Perbaikan kualitas pada proses kiln tegel keramik kode ge dengan metode six sigma dmaic (studi kasus PT. Ikad Tangerang) Febiyanto S I 0302029 BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Dewasa ini semakin banyak istilah-istilah quality improvement muncul
dikarenakan persaingan telah menuntut semua organisasi dan perusahaan untuk semakin inovatif dalam memenuhi keinginan pelanggan. Setiap perusahaan menggunakan strategi untuk membuat segala yang dihasilkan lebih baik dari segi kualitas maupun biaya, sehingga dapat bersaing dengan perusahaan pesaing lainnya dalam kompetisi pasar yang semakin ketat ini. Dengan semakin ketatnya persaingan, semakin ketat dan tinggi juga persyaratan yang diinginkan konsumen. Semakin banyak defect yang dihasilkan dari proses yang dikelola, semakin mudah pelanggan beralih ke perusahaan lain. Hal ini pula yang dirasakan PT. IKAD yang memproduksi tegel keramik dimana persaingan menuntut untuk selalu melakukan perbaikan berkesinambungan. Saat ini, produksi tegel keramik yang dilakukan di PT. IKAD khususnya di Departemen Plant 3 dirasakan masih kurang optimal. Perusahaan yang berkedudukan di Jalan Raya Pasar Kemis KM. 5,8 Tangerang ini cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitas produk tegel keramik. Bagian kiln merupakan salah satu bagian paling vital dan merupakan proses akhir dalam menentukan hasil akhir produk tegel keramik tersebut paling disoroti karena penurunan kualitas produk tersebut. Proses kiln terdiri dari 3 fase utama, yaitu fase preheating, firing, serta cooling. Kurang optimalnya ketiga fase proses dalam kiln tersebut mendominasi terjadinya kecenderungan penurunan kualitas tegel keramik. Berdasarkan penggambaran tersebut, perlu dilakukan analisis pada bagian kiln untuk memperbaiki kualitas prosesnya untuk dianalisis dan diperbaiki kualitas prosesnya secara lebih mendalam.
IV - 1
Pada Critical to Quality (CTQ) seperti permukaan tegel keramik masih terlihat dominan peranannya dalam penurunan kualitas produk. Critical to Quality (CTQ) itu sendiri memiliki pengertian yaitu karakteristik kualitas yang penting untuk diperhatikan (Gasperz, 2002) Berdasarkan identifikasi yang dilakukan pada penelitian sebelumnya di Departemen Plant 3 PT. IKAD Tangerang, khususnya di bagian kiln, sering diterima keluhan kualitas produk dan masih banyak terdapat produk cacat yang dihasilkan untuk produk tegel keramik kode GE. Adapun objek tegel keramik yang diambil yaitu kode GE merupakan produk PT. IKAD yang setiap hari diproduksi secara massal dikarenakan banyaknya permintaan dari pelanggan. Tegel keramik kode GE yang berwarna putih dan berukuran 30 cm x 30 cm ini hanya dihasilkan di Departemen Plant 3 dan merupakan produk massal yang paling banyak dikeluhkan pelanggan. Perusahaan juga mengalami kerugian penjualan akibat adanya produk cacat yang nantinya harus disortir dan tidak dapat di rework. Masalah lainnya yang telah diidentifikasi pada penelitian sebelumnya yaitu komunikasi yang terjadi diantara para staff dan operator yang masih dirasakan kurang, sehingga menyebabkan minimnya informasi yang terlibat dalam proses yang dilakukan perusahaan (Febiyanto, 2005). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada kerja praktek bulan Agustus 2005 diketahui bahwa pada bagian kiln terlihat penyebab dominan kecacatan permukaan tegel keramik antara lain melenting, pecahan tile, tumpuk masih mendominasi prosentase kecacatan yang menandakan bahwa masih dominannya permukaaan tegel keramik sebagai karakteristik kualitas yang kritis. Fenomena-fenomena yang terjadi tersebut setelah dianalisa disebabkan oleh adanya beberapa proses yang tidak seimbang di tiap-tiap bagian, lingkungan pabrik yang kotor, tidak adanya pengawasan yang ketat untuk komponenkomponen yang tidak memenuhi spesifikasi, banyaknya sisa-sisa dan peralatan rusak yang berserakan di segala tempat di pabrik. Selain itu, operator mengerjakan pekerjaan tidak berdasarkan standar kerja tertentu dan hanya berdiri menunggu sesuatu untuk dikerjakan dimana semuanya itu menunjukkan
IV - 2
ketidakefisiensian kinerja, pemborosan atas sumber daya, baik sumber daya manusia, waktu kerja, serta material proses produksi yang digunakan. Selain itu, pecahnya konsentrasi perusahaan ke dalam dua hal yaitu pada satu sisi perusahaan disibukkan dengan permasalahan yang terjadi dimana perusahaan konsentrasi kepada beberapa karakteristik kualitas dan tidak fokus kepada Critical to Quality (CTQ), sehingga menyebabkan kegagalan terjadi pada output tegel keramik di bagian kiln. Namun pada sisi lain perusahaan harus terus melaksanakan produksinya. Secara tidak langsung, kondisi ini akan berpengaruh terhadap pelanggan yang pada akhirnya berimbas kepada ketidakpuasan terhadap produk PT. IKAD. Berdasarkan penggambaran permasalahan di Departemen Plant 3 khususnya pada bagian kiln, maka perusahaan membutuhkan suatu usaha perbaikan menyeluruh, baik dari segi manajerial maupun proses atau teknis melalui pendekatan konsep Six Sigma dimana konsep ini memiliki sistematika yang jelas dalam memperbaiki proses yang terjadi.
1.2
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan yang diambil dalam
penelitian ini yaitu : 1. Apa Critical to Quality (CTQ) prioritas pada tegel keramik kode GE di bagian kiln? 2. Bagaimana level sigma, stabilitas serta kapabilitas proses CTQ terseleksi? 3. Faktor-faktor apa saja yang secara signifikan menyebabkan terjadinya kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln? 4. Apa saja kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses produksi tegel keramik di bagian kiln? 5. Bagaimana memperbaiki dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di bagian kiln?
1.3
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari Penelitian yang dilakukan di Departemen Plant 3 PT. IKAD
Tangerang ialah:
IV - 3
1. Mengidentifikasi Critical to Quality (CTQ) prioritas pada tegel keramik kode GE di bagian kiln. 2. Mengukur level sigma, stabilitas serta kapabilitas proses CTQ prioritas di bagian kiln. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan menyebabkan terjadinya kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln. 4. Menganalisa kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses produksi tegel keramik di bagian kiln. 5. Memberikan usulan perbaikan dan pengendalian kualitas proses tegel keramik di bagian kiln.
1.4
BATASAN MASALAH Agar sasaran dalam studi lapangan ini tercapai dan terfokus, maka
diperlukan batasan-batasan permasalahan sebagai berikut : 1. Data diambil dari bagian kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD pada bulan Januari 2006 hingga bulan Februari 2006. 2. Responden wawancara dan pengisian kuesioner hanya melibatkan karyawan di shift 1. 3. Usulan yang diberikan kepada perusahaan tidak memperhitungkan biaya.
1.5
MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang ingin diperoleh dengan adanya penelitian ini antara
lain: 1. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memperbaiki proses kiln dalam memproduksi tegel keramik di Departemen Plant 3. 2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan kepada Departemen Plant 3 dalam menganalisa dan mengevaluasi proses produksinya. 3. Memperbaiki kualitas proses Critical to Quality (CTQ) prioritas di bagian kiln Departemen Plant 3. 4. Hasil penelitian dapat memandu perusahaan khususnya di bagian kiln Departemen Plant 3 dalam penggunaan prosedur standar operasional (SOP) untuk proses perawatan mesin kiln.
IV - 4
5. Mencegah bagian kiln Departemen Plant 3 agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada proses dengan adanya standar baku yang didokumentasikan.
1.6
ASUMSI PENELITIAN Adapun asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut: 1. Operator bekerja dalam kondisi normal. 2. Mesin yang digunakan untuk berproduksi di Departemen Plant 3 bekerja dalam kondisi normal. 3. Taraf signifikansi yang digunakan untuk pengujian validitas dan realibilitas yaitu sebesar 5%.
1.7
SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan laporan penelitian tugas akhir ini disusun secara sistematis agar
memberikan kemudahan dalam membaca dan memahami hasil penelitian dari tugas akhir ini. Adapun sistematika penulisannya disusun sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab pertama ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah yang berfungsi untuk membatasi laporan agar tidak terlalu luas dan menentukan secara spesifik area pembahasan yang akan dilakukan, manfaat penelitian, asumsi yang digunakan, serta sistematika penulisan yang berisi urutan penulisan tiap bab secara sistematis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab kedua ini memuat teori-teori yang menunjang dalam pengolahan data yaitu diantaranya konsep kualitas, konsep Six Sigma, beserta tools yang digunakan sebagai acuan penelitian baik dari buku teks, artikel, jurnal, maupun sumber-sumber literatur lainnya. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ketiga ini berisi langkah-langkah penyelesaian masalah secara umum (gambaran terstruktur tahap demi tahap proses penyelesaian masalah yang digambarkan dalam bentuk flowchart ).
IV - 5
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab keempat ini berisi tahap-tahap pembahasan mengenai proses pengumpulan data dan pengolahannya yang dilakukan melalui pengunaan tools yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Bab kelima ini berisi analisa dan interpretasi secara keseluruhan dari hasil pengumpulan dan pengolahan data yang telah dilakukan disertai usulan-usulan perbaikan dan pengendalian kualitas proses. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab keenam ini berisi kesimpulan hasil dari pengolahan data dan analisanya serta saran-saran yang diperlukan untuk penelitian selanjutnya demi mendapatkan solusi dan hasil yang lebih baik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas konsep-konsep penelitian yang dilakukan. Bagian pertama bab ini berisi gambaran umum produk yaitu tegel keramik, terutama berkaitan dengan proses produksi, serta karakteristik kualitas tegel keramik di Departemen Plant 3 PT. IKAD. Bagian kedua, ketiga, dan keempat membahas tentang konsep kualitas serta metodologi Six Sigma yang digunakan, selanjutnya pada bagian kelima merupakan penjelasan tentang tools Six Sigma yang digunakan dalam penelitian.
2.1 GAMBARAN UMUM PRODUK Gambaran umum produk tegel keramik seperti proses produksi dan karakteristik kualitasnya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini. 2.1.1
Proses Produksi Tegel Keramik Proses produksi pembuatan tegel keramik terdiri dari berbagai macam
proses, antara lain proses milling, dimana proses ini dilakukan untuk menghaluskan bahan baku untuk bahan body maupun bahan glasir, serta dengan menambahkan air yang telah ditentukan jumlahnya sehingga diperoleh spesifikasi
IV - 6
yang diinginkan. Selain itu proses mixing (pencampuran) serta spray drying juga dilakukan untuk pembuatan powder. Setelah powder terbentuk dilakukan proses pressing dan drying sehingga dihasilkan green tile. Green tile yang dihasilkan pada proses single firing langsung masuk ke tahapan glazing. Pada proses glasing ini green tile melalui proses pelapisan engobe, glazing dan proses printing. Sementara untuk proses double firing, green tile yang dihasilkan dari proses drying terlebih dahulu dibakar di kiln pertama sehingga terbentuk biskuit kemudian baru masuk ke proses engobe, glazing, printing lalu kemudian baru masuk ke proses pembakaran di kiln kedua. Green tile yang telah melalui proses pembakaran kemudian masuk ke sortir untuk proses packaging (Sumber dokumentasi PT. IKAD, 2005).
A. Proses Pressing Proses pressing merupakan proses pembentukan body dari keramik dari powder. Di Departemen Plant 3 pengepresan menggunakan dua mesin press Nassetty VIS 1500. Sebelum proses pressing dilakukan proses pembentukan powder terlebih dahulu. Pembentukan powder untuk Departemen Plant 3 langsung dikirim dengan konveyor dari bagian Body Preparation (BP). Powder yang telah terbentuk kemudian disimpan kedalam silo penyimpanan dan kemudian dikirim ke silo-silo kecil yang ada di mesin press. B. Proses Drying Proses drying merupakan proses berikutnya setelah green tile dihasilkan oleh proses pressing. Proses drying sendiri bertujuan untuk menghilangkan kadar air dalam green tile sampai kadar air tertentu yang telah ditetapkan oleh bagian QA. Kadar air dan green tile harus dikurangi karena memiliki pengaruh signifikan terhadap proses glazing. Sebagai contoh kadar air yang terlalu berlebih akan menyebabkan rusaknya lapisan glazing karena pada waktu proses pembakaran dalam kiln akan menyebabkan air menguap dan akan merusak lapisan glazing. C. Proses Engobe Proses pelapisan engobe bertujuan untuk menahan uap air dari body dan juga sebagai penutup warna body sebelum dilakukan printing. Sebelum diberi
IV - 7
lapisan engobe, tile terlebih dahulu di spray dengan air untuk menurunkan suhu. Ada beberapa aplikasi pelapisan engobe yaitu Campana, Disco, Jetspray. D. Proses Glazir Pelapisan glazir dilakukan setelah green tile dilapisi engobe dimana aplikasinya sama dengan proses pelapisan engobe. Glazir adalah lapisan diatas engobe yang berfungsi memberi warna dasar, memberi keindahan pada keramik karena glazir memberi warna mengkilap pada lapisan atas keramik selain itu juga keramik menjadi tahan terhadap cairan ataupun gas dan dapat memberi daya tahan tinggi terhadap keramik. Jika proses pelapisannya menggunakan aplikasi campana maka sisa glazir yang ada di bagian depan tile harus dibersihkan agar tidak mengotori roller kiln.
E. Proses Printing Proses printing adalah proses pembentukan motif dari green tile. Pada proses pemberian motif ini terdapat beberapa jenis aplikasi yang digunakan oleh perusahaan, antara lain : 1. Flat Screen Flat screen digunakan untuk model keramik yang flat dan emboss. Metode yang digunakan pada aplikasi ini ialah step by step. Kelemahan metode ini adalah apabila kecepatan belt tinggi maka dapat terjadi benturan antar keramik yang mengakibatkan defect sompel, selain itu harus sering dibersihkan karena apabila digunakan cukup lama, pori-pori screen bisa tertutup sehingga gambar yang dihasilkan warnanya botak. Selain itu, flat screen juga tidak tahan lama karena mudah aus dan boros tinta. 2. Rotary Printing Alat ini digunakan secara otomatis dan hasil yang cukup baik, namun harganya mahal untuk roller printingnya. Rotary printing dapat dengan mudah dibersihkan secara manual. 3. Rotocolor Rotocolor juga berbentuk silinder. Alat ini bisa digunakan secara manual dan otomatis. Mekanisme kerjanya tinta dialirkan dengan pompa dan mixer
IV - 8
aplikasi ke rotocolor dan ditampung oleh blade. Posisi blade tidak boleh kendor karena dapat menyebabkan warna belang. Rotocolor tidak perlu dibersihkan secara manual karena sudah dibersihkan secara otomatis. Aplikasi ini baik untuk keramik datar dan ukuran besar. F. Proses Kiln (Pembakaran) Kiln atau tungku adalah suatu alat untuk membakar tile (tegel keramik). Proses kiln adalah proses pembakaran keramik mentah menjadi padat, kedap air, dan higienis. Proses pembuatan keramik terakhir yaitu pada proses pembakaran didalam kiln. Dalam pembuatan Tile (keramik) ada beberapa proses yang umum dilakukan dalam proses pembakaran yaitu : 1. Proses Pembakaran Proses pembakaran tegel keramik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis : a. Single firing Yaitu proses pembakaran keramik dengan satu kali pembakaran. Umumnya, jenis pembakaran ini digunakan untuk menghasilkan keramik lantai karena dengan single firing, keramik yang dihasilkan memiliki bending strength yang relatif lebih tinggi. Dengan bending strength yang tinggi keramik lantai diharapkan akan mampu untuk menahan beban yang cukup berat. Single Firing biasanya untuk lantai (Floor tile) dimana antara Body dan Glaze dibakar dan matang secara bersamaan. b. Double firing Yaitu proses pembakaran keramik dengan dua kali pembakaran. Umumnya jenis pembakaran ini untuk memproduksi keramik dinding karena dengan double firing, keramik yang dihasilkan akan memiliki permukaan yang relatif lebih mengkilap dan biasanya lebih tahan gores daripada produk yang dibakar dengan satu kali pembakaran (Single Firing). Double Firing biasanya digunakan untuk membuat keramik dinding (Wall Tile) dan melalui dua tahap pembakaran yaitu : a. Pembakaran pembentukan Biscuit (Green Tile yang telah dibakar) b. Glost Firing : pada proses ini Biscuit yang telah dilengkapi dengan Glaze dibakar untuk mendapatkan hasil yang baik
IV - 9
c. Third Firing Third Firing biasanya digunakan untuk tile yang berdekorasi, ditempelkan pada permukaan Glaze matang dengan desain tertentu kemudian di proses bakar. 2. Jenis Kiln Ada beberapa jenis kiln dalam pembuatan tile (tegel) yang biasanya digunakan, antara lain: 1. Roller Kiln Menggunakan Roll Ceramic, yaitu tile diletakkan diatas Roll Ceramic yang berputar dengan putaran cepat, lambat dan hasil bisa diketahui setelah + 40 menit.
2. Tunnel Kiln Menggunakan lory yang masuk kedalam terowongan, tile yang tersusun di dalam lory masuk kedalam terowongan kiln, keluar dari Tunnel bisa 24 jam untuk mendapatkan hasilnya. Di PT. IKAD banyak digunakan jenis Roller kiln, kiln ini bisa dibuat panjang dan pendek sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengendalian proses pembakaran untuk memperoleh hasil bakar yang sempurna diperlukan beberapa instrumen pengukuran seperti: ·
Isapan dalam Kiln
·
Tekanan di Firing
·
Tekanan angin dan Gas di Burner
Faktor lain yang juga mempengaruhi Firing adalah Cycle (kecepatan) bakar ditentukan berdasarkan jenis barang, kepadatan susunan, tebal barang dan penampang kiln itu sendiri. 3. Fase Fembakaran Keramik a. Preheating Di Zona ini bahan (tile dan glasir) pada proses ini akan hilangnya air Hidrokopis dan air Hidrat (air kristal) terjadi pada temperatur 350 – 8000
IV - 10
C, tahapan proses Pre-Heating yang tak sempurna akan mempengaruhi proses bakar pada temperatur yang lebih tinggi. Ø Dehidrasi fisis : Proses untuk menghilangkan kadar air. Proses ini berjalan pada suhu antara 200oC sampai dengan 300o C Ø Dehidrasi kimia : Proses ini untuk menghilangkan zat zat karbon dan organic yang tidak bersenyawa dengan body keramik. Proses ini berjalan pada suhu 500oC sampai dengan 800oC. b. Firing Di Proses ini oksida – oksida akan mengalami perubahan susunan atom-atom solid menjadi cair dengan cara melebur sehingga bahan keramik tersebut benar – benar matang dan menjadi padat karena tertutup bahan gelas. Terdapat 2 phase penting dalam proses firing ini, antara lain sebagai berikut:
1. Centring awal Proses pembakaran firing awal yang berjalan pada suhu antara 1000oC-1100oC. 2. Centring point Proses pembakaran point puncak, berjalan pada suhu antara 1150oC - 1170oC. c. Direct Colling Yaitu pendinginan secara langsung dengan system injeksi atau penyemprotan udara. Proses ini berjalan pada suhu 600oC - 720oC. d. Slow Colling Pendinginan dengan system membuang sisa gas pembakaran. Proses ini berjalan pada suhui 550 oC.-500oC. e. Final Colling Pendinginan akhir sebelum keramik keluar dari kiln. Proses ini menggunakan blower ataupun fan. 4. Struktur Bagian Kiln Struktur Bagian dalam kiln dapat dijelaskan sebagai berikut:
IV - 11
a) Terdiri dari dinding dan atap mempunyai susunan batu (insulating brick) yang berbeda-beda ketahanan panasnya. Temperatur lebih tinggi sisi luar yang langsung mengenainya. b) Pada tiap modul di Zone Firing terdapat susunan lubang Burner - Lubang Burner bagian atas kiri 2 buah dan kanan 2 buah - Lubang Burner bagian bawah kiri 2 buah dan kanan 2 buah - Pada tiap modul di Zone Pre-Heating hanya sisi bawah saja c) Pada tiap-tiap Modul dipasang sekat atas dan bawah untuk kestabilan temperatur, tinggi sekat mempunyai ukuran yang berbeda karena tiap modul mempunyai temperatur yg berbeda-beda, adapun waktu penyetelan temperatur bisa stabil sesuai dengan settingnya.
2.1.2
Karakteristik Kualitas Tegel Keramik Tegel Keramik memiliki karakteristik kualitas yang digunakan untuk
mengetahui kualitas tegel keramik tersebut. Beberapa karakteristik penting diantaranya adalah sebagai berikut: A. Ukuran Tegel Keramik Merupakan batasan-batasan standar yang terdapat pada dimensi ukuran tegel keramik yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa penyimpangan kualitas penting yang masuk ke dalam karakteristik kualitas ini, yaitu sebagai berikut: 1. Kesikuan dan Kelurusan Tepi Ukuran kesikuan pada tepi tegel keramik dan kelurusan tepi tegel keramik yang menyimpang dari standar atau di luar range yang ditetapkan. 2. Melenting Cacat ini terjadi dikarenakan penyimpangan ukuran permukaan yang terlalu cembung atau terlalu cekung. Alat yang digunakan untuk mengukur kemelentingan tegel disebut mesin planar yang terdapat pada bagian inspeksi kiln. 3. Oversize
IV - 12
Cacat ini terjadi dikarenakan ukuran tegel keramik yang terlalu besar dari ukuran yang dikehendaki. 4. Penyimpangan Tebal Penyimpangan ukuran tebal pada tegel keramik yang tidak sesuai atau di luar range standar. 5. Puntiran Sudut Penyimpangan salah satu sudut tegel keramik terhadap ke-3 sudut tegel yang lain yang diletakkan dalam satu bidang datar. 6. Goyang Cacat yang terjadi dimana permukaan tegel keramik terlihat goyang apabila disinari oleh cahaya lampu yang telah disediakan. 7. Retak Cooling / preheating Cacat ini terjadi dimana suhu dalam mesin kiln yang digunakan terlalu panas, sehingga pada saat tile masuk tidak dapat beradaptasi pada suhu tersebut.
B. Permukaan Tegel Keramik Merupakan
batasan-batasan
standar
yang
terdapat
pada
dimensi
permukaan tegel keramik yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa penyimpangan kualitas penting yang masuk ke dalam karakteristik ini, antara lain: 1. Sompel Cacat ini diketahui karena sebagian kecil tegel keramik hilang yang dapat terjadi pada bagian sisi, sudut/bawah tegel. 2. Laminasi Cacat press yang berbentuk lapisan-lapisan pada tegel keramik, biasanya bunyi tegel keramik tidak nyaring pada saat diuji. 3. Crowling Masalah permukaan yang terjadi di bagian glasir dengan terdapatnya permukaan yang tidak lurus. 4. Lubang Kawah Cacat pada permukaan glaze oleh adanya lekukan kawah walaupun permukaan tidak berlubang dan halus. 5. Bintik – bintik
IV - 13
Cacat ini terjadi dikarenakan adanya noda-noda kecil pada permukaan tegel. 6. Pinhole Cacat yang terjadi adanya lubang kecil pada permukaan tegel keramik dengan ukuran maksimal, sebesar jarum jahit pakaian. 7. Kotoran Tile Cacat pada permukaan tegel keramik yang disebabkan jatuhnya kotoran ke permukaan keramik. 8. Pecahan Tile Cacat ini terjadi dikarenakan adanya pecahan tile yang menempel pada permukaan kiln. 9. Numpuk Cacat pada permukaan oleh tegel yang saling bertumpuk. Permukaan engobe atau body tegel akan tampak jelas.
10. Gores Cacat pada permukaan dimana permukaan tegel keramik mengalami goresan yang menyerupai sekumpulan benang yang halus.
C. Sifat Fisik Tegel Keramik Merupakan sifat-sifat fisis yang terdapat pada tegel keramik. Terdapat beberapa karakteristik pada sifat fisik ini, antara lain sebagai berikut: 1. Bending Strength Kekuatan tegel keramik dari setiap cm 2 dalam menahan beban berat dan tekanan baik secara vertikal maupun secara horizontal 2. Ketahanan Gesek Ketahanan terhadap keausan tegel keramik oleh gesekan benda lain. 3. Kekerasan Permukaan Kemampuan kekerasan permukaan tegel keramik menurut skala kekerasan Mohs 4. Ketahanan Thermal
IV - 14
Ketahanan yang ditunjukkan apabila suatu produk tahan terhadap perubahan suhu. 5. Peresapan Air Jumlah air yang dapat diserap oleh suatu tegel keramik pada kondisi-kondisi tertentu.
D. Sifat – Sifat Kimia Tegel Keramik Merupakan sifat-sifat kimiawi yang terdapat pada tegel keramik. Terdapat beberapa karakteristik pada sifat fisik ini, antara lain sebagai berikut: 1. Daya Tahan Terhadap Asam dan Basa Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari senyawa asam ataupun basa 2. Daya Tahan Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari bahan-bahan kimia rumah tangga.
3. Daya Tahan Terhadap Penetrasi Zat Warna Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari zatzat warna.
2.2 KONSEP KUALITAS Beberapa pengertian dasar dari konsep kualitas seperti pengertian dasar kualitas, definisi perbaikan kualitas dan sistem pengendalian kualitas akan dijelaskan secara lengkap di bawah ini. 2.2.1
Pengertian Dasar Kualitas Kualitas merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup penting
saat ini. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategik. Beberapa pakar dalam bidang kualitas mendefinisikan kualitas sebagai berikut: 1. Crosby (1979), kualitas adalah sesuai dengan apa yang disyaratkan atau sesuai spesifikasi.
IV - 15
2. Gasperz (2002), kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. 3. Juran (1974), kualitas adalah cocok atau sesuai untuk digunakan. 4. Garvin (1984), delapan atribut yang digunakan untuk mendefinisikan kualitas adalah
performansi
(performance),
keistimewaan
produk
(features),
kehandalan (reliability), kesesuaian (conformance), keawetan (durability), kegunaan
(serviceability),
estetika
(aesthetics),
dan
kualitas
yang
dipersepsikan (perceived quality). Selanjutnya, perusahaan yang sedang berkompetisi dalam pasar global harus memberikan perhatian serius pada definisi strategi, yang menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Berdasarkan definisi rentang kualitas baik yang konvensional maupun yang lebih strategik, kita boleh menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok berikut: 1. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu. 2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan atau kerusakan. Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas, tampak bahwa kualitas selalu berfokus pada pelanggan (customer focused quality). Dengan demikian produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Karena kualitas mengacu kepada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi dan dihasilkan dengan cara yang baik dan benar (Gaspersz, 2002). Berdasarkan sifat manusia yang tidak pernah puas, maka kualitas harus terus ditingkatkan untuk dapat memenuhi kepuasan konsumen.
2.2.2
Definisi Perbaikan kualitas
IV - 16
Peningkatan atau perbaikan kualitas adalah tindakan-tindakan yang diambil guna meningkatkan nilai produk melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi dari proses dan aktivitas yang tidak pernah berakhir dan mengupayakan untuk menurunkan variasi proses dari produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Mitra, 1998). Proses peningkatan atau perbaikan kualitas memerlukan komitmen untuk perbaikan yang melibatkan secara seimbang antara aspek manusia dan aspek teknik/teknologi. Pengertian peningkatan sistem manajemen kualitas lebih menekankan pada aspek peningkatan proses industri dengan menggunakan data kualitas yang dikumpulkan dan diinterpretasikan dengan menggunakan tools analisis-termasuk teknik-teknik statistika, bukan sekadar penggunaan tools statistika yang selama ini telah salah diinterpretasikan oleh banyak orang yang berkecimpung di luar bidang teknik dan manajemen industri. Dalam konteks pembahasan tentang analisis data untuk peningkatan proses dengan menggunakan teknik-teknik statistika, terminologi kualitas didefinisikan sebagai konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan variasi karakteristik kualitas dari suatu produk (barang atau jasa) yang dihasilkan, agar memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan, guna meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. Dengan demikian pengertian kualitas dalam konteks peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kualitas suatu produk itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian desain dan pengembangan dari suatu perusahaan. Tenner dan DeToro (1992) mengemukakan suatu model perbaikan proses yang terdiri dari enam langkah yang disajikan dalam Gambar 2.1 berikut:
IV - 17
Sumber : Gasperz, 2002
Gambar 2.1 Model Perbaikan Proses
Langkah 1: Mendefinisikan Masalah dalam Konteks Proses Model perbaikan proses dimulai dari penetapan atau spesifikasi sistem mana yang terlibat, agar usaha-usaha dapat terfokus pada proses bukan pada output.
Langkah 2: Identifikasi dan Dokumentasi Proses Diagram alir (flowchart) merupakan alat yang umum dipergunakan untuk mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir (flowchart) dari proses akan memungkinkan kita untuk melakukan empat aktivitas perbaikan berikut : ·
Mengidentifikasi partisipan dalam proses
·
Mengamati partisipan yang mana berfungsi sebagai apa dan sejauh mana peran / fungsionalnya dalam proses
IV - 18
·
Mengidentifikasi inefisiensi, pemborosan dan langkah-langkah redundant (berlebihan atau tidak perlu) dalam proses
·
Menawarkan suatu kerangka kerja untuk mendifinisikan pengukuran perbaikan proses. Proses yang diidentifikasi harus didokumentasikan secara baik agar dapat
dipergunakan sebagai bahan informasi yang berguna dalam perbaikan proses secara terus menerus. Langkah 3: Mengukur Performansi Pengukuran performansi dimaksudkan untuk dapat mengkuantifikasikan baik atau jelek suatu sistem sedang berjalan atau beroperasi. Pada dasarnya perngukuran performansi dapat dilakukan pada tiga tingkat yaitu proses, output dan outcome. Ukuran-ukuran proses mendefinisikan aktivitas, variabel, dan operasi dari proses kerja itu sendiri. Ukuran-ukuran output mendefinisikan fitur spesifik, nilai-nilai dan atribut dari setiap produk yang dapat diuji dari dua sisi yaitu sisi pelanggan dan sisi kapabilitas proses. Langkah 4: Memahami Mengapa Suatu Masalah dalam Konteks Proses Terjadi Ketiadaaan data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu system berjalan seperti itu sehingga performansinya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara performansi yang diharapkan (sasaran) dan performansi aktual (hasil kenyataan). Untuk memahami mengapa suatu masalah terjadi dan agar langkah ke arah perbaikan proses efektif dan efisien, kita dapat mengajukan pertanyaan dasar berikut : · Apa yang menjadi area utama (masalah utama) dalam proses itu? · Apa yang menjadi akar penyebab dari masalah dalam proses itu? · Apa yang merupakan sumber variasi dari proses itu? Kaoru
Ishikawa,
seorang
pakar
kualitas
berkebangsaan
Jepang
menyatakan bahwa pertanda pertama dari masalah adalah gejala (symptoms), bukan penyebab (causes). Karena itu perlu dipahami apa yang disebut sebagai gejala (symptoms), penyebab (causes) dan akar penyebab (root causes). Bertanya lima kali (atau lebih) akan mengarahkan kita untuk sampai pada akar penyebab
IV - 19
masalah, sehingga tindakan yang sesuai pada akar penyebab masalah yang ditemukan itu akan menghilangkan masalah. Langkah 5: Mengembangkan dan Menguji Ide-ide Empat langkah diatas membangun kerangka dasar untuk memahami dimensi kritis dari proses, dengan jalan mengidentifikasi proses kunci, mengukur bagaimana baik atau jelek proses itu beroperasi dan memahami mengapa proses itu beroperasi dengan caranya sendiri sehingga menimbulkan masalah. Keempat langkah itu membantu kita mengidentifikasi penyebab-penyebab masalah utama. Pengembangan ide-ide untuk perbaikan proses dimulai pada langkah kelima. Ideide untuk perbaikan proses ditujukan langsung pada akar penyebab masalah. Dengan demikian langkah 5 ini berusaha untuk mengembangkan dan menguji ideide untuk perbaikan proses sebelum ide-ide terpilih itu diimplementasikan. Langkah 6: Implementasi Solusi dan Evaluasi Langkah keenam dalam model perbaikan proses ini dimulai dengan perencanaan dan implementasi perbaikan-perbaikan yang diidentifikasi dan diuji dalam langkah 5. Langkah 6 melanjutkan untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas dari proses yang diperbaiki itu.
2.2.3
Sistem Pengendalian Kualitas Secara tradisional, para pembuat produk (manufacturers) biasanya
melakukan inspeksi terhadap produk setelah produk itu selesai dibuat dengan jalan menyortir produk yang baik dari yang jelek, kemudian mengerjakan ulang bagian-bagian produk yang cacat itu. Dengan demikian, pengertian tradisional tentang konsep pengendalian kualitas hanya berfokus pada aktivitas inspeksi untuk mencegah lolosnya produk-produk cacat ke tangan pelanggan. Kegiatan inspeksi ini dipandang sia-sia, karena tidak memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas (quality improvement). Selanjutnya menurut Mitra (1998), pengendalian kualitas secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk mencapai tingkatan kualitas yang diinginkan dari sebuah produk atau jasa. Salah satu ciri dari sistem pengendalian kualitas modern adalah bahwa di dalamnya terdapat aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan
IV - 20
kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja. Kualitas melalui inspeksi saja tidak cukup dan hal itu terlalu mahal. Meskipun tetap menjadi persyaratan untuk melakukan beberapa inspeksi singkat terhadap produk akhir, tetapi usaha pengendalian kualitas dari perusahaan seharusnya lebih difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum terjadinya kerusakan dengan jalan melaksanakan aktivitas secara baik dan benar pada waktu pertama kali mulai melaksanakan suatu aktivitas. Dengan melaksanakan prinsip ini, usaha peningkatan kualitas akan mampu mengurangi ongkos produksi.
2.3 KONSEP DASAR SIX SIGMA Beberapa konsep dasar yang seringkali digunakan dalam penerapan melalui pendekatan Six Sigma akan dijelaskan berikut ini. 2.3.1
Sejarah Six Sigma Six Sigma dimulai oleh Motorola ditahun 1980-an dimotori oleh salah
seorang engineer disana bernama Bill Smith atas dukungan penuh CEO-nya Bob Galvin. Motorola menggunakan statistics tools diramu dengan ilmu manajemen menggunakan financial metrics (yaitu Return on Investment, ROI) sebagai salah satu
metrics/alat
ukur
dari
quality
improvement
process.
Dalam
perkembangannya, 6σ bukan hanya sebuah metrics, namun telah berkembang menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi bisnis. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Mikel Harry dan Richard Schroeder yang lebih lanjut membuat metode ini mendapat sambutan luas dari petinggi Motorola dan perusahaan lain. Dalam perjalanan waktu, General Electric (GE) mempopulerkan Six Sigma sebagai suatu trend dan membuat perusahaan lain serta orang-orang berlomba-lomba mencari tahu apa itu Six Sigma serta mencoba mengimplementasikannya di tempat kerja masing-masing. Dalam hal ini, peran CEO (waktu itu) Jack Welch boleh dibilang sangat penting mengingat dia orang yang menjadikan Six Sigma sebagai tulang punggung semua proses di GE. Dari segi waktu, bisa dikatakan Six Sigma adalah hasil evolusi terakhir dari quality improvement yang berkembang sejak tahun 1940-an.
2.3.2
Definisi Six Sigma
IV - 21
Greg Brue (2002) mendiskripsikan Six Sigma sebagai: a) Konsep statistik untuk mengukur sebuah proses dimana tingkat kegagalannya sebesar 3,4 kali kemungkinan dari 1 juta kegiatan yang sama; b) Filsafat manajemen yang memfokuskan diri pada pembatasan kegagalan melalui praktek yang mengutamakan pemahaman, pengukuran, serta penyempurnaan proses. Breyfogle (1999) mendefinisikan konsep ini sebagai sebuah metodologi terstruktur yang mengusung pendekatan manajemen terintegrasi serta penggunaan alat-alat kualitas untuk mengukur, memperbaiki proses dan mengurangi variasi proses. dimana hanya terdapat 3,4 kecacatan yang dihasilkan dari setiap satu juta kesempatan terjadinya kecacatan. Ingle & Roe (2001) merumuskan Six Sigma sebagai pendekatan yang melibatkan pengukuran dan penyempurnaan kapabilitas proses manajerial untuk menghasilkan barang/jasa yang terbebas dari cacat. Perusahaan Motorola mendefinisikan Six Sigma sebagai suatu metode atau teknik pengendalian dan perbaikan kualitas secara dramatik yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Manggala (2005) mendefinisikan Six Sigma sebagai metode yang memiliki sistematika yang jelas dalam memecahkan suatu permasalahan serta memiliki prioritas terhadap “Pelanggan” dan “Pengukuran” sehingga dapat menciptakan suatu pendekatan yang konsisten. Prinsip yang digunakan dalam pendekatan konsep Six Sigma seperti mendefinisikan nilai dari sudut pandang konsumen, memperhatikan dan mengutamakan pelanggan, menghilangkan variasi pada
proses,
keterlibatan
pihak
manajemen
dan
karyawan,
perbaikan
berkesinambungan sehingga tujuan peningkatan kualitas yang diinginkan perusahaan dapat tercapai. Sementara itu, Urdhwareshe (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai sebuah pendekatan yang sangat tertib, yang digunakan untuk membatasi penyimpangan dalam proses operasional, sehingga cacat produk menjadi kurang dari 3,4 bagi 1 juta proses, barang, atau jasa tertentu. Rumusan-rumusan tersebut mengarah pada pemahaman yang sama yaitu Six Sigma merupakan falsafah manajemen yang praktis, komprehensif dan
IV - 22
fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis melalui teknik pengendalian dan perbaikan kualitas secara dramatik dimana proses hanya memiliki kemungkinan cacat (defects opportunity) sebanyak 3.4 buah dalam satu juta kesempatan. Six Sigma mengandung unsur-unsur pemahaman, pengukuran, dan penyempurnaan yang berkesinambungan terhadap perbaikan proses kegiatan demi kepuasan pelanggan, sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dapat ditekan sekecil-kecilnya. 2.3.3
Konsep Six Sigma Motorola Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai
sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3.4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99.99966% dari apa yang diharapkan pelanggan ada di produk tersebut. Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik, sehingga 6-sigma otomatis lebih baik daripada 4-sigma dan seterusnya. Six Sigma dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability) (Gaspersz, 2002). Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma, yaitu: (1) identifikasi pelanggan, (2) identifikasi produk, (3) identifikasi kebutuhan, (4) identifikasi proses, (5) hindari kesalahan yang berakibat pemborosan pada proses, serta (6) tingkatkan kemampuan proses menuju target sigma (Gaspersz, 2002). Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean) setiap CTQ individual dari proses industri terhadap nilai spesifikasi target (T) sebesar ± 1.5 sigma, sehingga akan menghasilkan 3.4 DPMO. Nilai pergeseran 1.5-sigma ini diperoleh dari hasil penelitian Motorola atas proses dan sistem industri, dimana menurut hasil penelitian bahwa sebagus-bagusnya suatu proses industri (khususnya mass production) tidak akan 100 persen berada pada satu titik nilai target tapi akan ada pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai tersebut (Breyfogle III, 1999). Adapun Konsep Six Sigma Motorola dengan Pergeseran 1.5-sigma disajikan pada Gambar 2.2 berikut ini:
IV - 23
Sumber : Gasperz, 2002
Gambar 2.2 Konsep Six Sigma Motorola dengan Pergeseran 1.5-sigma
Perlu diketahui bahwa konsep Six Sigma Motorola dengan pergeseran nilai rata-rata sebesar 1.5 sigma berbeda dengan konsep Six Sigma dalam distribusi normal yang umum dipakai selama ini yang tidak mengizinkan pergeseran dalam nilai rata rata dari proses (Gaspersz, 2002). Perbedaan ini ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan True 6-sigma dan Motorola 6-sigma True 6-sigma process
Motorola 6-sigma process
Batas Spesifikasi
Persentase yang memenuhi spesifikasi
DPMO
Batas Spesifikasi
Persentase yang memenuhi spesifikasi
DPMO
± 1-sigma
68.27%
317300
± 1-sigma
30.8538%
691462
± 2-sigma
95.45%
45500
± 2-sigma
69.1462%
308538
± 3-sigma
99.73%
2700
± 3-sigma
93.3193%
66.807
± 4-sigma
99.9937%
63
± 4-sigma
99.3790%
6210
± 5-sigma
99.999943%
0.57
± 5-sigma
99.9767%
233
± 6-sigma
99.9999998%
0.002
± 6-sigma
99.99966%
3.4
Sumber : Gasperz, 2002
Hasil-hasil dari peningkatan kualitas dramatik yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ (Cost of Poor Quality) terhadap penjualan ditunjukkan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Pengaruh Pencapaian Sigma Terhadap DPMO dan COPQ
IV - 24
COPQ (Cost of Poor Quality) Tingkat Pencapaian Sigma
DPMO
COPQ
1-Sigma
691462 (sangat tidak kompetitif)
Tidak dapat dihitung
2-Sigma
308538 (rata-rata industri Indonesia)
Tidak dapat dihitung
3-Sigma
66.807
25-40% dari penjualan
4-Sigma
6210 (rata-rata industri USA)
15-25% dari penjualan
5-Sigma
233
5-15% dari penjualan
6-Sigma
3.4 (industri kelas dunia)
< 1% dari penjualan
Setiap penjualan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10% dari penjualan Sumber : Gasperz, 2002
2.3.4
Metodologi Six Sigma Secara umum Six Sigma memiliki 2 metodologi yang sering digunakan.
Ke-2 metodologi Six Sigma tersebut yaitu Define-Measure-Analyze-ImproveControl (DMAIC) serta Design for Six Sigma (DFSS) to Define-MeasureAnalyze-Design-Verify (DMADV) (Banuelas and Anthony, 2003) dimana masingmasing metodologi memiliki pengertian yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama yang akan dijelaskan sebagai berikut. A. Six Sigma DMAIC Metodologi Six Sigma DMAIC lebih memberi penekanan pada penemuan kesalahan pada proses atau produk yang ada kemudian secara strategis mengadakan perbaikan terhadap kesalahan tersebut menuju target Six Sigma. Urutan fase kegiatan yang dilakukan pada metodologi ini yaitu: Ø DEFINE Pertama, manajemen perusahaan yaitu pimpinan-pimpinan perusahaan (selanjutnya hanya disebut manajemen) yang ingin mencoba Six Sigma harus mengidentifikasi dan mendefinisikan secara jelas permasalahan yang dihadapi. Tidak menutup kemungkinan, manajemen harus memetakan proses kegiatan guna memahami dan melokalisir masalah. Pada tahap ini terlebih dulu manajemen harus memahami proses internal perusahaan yang sangat potensial mempengaruhi mutu output (disebut critical to quality / CTQ). Ø MEASURE
IV - 25
Tahap measure dilakukan untuk memvalidasi permasalahan, mengukur permasalahan dari data yang ada. Ø ANALYZE Pada tahap ini manajemen berupaya memahami mengapa terjadi penyimpangan dan mencari faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses. Setelah itu lalu mendata dan menganalisa hasil pengukuran performansi serta menemukan sumber-sumber variasi penyebab permasalahan yang dominan mengakibatkan penyimpangan. Ø IMPROVE Pada tahap improve, manajemen menetapkan dan mengimplementasikan rencana tindakan perbaikan atau peningkatan yang ada dalam setiap proyek Six Sigma untuk menghilangkan akar-akar penyebab dan mencegah berulang kembali. Pada tahap pengembangan rencana tindakan (improve) ini, menurut Gaspersz (2002), dapat dilakukan menggunakan metode 5W-2H. Ø CONTROL Pada tahap terakhir ini, manajemen harus mempertahankan perubahanperubahan yang telah dilakukan dalam rangka melestarikan hasil yang senantiasa memuaskan pelanggan. Secara berkala manajemen tetap wajib membuktikan kebenaran sambil memantau proses kegiatan yang sudah disempurnakan melalui alat-alat ukur dan metode yang telah ditentukan sebelumnya untuk menilai kapabilitas perusahaan.
B. DFSS to DMADV Pada metodologi DFSS to DMADV program Six Sigma lebih ditekankan pada merancang atau mendesain proses atau produk yang baru untuk menggantikan proses atau produk sebelumnya. Hal ini biasanya dilakukan pada 2 kondisi, yaitu (1) ketika perusahaan sudah menembus level 5-sigma ke atas. Hal ini dikarenakan pada umumnya perbaikan pada proses sangat sedikit sekali memberikan dampak keuntungan secara finansial, sehingga memerlukan terobosan baru dalam pengembangan proses ataupun produk, serta (2) ketika produk yang dihasilkan sudah tidak kompetitif sama sekali di pasaran, sehingga diperlukan produk baru yang inovatif.
IV - 26
Secara fase kegiatan (Define-Measure-Analyze-Design-Verify), hanya terjadi perbedaan mencolok pada 2 fase terakhir, yaitu fase Design dan fase Verify. Pada fase Design, inti kegiatan ditekankan pada pengembangan model desain baru secara efektif dan efisien untuk proses dan atau produk yang akan dihasilkan. Sedangkan fase Verify bertujuan sebagai verifikasi terhadap desain yang telah dibuat apakah desain tersebut sudah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar (http://www.isixsigma.com/).
2.3.5
Istilah-Istilah Dalam Konsep Six Sigma Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep Six Sigma Motorola yang
menjadi pendekatan ilmu dalam penelitian ini, maka perlu dipahami beberapa istilah penting yang berlaku dan berkaitan dengan metode Six Sigma itu sendiri. A. Data Secara umum ada 2 tipe data: 1. Variable Data: disebut juga measurement atau continuous data. Data variabel merupakan sebuah karakteristik pengukuran dari sebuah produk atau jasa (Summers, 2000). Seperti namanya data ini adalah biasanya hasil pengukuran/perhitungan, merupakan data yang kontinyu dari suatu range tertentu. Contoh: • Nilai Rupiah per satu US$ sepanjang tahun. • Hasil pengukuran tinggi badan pada 1000 orang murid. • Laju kecepatan fluida dalam pipa distribusi minyak. 2. Attribute Data: Sebuah karakteristik yang seringkali diasosiasikan dengan sebuah produk atau jasa (Summers, 2000). Ciri khas dari data jenis ini adalah tidak dilakukan pengukuran dan bersifat tidak kontinyu. Contoh: • Jenis kelamin (pria/wanita). • Jumlah kecelakaan per hari. • Hasil ujian (lulus /tidak lulus). • Jenis-jenis warna mobil (merah, hijau, hitam, dll). Terdapat beberapa metode dalam hal pengumpulan data, diantaranya melalui : 1. Kuesioner
IV - 27
Dalam penelitian survei, kuesioner merupakan alat untuk mengumpulkan data. Analisa data kuantitatif didasarkan pada hasil kuesioner tersebut. Sebuah kuesioner yang baik adalah kuesioner yang mengandung pertanyaan-pertanyaan, yang diajukan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang lain dari responden. Pertanyaan-pertanyaan kuesioner harus jelas dan mudah dimengerti untuk mengurangi kesalahan interpretasi responden dalam pengisian kuesioner. 2. Wawancara Wawancara merupakan metode penggalian informasi yang sifatnya lebih fokus dan mendalam.
B. Critical-to-Quality (CTQ) Atribut-atribut atau karakteristik kualitas yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan (Gaspersz, 2002).
C. Defects Defects atau kecacatan merupakan suatu kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Dalam Six Sigma, defects merupakan segala sesuatu yang paling ingin dihilangkan dan dihindari (Gaspersz, 2002).
D. Defects Per Million Opportunities (DPMO) DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola adalah sebesar 3.4 DPMO, yang seharusnya tidak diinterpretesikan sebagai 3.4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai berikut: dalam satu unit produk tunggal, terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu CTQ (kesempatan tidak memenuhi keinginan pelanggan) adalah hanya 3.4 bagian dari satu juta bagian produk tersebut (Gaspersz, 2002).
IV - 28
Penghitungan
DPMO
pada
suatu
produk
untuk
setiap
kondisi
dimungkinkan berbeda-beda. Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung DPMO suatu produk sesuai dengan beberapa kondisi adalah sebagai berikut: a. Untuk produk dengan data atribut DPMO =
jumlah unit cacat * 1000000 jumlah unit diperiksa * CTQ potensial
. . . . . . . . (2.1)
b. Untuk produk data variabel memakai 2 batas spesifikasi (USL dan LSL) DPMO = [P{z ≥ (USL - X ) / S} * 106] + [P{z ≤ (LSL - X ) / S} * 106] untuk, USL : Upper Spesification Limit (batas spesifikasi atas) LSL : Lower Spesification Limit (batas spesifikasi bawah) X
: nilai rata-rata proses
S
: standar deviasi proses
c. Untuk produk data variabel memakai 1 batas spesifikasi (USL atau LSL) DPMO = [P{z ≥ (USL - X ) / S} * 106] DPMO = [P{z ≤ (LSL - X ) / S} * 106]
E. Variation (Variasi) Variasi merupakan apa yang pelanggan lihat dan rasakan dalam proses transaksi antara pemasok dan pelanggan tersebut. Atau dapat juga disebutkan bahwa variasi adalah penyimpangan atau perbedaan antara keinginan atau ekspektasi pelanggan dengan produk yang ada. Semakin kecil variasi akan semakin diharapkan baik oleh pemasok (perusahaan) maupun oleh pelanggan karena menunjukkan konsistensi dalam kualitas (Gaspersz, 2002). Pada umumnya dikenal dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Variasi penyebab-khusus (special-causes variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor: manusia, material, lingkungan, dan lainlain. Penyebab khusus ini memiliki pola-pola non acak (non random patterns) sehingga dapat diidentifikasi / ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehinga menimbulkan variasi.
IV - 29
2. Variasi penyebab-umum (common-causes variation) adalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena
penyebab
umum
ini
selalu
melekat
pada
sistem,
untuk
menghilangkannya kita harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak manajemenlah yang mengendalikan sistem itu. Suatu proses yang hanya mempunyai variasi penyebab umum (commoncauses variation) yang mempengaruhi outcomes merupakan proses yang stabil karena penyebab sistem yang mempengaruhi variasi biasanya relatif stabil sepanjang waktu. Variasi penyebab umum dapat diperkirakan dalam batas-batas pengendalian yang ditetapkan dengan menggunakan peta-peta kontrol. Sedangkan apabila variasi penyebab khusus terjadi dalam proses, proses itu akan menjadi tidak stabil. Upaya-upaya menghilangkan variasi penyebab khusus akan membawa proses ke dalam pengendalian proses menggunakan peta-peta kontrol statistika. Adanya proses yang tidak stabil biasanya ditimbulkan oleh specialcauses variation. Sedangkan untuk common-causes variation biasanya sering mengakibatkan terjadinya ketidakmampuan proses yang dapat dilihat dari nilai kapabilitas proses yang rendah.
F. Tim Six Sigma Brue (2002) mencatat pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Six Sigma di dalam perusahaan. Pihak-pihak tersebut meliputi: v Executive leaders Pimpinan puncak perusahaan yang komit untuk mewujudkan Six Sigma, memulai dan memasyarakatkannya di seluruh bagian, divisi, departemen dan cabang-cabang perusahaan. v Champions Yaitu orang-orang yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan proyek Six Sigma. Mereka merupakan pendukung utama yang berjuang demi
IV - 30
terbentuknya black belts dan berupaya meniadakan berbagai rintangan/hambatan baik yang bersifat fungsional, finansial, ataupun pribadi agar black belts berfungsi sebagaimana mestinya. Bisa dikatakan Champions menyatu dengan proses pelaksanaan proyek, para anggotanya berasal dari kalangan direktur dan manajer, bertanggung jawab terhadap aktivitas proyek sehari-hari, wajib melaporkan perkembangan hasil kepada executive leaders sembari mendukung tim pelaksana. Sedangkan tugas-tugas lainnya meliputi memilih calon-calon anggota black belt, mengidentifikasi wilayah kerja proyek, menegaskan sasaran yang dikehendaki, menjamin terlaksananya proyek sesuai dengan jadwal, dan memastikan bahwa tim pelaksana telah memahami maksud/tujuan proyek. v Master Black Belt Orang-orang yang bertindak sebagai pelatih, penasehat (mentor) dan pemandu. Master black belt adalah orang-orang yang sangat menguasai alat-alat dan taktik Six Sigma, dan merupakan sumber daya yang secara teknis sangat berharga. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kemampuannya pada penyempurnaan proses. Aspek-aspek kunci dari peranan master black belt terletak pada kepiawaiannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tanpa mengambil alih proyek/tugas/pekerjaan. v Black Belts Dipandang sebagai tulang punggung budaya dan pusat keberhasilan Six Sigma, mengingat mereka adalah orang-orang yang memimpin proyek perbaikan kinerja perusahaan, dilatih untuk menemukan masalah, penyebab beserta penyelesaiannya, bertugas mengubah teori ke dalam tindakan, wajib memilahmilah data, opini dengan fakta, dan secara kuantitatif menunjukkan faktor-faktor potensial
yang
menimbulkan
masalah
produktivitas
serta
profitabilitas,
bertanggung jawab mewujudnyatakan Six Sigma. Mereka wajib memenuhi syaratsyarat seperti: memiliki disiplin pribadi; cakap memimpin; menguasai ketrampilan teknis tertentu; mengenal prinsip-prinsip statistika; mampu berkomunikasi dengan jelas; mempunyai motivasi kerja yang memadai. v Green Belts Adalah orang-orang yang membantu black belts di wilayah fungsionalnya. Pada umumnya green belts bertugas: secara paruh waktu di bidang yang terbatas;
IV - 31
mengaplikasikan alat-alat Six Sigma untuk menguji dan menyelesaikan problemaproblema kronis, mengumpulkan / menganalisis data, dan melaksanakan percobaan-percobaan serta menanamkan budaya Six Sigma dari atas ke bawah.
Secara umum, Six Sigma menganut sistem organisasi top-down, dimana peraturan, pelaksanaan dan keberhasilan proyek Six Sigma ditentukan oleh pimpinan perusahaan. Susunan personel Six Sigma ditunjukkan dengan bentuk piramid terbalik seperti pada Gambar 2.3. Posisi segitiga terbalik menunjukkan implikasi kuat sebagai cara Six Sigma meresap ke dalam organisasi.
Sumber : Harry & Schroeder, 2000
Gambar 2.3 Hierarki Personil Six Sigma
2.3.6
Manfaat Six Sigma Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan Six Sigma
ditinjau dari berbagai aspek, antara lain: A. Dana Dana berhubungan dengan biaya dan penghasilan yang didapatkan perusahaan. Penyimpangan-penyimpangan dalam proses aktivitas perusahaan yang dipandang “wajar” rawan menimbulkan biaya dan pengorbanan untuk: pengerjaan ulang; bertambahnya cycle times & delays, yaitu waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan dari awal hingga akhir termasuk saatsaat penantian (waiting time); berkurangnya laba perusahaan sebagai akibat
IV - 32
ketidakpuasan pelanggan; sirnanya peluang bisnis karena hilangnya keunggulan bersaing; total cost of poor quality (COPQ), yaitu timbulnya biaya-biaya ekstra karena output yang dihasilkan kurang memenuhi persyaratan seperti biaya pemeriksaan ulang, perbaikan, penggandaan tugas, penggantian produk, membayar ganti rugi, melayani keluhan, hilangnya pelanggan, rusaknya reputasi, dll. Six Sigma membatasi terjadinya COPQ. B. Kualitas Merupakan tujuan utama penggunaan Six Sigma mengingat mutu mengandung keunggulankeunggulan sebagai: pembangkit hasrat kerja karyawan; unsur yang menanamkan sikap dan kebiasaan yang positif; pencipta gagasan di pasar dan masyarakat; pemikat investor. Six Sigma bukan sekedar kualitas, melainkan jenjang kualitas yang hampir sempurna (tingkat akurasinya 99,9997%). C. Kepuasan Pelanggan Adalah perasaan senang/gembira/bahagia/lega atau sebaliknya yang ada pada diri pelanggan setelah membandingkannya dengan yang diharapkannya. Harapan pelanggan terhadap kinerja barang/jasa yang akan dibeli bermula dari harga jual produk, pengorbanan waktu, energi dan psikis ditambah berbagai promosi yang diterimanya baik oleh aktivitas perusahaan maupun dari pengalaman orang lain yang dikenalnya. Apabila: - Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli melebihi harapannya, pelanggan merasa sangat puas/kagum. - Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli sama dengan harapannya, pelanggan merasa puas - Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli di bawah harapannya, pelanggan merasa tidak puas dan kecewa. Pelanggan
terdiri
dari:
konsumen/pemakai
akhir,
yaitu
orang-
orang/perusahaan/organisasi yang menggunakan sendiri barang dan jasa yang telah dibeli, dan penyalur, yaitu orang-orang/perusahaan yang membeli barang dan jasa untuk dijual lagi. Six Sigma membantu perusahaan untuk senantiasa menyempurnakan kinerja proses, barang dan jasa yang dihasilkan, agar persepsi pelanggan sama dengan harapannya. D. Dampaknya bagi Karyawan
IV - 33
Jika manajemen perusahaan komit/bersepakat melaksanakan Six Sigma guna menyempurnakan proses, memenuhi harapan pelanggan, menghemat biaya, dll, maka dapat dipastikan bahwa para karyawan akan terdorong untuk menopang sepenuhnya. Six Sigma meningkatkan moral kerja dan kebanggaan karyawan. Walaupun tidak semua karyawan harus terlibat langsung pada kegiatan Six Sigma, namun setiap individu mendapatkan peluang untuk berkontribusi secara signifikan mengingat peranan tiap-tiap anggota organisasi untuk menyediakan/menopang input yang diperlukan dalam proses tertentu. E. Pertumbuhan Bisnis Jika manajemen berhasil mewujudkan Six Sigma sehingga mampu memenuhi harapan pelanggan secara efektif, dan kepuasan mereka bertambahtambah, pada gilirannya penghasilan perusahaan akan meningkat; akibatnya tersedia dana yang memadai untuk mengembangkan perusahaan. F. Keunggulan Kompetitif Six Sigma menjanjikan kepada perusahaan-perusahaan pengguna untuk memperoleh keunggulan bersaing antara lain melalui: penghematan biaya operasional yang memungkinkan penetapan harga jual produk lebih bersaing; memenuhi harapan dan kepuasan pelanggan secara efektif dan efisien; memperoleh reputasi di bidang kualitas; mengembangkan budaya dan kebanggaan berdedikasi pada pelanggan. Ada beberapa bukti bahwa perusahaan-perusahaan yang telah melaksanakan Six Sigma memperoleh hasil seperti: ·
General Electric (GE) mendapat tambahan laba $2 milyar dalam tahun 1999 saja.
·
Motorola berhasil menghemat $15 milyar dalam 10 tahun pertama pelaksanaannya.
·
Allied Sigma menghemat $1,5 milyar.
2.4 TOOLS SIX SIGMA Seperti kebanyakan penemuan sistem besar lainnya, Six Sigma bukanlah sesuatu yang “baru sama sekali”. Dan sekalipun beberapa tema Six Sigma berasal
IV - 34
dari terobosan-terobosan yang cukup baru dalam pemikiran manajemen, tapi fondasi dari tema-tema lainnya ada pada akal sehat (creative thinking). Hal ini terlihat dari perspektif “Alat” yang digunakan pun merupakan sesuatu yang sangat universal/umum sekali. Suatu implementasi atau program Six Sigma yang satu dengan yang lain tidak harus menggunakan alat bantu yang sama persis. Dikarenakan alat bantu tersebut sifatnya membantu, maka penggunannya harus sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan. Perlu dipahami penekanan impelementasi atau program Six Sigma lebih berorientasi pada konsep dasar Six Sigma bukan pada alat bantu yang digunakan. Beberapa alat bantu pendukung yang sering digunakan dalam implementasi Six Sigma akan dijabarkan secara lebih detil di bawah ini: 2.4.1 Analisis Gap Analisis Gap adalah sebuah analisis yang menunjukkan hubungan antara kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Contoh ini sangat luwes dan memberi kemungkinan bagi sebuah perusahaan untuk menyadari bagaimana pentingnya setiap karakteristik kualitas bagi para pelanggannya serta bagaimana mengadakan perubahan menuju harapan dan kepuasan pelanggan. Analisis Gap terdiri dari beberapa bagian, yaitu sebagai berikut: a. Customer requirements adalah daftar kebutuhan pelanggan yang dicari melalui wawancara dan survey (voice of customer) b. Customer importance adalah tingkat kepentingan pelanggan, merupakan ratarata pendapat responden yang dinyatakan dalam skala 1–5, dimana angka 5 menyatakan kebutuhan yang paling penting. c. Customer satisfaction adalah tingkat kepuasan kualitas produk perusahaan sebelum dilakukan peningkatan, menurut pendapat pelanggan yang dinyatakan dalam skala 1–5, dimana angka 5 menyatakan konsumen sangat puas terhadap kualitas produk saat ini.
2.4.2 Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja Analisis Tingkat Kepentingan - Kinerja (Importance-Performance Analysis) digunakan untuk mengetahui atribut-atribut pelayanan jasa apa saja
IV - 35
yang dianggap penting atau tidak penting dan yang berkinerja baik atau tidak baik oleh konsumen, dimana konsumen diminta memberikan penilaian terhadap atribut-atribut pelayanan jasa yang dianggap penting atau tidak penting dan yang berkinerja baik atau tidak baik dengan memberikan skor pada atribut-atribut pelayanan jasa yang dimiliki oleh perusahaan (Supranto, 2001). Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat pelaksanaannya oleh perusahaan yang disajikan pada Gambar 2.4. Y
Kepentingan
Kuadran A
Kuadran B
Prioritas Utama
Pertahankan Prestasi
Kuadran C
Kuadran D
Prioritas Rendah
0
Berlebihan
Pelaksanaan (Kinerja/ Kepuasan)
X
Sumber : J. Supranto, (2001)
Gambar 2.4 Diagram Kartesius Tingkat Kepentingan dan Kinerja
Keterangan : Kuadran A → Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun pihak manajemen belum melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan. Sehingga mengecewakan / tidak puas. Kuadran B → Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan, untuk itu wajib dipertahankannya. Dianggap sangat penting dan sangat memuaskan. Kuadran C→ Menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang penting dan kurang memuaskan.
IV - 36
Kuadran D→ Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting, akan tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan.
2.4.3 Diagram IPO (Input – Proses – Output) IPO adalah diagram sederhana untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses kita, serta apa output dan target yang kita inginkan dari proses tersebut. Gambar 2.5 adalah sebuah contoh sederhana penggunaan IPO.
INPUT
PROSES
OUTPUT
Sumber : Manggala (2005)
Gambar 2.5 Diagram Input-Proses-Output (IPO)
Dalam Perkembangannya, diagram IPO dikembangkan menjadi diagram SIPOC dimana diagram ini merupakan alat bantu (tool) yang berfungsi untuk mengidentifikasi keseluruhan aliran proses secara mendetil beserta hubungan diantara aktifitas-aktifitas yang ada dalam aliran proses tersebut. Nama SIPOC sendiri merupakan akronim dari lima elemen utama dalam sistem kualitas, yaitu: · Suppliers, merupakan orang atau kelompok orang yang memberikan informasi kunci, material atau sumber daya lain kepada proses. Jika suatu proses terdiri dari beberapa sub proses, maka sub proses sebelumnya dapat dianggap sebagai pemasok internal (internal suppliers) · Inputs, adalah segala sesuatu yang diberikan oleh suppliers kepada proses. · Processes, merupakan sekumpulan langkah yang mentransformasi dan secara ideal menambah nilai kepada input (proses transformasi nilai tambah kepada input). Suatu proses biasanya terdiri dari beberapa sub proses. · Outputs, merupakan produk (barang dan atau jasa) dari suatu proses. Dalam industri manufaktur output dapat berupa barang setengah jadi maupun barang jadi serta informasi-informasi kunci dari proses.
IV - 37
· Customers, merupaka orang atau sekelompok orang, atau sub proses yang menerima output. Jika suatu proses terdiri dari beberapa sub proses, maka sub proses sesudahnya dapat dianggap sebagai pelanggan internal (internal customers). Adapun skema contoh untuk diagram Suppliers – Input – Proses – Output – Customers (SIPOC) akan disajikan dalam Gambar 2.6 di bawah ini:
Suppliers
Inputs
Processes
Outputs
Customers
kondisi dan syarat didefinisikan
Press
Glazing
Kiln
Packing
Sumber : Gaspersz, 2002
Gambar 2.6 Skema Contoh Diagram SIPOC
Sering, kebutuhan atau persyaratan kunci Inputs dan Outputs ditambahkan kedalam SIPOC, sehingga menjadi SIRPORC (Suppliers-Input RequirementsProcesses-Output Requirements-Customers). Persyaratan Inputs harus berkaitan langsung dengan kebutuhan proses dan persyaratan Outputs harus berkaitan langsung dengan kebutuhan pelanggan (Gaspersz, 2002). Adapun skema diagram SIRPORC ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut ini:
Inputs
Suppliers
Processes (Activities)
Requirements
Outputs
Customers
Requirements
Sumber : Gaspersz, 2002
Gambar 2.7 Skema Diagram SIRPORC Model diagram SIRPORC dapat diterapkan pada keseluruhan proses yang terkait termasuk sekuens (urutan) proses dan interaksinya dalam proyek Six Sigma. Sebagai modifikasi, identifikasi langkah-langkah aktivitas beserta
IV - 38
deskripsinya dalam suatu proses yang terkait dapat menggunakan diagam alir proses (process flowchart).
2.4.4
Peta Kendali Proses Peta kendali proses digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya variasi
tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common-causes variation) yang menyebabkan ketidakstabilan pada proses (Juran & Gryna, 1993). Pada dasarnya semua proses menampilkan variasi, namun pihak manajemen harus mampu mengendalikan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab-khusus dari proses tersebut, sehingga variasi yang melekat pada proses hanya disebabkan oleh variasi penyebab-umum. Pada dasarnya peta kendali proses digunakan untuk: a. Menentukan apakah proses berada dalam pengendalian statistik (dalam kondisi stabil) atau tidak. b. Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab-umum. c. Membantu dalam penentuan kemampuan proses (process capability). Unsur-unsur yang seharusnya ada dalam suatu peta kendali proses antara lain: a. Garis tengah (Central Line) yang biasa dinotasikan sebagai CL. b. Sepasang batas kendali (Control Limits) di mana satu batas kendali ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kendali atas (Upper Control Limit), biasa dinotasikan sebagai UCL, dan yang lain ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kendali bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL. c. Tebaran
(plot)
dari
data
nilai-nilai
karakteristik
kualitas
yang
menggambarkan keadaan dari proses. Jika semua nilai yang ditebarkan pada peta itu berada di dalam batas-batas kendali tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap berada dalam keadaan stabil atau terkendali secara statistikal. Namun, jika nilainilai yang ditebarkan pada peta tersebut jatuh atau berada di luar batas-
IV - 39
batas kendali atau memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap di luar kendali secara statistikal sehingga perlu diambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada. Definisi lain peta kontrol yang dipaparkan Dale (1994), dimana ia menyatakan bahwa peta kontrol ialah sebuah teknik yang baik untuk pemecahan masalah dalam menghasilkan peningkatan kualitas. Secara umum jenis peta kendali proses ada 2 macam, yaitu peta kendali variabel dan peta kendali atribut. Yang membedakan kedua jenis peta kendali ini adalah jenis data yang digunakan. Peta kendali variabel menggunakan data variabel yang diperoleh dari suatu jenis pengukuran. Sedangkan peta kendali atribut menggunakan data atribut yang menggambarkan ukuran jumlah (biasanya kecacatan). Untuk selanjutnya akan dipaparkan lebih jelas tentang jenis-jenis peta kendali baik peta kendali atribut maupun variabel. Control chart pada umumnya terdiri dari garis tengah dan control limit pada plus-minus tiga standar deviasi, seperti ditunjukkan diatas. Lebih spesifik lagi, control chart dibagi dalam 6 zone, yang akan memudahkan kita dalam melihat apakah ada “kelainan” dalam proses kita. Aturan umum dalam menentukan suatu proses di luar control adalah: Ø Ada titik yang berada di atas garis UCL (upper control limit) atau di bawah LCL (lower control limit). Ø Dua atau tiga titik secara berurutan ada di zone A. Ø Empat atau lima titik secara berurutan ada di zone B. Ø Delapan atau lebih titik secara berurutan berada di atas garis tengah atau di bawah garis tengah Ø Delapan atau lebih titik menunjukkan trend naik atau turun Ø Tigabelas titik secara berurutan ada di zone C hanya pada satu sisi (hanya pada C atas maupun C bawah saja). Ø Menunjukkan kecenderungan data seperti gergaji (naik turun secara drastis).
Berbagai peta-peta kontrol dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan seperti ditunjukkan melalui diagram alir penggunaan peta-peta kontrol dalam Gambar 2.8.
IV - 40
Tentukan Karakteristik Kualitas Sesuai Keinginan Pelanggan
TIDAK Apakah Data Variabel ?
TIDAK Apakah Data Atribut Berbentuk Proporsi Atau Persentase ?
YA
YA
TIDAK
YA TIDAK
Apakah Proses Homogen atau Proses Batch Seperti Industri Kimia, dll ?
YA
Apakah Data Atribut Berbentuk Banyaknya Ketidaksesuaian ?
TIDAK
Apakah Ukuran Contoh Konstan ?
Gunakan Peta Kontrol X-Bar, R
YA
Apakah Ukuran Contoh Konstan ?
Gunakan Peta Kontrol p
Gunakan Peta Kontrol c atau u
Gunakan Peta Kontrol p atau np
Gunakan Peta Kontrol Individual : X-MR
YA
Sumber: Gaspersz, 2001
Gambar 2.8 Diagram Alir Penggunaan Peta-Peta Kontrol
A. Peta Kendali Variabel Peta
kendali
variabel
ini
biasanya
merupakan
data
hasil
pengukuran/perhitungan, merupakan data yang kontinyu dari suatu range tertentu. Peta kendali yang termasuk peta kendali variabel antara lain: 1. Peta Kendali x dan R Peta kendali x dan R digunakan untuk memantau proses yang diukur berdasarkan data variabel. Peta kendali x digunakan untuk memantau perubahan suatu sebaran atau distribusi suatu variabel dalam hal lokasinya (pemusatannya). Peta kendali R digunakan untuk memantau perubahan dalam hal penyebaran selisih antar ukuran contoh. 2. Peta Kendali x dan S
IV - 41
Gunakan Peta Kontrol u
Peta kendali x dan S hampir sama dengan peta kendali x dan R dan akan berbeda jika digunakan untuk data dengan ukuran contoh (subgrup) yang berjumlah lebih dari 10, jika kuran dari 10 ukuran contoh maka hasil perhitungannya akan sama dengan ketika menggunakan peta kendali x dan R.
B. Peta Kendali Atribut Peta kendali atribut ini biasanya tidak dilakukan pengukuran dan bersifat tidak kontinyu. Peta kendali yang termasuk atribut antara lain: 1. Peta Kendali p Peta kendali p digunakan untuk mengukur proporsi cacat (tidak memenuhi syarat spesifikasi yang ditetapkan) dengan menggunakan data atribut.. Langkah-langkah pembuatan peta kendali p : a. Menentukan ukuran contoh / subgrup yang cukup besar (n >30) b. Mengumpulkan banyaknya subgrup (k) sedikitnya 20-25 subgrup c. Menghitung untuk setiap subgrup nilai proporsi unit yang cacat, yaitu p=
jumlah _ cacat ukuran _ subgroup
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.2)
d. Menghitung rata-rata dari p yaitu p-bar atau dapat dihitung melalui rumus: p=
totalcacat totalinspeksi
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.3)
e. Menghitung batas kendali untuk peta kendali p : UCL = p + 3
p (1 - p ) n
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.4)
LCL = p - 3
p (1 - p ) n
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.5)
f. Plot proporsi unit cacat dan amati apakah data tersebut berada dalam pengendalian atau tidak. Proses dipandang terkendali bila nilai p dari sample berada diantara kedua batas kendali. Untuk diagram p diperlukan ukuran yang cukup besar
IV - 42
sehingga diperoleh peluang tinggi untuk menemukan keadaan di luar kendali bila memang perubahan tertentu dalam p telah terjadi. 2. Peta Kendali - np Peta kendali -np digunakan untuk mengukur jumlah unit cacat. Peta kendali np dapat digunakan apabila ukuran contoh (n) adalah konstan dan proporsi unit cacat relatif kecil. 3. Peta Kendali C Peta kendali C digunakan untuk memantau jumlah cacat yang timbul dari produk yang dihasilkan, bukan jumlah produk yang cacat. Peta kendali ini tidak hanya digunakan untuk jumlah cacat dalam produk, tetapi dapat digunakan untuk pengukuran yang menggunakan sebaran Poisson sebagai peubahnya. 4. Peta Kendali U Peta kendali U relative tidak berbeda dengan peta kendali C dalam hal sama-sama menggunakan sifat dari sebaran Poisson. Perbedaannya hanyalah terdapat pada peta kendali U spesifikasi tempat atau waktu yang dipergunakan tidak harus sama. Tetapi yang membedakan dengan peta kendali C adalah besarnya unit inspeksi yang perlu diidentifikasi.
2.4.5
Kapabilitas Proses Kapabilitas proses adalah kemampuan proses untuk memproduksi atau
menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi atau kebutuhan yang diinginkan. Kapabilitas proses merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan maupun standar tertentu yang juga mengacu pada kepuasan pelanggan (Gaspersz, 2002). Analisis kapabilitas adalah proses 2 tahap yang menyangkut: 1) Membawa proses ke dalam keadaan dari kontrol statistik untuk periode yang masuk akal. 2) Membandingkan
kinerja
proses
jangka
manajemen atau perekayasa.
IV - 43
panjang
kepada
persyaratan
Penentuan kapabilitas proses untuk data atribut yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berkaitan dengan jumlah kerusakan atau defect. Pada pengukuran kapabilitas proses, terdapat dua jenis penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur tingkat kapablitas proses sigma berdasarkan output kecacatan proses yang dihasilkan (Cp) serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif di pasar global berdasarkan batas-batas level sigma (Cpk). Untuk mengukur tingkat kapabilitas proses, menurut Forrest (1999) secara mudah didapatkan dari rata-rata proporsi atau tingkat dari produk yang tidak sesuai. AIAG (1995) juga menyatakan bahwa jika diinginkan, dapat pula diartikan sebagai proporsi produk yang sesuai dari spesifikasi yaitu: Kapabilitas proses Cp = 1-p
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.6)
dimana : p = Central line (CL) atau rata-rata proporsi Semakin kecil central line atau rata-rata proporsi, maka kapabilitas proses semakin baik. Pengukuran indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif berdasarkan batas level sigma (Cpk) yang dapat dilakukan dengan cara mengkonversikan level sigma ke dalam indeks kapabilitas proses (Mc Fadden, 1993). Penentuan indeks kapabilitas proses untuk data atribut menggunakan pendekatan Motorola yang memungkinkan pergeseran rata-rata proses sebesar ± 1,5s disajikan pada Tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Kapabilitas Proses Sigma Terpusat dan Pergeseran Proses ± 1,5s Pergeseran proses ± 1,5s
Proses Terpusat Level Sigma
Cpk
DPMO
Level Sigma
Cpk
DPMO
3
1
2700
4
1,33
63
3
0,5
66.803
4
0,833
6.200
5
1,67
0.57
5
1,167
233
6 2 0.002 Sumber : Mc Fadden, 1993
6
1,5
3,4
Dimana dengan kriteria (Rule of Thumb) untuk indeks kapabilitas proses (Mc Fadden, 1993) yaitu sebagai berikut:
IV - 44
Ø Cpk ≥ 1,5; maka proses dianggap mampu dan kompetitif Ø Cpk antara 0,5 – 1,49; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target yang diinginkan. Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma. Ø Cpk < 0,5; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk bersaing di pasar global.
Dalam hubungan antara stabilitas dengan kapabilitas proses, terdapat empat hasil kombinasi identifikasi, yang secara lengkap disajikan pada Tabel 2.4 sebagai berikut.
Tabel 2.4 Identifikasi Hasil Stabilitas dan Kapabilitas Suatu Proses Status Proses Stabilitas (Stability)
Tidak
Ya
Ya
Kondisi proses
Kemampuan (Capability)
Analisis
Tidak
· Keadaan proses diluar pengendalian · Proses akan menghasilkan produk cacat terus menerus
Sistem industri berada dalam kondisi paling buruk
Tidak
· Keadaan proses berada di dalam pengendalian · Proses masih menghasilkan produk cacat
Sistem industri berada dalam status antara menuju peningkatan kualitas global
Ya
· Keadaan proses berada di dalam pengendalian · Proses tidak /sangat sedikit sekali menghasilkan produk cacat (zero defect)
Sistem industri berada dalam kondisi yang paling baik, merupakan target dari Six Sigma
Sistem industri tidak dapat diperkirakan (unpredictable) Tidak Ya dan tidak diinginkan (undesirable) oleh manajemen industri Sumber: Buku Pedoman Implementasi Program Six Sigma karya Vincent Gasperz, hal 203. · Proses berada di luar pengendalian · Proses menimbulkan masalah kualitas secara sporadis
2.4.6
Root Cause Analysis
IV - 45
Root Cause Analysis (RCA) adalah metode analisis terstruktur yang mengidentifikasi akar penyebab (root causes) untuk suatu output yang tidak memenuhi spesifikasi atau cacat (undesired product). Tujuan Root Cause Analysis adalah mengidentifikasi akar penyebab secara detil sehingga kecacatan atau permasalahan pada suatu produk dapat dihilangkan dan ditekan seminimal mungkin (NASA, 2003). Akar penyebab (root cause) sendiri merupakan suatu faktor (peristiwa, kondisi, organisasi, dll) yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya kecacatan atau permasalahan (NASA, 2003). Identifikasi terhadap akar penyebab dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut: a. Mendefinisikan secara detil permasalahan yang akan dianalisis Langkah awal yang dilakukan dalam menganalisa Root Cause Analysis (RCA) adalah dengan mendefinisikan permasalahan yang akan dianalisis secara detil, sehingga jelas dalam identifikasi selanjutnya. b. Pengumpulan data Pengumpulan data bertujuan untuk mengidentifikasi fakta-fakta yang terjadi di sekitar permasalahan. Adapun beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengidentifikasi fakta-fakta tersebut adalah ·
Kapankah permasalahan atau output cacat terjadi?
·
Dimanakah hal tersebut terjadi?
·
Bagaimanakah kondisi yang ada sebelum permasalahan terjadi?
·
Tindakan pengendalian apa saja yang seharusnya dapat mencegah terjadinya permasalahan tetapi tidak dilakukan?
·
Apa saja yang menjadi penyebab potensial dari permasalahan yang terjadi?
·
Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang serupa di kemudian hari?
c. Membuat diagram faktor penyebab (causal factor tree) Langkah ini berisi paparan detil secara visual dari data yang telah dikumpulkan pada langkah sebalumnya. Ada banyak tool yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi langkah ini, seperti diagram sebab akibat, fault tree analysis, barrier analysis dan lain-lain. Pemilihan tool yang tepat
IV - 46
sesuai permasalahan yang terjadi akan menghasilkan suatu analisis dan usulan solusi yang tepat dan akurat. d. Membuat
usulan
solusi
untuk
menghilangkan,
meminimalkan
atau
memodifikasi permasalahan yang terjadi Tujuan secara keseluruhan dari suatu kegiatan pengendalian kualitas adalah untuk meningkatkan kualitas itu sendiri, ini berarti bahwa penyebab rendahnya kualitas tersebut harus segera diidentifikasi dan diperbaiki. Lebih jauh lagi, penyebab kecacatan yang dominan harus segera diisolasi dan dihilangkan. Sebuah tool yang sangat berguna untuk dapat mengidentifikasi, memaparkan, dan memperbaiki penyebab kecacatan yang mungkin dari berbagai observasi yang dilakukan adalah diagram sebab akibat. Tool ini juga sering disebut sebagai diagram Ishikawa, karena ditemukan oleh Dr. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1943. Nama lain dari diagram ini adalah diagram tulang ikan yang merujuk pada bentuk struktur yang ditampilkan. Adapun secara umum, langkah-langkah yang diperlukan untuk membuat diagram sebab akibat adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi karakteristik kualitas atau ukuran performansi untuk hubungan sebab dan akibat. b. Gunakan
brainstorming
yang
terstruktur
dan
orang-orang
yang
berpengalaman dan berpengetahuan luas untuk menentukan variabel kelas umum yang menyebabkan kasus tersebut terjadi (mengidentifikasi tulang besar). c. Cari lebih lanjut faktor yang lebih terperinci dari variabel kelas umum yang telah diidentifikasi tersebut (mengidentifikasi tulang kecil) Dari data diatas, kemudian digambar menjadi diagram sebab akibat untuk selanjutnya dicari penyebab-penyebab utama dari setiap tulang kecil yang sudah teridentifikasi. Contoh bentuk umum diagram sebab akibat ditunjukkan pada Gambar 2.9 berikut ini.
IV - 47
Gambar 2.9 Bentuk Umum Diagram Sebab Akibat
2.4.7
Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) ialah suatu prosedur
terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin modus kegagalan. FMEA menilai resiko-resiko yang berhubungan dengan potensi kegagalan (failure) dan menyediakan dasar yang baik untuk pengklasifikasian karakteristik (Pyzdek, 2001). Menurut Stamatis (1995), FMEA adalah sebuah metode teknis yang digunakan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi dan menghilangkan potensial
kegagalan, masalah, kesalahan dan sebagainya dari
suatu sistem, desain, proses dan pelayanan sebelum sampai kepada pelanggan akhir. Penggunaan FMEA pada awalnya adalah dalam industrial safety ataupun reliability maintenance, namun belakangan banyak dipakai dalam berbagai proses. Dari hasil FMEA, prioritas perbaikan akan diberikan pada komponen yang memiliki tingkat prioritas (RPN) paling tinggi (Manggala, 2005). Beberapa istilah/elemen yang terdapat dalam penggunaan Failure Modes and Effect Analysis (FMEA): 1. Component: komponen dari sistem/alat yang kita analisis 2. Failure Mode: modus kegagalan yang sering terjadi 3. Failure Effect: akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut gagal seperti disebutkan dalam failure mode
IV - 48
4. Severity: kuantifikasi seberapa serius kondisi yang diakibatkan jika terjadi kegagalan yang akibatnya disebutkan dalam Failure Effect. Severity ini dibuat dalam 5 level (1,2,3,4,5) yang menunjukkan akibat yang tidak berpengaruh (1) sampai sangat serius (5) 5. Causes: apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan pada komponen 6. Occurrence: tingkat kemungkinan terjadinya kegagalan. Ditunjukkan dalam 5 level (1,2,3,4,5) dari yang hampir tidak pernah terjadi (1) sampai yang paling mungkin terjadi/sulit dihindari (5) 7. Detection: menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan dari kontrol yang sudah kita pasang. Levelnya juga dari 1-5, dimana angka 1 menunjukkan kemungkinan untuk lewat dari kontrol/pasti terdeteksi sangat kecil, dan 5 menunjukkan kemungkinan untuk lolos dari kontrol kita/tidak terdeteksi adalah sangat besar 8. RPN: risk priority number, adalah hasil perkalian bobot dari severity, occurance dan detection RPN = BOBOT (S) X BOBOT (O) X BOBOT (D)
. . . . . . . (2.7)
Hasilnya dapat kita gunakan untuk menentukan komponen dan failure mode yang paling menjadi prioritas kita. Untuk analisis FMEA yang lengkap, juga perlu mencantumkan action serta rencana yang dilakukan untuk menghindari atau menghilangkan kegagalan, serta perubahan nilai SEVERITY (S), OCCURRENCE (O), dan DETECTION (D) jika memang terjadi perubahan setelah kita merancang suatu rencana. 2.4.8
Formulir 5W-2H Rencana-rencana tindakan yang baik dapat dituangkan ke dalam formulir
5W-2H dengan urutan-urutan: What – When – Where – Who – Why – How – How Much. Penjelasan mengenai metode 5W-2H secara terperinci disajikan dalam bentuk Tabel 2.5 sebagai berikut:
IV - 49
Tabel 2.5 Metode 5W-2H Jenis Tujuan Utama Alasan Kegunaan
Lokasi
5W-2H What (Apa) Why (Mengapa) Where (Di mana)
Sekuens
When
(urutan)
(Bilamana)
Orang
Metode
Biaya
Who (Siapa)
How (Bagaimana)
How much (Berapa)
Deskripsi
Tindakan
o Apa yang menjadi target utama dari perbaikan/peningkatan kualitas? o Dimana rencana tindakan itu diperlukan? o Penjelasan tentang kegunaan dari rencana tindakan yang dilakukan.
Merumuskan target sesuai dengan kebutuhan pelanggan
o Di mana rencana tindakan itu akan dilaksanakan? o Apakah aktivitas itu harus dikerjakan di sana? o Bilamana aktivitas rencana tindakan itu akan terbaik untuk dilaksanakan? o Apakah aktivitas itu dapat dikerjakan kemudian? o Siapa yang akan mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu? o Apakah ada orang lain yang dapat mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu? o Mengapa harus orang itu yang ditunjuk untuk mengerjakan aktivitas itu?
Mengubah sekuens (urutan) aktivitas atau mengkombinasikan aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan bersama.
o Bagaimana mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu? o Apakah metode yang digunakan sekarang, merupakan metode terbaik? o Apakah ada cara lain yang lebih mudah?
Menyederhanakan aktivitasaktivitas rencana tindakan yang ada.
o Berapa biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan aktivitas rencana tindakan itu? o Apakah akan memberikan dampak positif pada pendapatan dan biaya (meningkatkan efektivitas dan efisiensi), setelah malaksanakan rencana tindakan itu?
Memilih rencana yang paling efektif dan efisien.
Sumber : Gaspersz, 2002
2.4.9
Tabel Action Planning for Failure Modes Tabel Action Planning for Failure Modes ini berfungsi sebagai penentu
tindakan yang tepat sebagai solusi untuk modus-modus kegagalan yang memiliki nilai resiko tertinggi (Stamatis, 1995). Pada tabel Action Planning for Failure Modes untuk setiap design action/potensial solution dapat dibuat control design validation berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah dilaksanakan sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik. Adapun Action Planning for Failure Modes biasanya ditabelkan pada Tabel 2.6 sebagai berikut.
IV - 50
Tabel 2.6 Action Planning for Failure Modes Rank
Failure
Actionable
Design Action /
Modes
Cause
Potensial Solutions
Peringkat tertinggi
Modus kegagalan
Penyebab yang
Solusi-solusi
dalam tabel FMEA
yang terjadi
dapat dianalisa
yang dapat dilakukan
Design Validation
Validasinya, berupa control dari action
Sumber : Stamatis, 1995
2.4.10 Run Chart Run chart adalah penggambaran karakteristik kualitas sebagai fungsi dari waktu. Gambar tersebut tidak merangkum berbagai informasi, tetapi memberikan berbagai ide dari kecenderungan secara umum dan tingkat variabilitas proses. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.
DATA
Sumber : Mitra, 1993
WAKTU
Gambar 2.10 Run Chart
2.5 Penelitian Implementasi Six Sigma Beberapa penelitian sebelumnya juga terkait dengan aplikasi metode Six Sigma untuk menyelesaikan permasalahan dan integrasi metode Six Sigma dengan metode yang lain. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dipaparkan sebagai berikut :
IV - 51
-
Salurante (2002) dalam penelitiannya memaparkan metode Six Sigma DMAIC untuk menyelesaikan kasus pada lini produksi di PT.LG Philips Displays Indonesia. Penelitian ini belum menganalisa secara mendalam modus kegagalan yang terjadi dan belum terlihat perbaikan manajerial pada tahap improve
-
Kurniawan (2003) memaparkan Six Sigma sebagai alat pengendalian kualitas di PT. Djuifa International Foods. Penelitian ini belum menganalisa perbaikan teknis dan hanya sebatas perbaikan manajerial.
-
Budiman (2004) mengimplementasikan metodologi Six Sigma DMAIC untuk menurunkan jenis cacat benang di PT. Grand Textile Industri. Penelitian ini belum menganalisa secara mendalam modus kegagalan yang terjadi dan belum memasukkan unsur pelanggan di dalamnya.
-
Saputra (2004) mendeskripsikan implementasi Six Sigma di GE Lighting Indonesia.
-
Agung (2004) mengimplementasikan pengendalian kualitas Six Sigma dengan menggunakan metode DMAIC pada lini produksi final D serta lini top cabinet dan CD-changer departemen audio PT. Sharp Yasonta Indonesia. Penelitian ini belum terlihat perbaikan secara konkrit pada tahap improve.
-
Agus (2004) mengusulkan program peningkatan kualitas Six Sigma dengan metode define, measure, analyze, improve, control (DMAIC) terhadap proses produksi lemari es di PT. Sharp Yasonta Indonesia.
-
Amri (2005) menganalisa stabilitas dan kapabilitas proses Six Sigma dengan metode define, measure, analyze, improve, control (DMAIC) terhadap proses spinning benang katun di PT. Primissima. Penelitian ini belum menganalisa secara mendalam modus kegagalan yang terjadi dan perbaikan serta pengendalian yang dilakukan masih sebatas wacana.
-
Ani (2006) merancang perbaikan kualitas sliver combing pada proses drawing dengan metode Six Sigma DMAIC di PT. ADETEX. Penelitian ini menggunakan data variabel. Penelitian ini belum menganalisa secara mendalam pemetaan proses yang ada dan analisis gap yang digunakan tidak dimanfaatkan dengan optimal serta tidak digunakannya analisis kuadran dalam menentukan CTQ yang didapatkan dari analisis gap.
IV - 52
Tabel 2.7 memaparkan posisi penelitian ini dengan keberadaan penelitianpenelitian sebelumnya yang terkait dengan implementasi Six Sigma DMAIC di perusahaan. Tabel 2.7 Posisi Penelitian Tahapan Penulis (Tahun)
Jenis Penelitian
DMAIC Kuantitatif Manufaktur
Kualitatif
Jasa
Salurante (2002) Kurniawan (2003) Budiman (2004) Saputra (2004) Agung (2004) Agus (2004) Amri (2005) Ani (2006)
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Penelitian ini (2006)
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Jenis penelitian yang dilakukan di PT. IKAD ini yaitu kuantitatif (Critical to Quality (CTQ) prioritas tegel keramik, faktor-faktor apa saja yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya kecacatan di bagian kiln, serta bagaimana memperbaiki dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di bagian kiln yang ditinjau dari segi manajerial dan teknisnya) dan kualitatif (stabilitas, kapabilitas proses, dan level sigma CTQ terseleksi, modus kegagalan yang terjadi serta akibatnya pada proses produksi tegel keramik di bagian kiln). Penelitian ini menganalisa prioritas Critical to Quality (CTQ) tegel keramik dan kegagalan yang terjadi pada CTQ tersebut yang selanjutnya disertai dengan usulan solusi perbaikan dan pengendalian proses.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN IV - 53
Bab ini membahas mengenai metode yang digunakan dalam penelitian untuk pemecahan masalah dimana setiap pembahasan diuraikan dalam bentuk tahapan yang terstruktur. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
3.1
IDENTIFIKASI AWAL PENELITIAN Pada tahap ini dilakukan identifikasi awal penelitian melalui penguraian
dalam
bentuk
langkah-langkah
yang
sistematis
seperti
latar
belakang
permasalahan, perumusan masalah, perumusan tujuan penelitian, serta tinjauan pustaka yang dilakukan untuk mendapatkan informasi terhadap studi lapangan yang dilakukan.
3.1.1
Latar Belakang Masalah Latar belakang masalah pada penelitian ini dilakukan pada dua hal utama,
yaitu identifikasi pada tempat penelitian beserta permasalahan yang terjadi serta penentuan tema penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Pada langkah awal ini dilakukan identifikasi masalah yang terjadi di PT. IKAD Tangerang. Identifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di perusahaan. Pemilihan tempat penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa pabrik tegel keramik merupakan kebutuhan yang cukup penting dewasa ini. Dengan teknologi dalam bidang ini yang hampir stagnan,
maka sistem perbaikan manajemen kualitas sangat diperlukan agar
perusahaan terus survive dalam persaingan pasar. Hal lainnya yang mendorong dilakukannya penelitian di tempat ini ialah bahwa perusahaan masih belum dapat memenuhi slogan yang dianut perusahaan itu sendiri, yaitu ”Utamakan Mutu dan Pelanggan”. Hal ini diperkuat dengan kenyataan dari identifikasi awal penelitian di departemen plant 3 PT. IKAD, dimana terjadi penurunan yang cukup signifikan pada beberapa karakteristik kualitas yang penting untuk diperhatikan (Critical to Quality (CTQ)) pada bagian kiln yang masih bermasalah. Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah
IV - 54
Penetapan Tujuan Penelitian
Identifikasi Awal Penelitian
Tinjauan Pustaka
Metode D-M-A-I-C Define Pemetaan Proses Identifikasi Kebutuhan Pelanggan Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pendefinisian CTQ Prioritas
Measure Pengumpulan Data CTQ Prioritas Pengukuran Level Sigma Pengukuran Stabilitas Proses
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengukuran Kapabilitas Proses
Analyze Penelusuran Akar Penyebab Masalah Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 2 Analisis Pengaruh Potensial Kegagalan Sumber-Sumber Variasi
Improve & Control Usulan Rencana Perbaikan Usulan Pengendalian Kualitas Proses
Analisa dan Interpretasi Hasil
Analisa dan Interpretasi Hasil
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dan Saran
Gambar 3.1. Tahapan Penelitian 3.1.2
Perumusan Masalah
IV - 55
Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini diambil berdasarkan kondisi yang terjadi pada departemen Plant 3 PT. IKAD. Rumusan masalah disini ingin memperjelas apa Critical to Quality (CTQ) prioritas tegel keramik, bagaimanakah stabilitas, kapabilitas proses, serta level sigma CTQ prioritas, apa saja kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses produksi tegel keramik di bagian kiln, faktor-faktor apa saja yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya kecacatan di bagian kiln, serta bagaimana memperbaiki dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di bagian kiln.
3.1.3
Penetapan Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan penjabaran dari perumusan masalah. Tujuan
penelitian juga merupakan output yang ingin dicapai atau dilakukan dalam sebuah penelitian. Pada penelitian ini, tujuan difokuskan pada langkah-langkah yang dilakukan untuk dapat menjawab perumusan masalah, yaitu untuk mengetahui karakteristik yang penting bagi kualitas (CTQ) prioritas tegel keramik, menganalisa stabilitas proses, kapabilitas proses dan level sigma CTQ prioritas serta mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan menyebabkan terjadinya kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln, menganalisa modus kegagalan yang terjadi berikut akibatnya pada proses produksi, serta memberikan usulan perbaikan dan pengendalian proses terhadap masalah yang ditemukan.
3.1.4
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang dilakukan meliputi gambaran umum produk tegel
keramik, pengertian perbaikan kualitas, sistem pengendalian kualitas, konsep dasar Six Sigma, penelitian-penelitian Six Sigma sebelumnya, dan lain-lain. Tinjauan pustaka mempunyai fungsi yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai panduan untuk mendapatkan informasi terhadap studi lapangan yang dilakukan. Studi literatur juga dilakukan dengan tujuan agar diperoleh gambaran yang jelas pada masalah yang dibahas dalam penelitian ini, melalui informasiinformasi yang berupa referensi, arsip perusahaan, laporan penelitian, buku pedoman Six Sigma, informasi melalui situs internet mengenai konsep Six Sigma
IV - 56
dan jurnal-jurnal serta artikel-artikel terkait yang berhubungan dengan topik yang diambil.
3.2
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Pada tahap ini dilakukan tahap pengumpulan dan pengolahan data. Jenis
data yang digunakan dalam pengumpulan data pada umumnya terdiri dari data primer dan data sekunder, dimana metode pencarian data-data tersebut dipaparkan sebagai berikut: 1. Data Primer a. Wawancara (interview) dan Brainstorming Pengumpulan data diperoleh secara langsung, dengan jalan melakukan wawancara dan brainstorming. Tipe wawancara studi kasus yang digunakan adalah open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci yang berfungsi sebagai informan tentang fakta suatu peristiwa disamping opini mengenai peristiwa yang ada. Pada penelitian ini wawancara dilakukan kepada staf dan karyawan perusahaan untuk mengetahui proses produksi yang terjadi serta masalah-masalah yang dihadapi. Adapun untuk daftar pertanyaan pada proses wawancara disajikan pada Lampiran 8. b. Kuesioner Kuesioner yaitu metoda pengumpulan data dengan jalan melakukan penyebaran angket kuesioner terhadap responden pada plant 3 khususnya pada bagian kiln yang mengetahui secara jelas proses yang terjadi dimana hasilnya akan digunakan dalam penentuan CTQ. Daftar responden wawancara dan kuesioner selanjutnya disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1 Responden Wawancara dan Kuesioner NO.
RESPONDEN
JUMLAH (Orang)
1
Koordinator Kiln
1
2
Kepala Departemen Plant 3
1
3
Kepala Bagian Kiln Plant 3
1
4
Kepala Regu Kiln Plant 3
1
5
Kepala Maintenance Plant 3
1
6
Karyawan exit kiln
6
IV - 57
11
Total
2. Data Sekunder Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh secara tidak langsung. Data ini diperoleh dari data historis perusahaan, studi literatur, penelitian kepustakaan, dokumen-dokumen maupun dari arsip yang berhubungan dengan penelitian yang diambil. Adapun data yang diambil ialah data laporan kualitas bulan Januari 2006 dan Februari 2006 juga data-data yang berhubungan dengan perusahaan tempat penelitian. Adapun data-data perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini selanjutnya disajikan pada Tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Data-Data Perusahaan No.
Jenis Data
Data Yang Diperoleh
Tujuan Data
Tingkat kepuasan konsumen
Mengetahui Tingkat kepuasan konsumen
Tingkat kepentingan kualitas
Mengetahui Rating kepentingan kualitas
Data Karakteristik Kualitas
Menentukan CTQ prioritas
4
Suara Pelanggan Internal
Mengetahui Suara Konsumen
5
Frekuensi Kecacatan Produk
Mengetahui jumlah kecacatan produk
1 2
Konsumen Langsung
3
(exit kiln)
Pengukuran 6
Permukaan Tegel Keramik
Mengetahui jumlah kecacatan Permukaan Tegel Keramik
7
Mesin
Waktu Perawatan Kembali
Mengetahui kapan waktu perawatan kembali
8
Bahan Baku
9
Supplier
Data bahan baku
Data bahan baku yang Digunakan
Wilayah atau Daerah Supplier
Salah satu elemen dalam pemetaan proses dengan diagram SIRPORC
Setelah metode pengumpulan data dilakukan, selanjutnya dilakukan pengolahan data meliputi kelima tahapan DMAIC meliputi tahap pendefinisian (Define), pengukuran (Measure), analisis (Analyze), perbaikan (Improve) serta pengendalian (Control).
3.2.1 TAHAP PENDEFINISIAN (DEFINE)
IV - 58
Pada tahap pendefinisian (Define) ini dilakukan pemetaan proses, identifikasi kebutuhan pelanggan, perancangan dan penyebaran kuesioner serta pendefinisian Critical to Quality (CTQ) prioritas. A. Pemetaan Proses Pemetaan proses bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi proses produksi tegel keramik secara umum. Hal ini sangat penting mengingat penelitian ini sangat erat kaitannya dengan proses produksi yang berlangsung, khususnya di bagian kiln. Untuk mengidentifikasi tahapan ini, dilakukan wawancara dan brainstorming terhadap para responden pada Tabel 3.1 diatas. Untuk interpretasinya digunakan tool diagram alir (Flow Chart) dan diagram SIRPORC (Suppliers-Input Requirements-Processes-Output Requirements-Customers).
B. Identifikasi Kebutuhan Pelanggan Pelanggan yang disurvei merupakan pelanggan internal dimana di dalamnya terdapat pelanggan langsung dan tidak langsung. Khusus pada penelitian ini yang disurvei hanya pelanggan langsung yaitu pelanggan setelah bagian kiln, dalam hal ini bagian exit kiln. Identifikasi kebutuhan pelanggan bertujuan untuk mengetahui data karakteristik kualitas tegel keramik yang sering diperhatikan pelanggan langsung di bagian exit kiln. Disebut pelanggan langsung karena pada proses ini secara langsung menggunakan produk tegel keramik tersebut. Pada penelitian ini pelanggan yang disurvey hanya difokuskan pada pelanggan langsung yaitu pada bagian exit kiln serta kepala-kepala produksi pada bagian kiln yang dianggap lebih mengetahui secara teknis karakteristik serta kecacatan tegel keramik sehingga hasil wawancara dan kuesioner lebih valid. Data dalam penelitian ini berasal dari hasil kuesioner dan wawancara dengan pihak perusahaan, studi atas data historis berupa inspection report serta observasi di lantai produksi. Responden wawancara dan kuesioner pada bagian kiln Departemen Plant 3 dapat dilihat pada Tabel 3.1.
C. Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 1 Kuesioner pertama ini digunakan untuk mencari tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan pelanggan terhadap karakteristik kebutuhan yang telah
IV - 59
teridentifikasi. Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang yang terdiri dari para pimpinan dan karyawan bagian exit kiln yang mengerti secara detil proses serta karakteristik kebutuhan tegel keramik tersebut. Berdasarkan identifikasi, terdapat 5 pimpinan yang terdiri dari koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian kiln, kepala regu kiln dan kepala maintenance dan 6 karyawan bagian exit kiln departemen plant 3 yang memenuhi kriteria diatas. Penyebaran kuesioner dilakukan melalui 2 tahap yaitu tahap pertama untuk mendapatkan rating kepentingan dan tahap kedua untuk mendapatkan rating kepuasan yang secara langsung dilakukan dengan mendatangi ke-11 karyawan yang menjadi responden, agar persepsi yang dikemukakan dalam kuesioner sesuai dengan persepsi yang diterima oleh responden. Dengan hal ini, maka diharapkan hasil kuesioner menjadi lebih akurat. Bentuk kuesioner dan hasil pengumpulan kuesioner akan disajikan dalam Lampiran 3 dan 4.
D. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengujian Validitas dan Reliabilitas dilakukan untuk mengetahui kevalidan dan keandalan data yang terkumpul pada kuesioner di Lampiran 4. Pengujian dilakukan menggunakan software SPSS versi 13.0. Uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Adapun rumus matematisnya adalah sebagai berikut:
r=
[nSX
n (SXY ) - (SXSY ) 2
- (SX )
2
] [nSY
2
- (SY )
2
]
………………………….. (3.1)
dimana: r
: angka korelasi
n
: jumlah responden
X
: skor pertanyaan no.1
Y
: skor total
Suatu pertanyaan dianggap valid jika nilai korelasi berada diatas angka kritis (α = 0,05 berdasarkan R tabel). Uji reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsitensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Teknik pengukuran
IV - 60
reliabilitas yang digunakan adalah teknik Cronbach’s Alpha. Teknik ini mencari reliabilitas alat ukur dengan skor nilai berupa rentangan antara beberapa nilai.
Rumus yang digunakan adalah: 2 æ k ö æç Ss b ö÷ r11 = ç ÷ ç1 - 2 ÷ st ø è k -1ø è
………………………….. (3.2)
dimana: r11
: reliabilitas alat ukur
k
: banyaknya butir pertanyaan
σ2t
: variansi total
Σσ2b : jumlah variansi butir Rumus varian yang digunakan adalah: s =
SX
2
(S X )2 n
………………………….. (3.3)
n
n
: jumlah sample
X
: nilai skor yang dipilih
Reliabilitas dicapai jika nilai r11 lebih besar dari angka kritis (α = 0,05 berdasarkan R tabel). Adapun untuk hasil pengujian validitas dan reliabilitas serta Tabel R akan disajikan dalam Lampiran 5 dan 6.
E. Pendefinisian CTQ Prioritas Pengolahan data responden hasil wawancara dan kuesioner menggunakan tool analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik kualitas Critical to Quality (CTQ) yang akan difokuskan untuk pembahasan lebih lanjut. Pendefinisian CTQ prioritas ini dimaksudkan agar penelitian dapat lebih fokus dalam perbaikan proses pada CTQ prioritas. Langkah-langkah penentuan CTQ prioritas menggunakan analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap adalah sebagai berikut: a. Penentuan customer requirements
IV - 61
Langkah awal ini menggambarkan karakteristik kebutuhan pelanggan yang telah ditransformasi berdasarkan CTQ di exit kiln pada kuesioner b. Penentuan customer importance Langkah kedua ini dihitung dari nilai rata-rata dari hasil kuesioner pada bagian tingkat kepentingan. c. Penentuan customer satisfaction Langkah ketiga ini dihitung dari nilai rata-rata dari hasil kuesioner pada bagian tingkat kepuasan. d. Penentuan kuadran kepentingan - kepuasan Penggunaan Analisis Gap dapat dipadukan dengan menganalisis tingkat kepentingan dan pelaksanaan agar dapat diketahui dimana tingkat kepentingan pelanggan dan kepuasannya yang digambarkan ke dalam diagram kartesius. Analisis tingkat kepentingan dan pelaksanaan (kinerja/kepuasan) dapat dikelompokkan ke dalam 4 kuadran yang disajikan pada Gambar 2.4 e. Penentuan selisih nilai customer importance dengan customer satisfaction Setelah penentuan kuadran kepentingan - kepuasan dilakukan, selanjutnya dihitung selisih nilai customer importance dengan customer satisfaction yang terdapat dalam kuadran A yang menjadi prioritas utama. f. Penentuan CTQ prioritas Penentuan CTQ prioritas didasarkan pada selisih terbesar antara customer importance dan customer satisfaction untuk CTQ yang berada pada kuadran A. Hasil dari langkah inilah yang untuk selanjutnya akan dibahas lebih mendalam.
3.2.2 TAHAP PENGUKURAN (MEASURE) Pada tahap pengukuran (measure) dilakukan pengukuran level sigma yang dilakukan dengan mengkonversikan hasil jumlah kecacatan dalam Defect per Million Opportunities (DPMO) ke dalam level sigma. Data yang digunakan ialah data atribut sampling kecacatan CTQ prioritas pada proses kiln pada bulan Januari dan Februari 2006. Pada tahap ini dilakukan pula pengukuran kapabilitas proses dengan menggunakan indeks kapabilitas yaitu apabila proses yang telah diukur kapabilitasnya selanjutnya dikonversikan ke dalam tabel konversi level sigma
IV - 62
dimana selanjutnya akan diketahui apakah proses dapat dikatakan baik dan mampu serta sebaliknya dengan menggunakan rule of thumb. Aktivitas pada tahap ini dijabarkan secara detil sebagai berikut:
A. Pengumpulan Data CTQ Prioritas pengukuran CTQ yang diprioritaskan terdapat dalam bagian ini. Data yang dikumpulkan merupakan jenis data sekunder dimana data diambil setelah karyawan QA (Quality Assurance) melakukan sampling. Data ini akan digunakan dalam penghitungan level sigma, stabilitas, serta kapabilitas proses.
B. Pengukuran Level Sigma Salah satu parameter kunci keberhasilan penerapan konsep Six Sigma dapat dilihat dari hasil perhitungan level sigma pada output proses yang merupakan ukuran pencapaian target menuju tingkat kegagalan nol (zero defect) dimana semakin tinggi level sigma akan membuat tingkat kecacatan yang diproduksi per satu juta kesempatan (DPMO) semakin rendah, sehingga produk tersebut akan semakin memenuhi ekspektasi dari pelanggan. Langkah-langkah dalam mengukur level sigma ialah sebagai berikut : 1. Menghitung jumlah kecacatan tiap unit produk Defect per Unit =
D U
......................................(3.4)
Dimana : D = Unit yang cacat U = Unit yang diinspeksi 2. Menghitung total peluang kecacatan Total Opportunities = U x OP Dimana : U
......................................(3.5)
= Unit yang diinspeksi
OP = Opportunities g. Menghitung Jumlah kecacatan tiap peluang kecacatan Defect Per Opportunities (DPO) =
D TOP
......................................(3.6)
h. Mengukur Jumlah kecacatan tiap satu juta peluang terjadinya kecacatan Rumus DPMO terdapat pada persamaan (2.1).
IV - 63
i. Mengukur level sigma yang dilakukan dengan mengkonversikan tingkat kecacatan yang diproduksi per satu juta kesempatan (DPMO) yang dapat dilihat pada tabel di Lampiran 7.
Perhitungan level sigma ini menggunakan konsep dari Six Sigma Motorola dimana pada prosesnya mengijinkan bergesernya nilai target rata-rata (mean) setiap CTQ individual dari proses sebesar ± 1.5 sigma.
C. Pengukuran Stabilitas Proses Pada bagian ini dilakukan stabilitas proses dimana proses ini menggambarkan kondisi proses untuk menghasilkan suatu produk yang nilainya stabil (tidak mudah berubah) dari waktu ke waktu. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui apakah suatu proses telah stabil dimana stabilitas ini merupakan syarat untuk perhitungan kapabilitas proses. Tool yang digunakan untuk mengidentifikasi stabilitas proses adalah menggunakan peta kendali proses. Penelitian ini menggunakan peta kendali p dimana peta ini digunakan untuk mengukur proporsi jumlah unit cacat. Peta kendali p dapat digunakan apabila ukuran contoh (n) adalah konstan. Langkahlangkah pembuatan peta kendali p : 1. Menentukan ukuran contoh / subgrup yang cukup besar (n >30) 2. Mengumpulkan banyaknya subgrup (k) sedikitnya 20-25 subgrup 3. Menghitung proporsi total cacat (p) untuk setiap subgrup 4. Menghitung rata-rata dari p yaitu p 5. Menghitung batas kendali untuk peta kendali p : Rumus dalam penghitungan UCL mengacu pada persamaan (2.4). Rumus dalam penghitungan LCL mengacu pada persamaan (2.5). 6. Plot data dari setiap subgrup yang diperiksa dan amati apakah data tersebut berada dalam pengendalian atau tidak.
D. Pengukuran Kapabilitas Proses Kapabilitas proses merupakan parameter Six Sigma yang dilihat dari sudut pandang proses itu sendiri. Kapabilitas proses menunjukkan kemampuan dari
IV - 64
proses untuk dapat memenuhi spesifikasi yang diinginkan, baik spesifikasi target maupun batas-batas toleransi. Pada pengukuran kapabilitas proses data atribut, terdapat dua jenis penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan proses berdasarkan output rata-rata kecacatan proses yang dihasilkan (Cp) serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif di pasar global berdasarkan batas-batas level sigma (Cpk). Adapun langkah-langkah dalam mengukur kapabilitas proses ialah sebagai berikut: 1. Mengukur Kapabilitas proses output rata-rata proses Cp Penelitian ini menggunakan data atribut dengan menggunakan Kapabilitas proses output rata-rata proses Cp berikut: Rumus dalam pengukuran Kapabilitas proses (Cp) terdapat pada persamaan (2.6). 2. Mengukur Indeks Kapabilitas proses Cpk Indeks kapabilitas proses dilakukan dengan cara mengkonversi level sigma yang didapatkan dari tahap pengukuran level sigma sebelumnya dengan cara interpolasi dari Tabel 3.3 berikut ini:
Tabel 3.3 Konversi Level Sigma, Indeks Kapabilitas Proses dan DPMO Pergeseran Proses ± 1,5s Level Sigma Cpk
DPMO
3
0,5
66.803
4
0,833
6.200
5
1,167
233
6
1,5
3,4
Sumber : Mc Fadden, 1993
Perlu diketahui pula bahwa pengukuran kapabilitas proses hanya dapat dilakukan apabila proses berada dalam kondisi yang terkendali pada tahap stabilitas proses. Jika proses sudah stabil, maka pengukuran kemampuan proses
IV - 65
dapat dilakukan, namun jika proses belum stabil maka proses harus distabilkan terlebih dahulu dengan membuang data yang keluar batas spesifikasi.
3.2.3 TAHAP ANALISIS (ANALYZE) Pada tahap Analisis (Analyze) ini dilakukan analisis akar penyebab masalah serta menganalisis pengaruh potensial kegagalan sumber-sumber variasi penyebab permasalahan dengan menganalisa Failure Modes Effect Analysis (FMEA) dimana data didapatkan dari hasil kuesioner terhadap pihak karyawan perusahaan. A. Penelusuran Akar Penyebab Masalah Pada tahap ini akan dianalisis dan ditelusuri akar variasi penyebab masalah yang menyebabkan penyimpangan pada proses produksi dimana fokus Six Sigma ialah mengurangi variasi karena setiap individu atau organisasi yang menjadi pelanggan perusahaan akan ‘merasakan’ variasi itu, bukan merasakan rata-rata. Analisis akar penyebab permasalahan dalam penelitian ini ialah dengan Root Cause Analysis (RCA) menggunakan alat bantu kualitas Fishbone Diagram melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan Permasalahan 2. Mengumpulkan data dan informasi dimana pada penelitian ini menggunakan metode observasi langsung, wawancara, serta brainstorming dengan pihak perusahaan. 3. Menyeleksi penyebab yang mengganggu kualitas proses dimana dalam penelitian ini akan menggunakan tool diagram Fishbone dengan 6M yaitu Manpower-Manusia, Method-Metode, Measurement-Pengukuran, MatetrialBahan baku, Machine-Mesin, dan Mother nature-Lingkungan 4. Spesifik dalam menentukan permasalahan dan penyebabnya 5. Mengidentifikasi apa saja yang menjadi penyebab yang mengakibatkan defect terseleksi 6. Menganalisa secara detil keseluruhan hasil dari diagram Fishbone yang telah diidentifikasi.
IV - 66
B. Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 2 Kuesioner kedua ini digunakan untuk mencari nilai Severity, Occurence, dan Detection yang akan digunakan pada tahap Failure Modes and Effect Analyze (FMEA). FMEA dalam penelitian ini membahas khusus pada bagian mesin dan peralatan dikarenakan FMEA (Failure Modes and Effect Analysis) lebih optimal apabila diterapkan pada permasalahan hardware, seperti mesin dan peralatan. Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang, terdiri dari para pimpinan dan karyawan bagian exit kiln yang mengerti secara detil proses produksi tegel keramik tersebut dimana dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner secara langsung dengan mendatangi responden, agar persepsi yang dikemukakan dalam kuesioner sesuai dengan persepsi yang diterima oleh responden. Adapun bentuk kuesioner dan hasil pengumpulan kuesioner akan disajikan dalam Lampiran 8 bagian 2.
C. Analisis Pengaruh Potensial Kegagalan Sumber-Sumber Variasi Pada tahap ini akan dilakukan analisis dan perhitungan secara detil setiap sumber variasi penyebab masalah dan menentukan prioritas penanganan perbaikan permasalahan yang disebabkan oleh faktor penyebab yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan menggunakan tools Failure Modes Effect Analysis (FMEA). Rumus dalam penghitungan Failure Modes Effect Analysis (FMEA) terdapat pada persamaan (2.7). Nilai severity, occurrence dan detection diperoleh berdasarkan hasil kuesioner dengan koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian kiln, kepala regu kiln serta kepala maintenance yang memahami karakteristik tegel keramik lebih mendalam. Adapun hasil wawancara tersebut disajikan dalam Lampiran 8. Langkah-langkah dalam penggunaan tools Failure Modes Effect Analysis (FMEA) untuk mendapatkan nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi menurut Stamatis (1995) yaitu sebagai berikut: 1. Identifikasi Sistem (System’s Function)
IV - 67
Tahap awal dalam menganalisa Failure Modes Effect Analysis (FMEA) ialah dengan mengidentifikasi sistemnya terlebih dahulu. 2. Identifikasi Kegagalan Potensial (Potential Failure Mode) Langkah selanjutnya mengidentifikasi masalah-masalah atau kegagalan potensial yang menyebabkan sistem tidak memenuhi atau tidak mencapai fungsi utamanya. 3. Identifikasi Akibat Kegagalan (Potential Effect Of Failure) Pada langkah ketiga ini dilakukan analisis akibat atau dampak yang timbul pada masing-masing masalah kegagalan yang telah diidentifikasi pada potential failure mode. 4. Analisis Tingkat Keseriusan Kegagalan (Severity Of Effect) Langkah selanjutnya dilakukan analisis seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh kegagalan-kegagalan yang muncul pada sistem. 5. Identifikasi Sebab-Sebab Kegagalan (Potential Causes Of Failure) Pada tahap ini dilakukan identifikasi sebab-sebab apa saja yang menyebabkan kegagalan pada mesin kiln, misalnya dengan menggunakan tool Fishbone diagram. 6. Analisis Frekuensi Kegagalan (Occurrence) Langkah keenam ini dilakukan analisis terhadap seberapa sering kegagalan (occurrence) terjadi. 7. Metode Deteksi Kegagalan (Detection Method) Pada tahap ini dilakukan identifikasi metode untuk mendeteksi kegagalan (failure mode) sistem mencapai performansinya. 8. Analisis Tingkat Pendeteksian (Detection) Pada langkah kedelapan ini dilakukan analisis tingkat keyakinan dan kesulitan metode deteksi. Analisis dilakukan terhadap semua metode deteksi yang telah dirumuskan pada detection method. 9. Penghitungan Risk Priority Number (RPN) Pada tahap ini dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) untuk mengidentifikasi failure mode yang perlu diprioritaskan untuk dianalisis dan ditindaklanjuti, karena dianggap menjadi sumber kegagalan utama sistem.
IV - 68
Penghitungan RPN yaitu dengan cara mengalikan tingkat severity dengan tingkat occurrance dan dengan tingkat detection.
3.2.4 TAHAP
PERBAIKAN
(IMPROVE)
DAN
PENGENDALIAN
(CONTROL) Pada tahap ini diberikan usulan perbaikan dan pengendalian yang didapatkan dari interpretasi hasil. Tahap perbaikan dilakukan untuk segi manajerial dan teknis berdasarkan hasil yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Tahap pengendalian dilakukan agar proses selalu dapat berjalan dalam kondisi yang baik, dan menjamin bahwa perbaikan yang ada dijalankan sehingga cacat serta kegagalan pada proses kiln tidak terulang kembali. A. Usulan Perbaikan (Improve) Usulan perbaikan diberikan kepada nilai RPN (Risk Priority Number) terbesar yang didapatkan dari FMEA (Failure Modes Effect Analysis) serta kepada CTQ prioritas. Rencana-rencana tindakan perbaikan perlu dibuat suatu rencana tindakan yang disusun dalam suatu tabel dengan menggunakan metoda 5W+2H, dimana dijelaskan tujuan utama (What), alasan perbaikan (Why), tempat perbaikan (Where), waktu pelaksanaan (When), orang yang mengerjakan (Who), dan metoda yang dipakai (How), namun analisa How much tidak dilakukan mengingat penelitian ini tidak memperhitungkan biaya. Dari hasil analisa sumber-sumber variasi penyebab masalah melalui metode FMEA (Failure Modes Effect Analysis) pada tahap sebelumnya, maka pertama akan diberikan usulan perbaikan untuk nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi. Proyek peningkatan kualitas Six Sigma dilakukan dengan melakukan tindakan perbaikan terhadap proses dan komunikasinya yang dilakukan secara menyeluruh. Usulan perbaikan berikutnya berkaitan sangat erat terhadap hasil langkah penentuan Critical to Quality (CTQ). Selain itu juga dilakukan Action Planning for Failure Modes yang menyangkut usulan rencana perbaikan pada proses yang secara umum bertujuan untuk menghilangkan sumber variasi khusus (special-causes variation) serta meminimalkan sumber variasi umum (commoncauses variation) agar mampu meningkatkan pengendalian dan kapabilitas proses menuju tingkat kinerja 6 sigma (zero defect).
IV - 69
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka perbaikan pada suatu karakteristik teknis tertentu akan dapat berdampak positif pada peningkatan kualitas karakteristik teknis lainnya serta dapat mengakomodasi keinginan pelanggan di beberapa aspek kebutuhan. Usulan perbaikan diberikan jika dalam hasil
pengukuran
pengendalian
dan
kapabilitas
prosesnya
mempunyai
permasalahan pada proses yang berkaitan erat dengan kualitas produk.
B. Usulan Pengendalian (Control) Usulan pengendalian diberikan untuk RPN (Risk Priority Number) terbesar yang didapatkan dari FMEA (Failure Modes Effect Analysis) serta untuk CTQ prioritas. Usulan pengendalian yang diberikan lebih dititikberatkan pada pengendalian terhadap kualitas prosesnya dalam pencapaian tingkat 6 sigma. Usulan pengendalian juga harus melihat usulan perbaikan sebelumnya agar proses selalu dapat berjalan dalam kondisi yang baik, dan menjamin bahwa perbaikan yang ada dijalankan sehingga cacat serta kegagalan di tempat yang sama tidak terulang kembali sehingga target pencapaian menuju zero defect diharapkan dapat tercapai.
3.3
ANALISA DAN INTERPRETASI HASIL Pada tahap ini dilakukan analisa dan interpretasi hasil dari penelitian yang
dilakukan. Bagian ini terdiri dari analisa dan interpretasi hasil terhadap kelima tahap dalam Six Sigma DMAIC yaitu tahap Define, Measure, Analyze, Improve dan Control. Secara jelas akan dianalisa CTQ prioritas yang didapatkan, pengukuran stabilitas, kapabilitas proses dan level sigma, menganalisa penyebab kecacatan dan menganalisa tabel FMEA (Failure Modes Effect Analysis), serta menganalisa usulan perbaikan dan pengendalian proses yang diberikan kepada perusahaan. Pada tahap ini dapat diketahui dan dianalisis apakah perusahaan mampu dalam menjalankan prosesnya, pada tingkat sigma berapa perusahaan berproduksi, apakah sebelumnya telah dilakukan upaya-upaya perbaikan, semuanya akan dianalisis pada tahap ini.
3.4
KESIMPULAN DAN SARAN
IV - 70
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dari penelitian yang di dalamnya berisi kesimpulan penelitian yang dikemukakan dari hasil analisa penelitian dan pemecahan persoalan serta saran-saran perbaikan yang dikemukakan dari hasil analisa penelitian yang dilengkapi juga dengan saran-saran perbaikan untuk penelitian serupa yang mungkin akan dilakukan di masa mendatang.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini membahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data secara lengkap dari tahapan Six Sigma yang digunakan yaitu dari tahapan pendefinisian, pengukuran, analisa, serta perbaikan dan pengendalian (DMAIC). Langkahlangkah dan tahapan pengumpulan dan pengolahan data beserta hasilnya selanjutnya disajikan berikut ini.
4.1 TAHAP PENDEFINISIAN (DEFINE) Pada tahap pendefinisian (Define) ini dilakukan pemetaan proses, identifikasi kebutuhan pelanggan, perancangan dan penyebaran kuesioner serta pendefinisian Critical to Quality (CTQ) prioritas.
4.1.1
PEMETAAN PROSES Pemetaan proses disajikan dalam suatu aliran proses keseluruhan
perusahaan yang disajikan pada Lampiran 1 dimana garis putus-putus berwarna hitam menunjukkan aliran proses inti Departemen Plant 3. Selanjutnya digambarkan pula proses di Departemen Plant 3 dengan menggunakan diagram Suppliers - Input Requirements - Process - Output Requirements - Customers (SIRPORC) yang berisi keterangan proses produksi tegel keramik, meliputi supplier (pemasok) bahan baku yaitu pemasok clay beserta filsfat dan Afal, Input Requirements (persyaratan spesifikasi masukan) bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan tegel keramik, proses produksi pembuatan tegel keramik kode GE serta Output Requirements (persyaratan spesifikasi keluaran) dari tegel keramik kode GE serta Customers (pelanggan) langsung dari tegel keramik
IV - 71
tersebut. Proses lebih detil dari tegel keramik tersebut dapat dilihat pada diagram pemetaan lengkap yang dijabarkan pada Lampiran 2. Pembahasan khusus pada penelitian ini dititikberatkan pada bagian kiln yang diberi garis titik-titik dalam diagram SIRPORC tersebut.
Proses pembakaran tegel keramik pada mesin kiln yang telah difokuskan sebelumnya melalui garis putus-putus berwarna merah dari diagram SIRPORC pada Lampiran 2, selanjutnya digambarkan ke dalam diagram alir proses pembakaran kiln yang menggambarkan aliran dari proses feeding kiln yang menggambarkan kiln loading, proses di kiln yang menggambarkan aliran proses dari A hingga G hingga proses menuju ke exit kiln dimana menggambarkan aliran kiln unloading. Untuk lebih jelasnya, diagram alir proses pembakaran kiln beserta penjelasannya tiap proses digambarkan pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Feeding Kiln
Kiln
Exit Kiln
Gambar 4.1 Diagram Alir Proses Pembakaran Kiln di Departemen Plant 3
Ket :
A è
Pengeringan dengan udara panas, yaitu perlakuan terhadap tegel dengan mengeringkannya dengan udara panas awal kiln
B è
Pre Heating, yaitu tahapan awal pembakaran tegel untuk menghilangkan kadar air dan zat-zat karbon dan organik yang tidak bersenyawa dengan body keramik
C è
Firing, yaitu proses utama pembakaran tegel keramik dengan suhu yang telah ditentukan
D è
Direct atau Fast Cooling, yaitu proses pendinginan secara langsung dengan system injeksi atau penyemprotan udara
E
è
Indirect Cooling, yaitu proses pendinginan tegel keramik secara tidak langsung (alami)
IV - 72
F
è
Slow Cooling, yaitu proses pendinginan dengan sistem membuang sisa gas pembakaran yang dilakukan secara perlahan dan menyeluruh
G è
Final Cooling, yaitu proses pendinginan akhir sebelum keramik keluar dari kiln. Proses ini menggunakan blower ataupun fan.
Diagram alir proses pembakaran kiln di atas menggunakan sistem single firing (pembakaran tunggal), dimana pembakaran tegel yang dilakukan di mesin kiln hanya melalui satu kali proses pembakaran. Aliran Proses produksi di Departemen Plant 3 dengan menggunakan metode single firing ditampilkan pada Gambar 4.2 berikut ini: Glase Preparation
Body Preparation
Press
Drying
Glasir
Firing
Packaging
Gambar 4.2 Aliran Proses Produksi Green Tile Single Firing
4.1.2
IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PELANGGAN Identifikasi kebutuhan pelanggan dilakukan untuk mengetahui apa saja
kebutuhan pelanggan langsung exit kiln yang telah teridentifikasi sebelumnya dengan melakukan wawancara secara langsung dengan bagian Quality Assurance (QA). Pelanggan yang disurvey hanya difokuskan pada pelanggan langsung yaitu pada bagian exit kiln, karena bagian ini lebih mengetahui secara teknis karakteristik serta kecacatan tegel keramik. Berdasarkan hasil keterangan dari laporan kualitas yang diperoleh dari bagian Quality Assurance (QA), terdapat 4 karakteristik tegel keramik yang digunakan untuk mengetahui kualitasnya yaitu ukuran tegel keramik, permukaan tegel keramik, sifat fisik tegel keramik dan sifat-sifat kimia dari tegel keramik.
IV - 73
Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan bagian exit kiln sebagai pelanggan internal untuk Departemen Plant 3, terdapat 9 jenis Critical to Quality (CTQ) yang paling diperhatikan, yaitu: a) Kotoran kiln Cacat pada permukaan tegel keramik yang disebabkan jatuhnya kotoran ke permukaan keramik
b) Pecahan tile Cacat ini terjadi dikarenakan adanya pecahan tile yang menempel pada permukaan kiln. c) Melenting Cacat ini terjadi dikarenakan penyimpangan ukuran permukaan yang terlalu cembung atau terlalu cekung. Alat yang digunakan biasanya disebut mesin planar yang terdapat pada bagian inspeksi kiln. d) Sompel sesudah kiln Cacat ini diketahui karena sebagian kecil tegel keramik hilang yang terjadi pada bagian sisi, sudut/bawah. e) Oversize Cacat ini terjadi dikarenakan ukuran tegel keramik yang terlalu besar dari ukuran yang dikehendaki. f) Goyang Cacat yang terjadi dimana permukaan tegel keramik terlihat goyang apabila disinari oleh cahaya lampu yang telah disediakan. g) Numpuk Cacat pada permukaan oleh tegel yang saling bertumpuk. Permukaan engobe atau body akan tampak jelas. h) Gores Cacat pada permukaan dimana permukaan tegel keramik mengalami goresan yang menyerupai sekumpulan benang yang halus. i) Retakan cooling atau preheating Cacat ini terjadi dimana suhu pada mesin kiln yang digunakan terlalu panas, sehingga pada saat tile masuk tidak dapat beradaptasi pada suhu tersebut.
IV - 74
Tabel 4.1 di bawah ini menyajikan kebutuhan pelanggan yang didapatkan dari hasil wawancara karakteristik kualitas di atas dengan para responden.
Tabel 4.1 Customer Requirements untuk setiap CTQ CTQ
Customer Requirements
Kotoran kiln Pecahan tile Melenting Sompel sesudah kiln Oversize Goyang Numpuk Gores Retakan cooling atau preheating
Bebas Kotoran Kiln Tidak Terdapat Pecahan tile Tidak Melenting Tidak Terdapat Sompel Tidak Oversize Permukaan Tidak Goyang Tidak Terdapat Cacat Tumpuk Bebas Gores Keramik Tidak Retak
4.1.3 PERANCANGAN DAN PENYEBARAN KUESIONER 1 Berdasarkan identifikasi kebutuhan pelanggan sebelumnya, diketahui terdapat sembilan karakteristik kritis kualitas (CTQ). Langkah selanjutnya adalah merancang kuesioner awal yang digunakan untuk mencari tingkat kepentingan (customer importance) dan tingkat kepuasan (customer satisfaction) pelanggan terhadap karakteristik kebutuhan pelanggan (customer requirements) yang telah teridentifikasi. Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang yang terdiri dari para pimpinan dan karyawan bagian exit kiln. Berdasarkan identifikasi pada peneltian kerja praktek sebelumnya, terdapat 5 pimpinan yang terdiri dari koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian kiln, kepala regu kiln dan kepala maintenance dan 6 karyawan bagian exit kiln departemen plant 3 yang memenuhi kriteria diatas. Adapun kuesioner awal ini terdapat pada Lampiran 3.
4.1.4 UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUISIONER Setelah dilakukan perancangan dan penyebaran kuesioner, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap hasil kuesioner untuk tingkat kepentingan (customer importance) dan tingkat kepuasan (customer satisfaction)
IV - 75
pelanggan terhadap karakteristik kebutuhan pelanggan (customer requirements). Adapun uji yang digunakan adalah uji validitas dan reliabilitas. Pengujian dilakukan menggunakan software SPSS versi 13.0 yang terdapat pada lampiran 5 dan tabel pembanding hasil SPSS yaitu Tabel R yang terdapat pada lampiran 6. Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa hasil kuisioner valid dan reliable.
4.1.5
PENDEFINISIAN CTQ PRIORITAS Pendefinisian Critical To Quality (CTQ) prioritas selanjutnya dilakukan
dengan analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap. Dari 9 CTQ kebutuhan pelanggan internal yang telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner untuk mengetahui nilai rata-rata tingkat kepentingannya yaitu customer importance dengan nilai rata-rata tingkat kepuasan pelaksanaan proses yaitu customer satisfaction terhadap kesembilan CTQ tegel keramik yang sebelumnya telah didefinisikan dimana selanjutnya akan dilakukan analisis gap antara keduanya. Kuesioner melibatkan total 11 orang yang terdiri dari koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian, kepala regu, kepala maintenance, serta 6 orang karyawan exit kiln sebagai pelanggan langsung di Departemen Plant 3 yang mengetahui proses produksi secara detil dan CTQ tegel keramik kode GE tersebut. Setelah dilakukan penyebaran kuesioner, tahap uji validitas dan uji reliabilitas dilakukan pada penelitian ini untuk mengetahui kevalidan dan keandalan hasil kuesioner yang diberikan. Adapun hasil pengujian keduanya dilakukan dengan menggunakan Software SPSS versi 13.0 dan tabel pembanding hasil SPSS yaitu Tabel R disajikan dalam Lampiran 5 dan 6. Selanjutnya hasil kuesioner diolah dengan analisis gap. Analisis gap dilakukan untuk mendapatkan nilai gap. Nilai gap adalah selisih antara nilai ratarata tingkat kepentingannya yaitu customer importance dengan nilai rata-rata tingkat kepuasan pelaksanaan proses yaitu customer satisfaction. Nilai customer importance dan customer satisfaction didapatkan dari rata-rata hasil kuesioner. Tahapan pembuatan analisis gap sampai dengan pemilihan CTQ kunci yang akan diteliti lebih mendalam diuraikan sebagai berikut:
IV - 76
a. Penentuan Customer Requirements Pada bahasan sebelumnya terdapat kebutuhan untuk 9 CTQ tegel keramik yang diperhatikan oleh bagian exit kiln sebagai pelanggan langsung. Selanjutnya kesembilan CTQ tersebut dijadikan customer requirements yang disajikan dalam Tabel 4.1 sebelumnya.
b. Penentuan Customer Importance Customer importance (tingkat kepentingan pengguna) merupakan nilai rata-rata rating kepentingan menurut responden kuesioner dari masing-masing CTQ tegel keramik (customer requirements) yang disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Customer importance untuk Setiap CTQ Customer Requirements
Customer Importance (Rata-rata)
Bebas Kotoran Kiln Tidak Terdapat Pecahan Tile Tidak Melenting Tidak Terdapat Sompel Tidak Oversize Permukaan Tidak Goyang Tidak Terdapat Cacat Tumpuk Bebas Gores Keramik Tidak Retak
3,27 3,55 4,18 3,64 4,27 4,18 3,64 3,73 4,00
Contoh perhitungan manual: Tidak Melenting =
4+5+5+3+3+5+ 4+ 4+ 4+5+ 4 46 = = 4,18 11 11
Adapun untuk rating kepentingan (Customer importance) disajikan dalam skala likert berikut ini: 1 : Sangat Tidak Penting 2 : Tidak Penting 3 : Cukup Penting 4 : Penting 5 : Sangat Penting
IV - 77
Data lengkap yang berisi Rekap hasil kuesioner untuk mencari rata-rata customer importance akan disajikan pada Lampiran 4.
c. Penentuan Customer Satisfaction Customer satisfaction disini merupakan nilai rata-rata dari rating kepuasan pelaksanaan proses responden terhadap hasil produksi tegel keramik yang diproduksi mesin kiln selama ini, yang disajikan dalam Tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 Customer Satisfaction produk untuk setiap CTQ Customer Requirements
Customer Satisfaction (Rata-rata)
Bebas Kotoran Kiln Tidak Terdapat Pecahan Tile Tidak Melenting Tidak Terdapat Sompel Tidak Oversize Permukaan Tidak Goyang Tidak Terdapat Cacat Tumpuk Bebas Gores Keramik Tidak Retak
3,09 3,00 2,45 2,45 3,09 3,36 3,00 3,64 3,73
Contoh perhitungan manual: Tidak Melenting =
3 + 4 +1+ 3 +1+ 3 + 2 + 2 + 2 + 4 + 2 27 = = 2,45 11 11
Adapun untuk rating kepentingan (customer satisfaction) disajikan dalam skala likert berikut ini: 1 : Sangat Tidak Puas 2 : Tidak Puas 3 : Cukup Puas 4 : Puas 5 : Sangat Puas Data lengkap yang berisi rekap hasil kuesioner untuk mencari rata-rata customer satisfaction akan disajikan pada Lampiran 4.
d. Penentuan CTQ kunci
IV - 78
Penentuan CTQ kunci didasarkan pada hasil dari pembuatan analisis gap dimana didapatkan dari selisih nilai rata-rata customer importance dengan customer satisfaction. Selanjutnya penghitungan selisih nilai customer importance dan customer satisfaction disajikan dalam Tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4 Selisih Customer Importance dan Customer Satisfaction No
Customer Requirements
Customer Importance (Rata-rata)
Customer Satisfaction (Rata-rata)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bebas Kotoran Kiln Tidak Terdapat Pecahan Tile Tidak Melenting Tidak Terdapat Sompel Tidak Oversize Permukaan Tidak Goyang Tidak Terdapat Cacat Tumpuk Bebas Gores Keramik Tidak Retak
3,27 3,55 4,18 3,64 4,27 4,18 3,64 3,73 4,00
3,09 3,00 2,45 2,45 3,09 3,36 3,00 3,64 3,73
Selisih (Gap) 0,18 0,55 1,73 1,19 1,18 0,82 0,64 0,09 0,27
Selanjutnya customer requirements akan dikelompokkan ke dalam kuadran diagram kartesius berdasarkan titik nilai dari customer importance dan customer satisfaction yang disajikan pada Gambar 4.3 berikut ini:
Customer Importance
5 5
3
A
9 4
4
1
3
2
B
7
2
1
6
8
4
5
2 C
D 1
Customer Satisfaction
IV - 79
Kuadran B B A A B B B B B
Gambar 4.3 Diagram Kartesius Customer importance – Satisfaction
Dari Gambar 4.3 diatas didapatkan dua buah CTQ yang terdapat dalam kuadran A yaitu titik 3 dan 4. Selanjutnya perhitungan selisih (gap) antara customer importance dengan customer satisfaction dilakukan pada kedua titik tersebut dan diambil selisih nilai yang terbesar dimana didapatkan CTQ tidak melenting (3) yang memiliki selisih 1,73 (terbesar). Selanjutnya pembahasan akan menitikberatkan pada CTQ tersebut, yaitu Melenting. 4.2 TAHAP PENGUKURAN (MEASURE) Pada tahap pengukuran (measure) dilakukan pengumpulan data CTQ prioritas untuk selanjutnya dilakukan pengukuran level sigma, stabilitas proses dan kapabilitas proses.
4.2.1
PENGUMPULAN DATA CTQ PRIORITAS Dari tahap define diketahui bahwa CTQ prioritas ialah melenting. Maka
dari itu data melenting selanjutnya digunakan dalam perhitungan selanjutnya. Proses pengumpulan data dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari hingga Februari 2006. Data diambil 2 bulan agar dapat diketahui kondisi proses di PT. IKAD yang selanjutnya akan digunakan untuk tindakan penanganan yang terbaik pada periode tersebut. Data yang diambil dan direkap merupakan data kualitas tegel keramik yang melenting berjenis data atribut dimana selanjutnya data ini akan digunakan dalam pengukuran level sigma, stabilitas dan kapabilitas proses. Pengambilan data sampling dilakukan secara sekunder, karena data didapat berdasarkan hasil pengukuran kualitas yang telah dilakukan oleh bagian Quality Assurance (QA). Rekap data sampel kecacatan melenting di bagian kiln pada bulan Januari dan Februari 2006 disajikan pada Tabel 4.5 dan 4.6 berikut ini:
Tabel 4.5 Rekap Data Sampel Kecacatan Melenting (1-31 Januari 2006) PENGAMATAN ( Tanggal )
SAMPEL ( Keping )
CACAT MELENTING ( Keping )
2 3 4
1200 1200 1200
22 79 37
IV - 80
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200
33 69 17 31 29 18 117 17 26 16 11 15 19 16 10 11 25 12 93 58 10 9 13 24 15 31 36
Jumlah 36000 Sumber : Bagian QA PT. IKAD
919
Tabel 4.6 Rekap Data Sampel Kecacatan Melenting (1-28 Februari 2006) PENGAMATAN ( Tanggal )
SAMPEL ( Keping )
CACAT MELENTING ( Keping )
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200
41 39 26 22 126 52 33 95 29 26 21 28
IV - 81
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
4.2.2
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200
80 25 13 144 210 28 31 37 68 34 40 24 12 7 50 29
Jumlah 33600 Sumber : Bagian QA PT. IKAD
1370
PENGUKURAN LEVEL SIGMA Level sigma pada cacat kiln melenting produk tegel keramik kode GE yang
didasarkan pada data bulan Januari 2006 dan Februari 2006 ialah sebagai berikut. A. Level Sigma Bulan Januari 2006 Unit yang diinspeksi (U)
: 36000
Unit yang cacat (D)
: 919
Opportunities (OP)
: 1
Defect Per Unit (DPU)
:
D U
:
919 36000
: 0,025527 Total Opportunities (TOP)
: U x OP : 36000 x 1 : 36000
Defect Per Opportunities (DPO)
IV - 82
:
D TOP
:
919 36000
: 0,025527 Defects Per Million Opportunities (DPMO)
: DPO x 1000000 : 0,025527 x 1000000 : 25527
Level Sigma
: 3,46
Tabel konversi dari DPMO ke level sigma dapat dilihat pada Lampiran 7.
B. Level Sigma Bulan Februari 2006 Unit yang diinspeksi (U)
: 33600
Unit yang cacat (D)
: 1370
Opportunities (OP)
: 1
Defect Per Unit (DPU)
:
D U
: 1370 : 33600 : 0,040773 Total Opportunities (TOP)
: U x OP : 33600 x 1 : 33600
Defect Per Opportunities (DPO)
:
D TOP
:
1370 33600
: 0,040773 Defects Per Million Opportunities (DPMO)
: DPO x 1000000 : 0,040773 x 1000000 : 40773
Level Sigma
: 3,24
Tabel konversi dari DPMO ke level sigma dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.2.3
PENGUKURAN STABILITAS PROSES Stabilitas proses dilakukan sebagai syarat dalam pengukuran kapabilitas
IV - 83
proses. Stabilitas proses dilakukan dengan alat statistik control chart untuk mengetahui apakah secara statistik proses berada dalam batas-batas kendali atau tidak. Apabila sudah terkendali, maka pengukuran kapabilitas proses baru dapat dilakukan. Data yang digunakan untuk mengukur stabilitas proses tegel keramik diambil dari Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. Adapun penghitungannya sendiri adalah sebagai berikut:
A. Perhitungan Peta Kendali p Bulan Januari 2006 v Penentuan garis pusat CL (Center Line) p =
p =
åp n.g 919 = 0,0255 36000
Maka p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0255. v Penentuan Upper Control Limit UCL = p + 3
p (1 - p ) n
= 0,0255 + 3
0,0255(1 - 0.0255) = 0,0255 + 0,01365 = 0,0392 1200
Maka UCL yang merupakan limit batas atas dari rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 0,0392 .
v Penentuan Lower Control Limit LCL = p - 3
p (1 - p ) n
= 0,0255 - 3
0,0255(1 - 0.0255) = 0,0255 - 0,01365 = 0,0119 1200
Maka LCL yang merupakan limit batas bawah dari rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 0,0119.
IV - 84
Untuk lebih lengkapnya, perhitungan dengan menggunakan peta kendali p berupa rekap data CL, UCL, dan LCL untuk cacat melenting dapat dilihat
dalam Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7 Rekap Data CL, UCL, dan LCL untuk Bulan Januari 2006 Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi
UCL
LCL
CL
1
2
1200
22
0.0183
0.0392
0.0119
0.0255
2
3
1200
79
0.0658
0.0392
0.0119
0.0255
3
4
1200
37
0.0308
0.0392
0.0119
0.0255
4
5
1200
33
0.0275
0.0392
0.0119
0.0255
5
6
1200
69
0.0575
0.0392
0.0119
0.0255
6
7
1200
17
0.0141
0.0392
0.0119
0.0255
7
8
1200
31
0.0258
0.0392
0.0119
0.0255
8
9
1200
29
0.0241
0.0392
0.0119
0.0255
9
10
1200
18
0.015
0.0392
0.0119
0.0255
10
11
1200
117
0.0975
0.0392
0.0119
0.0255
11
12
1200
17
0.0141
0.0392
0.0119
0.0255
12
13
1200
26
0.0216
0.0392
0.0119
0.0255
13
14
1200
16
0.0133
0.0392
0.0119
0.0255
14
15
1200
11
0.0091
0.0392
0.0119
0.0255
15
16
1200
15
0.0125
0.0392
0.0119
0.0255
16
17
1200
19
0.0158
0.0392
0.0119
0.0255
17
18
1200
16
0.0133
0.0392
0.0119
0.0255
18
19
1200
10
0.0083
0.0392
0.0119
0.0255
19
20
1200
11
0.0091
0.0392
0.0119
0.0255
20
21
1200
25
0.0208
0.0392
0.0119
0.0255
21
22
1200
12
0.01
0.0392
0.0119
0.0255
22
23
1200
93
0.0775
0.0392
0.0119
0.0255
23
24
1200
58
0.0483
0.0392
0.0119
0.0255
24
25
1200
10
0.0083
0.0392
0.0119
0.0255
25
26
1200
9
0.0075
0.0392
0.0119
0.0255
26
27
1200
13
0.0108
0.0392
0.0119
0.0255
27
28
1200
24
0.02
0.0392
0.0119
0.0255
IV - 85
28
29
1200
15
0.0125
0.0392
0.0119
0.0255
29
30
1200
31
0.0258
0.0392
0.0119
0.0255
30
31
1200
36
0.03
0.0392
0.0119
0.0255
36000
919
Jumlah
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut diplot ke dalam peta kendali proses yang disajikan pada Gambar 4.4 berikut di bawah ini. 0.12 0.1
Proporsi
0.08 0.06 0.04 0.02 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 O b s e rv a s i ke -
Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 4.4 Peta Kendali P Cacat Melenting Bulan Januari 2006
Pada gambar di atas terlihat bahwa pada data observasi ke 2, 5, 10, 14, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas. Oleh karena itu kita eliminasi data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 1 yang ditampilkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Rekap Data Revisi 1 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi
UCL
LCL
CL
1
2
1200
22
0.0183
0.0318
0.0077
0.0198
2
5
1200
37
0.0308
0.0318
0.0077
0.0198
3
7
1200
33
0.0275
0.0318
0.0077
0.0198
4
8
1200
17
0.0141
0.0318
0.0077
0.0198
5
9
1200
31
0.0258
0.0318
0.0077
0.0198
6
10
1200
29
0.0241
0.0318
0.0077
0.0198
7
12
1200
18
0.015
0.0318
0.0077
0.0198
8
13
1200
17
0.0141
0.0318
0.0077
0.0198
9
14
1200
26
0.0216
0.0318
0.0077
0.0198
IV - 86
10
16
1200
16
0.0133
0.0318
0.0077
0.0198
11
17
1200
15
0.0125
0.0318
0.0077
0.0198
12
18
1200
19
0.0158
0.0318
0.0077
0.0198
13
21
1200
16
0.0133
0.0318
0.0077
0.0198
14
27
1200
25
0.0208
0.0318
0.0077
0.0198
15
28
1200
24
0.02
0.0318
0.0077
0.0198
16
29
1200
15
0.0125
0.0318
0.0077
0.0198
17
30
1200
31
0.0258
0.0318
0.0077
0.0198
18
31
1200
36
0.03
0.0318
0.0077
0.0198
21600
427
Jumlah
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.5 di bawah ini. 0.035 0.03
Proporsi
0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
O bs e rv a s i ke -
Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 4.5 Peta Kendali P Revisi 1 Cacat Melenting Setelah dibuat plot grafik seperti pada Gambar 4.5 terlihat bahwa data telah berada dalam kondisi yang stabil sehingga untuk selanjutnya dapat dihitung kapabilitas prosesnya.
B. Perhitungan Peta Kendali p Bulan Februari 2006 v Penentuan garis pusat CL (Center Line) p =
p =
åp n.g 1370 = 0,0408 33600
p garis pusat rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 0,0408.
IV - 87
v Penentuan batas atas UCL (Upper Control Limit) UCL = p + 3
p (1 - p ) n
= 0,0408 + 3
0,0408(1 - 0.0408) = 0,0408 + 0,0171 = 0,0579 1200
Maka UCL yang merupakan limit batas atas dari rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 69,4810. v Penentuan batas bawah LCL (Lower Control Limit) LCL = p - 3
p (1 - p ) n
= 0,0408 - 3
0,0408(1 - 0.0408) = 0,0408 - 0,0171 = 0,0236 1200
Maka LCL yang merupakan limit batas bawah dari rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 28,3761.
Untuk lebih lengkapnya, perhitungan dengan menggunakan peta kendali p berupa rekap data CL, UCL, dan LCL untuk cacat melenting dapat dilihat
dalam Tabel 4.9 berikut ini.
Tabel 4.9 Rekap Data CL, UCL, dan LCL untuk Bulan Februari 2006 Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi
UCL
LCL
CL
1
1
1200
41
0.0342
0.0579
0.0236
0.0408
2
2
1200
39
0.0325
0.0579
0.0236
0.0408
3
3
1200
26
0.0217
0.0579
0.0236
0.0408
4
4
1200
22
0.0183
0.0579
0.0236
0.0408
5
5
1200
126
0.1050
0.0579
0.0236
0.0408
6
6
1200
52
0.0433
0.0579
0.0236
0.0408
7
7
1200
33
0.0275
0.0579
0.0236
0.0408
8
8
1200
95
0.0792
0.0579
0.0236
0.0408
9
9
1200
29
0.0242
0.0579
0.0236
0.0408
10
10
1200
26
0.0217
0.0579
0.0236
0.0408
11
11
1200
21
0.0175
0.0579
0.0236
0.0408
IV - 88
12
12
1200
28
0.0233
0.0579
0.0236
0.0408
13
13
1200
80
0.0667
0.0579
0.0236
0.0408
14
14
1200
25
0.0208
0.0579
0.0236
0.0408
15
15
1200
13
0.0108
0.0579
0.0236
0.0408
16
16
1200
144
0.1200
0.0579
0.0236
0.0408
17
17
1200
210
0.1750
0.0579
0.0236
0.0408
18
18
1200
28
0.0233
0.0579
0.0236
0.0408
19
19
1200
31
0.0258
0.0579
0.0236
0.0408
20
20
1200
37
0.0308
0.0579
0.0236
0.0408
21
21
1200
68
0.0567
0.0579
0.0236
0.0408
22
22
1200
34
0.0283
0.0579
0.0236
0.0408
23
23
1200
40
0.0333
0.0579
0.0236
0.0408
24
24
1200
24
0.0200
0.0579
0.0236
0.0408
25
25
1200
12
0.0100
0.0579
0.0236
0.0408
26
26
1200
7
0.0058
0.0579
0.0236
0.0408
27
27
1200
50
0.0417
0.0579
0.0236
0.0408
28
28
1200
29
0.0242
0.0579
0.0236
0.0408
33600
1370
Jumlah
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut diplot ke dalam peta kendali proses yang disajikan pada Gambar 4.6 di bawah ini. 0.2 0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19 20
21
22
23
24
25
26
27
28
Obs e rv a s i ke -
Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 4.6 Peta Kendali P Cacat Melenting Bulan Februari 2006
Pada gambar di atas terlihat bahwa pada data ke 3, 4, 5, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas. Oleh karena itu kita eliminasi data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 1 yang ditampilkan pada Tabel 4.10.
IV - 89
Tabel 4.10 Rekap Data Revisi 1 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi
UCL
LCL
CL
1
1
1200
41
0.0342
0.0473
0.0168
0.0321
2
2
1200
39
0.0325
0.0473
0.0168
0.0321
3
6
1200
52
0.0433
0.0473
0.0168
0.0321
4
7
1200
33
0.0275
0.0473
0.0168
0.0321
5
9
1200
29
0.0242
0.0473
0.0168
0.0321
6
12
1200
28
0.0233
0.0473
0.0168
0.0321
7
18
1200
28
0.0233
0.0473
0.0168
0.0321
8
19
1200
31
0.0258
0.0473
0.0168
0.0321
9
20
1200
37
0.0308
0.0473
0.0168
0.0321
10
21
1200
68
0.0567
0.0473
0.0168
0.0321
11
22
1200
34
0.0283
0.0473
0.0168
0.0321
12
23
1200
40
0.0333
0.0473
0.0168
0.0321
13
27
1200
50
0.0417
0.0473
0.0168
0.0321
14
28
1200
29
0.0242
0.0473
0.0168
0.0321
16800
539
Jumlah
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.7 di bawah ini. 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Obs e rv a s i ke -
Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 4.7 Peta Kendali P Revisi 1 Cacat Melenting
IV - 90
13
14
Setelah dilakukan revisi, ternyata masih jelas terlihat pada Gambar 4.7 bahwa pada data ke 10 masih keluar dari garis batas atas. Oleh karena itu kita eliminasi kembali data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 2 yang ditampilkan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Rekap Data Revisi 2 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi
UCL
LCL
CL
1
1
1200
41
0.0342
0.0450
0.0154
0.0302
2
2
1200
39
0.0325
0.0450
0.0154
0.0302
3
6
1200
52
0.0433
0.0450
0.0154
0.0302
4
7
1200
33
0.0275
0.0450
0.0154
0.0302
5
9
1200
29
0.0242
0.0450
0.0154
0.0302
6
12
1200
28
0.0233
0.0450
0.0154
0.0302
7
18
1200
28
0.0233
0.0450
0.0154
0.0302
8
19
1200
31
0.0258
0.0450
0.0154
0.0302
9
20
1200
37
0.0308
0.0450
0.0154
0.0302
10
22
1200
34
0.0283
0.0450
0.0154
0.0302
11
23
1200
40
0.0333
0.0450
0.0154
0.0302
12
27
1200
50
0.0417
0.0450
0.0154
0.0302
13
28
1200
29
0.0242
0.0450
0.0154
0.0302
15600
471
Jumlah
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.8 di bawah ini.
IV - 91
0.05 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
LCL
CL
10
11
12
13
Obs e rv a s i ke -
Proporsi
UCL
Gambar 4.8 Peta Kendali P Revisi 2 Cacat Melenting
Setelah dibuat plot grafik revisi 2 seperti pada Gambar 4.8 di atas terlihat bahwa data telah berada dalam kondisi yang stabil, sehingga untuk selanjutnya dapat dihitung kapabilitas prosesnya. 4.2.4
PENGUKURAN KAPABILITAS PROSES Pada pengukuran kapabilitas proses data atribut, terdapat dua jenis
penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur tingkat kapablitas proses sigma berdasarkan output kecacatan proses yang dihasilkan (Cp) serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif di pasar global berdasarkan batas-batas level sigma (Cpk). Penentuan indeks kapabilitas proses untuk data atribut menggunakan pendekatan Motorola yang memungkinkan pergeseran rata-rata proses sebesar ± 1,5s yang disajikan pada Tabel 4.12 berikut.
Tabel 4.12 Tabel Konversi Level Sigma Pergeseran Proses ± 1,5s Cpk DPMO 3 0,5 66.803 4 0,833 6.200 5 1,167 233 6 1,5 3,4 Sumber : Mc Fadden, 1993 Level Sigma
IV - 92
Semakin kecil central line, maka kapabilitas proses semakin baik. Dengan menggunakan control chart p dan setelah data direvisi sehingga proses dinyatakan terkendali pada tahapan stabilitas proses, maka dapat dilakukan perhitungan kapabilitas proses. 1. Perhitungan Kapabilitas Proses Bulan Januari 2006 Kapabilitas Proses untuk Proses kiln pada tegel keramik untuk bulan Januari 2006 adalah: Central line (CL) atau rata-rata proporsi (p) = 0,0255 Kapabilitas proses (Cp)
= 1–p = 1 – 0,0255 Cp = 0,9745
Sehingga untuk penghitungan kapabilitas proses Cp didapatkan nilai Cp sebesar: Cp = 0,9745 Selanjutnya Cpk didapatkan dari hasil interpolasi Tabel 4.12 konversi level sigma dengan mengacu kepada level sigma bulan Januari 2006 sebesar 3,46. 3,46 - 3 x - 0 .5 = 4-3 0,833 - 0.5 0.46 x - 0 .5 = 1 0,333
x
= (0,46 x 0,333) + 0.5
x
= 0,65318
Sehingga didapatkan nilai Cpk = 0,65318 2. Perhitungan Kapabilitas Proses Bulan Februari 2006 Kapabilitas Proses untuk Proses kiln pada tegel keramik untuk bulan Februari 2006 adalah: Central line (CL) atau rata-rata proporsi (p) = 0,0408 Kapabilitas proses (Cp)
= 1–p = 1 – 0,0408 Cp = 0,9592
IV - 93
Sehingga untuk penghitungan kapabilitas proses Cp didapatkan nilai Cp sebesar: Cp = 0,9592 Selanjutnya Cpk didapatkan dari hasil interpolasi Tabel 4.12 konversi level sigma dengan mengacu kepada level sigma bulan Februari 2006 sebesar 3,24. 3,24 - 3 x - 0 .5 = 4-3 0,833 - 0.5 0,24 1
=
x - 0 .5 0,333
x
= (0,24 x 0.333) + 0.5
x
= 0,57992
Sehingga didapatkan nilai Cpk = 0,57992
4.3 TAHAP ANALISIS (ANALYZE) Pada tahap Analisis (Analyze) ini dilakukan analisis akar penyebab masalah serta menganalisis pengaruh potensial kegagalan sumber-sumber variasi penyebab permasalahan dengan menganalisa Failure Modes Effect Analysis (FMEA).
4.3.1
PENELUSURAN AKAR PENYEBAB MASALAH Penelusuran terhadap sumber-sumber variasi penyebab masalah dilakukan
dengan metode Root Cause Analysis (RCA). Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 7. Mendefinisikan Permasalahan Jenis permasalahan yang ingin dianalisis untuk diketahui penyebabnya diambil sesuai dengan hasil CTQ prioritas yang telah terseleksi, yaitu melenting. Tingginya angka melenting pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya kualitas tegel keramik secara keseluruhan. melenting merupakan jenis kecacatan yang menggambarkan adanya permukaan tidak rata pada tegel keramik dengan menggunakan alat ukur mesin planarity. 8. Mengumpulkan data dan informasi Melenting
IV - 94
Pengumpulan data serta informasi yang berkaitan dengan permasalahan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan mengamati keadaan langsung di lapangan, membaca dokumen atau arsip yang tercatat, membaca textbook yang terkait serta melakukan wawancara terstruktur dan brainstorming dengan kepala departemen, kepala bagian, kepala regu, kepala maintenance serta para karyawan di Departemen Plant 3 PT. IKAD untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan akurat. Adapun tujuan pengumpulan data dan informasi ini sendiri adalah untuk menelusuri fakta-fakta yang ada. Setelah mengetahui penyebab yang paling utama, maka perlu diadakan tindakan penanggulangan. Rencana perbaikan optimal bisa diperoleh dengan menganalisis akar penyebab permasalahan dimana dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan Root Cause Analysis (RCA) menggunakan alat bantu kualitas Fishbone Diagram.
9. Menyeleksi penyebab Melenting Penyeleksian penyebab pada penelitian ini akan menggunakan tool Fishbone Diagram dengan 6M yaitu Manpower-Manusia, Method-Metode, Measurement-Pengukuran, Material-Bahan baku, Machine-Mesin, dan Mother nature-Lingkungan yang disajikan secara jelas pada Gambar 4.9. 10. Spesifik dalam menentukan permasalahan dan penyebabnya Permasalahan disini diambil hanya pada bagian kiln Departemen Plant 3 dimana pada bagian ini memiliki pengaruh yang besar terhadap proses lainnya. Penyebab-penyebab kecacatan untuk CTQ prioritas akan digambarkan ke dalam diagram Fishbone. 11. Mengidentifikasi penyebab yang mengakibatkan defect CTQ prioritas Identifikasi dilakukan untuk mencari penyebab yang mengakibatkan defect melenting dimana nantinya akan digambarkan ke dalam diagram Fishbone yang disajikan secara jelas pada Gambar 4.9. 12. Menganalisa secara detil keseluruhan hasil dari diagram fishbone Hasil yang didapatkan akan dianalisa berdasarkan penyebabnya pada tahap analisa.
IV - 95
METODE
TENAGA KERJA
MATERIAL
Kurang teliti
Pengaturan suhu Salah setting mesin kiln
Kadar air
Training kurang
Pengaturan di panel gas
Lapisan Alumina
Kurang motivasi
Jenis Glasir MELENTING Panel Kiln
Debu sisa Clay Alat ukur suhu rusak Manual
Burner nozzle Panel gas
Kotoran
Actuator Roller Kiln
Suhu dan kelembaban PENGUKURAN
Gearbox
LINGKUNGAN
MESIN DAN PERALATAN
Gambar 4.9 Diagram Sebab Akibat CTQ Melenting
IV - 96
4.3.2 PERANCANGAN DAN PENYEBARAN KUESIONER 2 Berdasarkan diagram sebab akibat pada Gambar 4.9 di atas, diketahui terdapat penyebab-penyebab terjadinya kecacatan CTQ prioritas tegel keramik yaitu melenting. Langkah selanjutnya adalah merancang kuesioner kedua yang terdapat pada Lampiran 8 bertujuan untuk mengetahui tingkat Severity, Occurence, dan Detection dari faktor penyebab kegagalan mesin dan peralatan yang akan digunakan pada tahap analisis pengaruh potensial kegagalan sumbersumber variasi dengan menggunakan tool Failure Modes and Effect Analyze (FMEA). FMEA dalam penelitian ini membahas khusus pada bagian mesin dan peralatan yang sebelumnya telah diketahui dalam diagram sebab akibat pada Gambar 4.9.
4.3.3
ANALISIS PENGARUH POTENSIAL KEGAGALAN SUMBERSUMBER VARIASI Pada tahap ini dilakukan analisis pengaruh potensial kegagalan sumber-
sumber variasi dengan menggunakan salah satu tool Six Sigma yaitu FMEA (Failure Modes and Effect Analysis) dengan melakukan brainstorming dan wawancara dengan para responden. Hasil wawancara disajikan dalam Lampiran 8. Selanjutnya diperoleh perbaikan dan peningkatan kualitas yang secara jelas terangkum dalam FMEA. Untuk selanjutnya, FMEA digunakan sebagai dasar untuk menetapkan urutan prioritas alternatif solusi yang ditawarkan. Pada mode FMEA, setiap masalah akan diberi bobot dengan cara mengklasifikasikan secara kualitatif berdasarkan severity (S), occurance (O), dan detection (D) kemudian ditentukan nilai Risk Priority Number atau RPNnya. Adapun langkah-langkah dalam pembuatan FMEA ialah sebagai berikut: Ø Identifikasi Sistem (System’s Function) Mesin Kiln adalah mesin yang digunakan untuk membakar keramik biskuit (green tile) menjadi keramik jadi (ceramic tile). Ø Identifikasi Kegagalan Potensial (Potential Failure Mode) Pada
tahap
ini
diidentifikasi
masalah-masalah
potensial
yang
menyebabkan mesin kiln tidak memenuhi atau tidak mencapai fungsi utama
IV - 97
sebagai alat pembakar tegel keramik dengan baik sehingga menyebabkan tegel keramik melenting. Masalah-masalah tersebut antara lain : 1. Panel kiln tidak berfungsi Suatu keadaan yang terjadi di panel kiln dimana semua proses di mesin kiln akan terhenti
2. Panel gas tidak berfungsi Suatu keadaan yang terjadi dimana pasokan gas tidak memadai untuk membakar tegel keramik
3. Gearbox failure Suatu keadaan yang terjadi dimana gearbox terjadi kerusakan yang menyebabkan mesin kiln overleaping
4. Burner nozzle bermasalah Suatu keadaan yang terjadi dimana tegel keramik tidak terbakar secara sempurna dimana burner hanya membakar pada bagian tertentu
5. Actuator macet Suatu keadaan yang terjadi dimana actuator macet sehingga temperatur di dalam mesin kiln turun
6. Roller Kiln macet dan kendor Suatu keadaan yang terjadi dimana tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln dan berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan Ø Identifikasi Akibat Kegagalan (Potential Effect Of Failure) Pada tahap ini dianalisis akibat atau dampak yang timbul pada masingmasing masalah kegagalan yang telah diidentifikasi pada potential failure mode. Akibat atau dampak yang timbul pada masing-masing masalah kegagalan tersebut akan disajikan dalam Tabel 4.13 berikut:
IV - 98
Tabel 4.13 Potential Effect of Failure Potential Failure Mode Panel kiln tidak berfungsi
Potential Effect of Failure Semua proses di mesin kiln akan terhenti Pasokan gas tidak memadai untuk membakar tegel keramik Mesin kiln overleaping 1. Tegel keramik tidak terbakar secara sempurna 2. Burner hanya membakar pada bagian tertentu Temperatur di mesin kiln turun 1. Tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln 2. Tegel keramik berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
Panel gas tidak berfungsi Gearbox failure Burner nozzle bermasalah Actuator macet Roller Kiln macet dan kendor
Ø Analisis Tingkat Keseriusan Kegagalan (Severity Of Effect) Pada tahap ini dianalisis seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh kegagalan-kegagalan yang muncul pada mesin kiln sehingga menyebabkan melenting. Efek kegagalan dianalisis berdasarkan dampak terhadap konsumen. Skala severity yang digunakan adalah skala 1 hingga 5 dengan perincian pada Tabel 4.14 sebagai berikut :
Tabel 4.14 Skala Severity Skala
Keterangan
1 2 3 4 5
Tidak berpengaruh Tidak terlalu serius Cukup serius Serius Sangat Serius
Sumber : Manggala, 2005
Cara menganalisis severity failure mode yaitu dengan terlebih dahulu menganalisis severity masing-masing akibat (effect) dari tiap-tiap potential failure mode. Selanjutnya, severity tertinggi dari setiap effect of failure akan dipilih menjadi severity dari failure mode. Severity kegagalan mesin kiln hingga menyebabkan melenting akan ditampilkan pada Tabel 4.15 berikut ini :
IV - 99
Tabel 4.15 Severity Failure Mode Potential Effect of Failure
S
Potential Failure Mode
Semua proses di mesin kiln akan terhenti
4
Panel kiln tidak berfungsi
4
Pasokan gas tidak memadai untuk membakar tegel keramik
4
Panel gas tidak berfungsi
4
Mesin kiln overleaping
2
Gearbox failure
2
Tegel keramik tidak terbakar secara sempurna
5 Burner nozzle bermasalah
Burner hanya membakar pada bagian tertentu
4
Tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln
4
Actuator macet
Roller Kiln macet dan kendor
3
IV - 100
Keterangan Panel kiln tidak berfungsi akan menyebabkan semua proses di mesin kiln akan terhenti Panel gas yang tidak berfungsi akan menyebabkan pembakaran tegel keramik akan terhambat Kasus untuk gearbox failure/rusak pernah terjadi namun pengaruhnya terhadap proses pembakaran tidak terlalu serius karena petugas akan langsung membetulkan komponen yang rusak ex : overleaping tegel bertumpuk akan segera diatasi petugas
5
Severity Burner nozzle bermasalah adalah 5. Severity bersifat ekstrim karena bila Burner nozzle bermasalah dapat mengakibatkan tegel keramik tidak terbakar secara sempurna dan hanya membakar pada bagian tertentu saja
4
Aktuator macet akan menyebabkan temperatur di mesin kiln turun dimana hal tersebut akan menyebabkan tegel keramik yang dihasilkan menjadi melenting dikarenakan tidak stabilnya temperatur
4
Roller kiln macet dan kendor akan menyebabkan tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln juga akan berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
5
Temperatur di mesin kiln turun
Tegel keramik berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
S
Ø Identifikasi Sebab-Sebab Kegagalan (Potential Causes Of Failure) Pada tahap ini dilakukan identifikasi sebab-sebab apa saja yang menyebabkan kegagalan melenting pada mesin kiln. Diperlukan identifikasi yang lengkap agar dapat terungkap akar masalah (root cause) dari kegagalan dengan menggunakan fishbone diagram. Selanjutnya, sebab-sebab potensial dari mesin kiln dengan menggunakan fishbone diagram akan disajikan pada Gambar 4.10 berikut ini. PANEL KILN
PANEL GAS
GEARBOX
Sensor kiln error
Gigi Aus dan rontok Tekanan gas turun dari PLN Kurang pelumas
Komponen panel kiln kotor Ring gas error
Fotocel tidak berfungsi
Pembukaan damper blower terlalu kecil
MELENTING Damper angin pembakaran terlalu besar
Roller kurang diberi pelumas Komponen kotor Bantalan roller robek dan melar
Damper blower tertutup Komponen putus / rusak Flame Detection error
Penempatan roller kurang tepat
Jarang diperiksa dan dibersihkan
BURNER NOZZLE
ACTUATOR
ROLLER KILN
Gambar 4.10 Diagram Sebab Akibat Kegagalan Mesin Kiln CTQ Melenting IV - 101
Berdasarkan bagan fishbone diagram, rincian sebab-sebab kegagalan kiln disajikan pada Tabel 4.16 sebagai berikut:
Tabel 4.16 Potential Cause(s) of Failure Potential Failure Mode
Potential Cause(s) of Failure Sensor kiln error Komponen panel kiln kotor Pembukaan damper blower terlalu kecil Tekanan gas turun dari PLN Ring gas error Gigi Aus dan rontok Kurang pelumas Fotocel tidak berfungsi Damper angin pembakaran terlalu besar dan damper blower sering tertutup Flame Detection error Komponen kotor Komponen putus / rusak Roller kurang diberi pelumas Bantalan roller robek dan melar Penempatan roller kurang tepat Jarang diperiksa dan dibersihkan
ü ü ü ü ü ü ü ü ü
Panel kiln tidak berfungsi Panel gas tidak berfungsi Gearbox failure
Burner nozzle bermasalah Actuator macet
Roller Kiln macet dan kendor
ü ü ü ü ü ü ü
Ø Analisis Frekuensi Kegagalan (Occurance) Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap seberapa sering kegagalan terjadi. Skala occurance yang digunakan yaitu 1 hingga 5, dengan perincian yang lengkap pada Tabel 4.17 berikut ini: Tabel 4.17 Skala Occurance Skala
Keterangan
1 2 3 4 5
Sangat Jarang Terjadi Jarang Terjadi Kadang-Kadang Terjadi Sering Terjadi Sangat Sering Terjadi
Sumber : Manggala, 2005
Cara menganalisis frekuensi kegagalan (failure mode occurance) yaitu dengan menganalisis potential causes of failure dari setiap failure mode. Occurance terbesar (yang paling sering terjadi) dari potential cause of failure akan dipilih menjadi occurance dari failure mode. Analisis frekuensi kegagalan dari setiap potential cause of failure selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.18 berikut ini : IV - 102
Tabel 4.18 Occurance Failure Mode Potential causes of failure
O
ü
Sensor kiln error
2
ü
Komponen panel kiln kotor
3
ü
Pembukaan damper blower terlalu kecil
3
ü
Tekanan gas turun dari PLN
Failure Mode
O
Panel kiln tidak berfungsi
3
4
Panel gas tidak berfungsi sebagaimana mestinya apabila satu dari ke-2 potential cause of failure terjadi. Sebab hal yang paling sering terjadi sehingga panel kiln tidak berfungsi adalah tekanan gas yang turun dari Perusahaan Listrik negara (PLN) dimana diberi skala 4 dan apabila ring gas error, diberi skala 3. Bila panel gas tidak berfungsi maka mesin kiln tidak akan mampu memenuhi performansinya. Karena occurance tertinggi yang menyebabkan panel kiln tidak berfungsi memiliki nilai 4, maka occurance panel kiln tidak berfungsi adalah 4.
2
Gearbox failure apabila gigi aus dan rontok, kurangnya pelumas dan fotocel yang tiddak berfungsi. Occurance dari ketiganya adalah kadang-kadang terjadi (2).
4
Penyebab yang paling sering terjadi sehingga burner nozzle bermasalah adalah damper angin pembakaran terlalu besar dan damper blower yang tertutup (4) serta flame detection yang seringkali error (4). Bila burner nozzle bermasalah maka kiln tidak akan mampu membakar secara sempurna. Karena occurance tertinggi yang menyebabkan burner nozzle sama-sama memiliki nilai 4, maka occurance burner nozzle bermasalah adalah 4.
4 Panel gas tidak berfungsi
ü
Ring gas error
3
ü
Gigi Aus dan rontok
2
ü
Kurang pelumas
2
ü
Fotocel tidak berfungsi
2
ü
Damper angin pembakaran terlalu besar dan damper blower sering tertutup
Gearbox failure
4 Burner nozzle bermasalah
ü
Flame Detection error
4
ü
Komponen kotor
2
ü
Komponen putus / rusak
3
ü
Roller kurang diberi pelumas
2
ü
Bantalan roller robek dan melar
3
ü
Penempatan roller kurang tepat
4
ü
Jarang diperiksa dan dibersihkan
3
Actuator macet
3
Roller Kiln macet dan kendor
4
IV - 103
Keterangan Panel kiln tidak berfungsi sebagaimana mestinya apabila komponen panel kiln yang kotor dan apabila pembukaan awal damper terlalu kecil, yaitu mencapai skala 3. Hal tersebut di atas harus diperhatikan juga walaupun hanya kadang-kadang saja terjadinya.
Frekuensi komponen kotor adalah jarang terjadi (2), dan komponen yang putus ataupun rusak adalah kadang-kadang terjadi (3). Occurance untuk aktuator macet sebesar 3 (diambil dari occurance tertinggi yaitu occurance komponen putus / rusak). Roller Kiln macet dan kendor bila roller kurang diberi pelumas yang jarang terjadi (2), bantalan roller robek dan melar dan jarangnya roller kiln diperiksa dan dibersihkan yang kadangkadang terjadi (3) serta penempatan roller yang kurang tepat pada mesin kiln yang seringkali terjadi (4). Occurance untuk roller kiln macet dan kendor sebesar 4 (diambil dari occurance tertinggi yaitu occurance penempatan roller kurang tepat).
Ø Metode Deteksi Kegagalan (Detection Method) Pada tahap ini dilakukan identifikasi metode untuk mendeteksi kegagalan (failure mode) mesin kiln mencapai performansi. Terdapat gejala-gejala yang mengidentifikasi kegagalan mesin kiln. Dari gejala yang muncul tersebut, dapat diduga komponen yang mengalami kegagalan. Pada umumnya konsumen langsung pada bagian exit kiln yang merasakan gejala–gejala tersebut. Untuk membuktikan gejala tersebut, maka diperlukan metode pendeteksian komponen. Tabel berikut akan
menjelaskan mengenai gejala dan metode pendeteksian
potential failure mode. Identifikasi gejala-gejala dan metode untuk mendeteksi kegagalan tersebut akan disajikan dalam Tabel 4.19 berikut: Tabel 4.19 Detection Method Potential Failure Mode
Symptoms Mesin kiln stop tanpa sebab yang jelas Alarm dan sensor mati
1. Metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error. 2. Metode visual untuk mengidentifikasi panel kiln yang kotor.
Gas yang diatur terlalu besar keluarnya Tegl keramik yang dibakar kurang sempurna
1. Metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas 2. Dapat digunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln
Jalan tegel di rol menjadi naik turun Gigi Jalan atau berhenti Putaran roll berhenti
Dapat dilihat secara visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya
Temperatur tinggi / rendah Pembakaran tidak bagus / sempurna Ketidakseimbangan antara angin dan gas
Dapat dilihat secara langsung, kalau percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik
ü
Gas akan turun
1. Dapat dilihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah 2. Dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln
ü
Jalan tegel di roll menjadi sedikit tersendat bahkan berhenti sama sekali Keramik jalan dengan tidak baik dengan kecepatan yang kurang dari standar
1. Dapat dilihat dari kecepatan putaran roll, apabila putarannya seimbang dan tidak tersendat, berarti roller kiln baik 2. Metode visual untuk mengidentifikasi roller kiln yang kotor dan kendor
ü Panel kiln tidak berfungsi ü ü Panel gas tidak berfungsi
ü ü
Gearbox failure
ü ü ü ü
Burner nozzle bermasalah ü
Actuator macet
Roller Kiln macet dan kendor
Detection Method
ü
IV - 104
Ø Analisis Tingkat Pendeteksian (Detection) Pada tahap ini dilakukan analisis tingkat keyakinan dan kesulitan metode deteksi. Analisis dilakukan terhadap semua metode deteksi yang telah dirumuskan pada detection method. Skala deteksi yang digunakan adalah dari 1 hingga 5, dengan perincian lebih lengkap pada Tabel 4.20 sebagai berikut : Tabel 4.20 Skala Detection Skala
Keterangan
1 2 3 4 5
Pasti Terdeteksi Kemungkinan Besar Terdeteksi Mungkin Terdeteksi Kemungkinan Kecil Terdeteksi Tidak Terdeteksi
Sumber : Manggala, 2005
Cara mendeteksi failure mode yang terjadi yaitu dengan menganalisis semua metode yang telah dirumuskan pada detection method. Semakin kita tidak yakin terhadap metode yang ada, maka semakin besar rating detection, karena semakin kita harus waspada. Semakin sulit cara pendeteksian maka rating detection juga semakin tinggi. Tingkat deteksi dengan rating tertinggi menjadi rating detection failure mode. Analisis lengkap mengenai tingkat pendeteksian ditampilkan pada Tabel 4.21 berikut : Tabel 4.21 Detection Rating Detection Method Metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error.
D
Potential Failure Mode
Metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas
Keterangan
3
Untuk mendeteksi panel kiln tidak berfungsi, dilakukan metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error serta panel kiln yang kotor. Untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error serta panel kiln yang kotor dibutuhkan analisis, sehingga rating deteksinya adalah 3. Tingkat deteksi panel kiln tidak berfungsi diambil untuk metode yang tersulit dari semua rating metode deteksi yang telah teridentifikasi yaitu 3.
3
Untuk mendeteksi panel gas tidak berfungsi, dilakukan metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3), selain itu dapat digunakan alat pendeteksi panas api
3
Panel kiln tidak berfungsi Metode visual untuk mengidentifikasi panel kiln yang kotor.
D
3
3
Panel gas tidak berfungsi
IV - 105
Dapat digunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln
Dapat dilihat secara visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya
Dapat dilihat secara visual, apabila percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik
Dapat dilihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah
1
(thermocouple) di dalam kiln yang pasti terdeteksi (1). Tingkat deteksi menggunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln diambil untuk metode yang tersulit dari semua rating metode deteksi yang telah teridentifikasi yaitu 3.
3
3
Untuk mendeteksi gearbox failure, dilakukan metode visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3)
3
Untuk mendeteksi burner nozzle bermasalah, dilakukan metode visual di dalam tunnel pembakaran, apabila percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3)
1
Untuk mendeteksi actuator macet, dilakukan metode visual dengan melihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah juga dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln dan apabila metode ini dilakukan, pasti langsung terdeteksi (2)
2
Kedua metode baik untuk mengidentifikasikancepatan putaran rol ataupun roller kiln yang kotor dan kendor dilakukan secara visual, dan dibutuhkan analisis untuk menjudge kerusakan tersebut., sehingga rating detection adalah 2. Karena keduanya memiliki tingkat detection yang sama, maka kegagalan roller kiln macet dan kendor memiliki tingkat deteksi 2.
3
Gearbox failure
Burner nozzle bermasalah
1 Actuator macet
Dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln
1
Dapat dilihat dari kecepatan putaran rol, apabila putarannya seimbang dan tidak tersendat, berarti roller kiln baik
2 Roller Kiln macet dan kendor
Metode visual untuk mengidentifikasi roller kiln yang kotor dan kendor
2
Ø Penghitungan Risk Priority Number (RPN) Pada tahap ini dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) untuk mengidentifikasi failure mode yang perlu diprioritaskan untuk dianalisis dan ditindaklanjuti, karena dianggap menjadi sumber kegagalan utama mesin kiln. Penghitungan RPN yaitu dengan cara mengalikan tingkat severity dengan tingkat occurance dan dengan tingkat detection. Perhitungan selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.22 berikut:
IV - 106
Tabel 4.22 Risk Priority Number Potential Failure Mode
S
O
D
RPN
Prioritas
Panel kiln tidak berfungsi Panel gas tidak berfungsi Gearbox failure Burner nozzle bermasalah Actuator macet Roller Kiln macet dan kendor
4 4 2 5 4 4
3 4 2 4 3 4
3 3 3 3 1 2
36 48 12 60 12 32
3 2 6 1 5 4
Contoh perhitungan manual RPN : Failure mode adalah Burner nozzle bermasalah, dengan: ü Severity = 5 ü Occurrence = 4 ü Detection = 3 Maka RPN Burner nozzle bermasalah = 5 x 4 x 3 = 60
Pada Gambar 4.11 akan disajikan mesin burner nozzle yang digunakan dalam pembakaran tegel keramik dalam mesin kiln.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.11 Mesin burner nozzle Keterangan Gambar: 1.
Flame trap
6.
Flame detection
2.
Air-gas inlet
7.
Gas hose
3.
Air Pressure inlet
8.
Air hose
4.
Gas pressure inlet
9.
Nozzle
5.
Ignition electrode
10. Burner head
IV - 107
4.4 TAHAP
PERBAIKAN
(IMPROVE)
DAN
PENGENDALIAN
(CONTROL) Pada tahap ini diberikan usulan perbaikan dan pengendalian yang didapatkan dari interpretasi hasil. Usulan perbaikan dibagi ke dalam 2, yaitu perbaikan manajerial dan teknis. Usulan perbaikan akan dititberatkan pada perbaikan CTQ kunci yang didapatkan dari hasil analisis tingkat kepentingan kinerja dan gap yaitu melenting serta perbaikan RPN tertinggi yaitu burner nozzle yang bermasalah. Usulan control diberikan untuk mengendalikan perbaikan yang dilakukan pada tahap improve agar dapat meminimasi kegagalan yang potensial terjadi pada kualitas proses yang berkaitan erat dengan output produk, sehingga tegel keramik yang diproduksi dapat optimal serta sesuai dengan standar yang telah ditentukan perusahaan. 4.4.1. Perbaikan Manajerial Perbaikan manajerial merupakan perbaikan yang melibatkan manajerial perusahaan dalam upaya melakukan perbaikan. Perbaikan ini dilakukan ke dalam 2 tahap, antara lain sebagai berikut: A. Perbaikan Struktur Tim Organisasi Susunan / struktur organisasi di Departemen Plant 3 beserta bagian lain yang mendukungnya secara sederhana disajikan pada Gambar 4.12 sebagai berikut:
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.12 Struktur Organisasi Departemen Plant 3 PT. IKAD
I - 108
Gambar 4.12 di atas menunjukkan struktur organisasi di Departemen Plant 3 PT. IKAD dimana bagian Quality Assurance (QA) dan koordinator kiln sebagai bagian yang terpisah membantu Departemen Plant 3 serta Kepala Departemen Plant 3 saling memberikan feedback memberikan informasi seputar kondisi dan kebutuhan proses produksi. Selanjutnya, Kepala Departemen Plant 3 membawahi dan memberi instruksi kepada kepala maintenance, kepala bagian kiln, kepala regu kiln, serta para karyawan yang bertugas sebagai pelaksana proses produksi (operator) di lapangan. Pada suatu proyek Six Sigma, sekelompok tim Six Sigma harus dipersiapkan dalam pelaksanaan proyek ini. Rencana pembentukan dilakukan mengingat tim Six Sigma sangat penting peranannya dalam menyelesaikan suatu proyek Six Sigma dan selain itu di Departemen Plant 3, bagian yang mengawasi dan mengevaluasi kualitas yaitu Quality Assurance (QA), tidak hanya mengawasi bagian kiln, namun seluruh bagian proses dan seluruh departemen di PT. IKAD sehingga permasalahan yang kritis sering ditangani terlambat sehingga menyebabkan kualitas tegel keramik tidak optimal. Selain itu tim Six Sigma tersebut juga dapat memberikan pelatihan, pengarahan (training) dan informasi tambahan kepada operator tentang pencegahan kegagalan proses serta melakukan pengawasan dan pengontrolan secara rutin terhadap operator yang bekerja serta kualitas produk yang dihasilkannya dalam usaha perusahaan menuju target zero defect. Operator yang mengerti pentingnya proses kiln akan memberikan perhatian penuh terhadap proses tersebut. Hal ini sangat penting karena proses pembakaran merupakan proses vital dalam menentukan output tegel keramik yang berkualitas. Untuk pembentukan struktur tim baru, harus pula dipertimbangkan sinkronisasinya dengan staff atau karyawan lainnya sehingga hubungan yang optimal akan terbentuk. Adapun untuk struktur tim sebelum dilakukan implementasi usulan diwakili oleh garis putus berwarna merah. Usulan pembentukan susunan atau struktur tim Six Sigma selanjutnya disajikan pada Gambar 4.13 berikut ini:
I - 109
Keterangan : Direct Report Indirect Report
Gambar 4.13 Usulan Struktur Team Six Sigma Pada Departemen Plant 3 Adapun tugas dan wewenang Team Six Sigma yang dibentuk pada Gambar 4.13 di atas ialah sebagai berikut: v Executive Leadership komit untuk mewujudkan Six Sigma, memulai dan memasyarakatkannya di seluruh bagian, divisi, departemen dan cabang-cabang perusahaan. Tugas ini dapat diambil oleh Pimpinan puncak PT. IKAD sebagai pemegang kendali tertinggi perusahaan.
I - 110
v Champions merupakan pendukung utama yang berjuang demi terbentuknya Black Belts dan berupaya meniadakan berbagai rintangan/hambatan baik yang bersifat fungsional, finansial, ataupun pribadi agar Black Belts berfungsi sebagaimana mestinya. Bisa dikatakan Champions menyatu dengan proses pelaksanaan proyek, para anggotanya berasal dari kalangan direktur dan manajer, bertanggung jawab terhadap aktivitas proyek sehari-hari, wajib melaporkan perkembangan hasil kepada executive leaders sembari mendukung tim pelaksana. Tugas ini dapat diambil oleh para manajer PT. IKAD seperti contohnya PCM (Plant Coordinate Manager) dan SCM (Sistem Coordinate Manager) sebagai pemegang kendali proyek. v Master Black Belt bertindak sebagai pelatih, penasehat (mentor) dan pemandu. Master Black Belt adalah orang-orang yang sangat menguasai alat-alat dan taktik Six Sigma, memusatkan seluruh perhatian dan kemampuannya pada penyempurnaan proses. Kunci peranan master black belt terletak pada kepiawaiannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tanpa mengambil alih proyek/tugas/pekerjaan. v Black Belts sebagai tulang punggung budaya dan pusat keberhasilan Six Sigma, mengingat mereka adalah orang-orang yang memimpin proyek perbaikan kinerja perusahaan, dilatih untuk menemukan masalah, penyebab beserta penyelesaiannya, bertugas mengubah teori ke dalam tindakan, wajib memilah-milah data, opini dengan fakta, dan secara kuantitatif menunjukkan faktor-faktor potensial yang menimbulkan masalah produktivitas serta profitabilitas, bertanggung jawab mewujudnyatakan Six Sigma. v Green Belts membantu Black belts di wilayah fungsionalnya. Pada umumnya Green belts bertugas mengaplikasikan alat-alat Six Sigma untuk menguji dan menyelesaikan problema-problema kronis, mengumpulkan dan menganalisis data.
I - 111
B. Perbaikan dengan Metode 5W - 2H Perbaikan yang konkrit perlu dilakukan oleh manajerial perusahaan agar kegagalan tersebut dapat diminimasi. Untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan tersebut perlu diketahui apa yang menjadi target utama dari perbaikan kualitas tersebut, alasan kegunaaan rencana perbaikan tersebut, lokasi aktivitas, urutan aktivitas, orang dan metode perbaikannya. Adapun metode yang digunakan adalah metode 5W-2H dan untuk aspek “How much” tidak dilakukan karena dalam penelitian ini tidak memperhitungkan biaya. Perbaikan terhadap kegagalan Burner nozzle dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan-tindakan guna mencapai tujuan utama dengan berbagai metode perbaikan yang secara jelas disajikan dalam Tabel 4.23 berikut ini:
Tabel 4.23 Perbaikan Kualitas Tegel Keramik 5W-1H
TINDAKAN 1. 2. 3.
Tujuan Utama
What (Apa)
4. 5.
1.
2. Alasan Kegunaan
Why (Mengapa)
3. 4.
5.
Lokasi
Where (Dimana)
Memberikan prioritas perbaikan proses. Melihat kemungkinan pergantian sistem pembakaran agar proses dapat lebih dapat maksimal dan menghasilkan lebih sedikit kecacatan Mengusulkan pembuatan grafik temperatur harian proses pembakaran yang dapat digunakan sebagai indikator perbaikan pada mesin kiln, khususnya burner nozzle Kegiatan overhaul mesin kiln dilakukan secara berkala. Memberi form evaluasi pengawasan dan panduan standar operasional perawatan mesin kiln kepada operator serta kondisi mesin kiln dan menekankan bahwa proses kiln sangat penting dalam menghasilkan tegel keramik yang berkualitas tinggi. Mesin yang dirawat secara berkala akan menghasilkan kinerja yang optimal dimana apabila kinerja mesin optimal, maka diharapkan kualitas yang diinginkan akan tercapai selain itu perawatan juga perlu agar kerusakan mesin dapat dideteksi sedini mungkin. Prioritas perbaikan dilakukan agar dapat fokus dalam penyelesaian masalah sehingga kecacatan yang terjadi dapat diminimasi. Peremajaan part, khususnya burner nozzle dapat menjadi solusi pembakaran tegel yang sempurna, sehingga kecacatan dapat dihindari. Operator yang mengerti pentingnya proses kiln akan memberikan perhatian penuh terhadap proses tersebut. Hal ini sangat penting karena proses pembakaran merupakan proses vital dalam menentukan output tegel keramik yang berkualitas. Panduan standar yang diberikan akan sangat berguna sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan oleh operator.
Rencana perbaikan ini dilakukan di Departemen Plant 3 khususnya pada proses kiln
I - 112
1. Urutan
Orang
When (Bilamana)
Who (Siapa)
2.
Rencana tindakan perbaikan dapat dilakukan dengan membentuk tim Six Sigma dengan dipimpin oleh seorang Black Belt. Rencana pembentukan dilakukan mengingat bagian Quality Assurance (QA) tidak hanya mengawasi bagian kiln, namun seluruh bagian proses dan seluruh departemen di PT. IKAD sehingga permasalahn yang kritis sering ditangani terlambat sehingga menyebabkan kualitas tegel keramik tidak optimal. 1. 2.
Metode
How (Bagaimana)
Aktivitas dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan metode Six Sigma DMAIC Rencana tindakan ini akan dilaksanakan secepatnya, setelah mengetahui dan menemukan faktor-faktor penyebab kegagalan akibat tegel keramik yang melenting.
3.
4. 5.
Mengusulkan prioritas perbaikan proses kiln dan sistem proses, misal sistem pembakaran yang digunakan perusahaan Membuat schedule pelaksanaan overhaul mesin kiln terhadap mesin kiln secara berkala, ingat slogan doing right for the first time. Secara rutin mengisi form pemeriksaan atau report kondisi mesin kiln dan membuat laporan bulanan evaluasi pengawasan rencana perbaikan kiln sehingga jumlah kecacatan dapat dikendalikan. Memperbaiki prosedur proses yang kurang baik dalam pelaksanaanya. Menerapkan usulan perbaikan tersebut.
4.4.2 Perbaikan Teknis Perbaikan teknis merupakan perbaikan yang melibatkan segi teknis dalam upaya melakukan perbaikan. Perbaikan dalam penelitian ini dilakukan ke dalam 2 tahapan usulan perbaikan, antara lain sebagai berikut: A. Usulan Perbaikan (Improve) Burner nozzle Berdasarkan analisis FMEA, didapatkan penyebab-penyebab kegagalan yang menyebabkan keramik melenting. Berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN) tertinggi, penyebab kegagalan tersebut adalah burner nozzle yang bermasalah. Penyebab kegagalan tersebut memberikan kontribusi terbesar yang menyebabkan keramik melenting. Metode 5W-2H pada Tabel 4.23 di atas menjelaskan rencana perbaikan agar kegagalan dapat diminimasi. Adapun perbaikan secara konkrit dijelaskan dengan tahap-tahap improvement sebagai berikut:
I - 113
1. Mengusulkan perbaikan proses kiln Usulan perbaikan proses kiln ini dilakukan pada proses dan sistem pembakaran yang digunakan dan dianggap penting dalam menentukan kualitas akhir tegel keramik. Ø Penentuan prioritas penanganan perbaikan pada setiap permasalahan Tim pelaksana perbaikan harus menentukan prioritas penanganan perbaikan. Prioritas penanganan tersebut disajikan pada Gambar 4.14 berikut ini:
Feeding Kiln
Kiln
Exit Kiln
Prioritas Proyek Ket : B è
Pre Heating
C è
Firing
D è
Direct atau Fast Cooling
Gambar 4.14 Prioritas Penanganan Perbaikan Proses Kiln
Gambar 4.16 di atas menunjukkan garis putus-putus berwarna merah pada tahap kiln dimana prioritas proyek penanganan perbaikan proses kiln dilakukan pada fase B, C, dan D. Hal ini dilakukan karena berdasarkan brainstorming dengan para responden, ketiga tahap itulah yang paling kritis dan sering terjadi masalah. Ø Usulan perbaikan sistem pembakaran Sistem pembakaran tegel keramik yang digunakan oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD saat ini ialah dengan menggunakan single burner membakar tegel dengan nozzle tunggal. Sistem pembakaran yang digunakan sebelum perbaikan yaitu single Burner selanjutnya disajikan pada Gambar 4.15 berikut ini. Sistem sebelum perbaikan :
I - 114
Sumber : www.sirnet.it/ipeg.htm
Gambar 4.15 Sistem Single Burner
Sistem Single burner ini beroperasi dengan menggunakan saluran pembakaran tunggal dimana jumlah saluran yang terdapat di dalam mesin berjumlah satu saluran. Saluran ini mengeluarkan percikan api yang didapatkan dari tekanan udara dan gas yang dimasukkan ke dalamnya dan tercampur. Tekanan gas dan udara bisa diatur sedemikian rupa untuk mengatur besar kecilnya percikan api. Selanjutnya percikan api keluar melalui saluran pembakaran tunggal tersebut.
Setelah dievaluasi lebih lanjut dan melihat berbagai referensi, diketemukan bahwa sistem twin burner ternyata lebih baik daripada sistem single burner dalam membakar tegel keramik, dimana dapat dilihat dari terdapatnya dua buah nozzle yang berguna untuk membakar secara menyeluruh. Selanjutnya usulan perbaikan terhadap sistem pembakaran disajikan pada Gambar 4.16 berikut ini:
I - 115
Usulan perbaikan sistem :
Sumber : www.sirnet.it/ipeg.htm
Gambar 4.16 Sistem Twin Burner
Pada intinya sistem twin burner ini memiliki sistem kerja yang hampir sama dengan sistem single burner namun perbedaanya terletak saluran pembakarannya dimana pada sistem twin burner ini beroperasi dengan menggunakan saluran pembakaran ganda dimana jumlah saluran yang terdapat di dalam mesin berjumlah dua saluran, yaitu kanan dan kiri. Saluran ini mengeluarkan percikan api yang didapatkan dari tekanan udara dan gas yang dimasukkan ke dalamnya dan tercampur. Tekanan gas dan udara bisa diatur sedemikian rupa untuk mengatur besar kecilnya percikan api. Selanjutnya percikan api keluar melalui kedua saluran pembakaran ganda tersebut.
2. Pembuatan jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln. Perawatan dan pengawasan secara detail terhadap mesin kiln secara berkala, yaitu setiap minggu, setiap bulan, setiap 3 bulan, setiap 6 bulan serta overhaul (Perbaikan secara total dan menyeluruh) yang dilakukan setahun sekali dimana mesin diharapkan akan menghasilkan kinerja yang optimal karena apabila kinerja mesin optimal, maka diharapkan kualitas yang diinginkan akan tercapai.
I - 116
Selain itu, perawatan juga perlu agar memperpanjang umur mesin. Usulan yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat tabel schedule overhaul mesin kiln yang dilakukan disajikan pada Tabel 2.24 berikut:
Tabel 4.24 Tabel Schedule Overhaul Mesin Kiln Hari / Tanggal
Jam 07.00 – 08.00 15.00 – 16.00
Kepala
Petugas
Pelaksana
Penanggung Jawab
Kepala Maintenance
23.00 – 00.00 07.00 – 08.00 15.00 – 16.00
15.00 – 16.00
Operator 1 Operator 2 Operator 3
Kepala Maintenance
23.00 – 00.00 07.00 – 08.00
Keterangan
Operator 1 Operator 2 Operator 3
Kepala Maintenance
23.00 – 00.00
Operator 1 Operator 2 Operator 3
Jadwal tersebut di atas dirancang berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: ü Perusahaan biasanya hanya melakukan perawatan apabila terdapat masalah pada mesin dimana untuk overhaul dilakukan setahun sekali, padahal untuk overhaul disarankan oleh produsen mesin dilakukan setahun 2 kali. Pada penelitian ini dilakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya masalah. ü Perawatan dilakukan pada 3 shift secara berurutan, yaitu pada pukul: -
07.00 – 08.00, biasanya para pekerja shift I masuk pada jam tersebut, sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
-
15.00 – 16.00, biasanya para pekerja shift II masuk pada jam tersebut, sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
-
23.00 – 00.00, biasanya para pekerja shift III masuk pada jam tersebut, sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
Adapun untuk dokumentasi report hasil pengawasan kondisi mesin kiln yaitu kondisi pada fase preheating, firing, serta cooling dilaporkan dan dicatat tiap
I - 117
bulannya. Untuk lebih jelasnya form report kondisi mesin kiln disajikan pada Gambar 4.17 di bawah ini:
REPORT KONDISI MESIN KILN DEPARTEMEN PLANT 3 PT. IKAD Bulan / Tahun : Hari / Tanggal
Jam
Kondisi Mesin Kiln
Kepala
Pre
Pengawasan
Heating 07.00 – 08.00 15.00 – 16.00
Firing
Fast
Keterangan Kondisi Mesin Kiln
Cooling
Paraf Mengetahui Koord
Kabag
Ka.
kiln
kiln
Mtc
Kepala regu kiln
23.00 – 00.00 07.00 – 08.00 15.00 – 16.00
Kepala regu kiln
23.00 – 00.00 07.00 – 08.00 15.00 – 16.00
Kepala regu kiln
23.00 – 00.00
Keterangan : - Hasil selama satu bulan dilaporkan kepada Kepala Departemen Plant 3 PT. IKAD. - Kondisi ketiga bagian mesin kiln diberi tanda check (v) apabila baik dan minus (-) apabila bermasalah
Tangerang, Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.17 Form Report Kondisi Mesin Kiln Form di atas diparaf kedua staff internal selaku pelaksana dan koordinator kiln. Laporan bulanan divalidasi oleh kepala departemen selaku pemimpin tertinggi dalam departemen. Selanjutnya secara rutin para staff produksi mengevaluasi hasil rencana kerja tersebut di atas secara berkala sesuai jadwal yang telah direncanakan
I - 118
sebelumnya dengan mengisi form evaluasi perbaikan proses kiln pada kolom aktual dan membuat laporan bulanannya sehingga jumlah kecacatan dapat dikendalikan. Indikator Improvement didapatkan dari hasil waktu penyelesaian dari actual dengan plan. Kolom keterangan dapat diisi dengan permasalahan yang terjadi pada proses produksi di bagian kiln. Adapun Form evaluasi pengawasan rencana perbaikan proses kiln disajikan pada Gambar 4.18 berikut ini.
FORM EVALUASI PENGAWASAN RENCANA PERBAIKAN KILN DEPARTEMEN PLANT 3 NO.
PEKERJAAN
ORANG
Bulan X
RENCANA PERBAIKAN 1
2
3
4
5
6
7
8
KETERANGAN 9
10
11
PLAN
1
ACTUAL PLAN
2
ACTUAL PLAN
3
ACTUAL PLAN
4
ACTUAL PLAN
5
ACTUAL PLAN
6
ACTUAL PLAN
7
ACTUAL PLAN
8
ACTUAL PLAN
9
ACTUAL PLAN
10
ACTUAL PLAN
11
ACTUAL
Mengetahui, Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.18 Form Evaluasi Pengawasan Rencana Perbaikan Proses Kiln
Form di atas selanjutnya diparaf oleh kepala Departemen Plant 3 selaku Leader teratas di Plant 3 yang memvalidasi form. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur organisasi di Departemen Plant 3, bahwa wewenang tertinggi berada di tangan kepala departemen.
I - 119
3. Pendokumentasian Proses Perawatan Mesin Kiln Rambu-rambu proses yang jelas sangat diperlukan dalam melaksanakan perbaikan proses ini. Oleh karena itu, dibuat prosedur pelaksanaan perawatan mesin kiln yang saat ini dilaksanakan di Departemen Plant 3 PT. IKAD, disajikan pada Gambar 4.19 berikut ini.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.19 Prosedur Pelaksanaan Perawatan Mesin Kiln PT. IKAD
Selanjutnya akan digambarkan usulan prosedur pelaksanaan perawatan overhaul mesin kiln yang diwakili oleh garis putus-putus berwarna merah dimana pada prosedur usulan ini menitikberatkan pada komunikasi diantara para staff dan sosialisasi yang terjadi antara para staff dan karyawan yang disajikan pada Gambar 4.20 berikut ini.
I - 120
Gambar 4.20 Usulan Prosedur Pelaksanaan Perawatan Mesin Kiln
B. Usulan Perbaikan (Improve) Keseluruhan Usulan perbaikan ini difokuskan kepada CTQ kunci yang sebelumnya terpilih yaitu melenting. Usulan perbaikan yang diusulkan diantaranya melakukan action planning for failure modes terhadap sebab-sebab terjadinya kegagalan melenting, serta mendokumentasikan proses operasional.
I - 121
1. Melakukan Action Planning for Failure Modes Data modus kegagalan yang telah dibuat sebelumnya melalui failure modes and effect analysis (FMEA) dijadikan dasar dalam pembuatan tabel usulan Action Planning for Failure Modes yang selanjutnya disajikan pada Tabel 4.25 berikut ini.
Tabel 4.25 Action Planning for Failure Modes Rank
Failure
Actionable
Design Action /
Modes
Cause
Potensial Solutions
ü
Damper angin pembakaran terlalu besar dan Damper blower tertutup
Damper angin pembakaran disetting agar tidak terlalu besar
ü
Flame Detection error
ü
Tekanan gas turun dari PLN
ü
Ring gas error
ü
Sensor kiln error
ü
Komponen panel kiln kotor
Pembersihan secara rutin
ü
Pembukaan damper blower terlalu kecil
ü
Roller kurang diberi pelumas
ü
Bantalan roller robek dan melar Penempatan roller kurang tepat Jarang diperiksa dan dibersihkan
Mensetting damper blower secara berkala Memberi pelumas secara berkala apabila roller agak macet Mengganti dengan bantalan roller yang baru dan berkualitas Mengecek dan menempatkan kembali roller dengan tepat Roller kiln secara rutin diperiksa dan dibersihkan Pembersihan komponen yang kotor secara rutin Penggantian salah satu komponen yang putus dan rusak Penggantian dan peningkatan kualitas gigi yang sudah aus dan rontok Dapat biberi pelumas apabila dilihat kurang Pengecekan Fotocel tiap periode
Burner nozzle 1 bermasalah
Panel gas 2 tidak berfungsi
Panel kiln 3 tidak berfungsi
Roller Kiln 4 macet dan kendor
ü ü
5
6
Actuator macet
ü
Komponen kotor
ü
Komponen putus / rusak
ü
Gigi Aus dan rontok
ü
Kurang pelumas
ü
Fotocel tidak berfungsi
Gearbox failure
I - 122
Mensetting flame detection secara berkala Mengganti tenaga listrik dengan genset Mensetting ring gas secara berkala Mensetting sensor kiln secara berkala
2. Usulan Proses Standar Operasional (SOP) Perawatan maintenance kiln Prosedur perawatan maintenance kiln standar yang dilakukan perusahaan agar proses kiln berjalan lancar dan produk yang dihasilkan tidak melenting didokumentasikan pada Standar Operasional Procedures (SOP) Maintenance Kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD yang disajikan pada Gambar 4.21 berikut ini.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.21 Dokumentasi Aliran Informasi SOP Maintenance Kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD
Dari Gambar 4.21 diatas dapat dilihat kurang dan tidak terdapatnya pengawasan dan perawatan terhadap komponen mesin kiln yang didapatkan sebelumnya pada usulan Action Planning for Failure Modes dalam Tabel 4.25, seperti burner nozzle, roller kiln, gearbox, dan actuator, sehingga dapat diusulkan prosedur standar operasional yang baru.
I - 123
Adapun usulan dokumentasi aliran informasi Standard Operational Procedures (SOP) maintenance kiln berdasarkan informasi tambahan yang didapatkan dari tahap pengolahan FMEA selanjutnya disajikan pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Usulan Dokumentasi Aliran Informasi SOP Maintenance Kiln
I - 124
Garis-garis putus berwarna merah pada Gambar 4.22 di atas menunjukan usulan perbaikan yang dilakukan pada pendokumentasian aliran informasi SOP maintenance kiln. Hal ini dilakukan untuk mencegah kegagalan yang sama pada mesin kiln terulang kembali.
4.4.3. Usulan Pengendalian (Control) Burner nozzle Pada tahap ini dipaparkan usulan dalam upaya mengendalikan perbaikanperbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar permasalahan burner nozzle yang bermasalah dapat diminimasi dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang. 1. Pembuatan report control temperatur proses pembakaran Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari temperatur pembakaran yang ada. Data dapat diambil secara rutin dari pengawasan temperatur melalui thermocouple oleh operator kiln dari ketiga fase pembakaran yaitu fase preheating, kiln, dan cooling dan masing-masing dibuat grafiknya. Report control temperatur yang dibuat oleh PT. IKAD tiap fase, yaitu fase preheating, kiln, dan cooling akan dilakukan penyederhanaan dengan menjadikan satu form grafik report yang akan disajikan pada Gambar 4.26. A. Report Control Preheating Pada fase ini idealnya grafik yang dihasilkan dari data tersebut stabil pada temperatur 500oC-800oC, karena apabila turun atau naik dari interval temperatur yang ideal tersebut berarti kinerja kiln pada tahap pembakaran awal bermasalah, khususnya burner nozzle kurang optimal. Report harian temperatur preheating secara rutin harus diparaf oleh kepala bagian kiln selaku Leader pada bagian kiln di Departemen Plant 3. Report temperatur preheating harian disajikan pada Gambar 4.23 berikut ini.
I - 125
REPORT TEMPERATUR PREHEATING DEPARTEMEN PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006 TEMPERATUR 750 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 850 850 800 850 850 900 900 900
GRAFIK REPORT PREHEATING PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
950 900
TEMPERATUR
JAM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
850 800 750 700 650 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 WAKTU (JAM )
Mengetahui, Kepala bagian Kiln
Koordinator Kiln
Gambar 4.23 Report Temperatur Preheating Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang memvalidasi form.
B. Report Control Firing Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari temperatur pembakaran yang ada. Data dapat diambil dari pengawasan secara rutin oleh operator kiln mengenai temperatur firing yang ada dan dibuat grafik, dimana idealnya grafik yang dihasilkan dari data tersebut diharapkan temperatur berada dalam interval 1150oC - 1170oC, karena apabila turun atau naik dari interval temperatur yang ideal tersebut berarti kinerja kiln pada tahap pembakaran, khususnya kinerja burner nozzle kurang optimal. Report harian temperatur firing secara rutin harus diparaf oleh kepala bagian kiln selaku Leader pada bagian kiln. Report temperatur firing harian disajikan pada Gambar 4.24.
I - 126
REPORT TEMPERATUR FIRING DEPARTEMEN PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006 TEMPERATUR 1100 1150 1155 1150 1160 1150 1150 1150 1155 1155 1150 1150 1170 1170 1155 1160 1150 1150 1150 1150 1165 1150 1150 1150
GRAFIK REPORT FIRING PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
1180 1160 TEMPERATUR
JAM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1140 1120 1100 1080 1060 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 WAKTU (JAM)
Mengetahui, Kepala bagian Kiln
Koordinator Kiln
Gambar 4.24 Report Temperatur Firing Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang memvalidasi form.
C. Report Control Cooling Pada tahap pendinginan ini, indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari temperatur yang dihasilkannya. Data dapat diambil dari pengawasan secara rutin oleh operator kiln mengenai temperatur pada fase cooling yang ada dan dibuat grafik, dimana idealnya grafik yang dihasilkan, temperatur berada dalam interval 1150oC - 1170oC, karena apabila turun atau naik dari interval temperatur yang ideal tersebut berarti kinerja kiln, khususnya burner nozzle kurang optimal. Report harian temperatur pada fase cooling secara rutin harus
I - 127
diparaf oleh kepala bagian kiln selaku Leader pada bagian kiln. Report temperatur fase cooling harian disajikan pada Gambar 4.25.
REPORT TEMPERATUR COOLING DEPARTEMEN PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006 TEMPERATUR 600 620 650 650 600 600 600 600 600 600 600 600 550 600 500 500 500 500 500 550 500 500 550 500
GRAFIK REPORT COOLING PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
700 600 500 TEMPERATUR
JAM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
400 300 200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 WAKTU (JAM)
Mengetahui, Kepala bagian Kiln
Koordinator Kiln
Gambar 4.25 Report Temperatur Cooling Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang memvalidasi form.
D. Report Control Integrasi Fase Pembakaran Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat keseluruhan dengan melihat report control integrasi fase pembakaran. Data dapat diambil dari ketiga fase pembakaran di atas, yaitu fase preheating, firing, dan cooling. Data temperatur ketiga fase tersebut selanjutnya dibuat grafik, dimana idealnya grafik yang dihasilkan dari data tersebut diharapkan naik pada fase preheating, stagnan
I - 128
pada fase firing, dan turun pada fase cooling atau pendinginan, karena apabila terjadi grafik yang jauh dari pola tersebut, berarti kinerja kiln, khususnya burner nozzle kurang optimal. Report control integrasi ketiga fase pembakaran harian disajikan pada Gambar 4.26. REPORT TEMPERATUR KILN DEPARTEMEN PLANT 3 TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
Jam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
750 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 800 850 850 800 850 850 900 900 900
TEMPERATUR 1100 1150 1155 1150 1160 1150 1150 1150 1155 1155 1150 1150 1170 1170 1155 1160 1150 1150 1150 1150 1165 1150 1150 1150
600 620 650 650 600 600 600 600 600 600 600 600 550 600 500 500 500 500 500 550 500 500 550 500
GRAFIK REPORT INTEGRASI PROSES UTAMA KILN P3 TGL11/11/2006 1400
TEMPERATUR
1200 1000 800 600 400 200
21
17
9
13
5
1
21
17
9
13
5
1
21
17
9
13
5
1
0
Waktu (Jam)
Mengetahui, Kepala bagian Kiln
Koordinator Kiln
Gambar 4.26 Report Temperatur Integrasi Ketiga Fase Pembakaran Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh kepala bagian kiln selaku leader pada bagian kiln serta koordinator kiln selaku pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang memvalidasi form.
I - 129
Selanjutnya dibuat form control perkembangan kondisi burner nozzle tiap bulannya untuk evaluasi pengendalian kondisi burner nozzle sehingga kondisi burner nozzle dapat selalu dipantau dan diambil langkah-langkah perbaikan yang terangkum dalam tahap perbaikan (improve) di atas. Adapun form lanjutan untuk control perkembangan burner nozzle tiap periodenya beserta keterangan seperlunya ditampilkan pada Gambar 4.27.
PERKEMBANGAN KONDISI BURNER NOZZLE DEPARTEMEN PLANT 3 PT. IKAD Bulan : Tahun : Periode (Minggu)
Kondisi Komponen Burner nozzle Damper Damper Flame angin Blower Detection
Kondisi Burner nozzle
Paraf Validasi Keterangan
Normal
Buruk
Koordinator Kiln
Kepala Mtc
1 2 3 4 5 6 . . n Keterangan : - Komponen Burner nozzle yang diberi tanda check (v) apabila Kondisi normal / baik dan minus (-) apabila bermasalah - Kondisi Burner nozzle keseluruhan diberi tanda check (x) pada kolom normal atau buruk Tangerang, Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.27 Perkembangan Kondisi Burner Nozle
Gambar 4.27 diatas setiap minggunya dapat dilihat kondisi burner nozzle agar apabila terjadi kondisi yang buruk, dapat langsung dilakukan pencegahan dini sehingga kondisi burner nozzle selalu optimal. Form ini harus selalu diparaf validasinya oleh koordinator kiln dan kepala maintenance dan selanjutnya diparaf oleh Kepala Departemen Plant 3.
I - 130
4.4.4. Usulan Pengendalian (Control) Keseluruhan Tahap control ini juga untuk mengetahui apakah hasil dari solusi permasalahan menghasilkan proses baru yang stabil yang tentunya dapat dilakukan dengan melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan. Verifikasi yang dilakukan adalah verifikasi terhadap perubahan atau penurunan proporsi cacat, verifikasi peningkatan kapabilitas proses dan verifikasi peningkatan level Sigma. Adapun pengendalian yang dilakukan sebagai berikut: 1. Mengimplementasikan pengendalian proses statistik secara langsung Implementasi pengendalian proses statistik secara langsung dapat dilakukan dengan tools sederhana Run Chart. Gambar 4.28 menunjukkan tingkat defect. Gambar tersebut tidak merangkum bebagai informasi, tetapi memberikan berbagai ide dari kecenderungan secara umum dan tingkat variabilitas proses.
Jumlah Defect Melenting
Perbaikan proses
Periode Waktu
Gambar 4.28 Run Chart Tingkat Defect
2. Melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan proses dengan secara rutin melakukan verifikasi penurunan DPMO tiap periode dan mengukur hasil pencapaian proses setiap periode waktu tertentu serta mengontrol dan memonitor hasil-hasilnya oleh tim proyek Six Sigma sehingga target kinerja tingkat sigma yang diinginkan bisa tercapai dan sesuai dengan target waktu yang telah dibuat dengan form pencapaian target kinerja dari critical to quality (CTQ) yang disajikan pada Gambar 4.29 berikut.
I - 131
PENCAPAIAN TARGET KINERJA DARI CRITICAL TO QUALITY (CTQ) MELENTING SELAMA MASA PROYEK SIX SIGMA PERIODE
TARGET
TARGET
AKTUAL
PERSENTASE PENCAPAIAN
KETERANGAN HASIL
(BULAN)
SIGMA
DPMO
DPMO
TARGET (%)
PENCAPAIAN
25.527
-
-
-
0
Staff dan Operator masih
1
3,50
22.750
40.773
20,78 %
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
3,75 4,00 4,25 4,50 4,75 5,00 5,10 5,20 5,30 5,40 5,50 5,60 5,70 5,80 5,90 5,99 6,00
12.224 6.210 2980 1350 577 233 159 108 72 48 32 21 13 9 5 4 3
-
-
belum kompak serta mesin kiln masih sering down
-
Keterangan : Persentase pencapaian target DPMO dihitung, sebagai berikut : Pencapaian target = 100 % - {(Aktual-Target) / Target } X 100 % Pencapaian target untuk periode ke-1 = 100 % - {(40.773 - 22.750) / 22.750} x 100 % = 100 % - 79,22 % = 20,78 % Mengetahui, Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.29 Form Pencapaian Target Kinerja Dari Critical To Quality Melenting
Laporan perkembangan pencapaian target kinerja CTQ melenting di atas selalu dievaluasi tiap periodenya. Form laporan ini selanjutnya divalidasi oleh kepala Departemen Plant 3, dimana beliau memiliki wewenang tertinggi di Departemen Plant 3.
I - 132
3. Pembuatan Design control validation Pembuatan design control validation dilakukan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah dilaksanakan pada Action Planning for Failure Modes sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik. control validation dapat dibuat berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah dilaksanakan. Adapun design Control Validation biasanya ditabelkan pada Tabel 4.26 sebagai berikut.
Tabel 4.26 Design Control Validation Rank
Failure Modes
Actionable Cause ü
Damper angin pembakaran terlalu besar dan Damper blower tertutup
ü
Flame Detection error
ü
Tekanan gas turun dari PLN
Burner nozzle 1 bermasalah
Panel gas 2 tidak berfungsi
tidak berfungsi
macet dan kendor
5
6
Potensial Solutions
Validation
Damper angin pembakaran disetting agar tidak terlalu besar
Melakukan Pengawasan selama penyetingan untuk memastikan operator telah mengerti
Mensetting flame detection secara berkala Mengganti tenaga listrik dengan genset
ü
Ring gas error
ü
Sensor kiln error
ü
Komponen panel kiln kotor
Pembersihan secara rutin
ü
Pembukaan damper blower terlalu kecil
Mensetting damper blower secara berkala
ü
Roller kurang diberi pelumas
Memberi pelumas secara berkala apabila roller agak macet
ü
Bantalan roller robek dan melar
Mengganti dengan bantalan roller yang baru dan berkualitas
ü
Penempatan roller kurang tepat
Mengecek dan menempatkan kembali roller dengan tepat
ü
Jarang diperiksa dan dibersihkan
Roller kiln secara rutin diperiksa dan dibersihkan
ü
Komponen kotor
ü
Komponen putus / rusak
ü
Gigi Aus dan rontok
ü
Kurang pelumas
Penggantian dan peningkatan kualitas gigi yang sudah aus dan rontok Dapat biberi pelumas apabila dilihat kurang
ü
Fotocel tidak berfungsi
Pengecekan Fotocel tiap periode
Roller Kiln 4
Design Control
Mensetting ring gas secara berkala Mensetting sensor kiln secara berkala
Panel kiln 3
Design Action /
Actuator macet
Gearbox failure
I - 133
Pembersihan komponen yang kotor secara rutin Penggantian dan peningkatan kualitas salah satu komponen yang putus dan rusak
Dokumentasi SOP yang standar
Dokumentasi SOP yang standar
Laporan maintenance Roller kiln secara berkala
Penawasan ketat terhadap actuator yang potensial macet
Pengawasan operasional secara berkala
4. Pendokumentasian Proses Perawatan maintenance kiln Prosedur standar dari tahap improve di atas harus selalu dikontrol dan dievaluasi. Validasi oleh kepala departermen dan koordinator kiln diberikan tiap kali dilakukan evaluasi permasalahan seputar SOP maintenance kiln. Adapun Prosedur standar yang dijadikan pedoman proses maintenance kiln beserta checklist tiap kali satu proses dilakukan dan kolom masalah yang berisi permasalahan yang dihadapi. Adapun form evaluasi permasalahan SOP maintenance kiln disajikan pada Gambar 4.30 berikut ini. FORM EVALUASI PERMASALAHAN SOP MAINTENACE KILN DEPARTEMEN PLANT 3 PT.IKAD NO
PROSES
STANDARD
CHECK
MASALAH
Turunkan Temperatur , Burner matikan, tutup Valve Burner, Turunkan set Temperatur sampai dengan 8000C Cabut Roll (ganti Apabila bantalannya robek atau melar) dari Pre-Heating, Firing & Cooling ganti yang aus bersihkan,pasang danKiln beri kapas Pembersihan Roller Pelumasan Roller Kiln Setting penempatan Roller Kiln Check damper angin dan bersihkan Check Tegangan V. Belt Pelumasan Pillow Block Chimney Fan Pelumasan Pillow Block Combustion Fan Pelumasan Pillow Block Suction Fan
1
Proses Perawatan dan Perbaikan Kiln
Pelumasan Pillow Block Rapid Cooling Pelumasan Pillow Block Cooling Fan Pelumasan Pillow Block As Transmission Pelumasan Gearbox (ganti apabila aus atau rontok) Check skat atas bawah Firing & Cooling Check dan bersihkan damper blower Bersihkan Burner yg operasi dari Pre-Heating dan Firing buka dari tutupnya Setting Sensor Kiln dan Flame Detection Bersihkan Actuator dan ganti apabila putus atau rusak Check Pipa Rapid Cooling, ganti yg bengkok dan patah Setting Ring Gas dan Ganti Bearing TR4 yang macet dari Pre-Heating s/d cooling Bersihkan dalam + komponen panel kiln Bersihkan pipa Cooling Exit yang tersumbat Start Pemanasan
Tangerang, Kepala Departemen P3
Koordinator Kiln
Gambar 4.30 Form Evaluasi Permasalahan SOP Maintenance Kiln
I - 134
5. Mempertahankan atau menstabilkan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusus yang berhubungan dengan faktor manusia, peralatan, material, lingkungan yang dianggap merugikan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat diagram fishbone, dimana tools ini dapat selalu diperbaharui untuk variasi-variasi penyebab terjadinya kemelentingan. Para pekerja harus selalu berupaya untuk meminasi variasi penyebab khusus tersebut, karena penyebab ini berpotensial dapat dikurangi, sehingga kita dapat selalu mempertahankan atau menstabilkan proses tersebut. Adapun stabilisasi proses dapat pula dilakukan dengan meminimasi variasi penyebab terjadinya kemelentingan, sehingga akar-akar penyebab terjadinya kemelentingan dapat ditekan dan faktor-faktornya dapat pula diminimasi dengan adanya perbaikanperbaikan terus menerus dalam perusahaan khususnya pada bagian kiln.
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Bab ini berisi mengenai analisa dan interpretasi hasil dari penelitian. Bab ini diharapkan dapat memenuhi tujuan penelitian yang berpedoman pada konsep DMAIC dari metode Six Sigma yang digunakan, yaitu tahapan pendefinisian (Define), pengukuran (Measure), analisa (Analyze), serta usulan perbaikan (Improve) dan pengendalian (Control) yang akan dijelaskan pada sub bab - sub bab dibawah ini.
5.1 ANALISIS TAHAP DEFINE Pada langkah analisis awal ini dilakukan untuk tahap Define dimana dilakukan analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap yang digunakan untuk mendapatkan CTQ prioritas.
5.1.1
ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN – KINERJA DAN GAP Tingkat kepentingan - kinerja dan gap digunakan untuk mendefinisikan
Critical To Quality (CTQ) prioritas yang didapatkan dari gap nilai customer
I - 135
importance dengan customer satisfaction yang dirangkum urutannya dalam Tabel 5.1 di bawah ini.
Tabel 5.1 Urutan Selisih Nilai dan Letak Kuadran Customer Importance dengan Customer Satisfaction Customer Importance (Rata-rata) 4,18
Customer Satisfaction (Rata-rata) 2,45
Selisih (Gap) 1,73
Sompel sesudah kiln
3,64
2,45
1,19
A
Oversize
4,27
3,09
1,18
B
Goyang
4,18
3,36
0,82
B
Numpuk
3,64
3,00
0,64
B
Pecahan tile
3,55
3,00
0,55
B
Retakan cooling atau preheating
4,00
3,73
0,27
B
Kotoran kiln
3,27
3,09
0,18
B
Gores
3,73
3,64
0,09
B
CTQ Melenting
Kuadran A
Adapun Tabel 5.1 di atas menunjukkan rata-rata nilai dan selisih nilai customer importance dengan customer satisfaction serta letak kuadran untuk setiap CTQ yang telah diurutkan dari yang paling besar hingga yang paling kecil. CTQ teratas yaitu melenting memiliki nilai sebesar 4,18. Nilai tersebut berarti bahwa pelanggan, dalam hal ini pelanggan internal Departemen Plant 3, yaitu karyawan bagian exit kiln berpendapat bahwa tegel keramik yang tidak melenting ialah penting untuk dipenuhi oleh departemen Plant 3. Sedangkan, untuk customer satisfaction didapatkan nilai sebesar 2,45. Nilai tersebut berarti bahwa pelanggan, dalam hal ini pelanggan internal, yaitu karyawan bagian exit kiln tidak puas akan hasil dari tegel keramik melenting yang diproduksi oleh departemen Plant 3. Tabel 5.1 diatas menunjukkan pula bahwa melenting memiliki selisih terbesar dan terletak di kuadran A, yaitu kuadran yang kritis untuk diperbaiki. CTQ ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun mempunyai kualitas yang rendah sehingga pelanggan internal exit kiln merasa tidak puas terhadap tegel keramik yang dihasilkan. Perhitungan customer importance menunjukkan bahwa CTQ melenting memiliki nilai tertinggi. Hal ini berarti bahwa CTQ melenting dinilai paling penting oleh pelanggan internal exit kiln dalam hubungannya untuk memenuhi
I - 136
kebutuhan akan tegel keramik yang berkualitas. Di sisi lain, melalui nilai customer satisfaction, pelanggan merasa cukup puas terhadap kualitas CTQ melenting yang dihasilkan Departemen Plant 3 tersebut. Perbandingan customer importance dan customer satisfaction kebutuhan customer pada setiap CTQ tegel keramik seperti contoh di atas, menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan urutan CTQ kunci prioritas. Secara logika, prinsip Six Sigma menganjurkan perusahaan agar lebih memfokuskan perbaikan pada CTQ yang mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi bagi customer, namun kurang dapat memberikan kepuasan pada customer tersebut. Hal tersebut dapat diakomodasi dengan cara mencari selisih atau gap antara customer importance dengan customer satisfaction untuk setiap CTQ. Semakin besar selisihnya, maka perbedaan customer importance dan customer satisfaction yang diberikan CTQ tersebut kepada customer menjadi semakin besar, yang artinya CTQ tersebut semakin perlu diperhatikan dan diperbaiki kualitasnya.
Customer Importance
5 Melenting
A
B 4
1
3
2
4
5
2 C
D 1
Customer Satisfaction
Gambar 5.1 Diagram Kartesius Customer Importance – Satisfaction Untuk CTQ Prioritas
Pada Gambar 5.1 di atas yang merupakan penggambaran ringkas dari Gambar 4.3 sebelumnya, dapat dilihat untuk tingkat kepentingan - kinerja didapatkan pada kuadran A terdapat titik melenting, yang selanjutnya menjadi CTQ prioritas yang dijadikan fokus perbaikan. Dengan demikian, CTQ melenting perlu mendapat perhatian serius oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD dan pada
I - 137
penelitian ini diprioritaskan untuk dibahas secara mendetail. Selanjutnya, analisis terhadap level sigma, stabilitas, kapabilitas proses, akar penyebab masalah, serta kegagalan yang sering terjadi ditekankan pada CTQ melenting.
5.2 ANALISIS TAHAP MEASURE Pada analisis tahap pengukuran (measure) dilakukan analisis mendalam mengenai level sigma, stabilitas proses dan kapabilitas proses.
5.2.1
ANALISIS LEVEL SIGMA Berdasarkan perhitungan level sigma yang telah dilakukan, didapatkan
keluaran proses pada tegel keramik kode GE untuk tiap periode yang berbeda yaitu level sigma pada cacat melenting produk tegel keramik kode GE yang didasarkan pada data bulan Januari 2006 dan Februari 2006 dimana untuk perbandingannya tiap level disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini. Perbandingan DPMO dan Level Sigma 800000 700000
DPMO (Unit)
600000
DPMO dan Level Sigm a 500000
DPMO dan Level Sigm a Bulan Januari 2006
400000
DPMO dan Level Sigm a Bulan Februari 2006
300000 200000 100000 0
1
2
3
4
5
6
Level Sigma (Sigma)
Gambar 5.2 Perbandingan Nilai DPMO dan Level Sigma Perusahaan
Gambar 5.2 di atas menggambarkan level sigma pada bulan Januari 2006 berada pada nilai sebesar 25527 DPMO atau level kinerja 3,46 sigma yang diwakili oleh batang berwarna ungu. Hal ini memiliki pengertian bahwa dari sejuta kesempatan atau kejadian yang ada akan terdapat 25527 kemungkinan bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat, dalam hal ini menyimpang dari
I - 138
standar kemelentingan tegel keramik. Artinya dilihat secara hasil dari tegel keramik tersebut yaitu 97,4473% memenuhi kriteria standar spesifikasi kemelentingan yang ditetapkan perusahaan. Untuk level sigma pada bulan Februari 2006 berada berada pada nilai sebesar 40773 DPMO atau level kinerja 3,24 sigma yang diwakili oleh batang berwarna kuning. Hal ini memiliki pengertian bahwa dari sejuta kesempatan atau kejadian yang ada akan terdapat 40773 kemungkinan bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat, dalam hal ini menyimpang dari standar kemelentingan tegel keramik. Artinya dilihat secara hasil dari tegel keramik tersebut yaitu 95,9227% memenuhi kriteria standar spesifikasi kemelentingan yang ditetapkan perusahaan. Dilihat dari Gambar 5.2, DPMO untuk bulan Januari 2006 menuju Februari 2006 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu sekitar 15246 kemungkinan bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat atau apabila dikonversi ke dalam level sigma yaitu turun sebesar 0,22 sigma. Dapat dianalisis pula DPMO untuk bulan Januari 2006 (yang diwakili oleh batang merah) menuju bulan Februari 2006 (yang diwakili oleh batang kuning), mengalami peningkatan DPMO sebesar 62,6 % dari 25527 kecacatan menjadi 40773 kecacatan. Hal ini disebabkan oleh berbagai variasi, baik variasi umum maupun khusus, dimana akan dianalisa pada penelusuran akar penyebab masalah. Pada intinya, dengan nilai level sigma sekitar 3 (tiga) perusahaan dapat dikategorikan sebagai perusahaan rata-rata di Indonesia. Apabila dilihat dari fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa Departemen Plant 3 jauh lebih mementingkan hasil (product oriented) daripada proses (process oriented) dengan tidak terlalu mementingkan proses dari produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dibuktikan dimana Departemen Plant 3 masih mentolerir puluhan ribu kesalahan atau kecacatan, padahal dalam prinsip Six Sigma, hanya memperbolehkan kesalahan 3 hingga 4 buah kesalahan dari satu juta kesempatan proses.
5.2.2
ANALISIS STABILITAS PROSES Analisis terhadap stabilitas proses dilakukan pada tiap periode pengukuran
dimana stabilitas proses dihitung sebagai persyaratan untuk pengukuran kapabilitas proses selanjutnya. Berdasarkan perhitungan stabilitas yang telah
I - 139
dilakukan dengan menggunakan peta kontrol p, didapatkan stabilitas proses pada tegel keramik kode GE yang berbeda untuk tiap periode yang telah diukur.
0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
3
6
11
15
19
20
22
23
24
25
26
27
Obs ervas i ke Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 5.3 Data Menyimpang Awal Bulan Januari 2006
Untuk stabilitas proses yang menggunakan tool peta kendali proses bulan Januari 2006 dari gambar 5.3 di atas didapatkan bahwa data kurang stabil (tidak dalam kondisi terkendali) yang dapat dilihat dari proses ke - 2, 5, 10, 14, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas atas sebesar 0,0392 dan garis batas bawah sebesar 0,0119 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0255. Data-data yang tidak stabil tersebut disebabkan oleh variasi khusus dimana selanjutnya data yang keluar batas tersebut dibuang sehingga proses berada di dalam kendali secara statistik serta stabil dengan garis batas atas sebesar 0,0318 dan garis batas bawah sebesar 0,0077 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0198.
I - 140
0.2 0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
3
4
5
8
10
11
13
14
15
16
17
24
25
26
Ob s e rvas i ke Proporsi
UCL
LCL
CL
Gambar 5.4 Data Menyimpang Awal Bulan Februari 2006
Dari Gambar 5.4 di atas untuk stabilitas proses yang menggunakan tool peta kendali proses bulan Februari 2006, didapatkan bahwa data kurang stabil (tidak dalam kondisi terkendali) yang dapat dilihat dari proses ke - 3, 4, 5, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas atas sebesar 0,0579 dan garis batas bawah sebesar 0,0236 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0408. Data-data yang tidak stabil tersebut disebabkan oleh variasi khusus dimana agar proses stabil kita eliminasi data tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil tindakan terhadap perbaikan proses pembuatan produk tegel keramik, sehingga didapatkan data baru revisi 1 dan setelah dilakukan revisi, ternyata masih jelas terlihat bahwa pada data ke 10 masih keluar dari garis batas atas sebesar 0,0473 dan garis batas bawah sebesar 0,0168 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0321. Oleh karena itu kita buang kembali data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 2 yang pada akhirnya terlihat bahwa data telah berada dalam kondisi yang stabil dan terkendali secara statistik dengan garis batas atas sebesar 0,0450 dan garis batas bawah sebesar 0,0154 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0302, sehingga selanjutnya dapat dihitung kapabilitas prosesnya. Untuk kenyataan yang terdapat di lapangan, dapat dilakukan perbaikan proses dengan cara mencari faktor penyebab khusus yang mempengaruhi ketidakstabilan proses, seperti yang telah didapatkan bahwa terdapat faktor-faktor
I - 141
penyebab seperti dari tenaga kerja seperti kurangnya motivasi dan kurang telitinya para karyawan, dari faktor material seperti campuran material, kadar air yang masih belum optimal, serta dari lingkungan seperti lingkungan yang kotor, suhu dan kelembaban serta debu dan kotoran sehingga mempengaruhi ketidakstabilan tersebut.
5.2.3
ANALISIS KAPABILITAS PROSES Analisis kapabilitas proses dilakukan pada tegel keramik kode GE yang
diproduksi oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD. Adapun rangkuman hasil pengukuran kapabilitas proses untuk tegel keramik kode GE untuk tiap periode pengamatan besera rata-ratanya ditampilkan pada Tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Rangkuman hasil kapabilitas proses Periode
Cp
Keterangan
Cpk
Keterangan
Januari 2006
0,9745
Proses mampu
0,65318
Proses cukup mampu
Februari 2006
0,9592
Proses mampu
0,57992
Proses cukup mampu
Rata-rata
0,9668
Proses mampu
0,61655
Proses cukup mampu
Pengamatan
Berdasarkan hasil kapabilitas proses dan indeksnya sesuai tabel 5.2 di atas, dapat diketahui bahwa proses produksi tegel keramik kode GE dengan CTQ melenting untuk bulan Januari 2006 memiliki kapabilitas proses yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,9745 yang berarti proses tersebut masih mampu untuk memproduksi tegel keramik berdasarkan output kecacatan proses yang dihasilkan yang dapat diinterpretasikan bahwa dari sejuta kesempatan yang ada akan terdapat 25527 kesempatan bahwa proses produksi tidak mampu menghasilkan keluaran yang baik yang diinginkan oleh pelanggan langsung yaitu exit kiln. Selanjutnya, untuk nilai indeks kapabilitas prosesnya dapat dikatakan bahwa proses cukup mampu. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai Cpk untuk bulan Januari 2006 sebesar 0,65318 yang dapat diartikan bahwa proses cukup mampu namun perlu upayaupaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. Berdasarkan hasil kapabilitas proses dan indeksnya sesuai tabel 5.2 di atas, dapat diketahui bahwa proses produksi tegel keramik kode GE dengan CTQ
I - 142
melenting untuk bulan Februari 2006 memiliki kapabilitas proses yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,9592 yang dapat diinterpretasikan bahwa proses tersebut masih mampu untuk memproduksi tegel keramik berdasarkan output kecacatan proses yang berarti bahwa dari sejuta kesempatan yang ada akan terdapat 40773 kesempatan bahwa proses produksi tidak mampu menghasilkan keluaran yang baik yang diinginkan oleh pelanggan langsung yaitu exit kiln. Selanjutnya, untuk nilai indeks kapabilitas prosesnya dapat dikatakan bahwa proses cukup mampu. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai Cpk untuk bulan Februari 2006 sebesar 0,57992 yang dapat diartikan bahwa proses cukup mampu namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.
Cpk
0,57992
0,5
Ket :
1,5
0,65318
: Cpk Bulan Januari 2006 : Cpk Bulan Februari 2006 Gambar 5.5 Letak Indeks Kapabilitas Proses dengan Kriteria Gambar 5.5 di atas memberikan gambaran mengenai posisi perusahaan,
yang diwakilkan oleh warna biru untuk bulan Januari 2006 dan warna merah untuk bulan Februari 2006 dibandingkan dengan nilai minimum dan maksimum dari nilai Cpk. Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma. Selain itu, dengan indeks sebesar 0,65318 untuk bulan Januari 2006 dan untuk bulan Februari 2006 sebesar 0,57992, dapat disimpulkan bahwa proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target yang diinginkan. Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma yang dapat dilihat dari kriteria (Rule of Thumb) untuk indeks kapabilitas proses (Mc Fadden, 1993).
I - 143
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa perusahaan dikategorikan berada pada tingkat rata-rata industri di Indonesia.
5.3 ANALISIS TAHAP ANALYZE Pada tahap analyze ini dilakukan Analisis penelusuran secara mendalam dari akar penyebab masalah serta menganalisis FMEA (Failure Modes and Effect Analysis).
5.3.1
ANALISIS PENELUSURAN AKAR PENYEBAB MASALAH Analisis penelusuran akar penyebab masalah ditekankan pada penyebab
tegel keramik yang melenting yang sebelumnya telah disajikan pada Gambar 4.9, yang selanjutnya dirangkum pada Tabel 5.3 di bawah ini. Pembahasan selanjutnya dikategorikan menurut penyebab utama, yang dalam diagram Fishbone digambarkan dalam tulang besar yang kemudian secara lebih lengkap dibahas untuk tiap penyebab khusus yang dalam diagram Fishbone digambarkan dalam tulang kecil.
Tabel 5.3 Rangkuman Diagram Sebab Akibat SEBAB
AKIBAT Tulang Besar Melenting
Metode
Tulang Kecil v Pengaturan suhu v Salah setting mesin kiln v Pengaturan di panel gas
Tenaga Kerja
v Kurang teliti v Training kurang v Kurang motivasi
Material
v Kadar air v Lapisan Alumina v Jenis glasir
Pengukuran
I - 144
v Alat ukur suhu rusak
Lingkungan
v Debu sisa clay v Kotoran v Suhu dan kelembaban
v v Mesin dan Peralatan v v v v
Panel kiln Burner Nozzle Panel gas Actuator Roller kiln Gearbox
A. Metode Metode atau proses merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hasil akhir produk tegel keramik yang dapat dikategorikan sebagai jenis sumber variasi umum karena sifatnya yang melekat pada sistem kiln. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor metode atau proses, yaitu sebagai berikut: v Pengaturan Suhu Pengaturan suhu yang kurang sesuai memiliki peranan dalam membuat tegel keramik menjadi melenting, Karen suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan tegel keramik melenting ke atas atau ke bawah.
v Salah Setting Mesin Kiln Kesalahan dalam menyetting mesin kiln dapat menyebabkan mesin kiln tidak dapat bekerja dengan semestinya, dan apabila setting awal sudah salah, maka tegel keramik yang melenting potensial terjadi. v Pengaturan di Panel Gas Pengaturan panel gas yang kurang cermat dapat membuat gas yang keluar dari saluran tidak baik, sehingga pada akhirnya menyebabkan gas yang tercampur dengan angin dan api tidak optimal yang bisa menyebabkan pembakaran kurang sempurna. Pembakaran yang kurang sempurna tersebut akan menyebabkan tegel keramik melenting.
I - 145
B. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas akhir produk tegel keramik. Perannya sebagai operator yang berada di luar proses namun ikut mempengaruhi kualitas dapat dikategorikan sebagai sumber variasi penyebab khusus. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor tenaga kerja, yaitu sebagai berikut: v Kurang Teliti Kurang telitinya operator dalam bekerja, seperti dalam menyetting mesin dan peralatan kiln dan lalai dalam memberikan bahan-bahan tertentu yang potensial dalam menyebabkan tegel keramik melenting. v Training Kurang Training yang kurang dapat menyebabkan karyawan lalai dalam menjalankan tugasnya dengan baik, karenanya training sangat penting untuk diberikan oleh perusahaan agar karyawan terlatih dan berkembang dalam bekerja. v Kurang Motivasi Jika motivasi karyawan sedang dalam kondisi yang kurang optimal, dapat berakibat menurunnya produktivitas yang secara tidak langsung akan menyebabkan turunnya kualitas tegel keramik termasuk pada karakteristik melenting.
C. Material Material merupakan bahan baku mentah dalam pembuatan tegel keramik. Material merupakan penyebab khusus Karena berasal dari luar proses kiln, namun dapat mengganggu keseluruhan proses kiln, sehingga berpengaruh terhadap kualitas tegel keramik yang dihasilkan oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor material, yaitu sebagai berikut: v Kadar Air
I - 146
Air sebagai bahan baku pencampur glasir sangat mempengaruhi proses pembakaran, dimana apabila air yang dicampur terlalu banyak atau sedikit, maka akan menyebabkan terjadinya kemelentingan. v Lapisan Alumina Lapisan Alumina yang berfungsi agar jalnnya tegel keramik pada roller berjalan dengan lancar memiliki peranan yang penting pula dalam menyebabkan melentingnya tegel keramik. Apabila pemakaian yang terlalu banyak atau sedikit, berpotensial menyebabkan tegel keramik melenting. v Jenis Glasir Jenis glasir sebagai bahan pelapis atas tegel keramik sangat mempengaruhi proses pembakaran yang dilakukan, dimana apabila jenis glasir yang digunakan berbeda untuk campuran bahan lain, maka potensial akan menyebabkan terjadinya kemelentingan.
D. Pengukuran Faktor pengukuran merupkan jenis sumber variasi yang bersifat umum, karena hampir selalu menyertai proses dan melekat pula pada proses, karena pengukuran terhadap kualitas tegel keramik merupakan salah satu bagian dari proses. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor pengukuran, yaitu sebagai berikut: v Alat Ukur Suhu Rusak Rusaknya alat ukur suhu sangat mempengaruhi dalam menyebabkan terjadinya kecacacatan pada tegel keramik terutama melenting. Hal ini disebabkan karena rusaknya alat pandu untuk mengetahui suhu atau temperatur mesin kiln, sehingga operator kemungkinan tidak tahu apakah suhu dalam tungku pembakaran tinggi atau rendah.
E. Lingkungan
I - 147
Faktor lingkungan merupakan salah satu dari penyebab tegel keramik melenting yang merupakan salah satu sumber variasi yang bersifat khusus. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor lingkungan, yaitu sebagai berikut: v Debu Sisa Clay Rusaknya alat ukur suhu sangat mempengaruhi dalam menyebabkan terjadinya kecacacatan pada tegel keramik terutama melenting. Hal ini disebabkan karena rusaknya alat pandu untuk mengetahui suhu atau temperatur mesin kiln, sehingga kemungkinan operator tidak tahu apakah suhu dalam tungku pembakaran tinggi atau rendah. v Kotoran Kotoran yang dimaksud disini yaitu berupa debu kotoran hasil mesin press yang beterbangan di dalam gedung Departemen Plant 3 PT. IKAD yang
kemungkinan
besar
menempel
di
keramik
yang
dapat
mempengaruhi tegel keramik. v Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban pada tempat dilakukannya pembakaran sangat berpengaruh terhadap kondisi tegel. Jika suhu terlalu rendah akan menyebabkan tegel keramik melenting ke bawah dan apabila suhu terlalu tinggi akan menyebabkan tegel keramik melenting ke atas. F. Mesin dan Peralatan Faktor mesin dan peralatan merupakan salah satu dari penyebab tegel keramik melenting yang merupakan sumber variasi yang bersifat umum yang secara langsung dapat mempengaruhi kualitas tegel keramik dikarenakan faktor ini melekat langsung pada proses. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor mesin dan peralatan, yaitu sebagai berikut: v Panel Kiln Panel kiln sebagai pengatur mesin kiln dalam menjalankan fungsinya sebagai pembakar tegel merupakan salah satu mesin yang penting. Panel kiln yang tidak berfungsi akan menyebabkan semua proses di mesin kiln
I - 148
akan terhenti yang pada akhirnya suhu akan menjadi tinggi atau rendah sehingga dapat menyebabkan melentingnya tegel keramik. v Burner Nozzle Burner nozzle ialah saluran yang berfungsi sebagai alat pembakar tegel keramik. Komponen ini memiliki peranan penting dalam menentukan ukuran output akhir tegel keramik, khususnya kemelentingan tegel keramik. Burner nozzle yang bermasalah dapat mengakibatkan tegel keramik tidak terbakar secara sempurna dan hanya membakar pada bagian tertentu saja sehingga dapat menyebabkan tegel keramik melenting ke atas atau ke bawah. v Panel Gas Panel gas memiliki fungsi untuk mengatur gas yang keluar masuk saluran pembakaran. Panel gas yang tidak berfungsi akan menyebabkan pembakaran tegel keramik akan terhambat yang pada akhirnya dapat menyebabkan tegel keramik melenting. v Actuator Actuator yang berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya gas yang masuk dan keluar serta melakukan kontak dengan thermoregulator yang mengatur tinggi rendahnya temperatur. Actuator yang macet akan menyebabkan temperatur di mesin kiln turun dimana hal tersebut akan menyebabkan tegel keramik yang dihasilkan menjadi melenting dikarenakan tidak stabilnya temperatur. v Roller Kiln Roller kiln yang berfungsi sebagai alas berjalan tegel keramik apabila macet dan kendor akan menyebabkan tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln juga akan berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan sehingga tegel keramik kemungkinan mendapatkan panas yang berbeda sehingga dapat menyebabkan tegel keramik melenting.
I - 149
v Gearbox Gearbox yang berfungsi sebagai pereduksi putaran cepat menjadi lambat memiliki hubungan terhadap roller kiln dimana apabila rusak, akan terjadi overleaping dimana tegel akan bertumpuk yang dapat menyebakan tegel keramik melenting di dalam mesin kiln.
5.3.2
ANALISIS PENGARUH POTENSIAL KEGAGALAN SUMBERSUMBER VARIASI Pengaruh
potensial
kegagalan
sumber-sumber
variasi
dianalisa
menggunakan tool FMEA berdasarkan faktor mesin dan peralataan yang didapatkan dari Fishbone Diagram. Menurut Manggala (2005), penggunaan tool FMEA akan optimal apabila digunakan dalam menganalisis penyebab dari faktor hardware, dalam penelitian ini yaitu faktor mesin dan peralatan. Penggunaan FMEA bertujuan untuk mencari akar penyebab permasalahan berdasarkan ketiga komponen yang mempengaruhi yaitu Severity, Occurence, dan Detection yang selanjutnya digunakan untuk mencari nilai Risk Priority Number (RPN). Berdasarkan perhitungan Risk Priority Number (RPN) dalam tabel 5.4, kegagalan mesin kiln mencapai fungsi utama karena burner nozzle bermasalah yang menyebabkan temperatur menjadi tinggi atau rendah, pembakaran tidak sempurna. Kegagalan ini memiliki RPN tertinggi dibandingkan jenis kegagalan yang lain, sehingga pencegahan kegagalan lebih diutamakan untuk burner nozzle yang bermasalah. Urutan risk priority number tertinggi hingga terendah selanjutnya disajikan dalam Tabel 5.4 berikut ini.
Tabel 5.4 Urutan Risk Priority Number Tertinggi Hingga Terendah Potential Failure Mode
S
O
D
RPN
Prioritas
Burner nozzle bermasalah
5
4
3
60
1
Panel Gas tidak berfungsi
4
4
3
48
2
Panel Kiln tidak berfungsi
4
3
3
36
3
Roller Kiln macet dan kendor
4
4
2
32
4
Actuator Macet
4
3
1
12
5
I - 150
Gearbox Failure
2
2
3
12
6
Tabel 5.4 di atas menggambarkan nilai dari burner nozzle bermasalah yang menjadi prioritas perbaikan pada tahap improve selanjutnya. Burner nozzle yang bermasalah yang memiliki nilai severity 5 yang artinya bahwa burner nozzle yang bermasalah tersebut sangat serius pengaruhnya terhadap kemelentingan yang terjadi pada tegel keramik. Nilai occurence sebesar 4 memiliki pengertian bahwa frekuensi burner nozzle yang bermasalah ialah sering terjadi dalam pelaksanaan proses produksi tegel keramik tersebut. Sedangkan untuk nilai detection yang sebesar 3 berarti kemungkinan burner nozzle yang bermasalah tersebut terdeteksi oleh operator. Selanjutnya nilai Risk Priority Number merupakan hasil dari perkalian dari ketiganya yaitu severity, occurence dan detection dimana disapatkan nilai sebesar 60 dan memiliki prioritas tertinggi untuk dilakukan perbaikan. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip Six Sigma yang memprioritaskan sesuatu berdasarkan tingkat frekuensi dan kekritisan suatu masalah.
5.4 ANALISIS TAHAP IMPROVE DAN CONTROL Tahap improve yang dilakukan mencakup 2 segi, yaitu dari segi manajerial dan teknis. Pada tahap ini dilakukan analisis untuk perbaikan (improve) dari segi manajerial dan teknis untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Analisis dilakukan untuk usulan perbaikan (improve) untuk burner nozzle yang bermasalah serta perbaikan (improve) secara keseluruhan. Perbaikan manajerial merupakan perbaikan yang melibatkan segi manajemen perusahaan dalam upaya melakukan perbaikan. Biasanya perbaikan teknis mengikuti rencana dari perbaikan manajerial. Pada tahap control dilakukan analisis untuk usulan pengendalian (control) untuk burner nozzle yang bermasalah serta control secara keseluruhan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
5.4.1
Usulan Perbaikan (Improve) Burner Nozzle
I - 151
Pada
usulan
perbaikan
(improve)
untuk
burner
nozzle
dengan
menggunakan metode 5W-2H pada perbaikan (improve) dari segi manajerial akan menganalisis perbaikan (improve) dari segi teknis untuk proses kiln itu sendiri, yaitu prioritas proyek serta sistem pembakarannya, serta akan dianalisis pula jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln yang berupa jadwal overhaul mesin kiln, report kondisi mesin kiln, serta form evaluasi pengawasan rencana perbaikan kiln. Untuk yang terakhir akan dianalisis pendokumentasian proses perawatan mesin kiln, yaitu usulan perbaikan prosedur pelaksanaan perawatan mesin kiln. A. Analisis usulan perbaikan proses kiln Usulan perbaikan proses kiln ini dilakukan pada proses dan sistem pembakaran yang digunakan dan dianggap penting dalam menentukan kualitas akhir tegel keramik dimana prioritas proyek penanganan perbaikan proses kiln dilakukan pada fase preheating, yaitu fase awal pembakaran dimana tegel keramik yang masuk akan beradaptasi terlebih dahulu dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Firing yang dievaluasi yaitu keadaan suhu pembakaran. Untuk fase cooling akan dilihat pula suhu pendinginan tegel yang menuju keluar dari mesin kiln. Selain itu, sistem pembakaran tegel keramik yang digunakan oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD saat ini ialah dengan menggunakan single burner membakar tegel dengan nozzle tunggal. Setelah dievaluasi lebih lanjut dan melihat berbagai referensi termasuk dari manual book mesin kiln, diketemukan bahwa sistem twin burner ternyata lebih baik daripada sistem single burner dalam membakar tegel keramik agar output yang dihasilkan dapat meminimasi cacat melenting, dimana dapat dilihat dari terdapatnya dua buah nozzle yang berguna untuk membakar tegel secara menyeluruh. Pada intinya sistem twin burner ini memiliki sistem kerja yang hampir sama dengan sistem single burner namun perbedaan terbesarnya terletak pada saluran pembakarannya dimana pada sistem twin burner beroperasi dengan menggunakan saluran pembakaran ganda yaitu jumlah saluran yang terdapat di dalam burner berjumlah dua saluran, yaitu pada bagian kanan dan kiri dengan bagian depan burner tidak memiliki saluran (buntu). Kedua saluran ini berfungsi mengeluarkan percikan api yang didapatkan dari campuran tekanan udara dan gas yang dimasukkan ke dalam burner tersebut. Tekanan gas dan udara dapat diatur sedemikian rupa untuk mengatur besar kecilnya percikan
I - 152
api yang menyembur keluar. Selanjutnya percikan api keluar melalui kedua saluran tersebut sehingga hasil pembakaran akan menyeluruh dan optimal.
B. Analisis jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln Tindakan perawatan dan pengawasan secara detail terhadap mesin kiln secara berkala, yaitu setiap minggu, setiap bulan, setiap 3 bulan, setiap 6 bulan serta overhaul (perbaikan secara total dan menyeluruh) yang dilakukan setahun sekali diharapkan akan menghasilkan kinerja yang optimal karena apabila kinerja mesin optimal, maka kualitas yang diinginkan akan tercapai. Selain itu, perawatan juga perlu agar memperpanjang umur mesin. Departemen Plant 3 biasanya hanya melakukan perawatan hanya apabila terdapat masalah yang kritis dan untuk jadwal overhaul, mereka memundurkan jadwal menjadi setahun sekali dengan alasan bahwa apabila 6 bulan sekali (sesuai panduan produsen mesin) hanya akan menambah biaya yang tidak perlu. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prinsip Six Sigma yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja (Mitra, 1998). Usulan untuk tabel schedule overhaul mesin kiln yang disajikan sebelumnya pada Tabel 4.24 dapat dianalisis untuk kolom hari/tanggal akan diisi oleh operator hari dan tanggal pelaksanaan begitu pula dengan kolom jam yang sudah berisi jadwal tetap pelaksanaan overhaul. Untuk kolom kepala pelaksana diisi kepala maintenance dan untuk petugas penanggung jawab diisikan operator 1, 2, dan 3. untuk kolom keterangan dapat diisi informasi tambahan dari hasil overhaul mesin kiln. Adapun untuk dokumentasi report hasil pengawasan kondisi mesin kiln yaitu kondisi pada fase preheating, firing, serta cooling dilaporkan dan dicatat tiap bulannya. Usulan form report kondisi mesin kiln pada Gambar 4.17 terdapat 10 kolom dimana pada kolom pertama yaitu hari/tanggal akan diisi oleh operator hari dan tanggal untuk report kondisi mesin kiln begitu pula dengan kolom jam yang sudah berisi jam tetap untuk melihat kondisi mesin kiln. Kolom ketiga yaitu kepala pengawasan akan diisi kepala regu kiln yang bertugas memandu operator dalam memberikan report kondisi mesin kiln. Untuk kolom ke - 4, 5, dan 6 akan diisikan kondisi mesin kiln yang terdiri dari fase preheating, firing, dan fast cooling. Untuk kolom ke - 7 akan diisi keterangan kondisi mesin kiln serta
I - 153
terakhir kolom 8, 9, dan 10 yang berisi paraf mengetahui oleh ketiga staff perusahaan yaitu koordinator kiln, kepala bagian kiln, serta kepala maintenance. Untuk pelaporannya akan diserahkan sebulan sekali kepada kepala Departemen Plant 3 PT. IKAD. Selanjutnya secara rutin para staff produksi mengevaluasi hasil rencana kerja tersebut di atas secara berkala sesuai jadwal yang telah direncanakan sebelumnya yang sebelumnya telah disajikan pada Gambar 4.18. Form evaluasi pada kolom pekerjaan diisikan kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kiln yang dilakukan, kolom orang diisi jumlah orang yang bertugas dalam perbaikan tersebut, untuk kolom rencana perbaikan diisikan untuk plan-nya berapa lama waktu yang direncanakan dan untuk kolom aktual diisi untuk waktu yang sebenarnya digunakan dalam perbaikan kiln. Indikator Improvement didapatkan dari hasil waktu penyelesaian dari actual dengan plan. Kolom keterangan dapat diisi dengan permasalahan yang terjadi pada proses produksi di bagian kiln. Form di atas selanjutnya diparaf oleh kepala Departemen Plant 3 selaku leader teratas di Plant 3 yang memvalidasi form. Penentuan kepala Departemen Plant 3 tersebut dapat dilihat dari struktur organisasi di Departemen Plant 3, bahwa wewenang tertinggi dalam suatu departemen berada di tangan kepala departemen.
C. Pendokumentasian Proses Perawatan Mesin Kiln Usulan pembuatan prosedur pelaksanaan perawatan mesin kiln yang diwakili
oleh
garis
putus-putus
berwarna
merah
pada
Gambar
4.20
menitikberatkan pada komunikasi diantara para staff dan sosialisasi yang terjadi antara para staff dan karyawan. Prosedur sebelum perbaikan tidak terdapat sosialisasi antara staff dan tidak adanya report kondisi dan laporan perbaikan, sehingga rambu-rambu pelaksanaan perawatan mesin kiln masih kurang mewakili atau samar serta kurang konkrit. Diharapkan setelah dilakukan pendokumentasian proses perawatan mesin kiln, proses perawatan yang dilakukan akan menjadi lebih optimal.
5.4.2 Analisis Usulan Perbaikan (Improve) Keseluruhan
I - 154
Usulan perbaikan keseluruhan yang dimaksud ialah keseluruhan penyebab CTQ melenting, karena tidak hanya burner nozzle yang bermasalah saja yang menyebabkan terjadinya melenting, tapi karena kelima sebab lainnya dari faktor mesin dan peralatan yang sebelumnya telah didapatkan dari fishbone diagram. Analisis usulan perbaikan yang diusulkan diantaranya melakukan action planning for failure modes terhadap sebab-sebab terjadinya kegagalan melenting, serta mendokumentasikan proses operasional. A. Melakukan Action Planning for Failure Modes Penggunaan action planning for failure modes ini berfungsi untuk menentukan tindakan (action) yang tepat sebagai solusi untuk modus-modus kegagalan yang memiliki nilai resiko tertinggi. Data modus kegagalan yang digunakan adalah hasil dari failure modes and effect analysis (FMEA) sebelumnya. Dimana modus-modus kegagalan yang harus diberi perhatian ekstra adalah modus-modus kegagalan yang memiliki urutan nilai RPN tertinggi. Pada tabel action planning for failure modes untuk kolom actionable cause diberikan penyebab terjadinya failure modes dan untuk setiap actionable cause dibuat juga design validation berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah dilaksanakan sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik.
B. Usulan Proses Standar Operasional (SOP) Perawatan maintenance kiln Analisis pendokumentasian SOP maintenance Kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD akan menitikberatkan pada pengawasan dan perawatan terhadap komponen mesin kiln yang kurang optimal seperti burner nozzle, roller kiln, gearbox, dan actuator, sehingga diusulkan SOP yang baru. Adapun usulan dokumentasi aliran informasi SOP maintenance kiln berdasarkan informasi tambahan yang didapatkan dari tahap pengolahan FMEA. Usulan ini dilakukan untuk melakukan tindakan atau proses yang benar sedari awal dan mencegah kegagalan yang sama pada mesin kiln terulang kembali. Usulan inipun sangat sesuai dengan prinsip Six Sigma yang menganjurkan “Doing Right for the first time “ (Gasperz, 2005)
I - 155
5.4.3
Analisis Usulan Pengendalian (Control) Burner Nozzle Pada tahap ini dipaparkan analisis dalam upaya mengendalikan perbaikan-
perbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar permasalahan burner nozzle yang bermasalah dapat diminimasi dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Analisis ini dilakukan untuk pembuatan report control temperatur proses pembakaran yang bertujuan untuk mengetahui kinerja burner nozzle yang dapat dilihat dari temperatur pembakaran yang ada. Report masing masing fase beserta integrasinya dalam proses kiln merupakan rancangan dalam memudahkan operator kiln dalam mengevaluasi kerja harian mereka, apakah mesin kiln untuk tiap fasenya telah berjalan sesuai kendali. Report harian temperatur untuk tiap fase tersebut secara rutin harus diparaf oleh koordinator kiln selaku pengawas kiln dan memegang kendali semua mesin kiln untuk seluruh departemen serta pada akhirnya diparaf pula oleh kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Departemen Plant 3 yang memvalidasi Form tersebut. Selanjutnya dibuat form control perkembangan kondisi burner nozzle tiap bulannya untuk evaluasi pengendalian kondisi burner nozzle sehingga kondisi burner nozzle dapat selalu dipantau dan diambil langkah-langkah perbaikan yang terangkum dalam tahap perbaikan (improve). Pada kolom kondisi komponen burner nozzle diisi kondisi ketiga komponen yang menyebabkan burner nozzle bermasalah yaitu damper angin, damper blower, serta flame detection. Untuk kondisi burner nozzle secara keseluruhan (normal atau buruk) diisi ke dalam kolom kondisi burner nozzle. Form ini harus selalu diparaf validasinya oleh koordinator kiln selaku pemegang kendali mesin kiln seluruh departemen dan kepala maintenance selaku kepala perbaikan mesin dan selanjutnya diparaf oleh Kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
5.4.4
Analisis Usulan Pengendalian (Control) Keseluruhan Pada
tahap
ini
dipaparkan
analisis
keseluruhan
dalam
upaya
mengendalikan perbaikan-perbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar permasalahan utama yaitu tegel keramik yang melenting dapat diminimasi dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang. A. Mengimplementasikan pengendalian proses statistik secara langsung
I - 156
Run
Chart
yang
digunakan
ini
berfungsi
untuk
pengendalian
kecenderungan proses secara umum. Walaupun tidak merangkum bebagai informasi, tetapi run chart ini memberikan berbagai ide dari kecenderungan secara umum dari tingkat variabilitas proses. Dapat dilihat dari Gambar 4.28 bahwa perbaikan proses pada periode waktu tertentu akan menurunkan jumlah defect melenting. Penggunaan tool ini diperlukan sebagai control dan evaluasi hasil perbaikan (improve) yang telah kita capai dalam periode waktu tertentu.
B. Verifikasi hasil perbaikan proses Verifikasi terhadap hasil perbaikan proses setiap periode waktu tertentu serta mengontrol dan memonitor hasil-hasilnya oleh tim proyek Six Sigma bertujuan untuk mencapai target kinerja tingkat sigma yang diinginkan yang dapat diisi pada kolom target sigma, target DPMO, aktual DPMO, presentase pencapaian target, serta keterangan hasil pencapaiannya yang dievaluasi tiap periodenya. Form ini harus selalu dicatat dan dilaporkan hasilnya. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar perusahaan mengetahui perkembangan pencapaian target kinerja CTQ tiap periodenya. Form ini selanjutnya divalidasi oleh Kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
C. Pembuatan Design control validation Design control validation bertujuan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah dilaksanakan pada action planning for failure modes sebelumnya, sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik. Kolom design control validation yang diisikan berupa pengawasan, dokumentasi, dan laporan pengawasan yang telah dibuat sebelumnya.
D. Pendokumentasian Proses Perawatan maintenance kiln Form evaluasi permasalahan seputar SOP maintenance kiln berisi 5 kolom dimana untuk kolom proses diisikan proses yang dilakukan. Untuk kolom standard diisikan prosedur baku yang sebelumnya telah dibuat. Untuk kolom check diberikan checklist apabila prosedur telah dilaksanakan dengan baik dan
I - 157
yang terakhir kolom masalah yang berisi permasalahan yang dihadapi. Form evaluasi ini harus selalu diparaf validasinya oleh koordinator kiln selaku pemegang kendali mesin kiln seluruh departemen dan selanjutnya diparaf oleh Kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian akhir dari keseluruhan susunan isi tugas akhir ini yang membahas kesimpulan akhir yang diperoleh serta saran-saran untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.
6.1 KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. IKAD Tangerang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik kualitas kritis (CTQ) prioritas adalah melenting. 2. Level sigma bulan Januari 2006 sebesar 3,46 sigma, rata-rata proses kurang stabil namun cukup mampu dengan nilai Cp 0,9745 serta Cpk sebesar 0,65318. Level sigma bulan Februari 2006 sebesar 3,24 sigma, rata-rata proses kurang stabil namun cukup mampu dengan nilai Cp 0,9592 serta Cpk sebesar 0,57992. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan melenting berasal dari faktor metode atau proses (Method), faktor tenaga kerja (Man), faktor material (Material), faktor pengukuran (Measurement), faktor lingkungan (Mother-Nature), serta faktor mesin dan peralatan (Machine). 4. Kegagalan yang didapatkan dari faktor mesin dan peralatan (Machine) ialah panel kiln yang tidak berfungsi, burner nozzle yang bermasalah, panel gas yang bermasalah, actuator yang macet, roller kiln yang macet dan kendor serta mesin gearbox yang rusak. 5. Usulan perbaikan (improve) dilakukan melalui 2 aspek, yaitu perbaikan manajerial dan teknis. Usulan improve dilihat dari aspek manajerial dilakukan dengan pertama membentuk struktur organisasi Six Sigma usulan untuk Departemen Plant 3 PT. IKAD, kedua dengan merancang rencana perbaikan
I - 158
proses dengan metode 5W-1H. Untuk aspek teknisnya dilakukan dengan pertama mengusulkan improve untuk burner nozzle dengan menentukan prioritas proyek perbaikan proses kiln, perbaikan sistem pembakaran dengan menggunakan sistem twin burner, pembuatan jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln, report kondisi, evaluasi serta mendokumentasikan proses perawatannya. Kedua, mengusulkan perbaikan (improve) secara keseluruhan yaitu dengan action planning for failure modes serta mengusulkan SOP maintenance mesin kiln. 6. Usulan pengendalian (control) diberikan untuk RPN tertinggi yaitu burner nozzle yang bermasalah dengan membuat report control temperatur proses pembakaran dalam bentuk form meliputi tiap fase proses kiln serta form untuk perkembangan kondisi burner nozzle. Untuk control keseluruhan khususnya CTQ melenting, dilakukan dengan mengimplementasikan pengendalian proses statistik secara langsung, melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan proses secara rutin dengan merancang form pencapaian target kinerja dari CTQ melenting serta dibuat pula design control validation, selanjutnya merancang form evaluasi SOP maintenance kiln yang telah dibuat sebelumnya serta dilakukan penstabilan dan mempertahankan proses.
6.2 SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. IKAD Tangerang, saran yang dapat diberikan yaitu: 1. Perusahaan sebaiknya menerapkan Six Sigma ini secara kontinu sebagai bentuk peningkatan kualitas yang terus menerus dan berkesinambungan. 2. Melengkapi pemasangan SOP di masing-masing stasiun kerja, terutama pada pemasangan komponen mesin kiln yang sulit untuk di mengerti oleh operator. 3. Mengevaluasi sistem pengukuran yang diterapkan oleh PT. IKAD serta perlunya bagian khusus untuk sistem pengukuran tersebut. 4. Untuk penelitian selanjutnya dapat dianalisis lebih mendalam mengenai kesembilan CTQ selain melenting beserta faktor penyebabnya. Dilakukan pula evaluasi sebelum dan setelah implementasi Six Sigma di perusahaan sehingga dapat diketahui pengaruhnya.
I - 159
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sahrial. Skripsi: Analisis Stabilitas dan Kapabilitas Proses Spinning Benang Katun dengan Metode Six Sigma (Studi Kasus PT. Primissima. Surakarta: Jurusan Teknik Industri UNS, tidak dipublikasikan, 2005. Ariani, D.W. Pengendalian Kualitas Statistik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2004 Banuelas, Ricardo and Jiju Antony. “Six Sigma or Design for Six Sigma?”. The TQM Magazine 16 (2004), Page 250-263. Breyfogle, Forest W., Implementing Six Sigma Smarter Solutions Using Statistical Methods. New York: John Wiley & Sons Inc, 1999. DH, Stamatis. Failure Mode and Effect Analysis FMEA From Theory to Execution. Wisconsin: ASQC Quality Press, 1995. Gasperz, Vincent., Total Quality Management. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Harry, Mikel and Richard Schroeder. Six Sigma: The Breakthrough Management Strategy Revolutionizing the Worlds Top Corporations. New York: Random House Inc, 2000. Http://www.elsmar.com/., diakses pada tahun 2006 Http://www.isixsigma.com/., diakses pada tahun 2006 Http://www.sirnet.it/ipeg.htm., diakses pada tahun 2006 Imai, Masaaki. Kaizen(Ky’zen):The Key to Japan’s Competitive Success. New York: Random House, Inc, 1986. Kurniawan, Indra. Analisis Implementasi Konsep Six Sigma Motorola’s Sebagai Alat Pengendalian Kualitas Produk: Jurusan Ekonomi UNS, tidak dipublikasikan, 2004. Manggala, D., “Mengenal Six Sigma Secara Sederhana”. http://www.beranda.net, 2005. Mitra, Amitava, Introduction to Quality Control. New Jersey: Prentice Hall, 1998. Mc Fadden, F.R., “Six Sigma Quality”. Quality Progress, June 1993, Page. 37-42.
I - 160
NASA. Root Cause Analysis Overview. NASA, 2003. Pande, Peter S. The Six Sigma Way. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000. Pyzdek, The Six Sigma HandBook. Jakarta: PT. Salemba emban Patria, 2002. S, Febiyanto., Kerja Praktek. Analisis Proses Produksi dan Pengendalian Defect Dalam Upaya Pengoptimalan Produksi Tegel Keramik Kode GE di Plant 3 PT. IKAD., Surakarta: Jurusan Teknik Industri UNS, tidak dipublikasikan, 2005. Sugiono, Sugiharto. “Six Sigma, Perangkat Manajerial Perusahaan pada Era Ekonomi Baru(Sebuah Pendekatan Konseptual Terhadap Studi Literatur)”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 6, No. 1, Maret 2004. Hal. 27 - 33 Supranto, J., Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Wheat, Barbara. Leaning Into Six Sigma. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2003.
I - 161