PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT
IWAN SASLI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2008
Iwan Sasli NRP. A361030131
i
ABSTRACT IWAN SASLI. Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of oil palm bunch ash, mycorrhiza and fertilizer on peat soil. Under the direction of SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, and SUDARSONO. The research was composed of three main experiments: (1) haracterization of peat material that incubated by oil palm empty bunch ash (2) Plant growth of Aloe on peat soil that incubated by oil palm bunch ash (3) Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of arbuscular mycorrhiza and fertilizer on peat soil The first experiment was conducted in completely randomized design with five levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated for two months in column tubes of 10 cm in diameter. Observation was conducted after two months on the content of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depths of layer in column tube of 0 - 10, 10 - 20, and > 20 cm. The second experiment was two factor factorial of polybag experiment arranged in completely randomized design. The first factor was four levels of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factor was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three levels: 4, 6, and 8 weeks after planting. Aloe was grown for 4.5 months, and after reaching 4.5 month old , then was measured on several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight. The third experiment was a three factor factorial of field experiment to study the effectiveness of mycorrhiza, inorganic and organic fertilizers ( fish/shrimp waste) on growth, yield and quality of aloe in peat soil. The study was conducted on peat area, North Pontianak, West Kalimantan in split-split plot in completely randomized blocks design. The main plot was mycorrhizal application levels: none, Mycofer, and mycorrhiza from pineapple rhizospheres. The sub plot was inorganic fertilizer (composition of N:P:K:Mg) : without inorganic fertilizer, 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/plant, 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and 20 : 16 : 30 : 10 g/plant. Sub-sub plot was organic fertilizer: non-fermented of fish, and shrimp wastes, fermented of fish, and fermented of shrimp wastes. From a series of experiment as stated above, several important conclusions are reported as follows : 1)The oil palm bunch ash is an ameliorant material which can increase peat soil pH and improve the availability of P, K, and Mg nutrients. 2) The application of oil palm bunch ash at the level of above 50 g/tube did not increase the ability of peat soil on the retention P, K, and Mg nutrients. Improving nutrient content of P, K, and Mg as the result of application of oil palm bunch ash was mostly located at surface layer ( 0 - 10 cm). 3). Interaction between dosage and repetition time of oil palm bunch ash application significantly affected plant height, frond fresh weight, and crown dry weight with optimum dosage of 92.61 g/plant and best repetition time of application at 8 weeks after planting. 4) Inoculation of Arbuscular mycorrhiza effectively depressed root rot disease infestation of Erwinia chrysanthemi, increased the uptake of N, P, and Mg nutrients, and plant growth of
ii
aloe in peat soil. 5). The application of fermented organic fertilizer from fish and shrimp wastes gave a better plant growth and yield compared to non fermented ones. As the trigger on soil property improvement, it is recommended to evenly broadcast application of the oil palm bunch ash at bed surface. For a better yield of aloe crop, it is also recommended a package of technology of the application mycorrhiza of pineapple rhizosphere at the time of planting, inorganic fertilizer with dosage N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and fermented prawn and fish waste organic fertilizer as top-dressed fertilizer in once a month.
Key word: Aloe, mycorrhiza, oil palm bunch ash, organic
iii
RINGKASAN IWAN SASLI. Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza dan Pemupukan di Tanah Gambut. Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, dan SUDARSONO. Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salah satu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak di lahan gambut. Budidaya lidah buaya memerlukan .persyaratan media tumbuh dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Lahan gambut merupakan areal yang menjadi pilihan dalam pengembangan tanaman ini. Namun demikan, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan budidaya pertanian memiliki sejumlah kendala yang dapat menghambat proses produksi tanaman. Kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara makro dan mikro yang rendah, dan jangkitan penyakit yang tinggi merupakan beberapa masalah yang ada pada tanah gambut. Bertolak dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit, dan untuk mempelajari upaya perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh paket teknologi budidaya lidah buaya pada lahan gambut Penelitian tersusun dalam tiga percobaan utama, yaitu (1) Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, (2) Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, dan (3) Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan,dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza, pupuk anorganik dan pupuk organik pada tanah gambut. Percobaan I dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilaksanakan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon berdiameter 10 cm, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga kedalaman lapisan berbeda, yaitu 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm. Percobaan II adalah percobaan faktorial dua faktor dilaksanakan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Faktor pertama adalah dosis abu janjang sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tan. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4.5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Percobaan III merupakan percobaan lapangan faktorial tiga faktor dengan menggunakan rancangan petak-petak terpisah. Faktor pertama adalah mikoriza sebagai petak utama dengan tiga taraf yaitu; tanpa mikoriza (m0), mikoriza mycofer (m1), dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2). Faktor kedua adalah pupuk
iv
anorganik sebagai anak petak, merupakan komposisi pupuk N:P:K:Mg, yang terdiri dari 4 taraf yaitu; tanpa pupuk anorganik (a0); 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. (a1); a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. (a2) ; dan 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. (a3). Faktor ketiga adalah pupuk organik sebagai anak-anak petak, terdiri dari 4 taraf, yaitu: limbah ikan (o1); limbah udang (o2); limbah ikan fermentasi (o3); dan limbah udang fermentasi (o4). Dari ketiga percobaan dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) Abu janjang kelapa sawit merupakan bahan amelioran yang dapat diberikan pada tanah gambut untuk meningkatkan pH tanah dan berfungsi sebagai sumber hara P,K, dan Mg. 2) Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g/tabung tidak dapat lagi meningkatkan kemampuan tanah gambut dalam meretensi hara P, K, dan Mg. Peningkatan kadar hara P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit paling banyak terjadi pada lapisan permukaan (0 – 10 cm). 3) Interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman sebagai dosis optimum, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST untuk menghasilkan bobot basah pelepah tertinggi. 4) Inokulasi mikoriza arbuskula pada tanaman lidah buaya efektif dalam menekan serangan penyakit busuk akar (Erwinia chrysanthemi), meningkatkan serapan hara N, P, dan Mg, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut. 5) Pemberian pupuk organik dari limbah ikan dan udang yang difermentasi memberikan hasil rerata pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi. Disarankan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit sebagai trigger dalam perbaikan sifat tanah sebaiknya dilakukan dengan menebarkan abu secara merata pada permukaan bedengan. Untuk menghasilkan tanaman lidah buaya dengan pertumbuhan dan hasil yang tinggi, dapat dilakukan dengan memberikan mikoriza asal rizosfer nenas pada saat tanam, pupuk anorganik dengan dosis N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman, dan pupuk organik limbah udang fermentasi sebagai pupuk susulan pada setiap bulannya.
Kata Kunci : abu janjang kelapa sawit, lidah buaya, mikoriza, pupuk organik, tanah gambut
v
@ Hak Cipta Milik IPB tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT
IWAN SASLI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi
: Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut
Nama
: Iwan Sasli
NRP
: A 361030131
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sudradjat, MS Anggota
Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Tanggal Ujian : 27 Agustus 2008
Dekan Sekol ah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus: 05 September 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul “ Perbaikan daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut” ini berisikan tiga penelitian utama yang dimulai dilaksanakan sejak persiapan pada bulan Juni 2005 sampai selesai analisis laboratorium pada juli 2007. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. H. Sudradjat, M.S, Bapak Dr. Ir. H. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan dan melaksanakan penelitian. 2. Bapak Dr. Ir. Anas D. Susila, MS selaku penguji luar komisi saat ujian prelium dan juga penguji luar komisi pada ujian tertutup. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.gr. dan Bapak Dr. Ir. Yusdar Hilman, MS, selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka 4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Pimpinan dan Staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, atas pendidikan dan layanan administrasi yang telah diberikan. 5. Rektor Universitas Tanjungpura atas ijin untuk mengikuti program S3 6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura atas segala dukungan moril maupun materil yang telah diberikan selama penulis mengikuti program S3. 7. Manajemen program Beasiswa Pascasarjana (BPPs) atas beasiswa yang diberikan kepada penulis sehingga membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan S3. 8. Teman-teman staf laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB, mbak Faiq, mbak Susan, Mbak Dessy, mbak Nana, Mas Ary, Mas Fattah, dan lain lain yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian di laboratorium. 9. Pak Abi, Bu Yudhi, pak Anton, pak Topan, dan teman teman Sekolah Pascasarjana yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi selama penulis studi S3 dan melaksanakan penelitian.
ix
10. Ayahnda dan Ibunda, serta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan doa agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan S3. 11. Almarhum Kakanda M. Yusri, S.Pd yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta mencurahkan tenaga dengan sepenuh hati untuk turut membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di lapangan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian. Terimakasih, penghargaan, dan penghormatan yang tiada ternilai untuk Kakanda. 12. Kakanda Endang Suryana, Drs. Edy Yusmin, M.Pd, Rini Juarsih, S.Pd, dan Tatang Suryadi, SH atas segala bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan S3. 13. Kakanda Almarhumah Syamsiah Nawawi, Kakanda Ahmadin Nawawi, dan Iskandar Nawawi, ST, ibu mertua Hj. Halijah, dan para keponakan atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun materil kepada penulis selama melaksanakan pendidikan S3. 14. Istri tercinta, Evi Riniyanti, SP, ananda Isvi Mega Kurnia, dan Ananda Isvi Dwi Aprilla Luthfiani yang telah setia dan senantiasa memberikan pengorbanan yang tiada ternilai selama penulis menempuh pendidikan S3. 15. M. Riva’i, SP., Erik Darmansyah, SP., Andrigo, SP., Hamdi, SP., Safari, SP., Abdul Qodir.A., dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu telah banyak membantu penulis selama penelitian di lapangan 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan S3. Segala perhatian, bantuan, dan pengorbanan bapak dan ibu serta saudara/i sekalian mudah mudahan mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Besar harapan penulis kiranya disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya, amin.
Bogor, Agustus 2008
Iwan Sasli x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 09 Juli 1969 sebagai anak terakhir dari 6 bersaudara dari Ayah M. Yusuf Arief dan Ibu R.E. Sriasih. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Program Studi Agronomi Universitas Tanjungpura dan pada lulus tahun 1994. Tahun 1994-1995 penulis diterima bekerja sebagai asisten lapangan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Lyman Agro, kemudian tahun 1995-1996 penulis diterima bekerja sebagai Kepala Wilayah di sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. Finnantara Intiga (Enso Forest Development Project, Finnlandia). Pada bulan Maret 1996 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura sampai sekarang. Pada tahun 1997, penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1999 dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana (BPPs) Dikti. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis memiliki kesempatan
untuk
melanjutkan
pendidikan
S3
dengan
sponsor
Beasiswa
Pascasarjana (BPPs) Dikti. Penulis selain sebagai staf pengajar, juga berminat dan aktif dalam bidang pengembangan, pemberdayaan dan pembinaan masyarakat tani dan kelompoknya.
xi
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI........................................................................................................xii DAFTAR TABEL .................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v PENDAHULUAN ................................................................................................1 Latar Belakang .................................................................................................1 Tujuan ..............................................................................................................8 Hipotesis ..........................................................................................................8 Strategi Penelitian ............................................................................................9 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................11 Tanah Gambut .................................................................................................11 Abu janjang Kelapa sawit ...............................................................................27 Fungi Mikoriza Arbuskula ..............................................................................29 Limbah ikan dan Limbah Udang sebagai Pupuk Organik ..............................35 KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan ...................................................................................................41 Bahan dan Metode ........................................................................................46 Hasil dan Pembahasan ....................................................................................50 Hasil .........................................................................................................50 Pembahasan..............................................................................................63 Kesimpulan ....................................................................................................71 PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan ...................................................................................................73 Bahan dan Metode ........................................................................................75 Hasil dan Pembahasan ....................................................................................78 Hasil .........................................................................................................78 Pembahasan..............................................................................................89 Kesimpulan ....................................................................................................95
xii
PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI MIKORIZA ARBUSKULA DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT Pendahuluan ...................................................................................................98 Bahan dan Metode ......................................................................................103 Hasil dan Pembasan ..................................................................................... 117 Hasil .......................................................................................................117 Pembahasan............................................................................................159 Kesimpulan ..................................................................................................172 PEMBAHASAN UMUM ..................................................................................174 KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................185 Kesimpulan ................................................................................................185 Saran ..........................................................................................................,186 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................187 LAMPIRAN - LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1.
Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya ..................................................26
2.
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada berbagai komposisi gambut ombrogen di Indonesia ...................................................................27
3.
Hasil analisis abu janjang kelapa sawit di lokasi penelitian .....................28
4.
Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit ...............................................................................................52
5.
Jumlah P media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit ...............................................................................................55
6.
Jumlah K media gambut yang diberi abu janjang Kelapa sawit ...............................................................................................58
7.
Jumlah Mg media gambut yang diberi abu janjang kepala sawit .................................................................................................61
8.
Pengaruh perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST ...............................................................................................79
9.
Pengaruh perlakuan waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST .............................................................79
10.
Pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk pada berbagai waktu pengulangan pemberian abun .........................................................86
11
Persamaan regresi pengaruh dosis abu janjang sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk tanaman lidah ..............................................................................................89
12. Contoh tabel hasil pengamatan infeksi akar untuk perhitungan uji MPN.....................................................................................................111 13. Jumlah spora alami per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas ................117 14. Tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak oleh patogen tanah Erwinia chrysanthemi ......................................................120 15. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap serangan penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya .....................................................121
xiv
16. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-8 ...........................................................123 17. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-12 .........................................................124 18. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-16 .........................................................125 19. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-20 .........................................................126 20. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-24 .........................................................127 21. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-28 .........................................................128 22. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-32 .........................................................129 23. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-36 .........................................................130 24. Uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot basah, bobot kering, dan serapan hara tajuk (N, P, K, Mg) tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik......................................................................................131 25 Nilai rerata beberapa karakter morfologi pelepah tanaman lidah buaya hasil perlakuan m2a2o4. .........................................................153 26. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan karakter morfologi pelepah ......................................................................................154 27. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan kandungan asam amino ..............................................................................155 Lampiran 1.
Hasil analisis contoh tanah dari lokasi rencana penelitian........................197
2.
Hasil uji infeksi terhadap tanaman contoh dalam MPN-test ....................199
xv
3.
Sidik ragam (F-hit) pengaruh abu janjang sawit dan waktu pengulangan pemberian abu serta interaksi keduanya terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut ............................200
4.
Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, lebar pelepah, dan tebal pelepah tanaman lidah buaya di lahan gambut ...............................................................................201
5.
Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah panjang pelepah, bobot basah pelepah, bobot kering tajuk tanaman lidah buaya di lahan gambut ..........................................................................................202
6.
Nilai koefisien korelas antar peubah pada perlakuan pengaruh pemberian mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut .................................203
7.
Hasil analisis pupuk organik limbah ikan dan udang. ...............................204
xvi
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1.
Bagan Alur Peneltian ............................................................................10
2.
Pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara ..........................................................................30 Skema Percobaan Inkubasi Tanah Gambut dengan Abu Janjang Sawit ........................................................................................48
3. 4.
Rangkaian kegiatan percobaan pemberian abu pada gambut ...............49
5.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar N total pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda. ......................................................................50
6.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit paa media gambut terhadap kadar N total filtrat .................................................................51
7.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ...............53
8.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawitpada media gambut terhadap kadar P filtrat. .........................................................................54
9.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ..............56
10
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K filtrat .........................................................................57
11.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ............59
12.
Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg filtrat. ....................................................................60
13.
Respon pH media gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada tiga lapisan yang berbeda dan filtrat cuciannya. ...................................................................................62
14.
Pola distribusi P dalam kolom bahan gambut .......................................63
15.
Pola distribusi K dalam kolom bahan gambut ....................................65
16.
Pola distribusi Mg dalam kolom bahan gambut ...................................65
17.
Pola distribusi Nitrogen dalam kolom bahan gambut ..........................67
18.
Pola distribusi nilai pH dalam kolom bahan gambut .............................69
19.
Penampilan air filtrat cucian gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit............................................................70
20.
Penampilan tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit ........................................................................80
xvii
21.
Penampilan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit taraf a3 dan a4 pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu .........................................81
22.
Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda ............................................82
23.
Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap lebat pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda. .........................................................................................83
24.
Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda. ................................................................84
25.
Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu yang berbeda .............................................85
26.
Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. ..................................................................87
27. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. .........................................................87 28. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot kering tajuk tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. . .......................................................88 29. Kurva tanggap tinggi tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. .........................................................................................95 30. Persiapan dan pengolahan lahan ..............................................................112 31. Spora hasil ekstraksi dengan metode tuang-saring basah dalam petri disk dari tanah gambut asal rizosfer nenas ......................118 32. Spora yang terdapat dalam inokulum alami asal tanah rizosfer nenas Pontianak Kalimantan barat. ..........................................................119 33
Penanaman tanaman sorghum dalam ruang kultur untuk MPN-test .......119
34. Persentase tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak Erwinia chrysanthemi ..........................................................121 35. Penampilan tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi) .................................................................122 36. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...........................................................................133 37. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST........................................................134
xviii
38. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..................................................134 39
Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .............................135
40. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..........................................135 41. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..........................................136 42
Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .......................................................136
43. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .........................................137 44. Pengaruh perlakuan pupuk organik Respon lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..........................................137 45. Pegaruh perlakuan mikoriza terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ........................................................138 46. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .........................................138 47. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .........................................139 48. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..........................................139 49
Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST .........................................140
50. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ..........................................140 51. Respon pertumbuhan tanaman lidah buaya umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik di tanah gambut...........................................................................142 52. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap bobot basah pelepah .142 53. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya..................................................................................144 54. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya ...............................................................................................145 55.
Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya..................................................................................146
xix
56.
Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap lebar pelepah lidah buaya ................................................................................146
57. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya ...147 58. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya...................................................................................147 59. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya ..........................................................................148 60. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya ..........................................................................149 61. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya ......................................................149 62. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya...................................................................................150 63. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya...................................................................................150 64. Perbandingan kadar asam amino pelepah lidah buaya hasil penelitian pada perlakuan m2a0o3 dan m2a0o4 dengan hasil budidaya standar AVC ..............................................................................156 65. Persentase akar yang terinfeksi mikoriza pada perlakuan tanpa mikoriza, mikoriza mycofer, dan mikoriza asal rizosfer nenas .......157 66. Kolonisasi akar oleh mikoriza.(a) .............................................................158 57.
Kolonisasi akar oleh mikoriza (b) ...........................................................159 Lampiran
1.
Skema pengenceran tanah gambut dari rizosfer nenas sebagai Sumber Propagul (Uji MPN) ......................................................197
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salahsatu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak.
Luas potensi lahan untuk
pengembangan tanaman lidah buaya di Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak mencapai 14511 ha sedangkan yang sudah diusahakan seluas 139 ha (Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2004). Sampai tahun 2004, jumlah tanaman lidah buaya yang ditanam di kota Pontianak sudah mencapai 655250 tanaman dengan melibatkan petani sebanyak 115 orang. Realisasi ekspor pelepah lidah buaya dari daerah sentra produksi ini sampai tahun 2004
mencapai 3066.47 ton dengan negara tujuan
Malaysia, Hongkong, Singapura, dan sebagian dipasarkan dalam negeri (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Sementara, nilai penjualan komoditi lidah buaya di dunia mencapai US$ 60 milyar/tahun (BPEN, 2006). Sehubungan dengan tingginya nilai ekonomis tanaman lidah buaya, berbagai penelitian terhadap tanaman ini terus berkembang, baik aspek teknik budidaya bagi peningkatan produksi dan kualitas tanaman, maupun pasca panen. Upaya-upaya introduksi tanaman tersebut ke wilayah-wilayah lain dengan karakterisitik lahan yang spesifik lokasi juga terus dilakukan. Tanaman lidah buaya ini tumbuh subur terutama pada tanah-tanah yang kaya akan bahan organik. Budidaya lidah buaya di lahan gambut Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat mampu menghasilkan produksi 8000 kg/ha/bulan, dengan bagian pelepah yang dipanen dapat mencapai rata-rata 1.5 kg per pelepah dan panjang
2 pelepah mencapai 70 cm (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Namun demikian, banyak faktor kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan lidah buaya di lahan gambut, terutama yang berkaitan dengan tingkat kesuburan gambut yang rendah yang berkorelasi dengan rendahnya pH, kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, kejenuhan basa rendah, dan tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut. Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse, 1988). Ketersediaan unsurunsur hara N, P, K, Ca, Mg rendah. Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi (Subagyo et al, 1996). Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. P juga sebagian besar berada dalam bentuk P-organik, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut sangat rendah. Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (WidjajaAdhi, 1986; Subagyo et al, 1996), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Hara mikro (terutama Cu) dikhelat cukup kuat oleh bahan organik membentuk senyawa organo-metal karena adanya group karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972 ; Everett, 1983). Rendahnya tingkat kesuburan yang disertai dengan tingginya tingkat virulensi dan kandungan asam-asam fenolat yang bersifat racun akibat degradasi lignin pada tanah gambut dapat menyebabkan hambatan yang serius dalam budidaya tanaman
3 lidah buaya di lahan gambut. Penghambatan pertumbuhan dapat dimulai sejak tanaman dipindahkan ke lapangan, sampai pertumbuhan lebih lanjut. Pertumbuhan yang terhambat terkadang diikuti dengan kegagalan pertumbuhan lebih lanjut dengan kematian bibit, baik karena rendahnya daya adaptasi terhadap keberadaan senyawasenyawa beracun pada gambut maupun oleh adanya patogen tanah seperti busuk pelepah (Erwinia chrysanthemi) dan layu bakteri (Fusarium, sp.) Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut telah dilakukan, di antaranya dengan pemberian abu bakaran gambut, abu kayu sawmil, abu janjang kelapa sawit, limbah ikan dan limbah udang, pupuk kandang, dan lain sebagainya. Namun demikian, upaya untuk lebih mengoptimalkan dan mengefisienkan input yang diberikan dalam budidaya tanaman lidah buaya tersebut belum maksimal dilakukan. Di samping itu kajian secara ilmiah bagaimana peran dari semua input yang diberikan tersebut terhadap keberhasilan peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya belum dipelajari. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan beberapa penelitian sebelumnya, pemberian abu (baik abu gambut, abu kayu sawmil, mapun abu janjang kelapa sawit) pada tanah gambut merupakan hal yang sangat diperlukan untuk membudidayakan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Tanaman lidah buaya sulit untuk ditumbuhkan pada kondisi tanah gambut tanpa pemberian abu terlebih dahulu. Hasil penelitian Kurnianingsih (2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan petumbuhan dan bobot basah pelepah tanaman lidah buaya. Terjadi peningkatan tinggi tanaman sebesar
30.1 %, panjang
daun sebesar 19.7 %, lebar daun sebesar 12.2 %, tebal daun sebesar 41.4 %, jumlah daun sebesar 21.5 %, jumlah anakan sebesar 441 %, dan bobot basah pelepah sebesar
4 91 %.
Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa abu janjang kelapa sawit
berperan sebagai sumber hara kalium (K). Sedangkan respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu bakaran (kayu, paku-pakuan, dan gulma) ditunjukkan oleh hasil penelitian Tatipata (2004), dimana peningkatan hanya terjadi pada
tinggi
tanaman (4 dan 14 minggu setelah tanam masing-masing 2.3 % dan 1.8 %) dan panjang pelepah pada 4 minggu setelah tanam sebesar 2.7 %. Sementara, pemberian abu bakaran tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap lebar pelepah, tebal pelepah, jumlah pelepah, dan jumlah anakan lidah buaya. Dua penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya dibanding pemberian abu bakaran yang berasal dari kayu, paku-pakuan, dan gulma di lahan gambut. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu penelitian lebih lanjut untuk mempelajari (1) bagaimana peranan sesungguhnya dari abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat tanah gambut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya, dan (2) mengapa abu janjang bisa memperbaiki sifat tanah gambut dan melalui perubahan apa abu janjang kelapa sawit tersebut bisa memperbaiki sifat tanah gambut. Untuk itu perlu dipelajari karakteristik gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis abu yang menyangkut status hara tersedia dan reaksi tanahnya. Informasi ini akan akan sangat bermanfaat sebagai dasar dalam aplikasi lebih lanjut abu janjang kelapa sawit dalam mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Meskipun hasil penelitian sebelumnya (Kurnianingsih, 2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut, namun tanaman lidah buaya tersebut tidak
5 terlepas dari hambatan lingkungan tumbuh lainnya, yakni tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut. Serangan patogen akar yang disebabkan oleh bakteri Erwinia chrysanthemi dan Fusarium sp. (busuk lunak dan busuk kering) merupakan gejala yang umum ditemukan pada tanaman lidah buaya di lokasi rencana penelitian. Penyakit busuk lunak tersebut menyerang tanaman lidah buaya baik pada usia tanaman masih muda maupun pada tanaman yang sudah dewasa., dengan intensitas serangan lebih banyak pada saat tanaman baru dipindahkan ke lapangan. Sampai saat ini belum didapatkan metode yang praktis dan efisen dalam pengendalian penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya selain mengeradikasi atau membuangnya secara mekanis. Mikroorganisme antagonis dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit busuk lunak. Mikroorganisme antagonis harus mempunyai kemampuan kompetisi yang tinggi di rizosfir, bersifat hiperparasit, mampu menghasilkan antibiotik (Upadhyay and Rai, 1987), dan daya adaptasi yang tinggi khususnya di gambut. Berkaitan dengan upaya pemanfaatan sumberdaya alami yang spesifik lokasi sebagai input dalam budidaya lidah buaya, maka mikroorganisme potensial in-situ yang keberadaannya melimpah dan beradaptasi tinggi dapat dikembangkan dan diaplikasikan
dalam praktek budidayanya. Salah satu mikroorganisme potensial
tersebut adalah fungi mikoriza khususnya fungi mikoriza arbuskula (FMA), yang sudah diketahui dapat menginfeksi pada hampir 90% dari 300.000 spesies pada tanah-tanah alami (Wegel et al. 1998) dan membantu pertumbuhan tanaman dalam penyediaan dan peningkatan penyerapan unsur hara dalam tanah, memberikan ketahanan tanaman terhadap patogen akar, dan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan.
6 Menurut Whipps (2004), mikoriza dari kelompok Glomus sp., dan Gigaspora sp., dapat berperan sebagai pengendali hayati dari serangan patogen akar seperti Fusarium oxysporum, Fusarium solani , Fusarium sp., Cylindrocarpon destructans, Rhizoctonia solani, Phytophthora fragaria, Aphanomyces euteiches, Cylindrocladium spathyphylli, Helicobasidium mompa, dan Phytophthora nicotianae. Pemanfaatan FMA dalam hubungannya dengan peningkatan serapan hara maupun sebagai pengendali patogen tanah pada tanaman lidah buaya belum pernah dilakukan.
Belum diketahui apakah pemberian mikoriza di tanah gambut ini
memiliki mekanisme aktivitas dan pengaruh yang sama dengan mikoriza yang diaplikasikan pada tanah mineral, khususnya dalam peningkatan hara-hara tersedia dan serapannya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian dan kajian yang menyangkut pemanfaatan mikoriza dan peranannya pada peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut. Pemberian abu janjang kelapa sawit dan aplikasi FMA diharapkan dapat membantu daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan pada tanah gambut, namun dalam jangka panjang perlu input yang memadai sebagai sumber hara untuk mempertahankan tingkat produktivitas tanaman lidah buaya. Bedasarkan pengamatan di lapangan, pemberian pupuk anorganik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut kurang memberikan sumbangan yang berarti dibanding pemberian pupuk organik.
Input yang biasa digunakan oleh petani
sayuran dan hortikultura di lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas tanaman di antaranya adalah pupuk organik dari limbah ikan atau limbah udang. Limbah ikan dan udang diketahui kaya akan nilai organiknya, baik organikN, organik-P, dan organik-K yang terkandung didalam tubuh ikan dan mempunyai
7 kelebihan kalau dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005), pupuk organik yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau, pupuk dari limbah ikan tergolong memiliki unsur hara yang lengkap bagi tanaman. Meskipun limbah ikan atau limbah udang diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun perlu penelitian untuk lebih meningkatkan efektivitas limbah ikan atau limbah udang bila akan digunakan sebagai pupuk organik. Kajian spesifik mengenai peranan dan sumbangan pupuk organik limbah ikan dan limbah udang ini juga belum banyak dipelajari, terutama kajian aplikasinya pada tanaman lidah buaya dalam meningkatkan produktivitas tanaman, dan bagaimana perannya bila dikombinasikan dengan FMA.
Selain itu, juga perlu dilihat efektivitasnya,
apakah lebih efisien dimanfaatkan langsung dan diberikan pada tanaman, atau memerlukan upaya fermentasi terlebih dahulu. Pertimbangan pemanfaatan limbah ikan atau udang sebagai input dalam budidaya tanaman lidah buaya pada penelitian ini juga didasarkan atas ketersediaan bahan baku yang banyak di sekitar lokasi penelitian atau lokasi pengembangan lidah buaya di lahan gambut, yang merupakan wilayah yang tidak jauh dari pesisir. Diharapkan dengan pemberian dan mengkombinasikan berbagai input sumberdaya alami tersebut di atas, dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik dan sekaligus memberikan hasil pertumbuhan tanaman lidah buaya yang optimum pada tanah gambut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dan informasi mengenai teknik budidaya lidah
8 buaya di lahan gambut secara spesifik lokasi dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi, dengan memanfaatkan input yang mudah diperoleh dan ekonomis.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit; (2) mempelajari efektivitas pemberian mikoriza terhadap daya adaptasi bibit, pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Diharapkan dari serangkaian percobaan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi teknik budidaya lidah buaya yang terbaik secara spesifik lokasi.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1) pemberian abu janjang kelapa sawit yang dinkubasikan pada tanah gambut dapat mempengaruhi karakteristik (sifat kimia) gambut ke arah lingkungan tumbuh yang lebih baik ; (2) pemberian mikoriza dapat meningkatkan daya adaptasi bibit lidah buaya di lapangan, dan meningkatkan penyerapan unsur hara; (3) Pemberian limbah ikan dan limbah udang serta kombinasinya dengan mikoriza arbuskula dapat meningkatkan jumlah hara tersedia dan peningkatan penyerapan unsur hara pada tanaman lidah buaya di lahan gambut; (4) pemberian limbah ikan dan limbah udang dan kombinasinya dengan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman lidah buaya di lahan gambut.
9
Strategi Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga topik penelitian. Penelitian pertama yang berjudul “Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit” bertujuan untuk mempelajari karakteristik bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit dalam beberapa taraf dosis. Penelitian ini didasari bahwa untuk budidaya tanaman di lahan gambut secara umum dan lidah buaya khususnya, pemberian abu merupakan hal yang mutlak dilakukan sebelum penanaman. Pemberian abu selain meningkatkan pH tanah dan sumbangan unsur K, juga memberikan kondisi iklim mikro tanaman menjadi lebih baik untuk pertumbuhan tanaman. Selanjutnya pada penelitian II yang berjudul “Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit” ingin diketahui bagaimana pengaruh abu yang diberikan dalam berbagai taraf dosis terhadap karakter morfologi tanamanan lidah buaya. Penelitian I dan II dilakukan untuk membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai starter awal dalam budidaya tanaman lidah buaya di lahan gambut, namun dalam jangka panjang perlu pemupukan lanjutan untuk mempertahankan produktivitas tanaman. Selanjutnya dilakukan penelitian III yang berjudul “Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan,dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pemupukan di tanah gambut”
untuk
melengkapi paket teknik budidaya lidah buaya spesisik lokasi dengan memanfaatkan sumberdaya alami yang ada di wilayah setempat.
Bagan alur penelitian yang
menunjukkan keterkaitan antar penelitian disajikan pada Gambar 1.
10 11
DASAR PEMIKIRAN, MASALAH, DAN INDIKATOR
PENELITIAN I. KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT
II. PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT
1. Kelimpahan abu janjang dan potensinya 2. Permasalahan gambut: Defisiensi hara makro dan mikro Kejenuhan basa rendah pH rendah
Pengamatan: Perubahan status media: hara tersedia , pH, setelah inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Karakter morfologi tanaman lidah buaya.
TARGET
Pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan : hara-hara tersedia pH media meningkatkan pertumbuhan tanaman
INFORMASI KARAKTERISTIK PERBAIKAN SIFAT TANAH MELALUI PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT PADA TANAH GAMBUT DAN REKOMENDASI DOSIS ABU JANJANG KELAPA SAWIT III. PEBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAHIKAN/UDANG) DI TANAH GAMBUT : 1 Uji Propagul Infektif FMA dari Tanah Gambut Asal Rizosfer Nenas 2. Uji Aplikasi FMA dan Pupuk Organik (Limbah ikan/udang) untuk Perbaikan Daya AdaptasiBibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya di Tanah Gambut
1. FMA potensial dan kelimpahan limbah ikan/udang serta peranannya 1. Masalah budidaya tanaman di gambut: Serapan hara rendah Daya adaptasi rendah (akibat senyawa toksik dan virulensi)
Pengamatan: 1. Daya adaptasi (%) serangan patogen akar: 2. Karakter Morfofisiologi tanaman, serapan hara 3. Asam asam amino tanaman 4. Akar terinfeksi FMA 5. Respon tanaman terhadap FMA (Percent Growth Respon)
Aplikasi FMA dan pupuk organik (Limbah ikan/udang) dapat meningkatkan : Daya adaptasi tanaman di tanah gambut Pertumbuhan dan kualitas tanaman lidah buaya di lahan gambut
PROPAGUL FMA INFEKTIF, REKOMENDASI DAN INFORMASI EFEKTIVITAS PEMBERIAN FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAH IKAN/UDANG) PADA TANAMAN LIDAH BUAYA DI LAHAN GAMBUT Kualitas tanaman tinggi
Gambar 1. Bagan Alur Penelitian
TEKNIK BUDIDAYA LIDAH BUAYA TERBAIK SPESIFIK LOKASI
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Defenisi dan Pengertian Tanah Gambut Kata gambut berasal dari kosa kata daerah Kalimantan Selatan (suku Banjar), sementara masyarakat di Pontianak menamakan
tanah gambut dengan sebutan
sepuk , dan sebagian lagi petani menamakannya dengan sebutan
tanah hitam.
Gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami yang mengalami dekomposisi secara tidak sempurna akibat tergenang sehingga menimbulkan akumulasi bahan organik dengan ke dalaman yang bervariasi. Soil Survey Staff (1960) menggolongkan tanah gambut ke dalam ordo Histosols (bahasa Yunani = jaringan), dimana tanah gambut merupakan tanah-tanah yang berbahan induk organik atau sisa-sisa tanaman, dan selanjutnya Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan Tanah Gambut (peat soil = Organosol = Histosols) sebagai
tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari
penumpukan jaringan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan > 40 cm. Pada keadaan jenuh air, kandungan C organik paling sedikit adalah 18% jika kandungan liat 60 % atau lebih, atau C organik 12 – 18 % jika kandungan liat 0 % - 60%. Penyebaran Tanah Gambut Jumlah areal gambut di dunia diperkirakan 426.2 juta hektar atau lebih kurang 2 % dari luas daratan dunia. Sedangkan di Indonesia penyebarannya cukup luas, diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta hektar atau 10% luas daratan Indonesia (Global Enviromental Center 2005)
dan merupakan kawasan
gambut tropika terluas di dunia, terutama tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian
12 Jaya, serta sedikit di Halmahera dan Sulawesi (Global Enviromental Center, 2003). Menurut Soekardi dan Hidayat (1988), provinsi yang mempunyai gambut terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Barat (4.61 juta hektar), selanjutnya Kalimantan Tengah (2.161 juta ha), Riau (1.704 hektar), dan Kalimantan Selatan (1.484 juta hektar). Pembentukan Tanah Gambut Saat ini terdapat kira-kira 14 juta hektar hutan rawa gambut dan 6 juta hektar lahan gambut sebagai lahan produksi pertanian di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia , 2002). Ditinjau dari bidang ilmu pertanian, yang memandang gambut dalam konteks yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, gambut diartikan sebagai suatu bentukan menurut konsep pedologi, dimana morfologi ataupun sifat-sifat bentukkannya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut Everett (1983), laju akumulasi bahan organik untuk terbentuknya gambut tergantung kepada dua hal, yakni: (1) produktivitas vegetasi yang berperan dalam pembentukan gambut (biomassnya), dan (2) laju dekomposisi suatu bahan saat menjadi bagian dari simpanan.
Sedangkan laju dekomposisi sendiri tergantung
faktor iklim dan ketersediaan oksigen. Pembentukan tanah gambut dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase
jelek,
dan
genangan
air,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
penumpukan bahan organik yang sukar melapuk. Genangan yang menyebabkan terjadinya proses pembentukan gambut karena penimbunan bahan organik dapat terjadi di beberapa tipe wilayah atau ekosistem, misalnya gambut ombrogen yang terbentuk terutama karena pengaruh curah hujan yang airnya tergenang, gambut
13 topogen terbentuk terutama karena pengaruh topografi, dan gambut pegunungan yang terbentuk di daerah yang tinggi. Jenis-Jenis Gambut Jenis-jenis
gambut dapat dibedakan berdasarkan berbagai macam aspek,
mulai dari aspek bahan penyusunnya, wilayah dan iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kesuburan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan bahan organiknya (Soepraptohardjo & Driessen 1976; Radjaguguk 1990). Berdasarkan bahan penyusunnya, gambut dibedakan atas tiga jenis (Everett, 1983 ), yaitu: 1. Gambut berlumut (sedimentairy/moss peat), yaitu gambut yang terdiri dari campuran tanaman air (famili Liliaceae) termasuk plankton dan sejenisnya. 2. Gambut berserat (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman Sphagnum dan rumputan. 3. Gambut berkayu (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohonpohonan beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya. Gambut yang berasal dari serat-seratan tergolong gambut yang kaya akan hara mineral atau tergolong subur (eutrofik), sedangkan gambut yang berasal dari kayu-kayuan tergolong sedikit mengandung hara mineral atau kurang subur (oligotrofik).
Menurut wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua jenis
(Andriesse 1988), yaitu: 1. Gambut tropik; yaitu gambut yang berada di kawasan tropik atau subtropik. 2. Gambut iklim sedang; yaitu gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya mempunyai iklim empat musim.
14 Perbedaan antara kedua jenis gambut tersebut terletak pada bahan pembentuknya serta kondisi iklim yang mempengaruhi proses pembentukannya, dimana bahan penyusun gambut iklim sedang/dingin umumnya berupa lumut atau Sphagnum, sedangkan gambut tropik sebagian besar berasal dari vegetasi kayukayuan. Gambut tropik lebih dipengaruhi oleh iklim dengan curah hujan yang tinggi, suhu rata-rata tahunan tinggi, dan evapotranspirasi tinggi. Di samping itu, gambut tropik cenderung lebih tinggi tingkat kemasamannya (pH 4 – 5) dibanding gambut iklim sedang/dingin yang relatif lebih rendah tingkat kemasamannya (pH 6 – 7) sebagai akibat banyaknya kandungan mineral kapur pada tanah gambut iklim sedang/dingin. Berdasarkan
proses
pembentukannya
atau
lingkungan
tumbuh
dan
pengendapannya gambut dapat dibagi menjadi 2 jenis (Andriesse 1974), yaitu : 1. Gambut ombrogen; yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan. 2. Gambut topogen; adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah. Gambut ombrogen kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri. Gambut topogen kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh air permukaan tanah, sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut.
15 Kriteria untuk penetapan kualitas gambut biasanya juga didasarkan pada kadar seratnya.
Kadar seratnya ini ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau
kematangan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangannya ini, maka gambut dibedakan menjadi tiga jenis (Soil Survey Staff 1996; Everett 1983) yaitu: 1. Gambut fibrik; yaitu gambut yang tergolong masih mentah, dekomposisinya paling sedikit, kandungan bahan-bahan jaringan tanaman masih tinggi yang dicirikan dengan banyaknya kandungan serabut dan sisa-sisa tanaman masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam (diameter 0.15 – 2 cm), kadar air tinggi, kerapatan lindaknya rendah (< 0.1 g/cm3) dan berwarna coklat. 2. Gambut hemik; yaitu gambut peralihan dengan dekomposisi sedang dan bersifat separuh matang, masih banyak juga mengandung serabut, dan berwarna lebih gelap. 3. Gambut saprik;
yaitu gambut yang sudah mengalami tingkat dekomposisi
sangat lanjut, bersifat matang hingga sangat matang, kurang mengandung serabut, kerapatan lindaknya 0.2 - 0.1 g/cm3 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi, dan berwarna hitam atau coklat kelam. Fibrik merupakan bahan organik berkadar serat tinggi (>66%), sedangkan hemik berkadar serat sedang (33-66%) ; dan saprik berkadar serat halus (<33%). Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang terombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik (Soil Survey Staff 1996). Ketebalan atau ke dalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Menurut Radjaguguk (1990), dalam survey tanah gambut untuk pertanian, khususnya untuk pemukiman transmigrasi, gambut dipilah menjadi tiga bagian yaitu :
16 1 Gambut tipis (ketebalan gambut 0 sampai 100, 130 atau 150 cm) 2 Gambut sedang (ketebalan gambut 100, 130, 150 cm) 3 Gambut tebal (Ketebalan gambut > 200 cm). Pemilahan ini didasari pemikiran bahwa gambut tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, khususnya tanaman pangan semusim (Radjaguguk, 1990). Aspek Kimia dan Kesuburan Gambut Menurut Driessen (1978), sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi dengan pH berkisar 3 – 5 serta mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik. Ditambahkan oleh Stevenson (1994) dan Tan (1993), bahwa 95% fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 – 20 % dan sebagian besar terdiri dari senyawa senyawa non humat seperti lignin, selulosa, hemiseluosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan lain lain.
Sedangkan senyawa humat
terdiri dari asam humat, himatomelanat, dan humin. Berdasarkan tingkat kesuburan tanahnya (Andriesse 1974; Soepraptohardjo & Driessen 1976), gambut dibedakan menjadi yaitu : 1. Gambut Eutropik, yaitu gambut yang banyak mengandung mineral, reaksi gambut netral atau alkalin dan relatif subur. 2. Mesotropik, yaitu gambut yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang. 3. Oligotropik, yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral rendah (terutama Ca), ketebalannya lebih dari 2 m, dan reaksi tanahnya masam sehingga tingkat kesuburannya rendah. Gambut eutropik tergolong subur karena bahan asal atau penyusunnya berasal dari vegetasi serat-seratan dan memperoleh hara mineral secara alami dari lingkungannya, dimana sebagian besar gambut eutrofik berada di daerah air payau,
17 bersifat netral atau alkalin. Gambut oligotrofik hanya mendapatkan hara melalui curah hujan dan perombakan bahan organik setempat. Makin tebal suatu gambut makin miskin unsur hara pada lapisan atasnya, karena akar pohon semakin sedikit mencapai lapisan mineral di bagian bawahnya, dengan demikian daur ulang hara ke bagian atas lapisan tanah gambut semakin sedikit. Berdasarkan hal ini, maka gambut tebal kurang mendukung bagi budidaya tanaman semusim atau tanaman-tanaman yang berakar dangkal, dalam kondisi seperti ini, tanaman perkebunan atau tanaman tahunan lebih baik dibanding tanaman semusim.
Gambut yang berada di atas lapisan pasir kuarsa kesuburannya lebih
rendah dibanding gambut yang terhampar di atas lapisan lempung marin. Sementara itu, lapisan lempung marin umumnya banyak mengandung pirit (FeS2) (Andriesse 1988) Reaksi Tanah (pH). Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4.0. Tingkat kemasaman yang tinggi ini erat kaitannya dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller & Donahue 1990). Gugus reaktif karboksil (-COOH) dan fenol (C6H4OH) mendominasi kompleks pertukaran pada bahan organik yang telah mengalami dekomposisi, dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga mudah terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Ikatan –OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah melepaskan ion H+, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (WidjajaAdi 1985). Tingkat kemasaman tanah gambut memilki kisaran yang sangat luas. Gambut yang bersifat kaya akan kapur seperti gambut eutrofik dapat memiliki pH
18 lebih dari 6, misalnya gambut di Florida (Lucas 1982 dalam Andriesse 1988). Pada kondisi dimana terjadinya infiltrasi air payau, pH dapat lebih tinggi lagi, misalnya pH 7.8 di Maldives, dimana gambut berkembang di bagian dalam pulau karang yang memiliki kondisi salin yang kuat. Pada keadaan lain, gambut dapat menjadi sangat masam dimana terdapat kandungan pirit yang akan teroksidasi pada saat reklamasi, pH gambut pada keadaan seperti ini bisa mencapai kurang dari 2 (Andriesse 1988). Gambut tropik jenis ombrogen yang bersifat oligotrofik biasanya bersifat masam sampai sangat masam dengan kisaran pH 3 – 4.5. Menurut Andriesse (1988), nilai pH tanah gambut juga berbeda-beda menurut
ketebalannya. Pada
lapisan permukaan gambut endapan yang tebal di tengah kubah (pada dataran rendah Kalimantan) memiliki pH 3.3, sementara pada bagian yang dangkal atau gambut yang berada di dekat sungai memiliki pH rata-rata 4.3 Derajat kemasaman tanah gambut (pH) dapat memberikan petunjuk bagaimana gambut terbentuk, jenis gambut, dan kemungkinan nilai potensialnya bagi pengembangan pertanian. Menurut Andriesse (1988), pH merupakan parameter penting yang dapat ditentukan dengan mudah. Senyawa Organik. Komposisi kimia gambut sangat ditentukan oleh jaringan vegetasi penyusunnya, tingkat dekomposisi dan lingkungan kimia dimana gambut terbentuk.
Unsur utama senyawa organik gambut dibedakan ke dalam lima
kelompok fraksi, yaitu senyawa yang larut dalam air, bahan-bahan yang larut dalam eter dan alkohol, selulosa dan hemiselulosa, lignin dan turunannya, dan bahan-bahan mengandung nitrogen atau protein sederhana. Gambut merupakan suatu hasil akumulasi bahan organik, baik yang belum terhumifikasi maupun yang sudah terhumifikasi. Asam-asam organik merupakan
19 salah satu bahan yang banyak dikandung dalam gambut dan dapat dibebaskan selama proses dekomposisi. Asam organik juga ada yang belum terhumifikasi dan ada yang sudah terhumifikasi. Menurut Tan (1986) asam-asam tersebut bervariasi dari asam alifatik sederhana hingga asam aromatik kompleks dan heterosiklik. Tan
(1986)
menjelaskan
bahwa
asam-asam
organik
terhumifikasi tersebut adalah asam asetat, amino, askorbat, butirat, sinamat, sitrat, kumarat, ferulat, format, fumarat,
yang
aspartat,
belum benzoat,
galat, glutamat,
hidroksibenzoat, laktat, nukleat, oksalat, propionat, piruvat, salisilat, suksinat, siringat, tanat, tartrat, dan asam vanilat. Sejumlah asam tersebut dianggap sebagai produk antara dari metabolisme tanaman dan mikroba.
Beberapa di antaranya
mungkin telah dilepas ke dalam tanah sebagai eksudat akar, sedang yang lainnya merupakan hasil degradasi oksidatif bahan organik dan konsentrasi asam organik ini umumnya rendah. Dijelaskan lebih lanjut oleh Tan (1986) bahwa asam-asam organik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Diketahui bahwa asam asetat, aspartat, sitrat, oksalat, salisilat, tanat, dan tartrat telah berhasil digunakan oleh banyak peneliti mempelajari pelarutan mineral. Kelompok asam-asam organik yang telah terhumifikasi adalah dari bahan humat, yaitu asam humat, asam fulfat, asam himatomelanik, dan humin (Tan 1986). Pengelompokan senyawa organik seperti yang dikemukakan oleh Andriesse (1988) tersebut di atas tidak memisahkan bahan-bahan humat, seperti asam humat, asam fulvat, dan humin.
Bahan humat menurut Schnitzer (1986) menempati 70 – 80%
bahan organik hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik
20 mikroorganisme. Salah satu karakteristik
yang paling khusus dari bahan humik
adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut dalam air maupun yang tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda. Asam humat dan asam fulvat yang menyusun bahan organik secara keseluruhan lebih penting daripada asam organik yang belum terhumifikasi. Asamasam organik yang belum terhumifikasi mungkin secara kimia sama efektifnya seperti bahan humat, tetapi karena konsentrasinya yang rendah, pengaruhnya kalah oleh asam humat dan asam fulvat (Baker 1973; Singer & Navrot 1976 dalam Tan 1986). Susunan Hara Tanah Gambut.
Tanah gambut tropik mempunyai
kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% Andriesse (1988). Beberapa unsur hara dijelaskan sebagai berikut: 1. Karbon organik . Penilaian persentase karbon organik pada tanah gambut sangat diperlukan untuk tujuan pertanian, khususnya untuk perhitungan C/N rasio. C/N rasio menunjukkan tingkat humifikasi gambut dan kemungkinan konsumsi nitrogen oleh jasad mikro ketika tanah gambut dipupuk. Kandungan karbon organik dalam gambut sangat beragam, dengan kisaran antara 12 % - 60 % (Andriesse (1988).
Besarnya kisaran angka tersebut
disebabkan faktor jenis gambutnya, tahap dekomposisi, dan kemungkinan metode analisisnya. Ekono (1981) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa kandungan karbon organik berkisar antara 48 % - 50 % dalam gambut fibrik
21 yang hanya sedikit mengalami dekomposisi, 53 % - 54 % pada gambut hemik, dan 58 % - 60 % pada gambut saprik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut. Tampak bahwa gambut yang sudah mengalami dekomposisi lanjut memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dibanding gambut yang masih rendah taraf dekomposisinya, namun perbedaannya tidak lebih dari 10 %. Karbon organik pada lapisan permukaan gambut tebal lebih tinggi kandungannya dibanding karbon organik pada gambut dangkal, ini konsisten dengan fakta bahwa lapisan gambut dalam biasanya merupakan gambut ombrogen dan oligotropik yang memiliki komponen kayu berlignin yang tinggi, sedangkan gambut dangkal biasanya mesotrofik, yang dicirikan dengan sedikitnya kandungan kayu berlignin tersebut. 2. Nitrogen Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi ( Subagyo et al. 1996). Kandungan nitrogen dalam tanah gambut sangat penting untuk pertanian.
dipertimbangkan bagi pengembangan tanah gambut
Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa
organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Sementara tanaman menyerap unsur N dalam bentuk NH4+ dan NO3-, dimana kedua senyawa ini akan terbentuk setelah proses aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut menurut Tisdale et al. (1985) adalah pH tanah, kandungan unsur-unsur hara, dan senyawa yang mudah terdegradasi. Pada proses dekomposisi tanah gambut, nitrogen organik dilepaskan ke dalam tanah sebagai ammonium. Beberapa amonia menguap dan terlepas ke
22 atmosfer, beberapa di antaranya digunakan oleh tanaman, dan sebagian besar dioksidasi oleh mikrobia menjadi nitrit dan nitrat. Nitrogen nitrat yang dihasilkan dalam proses dekomposisi gambut oleh mikrobia akan dilepaskan dalam larutan tanah atau sementara menjadi tidak mobil dalam protoplasma mikrobia. Pada kondisi anaerob, bakteri denitrifikasi mengubah sebagian nitrat dan ammonium menjadi N2, sehingga melengkapi kehilangan nitrogen dalam sistem tanah gambut (Everett 1983) Berdasarkan kerapatan lindaknya, lapisan permukaan gambut biasanya mengandung nitrogen lebih besar dibanding lapisan di bawahnya, hal ini dikarenakan pengaruh perbedaan dekomposisi pada kedua lapisan tersebut, dimana lapisan permukaan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dibandingkan lapisan bawah gambut.
Sementara
itu, Andriesse (1988)
menyatakan bahwa taraf nitrogen pada lapisan atas gambut dalam biasanya lebih tinggi kandungannya dibandingkan dengan taraf nitrogen pada lapisan permukaan gambut dangkal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil observasi Suhardjo dan Widjaja-Adi (1997) untuk gambut di Indonesia, dimana pada lapisan permukaan (ketebalan 30 cm) memiliki kandungan nitrogen 1.98 %, lebih tinggi dari gambut dangkal yang hanya mengandung 1.13 % nitrogen. Hardon dan Polak (1941) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa gambut ombrogen tropik (oligotrofik) selalu dicirikan dengan tingginya kandungan lignin, tetapi rendah kandungan selulosa.
Aktivitas mikrobia
dicirikan dengan proses nitrifikasi dan penguraian selulosa, dengan demikian sisa nitrogen sebagian besar berada dalam lignin, proporsi nitrogen akan meningkat sejalan dengan meningkatnya proses dekomposisi gambut.
23 3. Fosfor Menurut Everett (1983), unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P-organik yang kebaradaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat (Hartatik 2003). Sementara, fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35%), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P (Stevenson 1994). Pelepasan inositol fosfat sangat lamban di dalam tanah dibanding ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dengan proporsi setengah P organik atau seperempat P total tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, sehingga garam ini sukar didegradasi oleh mikrobia (Stevenson 1994).
Ditambahkan oleh
Mas’ud (1992) bahwa fitin dan asam nukleat merupakan sumber P dari kelompok senyawa P-organik. Sifat fitin dalam tanah menyerupai ortofosfat, sehingga mekanisme penambatan P berupa reaksi langsung dengan besi atau alumunium pada pH rendah membentuk Fe-fitat dan Al-fitat, sedangkan pada pH tinggi bereaksi dengan kalsium membentuk Ca-fitat. Proses mineralisasi P ditentukan oleh Nisbah C dan P, apakah P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Hartatik (2003) menyatakan bahwa pada kondisi nisbah C dan P mencapai 300, akan terjadi immobilisasi P
24 oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan pada nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan lebih tersedia bagi tanaman. Kadar P pada tanah gambut akan semakin menurun pada lapisan-lapisan yang lebih dalam. Menurut Noor (2001), total P menurun hingga ke dalaman 40 cm dan selanjutnya terus menurun secara bertahap.
Kejenuhan basa tanah
gambut juga relatif rendah, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Kejenuhan basa tanah gambut sekitar 10 % - 15 %. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30 % agar tanaman menyerap basa-basa tertukar dengan mudah. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH pada tanah-tanah yang bemiliki pH rendah termasuk gambut. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi. Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal.
Pengapuran tidak memberikan pengaruh pada pH air,
namun meningkatkan konsentrasi Ca2+, Mg2+ and Fe2+ dan menurunkan konsentrasi Zn2+ and Al3+ dalam air tanah. Konsentrasi NH4+-N dalam air tanah meningkat dengan pemberian kapur sebesar 7.5 ton/ha 4. Sulfur dan kadar pirit Beberapa tanah gambut memiliki kandungan sulfur yang tinggi, terutama gambut-gambut yang berada di atas lapisan sedimen marin yang mengandung bahan sulfidik. Gambut tropik pesisir mengandung sejumlah sulfur dalam
25 bentuk pirit (FeS2).
Sebagian lahan gambut juga berasosiasi dengan tanah
mineral sulfat masam.
Tanah sulfat masam ini dicirikan dengan adanya
kandungan pirit. Subagyo (1997) menyatakan bahwa kandungan pirit dalam tanah marin sangat bervariasi. Lapisan pirit umumnya terdapat pada ke dalaman 50 cm, 50-150 cm, dan lebih dari 150 cm dibawah permukaan tanah. 5. Unsur Mikro Unsur-unsur mikro di tanah gambut seperti Cu, Zn, dan Bo
sangat
terbatas, hal ini dikarenakan sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, dan menyebabkan tidak tersedia bagi tanaman. (Kanapathy1972). Kelompok karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi di tanah gambut menyebabkan terjadinya senyawa organo-metal yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983). Kadar Abu. Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut.
Berdasarkan tingkat ketebalannya, makin dalam atau tebal suatu gambut,
makin rendah kadar abunya. Gambut sangat tebal yang lebih dari 3 meter memiliki kadar abu sekitar 5 %, gambut tebal dan tengahan dengan ketebalan antara 1 m – 3 m memiliki kadar abu sekitar 11 % - 12 %, dan gambut dangkal memiliki kadar abu sekitar 15 % (Widjaja-Adi 1986). Kadar abu juga berhubungan dengan tingkat kematangan dan kadar bahan organik gambut seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut:
26 Tabel 1. Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya. No
Tingkat Kematangan Gambut
Kadar Abu (%)
Kadar bahan Organik (%)
1 2
Fibrik (mentah) Hemik (sedang)
3.09 8.04
45.9 51.7
3
Saprik (matang)
12.04
78.3
Sumber : Setiawan (1991) Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar bahan organik semakin tinggi sejalan dengan peningkatan kematangan tanah gambut.
Apabila melihat
rendahnya kadar abu pada tingkat kematangan fibrik tersebut (3.09 %) dengan sisa pemijaran 96.91 % maka gambut tersebut tergolong gambut murni (true peat) karena menurut Andriesse (1974) dikatakan gambut murni apabila mempunyai rata-rata kehilangan pijar lebih dari 90 %. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Gambut. Kapasitas tukar kation adalah banyaknya kation (dalam miliekuivalen) yang dijerap oleh tanah per satuan bobot tanah (biasanya per 100 g), atau kemampuan suatu koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation. Nilai KTK ini sangat penting dalam mengelola tanah pertanian. Nilai KTK tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah. Besarnya nilai KTK ini disebabkan muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar berasal dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen & Soepraptohardjo 1974). Kemampuan pertukaran ini menurut Andriesse (1988) tergantung pada jumlah muatan negatif yang berada pada kompleks jerapan. Kation-kation Ca, Mg, K, dan Na digantikan oleh ion hidrogen pada kompleks jerapan tersebut, sehingga ion H dominan pada kompleks jerapan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Andriesse (1988) bahwa KTK tanah gambut sangat tergantung kepada
27 pH (pH-dependent), hal ini dikarenakan sangat rapatnya ion hidrogen yang terfiksasi bersama gugus fungsional
bahan-bahan asam, dan sulit untuk dipertukarkan
(Andriesse 1988). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978), KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. No
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada Berbagai Komposisi Gambut Ombrogen di Indonesia
Komposisi
Bobot (%)
KTK (me/100 g)
1 2
Lignin Senyawa humat
64 - 74 10 - 20
150 - 180 40 - 80
3
Selulosa
0.2 - 10
7
4
Hemiselulosa
1 - 2
1 -
5 Lainnya 6 Total gambut Sumber : Driessen, (1978)
<5 100
2
190 - 270
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai KTK tertinggi terdapat pada komposisi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di Indonesia terutama gambut ombrogen sebagian besar bahan penyusunnya berasal dari bahan kayu-kayuan, sementara bahan kayu-kayuan tersebut umumnya sangat banyak mengandung lignin, yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat.
Abu Janjang Kelapa Sawit Abu janjang kelapa sawit merupakan hasil pembakaran janjang kosong di dalam dapur pengabuan (incenerator) pada perkebunan kelapa sawit. Menurut Chan et al, (1982), unsur-unsur makro yang paling dominan terdapat pada abu janjang kelapa sawit adalah kalium dan magnesium, sedangkan unsur mikronya
28 adalah mangan dan boron. Abu janjang ini mempunyai pH yang sangat tinggi dan bersifat higrokopis. Pemanfaatan abu janjang kelapa sawit lebih bernilai ekonomis sebagai pupuk K, dengan pertimbangan keberadaannya yang cukup banyak sebagai hasil buangan industri kelapa sawit. Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004), abu janjang kelapa sawit mengandung unsur utama K, Mg, dan Ca, serta memiliki pH yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pH pada tanah tanah yang bereaksi masam. Hasil analisis abu
janjang sawit yang berasal dari lokasi penelitian
(Pontianak, Kalimantan Barat) disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3.
Hasil analisis abu janjang kelapa sawit di lokasi penelitian (PontianakKalbar)
Parameter pH (H2O) P2O5 Ca MgO K2O Fe Mn Cu Zn
Nilai (Kandungan) 10.46 2,42 2.22 2.46 21.15 38.21 2.64 2.09 1.66
% % % % ppm ppm ppm ppm
Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Untan Pontianak 2006 Tabel 3 menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan K yang tinggi, dan bersifat alkalis, dengan demikian pemberian abu ini pada tanah gambut diharapkan dapat mengubah sifat kimia gambut dengan karakteristik yang lebih baik.
29 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Gambaran Umum FMA Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah suatu simbiosis yang ditemukan antara fungi (Zygomycetes) dan akar, merupakan salah satu tipe dari beberapa tipe mikoriza yang dikenal. Lebih dari 200.000 spesies Angiospermae, terdiri dari cabang-cabang hifa yang berada pada bagian dalam sel akar tanaman inang atau lebih dari 90% dari 300.000 spesies yang berasosiasi dengan FMA pada tanah-tanah alami (Wegel et al. 1998), FMA merupakan jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman.
Fungi ini
membentuk vesikel dan arbuskula di dalam korteks tanaman. Karena 80% fungi ini membentuk struktur vesikula dan arbuskula, maka fungi ini disebut dengan fungi mikoriza vesikula – arbuskula. (Smith & Read 1997). Vesikel merupakan ujung hifa berbentuk bulat yang berfungsi sebagai organ penyimpanan, sedangkan arbuskula merupakan hifa yang struktur dan fungsinya sama dengan houstoria dan terletak di dalam sel tanaman (Shenk 1981). FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, ordo Glomales dan genus Gigaspora, Scultellospora, Acaulospora, Entrophospora, Glomus, dan Sclerocystis. Terdapat sekitar 150 jenis (spesies) spora fungi
FMA yang telah dideskripsi.
Taksonomi tersebut didasarkan pada karakteristik morfologi dan biologi spora FMA (Morton & Benny 1990). FMA termasuk dalam kelompok khusus dari populasi mikoriza yang sangat banyak mengkolonisasi rizosfer, yaitu di dalam akar, permukaan akar, dan di daerah sekitar akar. Hifa eksternal yang berhubungan dengan tanah dan struktur infeksi seperti arbuskula di dalam akar menjamin adanya perluasan penyerapan unsur-unsur
30 hara dari tanah dan peningkatan transfer hara (khususnya P) ke tumbuhan, sedangkan fungi memperoleh C organik dari tumbuhan inangnya (Marschner 1995). Manfaat FMA dalam Ketersediaan dan Serapan Hara Manfaat FMA dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman ke organisme tanah yang lain (Brundrett et al. 1996).
Manfaat bagi tanaman yaitu
dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, terutama P (Bolan 1991), dimana FMA dapat mengeluarkan enzim fosfatase dan asam-asam organik, khususnya oksalat yang dapat membantu membebaskan P. Hubungan simbiotik antara mikoriza dan tanaman akan semakin menguntungkan ketika tanaman kekurangan mineral, serapan N dan P akan semakin meningkat (Swift 2004; Morgan et al. 2005). Mikoriza juga meningkatkan penyerapan unsur hara lainnya seperti N (NH4+ atau NO3-), K, dan Mg yang bersifat mobil. Peningkatan penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo (Ouimet, et al. 1996). Peranan FMA tersebut dalam meningkatkan ketersediaan dan serapan P dan unsur hara lainnya, dapat dilihat pada gambar 2.
TANAH (Sumber)
1
TANAMAN (Agen)
1a
LARUTAN Tanah (Medium)
MIKORIZA FMA (Akses)
2a 2
3a
3
LARUTAN Permukaan akar (Medium)
Gambar 2. Pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara
31 Diagram pada Gambar 2 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1a) : Modifikasi Kimia oleh mikoriza dalam proses kelarutan P tanah Pada tahap ini, terjadi modifikasi kimia oleh mikoriza terhadap akar tanaman, sehingga tanaman mengeksudasi asam-asam organik dan enzim fosfatase asam yang memacu proses mineralisasi P. Eksudasi akar tersebut terjadi sebagai respon tanaman terhadap kondisi tanah yang kahat P, yang mempengaruhi kimia rizosfer (Marschner 1995). (2a) : Perpendekan jarak difusi oleh tanaman bermikoriza. Mekanisme utama bagi pergerakan P ke permukaan akar melalui difusi yang terjadi akibat adanya gradien konsentrasi, serta merupakan proses yang sangat lambat. Menurut Bolan (1991), jarak difusi ion-ion fosfat tersebut dapat diperpendek dengan hifa eksternal FMA, yang juga dapat berfungsi sebagai alat penyerap dan translokasi fosfat (Jakobsen 1992). (3a) Penyerapan P tetap terjadi pada tanaman bermikoriza meskipun terjadi penurunan konsentrasi minimum P Konsentrasi P yang ada di larutan tanah dapat menjadi sangat rendah dan mencapai konsentrasi minimum yang dapat diserap akar, hal ini terjadi sebagai akibat terjadinya proses penyerapan ion fosfat yang ada di permukaan akar (Marschner 1995). Di bawah konsentrasi minimum tersebut akar tidak mampu lagi menyerap P dan unsur hara lainnya, sedangkan pada akar bermikoriza, penyerapan tetap terjadi sekalipun konsentrasi ion fosfat berada di bawah konsentrasi minimum yang dapat diserap oleh akar (Bolan 1991). Proses ini ini terjadi karena afinitas hifa eksternal yang lebih tinggi atau peningkatan daya tarik-menarik ion-ion fosfat yang menyebabkan pergerakan P lebih cepat ke dalam hifa FMA (Smith & Read 1997; Swift 2004).
32 Sastrahidayat (1990) membuktikan bahwa berbagai jenis tanaman pertanian seperti cabai, asparagus, jagung, anggur, jeruk, mangga, dan pepaya memberikan respon positif terhadap pemberian mikoriza bagi pertumbuhannya. Pada tanaman padi gogo yang dipupuk dengan mikoriza mampu meningkatkan produksinya sekitar 40 – 60 % pada tanah latosol, 35 % pada tanah andosol, dan 20 – 30 % pada tanah regosol (Sastrahidayat 1991). .Mikoriza juga dapat meningkatkan produksi kacang tanah 50 – 80 % dan 30 – 50 % untuk perlakuan mikoriza Glomus margarita dan Glomus etunicatum (Sastrahidayat 1992). Pengaruh positif inokulasi mikoriza Gigaspora margarita dan Sceloderma columnare terhadap tanaman juga dibuktikan oleh Damanik (1996), pada tanaman sawit di pembibitan yang diberi inokulum mikoriza menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tidak diberi inokulum mikoriza. Dari hasil penelitian Widiastuti (1989) juga diketahui bahwa kemampuan tanaman kelapa sawit untuk menyerap unsur mikoriza.
Ca, Mg, Fe, dan S semakin meningkat dengan adanya
Soekarno et al. (1996) membuktikan bahwa satu miselium vesikula-
arbuskula dapat menyerap hara melebihi besar luas permukaannya di dalam tanah untuk menyediakan P melalui titik masuk ke daerah bidang kontak pada tumbuhan. Pembuktian pengaruh simbiosis FMA terhadap laju maksimum fotosintesis pada semaian tanaman tropik telah dilakukan oleh Lovelock et al. (1997).
FMA
ternyata meningkatkan konsentrasi fosfor dalam organ tanaman (daun, batang, dan akar). Hasil penelitian Muslimin (1994) menunjukkan bahwa inokulasi fungi endomikoriza dapat meningkatkan tinggi tanaman kakao antara 12.5 % – 23.2 % dan bobot kering tajuk antara 13.6 % – 23.9 %.
33 Manfaat FMA dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit Beberapa hasil penelitian membutikan bahwa fungi mikoriza arbuskula dapat mengurangi keganasan penyakit, terutama patogen akar.
FMA yang berasosiasi
dengan akar tanaman menyebabkan tanaman tahan terhadap serangan patogen akar. Hasil penelitian Cordier (1998) menunjukkan bahwa ketika akar-akar tomat yang bermikoriza diinokulasi oleh Phytophthora parasitica, ternyata panjang akar yang mengalami nekrosis dapat dikurangi hingga 79.2 % dan jumlah hifa patogen dapat dikurangi hingga 88.5 % dibanding akar-akar tomat yang tidak bermikoriza. Serangan P. parasitica juga dapat berkurang jika akar jeruk diinokulasi dengan fungi mikoriza Gigaspora margarita atau Glomus macrocarpum (Gunawan 1993) Kapas yang bermikoriza dapat lebih bertahan dari infeksi patogen Thielaviopsis basicola.
Penelitian lain menunjukkan bahwa
bermikoriza, terjadi penurunan klamidospora T. basicola
pada tembakau
sebanyak sepuluh kali
dibandingkan dengan tembakau yang tidak bermikoriza (Gunawan 1993). Produksi tanaman tomat juga lebih baik hasilnya bila diinokulasi dengan mikoriza dibanding tanpa mikoriza dan mempunyai ketahanan terhadap penyakit layu fusarium (Sastrahidayat 1990).
Sedangkan Hayman (1982) membuktikan
bahwa inokulasi FMA pada tanaman kopi meningkatkan toleransi tanaman tersebut terhadap Pratylencus coffea. Ekologi Mikoriza Penyebaran. Spora FMA terdapat di dalam tanah di seluruh dunia. Hetrick (1984) mengemukakan bahwa penyebaran fungi mikoriza arbuskula terjadi jutaan tahun yang lalu karena fosil tumbuhan yang mengandung struktur mikoriza arbuskula telah diketahui kira-kira 370 juta tahun yang lalu. Penyebaran FMA dapat terjadi
34 secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif penyebarannya melalui miselium yang tumbuh di dalam tanah dengan kecepatan penyebaran 43 cm tahun-1, sedangkan penyebaran secara pasif dapat melalui vektor, khususnya penyebaran yang melalui spora. Dijelaskan lebih lanjut oleh Gunawan (1993) bahwa fungi mikoriza yang diintroduksi akan menyebar lebih cepat pada tanah yang populasi FMA nya rendah, terutama jika populasi FMA telah tertekan oleh tanaman budidaya yang bukan inangnya. Tanaman Inang. Meskipun FMA adalah fungi asal tanah yang menginfeksi tumbuhan hidup, fungi ini tidak mempunyai inang spesifik dan mempunyai stimulan yang berbeda untuk perkecambahannya.
Pada umumnya, perkecambahan spora
FMA lebih dipengaruhi oleh mikroorganisme tanah serta faktor fisik dan kimia dibanding dengan ada atau tidaknya akar-akar tumbuhan inang (Hetrick 1984). Ditegaskan lebih lanjut oleh Moses (1973), bahwa spesies FMA tertentu dapat lebih merangsang pertumbuhan spesies tanaman tertentu, tetapi setiap FMA umumnya dapat mengkoloni setiap spesies inang FMA. Melihat dari kenyataan tersebut, maka introduksi mikoriza dari suatu habitat ke habitat lain atau dari suatu rizosfer inang tertentu ke rhizosfer inang lainnya dapat dilakukan. Keanekaragaman spesies dan populasi spora FMA cenderung dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan spesies tanaman. Hasil penelitian Widiastuti dan Kramadibrata (1992) menunjukkan adanya spora Glomus spp. yang tinggi pada rhizosfer alang-alang, jagung, dan kakao. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata spora dari Glomus spp. dan Gigaspora spp. cukup banyak diketemukan pada tanah gambut dari rhizosfer nenas yang di tanam di sekitar lokasi penelitian.
35 Aspek Lingkungan Tumbuh. Di dalam tanah, mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, Fe, Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada pH 5.5 sampai 6.5 dan Acaulospora pada pH 5.0. Nurlaeny et al. (1996) membuktikan bahwa persentase panjang akar jagung dan kedelai yang diinokulasi mikoriza meningkat dengan meningkatnya pH tanah. Hasil penelitian Sastrahidayat (1992) menunjukkan bahwa pada pH 4.5 hanya hifa yang halus saja yang dapat menginfeksi jaringan akar tanaman inang. Kadar air tanah yang sedikit lebih memacu pembentukan spora mikoriza dari pada kadar air tanah yang berlebihan. Tanah yang mempunyai sistem aerasi yang baik lebih memacu spora mikoriza dari pada tanah yang beraerasi jelek. Dijelaskan lebih lanjut oleh Solaiman dan Hirata (1997) bahwa FMA bersifat aerobik, untuk itu kadar air tanah dan aerasi harus dipertimbangkan pengaruhnya terhadap penyebaran dan keefektivitannya. Hasil penelitian Solaiman dan Hirata (1997) membuktikan bahwa kolonisasi mikoriza pada akar padi meningkat pada umur 3 sampai 6 minggu baik yang ditumbuhkan di tempat kering maupun basah, namun setelah 6 minggu, kolonisasi lebih tinggi di bawah kondisi kering (55 %) dibanding kondisi basah (22 %) Limbah Ikan dan Limbah Udang sebagai Pupuk Organik Limbah Ikan Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang. Potensi sumber daya perikanan laut Indonesia adalah sekitar 4.5 juta ton, ditambah 2.1 juta ton berasal dari Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Potensi yang tersedia tersebut baru sekitar 40% yang dimanfaatkan (Mukodiningsih et al. 2003). Selama penangkapan, penanganan hasil tangkapan, pengangkutan, pemasaran
36 dan selama pengolahan akan selalu terjadi limbah perikanan yang volumenya cukup besar. Berdasarkan data dari Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005) setiap musim masih terdapat antara 25 - 30% hasil tangkapan ikan laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan. Selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang, dengan demikian limbah sisa-sia ikan akan selalu berada dalam jumlah yang banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi.
Limbah ini secara langsung maupun tidak langsung banyak
membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Sebagai upaya dalam mengatasi dan memanfaatkan limbah ikan, maka limbah ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan lain seperti konsentrat protein ikan (KPI) atau tepung ikan untuk produktivitas ternak (Mukodiningsih et al. 2003). Pemanfaatan lain yang cukup memberikan nilai ekonomis adalah dengan memanfaatkan limbah ikan sebagai bahan baku pupuk organik Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005). Limbah ikan digunakan sebagai pupuk pertanian dengan dua bentuk utama yaitu dalam bentuk cairan dan kompos ikan. Dalam bentuk kompos, limbah ikan dapat dicampur dengan limbah dapur dan limbah tanaman dan dibiarkan terurai. Produk ini memperkaya nutrien tanah dan mempunyai keunggulan dalam hal kapasitasnya menahan air. Pupuk cair dibuat dengan cara mencampur limbah ikan dengan asam organik dan dibiarkan pada suhu kamar sampai terurai dengan baik. Cairan ini dapat digunakan langsung ke tanah atau ke akar tanaman, dapat juga
37 digunakan dengan menyemprotkannya ke daun tanaman. Produk cair yang dibuat dari ikan yang dicairkan oleh enzim-enzim yang terdapat pada ikan itu sendiri dengan menambah asam organik dikenal dengan isitilah silase ikan. Prinsip pembuatan silase adalah “ensilase”, yaitu prinsip pengawetan dengan menambahkan asam, sehingga akan terjadi penurunan pH dan menyebabkan silase bebas dari kehidupan bakteri (Mukodiningsih et al. 2003). Pembuatan silase yang dilakukan secara kimia dikenal dengan silase asam karena senyawa kimia yang digunakan adalah senyawa asam seperti asam formiat, asam asetat, atau asam propianat. Peranan senyawa asam ini adalah melunakkan jaringan ikan dan menurunkan derajat keasaman (pH)nya. Akibatnya enzim proteolitik yang terdapat dalam tubuh ikan akan aktif bekerja memecah protein (senyawa kompleks) menjadi senyawa asam amino (senyawa sederhana) yang bersifat larut dalam air (Junianto 2004). Lebih jauh Junianto (2004) menegaskan bahwa proses pembuatan silase dengan cara biologis ini hanya cocok untuk ikan-ikan kecil dengan kandungan lemak kurang dari 1%. Sedangkan ikan yang memiliki kandungan lemak lebih dari 2% hanya cocok diolah menjadi silase dengan cara kimia. Seperti yang dijelaskan oleh Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005), bahwa bahan baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Ikan dengan kandungan lemak yang tinggi, akan pembuatan pupuk organiknya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan ikan dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik. Kandungan lemak berpengaruh didalam proses pembuatan pupuk organik karena prosesnya berjalan dalam dua tahap, yaitu proses fisik melalui penggilingan bahan-
38 bahan yang dipergunakan, dan proses biologis yaitu lanjutan proses yang dikenal dengan fermentasi non-alkoholik atau proses ensiling. Menurut Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005) pupuk organik lengkap yang dibuat dari bahan ikan
kaya akan nilai
organiknya, baik organik-N, organik-P, dan organik-K yang terkandung didalam tubuh ikan dan mempunyai kelebihan kalau dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Limbah ikan juga masih mengandung unsur-unsur lainnya, khususnya unsur mikro. Dengan demikian, pupuk organik yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih baik dibandingkan dengan organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau. Dewasa ini di Indonesia telah banyak beredar pupuk organik yang terbuat dari ikan dengan aneka merk, baik produksi dalam negeri maupun impor. Namun, yang memenuhi persyaratan masih terbatas. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini, yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan K (6%) di samping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan sebagainya (Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005). Limbah Udang Potensi udang nasional mencapai 633.681 ton,
pada tahun 2004 potensi
udang sebesar 785.025 ton. Pada proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari bobot udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton (Prasetiyo 2004). Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak
39 negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk. Menurut Christantie (1999)
kandungan mineral yang penting dari udang
adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 dan 170 mg/100 gram bahan. Limbah pengolahan udang yang berupa jengger (daging di pangkal kepala) dapat dimanfaatkan untuk membuat pasta udang dan hidrolisat protein, limbah yang berupa kepala dan kaki udang dapat dibuat tepung udang, sebagai sumber kolesterol bagi pakan udang budidaya, limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25% dan di negara maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi, tekstil, kertas, pangan, dan lain-lain, serta chitosan yang terdapat dalam kepala udang dapat dimanfaatkan dalam industri kain, karena tahan api dan dapat menambah kekuatan zat pewarna dengan sifatnya yang tidak mudah larut dalam air. Sama seperti limbah ikan, limbah udang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dalam budidaya tanaman pertanian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, petani sayuran organik di lahan gambut Pontianak sudah sejak lama memanfaatkan limbah udang (berupa kepala, ekor, dan kulit) untuk menyuburkan sebagian besar tanaman sayuran. Namun demikian, upaya untuk meningkatkan efektivitas limbah udang sebagai pupuk seperti upaya untuk memfermentasi limbah udang, belum dilakukan di tingkat petani.
KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Charracterization of Peat Material that incubated by oil palm bunch ash Abstrak Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman, salah satu di antaranya adalah dengan memberikan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu janjang kelapa sawit selain dapat meningkatkan pH, juga dapat memberikan tambahan hara pada tanah. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilakukan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang kelapa sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan setelah dua bulan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga ke dalaman lapisan berbeda, yaitu 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut berpengaruh sangat nyata untuk kadar P dan K bahan gambut untuk semua tingkat lapisan. Inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar N total bahan gambut pada lapisan 0 – 10 cm, dan tidak berpengaruh nyata pada lapisan lainnya. Pemberian abu janjang kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap kadar Mg pada lapisan 0 – 10 dan 10 – 20 cm. Terjadi peningkatan kadar P masing-masing 7233, 498.72, dan 212.93 % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga dibanding kontrol. Peningkatan kadar K sebesar 544.33, 269.13, dan 251.11 % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga. Untuk kadar Mg, peningkatan hanya terjadi pada lapisan pertama ( 0 – 10 cm) dengan peningkatan sebesar 80% dari kontrol. Penurunan terjadi pada kadar N total sebesar 33.33% pada lapisan 0 – 10 cm akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut. Secara umum disimpulkan bahwa akumulasi P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terjadi pada lapisan 0 -10 cm. Kata kunci: abu janjang kelapa sawit, gambut, inkubasi.
41
Abstract The research was aimed to study the characteristics of peat material that incubated by oil palm bunch ash. The study was conducted in completely randomized design with five dosage levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated during two month in column tubes. Observation was conducted after two months on rate of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depth of layer in column tube; 0 - 10, 10 - 20, and > 20 cm. The result showed that incubation of peats with oil palm bunch ash significantly influenced on both P and K for all column layers. P was increased equal to 7233, 498.72, and 212.93 % for the first, second, and third of column layers. K was increased 544.33, 269.13, and 251.11 % for the first, second, and third of column layers. Mg was increased 80% at the first layer. N was decreased 33.33% at the first layer. The generally, P, K, Mg was accumulated at 0 - 10 cm of column layer as a result of the application of oil palm bunch ash on peat material. Key words: oil palm bunch ash, peat, incubation.
Pendahuluan Tanah gambut umumnya bereaksi masam atau memiliki nilai pH yang rendah sampai sangat rendah. Sumber kemasaman atau yang berperan dalam menentukan kemasaman pada tanah gambut adalah asam-asam organik dan ion hidrogen yang dapat
dipertukarkan.
Keberadaan
asam-asam
organik
sangat
menentukan
kemasaman, sementara kehadiran Aluminium yang mobil dan mampu terhidrolisis kurang penting, tidak seperti di tanah mineral (Miller & Donahue 1990). Dijelaskan lebih lanjut oleh
Andriesse (1988) bahwa pH tanah gambut
berkaitan dengan keberadaan senyawa organik. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (-COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak. Diperkirakan sebanyak 85 – 95 % muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Miller & Donahue 1990). Ikatan –OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah
42 melepaskan ion H+, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (WidjajaAdi 1985). Tan (1986) menyatakan bahwa asam-asam organik pada gambut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Senyawa organik utama yang terdapat dalam gambut
biasanya hemiselulosa, selulosa dan lignin,
hasil biodegradasi lignin dapat
menghasilkan asam-asam fenolat, sedangkan selulose/hemiselulose menghasilkan asam-asam karboksilat. Asam-asam fenolat merupakan senyawa organik yang dapat bersifat racun bagi tanaman. Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse 1988). Meskipun N masuk dalam katagori tinggi di tanah gambut, namun N berada dalam bentuk organik pada tanah gambut, sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan oleh tanaman. Nisbah C/N yang tinggi pada tanah gambut membuat N sangat terbatas untuk dapat diserap tanaman. Seperti yang dijelaskan oleh Tisdale et al. (1985) jika bahan organik mempunyai nisbah C/N > 30, akan terjadi proses immobilisasi N, dimana N yang dihasilkan dari proses mineralisasi akan digunakan oleh jasad mikro untuk kebutuhan hidupnya. Unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk Porganik.
Fosfat dalam bentuk organik keberadaannya melimpah dalam tanah
gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut (Everett 1983). Fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35 %), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P. Proses mineralisasi P-organik
oleh jasad mikro sangat
dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Nisbah C dan P akan sangat menentukan apakah
43 P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro.
Proses mineralisasi akan lebih
konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai 100:10:1 (Tisdale et al. 1985). Persyaratan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kondisi tanah gambut
yang
memiliki nisbah C dan P yang sangat besar, dengan demikian proses mineralisasinya akan berjalan sangat lambat. Permasalahan lain pada tanah gambut adalah rendahnya tingkat kejenuhan basa, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Dijelaskan oleh Tan (1993) bahwa tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50 – 80% dan tidak subur jika kejenuhan basanya < 50%. Kejenuhan basa yang rendah berkaitan dengan pH tanah yang rendah. Pada tanah gambut, ion-ion H+ yang dijerap oleh kompleks organik lebih mudah didisosiasikan sehingga pH tanahnya menjadi sangat rendah. Sulitnya diperoleh kejenuhan basa yang tinggi pada tanah gambut disebabkan karena tingginya nilai KTK.
Nilai KTK yang tinggi ini menurut
Driessen dan Soepraptohardjo (1974) disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar berasal dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Seperti dijelaskan oleh Andriesse (1988), bahwa kation-kation Ca, Mg, K, dan Na digantikan oleh ion hidrogen pada kompleks jerapan, sehingga ion hidrogen sangat rapat terfiksasi bersama gugus fungsional
bahan-bahan asam, dan sulit untuk
dipertukarkan. Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi, 1986), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Dijelaskan oleh Kanapathy (1972) bahwa
44 sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, sehingga tidak tersedia oleh tanaman. Pengkhelatan unsur-unsur mikro tersebut membentuk senyawa organo-metal yang memfiksasi ion Cu dan Zn menjadi kurang tersedia bagi tanaman.
Terjadinya senyawa organo-metal dikarenakan adanya
gugus karboksilat dan fenolat berkadar tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983). Kadar abu tanah gambut tergolong rendah, namun tergantung dari ketebalan gambutnya (Widjaja-Adi 1986). Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Beberapa tanaman memberikan kontribusi hara kepada tanah gambut (Everett 1983).
Kadar abu selain sangat dipengaruhi oleh
bahan mineral di bawahnya, juga dipengaruhi oleh limpasan pasang air sungai yang membawa bahan mineral,
dengan demikian kadar abu dapat dijadikan sebagai
gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Menurut Widjaja-Adi (1986), kadar abu tanah gambut beragam antara 2 - 65 %. Gambut jenis oligotrofik yang rendah tingkat kesuburannya memiliki kadar abu sekitar 2 %,
gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan sedang
memiliki kadar abu sekitar 2.0 - 7.5 %, dan gambut eutrofik dengan kesuburan yang lebih baik memiliki kadar abu lebih besar dari 14 %. Penelitian Smith et al. (2001) membuktikan bahwa pada pembakaran gambut dengan ke dalaman 0 - 2 cm , kadar abu, kerapatan lindak, total kalsium, total fosfor, nyata meningkat. Beberapa penelitian lain membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pH tanah dan beperngaruh nyata
45 terhadap kenaikan kadar kalium dapat dipertukarkan (K-dd) (Panjaitan et al. 1983; Sanchez 1976). Hasil penelitian Chan dan Suwandi (1985) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit ternyata dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, terutama setelah mengalami inkubasi selama satu bulan. Ginting (1991) juga membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan kadar serapan kalium dalam tanaman kentang varietas granola dan mampu mensuplai K dan Mg dapat dipertukarkan ke dalam tanah. Rosyadi (2004) membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber pupuk kalium pada tanaman padi sawah Oriza sativa varietas IR-64. Peningkatan pH tanah cukup nyata setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Panjaitan et al. (1983) membuktikan pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan pH pada tiga jenis tanah, yaitu podsolik, regosol, dan aluvial.
Hasilnya menunjukkan terjadi kenaikan pH untuk ketiga jenis tanah
tersebut menjadi berkisar antara 6.07 – 6.09 dengan rata-rata kenaikan sebesar 0.5 1.5 pada pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 8.4 g/500 g tanah setara bobot kering. Melihat dari kenyataan tersebut di atas, maka terdapat dua hal pokok yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara pada tanah setelah diinkubasi dengan abu, baik abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, maupun abu janjang kelapa sawit. Pertama disebabkan karena suplai atau tambahan langsung hara yang berasal dari abu, dan yang kedua adalah melalui pengaruh tidak langsungnya berupa peningkatan pH tanah, sehingga ketersediaan unsur hara bergeser ke arah yang lebih baik.
46 Hasil analisis abu
janjang sawit yang berasal dari lokasi penelitian
(Pontianak, Kalimantan Barat)
menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit
memiliki kandungan K yang tinggi, sangat bersifat alkalis. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui peranan abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat kimia tanah gambut guna mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana status hara dan status pH pada bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Informasi dari penelitian ini akan sangat membantu dalam mempelajari bagaimana karakteristik tanah gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam suatu ruangan tembus cahaya di Wilayah Pontianak Selatan Kalimantan Barat dan analisis haranya dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Maret - Juni 2006 mulai persiapan sampai selesai. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, yaitu faktor abu janjang kelapa sawit (A), dengan empat kali ulangan. Faktor abu janjang kelapa sawit sebagai perlakuan yang diinkubasikan pada media gambut terdiri atas 5 taraf, yaitu: media gambut tanpa abu janjang kelapa sawit (a0), abu janjang kelapa sawit sebanyak 50 g/tabung media gambut (a1), abu janjang kelapa sawit sebanyak 100 g/tabung bahan gambut (a2), abu janjang kelapa sawit sebanyak 150 g/tabung
47 media gambut (a3), dan abu janjang kelapa sawit sebanyak 300 g/tabung media gambut (a4). Setiap tabung berisi 840 g gambut setara bobot kering (105 oC). Terdapat 5 perlakuan dengan ulangan 4 kali, sehingga terdapat 20 satuan percobaan, dengan masing-masing unit terdiri dari 3 satuan contoh. Dengan demikian,
terdapat 60 satuan contoh.
Model linier aditif dari rancangan RAL
adalah sebagai berikut : Yijk
= μ + Ai + εij
Keterangan : Yij
= Hasil pengamatan dari faktor dosis abu ke-i pada ulangan ke-j
μ
= rataan umum
Ai
= pengaruh utama dari faktor abu ke-i
εij
= Pengaruh galat dari faktor abu ke-i pada ulangan ke-j
i
= 1, 2, 3, 4, 5
j
= 1,2,3,4
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Gambut. Bahan gambut dibersihkan dari serasah dan akarakar yang berukuran besar, dikeringanginkan, dan selanjutnya media gambut tersebut dimasukkan ke dalam tabung (paralon diameter 4 inchi, tinggi 50 cm) sebanyak 840 g setara bobot kering (105oC) (berdasarkan bobot tanah gambut, dengan lubang tanam lidah buaya 20 cm x 20 cm x 20 cm, dan kerapatan lindak ratarata 0.105 g.cm-3). Perlakuan Abu. Tahap selanjutnya adalah pemberian abu janjang kelapa sawit untuk masing-masing perlakuan Abu diberikan di lapisan atas permukaan media (sampai kedalaman + 10 cm), dan diaduk merata, selanjutnya diinkubasi
48 selama 2 bulan dan disiram dengan air destilata setiap hari, dengan jumlah air yang diberikan sejumlah kebutuhan untuk mencapai kapasitas lapang. Pada bagian bawah tabung dilakukan penampungan terhadap kelebihan air. Setelah dua bulan diinkubasi, dilakukan analisis kimia tanah menurut ke dalaman kolom 0–10, 10–20, dan > 20 cm. Analisis kimia juga dilakukan terhadap N, P, K, dan Mg pada filtrat cucian. Skema percobaan inkubasi tanah gambut dengan abu janjang kelapa sawit disajikan pada Gambar 3.
air
Abu janjang kelapa sawit Paralon dengan media gambut
5 cm 10 cm 20 cm
Analisis kimia tanah dan reaksi tanah (pH) pada setiap ke dalaman
40 cm Penampungan air rembesan Gambar 3. Skema percobaan inkubasi tanah gambut dengan abu janjang kelapa sawit Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap tanah gambut setelah diinkubasi selama dua bulan, terdiri atas beberapa peubah, yaitu: 1. Status hara. Pengambilan sampel tanah untuk analisis status hara di akhir masa inkubasi dilakukan dengan mencampur 3 buah contoh (komposit). Analisis tanah tersebut dilakukan terhadap unsur : N total (Kjeldhal), P-Bray 1, K- N NH4OAc, dan Mg-N NH4-OAc.
49 2. Analisis filtrat cucian unsur N total (Kjeldhal), P , K dan Mg. 3. Reaksi tanah (pH). Rangkaian kegiatan percobaan inkubasi gambut dengan abu janjang kelapa sawit disajikan pada Gambar 4.
1
3
2
6
5
7
4
8
Gambar 4. Rangkaian kegiatan percobaan pemberian gambut dengan abu janjang kelapa sawit. Persiapan media kolom dari paralon dan proses inkubasi (1,2,3); pemisahan air filtrat cucian bahan gambut (4,5,6), pengemasan filtrat cucian untuk analisis kadar hara filtrat di laboratorium (7,8) Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis regresi untuk mencari model hubungan yang tepat antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan kadar hara bahan gambut hasil inkubasi (Gomez & Gomez 1995).
50
Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut memberikan respon nyata sampai sangat nyata untuk beberapa peubah yang diamati baik status hara pada media gambut maupun pada filtrat cucian. Kadar N total. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata menurunkan kadar N total pada lapisan atas media (0 – 10 cm), namun tidak berpengaruh nyata pada lapisan 10 cm ke bawah (lapisan 10 – 20 dan > 20 cm) dan pada N Filtrat. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar N total media gambut dan filtrat disajikan dalam Gambar 5. 0.8 0.7 Kadar N-total (%)
0.6 0.5 0.4 0.3
Lapisan 0 – 10 cm : Lapisan 10 -20 cm : Lapisan > 20 cm :
0.2
y = 1/(2.247 - 0.749.e-x) ; R2 = 0.94 y = 1/(1.871 - 0.204.e-x) ; R2 = 0.71 y = 1/(1.735 + 0.027.e-x) R2 = 0.02
0.1 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit sawit (g/tan.)(g/tabung) Dosis abu janjang kelapa
Gambar 5. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar N total pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda.
51 Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit menurunkan kadar N total media gambut pada lapisan 0 – 10 dan 10 -20 cm. Penurunan kadar N total sebesar 33.33% pada lapisan 0 – 10 cm dengan persamaan regresi y = 1/(2.247 - 0.749.e-x) dengan nilai R2 = 0.94. Pemberian abu janjang kelapa sawit tidak memberikan pengaruh nyata pada kolom lapisan 10 – 20, > 20 cm, dan pada filtrat (Gambar 6), dengan persamaan regresi masing-masing y = 1/(1.871 - 0.204.e-x) (R2 = 0.71); y = 1/(1.735 + 0.027.e-x) (R2 = 0.02); dan y = 1/(0.00733 – 0.00039.e-x) (R2 = 0.08), dimana x adalah taraf abu janjang kelapa sawit. Pada filtrat, tidak terdapat pengaruh dari hasil inkubasi gambut dengan abu janjang kelapa sawit dengan
Kadar N total Filtrat (%)
persamaan y = 1/(0.00733 – 0.00039.e-x) ; R2 = 0.08
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
y = 1/(0.00733 – 0.00039.e-x) ; R2 = 0.08
0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung)
Gambar 6 Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap pada media gambut terhadap kadar N total filtrat.
52 Tabel 4. Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Jumlah N-total hasil inkubasi (g)
Perlakuan
Lap. I
Lap. II
Lap. III
Jumlah
Filtrat
Total
Tanpa abu janjang kelapa sawit (a0)
1.335
1.200
2.497
5.032
0.352
5.384
Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a1)
0.910
1.015
2.321
4.246
0.271
4.517
Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a2)
0.840
1.100
2.640
4.580
0.277
4.857
Dosis abu janjang kelapa sawit 150 g (a3)
0.930
1.080
2.563
4.573
0.387
4.960
Dosis abu janjang kelapa sawit 300 g (a4)
0.885
1.085
2.651
4.621
0.312
4.933
a1 - a0
-0.425
-0.185
-0.176
-0.786
-0.081
-0.867
a2 - a0
-0.495
-0.100
0.143
-0.452
-0.076
-0.528
a2 - a1
-0.070
0.085
0.319
0.334
0.005
0.339
a3 - a0
-0.405
-0.120
0.066
-0.459
0.035
-0.424
a3 - a1
0.020
0.065
0.242
0.327
0.116
0.443
a3 - a2
0.090
-0.020
-0.077
-0.007
0.111
0.104
a4 - a0
-0.450
-0.115
0.154
-0.411
-0.040
-0.451
a4 - a1
-0.025
0.070
0.330
0.375
0.041
0.416
a4 - a2
0.045
-0.015
0.011
0.041
0.035
0.076
a4 - a3
-0.045
0.005
0.088
0.048
-0.076
0.028
Neraca:
Keterangan:
Lap. = lapisan. a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g;
a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g
Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada semua taraf dosis menurunkan jumlah N-total bahan gambut dibanding kontrol di akhir inkubasi. Kadar Fosfor.
Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut
sangat nyata meningkatkan kadar P pada semua lapisan media gambut dan pada
53 filtrat cuciannya.
Respon P media gambut dan filtrat terhadap pemberian abu
janjang kelapa sawit disajikan dalam Gambar 7 dan 8.
3000
Kadar P (ppm)
2500 2000 1500 Lapisan 0 – 10 cm : y = 1/(0.00052 + 0.03754.e-x) ; R2 = 0.99 Lapisan 10 -20 cm : y = 1/(0.00564 + 0.02812.e-x) ; R2 = 0.99 Lapisan > 20 cm : y = 1/(0.00904 + 0.01925.e-x) ; R2 = 0.99
1000 500 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung)
Gambar 7. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda.
Gambar 7 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut meningkatkan kadar P pada semua lapisan kolom dan filtrat, dengan jumlah peningkatan terbanyak pada lapisan 0 – 10 cm. Peningkatan kadar P terhadap nilai P kontrol untuk masing-masing lapisan adalah 7233.08 % (0 – 10 cm), 498.72 % (10 – 20 cm), 212.93 % (>20 cm), dan 4300.22% (filtrat). Peningkatan terjadi sampai pada taraf dosis abu janjang kelapa sawit sebesar 50 g, selanjutnya penambahan abu janjang dengan dosis yang lebih tinggi lagi tidak meningkatkan kadar P pada bahan gambut, P terakumulasi di filtrat.
54 Pola peningkatan kadar P untuk kedalaman 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm mengikuti persamaan regresi masing-masing sebagai berikut: : y = 1/(0.00052 + 0.03754.e-x) (R2 = 0.99); y = 1/(0.00564 + 0.02812.e-x)
(R2 = 0.99); dan
y = 1/(0.00904 + 0.01925.e-x) (R2 = 0.99), dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit. Pola hubungan antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan kadar P filtrat bersifat linier dengan persamaan y = 4.3286x – 88.012, dengan nilai R2 = 0.9328 (Gambar 8).
Jumlah P media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa
sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel 5.
1800 1600
Kadar P fitrat (ppm)
1400 1200 y = 4.3286x - 88.012 R2 = 0.9328
1000 800 600 400 200 0 -200
0
100
200
300
400
janjang kelapa (g) DosisDosis abu abu janjang kelapa sawitsawit (g/tabung)
Gambar 8. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P filtrat.
55 Tabel 5. Jumlah P media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Jumlah P hasil inkubasi (g)
Perlakuan Lap. I (1)
Lap. II (2)
Lap. III (3)
Jumlah (4)
Filtrat (5)
Total (6)
P dari abu (7)
(P media + filtrat) – (P dari abu) (6 – 7)
Tanpa abu janjang kelapa sawit (a0)
0.005
0.006
0.016
0.027
0.032
0.058
Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a1)
0.374
0.036
0.049
0.459
0.158
0.617
0.528
0.089
Dosis abu janjang 0.380 kelapa sawit 100 g (a2)
0.035
0.048
0.464
0.726
1.189
1.057
0.133
Dosis abu janjang 0.391 kelapa sawit 150 g (a3)
0.036
0.049
0.476
1.199
1.675
1.589
0.086
Dosis abu janjang 0.396 kelapa sawit 300 g (a4)
0.035
0.049
0.480
2.743
3.222
3.170
0.053
Neraca : a1 - a0
0.3691
0.0298
0.0335
0.4324
0.1262
0.5586
a2 - a0
0.3749
0.0294
0.0326
0.4369
0.6940
1.1309
a2 - a1
0.0058
-0.0005
0.0008
0.0045
0.5678
0.5723
a3 - a0
0.3859
0.0303
0.0333
0.4496
1.1673
1.6168
a3 - a1
0.0168
0.0005
-0.0002
0.0172
1.0411
1.0583
a3 - a2
0.0110
0.0010
0.0007
0.0127
0.4733
0.4860
a4 - a0
0.3912
0.0288
0.0330
0.4530
2.7109
3.1639
a4 - a1
0.0221
-0.0011
-0.0004
0.0206
2.5847
2.6054
a4 - a2
0.0163
-0.0006
0.0004
0.0161
2.0170
2.0331
a4 - a3
0.0053
-0.0016
-0.0003
0.0034
1.5437
1.5471
Keterangan:
Lap. = lapisan. a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g;
a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan jumlah P pada setiap lapisan. Namun demikian, peningkatan tidak terjadi lagi pada pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g dengan kisaran jumlah P yang hampir sama antar perlakuan. Penumpukan P terjadi pada filtrat ketika taraf abu janjang kelapa sawit ditingkatkan sampai 300 g pada media gambut.
56 Kadar kalium.
Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut
sangat nyata meningkatkan kadar K pada semua lapisan media gambut dan pada filtrat cuciannya. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar K media gambut dan filtrat disajikan pada Gambar 9 dan 10.
9
Kadar K (me/100g)
8 7 6 5 4 3 2
Lapisan 0 – 10 cm : Lapisan 10 -20 cm : Lapisan > 20 cm :
1
y = 1/(0.171 + 0.929.e-x) ; R2 = 0.997 y = 1/(0.316 + 0.850.e-x) ; R2 = 0.996 y = 1/(0.329 + 0.827.e-x) ; R2 = 0.998
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung)
Gambar 9. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda.
Pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut juga sangat nyata meningkatkan kadar K pada semua kolom lapisan (Gambar 9).
Akumulasi K
terbanyak pada lapisan 0 – 10 cm, dan semakin berkurang dengan meningkatnya ke dalaman.
Peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit setelah 50 g tidak lagi
meningkatkan kadar K bahan gambut. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap kadar K media gambut berturut-turut mengikuti pola dengan persamaan y = 1/(0.171 + 0.929.e-x)
57 (R2 = 0.99); y = 1/(0.316 + 0.850.e-x) (R2 = 0.99) ( 10 – 20 cm), dan y = 1/(0.329 + 0.827.e-x) (R2 = 0.99) untuk lapisan 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm (Gambar 9), dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit. Nilai rerata kadar K lapisan 0 -10 cm pada Gambar 10 merupakan hasil transformasi data (x0.5). Transformasi data dilakukan karena data tidak menyebar normal dengan koefisien keragaman (KK) sebesar 28.92% dan nilai lambda (best value)
= 0.5. Oleh karena itu data ditransformasi dengan transformasi x0.5 sampai
nilai lambda = 1. Peningkatan kadar K bahan gambut akibat abu janjang kelapa sawit masingmasing sebesar 4030.39, 269.13, dan 251.11 % untuk ke dalaman lapisan 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm.
Pengaruh berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit pada
filtrat mengikuti persamaan y = 74.384x – 775.83, dengan R2 = 0.94 (Gambar 10).
30000
Kadar K filtrat (ppm)
25000 y = 74.384x - 775.83 R2 = 0.9424
20000 15000 10000 5000 0 0 -5000
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung) Dosis abu janjang kelapa sawit (g)
Gambar 10. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K filtrat.
58 Jumlah K media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah K media gambut yang diberi abu janjang kelapa sawit Jumlah K hasil inkubasi (g)
Perlakuan
Filtrat (5)
Total (6)
K dari abu (7)
(K media + filtrat) – (K dari abu) (6 – 7)
Lap. I (1)
Lap. II (2)
Lap. III (3)
Jumlah (4)
Tanpa abu janjang kelapa sawit (a0)
0.065
0.067
0.148
0.280
0.160
0.440
Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a1)
1.980
0.273
0.487
2.740
6.094
8.834
8.775
0.059
2.349 Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a2)
0.224
0.522
3.095
14.632
17.727
17.550
0.177
Dosis abu janjang 3.120 kelapa sawit 150 g (a3)
0.242
0.518
3.880
22.671
26.551
26.325
0.226
Dosis abu janjang 4.017 kelapa sawit 300 g (a4)
0.253
0.562
4.832
48.168
53.000
52.650
0.350
Neraca : a1 - a0
1.915
0.206
0.339
2.460
5.934
8.394
a2 - a0
2.284
0.158
0.374
2.815
14.472
17.287
a2 - a1
0.369
-0.049
0.035
0.355
8.538
8.893
a3 - a0
3.055
0.176
0.370
3.601
22.511
26.111
a3 - a1
1.140
-0.031
0.031
1.140
16.577
17.717
a3 - a2
0.771
0.018
-0.004
0.785
8.039
8.824
a4 - a0
3.952
0.186
0.414
4.552
48.009
52.560
a4 - a1
2.037
-0.021
0.075
2.091
42.075
44.166
a4 - a2
1.668
0.028
0.040
1.736
33.537
35.273
a4 - a3
0.897
0.010
0.044
0.951
25.498
26.449
Keterangan:
Lap. = lapisan. a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g;
a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g; a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g
Tabel 6 membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan jumlah K pada semua lapisan dengan peningkatan tertinggi pada
59 lapisan I. Peningkatan jumlah abu janjang kelapa sawit yang diberikan setelah taraf 50 g ke atas menyebabkan terjadinya akumulasi K pada filtrat. Kadar Mg. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut sangat nyata meningkatkan kadar Mg pada lapisan 0 – 10 cm, nyata pada filtratnya, dan tidak berpengaruh nyata pada lapisan diatas 10 cm.
Pengaruh pemberian abu
janjang kelapa sawit terhadap kadar Mg media gambut dan filtrat disajikan pada
Kadar Mg (me/100g)
Gambar 11 dan 12.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Lapisan 0 – 10 cm : Lapisan 10 -20 cm : Lapisan > 20 cm :
0
50
100
150
y = 1/(0.0695 + 0.0558.e-x) ; R2 = 0.997 y = 1/(0.1348 + 0.0095.e-x) ; R2 = 0.847 y = 1/(0.1311 + 0.0061.e-x) ; R2 = 0.620
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung)
Gambar 11. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg pada tiga lapisan ke dalaman yang berbeda.
Peningkatan kadar Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit sangat nyata pada lapisan 0 – 10 cm, yaitu 80% dari kontrol. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap media gambut berturut turut mengikuti pola dengan persamaan : y = 1/(0.0695 + 0.0558.e-x) (R2 = 0.99) ; y = 1/(0.1348 + 0.0095.e-x)
60 (R2 = 0.847); dan y = 1/(0.1311 + 0.0061.e-x) (R2 = 0.620); serta y = 3.6711x – 137.66 (R2 = 0.897) untuk lapisan 0 – 10, 10 – 20, dan > 30 cm, serta filtrat, dimana x adalah taraf dosis abu janjang kelapa sawit.
1200
Kadar Mg filtrat (ppm)
1000 y = 3.6711x - 137.66 R2 = 0.8967
800 600 400 200 0 0
50
100
150
200
250
300
350
-200
Dosis abuabu janjang kelapa sawitsawit (g/tabung) Dosis janjang kelapa (g)
Gambar 12. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg filtrat.
Jumlah Mg media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis disajikan pada Tabel 6. Tampak bahwa peningkatan taraf abu janjang kelapa sawit di atas 50 g pada media gambut mengakibatkan pencucian Mg yang terakumulasi pada filtrat (Tabel 6).
61 Tabel 7. Jumlah Mg media gambut yang diberi dengan abu janjang kelapa sawit Jumlah Mg hasil inkubasi (g)
Perlakuan Lap. I (1)
Lap. II (2)
Lap. III (3)
Jumlah (4)
Filtrat (5)
Total (6)
Mg dari abu (7)
(Mg media + filtrat) – (Mg dari abu) (6 – 7)
Tanpa abu janjang kelapa sawit (a1)
0.191
0.192
0.322
0.705
0.043
0.749
Dosis abu janjang kelapa sawit 50 g (a1)
0.299
0.179
0.270
0.748
0.059
0.806
0.527
0.279
0.335 Dosis abu janjang kelapa sawit 100 g (a2)
0.179
0.406
0.919
0.249
1.168
1.054
0.114
Dosis abu janjang 0.348 kelapa sawit 150 g (a3)
0.181
0.412
0.941
0.718
1.659
1.581
0.077
Dosis abu janjang 0.351 kelapa sawit 300 g (a4)
0.174
0.399
0.924
2.307
3.230
3.163
0.068
Neraca : a1 - a0
0.107
-0.013
-0.052
0.042
0.015
0.058
a2 - a0
0.143
-0.013
0.083
0.213
0.206
0.419
a2 - a1
0.036
-0.000
0.135
0.171
0.191
0.362
a3 - a0
0.156
-0.011
0.090
0.235
0.675
0.910
a3 - a1
0.049
0.002
0.142
0.193
0.659
0.853
a3 - a2
0.013
0.002
0.007
0.022
0.469
0.491
a4 - a0
0.159
-0.017
0.076
0.218
2.264
2.482
a4 - a1
0.052
-0.004
0.128
0.176
2.248
2.424
a4 - a2
0.016
-0.004
-0.007
0.005
2.058
2.062
a4 - a3
0.003
-0.007
-0.014
-0.017
1.589
1.571
Keterangan:
pH.
Lap. = lapisan. a0 = tanpa abu janjang kelapa sawit; a1 = abu janjang kelapa sawit 50 g;
a2 = abu janjang kelapa sawit 100 g a3 = abu janjang kelapa sawit 150 g a4 = abu janjang kelapa sawit 300 g
Inkubasi abu janjang kelapa sawit pada media gambut memberikan
sangat nyata meningkatkan pH pada semua lapisan (0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm). Respon pH media gambut dan filtratnya terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit disajikan dalam Gambar 13.
62
10 9 8 7 pH
6 5 4 Lapisan 0 – 10 cm Lapisan 10 -20 cm Lapisan > 20 cm Filtrat
3 2 1
: : : :
y = 1/(0.1335 + y = 1/(0.2107 + y = 1/(0.2288 + y = 1/(0.1539 +
0.1134.e-x) ; R2 = 0.96 0.0384.e-x) ; R2 = 0.69 0.0223.e-x) ; R2 = 0.55 0.1003.e-x) ; R2 = 0.62
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tabung)
Gambar 13. Respon pH media gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada tiga lapisan yang berbeda dan filtrat cuciannya.
Pemberian abu janjang kelapa sawit sampai taraf 50 g meningkatkan pH gambut untuk semua lapisan dan filtratnya. Pada lapisan 0 – 10 cm, terjadi kenaikan pH dari 4.05 menjadi 7.49, lapisan 10 – 20 cm dari pH 4.01 menjadi 4.75, lapisan > 20 dari pH 3.98 mejadi 4.37, dan dari pH 3.93 menjadi 6.5 untuk filtrat. Respon pH media gambut dan filtratnya berturut turut mengikuti persamaan y = 1/(0.1335 + 0.1134.e-x) (R2 = 0.96); y = 1/(0.2107 + 0.0384.e-x) (R2 = 0.69) dan y = 1/(0.2288 + 0.0223.e-x) ; (R2 = 0.55), serta y = 1/(0.1539 + 0.1003.e-x) ; (R2 = 0.62) untuk lapisan 0 -10, 10 – 20, dan >20, serta filtrat.
63 Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar hara N-total, P, K, dan Mg. Pemberian abu janjang kelapa sawit sampai taraf 50 g menyebabkan peningkatan kadar hara P, K, dan Mg. Selanjutnya, peningkatan taraf abu janjang kelapa sawit di atas 50 g tidak lagi meningkatkan kadar hara P, K, dan Mg. Sedangkan N total terjadi penurunan akibat pemberian abu janjang kelapa sawit. Peningkatan kadar hara terbanyak akibat pemberian abu janjang kelapa sawit untuk ketiga jenis hara (P, K, dan Mg) tampak lebih terakumulasi pada kolom lapisan permukaan (0 – 10 cm) (Gambar 17).
Kadar P (ppm) 0
250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250
Kedalaman kolom lapisan gambut (cm)
0
10
20
30
kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit
40
Gambar 14. Pola distribusi P dalam kolom bahan gambut Gambar 14 menunjukkan bahwa akumulasi kadar P gambut tanpa perlakuan abu janjang kelapa sawit (kontrol) terlihat lebih banyak pada lapisan bawah (>20 cm). Hasil kisaran rata-rata kadar P gambut tanpa perlakuan abu janjang kelapa
64 sawit (a0 = kontrol) semakin tinggi dengan meningkatnya ke dalaman, yaitu 26.3, 29.6, dan 35.4 ppm berturut-turut untuk lapisan 0 -10, 10 – 20, dan >20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pencucian P dari lapisan atas ke lapisan bawah, sesuai dengan pernyataan Stevenson (1994) bahwa gambut mempunyai kation polivalen yang rendah terutama Fe, sehingga ikatan P pada tapak reaktif mudah lepas karena gugus reaktif yang terbentuk pada bahan organik tergolong rendah. Fenomena serupa juga dibuktikan oleh Hartatik (2003) dimana terjadi akumulasi P pada lapisan bawah (30 – 60 cm) gambut tanpa bahan amelioran akibat mengalami pencucian. Peningkatan kadar P terjadi sampai taraf dosis abu janjang 50 g, penambahan dosis di atas 50 g tidak lagi meningkatkan kadar P gambut. Hal ini terlihat dari jumlah rata-rata nilai kadar P tersebut berada pada kisaran yang hampir sama untuk semua penambahan dosis abu (Gambar 17). Akumulasi P pada perlakuan dosis abu 50, 100, 150, dan 300 g terjadi pada lapisan 0 – 10 cm. Peningkatan kadar P dalam percobaan ini disebabkan karena sumbangan langsung P dari abu janjang kelapa sawit, dimana abu janjang kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini mengandung 2.42% P2O5. Peningkatan juga terjadi untuk K dan Mg pada bahan gambut yang mendapat perlakuan abu janjang kelapa sawit. Sama seperti P, akumulasi K dan Mg juga terjadi pada lapisan atas (0 – 10 cm) (Gambar 15 – 16).
65
Kadar K (me/100 g) 0
10
20
30
40
50
60
Kedalaman kolom lapisan gambut (cm)
0
10
kontrol 20
50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit
30
40
Gambar 15. Pola distribusi K dalam kolom bahan gambut
Kadar Mg (m e/100g) 0
2
4
6
8
10 12 14 16
Kedalaman kolom lapisan gambut cm)
0
10
20
kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit
30
150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit
40
Gambar 16. Pola distribusi Mg dalam kolom bahan gambut
66 Gambar 15 memperlihatkan bahwa kalium lebih banyak ditahan pada lapisan 0 – 10 cm dari permukaan kolom gambut. Pada kolom lapisan yang lebih dalam dari 10 cm, kadar K berada pada kisaran 7.2 – 8 me/100 g. Peningkatan kadar K pada lapisan 0 – 10 cm ini sampai mencapai 4030.39 %, sedangkan pada lapisan 10 – 20 dan > 20 cm, terjadi peningkatan 269.13 dan 251.11 %. Peningkatan kadar K ini disebabkan oleh suplai langsung dari unsur K yang terkandung dalam abu janjang kelapa sawit, dimana abu janjang kelapa sawit yang digunakan dalam percobaan ini mengandung K2O sebesar 21.15%. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat menyuplai dan menjadi sumber K bila diberikan pada tanah karena kandungan K nya yang tinggi (Chan et al. 1982; Panjaitan et al.1983; Sanchez 1976; Gusmara 2001).
Chan & Suwandi 1985; Ginting 1991; Gusnidar et al. 2002; Menurut Ginting (1991), abu janjang kelapa sawit dapat
meningkatkan kadar serapan kalium dalam tanaman kentang varietas granola dan mampu mensuplai K dan Mg dapat dipertukarkan ke dalam tanah. Hal serupa juga dibuktikan oleh Gusnidar et al.(2002), bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti pupuk kalium untuk tanaman jagung pada tanah gambut. Pemberian abu janjang kelapa sawit juga meningkatkan kadar Mg pada gambut dengan pola distribusi yang sama dengan unsur P dan K, yaitu terjadi penumpukan pada kolom dalam lapisan 0 – 10 cm. (Gambar 16). Peningkatan kadar Mg 133.05% pada lapisan 0 – 10 cm. Peningkatan ini juga merupakan kontribusi langsung dari unsur Mg yang terdapat dalam abu janjang kelapa sawit. Hasil serupa dibuktikan oleh Chan et al. (1982), yang membutikan bahwa unsur-unsur makro
67 yang paling dominan terdapat pada abu janjang kelapa sawit adalah kalium dan magnesium, sedangkan unsur mikronya adalah mangan dan boron. Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004), abu janjang kelapa sawit mengandung unsur utama K, Mg, dan Ca, serta memiliki pH yang tinggi. Peningkatan hara pada bahan gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit tidak diikuti oleh hara N. Pada percobaan ini terjadi penurunan kadar N-total pada bahan gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Penurunan kadar N-total terjadi pada lapisan 0 - 10 cm (gambar 17)
Kadar N total (%)
Kedalaman kolom lapisan gambut (cm)
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
0
10
kontrol 20
50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit
30
150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit
40
Gambar 17. Pola distribusi Nitrogen dalam kolom bahan gambut Kehilangan N dari bahan gambut lebih disebabkan karena faktor peningkatan pH bahan gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit. Pada kondisi pH gambut yang meningkat, N-amonium dapat berubah menjadi NH3 dan menguap.
68 Sementara faktor lain yang menyebabkan kehilangan N dari bahan gambut tersebut kurang berlaku pada kasus ini. Seperti yang dijelaskan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa hilangnya N dari tanah dapat disebabkan oleh beberapa hal; digunakan oleh tanaman atau mikroorgaisme, pencucian, diikat oleh mineral liat, dan proses denitrifikasi. Keempat faktor tersebut kurang mendukung sebagai penyebab kehilangan N dalam percobaan ini. Pencucian (dalam bentuk nitrat) tidak terjadi dalam percobaan ini, mengingat tidak terjadi penambahan kadar N-total dengan meningkatnya kedalaman kolom lapisan gambut juga pada filtrat cucian. Pengikatan oleh mineral liat terhadap amonium (NH4+) juga tidak mungkin terjadi mengingat bahan yang digunakan adalah bahan gambut dengan kandungan C organik yang tinggi (55.18%). Peluang terjadinya denitrifikasi juga kecil, karena denitrifikasi terjadi dengan syarat tempat yang tergenang, drainase buruk, dan tata udara yang jelek. percobaan ini, air diberikan sebatas kapasitas lapang.
Sedangkan pada
Mengingat menurunnya
kandungan N total akibat pemberian abu janjang kelapa sawit hanya terjadi di lapisan permukaan (0 – 10 cm), kehilangan melalui proses volatilisasi dengan penguapan dalam bentuk amoniak akibat pH yang meningkat dapat diduga sebagai penyebab utama kehilangan N. Pemberian abu janjang kelapa sawit juga sangat nyata meningkatkan pH gambut pada setiap kolom lapisan. Peningkatan terbesar terjadi pada lapisan 0 – 10 cm dan filtrat. Pola distribusi nilai pH juga tertinggi pada lapisan permukaan (0 – 10 cm) (Gambar 18).
69 7
pH gambut
Kedalaman kolom lapisan gambut (cm)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
10
20
kontrol 50 g abu janjang sawit 100 g abu janjang sawit 150 g abu janjang sawit 300 g abu janjang sawit
30
40
Gambar 18. Pola distribusi nilai pH dalam kolom bahan gambut Peningkatan pH gambut dalam percobaan ini diakibatkan dari tingginya nilai pH abu janjang yang diberikan. pH abu janjang yang digunakan dalam percobaan ini adalah 10.42. Peningkatan pH akibat abu janjang kelapa sawit ini sesuai dengan hasil penelitian Panjaitan et al. (1983) yang membuktikan pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan pH pada tiga jenis tanah (podsolik, regosol, aluvial), dengan pH berkisar antara 6.07 – 6.09 dengan rata-rata kenaikan pH sebesar 0.5 1.5 Secara fisik bahan gambut tampak menjadi tidak porous (lengket) atau terjadi dispersi bahan organik akibat terlarutnya senyawa-senyawa yang larut dalam alkali karena pengaruh pH tinggi dari abu janjang kelapa sawit. Diduga humat terekstraksi pada pH tinggi ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hayes dan Himes (1997) bahwa pelarutan paling mudah terjadi pada Histosol dimana humus sering ditemukan tanpa asosiasi dengan mineral. Gambar 19 menunjukkan fakta tersebut.
70
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 19. Penampilan air filtrat cucian gambut yang diinkubasi degan abu janjang kelapa sawit. (a) kontrol; (b) 50 g; (c) 100 g; (d) 150 g ; dan (e) 300 g abu janjang kelapa sawit.tabung-1.
Fakta tersebut di atas harus dipertimbangkan bila ingin mengaplikasikan abu janjang kelapa sawit pada budidaya tanaman di lahan gambut, termasuk tanaman lidah buaya. Dispersi terhadap sifat fisik tanah gambut akibat dosis abu janjang yang terlalu tinggi serta peningkatan kadar P, K, dan Mg yang hanya terjadi di sekitar permukaan (0 – 10 cm) memberikan pertimbangan agar abu janjang dalam aplikasi di lapangan sebaiknya disebar merata pada permukaan (lapisan olah) bedengan. Pemberian abu janjang pada lubang tanam dikhawatirkan dapat merusak sifat fisik tanah gambut sekitar rizosfer akibat terakumulasi pada lubang tanam, sehingga menyulitkan perkembangan akar, meskipun di satu sisi terjadi peningkatan hara P, K, dan Mg.
Namun demikian, hasil penelitian I ini akan dikaji bersama dengan
penelitian II yang dilakukan secara paralel, dimana pada penelitian II diuji pengaruh
71 berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit ini terhadap tanaman lidah buaya dalam polybag.
Kesimpulan 1.
Terjadi perubahan karateristik bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit dalam kurun waktu 2 bulan. Karakter kimia ditunjukkan dengan peningkatan kadar fosfor, kalium, dan magnesium.
Namun terjadi
penurunan kadar nitrogen total pada kolom lapisan 0 – 10 cm, sedangkan karakter fisik ditunjukkan dengan terjadinya dispersi bahan gambut pada dosis tinggi (150 dan 300 g abu janjang kelapa sawit). 2.
Peningkatan kadar P, K, dan Mg pada bahan gambut disebabkan suplai langsung dari abu janjang kelapa sawit, karena kandungan P, K, dan Mg yang tinggi pada bahan abu yang diberikan.
3.
Peningkatan kadar P, K, dan Mg terbesar dan terakumulasi pada kolom lapisan 0 – 10 cm.
PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Plant growth of Aloe at peat soil that incubated by oil palm bunch ash Abstrak Abu janjang kelapa sawit diketahui mengandung unsur hara P, K, dan Mg, dan mampu mensuplainya ke dalam tanah serta dapat menngkatkan pH tanah termasuk tanah gambut. Dari hasil penelitian sebelumnya juga diketahui bahwa peningkatan hara P, K, dan Mg pada tanah gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terakumulasi pada lapisan 0 – 10 cm dari permukaan. Selain dari aspek kimia yaitu meningkatkan kadar P, K, dan Mg pada tanah, terdapat konsekuensi lain dari pemberian abu janjang kelapa sawit, yaitu sifat fisik tanah yang kurang baik bila diberikan dalam jumlah banyak. Untuk itu perlu diuji pada dosis berapa abu janjang kelapa sawit masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya serta kapan waktu pengulangan pemberiannya. Penelitian dilakukan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama adalah dosis abu janjang kelapa sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tanaman. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4,5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya sejak umur 10 – 18 MST. Sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu baru nyata pengaruhnya pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan kecuali lebar pelepah. Faktor interaksi hanya berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk. Diperoleh hasil bahwa untuk mendapatkan bobot basah terbaik dibutuhkan dosis optimum abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman dengan waktu pengulangan pemberian abu 8 MST. Kata kunci: abu janjang kelapa sawit, gambut, lidah buaya.
Abstract The experiment was conducted in completely randomized design. The first factor was four levels of dosage of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factors was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three level: 4, 6, 8 week after planting. Aloe was planted during 4.5
73 months, and after reaching 4.5 month old , were observed to several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight. The result of the experiment indicated that the single factor of oil palm bunch ash dosage significantly influenced the plant growth variables of aloe since 10 – 18 month after planted. While, the single factor of repetition time of application oil palm bunch ash significantly influenced at 12 month after planted for all growth variables except the frond width. The interaction of both factor just significantly infuenced the plant height, frond fresh weight, and plant dry weight. The highest fresh weight of Aloe was reached by dosage of oil palm bunch ash equal to 92.61 g/plant, with repeated application time of oil palm bunch ash at 8 month after planted. Key word; Aloe, oil palm bunch ash, peat
Pendahuluan Tanah gambut secara fisik tampak sebagai suatu tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen (aerasi). Kemampuan tanah gambut dalam memegang air yang banyak atau kapasitas memegang airnya tinggi seolah faktor pendukung yang baik bagi pertumbuhan tanaman, kenyataannya faktor air yang cukup tinggi ini juga yang pada akhirnya menjadi penghambat proses dekomposisi tanah gambut lebih lanjut, yang erat kaitannya dengan tingkat kematangan dan ketersediaan hara tanah gambut. Di samping itu, keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marjinal. Sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis di antaranya adalah: bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, umumnya dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence (penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang
74 rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse 1988). Nisbah C/N yang tinggi (Tisdale et al. 1985), P dalam bentuk Porganik (Everett 1983), tingkat kejenuhan basa yang rendah terutama basa-basa K, Ca, dan Mg, kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi 1986) merupakan permasalahan tanah gambut dari aspek ketersediaan hara bila ingin dikembangkan sebagai media budidaya tanaman. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik dan ketersediaan hara lainnya di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi. Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman. Selain pengapuran dan pemupukan, pemberian beberapa jenis abu juga telah dilakukan, misalnya abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, abu sekam padi, abu sabut kelapa, dan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu ini selain dapat meningkatkan pH, juga dapat memberikan tambahan hara. Pemanfaatan abu (khususnya abu janjang kelapa sawit dan abu kayu sawmill) sebagai pupuk K lebih menguntungkan dibandingkan dengan pupuk K buatan didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : (1) harganya relatif murah karena keberadaannya melimpah (karena merupakan limbah); (2) selain K juga mengandung unsur P dan Mg. Menurut data dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004) unsur utama dalam abu janjang kelapa sawit adalah K, Mg, dan Ca; (3) abu yang
75 diberikan selain dapat mensuplai unsur hara, juga dapat memperbaiki pH tanah, khususnya pada tanah-tanah yang bersifat masam. Hasil penelitian sebelumnya (Kurnianingsih, 2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan bobot basah pelepah tanaman lidah buaya, dan disimpulkan bahwa abu janjang kelapa sawit berperan sebagai sumber hara kalium. Berdasarkan hal tersebut, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis serta waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit yang memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam polybag yang ditempatkan di lapangan di atas lahan gambut wilayah Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan dari
bulan Maret sampai Agustus 2006 mulai persiapan
sampai panen. Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan dua faktor. Faktor abu janjang (A) sebanyak 5 taraf dan faktor waktu pemberian abu (W) sebanyak 3 taraf. Masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut: Faktor abu janjang kelapa sawit (A) : a1 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 50 g/tanaman a2 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 100 g/tanaman
76 a3 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 150 g/tanaman a4 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 300 g/tanaman Setiap polybag berisi 6 kg tanah gambut kering udara ≈ 2520 g setara bobot kering oven 105oC) Faktor waktu pengulangan pemberian abu (W) : w1 = empat minggu setelah tanam w2 = enam minggu setelah tanam w3 = delapan minggu setelah tanam Pengulangan pemberian abu dilakukan dengan memberikan sejumlah abu yang sama dengan dosis yang sama dengan perlakuan di atas (50, 100, 150, dan 300 g/tanaman). Terdapat 12 kombinasi perlakuan, dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan yang masing-masing terdiri dari 3 contoh tanaman. Dengan demikian terdapat 108 contoh. Model linier aditif dari RAL adalah sebagai berikut : Yijk
= μ + Ai + Fj + (AF)ij
+ εijk
Keterangan : Yijk
= Hasil pengamatan dari faktor abu janjang taraf ke-i dan faktor frekuensi pemberian abu taraf ke-j pada ulangan ke-k
μ
= rataan umum
Ai
= pengaruh utama dari faktor abu ke-i
Fj
= pengaruh utama dari faktor frekuensi pemberian abu taraf ke-j
AFjk
= pengaruh dari kombinasi faktor abu taraf ke-i dan frekuensi pemberian abu taraf ke-j
εijk
= pengaruh galat
77 Pelaksanaan Penelitian Persiapan media gambut. Tanah gambut dibersihkan dari serasah dan akarakar yang berukuran besar, dikeringanginkan dan dianalisis kandungan haranya sebelum perlakuan, selanjutnya media gambut
dimasukkan ke dalam polybag
sebanyak 2520 g setara bobot kering 105oC. (≈ 6 kg BKU gambut) Perlakuan abu dan penanaman.
Tahap selanjutnya adalah pemberian abu
untuk masing-masing perlakuan, abu diberikan di lapisan atas permukaan media, dan diaduk merata, selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu dan disiram setiap hari, dengan jumlah air yang diberikan sejumlah kebutuhan untuk mencapai kapasitas lapang. Setelah 2 minggu, bibit lidah buaya ditanam pada polybag masing-masing sebanyak satu tanaman. Abu janjang kelapa sawit selanjutnya diberikan lagi sebagai perlakuan pada 4, 6, atau 8 minggu setelah tanam. Kemudian dilakukan pemeliharaan, yang terdiri dari pemupukan dasar, penyiangan gulma, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit. Tanaman dipelihara dalam polybag selama 4,5 bulan. Pengamatan Pengamatan pertumbuhan tanaman lidah buaya dilakukan dengan mengukur: 1. Jumlah pelepah,
yang dihitung adalah pelepah yang sudah berkembang
sempurna. Dihitung pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 2.
Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal sampai ujung pelepah daun, pengukuran dilakukan pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam.
3. Panjang pelepah (cm). Pengukuran panjang pelepah dilakukan pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam.
78 4. Tebal pelepah (cm), diukur pada pangkal pelepah daun terlebar, dan diukur pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 5. Bobot basah dan bobot kering pelepah (g), dilakukan pada akhir pengamatan setelah 4,5 bulan.
Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam terlebih dahulu, dan apabila terdapat pengaruh perlakuan, analisis dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1993). Hubungan tingkat dosis abu janjang kelapa sawit dan waktu pengulangan pemberian abu diuji dengan Ortogonal polynomial (Gomez dan Gomez 1995).
Hasil dan Pembahasan Hasil Analisis ragam (Tabel Lampiran 3) menunjukkan bahwa faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya sejak umur 10 – 18 MST, sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu baru nyata pengaruhnya pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan kecuali lebar pelepah.
Lebar pelepah mulai
dipengaruhi oleh faktor waktu pengulangan pemberian abu janjang pada 14 MST. Selanjutnya, interaksi kedua faktor hanya berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk. Pengaruh interaksi mulai nyata pada tinggi tanaman pada 12 MST.
79 Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan abu 100 g/tanaman memberikan hasil rerata tertinggi untuk semua peubah pertumbuhan, sedangkan waktu pengulangan pemberian abu 8 MST (w3) memberikan hasil terbaik untuk semua peubah pertumbuhan dan berbeda nyata dengan w2 dan w1. Sementara itu, antara pengulangan pemberian abu 4 MST dan 6 MST (w1 dan w2) tidak berbeda nyata untuk seluruh peubah kecuali untuk peubah tebal pelepah dan bobot kering pelepah (Tabel 8 dan 9.) Tabel 8.
Pengaruh perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST
Perlakuan abu
Jumlah pelepah
Lebar Tebal Panjang pelepah pelepah pelepah -------------cm------------------------
13.22 b 13.93 a 11.78 c 8.85 d
8.19 b 8.59 a 5.96 c 3.99 d
(g/tanaman) 50 100 150 300
1.64 b 1.69 a 1.45 c 2.63 d
55.28 b 57.72 a 39.48 c 26.50 d
Keterangan: Nilai-nilai dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada uji Tukey 5 %.
Tabel 9. Pengaruh perlakuan waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah pada 18 MST Perlakuan pengulangan pemberian abu (MST)
Jumlah pelepah
4 6 8
11.61 b 11.83 b 12.39 a
Keterangan:
Lebar pelepah
Tebal pelepah
Panjang pelepah
-------------------cm----------------------6.34 b 6.42 b 7.06 a
1.44 c 1.52 b 1.58 a
42.56 b 44.61 b 47.07 a
Nilai-nilai dalam satu kolom yang diikuiti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji Tukey 5 %.
Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan pengulangan pemberian abu pada w3 (8 MST) memberikan rerata yang lebih baik pada semua peubah pertumbuhan
80 yang diamati dan berbeda nyata dengan perlakuan w1 dan w2 ( 4 dan 6 MST). Penghambatan pertumbuhan jelas tampak pada dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf a3 dan a4 (150 dan 300 g/tanaman) dengan memberikan nilai rerata untuk seluruh peubah pertumbuhan yang lebih rendah dibanding perlakuan a1 dan a2 (dosis abu 50 dan 100 g/tanaman) (Gambar 20).
(a)
(b)
(c) Gambar 20. Penampilan tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit (A) pada beberapa taraf waktu pengulangan pemberian abu (W). Perbandingan antar dosis abu pada w1 (a) Perbandingan antar dosis abu pada w2 (b) Perbandingan antar dosis abu pada w3 (c) A = Faktor abu janjang kelapa sawit; W = Faktor waktu pengulangan pemberian abu a1 = 50 g/tan.; a2 = 100 g/tan; a3 = 150 g/tan; a4 = 300 g/tan. w1 = 4 MST ; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST. MST = minggu setelah tanam.
81 Gambar 20 menunjukkan bahwa peningkatan dosis abu sampai taraf tertentu menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman lidah buaya. Hal ini terjadi pada berbagai taraf waktu pengulangan pemberian abunya. Selanjutnya, Gambar 21(a) menunjukkan bahwa taraf dosis abu a3 dan a4 sangat menekan pertumbuhan tanaman lidah buaya, dan berbeda nyata dengan taraf dosis abu a1 dan a2. Gambar 21(b) menunjukkan bahwa perlakuan pengulangan pemberian abu taraf w3 (8 MST) memberikan rerata yang lebih baik pada semua peubah pertumbuhan yang diamati.
(a)
(b) Gambar 21. Penampilan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit taraf a3 dan a4 pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu (a), dan yang mendapat berbagai perlakuan dosis abu pada perlakuan waktu pengulangan pemberian abu taraf w3 (b) a1 = 50 g/tan.; a2 = 100 g/tan; a3 = 150 g/tan.; a4 = 300 g/tan. w1 = 4 MST ; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST. MST = minggu setelah tanam.
82 Hasil uji Polynomial orthogonal menunjukkan kurva kuadratik untuk pengaruh faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah (Gambar 22-25), dengan persamaan masing-masing y = -0.0001x2 +0.0222x + 11.94 (R2=0.87), y = -0.00009x2 + 0.0182x + 6.68 (R2= 0.74), y = -0.000009x2 + 0.0017x + 1.512 (R2=0.75), dan y = -0.0006x2 + 0.1225x + 44.75 (R2=0.72), dimana x adalah taraf
Jumlah pelepah (helai/tan.)
dosis abu janjang kelapa sawit 16
111
14 12 10 8 6
y = -0.0001x2 + 0.0222x + 11.94; R2 = 0.87
4 2 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
(a)
12.39
Jumlah pelepah (helai)
12.6 12.4 12.2 11.83
12 11.8
11.61
Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST
11.6 11.4 11.2 11 w1
w2
w3
Waktu pengulangan pemberian abu (MST)
(b) Gambar 22. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya
83
Lebar pelepah (cm)
12 10 101.11
8 6 4
y = -0.00009x2 + 0.0182x + 6.68; R2 = 0.74
2 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
(a)
7.06
Lebar pelepah (cm)
7.2 7 6.64
6.8 6.6
6.34
6.4
Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST
6.2 6 5.8 w1
w2
w3
Waktu pengulangan pemberian abu (MST)
(b)
Gambar 23. Pengaruh dosis abu janjang kelapa (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada yang berbeda.
Tebal pelepah (cm)
84
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
94.44
y = -0.000009x2 + 0.0017x + 1.512; R2 = 0.75
0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
(a)
1.58
Tebal pelepah (cm)
1.6 1.52
1.55 1.5 1.44
1.45 1.4 1.35 w1
w2
w3
Waktu pengulangan pemberian abu (MST)
Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST
(b)
Gambar 24. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya
85
Panjang pelepah (cm)
70 60
102.08
50 40 30 20 y = -0.0006x2 + 0.1225x + 44.75; R2 = 0.72
10 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
(a)
47.07
Panjang pelepah (cm)
48 47 46 45 44 43
44.61 42.56
42 41 40 w1
w2
w3
Keterangan: w1 = 4 MST; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST
Waktu pengulangan pemberian abu (MST)
(b) Gambar 25. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit (a) dan waktu pengulangan pemberian abu (b) terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya
86 Berdasarkan kurva respon peubah tanaman terhadap dosis abu janjang kelapa sawit pada Gambar 22 -25 di atas, diperoleh dosis abu janjang kelapa sawit optimum masing-masing sebesar
111; 101.11;
94.44; dan 102.08 g/tanaman
untuk jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Interaksi dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu yang berpengaruh terhadap peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tanaman lidah buaya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu. Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tanaman) Perlakuan
Kurva Respon 50
100
150
300
-----------------Tinggi tanaman (cm)---------------w1
51.44
62.17
41.33
28.17
Kuadratik
w2
55.06
56.17
49.11
30.95
Kuadratik
w3
56.94
64.78
48.22
31.44
Kuadratik
-----------Bobot basah pelepah tunggal (g)--------w1
291.67
342.78
253.33
90.56
Kuadratik
w2
296.56
382.78
271.11
112.22
Kuadratik
w3
324.44
438.33
296.67
122.22
Kuadratik
----------------Bobot kering tajuk (g)---------------w1
21.37
25.52
20.11
9.36
Kuadratik
w2
23.62
30.68
21.04
10.07
Kuadratik
w3
26.09
37.03
21.58
11.44
Kuadratik
Keterangan:
W = waktu pengulangan pemberian abu. (w1 = 4 MST ; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST)
Tabel 10 menunjukkan bahwa faktor interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abunya menghasilkan kurva
87 respon kuadratik untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tanaman. Kurva respon tersebut disajikan pada Gambar 26 - 28.
70
Tinggi tanaman (cm)
60 50 40 w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3)
30 20
y(w1) = -0.0006x2 + 0.1278x + 45.78, R 2 = 0.70 y(w2) = -0.0006x2 + 0.1212x + 47.82, R 2 = 0.94 y(w3) = -0.0007x2 + 0.1373x + 50.35, R 2 = 0.81
10 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
Gambar 26. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu.
500
y (w1) = -0.004x 2 + 0.5207x + 291.35, R2 = 0.93
450 400
y (w2) = -0.0049x 2 + 0.8816x + 287.39, R2 = 0.87
350
y(w3) = -0.0058x 2 + 1.0743x + 314.73, R2 = 0.83
300 250 w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3)
200 150 100 50 0 0
50
100 150 200 250 300 350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
Gambar 27. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu.
88
Bobot kering tajuk (g/tan.)
40 35 30 25 20 w1 w2 w3 Poly. (w1) Poly. (w2) Poly. (w3)
15 10 y(w1) = -0.0003x 2 + 0.0575x + 20.323, R 2 = 0.92 y(w2) = -0.0003x 2 + 0.0548x + 23.678, R 2 = 0.82 y(w3) = -0.0003x 2 + 0.043x + 28.002, R 2 = 0.69
5 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Dosis abu janjang kelapa sawit (g/tan.)
Gambar 28. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot kering tajuk tanaman lidah buaya pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu.
Gambar 26 – 28 menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai rerata peubah tinggi tanaman, bobot basah, dan bobot kering tanaman sejalan dengan meningkatnya dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi dari dosis optimum. Kurva respon adalah kuadratik untuk ketiga peubah tersebut. Persamaan regresi dan dosis abu optimum untuk masing-masing peubah tersebut disajikan pada Tabel 11.
89 Tabel 11. Persamaan regresi pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk tanaman lidah buaya di tanah gambut.
Peubah
Faktor W
Persamaan regresi
Dosis abu optimum (g.tan.-1)
Tinggi tanaman
w1
y = -0.0006x2 + 0.1278x + 45.78, R2 = 0.70
106.5
w2
y = -0.0006x2 + 0.1212x + 47.82, R2 = 0.94
101.0
w3
y = -0.0007x2 + 0.1373x + 50.35, R2 = 0.81
98.07
w1
y = -0.004x2 + 0.5207x + 291.35, R2 = 0.93
65.09
w2
y = -0.0049x2 + 0.8816x + 287.39, R2 = 0.87
89.96
w3
y= -0.0058x2 + 1.0743x + 314.73, R2 = 0.83
92.61
w1
y = -0.0003x2 + 0.0575x + 20.323, R2 = 0.92
95.83
w2
y = -0.0003x2 + 0.0548x + 23.678, R2 = 0.82
91.33
w3
y = -0.0003x2 + 0.043x + 28.002, R2 = 0.69
71.67
Bobot basah pelepah
Bobot kering pelepah
Keterangan:
W = Faktor waktu pengulangan pemberian abu. (w1 = 4 MST ; w2 = 6 MST; w3 = 8 MST) x = taraf dosis abu janjang kelapa sawit
Pembahasan Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan abu janjang kelapa sawit, waktu pengulangan pemberian abu, serta interaksi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Namun interaksi hanya berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk pada 12 MST.
Faktor tunggal abu janjang kelapa sawit dan faktor tunggal waktu
pengulangan
pemberian
abu
berpengaruh
nyata
terhadap
seluruh
peubah
pertumbuhan yang diamati. Bedanya, faktor tunggal abu janjang kelapa sawit mulai
90 memberikan pengaruh nyata sejak 10 – 18 MST, sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu berpengaruh nyata mulai 12 – 18 MST. Respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit mengikuti pola kurva kuadratik untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah, dengan dosis abu optimum berturut-turut 111; 101.11; 94.44;
dan 102.08 g/tanaman.
Penambahan dosis abu lebih besar dari dosis
optimum tersebut menekan pertumbuhan jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Ditinjau dari aspek waktu pengulangan pemberian abunya, taraf w3 (pengulangan pemberian abu pada 8 MST) merupakan taraf yang terbaik untuk semua peubah pertumbuhan. Peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk dipengaruhi oleh faktor interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abunya. Respon tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk terhadap faktor dosis abu janjang kelapa sawit mengikuti pola kurva kuadratik untuk setiap taraf waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit.
Respon ketiga peubah yang dipengaruhi oleh faktor interaksi tersebut
menunjukkan nilai rerata tertinggi pada taraf waktu pengulangan pemberian abu w3 (8 MST) dengan dosis optimum abu janjang kelapa sawit masing-masing 98.07, 92.61, dan 71.67 g/tanaman atau setara dengan 20.74, 19.59, dan 15.16 g K2O/tanaman untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Hasil yang diperoleh sejalan dengan hasil penelitian Kurnianingsih (2004) yang menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah dengan dosis optimum 97.85 g/tanaman.
91 Abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber hara P, K, Mg, dan Ca. Dengan kandungan hara yang cukup tinggi (P2O5 = 2.42%; K2O = 21.15 %; MgO = 2.46%;
Ca = 2.22%), abu janjang kelapa sawit mampu
mendukung pertumbuhan tanaman sampai pada taraf tertentu sesuai dengan taraf dosis optimum yang didapat dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dengan demikian, respon peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya terhadap abu janjang kelapa sawit yang diberikan tidak terlepas bahasannya dari komponen hara yang terkandung dalam abu janjang kelapa sawit tersebut. Respon peubah pertumbuhan yang memiliki pola hubungan kuadratik terhadap dosis abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa kelebihan dosis abu janjang kelapa sawit pada taraf tertentu tidak lagi dapat diserap oleh tanaman. Kelebihan abu janjang kelapa sawit berarti kelebihan juga atas harahara yang dikandungnya, yakni fosfor, kalium, magnesium, dan kalsium. Fosfor diketahui berfungsi dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman (Terry dan Ulrich 1993). Fosfor merupakan hara makro esensial yang memegang peranan penting dalam proses hidup seperti fotosintesis, metabolisme karbohidrat, dan proses alih energi di dalam tubuh tanaman (Buchanan et al. 2000). Fosfor juga merupakan bahan penyusun fosfolipid seperti lesitin dan kolin, yang memegang peranan penting dalam hal integritas membran (Gardner et al. 1985). Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi di atas dosis optimum dalam penelitian ini juga diduga meningkatkan kadar P sehingga berlebihan pada tanah. Kelebihan P dalam tanah dapat menekan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Safuan (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan dan tinggi tanaman nenas terhambat dengan peningkatan kadar hara P tanah sebesar 83.33 ppm dengan
92 pola hubungan kuadratik. Dijelaskan juga oleh Bennet (1993) bahwa pemupukan P yang berlebihan mengurangi ketersediaan atau penggunaan hara mikro. Defisiensi unsur hara Zn juga dipengaruhi oleh tingginya kadar P tanah (Havlin et al.1999). Malezieux dan Bartholomew (2003) membuktikan bahwa terjadi defisiensi Zn pada tanah dengan pH 6.0 atau lebih atau pada pemberian P yang berlebihan. Padahal Zn dalam tanaman berfungsi sebagai aktivator enzim. Fungsi Zn berkaitan dengan pembentukan asam indolasetat atau auksin. Sehingga pertumbuhan tanaman secara umum dapat terhambat. Hasil penelitian Wasonowati (2005) membuktikan bahwa kombinasi N dan P memberikan respon kuadratik pada bobot basah pelepah tanaman lidah buaya pada tanah gambut Indragiri Hilir, Riau. Safuan (2007) juga membuktikan bahwa serapan hara P tanaman nenas semakin menurun sejalan dengan peningkatan hara P pada tanah dengan pola hubungan kuadratik. Dijelaskan oleh Kasno et al.(2000) dan Hanum (2004) bahwa tanaman mempunyai kemampuan maksimal dalam menyerap hara walaupun kadar hara P tersedia dalam tanah mengalami peningkatan dengan meningkatnya jumlah pupuk yang diberikan. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada tanah gambut sebagai sumber hara kalium berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya. Hal ini berkaitan dengan peranan K yang secara langsung meningkatkan pertumbuhan, indeks luas daun, meningkatkan asimilasi CO2, dan terlibat dalam proses fotosintesis serta translokasi fotosintat (Gardner et al. 1991). Dijelaskan lebih lanjut oleh Elumalai et al. (2002) bahwa kalium diperlukan untuk akumulasi dan translokasi karbon yang baru saja dibentuk tanaman dari hasil fotosintesis. Selain itu, menurut Marschner (1995) ion K+ memfasilitasi beberapa respon fisiologi pada tanaman, termasuk
93 pembukaan dan penutupan stomata, gerakan daun dan regulasi polarisasi membran. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim penting untuk fotosintesis dan respirasi, juga mengaktifkan enzim yang diperlukan untuk pembentukan pati dan protein. Kalium dapat diserap dalam jumlah banyak oleh tanaman, jauh dari jumlah yang diperlukan (luxury consumption), sehingga memerlukan pemupukan yang bertahap. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf yang lebih tinggi dari dosis optimum menyebabkan tingginya kadar hara K pada tanah. Meskipun tanaman dapat menyerap kalium dalam jumlah banyak, namun dalam taraf yang sangat tinggi dapat menekan pertumbuhan tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan respon semua peubah tanaman lidah buaya yang bersifat kuadratik terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Wentasari (2005), dimana pemberian faktor tunggal K menunjukkan respon kuadratik dan nyata terhadap bobot basah pelepah. Safuan (2007) juga membuktikan bahwa pengaruh pemberian berbagai dosis pupuk K terhadap hasil relatif tanaman nenas bersifat kuadratik, penambahan dosis pupuk K melebihi dosis optimum (668 kg K2O/ha.)
menurunkan produksi buah nenas.
Meningkatnya kadar hara K+ di dalam tanah akan menyebabkan kompetisi dengan kation lain seperti Ca2+ dan Mg2+ untuk diserap oleh tanaman. Penyerapan K yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Ca2+ dan Mg2+ (Havlin et al. 1999). Pemberian abu janjang kelapa sawit juga telah mampu meningkatkan pH tanah gambut di atas netral. Terjadi kenaikan pH dari 4.0 sampai mencapai 8.23 pada dosis abu janjang tertinggi. Peningkatan pH ini diakibatkan dari pH abu janjang kelapa sawit yang diberikan memiliki pH tinggi, yaitu sampai 10.46. Keadaan pH tanah gambut yang tinggi akibat pemberian abu janjang kelapa sawit tersebut
94 menyebabkan terlarutnya senyawa-senyawa yang larut dalam alkali, termasuk asam humat. Terjadi dispersi atau perusakan secara fisik terhadap tanah gambut yang digunakan sebagai media tanam pada pemberian abu janjang pada dosis tinggi di atas dosis optimum. Pada keadaan tanah yang mengalami kerusakan secara fisik dengan indikator tanah menjadi lengket kehitaman,
tanaman tidak mampu untuk tumbuh secara
sempurna karena gangguan perkembangan perakaran, sehingga mengganggu serapan hara. Tanaman tumbuh kerdil, pertumbuhan pelepah terhambat, serta mengalami kering bagian pucuk dan menguning. Hal ini dapat dilihat pada tanaman lidah buaya yang mendapat dosis abu janjang kelapa sawit sebesar 300 g/tanaman. Konsentrasi abu janjang kelapa sawit dengan dosis tinggi di sekitar perakaran menyebabkan kerusakan tanah secara fisik. Tanah gambut yang bersifat porous berubah menjadi lengket karena terektraksinya bahan humat. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen dalam tanah menjadi berkurang.
Di satu sisi, energi yang
diperlukan untuk serapan hara berasal dari proses respirasi dalam akar tanaman. Proses respirasi ini tergantung suplai oksigen dalam udara tanah. Oleh karena itu, aerasi yang buruk akan menghambat proses penyerapan unsur hara. Reaksi-reaksi antagonistik juga dimungkinkan terjadi akibat penambahan abu janjang dalam dosis tinggi. Penambahan abu janjang yang berlebihan juga berarti penambahan jumlah K ke dalam tanah secara berlebihan. Hal ini akan mengganggu keseimbangan antara hara K dengan Mg. Padahal di sisi lain keseimbangan K terhadap Mg adalah sangat penting.
Efek antagonistik K terhadap serapan Mg
dapat mengakibatkan depresi pertumbuhan dan hasil karena defisiensi Mg.
95 Gambar 29 menunjukkan akibat berbagai faktor di atas terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman lidah buaya akibat peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 29. Respon tanaman lidah buaya terhadap berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan pemberian abu: (a) dosis abu 50/tan. ; (b) dosis abu 100 g/tan. ; (c) dosis abu 150 g/tan. ; (d) dosis abu 300 g/tan.
.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber hara P, K, Mg, dan Ca.
Dengan kandungan hara yang cukup tinggi (P2O5 = 2.42%;
K2O = 21.15 %; MgO = 2.46%; Ca = 2.22 %), abu janjang kelapa sawit mampu mendukung pertumbuhan tanaman sampai pada taraf tertentu.
96 2. Respon peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya terhadap berbagai dosis abu janjang mengikuti pola hubungan kuadratik. Untuk mendapatkan hasil bobot basah pelepah terbaik diperlukan dosis optimum abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST. Peningkatan dosis abu janjang di atas dosis optimum untuk masing-masing peubah menyebabkan penghambatan pertumbuhan.
PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI MIKORIZA ARBUSKULA DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT Improving adaptability of seedling, growth, and quality of Aloe vera by arbuscular mycorrhiza and fertilizer application on peat soil
Abstrak Perbaikan sifat fisik tanah gambut oleh abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai tahap awal dalam budidaya tanaman lidah buaya. Selanjutnya harus diikuti oleh upaya peningkatan serapan hara oleh tanaman, pemeliharaan berkelanjutan dengan pemupukan untuk mempertahankan produktivitas, dan sekaligus upaya peningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen tanah yang sering menyerang tanaman lidah buaya di lahan gambut. Pemanfaatan sumberdaya alami yang ada dapat dijadikan sebagai solusi untuk memenuhi tujuan tersebut. Sumberdaya alami tersebut adalah fungi mikoriza arbuskula dan limbah organik (ikan dan udang). Penelitian dilakukan di lapangan dengan menggunakan rancangan petakpetak terpisah dalam rancangan acak kelompok tiga faktor. Faktor pertama adalah mikoriza sebagai petak utama dengan tiga taraf yaitu; tanpa mikoriza (m0), mikoriza mycofer (m1), dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2). Faktor kedua adalah pupuk anorganik sebagai anak petak, merupakan komposisi pupuk N:P:K:Mg, yang terdiri dari 4 taraf yaitu; tanpa pupuk anorganik (a0); 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. (a1); a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. (a2) ; dan 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. (a3). Faktor ketiga adalah pupuk organik sebagai anak-anak petak, terdiri dari 4 taraf, yaitu: limbah ikan (o1); limbah udang (o2); limbah ikan fermentasi (o3); dan limbah udang fermentasi (o4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok tanaman bermikoriza memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa mikoriza. Pupuk anorganik pada taraf a2 (N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.) dan pupuk organik limbah udang fermentasi (o4) memberikan hasil rerata terbaik untuk semua peubah pertumbuhan. Serapan hara N, P, K, dan Mg juga lebih tinggi pada kelompok tanaman yang mendapat pupuk organik yang difermentasi dibanding pupuk organik tanpa fermentasi. Kombinasi mikoriza asal rizosfer nenas dengan pupuk ikan dan udang fermentasi mampu menghasilkan asam asam amino dengan kadar yang lebih tinggi dibanding asam asam amino yang dikandung dalam pelepah lidah buaya hasil budidaya standar dari Aloe vera Center. Kata kunci: pupuk anorganik, pupuk organik, mikoriza.
98
Abstract This research was aimed to study the effectiveness of mycorrhiza, inorganic and organic fertilizer ( fish/shrimp waste) on growth, yield and quality of aloe in peat soil. The study was conducted on peat area, North Pontianak, West Kalimantan in split-split plot in completely randomized blocks design. The main plot was mycorrhizal application levels: Mycofer, and mycorrhiza from pineapple rhizospheres. The sub plot was inorganic fertilizer (composition of N:P:K:Mg) : without inorganik fertilizer, 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/plant, 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and 20 : 16 : 30 : 10 g/plant. Sub-sub plot was organic fertilizer (waste): fish, shrimp, fermented of fish, and fermented of shrimp wastes. The results showed that mycorrhizal plant had a better growth and higher N, P, Mg uptake than non mycorrhizal plant. Highest plant growth variables were provided by N : P: K : Mg =10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and fermented shrimp waste treatments. N, P, K, Mg nutrients uptake of fermented organic fertilizer were higher than non fermented organic fertilizer. Combination of Mycorrhiza from pineapple rhizospheres with fermented fish and shrimp gave higher amino acids content compared to those produced by Aloe vera Center Key word: inorganic fertilizer, organic fertilizer, arbuscular mycorrhiza
Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian I dan II, diketahui bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat membantu memperbaiki sifat kimia tanah gambut dan dapat mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber input yang pertama diberikan sebelum membudidayakan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Namun demikian, dalam aplikasinya di lapangan, pemberian abu sebaiknya diberikan secara merata pada permukaan tanah. Hal ini mengingat penumpukan abu janjang kelapa sawit di sekitar lubang tanam dapat mengganggu sistem perakaran karena sifat perusakan fisiknya terhadap tanah gambut yang dapat mengganggu sistem aerasi tanah.
Pada penelitian III, abu janjang kelapa sawit
99 disebar merata pada permukaan bedeng dengan mencampurnya secara merata dengan tanah gambut pada lapisan olah (+ 10 cm). Meskipun abu janjang kelapa sawit dapat membantu memperbaiki sifat kimia tanah dan dijadikan sebagai input pertama dalam budidaya tanaman lidah buaya di tanah gambut, bukan berarti tidak ada hambatan lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya.
Lingkungan tumbuh tanah gambut diketahui
sebagai lingkungan yang memiliki banyak faktor pembatas. Rendahnya kandungan hara dan tingginya tingkat kemasaman tanah merupakan faktor utama yang menghambat pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut membuat rendahnya tingkat serapan hara oleh tanaman, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peningkatan serapan hara sendiri tidak hanya ditentukan oleh faktor ketersediaan hara, namun juga ditentukan oleh kemampuan akar tanaman untuk menyerap hara.
Gambut juga diketahui banyak mengandung senyawa-senyawa
beracun dari hasil degradasi lignin, kondisi selalu tergenang atau suatu saat mengalami cekaman kekeringan dengan suhu permukaan tanah yang tinggi, serta tingginya tingkat jangkitan penyakit (virulensi).
Berkenaan dengan tingginya
tingkat jangkitan penyakit, maka tanaman lidah buaya sangat rentan terhadap serangan patogen tanah yang disebabkan oleh Erwinia chrysanthemi (penyebab busuk lunak) dan Fusarium sp. (penyebab busuk kering). Upaya peningkatan serapan hara oleh tanaman lidah buaya dan sekaligus upaya peningkatkan ketahanan terhadap patogen tanah, dapat merujuk kepada pemanfaatan mikroorganisme potensial antagonis yang selama ini sudah banyak diterapkan pada jenis tanaman lain, di antaranya yaitu Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).
100 Pemanfaatan FMA selain tidak berdampak negatif terhadap lingkungan karena bersifat hayati, juga didasarkan atas kesesuaian syarat sebagai mikroorganisme antagonis terhadap patogen tanah, yakni mempunyai kemampuan kompetisi dan daya adaptasi yang tinggi di rhizosfer dan juga mampu menghasilkan senyawasenyawa antibiotik, hormon dan zat pengatur tumbuh. FMA dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan fosfat dengan meningkatkan serapan hara P lebih banyak dari larutan tanah (Swift 2004; Smith 2002; Smith et al. 2003), dimana hubungan simbiotik akan lebih menguntungkan pada kondisi tanah kahat hara (Morgan et al. 2005).
Peningkatan serapan hara
dilakukan melalui dua cara, pengaruh langsung melalui jalinan hifa eksternal yang diproduksinya secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Sieverding, 1991) dan pengaruh tidak langsung, dimana mikoriza dapat memodifikasi fisiologis akar sehingga dapat mengeksresikan asam-asam organik dan fosfatase asam ke dalam tanah ( Abbott et al. 1992), dimana menurut Marschner & Dell (1994); dan Smith & Read (1997) fosfatase asam merupakan suatu enzim yang dapat mamacu proses mineralisasi P organik dengan mengkatalisis pelepasan P dari kompleks organik menjadi kompleks anorganik. Mikoriza juga dapat merangsang tanaman inang untuk membentuk senyawasenyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer (Chakravarty dan Chatapaul, 1988). Menurut Ouimet et al. (1996) mikoriza juga dapat meningkatkan penyerapan unsur hara lainnya seperti N (NH4+ atau NO3-), K, dan Mg yang bersifat mobil. Peningkatan penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo.
101 Mikoriza secara umum menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar. Hal ini dikarenakan terdapatnya penghalang mekanis berupa mantel jamur yang dapat menghambat penetrasi patogen dan adanya kemampuan beberapa jamur mikoriza untuk memproduksi antibiotik. Mikoriza juga dapat merangsang tanaman inang untuk membentuk senyawa-senyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer (Chakravarty dan Chatapaul, 1988). Menurut Setiadi (1989), fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auksin, sitokinin, dan giberelin serta zat pengatur tumbuh berupa vitamin kepada inangnya.
Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau memperlambat proses
penuaan dan suberisasi akar. Dengan demikian fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air dapat diperpanjang. Meskipun FMA sudah banyak dimanfaatkan pada jenis tanaman lainnya guna mencegah serangan patogen akar dan peningkatan serapan unsur hara, namun sampai saat ini belum pernah diuji kemampuan dan efektivitasnya pada tanaman lidah buaya. Kajian secara ilmiah untuk membuktikan apakah FMA berespon sama terhadap tanaman lidah buaya dalam pencegahan patogen akar maupun peningkatan serapan unsur dan ketahanan terhadap cekaman kekeringan, belum pernah dilakukan. Belum diketahui apakah peranan FMA pada tanah gambut sama seperti pemanfaatannya di tanah mineral. Diharapkan dengan adanya aplikasi FMA yang di antaranya berasal dari habitat gambut juga (rhizosfer nenas) dan dari mycofer yang sudah terbukti dapat berasosiasi dengan akar tanaman di tanah gambut (Sasli, 2001), maka permasalahan seperti rendahnya hara tersedia dan serapan hara, serta serangan patogen akar pada
102 lahan gambut dapat teratasi dan sekaligus diketahui bagaimana peranan sesungguhnya dari FMA pada tanah gambut. Aplikasi mikoriza diharapkan dapat membantu meningkatkan hara-hara tersedia dan serapan unsur hara oleh tanaman lidah buaya, sekaligus meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen akar pada lahan gambut. Namun demikian, dalam jangka panjang, suplai hara diperlukan bagi tanaman dalam rangka mempertahankan produktivitasnya. Berkaitan dengan penelitian ini, maka input hara mesti dipertimbangkan dari berbagai aspek, mulai dari efisiensi ekonomis sampai pada pertimbangan bahwa input nutrisi harus dalam aras yang masih dapat memacu efektivitas fungi mikoriza arbuskula untuk meningkatkan serapan hara. Berdasarkan hal tersebut, maka input pupuk anorganik dapat dikurangi (efisiensi) dengan keberadaan mikoriza, sedangkan untuk mempertahankan produktivitas tanaman fungsi pupuk dapat digantikan dengan bahan-bahan sumberdaya alami yang keberadaannya melimpah namun memiliki nilai hara yang tinggi, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap ketersediaan hara tanah. Mengingat lokasi rencana penelitian merupakan wilayah yang dekat dengan perairan (pesisir), maka sumberdaya yang dipilih sebagai sumber hara bagi tanaman adalah limbah ikan dan limbah udang, yang keberadaannya sangat melimpah. Limbah ikan atau limbah udang diketahui memiliki kandungan hara yang cukup tinggi apabila digunakan sebagai bahan pupuk organik, di antaranya N, P, K dan beberapa unsur mikro serta diketahui sebagai bahan pupuk organik yang baik dibanding bahan pupuk organik lainnya (Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005).
Produk ini memperkaya hara tanah dan
mempunyai keunggulan dalam hal kapasitasnya menahan air.
103 Kandungan hara pada pupuk organik ikan tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai bahan bakunya. Sebagai perbandingan, tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen sebagai berikut; air: 6 - 100 %;
lemak: 5 -12 °/o ; protein: 60 - 75 %; dan abu 10 -20 %.
Selain itu. karena
terdiri dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung: Ca fosfat, seng, yodium, besi, timah, mangan, kobalt, dan vitamin B yaitu: riboflavin (B2), asam panthotenat (B3) (Yoganingrum, 2000). Menurut Christantie (1999)
kandungan
mineral yang penting dari udang adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 mg dan 170 mg per 100 gram bahan. Diduga kandungan hara yang cukup lengkap dan sumbangan hormon pertumbuhan diperoleh dari limbah ikan dan limbah udang yang digunakan sebagai pupuk organik. Perlu diteliti bagaimana peranan limbah ikan atau udang sebagai pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil lidah buaya di lahan gambut.
Ingin diketahui juga bagaimana
peran pupuk organik tersebut bila
dikombinasikan dengan mikoriza, dan selanjutnya ingin diketahui juga apakah pupuk organik limbah ikan/udang ini dapat menggantikan peran dari pupuk anorganik berdasarkan dari respon yang ditunjukkan oleh pertumbuhan dan hasil tanaman.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Eksplorasi/ekstraksi spora mikoriza, identifikasi, dan uji propagul infektif mikoriza dari rizosfer nenas mulai dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2005 di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB dan
104 dilanjutkan di Laboratorium Mikrobiologi Tanah Universitas Tanjungpura Pontianak pada bulan September – Oktober 2005. Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut dilaksanakan di lahan gambut Desa Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Analisis bahan dan contoh dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB, Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Laboratorium Terpadu IPB, dan Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor . Waktu penelitian di lapangan dimulai dari Desember 2005 sampai Maret 2007, sedangkan analisa laboratorium dilakukan mulai dari bulan April sampai Agustus 2007. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan petak-petak terpisah (split-split plot design), yang terdiri dari tiga faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah mikoriza (petak utama) dengan 3 taraf. Faktor kedua adalah pupuk anorganik (anak petak) dengan 4 taraf perlakuan, dan faktor ketiga adalah pupuk limbah organik (anak-anak petak) dengan 4 taraf perlakuan. Faktor I
:
mikoriza
m0 = tanpa Mikoriza m1 = fungi mikoriza arbuskula (FMA) introduksi (mycofer) m2 = mikoriza dari rizosfer tanaman nenas (propagul alami) Faktor II : pupuk anorganik (N, P, K, Mg ) a0
= tanpa pupuk anorganik
a1
= N : P : K : Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tanaman.
105 a2
= N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5
g/tanaman.
a3
= N : P : K : Mg = 20 :16 : 30 : 10 g/tanaman.
(Keterangan: taraf tersebut di atas P dalam bentuk P2O5, K dalam bentuk K2O, dan Mg dalam bentuk MgO) Faktor III :
pupuk organik (limbah ikan/udang)
o1
= limbah ikan
o2
= limbah udang
o3
= limbah ikan terfermentasi
o4
= limbah udang terfermentasi
Terdapat 48 kombinasi perlakuan, dengan ulangan 3 kali, sehingga terdapat 144 satuan percobaan. Model linier aditif dari rancangan petak-petak terpisah adalah sebagai berikut : Yijkl
=
+
i
+ Mj + ßij + Ak + MAjk +
ijk
ε
+ Ol + MOjl + AOkl + MAOjkl + jkl
Keterangan: Yijkl
= hasil pengamatan dari faktor mikoriza taraf ke-j, pupuk anorganik taraf ke-k, dan pupuk organik taraf ke-l pada kelompok ke-i = rataan umum
Mj
= pengaruh faktor mikoriza taraf ke-j
ßij
= pengaruh galat petak utama
Ak
= pengaruh pupuk anorganik taraf ke-k
MAjk
= pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j dengan faktor pupuk anorganik taraf ke-k
ijk
Ol
= pengaruh galat anak petak = pengaruh faktor pupuk organik taraf ke-l
106 MOjl
=
pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j dengan faktor pupuk organik taraf ke-l
AOkl
=
pengaruh interaksi antara faktor pupuk anorganik taraf ke-k dengan faktor pupuk organik taraf ke-l
MAOjkl
=
pengaruh interaksi antara faktor mikoriza taraf ke-j, faktor pupuk anorganik taraf ke-k, dan faktor pupuk organik taraf ke-l
εjkl
=
pengaruh galat anak-anak petak.
Pelaksanaan Penelitian 1. Uji propagul infektif mikoriza asal rizosfer nenas Uji ini dilakukan untuk melihat jumlah propagul infektif dari mikoriza di tanah gambut asal rizosfer nenas. Tujuannya adalah mengetahui apakah gambut yang berasal dari rizosfer nenas yang akan digunakan sebagai inokulum pada tanaman lidah buaya merupakan propagul yang potensial. Uji ini dijadikan sebagai dasar bagi percobaan berikutnya (aplikasi mikoriza pada tanaman lidah buaya) dalam menentukan tingkat potensial tanah gambut asal rizosfer nenas sebagai sumber inokulum mikoriza. Metode yang digunakan adalah metode MPN (Most Propable Number Method ; Sieverding 1991). Sebelum uji MPN dilakukan, terlebih dahulu dihitung kerapatan spora FMA asal rizosfer nenas dengan melakukan ekstraksi dan identifikasi FMA. Metode yang digunakan adalah teknik tuang-saring basah dan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Gerdermann & Nicolson (1963) dan Brundrett et al. (1994). Pada
107 tahap ini dihitung jumlah spora untuk sejumlah contoh tanah gambut (20 g) dari rizosfer nenas dan diidentifikasi genus/jenisnya. Setelah perhitungan jumlah dan jenis spora dilakukan, dilanjutkan dengan uji propagul infektif. Sejumlah tanah gambut dari rizosfer nenas diambil untuk dilihat tingkat infektif dari propagul mikoriza dengan menginokulasikannya pada tanaman inang (sorghum) yang biasa digunakan sebagai tanaman perbanyakan mikoriza. Tingkat propagul infektif diuji pada beberapa seri pengenceran (9 kali pengenceran) tanah gambut yang mengandung propagul mikoriza (dari rizosfer nenas) dengan tanah gambut steril dengan perbandingan 1 : 3 sebagai substrat (media) tanaman inang. Dengan demikian terdapat 10 substrat (1 substrat tanpa pengenceran, dan 9 substrat lainnya dengan pengenceran). Setiap tahap pengenceran terdiri dari 5 ulangan, sehingga terdapat 50 contoh tanaman inang yang akan digunakan dalam uji MPN. Ekstraksi dan identifikasi spora FMA.
Ekstraksi dan identifikasi spora
FMA dari tanah gambut asal rizosfer nenas di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Bioteknologi IPB dan Laboratorium Mikrobiologi Tanah Universitas Tanjungpura Pontianak. Metode yang digunakan adalah metode tuang-saring basah dan sentrifugsi (Gerdermann dan Nicolson, 1963; Brundrett, et al.1994). Tahapan pekerjaannya adalah sebagai berikut: 1. Contoh tanah gambut dari rizosfer nenas ditimbang sebanyak 20 g bobot kering udara dan dicampur dengan 250 ml air dalam gelas piala, kemudian diaduk sampai homogen. Selanjutnya dibiarkan beberapa menit agar partikel dan bahan organik yang masih kasar mengendap.
108 2. Suspensi dari pencampuran tersebut selanjutnya disaring dalam satu set saringan yang disusun dari atas ke bawah masing-masing dengan ukuran 710 m, 425 m, dan 45 m. 3. Hasil saringan selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Penyaringan dilakukan sambil mengguyur/menyemprotkan air ke bagian saringan agar sporaspora dapat terkumpul pada suatu sudut saringan dan memudahkannya untuk dipindahkan dalam tabung sentrifus. 4. Tabung sentrifus yang sudah bersisi hasil saringan (sebanyak 25 ml) selanjutnya ditambahkan larutan sukrosa 60%, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. 5. Larutan/supernatan hasil sentrifuge selanjutnya diambil dengan pipet dan dituangkan ke dalam saringan 45
m, dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan sukrosa. 6. Hasil saringan akhir ini selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri dan diamati di bawah mikroskop. Jumlah spora mikoriza dihitung dan sebagian dari spora yang masih bernas dikumpulkan dan disimpan dengan memberikan Polyvinyl-alcohol–lacto-glycerol (PVLG) untuk identifikasi dan dokumentasi. 7. Identifikasi spora dilakukan dengan memperhatikan susunan, bentuk, ukuran, spora, ornamen, dan lapisan dinding spora (spore wall dan germinal wall), serta reaksi pewarnaan (larutan Melzer). Uji propagul infektif (Uji MPN).
Uji propagul infektif dari mikoriza di
tanah gambut asal rizosfer nenas dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Dipersiapkan terlebih dahulu bahan tanaman inang dengan mengkecambahkan sorghum pada media zeolit steril. Benih sorghum disterilkan secara kimiawi
109 dengan cara direndam dalam larutan bayclin selama 3 – 5 menit. Kemudian dibilas dengan air sampai bersih, dan siap disemai dalam media zeolit sampai muncul kecambah (dipindahkan ke dalam media MPN umur 2 – 3 hari). 2. Disiapkan tabung reaksi ukuran 50 ml sebanyak 50 buah yang akan dipergunakan sebagai wadah penanaman tanaman inang. 3. Disiapkan tanah gambut yang tidak steril dari rizosfer nenas sebanyak 140 g, dan disiapkan juga gambut steril sebanyak 1200 g
sebagai pengencer dari
gambut yang tidak steril, disaring dengan ayakan 0.5 cm. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoclave. 4. Benih sorghum dikecambahkan dalam bak perkecambahan dengan media zeolit steril. Kecambah sorghum nantinya akan dipergunakan sebagai tanaman inang dalam uji MPN. 5. Sebanyak 100 g gambut tidak steril dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing sebanyak 20 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai media penanaman sorghum 6. Sisa gambut steril sebanyak 40 g selanjutnya diencerkan dengan gambut steril sebanyak 120 g (1 : 3), sehingga diperoleh pengenceran 4-1. Pengenceran ini menghasilkan 160 g tanah gambut. Pengenceran dilakukan dengan pengadukan gambut dalam kantong plastik sampai media gambut diasumsikan sudah tercampur rata antara gambut tidak steril dan gambut steril. Selanjutnya diambil tanah gambut hasil pengenceren tersebut sebanyak 100 g, dan dibagi untuk 5 tabung reaksi, masing-masing sebanyak 20 g. 7. Tanah gambut dari pengenceran 4-1 tersebut selanjutnya diambil sebanyak 40 g, dan
diencerkan lagi dengan tanah gambut steril sebanyak 120 g dengan
110 perlakuan yang sama (pengadukan). Pada tahap ini akan diperoleh pengenceran 4-2.
Selanjutnya dari hasil pengenceran ini diambil sebanyak 100 g untuk
dibagikan ke dalam 5 tabung reaksi, masing-masing sebanyak 20 g. 8. Pekerjaan pengenceran ini selanjutnya diteruskan sebanyak 9 kali (sampai pada tingkat pengenceran 4-9). 9. Setelah pengenceran dilakukan sampai tingkat 4-9, dan sebanyak 50 tabung reaksi sudah diisi tanah gambut masing-masing 20 g, selanjutnya dilakukan penanaman kecambah sorghum pada media MPN dalam tabung reaksi. Akar sorghum yang terlampu panjang dipotong dan disisakan sepanjang + 5 cm.
Selanjutnya
penanaman dilakukan dengan menggunakan pinset ke dalam media MPN. Tanaman dipelihara sampai berumur 3 minggu dengan melakukan penyiraman (tergantung kondisi kelembaban dalam media MPN) dengan air destilata. 10. Setelah tanaman berumur 3 minggu, dilakukan pemanenan tanaman untuk melihat infeksi mikoriza pada akar. Dilakukan perhitungan dan pengamatan terhadap: a.
Jumlah spora FMA (x spora / g contoh tanah dihitung dengan metode tuang-saring basah (Gerdermann dan Nicolson, 1963;
Brundrett, et al.
1994), seperti yang telah dijelaskan pada bagian pelaksanaan penelitian. b.
Genus dan spesies FMA berdasarkan susunan spora, bentuk spora, ukuran, warna spora, ornamen spora, lapisan dinding (spore wall dan germinal wall), dan reaksi pewarnaan (larutan Melzer).
c.
Tanaman inang (sorghum) yang diujikan pada media Uji MPN seperti yang telah dijelaskan sebelumnya diamati infeksi akarnya oleh FMA.
Jika
terdapat infeksi diberi tanda (+) dan jika tidak terinfeksi diberi tanda (-), selanjutnya dimasukkan ke dalam Tabel 12 berikut:
111 Tabel 12. Contoh tabel hasil pengamatan infeksi akar untuk perhitungan uji MPN [ ada infeksi = (+); tidak ada infeksi = (-) ] Tingkat Pengenceran
Jumlah tanaman terinfeksi MVA
Ulangan 1
2
3
4
5
-1
4 4-2 4-3 4-4 4-5 4-6 4-7 4-8 4-9 Total tanaman terinfeksi FMA Penentuan propagul infektif dihitung dengan rumus sebagai berikut: log
= x . log a – K
Keterangan: = jumlah propagul infektif x
= jumlah rata-rata tanaman inang yang terinfeksi (berdasarkan jumlah pot) dimana:
x = Jumlah total tanaman (pot) yang terinfeksi Jumlah ulangan setiap pengenceran
a
= faktor pengenceran (dalam percobaan ini a = 4 = pengenceran 4 kali lipat)
K
= Nilai dari tabel Fisher dan Yates untuk pengenceran 4 kali lipat dan tingkat pengenceran 6 atau lebih.
y
= s–x
;
dimana :
y : diperlukan untuk menentukan nilai K pada tabel Fisher dan Yates, s : adalah jumlah tingkat pengenceran (dalam percobaan ini s = 10) 2. Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut. Persiapan dan pengolahan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dari rumput dan vegetasi yang ada di atasnya, kemudian dilakukan pembuangan akar-akar tanaman yang masih tersisa dan mengumpulkannya pada
112 suatu tempat. Selanjutnya dibuat parit keliling yang berfungsi sebagai drainase, sehingga lahan terbebas dari genangan air. Setelah lahan dibersihkan, selanjutnya dibuat petakan-petakan sambil digemburkan dengan ukuran 3 m x 3 m sebanyak 144 petak percobaan (total untuk tiga ulangan) dengan jarak antar petak 0,5 m.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 30. Persiapan dan pengolahan lahan. (a) Pembersihan vegetasi; (b) pembalikan tanah/pencangkulan; (c) pembongkaran tunggul; (d) persiapan pembuatan petakan/bedeng; (e) dan (f) peletakan kode perlakuan sesuai hasil pengacakan pada petakan siap tanam.
113
Persiapan inokulum mikoriza.
Sumber inokulum mikoriza adalah (1)
mycofer dalam bentuk media zeolit dan (2) tanah gambut yang memiliki propagul infektif yang berasal dari rizosfer nenas. Tanah gambut dari rizosfer nenas dikumpulkan,
dikering-anginkan, dan rambut-rambut akar-akar yang terbawa
dicacah halus sebelum diaplikasikan pada tanaman lidah buaya. Persiapan pupuk organik (limbah ikan/udang).
Bahan yang digunakan
sebagai pupuk organik adalah limbah ikan/udang dari wilayah setempat (Pontianak). Sebanyak 25 kg limbah ikan/udang difermentasi dengan 0.5 liter fermentor dicampur dengan 50 liter air dan diinkubasi selama 7 hari dengan perlakuan pengadukan sampai terbentuk pasta. Selanjutnya setiap 1 liter pasta hasil fermentasi dilarutkan dalam 10 – 20 liter air (tergantung keadaan tanah). Bila tanah mengandung bahan organik tinggi, 1 liter pasta dicamur dengan 20 liter air. Bila tanah sedikit kandungan bahan organiknya, setiap 1 liter pasta dicampur dengn 10 liter air. Selanjutnya, setiap 1 liter bahan jadi tersebut dicampurkan dengan 1 - 2 ml aktivator. Pupuk organik cair ini selanjutnya diaplikasikan melalui tanah (sekitar perakaran) dan pelepah terbawah sesuai perlakuan. Penanaman dan pemupukan dasar.
Sebelum penanaman, dilakukan
pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 2 kg/bedengan atau 6 kg untuk setiap petaknya (setiap petak berukuran 3 m x 3 m dibagi menjadi 3 bedengan) dan pupuk dasar urea, fosfat alam, KCl dan dolomit sesuai dengan dosis perlakuan. Sebelum penanaman, inokulan mikoriza diberikan pada lubang tanam, 20 g untuk inokulan yang berasal dari mycofer dan 200 g tanah gambut dari rizosfer nenas yang mengandung propagul alami.
114 Bibit dipilih yang seragam berukuran 25 – 30 cm dengan jumlah pelepah sebanyak 6 - 7 buah. Bibit ditanam dengan jarak 1 m x 1 m. Bibit yang mendapat perlakuan mikoriza, dalam penanamannya diusahakan agar akar bibit langsung bersentuhan dengan mikoriza untuk menjamin keberhasilan infeksi. Perlakuan pupuk organik limbah ikan/udang.
Perlakuan penambahan
pupuk organik dimulai bersamaan dengan pemupukan susulan (tanaman berumur 1.5 bulan), dengan dosis masing-masing 200 ml/tanaman, diberikan 2 minggu sekali selama 2 bulan pertama, selanjutnya sebulan sekali diberikan seara rutin. Pemeliharaan.
Pemeliharaan meliputi penyiraman (tergantung situasi),
penyiangan gulma, pembumbunan dan pembentukan bedeng dan pembuangan pelepah
yang
terserang
seleksi/pembuangan anakan.
penyakit,
pembersihan
parit
drainase,
dan
Pemeliharaan lainnya adalah pemupukan lanjutan
dengan N, P, K, dan Mg 1 bulan sekali sesuai perlakuan. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah sebagai berikut: 1. Persentase tanaman yang terserang penyakit busuk lunak E. chrysanthemi (%) 2. Jumlah pelepah, yang dihitung adalah pelepah yang sudah berkembang sempurna, yang memiliki panjang minimal 10 cm, dihitung tiap bulan mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36) 3. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal sampai ujung pelepah. Pengukuran dilakukan sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36) 4. Panjang pelepah daun (cm). Panjang pelepah diukur terhadap pelepah ke -9 dan diukur sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36).
115 5. Tebal pelepah (cm), diukur pada pangkal pelepah daun terlebar pada pelepah ke9 dan diukur sebulan sekali mulai minggu ke-8 sampai panen (minggu ke-36). 6. Bobot basah pelepah (g) daun ke-9, diukur saat panen (minggu ke-36) 7. Bobot kering tajuk (g) ditimbang saat panen (umur 9 bulan) 8. Serapan hara tanaman. Contoh tanaman (pelepah) dikering ovenkan, kemudian ditimbang bobot keringnya dan ditentukan kadar hara N, P, K, dan Mg. Untuk menentukan nilai serapan hara dilakukan perhitungan dengan rumus: Serapan hara = kandungan hara dalam jaringan x bobot kering tanaman 9. Kadar bahan aktif pelepah, terdiri atas asam amino (metode khromatografi). 10. Perhitungan persentase akar terinfeksi oleh FMA (%), dilakukan dengan mengambil potongan-potongan akar tanaman lidah buaya dan selanjutnya dilakukan uji pewarnaan (staining) akar. Prosedur staining akar adalah sebagai berikut (Kormanik & Mc. Graw 1982): a. Dipilih akar serabut/muda dari tanaman yang akarnya akan distaining b. Akar dibersihkan dari tanah dan kotoran dengan cara dicuci di bawah air mengalir (akar ditaruh dalam saringan) c. Akar ditaruh dalam tabung reaksi dan beri larutan KOH 10% d. Bila keesokan harinya larutan KOH 10% berwarna coklat gelap, larutan KOH 10% dibuang dan diganti dengan larutan KOH 10% yang baru. e. Untuk akar yang ligninnya sukar dihilangkan (dalam beberapa hari larutan KOH 10% masih berwarna coklat belum berwarna kuning jernih), larutan KOH 10% diganti dengan larutan KOH 10% yang baru, kemudian diberi sedikit larutan H2O2. dan dibiarkan sampai akar berwarna kuning jernih.
116 f. Bila akar telah berwarna kuning jernih, kemudian akar dicuci bersih sampai akar bersih dari larutan KOH. g. Akar ditaruh dalam tabung reaksi kembali dan beri larutan HCl 2 % h. Bila akar telah berwarna kuning bersih, larutan HCl 2% dibuang dan diganti dengan larutan staining dan biarkan selama satu malam. i. Larutan staining dibuang dan ganti dengan larutan distaining (sama seperti larutan staining tetapi tanpa trypan blue), dan dibiarkan selama satu malam. j. Selanjutnya akar siap untuk dibuat preparat. Persentase akar terinfeksi selanjutnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah infeksi pada pengamatan potongan akar % akar terinfeksi =
x 100% Jumlah total pengamatan akar
12 Respon tanaman terhadap mikoriza, ditentukan berdasarkan Percent Growth Respon (PGR) dengan rumus sebagai berikut (Hetrick dan Wilson (1993): BK tanaman terinokulasi – BK tanaman tidak terinokulasi PGR =
x 100% BK tanaman terinokulasi
Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Uji F) terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Gomez & Gomez 1995). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program Statistical CoStat dan Statistical Analysis System (SAS)
117
Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian a. Eksplorasi/ekstraksi spora mikoriza, identifikasi, dan uji propagul infektif mikoriza dari rizosfer nenas Jumlah spora.
Perhitungan jumlah spora dilakukan terhadap tanah gambut
asal rizosfer nenas untuk melihat kepadatan spora alami. Hasil perhitungan menunjukkan kepadatan spora yang cukup tinggi dengan rata-rata jumlah spora 171.8 spora per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Hasil perhitungan secara lengkap disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Jumlah spora alami per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas Ulangan
Jumlah spora per 20 g tanah gambut rizosfer nenas
I
195
II
168
III
212
IV
126
V Rata-rata
158 171.8
Sumber: Hasil pengamatan laboratorium, 2005
Kelimpahan yang besar dari jumlah spora alami tersebut sangat jelas tampak dari hasil eksplorasi spora, dimana spora dalam jumlah banyak meski belum dilakukan pemisahan dan pengumpulan dari cawan petri (Gambar 31).
118
Gambar 31. Spora hasil ekstraksi dengan metode tuang-saring basah dari tanah gambut asal rizosfer nenas Gambar 31 menunjukkan kelimpahan spora yang berhasil diekstrak dari tanah di sekitar rizosfer nenas. Tampak bahwa spora masih bercampur satu sama lainnya dengan berbagai bentuk dan ukuran. Selanjutnya spora diseleksi dan dikumpulkan berdasarkan bentuk dan ukuran terlebih dahulu untuk dilakukan identifikasi. Identifikasi genus spora.
Identifikasi terhadap spora ditentukan untuk
menentukan genus spora asal rizosfer nenas. Hasil pengamatan menunjukkan adanya tiga genus yang dominan di tanah gambut asal rizoser nenas yang diamati dalam penelitian ini. (Gambar 32)
Ketiga genus tersebut adalah Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora
119
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 32. Spora yang terdapat dalam inokulum alami asal tanah rizosfer nenas Pontianak Kalimantan barat : (a) Glomus sp-1; (b) Glomus sp-2; (c) Glomus sp-3; (d) Glomus sp-4; (e) Gigaspora sp-1; (f) Gigaspora sp-2; (g) Gigaspora sp-3; (h) Acaulospora sp-1
Jumlah Propagul Infektif. Perhitungan propagul infektif didasarkan kepada hasil uji infeksi pada tanaman contoh yang diuji dalam MPN-test (Gambar 33). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 1149.74 propagul infektif dalam setiap 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas.
Gambar 33. Penanaman tanaman sorghum dalam ruang kultur untuk MPN-test
120 b. Uji aplikasi FMA dan pupuk organik untuk perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya di tanah gambut. Persentase tanaman terserang penyakit busuk lunak. Pengamatan terhadap tanaman lidah buaya yang terinfeksi penyakit busuk lunak oleh bakteri Erwinia chrysanthemi dilakukan terhadap kelompok tanaman dalam petak utama (perlakuan mikoriza) untuk setiap ulangan. Hasil pengamatan tanaman yang terserang penyakit busuk lunak disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak oleh patogen tanah Erwinia chrysanthemi Jumlah terserang penyakit busuk lunak (unit tanaman) MST 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah % % Total Keterangan:
Tanpa mikoriza (m0) I 2 4 3 3 2 0 0 1 0 1 2 0 18 12.5 MST mo m1 m2
II III 3 3 4 5 4 6 2 2 2 0 0 1 0 2 1 1 0 0 2 0 0 1 1 0 19 21 13.19 14.58 m0 = 13.43
Mikoriza mycofer (m1) I II III 1 0 0 3 3 3 2 4 4 2 2 3 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 10 11 14 6.94 7.64 9.72 m1 = 8.10
Mikoriza asal rizosfer nenas (m2) I II III 0 2 1 3 4 3 4 2 3 1 3 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 9 13 11 6.25 9.03 7.64 m2 = 7.64
= minggu setelah tanam = tanpa mikoriza = mikoriza mycofer = mikoriza asal rizosfer nenas
Tabel 14 dan Gambar 34 menunjukkan bahwa pada petak tanaman tanpa perlakuan mikoriza (m0) lebih banyak mendapat serangan penyakit busuk lunak yang berasal dari patogen tanah oleh bakteri Erwinia chrysanthemi, yaitu sebanyak
121 13.43%, sedangkan pada petak tanaman yang diinokulasi oleh mikoriza mycofer (m1) terjadi infeksi busuk lunak sebesar 8.10 %, dan tidak berbeda nyata dengan tanaman pada petak yang diinokulasi oleh mikoriza asal rizosfer nenas (m2) dengan jumlah infeksi sebesar 7.64%. Serangan penyakit busuk lunak pada m0 berbeda nyata dengan m1 dan m2 (Tabel 15). Tabel. 15. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap serangan penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya. Jumlah tanaman terinfeksi No Perlakuan penyakit busuk lunak (unit tan.) 1
m0
19.33 a
2
m1
11.67 b
3
m2
11.00 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05
Infeksi Erwinia chrysanthemi (%)
13.43 14 12 8.1
10
7.64
8 6
m0 m1 m2
4 2 0 m0
m1
m2
Perlakuan Mikoriza Keterangan:
m0 m1 m2
= tanpa mikoriza = mikoriza mycofer = mikoriza asal rizosfer nenas
Gambar 34. Persentase tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak Erwinia chrysanthemi. Tanaman yang terserang busuk lunak ditandai dengan gejala pelepah bagian bawah menjadi coklat, menggelembung, berair, dan selanjutnya titik tumbuh menjadi
122 patah. Penampilan tanaman yang terserang penyakit busuk lunak disajikan pada Gambar 35. Gejala muncul dari pangkal pelepah bawah, coklat, menggelembung dan berair
Bagian pucuk/titik tumbuh patah
Gambar 35. Penampilan tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi) Pertumbuhan Tanaman.
Hasil uji kontras ortogonal terhadap peubah
pertumbuhan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik disajikan pada Tabel 16-24. Peubah pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, panjang pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering pelepah. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik terhadap seluruh peubah yang diamati. Tabel 16-19 menunjukan bahwa pemberian mikoriza terhadap tanaman lidah buaya sudah memberikan pengaruh nyata sejak 8 minggu setelah tanam (MST) sampai akhir pengamatan (36 MST).
Hal ini tampak dari perbedaan nyata antar
nilai tengah dari peubah pertumbuhan berdasarkan hasil uji kontras ortogonal.
123 Tabe 16. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-8 Kontras m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
29.59 vs 38.67 **
8.58 vs 9.25 ** 9.09 vs 9.40 tn
3.43 vs 3.91 ** 3.86 vs 3.96 tn
1.058 vs 1.121 **
26.99 vs 32.71 **
1.114 vs 1.129 tn
31.57 vs 33.85 tn
8.51 vs 9.19 ** 8.98 vs 9.30 tn
2.93 vs 4.02 ** 3.93 vs 4.07 tn
1.052 vs 1.116 **
28.97 vs 31.42 *
1.103 vs 1.123 tn
30.65 vs 31.81 tn
35.21 vs 36.28 tn 35.21 vs 36.36 tn
8.98 vs 9.15 tn
3.93 vs 4.01 tn
1.103 vs 1.118 tn
30.65 vs 31.70 tn
8.98 vs 9.45 **
3.93 vs 4.13 tn
36.28 vs 36.36 tn
9.15 vs 9.45 tn
4.01 vs 4.13 tn
1.103 vs 1.127 tn 1.118 vs 1.127 tn
30.65 vs 31.91 tn 31.70 vs 31.91 tn
35.18 vs 35.33 tn
8.90 vs 8.93 tn
3.59 vs 3.72 tn
1.090 vs 1.097 tn
29.59 vs 30.29 tn
35.18 vs 35.84 tn
8.90 vs 9.06 tn
3.59 vs 3.82 tn
1.090 vs 1.103 tn
29.59 vs 31.17 tn
35.18 vs 36.22 tn 35.18 vs 35.80 tn
8.90 vs 9.20 tn 8.90 vs 9.06 tn
3.59 vs 3.86 tn 3.59 vs 3.80 tn
1.090 vs 1.111 tn
29.59 vs 32.19 tn
35.26 vs 36.03 tn
8.91 vs 9.13 tn
3.66 vs 3.84 tn
1.090 vs 1.104 tn 1.093 vs 1.107 tn
29.59 vs 31.21 tn 29.94 vs 31.68 tn
35.51 vs 35.77 tn
8.98 vs 9.06 tn
3.71 vs 3.79 tn
1.096 vs 1.104 tn
30.38 vs 31.24 tn
35.33 vs 35.84 tn
8.93 vs 9.06 tn
3.72 vs 3.82 tn
1.097 vs 1.103 tn
30.29 vs 31.17 tn
35.33 vs 36.22 tn
8.93 vs 9.20 tn 8.93 vs 9.13 tn 9.06 vs 9.20 tn
3.72 vs 3.86 tn 3.72 vs 3.84 tn 3.82 vs 3.86 tn
1.097 vs 1.111 tn
30.29 vs 32.19 tn
1.097 vs 1.107 tn
30.29 vs 31.68 tn
1.103 vs 1.111 tn
31.17 vs 32.19 tn
38.30 vs 39.04 tn 34.72 vs 35.95 tn 35.21 vs 36.32 tn
35.33 vs 36.03 tn 35.84 vs 36.22 tn
Panjang pelepah (cm)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata
124 Tabe 17. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah tanaman lidah buaya, minggu ke-12 Kontras m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
34.79 vs 44.37 **
9.69 vs 10.26 **
3.97 vs 4.60 **
43.76 vs 44.97 tn
10.10 vs 10.42 tn
39.28 vs 41.81 *
9.58 vs 10.23 **
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm) 33.56 vs 39.66 **
4.51 vs 4.69 tn
1.25 1.18 vs **
3.49 vs 4.70 **
1.23 vs 1.26 tn
34.07 vs 38.81 **
1.25 1.16 vs **
36.98 vs 39.73 *
41.03 vs 42.20 tn
10.07 vs 10.31 tn
4.53 vs 4.78 tn
41.03 vs 42.17 tn
10.07 vs 10.19 tn
41.03 vs 42.22 tn 42.17 vs 42.22 tn
10.07 vs 10.43 tn 10.19 vs 10.43 tn
4.53 vs 4.70 tn 4.53 vs 4.85 * 4.70 vs 4.85 tn
39.21 vs 41.23 tn
9.65 vs
9.83 tn
4.08 vs 4.38 tn
39.21 vs 42.07 **
9.65 vs 10.22 **
4.08 vs 4.51 **
39.21 vs 42.20 **
9.65 vs 10.57 **
39.21 vs 41.83 ** 40.22 vs 42.13 *
9.65 vs 10.21 ** 9.74 vs 10.40 **
40.64 vs 41.71 tn
9.93 vs 10.20 tn
4.29 vs 4.50 tn
41.23 vs 42.07 tn
9.83 vs 10.22 *
4.38 vs 4.51 tn
41.23 vs 42.20 tn
9.83 vs 10.57 **
4.38 vs 4.61 tn
41.23 vs 42.13 tn
9.83 vs 10.40 **
42.07 vs 42.20 tn
10.22 vs 10.57 tn
4.38 vs 4.56 tn 4.51 vs 4.61 tn
1.26 1.22 vs ** 1.22 vs 1.26 *
38.36 vs 40.97 *
36.98 vs 39.70 * 36.98 vs 39.76 tn 39.70 vs 39.76 tn
1.27 1.22 vs **
35.24 vs 36.98 tn
4.08 vs 4.61 ** 4.08 vs 4.50 **
1.26 vs 1.27 tn
35.24 vs 39.78 ** 35.24 vs 38.42 *
4.23 vs 4.56 **
1.24 1.18 vs **
36.11 vs 39.14 **
1.26 1.18 vs **
36.98 vs 38.50 tn
1.18 vs 1.22 *
1.24 1.18 vs ** 1.25 1.20 vs **
35.24 vs 38.50 *
36.87 vs 38.38 tn 36.98 vs 39.78 tn 36.98 vs 39.14 tn 38.50 vs 39.78 tn
1.21 vs 1.24 tn 1.22 vs 1.24 tn 1.22 vs 1.26 * 1.22 vs 1.25 tn 1.24 vs 1.26 tn
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 18 Uji peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah * / ** kontras = berbedaortogonal nyata/sangatterhadap nyata
tanaman lidah buaya, minggu ke-16 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
125
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
41.40 vs 50.60 **
10.72 vs 11.44 ** 4.91 vs 5.67 **
1.27 vs 1.36 **
37.39 vs 43.93 **
50.30 vs 50.90 tn
11.30 vs 11.59 tn
5.53 vs 5.82 tn
1.34 vs 1.38 tn
42.86 vs 45.01 tn
44.16 vs 48.66 ** 47.19 vs 49.39 *
10.65 vs 11.39 ** 4.28 vs 5.80 ** 11.16 vs 11.50 * 5.52 vs 5.94 **
1.25 vs 1.36 ** 1.32 vs 1.38 **
36.8 vs 43.40 ** 41.42 vs 44.38 *
47.19 vs 49.36 tn
11.16 vs 11.43 tn
5.52 vs 5.88 *
1.32 vs 1.37 *
41.42 vs 44.34 tn
47.19 vs 49.43 *
11.16 vs 11.58 *
5.52 vs 6.01 **
1.32 vs 1.38 **
41.42 vs 44.43 tn
49.36 vs 49.43 tn
11.43 vs 11.58 tn
5.88 vs 6.01 tn
1.37 vs 1.38 tn
44.34 vs 44.43 tn
45.35 vs 46.90 tn
10.64 s
4.90 vs 5.09 tn
1.28 vs 1.31 tn
38.71 vs 39.93 tn
45.35 vs 48.38 ** 45.35 vs 49.51 **
10.64 vs 11.38 ** 4.90 vs 5.58 ** 10.64 vs 11.84 ** 4.90 vs 6.11 **
1.28 vs 1.35 ** 1.28 vs 1.39 **
38.71 vs 42.64 ** 38.71 vs 45.73 **
45.35 vs 48.26 **
10.64 vs 11.39 ** 4.90 vs 5.60 **
1.28 vs 1.35 **
38.71 vs 42.76 **
46.13 vs 48.95 **
10.79 vs 11.61 ** 4.99 vs 5.85 **
1.29 vs 1.37 **
39.32 vs 44.18 **
46.87 vs 48.20 tn
11.01 vs 11.39 *
5.24 vs 5.60 **
1.31 vs 1.35 tn
40.68 vs 42.83 tn
46.90 vs 48.38 tn 46.90 vs 49.51 **
10.94 vs 11.38 * 5.09 vs 5.58 ** 10.94 vs 11.84 ** 5.09 vs 6.11 **
1.31 vs 1.35 tn 1.31 vs 1.39 **
39.93 vs 42.64 tn 39.93 vs 45.73 **
46.90 vs 48.95 *
10.94 vs 11.61 ** 5.09 vs 5.85 **
1.31 vs 1.37 **
39.93 vs 44.18 **
48.38 vs 49.51 tn
11.38 vs 11.84 *
1.35 vs 1.39 tn
42.64 vs 45.73 *
10.94 tn
5.58 vs 6.11 **
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 19 Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah * / ** = berbeda nyata/sangat nyata
tanaman lidah buaya, minggu ke-20 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
126
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
47.09 vs 54.64 **
11.76 vs 12.50 **
5.70 vs 6.51 **
1.40 vs 1.54 **
41.27 vs 47.58 **
54.46 vs 54.83 tn
12.35 vs 12.65 tn
6.33 vs 6.68 *
1.51 vs 1.56 tn
46.25 vs 48.90 tn
47.38 vs 53.71 ** 52.01 vs 54.55 **
11.69 vs 12.44 ** 12.20 vs 12.56 *
5.03 vs 6.64 ** 6.33 vs 6.79 **
1.40 vs 1.52 ** 1.48 vs 1.54 **
40.46 vs 47.15 ** 44.79 vs 48.33 **
52.01 vs 54.51 *
12.20 vs 12.62 *
6.33 vs 6.71 *
1.48 vs 1.54 tn
44.79 s
52.01 vs 54.60 *
12.20 vs 12.51 tn
6.33 vs 6.87 **
1.48 vs 1.55 *
44.79 vs 48.34 *
54.51 vs 54.60 tn
12.62 vs 12.51 tn
6.71 vs 6.87 tn
1.54 vs 1.55 tn
48.31 vs 48.34 tn
49.31 vs 50.43 tn
11.67 vs 11.98 tn
5.69 vs 5.94 tn
1.40 vs 1.42 tn
41.91 vs 42.90 tn
49.31 vs 53.16 ** 49.31 vs 55.60 **
11.67 vs 12.45 ** 11.67 vs 12.92 **
5.69 vs 6.42 ** 5.69 vs 6.89 **
1.40 vs 1.52 ** 1.40 vs 1.62 **
41.91 vs 46.53 ** 41.91 vs 50.57 **
49.31 vs 53.06 **
11.67 vs 12.45 **
5.69 vs 6.42 **
1.40 vs 1.52 **
41.91 vs 46.66 **
49.87 vs 54.38 **
11.82 vs 12.69 **
5.82 vs 6.66 **
1.41 vs 1.57 **
42.40 vs 48.55 **
51.23 vs 53.02 *
12.06 vs 12.45 *
6.06 vs 6.42 *
1.46 vs 1.52 *
44.22 vs 46.73 tn
50.43 vs 53.16 ** 50.43 vs 55.60 **
11.98 vs 12.45 ** 11.98 vs 12.92 **
5.94 vs 6.42 ** 5.94 vs 6.89 **
1.42 vs 1.52 ** 1.42 vs 1.62 **
42.90 vs 46.53 * 42.90 vs 50.57 **
50.43 vs 54.38 **
11.98 vs 12.69 **
5.94 vs 6.66 **
1.42 vs 1.57 **
42.90 vs 48.55 **
53.16 vs 55.60 *
12.45 vs 12.92 **
6.42 vs 6.89 **
1.52 vs 1.62 **
46.53 vs 50.57 **
48.31 *
127
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 20. Uji peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah * / **kontras = berbedaortogonal nyata/sangatterhadap nyata
tanaman lidah buaya, minggu ke-24 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
52.68 vs 59.26 **
12.59 vs 13.42 **
6.80 vs 7.65 **
1.53 vs 1.66 **
44.39 vs 50.78 **
59.00 vs 59.52 tn
13.26 vs 13.58 *
7.48 vs 7.81 tn
1.63 vs 1.69 tn
49.48 vs 52.07 tn
51.50 vs 58.92 ** 57.20 vs 59.79 **
12.57 vs 13.33 ** 13.06 vs 13.47 **
6.04 vs 7.81 ** 7.48 vs 7.97 **
1.54 vs 1.65 ** 1.60 vs 1.67 *
43.60 vs 50.33 ** 47.98 vs 51.51 **
57.20 vs 59.75 **
13.06 vs 13.55 **
7.48 vs 7.93 *
1.60 vs 1.68 *
47.98 vs 51.48 **
57.20 vs 59.82 **
13.06 vs 13.40 tn
7.48 vs 8.01 **
1.60 vs 1.66 tn
47.98 vs 51.54 **
59.75 vs 59.82 tn
13.55 vs 13.40 tn
7.93 vs 8.01 tn
1.68 vs 1.66 tn
51.48 vs 51.54 tn
54.37 vs 55.01 tn
12.57 vs 12.85 tn
6.77 vs 7.10 tn
1.53 vs 1.57 tn
45.10 vs 46.06 tn
54.37 vs 58.06 ** 54.37 vs 60.83 **
12.57 vs 13.36 ** 12.57 vs 13.79 **
6.77 vs 7.56 ** 6.77 vs 8.03 **
1.53 vs 1.64 ** 1.53 vs 1.75 **
45.10 vs 49.72 ** 45.10 vs 53.70 **
54.37 vs 57.97 **
12.57 vs 13.33 **
6.77 vs 7.56 **
1.53 vs 1.65 **
45.10 vs 49.83 **
54.69 vs 59.44 **
12.71 vs 13.57 **
6.94 vs 7.80 **
1.55 vs 1.69 **
45.58 vs 51.71 **
56.22 vs 57.92 tn
12.97 vs 13.32 *
7.17 vs 7.56 *
1.58 vs 1.66 *
47.41 vs 49.88 *
55.01 vs 58.06 ** 55.01 vs 60.83 **
12.85 vs 13.36 ** 12.85 vs 13.79 **
7.10 vs 7.56 * 7.10 vs 8.03 **
1.57 vs 1.64 * 1.57 vs 1.75 **
46.06 vs 49.72 * 46.06 vs 53.70 **
55.01 vs 59.44 **
12.85 vs 13.57 **
7.10 vs 7.80 **
1.57 vs 1.69 *
46.06 vs 51.71 **
58.06 vs 60.83 **
13.36 vs 13.79 **
7.56 vs 8.03 *
1.64 vs 1.75 **
49.72 vs 53.70 * 128
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan.a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 21. *Uji ortogonal nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah / ** =kontras berbeda nyata/sangat
tanaman lidah buaya, minggu ke-28 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
57.25 vs 63.08 **
13.35 vs 14.29 **
7.79 vs 8.71 **
1.65 vs 1.78 **
48.06 vs 54.45 **
61.83 vs 64.33 **
14.01 vs 14.58 **
8.50 vs 8.92 *
1.75 vs 1.82 *
52.81 vs 56.09 *
55.28 vs 63.09 ** 61.09 vs 64.09 **
13.42 vs 14.17 ** 13.95 vs 14.27 tn
7.07 vs 8.84 ** 8.50 vs 9.03 **
1.65 vs 1.77 ** 1.72 vs 1.79 *
47.29 vs 53.99 ** 51.51 vs 55.24 **
61.09 vs 64.20 **
13.95 vs 14.37 *
8.48 vs 9.05 *
1.72 vs 1.81 *
51.51 vs 55.78 *
61.09 vs 63.98 **
13.95 vs 14.18 tn
8.48 vs 9.00 *
1.72 vs 1.78 tn
51.51 vs 54.70 *
64.20 vs 63.98 tn
14.37 vs 14.18 tn
9.05 vs 9.00 tn
1.81 vs 1.78 tn
55.78 vs 54.70 tn
58.07 vs 59.41 tn
13.38 vs 13.77 *
7.79 vs 8.14 tn
1.65 vs 1.69 tn
48.66 vs 49.79 tn
58.07 vs 62.12 ** 58.07 vs 64.97 **
13.38 vs 14.18 ** 13.38 vs 14.59 **
7.79 vs 8.60 ** 7.79 vs 9.08 **
1.65 vs 1.76 ** 1.65 vs 1.87 **
48.66 vs 53.47 ** 48.66 vs 57.37 **
58.07 vs 62.16 **
13.38 vs 14.18 **
7.79 vs 8.60 **
1.65 vs 1.77 **
48.66 vs 53.54 **
58.74 vs 63.54 **
13.57 vs 14.38 **
7.97 vs 8.84 **
1.67 vs 1.81 **
49.22 vs 55.42 **
60.09 vs 62.19 **
13.78 vs 14.18 **
8.19 vs 8.61 **
1.70 vs 1.78 *
51.07 vs 53.58 *
59.41 vs 62.12 ** 59.41 vs 64.97 **
13.77 vs 14.18 * 13.77 vs 14.59 **
8.14 vs 8.60 * 8.14 vs 9.08 **
1.69 vs 1.76 tn 1.69 vs 1.87 **
49.79 vs 53.47 ** 49.79 vs 57.37 **
59.41 vs 63.54 **
13.77 vs 14.38 **
8.14 vs 8.84 **
1.69 vs 1.81 **
49.79 vs 55.42 **
62.12 vs 64.96 **
14.18 vs 14.59 *
8.60 vs 9.08 *
1.76 vs 1.87 **
53.47 vs 57.37 ** 129
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 22. Uji peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah * / **kontras = berbedaortogonal nyata/sangatterhadap nyata
tanaman lidah buaya, minggu ke-32 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
61.31 vs 67.10 **
14.24 vs 15.30 **
8.65 vs
9.60 **
1.77 vs 1.91 **
51.53 vs 57.89 **
66.01 vs 68.19 *
15.06 vs 15.53 **
9.40 vs
9.80 *
1.87 vs 1.96 *
56.25 vs 59.53 *
59.38 vs 67.10 ** 65.23 vs 68.03 **
14.31 vs 15.15 ** 14.84 vs 15.31 **
7.90 vs 9.29 vs
9.74 ** 9.97 **
1.77 vs 1.89 ** 1.84 vs 1.92 *
50.58 vs 57.50 ** 54.98 vs 58.76 **
65.23 vs 68.29 **
14.84 vs 15.44 **
9.29 vs 10.01 **
1.84 vs 1.94 *
54.98 vs 59.53 **
65.23 vs 67.78 *
14.84 vs 15.18 tn
9.29 vs
9.93 **
1.84 vs 1.91 tn
54.98 vs 57.98 *
68.29 vs 67.78 tn
15.44 vs 15.18 tn
10.01 vs
9.93 tn
1.94 vs 1.91 tn
59.53 vs 57.98 tn
62.28 vs 63.51 tn
14.31 vs 14.73 *
8.72 vs
9.05 tn
1.78 vs 1.80 tn
51.99 vs 53.26 tn
62.28 vs 66.01 ** 62.28 vs 68.89 **
14.31 vs 15.20 ** 14.31 vs 15.52 **
8.72 vs 8.72 vs
9.46 ** 9.88 **
1.78 vs 1.88 * 1.78 vs 2.00 **
51.99 vs 56.93 ** 51.99 vs 60.90 **
62.28 vs 66.13 **
14.31 vs 15.15 **
8.72 vs
9.46 **
1.78 vs 1.90 **
51.99 vs 57.03 **
62.89 vs 67.45 **
14.52 vs 15.36 **
8.89 vs
9.67 **
1.79 vs 1.94 **
52.63 vs 58.91 **
64.14 vs 66.20 *
14.76 vs 15.12 *
9.09 vs
9.47 *
1.83 vs 1.90 *
54.46 vs 57.08 *
63.51 vs 66.01 * 63.51 vs 68.89 **
14.73 vs 15.20 * 14.73 vs 15.51 **
9.05 vs 9.05 vs
9.46 tn 9.88 **
1.80 vs 1.88 * 1.80 vs 2.00 **
53.26 vs 56.93 * 53.26 vs 60.90 **
63.51 vs 67.45 **
14.73 vs 15.36 **
9.05 vs
9.67 **
1.80 vs 1.94 **
53.26 vs 58.91 **
66.01 vs 68.89 *
15.20 vs 15.52 tn
9.46 vs
9.88 tn
1.88 vs 2.00 tn
56.93 vs 60.90 ** 130
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi Tabe 23. *Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah / ** = berbeda nyata/sangat nyata
tanaman lidah buaya, minggu ke-36 Kontras
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah pelepah (helai)
Lebar pelepah (cm)
Tebal pelepah
Panjang pelepah
m0 vs m1 m2 m1 vs m2 a0 vs a1 a2 a3 a1 vs a2 a3 a1 vs a2 a1 vs a3 a2 vs a3 o1 vs o2 o1 vs o3 o1 vs o4 o1 vs o2 o3 o4 o1 o2 vs o3 o4 o1 o3 vs o2 o4 o2 vs o3 o2 vs o4 o2 vs o3 o4 o3 vs o4
65.25 vs 71.31 ** 70.24 vs 72.39 * 63.65 vs 71.17 ** 69.92 vs 71.80 tn 69.92 vs 72.57 * 69.92 vs 71.04 tn 72.57 vs 71.04 tn 66.15 vs 67.63 tn 66.15 vs 70.25 ** 66.15 vs 73.15 ** 66.15 vs 70.34 ** 66.89 vs 71.70 ** 68.20 vs 70.39 ** 67.63 vs 70.24 ** 67.63 vs 73.15 ** 67.63 vs 71.70 ** 73.15 vs 70.25 *
15.60 vs 16.57 ** 16.29 vs 16.84 ** 15.59 vs 16.46 ** 16.14 vs 16.63 ** 16.14 vs 16.70 ** 16.14 vs 16.55 * 16.70 vs 16.55 tn 15.67 vs 16.07 * 15.67 vs 16.47 ** 15.67 vs 16.77 ** 15.67 vs 16.44 ** 15.87 vs 16.62 ** 16.07 vs 16.42 ** 16.07 vs 16.47 * 16.07 vs 16.77 ** 16.07 vs 16.62 16.47 vs 16.77 tn
1.89 vs 2.04 ** 55.11 vs 61.53 ** 1.10 vs 2.08 * 59.89 vs 63.17 ** 1.90 vs 2.02 ** 53.94 vs 61.21 ** 1.96 vs 2.04 ** 60.07 vs 61.78 tn 1.96 vs 2.06 ** 60.07 vs 62.99 * 1.96 vs 2.03 tn 60.07 vs 60.57 tn 2.06 vs 2.03 tn 62.99 vs 60.57 tn 1.92 vs 1.91 tn 55.55 vs 56.90 tn 1.92 vs 2.00 * 55.55 vs 60.61 ** 1.92 vs 2.12 ** 55.55 vs 64.51 ** 1.92 vs 2.01 ** 55.55 vs 60.67 ** 1.91 vs 2.06 ** 56.22 vs 62.56 ** 1.96 vs 2.02 tn 58.08 vs 60.70 ** 1.91 vs 2.00 * 56.90 vs 60.61 ** 1.91 vs 2.12 ** 56.90 vs 64.51 ** 1.91 vs 2.06 ** 56.90 vs 62.56 ** 2.00 vs 2.12 ** 60.61 vs 64.51 ** Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. ; * / ** = berbeda nyata/sangat nyata
9.47 vs 10.36 ** 10.16 vs 10.56 * 8.69 vs 10.52 ** 10.05 vs 10.76 ** 10.05 vs 10.84 ** 10.05 vs 10.67 ** 10.84 vs 10.67 tn 9.54 vs 9.89 tn 9.54 vs 10.28 ** 9.54 vs 10.54 ** 9.54 vs 10.24 ** 9.71 vs 10.41 ** 9.91 vs 10.21 tn 9.89 vs 10.28 tn 9.89 vs 10.53 ** 9.89 vs 10.41 ** 10.28 vs 10.54 tn
o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi
131 Tabe 24. Uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot basah, bobot kering, dan serapan hara tajuk (N, P, K, Mg) tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik. Serapan hara N (g/tan)
Serapan hara P (g/tan)
Serapan hara K (g/tan)
Serapan hara Mg (g/tan)
Bobot basah pelepah (g)
Bobot kering pelepah (g)
m0 vs m1 m2
626.25 vs 733.89 **
52.26 vs 69.36 **
71.10 vs
80.58 **
21.46 vs 28.68 **
357.25 vs
316.40 **
48.89 vs
55.68 *
m1 vs m2
707.36 vs 760.42 **
62.77 vs 75.95 **
77.11 vs
84.05 **
26.95 vs 30.42 **
331.12 vs
301.68 *
55.92 vs
55.44 tn
a0 vs a1 a2 a3
551.30 vs 746.91 **
58.46 vs 65.40 **
61.70 vs
82.66 **
23.26 vs 27.28 **
318.71 vs
333.79 tn
42.50 vs
57.05 **
a1 vs a2 a3
720.00 vs 760.37 **
60.25 vs 67.97 **
74.46 vs
86.76 **
25.46 vs 28.19 *
327.04 vs
337.16 tn
53.71 vs
58.72 tn
a1 vs a2
720.00 vs 781.67 **
60.25 vs 69.91 **
74.46 vs
86.78 **
25.46 vs 29.27 **
327.04 vs
344.94 tn
53.71 vs
64.98 **
a1 vs a3
720.00 vs 739.07 tn
60.25 vs 66.03 **
74.46 vs
86.75 **
25.46 vs 27.11 tn
327.04 vs
329.38 tn
53.71 vs
52.47 tn
a2 vs a3
781.67 vs 739.07 *
69.91 vs 66.03 tn
86.78 vs
86.75 tn
29.27 vs 27.11 tn
344.94 vs
329.38 tn
64.98 vs
52.47 **
o1 vs o2
615.19 vs 685.56 **
57.31 vs 59.85 tn
69.52 vs
74.20 tn
22.38 vs 25.10 *
294.52 vs
301.56 tn
46.66 vs
48.67 tn
o1 vs o3
615.19 vs 704.07 **
57.31 vs 64.00**
69.52 vs
77.76 **
22.38 vs 26.89 **
294.52 vs
331.58 *
46.66 vs
53.84 *
o1 vs o4
615.19 vs 787.22 **
57.31 vs 73.49 **
69.52 vs
88.21 **
22.38 vs 30.72 **
294.52 vs
392.41 **
46.66 vs
64.49 **
o1 vs o2 o3 o4
615.19 vs 725.62 **
57.31 vs 65.78 **
69.52 vs
80.06 **
22.38 vs 27.57 **
294.52 vs
341.85 **
46.66 vs
55.67 **
o1 o2 vs o3 o4
650.38 vs 745.65 **
58.58 vs 68.74 **
71.86 vs
82.98 **
23.74 vs 28.81 **
298.04 vs
361.99 **
47.67 vs
59.17 **
o1 o3 vs o2 o4
659.63 vs 736.39 **
60.65 vs 66.67 **
73.64 vs
81.21 **
24.64 vs 27.91 **
313.05 vs
346.98 **
50.25 vs
56.58 **
o2 vs o3
685.56 vs 704.07 tn
59.85 vs 64.00 *
74.20 vs
77.76 tn
25.10 vs 26.89 tn
301.56 vs
331.58 tn
48.67 vs
53.84 tn
o2 vs o4
685.56 vs 787.22 **
59.85 vs 73.49 **
74.20 vs
88.21 **
25.10 vs 30.72 **
301.56 vs
392.41 **
48.67 vs
64.49 **
o2 vs o3 o4
685.56 vs 745.65 **
59.85 vs 68.74 **
74.20 vs
82.98 **
25.10 vs 28.81 **
301.56 vs
361.99 **
48.67 vs
59.17 **
o3 vs o4
704.07 vs 787.22 **
64.00 vs 73.49 **
77.76 vs
88.21 **
26.89 vs 30.72 **
331.58 vs
392.41 **
53.84 vs
64.49 **
Kontras
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza mycofer; m2= mikoriza asal rizosfer nenas; a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. a2 = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.; a3 = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan ; o1 = limbah ikan; o2 = limbah udang; o3 = limbah ikan terfermentasi; o4 = limbah udang terfermentasi * / ** = berbeda nyata/sangat nyata
132
Tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza (mycofer dan mikoriza asal rizosfer nenas) memberikan pertumbuhan tanaman lidah buaya yang lebih baik dan berbeda nyata dengan tanaman tanpa inokulasi mikoriza, namun antara mycofer dengan mikoriza asal rizosfer nenas tidak berbeda nyata responnya terhadap peubah yang diamati sampai 24 MST, kecuali untuk peubah panjang pelepah pada 12 MST (Tabel 17) dan lebar pelepah pada 20 MST (Tabel 19). Perlakuan pupuk anorganik juga memberikan pengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan sejak 8 MST kecuali untuk peubah tinggi tanaman. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a,1, a2, dan a3) dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0) untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Perlakuan pupuk organik pengaruhnya baru tampak nyata setelah 12 MST. Pada 12 MST ini, antara pupuk organik ikan dan udang tanpa fermentasi (o1 vs o2) tidak memberikan respon yang nyata terhadap semua peubah pertumbuhan kecuali tebal pelepah. Perlakuan pupuk organik ikan non fermentasi dengan ikan fermentasi (o1 vs o3) memberikan perbedaan yang nyata untuk semua peubah pertumbuhan, dimana pupuk organik ikan fermentasi memberikan hasil rerata yang lebih tinggi dibanding ikan tanpa fermentasi. Selanjutnya, tidak terjadi perbedaan nyata antara udang tanpa fermentasi dengan udang fermentasi (o2 vs o4) untuk semua peubah pertumbuhan kecuali tebal pelepah dan jumlah pelepah. Secara umum, pupuk organik yang difermentasi memberikan hasil rerata yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi, yang ditunjukkan dengan sangat nyatanya nilai rerata antara o1o2 vs o3o4 untuk semua peubah pertumbuhan. Namun demikian, jenis pupuk organik yang berasal dari ikan belum memberikan perbedaan nyata dengan pupuk organik yang berasal dari udang pada 12 MST ini,
133 baik yang difermentasi maupun tidak, dimana o1o3 vs o2o4 tidak nyata. Demikian juga perlakuan pupuk organik ikan fermentasi dengan udang fermentasi (o3 vs o4) belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap semua peubah pertumbuhan pada 12 MST. Perbedaan nyata antara o3 vs o4 baru tampak pada 20 MST. Pada 20 MST, sebagian besar perbandingan kontras ortogonal menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 19) Grafik yang menggambarkan perkembangan peubah pertumbuhan akibat pengaruh faktor tunggal mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik disajikan pada Gambar 36 – 50.
Tinggi tanaman (cm)
80 70 60 50
m0
40
m1
30
m2
20 10 0 8
12
16
20
24
28 26
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 36. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Gambar 36 menunjukkan bahwa tinggi tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa mikoriza. Pada 8 MST, respon tinggi tanaman terhadap perlakuan yang diberikan hanya nyata untuk perlakuan mikoriza, sedangkan perlakuan pupuk anorganik maupun organik
134 belum memberikan perbedaan yang nyata antar taraf perlakuannya.
Namun
demikian, perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas (m2) dengan mikoriza dari mycofer (m1) belum menunjukkan perbedaan nyata untuk tinggi tanaman. Perbedaan yang nyata untuk tinggi tanaman antara taraf m1 vs m2 baru mulai tampak pada 28 MST (Tabel 21) sampai akhir pengamatan 36 MST (Tabel 23).
Perlakuan pupuk
anorganik taraf a2 vs a3 tidak berbeda nyata pada 20 MST, demikian juga pupuk organik taraf o1 vs o2 tidak berbeda nyata.
Tinggi tanaman (cm)
80 70 60 a0
50
a1
40
a2
30
a3
20 10 0 8
12
16
20
28 26
24
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 37. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Tinggi tanaman (cm)
80 70 60 o1
50
o2
40
o3
30
o4
20
28
10 0 8
12
16
20
24
26 28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 38. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
135
Jumlah pelepah (helai)
18 16 14 12 10
m0
8
m1
6
m2
4 2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 39. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Jumlah pelepah(helai)
18 16 14 12 a0
10
a1
8
a2
6
a3
4 2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 40. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
136
Jumlah pelepah (helai)
18 16 14 12 10
o1
8
o2
6
o3
4
o4
2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 41. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap jumlah pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Lebar pelepah (cm)
12 10 8 6
m0 m1
4
m2
2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 42. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
137
Lebar pelepah(cm)
12 10 8 a0 6
a1 a2
4
a3 2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 43. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Lebar pelepah (helai)
12 10 8 o1 6
o2 o3
4
o4 2 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 44. Pengaruh perlakuan pupuk organik Respon lebar pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
138
Tebal pelepah (cm)
2.5 2 1.5 m0 1
m1 m2
0.5 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 45. Pegaruh perlakuan mikoriza terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Tebal pelepah (cm)
2.5 2 1.5
a0 a1
1
a2 a3
0.5 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 46. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
139
Tebal pelepah (cm)
2.5 2 1.5
o1 o2
1
o3 o4
0.5 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 47. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tebal pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Panjang pelepah (cm)
70 60 50 40 m0 30
m1
20
m2
10 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 48. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
140
Panjang pelepah (cm)
70 60 50 a0
40
a1
30
a2
20
a3
10 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 49. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
Panjang pelepah (cm)
70 60 50 40
o1
30
o2 o3
20
o4
10 0 8
12
16
20
24
28
32
36
Umur tanaman (MST)
Gambar 50. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap panjang pelepah tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST
141 Gambar 36 – 50 menunjukkan bahwa tanaman yang bermikoriza memberikan hasil rerata yang lebih tinggi untuk semua peubah dibanding tanaman tanpa mikoriza dalam setiap waktu pengamatan. Sejalan dengan pertambahan umur tanaman, terjadi perbedaan nyata antara perlakuan mikoriza m1 dan m2, yaitu mulai minggu ke 28 dengan nilai rerata tertinggi untuk perlakuan m2. Demikian juga dengan perlakuan pupuk anorganik, taraf a2 (N:P:K:Mg = 10:8:15:5 g/tan.) tampak memberikan rerata nilai peubah yang lebih tinggi dalam setiap waktu pengamatan, namun tidak berbeda nyata dengan taraf a3 (N:P:K:Mg = 20:16:30:10 g/tan) untuk semua peubah kecuali bobot basah pelepah di akhir pengamatan (36 MST). Perlakuan pupuk anorganik taraf a2 mulai berbeda nyata terhadap taraf a1 (N:P:K:Mg = 5:4:7.5:2.5 g/tan.) pada 12 MST, yaitu terhadap peubah tebal pelepah dan panjang pelepah.
Selanjutnya taraf a2 berbeda nyata sampai sangat nyata
terhadap taraf a1 untuk seluruh peubah pertumbuhan mulai 24 MST. Secara umum, kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pemberian pupuk anorganik (a1,a2,a3) memberikan hasil rerata yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0) mulai awal pengamatan di 8 MST untuk semua peubah pertumbuhan (Tabel 16). Tanaman lidah buaya di tanah gambut selanjutnya memberikan respon pertumbuhan yang baik pada kelompok pupuk organik yang difermentasi dan berbeda nyata dibanding kelompok pupuk organik tanpa fermentasi (o3o4 vs o1o2) untuk seluruh peubah pertumbuhan. Perbedaan nyata ini mulai tampak pada 12 MST,
sedangkan kelompok pupuk
organik dari jenis ikan berbeda nyata dengan kelompok pupuk organik dari jenis udang (o1o3 vs o2o4) mulai pada 20 MST untuk seluruh peubah pertumbuhan kecuali
142 panjang pelepah, dengan nilai rerata tertinggi pada kelompok pupuk organik jenis udang (Tabel 19). Pada kelompok jenis pupuk organik yang sama, pupuk ikan tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk ikan fermentasi (o1 vs o3) mulai pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan, dengan nilai rerata tertinggi pada jenis pupuk ikan fermentasi (Tabel 17). Pupuk udang tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk udang fermentasi (o2 vs o4) mulai pada 16 MST untuk semua peubah pertumbuhan (Tabel 18). Gambar 51 menunjukkan respon tanaman lidah buaya di tanah gambut yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik
Gambar 51. Respon pertumbuhan tanaman lidah buaya umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik di tanah gambut.
143 Pertumbuhan tanaman lidah buaya yang terbaik di akhir pengamatan adalah tanaman yang mendapatkan perlakuan mikoriza yang berasal dari rizosfer nenas (m2), pupuk anorganik dengan komposisi N:P:K:Mg sebesar 10:8:15:5 g/tanaman (a2), dan pupuk organik yang berasal dari limbah udang yang difermentasi (o4). Tidak terdapat pengaruh interaksi antara mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik terhadap seluruh peubah pertumbuhan yang diamati.
Kombinasi
diantara ketiga faktor tersebut (pupuk anorganik x mikoriza; pupuk anorganik x pupuk organik; mikoriza x pupuk organik) disajikan pada Gambar 52 – 63.
800 600 m0
400
m1
200
m2
0 a0 a1 a2 a3 Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
1000
1000 800 600 o1 o2 o3 o4
400 200 0 a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(b)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi
o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi
a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 52. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap bobot basah pelepah Gambar 52 menunjukkan bahwa pada semua taraf pupuk anorganik, tanaman bermikoriza memberikan hasil rerata bobot basah yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza dengan rerata tertinggi pada tanaman yang
144 mendapat mikoriza asal rizosfer nenas (a), dan tanaman yang mendapat pupuk organik udang fermentasi mengasilkan rerata bobot basah lebih tinggi, diikuti pupuk organik ikan fermentasi, pupuk udang tanpa fermentasi, dan pupuk ikan tanpa
1000
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
fermentasi (b).
800 600 m0o1 m0o2 m0o3 m0o4
400 200 0 a0
a1
a2
1000 800 600 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4
400 200 0 a0
a3
a1
a2
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a)
(b) 1000
Bobot baah pelepah (g/pelepah)
a3
800 600
m2o1 m2o2 m2o3 m2o4
400 200 0 a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(c) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 53. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya
1000
1000
800 600 400 200 0 o1
o2
o3
o4
a0 a1 a2 a3
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
145
600 400
mo
200
m1 m2
0 o1
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
Jenis pupuk organik
(a) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
800
(b) m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 54. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap bobot basah pelepah lidah buaya
Gambar 53
menunjukkan bahwa pada berbagai taraf pupuk anorganik,
perlakuan pupuk organik udang fermentasi (o4) selalu memberikan hasil bobot basah pelepah yang tertinggi, baik pada kombinasinya dengan m0, m1, maupun m2, selanjutnya diikuti oleh perlakuan pupuk organik ikan fermentasi (o3), udang tanpa fermentasi (o2), ikan tanpa fermentasi (o1). Sementara itu, pupuk anorganik taraf a2 (N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan) selalu memberikan nilai bobot basah pelepah terbaik pada setiap jenis pupuk organik (Gambar 54 a) dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2) juga selalu memberikan nilai bobot basah tertinggi pada setiap jenis pupuk organik yang diberikan (Gambar 54 b).
146
Lebar pelepah (cm)
12 10 8
m0 m1 m2
6 4 2
lebar pelepah (g)
14
0 a0
a1
a2
14 12 10 8 6 4 2 0
a3
o1 o2 o3 o4
a0
taraf pupuk anorganik (g/tan.)
a1
a2
a3
taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a) (b) Gambar 55. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya 12
10 8 6
m0o1 m0o2 m0o3 m0o4
4 2 0
Lebar pelepah (cm)
Lebar pelepah (cm)
12
10 8 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4
6 4 2 0
a0
a1
a2
a3
taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a)
a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan)
(b)
Lebar pelepah (cm)
14
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas
12 10 8 m2o1 m2o2 m2o3 m2o4
6 4 2 0 a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
(c) Gambar 56. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap lebar pelepah lidah buaya
12
12
10
10
8
lebar pelepah (cm)
Lebar pelepah (cm)
147
a0 a1 a2 a3
6 4 2
8
mo m1 m2
6 4 2 0
0 o1
o2
o3
o1
o4
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
Jenis pupuk organik
(b)
(a)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Tebal pelepah (cm)
2.5 2 1.5
m0 m1 m2
1 0.5 0 a0
a1
a2
Tebal pelepah (cm)
Gambar 57. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
2.5 2 1.5 o1 o2 o3 o4
1 0.5 0 a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(b) m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 58. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya
148
2 1.9 1.8
m0o1
1.7
m0o2
1.6
m0o3 m0o4
1.5 a0
a1
a2
Tebal pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
2.1
2.5 2 1.5 m1o1 m1o2 m1o3 m1o4
1 0.5
a3
0 a0
Taraf pupuk anorganik
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a)
(b)
Tebal elepah (cm)
2.5 2 1.5
m2o1 m2o2 m2o3 m2o4
1 0.5 0
a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan)
(c)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 59. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya
149
Tebal pelepah (cm)
2.5
2 1.5 1
a0 a1 a2 a3
0.5 0 o1
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
2 1.5
mo
1
m1 m2
0.5 0 o1
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
(a)
(b)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
70 60 50 40 30
m0
20 10
m2
m1
0 a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a) Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o3 = pupuk ikan fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
Panjang pelepah (cm)
Gambar 60. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap tebal pelepah lidah buaya
Panjang pelepah (cm)
Tebal pelepah (cm)
2.5
70 60 50 40 30 20 10 0
o1 o2 o3 o4
a0
a1
a2
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(b) m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 61. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya
70 60 50 40 30 20 10 0
Panjang pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
150
m0o1 m0o2 m0o3 m0o4 a0
a1
a2
70 60 50 40 30 20 10 0
m1o1 m1o2 m1o3 m1o4
a3
a0
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
a1
a3
Taraf pupuk anorganik (g/tan.)
(a) Panjang pelepah (cm)
a2
(b)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas
m2o1 m2o2 m2o3 m2o4
a0
a1
a2
o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi
a3
taraf pupuk anorganik (g/tan.)
a0 = tanpa pupuk anorganik; a1 = N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
(c) Gambar 62. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal pelepah lidah buaya 70
60 50 a0 a1 a2 a3
40 30 20 10 0 o1
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
(a)
Panjang pelepah (cm)
Panjang pelepah (cm)
70
60 50 40 30
m0 m1
20
m2
10 0 o1
o2
o3
o4
Jenis pupuk organik
(b)
Keterangan: m0 = tanpa mikoriza; m1= mikoriza Mycofer; m2 = mikoriza asal rizosfer nenas o1 = pupuk ikan tanpa fermentasi; o2 = pupuk udang tanpa fermentasi o3 = pupuk ikan fermentasi o4 = pupuk udang fermentasi a0 = tanpa pupuk anorganik; a2 = N:P:K:Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.
a1= N:P:K:Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan. a3 = N:P:K:Mg = 20 : 16 : 30 : 10 g/tan
Gambar 63. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap panjang pelepah lidah buaya
151 Gambar 55 – 63 menunjukkan respon peubah lebar, tebal, dan panjang pelepah yang memiliki kecenderungan yang sama dengan bobot basah pelepah, dimana perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas dan juga pupuk organik udang fermentasi memberikan hasil terbaik pada setiap taraf perlakuan pupuk anorganik. Demikian juga dengan pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0, m1, dan m2 terhadap lebar, tebal, dan panjang pelepah, semuanya memberikan nilai tertinggi untuk pupuk organik udang fermentasi, diikuti ikan fermentasi, dang tanpa fermentasi, dan ikan tanpa fermentasi. Serapan hara. Serapan hara N, P, dan Mg oleh tanaman lebih baik pada kelompok tanaman bermikoriza dan berbeda nyata dengan tanaman tanpa inokulasi mikoriza (m1m2 vs m0 = nyata), sedangkan serapan hara K lebih tinggi pada tanaman tanpa inokulasi mikoriza (m0) dan berbeda nyata dengan kelompok tanaman bermikoriza (m0 vs m1m2, Tabel 20).
Selanjutnya serapan N dan P lebih tinggi
untuk tanaman yang diinokulasi mikoriza yang berasal dari rizosfer nenas (m2) dan berbeda nyata dengan tanaman yang diinokulasi mikoriza mycofer (m1). Namun hal ini terjadi sebaliknya untuk serapan hara K, dimana tanaman yang diinokulasi oleh mikoriza mycofer (m1) lebih tinggi dibanding tanaman yang diinokulasi mikoriza asal rizosfer nenas (m2), sedangkan antara m1 dan m2 tidak berbeda nyata untuk serapan hara Mg. Kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a1, a2, a3) menghasilkan nilai serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0).
Tidak terdapat
perbedaan nyata antara tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik dengan kelompok tanaman yang mendapatkan pupuk anorganik (a0 vs a1a2a3 = tidak nyata)
152 untuk serapan hara K.
Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada taraf pupuk
anorganik a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman), yaitu masing-masing 86.76, 29.27, dan 64.98 g/tanaman dan berbeda nyata dengan taraf a0 dan a2, namun tidak berbeda nyata dengan a3. Tanaman lidah buaya memiliki serapan hara N, P, K, dan Mg yang lebih tinggi pada kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik yang difermentasi dan berbeda sangat nyata dengan kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik tanpa fermentasi (o3o4 vs o1o2= berbeda sangat nyata). Sumber pupuk organik juga berpengaruh terhadap serapan hara N, P, K, Mg, dimana pupuk organik dari jenis ikan memberikan serapan hara N, P, K, dan Mg yang lebih rendah dan berbeda nyata dibanding pupuk organik dari jenis udang (o4 vs o3 = berbeda nyata) Selanjutnya meski dari sumber pupuk organik yang sama, pupuk organik ikan tanpa fermentasi berbeda nyata dengan pupuk organik ikan fermentasi, dengan serapan hara N, P, K, dan Mg lebih tinggi pada pupuk organik ikan fermentasi (o1 vs o3 = berbeda nyata). Pupuk organik udang tanpa fermentasi juga berbeda nyata dengan pupuk udang fermentasi, dengan serapan hara lebih tinggi pada tanaman lidah buaya yang mendapat pupuk udang fermentasi (o2 vs o4 = berbeda nyata). Sedangkan antara pupuk ikan fermentasi dengan udang fermentasi berbeda nyata dengan serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi untuk pupuk udang fermentasi (o3 vs o4 = berbeda nyata). Korelasi antar peubah. Hasil perhitungan korelasi menunjukkan bahwa yang paling erat hubungan antar peubah adalah bobot basah pelepah dengan lebar pelepah dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.82. Selanjutnya serapan hara N paling
153 berkorelasi dengan bobot basah pelepah dibanding dengan peubah lainnya dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.65. Sedangkan serapan hara P dan Mg paling erat hubungannya dengan peubah bobot kering tajuk, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar r = 0.83 dan r = 0.64. Tidak ada keterkaitan yang nyata antara serapan hara K dengan seluruh peubah yang diamati dengan nilai koefisien korelasi yang sangat rendah. Kualitas tanaman. Kualitas tanaman lidah buaya dalam penelitian ini diukur dengan karakteristik kelas mutu. Kelas mutu pelepah lidah buaya untuk kepentingan komersil diukur berdasarkan bobot basah pelepah dan penampilan pelepah, apakah pelepah cacat atau terserang hama penyakit. Tanaman lidah buaya yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki beberapa unsur kualitas yang memenuhi standar kelas mutu. Hasil terbaik diperoleh dari perlakuan m2a2o4, yaitu tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas, pupuk anorganik taraf a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman), dan pupuk organik limbah udang fermentasi.
Nilai rerata
beberapa peubah dari perlakuan m2a2o4 disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Nilai rerata beberapa karakter morfologi pelepah tanaman lidah buaya hasil perlakuan m2a2o4. Ulangan Karakter morfologi I
II
III
Rerata
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
933.33
950.00
840.00
907.78
Lebar pelepah (cm)
12.20
12.00
10.93
11.71
Tebal pelepah (cm)
2.37
2.33
2.27
2.32
70.33
69.67
72.33
70.78
Panjang pelepah (cm)
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian 2007
154 Bobot basah pelepah hasil perlakuan m2a2o4 tersebut masuk dalam kriteria kelas mutu A, dimana menurut Bank BNI (2003) kelas mutu pelepah lidah buaya untuk tujuan komersil harus memenuhi syarat bobot basah pelepah minimal 800 g dan pelepah mulus tanpa cacat atau terserang hama penyakit. Sebagai pembanding, berikut ditampilkan karakter morfologi pelepah lidah buaya hasil penelitian versus standar rata-rata yang dikeluarkan oleh Aloe vera Center (AVC) (Tabel 26.). Tabel
26. Kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center (sebagai pembanding) berdasarkan karakter morfologi pelepah Hasil budidaya standar AVC (umur panen 12 bulan)
Hasil Penelitian (umur panen 9 bulan)
Bobot basah pelepah (g/pelepah)
≥ 800 (kelas mutu A)
840 – 950
11.88 (dari standar minimal)
Lebar pelepah (cm)
5–8
10.93 – 12.20
155.8
Tebal pelepah (cm)
2–3
2.27 – 2.33
-10.80
40 – 70
69.70 – 72.33
29.09
Kriteria
Panjang pelepah (cm) Kondisi fisik
Pelepah mulus tanpa cacat dan tanpa serangan hama penyakit.
Rata-rata Peningkatan/ Penurunan dari standar (%)
Pelepah mulus tanpa cacat dan tanpa serangan hama penyakit
Sumber: Aloe Vera Center dan data hasil penelitian 2007. Tabel 26 menunjukkan bahwa meski tanaman hasil penelitian berumur lebih muda dibanding hasil budidaya standar dari Aloe vera Center, ternyata mampu meningkatkan lebar pelepah dan panjang pelepah masing-masing sebesar 155.8 % dan 29.09 %. Tebal pelepah meski secara rata-rata terjadi penurunan sebesar 10.80 %, namun hasil penelitian mampu menghasilkan ketebalan pelepah rata-rata sebesar
155 2.32 cm, sehingga masih masuk dalam kisaran standar (2-3 cm), bahkan lebih tinggi dari standar minimal (2 cm). Selanjutnya untuk melihat kualitas pelepah lidah buaya berdasarkan bahan aktif dalam pelepah, dilakukan analisis kandungan protein total dan asam-asam amino. Analisis asam amino dilakukan terhadap tanaman yang mendapat perlakuan mikoriza asal rizosfer nenas (m2), tanpa pupuk anorganik (a0), pupuk organik limbah ikan fermentasi (o3), dan pupuk organik limbah udang fermentasi (o4). Hasil analisis asam amino serta perbandingannya dengan asam amino dari tanaman lidah buaya hasil budidaya standar dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan kandungan asam amino Jenis asam amino Asam aspartat
Kandungan asam amino (ppm) hasil penelitian m2a0o3 m2a0o4
Kandungan asam Peningkatan dari amino (ppm) AVC (%) AVC (sebagai pembanding) m2a0o3 m2a0o4
21.10
26.80
14.37
46.80
86.50
Asam glutamat 30.20
37.30
14.27
111.63
161.39
Serine
9.20
11.50
6.35
44.88
81.10
Histidine
4.60
6.60
5.92
-22.29
11.49
Glycine
11.70
16.40
7.80
50.00
110.26
Threonine
8.10
11.30
5.68
42.61
98.94
Arginine
8.60
10.90
5.92
45.27
84.12
Alanine
13.00
17.90
1.90
584.21
842.10
Tyrosine
7.70
7.20
3.24
137.65
122.22
Methionine
Tt
tt
1.83
Tt
tt
Valine
24.20
20.10
6.85
253.28
193.43
Phenylalaninie
10.50
12.40
4.47
134.90
177.40
I-leuchine
12.50
14.40
3.72
236.02
287.10
Leuchine
18.8
21.7
8.53
120.40
154.40
Lysine
18.2
17.9
tt
Tt
tt
Keterangan
Tidak terukur
Tidak terukur
Sumber : Data hasil penelitian 2007 dan data dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontinak (Aloe vera Center) 2004.
156 Tabel 27 menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alami mikoriza asal rizosfer nenas dengan pemanfaatan limbah ikan dan udang fermentasi mampu meningkatkan kadar asam amino yang cukup tinggi. Peningkatan terjadi hampir untuk seluruh jenis asam amino apabila merujuk kepada hasil asam amino pelepah lidah buaya yang dihasilkan oleh Aloe vera Center (sebagai pembanding), kecuali pada histidine pada perlakuan m2a0o3.
Peningkatan tertinggi terjadi pada asam
amino alanine yaitu sebesar 584.2 – 842.1 % dibanding budidaya standar dari Aloe vera Center. Perbandingan kandungan asam amino pelepah antara hasil penelitian
Kadar (ppm)
dengan hasil budidaya standar dari AVC disajikan pada Gambar 64.
40
M2A0O3
35
M2A0O4
30
AVC
25 20 15 10 5 0 Asp
Glu
Ser
His
Gly
Thr
Arg
Ala
Tyr
Val
Phe
I-leu
Leu
Jenis asam amino
Keterangan:
= perlakuan m2a0o3 = perlakuan m2a0o4 = standar AVC
m2 a0 o3 o4 AVC
= mikoriza asal rizosfer nenas = tanpa pupuk anorganik = pupuk organik ikan fermentasi = pupuk organik udang fermentasi = Aloe vera center
Gambar 64. Perbandingan kadar asam amino pelepah lidah buaya hasil penelitian pada perlakuan m2a0o3 dan m2a0o4 dengan hasil budidaya standar AVC.
157 Gambar 64 memperlihatkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik udang fermentasi menghasilkan kadar asam amino tertinggi dibanding pupuk ikan fermentasi
pada perlakuan mikoriza yang sama (asal rizosfer nenas).
Namun
demikian, keduanya mampu menghasilkan kadar asam amino yang lebih tinggi dibanding standar dari AVC. Persentase infeksi akar oleh mikoriza. Pengamatan terhadap persentase akar terinfeksi fungi mikoriza dilakukan pada umur tanaman 4 bulan dengan pertimbangan rambut akar sudah banyak terbentuk. Infeksi juga terjadi pada bibit yang tidak mendapat perlakuan mikoriza dengan nilai 3.02%, diduga infeksi terjadi oleh fungi mikoriza lain yang berasal dari
Infeksi akar (%)
tanah setempat. Perbandingan persentase infeksi disajikan pada Gambar 65.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
75.417
73.2292
m0 m1 m2
3.021
m0
m1
m2
Perlakuan mikoriza Keterangan:
m0 m1 m2
= tanpa mikoriza = mikoriza mycofer = mikoriza asal rizosfer nenas
Gambar 65. Persentase akar yang terinfeksi mikoriza pada perlakuan tanpa mikoriza, mikoriza mycofer, dan mikoriza asal rizosfer nenas
158 Gambar 66 dan 67 membuktikan bahwa tanaman lidah buaya berhasil diinokulasi dan diinfeksi oleh mikoriza dengan indikator adanya hifa, vesikula, dan arbuskula dalam jaringan akar terinfeksi. Persentase ketergantungan tanaman terhadap Mikoriza. Ketergantungan tanaman lidah buaya terhadap mikoriza (Percent Growth Respon) adalah sebesar 19.94% untuk mikoriza Mycofer, dan 26.04% untuk mikoriza asal rizosfer nenas.
Arbuskula pada m1
Arbuskula pada m1
Arbuskula pada m2
Arbuskula pada m1
Gambar 66. Kolonisasi akar oleh mikoriza. Tampak struktur arbuskula yang ditemukan dari hasil pewarnaan pada akar yang terinfeksi mikoriza mycofer (m1) dan mikoriza asal rizosefer nenas (m2)
159
Hifa pada m1
Hifa pada m2
Hifa pada m1
vesikula pada m2
Hifa pada m1
Hifa pada m1
Gambar 67. Kolonisasi akar oleh mikoriza. Tampak struktur hifa dan vesikula yang ditemukan dari hasil pewarnaan pada akar yang terinfeksi mikoriza mycofer (m1) dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2)
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah gambut asal rizosfer nenas memiliki propagul alami mikoriza yang potensial untuk dikembangkan dan diaplikasikan pada tanaman lidah buaya di tanah gambut. Hal ini ditunjang oleh kerapatan spora yang cukup tinggi dengan nilai rata-rata 171.8 spora per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas.
Jenis mikoriza yang diketahui adalah dalam tiga
kelompok genus, yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Berdasarkan hasil penelitian ini, tanah gambut asal rizosfer nenas dapat langsung diaplikasikan sebagai sumber propagul alami mikoriza guna mendukung pertumbuhan tanaman,
dengan jumlah propagul infektif sebesar 1149.74 dalam
setiap 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
160 Sykorova et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa propagul mikoriza yang berasal dari rizosfer
tumbuhan di lapangan dapat langsung digunakan sebagai sumber
propagul, meski tanpa dilakukan trapping atau perbanyakan terlebih dahulu. Salah satu alasannya adalah bahwa tanaman yang digunakan dalam trapping memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanaman asli di lapangan dimana mikoriza bersimbiosis. Di samping itu, jumlah spora yang banyak hasil ekplorasi spora dari rizosfer nenas dalam penelitian ini mengindikasikan potensi penerapan langsung inokulum alami pada tanaman. Mengingat penelitian dilakukan di lapangan, strerilisasi terhadap jenis mikoriza yang digunakan juga tidak mungkin dilakukan secara efektif, dengan demikian, salah satu tujuan trapping untuk memperoleh jumlah spora yang banyak dengan jenis tertentu sesuai yang diharapkan menjadi tidak efektif. Dengan demikian penerapan langsung inokulum dari rizosfer nenas merupakan langkah yang lebih efektif. Aplikasi mikoriza pada tanaman lidah buaya di tanah gambut juga berhasil menekan serangan penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi), merupakan patogen akar yang banyak ditemukan pada tanaman lidah buaya yang ditanam di lahan gambut. Ketahanan tanaman bermikoriza terhadap serangan penyakit busuk lunak
ini berbeda nyata dengan tanaman tanpa inokulasi mikoriza. Penekanan
terhadap serangan penyakit busuk lunak ini mencapai 65.64% untuk mikoriza mycorfer dan 75.73% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Ketahanan tanaman bermikoriza terhadap serangan penyakit akar ini sesuai dengan hasil penelitian Cordier (1998) yang menunjukkan bahwa akar tomat yang bermikoriza dapat mengurangi nekrosis akar hingga 79.2% ketika diinokulasi oleh Phytophthora parasitica, jumlah hifa patogen dapat dikurangi hingga 88.5 %
161 dibanding akar-akar tomat yang tidak bermikoriza. Serangan P. parasitica juga dapat berkurang dengan inokulasi fungi mikoriza Gigaspora margarita atau Glomus macrocarpum pada jeruk (Gunawan, 1993). Kapas yang bermikoriza dapat lebih bertahan dari infeksi patogen Thielaviopsis basicola (Gunawan, 1993). Produksi tanaman tomat juga lebih baik hasilnya bila diinokulasi dengan mikoriza dibanding tanpa mikoriza dan mempunyai ketahanan terhadap penyakit layu fusarium (Sastrahidayat 1990). Sedangkan Hayman (1982) membuktikan bahwa inokulasi VAM pada tanaman kopi meningkatkan
toleransi tanaman tersebut terhadap
Pratylencus coffea. Penggunaan isolat mikoriza arbuskula juga mengendalikan serangan nematoda Meloidogyne spp yang merupakan penyakit bengkak akar pada tomat (Santosa 2004).
Ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar ini
disebabkan karena mikoriza mempunyai kemampuan kompetisi dan daya adaptasi yang tinggi di rhizosfer dan juga mampu menghasilkan senyawa-senyawa antibiotik, hormon dan zat pengatur tumbuh. Mikoriza arbuskula diketahui memiliki fungsi penting dalam mengurangi penyakit akar tanaman.
Banyak peneliti melaporkan bahwa mikoriza arbuskula
bersifat antagonistik terhadap serangan patogen akar seperti Fusarium oxysporum (Dehne dan Schonbeck 1979; Caron & Fortin 1986; St-Arnaud et al. 1997; Filion, StArnaud & Fortin, 1999), Phytophthora sp (Cordier et al. 1996; Trotta et al. 1996), Rhizoctonia solani (Yao et al. 2002), dan Phytium ultimum (Calvet et al. 1993). Cara kerja mikoriza arbuskula sebagai biokontrol diasumsikan berinteraksi langsung dengan patogen. Mikoriza juga dihubungkan perannya sebagai trigger reaksi-reaksi pertahanan tanaman terhadap patogen (Azcon et al. 1996; Whipps 2004).
162 Hasil penelitian Bharadwaj (2007), menunjukkan bahwa interaksi antara fungi mikoriza arbuskula dengan bakteri dapat menekan serangan patogen akar Erwinia carotovora var carotovora , Phytophthora infestans,
Rhizoctonia solani dan
Verticillium dahliae, yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas kentang. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa mikoriza arbuskula memiliki aktivitas antagonistik terhadap patogen. Sifat antagonistik ini diukur dengan jumlah potongan akar yang busuk dan pengurangan jaringan akar yang busuk akibat diinokulasi dengan mikoriza. Produksi enzim-enzim ekstraselular dan senyawa bioaktif dari mikoriza diduga memberikan pengaruh penghambatan perkembangan penyakit. Pemberian mikoriza terhadap tanaman lidah buaya sudah memberikan pengaruh nyata sejak 8 MST sampai akhir pengamatan (36 MST).
Kelompok
tanaman bermikoriza baik yang berasal dari mycofer maupun yang berasal dari rizosfer nenas memberikan pertumbuhan tanaman lidah buaya yang lebih baik dan berbeda nyata dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza, yang ditunjukkan dengan tingginya nilai rerata untuk hampir pada semua peubah pertumbuhan.
Namun
demikan, sampai 24 MST belum terlihat perbedaan nyata antara mikoriza mycofer dengan mikoriza asal rizosfer nenas kecuali untuk peubah panjang pelepah pada 12 MST dan lebar pelepah pada 20 MST. Peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya bermikoriza berhubungan dengan tingkat serapan tanaman yang lebih baik pada tanaman bermikoriza dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza.
Berdasarkan hasil uji kontras,
kelompok tanaman bermikoriza (m1 dan m2) memiliki serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza (m0). Sedangkan serapan hara K lebih tinggi pada tanaman tanpa inokulasi mikoriza
163 dan berbeda nyata dengan kelompok tanaman bermikoriza. Hal ini dapat dipahami karena tinggiya kadar K pada abu janjang kelapa sawit yang diberikan pada tanah sebelum penanaman lidah buaya, sehingga efektivitas mikoriza kurang berperan dalam meningkatkan serapan hara K. Di samping itu, sedikit sekali hasil penelitian yang melaporkan bahwa mikoriza dapat meningkatkan serapan K pada tanaman. Peningkatan serapan hara N pada kelompok tanaman bermikoriza adalah sebesar 13.33% dan berbeda sangat nyata dengan tanaman tanpa mikoriza. Serapan hara P juga meningkat dengan inokulasi mikoriza, dengan nilai peningkatan sebesar 33.64% dan berbeda sangat nyata dibanding tanaman tanpa mikoriza. Peningkatan serapan juga terjadi pada hara Mg, yaitu
sebesar 13.89% dengan memberikan
mikoriza pada tanaman. Serapan hara yang lebih tinggi tersebut telah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman, sehingga tanaman bermikoriza memberikan nilai rerata
pertumbuhan yang lebih baik dibanding
tanaman tanpa mikoriza (tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah). Akar tanaman lidah buaya memiliki bentuk perakaran serabut dengan luas permukaan yang besar. Morfologi akar tanaman memiliki peranan penting dalam memaksimalkan penyerapan P. Mikoriza mampu meningkatkan akar dalam mengeksplorasi tanah secara lebih luas (Schactman et al. 1998). Dijelaskan oleh Marschner (1992) bahwa infeksi
oleh fungi mikoriza arbuskula menyebabkan
perubahan pertumbuhan dan aktivitas akar tanaman melalui terbentuknya miselia eksternal yang menyebabkan peningkatan serapan hara dan air. Dijelaskan lebih lanjut oleh Smith dan Read (1997) bahwa hifa dari mikoriza dapat menyebar hingga lebih dari 25 cm dari akar, sehingga meningkatkan kemampuan eksplorasi tanah
164 untuk mendapatkan hara.
Akar yang berkoloni dengan mikoriza mampu
meningkatkan aliran P sebesar 3 – 5 kali lebih cepat dibanding tanpa inokulasi mikoriza dengan laju 10-11 mol/m/s. Serapan N oleh mikoriza berkaitan dengan aktivitas hifa extraradikal mikoriza menyerap NH4+ , NO3- , dan asam amino melalui alat pengangkut dan pompa proton ATPase (Breuninger et al., 2004). Percobaan terakhir menunjukkan bahwa NO3- dan NH4+ diasimilasi menjadi arginin pada ujung hifa, ditransfer ke tanaman, dan
kemungkinan ditransfer sebagai NH3 pada interface tanaman –
mikoriza (Govindarajulu et al. 2005). Serapan hara P oleh mikoriza arbuskula melalui hifa
dipengaruhi oleh transfer karbon seperti heksosa dari tanaman inang
kepada mikoriza melalui interface mikoriza. P disimpan di vakuola dalam hifa ekstraradikal (Bucking & Shachar-Hill 2005). Selanjutnya serapan N dan P lebih tinggi untuk tanaman yang diinokulasi mikoriza yang berasal dari rizosfer nenas (m2) dan berbeda nyata dengan tanaman yang diinokulasi mikoriza mycofer (m1). Hal ini diduga mikoriza asal rizosfer nenas dalam jangka panjang lebih mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan mikro setempat, mengingat inokulum diambil dari rizosfer tanaman nenas di sekitar lokasi penelitian. Perlakuan pupuk anorganik juga memberikan pengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan sejak 8 MST kecuali untuk peubah tinggi tanaman. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a,1, a2, dan a3) dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0) untuk peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah. Kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a1, a2, a3)
165 menghasilkan nilai serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0).
Tidak terdapat
perbedaan nyata antara tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik dengan kelompok tanaman yang mendapatkan pupuk anorganik (a0 vs a1a2a3 = tidak nyata) untuk serapan hara K.
Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada taraf pupuk
anorganik a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman), yaitu masing-masing 86.76, 29.27, dan 64.98 g/tanaman dan berbeda nyata dengan taraf a0 dan a1, namun tidak berbeda nyata dengan a3.
Tidak berbeda nyatanya serapan hara K pada tanaman
tanpa pupuk anorganik dibanding kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik disebabkan karena pada tanah sudah mengandung unsur hara K akibat pemberian abu janjang kelapa sawit yang disebar merata pada tanah dengan kandungan K yang cukup tinggi (K2O = 21.15%). Di samping berbeda terhadap peubah pertumbuhan yang diamati tersebut, penampilan secara fisik tanaman lidah buaya yang tidak mendapat perlakuan pupuk anorganik tampak lebih pucat di awal-awal pertumbuhan. Hal ini diduga tanaman kekurangan unsur Nitrogen. Untuk mempertahankan sukulensinya, tanaman memerlukan unsur hara N yang banyak. Seperti dikemukakan oleh Poerwowidodo (1992) bahwa pemberian nitrogen yang tinggi mempercepat pengubahan karbohidrat menjadi protein dan kemudian diubah menjadi protoplasma dan sebagian kecil dipergunakan untuk menyusun dinding sel. Pengaruh nitrogen dalam meningkatkan protoplasma menyebabkan peningkatan ukuran sel, daun menjadi lebih sukulen, dan meningkatkan kandungan air
akibat meningkatnya kandungan air protoplasma.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Suryowidodo (1988) bahwa kualitas gel lidah buaya dipengaruhi oleh kadar klorofil daun, dimana kadar klorofil yang tinggi akan
166 menghasilkan warna yang lebih hijau pada daun dan akan menghasilkan mutul gel yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik dari pupuk anorganik adalah pada taraf a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman). Peningkatan taraf pupuk anorganik yang lebih tinggi lagi dari taraf a2 tidak memberikan nilai rerata pertumbuhan dan serapan hara yang lebih baik. Hasil yang sama ditunjukan oleh Linderman dan Davis (2000), dimana adanya simbiosis tanaman dengan mikoriza arbuskula dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Pupuk organik yang difermentasi memberikan hasil rerata yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi, yang ditunjukkan dengan sangat nyatanya nilai rerata antara o1o2 vs o3o4 untuk semua peubah pertumbuhan. Peningkatan nilai rerata pertumbuhan termasuk bobot kering pada tanaman yang mendapat pupuk organik fermentasi ini sejalan dengan peningkatan serapan hara N, P, K, dan Mg yang lebih tinggi pada kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik yang difermentasi dan berbeda sangat nyata dengan kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik tanpa fermentasi (o3o4 vs o1o2= berbeda sangat nyata.
Diduga pupuk organik yang difermentasi mengalami hidrolisis yang lebih
efektif dari bahan-bahan penyusun limbah ikan/udang, sehingga memberikan sumbangan hara yang lebih tinggi bagi pertumbuhan tanaman.
Keadaan ini
didukung oleh tingginya tingkat serapan hara N, P, K, dan Mg untuk tanaman yang mendapat pupuk organik fermentasi, yaitu masing-masing 82.98, 28.21, 361.99, dan 59.17 g/tan., dan mampu meningkatkan seluruh peubah pertumbuhan, yaitu lebar pelepah (7.2%), panjang pelepah (11.38%), bobot basah pelepah (14.65 %), dan
167 bobot kering tajuk (17.34 %) dan berbeda sangat nyata dibanding tanaman yang mendapat pupuk organik tanpa fermentasi. Sebagaimana hasil yang ditunjukkan oleh Smagula dan Scott (1995) bahwa pupuk organik hasil hidrolisis dari pupuk limbah ikan secara efektif mampu meningkatkan konsentrasi N, P, K daun lowbush blueberry (Vaccinium angustifolium Ait.) dibanding pemberian pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik limbah ikan terhidrolisis pada kadar 67.2 kg/ha meningkatkan kepadatan kuncup bunga dan peningkatan persentase hasil dibanding kontrol . Hasil analisis terhadap limbah ikan dan udang menunjukkan bahwa kelompok ikan/udang fermentasi memiliki nilai keunggulan unsur hara yang dikandungnya. Pupuk organik ikan fermentasi memiliki kandungan P2O5, K2O, dan Ca, serta unsur mikro Zn yang lebih besar dibanding pupuk organik ikan tanpa fermentasi, yaitu masing-masing sebesar 0.17, 0.8, dan 0.8 % serta 42 ppm.
Pupuk organik udang
fermentasi memiliki kandungan Ca dan Zn yang lebih tinggi dibanding pupuk organik udang tanpa fermentasi dengan nilai kandungan masing-masing sebesar 0.15% dan 35 ppm. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa limbah ikan atau udang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pupuk organik dengan sumbangan perbaikannya pada hampir seluruh peubah pertumbuhan dan kualitas tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pudjiono et al. (2005) yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk limbah udang membantu dalam proses fisiologi tanaman murbei dan berpengaruh nyata pada parameter pertumbuhan, jumlah daun dan jumlah cabang pada dosis 1000 g/tan. Pemberian pupuk limbah udang mempunyai kecenderungan meningkatkan pertumbuhan lebih baik pada pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, jumlah
168 cabang, bobot daun dan bobot cabang seiring dengan peningkatan pemberian dosis pupuk. Chaniago et al. (2004) juga membuktikan bahwa campuran pupuk organik limbah ikan terfermentasi dan pupuk anorganik memberikan hasil yang paling baik untuk pertumbuhan jagung dan tanaman hias Aglonema spp, sedangkan untuk kangkung hasil yang lebih baik adalah perlakuan pemberian 100% pupuk organik limbah ikan. Pemanfaatan limbah ikan terfermentasi sebagai pupuk juga dibuktikan oleh Cappiello (1993), yang membuktikan bahwa pupuk hasil hidrolisis ikan fermentasi dapat meningkatkan pertumbuhan pucuk dan batang spesies tumbuhan berkayu Acer rubrum dan Pseudotsuga menzeisii. Dibuktikan lebih lanjut oleh Palada et al. (1994) bahwa limbah ikan juga dapat dijadikan sebagai pupuk organik pada tanaman sayuran dan mengurangi pemakaian pupuk anorganik. Aspek kualitas pelepah merupakan persyaratan mendasar dalam merakit teknologi budidaya tanaman lidah buaya. Kualitas pelepah terkait dengan aspek pemasaran. Kelas mutu pelepah lidah buaya untuk kepentingan komersil diukur berdasarkan bobot basah pelepah dan penampilan pelepah, apakah pelepah cacat atau terserang hama penyakit, dan terakhir kandungan asam amino pada pelepah. Hasil penelitian menunjukkan kualitas lidah buaya pada penelitian ini lebih baik dibanding pelepah hasil budidaya standar dari Aloe vere Center (AVC). Terjadi peningkatan lebar pelapah dan panjang pelepah masing-masing sebesar 77.70 % dan 29.09 %, sedangkan tebal pelepah masuk dalam kisaran standar (2-3 cm). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alami mikoriza asal rizosfer nenas dengan pemanfaatan limbah ikan dan udang fermentasi mampu meningkatkan kadar asam amino yang lebih tinggi dibanding hasil budidaya
169 standar dari AVC. Peningkatan terjadi hampir untuk seluruh jenis asam amino, kecuali pada histidine pada perlakuan m2a0o3. Peningkatan tertinggi terjadi pada asam amino alanine yaitu sebesar 584.2 – 842.1 % dibanding budidaya standar AVC. Tanaman lidah buaya dalam penelitian ini diketahui mampu diinfeksi oleh fungi mikoriza arbuskula, baik yang berasal dari mycofer maupun yang berasal dari rizosfer nenas. Ini dibuktikan dengan terjadnya infeksi oleh mikoriza pada akar tanaman lidah buaya sebesar 73.23% untuk mikoriza mycofer, dan 75.42% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Infeksi ditandai dengan adanya jaringan hifa, vesikel, dan arbuskula pada jaringan akar. Berdasarkan bobot kering tanaman, dapat dihitung persentase ketergantungan tanaman lidah buaya terhadap mikoriza (Percent Growth Respon,) sebesar 19.94% untuk mikoriza mycofer, dan 26.04% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Dalam penelitian ini mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik masingmasing memberikan pengaruh pada seuruh peubah pertumbuhan yang damati, namun demikian tidak terdapat pengaruh interaksi antara mikoriza dengan pupuk anorganik, mikoriza dengan pupuk organik, dan interaksi ketiga faktor (mikoriza x pupuk anorganik x pupuk organik). Diduga bahwa taraf dosis pupuk anorganik maupun organik yang diberikan pada penelitian ini berada pada kisaran yang cukup tinggi yang membuat aktivitas mikoriza menjadi rendah. Seperti dijelaskan oleh Morgan (2005) bahwa mikoriza akan lebih mendukung pertumbuhan tanaman pada kondisi tanaman kekurangan hara seperti P, dan N, dan hubungan simbiotik antara tanaman dengan mikoriza akan lebih menguntungkan pada kondisi tersebut. Dijelaskan lebih lanjut oleh Swift (2004) bahwa keuntungan yang tinggi dari simbiosis mikoriza
170 dengan tanaman diperoleh pada tanah yang defisien P dan rendah pada tanah yang ketersediaan P-nya tinggi. Postma et al. (2007) juga menyatakan bahwa kolonisasi akar oleh FMA dapat menguntungkan pertumbuhan tanaman pada tanah masam dan miskin unsur hara. Melihat dari kenyataan tersebut maka peran mikoriza dalam mengefisiensikan pemberian hara pada tanaman tidak terjadi. Dalam hal ini tanaman mampu memperoleh dan menyerap hara yang tersedia, meskipun di satu sisi mikoriza juga turut berperan dalam proses penyerapan hara.
Namun demikian tanaman tidak
terlalu bergantung pada mikoriza dalam proses penyerapan hara. Hal ini terbukti dari rendahnya tingkat ketergantung tanaman terhadap mikoriza dengan nilai sebesar 19.94% dan 26.04% untuk mikoriza Mycofer dan mikoriza asal rizosfer nenas. Alasan lain yang turut mendukung terhadap fenomena tidak terjadinya pengaruh interaksi antara mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik terhadap peubah pertumbuhan adalah bahwa mikoriza dalam hal ini diaplikasikan pada tanah organik (gambut).
Sejauh ini belum diketahui secara pasti dan sangat terbatas
literatur yang menerangkan bagaimana peran sesungguhnya dari mikoriza pada tanah organik berkaitan dengan proses penyerapan hara dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Beda dengan tanah mineral, dimana mikoriza berperan terhadap proses penyerapan hara dan mampu mendukung pertumbuhan tanaman pada kondisi tanaman mengalami defisiensi hara, terutama P. Pada tanah mineral, setidaknya ada 3 tahapan bagaimana pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara. Pada tahap pertama, terjadi modifikasi kimia oleh mikoriza terhadap akar tanaman, sehingga tanaman mengeksudasi asam-asam organik dan enzim fosfatase asam yang memacu proses
171 mineralisasi P. Eksudasi akar tersebut terjadi sebagai respon tanaman terhadap kondisi tanah yang kahat P, yang mempengaruhi kimia rizosfer (Marschner 1995). Tahap selanjutnya mikoriza memperpendek jarak difusi P ke permukaan akar. Difusi merupakan mekanisme utama bagi pergerakan P ke permukaan akar akibat perbedaan gradien konsentrasi, berlangsung sangat lambat. Jarak difusi tersebut dapat diperpendek dengan adanya hifa eksternal mikoriza (Bolan 1991). Terakhir, akar bermikoriza, masih mampu menyerap hara P sekalipun konsentrasi ion fosfat berada di bawah konsentrasi minimum yang dapat diserap oleh akar (Bolan 1991). Proses ini ini terjadi karena afinitas hifa eksternal yang lebih tinggi atau peningkatan daya tarik-menarik ion-ion fosfat yang menyebabkan pergerakan P lebih cepat ke dalam hifa FMA (Smith & Read 1997; Swift 2004). Mekanisme seperti ini belum pernah dilaporkan apakah terjadi atau tidak pada tanah-tanah organik. Efisensi pupuk akibat perlakuan mikoriza biasanya identik dengan perlakuan pupuk P secara tunggal. Namun dalam penelitian ini, pupuk anorganik merupakan campuran dari empat jenis pupuk, yaitu N, P, K, dan Mg. Hal ini juga diduga sebagai salah satu penyebab mengapa tidak terjadi interaksi antara mikoriza dengan pupuk anorganik terhadap peubah pertumbuhan tanaman.
Meskipun dari hasil
serapan hara diketahui bahwa N, P, dan Mg meningkat akibat pemberian mikoriza dibanding tanaman tanpa mikoriza, namun tanaman tanpa mikoriza lebih tinggi serapan K nya dibanding tanaman bermikoriza, sedangkan K merupakan bagian dari paket pupuk anorganik yang diberikan sebagai perlakuan dan diukur pengaruhnya terhadap peubah pertumbuhan. Antara pupuk anorganik dengan pupuk organik juga tidak terdapat pengaruh interaksinya terhadap semua peubah pertumbuhan yang diamati, karena pupuk organik dan pupuk anorganik dalam hal ini bersifat saling
172 melengkapi bagi pertumbuhan tanaman, bersifat aditif dan tidak saling bergantung satu sama lainnya.
Kesimpulan 1. Inokulasi mikoriza dapat menekan serangan penyakit busuk lunak (Erwinia chrysanthemi) pada tanaman lidah buaya yang ditanam pada tanah gambut. Penekanan terhadap serangan penyakit busuk lunak ini mencapai 65.64% untuk mikoriza mycofer dan 75.73% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. 2. Peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya bermikoriza
berhubungan
dengan tingkat serapan tanaman yang lebih baik pada tanaman bermikoriza dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza. Peningkatan serapan hara N, P, dan Mg pada kelompok tanaman bermikoriza masing-masing sebesar 13.33, 33.64, dan 13.89 % dibanding kontrol. 3. Kelompok tanaman yang mendapat perlakuan pupuk anorganik (a1, a2, a3) menghasilkan nilai serapan hara N, P, dan Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tanaman yang tidak mendapat pupuk anorganik (a0). Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada taraf pupuk anorganik a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.), yaitu masing-masing 86.78, 29.27, dan 64.98 g/tanaman. 4. Tingginya tingkat serapan hara N, P, K, dan Mg untuk tanaman yang mendapat pupuk organik fermentasi, yaitu masing-masing
82.98, 28.21, 361.99, dan
59.17 g/tanaman, mampu meningkatkan seluruh peubah pertumbuhan, yaitu tinggi tanaman (7.2%), jumlah pelepah (4.7%), lebar pelepah (7.2%), tebal pelepah (7.9%), panjang pelepah (11.28%), bobot basah pelepah (14.65%), dan bobot kering tajuk (17.34%) dibanding tanaman yang mendapat pupuk organik tanpa fermentasi.
173 5. Inokulasi mikoriza asal rizosfer nenas dengan pemanfaatan limbah ikan atau udang fermentasi mampu meningkatkan kadar asam amino yang lebih tinggi dibanding asam amino pada pelepah hasil budidaya standar dari Aloe vera Center. Peningkatan terjadi hampir untuk seluruh jenis asam amino, kecuali pada histidine pada perlakuan m2a0o3. Peningkatan tertinggi terjadi pada asam amino alanine yaitu sebesar 584.2 – 842.1 % dibanding budidaya standar Aloe vera Center.
PEMBAHASAN UMUM Pada Penelitian I, pemberian abu janjang kelapa sawit pada tanah gambut mampu meningkatkan kadar hara P, K, dan Mg. Kadar P dan K meningkat pada ketiga lapisan kolom, yaitu lapisan 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm.
Sedangkan kadar
Mg, peningkatan hanya terjadi pada lapisan pertama ( 0 – 10 cm). Sebaliknya terjadi penurunan kadar N total pada lapisan permukaan (0 – 10 cm). Kenaikan kadar P, K, dan Mg juga terjadi pada filtrat cucian gambut. Peningkatan kadar P, K, dan Mg pada bahan gambut serta filtratnya akibat pemberian abu janjang kelapa sawit disebabkan suplai langsung unsur hara tersebut dari abu janjang kelapa sawit. Peningkatan kadar P, K, dan Mg tidak diikuti dengan peningkatan kadar N. Terjadi penurunan kadar N terutama di lapisan permukaan (0 10 cm). Mengingat menurunnya kandungan N total akibat pemberian abu janjang kelapa sawit hanya terjadi di lapisan permukaan, kehilangan melalui proses volatilisasi dengan penguapan dalam bentuk amoniak akibat pH yang meningkat dapat diduga sebagai penyebab utama kehilangan N. Pemberian abu janjang kelapa sawit juga sangat nyata meningkatkan pH gambut pada setiap kolom lapisan, dengan peningkatan terbesar pada lapisan 0 – 10 cm dan filtratnya, yaitu masing-masing dari pH 4.05 menjadi 7.49 dan dari 3.93 menjadi 6.5. Peningkatan pH media dan filtrat pada percobaan ini disebabkan oleh tingginya nilai pH dari abu janjang kelapa sawit yang diberikan, yaitu sebesar 10.46. Diketahui juga bahwa peningkatan kadar hara P, K, dan Mg lebih terakumulasi pada kolom lapisan permukaan (0 – 10 cm). Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan bahan gambut dalam meretensi hara yang diberikan berada pada kisaran permukaan atau pada lapisan 0 – 10 cm, sebagian lagi tercuci pada lapisan
175 yang lebih dalam atau terakumulasi pada filtrat. Di samping itu, pemberian dosis abu janjang kelapa sawit di atas 50g/tabung tidak lagi meningkatkan kadar hara P, K, dan Mg pada setiap lapisan.
Peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit pada
tingkatan yang lebih ekstrim (300 g/tabung) juga mengakibatkan terdispersinya bahan gambut, sehingga secara fisik tanah menjadi tidak porous lagi.
Seperti
dijelaskan oleh Hayes & Himes (1997) bahwa bahan organik yang larut dalam alkalin akan terekstraksi termasuk bahan humat pada pH tinggi. Hasil penelitian I mengindikasikan bahwa perlu pengulangan pemberian abu apabila abu diaplikasikan pada tanaman di tanah gambut. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi kehilangan hara akibat pencucian ke lapisan yang lebih dalam selain diserap oleh tanaman. Dengan demikian, pada penelitian II, selain ingin diketahui berapa dosis optimum abu janjang kelapa sawit yang terbaik bagi pertumbuhan tanaman, juga ingin diketahui kapan waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit yang tepat bagi tanaman. Pada percobaan II, pemberian berbagai taraf dosis abu janjang kelapa sawit dan waktu pengulangan pemberian abu terhadap tanaman lidah buaya,
tampak
bahwa abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun sampai pada taraf tertentu terjadi penurunan pertumbuhan sejalan dengan peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit pada kadar yang lebih tinggi lagi dari dosis optimum. Ini menggambarkan bahwa respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis bersifat kuadratik. Faktor tunggal dari dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh terhadap peubah jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah, sedangkan interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan
176 pemberian abu janjang kelapa sawit berpengaruh terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering pelepah dan bersifat kuadratik untuk ketiga peubah pertumbuhan tersebut.
Dari hasil percobaan tersebut diketahui bahwa untuk
mendapatkan bobot basah pelepah tanaman lidah yang baik, diperlukan dosis abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman, sebagai dosis optimum, dengan pengulangan pemberian abunya pada 3 MST. Peningkatan peubah pertumbuhan akibat pemberian abu janjang kelapa sawit dikarenakan adanya suplai langsung unsur hara dari abu janjang kelapa sawit. Abu janjang kelapa sawit dalam penelitian ini berfungsi sebagai sumber hara P, K, Mg, dan Ca, dengan kandungan hara yang cukup tinggi (P2O5 = 2.42%; K2O = 21.15 %; MgO = 2.46%; Ca = 2.22%). Oleh karena itu, bahasan mengenai peningkatan pertumbuhan tanaman akibat pemberian abu janjang kelapa sawit tidak terlepas dari kandungan hara yang ada pada abu janjang kelapa sawit tersebut. Kandungan fosfor yang cukup tinggi pada bahan abu janjang kelapa sawit telah mampu mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya. Fosfor merupakan hara makro esensial yang memegang peranan penting dalam proses hidup seperti fotosintesis, metabolisme karbohidrat, dan proses alih energi di dalam tubuh tanaman (Buchanan et al. 2000; Terry & Ulrich, 1993). Fosfor juga merupakan bahan penyusun fosfolipid seperti lesitin dan kolin, yang memegang peranan penting dalam hal integritas membran (Gardner et al. 1985).
Unsur hara K yang berasal dari abu
janjang kelapa sawit ini juga mampu memberikan hasil pertumbuhan yang baik pada tanaman lidah buaya. Hal ini berkaitan dengan peranan K yang secara langsung meningkatkan pertumbuhan, indeks luas daun, meningkatkan asimilasi CO2, dan terlibat dalam proses fotosintesis serta translokasi fotosintat (Gardner et al. 1991;
177 Elumalai et al. 2002;), juga peran ion K+ dalam memfasilitasi beberapa respon fisiologi pada tanaman, termasuk pembukaan dan penutupan stomata, gerakan daun dan regulasi polarisasi membran (Marschner 1995). Kandungan Mg dan Ca yang tinggi pada abu janjang kelapa sawit juga mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Mg berfungsi dalam pembentukan klorofil dan aktivator enzim, sedangkan Ca berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel tanaman, pembelahan, dan pemanjangan sel tanaman (Hardjowigeno 2003). Namun demikian, peningkatan dosis pada taraf yang lebih tinggi lagi (150 dan 300 g/tan.) menyebabkan penurunan pertumbuhan, bahkan terjadi penghambatan pertumbuhan yang lebih serius pada taraf dosis abu janjang kelapa sawit 300 g/tan. dan terutama pada waktu pengulangan pemberian abu pada 4 MST.
Tanaman
mempunyai kemampuan maksimal dalam menyerap hara walaupun kadar hara tersedia dalam tanah mengalami peningkatan dengan meningkatnya jumlah abu janjang kelapa sawit yang diberikan. Kelebihan pemberian abu janjang kelapa sawit berarti kelebihan pula terhadap unsur unsur yang dikandungnya, terutama P, K, Ca, dan Mg yang paling dominan pada abu janjang kelapa sawit.
Pemupukan P yang berlebihan dapat
megurangi ketersediaan dan penggunaan hara mikro (Bennet 1993). Dilaporkan juga bahwa defesiensi unsur hara Zn juga dipengaruhi oleh tingginya kadar P tanah (Havlin et al. 1999; Malezieux & Bartholomew 2003). Zn dalam tanaman berfungsi sebagai aktivator enzim. Fungsi Zn berkaitan dengan pembentukan asam indolasetat atau auksin.
Sehingga pertumbuhan tanaman secara umum dapat terhambat.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi P yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan tanaman lidah buaya (Wasonowati 2005), dan nenas
178 (Safuan 2007; Kelly 1993). Hal yang sama terjadi pada unsur K. Kelebihan unsur K terjadi akibat peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit diatas dosis optimum. Pengaruh kelebihan K berkaitan dengan keseimbangan K, Ca, dan Mg. Menurut (Havlin et al. 1999), meningkatnya kadar hara K+ di dalam tanah akan menyebabkan kompetisi dengan kation lain seperti Ca2+ dan Mg2+ untuk diserap oleh tanaman. Penyerapan K yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Ca2+ dan Mg2+ . Hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh kelebihan K terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman dibuktikan oleh Wentasari (2005), dimana pemberian faktor tunggal K menunjukkan respon kuadratik dan nyata terhadap bobot basah pelepah pada tanaman lidah buaya, dan Safuan (2007) yang membuktikan bahwa penambahan dosis pupuk K melebihi dosis optimum (668 kg K2O/ha.) menurunkan produksi buah nenas. Penghambatan pertumbuhan pada dosis abu janjang kelapa sawit yang lebih tinggi (taraf 300 g/tan.) juga tampak sebagai akibat kerusakan sifat fisik tanah gambut. Sifat porousitas gambut menjadi hilang dengan pemberian abu janjang dosis 300 g/tanaman, tanah berubah menjadi lengket akibat teresktraksinya bahan humat akibat pH tinggi dari abu janjang kelapa sawit (kenaikan pH sampai mencapai 8.23 dari 4.0). Keadaan ini mempengaruhi aerasi tanah, konsentrasi oksigen dalam tanah menjadi berkurang dan berakibat pada hambatan respirasi akar yang sangat diperlukan untuk menghasilkan energi yang akan dipergunakan dalam aktivitas serapan hara, dengan demikian pertumbuhan tanaman menjadi lebih terhambat. Meski abu janjang kelapa sawit diketahui dapat meningkatkan kadar hara P, K, dan Mg pada tanah gambut (penelitian I), dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya sampai pada taraf dosis tertentu (penelitian II), perlu pengkajian
179 lebih jauh apabila ingin mengaplikasikan abu janjang kelapa sawit pada tanaman lidah buaya, khususnya aplikasi abu yang terkonsentrasi pada lubang tanam lidah buaya. Hambatan perakaran akibat perusakan sifat fisik tanah dengan aplikasi abu yang terkonsentrasi pada lubang tanam memberikan alternatif lain dalam aplikasi abu janjang kelapa sawit di lapangan. Aplikasi abu janjang kelapa sawit pada penelitian III dijadikan sebagai trigger awal untuk perbaikan sifat kimia dan fisik tanah gambut. Abu ditebarkan secara merata di permukaan bedengan dan diinkubasi selama 2 minggu untuk seluruh petak perlakuan, baru dilakukan penanaman. Tanaman lidah buaya merupakan tanaman yang dipanen pelepahnya sepanjang musim
per
periode
waktu.
Konsekuensinya
adalah
bagaimana
mempertahankan produktivitas agar pelepah dapat dipanen berkelanjutan dengan kualitas yang tetap terjamin baik. Masukan pupuk merupakan syarat mutlak untuk kelangsungan produksi. Pemanfaatan sumberdaya lokal spesifik lokasi dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan nutrisi pada tanaman lidah buaya di lahan gambut. Di samping itu, sumberdaya lokal diharapkan mampu mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan lahan gambut sebagai media tanam lidah buaya. Pemanfaatan sumberdaya alami yang bersifat spesifik lokasi tersebut adalah mikoriza arbuskula yang kelimpahannya cukup banyak di sekitar rizosfer tanaman nenas di tanah gambut.
Mikoriza selain mampu meningkatkan serapan
hara dan pertumbuhan tanaman, cekaman kekeringan, juga mempunyai kemampuan dalam mengatasi serangan patogen akar yang banyak berkembang di tanah gambut, khususnya yang menyerang tanaman lidah buaya (Erwinia chrysanthemi). Sementara itu, sumber hara yang diperlukan untuk kelangsungan produktivitas tanaman dapat dipenuhi oleh pupuk organik limbah ikan atau udang yang
180 keberadaannya banyak di wilayah lokasi penelitian. Pemanfaatan pupuk organik limbah ikan atau udang ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan budidaya lidah buaya terhadap pupuk anorganik. Berdasarkan hasil ekplorasi tanah gambut dari rizosfer nenas diketahui kepadatan spora alami yang cukup tinggi, dengan nilai rata-rata 171.8 spora per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Spora-spora tersebut berasal dari tiga genus, yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 1149.74 propagul infektif dalam setiap 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas. Hal ini menunjukkan tanah gambut asal rizosfer nenas merupakan sumber inokulum mikoriza yang potensial untuk diaplikasikan pada kegiatan budidaya tanaman. Perbaikan daya adaptasi bibit lidah buaya terhadap keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan (patogen tanah) dalam penelitian ini ternyata mampu diatasi dengan aplikasi mikoriza. Mikoriza mampu mengurangi serangan penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya sebesar
65.64% untuk mikoriza mycofer dan
75.73% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar ini disebabkan karena mikoriza mempunyai kemampuan kompetisi dan daya adaptasi yang tinggi di rizosfer dan juga mampu menghasilkan senyawasenyawa antibiotik, hormon dan zat pengatur tumbuh. Menurut Azcon-Aguilar dan Barea (1996) dan Whipps (2004). Cara kerja mikoriza arbuskula sebagai biokontrol diasumsikan berinteraksi langsung dengan patogen.
Mikoriza juga dihubungkan
perannya sebagai trigger reaksi-reaksi pertahanan tanaman terhadap patogen. Beberapa hasil penelitian lainnya membuktikan bahwa mikoriza dapat mengurangi intensitas serangan penyakit pada tanaman, seperti: tomat
(Cordier
1998; Sastrahidayat 1990; Santosa 2004), jeruk dan kapas (Gunawan 1993), kopi
181 (Hayman1982), dan kentang (Bharadwaj 2007). Dilaporkan juga bahwa mikoriza arbuskula bersifat antagonistik terhadap serangan patogen akar seperti Fusarium oxysporum (Caron et al. 1986; St-Arnaud et al. 1997; Filion et al. 1999), Phytophthora sp (Cordier et al. 1996; Trotta et al. 1996), Rhizoctonia solani (Yao et al. 2002), dan Phytium ultimum (Calvet et al. 1993). Aplikasi mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik pada penelitian ini mampu mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya, meskipun secara interaksi tidak terdapat pengaruh yang diberikan dari ketiga faktor tesebut. Namun demikian, secara tunggal, masing-masing faktor cukup nyata meningkatan pertumbuhan tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya bermikoriza berhubungan dengan tingkat serapan tanaman yang lebih baik pada tanaman bermikoriza dibanding tanaman tanpa inokulasi mikoriza.
Peningkatan serapan hara N, P, dan
Mg pada kelompok tanaman bermikoriza masing-masing sebesar 13.33, 33.64, dan 13.89 % dibanding kontrol. Breuninger et al. (2004) menyatakan bahwa serapan N oleh mikoriza berkaitan dengan aktivitas hifa extraradikal mikoriza dalam menyerap NH4+, NO3-, dan asam amino melalui alat pengangkut dan pompa proton ATPase. Percobaan terakhir menunjukkan bahwa NO3- dan NH4+ diasimilasi menjadi arginin pada ujung hifa, ditransfer ke tanaman, dan kemungkinan ditransfer sebagai NH3 pada interface tanaman – mikoriza (Govindarajulu et al. 2005). Sering dilaporkan bahwa karakteristik dari mikoriza arbuskula adalah mempengaruhi serapan P (Lekberg & Koide, 2005), dan juga hara lainnya (Ouimet et al. 1996) seperti N (NH4+ atau NO3-),
K, dan Mg yang bersifat mobil.
Peningkatan penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan
182 Mo.
Serapan hara P oleh mikoriza arbuskula melalui hifa pada akar tanaman
dipengaruhi oleh transfer karbon dari tanaman inang kepada mikoriza melalui interface mikoriza. P disimpan di vakuola dalam hifa ekstraradikal (Bücking & Shachar-Hill 2005). Transfer P dari mikoriza ke tanaman banyak diteliti pada tingkat molekuler pada bebera spesies tanaman (Rausch et al. 2001; Nagy et al. 2005; Poulsen et al. 2005). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa keuntungan dari hifa mikoriza dalam memperoleh P adalah: (1) dapat mentransfer P lebih cepat kepada tanaman melalui difusi dalam tanah, (2) mengatasi zona deplesi sekitar perakaran, (3) menggunakan lebih sedikit karbon (C) dibanding akar dengan panjang yang sama, (4) dapat mengeksplorasi tanah secara lebih luas melalui penetrasi pori pori tanah dengan diameter yang lebih kecil dari rambut akar (Drew et al., 2003), dan (5) Lebih kompetitif dalam melawan mikroorganisme tanah untuk memanfaatkan hasil mineralisasi yang baru terbentuk atau P inorganik terlarut dibanding akar tanaman (Smith & Read, 97). Kolonisasi akar oleh mikoriza akibat perlakuan pupuk anorganik meningkat sampai taraf a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.), namun kolonisasi berkurang drastis saat taraf pupuk anorganik ditingkatkan pada taraf a3 (N : P : K : Mg = 20 :16 : 30 : 10 g/tan.). Ini disebabkan mikoriza menjadi tidak efektif dalam meningkatkan serapan hara karena ketersediaan hara yang tinggi. Seperti dijelaskan oleh Grimoldi et al. (2005) dan Asghari et al. (2005), bahwa serapan hara P dan lainnya oleh mikoriza terutama terjadi pada tanah yang kekurangan unsur P, dan penyerapan tersebut mampu meningkatkan berat kering tanaman. Hal ini mampu meningkatkan efisiensi penggunaan P oleh tanaman, dan sebagai kompensasinya mikoriza memperoleh karbon dari tanaman agar tetap hidup dan berkembang. Pada keadaan
183 tanah tidak mengalami kekurangan hara, tanaman justru tidak tergantung pada mikoriza. (Koide & Mosse 2004; Lerat et al. 2003). Tingginya kolonisasi akar oleh mikoriza pada taraf pupuk anorganik a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.) diikuti oleh tingginya serapan hara pada taraf tersebut. Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada taraf pupuk anorganik a2 masingmasing sebesar 86.76, 29.27, dan 64.98 g/tan. untuk N, P, dan Mg, dan berbeda nyata dengan taraf a0 ( tanpa pupuk anorganik) dan a1 (N : P : K : Mg = 5 : 4 : 7,5 : 2,5 g/tan.), namun tidak berbeda nyata dengan taraf a3 (N : P : K : Mg = 20 :16 : 30 : 10 g/tan.). Peningkatan serapan hara juga diikuti oleh peningkatan bobot kering tertinggi pada taraf ini, yaitu sebesar 69.91 g. Faktor berikutnya yang secara nyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut adalah pupuk organik yang berasal dari limbah ikan dan udang. Hasil penelitian membuktikan bahwa pupuk organik dari limbah ikan dan udang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk susulan yang diperlukan dalam budidaya tanaman lidah buaya untuk mempertahankan produktivitasnya. Diketahui juga bahwa pupuk organik dari limbah ikan dan udang yang difermentasi memberikan hasil rerata yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi untuk semua peubah pertumbuhan. Peningkatan nilai rerata pertumbuhan termasuk bobot kering diikuti dengan peningkatan serapan hara
N, P, K, dan Mg yang lebih tinggi pada kelompok
tanaman yang mendapat perlakuan pupuk organik fermentasi, yaitu masing-masing 82.98, 28.21, 361.99, dan 59.17 g/tan., dan mampu meningkatkan seluruh peubah pertumbuhan, yaitu tinggi tanaman (7.2%), jumlah pelepah (4.7%), lebar pelepah (7.2%), tebal pelepah (7.9%), panjang pelepah (11.28%), bobot basah pelepah
184 (14.65%), dan bobot kering tajuk (17.34%) dibanding tanaman yang mendapat pupuk organik tanpa fermentasi. Pupuk organik yang difermentasi mengalami hidrolisa yang lebih efektif dari bahan-bahan penyusun limbah ikan dan udang, sehingga memberikan sumbangan hara yang lebih tinggi bagi pertumbuhan tanaman. Pemanfaatan limbah ikan dan limbah udang sebagai pupuk organik juga dilaporkan mampu meningkatkan pertumbuhan beberapa tanaman lainnya (Cappiello 1993; Palada et al. 1994; Smagula & Scott 1995; Chaniago et al. 2004; Pudjiono et al. 2005). Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk merakit teknologi budidaya tanaman lidah buaya dengan memanfaatkan sumberdaya alami mikoriza dan pupuk organik limbah ikan dan udang untuk diaplikasikan pada lahan gambut. Hal ini didasari pada aspek kualitas yang cukup baik dari pelepah lidah buaya yang dihasilkan dalam penelitian ini. Diperoleh bobot basah pelepah di kisaran 740 – 850 g/pelepah pada umur tanaman 9 bulan, dan ini masuk dalam kategori kelas mutu A. Terjadi
peningkatan lebar pelapah dan panjang pelepah masing-masing sebesar
77.70 dan 29.09 %, sedangkan tebal pelepah masuk dalam kisaran standar (2-3 cm). Dengan hanya memanfaatkan mikoriza asal rizosfer nenas serta pupuk organik limbah ikan dan udang fermentasi, diperoleh jumlah asam amino yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan asam amino pada pelepah tanaman lidah buaya yang dihasilkan oleh Aloe vera Center. Peningkatan terjadi hampir untuk seluruh jenis asam amino, kecuali pada histidine pada perlakuan m2a0o3. Peningkatan tertinggi terjadi pada asam amino alanine yaitu sebesar 584.2 – 842.1 % dibanding budidaya standar AVC. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alami lokal telah cukup mampu untuk meningkatkan kualitas tanaman lidah buaya.
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
Kesimpulan 1. Abu janjang kelapa sawit merupakan bahan amelioran yang dapat diberikan pada tanah gambut untuk meningkatkan pH tanah dan berfungsi sebagai sumber hara P,K, dan Mg. 2. Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g/tabung tidak dapat lagi meningkatkan kemampuan tanah gambut dalam meretensi hara
P, K, dan
Mg. Peningkatan kadar hara P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit paling banyak terjadi pada lapisan permukaan (0 – 10 cm). Kadar P meningkat dari 26.28 menjadi 1926.77 ppm,
kadar K meningkat dari 0.83
menjadi 34.18 me/100g, dan kadar Mg meningkat dari 7.98 menjadi 14.39 me/100g . 3. Interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu bersifat kuadratik untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk ketiga peubah pertumbuhan tersebut.
Diperlukan dosis abu
janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman sebagai dosis optimum, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST untuk menghasilkan bobot basah pelepah tertinggi. 4. Inokulasi mikoriza arbuskula pada tanaman lidah buaya efektif dalam menekan serangan penyakit busuk akar (Erwinia chrysanthemi), meningkatkan serapan hara N, P, dan Mg, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut.
Terjadi pengurangan serangan penyakit busuk lunak sebesar 65.64%
untuk mikoriza mycorfer dan 75.73% untuk mikoriza asal rizosfer nenas. Terjadi
186 peningkatan serapan hara N, P, dan Mg pada kelompok tanaman bermikoriza terhadap kontrol masing-masing 13.33, 33.64, dan 13.89 %, dengan peningkatan bobot basah pelepah sebesar 17.2 % dan bobot kering tajuk 32.5%. 5. Serapan hara N, P, dan Mg tertinggi pada perlakuan pupuk anorganik taraf a2 (N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tan.) masing-masing sebesar 86.76, 29.27, dan 64.98 g/tan. untuk N, P, dan Mg. 6. Pemberian pupuk organik dari limbah ikan dan udang yang difermentasi memberikan hasil rerata pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi. Diduga pupuk organik hasil fermentasi menyebabkan proses hidrolisis yang lebih sempurna pada bahan yang digunakan, sehingga menyumbangkan hara dan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman.
Saran 1. Pemberian abu janjang kelapa sawit sebaiknya disebar secara merata pada permukaan bedengan (tidak pada lubang tanam), dimana abu janjang hanya berfungsi sebagai trigger dalam perbaikan sifat tanah. 2. Untuk menghasilkan tanaman lidah buaya dengan pertumbuhan dan hasil yang tinggi, dapat dilakukan dengan memberikan mikoriza asal rizosfer nenas pada saat tanam, pupuk anorganik dengan dosis N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman, dan pupuk organik limbah udang fermentasi sebagai pupuk susulan pada setiap bulannya. 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat tingkat perbaikan kualitas pupuk organik limbah ikan dan limbah udang hasil fermentasi, menyangkut senyawasenyawa yang dihasilkan dari proses fermentasi yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Abbott L K, Robson AD, Jasper, . Gazey C. 1992. What is the role VA mycorrhizal hyphae in soil . p: 37 – 41. Dalam D. J. Read. D. H. Lewis., A. H. Fitter & I. J. Alexander (penyunting). Mycorrhiza in Ecosytem. CAB. International UK Andriesse JP. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils. Bull. 59. 165 p. Asghari HR. Chittleborough DJ, Smith FA, Smith SE. 2005: Influence of arbuscular mycorrhizal (AM) symbiosis on phosphorus leaching through soil cores, Plant Soil 275: 181-193. Azcón-Aguilar C, Barea JM. 1996. Arbuscular mycorrhizas and biological control of soil-borne plant pathogens - An overview of the mechanisms involved. Mycorrhiza 6: 457–464. Bank Indonesia, 2003. Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil. Lidah Buaya. www.bi.go.id/sipuk [20 Agustus 2005] Bharadwaj DP. 2007. The plant – arbuscular mycorrhizal fungi – bacteria – pathogen system: Multifunctional role of AMF spore-associated bacteria [disertasi]. Swedia: Department of Forest Mycology and Pathology, Swedish University of Agricultural Sciences. Breuninger M, Trujillo CG, Serrano E, Fischer R, Requena N. 2004. Different nitrogen sources modulate activity but not expression of glutamine synthetase in arbuscular mycorrhizal fungi. Fungal Gen Biol 41: 542-552. Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal in the uptake of phosphorus by plants. Plant Soil 134:189-209. [BPEN] Badan Pengembangan Ekspor Nasional, 2003. Nilai penjualan lidah buaya US$60 miliar/tahun. Jakarta: BPEN Departemen Perdagangan RI. Brundrett M, Melville L, Peterson L. 1994. Practical Methods in Mycorrhiza Research. Mycol Publ. Ontario, Canada.161 hal. Brundett M, Beeger N, Dell B, Groove T, Malajzuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph ISBN 186320 181 5. Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. Biochemistry and Molecular Biologi of Plants. American Society of Plant Physiologist. Rockville, Maryland. Bücking H, Shachar-Hill Y. 2005: Phosphate uptake, transport and transfer by Glomus intraradices is stimulated by increased the arbuscular mycorrhizal fungus carbohydrate availability. New Phytol 165: 899- 912.
188 Calvet C, Pera J, Barea JM. 1993. Growth response of marigold (Tagetes erecta) to inoculation with Glomus mosseae, Trichoderma aureoviride and Pythium ultimum in a peat-perlite mixture. Plant Soil 148: 1-6. Cappiello PE. 1994. Fertilization of two woody species with fish hydrolyzate fertilizer. Hort Sci 29: 427 – 581. Chaniago IA, Rahayu W, Tasmin M. 2004. Pemanfaatan limbah ikan sebagai pupuk organik cair. [Abstrak Penelitian Hibah Bersaing], Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor Caron M, Richard C, Fortin JA. 1986. Effect of preinfestation of the soil by a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus, Glomus intraradices, on Fusarium crown and root rot of tomatoes. Phytoprotec 67: 15-19 Chan F, Suwandi, Tobing EL. 1982. Penggunaan abu janjang sebagai pupuk kalium pada pertanaman kelapa sawit. Pedoman Teknis Pusat Penel. Marihat. No. 56/PT/PPM/82. Chan F, Suwandi. 1985. Percobaan pemberian abu janjang pada bibitan tanaman kelapa sawit. Bul. Pusat. Penel. Marihat 5 (3) : 44 Chakravarty P, Chatapaul M. 1988. Mycorrhizal and control of root diseases. Abst. Publ. Eroupean Sump, on Mycorrhiza. Chechoslovakia. 51 p Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia. 2002. Peatlands: Carbon Store or Source? in Peatlands, Biodiversity and Climate Change 2002 Global Environment Centre www.peat-portal.net Cordier C, Gianinazzi S, Gianinazzi-Pearson V. 1996. Colonisation patterns of root tissues by Phytophthora nicotinae var. parasitica related to reduced disease in mycorrhizal plants. Plant Soil 185: 223-232. Cordier. 1998. Cell defense responses assosiated with localized and systemic resistance to Phytophthora parasitica induced in tomato by an mycorrhizal fungus. Mol Plant-Microbe Interact 11: 1017 - 1028. Damanik FS. 1996. Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap pertumbuhan dan penyiraman bibit kelapa sawit [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dhingra OD, Sinclair JB. 1983. Basic Plant Pathology Methods. CRC Press [DPB-DKP] Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelauatan dan Perikanan RI , 2005. Pemanfaatan limbah ikan sebagai bahan baku pupuk organik. Jakarta: DKP RI. http://www.dkp.go.id/content.php?c=1824 [12 Mei 2005]
189 Drew EA, Murray RS, Smith, SE. (2003): Beyond the rhizosphere: growth and function of arbuscular mycorrhizal external hyphae in sands of varying pore sizes, Plant Soil. 251: 105-114. Driessen PM, Soepraptohardjo. 1974. Soil for Agriculture Expansion. Bogor: Soil Res. Institute [DUP] Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2004. Profil Agribisnis Aloe vera di Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota. 54 p Everett KR. 1983. Histosol. di dalam: Wilding LP, Smeck NE, Hall, GF. ed. Pedogenesis and Soil Taxonomy. The Soil Orders. Elsevier New York: Science Publishers B.V. p: 1 -53. Filion M, St-Arnaud M, Fortin JA. 1999. Direct interaction between the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus intraradices and different rhizosphere microorganisms. New Phytol 141: 525–533. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian Sjamsuddin E, Baharsjah JS, penerjemah: Jakarta. Ed. 2. Universitas Indonesia. Ningsih O F. 2002. Pengaruh pemberian berbagai campuran abu dan pupuk kalium terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut [skripsi]. Pontianak: Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1985. Phospate sorption isotherm for evaluating the phosphate requerement of soil. Soil Sci Soc Am Roc (34): 902 – 907. Ginting J. 1991. Pemanfaatan limbah abu janjang kelapa sawit sebagai pupuk kalium pada pertanaman kentang di dataran tinggi Karo. [thesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Global Environment Centre, 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Stewards of Global Environment. www.peat-portal.net [22 Februari 2005] Global Environment Centre. 2005. Peat in Indonesia. Stewards of Global Environment. www.peat-portal.net [22 Februari 2005] Goicoechea N, Antolin MC, Sanchez-Diaz M. 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and Rhizobium on nutrient content and water relations in drought stressed alfalfa. Plant Soil. 192 : 261 - 268. Govindarajulu M, Pfeffer PE, Jin H, Abubaker J, Douds D D, Allen J W, Bücking H, Lammers PJ, Shachar-Hill, Y. (2005): Nitrogen transfer in the arbuscular mycorrhizal symbiosis, Nature. 435: 819-823. Grimoldi AA, Kavanová M, Lattanzi FA, Schnyder H. 2005: Phosphorus nutritionmediated effects of arbuscular mycorrhiza on leaf morphology and carbon allocation in perennial ryegrass, New Phytologist 168: 435-444.
190 Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 210 hal. Hanum, H., 2004. Peningkatan produktivitas tanah masam yang baru disawahkan berkaitan dengan P tersedia melalui pemberian bahan organik, fosfat alam, dan pencucian besi. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hartatik W. 2003. Penggunaan fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman padi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizer; An Introduction to Nutrient Management. Sixth edition. New Jersey: Prentice Hall. Hayman DS. 1982. Influence of soil and fertility on activity and survival of vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Phytophatol 728: 1119 - 1124 Hetrick BAD, Wilson GWT. 1993. Mycoorhizal dependence of modern wheat cultivars and ancestors : a synthesis. Can J Bot 71 : 512-518. Jakobsen I. 1992. Phosporus transport by exsternal hypae of vesicular-arbuscular mycorrhizas p : 48 - 54. Di dalam Read DJ Lewis AH. Fitter, Alexander, ed. Mycorrhizas in Ecosystem. CAB. International. UK Junianto. 2004. Pemanfaatan Limbah Ikan. Cakrawala, suplemen Pikiran Rakyat khusus IPTEK. Bandung: Pikiran Rakyat Cyber Media. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0304/04/cakrawala/penelitian.htm . [9 Mei 2005] Kanapathy K. 1972. Copper requerement and residual effect with maize on a peat soil. Mal Agric J 48 : 249 – 263. Karti PDMH, 2003. Respon morfofisiologi rumput toleran dan peka aluminium terhadap penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah. [Thesis]. Program Pascasarjana IPB Bogor Kekei M, Clifford PE. 2002. Long-term effects of liming on needles, soil properties, and soil water in a Sitka spruce stand on deep peat . Forestry: 75 (5) : 553-567 Kelly DS. 1993. Nutritional disorders. Di dalam: Broadley RH, Wasman RC, Sinclair EC. Ed. Pineapple Pest and Disorders. Australia. Queensland Dept. of Primary Industries. 33 – 42 p [KK-AMPL] Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, 2005. Pengembangan limbah sebagai bahan baku sekunder untuk pakan dan pupuk. Kompas online. http://www.ampl.or.id/wawasan/wawasan-isipustaka.php?kode=35 [15 Mei 2005]
191 Koide RT. 2000. Functional complementarity in the arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol 147: 233-235. Kormanik PP, Mc. Graw AC. 1982. Quantification of vesicular-arbuscular mychorrhizae in plant root. Di dalam: Schenk NC (ed.). Method and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytophatol Soc 46: 37-45. Koswara O, Sabiham S, Prasetyo. 1994. Kajian pemberian garam natrium dan logam mikro terhadap kinetika asam asam organik meracun pada tanah gambut dan pertumbuhan serta produksi padi (Oriza sativa L.). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 87p Kramer PJ. 1969. Plant and Soil Water Relationships. Mc. Graw Hill Book Company. Inc New York 347 p. Kurnianingsih, A. 2004. Respon tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) terhadap pemberian beberapa mikroba dan abu janjang kelapa sawit pada lahan gambut. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lerat S, Lapointe L, Piché Y, Vierheilig H. (2003): Variable carbon-sink Glomus mosseae strains colonizing barley roots, Canadian strength of different Journal of Botany 81: 886-889. Malezieux E, Bartholomew DP. 2003. Plant Nutrition. Di dalam: Bartholomew, D.P., Paul, R.E., and Rohrbach, K.G. Editor. The Pianeapple Botany, Production and Uses. USA. New York. CABI Publishing. 143 – 166 p. Marschner H. & Dell. 1994. Nutrien uptake in mycorrhizal symbiosis. Plant and. Sci. 159: 89-102 Marschner H.1995. Mineral nutrition of higher plant.Academic Press.London. Miller RW, Donahue RL. 1990. Soils. An Introduction to Soil and Plant Growth. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs. Morgan JAW, Bending GD, White PJ. 2005. Biological cost and benefits to plant microbe interactions in the rhizosphere. J Exp Bot 56:1729-1739 Morton JB, Benny GL. 1990. Revised classification of arbuscular mycorrhizal fungi (Zygomycetes). Mycotaxon 37 : 471 - 491. Mukodiningsih S, Sulistiyanto B, Yunianto VD. 2003. Kajian pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar protein, kalsium dan fosfor tepung silase ikan. Jawa Tengah : Balitbang. http://www.balitbangjateng.go.id/ [19 Mei 2005]. Muslimin. 1994. Pengaruh inokulasi berbagai taraf dosis fungi mikoriza (Gigaspora margarita) dan Scleroderma columnare) terhadap pertumbuhan bibit kakao. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nagy R, Karandashov V, Chague V, Kalinkevich K, Tamasloukht M., Xu G, Jakobsen I, Levy AA, Amrhein N, Bucher M. 2005: The characterisation of novel mycorrhiza-specific phosphate transporters fromLycopersicon escelentum
192 Solanum tuberosum uncovers functional redundancey in symbiotic phosphate and transport in solanaceous species, The Plant Journal. 42: 236-250. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 174 p Nurlaeny N, Marschner H, George E. 1996. Effect of liming and mycorrhizal colonization on soil phospate uptake by maize and soybean grown in two tropical acid soils. Kluwer Academic Publishers. Plant and Soil. 181 : 275 285. Ouimet R, Camire C, Furlan V. 1996. Effect of Soil, K, Ca, and Mg saturation and endomycorrhization on growth and nutrient uptake of sugar maple seedlings. Plant Soil 179 : 207 - 216 Palada MC, Cole W, Crossman SMA, Rakocy JE, Kowalski JA. 1994. Potential of fish culture waste water as an irrigation and nutrient source for bell peppers in the virgin islands. Hort Sci 29: 247 - 581 Panjaitan A, Sugijono, Sirait H. 1983. Pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap keasaman tanah Podsolik, Regosol dan Aluvial. Bul. Balai Penel. Perkebunan Medan. 14 (3): 87 – 95. Postma JWM, Olsson PA, Falkengren-Grerup U. 2007. Root colonization by arbuscular mycorrhizal, fine endophytic and dark septate fungi across a pH gradient in acid beech forests. Soil Biol Biochem 39:400-408. Poulsen KH, Nagy R, Gao LL, Smith SE, Bucher M, Smith FA, Jakobsen I. (2005): Physiological and molecular evidence for Pi uptake via the symbiotic pathway in a reduced mycorrhizal colonization mutant in tomato associated with a compatible fungus, New Phytologist (volume 168), pp. 445-454. [PPKS]Pusat Penelitian Kelapa Sawit – Medan. 2005. Pemupukan kelapa sawit: Jenis dan sifat pupuk. http://niaga.pusri.co.id/Mupuk_Sawit/jenis_ppk.htm Medan: PPKS [10 Mei 2005] Prasetiyo KW. 2004. Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. Kompas Online. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/15/Jendela/1148279.htm. [19 Mei 2005] Pudjiono S, Teguh H, Abdurrohman S, Setyobudi. 2005. Pengaruh pupuk organik limbah udang terhadap pertumbuhan murbei setelah pangkasan kedua. Pusat Litbang Hutan tanaman. Wana Benih 6: 1. Radjagukguk A. 1990. Pertanian Berkelanjutan di Lahan Gambut dalam Alami Pengolahan Gambut Berwawasan Lingkungan, Vol. 2 (1): Tahun 1997.
193 Rausch C, Daram P, Brunner S, Jansa J, Lalol M, Leggewie G, Amrhein N, Bucher M. 2001. A phosphate transporter expressed in arbuscule-containing cells in potato. Nature 414: 462-466. Rismunandar, T. 2001. Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Menciptakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan. [Makalah Falsafah Sains]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Rosyadi, I. 2004. Pemanfaatan abu janjang dari limbah pabrik kelapa sawit sebagai sumber pupuk kalium tanaman padi sawah Oriza sativa var. IR-64. Dapartemen Biologi. Institut Pertanian Bogor. Safuan LO. 2007. Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K pada Tanaman Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) Smooth Cayenne Subang. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soils in the Tropics. John Wiley and Sons. New York. Santosa S. 2004. Uji efektifitas penggunaan isolat vesikuler arbuskular mikoriza untuk pertumbuhan dan ketahanan serangan nematoda bengkak akar Meloidogyne spp pada tanaman tomat Lycopersicum esclulenium. [Abstrak Penelitian], Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Makasar. Sasli, I. 2001. Studi aplikasi mikoriza vesikular arbuskular (VAM) pada tanaman kedelai untuk mengatasi cekaman kekeringan pada tanah gambut. Penelitian Dosen Muda Dikti. Pontianak: Fakultas Pertanian Untan. Sasli, I. 2004. Kajian teknologi budidaya dan hasil hasil riset tanaman lidah buaya di sentra produksi lidah buaya pontianak Kalimantan Barat. [laporan topik khusus]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sastrahidayat IR. 1990. Inventarisasi dan Uji Isolat Mikoriza dalam Menuju Pengembangan Bioteknologi. Pusat Penelitian Unibraw. 40 hal. Sastrahidayat IR. 1991. Pengaruh VA – Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo pada Berbagai Kondisi Tanah dan Serangan HamaPenyakit. Badan Litbang. Pertanian. 47 p. Sastrahidayat IR. 1992. Pengaruh pemberian hayati (endomikoriza) pada peningkatan produktivitas tanaman kacang-kacangan pada tanah miskin Fosfor. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw. 41 p. Schenck NC. 1981. Can mycorrhizal control root diseases. Phytophat 65 (3) : 231 - 234. Setiadi Y. 1989. Pemanafaatan Mikoriza dalam Kehutanan. PAU. Bogor 103 p.
194 Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agroekosystem. Eschborn: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. . Smagula JM, Scott D. 1993. Comparison of fish hydrolysate and inorganic fertilizers for lowbush blueberry. Hort Sci 28: 250 – 352 Smith FW. 2002. The phosphate uptake mechanism. Plant Soil 245 : 105 – 114. Smith FW, Mudge SR., Rae AL, Glassop D. 2003. Phosphate transport in plant. Plant Soil (248): 71 – 83. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Akademic Press. California USA 35 p. Smith SM, Newman S, Patrick B, Garret, Leeds JA. 2001. Differential Effects of Surface and Peat Fire on Soil Constituents in a Degraded Wetland of the Northern Florida Everglades. J Env Qual 30:1998-2005 Soekarno N, Smith FA, Smith SE, Scott ES. 1996. The effect of fungicides on vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol 132 : 583 - 592. Soepraptohardjo, Driessen PM. 1976. The Lowland Peat of Indonesia a challenge for the future. In : Peat and Podzolic Soils and their Potensial for Agriculture inIndonesia. Bogor: Soil Res. Institute Soil Survey staff. 1960. Soil Classification. A Comprehensive System 7 th Approximation. Soil Conservation Service. United States Departemen of Agriculture. Soil Survey staff . 1996. Keys to Soil Taxonomy. Seventh Ed. U.S. Govt.Print. Off. Washinton, D.C. 644.p Solaiman MZ, Hirata H. 1997. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi inoculatin of rice seedlings at the nursery stage upon performance in the paddy field and greenhouse. Plant and Soil. 191 : 1 - 12. Stahl PD, Gerald ES, Sandra MF, Stephen EW. 1998. Arbuscular mycorrhizae and stress tolerance of wyoming big sagebrush seedlings. Soil Sci So. Am J 62 (5) : 1309 - 1312. St-Arnaud M, Hamel C, Vimard B, Caron M, Fortin JA. 1997. Inhibition of Fusarium oxysporum in the non-VAM species Dianthus caryophyllus by the co-culture with Tagetes patula companion plants colonized by Glomus intraradices. Can J Bot 75: 998-1005. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. New York: John Wiley and Sons Inc.
195 Sutedjo, M.M, A.G. Kartasapoetra, S. Sastroatmodjo, 1991. Mikrobiologi Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Swift CE. 2004. Mycorrhiza and soil phosphorus levels. Colorado State University. Cooperation Extention, 1 – 4. http://www.colostate.edu/Depts/CoopExt/TRA/PLANTS/mycorrhiza.htm [19 Des 2005] Tan KH. 1993. Principles of. Soil Chemistry. New York: Marcel Decker, Inc. 362p Tisdale SL WL. Nelson, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th ed. New York: The Macmilan Publ. Co. Trotta A, Varese GC, Gnavi E, Fusconi A, Sampo S, Berta G. 1996. Interactions between the soilborne root pathogen Phytophthora nicotinae and the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae in tomato plants. Plant Soil 185: 199-209. Upadhyay, RS, Rai B. 1987. Biocontrol Agents of Plant Pathogens: Their Use and Practical Constraints, p 15-36. In K. L. Mukerji and K. L. Gerg. Biocontrol of Plant Disease vol. I CRC Press Utama MZH, Yahya S. 2003. Peranan mikoriza VA, rhizobium, dan asam humat, pada pertumbuhan dan kadar hara beberapa spesies legum penutup tanah. Bul.Agron.31 (3): 94-99. Wasonowati C. 2005. Pengaruh pupuk N, P, K, Mg terhadap pertumbuhan dan kualitas lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada lahan gambut. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Wegel E, Leif S, Niels S, Jens S, Martin P. 1998. Mycorrhiza mutant of Lotus japonicus define genetically independent steps during symbiotic infection. Moleculer Plant-Microbe Interactions. 11(9):933- 936. Wentasari R. 2005. Pengaruh pemupukan N, P, K, Mg terhadap hasil dan kandungan hara tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis L.) pada lahan gambut. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82: 1198–1227 Widiastuti H. 1989. Pengaruh Glomus fasciculatum dan Pemupukan Fosfor terhadap Serapan dan Pertumbuhan Semaian Kakao. Menara Perkebunan. 57 (3) : 70 - 73. Widiastuti H dan Kramadibrata K. 1992. Jamur mikoriza bervesikula arbuskula di beberapa tanah masam dari Jawa Barat. Menara Perkebunan 60 (1): 9 – 19. Widjaja-Adi, 1985. Pengaruh Tanah Masam untuk kedelai. Di dalam: S. Sumaatmadja, editor. Kedelai. Bogor: Puslitbangtan. P 171 – 188.
196 Widjaja-Adi. 1986. Pengelolaan lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Bogor: Jurnal Litbang Pertanian 5 (1): 1 – 9. Yahya S, Sudradjat, I. Sasli, dan Setiadi, 2002. Respon karakter morfofisiologi bibit kakao bermikoriza arbuskula terhadap cekaman kekeringan, Comm.Ag. 6(1): 917. Yao MK, Tweddell RJ, Desilets H. 2002. Effect of two vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi on the growth of micropropagated potato plantlets and on the extent of disease caused by Rhizoctonia solani. Mycorrhiza 12: 235-245 Yoganingrum A. 2000. Tepung Ikan. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) www.warintek.net/tepung_ikan.htm [15 Mei 2005] Yulistine, 2003. Pengaruh kombinasi pupuk KCl dan abu sawmill terhadap serapan K dan pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut. [skripsi]. Pontianak: Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura.
197
Tabel Lampiran 1. Hasil Analisis Contoh Tanah Lokasi Penelitian
-
Parameter Analisis
Nilai
pH H2O
3.00
pH KCl
2.10
C-Organik (%)
55.18
Nitrogen Total (%)
0.28
Ekstraksi Bray I: - Fosfor (ppm)
31.68
Ekstraksi NH4OAC 1N, pH7: - Kalium (me/100 g) - Natrium (me/100 g) - Kalsium (me/100 g) - Magnesium (me/100 g) - KTK (me/100 g)
0.32 0.67 1.58 0.69 154.53
Kejenuhan basa (%)
2.11
Ekstraksi KCL 1 N - Hidrogen (me/100 g) - Aluminium (me/100 g)
4.64 0.76
Sumber : Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Untan, 2006
198 Gambar Lampiran 1. Skema pengenceran tanah gambut dari rizosfer nenas sebagai Sumber Propagul (Uji MPN)
20 g
20 g
20 g
20 g
20 g
100 g
1
2 20 g
3 20 g
4 20 g
5 20 g
ulangan 20 g
140 g gambut sumber propagul (Substrat A)
40 g gambut substrat A + 120 g gambut substrat B = pengenceran 4-1
100 g
1
2
3
4
5
20 g
20 g
20 g
20 g
20 g
ulangan
100 g
1
2
3
4
5
40 g hasil pengenceran pada 4-1 + 120 g gambut substrat B = pengenceran 4-2
40 g hasil pengenceran pada 4-2 + 120 g gambut substrat B = pengenceran 4-3
ulangan
Dan seterusnya dilakukan sampai pengenceran tingkat 4-9
199 Tabel Lampiran 2. Hasil uji infeksi terhadap tanaman contoh dalam MPN-test Ulangan
Tingkat pengenceran
I
II
III
IV
V
Jumlah infeksi
4-0 4-1 4-2 4-3 4-4 4-5 4-6 4-7 4-8 4-9
+ + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + + + + -
5 5 5 5 4 3 2 1 0 0
Total terinfeksi
30
200 Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam (F-hit) pengaruh abu janjang kelapa sawit dan waktu pengulangan pemberian abu serta interaksi keduanya terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut Peubah
Abu janjang kelapa Waktu sawit pengulangan abu
Interaksi
Tinggi tanaman (MST) 10 12 14 16 18
124.44** 326.74** 154.20** 166.81** 180.76**
1.81 4.07** 8.33** 7.64** 7.11**
0.12 5.19** 3.14* 3.09** 3.12**
Jumlah Pelepah (MST) 10 12 14 16 18
76.15** 83.21** 88.41** 97.71** 108.28**
1.27 20.11** 6.68** 3.71* 4.59*
0.06 0.26 0.17 0.48 0.46
Lebar Pelepah (MST) 10 12 14 16 18
645.85** 702.33** 290.56** 244.94** 260.14**
2.50 0.99 15.56** 13.01** 9.86**
0.57 0.27 0.20 0.08 0.17
Tebal Pelepah (MST) 10 12 14 16 18
26.65** 44.78** 145.58** 131.85** 169.11**
1.96 8.97** 30.38** 26.78** 28.65**
0.17 0.32 0.74 0.46 0.65
Panjang Pelepah (MST) 10 12 14 16 18
98.89** 176.37** 203.99** 253.08** 306.41**
1.91 8.97** 8.81** 8.62** 9.78**
0.13 1.09 1.25 1.09 1.44
Bobot basah Pelepah (MST) 18
254.21**
18.82**
2.59*
Bobot Kering Tajuk (MST) 18
216.94**
23.90**
5.20**
Keterangan: MST = minggu setelah tanam. */** = berengaruh nyata/sangat nyata.
201 Tabel Lampiran 4 Sidik Ragam (F-hit) Pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, lebar pelepah, dan tebal pelepah tanaman lidah buaya di lahan gambut. Peubah Tinggi tanaman (MST) 8 12 16 20 24 28 32 36 Jumlah Pelepah (MST) 8 12 16 20 24 28 32 36 Lebar Pelepah (MST) 8 12 16 20 24 28 32 36 Tebal Pelepah (MST) 8 12 16 20 24 28 32 36
An x Or.
Mik x An. x Or
0.03 0.03 0.02 0.07 0.02 0.03 0.04 0.06
0.07 0.24 0.16 0.13 0.05 0.05 0.01 0.01
0.03 0.05 0.05 0.07 0.03 0.03 0.02 0.02
0.44 0.38 0.67 0.67 0.46 0.70 0.98 2.14
0.02 005 0.08 0.04 0.04 0.11 0.38 0.34
0.01 0.05 0.05 0.19 0.13 0.36 0.34 0.49
0.02 0.05 0.11 0.15 0.10 0.14 0.20 0.20
1.14 4.49** 19.46** 15.78** 13.77** 12.69** 10.47** 8.40**
0.47 0.80 0.93 0.66 0.25 0.15 0.32 0.20
0.01 0.01 0.39 0.40 0.34 0.21 0.20 0.47
0.02 0.03 0.63 0.68 0.44 0.27 0.37 0.92
002 0.03 0.31 0.19 0.19 0.15 0.16 0.53
0.93 7.31** 8.94** 20.91** 14.45** 13.61** 12.81** 11.51**
1.51 0.63 0.49 0.04 0.60 0.49 0.57 0.53
0.02 0.07 0.02 0.28 0.63 0.84 0.95 1.07
0.03 0.07 0.06 0.26 0.65 0.78 0.91 0.68
0.02 0.03 0.01 0.12 0.15 0.25 0.34 0.32
Or.
Mik x An..
Mik.
An.
58.47** 67.26** 61.09** 41.09** 29.61** 28.90** 25.67** 27.07**
1.04 3.10* 9.92** 18.47** 23.35** 28.95** 25.91** 23.23**
0.36 3.11* 5.28** 12.93** 13.57** 15.68** 13.28** 14.36**
0.04 0.21 0.02 0.10 0.08 0.33 0.44 0.53
13.92** 9.97** 16.05** 15.37** 19.88** 27.06** 32.61** 31.68**
9.32** 7.21** 10.37** 9.67** 10.84** 9.21** 13.35** 15.22**
1.19 9.70** 16.89** 17.07** 16.87** 14.82** 15.97** 14.25**
8.67** 15.77** 18.69** 18.41** 16.13** 17.79** 18.76** 17.89**
24.70** 31.96** 40.72** 38.76** 38.38** 34.81** 39.26** 41.45**
22.24** 15.18** 17.58** 17.65** 13.61** 13.10** 15.13** 14.68**
13.29** 14.69** 13.61** 10.30** 6.57** 6.90** 6.70** 5.86**
Mik. x Or.
Keterangan: MST = minggu setelah tanam; */** = berpengaruh nyata/sangat nyata mik = mikoriza An. = pupuk anorganik; Or. = pupuk organik
202
Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam (F-hit) Pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah panjang pelepah, bobot basah pelepah, bobot kering tajuk tanaman lidah buaya di lahan gambut. Peubah Panjang pelepah (MST) 8 12 16 20 24 28 32 36 Bobot basah Pelepah (MST) 36 Bobot Kering Tajuk (MST) 36
Mik.
An.
Or.
Mik x An..
Mik. x Or.
An x Or.
Mik x An. x Or
17.51** 16.98** 17.34** 16.64** 16.99** 19.55** 20.52** 22.30**
1.94 6.59** 10.77** 11.59** 11.77** 13.07** 14.77** 15.07**
1.36 3.46* 8.20 12.83** 12.79** 13.98** 15.29** 16.50
0.07 0.00 0.08 0.10 0.09 0.14 0.15 0.14
0.02 0.02 0.02 0.06 0.06 0.10 0.11 0.10
0.02 0.04 0.03 0.06 0.06 0.05 0.05 0.08
0.01 0.02 0.03 0.09 0.11 0.12 0.15 0.13
34.03**
57.19**
27.97**
0.67
0.34
0.17
0.53
94.78**
14.02**
25.48**
1.46
0.23
0.50
0.81
13.24** 31.62** 8.13** 4.54*
34.00** 7.51** 0.95 18.66**
14.97** 14.19** 15.69** 14.04**
1.40 0.79 1.14 1.99
0.35 0.55 0.41 1.17
0.48 0.99 0.35 0.92
0.68 0.66 0.75 1.45
Serapan Hara N P K Mg
Keterangan: MST = minggu setelah tanam; */** = berpengaruh nyata/sangat nyata mik = mikoriza An. = pupuk anorganik; Or. = pupuk organik
203
Tabel Lampiran 6. Nilai koefisien korelas antar peubah pada perlakuan pengaruh pemberian mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk organik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut.
TT9 JP9 LP9 TP9 PP9 BBP BK PLH SRPAN N SRPAN P SRPAN K SRPAN Mg
TT9
JP 9
LP 9
TP 9
PP 9
BBP
BK PLH
SRPAN N
SRPAN P
SRPAN K
0.700801 0.729126 0.615214 0.735812 0.793488 0.621744 0.500117 0.541115 0.18364 0.468526
0.626083 0.567642 0.659321 0.699037 0.656204 0.488558 0.541349 0.132859 0.484948
0.667208 0.757543 0.822632 0.460226 0.603537 0.389288 -0.00441 0.426007
0.595221 0.645015 0.434954 0.545287 0.383321 0.063154 0.369265
0.788959 0.567036 0.524113 0.458141 0.108663 0.477943
0.554851 0.654034 0.496553 0.119802 0.520641
0.456577 0.827981 0.368168 0.647489
0.287336 0.114646 0.392126
0.491669 0.685493
0.535846
Keterangan:
TT = tinggi tanaman JP = jumlah pelepah LP = lebar pelepah TP = tebal pelepah PP = panjang pelepah
BBP BK PLH SRPAN N SRPAN P SRPAN K SRPAN Mg
= bobot basah pelepah = bobot kering pelepah = serapan hara N = serapan hara P = serapan hara K = serapan hara Mg
204
Tabel Lampiran 7. Hasil analisis pupuk organik limbah ikan dan udang.
Kandungan hara Jenis pupuk N-Total (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
Ca (%)
Mg (%)
S (%)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
Ikan tanpa non-fermentasi
1.82
0.10
0.05
0.03
< 0.01
< 0.01
2
4
Ikan fermentasi
0.92
0.17
0.08
0.08
< 0.01
0.01
1
42
Udang fermentasi
0.55
0.08
0.01
0.15
0.01
< 0.01
1
35
Udang non-fermentasi
1.86
0.12
0.78
0.09
0.01
0.03
<1
4
Sumber : Hasil analisis Balai Penelitian Tanah, Bogor, 2007.