun menurut perspektif pendidikan islam maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dan sesuai dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacammacam material yang terdapat di ruangan perpustakaan untuk mencari pijakan atau fondasi landasan teori, misalnya berupa jurnal, buku-buku yang relevan, majalah, naskah, surat kabar, internet dan sumber lain yang berhubungan dengan kecerdasan emosional menurut perspektif pendidikan islam. 4
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013), hal. 62-63.
51
Sedangkan mengenai metode pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu: 1. Pengumpulan data Buku acuan yang penulis gunakan dalam penulisan ini yaitu: a. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1996. b. Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. c. Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Suguri, dan Ahmad Son Haji, Bandung: Al-Bayan, 1997. d. Sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku yang relevan dan berkaitan dengan penelitian yang diteliti. Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok pembahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh. 2. Analisis Data Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan dalam unit-unit, malakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
52
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.5 3. Penarikan kesimpulan Setelah dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari data yang telah diperoleh dan diorganisir yang selanjutnya dinarasikan untuk diambil kesimpulan.
5
Sugiyono, op. cit., hal. 88.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Hasil Analisis Deskriptif 1. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energy, informasi koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya informasi tidak hanya didapat lewat panca indra tapi ada sumber lain dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Bahkan sumber informasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen. Hati merupakan sumber energy dan perasaan terdalam yang member dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin, dan melayani. Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak sangat dianjurkan oleh Islam. Hati yang bersih dan tidak tercemar dapat memancarkan EQ dengan baik. Diantara hal yang merusak hati dan memperlemah daya kerjanya adalah dosa. Oleh karena itu, ayat-ayat AlQuran dan Hadis Rasulullah SAW banyak bicara tentang kesucian hati. Lihat ayat-ayat berikut ini:
1
1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Qur’an, 2009), hal.174. 53
54
Firman Allah dalam Surat Al-A’raf:179 diatas menyatakan bahwa orang yang hatinya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disebabkan kotor disamakan dengan binatang, bahkan lebih hina lagi.
2
Firman Allah dalam Surat Al-Hajj: 46 menegaskan bahwa orang yang tidak mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya di muka bumi adalah orang yang buta hatinya.
3
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 74, menegaskan bahwa orang yang hatinya tidak disinari dengan petunjuk Allah SWT diumpamakan lebih keras dari batu.
4 Firman Allah dalam Surat Fushshilat: 5 menyatakan adanya pengakuan dari orang yang tidak menindahkan petunjuk agama bahwa hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat.
2
Ibid., hal. 337 Ibid., hal. 11. 4 Ibid., hal. 477.
3
55
Mengacu pada ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Apabila petunjuk agama dijadikan panduan kehidupan, maka akan berdampak positif terhadap kecerdasan emosi. Begitu pula sebaliknya. Manusia adalah mahluk Allah yang paling potensial. Melalui pendidikan Islam, potensi yang dimilikinya dapat memberikan peluang untuk meningkatkan sumber daya dirinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi:
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳑﻦ: ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﺍﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺎﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﳝﺠﺴﺎﻧﻪ)ﺭﻭﺍﻩ (ﻣﺴﻠﻢ Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda: “Tidaklah seorang anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Muslim). Kata fitrah sebagaimana yang telah disebut dalam hadis di atas menunjuk pada potensi yang dimiliki manusia semenjak lahir ke dunia. Dan ketika dilahirkan sudah mempunyai kesiapan secara fitrah untuk memeluk agama yang lurus, sebagaimana binatang yang dilahirkan dalam keadaan lengkap dan tidak bercacat. 5 Fitrah manusia merupakan potensi psikologis dan rohaniah yang sudah ada dalam desain awal penciptaannya, baik potensi yang mendorong kepada hal-hal yang positif maupun yang mendorong kepada hal-hal yang negatif.6 Akan tetapi apakah potensi itu akan menjadi aktual atau tidak tergantung kepada proses berikutnya. Potensi-potensi dasar manusiawi ini tidak akan berkembang sebagaimana mestinya, jika lingkungan pendidikan yang ada tidak memadai. 5
Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni Terj. dari Alqur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah, (Bandung: Marja, 2010), Cet. I, hal. 39. 6 Manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk memahami kebaikan dan kejahatan dan bisa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar menjadi kotor, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syams 91: 7-10, yang artinya: ”Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya kedurhakaan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mensucikannya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
56
Lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan informasi global yang biasanya tersaji dalam hiburan media elektronik (cyberspace) sangat berpengaruh dalam pertumbuhan bahkan perkembangan kecerdasan dan kehidupan anak secara umum.7 Jadi tinggal bagaimana kedua orang tuanya berperan mengaktualisasikan potensi fitrah itu menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi atau yang lainnya. Demikian pula dalam surat Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan mengenai fitrah manusia yang berbunyi:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar-Rum: 30).8
Manusia adalah makhluk psikologis dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Al-Qur'an menyebut manusia dengan sebutan insan yang bermakna psikologis bahwa manusia dianugerahi potensi kejiwaan yang paling prima. Manusia juga disebut an-Nās yang bermakna manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini mengarahkan manusia untuk cerdas dalam mengoptimalkan potensi kejiwaannya dan potensi sosial semaksimal mungkin sehingga melahirkan kecerdasan emosional. Pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan tugas pendidikan adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
7
Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal. 80-81. 8 Depag, Alqur’an dan terjemahnya, op.cit., hlm. 407.
57
Kecerdasan emosional juga terkait dengan potensi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia harus mampu menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan dimanapun manusia itu berada. Kehidupan sosial diawali dari tingkat sosial yang terkecil, yaitu keluarga, kerabat, tetangga, suku atau etnis, bangsa hingga ke masyarakat dunia. Pemeliharaan dan pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan fungsi pendidikan yaitu sebagai upaya mengembangkan semua potensi manusia secara maksimal menuju kepribadian yang utama (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Dalam sebuah peneliatan (Gohm dan Clore) menjabarkan empat sifat laten pengalaman emosional ketika sedang berada dalam suasana emosi tertentu. Dan hasilnya ternyata sangat berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, kesehatan mental, kecemasan, dan gaya atribusi kita. Keempat sifat laten tersebut ialah: a. Kejelasan (emotional clarity), dijabarkan sebagai kemampuan seseorang dalam mengidentifikasikan dan membedakan emosi spesifik yang sedang dirasakannya. b. Intensitas (emotional intensity), diartikan seberapa kuat atau besar intensitas emosi spesifik yang dapat dirasakannya. c. Perhatian
(emotional
attention),
dijelaskan
sebagai
kecenderungan seseorang untuk mampu memahami, menilai, dan menghargai emosi spesifik yang dirasakannya. d. Ekspresi
(emotional
expression),
didefinisikan
sebagai
kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakannya kepada orang lain. 9
9
Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. I, hal.16.
58
Aktualisasi dari kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian manusia.
Meskipun
demikian
dalam
aktualiasasinya
kercerdasan
emosional itu juga dipengaruhi oleh faktor heriditas dan lingkungan, sehingga tingkat kecerdasan emosional antara manusia sangat bervariatif. 2. Emosi dalam Perspektif Ilmuan Islam Banyak tokoh ilmuan islam yang memperbincangkan maslah emosi. Umumnya mereka membahas dalam bentuk derivatifnya sebagai cinta, marah, sedih, berani dan semacamnya. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh yang sering membincangkan masalah ini. Seperti teorinya tentang nafs, yang dia pecahkan menjadi nafs mutmainnah, lawwamah, dan nafs amarah. Menurut Ibnu Qayyim kepribadian mutmainnah dan kepribadian amarah ibarat dua kutub yang berlawanan, sedangkan kapribadian lawwamah berada dalam posisi di tengah-tengah. Selain Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim, ada juga yang sering menyinggung aspek-aspek emosi pada manusia, seperti Muhammad Iqbal, Ibn Miskawaih, Al-Razi dan lainnya.10 Proses penciptaan manusia menurut Al-ghazali memiliki 3 proses, yakni: Taswiyah, Nafkh, dan Ruh.11 Dalam citra penciptaan ini unsur psiko dan fisik telah melekat ada semenjak kejadian manusia. Setelah ia benarbenar barada di alam realita, maka muncullah potensi Gharizah, dalam artian insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat bawaan. Gharizah merupakan potensi laten yang ada pada psikofisik manusia yang dibawanya sejak lahir dan yang akan menjadi pendorong dan penentu bagi manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan, dan sebagianya.
10
Netty Hartaty, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.I, hal. 104. 11 Taswiyah yaitu aktifitas di dalam tempat penerimaan ruh, yaitu tanah (al-thin) bagi Adam dan air mani (al-Nutfah) bagi anak cucunya. Sedangkan Nafkh yaitu menyulutnya cahaya ruh pada syaraf mani yang merupakan citra dan hasil. Citranya adalah seperti mengeluarkan angin dari lambung zat yang meniupkan pada lambung orang yang diberi, sehingga syaraf-syarafnya menyalakan cahaya. Dan Ruh ialah substansi yang bukan baru datang, sebab ia mampu mengenal dirinya sendiri dan penciptanya, serta mampu memahami hal-hal yang masuk akal.
59
Iqbal berpendapat bahwa
tujuan seluruh kehidupan adalah
membentuk insan kamil dan setiap pribadi haruslah berusaha untuk mencapainya. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya. Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi menurutnya adalah: a. Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
Cinta sebagai daya aktif yang
memungkinkan individu memiliki daya penggerak yang kuat, manakala ia dihadapkan kepada maksud-maksud yang bermanfaat. Dengan demikian cinta mengandung arti yang luas daripada arti cinta individual. b. Toleransi, rasa tenggang-menenggang. Faqr yang artinya sikap tidak mengharapkan imbalan dan ganjara-ganjaran yang akan diberikan di dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung. 12 Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia ( mahabbah al-insan li an-nas kaffah). Tanpa cinta, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya kepada sesamanya. Menurut Al-Razi, nafsu itu harus berada dibawah kendali akal dan agama. Dan ada hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalu persepsi indrawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul keragu-raguan yang melankolis. Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu yang berlebihan, dan ketundukan kepada hawa nafsu, karena hal itu dapat menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Emosi mempunyai fungsi penting dalam kehidupan manusia, karena membantunya dalam memelihara diri dan melestarikannya. Akan tetapi, emosi yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan, baik fisik maupun 12
Hartaty, op. cit., hal. 109-110.
60
psikis. Misalnya, rasa takut bermanfaat bagi manusia karena akan mendorongnya untuk menjaga diri. Tetapi, rasa takut yang berlebihan akan membuatnya takut terhadap banyak hal meski itu tidak mengancam keselamatannya. Dan ketakutan seperti ini malah bisa membahayakan dirinya.. Al-Quran telah mendahului ilmu kedokteran dan psikologi modern dalam
memberi
perhatian
serta
mengarahkan
manusia
untuk
mengendalikan emosi mereka. Sebab, dengan mengendalikan emosi akan memberi banyak manfaat bagi kesehatan, yang baru diketahui secara ilmiah dan mendetail pada zaman modern ini. Al-Quran telah menjelaskan emosi-emosi yang dirasakan manusia seperti takut, marah, cinta, gembira, benci, cemburu, iri, menyesal, malu dan hina. a.
Takut Emosi takut adalah situasi bingung yang dialami semua orang. Al-
Quran menggambarkan situasi bingung ini sebagai goncangan hati yang dahsyat yang membuat seseorang tidak mampu berpikir jernih dan mengendalikan jiwanya. Perasaan takut yang mencekam dan tiba-tiba dapat membuat manusia bingung serta panik sehingga tidak sanggup untuk bergerak dan berpikir. Al-quran menggambarkan situasi ini sebagai situasi pada Hari Kiamat kelak.
Artinya: Sebenarnya (azab) itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, Maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (QS. AlAnbiya: 40)
Perasaan takut biasanya disertai dengan perubahan yang terjadi pada fungsi fisiologis perasaan yang tampak pada wajah, tekanan suara, dan kondisi tubuh. Manusia biasanya merespon hal-hal yang ditakutinya dengan menghindarkan diri darinya.
61
b. Marah Marah merupakan emosi yang penting bagi manusia karena mendorongnya untuk mempertahankan diri,. Ketika seseorang marah, bertambahlah kekuatannya untuk melakukan upaya kerja keras yang membutuhkan kerja fisik atau otot. Dalam keadaaan demikian ia akan sanggup membela diri atau mengatasi rintangan yang menghalanginya untuk mewujudkan tujuan-tujuan pentingnya. Dalam Al-Quran dijelaskan mengenai emosi marah dan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, seperti penjelasan di surah Al-A’raf ayat 150 tentang kemarahan Nabi Musa AS saat kembali kepada kaumnya dan mendapati mereka sedang menyembah anak sapi yang terbuat dari emas buatan Samiri. Musa kemudian melemparkan lauh-lauh-nya,13 menjambak dan menarik rambut kepala saudaranya sambil marah. Saat orang dikuasai emosi marahnya maka kemampuan berpikir secara sehat hilang. Terkadang ia melakukan perbuatan atau ucapan permusuhan yang kemudian disesalinya. Ketika kemarahannya telah reda, Musa mengetahui bahwa Harun telah melarangnya namun ia direndahkan bahkan dibunuhnya. Musa lalu memohon ampunan Allah atas kemarahan yang telah dilakukannya kepada harun, karena ia belum mengetahui kejadian yang sebenarnya. 14 Dan dinyatakan juga dalam hadist-hadist sahih bahwa ketika ada seseorang yang menemui Rasulullah SAW untuk minta dispensasi bagi penerapan potong tangan, beliau tampak marah. Kemudian beliau bersabda yang kata-katanya di kenang abadi: “Orang-orang sebelum kalian hancur hanya karena jika orang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri adalah orang-orang lemah, mereka
13
Yaitu kepingan dari batu atau kayu yang ditulisi ayat-ayat Taurat yang diterima Musa AS setelah bermunajat di bukit Thursina. 14 Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qurani: Dari JiwaHIngga Ilmu Laduni, ( Bandung: Marja, 2010), hal. 66-67.
62
menegakkan sanksi. Demi Allah, jika Fatimah binti Rasulullah mencuri, niscaya akan kupotong juga tangannya.” Ketika orang kehilangan kemampuannya untuk berpikir sehat akibat marah atau emosi lainnya, hendaknya ia tidak melakukan perbuatan yang mungkin akan disesalinya kemudian. Untuk itu ia harus belajar bagaimana mengendalikan amarahnya. c.
Cinta Cinta berperan penting dalam kehidupan manusia, karena cinta
menjadi landasan utama dalam kehidupan suami istri, pembentukan keluarga, dan pemeliharaan anak-anak. Cinta merupakan landasan bagi terbentuknya ikatan hubungan yang akrab antara sesama manusia, pengikat hubungan spritual yang kokoh antara orang beriman dengan Allah yang membuatnya ikhlash beribadah mengikuti ketentuan dan berpegang pada syariat-Nya. Cinta juga dapat membangun hubungan spritual yang dalam antara kaum muslimin dengan Rasulullah SAW yang mendorong
untuk
berpegang
teguh
pada
sunnah,
menjadikannya sebagai teladan dalam semua prilakunya.
ajaran,
serta
15
Dalam kehidupan, cinta diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti kecintaan seseorang kepada diri sendiri, mencintai pasangan atau anaknya, mencintai harta, mencintai Allah dan Rasul-Nya, danmencintai alam semesta beserta isinya. d. Gembira Manusia akan merasa gembira saat mendapatkan apa yang diharapkannya seperti harta, kesuksesan, ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketakwaan. Gembira ini bersifat relatif tergantung pada tujuan-tujuan manusia dalam
kehidupannya. Al-Quran menyebutkan dua jenis
kegembiraan ini dan menyebutkan kegembiraan orang-orang kafir dengan kenikmatan hidup duniawinya.
15
Najati, op.cit., hal. 68.
63
Artinya: “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’d:26) Al-Quran juga menyebutkan kegembiraan orang beriman dengan diturunkannya Al-Quran yang memberi petunjuk kepada mereka terhadap kebenaran, yang menjadi obat, petunjuk, dan rahmat. “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus; 57-58) e.
Cemburu Cemburu
adalah
emosi
atau
parasaan
tidak
nyaman
dan
menimbulkan kebencian dirasakan jika orang yang dicintai memberi perhatian kepada selain dirinya. Perasaan cemburu ini sering terjadi diantara sesama saudara ketika diantara mereka timbul rasa cemburu karena merasa orang tua lebih mencintai saudaranyadibanding dirinya. Biasanya kecemburuan ini disertai perasaan benci dan dengki, serta keinginan untuk menyakiti orang yang menimbulkan kebenciannya itu. AlQuran menggambarkan kecemburuan seperti ini pada kisah kecemburuan saudara-saudara Yusuf AS, karena ayah mereka (Ya’qub AS) lebih mencintai Yusuf dan adiknya.
64
Artinya: (yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. bunuhlah Yusuf atau buanglah Dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik." (QS. Yusuf: 8-9) cemburu merupakan emosi ganda yang mengandung beberapa unsur emosi lainnya, terutama emosi benci. Karena itu, wajarlah jika kecemburuan biasanya disertai oleh rasa benci, dengki, dan keinginan menyakiti orang yang menimbulkan kecemburuannya itu. Al-Quran menjelaskan
ini dengan
kisah para saudara
yusuf
yang
ingin
menyingkirkan dan membunuhnya dengan memasukkannya ke dalam sumur.16 3. Karakteristik Fase Perkembangan Emosi Kecerdasan
Emosional adalah
kemampuan seseorang untuk
memahami dan mengelola perasaannya sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi tersebut sebagai pedoman untuk mempersiapkan kepada yang lebih baik, membuat keputusan yang lebih baik, berpikir lebih kreatif, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan menikmati kesehatan yang lebih baik, hubungan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih bahagia. Emotional Intelligence (EI) sering diukur sebagai Emotional Intelligence Quotient (EQ). Social and emotional learning (SEL) adalah proses belajar untuk mencapai kecerdasan emosional yang lebih tinggi. Studi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional adalah alat prediksi terbaik dari prestasi masa depan anak; lebih baik dari pada faktor apa pun. 16
Najati, op.cit., hal. 83.
65
Sebagian orang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah alat prediksi yang lebih baik atas kesuksesan daripada IQ atau kombinasi keterampilan tekhnis. Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis) 17. a. Emosi Sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. b. Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi jenis ini diantaranya adalah : 1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk : a) Rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah b) Rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran c) Rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan – persoalan ilmiah yang harus dipecahkan 2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti : a) Rasa solidaritas b) Persaudaraan (ukhuwah) c) Simpati d) Kasih sayang, dan sebagainya 3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilainilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya : a) Rasa tanggung jawab (responsibility) b) Rasa bersalah apabila melanggar norma c) Rasa tentram dalam mentaati norma
17
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-13, hal. 117.
66
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan ataupun kerohanian 5) Perasaan Ketuhanan, yaitu merupakan kelebihan manusia sebagai makluk Tuhan, dianugrahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk
mengenal
Tuhannya.
Dengan
kata
lain,
manusia
dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, maka manusia di juluki sebagai “Homo Divinans” dan “Homo Religius”atau makluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama. Sedangkan mekanisme proses terjadinya emosi dalam diri seseorang menurut Lewis and Roseblum ada 5 tahapan yaitu :18 a. Elicitors yaitu adanya dorongan peristiwa yang terjadi contoh : Peristiwa banjir, gempa bumi maka timbullah perasaan emosi seseorang. b. Receptors yaitu kegiatan yang berpusat pada sistem syaraf contoh : Akibat peristiwa banjir tersebut maka berfungsi sebagai indera penerima. c. State yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi contoh : Gerakan reflex atau terkejut pada sesuatu yang terjadi. d. Experission yaitu terjadinya perubahan pada rasiologis. Contoh : Tubuh tegang pada saat tatap muka. Kelima komponen diatas digambarkan dalam 3 variabel yang lebih spesifik yaitu: a. Variabel Stimulus: rangsangan yang menimbulkan emosi. b. Variabel Organismik: Perubahan
fisiologis
yang
terjadi
saat
mengalami emosi. c. Variabel Respon: Pada sambutan ekspresik atas terjadinya pengalaman emosi. 18
Syamsu Yusuf, ibid, hal. 183
67
Ketiga variabel diatas akan senantiasa berjalin-berkelindan seiring dengan perkembangan emosi anak. Bentuk nyata dari variabel stimulus, variabel organismic dan variabel respon diatas akan dipengaruhi oleh perkembangan emosi anak yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya umur atau usia anak. Semakin bertambah umur anak, maka semakin berubah bentuk-bentuk variabel tersebut. Disisi lain, perkembangan emosi pada anak melalui beberapa fase perkembangan sebagai berikut: a. Pada bayi hingga 18 bulan 1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan ASI secara teratur memberikan rasa aman pada bayi. 2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa nyaman dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara orang di sekitarnya. 3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. 4) Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. 5) Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang di tunjukan orang-orang yang berada di sekitar dalam merespon kejadian tertentu.19 b. 18 bulan sampai 3 tahun
19
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ AlAthifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. I, hal. 63-64.
68
1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan
cara
benar
dan
salah
dalam
mewujudkan
keinginannya. 2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orang tua menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa verbal. 3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.20 c. Usia antara 3 sampai 5 tahun 1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. 2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa senang, sementara yang kalah akan sedih. 21 d. Usia antara 5 sampai 12 tahun 1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak 20 21
Ibid., hal. 64-65. Ibid., hal. 65-66.
69
mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasi informasi secara terarah dan sensitif. 2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah menginternalisasikan rasa malu
dan bangga.
Anak dapat
menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain. 3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negative seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol.22 4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam. 4. Pola Asuh Orang Tua sebagai Stimulan Kecerdasan Emosional Para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anakanaknya menemukan bahwa ada tiga gaya bagaimana orang tua menjalankan perannya sebagai orang tua, yaitu: otoriter, permisif dan otoratif. Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi. Mereka yakin bahwa anak-anak harus berada di tempat yang telah ditentukan dan tidak boleh menyuarakan pendapatnya. 22
Ibid., hal. 66-67.
70
Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan sistem otoriter menjadikan anak tidak bahagia, penyendiri dan sulit mempercayai orang lain. Kadar harga dirinya paling rendah. Sebaliknya, orang tua yang permisif, berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif ketika sampai ke masalah menanggapi kepatuhan. Orang tua permisif tidak begitu menuntut dan cenderung tidak menetapkan sasaran yang jelas pada anaknya. Sedangkan orang tua yang otoritatif berbeda dengan orang tua otoriter dan permisif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak dan menuntut mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga. Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya dengan memberikan peran dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan inilah yang membuat anak diakui dan dihargai keberadaannya. 23 Langkah
berikutnya
setelah
mengembangkan
lima
wilayah
kecerdasan, yang dapat dilakukan para orang tua maupun guru sebagai orang yang dianggap lebih tua dan punya pengalaman yang lebih dari anak bisa mengenalkan kecerdasan emosional dengan cara mengembangkan kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati serta mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik. a. Mengembangkan Kasih Sayang Afirmasif. Penelitian membuktikan bahwa hubungan yang terbuka dan saling menyayangi dengan anak akan memberikn efek jangka panjang berupa citra diri, keterampilan menguasai situasi dan kesehatan anak. Selain itu orang tua juga dianjurkan meluangkan waktu khusus 20 menit per hari bersama anaknya sebagai cara untuk menjamin mereka mendapatkan manfaat dari ungkapan sayang yang afirmasif. Sikap saat meluangkan waktu dengan anak antara lain:
23
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 27-28.
71
1) Memuji anak bila berperilaku benar (misalnya dengan mengatakan ”Wah tinggi sekali menara yang kamu bangun!”) diusahakan pujian itu akurat, jujur dan tidak dibuat-buat. 2) Tunjukkan minat Anda akan apa yang sedang dilakukan anak dengan berpartisispasi dalam kegiatannya, dengan mengatakan apa yang Anda lihat serta dengan merefleksikan perasaannya. 3) Jangan bertanya atau memerintah.24 Jika anak Anda berusia 4 – 9 tahun, cobalah membuat jadwal main untuk waktu teratur beberapa kegiatannya. Yang dimaksud dengan disiplin afirmasif adalah Anda harus mempunyai cara yang telah dipikir matang, terencana dan sesuai untuk menanggapi perilaku menyimpang anak Anda. Berikut ini beberapa prinsip dan strategi sederhana untuk mendisiplinkan anak: 1) Membuat aturan dan batas yang jelas tentang kegiatan sehari-hari yang ditulis dan ditempelkan. 2) Beri peringatan dan petunjuk apabila anak Anda mulai berbuat kesalahan. Hal ini dilakukan untuk mengajari anak mengendalikan diri. 3) Membentuk perilaku positif dengan mendukung perilaku yang baik melalui pujian dan perhatian. 4) Didiklah anak sesuai harapan Anda. 5) Cegah masalah sebelum terjadi. 6) Memberikan hukuman yang sesuai apabila ada yang melanggar peraturan yang telah disepakati, antara lain: a) Memberikan teguran. b) Bersikap konsekuensi wajar. c) Menyetrap atau time out. d) Menahan hak untuk menikmati sesuatu. e) Koreksi berlebihan. 24
Ibid., hal. 29-31.
72
f) Sistem Angka.25 b. Mengajarkan Tata Krama Jika anak Anda tidak mendapatkan nilai seperti yang Anda harapkan, maka hal tersebut wajar karena sopan santun adalah sesuatu yang dapat diekspresikan melalui perilaku dan relatif mudah mengubahnya jika dilakukan sejak dini. Misalnya: 1) Memberikan arahan pada anak agar selalu memberi salam kepada orang yang kita jumpai dengan mengatakan ”Selamat pagi”, atau kalau sudah kenal dengan sapaan yang lebih hangat ” Assalamu’alaikum” dan bertanya ”Apa kabar?”. 2) Jika baru dikenalkan orang baru yang sebelumnya belum dikenal, maka jabatlah tangannya. 3) Selalu ucapkan terima kasih bila seseorang melakukan suatu kebaikan pada anak, sekecil apapun. Mengajarkan tata
krama
pada
anak usia
dini tentunya
membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang. Kalau nilai-nilai sopan santun dan keramahn kita kenalkan tiap hari, maka anak akan menyerap dan mengikuti apa yang kita ajarkan. Hal ini akan mudah diterima anak, karena pada usia mereka kemampuan otak untuk menyerap sesgala sesuatu yang ada di depan mereka sangat cepat. Tentunya kita juga harus konsekuensi untuk tidak melanggar sendiri apa yang telah kita ajarkan pada anak, karena hal itu akan menimbulkan kebingungan pada anak dan anak tidak lagi mengikuti arahan kita selanjutnya. c. Menumbuhkan Empati Anak Para psikolog menegaskan bahwa empati seseorang mulai berkembang pada enam tahun pertama kehidupan. Mulai bayi sudah dapat mengikuti tangisan bayi lain meskipun kejadian itu hanya bersifat empati global. Antara usia satu sampai dua tahun mulai dapat 25
Ibid., hal. 31-35.
73
melihat kesusahan orang lain. Terkadang batita ingin meringankan penderitaan orang lain dengan keterbatasan kognitifnya yang terkadang menjadikan mereka mengalami kebingungan empatik. Dengan betambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif mereka, anak-anak bertahap belajar mengenali kesedihan orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat. Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak antara usia sepuluh dan dua belas tahun, anak-anak mengembangkan empati mereka tidak hanya kepada orang yang mereka kenal atau mereka lihat secara langsung, namun juga termasuk kelompok orang yang belum mereka jumpai. Dalam tahap ini, yang disebut empati abstrak, anak-anak mengungkapkan kepeduliannya terhadap orang-orang yang kurang beruntung dibanding mereka.26 Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan empati anak terhadap sesama adalah: 1) Perketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan tanggungjawab. 2) Ajari anak mempraktekkan perbuatan baik secara acak. 3) Libatkan anak dalam kegiatan pelayanan masyarakat.27 Untuk menjadikan kebaikan hati sebagai suatu kebiasaan, latihlah anak apada tahap awal dengan selalu mencatat perbuatan baiak yang telah dilakukan oleh seluruh anggota keluarga tiap hari selama seminggu. Perbuatan baik ini bisa berupa hanya membukakan pintu bagi orang lain atau menengok teman yang sakit. Apabila kebaikan menjadi kebiasaan, Anda akan melihat bahwa anak akan ketagihan dan mereka akan mencari jalan sendiri untuk melakukan lebih banyak lagi kebaikan. d. Mengajarkan Kejujuran dan Berpikir Realistis 26 27
Ibid., hal. 50-53. Ibid., hal. 55-58.
74
Sebagaimana diketahui oleh semua orang tua, anak-anak berkata bohong hampir sejak mereka mulai berbicara bahkan kadang-kadang lebih cepat. Berbohong meskipun sering dimaklumi dari segi perkembangan anak ini akan menjadi masalah bila berbohong menjadi kebiasaan atau bahkan penting dalam hal-hal tertentu. Berbohong mengikis kedekatan dan keakraban, berbohong menumbuhkan benih ketidakpercayaan, karena perbuatan ini menghianati kepercayaan orang lain. Yang dapat dilakukan untuk mengajarkan pentingnya kejujuran kepada anak antara lain dengan membangun kepercayaan dan menghormati privasi anak Anda. Kita dapat mengajarkan kisah-kisah keteladanan buah dari sutau kejujuran melalui buku-buku dan video anak-anak untuk dinikmati bersama. Dengan mengajarkan kejujuran sekaligus akan mengajarkan anak untuk berpikir realistis. Anak-anak perlu belajar sejak dini untuk mengevaluasi situasi mereka sendiri sesuai dengan kepentingannya. Mereka tidak dapat belajar realistis jika orang tuanya merahasiakan sesuatu di depan mereka. Sebagai orang tua ada kalanya di depan anak jujur terhadap perasaan kita, tidak menyembunyikan kesalahan dan menceritakan kebenaran kepada anak betapapun menyakitkan. Hal itu kita lakukan tentunya dengan memperhatikan nilai etika agar anak tidak salah tafsir.28 B. Interpretasi Hasil Analisis 1. Pola Pengasuhan Islami Sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan Emosional. Pendidikan merupakan sektor yang paling menentukan dalam keberhasilan
pembangunan.
Rendahnya
kualitas
pendidikan
akan
berdampak kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika
28
Ibid., hal. 65-69.
75
kualitas SDM rendah, mana mungkin dapat membangun secara optimal. Sumber daya insanilah kunci kemajuan dan keberhasilan. Namun, membangun mutu insani yang berkualitas tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan kecerdasan intelektual, tetapi harus didukung oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan tersebut harus pula didesain oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran untuk mencari rida Allah SWT sehingga terbentuklan suatu pribadi yang memiliki komitmen dan integritas tinggi serta ketakwaan. Profil hasil pendidikan harus mampu membentuk karakter peserta didik yang memiliki multiple intelligence, baik yang berkaitan dengan intelektual, emosional, dan spiritual sehingga mereka mampu menghadapi problema hidup dan kehidupannya. Selalu berupaya memecahkan problema tersebut dengan motivasi yang tinggi serta mencari solusinya, yang pada akhirnya mereka dapat hidup mandiri dan memiliki prinsip hidup hanya kepada Allah SWT. Pendidikan yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual tanpa menyinergikan
nilai-nilai
kecerdasan
emosional
dan
spiritual,
dikhawatirkan pendidikan akan menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi buta hati. Terbukti banyak orang berpendidikan tinggi gelar di depan dan di belakang, tetapi masih tetap melakukan korupsi, kolusi, dan manipulasi; banyak lulusan pendidikan yang tidak dapat berkiprah di dunia pekerjaan sehingga terjadilah pengangguran intelektual. Apabila populasi pengangguran meningkat, terjadilah masalah sosial, seperti krisis moral yang dapat berbuntut pada multikrisis yang kita saksikan dan dirasakan sekarang ini. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya. Orangtua sebagai pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kegiatan pengasuhan orangtua tidak hanya bagaimana orangtua memperlakukan anak, tetapi
76
bagaimana cara orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak dari kecil hingga dewasa sesuai dengan nilai, norma dan kebudayaan masyarakat. Kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam
pendidikan
di
antaranya
empati,
mengendalikan
amarah,
kemandirian, disukai, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat, kemampuan beradaptasi, kemampuan memecahkan masalah, kecakapan sosial, integritas, konsisten, komitmen jujur, berpikir terbuka, memiliki
prinsip,
kreatif,
bersifat
adil,
bijaksana,
kemampuan
mendengarkan, kemampuan berkomunikasi, motivasi, kemampuan bekerja sama, keinginan untuk memberi kontribusi, dan masih banyak lagi kualitas-kualitas emosional yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita secara profesional dalam konteks makna yang lebih luas; kecerdasan spiritual dapat dijadikan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional. Kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam proses pendidikan, di antaranya adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa pada setiap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya kepada Allah SWT. Menurut Baharuddin, sebagaimana dikutip Huraniyah, dalam pandangan psikologi Islami manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam (nature), manusia (sosial) dan Tuhan, ketiga hal tersebut turut memberikan andil dalam membentuk tingkah laku manusia, salah satu
77
lingkungan sosial yang sering berhubungan dengan anak dari masa kecil sampai remaja adalah lingkungan keluarga. 29 Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya. Bagi anak, orang tua merupakan model nyang harus diteladani dan ditiru. Sebagai model, orang tua seharusya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak mulia. 30 Kepribadian orangtua, sikap dan cara hidupnya merupakan unsur pendidikan
yang tidak
langsung,
yang dengan
sendirinya akan
mempengaruhi pertumbuhan kepribadian anak. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian tersebut adalah pola asuh orangtua. Kegiatan pengasuhan orangtua tidak hanya bagaimana orangtua memperlakukan anak, tetapi bagaimana cara orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak dari kecil hingga dewasa sesuai dengan nilai,
norma
dan
kebudayaan masyarakat.
Orangtua
memelihara
pertumbuhan, bertanggung jawab dan berkewajiban mengusahakan perkembangan anak agar sehat jasmani dan rohani. Pola asuh Islami menurut Darajat, adalah suatu kesatuan yang utuh dari sikap dan perlakuan orangtua kepada anak sejak masih kecil, baik dalam mendidik, membina, membiasakan dan membimbing anak secara optimal berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. 31 Perkembangan agama pada seseorang terjadi melalui pengalaman hidupnya semenjak kecil hingga remaja bahkan sampai dewasa yang
29
Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. (Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004) hal. 19 30 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 47. 31 Zakiyah Daradjat. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: Ruhama, 1995), hal 23.
78
diperolehnya
dari
dalam
keluarga,
sekolah,
dan
masyarakat
lingkungannya. Semakin banyak pengalamannya yang sesuai dengan ajaran agama akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agamanya. Pada hakekatnya mengasuh anak adalah usaha nyata dari orangtua dalam mensyukuri karunia Allah, serta mengemban amanat Nya sehingga anak menjadi sumber kebahagiaan, penerus keturunan dan menjadi manusia yang mandiri. Usaha nyata orangtua dimaksudkan adalah mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak, secara garis besar potensi anak dapat dibedakan menjadi dua, potensi rohaniah dan potensi jasmaniah. Potensi rohaniah meliputi potensi pikir, potensi rasa, dan potensi karsa. Sedangkan potensi jasmaniah meliputi potensi kerja dan potensi sehat.32 Senada dengan hal tersebut diatas Faramaz dan Mahfuzh, 33 mengatakan bahwa hakekat pola asuh Islami adalah : a. Menyelamatkan fitrah Islamiyah anak. Pada dasarnya setiap anak yang terlahir kedunia ini menurut pandangan Islam telah membawah fitrah Islamiyah. Oleh karena itu, setiap orangtua wajib menyelamatkan dengan usaha yang nyata. Usaha-usaha dalam mengembangkan potensi fitrah anak bisa ditempuh dengan tiga cara, yaitu: (1) memanfaatkan berbagai kesempatan ketika berkumpul bersama anak, baik siang maupun malam, (2) menjelaskan tentang ke-Maha Kuasa-an Allah dalam menciptakan manusia, (3) di dalam menanamkan tauhid (akidah) di dalam jiwa anak, bisa berkiblat kepada langkah-langkah serta sterategi yang pernah dipergunakan oleh para ulama. b. Mengembangkan potensi pikir anak
32 33
Huroniyah, F. op.cit, 35. Huroniyah, F. op.cit, 36.
79
Potensi kedua yang harus dikembangkan setelah potensi fitrah Islamiah adalah potensi pikir anak, karena potensi inilah yang membedakan antara mahluk Allah yang bernama manusia dengan mahluk lain. Potensi pikir yang dimilki oleh anak perlu dikembangkan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal, sehingga potensi ini tidak jumud dan statis. Berkembangnya potensi pikir anak harus didasari oleh nilai-nilai fitrah Islamiah yang ia bawah sejak lahir. Jangan sampai dengan berkembangnya pemikiran anak, justru mencabut nilai-nilai aqidah yang telah diikrarkan di hadapan Allah sebelum dilahirkan ke dunia. Berkaitan dengan potensi pikir ini, Rasulullah saw bersabda : “Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah Ta’ala sebab kalian akan rusak.”(H.R. Abu Syekh). Hadis ini mengandung makna agar seluruh ummat manusia agar mempergunakan akal sehatnya secara optimal untuk memikirkan segala ciptaan Allah yang ada di dunia ini. c. Mengembangkan potensi rasa anak Bersamaan dengan diberikannya potensi pikir, setiap anak juga dilengkapi dengan potensi rasa. Perasaan yang dijiwai oleh kaidah Islamiyah anak akan tumbuh dewasa menjadi orang-orang yang berakhlak baik dalam menjalin hubungan sang pencipta dan berakhlak baik pula dalam bergaul sesama mahluk ciptaan-Nya. Masalah potensi rasa ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya: “… dan kami jadikan mereka berpendengaran, berpenglihatan dan berperasaan…” (Q.S. al-Ahkaf: 26) Berdasarkan ayat di atas diharapkan menyadari betul bahwa pendengaran, penglihatan dan perasaan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Berdasarkan ayat di atas, para orangtua muslim hendaknya menanamkan pula kesadaran pada anak, bahwa perasaan itu akan dimintakan pertanggungjawaban pada akhir kemudian. Dengan
80
terbiasanya perasaan terarah pada obyek yang positif menurut pandangan aqidah dan terjauh dari obyek yang negative, niscaya akan terbentuklah sebuah karakter muslim yang benar-benar membekas pada diri anak. d. Mengembangkan potensi karsa anak Apabila fitrah Islamiah anak yang berupa akidah Islamiah anak yang berupa akidah Islamiah itu telah terkembangkan sedemikian rupa oleh pendidikan orangtua, sehingga potensi pikir dan potensi rasanya selalu menyuarakan nilai-nilai akidahnya, maka potensi karsa anak pun akan semakin cendrung untuk senantiasa berkarsa positif. e. Mengembangkan potensi kerja anak Manusia tidak akan dikatakan manusia tanpa dilengkapi dengan tubuh atau aspek jasmaniah. Dengan kelengkapan jasmaniah, manusia memiliki potensi kerja. Oleh karena itu setiap manusia yang terlahir ke dunia memiliki potensi untuk bekerja. Kerja
pada
dasarnya
merupakan
sebuah
aktivitas untuk
mendapatkan materi demi tercukupinya kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan. f. Mengembangkan potensi kesehatan anak Setiap anak memiliki potensi sehat, dengan potensi sehat inilah anak-anak dapat tumbuh secara wajar dan dapat melakukan segala aktivitasnya dengan baik sehingga faktor kesehatan pun mendapatkan tekanan yang serius dalam Islam. Karena dengan kesehatan itulah, seseorang dapat berpikir baik, dapat merasa dengan baik, dapat berkarsa dengan baik dan dapat pula bekerja dengan baik. Islam jauh-jauh hari sudah memberikan petunjuk secara jelas, komplit dan terpadu tentang konsep pentingnya menjaga kesehatan baik secara jasmani maupun rohani. Konsep menjaga kesehatan jasmani salah satunya adalah Thoharoh, menjaga thoharoh artinya menjaga kesucian dan kebersihan dari semua aspek mulai dari sekujur
81
badan, makanan, pakaian, tempat tinggal maupun lingkungan. Dalam Islam menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah. Dari ‘Ali ra., dari Nabi SAW, beliau berkata, “Kunci shalat adalah bersuci,” (HR. Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi). Dari Abu Malik, Al Harits bin Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Suci itu sebagian dari iman. (Muslim). Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, thoharoh merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri. Yang kedua adalah Menjaga Makanan. Ajaran islam selalu menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal, baik dan halal itu baik secara dzatnya maupun secara mendapatkannya. Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan baik sebagaimana dalam Firman Allah SWT di dalam Alquran, yang artinya : “ Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Q.S. Al-Maidah: 88). Dan ayat lainnya, “makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al-A’raf: 31). Hal ini menunjukkan apresiasi islam terhadap kesehatan, sebab makanan merupakan salah satu penentu sehat tidaknya seseorang. Dan yang ketiga adalah olahraga. Ajaran Islam ternyata begitu sangat lengkap dan sempurna. Bahkan olahraga saja ternyata dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti olahraga berenang, memanah, berlari, berkuda, bergulat, dan sebagainya. Olahraga bertujuan untuk menjadikan manusia sehat dan kuat. Dalam Islam, sehat dipandang sebagai nikmat kedua terbaik setelah Iman Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, hakekat pengasuhan Islami dalam pandangan Islam adalah suatu
82
usaha nyata dari orangtua dalam mensyukuri kurnia Allah swt dalam mengembangkan amanatnya serta usaha untuk menyelamatkan fitrah anak meliputi potensi pikir, potensi rasa, potensi karsa, potensi kerja dan mengembangkan potensi sehat anak. Semua potensi tersebut harus di kembangkan agar kelak anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, selaras dan seimbang, sehingga kelak anak menjadi sumber kebahagian, penerus keturunan dan menjadi manusia yang mandiri, membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang utuh yang diridloi oleh Allah SWT. Hal ini dilakukan dalam upaya menyelamatkan anak sebagai generasi penerus sebagaimana yang diharapkan dan didambakan oleh para orangtua. Disisi lain, kecerdasan emosional anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor otak, faktor keluarga dan faktor lingkungan sekolah. Menurut Goleman dan Declaire bahwa sepanjang sejarah perkembangan manusia menunjukkan bahwa cara anak anak mempelajari keterampilan emosi dan sosial dasar adalah dari orang tua, kaum kerabat dan tetangga, dari jatuh bangunnya mereka bermain bersama teman sepermainannya, dari lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari dukungan sosialnya, lebih lanjut mereka mengungkapkan bahwa ada beberapa prinsip dalam mendidik dan melatih emosi anak, menentukan batas-batas emosi anak, mendengarkan dengan penuh empati dan membantu akan memecahkan masalah yang dihadapi. 34 Kecerdasan emosional seseorang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti otak, keluarga, dan lingkungan sekolah: a. Faktor otak. Bagian otak manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat emosi. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan yang berkaitan dengan masalah-masalah emosional. Pemisahan amigdala dari bagian-bagian otak lainnya akan menyebabkan seseorang tidak mampu dalam menangkap makna emosional dari suatu 34 Daniel Goleman, Keceradasan Emosional. Terj. Hermaya, T. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001), hal. 11
83
peristiwa. Ini berarti amigdala dalam struktur otak berfungsi sebagai tempat ingatan emosi dan makna dari emosi. Joseph Ledoux, menggambarkan
bahwa
orang
yang
kehilangan
amigdala
memperlihatkan minat yang kurang terhadap manusia dan menarik diri dari hubungan antar manusia. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan seseorang untuk mengenal keluarga, teman, dan bersikap pasif terhadap lingkungannya. Orang akan kehilangan semua pemahaman tentang perasaan dan kemampuan untuk merasakan perasaan. 35 b. Pola Asuh Orangtua Terdapat tiga bentuk pola asuh orangtua terhadap anaknya, yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif.
36
Khususnya orang tua memegang
peranan penting terhadap perkembangan kecerdasan emosional. Goleman berpendapat lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajari emosi.37 Dari keluargalah seorang anak mengenal emosi dan yang paling utama adalah orang tua. Bagaimana cara orang tua mengasuh dan memperlakukan anak adalah tahapan awal yang diterima atau dipelajari oleh anak dalam mengenal kehidupan. c. Faktor lingkungan sekolah. Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak melalui teknik, gaya kepemimipinan dan metode mengajarnya sehingga kecerdasan emosional berkembang secara maksimal. Kondisi ini menuntut agar system pendidikan hendaknya tidak mengabaikan berkembangnya otak kanan terutama perkembangan emosi dan konasi seseorang. Setelah lingkungan keluraga, kemudian lingkungan sekolah yang mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan keintelektualan dan bersosial dengan sebayanya, sehingga anak dapat 35
Ibid., hal. 20. Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 27. 37 Goleman, op.cit, hal. 31. 36
84
berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur dan diawasi secara ketat. Dari penjelasan diatas, dijelaskan bahwa kecerdasan emosional anak pertama kali dipengaruhi oleh faktor keluarga yaitu pola asuh orang tua terhadap anaknya dalam keluarga. Terdapat tiga bentuk pola asuh orangtua terhadap anaknya, 38 yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif. Orangtua otoriter menerapkan aturan yang ketat dan menuntut anak untuk mematuhi aturan tersebut. Anak dianggap tidak memiliki potensi dan tidak memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk menyuarakan pendapatnya. Orangtua permisif menjalankan perannya dengan menerima dan mendidik anak sebaik mungkin, tetapi cenderung pasif dalam menetapkan batas-batas antara halhal yang dilarang dan hal yang dapat dilakukan oleh anak. Orangtua seperti ini kurang menetukan sasaran yang jelas dan sedikit menuntut kepada anak. Orangtua otoritatif adalah orangtua yang berusaha menentukan batas-batas yang jelas dan menciptakan lingkungan yang baik untuk tumbuh. Orangtua memberi bimbingan dan penjelasan, tidak mengatur, dan memberi kebebasan kepada anak dalam mengambil keputusan. Pola ini sangat menghargai kemandirian anak, tetapi menuntut tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat. Berkaitan dengan pola asuh di atas, Gottman & DeClaire,39 menyebutkan tiga gaya mendidik anak yang kurang efektif secara emosional, yaitu mengabaikan perasaan anak, memberi kebebasan yang berlebihan kepada anak, menghina, dan tidak menghargai perasaan anak. Orangtua
dalam keluarga
memiliki tanggung
jawab
dalam
mengembangkan emosi, sehingga mereka dituntut untuk memahami cara
38
Shapiro, op.cit, hal. 27-28. Jhon Gottman & Jhon DeClaire, Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 15. 39
85
mendidik anak. Gottman dan DeClaire,40 menyebutkan lima prinsip dalam mendidik dan melatih emosi anak. a. Menyadari emosi. Orangtua mampu menyadari emosi diri dan menyelaraskannya dengan perasaan anak. b. Mengakui emosi anak sebagai peluang kedekatan dan mengajar. c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan emosi anak. d. Menamai emosi anak. e. Menetukan batas-batas emosi dan membantu anak dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dampak pola asuh orangta terhadap perkembangan anak selanjutnya sangat luas. Gotmann dan De Claire menemukan bahwa orangtua yang terampil secara emosional memiliki anak yang sukses dalam pergaulan, memperlihatkan lebih banyak kasih sayang dan sedikit konflik dengan orangtua, lebih pintar dalam menangani emosi, dan lebih efektif dalam mengendalikan emosi.41 Secara umum remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama lingkungan keluarga yakni kedua orangtua. Lingkungan keluarga merupakan suatu istilah yang sering di jumpai dalam berbagai pembicaraan mengenai perkembangan anak, karena lingkungan keluarga mempunyai peran yang cukup penting dan mendasar dalam pembentukan kepribadian anak. Menurut Kartono,42 keluarga merupakan lembaga pertama dan terutama bagi anak sebagai tempat sosialisasi dan mendapatkan pendidikan serta merasakan suasana yang aman, lebih lanjut dikemukakan bahwa seluruh anggota keluarga diikat oleh suatu perasaan sentimen yang dalam, rasa kasih sayang, loyalitas dan rasa solidaritas yang murni. Pola
asuh
yang
berdasarkan
ajaran
Islam
mengedepankan
keteladanan, pembiasaan, perhatian, dan nasehat atau bimbingan yang 40
Ibid, hal. 17. Ibid, hal 25. 42 Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. (Jakarta, Rajawali, 1986), hal.27. 41
86
disampaikan dengan dialog, humor maupun logika argumentatif, tetapi tetap menegakkan disiplin dengan memberikan tindakan tegas (hukuman) jika diperlukan. Semua metode ini dilaksanakan atas dasar kasih sayang, penghargaan terhadap anak, kesabaran dan ketulusan. Keteladanan adalah tekhnik
yang
berpengaruh
dan
terbukti
sangat
berhasil
dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak. sepanjang waktu anak selalu mengawasi atau mengamati serta memperhatikan apa yang dilakukan orangtua dan secara disadari bahwa perilaku orangtua akan direkam oleh anak dan dijadikan internalisasi dalam dirinya. 2. Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak dalam Pendidikan Islam Dalam pengertiannya yang lebih umum, strategi dapat dimaknai sebagai pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di lapangan. Maka tidak jauh beda dengan strategi pendidikan yang pada hakikatnya juga pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor dan kekuatan untuk mengamankan sasaran kependidikan yang hendak dicapai melalui perencanaan dan pengarahan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, lengkap dengan perhitungan tentang hambatan-hambatanya baik berupa fisik maupun non fisik seperti mental spiritual, dan moral baik dari subyek didik, obyek, maupun lingkungan sekitar.43 Adapun strategi pendidikan Islam
kaitannya dengan upaya
mengembangkan kecerdasan emosional merupakan kewajiban bagi setiap orangtua, guru, dan masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial. a. Lingkungan keluarga
43 Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
87
Keluarga merupakan sistem sosial terkecil dalam masyarakat yang memegang peranan penting dalam penanaman nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, di dalam lingkungan keluarga anak seharusnya mendapatkan bimbingan dan arahan atas segala potensi yang ada dalam dirinya. Menurut Hurlock, keluarga merupakan “Training Center” bagi penanaman nilai-nilai pengembangan fitrah atau jiwa beragama
anak
seyogyanya
bersamaan
dengan perkembangan
kepribadiaannya yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Dalam hal ini, tidak dapat disangsikan bahwa yang menjadi pendidik adalah orang yang telah dewasa. Karena tidak mungkin seseorang akan mampu membawa arah anak-anak ke arah kedewasaan itu, pertama-tama bukan karena anjuran-anjuran atau nasehat-nasehat yang diberikan oleh pendidik, melainkan karena gambaran kedewasaan yang senantiasa dibayangkan oleh sebab pergaulan mereka dengan pendidik, orangtua mereka sendiri, setiap hari dalam lingkungan sendiri. Karena itu setiap pendidik dapat diramalkan akan mengalami kegagalan, jika orantuanya sendiri belum mencapai kedewasaan. Kenyataan menunjukan bahwa cukup banyak keluarga, dimana orangtua belum dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai pendidik. Maka dari itulah sebabanya campur tangan Negara terhadap kelangsungan pendidikan anak menjadi relevan. Namun begitu, meski sudah dibantu oleh negara dengan mencapuri urusan pendidikan terhadap anak-anak, tetapi orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Demikian penyusun katakan karena adanya beberapa alasan. Di antaranya: 1) Ikatan keluarga yang merupakan ikatan perasaan antara orangtua dan anaknya tidak mungkin tergantikan.
88
2) Sehubungan dengan point diatas, maka tidak akan ada seorang anak yang akan menjadi normal, jika tidak ada hubungan perasaan dengan orangtuanya dan 3) Proses kehidupan dalam lingkungan keluarga ialah proses hidup, hidup manusia yang didukung oleh pendidikan yang sudah menetap,
adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, dan lain
sebagainya. Melihat dari beberapa uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa keluarga merupakan unsur primer dalam peranannya mendidik anak-anaknya sendiri. Keluarga muslim adalah pelindung pertama, tempat anak dibesarkan dalam suasana yang mawaddah waramah. Artinya sepasang suami isteri yang kedua tokohnya (ibu dan bapak) berpadu dalam merealisasikan tujuan pendidikan. Dalam konteks sosial, anak pasti hidup bermasyarakat dan bergumul dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anak agar menjadi orang yang pandai hidup bermasyarakat dan hidup dengan budaya yang baik dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, anak dituntut untuk terlibat di dalamnya dan bukan sebagai penonton tanpa mengambil peranan.44 Adapun tujuan dari pendidikan Islam
melalui keluarga
dimaksudkan untuk:45 1) Mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga. 2) Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis. 3) Mewujudkan sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anakanak soleh. 44
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 47. 45 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. IV, hal. 139-144.
89
4) Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak. 5) Menjaga fitah anak agar anak tidak melakukan penyimpanganpenyimpangan. Sementara itu, menurut Ishak bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh
orangtua
dalam
rangka
menanamkan
keimanan
dan
mengembangkan fitrah anak dalam lingkungan keluarga adalah sebagaimana berikut:46 1) Tahap asuhan antara usia 0-2 tahun Seperti kita ketahui bahwa pada usia 0-2, seorang anak belumlah memiliki kesadaran dan daya intelektual. Sebaliknya, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Oleh karena itu, interaksi edukasi secara langsung juga tidak mungkin dapat dilakukan. Karenanya proses edukasi dapat dilakukan dengan cara: a) Mengazankan ditelinga kanan dan iqomah ditelinga kiri ketika baru lahir. Dalam hal ini, Rasulullah Saw pernah bersabda yang artinya: dari hasan bin Ali ra. Dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa lahir bayinya, maka hendaklah ia membacakan azan pada telinga kanannya, dan iqomah pada telinga kirinya, niscaya ia (bayi) tidak diganggu oleh jin”. b) Akikah, dua kambing untuk laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Sabda Rasulullah Saw yang artinya: Diungkapkan oleh Baihaqi dari Abdullah bin Yazid dari bapaknya yang bersumber dari Rasulullah Saw, sesuai sabdanya “Akikah itu penyembelihannya pada hari ke tujuh atau ke empat belas atau kedua puluh satu dari anak yang dilahirkan”. c) Memberi nama yang baik. d) Membiasakan hidup bersih, suci, dan sehat. 46
Talibo, op.cit., hal. 23-24.
90
e) Memberi ASI sesuai dengan batas umur yang ditentukan, yaitu usia dua tahun. f) Memberi makan dan minuman yang bergizi. 2) Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca indra (usia 3-12 tahun) Fase ini lazim disebut fase anak-anak (al-thifl/shabi), yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa polusi (mimpi basah). Pada fase ini anak mestilah dibiasakan dan dilatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku. Pertumbuhan fisik pada fase ini berjalan wajar dan hampir sama pada semua anak. Pertumbuhan otot-otot halus telah memungkinkan untuk melakukan kegiatan yang memerlukan keserasian gerak, seperti melukis, menggambar dan melakukan gerakan shalat. Selain itu, perlu pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan pengimanan, melalui metode cerita dan uswah al-hasanah. Ketika anak masuk sekolah dasar, dalam jiwanya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya di taman kanak-kanak. Jika didikan agama yang diterimanya dari orang tuanya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari gurunya di taman kanak-kanak, maka ia masuk ke sekolah dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi). Akan tetapi, jika berlainan maka yang dibawanya adalah keraguraguan. Demikian pula sikap orang tua yang acuh tak acuh atau negatif terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu pula dalam pribadi anak. 3) Tahap pembentukan watak dan pendidikan (usia 12-20 tahun). Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan
91
yang salah. Atau fase baligh (disebut juga mukallaf) di mana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah swt. Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial. 4) Tahap Kematangan (usia 20-30 tahun) Pada tahap ini, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah dalam aspek agama, ekonomi, sosial dan sebagainya. 5) Tahap Kebijaksanaan (usia 30-meninggal) Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al‘umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Proses edukasi bisa dilakukan dengan mengingatkan agar mereka berkenan sedekah atau zakat bila ia lupa serta mengingatkan agar harta dan anak yang dimiliki selalu didarmabaktikan kepada agama, Negara, dan masyarakat sebelum menjelang hayatnya. b. Lingkungan sekolah Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang-orang yang mampudan mau membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan dituntut pengembangannya bagi kepentingan manusia.47 Salah satu caranya adalah mempercayakannya kepada pihak sekolah. Di lingkungan sekolah, anak-anak berkumpul dengan usia yang nyaris sama dan dengan taraf kemampuan pengetahuan yang hampir sederajat dan secara sekaligus akan menerima pelajaran yang sama. Maka jika di lingkungan keluarga orangtua menjadi teladan bagi anak47
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hal. 53.
92
anaknya, maka yang paling bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak dalam lingkungan sekolah adalah para gurunya. Dalam hal ini, Islam memerintahkan bahwa tugas guru (sekolah) adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga mendidik. Guru bahkan harus mampu menjadi teladan bagi para muridnya. Dan dalam segala mata pelajaran, seorang guru harus mampu menanamkan rasa keimanan dan akhlak sesuai dengan ajaran Islam bahkan di luar sekolah pun sang guru harus mampu bertindak sebagai seorang pendidik. Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada rasul dan pengikutnya, maka dia harus memeiliki sifat-sifat berikut ini:48 1) Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani. 2) Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. 3) Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. 4) Seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. 5) Seorang
guru
harus
senantiasa
meningkatkan
wawasan,
pengetahuan, dan kajiannya. 6) Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran. 7) Harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai porsinyasehingga akan mampu mengontrol dan menguasai siswa. 8) Dituntut
untuk
memahami
psikologi
anak,
perkembangan, dan psikologi pendidikan. 9) Dituntut untuk peka terhadap fenomenakehidupan. 10) Memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya. 48
Abdurrahman, op.cit. hal. 170-176.
psikologi
93
Pada dasarnya, sekolah harus merupakan sebuah lembaga pendidikan yang membantu bagi tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mempunyai program pendidikan yang sistematis dalam melaksanakan bimbingan pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam dirinya. c. Lingkungan Masyarakat Allah telah menjadikan masyarakat Islami sebagai suatu masyarakat yang menyuruh supaya berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 110 yang artinya “kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Oleh karena itu, dan berdasarkan dari firman Allah di atas, bahwa masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Yaitu, masyarakat hendaknya turut bersikap aktif dalam rangka menjaga fitrah anak dari segala macam perbuatan salah. Sedari kecil, anak jangan sampai diperlihatkan sesuatu yang secara prinsipil melanggar aturan agama. Sebab jika tidak, maka kelak ketika usia anak sudah mencapai cukup usia dewasa, tidak menutup kemungkinan ia akan berbuat hal serupa sebagaimana yang telah dicontohkan oleh masyarakat sekelilingnya. Lebih jauh, bahwa dalam masyarakat anak berinteraksi dengan teman sebayanya. Hurlock mengemukakan bahwa aturan-aturan (kelompok bermain) memberikan pengaruh pada pandangan moral dan tingkah laku kelompoknya, kualitas perkembangan kesadaran anak sangat bergantung pada kualitas perilaku orang dewasa atau warga masyarakat.
94
Sementara itu, menurut Ishak W Talibo bahwa kualitas pribadi orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah: 1) Taat melaksanakan kewajiban agama seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur. Juga membentuk pengajian anak-anak dan membentuk Majelis Taklim. 2) Menghindari diri dari sikap dan perilaku yang dilarang oleh agama. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk membangun kecerdasan emosional dan spiritual maka segala belenggu yang dapat membutakan hati harus dihilangkan lalu menyeimbangkan
dengan
nilai-nilai
keimanan
kemudian
diaplikasikan dengan nilai-nilai keislaman. Di samping itu lingkungan juga sangat mendukung pertumbuhan tersebut. Tidak kondusifnya satu lingkungan dapat mengakibatkan tujuan yang akan dicapai tidak berhasil dengan baik.49 Sementara itu, hingga kini pengembangan kecerdasan emosional ditengah masyarakat kita sangat kurang mendapatkan perhatian. Bahkan tidak jarang kita temui anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa permasalahan pendidikan anak adalah menjadi tanggungjawab sekolah atau keluarga saja. Padahal, masyarakat adalah suatu institusi yang juga bertanggungjwab terhadap pendidikan anak-anak. Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebagian besar anak-anak menghabiskan
waktunya
bersama-sama
dengan
masyarakat
disekelilingnya. Mereka setiap harinya bermain, bercengkrama, dan lain sebagainya bersama dengan tetangga-tentangganya. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masyarakat untuk ikut mengambil peran yang, mungkin, salah satunya melalui bentuk kerjasama, baik dengan orangtua, sekolah, maupun dengan pihak lain untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak. 49 Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
95
Dengan demikian, sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan upaya-upaya pendidikan bagi anak-anak oleh masyarakat apabila mereka mau bekerjasama sama terutamakepada para orangtua dan pihak sekolah. Bagaimanapun, peran masyarakat terhadap pendidikan anak-anak yang utama untuk mengembangkan kecerdasan emosinya merupakan yang sangat penting. C. Pembahasan Setiap orang tua dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya memiliki tugas dan peran yang sangat penting, ada pun tugas dan peran orang tua terhadap anaknya dapat dikemukakan sebagai berikut. (1). Melahirkan, (2). Mengasuh, (3). Membesarkan, (4). Mengarahkan menuju kepada kedewasaan serta menanamkan norma‐norma dan nilai‐nilai yang berlaku. Disamping itu juga harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, memberi teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak‐anak yang tumbuh dengan berbagai bakat dan kecenderungan masing‐masing adalah karunia yang sangat berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan dunia. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Alquran surat Al‐Kahfi ayat 46.
“Harta dan anak‐anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amanah ‐amanah yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al‐Kahfi ayat 46).50 Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai harta dan anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan dunia yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang
50
Depag, Alqur’an dan Terjemahnya,Ibid., hal. 299.
96
shaleh yang dapat dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang shaleh (dalam pengertian anfa’uhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya. Lingkungan
keluarga
sangat
mempengaruhi
bagi pengembangan
kepribadian anak dalam hal ini orang tua harus berusaha untuk menciptakan lingkungan keluarga yang sesuai dengan keadaan anak. Dalam lingkungan keluarga harus diciptakan suasana yang serasi, seimbang, dan selaras, orang tua harus bersikap demokrasi baik dalam memberikan larangan, dan berupaya merangsang anak menjadi percaya diri. Salah satu tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya. Sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka mempunyai kewajiban yang teramat penting untuk mendidik anak mereka. Jadi, tugas sebagai orang tua tidak hanya sekadar menjadi perantara makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya, agar dapat melaksanakan pendidikan terhadap anak‐anaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan. Berdasarkan uraian di atas penulis dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa orang tua harus memperhatikan lingkungan keluarga, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, serasi serta lingkungan yang sesuai dengan keadaan anak. Komunikasi yang dibangun oleh orang tua adalah komunikasi yang baik karena akan berpengaruh terhadap kepribadian anak‐anaknya. Salah satu kewajiban orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak‐anaknya. Sebab seorang anak merupakan amanah dan perhiasan yang wajib dijaga dengan sebaik‐baiknya. Apabila tidak dijaga akan menyebabkan kualitas anak tidak terjamin, sehingga dapat membahayakan masa depannya kelak. Orang tua harus dapat meningkatkan kualitas anak dengan menanamkan nilai‐nilai yang baik dan ahlak yang mulia disertai dengan ilmu pengetahuan agar dapat tumbuh manusia yang mengetahui kewajiban dan hak‐haknya. Jadi, tugas orang tua tidak hanya sekadar menjadi
97
perantara adanya makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga mendidik dan memeliharanya. Nasikh
Ulwan dalam
bukunya
“Tarbiyah
Al‐Aulad
Fil-Islam,”
sebagaimana dikutif oleh Heri Noer Aly, merincikan bidang‐bidang pendidikan anak sebagai berikut: 1. Pendidikan Keimanan, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan tauhid kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasul‐Nya. 2. Pendidikan Akhlak, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan dan membiasakan kepada anak‐anak sifat terpuji serta menghindarkannya dari sifat‐sifat tercela. 3. Pendidikan Jasmaniah, dilakukan dengan memperhatikan gizi anak dan mengajarkanya cara‐cara hidup sehat. 4. Pendidikan Intelektual, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak dan memberi kesempatan untuk menuntut mencapai tujuan pendidikan anak. Adapun fungsi keluarga secara ilmu menurut ST. Vembrianto sebagaimana dikutip oleh Alisuf Sabri mempunyai 7 (tujuh) yang ada hubungannya denagan si anak yaitu. 1. Fungsi biologis: keluaraga merupakan tempat lahirnya anak‐anak secara biologis anak berasal dari orang tuanya. 2. Fungsi Afeksi: kerluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman). 3. Fungsi sosial: fungsi keluaraga dalam membentuk kepribadian anak melalui interaksi sosial dalam keluarga anak, mempelajari pola‐pola tingkah laku, sikap keyakinan, cita‐ cita dan nilai‐nilai dalam keluarga anak, masyarakat, dan rangka pengembangan kepribadiannnya. 4. Fungsi Pendidikan: keluarga sejak dulu merupakan institusi pendidikan dalam
keluarga
dan
merupakan
satu‐satunya
institusi
untuk
mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dimasyarakat,
98
sekarang pun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. 5. Fungsi Rekreasi: kelurga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan, dan kegembiraan. 6. Fungsi Keagamaan : merupakan pusat pendidikan upacara dan ibadah agama, fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak. 7. Fungsi perlindungan: keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi anak baik fisik maupun sosialnya. Di samping itu, tugas orang tua adalah menolong anak‐anaknya, menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesedian‐kesedian bakat, minat dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan‐kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera. Adapun cara lain mendidik anak dijelaskan dalam Alquran.
”(Lukman berkata) : Wahai anakku, dirikanlah shalat dan perintahkan (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbutan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal‐hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS.Luqman : 17).51 Dalam
ayat
tersebut
terkandung
makna
cara
mendidik
yaitu
menggunakan kata “Wahai anakku”. Artinya seorang ayah/ibu apabila berbicara dengan putra‐putrinya hendaknya menggunakan kata‐kata lemah lembut. Orang tua memberikan arahan kepada anak‐anaknya untuk melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang munkar dan selalu bersabar dalam menjalani apapun yang terjadi dalam kehidupannya.
51
Depag, Alqur’an dan Terjemahnya,Ibid., hal. 412.
99
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat dan kuat, berketrampilan, cerdas, pandai dan beriman. Yang bertindak sebagai pendidik dalam keluarga adalah ayah dan ibu (orang tua) si anak. Pendidikan yang harus dijalankan orang tua adalah pendidikan bagi perkembangan akal dan rohani anak, pendidikan ini mengacu pada aspek‐aspek kepribadian secara dalam garis besar. Menggenai pendidikan akal yang dilakukan orang tua adalah menyekolahkan anak karena sekolah merupakan lembaga paling baik dalam mengembangkan akal dan interaksi sosial. Kunci pendidikan dalam rumah tangga, sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam rumah tangga. Pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akal. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah. Anak pada hakikatnya merupakan amanat dari Allah SWT yang harus disyukuri, dan kita sebagai muslim wajib mengemban amanat itu dengan baik dan benar. Cara mensyukuri karunia Allah tersebut yang berupa anak adalah dengan melalui merawat, mengasuh, dan mendidik anak tersebut dengan baik dan benar, agar mereka kelak tidak menjadi anak‐anak yang lemah, baik fisik dam mental, serta lemah iman dan lemah kehidupan duniawinya. Tujuan dari pendidikan tersebut adalah menjadi seorang muslim yang sempurna, yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Orang tua adalah pendidik pertama yang utama bagi anak, sebelum anak mengenal dunia luar, maka terlebih dahulu anak mengenal orang tuanya yang merupakan orang terdekat bagi anak. Setiap orang tua wajib mendidik dengan pendidikan yang baik dan benar, sehingga mereka tumbuh dewasa menjadi seorang muslim
100
yang kuat, kuat dalam arti kuat iman dan Islamnya, wawasan dan pengetahuannya luas, serta dewasa dalam bersikap dan dalam mengambil dan menentukan keputusan. Pendidikan yang dijalankan dengan cara sistematik dan penuh kesadaran yang dilakukan orang tua agar didikannya itu sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri, yaitu mengarahkan anak kearah kedewasaan. Adapun usaha‐usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Menanamkan kepercayaan diri. a. Menanamkan kepercayaan kepada Allah SWT agar merasakan bahwa Allah SWT selalu dekat dan selanjutnya takut untuk melaksanakan hal‐hal yang buruk. b. Menanamkan
kepercayaan
tentang
adanya
malaikat,
dengan
menanamkan kepercayaan tersebut, dapat merasakan bahwa setiap gerak garik selalu diawasi oleh para malaikat. c. Menanamkan kepercayaan akan kitab Allah SWT. d. Menanamkan kepercayaan akan rasul‐rasul‐Nya. Untuk mengambil contoh tauladan dari mereka. e. Menanamkan kepercayaan kepada Qodho dan Qodar. f. Menanamkan
kepercayaan akan adanya
hari kiamat,
dengan
menanamkan kepercayaan ini, akan merasa takut melakukan perbuatan tercela, karena saat diakhirat nanti ada balasannya. 2. Mengadakan bimbingan agama dengan cara mengikuti terus‐menerus antara manusia dengan Allah SWT, dengan cara: a. Menciptakan suasana pada hati mereka untuk merasakan adanya Allah SWT dengan melihat segala keagungan yang telah terpana dan terkesan kedala hati mereka. b. Menanamkan pada hati mereka bahwa Allah SWT akan selalu hadir dalam sanubari mereka di mana pun mereka berada.
101
c. Menanamkan pada hati mereka perasaan cinta kepada Allah SWT, secara terus menerus mencari keridhaan‐Nya. d. Menanamkan perasaan taqwa dan tunduk kepada Allah dan mengorbankan perasaan damai bersama Allah SWT dalam keadan apapun. Demikianlah usaha yang dilakukan, semoga dengan cara yang telah dilakukan dalam mengembangkan potensi beribadah anak tersebut dengan dijalankan secara terus menerus, tanpa mengenal batas, maka Insya Allah hal itu akan menemani perasaan jiwanya serta mendapat cahaya dan petunjuk dari Allah SWT, yang selanjutnya akan terbentuklah kepribadian muslim yang hakiki.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Peran orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun meliputi Melatih anak untuk mengenali emosi diri, Melatih anak untuk mengelola emosi, Melatih Anak Memotivasi Diri sendiri, Melatih Anak Untuk Mengenali Emosi Orang Lain. Peran ini dapat dikenalkan oleh orang tua melalui nilai-nilai yang dipraktekkan oleh diri orang tua sendiri melalui kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati serta mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik. Tujuan dari peran ini akan lebih cepat tercapai jika orang tua menerapkan atau menggunakan pola/metode asuh otoritatif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak dan menuntut mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga. Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya dengan memberikan peran dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan inilah yang membuat anak diakui dan dihargai keberadaannya. B. Implikasi Dalam rangka menstimulus kecerdasan emosional anak pada awalnya adalah dengan mengoptimalkan peran anak dalam kehidupan sehari-hari. Langkah tersebut dapat diawali dengan mengembangkan lima wilayah kecerdasan emosional, antara lain kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain. Agar lima wilayah kecerdasan emosional yang dikenalkan pada anak bisa tersampaikan dengan baik, perlu juga didukung dengan kemampuan kecerdasan emosional orang tua maupun guru. Para orang tua dan guru adalah orang terdekat anak-anak, oleh karena itu mereka perlu memberikan teladan terlebih dahulu agar anak yang mempunyai potensi luar biasa bisa 102
103
mempelajari keterampilan emosional dari orang-orang dewasa terdekatnya secara lebih baik. Disamping
dari
lingkungan
keluarga
dan
sekolah,
lingkungan
sosial/masyarakat perlu memberikan teladan dalam bentuk memberikan suasana bermain yang merefleksikan lima wilayah kecerdasan emosional anak tersebut. Dengan demikian, kecerdasan emosional anak akan semakin tergali jika didukung oleh teladan yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. C. Saran Setelah penulis mengetahui bagaimana peran orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak dalam
konsep pendidikan Islam, maka
perkenankan penulis untuk menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Orang Tua Orang tua untuk senantiasa memberikan suri tauladan yang baik di dalam keluarga agar anak lebih mudah mendapatkan gambaran nyata tentang kecerdasan emosional yang baik. Suri tauladan ini dimaksudkan pada ekspresi-ekspresi emosi dari orang tua dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. 2. Guru Sama halnya dengan orang tua, guru diharapkan untuk senantiasa memberikan suri tauladan yang baik di sekolah agar stimulus yang diberikan oleh orang tua di rumah dapat berlanjut di lingkungan sekolah. Teladan oleh guru ini dimaksudkan pada ekspresi-ekspresi emosi dalam proses pembelajaran di kelas dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008. An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet. 4, 2004. AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002. Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010. _______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012. _______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama, 1995. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Qur’an, 2009. Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2012. Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006. Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996. Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Cet. 4, 2002. Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997. Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012. Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013. Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006. Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004. Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986. Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan. Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”, Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2011. Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006. Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010. Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung: Marja, 2010. Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa Depan”. Kompas, 3 Desember 1997. Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003. Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan. Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ Online, Vol. 1, 2013. Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009. Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. _____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 2009. Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga, Jilid 1, 2007. Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung: Kaifa, Cet. 1, 2000. Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008. Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta: Inisiasi Press, Cet. I, 2000. Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013. Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2007. Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02 Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013 Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1992. Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008. An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet. 4, 2004. AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002. Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010. _______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012. _______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama, 1995. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Qur’an, 2009. Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2012. Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006. Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996. Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Cet. 4, 2002. Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997. Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012. Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013. Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006. Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004. Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986. Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan. Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”, Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2011. Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006. Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010. Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung: Marja, 2010. Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa Depan”. Kompas, 3 Desember 1997. Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003. Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan. Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ Online, Vol. 1, 2013. Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009. Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. _____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 2009. Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga, Jilid 1, 2007. Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung: Kaifa, Cet. 1, 2000. Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008. Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta: Inisiasi Press, Cet. I, 2000. Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013. Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2007. Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02 Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013 Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1992. Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008. An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet. 4, 2004. AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002. Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010. _______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012. _______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama, 1995. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Qur’an, 2009. Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2012. Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006. Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996. Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Cet. 4, 2002. Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997. Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012. Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013. Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006. Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004. Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986. Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan. Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”, Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2011. Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006. Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010. Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung: Marja, 2010. Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa Depan”. Kompas, 3 Desember 1997. Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003. Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan. Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ Online, Vol. 1, 2013. Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009. Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. _____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 2009. Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga, Jilid 1, 2007. Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung: Kaifa, Cet. 1, 2000. Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008. Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta: Inisiasi Press, Cet. I, 2000. Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013. Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2007. Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02 Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com). Di akses pada tanggal 15 januari 2016. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013 Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1992. Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.