PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT OLEH RENATHA CLAUDIA MUNTHE 802012109
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Renatha Claudia Munthe Nim : 802012109 Program Studi : Psikologi Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya berjudul: PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Salatiga PadaTanggal : 02 Maret 2016 Yang menyatakan,
Renatha Claudia Munthe Mengetahui, Pembimbing
Heru Astikasari S.Murti, S.Psi., MA.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Renatha Claudia Munthe
Nim
: 802012109
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul: PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT Yang dibimbing oleh: Heru Astikasari S. Murti, S.Psi., MA. Adalah benar-benar hasil karya saya. Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 02 Maret 2016 Yang memberi pernyataan,
Renatha Claudia Munthe
LEMBAR PENGESAHAN PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT
Oleh Renatha Claudia Munthe 802012109
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Disetujui pada tanggal 29 Maret 2016eptemb2015 Oleh: Pembimbing
Heru Astikasari S.Murti, S.Psi., MA.
Diketahui Oleh,
Disahkan Oleh,
Kaprogdi
Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Prof. Dr. SutartoWijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT
Renatha Claudia Munthe Heru Astikasari S. Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi perbedaan kemandirian belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu). Penelitian ini dilakukan di Salatiga. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa remaja yang memiliki umur 15-18 tahun yang diasuh oleh keluarga utuh dan keluarga single parent yang berjumlah 100 diantaranya 50 siswa remaja yang diasuh oleh keluarga utuh dan 50 siswa remaja yang diasuh oleh keluarga single parent (ibu). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kemandirian belajar yang mengacu pada teori Garrison (1997). Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala self directed learning terdiri dari 26 aitem. Data yang dianalisis menggunakan teknik Independent Sample Test dan diperoleh hasil bahwa nilai t = 2,447, sig = 0,016 (p<0,005), sehingga didapatkan kesimpulan kemandirian belajar siswa remajadari keluarga utuh memiliki kemandirian didalam belajar yang lebih baik dibandingkan siswa remaja dari keluarga single parent (ibu). Kata kunci : Kemandirian belajar, Struktur keluarga, Remaja
i
Abstract The purpose of this study is to find out the significant difference of learning independence between adolescents students who are brought up by the whole family and those who are looked after by the single parent (mother). This study is done in Salatiga and the subjects of this study are 100 adolescents students who are between 15 – 18 years old. 50 of them are brought up by the whole family and the other 50 adolescents students are taken care by the single parent (mother). The data was collected us6ing a scale independent learning which refers to the theory of Garrison (1997), methods of data collection of this study applies the self directed learning scale which consists of 26 items. The data are analyzed using the Independent Sample Test technique and the result shows that the value of t = 2,447, sig = 0,016 (p<0,005). Therefore, it can be concluded from the result of this study that there is a difference of learning independence between adolescents students who are brought up by the whole family and those who are looked after by the single parent (mother). Keywords: Independence Learning, Family Structure, self directed learning, Adolescents
ii
1 PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang baik didalam keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia. Sekolah merupakan sebagai salah satu lembaga pendidikan secara formal, yang memiliki peranan sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui proses belajar mengajar. Sikap mandiri dalam belajar harus dimiliki oleh para siswa, agar dapat bersikap dan melaksanakan tugas tidak tergantung dari orang lain dan siswa mampu bertanggung jawab terhadap apa yang yang dikerjakan dan dilakukan. Siswa yang mandiri akan mampu mengembangkan dirinya sendiri dalam membuat strategi belajar, agar mereka memperoleh prestasi yang baik dan memperoleh keberhasilan. Karena pengembangan kemandirian belajar yang dilakukan siswa akan membantu siswa dalam adaptasi terhadap ilmu dan teknologi dikemudian hari yang semakin canggih. Dengan memiliki kemandirian belajar yang telah dikembangkan oleh masing-masing individu, membantu individu dapat memilih jalan hidupnya kelak, untuk berkembang lebih baik (Mu’tadin, 2002). Namun bila kemandirian belajar tidak dapat terwujud maka individu akan merasa kerugian dan kesulitan untuk menjadi individu yang produktif. Istilah kemandirian juga sering dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan segala sesuatunya sendiri (Suseno & Irdawati, 2012). Fenomena terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang semakin pesat, membuat para siswa dituntut untuk menjadi lebih mandiri, khususnya dalam mengakses informasi–informasi pendidikan yang diterima oleh siswa didalm pemebalajaran. Pendidikan di Indonesia menurut UNESCO pada tahun 2012 mengatakan bahwa masih tergolong rendah, misalnya dalam hal mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru disekolah, siswa menunggu contekan dari teman dalam mengerjakan tugas ataupun ulangan, dalam pembelajaran dikelas kerap kali siswa tidak membawa buku, bahkan buku yang dibawa tidak
2 seseuai dengan jadwal pelajaran, rendahnya kemandirian belajar siswa yang tidak memiliki inisitaif dalam belajar sendiri. Hal senada juga pada Tahun 2011 Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara. Sumarmo(2004) mengatakan bahwa siswa remaja yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung belajar lebih baik, sebab siswa remaja dalam pengawasan sendiri bukan dari pengawasan program, mampu memantau, mengevaluasi dan mengatur belajarnya secara efektif, dan mengatur waktu belajar secara efisien. Walaupun siswa tingkat sekolah menengah belum dianggap dewasa namun siswa tesebut sudah dituntut untuk menyadari tanggung jawabnya dalam berbagai hal, termasuk tuntutan untuk mandiri dalam belajar, karena situasi dalam dunia pendidikan sudah semakin kompleks, dan hal ini tidak hanya untuk memperoleh prestasi yang bagus namun juga dengan adanya kemandirian belajar dalam diri siswa, diharapkan agar dapat bersaing dan berkompetisi dengan siswa lainnya. Pendapat (Puspita, 2013) mengatakan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) diharapkan mencapai kemandirian, termasuk dalam kemandirian belajar, dimana siswa seharusnya dapat mengatur jam belajar sendiri, memilih kegiatan mana yang dapat menunjang prestasi akademiknya, menyusun strategi-strategi dalam belajar dan perilaku-perilaku lainnya yang menandakan bahwa siswa bertanggung jawab atas dirinya agar dapat berprestasi dan menjadi individu yang produktif. Menurut Hoshi (2001) Kemandirian belajar, siswa dapat bertanggung jawab atas pembuatan keputusan yang berkaitan dengan dengan proses belajarnya, dan siswa memiliki kemampuan untuk melakukan keputusan aktivitas, tersebut. Kemandirian belajar memerlukan kemauan untuk bertindak secara mandiri, tidak tergantung, serta memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Kemampuan ini tergantung pada pengembangan
3 berbagai strategi komunikasi, belajar, kerja mandiri, menciptakan konteks belajar pribadi. Menurut Pannen, (2000) yang menjadi ciri utama dalam belajar mandiri ialah adanya pengembangan kemampuan siswa untuk melakukan proses belajar yang tidak tergantung pada faktor guru, teman, dan lain-lain. Untuk mencapai kemandirian belajar bukanlah suatu hal yang dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini memerlukan proses panjang yang harus dimulai sejak usia dini. Menurut Basri (dalam Astuti, 1994). Kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor yang terdapat dari dalam dirinya dan faktor yang terdapat dari luar dirinya. Dalam mencapai keberhasilan kemandirian belajar siswa remaja salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar siswa remaja ialah peran orangtua. Menurut Hurlock (dalam Menuk, 2009) faktor yang memiliki pengaruh dalam mencapai kemandirian belajar pada siswa remaja ialah Keluarga. Karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan yang paling utama dalam melakukan interaksi sosialnya siswa remaja. Selain itu melalui peran keluargalah,
siswa remaja secara perlahan-lahan dapat
membentuk kemandirian dalam dirinya. Oleh sebab itu peran orangtua sangat berperan aktif dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi lebih mandiri, dan peran orangtua juga sangat penting terhadap anak, karena kemandirian belajar merupakan syarat mutlak untuk belajar. Oleh sebab itu orangtua harus memperhatikan dan mendorong anak agar dapat belajar dengan baik dan mempunyai motivasi dan menjadi anak yang produktif. Karena peranan orangtua memegang peran utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan tugas yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan, sedangkan peran seorang Guru disekolah merupakan pendidik kedua yang memiliki waktu yang terbatas dalam mendidik anak, oleh sebab itu peran orangtualah sebagai pendidik utama di rumah (Hasinuddin & Fitriah, 2011). Jika orangtua sebagai pendidik yang
4 utama ini tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sulit untuk beharap sekolah mampu membentuk siswa untuk memiliki kemandirian dalam belajar. Keluarga merupakan wadah pendidikan yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan kemandirian belajar anak, oleh karena itu pendidikan anak tidak dapat dipisahkan dari keluarganya. Karena keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar menyatakan diri sebagai mahkluk sosial dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Penelitian yang dilakukan Benson dan Johnson (2009), menunjukkan bahwa keluarga memberikan peranan penting dalam transisi anak-anak siswa remaja menuju dewasa. Penelitian ini juga memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang sisi subjektif dari transisi dewasa, dengan menyediakan wawasan tentang bagaimana konteks keluarga siswa remaja mempengaruhi kepribadian siswa remaja dimasa depan. Karena keluarga merupakan aspek atau sarana yang mendasari siswa remaja dalam pembangunan kemandirian untuk menuju dewasa. Mutadin (2002) menyatakan kemandirian belajar pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pengasuhan orangtua. Pada masa peralihan ini, orangtua seharusnya menerapkan pola asuh yang tepat agar dapat mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang mandiri untuk kedepannya. Dengan berjalannya waktu si anak akan melepaskan ketergantungan kepada orangtua maupun orang lain. Tercapainya kemandirian belajar siswa remaja akan menjadikan siswa remaja tidak lagi bergantung pada orang-orang di sekitarnya, seorang siswa remaja akan mampu mengatur dirinya sendiri dalam bertanggung jawab, mengambil keputusan secara mandiri, dan dalam pendidikannya. Peranan keluarga mengasuh membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak, menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang
5 sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997). Menurut Gerungan (2009) Berdasarkan kelengkapan anggota keluarga ada dua bentuk struktur keluarga suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau bisa dikatakaan keluarga utuh, melalui sisi kelengkapan struktur keluarga, terdapat keluarga utuh dan keluarga tidak utuh. Keluarga utuh ialah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap, dan orangtua akan menjalankan fungsinya dengan baik keduanya, sedangkan keluarga orangtua tunggal (single parent) ialah keluarga yang hanya terdapat satu orangtua tunggal baik itu ayah maupun ibu, baik orangtuanya bercerai ataupun salah satu orangtuanya meninggal, dimana dari keluarga tersebut sangat mempengaruhi perkembangan siswa remaja terutama dari segi emosi dan psikologisnya. Pengasuhan oleh orangtua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman modern ini. Sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dengan kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fenomena yang terjadi di negara-negara maju menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Orangtua yang lengkap memang memiliki keuntungan dibanding orangtua tunggal, yaitu bisa berbagi dan menyediakan kondisi yang harmonis bagi perkembangan anak mereka (Dwiyani,2009). Menjadi single parent dalam sebuah rumah tangga tentu tidak mudah, terlebih bagi seorang ibu yang harus mengasuh anaknya hanya seorang diri karena bercerai dari suaminya atau suaminya meninggal dunia. Hal tersebut, membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk membesarkan anak termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dan peran sebagai single parent juga lebih dapat menerima anggapan-anggpan dari lingkungan yang sering memojokkan para ibu single parent, hal tersebut bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak. (Sudarto2003).
6 Alvita (2008) menyatakan bahwa ibu single parent mempunyai peran ganda dalam keluarga. Peran ganda tersebut harus memenuhi kebutuhan psikologis anak (pemberian kasih sayang, perhatian dan rasa aman) serta harus memenuhi kebutuhan fisik anak (kebutuhan sandang pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan materi), artinya ibu single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestic dan public demi tercapainya tujuan keluarga yaitu membentuk anak yang berkualitas. Menurut Atlas (1998) Menjadi seorang ibu single parent dalam sebuah rumah tangga tentu tidak mudah, terkhusus bagi seorang ibu yang harus membesarkan anaknya hanya seorang diri, mencari nafkah seorang diri, karena harus bercerai dengan suaminya atau suaminya yang telah meninggal. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Atlas menyatakan bahwa makin tidak lengkapnya orangtua membuat anak semakin mengalami kesenjangan dalam menghadapi perkembangan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puji Astuti (2002) tentang perbedaan kemandirian siswa yang berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari keluarga single parent, dapat diketahui bahwa ada perbedaan, hal itu terjadi karena salah satu fungsi keluarga tidak ada, baik ayah ataupun ibu di mana keduanya sangat menentukan dalam proses pembentukan anak. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Winestya (2010) tentang perbedaan kemandirian siswa yang berasal dari keluarga orangtua utuh dan siswa yang berasal dari keluarga orangtua single parent, hasil dari penelitian sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada perbedaan kemandirian anak yang berasal dari keluarga utuh maupun keluarga single parent.
7 RUMUSAN MASALAH : Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu)? TINJAUAN PUSTAKA Kemandirian Belajar Definisi Garrison (1997) mendefinisikan kemandirian belajar (self directed learning) dapat diartikan sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara mandiri, maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri, untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata. Kemandirian belajar adalah belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, siswa dituntut untuk memiliki keaktifan dan inisiatif sendiri dalam belajar, bersikap, berbangsa maupun bernegara (Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, 1990). Menurut Gibbons (2002) belajar mandiri merupakan peningkatan dalam pengetahuan siswa, kemampuan siswa atau perkembangan siswa, dimana siswa dapat memilih dan menentukan sendiri tujuan dalam pembelajaran, serta berusaha menggunakan metode – metode yang mendukung kegiatannya. Menurut Merriam & Caffarella (1999) kemandirian belajar merupakan proses pemebelajaran dimana pelajar membuat inisiatif sendiri dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari pengalaman pembelajaran, yang di dapat dari berbagai sumber atau literatur. Menurut Surya (2003), belajar mandiri ialah proses menggerakkan kekuatan atau dorongan dari dalam diri individu yang belajar untuk menggerakkan potensi dirinya mempelajari objek belajar tanpa ada tekanan atau pengaruh asing dari luar dirinya. Pendapat yang dikemukakan oleh Kozma (1978), yang menyatakan belajar mandiri sebagai suatu bentuk belajar yang
8 memberikan kesempatan kepada siswa, untuk menentukan tujuan belajar, sumber-sumber belajar dan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Menurut Johnson (2009), pembelajaran mandiri memberi kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari – hari. Pelajar mengambil keputusan sendiri dan menerima tanggung jawab untuk itu. Pelajar juga mengatur, menyesuaikan tindakannya mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pannen (2000) menegaskan bahwa ciri utama dalam belajar mandiri bukanlah ketiadaan guru atau teman sesama siswa, atau tidak adanya pertemuan tatap muka di kelas. Menurutnya, yang menjadi ciri utama dalam belajar mandiri adalah adanya pengembangan kemampuan siswa untuk melakukan proses belajar yang tidak tergantung pada faktor guru, teman, kelas dan lain-lain. Menurut Garisson (1997), terdapat tiga aspek dalam kemandirian belajar, yaitu : a. Self-management (manajemen diri) Manajemen diri merupakan masalah pengendalian tugas, termasuk diberlakukannya tujuan pembelajaran, pengelolaan dan dukungan sumber belajar. b. Self-monitoring (pemantauan diri) Pemantauan diri merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kognitif dan proses metokognitif termasuk memantau strategi pembelajaran siswa, serta kesadaran dan kemampuan siswa untuk berpikir. Ini adalah suatu proses dimana siswa mengambil tanggung jawab untuk membangun makna pribadi melalui pengintegrasian ide-ide dan konsep-konsep yang baru dengan pengetahuan sebelumnya. c. Motivation (motivasi) Motivasi merupakan suatu dorongan dalam diri untuk membantu dalam memulai suatu hal dan mempertahankan usaha terhadap pembelajaran dan pencapaian tujuan kognitif.
9 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan self directed learning sebagai definisi dan alat ukur dalam penelitian, sebab self directed learning merupakan sinonim dari kemandirian belajar menurut (Kesten, 1987). Dari pejelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek di atas saling terkait satu sama lainnya, karena aspek tersebut salaing memiliki pengaruh yang sama kuat dan saling melengkapi dalam membentuk kemandirian belajar dalam diri seseorang Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Kemandirian Belajar Siswa Menurut Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kemandirian belajar yaitu: 1. Jenis Kelamin Anak laki-laki lebih berperan aktif dalam membentuk kemandirian dan dituntut untuk lebih mandiri, sedangkan anak perempuan mempunyai ketergantungan yang lebih stabil karena memang dimungkinkan untuk bergantung lebih lama. 2. Usia Pada setiap tahap perkembangan mempengaruhi kemandirian seseorang. Beberapa sifat yang ada pada remaja awal menunjukkan masih ada pengaruh dari masa kanakkanaknya, misalnya emosional, belum mandiri, belum memiliki pendirian sendiri. Sedangkan pada remaja akhir sudah diharapkan lebih menunjukkan kedewasaan seperti menerima keadaan fisiknya, bertanggungjawab. 3. Struktur keluarga Keluarga sekarang sangat bervariasi, tidak hanya keluarga tradisional seperti dulu lagi. Perubahan dalam perkawinan ini membawa dampak pada perkembangan kemandirian anak. 4. Budaya Setiap daerah, setiap negara mempunyai adat istiadat dan cara tertentu dalam mendidik anak. Pada budaya barat, anak sangat dituntut lebih cepat mandiri. Anak pada budaya barat banyak
10 yang kerja part time dan banyak yang sudah mulai tinggal sendiri tidak bersama orangtua lagi. 5. Lingkungan Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan manusia lain dan juga lingkungan tempat tinggal individu tersebut. Lingkungan yan baik, dapat mendukung anak untuk mandiri. 6. Keinginan individu untuk bebas Setiap individu berbeda, ada individu yang memang ingin melakukan sesuatu dengan bebas dan tanpa harus dikekang oleh orang lain. Perbedaan setiap individu ini juga mempengaruhi keinginan setiap orang untuk mandiri. Faktor-Faktor
yang
mempengaruhi
kemandirian
sangat
menentukan
sekali
tercapainya kemandirian seseorang, begitu pula dengan kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa itu sendiri, maupun yang berasal dari luar yaitu lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan sosial dan lingkungan masyarakat. Struktur Keluarga Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak (keluarga inti). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 Bab I ayat 1 keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan menurut WHO (1969) keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah adaptasi atau perkawinan. Gunarsa (1986) mengatakan keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena keluarga merupakan inti dari masyarakat yang memiliki fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja tetapi juga merupakan sumber pendidikan yang pertama bagi anak. Lingkungan keluarga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
11 memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah hanya memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik-buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan perkembangan anak (Gunarsa & Gunarsa, 1995; Kartono, 1998). Sebagai tempat belajar, keluarga adalah tempat pertama anak-anak belajar. Dalam segala aspek kehidupan, anak bergantung kepada orangtua, baik dalam soal berbicara, berjalan, dan tingkah laku. Dari orangtua, anak belajar mengasihi Tuhan, mengasihi orangtua, dan mengasihi sesamanya (Nadeak, 1995). Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orangtua dan anggota keluarga sendiri (Gunarsa, 1993). Menurut Santrock (2003), keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orangtua. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Keluarga Utuh Keluarga Utuh atau keluarga lengkap ialah keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga teridiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu, atau kedua-duanya tidak ada, maka struktur keluarga itu tidak utuh lagi (Ahmadi, 1999). Ayah dan ibu bisa disebut sebagai orangtua keduanya adalah pengasuh dan pendidik utama dan pertama bagi anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis. Meskipun demikian keluarga juga memiliki fungsi reproduktif, religius, edukatif, sosial dan protektif (Harini & Al-Halwani,2003). Soelaeman (1994) mengatakan bahwa “keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh
12 anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu dirumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan dan sistem nilai yang direalisasikan orangtua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak” (Shochib,1998). Peranan Keluarga Utuh Soelaeman (dikutip dalam Shochib,1998) menyatakan bahwa keutuhan orangtua (ayah dan ibu) dalam satu keluarga sangat dibutuhkan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orangtua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya Orangtua mempunyai fungsi dan peranan sangat besar dalam perkembangan seorang anak. Terutama apabila seorang anak yang menginjak masa remaja. Tidak dapat disangkal lagi melalui keluargalah anak memperoleh bimbingan, pendidikan, dan pengarahan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kapasitasnya (Gunarsa, 1993). Keluarga Single Parent Keluarga single parent ialah keluarga dimana didalamnya terdapat satu orangtua yang tinggal sendiri atau biasat disebut Orangtua tunggal. (single parent) dapat terjadi karena: a) Perceraian. b) Salah satu meninggalkan keluarga atau rumah. c) Salah satu meninggal dunia (Surya, 2003: 230). Keluarga tunggal ibu saja harus melaksanakan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi sebagai ayah dan fungsi sebagai ibu. Selain itu dia juga harus menjalani fungsifungsi keluarga yang lain seperti ekonomi, pendidikan. DeGenova (2008) mengatakan single parent family adalah keluarga yang terdiri atas satu orangtua menikah dan memiliki anak. Menurut Sager dkk (dalam Setiawati, 2007) single parent adalah orangtua yang memelihara dan membesarkan anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya. Single parent merupakan keluarga yang orantuanya hanya terdiri dari ibu yang bertanggung jawab mengurus anak setelah perceraian, meninggal. (Yusuf, 2004).
13 Sedangkan keluarga utuh keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap keduanya dan anaknya. Menurut Dwiyani (2009) ibu single parent adalah ibu yang mengasuh anak-anaknya sendirian, tanpa didampingi oleh suami atau pasangan hidup yang disebabkan oleh perceraian, kematian pasangan hidup. (dalam Anderson dkk. 1998) mengatakan bahwa menjadi ibu single parent merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen untuk tidak menikah atau menjalin hubungan intim dengan orang lain. Menurut Setiati (2011), juga menambahkan masalah yang sering dihadapi oleh ibu single parent biasanya adalah masalah mengasuh anak, karena anak akan merasa sangat kehilangan salah satu orangtua. Jika dibandingkan dengan single parent father, single parent mother cenderung mempertahankan diri untuk mengasuh anak sekaligus mencari nafkah seorang diri. Hak untuk mengurus anak pada umumnya cenderung diberikan kepada kaum ibu. Hal ini dikarenakan sebagian besar kaum pria lebih cepat memilih menikah lagi, sebab ayah tunggal (single parent father) cenderung menyerahkan pengasuhan anak kepada mantan istri, mertua, atau kakek-nenek (Magdalena, 2010) Perbedaan Kemandirian Belajar Antara Siswa Remaja Pada Keluarga Utuh Dan Keluarga Single Parent Perbedaan kemandirian belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar siswa remaja, karena anak dan keluarga ialah satu kesatuan yang saling berkaitan dan keluargalah yang mempunyai kedudukan sentral. Sebab perkembangan kemandirian belajar anak dimulai dalam lingkungan keluarga, oleh sebab itu pengaruh keluarga sangat besar pada proses perkembangan anak khususnya pembentukan kemandirian (Baiq 2008). Dilihat dari struktur kelengkapan keluarga, ada keluarga yang utuh dan ada keluarga yang tidak utuh. Soelaeman (1994) Keluarga utuh merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, keberadaan ayah dan ibu dikatakan sebagai keluarga lengkap, karena jika salah satu dari keduanya tidak
14 ada maka fungsi keluarga tidaklah lengkap. Ulwan (2000) berpendapat bahwa Ketiadaan salah satu orangtua akan mengurangi salah satu fungsi dari orangtua baik ayah maupun ibu, sehingga keberadaan keluarga lengkap menjadi sangat penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Keberadaan akan ayah dan ibu dalam satu keluarga yang akan membimbing, mengarahkan serta membentuk kemandirian belajar anak sehingga anak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik, dan mampu mengungkapkan pendapat dan keinginannya sendiri dan tidak bergantung kepada orangtuanya. Saat ini keluarga dengan orangtua tunggal memiliki serangkaian masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orangtua yang membesarkan anak. Bila diukur dengan angka, mungkin lebih sedikit sifat positif yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orangtua dibandingkan keluarga dengan orangtua lengkap. Orangtua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak dan perkembangannya, karena orangtua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk saling menopang (Ratri, 2006). Keluarga single parent ialah keluarga dimana didalamnya terdapat satu orangtua yang tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orangtua tunggal (single parent) dapat terjadi karena: Perceraian, Salah satu meninggalkan keluarga atau rumah, Salah satu meninggal dunia (Surya & Shapiro (2003) menjelaskan tugas yang harus dikerjakan seorang diri oleh orangtua tunggal, baik laki-laki maupun perempuan. Diantaranya tugas tersebut adalah: penuh dengan benturan waktu, tanggung jawab ganda untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup dan mengelola rumah tangga, tidak ada istirahat atau waktu istirahat berkurang, ditambah dengan kebutuhan emosional, membimbing anak khusus terhadap anakanak yang tidak lagi memiliki keluarga utuh, serta menanggung beban finansial dan mengaturnya seorang diri. Sebab itu DeGenova (2008) mengatakan bahwa keluarga single parent biasanya lebih merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam kekompetenan sebagai orangtua. Kekompeten orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana si orangtua mengasuh anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat
15 berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, salah satunya dalam hal kemandirian anak. Penelitian yang dilakukan Kelly (2008) menunjukkan bahwa anak dari single parent cenderung lebih rentan terkena masalah dalam kehidupannya sehari-hari serta terganggu dalam hal pendidikan dibanding anak yang memiliki orangtua utuh. Menurut Bharat, dkk (1989) mengatakan bahwa anak keluarga single parent lebih merasa loneliness, tidak percaya diri. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Hansen, dkk (1980) dimana terdapat perbedaan konsep diri, prestasi di sekolah, kemandirian belajar di sekolah, vocational maturity, occupational aspiration dan persepsi terhadap orangtua mereka pada anak dengan orangtua single parent. penelitian yang dikemukakan oleh Anwar (2007) bahwa seorang ibu single parent akan lebih matang dalam mengasuh dan mendidik anak dibandingkan seorang suami. Hasil penelitian ini juga didukung adanya teori yang dikemukakan Litterauter (2006) yang menyatakan apabila seorang anak diasuh oleh seorang single parent akan lebih baik apabila ia berada dalam asuhan ibunya karena seorang ibu dinilai lebih mampu menggantikan kewajiban orangtua seutuhnya daripda seorang suami. Problema yang dimiliki anak yang diasuh ibu dengan status single parent tentunya akan memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh keluarga utuh. Keadaan keluarga yang tidak lengkap dapat membuat ikatan keluarga dan suasana keluarga tidak dapat memberi rasa aman. Anak tidak mencari perlindungan dan tempat bernaung di keluarga melainkan mencari tempat curahan hati pada teman dekatnya. Sedangkan keluarga sebenarnya justru harus memberikan rasa aman itu (Gunarsa, 2003). Begitu juga halnya dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua single parent akibat terlalu sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas perkembangan atau kurangnya bimbingan untuk menguasai tugas perkembangan tersebut (Musdalifah, 2007). Kekurang kompetennya sebagai single parent (ibu) dapat mengakibatkan anak kurang mandiri dimana
16 anak menjadi bingung dalam mengambil keputusan dan susah mempertanggung jawabkannnya. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis bahwa ada perbedaan signifikan kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh dengan siswa remaja pada keluarga single parent (ibu). METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel Penelitian Variabel Bebas
: Struktur Keluarga
Variabel Terikat
: Kemandirian Belajar
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah siswa remaja madya, yang masih berstatus siswa Sekolah Menengah Atas pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu). Teknik pengambilan sampel dengan Snowball sampling yaitu teknik penentuan sampel yang mulamula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Dalam penentuan sampel pertama-tama dipilih satu atau dua orang, kemudian terus berkembang untuk mencapai jumlah yang diinginkan peneliti sehingga jumlah sampel semakin banyak (Sugiyono,2013). Kriteria subjek adalah siswa remaja pada keluarga orangtua utuh dan siswa remaja pada keluarga single parent. Populasi dalam penelitian yang dilakukan ini ialah siswa remaja yang berusia 15-18 tahun. Menurut Monk, dkk (2008) masa remaja pertengahan atau madya berkisar usia 15 tahun sampai 18 tahun. Adapun karakteristik sampelnya adalah sebagai berikut : a.
Subjek merupakan siswa Sekolah Menengah Atas yang berusia 15-18.
b.
Subjek yang diasuh oleh Keluarga Utuh dan Subjek yang diasuh oleh Keluarga Single Parent (Ibu).
17 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan penulis dengan pertama-tama memohon surat persetujuan dari dosen pembimbing, untuk mengambil data yang ditujukan kepada Siswa Remaja di Salatiga. Penyebaran angket dilakukan pada 25 November 2015. Peneliti menyebarkan 100 angket. Dalam penelitian ini untuk memperoleh data informasi, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Self-Directed Learning. Skala Self-Directed Learning ini menggunakan aspek-aspek yang disimpulkan oleh Garrison (1997), yaitu meliputi aspek selfmanagement, aspek self-monitoring dan aspek motivation berdasarkan aspek-aspek yang di ungkapkan oleh Garrison. Jumlah item pada skala ini adalah 26 item dengan alpha Cronbach 0,816 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan try out terpakai, dimana subjek yang digunakan dalam try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Penelitian ini akan di uji lebih lanjut dengan analisis item untuk menguji daya diskriminasi dan realibilitas item. Angket kemandirian belajar ini dibuat dengan menggunakan skala likert, yang terdiri dari empat kategori jawaban yaitu, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Angket kemandirian belajar ini terdiri atas item favorable dan item unfavorable. Pemberian skor untuk item favorable bergerak dari 4 sampai 1 untuk Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pemberian skor untuk item unforable bergerak dari 1 sampai 4 untuk Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan Alfa Cronbach menunjukkan hasil hasil perhitungan reliabilitas sebesar 0,806. Berdasarkan hasil uji yang diperoleh maka alat ukur dalam penelitian ini dapat dikatakan alat ukur yang reliabel. Dilakukan dua kali pengujian menggunakan program komputer SPSS Statistics 16,0. menunjukkan bahwa ada 6 item yang gugur karena mempunyai nilai corrected item total < 0,30 yaitu 6 item. Pengujian tersebut mendapatkan hasil bahwa item yang tersisa adalah 20 item yang dianggap valid dengan
18 standar yang digunakan adalah sebesar 0,30 (Azwar, 2012).
Reliabilitas yang dihitung
dengan Alfa Cronbach sebesar 0,806 yang berarti bahwa alat ukur yang digunakan reliabel. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini akan dilakukan uji asumsi. Apabila hasil uji asumsi menunjukkan data yang berdistribusi normal serta homogen, maka selanjutnya dilakukan ujit. Uji-t dilakukan dengan menggunakan SPSS Statistics 16,0 for windows dengan program uji Independent Sample T Test.
HASIL PENELITIAN Statistik Deskriptif Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel kemandirian belajar digunakan 4 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah. Untuk mengetahui interval maka digunakan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2012) :
19 Tabel 4.1 Kategorisasi Kemandirian Belajar Siswa Remaja Pada Keluarga Utuh NO
Interval
Kategorisasi
Mean
F
%
1.
20 ≤ x < 32
Sangat Rendah
0
0%
2.
32 ≤ x < 44
Rendah
1
2%
3.
44 ≤ x < 56
Sedang
15
30%
4.
56 ≤ x < 68
Tinggi
33
66%
5.
68 ≤ x ≤ 80
Sangat Tinggi
1
2%
50
100%
58,62
Jumlah x = skor kemandirian belajar remaja
Hasil analisis deskriptif tabel 4.1 menunjukkan bahwa kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh cenderung berada pada kategori tinggi dengan nilai rata-rata 58,62. Tabel 4.2 Kategorisasi Kemandirian Belajar Siswa Remaja Pada Keluarga Single Parent (Ibu) NO
Interval
Kategorisasi
Mean
F
%
1.
20 ≤ x < 32
Sangat Rendah
0
0%
2.
32 ≤ x < 44
Rendah
4
8%
3.
44 ≤ x < 56
Sedang
26
52%
4.
56 ≤ x < 68
Tinggi
15
30%
5.
68 ≤ x ≤ 80
Sangat Tinggi
5
10%
50
100%
Jumlah
55,08
x = skor kemandirian belajar Hasil analisis deskriptif tabel 4.2 menunjukkan bahwa kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga single parent (ibu) cenderung berada pada kategori sedang dengan nilai rata-rata 55,08.
20 Uji Asumsi Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada setiap variabel dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Test. Data dapat dikatakan normal apabila nilai p>0,05. Hasil normalitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Utuh N
single_parent 50
50
Mean
58.62
55.08
Std. Deviation
6.061
8.241
Absolute
.093
.116
Positive
.083
.116
Negative
-.093
-.080
Kolmogorov-Smirnov Z
.656
.817
Asymp. Sig. (2-tailed)
.783
.517
Normal Parameters
a
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh nilai Kolmogorov Smirnov untuk sampel utuh sebesar 0,656 hal ini berarti untuk signifikansi utuh >0,05 sehingga sampel utuh berdistribusi normal. Sedangkan nilai Kolmogorov Smirnov untuk sampel single parent sebesar 0,817 hal ini berarti untuk signifikansi single parent >0,05 sehingga sampel single parent berdistribusi normal. Melihat hasil nilai Kolmogorov Smirnov untuk keluarga utuh dan keluarga single parent bersignifikansi >0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis sampel sebaran datanya berdistribusi normal.
21 Uji Homogenitas Selanjutnya adalah uji homogenitas yang bertujuan untuk melihat apakah sampel dari penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila nilai probabilitas p>0,05. Hasil dari uji homogenitas dapat dilhat pada tabel berikut : Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances
Test of Homogeneity of Variances Kemandirianbelajar Levene Statistic 2.382
df1
df2 1
Sig. 98
.126
Dari Tabel di atas dapat dilihat hasil uji homogenitas dengan metode Levene's Test. Nilai Levene’s ditunjukkan dengan p value (sig) sebesar 0,126 di mana > 0,05 yang berarti terdapat kesamaan varians antar kelompok atau yang berarti homogen. Hasil Uji Perbedaan Melalui pendekatan Independent Sample t-test yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang tidak berhubungan, hasil perhitungan Uji-t sebesar 2.447 dapat diketahui nilai signifikansinya adalah sebesar 0,016 (p<0,05). Maka H0 ditolak, dan H1 diterima, yang artinya ada perbedaan kemandirian belajar remaja yang diasuh oleh keluarga utuh dan remaja yang diasuh keluarga single parent (ibu). Tabel Uji Independen T Test
22 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan kemandirian belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu) diperoleh nilai t hitung adalah sebesar 2,447 menunjukkan bahwa signifikansi yang diperoleh sebesar 0,016 (p<0,05). Maka H1 diterima yang berarti bahwa ada perbedaan kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent berbeda secara signifikan. Hal ini senada dengan yang dikatakan Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar adalah struktur keluarga. Gunarsa (2004) juga mengatakan bahwa ayah, ibu dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan, dimana masing-masing dari anggota tersebut harus terbina hubungan yang baik, yakni antara ayah-ibu, ayah-anak, ibu-anak. Hubungan yang baik ini artinya, keluarga selalu berusaha menghadirkan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pihak di dalamnya, karena kepribadian anak bisa dipengaruhi secara sangat mendalam oleh adanya gambaran kesatuan ayah dan ibu, oleh karena itu orangtua harus memenuhi reaksireaksi dari anak-anaknya. Sehingga anak memiliki keyakinan akan adanya pegangan dan gambaran kesatuan ayah dan ibu. Sehingga mereka merasakan perlindungan, bimbingan dalam keluarga yang akan memberikan rasa aman, dimana rasa aman ini juga merupakan kebutuhan dasar dari anak, yang akan mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Meier, dkk (2008) mengemukakan bahwa anak dari keluarga utuh yang mempunyai ayah dan ibu yang lengkap, lebih baik dibanding dengan anak dari single parent. Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2004) mengatakan siswa remaja yang memiliki kemandirian belajar mampu mengembangkan persepsi yang positif terhadap orang lain dan mencoba berintegrasi dengan keluarga sendiri secara mandiri, memiliki tujuan hidup yang realistik, mengembangkan kemampuan untuk mengemukakan
23 dan mempertahankan pendapatnya sendiri, mampu membangun hubungan dengan beberapa orang dewasa lainnya dalam masyarakat, ikut berpartisipasi dengan orang dewasa lainnya dalam masyarakat, menerima konsekuensi dari kesalahannya tanpa mengeluh, melakukan sejumlah aktivitas yang disenangi tanpa terlalu meminta persetujuan dari orangtua dan guru. Meminta nasehat ataupun saran dari orangtua disaat mengalami masalah sulit saja, mampu menghadapi kegagalan, dengan berupaya mengatasi masalah dengan lebih baik. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2002) tentang perbedaan kemandirian siswa yang berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari keluarga single parent, dapat diketahui bahwa ada perbedaan, hal itu terjadi karena salah satu fungsi keluarga tidak ada, baik ayah ataupun ibu di mana keduanya sangat menentukan dalam proses pembentukan kemandirian belajar anak. Alvita (2008) menyatakan bahwa single parent mempunyai peran ganda dalam keluarga. Peran ganda tersebut harus memenuhi kebutuhan psikologis anak, (pemberian kasih sayang, perhatian dan rasa aman), serta harus memenuhi kebutuhan fisik anak (kebutuhan sandang pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan materi), artinya ibu single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestic dan public, demi tercapainya tujuan keluarga yaitu membentuk anak yang berkualitas. Dampak yang yang terjadi pada keluarga single parent bukan hanya dirasakan oleh ibu sebagai orangtua tunggal, tetapi juga anak yang kehilangan salah satu orangtua. Qaimi (2003) mengatakan ada beberapa dampak atau pengaruh yang menimpa keluarga dan anak-anak ketika kehilangan salah satu orangtua baik ayah maupun ibu, pengaruhnya secara mental dan kejiwaan bisa berupa menurunnya kecerdasan, harapan dan semangat. Sedangkan pada perasaan akan memunculkan rasa gelisah, ketakutan, depresi bahkan kehilangan rasa belas kasih. Hal tersebut senada dengan Ki Hajar Dewantara juga yang mengatakan bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak timbulnya adab
24 kemanusiaan sampai sekarang, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiaptiap manusia. Oleh sebab itu Kemandirian belajar juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu keluarga, dimana keluarga membawa pengaruh primer terhadap kemandirian belajar seorang anak. Dikatakan bahwa perkembangan kemandirian belajar dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi pada setiap perkembangan (Hurlock,1999).
KESIMPULAN : Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : 1. Ada perbedaan yang signifkan kemandirin belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan siswa remaja pada keluarga single parent. Kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh lebih tinggi dari siswa remaja pada keluarga single parent (ibu). 2. Sebanyak (58,62%) siswa remaja dari keluarga utuh memiliki kemandirian belajar pada kategori tinggi sementara sebanyak (55,08%) siswa remaja dari keluarga single parent mempunyai kemandirian belajar pada kategori sedang. SARAN : Berdasarkan hasil penelitian yang telah diketahui, maka penulis mengajukan saran beberapa pihak yaitu : 1. Bagi remaja pada keluarga utuh Diharapakan siswa remaja tetap dapat memiliki kemandirian belajar sendiri tanpa terlalu tergantung pada kedua orangtuanya. Siswa remaja harus dapat mengandalkan diri
sendiri
mereka,
dan
dapat
lebih
berani
mengambil
tindakan
dan
bertanggungjawab sehingga anak tidak menyerahkan segalanya kepada orangtua mereka. Karena kemandirian belajar sangat penting bagi masa depannya kelak.
25 2. Bagi siswa remaja pada keluarga single parent Dengan orangtua yang tidak lengkap diharapkan siswa remaja lebih dapat mandiri dalam belajar, dan dapat mengerti keadaan orangtua mereka. Disini siswa remaja diharapkan dapat lebih mengerti kondisi dan keadaan orangtua mereka, sehingga siswa remaja dapat lebih berani dan memiliki inisiatif dalam bertindak. Hidup dengan orangtua yang tidak lengkap, terlebih hanya ibu yang ada, anak diharapkan tidak menjadi putus asa atau menjadi minder bergaul dengan temannya maupun lingkungannya. Siswa remaja harus dapat tetap memiliki kemandirian belajar agar siswa remaja pada keluarga single parent dapat maju dan memikirkan masa depannya. 1. Bagi Orangtua Bagi orangtua dari keluarga utuh, hendaknya dapat bersama mendidik dan Membimbing anak mereka. Sehingga anak tetap dapat terkontrol. Anak sebaiknya jangan dikekang tapi juga jangan dibebaskan. Orangtua harus membuat anak mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka putuskan. Orangtua harus memberikan kebebasan pada anak untuk mengutarakan pendapat mereka, apa yang mereka inginkan. Disini orangtua berperan membimbing anak anak agar tetap terarah. Seperti saat anak memutuskan untuk mengambil ekstrakurikuler di sekolah, orangtua dapat memberikan kebebasan pada anak untuk ikut serta, dengan catatan nilai sekolah tidak turun dan tetap jaga kesehatan. Sehingga sianak dapat mengembangkan bakatnya dan sianak juga dididik untuk bertanggung jawab. 2. Saran bagi peneliti selanjutnya a. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih memperhatikan faktor lain yang mempengaruhi kemandirian belajar anak remaja seperti usia remaja, b. Peneliti selanjutnya dapat memperhitungkan faktor-faktor lain seperti urutan kelahiran, jumlah saudara yang juga tinggal di rumah.
26 c. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian pada remaja awal atau remaja akhir, dan dapat memperbesar jumlah subjek penelitian, dimana jumlah subjek penelitian akan mempengaruhi hasil penelitian yang di teliti.
27 DAFTAR PUSTAKA Alvita, N.O.(2008). Wanita sebagai single parent dalam membentuk anak yang berkualitas. Diunduh darihttp://okvina.word press.com/ html. Ahmadi, (1990). Psikologi social. Jakarta: Rineka Cipta. Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, 1998. Structural Equation Modeling in Practice: A Review and Recommended Two Step Approach, Psychological Bulletin, Vol. 163. Anwar, Asyadi. (2007) Pola Asuh Keluarga Single Parent, Anima. Jurnal Psikologi Indonesia, vol.9.. Asiyah, Nur. (2013) Pola asuh demokratis, kepercayaan diri dan kemandirian mahasiswa baru. Persona Jurnal Psikologi Indonesia. Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuliantin, B.(2008) Psikologi Kemandirian Remaja, makalah, (Universitas Islam Indonesia). Basri, (2000). Remaja berkualitas (Problematika remaja dan solusinya). Yogyakarta: Pustaka Belajar . Benson, J.E, Johnson, M. K. (2009) Adolescent Family context and adult identity formation. Institues Helath Of National. Brookfield, S.D. (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning : A Comprehensive Analysis of Principles and Effective Practice. San Fransisco London: Jossey Bass Publishers. Dewi, C.R. (2011). Kemandirian Dalam Mengerjakan Tugas Sekolah Ditinjau Dari Pola Asuh Demokratis Orangtua. Skripsi S-1 (tidak diterbitkan). Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. DeGenova, M.K. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill. Dwiyani,V. (2009) . Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri. Jakarta : PT. Elex Media Kumpotindo. Fatimah, E. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia. Garrison, D.R. (1997). Self – Directed learning: Toward a Comprehensive model. Adult Education Quarterly. Gibbons, M. (2002). The Self Directed Learning Handbook Challenging Adolescent Student to Exel. San Fransisco: Jhon Wiley & Sons. Gunarsa D, Singgih. (2000). Psikologi Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hakim, L. (2012). Lukmanpringtulis.blogspot.com/2012/02/pengaruh-kemandirian belajarsiswa_25.html.diunduh pada tanggal 09 september 2015.
28 Hasinuddin, & Fitriah. (2011). Modul Anticipatory Guidance Terhadap Perubahan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dalam Stimulasi Perkembangan Anak. Jurnal NERS. Volume 6, Nomor 1. Hoshi, M. 2001 Internet Based English Language Learning by Japanese EFL Learnes. Diunduh dari http://www/ucagary.ca/-mhoshi/Thesis.htm Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan . Edisi 5. Indonesia. Diterjemahkan oleh Istiayanti, Soejarwo. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E.B. (2000). Perkembangan Anak jilid 1 (Alih Bahasa Tjandrasa, M.M., Zarkasih,M). Jakarta : Erlangga. Johnson, D.W. (2009). Reaching out: Interpersonal effectivenessand self- actualization (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon. Kesten. (1987) “Skills of self Directed Learning”. [Online]. Tersedia. Diunduh dari http://www.asa.3org/ASA/education/learn/study skills.htm. 20 april 2015. Kozma, RB, Belle, LW, William, GW. (1978). Instructional Techniques in Higher Education. Neew Jersey: Educational Technology Publications. Kulbok, Pamela. Et al. (2004). Autonomy and Adolescence: A Concept Analysis. Public Health Nursing Vol.21. Littaurer, (2006). Personality Plus. Jakarta: PT. Rosdakarya. Lowry, C.M. (2000). Supporting and Facilitating Self-Directed Learning. ERIC Digest No 93, 1989-00-00. Merriam, S., & Caffarella, R.S. (1999). Learning in Adulthood. San Fransisco: Jossey Bass. [on-line]. Available FTP: Diunduh dari http://www.newhorizons.org/articleMerriamcaffarella1.html. Meier,dkk. (2008). Are Both Parents Always Better Than One? California Center for Population Research. Los Angeles: University of California. Masrun, Hartono, dkk. (1986). Studi mengenai kemandirian pada penduduk di tiga suku (Jawa, Batak, Bugis). Laporan penelitian tidak diterbitkan. Yogyakarta: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Monks, Knoers & Haditono, S.R. (1992). Psikologi Perkembangan. Yogayakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press. Nadeak, (1995) ”Memahami anak remaja”, Yogyakarta: Kanisius. Nazia, Siti. (2013).. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemandirian Siswa dengan Hasil Belajar Siswa Kelas VI SD Iqra’ Muara Bulian. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Jambi.
29 Pannen, P., dkk. (2000). Konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: PAUPPAI, Universitas Terbuka. Qaimi, Ali. (2003). Single Parent. Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak. Bogor: Cahaya. Ratri. (2006). Orangtua tunggal. Diunduh dari http://
[email protected]/ html. Setiadi. (2011). Konsep&Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu. Setiawati, Indah.dkk. (2007). Sibling Rivalry Pada Anak Sulung Yang Diasuh Oleh Single Father. Auditorium Kampus Gunadarma Vol 2. Wirawan, S. (2003) Peran Single Parent dalam lingkungan keluarga, Bandung: PT.Rosdakarya. Sugiyono. (2002). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suseno, DD. & Irdawati. (2012). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Dengan Kemandirian Anak Usia Prasekolah di TK Aisyiyah Mendungan Sukoharjo. Diunduh dari http.//www.e-journal.akbid-purworejo.ac.id/. Wahyuni (2001). Cara Praktis Mengasuh Dan Membimbing Anak. Yogyakarta : PT. Pioner Jaya diunduh dari http://digilib.uin-suka.ac.id/5575/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf Wahyuningsih. (2008). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja. Diunduh dari http://uny.ac.id/ html Yusuf, H.S.(2004). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. http://Anak Yang Tumbuh Dan Dibesarkan OrangTua Lengkap Lebih Cerdas? Bidanku.comhttp://bidanku.com/anak-yang-tumbuh-dan-dibesarkan-orang-tualengkap-lebih-cerdas#ixzz3h9Xid1SB http://m.kompasiana.com/www.savanaofedelweiss.com/kualitas-pendidikan-indonesiarefleksi-2-mei_5529c509f17e610d25d623ba.