PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN NILAM DAN USAHA PENGENDALIANNYA Dono Wahyuno. S.Yuni Hartati, Setyowati Retno Djiwanti, Rita Noveriza dan Sukamto Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah sumber minyak nilam komersial, termasuk ke dalam famili Lamiaceae. Kata "nilam" diduga dari kata Sanskerta "Pacholi", yang berarti herbal aromatik. Tanaman ini berasal dari Filipina dan tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Singapura, China dan India. Budidaya nilam dilaporkan telah dimulai di Jawa pada tahun 1895 dengan bahan tanam dari Singapura, meskipun jenisnya tidak diketahui dengan pasti dan pada tahun 1909 mulai ditanam di Aceh (Ahmed 2002). Minyak nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu, bahkan Indonesia merupakan pemasok utama minyak nilam dunia (90%). Ekspor nilam Inonesia berfluktuasi dengan laju peningkatan ekspor sekitar 12% per tahun atau berkisar antara 700-2.800 ton minyak nilam per tahun. Sementara
itu
kebutuhan
dunia
berkisar
1.200-1.500
ton
dengan
pertumbuhan sebesar 5% per tahun (Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010). Pada tahun 2004, produktivitas nilam Indonesia sebesar 103,42 kg/ha, namun tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi 103,11 kg/ha. Tahun 2006 terjadi peningkatan produktivitas nilam yang cukup signifikan hingga mencapai 107,23 kg/ha. Tingkat produktivitas yang cukup tinggi tersebut tidak dapat dipertahankan hingga tahun 2007 kembali terjadi penurunan menjadi 72,92 kg/ha. Tahun 2008, tingkat produktivitas minyak nilam Indonesia adalah
83,05 kg/ha. Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya produktivitas dan mutu nilam Indonesia, selain masalah teknologi, budidaya yang tidak intensif, serangan hama dan penyakit, benih yang kurang baik, juga cara penanganan bahan baku dan penyulingan
66
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak nilam yang masih jauh dari sempurna (Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010) Ada empat kelompok mikroorganisme yang dilaporkan menjadi kendala dalam budidaya nilam di Indonesia, yaitu; Ralstonia solanacearum, dari kelompok bakteri, Pratylenchus, Meloidogyne dan Radhopolus dari kelompok nematoda, Synchytrium pogostemonis
serta Cercospora
dari
kelompok jamur dan Potyvirus serta Fabavirus dari kelompok virus. Keempat mikroorganisme di atas dapat ditemukan bersamaan di lapang dan saling bersinergi untuk menurunkan produksi tanaman nilam, khususnya terna. Apabila dikaitkan besarnya kerusakan yang ditimbulkan, maka keempatnya dapat dikatakan relatif menimbulkan kerusakan yang besar. Serangan R. solanacearum sering dijumpai berupa spot-spot dalam satu lahan, tetapi tanaman yang terserang sudah pasti mati dan tidak akan dapat menghasilkan terna.
Nematoda secara tunggal akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman nilam merana, dan akhirnya rentan terhadap kekeringan. Adanya nematoda akan memperparah kejadian layu bakteri di lapang, apabila R. solanacearum juga ditemukan bersamaan dalam satu lahan.
Tanaman
yang
terserang
jamur
Synchytrium
masih
dapat
mengahasilkan terna, meski lambat laun tanaman akan mati. Saat ini, serangan S.
pogostemonis
sudah
hampir
ditemukan
pada
semua
daerah penghasil nilam tradisional di Indonesia. Cercospora juga merupakan jamur yang banyak ditemukan pada pertanaman nilam, tetapi kerusakannya relatif sedikit dan umumnya ditemukan pada pertanaman nilam yang tumbuh di tempat lembab, di pembibitan misalnya. Serangan virus, menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat meski tanaman masih dapat menghasilkan terna yang dapat disuling tetapi dalam jumlah yang terbatas. Serangan virus umumnya dijumpai dalam hamparan yang luas, sehingga virus juga menimbulkan penurunan hasil yang nyata. Pada bagian ini, uraian akan ditekankan informasi
terakhir
mengenai
penyebab
pada kemajuan dan
hingga
eko-biologi
dari
mikroorganisme utama yang saat ini banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman nilam di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
67
menjadi acuan dan konsep dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya nilam di masing-masing daerah di Indonesia. II. PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA NILAM Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) dan menjadi salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman nilam di Indonesia. Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi yang cukup tinggi yaitu antara 60-95 % (Sitepu dan Asman 1991; Asman et al. 1998), sehingga petani nilam di Indonesia sering dirugikan akibat adanya penyakit tersebut. Untuk menghindari kerugian hasil akibat penyakit layu bakteri, maka petani menanam
nilam
dengan
sistem
budidaya
berpindah-pindah
dengan
membuka hutan. Cara tersebut secara teori lebih aman untuk menghindari kerugian akibat penyakit, namun cara tersebut akan merusak lingkungan, karena areal hutan primer dan hutan sekunder menjadi berkurang dan setelah ditanami nilam kemudian ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang (Asman et al. 1998). 2.1. Gejala Gejala awal dari penyakit layu adalah daun-daun pada cabang tertentu menjadi layu dan selanjutnya diikuti oleh daun daun pada cabangcabang lainnya (Gambar 1A). Pada tanaman yang sama sering terjadi kelayuan pada beberapa cabang tertentu, sementara ada beberapa cabang lain yang masih kelihatan sehat. Pada serangan berat semua cabang dan seluruh bagian tanaman menjadi layu dan mati. Penyakit layu dapat menyebabkan kematian tanaman nilam dengan cepat. Tanaman muda yang berumur 1-3 bulan akan mati dalam waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi. Jika tanaman terinfeksi pada umur 4-5 bulan, kematian akan terjadi dalam waktu 1-2 bulan kemudian. Sebagian besar jaringan akar dan batang tanaman yang sakit akan menjadi busuk dan berwarna cokelat hitam. Kulit
68
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
akar sekunder mengelupas (Sitepu dan Asman 1989; Asman et al. 1998; Asman 2000). 2.2. Patogen dan Inang Penyakit
layu
pada
nilam
disebabkan
oleh
bakteri
Ralstonia
solanacearum (Asman et al. 1998). Bakteri jenis ini dapat menginfeksi tanaman nilam melalui bulu-bulu akar dengan melarut dinding sel. Bakteri juga dapat menginfeksi melalui luka karena tusukan nematoda atau masuk melalui lubang alami seperti stomata. Setelah menginfeksi tanaman, bakteri selanjutnya berkembang ke bagian atas tanaman dan menyumbat jaringan pembuluh, sehingga menyebabkan tanaman bergejala layu dan mati .
R. solanacearum mempunyai keragaman genetik dan kisaran inang yang sangat luas, sehingga di alam dikenal adanya beberapa strain atau ras (Buddenhagen 1986; French 1986; Haywards 1986b, 1991). Bakteri R.
solanacearum dapat menginfeksi lebih dari 200 spesies tanaman seperti terung, tomat, kacang tanah, dan tanaman jenis Solanaceae lain (Ras1), abaca dan pisang (Ras 2), kentang (Ras 3), jahe (Ras 4), dan mulberry (Ras 5) (Bradbury 1987; Haywards et al. 1991; Mahmud 1986).
R. solanacearum yang menyerang tanaman nilam di Indonesia oleh Nasrun et al. (2004b) digolongkan ke dalam Ras 1 dan Biovar III. Menurut Asman dan Sitepu (1998) tanaman kacang tanah yang ditanam secara tumpang sari bersama dengan tanaman nilam di NAD dan Sumatera Barat juga terserang penyakit layu.
Hal ini mengindikasikan bahwa R solanacearum yang
menyerang tanaman nilam tergolong dalam Ras 1. 2.3. Diagnosa Penyakit Di lapangan penyakit layu dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya. Diagnosa yang sederhana dapat dilakukan dengan memotong batang tanaman yang terinfeksi selanjutnya penampang batangnya ditekan, maka akan keluar eksudat bakteri yang berupa cairan yang berwarna putih susu yang berbau khas sangat menyengat. Selain itu potongan batang tanaman yang terinfeksi apabila dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan,
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
69
akan terlihat adanya aliran
eksudat bakteri yang keluar dari potongan
batang tersebut. Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi dengan metode konvensional yaitu dengan mengisolasi bakteri dari bahan tanaman sakit yang selanjutnya ditumbuhkan pada media agar. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap irisan tipis penampang melintang akar atau batangnya akan terlihat adanya masa bakteri yang menyumbat jaringan pembuluh tanaman. Diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi dengan teknik ELISA dengan menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini dapat mendeteksi bakteri dalam ekstrak tanaman dan tanah. Populasi bakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10
4
sel/
ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara konvensional, karena metoda ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya sangat mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman. 2.4. Epidemiologi Penyakit Penyakit layu pertamakali dilaporkan terjadi di pertanaman nilam di Daerah Istimewa Aceh. (Sitepu dan Asman 1989). Selanjutnya penyakit menyebar ke daerah lainnya di Sumatera Barat (Sitepu dan Asman 1998). Pada saat ini penyakit telah ditemukan hampir di semua sentra produksi nilam di NAD, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan kalimantan Selatan (Syakir et al. 2008). Penyakit layu pada nilam bersifat endemik dan cepat menular. Dalam satu areal kebun, apabila satu tanaman sudah terinfeksi maka dalam waktu cepat penyakit akan menular ke tanaman yang lain. Penyebaran penyakit dipercepat oleh kondisi lingkungan yang lembab, curah hujan tinggi, dan drainase yang kurang baik. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, aliran air, alat-alat pertanian, hewan, dan
70
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit yang berupa setek batang yang telah terinfeksi.
R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari
R. solanacearum. Penyakit berkembang sangat cepat terutama pada kondisi kebun yang lembab dan panas. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sedang kandungan bahan organik tanah yang tinggi dan kondisi temperatur yang tinggi akan mengurangi populasinya. Selain itu adanya tanaman inang lain sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum (Akiew 1986). 2.5. Penanggulanan Penyakit Seperti halnya penyakit layu bakteri pada tanaman lain, penyakit layu pada tanaman nilam juga sulit dikendalikan secara tuntas. Walaupun berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat ekobiologi patogennya yang sangat komplek dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang teknis pengendalian penyakit
serta kurangnya modal usahatani
(Asman 2000). Pada umumnya petani menanam bibit yang berupa setek batang yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi, sehingga kurang adanya seleksi dan jaminan bahwa bibit yang digunakan petani bebas dari patogen. Selain itu karena petani kurang memperhatikan beberapa aspek lain seperti pengadaan bibit, pengolahan tanah, dan teknik budidaya, dan pengendalian penyakit, maka penyakit layu bakteri tetap berkembang dan menyebar (Asman 2000). Oleh karena itu perlu sekali adanya pedoman dan penyuluhan tentang
pengenalan penyakit, cara
pengamatan yang mudah dan akurat, serta rekomendasi cara pengendalian yang efektif dan efisien (Barani 2008). Pengendalian
penyakit
sebaiknya
dilakukan
secara
terpadu.
Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanaman, jenis
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
71
patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya. 2.6. Pencegahan penyakit (preventif) Cara yang paling bijaksana untuk mengendalikan penyakit layu adalah dengan mencegah timbulnya penyakit di lapangan, mencegah agar penyakit tidak menular dari satu tanaman ke tanaman lain dan dari daerah satu ke daerah lainnya. Upaya pencegahan penyakit secara preventif dapat dilakukan sejak awal yaitu dari waktu evaluasi untuk kesesuaian lahan tempat penanaman, penentuan bahan tanaman, pemupukan, dan aspekaspek lain yang dapat mencegah berkembangnya penyakit layu. Observasi kebun juga perlu dilakukan dan sebaiknya dilaksanakan secara rutin, sehingga dapat dilakukan pengendalian secara dini terhadap penyakit – penyakit yang mungkin berpotensi untuk berkembang (Barani 2008). Pengendalian penyakit yang bersifat pencegahan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen dengan menggunakan bibit sehat, varietas tahan atau toleran, lahan bebas patogen, melakukan sanitasi dan eradikasi, rotasi dan tumpangsari, serta memperbaiki teknik budidaya dan pengelolaan lingkungan. a. Bibit sehat Tanaman nilam biasa diperbanyak dengan setek batang. Oleh karena itu tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit harus diseleksi dan dipilih yang sehat. Harus dihindari pengambilan setek dari tanaman yang terinfeksi dan tanaman di sekitarnya walaupun tanaman tersebut belum menunjukkan gejala sakit. Pada umumnya petani menggunakan bibit yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi untuk penanaman baru, sehingga penyakit akan timbul dan berkembang. Oleh karena itu perlu adanya pengadaan bibit yang dijamin bebas dari patogen.
72
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Varietas tahan atau toleran Penanaman varietas nilam tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Nilam telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum tersedia varietas yang benar-benar tahan terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu penelitian dalam rangka menghasilkan varietas nilam yang tahan sangat diperlukan. Di Indonesia terdapat 3 jenis nilam yaitu nilam aceh (Pogostemon
cablin Benth.), nilam jawa (P. heyneanus Benth), dan nilam sabun (P. Hortensis Becker). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh paling banyak dibudidayakan di Indonesia, karena mempunyai kadar minyak atsiri yang tinggi. Namun jenis nilam aceh yang biasa dibudidayakan di Indonesia sangat rentan terhadap R. solanacearum dan penyakit lainnya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor (Balittro) telah melepas 3 varietas nilam aceh yang unggul yaitu varietas Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhoksemauwe (Nuryani 2005). Dari ketiga varietas unggul tersebut, varietas Sidikalang dinyatakan lebih toleran terhadap penyakit layu bakteri dibandingkan dengan varietas lainnya (Nasrun 2004a). Tanaman nilam tidak manghasilkan bunga. Oleh karena itu
nilam
biasa diperbanyak secara vegetatif, sehingga keragaman genetiknya sangat sempit (Nuryani 2005). Dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi selain tahan terhadap penyakit, telah dilakukan beberapa penelitian di Balittro yang pada dasarnya diarahkan pada kegiatan peningkatan keragaman genetik tanaman nilam. Hasilnya telah diperoleh 23 somaklon nilam yang 10 diantaranya mempunyai produksi terna dan kadar minyak tinggi diatas 3% (Nuryani et
al. 2005). Uji ketahanan terhadap bakteri R. solanacearum yang dilakukan oleh Hartati et al. (2007) di rumah kaca, menunjukkan bahwa dari
10
somaklon nilam yang diuji tersebut satu diantaranya lebih tahan, 8 somaklon sama ketahanannya, dan satu somaklon lebih rentan terhadap penyakit layu dibandingkan dengan varietas Sidikalang yang telah dinyatakan paling toleran
diantara
varietas
unggul
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
lainnya
yaitu
Tapak
Tuan,
dan
73
Lhoksemauwe. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha peningkatan variasi
genetik
melalui
variasi
somaklonal
memberi
harapan
untuk
memperoleh varian varian baru yang lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri. Hadipoentiyanti et al. (2008) juga telah melakukan penelitian dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang tahan terhadap penyakit layu bakteri yang memanfaatkan variasi somaklonal dengan menginduksi kalus dan tunas dengan teknik irradiasi untuk meningkatkan keragaman genetiknya. Dari penelitian ini telah dihasilkan beberapa tunas nilam yang dalam pengujian secara in vitro tahan terhadap substrat R. solanacearum. Tunas-tunas yang tahan diaklimatisasi dan diuji ketahanannya terhadap
R. solanaacearum di rumah kaca. Somaklon yang tahan dalam pengujian di rumah kaca selanjutnya diuji ketahanannya di daerah endemik penyakit layu bakteri. Dari beberapa somaklon yang diuji tersebut diharapkan ada somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum. b.
Lahan bebas patogen Tanaman nilam sebaiknya ditanam pada lahan yang masih bebas dari
patogen. Beberapa jenis lahan yang mungkin bebas dari patogen diantaranya adalah lahan sawah beririgasi teknis, dimana R solanacearum yang bersifat aerobik tidak mampu hidup pada kondisi an-aerob seperti pada lahan-lahan sawah tersebut. Selain itu lahan yang mungkin bebas patogen adalah lahan bekas hutan dan lahan yang belum pernah ditanami nilam atau lahan yang ditanami tanaman bukan inang alternatif dari R. solanacearum. Penyakit layu bersifat endemik sehingga untuk mencegah terjadinya penyakit dan untuk menjaga kesuburan tanah dianjurkan untuk tidak menanam nilam secara terus menerus pada lahan yang sama. Lahan yang sudah terinfeksi sebaiknya diberakan selama 2-3 tahun atau ditanami tanaman lain yang bukan inang dari R. solanacearum misalnya tanaman padi dan jagung (Asman 2000). Penanaman nilam di daerah yang memenuhi syarat
misalnya
lahan
yang
tidak
tergenang
akan
mencegah
dan
mengurangi serangan penyakit layu (Barani 2008).
74
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
c.
Sanitasi dan eradikasi Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal, karena sanitasi tidak
efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Sanitasi sebaiknya dilakukan mulai dari pemilihan lahan dan pengadaan bibit. Apabila ada tanaman nilam yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dibongkar. Tanaman yang sakit segera dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur. Tanaman nilam telah dibudidayakan di Indonesia lebih dari satu abad yang lalu terutama di NAD. Sebagian besar petani menanam nilam dengan sistem budidaya yang berpindah-pindah. Hal ini dilakukan untuk mencegah turunnya produktivitas tanaman dan menghindari serangan penyakit (Asman 2000). Sistem
budidaya
nilam
secara
berpindah
secara
teori baik
sebagai tindakan sanitasi lahan. Namun sistem budidaya tersebut akan merusak lingkungan dan penggundulan hutan. Dengan sistem tanaman secara berpindah banyak lahan hutan yang ditebang dan setelah ditanami nilam lahan tersebut ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang. Pada saat ini telah banyak diterapkan sistem budidaya nilam secara menetap, namun sistem budidaya tersebut mempunyai resiko turunnya produksi karena penyakit akan menjadi lebih endemik. Oleh karena itu pada budidaya secara menetap sebaiknya diterapkan juga sistem rotasi dan tumpang sari. d. Rotasi dan tumpangsari Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari. Pada sistem penanaman secara menetap sebaiknya diterapkan rotasi tanaman atau tumpang sari. Rotasi tanaman dilakukukan untuk mengurangi
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
75
populasi patogen di dalam tanah. Cara ini juga berfungsi untuk memotong siklus hidup patogen dan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Rotasi tanaman sebaiknya dilakukan setiap selesai satu siklus tanam nilam dan diganti dengan tanaman lain seperti jagung, padi, atau tanaman lainnya yang bukan inang dari R. solanacearum. e. Pengelolaan lahan dan lingkungan Penyakit layu bakteri akan berkembang dengan baik pada kondisi kebun yang lembab dan panas, sehingga penyakit sering terjadi di daerahdaerah tropis humid dan sub tropis (Haywards 1986). Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman nilam dan pemberian mulsa. Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa pemberian mulsa ampas nilam dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 60 %. Pemberian mulsa dan pupuk organik dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dari tanaman dan setelah nilam dipanen.
Selain itu pemberian mulsa juga
dapat
menekan serangan penyakit layu. Irigasi kebun juga harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik.
Apabila ada areal yang terinfeksi,
sebaiknya dibuat selokan yang membatasi antara areal tersebut dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air. Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
76
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.7. Pengendalian penyakit di lapang (kuratif) Apabila penyakit telah ada di lapangan perlu dilakukan pengendalian (kuratif). Pengendalian di lapangan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen seperti pestisida kimia, pestisida botani, atau aplikasi agensia hayati (Aspiras dan de Cruz 1986; Buddenhagen 1986; Haywards 1986). Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa perlakuan pestisida campuran menekan penyakit layu sampai 67 %. Hasil penelitian di Pasaman Sumatra Barat menunjukkan bahwa perlakuan pestisida, bakterisida, dan pupuk kandang dapat menekan perkembangan
penyakit
layu
sampai
86
%. Sementara pemberian
bakterisida, insektisida, pupuk kandang, abu sekam, dan pupuk buatan dapat menekan serangan penyakit sampai 86,5 %. Selain itu pemberian Agrept pada bibit nilam dapat menekan penyakit layu sebesar 61 %. Hasil penelitian di NAD dan Sumatra Barat juga menunjukkan bahwa penyakit dapat ditekan perkembangannya sampai 60 % dengan cara merendam bibit nilam dalam larutan bakterisida 0,1 % selama 6 jam (Asman dan Sitepu 1994). Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman nilam. Menurut Hartati et al. (2008), aplikasi mikroba antagonis (Bacillus sp. dan Pseudomonas fluorescens) saja tidak dapat menurunkan intensitras serangan penyakit layu pada nilam. Namun pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma
lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 59 %. Demikian juga pemberian pupuk hayati (pupuk kandang + mikroba dekomposer Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) yang dikombinasikan dengan mikroba antagonis ( Bacillus sp dan Pseudomonas
fluorescens) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 61 %.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
77
Aplikasi formula minyak cengkeh juga dapat mengurangi intensitas serangan penyakit layu dengan nilai efikasi sebesar 17 % (Hartati et al. 2008). Hartati et al. (1993a dan 1993b) juga melaporkan bahwa eugenol, minyak dan serbuk cengkeh, serta minyak serai wangi efektif dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum pada percobaan secara
in vitro. II. PENYAKIT NILAM OLEH NEMATODA PARASIT Salah satu faktor penyebab merosotnya produksi minyak nilam di
Indonesia
adalah
kerusakan
tanaman
karena
penyakit
kuning
(yellow disease) atau penyakit merah (red disease) yang disebabkan oleh nematoda parasit. Beberapa jenis nematoda parasit yang berasosiasi dengan perakaran nilam adalah Pratylenchus brachyurus, Pratylenchus coffeae,
Meloidogyne incognita, Meloidogyne hapla, Radopholus similis, Scutellonema sp., Rotylenchulus sp.,
Helicotylenchus sp., Hemicriconemoide sp. dan
Xiphinema sp. (Djiwanti dan Momota 1991; Pupuk Iskandar Muda 1990; Mustika 1991).
Diantara
parasit penting
yang
jenis-jenis
menyebabkan
nematoda
tersebut,
nematoda
kerusakan dan kerugian
adalah nematoda peluka akar Pratylenchus spp. (P. coffeae
berarti dan P.
brachyurus), nematoda buncak akar Meloidogyne spp. (M. incognita dan M. hapla)
dan nematoda pelubang akar Radopholus similis. Di Jawa Barat,
nematoda Pratylenchus berasosiasi
brachyurus
spp. diduga
dengan timbulnya penyakit daun kuning-merah pada nilam
(Djiwanti dan Momota 1991). menimbulkan
dan Meloidogyne
Di Aceh, nematoda dilaporkan
dapat
penyakit lepra pada tanaman nilam dan nematoda yang
merusak tanaman nilam di Aceh adalah Pratylenchus coffeae dan
Meloidogyne spp. (Anonymous 1991). Nematoda parasit menyerang dan merusak perakaran nilam, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan kandungan minyak bahkan kematian tanaman. Selain itu, terlihat indikasi bahwa serangan nematoda parasit pada akar nilam dapat memperparah
serangan bakteri
layu nilam Ralstonia solanacearum (ARMP 1993).
78
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Nematoda parasit menyerang tanaman nilam di sentra-sentra produksi terutama pada kebun nilam yang diusahakan secara menetap. Serangan nematoda parasit tersebut secara signifikan dapat menurunkan produksi, setelah 3-4 kali panen. Gejala umum serangan nematoda pada tanaman nilam adalah pertumbuhan tanaman terhambat dan daun berukuran lebih kecil dan berwarna kuning kemerahan sampai ungu tua; sehingga penyakit yang disebabkan oleh serangan nematoda parasit nilam disebut penyakit daun merah-kuning. Serangan nematoda parasit pada tanaman nilam dapat merusak perakaran nilam (72,24% - 84,42%), menghambat pertumbuhan tanaman sampai 49,06 - 60,67%, dan kehilangan hasil sampai 84,42% serta menurunkan kandungan/ kadar minyak nilam sampai 14%. 2.1. Gejala dan Kerusakan yang Diakibatkan Nematoda Nematoda parasit penting yang menyerang perakaran nilam adalah
Pratylenchus spp. (P. coffeae dan P. brachyurus), Meloidogyne spp. (M. incognita dan M. hapla) dan Radopholus similis. Nematoda-nematoda tersebut menyerang perakaran nilam, sehingga perakaran membusuk/ habis terutama bagian cabang-cabang/ rambut-rambut akar. Pada serangan nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.), disertai dengan gejala khas berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti dan Momota 1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tingkat kerusakan yang disebabkan bervariasi tergantung dari jenis nematoda, tetapi pada dasarnya menyebabkan kerugian secara ekonomis. 2.2. Nematoda pada Nilam a.
Nematoda Peluka Akar Pratylenchus spp.
Pratylenchus spp. adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah di dalam jaringan akar tanaman (“endoparasite migratory”). Tanaman inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang, kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat (Corbet 1976; Williams 1980).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
79
Nematoda bergerak bebas di antara akar dan tanah. Kerusakan akar yang parah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan daun berwarna kuning kemerahan (Gambar 1B). Gejala serangannya yang khas ialah timbulnya luka nekrosis yang sempit dan memanjang pada permukaan akar, sehingga akar berwarna kecokelatan dan akar-akar rambut berkurang (Gambar 1D). Pada keadaan kekeringan, tanaman akan cepat layu dan akan segar kembali jika disiram air. Dua jenis Pratylenchus yang menyerang tanaman nilam, yaitu
P. coffeae dan P. brachyurus. P. coffeae menyerang tanaman nilam di Sumatra dan di Jawa. Sedangkan P. brachyurus dilaporkan menyerang tanaman nilam di daerah Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Djiwanti dan Momota 1991; Sriwati et al. 1999). Di daerah Jawa Barat khususnya di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Mustika dan Rostiana (1992) menemukan bahwa nilam kultivar aceh lebih rentan terhadap serangan
P. brachyurus dibandingkan dengan kultivar girilaya, jawa. Serangan P. brachyurus menyebabkan kerusakan akar sampai 72,24%, mengurangi klorofil A dan klorofil B berturut-turut sebesar 6-26% dan 12-45 %, serta kadar minyak sebesar 5-14%, (Mustika dan Rostiana 1992; Sriwati et al. 1999). Serangan nematoda parasit P. coffeae bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangan nematoda pada tanaman nilam di lapang berumur 6 bulan, kira-kira 50% tanaman mati atau tumbuh merana (layu) (Djiwanti 2009). Daerah penyebaran Pratylenchus luas di daerah tropis. Tanaman inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang, kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat (Corbet 1976; Williams 1980). b.
Nematoda Buncak Akar Meloidogyne spp.
Meloidogyne spp. merupakan nematoda buncak akar (“root-knot nematodes”) yang bersifat polifag dan sangat luas daerah sebarannya. Tanaman inangnya antara lain: lada, jahe, lempuyang, kencur, kunyit, mentha, tomat, cabe, kapok, glirisida, adas, sambiloto, terong KB, touki,
80
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
kumis kucing, kisaat, kolesom dan som jawa (Bridge 1978; Djiwanti 1989; Mustika 1995; Nazarudin et al. 1996). Serangan nematoda ini menyebabkan gejala khas berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti dan Momota 1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tanaman yang terserang, pertumbuhannya merana dan daun-daunnya menguning (Gambar 1E dan 1F).
Meloidogyne spp. umumnya ditemukan di semua pertanaman nilam di Indonesia dengan kepadatan populasi yang bervariasi. Dua jenis
Meloidogyne yang dapat merusak sistem perakaran nilam, yaitu Meloidogyne incognita dan M. hapla. M. hapla ditemukan pada pertanaman nilam di IP. Manoko (ketinggian tempat 1.200 m dpl.). M. hapla merupakan spesies daerah subtropik dan di Indonesia ditemukan di dataran tinggi seperti halnya di Manoko, Bandung (Jawa Barat). Serangan M. hapla menghambat pertumbuhan pucuk sebesar 46%, panjang daun sebesar 67% dan lebar daun sebesar 69% (Es dan Djiwanti, 1990). Di India, M. incognita menurunkan produksi berat basah bagian atas tanaman sebesar 47% dan berat kering daun sebesar 86,7% (Prasad dan Reddy 1984). c.
Nematoda Pelubang Akar Radopholus similis
Radopholus similis adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah di dalam jaringan tanaman (“endoparasite migratory”) dan dikenal sebagai nematoda pelubang akar (“burrowing nematode”). Tanaman inangnya antara lain: lada, jahe, pisang, kelapa, pinang, nangka, mangga, glirisidia dan dadap (Koshy dan Bridge 1990). Spesies ini hanya ditemukan menyerang tanaman nilam di Kebun Koleksi IP Cimanggu, Bogor. Serangannya dapat menyebabkan akar busuk hampir sama dengan gejala yang disebabkan oleh P. brachyurus, tetapi gejala khas serangan nematoda ini, daun-daunnya berwarna merah keunguan.
Menurut Waard (1969) dan Mengel dan Kirby (1987) gejala
tersebut hampir sama dengan gejala defisiensi unsur hara P pada tanaman lada dan tanaman tahunan lainnya. Nilam aceh lebih rentan terhadap
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
81
serangan R. similis dibandingkan dengan nilam jawa (Girilaya) dan Tapak Tuan (Mustika dan Nuryani 1993). Serangan nematoda menghambat pertumbuhan tanaman nilam aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 49,06%, 38,48, 17,34 dan 13,55%.; menyebabkan kerusakan akar tanaman nilam aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 82,00, 81,57, 80,24 dan 86,02%; serta mengurangi bobot
basah bagian atas
tanaman kultivar aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 84,42, 67,35, 57,34 dan 44,41% (Mustika dan Nuryani 1993). 2.3. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Penyakit nilam oleh nematoda parasit menyebar melalui penyebaran nematoda secara migrasi/perpindahan alami, pengolahan tanah, alat-alat pertanian yang terkontaminasi nematoda serta aliran air hujan. Di lapang, tidak semua tanaman nilam dalam satu kebun serentak menjadi sakit, tetapi tanaman yang sakit bertambah banyak, dan menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain di sekitarnya, sehingga daerah penyebarannya nampak membentuk jalur konsentris dan sekelompok-sekelompok. Dalam
penyebaran
yang
lebih
luas
lagi,
penggunaan
bahan
tanaman/bibit terinfeksi nematoda, mempercepat penyebaran penyakit; sehingga penyebaran penyakit mengikuti penyebaran budidaya nilam, terutama di sentra-sentra produksi seperti di Sumatra, Jawa dan daerah pengembangan lainnya antara lain Kalimantan Timur (Djiwanti 2007). PH tanah yang masam menunjang perkembangan populasi nematoda. Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatra Barat pada umumnya tersebar di lahan-lahan dengan kisaran pH 4,5 – 5,5.
Pada kisaran kemasaman
tanah tersebut sangat sesuai bagi perkembangan nematoda parasit (Mustika 1998). Sumber infeksi dapat berasal dari tanah kebun setempat. Ketiga jenis nematoda yang menyerang tanaman nilam merupakan jenis nematoda yang kosmopolit/ umum terdapat di tanah2 pertanian, perkebunan maupun
82
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
bukaan baru di Indonesia dan mempunyai kisaran inang luas (termasuk gulma). Nematoda tersebut merupakan patogen tular tanah, dapat bertahan di dalam tanah tanpa inang, serta tersebar luas di daerah tropik maupun subtropik. Penanaman varietas nilam yang rentan/ peka nematoda dapat meningkatkan keparahan serangan nematoda. Mustika dan Rostiana (1992) menemukan bahwa nilam aceh lebih rentan terhadap serangan P.
brachyurus dibandingkan dengan nilam jawa, girilaya. 2.4. Teknologi Pengendalian Terpadu Di Indonesia, pengendalian nematoda parasit nilam dilakukan secara terpadu melalui penggunaan teknik budidaya, penggunaan pestisida termasuk
pestisida
nabati
dan
pemanfaatan
agensia
hayati.
Dosis
pemupukan yang tepat, penggunaan bahan organik, kapur pertanian dan pemulsaan serta varietas nilam toleran merupakan salah satu cara pengendalian nematoda nilam melalui teknik budidaya yang cukup efektif (Mustika et al. 1995). a.
Varietas toleran Tidak ada satupun varietas nilam yang tahan terhadap serangan
nematoda P. brachyurus dan R. similis, tetapi nilam jawa, Girilaya dan Tapak Tuan cukup toleran terhadap kedua nematoda tersebut (Mustika dan Rostiana 1992; Mustika dan Nuryani 1993). b.
Teknik budidaya Pupuk
organik
(kotoran
sapi)
yang
dikombinasikan
dengan
pemupukan Urea+TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah tanam, dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus (Mustika et al. 1995). Pemberian mulsa yang dikombinasikan dengan pemupukan Urea + TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah tanam juga dapat menekan populasi nematoda Meloidogyne spp (Mustika et al. 1995).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
83
c.
Penggunaan pestisida/pestisida nabati Kombinasi penggunaan karbofuran (5 g/tan), bahan organik dan
dolomit dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus dan Meloidogyne spp., memberikan pH tanah yang cocok bagi pertumbuhan nilam, sehingga mampu meningkatkan produksi daun basah sebesar 25% (Mustika dan Rahmat 1993; Mustika et al. 1995). Mimba yang dikombinasikan dengan bahan organik (kotoran ayam, sapi, kambing, sekam dan serbuk gergaji), dapat mengurangi populasi nematoda
Meloidogyne
spp.
dan
P.
brachyurus
pada
nilam
dan
efektivitasnya sama dengan nematisida karbofuran (Mustika et al. 1995). Bungkil jarak 250 g/ tanaman/ 6 bulan, sangat efektif mengurangi populasi nematoda P. brachyurus pada tanaman nilam (Mustika dan Harni 2001). d.
Pemanfaatan agensia hayati Rizobakteri Pasteuria penetrans (2 kapsul/tanaman/6 bln) dengan
bahan organik (kotoran sapi, kotoran ayam, serbuk gergaji dan ampas kedelai) (1 kg/tanaman/6 bulan) atau kombinasi rizobakteri Pasteuria
penetrans
(2
kapsul/tanaman/6
bulan)
dengan
kapur
pertanian
(50 g/tanaman/6 bulan), dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus sebesar 43-82% dan meningkatkan berat basah sebesar 57-71% (Mustika
et al. 2000). Demikian pula Jamur Penjerat Nematoda (Arthrobotrys sp., Dactylaria sp. dan Dactylella sp. yang diperbanyak pada media jagung) 125 g/tanaman/6 bulan yang dikombinasikan dengan bahan organik/ kapur pertanian
mengurangi/ menekan populasi nematoda nilam P. brachyurus
(Mustika et al. 2000).
84
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 1. Gejala dan OPT pada pertanaman nilam di Indonesia. (A) Gejala layu akibat R. solanacearum, (B) Nilam terserang Pratylenchus, (C) Nematoda Pratylenchus betina dewasa, (D) Perakaran nilam terserang Pratylenchus., (E) Nilam terserang nematoda Meloidogyne, (F) Puru akar pada nilam terserang Meloidogyne, (G) Larva Meloidogyne instar dua, (H) Nilam terserang S. pogostemonis, (I) Spora bertahan S. pogostemonis dalam jaringan daun, (J) Gejala serangan Potyvirus, dan (K) serangan Fabavirus pada daun nilam
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
85
III. PENYAKIT NILAM (BUDOK) OLEH CENDAWAN SYNCHYTRIUM Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti kudis menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab penyakit ini diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip dengan tanaman yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun kecil atau keriting. Gejala roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi pada stadia lebih lanjut. 3.1. Organisme Penyebab Hasil pengamatan contoh tanaman sakit yang diperoleh dari berbagai tanaman nilam yang dilaporkan terserang budok, struktur bertahan cendawan Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding tebal konsisten ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang maupun daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati (Wahyuno et al. 2007). Hasil pengujian menggunakan penularan buatan memperkuat asumsi di atas, bahwa cendawan Synchytrium merupakan organisme penyebab penyakit budok pada tanaman nilam di Indonesia (Wahyuno dan Sukamto 2010).
Synchytrium merupakan kelompok
cendawan yang bersifat obligat parasit, yang hanya dapat tumbuh pada jaringan tanaman yang hidup. Tetapi struktur bertahan yang dimiliki cendawan ini diduga membuat Synchytrium mampu bertahan di jaringan tanaman yang telah terserang untuk waktu yang lama (Wahyuno 2010a). Pengamatan lebih detail terhadap siklus hidup
cendawan ini juga
memperkuat dugaan bahwa cendawan yang ada di Indonesia termasuk jenis
S. pogostemonis jenis yang juga ditemukan pada pertanaman nilam di India (Wahyuno 2010b). 3.2. Gejala Gejala khas dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan berwarna putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun,
86
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
khususnya yang ada di dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil terlihat berwarna putih, dan pada stadia lanjut struktur bertahan S.
pogostemonis berupa spora yang sebenarnya merupakan prosorus berwarna kuning terlihat ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang terbentuk bervariasi antara 1 - 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi. Serangan S. pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman yang masih muda, kecuali akar tanaman. Tanaman yang terserang pada awalnya tidak menunjukkan gejala perubahan yang jelas, tetapi seiring dengan waktu daun maupun tunas-tunas baru yang terbentuk pada tanaman yang telah terinfeksi berukuran lebih kecil, tebal dan ruasnya pendek sehingga tanaman terlihat kerdil atau menampakkan gejala roset. Gejala tersebut menyebabkan adanya asumsi di awal pelaporan bahwa penyakit budok disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman 1991; Mustika dan Asman 2004). Kutil yang ditimbulkan oleh S. pogostemonis memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk dapat terlihat dipermukaan batang muda yang ada di dekat permukaan tanah dan telah dibuktikan melalui penularan buatan (Wahyuno dan Sukamto 2010).
Nekrosa atau kematian jaringan tidak
terbentuk di bagian kutil terbentuk sehingga pengamatan secara seksama perlu dilakukan untuk memastikan tanaman (benih) nilam telah terserang S.
pogostemonis. 3.3. Eko-Biologi a.
Stadia dan siklus hidup Pada tanaman yang telah terserang S. pogostemonis struktur
bertahan berupa spora bulat, kuning dan berdinding tebal mudah ditemukan karena jumlahnya yang banyak.
Lensa lup sederhana dapat digunakan
untuk membantu menemukan struktur tersebut pada gejala yang telah lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya. Pengamatan terhadap jaringan tanaman nilam terserang S. pogostemonis pada berbagai stadia gejala akan menunjukkan ada stadia yang lain selain spora istirahat.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
87
Wahyuno (2010) mendiskripsikan adanya stadia aseksual dan seksual yang terbentuk pada tanaman nilam terserang S. pogostemonis.
Zoospora dapat
dihasilkan dari sporangium hasil reproduksi aseksual maupun reproduksi seksual.
Pada
stadia
reproduksi
seksual,
zoospora
terbentuk
pada
sporangium yang terbentuk di dalam sorus yang keluar dari spora istirahat (Wahyuno 2010). b.
Penyebaran Seperti halnya cendawan Synchytrium endobioticum maupun S.
psocharpii yang banyak mempunyai spora aktif (zoospora) sebagai penularan utama dari tanaman sakit ke tanaman sehat (EPPO 1999, 2003; Drinkall dan Price 1983). S. pogostemonis juga mempunyai zoospora yang aktif berenang pada cairan air atau media tumbuh yang menggandung air. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga telah berhasil melakukan penularan buatan dengan menggunakan media air sebagai media tumbuh nilam. Zoospora mungkin sangat berperan dalam penyebaran jarak dekat antar sel di dalam tanaman, antar tanaman dalam suatu petak atau dalam luasan terbatas dimana ada air sebagai media perantara. Spora bertahan yang terdapat di dalam jaringan tanaman diduga mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran S. pogostemonis yang lebih luas dan jauh. Adanya spora bertahan memungkinkan S. pogostemonis terbawa melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa tanaman terserang yang tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang baru. Pada tanaman kentang, struktur bertahan S. endobioticum mampu bertahan di dalam jaringan tanaman untuk waktu yang lama (EPPO 2003). c.
Lingkungan Sebagai
cendawan obligat parasit, S. pogostemonis
sangat
tergantung pada kondisi tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang. Pada tanaman yang masih hidup, hampir semua stadia S. pogostemonis
88
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dapat ditemukan. Pada jaringan tanaman yang sudah mati hanya sprora bertahan yang ditemukan sangat dominan. Selain mempengaruhi siklus dan stadia S. pogostemonis yang ada, lingkungan berperan penting di dalam penyebaran zoospore khususnya ketersediaan air baik yang di lapisan partikel tanah maupun yang terdapat pada permukaan tanaman yang berguna untuk menyebar ke bagian lain yang masih sehat. Lingkungan subur dan cukup air akan membuat tanaman nilam mempunyai pertumbuhan yang baik, demikian juga dengan regenerasi pembentukan tunas-tunas baru. Pada tanaman yang telah terinfeksi
S. pogostemonis pembentukan tunas-tunas baru khususnya yang keluar dari permukaan tanah akan menjadikan peluang terjadinya infeksi dan peluang terjadinya perbanyakan inokulum di dalam jaringan tanaman sangat besar. Pengaruh jenis tanah dan kemasamannya belum pernah diteliti terhadap kecepatan penyebaran zoospora pada tanaman nilam di lapang. Hasil pengamatan dan laporan yang disampaikan mengindikasikan bahwa S.
pogostemonis telah tersebar luas di Indonesia sehingga diduga peran ketersediaan air/kelengasan tanah dan kondisi tanaman lebih penting bagi penyebaran zoospora dibanding kondisi tanah. d.
Sebaran inang ke tanaman nilam lain Di Indonesia ada tiga spesies nilam yaitu, P. cablin, P. heyneanus dan
P. hortensis. P. cablin juga dikenal sebagai nilam aceh dan merupakan jenis yang banyak dibudidayakan di Indonesia. P. heyneanus dikenal sebagi nilam jawa. Meskipun nilam jawa mempunyai keragaan yang besar dan lebat tetapi bukan jenis yang banyak dibudidayakan karena kandungan minyaknya lebih rendah dibanding nilam aceh. Penyakit budok hanya dilaporkan terjadi pada nilam aceh. Tiga varietas nilam aceh yang telah dilepas yaitu Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe tidak satupun tahan terhadap S.
pogostemonis (Wahyuno dan Sukamto 2010) . Nilam jawa merupakan jenis
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
89
yang tahan terhadap S. pogostemonis. Di India, beberapa jenis nilam yang ada dilaporkan juga dapat terserang S. pogostemonis. e.
Penularan ke tanaman selain nilam Sampai saat ini belum ada laporan mengenai S. pogostemonis yang
menyerang tanaman selain tanaman nilam. Pada dasarnya, S. pogostemonis merupakan kelompok cendawan yang mempunyai sebaran inang yang terbatas. Dari 200 spesies Synchytrium yang pernah dilaporkan, hanya ada beberapa spesies yang mempunyai kisaran inang lebih dari satu family tanaman, dan sisanya merupakan kelompok yang sebaran inangnya terbatas, termasuk S. endobioticum pada kentang (Agrios 1978) dan S.
psocharpii pada kacang (Drinkall dan Price 1986, Karami et al. 2009). 3.4. Saran Pengendalian Beberapa usaha pengendalian telah dilakukan dan dicobakan di tingkat rumah kaca maupun di lapang dalam skala yang terbatas. Perbaikan SOP (standar operasional prosedur) budidaya nilam yang ada, khususnya dalam seleksi dan penyiapan bahan tanaman untuk perbanyakan (Wahyuno 2010). Harga fungisida sistemik yang relatif mahal, adanya struktur bertahan dari S. pogostemonis yang sulit untuk dikenai fungisida, belum tersedianya varietas nilam yang tahan terhadap S.
pogostemonis maupun pola budidaya nilam yang lazim dilakukan oleh petani merupakan pertimbangan bahwa penyediaan bahan tanaman yang sehat merupakan cara yang paling murah untuk mengurangi kerugian hasil akibat serangan S. pogostemonis. Melakukan rotasi tanaman, memusnahkan tanaman nilam di sekitar yang menunjukkan gejala terkena penyakit budok, dan mengatur lahan sehingga ideal bagi pertumbuhan nilam dan mengatur sistem drainase yang dapat meminimalkan terjadinya penularan ke tanaman di sekitar. Syakir et
al. (2008) juga menyarankan melakukan pengolahan tanah, pemberian
90
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
mulsa untuk mengurangi penyebaran dan aplikasi fungisida serta abu sekam (± 10 ton/ha) Aplikasi fungisida dapat dilakukan untuk menekan perkembangan
Synchytrium
di
lapang.
Fungisida
yang
efektif
menekan
serangan
Synchytrium berbahan aktif Benomyl (Kusnanta 2005, Sukamto 2011); PCNB dan bubur Bordeux juga efektif di India (NEDFI 2007). Aplikasi fungisida menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di tempat dengan membakar sekelompok tanaman yang telah terserang. Pada dasarnya, fungisida efektif apabila S. pogostemonis belum masuk ke dalam jaringan tanaman. Fungisida yang bekerja secara sistemik dilaporkan efektif untuk menekan penyakit budok, tetapi biaya usahatani nilam menjadi mahal. Penyemprotan dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sebaiknya pengendaliaan dilakukan seawal mungkin (saat kejadian penyakit budok masih rendah).
Gambar 2. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1) Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Cu-Oksida (1 g l-1), (K2) Cu-Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Oksida (1:1; masing-masing 0,5 g l-1). Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
91
penyakit
budok.
Bubur
bourdeaux
dan
fungisida
benomil
dapat
mengendalikan serangan penyakit budok setelah dilakukan tiga kali penyemprotan setiap dua minggu sekali (Gambar 2). Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna tersebut
dalam
jumlah
banyak
menjadi
kendala
lain
yang
perlu
dipertimbangkan (Gambar 3).
Gambar 3. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan serangan penyakit budok. IV. PENYAKIT VIRUS MOSAIK PADA NILAM Salah satu penyakit utama tanaman nilam adalah penyakit virus mosaik. Serangan virus mosaik tercatat sebagai salah satu faktor pembatas dalam produksi nilam di Indonesia (Nurawan 2008; Sukamto et al. 2007), karena infeksi virus mosaik dapat menurunkan hasil biomas, kadar minyak dan
kadar
patchouli
alkohol.
Pengaruh
penyakit
ini
berbeda-beda,
tergantung jenis atau varietas nilam yang ditanam serta perawatan yang telah dilakukan selama budidaya. Selain itu, adanya variasi gejala di lapang juga karena tanaman nilam tersebut terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus dengan serangan awal yang bervariasi.
92
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.1. Gejala dan Patogen Penyebab Penyakit Gejala khas pada tanaman nilam yang terserang penyakit mosaik adalah daun-daunnya nampak mengalami klorosis berat (mosaik), berubah bentuk (malformasi), dan berukuran sangat kecil (Gambar 1J dan 1K). Pertumbuhan tanaman secara keseluruhan menjadi terhambat dan bahkan serangan yang berat di awal pertumbuhan akan menyebabkan tanaman sakit pertumbuhannya terhambat hingga tampak kerdil (Noveriza et al. 2009). Survei di beberapa daerah sentra produksi nilam di Indonesia, ditemukan
variasi
kejadian
penyakit
mosaik
berdasarkan
perkiraan
persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengan sampel daun yang bergejala di lapangan. Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatera Barat terinfeksi oleh Potyvirus berkisar antara 30 – 50%, sedangkan di Jawa Tengah oleh Fabavirus berkisar antara 40% (Tabel 1). Virus yang menginduksi gejala mosaik pada pertanaman nilam di Indonesia di dominasi oleh Potyvirus (Noveriza et al. 2010) Tabel 1. Gejala penyakit dan perkiraan kejadian penyakit mosaik pada tanaman yang di koleksi dari sentra produksi nilam di Indonesia. Provinsi
Lokasi
Jawa Barat
Bogor, Kec. Bogor Barat
Lampung
Sumatera Barat Jawa Tengah Sumatera Utara
Keterangan :
Tanggal pengambilan sampel Oktober 2008
Pengamatan gejala penyakit mhk, lm
Perkiraan Kejad. Penyakit*)(%) >50
Garut , Kec. Pakenjeng Ciamis, Kec. Cidolog Sukabumi, Kec. Cicurug Tanggamus Kec. Klumbayan Tanggamus Kec. Klumbayan Barat Pasaman Barat Kec. Talamau Pasaman Barat Kec. Kinali Brebes Kec. Salem
April 2009 April 2009 Juli 2010
mhk, lm mhk nk
35 30 0
September 2009 September 2009 September 2009 September 2009 Mei 2010
nkk
0
nkk
0
mhk
40
mhk
50
mhk
40
Pakpak Bharat Kec. Situ Jehe
Juli 2010
mhk
0
*) Perkiraan persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengan sampel daun yang bergejala di lapangan. mhk= mosaik hijau kekuningan; lm= malformation; nkk= nekrosis kuning kerdil; nk=nekrosis kuning
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
93
Tanaman nilam di Jepang, telah dilaporkan terinfeksi oleh Patchouli
mild mosaic virus (PaMMV) genus Fabavirus, Patchouli mottle virus (PaMoV) genus Potyvirus (Natsuaki et al. 1994.), sedangkan di Brazil terinfeksi oleh
Patchouli Virus X (PatVX) genus Potexvirus (Meissner Filho et al. 2002), Patchouli mosaic virus (PaMV) dan Tobacco Necrosis Virus (TNV). Tapi, tanaman nilam di India terinfeksi oleh Peanut Stripe Virus (PStV) (Sing et al. 2009.). Di Indonesia, virus yang menyebabkan penyakit mosaik termasuk dalam kelompok Bean Common Mosaic Virus (BCMV) strain Peanut Stripe
Virus (PStV) (Hartono 2008). Penelitian terbaru menemukan bahwa tiga varietas unggul nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) di Bogor dan beberapa lokasi sentra penanaman nilam di Indonesia (Garut, Ciamis, Cicurug, Manoko dan Pasaman Barat) telah terinfeksi oleh Potyvirus yaitu
Telosma Mosaic Virus (TeMV), PStV dan Passionfruit Woodiness Virus (Noveriza et al. 2009; 2010). Sampai saat ini, informasi mengenai kejadian virus mosaik pada pertanaman nilam di Indonesia masih terbatas. Begitu juga kerusakan yang ditimbulkan dan bagaimana penularan dari penyakit tersebut belum diketahui dengan pasti. 4.2. Kejadian penyakit virus mosaik, Kerusakan yang Ditimbulkan dan Penularannya Kejadian
penyakit
mosaik
kuning
yang
pertama
di
laporkan
di Indonesia berkisar 53-73%. Penyakit ini tersebar baik pada pertanaman nilam di dataran rendah maupun pegunungan. Kajian dengan mikroskop elektron dari daun yang terinfeksi menunjukkan berassosiasi dengan virus berbentuk benang (Sumardiyono et al. 1995). Di India, kejadian penyakit di lapangan berkisar antara 43-76% (Sastry dan Vasanthakumar 1981). Di Indonesia, Potyvirus (virus yang berbentuk benang) merupakan virus yang dominan menyerang tanaman nilam di lapangan. Infeksi
Potyvirus pada tanaman nilam varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe dapat menurunkan hasil produksi, kadar minyak dan kadar patchouli alkohol (Tabel 2). Penurunan tertinggi berat terna basah, terna kering, kadar
94
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak dan kadar PA berturut-turut mencapai 34,65, 40,42, 9,09 dan 5,06% (Noveriza et al. 2011a). PaMMV yang menginfeksi tanaman nilam
di
Jepang menyebabkan menurunnya biomassa (35 %) dan hasil minyak nilam (2 %) (Sugimura et al. 1995; Kadotani dan Ikegami 2002). Partikel Potyvirus merupakan molekul untai tunggal RNA yang unik yang terdiri dari 8,5-10 kilobasa (kb) yaitu kode untuk sebuah poliprotein dan berbentuk seperti benang. Potyvirus adalah kelompok virus yang secara alami dapat ditularkan dan disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun demikian, cara penyebaran utama yang terjadi di lapangan adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi. Hal inilah tampaknya yang menjadi faktor penting yang menentukan tingginya insiden penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerah-daerah sentra produksi nilam di Indonesia (Sastry dan Vasanthakumar 1981; Hartono dan Subandiyah 2006; Noveriza et al. 2010), mengingat petani nilam umumnya melakukan perbanyakan tanaman melalui setek. Untuk menghindari penyebaran penyakit ini maka perlu dilakukan teknik pengendalian yang tepat. 4.3. Strategi Pengendalian Penyakit Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menghindari penyebaran virus ini di lapangan adalah dengan menggunakan benih yang bebas dari infeksi virus. Apabila digunakan tanaman induk yang bebas dari infeksi virus sebagai bahan perbanyakan, maka tanaman yang dibudidayakan dari induk tersebut diharapkan dapat berproduksi sesuai atau mendekati potensi genetiknya. Untuk mendapatkan tanaman induk bebas virus perlu dilakukan usaha eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada berbagai jenis tanaman dilaporkan telah berhasil dilakukan eliminasi virus melalui beberapa metode, diantaranya kultur meristem (Golino et al. 1998), terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998) dan penggunaan antiviral sintetik (Budiarto et al. 2008).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
95
Tabel 2. Perbandingan berat terna basah (g/tanaman), berat terna kering (g/tanaman), kadar minyak (%) dan kadar Patchouli Alcohol (%) dari tiga varietas nilam terinfeksi virus mosaik dan yang sehat setelah 6 bulan tanam (Noveriza et al. 2012).
Varietas
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan
Kondisi Tanaman
Berat Terna Basah (g/tan)
Penurunan Bobot Terna Basah (%)
Berat Terna Kering (g/tan)
Penurunan Bobot Terna Kering (%)
Kadar minyak (%)
Penurunan Kadar Minyak (%)
Kadar Patchouli Alkohol (%)
Penurunan Kadar Patchouli Alkohol (%)
Sehat
206,73
34,65
80,60
37,10
2,64
9,09
35,65
-2,78
Sakit
135,10
Sehat
214,43
Sakit
197,57
Sehat
255,50
Sakit
187,73
50,70 7,87
80,40
2,40 0,62
79,90 26,52
113,30
3,36
2,30 40,42
67,50
**) Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DNMRT 5%.
96
2,38
36,64
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2,11 2,06
34,50
0,72
34,25 2,37
40,90 38,83
5,06
Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum terinvasi patogen yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap yang sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil diterapkan pada tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972). Selain untuk mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam perbanyakan tanaman secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal yang masih bebas patogen umumnya berukuran sangat kecil untuk beberapa jenis tanaman sehingga teknik kultur meristem merupakan teknik yang relatif sulit dilakukan (Brown et al. 1988). Berdasarkan penelitian terbaru untuk mengeliminasi Potyvirus pada tiga varietas unggul nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) kultur jaringan meristem apikal pada ketiga varietas nilam tersebut berhasil dilakukan pada media MS yang ditambah BAP 0,5 mg/l. Varietas Tapak Tuan menunjukkan pertumbuhan tunas yang berbeda nyata dengan ke dua varietas lainnya. Persentase pertumbuhan tunas varietas Tapak Tuan mencapai 90% dengan periode inisiasi lebih cepat yaitu 14 hari. Varietas Sidikalang dan Lhokseumawe menghasilkan pertumbuhan tunas berturut-turut 71,43% dan 69,23% dengan periode inisiasi berturut-turut 17 hari dan 21 hari (Noveriza et al. 2011). Ukuran jaringan meristem apikal yang ditanam sebagai eksplan tampaknya merupakan faktor penentu keberhasilan eliminasi virus (Noveriza
et al. 2011). Hasil kultur jaringan (planlet) yang diperoleh dari eksplan meristem apikal yang berukuran 0,5-1 mm menunjukkan bahwa Potyvirus belum dapat dieliminasi secara tuntas. Jumlah tanaman yang mengandung
Potyvirus berkisar antara 9% sampai 66,7 % (Tabel 3). Beberapa penelitian telah mengemukakan pentingnya ukuran eksplan untuk menghasilkan planlet bebas virus. Menurut Visessuwan et al. (1988), tanaman tebu yang diperbanyak dari kultur meristem apikal menghasilkan 88 persen tanaman bebas virus dengan ukuran meristem apikal 0,2-0,5 mm. Langhans et al. (1977) melaporkan bahwa eksplan meristem apikal yang berukuran 0,3-0,5 mm merupakan ukuran optimal dalam menghasilkan eksplan bebas virus. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
97
Sugimura et al. (1995) mengemukakan bahwa ukuran meristem apikal yang optimum pada tanaman nilam untuk menghasilkan eksplan bebas virus PaMMV adalah 0,5 – 1 mm, sementara Singh et al. (2009) melaporkan bahwa ukuran jaringan meristem 0,2 – 0,5 mm adalah ukuran yang optimum untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV. Tabel 3. Hasil deteksi Potyvirus dari tanaman nilam hasil kultur jaringan meristem apikal dan batang terminal (bukan meristem apikal) dengan metode ELISA (Noveriza et al. 2011). Jenis Eksplan
Varietas
Ukuran Eksplan (mm)
Meristem Apikal
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan Sidikalang
0,5-1 0,5-1 0,5-1 5-8
Batang terminal
Jumlah Sampe l yang diuji 12 11 27 7
Hasil ELISA Reaksi Positif
Reaksi Negatif
4 (33,3)* 1 (9,0) 18 (66,7) 7 (100,0)
8 (66,7)* 10 (99,9) 9 (33,3) 0 (0,0)
*) Rasio antara jumlah sampel yang positif/negatif dan jumlah sampel tanaman yang diuji dalam persen.
Planlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti bahwa tanaman tersebut 100% terinfeksi Potyvirus. Hasil tersebut membuktikan bahwa infeksi Potyvirus pada tanaman nilam bersifat sistemik. Penggunaan metode kultur meristem apikal sangat potensial sebagai upaya untuk eliminasi virus yang menginfeksi secara sitemik karena proliferasi selsel meristem apikal lebih cepat dibandingkan penyebaran virus (Noveriza
et al. 2011). Menurut Barahima (2003) regenerasi tunas meristem apikal menghasilkan planlet bebas virus dapat terjadi karena proliferasi sel-sel meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran partikel virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum terinvasi virus. Planlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus menghasilkan planlet bebas virus. Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah dilakukan dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan 98
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
perlakuan pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus dapat diterapkan berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa laju multiplikasi virus mengalami penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43o C (Converse dan Tanne 1984). Namun demikian, toleransi jaringan tanaman terhadap suhu tinggi akan menjadi faktor pembatas dalam aplikasi metode ini. Persentase tanaman hidup pasca terapi umumnya semakin
kecil seiring
dengan
meningkatnya suhu
pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Perlakuan perendaman setek nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan dalam air panas pada suhu 50⁰-60⁰C dan waktu perendaman 10-30 menit tidak dapat mengeliminasi Potyvirus yang menginfeksi ketiga varietas nilam tersebut. Varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap air panas dibandingkan varietas Sidikalang, walaupun demikian daya tumbuh setek nilam semakin menurun seiring semakin lama waktu perendaman (Noveriza
et al. 2011). 4.4. Perkembangan Penelitian Selain Potyvirus, telah dideteksi juga adanya virus kelompok Fabavirus pada pertanaman nilam di Kecamatan Salem Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah (Noveriza et al. 2010). Hasil deteksi pada sampel tanaman nilam yang terinfeksi virus mosaik asal Bogor dan Brebes dengan metode ELISA, bereaksi positif dengan antiserum Broad Bean Mosaic Virus 2 (BBMV2) yang merupakan genus Fabavirus dan Potato virus X (PVX) genus
Potexvirus (Miftahurohmah, komunikasi pribadi). Ini menjelaskan juga bahwa ada tiga kelompok virus yang
menginfeksi tanaman nilam
di Indonesia yaitu Potyvirus, Fabavirus dan Potexvirus, walaupun demikian
Potyvirus
adalah
virus
yang
dominan
menyerang
tanaman
nilam
di Indonesia. Oleh sebab itu, saat ini sedang dilakukan juga penelitian untuk mendapatkan tanaman nilam yang tahan Potyvirus dengan metode Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
99
pendekatan rekayasa genetik. Melalui ekspresi gen coat protein (CP) dari
Potyvirus di dalam tanaman nilam diharapkan protein CP ini akan mengganggu replikasi lebih lanjut dari Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam tersebut sehingga terhindar dari penyakit mosaik. Fungsi utama dari CP virus tanaman adalah untuk pembentukkan mantel protein yang membungkus asam nukleat dari genom virus. Pada kebanyakan RNA virus tanaman, CP berperan dalam penyebaran virus pada tanaman terinfeksi virus. Selain itu juga berperanan dalam multiplikasi virus di dalam tanaman (Callaway et al. 2001; Carrington et al. 1996). Ekspresi gen CP dari beberapa Potyvirus seperti Soybean mosaic virus,
Papaya ringspot virus, Watermelon mosaic virus 2 dan Zucchini yellow mosaic virus pada tanaman transgenik tembakau (Nicotiana tabacum dan N. benthamiana) memberikan tingkatan proteksi yang bervariasi terhadap infeksi berbagai Potyvirus (Stark dan Beachy 1989; Ling et al. 1991; Namba
et al. 1992). Tingkat proteksi yang dibuat oleh gen CP pada tanaman transgenik bervariasi yang dimulai dari imun tanaman, melemahkan virus dan
memperlambat
timbulnya
gejala
penyakit.
Teknik
ini
efektif
diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus (Lomonossoff 1995). Di Jepang telah didapatkan tanaman tanaman transgenik nilam menggunakan transformasi Agrobacterium
yang tahan terhadap virus
PaMMV (Fabavirus) dengan ekspresi gen CP (Sugimura et al. 2005; Kadotani dan Ikegami 2002). Hasil penelitian terbaru di Indonesia, telah berhasil disisipkan gen coat protein (CP) dari Potyvirus ke dalam plasmid pembawa pJET1.2 dan kemudian disusun dalam plasmid pCambia1301, hasil ekspresinya diperbanyak dalam bakteri Escherichia coli dan Agrobacterium untuk ditransformasikan kedalam daun tanaman nilam. Daun nilam yang membawa gen CP dari Potyvirus tersebut diperbanyak dengan kultur jaringan (Koerniati et al. 2011). Tanaman nilam yang membawa gen CP akan diuji lagi untuk mendapatkan tanaman nilam yang tahan tahan terhadap Potyvirus, kemudian tanaman ini dapat dijadikan sebagai pohon induk untuk perbanyakan nilam tahan terhadap penyakit mosaik yang disebabkan oleh Potyvirus.
100
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1978. Plant pathology. Second Ed. Acad. Press. Univ of Florida. Gainessfille. 703 pp. Ahmed M.2002. Patchouli, an ideal aromatic crop of commercial importance. North Eastern Development Finance Corporation Ltd. Guwahati. p11 Akiew, E. B. 1985. Influence of soil moisture and temperature on the persistence of Pseudomonas solanacearum. In G. J. Persley. (ed). Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. p: 77-79. ARMP. 1993. Efisiensi usahatani, tataniaga dan peningkatan mutu minyak atsiri (nilam, akarwangi, seraiwangi dan kenanga). Laporan Penelitian ARMP 1992/1993. Balittro, Bogor. Asman, A. 2000. Penyakit layu dan budok pada tanaman nilam dan cara pengendaliannya. Prosiding Gelar Teknologi Pengolahan Gambir dan Nilam. Padang dan Solok, 24-25 Januari 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal: 173-178. Asman, A. dan D. Sitepu. 1994. Penelitian penanggulangan penyakit nilam di D.I. Aceh. Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor: 19 hal. Asman, A., E.M. Adhi dan D. Sitepu. 1998. Penyakit layu, budok, dan penyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf Nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal: 84-88. Aspiras, R. B. dan A. R. de la Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 and Pseudomonas fluorescens. Edited by G. J. Persley. Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. P Barahima W.P. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknik kultur meristem. Bul. Agron. 31:81-88. Barani, A. M. 2008. Strategi pengembangan nilam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 November 2008. p: 7-14. Bradbury, J. F. 1987. Guide to plant pathogenic bacteria. CAB International, The Cambrian News Ltd, Aberystwyth, UK. 332 p
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
101
Bridge, J. 1978. Plant nematodes associated with cloves and black pepper in Sumatra and Bangka, Indonesia. ODM Technical Report on Visit to Indonesia, July 9-19th, 1978. UK Ministry of Overseas Development. 19 pp. Brown C.R., S. Kwiatkowski, M.W. Martin dan P.E. Thomas. 1988. Eradication of PVS from Potato Clones Through Excisions of Meristems from In Vitro, Heat Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65: 633-638. Brunt A.A. 1992. The general properties of potyviruses. Archives of Virology 20:3-16. Buddenhagen, I. W. 1986. Bacterial wilt revisited. In G. J. Persley (ed), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, October. ACIAR Proceeding No. 13: 26-143. Budiarto, K., Y. Sulyo, I.B. Rahardjo dan S. Pramanik. 2008. Pengaruh Durasi Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-B pada Tiga Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18: 185-192. Callaway, A., D. Giesman-Cookmeyer, E.T. Gillock, T.L. Sit dan Lommel S.A. 2001. The multifunctional capsid proteins of plant RNA viruses. Annual Review Phytopathology 39:419-460. Carrington J.C., K.D. Kasschau, S.K. Mahajan dan M.C. Schaad. 1996. Cellto-cell and long-distance transport of viruses in plants. Plant Cell 10:1669-1681. Clark, M.F. dan A.N. Adams. 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of General Virology 34:475-483. Converse R.H. dan E. Tanne. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Culture to Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry. Phytopathol. 74: 1315-1316. Corbet, D.C.M. 1976. Pratylenchus brachyurus. C.I.H. Description of Plant Parasitic Nematodes. Set 6, No. 89. CAB, London. 4 pp. Dayal, M. 2007. Chytrids of India. MD Publication. PVT. Ltd.. Ditjenbun. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2006. 1-19. Djiwanti, S.R. 1988. Identification of nematodes from spice and medicinal crops. Technical Report of JICA Counterpart Training in Japan on Soilborne Diseases and Plant-parasitic Nematodes, September 14, 1987 – March 14, 1988: 33-51. Djiwanti, S.R. 2007. Kendala penyakit dalam budidaya nilam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pengembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007. Hal. 421432 102
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Djiwanti, S.R. 2009. Nematoda parasit dan teknologi pengendaliannya dalam budidaya nilam (Pogostemon cablin) di Indonesia. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 21: 40-47. Djiwanti, S.R. dan Y. Momota. 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in west Java. Indust Crops Res. J. 3: 31-34. Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology. 32:229-237 Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1986. Studies of the infection of the winged bean by Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Ann. Appl. Biol. 109:87-94 EPPO, 1999. Synchytrium endobioticum. EPPO quarantine pest. Prepared by CABI and EPPO for the EU. 1-5 pp. EPPO. 2003. Synchytrium endobioticum: soil tests and descheduling of previously infested plots. Phytosanitary procedures. EPPO, PM 3/59(2):1-3. Es, C.C. van. dan S.R. Djiwanti. 1990. Report of Field study of parasitic nematodes associated with patchouli disease in West Java. Research Institute for Spice and Medicinal Crops. Bogor. E.R. 1986. Interaction between strains of Pseudomonas solanacearum its hosts and the environment. In G. J. Persley (ed).
French,
Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. p:99-104. Gilling, M., P. Broadbent, J. Indsto dan R. Lee. 1993. Characterization of isolates and strains of Citrus tristeza closterovirus using restriction analysis of the coat protein gene amplified by the polymerase chain reaction. J. of Virology Methods 44:305-317. Golino, D.A., S.T. Sim, W. Grzegorezyk dan A Rowhani. 1998. Optimizing tissue culture protocols used for virus elimination in grapevines. American Journal of Ecology and Viticulture 49: 451-452. Goodwin, P.B., Y.C. Kim dan T. Adisarwanto. 1980. Propagation of shoot tip culture and shoot multiplication. Potato Res. 23: 45-49. Hadipoentyanti, E., Amalia, Nursalam, S.Y. Hartati dan S. Suhesti. 2008. Perakitan varietas untuk ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 November 2008. 163-176. Harni, R. dan I. Mustika. 2000. Pengaruh bakteri Pasteuria penetrans terhadap nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.). Prosiding Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
103
Kongres Nasional 420-427.
XV dan Seminar Ilmiah PFI Purwokerto. Hal.
Hartati, S. Y., Supriadi, N. Karyani dan L. Udarno. 2008. Pengendalian penyakit layu dengan biopestisida. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balittro. Bogor, 4 November 2008. p: 153-162. Hartati, S.Y., E.M. Adhi, A. Asman dan N. Karyani. 1993a. Efikasi eugenol, minyak, dan serbuk cengkeh terhadap bakteri Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember. p: 43-48. Hartati, S.Y., E.M. Adhi dan N. Karyani. 1993b. Efikasi minyak cengkeh dan serai wangi terhadap Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 12 Desember. p: 37-42. Hartono, S. dan S. Subandiyah. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle virus pada tanaman nilam. J. Perlindungan Tanaman Indonesia 12:74-82. Hartno, S. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam, Bogor-4 Nopember 2008. Haywards, A.C. 1986a. Bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum: in Asia and Australia. An overview. In G. J. Persley (ed), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, October. ACIAR Proceeding No. 13: 15-24. Haywards, A.C. 1986b. The hosts of Pseudomonas solanacearum. In Bacterial wilt: The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum. C. Hayward and G. L. Hartman (Ed), CAB International, Willingford, Oxon, UK. ACIAR Proceeding. pp: 25-34. Haywards, A. C. 1991. Biology and Epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Ann. Rev. of Phytopathology. 29: 65-87. Hewings, A.D. dan C.J. D’Arcy. 1984. Maximizing the detection capability of a beet western yellows virus ELISA system. Journal of Virological Methods 9:131-142. Irwin, M.E. 1999. Implication of movement in developing and deploying integrated pest management strategies. Agricultural and Forest Meteorology 97:235-248
104
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Kadotani, N. dan M. Ikegami. 2002. Production of patchouli mild mosaic virus resistant patchouli plants by genetic engineering of coat protein precursor gene. Pest Management Science 58:1137-1142. Karami, A., Z.A.M. Ahmad dan K. Sijam. 2009. Morphological characteristics and pathogenicity of Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gäumann Associated with false rust in winged bean. American Journal of Applied Sciences. 6: 1876-1879. Karling, J. 1964. Synchytrium. Academic Press. New York Koerniati, S., G. Suastika, R. Noveriza and E. Hadipoentyanti. 2011. Construction and transformation a vector containing of Potyvirus Coat Protein to generating patchouli (Pogostemon cablin Benth.) resistance to Potyvirus. It will be presented at ISSAAS International Congress 2011 at Bogor Convention Center. Bogor. p11 Koshy, P.K. dan J. Bridge. 1990. Nematodes parasites of spices. In Luc, M.R.A., Sikora and J. Bridge (Ed.). Plant parasitic nematodes in Sub Tropical and Tropical Agricultures. C.A.B. International. p. 557-582. Kusnanta, M.A. 2005. Identfikasi dan pengendalian penyakit karat palsu pada nilam (Pogostemon cablin) dengan fungisida. Thesis S2 Pasca Sarjana. UGM. Langhans, R.W., R.K. Horst dan E.D. Earle. 1977. Diseases-free plants via tissue culture propogation. HortScince. 12:149-150. Leonhardt, W., Ch. Wawrosch, A. Auer dan B. Kopp. 1998. Monitoring of virus diseases in Austrian grapevine varieties and virus elimination using in vitro thermotherapy. Plant Cell Tissue anfd Organ Culture 52:71-74. Ling, K., S. Namba, C. Gonsalves, J.L. Slightom dan D. Gonsalves D. 1991. Protection against detrimental effects of potyvirus infection in transgenic tobacco plants expressing the papaya ringspot virus coat protein gene. Bio/Technology 9:752-758. Lister, R.M. 1978. Application of the Enzyme-linked Immunosorbent Assay for Detecting Viruses in Soybean Seed and Plant. Phytopathology 68:1393-1400. Lomonossoff, G.P. 1995. Pathogen-derived resistance to plant viruses. Annual Review Phytopathology 33:323-343. Lozoya-Saldana, H. dan O. Merlin-Lara. 1984. Thermotherapy and Tissue Culture for Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican Potato Cultivars Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61: 735-739. Mahmud, M. 1986. Bacterial wilt in Indonesia. In G. J. Persley (edtr), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
105
An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, 8-10 October 1985. ACIAR Proceeding No. 13: 30-34. Mauludi, L. dan A. Asman. 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Unit Komersialisasi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p42. Meissner Filho, P.E., R de O. Resende, M.I. Lima dan E.W. Kitajima. 2002. Patchouli virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann. Appl. Biol. 141:267-274. Mengel, K. dan E.A. Kirkby. 1987. Principles of plant nutrition. International Potash Institute Bern, Switzerland. 4th edition. 686 pp. Mustika, I dan A. Asman. 2004. Pengendalian hama dan penyakit utama pada tanaman nilam. Perkembangan Tek. Tan. Rempah dan Obat (Edsus) 16:38-46 Mustika, I. 1998. Pemanfaatan bakteri Pasteuria penetrans untuk mengendalikan nematoda Meloidogyne incognita dan Radopholus similis. Laporan RUT. Dewan Riset Nasional. 82 hal. Mustika, I. dan O. Rostiana. 1992. The growth of four patchouli cultivars infected with Pratylenchus brachyurus. J. of Spice and Medicinal Crops 1: 5-9. Mustika, I. dan R. Harni. 2001. Pengaruh ekstrak jarak (Ricinus communis) dan mimba (Azadirachta indica) terhadap Pratylenchus brachyurus pada tanaman nilam. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor, 22-24 Agustus 2001. Halaman: 433-437. Mustika, I. dan S.B. Nazarudin. 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balittro, Bogor. Hal. 89-95. Mustika, I. dan Y. Nuryani. 1993. Screening for resistance of four patchouli cultivar to Radopholus similis. J. of Spice and Medicinal Crops 1: 1117. Mustika, I., A. Rachmat dan Suyanto. 1995. Pengaruh pupuk, pestisida, bahan organik, terhadap pH tanah, populasi nematoda dan produksi nilam. Media komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 15: 70-74. Mustika, I., Y. Nuryani dan O. Rostiana. 1991. Nematoda parasit pada beberapa kultivar nilam di Jawa Barat. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. 6: 9-14. Mustika, I.; S. R. Djiwanti dan R. Harni. 2000. Pengaruh agensia hayati, bahan organik dan pestisida nabati terhadap nematoda pada tanaman nilam. Laporan penyelesaian DIP Bag. Proyek Penel. Tanaman Rempah dan Obat Tahun 1999/2000. Balittro, Bogor. Hal.: 85-92.
106
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Namba, S., K. Ling, C. Gonsalves, K.L. Slightom dan D. Gonsalves. 1992. Protection of transgenic plants expressing the coat protein gene of watermelon mosaic virus or zucchini yellow mosaic virus against six potyvirus. Phytopathology 82:940-946. Nasrun, S. Christanti, T. Arwianto dan I. Mariska. 2004b. Identifikasi bakteri patogen penyakit layu nilam. Prosiding Seminar Ekpose Teknologi Gambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal: 100-108. Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Refianyo. 2004a. Seleksi ketahanan varian nilam terhadap penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Ekpose Teknologi Gambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal: 115-120. Natsuaki, K.T., K. Tomaru, S. Ushiku, Y. Ichikawa, Y. Sugimura, T. Natsuaki, S. Okuda dan M. Teranaka. 1994. Characteristic of two viruses isolated from patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097. Nazarudin, S.B., R. Harni dan I. Mustika. 1996. Nematoda buncak akar pada tanaman rempah, atsiri dan obat di Indonesia serta upaya penganggulangannya. Makalah pada Kongres Nasional II dan Seminar Ilmiah PERNEMI tgl. 23-24 Juli 1996. Jember. NEDFI. 2007. Handbook of medicinal and aromatic plants. NEDFI. http://www.asamagribusiness. Akses Sept 2007. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2010. Potyvirus Associated with Mosaic Disease on Patchouli Plants in Indonesia. ISSAAS International Congress 2010 at Inna Grand Bali Beach Hotel, Denpasar. Bali. Unpublish. p12. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2012. Pengaruh infeksi virus terhadap produksi dan kadar minyak pada tiga varietas nilam (Pogostemon cablin Benth.). Buletin Balittro. Belum terbit. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2011. Eliminasi Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) dengan kultur meristem apikal dan perlakuan air panas. Jurnal Pen Tan Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Belum terbit. p14 Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2009. Detection of a Potyvirus Causing Mosaic Disease on Patchouli Plants in West Java. Seminar dan Kongres Perhimpunan Fitopatologi Indonesia XX Makasar, 2009. Unpublish. Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 11: 1-3.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
107
Nuryani, Y., I. Mustika dan C. Syukur. 2001. Kandungan fenol dan lignin tanaman nilam hibrida (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. Jurnal Littri 7 : 104 -107. Prasad, P.R.K. and D.D.R. Reddy. 1984. Pathogenicity and analysis of crop losses in patchouli (Pogostemon cablin) due to Meloidogyne incognita. Indian Journal of Nematology 14: 36 – 38. Pupuk Iskandar Muda. 1990. Pengembangan dan pemasalahan usahatani nilam dan atsiri lain di D.I. Aceh. Prosiding Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di Sumatera. Diselenggarakan oleh Balittro. Pusat Data Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta. p151-168 Quak, F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication in meristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. : 141-144. Robinson., A. 1993. Serological detection of Pseudomonas solanacearum by ELISA In G. L. Hartman and A. C. Hayward (ed). Bacterial wilt: Proceeding of International Conference, held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 October 1992. ACIAR Proceeding. No. 45: 54-61. Rusli, S., Hobir, A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani, dan M Mansyur. 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 15 hlm. Sastry K.S. dan T. Vasanthakumar. 1981. Yellow mosaic of patchouli (Pogostemon patchouli) in India. Current Science 50: 767-768. Singh, M.K, V. Chandel, V. Hallan, R. Ram dan A.A. Zaid. 2009. Occurrence of Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection 116: 2-6, Sitepu, D dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam Daerah Istimewa Aceh. Lap Kerjasama Pupuk Iskandar Muda dan Balittro. 22 hal. Sitepu, D. dan A. Asman. 1989. Observasi penyakit nilam di Sumatera Barat. Laporan Hasil Penelitian Balittro Bogor: 4 hal. Sitepu, D. dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam di D.I. Aceh. Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor: 22 hal. Sriwati, R. M.S. Sinaga, A.M. Adnan dan I. Mustika. 1999. Patogenisitas dan siklus hidup Pratylenchus brachyurus pada beberapa kultivar nilam (Pogostemon cablin Benth). Seminar Laporan Hasil Penelitian Program Pasca Sarjana IPB. 12 hal.
108
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Stark,
D.M. dan R.N. Beachy. 1989. Protection against potyvirus infection in transgenic plants:Evidencefor broad spectrum resistance. Bio/Technology 7:1257-1262.
Sugimura, Y., B.F. Padayhag, M.S. Ceniza, N Kamata, S Eguchi, T Natsuaki dan S Okuda. 1995. Essential oil production increased by using virus free patchouli plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44:510-515. Sugimura, Y., N. Kadotani, Y. Ueda, K. Shima, S. Kitajima, T. Furusawa dan M. Ikegami. 2005. Transgenic patchouli plants produced by Agrobacterium-mediated transformation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 82:251-257. Sukamto, I.B. Rahardjo, dan Y. Sulyo. 2007. Detection of potyvirus on patchouli plant (Pogostemon cablin Bent.) from Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta 7-9 November 2007. p 72-77. Sumardiyono, Y.B., S. Sulandari dan S. Hartono. 1995. Penyakit mosaik kuning pada nilam (Pogostemon cablin). Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI Yogyakarta,6-8 September 1993. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta. p 912-916. Syakir, M. Supriadi dan D. Wahyuno. 2008. Perkembangan teknologi pengendalian OPT pada tanaman jahe dan nilam. Prosiding Semnas Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Puslitbangbun, Badan Litbang Pertanian. Bogor, 4 Nopember 2008. 15-30 pp. Thomson, K.G., R.G. Dietzgen, A.J. Gibbs, Y.C. Tang, W. Liesack, D.S. Teakle dan E. Stackebrandt. 1995. Identification of Zucchini yellow mosaic potyvirus by RT-PCR and analysis of sequence variability. Journal of Virology Methods 55:83-96. Thrornton, H. 2002. Synchytrium Bio Geography. www.Synchytrium. biogeography-uga.edu Visesuwan, R., W. Korpraditskul, S. Attathom dan S. Klinkong. 1988. Production of Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.) 22:30-60. Waard, P.W.F. de. 1969. Foliar diagnosis, nutrient and yield stability of black pepper (Piper nigrum L.) in Sarawak. Koninklijk Instituut voor de Tropen. 149 pp. Wahyuno, D., Sukamto, D. Manohara, A. Kusnanta, C. Sumardiyono dan S. Hartono. 2007. Synchytrium a potential threat of patchouli in Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta. DAI-IPB 92-99.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
109
Wahyuno, D. 2010a. Pengelolaan perbenihan nilam untuk mencegah penyebaran penyakit budok (Synchytrium pogostemonis). Rev. Penelitian Tan Industri. Perspekstif. 9:1-11. Wahyuno. D. 2010b. The Life cycle of Synchytrium pogostemonis on Pogostemon cablin. Microbiology Indonesia J. 4:127-131. Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin dan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Littri. 16:91-97 William, K.J.O. 1980. Plant parasitic nematodes of the Pasific. UNPFAOSPEC. Survey of Agriculture Pests and Diseases in the South Pasific. 192 pp.
110
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam