1
Jurnal Bioteknologi Pertanian,hasil Vol. fusi 9, No. Fusi protoplas dan regenerasi ... 1, 2004, pp. 1-7
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi antara Solanum melongena dan Solanum torvum Protoplast fusion and regeneration of somatic hybrids of Solanum melongena and Solanum torvum Ali Husni1, Ika Mariska1, dan Hobir2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111, Indonesia 2 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia 1
ABSTRACT One of the problems in eggplant (Solanum melongena) production in Indonesia is bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum. The most effective and efficient method of controlling the disease is by using resistant varieties. However, a source of resistant character is generally found in the wild species such as S. torvum. Genetic traits from a different species are difficult to be transferred conventionally. One of the methods of transferring a genetic character from different species is protoplas fusion. This experiment was carried out to study protoplast fusion and regeneration of somatic hybrid of S. melongena and S. torvum. The results showed that protoplast of S. melongena and S. torvum could be isolated with protoplast density of 10 6 /ml. Protoplast fusion induced by PEG showed that the higher the concentration of PEG, and the longer the incubation period, the higher the number of protoplast fused. At PEG concentration of 50% and incubation time of 20 minutes, the binner and multifusion were 8.7 and 11.3, respectively. For protoplast regeneration to produce microcallus, the best medium was KM8P enriched with 0.2 mg/l 2.4-D + 0.5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA. By the treatment, the microcallus produced was 25. Furthermore, KM8P enriched with 0.1 mg/l 2.4-D + 2 mg/l BAP could induce the development of microcalli to calli. On the media, eight calli were produced. Shoot formation could be induced by applying vitamin Morrel & Wetmore + 0.1 mg/l IAA + 2 mg/l zeatin into MS medium. [Keywords: Solanum melongena, Solanum torvum, protoplast fusion, in vitro regeneration]
ABSTRAK Salah satu masalah dalam budi daya terung (Solanum melongena) di Indonesia adalah serangan penyakit layu yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Cara yang paling efektif dan efisien untuk menanggulangi penyakit tersebut adalah dengan menggunakan varietas tahan. Namun, sumber ketahanan pada umumnya terdapat pada spesies liar seperti S. torvum, sehingga pemindahan sifat tersebut ke dalam terung (S. melongena) sulit dilakukan secara konvensional. Salah satu cara untuk memindahkan sifat genetik dari dua spesies yang berbeda adalah melalui fusi protoplas. Dalam penelitian
ini dipelajari teknik fusi protoplas antara S. melongena dengan S. torvum serta regenerasinya sampai menjadi planlet. Isolasi protoplas dapat menghasilkan densitas protoplas yang cukup tinggi, yaitu 10 6/ml. Induksi fusi secara kimia dengan PEG menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi dan makin lama waktu inkubasi fusi, makin banyak sel yang berfusi. Pada konsentrasi PEG 50% dan waktu inkubasi 20 menit dapat dihasilkan fusi biner dan multifusi masing-masing 8,7 dan 11,3. Media terbaik untuk meregenerasikan protoplas menjadi mikrokalus adalah KM8P yang diperkaya dengan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA. Dengan perlakuan tersebut, mikrokalus yang dihasilkan mencapai 25. Selanjutnya, KM8P yang diperkaya dengan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP dapat merangsang pembentukan mikrokalus menjadi kalus. Dengan perlakuan tersebut dapat dihasilkan delapan kalus. Tunas dapat terbentuk pada media dasar MS yang diperkaya dengan vitamin Morel & Wetmore + 0,1 mg/l IAA + 2 mg/l zeatin. [Kata kunci: Solanum melongena, Solanum torvum, fusi protoplas, regenerasi in vitro]
PENDAHULUAN Terung (Solanum melongena) merupakan tanaman sayuran penting di Indonesia dan kini menjadi salah satu komoditas ekspor. Masalah yang dihadapi dalam budi daya terung antara lain adalah serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi, penyakit tersebut dapat mengakibatkan kehilangan hasil 15-95% (Machmud 1985). Strategi pengendalian penyakit layu bakteri dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu secara biologis, mekanis, kimiawi, dan penggunaan varietas tahan. Pengendalian secara biologis dan teknik budi daya baru dilakukan dalam skala percobaan, sedangkan pengendalian secara kimiawi relatif mahal. Pengendalian dengan menggunakan varietas tahan, dalam jangka panjang merupakan cara pengendalian yang paling efektif dan efisien, namun ketersediaan varietas tahan masih sangat terbatas.
2 Untuk mendapatkan varietas tahan diperlukan keragaman genetik yang luas. Sumber resistensi dari S. melongena ditemukan pada varietas lokal, seperti varietas Kopek (Winstead dan Kelman 1952). Namun, sifat resisten tersebut sering hilang bila varietas tersebut dibudidayakan di daerah lain. Resistensi terhadap penyakit layu banyak ditemukan pada spesies liar, antara lain pada S. glandiforum, S. sanitwongsei, S. mammosum, dan S. torvum (Supriadi 1986; Sihachakr et al. 1994). Memasukkan sifat tahan dari spesies liar ke dalam spesies budi daya melalui hibridisasi konvensional sering mengalami kegagalan akibat inkompatibilitas atau dihasilkan hibrida yang steril. Untuk mengatasi masalah tersebut, penggabungan sifat dari dua spesies yang berbeda sering dilakukan melalui kultur protoplas. Dari penelitian yang telah dilakukan, kultur protoplas dapat menghasilkan keragaman yang tinggi, baik dalam sifat-sifat morfologi maupun resistensi terhadap Phytophthora infestans dan Alternaria solanii (Takebe et al. 1971). Penelitian lain melaporkan bahwa dari kultur protoplas telah diperoleh klon-klon yang tahan terhadap herbisida (Evans dan Sharp 1986) dan R. solanacearum (Husni et al. 2003). Selain meningkatkan keragaman genetik, kultur protoplas juga dapat digunakan untuk fusi protoplas. Dengan fusi protoplas, sifat-sifat genetik dari spesies atau genus yang berbeda dapat digabungkan (Milam et al. 1995; Wara dan Glimileus 1995). Untuk menginduksi terjadinya fusi dapat dilakukan secara kimia atau listrik (Purwito 1999). Fusi protoplas melalui cara kimia pada umumnya menggunakan polyethylene glicol (PEG) karena PEG dapat berperan sebagai penginduksi fusi antara dua protoplas. Molekul HOCH2(CH-O-CH2) mempunyai polaritas yang cenderung bersifat negatif kemudian mampu membentuk ikatan nitrogen dengan kelompok polaritas positif dari substansi membran. Dengan demikian, PEG dapat bertindak sebagai molekul pengikat antara dua permukaan protoplas sehingga terjadi fusi (Kao dan Michayluk 1975). Fusi protoplas dapat dilakukan dengan menggabungkan total genom dari suatu varietas dengan varietas lain yang berbeda spesies atau genusnya (Wattimena 1999). Beberapa peneliti menyatakan bahwa keberhasilan memperoleh tanaman hasil fusi sangat sulit karena tahapan pekerjaan yang dilalui cukup panjang dan membutuhkan ketelitian dan kebersihan yang sangat tinggi untuk setiap tahap. Dari berbagai penelitian fusi protoplas telah diperoleh beberapa hibrida somatik, antara lain S. tuberosum dengan L. pimpinellifolium (Tan 1987), S. khasianum
Ali Husni et al.
dengan S. aculestissima (Statmann et al. 1994), S. khasianum dengan S. laciniatum (Sihachakr et al. 1995), S. melongena dengan S. aethopicum (Sihachakr 1998), S. khasianum dengan S. mammosum (Priyanto 1996), serta S. tuberosum BF15 dengan S. stenotomum (Purwito 1999). Walaupun penelitian fusi protoplas telah banyak dilakukan, Purwito (1999) menyatakan bahwa metode fusi protoplas yang dapat berlaku umum pada genus Solanum belum ada, terutama antara S. melongena dengan S. torvum yang sering mengalami kegagalan dalam regenerasi membentuk hibrida baru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hibrida somatik hasil fusi protoplas antara S. melongena cv. Dourga dengan S. torvum.
BAHAN DAN METODE Persiapan eksplan Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur in vitro, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor. Eksplan yang digunakan adalah S. melongena cv. Dourga yang berasal dari laboratorium Morphogenese Vegetale Experimentale, Paris Sud University, Perancis serta S. torvum yang tahan berasal dari koleksi BB Biogen, Bogor. S. melongena termasuk terung yang rentan terhadap penyakit layu. Benih dari kedua spesies tersebut disterilkan dalam alkohol 70%, kemudian dalam 0,05% HgCl2 dan 30% clorox masing-masing selama 3 menit. Setelah itu benih dicuci dengan akuades. Benih yang telah disterilisasi dikecambahkan dalam media MS + 20 g/l sukrosa dan 7 g/l agar. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 20 menit. Setelah berkecambah, benih disubkultur pada media baru dan diinkubasi pada suhu 25-27 o C, dengan penyinaran 1.000 lux selama 12 jam tiap hari. Satu bulan setelah pengkulturan, daunnya digunakan sebagai sumber protoplas.
Persiapan larutan enzim Enzim yang digunakan adalah enzim Sellulase Onozuka RS 0,5% (ml/l); 0,5% (M/v) macerozyme R-10 (Yakult Honssa Co.); 0,05% (M/v) MES; dan 9,1% (M/v) manitol. Senyawa tersebut dilarutkan dalam CPW (Sihachakr 1998) dan pH diatur 5,5-5,6 serta disterilisasi dengan filter ukuran 0,22 µm. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri berdiameter 5 cm, masing-masing 5-6 ml setiap cawan.
3
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ...
Isolasi protoplas Permukaan bagian bawah daun S. melongena dan S. torvum digores dengan pisau secara merata dengan jarak antaririsan 2-3 cm. Daun yang telah diiris ditempatkan dalam cawan petri yang berisi larutan enzim, kemudian diinkubasi dalam kamar gelap pada suhu 27oC selama 16 jam. Untuk membantu melepaskan protoplas, cawan petri digoyang selama 30 detik sehingga diperoleh larutan protoplas. Larutan protoplas S. melongena dan S. torvum disaring dengan metalic sieve berukuran 100 µm, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1.800 rpm selama 5 menit sampai dihasilkan pelet. Selanjutnya larutan enzim dipisahkan dan protoplas dilarutkan dalam 21% sukrosa dan disentrifugasi kembali selama 10 menit. Protoplas murni kemudian diambil menggunakan pipet dan disentrifugasi kembali. Selanjutnya, protoplas dilarutkan dalam 0,5 M manitol + 0,5 mM CaCl 2 dan disentrifugasi selama 5 menit sampai terbentuk pelet protoplas. Akhirnya protoplas dicuci dan densitasnya diukur. Fusi protoplas Protoplas S. melongena dan S. torvum yang telah dimurnikan seperti tersebut di atas masing-masing diencerkan dengan larutan pencuci sehingga densitasnya menjadi + 5 x 10 4 protoplas/ml. Selanjutnya suspensi protoplas dicampur dalam tabung reaksi dengan perbandingan volume yang sama dan diresuspensi sampai homogen. Setelah homogen, suspensi protoplas diambil dengan pipet sebanyak 600-800 µl kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri berdiameter 5 cm dan dibiarkan selama 5 menit sehingga protoplas mengendap. Selanjutnya di sekeliling suspensi protoplas ditambahkan 100 µl larutan PEG dengan konsentrasi 30% atau 50% sebagai perlakuan selama 10 dan 20 detik untuk menginduksi terjadinya fusi. Larutan PEG kemudian dibuang dan protoplas dibersihkan dengan larutan pencuci. Setelah itu dilakukan penghitungan secara mikroskopis terhadap protoplas yang mengalami fusi. Protoplas yang telah difusikan dikultur dalam media perlakuan untuk memacu pertumbuhannya. Kultur protoplas hasil fusi Media yang digunakan adalah media dasar KM8P dan VKM, masing-masing diperkaya dengan 0,2 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l zeatin + 0,1 mg/l NAA dengan pH 5,8. Media tersebut disterilisasi dengan filter ukuran 0,22 µm. Masing-masing medium dipipet dan dimasukkan
ke dalam cawan petri yang berisi protoplas yang telah difusi, masing-masing 6 ml setiap cawan. Kultur dipelihara dalam ruangan tanpa atau dengan penyinaran 1.000 lux pada suhu 27oC sampai terbentuk koloni sel atau mikrokalus. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah koloni sel dan mikrokalus yang dihasilkan. Pengenceran suspensi (koloni) sel Untuk mendorong mikrokalus membentuk kalus, suspensi sel diencerkan dengan media dasar yang sama (KM8P dan VKM), tetapi zat pengatur tumbuhnya diganti dengan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP. Koloni atau mikrokalus dari setiap cawan petri dibagi menjadi tiga kemudian setiap bagian dimasukkan ke dalam cawan petri baru yang telah berisi media pengenceran masing-masing 6 ml. Kultur disimpan kembali tanpa cahaya dalam inkubator bersuhu 27oC. Parameter yang diamati meliputi jumlah kalus yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Regenerasi tunas Kalus yang dihasilkan dari setiap perlakuan dipindahkan ke dalam media padat MS + vitamin Morell + 0,1 mg/l IAA dan konsentrasi zeatin sebagai perlakuan (2, 4, dan 6 mg/l). Parameter yang diamati pada tahap ini adalah keberhasilan regenerasi kalus membentuk tunas. Tunas yang dihasilkan dipindahkan ke dalam media dasar yang sama, yaitu MS + vitamin Morell (padat) tanpa menggunakan zat pengatur tumbuh untuk induksi akar. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi protoplas Penggunaan metode Sihachakr (1998) dengan komposisi enzim 0,5% Sellulase Onozuka RS + 0,5% macerozyme R-10 + 0,05% MES dan 9,1% manitol dalam larutan dapat mengisolasi protoplas dengan densitas yang tinggi, baik pada S. melongena maupun S. torvum. Purifikasi dilakukan dengan larutan sukrosa 21% dan sentrifugasi 1.800 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan protoplas yang murni dan viabel. Kombinasi enzim dan cara purifikasi seperti ini dapat digunakan untuk isolasi protoplas pada beberapa tanaman, seperti Artemisia sphaerocephala (Qinxu dan Fenjia 1996), Piper nigrum (Husni et al. 1997), S. melongena (Sihachakr 1998; Husni et al. 2003), dan S. torvum (Sihachakr 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. torvum dapat menghasilkan protoplas yang lebih banyak
4 dibandingkan S. melongena. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisiologis eksplan selama kultur, di mana biakan S. torvum mengalami etiolasi sehingga daunnya lebih lunak dibandingkan S. melongena. Protoplas yang dihasilkan dari kedua jenis Solanum sangat baik dan mempunyai viabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh penampakan protoplas yang berbentuk bulat sempurna setelah pemurnian (Gambar 1). Jumlah protoplas S. torvum adalah 8,8 x 106 dan S. melongena 3,2 x 106 protoplas/ml. Fusi protoplas Sebelum dilakukan fusi antara S. melongena dan S. torvum, densitas protoplas diencerkan menjadi 104/ml, baik protoplas S. melongena maupun S. torvum. Pengenceran dilakukan dengan cara menambahkan media pencuci pada protoplas yang telah dimurnikan. Induksi fusi dilakukan dengan larutan fusogen PEG pada campuran protoplas S. melongena dan S. torvum dengan perbandingan volume yang sama. Keberhasilan fusi dan regenerasi sangat ditentukan oleh konsentrasi PEG dan lama inkubasi dalam larutan PEG. Hasil fusi antara S. melongena dan S. torvum menggunakan 100 µl PEG dengan konsentrasi 30% dan 50% selama 10 jam 20 menit dapat dilihat pada Gambar 2. Jenis fusi yang dihasilkan berupa fusi antara dua protoplas atau fusi biner (binner fusion) dan lebih dari dua protoplas atau multifusi (multifusion) (Gambar 2). Konsentrasi PEG tinggi (50%) lebih banyak meng-
Ali Husni et al.
hasilkan protoplas yang melakukan fusi, baik fusi biner maupun multifusi. Makin lama waktu inkubasi dalam larutan PEG, makin banyak pula protoplas yang Jumlah protoplas yang berfusi Number of protoplas fusion 16
Binner fusion, PEG 30% Binner fusion, PEG 50% Multifusion, PEG 30% Multifusion, PEG 50%
14 12 10
8,7
8
7,3
6 4
11,3
5,6
4,9 3,2
7,6
4,1
2 0
10 20 Waktu inkubasi (menit) Time of incubation (min)
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi PEG dan waktu inkubasi terhadap keberhasilan fusi antara Solanum melongena dan S. torvum. Fig. 2. Effect of PEG concentration and time of incubation on protoplast fusion of Solanum melongena and S. torvum.
Gambar 1. Isolasi dan fusi protoplas Solanum melongena (sm), S. torvum (st), fusi biner (bf), dan multifusi (mf). Fig. 1. Isolation and protoplast fusion of Solanum melongena (sm), S. torvum (st), binner fusion (bf), and multifusion (mf).
5
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ...
mengalami fusi. Pada konsentrasi PEG 50%, protoplas yang mengalami fusi biner sebanyak 4,9 pada perlakuan inkubasi 10 menit dan 8,7 untuk inkubasi 20 menit, sedangkan untuk multifusi adalah 5,6 untuk inkubasi 10 menit dan 11,3 untuk inkubasi 20 menit. Pada konsentrasi PEG 30%, protoplas yang mengalami fusi biner sebanyak 3,2 untuk inkubasi 10 menit dan 7,3 untuk inkubasi 20 menit, sedangkan untuk multifusi sebanyak 4,1 untuk inkubasi 10 menit dan 7,6 untuk inkubasi 20 menit.
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kemampuan protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dan S. torvum membentuk dinding dan pembelahan sel pada satu minggu setelah kultur. Table 1. Effect of PEG concentration on protoplast of Solanum melongena and S. torvum to cell wall regeneration and cell division.
30
KM8P VKM
Kultur protoplas hasil fusi dan pengenceran suspensi sel
50
KM8P VKM
Protoplas yang telah difusikan dibersihkan dengan larutan pencuci (0,5 M manitol + 0,5 mM CaC12) untuk menghilangkan pengaruh PEG agar protoplas tidak rusak. Karena konsentrasi PEG dan lama inkubasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi protoplas, waktu inkubasi yang terlalu lama dalam larutan PEG dapat mengganggu keseimbangan tekanan osmotik di luar dan di dalam protoplas sehingga protoplas menjadi pecah (Suryowinoto 1990). Penggunaan media KM8P dan VKM dengan penambahan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan protoplas tanaman terung hasil fusi (Sihachakr et al. 1989), tanaman kentang (Purwito 1999), dan terung bukan fusi (Husni et al. 2003). Protoplas hanya dapat membentuk dinding sel bila berfusi dengan PEG 30%, baik pada media KM8P maupun VKM, sedangkan protoplas yang berfusi dengan PEG 50% tidak dapat membentuk dinding sel (Tabel 1). Hal ini karena konsentrasi PEG 50% sudah bersifat toksik bagi protoplas sehingga protoplas menjadi pecah, atau karena sifat PEG yang dapat mengikat molekul air sehingga protoplas berada dalam keadaan tercekam air yang menyebabkan metabolisme sel tidak sempurna. Purwito (1999) menyatakan bahwa konsentrasi PEG yang terlalu tinggi dan waktu inkubasi yang terlalu lama dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan protoplas. Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa protoplas hasil fusi dengan PEG 30% pada media KM8P dapat membentuk dinding sel paling tinggi, yaitu 32,17% dengan sel yang membelah 26,3%. Pada media VKM, 17% protoplas dapat membentuk dinding sel dan 12,5% dapat melakukan pembelahan sel. Bila dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel, media dasar KM8P memberikan hasil yang lebih baik daripada media VKM (Tabel 2). Pada media KM8P, diperoleh empat koloni sel
Induksi fusi PEG Fusion induction (%)
Media Protoplas dengan Sel dasar dinding sel membelah Basal Cell wall Cell division medium (%) (%) 32,17 17
26,3 12,5
0 0
0 0
Tabel 2. Pengaruh media dasar terhadap kemampuan protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dan S. torvum membentuk koloni sel pada 4 minggu setelah k u l t u r. Table 2. Effect of basal medium on the growth and development of protoplast of Solanum melongena and S. torvum to produce cell colonies, 4 week after PEG application. Media dasar Basal medium
Rata-rata jumlah koloni sel/6 ml media Number of cell colony/6 ml medium
30
KM8P VKM
4 2
50
KM8P VKM
0 0
Induksi fusi PEG Fusion induction (%)
dari setiap cawan petri, sedangkan media dasar VKM hanya menghasilkan dua koloni. Keberhasilan pembentukan koloni sel yang lebih baik pada media dasar KM8P diduga karena kandungan komposisi vitaminnya yang lebih kaya dibanding VKM. Pengenceran koloni sel dengan media baru dilakukan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan protoplas ke tahap berikutnya yaitu pembentukan mikrokalus dan kalus. Hal yang sama dilaporkan oleh Sihachakr et al. (1989), bahwa penggunaan media yang sama dalam pengenceran koloni sel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan koloni sel membentuk mikrokalus. Pengenceran dilakukan dengan cara membagi koloni sel dalam setiap cawan petri menjadi tiga kemudian dipindahkan ke dalam cawan petri yang baru. Selanjutnya dilakukan penambahan media baru dengan jenis media dasar yang sama (KM8P dan VKM), tetapi zat pengatur tumbuh yang digunakan diganti dengan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP. Koloni sel dapat tumbuh dan berkembang menjadi mikrokalus setelah dilakukan pengenceran.
6 Mikrokalus dapat terlihat dengan kasat mata pada 2 minggu setelah pengenceran dan semakin jelas membentuk kalus pada 4 minggu setelah pengenceran dengan warna putih kekuningan (Gambar 3). Jumlah mikrokalus dan kalus yang dihasilkan setelah pengenceran lebih banyak pada media KM8P daripada media VKM, yaitu 25 mikrokalus/5 cawan petri pada
Gambar 3. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dan S. torvum menjadi kalus; a = pembelahan sel, b = koloni sel, c = mikrokalus, d = kalus. Fig. 3. Growth and development of protoplast of Solanum melongena and S. torvum to callus; a = cell division, b = cell colony, c = microcallus, d = callus.
Ali Husni et al.
media KM8P dibanding 7 mikrokalus/5 cawan petri pada media VKM. Demikian juga halnya untuk pembentukan kalus, media KM8P dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan koloni sel membentuk kalus. Regenerasi tunas Kalus yang dihasilkan setelah pengenceran dipindahkan ke media regenerasi (padat) untuk mendorong pembentukan tunas. Media dasar yang digunakan adalah MS + vitamin Morell + IAA 0,1 mg/l dengan penambahan zeatin 2, 4, dan 6 mg/l sebagai perlakuan. Dari delapan kalus yang dihasilkan, hanya kalus yang dipindahkan pada media regenerasi dengan penambahan zeatin 2 mg/l yang dapat membentuk tunas setelah 29 hari dalam media regenerasi. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan sebanyak 3 tunas. Hasil yang sama dilaporkan oleh Husni et al. (2003) pada regenerasi tunas protoplas terung, di mana pada konsentrasi zeatin yang rendah (1 dan 2 mg/l), kalus dapat beregenerasi menjadi tunas. Setelah diaklimatisasi di rumah kaca, lebar dan bentuk daun dari tunas yang dihasilkan berbeda dengan kedua tetuanya (Gambar 4). Priyanto (1996) dan Purwito (1999) juga melaporkan adanya perbedaan penampilan fenotipik hibrida hasil fusi protoplas. Tunas-tunas tersebut kemudian dipindahkan pada media MS tanpa pem-
Gambar 4. Regenerasi tunas dan aklimatisasi hibrida somatik antara Solanum melongena dan S. torvum; a = kalus embriogenik, b = inisiasi tunas, c = penampakan daun hibrida dengan kedua tetuanya setelah aklimatisasi, d = planlet yang diaklimatisasi. Fig. 4. Regeneration and acclimatization of somatic hybrid of Solanum melongena and S. torvum; a = embryogenic callus, b = shoot formation, c = shape of leaf, d = acclimatization.
Fusi protoplas dan regenerasi hasil fusi ...
berian zat pengatur tumbuh untuk induksi akar membentuk planlet. Planlet yang dihasilkan kemudian diaklimatisasi di rumah kaca untuk pengamatan selanjutnya. KESIMPULAN Protoplas Solanum melongena dan S. torvum dapat diisolasi dengan densitas yang tinggi (106 /ml) dengan larutan kombinasi enzim 0,5% Sellulase Onozuka RS + 0,5% macerozyme R-10 + 0,05% MES dan 9,1% manitol selama 16 jam dalam keadaan gelap. Untuk menginduksi terjadinya fusi yang tidak menghambat viabilitas protoplas dapat dilakukan dengan larutan PEG 30%. Jenis fusi yang dihasilkan berupa fusi dua protoplas atau lebih. Media dasar KM8P dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel dengan penambahan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin + 1 mg/l NAA. Penambahan 0,1 mg/l 2,4-D + 2 mg/l BAP dalam media pengenceran dapat mendorong pertumbuhan koloni sel membentuk mikrokalus dan kalus. Kalus dapat beregenerasi membentuk tunas pada media MS + vitamin Morel + 0,1 mg/l IAA + 2 mg/l zeatin. Terdapat perbedaan fenotipik daun hibrida yang dihasilkan dibandingkan dengan kedua tetuanya (S. melongena dan S. torvum). DAFTAR PUSTAKA Evans, D.A. and W.R. Sharp. 1986. Somaclonal and gametoclonal. p. 97-132. In D.A. Dian, W.R. Sharp, V.P. Ammirato, and Y. Yamada (Eds). Hand Book of Plant Cell Culture 1. Mc Millan Publ. Co. New York. Husni, A., 1. Mariska, dan M. Kosmiatin. 1997. Kultur protoplas hasil fusi antara lada budi daya dengan lada liar. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11(5): 199-207. Husni, A., I. Mariska, G.A. Wattimena, dan A. Purwito. 2003. Keragaman genetik tanaman terung hasil kultur protoplas. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2): 52-59. Kao, K.N. and M.R. Michayluk. 1975. Nutritional requirements for growth of Vicia hajastana cells and protoplasts at very low population density in liquid media. Planta 126: 105-110. Machmud, M. 1985. Bacterial wilt in Indonesia. Bacterial wilt workshop. PCARD, Los Banos, Laguna, Philippines. 16 pp. Milam, S., L.A. Payne, and G.R. Mackay. 1995. The integration of protoplast fusion-derived material into a potato breeding programme: a review of progress and problems. Euphytica 85: 451-455.
7 Priyanto, B. 1996. Studi fusi protoplast S. khasianum Clarke dengan S. mammosum L. Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwito, A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Qinxu, Z. and J. Fenjia. 1996. Callus formation from protoplasts of Artemisia sphaerocephale Krasch and some factors influencing protoplast division. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 44: 129-134. Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G. Dcreux, L. Rossignol, and V. Souvannavong. 1989. Somatic hybrid plants produced by electrofusion between Solanum melongena L. and S. torvum S.W. Theor. Appl. Genet. 77: l-6. Sihachakr, D., M.C. Daunay, 1. Serraf, M.H. Chaput, 1. Mussio, R. Haicour, L. Rossignol, and G. Ducreux. 1994. Somatic hybridization of eggplant (Solanum melongena L.) with its close and wild relatives. p. 255-278. In Y.P.S. Bajaj (Ed.). Somatic Hybridization in Crop Improvement 1. Biotechnology in Agriculture and Forestry Vol. 27. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Sihachakr, D., I. Serraf, M.H. Chaput, I. Mussio, L. Rossignol, and G. Ducreux. 1995. Regeneration of plants from protoplasts of S. khasianum C.B. Dark and S. laciniatum Ait. Biotechnology in Agriculture de Protoplastes. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat. 360, Universite Paris Sud. 16 pp. Sihachakr, D. 1998. Protocole disolement et de culture de protoplastes. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat. 360, Universite Paris Sud. 16 pp. Supriadi. 1986. Penanggulangan penyakit layu bakteri Solanum khasianum dengan batang bawah yang tahan. Prosiding Seminar Pembudidayaan Tanaman Obat. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. hlm. 125-127. Suryowinoto, M. 1990. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Petunjuk laboratorium. PAU Biotek. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 321 hlm. Statmann, M., E. Gericck, and G. Wenzel. 1994. Interspecific somatic hybrids between S. khasianum and S. aculeatissimum produced by electrofusion. Plant Cell Rep. 13: 193-196. Takebe, I., G. Labib, and G. Malchers. 1971. Regeneration of whole plants from isolated mesophyll protoplas of tobacco. Naturwissenschaften 58: 318-320. Tan, M.M.C. 1987. Somatic Hybridization and Cybridization in Some Solanaceae. Academisch Proefschrift. Vrije Universiteit te Amsterdam. Wara, S. and K. Glimileus. 1995. The potential of somatic hybridization in crop breeding. Euphytica 85: 217-233. Wattimena, G.A. 1999. Application of biotechnology in horticultural crops production. In Proceeding of Seminar on Biotechnology: Application of Biotechnology in Horticultural Production. Bogor Agricultural University-DFID British Council, Bogor, 14 April 1999. Winstead and A. Kelman. 1952. Inoculation techniques for evaluating resistance to Pseudomonas solanacearum. Phytopathology 42: 628-634.