Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
PERBEDAAN KEPADATAN LALAT YANG HINGGAP PADA FLY GRILL YANG BERBEDA WARNA DI PASAR SRIMANGUNAN Zufra Inayah**), Hermanta **), Diah Fidayanti*) **) Dosen Prodi Kesehatan MasyarakatSTIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :The fly isone of the insect ordodiphtera, the insect as apair of wing-shaped membrane. all parts of the body may play a rolein spreading the disease. for it is necessary to control flies that can be based on the biological aspects of flies. Fly like insectsin general have asensitivity to different light wave lengths (colors). The purpose of this studyis to determine the differences in the density of flies that settle on the flya different grille colors. Method :This type of research is the field experiments, including experiments and pseudoscience. Market research conducted in polling stations Srimangunan for 7 days and every day carried out two times of measurement. The data collection is done by counting the number of flies that settle on the fly a different grille colors (blue, green, yellow and red) for 30 seconds, do 10 times the calculation of the highest and 5 averaged calculations. The data obtained were analyzed using ANOVA test with the degree of α error of 0.05. Result :The results showed that there are differences in the density of flies that settle on the fly a different grille colors. Based on measures ANOVA test results obtained, which means p = 0.004 p <α 0.05. The most preferred coloris yellow flies, and the most disliked blue flies. The temperature eat whichat 06:00 pm at 28oCand 12:00 pm 30oC–32oC, while the humidity at 06:00 pm ranged between 81% - 87% and at 12:00 pm ranged between 64% - 76%. Conclusion : In conclusion, it was found that there are differences in the density of flies that settle on the fly a different grille colors. The most preferred coloris yellow flies, and the most disliked blue. Suggested uses should cover food or beveragesor blue bins. Keywords: Color Fly Grill, Density Flies PENDAHULUAN Lalat merupakan salah satu serangga yang selain mengganggu kenyamanan juga mempengaruhi kesehatan manusia. Lalat dapat membawa kuman penyakit dari tempat perindukan misalnya yang menempel pada tubuh, kaki atau bulu-bulu kaki dan dipindahkan ke makanan atau minuman sehingga dapat menimbulkan penyakit bagi yang memakannya. Salah satu penyakit yang disebabkan melalui perantara lalat yaitu diare akut yang masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, serta lalat sangat besar peranannya sebagai vektor biologis dalam penyebaran penyakit seperti thypus, diare, disentri, cholera, trachoma dan parathypus.[6]
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Lalat pengganggu kesehatan tergolong ke dalam ordo Dipteria sub ordo Cyclophardan anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 species lebih di seluruh dunia. Berbagai famili yang penting antara lain adalah Muscidae (berbagai jenis lalat rumah, kandang lalat tanduk), Calliphoridae (lalat hijau) dan Sarcophagodae (berbagai jenis lalat daging). Sumber makanan lalat bervariasi mulai dari kotoran hewan atau manusia, makanan manusia dan berbagai parasit dari alam atau luar tubuh manusia[6] Pola hidup lalat: a) cara bertelur lalat yaitu masa bertelur 4-20 hari, pada umumnya perkawinan lalat terjadi pada hari ke 2 sampai ke 12 sesudah keluar dari kepompong. 2-3 hari kemudian sesudah kawin baru bertelur 4-5 kali seumur 1
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
hidupnya; b) tempat perindukan lalat yaitu kotoran kuda, babi, ayam, sapi, kotoran manusia dan saluran air kotor, sampah, kotoran got yang membusuk, buahbuahan, dan sayuran busuk, biji-bijian busuk, kertas dan kotoran lainnya yang busuk menjadi tempat yang baik untuk berkembang biak lalat; c) jarak terbang lalat rata-rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempatberbiaknya; d) umur lalat antara 1-2 bulan dan ada yang 6-12bulan; e) kebiasaan makan lalat tertarik pada makanan yang di makanan manusia seharihari, seperti gula, susu, dan makanan lainnya kotoran manusia serta darah; f) tempat istirahatpada lantai, dinding, langitlangit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat menyukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal; g) lama kehidupan lalat sangat tergantung pada makanan, air dan temperatur. Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu, sedangkan musim dingin bisa mencapai 70 hari; h) lalat mulai terbang pada temperatur 15oC dan aktifitas optimumnya pada temperatur 21oC. pada temperatur dibawah 7,5oC tidak aktif dan diatas 45oC terjadi kematian pada lalat; i) kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Lalat beraktifitas optimal pada kelembaban antara 50%-90%; j) selalu bergerak menuju sinar dan pada malam hari tidak aktif, kecuali ada sinar buatan. Efek cahaya pada lalat tergantung pada suhu dan kelembaban. Penyakit yang dapat ditularkan melalui perantara lalat antara lain: 1. Penyakit tidur Penyakit tidurdisebabkan oleh tripanosoma gambiense, tripanosoma rodesiense dan ditularkan oleh lalat melalui gigitan.
ISSN 2085-028X
3. Disentri amoeba Penyakit disentri amoebadisebabkan oleh entamoeba histolitica dan ditularkan lalat rumah melalui kontaminasi makanan. 4. Disentri basilaris Penyakit disentri basilaris disebabkan oleh shigella dysentriae dan ditularkan lalat rumah melalui kontaminasi makanan. 5. Typus abdominalis Penyakit typus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhi dan ditularkan oleh lalat rumah melalui pencemaran makanan dan air. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan lalat sebagai berikut: 1. Makanan Lalat tertarik pada bau-bauan yang busuk, serta bau dari makanan ataupun minuman yang merangsang dan membutuhkan makanan yang cukup untuk berkembang biak. Lalat rumah tertarik pada kelembaban, makanan manis dan bereaksi pada barang yang membusuk. 2. Jenis sampah Dari berbagai macam jenis sampah, yang paling disenangi oleh lalat musca domestica untuk berkembang biak. Sifat dari jenis sampah ini adalah mudah membusuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga menjadi daya tarik lalat. [2] Pengukuran tingkat kepadatan lalat dapat dipakai beberapa cara, namun yang paling mudah, murah, dan cepat adalah Fly grill. Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm dengan panjang masing-masing 80 cm sebanyak 16-24 buah.
2. Cholera Penyakit cholera disebabkan oleh vibrio choleradan ditularkan oleh lalat rumah melalui kontaminasi makanan. Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
2
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
80 cm
80 cm
Gambar 1.Fly Grill Pengukuran tingkat kepadatan lalat perlu dilakukan untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu tentang kapan, dimana, dan bagaimana pengendalian akan dilakukan. Demikian pula sesudah pengendalian, pengukuran kepadatan lalat diperlukan untuk monitoring dan penilaian pengendalian. Tujuan pengukuran tingkat kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat dan tempat berkembang biaknya lalat. Persiapan pengukuran yaitu untuk mengukur tingkat kepadatan lalat dapat dipakai beberapa cara, namun cara yang paling mudah, murah dan cepat adalah dengan menggunakan fly grill.[3] Cara Pengukuran Kepadatan Lalat: a) dilakukan pemetaan lokasi pengukuran kepadatan lalat untuk menentukan titik lokasi pengukuran; b) letakkan fly grill horizontal pada tempat yang rata pada lokasititik tersebut; c) hitung jumlah lalat yang hinggap di fly grill selama 30 detik; d) setiap titik lokasi dilakukan 10 kali perhitungan, dan 5 perhitungan tertinggi di buat rata-ratanya; e) dicatat dalam formulir pengukuran kepadataan lalat; f) angka rata-rata dari semua titik lokasi merupakan petunjuk (indek) populasi lalat dalam satu lokasi tertentu (dalam satuan ekor blok grill).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Pengukuran populasi lalat dilakukan setiap kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum dan sesudah) dan pada monitoring secara berkala yang dapat dilakukan sedikitnya 3 bulan sekali. Interpretasi Hasil Pengukuran Kepadatan Menurut Standart DIRJEN PPM dan PLP: a. 0-2 (ekor/blok grill): Tidak menjadi masalah.(rendah) b. 3-5 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat : tumpukan sampah, kotoran hewan, dan sebagainya (sedang). c. 6-20 (ekor/blok grill): Perlu pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat dan bila mungkin direncanakan upaya pengendaliannya(tinggi/padat). d. >20 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat dan tindakan pengendalian lalat(sangat tinggi atau padat). Warna adalah corak rupa seperti merah, putih, hijau dan sebagainya. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan unggu yang sebetulnya merupakan komponen daricahaya/sinar putih yang terurai pada peristiwa dispersi cahaya dan distribusi dari pada lalat selain tergantung pada temperatur dan kelembaban juga tergantung pada warna dan tekstur dari permukaan serta reaksi mereka terhadap cahaya kerena lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu tertarik pada sinar. Cahaya yang dapat dilihat oleh manusia disebut cahaya terlihat/tampak dan lalat merupakan serangga yang aktif pada siang hari dan tidak aktif pada malam hari tanpa adanya sinar/cahaya buatan. Biasanya cahaya terlihat/tampak merupakan campuran dari cahaya yang mempunyai berbagai panjang gelombang dari 400 nm hingga 700 nm seperti kita ketahui bila melihat pelangi.
3
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Tabel 1. Warna dan Cahaya Terlihat Panjang Gelombang No Warna (nm) 1 400 – 435 Ungu 2 435 – 480 Biru 3 500 – 560 Hijau 4-5 580 – 595 Kuning 6 595 – 610 Jingga 7 610 – 680 Merah Sumber : Sastrohamidjojo, 1991 (Dalam Chory Masitoh, 2003) Di Kabupaten Sampang, diare yang ditularkan lalat rumah melalui kontaminsi makanan masih berada dalam 10 besar penyakit tahun 2011 pada urutan ketiga dengan jumlah penderita 32.277 jiwa yang merupakan 11,08% dari jumlah penderita 10 besar penyakit. Jumlah ini meningkat dibanding angka kejadian tahun 2010 dengan jumlah penderita 8.035 jiwa ( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang). Berdasarkan angka tersebut pengendalian populasi lalat sangat penting, mengingat lalat, terutama lalat rumah merupakan vector yang membawa penyakit melalui kontaminasi makanan dari faeces manusia dengan kemampuannya terbang 6-9 km. Di pasar Srimangunan Sampang, khususnya di TPS pasar, setiap hari sampah dihasilkan dari kegiatan pasar. Populasi lalat terbanyak adalah lalat rumah (musca domestica). Kepadatan lalat menjadi perhatian karena lokasi pasar juga dekat dengan pemukiman penduduk. Berdasarkan hasil survei pendahuluan bahwa di TPSPasar Srimangunan Sampang diketahui banyak lalat yang berkerumun di tempat sampah dan berdasarkan uji coba ternyata lalat tidak menyukai warna biru, terbukti hasil pengukuran pada fly grill warna biru yaitu 6 ekor per block grill, sedangkan fly grill warna lain lebih besar dari warna biru. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
mengetahui perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna di pasar srimangunan sampang tahun 2012. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini di TPS Pasar Srimangunan sebagai tempat untuk melakukan pengukuran kepadatan lalat yanghinggap pada fly grill yang berbeda warna, dimana di TPS Pasar Srimangunan terdapat 1 kontainertempat sampah dan pengangkutan sampah dilakukan setiap sore setelah pasar dibersihkan. Penelitian ini merupakan eksperimen lapangan dan termasuk eksperimen semu dengan rancangan sebagai berikut:[7] 1. Untuk pengukuran di pagi hari jam 06.00 desain penelitiannya: X1 Y1 a. Y2 b. X2 X3 Y3 c. Y4 d. X4 Keterangan: X= Warna Y= Kepadatan lalat pada pengukuran pagi 2. Untuk pengukuran di siang hari jam 12.00 desain penelitiannya: X1 Z1 a. Z2 b. X2 X3 Z3 c. Z4 d. X4 Keterangan: X= Warna Y= Kepadatan lalat pada pengukuran siang Populasinya adalah lalat yang hinggap adalahsemua species lalat yang hinggap pada fly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah. Sampel yang diteliti adalahfly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah. Cara pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan memasang fly grill di TPS pasar Srimangunan.
4
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Variabel bebasnya adalah Fly Grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah.Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah lalat yang hinggap. Data yang diperoleh darihasil pengukuran kepadatan lalat di TPS Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang.Alat pengumpulan data yang digunakan adalah: a) fly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah; b) stop watch; c) phsycrometer; d) thermometer; e) counter; f) alat tulis; dan g) formulir pengukuran kepadatan lalat. Cara pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menghitung jumlah lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna. Pengukuran dilakukan 2 kali dalam 1 hari, dilakukan pada pagi hari pukul 06:00 dan siang hari pada pukul 12:00 untuk setiap harinya dan dilakukan pengulangan selama 7 hari. Uji Statistik menggunakan uji Anova (Analisis Varians) dengan α = 0,05, untuk mengetahui perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna. HASIL PENELITIAN Pada Tabel 2, hasil pengukuran kepadatan lalat yang hinggap pada fy grill di TPS Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang:
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
1. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna biru yaitu pada pukul 06:00 WIBberkisar 5-16,6 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 8,8 (ekor/blok grill) dan pukul 12:00 WIB berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill)dengan hasil rata-rata sebesar 7,1 (ekor/blok grill). 2. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna hijau yaitu pada pukul 06:00 WIB berkisar 6-16 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 11,4 (ekor/blok grill)dan pukul 12:00 WIB berkisar 5-12,6 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-ratasebesar 8,9 (ekor/blok grill). 3. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna kuning yaitu pada pukul 06:00 WIBberkisar 7,8-16,8 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 12,6 (ekor/blok grill) dan pukul 12:00 WIB berkisar 8,4-31,6(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar16,2 (ekor/blok grill). 4. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna merah yaitu pada pukul 06:00 WIBberkisar 6,4-13,6 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 10 (ekor/blok grill) dan pukul 12:00 WIB berkisar 5,6-13,2 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-ratasebesar 9,7 (ekor/blok grill).
5
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Rata-rata Pengukuran Kepadatan Lalat Yang Hinggap Pada FlyGrill di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012 Pengamatan Hari Ke 1 2 3 4 5 6 7 Kisaran Total Total
Biru 06:00 12:00 WIB WIB 5 5,4 6,2 3,8 16,6 7,8 10,4 9,4 9,8 6,4 5 11 8,8 6 5-16,6 3,8-11 61,8 49,8 8,8 7,1 111,6 7,9
kepadatan lalat (ekor/blok grill) Hijau Kuning 06:00 12:00 06:00 12:00 WIB WIB WIB WIB 9 7,8 7,8 8 16 5 12 9 8 6,2 11 11 11,2 10,6 15,6 13 14,2 7,8 15,8 11 6 12,6 9,4 27 16 12,4 16,8 31 6-16 5-12,6 7,8-16,8 8,4-31,6 80,4 62,4 88,4 113,6 11,4 8,9 12,6 16,2 142,8 202 10,2 14,4 p = 0,004
Berdasarkan Tabel 2 juga menunjukkan bahwa hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna biru yaitu pada pukul 06:00 WIB dan pukul 12:00 WIB sebesar sebesar 7,9 (ekor/blok grill), fly grill warna hijau sebesar 10,2 (ekor/blok grill), fly grill warna kuning 14,4 (ekor/blok grill) dan fly grill warna merah sebesar 9,8 (ekor/blok grill).Dari data hasil uji ANOVA dengan α = 0,05 menunjukkan p=0,004 yang berarti p <α bahwa ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna.Dengan demikian, dapat dilihat kepadatan lalat tertinggi ada pada fly grill berwarna kuning dibanding fly grill berwarna biru, merah dan hijau. Pada Tabel 3, hasil rata-rata pengukuran suhu pada pukul 06:00 WIBberkisar 28oC dengan hasil rata-rata sebesar 28oC dan pukul 12:00 WIBberkisar 30oC-32oC dengan hasil rata-ratasebesar 31oC, sedangkan hasil rata-rata pengukuran kelembaban pada pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87% dengan hasi rata-rata sebesar 84% dan pukul 12:00 WIBberkisar 64%-70% dengan hasil rata-rata sebesar 70%.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Merah 06:00 12:00 WIB WIB 6,4 7 10,8 5,6 7 9,6 13,6 12,4 13,6 8,6 9 13,2 9,6 11,4 6,4-13,6 5,6-13,2 70 67,8 10 9,7 137,8 9,8
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012 Hari ke 1 2 3 4 5 6 7 Kisar an Total
Suhu 06:00 12:00 WIB WIB 28oC 32oC 28oC 31oC 28oC 31oC o 28 C 31oC o 28 C 32oC o 28 C 30oC o 28 C 31oC 30oC28oC 32oC 196 218 28oC 31oC
kelembaban 06:00 12:00 WIB WIB 83% 64% 86% 71% 87% 70% 81% 76% 85% 67% 86% 72% 81% 73% 81%64%87% 76% 589 493 84% 70%
Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa suhu yang terukur pada pagi dan siang hari tidak mempengaruhi kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna karena perbedaan suhu kecil dancenderung homogen berdasarkan hasil pengukuran sebagai berikut: 1. Hasil pengukuran suhu pukul 06:00 WIB yaitu 28oC pada fly grill warna biru berkisar 5-16,6 (ekor/blok grill), hijau berkisar 6-16 (ekor/blok grill), kuning berkisar 7,8-16,8 (ekor/blok 6
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
grill) dan merah berkisar 8,4-31,6 (ekor/blok grill). Suhu tidak ada hubungan dengan kepadatan lalat karena eksperimen penelitian pada suhu homogen dan tidak bervariasi, sehingga suhu tidak mempengaruhi hasil hubungan warna dengan kepadatan lalat. 2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00 WIB suhu berkisar 30oC-32oC pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill) dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill).Berdasarkan hasil uji korelasi product moment pearson dengan α(0,05) yang berarti p > α(0,05) bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,139, hijau p=0,279, kuning p=0,136 dan merah p=0,134.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012 Hari Ke
Kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Pukul
Biru Hijau Kuning Merah (Suhu) 1 (28oC) 5 9 7,8 6,4 2 (28oC) 6,2 16 12 10,8 3 (28oC) 16,6 8 11 7 06:00 4 (28oC) 10,4 11,2 15,6 13,6 5 (28oC) 9,8 14,2 15,8 13,6 o 6 (28 C) 5 6 9,4 9 7 (28oC) 8,8 16 16,8 9,6 Suhu sama tidak mempengaruhi hasil kepadatan warna 1 (32oC) 5,4 7,8 8,4 7 2 (31oC) 3,8 5 9,6 5,6 3 (31oC) 7,8 6,2 11,8 9,6 12:00 4 (31oC) 9,4 10,6 13,2 12,4 5 (32oC) 6,4 7,8 11,4 8,6 6 (30oC) 11 12,6 27,6 13,2 7 (31oC) 6 12,4 31,6 11,4 p= p= p= p= Uji Anova 0,139 0,279 0,136 0,134
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012 Hari Ke
Kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Waktu
06:00
Biru
Hijau
Kuning
5 6,2 16,6 10,4 9,8 5 8,8
9 16 8 11,2 14,2 6 16
7,8 12 11 15,6 15,8 9,4 16,8
6,4 10,8 7 13,6 13,6 9 9,6
p =0,709
p =0,465
p =0,251
p =0,549
5,4 3,8 7,8 9,4 6,4 11 6
7,8 5 6,2 10,6 7,8 12,6 12,4
8,4 9,6 11,8 13,2 11,4 27,6 31,6
7 5,6 9,6 12,4 8,6 13,2 11,4
p =0,292
p =0,276
p =0,280
p =0,111
(Kelembaban) 1 (83oC) 2 (86oC) 3 (87oC) 4 (81oC) 5 (85oC) 6 (86oC) 7 (81oC) Uji Anova 1 (64oC) 2 (71oC) 3 (70oC) 4 (76oC) 5 (67oC) 6 (72oC) 7 (73oC)
12:00
Uji Anova
Pada Tabel 5, menunjukkan bahwakelembaban yang diukur pada penelitian ini juga tidak berpengaruh terhadap kepadatan lalat yang pada fly Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Merah
grill yang berbeda warna berdasarkan hasil pengkuran sebagai berikut : 1. Hasil pengukuran kelembaban pada pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87% 7
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pada fly grill warna biru berkisar 5-16, 6 (ekor/blok grill), hijau berkisar 616(ekor/blok grill), kuning berkisar 7,816,8 (ekor/blok grill) dan merah berkisar 8,4-31,6 (ekor/blok grill).Berdasarkan dari hasil uji korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,709, hijau p=0,465, kuning p=0,251 dan merah p=0,549. 2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00 WIB kelembaban berkisar 64%-76% pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill) dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill). Berdasarkan dari hasil uji korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,292, hijau p=0,276, kuning p=0,280 dan merah p=0,111.
PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan fly grill warna biru, hijau, kuning dan merah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dilapangan diketahui bahwa tingkat kepadatan lalat yang hinggap berbeda pada setiap warnanya. Tingginya jumlah lalat yang hinggap menyatakan bahwa warna tersebut merupakan warna yang disukai oleh lalat. Hasil uji ANOVA dengan derajat kesalahan α= 0,05 memperoleh hasil p= 0,004, sehingga nilai p <α, dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna. Berdasarkan Hasil uji LSD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kepadatan lalat pada fly grill warna kuning dengan biru nilai p= 0,000, pada warna kuning dengan hijau nilai p= 0,016 begitu juga pada Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
warna kuning dengan merah nilai p= 0,010. Perbedaan ini karena lalat cenderung menyukai fly grill warna kuning sehingga terdapat perbedaan tingkat kepadatan lalat pada fly grill warna kuning dengan biru, kuning dengan hijau dan kuning dengan merah. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa lalat lebih banyak hinggap pada fly grill warna kuning dengan hasil rata-rata 14,4 ekor/blok grill. Sedangkan warna yang paling sedikit dihinggapi lalat adalah warna biru dengan hasil rata-rata 7,9 ekor/blok grill. Lalat memiliki sistem penglihatan yang canggih, yaitu mata mejemuk. Mata majemuk adalah sistem penglihatan yang terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Reseptor-reseptor pada mata mejemuk memiliki banyak omatidia.Omatidia pada serangga memiliki respon yang berbeda terhadap tingkat cahaya yang diterima. Omatidia berfungsi untuk mengatur frekuensi cahaya yang masuk ke mata. Omatidia akan berbentuk tabung atau silinder pada ruang terbuka dengan cahaya yang cukup, dan akan berbentuk runcing bila berada pada ruang dengan sedikit cahaya atau gelap, dari bentuk omatidia tersebut serangga bisa menangkap warna.
Gambar 1. Panjang Gelombang Keterangan: A = Panjang gelombang yang dapat direspon mata serangga B = Panjang gelombnag yang dapat direspon mata manusia
8
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Pada manusia panjang gelombang yang dapat direspon memiliki kisaran 400700 nm dengan warna merah sebagai puncaknya, sehingga respon mata manusia terhadap warna juga lebih bervariasi.Sedangkan lalat memiliki respon terhadap warna yang sempit karena pengelihatan serangga memiliki panjang gelombang 300-550 nm dengan warna kuning sebagai puncaknya. Sehingga warna kuning merupakan warna yang paling disukai oleh lalat. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran yang telah diperoleh di lapangan. Serangga tidak dapat melihat warna merah karena panjang gelombang yang dimiliki oleh warna merah melebihi dari batas panjang gelombang yang dapat ditangkap oleh mata lalat. Warna-warna yang tidak dapat ditangkap oleh mata lalat yang panjang gelombangnya lebih tinggi ditangkap oleh mata lalat sebagai warna gelap. Namun pada warna yang panjang gelombangnya dibawah 400 nm diartikan sebagai warna ultraviolet, yaitu warna yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia. Pengukuran tingkat kepadatan lalat akan memperoleh hasil yang optimal apabila warna fly grill yang digunakan adalah warna kuning. Sedangkan untuk menghindari lalat, kita dapat menggunakan warna biru, seperti pemilihan warna tudung saji, tempat sampah dan lain sebagainya. Lalat memiliki suhu optimum 15oC-45oC. Pada suhu kurang dari 7,5oC lalat tidak dapat bergerak aktif, dan pada suhu diatas 45oC dapat menyebabkan kematian pada lalat. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan mulai hari ke-1 hingga hari ke-7 suhu pada pukul 07.00 WIB rata-rata 28oC. Sedangkan pada pukul 12.00 WIB suhu bekisar antara 30oC-32oC.Hasil uji korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 memperoleh hasil p >α sehingga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan tingkat kepadatan lalat. Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Suhu pada saat penelitian masih merupakan suhu optimum lalat berkembangbiak. Sehingga dapat dikatakan bahwa suhu bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan lalat dalam memilih warna pada fly grill. Kelembaban erat hubungannya dengan keaktifan lalat. Kelembaban optimal yang dimiliki lalat agar dapat beraktifitas adalah 50%-90%. Pada penelitian yang dilakukan mulai hari ke-1 hingga hari ke-5 pada pukul 06.00 WIB diperoleh hasil 81%87%, pada pukul 12.00 WIB diperoleh hasil 64%-76%.Hasil uji korelasi product moment pearson dengan α= 0,05 memperoreh hasil p >αsehingga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan tingkat kepadatan lalat. Kelembaban pada saat penelitian masih merupakan kelembaban optimum lalat berkembangbiak. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelembaban bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan lalat dalam memilih warna pada fly grill. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1) Pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna biru dengan hasil rata-rata sebesar 7,9 ekor/blok grill, warna hijau dengan hasil rata-rata sebesar 10,2 ekor/blok grill, warna kuning dengan hasil rata-rata sebesar 14,4 ekor/blok grill, warna merah dengan hasil rata-rata sebesar 9,8 ekor/blok grill, 2) Hasil pengukuran suhu diperoleh pengukuran pada suhu pukul 06:00 WIB yaitu 28oC dan pukul 12:00 WIB yaitu berkisar 30oC-32oC, sedangkan hasil pengukuran kelembaban pukul 06:00 WIB berkisar antara 81%-87% dan pukul 9
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
12:00 WIB yaitu berkisar 64%-76%, 3) Ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah berdasarkan uji ANOVA dengan α(0,05) menunjukkan p=0,004 yang berarti p < α(0,05), warna yang paling disukai lalat adalah kuning dan yang tidak disukai adalah biru, 4) Dari hasil pengukuran suhu, dengan uji korelasi product moment pearson didapat p > α(0,05) sehingga tidak ada hubungan suhu dengan kepadatan lalat yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah, 5) Sedangkan dari hasil uji korelasi product moment pearson terhadap hasil pengukuran kelembaban p > α(0,05) sehingga tidak ada hubungan kelembaban dengan kepadatan lalat yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah. Saran Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut: 1) masyarakatsebaiknya menggunakan penutup makanan atau minuman dan tempat sampah warna biru; 2) Badan Lingkungan Hidupsebaiknya memberikan warna cat biru pada bangunan tempat sampah, countainer dan truk pengangkut sampah; 3) mengembangkan penelitian ini lebih lanjut dengan menggunakan alat lain selain fly grill dan dilakukan di tempat yang lain selain di TPS Pasar Srimangunan Sampang; 4) pengukuran kepadatan lalat sebaiknya menggunakan alat pengukur fly grill warna kuning untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat. KEPUSTAKAAN
ISSN 2085-028X
penggunaan Pestisida, Denpasar: Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan RI. 2. Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 3. Depkes RI. 2002. Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu. Surabaya. 4. Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis Tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta: Ditjen PMM dan PLP. 5. Iskandar, Adang. 1985. Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan RI. 6. Masitoh, Chory. 2003. Perbedaan Jumlah Lalat Yang Hinggap Pada Tempat Sampah Yang Berbeda Warna. Surabaya: Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya. 7. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 8. Sastrohamidjojo. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty. 9. Wardoyo, dkk. 1981. Pemberantasan Serangga dan Binatang Mengerat. Surabaya: SPPH. 10. Widoarti, Rizky. 2007. Hubungan Antara Kepadatan Lalat dan Faktor– Faktor Yang Mempengaruhinya di Instalasi Gizi RSUD. Surabaya: Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya. 11. ________________. 2009. UndangUndang Kesehatan. Bandung: Fokusmedia.
1. Adnyana. I Made E, 1985. Pemberantasan Serangga Penyebab Penyakit Tanaman Liar dan
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
10
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
GAMBARAN PENYEMBUHAN LUKA SECTIO CAESAREA BERDASARKAN STATUS GIZI PADA IBU NIFAS DI R.S. BHAKTI RAHAYU SURABAYA Diah Fauzia Zuhroh**) Endah Mulyani*) **) Dosen Prodi Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Caesarean Section (SC) is a method of delivering baby by surgical procedure through the womb and abdominal wall of the mother. SC wound healing at risk of infection at the surgical incision of 15-60% this is increased in women who have poor nutrition status. Infections accounted for 15% of the Maternal Mortality Rate (MMR).This research aims to know the description of wound healing based on the nutrition status on the parturition mothers in Bhakti Rahayu Hospital of Surabaya. Method : This research was the non experimental research with the cross sectional approach. The numbers of population were 48 persons with the sample taking technique in form of total sampling in which the research subjects were taken from the entire population. Data analysis used was data analysis as univariate. Result : The results shows 92,85% parturition mothers with good nutrition had good wound healing. Conclusion : The conclusion that mothers with good nutrition status had good wound healing and those with the poor nutrition status had poor wound healing. The midwifes are expected to more improve their attention to the nutrition status of the post SC parturition mothers and to improve their knowledge on the treatment of post SC parturition mother. The provision of counseling about the SC wound to mothers and families felt as necessary to improve mother’s health. Keywords : Sectio, nutrition PENDAHULUAN Sectio Caesareamerupakan persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.[28]Luka operasi SC adalah gangguan dalam kontinuitas sel akibat dari pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan janin dan plasenta, dengan membuka dinding perut dengan indikasi tertentu. Penyembuhan Luka Operasi Sectio Caesarea (SC) adalah proses pergantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak akibat dari pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan janin dan plasenta, dengan jalan membuka dinding perut dengan indikasi-indikasi medis tertentu. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Masalah utama setelah pembedahan adalah proses penyembuhan luka hal ini disebabkan karenaibu yang melahirkan melalui operasi SC mempunyai resiko 530x lebih besar untuk mengalami infeksi pada masa nifas hal ini meningkat pada ibu dengan gangguan gizi.[15] Infeksi pada luka bisa menjadi tanda bahwa luka tersebut mengalami kegagalan, hambatan ataupun gangguan dalam proses penyembuhan lukanya. Sebagian besar tanda dan gejala infeksi luka merupakan perburukkan fisiologi penyembuhan luka normal, yang meliputi:[4] 1. Calor (panas) Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/ fenomena panas lokal karena jaringan11
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan. 2. Dolor (rasa sakit) Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan PH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf. pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf nyeri. 3. Rubor (kemerahan) Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan.Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti, 4. Tumor (pembengkakan) Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan interstitial. 5. Functiolaesa Adanya perubahan fungsi secara superfisial bagian yang bengkak dan sakit disertai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara normal. 6. Rabas atau adanya sedikit cairan serosa mungkin normal pengeluaran cairan atau nanah berlebih pada daerah luka merupakan tanda abnormal. 7. Biakkan mikrobiologi dapat positif, tidak hanya ketika terdapat infeksi, tetapi juga karena kontaminasi atau kolonisasi. Idealnya luka akan sembuh dengan baik bila dilakukan perawatan dan pengobatan yang sesuai dengan program. Akan tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, faktorfaktor tersebut secara umum adalah usia, paritas, gizi, perawatan terhadap luka pembedahan, penyakit berat, teknik bedah yang tidak halus dan baik, kondisi mental ibu, terkontaminasinya sayatan dan pelaksanaan operasi itu sendiri. Gizi berperan penting dalam fase penyembuhan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
suatu luka karena penyembuhan luka akan terganggu apabila seorang ibu mengalami malnutrisi.[15] Status gizi sangat memiliki pengaruh terhadap penyembuhan luka karena status gizi yang kurang berpotensial terjadinya infeksi. Status gizi pada seseorang dapat dinilai dengan metode-metode ilmiah salah satunya dengan pengukuran lingkar lengan atas yang memberikan gambaran status protein dan energi pada saat pengukuran. Namun pada kenyataannya nutrisi ibu pada masa nifas banyak yang mengalami penurunan karena banyak dari ibu tersebut melakukan pantangan atau tarak terhadap zat gizi tertentu. Tarak adalah kebiasaan, budaya atau anjuran yang tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, misalnya ikan, sayuran, dan buah yang berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik yang nantinya dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka operasi dengan status gizi mempunyai hubungan bermakna.[24]Status gizi yang buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi post operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi post operasi, dehisiensi (luka terbuka), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami infeksi yang bisa mengakibatkan kematian. Faktor gizi sangat berperan penting dalam penyembuhan luka karena dalam proses penyembuhan luka dibutuhkan zat gizi mikro maupun makro. Pada penyembuhan luka fase proliferatif (masa regenerasi) terjadi puncak pembentukan kolagen, kolagen sendiri adalah substansi protein yang bermanfaat untuk penutupan luka. Dalam penyembuhan luka protein sangat berperan penting mengingat fungsi protein adalah sebagai zat yang berperan aktif 12
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
dalam mengganti sel-sel yang telah rusak pada tubuh manusia. Dan pada penyembuhan luka energi sangat diperlukan dalam masa pemulihan karena kondisi ibu yang sehat akan berpengaruh postif dalam proses penyembuhan luka. Beberapa zat-zat gizi mikro seperti vitamin A sangat berperan dalam proses reepitalisasi dan memproduksi sel makrofag, vitamin K membantu sintesis protombin yang berfungsi sebagai zat pembekuan darah, vitamin B sendiri sebagai kofaktor pada sistem metabolisme tubuh. Tidak berbeda vitamin C juga memiliki peran yang besar dalam penyembuhan luka yaitu antara lain dikarenakan vitamin C berfungsi sebagai fibroblas yang pada masa proliferatif menjadi aktivitas utama vitamin C juga mencegah adanya infeksi, serta [6] membentuk kapiler-kapiler darah. Status gizi ibu sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan, pada orang yang mengalami kekurangan energi dan protein akan memakan waktu yang cukup lama dalam proses penyembuhan. Dan pada ibu yang mengalami status gizi yang berlebih (obesitas) akan mengalami gangguan dalam penyembuhan luka karena pasokan darah jaringan adipose tidak adekuat. Pada masa penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian gizi pada tubuh sehingga pada keadaan khusus seperti pada ibu yang status gizinya kurang akan lebih membutuhkan perhatian khusus.Ibu menyusui merupakan keadaan rentan gizi. Jadi perlu diperhatikan status gizi ibu tersebut agar dapat diperbaiki dan dapat dicegah komplikasi akibat gizi. Pada penelitian ini peneliti memilih menggunakkan metode pengukuran lingkar lengan atas untuk mengetahui status gizi ibu post SC.Pengukuran Lingkar Lingan Atas (LILA) adalah suatu cara untuk mengetahui resiko kekurangan Energi Protein (KEP) pada wanita usia subur (WUS). Sasaran WUS sendiri adalah Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
wanita yang berusia 15-45 tahun baik dalam keadaan remaja, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya cepat, mudah dan murah.Ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm apabila ukurana LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK. Dengan mengukur LILA maka peneliti akan mendapatkan gambaran status nutrisi sekarang atau pada saat pengukuran. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) terbilang masih tinggi yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran jumlah ini masih jauh dibawah target Millenium Developmeant Goal’s (MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup. Salah satu langkah efektif yang diambil untuk menurunkan AKI adalah dengan meningkatkan cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan. Dengan pertimbangan untuk mencegah trauma persalinan bagi ibu dan bayi maka terjadi peningkatan angka kejadian pembedahan perabdominal atau SC. Di samping itu SC tidak hanya dapat meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayi namun juga dapat membahayakan kesehatan ibu karenaangka kejadian infeksi post SC sebesar 15-60% terjadi pada sayatan bedah atau luka setelah pembedahan.[15]Berdasarkan data awal yang didapat dari peneliti di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan Januari-Maret 2012 terdapat ibu bersalin dengan SC sebanyak 441 orang sehingga dapat ditarik kesimpulan rata-rata dalam tiap bulannya ibu nifas post SC sebanyak 147 orang, namun jumlah pasien yang berkunjung kembali untuk melakukan pemeriksaan luka jahitan rata-rata perbulan hanya 41 orang dan dari jumlah tersebut terdapat 12 orang atau sebesar 29% ibu yang mengalami gangguan penyembuhan luka operasi SC. Presentase 13
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
29% ini dapat dikatakan cukup tinggi karena luka bersih terkontaminasi kemungkinan timbulnya infeksi adalah 311%.[18]
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah proses penyembuhan luka SC pada ibu nifas dan variabel independen dari penelitian ini adalah status gizi.
Berdasarkan uraian diatas bahwa, hanya sebanyak 27% ibu yang melakukan kunjungan ulang. Hal ini berdampak negatif terhadap pemantauan kondisi luka ibu oleh tenaga kesehatan yang apabila tidak terpantau dengan baik akan mengganggu fase penyembuhan luka bahkan berpotensial terjadi infeksi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran penyembuhan luka operasi SC berdasarkan status gizi pada ibu nifas di RSBhakti Rahayu Surabaya dengan harapan proses penyembuhan luka operasi SC tidak mengalami gangguan atau keterlambatan.
Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data didapat dengan cara wawancara serta pengukuran langsung kepada responden. Data sekunder adalah data yang didapat denganmelihat rekam medis pasien.Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, lembar observasi berupa ceklist serta pita ukur lingkaran lengan atas.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Desain penelitian ini adalah Non Eksperimental dan menggunakan pendekatanCross Sectional, yakni rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada satu kali waktu. Populasi dalam penelitian ini adalahseluruh ibu nifas post SC diRS Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan Juni tahun 2012 yang berjumlah 48 orang.Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh dari anggota populasi yaitu ibu nifas post SC pada bulan Juni 2012 di R.S. Bhakti Rahayu Surabaya sebanyak 48 orang yang melakukan kunjungan ulang hari ke 521dengan jenis SC transversal yaitu insisinya ada pada segmen bawah uterus. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalahnon probability (non random) sampling berupatotal sampling yaitu semua anggota populasi dijadikan sampel.[8]
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Penelitian ini dianalisis dengan cara univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap variabel penelitianmelalui distribusi frekuensi dan presentase. Dimana dilakukan untuk mendiskripsikan gambaran penyembuhan luka operasi ibu post SC berdasarkan dari status gizi ibu. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1, menggambarkan karakteristik ibu nifas post SCyang melakukan kunjungan ulang di RS Bhakti Rahayu Surabaya sebagai berikut: 1. Tidak ada ibu nifas post SC yang berumur < 16 tahun, 33 ibu (68,75%) berumur 16-34 tahun dan sebanyak 5 ibu (31,25%) yang berumur ≥ 35 tahun. 2. Terdapat 17 ibu nifas post SC (35,41%) primipara, 26 ibu (54,17%) multipara dan terdapat 5 ibu (10,42%) yang grandemulti. 3. Terdapat 1 ibu nifas post SC (2,08%) yang menjadi pegawai negeri, 18 ibu (37,5%) bekerja swasta, 2 ibu (4,17%) bekerja sebagai wiraswasta dan 27 ibu (56,25%) yang tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. 4. Terdapat 5 ibu nifas post SC (10,42%) tamat SD/sederajat, 4 ibu (8,33%) tamat SMP/sederajat, 35 ibu (72,92%) tamat
14
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
SMA/sederajat dan 4 ibu (8,33%) yang tamat perguruan tinggi. 5. Sebagian besar penyembuhan luka ibu nifas post SC di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya adalah baik yaitu sebanyak 39 ibu (81,25%), dan ibu nifas yang penyembuhan luka tidak baik sebanyak 9 ibu (18,75%). 6. Sebagian besar ibu nifas post SC di R.S. Bhakti Rahayu Surabaya memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 42 ibu (87,5%) dan terdapat 6 ibu (12,5%) memiliki status gizi buruk. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya Bulan Juni 2012. No 1
2
3
4
5
6
Variabel Umur a. < 16 tahun b. 16 – 34tahun c. ≥ 35 tahun Paritas a. Primipara (1 anak) b. Mutipara (2-4 anak) c. Grandemulti (≥ 5 anak) Pekerjaan a. Pegawai Negeri b. Swasta c. Wiraswasta d. Ibu Rumah Tangga Pendidikan a. SD/sederajat b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. Perguruan Tinggi Penyembuhan Luka a. Baik b. Tidak baik Status Gizi a. Baik b. Buruk
n
%
0 33 15
0 68,75 31,25
17 26 5
35,41 54,17 10,42
1 18 2 27
2,08 37,5 4,17 56,25
5 4 35 4
10,42 8,33 72,92 8,33
39 9
81,25 18,75
42 6
87,5 12,5
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC terdapat 39 ibu (92,85%) status penyembuhan lukanya baik dengan status gizi baik, 3 ibu nifas (7,14%) status penyembuhan lukanya tidak baik dengan status gizi baik dan terdapat 6 ibu (100%) yang penyembuhan lukanya baik dengan status gizi buruk.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Fase Penyembuhan Luka SC Dengan Status Gizi di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya Bulan Juni 2012. No 1 2
Penyembuhan Luka Baik Tidak baik Total
n 39 0 39
Status Gizi Baik Buruk % n % 92,85 3 7,15 0 6 100 81,25 9 18,75
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RSBhakti Rahayu Surabaya, sebagian besar penyembuhan lukanya baik yaitu sebanyak 39 ibu (81,25%) yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda infeksi serta telah memasuki fase proliferatif penyembuhan luka. Hasil penelitian tersebut mendukung teori Boyle (2009) yang menyatakan bahwa penyembuhan luka sendiri adalah proses pergantian selsel atau jaringan yang telah rusak dan proses penyembuhan luka terbagi menjadi 3 fase yaitu pertama fase inflamasi berlangsung pada saat pembedahan sampai hari ketiga post operasi, kedua adalah fase proliferatif dimulai sejak berakhirnya fase inflamasi sampai dengan 21 hari post operasi dan terakhir adalah fase maturasi berlangsung dari 21 hari post operasi hingga 1 atau 2 tahun post operasi, ia juga menyatakan bahwa penyembuhan luka secara fisiologis dan normal akan melewati 3 tahapan fase sesuai dengan tahapan waktu yang ada pada teori namun apabila penyembuhan luka mengalami kemunduran dan terdapat adanya tandatanda infeksi maka penyembuhan luka dikategorikan tidak baik. Penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara umum adalah usia, paritas, gizi, perawatan terhadap luka pembedahan, penyakit berat, teknik bedah yang tidak baik, kondisi mental ibu, terkontaminasinya sayatan dan pelaksanaan operasi itu sendiri.[15]Hasil 15
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
penelitian tersebut mendukung teori Oxorn (2010) yang menyatakan bahwa teknik insisi SC transversal atau melintang ini menimbulkan resolusi dalam pelaksanaan bedah obstetrik sehingga semakin memperluas indikasi SC karena teknik insisi transversal memungkinkan kelahiran perabdominan yang aman hal ini dikarenakan teknik insisi ini mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu. Namun hasil penelitian diatas bertentangan dengan teori Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa luka bersih terkontaminasi kemungkinan timbulnya infeksi adalah (3-11%).
ISSN 2085-028X
penelitian yang menyebutkan bahwa jenis insisi ini menurunkan angka kejadian perdarahan dan jenisi insisi ini proses penyembuhan lukanya cepat dan dalam perawatan lukanya juga mudah. Saat ini jumlah bedah SC semakin tinggi hal ini disebabkan karena SC merupakan langka kedaruratan yang diharapkan mampu membantu mengurangi AKI dan menurunkan angka kejadaian traumatis pada janin.
Sebagian besar penyembuhan luka ibu nifas post SC adalah baik hal ini karena ibu telah memasuki fase proliferatif penyembuhan luka yang ditandai dengan mulai tumbuh jaringan granulasi pada tepian luka dan juga ditandai dengan tidak adanya perburukkan fisiologi penyembuhan luka seperti rasa panas pada daerah luka, rasa sakit yang berlebihan, tampak kemerahan, adanya pembengkakan pada daerah luka yang biasanya diikuti eksudat. Terkadang terdapat gangguan fungsi normal pada daerah luka bahkan biasanya diikuti adanya cairan atau nanah pada daerah luka. Observasi sendiri dilakukan pada ibu yang melakukan kunjungan ulang untuk memantau kondisi ibu, bayi dan luka, Observasi juga dilakukan pada ibu yang terlalu lama dirawat di ruang nifas karena adanya gangguan penyambuhan lukanya.
Luka ibu yang baik ini juga bisa disebabkan karena banyaknya jumlah responden yang berumur antara 16–34 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang ada tolerir trauma jaringan pada usia muda lebih efektif sehingga proses penyembuhan luka ibu berlangsung baik. Hasil penelitian juga sesuai dengan teori yang berkembang bahwa penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yang apabila terjadi gangguan pada salah satu faktor maka penyembuhan luka akan menjadi terganggu atau penyambuhan luka tidak baik. Namun, kenyataan diatas juga menunjukkan masih rendahnya tingkat pengetahuan ibu nifas tentang luka SC dan perawatannya sehingga ibu melakukan hal yang dapat mengganggu proses penyembuhan seperti ibu yang takut untuk melakukan gerakan sehingga terjadi penekanan berlebih pada daerah luka sehingga penyembuhan luka tidak baik dan status gizi ibu yang juga menyumbang angka terjadinya penyembuhan luka tidak baik.
Presentase yang tinggi pada ibu yang mengalami penyembuhan luka baik kemungkinan besar disebabkan karena adanya peningkatan pada teknik pembedahan atau insisi tampak jelas dari seluruh responden ibu melahirkan melalaui jenis SC dengan teknik insisi transversal menurut teori yang berkembang jenis insisi seperti ini menyebabkan meluasnya indikasi persalinan SC karena jenis insisi ini mampu untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu serta banyak
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya, sebagian besar memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 42 ibu (87,5%) dengan ukuran LILA ≥ 23,5cm. Hasil penelitian ini didukung oleh teori Supariasa (2002) yang menyatakan bahwa ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah apabila ukurannya ≤ 23,5cm. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
16
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
gizi.[22]Penyembuhan luka menempatkan pemakaian yang lebih pada zat gizi sehingga harus dipantau status gizi ibu guna memperlancar proses penyembuhan luka.[4] Sebagian besar status gizi ibu nifas post SC adalah baik hal ini karena ibu memilliki ukuran LILA ≥ 23,5cm yang menunjukkan bahwa ibu telah mampu mencukupi kebutuhan dirinya terhadap protein dan karbohidrat. Observasi sendiri dilakukan pada ibu yang melakukan kunjungan ulang untuk memantau kondisi ibu, bayi dan luka, Observasi juga dilakukan pada ibu yang terlalu lama dirawat di ruang nifas karena adanya gangguan penyambuhan lukanya. Pengetahuan ibu tentang pentingnya zat gizi bagi tubuh meningkat, hal ini tidak lepas dari peran petugas kesehatan yang memberikan pendidikan gizi pada ibu baik saat hamil atau setelah melahirkan. Ibu nifas dan ibu hamil merupakan kelompok rawan gizi karena mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi karena selain untuk menjaga kondisi tubuh mereka harus memenuhi kebutuhan gizi anaknya namun pada kenyataannya masih ada ibu yang melakukan tarak atau pantang makan pada makanan yang mengandung protein dan karbohidrat tinggi hal ini dikarenakan masih besarnya pengaruh keluarga dan lingkungan terhadap diri ibu. Sebagian besar responden berpendidikan SMA hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak ibu yang berstatus gizi baik karena semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan yang mereka miliki sehingga mereka lebih memiliki perhatian terhadap kebutuhan gizi dirinya. Proses penyembuhan luka membutuhkan zat gizi yang lebih daripada biasanya sehingga pada ibu yang memiliki status gizi buruk harus diperhatikann secara khusus guna mencegah terjadinya komplikasi, hal ini bisa dilakukan dengan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
memperbaiki gizi sebelum operasi sehingga dapat dicegah komplikasinya. Berdasarkan Tabel 2dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya mayoritas ibu mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik yaitu sebanyak 39 ibu (92,85%). Hal ini sesuai dengan teori Suparyanto (2011) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyembuhan luka operasi dengan status gizi karena menurutnya status gizi yang buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai post operasi dan mengakibatkan pasien dirawat lebih lama di rumah sakit. Ibu yang mengalami malnutrisi akan mengalami gangguan luka karena ibu yang mengalami kekurangan energi protein akan mengalami perpanjangan fase inflamasi.[4] Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang berkembang maka dapat dilihat bahwa mayoritas ibu mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik hal ini karena status gizi memberikan pengaruh besar terhadap penyembuhan luka karena pada dasarnya penyembuhan luka adalah proses pergantian sel-sel atau jaringan yang telah rusak sehingga dalam prosesnya sangat membutuhkan zat gizi. Zat gizi sendiri memiliki fungsi yang berperan penting dalam kelangsungan hidup seseorang karena zat gizi bermanfaat untuk memelihara jaringan tubuh, mengganti selsel yang telah rusak dan merupakan penghasil energi. Zat gizi hanya bisa dipenuhi lewat asupan makanan sehingga ibu nifas diharapkan meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung zat gizi yang tinggi mengingat kebutuhan gizi mereka sangat tinggi. Zat gizi sangat memiliki pengaruh terhadap proses penyembuhan luka karena ibu yang memiliki status gizi baik akan menjadikan tubuh dalam keadaan optimal dan akan berdampak positif terhadap penyembuhan luka sementara itu ibu yang 17
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
memiliki status gizi buruk tentunya akan mengganggu proses penyembuhan luka sehingga dapat menghasilkan luka yang tidak baik karena proses penyembuhan luka ada proses dimana tubuh secara alami mengganti sel-sel yang telah rusak maka ibu yang memiliki status gizi yang buruk juga akan memperbesar resiko terjadinya gangguan penyembuhan luka karena ibu mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga ibu rentan infeksi, dehisensi dan eviserasi luka. Terutama pada ibu yang memiliki LILA ≤ 23,5 hal tersebut menunjukkan ibu mengalami kekurangan energi dan protein pada kenyataannya energi dan protein merupakan dua zat penting yang sangat dibutuhkan tubuh untuk membatu proses penyembuhan luka.
ISSN 2085-028X
6.
7.
8.
9.
10.
KESIMPULAN DAN SARAN 11. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari status gizi 48 ibu nifas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1) Penyembuhan luka baik pada ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu sebanyak 81,25%; 2) Status gizi baik ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu sebanyak 87,5%; 3) Mayoritas ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik yaitu sebanyak 92,85%.
12.
KEPUSTAKAAN
15.
1. Barasi, M. E. 2007. At Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2. Baston, H dan J. Hall. 2011. Midwifery Essentials. Jakarta: EGC. 3. Budiman. 2011. Penelitian Kesehatan.Bandung: Refika Aditama. 4. Boyle.2009. Pemulihan Luka. Jakarta: EGC. 5. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
13.
14.
16.
17. 18.
2001. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. Hidayat, A. A. A. 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. A. A. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. A. A. 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif.Surabaya: Health Books Publishing. Hidayat, A. A. A dan M. Uliyah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya: Health Books Publishing. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Norwitz, E dan Schorge, J. 2006. At a Glance Obstetri & Ginekologi.Jakarta: Penerbit Erlangga. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oxorn, H dan W. R. Forte. 2010. Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan (Human and Labour Birth).Yogyakarta: Kerjasama antara Penerbit Andi dan Yayasan Essentia Medica. Pprawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Rasjidi, Imam. 2009. Manual Seksio Sesarea & Laparotomi Kelainan Adeneksa. Jakarta: Sagung Seto. Siagan, Albiner. 2010. Epidemiologi Gizi.Jakarta: Penerbit Erlangga. Sinaga, Yusuf. 2009. Penyembuhan Luka (Wound Healing).http:// www.yusufsinaga.wordpress.com/200 9/ 04/ 19/ penyembuhan-luka. html. Diakses bulan Maret 2012.
18
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
19. Subana, M dan S. Sudrajat. 2009. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia. 20. Sujiyatini, Nurjanah, A. Kurniati.2010. Catatan Kuliah Asuhan Ibu Nifas Askeb III.Yogyakarta: Cyrillus Publisher. 21. Sulistyowati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas.Yogyakarta: Penerbit Andi. 22. Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu. 23. Supariasa, N. D. I, B. Bakri dan I. Fajar. 2012. Penilaiain Status Gizi. Jakarta: EGC. 24. Suparyanto. 2011. Konsep Infeksi Luka Operasi. http://www.drsuparyanto.blogspot.com/2011/03/kon sep-infeksi-luka-operasi.html.Diakses tanggal 27 Maret 2012.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
25. Suseno, A.T, H.S. Masruroh. 2009. Kamus Kebidanan. Yogyakarta: Citra Pustaka. 26. Soesanto, W. 2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan. Surabaya: Duatujuh. 27. Towsend, C. M, R. D. Beauchamp, B. M. Evers dan K. L Mattox. 2010. Buku Saku Ilmu Bedah Sabiston.Jakarta: EGC. 28. Wiknjosastro, H, A.B Saifuddin dan T. Rachimhadhi. Ed. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 29. Widyoko, Putro, E. 2012. Teknik Penyusunan Instrument Penelitian.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 30. Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
19
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SIDOARJO Tri Ratih Agustina**), Imam Edy Bachtiar*) **) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Diabetes Mellitusis of public health problemsthat require treatment as well, given the frequency are high enough where the increase with increasing attention to the lack of activity, lack of knowledge about to diabetes mellitus, and eating less regularly. This study aims to determine whethe rthere is relation ship Obesity With Diabetes Mellitus In Genesis Poly Space Medicine Hospital Sidoarjo. Method :This research method using analytical research methods in Observational andapproach Cross-sectional design. The population research were 30 persons obese. Sample were taken sample techniques, sampling consisting of28 persons obese. Data were collected by observation and medical records, and analysis using spearman rank correlation. Result :The results showeda majority of obese patients were as many as 12 people (42.9%) and affectedthe incidence of diabetes mellitus were 19 people (67.9%). uji spearman rank correlation results of obesity with the incidence of diabetes mellitu swas found thatp=0.000, α=0.05 thenp<α so that Hₒ rejected and H1 accepted which means there Corelation With Obesity Diabetes Mellitus Disease incidence in the Space Poly Sidoarjo Hospital Medicine. Conclusion :From the data obtained by the need to reduce excessive food and life style change with exercisein order to decrease obesity because obesity can affect diabetes mellitus. Keywords: Obesity, DiabetesMellitus PENDAHULUAN Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelebihan lemak dalam tubuh. Secara klasik obesitas telah diidentifikasikan sebagai kelebihan berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal. Obesitas tidak mempunyai penyebab tunggal, tetapi merupakan gambaran berbagai keadaan dengan latar belakang etiologi atau sejarah kejadian yang berbeda.[1] Kegemukan (obesitas) sebenarnya tidak identik dengan kelebihan berat badan, melainkan terkait dengan komposisi tubuh dimana terjadi kelebihan lemak. Kelebihan lemak tubuh inilah yang brkaitan dengan kejadian metabolic syndrome, yang merupakan resiko gangguan kesehatan pada obesitas. Telah diketahui bahwa obesitas terkait dengan metabolic syndrome yang merupakan awal terjadinya Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
penyakit degenerasi seperti hypertensi, diabetes mellitus, dyslipidemia, jantung koroner, stroke, dan kanker (Oetomo, 2011). Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak 12
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki. Tabel 1. Klasifikasi Kegemukan Berdasarkan Tingkat Kegemukan Menurut WHO. Klasifikasi Underweight (Kurus) Normal range (Normal) Overweight (Gemuk) Obesitasringan Obesitassedang Obesitasberat
BMI (Kg/m²)
Resiko Morbiditas
< 18,5
Low
18,5-24,9
Average
25,0-29,9
Mild increase
30,0-34,9 35,0-39,9
Class I obesity Class II obesity Class III obesity
≥ 40
Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang menyertai penderita obesitas. Demikian juga merupakansuatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin. Penyakit ini merupakan penyakit metabolik yang diletupkan oleh interaksi berbagai faktor : genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Penyakit Diabetes Melitus tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan tetapi juga kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor yang Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
dapat menyebabkan timbulnya penyakit Diabetes Melitus pada seseorang yaitu:[16] 1. Makan yang berlebihan Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh menumpuk secara berlebihan. 2. Obesitas (kegemukan) Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes militus. 3. Faktorgenetik Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus. 4. Kuranggerakataujarangolahraga Pada orang yang kurang gerak dan jarang olah raga, zat makanan yang masuk dalam tubuh tidak dibakar, tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. 5. Penyakitdaninfeksipadapankreas Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormonhormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. 6. Kehamilan Ibu akan menambah konsumsi makanannyadanjika produksi insulin kurang mencukupi untuk mengolahnya maka akan timbul gejala Diabetes Mellitus. Di Indonesia menurut data WHO pada tahun 2009 mencapai 8 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat menjadi lebih dari 21 juta jiwa pada tahun 2025. Itu yang membuat Indonesia menempati peringkat empat negara dengan jumlah penderita terbanyak di dunia. Terbukti di kabupaten atau kota di Indonesia di antaranya berasal dari kelompok masyarakat yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi gaya modern, dengan jumlah pengidap diabetes dengan riwayat obesitas sebanyak 4,5 juta jiwa.
13
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang Poli Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 terdapat 856 pasien diabetes mellitus dan 358 pasien yang menderita DM dengan riwayat obesitas, pada tahun 2010 terdapat 924 pasien DM dan 477 pasien yang mempunyai riwayat obesitas meningkat 12%, sedangkan bulan Desember 2011 terdapat 55 Orang penderita baru yang menderita diabetes mellitus, di antaranya ada 30 orang (55%) yang mempunyai riwayat obesitas. Berdasarkan fenomena dari data tersebut, maka peneliti bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut apakah ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian analitik adalah penelitian Observasional dan PendekatanCross sectional.Observasional adalah pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian sehingga diperoleh data dan informasi yang realistik guna membahas permasalahan yang telah dirumuskan (Rianto, 1996).Penelitian studi cross sectional merupakan jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.[15] Populasinya adalah orang yang mengalami obesitas yang berkunjung ke ruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo. Pada bulan Desember tahun 2011, terdapat 30 orang yang mempunyai kegemukan (obesitas).Jumlah sampel pada penelitian ini, yakni penentuan sampel dari jumlah pasien obesitas yang berkunjung ke ruang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo dengan menggunakan rumus : N n 1 N (d ) 2 Keterangan : N = Besar populasi n = Besar sampel d = Tingkat signifikasi (0,05) Jadi jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 28 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah aksidental sampling yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu. Sebagai contoh, dalam menentukan sampel apabila dijumpai ada, maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan sebagai sampel utama (Hidayat, 2010).Variabel bebas (Dependen) adalahObesitas. Variabel tergantung (Independen) adalahkejadian Diabetes Mellitus. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah observasi langsung kepada responden di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD SidoarjosertaData umum tentang Diabetes Mellitus dengan riwayat obesitas di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo dan data penunjang lainnya melalui Rekam medik dan dokumentasi.Analisa data dilakukan dengan analisis bevariate yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan pengujian statistik yakni Kolerasi Rank Spearman. HASIL PENELITIAN BerdasarkanTabel 2, pasien obesitas yang berkunjung diruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo, yang terdiri dari 28 orang yang obesitas dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Sebagianbesar orang yang mengalamiobesitas laki-laki yaitu sebanyak 15orang(53,6%)dan 14
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
perempuan yaitu sebanyak 13 orang (46,4%). 2. Sebagian besar berumur 21-30 tahun yaitu sebanyak 2 orang (7,1%), 31-40 tahun yaitu sebanyak 1 orang (3,6%), 41-50 tahun sebanyak yaitu 12 orang (42,9%), 51-60 tahun sebanyak yaitu 10 orang (35,7%), 61-70 tahun sebanyak yaitu 3 orang (10,7%).
5. Dari 28 orang sebagian besar obesitas ringan sebanyak 11 orang (39,2%), obesitas sedang sebanyak 12 orang (42,9%) dan obesitas berat sebanyak 5 orang (17,9%). 6. Dari 28 orang sebagian besar terjadi diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Obesitas Yang Berkunjung Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012
PadaTabel 3, hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
No 1
2
3
4
5
6
Variabel JenisKelamin a. Laki-laki b. Perempuan Umur a. 21-30 tahun b. 31-40 tahun c. 41-50 tahun d. 51-60 tahun e. 61-70 tahun Pendidikan a. SD/sederajat b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. PerguruanTinggi Pekerjaan a. Swasta/Wiraswasta b. Tidakbekerja Obesitas a. Ringan b. Sedang c. Berat Kejadian Diabetes Mellitus a. Terjadi DM b. Tidak terjadi DM
n
(%)
15 13
53,6 46,4
2 1 12 10 3
7,1 3,6 42,9 35,7 10,7
4 7 13 4
14,3 25 46,4 14,3
21 7
75 25
11 12 5
39,2 42,9 17,9
41 104
28 72
3. Sebagian besar menempuh pendidikan SD yaitu sebanyak 4 orang (14,3%), SMP yaitu sebanyak 7 orang (25,0%), SMA sebanyak yaitu 13 orang (46,4%), Perguruan Tinggi sebanyak yaitu 4 orang (14,3%). 4. Sebagian besar responden pada pekerjaan Swasta/Wiraswasta yaitu sebanyak 21 orang (75,0%) dan tidak bekerja yaitu sebanyak 7 orang (25,0%). Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Tabel3.Tabulasi Silang Frekuensi Obesitas Terhadap Kejadian Diabetes Mellitus Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012.
No
1 2 3
Kejadian Diabetes Mellitus Obesitas Tidak Terjadi terjadi ∑ % ∑ % Ringan 3 27,2 8 72,8 Sedang 11 91,7 1 8,4 Berat 5 100 0 0 p = 0,000
PEMBAHASAN Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 28 orang sebagian besar obesitas ringan sebanyak 11 orang (39,2%), obesitas sedang sebanyak 12 orang (42,9%) dan obesitas berat sebanyak 5 orang (17,9%). Dan orang yang terkena obesitas paling banyak terdapat pada obesitas sedang sebanyak 12 orang (39,2%). Menurut Sutanto (2010), seorang beraktivitas/kegiatan berkurang dan terjadi penurunan kegiatan sel- sel tubuh, Metabolisme menurun, kebutuhan kalori menurun sehingga mengalami kegemukan 15
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
atau obesitas. Keadaan ini kurang disadari oleh masyarakat luas, dengan asupan makanan yang berlebihan dan kegiatan yang menurun mengakibatkan tubuh akan menumpuk kelebihan makanan dalam tubuh, yang akhirnya mengakibatkan kegemukan bahkan menjadi obesitas. Berdasarkan hasil pengamatan di ruang Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo penyebab obesitas pada pasien yang berkunjung karena kurangnya aktivitas/olah raga dan makan yang kurang teratur, walaupun di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo telah diberikan penyuluhan dan brosur oleh para perawat dan dokter disana tentang bahaya bagi kesehatan terutama penyakit diabetes mellitus, tetapi para pasien yang berkunjung di sana kurang memperhatikan penyuluhan tersebut, hal ini dapat berdampak kurangnya pengetahuan pada pasien yang berkunjung disana, tetapi obesitas bukan penyebab utama diabetes mellitus, ada beberapa faktor- faktor yang berkaitan dengan kejadian diabetes mellitus yaitu genetik, kurang bergerak/ jarang berolah raga, makan yang berlebihan, penyakit dan infeksi pada pangkreas dan kehamilan. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004 yang berjudul Hubungan Antara Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus Pada Masyarakat di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung yang menghasilkan ada hubungan antara obesitas dengan kejadian diabetes mellitus. Berdasarkan Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 28 orang sebagian besar terjadi diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%). Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin, asupan glukosa (atau produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
akan disimpan sebagai glikogen dalam selsel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah hiperglikemia (kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada Diabetes Mellitus glukosa tidak dapat melewati membran sel, sehingga sel-sel kekurangan makanan, hal ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula dalam tubuh sehingga tubuh berusaha memperoleh cadangan gula dari makanan yang diterima dengan memperbanyak asupan makanan (poliphagia). Apabila insulin tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar gula normal, menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat, dimana saat kadar gula dalam darah melebihi ambang ginjal sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkannya melalui air kencing dengan frekuensi yang sering (poliuria). Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan akibat dari sering kencing tadi secara otomatis akan timbul rasa haus yang menyebabkan keinginan untuk terus minum (polidipsi). Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resitensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada diluar sel, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Soegondo, S, dkk, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan di ruang Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo penyebab diabetes mellitus pada pasien yang berkunjung karena masih banyak kurangnya perhatian aktivitas/olah raga untuk menurunkan berat badan, kurang pengetahuan tentang bahaya obesitas yang menyebabkan diabetes mellitus, dan makan yang kurang teratur, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan pasien yang berkunjung di poli penyakit dalam RSUD Sidoarjo. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di 16
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Desa Bendosari Kecamatan Tulungagung pada tahun 2004.
ISSN 2085-028X
Ngantru
Berdasarkan Tabel 3 menjelaskan bahwa dari 28 orang hasil distribusi antara obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus di Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo adalah pada orang yang mengalami kejadian Diabetes Mellitus pada obesitas berat sebanyak 5 orang (100%), sedangkan obesitas sedang sebanyak 11 orang (91,7%) dan obesitas ringan sebanyak 3 orang (27,2%). Pada orang yang tidak mengalami kejadian Diabetes Mellitus pada obesitas ringan sebanyak 8 orang (72,8%), sedangkan obesitas sedang sebanyak 1 orang (8,4%) dan obesitas berat (0%). Bedasarkan hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1 diterima artinya ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Peran tenaga kesehatan dalam masalah ini adalah dengan memberikan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat umum, pengetahuan tentang realitas masalah obesitas terhadap resiko terjadinya penyakit yang menyertai penderita obesitas terutama diabetes mellitus, sehingga menambah pengetahuan masyarakat serta secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berpola hidup sehat. Sedangkan peran pada masyarakat adalah bisa memberikan olah raga senam setiap seminggu sekali untuk menurunkan berat badan penderita diabetes mellitus gemuk supaya resiko terjadinya penyakit diabetes mellitus dengan riwayat obesitas bisa menurun. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembulu darah.[22] Penderita diabetes mellitus dengan riwayat obesitas dianjurkan latihan jasmani atau olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, sedangkan olahraga sedang dengan cara joging selama 20 menit. Untuk makanan dianjurkan diet hipokalori biasanya memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan mempunyai potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka lama. Perencanaan makanan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 28pasienobesitas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1) dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar yang mengalami Obesitas sedang sebanyak 42,9%; 2) sebanyak 67,9% orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar yang mengalami diabetes mellitus, dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 32,1%; 3) berdasarkan hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellituspada 28 orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada hubungan obesitas dengan kejadian diabetes mellitus di Ruang Poli Penyakit Dalam Rsud Sidoarjo. Saran 17
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut:1) perlunya para masyarakat memperhatikan pola makan dan menjaga keteraturan berolah raga sehingga tidak mengalami kegemukan atau obesitas yang sangat berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Mellitus; 2) perlunya bagi petugas kesehatan untuk terhindar dari kegemukan atau obesitas dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar terhindar dari obesitas yang sangat berpengaruh kepada kejadian Diabetes Mellitus; 3) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh hasil yang lebih baik; 4) menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dengan masalah dan metode yang berbeda. KEPUSTAKAAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Agus K, Budiyanto.2002. Gizi dan Kesehatan.Malang: Bayu Media UMM Press. American Diabetes Association.1999. “Proposal Obesitas antara Diabetesmellitus”.(http://www.Propos al/bahan /kaitan-antara-obesitas-dandiabetes. html). Diakses tanggal 25 Desember 2011. Arisman.2011. Obesitas, Diabetes Mellitus, & Dislipidemia.Jakarta: EGC. Askandar Tjokroprawiro.2001. Diabetes Mellitus.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Baido, Rasid Darma.2011. Hubungan antara Obesitas dengan Diabetes Mellitus.(file://E:/Proposal/PERLENG KAPAN%20SKRIPSI/bahan/kaitanantara-ob- esitas-dan-diabetes.html). Diakses tanggal 16 januari 2012. Beta Kulinet.2009. Faktor Penyebab Diabetes Mellitus, (http://www. kulinet.com/baca/faktor-penyebab-dia -betes-mellitus/974/).Diakses tanggal 03 Januari 2012. Compasiana.2011. Bahaya Obesitas. (http://kesehatan.kompasiana.com/me
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
8.
9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
16.
17. 18. 19.
20.
21.
dis/2011/03/09/bahaya-obesitas/).Diakses tanggal 05 januari 2012. Depkes RI. 2011. Obesitas.(www.new-medical.net). Diakses tanggal 20 Desember 2011. Drahani.2008. Penyebab Diabetes Mellitus. (http://drahani.wordpress. com/2008/03/05/penyeban-diabetesmelitus/). Diakses tanggal 03 Januari 2012. Emma S, Wirakusumah.2001. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hotma, Rumaharjo.1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan GangguanSistemEndokrin. Jakarta: EGC. Lanywati, Endang.2001. Diabetes Mellitus.Yogyakarta: Kanisius. Mary. C. Moore.1997. Terapi Diet dan NutrisiEdisi II. Jakarta: Hipokrates. Niwana SOD.2011.Obesitas. (http://niwanasod.net/obesitas/). Di-akses tanggal 20 Desember 2011. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperwatan. Salemba Medika: Jakarta. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 2011. Apa Itu Obesitas. (http://www.news-medical.net/health/ What-is-Obesity %28Indonesian%29. aspx).Diakses tanggal 20 Desember 2011. Proverawati, Atikah.2010. Obesitas. Yogyakarta: Nuha Medika. Sjaifoelllah, Noer 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Gramedia Pustaka. Smeltzer, Suzane C, dkk.2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC. Soesanto, Wibisono.2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan. Surabaya: Duatujuh. Sudoyo, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 18
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
PENGARUH PEMIJATAN BAYI TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN DIDESA LARANGAN TOKOL KECAMATAN TLANAKAN KABUPATENPAMEKASAN Faridah **), Iwan Septian Nasar*) **) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Growth development of baby’s in 4 – 6 months age is a rapid growth, so if the baby’s weight cannot be increased according to its age, is risked of an interruption growth. Stimulation or massage can improve metabolisme of organ and cell, so that improve formation for new cells. The purpose of study was to determine the massage for baby’s in the increase weight. Method :The design of this studies uses a quasi-experimental with approach non-equevalen control group. Population in this study is baby’s in 4 – 6 months age who lived in Larangan Tokol village at May – June 2012 counted 57 baby’s. Samples taken were 20 baby’s who met the inclusion criteria and divided into 10 baby’s treated group and 10 baby’s control group. Data were analyzed with statistical Paired T-Test and Independent T-Test, with a significance level of p ≤ 0.05. Result :The results of observation obtained mean of baby's weight in the treated group before and after the intervention is 7750 grams and 8250 grams, in the control group is 6760 grams and 7190 grams. From statistical Paired T-Test on treatment group, the correlation is very strong than in the control group, and the probability of the two groups is p=0.001. Independent T-Test on the control and treatment groups after the intervention are differences in average weight with a value of p=0.001. Conclusion :Result revealed to showed that the effect of massage the stimulate of nerves vagus that add to this peristaltic so that rapid hungry and the growth to food intake the increase of bodyweight. The reccommendated is to mothers, always to give the massage to her baby, because is more important to the increase of bodyweight according to their age. Keywords : Infant Massage, Body Weight Increase PENDAHULUAN Pijat bayi adalah terapi sentuh tertua dan terpopuler dari seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang telah dipraktekan sejak berabad-abad silam, dengan merangsang sistem sensorik dan motorik untuk memperoleh kondisi optimal pada masa bayi dan mempertahankan rasa aman (Roesli, 2001). Pijat memberi kesempatan pada orang tua untuk mengenal tubuh bayinya, membantu bayi untuk rileks, serta menciptakan hubungan yang erat antara orang tua dan anak. Pemijatan pada bayi akan merangsang nervus vagus, dimana saraf ini akan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
meningkatkan peristaltik usus sehingga pengosongan lambung meningkat dengan demikian akan merangsang nafsu makan bayi untuk makan lebih lahap dalam jumlah yang cukup. Selain itu nervus vagus juga memacu produksi enzim pencernaan sehingga penyerapan makanan maksimal. Disisi lain dengan pijat juga melancarkan peredaran darah dan meningkatkan metabolisme sel, dari rangkaian tersebut berat badan bayi akan meningkat.[7] Manfaat pijat yaitu: Meningkatkan produksi air susu ibu, meningkatkan berat badan, dan membuat bayi tidur lebih lelap
19
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga saat bangun konsentrasi bayi meningkat. Saat yang optimal untuk memijat bayi adalah umur 3 bulan, dimana waktu yang ibu miliki adalah saat yang tepat untuk melakukan pemijatan dengancara menyediakan waktu khusus agar tidak terganggu oleh kesibukan lain kurang lebih selama 15-30 menit. Pemijatan lebih baik dilakukan pagi hari saatbayi siap memulai hari dan pada waktu malam untuk membantu bayitidur lebih nyenyak. Pada bayi usia 4-6bulan mengalami masa pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga perlu menjaga berat badan bayi sesuai umur.Berat badan ini sangat dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, tingkat kesehatan, status gizi dan latihan fisik (Widyani, 2003). Begitu banyak faktor yang mempengaruhi sehingga perlu diupayakan untuk menjaga agar berat badan normal sesuai dengan umur, dengan cara: memenuhi kebutuhan gizi bayi baik secara kuantitas maupun kualitas, menjaga lingkungan yang kondusif yaitu membuat suasana tempat tinggal yang nyaman dan sanitasi yang baik, menjaga kesehatan bayi dengan memberi imunisasi dan kontrol ke pelayanan kesehatan, dan yang terakhir memberi stimulus. Stimulus yang diberikan berupa stimulasi taktil. Stimulus taktil yang dapat diberikan yaitu pemijatan, karena dengan pijat tersebut dapat merangsang otot - otot tulang dan sistem organ untuk berfungsi secara maksimal (Soetjiningsih, 1998). Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain, sehingga dipakai untuk indikator yang baik mengetahui keadaan gizi dan pertumbuhan (Soetjiningsih, 1998).BB ditentukan oleh keseimbangan antara masukan kalori dan pelepasan energi. BB ini sangat dipengaruhi oleh genetik, sedang faktor lingkungan berpengaruh kurang lebih Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
30%. Penambahan BB merupakan proses yang teratur, dimana pertumbuhanya pada Triwulan II(500-600gram/bulan), Triwulan III (350-450 gram/bulan), Triwulan IV (250-350 gram/bulan). Tabel 1. Panjang tubuh normal bayi usia 4-7 bulan NO
USIA(Bulan)
PANJANG TUBUH (Centimeters)
1
4
56,5 – 62,5
2
5
58,0 – 64,5
3
6
59,0 – 66,0
4
7
60,5 – 67,5
Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan pertumbuhan bayi (Soetjiningsih,1998).Kenaikan berat badan bayi sesuai umur sangat diharuskan. Bila berat badan tidak naik akan berdampak pada tumbuh kembang anak dan menurunnya daya tahan tubuhnya sehingga mudah terkena penyakit [8] infeksi. Penyakit infeksi pada masa pertumbuhan bayi sangat berbahaya karena penyakit tersebut dalam tubuh bayi akan mengakibatkan penurunan nafsu makan sehingga pemasukan gizi kurang akibatnya gizi bayi buruk. Sebaliknya bila bayi mengalami gizi buruk, kemampuan bayi untuk melawan infeksi menurun. Keadaan ini bila berlanjut dapat membawa akibat yang fatal berupa kematian. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan buruk masing-masing 18,4% dan 36,8% sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusimasalah gizi. Walaupun pada tahun 2010prevalensi gizi kurang dan buruk menurun menjadi masing-masing 17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yangperlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayahrawan, di provinsi Jawa Timur menemukan bayi dengan gizi buruk sebanyak 13,3%, 20
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga perlu dilakukan penanggulangan yang spesifik.[11] Pada usia 4-6 bulan bayi mulai ditinggalkan untuk bekerja atau kesibukan yang lain. Kondisi tersebut akan mengakibatkan trauma kejiwaan sebagai akibat perpisahan dengan ibu, sehingga selera makan anak akan turun.[5] Keadaan ini tidak didukung oleh perilaku ibu untuk melakukan pemijatan bayi guna merangsang peningkatan nafsu makan bayi sehingga masukan nutrisi meningkat dengan ditandai berat badan bayi meningkat sesuai usia. Namun saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh pijat bayi (4-6 bulan) terhadap peningkatan berat badan. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan di dapat data awal yaitu bayi yang lahir pada tahun 2012 di Desa Larangan Tokol sejumlah 102. Pada bulan Februari dilakukan penimbangan berat badan terhadap 10 bayi di Desa Larangan Tokol dan membandingkan dengan berat badan sebelumnya yaitu pada usia bayi 1, 2, dan 3 bulan, didapatkan 70% yang pada KMS-nya menunjukkan arahpanah ke atas dalam indek >80%yaitupertumbuhan anak baik, 20% arah panah datar dalam rentang indek 60-70% yaitu pertumbuhan kurang baik, memerlukan perhatian khusus, dan 10% Arah panah ke bawah dalam indek 60%, memerlukan tindakan segera. Dari uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian guna mempelajari pengaruh pijat terhadap peningkatan berat badan bayi di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada ibu dan perawat khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan ibu dan anak. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Penelitian ini dilakukan di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. Adapun pelaksanaan penelitian pada tahun 2012.Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah quasieksperiment dengan pendekatan nonequivalen control group atau nonrandomized control group pretest-posttest design yaitu penelitian untuk membandingkan hasil intervensi dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang serupa tapi tidak benar-benar sama dengan pengelompokan sampel tidak secara random.[3] Populasi pada penelitian ini adalah semua bayi yang berusia 4-6 bulan yang tinggal di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan pada bulan Februari 2012, sebanyak 57 bayi.Sampel pada penelitian ini adalah semua dari populasi yang ada. Penelitian ini menggunakan sampling nonprobability dengan metode purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti. Pada penelitian ini variabel independen yang digunakan adalah pemijatan, sedangkan variabel dependen adalah berat badan. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah observasi dan kuesioner. Teknik pengambilan data dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu A10 adalah bayi yang dapat perlakuan pemijatan dan penimbangan berat badanpada minggu 1, 2, 3 dan minggu ke4. Kelompok kedua yaitu B10 adalah bayi yang tidak diberi pemijatan hanya sebagai kontrol, dengan tetap melakukan observasi keadaan bayi terutama berat badan dengan menimbang berat badan bayi pada minggu 1, 2, 3 dan minggu ke-4. Data diolah dan diuji dengan menggunakan uji statistic Paired t-test, tingkat kemaknaan p<α (0,05) dengan 21
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
tujuan membandingkan nilai sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan perlakuan. Untuk membandingkan peningkatan berat badan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah dilakukan pijat bayi dengan uji Independent T-Test.
Tabel 2. Distribusi bayi Berdasarkan Umur dan Masukan Makanan Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan Mei 2012 No 1
HASIL PENELITIAN 2
Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan karakteristik bayi berdasarkan umur dan masukan makanandi Desa Larangan Tokol Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan: 1. Hampir setengah bayi mempunyai umur 5 bulan yaitu (45%), 4 bulan (40%), dan sisanya (15%) berumur 6 bulan. 2. Seluruh bayi (100%) mempunyai masukan makanan tiap harinya yaitu ASI dan PASI (makanan tambahan).
Tabel 3
Variabel Umur c. 4 bulan d. 5 bulan e. 6 bulan MasukanMakanan f. ASI g. ASI & PASI
Jumlah
(%)
8 9 3
40 45 15
0 20
0 100
Dari hasil kedua distribusi data yaitu pada Tabel 3 dan Gambar 1, didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan saat sebelum intervensi rata-rata berat badan bayi 7750 gram dan sesudah intervensi rata-rata berat badan bayi 8250 gram, sedangkan pada kelompok kontrol saat sebelum intervensi rata-rata berat badan bayi 6760 gram dan sesudah intevensi rata-rataberat badan bayi 7190 gram.
Distribusi Data Berat Badan Bayi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Intervensi Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan Mei-Juni 2012. BAYI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata - Rata Berat Badan
PERLAKUAN SEBELUM SESUDAH 8100 Gram 8400 Gram 8200 Gram 8500 Gram 8000 Gram 8500 Gram 7800 Gram 8300 Gram 7500 Gram 8100 Gram 7300 Gram 8000 Gram 7700 Gram 8200 Gram 7400 Gram 8000 Gram 7900 Gram 8400 Gram 7600 Gram 8100 Gram
KONTROL SEBELUM SESUDAH 6500 Gram 6900 Gram 6300 Gram 6600 Gram 6700 Gram 7100 Gram 7300 Gram 7800 Gram 7000 Gram 7500 Gram 7100 Gram 7700 Gram 6900 Gram 7300 Gram 6400 Gram 6800 Gram 6800 Gram 7200 Gram 6600 Gram 7000 Gram
7750 Gram
6760 Gram
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
8250 Gram
7190 Gram
22
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Gambar 1. Distribusi Data Berat Badan Bayi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Intervensi Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan Mei-Juni 2012.
Tabel 4. Analisis Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Peningkatan Berat Badan Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan Mei-Juni 2012 KELOMPOK VARIABEL Perlakuan Kontrol Post-test Perlakuan dan Kontrol
UJI STATISTIK
RATA - RATA
P. CORELASI
PROBABILITAS
Paired T-Test
500 Gram
0,001
0,001
430 Gram
0,001
0,001
Independent T-Test
Dari Tabel 4, didapatkan hasil uji statistik Paired T-Test pada kelompok perlakuan korelasi antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi menghasilkan probabilitas 0,001dengan rata-rata peningkatan berat badan 500 gram yang berarti bahwa antara berat badan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi kuat, maka pemijatan pada bayi tersebut efektif dalam meningkatkan berat badan secara nyata dengan nilai p= 0,001, sedangkan pada kelompok kontrol, korelasi antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi menghasilkan probabilitas 0,001dengan rata-rata peningkatan berat badan 430 gram, hal ini menunjukkan bahwa antara berat badan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi tidak kuat dan meskipun tidak diberikan pemijatan secara
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
p = 0,001
nyata berat p=0,001.
badannaik
dengan
nilai
Dari hasil uji statistik Independent T-Test, didapatkan hasil pada kedua kelompok post-test antara berat badan kelompok perlakuan atau bayi yang mendapatkan pemijatan dengan kelompok kontrol atau bayi yang tidak mendapatkan pemijatan ada perbedaan rata-rata berat badan dengan nilai probabilitas 0,001. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Larangan Tokol Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan, didapatkan hasil rata-rata berat badan bayi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum 23
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
dilakukan intervensi yaitu pada kelompok kontrol rata-rata berat badannya 6760 gram, sedangkan pada kelompok
perlakuan rata-rata berat badannya 7750 gram.
Pemijatan bayi bisa dilakukan segera setelah bayi lahir dan waktu yang optimal adalah umur 3 bulan, dimana waktu yang ibu miliki adalah saat yang tepat untuk melakukan pemijatan dengan cara menyediakan waktu khusus agar tidak terganggu oleh kesibukan lain dan pemijatan lebih baik dilakukan pagi hari saat bayi siap memulai hari dan pada waktu malam untuk membantu bayi tidur lebih nyenyak, karena proses terjadinya pertumbuhan yang optimal terjadi pada saat bayi tertidur pulas dan juga membantu agar bayi tidak rewel dimalam hari.
rata berat badannya 8250 gram dengan kenaikan rata-rataberat badan 500 gram. Penambahan berat badan merupakan prosesyangteratur,dimana pertumbuhanya pada Triwulan II (500-600 gram/bulan), Triwulan III (350-450 gram/bulan), Triwulan IV(250-350 gram/bulan) (Rubiati, 2004). Beratbadan meningkat khas dantetap dengan kecepatan sekitar 25 gram sehari selama beberapa bulan pertama, berlipat 2 kali berat badan lahir pada umur 5 bulan dan berlipat 3 kali padaakhir tahun pertama.[2] Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pentingnya untuk mencatat secara teratur berat badan bayi pada waktu tertentu untuk memastikan bahwa pertumbuhan berlangsung normal dan untuk menilai pertumbuhan fisik anak, sering digunakan ukuran antropometrik, yaitu berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan yang tergantung dengan umur dan tergantung dengan tinggi badan. Berat badan juga merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak, cairantubuh dan lain-lain, sehingga dipakai untuk indikator yang baik mengetahui keadaangizi dan pertumbuhan.
Pemijatan pada bayi juga mendapatkan banyak manfaat seperti meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh, membina ikatan kasih sayang orang tua dan anak, mengurangi stress dan keadaan tersinggung, kebugaran otot, mempercepat perkembangan otak dan sistem saraf. Hal tersebut diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan Chynthia Mersmann (2004) yang juga menambahkan dari manfaat pijat bayi yaitu bahwa ibu yang memijat bayinya akan memproduksi ASI perah lebih banyak dari pada kelompok kontrol. Ketika payudara yang satu disusukan maka air susu dari payudara sebelahnya yang tidak disusukan akan menetes lebih deras. Air susu ibu yang mengalir deras ini tentu dapat disimpan dan dimanfaatkan saat ibu bekerja. Peningkatan volume ASI perah dapat meningkatkan lamanya masa pemberian ASI secara ekslusif pada ibuibu yang bekerja. Rata-rata berat badan bayi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sesudah dilakukan intervensi yaitu pada kelompok kontrol rata-rata berat badannya 7190gram dengan kenaikan rata-rata berat badan 430 gram, sedangkan pada kelompok perlakuan rataJournal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Rata-rata peningkatan berat badan pada kelompok perlakuan 500 gram dan pada kelompok kontrol 430 gram. Dengan uji Paired T-Testdidapatkan bahwa kelompok perlakuan korelasinya sangat kuat dari pada kelompok kontrol dengan nilai probabilitas kedua kelompok p=0,001, keadaan ini menunjukkan bahwa masukan nutrisi pada kelompok perlakuan lebih baik dari pada kelompok kontrol. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil uji Independent T-Test yang didapatkan bahwa ada perbedaan rata-rata berat badan antara bayi yang mendapatkan pemijatan dengan bayi yang tidak mendapatkan pemijatan dengan nilai p=0,001. 24
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Pemijatan berpengaruh terhadap paningkatan berat badan, meskipun peningkatan berat badan pada kedua kelompok tersebut masih ada yang dibawah standar yaitu menurut Rubiati (2004) 500-600 gram/bulan, sehingga pemijatan yang dilakukan tidak maksimal oleh peneliti atau faktor genetik bayi yang lebih menonjol.Seperti yang disebutkan Ganong (1999) bahwa berat badan ditentukan oleh keseimbangan antara masukan kalori dan pelepasan energi dan berat badan ini sangat dipengaruhi oleh genetik, sedang faktor lingkungan hanya berperan kurang dari 30%.[6] Tetapi bila dilihat pada berat badan awal, pada kelompok perlakuanrata-ratanya lebih baik dari pada kelompok kontrol dan berat badan setelah empat minggu menunjukkan bahwa berat badan bayi meningkat dengan rata-rata kelompok perlakuan tetap baik dari pada kelompok kontrol menunjukkan hasilnya bias dan tidak maksimal karena rata-rata berat sangat kuat dari pada kelompok kontrol dengan nilai probabilitas kedua kelompok (p=0,001), keadaan ini menunjukkan bahwa masukan nutrisi pada kelompok perlakuan lebih baik dari pada kelompok kontrol. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil uji Independent T-Test yang didapatkan bahwa ada perbedaan rerata berat badan antara bayi yang mendapatkan pemijatan dengan bayi yang tidak mendapatkan pemijatan dengan nilai (p=0,001).
ISSN 2085-028X
badan awal bayi sudah berbeda. Dari hasil tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan Ganong (1999) bahwa pertumbuhan setiap individu bervariasi dan bersifat linier dengan proses episodik, yang mana penyebabpertumbuhan episodik tidak dapat diketahui.[6] KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari pengaruh pemijatan pada 57 bayi, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1) hasil rerata berat badan bayi pada kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dilakukan intervensi yaitu 6760 gram dan 7750 gram; 2) hasil rerata berat badan bayi pada kelompok kontrol dan perlakuan sesudah dilakukan intervensi yaitu 7190 gram dan 8250 gram, dengan kenaikan rerata 430 gram dan 500 gram; 3) pada uji Paired T-Test didapatkan bahwa kelompok perlakuan korelasinya kepada kader posyandu agar dapat memberikan contoh pada ibu balita cara melakukan pemijatan bayi yang benar; 3) hendaknya perawat anak dan maternitas melakukan pemijatan sebagai salah satu implementasi keperawatan pada bayi atau anak yang dirawat di ruangan tersebut; 4) pemijatan pada bayi sebaiknya dilakukan minimal 2 kali seminggu selama kurang lebih 10-20 menit setiap melakukan pemijatan; 5) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemijatan terhadap tumbuh kembang anak.
Saran KEPUSTAKAAN Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut: 1) perlu dilakukan penyuluhan, demonstrasi dan pembagian leaflet oleh petugas kesehatan supaya ibuibu termotivasi untuk melakukan pemijatan pada bayinya, hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan posyandu; 2) pelatihan pemijatan bayiperlu diberikan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
1.
2.
Arikunto, S.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: RinekaCipta. Cunningham,R.G.1995.Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Notoatmodjo,S. 2002.MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta. 25
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
3.
4. 5.
6. 7.
Damos 674.2009. Cara Melakukan Pijat Bayi.http://zonanugera. wordpress.com/2009/11/04/cara-mela kukan-pijatan-pada-bayi/.Diakses tanggal 30 Maret 2012. Jam 12.00 WIB. Ebrahim,G. 1994. Perawatan Anak. Yogyakarta: YayasanEssentia Medika Ganong, William F.1999. Buku Ajar FisiologiKedokteran;Edisi 17.Jakarta: EGC. Guyton,A.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran;Edisi 9.Jakarta: EGC. Harahap,N, etal.2001. Pengaruh Pemberian Konseling Gizi dan Kesehatan Pada Ibu atau Pengasuh Terhadap Pertambahan Berat Badan dan Perkembangan Motorik Anak Kurang Gizi Penderita ISPA; Journal Of The Indosian Nutrition Association; Hal.25; 11-19.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
8.
Hidayat, A.A.2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.Jakarta: Salemba Medika. 9. Hogg and Blau.2002. Secret Of The Baby Wispherer: Cara Efektif Menenangkan dan Berkomunikasi dengan Bayi Anda Dari Perawatan Bayi Sampai Perawatan Ibu Paska Melahirkan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 10. Kemenkes, RI.2010.Riset Kesehatan Dasar 2010.http://www.bappenas .go.id/get-fileserver/node/10655l.Diakses tanggal 04 Februari 2012, Jam 19.07 WIB. 11. Mansjoes,A, et al. 2000.KapitaSelektaKedokteran;Edisi 3.Jakarta: Media Aesculapius. 12. Moehji,S. 1992. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita.Jakarta: Bhratara.
26
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN PERSEPSI PELAYANAN JAMPERSAL DENGAN TINGKAT KEPUASAN IBU BERSALIN DI BPS HJ. MAMIK AMD. KEB SURABAYA Wiwik Widiyawati**), LenyWijayanti*) **) Dosen Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Perceptionis a process of stimulus received by individual sthrough their responses. These perceptions affect the grade of patient satisfaction, in which patient satisfactionis an integral part of quality and thorough service. Based on data from the Health Department of Surabaya in 2011, only 64.08%, which is supported Jampersal. The purposeof this study is to known the correlation between perceptions of service jampersal maternal satisfaction with the gradel in BPS Hj. Mamik Amd., Keb., Surabaya. Method :The study design was cross sectional analytictype, major subject of study of 20 mothers. Research instrument in the form of questionars and data analysis using the Lambda test. Result :The results obtained were 11 women(55%) have agood perception, 6 women(54.5%) were satisfied and 6 women(66.7%) are dissatisfied. Lambda symmetric with a significance value of p<α (0 012 <0.05), then Ho is rejected, which means there is a correlation between perceptions of service Jampersal maternal satisfaction with the level in BPS Hj. Mamik, Amd.,Keb Surabaya. Conclusion :From the data obtained most of the mothers who have agood perception of satisfaction, while the majority of mothers who have less perception was not satisfied with the service Jampersal. Thus expected to maintain and further improve the quality and service by providing quality facilities and good service so that it can affect the perception of the mother and increase patient satisfaction. Keywords: Perception, Satisfaction PENDAHULUAN Persepsi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pengindraan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui responnya. Stimulus dilanjutkan ke sususnan syaraf otak dan terjadilah proses kognitif sehingga individu mengalami persepsi (Walgito, 1997). Krech dan Field (1997) yang dikutip oleh Rahmat (2000) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan persepsi adalah : 1. Faktor Perhatian Perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah. Perhatian dapat terjadi bila kita Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
2.
3.
mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan masukan-masukan yang datang dari alat indera lain. Faktor Fungsional yang menentukan persepsi. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk dengan apa yang kita sebut dengan faktor personal. Faktor-faktor personal tersebut adalah pengalaman sendiri, motivasi dan kepribadian. Faktor Struktural. Faktor struktural berasal dari sifat stimulus fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkan pada sistem syaraf individu. Para psikologis Gestalt merumuskan prinsip persepsi yang 27
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
bersifat struktural yang mengatakan bahwa kita mempersepsikan sesuatu sebagai suatu keseluruhan, kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Kepuasan pelanggan adalah tanggapan pelanggan terhadap kesesuaian tingkat kepentingan atau harapan (Ekspektasi) pelanggan sebelum mereka menerima jasa pelayanan dengan sesudah pelayanan yang mereka terima.[11] Kepuasan pasien mempunyai peran penting dalam perkiraan kualitas pelayanan. Kepuasan dapat dianggap sebagai pertimbangan dan keputusan penilaian pasien terhadap keberhasilan pelayanan (Donabedian, 1980). Kepuasan pasien adalah salah suatu ukuran kualitas pelayanan perawatan dan merupakan alat yang dapat dipercaya dalam membantu menyusun suatu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari suatu sistem pelayanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien: 1) kinerja tenaga kesehatan yaitu perilaku atau penampilan tenaga kesehatan dalam proses pelayanan kesehatan pada pasien, yang meliputi ukuran: layanan medis, layanan non medis, tingkat kunjungan, sikap, dan penyampaian informasi; 2) kondisi fisik yaitu keadaan sarana tempat pelayanan kesehatan dalam bentuk fisik seperti kamar rawat inap, jendela, tempat tidur, kasur dan sprei; 3) makanan dan menu yaitu kualitas jenis atau bahan yang dimakan atau dikonsumsi pasien setiap harinya seperti nasi, sayuran, ikan, daging, dan minuman. Menu makanan adalah pola pengaturan jenis makanan yang dikonsumsi pasien; 4) sistem administrasi pelayanan yaitu proses pengaturan atau pengelolaan pasien yang harus diikuti oleh pasien, mulai dari masuk sampai fase rawat inap; 5) pembiayaan yaitu sejulah uang yang harus dibayarkan kepada petugas kesehatan selaras dengan pelayanan yang diterima oleh pasien, seperti biaya obat-obatan, makanan, dan kamar; 6) kondisi kesehatan pasien Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
meliputi diagnosis penyakit, proses pengobatan dan tindakan medis, dan hasil pelayanan. Tingkat kepuasan pasien dapat diukur baik secara kualitatif (dengan membandingkan) ataupun kuantitatif dan ada banyak cara untuk mengukur tingkat kepuasan pasien. Tingkat kepuasan pasien yang akurat sangat dibutuhkan dalam upaya peningkatan mutu layanan kesehatan. Oleh sebab itu, pengukuran tingkat kepuasan pasien perlu dilakukan secara berkala, teratur, akurat dan berkesinambungan.[12] Jampersal merupakan jaminan pembiayaan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) bertujuan untuk menjamin akses pelayanan persalinan yang dilakukan dokter atau bidan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Sasaran Jampersal dalah seluruh ibu hamil yang belum mempunyai Jaminan Kesehatan yakni: 1) ibu hamil; 2) ibu bersalin;3) ibu nifas (pasca melahirkan sampai 42 hari); 4) bayi baru lahir usia 028 hari. Peserta jampersal berhak memanfaatkan pelayanan kesehatan di seluruh jaringan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan lanjutan. Pelayanan persalinan tingkat pertama adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan berwenang memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan, persalinan, nifas, dan bayi baru lahir. Pelayanan persalinan tingkat lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga spesialistik yang terdiri dari pelayanan kebidanan dan neonatus kepada ibu hamil, bersalin, nifas serta bayi dengan resiko tinggi dan komplikasi di rumah sakit pemerintah dan swasta yang tidak dapat ditanagni pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan 28
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
dilaksanakan berdasarkan rujukan, kecuali pada kondisi kegawat daruratan. Jaminan Persalinan dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan. Dengan demikian diharapkan kehadiran Jampersal dapat mengurangi terjadinya tiga terlambat sehingga dapat mengakselerasi tujuan pencapaian MDG’s nomor 4 dan 5. Namun pada kenyataannya, sejak di keluarkan program Jampersal masih ada warga negara yang tidak dapat mengakses layanan ini. Menurut data dari Depkes, kepesertaan Jampersal tahun 2011 berjumlah 60,4 juta jiwa. Padahal jumlah sasaran (kuota) peserta Jampersal tahun 2011 yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan sebanyak 76,4 juta jiwa. Dari studi pendahuluan yang dilakukan di BPS Hj. Mamik Amd, Keb pada bulan April 2012 terdapat 26 ibu bersalin dengan rincian 20 orang ibu menggunakan pelayanan Jampersal dan 6 orang ibu tidak menggunakan layanan Jampersal,sedangkan pada studi yang dilakukan pada 5 ibu bersalin dengan layanan Jampersal didapatkan 2 (40%) orang ibu merasa puas dan 3 (60%) orang ibu merasa kurang puas. Kendala yang terjadi adalah belum tercakupnya masyarakat miskin yang belum memiliki jaminan kesehatan untuk mendapatkan biaya persalinan gratis, hal ini dikarenakan masih banyak fasilitas kesehatan yang belum melakukan kerjasama dengan pihak Dinas Kesehatan Kota. Ini terjadi karena kurangnya sosialisasi menyeluruh terhadap semua tenaga kesehatan. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap hubungan persepsi pelayanan Jampersal terhadap tingkat kepuasan ibu bersalin. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dimana penelitian bertujuan untuk menggali, menjelaskan suatu keadaan atau situasi serta mempelajari sebab akibat yang ditimbulkan (Heriyanto, 2010). Menggunakan pendekatan waktu cross sectional dengan desain penelitian observasional, dimana penelitian melakukan melakukan observasi dan pengukuran variabel pada saat pengkajian atau pemeriksaan data hanya satu kali sekaligus pada waktu yang sama tanpa melakukan tindakan lanjut. Dalam penelitian ini subjek penelitiannya adalah seluruh ibu bersalin yang menggunakan pelayanan Jampersal di BPS Hj Mamik Amd, Keb Surabaya pada bulan April 2012 sebanyak 20 ibu bersalin.Pada penelitian ini variabel dependennya adalah tingkat kepuasan ibu bersalin,sedangkan variabel independennya adalah persepsi pelayanan Jampersal. Pengumpulan di lakukan dengan cara menggunakan kuesioner dan sebagai respondennya adalah seluruh ibu-ibu bersalin yang menggunakan pelayanan Jampersal di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya. Analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi dengan menggunakan tabel silang (crosstab). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji statistik Lambda yaitu digunakan untuk menghitung hubungan variabel persepsi terhadap tingkat kepuasan ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya. Data dihitung secara manual dan disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan narasi dengan = 0,05. Jadi bila hitung Lb > Lb tabel maka H0 ditolak, artinya ada hubungan antara persepsi dengan tingkat kepuasan ibu bersalin.
29
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 20 ibu bersalin di BPS Mamik, Amd. Keb Surabaya memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Ibu bersalin di BPS Hj. Mamik, Amd. Keb Surabaya yang berumur kurang dari 20 tahun sebanyak 1 orang ibu (5%),20-35 tahun sebanyak 17 orang ibu (85%), dan yang berumur lebih dari 35 tahun sebanyak 2 orang ibu (10%). 2. Pekerjaan ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya yang pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 10 orang ibu (50%), ibu yang bekerja swasta sebanyak 6 orang ibu (30%) dan yang bekerja wiraswasta sebanyak 4 orang ibu (20%). Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Bersalin di BPS Mamik, Amd. Keb Surabaya bulan Juni 2012 No 1
2
3
4
Variabel Umur f. <20 tahun g. 20 – 35 tahun h. >35 tahun Pekerjaan c. Ibu Rumah Tangga d. Swasta e. Wiraswasta Persepsi Ibu h. Baik i. Kurang Kepuasan Ibu Bersalin e. Puas f. Cukup Puas g. Tidak Puas
Jumla h
(%)
1 17 2
5 85 10
10 6 4
50 30 20
11 9
55 45
7 7 6
35 35 30
3. Ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya yang memiliki persepsi baik tentang pelayanan Jampersal sebanyak 11 orang ibu (55%), lebih banyak dari pada ibu bersalin yang memiliki persepsi kurang baik yaitu 9 orang ibu (45%). Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
4. Ibu bersalin yang merasa cukup puas sebanyak 7 orang ibu (35%), puas sebanyak 7 orang (35%), dan yang merasa tidak puas sebanyak 6 orang ibu (30%). Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 11 orang ibu yang memiliki persepsi baik yang merasa puas sebanyak 6 orang ibu (54,5%), yang merasa cukup puas sebanyak 5 orang ibu (45,5%) dan tidak ada ibu yang merasa kurang puas (0%). Sedangkan dari 9 orang ibu yang memiliki persepsi kurang yang merasa tidak puas sebanyak 6 orang ibu (66,7%), yang merasa cukup puas sebanyak 2 orang ibu (22,2%), dan yang lain merasa puas yaitu sebanyak 1 orang ibu (11,1%). Hasil uji Lambda yang dilakukan pada variabel diperoleh nilai Lambda symmetric dengan signifikansi P = 0,012 dimana P < 0,05. Maka H0 ditolak dan H diterima, artinya ada hubungan antara persepsi ibu dengan tingkat kepuasan ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya. Dengan arah Lambda symmetric Artinya, semakin baik persepsi ibu bersalin, maka semakin tinggi tingkat kepuasan. Sedangkan semakin kurang persepsi ibu, maka semakin rendah tingkat kepuasan ibu. Tabel 2. Tabulasi Silang antara Persepsi dengan Tingkat Kepuasan Ibu Bersalin terhadap Pelayanan Jampersal di BPS Hj. Mmik Amd, Keb Surabaya Bulan Juni 2012. NO
Persepsi
Puas
1
Baik
n 6
2
Kurang
1
% 54,5
Kepuasan Cukup Puas n % 5 45,5
11,1 5 p = 0,012
22,2
Tidak Puas n % 0 0 6
66,7
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu bersalin yang memiliki persepsi baik di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya, lebih banyak yaitu 11 orang ibu (55%). 30
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Sesuai dengan teori persepsi adalah suatu proses penangkapan stimulus yang kemudian disimpulkan menjadi suatu yang bermakna dan berarti melalui proses seleksi, organisasi dan interpretasi. Persepsi membantu individu dalam memilih perilaku individu tersebut. Persepsi juga merupakan suatu proses kognisi yang melibatkan cara-cara dimana individu memproses informasi yang didapatnya, dengan proses kognisi tersebut timbul perbedaan dan keunikan masingmasingindividuyang mempersepsikan benda atau objek (Rahmat, 2000). Pada penelitian ini banyak ibu yang memiliki persepsi baik tentang pelayanan Jampersal, hal ini dikarenakan pengaruh informasi tentang pelayanan Jampersal yang bisa didapat dari orang lain, tenaga kesehatan, maupun dari media cetak dan media elektronik. Selain itu karakteristik seseorang juga dapat menyebabkan terjadinya persepsi. Sehingga membuat ibu lebih memahami Jampersal.Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi adalah usia. Pada penelitian ini yang berpersepsi baik banyak terdapat pada ibu usia 20-35 tahun karena pada usia tersebut merupakan usia yang produktif, dimana seseorang akan bersosialisasi dengan banyak orang sehingga akan memudahkannya dalam mendapatkan informasi. Dengan informasi dan pengetahuan yang didapatkan menyebabkan seseorang dapat memberikan arti terhadap objek yang ada disekitarnya. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu bersalin merasa cukup puas sebanyak 7 orang ibu (35%), hal ini sebanding dengan ibu yang merasa puas.Sesuai dengan teori, kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja yang ia rasakan/alami terhadap harapannya. Sedangkan kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja yang ia rasakan/alami terhadap harapannya.[7] Kepuasan pasien Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
mempunyai peran penting dalam perkiraan kualitas pelayanan. Kepuasan dapat dianggap sebagai pertimbangan dan keputusan penilaian pasien terhadap keberhasilan pelayanan (Donabedian, 1980). Kepuasan pasien adalah salah suatu ukuran kualitas pelayanan perawatan dan merupakan alat yang dapat dipercaya dalam membantu menyusun suatu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari suatu sistem pelayanan. Pada penelitian ini ada 6 ibu bersalin yang merasa tidak puas dengan pelayanan Jampersal. Hal ini sesuai dengan hasil kuesioner kepuasan pada komponen reability yang mencakup tentang kemampuan bidan dalam memberikan informasi kepada pasien,sehingga masih banyak ibu bersalin yang merasa kurang puas terhadap pelayanan Jampersal.Oleh sebab itu dibutuhkan koreksi atau pemantauan secara teratur didalam pelaksanaan pelayanan. Meningkatkan kualitas pelayanan di dalam BPS sangat dibutuhkan seperti meningkatkan kemampuan para bidan atau perawat yang ada. Memberikan pelayanan-pelayanan yang inovatif agar pasien merasa senang dan puas. Berdasarkan hasil uji Lambda yang dilakukan pada variabel diperoleh nilai Lambda symmetric dengan signifikansi p = 0,012 dimana p< 0,05. Maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya ada hubungan antara persepsi ibu dengan tingkat kepuasan ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya. Dengan arah Lambda symmetric artinya, semakin baik persepsi ibu bersalin, maka semakin tinggi tingkat kepuasan,sedangkan semakin kurang persepsi ibu, maka semakin rendah tingkat kepuasan ibu. Hal ini diperkuat dengan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 11 ibu yang memiliki persepsi yang baik, sebanyak 6 orang ibu (54,5%) yang merasa puas, sedangkan dari 9 orang ibu yang memiliki
31
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
persepsi kurang, sebanyak 6 orang ibu (66,7%) merasa tidak puas. Tingkat kepuasan tidak mudah untuk diukur, karena menyangkut perilaku yang sifatnya sangat subjektif. Kepuasan seseorang terhadap suatu objek bervariasi mulai dari tingkat sangat puas, puas, cukup puas, kurang puas, sangat tidak puas. Dengan pelayanan yang sama untuk kasus yang sama bisa terjadi tingkat kepuasan yang dirasakan pasien akan berbeda-beda. Hal ini tergantung latar belakang pasien itu sendiri, karakteristik individu. Harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya dari mulut ke mulut, kebutuhan–kebutuhan konsumen itu sendiri, pengalamn masa lalu dalam mengonsumsi suatu produk, hingga pada komunikasi eksternal melalui iklan, dan sebagainya. Dari data–data diatas maka sangat dibutuhkan informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan baik pada segi material maupun non material (jasa). Dengan memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas diharapkan pasien/klien dapat merasa puas sehingga dapat menarik perhatian masyarakat yang lebih luas untuk mau datang. Untuk itu dibutuhkan perbenahan di berbagai aspek, baik dari fasilitas pelayanan hingga ketrampilan para tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan. Ketrampilan memberikan informasi, ketepatan dalam memberikan pelayanan, sikap yang ramah dan sopan terhadap pasien/klien juga sangat berperan dalam menentukan kepuasan pasien.
ISSN 2085-028X
berikut:1) persepsi ibu bersalin tentang pelayanan Jampersal di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya memiliki persepsi yang baik sebanyak 55% orang; 2) sebanyak 35% ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya merasa cukup puas dengan pelayanan Jampersal; 3) ada hubungan antara persepsi ibu pelayanan Jampersal dengan tingkat kepuasan di BPS Hj. Mamik Amd. Keb Surabaya(p = 0,012). Saran Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut: 1) instansipelayanan kesehatandapat lebih memperhatikan pelayanan yang diberikan dengan selalu mengadakan kontrol terhadap semua petugas kesehatan yang ada. Tenaga kesehatan lebih mengadakan komunikasi yang aktif kepada pasien. Selain itu meningkatkan kualitas pelayanan dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang pelayanan; 2) instansi pendidikanlebih memperhatikan peserta didiknya agar dapat menjadi calon petugas kesehatan yang profesional dan siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat; 3) meningkatkan kesadaran masyarakat atau ibu untuk lebih mengetahui dan memperhatikan betapa pentingnya pelayanan kesehatan dengan melakukan pendekatan-pendekatan dan melakukan komunikasi aktif kepada pasien. KEPUSTAKAAN 1.
KESIMPULAN DAN SARAN 2. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari persepsi 20 ibu bersalin, maka diperoleh kesimpulan sebagai Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
3.
Anderson R, Joanna K, dkk. 1979. Equity in Health Servic, Emperical Analysis in Social Policy.Cambrige: Mass Ballinger Publisher Campany. Azwar, Azrul, H.1996. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Barnes, James G.2003.Secrets of Customer Relationship
32
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12. 13.
Managenent;(Terjemahan Andreas Winardi). Yogyakarta: Andi. Dwiyanto, Agus.2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan UGM. Gibson JL, et.al.1987. Organisasi dan Manajemen Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga. Kaloh J.2003. Kepala Daerah: Pola Kegiatan dan Kekuasaan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.Jakarta: Gramedia Pustaka. Kotler, P.2003. Marketing Management.New Jersey: Prentice Hall. Manuaba, Ida Ayu Chandranita.2009. Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC. Manuaba, Ida Bagus Gde. 2007. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi;Edisi. 2. Jakarta: EGC. Moenir, H.A.S.1998. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Muninjaya, Gde. A.A.2002. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan.Jakarta: EGC. Pohan, Imbalo S.2006. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan.Jakarta: EGC. Praworihardjo, Sarwono.2005. Ilmu Bedah Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
14. Schulz R. Dkk.1983. Management of Hospital. New York: MC Grow-Hill Book Company. 15. Sianipar, J.P.G.1999. Manajemen Pelayanan Publik.Jakarta: LAN. 16. Sumarwanto, Edi.1994. Standart Perilaku sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan.Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 91. 17. Supranto, J.2006. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menangkap Pangsa Pasar. Jakarta: Rineka Cipta. 18. Thoha, Miftah2002. Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 19. Utama, Surya.2005. Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit;Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 09; (1); 1–7. 20. Verralls, Sylvia.1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan.Jakarta: EGC. 21. Waworuntu, Bob.1997. Dasar-Dasar Ketrampilan Abdi Negara Melayani Masyarakat.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 22. Wijono, Djoko.2007. Evaluasi Program Kesehatan dan Rumah Sakit. Surabaya: CV Duta Prima Airlangga.
33
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN KALA II PERSALINAN DI RUMAH BERSALIN KARUNIA SIDOARJO Beatric Maria Dwi. J. B*), Pophy Indriana**) *) Dosen D4 Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Normal childbirth is a process of fetus expense which is happened on month enough pregnancies, spontaneous birth with back head presentation without complication, both mom and fetus. Older Childbirth mostly caused by power factor, passage, passenger, mother psychology and pushing position. Lithotomic position when pushing caused uterus contraction obstructed so mother will be tired easily in pushing. This research have aim to identify factors that can affect in stage II rebirth fluency. Method :This research using descriptive research design. Total population is 25 people with a large sample of 24 people and using consecutive sample technique. The data collection procedure on this research is doing interview and observation which then noted in observation sheet. Then use data descriptive analysis. Result :This research from 23 pregnant mother (95, 83%) who had a stage II rebirth fluency obtained 21 pregnant mother (87.50%), as much as 19 pregnant mother (83.33%) with normal passage criteria, a total of 23 pregnant mother (100%) meets the normal passenger criteria, 13 pregnant mother (54.17%) with psychologist criteria which don’t feel anxious and 23 pregnant mother (100%) use lithotomic position. Conclusion :Most of the factors above can affect the smoothness of second stage rebirth. That’s why, midwife is expected can notice power factor, passage, passenger, mother psychology and freedom of positioning choice when pushing while giving midwifery care at second stage rebirth activity. Key word : Childbirth and the fluency on second period
PENDAHULUAN Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Peranan ibu adalah melahirkan bayinya sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini, peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan. Persalinan dapat berjalan normal apabila ketiga faktor fisik power, passage dan passenger dapat bekerja sama dengan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
baik. Selain itu terdapat faktor lain yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi jalannya persalinan terdiri atas psikologi, penolong dan posisi persalinan. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran persalinan, maka jika terjadi kelainan atau penyimpangan dapat segera memutuskan intervensi persalinan untuk mencapai kelahiran yang lancar. Persalinan normal menurut WHO adalah persalinan yang dimulai secara spontan beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap demikian selama proses persalinan, bayi dilahirkan spontan dengan presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara 37 hingga 42 minggu lengkap
34
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
setelah persalinan ibu dan bayi dalam keadaan baik. Posisi dalam persalinan dan kelahiran sangat penting, karena akan meningkatkan rasa nyaman pada ibu. Posisi pada saat mengejan tergantung pada keinginan ibu dalam memilih posisi yang paling nyaman dirasakan oleh ibu karena hal ini dapat membantu kemajuan persalinan, mencari posisi mengejan yang paling efektif dan menjaga sirkulasi utero-plasenter tetap baik. Posisi tegak dapat memperlancar kala II karena rasa nyeri ibu berkurang, mengejan ibu lebih mudah, trauma perineal lebih kecil sehingga berkesempatan lebih besar untuk melahirkan secara spontan (Johnson, R and Taylor, W. 2004:215),sedangkan posisi duduk atau setengah duduk serta posisi jongkok memperlancar kala II karena sesuai dengan gravitasi bumi sehingga membuat ibu lebih kuat mengejan (APN, 2007:80). Posisi litotomi menyebabkan tidak lancarnya kala II karena kontraksi uterus akan hilang keefektifitasnya serta posisi ini juga dapat menekan tulang sakru yang mengarahkan koksigialis lebih maju atau lebih kedepan dan mengurangi pelvic outes.[3] Angka Kematian Ibu (AKI) menurut laporan UNICEF terbaru tercatat sebesar 240 per 100.000 kelahiran hidup. AKI sebesar itu menempatkan Indonesia pada urutan ke-58 tertinggi dari 166 negara. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi se-ASEAN jumlahnya mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah masih dituntut bekerja keras menurunkannya hingga tercapai target Millennium Development Goal’s (MDG’s), menurunkan AKI menjadi 102/100.000 pada tahun 2015, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) akan diturunkan dari 34 per 1.000 kelahiran hidup menjadi kurangdari 15 (RPJMN) dan 23 (MDG’s) (Kemenkes RI, 2010) Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Berdasarkan kantor Dinas Kesehatan Jatim, jumlah ibu yang meninggal pada tahun 2011 mencapai 105 per 100.000 kelahiran bayi hidup data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo hingga akhir September 2009 kemarin, AKI mencapai 113 per 100.000 KH atau sekitar 23 nyawa ibu meninggal saat melahirkan. Partus lama merupakan salah satu dari beberapa penyebab kematian ibu dan bayi baru lahir. Partus lama akan menyebabkan infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi pada ibu dan kadang dapat terjadi perdarahan post partum yang dapat menyebabkan kematian ibu. Pada janin akan dapat terjadi infeksi, cedera dan asfiksia yang dapat meningkatkan kematian bayi. Kejadian partus lama sebagian besar tidak lain disebabkan karena faktor power, passage, passenger, psikologi ibu dan posisi ibu saat mengedan. Saat ini dalam menolong persalinan seorang bidan atau tenaga kesehatan yang lain harus memberikan kebebasan kepada ibu untuk memilih posisi yang nyaman bagi dirinya. Tetapi posisi-posisi tersebut di atas masih terasa asing oleh ibu karena ibu jarang diperkenankan atau diperbolehkan untuk memilih posisi sesuai dengan keinginannya. Bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui secara pasti sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan dengan mulai terjadinya kekuatan his, diantaranya yaitu teori yang menjelaskan dengan makin tua hamil, pengeluaran estrogen dan progesteron makin berkurang sehingga oksitosin dapat menimbulkan kontraksi yang lebih sering, sebagai his palsu. Oksitosin diduga bekerjasama atau melalui prostaglandin yang makin meningkat mulai dari umur kehamilan minggu ke-15, disamping itu keregangan otot rahim dapat memberikan pengaruh penting untuk dimulainya kontraksi rahim. Pada saat kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, 35
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
cepat dan lebih lama kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Karena tekanan pada rektum, ibu merasa ingin buang air besar dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai terlihat, vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin, akan lahirlah kepala dan diikuti seluruh tubuh janin. Dalam melaksanakan kala II persalinan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran kala II persalinan diantaranya power, passage, passenger, psikologis dan posisi dalam persalinan. Dalam memberikan asuhan kebidanan pada proses persalinan, seorang bidan diharapkan dapat memperhatikan faktorfaktor tersebut.
efisien, meningkatkan dimensi pelvis, memudahkan pengamatan janin, memberikan paparan perineum yang baik, menyediakan daerah yang bersih untuk melahirkan dan memberikan rasa nyaman.Beberapa ibu biasanya awalnya tidak mau berubah atau merasa tidak perlu. Mereka yang berubah sering terkejut betapa lebih nyamannya dan lebih efektifnya perubahan posisi tersebut (Chapman, 2006:206). Apabila posisi persalinan dengan posisi litotomi diduga menyebabkan pengiriman oksigen melalui darah yang mengalir dari ibu ke janin melalui plasenta pun jadi relatif berkurang karena letak pembuluh besar berada dibawah posisi bayi, hal itu akan menyebabkan kontraksi uterus terhambat sehingga ibu akan mudah cepat lelah dalam mengejan dan dapat mempengaruhi kelancaran kala II.
Persalinan kala II dimulai dengan pembukaan serviks lengkap dan berakhir dengan kelahiran bayi. Pimpinan persalinan pada kala II lebih didasarkan pada awitan “fase ekspulsi”, yakni saat pertama kali wanita tanpa disadari merasakan dorongan untuk pengeluaran (Simkin dan Ancheta, 2005:86). Persalinan pada primi biasanya berlangsung lebih lama 5-6 jam daripada multi. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasikomplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Persalinan di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Pada Bulan JanuariMaret 2012.
Tenaga kesehatan juga dianjurkan memperbolehkan ibu untuk mencari posisi apapun yang nyaman baginya. Posisi dalam persalinan dan kelahiran sangat penting, karena akan meningkatkan rasa nyaman pada ibu. Posisi pada saat mengejan tergantung pada keinginan ibu dalam memilih posisi yang paling nyaman dirasakan oleh ibu karena hal ini dapat membantu kemajuan persalinan, menghindari adanya hipoksia pada janin, menciptakan pola kontraksi uterus yang
Berdasarkan Tabel 1 diatas, studi pendahuluan di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo bulan Januari-Maret 2012, didapatkanjumlah persalinan di Rumah Bersalin KARUNIA telah dicatat jumlah ibu hamil dengan tafsiran sebagai berikut : 1. Bulan Januari sebanyak 16 orang (32,6%) dengan jumlah persalinan 16 orang (39%).
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
No
Bulan
1 2 3
Januari Februari Maret Jumlah
Jumlah Ibu Hamil dengan Tafsiran Persalinan (TP) 16 19 14 49
Jumlah Persalina n 16 17 8 41
Sumber : Data sekunder Januari-Maret 2012
36
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
2. Bulan Februari sebanyak 19 orang (38,8%) dengan jumlah persalinan 17 orang (41,5%). 3. Bulan Maret sebanyak 14 orang (28,6%) dengan jumlah persalinan 8 orang (19,5%). Tabel 2. Keterkaitan Posisi Saat Persalinan Terhadap Lama Kala II di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Pada Bulan JanuariMaret 2012. N o
1 2 3 4
5
6
Macammacam Posisi Posisi Litotomi Posisi Berdiri Posisi Jongkok Posisi Merangka k Posisi Duduk atau Setengah Duduk Posisi Miring dengan satu kaki diangkat
Lama Kala II Primi Multi <2 >2 <1 >1 Ja Ja Ja Ja m m m m
Jumla h Ibu
13
1
24
1
39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber : Data sekunder Januari-Maret 2012 Berdasarkan Tabel 2 diatas, survey keterkaitan posisi saat persalinan terhadap lama kala II di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo pada bulan JanuariMaret 2012 telah dicatat bahwa terhadap41 orang yang bersalin dimana 37 orang (90,2%) memakai posisi litotomi dan tidak ditemukan kasus partus lama dan 2 orang (4,9%) memakai posisi litotomi dan ditemukan kasus partus lama, lalu 2 orang (4,9%) memakai posisi merangkak dan tidak ditemukan kasus partus lama. Dari hasil studi pendahuluan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
tentang gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran kala II persalinan. BAHAN DAN METODE PENELIYIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, karena bertujuan untuk mendeskripsikan faktorfaktor yang mempengaruhi kelancaran kala II persalinan.(Notoatmodjo, 2010) Penelitian ini dilaksanakan pada 9-29 Juni 2012. Populasi terjangkau (finite population) adalah bagian populasi target yang dibatasi oleh tempat dan waktu (Heriyanto, 2010).Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu bersalin kala II yang persalinannya di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo pada bulan Mei-Juni 2012 dengan total populasi 25 orang. Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel ibu bersalin kala II yang persalinannya dengan menggunakan posisi litotomi di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Pengambilan sampel ini harus memenuhi syarat, sehingga sampel dapat mewakili populasi (Soesanto, 2010:28). Karena pada penelitian ini termasuk populasi kecil ≤ 10.000 maka digunakan rumus :
Keterangan : N = Populasi N = Sampel d = Penyimpangan (0,05) Jadi sampel yang diperoleh adalah 24 ibu bersalin. Variabel dalam penelitian ini adalah power, passage, passenger, psikologis ibu, posisi persalinan dan kelancaran kala II. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 24 ibu bersalin di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Juni 2012 memiliki karakteristik sebagai berikut: 37
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Ibu Bersalin Di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Juni 2012. No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Variabel Umur i. <20 tahun j. 20 – 35 tahun k. >35 tahun Paritas f. Primipara g. Multipara h. Grandemultipara Pendidikan j. SD k. SMP l. SMA m. PT/Diploma Pekerjaan h. Pegawai Negeri i. Swasta j. Wiraswasta k. Ibu Rumah Tangga Power d. Kuat e. Lemah Passage c. Normal d. Tidak Normal Passenger a. Normal b. Tidak Normal Psikologis Ibu a. Cemas b. Tidak Cemas Posisi Litotomi a. Ya b. Tidak Kelancaran Kala II a. Normal b. Lama
Jumlah
(%)
3 19 2
12,5 79,2 8,3
13 11 0
54,2 45,8 0
0 8 12 4
0 33,3 50 16,7
0 9 1 14
0 37,5 4,2 58,3
21 3
87,5 12,5
20 4
83,3 16,7
24 0
100 0
11 13
45,8 54,2
24 0
100 0
23 1
95,8 4,2
2.
3.
4.
5.
(100%) yang mengalami persalinan lama kala II memiliki power yang lemah. Sebagian besarsebanyak 19 ibu bersalin (82,6%)mengalami persalinan normal kala II dengan kriteria passage yang normal dan 4 ibu bersalin (17,4%) dengan passage yang tidak normal, tetapi didapatkan juga dari 1 ibu bersalin (100%) yang mengalami persalinan lama kala II dengan kriteria passage yang normal. Keseluruhan (100%)ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II memenuhi kriteria passenger normal, sedangkan dari 1 ibu bersalin (100%) yang mengalami persalinan lama kala II juga dengan kriteria passenger yang normal. Hampir sebagian besar sebanyak 13 ibu bersalin (56,5%) mengalami persalinan normal kala II dengan kriteria psikologis tidak merasakan cemas, dan sebanyak 10 ibu bersalin (43,5%) dengan kecemasan, tetapi didapatkan juga dari 1 ibu bersalin (100%) yang mengalami persalinan lama kala II dengan kecemasan. Keseluruhan (100%) ibu bersalin mengalami persalinan normal kala II keseluruhan ibu bersalin dengan menggunakan posisi litotomi, sedangkan dari 1 ibu bersalin (100%) yang mengalami persalinan lama kala II juga dengan menggunakan posisi litotomi.
Berdasarkan Tabel 4, gambaran faktorfaktor yang mempengaruhi kelancaran kala II persalinan berdasarkan power, passage, passenger, psikologis ibu, dan posisi litotomi pada ibu bersalin di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo Juni 2012 adalah sebagai berikut : 1. Sebagian besar sebanyak 21 ibu bersalin (91,3%) mengalami kelancaran persalinan normal kala II dengan power yang kuat dan 2 ibu bersalin (8,7%) dengan power yang lemah, sedangkan dari 1 ibu bersalin Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
38
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 4. Distribusi Kelancaran Kala II Persalinan Berdasarkan Power, Passage, Passenger, Psikologis Ibu, dan posisi litotomi Di Rumah Bersalin Karunia Sidoarjo Juni 2012. Kelancaran Kala II No
Variabel
Normal n
1
2
3
4
5
Power a. Kuat b. Lemah Passage a. Normal b. Tidak Normal Passenger a. Normal b. Tidak Normal Psikologis Ibu a. Cemas b. Tidak Cemas Posisi Litotomi a. Ya b. Tidak
%
Lama n
segera mengakhiri proses persalinan dengan mengejan sekuat-kuatnya. Padahal ini justru tidak baik, selain akan melelahkan ibu juga akan membuat jalan lahir bengkak. Mengejan dapat dimulai ketika pembukaan jalan lahir sudah cukup luas untuk dilalui bayi dan telah ada bimbingan untuk mengejan dari bidan.
%
21 2
91,3 8,7
0 1
0 100
19 4
82,6 17,4
1 0
100 0
23 0
100 0
1 0
100 0
10 13
43,5 56,5
1 0
100 0
23 0
100 0
1 0
100 0
PEMBAHASAN 1. Faktor Power Distribusi responden berdasarkan tabel 3 yaitu power, sebagian besar 21 ibu bersalin (87,5%) memiliki power yang kuat.Hasil penelitian mendapatkan lebih banyak ibu bersalin dengan power yang kuat, tetapi didapatkan juga 3 ibu bersalin dengan power yang lemah dikarenakan ketidaksiapan mental sangat berpengaruh selama proses persalinan terutama saat mengejan. Proses bersalin sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang alamiah. Ada banyak hal yang berpengaruh terhadap kemampuan seorang ibu untuk mengejan, antara lain usia kurang dari 20 tahun yang seringkali belum berpengalaman menyesuaikan kekuatan mengedan yang baik dan usia lebih dari 35 tahun yang mayoritas kekuatan untuk mengedan berkurang, keadaan kesehatan ibu yang kurang optimal misalnya kurang gizi selama hamil, rasa ketakutan dan trauma mental pada saat proses peralinan yang lalu. Seringkali ibu bersalin tidak sabar, ingin Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari 23 ibu bersalin yang mengalami kelancaran persalinan normal kala II sebagian besar 21 ibu bersalin dengan power yang kuat dan 2 ibu bersalin dengan power yang lemah, sedangkan dari 1 ibu bersalin yang mengalami persalinan lama kala II memiliki power yang lemah. Berdasarkan hasil penelitian ibu yang memiliki power kuat dengan mengalami kelancaran kala II mayoritas didukung oleh faktor umur yaitu berusia antara 2035 tahun dimana merupakan tahun terbaik wanita untuk hamil karena di usia ini kematangan organ reproduksi dan hormon telah bekerja dengan baik serta daya tahan tubuh masih kuat sehingga antara kontraksi dan tenaga meneran dapat saling bekerja sama secara maksimal untuk melahirkan janin, sedangkan pada ibu dengan power lemah tetapi tetap mengalami kelancaran kala II persalinan, pada keadaan ini faktor penolong sangat diperlukan dengan dilakukannya pemberian semangat untuk tetap bertahan dan meyakinkan ibu bahwa persalinan akan dapat berjalan normal serta didukung pimpinan mengejan yang benar, begitu pun saat relaksasi tetap diberikan cara relaksasi yang tepat agar kekuatan mengejan ibu bertambah. Adapun ibu dengan power lemah yang mengalami persalinan lama kala II dikarenakan faktor umur lebih dari 35 tahun yang memungkinkan pada ibu bersalin tersebut didapatkan penyakit dalam tubuh yang menyebabkan gangguan kontraksi serta tenaga ibu untuk mengejan. Usaha bidan untuk tetap melakukan 39
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pimpinan dilakukan dengan tetap melihat keadaan umum ibu dan janin sehingga dapat dilakukan persalinan normal. Oleh karena itu, pimpinan mengejan saat persalinan juga mempengaruhi baik tidaknya tenaga meneran ibu. 2. Faktor Passage Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui sebagian besar sebanyak 20 ibu bersalin (83,3%) memilikipassage dalam batas normal. Berdasarkan teori yang menjelaskan bahwa jalan lahir terdiri atas panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat, dasar panggul, vagina dan introitus. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya terhadap jalan lahir yang relatif kaku, oleh karena itu ukuran dan bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan dimulai. Berdasarkan kenyataan hasil penelitian, passage yang normal didapat lebih banyak daripada passage yang tidak normal. Sebenarnya pada saat kehamilan telah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan, salah satunya untuk mengukur panggul ibu yang dapat menentukan apakah ibu dapat bersalin secara normal atau tidak. Tetapi tidak cukup hanya menilai ukuran panggul ibu, terjadinya hambatan saat proses persalinan dapat disebabkan faktor passage yang lain seperti perineum yang kaku. Tingkat keregangan perineum ibu bersalin berbeda-beda disebabkan beberapa faktor misalnya faktor paritas, pada primipara karena belum berpengalaman melahirkan anak maka otot-otot jalan lahir masih kaku sedangkan pada multipara proses persalinan berjalan lebih cepat karena adanya pengalaman pada persalinan yang telah lalu dan disebabkan oleh otot-otot jalan lahir yang lebih lemas. Selain itu dapat pula disebabkan kebiasaan ibu untuk melakukan senam saat hamil karena senam hamil dapat memperkuat dan mempertahankan elastisitas otot-otot dinding perut, otot-otot dasar panggul,
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
ligamentum dan perineum sehingga dapat mengurangi resiko ruptur. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II sebagian besar 19 ibu bersalin dengan kriteria passage yang normal dan 4 ibu bersalin dengan passage yang tidak normal, tetapi didapatkan juga dari 1 ibu bersalin yang mengalami persalinan lama kala II dengan kriteria passage yang normal. Hasil penelitian didapatkan 19 ibu bersalin dengan passage normal yang mengalami kelancaran persalinan kala II dikarenakan sebagian besar memiliki umur 20-35 tahun yang artinya pada usia ini wanita dianjurkan untuk mulai mengatur kehamilan disebabkan jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir dalam kondisi yang baik serta pengetahuan ibu tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan mendukung dapat dilakukannya persalinan normal. Adapun ibu dengan kriteria passage yang tidak normal tetapi dapat mengalami kelancaran kala II dikarenakan paritas yang mayoritas adalah ibu primipara dimana alat-alat urogenital yaitu perineum yang relatif masih kaku kemungkinan pula disebabkan kurangnya pengetahuan ibu untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti senam saat hamil untuk menjaga elastisitas otot-otot jaringan, ligamen dan perineum sehingga memerlukan tindakan episiotomi agar keadaan ibu dan janin tetap dalam kondisi baik. Dan ibu dengan passage normal tetapi mengalami persalinan lama kala II dapat dikatakan bahwa persalinan lama kala II tersebut tidak berdasarkan pada passage tetapi kemungkinan disebabkan faktor yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin dengan kriteria passage yang normal dapat menunjang kelancaran kala II persalinan.
40
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
3. Faktor Passenger Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa keseluruhan ibu bersalin (100%) memenuhi kriteria normal pada faktor passenger.Keseluruhan ibu bersalin dengan passenger yang normal dikarenakan saat hamil ibu sudah melakukan pemeriksaan kehamilan juga didukung dengan jumlah kunjungan yang lebih dari 4 kali sehingga pertumbuhan dan kondisi janin dapat termonitor. Selain itu, secara tidak langsung pendidikan ibu yang minimal SMP, sehingga ibu lebih dapat menerima informasi tentang pola istirahat, pola makan dan pola aktifitas yang diberikan oleh bidan demi perkembangan janin bisa normal karena dengan adanya pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang termasuk pola hidup. Semakin banyak pengetahuan seseorang maka semakin mudah orang tersebut menerima informasi yang diberikan dan kurangnya pengetahuan akan menghambat perkembangan sikap seseorag terhadap nilai-nilai yang diperkenalkan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II keseluruhan ibu bersalin memenuhi kriteria passenger normal, sedangkan dari 1 ibu bersalin yang mengalami persalinan lama kala II juga dengan kriteria passenger yang normal. Hasil penelitian menyatakan semua ibu bersalin memiliki kriteria passenger yang normal, dikarenakan faktor-faktor yang mendukung ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur untuk memantau perkembangan dan kondisi janin dalam kandungan, yakni pendidikan ibu yang minimal berpendidikan SMP secara tidak langsung mempengaruhi pengetahuan ibu maka semakin mudah bagi ibu menerima informasi yang diberikan oleh bidan selain itu faktor pekerjaan ibu yang mayoritas adalah ibu rumah tangga yang berarti Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk memeriksakan kehamilannya. Adapun ibu dengan passenger normal tetapi mengalami persalinan lama kala II kemungkinan disebabkan faktor yang lain dan ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin dengan kriteria passenger yang normal dapat menunjang kelancaran kala II persalinan. 4. Faktor Psikologis Ibu Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui hampir sebagian besar 13 ibu bersalin (54,2%) tidak merasakan kecemasan pada proses persalinan.Pentingnya psikologis tingkat kecemasan yang rendah didukung oleh teori bahwa emosi perempuan dalam persalinan sangat mempengaruhi reaksi kegelisahan dan ini merupakan satu faktor yang menyokong kelelahan mental dan fisik yang akan dialami. Dukungan yang penuh dari anggota keluarga penting artinya bagi seorang ibu bersalin terutama dukungan dari suami sehingga memberikan support moril terhadap ibu (Rustam, 1998). Berkaitan dengan teori bahwa sebagian besar calon ibu terutama yang pertama kali menghadapi persalinan akan merasa cemas dan kurangnya pengetahuan mengenai proses persalinan dapat menimbulkan kecemasan pada ibu yang akan bersalin, kecemasan juga dihubungkan dengan pengalaman yang sudah lalu, misalnya kesulitan pada persalinan yang lalu, kecemasan karena anggapannya sendiri bahwa persalinan itu merupakan hal yang membahayakan. Sebagian besar ibu hamil tersebut juga selalu memeriksakan kehamilannya dan mendapat informasi tentang kecemasan dan persiapan menghadapi persalinan. Informasi tersebut sangat penting dan mempengaruhi pola pikir ibu, maka dapat membawa ibu pada suatu keyakinan akan keberhasilan dalam persalinan, pengetahuan tersebut akan mengarahkan pada persepsi positif 41
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga memotivasi ibu untuk tetap menjaga kehamilan sampai persalinan.Selain itu setiap ibu yang akan melahirkan memerlukan dukungan emosional untuk membantunya dalam melewati proses persalinan karena dalam persalinan dukungan sosial kemungkinan merupakan salah satu faktor yang meringankan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II dengan kriteria psikologis hampir sebagian besar 13 ibu bersalin tidak merasakan cemas dan sebanyak 10 ibu bersalin dengan kecemasan, tetapi didapatkan juga dari 1 ibu bersalin yang mengalami persalinan lama kala II dengan kecemasan. Dengan hasil penelitian dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II sebanyak 13 ibu bersalin tidak merasakan kecemasan dan 10 ibu bersalin dengan kecemasan. Sebagian besar calon ibu terutama yang pertama kali menghadapi persalinan atau dikatakan primipara akan merasa cemas dan kurangnya pengetahuan mengenai proses persalinan juga dapat menimbulkan kecemasan pada ibu yang akan bersalin, kecemasan dapat timbul karena anggapannya sendiri bahwa persalinan itu merupakan hal yang membahayakan.Rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, rasa takut terhadap kesendirian dalam mengatasi suatu pengalaman seperti persalinan maka pendampingan anggota keluarga pada proses persalinan dapat mengurangi kecemasan. Adapun ibu yang mengalami persalinan lama kala II dengan kecemasan karena kecemasan yang tidak teratasi juga akan menyebabkan persalinan menjadi lama, selain faktor psikis hal ini juga didukung oleh faktor lain.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
5. Faktor Posisi Litotomi Pada Tabel 3 yang menunjukkan distribusi berdasarkan posisi litotomi dapat diketahui keseluruhan (100%) ibu bersalin dengan menggunakan posisi litotomi.Pada kenyataan hasil penelitian didapat sebagian besar ibu bersalin dengan posisi litotomi dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu tentang macam-macam posisi mengejan saat proses persalinan dan juga sudah menjadi kebiasaan dimasyarakat bahwa dalam persalinan menggunakan posisi litotomi sehingga ibu pun akan merasakan kenyamanan pada posisi tersebut karena posisi yang dirasa nyaman dan aman oleh ibu dapat mendukung persalinan. Posisi litotomi juga dapat memudahkan bidan untuk memantau kemajuan persalinan dan membantu proses persalinan karena kepala bayi dapat dengan mudah dimonitor, dipegang maupun diarahkan. Bidan juga akan lebih mudah apabila melakukan persalinan tindakan episiotomi sehingga laserasi dapat dikurangi. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II keseluruhan ibu bersalin dengan menggunakan posisi litotomi, sedangkan dari 1 ibu bersalin yang mengalami persalinan lama kala II juga dengan menggunakan posisi litotomi. Hasil penelitian didapatkan dari 23 ibu bersalin yang mengalami persalinan normal kala II keseluruhan menggunakan posisi litotomi kemungkinan pada posisi ini menunjang tenaga kesehatan untuk bisa lebih leluasa membantu proses persalinan. Jalan lahir pun menghadap ke depan sehingga bidan dapat lebih mudah mengukur perkembangan pembukaan dan waktu persalinan pun bisa diprediksi secara lebih akurat. Kepala bayi lebih mudah dipegang dan diarahkan. Sehingga apabila terjadi perubahan posisi kepala bayi, maka bidan langsung bisa mengarahkan pada posisi seharusnya. 42
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Adapun ibu bersalin dengan posisi litotomi tetapi mengalami persalinan lama kala II karena sesuai teori bahwa posisi tersebut bisa memakan waktu lebih lama dan menyebabkan kelelahan pada ibu. Tetapi tidak dapat dibuktikan karena persalinan lama kala II juga dapat berdasarkan faktor lain. 6. Faktor Kelancaran Kala II Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari sebagian besar 23 ibu bersalin (95,8%) mengalami kelancaran persalinan kala II normal. Pada penelitian dapat diketahui hampir keseluruhan ibu bersalin mengalami kelancaran kala II. Kelancaran kala II dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu tenaga atau usaha mengedan dan kontraksi uterus; jalan lahir yang dimiliki ibu pada persalinan yaitu segmen bawah rahim, serviks uteri dan vagina di samping itu, otot-otot jaringan ikat dan ligamen yang harus lemas dan mudah meregang; penurunan presentasi janin, letak posisi serta berat badan janin; pemberian dukungan mental untuk mengurangi kecemasan atau ketakutan ibu; serta mengatur posisi ibu dalam membimbing mengedan sesuai dengan kenyamanan ibu.Paritas berkaitan dengan kelancaran kala II persalinan karena mayoritas primi membutuhkan waktu lebih lama dibanding multi karena mekanisme pengeluaran janin yang berbeda. Selain itu, terjalinnya kerjasama yang baik antara ibu bersalin dengan bidan juga mempengaruhi lancar atau tidaknya suatu persalinan karena bimbingan yang baik dan benar serta dukungan atas usaha ibu saat mengejan dapat mencegah ibu dari kelelahan dan memberikan motivasi untuk lebih mempertahankan kekuatan saat persalinan.
ISSN 2085-028X
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 24 ibu bersalin, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) Sebanyak 87,5% ibu bersalinmemiliki power yang kuat; 2) Sebanyak 83,3% ibu bersalin memiliki passage dalam batas normal; 3) 100% ibu bersalin memenuhi kriteria normal pada faktor passenger; 4) sebanyak 54,2% ibu bersalin dengan kriteria psikologis tidak merasakan kecemasan pada proses persalinan; 5) 100% ibu bersalin menggunakan posisi litotomi; 6) Sebanyak 95,8% ibu bersalin mengalami kelancaran kala II persalinan normal. Pada 23 ibu bersalin yang mengalami kelancaran kala II persalinan berdasarkan faktor 5P (power, passage, passenger, psikologi dan posisi persalinan) didapatkan:1) 91,3% ibu bersalin memiliki power yang kuat;2) 82,6% ibu bersalin dengan kriteria passage yang normal;3) 100% ibu bersalin memenuhi kriteria passenger normal;4) 56,5% ibu bersalin adalah ibu dengan psikologis yang tidak merasakan cemas; dan 5) 100% ibu bersalinmenggunakan posisi litotomi. KEPUSTAKAAN 1. Asrinah., Putri, S dan Sulistyorini, D. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan.Jakarta: Graha Ilmu. 2. Baskomworld. 2011. Persalinan dengan Kala II Memanjang.http://www.bascommetro. com/2011/10/persalinan-dengan-kalaii-memanjang. html. Diakses tanggal 15 Maret 2012. 3. Bennet, V dan Brown, L.1993. Myles Textbook For Midwives.New York: Churchiil Livingstone. 4. BKKBN.2006. Deteksi Dini Komplikasi Persalinan.Jakarta: BKKBN 5. Bobak.2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas.Jakarta: EGC.
KESIMPULAN
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
43
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KEPUTIHAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN KEPUTIHAN PADA REMAJA PUTRIDI SMP DARUL MUTA’ALLIMINSIDOARJO Sutjiati Dwi Handajani*) Fifit Eka Furi Astutik **) *) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya **) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction :Adolescence is the transition from childhood to adulthood, where changes occur very rapidly, both changes in anatomy, physiology and psychology, and demanded to be able to adapt to such changes. Based on a survey found nearly 80% of teenage girls said a day tend to experience events such as vaginal discharge. The purpose of this study was to analyze the correlation with the level of knowledge about preventive behavior whitish vaginal discharge in young girls in middle school Darul Muta'alimin. Method :The design of this research is analytical research. Its population is young women junior class VII with a sample of 55 young women, probability sampling using simple random sampling. Collecting data using questionnaires, and data analysis using cross tables and spearmanranktest. Result :The results showed that knowledge about the prevention of vaginal discharge vaginal discharge with behavior agreed by 29 young women do (52,7%). Based on test results Rank Spearman with computerized with the significance level of 0.05, the test results indicate the significance of P = 0, 000. So on to get the value of P <(0, 05). This suggests that the Ho is rejected and H 1 is received, which means there is a significant correlation between knowledge of preventive behaviors whitish vaginal discharge in young girls in middle school Darul Muta'allimin 2012. Conclusion :From the research results can be concluded that knowledge sufficient discharge in adolescent girls with behavior agreed to prevent it, therefore it is expected adolescents are able to adapt well in the face of development and change yourself stepping adolescence, whether changes in anatomy, physiology and psychology. Keywords: KnowledgeAboutDischarge,DischargePrevention Behavior. PENDAHULUAN Masa Remaja juga sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan kekacauankekacauan batin pada remaja sehingga masa remaja juga disebut sebagai “Masa Pancaroba”. Menjadi begitu khusus dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi peroses awal kematangan organ Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara menyeluruh, mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi. Dalam kesehatan reproduksi juga mengandung komponen hak-hak reproduksi yang meliputihak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta 44
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi.[12] Bagi sebagian orang masalah kesehatan reproduksi seperti, gangguan menstruasi dan keputihan, gatal-gatal atau bau tak sedap pada alat reproduksi yang disebakan oleh jamur dan bakteri karena keringat dari aktifitas kita sehari hari khususnya di daerah yang beriklim tropis seperti di Indonesia. Dalam ilmu kedokteran cairan vagina disebut juga fluor albus. Fluor albus adalah cairan putih encer atau kental kekuningan dari lubang vagina (Maria Dwi Karya, 2004). Fluor albus dapat dibedakan antara lain fluor albus yang fisiologis dan patologis. Fluor albus yang fisiologis dapat dikatakan normal seperti tampak bening, tidak berbau, dan tidak menimbulkan gatal. Sedangkan fluor albus yang patologis (abnormal) ditandai adanya sekret yang berbeda dengan menimbulkan gejala lain pada penderita seperti warna kuning kehijauan, adanya perubahan konsistensi lendir menjadi padat atau bergumpal, bau amis, gatal, nyeri saat buang air kecil (Junita Indarti, 2006). Keputihan bukan merupakan penyakit tersendiri, tetapi merupakan manifestasi gejala dari hampir semua penyakit kandungan. Sehingga untuk mengetahui penyebab utama keputihan harus dilakukan dengan melakukan anamnesa (wawancara), pemeriksaankandungan dan pemeriksaan laboratorium.[11] Ciri-ciri keputihan patologis seperti: banyak ditemukan leukosit, warnanya agak kekuning-kuningan sampai hijau, lebih kental dan berbau, dan biasanya disebabkan karena infeksi. Keputihan normal jika cairan encer, berwarna bening atau krem, tidak berbau, tidak gatal, sedikit jumlahnya. Keputihan tidak normal jika cairannya bersifat kental. Fluor albus dapat juga dapat disebabkan karena pengaruh kondisi tubuh, misalnya seperti kekurangan gizi akibat anemi, alergi terhadap obat yang digunakan pada lokal vagina (disekitar liang senggama) atau juga mungkin alergi terhadap sperma dari lawan jenisnya, tetapi bisa juga akibat Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
pemakaian obat kortikosteroid (campuran hormon) atau antibiotik yang berlebihan, termasuk pil KB dan pengaruh iritasi peradangan atau luka lecet setempat. Beberapa infeksi alat kandungan seperti vaginitis, gonorre,uretritis gonorre, kondiloma akuminata, herpes genetalia, kandidiasis, trikomoniasis, bacterial vaginosis dan lainnya sering ditandai dengan adanya flour albus yang menjadi gejala utamanya. Hampir semua wanita pernah mengalami keputihan, bahkan ada yang sampai merasa sangat terganggu. Namun, rasa malu untuk diperiksa pada bagian bawah tubuh yang satu ini, sering kali mengalahkan keinginan untuk sembuh. Belum lagi masyarakat kita yang tidak terbiasa memeriksa alat kelaminnya sendiri, sehingga kalau ada gangguan tertentu tidak segera bisa diketahui. Rasa malu untuk periksa ke dokter juga menyebabkan banyak wanita mencoba untuk mengobati keputihannya sendiri, baik dengan obat yang dibeli di toko obat, maupun dengan ramuan tradisional. Apabila pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan jenis penyebab keputihan tersebut, tentu saja pengobatan akan siasia. Semestinya rasa malu tersebut dibuang jauh-jauh, apalagi jika mengingat betapa seriusnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputihan yang berkepanjangan tanpa penanganan yang tuntas. Fluor albus juga merupakan tanda bahaya dari penyakit kanker, infeksi pada alat reproduksi dan kemandulan. Untuk mencegah hal-hal diatas maka perlu dilakukan upaya pengobatan atau pencegahan efektif dengan menjaga kebersihan diri, salah satunya dengan vulva hygiene yang benar. Dengan pengetahuan yang cukup mengenai keputihan diharapkan remaja mempunyai sikap yang positif dalam menghadapi dan mengatasi keadaan tersebut. Sikap yang tidak tepat akan membawa dampak yang merugikan seperti, semakin meluasnya infeksi ke 45
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
rongga rahim dan saluran telur atau rongga panggul. Dalam hal ini remaja sering kali kekurangan informasi dasar mengenai kesehatan reproduksi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang terjangkau dan terjamin kerahasiaannya. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden, kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.Tingkat pengetahuan dikarakteristik menjadi: [15] - Pengetahuan baik= 76%-100% - Pengetahuan cukup= 56%-75% - Pengetahuan kurang = ≤ 55%
dorongan keingintahuan anak.Kurangnya informasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang.
Informasi tentang kesehatan remaja mulai diperkenalkan dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, teman sebaya, dan sumber media lainnya untuk meningkatkan pengetahuan. Bahkan program kesehatan remaja juga diperkenalkan melalui instansi sekolah dalam UKS melibatkan petugas kesehatan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa keluarga, teman sebaya, guru, tenaga kesehatan, dan sumber media lainnya merupakan sumber informasi bagi remaja.
Perilaku Pencegahan keputihan tergantung penyebabnya, dibawah ini beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya terhindar dari keputihan: 1) jaga kebersihan pribadi seperti alat kelamin. Cuci alat kelamin setiap hari sewaktu mandi; 2) cara membilas harus dilakukan dengan benar yaitu setelah buang air besar dimulai dari alat kelamin kearah dubur; 3) kurangi makanan dan minuman yang manis-manis, makanan /minuman yang manis dapat menyebabkan tingginya kadar gula didalam air kencing, keadaan ini dapat menyuburkan bakteri; 4) kurangi penggunaan celana dalam yang ketat atau dari bahan yang mudah menyerap keringat; 5) jangan menggunakan celana dalam orang lain karena kemungkinan tertular infeksi jamur candida, trikomonas cukup besar; 6) gunakan antiseptik cair seperti betadine vaginal kit dan dettol untuk membersihkan alat kelamin setelah berenang.
Menurut L.Green (2001), pengetahuan seseorang tentang keputihan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap perilaku pencegahan keputihan. Keluarga atau orang tua diharapkan mampu memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak. Cara-cara yang digunakan dengan memberi dukungan dan kesempatan kepada anak untuk merealisasikan dan menghargai ide-idenya, dan memuaskan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku pencegahan keputihan dapat dibedakan menjadi: 1) faktor Internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat pendidikan, tingkat emosional, konsep diri, jenis kelamin, dan sebagainya; 2) faktor Eksternalyaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang dalam menjaga kesehatan reproduksi, karena seseorang akan cenderung menyesuaikan dan mengikuti perilaku pencegahan keputihan sesuai dengan kebiasaan yang ada di lingkungannya.
Berdasarkan data statistik Indonesia tahun 2009 dari 43,3 juta jiwa remaja berusia 1524 tahun di Indonesia berperilaku tidak 46
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehat. Remaja putri Indonesia dari 23 juta jiwa berusia 15-24 tahun 83,3% pernah berhubungan seksual, yang merupakan salah satu penyebab terjadinya keputihan. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah remaja putri Jawa Tengah yaitu 2,9 juta jiwa berusia 15-24 tahun, 45% pernah mengalami keputihan. (BKKBN, 2009). Dari latar belakang diatas dan dari hasil pra survey yang dilakukan dengan melakukan wawancara langsung kepada remaja putri kelas VII di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo didapatkan bahwa dari 8 remaja putri (80%) mengatakan dalam sehari remaja putri cenderung mengalami kejadian keputihan seperti pada waktu sebelum dan setelah menstruasi, dan jika banyak pikiran. Hal ini disebabkan oleh faktor penyebab kurangnya pengetahuan dan minimnya informasi yang diperoleh, serta belum mengerti tentang bagaimana menjaga kebersihan alat kelamin, serta cara pencegahannya. Sedangkan 3 orang (30%) yang lain tidak memperdulikan keadaannya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan tingkat pengetahuan tentang keputihan dengan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri kelas VII di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan analitik yang bertujuan menganalisa hubungan dua variabel yaitu variabel tingkat pengetahuan keputihan dan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri. Jenis penelitian ini adalah bersifat observasional karena berusaha menggali informasi pada objek penelitian tanpa adanya suatu perlakuan dalam penelitian. Berdasarkan waktunya, penelitian ini bersifat cross sectional, karena mengkaji keadaan objek dan pengukuran variabelnya baik respon
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
maupun efek bersamaan.[15]
dilakukan
pada
waktu
Pada penelitian ini populasinya adalah Remaja putri kelas VII di SMP Darul Mutta’allimin Sidoarjo pada bulan MaretApril 2012 sebanyak 64 orang. Sampelnya adalah remaja putri kelas VII yang sudah menstruasi di di SMP Darul Mutta’allimin Sidoarjo. Besar Sampel : N n 1 N(d) 2 Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi d = Tingkat kepercayaan/ketepatan (0,05) Jadi besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 55 responden. Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling yaitu dengan cara membuat daftar (list) unit populasi kemudian dilotre.Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang keputihan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan keputihan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan respondennya adalah remaja putri di kelas VII SMP Darul Muta’allimin. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup dan berstruktur dimana kuesioner tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga responden hanya tinggal memilih atau menjawab pada jawaban yang sudah ada (Hidayat, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman. Uji ini digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal. HASIL PENELITIAN Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa : 47
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
1. Usia remaja putri tertinggi berusia 13 tahun sebanyak 61,8% dan terendah berusia 14 tahun sebanyak 5,5%. 2. Perolehan informasi tertinggi remaja putri tentang pengetahuan keputihansebanyak 60% dari orang tua dan terendahsebanyak 9,1%diperoleh dari sekolah. 3. Pengetahuan tentang keputihan pada remaja putri sebanyak69,1%pada kategori cukup, dan sebanyak9,1%pada kategori kurang. 4. Perilaku pencegahan keputihan sebagian besar pada kategori setuju sebanyak 52,7%remaja putri, dan sebagian kecil kategori sangat tidak setuju sebanyak 10,9% remaja putri.
ISSN 2085-028X
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja Putri di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo 2012. No
Variabel
1
Umur l. 11 tahun m. 12 tahun n. 13 tahun o. 14 tahun Sumber Informasi n. Orang Tua o. Sekolah p. Media Masa q. Lain-lain Pengetahuan Keputihan l. Baik m. Cukup n. Kurang Perilaku Pencegahan i. Sangat tidak setuju j. Tidak setuju k. Setuju l. Sangat setuju
2
3
4
Jumlah
(%)
0 18 34 3
0 32,7 61,8 5,5
33 5 11 6
60 9,1 20 10,9
12 38 5
21,8 69,1 9,1
6 12 29 8
10,9 21,8 52,7 14,6
Setelah dilakukan perhitungan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan komputerisasi dengan tingkat kemaknaan sebesar 0,05, hasil uji menunjukkan nilai signifikasi p = 0,000. Sehingga didapatkan nilai p< (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang keputihan dengan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri di SMP Darul Muta’allimin tahun 2012. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan hasil tabulasi silang bahwa nilai tertinggi didapatkan pada remaja putri yang memiliki pengetahuan cukup dengan perilaku setuju dalam pencegahan keputihan sebanyak 69% remaja putri.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
48
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Tabulasi Silang AntaraTingkat Pencegahan Dan Perilaku Pencegahan Keputihan Pada Remaja Putri di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo 2012.
No 1 2 3
Pengetahuan Tentang Keputihan Baik Cukup Kurang
Perilaku Pencegahan Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju n % n % n % 6 50 5 41,7 1 8,3 0 0 7 18,4 26 68,8 0 0 0 0 2 40,0 p = 0,000
Sangat setuju n 0 5 3
% 0 13,2 60,0
PEMBAHASAN Diketahui dari Penelitian yang dilakukan pada remaja putri tentang pengetahuan keputihan di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo tahun 2012, bahwa nilai tertinggi pengetahuan remaja putri tentang keputihan pada kategori cukup sebanyak 69,1%. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan sebagaimana yang telah didapatkan dari data umum hasil penelitian diantaranya berkaitan dengan umur dan sumber informasi. Pengetahuan seseorang remaja putri dapat dipengaruhi dengan usia, sebagaimana data yang didapatkan nilai terbesar dikategorikan pada usia 13 tahun sebanyak 61,8%. Dalam hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa Kriteria umur remaja merupakan salah satu sasaran dari pendidikan salah satunya pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Kelompok umur 10-13 tahun sebaiknya pendidikan kesehatan yang diberikan adalah proses reproduksi yang bertanggung jawab dan perkembangan fisik dan kematangan seksual remaja. Sedangkan usia 14-19 tahun ditambahkan dengan pengenalan alat reproduksi, kehamilan, dan infeksi organ reproduksi. Dalam hal ini dari seluruh jumlah remaja putri juga pernah mendapatkan sumber informasi tentang pengetahuan keputihan dan mayoritas sebanyak 60% remaja putri sebagian besar mendapatkan sumber informasi tentang pengetahuan keputihan dari orang tua. Informasi tentang kesehatan remaja mulai diperkenalkan dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, teman sebaya, dan sumber media lainnya untuk meningkatkan pengetahuan. Bahkan program kesehatan remaja juga diperkenalkan melalui instansi sekolah dalam UKS melibatkan petugas kesehatan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa keluarga, teman sebaya, guru, tenaga kesehatan, dan sumber media lainnya merupakan sumber informasi bagi remaja. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa remaja putri yang sebagian besar berperilaku setuju sebanyak 52,7% remaja putri. Dari hasil data diatas dapat diamati dan dibaca bahwa perilaku yang mayoritas cukup tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi diantaranya pengetahuan. Berdasarkan data yang didapatkan bahwa 69,1% remaja putri dari 55 remaja putri didapatkan remaja memiliki pengetahuan yang cukup. Sesuai dengan teori perilaku merupakan suatu kegiatan aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan, sehingga dimaksud dengan perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri, baik yang diamati langsung maupun yang Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
49
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
tidak diamati oleh pihak luar. Dan perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya(Notoatmodjo, 2007). Pada penelitian ini banyak remaja putri yang memiliki perilaku setuju dalam melakukan pencegahan keputihan dikarenakan adanya pengaruh pengetahuan yang cukup dalam penerimaan atau memahami tentang cara pencegahan keputihan dan perilaku mereka sudah terbentuk dengan adanya interaksi antara manusia dan lingkunganya serta tindakan mereka dapat dilakukan sehari-hari. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa remaja putri mendapatkan sumber informasi tentang pengetahuan keputihan sebagian besar dari orang tua sebanyak 60% dan sebagian kecil sumber informasi didapatkan dari sekolah sebanyak 9,1%. Fakta diatas menunjukkan sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa perilaku yang positif melakukan didasari oleh pengetahuan. Dan perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya (Notoatmodjo, 2007). Setelah dilakukan perhitungan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan komputerisasi dengan tingkat kemaknaan sebesar 0,05, hasil uji menunjukkan nilai signifikasi p = 0, 000. Sehingga di dapatkan nilai p< . Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang keputihan dengan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri di SMP Darul Muta’allimin tahun 2012. Berdasarkan hasil tabulasi prosentase tertinggi dikategorikan pada pengetahuan cukup dengan perilaku setuju melakukan pencegahan keputihan sebanyak 68,8% remaja putri. Hal ini sesuai teori, bahwa perilaku yang melakukan didasari oleh pengetahuan. Dan perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Pernyataan diatas saling berkesinambungan dengan kata lain sebanding karena fakta dilapangan sesuai dengan teori yang ada. Akan tetapi disisi lain didapatkan dari hasil tabulasi prosentase terendah dikategorikan pada pengetahuan baik dengan perilaku setuju sebanyak 8,3%, pengetahuan cukup dengan perilaku sangat tidak setuju sebanyak 13,2%, dan pengetahuan kurang dengan perilaku setuju sebanyak 40%. Fakta diatas menunjukkan sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa perilaku yang melakukan didasari oleh pengetahuan. Data–data diatas menunjukkan bahwa remaja putri sangat membutuhkan informasi untuk diberikan arahan yang baik dan benar supaya dapat diberikan pengetahuan tentang keputihan terhadap perilaku pencegahan keputihan padaremaja putri untuk mencegah adanya keputihan. Karena adanya perilaku pencegahan keputihan iniakan berpengaruh atas munculnya aspekaspek perilaku pencegahan keputihan seperti aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, aspek identitas diri, aspek emosi, aspek penyesuaian. Sehingga pengetahuan tentang keputihan yang cukup dan perilaku setuju dalam melakukan pencegahan keputihan dibutuhkan konseling atau penyuluhan tentang cara pencegahan keputihan pada remaja putri. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
50
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari tingkat pengetahuan tentang keputihan dengan perilaku pencegahan keputihan pada 55 remaja putri kelas VII, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:: 1) pengetahuan tentang keputihan pada remaja putri sebanyak 69%remaja putri pada kategori cukup; 2) dalam melakukan pencegahan keputihan sebanyak 52% remaja putri berperilaku setuju; 3) ada hubungan antara pengetahuan cukup dengan perilaku setujumelakukan pencegahan keputihan p = 0,000,sehingga didapatkan nilai p< . Saran Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut: 1) menggunakan penelitian ini sebagai acuandan referensi dalam pembelajaran materi mengenai kesehatan reproduksi; 2) menjadikan penelitian ini sebagai masukkan untuk melakukan penelitian selanjutnyadengan harapan dapat dilakukan pengkajian lebih luas dan lebih seksama mengenai pengetahuan tentang keputihan dan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri, sehingga hasil yang didapat menjadi lebih baik dan dapat melengkapi kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini; 3) informasi tentang tahap perkembangan kesehatan reproduksi remaja khususnya tentang pengetahuan keputihan dan mengetahui perilaku pencegahan keputihan diketahui oleh para remaja putri. KEPUSTAKAAN 1. Andira, Dita. 2010. Seluk-Beluk Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogjakarta: A Plus Books. 2. Dalimartha, S. 2002. Tumbuhan Obat Untuk Mengatasi Keputihan. Jakarta: Puspa Swara. 3. DepKes RI. 2003. Materi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).Jakarta: DepKes. 4. DepKes RI. 2002. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.Jakarta: DepKes. 5. Glasier,Gebbie.1998. Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC. 6. Hamilton, Persis Mary. 2002. Prosedur Perawatan Vulva dan Perineum.Jakarta: EGC. 7. Hidayat, A.Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.Jakarta: Salemba Medika. 8. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapus. 9. M,Agus. 2000. Tubuh Wanita Modern. Jakarta: Elex Media Komputindo. 10. Moeliono, Laurike. 2003. Proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: PKBI. 11. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.Jakarta: ARCAN. 12. _____________________. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC. 13. _____________________. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB Untuk Pendidikan Bidan.Jakarta: EGC. 14. Nursalam, Pariani, S. 2001. Pendekatan Praktik Metodologi RisetKeperawatan. Jakarta: Sagung Seto. 15. PKBI. 2003. Dinamika Remaja (Suplemen Masa Transisi). Jakarta: Depkes RI. 16. Sarwono, Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. 17. Sianturi, M. 2004. Keputihan. Jakarta: FKUI. 18. Sudarsono.2001. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. 19. Soetjiningsih. 2004. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.Jakarta: EGC. 20. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
51
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
21. Wicaksono, B.2001. Mengenal Penyakit Hubungan Seksual.Jakarta: Pioner Jaya.
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SIDOARJO Tri Ratih Agustina*), Imam Edy Bachtiar**) *) Dosen prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Diabetes Mellitus is of public health problems that require treatment as well, given the frequency are high enough where the increase with increasing attention to the lack of activity, lack of knowledge about to diabetes mellitus, and eating less regularly. This study aims to determine whether there is relationship Obesity With Diabetes Mellitus In Genesis Poly Space Medicine Hospital Sidoarjo. Method : This research method using analytical research methods in Observational and approach Cross-sectional design. The population research were 30 persons obese. Sample were taken sample techniques, sampling consisting of 28 persons obese. Data were collected by observation and medical records, and analysis using spearman rank correlation. Result : The results showed a majority of obese patients were as many as 12 people (42.9%) and affected the incidence of diabetes mellitus were 19 people (67.9%). uji spearman rank correlation results of obesity with the incidence of diabetes mellitus was found that p = 0.000, α = 0.05 then p <α so that H ₒ rejected and H1 accepted which means there Corelation With Obesity Diabetes Mellitus Disease incidence in the Space Poly Sidoarjo Hospital Medicine. Conclusion : From the data obtained by the need to reduce excessive food and lifestyle change with exercise in order to decrease obesity because obesity can affect diabetes mellitus. Keywords : Obesity, Diabetes Mellitus PENDAHULUAN Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelebihan lemak dalam tubuh. Secara klasik obesitas telah diidentifikasikan sebagai kelebihan berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal. Obesitas tidak mempunyai penyebab tunggal, tetapi merupakan gambaran berbagai keadaan dengan latar belakang etiologi atau sejarah kejadian yang berbeda (Agus K. Budianto, 2002). Kegemukan (obesitas) sebenarnya tidak identik dengan kelebihan berat badan, melainkan terkait dengan komposisi tubuh dimana terjadi kelebihan lemak. Kelebihan lemak tubuh inilah yang brkaitan dengan Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
kejadian metabolic syndrome, yang merupakan resiko gangguan kesehatan pada obesitas. Telah diketahui bahwa obesitas terkait dengan metabolic syndrome yang merupakan awal terjadinya penyakit degenerasi seperti hypertensi, diabetes mellitus, dyslipidemia, jantung koroner, stroke, dan kanker (Oetomo, 2011). Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya 52
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki. Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang menyertai penderita obesitas. Demikian juga merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin. Penyakit ini merupakan penyakit metabolik yang diletupkan oleh interaksi berbagai faktor : genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Penyakit Diabetes Melitus tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan tetapi juga kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit Diabetes Melitus pada seseorang yaitu (Endang Lanywati, 2001) : 7. Makan yang berlebihan Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh menumpuk secara berlebihan. 8. Obesitas (kegemukan) Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes militus. 9. Faktor genetik Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus. 10. Kurang gerak atau jarang olahraga Pada orang yang kurang gerak dan jarang olah raga, zat makanan yang masuk dalam tubuh tidak dibakar, tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. 11. Penyakit dan infeksi pada pankreas Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormonhormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. 12. Kehamilan Ibu akan menambah konsumsi makanannya dan jika produksi insulin kurang mencukupi untuk mengolahnya maka akan timbul gejala Diabetes Mellitus. Di Indonesia menurut data WHO pada tahun 2009 mencapai 8 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat menjadi lebih dari 21 juta jiwa pada tahun 2025. Itu yang membuat Indonesia menempati peringkat empat negara dengan jumlah penderita terbanyak di dunia. Terbukti di kabupaten atau kota di Indonesia di antaranya berasal dari kelompok masyarakat yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi gaya modern, dengan jumlah pengidap diabetes dengan riwayat obesitas sebanyak 4,5 juta jiwa. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang Poli Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 terdapat 856 pasien diabetes mellitus dan 358 pasien yang menderita DM dengan riwayat obesitas, pada tahun 2010 terdapat 924 pasien DM dan 477 pasien yang 53
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
mempunyai riwayat obesitas meningkat 12%, sedangkan bulan Desember 2011 terdapat 55 Orang penderita baru yang menderita diabetes mellitus, di antaranya ada 30 orang (55%) yang mempunyai riwayat obesitas. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian analitik adalah penelitian Observasional dan Pendekatan Cross sectional. Populasi penelitian adalah orang yang mengalami obesitas yang berkunjung ke ruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo. Pada bulan Desember tahun 2011, terdapat 30 orang yang mempunyai kegemukan (obesitas). Jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 28 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah aksidental sampling yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu. Variabel bebas (Dependen) adalah Obesitas. Variabel tergantung (Independen) adalah kejadian Diabetes Mellitus. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah observasi langsung kepada responden di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo serta Data umum tentang Diabetes Mellitus dengan riwayat obesitas di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo dan data penunjang lainnya melalui Rekam medik dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan analisis bevariate yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan pengujian statistik yakni Kolerasi Rank Spearman.
ISSN 2085-028X
orang yang obesitas dengan karakteristik sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Obesitas Yang Berkunjung Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012 No
Variabel
1
Jenis Kelamin p. Laki-laki q. Perempuan Umur r. 21-30 tahun s. 31-40 tahun t. 41-50 tahun u. 51-60 tahun v. 61-70 tahun Pendidikan o. SD/sederajat p. SMP/sederajat q. SMA/sederajat r. Perguruan Tinggi Pekerjaan m. Swasta/Wiraswasta n. Tidak bekerja Obesitas f. Ringan g. Sedang h. Berat Kejadian Diabetes Mellitus e. Terjadi DM f. Tidak terjadi DM
2
3
4
5
6
n
(%)
15 13
53,6 46,4
2 1 12 10 3
7,1 3,6 42,9 35,7 10,7
4 7 13 4
14,3 25 46,4 14,3
21 7
75 25
11 12 5
39,2 42,9 17,9
41 104
28 72
Tabel 2. Tabulasi Silang Frekuensi Obesitas Terhadap Kejadian Diabetes Mellitus Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012.
No
1 2 3
Kejadian Diabetes Mellitus Obesitas Tidak Terjadi terjadi ∑ % ∑ % Ringan 3 27,2 8 72,8 Sedang 11 91,7 1 8,4 Berat 5 100 0 0 p = 0,000
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian pada pasien obesitas yang berkunjung diruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo, yang terdiri dari 28 Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1 54
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
diterima artinya ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
ISSN 2085-028X
Dari hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 28 orang sebagian besar terjadi diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%).
PEMBAHASAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 28 orang sebagian besar obesitas ringan sebanyak 11 orang (39,2%), obesitas sedang sebanyak 12 orang (42,9%) dan obesitas berat sebanyak 5 orang (17,9%). Dan orang yang terkena obesitas paling banyak terdapat pada obesitas sedang sebanyak 12 orang (39,2%). Berdasarkan hasil pengamatan di ruang Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo penyebab obesitas pada pasien yang berkunjung karena kurangnya aktivitas/olah raga dan makan yang kurang teratur, walaupun di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo telah diberikan penyuluhan dan brosur oleh para perawat dan dokter disana tentang bahaya bagi kesehatan terutama penyakit diabetes mellitus, tetapi para pasien yang berkunjung di sana kurang memperhatikan penyuluhan tersebut, hal ini dapat berdampak kurangnya pengetahuan pada pasien yang berkunjung disana, tetapi obesitas bukan penyebab utama diabetes mellitus, ada beberapa faktor- faktor yang berkaitan dengan kejadian diabetes mellitus yaitu genetik, kurang bergerak/ jarang berolah raga, makan yang berlebihan, penyakit dan infeksi pada pangkreas dan kehamilan. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004 yang berjudul Hubungan Antara Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus Pada Masyarakat di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung yang menghasilkan ada hubungan antara obesitas dengan kejadian diabetes mellitus.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin, asupan glukosa (atau produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai glikogen dalam selsel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah hiperglikemia (kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada Diabetes Mellitus glukosa tidak dapat melewati membran sel, sehingga sel-sel kekurangan makanan, hal ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula dalam tubuh sehingga tubuh berusaha memperoleh cadangan gula dari makanan yang diterima dengan memperbanyak asupan makanan (poliphagia). Apabila insulin tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar gula normal, menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat, dimana saat kadar gula dalam darah melebihi ambang ginjal sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkannya melalui air kencing dengan frekuensi yang sering (poliuria). Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan akibat dari sering kencing tadi secara otomatis akan timbul rasa haus yang menyebabkan keinginan untuk terus minum (polidipsi). Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resitensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada diluar sel, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Soegondo, S, dkk, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan di ruang Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo penyebab diabetes mellitus pada pasien yang berkunjung karena masih banyak 55
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
kurangnya perhatian aktivitas/olah raga untuk menurunkan berat badan, kurang pengetahuan tentang bahaya obesitas yang menyebabkan diabetes mellitus, dan makan yang kurang teratur, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan pasien yang berkunjung di poli penyakit dalam RSUD Sidoarjo. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004. Hasil tabulasi silang menggambarka bahwa dari 28 orang hasil distribusi antara obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus di Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo adalah pada orang yang mengalami kejadian Diabetes Mellitus pada obesitas berat sebanyak 5 orang (100%), sedangkan obesitas sedang sebanyak 11 orang (91,7%) dan obesitas ringan sebanyak 3 orang (27,2%). Pada orang yang tidak mengalami kejadian Diabetes Mellitus pada obesitas ringan sebanyak 8 orang (72,8%), sedangkan obesitas sedang sebanyak 1 orang (8,4%) dan obesitas berat (0%). Bedasarkan hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1 diterima artinya ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
ISSN 2085-028X
contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, sedangkan olahraga sedang dengan cara joging selama 20 menit. Untuk makanan dianjurkan diet hipokalori biasanya memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan mempunyai potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka lama. Perencanaan makanan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009). Peran tenaga kesehatan dalam masalah ini adalah dengan memberikan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat umum, pengetahuan tentang realitas masalah obesitas terhadap resiko terjadinya penyakit yang menyertai penderita obesitas terutama diabetes mellitus, sehingga menambah pengetahuan masyarakat serta secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berpola hidup sehat. Sedangkan peran pada masyarakat adalah bisa memberikan olah raga senam setiap seminggu sekali untuk menurunkan berat badan penderita diabetes mellitus gemuk supaya resiko terjadinya penyakit diabetes mellitus dengan riwayat obesitas bisa menurun. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004. KESIMPULAN DAN SARAN
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembulu darah (Aru W Sudoyo, dkk, 2007). Penderita diabetes mellitus dengan riwayat obesitas dianjurkan latihan jasmani atau olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sebagai Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Kesimpulan 1) Dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar yang mengalami Obesitas sedang sebanyak 12 orang (42,9%), 2) Dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar yang mengalami diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%), 3) Dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo bedasarkan hasil 56
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1 diterima artinya ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
KEPUSTAKAAN Agus K. Budiyanto, 2002. Gizi dan Kesehatan, Malang : Bayu Media UMM Press. American Diabetes Association, 1999. “Proposal Obesitas antara Diabetes mellitus”, (http://www.Proposal/bahan/kaitan -antara-obesitas-dandiabetes.html)., Diakses tanggal 25 Desember 2011. Arisman, 2011. Obesitas, Diabetes Mellitus, & Dislipidemia, Jakarta : EGC. Askandar Tjokroprawiro, 2001. Diabetes Mellitus, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Lanywati, Endang, 2001. Diabetes Mellitus, Yogyakarta : Kanisius. Baido, Rasid Darma, 2011. “Hubungan antara Obesitas dengan Diabetes Mellitus”, (file:///E:/Proposal/PERLENGKAP AN%20SKRIPSI/bahan/kaitanantara-obesitas-dan-diabetes.html)., Diakses tanggal 16 januari 2012. Beta Kulinet, 2009. “Faktor Penyebab Diabetes Mellitus”, (http://www.kulinet.com/baca/fakto r-penyebab-diabetesmellitus/974/)., Diakses tanggal 03 Januari 2012. Compasiana, 2011. “Bahaya Obesitas”, (http://kesehatan.kompasiana.com/
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
medis/2011/03/09/bahayaobesitas/)., Diakses tanggal 05 januari 2012. Depkes RI (Republik Indonesis), 2011. “Obesitas”, (www.newmedical.net)., Diakses tanggal 20 Desember 2011. Drahani, 2008. “Penyebab Diabetes Mellitus”, (http://drahani.wordpress.com/2008 /03/05/penyeban-diabetesmelitus/)., Diakses tanggal 03 Januari 2012. Emma S. Wirakusumah, 2001. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hotma Rumaharjo, 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Endokrin, Jakarta : EGC Nursalam, 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperwatan, Salemba Medika : Jakarta. Endang Lanywati, 2001. Diabetes Mellitus, Yogyakarta : Kanisius. Soesanto, Wibisono, 2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan, Surabaya : Duatujuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2011. “Apa Itu Obesitas”, (http://www.newsmedical.net/health/What-is-Obesity %28Indonesian%29.aspx)., Diakses tanggal 20 Desember 2011. . Sudoyo, dkk, 2007. Ilmu Penyakit Dalam Edisi III, Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
57
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
RAWAT GABUNG DENGAN PRODUKSI ASI PADA IBU NIFAS DI PUSKESMAS BOTOLINGGO KABUPATEN BONDOWOSO Endeh *), Nourma Yunita**) *) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya **) Dosen Prodi DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Rooming in provide opportunities for mothers to near to the baby, so the baby can be breastfed immediately and frequency of mothers breast feed it more often. Given the importance of rooming-in, then in need of a study to determine the relationship rooming in with ASI production. The purpose of this study was to determine the relationship Rooming in with Production ASI in post partum mother’s on Botolinggo Health Center district Bondowoso. Method : This study is an analytical study with cross-sectional research design. Study subjects as many as 28 new mothers and the results of the analysis are presented in the form of frequency distribution tables and percentages and then use statistic Mc Nemar Test . Result : The result that was obtained was postpartum mother’s do rooming in many as 22 people (78.6%) And that did not rooming in many as 6 people (21.4%). Condition of smooth ASI production as many as 19 people (77.8%)) and condition of non-current ASI production by 6 people (32.1%). Conclusion : The conclusion there is corelation rooming in with ASI production in pospartum mother's with the value ofprobability is 0.002. H0. 0.002 <0.05, and results H0 is rejected and H1 accepted. Keywords : rooming in, ASI production PENDAHULUAN Nifas merupakan sebuah fase setelah ibu melahirkan dengan rentang waktu kira-kira selam 6 minggu. Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta keluar sampai alat-alat kandungan kembali normal seperti sebelum hamil. Asuhan selama periode nifas sangat diperlukan karena merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkannya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% kematian ibu pada masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Di samping itu, masa tersebut juga merupakan masa kritis dari kehidupan bayi, karena dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
dalam waktu 7 hari setelah (Winkjosastro et al, 2005).
lahir
Kebanyakan ibu tidak tahu bahwa membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran atau yang biasa disebut proses inisiasi menyusu dini (IMD) sangat bermanfaat. Kedekatan antara ibu dengan bayinya akan terbentuk dalam proses IMD yang dilanjutkan dengan rawat gabung ibu dan bayi, memisahkan ibu dengan bayinya ternyata daya tahan tubuh bayi akan turun hingga mencapai 25%. Rawat gabung merupakan satu cara perawatan ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya agar bayi segera 58
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
mendapatkan colostrum atau air susu ibu (Maryunani A, 2009). Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di bangsal perawatan pasca persalinan. Akan tetapi, tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung. (Soetjiningsih, 2005) berpendapat tentang tujuan rawat gabung sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
Bantuan emosional Setelah lelah dalam proses persalinan si ibu akan sangat senang dan bahagia bila dekat dengan bayinya. Penggunaan ASI Produksi ASI akan makin cepat dan makin banyak bila menyusui dilakukan sesegera dan sesering mungkin. Pencegahan Infeksi Dengan melakukan rawat gabung maka infeksi silang dapat dihindari. Pendidikan Kesehatan Pada saat melaksanakan rawat gabung dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu, terutama primipara tentang bagaimana teknik menyusui, memandikan bayi, merawat tali pusat, perawatan payudara dan nasihat makanan yang baik.
Rawat gabung juga akan memberikan kepuasan pada ibu karena ibu dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya dan keadaan ini akan memperlancar produksi ASI karena seperti telah diketahui, refleks let-down bersifat psikosomatis. Sebaliknya bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak. Ibu akan merasa bangga karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri dan bila suaminya berkunjung, akan terasa adanya suatu ikatan kesatuan keluarga (Prawirohardjo, 2007).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Pada situasi normal, rawat gabung ibubayi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatus. Tujuannya agar ibu dan bayi dapat meningkatkan hubungan batinnya sejak kelahiran, ibu selalu dapat merawat bayinya dan memberikan ASI on call atau on demand, dapat mengurangi terjadinya abses mammae dan kemungkinan karsinoma mammae, petugas kesehatan dapat langsung memberikan petunjuk tentang berbagai masalah kala nifas sehingga dapat dilalui dengan aman dan bersih. Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu, sebagai makanan utama bagi bayi (Kristiyansari, 2009). Pembentukan ASI (refleks prolaktin) dimulai sejak kehamilan. Pada masa kehamilan terjadi perubahan-perubahan payudara terutama besarnya payudara, yang disebabkan oleh adanya proliferasi sel-sel duktus laktiferus dan sel-sel kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya peredaran darah pada payudara. Proses proliferasi ini dipengaruhi oleh hormonhormon yang dihasilkan oleh plasenta yaitu laktogen, prolaktin, kariogona dotropin, estrogen dan progesterone. Produksi prolaktin yang berkesinambungan disebabkan oleh bayi yang selalu menyusui. Prolaktin akan berada di peredaran darah selama 30 menit setelah dihisap, sehingga prolaktin dapat merangsang payudara menghasilkan ASI untuk minum berikutnya. Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari gudang ASI (sinus laktiferus), makin banyak produksi ASI atau dengan kata lain, makin sering bayi menyusui makin banyak ASI diproduksi (Maryunani, 2009).
59
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 1. Kandungan Kolustrum, Air susu Transisi, dan Air susu Matur. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kandungan Energi (kg/kal) Laktosa (gr/100ml) Lemak (gr/100ml) Protein (gr/100ml) Mineral (gr/100ml) Immuniglub in : a. Ig A (mg/100ml) b. Ig G (mg/100ml) c. Ig M (mg/100) d. Lisosin (mg/100ml) e.Laktoferin mg/100ml)
Kolustrun
Air susu Transisi
Air susu Matur
57,0
63,0
65,0
6,5
6,7
7,0
2,9
3,6
3,8
1,195
0,965
1,324
0,3
0,3
0,2
335,9
-
119,6
5,9
-
2,9
17,1
-
2,9
14,2-16,4
-
24,3-27,5
420-520
-
250-270
Sumber : Buku Pintar ASI Eksklusif Beberapa Zat Nutrien Penting Yang Dikandung dalam ASI : 1) Laktosa sebagai sumber penghasil energi, sebagai karbohidrat utama, meningkatkan penyerapan kalsium dalam tubuh, merangsang tumbuhnya laktobasilus bifidus, 2) Protein untuk pengatur dan pembangun tubuh bayi, 3) Lemak sebagai penghasi kalor/energi utama, menurunkan resiko penyakit jantung di usia muda, 4) Vitamin A berguna bagi perkembangan penglihatan bayi, 5) Zat Besi membantu pembentukan darah untuk menghindarkan bayi dari penyakit kurang darah atau anemia, 6) Taurin baik untuk perkembangan otak anak, 7) Laktobasilus Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam tubuh bayi yang dapat menyebabkan berbagai penyakit atau gangguan kesehatan, 8) Laktoferin Menghambat perkembangan jamur kandida dan bakteri stafilokokus yang merugikan kesehatan bayi, 9) Lisozim untuk mengurangi karies dentis dan maloklusi serta dapat memecah dinding bakteri yang merugikan, 10) Colostrum Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
mengandung banyak zat gizi dan zat pertahanan tubuh bayi dari serangan penyakit, dan 11) AA dan DHA berfungsi untuk perkembangan otak janin dan bayi. Manfaat menyusui bagi ibu antara lain mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mengurangi terjadinya anemia karena kekurangan zat besi akibat perdarahan, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, ibu lebih cepat langsing kembali, mengurangi kemungkinan menderita kanker pada ibu yang memberikan ASI eksklusif dan lebih ekonomis serta mudah karena menghemat pengeluaran untuk susu formula, perlengkapan untuk menyusui dan persiapan untuk pembuatan susu formula (Utami, 2006). Pada tahun 2004, sesuai dengan anjuran badan kesehatan dunia (WHO), pemberian ASI Ekslusif ditingkatkan menjadi 6 bulan sebagimana dinyatakan dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 450 / MENKES / SK / VI / 2004. Sayangnya walaupun pemerintah telah menghimbau pemberian ASI Ekslusif angka pemberi ASI Ekslusif di Indonesia masih rendah. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 bayi usia di bawah usia empat bulan yang diberikan ASI eksklusif sebesar 41%, sedangkan untuk bayi di bawah enam bulan lebih rendah lagi yaitu sebesar 32%. Jika dibandingkan dengan SDKI tahun 2002-2003 pemberian ASI eksklusif pada bayi usia dibawah enam bulan mengalami penurunan yang sebelumnya sebanyak 39,5%. Dalam pelaksanaanya, bayi harus selalu berada di samping ibu sejak segera setelah dilahirkan sampai pulang. Ini bukan suatu hal yang baru. Di lingkungan rumah sakit dan rumah bersalin, sistem perawatan dalam satu ruangan (rawat gabung) difungsikan kembali.
60
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
METODE PENELITIAN Rancangan penelitian ini menggunakan Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek yang dilakukan serentak pada subyek yang berbeda pada waktu yang hampir bersamaan. Sedangkan jenis penelitian pada penelitian ini menggunkan enis suvei analitik yaitu pendekatan yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena ini dapat terjadi (Notoatmodjo, 2005) Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Botolinggo sebanyak 28 orang. Sampel penelitian yang digunakan adalah 28 orang ibu nifas. Variabel independen adalah rawat gabung. Sedangkan variabel dependen adalah produksi ASI pada ibu nifas. Pengumpulan data dari rekam medik. Peneliti juga melakukan wawancara dan observasi untuk memperoleh data yang diperlukan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji Mac Nemar untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan atau hubungan dengan nilai signifikansi untuk mengetahui kecenderungan pada penelitian tersebut.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan karakteristik ibu nifas di Puskesmas Botolinggo sebagai berikut : 1.
2.
Dari 13 orang (46,4%) ibu nifas melahirkan pada rentang usia 21-35 tahun dan sebagian kecil pada rentang usia 15-20 tahun sebanyak 4 orang (14,3%) ibu nifas. Dari 19 orang (68%) ibu nifas tidak bekerja dan ibu nifas yang bekerja 9 orang (32%).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
3.
4.
5.
6.
7.
Dari 10 orang (35,7%) ibu nifas memiliki jenjang pendidikan terakhir yaitu SMA dan sebagian kecil memiliki jenjang pendidikan terakhir yaitu SD sebanyak 3 orang (10,7%). Dari 25 orang (68,66%) ibu nifas melahirkan secara normal tanpa komplikasi dan yang melahirkan dengan kompliksi sebesar 3 orang (10,7%). Dari 15 orang (53,6%) ibu nifas adalah ibu dengan paritas multi gravida dan sebagian kecil grande gravida sebesar (17,8%). Ibu nifas di puskesmas Botolinggo sebagian besar melakukan rawat gabung yaitu sebanyak 22 orang dari 28 ibu nifas atau 78,6% dari keseluruhan ibu. Dari 28 sampel ibu nifas terdapat 19 orang (77,8%) ibu nifas dengan keadaan produksi ASI lancar dan 9 ibu nifas (32,1%) dengan keadaan tidka lancar.
Dari tabel 2, menunjukkan bahwa ibu nifas yang tidak melakukan rawat gabung dan produksi ASI tidak lancar ada 5 orang, sedangkan yang tidak melakukan rawat gabung tetapi produksi ASI lancar ada 1 orang. Sedangkan ibu nifas yang melakukan rawat gabung dengan produksi ASI tidak lanacar ada 4 orang dan yang melakukan rawat gabung dengan produksi ASI lancar ada 18 orang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis Mc Nemar Test pada windows SPSS. Dari hasil di atas pada Approx. Sig terlihat bahwa nilai probabilitas adalah 0.002. Dimana bila nilai probabilitas 0.002 < 0.05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan rawat gabung dengan produksi ASI yang di kategorikan lancar dan tidak lancar ada hubungan yang signifikan.
61
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Rawat Gabung Dengan Produksi ASI Pada Ibu Nifas di Puskesmas Botolinggo, Tanggal 30 Mei-23 Juni 2013.
Rawat Gabung Tidak Melakukan Melakukan p = 0,002
Produksi ASI Tidak lancar Lancar ∑ % ∑ % 5
83,3
1
16,7
4
18,2
18
81,8
PEMBAHASAN Sebagian besar responden di puskesmas Botolinggo melakukan rawat gabung yaitu sebanyak 22 ibu nifas (78,6 %), sedangkan sisanya tidak melakukan rawat gabung dikarenakan adanya komplikasi saat persalinan atau pun di karenakan proses perawatan setelah persalinan tidak sesuai dengan syarat-syarat rawat gabung. Perawatan Rawat Gabung ini di buktikan dengan diberlakukannya perawatan 24 jam dalam satu ruangan setelah proses melahirkan, ibu dalam masa nifas itu juga mendapatkan pendidikan tentang cara merawat payudara, cara menyusui yang benar, cara merawat tali pusat, dan cara memandikan bayi. Selain itu responden mengatakan lebih senang dengan keadaan perawatan setelah persalinan yang seperti ini (dirawat bersama bayi), karena dapat setiap saat melihat bayinya dan merawat bayinya. Pada saat melaksanakan rawat gabung dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu, terutama primipara. Bagaimana teknik menyusui, memandikan bayi, merawat tali pusat, perawatan payudara dan nasihat makanan yang baik, merupakan bahan-bahan yang diperlukan si ibu. Keinginan ibu untuk bangun dari tempat tidur, menggendong bayi dan merawat diri akan mempercepat
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
mobilisasi, sehingga si ibu akan lebih cepat pulih dari persalianan. Ibu nifas yang tidak melakukan rawat gabung di sebabkan adanya komplikasi saat melakukan proses persalinan, seperti terjadinya : Retensio Plasenta, Hpp Primer, dan kejadian BBLR serta adanya proses perawatan setelah persalinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat rawat gabung. Jenis persalinan yang ibu alami sangat mempengaruhi tindakan pelaksanaan rawat gabung ini, seperti dapat diketahui bersama bahwa setelah melahirkan saat di anjurkan untuk melakukan perawatan ibu dan bayi secara bersamaan. Namun kenyataannya, tidak semua proses persalinan dapat berjalan dengan lancar. Adanya komplikasi dalam persalinan menyebabkan tidak di anjurkannya pelaksanaan rawat gabung. Hal ini dilakukan untuk terlebih dahulu memulihkan keadaan umum ibu atau bayi yang mengalami komplikasi. Sedangkan syarat-syarat rawat gabung juga sangat mempengaruhi dapat dilakukannya rawat gabung ibu dan bayi. Pada prinsipnya syarat rawat gabung adalah di tempatkannya ibu dan bayi setelah proses melahirkan dalam satu ruangan selama 24 jam penuh di mana ibu mampu menyusui dan bayi mampu untuk menyusu. Dalam penelitian ini, sebagian ibu nifas tidak dapat melakukan rawat gabung di karenakan salah satu syarat rawat gabung tidak dapat terpenuhi, salah satunya yaitu : ibu menyusui dengan penetapan jadwal, ibu tidak mendapatkan pendidikan kesehatan tentang cara merawat payudara maupun cara merawat tali pusat saat berada dalam ruangan setelah melahirkan. Kesenjangan yang terjadi dalam pelaksanaan rawat gabung merupakan hal yang sulit untuk di hindari karena merupakan faktor penentu mampu tidaknya pasien dan bayinya melakukan 62
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
rawat gabung. Akan tetapi, apabila dalam proses persalinan maupun syarat dan pelaksanaan rawat gabung berjalan dengan baik dan lancar maka tidak ada alasan untuk tidak melakukan rawat gabung. Dari hasil penelitian tentang kelancaran produksi ASI diketahui bahwa dari seluruh responden 28 orang ibu nifas, 19 orang atau sebesar 77,8% mengalami kelancaran produksi ASI dan sisanya mengalami ketidak lancaran ASI sebesar 32,1%. Hal ini di pengaruhi juga oleh tingkat paritas ibu nifas di Puskesmas Botolinggo. Dari 8 ibu nifas dengan primigravida, 1 diantaranya menghasilkan produksi ASI yang lancar sedangkan 7 sisinya menghasilkan produksi ASI yang tidak lancar. Hal ini disebakan oleh kurangnya perawatan payudara ibu saat kehamilan, mereka mengatakan kurang mengerti tentang perawatan payudara atau tidak melakukan perawatan payudara saat kehamilan. Perawatan payudara sendiri dapat mempengaruhi keadaan produksi ASI setelah persalinan. Dari 15 ibu nifas multi gravida, 14 ibu menghasilkan produksi ASI yang lancar sedangkan 1 ibu nifas menghasilkan produksi ASI yang tidak lancar. 1 respon ibu nifas yang menghasilkan produksi ASI yang tidak lancar ini berdasarkan data observasi dan wawancara di pengaruhi oleh jarak kelahiran anak ke 2 dan ketiga yang rentang usia 12 tahun. Sedangkan pada ibu grande gravida, dari 5 responden ibu grande gravida, 4 di antaranya menghasilkan produksi ASI yang lancar dan dan 1 responden ibu nifas menghasilkan produksi ASI yang tidak lancar. Faktor yang mempengaruhi ketidaklancaran produksi ASI pada ibu nifas dapat di pengaruhi oleh tiga hal pokok yaitu : karakteristik paritas ibu nifas, kurangnya perawatan payudara, serta ketidak sabaran ibu untuk menyusui bayinya yang menimbulkan rasa cemas. Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Karakteristik paritas ibu nifas sangat mempengaruhi produksi ASI dikarenakan jenis paritas mempengaruhi pengalaman ibu nifas untuk menyusui dan pengeluaran produksi ASI. Ibu yang telah memiliki bayi sebelumnya cenderung mengalami produksi ASI yang lebih lancar dibandingkan dengan ibu nifas yang baru memiliki bayi. Kurangnya perawatan payudara merupakan salah satu faktor berikutnya, hal ini sangat berkaitan erat dengan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan ANC sejak kehamilan muda serta di batasi oleh tingkat pendidikan yang berbeda-beda pada tapi individu ibu nifas yang dapat mempengaruhi tindkan perawatan payudara. Sedangkan menurut teori, perawatan payudara sangat efektif untuk membantu memperlancar produksi ASI. Sedangkan rasa ketidak sabaran ibu untuk menyusi bayinya dapat menimbulkan rasa cemas pada psikologi ibu. Hal ini jelas dapat mempengaruhi kelancaran produksi ASI. Kurangnya pengetahuan ibu nifas tentang ASI juga dapat memperbesar rasa cemas ibu. Ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung mudah putus asa untuk menyusui bayinya dan lebih memilih memberikan susu formula, padalah kandungan nutrisi pada ASI lebih tinggi di bandingkan dengan susu formula. Oleh karena itu, motivasi untuk mampu menyusui bayinya harus di tanamkan oleh petugas kesehatan. Adanya motivasi untuk ibu akan menekan rasa cemas dan menumbuhkan keinginan untuk mampu menyusui bayinya. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan mac nemmar maka dapat disimpulkan bahwa hubungan rawat gabung dengan produksi ASI di Puskesmas Botolinggo Kabupaten Bondowoso ada hubungan yang signifikan. Dengan nilai probabilitas adalah 0.002, maka angka probabilitas < 0.05 maka H0. 0.002 < 0.05 dan hasil Ho ditolak dan H1 63
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
diterima. H1 yaitu ada hubungan rawat gabung dengan produksi ASI. Menurut teori (Prawirohardjo, 2007), Rawat gabung juga akan memberikan kepuasan pada ibu karena ibu dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya dan keadaan ini akan memperlancar produksi ASI karena seperti telah diketahui, refleks let-down bersifat psikosomatis. Sebaliknya bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak. Ibu akan merasa bangga karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri dan bila suaminya berkunjung, akan terasa adanya suatu ikatan kesatuan keluarga. Dari hasil penelitian ini, maka rawat gabung mempengaruhi hubungan produksi ASI di karenakan frekuensi menyusui ibu lebih sering dan timbulnya kedekatan antara ibu dan bayinya sehingga pelaksanaan rawat gabung ini sangat efektif untuk ibu dan bayi setalah proses persalinan. Sedangkan ketidakberhasilan rawat gabung di karenakan adanya komplikasi dan ketidak sesuai syarat-syarat rawat gabung dapat di coba di tanggulangi dengan tetap dilakukannya proses menyusui dengan syarat keadaan ibu dan bayi yang memungkinkan untuk terjadinya proses menyusui, walaupun ibu dan bayi di rawat dalam ruang terpisah.
ISSN 2085-028X
Saran 1.
Bagi responden setelah di lakukan rawat gabung, di harapkan ibu nifas yang berhasil melakukan rawat gabung dan mengalami produksi ASI yang lancar dapat menyusui bayinya sedini mungkin dan sesering mungkin setiap dibutuhkan. Sedangkan yang tidak berhasil melakukan rawat gabung maupun mengalami ketidak lancaran produksi ASI, diharapkan mapu meningkatkan pengetahuan dan wawasan untuk persalinan berikutnya. 2. Bagi instansi pelayanan kesehatan perlu meningkatkan peran tenaga kesehatan di Puskesmas dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada ibu hamil, ibu baru melahirkan, dan ibu post partum khususnya kepada ibu nifas untuk melakukan rawat gabung di karenakan banyak manfaat yang dalam di ambil dari perawatan rawat gabung ini. 3. Bagi institusi pendidikan perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dalam upaya mengetahui hubungan rawat gabung dengan produksi ASI ibu nifas. KEPUSTAKAAN 1. Arikunto, Suharsini, 2007. Prosedur
2.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 3.
Ada hubungan rawat gabung dengan produksi ASI pada ibu nifas di Puskesmas Botolinggo Kabupaten Bondowoso dengan nilai probabilitas 0,002 (0,002 < 0,05).
4.
5.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Reneke Cipta. Asparin, dkk, 2005. “Rawat Gabung Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito”, Jurnal Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Boston, Helen, 2011. Midwifery Essentials : Post Natal, Jakarta : EGC. Bobak, I.M & Lowdemilk, D.L, 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Jakarta : EGC. Farrer, Helen, 2001. Perawatan Maternitas (Maternity Care), Jakarta : EGC. 64
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
6. Hidayat,
7.
8.
9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20. 21.
A. Aziz Alimul, 2007. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data, Jakarta: Salemba Medika. Kristiyansari, Weni, 2009. ASI, Menyusui, dan Sadari, Yogyakarta : Nuha Medika. Mappiwali, Asrul, 2009. Rawat Gabung (Rooming in), Makasar : Obstetri dan Gynekologi Fakultas Kesehatan Universitas Makasar. Maryunani, Anik, 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta : CV. Trans Info. Notoatmodjo, Soekidjo, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya, Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. Prasetyoo, D.S, 2009. Buku Pintar ASI Eksklusif, Yogyakarta : Diva Press. Purwanti, Eni, 2012. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas, Yogyakarta : Cakrawala Ilmu. Reeder, Sharon J, 2011. Keperawatan Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi, dan Keluarga, Jakarta : EGC. Rukiyah, Ay & Lia Yulianti, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, Jakarta : Salemba Medika. Saleha, S, 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas, Jakarta : Salemba Medika. Sarwono, Prawirohardjo, 2005. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Soesanto, Wibisono, 2008. Biostatistik Penelitian Kesehatan, Surabaya : Duatujuh. Soetjiningsih, 2005. ASI (Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan), Jakarta : EGC. Sri Susanti, Fransiska, 2009. Buku Indonesia Menyusui, Jakarta : EGC. Stright, Barbara R, 2004. Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir (Edisi 3), Jakarta : EGC.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
22. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung : Alfabeta. 23. Utami, Roesli, 2006. Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta : Tubulus Agriwidya.
65
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
FAKTOR PREDISPOSISI PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT ANAK DAN BERSALIN SOERYA SEPANJANG – SIDOARJO. Nourma Yunita*), Sutjiati Dwi Handajani**) *) Dosen Prodi DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya **)Dosen prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT Introduction : Preeclampsia is a specific condition in pregnancy, characterized by increased blood pressure and protein. Preeclampsia or hypertension in pregnancy was at risk of fetal and maternal death. The purpose of this study to describe the predisposition factors Preeclampsia in pregnant women. Method : This research uses descriptive method, sampling techniques using random sampling, population of all pregnant women suffer from preeclampsia at Children's Hospital and Maternity Soerya Sepanjang-Sidoarjo in 2012. The variables of study include : Obesity, age, parity, diabetes mellitus, hypertension, and history previous preeclampsia. Data collection by taking medical record data. Result : The research found pregnant women with preeclampsia in the obesity factor as many (49.1%), age > 35 years as many (37.5%), parity factor (35.7%) were grandemulti, diabetes mellitus (100%), factor Hypertension (44.6%) In the history of preeclampsia previously obtained (59.8%). Conclusion : Conclusion factors predisposing to the mother preeclampsia highest order which suffered at the most had Diabetes mellitus, history of previous preeclampsia, obesity, hypertension, age, and parity is the lowest order of most. Keywords : Predisposing Factors, Preeclampsia.
PENDAHULUAN Preeklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrupsio plasenta (Vickey, 2006). Faktorfaktor predisposisi yang mempengaruhi preeklampsia : 1) obesitas, 2) umur, 3) paritas, 4) hipertensi, dan 5) diabetes mellitus pada kehamilan.
kehidupan serta kesehatan janin di dalam rahim, kelainan hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi 4 kategori, yakni : Hipertensi Kronis, Preeklampsia dan Eklampsia, Preeklampsia Imposed Hipertensi Kronis dan Gestational Hypertension. Kenaikan tekanan darah (TD) secara tiba-tiba setelah kehamilan 2 minggu disebut preeklampsia. Preeklampsia terjadi kira-kira 5% dari seluruh kehamilan, dan 10% pada kehamilan pertama kali
Preeklampsia ataupun hipertensi sering terjadi pada kehamilan beresiko terhadap kematian janin dan ibu. Deteksi dini untuk hipertensi pada ibu hamil diperlukan agar tidak menimbulkan kelainan serius dan mengganggu
Obesitas adalah kenaikan berat badan yang sangat berlebih (kegemukan), obesitas disebabkan karena adanya ketidak seimbangan dari makanan yang dikonsumsi dengan energi dibutuhkan untuk beraktifitas (Soemilah, 2004).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
66
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Penderita preeklampsia akan terjadi pergeseran pembuluh darah diikuti rusaknya dinding pembuluh darah. Pinggir-pinggir pembuluh darah menjadi tidak rata akibat tekanan darah yang tinggi. Akibatnya berbagai zat yang terlarut dalam darah (kolesterol dan kalsium) akan mengendap pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang menyebabkan kerja jantung menjadi berat dan dapat menyebabkan preeklampsia. Tabel 1. Klasifikasi IMT Pada Ibu Hamil (Diah, 2007). NO
1 2 3 4 5
IMT (kg/m2)
Kurus IMT ( < 18,5) Normal IMT (18,523,2) Gemuk IMT (23,3-29) Obesitas IMT > 29 Gemeli
Total Kenaikan BB (kg)
Kenaikan BB Trimester 2 dan 3 (kg/mgg)
12,7-18,1
0,5
11,3-15,9
0,4
6,8-11,3
0,3
0,2 kg/mgg
0,2
15,9-20,4
0,7
Distribusi kejadian preeklampsiaeklampsia berdasarkan umur menurut beberapa referensi banyak ditemukan pada kelompok usia ibu ekstrem yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Faktor resiko pada kehamilan preeklampsia berat menemukan 2/3 kematian maternal terjadi pada usia di atas 30 tahun atau lebih (Sudhaberata, 2009). Pada usia lanjut ≥35 tahun (usila) pembuluh darah menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. Pembuluh yang mengalami sklerosis (aterosklerosis), resistensi dinding pembuluh darah tersebut meningkat, sehingga kerja jantung semakin berat dengan menyupli darah ke tubuh ibu dan janin. Hal tersebut menyebabkan kerja jantung semakin berat
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
sehingga menyebabkan ringan pada ibu hamil.
preeklampsia
Semakin bertambahnya umur ibu hamil dan kurangnya umur ibu hamil maka semakin pula angka kejadian preeklampsia meningkat sebaliknya kehamilan yang aman direncanakan pada umur 20 sampai 35 tahun. Karena usia ibu hamil disini dapat memberikan gambaran tentang kondisi dari alat reproduksinya, dimana usia yang terlalu muda menandakan bahwa alat reproduksinya masih belum dapat berfungsi secara sempurna begitupun bila usia ibu yang terlalu tua, alat reproduksi ibu pun sudah menua sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal. Pada kehamilan dengan preeklampsia di usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mempunyai resiko tinggi seperti terjadinya keguguran atau kegagalan persalinan bahkan bisa menyebabkan kematian. Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati (Amiruddin, 2010). Paritas 2-3 merupakan paritas yang aman ditinjau dari sudut kematian maternal, paritas 1 dan lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal yang tinggi, sedangkan pada paritas tinggi dapat dicegah atau dikurangi dengan keluarga berencana. Paritas adalah faktor risiko yang berkaitan dengan timbulnya preeklampsia. Menurut Wiknjosastro, H. (2004), frekuensinya lebih tinggi terjadi pada primigravida daripada multigravida. Berdasarkan teori immunologik yang disampaikan Sudhaberata, K (2005), hal ini dikarenakan pada kehamilan pertama terjadi pembentukan “blocking antibodies” terhadap antigen tidak sempurna. Selain itu menurut Angsar, D (2004), pada kehamilan pertama terjadi pembentukan “Human Leucocyte Antigen Protein G (HLA)” yang berperan penting dalam modulasi respon immune, sehingga ibu menolak hasil konsepsi (plasenta) atau 67
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
terjadi intoleransi ibu terhadap plasenta sehingga terjadi preeklampsia.
komplikasi masa nifas 8% dan penyebab lain-lain 12% ( Sudinaya, 2007).
Hipertensi adalah penyakit kronis yang paling umum pada wanita hamil dengan usia tua. Wanita lainnya memasuki masa kehamilan dengan masalah ini, hipertensi dalam kehamilan berarti bahwa wanita telah menderita hipertensi sebelum hamil (Sarwono, 2006)
METODE PENELITIAN
Hipertensi pada kehamilan lebih sering pada primigravida. Patologi telah terjadi akibat implantasi sehingga timbul iskemia plasenta yang diikuti sindrom inflamasi, dan resiko meningkat pada masa plasenta besar (pada gemeli, dan pada penyakit trofoblas), diabetus mellitus, isoimunisasi rhesus, faktor herediter dan masalah vaskuler. Diabetes melitus adalah masalah pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang terjadi baik karena produksi insulin yang tidak adekuat maupun adanya faktor yang menghambat kerja insulin (Bilington, 2010). Preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu perinatal yang tinggi di Indonesia yaitu 12,04%, disusul perdarahan dan infeksi (Sarwono, 2005). Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009 angka kematian ibu (AKI) masih cukup tinggi yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar 58,1% karena perdarahan dan eklamsi kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan yang memadai. Menurut Harni Koesno (Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia), Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 307 dari 100 000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) mencapai 35 dari 1000 kelahiran hidup. Data IBI menyebutkan penyebab angka kematian ibu (AKI) di antaranya perdarahan sebanyak 30% dari total kasus kematian, eklampsia 25 %. Infeksi 12 %, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri 3% Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yakni jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yng diteliti (Ronny Kountur, 2009). Desain Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang menderita preeklampsia di Rumah Sakit Anak dan Bersalin SOERYA Sepanjang-Sidoarjo sebanyak 112 orang. Dalam penelitian ini tidak menggunakan sample, karena seluruh anggota populasinya diteiliti atau menggunakaan penelitian populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling dengan jenis simple random sampling. Cara pengambilan sampel dengan acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi ( Hidayat, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data dengan mengumpulkan data sekunder berdasarkan rekam medik data seluruh ibu hamil yang menderita preeklampsia di Rumah Sakit Anak dan Bersalin SOERYA Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012.
68
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
riwayat preeklampsia dengan jumlah 67 ibu hamil (59,8%).
HASIL PENELITIAN Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik pada ibu hamil di RSAB SOERYA Sepanjang-Sidoarjo tahun 2012. No
Variabel
1
Obesitas r. Kurus s. Normal t. Gemuk u. Obesitas Usia a. < 20 tahun b. 20 – 35 tahun c. >35 tahun Paritas o. Primipara p. Multipara q. Grandemulti Diabetes Mellitus a. Diabetes Mellitus b. Tidak Diabetes Mellitus Hipertensi c. Ringan d. Sedang e. Berat Riwayat Preeklampsia c. Ya d. Tidak
2
3
4
7
8
Jumlah
(%)
13 28 16 55
11,6 25 14,3 49,1
39 31 42
34,8 27,7 37,5
37 35 40
33 31,3 35,7
112 0
100 0
28 34 50
25 30,4 44,6
67 45
59,8 40,2
Hasil pengumpulan data distribusi karakteristik responden berdasarkan variabel yang diteliti yaitu : 1. Didapatkan ibu hamil yang diteliti mayoritas mengalami obesitas dengan jumlah 55 ibu hamil (49,1%). 2. Usia ibu hamil yang diteliti mayoritas memiliki usia > 35 tahun dengan jumlah terbanyak 42 ibu hamil (37,5%). 3. Paritas ibu hamil yang diteliti mayoritas grandemulti dengan jumlah terbanyak 40 ibu hamil (35,7%). 4. Diabetes Melitus pada ibu hamil yang diteliti semuanya mengalami Diabetes Melitus dengan jumlah 112 ibu hamil (100%). 5. Hipertensi pada ibu hamil yang diteliti mayoritas mengalami Hipertensi dengan jumlah terbanyak 50 ibu hamil (44,6 %). 6. Riwayat preeklampsia pada ibu hamil yang diteliti mayoritas mengalami
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012 didapatkan bahwa 55 orang ibu hamil mengalami obesitas (49,1%) dari total 112 orang ibu hamil. Menurut Sunita, 2004 batasan berat badan pada ibu hamil ditentukan berdasarkan nilai Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Kenaikan berat badan ideal atau normal pada ibu hamil dari awal kehamilan sampai akhir kehamilan adalah 9-13 kg. Kebanyakan ibu hamil mengalami obesitas karena kelebihan makan. Akhirnya, terjadilah penumpukan kalori dan sisa asupan energi yang berujung pada diabetes. Ibu hamil disarankan untuk mengatur berat badan agar tetap berada pada kondisi ideal. Peningkatan berat badan di trimester pertama memang relatif sedikit, tidak naik atau bahkan berkurang karena muntah-muntah. Peningkatan berat badan yang cukup pesat terjadi di trimester 2 dan 3, pada periode inilah perlu dilakukan pemantaun ekstra terhadap berat badan. Di RSAB SOERYA ibu hamil dengan preeklampsia lebih banyak mengalami obesitas disebabkan kurangnya memantau berat badan pada waktu hamil, kelebihan mengkonsumsi makanan, usia kehamilan sudah memasuki trimester 3 yang lebih banyak membutuhkan nutrisi untuk persiapan persalinan. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012 69
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
didapatkan bahwa 42 ibu hamil yang usianya > 35 tahun (37,5 %) dari total 112 orang ibu hamil.
misalnya terjadinya preeklampsia hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya fungsi organ reproduksi.
Preeklampsia kebanyakan terjadi pada umur kurang dari 25 tahun dan pada usia ini kasus preeklampsia lebih menonjol, hal ini memperkuat penderita bahwa kenaikan tekanan darah pada wanita hamil berusia muda akan lebih menimbulkan kejang. Sedangkan menurut para ahli, semakin meningkatnya umur ibu hamil maka semakin meningkat pula angka kejadian preeklampsia berat dalam kehamilan (Sudhaberata, 2009).
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012 didapatkan bahwa 112 ibu hamil semuanya mengalami Diabetes Melitus (100%) dari total 112 orang ibu hamil.
Di RSAB SOERYA banyak terjadi kasus preeklampsia pada usia di atas 35 tahun di sebabkan mempunyai tekanan darah tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia berat dan pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. Pada usia lanjut pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. Pembuluh yang mengalami sklerosis (aterosklerosis), resistensi dinding pembuluh darah tersebut akan meningkat, sehingga kerja jantung semakin berat dengan menyupali darah ke tubuh ibu dan ke janin sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kerja jantung semakin berat sehingga dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia pada ibu hamil. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012 didapatkan bahwa 40 ibu hamil yang grandemulti (35,7%) dari total 112 orang ibu hamil. Di RSAB SOERYA preeklampsia pada ibu hamil banyak terjadi pada ibu yang grandemulti yang usianya sudah di atas 35 tahun. Semakin sering ibu melahirkan akan mempunyai resiko yang besar terhadap timbulnya berbagai penyakit Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Di RSAB SOERYA semua ibu hamil mengalami Diabetes melitus di sebabkan karena faktor turunan. Banyak terjadinya diabetes melitus disebabkan karena ibu hamil mempunyai berat badan yang berlebihan yang menyebabkan produksi insulin yang tidak adekuat dan menghambat kerja insulin. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012 didapatkan bahwa 50 ibu hamil yang mempunyai tekanan darah 160/90-160/110 mmHg (44,6%) dari total 112 orang ibu hamil. Menurut teori, suatu kondisi medis dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam waktu yang lama) yang mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian seseorang dikatakan menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan diastoliknya lebih besar dari 120 mmHg (Ai Yeye Rukiyah, 2010). Hipertensi merupakan tekanan darah yang dipompa jantung, mengalir cepat sehingga menekan dinding arteri dalam pembuluh darah. Umumnya hipertensi jika pada pemeriksaan: tekanan darah diatas 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik yang biasa ditulis 140/90 mmHg dan dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia pada ibu hamil. Hipertensi menjadi penyakit yang menakutkan bagi sebagian besar penduduk dunia termasuk Indonesia. Hal ini karena 70
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
jumlah penderita yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Berbagai faktor yang berperan dalam hal ini salah satunya adalah gaya hidup modern. Pemilihan makanan yang berlemak, kebiasaan aktifitas yang tidak sehat, merokok. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan di RSAB SOERYA Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012 didapatkan bahwa 67 ibu hamil mempunyai riwayat preeklampsia (59,8%) dari total 112 orang ibu hamil. Hipertensi merupakan tekanan darah yang dipompa jantung, mengalir cepat sehingga menekan dinding arteri dalam pembuluh darah. Umumnya hipertensi jika pada pemeriksaan: tekanan darah diatas 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik yang biasa ditulis 140/90 mmHg dan dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia pada kehamilan. Ibu yang sudah pernah melahirkan dengan riwayat hipertensi sangat berisiko terhadap terjadinya preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Riwayat preeklampsia lebih banyak terjadi pada ibu yang sudah lanjut usia dan yang mempunyai anak lebih dari 5. Hal ini sangat berpengaruh pada tekanan darah seorang ibu yang sedang hamil dan sangat berbahaya bagi janin untuk itu disarankan selalu memeriksakan tekanan darah secara rutin untuk mencegah terjadinya Eklampsia pada kehamilan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hampir separuh (49,1% ) Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA mengalami obesitas. 2. Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA paling banyak (37,5%) berusia diatas 35 tahun.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
3. Paritas Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA paling banyak (35,7%) adalah grandemulti. 4. Semua Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA menderita Diabetes Melitus 5. Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA paling banyak (44,6%) menderita hipertensi 6. Sebagian besar (59,8%) Ibu hamil dengan preeklampsia di RSAB SOERYA mengalami riwayat preeklampsia sebelumnya.
KEPUSTAKAAN 1. Almatsier, Sunita, Dr, MSc, 2004. Penuntun Diit Edisi Baru, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2. Alimul, Azis, 2007. Metode Penelitian Kebidanan & Tehnik Analisa Data, Jakarta : Salemba Medika. 3. Boobak, 2005. Keperawatan Maternitas, Jakarta : EGC. 4. Billington, Mary, 2010 Kegawatan Dalam Kehamilan-Persalinan, Jakarta : EGC. 5. Leveno, Kenneth J. Dkk, 2009. Obstetri Williams Panduan Praktis, Jakarta : EGC. 6. Kountur, Ronny, 2009. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, Jakarta : Buana Printing. 7. Mochtar, R, 2007. Sinopsis Obstetri jilid 2, Jakarta : EGC. 8. Made, dr. Diah, 2007. Baby Guide, Jakarta : Gramedia Pustaka. 9. Nugroho, Taufan, 2010. Kasus Emergency Kebidanan Untuk Kehamilan Dan Keperawatan, Yogyakarta : Nuha Medika. 10. Nursalam, 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian, Jakarta : Salemba Medika. 11. Pudiastuti, Dewi Ratna, 2012. Asuhan Pada Ibu Hamil Normal Dan Patologi, Yogyakarta : Nuha Medika. 71
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
12. Prawirohardjo, Sarwono, 2006. Ilmu Kebidanan, Jakarta : YBPSP. 13. Prawirohardjo, Sarwono, 2003. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 14. Prawirohardjo, Sarwono, 2008. Ilmu Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 15. Sujiyatini, dkk, 2009. Asuhan Patologi Kebidanan Plus Contoh Asuhan Kebidanan, Yogyakarta : Nuha Medika. 16. Seameo WHO, 2003. Semi Quantitatif FFQ Metod, Jakarta : EGC. 17. Sastroamidjojo, Soemilah, Prof. Dr, dkk, 2004. Pegangan
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Penatalaksanaan Nutrisi Pasien, Jakarta : Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI). 18. SDKI, 2005. Angka Kematian Ibu dan Bayi, http://ibuhamil.com/caritopik.php?fro m=8264&q=aki+dan+akb+di+indones ia+menurut+sdki., Diakses tanggal 12 Maret 2013. 19. Wiknjosastro, Hanifaa, 2003. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 20. Yulaikhah, Lily, 2008. Kehamilan : Seri Asuhan Kebidanan, Jakarta : EGC.
72