PERBAIKAN SIFAT GENOTIPE MELALUI FUSI PROTOPLAS PADA TANAMAN LADA, NILAM, DAN TERUNG Ika Mariska dan Ali Husni Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, ]alan Tentara Pelajar No.3A Bogor 16111
ABSTRAK Fusi protoplas dapat digunakan untuk mengatasi masalah dalam persilangan secara seksual, terutama inkompatibilitas dan sterilitas pada turunan F1. Masalah ini umumnya muncul pada persilangan antargenotipe berkerabat jauh, seperti pada tanaman lada, nilam, dan terung untuk memperoleh tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora capsici pada lada, Ralstonia solanacearum pada terung, dan nematoda Pratylenchus brachyurus pada nilam. Sifat ketahanan terhadap penyakit tersebut terdapat pada kerabat liarnya, tetapi persilangan secara seksual sering menghadapi hambatan genetik. Hibridisasi juga tidak dapat dilakukan pada tanaman nilam karena tanaman tersebut tidak berbunga. Isolasi protoplas dengan menggunakan kombinasi selulase 2% + macerozim 0,50% (untuk lada) dan selulase 0,50% + pektinase 0,50% (untuk terung dan nilam) menghasilkan protoplas dengan densitas yang tinggi. Fusi protoplas dapat dilakukan dengan menggunakan PEG 6000 konsentrasi 30% selama 20−25 menit untuk menyatukan dua protoplas tanaman budi daya dan kerabat liarnya dalam upaya membentuk hibrida somatik. Mikrokalus lada belum dapat diregenerasikan menjadi tunas adventif, sedangkan untuk nilam telah diperoleh beberapa nomor hibrida somatik dengan kadar fenol dan lignin yang tinggi seperti kerabat liarnya. Pada terung, telah diperoleh beberapa hibrida somatik yang tahan terhadap penyakit layu R. solanacearum. Kultur anther dari tanaman hasil fusi dapat diperoleh tanaman dihaploid yang selanjutnya disilang balik dengan tetua hibridanya. Hasil silang balik (back cross 2) mempunyai struktur dan warna buah yang sama dengan terung budi daya. Kata kunci: Fusi protoplas, Piper nigrum, Pogostemon cablin, Solanum melongena
ABSTRACT Genetic improvement through protoplast fusion on black pepper, patchouli, and eggplant Protoplast fusion was conducted to overcome genetic barrier arised in sexual crossing and sterility of F1 hybrid. This generally occurred in interspecific and intergeneric hybridization, such as black pepper (Piper nigrum), patchouli (Pogostemon cablin), and eggplant (Solanum melongena spp.). On those crops, the main problem is disease infection, caused by Phytophthora capsici in pepper, Ralstonia solanacearum in eggplant, and nematodes in patchouli. The resistance genes against those diseases were existed in wild species of the respective crops, so that producing a resistant variety through conventional breeding is almost imposible. Hybridization is also not applicable for patchouli because the plant does not produce flower. The protoplast could be isolated with a combination of cellulase 2% + macerozyme 0.50% (for black pepper) and cellulase 0.50% + pectinase 0.50% (for eggplant and patchouli) which produce high density of protoplast. Protoplast fusion may be conducted by the application of PEG 6000 at a concentration of 30% for 20−25 minutes. By this treatment, the protoplast from cultivated crop could be fused into their wild species. Microcallus of pepper could not be regenerated, therefore somatic hybrids failed to be produced. Meanwhile somatic hybrids of patchouli were produced with high lignin and phenol content, same as wild species. In eggplant, different hybrids were produced and some of which were resistant to R. solanacearum. Anther culture of the hybrids produced dihaploid plant. The haploid plant was back crossed to their parent and the back cross (BC2) had fruit structure and color similar to cultivated eggplant. Keywords: Protoplast fusion, Piper nigrum, Pogostemon cablin, Solanum melongena
A
plikasi bioteknologi diharapkan dapat mengatasi berbagai kendala dalam berproduksi yang tidak dapat diatasi melalui cara konvensional. Peningkatan produktivitas, misalnya, dapat dicapai melalui peningkatan potensi genetik
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
tanaman serta ketahanan terhadap hama, penyakit, dan cekaman lingkungan. Bioteknologi tanaman pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu kultur in vitro dan rekombinasi DNA. Perbaikan genetik tanaman melalui kultur
in vitro dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain peningkatan keragaman somaklonal, penyelamatan embrio, fertilisasi in vitro, kultur haploid, dan fusi protoplas (hibridisasi somatik). Dalam hibridisasi seksual terdapat hambatan 55
apabila kedua tetua yang disilangkan mempunyai hubungan kekerabatan yang jauh serta sitoplasma hanya berasal dari tetua betina. Salah satu alternatif untuk mengatasi hambatan tersebut adalah melalui fusi protoplas yang dapat memindahkan gen yang belum teridentifikasi dan sifat yang diwariskan secara poligenik (Millam et al. 1995). Keragaman tanaman yang dihasilkan melalui fusi protoplas lebih tinggi dibandingkan melalui persilangan seksual karena: 1) terjadinya segregasi inti dan sitoplasma yang menghasilkan kombinasi unik antara informasi genetik pada inti dan sitoplasma, 2) instabilitas kombinasi inti sel yang menyebabkan hilangnya beberapa informasi genetik, dan 3) variabilitas akibat subkultur relatif tinggi sehingga dapat membentuk keragaman somaklonal (Ammirato et al. 1983). Fusi protoplas dapat dilakukan secara simetris dan asimetris. Fusi simetris didapat dengan menggabungkan dua jenis genom sehingga diperoleh hasil yang bersifat antara (intermediate). Fusi asimetris didapat dengan cara genom inti salah satu tetua dihilangkan (melalui iradiasi) dan tetua yang lain dihilangkan sitoplasmanya dengan iodoasetomide. Hasil fusi asimetris umumnya disebut dengan nama cybrid. Penelitian fusi protoplas telah menghasilkan hibrida-hibrida somatik yang mempunyai sifat-sifat seperti yang diharapkan, antara lain tahan terhadap hama dan penyakit, produktivitas tinggi, dan sifat-sifat kualitatif yang lebih baik, seperti kandungan minyak tinggi. Fusi simetris dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi yang bermanfaat dalam program pemuliaan. Melalui beberapa kali silang balik (back cross) dilanjutkan dengan seleksi dapat dihasilkan kultivar baru (Serraf 1991; Millam et al. 1995; Nyman dan Waara 1997; Mariska et al. 2002). Tulisan ini menyajikan hasil-hasil penelitian fusi protoplas pada tanaman lada, nilam, dan terung.
FUSI PROTOPLAS TANAMAN LADA Lada merupakan komoditas ekspor yang cukup penting untuk dikembangkan dengan nilai devisa yang diperoleh sebesar US$89,197 juta (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). 56
Indonesia merupakan pemasok lada terbesar kedua di dunia setelah India. Salah satu masalah dalam pengembangan lada adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora capsici, sementara varietas lada yang tahan penyakit tersebut belum ditemukan. Sifat ketahanan terhadap penyakit terdapat pada lada liar, seperti Piper colibrinum, P. hirsutum, P. aurifolium, dan P. cubeba (Kasim 1997). Pemindahan sifat ketahanan terhadap penyakit dari lada liar ke lada budi daya secara seksual sulit dilakukan. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dilakukan fusi protoplas. Melalui fusi protoplas, sel hibrida dapat memanfaatkan gabungan sitoplasma dari kedua tetuanya. Di samping itu, sifat lainnya yang berasal dari sitoplasma tetua jantan ikut diperoleh. Langkah awal yang menentukan keberhasilan fusi protoplas adalah mendapatkan protoplas kedua tetua dengan densitas yang tinggi. Penghancuran dinding sel dengan menggunakan enzim selulase dikombinasikan dengan macerozim dapat menghasilkan protoplas dengan struktur yang sempurna dan densitas yang tinggi. Kombinasi selulase R-10 2% dan macerozim 0,50% dalam larutan CPW menghasilkan protoplas yang paling
banyak, baik untuk lada liar maupun lada budi daya (Tabel 1). Untuk fusi digunakan PEG 6000 konsentrasi 30% selama 25 menit. Protoplas yang telah mengalami fusi ditunjukkan dengan volume protoplas yang makin besar. Keberhasilan protoplas yang mengalami fusi masih rendah, yaitu 20%. Setelah fusi, sel hibrida dikulturkan pada beberapa formulasi media. Koloni mikrokalus dapat diperoleh dengan menambahkan sukrosa 3% pada media 1/2 LV + ABA 0,01 mg/l + casein hidrolisat 50 mg/l + BA (4,50 mg/l). Koloni sel tidak terbentuk pada media dengan sukrosa 2% (Tabel 2). Untuk mendorong pertumbuhan mikrokalus dan regenerasinya maka mikrokalus disubkultur pada media baru (Tabel 3). Pada media baru tersebut, mikrokalus berhasil tumbuh dan berwarna hijau. Perubahan warna dari putih menjadi hijau menandakan klorofil mulai terbentuk yang dibutuhkan untuk regenerasi koloni mikrokalus. Untuk lebih memacu pertumbuhan, di atas media padat dapat diberi selapis tipis media cair MS + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l (Tabel 4). Setelah pemberian media tersebut, koloni baru mulai terbentuk dan kalus tumbuh dengan cepat yang ditandai dengan penambahan ukuran koloni.
Tabel 1. Isolasi protoplas lada liar dengan lada budi daya pada berbagai komposisi media dengan masa inkubasi 16 jam. Densitas protoplas
Larutan enzim Selulase R-10 2% + macerozim R-10 0,50%1) Selulase R-10 2% + macerozim R-10 0,50%1) + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l1) Selulase R-10 0,80% + macerozim R-10 0,10%2)
Lada budi daya
Lada liar
5,80 x 105 5,40 x 105
6,10 x 105 5,70 x 105
1,20 x 103
1,30 x 105
1) Dalam larutan CPW, 2)Dalam larutan MS. Sumber: Husni et al. (1997).
Tabel 2. Pertumbuhan sel lada hasil fusi pada penambahan sukrosa dan BA pada media kultur. Sukrosa (%) 2 3
Jumlah koloni mikrokalus
Komposisi media 1/2 1/2 1/2 1/2
LV LV LV LV
+ + + +
ABA ABA ABA ABA
0,01 0,01 0,01 0,01
mg/l mg/l mg/l mg/l
+ + + +
CH CH CH CH
50 50 50 50
mg/l mg/l + BA 4,50 mg/l mg/l mg/l + BA 4,50 mg/l
0 0 4 6
Warna koloni Hijau Putih
CH = casein hidrolisat. Sumber: Husni et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Tabel 3. Pertumbuhan mikrokalus lada yang disubkultur pada berbagai media. Media subkultur 1/2 LV + ABA 1/2 LV + ABA sukrosa 3% 1/2 LV + ABA 1/2 LV + 2,4 D
Warna koloni
Keterangan
0,01 mg/l + CH 50 mg/l + sukrosa 3% 0,01 mg/l + CH 50 mg/l + BA 4,50 mg/l +
Hijau Hijau
Tumbuh Tumbuh
40 M + CH 50 mg/l + sukrosa 3% 9 M + CH 50 mg/l + BA 4,50 mg/l + sukrosa 3%
Hijau Hijau
Tumbuh Tumbuh
Sumber: Husni et al. (1997).
Tabel 4. Pembentukan mikrokalus dan kalus dari protoplas lada dengan penambahan selapis tipis media cair. Media cair dan media padat
Media padat 1/2 LV + ABA 0,01 mg/l + BA 4,50 mg/l + CH 50 mg/l + sukrosa 3% 1/2 LV + ABA 0,01 mg/l + CH 50 mg/l + sukrosa 3% 1/2 LV + ABA 40 M + CH 50 mg/l + sukrosa 3% 1/2 LV + 2,4 D 9 M + BA 4,50 mg/l + CH 50 mg/l + sukrosa 3%
Jumlah Warna mikrokalus
Jumlah kalus
MS + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l
48
Hijau
2
MS + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l MS + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l MS + 2,4 D 2 mg/l + thidiazuron 0,10 mg/l
68
Hijau
0
92
Hijau
0
45
Putih
0
Sumber: Husni et al. (1997).
FUSI PROTOPLAS TANAMAN NILAM Nilam (Pogostemon cablin) merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia. Ekspor minyak nilam Indonesia pada tahun 2002 sebesar 1.295 ton dengan nilai US$22 juta (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004).
Tanaman nilam yang dibudidayakan di Indonesia tidak berbunga sehingga sulit mendapatkan genotipe baru melalui persilangan seksual. Selain itu, pengembangan nilam menghadapi masalah serangan nematoda Pratylenchus brachyurus. Sifat ketahanan terhadap nematoda tersebut terdapat pada nilam Jawa (Girilaya) yang produksi minyaknya rendah. Untuk memindahkan sifat ketahanan tersebut maka dilakukan fusi protoplas antara nilam Jawa dan nilam
Tabel 5. Densitas protoplas pada nilam pada konsentrasi enzim pektinase 0,50% dan berbagai konsentrasi selulase. Jenis nilam Girilaya TT 75 Sumber: Nuryani et al. (1999).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Densitas protoplas Selulase 0,50%
Selulase 1%
Selulase 2%
3 x 10 6 4,40 x 105
1,20 x 106 1,90 x 105
2,10 x 105 1,40 x 105
Aceh (budi daya) yang kadar minyaknya tinggi. Isolasi protoplas menggunakan kombinasi pektinase 0,50% dengan selulase 0,50% dan 1% selama 16 jam (Tabel 5). Penggunaan selulosa 0,50% dan kombinasi macerozim 0,50% menghasilkan protoplas dengan densitas yang tinggi. Peningkatan konsentrasi selulosa umumnya menurunkan densitas protoplas. Densitas protoplas paling tinggi terdapat pada nilam Girilaya dengan selulosa 2% (Tabel 5). Fusi protoplas antara dua tetua nilam dengan menggunakan PEG 6000 dengan konsentrasi 30% memberikan persentase keberhasilan 5,60% per bidang pandang untuk fusi biner dan 10% untuk multifusi. Untuk PEG 50%, keberhasilan pada fusi biner lebih tinggi yaitu 16,70% dan untuk multifusi 17,60% (Nuryani et al. 1999). Protoplas hasil fusi kemudian dicuci 2−3 kali dan dikulturkan dalam media KM8P dan VKM yang diberi 2,4 D 0,30 mg/l + NAA 1 mg/l. Dari fusi protoplas tersebut diperoleh 30 genotipe baru. Setiap genotipe selanjutnya dianalisis kandungan lignin total dan fenol pada akar. Menurut Dalmaso et al. (1992), mekanisme ketahanan terhadap nematoda dapat terjadi secara fisik dan kimiawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tahan nematoda mempunyai kandungan fenol dan lignin yang lebih tinggi daripada tanaman yang rentan. Pada tanaman pisang senyawa fenol dan lignin memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketahanan terhadap nematoda R. similis (Volette et al. 1998). Untuk itu, nomor-nomor baru hasil fusi perlu dilakukan analisis kandungan fenol dan lignin serta dibandingkan dengan nilam Jawa yang tahan dan nilam Aceh yang rentan. Kandungan fenol yang tinggi diperoleh dari nomor 9 II 34−0,10 sebesar 97,40 ppm, lebih besar dari tetuanya nilam Jawa. Untuk lignin, terdapat 10 nomor hasil fusi dengan kandungan lignin hampir sama dengan nilam Jawa. Di samping kandungan fenol dan lignin yang beragam, tanaman hasil fusi juga memperlihatkan keragaman fenotipik terutama nomor 2 IV dan 9 IV yang mempunyai ukuran daun lebih besar dan jumlah daun lebih banyak dibandingkan kedua tetuanya (Nuryani et al. 2001). Hasil tersebut menunjukkan bahwa fusi protoplas dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik pada 57
tanaman nilam. Berdasarkan keragaman yang ditimbulkan tersebut kemudian dilakukan uji ketahanan terhadap nematoda.
Tabel 6. Rata-rata jumlah protoplas terung dari setiap gram daun setelah inkubasi 16 jam dalam larutan selulosa 0,50% macerozim 0,50%.
FUSI PROTOPLAS TANAMAN TERUNG
Kultivar
Densitas protoplas (10 5)
Kopek Medan Dourga
14,27 + 6,34 12,91 + 2,04 14,07 + 3,89
Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting di daerah tropis dan subtropis. Salah satu kendala dalam pengembangan terung adalah serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, jamur Fusarium oxysporum dan F. melongena, serta nematoda Meloidogyne sp. Serangan penyakit layu bakteri di Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, dan Sulawesi menyebabkan kehilangan hasil 15−95%. Sumber ketahanan terhadap penyakit layu pada terung terdapat pada kerabat liarnya, seperti Solanum sanitwongsai, S. torvum (takokak), S. sysimbrifolium, dan S. aethiopicum (Mariska et al. 2002). Persilangan seksual antara terung budi daya dan kerabat liarnya sering mengalami kegagalan karena adanya ketidaksesuaian (incompatibility) atau F1 yang dihasilkan sering steril. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan fusi protoplas antara S. melongena dan S. torvum atau S. aethiopicum dilanjutkan dengan kultur anther dan hibridisasi silang balik. Protoplas diisolasi dari daun secara in vitro dengan menggunakan enzim selulase dan pektinase. Jumlah protoplas paling banyak dihasilkan oleh kultivar Kopek (14,27 x 105 protoplas/g daun), diikuti oleh kultivar Dourga (14,07 x 105) dan Medan (12,91 x
Sumber: Husni et al. (2003).
105) (Tabel 6). Jumlah protoplas yang dihasilkan kultivar Kopek dan Dourga tidak terlalu berbeda, sedangkan rata-rata jumlah protoplas kultivar Medan lebih sedikit dibanding kultivar Kopek dan Dourga. Protoplas hanya dapat membentuk dinding sel pada media yang diinkubasi dalam keadaan tanpa cahaya, baik pada media KM8P maupun VKM dengan penambahan 2,4 D 0,20 mg/l + zeatin 0,50 mg/l + NAA 1 mg/l. Kultur protoplas yang disimpan dengan pemberian cahaya 1.000 lux selama 12 jam/hari tidak dapat membentuk dinding sel (Tabel 7). Perkembangan protoplas semua kultivar pada media dasar KM8P lebih baik dibanding pada media VKM. Persentase protoplas yang dapat membentuk dinding sel dan melakukan pembelahan tertinggi terdapat pada kultivar Kopek, diikuti oleh kultivar Medan dan Dourga. Fusi protoplas dilakukan dengan menggunakan PEG 6000 konsentrasi 30% selama 20 menit untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel. Media KM8P + 2,4 D 0,20 mg/l + zeatin 0,50 mg/l + NAA 1 mg/l memberikan hasil terbaik. Setelah ter-
bentuk koloni sel, penambahan 2,4 D 0,10 mg/l + BAP 2 mg/l pada media pengenceran dapat meningkatkan kemampuan protoplas membentuk kalus. Regenerasi kalus membentuk tunas adventif dapat terjadi pada media MS + vitamin Morel Vettmore + IAA 0,10 mg/l + zeatin 2 mg/l. Hibrida somatik yang terbentuk kemudian dikarakterisasi ketahanannya terhadap penyakit. Karakterisasi ketahanan hibrida somatik terhadap penyakit layu bakteri dilakukan di Kebun Percobaan Pacet (1.000 m dpl) dan Kebun Percobaan Cibadak (1.200 m dpl). Tanaman umur 1 bulan sejak aklimatisasi diinokulasi dengan cara disiram suspensi bakteri R. solanacearum T926 di sekitar akar tanaman yang telah dilukai. Selanjutnya tanaman diinkubasi selama 2 hari lalu dipindahkan ke lapangan. Tanaman yang bertahan di lapangan dikarakterisasi pertumbuhan dan produksinya. Karakterisasi genetis dan molekuler meliputi jumlah kromosom, markah spesifik spesies dan isoenzim. Hasil uji ketahanan menunjukkan bahwa hibrida somatik tahan terhadap infeksi R. solanacearum, bahkan beberapa di antaranya lebih tahan dari kerabat liarnya (Tabel 8). Hal ini terjadi karena hibrida somatik umumnya lebih vigor daripada terung maupun kerabat liarnya, namun potensi hasilnya lebih rendah dari terung. Ukuran dan bentuk buah hibrida berada antara terung budi daya dan kerabat liarnya serta rasanya pahit. Hibrida hasil fusi antara terung dan takokak tidak menghasilkan buah karena bunga selalu gugur sebelum mekar. Hal ini diduga karena adanya ketidaksesuaian sehingga fusi asimetris dirintis untuk diterapkan.
Tabel 7. Persentase protoplas terung yang membentuk dinding dan membelah pada satu minggu setelah penaburan pada berbagai kondisi lingkungan kultur dan jenis media. Kondisi lingkungan kultur
Gelap Terang
Kopek
Medan
Jenis media
Protoplas dengan dinding sel
Sel membelah
KM8P VKM KM8P VKM
50,67 41 0 0
29 18 0 0
Protoplas dengan dinding sel 39 20,67 0 0
Dourga
Sel membelah
Protoplas dengan dinding sel
Sel membelah
14,67 9 0 0
25,67 17,67 0 0
6,33 0 0 0
Sumber: Husni et al. (2003).
58
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Tabel 8. Indeks penyakit layu bakteri pada tanaman terung kultivar Dourga, Solanum aethiopicum, dan hibridanya. Galur
Indeks penyakit
Terung cv Dourga S. aethiopicum gr aculeatum S. aethiopicum gr gilo S. torvum CN2 Dsa 17 2) Dsa 1102) Dsa 2−33) Dsa 2−23) Dsti 1b Dst 3p
100 51,80 51,90 6 23,30 26,40 35,70 39,60 21,70 18
Potensi hasil 1) (g/pohon) 1.500 500 500 nd4) 1.000 1.250 600 800 05) 0
Dari tiga kali panen, 2)donor kerabat liar S. aethiopicum gr aculeatum, 3)donor kerabat liar S. aethiopicum gr gilo, 4)tidak diamati, 5)bunga gugur. Dsa = hibrida somatik. Sumber: Nuryani et al. (1999). 1)
Tabel 9. Ketahanan galur dihaploid terung terhadap penyakit layu bakteri. Galur
Indeks penyakit
Jumlah buah
64
34
72
13
50 50 22 2 6,67
48 1) 21 37,50 0 0
Tetua tahan S. aethiopicum Sa1 Hibrida somatik pembanding Dsa 110 Galur dihaploid Pol 5A Pol 5B Pol II 6A Dsa E4 Dsa E5
KESIMPULAN
melongenis dilakukan oleh ISO dan Universitas Paris. Teknik ini sedang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Fusi protoplas dapat memindahkan sifat ketahanan dari kerabat liar ke dalam terung budi daya. Pada tanaman nilam, fusi protoplas dapat meningkatkan kandungan fenol dan lignin pada beberapa hibrida somatik seperti halnya kerabat liarnya. Hibrida somatik tanaman terung yang dihasilkan toleran terhadap penyakit layu bakteri, bahkan beberapa di antaranya lebih tahan dibandingkan kerabat liarnya. Melalui silang balik antara tanaman dihaploid dengan terung dapat dihasilkan genotipe baru dengan morfologi warna dan struktur buah yang menyerupai tetua hibridanya.
budi daya. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya, 12−14 Maret 1997.
wilt resistance of eggplant through protoplast fusion. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(1): 25−31.
Husni, A., G.A. Wattimena, I. Mariska, dan A. Purwito. 2003. Keragaman genetik tanaman terung hasil regenerasi protoplas. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2): 52−59.
Millam, S., L.A. Payne, and G.R. Mackay. 1995. The integration of protoplast fusion-derived material into a potato breeding programme: a review of progress and problem. Euphytica 85: 451−455.
Ukuran buah jauh lebih kecil dari tetua tahan. Sumber: Mariska et al. (2002). 1)
Produksi galur dihaploid dari hasil fusi protoplas antara S. melongena dan S. aethiopicum yang tahan terhadap R. solanacearum dan F. oxysporum f.sp.
Sumberdaya Genetik Pertanian (BBBiogen). Galur-galur dihaploid yang diperoleh diuji ketahanannya terhadap R. solanacearum. Beberapa galur seperti Pol. 5A, Pol 5B, dan Pol II 6A menunjukkan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri dan dapat memproduksi buah (Tabel 9). Hibridisasi silang balik pertama (BC1) antara dihaploid dan terung budi daya menghasilkan 16 individu dari tetua jantan Pol 5A, sedangkan persilangan antara Pol 5B, dan Pol II 6A dengan tetua terung cv Dourga belum mendapatkan hasil. Empat tanaman, yaitu nomor BC1-Pol 5A-1, BC1Pol 5A-2, BC1-Pol 5A-5, dan BC1-Pol 5A-6 terbukti tahan terhadap penyakit layu bakteri. Dengan demikian keempat tanaman BC1 tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan nomor-nomor silang balik kedua (BC2). Morfologi warna buah yang berasal dari BC2 - Pol 5A menyerupai tetuanya yaitu terung cv Dourga.
DAFTAR PUSTAKA Ammirato, P.V., D.A. Evans, W.R. Sharp, and Y. Yamada. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. MacMillan Publ. Co., New York and London. Dalmaso, A., P. Castajonom-Sereno, and P. Ahad. 1992. Tolerance and resistance of plants to nematodes, knowledge needs and prospect. Seminar Nematologica 38: 466−472. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2000− 2003: Nilam. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. 23 hlm. Husni, A., I. Mariska, dan S. Rahayu. 1997. Hibridisasi somatik lada liar dengan lada Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Kasim, R. 1997. Ketahanan tujuh spesies lada terhadap penyakit Phytophthora. Pemberitaan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (39): 34−38. Mariska, I., R. Purnamaningsih, Hobir, K. Mulya, A. Husni, S. Rahayu, M. Kosmiatin, and D. Sihachakr. 2002. Improvement of bacterial
Nuryani, Y., I. Mariska, A. Husni, dan C. Syukur. 1999. Fusi protoplas nilam Jawa dan nilam Aceh. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian, Jakarta 31 Agustus− 1 September 1999. Perhimpunan Bioteknologi Pertanian.
59
Nuryani, Y., I. Mariska, C. Syukur, A. Husni, dan S. Utami. 2001. Peningkatan keragaman genetik nilam (Pogostemon sp.) melalui fusi protoplas. Edisi khusus Acta Biochemical Indonesia. Prosiding Seminar Nasional. Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler, Cisarua Bogor 4−5 Juli 2001. Nyman, M. and S. Waara. 1997. Characterization of somatic hybrids between Solanum
60
tuberosum and its frost-tolerant relative Solanum commersonii. Theor. App. Gen. 95: 1.127−1.132. Serraf, I. 1991. Evaluation des combination genomiques obtenues por hybridization somatique entre la pomme de terre (Solanum tuberosum L.) et des Solanaceae de plus ou moins grandes affinities phytogenetiques.
These Universite de Paris Sud. Centre d’Ousay. France. Volette, C., C. Andary, J.P. Geiger, J.L. Sarah. and M. Nicole. 1998. Histochemical and cytochemical investigations on phenols in roots of banana infected by the burraucing nematod Randopholis sinilis. The American Phytophatological Society.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006