PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI DAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PRIA DAN WANITA PASANGAN NIKAH USIA DINI DI DESA KOPENG KECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG
Oleh ENDAH WIJAYANTI 802009074
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI DAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PRIA DAN WANITA PASANGAN NIKAH USIA DINI DI DESA KOPENG KECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG
Endah Wijayanti
Aloysius L. S. S
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah 23 pasangan suami istri yang pada saat menikah berumur dibawah 16 tahun untuk wanita, dan dibawah 19 tahun untuk laki-laki yang bertempat tinggal di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Alat analisis data untuk menjawab kebenaran hipotesis penelitian adalah independent sampel t-test pada tingkat kesalahan 5%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, dibuktikan nilai p-value hasil penelitian masing-masing variabel <0,05.
Kata Kunci : Kematangan Emosi, Kepuasan Pernikahan
ABSTRACT This Study aims to measure the level of satisfaction and emotional maturity difference of marriage on men and women who marry early in the village of Getasan Sub-district Kopeng Semarang.Populations and samples in this study were 23 spouses who at the time was married to those under 16 years for women and under 19 years for men who live in the village of of Getasan Sub-district Kopeng Semarang.The instruments used in this study is questionnaire. Data analisys tools to answer the truth of the hypothesis of the research was the independent sample t-test at 5% error rate.The results showed that thare were differens in the maturity of emotional and satisfaction of marriage on men and women who marry early in the village of Getasan Sub-district Kopeng Semarang, proved the value of p-value research results of each valiable < 0,05.
Keywords : Emotional Maturity, Marriage Satisfaction
1
PENDAHULUAN Pernikahan memang hal yang sangat dinantikan bagi setiap orang, baik pria maupun wanita.Selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan psikologis seseorang, seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dan rasa ingin dihargai. Jadi, dengan menikah seorang individu akan merasa tenang dapat melindungi dan dilindungi serta dapat mencurahkan segala isi hati kepada pasangannya (Walgito, 2002). Manfaat pernikahan lainnya adalah memenuhi kebutuhan sosial, sepertinormanorma masyarakat yang memandang lain seorang individu yang terlambat atau tidak menikah, membuat individu ingin menikah agar tidak mendapat sorotan dari masyarakat. Manfaat terakhir dari menikah adalah untuk memenuhi kebutuhan religi seseorang, yaitu dengan melakukan pernikahan maka salah satu aspek dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 2002). Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas yang secara umum melatarbelakangi seseorang untuk menikah, namun demikian hal yang perlu dipertimbangkan adalah masalah kesiapan individu itu sendiri untuk melakukan pernikahan. Sebab bagaimanapun juga pernikahan adalah suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal (Hogg, 2002). Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap untuk mengasuh anak (Duvall & Miller, 1985). Hasil penelitian Booths dan Edwards yang dikutip oleh Muji (2013) mengungkapkan bahwa usia saat menikah merupakan faktor yang signifikan
2
berhubungan dengan kesiapan menikah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Booths dan Edwards tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Nursalam (2003), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Kepercayaan masyarakat seseorang akan lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya, hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa. Dengan demikian faktor usia dalam pernikahan adalah hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai upaya untuk meningkatkan kebahagiaan dalam pernikahan. Pasal 7 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa batasan umur untuk dilakukannya perkawinan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orangtua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun (Siswanto, 2004). Usulan revisi usia pernikahan pada undang-undang perkawinan tersebut tentu merujuk dari berbagai fenomena sosial dampak negatif pernikahan di usia dini seperti halnya tingginya tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat (Walgito, 2002; Siswanto, 2004). Data Pengadilan Tinggi Semarang menyebutkan bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 54.105 perkara perceraian.Angka tersebut meningkat 17 persen dibanding tahun sebelumnya sebanyak 47.592 perkara. Rincian penyebab perceraian antara lain sebanyak 21.648 perkara tidak ada tanggungjawab, sebanyak 13.904 tidak ada keharmonisan, dan sebanyak 12.019 perkara akibat faktor ekonomi (Republika Online,
3
2014). Data terbaru yang dirilis BKKBN Nasional tahun 2014 menyebutkan bahwa secara nasional tingkat perceraian di Indonesia rata-rata per tahunnya adalah sebanyak 212.000 kasus, dan hampir 80 persen yang bercerai adalah rumah tangga usia dini. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: masalah kematangan emosi belum cukup dan kepuasan dalam pernikahan (Duvall & Miller, 1985; Gunarsa, 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoffman dalam Adhim (2002) setidaknya memperkuat fenomena banyaknya perceraian yang terjadi pada usia dini, bahwa pernikahan dini sering terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka hanya berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah, tetapi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang. Menurut Adhim (2002), kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia dini. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada diantara mereka. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad (2011) dan Nurhasanah (2002), menunjukkan bahwa selain masalah kematangan emosi, masalah kepuasan pernikahan juga merupakan faktor yang ikut berperan dalam menjamin kelangsungan suatu pernikahan. Kedua peneliti tersebut menyebutkan bahwa faktor kepuasan pernikahan seperti halnya ekonomi dalam kehidupan mereka yang pas-pasan (Ahmad, 2011; Nurhasanah, 2002), selain kesadaran pasangan suami istri akan hak dan kewajibannya adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh pasangan nikah usia dini (Nurhasanah, 2002). Menurut Atwater (1983 dalam dalam Febriany, 2011), kepuasan dalam pernikahan merupakan hal utama yang menjadi tujuan dan sangat diharapkan dari sebuah pernikahan. Ketika seseorang puas dengan pernikahannya maka seseorang akan
4
tetap akan bahagia meskipun ada beberapa hal yang membuat ia kecewa dengan keadaan sekitarnya. Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor kematangan emosi, dan kepuasan pernikahan adalah aspek-aspek yang penting yang perlu dipertimbangkan dalam pernikahan.Masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional daripada laki-laki (Butar, 2008).Berbicara tentang emosi, wanita lebih emosional dan penuh perasaan sedangkan laki-laki lebih rasional dan sering menggunakan logika.Pandangan ini sangat kuat dan meresap kesannya pada budaya kita (Santrock, 2003).Pendapat Kahn (dalam Hasanat, 1994) juga menyatakan, bahwa wanita mempunyai kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sensitif daripada pria.Lebih lanjut Young (2009) mengatakan bahwa perbedaan hormonal maupun kondisi psikologis antara pria dan wanita menyebabkan adanya perbedaan karakteristik emosi di antara keduanya.Namun demikian, hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) menunjukkan hal yang berbeda, yaitu bahwa laki-laki memiliki kematangan emosional lebih tinggi dibandingkan wanita. Hasil penelitian lain yang dilakukan Ningsih (2013)menunjukkan bahwa dalam pernikahan tidak ada perbedaan kepuasan dan kesejahteraan jika ditinjau dari faktor jenis kelamin. Penelitian Diener dan Fujita (dalam Lyubomirsky & Dickerhoof, 2005) mengenai hubungan jenis kelamin dengan kepuasan dan kesejahteraan menunjukkan bahwa perempuan sama puas dan bahagianya dengan laki-laki. Namun hasil penelitian Eddington & Shuman (2005), menunjukkan hal yang berbeda bahwa wanita memiliki tingkat afek negatif yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria, hal ini mungkin terjadi karena wanita lebih sering menunjukkan perasaan dibandingkan dengan pria yang lebih sering menyembunyikan perasaannya. Berkenaan fakta tersebut menarik peneliti untuk melakukan penelitian tentang perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang
5
menikah dini. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan, meskipun batasan usia perkawinan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, dan banyaknya fenomena perceraian akibat pernikahan pada usia dini, namun kenyataannya masih banyak dijumpai kasus terjadinya pernikahan pada usia dini. Seperti halnya pernikahan usia dini yang sering dilakukan oleh masyarakat di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Data Kantor Urusan Agama Kecamatan Getasan menyebutkan, khususnya di Desa Kopeng jumlah perkawinan usia dini tahun 2012 adalah sebanyak 29 kasus, sedang pada tahun 2013 menurun menjadi 27 kasus. Rumusan Masalah Berpijak dari latar belakang tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengukur tingkat perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”. Penikahan Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
6
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.Kesejahteraan dalam perkawinan tidak dapat diharapkan dari mereka yang kurang matang, baik fisik maupun emosional, melainkan juga kedewasaan juga tanggung jawab, serta kematangan fisik dan mental. Penjelasan tersebut di atas secara jelas menjelaskan bahwa perkawinan dilakukan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Pasal 7 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa batasan umur untuk dilakukannya perkawinan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orangtua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun (Siswanto, 2004). Usulan revisi usia pernikahan pada undang-undang perkawinan tersebut tentu merujuk dari berbagai fenomena sosial dampak negatif pernikahan di usia dini seperti halnya tingginya tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat (Walgito, 2002; Siswanto, 2004). Sesuai dengan isi UU Nomor 1 Tahun 1974 maka pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang berusia di bawah umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Kematangan Emosi
7
Rice (2004) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya diubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan. Walgito (2002) mengemukakan beberapa ciri-ciri orang yang matang emosinya, sebagai berikut : 1.
Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan bahwa orang yang telah matang emosinya dapat berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif.
2.
Tidak bersifat impulsif. Individu yang memiliki kematangan emosi mampu merespon stimulus dengan cara berpikir baik dan dapat mengatur pikirannya.
3.
Dapat mengontrol emosi dan ekspresi emosinya secara baik. Meskipun dalam keadaan marah, individu yang memiliki kematangan emosi tidak akan menampakkan kemarahannya itu keluar serta dapat mengatur kapan kemarahan itu perlu dimanifestasikan.
4.
Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik
5.
Memiliki tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Menurut Smitson (dalam Katkovsky, 1976), karakteristik kematangan emosi
adalah sebagai berikut: 1.
Kemandirian (toward independence). Melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang tua, tidak seperti masa sebelumnya.
2.
Kemampuan untuk menerima realita (ability to accept reality). Dapat menerima realita kehidupan dengan segala keanehannya, kejujuran maupun ketidak jujurannya, segala keindahan dan keburukkannya.
8
3.
Penyesuaian diri (adaptability). Salah satu hal yang membedakan antara orang yang emosinya sehat adalah pada tingkat fleksibilitasnya.
4.
Kesiapan untuk merespon dengan tepat (readiness to respond). Hal ini meliputi kesadaran diri tentang keunikan yang dimiliki setiap orang, sehingga dapat merespon sesuai dengan keunikan-keunikan yang individu miliki.
5.
Kepasitas untuk seimbang (capacity to balance). Individu dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa sebagai mahkluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain, namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungannya itu akan menyebabkan ia diperalat oleh orang lain.
6.
Kemampuan
berempati
(empathic
understanding).
Kemampuan
untuk
menempatkan diri dalam posisi orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan pikirannya. 7.
Pengendalian kemarahan (challenging anger). Dengan mengetahui apa saja yang dapat membuatnya marah, maka ia dapat mengendalikan perasaan amarahnya.
Kepuasan Pernikahan Menurut Weiss (dalam William& Lebow, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman yang subjektif; perasaan yang kuat dan sebuah perilaku yang didasari atas faktor- faktor antar individu yang dipengaruhi oleh kualitas interaksi di dalam pernikahan yang dijalani. Baik suami ataupun istri dapat mengembangkan karakteristik atau faktor yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kepuasan pernikahan, yaitu sebagai berikut: (Duvall & Miller, 1985) 1. Karakteristik masa lalu (background characteristic), meliputi: a) Kebahagiaan dalam pernikahan orang tua, b) Disiplin, c) Kedekatan, d) Adanya pendidikan seks yang memadai dari orang tua, e) Masa kanak- kanak, f) Pendidikan.
9
2. Karakteristik masa kini (current characteristic), meliputi: a) Kehidupan seksual, b) Kepuasan terhadap tempat tinggal, c) Pendapatan keluarga, d) Tingkat kesetaraan, e) Komunikasi, f) Kehidupan sosial, g) Ekspresi kasih sayang/ afeksi, h) Kepercayaan. Tetapi terlepas dari dua macam karakteristik tersebut di atas, Duvall dan Miller (1985), menyatakan bahwa karakteristik masa kini merupakan faktor yang lebih berpengaruh terhadap tercapainya kepuasan pernikahan.Hurlock (1991) menambahkan, bahwa ada empat hal penting bagi terwujudnya kepuasan pernikahan, yaitu penyesuaian sosial terhadap pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian terhadap keluarga besar pasangan. Lauer et al (dalam Baron & Byrne, 2005) mengidentifikasi indikator kepuasan pernikahan, yaitu : 1. Komitmen (commitment) a.
Menganggap pernikahan sebagai komitmen jangka panjang. Banyak orang yang menginginkan adanya seseorang yang mau mendedikasikan dirinya pada pasangannya dengan tulus.
b.
Menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang suci. Ikatan pernikahan pada budaya kita dipandang sebagai ikatan yang langgeng dan suci.
c.
Menganggap suatu pernikahan penting sebagai stabilitas sosial. Pernikahan menyediakan persetujuan sosial dengan respect terhadap salah satu kebutuhan, seperti kebutuhan seksual.
2. Persamaan (similarity) a.
Mempunyai persamaan tujuan. Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan
sering
membawa
kekecewaan
yang
menambah
kesulitan
penyesuaian dalam pernikahan, sehingga penting bagi pasangan memiliki persamaan tujuan penting dalam pernikahan.
10
b.
Mempunyai persamaan dalam menunjukkan kasih sayang. Pada pasangan suami istri dibutuhkan adanya sebuah kehangatan, karena perasaan yang dirasakan suami ataupun istri berbeda.
c.
Mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual. Kehidupan seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan pernikahan apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai dengan memuaskan.
3. Persahabatan (friendship) a.
Menganggap pasangan sebagai teman baik. Pasangan dapat dianggap sebagai teman baik, yaitu dengan adanya kerja sama dalam suatu hubungan yang bersifat sukarela.
b.
Menyukai pribadi pasangan. Dalam pernikahan, kecendrungan seseorang memilih pasangan yang memiliki kesamaan. Kita cenderung menyukai orang yang memiliki kesamaan sikap, minat, latar belakang, termasuk kepribadiaan yang sama dengan kita.
4. Perasaan positif (positive feeling) a.
Merasa pasangan menjadi lebih menarik. Cinta merupakan salah satu bentuk terpenting dari ketertarikan antar pribadi. Hubungan cinta ini juga mendasari berlangsungnya pernikahan.
b.
Merasakan kebahagiaan bersama pasangan. Adanya kebahagiaan dalam berbagai fase kehidupan sangatlah penting bagi
setiap orang. Banyak
orang
mengharapkan pernikahannya sebagai sumber kebahagiaan. c.
Merasa bangga akan prestasi pasangan. Apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
11
Perbedaan Kematangan Emosi dan Kepuasan Pernikahan Pada Pria Dan Wanita Yang Menikah Dini Masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional daripada laki-laki (Butar, 2008).Berbicara tentang emosi, Wanita lebih emosional dan penuh perasaan sedangkan laki-laki lebih rasional dan sering menggunakan logika.Stereotype ini sangat kuat dan meresap kesannya pada budaya kita (Santrock, 2003).Pendapat Kahn (dalam Hasanat, 1994) juga menyatakan, bahwa wanita mempunyai kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sensitif daripada pria.Lebih lanjut Young (2009) mengatakan bahwa perbedaan hormonal maupun kondisi psikologis antara pria dan wanita menyebabkan adanya perbedaan karakteristik emosi di antara keduanya.Namun demikian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) menunjukkan hal yang berbeda, yaitu bahwa lakilaki memiliki kematangan emosi lebih tinggi dibandingkan wanita. Penelitian yang dilakukan Ningsih (2013) menujukkan, bahwa dalam pernikahan tidak ada perbedaan kepuasan dan kesejahteraan jika ditinjau dari faktor jenis kelamin. Penelitian Diener dan Fujita (dalam Lyubomirsky & Dickerhoof, 2005) mengenai hubungan jenis kelamin dengan kepuasan dan kesejahteraan menunjukkan bahwa perempuan sama bahagianya dengan laki-laki. Namun hasil penelitian Eddington & Shuman (2005), menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat afek negatif yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria, hal ini mungkin terjadi karena wanita lebih sering menunjukkan perasaan dibandingkan dengan pria yang lebih sering menyembunyikan perasaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) dengan judul “Perbedaan Kematangan Emosi Pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda” menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kematangan emosi lebih tinggi dibandingkan wanita.
12
Penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2013) dengan judul “Kepuasan dan Kesejahteraan Pernikahan Ditinjau Dari Faktor Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan)” menunjukkan bahwa dalam pernikahan tidak ada perbedaan kepuasan dan kesejahteraan jika ditinjau dari faktor jenis kelamin. Hipotesis Penelitian Ho
: Tidak ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Ha
: Ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain belah lintang (cross sectional), karena kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang diukur dalam waktu yang sama atau sesaat (Hasan, 2004). Partisipan Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer yang diperoleh dengan melakukan pembagian kuesioner penelitian kepada 23 pasangan suami istri yang menikah dini dengan usia dibawah 16 tahun untuk wanita, dan dibawah 19 tahun untuk priayang bertempat tinggal di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Mengingat jumlah populasi < 100, maka seluruh populasi
13
dijadikan sebagai responden, untuk itu teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh (Sugiyono, 2006). Instrumen Pengumpulan Data Metode pengambilan data yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah metode kuesioner. Metode perskalaan yang digunakan dan sesuai dengan aras pengukuran interval adalah skala Likert, yaitu : Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS) (Notoatmodjo, 2002). Untuk mengungkap skala kematangan emosi subyek,peneliti menggunakan karakteristik kematangan emosi yang dikemukakan oleh Smitson (dalam Katkovsky, 1976) yang berjumlah 7 (tujuh) indikator dengan kriteria 13 item favourable, dan 13 item yang unfavourable. Keseluruhan kuesioner kematangan emosi berjumlah 26 item,namun hasil ji validitas dan reliabilitas yang dilakukan di Kecamatan Ngablak Kabupaten Semarang dengan mengambil 10 pasang suami istri yang menikah dini menunjukkan terdapat 6 item pernyataan pada variabel kematangan emosi gugur (tidak valid), yaitu item pernyataan no. 1, 2, 19, 22, 23, dan 24 karena memiliki nilai r-hitung < r-tabel (0,444), sedang pada uji reliabilitas diperoleh nilai Cronbach alpha 0,9304>0,6 sehingga instrumen penelitian dinyatakan reliabel, dengan demikian jumlah keseluruhan item pernyataan kematangan emosi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 item. Pada skala kepuasan pernikahan, peneliti menggunakan 4 (empat) indikator kepuasan pernikahan yang dikemukan oleh Lauer et al (dalam Baron & Byrne, 2005) dengan kriteria 11 item yang favourable, dan 11 item yang unfavourable. Keseluruhan kuesioner kepuasan pernikahan berjumlah 22 item.Uji validitas dengan korelasi Pearson untuk kuesioner variabel kepuasan pernikahan terdapat 3 item pernyataan yang gugur (tidak valid), yaitu item pernyataan no. 14, 17, dan 18 karena memiliki nilai r-hitung <
14
r-tabel (0,444), sedang pada uji reliabilitas diperoleh nilai Cronbach alpha 0,8844>0,6 sehingga instrumen penelitian dinyatakan reliabel, dengan demikian jumlah keseluruhan item pernyataan kematangan emosi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 19 item. Analisis Data Uji statistik independent sampel t-test dengan ketentuan data berdistribusi normal, sedang jika data tidak berdistribusi normal maka digunakan uji statistik Mann Whitney. Berdasarkan uji statistik tersebut, maka diputuskan menerima Ho (menolak Ha), bila diperoleh nilai p-value> nilai alpha (0,05), dan menolak Ho (menerima Ha), jika diperoleh nilai p-value ≤ nilai alpha (0,05).
HASIL Hasil Pengujian Asumsi Klasik Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji Homogenitas
Variabel Kematangan Emosi Kepuasan Pernikahan Kematangan Emosi Kepuasan Pernikahan
p-value 0.518 0.127 0.093 0.240
Kriteria Penerimaan p-value > 0,05 p-value > 0,05 p-value > 0,05 p-value > 0,05
Uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov (KS) Z menyatakan, bahwa data berdistribusi normal, sebab masing-masing variabel memiliki p-value > 0,05 (Kematangan Emosi=0,518, dan Kepuasan Pernikahan=0,127). Hasil uji homoginitas menunjukkan nilai signifikansi hasil analisis SPSS dengan menggunakan Levene's Test untuk variabel Kematangan Emosi=0,093 dan Kepuasan Pernikahan=0,240, sehingga nilai signifikansi masing-masing variabel > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa data kedua kelompok, baik pada data kematangan emosi dan kepuasan pernikahan memiliki tingkat varians data yang sama Karakteristik Responden
15
No
Keterangan
1
Jenis Kelamin
2
Umur
3
Pendidikan
4
Usia Pernikahan
Pria Wanita 15-19 19-23 24-28 TIDAK SEKOLAH TIDAK TAMAT SD SD SLTP 1-3' 4-5' 6-7' 8-9' 10-12'
Jumlah
Prosentase
Total
23 23 17 15 14 2 7 28 9 18 6 4 12 6
50,00 50,00 37.00 32.60 30.40 4.30 15.20 60.90 19.60 39.10 13.00 8.70 26.10 13.00
46 46
46
46
Hasil penelitian menjelaskan bahwa masing-masing responden, yaitu 23 orang (50%) berjenis kelamin pria, dan 23 orang (50%) berjenis kelamin wanita. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia, yaitu 17 orang (37%) berusia 15-19 tahun, berpendidikan SD (28 orang atau 60,90%), dan telah menikah selama 1 sampai dengan 3 tahun (18 orang atau 39,10%). Analisis Diskriptif Hasil analisis deskriptif atas data yang diperoleh pada skala kematangan emosi dan skala kepuasan pernikahan yang terdiri dari 20 item dan 19 item, yang masingmasing itemnya diberi 1 sampai 4. Skor terkecil yang diperoleh pada skala ini adalah untuk kematangan emosi X = 20 (20 x 1) dan kepuasan pernikahan X= 19 (19 x 1). Skor terbesar kematangan emosi X = 80 (20 x 4) dan kepuasan pernikahan X = 76 (19 x 4). Untuk mencari rentangan skor skala sebesar 80 dan 76, maka digunakan rumus = X maks –X min dan membaginya dengan jumlah kategori (80 – 20 : 3= 20 ) dan (76 – 19 : 19 = 57). Analisis deskriptif data diperoleh hasil seperti pada tabel berikut: No 1
Variabel Kematangan Emosi
Kategori Pria
Frekuensi
%
0
0.00
Interval Kurang
Total 46
16
2
Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
Kepuasan Pernikahan
0 4 0 19 43 0 0 3 10 20 13
0.00 8.70 0.00 41.30 50.00 0.00 0.00 6.50 21.70 43.50 28.30
(20 ≤ x ≤ 40) Cukup (40 ≤ x <60) Baik (60 ≤ x <80) Kurang Puas (19 ≤ x ≤ 38) Cukup Puas (38 ≤ x <57) Puas (57 ≤ x <76)
46
Tabel di atas menjelaskan, bahwa mayoritas responden memiliki kematangan emosi yang baik (42 atau 91,30%), dan merasa puas dengan pernikahannya (33 orang atau 71,74%). Hasil Penelitian juga menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, terdapat 4 orang responden (8,7%) yang berjenis kelamin pria dinilai memiliki kematangan emosi dengan kategori cukup. Selain itu juga ditunjukkan bahwa terdapat 13 responden (28,3%), yaitu 3 orang responden (6,5%) berjenis kelamin pria, dan 10 orang responden (21,7%) berjenis kelamin wanita dinilai memiliki tingkat kepuasan pernikahan dengan kategori cukup puas.
UJI T Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita pasangan nikah usia dini di desa kopeng kecamatan getasan kabupaten semarang, maka peneliti melakukan uji T menggunakan rumus Independet Sample t-test dengan bantuan SPSS 16 for windows. Hasil Uji T dapat dilihat pada tabel berikut: Group Statistics
Kepuasan Pernikahan
Jenis Kelamin Pria Wanita
N 23 23
Mean 67.8261 62.6522
Std. Deviation 6.78670 7.32746
Std. Error Mean 1.41512 1.52788
17
Group Statistics
Kematangan Emosi
Jenis Kelamin Suami Istri
N
Mean 65.3043 73.4348
23 23
Std. Deviation 5.59574 3.56531
Std. Error Mean 1.16679 .74342
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Kepuasan Pernikahan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.417
t-test for Equality of Means
Sig.
t
.240
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
2.484
44
.017
5.1739
2.08255
.97682
9.37101
2.484
43.744
.017
5.1739
2.08255
.97612
9.37170
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Kematangan Emosi
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.944
Sig.
t-test for Equality of Means
t
.093
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-5.877
44
.000
-8.1304
1.38350
-10.91870
-5.34217
-5.877
37.335
.000
-8.1304
1.38350
-10.93283
-5.32804
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan independent sampel t-test seperti yang terlihat pada tabel di atas, dijelaskan bahwa besarnya nilai p-value hasil analisis untuk masing-masing variabel adalah sebesar 0,000 untuk variabel kematangan emosi dan 0,017 untuk variabel kepuasan pernikahan, sehingga masing-masing variabel memiliki nilai p-value< 0,05, maka keputusannya menerima Ha dan menolak Ho. Sehingga pernyataan hipotesis penelitian (Ha) ”Ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”, dapat diterima.
PEMBAHASAN Hasil analisisindependent sampel t-test menunjukkan hasil yang signifikan, hal tersebut dibuktikan nilai p-value masing-masing variabel, baik variabel kematangan
18
emosi (0,000) dan kepuasan pernikahan (0,017) < 0,05. Signifikansi hasil penelitian tersebut memberikan bukti bahwa terdapat perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang menikah dini. Adapun hal-hal yang memberikan kontribusi perbedaan tersebut dapat dilihat dari sebaran data pengisian kuesioner oleh responden. Data sebaran kuesioner penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kematangan emosi responden pria adalah sebesar 65,30 sedang untuk responden wanita rata-rata kematangan emosinya adalah sebesar 73,43. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 responden pria yang diberikan penilaian cukup dalam kematangan emosi yang ditunjukkan dari sikap responden yang kurang dapat menerima kekurangan pasangan (item no. 6), dan sering marah jika berbeda pendapat dengan pasangan (item no. 9), dan merasa tidak cocok dengan mertua sehingga jarang berkunjung (item no. 13), sedangkan pada wanita tidak seorangpun yang dinilai memiliki kematangan emosi cukup. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya responden wanita lebih memiliki kematangan emosi yang baik. dibanding responden pria. Sedang berkenaan dengan kepuasan pernikahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan pernikahan untuk responden pria adalah sebesar 67,83 sedang untuk responden wanita adalah sebesar 62,65. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat 3 orang responden pria, dan 10 orang responden wanita yang dinilai cukup puas yang dinilai berdasarkan ketidak setujuan rersponden untuk menjadikan pasangan sebagai tempat curahan hati jika ada sesuatu yang mengganjal (item no. 1), perasaan kurang aman saat berada di dekat pasangan (item no. 2), dan cenderung mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pendapat pasangan (item no. 5). Banyaknya responden wanita yang cenderung dinilai cukup puas dibanding responden pria, menunjukkan
19
bahwa responden pria lebih memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi dibanding responden wanita. Adanya beberapa responden yang dinilai cukup matang emosinya dan cukup puas dengan pernikahannya menunjukkan bahwa pada dasarnya mayoritas responden telah dinilai memiliki kematangan emosi yang baik, dan puas dalam pernikahannya. Kematangan emosi yang baik tersebut ditunjukkan dari sikap responden yang memberikan dukungan untuk tidak pulang ke rumah orang tua jika ada masalah, mampu memberikan nafkah secara layak, tidak berbelanja untuk hal-hal yang tidak penting, mampu menerima kekurangan yang dimiliki pasangan, menunggu anak-anak tidur jika akan membicarakan hal-hal yang penting dengan pasangan, jika acara TV bagus tidak akan menonton karena anak-anak sedang belajar, saat pasangan repot karena sesuatu hal segera memberikan bantuan tanpa harus diminta, peduli repotnya kondisi pasangan sehingga akan bangun dari tidur walaupun capek bekerja, begitu mendapat berita mertua sakit langsung berkunjung, tidak menyesuaikan waktu libur untuk berkunjung ke rumah mertua terlebih ada berita mertua masuk rumah sakit, akan marah jika memang terdapat suatu hal yang dirasakan penting untuk marah, dan tetap menjaga penampilan diri walaupun sudah menjadi pasangan. Penilaian tersebut didasarkan pada pengembangan karakteristik kematangan emosi yang dikemukan oleh
Smitson (dalam Katkovsky,
1976) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kematangan emosi memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: 1) Kemandirian (toward independence), 2) Kemampuan untuk menerima realita (ability to accept reality), 3) Penyesuaian diri (adaptability), 4) Kesiapan untuk merespon dengan tepat (readiness to respond), 5) Kepasitas untuk seimbang (capacity to balance), 6) Kemampuan berempati (empathic understanding), 7) Pengendalian kemarahan (challenging anger). Kepuasan pernikahan yang dinilai memuaskan tersebut ditunjukkan dari menganggap komitmen pernikahan yang dijalani bersama pasangan tidak akan berakhir,
20
hubungan pernikahan dengan pasangan tetap dipertahankan karena pernikahan adalah komitmen jangka panjang dan bukan keterpaksaan, pernikahan adalah sesuatu yang suci sehingga wajib hukumnya untuk dipertahankan apapun yang terjadi, terdapat tujuan yang menjadi tujuan bersama dengan pasangan dalam pernikahan, hubungan dengan pasangan tidak sebatas pada komitmen pernikahan tetapi dilandasi dengan janji suci kepada Tuhan YME, merasa dalam pernikahan memiliki kesamaan dalam berbagai hal, berusaha terbuka terhadap pasangan dalam menunjukkan perasaan sayang untuk menjaga kehangatan hubungan, mencurahkan cinta dan kasih sayang kepada pasangan dengan sepenuh hati, tidak merasa terpaksa jika pasangan meminta untuk melakukan hubungan seksual, merasa bangga dengan pasangan jika berhasil dalam tugas pekerjaannya, merasa kebahagiaan hidup bersama pasangan bertambah, bangga atas apa yang pasangan kerjakan, dan merasa bahagia dengan pernikahan yang telah dijalani. Penilaian tersebut didasarkan dari pengembangan teori kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Lauer et al (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki puas dalam pernikahannya dapat dinilai berdasarkan aspekaspek sebagai berikut: 1) Komitmen (commitment, 2) Persamaan (similarity), 3) Persahabatan (friendship), 4) Perasaan positif (positive feeling). Berdasarkan uraian penjelasan tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya mayoritas responden telah dinilai memiliki tingkat kematangan emosi yang baik, dan puas selama menjalani pernikahan yang dilakukan sejak usia dini, namun hasil penelitian juga memberikan bukti ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan berdasarkan jenis kelamin, dimana responden pria cenderung memiliki kematangan emosi yang lebih rendah dibanding responden wanita, dan responden wanita cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih rendah dibanding responden pria.
21
Temuan hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan pendapat Adhim (2002), bahwa kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia dini. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada diantara mereka.Selain itu, hasil penelitian juga memberikan dukungan pada pendapat Atwater (1983 dalam dalam Febriany, 2011), bahwa ketika seseorang puas dengan pernikahannya maka seseorang akan tetap akan bahagia meskipun ada beberapa hal yang membuat ia kecewa dengan keadaan sekitarnya. Secara spesifik temuan-temuan hasil penelitian tersebut di atas juga memberikan dukungan pada Butar (2008), bahwa masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional daripada laki-laki.Pendapat tersebut juga sejalan dengan pendapat Kahn (dalam Hasanat, 1994) juga menyatakan, bahwa wanita mempunyai kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sensitif daripada pria.Selain itu hasil penelitian ini juga memberikan dukungan pada penelitian yang dilakukan oleh Eddington & Shuman (2005), bahwa wanita memiliki tingkat afek negatif yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria, hal ini mungkin terjadi karena wanita lebih sering menunjukkan perasaan dibandingkan dengan pria yang lebih sering menyembunyikan perasaannya.
PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah dini di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, dibuktikan nilai p-valuehasil penelitian masing-masing variabel <0,05.
22
Saran Berkenaan dengan kematangan emosi, adanya responden pria yang memiliki sikap merasa tidak cocok dengan mertua sehingga jarang berkunjung, kurang dapat menerima kekurangan pasangan, dan sering marah jika berbeda pendapat dengan pasangan, maka ada baiknya hal-hal tersebut diperbaiki sebab di lingkungan kita pernikahan adalah penyatuan dua keluarga besar, jadi ada baiknya jika terdapat masalah dengan mertua dikomunikasikan dengan pasangan secara baik, sehingga semua masalah yang terjadi dapat segera diperbaiki. Selain itu dalam pernikahan, pasti ada kekurangan dan kelebihan dari pasangan hal tersebut perlu kita terima apa adanya sebab bagaimanapun juga setiap orang pasti ada kelebihan dan kekurangan, dan yang lebih penting dalam pernikahan pengendalian emosi adalah hal yang penting, sebab harus disadari bahwa seorang individu yang telah menikah berarti telah memiliki tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya, kemarahan adalah suatu hal yang penting tapi untuk hal-hal tertentu yang dinilai memang membutuhkannya, tetapi untuk hal-hal kecil, seperti perbedaan pendapat dengan pasangan marah perlu dikendalikan, sebab hal-hal tersebut dapat dihindari dengan bahasa komunikasi yang baik. Berkenaan dengan kepuasan pernikahan, adanya responden pria dan wanita yang merasa cukup puas dalam pernikahannya perlu memperbaiki hal-hal yang berkenaan dengan masalah ketidak setujuan untuk menjadikan pasangan sebagai tempat curahan hati jika ada sesuatu yang mengganjal, perasaan kurang aman saat berada di dekat pasangan, dan cenderung mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pendapat pasangan, maka ada baiknya hal-hal tersebut diperbaiki sebab bagaimanapun juga pasangan hidup kita adalah teman terdekat dalam hidup kita untuk saling berbagi, sehingga penting untuk bersikap terbuka, dan tidak menang sendiri. Sebab bagaimanapun juga pernikahan adalah sebuah komitmen jangka panjang sehingga hal-
23
hal yang salah dalam pernikahan akan mengorbankan diri kita sendiri, pasangan kita, bahkan masa depan anak-anak kita.
Keterbatasan Uji validitas dan reliabilitas skala kematangan emosional, dan kepuasan pernikahan hanya dilakukan 1 (satu) kali saja, hal tersebut dilakukan oleh peneliti karena mengikuti penelitian-penelitian yang selama ini telah dilakukan sebelumnya, sehingga pada penelitian berikutnya agar uji validitas dan reliabilitas lebih menunjukkan tingkat kevalidan dan reliabilitas yang lebih baik ada baiknya pada item-item pernyataan yang dinyatakan gugur pada pengujian pertama dilakukan perbaikan dalam penggunaan bahasa dan kemudian dicoba untuk diujikan lagi kepada responden. Jika setelah dilakukan uji coba kedua dan ketiga item tetap gugur,maka baru disimpulkan memang item gugur, dan jika pada uji kedua dan ketiga item tidak gugur maka item dapat digunakan dalam penelitian, berarti gugurnya item tersebut hanya dikarenakan penggunaan bahasa yang kurang tepat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Adhim, M. F. (2002). Indahnya pernikahan dini. Gema Insani Press, Jakarta. Ahmad, Z. (2011). Dampak Sosial Perkawinan Usia Dini Studi Kasus di Desa SindurBogor. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Butarbutar, B. http://bobbybutarbutar.wordpress.com. 2008. Baron, R. A. & Byrne, D. (2005).Psikologi sosial .Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Durianto, D., Sugiarto dan Sitinjak, T. 2001. Strategi Menaklukkan Pasar (Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Duvall, E. M. & Miller, B. C. (1985).Marriage and Family Development (9th ed.). New York : Harper & Row Publishers. Eddington, N. & Shuman, R. (2005).Subjective well being (happiness).Continuing psychology education: 6 continuing education hours. http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-happiness.pdf. Diakses tanggal 25 Agustus 2014. Febriany, R.E. (2011). Pengaruh Gaya Resolusi Konflik dan Tipe kepribadian Big Five Terhadap Kepuasan Pernikahan Istri. Skripsi Publikasi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Ghozali, I. (2004). Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gunarsa, S. (1988). Psikologi Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulya. Hasan, I. (2004). Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara. Hasanat, N. (1994). Apakah Perempuan lebih Depresif dari Laki-laki?.Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Hogg, M. A. & Graham, M. V. (2002). Social Psychology (4th ed.). Pearson-Prentice Hall. Katkovsky, W. & Garlow, L. (1976).The psychology of adjustment : current concept and applications : New York : McGraw Hill Book Company. Khairani, R. (2009). Perbedaan Kematangan Emosi Pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda.Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur, & Sipil) Vol 3 Oktober 2009.
25
Lasswell, M. & Lasswell, T. (1991).Marriage and The Family. New York: Wadsworth, Inc. Lyubomirsky, S. & Dickerhoof, R. (2005).Subjective well being Dalam Worell, J (eds). Handbook of girls and women’s Psychological Health. NC: Oxford UniversityPress.http://site.ebrary.com/lib/indonesian/doc?id=10091877=195. Diakses tanggal 25 Agustus 2014. Muji, I. K. (2013).Motivasi pengambilan keputusan menikah di kalangan mahasiswi jurusan psikologi angkatan 2009 Universitas Pendidikan Indonesia (Studi kasus pada tiga mahasiswi jurusan psikologi angkatan 2009 UPI).Universitas Pendidikan Indonesia. Ningsih, D. A. (2013).Kepuasan dan Kesejahteraan Pernikahan Ditinjau Dari Faktor Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan).Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013. Nurhasanah, U. (2002). Perkawinan Usia Muda dan Perceraian di Kampung Kotabaru Kecamatan Padangratu Kabupaten Lampung Tengah. Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 34-41. Nursalam(2003).Konsep dan penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, S.(2002).Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pinsof, W. M. & Lebow, J. L. (2005).Family psychology. Oxford: University Press. Republika Online (2014).Tiga Daerah Paling Banyak Cerai Warganya.Republika Online, Selasa 24 Januari 2014. Rice, 2004.Emotional maturity.http://hwarmstrong.org/rice05.pdf. 2008. Riyawati, D. Y. (2006).Perbedaan Kematangan Emosi Pada Wanita Usia 25-35 Tahun Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan Dan Usia Memasuki Perkawinan (Penelitian Komparatif Pada Ibu-ibu Rumah Tangga di RW 5 Desa Tunahan Kec. Keling Kab.Jepara Tahun 2006). http://lib.unnes.ac.id/1214. Santrock. (2003). Adolescene: Perkembangan masa remaja (edisi keenam). (Alih Bahasa: Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik, M. S. W). Jakarta: Erlangga. Siswanto, W. A. (2004). Ada Apa Dengan Gender?. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN). Sugiyono. (2006). Statistika Untuk Penelitian. CV. Alfabeta, Bandung. Walgito, B. (2002). Bimbingan dan konseling perkawinan: Undang-undang pernikahan no.1 tahun 1974. Yokyakarta: Andi Offset.
26
Young. (tahun tidak disebutkan) dalam Kematangan emosi. http://careercenter. fapsi.umm.ac.id/career%20center_files/Pages1397.htm.Diakses tanggal 20 Juli 2014.