i digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERANGKAP KEMISKINAN PADA WARGA RELOKASI (Studi Korelasional Unsur-Unsur Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta)
TESIS Disusun untuk Memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Sosiologi
Oleh : Okta Hadi Nurcahyono S251208012
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERANGKAP KEMISKINAN PADA WARGA RELOKASI (Studi Korelasional Unsur-Unsur Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta)
TESIS Disusun untuk Memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Sosiologi
Oleh : Okta Hadi Nurcahyono S251208012
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul:‖ PERANGKAP KEMISKINAN PADA WARGA RELOKASI (Studi Korelasional Unsur-Unsur Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta)‖ ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan atau daftar pustaka. apabila ternyata ada di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi , baik Tesis beserta gelar magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Publikasi atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah harus menyertakan tim promotor atau author dan Pps UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta,
Okta Hadi Nurcahyono S25120804 commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
―........jangan ranggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bisa kemput‖ -Bumi ManusiaPramoedya Ananta Toer
―Seperti dalam judo, cara terbaik melayani gerakan lawan bukanlah dengan langkah surut, tetapi mengiringi gerakannya itu, memanfaatkannya demi keuntungan sendiri, persis seperti rehat sejenak sebalum menempuh tahap selanjutnya‖ Michel Foucault
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Tesis ini ku persembahkan kepada kedua orang tuaku : Ayahku, Alm. Hari Budiharso, yang sampai dititik akhir hayatnya masih berjuang mencari nafkah untuk keluarga dan menyekolahkan anaknya,dan Ibuku, Drs.Ismiyati, M.Pd, sebagai seoarang singgle parent yang selalu berjuang mengantarkan anaknya sampai merengkuh gelar master seperti dirinya.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memperkenankan saya untuk akhirnya dapat menyelesaikan naskah tesis ini, yang kemudian saya ajukan kepada dewan penguji, Pascasarjana Sosiologi, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada pertengan tahun 2014. Tanpa bantuan dari berbagai pihak dari awal hingga akhir, karya tesis ini tidak akan pernah berujud seperti sekarang. Untuk itu dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. Yulius Slamet, M.Sc, P,hD, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan secara gradual dan tersutruktur, juga berbagai kritik, saran dan ilmunya yang sangat berguna dalam penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr. Ahmad Zuber, S.Sos, DEA, yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini, dan memerikan komentar serta saran dalam meningkatkan kualitas tesis ini. Saya juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Argyo Demartoto, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Sosiologi sekaligus penguji , yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini dan juga saran yang sangat konstruktif dalam peningkatan kualitas tesis ini. Rasa terimakasih juga saya ingin sampaikan, kepada Pemerintah Kota Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meneliti di daerah Mojosongo. Serta kepada Warga Relokasi Pucangmojo, Kedungtungkul, Mojosongo,Surakarta, yang terbuka dan sangat membantu saya dalam proses penelitian. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada keluarga dan temanteman seangkatan baik S2 Sosiologi UNS 2012 juga S2 Antropologi UGM 2013 yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Saya menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian saya berharap tesis ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya.
commit to user
viii
Okta Hadi Nurcahyono
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................... LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................. PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI . MOTO ...................................................................................................... PERSEMBAHAN .................................................................................. KATA PENGANTAR ........................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ABSTRAK ............................................................................................. ABSTRACT ............................................................................................ BAB I
BAB II
BAB III
ii iii iv v vi vi vii viii ix x xi xii
: PENDAHULUAN................................................................
1
A. B. C. D.
Latar Belakang Masalah................................................... Perumusan Masalah ......................................................... Tujuan Penelitian ............................................................. Manfaat Penelitian ..........................................................
1 7 8 8
: TINJAUAN PUSTAKA......................................................
10
A. Tinjauan Pustaka ............................................................. 1. Kemiskinan ................................................................ a. Definisi Kemiskinan ............................................ b. Pendekatan Kemiskinan ...................................... 1. Kemiskinan Kultural ...................................... 2. Kemiskinan Struktural .................................. 2. Perangkap Kemiskinan ............................................. 3. Relokasi ...................................................................... 4. Paradigma Fakta Sosial............................................... 5. Teori Fungsionalisme ........................................... B. Penelitian yang Relevan ................................................... C. Orisinalitas ....................................................................... D. Kerangka Berfikir ........................................................... E. Hipotesis ..........................................................................
10 10 10 13 17 19 22 25 26 27 30 37 38 41
: METODE PENELITIAN.....................................................
44
1. 2. 3. 4. 5.
44 48 45 46 49
Tempat dan Waktu ............................................................ Jenis Penelitian ................................................................ Sampel dan Populasi ........................................................ Definisi Konsep ................................................................. commit to user Definisi Operasional .........................................................
ix
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
BAB V
digilib.uns.ac.id
6. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 7. Uji Keabsahan Data........................................................... 8. Teknik Analisis Data .......................................................
50 52 56
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................
69
A. Diskripsi Umum Lokasi Penelitian................................... 1. Kondisi Geografis Kelurahan Mojosongo, Surakarta.. 2. Struktur Pemerintahan................................................. 3. Kependudukan ............................................................ 4. Pendidikan .................................................................. 5. Kondisi Ekonomi Masyarakat .................................... 6. Gambaran Umum Perumahan Pucang Mojo ............. 7. Organisasi atau Lembaga Sosial pada Masyarakat.... 8. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pucang Mojo... B. Diskripsi Masing-masing Variabel.................................... 1. Kemiskinan Material (X1)........................................... 2. Kelemahan Jasmani (X2) ............................................ 3. Isolasi terhadap Pelayanan Publik (X3)....................... 4. Kerentanan (X4) .......................................................... 5. Ketidakberdayaan (X5) ................................................ C. Analisis Data ...................................................................... D. Pembahasan ........................................................................
69 69 70 71 71 71 72 73 73 74 75 82 87 95 102 106 122
: KESIMPULAN DAN SARAN ............................................
130
A. Simpulan ............................................................................... B. Implikasi .............................................................................. 1. Implikasi Teoritis ........................................................... 2. Impliasi Metodelogis ..................................................... C. Saran .................................................................................... 1. Bagi Warga Relokasi Pucangmojo ................................ 2. Bagi Pemerintah ............................................................ 3. Bagi Para Peneliti Lain ..................................................
130 129 132 133 133 133 134 137
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................
commit to user
x
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ......................................................................
44
Tabel 3.2 Uji Multikolinieritas 1 ...............................................................
60
Tabel 3.3 Uji Multikolinieritas 2 ...............................................................
61
Tabel 3.4 Uji Multikolinieritas 3 ...............................................................
61
Tabel 3.5 Uji Multikolinieritas 4 ...............................................................
62
Tabel 3.6 Uji Autokorelasi 1 .....................................................................
66
Tabel 3.7 Uji Autokorelasi 2 .....................................................................
66
Tabel 3.8 Uji Autokorelasi 3 .....................................................................
67
Tabel 3.9 Uji Autokorelasi 4 .....................................................................
67
Tabel 4.1 Kemampuan Makan sehari-hari ...............................................
76
Tabel 4.2 Kemampuan untuk Biaya sekolah anak ....................................
77
Tabel 4.3 Kemampuan Perabotan rumah tangga .......................................
78
Tabel 4.4 Kemampuan untuk Membeli pakaian, sepatu, dsb ....................
78
Tabel 4.5 Kemampuan untuk Membeli sabun,detergen, pasta gigi dsb ....
79
Tabel 4.6 Kemampuan untuk Rekreasi atau berpergian keluar kota .........
79
Tabel 4.7 Kemampuan untuk Berobat .......................................................
80
Tabel 4.8 Kemampuan untuk Membeli kendaraan ...................................
80
Tabel 4.9 Intensitas lama bekerja tiap hari..................................................
83
Tabel 4.10 Kesehatan badan .....................................................................
83
Tabel 4.11 Intensitas terserang penyakit ....................................................
84
Tabel 4.12 Daya tahan kerja .......................................................................
85
Tabel 4.13 Yang dirasakan setelah bekerja .................................................
86
Tabel 4.14 Intensitas mengkonsumsi obat ..................................................
87
Tabel 4.15 Mengunjungi Bank ..................................................................
87
commit to user Tabel 4.16 Mengunjungi Puskesmas, Rumah sakit (sarana kesehatan) ....
88
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.17 Mengunjungi Pasar atau pusat perdagangan ..........................
88
Tabel 4.18 Mengunjungi Kantor Pelayanan (kelurahan, PLN, dsb) .........
89
Tabel 4.19 Mengunjungi Sarana peribadatan (masjid atau gereja) ...........
89
Tabel 4.20 Kunjungan Ketua RT ...............................................................
90
Tabel 4.21 Kunjungan Ketua RW ..............................................................
91
Tabel 4.22 Kunjungan Lurah ......................................................................
91
Tabel 4.23 Kunjungan Camat ....................................................................
92
Tabel 4.24 Kunjungan Walikota ................................................................
92
Tabel 4.25 Kunjungan DPRD ....................................................................
93
Tabel 4.26 Penyuluh atau program pemberdayaan ...................................
94
Tabel 4.27 Aksebilitas Pendidikan ............................................................
94
Tabel 4.28 Respon terhadap Kelahiran bayi ..............................................
95
Tabel 4.29 Respon terhadap Sakit ..............................................................
96
Tabel 4.30 Respon terhadap Kematian ......................................................
96
Tabel 4.31 Respon terhadap Musibah .........................................................
97
Tabel 4.32 Respon terhadap Hajatan ...........................................................
97
Tabel 4.33 Respon terhadap Gagal panen/PHK ..........................................
98
Tabel 4.34 Rentan penyakit ........................................................................
99
Tabel 4.35 Rentan terhadap musim ............................................................
100
Tabel 4.36 Ketergantungan pada majikan ..................................................
100
Tabel 4.37 Pengaruh Kenaikan harga BBM ...............................................
101
Tabel 4.38 Ketidakberdayaan Bantuan pemerintah ....................................
102
Tabel 4.39 Kondisi Ekonomi keluarga ........................................................
103
Tabel 4.40 Tingkat Keberanian dalam rapat ................................................
104
Tabel 4.41 Kepastian hukum .......................................................................
105
Tabel 4.42 Hasil Uji Korelasi .......................................................................
106
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian..................................................
39
Gambar 2.2 Korelasi variabel kemiskinan material (X1)............................
40
Gambar 2.3 Korelasi variabel kelemahan jasmani (X2) .............................
40
Gambar 2.4 Korelasi variabel isolasi terhadap pelayan publik (X3)...........
41
Gambar 2.5 Korealasi kerentanan (X4) dan Ketidakberdayaan (X5) .........
41
Gambar. 3.1 Tabel Jadwal Penelitian ........................................................
44
Gambar. 3.2 Uji sebaran normalitas 1 .........................................................
58
Gambar. 3.3 Uji Sebaran normalitas 2 ..........................................................
58
Gambar. 3.4 Uji sebaran normalitas 3 ...........................................................
58
Gambar 3.5 Uji sebaran normalitas 4 ............................................................
59
Gambar 3.6 Uji sebaran Heteroskedastisitas 1...............................................
63
Gambar 3.7 Uji sebaran Heteroskedastisitas 2...............................................
64
Gambar 3.8 Uji sebaran Heteroskedastisitas 3...............................................
64
Gambar 3.9 Uji sebaran Heteroskedastisitas 4...............................................
65
Gambar 4.1 Peta Kelurahan Mojosongo .......................................................
69
Gambar 4.2 Bagan Struktur pemerintahan Desa...........................................
70
Grafik 4.1 Data tingkat pendidikan warga Mojosongo ................................
71
Grafik 4.2 Pendapatan rata-rata ....................................................................
75
Gambar 4.3 Fasilitas Masjid dan Gereja di Pucang Mojo ............................
110
Gambar 4.4 Buku-buku penarikan iuran warga ...........................................
113
Gambar 4.5 Hasil Uji Korelasi antar Variabel ...............................................
122
Gambar 4.6 Pemukiman Liar di Pucangsawit ................................................
123
Gambar 4.7 Rusunawa dan Perumahan Relokasi ...........................................
124
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Okta Hadi Nurcahyono. 2014. PERANGKAP KEMISKINAN PADA WARGA RELOKASI (Studi Korelasional Unsur-Unsur Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo,Jebres, Surakarta). Pembimbing I: Drs. Yulius Slamet, M.Sc, P.hD, Pembimbing II: Dr. Ahmad Zuber, S.Sos, D.EA, Program Studi Sosiologi, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Penelitian ini merupakan hasil dari interpretasi teori ―Perangkap Kemiskinan‖ Robert Chambers (1983) ke dalam paradigma fakta sosial (Emile Dhurkheim, 1964). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perangkap kemiskinan pada warga relokasi, dengan cara menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar unsur-unsur perangkap kemiskinan dalam hal ini: Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik, pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kemiskinan baik secara kultural yang dikembangkan oleh Oscar Lewis (1966) dan struktural oleh Selo Soemardjan (1980). Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan strategi ekplanatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala rumahtangga di Perumahan Relokasi Pucang mojo, Mojosongo, Surakarta. Adapun jumlah sampel diambil 50% dari keseluruhan jumlah populasi. Penelitian ini menggunakan kombinasi data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif yang dipakai adalah data dari jawaban 54 kepala rumah tangga terhadap quesioner penelitian. Untuk menguji hubungan antara unsur-unsur kemiskinan digunakan uji uji korelasi Korelasi Product Moment yang diolah dengan SPSS. 19.0. Adapun data kualitatif yang dipakai adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa: dari sepuluh hubungan antar variabel atau unsur yang ada setelah dilakukan uji korelasi yang terbukti mempunyai hubungan signifikan positif hanya empat, sementara keenam unsur yang lain tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Keempat unsur yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan antara lain : kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, kemiskinan material dengan kerentanan, kelemahan jasmani dengan kerentanan, dan isolasi terhadap pelayanan publik dengan ketidakberdayaan sedangkan untuk keenam hubungan yang tidak memiliki korelasi antara lain: kemiskinan material dengan isolasi terhadap pelayan publik, kemiskinan material dengan ketidakberdayaan, kelemahan jasmani dengan isolasi terhadap pelayan publik, kelemahan jasmani dengan ketidakberdayaan, isolasi terhadap pelayan publik dengan kerentanan, dan kerentanan dengan ketidakberdayaan. Temuan tersebut menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis yang dikemukakan oleh Robert Chambers (1983) dapat terbukti pada konteks kemiskinan perkotaan, khususnya warga relokasi Pucang mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Kata kunci: perangkap kemiskinan, kemiskinan material, kelemahan jasmani, isolasi terhadap pelayanan publik, kerentananan, dan ketidakberdayaan. commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Okta Hadi Nurcahyono. 2014. POVERTY TRAP AMONG THE RELOCATED MEMBERS OF SOCIETY (A Qorrelational Study on the elements of Poverty Trap among the Relocated Members of Society in Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta). First Counselor: Dr. Yulius Slamet, M.Sc, P.hD, Second Counselor: Dr. Ahmad Zuber, S.Sos, D.EA, Sociology Study Program, Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University. ABSTRACT This study is an interpretation of the theory "Poverty Trap" by Robert Chambers (1983) to the social facts paradigm (Emile Dhurkheim, 1964). The purpose was to determine whether or not poverty trap in the resident relocation, That is a way with explaining whether there any relationship between the elements of the poverty trap in this case: Powerlessness, vulnerability, physical weakness, material poverty, and isolation of the Public Service, the resident relocation Pucang Mojo, Kedung Tungkol, Mojosongo, Surakarta. This study was a survey research with explanation strategy. The population of research was all relocated people in Pucang Mojo, Mojosongo, Surakarta. The number of sample was taken 50% out of total population. This research approach both cultural poverty theory by Oscar Lewis (1966) and structural proverty by Selo Soemardjan (1980). This research is survey research with an explanatory strategy. The study population was all heads of households in Housing Relocation Pucang mojo, Mojosongo, Surakarta.The number of sample was taken 50% out of total population. This study using a combination of quantitative and qualitative data.Quantitative data using data from 54 head of household answers the questioner research. To examine the relationship between the elements of poverty used test correlation Product Moment Correlation tests were processed using SPSS 19.0. As for the qualitative data using data obtained from interviews and observations.The result of discussion showed that: out of ten relationships between variables or elements existing, only four categorized into significant relationship, while the other six elements were proved insignificant. The four elements are shown to have a significant association among others: the poverty of material with physical weakness, material poverty with vulnerability, physical weakness with vulnerability, and isolation of the public service with the helplessness while the sixth has no correlation relationships such as: poverty with insulating material to public servants, the material poverty with powerlessness, physical weakness with insulation against public servants, physical weakness with powerlessness, isolation against public servants with vulnerability, and vulnerability to helplessness. This finding showed that not all hypotheses suggested by Robert Chambers (1983) could be proved in the context of urban poverty, particularly among the relocated people in Pucangmojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Keywords: poverty trap, powerlessness, vulnerability, physical weakness, material poverty, and isolation of the public service commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan seakan menjadi fenomena yang selalu hadir di negara-negara berkembang, termasuk juga terjadi di Indonesia. Jumlah penduduk di daerah perkotaan selalu mengalami pertumbuhan. Ada dua hal yang menjadi penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan yaitu: Pertama, penambahan alamiah yang diperoleh dari lebih banyaknya angka kelahiran daripada angka kematian, yang kedua adalah migrasi orang-orang pedesaan yang ke kota (Dorojatun. 1986:40). Menurut sensus penduduk 2010, sebanyak 49,8 persen dari 237,6 juta penduduk Indonesia tinggal di kota atau lebih tepatnya sekitar 118.320.256 jiwa penduduk Indonesia tinggal di perkotaan (BPS, Oktober 2013). Jika dilihat dari angka tersebut menunjukan semakin lama kota akan mengalami pertumbuhan dan bahkan mengalami ledakan jumlah penduduknya. Kota akan cenderung tumbuh dan kompleks karena kota mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatang-pendatang baru dari pedesaan atau dari kota-kota tempat tinggal lainya (Suparlan,1993).
Pertumbuhan penduduk
perkotaan akan berimplikasi langsung terhadap aksebilitas sumberdaya yang ada diperkotaan, salah satunya bidang pemukiman dan perumahan. Tetapi ruang yang disediakan di perkotaan tidaklah sebanding dengan jumlah penduduk yang mendiaminya. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan terjadi proses kompetensi antar penduduk yang mampu untuk mengaksesnya dengan yang tidak dapat mengaksesnya. Golongan penduduk yang tidak mampu atau golongan miskin seakan tersisihkan (marginal people). Kelompok marginal tersebut akan menyerbu tempat-tempat kosong yang mungkin masih bisa ditempati seperti gubug-gubug kereta api yang sudah tidak dipergunakan, lahan-lahan kosong di tepi atau bantaran sungai, pinggir-pinggir jalan kereta api, belakang rumah-rumah, lorong lorong, sekitar pabrik, pinggiran kota, atau kuburan yang sudah tidak terurus. Menurut Oscar Lewis (1966) fenomena penduduk termarginalkan ini disebutnya sebagai bentuk budaya kemiskinan. Dimana para penduduk yang termarginalkan ini akan memunculkan pengelompokan tidak resmi atau commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
perkumpulan-perkumpulan secara spontan yang berdiri di wilayah kumuh (slum). Perkumpulan-perkumpulan spontan ini akan membentuk kolektivitas atau yang disebut Geertz sebagai kemiskinan bersama. Menurut Geertz (1963) kemiskinan bersama merupakan sebuah konsekuensi dari involusi usaha tani, tingkat produktivitas yang tidak naik bahkan turun mendorong pembagian rezeki atau nafkah yang rendah bagi semua. Jika ditarik dalam konteks kemiskinan perkotaan masyarakat miskin yang hidup di slum area akan akan secara kolektif mengalami kemiskinan bersama sebagai akibat tidak terserapnya akses sumberdaya yang ada. Kemiskinan perkotaan seperti ini memunculkan masalah yang sangat kompleks. Menurut Suparlan (1993), kompleksitas kemiskinan perkotaan bukan hanya kasus yang tunggal dan berimplikasi tunggal tetapi bagaimana implikasi sosial dan budayanya, bukan hanya melibatkan masalah sosial yang ada di kota yang bersangkutan saja atau hanya menjadi masalah orang miskin kota tersebut tetapi juga melibatkan masalah yang di pedesaan dan kota-kota lainnya juga golongan sosial lainnya yang ada di kota tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut menurut Oscar Lewis (1966), penduduk miskin kota berasal dari para pendatang yang berasal dari buruh tani yang tidak mempunyai tanah di desa yang lebih mungkin mengembangkan budaya kemiskinan daripada para pendatang yang berasal dari petani desa yang lebih mapan dengan kebudayaan tradisonal yang terorganisasikan dengan baik. Perumahan kumuh merupakan salah satu perwujudan dimensi kemiskinan paling nyata (Gilbert&Gugler. 2007: 107). Itulah sebabnya mengapa perumahan mewakili masalah yang bersifat emotif di berbagai kota di dunia. Kondisi tempat tinggal yang kumuh, kotor dan saling behimpitan dengan fasilitas seadaanya, jelas membuat tafsir tunggal bahwa orang yang tinggal ditempat tersebut pada kondisi miskin. Di India lebih dari 50% keluarga di perkotaan menempati satu kamar, dengan rata-rata kamarnya dihuni oleh 4,4 orang dan di Bombay 77% keluarga dengan rata-rata 5,3 orang berada dalam satu kamar, dan ditempat lain dipaksa tidur di trotoar pada malam harinya (Gilbert&Gugler. 2007: 108). Masalah spasial yang bermuara pada masalah kemiskinan merupakan masalah klasik diperkotaan. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk yaitu tempat tinggal (papan) karena bertambahnya commit to jumlah user penduduk akibat pertumbuhan
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penduduk tersebut mengakibatkan berkembangnya kantong-kantong permukiman kumuh dan liar (slum area). Dilihat dari berbagai aspek kondisi lingkungan kumuh umumnya tak teratur, kotor, kurang sehat dan tidak estetis serta keadaannya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kota, sehingga untuk mewujudkan kawasan kota yang tertata secara lebih baik sesuai dengan fungsinya dituntut adanya usahausaha peremajaan terhadap kawasan permukiman yang keadaannya sudah sangat tidak sesuai lagi untuk dipertahankan, atau usaha-usaha lain untuk memperbaiki kawasan tersebut. Pada umumnya perencana perkotaan bukkanlah orang yang memiliki rasa kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka mempersoalkan untuk jangka panjang orang miskin tidaklah menguntungkan dikarenakan kemacetan seperti yang ditimbulakan oleh tukang becak dan lingukangan kumuh yang merusak pemandangan kota (Dorojatun. 1986: 51). Peran Pemerintah dalam hal ini diperlukan dalam upayanya untuk menata pemukiman yang kualitas lingkungan dan huniannya rendah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah lingkungan permukiman kumuh, misalnya pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh Perum Perumnas, Program Perbaikan Kampung (KIP) serta Peremajaan Kota (urban renewal). Sehingga dengan adanya program-program yang bersifat teknis tersebut satu-satunya jalan yang ditawarkan pemerintah adalah merelokasi pemukiman kumuh yang merusak pemandangan kota. Penataan pemukiman kumuh dengan berbagai macam kebijakan yang bersifat tehnik dengan berbagai pendekatan dilakukan pemerintah kota. Salah satunya dengan merelokasi pemukiman kumuh yang ada ke pinggiran kota. Tujuan akhir dari relokasi ini adalah memindahkan masyarakat ke pemukiman baru yang telah dipersiapkan sarana dan prasarana pendukungnya diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat. Dalam relokasi perlu jaminan agar masyarakat tidak dirugikan sehingga tidak merusak struktur dan sistem masyarakat, sumber produktif (pendapatan dan mata pencaharian), dan budayanya. Jika dengan adanya relokasi masyarakat tercerabut dari struktur sosial, dan aksebelitas sumber mata pencaharian maka akan mendorong timbulnya eksploitasi sistem, kesulitan hidup, konflik bahkan kemiskinan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
Kota Surakarta merupakan salah satu kota berkembang di Indonesia, sehingga menjadiakan daya tarik (pull factor) bagi para kaum urban untuk tinggal di kota ini. Meledaknya kaum urban mengakibatkan beberapa kantong-kantong wilayah kumuh bermunculan di kota ini. Wilayah kumuh di Kota Surakarta banyak kemudian menghuni di sekitar bantaran sungai Bengawan Solo dan di sepanjang rel kereta api di daerah Pucangsawit. Relokasi merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah kota untuk menata kembali lingkungan kumuh, dan mengalih fungsikan lahan yang ada untuk kepentingan umum misalnya digunakan untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau). UU RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang ―Perumahan dan Kawasan Permukiman‖ dan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor. 8 Tahun 2009 Tentang ―Bangunan‖ Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Relokasi seakan menjadi jalan terakhir yang selalu diambil oleh Pemerintah Kota dalam menata kota, khususnya dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta. Di Kota Surakarta sendiri banyak kemudian lahan-lahan kumuh disulap menjadi tamantaman kota. Seperti pada kasus peelitian ini, lahan bekas relokasi di kelurahan Pucangsawit kemudian dijadikan taman atau hutan kota yang bernama ―Taman Urban Forest‖. Ada dua tipe relokasi hunian yang dijalankan Pemerintah Kota Surakarta dalam merelokasi wargayanya yaitu: Pertama, memindahkan warganya ke ―RUSUNAWA‖ rumah susun sederhana dan yang kedua memindahkan warga kawasan kumuh (slum area) ke wilayah pinggiran kota. Pada pola yang pertama dapat dilihat bahwa ada perubahan pola pemukiman atau hunian warga dari yang berpola horisontal ke vertikal. Sedangkan pola yang kedua dapat dilihat tidak ada perubahan pola pemukiman, tetapi yang menjadi masalah kemudian adalah aksebilitas. Satu kasus yang menarik pada pola relokasi yang kedua adalah relokasi pemukiman kumuh di Keluruhan Pucangsawit ke Kelurahan Mojosongo. Mojosongo adalah salah satu kelurahan yang wilayahnya bereda di pinggiran Kota Surakarta. Sebagai kelurahan terluas di wilayah Kota Surakarta, lahan daerah Mojosongo masih terbuka cukup luas yang dapat diperuntukan untuk commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hunian. Banyak kemudian hunian berupa perumahan-perumahan bermunculan di daerah ini. Sehingga kelurahan ini merupakan destinasi utama pemerintah untuk merelokasi warganya. Selain sebagai daerah yang memiliki wilayah terluas Kelurahan Mojosongo juga menempatkan Mojosongo sebagai kelurahan dengan penduduk terbanyak di Kota Surakarta. Jumlah penduduk mojosongo pada sensus penduduk 2010, berjumlah 43,863 jiwa (BPS. Oktober 2013). Sebagai konsekuensi dari kelurahan yang memiliki wilayah terluas dan jumlah penduduk terbanyak maka Kelurahan Mojosongo ini
tercatat sebagai kelurahan yang memiliki jumlah
keluarga misikin terbanyak di Kota Surakarta, yaitu sebesar 21 % dari total penduduk miskin Kota Surakarta. Menurut data dari pencatatan bantuan RASKIN (Beras untuk Keluarga Miskin) pada akhir tahun 2013 kelurahan Mojongo, terdapat 4.403 kepala keluarga yang tergolong miskin. Jika dilihat dari fenomena di atas maka kemiskinan dan relokasi menjadi satu bagian integral yang tidak terpisahkan Kasus kemiskinan dan relokasi ini menjadi menarik untuk dikaji secara akademis. Maka tema kemiskinan dan relokasi merupakan tema besar dalam penelitian ini. Secara spesifik penelitian ini mengambil konsentrasi kajian pada perangkap kemiskinan pada warga relokasi khususnya di RT 3 / RW VII (Paguyuban Perumahan Relokasi Pucang Mojo) di Kedung Tungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Kasus ini menarik
karena
komunitas masyarakat yang menempati perumahan ini merupakan warga penghuni liar di Bantaran Timur sungai Kali Anyar (RT 1 dan 2 RW II ) serta warga yang menempati lokasi di daerah Pucang sawit yang dapat digolongkan kedalam kelompok miskin perkotaan. Menurut Chambers (1987:145) rumah tangga miskin dan lingkungannya terjebak dalam satu mata rantai, Mata rantai ini kadang-kadang disebut sebagai lingkaran setan, sindrom kemiskinan, atau perangkap kemiskinan. Penelitian Chambers
ini
seakan
menjadi
inspirasi
bagi
penelitian-penelitian
yang
memfokuskan kajian pada masalah kemiskinan khususnya kemiskinan pedesaan (rural provety). Sejalan dengan pemikiran dari Chamber, Permasalahan kemiskinan yang dialami oleh keluarga miskin tidak hanya di dominasi oleh unsur kekurangan materi semata melainkan juga terdapat unsur-unsur lain dalam kemiskinan mereka yaitu unsur kelemahan jasmani, keadaan committerasing to user (isolasi), rentan dan tidakberdaya
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
yang tentu saja keadaan tersebut menimpa keluarga miskin dengan kadar penderitaan yang berbeda satu dengan yang lainnya (Arifiyanto. 2002). Penelitian ini menjadi menarik karena melihat fenomena kemiskinan perkotaan dan warga relokasi dengan kacamata deduktif. Yaitu dengan cara menginterpretasi sebuah teori aplikatif dari seorang Antropolog bernama Robert Chambers (1983) dengan teori ―perangkap kemiskinan (provety trap)‖ ke paradigma fakta sosial (Emile Durkheim, 1964), Degan kata lain melakukan menggunakan metode penelitian yang berbeda jika Chambers (1983) merumuskan teori perangkap kemiskinan ini menggunakan etnografi dengan pendekatan PRA (participatory rural aparsial), maka penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, teori ini diperkenalkan oleh Robert Chambers (1983) melalui karyanya Rural Development: Putting the Last Fist, Melalui karyanya dalam bidang pembangunan pedesaan inilah Chambers (1983) merumuskan satu teori yang diberi nama ―Perangkap Kemiskinan (provety trap)― disalah satu bagian bukunya. Karya ini didapatkan setelah melakukan beberapa penelitian pedesaan di Asia dan Afrika khususnya di Kenya, Botsnawa, Srilangka, dan India. Penelitian sejenis pernah dilakukan di Indonesia yaitu oleh Arifiyanto (2002) juga pada konteks kemiskinan pedesaan yaitu pada perkampungan nelayan. Tetapi penelitian ini mengambil segmen kemiskinan perkotaan. Segmen kemikinan perkotaan yang dialami oleh warga relokasi ini menjadi pembeda dengan penelitian terdahulunya baik Chambers (1983) dan Arfiyanto (2002). Pengambilan segmen kemiskinan perkotaan ini sangat menarik dimana tren kemiskinan perkotaan akan cenderung terus meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Selain itu pengambilan warga relokasi sebagai subjek penelitian ini sangat menarik, karena belum ada penelitian sejenis yang meneliti perangkap kemiskinan pada warga relokasi. Kebanyakan peneliti kususnya peneliti sosial perkotaan mengkhususkan studinya pada mobilitas, atau perubahan sosialnya pada warga relokasi. Maka peneliti berani mengklaim bahwa belum ada peneliti lain yang mengkaji warga relokasi yang berfokus pada konteks perangkap kemiskinannya, juga belum ada penelitian sejenis yang membawa teori dari Chambers (1983) ke dalam ruang lingkup perkotaan. commitkemiskinan to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu pada penelitian ini ada beberapa penyesuaian dari unsur dalam konsep perangkap kemiskinan yang dikemukakan Chambers (1983), yaitu keadaan terasing atau isolasi yang kurang tepat jika digunakan dalam konteks kemiskinan perkotaan, maka peneliti menggantinya dengan isolasi terhadap pelayanan publik. Selain itu unsur kemiskinan yang ada dalam yang ada dalam teori perangkap kemiskinan, dirasa membikin rancu dan terlalu luas paramaternya, maka dari itu kemudian diubah menjadi kemiskinan material. Penelitian ini sebagai jawaban atas hipotesis yang dirusmuskan Chambers (1983) yang menyatakan bahwa ada hubungkan antar unsur-unsur
dalam
Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan, dan Isolasi sehingga membentuk sebuah mata rantai yang dia sebut sebagai ―perangkap kemiskinan (porverty trap)”. Tentu saja dengan paradigma dan metode yang berbeda pula. Untuk membuktikan ada atau tidaknya perangkap kemiskinan pada warga relokasi yang dialami warga relokasi Kedungtungkul Mojosongo, Surakarta. Maka peneliti merumuskan berbagai masalah di atas dengan Judul ―Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi (Studi Korelasional Unsur-unsur Perangkap Kemiskinan pada Warga Relokasi, Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta)‖.
B. Perumusan Masalah Kemiskinan perkotaan merupakan fokus utama dalam penelitian ini seperti apa yang sudah dipaparkan dalam latar belakang, dan perangkap kemiskinan menjadi satu-satunya jalan bagi penelitian ini untuk dapat melihat kemiskinan perkotaan tersebut. Maka rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah: Adakah
―perangkap kemiskinan‖ (Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan
Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik) yang terjadi pada warga relokasi Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Adakah hubungan yang signifikan antar unsur-unsur perangkap kemiskinan yaitu: Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta? commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar perumusan masalah di atas maka tujuan yaitu penelitian ini adalah: Pertama, untuk mengetahui ada atau tidaknya perangkap kemiskinan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Sesuai dengan hipotesis Chambers (1983) yang menyatakan bahwa perangkap kemiskinan terbentuk jika kelima unsur (Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan, dan Isolasi) saling berhubungan. Maka dengan cara menjelaskan hubungan antar unsur-unsur perangkap kemiskinan yaitu: Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik atau dengan kata lain mencari korelasi antar unsur-unsur tersebut dapat diketahui ada tidaknya perangkap kemiskinan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dicapai melalui kegiatan penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis a) Dapat diketahuinya perangkap kemiskinan dengan memberikan gambaran sejauh mana perangkap kemiskinan yang dialami oleh warga korban relokasi, dalam hal ini adalah tingkat kemiskinan material, tingkat kerentanan, ketidakberdayaan, kelemahan jasmani, dan isolasi terhadap pelayanan publik, yang dialami oleh warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Sehingga dapat memberikan maping (memetakan) masalah-masalah tersebut kepada pihak-pihak pemangku kebijakan untuk dapat mengambil kebijakan strategis bagi para warga relokasi tersebut. b) Dapat diketahuinya hubungan diantara unsur-unsur perangkap kemiskinan yaitu: Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik. Maka kita dapat menilai faktor mana yang dominan, dan bagaimana cara memotong mata rantai perangkap kemiskinan tersebut dengan berbagai rencana strategis dan mengoptimalkan lembaga sosial yang ada salah satunya adalah kelompok kerja. commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang keilmuan sosiologi dengan spesifikasi pada pembangunan sumber daya manusia, terlebih pada masalah kemiskinan. Tesis seakan menjadi alternatif baru bagi teori perangkap kemiskinan yang ditawarkan Robert Chambers (1983), karena penelitian ini merupakan hasil interpretasi ke dalam paradigma fakta sosial (Emile Durkheim, 1965). Peneltian
Chamber
(1983)
lebih
mengkhususkan
pada
kajian
kemiskinan pedesaan (rural proverty), tetapi dalam tesis ini menggunakan teori perangkap kemiskinan pada konteks kemiskinan perkotaan (urban proverty) terlebih pada warga relokasi. Selain itu, tesis ini sebagai jawaban dari hipotesis yang sudah dirumuskan oleh Robert Chambers (1983), yang menyatakan bahwa kelima unsur perangkap kemiskinan (kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, ketidakberdayaan, dan kerentanan) saling berhubungan satu dengan lain sehingga membentuk satu mata rantai kemiskinan atau perangkap kemiskinan. Tentu saja dengan interpretasi ke dalam paradigma dan metode penelitian yang berbeda. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat diketahuinya masingmasing unsur dalam teori perangkap kemiskinan dalam konteks warga relokasi perkotaan. Sehingga apa yang menjadi temuan dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai teori ―Perangkap Kemiskinan‖ pada masalah kemiskinan perotaan khususnya yang dialami oleh warga relokasi. Juga diharapkan dengan tesis ini, dapat memberikan suatu gambaran teoritis terkait dengan fenomena kemiskinan perkotaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kemiskinan a) Definisi Kemiskinan Pada dasarnya kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada, dan mungkin akan selalu ada sepanjang umat manusia ada. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan, pendekatan, yang mampu menjawab fenomena-fenomena kemiskinan dengan tepat. Tetapi kemudian banyak ahli mendendefinisikan fenomena kemiskinan. Sehubungan dengan hal itu World Bank (Bank Dunia) memberikan pengertian mengenai kemiskinan yaitu : Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being, sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being go to school and not knowing how to read. Poverty is not having to job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness brought about by unclean water. Poverty is powerless lack of representation and freedom, Yang berarti: Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah kurangnya tempat tinggal. Kemiskinan sedang sakit dan tidak bisa ke dokter. Kemiskinan tidak sedang pergi ke sekolah dan tidak tahu cara membaca. Kemiskinan tidak memiliki pekerjaan, adalah ketakutan untuk masa depan, yang hidup satu hari pada satu waktu. Kemiskinan kehilangan seorang anak terhadap penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah kurangnya berdaya representasi dan kebebasan (www.world bank.org). Sementara itu menurut BPS (Slamet. 2012: 69) ada empatbelas indikator pengukuran kemiskinan dalam rumah tangga yaitu: 1. Lantai rumah tinggal kurang dari delapan meter persegi perorang, 2. Lantai rumah terbuat dari tanah 3. Dinding rumah terbuat dari bambu atau kayu berkualitas rendah, atau tidak terbuat dari batu bata yang diplester 4. Tidak memiliki fasilitas MCK, commit to user rumah, 5. Tidak memiliki listrik sebagai penerangan
10
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Minum air yang berasal dari sumur atau sumber yang tidak terlindungi/ suangai atau air hujan, 7. Energi masak untuk sehari-hari adalah kayu arang, atau minyak tanah, 8. Mengkonsumsi daging /susu/ayam hanya sekali seminggu, 9. Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun, 10. Hanya bisa makan satu atau dua kali sehari, 11. Tidak dapat membayar biaya kesehatan dipuskesmas atau poliklinik, 12. Sumber pendapatan kepala rumah tangga : petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar, buruh tani, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau tenaga lain, yang memiliki pendapatan kurang dari Rp.600.000/bulan 13. Tingkat
pendidikan
kepala
rumah
tangga
tidak
sekolah
tidak
menyelesaikan sekolah dasar atau hanya lulus sekolah dasar, 14. Tidak memiliki tabungan dan atau barang lain yang mudah dijual seharga Rp. 500.000, yang seharga seperti emas, sepeda motor, perahu, atau barang-barang lain yang mudah dijual. Menurut Sayogyo, garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara dengan nilai beras dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah. Sayogyo juga mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga tipe yaitu: miskin (poor) sangat miskin (very poor), dan termiskin (poorest). Pengklasifikasian ini didasrkan pada pendapatan yang diperoleh setiap orang dalam setiap tahun. Orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320 kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan atau minum 1900 kalori/orang/hari dan 40 protein/orang/hari. Orang sangat miskin penghasilan antara 240 kg, 320 kg beras/tahun, dan orang yang digolongkan sangat miskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg 240 beras/orang/tahun. (Suyanto. 1995: 4). Ada dua definisi tentang kemiskinan yaitu: definisi substantif dan definisi berdasarkan sebuah analisis commit tentang to user kekurangan (debriviasi) relatif.
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
Konsep subtansi tentang kemiskinan didasarkan pada sebuah pemikiran tentang tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk membeli makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rata-rata nutrisi dari setiap orang dewasa dan anak-anak dalam sebuah keluarga. Sedangkan kemiskinan dalam artian kekurangan relatif berarti sebuah individu dalam keluarga dan kelompok dalam satu populasi dapat dikatakan berada dalam keadaan miskin apabila mereka kekurangan sumberdaya untuk memperoleh jenis-jenis makanan, kekurangan, dalam berpartsipasi dalam kegiatan-kegiatan, dan berkurangnya syarat-syarat fasilitas hidup yang umum, atau setidaknya didukung atau disetujui secara luas didalam masyarakat di mana mereka tinggal (Webster dalam Slamet. 2012: 59-60). Jika dilihat dari aspek kebutuhan dasar, Manullang (1971) membedakan kebutuhan pokok (basic needs) menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan skunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling utama, untuk mempertahankan hidup seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer seperti alat-alat dan perabotan. Kemudian para pakar kemiskinan dan lembaga pemerintah mencoba menetapkan garis kemiskinan tersebut berdasarkan alasan yang logis, yaitu berdasarkan kebutuhan pokok (basic needs). Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia baik yang berupa konsumsi individu seperti perumahan, pakaian, ataupun keperluan pelayanan sosial seperti kebutuhan air minum, transportasi, kesehatan, dan pendidikan (Sumardi dan Dieter, 1985). Kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar kebutuhan yang sudah ditetapkan (Suparlan, 1993). Kemiskinan dapat juga ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan seseorang menjadi miskin. Merumuskan definisi kemiskinan sangatlah kompleks dan banyak segmen yang harus dipertimbangkan. Menurut Effendi (1993) kemiskinan dapat ditinjau dari tinjauan ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi kemiskinan adalah kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara sosial kemiskinan diartikan kekurangan jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik kemiskinan diartikan kekurangan akses terhadap kekuasaan.
b) Pendekatan Kemiskinan Kemiskinan pada dasarnya tidak berdimensi tunggal dan dalam prespektif ekonomi bersifat majemuk yang didasarkan pada kebutuhan dasar manusia yang mencakup diantaranya subtensi, proteksi, afeksi, pemahaman, patisipasi dan identitas. Kemiskinan dapat berarti tidak terpenuhinya secara cukup atau memadai salah satu, sebagian atau kebutuhan dasar. Kemiskinan substensi
diantaranya
disebabkan
oleh
rendahnya
pendapatan,
tidak
terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar lainya seperti air bersih, penerangan, dan sejenisnya. Kemiskinan proteksi atau perlindungan akibat meluasnya budaya kekerasan dan sistem pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Kemiskinan afeksi yang muncul sebagai akibat dari adanya penindasan, pola hubungan eksploratif antar manusia dan manusia commit to user dengan alam. Kemiskinan pemahaman akibat kualitas pedididikan yang rendah.
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemiskinan partisipatif sebagai akibat adanya proses peminggiran terhadap rakyat secara sistematis dari proses pengambilan keputusan dan diskriminasi. Kemiskinan identitas adalah muncul karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal dan adanya migrasi terpaksa (Hafidz :2005). Akar kemiskinan itu sendiri sesungguhnya bukan terletak pada sisi internal si miskin semata tetapi lebih mengarah kepada persoalan struktural, seperti pendekatan pemabangunan yang lebih mengarah pada pertumbuhan ekonomi, sehingga secara tidak langsung menyinggkirkan si miskin. Dengan paradigama pembangunan demikian maka dengan sendirinya tidak sengaja memperluas jurang kesenjangan sosial ekonomi, tetapi secara struktural dapat melahirkan strategi penanggulangan kemiskianan yang mengabaikan hak-hak dasar dan penghormatan bagi kelompok miskin baik hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budayanya. Menurut penanggulangan
Gavin
Jones
kemiskinan
(Dorojatun:
yang
1986)
berkembang
strategi
selama
ini
kebijakan setidaknya
dipengaruhi oleh empat pendekatan, yakni pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan kemampuan dasar, pendekatan obyektif dan subjektif. Dengan pendekatan kebutuhan dasar maka dapat dihitung penduduk miskin seperti yang dilakuakan oleh Badan Pusat Statistika (BPS), maka dengan pendekatan ini kemiskinan terkonseptualisasi sebagai ketikdakmampuan si miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Keempat pendekatan itu cenderung melihat kemiskinan sebagai akibat dari ketidakmampuan internal seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, dan kurang memandang persoalan-persoalan struktural. Pendekatan ini banyak masalah yang mendasar yang tidakhanya pada persoalan strategi tetapi juga konseptual yang mendasarinya. Pendekatan cenderung meletakan si miskin sebagai objek serta penerapan strategi penanggulangan kemiskianan yang berorientasi pada ekonomi yang tidak mampu memecahkan pokok persolan kemiskinan. Sementara itu kompleksitas kemiskinan khususnya di perkotaan kaitannya dengan empat dimensi pokok. Pertama, derasnya arus urbanisasi yang menyebabkan rendahnya aksescommit pada sumberdaya yang diperebutkan. Kedua, to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara otomatis memiliki dampak pula pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat kota. Ketiga, akibat selanjutnya adalah rendahnya tingkat kesadaran kritis masyarakat, karena kesibukan guna mememenuhi kebutuhan substensinya bersamaan dengan itu munculah kerentatan akan tindak kekerasan. Keempat, rendahnya partisipasi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Mulyani : 2005). Jumlah miskin di daerah perkotaan tetap banyak dan bertambah oleh dua hal: Penambahan alamiah lebih banyak kelahiran daripada kematian, dan migrasi orang-orang pedesaan yang miskin ke kota (Dorojatun .1986: 40). Permasalahan lain adalah masalah tempat tinggal dan gizi buruk yang diderita masyarakat miskin di perkotaan. Tidak jarang mereka bertempat tinggal di sepetak rumah sewa yang berdidindingkan bambu atau kardus dengan lantai tanah. Tanpa listrik air, air bersih, tanah, maupun jamaban. Mungkin mereka memiliki radio, jam tangan, tentu jarang yang memiliki lemari es bahkan kendaraan bermotor. Dari segi kesehatan para kaum migran miskin kota tidak pernah memeriksakan diri ke dokter kecuali saat sakit parah. Pada umumnya perencana perkotaan bukkanlah orang yang memiliki rasa
kemanusiaan.
(Dorojatun.
1986:
51).
Kebanyakan
dari
mereka
mempersoalkan untuk jangka panjang orang miskin tidaklah menguntungkan dikarenakan kemacetan seperti yang ditimbulakan oleh tukang becak, lingukangan kumuh yang merusak pemandangan kota, demikian juga yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima.
Ketimpangan dalam rencana
pembangunan kota lebih mementingkan golongan menengah dan golongan atas. Kekausaan
elit
mempunyai
kepentingan
sendiri
dan
golongan
yang
berkepentingan tertentu senantiasa bekerja untuk dapat menggagalkan rencana yang baik dan obyektif. Proyek baik yang dimaksud disini adalah proyek perbaikan kampung, yang merupakan proyek jasa yang mendapatkan dana yang cukup besar dari Bank Dunia (Dorojatun, 1986 :54-55). Seperti yang kita ketahui, banyak teori dan pendektan dalam memahami permasalah kemiskinan. Tetapi secara garis besar terdapat dua paradigma dalam masalah kemiskinan ini. Dua paradigma yang dimaksud adalah Neo-Liberal dan Demokrasi-sosial. Dua paradigma ini to memiliki perbedaan yang sangat jelas commit user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terutama dalam melihat kemiskinan maupun dalam memberikan solusi penyelesaian masalah kemiskinan. Paradigma Neo-liberal berpendapat bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan dan pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang apabila kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat ‗residual‘, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Sementara itu, negara hanya berperan sebagai penjaga malam dan baru dapat melakukan campur tangan apabila lembaga- lembaga tersebut tidak mampu menjalankan tugasnya. Teori Neo-Liberal yakin bahwa berkat keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi secara alamiah akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Paradigma
Sosial Demokrat berpendapat bahwa kemiskinan bukan
merupakan persoalan individual, melainkan merupakan persoalan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumbersumber kemasyarakatan. Para pendukung Sosial-Demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian kebebasan. Terwujudnya kebebasan hanya dapat dicapai apabila setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, misalnya pendidikan dan kesehatan yang baik serta pendapatan yang cukup. Negara mempunyai peranan penting dalam menjamin setiap orang dapat berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dalam memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas perbedaan pandangan Neo-liberal dengan Sosial-Demokrat terhadap kemskinan dapat disajikan dalam tabel berikut. Dari berbagai pendekatan dalam melihat masalah kemiskinan maka dapat disimpulkan
bahwa kemiskinan merupakan kondisi ketidakberdayaan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kehidupan dan penghidupannya karena ketidakadilan dalam bidang multidimensi baik politik, ekonomi, sosial budaya dan aksebilitas informasi.
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan asumsi kedua paradigma kemiskinan tersebut ada dua jenis pendekatan kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Kemiskinan Kultural Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. Jika membahas mengenai kemiskinan kultural erat kaitannya dengan karya Oscar Lewis (1966) yang berjudul ― Five Families: Mexican Case Studies in the Cultural Poverty” yang menyatakan bahwa budaya kemiskinan adalah salah satu istilah yang merujuk pada pola kehidupan, seperangkat keyakinan, dan perilaku yang tipikal yang terjadi pada masyarakat dalam satu lingkungan yang didominasi warga dalam kondisi kekurangan secara ekonomi. Lebih lanjut Slamet (2012:62-63) menyatakan bahwa karena kekurangan diketemukan di dalam masyarakat yang melarat yang dibangun atas dasar kekurangan, isolasi, diskriminasi, pendidikan yang rendah, kekurangan pekerjaan, kejahatan, obat obatan terlarang, penyalahgunaan alkohol, maka kesejahteraan, sikap, dan perilaku individu terbentuk oleh kekuatan negatif lingkungannya. Jadi budaya miskin ini seakan menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun, atau antar generasi. Sejalan dengan apa yang dikemukanan oleh Oscar Lewis, Sudana (2010)
mencoba
memformulasikan
kebudayaan
kemiskinan
sebagai
kelompok masyarakat yang berstrata rendah, mengalami perubahan sosial yang drastis yang ditunjukkan oleh ciri-ciri : 1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, dan perpecahan; commitapatis to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
2. Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga inti dan keluarga luas; 3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaaknya; 4. Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri; 5. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan ibu, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana mas depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya; 6. Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status; Dengan enam ciri tersebut sebenarnya sudah dapat diidentifikasi kelompok masyarakat mana yang termasuk dalam kategori masyarakat dengan kebudayaan kemiskinan. Mungkin ciri-ciri yang dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut memang lebih banyak dapat dilihat pada ciri masyarakat miskin perkotaan. Apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebelumnya ada sebuah benang merahnya yang membahas mengenai kemiskinan kultural, yaitu bertumpu pada pola-pola kehidupan yang dijalani bahkan kemudian di turunan ke generasi berikutnya dengan beratasnamakan tradisi. Dalam kasus warga relokasi ini sangat commit terlihat tobagaimana dengan adanya kebijakan user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
relokasi dan bantuan-bantuan yang bersifat charity
menjadikan warga
semakin ketergantungan terhadap bantuan, selain itu pola-pola kehidupan seperti penyalahgunaan alhkolhol yang masih terlihat. Kedua hal tersebut menjadikan asumsi peneliti masih adanya kemiskinan kultural pada warga relokasi pucang mojo kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta. 2. Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Sedangkan Selo Soemardjan (1980: 3-13) merumuskan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita masyarakat karena struktur masyarakat yang sebenarya tidak menggunakan atau manfaatkan sumber-sumber yang sebenarnya sudah tersedia. Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan
struktural
disebabkan
karena
berupaya
menanggulangi
kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kastasasmita (1996: 236) hal ini disebut ―accidental poverty‖, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan yang merupakan akibat dari adanya kebijakan menurut Nurkese (Sumodiningrat. 1999: 150) akan mengakibatkan suatu ―lingkaran setan kemiskinan‖ yang meliputi enam unsur, yaitu: Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah, Pendapatan rendah, Produksi rendah. Lain halnya dengan Nurkese dengan ―enam lingkaran setan kemiskinannya‖, Robert Chambers
mengatakan
bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana commit to user ―deprivation trap‖ atau perangkap kemiskinan ini terdiri dari lima unsur
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu:
Kemiskinan,
Kelemahan
jasmani,
Isolasi,
Kerentanan,
Ketidakbedayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (Chambers, 1983: 145-147), yang merupakan konsen dari penelitian ini. Kajian utama dalam penelitian ini adalah berfokus pada masalah kemiskinan perkotaan. Pada wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses dalam pemanfaatan sarana dan prasarana dasar lingkungan yang memadai, sebagai akibat dari sebuah kebijakan. Kebijakan relokasi ini adalah salah satu kebijakan yang sering diimplementasikan di perkotaan, dan yang menjadi objek kebijakan adalah kaum miskin kota. Relokasi adalah sebuah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota dengan cara memindahkan warganya dari pemukiman-pemukiman kumuh yang ada ke lokasi baru seperti Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) atau ke kampung-kampung pinggiran kota. Warga yang dulunya menempati bantaran sungai, pinggiran rel kerata api, dan kuburan yang sudah tidak ditempati kemudaian dipindahkan ke lokasi baru. Lokasi yang baru seperti rusunawa
atau
perumahan
belum
tentu
menawarkan
keterjaminan
kehidupannya. Kebijakan reloksi ini belum dapat menjamin kehidupan para warga relokasi atau OTD (orang terkena dampak). Tidak ada jaminan sosial, diasumsikan akan membentuk kemiskinan struktural. Dimana dengan direlokasinya warga atau OTD (orang terkena dampak) tidak serta merta maningkatkan taraf hidupnya. Terlabih jika dipindahkan ke daerah pinggiran kota yang akan semakin menjauhkannya dari akses pekerjaan sehari-hari. Juga dengan kebijakan relokasi ini warga akan terserabut stuktur sosial dan pola-pola kehidupan pada tempat tinggal sebelumnya, dan proses pemulihan (recovery) juga membutuhkan penyesuaan yang lama. Terlebih apa yang dialami oleh warga pucang mojo. Warga pucang mojo yang dulunya bertempat tinggal di daerah bantaran sungai bengawan solo di Kelurahan Pucang Sawit. Setelah ada kebijakan relokasi kemudian dipindahkan ke kelurah Mojosongo yang commit to usermerupakan daerah pinggiran kota
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan memiliki tekstur tanah berbukit-bukit, dan jauh dari akses kendaraan umum. Kasus ini menunjukan bagaimana akibat adanya kebijakan relokasi menjadikan: Pertama stuktur masyarakat semakin tidak dapan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang ada, karena aksebilitas. Kedua terserabutnya stuktur masyarakat yang sudah terbangun sebelumnya, dan proses pembentukan struktur di tempat yan g baru membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu kebijakan relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta terhadap warga pucang mojo diasumsikan sebagai suatu bentuk kemiskinan struktural. Baik kemiskinan struktural dan kultural pada konteks kemiskinan perkotaan ini bersifat multidimensional. Menurut Sulistyowati (2002) merumuskannya sebagai berikut; 1. Dimensi politik dapat dilihat dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta berdampak pada tidak ada akses pada sumber daya dan informasi. 2. Dimensi sosial berkaitan dengan internalisasi budaya kemiskinan yang berpengaruh pada kualitas hidup manusia dan etos kerja serta masyarakat miskin tidak diintegrasikan ke dalam institusi sosial yang ada. 3. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan lebih tampak dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai pada batas hidup yang layak. 4. Dimensi aset ditandai oleh rendahnya kepemilikan masyarakat miskin terhadap modal serta kualitas sumber daya manusia, peralatan kerja dan perumahan.
commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Teori Perangkap Kemiskinan Kemiskinan dan perangkap kemiskinan merupakan dua konsep yang disamaartikan. Tetapi pada dasarnya konsep kemiskinan dan perangkap kemiskian merupakan dua kosnep yang berbeda satu sama lain. Perangkap kemiskinan merupakan konsep yang sangat kompleks jika dibandingkan dengan kemiskinan. Kemiskinan adalah satu dimensi dari perangkap kemiskinan. Selain kemiskinan, menurut
Robert Chambers
(Suyanto,1995)
unsur-unsur dalam perangkap
kemiskinan adalah, kerentatan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan, dan derajat isolasi. Menurut Bagong Suyanto (1995) selama ini pendekatan yang diguanakan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan baik ditingkat pusat maupun daerah bukan bertitik tolak pada pemahaman mengenai perbedaan perangkap kemiskinan dan kemiskinan itu sendiri. Sehingga kebijakan yang diambil adalah hanya berlandaskan pada problem yang dialami rakyat pada saat itu saja, sifatnya kasuistik dan tidak memandangnya melalui pendekatan perangkap kemiskinan. Ada dua perubahan nama unsur dalam penelitian ini. Pertama adala kata ―kemiskinan‖ yang merupakan satu unsur dalam teori perangkap kemiskinan Robert Chambers diubah menjadi kekurangan ―kekurangan materi‖, dengan asumsi bahwa kata kemiskinan ini jika digunakan akan bermakna luas, penggambarannya tidak hanya bisa dilihat dari satu sisi saja tetapi harus secara menyuluruh (holistik), dan jika digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini kata kemiskinan akan rancu. Kedua, kata ―Isolasi‖ dalam penelitian ini dikerucutkan pada ―isolasi pada pelayanan publik‖. Isolasi dalam penegrtian Chambers lebih menekankan pada aspek geografis karena konsen dari penelitiannya pada masyarakat pedesaan. Karena pada saat penelitian Chambers menemukan satu alasan orang mengalami kondisi miskin salah satunya adalah keterasingan atau isolasi dari dunia luar. Tetapi isolasi ini tidaklah tepat jika digunakan pada konteks penelitian di perkotaan. Karena aksebilitas ruang diperkotaan sudah sangat terbuka. Maka dari pada itu derajat isolasi ini kemudian dikhususkan pada isolasi terhadap pelayan publik. Berkut ini adalah penjelasan tiap unsur-unsurnya: commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Kekurangan materi (Kemiskinan Material ) Kekurangan materi (Kemiskinan Material) merupakan faktor paling menentukan dibanding dengan faktor-faktor lainya. Kekurangan materi mengakibatkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan tubuh yang lebih kecil, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan serangan penyakit rendah, padahal tidak ada uang untuk berobat ke klinik atau dokter; orang-pun tersisih, karena tidak mampu
membiyayai
sekolah,
membeli
pesawat
radio
atau
sepeda,
menyediakan ongkos untuk mencari kerja, atau bertempat tinggal di dekat pusat keramaian dan dipinggir jalan besar; orang menjadi rentan terhadap keadaan darurat atau kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; dan menjadi tidak berdaya karena kehilangan kesejahteraan dan mempunyai kedudukan yang rendah; orang miskin, tidak mempunyai suara (Chambers. 1932 : 145-146). b) Kelemahan Jasmani Kelemahan jasmani, suatu rumah tangga mendorong orang ke arah kemiskinan melalui beberapa cara: tingkat produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah; tidak mampu menggarap lahan yang luas, atau bekerja lebih lama; melalui upah yang rendah bagi kaum wanita atau orang yang lemah; serata pengurangan atau kelemahan karyawan karena sakit. Tubuh yang lemah juga sering membuat seseorang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti
pertemuan-pertemuan
untuk
mendapatkan
informasi
dan
pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang berkewajiban untuk mengurus anak-anak. Jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan seseorang karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis atau keadaan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan baru atau mencari bantuan. Tubuh yang lemah mengakibatkan orang tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu, untuk melakukan unjuk rasa, berorganisasi dan politik : orang yang kelaparan dan sakit-sakitan tidak akan berani berbuat macam-macam (Chambers. 1932 : 146). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
c) Isolasi terhadap Pelayanan Publik Isolasi tehadap pelayanan publik ini terjadi karena tidak berpendidikan, tempat tinggal yang jauh terpencil atau jangkauan komunikasi, yang menopang kemiskinan: pelayanan dan bantuan pemerintah tidak sampai menjangkau mereka; orang yang buta huruf menjangkau mereka dari informasi yang mempunyai nilai ekonomi serta menutup kemungkinan masuk dalam daftar penerima kredit. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani: rumah tangga yang hidup jauh terpencil mungkin ditinggal pergi oleh anggota keluarga dewasa untuk mencari kerja ke kota atau desa lain. Isolasi memperkuat kerentanan : usaha pertanian dilahan terpencil lebih sering gagal, dan bantuanpun tidak dapat segera didatangkan apabila terjadi hal yang mendadak seperti kelaparan atau wabah penyakit, orang buta huruf sukar mendaftarkan diri untuk mendapatkan pembagian tanah, dan lebih mudah ditipu. Isolasi berarti kurang hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum, serta tidak tahu apa yang dilakukan petugas (Chambers. 1932 : 146-147). d) Kerentanan Kerentanan adalah salah satu mata rantai yang banyak mempunyai jalinan. Faktor ini berkaitan dengan kemiskinan karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat; waktu dan tenaga ditukarkan dengan uang; kaitannya dengan keterpencilan (isolasi) kususnya secara sosial (menjauhi pergaulan) akibat guncangan atau kejadian yang mendadak, serta kaitannya dengan ketidakberdayaan dicerminkan dengan ketergantungan terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya. (Chambers. 1932: 147). e) Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yang terpenting, adalah pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya, seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah, setidak-tidaknya terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi kemampuannya untuk menuntut upah yang commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
layak atau menolak suku bunga; menempatkan dirinya pada pihak yang dirugikan dalam setiap transaksi jual beli, dan mereka tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap pemerintah dalam mengambil keputusan. Faktor ini mendorong kelemahan jasmani, karena waktu dan tenaga dicurahkan untuk memperoleh akses, karena tenaga dicurahkan untuk memenuhi kewajiban terhadap majikan, sehingga mengurangi waktu dan tenaga untuk pekerjaan rumah
tangga
ketidakberdayaan
dan
pekerjaan
melalui
lain.
Isolasi
ketidakmampuan
juga
mereka
berkaitan
dengan
menarik
bantuan
pemerintah, sekolah atau petugas lapangan dan sumberdaya lainnya. Orang tidak berdaya juga membuat orang miskin lebih rentan terhadap tuntutan untuk membayar utang, terhadap ancaman hukuman atau denda, atau terhadap penyalahgunaan wewenang yang merugikan (Chambers. 1932 :147).
3. Relokasi Relokasi merupakan problem utama di wilayah perkotaan yang sering memicu ketegangan sosial. Secara umum relokasi sering dimaknai sekadar sebagai pemindahan tempat dalam pengertian ruang geografis. Padahal, konsep tempat pada peristiwa relokasi ini menyangkut berbagai makna dan kepentingan. Tidak dapat dimungkiri bahwa relokasi menyangkut pertarungan antar berbagai konsep ruang. Selain ruang geografis, ada ruang ekonomi, sosial, politik, lingkungan hidup, hingga ke ruang budaya. Relokasi atau resettlement merupakan pemindahan penduduk dari lokasi pemukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya ke lokasi baru yang disiapkan sesuai dengan pembangunan kota (Ridlo. 2001:95). Menurut World Bank (Oktober. 2013) pemukiman kembali atau relokasi terjadi pada kondisi ―terpaksa‖. Pengertiannya adalah tidak ada pilihan lain kecuali harus menyerahkan ―kekayaan‖ untuk dimukimkan pada tempat yang baru. Menurut Asian Development Bank (1999) Program relokasi dan pemukiman kembali harus melalui perencanaan dan pelaksanaan yang baik dalam melakukan kegiatan pemukiman kembali sehingga perlu memperhatikan hal-hal seperti: 1) Mempertimbangkan dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali sebagai program pembangunan commityang to usermenjadi bagian seluruh proyek,
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
termasuk sektor swasta dan proyek yang dibiayai bersama dan kredit pada lembaga keuangan. 2) Melaksanakan survei dan sensus sosial ekonomi OTD (Orang Terkena Dampak)
pada awal persiapan proyek untuk mengidentifikasi kerugian
pengadaan lahan dan mengidentifikasi seluruh OTD serta menghindarkan masuknya pihak lain atau spekulan. 3) Melibatkan seluruh stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan dan terkait) dalam proses konsultasi, khususnya semua OTD, termasuk kelompok rentan/rawan. 4) Mengganti, bagi OTD termasuk bagi orang yang tidak mempunyai hak legal atas lahan, untuk semua kerugian dengan nilai penggantian. 5) Apabila diperlukan relokasi rumah, penting untuk menyiapkan pilihanpilihan relokasi dan mengadakan musyawarah dengan OTD dan masyarakat setempat dalam memulihkan kondisi taraf hidupnya. 6) Apabila orang kehilangan pendapatan dan mata pencaharian, perlu menyusun program pemulihan yang bertujuan meningkatkan, atau sekurang-kurangnya memulihkan potensi produktifitasnya. 7) Melakukan persiapan sosial bagi OTD apabila mereka ini kelompok rawan atau mengalami tekanan sosial akibat pemindahan. 8) Melibatkan ahli Pemukiman Kembali dan ahli Ilmu Sosial serta melibatkan OTD dalam perencanaaan, pelaksanaan dan pemantauan program relokasi dan pemukiman kembali.
4. Paradigma Fakta Sosial (Emile Durkheim) Penelitian ini merupakan penelitian survei yang beraliran positivistik, Selain itu penelitian ini merupakan hasil dari interpretasi teori ―Perangkap Kemiskinan‖ Robert Chambers (1983) ke pada paradigma fakta sosial. Paradigma Fakta sosial ini tidaklah lepas dari karya Emile Durkheim sebagai peletak dasar (founding) keilmuannya. Salah satu grand theory yang dicetuskan oleh Durkheim adalah fakta sosial. Emile Durkheim dalam bukunya ―The Rule of Sociological Method” menjelaskan bahwa gejala sosial itu adalah benda “as a thing”, Artinya gejala sosial adalah riil secara obyektif dengan eksistensi yang terlepas dari gejala commit satu to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
biologis atau pisikologis dari individu (Durkheim. 1964 :1). Paradigma fakta sosial ini juga sangat erat dengan karya-karya Durkheim selanjutnya seperti ―Suicide”. Secara teoritis ada beberapa karakteristik fakta sosial menurut Durkheim (Johnson.1994) antara lain: Pertama bersifat eksternal terhadap individu: Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan yang bersifat eksternal, yang di maksud kenyataan eksternal disini adalah kenyataan yang berada diluar individu tetapi mempengaruhi tidakan individu. Kedua, memaksa individu: yang dimaksud disini adalah individu memang dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Namun, bukan berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu. Seorang individu akan selalu mendapatkan tekanan dari segala arah ketika berada dalam fakta sosial. Karena didalam keluarga pun seseorang mendapat tekanan seperti tidak boleh mencuri, mencontek. Jadi bisa dikatakan bahwa daya paksa yaitu aturan atau norma-norma. Ketiga bersifat umum (universal) atau menyebar secara luas dalam suatu masyarakat: fakta sosial ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan, melainkan secara general dalam satu sistem sosial tertentu.
5. Teori Fungsionalisme Analisa fungsional memberikan suatu kerangka untuk melihat dilemadilema kebijaksanaan sosial. Meskipun fungsionalisme merupakan suatu prespektif yang abstrak dan sangat umum. Tetapi persyaratan fungsional yang mendasar adalah apa saja yang harus dipenuhi masyarakat atau sistem sosial agar tetap bertahan sebagai sistem hidup dan bagaimana fungsi-fungsi ini dapat terpenuhi commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Jhonson. 1986:100). Pernyataan diatas merupakan yang paling mendasar dari prespektif Parson yang bersifat Fungsional. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup (Rachmad K, 2008: 107) . Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan (Jhonson. 1986: 122-123). Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanantekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu
berlangsung
tidak
sempurna.
Artinya
teori
ini
melihat
adanya
ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial. Teori fungsional ini menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis (Bisri, 2008: 241), sehingga dalam melakukan
kajian haruslah
mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris, berdasarkan tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan praktis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Analisis teori fungsional bertujuan menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji realitas universal tersebut maka diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting. Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji melalui anggapananggapan dasar berikut (Ritzer, 2010: 258 – 259): a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain b. Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis. d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan. e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahanlahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. f. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah
konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat
mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Analisa fungsional juga relevan dengan suatu pemahaman akan proses perubahan sosial, kususnya perubahan yang teratur (Jhonson. 1986: 102). Dalam konteks kasus dalam penelitian ini adalah perubahan yang dialami oleh para warga relokasi yang mengalami perubahan pola-pola kehidupanya, struktur sosialnya, dan kondisi geografisnya. Kekacauan struktur sosial akibat relokasi yang berdampak pada masalah sosial,dan ekonomi. Sangatlah tepat dalam memandang kemiskinan warga relokasi dari kacamata fungsional. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Hasil Penelitian yang Relevan Tema utama masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah kemiskinan. Banyak sekali penelitian terkait dengan kemiskinan, baik menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif atau menggabungkan keduanya. Berbagai pendekatan dan teori mulia dari teori klasik sampai post modern digunakan dalam melihat permasalahan kemiskinan. Tema kemiskinan ini kemudian banyak menghasilkan karya-karya ilmiah semacam skripsi, tesis dan juga desertasi yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi, juga karya-karya penelitian yang terpublikasi di jurnal ilmiah baik nasional mapun internasional. Berikut ini karya-karya ilmiah berupa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu: Pertama, Desertasi yang berjudul ―The Rellationship Between Social Institutions, Institutions, Social Capital, And Their Effects on Proverty”‖. Yang diteliti oleh Y.Slamet (2010). Penelitian ini guna mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, khususnya kemiskinan penduduk Kota Surakarta anggota Kelompok Swadaya Masyarakat. Lima tujuan penelitian digunakan sebagai pemandu arah. Kelima tujuan penelitian itu adalah mengetahui pola-pola kemiskinan dan pola-pola penyebab kemiskinan, menemukan institusi-institusi sosial yang menyokong terciptanya modal sosial, mengungkap alasan responden yang menjadi dasar dari pendapat mereka mengenai kemiskinan dan modal sosial, serta membuktikan apakah modal sosial berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi data untuk menjawab persoalan kajian. Metode survei digunakan untuk menyelidiki pola-pola modal sosial pola-pola kemiskinan, serta untuk menguji model hubungan sebab akibat yang telah dihipotesiskan. Kedua, penyelidikan lapangan dalam bentuk pengamatan dan wawancara dan diskusi kelompok terfokus dilaksanakan untuk mengungkap pola dan peranan institusi sosial serta alasan yang diketengahkan sebagai dasar dari pendapat mereka dalam hal yang berkaitan dengan kemiskinan serta pengaruh modal sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor struktural yaitu perubahan di dalam dasar-dasar kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan politik. Di samping itu, pola kemiskinan mengikuti ciri-ciri individu, seperti taraf pendidikan, pendapatan, umur, anutan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
agama, dan pencapaian tingkat pendidikan orang tua, yang kelihatan berpengaruh terhadap keberhasilan keluar dari lingkaran kemiskinan. Secara tidak langsung penelitian tersebut mengarahkan kita pada satu bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan struktural. Banyak kemudian artikel jurnal atau tesis yang membahas mengenai kemiskinan struktural. Kedua, artikel yang ditulis Alex Mourmouras & Peter Rangazas (2006), dengan judul "Foreign Aid Policy and Sources of Poverty: A Quantitative Framework”. Membahas bagaimana literatur ekonometrik telah mampu membangun hubungan yang kuat antara bantuan dan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan asing. Dalam tulisan ini, kami berpendapat bahwa efektivitas bantuan harus dinilai menggunakan metode yang melampaui regresi cross-country. Kami mengkalibrasi model ekuilibrium umum dinamis yang mampu menghasilkan kesenjangan pendapatan berkelanjutan yang besar antara negara kaya dan miskin. Model mengkuantifikasi tiga sumber kemiskinan: (1) kurangnya akses ke modal internasional, (2) pendidikan rendah dan kesuburan tinggi (perangkap kemiskinan), dan (3 )kebijakan fiskal dalam negeri anti pertumbuhan ditetapkan oleh kaum elit. Kami menganalisis kebijakan yang dirancang untuk mengatasi setiap sumber kemiskinan dan membandingkan biaya bantuan pelaksanaannya. Kebijakan berbeda secara dramatis dalam tingkat dan waktu efek pertumbuhan mereka, dan dalam biaya bantuan pelaksanaannya. Ketiga, Artikel Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Zuber (2011). Berjudul ―Kemiskinan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus di Desa Sanggang, Sukoharjo”. Membahas mengenai kemiskinan struktural, kultural bahkan menambahkanya dengan kemiskinan natural. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis jenis kemiskinan yang temukan di Desa Sanggang, Bulu, Kabupaten Sukoharjo, hasil penelitian ini sebagai berikut: Peran organisasi pemerintah dan non-pemerintah dalam mengurangi kemiskinan di Desa Sanggang. Kemiskinan yang dialami adalah bentuk kemiskinan kultural, struktural dan kemiskinan natural. Kemiskinan kultural dapat dilihat dari minimnya partisipasi masyarakat dalam kemiskinan di organisasi sosial, baik di masyarakat, di kecamatan atau di tingkat kabupaten. Mereka memiliki jumlah anak yang relatif besar. Mereka cenderung untuk mengembangkan keluarga yang luas dimana suami, istri, anak dan orang tua hidup dalam satu keluarga. Mereka memiliki jam kerja yangtopanjang commit user tapi pendapatan mereka relatif
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
rendah. Orang-orang miskin telah melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan, termasuk budidaya tanah tandus untuk ditanami singkong atau kacang, dan mencari kayu di hutan untuk mengganti minyak api. Pemerintah dan sektor swasta juga telah melakukan beberapa upaya dengan membuat beberapa program. Upaya mereka, bagaimanapun, tidak cukup efektif untuk mengatasi masalah pedesaan kemiskinan di desa Sanggang. Secara teoritis ada dua teori sosiologi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori fungsional dan teori konflik. Secara fungsional dalam melihat fenomena kemiskinan, kemudian banyak menghasilkan karya penelitian,
Keempat artikel
jurnal yang berjudul Assets and poverty traps in rural Bangladesh yang ditulis oleh Agnes Quisumbing dan Bob Baulch (2009). Artikel ini menjelaskan perangkap kemiskinan longitudinal yang unik dari survei di pedesaan Bangladesh. Nonparametrik dan parametrik merupakan metode yang digunakan untuk memeriksa bentuk perbatasan dinamis aset, jumlah kesetimbangan, dan apakah tanah dan saham bukan tanah aset konvergen ke kesetimbangan tersebut. Kami menemukan bukti cekung yang dinamis perbatasan asset tetapi tidak ada bukti untuk beberapa kesetimbangan dalam kasus kedua tanah dan aset non-tanah. Hal ini hipotesis bahwa keberadaan yang berfungsi dengan baik untuk pasar tenaga kerja dan modal dan tidak adanya perbedaan diskrit dalam strategi penghidupan di pedesaan Bangladesh, dan Asia lebih umum, membantu untuk menjelaskan perbedaan antara hasil penelitian ini untuk beberapa negara Afrika. Secara konflik dalam melihat kemiskinan, Kelima artikel yang menarik yaitu yang ditulis oleh Ana María Ibanez & Andres Moya (2010), yang berjudul "Do Conflicts Create Poverty Traps? Asset Losses and Recovery for Displaced Households in Colombia”. Menurutnya konflik internal memerlukan kerugian aset besar untuk segmen tertentu dalam penduduk sipil. Kerugian aset dapat membahayakan kesejahteraan masa depan rumah tangga, sehingga meninggalkan warisan kemiskinan struktural yang sulit untuk diatasi. Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisa bagaimana penghapusan aktiva terjadi selama konflik internal dan proses akumulasi aset setelah shock awal. Untuk melakukan ini, kami berkonsentrasi pada kelompok rentan korban perang - populasi pengungsi di Kolombia. Dalam mencapai tujuancommit kami, kami mengadopsi pendekatan kuantitatif to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kualitatif dengan: (i) memberikan penjelasan rinci tentang kerugian yang berasal dari pemindahan paksa, (ii) menganalisis bukti kualitatif sehingga dapat memahami proses pengembalian aset untuk populasi pengungsi, dan (iii) memperkirakan OLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memulihkan kerugian aset atau mengumpulkan aset baru adalah peristiwa langka, hanya 25 persen rumah tangga dapat memulihkan basis aset asli mereka, sementara kepemilikan aset masih tampak cukup untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, rumah tangga pengungsi tidak mengejar ketinggalan bahkan sebagai penyelesaian di lokasi tujuan mengkonsolidasikan. Oleh karena itu, kecuali intervensi positif diimplementasikan, rumah tangga pengungsi menjadi terkunci di lintasan berpenghasilan rendah. Penilitian ini kemudian lebih mengkrucutkan pada masalah kemiskinan perkotaan. Keenam, Artikel Jurnal yang berjudul‖ Theories of Urban Proverty and Implication for Public Housing Policy” yang ditulis oleh Alexandra M. Curley (2002), Menyatakah bahwa kemiskinan perkotaan telah menjadi subyek perdebatan sosiologis dan politis untuk lebih dari satu abad. Pada artikel ini meneliti teori kemiskinan perkotaan dan tempat mereka dalam kebijakan perumahan Amerika. Penulis pertama kali membahas teori-teori yang muncul dari sosiologis dan kebijakan wacana kemiskinan perkotaan dan penelitian yang mendukung dan menantang teori-teori ini. Kemudian meninjau saat ini inisiatif perumahan umum dan mendiskusikan dampak teori-teori ini pada kebijakan perumahan saat ini.Aspek spasial di perkotaan yang kemudian melatarbelakangi kemiskinan yang terjadi diperkotaan. Sehingga mengasilkan suatu kebijakan yang bernama relokasi, banyak kemudian penelitian yang membahas mengenai maslah relokasi ini yang kemudian berdampak pada kemiskinan warga relokasi antar lain: Ketujuh, Tesis yang ditulis oleh Gatot Winoto (2006), berjudul ―Pola Kemiskinan di Pemukiman Kelurahan Dompak Tanjung Pinang‖. Kemiskinan perkotaan merupakan salah satu isu pembangunan yang kompleks dan kontradiktif. Kemiskinan dipandang sebagai dampak ikutan dari pembangunan dan bagian dari masalah dalam pembangunan. Tipologi kemiskinan perkotaan dicirikan oleh berbagai dimensi baik dimensi sosial maupun ekonomi yang lebih beragam serta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
memiliki kebijakan yang rumit. Hal tersebut membentuk pola kemiskinan yang berbeda-beda. Sebagai ibu kota Kepulauan Riau, Kota Tanjungpinang tidak dapat terhindar dari fenomena kemiskinan. Kemiskinan ini terbentuk dari ketimpangan antar kawasan dimana kawasan dengan aktivitas perkotaan (aktivitas perdagangan dan jasa) yang minim menyebabkan pendapatan masyarakatnya rendah. Permukiman nelayan di Kelurahan Dompak, Kota Tanjungpinang, merupakan salah satu kawasan yang minim aktivitas perkotaan. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Fakta menujukkan terdapat 147 keluarga nelayan dari 311 keluarga di Kelurahan Dompak yang hidup dibawah garis kemiskinan Hal ini menyebabkan 47,3 % penduduk di Kelurahan Dompak masuk ke dalam kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera satu Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisis yang dilakukan meliputi analisis indikasi kemiskinan, pola kemiskinan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan. dan teknik analisis berupa analitik deskriptif. Adapun tahapan penelitian ini adalah persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan pengkajian data, serta merumuskan hasil kajian melalui kegiatan analisis deskriptif kualitatif. Pengumpulan data primer berupa kuisioner dilakukan kepada sejumlah 40 KK keluarga miskin sebagai sampel keluarga miskin. Berdasarkan temuan yang didapat di lapangan, maka disimpulkan bahwa pola kemiskinan di permukiman nelayan Kelurahan Dompak adalah (a) kemiskinan sub-sistensi, dicirikan oleh pendapatan masyarakat di permukiman nelayan Kelurahan Dompak yang rendah, kondisi perumahan yang tidak layak dan minimnya fasilitas air bersih; (b) kemiskinan perlindungan, dimana lingkungan permukiman nelayan yang buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi) dan tidak adanya jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk (rendah), terbatasnya keahlian yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di permukiman nelayan Kelurahan Dompak adalah faktor ekonomi, Sosial, dan faktor pendidikan. Kedelapan, Tesis yang berjudul ―Dampak Relokasi Terhadap Pendapatan Nelayan di Wasai Kabupaten Raja Ampat‖ yang ditulis oleh Marthen Umalan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
(2011). Menyatakan bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pantai Waisai, pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan relokasi ke kompleks perumahan sosial. Kebijakan ini diiringi program pemberdayaan, khususnya bagi nelayan, untuk meningkatkan produktivitas perikanan dan kelautan skala kecil. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kebijakan relokasi nelayan di wilayah pantai ke kompleks Perumahan Sosial dan menganalisis perbedaan pendapatan sebelum dan sesudah pelaksanaan relokasi di Pantai Waisai Distrik Waigeo Selatan Kabupaten Raja Ampat. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan penyebaran kuesioner dan data sekunder dengan teknik dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik analisis kualitatif deskriptif, sementara perbedaan pendapatan sebelum dan sesudah relokasi nelayan ke perumahan sosial diuji dengan metode uji-t. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kebijakan relokasi masyarakat nelayan di wilayah pesisir ke perumahan sosial Pantai Waisai Distrik Waigeo Selatan adalah salah satu wujud kepedulian Pemerintah Kabupaten Raja Ampat terhadap kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini para nelayan. Berdasarkan uji-t dengan SPSS versi 17. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan relokasi, yang diiringi dengan pemberdayaan kepada masyarakat Pantai Waisai ke kompleks perumahan sosial tidak menimbulkan dampak peningkatan pendapatan signifikan kepada para nelayan dengan pendidikan SD, SMP, dan SMP; nelayan dengan cara menangkap ikan memakai pancing dan jaring; nelayan dengan alat tangkap memakai dayung dan katinting; dan nelayan dengan kepemilikan sendiri dan sewa. Kesembilan, Artikel jurnal yang berjudul ―Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan‖, yang ditulis oleh Trisni Utami (2010). Keberadaan komunitas pedagang (PKL) pada sektor informal merupakan realitas ekonomi perkotaan dan membutuhkan pertimbangan yang memadai dalam proses pembangunan . Di kota Surakarta , vendor terorganisir, dengan relokasi Banjarsari penjual jalanan ke pedagang pasar di " Pasar Klithikan Notoharjo ". Oleh karena itu, ada upaya strategi untuk mengaktifkan komunitas penjual jalanan mengadaptasi baik dalam menghadapi perubahan, sehingga masyarakat commit to user tersebut akan diberdayakan,
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melepaskan diri dari marginalisasi dan kemiskinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tindakan penelitian. Aspirasi dan hambatan penjual wajah jalan, terutama setelah gerakan ke pedagang pasar, dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (FGD). Kemudian, informasi yang dikumpulkan digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan model jalan penjual pemberdayaan, khususnya dalam beradaptasi penjual jalan (sektor informal) ke pedagang pasar (sektor formal) masyarakat. Fokus dari penilitian ini adalah menarik benang merah anatra kemiskinan perkotaan,secara struktural maupun kultural, yang terjadi pada warga relokasi, dengan menggunakan teori perangkap kemiskinan dalam melihatnya. Berikut ini penelitian sejenis mengenai peragkap kemiskinan: Kesepuluh, artikel jurnal yang berjudul Jurnal yang berjudul “The Poverty Trap: Or, Why Poverty is Not About the Individual” yang ditulis oleh James Symonds (2011). Menyatakan bahwa: Kemiskinan sering dianggap sebagai kondisi sosial yang tidak terelakan, dan disalahkan atas segala kekurangan dalam kebijakan kesejahteraan pemerintah sering ditempatkan sebagai kegagalan individu, pasar dan demografi. Dengan menjelelajahi pengaruh politik neoliberal pada arkeologis kehidupan
pemukiman kumuh, artikel ini membuat menunjukan kurang
penekanan, harus dirasakan pada kegagalan yang dirasakan individu dan usaha lainya. Juga harus ditempatkan pada pemulihan jaringan yang kompleks yang berkelanjutan pada masyarakat yang hidup dilingkungan kumuh perkotaan. Kesebelas, Artikel jurnal oleh Jephias Matunhu (2008) yang berjudul ―The rural poverty trap: which way out for South Africa?‖. Arikel menjelaskan perangkap kemiskinan longitudinal yang unik dari survei di pedesaan Bangladesh. Non-parametrik dan parametrik merupakan metode yang digunakan untuk memeriksa bentuk perbatasan dinamis aset, jumlah kesetimbangan, dan apakah tanah dan saham bukan tanah aset konvergen ke kesetimbangan tersebut. Kami menemukan bukti cekung yang dinamis perbatasan aset tetapi tidak ada bukti untuk beberapa kesetimbangan dalam kasus kedua tanah dan aset non-tanah. Hal ini hipotesis bahwa keberadaan yang berfungsi dengan baik untuk pasar tenaga kerja dan modal dan tidak adanya perbedaan diskrit dalam strategi penghidupan di commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pedesaan Bangladesh, dan Asia lebih umum, membantu untuk menjelaskan perbedaan antara hasil penelitian ini untuk beberapa negara Afrika. Keduabelas, Tesis yang ditulis oleh Arifiyanto (2002), yang berjudul ―Keluarga miskin dalam perangkap kemiskinan : Studi kasus unsur-unsur kemiskinan di Desa Bulakan Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Banten‖. Penelitian menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan yang dialami oleh keluarga miskin tidak hanya di dominasi oleh unsur kekurangan materi semata melainkan juga terdapat unsur-unsur lain dalam kemiskinan mereka yaitu unsur kelemahan jasmani, keadaan terasing (isolasi), rentan dan tidak-berdaya yang tentu saja keadaan tersebut menimpa keluarga miskin dengan kadar penderitaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dan kelima unsur tersebut, ternyata hanya ditemukan lima hubungan dari dua puluh hubungan yang dijelaskan dalam teori yang mempunyai cukup bukti yaitu tiga hubungan negatif -menyimpang dari teori yaitu
kekurangan
materi
dengan
isolasi,
kelemahan
jasmani
dengan
ketidakberdayaan,isolasi dengan ketidak-berdayaan, dan dua hubungan positif sesuai dengan teori yaitu kekurangan materi dengan kerentanan dan isolasi dengan kelemahan jasmani.
C. Orisinalitas Keduabelas penelitian terdahulu yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya merupakan satu mata rantai dalam melihat permasalahan kemiskinan yang erat kaitannya dengan alur berpikir atau kerangka besar dari penelitian ini. Jika dilihat dari tema besar penelitian ini yaitu mengenai masalah kemiskinan terlihat jelas bahwa tema kemiskinan mengalami perkembangan, baik secara metodelogis maupun teoritis. Secara metodelogis, penelitian ini jelas menggunakan metode kuantitatif yaitu dengan mengkorelasikan antar unsur-unsur perangkap kemiskinan, penggunaan metode kuantitatif pada tema kemiskinan sama dengan penelitian terdahulunya yang bertemakan kemiskinan oleh Slamet (2010) atau Mourmouras & Rangazas (2006). Juga secara teoritis penelitian ini memakai dua teori sosiologi yaitu fungsional dan konflik, seperti penelitian sebelumnya yaitu: Zuber (2011), Quisumbing dan Baulch (2009), Maria dan Moya (2010), tetapi penelitian ini hanya menambil pendekatan commit todasar userdari teori fungsional atau konflik
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
sebagai frame work secara implisit masuk ke dalam penelitian ini. Selain itu juga kedua teori ini dipakai dalam menganalisis hasil penelitian. Selain itu secara teori aplikatif penelitian ini menggunakan teori Perangkap kemiskinan Robert Chambers (1983) karena menggunakan indikatornya. Banyak ahli sosiologi pembangunan yang membahas teori perangkap kemiskinan salah satunya Symonds (2011). Juga sebelumnya sudah ada penelitian sejenis dengan pengambilan konsep yang sama (perangkap kemiskinan) yang diujicobakan pada kampung nelayan. Berbeda dengan penelitian Arifiyanto tersebut, penelitian ini menguji teori perangkap kemiskinan pada konteks masyarakat perkotaan dengan mengambil segmen warga relokasi. Segmen warga relokasi ini menjadi sangat menarik jika dilihat dari kacamata perangkap kemiskinan pada warga relokasi. Karena penelitian-penelitian sebelumnya mengkaji warga reloksi hanya pada frame mobilitas dan perubahan strukturnya. Belum ada yang mengkaji perangngkap kemiskinan pada fenomena kemiskinan perkotaan dalam khususnya dalam kasus warga relokasi. Maka peneliti berani mengklaim bahwa belum ada peneliti lain yang mengkaji warga relokasi yang berfokus pada konteks perangkap kemiskinannya.
D. Kerangka Berfikir Penelitian berawal dari realita yang terjadi di perkotaan, yang secara langsung maupun tidak langsung ada pengelompokan status sosial antara golongan atas (kaya atau sejahtera) dengan golongan bawah (miskin). Relitas kemiskinan diperkotaan juga kasuistik, karena berbagai macam kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan. Dalam penelitian ini melihat kasus kemiskinan perkotaan yang terjadi pada kelompok warga relokasi. Posisi dari warga relokasi dan kemiskinan perkotaan disini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai sebab dan akibat. Pertama, adanya warga relokasi sebagai penyebab dari adanya kebijakan pemerintah kota kepada penduduk miskin perkotaan. Kedua adanya penduduk miskin perkotaan sebagai dampak setelah dilakukannya kebijakan relokasi. Kedua hal tersebut bisa saja terjadi dalam konteks kemiskinan perkotaan. Secara deduktif penelitian ini melihat realita kemiskinan perkotaan yang sudah dijelaskan di atas, dengan menjelaskan perangkap kemiskinan yang dialami commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh warga relokasi. Perangkap kemiskinan ini merupakan teori yang sebelumnya dicetuskan oleh Robert Chambers (1983) dengan karyanya yang berjudul Rural Development Putting the Last Fist. Karya ini dibuat yang merupakan hasil penelitian pedesaanya di berbagai negara di Asia dan Afrika. Pemindahan perangkap kemiskinan dalam konteks kemiskinan pedesaan karya Chambers (1983) ke konteks kemiskinan perkotaan, merupakan kerangka besar yang ingin dibangun dalam tesis ini. Variabel dalam penelitian ini adalah faktor-faktor perangkap kemiskinan itu sendiri yaitu: kerentatan, kelemahan jasmani, ketidak berdayaan, kemiskinan dan derajat isolasi. Penelitian ini mencoba mengkur hubungan antar variabel tersebut. Dan berusaha mendiskirpsikan secara mendetail dari varibel-variabel yang merupakan turunan dari Teori Perangkap Kemiskinan (Robert Chambers). Terakhir peneliti berusaha menganalisis hasil kuantitatif yang ada dengan teori-teori dan tentunya hasil yang pengukuran yang ada. Dengan harapan dapat mempertajam analisis dan memberikan solusi nyata bagi kasus kemiskinan ini. Sehingga dapat digambar dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
Perangkap Kemiskinan (Robert Chambers,1983) Ketidakberdayaan
Kerentanan
Isolasi terhadap Pelayanan Publik
Kemiskinan material
Kelemahan Jasmani
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian ini mengujicobakan hubungan antar unsur dalam teori perangkap kemiskinan yaitu : ketidakberdayaan, kerentanan, kelemahan jasmani, kemiskinan material, isolasi terhadap pelayanan publik. kemudian unsur-unsur tersebut dijadikan variabel dalam penelitian ini. Adapun proses penghubungan tiap-tiap variabel digambarkan sebagai berikut: a. Korelasi Variabel Kemiskinan Material Variabel kemiskinan material ini merupakan variabel yang dihubungkan paling awal, jadi proses menghubungkannya dengan keempat variabel yang lain gambarkan sebagai berikut :
Kemiskinan Material (X1)
Kelemahan Jasmani (X2)
Isolasi terhadap Pelayanan Publik (X3)
Kerentanan (X4)
Ketidakberdayaan (X5)
Gambar 3.2 korelasi variabel kemiskinan material (X1) b. Korelasi Variabel Kelemahan Jasmani Varibel kerentanan adalah varibel kedua penelitian ini, jadi secara langsung proses
korelasi hanya dengan ketiga varibel dan tidak kembali
meghubungkan ulang dengan variabel pertama (ketidakberdayaan). Kelemahan Jasmani (X2)
Isolasi terhadap Pelayanan Publik (X3)
Kerentanan (X4)
Ketidakberdayaan (X5)
Gambar 3.3 korelasi menghungkan variabel kelemahan jasmani (X2) commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Korelasi Variabel Isolasi terhadap Pelayanan Publik Variabel isolasi terhadap pelayanan publik adalah variabel ketiga dalam penelitian ini. Proses korelasi variabel ini hanya pada tahap ketiga hanya menghubungkan
dengan
kedua
variabel
yang
lain
kerentaan
dan
ketidakberdayaan. Isolasi terhadap Pelayanan Publik (X3)
Ketidakberdayaan (X3)
Kerentananan (X4)
Gambar 3.4 Proses korelasi Variabel Isolasi terhadap Pelayanan Publik
d. Korelasi Variabel Kerentanan dan Varabel Ketidakberdayaan Proses korelasi terakhir adalah adealah menhubungkan dua variabel tersisa yaitu antar Variabel kerentanan dan Varabel ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan (X3)
Kerentananan (X4)
Gambar 3.5 korelasi variabel Variabel Kerentanan dan Varabel Ketidakberdayaan
E. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor.Untuk lebih lengkapnya dapat di jelaskan sebagai berikut: 1. Hipotesis Mayor Ada hubungan yang postif antara kelima unsur perangkap kemiskinan (kemiskinan material,kelemahan jasmani, isolasi terhadap pelayanan publik, kerentanan dan ketidakberdayaan) pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Hipotesis Minor Adapun hipotesis yang diuji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kemiskinan material dan tingkat
kelemahan
jasmani
pada
warga
relokasi
Pucang
Mojo,
Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 2. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kemiskinan material dan tingkat isolasi terhadap pelayanan publik pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 3. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kemiskinan material dan tingkat kerentanan pada warga relokasi Pucang Mojo,
Kedungtungkul,
Mojosongo, Surakarta. 4. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kemiskinan material dan tingkat
ketidakberdayaan
pada
warga
relokasi
Pucang
Mojo,
Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 5. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kelemahan jasmani dan tingkat isolasi terhadap pelayanan publik pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 6. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kelemahan jasmani dan tingkat kerentanan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 7. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kelemahan jasmani dan tingkat
ketidakberdayaan
pada
warga
relokasi
Pucang
Mojo,
Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 8. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat isolasi terhadap pelayanan publik dan tingkat kerentanan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 9. Ada hubungan hubungan positif antara tingkat isolasi terhadap pelayanan publik dan tingkat ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 10. Ada hubungan hubungan positif antara
tingkat kerentanan dan tingkat
isolasi ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu a. Tempat Penelitian ini mengambil lokasi di Perumahan Relokasi Pucang Mojo RT 3 / RW VII, Kedungtungkul, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Jawa Tengah. Pemilihan lokasi berdasarkan atas berbagai pertimbangan antara lain: 1. Pada perumahan relokasi Pucangmojo, Kedungtungkul, Mojosongo. Terdapat fenomena yang menarik yaitu keterkaitan antara relokasi dan perangkap kemiskinan. 2. Warga perumahan Pucangmojo merupakan warga relokasi, dengan sistem bedol desa dari bantaran sungai Bengawan Solo di daerah Pucangsawit, yang kemudian dipindahkan (relokasi) ke Kelurahan Mojosongo, sehingga diberi nama Pucangmojo. 3. Jumlah warga di Perumahan relokasi Pucang mojo tergolong terbanyak dari kesembilan titik perumahan relokasi yang ada di Kota Surakarta. 4. Perumahan Pucang Mojo ini adalah perumahan relokasi percontohan yang banyak kemudian diteliti oleh peneliti baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 5. Warga relokasi homogen dalam kemampuan ekonominya, yaitu terolong warga menengah kebawah, atau lebih banyak warga golongan bawah. Hal ini terlihat dalam mata pencaharian terbesar penduduk adalah sebagai buruh. 6. Pada pra-research ditemukan beberapa fakta yang erat hubungannya dengan perangkap kemiskinan yang ada, seperti kemiskinan material, kelemahan jasmani, warga yang terisolasi terhadap pelayanan publik, rentan terhadap berbagai hal, serta tidak berdaya khususnya dalam masalah hubungannya dengan birokrasi.
commit to user
43
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama sepuluh bulan dimulai pada bulan Agustus 2013 dan berakhir pada Mei 2014. Penelitian dimulai pasca seminar proposal dan berakhir dengan seminar hasil. Adapun jadwal penelitian sebagai berikut: Bulan
Nama Kegiatan
Agus
Septe
Okto
Nove
Dese
Janu
Febr
Mar
Apr
Me
tus
mber
ber
mber
mber
ari
uari
et
il
i
Penyusunan Proposal Seminar Proposal Perijinan Penyusunan instrumen Pengumpulan data dan analisis data Penulisan Laporan dan Konsultasi Seminar Hasil Penelitian Gambar 3.1 Tabel Jadwal penelitian
2. Jenis Penelitian Penentuan metode penelitian sangat erat hubungannya dengan masalah sebagai titik awal penelitian dan tujuan yang hendak dicari dari dalam penelitian. Sesuai dengan latar belakang masalah dan tujuan yang hendak dicari penilitian tergolong kedalam tipe penelitian diskriptif. Sedangkan metode penelitian yang sesuai adalah dengan menggunakan metode survei. Menurut Slamet (2008: 35), ada dua tujuan dari metode penelitian survei : to user commit
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Untuk mendiskripsikan gejala-gejala yang diteliti, denga cara memberikan diskripsi kuantitatif. Sesuai dengan tujuan pertama penelitian ini yaitu mendiskripsikan tingkat atau derajat masing-masing unsur perangkap kemiskinan yaitu Ketidakberdayaan, Kerentanan, Kelemahan Fisik, Kemiskinan material, dan Isolasi terhadap Pelayanan Publik yang dialami oleh warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. 2. Mempelajari hubungan antar variabel, yang dirumuskan terlebih dahulu menurut jalan pikiran bukan hanya perhitungan statistik saja. Dalam hal ini menghubungkan kelima unsur dalam teori perangkap kemiskinan yaitu: ketidakberdayaan, kerentanan, kelemahan fisik, kemiskinan material, dan isolasi terhadap pelayanan publik yang dialami oleh warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta Jadi penelitian sangat tepat jika menggunakan metode penelitian survei dengan tipe penelitian eksplanatif (exlanation).
3. Populasi Sampel a. Populasi Populasi adalah keseluruhan daripada unit-unit analisis yang memiliki spesifikasi atau cirri-ciri terentu
(Slamet. 2006: 40). Dalam penelitian ini
populasinya adalah keseluruhan Warga relokasi Pucangmojo Kedungtungkul Mojosongo, Surakarta, berjumlah 108 Kepala rumahtangga. Pemilihan kepala rumahtangga diasumsikan, kepala rumahtangga dapat mereprensentasikan kondisi (sosial ekonomi) rumah tangga. Adapun pemilihan populasi berdasarkan pada kategori kepala rumah tangga bukan kepala keluarga, dikarenakan kata rumah tangga lebih erat kaitannya dengan sektor ekonomi (baik pemasukan maupun pengeluran) daripada kepala keluarga yang mengarah pada kultural. Populasi yang ada memiliki karakteristik antara lain : a. Bersifat homogen khususnya kemampuan financial, dikarenakan warga di tempat penelitian merupakan warga relokasi dari lingkungan kumuh di sekitar pucang sawit. Secara ekonomi dapat warga pucang mojo dapat dikelompokkan ke dalam ekonomi menengah ke bawah. Juga secara suku, agama rasa atau commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
golongan (SARA), sehingga dimungkinkan akan mempengaruhi perilaku dan pemikiran populasi. b. Secara keseluruhan populasi merupakan penerima bantuan RASKIN (Beras Miskin), dan bebeberapa bantuan lembaga sosial untuk keluarga miskin. c. Secara komposisi kependudukan lebih pada piramida terbalik, yaitu didominasi usia produktif dan dewasa daripada anak-anak.
b. Sampel Penarikan sampel sangatlah diperlukan peneliti. Keterbatasan waktu ,uang dan upaya yang tidak memungkinkan peneliti menyelidiki semua anggota populasi. Sehingga diperlukan sebuah teknik pengambilan sampel yang tepat. Teknik pengangambilan sampel penelitian ini menggunakan random sampling. Dengan alasan agar dapat memeperoleh gambaran yang mewakili universarium atau populasi (Slamet. 2008:35-36). Penentuan jumlah sampel merujuk pada tabel statistik Arkin, Hebert (Slamet. 2011: 59-60), dengan asumsi bahwa bila besaran sampel diambel 50% dari jumlah populasi akan memberikan besaran sampel yang sudah dianggap lebih dari cukup. Jika jumlah populasi penelitian ini 108 kepala rumah tangga, maka 50 %nya adalah : 54 sampel atau kepala rumah tangga.
4. Definisi Konsep a. Kekurangan materi (Kemiskinan Material ) Kekurangan materi (Kemiskinan Material) merupakan faktor paling menentukan dibanding dengan faktor-faktor lainya. Kekurangan materi mengakibatkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan tubuh yang lebih kecil, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan serangan penyakit rendah, padahal tidak ada uang untuk berobat ke klinik atau dokter; orang-pun tersisih, karena tidak mampu
membiyayai
sekolah,
membeli
pesawat
radio
atau
sepeda,
menyediakan ongkos untuk mencari kerja, atau bertempat tinggal di dekat pusat keramaian dan dipinggir jalan besar; orang menjadi rentan terhadap keadaan darurat atau kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan menjadi tidak berdaya karena kehilangan kesejahteraan dan mempunyai kedudukan yang rendah; orang miskin, tidak mempunyai suara (Chambers. 1932 : 145-146). b. Kelemahan Jasmani Kelemahan jasmani, suatu rumah tangga mendorong orang ke arah kemiskinan melalui beberapa cara: tingkat produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah; tidak mampu menggarap lahan yang luas, atau bekerja lebih lama; melalui upah yang rendah bagi kaum wanita atau orang yang lemah; serata pengurangan atau kelemahan karyawan karena sakit. Tubuh yang lemah juga sering membuat seseorang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti
pertemuan-pertemuan
untuk
mendapatkan
informasi
dan
pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang berkewajiban untuk mengurus anak-anak. Jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan seseorang karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis atau keadaan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan baru atau mencari bantuan. Tubuh yang lemah mengakibatkan orang tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu, untuk melakukan unjuk rasa, berorganisasi dan politik : orang yang kelaparan dan sakit-sakitan tidak akan berani berbuat macam-macam (Chambers. 1932 : 146). c. Isolasi terhadap Pelayanan Publik Isolasi tehadap pelayanan publik ini terjadi karena tidak berpendidikan, tempat tinggal yang jauh terpencil atau jangkauan komunikasi, yang menopang kemiskinan: pelayanan dan bantuan pemerintah tidak sampai menjangkau mereka; orang yang buta huruf menjangkau mereka dari informasi yang mempunyai nilai ekonomi serta menutup kemungkinan masuk dalam daftar penerima kredit. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani: rumah tangga yang hidup jauh terpencil mungkin ditinggal pergi oleh anggota keluarga dewasa untuk mencari kerja ke kota atau desa lain. Isolasi memperkuat kerentanan : usaha pertanian dilahan terpencil lebih sering gagal, dan bantuanpun tidak dapat segera didatangkan apabila terjadi hal yang mendadak seperti kelaparan atau wabah penyakit, orang buta huruf sukar mendaftarkan diri untuk mendapatkan pembagian tanah, dan lebih mudah commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditipu. Isolasi berarti kurang hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum, serta tidak tahu apa yang dilakukan petugas (Chambers. 1932 : 146-147). d. Kerentanan Kerentanan adalah salah satu mata rantai yang banyak mempunyai jalinan. Faktor ini berkaitan dengan kemiskinan karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat; waktu dan tenaga ditukarkan dengan uang; kaitannya dengan keterpencilan (isolasi) kususnya secara sosial (menjauhi pergaulan) akibat guncangan atau kejadian yang mendadak, serta kaitannya dengan ketidakberdayaan dicerminkan dengan ketergantungan terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya. (Chambers. 1932: 147). e. Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yang terpenting, adalah pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya, seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah, setidak-tidaknya terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi kemampuannya untuk menuntut upah yang layak atau menolak suku bunga; menempatkan dirinya pada pihak yang dirugikan dalam setiap transaksi jual beli, dan mereka tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap pemerintah dalam mengambil keputusan. Faktor ini mendorong kelemahan jasmani, karena waktu dan tenaga dicurahkan untuk memperoleh akses, karena tenaga dicurahkan untuk memenuhi kewajiban terhadap majikan, sehingga mengurangi waktu dan tenaga untuk pekerjaan rumah
tangga
ketidakberdayaan
dan
pekerjaan
melalui
lain.
Isolasi
ketidakmampuan
juga
mereka
berkaitan
dengan
menarik
bantuan
pemerintah, sekolah atau petugas lapangan dan sumberdaya lainnya. Orang tidak berdaya juga membuat orang miskin lebih rentan terhadap tuntutan untuk membayar utang, terhadap ancaman hukuman atau denda, atau terhadap penyalahgunaan wewenang yang merugikan (Chambers. 1932 :147). commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Definisi Operasional Warga relokasi yang tergolong dalam perangkap kemiskinan adalah mereka yang sehari-harinya berkutat pada masalah kekurangan materi, kelemahan jasmani, keterasingan, kerentanan, ketidakberdayaan, dan isolasi terhadap pelayanan publik. Unsur-unsur ini akan diukur sesuai dengan kadarnya pada masing-masing pada masing-masing unsurnya. Pengukuran ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada responden. Adapun definisi operasional dari kelima unsur tersebut adalah sebgai berikut: a. Kemiskinan material Tingkat kemiskian material tentu dapat diukur sejauh mana jumlah pendapatan, dan pengeluaran. Pendapat diperoleh dari jumlah pendapatan ratarata tiap bulan per-kepala rumahtangga. Pengeluaran yang dimaksud dalam penelitian ini dapat dilihat melalui kemampuan warga relokasi dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (konsumsi) khususnya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau basic need, seperti makan, minum, atau untuk berobat, biaya sekolah anak, biaya liburan, perkakas rumah tangga, kepemilikan kendaraan dan barang bergerak lainya. Dalam hal ini peneliti melihat kemiskinan lebih kepada pendekatan ekonomi. b. Kelemahan jasamani Tingkat daya tahan jasmani seseorang tentunya berbeda-beda, Maka tingkat kelemahan jasmani dapat diukur berapa jam ia bekerja dalam sehari, apa yang ia kerjakan, produk apa yang dihasilkan, pekerjaan sampingan yang dikerjakan. Masalah daya tahan tubuh terhadap infeksi, cacat fisik, dan penyakit. Asupan gizi dalam sehari dan berapa ia memproduksi kalori dalam sehari. Perspektif kesehatan akan lebih nampak pada variabel ini. c. Isolasi terhadap pelayanan publik Sejauh mana tingkat aksebilitas terhadap pelayan publik bukan hanya ditinjau dari segi georafis tetapi lebih kepada tingkat daya serap masyarakat terhadap informasi dari pemerintah, sosialisi program atau informasi penyuluhan pembanguan yang ada. Juga pemanfaatan sarana-sarana publik yang ada dalam perkampungan itu seperti
sekolah, dan commit to user
pusat-pusat kesehatan seperti
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PUSKESMAS. Aspek sosial akan lebih kelihatan nampak pada variabel ini isolasi terhadap pelayan publik ini. d. Kerentanan Kesiapan dalam menghadapi kebutuhan
sifatnya mendadak, seperti
sakit, kecalakaan, kalaparan, kematian, hajatan, kebakaran, bencana alam yang kesumua jarang sekali diperhitungkan oleh penduduk miskin, seberapa besar intensitas meminta bantuan saudara, teman, atau pihak penyalur kredit seperti perbankkan dalam bentuk hutang piutang, dan seringnya gagal dalam usahanya. Faktor ketergantungan dan dampak daris ebuah kebijakan akan keliahatan jelas dalam variabel ini. e. Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan pada masyarakat miskin terkait dengan posisi tawar yang rendah sehingga sering diremehkan,dan tidak mempunyai suara dalam setiap kebijakan. Protes unjuk rasa yang jarang dihiraukan, sangat tergantung kepada majikan, juga sangat lemah dimata hukum sehingga membutuhkan advoskasi hukum dan sangat lemah dalam menghadapi permasalahan ekonomi keluarga sehingga membutuhkan program-program pemberdayaan. Aspek pribadi atau individu dalam mengadapi relaita merupakan aspek dilihat dalam varibal ketidakberdayaan. 6. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini teknik pengumpulan data yang utama adalah dengan menggunakan teknik Angket (Kuesioner). Tetapi tidak menutup kemungkinan juga menggunakan teknik dokumentasi sebagai komplementer untuk menambah kelengkapan data. Sedangkan observasi,wawancara sebagai pelengkap datanya. a.
Angket ( Kuisioner ) Angket(Kuisioner) adalah daftar pertanyaan yang dipergunakan untuk mengukur suatu gejala tertentuatau konsep tertentu yang langsung diisi oleh responden (Slamet, 2006: 94). Berkikut ini langkah-langkah peneliti dalam menyusun angket, Adapun langkah penyusunan angket sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
1) Menetapkan tujuan Dalam penelitian ini tujuan pembuatan angket untuk mendapatkan data tentang pemanfaatan media internet dalam pendidikan dan intensitas membaca buku terhadap prestasi belajar mahasiswa. 2) Menyusun indikator Penyususnan indikator adalah untuk memperjelas permasalahan yang yang dituangkan dalam instrument termasuk batasan-batasan variabel yang akan diteliti. 3) Menyusun kisi-kisi instrumen Kisi-kisi instrumen diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah penyususnan atau penulisan item instrumen atau angket. Penyusunan kisikisi ini disesuaikan dengan indikator-indikator dari masing-masing variabel yang telah ditentukan. Dan kemudian tertuang dalam bagian rancangan penelitian. 4) Menyusun item instrumen Instrumen yang dibagikan dapat disusun dengan langkah-langkah sebgai berikut : a) Membuat surat pengantar penyebaran angket b) Membuat petunjuk dan pedoman pengisian angket c) Membuat item-item pertanyaan 5) Membuat skala alternatif jawaban Skala alternatif jawaban dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Diamana skala ini menggunakan lima alternatif jawaban yang tersusun dari 1 sampai 5, kode 1 dipakai jawaban untuk jawaban yang ―sangat tidak setuju‖ terhadap pernyataan positif, sedangkan kode 5 dipakai untuk yang ―sangat setuju‖ terhadap pernyataan yang postif (Salamet. 2011: 73). Dengan alternatif jawaban sebagai berikut: - Sangat tidak setuju : 1 - Tidak setuju :2 - Netral :3 - Setuju :4 - Sangat setuju : 5, Atau diasumsikan dalam pemilihan alternatif dari negatif ke positif, dengan kriteria jawabannya sebagaicommit berikut:to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
- Rendah ( Negatif ) - Kurang - Sedang - Cukup - Tinggi (positif)
:1 :2 :3 :4 :5
b. Dokumentasi Dokumen yang di maksud dalam penelitian ini adalah data skuder melaui data-data kependudukan melaui BPS (Badan Pusat Statistika) dan data Pemerintah Daerah dalam hal ini diperoleh dari KESBANGPOL LINMAS, Kecamatan Jebres dan Kelurahan Mojosongo. c. Wawancara Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang bebas, peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap dalam pengumpulan data. Wawancara tidak terstruktur ini dilakukan disamping pengumpulan data lewat dengan teknik angket. Wawancara ini dilakukan hanya sebagai pelengkap data saja. d. Observasi Proses observasi dilakukan dengan teknik pengumpulan data yang bersifat non verbal, biasanya berupa studi lapangan dimana peneliti berperan sebagai pengamat. Pengamatan dilakukan dalam konteks raung dan waktu dimana setting keruangan pada saat proses pengumpulan data melalui angket. Sedangkan konteks waktunya adalah saat dimana peneliti melakukan interaksi dengan responden. Proses obesrvasi ini dilakukan selain sebagai pelengkap data dan supaya diskripsi penelitian ini tidak kering.
7. Uji Keabsahan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini utamanya berupa data-data yang sifatnya kuantitatif. Namun dalam perjalanya, penelitian ini juga memerlukan datadata yang bersifat kualitatif untuk memperkuat argumentasi dari data kuantatif yang ada dan sebagai uji keabsahan data. Dengan kata lain data-data kuantitatif masih commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dominan dan ditambah sedikit kualitatif. Maka uji keabsahan data selain dengan uji prasyarat analisis juga dilakukanya proses trianggulasi data. a. Uji Prasyarat Analisis Sebelum soal digunakan dalam penelitian terlebih dahulu soal (angket) tersebut dialkuakan validasi. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui butir soal mana yang layak dipakai, direvisi atau dibuang. Adapun ada dua macam uji prasyarat analisis yaitu: 1. Uji Validitas Item Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data mengukur itu valid. Yang berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Jadi validitas, dapat diartikan seberapa jauh penggunaan pengukuran untuk mengambil keputusan terhadap hal yang dukur. Uji
coba
dilaksanakan
di
sekitar
perumahan
pucang
mojo,
kedungtungkul, dalam hal ini dilakukan di rumah warga dengan sistem dor to dor atau di sela-sela aktivitas warga di sekitar rumahnya. Uji coba dilaksanakan dengan mengambil sampel sejumlah 20 orang, dengan tes objektif berupa pilihan ganda sebanyak 21 butir soal.Dalam penelitian ini teknik validitas yang digunakan adalah construc validity. Untuk mengetahui validitas instrumen maka perlu diadakan uji validitas dengan rumus uji korelasi Product Moment yang dikemukakan Pearson, yaitu :
Keterangan : rxy : Korelasi antara x dan y N : Jumlah sampel X : Jumlah sampel variabel x Y : Jumlah sampel variabel y user transformasi, (Slamet, 2013: 60). XY : variabel yang diuji setelah commit melalui to proses
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian validitas item adalah sebagai berikut: (1). Membuat tabulasi hasil skor angket (2). Mencari skor untuk variable x (3). Mencari skor untuk variable y (4). Mencari skor untuk kuadrat x (4). Mencari skor untuk kuadrat y Adapun kriteria uji validitas tersebut adalah r-hit > r-tabel, dalam hal ini sampel yang digunakan adalah 20 orang. Jika N = 20 , maka r-tabel=0,444 untuk tingkat signifikansi 5%. Setelah butir soal diuji cobakan kemudian di tabulasi menggunakan Microsoft Execell dan Analisisnya menggunakan SPSS 19 versi IBM. Berdasarkan dengan apa yang dikemukakan di Bab 3 uji butir soal menggunakan uji validitas dan uji reabilitas. Adapun penghitungan validitas maupun reabilitas dapat dilihat dalam lampiran. Dari uji validitas terdapat 8 butir soal yang lemah ke validitisannya karena rhit < r tabel, anatra lain butir nomer 3,4,7,8,11,15,17, dan18. Setelah dipelajari lebih lanjut kedelapan butir tersebut untuk pilihan gandanya tidak konsisten dengan yang lainnya, dan diperlukan sedikit perubahan pertanyaannya dan alternatif jawaban. Setelah dilakukan uji coba yang kedua diperoleh ke semua butir pertanyaan dapat dinyatakan valid.
2. Uji reliabilitas Penelitian reliabel bila terdapat kesamaan data pada waktu yang berbeda. Jadi dalam rangka uji ini kita harus mendapatkan jawaban yang sama dari responden yang menjadi responsen dalam uji coba kuesioner, ketika kita mengulang lagi menyebarkan kuesioner pada saat yang lain. Rumus yang dipakai adalah Cronbach‘s Alpha (Guilford, 1953:385) sebagai berikut:
commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dimana : r 11 = reliabilitas instrumen k = banyak butir pertanyaan σ2b = varians total Σσ2b= jumlah varians butir Setelah dilakukan uji memalui program SPSS, ditentukan kriteria dari nilai Croanbach’sAlpha adalah
apabila
didapatkan
nilai Croanbach’s
Alpha kurang dari 0,600 berarti buruk, sekitar 0,700 diterima dan lebih dari atau sama dengan 0,800 adalah baik. Hasil uji Croanbach’s Alpha = 0,687 maka masuk dalam kategori diterima. b. Trianggulasi Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi metode sebagai penambah kevalidan data. Meskipun jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan data-data kuantitatifya, penambahan data-data diskriptif kualitatif juga diperlukan dalam penelitian ini. Meskipun ada penambahan trianggulasi data berupa trianggulasi metode yaitu dengan menambahkan dua metode yaitu: wawancara dan observasi, penelitian ini masih tetap dominan kuantitatif. Titik tekan penggunaan trianggulasi metode atau teknik ini dimaksudkan agar data atau informasi yang didapatkan mengarah pada sumber informasi yang sama, dan untuk menguji kemantapan kebenaran informasi. (Sutopo, 2006; 95) Misalnya dalam penelitian ini data yang berupa data-data kuantitaif belum dapat menjelaskan kebenaran realita, maka diperlukan trianggulasi teknik atau metode untuk mendapatkan kejelasan atas realitas tersebut. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul dari lapangan, selanjutnya dilakukan pengolahan terlebih dahulu (editing dan konversi data) agar data yang tersebar luas dalam itemitem kuesioner dapat dibuat lebih ringkas dan lebih sederhana dengan bantuan Program SPSS 19 . Selanjutnya, analisis dilakukan agar data mentah yang didapat dari lapangan mempunyai arti dan makna sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan . Dengan demikian, analisis data dalam studi ini dilakukan dengan : a.Metode analisis statistik deskriptif yakni untuk menggambarkan keadaan faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi konflik antar siswa. b. Metode analisis statistik korelasional yakni untuk melihat pengaruhi di antara variabel-variabel yang tengah diteliti. Untuk tujuan analisis data dan pengujian hipotesis yaitu dengan rumus seperman r2, digunakan taraf signifikansi sebesar 5%. Agar sesuai dengan tujuan penelitian, analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk menjelaskan dan mendeskripsikan hubungan variabel yang diteliti dengan landasan teori yang dipakai, melalui uraian yang sistematik. Langkah – langkah yang ditempuh dalam analisis data adalah sebagai berikut : a. Menyusun tabulasi data, yaitu data yang telah diperoleh kemudian disusun ke dalam tabel untuk memudahkan dalam perhitungan. Adapun hasil dari tabulasi pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran. b. Melakukan uji asumsi klasik, Uji asumsi klasik merupakan satu uji yang harus dipenuhi dalam analisis regresi linier berganda, seperti halnya dalam dalam penelitian ini.
Pada setiap penelitian penempatan asumsi menjadi
penting, dimana asumsi ini sebagai batasan-batasan penelitian. Jika pada model penelitian kuantitatif batasan-batasan ini terletak pada batasan apakah model statistika yang digunakan layak untuk kondisi data penelitian. Jadi uji asumsi ini dilakukan bukan dalam rangka untuk suporting data tapi lebih mengarah pada batasan-batasan apakah kemudian data yang digunakan layak atau tidak dalam uji statistik selanjutnya. Penelitian ini menggunakan lima variabel (X1,X2,X3,X4,danX5) dengan 20 hubungan. Jika dilakukan uji asumsi pada setiap hubungan antar varibel dalam artian hubungan antara varibel commit to userdependen (Y) dengan variabel
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
independen (X) dapat dilakukan dengan 4 prediktor. Hal ini sesuai apa yang di jabarkan pada bab sebelumnya. Lebih lengkapnya dari empat uji asumsi klasik dengan masing-masing uji prediktornya dapat dilihat sebagai berikut: 1. Uji normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang dianalisis mempunyai sebaran yang normal atau tidak. Pengujian normalitas digunakan rumus uji chi kuadrat sebgai berikut :
Keterangan : X2
: Harga chi kuadrat
Fo
: Frekuensi yang diharapkan
Fh
: Frekuensi pengamatan (Sudjana, 1996:273) Cara lain yang dilakukan untuk mengetahui normalitas data
seperti yang dilakukan dalam penelitian yaitu dengan menggunakan bantuan SPSS, kemudian mendeteksi normalitas data melalui output grafik yang ada. Adapun kriteria uji normalitas semacam ini yaitu: dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu grafik. Dasar pengambilan keputusan sebagai berikut: • Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan memenuhi arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. • Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau mengkuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Adapun hasil dari uji normalitas masing-masing prediktor sebagai berikut: a. Hubungan antara kemiskinan material (Y) dengan kelemahan jasmani (X1), isolasi tehardap pelayanan publik (X2), Kerentanan(X3), dan ketidakberdayaan (X4), maka diperoleh output grafik sebagai berikut:
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 3.2 Grafik Sebaran Uji Normalitas 1
Dari hasil output grafik tersebut dapat kita lihat sebaran data berada di sekitar garis diagonal dan mengkuti arah garis diagonal, maka model regesi memenuhi asumsi normalitas. b. Hubungan antara kelemahan jasmani sebagai variabel dependen (Y) dengan isolasi tehardap pelayanan publik (X1), Kerentanan(X2), dan ketidakberdayaan (X3), maka diperoleh output grafik sebagai berikut:
Gambar 3.3 Grafik sebaran uji normalitas 2 Dari hasil output grafik tersebut dapat kita lihat sebaran data berada di sekitar garis diagonal dan mengkuti arah garis diagonal, maka model regesi memenuhi asumsi normalitas. commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Hubungan antara isolasi terhadap pelayanan publik sebagai variabel dependen (Y) dengan, Kerentanan(X1), dan ketidakberdayaan (X2), maka diperoleh output grafik sebagai berikut:
Gambar 3.4 Grafik sebaran uji normalitas 3 Dari hasil output grafik tersebut dapat kita lihat sebaran data berada di sekitar garis diagonal dan mengkuti arah garis diagonal, maka model regesi memenuhi asumsi normalitas. c. Hubungan
kerentanan
sebagai
variabel
dependen
(Y)
dengan
ketidakberdayaan (X), maka diperoleh output grafik sebagai berikut:
Gambar 3.5 Grafik Sebaran Uji Normalitas 4 Dari hasil output grafik tersebut dapat kita lihat sebaran data berada di sekitar garis diagonal dan mengkuti arah garis diagonal, maka model regesi memenuhi asumsi normalitas. commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieeritas ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas atau independen tidak berkolinier. Priyanto (2008) menyatakan bahwa‖Multikolinieritas keadaan dimana terjadi hubungan yang sempurna anatar variabel independen dalam proses regresi‖. Uji ini dilakukan menggunakan bantuan program SPSS dengan melihat besarnya VIF (Variance Inflation Factor) dan tolerance. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinieritas yaitu: Pertama, mempunyai nilai VIF di sekitar angka 1. Kedua, mempunyai angka tolerance mendekati angka 1, Ketiga, besarnya korelasi antar variabel independen harus lemah (dibawah p=0,05) Hasil dari Uji multikolinieritas dari masing-masing perdiktor sebagai berikut: a. Hubungan antara kemiskinan material (Y) dengan kelemahan jasmani (X1), isolasi tehardap pelayanan publik (X2), Kerentanan(X3), dan ketidakberdayaan (X4), maka diperoleh output sebagai berikut:
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
KELEMAHAN JASMANI
,756
1,323
ISOLASI TERHADAP
,806
1,241
KERENTANAN
,863
1,158
KETIDAKBERDAYAAN
,838
1,194
PELAYANAN PUBLIK
a. Dependent Variable: KEMISKINAN MATERIAL
Tabel 3.1 Uji Multikolinieritas 1
Dari keempat hubungan yang terdapat dalam tabel output penghitungan uji multikolinieritas tersebut, baik hubungan antara variabel kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, isolasi terhadap
pelayanan
publik, kerentanan dan ketidakberdayaan commit to user kesemuanya memiliki nilai tolerance dan VIF mendekati 1, maka dapat
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan bebas dari multikoliniearitas. b. Hubungan antara kelemahan jasmani sebagai variabel dependen (Y) dengan isolasi terhadap pelayanan publik (X1), Kerentanan(X2), dan ketidakberdayaan (X3), maka diperoleh output sebagai berikut:
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
KERENTANAN
,914
1,095
KETIDAKBERDAYAAN
,878
1,139
ISOLASI TERHADAP
,946
1,057
PELAYANAN PUBLIK a. Dependent Variable: KELEMAHAN JASMANI
Tabel 3.2 Uji Multikolinieritas 2
Dari ketiga hubungan yang terdapat dalam tabel output penghitungan uji multikolinieritas tersebut, baik hubungan antara variabel kelemahan jasmani, dengan isolasi terhadap pelayanan publik, kerentanan dan ketidakberdayaan kesemuanya memiliki nilai tolerance dan VIF mendekati 1, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan bebas dari multikoliniearitas.
c. Hubungan antara isolasi terhadap pelayanan publik sebagai variabel dependen (Y) dengan, Kerentanan(X1), dan ketidakberdayaan (X2), maka diperoleh output sebagai berikut:
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
KERENTANAN
,926
1,080
KETIDAKBERDAYAAN
,926
1,080
a. Dependent Variable: ISOLASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
Tabel 3.3 Uji Multikolinieritas 3
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari kedua hubungan yang terdapat dalam tabel output penghitungan uji multikolinieritas tersebut, baik hubungan antara variabel isolasi terhadap pelayanan publik, dengan kerentanan dan ketidakberdayaan kesemuanya memiliki nilai tolerance dan VIF mendekati 1, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan bebas dari multikoliniearitas. d. Hubungan
kerentanan
sebagai
variabel
dependen
(Y)
dengan
ketidakberdayaan (X), maka diperoleh output sebagai berikut:
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
1,000
1,000
KETIDAKBERDAYAAN
a. Dependent Variable: KERENTANAN
Tabel 3.4 Uji Multikolinieritas 4
Dari hubungan yang terdapat dalam tabel output penghitungan uji multikolinieritas
tersebut,
hubungan
antara
kerentanan
dengan
ketidakberdayaan kesemuanya memiliki nilai tolerance dan VIF = 1, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan bebas dari multikoliniearitas.
3. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana tidak terjadi kesamaan varian
dari
resedual
untuk
semua
pengamatan
model
regresi
(Priyanto,2008). Dalam penelitian ini Uji Heteroskedastisitas dilakukan dengan melalui program SPSS. Uji ini dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians resedual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari resedual dari satu pengamatan ke yang lain tetap, maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Kriteria yang digunakan dalam uju heterosedastisitas ini adalah jika ada pola tertentu seperti yang membentuk titik teratur (bergelombang, melebar, kemudian commit to user menyempit) maka terjadi heterosedastisitas. dan jika tidak ada pola yang
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka heteroskedastisitas. Adapun dari hasil perhitungan uji hetrokedastisitas dari masingmasing varibel dapat diperoleh data sebagai berikut: a. Hubungan antara kemiskinan material (Y) dengan kelemahan jasmani (X1), isolasi
tehardap
pelayanan
publik
(X2),
Kerentanan
(X3),
dan
ketidakberdayaan (X4), maka diperoleh output grafik persebaran sebagai berikut:
Gambar 3.6 Grafik Sebaran Uji Heteroskedastisitas1 Dari gambar tersebut terlihat tidak beraturannya persebaran titik-tidak atau dengan kata lain tidak membentuk pola-pola terstentu, dan titik-titik menyebar di atas dan dibawah angaka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas. b. Hubungan antara kelemahan jasmani sebagai variabel dependen (Y) dengan isolasi
tehardap
pelayanan
publik
(X1),
Kerentanan(X2),
dan
ketidakberdayaan (X3), maka diperoleh output grafik persebaran sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
berikut:
Gambar 3.7 Grafik Sebaran Uji Heteroskedastisitas2 Dari gambar tersebut terlihat tidak beraturannya persebaran titik-tidak atau dengan kata lain tidak membentuk pola-pola terstentu, dan titik-titik menyebar di atas dan dibawah angaka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas. c. Hubungan antara isolasi terhadap pelayanan publik sebagai variabel dependen (Y) dengan, Kerentanan(X1), dan ketidakberdayaan (X2), maka diperoleh output grafik persebaran sebagai berikut:
Gambar 3.7 Grafik Sebaran Uji Heteroskedastisitas3 Dari gambar tersebut terlihat tidak beraturannya persebaran titik-tidak atau dengan kata lain tidak membentuk pola-pola terstentu, dan titik-titik menyebar di atas dan dibawah angaka 0 pada sumbu Y maka tidak commit to user terjadi heteroskedastisitas.
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Hubungan
kerentanan
sebagai
variabel
dependen
(Y)
dengan
ketidakberdayaan (X), maka diperoleh output sebagai berikut:
Gambar 3.8 Grafik Sebaran Uji Heteroskedastisitas 4 Dari gambar tersebut terlihat tidak beraturannya persebaran titiktidak atau dengan kata lain tidak membentuk pola-pola terstentu, dan titik-titik menyebar di atas dan dibawah angaka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi Atutokorelasi adalah keadaan dimana variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel gangguan pada periode lain.
Uji ini
menguji apakah dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Pengujian autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS 19 versi IBM. Metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif.. b. Angka D-W di antara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi. c. Angka D-W diatas + 2 berati ada autokorelasi negatif Hasil dari pengujian dari uji autokorelasi, dalam penelitian ini antara lain: commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Hubungan antara kemiskinan material (Y) dengan kelemahan jasmani (X1), isolasi
tehardap
pelayanan
publik
(X2),
Kerentanan(X3),
dan
ketidakberdayaan (X4), maka diperoleh output sebagai berikut: b
Model Summary Model
Durbin-Watson
1
2,137
a
a. Predictors: (Constant), KETIDAKBERDAYAAN, ISOLASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK, KERENTANAN, KELEMAHAN JASMANI b. Dependent Variable: KEMISKINAN MATERIAL
Tabel 3.5 Tabel uji Autokorelasi 1
Pada tabel penghitungan diatas angka Durbin-Waston = 2,137, maka termasuk dalam kategori autokorelasi negatif. b. Hubungan antara kelemahan jasmani sebagai variabel dependen (Y) dengan isolasi
tehardap
pelayanan
publik
(X1),
Kerentanan(X2),
dan
ketidakberdayaan (X3), maka diperoleh output sebagai berikut:
Model
Durbin-Watson
1
1,705
a
a. Predictors: (Constant), ISOLASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK, KERENTANAN, KETIDAKBERDAYAAN b. Dependent Variable: KELEMAHAN JASMANI
Tabel 3.6 Tabel uji Autokorelasi2
Pada tabel uji autokorelasi nampak angka Durbin-Waston : 1,705 yang berarti tidak ada auto korelasi. c. Hubungan antara isolasi terhadap pelayanan publik sebagai variabel dependen (Y) dengan, Kerentanan(X1), dan ketidakberdayaan (X2), maka diperoleh output sebagai berikut:
commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Model
Durbin-Watson
1
1,535
a
a. Predictors: (Constant), KETIDAKBERDAYAAN, KERENTANAN b. Dependent Variable: ISOLASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
Tabel 3.7 Tabel uji Autokorelasi 3
Pada tabel uji autokorelasi nampak angka Durbin-Waston : 1,535 yang berarti tidak ada auto korelasi. d. Hubungan
kerentanan
sebagai
variabel
dependen
(Y)
dengan
ketidakberdayaan (X), maka diperoleh output sebagai berikut:
Model
Durbin-Watson
1
1,863
a
a. Predictors: (Constant), KETIDAKBERDAYAAN b. Dependent Variable: KERENTANAN
Tabel 3.8 Tabel uji Autokorelasi 4
Pada tabel uji autokorelasi nampak angka Durbin-Waston : 1,863 yang berarti tidak ada auto korelasi.
3. Pengujian hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis dalam uji statistis, maka dalam penelitian ini digunakan statistik ―Korelasi Product Moment‖ . Statistik ini digunakan untuk mencari korelasi antar variabel yang ada. Syarat untuk menggunakan Korelasi Product Moment menurut Parson yaitu :
a) Distribusi nilai dari variabel-variabel yang sedang diteliti membentuk distribusi normal atau setidaknyamendekati normal. b) Dua variabel yang dihubungkan adalah kontinum yang bersifat commit to variabel user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) rasional atau setidak-tidaknya bersifat interval. d) Hubungan antara dua variabel bersifat rektalinier (membentuk garis lurus) (Y. Slamet, 1993 ; 66). Karena data yang dikumpulkan bersifat ordinal, maka digunakan transformasi linier agar distribusi nilai dari data-data ordinal dapat mengikuti kurva normal. Adapun rumus transformasi linier adalah :
Keterangan : Z : Transformasi Linier xi : Nilai atau score mentah dari x xi2 : Nilai rata-rata dari x SDx : Standar deviasi N : Banyaknya x
Setelah data ditransformasi linier, maka baru dihitung dengan rumus korelasi product moment sebagai berikut :
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : rxy : Korelasi antara x dan y N : Jumlah sampel X : Jumlah sampel variabel x Y : Jumlah sampel variabel y XY : variabel yang diuji setelah melalui proses transformasi (Slamet, 2013: 60).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DISKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Kondisi Geografis Kelurahan Mojosongo, Jebres, Surakarta Kelurahan Mojosongo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Luas wilayah Kelurahan Mojosongo adalah 532,972 hektar, 320,80 hektar diantaranya adalah daerah pemukiman dengan 49.284 penduduk. Karena merupakan dataran yang cukup tinggi di Kota Solo (80-130 diatas permukaan laut), maka Mojosongo merupakan daerah bebas banjir. Berikut ini adalah peta wilayah Kelurahan Mojosongo,
Gambar. 4.1 Peta Kelurahan Mojosongo (Sumber. www.solokita.org, Maret 2014) Bentuk topografi Kelurahan Mojosongo adalah berbukit-bukit dan merupakan dataran tertinggi di kota Surakarta. Berdasarkan ciri tersebut maka dapat digambarkan bahwa wilayah ini tergolong sebagai daerah pinggiran kota. Semula Kelurahan Mojosongo terpinggirkan secara geografis dan juga kurang diperhatikan. Tetapi dengan kemajuan terutama sarana dan commit to pembangunan user
69
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prasarana mulai nampak. Banyak investor atau pengembang mulai melirik wilayah Mojosongo, sehingga nampak beberapa perumahan bermunculan dan perusahaan mulai membangun di wilayah ini. Mojosongo merupakan wilayah yang sangat diminati oleh lapisan masyarakat menengah kebawah terutama disektor perumahan. Hal ini dikarenakan wilayah Mojosongo sangat dekat dengan pusat kota. Pertimbangan lain adalah harga tanah yang masih relatif murah dan Mojosongo adalah wilayah yang bebas banjir. Selain itu Kelurahan Mojosongo merupakan salah satu kelurahan terbesar di Surakarta, sehingga berakibat juga pada jumlah penduduknya yang cukup besar.
2. Struktur Pemerintahan Secara struktur pemerintahan kelurahan mojosongo masuk ke dalam Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Seperti halnya kelurahan-kelurahan lainnya, Kelurahan Mojosongo dipimpin oleh seorang Lurah dan dibantu oleh perangkat pemerintahan seperti : Sekertaris Kelurahan atau biasa dikenal dengan nama carik, dan ada beberapa kepala seksi. Selain Kelurahan Mojosongo terbagi kedalam 181 RT dan 32 RW, dan ada beberapa wacana untuk pemekaran RT maupun RW. Berikut struktur pemerintahan di Kelurahan Mojosongo:
LURAH Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Tata Pemerintahan
SEKERTARIS
Seksi Pemberdayaan Masyarakat
Seksi Pembangunan dan Lingkungan Hidup
Gambar 4.2 Bagan Struktur Pemerintahan Desa (Sumber: Arsip Kelurahan, Desember 2013) commit to user
Seksi Budaya & Agama
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Kependudukan Sebagai kelurahan yang memiliki wilayah terluas pastinya akan berdampak langsung pada kuantitas penduduknya. Kelurahan Mojosongo selain memiliki luas wilayah terluas, juga memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kota Surakarta. Berdasarkan hasil pencatatan Pemerintah Kota Surakarta pada akhir tahun 2013 jumlah penduduk Kelurahan Mojosongo berjumlah 49.284 jiwa, dengan 13.563 jumlah kepala keluarganya. Selain itu di rata-rata jiwa tiap KK atau anggota keluarga tiap KK-nya berjumlah 4 jiwa/KK.
4. Pendidikan Berikut ini data terkait dengan tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Mojosongo menurut data kependudukan yang dikeluarkan pada akhir tahun 2013:
Tingkat Pendidikan Penduduk Mojosongo PT (2.812 orang) 9%
Tidak Sekolah (7.702 orang) 24%
Tidak Tamat (5.250 orang) 16%
SMA (5.215 orang) 17%
SMP (5.194 orang) 16%
SD (5.635 orang) 18%
Grafik 4.1 Data Tingkat Pendidikan Warga Kelurahan Mojosongo (Sumber: Arsip Kelurahan Mojosongo, Desember 2013)
5.
Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi, kebanyakan peduduk kelurahan bekerja di sektor jasa atau buruh dengan rician sebagai berikut: sebagai buruh bangunan sebesar 7.802 orang, dan yang menempati peringkat kedua yaitu sebagai buruh di sektor industri yaitu sebesar 5.330 orang. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat commit to user kesejahteraan penduduk. Dimana kelurahan Mojosongo tercatat sebagai kelurahan
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
yang memiliki jumlah keluarga misikin terbanyak di Kota Surakarta yaitu sebesar 21 % dari total penduduk miskin Kota Surakarta. Menurut data dari pencatatan bantuan RASKIN (Beras untuk Keluarga Miskin) kelurahan Mojongo, terdapat 4.403 kepala keluarga yang tergolong miskin. Tingkat kemiskinan masyarakat mojosongo yang cukup tinggi bukan hanya berasal dari penduduk asli mojosongo. Tetapi juga berasal dari kantongkantong miskin dari warga relokasi perkotaan. Kurang lebih ada sembilan tempat yang dijadikan relokasi oleh pemerintah Kota Surakarta. Kurang lebih terdapat 100 KK disetiap perumahan relokasi, dan salah satu yang terbesar jumlah penduduknya adalah Perumahan Warga Relokasi Pucang Mojo yang terdapat di RT 03 yang kemudian dijadikan objek dalam penelitian ini.
6.
Gambaran Umum Perumahan Pucang Mojo Perumahan Pucang Mojo adalah salah satu lokasi yang dijadikan tempat merelokasi oleh Pemerintah Kota Surakarta. Para penghuni kampung
atau
perumahan ini adalah warga relokasi dari Desa Pucangsawit yang tepatnya di pinggiran sungai bengawan solo pada tahun 2010. Dari kesembilan lokasi (tempat relokasi) Pucangmojo merupakan salah satu yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu sekitar 108 kepala rumah tangga. Perumahan Pucang Mojo terdapat di Kelurahan Mojosongo khususnya wilayah Kedungtungkul RT 03 RW 07. Tepatnya 800 meter sebelah barat Pasar Mojosongo atau 1 kilo meter sebelah utara Rumah Sakit Dr Oen Jebres atau biasa disebut dengan wilayah kandang sapi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya seperti halnya daerah mojosongo pada umnya daerah ini memiliki topografi berbukit dan dataran tinggi. Kontur tanah daerah tersebut tidak rata jadi banyak tanjakan dan turunan. Wilayah perumahan Pucang Mojo merupakan daerah yang di perumahan baik diperuntukan warga relokasi sampai perumahan elit atau menengah ke atas. Akses ke daerah tersebut cukup sulit karena tidak dilewati oleh kendaraan umum, Kendaraan umum (angkot dan bus) hanya berhenti di pinggir jalan raya dekat pasar mojosongo atau perempatan rumah sakit Dr. Oen dan jika bisa dilanjutkan dengan ojek atu jalan kaki ke daerah Kedungtungkul sejauh 1 km. Selain akses commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
kendaraan umum yang kurang ditambah kontur tanah yang tidak rata (berbukit) menjadi tantangan tersendiri menuju daerah ini.
7.
Organisasi atau Lembaga Sosial pada Masyarakat Pucang Mojo Secara kelembagaan formal Perumahan Relokasi Pucang Mojo masuk dalam wilayah Kedungtungkul RT 03 RW 07. Tetapi kemudian dibentuklah Kelompok Kerja yang mengurusi warga-warga relokasi. Di Mojosongo terdapat sembilan kelompok kerja, penelitian ini mengambil populasi warga Perumahan Relokasi Pucang Mojo merupakan Kelompok Kerja (POKJA) IV. Secara organisasi Kelompok Kerja (POKJA) ini sama halnya dengan organisasiorganisasi biasanya. Selayaknya organisasi POKJA ini tersusun atas Ketua, Sekertaris, Bendahara, dan beberapa seksi-seksi. Program kerja organisasi POKJA ini cukup menarik, selain ada pertemuan rutin antar warga (bapak-bapak dan ibu-ibu PKK). Ada penarikan dana seperti: dana sosial, iuran wajib, iuran pembuangan sampah dsb. Juga ada acara-acara sosial seperti menjenguk orang sakit, melayat ,dan tidak lupa kerja bakti rutin. Selain itu pengurus POKJA mengkordinir acara-acara atau program tersebut dan juga mengatur sirkulasi dana-dana sosial, serta mengursi hak-hak warga seperti sertifikat tanah dan ganti rugi lahan pada saat relokasi. Secara sosial kelembagaan POKJA atau kelompok kerja ini di bangun sebagai suatu mekanisme pertahanan secara sosial kemasyarakatan, karena bagaimanapun warga penghuni perumahan ini adalah warga relokasi yang terserabut dari struktur sosialnya dan memiliki kerentanan yang cukup tinggi pada tempat yang baru.
8.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pucang Mojo Perumahan Pucang Mojo didiami oleh 108 kepala rumahtangga dan disetiap keluarga beranggotakan rata-rata 4 orang, yang terdiri dari ayah, ibu dan rata-rata dua orang anak. Tetapi lambat laun seiring jumlah rumah tangga di Perumahan Pucang mojo terus mengalami penambahan. Penambahan jumlah rumah tangga bersal dari pendatang, juga berasal dari terbentuknya keluarga baru yang kemudian memisahkan diri dari stuktur keluarga batih (induk) baik secara sosial maupun ekonominya. Meskipun commit to user keluarga baru tersebut masih
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendiami rumah orang tuanya. Hal ini nampak ketika awal-awal relokasi tahun 2010 hanya berjumlah 80-an kepala keluarga tetapi saat ini tercatat ada 108 kepala keluarga. Tetapi yang memprihatinkan rumah yang tersedia sampai sekarang hanya tersedia 89 petak rumah. Pekerjaan Masyarakat Pucang mojo, untuk laki-laki dewasa mayoritas bekerja menjadi buruh, kuli bangunan, pengemis, dan pemulung. Sedangkan untuk wanita dewasa bekerja membantu penghasilan keluarga dengan berjualan di pasar, pembantu rumah tangga, buruh juga ada yang menjadi pemulung dan pengemis. Pekerjaan erat kaitannya dengan tingakat pendidikan masyarakat, Tingkat pendidikan terakhir rata-rata warga relokasi di pucang mojo SMP, bahkan untuk mayoritas penduduk yang berumur setangah baya hanya lulusan SD. Meskipun lokasi di kota tetapi prinsip-prinsip gotong royong masih dipegang erat oleh penduduk pucang mojo. Sesuai dengan karakteristiknya sebagai
masyarakat gemeinscaft yang guyub rukun dan bergotong royong.
Mungkin karena letaknya dipinggiran kota jadi karakteristik sebagai masyarakat gemeinscaft masih nampak jelas di Perumahan pucang mojo. Berdasarkan cerita dan pengamatan dan selama penelitian masyarakat yang guyub rukun ini masih terpelihara. Dahulu saat relokasi dan pembukaan perumahan dari yang dulunya lahan yang tidak terpelihara kemudian disulap warga dengan gotong royong menjadi bangunan seperti sekarang. Dengan gotong royong pula saat peneliti melakukan penelitian, warga memperlihatkan kekompakannya pada saat membangun Pos ronda dan perbaikan saluran irigrasi.
B. DISKRIPSI MASING-MASING VARIABEL Pada sub-bab ini memabahas mengenai gambaran hasil pengumpulan data dari variabel-variabel yang diteliti. Tiap variabel kemudian diturunkan ke dalam tiap butir soal. Sumber dari pembahasan dalam sub-bab ini adalah dari hasil angket tiap-tiap butir pertanyaan, dan pembahasan dimasukan kedalam tiap variabel sebagai berikut:
commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Kemiskinan Material sebagai variabel pertama (X1) Pada variabel kemiskinan material ini terdapat dua indikator yaitu pendapatan dan pengeluaran, yang kemudian ditransformasikan pada dua pertanyaan antara lain: 1. Pendapatan Untuk dapat mengetahui pendapatan rata-rata tiap bulan responden diberikan lima alternatif jawaban dan pensekorannya: -
kurang dari 800.000, diberi nilai 5, sangat rendah 800.001 s/d 1.000.000, diberi nilai 4, kurang 1.000.001 s/d 1.800.000, diberi nilai 3,sedang 1.800.001 s/d 2.500.000, diberi nilai 2, cukup Diatas 2.500.001, diberi nilai 1, tinggi
Setelah data terkumpul dan dilakukan tabulasi dapat terlihat pada grafik berikut: Grafik 4.2 Pendapatan rata-rata
Pendapatan Rata-rata Warga Pucangmojo
15 responden 28% 39 responden 72%
Kurang dari Rp 800.000,-
antara Rp800.001 - Rp 1.000.000,-
Sumber: Jawaban Kuisioner No1, Februari 2014 Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pendapatan mayoritas responden berada pada rentan antara Rp.800.000,00-Rp.1.000.000,00 yaitu sebanyak 39 responden atau 72% responden. Sementara yang berada di bawah Rp.800.000,00 sejumlah 15 responden atau 28 %, Sedangkan untuk diatas Rp.1.500.000,00, tidak ada atau 0%.
commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jika dilihat diari grafik di atas maka mayoritas responden berada pada kategori pendapatan ―sangat rendah‖ yaitu berpendapatan antara Rp.800.000-Rp. 1.000.000,-. Juga 25 % sisanya masuk dalam kategori ―sangat kurang‖ yaitu berpendapatan di bawah Rp.800.000,-, yang merupakan angka dibawah Upah Minimum Regional Kota Surakarta. Hal ini dapat diperkuat dari data riwayat individu responden yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh. Banyak diantaranya sebagai buruh bangunan dan buruh rumahtangga. Selain itu fakta lain menyebutkan ada beberapa responden yang bermata pencaharian sebagai pemulung dan pengemis. 2. Pengeluaran Pada butir pengeluran terdapat lima pertanyaan berkaitan dengan pengeluaran rutin responden antara lain: makan sehari-hari, biyaya sekolah anak, perabotan rumahtangga, membeli pakaian, sepatu, sandal, membeli sabun, pastagigi, detergen, rekreasi atau berpergian keluar kota, berobat, dan membeli kendaraan bermotor. Kedelapan butir soal tersebut masuk di berikan lima alternatif jawaban yaitu jika responden menjawab ―sangat kurang‖ diberi nilai 5, responden yang menjawab kurang di beri nilai 4, responden yang menjawab cukup diberi nilai 3, responden yang menjawab lebih dari cukup diberi nilai 4, dan responden yang menjawab sangat cukup diberi nilai 5. Setelah data dikumpulkan dan ditabulasikan diperoleh nilai masing-masing butirnya pada tabel sebagai berikut: a) Kemampuan untuk membeli makan sehari-hari Tabel 4.1 Kemampuan untuk membeli makan sehari-hari Nilai
Jawaban 5,00 Sangat kurang 4,00 Kurang 3,00 Cukup Total Sumber: Kuisionare No 2, Februari 2014
Jumlah 2 19 33 54
Presentase 3,7% 35,2% 61,1% 100,0%
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden mayoritas menjawab ―cukup‖ dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari yaitu sebesar 61,1 % , menjawab commit to user sangat kurang 3,7 % dan 35 % menjawab kurang. Hal ini dpat dilihat
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemenuhan paling dasar yaitu pangan responden masih berada pada tingkat cukup tetapi masih ada yang merasa kekurangan. Seperti yang kita ketahui, kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar pada diri setiap individu. Jika dilihat dari hasil tabulasi kuisioner mengenai pemenuhan kebutuhan akan pangan ini, responden berada dalam kategori sedang karena bagaimanapun faktor gaya hidup sangat menentukan dalam masalah pemenuhan dasar ini. b) Kemampuan untuk Biaya sekolah anak Tabel 4.2 Kemampuan untuk biaya sekolah anak Nilai
Jawaban 5,00 Sangat kurang 4,00 Kurang 3,00 Cukup Total Sumber: Kuisioner no 2, Februari 2014
Jumlah 12 21 21 54
Presentase 22,2% 38,9% 38,9% 100,0%
Jika dilihat dari tabel diatas terdapat dua kategori yang memiliki nilai sama yaitu antara cukup dan kurang yaitu sejumlah 21 orang atau 38,9%, sedangkan sisanya 12 responden atau 22,2 % memilih jawaban sangat kurang. Data pada butir pengeluaran dalam hal biyaya sekolah anak relatif tersebar bahkan ada nilai yang kembar, tetapi perseberannya masih pada tataran menengah ke bawah dalam artian kemampuan responden dalam membeayai sekolah anak masih diantara cukup dan kurang. Baik kriteria cukup dan kurang dalam hal ini lebih mengarah pada responden yang menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri dan swasta. Cukup untuk anaknya yang bersekolah negeri karena sekolah negeri gratis. Sedangkan kurang untuk kategori kurang dan sangat kurang bagi mereka yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Pernyataan ini diperoleh dari responden ketika dalam proses wawancara dan beberapa catatan di angket.
commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Kemampuan untuk membeli perabotan rumahtangga Tabel 4.3 Kemampuan untuk membeli perabotan rumah tangga Nilai
Jawaban 5,00 Sangat kurang 4,00 Kurang 3,00 Cukup 2,00 Lebih dari cukup Total (Sumber: Kuisioner no 2, Februari 2014)
Jumlah 3 36 14 1 54
Presentase 5,6 % 66,7 % 25,9 % 1,9 % 100,0%
Jika dilihat pada tabel diatas jawaban ―kurang‖ menempati presentase tertinggi yaitu sejumalah 66,7 %, Kategori ―cukup‖ diposisi kedua dengan presentase sebesar 25,9 %, kategori ―sangat kurang‖ diposisi ketiga dengan presentase 5,6 %, dan kategori jawaban lebih dari cukup diposisi keempat dengan presentase 1,9 %. Maka dpat dilihat mayoritas responden masih kurang mampu dalam membeli perabot rumah tangga, atau dalam artian lebih dari setangah responden masih merasa kesulitan dalam membeli perabotan rumah tanggannya. Data tersebut jika dibenturkan pada pengalaman empiris dilapangan akan terlihat jelas. Dimana kondisi perumahan responden masih sederhana dengan perabotan seadanya. d) Kemampuan untuk Membeli pakaian, sepatu, sandal, dsb Tabel 4.4 Kemampuan untuk membeli pakaian,sepatu,sandal dsb Nilai 5,00 4,00
Jawaban Sangat kurang Kurang
3,00
Cukup
Total Sumber : Kuisioner no 2, Februari 2014
Jumlah 8 23
Presentase 14,8 % 42,6 %
23
42,6 %
54
100,0%
Jika dilihat pada tabel diatas ada dua kategori yang memiliki nilai dan prosentase sama atau kembar yaitu antara kategori kurang dan cukup yang memiliki nilai 42,6 %, dan 14,8 % sisanya menjawab masih ―sangat kurang‖. Dari kesamaan presentase jumlah responden tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan responden dalam membeli kebutuhan dasar yaitu dalam masalah ―sandang‖ masih relatif antara kurang dan cukup. commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Kemampuan untuk Membeli sabun, pasta gigi, detergen, dsb Tabel 4.5 Kemampuan untuk Membeli sabun, pastagigi, detergen, dsb Nilai 5,00 4,00 3,00
Jawaban Sangat kurang Kurang Cukup
Jumlah
Total Sumber : Kuisioner no 2, Februari 2014
5 21 28
Presentase 9,3 % 38,9 % 51,9 %
54
100,0%
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa persentasi tertinggi terletak pada kategori cukup yaitu sebad 51,9 %, yaitu lebih dari 50 % responden menyatakan cukup mampu dalam memenuhi atau membeli barang yang relatif ringan seperti sabun, detergen dsb. Sementara itu 38,9 % responden memilih untuk menjawab kurang mampu dan 9,3 % dari responden lebih memilih sangat kurang mampu dalam membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun, pasata gigi, detegne, dsb. Karena membeli barang kebutuhan sehari-hari yang relatif kecil maka sangat maklum jika respondeng sebagian besar menyatakan mampu untuk membelinya. f) Kemampuan untuk Rekreasi atu berpergian keluar kota Tabel 4.6 Kemampuan untuk rekreasi atau berpergian keluar kota Nilai 5,00 4,00 3,00
Jawaban Sangat kurang Kurang Cukup
Total Sumber : Kuisioner no 2, Februari 2014
Jumlah 31 19 4
Presentase 57,4% 35,2% 7,4%
54
100 %
Data dari butir soal ini sangat menarik jika dibandingkan dengan butir soal pada varibel satu dengan lainnya. Mayoritas atau prosentasi tertinggi masuk pada kategori sangat kurang, yaitu lebih dari 50 % responden masih merasakan sangat kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan akan rekreasi atau berwisata. Jika ada anggapan bahwa kebutuhan berwisata manjadi salah satu kebutuhan pokok warga Eropa tetapi tidak untuk warga Indonesia khususnya warga menengah kebawah yang menempatkan kebutuhan berwisata sebagai kubutuhan tersier.
commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g) Kemampuan untuk Berobat Tabel 4.7 Kemampuan untuk berobat Nilai 5,00 4,00 3,00
Jawaban Sangat kurang Kurang Cukup
Jumlah
Total Sumber : Kuisioner no 2, Februari 2014
5 37 12
Presentase 9,3 % 68,5 % 22,2 %
54
100 %
Dari data tabel di atas terlihat jelas jumlah responden pada kategori kurang dapat memenuhi kebutuhan dalam berobat sangatlah tinggi yaitu sebesar 68,5%. Sementara itu 22, 2 % menyatakan cukup mampu dan 9,3 % menyatakan sangat kurang mampu untuk berobat. Kebutuhan untuk berobat ini erat kaitannya nanti dengan variabel kelemahan jasmani dan kerentanan. Kita akan mendapat gambaran jelas lebih lanjut pada pemabahasan varibel tersebut. h) Kemampuan Membeli kendaraan bermotor Tabel 4.8 Kemampuan untuk membeli kendaraan bermotor Nilai
Jawaban 5,00 Sangat kurang 4,00 Kurang 3,00 Cukup 2,00 Lebih dari cukup Total Sumber : Kuisioner no 2, Februari 2014
Jumlah 18 33 2 1 54
Presentase 33,3 % 61,1 % 3,7 % 1,9 % 100 %
Kebutuhan akan kendaraan bermotor pada saat ini menjadi sangat penting bagi masyarakat guna melakukan mobilitas kesehariannya. Lokasi perumahan yang berbukit-bukit atau tidak datar, menjadikan kepemilikan kendaraan bermotor khususnya sepeda motor sangat dibutuhkan warga relokasi Pucang mojo. Jika dilihat pada tabel diatas responden masih kurang mampu untuk membeli kendaraan bermotor dengan presentasi cukup besar yaitu 61,1%. Sementara sangat kurang diposisi kedua dengan persentase 33,3 % , cukup 3,7 % dan lebih dari cukup 1,9 % dari responden. Kemempuan memebli kedaraan bermotor bagi para responden erat kaitannya dengan butir pertama varibel ini yang membahas mengenai pendapatan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
Selain menggunakan parameter dari kedua indikator di atas, penelitian ini menggunakan data-data kualitatif sebagai pelengkap, Karena perlu diakui bahwa parameter yang digunakan dalam penelitian ini masih belum menyentuh aspekaspek sosiologis. Parameter pendapatan dan pengeluaran yang digunakan dalam penelitian ini masih hanya bersifat ekonomis dalam mengkur kemiskinan material. Maka daripada itu penelitian ini menggunakan data-data kualitatif sebagai pelengkap. Data-data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara dan observasi selama penelitian. Seperti yang diketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa mayoritas warga relokasi Pucang mojo berkrja sebagai buruh honorer, dan jarang sekali yang memiliki pekerjaan tetap. Hal ini terkait dengan pendapatan dan waktu bekerja yang cukup lama tiap harinya. Asumsinya adalah jika waktu bekerja yang cukup lama dan tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka hasilkan maka dapat dinyatakan sebagai golongan miskin secara matereial. Seperti yang dialami oleh seorang informan bernama Siswo Supatmo yang bekerja sebagai HANSIP atau keamanan di kelurahan Pucang sawit. Setiap hari ia bekerja delapan jam atau hitungan piket per-harinya. Setiap kali piket ia hanya diberi upah oleh kelurahan sejumlah Rp. 22.500/ piket, dalam seminggu ia empat kali piket. Jadi kalau dihitung perbulanya ia mendapatkan Rp. 360.000 rata-rata/bulan. Maka hal ini tidak sebanding dengan waktu yang ia keluarkan dengan pendapatan yang diterimanya. Untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) hidupnya dan keluarganya ia melakukan deversifikasi pekerjaan atau alternatif penghasilan dengan jalan menjadi buruh bangunan. Menjadi buruh bangunan yang tidak menentu Pak Siswo Supatmo harus bekerja selama 8 jam/hari dengan tiga kali seminggu. Penghasilan menjadi buruh bangunan cukup lumayan jika dipandingkan menjadi HANSIP atau Keamanan yaitu Rp.50.000 – Rp. 60.000/ harinya. Kalau seminggu tiga kali maka ia dapat mengumpulkan Rp.150.000/minggu dan Rp.600.000/bulan. Tetapi pekerjaan ini menurut Pak Siswo Supatmo kadang ada ya kadang tidak. Jadi pekerjaan ini tidak menentu. Maka untuk membantu perekonomian istrinya membuka warung kecil di samping rumahnya. Kata pak Siswo “yoo cukup nggo tuku bumbu-bumbuan mas”,
yang artinya bahwa penghasilan istrinya cukup
membantu untuk membeli bumbu-bumbu commit todapur user atau dalam arti luas adalah beli
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lauk pauk. Disinilah tercermin bagaimana penapatan utama sebagai seorang hansip atau keamanan masih sangat kurang dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Maka daripada itu diperlukan alternatif pendapatan untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tidak sebandingnya antara waktu yang kerja dengan pendapatan yang dihaslikan tercermin juga dalam kasus yang dialami oleh Pak Srimulyanto. Informan ini bekerja sebagai buruh bangunan, yang merupakan pekerjaan utamanya. Seperti halnya Pak Siswo Supatmo setiap hari Pak Srimulyanto bekerja selama 8 jam dengan upah Rp.50.000-Rp.60.000/ hari kerja. Tetapi waktu kerjanya seminggu empat kali dan tidak rutin atau jika ada proyek bangunan saja. Baik Pak Siswo maupun Pak Srimulyanto ikut dengan salah satu pemborong di Kota Surakarta, dan di hubungi jika ada proyek bangunan. Lain halnya dengan Pak Siswo, Pak Srimulyanto memilih untuk menganggur jika tidak ada proyek. “ya nganggur mas.. nek gak enek gawean, lha piye mas jenenge wong cilik” ungkap Pak Srimulyanto, yang artinya ya menganggur mas, kalau tidak ada kerjaan, lha mau bagaimana namnya juga orang kecil. tetapi Pak Srimulyanto cukup terbantu dengan Istrinya bu Suratimi yang bekerja sebagai buruh jahit lepas. Maksudnya mengambil bahan jahitan di Perusahaan tempat ia bekerja tetapi di jahitnya di rumah, dan ia mendapat pengasilan Rp.15.000/harinya. Meskipun sedikit tetapi cukup membantu Pak Srimulyanto dalam memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.
b. Kelemahan Jasmani sebagai varibel kedua (X2) Pada variabel kelemahan jasmani terdapat enam butir soal yang lebih lengkapnya terdapat pada pembahasan berikut: 3. Intensitas lama bekerja Untuk mengetahui intensitas kerja responden diberikan lima alternatif pilihan jawaban dengan pensekoranya sebagai berikut:
yaitu responden yang
menjawab ―Tidak bekerja‖ diberi skor 5, responden yang menjawab ―paling lama 4 jam‖ diberi skor 4, untuk responden yang menjawab ―5 – 8 jam‖ diberi skor 3, responden yang menjawab ―9 – 12 jam‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab‖Lebih dari 13 jam‖ diberi skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut:
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.9 intesitas lama bekerja tiap hari Nilai 5 3 2
Jawaban Tidak bekerja 5-8 jam 9-12 jam
Total Sumber : Kuisioner no 3, Februari 2014
Jumlah 6 41 7
Presentase 11,1% 75,9% 13,0%
54
100 %
Dari tabel diatas menunjukan bahwa mayoritas responden melakukan aktivitas kerjanya 5-8 jam per-hari yaitu sebesar 75,9 %, maka tergolong masih dalam kategori ―kurang‖. Sementara 13,0% antara 9-12 jam dan tidak bekerja 11,1%. Hal ini menunjukan intensitas kerja responden atau warga masyarakat pucang mojo kedungtungkul masih relatif rendah, karena mayoritas intensitas kerja responden masih tergolong dalam kategori kurang dan rendah.
4. Kesehatan badan Untuk mengetahui kondisi kesehatan badan responden atau apa yang mereka rasakan kaitannya dengan kesehatan diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak sehat‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―kurang sehat‖ diberi skor 4, responden yang menjawan ―biasa saja‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―lumayan sehat‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab‖sangat sehat‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.10 kesehatan badan Nilai
Jawaban 5 Tidak sehat 4 Kurang sehat 3 Biasa saja 2 Lumayan sehat Total Sumber : Kuisioner no 4, Februari 2014
Jumlah 1 6 26 21 54
Persentase 1,9% 11,1% 48,1% 38,9% 100 %
Jika dilihat dari tebel diatas maka data relatif tersebar, 48, 1 % responden masuk dalam kategori biasa saja, sementara lumyan terpaut tipis dengan 38,9 % dalam kategori lumayan sehat, sementara kurang sehat dijawab oleh 11,1% dari commit to user responden, dan 1,9 responden sedang tidak sehat. Hal ini menunjukan kondisi
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesehatan responden masih dalam batas normal, yaitu tingkat kesehatan responden tersebar diantara lumayan sehat dengan biasa sebagai mayoritas pilihan. Tingakat kesehatan ini lebih pada pandangan subjektif responden bukan mengukur dengan ukuran medis. Melalui pandangan subjektif ini diharapkan responden secara jujur dan apa adanya mengenai apa yang dia rasakan soal kesehatan badannya. Jadi dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan kondisi kesehatan responden masih dalam kategori normal. 5. Intensitas terserang penyakit Untuk mengetahui intesitas responden terserang penyakit diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sangat sering‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―sering‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―sesekali‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.11 intensitas/ sering tidaknya terserang penyakit Nilai
Jawaban 5 Sangat sering 4 Sering 3 Kadang-kadang 1 Sesekali Jumlah Sumber : Kuisioner no 5, Februari 2014
Jumlah 1 5 44 4 54
Persentase 1,9% 9,3% 81,5% 7,4% 100 %
Dari data tersebut dapat dilihat nilai tertinggi atau mayoritas responden manjawab ―kadang-kadang‖ dengan presentase 81,5 %, kriteria ini masuk dalam kriteria tengah. Sementara sering diposisi kedua dengan 9,3 %, diposisi ketiga sesekali dengan 7,4 %, dan 1,9 % responden menjawan sangat sering. Intensitas terserag penyakit ini hampir mirip dengan butir soal sebelumnya. Tetapi dalam butir ini lebih menekankan faktor identitas sementara butir seblumnya pada kondisi fisik sekarang yang dialami responden. Perhitungan tersebut memberikan gambaran bagaimana suara mayoritas responden lebih memilih kadang-kadang terserang penyakit. Sebagai mahluk Tuhan pastinya ada kalnya sakit dan sehat, Tergantung pada situasi dan kondisi. commit to user Hubungannya dengan hal ini adalah dengan mayoritas responden lebih memilih
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kategori sedang sementara yang kategori yang lain minoritas. Jadi dapat disimpulkan intesitas terserang penyakit bagi responden masih dalam kategori normal dan tidak ditemukan kejadian luar biasa terkait dengan intensitas terserang penyakit.
6. Daya tahan kerja (endurance) Untuk mengetahui kemempuan bekerja atau frekuensi kerja dalam artian daya tahan dalam bekerja responden diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak mampu‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―kurang mampu‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―cukup mampu‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―mampu‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖sangat mampu‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.12 daya tahan kerja Nilai
Jawaban
5 4 3 2
Tidak mampu Kurang mampu Cukup mampu Mampu Total Sumber : Kuisioner no 6, Februari 2014
Jumlah
Persentase 8 2 15 29 54
14,8% 3,7% 27,8% 53,7% 100 %
Dari tabel tersebut diatas dapat kita lihat endurance atau daya tahan responden ketika bekekerja mayoritas menyatakan mampu bekerja lebih lama dengan presentase lebih dari 50 % yaitu tepatnya 53,7 %. Sementara di posisi kedua 27% responden menyatakan cukup mampu, diposisi ketiga dinyatakan tidak mampu dengan 14,8 % responden dan 3,7 % menyatakan kurang mampu. Jadi ketahanan fisik responden masih cukup bagus guna menunjang pekerjaan mereka.hal ini ditunjang oleh berbagai hal misalnya pola hidup, letak kondisi geografis.
7. Yang dirasakan setelah bekerja Untuk mengetahui kemempuan bekerja atau frekuensi kerja dalam artian commit to user lima alternatif jawaban sebagai daya tahan dalam bekerja responden diberikan
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berikut: responden yang menjawab ―sangat capek‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―cukup capek‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―capek‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―kadang-kadang capek‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah capek‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.13 daya tahan kerja Nilai
Jawaban
5 4 3 2
Sangat capek Cukup Capek Capek Kadang-kadang Total Sumber : Kuisioner no 7, Februari 2014
Jumlah
Persentase 3 27 17 7 54
5,6% 50,0% 31,5% 13% 100 %
Dari tabel diatas mayoritas responden memilih cukup capek setelah mereka melakukan aktivitas kerja yaitu sejumlah 27 orang atau 50 % dari responden. Sementara diposisi kedua pada kategori capek yaitu 31,5 %, diposisi ketiga degan 13 % pada kategori kadang-kadang, dan 5,6 % menjawab sangat capek setelah bekerja. Hal ini membuktikan ketahahanan fisik responden masih kurang sehingga ketika bekerja lebih lama mereka merasakan capek-capek. Karena posisi mayoritas responden merasakan capek dan cukup capek setelah melakukan aktivitas kerja.
8. Intensitas Menkonsumsi obat Untuk mengetahui intensitas atau frekuensi responden dalam mengkonsumsi obat. Diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sangat sering‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―sering‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―sesekali‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut:
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.14 daya tahan kerja Nilai
Jawaban 5 Sangat sering 4 Sering 3 Kadang-kadang 1 Sesekali Jumlah Sumber : Kuisioner No 8, Februari 2014
Jumlah 3 2 44 5 54
Persentase 5,6% 3,7% 81,5% 9,3% 100 %
Dari data yang diperoleh diatas dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi obat masyarakat masih relatif normal yaitu dibuktikan dengan angka mayoritas berada di tengah (kadang-kadang) dengan prenentase 81,5 %. Sementara 9,3 % informan menjawab sesekali, 3,7 % menjawab sering, dan 5,6 % menjawab sangat sering. Hal ini meunjukan bagaimana konsumsi obat oleh para informan masih cenderung normal yaitu mayoritas pada posisi kadang-kadang. c. Isolasi terhadap Pelayanan Publik sebagai variabel ketiga (X3) Pada varibel ini terdapat empat butir pertanyaan, yang dapat dijelaskan secara mendetail sebagai berikut: 9. Intensitas pemanfaatan pelayanan publik Untuk mengetahui intensitas atau frekuensi responden dalam pemanfaatan pelayanan publik diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak pernah‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―jarang‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―sering‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖sangat sering‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada pembahasan masing-masing butir sebagai berikut: a) Mengunjungi Bank Tabel 4.15 Mengunjungi Bank Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00
Jawaban Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering
Jumlah 32 11 10 1
Total 54 commit to user Sumber: Kuisionare No. 9, Februari 2014
Persentasi 59,3% 20,4% 18,5% 1,9% 100,0%
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa responden mayoritas (59.3 %) belum pernah berkunjung ke bank atau yang dimaksud disini adalah bank konvensional. Adapun bank yang selama ini melakukan transaksi dengan mereka adalah bank keliling atau biasa dikenal dengan sebutan bank plecit. Sementara itu 20,4 % menjwab jarang pergi ke bank, 18, 5% menjawab kadang-kadang dan 1,9 % menjawab sering. Hal ini menunjukan rendahnya kunjungan responden ke bank konvensional. b) Mengunjungi Puskesmas atau Rumah sakit Tabel 4.16 Mengunjungi Puskesmas dan Rumah Sakit Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00 Total
Jawaban Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering
Jumlah Persentase 5 9,3% 23 42,6% 24 44,4% 2 3,7% 54 100,0 % (Sumber : Kuisioner No. 9, Februari 2014)
Dari tabel diatas dapat terlihat distribusi nilai atau perbedaan tipis antara pilihan ―jarang‖ dan kadang-kadang pergi ke Puskesmas atau rumah sakit dengan presentasi 42 % untuk jarang dan 44,4 %untuk kadang-kadang. Sementara itu 9,3 % menjwab tidak pernah, dan 3,7 % sering. Hal ini menjadi menarik karena lokasi perumahan relokasi Pucang Mojo ini tidak jauh dari Rumah Sakit dr. Oen yaitu kurang dari satu kilo meter, tetapi kemudian yang terjadi masyarakat jarang sekali memanfaatkan fasilitas rumah sakit kecuali sakit serius dan menjenguk anggota keluarga atau tetangga yang sedang sakit di rumah sakit. c) Pergi ke-Pasar atau pusat perdagangan Tabel 4.17 Pergi ke-Pasar atau pusat perdagangan Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00
Jawaban Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Sangat Sering
Jumlah 6 15 24 7 2
Total 54 commit to user Sumber kuisionare No 9, Februari 2014
Persentase 11,1% 27,8% 44,4% 13,0% 3,7% 100,0%
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa presentase tertinggi responden menjawab kadang-kadang pergi ke pasar yaitu sebesar 44,4 %. Mungkin dimaklumi karena responden adalah kepala rumah tangga dan sebagian besar adalah laki-laki, maka kemudian jarang sekali pergi ke pasar atau pusat perdagangan. Tetapi yang menarik kemudian ada 2 orang responden yang sangat sering pergi ke pasar dikarenakan pekerjaannya sebagai pedagang atau istri mereka yang berdagang di pasar atau pusat perbelanjaan. d) Berkunjung ke-Kantor Pelayanan (Kelurahan) Tabel 4. 18 Berkunjung ke Kator pelayanan (kelurahan) Nilai
Jawaban Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sangat sering
5,00 4,00 3,00 1,00 Total Sumber: Kuisionare No.9, Februari 2014
Jumlah 1 20 32 1 54
Persentase 1,9% 37,0% 59,3% 1,9% 100,0%
Pada tabel tersebut mayoritas responden menjawab kadang-kadang berkunjung ke kelurahan yaitu sebesar 59,3 % dan jarang 37 %. Selain ketidak jelasan status sebagian penduduk warga relokasi pucang mojo ini karena ada yang sebagian masuk ke wilayah kelurahan Mojosongo dan sebagian lagi masih tercatat di Kelurahan Pucang Sawit. Ada satu kemudian yang menarik dsini ada satu responden menjawab sangat sering pergi ke kelurahan karena setiap harinya bekerja sebagai hansip di kelurahan.
e) Memanfaatakan Sarana Peribadatan (masjid atau gereja) Tabel 4.19 Memanfaatkan sarana peribadatan Nilai
Jawaban Jarang Kadang-kadang Sering Sangat sering
Jumlah 2 18 31 3 54
4,00 3,00 2,00 1,00 Total Sumber: Kuisionare No.9, Februari 2014 commit to user
Persentase 3,7% 33,3% 57,4% 5,6% 100,0%
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tersebut memperlihatkan kita bagai responden memanfaatkan salah satu sarana publik yaitu sarana peribadatan. Ada dua sarana peribatan di lokasi perumahan pucang mojo ini yaitu masjid diujung depan kapung dan gereja di tengah-tengah kampung. Hasilnya lebih dari 57 % responden menjawab sering pergi ke masijd atau gereja. Sisanya 33,3% menjawab kadang-kadang, 5,6 % sangat sering dan 3,7 % jarang. Jika dilihat dari angka mayoritas penduduk lebih sering berkunjung ke saranan peribadatan dikarenakan di lokasi terdapat satu gereja dan satu musola/masjid yang dimanfaatkan bukan hanya sebagai sarana periabadatan juga sebagai sarana sosial kemasyarakatan, seperti rapat atau pertemuan warga. Hal ini dikarenakan belum adanya fasilitas seperti pos ronda, atau balai pertemuan untuk kegiatan-kegiatan warga, sehingga kegiatan warga banyak dilakukan di jalanan kampung atau sarana peribadatan.
10. Kunjungan Pejabat Pada butir pertanyaan ke-10 ini di bagi lagi menjadi enam butir yaitu pejabat dari RT,RW, Lurah, Camat, Walikota, DPRD. Untuk mengetahui intensitas atau frekuensi kunjungan para pejabat ke daerah relokasi Pucang Mojo, diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sangat sering‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―sering‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―jarang‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel masing-masing butir sebagai berikut: a) Kunjungan Ketua RT Tabel 4.20 Ketua RT Nilai 5,00 2,00 3,00 2,00 1,00
Jawaban Sangat sering Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Jumlah 34 14 4 1 1
Total 54 Sumber Kuisioner No.10, Februaricommit 2014 to user
Persentase 63,0% 25,9% 7,4% 1,9% 1,9% 100,0%
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari data tabel tersebut terlihat bahwa pejabat yang paling dekat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat adalah ketua RT. Terbukti pada tabel diatas frekuensi kunjungan Ketua RT langsung ke masyarakat cukup tinggi yaitu 63 % untuk sangat sering dan 25,9 % untuk sering, sementara dapat dimaklumi jika pada tabel masih ada yang manjawab tidak pernah atau jarang karena tempat tinggal ketua RT tidak berdampingan langsung dengan warga atau lebih tepatnya tempat tinggalnya diluar Perumahan Relokasi Pucang Mojo. b) Kunjungan Ketua RW Tabel 4.21 Kunjungan Ketua RW Nilai
Jawaban Sangat sering Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Total Sumber: Kuisioner No. 10, Februari 2014
Jumlah 3 43 3 2 3 54
Persentase 5,6% 79,6% 5,6% 3,7% 5,6% 100,0%
Dari data tabel diatas masih dapat dikatakan normal dikarenakan tingkat frekuensi kunjungan Ketua RW langsung ke warga Pucang mojo masih cukup tinggi untuk kategori sering yaitu sebesar 79,6 % . Sementara itu untuk jawaban kadang-kadang, sangat sering dan tidak pernah sama jumlah persentase yaitu 5,6 % , dan untuk jawaban jarang 3,7 %. c) Kunjungan Lurah Tabel 4.22 Kunjungan Lurah Nilai
Jawaban Sangat sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
5,00 3,00 2,00 1,00 Total Sumber: Kuisioner 10
Jumlah 1 47 3 3 54
Persentase 1,9% 87,0% 5,6% 5,6% 100,0%
Lurah sebagai pemegang jabatan administratif ditingkat paling bawah memiliki peran dalam mengkondisikan warganya. Dari tabel diatas dapat dilihat commit to user mayoritas responden mengatakan bahwa kunjungan Kepala Desa atau Lurah
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masih pada tingkatan ―kadang-kadang‖ yaitu sebesar 87 %. Sementara untuk yang menjawab jarang dan tidak pernah jumlah persentasenya sama yaitu 5,6 % dan sangat sering berjumlah satu orang. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat kunjungan Lurah dalam hal ini adalah Lurah Mojosongo pada itensitas sedang atau mayoritas menjawab kadang-kadang. d) Kunjungan Camat Tabel 4.23 Kunjungan Camat Nilai
Jawaban Sangat Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
5,00 4,00 3,00 1,00 Total Sumber : Kusioner 10, Februari 2014
Jumlah 1 6 42 5 54
Persentase 1,9% 11,1% 77,8% 9,3% 100,0%
Dapat dilihat pada tabel diatas menunjukakan bahwa mayoritas responden memilih pilihan ―jarang‖
yaitu sebesar 77,8 % untuk tingkat
kunjungan Camat di Perumahan Relokasi Pucang Mojo. Sementara 11,1 % menyatakan kadang-kadang, 9,3 % menjawab tidak pernah dan 1,9 % menjawab sangat
sering. Sebagai
pembantu walikota dalam menjalankan tugas
administratifnya di tingkat kecamatan khususnya Kecamatan Jebres, jarang sekali melakukan kunjungan ke Perumahan Relokasi Pucang mojo, Mojosongo, Jebres. e) Kunjungan Walikota Tabel 4.24 Kunjungan Walikota Nilai
Jawaban Sangat Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Jumlah 5,00 1 3,00 5 2,00 45 1,00 3 Total 54 Sumber : Kuisioner Nomor 10, Februari 2014
Persentase 1,9% 9,3% 83,3% 5,6% 100,0%
Seperti halnya pejabat di bawahnya (Camat), tingkat kunjungan Walikota di daerah relokasi khususnya di warga relokasi Pucangmojo, Mojosongo, commit to user Surakarta cenderung pada kategori ―jarang‖ dengan presentase 83.3 %.
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara untuk yang menjawab kadang-kadang 9,3 %, tidak pernah 5,6 % dan sangat sering 1,9 %. Tetapi yang menarik pada tingkat kunjungan Walikota ini lebih besar daripada kujungan DPRD, hal ini erat kaitannya dengan program blusukan Walikota Surakarta sebelumnya. f) Kunjungan Anggota DPRD Tabel 4.25 Kunjungan Anggota DPRD Nilai
Jawaban
Jumlah
5,00 Sangat Sering 2,00 Jarang 1,00 Tidak pernah Total Sumber : Kuisioner No. 10, Februari 2014
1 8 45 54
Persentase 1,9% 14,8% 83,3% 100,0%
Berdasarkan pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa mayoritas responden memilih kategori tidak pernah pada anggota DPRD yang berkunjung di daerah Pucangmojo. Yang menarik disini adalah tingginya presentasi yaitu 83% untuk jawaban tidak pernah untuk anggota DPRD ketika menjabat menjadi anggota Dewan. Sedangkan saat menjadi calon legeslatif (CALEG) begitu banyak yang datang ke wilayah Pucangmojo dan banyak diantaranya menawarkan bantuan. Sementara untuk jawaban yang lainya yaitu ―jarang‖ sebesar 14,8 % dan ―sangat sering‖ 1,9 %.
11. Penyuluh atau Pemberdayaan Untuk mengetahui intensitas atau frekuensi penyuluhan atau programprogram pemberdayaan diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak pernah‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―jarang‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―sering‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab‖sangatsering‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut:
commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4. 26 Intensitas Penyuluh atau program pemberdayaan Nilai
Jawaban Tidak pernah Jarang Sering Sering sekali
Jumlah 5,00 12 4,00 39 3,00 2 1,00 1 Total 54 Sumber: Data Kuisioner No. 11, Februari 2014
Persentase 22,2% 72,2% 3,7% 1,9% 100,0%
Dari data tabel di atas dapat kita lihat suara mayoritas responden memilih jarang untuk program-program penyuluhan atau program pemberdayaan yang ada di Pucang mojo yaitu sejumlah 72,2 %. Sedangkan ada satu orang yang mengatakan sering sekali setalah dideteksi beliau merupakan kepala POKJA (kelompok kerja) dari Pucang Mojo. Sementara untuk jawaban sering 3,7 % dan jawaban tidak pernah 22,2 %.
12. Aksebilitas terhadap Pendidikan Aksebilitas terhadap Pendidikan adalah salah satu hak dari setiap warga negara. Jika warga negara dipersulit dalam mengakses pendidikan itu merupakan bentuk dari isolasi pelayanan publik dari pemerintah kepada rakyatnya. Untuk mengukur sejauhmana akaseblitas responden terhadap pendidikan diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―mahal sekali‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―cukup mahal‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―murah‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―cukup terjangkau‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak berbayar‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 2.27 Aksebilitas terhadap Pendidikan Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00
Jawaban Mahal sekali Cukup mahal Murah Cukup terjangkau Tidak membayar
Jumlah 4 38 2 1 9
Total 54 commit to user Sumber: data Kuisioner No, 12, Februari 2014
Persentase 7,4% 70,4% 3,7% 1,9% 16,7% 100,0%
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jika dilihat dari tabel di atas jawaban cenderung tersebar, setiap pilihan jawaban ada yang memilihnya. Dari tabel diatas aspek isolasi terhadap pelayanan publik pada bidang pendidikan sangat nampak terlihat, pada tabel diatas bahwa pendidikan masih dirasa cukup mahal bagi responden (warga) pucang mojo, kedungtunggkul, Surakarta, dengan tingkat persentase cukup tinggi yaitu 70,4 % responden. Sementara untuk di posisi ke dua adalah jawaban tidak menyebar dengan presentase 16,7 %, posisi yang ketiga ―mahal sekali‖ dengan presentase 7,4 %, keempat ―murah‖ dengan persentase 3,7 %, dan kelima ―cukup terjangkau‖ dengan persentase 1,9 %.
d. Variabel Kerentanan (X4) Pada variabel kerantanan ini terdapat lima butir soal dengan pembahasan sebagai berikut : 13. Respon ketika menghadapi sesuatu yang sifatnya mendadak Salah satu yang digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan dalam penelitian ini adalah response terhadap sesuatu yang sifatnya mendadak. Dalam butir ini terdapat enam response yang diukur, Keenam respon tersebut diukur dengan memberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak siap‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―kurang siap‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―siap‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―cukup siap‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab‖sangat siap‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel masing-masing butir sebagai berikut: a. Respon ketika menghadapi Kelahiran bayi Tabel 4.28 Menghadapi Kelahiran bayi Nilai
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap Siap
Jumlah 5,00 8 4,00 27 3,00 15 2,00 4 Total 54 Sumber Data kuisioner No 13, Februari 2014 commit to user
Persentase 14,8% 50,0% 27,8% 7,4% 100,0%
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan data diatas, kesiapan dalam hal menghadapi kelahiran bayi pada reponden mayoritas memilih kriteria kurang siap dengan presentase 50%. Sementara itu untuk yang menjawab cukup siap 27,8 %, siap 7,4 %, dan 14,8 % untuk jawaban tidak siap. Jadi ketidaksiapan akan respon berupa kelahiran bayi pada warga relokasi pucang mojo masih relatif tinggi. b. Respon ketika Menghadapi Sakit Tabel 4.29 Menghadapi sakit Nilai 5,00 4,00 3,00
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap
Jumlah 9 34 8
1,00 Siap 3 Total 54 Sumber Data kuisioner No 13, Februari 2014
Persentase 16,7% 63,0% 14,8% 5,6% 100,0%
Hampir mirip dengan butir sebelumnya ketidaksiapan responden pada masalah sakit yang mendadak masih relatif tinggi. Karena mayoritas responden masih memilih alternatif jawaban ―kurang siap‖ sejumlah 63 %. Sementara untuk jawaban tidak siap memiliki persentase 16,7 %, cukup siap dengan persentase 14,8 %, dan 5,6 % untuk jawaban siap. Jadi ketidaksiapan responden dalam menghadapi sakit secara mendadak masih cukup tinggi.
c. Respon ketika Menghadapi Kematian Tabel 4.30 Menghadapi kematian Nilai
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap Siap
Jumlah 5,00 43 4,00 5 3,00 4 2,00 2 Total 54 Sumber Data kuisioner No 13, Februari 2014
Persentase 79,6% 9,3% 7,4% 3,7% 100,0%
Kematian adalah satu hal yang sifatnya mendadak dan tidak bisa commit to user diprediksi. Pada tabel diatas angka ketidaksiapan terhadap apa yang disebut
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kematian masih sangat tinggi yaitu 79,6 % reponden memilih alternatif tidak siap menghadapi kematian. Sementara untuk jawaban kurang siap memiliki persentase 9,3 %, cukup siapa dengan 7,4 %, dan siap 3,7 %. Jadi ketidakkesiapan responden dalam menghadapi kematian masih sangat tinggi. d. Respon ketika Menghadapi Musibah Tabel 4. 31 Menghadapi musibah Nilai
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap Siap
Jumlah 5,00 39 4,00 8 3,00 5 2,00 2 Total 54 Sumber Data kuisioner No 13, Februari 2014
Persentase 72,2% 14,8% 9,3% 3,7% 100,0%
Pada tabel musibah di atas nampak jelas bagaimana responden mayoritas mengatakan tidak siap ketika terjadi musibah sewaktu-waktu dengan jumlah persentase 72,2 %. Semantara untuk jawaban kurang siap dengan persentase 14,8 %, cukup siap dengan persentase 9,3 %, dan jawaban siap 3,7 %. Jadi tingkat ketidaksiapan mengahadapi musibah masih cukup tinggi, hal ini membuktikan sistem jaminan sosial pada warga relokasi masih belum terlaksana meskipun sudah ada dana sosial yang di bentuk oleh kelompok kerja relokasi.
e. Respon ketika Menghadapi Hajatan Tabel 4.32 Menghadapi hajatan Nilai
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap
Jumlah 5,00 13 4,00 33 3,00 8 Total 54 Sumber Data kuisione No 13, Februari 2014
Persentase 24,1% 61,1% 14,8% 100,0%
Berdasarkan data tabel di atas jawaban kurang siap merupakan mayoritas jawaban dari responden yaitu sebesar 61,1%, sedangkan 24,1 % commit to user menjawab tidak siap dan responden menjawab kurang siap sejumlah 14,8%.
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Responden mayoritas memilih kurang siap ketika mendadak melakukan hajatan berupa kawinan atau yang lainya. Ketidaksiapan dalam mengadapi hajatan pada responden masuk dalam kategori ―cukup‖. Hal ini membuktikan meskipun hajatan siftanya lebih yang konseptual bukan suatu yang mendadak responden lebih cenderung kurang siap. f. Respon ketika Menghadapi Gagal Panen/ PHK Tabel 4.33 Menghadapi gagal panen/ PHK Nilai
Jawaban Tidak siap Kurang siap Cukup siap
Jumlah 5,00 13 4,00 33 3,00 8 Total 54 Sumber Data kuisione No 13, Februari 2014
Persentase 24,1% 61,1% 14,8% 100,0%
Berdasarkan data diatas mayoritas responden masih kurang siap ketika menghadapi gagal panan atau di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dengan presentase 61,1 %, sementara untuk jawaban ―tidak siap‖ memiliki peresntase 24,1% sedangkan untuk yang menjawab ―cukup siap‖ memiliki persentase sejumlah 14,8%. Mayoritas responden kurang siap jika sewaktuwaktu di PHK atau mengalami gagal panen. Hal ini menunjukan bahwa responden mayoritas masuk dalam kategori kurang siap dalam menghadapi pemutusan kerja atau gagal panen. Meskipun responden tidak ada yang berprofesi sebagai petani tetapi sebagian besar responden bekerja sebagai buruh baik buruh bangunan maupun industri.
14. Kerentanan terhadap Penyakit Salah satu aspek kerentanan adalah rentan terhadap kondisi fisik, dalam butir ini di wujudkan dalam pertanyaan terserang penyakit. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah warga relokasi rentan terserang penyakit. Untuk mengetahui intesitas
responden terserang penyakit diberikan lima alternatif
jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sedang sakit‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―cukup sering‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―cukup‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―jarang‖ commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.34 rentan terhadap penyakit Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00
Jawaban Sedang sakit Cukup sering Cukup Jarang
Jumlah 1 18 20 7
Persentase 1,9% 33,3% 37,0% 13,0%
8 54
14,8% 100,0%
1,00 Tidak pernah Total Sumber: Kuisioner No 14, Februari 2014
Berdasarkan data dari tebel diatas dapat dilihat masih membentuk distribusi yang menyebar kesemua pilihan alternatif jawaban, dengan suara mayoritas berada ditengah yaitu dengan alternatif jawaban ―cukup‖ dengan persentase 37 %, cukup sering 33,3 %, tidak pernah 14,8%, jarang 13,0%dan sedang sakit 1,9 %. Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan di varibel 2 tetapi yang membedakannya adalah konteks disini adalah masalah rentan terhadap penyakit, dengan hasil cukup rentan terhadap penyakit. Dari tabel hasil presntase tersebut memperlihatkan kita bahwa responden masih dalam kategori cukup dalam masalah kerentanan terhadap penyakit.
15. Rentan terhadap pergantian Musim Pada masyarakat tradisional sangat bergantung dengan apa yang dinamakan musim. Bagi mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan
pastinya
sangat
tergantung
dengan
musim.
Musim
sangat
mempengaruhi pendapatan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui kerentanan responden terhadap musim, yang terkait dengan pendapatan mereka maka diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sangat berkurang‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―berkurang‖
diberi skor 4,
responden yang
menjawab ―lumayan‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―tidak berpengaruh‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖bertambah‖ commitdapat to user diberikan skor 1. Data yang terkumpul terlihat pada tabel berikut:
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.35 Kerentan terhadap pergantian musim Nilai
Jawaban Sangat berkurang Berkurang Lumayan Tidak berpengaruh
Jumlah 5,00 7 4,00 4 3,00 40 2,00 3 Total 54 Sumber. Data Korelasi no. 15, Februari 2014
Persentase 13,0% 7,4% 74,1% 5,6% 100,0%
Berdasarkan tabel diatas, membuktikan bahwa pola-pola tradisional yang bergantung pada musim tidak ditemukan pada warga relokasi Pucangmojo ini. Terbukti mayoritas responden menjawab lumayan yang berarti masuk dalam kategori cukup tergantung berjumlah 74,1%. Sedangkan untuk yang sangat berkurang di posisi kedua dengan 13,0%, berkurang diposisi ketiga dengan 7,4% dan tidak terpengaruh oleh musim 5,6%. Hal ini membuktikan bahwa ketika terjadi perubahan musim secara ekstrim tidak mempengaruhi pendapatan mereka secara fluktuatif, karena mayoritas responden bekerja sebagai buruh bukan petani atau nelayan yang sangat rentan terhadap pergantian musim. 16. Ketergantungan pada Majikan Mayoritas penduduk Perumahan Pucangmojo ini bermata pencaharian sebagai buruh. Untuk mengukur sejauhmana responden ketergantungan terhadap majikan maka responden diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―sangat tergantung‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―tergantung‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadangkadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―tidak tergantung‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖sama sekali tidak tergantung‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.36 ketergantungan pada majikan Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00
Jawaban Sangat tergantung Tergantung Kadang-kadang Tidak tergantung
Jumlah 7 10 21 16
Total 54 commit to user Sumber: data kuisioner nomor 16, Februari 2014
Persentase 13,0% 18,5% 38,9% 29,6% 100,0%
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan pada tabel diatas nilai mayoritas tingkat ketergantungan responden pada alternatif jawaban ―kadang-kadang‖ sejumalah 38,9 %, menyusul kemudian tidak tergantung sejumlah 29,6 % dan tergantung 18,5 % dan sangat tergantung 13,0%. Jika dilihat dari jumlah persentase persebarannya masih relatif normal tidak menunjukan
nilai ekstrim. Tetapi kemudian
persebaranya pada posisi tengah dan cenderung kebawah. Hal ini membuktikan bahwa responden masih relatif tergantung dengan majikan. Berdasarkan dari daftar riwayat pekerjaan responden sebagian besar responden bekerja sebagai buruh bangunan atau buruh rumahtangga dan ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik. Selain itu ada fakta yang mengejutkan bahwa sebagian penduduk penghuni Perumahan Relokasi Pucang mojo bekerja sebagai pemulung dan pengemis. Jika ini memang benar adalah maka untuk tingkat ketergantungan terhadap majikan cukup banyak yang tidak tergantung.
17. Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan Kenaikan harga BBM dewasa ini mempengaruhi perekonomian Indonesia secara makro. Yang menjadi pertanyaan kemudian bagaimana dengan kondisi mikro. Untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga BBM diberikan lima
alternatif
jawaban
sebagai
berikut:
responden
yang
menjawab
―kesejahteraan sangat menurun‖ diberikan skor 1, responden yang menjawab ―menurun‖ diberi skor 2, responden yang menjawab ―biasa saja‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―meningkat‖ diberi skor 4, dan responden yang menjawab ‖sangat meningkat‖ diberikan skor 5. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4.37 pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan Nilai 5,00 4,00 3,00 2,00
Jawaban Sangat menurun Menurun Biasa saja Meningkat
Jumlah 6 41 6 1
Total 54 commit to user Sumber : data kuisioner nomor 17, Februari 2014
Persentase 11,1% 75,9% 11,1% 1,9% 100,0%
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan tabel diatas memebuktikan dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa tahun terakhir ini menunjukan bahwa resonden atau warga relokasi pucang mojo mengalami penurunan kesejahteran dengan persentase mayoritas yang menjawab menurun sejumlah 75,9%. Sedangkan untuk uang menjawab biasa saja dan sangat menurun memiliki persentase sama yaitu 11,1%, dan ada yang memilih meningkat 1,9%. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan responden cukup rentan jika terjadi kenaikan harga BBM.
e. Ketidakberdayaan sebagai variabel kelima (X5) Variabel ketidakberdayaan dibagi lagi kedalam empat indikator yang diturunkan lagi menjadi empat butir soal, untuk membahas lebih hasil dari tabulasi butir soal variabel kelima ini sebagai berikut: 18. Tidak Berdaya dalam hal Mendapat bantuan dari Pemerintah Tidak berdaya dalam menerima bantuan dari pemerintah adalah salah satu ciri-ciri masyarakat miskin. Untuk mengukur ketidakberdayaan dalam memperoleh bantuan dari pemerintah maka responden diberikan lima alternatif jawaban
sebagai
berikut:
responden
yang
menjawab
―tidak
pernah
mendapatkan‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―sangat sulit‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―cukup sulit‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―lumayan mudah‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖sangat mudah‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4. 38 Ketidakberdayaan dalam hal bantuan pemerintah Nilai 5,00
Jawaban Tidak pernah mendapatkannya Sangat sulit Sulit Lumayan mudah Sangat mudah
Jumlah 13
4,00 21 3,00 10 2,00 9 1,00 1 Total 54 Sumber: data kuisioner nomer 18, Februari 2014 commit to user
Persentase 24,1% 38,9% 18,5% 16,7% 1,9% 100,0%
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan data tabel di atas bantuan dari pemerintah sangat sulit diakses oleh responden, terbukti mayoritas responden memilih kriteria sangat sulit dalam mendapatkan bantuan dengan persentase 38,9 %, bahkan 24,1 % responden tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah. Sementara itu 18, 5% menyatakan sulit dan 16,7% menyatakan mudah. Sedangkan satu orang resopnden atau 1,9% menyatakan sangat mudah mendapatkan bantuan, dan ditengarai satu orang tersebut adalah Kepala Pokja Pucang mojo sendiri yang ingin memperlihatkan kebagusan kampungnya di mata orang luar. Dari pernyatan-pernyatan tersebut dapat disimpulkan bahwa responden masih cukup sulit dalam mengakses bantuan dari pemerintah seperti raskin atau bantuanbantuan sosial lainya.
19. Kondisi Ekonomi Keluarga Ekonomi keluarga kadang menjadi isu sentral dalam permasalahan kehidupan rumah tangga. Untuk apa yang dirasakan responden terkait dengan masalah ekonomi keluarga. Ada lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―selalu merasa kesulitan‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―jarang merasa kesulitan‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―kadang merasa kesulitan‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―sesekali merasa kesulitan‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖tidak pernah merasa kesulitan‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.39 kondisi ekonomi keluarga Nilai
Jawaban Selalu merasa kesulitan Jarang merasa kesulitan Kadang merasa kesulitan
5,00 4,00 3,00 Total Sumber: Kuisioner nomer 19, Februari 2014
Jumlah 11 3 40 54
Persentase 20,4% 5,6% 74,1% 100,0%
Berdasarkan tabel diatas mayoritas responden masih kadang merasa kesulitan ketika menghadapi permasalahan ekonomi keluarga yaitu sebesar 74,1%. Sementara 20,4% masih merasa selalu kesulitan dalam menghadapi commit to user permasalahan ekonomi keluaraga. Sedangkan sisanya yaitu 5,6 % jarang merasa
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesulitan dalam menghadapi masalah ekonomi keluarga ini. Baimanapun faktor ekonomi juga sebagai salah satu indikator kebahagian sebuah rumah tangga. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa responden masih cukup merasa kelulitan dalam menghadapi permasalahan ekonomi rumah tangga. Tentu permasalahan ekonomi keluarga ini sangat subjektif bagi para responden. Jadi perlu proses ekonometri mengenai permasalah ekonomi keluarga ini. Tetapi yang pasti penelitian ini adalah melihat bagaimana tingkat ketidakberdayaan melalui
dengan
melihat
bagaimana
ketidakberdayaan
melalui
tingkat
ketidakberdayaan dalam hal menghadapi permasalahan ekonomi bagi para responden.
20. Tingkat Keberanian berpendapat dalam rapat Untuk mengetahui keberanian responden dalam mengkiuti rapat di balai desa atau dalam forum lainya, maka diberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak berani‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―cukup berani‖ diberi skor 4,
responden yang menjawab
―kadang-kadang‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―berani‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab ‖sangat berani‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.40 Tingkat Keberanian berpendapat dalam rapat Nilai 5,00 4,00
Jawaban Tidak berani Cukup berani
Jumlah 7 5
3,00 Kadang-kadang 17 2,00 Berani 23 1,00 Sangat berani 2 Total 54 Sumber: data kuisioner nomer 20, Februari 2014
Persentase 13,0% 9,3% 31,5% 42,6% 3,7% 100,0%
Jika dilihat dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden mayoritas memilih ―berani‖ berpandapat ketika rapat dengan prosentase 42,6 %. Sementara disposisi kedua 31,% dengan alternatif jawaban kategori kadangkadang, ketiga ―tidak berani‖ dengan persentase 13,0%, keempat ―cukup commit to user berani‖ dengan persentase 3,7%. berani‖ dengan persentase 9,3%, dan ―sangat
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini membuktikan bahwa tingkat keberanian masyarakat relokasi atau responden dalam partisipasinya untuk menyuarakan pendapat pada kondisi sedang dengan persentase yang relatif menyebar. Selain melalui kuisioner ini keberanian responden dalam rapat peneliti juga melakukan trianggulasi dengan cara ikut serta dan mengobservasi langsung proses rapat. Yaitu dengan mengikuti rapat warga yang dihadiri oleh seluruh kepala rumahtangga di perumahan relokasi Pucangmojo de. Tingkat ketidakberdayaan jika dilihat dari aspek keberanian rapat terbukti cukup menyebar untuk tiap-tiap responden .
21. Permasalahan Hukum Untuk mengetahui tingkat keterjaminan responden terhadap masalah khususnya masalah hukum, butir ini memberikan lima alternatif jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab ―tidak tahu‖ diberikan skor 5, responden yang menjawab ―kurang terjamin‖ diberi skor 4, responden yang menjawab ―terjamin‖ diberi skor 3, sementara informan yang menjawab ―cukup‖ diberi skor 2, dan responden yang menjawab‖sangat terjamin‖ diberikan skor 1. Data yang terkumpul dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.41 menghadapi permasalahan hukum Nilai
Jawaban Tidak tahu Kurang terjamin Terjamin Cukup terjamin
Jumlah 5,00 22 4,00 27 3,00 3 2,00 2 Total 54 Sumber : Data kuisioner No. 21, Februari 2014
Persentase 40,7% 50,0% 5,6% 3,7% 100,0%
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa keterjaminan responden terhadap permasalahan khususnya masalah hukum masih kurang terjamin. Hal ini terbukti mayoritas memilih ―kurang terjamin‖ 50 % dan tidak tahu menahu sejumlah 40,7 %, sementara pada pilihan ―terjamin dan cukup terjamin 5,6 % dan 3,7 %. Keterjaminan dalam bidang hukum yang dimaksud oleh peneliti disini adalah keterjaminan masayarakat dalam penegakan masalah hukum karena kita ketahui bersama ada prinsip yang commit to sama user dimata hukum. Jika dilihat dari mengatakan bahwa semua warga negara
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kasus Perumahan Pucangmojo dan perumahan-perumahan relokasi lainya adalah lemahnya keterjaminan dimata hukum. Seperti pada kasus sertifikat tanah lahan relokasi yang tidak kunjung diberikan oleh pemerintah. Tetapi tingkat keterjaminan permasalahan hukum pada konteks masyarakat Pucang mojo terbukti mayoritas responden masih merasa kurang terjamin ketika menghadapi permasalahan hukum, khususnya dalam hal permasalahan hak atas sertifikat tanah.
C. ANALISIS DATA Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi selanjutnya dapat dialakukan uji analisis data untuk dapat mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya, apakah kemudian diterima atau ditolak. Adapun teknik analisis menggunakan statistik korelasi product moment dengan menggunakan bantuan SPSS 19 versi IBM. Berhubung data yang dikumpulkan bersifat ordinal, maka digunakan transformasi linier agar distribusi nilai dari data-data ordinal dapat mengikuti kurva normal dalam Analisis Korelasi, semua data dikonversi ke dalam bentuk standar (Z_Score).
Berdasarkan output SPSS diperoleh output hasil
pengolahan data sebagai berikut :
Tabel 4.42 Tabel Uji Korelasi Zscore(VAR Zscore(VAR Zscore(VAR Zscore(VAR Zscore(VAR 00001) Zscore(VA Pearson R00001)
00002) 1
N Zscore(VA Pearson
,127
,003 54
,399
00005) **
,104
,359
,003
,454
54
54
54
,040
,322
*
,085
,774
,018
,541 54
,398
54 ,399
**
1
Correlation Sig. (2-tailed) N
Zscore(VA Pearson R00003)
00004)
Correlation Sig. (2-tailed)
R00002)
00003) **
,003 54
54
54
54
,127
,040
1
,154
,359
,774
,363
**
Correlation Sig. (2-tailed) N
54
54
commit to user
54
,266
,007
54
54
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Zscore(VA Pearson R00004)
**
,154
,003
,018
,266
54
54
54
54
54
,104
,085
**
,177
1
,454
,541
,007
,200
54
54
54
54
,322
1
,177
Correlation Sig. (2-tailed) N
Zscore(VA Pearson R00005)
*
,398
,363
,200
Correlation Sig. (2-tailed) N
54
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
(Sumber: Hasil Uji Analisis Data, Februari 2014) Perhitungan analisis yang digambarkan dalam tabel di atas maka dapat diperoleh koofesien korelasi sederhana antara X1,X2,X3,X4,danX5. Adapun kriteria signifikansi sebagai berikut: Jika pada kolom diatas kita dapat melihat nilai-nilai r yang menunjukan angka pada derajat siginifikansi 0,005 dan derjat 0,001. Bila n = 54, maka kita tempatkan df= 54-2 = 52 (dengan rumus df = njumlah variabel). Kita kemudian juga dapat melihat dengan membandingkan antara r hitung dan r tabel. Dengan ketentuan sebagai berikut: jika r hitung lebih kecil dari r tabel (r hit < r tabel) , Maka Ho diterima dan Ha ditolak, tetapi sebaliknya jika r hitung lebih besar dari r tabel (r hit > r tabel) maka Ha diterima (Sugiyono. 2011: 189-190). R tabel pada penelitian ini adalah 0,266 pada derajat signifikansi 0,005 dan 0,345 pada derajat signifikansi 0,001. Tetapi pada penelitian ini ,emggunakan program statistik SPSS 19 versi IBM, jadi dalam menginterpretasi data lebih mudah karena akan muncul tanda (*) pada hasil uji statistik. Untuk dapat menginterpretasi data dari hasil uji hipotesis antar variabel lebih lengkap sebagai berikut: a. Hubungan antara variabel kemiskinan material (X1) dan kelemahan jasmani (X2), Berdasarkan tabel 4.42 hasil uji korelasi di atas, maka diperoleh:
rx1x2 = 0,399 p
= 0,003 Pada keterangan di bawah tabel ada keterangan:** Correlation is
significant at the 0,01 level (2-tailed). Yang artinya ada korelasi siginifikan antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani pada tingkatan 0,01, uji satu commit to user ekor. Bahkan pada tabel output SPSS menunjukan derajat sigifikansinya sebesar
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
0,003. Hal ini berarti ada koofesien korelasi sangat signifikan. Maka hipotesis yang berbunyi ―Ada hubungan hubungan positif antara
tingkat kekurangan
materi dan tingkat kelemahan jasmani pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ diterima, atau Ho diterima dan HA ditolak. Jadi antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani memiliki hubungan yang signifikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan material pada warga relokasi Pucang mojo semakin tinggi pula tingkat kelemahan jasmaninya. Maka hipotesis Chambers (1983) mengenai hubungan antara tingkat kemiskinan material dengan kelemahan jasmani dalam konteks warga relokasi dapat diterima. Misalnya kasus yang dialami oleh kedua warga kampung Pucang Mojo yang terpaksa harus beberapa kali masuk rumah sakit karena sakit yang dideritanya. Sudah hampir beberapa tahun ini mereka menderita sakit, Setelah dilakukan kroscek data mereka ternyata sudah tidak bekerja, karena mereka bukan pensiunan pegawai negeri sipil maka merekapun tidak memiliki penghasilan. Kehidupannya tergantung pada anak-anaknya. Kasus
ini
menunjukan bahwa begitu eratnya hubungan antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani. Jika dilihat dari hasil kuisioner pada butir soal nomer dua maka sangat terlihat, 68,5% responden tidak mampu dalam membeli obat. Hal ini menunjukan bahwa ketidakmampuan mayoritas responden untuk membeli obat ketika sakit. Ketidakmampuan tersebut erat
kaitannya dengan pendapatan
mereka yang mayoritas juga rendah dan masih ada beberapa di bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Jadi dapat dikatakan semakin tinggi tingkat
kelemahan material pada responden semakin tinggi juga tingkat kelemahan jasmani, juga semakin rendah kemiskinan material semakin rendah juga tingkat kelemahan jasmani. b. Hubungan antara variabel kemiskinan material (X1) dan isolasi terhadap pelayanan publik (X3) , Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X1 dan X3 =0,217. Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi commit to 0,005 user dan df=52):
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rx1x3 (hit)
:
r tabel
0,127
<
0,266
P = 0,359 Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi hipotesis yang berbunyi‖ Ada hubungan hubungan positif antara tingkat Kekurangan materi dan tingkat isolasi terhadap pelayanan publik pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak, atau tidak ada hubungan yang positif antara kemiskinan material dengan isolasi terhadap pelayan publik. Dalam hal ini tidak bisa dikaitkan dengan hipotesis yang dikemukakan oleh Robert Chambers (1983) karena kedua unsur ini mengalami perubahan konteks dan makna. Kemikinan diturunkan ke kemiskinan material dan isolasi diturunkan ke isolasi terhadap pelayanan publik. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kemiskinan material yang dialami
oleh
responden
dengan
isolasi
terhadap
pelayanan
publik
dilatarbelakangi oleh beberapa hal: Pertama adanya sistem organisasi sosial yang sudah melembaga di Perumahan Relokasi Pucang Mojo, Organisasi itu bernama Kelompok Kerja atau POKJA. Kelompok Kerja atu POKJA sendiri merupakan organisasi yang dibentuk pemeritah kota untuk mengkordinir warga juga menjembatani antara warga dan pemerintah. Misalnya dalam penyaluran bantuan sosial seperti raskin. Selain itu dengan adanya POKJA masyarakat merasa terbantu ketika mengurusi masalah pelunasan ganti rugi dan sertifikat tanah ke pemerintah. Kedua, lokasi warga relokasi dekat dengan sarana-sarana publik seperti pasar, rumah sakit, kantor kelurahan dan juga sarana peribadatan. Lokasinya-pun dekat dengan beberapa perumahan kategori menegah ke atas, sehingga dekat pula dengan sarana-sarana publik. Ada dua sarana peribadatan di lokasi Perumahan Relokasi Pucang Mojo yaitu masjid dan gereja meskipun bangunanya tampak sederhana. Masjid berada di samping pintu masuk lokasi perumahan dan gereja berda ditengah-tengah rumah pendudu. Ada yang menarik dari kedua sarana peribadatan ini antara lain: Masjid dibangun secara gotong royong dengan sedikit bantuan dari pemerintah dari sisa commit to user bantuan relokasi dan seperti gambar di bawah di samping masjid sekarang
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedang dibangun Pos Ronda dengan pendanaan dari dana raskin, iuran warga dan juga donatur khusunya memanfaatkan moment Pemilihan Legeslatif 2014. Sedangkan untuk gereja yang sebenarnya rumah sesepuh kampung yang kemudian disulap menjadi Gereja. Bukan hanya diperuntukan untuk beribadah saja gereja ini tetapi juga digunakan dalam pertemuan-pertemuan warga. Adapun gambar dari sarana peribadatan tersebut berikut ini:
Gambar 4.3 Masjid dan Gereja di Perumahan Relokasi Pucangmojo (Sumber: Dokumen Pribadi, Maret 2014) Ketiga, meskipun lokasi perumahan cukup masuk ke dalam dan tidak ada angkutan umum yang melewatinya, tetapi akses jalan cukup mudah dan bagus. Sehingga memudahkan warga melakukan dapat dengan mudah melakukan mobilitas keseharianya.
c. Hubungan antara variabel kemiskinan material (X1) dan kerentanan (X4), Berdasarkan tabel korelasi di atas, maka diperoleh:
rx1x4
= 0,398
p
= 0,003 Pada keterangan di bawah tabel ada keterangan:** Correlation is
significant at the 0,01 level (2-tailed). Yang artinya ada korelasi siginifan antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani pada tingkatan 0,01, uji satu ekor. commit to user Bahkan pada tabel output SPSS menunjukan derajat sigifikansinya sebesar
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
0,003. Hal ini berarti ada koofesien korelasi sangat signifikan. Maka hipotesis yang berbunyi ―Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kekurangan materi
dan
tingkat
kerentanan
pada
warga
relokasi
Pucang
Mojo,
Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ diterima, atau Ho diterima dan HA ditolak. Dengan kata lain antara kemiskinan material dan kerentanan memiliki hubungan yang signifikan pada kontek warga relokasi pucangmojo. Jadi hal ini dapat dilihat bahwa semakin tingginya tingkat kemiskinan material juga diberangi ketidakberdayaan warga relokasi Pucangmojo, Kedungtungkul Mojosongo. Hal ini terbukti dalam diskripsi pada pada masing-masing variabel pada pembahasan sebelumnya yang memperlihatkan masih besarnya tingkat kemiskinan material juga dibarengi dengan tingkat kerentanan. Pada kasus hubungan antara Kemiskinan material dan kerentanan pada warga relokasi masih sesuai dengan apa yang dinyatakan Cahambers (1983), yaitu kedua unsur ini salang terkait satu sama lain. Kerentanan ini lebih bersifat individu, bagaimana responden merasa rentan jika terjadi pergantian musim, rentan terhadap kesehataanya, juga rentan terhadap majikannya. Para responden mayoritas merasa rentan, atau kerentanan yang dialami oleh responden cukup tinggi. Seperti yang dialami oleh bapak KW, yang selalu merasa dirinya rentan terhadap pergantian musim. Ketika musim penghujan maka otomatis pengasilannya berkurang. Karena beliau sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan keliling yang hanya mengandalkan sepeda ontelnya. Karena beliau belum mampu untuk membeli kendaraan bermotor, beliau masih mengandalkan sepeda ontel sebagai sarana ekonominya. Padahal dalam penjelasan di depan, terkait dengan kondisi geografis lokasi ini yang naik turun, maka dapat dikatakan pak KW juga mengalami kerenrentan pada kondisi jasmaninya. Jika diruntut masalah yang dialami oleh Pak KW ini berakar dari masalah kemiskinan material yang kemudian mengalami kerentanan dan ketika dibenturkan dengan fakta geografi, pada akhirnya juga berpengaruh terhadap kesehatannya. Dari hasil pengolahan data, baik antara kerentanan dengan tingkat kemiskinan material pada warga relokasi commit to userpucang mojo berbanding lurus.
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dimana tingkat kemiskinan material pada warga relokasi pucang mojo yang masih cukup tinggi sebanding dengan tingkat kerentanan yang dialami oleh individu-individunya (responden) Dengan kata lain semakin tinggi tingkat kekeurangan material semakin tinggi juga tingkat kerentanan pada warga relokasi Pucang mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta.
d. Hubungan antara variabel kemiskinan meterial
(X1) dan ketidakberdayaan
(X5), Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X1 dan X5 = 0,104, Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi 0,005 dan df=52):
rx1x5
: r tabel
0,104 < 0,266, Dengan p = 0,454 Karena r tabel > r hit , maka dapat diambil Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi hipotesis yang berbunyi ‖ Ada hubungan hubungan positif antara tingkat Kekurangan materi dan ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak. Jadi antara variabel kemiskinan material (X1) dan ketidakberdayaan (X5) tidak memiliki hubungan yang sigifikan. Tidak adanya korelasi positif antara unsur kemiskinan material dengan ketidakberdayaan ini dapat terlihat pada diskiripsi data masing-masing unsur. Dimana dalam diskripsi tersebut terlihat masih tingginya tingkat kemiskinan material, tetapi sebaliknya ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucangmojo sudah mulai berangsur menurun. Sehingga kedua unsur tidak mempunyai korelasi positif yang signifikan. Hubungan antara variabel kemskinan material dengan variabel ketidakberdayaan pada warga reloaksi Pucangmojo terjadi karena beberapa hal. Seperti halnya pada hubungan sebelumnya antara kemiskinan material dan isolasi terhadap pelayanan publik, hubungan ini tidak signifikan karena penyebab yang sama yaitu adanya kelompok kerja atau POKJA. Seseorang miskin yang tidak berdaya akan semakin berdaya jika ada organisasi sosial yang commit to user berbasis pada partisipasi masyarakat yang menaunginya. Dengan adanya
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mekanisme organisasi sosial yang berbasis partisipasi ini, masyarakat akan semakin tahu apa yang dibutuhkan untuk dirinya dan lingkungannya. Misalnya pada kasus warga lingkungan Perumahan relokasi Pucang mojo yang tidak berdaya pada saat pembagian raskin dan tidak meratanya pembagiannya. Kemudian POKJA mengadakan rapat dan memutuskan untuk pembagian raskin tidak dibagikan sebagaimana mestinya, tetapi lebih pada pencairan dana yang dulunya berupa beras kemudian dijual dan diuangkan. Lalu hasil dari penjualan raskin tersebut secara kolektif digunakan warga untuk memperbaiki lingkungannya seperti pembangunan talut, juga diperuntukan untuk membangun pos kampling dan barang pecah belah yang diperuntukan bagi warga jika sewaktu-waktu membutuhkan. Selain itu dengan adanya POKJA atau Kelompok Kerja ini terbangun mekanisme-mekanisme pertahanan diri dalam satu sistem sosial yaitu warga relokasi Pucang mojo. Kegiatan-kegiatan dari organisasi sosial ini hampir mirip dengan sistem yang digunakan dala Koperasi, yang juga bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya. Satu hal misalnya adanya iuran-iuran seperti iuran wajib, iuran pembuangan, dan iuran sosial seperti gambar di bawah ini yang mirip dengan apa yang dijalankan oleh Koperasi. Iuran tersebut diperuntukan untuk menanggulangi ketidakberdaayn warga dalam masalah finansial.
Gambar 4.4 Buku-buku Penarikan Iuran Warga to pribadi, user Maret 2014) (Sumber: commit dokumen
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
Terlebih lagi berdasarkan pengamatan peneliti pada saat mengkuti rapat bersama warga. Pada saat rapat mayoritas warga aktif dalam berargumentasi ketika rapat, yang pada saat itu membahas mengenai pembangnan pos ronda. Bahkan terlihat seorang warga dengan tampilan sangat sederhana tetapi kemudian sangat aktif dalam memberikan pendapatnya, jika dilihat berdasarkan hasil angket bapak tersbut adalah tergolong berpendapatan rendah dan faktor kemiskinan materialnya cukup tinggi. Hal ini membuktikan pada konteks warga Relokasi Pucang Mojo antara Kemiskinan material dan ketidakberdayaan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Jadi interetasi penelitian ini mengenai apa yang dinyatakan Chambers (1983) terkait dengan hubungan antara unsur kemiskinan material dan ketidakberdayaan tidak terbukti.
e. Hubungan antara variabel kelemahan jasmani (X2) dan isolasi terhadap pelayanan publik (X3), Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X2 dan X3 = 0,040, Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi 0,005 dan df=52):
rx2x3
= r tabel
0,040 < 0,266 p
= 0,774 Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, dan
korelasi antara X2 dan X3 koofesien korelasinya tidak signifikan. Jadi hipotesis yang berbunyi ‖ Ada hubungan hubungan positif antara tingkat kelemahan jasmani dan isolasi terhadap pelayan publik pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak, Jadi tidak ada hubungan signifikan antara kelemahan jasmani dengan isoalasi terhadap pelayanan publik. Tidak adanya korelasi antara kelemahan jasmani dan isolasi terhadap pelayan publik ini tidak sesuai dengan hipotesis yang sudah dikemukakan oleh Robert Chambers (1983). Karena unsur isolasi apa yang dikemukakan oleh Chambers (1983) sebelumnya pada penelitian ini diturunkan pada isolasi terhadap pelayanan publik dengan asumsi segmen yang penelitian yang diambil commit to user adalah segmen peneltian perkotaan yang tidak ada isolasi dalam hal ini adalah
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
isolasi secara fisik. Meskipun sudah diturunkan ke dalam ranah pelayan publik ternyata tingkat isolasi masyarakat sudah mulai menurun dengan adanya sarana publik yang dapat diakses oleh warga relokasi. Sementara itu tingkat kelemahan jasmani yang ada pada objek penelitian ini masih cukup tinggi. Sehingga mengakibatkan kedua unsur tersebut tidak dapat berkorelasi secara postif. Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena beberapa hal: Pertama, menyangkut kesehatan fisik, mayoritas responden merasa sehat. Pada waktu terjadi interaksi antara peneliti dan responden, mayoritas responden dalam kondisi sehat, dan responden meyakinkan pada peneliti bahwa mereka dalam kodinsi sehat. Kecuali ada penelitian secara medis mengenai kesehatan warga Pucang mojo maka hasilnya akan lain. Terlebih sering kali ada pemeriksaan dan pengobatan gratis dari berbagai instasi seperti pemerintah dan perguruan tinggi. Terbukti desember 2013 ada pengobatan gratis yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Kedua, meskipun dalam kondisi sakit warga atau responden tidak merasa kesulitan dalam mengakses pelayanan publik, seperti perawatan rumah sakit. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya kartu jaminan sosial oleh pemerintah seperti KMS untuk warga Surakarta dan yang terbaru adalah BPJS Kesehatan yang baru-baru ini di launching oleh pemerintah pusat. Satu contoh misalnya yang dialami oleh seorang responden yang pada saat itu anaknya baru saja mengalami kecelakaan dan kemudian dia mengurus kartu BPJS kesehatan, singkat cerita anaknya kemudian mendapat pelayanan di kelas satu di Rumah sakit Dr. Mowardi, yang dulunya mereka mungkin hanya mampu di kelas 3. Selain itu lokasi yang dekat dengan dua rumah sakit besar di Kota Solo membuat warga tidak kuwatir ketika mengalami permasalahan kesehatan, seperti sakit yang mendadak.
f.
Hubungan antara variabel kelemahan jasmani (X2) dan kerentanan (X4), Berdasarkan tabel korelasi di atas, maka diperoleh:
rx2x4
= 0,322
p
= 0,018
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
Pada keterangan di bawah tabel ada keterangan:** Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed). Yang artinya ada korelasi siginifan antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani pada tingkatan 0,01, uji satu ekor. Bahkan pada tabel output SPSS menunjukan derajat sigifikansinya sebesar 0,018. Hal ini berarti ada koofesien korelasi sangat signifikan. Maka hipotesis yang berbunyi ―Ada hubungan hubungan positif antara kelemahan jasmani (X2) dan kerentanan (X4) pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ diterima, atau dengan kata lain Ho diterima dan HA ditolak. Jika dilihat pada diskripsi masing-masing variabel, kedua unsur ini masih cukup tinggi. Dimana tingkat kesehatan atau kelemahan jasmani warga relokasi masih cukup tinggi juga dibarengi dengan tingginya tingkat kerentanan warga. Sehingga dalam konteks warga relokasi pucangmojo kedua unsur ini memiliki korelasi yang cukup dengan derajat signifikansi 0,005. Maka dapat terbukti bahwa antara kelemahan jasmani dan kerentanan memiliki korelasi positif. Dengan kata lain apa yang dinyatakan Chambers (1983) mengenai hubungan anatara kelemahan jasmani dan kerentanan masih dapat dibuktikan. Karena kedua unsur ini tidak mengalami perubahan interpretasi. Bagi warga relokasi Pucang mojo, Kedungtungkul, Mojosongo hubungan antara faktor kemiskinan material, kelemahan jasmani, dan kerentanan saling terkait satu sama lain. Bahkan jika dapat dibuktikan secara imiah lebih dalam lagi, hubungan ini akan membentuk satu mata rantai kemiskinan tersendiri. Karena ketiga faktor atau unsur ini cukup tinggi jika perentasenya jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain. Kisah dari serorang responden ber-inisial KW tadi juga membuktikan antara unsur kemiskinan material, kelemahan jasmani dan kerentanan memiliki hubungan. Lokasi yang kurang strategis, jalannya naik turun, dan jika hujan licin. Hal inilah yang dapat mengganggu fisik para penghuni perumahan relokasi, terutama jika pada saat musim hujan. Sehingga berakibat pada lemahnya fisik dan rentan terhadap penyakit. Jadi ada hubungan yang signifikan antara kelemahan jasmani dengan kerentanan. Semakin tinggi tingkat kelemahan jasmani semakin tinggi pula kerantanannya. commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Hubungan antara variabel kelemahan jasmani (X2) dan ketidakberdayaan (X5), Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X2 dan X5 = 0,085, Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi 0,005 dan df=52):
rx2x5
= r tabel
0,085 < 0,266 p
= 0,541 Karena r hit < r tabel maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ho ditolak
dan Ha diterima. Jadi hipotesis yang berbunyi ‖ Ada hubungan hubungan positif antara tingkat Kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak, Jadi tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel kelemahan jasmani dengan variabel ketidakberdayaan. Hubungan antara kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan mengalami pergeseran dari konteks Chambers (1983) yang membuktikan keduanya memiliki keterkaitan, sementara penelitian ini kedua unsur tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Tidak memilikinya hubungan yang signifikan antara variabel kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan ini dikarenakan: Pertama, tingkat kelemahan jasmani warga relokasi pucangmojo masih cukup tinggi, Kedua, tingkat ketidakberdayaan penduduk sudah mulai rendah atau terurai dengan adanya pemberdayaan dan pendampingan serta partisipasi aktif masyarakat. Sehingga tingkat kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan tidak lagi memiliki korelasi positif dalam kasus warag relokasi Pucangmojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Antara kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan secara logika pastinya memiliki hubungan yang sangat erat. Jika dilihat secara logika orang yang lemah secara fisik pastinya akan tidak berdaya, jadi semakin tinggi tingkat kelemahan jasmani semakin tinggi pula tingkat ketidakberdayaannya. Tetapi ini berbeda dalam konteks kemiskinan perkotaan dalam kasus ini yang menempatkan warga relokasi sebagai subjeknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
Setalah dilakukan uji analisis variabel kelemahan jasmani tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel ketidakberdayaan. Karena jika dilihat dari hasil diskripsi data maka varibel ketidakberdayaan pada warga relokasi cukup rendah sementara variabel kelemahan jasmani dalam kategori sedang. Jika dilihat dari tren data tersebut maka kedua kutub ini tidak akan ketemu dan saling siginfikan secara signifikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan SMD yang sedang mengalami sakit menahun, ia menganggap bahwa meskipun sakit tetapi harus tetapi harus tetap memperjuangkan hak-haknya sebagai warga yang direlokasi oleh pemerintah. Seperti pernyataan SMD berikut ini: ―ya ngene iki mas. Lha kepiye wes loro koyok ngene. Nek aku meneng ae pas kui yo paleng gak entuk ganti rugi sosko Pemkot. Trus piye nasibe anak putuku? Yang berarti‖ ya begini lah mas, lha sudah terlanjur sakit mau bagaimana lagi?. Waktu itu kalau saya diam saja, kemungkinan tidak mendapatkan ganti rugi dari pemerintah kota. Lantas bagaimana dengan anak dan cucu saya?‖ (P/SMD/1/2/14).
Begitulah apa yang dibenak salah satu responden, yang dihapkankan pada dua kenyataan disatu sisi dia sedang mengalami sakit disisi lain dia harus memperjuangkan hak-haknya sebagai warga relokasi. Jadi dalam konteks warga relokasi antara kelemahan jasmani dan ketidakberdayaan tidak memiliki hubungan yang siginifikan. Atau dengan kata lain meskipun meskipun kondisi warga masih dalam kondisi lemah secara fisik tetapi tidak serta merta membuat mereka tidak berdaya. h. Hubungan antar variabel isolasi terhadap pelayanan publik (X3) dan kerentanan (X4), Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X3 dan X4 = 0,154, Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi 0,005 dan df=52):
rx3x4
= r tabel
0,154 < 0,266 p
= 0,266 Karena r hit < r tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Selain itu dengan
derajat sigifikansi 0,266 yang lebih darito0,005 commit user juga diambil kesimpulan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
korelasi antara X3 dan X5 koofesien korelasinya tidak signifikan. Jadi hipotesis yang berbunyi ‖Ada hubungan hubungan positif antara
isolasi terhadap
pelayanan publik dan tingkat kerentanan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak. Jadi antara variabel isolasi terhadap pelayan publik dan kerentanan tidak ada hubungan yang sigifikan. Tidak signifikannya korelasi antara varibel isolasi terhadap pelayanan publik dan variabel ketidakberdayaan jelas terlihat.Bagaiamana dalam diskripsi masing-masing varibel isolasi terhadap pelayanan publik sudah cukup relatif rendah sementara kerentanan masih cukup tinggi. Jika dikorelasikan kedua unsur tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Pelayanan publik pada warga perumahan relokasi secara fisik (bangunan) dirasa cukup dan aksebilitas cukup mudah jika dibandingkan sebelum direlokasi. Tetapi isolasi terhadap pelayanan publik dalam kasus ini memudar jika dibandingkan dengan sebelum direlokasi. Tetapi tingkat pelayanan publik yang langsung ke masyarakat masih dirasa kurang, seperti kunjungan, penyuluhan dan sebagainya. Begitu juga yang terjadi pada aspek kerantanan juga sedikit terurai dengan adanya relokasi. Bagi warga relokasi pucang mojo, baik isolasi terhadap pelayanan publik dan kerentanan semua hampir dapat terurai dengan sistem kelembagaan dan aksebilitas yang dipermudah. Faktor kelembagaan dengan adanya POKJA atau kelompok kerja sedikit banyak membantu menjembatani antara warga masayarakat dengan pemerintahan terkecil yaitu kelurahan. Faktor kedua adalah dipermudahnya aksebilitas baik secara fisik maupun non fisik akan sangat membantu. Sehingga ketika ada warga masayakat yang merasa mengalami isolasi terhadap pelayanan publik juga tidak kemudian merasa mengalami kerentanan. Tetapi yang menjadi menarik disini adalah tingkat isolasi yang sudah dalam kategori cukup tidak sebanding dengan kerentanan yang masih cukup tinggi. Hal inilah yang mengakibatkan keduanya tidak dapat bertemu dalam satu titik. Jadi kesimpulan bahwa tidak signifikannya hubungan antara isolasi terhadap pelayanan publik yang cukup dan kerantanan yang tinggi. Sehingga kedua unsur tersebut tidak salingcommit mempunyai hubungan yang signifikan. to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
i.
Hubungan antar variabel isolasi terhadap pelayanan publik (X3) dan ketidakberdayaan (X5), Berdasarkan tabel korelasi di atas, maka diperoleh:
rx2x5
= 0,363
p
= 0,007 Pada keterangan di bawah tabel ada keterangan:** Correlation is
significant at the 0,01 level (2-tailed). Yang artinya ada korelasi siginifan antara kemiskinan material dan kelemahan jasmani pada tingkatan 0,01, uji satu ekor. Bahkan pada tabel output SPSS menunjukan derajat sigifikansinya sebesar 0,007. Hal ini berarti ada koofesien korelasi sangat signifikan. Maka hipotesis yang berbunyi ―Ada hubungan hubungan positif antara
isolasi terhadap
pelayanan publik (X3) dan ketidakberdayaan (X5) pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ diterima, dengan kata lain Ho diterima dan HA ditolak. Atau dengan kata lain semakin rendah tingkat isolasi terhadap pelayanan publik, semakin rendah pula tingkat ketidakberdayaan pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Hubungan ini terjadi karena pada warga relokasi Pucang mojo, tingkat isolasi terhadap pelayan publik yang semakin rendah pasca program relokasi, Juga dibarengi dengan semakin rendahnya tingkat ketidakberdayaan. Hal ini tejadi akibat adanya faktor struktural yang kuat. Pertama, dengan adanya relokasi aksebilitas masyarakat terhadap pelayan publik semakin mudah. Jarak dengan fasilitas-fasilitas umum juga semakin dekat. Kedua, adanya sistem kelambagaan
(oragnisasi
sosial)
yang mampu
meng-empowering
atau
memberdayakan masyarakat dalam menjalani kehidupannya, Seperti adanya POKJA (Kelompok Kerja). Jadi ada hubungan yang sigifikan antara variabel isolasi terhadap pelayanan publik dengan variabel ketidakberdayaan, sesuai dengan penelitian yang Chmbers (1983) mengenai hubungan anatara tingkat isolasi dengan ketidakberdayaan. j. Hubungan antara variabel kerentanan (X4) dan ketidakberdayaan (X5) , Berdasarkan hasil uji tabel tabel korelasi 4.42 di atas, maka diperoleh koofesien korelasi antara X2 dan X5 = 0,177, Jika dibandingkan dengan r tabel = 0,266 (tingkat sigifikansi 0,005 dan df=52): commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rx4x5
= r hit
0,177 < 0,266 p
= 0,200 Karena r hit < r tabel maka dapat dinyatakan bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima Jadi hipotesis yang berbunyi ‖ Ada hubungan hubungan positif antara kerentanan (X4) dan ketidakberdayaan (X5) pada warga relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta‖ ditolak,. Selain itu derajat sigifikansi pada korelasi ini menunjukan angka 0,200 yang jaug lebih besar dari 0,005 maka korelasi ini dapat dikatakan tidak signifikan. Berarti tidak ada hubungan antara tingakat kerentanan dan tingkat ketidakberdayaan dari warga relokasi Pucang mojo, Mojosongo, Surakarta. Pada penelitian ini variabel kerentanan pada warga relokasi Pucangmojo masih relatif tinggi. Karena anggota masyarakat masih relatif rentan terhadap perubahan khususnya perubahan yang relatif mendadak. Semantara uantuk tingkat ketidakberdayaan sudah relatif menurun, karena masyarakat secara personal merasa sudah berani dalam berbagai hal. Hal ini tentunya didorong oleh sistem sosial seperti POKJA atau kelompok kerja juga berbagai macam program pemberdayaan yang ada. Hubungan antara variabel kerentanan dan ketidakberdayaan sangatlah erat hubungnnya. Menurut Chambers (1987: 147) faktor kerentan yang sangat erat dengan ketidakberdayaan dicerminkan dengan ketergantungan terhadap majikan atau orang yang digantungan hidupnya. Menurut data yang ada sebagian besar warga Perumahan relokasi Pucang mojo bekerja sebagai buruh lepas seperti buruh bangunan, dan juga ada yang bekerja serabutan. Jadi kebanyakan responden tidak tergantung kepada majikan. Berdasarkan dari sepuluh korelasi dan hipotesis yang ada, hubungan signifikan positif hanya ada empat, sementara keenam unsur yang lain tidak tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Keempat unsur yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan antara lain : kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, kemiskinan material dengan kerentanan, kelemahan jasmani dengan
kerentanan,
dan
isolasi
terhadap
pelayanan
publik
dengan
ketidakberdayaan sedangkan untuk keenam hubungan yang tidak memiliki commit to user korelasi antara lain: kemiskinan material dengan isolasi terhadap pelayan publik,
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemiskinan material dengan ketidakberdayaan, kelemahan jasmani dengan isolasi terhadap pelayan publik, kelemahan jasmani dengan ketidakberdayaan, isolasi terhadap pelayan publik dengan kerentanan, dan kerentanan dengan ketidakberdayaan. Untuk dapat memudahkan kita dalam melihat korelasi anatara variabel tersebut maka dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini: Kemiskinan material
Kelemahan jasmani
Ketidakberdayaan
Isolasi terhadap pelayanan publik
Kerentanan
Keterangan : diterima : ditolak Gambar 4.5 Hasil Uji Korelasi antar Variabel (Sumber: Hasil Uji Analisis Data, Februari 2014) D. Pembahasan Komunitas warga relokasi terbentuk bukan dari proses taken for granted tetapi melalui proses yang cukup panjang cukup panjang atau secara gradual. Berawal dari masyarakat perkotaan yang tidak mampu melakukan akumulasi modal dan akhirnya menstrukturkan diri mereka ke dalam komunitas orang miskin perkotaan. Ketidakmampuan mengakses lahan-lahan yang ada membawa masyarakat miskin perkotaan ini kemudian menempati wilayah-wilayah kumuh perkotaan. Tidak hanya kumuh tetapi banyak diantara mereka menempati bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, lorong-lorong jembatan, dan kuburan yang sudah tidak terawat, seperti gambar berikut ini:
commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.6 Pemukiman Liar di Pucangsawit (Sumber: dokumen pribadi, Maret 2014) Keberadaan pemukiman kumuh yang ada diperkotaan mendapat perhatian khusus pemerintah kota, karena keberadaan pemukiman kumuh dapat merusak pemandangan perkotaan. Sebagai kota yang berkembang dan selalu mendapat sorotan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Pemerintah Kota Surakarta menata kotanya. Banyak kemudian pemukiman kumuh dipinggiran sungai dijadikan taman-taman kota, salah satunya ―Taman Urban Forest‖ yang dulunya merupakan pemukiman kumuh di bantaran sungai Bengawan Solo di Kelurahan Pucang sawit, Kecamatan Jebres, yang juga merupakan daerah rawan banjir. Penataan pemukiman kumuh pada akhirnya berkaitan erat dengan kebijakan merelokasi warga. Dalam proses penatan hunian, kawasan atau pasar sering kali diidentikan dengan keberhasilan Pemerintah Kota Surakarta menata warganya.
Dalam
hal
menata
pemukim
Pemerintah
Kota
Surakarta
menerapkannya dengan memidahkan warga atau OTD (Orang Terkena Dampak) kedua lokasi yaitu: Pertama, memindahkannya ke RUSUNAWA (Rumah susun Sederhana Sewa) yang di Bangun oleh Pemerintah Kota, dan yang kedua dipindahkan ke dearah dipinggiran kota dalam hal ini Kelurahan Mojosongo commit to user yang relatif memiliki lahan yang masih luas dengan sistem ganti rugi. Berikut ini
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
adalah gambar dua lokasi (Rusunawa dan perumahan relokasi) yang dijadikan tempat merelokasi warga di Kecamatan Jebres:
Gambar 4.7 Rusunwa dan Perumahan Relokasi (Sumber: Dokumen Pribadi, Maret 2014) Jika dilihat antara kedua tempat merelokasi tersebut diatas akan menimbulkan dampak yang berbeda satu sama lain, baik secara struktural maupun kultural. Dilihat dari kacamata struktural kedua lokasi tersebut dibuat atas dasar sebuah kebijakan yang sama yaitu dalam rangka penataan wilayah perkotaan. Tetapi yang membedakan keduanya adalah implementasi kebijakan yang berbeda. Pada kasus Rusunawa misalnya, hunian diakses oleh OTD atau warga dengan sistem sewa yang murah sedangkan untuk warga relokasi digratiskan untuk beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Sementara untuk gambar yang kedua yaitu Perumahan Relokasi di pinggiran Kota, sangatlah berbeda. Menurut Curley (2002), bahwa kemiskinan perkotaan telah menjadi subyek perdebatan sosiologis dan politis untuk lebih dari satu abad. Secara struktural kemiskinan ini merupakan akibat dari adanya sebuah kebijakan. Pada penelitian ini terlihat bagaimana implementasi sebuah kebijakan, yang merupakan dapampak dari adanya penataan aspek spasial wilayah perkotaan yaitu dengan sisitem relokasi. Relokasi pada kasus ini menjadi menarik karena dilakukan dengan cara Pemerintah Kota to Surakarta commit user memberikan ganti rugi berupa
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
uang, menyiapkan lahan, dan melakukan pendampingan. Sedangkan untuk pembangunan hunian dikerjakan warga dengan gotong royong. Kedua hal ini baik antara sistem Rusunawa dan Perumahan di pinggiran kota memperlihatkan perbedaan, sehingga pemanfaatan manfaatkan sumber-sumber yang ada oleh masing-masing struktur masyarakat berbeda (Soemardjan :1980).
Hal ini
berakibat pada penciptaaan kemiskinan struktual baru diperkotaan. Secara kultural kedua tipe tersebut akan berbeda jauh berbeda. Rusunawa dengan pola pemukiman vertikal sedangkan pada perumahan relokasi dibuat dengan horizontal. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola-pola interaksi penghuninya sampai pada habitualisasi para penghuninya. Tetapi yang menjadi menarik dari aspek kulturalnya adalah proses perpindahan-nya. Ketika terjadi pemindahan pada lokasi Rusunawa kemudian hanya memindahkan barang saja. Sementara pada kasus Warga Relokasi Pucangmojo ada proses pra atau sebelum, saat pemindahan, dan pasca pemindahan. Pra atau sebelum proses pemindahan masyarakat bergotong royong membangun hunian baru mereka, kemudian pemindahan seperti selayaknya dan yang terpenting pasca relokasi masih ada proses penuntutan hak-hak mereka secara kolektif kepada Pemerintah Kota. Dari ketiga proses inilah solidaritas dan ikatan-ikatan emosional secara kolektif terbangun. Sehingga membentuk apa yang yang dikatakan Gertz (1963) sebagai kemiskinan bersama. Kemiskinan dalam penelitian ini menyepakati apa yang sudah didefinisikan oleh Pasurdi Suparlan (1993). Menurut Suparlan (1993) Kemiskinan dapat ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Penitikberatan pada pemenuhan basic need dan dibandingkan dengan pendapatannya, dapat dipandang sebagai pendekatan dalam melihat fenomena kemiskinan di perkotaan. Karena jika dilihat dari keempat belas indikator pengukuran kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS, hanya ada beberapa indikator saja yang terdapat dalam konteks kemiskinan di perkotaan. Baik secara kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural, menjadi satu pendekatan dalam melihat commit fenomena perangkap kemiskinan yang dialami to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh warga relokasi. Secara struktural kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan yang dilakukan pemerintah(Baswir, 1997). Dalam permasalahan ini adalah adanya kebijakan reloaksi yang menjadi fokus utama penelitia. Selanjutnya secara kultural kemiskinan peneliti merujuk pada Lewis (1966) yang menyatakan bahwa kemiskinan terbentuk atas pola-pola kehidupan yang dijalani. Berdasarkan pengamatan lapangan lebih lanjut peneliti juga menyepakati pendapat Slamet (2012:62-63) menyatakan kemiskinan kultural terbentuk bahwa karena kekurangan diketemukan di dalam masyarakat yang melarat yang dibangun atas dasar kekurangan, isolasi, diskriminasi, pendidikan yang rendah, kekurangan pekerjaan, kejahatan, obat obatan terlarang, penyalahgunaan alkohol, maka kesejahteraan, sikap, dan perilaku individu terbentuk oleh kekuatan negatif lingkungannya. Fokus dari penelitian ini adalah lokasi yang kedua yaitu perumahan relokasi di daerah pinggiran kota, dengan bertumpu pada aspek-aspek perangkap kemiskinannya atau ―deprivation trap‖ yang terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakbedayaan. Kelima unsur tersebut saling terkait
antara satu dengan yang lain dan saling
mempengaruhi (Chambers, 1983: 145-147). Tetapi sebelumnya peneliti mencoba menjelaskan hubungan antar masing-masing unsur tersebut pasca empat tahun relokasi pada Perumahan Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. Pasca relokasi, ternyata tidak banyak menunjukkan perubahan pada aspek kemiskinan material yang masih cukup tinggi, masih adanya kelemahan jasmani (kesehatan fisik), isolasi terhadap pelayanan publik yang sudah berkurang, serta kerentanan dan ketidakberdayaan masih pada posisi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang terbangun dalam masyarakat sudah berjalan sebagaimana mestinya meskipun masih ada kekurangan disanasini. Perbaikan fasilitas-fasilitas yang ada di perumahan seperti jalan, kamar mandi umum, sarana penerangan, peribadatan, dan yang ros ronda, masih terus dikerjakan secara gradual. Perbaikan sarana-sarana publik tersebut dikerjakan warga dengan sistem partisipasicommit aktif, dengan to userKelompok Kerja (POKJA IV) IV
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mengkordinirnya. Untuk itu diperlukan pendampingan untuk melakukan penguatan terus-menerus dengan sistem sosial yang ada oleh para stake holder dan Pemerintah khususnya. Sementara itu, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa: dari sepuluh hubungan antar variabel atau unsur yang ada setelah dilakukan uji korelasi yang terbukti mempunyai hubungan signifikan positif hanya empat, sementara keenam unsur yang lain tidak tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Keempat unsur yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan antara lain : kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, kemiskinan material dengan kerentanan, kelemahan jasmani dengan kerentanan, dan isolasi terhadap pelayanan publik dengan ketidakberdayaan sedangkan untuk keenam hubungan yang tidak memiliki korelasi antara lain: kemiskinan material dengan isolasi terhadap pelayan publik, kemiskinan material dengan ketidakberdayaan, kelemahan jasmani dengan isolasi terhadap pelayan publik, kelemahan jasmani dengan ketidakberdayaan, isolasi terhadap pelayan publik dengan kerentanan, dan kerentanan dengan ketidakberdayaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua korelasi atau hubungan seperti hipotesis Robert Chambers (1987:148) yang menyatakan bahwa kelima unsur tersebut akan saling terkait satu sama lain membentuk sebuah mata rantai yang diberinama ―Perangkap Kemiskinan‖. Tetapi
Chambers sendiri menyadari
bahwa temuannya ini bisa terbantahkan oleh temuan-temuan selanjutnya yang mengkaji hubungan kelima unsur tersebut jauh lebih dalam. Apa yang dikatakan Chambers tersebut terbukti dalam penelitian ini.
Ketika teori perangkap
kemiskinannya dibawa dalam konteks masyarakat relokasi yang notabennya adalah warga miskin perkotaan, mata rantai yang menghubungkan kelima unsur perangkap kemiskinan (kemiskinan, kelemahan fisik, isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan) terbukti tidak kesemuanya memiliki hubungan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Bukti lain menunjukan bahwa ketidak sempurnaan korelasi atara berbagai macam unsur-unsur perangkap kemiskinan yang terjadi di Perumahan Relokasi Pucang mojo Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta karena beberapa hal : Pertama, pada warga relokasi di Perumahan Pucang mojo sudah terdapat commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi sosial bertumpu pada komunitas (community based resources management) bernama POKJA (Kelompok Kerja). Keberadaan POKJA ini memperngaruhi berbagai segi kehidupan juga dalam mengurai rantai kemsikinan atau perangkap kemiskinan. Misalnya dengan adanya program-program jaminan sosial berbasis komunitas yang dijalankannya. Kedua, pada kasus perumahan warga relokasi sudah tersedianya fasilitas-fasilitas umum atau sarana publik dan akses menjadi lebih mudah. Sehingga tingkat aksebilitas warga terhadap pelayanan publik semakin meningkat dari sebelum direlokasi. Ketiga, adanya program pendampingan dan program jaminan sosial bagi warga (miskin) relokasi baik oleh pemerintah, swasta atau perguruan tinggi. Program jaminan sosial dan pendampingan ini sedikit banyak mengurai mata rantai kemiskinan. Jika dilihat secara teoritis paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Fakta sosial, dimana paradigma fakta sosial ini menurut Emile Dhurkheim adalah cara bertindak masyarakat yang umumnya terdapat dalam masyarakat sebagai pengaruh dari luar. Karakteristik paradigma ada tiga yaitu : eksternal, memaksa dan umum. Ekternal berarti bahwa cara bertindak, berfikir, dan berdasarkan sebagai sesuatu yang berada di luar individu melalui proses sosial. Karakteristik kedua, memaksa berarti individu dengan kondisi sosialnya, dan yang ketiga adalah umum, yang berarti bahwa karateristik fakta sosial memiliki sifat kolektif pada setiap anggota masyarakat. Paradigma fakta sosial ini sangatlah tepat digunakan dalam penelitian ini, dimana kondisi struktur masyarakat yang bersifat kolektif dan berlaku general bagi semua anggota masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini
paradigma struktur masyarakat di jalankan atas aturan-aturan atas konsensus bersama. Sebagai migran, atau dalam artian masyarakat yang bermobilitas horizontal secara kolektif, warga relokasi
pucang mojo, kedungtungkul
menjalankan norma-norma yang sudah disepakati antar anggotanya atau normanorma yang bersifat formal sebagai warga negara. Terbukti dibentunya kelompok keraja (POKJA) dengan segala norma dan nilai yang ada. Aturan tersebut bersifat memaksa anggota masyarakat untuk dapat menjalankan normanorma yang ada. commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara teoritis penelitian ini menggunakan pendekatan dua teori yaitu teori fungsional dan teori konflik. Secara fungsional dalam melihat fenomena perangkap kemiskinan. Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji asumsi-asumsi dasar berikut (Ritzer, 2010: 258 – 259): Pertama masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, Kedua hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik, Ketiga sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis. Keempat sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan. Kelima perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. Keenam faktor paling
penting
yang
memiliki
daya
integrasi
suatu
sistem
sosial
adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Secara fungsional penelitian ini menitikberatkan pada ukuran-ukuran kuantitatif parametrik merupakan metode yang digunakan untuk memeriksa bagaimana keterkaitan antara
variabel yang sebelumnya sudah dicetuskan
dalam teori perangkap kemiskinan oleh Robert Chambers. Merujuk pada teori tersebut maka kaitannya
dengan perumusan hipotesis, yang secara makro
berbunyi ―ada hubungan antar berabagai unsur dalam ―teori perangkap kemiskinan‖ oleh Robert Chambers (kemiskinan material, kelemahan jasmani, isolasi terhadap pelayanan publik, kerentanan dan ketidakberdayaan) pada warga relokasi Pucang mojo. Hipotesis yang menunjukan keterkaitan antar unsur-unsur dalam teori perangkap kemiskinan berfungsi untuk memebantu menjelaskan sejauh mana sistem perangkap kemiskinan dalam warga relokasi. Hal ini sesuai dengan asumsi dari teori fungsional yang menyatakan sistem terbentuk atas dasar keterkaitan antar unsur-unsur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Warga relokasi terbentuk bukan dari proses yang taken for granted, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan secara gradual. Berawal dari masyarakat perkotaan yang tidak mampu melakukan akumulasi modal dan akhirnya menstrukturkan diri mereka ke dalam komunitas-komunitas miskin perkotaan. Ketidakmampuan dalam mengakses lahan-lahan yang ada membawa masyarakat miskin perkotaan ini kemudian menempati wilayah-wilayah kumuh perkotaan. Adanya program penataan wilayah perkotaan mengakibatkan warga yang menempati wilayah kumuh perkotaan tersebut terkena dampak, dan akhirnya terjadi penggusuran dan direlokasi. Relokasi mengakibatkan warga atau Orang Terkena Dampak (OTD) terserabut dari struktur sosialnya, yang sudah terbangun sebelumnya dan kemudian mulai membentuk struktur yang baru menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Pasca relokasi, ternyata tidak serta- merta membebaskan mereka pada mata rantai kemiskinan atau perangkap kemiskinan Terbukti dalam penelitian ini menunjukan tingkat kemiskinan material yang masih cukup tinggi, masih adanya kelemahan jasmani (kesehatan fisik), tingkat isolasi terhadap pelayanan publik yang sudah berkurang, serta tingkat kerentanan dan ketidakberdayaan masih pada posisi sedang. Penelitian ini berfokus kepada kajian warga di perumahan relokasi di daerah pinggiran kota, dengan bertumpu pada aspek-aspek perangkap kemiskinan atau ―deprivation trap‖ yang terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakbedayaan. Kelima unsur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (Chambers:1983). Dengan kata lain peneliti menginterpretasi Teori Perangkap Keminskinan Robert Chambers (1983) ke paradigma fakta sosial (Emile Durkheim, 1965) dengan kasus Warga Relokasi Pucang mojo Mojosongo, Surakarta. Dengan menjelaskan korelasi antar unsur perangkap kemiskinan (explanation) dari masing-masing unsur (Perangkap Kemiskinan) tersebut pasca empat tahun relokasi pada Perumahan Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Surakarta. commit to user
130
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dari sepuluh hubungan antar variabel atau unsur yang ada setelah dilakukan uji korelasi yang terbukti mempunyai hubungan signifikan positif hanya empat, sementara keenam unsur yang lain tidak tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Keempat unsur yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan antara lain : kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, kemiskinan material dengan kerentanan, kelemahan jasmani dengan kerentanan, dan isolasi terhadap pelayanan publik dengan ketidakberdayaan. Sedangkan untuk keenam hubungan yang tidak memiliki korelasi antara lain: kemiskinan material dengan isolasi terhadap pelayan publik, kemiskinan material dengan ketidakberdayaan, kelemahan jasmani dengan isolasi terhadap pelayan publik, kelemahan jasmani dengan ketidakberdayaan, isolasi terhadap pelayan publik dengan kerentanan, dan kerentanan dengan ketidakberdayaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua korelasi atau hubungan, seperti hipotesis Robert Chambers (1987:148) sebelumnya, yang menyatakan bahwa kelima unsur tersebut akan saling terkait satu sama lain membentuk sebuah mata rantai yang dibernama ―Perangkap Kemiskinan‖. Tetapi Chambers sendiri menyadari bahwa temuannya ini bisa terbantahkan oleh temuan-temuan selanjutnya yang mengkaji hubungan kelima unsur tersebut jauh lebih dalam. Apa yang dikatakan Chambers tersebut tidak semuanya terbukti dalam penelitian ini. Ketika teori perangkap kemiskinannya digunakan dalam konteks masyarakat relokasi yang notabennya adalah warga miskin perkotaan, mata rantai yang menghubungkan kelima unsur perangkap kemiskinan
(kemiskinan, kelemahan
fisik, isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan) terbukti tidak kesemuanya memiliki hubungan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tidak terbuktinya hipotesis yang dikemukakan oleh Robert Chambers (1987) pada konteks warga relokasi Pucang mojo, Kedungtungkul, Mojosongo ini dikerankan oleh berabagai hal. Pertama, perubahan konteks kemiskinan pedesaan yang diteliti Chambers (1983) dalam penelitian ini diubah ke kemiskinanan perkotaan dengan kasus warga relokasi. Kedua, adanya perubahan unsur-unsur seperti kemiskinan diganti dengan kemiskinan material, dan isolasi diganti dengan isolasi terhadap pelayanan publik yang sedikit banyak merubah temuan, tetapi tidak menghilangkan subtansi dari teori perangkap kemiskinan Chambers, Ketiga, pada warga relokasi di Perumahan Pucang mojo sudah terdapat organisasi sosial bertumpu pada komunitas (community based resources management)
bernama
POKJA
(Kelompok Kerja). Keberadaan POKJA ini commit user mengurai rantai kemsikinan atau memperngaruhi berbagai segi kehidupan jugato dalam perangkap kemiskinan. Misalnya dengan adanya program-program jaminan sosial
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbasis komunitas yang dijalankannya. Keempat, pada kasus perumahan warga relokasi sudah tersedianya fasilitas-fasilitas umum atau sarana publik dan akses menjadi lebih mudah. Sehingga tingkat aksebilitas warga terhadap pelayanan publik semakin meningkat dari sebelum direlokasi. Kelima, adanya program pendampingan dan program jaminan sosial bagi warga (miskin) relokasi baik oleh pemerintah, swasta atau perguruan tinggi. Program jaminan sosial dan pendampingan ini sedikit banyak mengurai mata rantai kemiskinan.
B. IMPLIKASI 1. Implikasi Teoritis Penelitian ini mengakaji mengenai teori perangkap kemiskinan dari Robert Chambers (1983) dengan menginterpretasikan ke dalam paradigma fakta sosial (Emile Durkheim, 1965). Selain itu dalam mengkaji permasalahan kemiskinan perkotaan dalam kasus warga relokasi ini tidaklah cukup dengan satu atau dua teori dan pendekatan
karena masalah perangkap kemiskinan begitu kompleks. Maka teori
dalam penelitian ini baik teori fungsional dan teori konflik tidak dapat dijadikan patokan, tetapi hanya dijadikan panoptik atau dapat dianalogikan sebagai mercusuar yang menerangi kapal yang ingin berlabuh. Fokus
dalam penelitian ini adalah
mengujicobakan teori aplikatif mengenai masalah kemiskinan, Yaitu ―teori perangkap kemiskinan‖ dari Robert Chambers, dengan mencermati hubungan atau korelasi antar kelima unsur dari teori ini antara lain : kemiskinan material, kelamahan jasmani, isolasi terhadap pelayanan publik, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Hipotesis dari Chambers (1987:148) menyatakan bahwa kelima unsur tersebut saling memepengaruhi satu sama lain, sehingga membentuk satu mata rantai yang disebut dengan perangkap kemiskinan. Tetapi dalam konteks penelitian ini terbukti bahwa kelima unsur tersebut tidak mutlak saling memepengaruhi satu sama lain. Hanya terbukti empat hubungan antar unsur-unsur yang saling memepengaruhi dan enam tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Keempat unsur yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan antara lain: kemiskinan material dengan kelemahan jasmani, kemiskinan material dengan kerentanan, kelemahan jasmani dengan kerentanan, dan isolasi terhadap pelayanan publik dengan ketidakberdayaan. Sedangkan untuk keenam hubungan yang tidak commit tomaterial user dengan isolasi terhadap pelayan memiliki korelasi antara lain: kemiskinan publik, kemiskinan material dengan ketidakberdayaan, kelemahan jasmani dengan
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
isolasi terhadap pelayan publik, kelemahan jasmani dengan ketidakberdayaan, isolasi terhadap pelayan publik dengan kerentanan, dan kerentanan dengan ketidakberdayaan. Maka dengan adanya temuan baru dari penelitian ini memeberikan pandangan yang berbeda dari hipotesis yang dikemukakan Robert Chambers dari ―Teori Perangkap Kemiskinannya‖.
2. Implikasi Metodelogis Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian survei. Tipe penelitian ini menggunakan penelitian diskriptif korelasional dengan trianggulasi sumber dan metode Proses trianggulasi metode dan data ini menggunakan data-data kualitatif dengan metode pencarian data berupa observasi dan wawancara. Hasil dari obeservasi wawancara juga studi dokumen menjadi penguat dari hasil olahan data-data statistik, sehingga temuan dari penelitian ini dapat teruji validitasnya. Tetapi bagaimanapun penelitian ini lebih dominan menggunakan studi kuatitatif. Selain itu perlu diakui bahwa parameter yang digunakan dalam penelitian ini masih belum menyentuh aspek-aspek sosiologis, juga parameter-parameter yang digunakan masih belum tepat sasaran. Misalnya
parameter pendapatan dan
pengeluaran yang digunakan dalam penelitian ini dalam mengukur varibel kemiskinan material masih sangat
ekonomis belum menyentuh aspek kemiskinan secara
sosiologi. Maka daripada itu penelitian ini menggunakan data-data kualitatif sebagai pelengkap data, dalam memperkuat argumen. Adanya kombinasi antara data-data kuantitaf dan disandingkan dengan datadata kulatatif (mixed method) bukan suatu hal yang baru dalam perkembangan ilmu sosial. Meskipun kedua pendekatan ini berbeda pada sisi paradigmanya. Tetapi dengan adanya penelitian ini akan memberikan sedikit gambaran bagaimana penelitian yang didominasi oleh penelitian kuantatif dengan menggunakan data-data kualitatif sebagai penguat datanya, dalam rangka memperkuat argumennya. C. SARAN Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran bagi beberapa pihak yang berkepentingan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan . 1. Bagi warga relokasi pucang mojo kedungtungkul, Mojosongo surakarta commit to userwarga relokasi pada saat ini masih Penanganan kemiskinan dan pendampingan dipandang masyarakat sebagai suatu yang bantuan bersifat Charity (amal).
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sehingga ketika ada bantuan atau program pendampingan masyarakat relokasi menggapnya sebagai suatu pemberian saja. Bahkan lebih parahnya ketika ada orang asing masuk ke kampung relokasi ini, dianggap sebagai orang atau instansi yang akan melakukan amal (charity) di daerahnya. Hal ini perlu ada proses penyadaran cara berfikir masyarakat yang demikian, melaui sosialisasi dan pendidikan agama. Karena kebanyakan kepala rumahtangga di Perumahan Pucang mojo ini bekerja sebagai buruh lepas dan berpenghasilan tidak menentu. Sehingga diperlukan adanya lapangan kerja baru di daerah tersebut yang disesuaikan dengan ketrampilan dan keahlian yang dimiliki warga. Yaitu dengan jalan program pemberdayaan yang berbasis kepada kerarifan lokal setempat (dari dalam). Dengan adanya POKJA (Kelompok Kerja) sudah sedikit banyak mengurai perangkap kemiskinan pada warga relokasi. Sehingga diperlukan penguatan kelembagaan serta partisipasi aktif masyarakat dalam penguatan organisasi sosial ini. Yaitu dengan lebih sering mengadakan kegiatan terutama dalam bidang sosial. Terkait dengan masalah kesehatan, masyarakat perlu menyadari pentingnya kesehatan. Yaitu dengan menjaga kesehatan dan cek kesehatan rutin di PUSKESMAS atau Rumah Sakit Umum terdekat dengan memanfaatkan kartu jaminan sosial yang ada seperti PKMS (Penjaminan Kesehatan Masyarakat Surakarta), JAMSOSTEK atau yang terbaru seperti BPJS Kesehatan.
2. Bagi Pemerintah Dalam rangka penanggulangan kemiskinan seharusnya pemerintah perlu memperhatiakan
perangkap
kemiskinan
bukan
lagi
hanya
mengatasi
kemiskinannya saja. Karena dengan lebih menekankan pada perangkap kemiskinan (kemiskinan, kelemahan jasmani, isoalasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan) maka akan lebih komperhensif dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan atau mata rantai kemiskinan. Dalam memotong mata rantai kemiskinan ada satu unsur dominan yaitu kemiskinan itu sendiri, maka dalam rangka memotong perangkap kemiskinan dapat dimulai dengan menanggulangi atau mengatasi masalah kemiskinan sendiri. Dalam konteks kemiskinan yang dialami oleh warga relokasi ini adalah penanggulangan commit to user kemiskinan pada warga relokasi, dibutuhkan lapangan kerja baru bagi warga
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
relokasi yang bersifat permanen. Karena sebelumnya kebanyakan dari warga bekerja serabutan. Yaitu dengan jalan memberikan program pemberdayaan yang bersifat dari dalam, dengan menekankan potensi yang dimiliki oleh warga. Misalnya untuk ibu-ibu warga relokasi ini diberi pekerjaan di bidang konveksi atau jahit yang mereka dapat kerjakan dirumah mereka. Disarankan untuk lebih menekankan dan memperdulikan kepada pendekatan pengelolaan sumber daya yang bertumpu pada komunitas (community based resources management) dengan menggunakan metode aplikatif partipatif warga, sehingga dengan pendekatan dan metode ini masyarakat miskin setempat memiliki kemampuan
dan
kesempatan
untuk
mengartikulasikan
kepentingannya.
Dibutuhkan peran pemerintah untuk memfasilitasi lembaga sosial, seperti Kelompok-kelompok kerja yang dibentuk oleh pemerintah sendiri. Seperti memberikan insentif pada kelompok kerja (POKJA), memberi fasilitas sekertariat yang memadai, serta memberi dana stimulus usaha dengan harapan
mampu
meningkatkan pendapatan warga. Perlunya penyediaan sarana umum atau ruang-ruang publik bagi warga untuk melakukan aktifitas, Sperti balai pertemuan warga, Pos Ronda dan sebagainya. Juga terkait dengan pengobatan rutin harus mulai digalakan khususnya untuk anakanak dan manula. Adanya sistem jaminan sosial yang jelas bagi warga relokasi, Juga selama ini masih ada beberapa warga masih tercatat sebagai warga kelurahan Pucang Sawit (tempat lama), hal ini kaitannya dengan sisistem pencatatan atau pendataan warga masih kurang jelas. Selain itu dalam rangka memeperkuat sistem ekonomi masyarakat diperlukan sistem keuangan mikro untuk warga miskin termasuk didalam warga relokasi, untuk memberikan pinjaman dengan berbunga rendah. Guna menanggulangi masalah kerentanaan yang dialami oleh warga relokasi yang masih relatif rentan khususnya masalah ekonomi.
commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id 3. Bagi para peneliti lain
Penelitian ini merupakan hasil interpretasi pemikiran Robert Chambers (1983) dengan teori perangkap kemiskinannya ke dalam paradigma fakta sosial (Emile Durkheim, 1965). Peneliti menyadari bahwa apa yang dihasilkan penelitian ini masih banyak kekurangan, terutama terkait dengan penentuan parameter atau indikator pengukurannya. Misalnya pada varibel kemiskinan material dengan indikator yang digunakan masih merupakan indikator ekonomi bukan secara sosiologis. Maka untuk menyiasati kelemahan pada pengukuran-pengukurannya peneliti menggunakan data tambahan berupa data kualitatif sebagai penguat argumennya. Masih banyak jalan dan pendekatan baik secara teoritis maupun metodelogis dalam mengkaji perangkap kemiskinan pada warga relokasi ini. Peneliti menyadari kajian dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan maka dari itu perlu lanjutan dengan tema sejenis, tetapi dalam konteks atau isu atau bahkan dengan metode atau pendekatanan yang lain dengan pembahasan yang lebih mendalam. Serta pentingnya perumusan instrumen dan pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan kasus yang diangkat. Juga terkait dengan masalah konsistensi penelitian, harus lebih dapat diperhatian oleh peneliti selanjutnya. Sehingga dapat menghasilkan pandangan baru bagi perkembangan teori perangkap kemiskinan yang lebih komperhensif.
commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id DAFTAR PUSTAKA
Buku: Alif, M. Rizal. 2003. Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di Dalam Kerangka Hukum Benda. Bandung :CV. Nuansa Aulia Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka cipta Asian Development Bank. 1999. Buku Panduan Tentang Pemukiman Kembali. ADB. Baswir, Revrisond .1997. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bisri, Mustofa S.Sos & Vindi, Elisa S.S. 2008. Kamus Lengkap Sosiologi. Yogyakarta : Panji Pustaka. Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta : LP3ES Chambers, Robert .1983, Rural Development : Putting the last First. London: Longman Consuelo G. Sevilla, Jesus A. Ochave, Twila G. Pusalam, Bella P Regala & Gbriel G. Urialte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press Denzin, Norman K, dan Lincoln, Yvonna S. 20009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dorojatun Kuntjoro Jakti. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sosiological Method. New York: The Free Press Dwi Susilo,Rachmad K. 2011. 20 Tokoh Sosiologi ModernYogyakarta : Ar-Ruzz Media. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses perubahan ekologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Gilbert, Alan dan Josef Gulger. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta : Tiara Wacana Guilford, J.P. 1954. Psychometric Methods. New York: McGraw Hill Education. Hadi ,Sutrisno. 1995. Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta: Andi Ofseet ___________. 1997. Metodologi research jilid 3. Yogyakarta: Andi offset Hadi ,Sutrisno . 2004. Statistik Jilid 1. Yogyakarta: Andi Ofseet ___________. 2004. Satistik Jilid 2. Yogyakarta: offset commitAndi to user ___________. 2004 Statistik Jilid 3 Yogyakarta: Andi offset
perpustakaan.uns.ac.id
138 digilib.uns.ac.id
Kuntjoro, Dorojatun Jakti. 1986. Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Lewis, Oscar. 1962. Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Proverty. New York: Basic Book Manullang, M. dan Sragian L.D. 1971. Ilmu Ekonomi I, Sinar Harapan, Medan
Noer Efendi, Tadjudin. 1993. Sumberdaya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Tiara Wacana: Yogyakarta Paul, D Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik Jilid I. Jakarta: Gramedia --------------------.1986. Teori Sosiologi Klasik Jilid II. Jakarta: Gramedia Priyanto,Dwi . 2008. Mandiri Belajara SPSS. Yogyakarta : Mediacom Rachmad,K. Dwi Susilo. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Ridlo, Muhamad. 2001. Kemiskinan Perkotaan. Semarang: Penerbit Unisula Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori sosiologiModern Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sayogyo.1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum pangan. Yogyakarta: Aditya Media Singarimbun, Masri dan Effendi,Sofian. 1985. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Slamet, Y. 2011. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : Sebelas Maret University Perss ---------------. 2008. Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta: UNS Press
--------------. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Datora Press :Surakarta ---------------. 2012. Modal Sosial dan Kemiskinan : Tinjauan Teoritik dan Kajian di Kalangan Penduduk Miskin Perkotaan. Surakarta : UNS Press ---------------. 2013. Statistik Untuk Penelitian Analisis Hubungan Dua Variabel. UNS Press Soemardjan , Selo. 1980. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Jogjakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sumardi, Mulyanto dan Hans-Dieter Evers. 1985. Kemiskinan dan kebutuhan pokok. Jakarta: Rajawali Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Sutopo, HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Suyanto,Bagong (edt). 1995. Perangkap Kemiskinan : Pengentasannya. Surabaya. Airlangga University Press
Problem
dan
Strategi
Suyanto, Bagong (edt). 1996. Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan. Yogyakarta: Aditya Media Tukiran, Agus Joko Pitoyo, dan Pande Made Kutanegara. 2010. Akes Penduduk Miskin. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada
Hasil Penelitian: Arifiyanto. 2002. Keluarga miskin dalam perangkap kemiskinan : Studi kasus unsur-unsur kemiskinan di Desa Bulakan Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Banten. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia Hafidz, Wardah. Kemiskinan, informalitas, modernitas : Pembalikan Paradigma. Makalah tidak diterbitkan Mulyani,Siti. 2005. Gerakan Sosial Urban Poor Linkage.Tesis. Yogyakarta. UGM Slamet, Yulius. 2010. The Rellationship Between Social Institutions, Social Capital, And Their Effects on Proverty. Desertasi. Universitas Utara Malaysia Umalan, Marten. 2011. Dampak Relokasi Terhadap Pendapatan Nelayan Nelayan di Wasiai Kabupaten Raja Ampat (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gajahmada. Winoto, Gatot .2006. Pola Kemiskinan di Perkumiman Nelayan Kelurahan Dompak Tanjung Pinang. Tesis. Semarang: Universitas Dipenogoro
Jurnal: Curley, Alexandra M. 2005. Theories of Urban Proverty and Implication for Public Housing Policy. Journal of Sociology and Social Welfare, June, 2005, Volume XXXII, Number 2 Dutta, Swasti dan Kumar Lakshmi. Poverty Dynamics in Rural India: An Assetcommit to user Economic Research 7 : 4 (2013): BasedApproach .Margin—The Journal of Applied 475–506. Sage Publications Los Angeles
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
Symonds, James. 2011. The Poverty Trap: Or, Why Poverty is Not About the Individual. Springer Science+Business Media, LLC 2011 María, Ana Ibanez & Andres Moya, 2010. Do Conflicts Create Poverty Traps? Asset Losses and Recovery for Displaced Households in Colombia," NBER Chapters, in: The Economics of Crime: Lessons for and from Latin America, pages 137-172 National Bureau of Economic Research, Inc. Matunhu, Jephias. 2008. The rural poverty trap: which way out for South Africa?. Tamara Journal Vol 7 Issue 7.2 2008 ISSN 1532-5555. University of Fort Hare, South Africa Mourmouras, Alex dan Peter Rangazas, 2006. Foreign Aid Policy and Sources of Poverty: A Quantitative Framework. IMF Working Papers 06/14, International Monetary Fund. Sudana, Kethut Astika. 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kemiskinan dan Kesadaran Budaya di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 Sulistyowati E. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di PedesaanJurnal Penelitian Edisi ilmu-Ilmu Sosial: XIII(1). Januari. Hal. 383-402. Utami, Trisni. 2010. Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan. Dilema Volume 25 No.2 Tahun 2010 Quisumbing, Agnes dan Baulch,Bob. Assets and poverty traps in rural Bangladesh. July 2009 No. 143. Chronic Poverty Research Centre Zuber, Ahmad. 2011. Kemiskinan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus di Desa Sanggang, Sukoharjo. Jurnal Dilema Vol 27 No. 2 pp.95-110
Undang-Undang: Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang ―RPJMN‖ UU RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang ―Perumahan dan Kawasan Permukiman‖ Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor. 8 Tahun 2009 Tentang ―Bangunan‖
Internet: http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/pucangsawit-ke-mojosongo-jadilah-pucangmojo8208.html 30/1/2010 diakses. 25 Juni 2013 pukul. 20.00 WIB https://worldbank.org/. diakses 25 Juni 2013 pukul. 20.05 http://www.bps.go.id/. diakses 25 Juni 2013 pukul. 20.10 commit to user