PERBANDINGAN STATUS HEMODINAMIK NON INVASIF DAN STATUS PERNAFASAN PASIEN DENGAN VENTILASI MEKANIK PADA POSISI SEMI FOWLER 150, 300, DAN 450 Erna Safariyah1, Kusman Ibrahim2 dan Titin Mulyati3 Kondisi hemodinamik dan status pernafasan yang tidak stabil merupakan kondisi yang biasa terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanik, sehingga perawat perlu memperhatikan respon hemodinamik dan pernafasan pasien ketika melakukan pengaturan posisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan status hemodinamik non invasif dan status pernafasan pada posisi semi fowler 15°, 30°, dan 45°.Penelitian ini menggunakan quasi experiment denganrancangan penelitian menggunakan one-group pretest-posttest design. Jumlah sampel 25 orang dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah repeated anova dan dilanjutkan dengan analisa posthoc. Hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna MAP, denyut jantung dan frekuensi nafas pada posisi semi fowler 15°, 30°, dan 45° (MAP dan denyut jantung p=0,000, frekuensi nafas p=0,011). Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna saturasi oksigen pada posisi semi fowler 15°, 30°, dan 45° (p=0,130). Rekomendasi dari penelitian ini adalah posisi semi fowler 30° dapat diterapkan pada pasien dengan ventilasi mekanik dan menjaga status hemodinamik non invasif dan pernafasan tetap stabil. Kata Kunci : semi fowler, hemodinamik non invasif, status pernafasan, ventilasi mekanik, perbandingan
LATAR BELAKANG Ruang intensif merupakan tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang ditujukan untuk menangani pasien-pasien kritis karena penyakit akut, cedera atau komplikasi penyakit lain. Kondisi yang sering terjadi pada pasien di ICU (Intensive Care Unit) adalah hemodinamik dan pernafasan yang tidak stabil yang ditandai dengan peningkatan mean arterial pressure (MAP), denyut jantung dan frekuensi pernafasan serta penurunan saturasi oksigen. Dukungan hemodinamik dan ventilasi mekanik adalah aspek perawatan umum yang dilakukan di ICU. Pemasangan ventilasi mekanik bertujuan untuk memudahkan pengeluaran karbondioksida (CO2) dan memudahkan oksigenasi serta membantu menurunkan usaha napas. Pasien dengan ventilasi mekanik dapat mengalami perubahan hemodinamik dan pernafasan. Standar pengelolaan pasien di ICU dalam rangka meningkatkan keberhasilan terapi meliputi penyapihan dari ventilasi mekanik, pencegahan infeksi nosokomial, pengelolaan, diagnosis dan terapi sepsis, serta pencegahan dan pengelolaan ventilator associated pneumonia (VAP). Standar pengelolaan ini dikenal sebagai bundle therapy (Institute for Health Care Improvement [IHI], 2005 dalam Todi, 2012). Salah satu standar tersebut adalah head of bed elevation. Elevasi head of bed yang direkomendasikan pada pasien dengan ventilasi mekanik, adalah posisi semi fowlerdengankepala tempat tidur diangkat 300 sampai dengan 450. Posisi ini mengurangi gastroesophageal reflux, sehingga membatasi kolonisasi orofaringeal dan aspirasi paru dari sekresi lambung (Horan, Andrus, & Dudeck, 2008). Dengan posisi semi fowler juga dapat menurunkan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) sebesar 34% (Augustyn, 2007). Posisi semi fowler dapat meningkatkan oksigenasi dan memaksimalkan upaya ventilasi dengan menurunkan kompresi abdomen pada dasar paru. (Rose, Baldwin, Crawford, & Parke, 2010). Posisi semi fowler pada pasien juga akan menunjang kinerja paru-paru. Proses sirkulasi darah dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi tubuh. Posisi tegak juga dimanfaatkan untuk meningkatkan volume paru - paru dan mengurangi kerja pernafasan pada pasien yang sedang disapih dari ventilasi mekanik. (Clini & Nicolino, 2005) Posisi semi fowler yang dapat meningkatkan tidal volume adalah pada kemiringan 30° dan 45° (Speelberg & Beers, 2003). Meningkatnya tidal volume pada posisi semi fowler akan menyebabkan peningkatan oksigenasi (Speelberg & Beers, 2003; Richard, Maggiore & Mancebo, 2006; Shah et al., 2012). Meningkatnya oksigenasi menyebabkan kebutuhan minute volume terhadap oksigen akan cepat terpenuhi sehingga respiratory rate cenderung menurun.
Penelitian yang dilakukan oleh Gozce, Strenge, and Zeman (2013) yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh posisi supine, posisi semi fowler 30° dan 45° terhadap stabilitas hemodinamik pasien kritis yang terpasang ventilator, didapatkan hasil, posisi semi recumbent atau semi fowler 45° sangat terkait dengan penurunan MAPdan Saturasi O2 pada pasien dengan ventilasi mekanik. Pada pengaturan sudut 30°didapatkan nilai rerata MAP 75,1 sedangkan pada pengaturan 45° didapatkan nilai rerata MAP 71,1. Pada penelitian yang dikembangkan oleh Schwarz, et al (2002) tentang pengaruh posisi 15° dan 30° terhadap perfusi serebral diperoleh, bahwa pada posisi 15° diperoleh MAP sebesar 82,7 mmHg, sedangkan pada posisi 30° diperoleh nilai MAP sebesar 76,1 mmHg. Penelitian ini didukung oleh Taryono (2013), dalam penelitiannya didapatkan rerata MAP pada semi fowler 15°, 30° dan 45° pada pasien gagal napas akut yang terpasang ventilator diketahui, paling tinggi pada semi fowler 15° yaitu 97,78 mmHg dan semakin tinggi posisi semi fowler semakin rendah MAP seperti semi fowler 30° rerata MAP 92.78 mmHg, semi fowler 45° rerata MAP 92,33 mmHg. Hasil penelitian Mohammad Pour, Banansharifi, Basirimoghaddam, & Nematollahi (2013) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai posisi terhadap tekanan darah didapatkan hasil pada posisi setengah duduk didapatkan peningkatan nilai rata-rata dari tekanan darah dibandingkan pada posisi supine atau telentang. Sedangkan pada penelitian yang dikembangkan oleh Rauen, Makic, and Bridges (2009) didapatkan hasil, perubahan posisi dari supine ke semi fowler pada pasien dengan ventilasi mekanik menyebabkan tekanan sistolik dan diastolik meningkat 4 sampai 7 mmhg. Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk meneliti perbandingan status hemodinamik non invasif dan status pernafasan pada posisi semi fowler 15°, 30°dan 45° pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik di General Intensive Care Unit (GICU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah pra eksperimen (pre-experimental designs), adapun desain penelitian menggunakan one group pretest posttest design,
dengan intervensi perubahan posisi semi
Fowler pada pasien dengan ventilasi mekanik mulai dari semi Fowler 15°, 30° dan 45° dan dilakukan penilaian MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dan saturasi oksigen untuk setiap
intervensi semi Fowler. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahuiperbedaan nilai MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dan denyut jantung pada semi Fowler 15°, 30° dan 45°. Sampel penelitian ini adalah pasien yang terpasang ventilasi mekanik dengan mode PS, CPAP dan hemodinamik yang stabil. Tehnik pengambilan sampel Consecutivesampling. Pada penelitian ini jumlah sampel 25 orang. Variabel pada penelitian ini adalah berupa perlakuan yaitu pengaturan posisi semi fowler. Adapun faktor yang diteliti yaitu status hemodinamik non invasif dan status pernafasan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Pengukuran semi Fowler dengan menggunakan angle level dan pengukuran RSBI menggunakan tampilan monitor ventilator yang secara real time menampilkan respiratory rate dan tidal volume. Prosedur intervensi penelitian adalah
responden
memenuhi kreteria inklusi dan eksklusi
dilakukan pengaturan semi Fowler 15°, tindakan ini
dilakukan
terpasang ventilasi mekanik bila sudah
selama 10 menit selanjutnya diukur MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dan
saturasi oksigen. Selanjutnya
dari semi Fowler 15° diatur ke semi Fowler 30° dengan cara
yang sama seperti pengukuran pertama. Pengaturan semi Fowler 30° dilakukan selama 10 menit selanjutnya diukur MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dan saturasi oksigen. Selanjutnya dari semi Fowler 30° diatur ke semi Fowler 45° dengan cara yang sama seperti pengukuran pertama dan kedua. Pengaturan semi fowler 45° dilakukan selama 10 menit selanjutnya diukur MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dan saturasi oksigen. Berdasarkan uji Saphiro-Wilk didapatkan data yang memiliki distribusi normal adalah MAP (MAP pada semi fowler 15° dan 30°), denyut jantung pada semi fowler 15°, frekuensi nafas (frekuensi nafas pada semi fowler 15°, 30° dan 45°). Sedangkan data yang tidak berdistribusi normal adalah MAP (MAP pada semi fowler 45°), denyut jantung (denyut jantung pada semi fowler 30° dan 45°), dan saturasi oksigen (saturasi oksigen pada semi fowler 15°, 30° dan 45° Selanjutnya data yang berdistribusi normal dilakukan uji perbedaan pada semi fowler 15°, 30° dan 45° menggunakan Repeated ANOVA. Untuk data yang tidak berdistribusi normal dilakukan transformasi terlebih dahulu hingga berdistribusi normal lalu baru dilakukan uji Repeted ANOVA. Setelah itu dilakukan analisis Post Hoc.
HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=25) Karakteristik responden
F
%
Dewasa awal (18-40 th) Dewasa menengah (41-65 th) Dewasa akhir (>65 th) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Diagnosa Medis Bedah digestive Bedah saraf Kebidanan Neurologi Penyakit dalam Lama Hari Rawat < 7 hari ≥ 7 hari Tingkat Kesadaran Compos mentis Somnolen Sopor Terapi Inotropik/Vasopresor Ya Tidak Mode Ventilator CPAP PS SIMV-PS
11 13 1
44,0 52,0 4,0
13 12
52.0 48.0
4 4 2 8 7
16.0 16.0 8.0 32.0 28.0
19 6
76.0 24.0
5 2 18
20.0 8.0 72.0
3 22
12,0 88,0
16 4 5
64.0 16.0 20.0
Usia
Pada tabel 1 didapatkan sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia dewasa menengah sebanyak 52 % memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 52 % berada dalam tingkat kesadaran sopor 72 % dan menggunakan ventilator dengan mode CPAP sebanyak 64 %. Diagnosa medis terbanyak adalah dari bagian neurologi dengan jumlah 32 %. Sebanyak 76 % responden telah menjalani hari perawatan kurang dari 7 hari dan tidak sedang mendapatkan terapi inotropic atau vasopressor sebanyak 88 %.
Tabel 2 Distribusi MAP pada semi fowler 15°, 30° dan 45° Semi Fowler 15° 30° 45°
Rerata
Median
SD
Min-Maks
87.52 88.36 87.48
89.00 88.00 89.00
9.288 8.850 9.527
70-100 72-100 71-100
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa rerata MAP tertinggi pada semi fowler 30° (Posttest I), dengan MAP minimal 70 mmHg dan maksimal 100 mmHg. Rerata MAP terendah pada semi semi fowler 45° (Posttest II), dengan MAP minimal 71 mmHg dan maksimal 100 mmHg. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Denyut Jantung pada semi fowler 15°, 30° dan 45° Semi Fowler 15° 30° 45°
Rerata
Median
SD
Min-Maks
85,68 84,96 85,68
88 87 89
11.390 10.979 11.161
60-101 60-98 62-100
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa rerata denyut jantung terendah pada semi fowler 30° (Posttest I) dengan denyut jantung minimal 68 kali per menit dan maksimal 100 kali per menit. Pada semi fowler 30° dan 45° rerata denyut jantung cenderung sama, lebih tinggi dibandingkan rerata denyut jantung pada semi fowler 30° Tabel 4. Distribusi Frekuensi Nafas pada semi fowler 15°, 30° dan 45° Semi Fowler 15° 30° 45°
Rerata
Median
SD
Min-Maks
18,96 17,36 18,64
19 17 19
3.846 3.426 3.451
12-27 12-27 13-27
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa rerata frekuensi nafas tertinggi pada semi fowler 15° (Pretest) dengan frekuensi nafas minimal 12 kali per menit dan maksimal 27 kali per menit. Rerata frekuensi nafas terendah pada semi fowler 30° (Posttest I) dengan frekuensi nafas minimal 12 kali per menit dan maksimal 27 kali per menit.
Tabel 5 Distribusi Saturasi Oksigen pada semi fowler 15°, 30° dan 45° Semi Rerata Median SD MinFowler Maks 15° 98,88 100 1.691 94-100 30° 99,04 100 1.399 95-100 45° 98,68 100 1.773 95-100
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa rerata saturasi oksigen tertinggi pada semi fowler 30° (Posttest I) dengan saturasi oksigen minimal 95 % dan maksimal 100 %. Rerata saturasi oksigen terendah pada semi fowler 45° (posttest II) dengan saturasi oksigen minimal 95 % dan maksimal 100 %. Tabel 6. Perbedaan Rerata Parameter Hemodinamik Non Invasif dan Pernafasan pada Semi Fowler 15°, 30° dan 45° Parameter Hemodinamik Non Invasif
Semi Fowler 15°
Semi Fowler 30°
Semi Fowler 45°
Rerata
SD
Rerata
SD
Rerata
SD
MAP Denyut Jantung Frekuensi Nafas Saturasi Oksigen
87.52 85,68 18,96 98,88
9.288 11.390 3.846 1.691
88.36 84,96 17,36 99,04
8.850 10.979 3.426 1.399
87.48 85,68 18,64 98,68
9.527 11.161 3.451 1.773
P Value
0,000 0,000 0,011 0,130
Berdasarkan tabel 6. setelah dilakukan uji repeated anova terdapat perbedaan yang bermakna nilai MAP pasien dengan ventilasi mekanik pada semi Fowler 15°, 30° dan 45° dengan p-value 0,000 (p<0,05). Perbedaan rerata nilai denyut jantung pasien dengan ventilasi mekanik pada semi Fowler 15°, 30° dan 45° setelah diuji dengan menggunakan uji repeated anova terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,000 (p<0,05). Adapun perbedaan rerata nilai frekuensi nafas pasien dengan ventilasi mekanik pada semi Fowler 15°, 30° dan 45° setelah diuji dengan menggunakan uji repeated anova terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,011 (p<0,05). Sedangkan untuk nilai saturasi oksigen tidak terdapat perbedaan dengan p-value 0,13 (p>0,05). Berdasarkan hal tersebut minimal ada dua semi fowler yang berbeda rerata sehingga untuk mengetahui semi fowler yang mana saja terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji post-hoc paired wise comparison, seperti terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 7 Perbedaan Rerata Nilai MAP, Denyut Jantung dan Frekuensi Nafas Antar Semi Fowler 15°, 30° dan 45° Pasien dengan Ventilasi Mekanik di R. GICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Parameter Semi Fowler Semi Fowler Semi Fowler Hemodinamik 15° vs 30° 15° vs 45° 30° vs 45° Non Invasif Perbedaan p Perbedaan p Perbedaan p Rerata value Rerata value Rerata value (CI 95%) (CI 95%) (CI 95%) MAP -0.840 0.393 85.58 0,000 86.42 0,000 (-2.83-1.15) (81.76- 89.39) (82.78- 90.06) Denyut Jantung 83.75 0,000 83,75 0,000 -0.004 0,184 Frekuensi (79.07-88.43) (79,03-88,34) (-0.009-0.002) Nafas 1,6 0,008 0,32 0,647 -1,28 0,027 (0,46-2,74) (-1,10-1,74) (-2,4-(-0,159)
Pada tabel 7. dapat dilihat perbedaan rerata nilai MAP, denyut jantung dan frekuensi nafas antar semi Fowler 15°, 30° dan 45° dengan menggunakan post-hoc paired wise comparison. Nilai MAP pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan nilai MAPposttest I (semi fowler 30°) tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,393 (p>0,05), dengan perbedaan rerata -0.840 mmHg dan estimasi interval 95% diantara -2.83 mmHg sampai dengan 1.15 mmHg. Perbedaan rerata pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan posttest II (semi fowler 45°) terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,00 (p<0,05), dengan perbedan rerata 85,58 mmHg dan estimasi interval 95% diantara 81,76 mmHg sampai dengan 89,39 mmHg. Perbedaan rerata pada saat posttest I (semi fowler 30°) dibandingkan dengan posttest II (semi fowler 45°) terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,000 (p<0,05), dengan perbedaan rerata 86.42 mmHg dan estimasi interval 95% diantara 82,78 mmHg sampai dengan 90,06 mmHg. Nilai denyut jantung pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan nilai denyut jantung posttest I (semi fowler 30°) terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,00 (p<0,05), dengan perbedaan rerata 83,75 kali per menit dan estimasi interval 95% diantara 79,07 kali per menit sampai dengan 88,43 kali per menit. Perbedaan rerata pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan posttest II (semi fowler 45°) terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,00 (p<0,05), dengan perbedan rerata 83,75 kali per menit dan estimasi
interval 95% diantara 79,03 kali per menit sampai dengan 88,34 kali per menit.
Perbedaan rerata pada saat posttest I (semi fowler 30°) dibandingkan dengan posttest II (semi
fowler 45°) tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,184 (p>0,05), dengan perbedaan rerata -0,004 kali per menit dan estimasi interval 95% diantara -0,009 kali per menit sampai dengan -0,002 kali per menit. Nilai frekuensi nafas pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan nilai frekuensi nafas posttest I (semi fowler 30°) tterdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,008 (p<0,05), dengan perbedaan rerata 1,6 kali per menit dan estimasi interval 95% diantara 0,46 kali per menit sampai dengan 2,74 kali per menit. Perbedaan rerata pada saat pretest (semi fowler 15°) dibandingkan dengan posttest II (semi Fowler 45°) tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,647 (p<0,05), dengan perbedaan rerata 0,32 kali per menit dan estimasi interval 95% diantara -1,10 kali per menit sampai dengan 1,74 kali per menit. Perbedaan rerata pada saat posttest I (semi fowler 30°) dibandingkan dengan posttest II (semi fowler 45°) terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,027 (p<0,05), dengan perbedaan rerata 1,28 kali per menit dan estimasi interval 95% diantara -2,4 kali per menit sampai dengan 0,16 kali per menit.
PEMBAHASAN Peningkatan rerata MAP dari semi fowler 15° ke semi fowler 30° dapat disebabkan oleh adanya proses adaptasi sirkulasi terhadap perubahan posisi tubuh. Hal ini didukung oleh penelitian Okasha et al (2012) dimana setelah diposisikan semi fowler selama 15 menit terjadi peningkatan rerata MAP 96 mmHg dari 94 mmHg pada posisi supine. Penurunan MAP dari semi fowler 30° ke semi fowler 45° disebabkan peningkatan sudut semi fowler menginduksi perpindahan darah yang dipengaruhi gravitasi daritubuh bagian atas dan kompartemen sirkulasi pusat terhadap abdomen dan tungkai bawah. pengumpulan darahdi kaki mengurangi aliran balik vena sistemik ke jantung kanan dan mengurangi curah jantung. Gocze, et al (2013) dalam penelitiannya menunjukkan terjadi penurunan MAP dari semi fowler 30° sebesar 75,1 mmHg ke semi fowler 45° sebesar 71,1 mmHg. Meningkatnya rerata denyut jantung pada semi Fowler 15° disebabkan oleh menurunya tidal volume menyebabkan oksigenasi berkurang sehingga untuk meningkatkan hantaran oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dan plasma darah dengan cara meningkatkan denyut jantung
untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen sehingga metabolisme sel tetap normal (Darovic, 2002). Menurunnya rerata denyut jantung pada semi Fowler 30° disebabkan oleh meningkatnya udara yang masuk ke dalam paru–paru, yang selanjutnya meningkatkan tidal volume sehingga oksigenasi cukup adekuat pada posisi ini, menyebabkan kinerja jantung menurun ditandai dengan menurunnya denyut jantung (Okasha, et al, 2012; Corwin, 2009; Sole, et al, 2009). Meningkatnya rerata denyut jantung yang paling tinggi pada semi Fowler 45° disebabkan oleh menurunnya MAP yang paling rendah pada posisi ini, sehingga dengan menurunnya MAP merupakan indikator menurunnya stroke volume, menurunnya stroke volume akan dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan denyut jantung dengan tujuan mencapai cardiac output yang memadai untuk meningkatkan
hantaran oksigen dalam memenuhi kebutuhan
oksigen untuk jaringan tubuh. Meningkatnya rerata frekuensi nafas pada semi Fowler 15° disebabkan oleh menurunya tidal volume menyebabkan oksigenasi berkurang sehingga untuk meningkatkan ambilan oxygen dari atmosfer dengan cara meningkatkan frekuensi nafas atau hiperventilasi dengan tujuan untuk meningkatkan difusi di alveoli dengan kapiler paru yang pada akhirnya akan dilakukan transport O2 ke
seluruh
tubuh, sekitar 98 % hantaran oksigen dilakukan oleh
hemoglobin. Setiap gram hemoglobin dapat membawa 1,34 ml O 2 dan 2% hantaran oksigen dilakukan oleh plasma. Menurunnya rerata frekuensi nafas pada semi fowler 30° disebabkan oleh tidal volume tercapai paling tinggi pada posisi ini, meningkatnya tidal volume pada posisi semi fowler akan menyebabkan peningkatan oksigenasi (Speelberg & Beers, 2003; Richard et al., 2006; Shah et al., 2012). Meningkatnya oksigenasi menyebabkan kebutuhan terhadap oksigen akan cepat terpenuhi sehingga frekuensi nafas cenderung menurun. Pada posisi semi fowler 45° terjadi peningkatan rerata frekuensi nafas, sedangkan menurut penelitian Burns et al. (1994) dalam Taryono (2013) yang bertujuan melihat pengaruh posisi tubuh terhadap frekuensi napas spontan terhadap pasien obesitas, distensi abdomen dan asites hasilnya adalah pada posisi semi Fowler 45° dapat menurunkan frekuensi nafas. Penelitian burns et al (1994) dalam Taryono (2013) berbeda dengan hasil penelitian ini oleh karena pada penelitian Burns et al pembandingnya semi fowler 45° dengan posisi fowler
90°, sedangkan pada penelitian ini dibandingkan semi fowler 45° dengan semi fowler 30° dan semi fowler 15° yang hasilnya frekuensi nafas paling tinggi pada semi fowler 45°. Terjadinya peningkatan rerata frekuensi nafas pada semi fowler 45° ini disebabkan oleh menurunya cardiac output yang tercermin dalam penurunan MAP. Terjadinya penurunan cardiac output pada semi fowler 45° akan
menyebabkan
menurunnya darah yang dikirim ke jaringan. Untuk mempertahankan metabolisme aerobik normal, jaringan harus mengambil O2 lebih banyak dari darah. Ketika terjadi peningkatan pengambilan tidak dapat dikompensasi tubuh akan terjadi penurunan cardiac output dan metabolisme anareob terjadi. Ini disebabkan oleh menumpuknya asam laktat, yang selanjutnya menekan kerja miokardium dan menurunkan cardiac output lebih rendah lagi. Pada pasien akan terlihat penurunan PaO2 dan penurunan Saturasi O2 mixed venous. Penurunan saturasi O2 mixed venous ini adalah refleksi dari peningkatan pengambilan O 2 di level jaringan (Corwin, 2009; Leach & Treacher, 2002). Rendahnya nilai saturasi oksigen pada semi fowler 15° disebabkan karena meningkatnya frekuensi nafas pada semi fowler 15°. sedangkan penurunan kembali saturasi oksigen pada semi fowler 45° berkaitan dengan penurunan curah jantung pada posisi semi fowler 45°, dan sebagai refleksi dari peningkatan pengambilan oksigen di jaringan (Corwin, 2009; Sole, et al., 2009; Leach & treacher, 2002). Pada penelitian Okasha et al (2012) didapatkan terjadi peningkatan saturasi oksigen pada semi fowler sebesar 99 % dibandingkan pada posisi
supine 97 %.
Uji beda dengan menggunakan Repeated Anova. Untuk mengetahui semi fowler mana yang berbeda dilanjutkan dengan uji post-hoc paired wise comparison. Adapun untuk saturasi oksigen tidak dilakukan analisa post hoc karena tidak terdapat perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen pada semi fowler 15, 30 dan 45. Hal ini dapat disebabkan karena saturasi oksigen pada semi fowler 15, 30 dan 45 berada pada nilai yang sudah sama baik dari rentang nilai normal (95 % - 100 %), sehingga setiap perubahan yang didapatkan pada setiap pengamatan tidak berbeda secara signifikan. Saturasi oksigen yang sudah baik dapat disebabkan karena pasien mendapatkan pemberian FiO2 melalui ventilator. Rerata FiO2 yang diberikan pada 25 responden dalam penelitian ini adalah 48,7 %. Dengan pemberian FiO2, maka responden mendapatkan tambahan oksigen untuk diikat dalam hemoglobin dan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah lalu dilepaskan ke dalam sel. Oleh karena itu, saturasi oksigen pada penelitian ini menunjukkan nilai yang baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan, semi fowler terbaik untuk nilai MAP, denyut jantung dan frekuensi nafas adalah pada semi fowler 30°, dibandingkan dengan semi fowler 15°. Dimana semi fowler 30° meningkatkan MAP dan saturasi oksigen serta menurunkan denyut jantung dan frekuensi nafas. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penelitian ini dilakukan pada responden dengan hemodinamik yang telah stabil atau pada pasien yang siap untuk dilakukan penyapihan dari ventilasi mekanik dengan mode ventialsi PS, SIMV-PS dan CPAP. Sehingga semua parameter yang diamati tersebut tetap berada pada rentang nilai normal meskipun terjadi perubahan nilai. Semi fowler menyebabkan menurunnya ketegangan otot - otot perut dengan gaya gravitasi isi abdomen dan massa perut jatuh ke bawah sehingga mengurangi tekanan ke diafragma dan meringankan kompresi dada. Pada saat inspirasi tekanan di dalam paru - paru jauh lebih rendah dari biasanya dibandingkan tekanan atmosfer, yang mengakibatkan tertariknya udara lebih banyak ke dalam paru - paru (Jones & Bartlett, 2012). Meningkatnya udara yang masuk ke dalam
paru–paru, akan meningkatkan oksigenasi terutama pada posisi semi fowler 30°.
Meningkatnya oksigenasi maka akan menyebabkan nilai MAP, denyut jantung, frekuensi nafas dalam rentang normal. Uji beda pada semi fowler 15° dengan semi fowler 30° tidak berbeda secara signifikan dengan p-value 0,582 (p>0,05). Hasil ini bermakna bahwa dari perlakukan semi fowler 15° ke semi fowler 30° tidak berpengaruh terhadap nilai MAP. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Giuliano, et al (2003) yang membandingkan nilai MAP pada posisi 0°, 30° dan 45°. Hasil uji beda tidak ditemukan perbedaan bermakna dari posisi supine 0° dengan semi fowler 30°. Semakin tinggi semi fowler maka semakin rendah nilai MAP. Pada penelitian ini nilai rerata MAP pada posisi 30° mengalami peningkatan dibandingkan posisi semi fowler 15°. Namun peningkatan yang terjadi masih berada dalam rentang nilai normal MAP yaitu 70 sampai dengan 105 mmHg. Perbedaan rerata denyut jantung berdasarkan hasil uji beda ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada posisi semi fowler 15° dengan semi fowler 30°. Nilai rerata denyut jantung menurun pada semi fowler 30°. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian okasha et al, (2013) yang membandingkan parameter hemodinamik dan perfusi serebral pada pasien acute traumatic brain injury pada posisi supine dan semi fowler 30°. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa nilai rerata denyut jantung cenderung meningkat pada posisi supine dan menurun pada posisi semi fowler 30°. Uji beda rerata frekuensi nafas pada semi fowler 15° menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna nilai frekuensi nafas pada posisi semi fowler 15° dengan semi fowler 30°dengan pvalue 0,008 (> 0,05). Sesuai dengan hukum Boyle semakin rendah tekanan intra torakal semakin banyak volume udara paru-paru (tidal volume). Meningkatnya oksigenasi
menyebabkan kebutuhan terhadap oksigen akan cepat
terpenuhi sehingga frekuensi nafas cenderung menurun (Burns et al., 1994). Sehingga pada semi fowler 30° adalah posisi semi fowler terbaik dan merupakan teknik sederhana untuk meningkatkan oksigenasi serta meningkatkan pengeluaran PaCO2 seperti yang dikemukanan oleh Richard et al. (2006). Tingginya nilai rerata frekuensi nafas pada posisi semi fowler 15° disebabkan rendahnya gaya gravitasi isi abdomen sehingga tekanan intra abdomen yang tinggi akan mempengaruhi dan menekan diafragma mengakibatkan pengembangan rongga dada tidak maksimal akibatnya tidal volume yang di hasilkan rendah. Uji beda nilai rerata MAP dan denyut jantung pada semi Fowler 15° dengan 45° terdapat perbedaan yang signifikan dengan p-value 0,000 (p<0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Giuliano, et al (2003) dimana nilai rerata MAP pada posisi 45° lebih rendah dibandingkan posisi supine. Adapun peningkatan MAP ini berdasarkan nilai statistic, namun dalam intervensi yang dilakukan pengukuran MAP setelah posisi 15 dirubah ke semi fowler 30 terlebih dahulu, kemudian ke semi fowler 45. Sehingga dalam hal ini tubuh melakukan mekanisme adaptasi terhadap perubahan posisi tubuh. Namun, jika dilihat dari nilai reratanya maka secara klinis nilai MAP masih dalam rentang nilai normal yaitu 70 sampai dengan 105 mmHg. Uji beda untuk denyut jantung ditemukan perbedaan yang bermakna antara semi fowler 15° dengan semi fowler 45°. Namun, dilihat dari nilai rerata denyut jantung cenderung tidak terdapat perbedaan dimana nilai rerata denyut jantung pada semi fowler 15° sama dengan nilai rerata denyut jantung pada semi fowler 45°. Uji beda untuk frekuensi nafas tidak ditemukan perbedaan signifikan antara semi fowler 15° dengan semi fowler 45°. Namun, pada posisi semi fowler 45° rerata frekuensi nafas lebih rendah dibandingkan pada
semi fowler 15°
Semi fowler 45° menyebabkan frekuensi nafas meningkat diakibatkan oleh menurunya cardiac output yang tercermin dalam penurunan MAP. Penurunan cardiac output pada pasien
kritis akan berpengaruh terhadap kemampuan darah dalam membawa oksigen akan berkurang sehingga suplai oksigen ke jaringan akan berkurang sementara kebutuhan jaringan akan oksigen tetap harus terpenuhi (Leach & Treacher, 2002). Penurunan hantaran oksigen akan memacu terjadinya hipoksemia dan selanjutnya hipoksia jaringan (Cilley, Andrew & Phillip, 1991). Penurunan hantaran oksigen yang menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen di arteri akibatnya akan merangsang kemoreseptor perifer yang berada di arteri karotis dan aorta mengirimkan sinyalnya ke pusat pernapasan di medula oblongata dan pons terutama untuk meningkatkan frekuensi pernapasan (Corwin, 2009). Berdasarkan uji beda dengan nilai rerata MAP dan frekuensi nafas pada semi Fowler 30° dengan 45° berbeda secara bermakna. Dampak dari perubahan posisi dari semi Fowler 30° ke semi Fowler 45° adalah terjadi penurunan MAP dan peningkatan frekuensi nafas. Meskipun dari segi klinis nilai rerata MAP dan frekuensi nafas pada semi Fowler 30° dengan rerata MAP dan frekuensi nafas pada semi Fowler 45° masih dalam rentang nilai normal. Tingginya frekuensi nafas pada semi fowler 45° disebabkan oleh keadaan MAP yang menurun pada posisi ini. MAP yang menurun akan berpengaruh terhadap hantaran oksigen sehingga pasien cenderung hipoksemia yang merangsang kemoreseptor perifer yang berada di arteri karotis dan aorta mengirimkan sinyalnya ke pusat pernapasan di medula oblongata dan pons terutama untuk meningkatkan frekuensi nafas (Corwin, 2009). MAP yang rendah akan mempengaruhi suplai darah ke otak sesuai dengan rumus : CPP (cerebral perfusion pressure) = MAP – ICP (intra cranial pressure), dimana semakin rendah MAP akan semakin menurunkan perfusi darah ke otak (Jones & Bartlett, 2012). Mekanisme ini juga akan merangsang medulla oblongata dan pons meningkatkan frekuensi nafas. Hantaran oksigen yang menurun juga akan merangsang reseptor beta pada pembuluh darah sehingga simpatis distimulasi dan terjadi peningkatan denyut jantung (Price & Wilson, 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian Taryono (2013) dimana terjadi perbedaan nilai MAP yang signifikan antara semi fowler 30° dan 45°. Begitu juga dengan penelitian Giuliano, et al (2003) yang menyebutkan adanya perubahan nilai MAP yang signifikan ketika pasien dirubah posisi dari semi fowler 30°
ke 45°.
Tidak terdapat perbedaan bermakna denyut jantung pada semi fowler 30° dengan 45°. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmanti (2012) dimana tidak terdapat perbedaan bermakna denyut jantung pada posisi semi fowler 30° ke 45° dengan p-value 0,07 (p>0,05). Hal ini juga didukung
oleh Gozce, et al (2013) dimana dalam penelitiannya mengemukakan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan denyut jantung pada posisi semi fowler 30 dan 45 disebabkan karena metabolisme jantung dipengaruhi oleh beban miokard dan kebutuhan oksigen. Dalam Vollman (2010) dinyatakan kebutuhan oksigen miokard dapat diukur sebagai konsumsi oksigen miokard yang ditentukan oleh ketegangan dan kontraktilitas otot jantung. Faktor ini biasanya berubah oleh aktivitas fisik. Sedangkan aktivitas pada penelitian ini yaitu perubahan posisi dilakukan secara pasif sehingga menghasilkan metabolism jantung yang rendah sehingga peningkatan beban miokard yang juga tergambar dari denyut jantung belum terjadi secara maksimal. Implikasi keperawatan dari hasil penelitian ini adalah bahwa, perubahan semi fowler dari 15° ke 30° cenderung tidak berpengaruh terhadap nilai MAP pada pasien dengan ventilasi mekanik. Sehingga dalam pelaksanaannya ketika perawat memposisikan pasien pada semi fowler 30° tidak akan menyebabkan nilai MAP menjadi tidak stabil. Jika dilihat dari nilai rerata MAP, dari posisi semi fowler 15° ke 30° terjadi peningkatan MAP, namun peningkatan MAP ini dalam rentang normal yaitu 70 mmHg - 105 mmHg. Melihat adanya peningkatan MAP pada posisi semi fowler 30°, maka posisi inidapat diterapkan untuk pasien yang mengalami hipotensi, namun untuk pasien dengan hipertensi hendaknya menghindari posisi ini. Sedangkan perubahan semi fowler dari 15° ke 30° berpengaruh terhadap denyut jantung dan frekuensi nafas, dan melihat dari nilai rerata denyut jantung dan frekuensi nafas cenderung menurun pada posisi 30°. Menurunnya frekuensi nafas dan denyut jantung pada posisi semi fowler 30° menunjukkan adanya peningkatan status oksigenasi pasien, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen cepat terpenuhi. Perubahan semi fowler dari 15° ke 45° cenderung berpengaruh terhadap nilai MAP dan denyut jantung pada pasien dengan ventilasi mekanik. Hal ini bermakna bahwa perawat harus berhati-hati ketika akan mengubah posisi pasien dari 15° ke 45° karena hal ini akan berpengaruh terhadap MAP dan denyut jantung. Adapun perubahan semi fowler dari 15° ke 45° cenderung tidak ada perbedaan terhadap frekuensi nafas. Perubahan semi fowler dari 30° ke 45° cenderung berpengaruh terhadap nilai MAP dan frekuensi nafas pada pasien dengan ventilasi mekanik. Hal ini bermakna bahwa perawat harus berhati-hati ketika akan mengubah posisi pasien dari 30° ke 45° karena hal ini akan berpengaruh terhadap MAP dan frekuensi nafas. Jika dilihat dari nilai MAP pada posisi semi fowler 45° cenderung menurun sehingga perawat harus mempertimbangkan pengaturan posisi ini pada
pasien dengan hipotensi, karena pada posisi ini cenderung akan menurunkan MAP. Sedangkan untuk frekuensi nafas pada posisi semi fowler 45° cenderung meningkat. Adapun perubahan semi fowler dari 30° ke 45° cenderung tidak berpengaruh terhadap denyut jantung. Sehingga dalam perubahan posisi semi fowler dari 30° ke 45° tidak akan menyebabkan denyut jantung pasien menjadi tidak stabil.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat perbedaan bermakna nilai MAP pasien dengan ventilasi mekanik pada posisi semi fowler 15°, 30° dan 45° Terdapat perbedaan bermakna nilai denyut jantung pasien dengan ventilasi mekanik pada posisi semi fowler 15°, 30° dan 45° Terdapat perbedaan bermakna nilai frekuensi nafas pasien dengan ventilasi mekanik pada posisi semi fowler 15°, 30° dan 45° Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen pasien dengan ventilasi mekanik pada posisi semi fowler 15°, 30° dan 45°
Saran Posisi semi fowler 30° meningkatkan MAP, menurunkan denyut jantung dan frekuensi nafas, serta meningkatkan saturasi oksigen. Keseluruhan parameter ini berada dalam rentang nilai normal atau stabil. Sehingga posisi semi fowler 30° dapat diterapkan pada pasien dengan ventilasi mekanik dan menjaga status hemodinamik non invasif dan pernafasan tetap stabil, terutama pada pasien yang siap untuk dilakukan penyapihan dari ventilasi mekanik atau pada pasien dengan mode ventilator SIMV-PS, PS dan CPAP. Bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan uji eksperimen untuk mengamati efektifitas posisi semi fowler terhadap hemodinamik pasien dengan ventilasi mekanik, dengan mode ventilasi mekanik berbeda atau pada responden yang dirawat di ICU pada fase awal atau belum siap dilakukan penyapihan dari ventilasi mekanik.
DAFTAR PUSTAKA Cason, C. S., Tyner, T., Saunders, S., & Broome, L. (2007). Nurses’ Implementation of Guidelines for Ventilator Associated Pneumonia from Centers for Disease Control and Prevention. American Journal of Critical Care, 16(1), 28-38. Diunduh 27 September, 2013, dari http://www.ajcconline.org Chulay, M., & Burns, S. M. (2006). AACN Essentials of Critical Care Nursing. United State of America. The McGraw-Hill Companies. Clini, E., & Nicolini, A. (2005). Early Physiotherapy in the Respiratory Intensive Care Unit. Respiratory Medicine, 96, 1096-1104. doi: 10.1016/j.rmed.2005. 02.02.024. Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (3rd ed.). Terjemahan Nike Budhi Subekti. Jakarta : EGC Darovic, G. O. (2002). Hemodynamic Monitoring Invasive and Noninvasive Clinical Application.(3rd ed.), Philadelphia:Saunders Company. Giuliano KK, Scott SS, Brown V, Olson M. (2003). Backrest Angle and Cardiac Output Measurement in Critically Ill Patients. Nursing Research. 52(4): 242-248 Gocze, I., Strenge, F., Zeman, F., Creutzenberg, M., Graf, B. M., Schlitt, H. J, et al. (2013). The effects of the semirecumbent position on hemodynamic status in patientson invasive mechanical ventilation : prospective randomized multivariable analysis. Critical Care, 17. Doi : 10.1186/cc12694 Grap, M. J., Munro, C. L., Hummel III, R. S., Elswick, R. K., McKinney, J. L., Sessler, C. N. (2005). Effect of Backrest Elevation on the Development of Ventilator Associated Pneumonia. American Journal of Critical Care, 14(4), 325-333. http://www.ajcconline.org Horan, T. C., Andrus, M., Dudeck, M. A. (2008). CDC/NHSN Surveillance Definition of Health Care Associated Infection and Criteria for Specific Types of Infections in the Acute Care Setting. American Journal Infection Control, 36, 309-332. doi: 10.1016/j.ajic.2008.03.002 Hudak, C. M., & Gallo. (2010). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jones & Bartlett. (2012). Positioning and Patient Effect. Jones & Bartlett Learning LCC, 2 ,1016. Leach, R. M., & Treacher, D. F. (2002). Oxygen Delivery and Consumption in the Critically ill. Thorax, 57(2),170–177.
Mohammadpour, A., Banansharifi, M., Basirimoghaddam, M., & Nematollahi. (2013). The effect of change in body condition on blood pressure in Cardiac Care Unit. Iran Journal Critical Care Nurse. 6(1):49-56. Diunduh 27 November, 2013, dari http//: www.inhc.ir Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. (6th ed.). Terjemahan Brahm U Pendit, Jakarta : EGC Rahmanti, A. (2012). Pengaruh pelaksanaan mobilisasi progresif level I terhadap hemodinamik non invasive pada pasien kritis di GICURSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD. Rauen, C. A., Makic, M. B. F., & Bridges, E. (2009). Evidence Based Practice Habits : Transforming Research Into Bedside Practice. American Association of Critical Care Nurse, 29(2), 46-60. doi: 10.4037/ccn2009287 Richard, J. C., Maggiore, S. M., Mancebo, J. F., Lemaire, Jonson, B., & Brochard, L .(2006). Effect of Vertical Position on Gas Exchange and Lung Volume in Acute Respiratory Distress Syndrome. Intensive Care Medicine, 32, 1623-1626. doi: 10.1007/s00134-0060299-y Rose, L., Baldwin, I., Crawford, T., & Parker, R. (2010). Semirecumbent Positioning in Ventilator Dependent Patients: A Multicenter, Observational Study. American Journal of Critical Care, 19, e100-e108. 10. doi: 10.4037/ajcc2010783 Schwarz, S., Georgiadis, D., Aschoff, A., Schwab, S. (2002). Effects of Body Position on Intracranial Pressure and Cerebral Perfusion in Patients With Large Hemispheric Stroke. Journal of American Heart Association, 33, 497-501. Doi : 10.1161/hs0202.102376 Shah, D. S., Desai, A. R., & Gohil, N. (2012). A Comparision of Effect of Semi Fowler’s VS Side Lying Position on Tidal Volume and Pulse Oxymetry in ICU Patients. Innovative Journal of Medical and Health Science, 2, 81 – 85. Diunduh 27 September, 2013, dari http://www.innovativejournal.in/index.php/ijmhs Smeltzer, C. S., Bare, B. G., Hinke, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing. (12thed.), Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Speelberg, B., & Beers, F. V. (2003). Artificial Ventilation in the Semi recumbent Position Improves Oxygenation and Gas Exchange. Chest, 124(4), 203. Taryono, Y. 2013. Tesis : Perbandingan Nilai Rapid Shallow Breathing Index Pada Semi Fowler 15°, 30° Dan 45° Pasien Dengan Gagal Napas Akut Yang Terpasang Ventilator. Dunduh 27 September, 2013, dari http://digilib.ui.ac.id. Vollman (2010). Progressive Mobility in the Critically Ill. American Association of CriticalCare Nurses, 30, S3-S5. Doi: 10.4037/ccn2010803.