PERBANDINGAN WACANA-WACANA ANTIKOLONIAL DALAM TEKS SYAIR RAJA SIAK DAN SYAIR PERANG MENGKASAR Bagus Kurniawan
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan wacana antikolonial yang dibuat oleh orangorang terjajah (Siak dan Goa) untuk dominasi praktis menantang pemerintahan Nederland Indie-. Syair Raja Siak dan Syair Perang Mengkasar teks refleksi dari dominasi kolonial yang menyebabkan orang terjajah menjadi sebagai objek kolonial. Di otherside, pemerintah Nederland Indie-mengambil posisi sebagai subjek. Hubungan ketidakseimbangan antara pemerintah Nederland Indie-dengan masyarakat terjajah disebabkan oleh binair pertentangan. Pada akhirnya, kondisi yang tidak adil menyebabkan resistensi terhadap resiko orang untuk praktek kolonial. Perlawanan dilakukan dengan teks antikolonial adalah cara untuk menantang superioritas pemerintah kolonial. Syair Raja Siak dan Syair Perang Mengkasar yang teks berisi paradigma antikolonial. Teks ini, dijelaskan cara untuk membangun kekuatan ideologi sama dengan hubungan antara pemerintah kolonial dengan orang. Ada kesamaan antara kedua masyarakat perwakilan dalam teks tersebut. Namun demikian, ada perbedaan antara orangorang bila dibandingkan. Kata kunci: perbandingan, wacana antikolonial, Syair Raja Siak, Syair Perang Mengkasar
1. Pendahuluan Kawasan Asia Tenggara memainkan peran penting antara abad ke-15 sampai dengan abad ke-17 dalam bidang perdagangan rempahrempah. Perluasan perniagaan global abad ke-16 yang panjang, sangat memengaruhinya sebagai sumber rempah-rempah yang dibutuhkan oleh dunia internasional dan kawasan maritim yang melintang di sepanjang rute perdagangan. Asia Tenggara merupakan kawasan yang paling dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas maritim Cina pada permulaan abad ke-15. Kawasan ini merupakan sumber rempah-rempah, terutama lada yang menarik minat bangsa Spanyol berlayar ke Amerika dan Filipina, serta orang Portugal berlayar ke India sampai Asia (Reid, 2004: 3 - 4). Mengembangkan alur pemikiran di atas, dapat disimpulkan salah satu daerah tujuan bangsa Barat adalah Asia Tenggara. Oleh
58
karena itu, pada umumnya bangsa-bangsa di Asia Tenggara pernah mengalami penjajahan, kecuali Thailand (Lapian, 1975: 2). Sebagai salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara, Indonesia mengalami penjajahan mulai abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20. Dalam kurun waktu itu, bangsa Indonesia terpengaruh oleh bangsa kolonial pada berbagai dimensi. Kontak masyarakat bumiputra dengan kaum kolonialis Belanda tercermin di dalam dunia kesusastraan. Kasuskasus semacam itu terdapat dalam dua periode kesusastraan, yakni sastra lama dan sastra modern. Pada kesusastraan modern, kehidupan zaman kolonial dicerminkan oleh sastrawansastrawan yang berasal dari kaum terpelajar hasil Politik Etis Belanda. Sebagai contoh, sastrawan-sastrawan, seperti M. Yamin, Abdul Moeis, Marah Rusli, Soewarsih Djojopuspito, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan para sastrawan yang mengenyam pendidikan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Belanda. Pada sisi yang lain, pada khazanah sastra lama di Indonesia, gambaran kehidupan zaman kolonial ditulis oleh pujanggapujangga istana maupun penyalin naskah yang mengalami kontak dengan kehidupan zaman kolonial. Adanya kontak antara kaum kolonial dengan masyarakat bumiputra seringkali melahirkan pertentangan antara kekuatan dominan dengan pihak terjajah. Secara fisik, pergesekan di antara keduanya melahirkan perlawanan dengan senjata. Namun, pertentangan di antara kaum penjajah dengan pihak terjajah juga meluas ke wilayah sosial dan budaya. Di dalam kebudayaan, dalam hal ini kesusastraan, friksi-friksi yang timbul akibat persinggungan kedua belah pihak tersebut berujung pada bangkitnya visi perlawanan pada tradisi sastra masyarakat terjajah. Di dalam bidang kesusastraan, terdapat sebuah upaya perlawanan dari masyarakat terjajah terhadap wacana-wacana kolonial yang terbangun oleh kekuatan dominan (Belanda). Dengan mengikuti gagasan di atas, dapat dikatakan bahwa teks-teks sastra Melayu klasik yang merespons adanya proses kolonisasi mempunyai daya tarik yang khas. Ada visi-visi perlawanan terhadap kekuatan kolonial yang tercermin di dalam teks yang dapat dikategorikan sebagai sebuah nilai yang berbeda dengan karya-karya sastra lainnya. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa ada suatu visi perlawanan di dalam karya sastra klasik sebagai wacana tandingan terhadap dominasi kolonial. Dari sejumlah teks-teks klasik, teks yang memiliki visi antikolonial antara lain Syair Raja Siak (selanjutnya ditulis SRS), Syair Perang Siak, Syair Perang Banjarmasin, Hikayat Perang Sabil, dan Syair Perang Mengkasar (selanjutnya
disebut SPM). Di dalam dua teks yang disebut pertama dan terakhir tersebut terdapat sebuah genesis penciptaan karya yang hampir sama. Maksudnya, teks SRS dan SPM diciptakan pada suatu keadaan sosial politik yang hampir sama, yaitu saat istana-istana yang diwakili oleh teks diambang kemunduran yang disebabkan kolonialisasi Belanda. Selain itu, situasi perang yang tergambar di dalam teks juga menunjukkan kesamaan, yaitu ada motif-motif devide et impera yang terlihat di dalam teks. Di dalam teks SRS, devide et impera terjadi pada dua putra Raja Siak yang memperebutkan tahta kerajaan sedangkan di dalam teks SPM, motif-motif devide et impera terlihat pada saat Kerajaan Goa diadu dengan Buton, Bugis, dan Ambon. Oleh karena itu, teks SRS dan SPM dikaji dalam perspektif sastra bandingan. Berdasarkan studi katalog, naskah SRS terdapat di Belanda dan Indonesia, sedangkan dalam bentuk mikrofis terdapat di Universiti Malaya, Malaysia. Di negeri Belanda, teks SRS terdapat pada dua naskah, yaitu naskah dengan judul Syair Perang Siak yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan kode KL 153 dan KL 154. Di Indonesia, naskah SRS tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode W 273 (lihat van Ronkel 1909: 349; Sutaarga, 1978: 242; dan Behrend, 1998: 333). Naskah tersebut masih dalam kondisi dapat terbaca dengan baik. Naskah yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah naskah SRS berkode W 273 yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Alasan utama pemilihan naskah berkode W 273 berpijak pada keterjangkauan maupun faktor material naskah yang masih utuh, terbaca, dan menceritakan teks dari awal hingga akhir tanpa ada bagian naskah yang hilang selembar pun. Selain itu, naskah W 273 merupakan satu-satunya naskah
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
59
SRS yang terdapat di Indonesia sehingga naskah tersebut merupakan naskah yang paling mudah dijangkau. Berdasarkan hal tersebut, maka naskah W 273 meskipun mempunyai varian/ versi diperlakukan sebagai naskah tunggal. Berdasarkan asumsi di atas, metode penyuntingan yang digunakan adalah metode kritis. Metode kritis adalah metode dengan menerbitkan suntingan naskah dengan mengadakan sejumlah perubahan-perubahan ejaan untuk memudahkan pembacaan (Baried dkk.. 1994: 67 dan Robson, 1994: 24). Akan tetapi, metode ini juga tidak diterapkan dengan beberapa pertimbangan. Artinya, untuk memudahkan pembaca, sejumlah perubahan yang dilakukan hanya meliputi kapitalisasi nama-nama tempat, nama tokoh, penyebutan nama Tuhan, dan kapitalisasi awal kalimat. Metode transliterasi yang dipakai adalah sistem transliterasi Arab-Latin menurut Chamamah Soeratno (1991: xii) dengan beberapa penyesuaian. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk mengakomodasi fonem-fonem [c], [p], [g] yang tidak ada dalam tulisan Arab. Oleh karena itu, untuk fonem-fonem tersebut ditransliterasikan menurut sistem yang ada dalam buku Tata Bahasa Melayu (van Wijk, 1985: 11 - 12) . Pada sisi yang lain, naskah Syair Perang Mengkasar terdapat di perpustakaan koleksi School of Oriental and African Studies dengan kode naskah ms. 403204 (Ricklefs & Vorhoeve, 1977: 163), sedangkan satu lagi berada di Universitas Leiden dengan nomor Cod. Or. Bibl. Lugd. 1626 (Juynboll, 1899: 12). Naskah yang digunakan di dalam penelitian ini adalah suntingan C. Skinner yang terdapat pada buku Syair Perang Mengkasar (2008), yaitu suntingan teks berdasarkan naskah SOAS ms. 403204.
60
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, bagaimanakah deskripsi dominasi kolonial yang ada di dalam teks SRS dan SPM, serta perbandingan di antara keduanya? Kedua, dalam dimensi-dimensi apa saja dominasi kolonial yang ada di dalam teks SRS dan SPM diungkapkan dan sejauh mana dominasi kolonial itu dilawan oleh negeri terjajah? 2. Mazhab Amerika Sastra bandingan merupakan salah satu disiplin baru yang belum banyak mendapat perhatian besar dari peneliti sastra. Di dalam praktiknya, kemunculan studi sastra bandingan terasa kurang mendapat perhatian dari para peneliti sastra. Meskipun demikian, diakui pula bahwa disiplin ini merupakan suatu disiplin yang mempunyai wilayah dan bidang kajian yang sangat luas. Untuk itu, kehadiran disiplin ini perlu untuk dikembangkan sebagai suatu kekayaan khazanah sastra Indonesia. Dalam khazanah sastra bandingan, dikenal dua aliran besar yang berpengaruh sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra bandingan, yakni aliran Perancis dan Amerika (Muslikh, 1996: 7; bandingkan dengan Damono, 2005: 2; serta Saman, 1986: 1). Studi sastra bandingan pertama kali dipelopori oleh peneliti-peneliti sastra di Perancis. Di antaranya Jean-Marie Carre, Paul van Tieghem, dan Ferdinand Baldenspenger. Aliran studi sastra bandingan di Perancis ini terkenal dengan sebutan mazhab atau aliran Perancis. Aliran Perancis berpandangan bahwa sastra bandingan adalah kajian dua karya sastra atau lebih dengan penekanan pada aspek karya sastra itu sendiri (Trisman, dkk., 2003: 3; lihat juga Saman, 1986: 1). Dengan kata lain, fokus kajian dalam aliran Perancis ini adalah membandingkan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
karya sastra dengan karya sastra yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa menurut mazhab Perancis, studi sastra banding adalah perbandingan antara karya sastra dengan karya sastra dengan fokus kajian mendapatkan kesimpulan siapa memengaruhi siapa. Pengaruh yang diteliti tidak hanya berupa persamaan antara satu karya dengan karya yang lain, tetapi dapat juga berupa penolakan dan pengingkaran. Artinya, di dalam mazhab Perancis, penelitian sastra banding cenderung ke arah pencarian hipogram. Oleh karena itu, ruang lingkup kajian dalam mazhab ini dianggap sempit, tidak memberikan wilayah yang cukup bagi sebuah karya sastra untuk diapresiasikan dengan wilayah disiplin di luar konteks sastra, seperti ilmu sosial, filsafat, seni, agama politik, dan sebagainya.
karya daripada mazhab Perancis.
Berbeda dengan hal itu, mazhab Amerika mempunyai gagasan dan pandangan yang berbeda dengan mazhab Perancis, walaupun sebenarnya gagasan aliran Perancis menjadi dasar bagi aliran Amerika. Apabila mazhab Perancis terfokus pada kajian antara dua karya sastra atau lebih dan terhenti pada tujuan siapa mempengaruhi siapa, maka dalam mazhab Amerika tidak terhenti pada wilayah itu, hal itu diperluas. Penelitian sastra bandingan tidak hanya terbatas pada perbandingan karya sastra dengan karya sastra yang lain dan mencari pengaruh satu dengan yang lain, tetapi jauh lebih luas dari itu. Perbandingan dapat dilakukan antara karya dengan karya tanpa harus terfokus pada gagasan siapa memengaruhi siapa, satu memengaruhi corak karya yang mana, akan tetapi dapat melakukan perbandingan karya dengan karya dan atau karya dengan wilayah disiplin yang lain. Dengan demikian, mazhab Amerika memberikan kelonggaran dan keluasan dalam skema berpikir untuk melakukan perbandingan
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diambil sebuah simpulan bahwa terdapat ukuran-ukuran yang konseptual dalam mendefinisikan konsep geopolitik Barat dan Timur. Namun, perlu juga dikemukakan konsep yang mendikotomi konsep Barat dan Timur itu melalui konfigurasi yang diciptakan oleh Barat. Artinya, seperangkat sistem yang digunakan untuk memetakan Barat dan Timur dikonstelasikan melalui prasangka, kepribadian, ukuran, paradigma, dan ego Barat. Oleh karena itu, dikotomi Barat dan Timur merupakan konsep geopolitik yang diciptakan oleh Barat untuk memisahkan ego Barat dengan Timur yang disebut dengan the other (sang lain).
3. Teori Poskolonial Hubungan antara Barat dan Timur merupakan hubungan yang bersifat dikotomis. Melalui dikotomi tersebut, Barat selalu diidentifikasikan sebagai ras yang unggul, kuat, cerdas, dan superior. Di lain pihak, Timur distereotipkan sebagai bangsa yang lemah, bodoh, dan inferior. Tipe-tipe hubungan tersebut juga didukung Said (2001: 7) yang menganggap hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Selanjutnya, terdapat sebuah konsep “Timur” ditimurkan tidak hanya karena ia didapati dalam keadaan “bersifat Timur”, tetapi ia juga dapat dijadikan Timur.
Mobilisasi dikotomi yang dikembangkan bangsa Barat berkaitan erat dengan kesadaran baru Eropa. Gagasan identitas ego Eropa sebagai identitas yang lebih unggul dibandingkan dengan semua bangsa dan budaya non-Eropa merupakan paradigma kolektif (Said, 2001: 9). Adanya kesadaran ego
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
61
Eropa mengenai keunggulannya dalam segala hal terhadap dunia Timur juga menimbulkan pengingkaran-pengingkaran terhadap sejumlah sumber-sumber peradaban Eropa yang berasal dari tradisi Islam. Citra tentang keunggulan peradaban Eropa dan pelabelan bangsa Timur sebagai kaum inferior pada akhirnya telah menjadi bagian kolektif yang menyatu dalam struktur berpikir bangsa Barat. Akibatnya, timbul pandangan egois dari bangsa Barat yang memosisikan peradaban Barat sebagai peradaban teladan bagi seluruh dunia dan Eropa adalah pusat dunia. Imaji yang terbangun kemudian adalah peradaban Eropa merupakan suatu kreativitas brilian yang orisinal dan tidak terbangun di atas peradaban lama (Islam), serta tidak mengenal batas ruang dan waktu. Oleh karena itu, peradaban Eropa adalah peradaban ideal yang menjadi teladan bagi peradaban lain dan mewakili peradaban dunia (Hanafi, 2000: 131). Paradigma kolektif bangsa Barat terhadap Timur senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Termasuk pula dalam hal ini ketika bangsa Barat (Eropa) tengah mengalami masa transisi ke arah era industri modern. Berbagai politik kepentingan dikampanyekan untuk mendukung upaya imperialisme Barat terhadap dunia Timur. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael Doyle (dalam Said, 1995: 14) imperium adalah suatu hubungan, formal ataupun informal dengan kondisi suatu negara menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu bisa dicapai dengan paksa melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, sosial, atau budaya. Tentu saja, pola-pola hubungan tersebut dikonstruksi oleh logika kolektif masyarakat Eropa terhadap dunia Timur.
62
Adanya kesadaran baru Eropa yang mengidentifikasi ego Eropa sebagai ras yang unggul dibandingkan Timur memosisikan Barat dapat berdiri dengan gagah sebagai pemimpin dunia. Kepemimpinan yang dikembangkan Barat dapat meliputi berbagai dimensi, seperti politik, sosial, ekonomi, bahkan dalam peradaban. Oleh karena itu, terdapat hegemoni gagasan-gagasan Eropa mengenai dunia Timur yang mengulangi pernyataan mengenai keunggulan Eropa atas keterbelakangan Timur sehingga menutup peluang adanya pandanganpandangan yang berbeda mengenai masalah ini dari pemikir-pemikir yang lebih independen (Said, 2001: 9). Jatuhnya pusat perdagangan Eropa di Konstantinopel pada tahun 1453 ke penguasa Islam turut serta mendorong pelaut-pelaut Eropa mencari jalan baru ke dunia Timur India dan kepulauan rempah-rempah Nusantara (Djafaar, 2007: 17 - 18). Hal itu karena sejak jatuhnya Konstantinopel ke penguasa Islam, pasokan rempah-rempah menjadi tersendat sehingga mengakibatkan harga rempah-rempah di pasaran Eropa melonjak. Untuk mengatasi hal itu, bangsa Barat berusaha mencari daerah penghasil rempah-rempah. Usaha bangsa Eropa (Barat) mencari daerah penghasil rempah-rempah dimulai pada abad ke-16 ketika dimulainya petualangan pelaut-pelaut Eropa ke dunia Timur. Kredo yang dipakai saat itu adalah misi kekayaan, kejayaan, dan pemberadaban bangsa Timur. Penaklukan Timur oleh Barat dalam pandangan ego Eropa bukanlah suatu upaya barbar, tetapi sebuah upaya untuk membawa negara terjajah dari masa prasejarah ke masa sejarah, dari kegelapan menuju cahaya, dan dari tiada menuju ada (Hanafi, 2000: 162). Sepihak dengan pendapat Hanafi di atas, Gramsci (Pozzolini, 2006: 154) memercayai bahwa
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
setiap negara penjajah menyatakan kebijakan kolonialnya selalu membawa peradaban bagi negara terjajah. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi yang sesungguhnya, proses yang tampak dari usaha-usaha bangsa Barat lebih mencerminkan penaklukan dan terjadi demi perhitungan ekonomi, bukan demi misi pemberadaban. Konsep tersebut merupakan pandangan yang penuh bias kultural, suatu usaha untuk bersembunyi dari dalih penjajahan Kolonialisme diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Dalam membentuk permukimam baru, terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru. Kadang-kadang, pembentukan koloni baru ini ditandai dengan usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas–komunitas yang sudah ada dengan melibatkan politik-politik perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan (Loomba, 2003: 2). Sistem penguasaan ini umumnya ditandai dengan kewajiban daerah-daerah koloni membayar pajak atau upeti kepada kerajaan pusat. Gagasan di atas kembali dipertajam oleh Loomba (2003: 4) yang menyatakan kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda, dan kekayaan dari negerinegeri jajahan, tetapi kolonialisme juga mengubah struktur perekonomian mereka, menarik negeri-negeri jajahan ke dalam hubungan yang kompleks dengan negaranegera induk sehingga terjadi arus manusia dan sumber daya alam antara negara-negara koloni dengan negara kolonialnya. Arus ini bekerja dua arah. Bahan-bahan produksi, yaitu berupa bahan mentah, tenaga kerja diangkut untuk mendukung proses produksi negara induk. Oleh karena itu, dapat disimpulkan ke arah
manapun manusia dan material itu mengalir, keuntungan-keuntungannya selalu mengalir ke negara induk. Kolonialisme dalam pandangan Loomba (2003: 2) menolak adanya sebuah proses identik dalam berbagai bagian dunia yang berbeda. Akan tetapi, di lain pihak, dimana pun kolonialisme tumbuh selalu terjadi hubunganhubungan yang paling kompleks dan traumatis dalam sejarah manusia antara para penduduk bumiputra dengan para pendatang baru. Proses membentuk sebuah komunitas dalam negeri baru tentu berarti membubarkan atau membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada di negeri-negeri jajahan. Selain itu, terjadi praktik-praktik, termasuk perdagangan, penjarahan, negosiasi, perang, pembunuhan, perbudakan, dan juga pemberontakan. Melanjutkan pendapat di atas, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa kolonialisme mengakibatkan timbulnya efekefek tertentu terhadap penduduk bumiputra. Kolonialisme tidak akan terlepas dari sebuah upaya perampasan harta benda maupun suatu bentuk dominasi-dominasi kebudayaan. Efekefek yang ditimbulkan akibat praktik-praktik kolonialisme itu dapat terlacak melalui dunia tekstual, termasuk dalam pengertian ini dunia karya sastra. Studi-studi sastra akan memainkan peran kunci dalam proses penyampaian nilai-nilai Barat kepada pihak bumiputra, mengonstruksi budaya Eropa sebagai kebudayaan unggul, dan sebagai ukuran untuk nilai-nilai manusia sehingga berguna untuk mempertahankan pemerintahan kolonial (Loomba, 2003: 113). Selain itu, kesusastraan dan budaya sama sekali tidak antitesis terhadap lingkungan politis, tetapi sentral terhadapnya. Kesusastraan bandingan mengakui adanya interaksi yang mendalam dari berbagai literatur dan budaya
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
63
itu terorganisasi secara hierarkis dan asumsi sentralnya adalah Eropa berada di pusat dunia. Berkaitan dengan uraian di atas, kesusastraan pada masa kolonial merupakan elemen penting sehingga pantas untuk ditelaah dalam memahami wacana-wacana kolonial. 4. Perbandingan Wacana-wacana Tandingan di dalam Teks SRS dan SPM 4.1. Penciptaan Wacana Tandingan dalam Teks SRS dan SPM Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mencoba menekan negeri-negeri terjajah dari berbagai dimensi. Oleh karena itu, ada sebuah upaya untuk melakukan perlawanan dalam wilayah fisis antara masyarakat Siak dan Makasar terhadap Belanda. Kekerasan yang diciptakan Belanda ketika menginvasi negeri-negeri terjajah telah mengubah bentukbentuk wilayah sosial, wilayah fisis, bahkan identitas manusia. Maka dari itu, untuk melawan belenggu penjajahan, masyarakat Siak menciptakan identitas-identitas tandingan yang kuat bagi rakyat terjajah sebagai wadah untuk mengartikulasikan energi antikolonial. Perimbangan tersebut menyiratkan ada sebuah dinamika dalam masyarakat terjajah. Bagaimanapun, rakyat Siak dan Makasar (Goa) telah melakukan pergerakan-pergerakan fisik untuk menghimpun kekuatan antikolonial. Artinya, ada sebuah peralihan dari keterasingan ke pemberontakan sehingga menimbulkan efek khusus, yaitu kesadaran antikolonial. Di dalam konteks ini, perlawanan-perlawanan antikolonial itu mempunyai bentuk yang bermacam-macam dan melalui saluransaluran ideologis yang berbeda. Di dalam teks, perlawanan antikolonial yang paling nyata adalah perang melawan penjajah. Namun di sisi lain, perlu dikemukakan perlawanan masyarakat Siak dan Makasar terhadap
64
pemerintahan kolonial tidak hanya melalui perang fisik, tetapi juga dalam aspek nonfisik. Di dalam teks SRS dan SPM terangkum nilai-nilai atau pandangan pengarang yang cenderung meniupkan gagasan antikolonial. Perjuangan-perjuangan antikolonial masyarakat Siak dan Makassar dimulai dengan menciptakan identitas-identitas baru yang kuat bagi rakyat terjajah. Untuk mencapai maksud tersebut, diperlukan konsep yang dapat merangkum gagasan perlawanan yang mampu menyatukan kekuatan antikolonial dalam tataran politis, intelektual, dan emosional. Mobilisasi perlawanan dapat ditingkatkan bila pemimpin menggunakan ideologi religius dan kepentingan sosial (rasial) untuk memperkuat jiwa perjuangan dan solidaritas sosial kelompok (Kartodirdjo, 1999: 371). Untuk mengakumulasikan energi-energi antikolonial itu, di dalam teks SRS dan SPM, konsep yang mampu menjembatani persoalan itu adalah ikatan primordial. Oleh karena itu, identitas kesukuan dapat dikatakankan sebagai wadah yang cukup representatif untuk menyatukan energi-energi antikolonial pada semua tingkat. Di dalam teks SRS, identitas primordial rakyat Siak terdapat dalam kutipan berikut.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
sekalian jenis ada belaka ramailah orang berniaga ramainya bukan lagi kepalang datangnya itu tidaq berselang gegap dan elok tidaq terbilang lonceng penjajanya dengan pencalang tiang salah2 belah semangka selub dan kaci ada belaka datangnya tidaq lagi berhingga berapa sekuci dari Malaka ramainya lagi bukan buatan masanya nermana negeri
sampai sekarang jadi sebutan serta utusan dari Kompeni wartanya masyhur sampai ini segala lurung pekan pasar serta adil dengan bicara tidaqlah boleh meluluskan diri banyaqnya tidaq lagi terperi banyaqnya tidaq terpermana berniaga sekalian mulya dan hina sangat menjelas penglihatan tidaq sekali yang kejahatan mendirikan daulat yang kemulyaan serta pasar dengan kesukaan
sebab ‘adil Baginda Sulthan datanglah dagang dari sana sini mengadap Baginda Sulthan yang ghoni ramainya negeri tidaq terkira tidaklah lagi yang huru-hara lurung sampai kanan dan kiri budaq pejaja yang gahari berapa kedai Keling dan Cina sekalian dagang ada di sana kerajaan baginda di negeri hutan perintahnya ‘adil dengan perbuatan
tiang kerajaan dengan lima puluh bersamaan (SRS, hlm. 7)
Sedangkan pada teks SPM, ikatan primordial yang dicoba untuk diungkapkan sebagai berikut. Baginda itulah raja yang saleh Daripada awal sudah terpilih Membaca Quran sangatlah fasih Beroleh pangkat yang amat lebih
Cahaya durjanya gilang gemilang Raja berani sangat bertuah Hukumnya ‘adil kalbunya murah Segenap tahun zakat dan fitrah Fakir dan miskin sekalian limpah
Tuanku Sultan yang amat sakti Akan Allah dan Rasul sangatlah bakti Suci dan ikhlas di dalam hati Seperti air ma’al hayati
Sultan di Goa raja yang sabar Berbuat ibadat terlalu gemar Menjauhi nahi mendekatkan amar Kepada pendeta baginda berajar (Skinner, 2008: 77)
Daulatnya bukan barang-barang Seperti manikam sudah dikarang Jikalau dihadap segala hulubalang Dalam perkembangan selanjutnya, ikatan primordial yang dirumuskan dalam teks mencoba membangkitkan nilainilai etnosentrisme. Rasa etnosentrisme yang ditiupkan akan menimbulkan efek legitimasi yang kental terhadap perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Tanpa adanya rasa kebanggaan etnosentrisme yang kuat, perlawanan antikolonial akan
mudah dipatahkan. Sebaliknya, sebuah perjuangan antikolonial tidak akan mudah padam jika terdapat etnosentrisme sehingga membangkitkan semangat perlawanan rakyat yang menyala-nyala. Oleh karena itu, tumbuhnya etnosentrisme juga akan menghasilkan dukungan seluruh negeri Siak terhadap Sultan Siak dan Sultan Makasar dalam perang kolonial.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
65
4.2. Wacana Agama sebagai Identitas Perlawanan dalam Teks SRS dan SPM Di dalam konteks masyarakat Siak dan masyarakat Goa, terdapat faktor penting yang berperan menciptakan identitas kesukuan sebagai saluran antikolonial. Mengacu pada pendapat di atas, faktor sosial merupakan faktor yang memegang peranan penting. Oleh sebab itu, faktor sosial tidak dapat dikesampingkan sebagai elemen yang penting dalam menciptakan identitas nasional. Identitas yang berperan penting dalam menciptakan visi antikolonial adalah identitas religius. Identitas tradisional lazimnya mempunyai batasan primordial, ikatan desa, keluarga, dan agama (Kartodirdjo, 2005: 5). Di dalam teks, identitas religius yang tercermin sebagai elemen pembentukan identitas antikolonial adalah Islam. Hal itu dapat dibuktikan melalui corak agama di Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa. Kerajaan Siak dan Goa merupakan negeri yang terletak di daerah pesisir dan mempunyai akses perdagangan yang memadai. Berawal dari pemikiran tersebut, ada titik temu yang kuat di antara hal-hal di atas. Adanya corak dan jiwa Islam telah menguntungkan Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa untuk membangkitkan semangat perlawanan antikolonial. Hal itu disebabkan di dalam ajaran Islam penjajahan merupakan suatu hal yang diharamkan. Selain itu, setiap penindasan di dalam Islam harus dilawan dan mendapatkan surga sebagai ganjaran atas perjuangan hal itu. Pentingnya peran Islam dalam menciptakan identitas perlawanan tercermin dalam kutipan berikut. Allah dan Rasul tiadalah radhi berbuat khianat jangan sekali Mengikut jumlah Baginda Ali kerjakan perang syahid sekali Janganlah kamu berbuat salah memuhunkan rachmat kepada Allah Dirikan syariat Rasulullah perintahkan ra’yat dengan chukum Allah Baik2 budi bicara baginda bertitah kepada putra Lebih kurang jangan berkira hendaqlah mufaqat bersaudara (SRS, hlm.17) ............ Alat pakaian raja bangsawan Mendirikan tunggul berbagai warna Mendirikan tunggul tanda alamat Perang sabil sekalian umat Mengatur jalan sekalian senjata/h/ Adalah bagai di dalam kuta Sigapnya terbang bagai Kepada kakanda mengambur bahana Kelengkapan siap sekalian rata Esok hari hilirlah kita Sekalian tunggul sudah terdiri Berangkatlah Sulthan Raja Bestari Bagai harimau lepas tangkapan Dayung seperti jari lipan
66
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Tunggulnya hitam tidaq berwarna Sekalian pegawai yang hina dina Kenaikkan baginda merapat Al Rahmat Dengan safa’at Bani Muhammad Ditentang2 gegak gempita Akan kenaikkan duli mahkota Sekalian ‘alat sudah terkena Lalu bertitahlah duli yang ghana Mana kala bergerak kita Insyaallah jangan tuanku bercinta Setelah keesokan hari Dipalu kendang ditiup napiri Ditentang2 rupa kelengkapan Tunggul terdiri gemerlapan
Dibungkarlah sauh penjajab sekaliannya Ada yang dahulu ada yang kemudian Terdirilah tanggul beralma Dipandang bagai naga bercula Isi negeri ramai memandang (SRS, hlm. 33)
Lalu dipalu gung sama bunyinya Kholifah Allah di dalam kemulyaan Berangkatlah Sulthan Raja yang ghana Hilirlah kepada ketika kala Berangkatlah dengan serunai dan kendang
Pada teks SPM, identitas religius yang tampak adalah sebagai berikut. Setelah sudah selesai pujinya Shalawat pula akan nabinya Di sanalah asal mula tajjalinya Kesudahan tempat turun wahyunya Muhammad itu nabi yang khatam Menghadap ke hadrat rabb al alam Sungguhpun dahulu nyatanya (kelam) Daripada pancarnya sekalian alam Salawat itu masyur lafaznya Telah termazkur pada makhluknya Allahumma salli alaihi akan agamanya Di sanalah nyata sifat jamalnya (Sinner, 2008: 77 - 78) Selanjutnya, faktor Islam juga berperan dalam dimensi yang lain. Tidak hanya dipahami sebagai suatu keyakinan religius masyarakat, tetapi juga merupakan faktor identitas religius yang turut menentukan dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Tidak hanya itu saja, ajaran Islam pada waktu yang lebih kemudian merupakan api semangat perlawanan. Hal itu tampak di dalam teks yang menyatakan mengerjakan perang sabil merupakan tindakan yang mulia (SRS, hlm. 30; bandingkan SPM, hlm. 76). Tampaknya, komunitas-komunitas Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa mendapatkan sarana untuk memperkuat ikatan primordial mereka. Selain itu, melalui elemen rasial (suku), Siak dan Goa telah mampu merapatkan barisan perlawanan. Ikatan kebangsaan mencapai titiknya yang paling fundamental ketika ikatan rasial itu berpadu dengan identitas religius sehingga semakin mempererat rasa kebangsaan rakyat Siak dan rakyat Goa. 4.3. Penciptaan Pahlawan Lokal sebagai Identitas Perlawanan dalam Teks SPM dan SRS Kekuatan senjata pemerintah kolonial Hindia-Belanda merupakan ancaman terhadap kubu pertahanan Siak dan Kerajaan Goa. Sebagai ilustrasi, kapal-kapal pemerintah Kerajaan Belanda sejak abad ke-17 telah memiliki teknologi persenjataan 36 pound dan umumnya 24 pound
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
67
(Boxer, 1983: 80). Taylor (2003: 148) dengan lebih rinci menjelaskan kapal-kapal Belanda ratarata berukuran 55 meter dan dilengkapi dengan tiga tiang kapal, beberapa dek, dan seratus awak kapal. Pada umumnya kapal-kapal tersebut dipersenjatai dengan 28 meriam, 8 senapan mesin, dan beberapa senapan. Meskipun setelah masa itu terjadi beberapa kemunduran, seperti kurangnya tenaga pelaut-pelaut yang unggul, tetapi hal itu dapat diminimalisasikan melalui keunggulan senjata tentara pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Adanya kesadaran inferioritas armada tempur Siak dan Kerajaan Goa terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda memaksa pihak Siak dan Kerajaan Goa menandingi wacana kolonial dengan rasa nasionalisme antikolonial. Sebagai manifestasi, maka diciptakan pahlawan lokal yang mampu menandingi wacana kolonial dalam dunia imajinasi. Kemunculan pahlawan lokal itu mempunyai tujuan sebagai simbol perlawanan rakyat Siak dan rakyat Goa. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut. Kepada makuta Sri Rama ia matu Panglima Kulub gapit tertentu Hatinya keras seperti batu Bersama2 dikenaikkan itu Sebar tua jika hatinya mampat Dengan ... jadi berempat Pertikam di dalam penuh dan tempat Di dalam kenaikkan raja bershipat Menantu marhum yang telah madhi Panglima besarnya Tengku Muhammad Ali Mengadapi lawan sediakan tali Saudara sepupu ke bawah duli Laqsana garuda akan menyambar Kenaikkan bergelar medan shabar Ditentang selaku Pulau Ambar Bangsawan bergapit berbambar Sekalian baharu rumaja putra Bangsawan bergapit dua bersaudara Andalan marhum Indrapura Dipinang2 di dalam bicara Dengan jemalang gantung bertimbulan Harimau buas dua bertaulan Akan panglimanya Bujang Sembilan Di haluan medan shabar andalan Panglimanya orang handalan Gapit tambalan Bujang Sembilan Ditentang selaku kuat berjalan Dengan panglimanya bujang bertambalan Kenaikkan lawan disebut orang Adapun akan Tengku Pedang Sukar dicari bandingannya karang Jikalau zaman sekarang Sikapnya seperti harimau jantan Tengku Abdullah saudara sulthan 9 Jandu marhum mangkat di Buantan Cantik menjelas penglihatan Hatinya tidaq dapat diperikan Telah masyhur kalau kenaikkan (SRS, hlm. 27) Kutipan pada SPM juga menunjukkan pencitraan pahlawan lokal Goa dalam citra-citra yang hampir sama, dapat diperjelas dengan kutipan di bawah ini. Berbunyilah nobat genderang pekanjar Sultan di Telo’ melompat berkanjar Bercakap di hadapan Sultan yang besar Bone itu patik melanggar Segala hulubalang baginda Sultan
68
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Sikapnya itu seperti harimau jantan Bercakap di hadapan baginda Sultan Bone itu sungguh aku lawan Sultan di Telo raja yang majelis Baginda bercakap melanggar Bugis Segala yang mendengar habis menangis Seraya menyumpah Bugis iblis (Skinner, 2008: 94) ..... Keraeng Jaranika melihat Welanda Baginda mengamuk seraya berkuda Rupa sikapnya seperti garuda Ia berani berbentengkan dada Keraeng Patunga upama Gatotkaca Sikapnya seperti Sang Jaya Amarta Sungguhpun orangnya tidak berapa Melihat musuh hendak diterpa (Skinner, 2008: 118) Secara eksplisit, kutipan di atas memberikan gambaran persamaan penggambaran tokoh pemimpin-pemimpin Siak dan Goa memiliki kecakapan individual yang hebat. Sebagai contoh, di dalam teks tokoh Tengku Abdullah dikiaskan seperti harimau jantan yang lepas dari tangkapan, Tengku Muhammad Ali dicitrakan kegagahannya seperti halnya seekor garuda yang akan menyambar, dan beberapa tokoh lain yang digambarkan serupa sedangkan pada Kerajaan Goa juga mencitrakan hulubalang-hulubalang Sultan Goa dapat diibaratkan sama dengan hulubalang Kerajaan Siak, yaitu harimau jantan dan garuda. Tidak adanya sedikit pun rasa gentar pada sikap pemimpin-pemimpin Siak dan hulubalang Kerajaan Goa terhadap Belanda mengisyaratkan pengarang teks mencoba membangun wacana tandingan yang berupa pahlawan lokal. Kehebatan kekuatan militer pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang memang jauh lebih unggul dibandingkan dengan Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa dicoba untuk diminimalisasikan dalam teks melalui pencitraan pemimpin Siak dan pemimpin-pemimpin Kerajaan Goa dengan legitimasi kekuatan individual yang dahsyat. Dari pencitraan pemimpin-pemimpin Siak dan Kerajaan Goa tersebut, terlihat ada sebuah upaya yang sama, yaitu mengarahkan penciptaan pahlawan lokal sebagai simbol perlawanan oleh pengarang teks. Namun, satu hal yang jauh lebih penting untuk dipahami adalah pencitraan pahlawan lokal itu bertujuan memercikkan api perlawanan terhadap pemerintah kolonial HindiaBelanda. Oleh karena itu, konsep pahlawan lokal yang terbangun merupakan konsep yang tidak dapat dipandang remeh.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
69
Salah satu media yang paling mudah untuk mengakomodasi tujuan itu ialah melalui pencitraan pahlawan lokal. Hal itu penting untuk memompa perlawanan rakyat Siak dan rakyat Goa. Paling tidak pencitraan pahlawan lokal yang memiliki keluarbiasaan sanggup membentuk wacana tandingan dalam wilayahwilayah fisis. Dapat disimpulkan tujuan pembentukan pahlawan lokal merupakan suatu upaya menandingi kekuatan ideologis pemerintah kolonial Hindia-Belanda sehingga upaya itu dapat didefinisikan sebagai gagasan tandingan. 4.4. Ideologi Perang Sabil dalam Teks SPM dan SRS Pembentukan wacana antikolonial yang dimaksudkan dalam uraian di atas akan merujuk pada sebuah konsep yang telah diatur dalam Islam, yaitu jihad. Di dalam konsep Islam, jihad diklasifikasikan dalam tiga wilayah besar. Pertama, membela bangsa Islam dari serangan luar; kedua, membebaskan orang dari segala jenis kekuasaan yang menindas; dan ketiga, menyeru kepada umat Islam untuk menunjukkan pesan-pesan Islam kepada semua orang dalam pengertian sebagai ajakan, serta pertimbangan (Kurdi, 2000: 194 - 195). Dikaitkan dengan teks, jihad yang dimaksudkan lebih dekat pada pengertian jihad yang pertama. Serangan luar oleh musuh tentu dapat diidentifikasikan sebagai serangan Belanda ke Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa sehingga negeri tersebut berposisi sebagai pihak yang mempertahankan diri. Islam mengajarkan kepada setiap umatnya untuk mempersiapkan kekuatannya mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. kekuatan, pentingnya menjaga kedaulatan negara, dan menjaga kedaulatan politiknya.
70
Selanjutnya, seruan jihad di dalam teks SRS dan SPM dimobilisasikan untuk membentuk suatu doktrin membela bangsa dari serangan luar adalah kewajiban. Dikatakan oleh Sultan Siak bahwa berperang sahid sabili merupakan salah satu tindakan yang mengikuti warisnya (ajaran) Baginda Ali. Maka dari itu, di dalam teks citra para pemimpin Siak selalu tegas dalam mengobarkan peperangan melawan Belanda, bahkan ada seruan untuk membalas setiap serangan Belanda terhadap kubu Siak. Sebagai simbolisasi dari pemahaman itu, dapat dikemukakan seruan Sultan Siak untuk mengadu kapal Belanda dengan penjajah yang dimiliki tentara Siak (SRS, hlm. 32). Hal yang sama juga terlihat dalam teks SPM. Di dalam teks, seruan mengerjakan perang sabil dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Dibedil oleh kapitan Welanda Kenalah badan dada baginda Satu pun tidak cacat binasa Kebesaran Allah padanya nyata
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Keraeng Patene Raja yang akil Segala ra’yat disuruhnya tampil Tidaklah baginda gentarkan bedil Niatnya sangat hendakkan sabil Dilihatnya baginda tiada berpaling Dibubuhnya peluru baling-baling Dibedilnya kena pipi dan kening Baginda jatuh badan terguling (Skinner, 2008: 88) ..... Anakanda baginda datang mengadap Memeluk mencium seraya mendekap Orang pun hadir sekalian lengkap Menantikan ayahanda keluar dihadap Ayuh ayahanda ambillah beta Tiada kuasa duduk bercinta
Jikalau patut memegang senjatag Dengan sekarang sabllah kita (Skinner, 2008: 121) Sejajar dengan peristiwa dalam teks tersebut, dua cendekiawan muslim, yaitu Sayid Qutb dan Abu Al A’la Maududi (Choueiri, 2003: 276) meyatakan bahwa sungguh-sungguh untuk menempatkan jihad sebagai kewajiban agama yang paling penting. Selanjutnya, mereka menguraikan jihad merupakan kewajiban setiap laki-laki muslim, khususnya di saat agama mereka sedang berada dalam serangan gencar. Konsekuensinya, melalaikan jihad adalah suatu perbuatan dosa dan murtad. Dikaitkan dengan teks, hal yang sama juga tampak ketika Siak mendengar kabar dari Malaka dan Kerajaan Goa akan diserang oleh Belanda, maka setiap elemen kerajaan berkewajiban untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Terlihat jelas pada posisi itu pemimpin negeri-negeri terjajah tersebut memanfaatkan pemahaman kepemimpinannya sebagai seorang khalifah umat. Di dalam teks, doktrin itu diwujudkan dengan seruan serangan Belanda harus dilawan oleh seluruh isi negeri. Seluruh isi negeri yang dimaksud, yaitu para pemimpin, penghulu, ulama, tentara, dan rakyat (SRS, hlm. 26; bandingkan dengan SPM, hlm. 89). Pemahaman konsep jihad dan peran Islam sebagai identitas religius telah menghasilkan ideologi perlawanan terhadap Belanda melalui ajaran perang sabil. Hal itu tentu berhubungan erat dengan nasionalisme antikolonial yang bersumber dari dimensi agama sehingga fakta tersebut harus dipahami sebagai proses kolaborasi secara bersamasama. Islam sebagai keyakinan dan identitas religius masyarakat Siak dan Kerajaan Goa telah membentuk mental perlawanan rakyat dan membangkitkan kekuatan rakyat untuk menentang kolonialisme. Dengan demikian,
peperangan yang dipimpin oleh seorang pimpinan ulama bukanlah sekadar menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebuah tindakan yang secara spiritual bermakna sakral dan suci (Alfian, 1987: 10). Pada tingkatan selanjutnya, ketika tercipta situasi yang membutuhkan adanya perlawanan rakyat, maka salah satu ideologi perlawanan yang patut dan mudah untuk dibangkitkan untuk membangun paradigma perlawanan adalah ideologi perang sabil. Konsep perang sabil harus dipahami sebagai salah satu akar kekuatan perlawanan rakyat yang bersifat ideologis. Pada tahapan tertentu ideologi ini merupakan wacana tandingan yang paling utama di dalam teks. Bagaimana tidak, di dalam teks, perang melawan kaum kafir (Belanda) merupakan syahid di jalan Allah yang bertujuan memuliakan kebesaran-kebesaran Islam. Keberanian Belanda menyerang Siak akan dibalas dengan serangan-serangan tentara Siak sehingga berakibat Belanda berenang di lautan darah (SRS, hlm. 30). Oleh karena itu, kematian bukanlah berakhirnya kehidupan, tetapi bermulanya kehidupan yang semurninya dan seabadinya yang menjanjikan kebahagiaan yang tanpa henti (Alfian, 1987: 10). Dengan kata lain, pejuang yang gugur di medan perang mendapatkan jaminan surga. Dengan demikian, ideologi perang sabil merupakan pukulan yang hebat terhadap aksi kolonialisme Belanda. Situasi itu tercermin dalam potongan naskah berikut. Akan puji-pujian sekalian orang Terhentilah qishah Cina layak dikarang Akal nan pendapa hati ta terang Sajak ditatar Siak yang kurang Di dalam hati gundah gulana Diaturlah sajak banyak ta kenah Harabkan ampun dengan karunia Disuratkan juga sebarang guna
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
71
Tambahan badan tidaq kuasa Jangan menjadi putus rasa Segala pekerjaan duli mahkuta Membuat kubah seperti kuta Hadhir menanti kanan dan kiri Sabil Allah berlebur diri Kukuhnya bukan sebarang2 Diaturnya meriam bagai dikarang Mengadap ke hilir menanti mudik Sungguh pun paham belum belum cerdik Diaturnya meriam segenap pakai Supaya jangan bercinta pergi Bukannya padanya sekalian lanang Di laut darah niat berenang Seberang menyeberang tali dihela
Fakir menyurat belum biasa Sebab dititahkan mahkuta desa Yang ada teringat kepada cita Mengerahkan mereka sekalian rata Sekaliannya kubah sudah terdiri Niatnya sekalian isi negeri Berapa buah kubah seberang menyeberang Dengan balai medan diperbuat orang Diaturnya meriam sekalian di balik Sekalian hamba yang dibelah ipa Diperbuatnya bangunan2 terlalu tangguh Lela rentaka ditambahi lagi Bercinta pergi janganlah ia kenang Jikalau datang Wilanda meminang Talinya batangan diperbuat pula (SRS, hlm.30)
Kutipan tersebut menunjukkan perang sabil sebagai ideologi antikolonial merupakan ideologi yang mampu menggerakkan kekuatan massa. Terlebih lagi, ideologi perang sabil juga diiringi dengan wacana-wacana tandingan yang lain seperti yang telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya. Adanya mobilisasi ideologi-ideologi seperti yang digambarkan di dalam teks menunjukkan adanya suatu usaha untuk membentuk masyarakat yang militan. Diharapkan dengan terwujudnya suatu masyarakat yang militan itu, masyarakat Siak dan Goa mampu menandingi kekuatan militer pihak kolonial meskipun mempunyai keterbatasan persenjataan dan kecakapan militer. Selanjutnya, kekuatan ideologi dalam perang sabil pada akhirnya akan menuju pada perlawanan rakyat Siak dan rakyat Goa. Sesuai dengan yang dikemukakan sebelumnya, jika ideologi perang sabil sudah menjadi sebuah keyakinan, maka kematian bukanlah hal yang menakutkan, tetapi sebuah tindakan yang mulia di mata Allah. Keyakinan ini yang dipegang oleh seluruh isi negeri Siak, baik elemen istana maupun rakyat, dan para ulamanya. Perlu ditambahkan bahwa ideologi agama menjadi faktor integratif yang kuat, tidak hanya mengintegrasikan komunitas-komunitas lokal saja, tetapi juga antara daerah-daerah sehingga skala gerakan menjadi jauh lebih besar (Kartodirdjo, 1999: 373). Oleh karena itu, peperangan yang sejatinya merupakan perang kolonial berubah menjadi perang rakyat, yaitu perang yang melibatkan seluruh elemen negeri Siak. Di dalam teks peristiwa tersebut terlihat dalam kutipan berikut. Akan puji-pujian sekalian orang Terhentilah qishah Cina layak dikarang Akal nan pendapa hati ta terang Sajak ditatar Siak yang kurang Di dalam hati gundah gulana Diaturlah sajak banyak ta kenah Harabkan ampun dengan karunia Disuratkan juga sebarang guna Tambahan badan tidaq kuasa Fakir menyurat belum biasa Jangan menjadi putus rasa Sebab dititahkan mahkuta desa Segala pekerjaan duli mahkuta Yang ada teringat kepada cita
72
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Membuat kubah seperti kuta Hadhir menanti kanan dan kiri Sabil Allah berlebur diri Kukuhnya bukan sebarang2 ......
Mengerahkan mereka sekalian rata Sekaliannya kubah sudah terdiri Niatnya sekalian isi negeri Berapa buah kubah seberang menyeberang (SRS, hlm. 30)
Ditembakkan meriam gajah mata Sekalian yang mana dayung dukacita Maraknya patut bagai dipadan Sumurnya jam2 sampai ke badan Daripada dhuhur sampai kepada ashar Dibelokkannya meriam segala yang besar Bunyi meriam (SRS, hlm. 38)
Setelah dekat sampai berkata Bunyi hebat singanya gempita Bangsawan berperang sama mengedan Pelurunya seperti panah keludan Berperang ra’yat terlalu besar Kiri dan kanan kapal berkisar Berperang pun tidaq berketentuan
Bandingkan pula dengan kutipan pada SPM berikut. Sultan berangkat ke Ujung Pandang Beraraklah dengan serunai genderang Diringkan menteri dengan hulubalang Senjata dan ra’yat tiada terbilang Sempurnalah baginda jadi khalifah Sekali tewas perangnya sudah Sangat bertentu alat perintah Sekaliannya hasil tiada yang salah Sultan berangkat segera kembali Dengan segala rakyat serta menteri Ketika itu setengah hari Ra’yat mengiringkan berlari-lari (Skinner, 2008: 103) Pada tataran tertentu, mobilisasi ideologi perang sabil yang dicerminkan di dalam teks tidak hanya berfungsi memberikan wacana perlawanan, tetapi juga bahu-membahu membangun persepsi masyarakat Siak dan masyarakat Goa untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Hal ini menunjukkan wacana-wacana ideologis yang bersifat antikolonial bergerak pada wilayah emotif masyarakat terjajah. Tujuan utama yang ingin dicapai melalui proses itu ialah wacanawacana ideologis yang telah terbentuk dapat menyatukan kekuatan-kekuatan antikolonial yang terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang lebih besar, yaitu gerakan perlawanan rakyat (perang rakyat semesta). Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
73
Menyinggung pembahasan mengenai jihad, di dalam hadis-hadis menegaskan kaum muslimin selayaknya tidak mencukupkan dirinya sebagai gerakan dakwah semata, berjihad dengan kalimat, mengajarkan ilmu, mengulas sunah, membantah syubhat, dan membantah bid’ah semata. Selain itu, juga tidak hanya mencukupkan dirinya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar di tengah kaum muslimin, tetapi juga ada sebuah tuntutan untuk melaksanakan jihad fi sabillilah. Jihad fi sabillilah dilakukan dengan memerangi kafir, musyrik, murtad, dan munafik. Karakteristik inilah yang membuat istimewa sehingga layak mendapatkan pertolongan Allah, melebihi keistimewaan manusia lainnya dan pertolongan Allah kepada gerakan perlawanan yang lain (Al Adnani, 2008: 30 - 31). Konsep tersebut menjadi kontekstual ketika dikonstelasikan pada saat Siak mendapatkan ancaman serangan Belanda. Oleh karena itu, mobilisasi ideologi tersebut dapat menyebar dengan mudah. Ideologi perang sabil mempunyai fungsi yang bersifat pragmatis. Di satu sisi berfungsi untuk membakar semangat perlawanan rakyat, tetapi di sisi lain ideologi perang sabil juga berfungsi sebagai alat pemersatu rakyat. Ideologi perang sabil merupakan kredo yang mampu mewadahi pandangan dunia religius masyarakat Siak dan Goa. Hal ini tentu juga berkait ketika Belanda akan menginvasi, Siak dan Goa tengah dilanda keprihatinan yang mendalam. Pada saat itu, Siak berada dalam situasi pascaperang saudara karena adanya perebutan tahta kerajaan sedangkan Goa sedang menghadapi musuh-musuhnya seperti Buton, Ambon, dan Bugis. Oleh karena itu, situasi yang timbul adalah ketidakstabilan politik dan melemahnya elemen pertahanan kerajaan.
74
Sikap pemerintah kolonial HindiaBelanda yang mengambil keuntungan dari pertikaian dianggap sebagai pihak pendusta. Maka dari itu, seluruh sikap Belanda di dalam teks SRS dan SPM dianggap sebagai sikap kufur dan kaum kafir. Hal itu menunjukkan pandangan kufur dan kafir sebagai bangsa yang pantas dimusuhi dan dilawan. Ungkapan kufur merupakan pandangan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Kufur di dalam konsep Islam dianggap sebuah kezaliman, bahkan juga dicap sebagai kezaliman yang paling besar dan dimurkai oleh Allah (Al-Maududi, 1991: 15). Selain itu, sikap kufur merupakan sikapsikap yang identik dengan sifat setan di dalam pandangan Islam. Di sisi lain, rakyat Siak merupakan masa yang berbasis Islam sehingga pada tahap selanjutnya Belanda dianggap sebagai kaum kafir. Di dalam Islam, kaum kafir merupakan kaum yang dihalalkan untuk dimusuhi dan ditumpas. 4.5. Aspek-aspek yang Berbeda dalam Teks SRS dan SPM Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa antara teks SRS dan SPM memiliki kesamaan-kesamaan dalam hal wacana antikolonial yang terkandung di dalam teks. Persamaan-persamaan wacana itu muncul karena kedua teks tercipta dalam suatu kondisi sosial politik dan budaya yang hampir sama, serta menggunakan wacana perlawanan kaum Islam sebagai dasar perlawanan yang paling utama. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penulisan sastra terikat oleh tradisi masingmasing. Mengembangkan pendapat semacam itu, maka dapat dianalogikan apabila di dalam kedua teks juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang terlihat di dalam teks SRS dan SPM adalah dalam hal pengungkapan kebencian dan pencitraan musuh-musuh negeri terjajah.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Di dalam teks SRS musuh Siak, yaitu Belanda digambarkan dengan kata yang tidak terlalu kasar. Artinya, pengekspresian kata-kata dalam teks SRS untuk menyebut Belanda hanya terbatas pada ungkapan Welanda kufur, Welanda kufur yang licik, dan Welanda kufur yang dusta. Adanya penyebutan-penyebutan seperti itu memberikan pemahaman bahwa penggambaran Belanda sebagai kaum kolonial yang diidentifikasikan melalui sejumlah penilaian-penilaian kacamata Islam sebagai kaum kafir yang pantas untuk diperangi dan dimusuhi. Tidak itu saja, ungkapanungkapan yang menyatakan Belanda sebagai kaum yang dusta, licik, dan kafir terus dimobilisasi di dalam teks. Hal ini dimaksudkan untuk membangun citra negatif bagi Belanda. Hal itu terlihat di dalam kutipan berikut. .... Bunyi meriam bertambah galak Matahari masuk bagai ditolak Kedua belahnya jadi menulak Seperti makanan sudahlah chalak Kelengkapan Indra seberang menyeberang Malam hari berhentilah perang Dimakan peluru berserang2 Kota berjalan ditarik orang Seorang mati orang kita Dengan duta duli mahkuta Lima belas orang chabarnya nyata Orang Wilanda kuta senjata Serta malam bunyinya gagak Wilanda kutu’sangatlah juga Kapal satu kacinya tiga Hari siang demikian juga Seberang menyeberang kenambuhannya Serta pasang dihebatkannya Diaturnya kelengkapan sekaliannya Dilihat mata2 demikian lakunya Disuruhnya dayung medan shabar Panglima Besar hatinya kobar (SRS, hlm. 47) ..... Serta bertemu lalu berperang Selaku tidaq dapat dilarang Serta pasang berhentinya mudik Menembakkan meriam sekalian dibalik Melihat kelakuan kufur cilaka Berhanyut mudik juga belaka Bunyi meriam sangatlah luka Kapal dan kaci berhanyut juga
Kedua pihaknya samalah garang Ramainya bukan sebarang2 Wilanda itu kufur yang cerdik Sekalian hamba yang dibalik Orang Siak adalah duka Di dalam tembak bagai dijangka Membedil tidak laku berhingga Tidaklah dapat lagi dijangka (SRS, hlm. 48)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa ungkapan yang muncul, seperti Welanda kutuk, dan Welanda kufur merupakan suatu ungkapan dari pandangan rakyat terjajah terhadap kaum kolonial. Di dalam ungkapan tersebut terlihat suatu penilaian yang negatif. Akan tetapi, secara kuantitas dan variasi ungkapan-ungkapan semacam itu tidak terlalu banyak dijumpai di dalam teks SRS. Ungkapan kebencian yang muncul itu hanya terbatas pada ungkapan kata-kata Welanda kufur, Welanda licik, dan Welanda dusta. Ketiga ungkapan itu yang paling banyak muncul di dalam teks.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
75
Situasi yang berbeda tampak pada teks SPM. Ungkapan-ungkapan pengarang yang bernada kecaman, penilaian yang negatif, bahkan penggambaran yang bernada kasar sangat banyak diekspresikan di dalam teks. Ungkapan kebencian yang diekspresikan di dalam teks SPM tidak hanya terbatas pada kata-kata kufur, dusta, licik, dan sebagainya. Akan tetapi, di dalam teks SPM juga ditemui kata-kata yang cenderung sarkastik untuk menggambarkan kaum Belanda dan kroninya seperti halnya menggunakan kata-kata umpatan. Sebagai contoh, di dalam teks SPM digunakan ungkapan seperti Welanda si Bugis haiwan, Welanda syetan, kafir syetan, Welanda haiwan, Bugis iblis, si kuffar anjing, Bugis jahanam, dan sebagainya. Ilustrasi tersebut dapat diperjelas dengan kutipan berikut. Bercakaplah ia terlalu ingat Karena si Buton berani sangat Tambahan Welanda kafir la’nat Istimewa Buton yang mengkhianat (Skinner, 2008: 101) .... Setelah Sultan mendengar kabar Orang di Bantaeng sekalian gempar Pekerti Bugis orang yang besar Mufakatlah ia dengan Welanda Kuffar .... Berlayarlah Welanda dari Bantaeng Kekuatan layarnya putih terdinding Dilihatnya oleh sekalian Keraeng Buton dan Ambon si sula Anjing (Skinner, 2008: 102) .... Pejagur besi pula ditembakkan Pelurunya datang menyusur buritan Hampirlah kena seorang Kapitan Dahsyatlah hati Welanda syaitan (Skinner, 2008: 106) ..... Terlalu amarah amiral anjing Ia berkata seraya menjeling Berilah tahu kepada keraeng Suruhlah kembali Bone dan Sopeng (Skinner, 2008: 125) Lebih jauh lagi, jika diperbandingkan antara teks SRS dan SPM, terdapat perbedaan kuantitas dan variasi penggambaran kaum kolonial yang sangat mencolok. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ekspresi-ekspresi kebencian pengarang terhadap kaum kolonial sangat banyak. Hal
76
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
ini menandakan ekspresi kebencian terhadap kaum kolonial dalam teks SPM lebih jelas, lebih nyata, dan memiliki nilai emotif yang lebih kuat dibandingkan dengan teks SRS. 5. Penutup Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, pengalaman-pengalaman kolonial yang dialami oleh Kerajaan Siak dan Kerajaan memunculkan gagasan-gagasan untuk menentang dan melawan praktikpraktik kolonial melalui kekuatan-kekuatan ideologis. Di dalam teks SRS dan SPM, uraian mengenai perlawanan terhadap pengalaman kolonial ditunjukkan dengan adanya simbolsimbol perlawanan rakyat melalui penciptaan pahlawan lokal. Penciptaan pahlawan lokal yang memiliki keluarbiasaan individual memerankan fungsi sebagai perimbangan kekuatan militer antara rakyat terjajah dan kekuatan militer pemerintah kolonial HindiaBelanda. Tidak dapat disangkal bahwa kekuatan militer pemerintah kolonial HindiaBelanda lebih modern daripada kekuatan militer Kerajaan Siak dan Kerajaan Goa. Oleh karena itu, untuk meminimalisasikan citra ketimpangan kekuatan militer antara negeri terjajah dan Belanda, di dalam teks diciptakan pahlawan lokal yang mampu menandingi kecanggihan peralatan militer tentara kolonial. Di sinilah dapat dipertimbangkan fungsi pragmatis penciptaan pahlawan lokal di dalam teks SRS dan SPM. Lebih dari itu, perlawanan ideologis semakin dipertegas oleh identitas religius masyarakat Siak dan Goa, yaitu Islam. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah ideologi Islam merupakan motor utama penggerak perlawanan kolonialisme Belanda. Setidak-tidaknya ada dua fungsi
yang dijalankan oleh Islam sebagai sumber perlawanan, yaitu sebagai pemersatu energienergi antikolonial yang tercerai-berai dan sebagai sumber kekuatan ideologis. Islam sebagai elemen pemersatu rakyat Siak dan Goa didasari oleh doktrin yang menganggap bahwa berperang melawan kafir (Belanda) adalah kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Oleh karena itu, meninggalkan kewajiban untuk berjihad fi sabilillah adalah sebuah tindakan dosa. Dengan kondisi tersebut, rakyat memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap pemimpin mereka, yaitu Sultan Siak dan Sultan Goa. Akhirnya kepentingan perang menjadi bergeser, jika sebelumnya perang yang meletus adalah perang kolonial yang memperebutkan kekuasaan kerajaan berubah menjadi pertentangan antara kafir dan muslim sehingga perang yang terjadi adalah perang rakyat. Dengan demikian, muncul pemahaman baru dalam peristiwa ini, yaitu Islam menjadi kekuatan ideologis yang mampu menggerakkan energi-energi antikolonial di bawah kredo jihad fi sabillillah. Kedua, persamaan-persamaan wacana antikolonial yang terbangun di dalam teks SRS dan SPM sebagaimana dikemukakan di atas disebabkan dua kerajaan tersebut sebagai pihak yang diwakili oleh pengarang teks memiliki kesamaan, antara lain dalam hal identitas religius dan situasi politik yang hampir sama. Persamaan-persamaan itu pada akhirnya memunculkan wacana tandingan yang sama di dalam teks ketika berhadapan dengan wacana kolonialisme Belanda. Akan tetapi, kedua teks tidak sepenuhnya memiliki kesamaan. Di dalam hal ekspresi kebencian terhadap Belanda, teks SRS dan SPM sangat berbeda. Di dalam teks SRS penyebutan Belanda sebagai pihak penjajah digambarkan dengan katakata seperti Welanda dusta, Welanda kutuk,
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
77
dan Welanda kafir yang cerdik. Kata-kata itu menunjukkan ekspresi emosi yang tidak begitu kuat dibandingkan dengan teks SPM. Berbeda halnya dengan teks SPM yang memiliki variasi dan kuantitas dalam penggambaran pihak Belanda. Di dalam teks SPM, penyebutan Belanda menggunakan kata-kata yang kasar seperti, Welanda si Bugis haiwan, Welanda syetan, kafir syetan, Welanda haiwan, Bugis iblis, si kuffar anjing, Bugis
jahanam, Amiral jahanam, Welanda anjing, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan emosi yang ditampilkan sebagai ekspresi literer dalam teks SPM jauh lebih kuat dibandingkan dengan teks SRS. Dengan demikian, permasalahan kekuatan ekspresi SRS dan SPM sebagai syair perlawanan dikatakan tidak sama. Di dalam beberapa hal teks SPM menampilkan kekuatan ekspresi yang lebih kuat.
Daftar Pustaka Al Adnani, Abu Fatiah (Ed). 2008. Misteri Pasukan Panji Hitam (Ashabu Raayati Suud). Yogyakarta: Granada Mediatama. Alfian, Ibrahim T.. 1987. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873 - 1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Al-Maududi, Abul A’la. 1991. Prinsip-Prinsip Islam. Bandung: PT. Al Ma’arif. Anonim. tt. Syair Raja Siak Kode W 273. Jakarta: Perpusnas RI. Baried, Siti Baroroh, dkk.. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF Seksi Filologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Behrend, T. E.. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jilid IV. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Boxer, C. R.. 1983. Jan Kompeni dalam Perang dan Damai (1602 - 1799). Jakarta: Sinar Harapan. Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Jakarta: Balai Pustaka. Choueiri, Youssef M.. 2003. Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalime. (Terjemahan: Humaidi Syuhud & M. Maufur). Yogyakarta: Qonun. Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Departemen Pendidian Nasinal Pusat Bahasa. Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara. Yogyakarta: Ombak. Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat (Terjemahan: M. Najib Buchori). Jakarta: Paramadina. Juynboll, H. H.. 1899. Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handscriften de der Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill. Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (Dari Emporium 78
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Sampai Imperium). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _______. 2005. Sejak Indische Sampai Indonesia. Jakarta: Kompas. Kurdi, Abdulrahman Abdulkadir. 2000. Tatanan Sosial Islam: Studi Berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lapian, A. B.. 1975. Manusia dan Kebudayaan di Asia Tenggara: Kolonialisme di Asia Tenggara, Seri Studi Wilayah Nomor 2. Jakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional-LIPI. Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang. Madiyant, Muslikh. 1996. “Sastra Bandingan Problematika dan Metodenya”. Laporan Penelitian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pozzolini, A.. 2006. Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book. Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: LP3ES. Ricklefs, M. C. & P. Vorhoeve. 1977. Indonesian Manuscripts in Great Britain A Catalogue of Manuscripts in Indonesia Laguages in British Public Collections. Oxford: Oxford University Press. Robson, S.. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL. Said, Edward. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan. ________. 2001. Orientalisme. Cet. Ke-4. (Terjemahan: Asep Hikmat). Bandung: Pustaka. Saman, Sahlan Mohd. 1986. Sastera Bandingan: Konsep, Teori, dan Amalan. Petaling Jaya: Fajar Bakti SDN. BHD. Skinner, C (Ed). 2008. Syair Perang Mengkasar. Jakarta: KITLV Jakarta dan Ittininnawa. Sutaarga, Amir, dkk.. 1978. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 91 - 96. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Taylor, Jean Gelman. 2003. Indonesia Peoples and Histories. Michigan: Yale University Press/ New Haven and London. Trisman, B., dkk.. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. van Ronkel, Ph. S.. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschapen, hlm. 104-106 ‘s. Gravenhage: M. Nijhoof. van Wijk, d Gert. 1985. Tata Bahasa Melayu, Seri ILDEP. (Terjemahan: T. W. Kamil dari Cet. 3 Thn. 1909). Jakarta: Djambatan.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
79