41
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN SYAIR GULONG 1970-1990 A. Definisi Syair dalam Budaya Melayu Sebelum membahas Syair Gulong dan masuk ke perkembangannya, mari sejenak melihat kepada asal muasal syair itu sendiri. Syair berasal dari kata syi’ar yang dalam bahasa Arab berarti penyampaian46. Syair berasal dari kata Arab syi’r, yang berarti ‘sajak’, ‘puisi’, menjadi bentuk genre pokok tertulis Melayu selama periode klasik. Sejarah syair sebagai sastra Melayu klasik merupakan perjalanan panjang pertumbuhan budaya Melayu di Nusantara, terbentang dari awal masuknya Islam di Nusantara, hidup di kerajaan-kerajaan Islam Aceh, hingga menjadi euforia di seluruh penjuru Nusantara. Sedangkan dari kacamata kesusasteraan Syair adalah berupa kuatrenkuatren berima tunggal yang berpola aaaa, bbbb, cccc dll, dan yang dari segi irama agak sederhana47. Matra atau irama kuatren-kuatren ini seperti halnya pada banyak genre folklor Melayu, berdasar kepada larik-larik yang relatif bersifat isosilabel yang biasanya satu larik terdiri dari sembilan sampai tigabelas silabel atau suku kata; dan lebih lazim lagi tersusun dari sepuluh atau sebelas silabel. Larik-larik itu dibagi oleh sebuah jeda larik dalam dua bagian yang hampir sama, dan yang pada umumnya masing-masing merupakan satuan-satuan sintaksis yang utuh48. Masalah asal-muasal syair menarik perhatian para sarjana sejak tahun 1952,
46
Wawancara dengan Mahmud Mursalin, 1 Agustus 2014. V.I. Braginsky.,Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. hlm. 63. 47
42
ketika P. Voor Hoeve tahun 1968 mengemukakan sebuah hipotesis tentang timbulnya bentuk puisi ini. Berikut adalah contoh syair Melayu dalam Braginsky : Dengarkan Tuan mula rencana Disuratkan oleh dagang yang hina Karangan janggal, banyak tak kena Daripada paham belum sempurna Daripada hati sangatlah morong Dikarangkan syair seekor burung Sakitnya kasih sudah terdorong Gila merawan segenap lorong Pertama mula pungguk merindu Berbunyilah guruh mendayu-dayu Hatinya rawan bercampur pilu Seperti dihiris dengan sembilu
Perjalanan definisi syair sastra Melayu klasik ampai kepada kalangan ilmuwan terdahulu yang menganggap bahwa syair berasal dari Timur Tengah cenderung memandang rubai (ruba’i), sebuah pola puisi yang menggunakan saj dan terdiri dari dua baris yang keduanya saling berhubungan. Ruba’i Parsi yang terkenal itu dianggap sebagai prototipe dari rangkap-rangkap syair. Alasan ini ialah bahwa salah satu bentuk rubai yang jarang terdapat itu pun menggunakan ruma yang bersinambung pada semua baris, yaitu berpola aaaa. Tetapi seperti yang diketahui bahwa di dalam sastra Parsi tidak dikenal puisi-puisi panjang yang tersusun dari beberapa rubai. Menurut kaidah puitika Arab-Parsi, setiap bait merupakan satu kesatuan yang utuh dan selesai ; karena rubai lazim terdiri dari dua kesatuan semantik yang selesai49. Adapula pendapat lainnya mengenai kaidah sajak seperti yang ditulis oleh Braginsky sebagai berikut :
49
Ibid.
43
Menurut pendapat A. Teeuw ‘sejawang’ ialah bentuk rancu dari kata ‘sajak’ dalam arti ‘rima’ (A.Teeuw 1966a:437). Namun dugaan yang lebih mungkin agaknya, bahwa istilah saj’ Arab Parsi itulah yang dimaksud di dalam kutipan dari Hamzah tersebut. Apalagi justru istilah ini pulalah yang menjadi asal kata Melayu ‘sajak’, yaitu rima. Jika dugaan saj’ itu kita terima maka seluruh kalimat tersebut lalu bisa diartikan sebagai : “Tentang ini ..., masing-masing empat (kali digunakan) saj’”.
Dalam
tulisannya
Braginsky
menerangkan
bahwa
sajak
dalam
kesusasteraan syair Melayu periode klasik mengalami pelepasan diri secara substansi dari kesusasteraan syair Arab-Parsi. meskipun dalam prosesnya, karyakarya sastra Hamzah al-Fansuri tetap menggunakan kaidah Parsi sebagaimana mestinya, namun pertumbuhan karya-karyanya kemudian memperkenalkan sebuah bentuk baru yang kemudian menjadi pondasi bagi karya sastra Melayu di Nusantara. Banyak hal dalam syair Hamzah yang tidak mempunyai analogi dengan puisi Timur Tengah. Hal ini terutama mengenai irama syairnya yang murni Melayu, yang sedikitpun tidak menunjukkan jejak-jejak pengaruh arud atau sistem iramairama Arab-Parsi. Hal demikian juga berlaku pada struktur rimanya yang khas, yang bisa dilihat pada lebih dari tiga perempat dari rangkap-rangkapnya. Rima ini barangkali bisa dikatakan sebagai rima yang berselang atau rima yang berasonansi. Suluh-guruh-musuh-tubuh, atau pingai-bisai-bidai-tirai, yang tidak hanya dirasakan oleh kesesuaian antara akhir-akhir kata, tetapi juga antara vokal dari sukukata sukukata kedua dari belakang, sedangkan konsonan-konsonan antarvokal dari kata-kata yang berima itu tidak bersesuaian satu sama lain50. Inilah tipe rima
50
Ibid.,hlm, 229.
44
yang sangat lazim dalam puisi lisan Melayu, khususnya pantun-pantun rakyat, yang memperlihatkan angka 45-50 persen dari seluruh rima, dan lebih khusus lagi pada puisi lisan masyarakat Batak yang tinggal di daerah dekat Barus, yaitu tempat kelahiran Hamzah. Jika melepaskan tentang definisi syair menurut Hamzah Al Fansuri, maka kita akan mengenal bentuk puisi yang disebut dengan puisi tirade. Di dalam tirade ini rima-rima atau asonansi-asonansi yang bersinambung menyatukan baris-baris dalam kelompok-kelompok yang tak sama panjangnya51. Tradisi tirade mungkin sudah lazim di Aceh dalam abad ke 16-17 terlihat dalam sejumlah selingan puisi yang terdapat pada Taj As-Salatin, yang sangat mirip dengan tirade, dan tidak sesuai dengan sebutan-sebutan genre Parsi yang mendahuluinya. Ini juga diperlihatkan dalam sebuah fragmen dari syair karangan Abd al-Jamal, seorang penyari dari mazhab Hamzah Fansuri. Fragmen kuatren syair berturut-turut dalam satu rima, yang tampaknya seperti rangkap-rangkap dalam delapan atau bahkan enam belas baris dengan rima bersinambung. Di dalam sejarah Melayu kata nyanyi dimaksudkan sebagai pantun atau kuatren dengan rima silang. Kadang-kadang sajak-sajaknya lebih pendek dari pada yang biasa, dan dalam hal irama mirip dengan nyanyian anak-anak. Disamping kuatren-kuatren yang berima silang dalam nyani terdapat rangkap-rangkap atau ‘tirade-tirade’ dengan rima bersinambung. Perihal adanya nyanyi dengan rima bersinambung ini dibuktikan oleh sebuah puisi dari kronik lain yang berjudul Hikayat Banjar. Kecuali tidak hanya berlaku untuk nyanyian-nyanyian pendek,
51
Ibid.
45
tetapi juga untuk karya-karya puisi yang panjang. Perkembangan kesusasteraan Melayu yang berkembang di Nusantara pada abad ke-19. Sebelumnya, perhelatan sastra-sastra Arab yang kemudian menjadi awal bagi munculnya sastra Melayu ini berawal dari negeri Aceh, dimana Islam berkembang pesat baik di kerajaan maupun wilayah secara keseluruhan. Dari munculnya sastra-sastra Arab-Parsi hingga timbulnya perhelatan diantara kaum ulama dan sastrawan Aceh terkait dengan kesusasteraan yang cenderung berkiblat kepada Sufisme. Dari paruh kedua abad ke-16 sampai ke-19, sastra sufi Melayu memperlihatkan evolusi ide-ide yang mendalam52. Ide-ide wujudiyah tentang kemanunggalan hakiki Alam Raya, tentang sifat simboliknya yang berlapis-lapis dan tentang Cinta Ilahi sebagai sekaligus sumber dan alasan Penciptaan serta juga jalan untuk naik ke Pencipta, telah melahirkan baik ‘alegori-alegori statis’ tersebut di atas di dalam bentuk syair maupun ‘alegorialegori dinamis’ dalam bentuk hikayat yang beralur cerita. Filosofi kesufian dalam kepenulisan sastra tersebut secara perlahan mengundang kritik. Konsep-konsep wujudiyah yang dalam bentuknya yang ekstrem menimpa batas-batas doktrin agama Islam, tidak mungkin tidak membangkitkan reaksi defensif dari Islam Ortodoks. Ini menjadi kentara karena sebelum pertengahan abad ke-17 di dalam karyakarya Nuruddin Ar-Raniri, dan terutama dengan sangat terang menonjol dalam karya-karya para pengarang yang tergolong mazhab Sufi Palembang dan Riau pada akhir abad-abad ke-18 dan ke-19.
52
Ibid., hlm. 281.
46
Pada masa kesusasteraan Melayu klasik, evolusi karya-karya sastra adalah bukan hanya menciprakan kesadaran diri berkarya tetapi juga menumbuhkan sistem baru yang membentuk karakter dan genre-genre sastra itu masing-masing. Selain itu, periode tersebut merupakan pergantian zaman kepengarangan tanpa nama menjadi kepengarangan dengan nama. Bentuk perubahannya pun sangat luas, seperti tidak adanya boundary bagi penulis yang harus benar-benar mengarang sesuai karangan tertentu ataukah menulis dengan beberapa alasan lainnya hanya agar dirinya dicantumkan dalam karya sastra tersebut. Adapula model kepenulisan yang mencantumkan nama seseorang yang disandarkan kepadanya, dalam artian, si penulis membubuhkan nama yang menginspirasinya dalam menulis, menisbatkan tulisan sastranya kepada orang-orang tertentu. Beberapa nama pengarang, baik itu penulis aslinya ataupun penyunting, atau pencerita atau tokoh yang hanya dianggap sebagai sumber ceritanya pada masa itu seperti Maulana Syekh Ibnu Abu Bakar yang menulis dan menceritakan Hikayat Bena Syahdan Syekh Muhammad Asyik Abd al-Fakar, mungkin pengarang Hikayat Isma Yatim, dan Sultan Mahmud Baddaruddin dari Palembang, pengarang Hikayat Martalaya53. Dan Sultan Mahmud Baddaruddin dari Palembang daru Palembang, pengarang Hikayat Martalaya. Meskipun begitu, hikayat-hikayat petualangan ajaib sebenarnya menunjukkan masalah tentang mengapa karangankarangan dalam sebuah genre selalu anonim, yang dalam proses transmisinya tetap memberikan tunjuk ketidaktentuannya teks-teks tersebut, mulai dari penisbatan kepada tokoh-tokoh tertentu.
53
(Roorda van Eysinga 1821:1), (Drewes 1977:266), dalam Braginsky., hlm. 282.
47
Tulisan-tulisan sastra Melayu genre “lama” kedua yaitu kronik sejarah, mencantumkan nama Tun Seri Lanang, penyunting atau pemrakarsa penciptaan untuk Sejarah Melayu resensi Johor. Raja Culan yang menulis sebagian dari Misa Melayu, para pengarang kronik Johor lainnya seperti Gusti Jamril, Raja Ahmad, Raja Ali Haji dan beberapa lainnya, dan penulis kronik Palembang dari abad ke-19 seperti Kyai Rangga Setianandita Ahmad, Pangeran Tumenggung Karta Manggala dan Demang Muhiddin54. Semua mereka itu adalah wakil-wakil bangsawan istana. Tentu saja jumlah nama-nama pengarang tersebut tidak banyak mengingat luasnya hikayat petualangan ajaib dan karangan-karangan sejarah lainnya di luar lingkungan kerajaan. Tetapi hal tersebut tetap menjadi perhatiap pada perkembangan prinsip kepengarangan pribadi dalam sastra Melayu. Lain dengan kondisi genre-genre baru yang dikategorikan masuk dalam kesusasteraan Melayu periode klasik. Lebih dari 30 nama pengarang syair telah dikenal. Lain dengan keadaan genre-genre “baru” yang dimasukkan dalam sastra Melayu baru semasa periode klasik. Lebih dari tiga puluh nama pengarang semua ragam syair telah dikenal. Pengarang-pengarang ‘syair Sufi’ abad ke-17 Hamzah Fansuri, Hasan Fansuri, Abd al-Jamal Syamsuddin dari Pasai Abd Rauf dari Singkel dan muridnya Mansur semuanya melanggar anonimitas sastra syair Melayu55. ‘Syair sejarah’ pertama yang bertanda, dan untuk jangka lama juga satusatunya, ialah Syair Perang Mengkasar gubahan Enci’ Amin, sekretaris Sultan Hasanuddin Makasar, juga ditulis di abad ke-17. Tradisinya diikuti dalam abad ke-
54
55
(Drewes 1977:228-229), dalam Braginsky. hlm, 282. Loc.cit.
48
18 oleh Raja Culan, Abdurrahman, Abdulkadir, Enci’ Abdulla. Dalam abad ke-19, ‘syair-syair keagamaan dan sufi’ serta ‘syair sejarah’ oleh pengarang perseorangan tetap ditulis.56” B. Definisi Syair Gulong dan Syarat Persebarannya Kesusasteraan Melayu memiliki banyak keluarga kecil, salah satunya adalah kesenian Melayu Kalimantan Barat, Syair Gulong. Syair Gulong merupakan salah satu kesenian bertutur syair Melayu yang hidup di masyarakat Melayu Ketapang, Kalimantan Barat. Kesenian ini termasuk kekayaan sastra dan seni masyarakat Melayu Ketapang yang lestari hingga saat ini. Disebut Gulong karena dialek Melayu Kalimantan Barat yang mengucap huruf ‘u’ terdengar seperti ‘o’. Dalam berbagai penelitian, bahasa Syair Gulong kerap dilatinkan atau dibahasaindonesiakan penulisannya menjadi syair gulung. Syair Gulong sebelumnya bernama waraqah atau kengkarangan. Hal ini disebabkan syair tersebut hanya berisikan pendahuluan saja, atau pengantar sebuah latar belakang surat. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Syair Gulong. Gulong adalah dialek Melayu dari gulung atau gulungan karena Syair Gulong ditulis di kertas yang kemudian di gulung dan lama kelamaan karena syair itu selalu digulung dan digantung pada paruh burung kertas dipuncak dahan kayu 57 maka akhirnya disebut Syair Gulong. Persebaran kesenian Syair Gulong sarat dengan perjalanan sejarah kerajaan Tanjungpura, kerajaan tradisional terbesar di Kalimantan Barat. Perpindahan pusat
56
Ibid., hlm 283. Hermansyah Ismail “Syair Gulung Sastra Peninggalan Kerajaan Tanjungpura Kabupaten Ketapang”. Makalah disampaikan pada 18 April 2013. 57
49
dan ibukota kerajaan, perang melawan Belanda, hingga masa-masa keruntuhannya adalah garis besar perjalanan yang sedikit tidaknya memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai budaya yang ditinggalkannya, salah satunya adalah kesenian syair gulong. C. Perkembangan Syair Gulong dalam Kerajaan Tanjungpura Dalam lingkungan keraton, sebuah kesenian Syair Gulong berawal dari proses menciptakan dan melagukan bait-bait syair. Syair Gulong adalah tentang menuturkan dan melagukan sebuah syair, baik itu hikayat ataupun cerita. Orang yang dinilai pandai dalam belagu dan memiliki suara yang indah akan dengan mudah didapuk menjadi penyair Gulong. Penuturan dan melagukan syair ini memiliki proses pembelajaran yang cukup unik dalam menciptakan kesenian tradisional khas Kerajaan Tanjungpura tersebut. Di dalam lingkungan keraton, Syair Gulong atau kengkarangan yang dituturkan berawal dari sebuah cerita dan hikayat. Hikayat dan cerita tersebut tertulis dalam kitab-kitab kecil. Buku-buku yang dibacakan bermacam-macam mulai dari tafsir syarah dari kitab-kitab besar fiqih dan tasawuf yang masuk ke kerajaan selama proses Islamisasi berlangsung, hingga ke cerita masyhur seperti Siti Zubaidah atau Dandan Setie58. Pembacaan syair dilakukan setiap selesai shalat magrib di masjid keraton. Setelah selesai shalat, Imam masjid mengumpulkan pemuda dan anak-anak yang ikut shalat berjamaah di masjid, kemudian bersama-sama membaca Al-Quran. Setelah belajar mengaji, kemudian Sang Imam mengajarkan kitab-kitab cerita dan
58
Wawancara dengan Bapak Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014.
50
hikayat yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Kemudian, Imam mengajarkan menulis Arab Melayu berikut dengan cara membacakan cerita dan hikayat tersebut. Imam masjid yang mengajarkan bertutur syair adalah seorang ahli agama yang pandai dalam membaca Al-Quran dan memiliki suara yang indah dalam membacakannya. Lantunan tersebut kemudian dipergunakan dalam membacakan atau menuturkan syair. Setelah Imam mengajarkan bagaimana menulis Arab Melayu dan menceritakan syair-syair tersebut, Imam kemudian mengajarkan bagaimana menuturkan syair-syair itu dengan lagu-lagu. Melagukan syair ini kemudian diikuti oleh pemuda dan anak-anak dalam membacakan syair-syair tersebut. Proses belajar berlanjut kepada pembuatan syair. Setiap Imam masjid akan melihat dan memilih murid-muridnya yang mana yang memiliki suara dan lagu yang bagus dalam melantunkan syair. Kemudian, Sang Imam memberikan syair atau cerita yang dikarang olehnya sendiri kepada murid-murid tersebut untuk dituturkan kepada mereka. Tak jarang, Sang Imam berpesan kepada mereka untuk mencoba berlatih menciptakan syair mereka sendiri59. Penuturan merupakan tahap selanjutnya setelah proses belajar memciptakan dan membacakan Syair Gulong. Menuturkan Syair Gulong di lingkungan kerajaan terbagi menjadi dua jenis ; formal dan informal. Dalam acara-acara resmi kerajaan (royal escort), raja atau pangeran atau putera mahkota berhak mengundang penutur syair terbaik dari rakyatnya dan memberinya kesempatan untuk menuturkan Syair Gulong di hadapan keluarga atau tamu kerajaan.
59
Wawancara dengan Bapak Uti Saban, 3 Agustus 2014.
51
Dalam jenis informal, Syair Gulong dituturkan untuk acara yang bersifat previlege atau kekeluargaan saja. Semisal menunggu atau menimang bayi dalam kegiatan tanggal pusat, atau berguru ngaji, hingga bahkan menemani tidur sang raja, atau pangeran, atau putera mahkota. Syair Gulong, dituturkan pada setiap jenis tersebut. Keluarga kerajaan akan memanggil penutur Syair Gulong terbaik di kampung, kemudian dipersilahkan menuturkan syair terbaiknya dalam setiap kegiatan kekeluargaan tersebut. Beberapa syair yang tercatat dalam perjalanan sejarah kerajaan Tanjungpura akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Jenis-Jenis Kitab, Hikayat, Cerita, dan Syair yang dituturkan Pada masa awal pemerintahan kerajaan Tanjungpura, teks-teks Syair Gulong yang pada zaman dahulu disebut dengan Kengkarangan adalah nukilan dari beberapa kitab-kitab syair maupun hikayat yang kemudian dibacakan di depan majelis maupun pagelaran keraton. Berikut adalah beberapa jenis kitab, hikayat, cerita yang kemudian dituturkan : a. Syair Perang Mengkasar 1670 Syair sejarah pertama yang bertanda, dan untuk jangka lama juga satusatunya, ialah Syair Perang Mengkasar gubahan Enci’ Amin60. Ditulis antara bulan Juni 1669 dan Juni 1670, syair ini menceritakan peperangan diantara orang Makassar dan orang Belanda. Pada masa itu, Syair ini dikenal dengan nama Syair Sipelman. C.Skinner yang telah mengkaji dengan mendalam syair ini berpendapat bahwa Syair Sipelman adalah judul yang kurang tepat. Sipelman bukan tokoh utama syair ini.
60
Loc.cit.
52
Syair ini juga bukanlah perjuangan seorang tokoh, melainkan apa yang berlaku dalam peperangan Makassar dan Belanda. Pengarang syair ini adalah Encik Amin. Ia adalah seorang peranakan Melayu-Makassar. Ia pernah menjadi juru tulis Sultan Goa. Karena kedudukannya ini ia mengetahui benar tentang hal-hal yang berlaku di istana serta dalam dunia perniagaan. Hampir semua orang penting dan saudagar besar dikenalnya. Encik Amin juga mempunyai pengalaman hidup yang luas sekali.Tahu akan ajaran tasawuf dan Sastra Melayu Lama. Itulah sebabnya syair ini ditulis dalam Bahasa Melayu tanpa ada pengaruh Bahasa Makassar. Berikut adalah cuplikan syair Perang Mengkasar : Bismiallah itu suatu firman Fardulah kita kepadanya iman Muttasil pula dengan rahman Hasil maksudnya pada yang budiman Rahman itu sifat Tiada bercerai dengan kunhi zat Nyatanya itu tiada bertempat Barang yang bekal sukar mendapat Rahim itu siat yang sedia Wajiblah kita kepadanya percaya Barang siapa yang mendapat dia Dunia akhirat tiada berbahaya Alhamduliallah tahmid yang ajla Nyatanya dalam kalam Allah ala Mudah terkhusus bagi hak taa ala Sebab itulah dikarang oleh wali Allah Setelah sudah selesai pujinya Salawat pula akan nabi-Nya Di sanalah asal mula tajallinya Kesudahan tempat turun wahyunya Muhammad itu Nabi yang khatam Mengajak ke hadrat rabbi al-alam Sesungguhnya dahulu nyatanya (kelam)
53
Dari pada pancarnya sekalian alam Salawat itu masyhur lafaznya Telah termazhur pada makhluknya Allahumma salliaalaihi akan agamanya Di sanalah nyata sifat jamalnya Tuanku sultan yang amat sakti Akan Allah dan rasul sangatlah bakti Suci dan ikhlas di dalam hati Seperti air ma’al-hayati Daulatnya bukan barang-barang Seperti manikam yang sudah di karang Jikalau dihadap sengala hulubalang Cahaya durjanya gilang gemilang Raja berani sangatlah bertuah Hukumannya ‘adil kalbunya murah Segenap tahun zakat dan fitrah Fakir dan miskin sekalian limpah Sultan di Goa raja yang sabar Berbuat ‘ibadat terlalu gemar Menjauhi nabi mendekatkan amar Kepada pendeta baginda belajar Baginda raja yang amat elok Serasi dengan adinda di telo’ Seperti embun yang sangat sejuk Cahayanya limpah pada segala makhluk Tiadalah habis gharib kata Sempurnalah baginda menjadi sultan Dengan saudaranya yang sangat berpatutan Seperti emas mengikat intan Bijaksana sekali berkata-kata Sebab berkapit dengan pendeta Jikalau mendengar khabar berita Sadarlah baginda benar dan dusta Kekal ikrar apalah tuanku Seperti air zamzam di dalam sangku Barang kehendak sekalian berlaku Tentaranya banyak bersuku-suku
54
Patik persembahkan suatu rencana Mohon ampun dengan karunia Arutnya janggal banyak ta’kena Karena ‘akalnya belum sempurna Mohonkan ampun gharib yang fakir Mencatatkan asma di dalam sya’ir Maka patik pun berbuat sindir Kepada negeri asing supaya lahir Tuanku ampun fakir yang hina Sindirnya tidak betapa bena Menyatakan asma raja yang ghana Supaya tentu pada segala yang bijaksana Maka patik berani berdatang sembah Harapkan ampun karunia yang limpah Tuanku ampuni hamba Allah Karena aurnya banyak yang salah Tamatlah sudah memuji sultan Tersebutlah perkataan Welanda syaitan Kornilis Sipalman penghulu kapitan Raja Palakka menjadi panglima Berkampunglah welanda sekalian jenis Berkatalah Jenderal Kapitan yang bengis Jikalau alah Mengkasar nin habis Tunderu’ kelak raja di Bugis61 Syair ini diawali dengan pemanjatan syukur kepada Allah, disertai Nabi Muhammad SAW sebagaimana bagian awal Syair Melayu pada umumnya. Kemudian syair ini mulai menceritakan Sultan Makassar dan kondisi pemerintahan pada masa itu, raja yang bijaksana, dan rakyat yang tentram menjadi gambaran secara umum pemerintahan kerajaan Islam di Sulawesi. Lalu konflik muncul dengan datangnya rumor penjajah Belanda yang ingin
61 Syair Perang Makassar 1670. Syair Perang Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan Belanda, mangkaasara.wordpress.com/tag/syair-perang-mengkasar-dahulu-bernama-syair-sipelman/, Diakses pada 25 Juli 2016.
55
menaklukkan Palakka, dan menguasai seluruh Makassar. Bait-bait selanjurnya menceritakan ketegangan di kedua belah pihak, bagaimana pihak kerajaan menolak tawaran Belanda, teror dan ancaman Belanda kepada suku Bugis yang akan dibumihanguskan jika mereka kalah berperang, Sultan Makassar yang membakar semangat rakyatnya untuk tidak takut melawan penjajah, dan bait-bait heroik lainnya yang tersusun di setiap baris syair lanjutannya. Meskipun sebenarnya, belum ada afiliasi yang kuat antara syair perang Mengkasar terhadap kesenian Syair Gulong serta bukti-bukti otentik mengenai apakah syair ini pernah dicitasi sebagian isinya dan dibacakan di depan khalayak ataupun public space sejenisnya. Tetapi jika kembali kepada substansi kitab-kitab syair yang berkembang pada masa kerajaan-kerajaan. Sastra syair tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar dan terhadap kepenulian sastra syair di Kalimantan Barat. b. Syair Siti Zubaidah (awal abad ke-19) Syair Siti Zubaidah merupakan syair Melayu yang berasal dari Kesultanan Brunei Darussalam. Syair ini populer pada awal abad ke-19. Syair ini berkisah tentang seorang wanita bernama Siti Zubaidah. Syair ini masuk ke Kalimantan Barat melalui persahabatan yang terbangun diantara kerajaan Brunei dengan pusatpusat kota Kerajaan Tanjungpura di Sukadana, dan Sambas. Berawal dari datangnya “Raja Tengah” Sultan Brunei Darussalam ke Sukadana, hubungannya dengan Panembahan Giri Kusuma berjalan sangat baik, bahkan Raja Brunei tersebut diangkat menjadi wazir untuk Kerajaan Tnjungpura yang kemudian diutus
56
ke Keraton Sambas untuk menjadi wakil Tanjungpura disana62. Datangnya Raja Tengah ke Kalimantan Barat secara substansi menjadi tanda awal persebaran kitab-kitab syair Melayu klasik abad-abad 18 dan 19 di berbagai wilayah. Syair Siti Zubaidah adalah salah satunya, yang kemudian berkembang di lingkungan keraton. Kemudian menyusul Kerajaan Banjar, yang dibawa oleh Sultan Dirilaga. Sultan Dirilaga adalah Raja yang bertahta di Tanjungpura, putera dari Panembahan Giri Mustika, dan cucu dari Panembahan Giri Kusuma. Namun beliau memerintah Tanjungpura dalam waktu yang singkat lalu meninggalkan Tanjungpura dan menetap di Martapura63, Kerajaan Banjar. Hal tersebut kemudian menjadi awal dari datangnya kesusasteraan syair ini di Banjar. Berikut adalah cuplikan syair Siti Zubaidah dari beberapa citasi : mulutnya manis bijak laksana barang lakunya semuanya kena putih kuning unsur sederhana memberi hati gundah gulana dapatlah nama puteri zubaidah awal dan akhir tidak sudah sebarang lakunya memberi faedah menundukkan orang terlalu mudah semuanya sudah dibawah perintahnya tunduk dan kasih akan ianya terkena di dalam lemah lembutnya lemahlah hati segala seterunya itulah akal orang sempurna bijak bestari arif laksana ditanggung dahulu bina dan dina kemudian kebesaran juga tersedia
62 Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Sukadana : Suatu Tinjauan Sejarah Kerajaan Tradisional Kerajaan Kalimantan Barat. (Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000), hlm. 51. 63 Ibid., hlm. 60.
57
isi mana kita dapat mencari seperti akal, zubaidah puteri takut dan tunduk segala puteri patutlah jadi mahkota negeri c. Kitab-kitab Syair Kitab-kitab syair merupakan fase awal dari perjalanan sejarah Syair Gulong masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Kitab-kitab syair adalah euforia panjang dari perjalanan sejarah kesusasteraan Melayu klasik. Syair-syair Melayu periode baru dengan judul seperti Syair Siti Zubaidah, Syair Dandan Setie, merupakan sebagian kitab syair yang kepengarangannya telah ditulis diantara abad ke-18 dan 19, hanya saja ketidak-tentuannya penulis ataupun pengarangnya menjadi persoalan lain atas merebaknya anonimitas dalam berkarya, terutama karya sastra kitab syair Melayu. Salah satu contohnya ada pada bagian akhir dari Syair Sultan Madhi berikut : “Telah diselesaikan daripada mengecap Syair Madhi ini kepada 18 Rabi’ul Akhir 1332, tercap ditempat cap Haji Muhammad Amin Kemakdang Tembagi, rumah nomer 7 Jln. Baghdadi, Street Negeri Singapura.64” Footage tersebut ditemukan di bagian akhir dari kitab Syair Sultan Madhi. 18 Rabi’ul Akhir 1332 merupakan tanggalan Hijriah menunjukkan waktu dimana syair tersebut selesai ditulis. Pada bagian tersebut tidak terdapat pencantuman nama pengarang atau penulis ataupun pencerita dari karyanya. Tetapi tidak tercantumnya nama-nama pengarang dalam beberapa kitab syair memiliki pertumbuhan yang tidak merata. Beberapa dari karya sastra kitab di abad ke-19 justru ada yang mencantumkan nama pengarangnya pada bagian depan
64
Syair Sultan Madhi 1923., hlm. 153
58
ataupun akhir dari tulisannya, beberapa lainnya justru ada yang hidup di abad ke17 ataupun 18. Perkembangan yang sporadis tersebut tidak selalu menjamin pertumbuhan kepengarangan sastra syair kitab dan juga pertumbuhan kesusasteraan Melayu khususnya di Kalimantan Barat. Kitab-kitab syair tumbuh baik di lingkungan Kerajaan Tanjungpura maupun di eksternal lingkaran keraton atau masyarakat secara umum. Beberapa buku kitab justru dimiliki oleh rakyat biasa yang tinggal diluar kerajaan. Proses kepemilikan buku pun cukup unik dengan memberikan kitab kepada orang yang dipercaya pantas memilikinya karena dianggap berilmu dan beragama dengan baik65. d. Kitab Fiqih dan Tasawuf (1900) Kitab Fiqih dan Tasawuf adalah salah satu kitab dari ribuan kitab-kitab Islam kuno yang hidup pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Kitab ini merupakan kitab yang menjadi media penyampaian Islam di Nusantara, termasuk di Kalimantan Barat secara umum dan Kerajaan Tanjungpura secara khusus. Meski secara umum tidak ada afiliasi yang begitu berhubungan dengan kesenian Syair Gulong, kitab-kitab fiqih secara substansi memiliki ikatan yang sama dengan kesenian syair tersebut dalam hal khasanah keagamaan, yaitu Islam. Pada masa kitab-kitab syair, konsep penuturan syair selalu diselipkan nasihatnasihat atau pesan-pesan keagamaan sehingga munculnya kearifan bagi pendengar akan khasanah agama Islam.
65
Wawancara dengan Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014.
59
Gambar 1. Halaman depan Kitab Jin dan Manusia, salah satu jenis Kitab Fiqih dan tasawuf
Salah satu kitab Fiqih dan Tasawuf pada medio 1900-an adalah kitab yang ditulis oleh Daud bin Abdullah bin Idris (1321 Hijriah atau setara dengan tahun 1900 Masehi). Kitab tersebut adalah kitab fiqih Islam dan tasawuf yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu, dan Arab. Penulis buku tersebut, Daud bin Abdullah, adalah seorang penuntut ilmu dari Kalimantan Barat yang belajar ilmu fiqih dan tasawuf di Madinah Al-Munawwarah. e. Syair Dandan Setie 1900 Belum ada periodisasi yang pasti mengenai ditulisnya kitab syair ini. Penelitian membuktikan bahwa Syair Dandan Setie merupakan salah satu karya sastra yang ditulis setelah perhelatan panjang yang terjadi di komunitas sastrawan dan sufi di Aceh. Syair ini dibacakan kepada Gusti Muhammad Saunan, Raja ke16 sekaligus raja terakhir untuk Kerajaan Mulia Kerta, kerajaan keturunan Tanjungpura yang terakhir. Syair ini dituturkan ketika ia beranjak ke tempat
60
tidurnya dan istirahat66. Para penutur syair akan duduk di pelataran kamar Raja dan menuturkan cerita dari syair tersebut hingga Raja tertidur. Syair Dandan Setie merupakan cerita rakyat berbentuk syair yang eksis pada masa Kerajaan Tanjungpura. Pada 1900-an, syair ini kemudian ditulis dalam bentuk buku. Syair ini bercerita tentang seorang kekasih yang setia menemani seorang laki-laki yang sakit akibat wabah penyakit yang melanda lingkungannya. f. Syair Bulan Terbit 1922 Syair berjudul Bulan Terbit ini diterbitkan pada tahun 1922 Masehi atau sekitar 1343 Hijriah. Syair ini merupakan nukilan yang menukil kitab-kitab fiqih dan Tasawuf berkenaan dengan hukum-hukum dalam agama Islam67. Syair ini digunakan untuk pembelajaran hukum fiqih dan tasawuf baik di internal keraton maupun di masjid-masjid. Berikut adalah penggalan awal sebuah syair berjudul Syair Bulan Terbit : Bismillah ayat mula dikata Alhamdulillah puji yang nyata Bersholawat kepada Nabi yang Mulia Ikatan Sekalian Ulama Auliya Kemudian daripada itu wahai saudara Buat nasehat laki-laki perempuan Membuat syair belawan bias Dengan tolongan Tuhan yang Esa Ada tatkala suatu hari Mengambil kertas hamba syair Hamba namakan syair yang pasti Dengan tolongan Robbul izzati Jadi serupa ini karangan Pegang nasehatnya dibuang jangan68 Salah satu pasal di dalam syair Bulan Terbit adalah Pasal Syukur Kepada
66
Wawancara dengan Bapak Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014. Wawancara dengan Bapak Hermansyah 3 Agustus 2014. 68 Syair Bulan Terbit. (Brunei Darussalam : 1922)., hlm. 4. 67
61
Tuhan, Allah Azza Wa Jalla. Dalam bait-bait bab syukur tersebut, menguraikan betapa tak terhingganya karunia Tuhan kepada manusia, seperti kenikmatan batiniah beriman kepada Allah, nikmat Islam, dan hal-hal religius lainnya yang menjadi tiang pondasi dalam agama Islam. g. Syair Abdul Muluk 1938 Syair Abdul Muluk adalah kitab syair yang bertanggal 1334 Hijriah atau setara dengan tahun 1938 Masehi. Syair ini merupakan syair yang diterbitkan oleh Kerajaan “Tengah” Brunei Darussalam. Syair Abdul Muluk adalah sebuah syair yang cukup terkenal. Syair ini pertama kali dimuat di dalam majalah Tydschrift van Nederlansch Indie tahun 1847 dan diberi terjemahan dalam Bahasa Belanda oleh Roorda van Eysinga. Menurut Eysinga, karya ini dinazamkan dengan Bahasa Melayu Johor yang terpakai pada masa itu oleh Sri Paduka Yang Tuan Muda Raja Ali Haji ibn Raja Ahmad. Tetapi menurut A.F. Von de Wall, Raja Ali hanya memperbaiki saja. Pengarannya adalah saudara perempuannya yang bernama Salihah. Balai Pustaka tahun 1934 pernah menerbitkan suatu edisi yang berdasarkan tiga naskah, yaitu terbitan Eysinga, Von de Wall, dan satu lagi naskah cetakan baru di Singapura yang diusahakan oleh Akbar Saidina dan Haji Muhammad Yahya. Berikut adalah cuplikan syair Abdul Muluk dari beberapa citasi : Berhentilah kisah raja Hindustan Tersebutlah pula suatu perkataan Abdul Hamid Syah paduka Sultan Duduklah baginda bersuka-sukaan Abdul Muluk putra baginda Besarlah sudah bangsawan muuda Cantik menjelis bijak laksana
62
Memberi hati bimbang gulana Kasih kepadanya mulia dan hina Akan rahmah puteri bangsawan Parasnya elok sukar dilawan Sedap manis barang kelakuan Sepuluh tahun umurnya tuan Sangatlah suka duli mahkota Melihat puteranya besarlah nyata Kepada isteri baginda berkata “Adinda nin apalah bicara kita? Kepada fikir kakanda sendiri Abdul Muluk kemala negeri Baiklah kita beri beristeri Dengan anankanda Rahmah puteri” Syair Abdul muluk mengisahkan putera dari Sultan Abdul Hamid Syah, Abdul Muluk yang baru saja beranjak muda. Secara umum bait-bait syairnya menceritakan akhlak, kebaikan, kecerdasan dari putera bangsawan tersebut dan halhal kebaikan yang ia lakukan selama menjadi putera mahkota hingga didapuk menggantikan ayahnya menjadi seorang Sultan. h. Timbulnya Konsep Kepengarangan Pribadi Perhelatan yang terjadi di kalangan sufi Aceh berujung kepada pendorongan tumbuhnya kesusasteraan Melayu yang sporadis di beberapa wilayah dan cenderung tidak merata serta mengalami proses evolusi yang terbentang dari masa penyebaran Islam di Nusantara hingga masa kini. Munculnya teks-teks syair tanpa nama dimulai dengan perjalanan kesusasteraan Melayu klasik yang terjadi di Semenanjung Malaka, dan Aceh. Dalam periode klasik dari evolusi sastra Melayu, tidak saja terbentuk ‘kesadaran diri’ sastra dan berdasarkan itu lahirlah sistem ‘bentuk-bentuk genre’ serta genre-
63
genre tersendiri. Tetapi juga pada saat inilah ketika transisi dari kepengarangan tanpa-nama ke bernama mulai terjadi69. Pada Masyarakat Melayu Kalimantan Barat secara hakikat mereka memiliki tradisi bersastra, yang relatif baik. Masing-masing wilayah kebudayaan memiliki Aktivitas sastra tulis ; kengkarangan atau lebih dikenal dengan sebutan syair gulung berkembang di wilayah kebudayaan Melayu Ketapang, Pantun terdapat di seluruh wilayah kebudayaan Melayu Kalimantan Barat. Khusus di wilayah kebudayaan Melayu Pontianak terdapat tundang, sebuah kesenian yang memadukan pantun dan tundang, serta kesenian hadrah di beberapa titik di kota Pontianak ; sementara di wilayah kebudayaan Melayu Sanggau terdapat joda dan jolai. Mereka juga masih menyenandungkan syair-syair lama seperti Syair Siti Zubaidah, Syair Nabi Bercukur, Syair Dandan Setie, Syair Tuan Madi, dan lain sebagaimana terdapat di wilayah kebudayaan Melayu Sambas, Melayu Pontianak Melayu dan Melayu Hulu Kapuas. Masyarakat Melayu Kalimantan Barat juga memiliki stok tradisi lisan yang cukup banyak. Di wilayah kebudayaan sambas, sebagian besar cerita hidup dalam tradisi Bercerite Bedande. 2. Teks-Teks Syair Melayu Lainnya yang Dituturkan Tidak seluruh kitab-kitab syair yang muncul di abad ke-18 dan 19 merepresentasikan Syair Gulong karena ada juga teks-teks syair Melayu yang tidak dibukukan, atau berbentuk kitab, dituturkan. Atau malah kitab-kitab tersebut justru mewakili eksistensi Sastra Melayu Klasik yang telah hidup dari abad ke-7 jika ditinjau secara judul karya-karya syair tersebut. Karena pada umumnya aktivitas
69
Loc.cit.
64
kesastraan Syair Gulong adalah berbentuk lisan dan wujud pelestarian tradisi ini adalah dituturkan dari generasi ke generasi. Yang menjadi salah satu sebab kebendaan Syair Gulong sangat rentan karena syair yang ditulis kontekstual, aktual mewakili jiwa zamannya, tetapi lemah dalam penyimpanan tulisan-tulisan syair. Berikut adalah judul-judul teks syair yang berhasil diselamatkan, di dalam Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, adalah sebagai berikut : “...Masyarakat Melayu Ketapang juga masih aktif menuturkan pantun dan teks-teks lisan berbentuk cerita. Melalui proyek “Identity, Ethnicity, and Unity in Western Borneo : The Oral Traditions of Contemporary Kalimantan Barat and Sarawak” Tahap II (2001-2002), yang menekankan pada pengumpulan data bahasa, berhasil dikumpulkan sejumlah teks cerita di dua kampung yang berada di pinggir Sungai Laur. Teks-teks dimaksud adalah Anjing Sakti, Biak Kumang, Bunga Lima Warna Sekuntum Pancawarna, Dayak Melayu, Gunong Palong, Jodoh dengan Malaikalmaut, Kuda Ragam, Mak Miskin Nanggok, Mak Sogeh, Malin Kundang, Manjang dengan Rimo, Orang Ulu, Pak Aluy Mansang Penjerat, Pelandok & Nek Gergasi, Pelandok dan Buaya, Pelandok dengan Singe, Pelandok Menaci Laok, Putri Kepala ‘Asu’, Seragak dengan Si Gantang, Si Miskin dengan Raja, dan Tuan Putri Empunai70.” a. Bercerite dan Bedande Syair Gulong bukanlah satu-satunya kesenian bertutur syair yang berkembang di seluruh elemen Melayu di Kalimantan Barat. Ada beberapa kesenian serupa lainnya yang memiliki karakternya masing-masing. Bercerite dan Bedande adalah salah satunya. Bercerite atau bercerita merupakan aktivitas penuturan teks lisan secara biasa oleh tukang cerita. Pada umumnya, Bercerite dilakukan oleh orang-orang tua, baik pria maupun wanita. Jumlah teks Bercerite dan Bedande adalah banyak. Pada tahun 1992 berhasil direkam kurang lebih 100 buah teks cerita di kampung-kampung yang berada di kecamatan Sejangkung dan
70
Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya (Pontianak : STAIN Pontianak Press, 2006), hlm. 92.
65
Kecamatan Sekura71. Uraian jumlah teks Bercerite dan Bedande adalah sebagaimana yang ditulis dalam Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya sebagai berikut : “Anak Antu Angkup-angkup, Ade Bungsu Pinang Beribut, Alo’ Galing Lassung Timbage, Anak Mayang Susun Delapan Susun Sembelan di Kayangan Anak Cuco’ Si Gantar Alam, Anak Saudagar, Asal-usul Rusa’ Batu Betarup, Burung Ruwai, Cik Mael, Dayang Dandi, Dato’ Kullup, Kalantike, Kucing Puteh Melunsong Bulu, Mimpi Bulan di Pangko’am, Merabut Nagri Miantu Alang, Nabi Allah Hider, Pelanduk (1), Pelanduk (2), Pohon Cakkor, Pelanduk dangan sang Barrang, Pelandok dengan Tukang Kabbon, Putri Jelumpang, Pak Panjit, Pak Pemancing, Pak Usu Raut, Raje Balu, Raje Beputri Tujjoh, Rambo’ Dangin, Raje Sinanden, Raje Tunggal (1), Raje Tunggal (2), Raje Tunggal (3), Raje Tunggal danggan si Miskin, Raje Usman, Raja Wali, Sultan Ahmad dari Nagri Syam, Si Bondang, Si Gantar Alam, Si Miskin, Si Miskin dangan anaknye, Si Miskin dan Ferman Tuhan, Si Miskin dangan Si Puru, Siang Mualah, Tujuh Putri, Wan Tunggal. Selanjutnya, melalui proyek The Homeland of the Malay Language (1998), kerjasama Pusat Penelitian Kebudayaan Melayu (Universitas Tanjungpura) dan Institut Alam Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia, berhasil direkam 112 buah teks cerita di daerah Kecamatan Sambas, 85 diantaranya diperoleh dari Kampung Daup. Teks-teks yang dimaksud adalah Abu Nawas, Anak Ne’Miskin Pergi Pangka’, Asal Sambas, Bangau dan Katak, Baru Ballah (1), Batu Ballah (2), Batu Betarup (1), Batu Betarup (2), Bujang Nadi, Burong Burak, Burong Ceriak, Burong Ceriak, Burong Kallak, Burong Klukuk, Burong Pirik Ajaib, Campring Dandung, Cerite Babi, Cerite Burung Uncik, Cerite Lanun, Cerite Membubu, Cerite Ne’Longan, Cerite Ne’Rusa, Cerite Nujum, Cerite Urrang Berburu, Cerite Urrang Bekabbon, Cerite Urrang Dolo’ Mencare’ Ikan, Cerite Urrang Mbare’ Sedakkah, Cerite Pelandok dan Rusa’, Cerite Saudagar Kaye, Cerite Selamat Berkat, Ciwi-Ciwi dan Pak Salui, Dato’ Kecil, Dato’ Leong dan Dato’ Rambai, Dato Tele, Dongeng Binatang, Antu Kambe’, Antu Sungai Labbai, Juragan Bujang dan Kiyai, Kapal Lanun, Karra’ dan Kurra’, Kesah Gunong Sinujuh, Kesah Urang Ncare’ Rotan, Kesah Putri Tujjoh Saudare, Lanun, Ma’ Miskin Ma’ Sariande dan Si Bungkuk, Ne’ Gergasi dengan Putri Kalling, Nek Gergasi, Nek Kuntan, Nek Kuntan, Urrang Bukit Panglima Ittam, Urrang Mao’ Bemenantu Urrang Alem, Urrang Melanggian, Urrang Paggi Mencare’ Rotan, 71
Ibid., hlm 87.
66
Pa’ Dolah, Pa’ Mahlem Mencare’ Rusa, Pa’ Sait, Unten dan Jang Katuk, Pa’ Salui dan Ma’ Salui, Pa’ Salui dan Pa’ Kiding, Pa’ Salui Makan Pisang, Pa’ Salui Membubu, Pa’ Si Gadde, Pa’ Salui Merimba’, Pa’ Sengkadah Paggi Berburu, Pa’ Si Gadde, Pa’ Su Pelanduk Belumba’ Lari, Pa’ Su Pelanduk Paggi Nannau, Pa’ Ukur Paggi Menjale, Pelanduk Belumba’ Lari dengan Tengkuyung, Pelanduk dan Marang, Pelanduk Ngitong Buaya’, Pelanduk Paggi Nanau (1), Pelanduk Paggi Nanau (2), Pelanduk Parang Sukung, Parampuan Kerajje Umme, Paggi Mbuat Jalor, Putri Kijang, Putri Menangguk, Raje Buaya, Raje Bujang, Raje dan Ma’Sawa’, Raje dan Si Nujum, Raje Majapahit dan Haji Budiman, Raje Tunggal Belayar, Rusa’ Njelme Biawak, Saudagar Kaye, Cerite Antu, Selamat Berkat, Semangat Padi, Si Bagu’, Si Bengal dan Si Buta’, Si Biduman, Si Bungsu Jadi Burong Ruwai, Si Guru, Si Jung, Si Karra’ dan Si Kura’, Si Morong, Si Pira’ dan Si Bujang, Si Pira’ dan Si Jenah, Si Putri jadi Ruwai, Si Tunjuk, Sultan Sambas dan Dayak Sukung, Tam Tuyul, Tan Unggal, Tangga’ Ammas, Tuan Putri Menanggok, Tuan Putri Nannun, Tuan Putri Paggi Menanggok, Tukang Lassong, Zainal Abidin Beparrang. Jumlah tersebut di atas diduga akan lebih besar bila dilakukan perekaman di wilayah-wilayah lainnya72. Dalam pada itu, Bedande, yang secara harfiah berarti ‘bercerita’ juga, tidak lain merupakan satu bentuk “seni pertunjukkan teks lisan”. Dikatakan demikian karena pementasannya menggabungkan berbagai unsur seni, yakni seni suara, seni musik, seni tari, dan pedande-nya sendiri sebagai seorang aktor. Keberadaan tradisi ini terbatas di kecamatan Teluk Keramat, Kecamatan Sejangkung, dan Kecamatan Sambas. Di Kecamatan Teluk Keramat, Bedande hidup di kampung Tebing Jaya ; di Kecamatan Sejangkung hidup di kampung Setale’ ; dan di Kecamatan Sambas hidup di Kampung Satai. b. Kesenian Hadrah, Kesultanan Kadriah Pontianak Hadrah adalah salah satu bentuk perubahan karya sastra Syair Gulong yang hidup di Kesultanan Kadriah Pontianak. Kesenian ini berawal dari datangnya Al
72
Ibid, hlm. 89.
67
Habib Husin Alkadri, seorang mubaligh agama Islam yang kawin dengan anak Raja Tanjungpura yang kemudian memboyong seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Setelah ia wafat, anaknya yang sulung meninggalkan Mempawah dan mendirikan kerajaan Pontianak73. Dengan didirikannya Kesultanan Kadriah Pontianak oleh mubaligh Islam dari Tanjungpura, maka hiduplah kesenian dan kebudayaan peninggalan Kerajaan Tanjungpura di kerajaan baru tersebut. Hadrah, meski bukan merupakan Syair Gulong tetapi ia merupakan perubahan bentuk dari kesenian bertutur syair juga tradisi lisan Kerajaan Tanjungpura. Perbedaan Hadrah dan Syair Gulong terletak di masuknya elemen musik sebagai pengantar ketika syair dituturkan. Musik yang dipermainkan dalam kesenian hadrah pun terdiri dari gendang dan rebana yang masing-masing memiliki ketukan atau pukulan yang khas dalam menabuhnya. Syair Gulong tidak memiliki musik atau iring-iringan lagu sebagai pengantar ketika syair tersebut dituturkan. Jika melihat substansi, kesyairan Hadrah dan Syair Gulong jelas berbeda, tetapi keduanya memiliki benang merah yang sama jika dilihat dengan sejarah perjalanan panjang kesenian sastra Melayu di Kalimantan Barat. Yudo Sudarto, dalam Upaya Menggali dan Melestarikan Warisan Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut : “Hadrah merupakan seni budaya yang ada di masyarakat. Seni ini masuk ke Kerajaan Tanjungpura tercatat sudah ada di Ketapang sejak abag ke-15. Seni menabuh terbang, sambil sambil menyanyikan lagu-lagu Islami itu, tetap menjadi bagian penting warga Ketapang.74” 73
Poltak, dkk, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan No. 07/2005. (Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 2005), hlm. 30. 74 Yudo Sudarto, “Upaya Menggali Dan Melestarikan Warisan Budaya Dan Sejarah Kerajaan Tanjungpura Di Kabupaten Ketapang”, Makalah disampaikan dalam Rubrik Sejarah
68
Meskipun tertulis dari abad ke-15, belum ditemukan bukti otentik mengenai kesenian Hadrah yang pernah ditulis pada periode tersebut. Kemungkinan yang muncul adalah kesenian ini diturun-temurunkan dari generasi dan generasi sehingga berhasil lestari hingga sekarang. Berikut kutipan syair dari kesenian Hadrah yang ada di masyarakat Melayu Pontianak : Assalamu’alaika zainal anbiya, Assalamu’alaika atqal anbiya Assalamu’alaika asmal ashfiya, Assalamu’alaika azakal akiya Assalamu’alaika mirabbissama Assalamu’alaika da-imam -bilang Assalamu’alaika ahmady ya habibi, Assalamu’alaika thaha thabibi Assalamu’alaika ya miski wathibi, Assalamu’alaika ya mahiyazzunubi Assalamu’alaika aunalghabibi, Assalamu’alaika ahmadu ya Muhammad Assalamu’alaika thaha ya mumajiad, Assalamu’alaika khfawwamaqshad Assalamu’alaika nurazh-zhalmi, Assalamu’alaika jaliyal kurubi
ya
Assalamu’alaika zaljati, Assalamu’alaika ya zalbayyanati Assalamu’alaika hadiyal, Assalamu’alaika ya zukhral’u shati Assalamu’alaika hasansh-shifati, Assalamu’alaika ya zal -mauhibati Assalamu’alaika ruknazi shalah, Assalamu’alaika ya rabbis –samahi Khairuman Banyak nabi dan rauls Tuhan, Nabi Muhammad yang dipenghulukan Namanya terkenal sebelum dijadikan 2x, menjadi nabi rasul penghabisan Khairuman wathiat ats-tsara, almusyaf fa’-ul fil-wara Mambihi-Hul-lat’-ura, Kul-lal Math-labi Ana Maftuhun bihi, Thami’un fi qurbihi Rabbi ‘ajjill-li-bihi 2x, la-‘la-la- yashfu masyrabi Bisyahrin Dua belas rabi’ul Awal, Dua puluh april zakirnya Nabi dan Budaya, Pontianak, 2010.
69
Lima ratus tujuh puluh satu, perhitungan tahun Masehi Bisyahrin Rabi-in-qa, Bada nuruhul-a’la Faya-habbaza-badran, Bizakal hima yujia75 Teks-teks syair dalam kesenian Hadrah sangat kental dengan nuansa Arab karena hampir keseluruhan teks syair-nya menggunakan kosa kata bahasa Arab. Hanya beberapa bagian seperti di babakan Khairuman dan Bisyharin yang sedikit menggunakan bahasa Indonesia. Bait-bait diatas adalah bentuk puji-pujian yang dilantunkan kepada Nabi Muhammad SAW seperti Assalamu’alaika ya Ahmadu ya Muhammad yang berarti selamat dan salam kepada engkau wahai ahmad wahai Muhammad. D. Perkembangan Syair Gulong pada Masa Kolonial Belanda Perlu digarisbawahi sebelumnya, bahwa pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, Syair Gulong mengalami fluktuasi, menunjukkan melemahnya aktivitas berbudaya dan berkesenian karena hampir tidak ditemukannya bukti-bukti otentik berupa teks-teks syair yang muncul pada zaman tersebut Ditinjau dari sudut pandang politik, Awal abad ke 19 menjadi tanda masuknya pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Barat. Pada akhir 1820an dan 1830-an pihak Belanda telah menandatangani perjanjian-perjanjian dengan Pontianak, Mempawah, Sambas, dan negeri-negeri kecil di pesisir barat lainnya. Diambang pergantian abad ke-19 abad ke-20, boleh dikatakan bahwa sebagian besar dari raja-raja dan pengusaha bumiputera di Kalimantan Barat telah mengakui kekuasaan kerajaan Belanda atasnya, yang telah menandatangani kontrak
75
Poltak, op.cit.,hlm.39.
70
pengakuan kekuasaan Belanda. Dalam dekade ketiga dari abad ke 20 itu di Kalimantan Barat tinggal lagi tiga belas kerajaan yang diakui sebagai “daerah yang berpemerintahan sendiri” (zelfbesturende landschappen) yang diperintah oleh Sultan ataupun Panembahan. Ketiga belas swapraja itu adalah : Pontianak, Landak, Mempawah, Sambas, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu Simpang, Matan, dan Sukadana. Satu dua swapraja kecil memang masih bertahan untuk tidak mengakui kekuasaan Belanda, seperti misalnya kerajaan kecil Piasak di hulu sungai Kauas. Kerajaan ini memang terpencil letaknya tetapi juga berkat kegigihan penguasanya yang sanggup menolak setiap usaha perembesan unsur-unsur asing dari luar. Sekalipun kerajaan-kerajaan yang ada di daerah ini telah mengakui kedaulatan kerajaan Belanda, dan telah pula memberlakukan perundang-undangan gubernemen dan tata pemerintahan menurut cara Eropa, namun menurut De Kat Angelino, dalam kenyataannya hanya sebahadian saja dari hukum pidana dan perdata Eropa yang diberlakukan, sedang hukum adat bumiputera tetap berlaku, di samping ketentuan dan peraturan yang berfungsi sebagai hukum, yang dibuat oleh para raja atau sultan. Berlakunya undang-undang desentralisasi (Decentralisatie Wet, 1930) tidak segera mempunyai pengaruh ataupun akibat langsung yang dapat dilihat seketika di Kalimantan Barat76. Hal ini disebabkan karena masih banyak daerah kerajaan yang sedang dalam proses dipaksa untuk mengakui kedaulatan kerajaan Belanda, atau
76
Departemen Pendidikan & Kebudayaan., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat (Jakarta : Pusat Penelitian Sejarah & Budaya, 1978/1979), hlm. 31.
71
kalau menurut istilah pemerintah kolonial Belanda, masih dalam proses pasifikasi. Dan proses itu ternyata tidak selancar sebagaimana diharapkan oleh pemerintah Belanda. Sampai pada akhir tahun 1918 pemerintah belanda masih melakukan aksi pasifikasi, karena masih ada suku ataupun golongan-golongan etnis di daerah ini yang memang tidak mau mengakui kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, maupun karena alasan-alasan lain. Sampai dengan keluarnya Undang-undang Reorganisasi Pemerintahan, maka daerah Kalimantan Barat ini masih mempunyai status sebagai gewest. Rajaraja dan penguasa swapraja masih tetap memerintah kerajaan mereka sebagai sediakala, namun mereka kini didampingi oleh pejabat-pejabat Belanda yang bertindak mewakili pemerintah Belanda dalam kerajaan-kerajaan itu. Para panembahan dan sultan tersebut pada hakekatnya adalah penguasapenguasa nominal saja; kekuasaan yang sebenarnya dalam kerajaan-kerajaan berada di tangan para gezahebber dan aparat pemerintahan kolonial yang baru dibentuk dan berfungsi. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan pejabatpejabatnya di kerajaan-kerajaan yang telah mengakui kedaulatan pemerintah kerajaan Belanda. Apa yang membuat pemerintahan kolonial merambah ke kerajaan-kerajaan hingga mengganti sistem pemerintahan tradisional menjadi kolonial adalah sebuah kontrak politik. Kontrak politik itu kemudian diperkuat dengan apa yang disebut sebagai Korte Verklaring77 yang harus ditandatangani oleh raja-raja yang telah mengikat kontak politik dengan Belanda. Kerajaan Sintang misalnya, menjelang
77
Ibid., hlm. 15.
72
awal abad ke-20 ialah pada masa pemerintahan Panembahan Ismail Kusuma Negara. Ia telah menyerahkan wilayahnya sebagai daerah gubernemen (gouvernements-gebied). Turning point yang serupa juga terjadi di Kerajaan-kerajaan lainnya. Kerajaan Tayan menandatangai Korte Verklaring pada 29 November 1930. Kerajaan Kubu pada 13 Oktober 1919 di masa pemerintahan Syarif bin Idrus, sedang daerah swapraja Simpang, yang terletak berdekatan dengan kerajaan Matan, menandatangai Korte Verklaring itu pada tahun 1911.78 Tahun-tahun semasa berkecamuknya perang di Eropa itu merupakan tahuntahun konsolidasi dalam lapangan pemerintahan. Struktur pemerintahan swapraja secara berangsur tetapi pasti, disesuaikan dengan struktur pemerintahan Belanda. Kekuasaan raja dan penguasa swapraja makin berkurang dengan adanya jabatan administratif yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan dan peraturan kolonial belanda. Tahun-tahun tersebut bertepatan dengan diberlangsungkannya Korte Verklaring terhadap kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat. Dalam dekade ketiga dari abad ke-20 itu di Kalimantan Barat tersisa 13 kerajaan yang diakui sebagai “daerah yang berpemerintahan sendiri” (zelfbesturende landschapen) yang diperintah oleh Sultan ataupun Panembahan. Para panembahan dan sultan tersebut pada hakekatnya adalah penguasapenguasa nominal saja ; kekuasaan yang sebenarnya dalam kerajaan berada di tangan para gezaghebber dan aparat pemerintah kolonial yang baru dibentuk dan berfungsi. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan pejabat-pejabatnya di
78
Ibid, hlm. 15.
73
kerajaan-kerajaan yang telah mengakui kedaulatan pemerintahan kerajaan Belanda. Para pejabat ini yang berpangkat controleur maupun gezaghebber, membantu
sultan/panembahan
dalam
melaksanakan
pemerintah
menurut
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah Belanda, serta mengawasi pelaksanaannya. Ditempat-tempat seperti Singkawang, Sambas, Sintang, dan Ngabang, para gezaghebber juga merangkap menjadi komandan pasukan militer. Pasukan ini berjumlah relatif kecil, namun efektif untuk menangani situasi dan menumpas gejolak dalam lingkungan masyarakat bila timbul ketidakpuasan para penguasa pribumi dan kaum kerabatnya. Sesudah 1912, struktur baru dalam pemerintahan kerajaan mulai diintrodusir. Jabatan tradisional dengan gelar apapun dihapuskan oleh pemerintah Belanda kemudian digantikan dengan jabatan “demang”. Demang ialah semacam districthoofd atau kepala distrik. Demang ini secara nominal tunduk kepada panembahan atau sultan, tetapi lebih banyak menerima perintah dari gezaghebber atau Assistent Resident. Para Demang itu membawahi kepala onderdistrict yang disebut petinggi atau penggawa, yang selanjutnya membawai kepala kampung atau temenggung. Kebanyakan dari Demang (Kepala Distrik) itu memang memilih dari antara kaum elite tradisional yang memperoleh didikan Barat. Mereka telah mengerti dan mempergunakan bahasa Belanda dan mengetahui tata administrasi pemerintahan seperti yang ditetapkan oleh pemerintahan Belanda. Di daerahnya, mereka adalah wakil pemerintah kerajaan, tetapi juga melaksanakan pemerintahan sesuai dengan petunjuk-petunjuk gezagehebber Belanda yang ditempatkan di daerah mereka.
74
Sejalan dengan pembentukan distrik dan onder distrik tersebut, maka petugas-petugas kepolisian ditempatkan pula di daerah-daerah untuk membantu memperkokoh kekuasaan dan menegakkan wibawa pemerintah kolonial. Sebagian besar kepolisian ini ditempatkan di kota-kota besar seperti Pontianak dan Singkawang. Di Singkawang, Belanda merasa perlu menempatkan sejumlah besar anggota kepolisian, mengingat banyaknya penduduk di kota itu dan masih labilnya situasi keamanan, mengingat pernah berkobarnya kerusuhan-kerusuhan antipemerintah yang digerakkan oleh orang-orang Cina, tetapi yang kemudian diikuti pula oleh orang-orang dari suku Dayak dan Melayu. Hanya ada satu teks syair yang ditulis pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Syair Kerajaan Sintang, atau Syair Uit Sintang. Syair dari Sintang atau Sjair uit Sintang dalam bahasa Belanda, adalah syair yang muncul di Kerajaan Sintang. Syair dari Sintang yang di dalam Helius Sjamsuddin menjadi Syair Kerajaan Sintang adalah teks syair yang ditulis oleh seorang penyair wanita yang bernama Rodjot dari kampung Sungai Ulak, kerajaan Sintang. Naskah tersebut ditulis tangan dan terdiri dari 317 halaman yang memuat lebih dari 1579 bait syair serta ditulis dalam huruf Latin. Sebuah kemajuan mengingat masyarakat Melayu pada umumnya menulis dalam aksara Arab Melayu. Syair Kerajaan Sintang ini adalah sebuah hadiah yang dipersembahkan oleh pejabat Panembahan Sintang pada masa itu, Raden Abdul’bari Danuperdana (19371944) kepada L.C. Heyting Th. Zn yang menjabat sebagai Asisten Residen Belanda di Kerajaan Sintang antara 1934-193579.
79
Helius Sjamsuddin, Syair Kerajaan Sintang (Jogjakarta : Penerbit Ombak, 2010), hlm.
75
Dalam bait-bait syair Kerajaan Sintang, Rodjot menceritakan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, liingkungan Kerajaan berada di bawah pemerintahan Panembahan Ismail, sedang berada di masa kejayaanya. Perdagangan yang maju, aparat pemerintaha yang rapih, dan sebagian besar mereka berasal dari keluarga keraton. Sintang juga tengah menikmati kemenangan setelah berhasil mengalahkan Dayak Tebidah dalam peperangan yang terjadi di tahun 1891, Seperti yang disebutkan dalam paparan Syair Sintang sebagaimana di dalam Helius Sjamsuddin, Syair Kerajaan Sintang adalah sebagai berikut : “...Kerajaan Sintang di bawah pemerintahan Panembahan Ismail sangat makmur. Perdagangan lancar, aparat pemoerintahannya lengkap teratur, kebanyakan berasal dari anggota keluarga dekatnya. Setelah menaklukkan Dayak Tebidah dalam Perang Tebidah (1891), ...Atas jasa-jasa dan kemenangan dalam perang membantu Belanda, ia mendapatkan bintang singa emas dari sri baginda ratu Belanda,80” Terkait undangan pemerintah Belanda kepada Kerajaan Sintang, ada paradoks yang terjadi dalam konteks Ratu Belanda yang mengundang langsung pihak keraton untuk menghadiri perjamuan di Bogor. Karena sejarah mencatat bahwa Ratu Wilhelmina tidak pernah mengunjungi Indonesia. Tetapi Rodjot cukup mempercayai bahwa Sintang benar-benar diundang oleh seorang Ratu wanita Belanda ke Batavia dan Bogor. Bahkan disebutkan bahwa souvenir untuk ratu berupa seekor kera berbulu putih mengkilat berasal dari Nanga Pinoh dalam sangkar seharga 50 ringgit dan seperangkat senjata sumpitan dan perusai sebagai memorabilia unikum Dayak Sintang. Perdebatan yang terjadi adalah siapa yang dimaksud dengan ratu wanita Belanda di Bogor tersebut dan apakah benar pihak
ix 80
Ibid.
76
Kolonial mengundang Kerajaan Sintang ke Batavia dan Bogor untuk mempertemukan mereka kepada Ratu Belanda. Hal tersebut hanyalah perdebatan yang terjadi dalam Helius dan belum ada fakta otentik mengenai manipulasi pemerintah Kolonial memanggil panembahan Sintang untuk bertemu dengan Ratu Belanda. Fakta lain hanya mengatakan bahwa Panembahan Sintang benar melakukan perjalanan menuju Batavia dan Bogor pada Agustus tahun 1899. Keunikan syair Sintang lainnya adalah adanya peristiwa sejarah yang kemudian ditulis didalam beberapa bait syairnya. Peristiwa tersebut adalah Perang Tebidah, perang yang terjadi antara Kerajaan Sintang melawan suku Dayak Tebidah yang kemudian dimenangkan oleh Kerajaan Sintang. Pada bagian awal syair Rodjot menuliskan versinya sendiri mengenai bagaimana konflik antara kedua belah pihak hingga pertempuran terjadi. Selain perang Tebidah, ia juga merekam peristiwa perang lainnya yaitu Perang Panggi, sebuah pergolakan yang dialami oleh Panggi melawan Kerajaan Sintang yang pada masa itu dibawah pemerintahan Raja Panembahan Haji Abdulmajid. Sebanyak 317 bait syair ia tulis untuk menggambarkan perlawanan Panggi dan merupakan sumber tertulis satu-satunya yang mencatat pemberontakan tersebut. Berikut adalah cuplikan Syair Uit Sintang Rodjot yang ditulis ulang oleh Helius Sjamsuddin dalam bukunya, Syair Kerajaan Sintang : (1)Dajak nja banjak tak loek sekelian Kepada baginda doeli Panembahan Ditak loek kan dengan perang di lawan (2)Kata orang ampoenja medah Tatkala tempoeh perang Tebidah Semoea Dajak takloeknya soedah Bagindah berperang menang termwegah
77
(3)Mashoer lah habar kasana kamari Habarnya teroes ka negeri batawi Panembahan soenggoeh gagah berani Takloeknya banjak tiada terpermani (4)Lepas berperang doeli mah koeta Didengat oleh Radja Belanda Banjak tak loek boekan oempama Panembahan Samail radja kasoema (5)Sagenap negeri mashoerlah habar Panembahan Samail radja pandekar Adil dan moerah radja jang sabar Gagah berani di banding soekar (1) (6)Masoher habar segenap negeri Naik karadjaan jang rami Toedjoeh belas bangsa tak loek nja negeri Sebilang tahun mengantar opti81 Masa pemerintahan Kolonial Belanda adalah periode sejarah dimana kesenian dan kebudayaan di Kalimantan Barat mengalami dekadensi secara aktivitas menulis dan bertutur syair di lingkungan masyarakat Melayu. Syair Rodjot dari
Sintang
tersebut
mungkin
adalah
satu-satunya
teks
syair
yang
merepresentasikan dominasi politik dan kolonialisme begitu menguasai sebagian besar sendi-sendi kehidupan pada zaman tersebut. Dan menjadi satu-satunya teks syair otentik yang merepresentasikan “syair sejarah” dengan memuat peristiwa peperangan Panggi dan rakyat Sintang melawan Panembahan Sintang dan pemerintah Kolonial Belanda. E. Perkembangan Syair Gulong Masa Pendudukan Jepang 1940-1944 Aktivitas kebudayaan dan kesenian di Kalimantan Barat mengalami depresi
81
Ibid., hlm. 1
78
berat ketika datangnya Tentara Nippon dan dimulainya masa pendudukan Jepang. Propaganda-propaganda politik mendominasi ketika Jepang datang menggantikan pemerintahan Kolonial Belanda yang berlepas tangan meninggalkan imperium Kolonial-nya di beberapa wilayah Nusantara termasuk di dalamnya Kalimantan Barat. Hal ini ditunjukkan dengan sikap acuh tak acuh dalam masalah pertahanan dan pembelaan negeri,menghadapi kedatangan tetnara Jepang, setelah pecahnya Perang Pasifik82. Meskipun pendudukan Jepang secara resmi dimulai ketika pecahnya Perang di Pasifik, tetapi monopoli Jepang sudah berkembang di sektor ekonomi. Toko-toko Jepang pun bermunculan dalam periode lima atau enam tahun menjelang pecahnya Perang Dunia II. Barang buatan Jepang itu selain harganya sangat murah di mata rakyat banyak, mutunya juga tidak banyak berbeda dengan barang buatan Eropa yang mahal harganya. Dalam beberapa sumber lisan, masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat berhasil menghapus total kegiatan kebudayaan dan kesenian adat. Masyarakat diteror dengan kerja paksa, romusha, dan pekerja-pekerja tersebut dipaksa menetap di kamp-kamp kumuh selama masa pembangunan. Adapun beberapa dari masyarakat yang melawan, sembunyi di rumah-rumah yang mereka dengan ruang bawah tanah yang ditutupi tumpukan jerami atau lantai kayu yang telah dilubangi sedalam dua tiga meter, dibuat kolong dibawahnya. Bagi mereka yang tertangkap bersembunyi langsung ditembak di tempat, atau dibuang di tempat lainnya.
82
Poltak Johansen. Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan no 07/2009, (Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 2007), hlm. 67.
79
Kerja paksa tersebut mendorong masyarakat untuk mau tidak mau bekerja untuk agenda politik Jepang sehingga mayoritas masyarakat hanya menjadi feeder pembangunan di sektor-sektor seperti pertokoan, pembukaan lahan, dan lain sebagainya, yang secara tidak langsung, memaksa masyarakat Kalimantan Barat meninggalkan kegiatan adat-istiadat, berkesenian dan berkebudayaan. Tahun 1944, Jepang melakukan regicide di Kalimantan Barat : semua raja-raja dibantai Jepang. Sebagai fakta, tidak ditemukannya teks-teks Syair Gulong yang lestari ataupun ditulis pada masa pendudukan Jepang. Adapun penutur lisan yang hidup dimasa itu baru mulai menuturkan syair setelah masa pendudukan Jepang dan akhir pasca perang mempertahankan kemerdekaan83. Meskipun sama-sama disebut sebagai seni pertunjukkan teks lisan, jenis seni pertunjukkan, jenis seni pertunjukkan teks lisan yang terdapat di wilayah Sulawesi atau Aceh atau Sumatra Barat belum tentu sama dengan jenis seni pertunjukkan teks lisan yang terdapat di Kalimantan Barat.84 F. Perkembangan Syair Gulong pada Masa Kontemporer 1950-1990 Pertumbuhan kesenian dan kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat ibarat timbul dan tenggelam, pernah mengalami masa kejayaan dan mulai melemah di masa kolonial Belanda hingga pernah hilang semasa pendudukan Jepang, muncul kembali setelah masa kemerdakaan. Berdasarkan studi-studi lapangan yang pernah dilakukan sejak awal 1985 hingga awal 1997, terdapat sejumlah kecil data tentang seni pertunjukkan seni lisan di Kalimantan Barat85.
83
Wawancara dengan Harun Das Putra., 28 Juli 2014. Chairil Effendy, op.cit., hlm. 7. 85 Ibid., hlm.2. 84
80
Dalam tahun 1950 hingga 1960-an masyarakat Sambas memiliki dua orang sastrawan, ialah Yusach Ananda dan Munawar Kalahan. Sejumlah karyanya yang semula di dalam majalah Kisah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Demikianlah pada Mulanya (1980), Jassin menggolongkan penulis ini sebagai sastrawan Angkatan ’66. Teks-teks syair pada tahun akhir 70-an dan 90-an sangat langka dan mengalami kepunahan di sebagian daerah di Kalimantan Barat. Ketapang, sebagai kabupaten yang pernah menjadi pusat ibukota Kerajaan Tanjungpura dan merupakan daerah dimana kesenian Syair Gulong berkembang, saja tidak menghasilkan teks-teks syair Gulong yang kemudian disimpan dan lestari hingga sekarang. Satu-satunya yang hidup di periode ini lagi-lagi adalah kitab-kitab syair klasik seperti Siti Zubaidah, Dandan Setie. Belum ada alasan mengapa syair-syair di tahun 90-an justru kembali kepada kitab-kitab klasik tersebut, tetapi adanya kelemahan yang mewabah di masyarakat Melayu di dalam ketelatenan menyimpan teks-teks syair pada zamannya sehingga sangat sulit mendapatkan bukti otentik berupa lembaran atau gulungan syair-nya. Bahkan beberapa dikalangan penyair mengamini bawasanya sulit untuk menyimpan dalam konteks untuk dipakai kembali di waktu yang akan datang, bahkan mereka terkadang menaruhnya sembarang tempat, hingga menjadi bubuk kertasnya86. faktor lain teks-teks di tahun 70-an dan 90-an sulit didapatkan adalah budaya memberikan teks syair Gulong kepada orang lain. Menunjukkan, kebiasaan memberikan teks syair Gulong kepada masyarakat yang ingin menyimpannya setelah dibacakan sudah berlangsung sejak
86
Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 Juli 2014
81
periode tersebut. Namun jika berbicara tentang bukti otentik karya sastra sezaman, ada pantun yang biasa dinyanyikan kepada anaknya ketika mengayunnya dalam timangan atau ayunan. Berikut adalah cuplikan bait : Tidurlah anak tidurlah sayang Jika tidur ibu nyanyikan Nyanyian ibu dengarlah sayang Dengarlah sayang dalam impian Mimpilah anak mimpilah sayang Melihat ayah pergi berdagang Berdagang di tanah seberang Negeri Semarang disebut orang Ola-ola taburkan sekam Mari menjala ikan kedere Abang bertolak ada berpesan Janganlah lame di tanah jawa Ola-ola taburkan sekam Mari menjala ikan tebakang Abang bertulak adik berpesan Janganlah lama di negeri Semarang Bandar yang ramai negeri Semarang Kapal layar berlalu lalang Kapal layar membawa barang Para saudagar ramai berdagang Warung padang ditiap simpang Uda dan ete ramai berdagang Berjualan makanan masakang padang Lihatlah anak lihatlah sayang Ayahmu naik salero Duduk makan dengan lahapnya Makan rendang dendang belado Lihatlah anak ayahmu makan dengan enaknya Tidurlah anak tidurlah sayang Jika tidak ibu nyanyikan Nyanyian ibu dengarlah sayang
82
Dengarlah sayang dalam impian Nyanyian ibu sampai disini87 Di akhir 1990-an, budaya menidurkan anak di dalam timangan atau ayunan masih hidup di masyarakat Ketapang, Kalimantan Barat. Ibu-ibu melayu ini suka menidurkan anaknya dalam ayunan, ayunan ada yang dibuat khusus dan adapula yang sekedar tali diikatkan di kusen pintu jika di rumah panggung. Kain ayunan yang dpergunakan biasa kain belacu yang dibuat khusus dengan dicelup dalam warna kuning. Di bawah ayunan biasa ditaruh beliung atau kacip88. Di babakan akhir abad ke 20 menuju abad baru dan millenium 2000-an, konsep Syair Gulong semakin disempurnakan oleh para penyairnya. Sudah ada format penulisan dengan menggunakan komputer ataupun mesin tik. Lembaran kertasnya pun sudah lebih bagus, namun tampaknya kertas-kertas tersebut tidaklah terlalu panjang dan agar terlihat bergulung panjang, para penyair itu menempelkan satu kertas teks dengan yang lainnya sehingga dapat digulung dan membentuk gulungan kertas yang tebal, merepresentasikan definisi gulung/gulungan dalam frasa Syair Gulong. Teks-teks syair Gulong zaman kontemporer semakin menunjukkan maksudnya. Tulisan-tulisan syairnya lebih mencolok, dan tema-tema syairnya sudah mengerucut kepada suatu hal seperti apabila ada panggilan untuk mengisi di suatu acara peresmian sekolah sebagai misal, maka teks syair-nya disesuaikan dengan memasukkan nama-nama tokoh yang menyumbang dana untuk pembangunan sekolah, kepala desa atau camat yang mendukung pembangunan tersebut, dan elemen-elemen semacamnya. Syair Gulong semakin memberikan
87 88
Ibid Ibid, hlm, 125.
83
ruang kepada panitia acara, rombongan dari kampung sebelah atau bahkan lembaga seperti TNI, DPR, sebagai elemen masyarakat yang patut diberikan hormat dengan mencantumkan nama-nama tersebut dalam beberapa bait syair yang mereka lantunkan. Berikut adalah cuplikan teks-teks Syair Gulong yang hidup di tahun 2000-an : Assalamualaikum warahmatullah Waalaikumsalam jawab terjumlah Didalam kertas ditulis gisah Mulai dibaca dengan bismillah Bismillah awal cerita Malam ini masyarakat pematang pinang merasa bangga Mengucappkan puji syukur kepada Allah ta’ala Adanya taufiq dan hidayan Allah Tuhan Yang Maha Esa Mohon kepada bapak, ibu, sdra,sdri Serta para undangan yang datang kemari Mohon maaf saya numpang berdiri Membacakan sya’ir gulung sekedar informasi Selamat malam kepada Bapak Bupati dan Pak Camat Benua Kayong Serta muspida dan muspika siap bergabung Izinkalah saya turut mendukung Dalam oretan sya’ir bergulung Saya sebagai sekdes merangkap komdes kuning, di Negeri Baru Ketua pelaksana Pa’ Muridan mohon saya untuk memacu Kerna th 2004 sudah berlalu Tahun 2005, ini kite harus bersatu Adanya persatuan sangat berarti Dalam bidang apapun hanya Allah menjadi Masjid siap, madrasah berdiri. Malam ini diresmikan Bapak Bupati Yang kita cari ridanya Allah Kita berusaha mencari berkah Seksi dana pak Nasir dan Pak Abdullah Dalam sidang pembangunan beliau tak mau kalah Pak Muridan sebagai ketua
84
Pak Zulkifli sekretari/wakil ketua Ibuk Roslinam sebagai bendahara Dana dikeluarkan sudah sekian juta Beginilah keadaan Bangunan Madrasyah kami dirikan Mana yang kurang mohon cukupkan Kepada Bapak Bupati, dan juga Bapak Dinas Pendidikan89 Teks syair tersebut dibacakan pada acara peresmian sebuah sekolah atau madrasah yang telah selesai dibangun pada tahun 2005 di Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Secara umum isi dari teks syair tersebut adalah puji syukur atas berdirinya sekolahan di Kecamatan Benua Kayong tersebut. Teks syair ini ditulis oleh Uti Saban, penyair syair Gulong yang mulai berkarir menjadi penyair sejak tahun 1970-an, dan termasuk generaasi pertama yang mengalami mundurnya semangat berkebudayaan dan berkesenian setelah masa pendudukan Jepang. Ia juga mengakui bahwa adanya sesuatu yang berubah dari teks-teks syair yang pernah dibacakan dahulu hingga saat ini, dan menggarisbawahi bahwa Syair Gulong sekarang lebih sederhana meskipun tidak mudah membuatnya90. Berikut adalah cuplikan Syair Kayung Pernikahan Lisa Amalia dan Erlambang Ardiansyah, 2013 : Demgam bismillah permulaan kalam Allah pencipta semesta alam Nabi Muhammad penghulu Islam 17 Rakaat dalam sehari semalam Shalawat dan Salam Rasul tercinta Pembawa rahmad alam semesta Menjadi suluh di gelap gulita Agama Islam ibarat Pelita
89 90
Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. Wawancara dengan Uit Saban. 3 Agustus 2014
85
Kasih sayang Allah selalu terangkai Bersatu erat ibarat rantai Pernikahan berlangsung kembang seuntai Selalu menyinari kedua mempelai Syahdan Alkalamu wal ba’dah Pengantar kata pembuka madah Sampai di sini kisah berpindah Pelaksana gawe menjadi wadah Menjadi wadah suatu acara Buah cinta bujang dan dara Hidup berumah tangga ibarat bahtera Akan berlayar mengharungi samudra Acara ibarat suatu pangkalan Untuk berangkat mempersiapkan bekalan Adat dan syara’ menjadi andalan Semoga cinta terus berkekalan Sebelum melanjutkan uraian sya’ir Selamat datang ucapan terukir Yth Bpk Mayjend TNI Marinir HM Suandi Thahir Di kota Jakarta mengukir meniti karir Juga kepade keluarge beserta rombongan Ucapan selamat datang tiada ketinggalan Untuk menghadiri acara pernikahan keponakan Di Kota Ketapang tanah kelahiran penuh kenangan Ayahnde Sy.Lukman pangkal cerita Ibounde Assuannur Thahir istrinye tercinta Di Kampong Padang tempat bertahta Ada menyimpan bunga permata Ibunde assuannur empat saudara Ibu Hj, Sadriatannur saudara tua Ym Mayjen TNI Marinir HM. Suandi yang kedua Bapak Sirajuddin Thahir saudara ke tiga91
91
Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia oleh Mahmud Mursalin, Ketapang, 8 Desember 2013.
86
Teks tersebut adalah beberapa contoh dari teks-teks Syair Gulong yang dibacakan untuk acara perkawinan masyarakat Melayu. Tema, bait-bait syair, semuanya bermuara kepada maksud diiadakannya pernikahan tersebut. Di beberapa bait penyair Gulong memasukkan nama-nama keluarga menantu dan mertua sebagai pemanis atau juga formalitas, tanda terimakasih. Berikut adalah Cuplikan teks Syair Pemuda dan Tanah Kayung, 2013 : Bismillah itu permulaan qalam Atas name Allah khaliqul ‘alam Memberi syafa’at siang dan malam Kepade makhluk seisi alam Shalawat dan salam rasul tercinta Pembawa rahmat alam semesta Penerima wahyu hukum di tata Untuk keselamatan Islam yang nyata Marwah Melayu berpantang surut Kuatkan dada saling berpaut Kate pepatah telah terajut Sekeras waje seliat sempulut Wahai tuan handai dan aulan Beserte hormat saye haturkan Adat budaye jangan dilupakan Agar tak punah di telan zaman Di tanah Kayung pembangunan pesat Baik di laut maupun di darat Banyak peluang boleh di dapat Banyaklah usaha boleh di buat Tetapi karena ilmu tak ada Peluang yang ada terbuang saja Di isi orang awak menganga Akhirnya duduk mengurut dada Di tanah Kayung banyak kesempatan Untuk menjadi sumber pendapatan Karena pengetahuan tak ada di badan
87
Orang lain yang memanfaatkan92 Jika mengambil garis utama dari syair-syair yang muncul di era 2000-an, secara umum syair Gulong yang berkembang sangat temporal, hanya diperuntukkan pada waktu itu saja. Beberapa penutur lisan menyebutkan mereka telah menulis dan melakukan. Tampaknya ada banyak paradigma pemikiran Syair Gulong yang muncul di masa kontemporer. Syair Gulong semakin meonjolkan kontektstualitasnya dan eksplorasi yang dikedepankan tergantung kepada event acara ataupun kegiatan semisalnya yang menyajikan medium untuk membacakan syair, sehingga tema-tema teks syair tersebut sangat dinamis karena varian acara kebudayaan Melayu dan semacamnya yang sangat banyak di Kalimantan Barat. Selain itu, adanya keyakinan diantara penyair-penyair Gulong bahwa teksteks syair yang mereka tulis dewasa ini merepresentasikan syair Gulong yang pernah hidup pada masa lalu, secara pemaknaan syair tersebut dilagukan, dibacakan di depan khalayak, dan kertasnya panjang bergulung. Faktanya, istilah syair Gulong sendiri adalah muncul di periode akhir 90-an, dengan menisbatkan pengertian tersebut kepada bagaimana mayoritas masyarakat Kabupaten Ketapang menyebut kesenian bertutur syair tersebut. Dinamika Syair Gulong dalam konteks sosial dan seni akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
92
Syair Pemuda dan Sejarah Tanah Kayung. Makalah disampaikan pada Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK XI) Kalimantan Barat, Kamis 3 Oktober 2013.