PERBEDAAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA REMAJA YANG BERASAL DARI ORANG TUA BERCERAI DAN TIDAK BERCERAI
OLEH NI KOMANG AYU CAHYA KHARISMA 80 2011 010
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA REMAJA YANG BERASAL DARI ORANG TUA BERCERAI DAN TIDAK BERCERAI
Ni Komang Ayu Cahya Kharisma Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa/i SMA dari beberapa sekolah di Kota Salatiga. Sampel yang diperoleh sebanyak 101 siswa dengan menggunakan teknik Purposive Sampling. Sampel terbagi menjadi 2 kelompok yaitu 32 siswa berasal dari orang tua bercerai dan 69 siswa berasal dari orang tua utuh (tidak bercerai). Metode pengumpulan data menggunakan skala conflict tactics scales (Straus, 1996) dengan 35 pernyataan. Hasil penelitian menunjukkan nilai t sebesar 2,914 dengan signifikansi sebesar 0,004 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. Kata Kunci : Kekerasan dalam pacaran, Remaja, Orang tua bercerai.
i
Abstract The purpose of this study was to determine whether there are differences in behavior in dating violence in adolescents of divorced parents and not divorced. Participants in this study were high school students from several schools in Salatiga. Samples obtained by the 101 students by using purposive sampling technique. The sample was divided into 2 groups: 32 students come from divorced parents and 69 students come from parents intact (not divorced). Methods of data collection using questionnaires using conflict tactics scales (Straus, 1996) with 35 statements. The results showed t value of 2,914 with sig. = 0.004 (p < 0,05), which means that there are differences in courtship violent behavior in adolescents who come from divorced parents and not divorced. Keyword : Dating violence, Adolescents, Divorced.
ii
1
PENDAHULUAN Remaja mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik secara fisik maupun psikologis. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi. Sedangkan secara psikologis perkembangan ini nampak pada kematangan pribadi dan kemandirian. Ciri khas kematangan psikologis ini ditandai dengan ketertarikan terhadap lawan jenis yang biasanya muncul dalam bentuk (misalnya) lebih senang bergaul dengan lawan jenis dan sampai pada perilaku yang sudah menjadi konsumsi umum, yaitu berpacaran (Setiawan & Nurhidayah, 2008). Menurut Knight (2004) berpacaran adalah pengaturan atau perencanaan khusus antara dua orang yang berlawanan jenis, yang saling tertarik satu sama lain dalam berbagai tingkat tertentu. Berpacaran hanyalah pendahuluan untuk memilih teman hidup, ini adalah suatu fase yang harus dijalani oleh individu, suatu fase yang sangat vital. Setiap individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan. Melalui pengalaman berpacaran, seseorang akan mengenal orang lain dengan pengertian yang lebih mendalam. Hal yang menjadi motif untuk berpacaran adalah proses interaksi personal antara dua jenis kelamin, trend status sosial, tempat untuk mencurahkan isi hati, mencari sosok pelindung dan memilih pasangan hidup (Ferlita, 2008). Menurut Duvall & Miller (1985) ada beberapa tingkatan dalam pacaran, di antaranya ialah (1) Casual Dating, tahap ini biasanya dimulai dengan “pacaran santai” pada orang muda. Orang dalam tahap ini biasanya berpacaran dengan beberapa orang dalam satu waktu. (2) Regular Dating, pasangan pada tahap ini seringkali pergi bersama dengan pasangannya. Jika hubungan ini dapat memenuhi kebutuhan pasangannya, hubungan ini akan meningkat secara eksklusif (terpisah dari yang lain). (3) Steady Dating, tahap ini adalah fase yang serius dan lebih kuat dari fase dating regularly. Pasangan dalam tahap ini biasa memberikan beberapa simbol nyata sebagai bentuk komitmen mereka terhadap
2
pasangannya. (4) Engagement (Tunangan), tahap pengakuan kepada publik bahwa pasangan ini berencana untuk menikah. Ketika individu berada dalam hubungan pacaran yang terjalin dalam tingkat yang lebih mendalam, waktu yang akan dihabiskan bersama pasanganpun cukup lama, dan ini akan membuat individu tersebut mengenal pasangannya dengan cukup baik, sehingga biasanya akan lebih mudah bagi seseorang untuk berbuat sesuatu yang ia inginkan kepada pasangannya tanpa sungkan. Hal ini termasuk pada tindakan-tindakan yang kadang menyakitkan bagi pasangan, seperti membentak ataupun memukul. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hammock dan O‟Hearn (2002) menyebutkan bahwa dimensi keseriusan dan lamanya waktu berpacaran memiliki hubungan dengan tingkat agresivitas dalam berpacaran, walaupun terdapat juga faktorfaktor lain yang dapat mempengaruhinya (dalam Sarabiah, 2014). Berpacaran tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga dampak negatif. Berpacaran dihadapkan pada situasi yang menuntut seseorang harus mampu menyesuaikan diri bukan hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga pasangannya. Tidak jarang hubungan berpacaran diwarnai dengan kasus kekerasan terutama dilakukan oleh laki-laki (Devi, 2013). Menurut Set (2009), kekerasan dalam masa pacaran adalah pola berulang dari perilaku kekerasan yang ditimbulkan seorang kekasih terhadap pasangannya. Sedangkan menurut Straus (dalam Margaretha, 2013) agresivitas dalam relasi intim atau sering disebut dengan istilah kekerasan dalam pacaran didefinisikan sebagai tindakan yang mengacu pada setiap tindakan jahat, yaitu perbuatan yang telah dilakukan dengan maksud, atau yang dianggap memiliki niat untuk menyakiti yang lain. Motif utama perilaku agresi bisa jadi adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan, atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif (Krahe, 2005). Sedangkan menurut Burandt et al (dalam Murray, 2007) mendefinisikan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan
3
paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelakulah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Jadi segala bentuk perilaku agresi yang dilakukan dalam hubungan berpacaran dapat dikatakan sebagai tindakan kekerasan dalam pacaran atau dating violence. Kasus-kasus kekerasan dalam berpacaran cukup banyak terjadi di Indonesia. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan gender menemukan bahwa sejak tahun 2001–2005, terdapat 385 kasus kekerasan dalam pacaran (dalam Devi, 2013). Sementara itu, angka kekerasan dalam pacaran di Sumatera Selatan yang dilaporkan kepada Women’s Crisis Centre Palembang tahun 2009 sebanyak 52 kasus, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 yang sebanyak 22 kasus (dalam Ayu dkk, 2012). Sedangkan catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan oleh Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.299 kasus pada tahun 2010, 1.405 kasus pada tahun 2011, 1.085 kasus pada tahun 2012 dan 2.507 kasus pada tahun 2013, 1.748 kasus pada tahun 2014. Menurut O'Keeffe et al (dalam, National Resource Center on Domestic Violence 2005) beberapa peneliti mendefinisikan kekerasan dalam berpacaran secara psikologis dan emosional dalam bentuk intimidasi, pelecehan verbal, dan pemantauan keberadaan pasangannya. Demaris et al (1992) menggunakan definisi yang lebih ketat yang hanya mencakup tindakan kekerasan fisik seperti menampar, mendorong, memukul, menendang, dan lain-lain. Menurut Straus et al (1996) agresivitas dalam relasi intim terdiri dari lima aspek, yaitu: 1.
Negosiasi; didefinisikan sebagai tindakan yang diambil untuk menyelesaikan sebuah perselisihan melalui jalur diskusi. Aspek negosiasi dapat menunjukkan perilaku agresi dari individu. Bila individu memiliki skor negosiasi yang tinggi maka
4
kemungkinan agresivitasnya rendah karena individu tersebut mampu mengontrol agresinya. Sebaliknya bila individu memiliki negosiasi yang rendah, maka hal ini menunjukkan individu tersebut kurang mampu menahan emosi negatifnya sehingga cenderung berperilaku agresi. 2.
Agresi psikologis; yaitu tindakan agresi secara verbal dan non verbal. Contohnya, menghina, menyumpahi pasangan, menghancurkan barang milik pasangan, melakukan sesuatu dengan sengaja untuk membuat pasangan jengkel
3.
Serangan fisik; dikategorikan menjadi dua yaitu, serangan ringan: melemparkan sesuatu pada pasangan, mendorong, memutar lengan, menampar, serangan berat: memukuli pasangan, membanting pasangan kedinding, menggunakan senjata tajam pada pasangan.
4.
Pemaksaan seksual; didefinisikan sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk memaksa pasangan terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak diinginkan.
5.
Cedera; merupakan cedera fisik yang dilakukan dengan sengaja oleh pasangan.
Menurut Rifka Annisa WCC, faktor-faktor penyebab kekerasan dalam berpacaran adalah ideologi gender dan budaya patriaki, pengertian yang salah tentang makna pacaran, adanya upaya untuk mengendalikan wanita, adanya mitos-mitos yang berkembang diseputar pacaran, contohnya „perasaan cinta yang harus dibuktikan dengan berhubungan seksual‟. Menurut Murray dalam mengemukakan bahwa faktor penyebab kekerasan dalam pacaran adalah penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, sedikit akses ke layanan masyarakat, legalitas dan penggunaan obat-obatan. Sedangkan menurut World Report On Violence and Health mengidentifikasikan faktor penyebab kekerasan dalam pacaran menjadi enam faktor yaitu faktor individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penggunaan alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan dan faktor komunitas (dikutip dalam Devi, 2013).
5
Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan mental (Ali & Asrosi, 2004). Remaja yang tengah berada pada fase krisis identitas atau ketidaktentuan, memerlukan teladan tentang norma-norma yang mapan untuk diidentifikasi. Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma. Dengan demikian faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi variasi perkembangan sosial remaja. Menurut Kesler (dalam Ali & Asrosi, 2004) remaja sangat memerlukan keteladanan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggota keluarga, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan dan tanggung jawab orangtuanya. Hal serupa diungkapkan oleh Gunarsa dan Gunarsa yang mengatakan bahwa lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman pertama yang mempengaruhi hidupnya. Bagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi pembentukan pribadi anak, kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidup (dalam Nisfiannoor, 2005). Graham (1983) juga menambahkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor penyebab perilaku menyimpang anak dan remaja, keluarga yang tercerai berai/ perceraian orang tua, cara orang tua mendidik dan mengasuh juga menjadi faktor penyebab perilaku menyimpang anak (dalam Sarwono, 2000). Soelaeman menyatakan bahwa keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam satu keluarga sangat dibutuhkan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orangtua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya. Menurut Gunarsa (1993) orang tua mempunyai fungsi dan peranan sangat besar dalam perkembangan seorang anak, terutama apabila seorang anak yang menginjak masa remaja. Keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan memahami arahan dan bimbingan orang tua walaupun mereka
6
tidak hadir secara fisik di hadapannya. Hal ini membuat anak memiliki pedoman hidup yang kuat. Dengan pedoman yang dimiliki, anak mengetahui arah hidupnya dan tidak mudah untuk dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Perceraian merupakan perpisahan yang legal antara sepasang suami istri sebelum kematian salah satu pasangan. Hal yang menjadi penyebab perceraian menurut Suratman (1998) antara lain adalah, kesibukan suami, rasa cemburu yang berlebihan, pengaruh ekonomi, perselingkuhan, dan perjudian (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Pasangan suami-isteri yang akan bercerai merasakan bahwa sebuah perkawinan yang dibina sejak awal seolah-olah tidak dapat dilanjutkan lagi karena ketidakcocokan yang menyebabkan konflik, pertengkaran atau percekcokkan terus menerus. Konflik-konflik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mungkin terakumulasi selama beberapa waktu sebelumnya, namun kurang mendapat perhatian serius dan tidak terselesaikan dengan tuntas, akibatnya mempengaruhi perilaku emosional pasangan suami-isteri. Puncak konflik yang tidak dapat dibendung lagi akan menimbulkan perseteruan terbuka dan seringkali harus melibatkan pihak ketiga untuk proses penyelesaiannya, seperti pihak lembaga pengadilan (Dariyo, 2004). Masalah keluarga broken home bukan menjadi masalah baru, tetapi justru merupakan masalah utama dari akar-akar kehidupan seorang remaja. Menurut Wahyuningsih (dalam Listiyanto, 2009) keluarga yang gagal memberi cinta kasih dan perhatian akan memupuk kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Rice & Dolgin (dalam Dewi & Utami, 2008) menyebutkan bahwa pada umumnya perceraian akan membawa resiko yang besar pada anak, baik dari sisi psikologis, kesehatan maupun akademis. Menurut Hetherington dan Clingempeel (dalam Indriani, 2008) anak dari pasangan yang berada dalam kondisi konflik yang akhirnya menuju pada perceraian dapat mengalami kerusakan perkembangan psikologis seperti depresi, menarik diri dari pergaulan sosial, kompetensi sosial yang rendah serta berbagai persoalan gangguan perilaku.
7
Bahkan Hetherington (dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa setelah 6 tahun pasca perceraian orang tuanya, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang merasa kesepian, tidak bahagia, mengalami kecemasan, dan perasaan tidak aman. Cummings dan Davies (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005) menyatakan bahwa anak menjadi sangat sedih akibat perceraian kedua orangtuanya dan melampiaskan kesedihannya dengan bersikap menyakiti dan berperilaku agresif dalam berinteraksi dengan saudara-saudaranya dan teman-temannya. Dari beberapa kajian mengenai perilaku agresif remaja, Patterson et al mengatakan bahwa remaja berperilaku agresif cenderung tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan tidak harmonis. Mansoer mengatakan bahwa perilaku agresif juga dilakukan oleh remaja yang memiliki hubungan yang tidak dekat dengan orangtuanya. Selanjutnya Amato & Keith mengatakan bahwa keluarga yang bercerai cenderung menyebabkan remaja berperilaku agresif (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Penelitian-penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Ilahude (1983) membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak, atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di kalangan teman (Retnowati dan Sarifuddin, dikutip dalam Cahya, 2012). Walaupun demikian, ada beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda. McCloskey, Figuerendo & Koss (1995) menemukan sedikit bukti mengenai hubungan antara pengalaman agresi dan disfungsi keluarga pada masa kanak-kanak dengan perkembangan agresivitas dan kesehatan mental orang yang bersangkutan pada masa dewasanya. Jadi, kalaupun terjadi agresi, menurut mereka hal tersebut bukan disebabkan oleh pengalaman masa lalu atau kondisi kesehatan mental mereka yang kurang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Emery & Simons juga menyatakan bahwa remaja yang dibesarkan dalam keluarga bercerai tidak selalu menunjukkan perilaku agresif (Nisfiannoor & Yulianti, 2005). Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaaan perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja yang berasal dari orang tua
8
bercerai dan tidak bercerai (utuh). Penulis melihat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa remaja yang tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga bercerai dan tidak harmonis lebih cenderung menunjukkan perilaku agresif. Tetapi penulis juga menemukan beberapa hasil penelitian yang berlawanan. Maka dari itu penulis ingin meneliti topik ini, dan memodifikasi penelitian sebelumnya dengan menambahkan perilaku agresif remaja dalam konteks berpacaran atau yang lebih sering disebut dengan kekerasan dalam berpacaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja yang berasal dari orangtua bercerai dan tidak bercerai. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode komparatif, dimana pola penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah antara dua variabel ada perbedaan dalam suatu aspek yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. Responden Tempat dilaksanakannya penelitian adalah di tiga Sekolah Menengah Atas di Kota Salatiga, yaitu SMA Theresiana, SMA Kristen 1, SMK Diponegoro. Total responden dalam penelitian ini berjumlah 193 orang yang merupakan siswa/i SMA. Responden dari SMA Theresiana berjumlah 35 siswa, sedangkan dari SMA Kristen 1 berjumlah 65 siswa, dan SMK Diponegoro berjumlah 93 siswa. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah remaja berusia 16 sampai 18 tahun yang sedang menjalin hubungan berpacaran. Namun responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan kelompok remaja yang berasal dari orang tua utuh/tidak bercerai. Karakteristik responden dari
9
keluarga bercerai dalam penelitian ini yakni, responden tinggal dengan salah satu orangtuanya atau dengan sanak familinya tanpa ada dukungan dari salah satu orangtuanya. Prosedur Sampling Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan ciri atau sifat tertentu. Alat ukur Sebelum membagikan alat ukur untuk diisi oleh partisipan, peneliti menerjemahkan skala berbahasa asing yang akan digunakan ke dalam bahasa Indonesia. Conflict Tactics Scales (CTS) yang disusun oleh Straus et al (1996) adalah skala obyektif yang banyak digunakan terutama pada penelitian berkaitan tentang konflik dalam hubungan berpacaran dan perkawinan, yang mengukur laporan kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban. Conflict Tactics Scales terdiri dari 78 item, yang memiliki lima sub-skala, termasuk Negosiasi (kognitif dan emosional); Agresi psikologis (kecil dan besar); Serangan fisik (kecil dan berat); Cedera (ringan dan berat); dan Pemaksaan Seksual (ringan dan berat). Karena dalam penelitian ini penulis hanya mengukur perilaku kekerasan dalam pacaran dari sisi pelaku, maka penulis hanya menggunakan 35 item dari 78 item. Pada skala ini aitem disusun berdasarkan Skala Likert yang telah dimodifikasi oleh penulis, untuk menyesuaikan keadaan di lapangan. Adapun jawaban yang disediakan adalah sebanyak 6 pilihan jawaban, dimana jawaban tersebut adalah kategori untuk mengukur frekuensi tindakan yang digunakan selama konflik dengan pasangan selama berpacaran (0 = tidak pernah terjadi, 1 = 1 – 2 kali, 2 = 3 – 5 kali, 3 = 6 – 10 kali, 4 = 11 – 20 kali, 5 = lebih dari 20 kali). Daya Diskriminasi Item dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ini menggunakan uji reliabilitas dan daya diskriminasi item dengan menggunakan program SPSS.v 16.0. Pada hasil penelitian, tingkat reliabilitas untuk keseluruhan
10
item conflict tactics scales sebesar 0,902 dengan 5 item yang gugur. Hal ini berarti, item yang dipakai dalam angket conflict tactics scales reliabel. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dengan menggunakan uji beda (t-test) untuk mencari perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan orang tua utuh. Proses analisis dilakukan dengan program Statistical Programme for Social Science (SPSS) 16.0 for windows. Prosedur Penelitian Peneliti menyiapkan beberapa hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, diantaranya adalah skala yang akan disebar dan surat perizinan penelitian dari fakultas. Ketika persiapan tersebut sudah matang barulah peneliti memulai penelitiannya. Pada hari Selasa, 30 Juni 2015 peneliti mendapatkan perizinan dari fakultas untuk melakukan penelitian, namun dikarenakan sedang libur sekolah peneliti baru dapat melakukan penelitian mulai tanggal 09 Juli 2015. Akhirnya, penyebaran angket dimulai tanggal 09 Juli 2015 di SMK Diponegoro Salatiga, dengan masuk dan menyebarkan angket kedalam 4 kelas yang jumlah siswa dalam 1 kelas ± 20 siswa. Kemudian dilanjutkan tanggal 28 Juli 2015 di SMA Theresiana Salatiga, masuk dan menyebarkan angket kedalam 4 kelas yang jumlah siswa dalam 1 kelas ± 8 siswa. Penelitian terakhir, tanggal 29 Juli 2015 di SMA Kristen 1 Salatiga, untuk sekolah ini peneliti menitipkan 65 angket pada guru bimbingan konseling sekolah tersebut. Total angket yang disebar oleh peneliti pada tiga sekolah sebanyak 193 angket, namun yang terpakai hanya 101 angket, sisanya 92 angket gugur karena tidak sesuai dengan kriteria subjek, yaitu subjek sedang tidak menjalin hubungan berpacaran. Dari 101 angket, 69 angket merupakan remaja berpacaran yang berasal dari keluarga tidak bercerai dan 32 angket merupakan remaja berpacaran yang berasal dari keluarga bercerai.
11
HASIL PENELITIAN Uji Asumsi Tahap yang dilakukan pada uji asumsi yaitu uji normalitas, dimana dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila p > 0,05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
orang tua
orang tua tidak
bercerai
bercerai 32
69
28.19
19.06
16.511
13.714
Absolute
.175
.142
Positive
.175
.142
Negative
-.101
-.105
Kolmogorov-Smirnov Z
.990
1.179
Asymp. Sig. (2-tailed)
.281
.124
Normal Parameters
a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Diketahui pada data yang didapat dari siswa yang orang tuanya bercerai memiliki signifikansi sebesar 0,281 (p > 0,05) dengan demikian data berdistribusi normal, sedangkan untuk data yang didapat dari siswa yang orang tuanya tidak bercerai memiliki signifikansi sebesar 0,124 (p > 0,05) yang juga berarti data berdistribusi normal. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah varians populasi penelitian sama atau tidak. Dapat dikatakan memiliki varians sama jika nilai probabilitas p > 0,05. Berdasarkan hasil uji homogenitas menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Statistic sebesar 2,925 dengan signifikansi sebesar 0,090 oleh karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data tersebut homogen.
12
Tabel 2. Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances perilaku kekerasan Levene Statistic
df1
2.925
df2 1
Sig. 99
.090
Analisis Deskripif Interval kategorisasi perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja dikategorikan menjadi lima kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah dengan menggunakan rumus skala Likert (Widoyoko, 2012) yaitu:
Interval kelas = Berdasarkan hasil perhitungan skor pada setiap angket perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja baik dari orang tua bercerai dan tidak bercerai, maka hasil perhitungan skor angket dapat dinyatakan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3. Kategorisasi Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran Remaja yang Memiliki Orang Tua Bercerai Interval 120 < x ≤ 150 90 < x ≤ 120 60 < x ≤ 90 30 < x ≤ 60 0 ≤ x ≤ 30
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
frekuensi 0 0 3 6 23
% 0% 0% 9,4% 18,7% 71,8%
Mean
SD
28,18
16,5
Tabel 4. Kategorisasi Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran Remaja yang Memiliki Orang Tua Tidak Bercerai Interval 120 < x ≤ 150 90 < x ≤ 120 60 < x ≤ 90 30 < x ≤ 60 0 ≤ x ≤ 30
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
frekuensi 0 1 0 8 60
% 0% 1,4% 0% 11,6% 86,9%
Mean
SD
19,05
13,7
Hasil analisis deskriptif diatas menunjukan bahwa perilaku kekerasan dalam berpacaran pada siswa yang memiliki orang tua bercerai pada ketegori sangat rendah, yakni pada interval 0 ≤
x ≤ 30 terdapat 23 orang (71,8%), sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak
13
bercerai terdapat 60 orang (86,9%). Pada kategori rendah, yakni pada interval 30 < x ≤ 60 perilaku kekerasan dalam berpacaran pada siswa yang memiliki orang tua bercerai terdapat 6 siswa (18,7%), sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak bercerai terdapat 8 siswa (11,6%). Pada kategori cukup, yakni pada interval 60 < x ≤ 90 perilaku kekerasan dalam berpacaran pada siswa yang memiliki orang tua bercerai terdapat 3 siswa (9,4%), sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak ada yang berada pada kategori tersebut. Pada kategori tinggi, yakni pada interval 90 < x ≤ 120 perilaku kekerasan dalam berpacaran tidak terdapat pada siswa yang memiliki orang tua bercerai, sedangkan pada siswa yang memiliki orang tua tidak bercerai terdapat 1 siswa (1,4%). Pada kategori sangat tinggi, yakni pada interval 120 < x ≤ 150 perilaku kekerasan dalam berpacaran tidak terdapat pada siswa yang memiliki orang tua bercerai maupun yang tidak bercerai (0%). Uji t Selanjutnya untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dengan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai, maka digunakanlah uji Independent t-test sebagai berikut:
14
Table 5. Uji T Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2-
F perilaku kekerasan
Sig.
t
df
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
Difference Lower
Upper
Equal variances
2.925
.090
2.914
99
.004
9.12953
3.13276
2.91345 15.34561
2.723 51.604
.009
9.12953
3.35334
2.39933 15.85973
assumed Equal variances not assumed
Karena populasi yang memiliki varians sama, maka uji Independent-Samples t-test yang digunakan adalah equal variances assumed. Adapun hasil analisis data menghasilkan t = 2,914 dengan signifikansi 0,004 (p < 0,05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data mengenai perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai, maka diperoleh hasil t hitung sebesar 2,914 dan signifikansi sebesar 0,004 (p > 0,05) yang artinya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dengan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai. Remaja yang berasal dari orang tua bercerai memiliki rata-rata perilaku kekerasan sebesar 28,18, sedangkan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai sebesar 19,05. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kekerasan dalam berpacaran pada remaja dengan orang tua
15
bercerai memiliki perbedaan dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja dengan orang tua utuh. Keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi pembentukan pribadi anak. Menurut Graham (dalam Sarwono, 2000) keluarga merupakan salah satu faktor penyebab perilaku menyimpang anak dan remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang memiliki orang tua bercerai cenderung lebih agresif ketika berinteraksi dengan orang lain dibandingkan dengan remaja yang memiliki orang tua utuh atau tidak bercerai. Interaksi yang dilakukan remaja tidak melulu hanya dengan teman. Pacaran juga termasuk salah satu interaksi sosial remaja. Menurut Cummings dan Davies (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005) remaja dengan orang tua yang bercerai akan menjadi sangat sedih akibat perceraian kedua orangtuanya dan cenderung melampiaskan kesedihannya dengan berperilaku agresi dalam berinteraksi dengan saudarasaudaranya maupun teman-temannya. Perceraian terjadi ketika pasangan suami-isteri merasa bahwa sebuah perkawinan yang dibina sejak awal seolah-olah tidak dapat dilanjutkan lagi karena ketidak-cocokan yang menyebabkan konflik, pertengkaran atau percekcokkan terus menerus (Dariyo, 2004). Dalam penelitian ini, terdapat pertanyaan mengenai seberapa sering partisipan pernah melihat orang tua mereka melakukan kekerasan atau bertengkar di rumah. Partisipan dengan orang tua bercerai sebanyak 25% menjawab tidak pernah, 40% menjawab pernah melihat beberapa kali, dan 34% menjawab sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtuanya di rumah. Sedangkan partisipan dengan orang tua tidak bercerai sebanyak 37% menjawab tidak pernah, 55% menjawab beberapa kali, dan hanya 7% yang menjawab sering melihat orang tua mereka bertengkar. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari orang tua bercerai cenderung lebih sering melihat orangtuanya bertengkar dibandingkan remaja dari orang tua utuh. Menurut teori Bandura (dalam Cahya, 2012) perilaku agresi dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, lingkungan kebudayaan setempat dan media massa. Penelitian yang telah
16
dilakukan oleh Ilahude juga membuktikan bahwa perilaku remaja sangat terkait dengan apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, lingkungan masyarakat dan di kalangan teman (dalam Cahya, 2012). Hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak juga dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang pada remaja, misalnya, perilaku kekerasan yang dilakukan dalam hubungan pacaran. Menurut Ali & Asrosi (2004) remaja yang tengah berada pada fase krisis identitas atau ketidaktentuan, memerlukan teladan tentang norma-norma yang mapan untuk diidentifikasi. Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma. Faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi variasi perkembangan sosial remaja. Maka dari itu, kualitas hubungan antara orang tua dan anak sangat diperlukan bagi perkembangan perilaku remaja. Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga baik antara orang tua dengan anak maupun antara suami dan istri sangat penting bagi pembentukan perilaku anak. Remaja yang sering melihat orang tuanya bertengkar akan lebih mudah untuk berkata kasar, memukul atau melakukan kekerasan verbal maupun fisik lainnya. Jadi, baik orang tua utuh maupun orang tua yang bercerai memiliki peranan penting dalam mencegah anak-anaknya berperilaku agresi dan melakukan tindak kekerasan dalam pacaran. Bila di dalam keluarga terjalin hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, para remaja akan lebih mampu mengendalikan perilakunya. Kualitas hubungan yang baik dan nyaman antara anak dengan orangtua, cenderung dapat meminimalisir perilaku agresi anak dalam berinteraksi sosial (Saad, 2003). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai, maka dapat disimpulkan bahwa:
17
1. Ada perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran yang signifikan pada remaja yang berasal dari orang tua bercerai dan tidak bercerai. 2. Sebagian besar responden penelitian ini memiliki perilaku kekerasan dalam pacaran pada kategori sangat rendah. Untuk remaja yang berasal dari orang tua bercerai memiliki ratarata perilaku kekerasan sebesar 28,18 dan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai sebesar 19,05. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai dan mengingat banyaknya keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian, maka penulis mengajukan beberapa saran bagi: a. Bagi remaja, sebaiknya tetap menjaga hubungan yang baik dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Remaja juga dapat mengikuti kegiatan-kegiatan positif, seperti kegiatan olahraga, komunitas pelayanan sosial, komunitas pelayanan rohani, dan kegiatan lainnya yang sesuai dengan minat masing-masing. Dengan demikian remaja dapat mengembangkan dirinya kearah yang lebih positif. b. Bagi orang tua, sebaiknya tidak memperlihatkan pertengkaran atau konflik rumah tangga dihadapan anak, sehingga anak tidak mendapatkan contoh yang buruk dalam menyelesaikan sebuah perselisihan. c. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan topik ini, sebaiknya melakukan penelitian pada remaja akhir atau dewasa awal, dan dapat menambahkan metode kualitatif untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam.
18
Daftar Pustaka Ali, M., & Asrosi, M. (2004). Psikologi Remaja, Jakarta: Bumi Aksara. Azwar, S. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Edisi 10. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Budi, D., Listiyanto. (2009). Agresivitas Remaja Yang Memiliki Orang tua Tunggal (Single Parent) Wanita. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. Dariyo, & Agoes. (2004). Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga. Jurnal Psikologi Universitas Indonusa Esa Unggul, 2(2). Devi, C., N. (2013). Kekerasan dalam Pacaran (Studi Kasus pada Mahasiswa yang pernah melakukan Kekerasan dalam Pacaran). Jurnal Skripsi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi 3. Dewi, P., S., & Utami, M., S. (2008). Subjective Well-Being Anak Dari Orang Tua yang Bercerai. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, 35(2). Duvall, E., Miller, C., M. (1985). Marriage and Family Development, 6th edition. New York: Harper & Row Publisher. Gracia, Ferlita. (2008). Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran (Penelitian Pada Mahasiswi Reguler Universitas Esa Unggul Yang Memiliki Pacar). Jurnal Psikologi Universitas Esa Unggul, 6(1). Indriani, F., N. (2008). Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Terhadap Anak. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Seogijapranata. Knight, J. (2004). Jadi kamu sudah remaja? : informasi penting yang perlu diketahui tentang masa remaja. Bandung : Indonesia Publishing House. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2010). Laporan Tahunan Kepada Presiden Republik Indonesia. Jakarta. Diakses pada April 2015, dari: www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/01/Laporan_KP_2010-rev.pdf Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2015). Lembar Fakta Catatan Tahunan 2014 (CATAHU). Jakarta. Diakses pada Juni 2015, dari: http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2015/03/Lembar-Fakta-CatatanTahunan-CATAHU-Komnas-Perempuan-Tahun-2014.pdf Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif. Pustaka Belajar : Yogyakarta.
19
Margaretha, Rahmaniar, N., & Rani, R. (2013). Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim. Makara Seri Sosial Humaniora. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 17(1). McCloskey, A. (1995). The Effects Of Systemic Family Violence On Children‟s Mental Health. The Society for Research in Child Development. University of Arizona. Nisfiannoor, M., & Yulianti, E. (2005). Perbandingan Perilaku Agresif Antara Remaja Yang Berasal Dari Keluarga Bercerai Dengan Keluarga Utuh. Jurnal Psikologi Universitas Tarumanagara, 3(1). O‟Keefe, M. (2005). Teen Dating Violence: A Review of Risk Factors and Prevention Efforts. Harrisburg, PA: VAWnet, a project of the National Resource Center on Domestic Violence/Pennsylvania Coalition Against Domestic Violence. Diakses pada 15 April 2015, dari: www.vawnet.org/applied-research-papers/print-document.php?doc_id=409 Saad, H., M. (2003). Perkelahian pelajar: Potret siswa smu di dki Jakarta. Galang Press, Yogyakarta. Sabariah, M. (2014). Studi Kasus Mengenai Motif Agresi Pada Pelaku Emotional Abuse Selama Berpacaran. Jurnal Psikologi Universitas Padjadjaran. Sagala, R. (2008). Kekerasan Dalam Pacaran Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter Orang tua. Skripsi, Fakultas Psikologi Katolik Seogijapranata. Sarwono, S.W. (2000). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo. Set, Sony. (2009). Teen Dating Violence – stop Kekerasan Dalam Pacaran!. Kanisius: Yogyakarta. Setiawan, R. & Nurhidayah S. (2008). Pengaruh Pacaran Terhadap Perilaku Seks Pranikah. Jurnal Soul, 1(2). Straus, A. Murray, et al. (1996). The Revised Conflict Tactics Scale. Journal of family issues, 17(3). Tasmin, M., R., S. Perceraian dan kesiapan mental anak. Informasi psikologi online, diakses 02 Agustus 2015. Widoyoko, Eko, P. (2012). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.