Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Transformasi Ketenagakerjaan dan Keluar dari Perangkap Kemiskinan 1 Mohamad Ikhsan 2 LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kantor Wakil Presiden RI
Pendahuluan Data statistik pendapatan nasional BPS menunjukkan peranan sektor pertanian dalam sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 17,9 % pada tahun 1993 menjadi hanya 13 % dalam tahun 2010. Penurunan peran sektor pertanian dalam PDB merupakan hal yang normal dalam proses transformasi ekonomi. 3 Dari sisi ketenagakerjaan pun perubahan ini pun berjalan secara normal. Dengan pertumbuhan penduduk, penurunan luas lahan pertanian dan ekspansi perekonomian, petani secara natural akan berupaya untuk 1
Keynote speech dalam acara Seminar 3 FEUI, Indonesia Tanpa Kemiskinan: Pemberantasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan, Depok, 31 Mei 2011. 2Guru Besar FEUI, Peneliti Senior LPEM FEUI dan Staf Khusus Wakil Presiden, dapat dihubungi di
[email protected] atau
[email protected] Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan lembaga atau institusi penulis bekerja dan berafilisasi. 3Penyebabnya berasal dari tiga sumber. Pertama, dari sisi permintaan, elastisitas permintaan barang permintaan umumnya kurang dari satu sehingga laju permintaan terhadap barang‐barang pertanian akan lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan pendapatan. Kedua, dari sisi penawaran sekurang‐kurangnya ada tiga faktor yang menyebabkan sektor pertanian tertinggal yaitu (i) intensitas teknologi di sektor pertanian juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain; (ii) tingkat profitabilitas dalam sektor pertanian juga kurang meyakinkan baik di lihat dari tingkat pengembaliannya maupun tingkat resiko yang dihadapi. Sebagian dari resiko di sektor pertanian ini sukar dikendalikan misalnya berkaitan dengan faktor alam dan jika dikendalikan membutuhkan biaya yang sangat mahal dan berakibat alokasi modal termasuk kredit cenderung berpaling dari sektor pertanian; (iii) Akibat dari (i) dan (ii) alokasi sumber daya manusia akan bergeser dari sektor pertanian menuju sektor lain karena tingkat upah yang relatif rendah. Kalau pun ada yang bersedia umumnya adalah tenaga kerja yang tidak trampil yang tersisih dari persaingan di pasar tenaga kerja formal.Ketiga, peningkatan pendapatan per kapita juga menyebabkan pergeseran selera atau preferensi. Misalnya preferensi untuk mendapatkan makanan yang tidak diproduksi di tempat yang sama atau di luar musim. Perubahan preferensi ini menimbulkan kegiatan baru di luar sektor pertanian yang nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh sektor luar pertanian melalui fungsi komplementaritas. Halaman1
Mohamad Ikhsan
mencari pekerjaan di luar pertanian. Jika petani menjadi lebih produktif dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik (better paid) karena bekerja di luar sektor pertanian, bukan hanya yang bersangkutan yang mendapatkan keuntungan melainkan perekonomian secara keseluruhan pun akan diuntungkan. 4 Gambar 1: Tenaga Kerja yang bekerja di sektor pertanian dan persentase terhadaptotal angkatan kerja
Gambar 2: Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Sektor Ekonomi, 1990 2009
Sumber: diolah dari BPS
Kalau proses ini berjalan normal, kita akan melihat bahwa sejalan dengan penurunan pangsa baik dari sisi output dan ketenagakerjaan, akan terjadi 4
Sebagai contoh, tingkat kemiskinan pun dapat menurun jika petani memperoleh tambahan pendapatan akibat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya,kebutuhan dana untuk program untuk kemiskinan menurun sehingga bisa digunakan untuk kegiatan lain.
Halaman2
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
kecenderungan konvergensi produktivitas tenaga kerja di masing‐masing sektor. Pertanyaannya apakah hal ini terjadi di Indonesia? Gambar 1 menunjukkan adanya seolah‐olah kecenderungan proses transformasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak berjalan dengan perubahan dalam sisi output dan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan kecenderungan (pola normal) yang terjadi di negara lain. 5 Perlambatan ini makin nyata terlihat setelah krisis ekonomi 1998, dimana sektor pertanian “dipaksa” harus menampung tenaga kerja yang diberhentikan dari sektor lain. Tetapi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 Nilai tambah per pekerja di sektor pertanian sempat menurun dan kemudian stagnan. (lihat Gambar 2) Masalah dalam transformasi ketenagakerjaan ini diduga merupakan penyebab dari perlambatan penurunan kemiskinan di pedesaan Indonesia dibandingkan dengan periode sebelum krisis 1998. Proses transformasi ketenagakerjaan yang terjadi dalam era pertengahan 1980an hingga pertengahan 1990an menjadi salah satu determinan penting dalam penurunan kemiskinan di pedesaan khususnya di Jawa. Penurunan kemiskinan di pedesaan merupakan sumber kemiskinan utama bagi penurunan kemiskinan secara keseluruhan bukan hanya karena 2/3 keluarga miskin bertempat tinggal di desa tetapi juga akan mempengaruhi langsung atau tidak langsung kemiskinan di perkotaan melalui proses migrasi. Interpretasi tentang proses transformasi struktural ini perlu dilakukan secara hati‐hati. Perekonomian Indonesia bukan merupakan struktur yang homogen. Menggunakan tipologi yang digunakan dalam World Development Report 2008, perekonomian Indonesia mempunyai tiga karakteristik sekaligus mulai dari agriculture based region (daerah yang memiliki sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian), transforming region (daerah yang masih mempunyai sektor pertanian tetapi mengalami penurunan perannya) dan urbanized region (daerah yang sama sekali tidak bergantung pada sektor pertanian. Biasanya negara yang memiliki wilayah yang demikian akan mengalami penurunan pangsa pertanian yang lebih lambat karena proses transformasinya terjadi secara internal, sehingga tidak bisa dibandingkan berdasarkan pola global. Di samping itu proses transformasi dalam sektor pertanian (internal 5
Analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Prof Timmer dan Akkus (2008) menunjukkan pola transformasi struktural sektor pertanian Indonesia‐ kecuali penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang relatif lebih cepat (lebih cepat dibandingkan dengan pola normal), sebetulnya tidak banyak berbeda dengan pola yang terjadi di negara‐ negara lain. Tetapi jika dibandingkan dengan proses transformasi di Thailand dan Malaysia, transformasi ketenagakerjaan di Indonesia tergolong lebih lambat.
Halaman3
Mohamad Ikhsan
transformation) belum sepenuhnya terjadi di Indonesia termasuk di pulau Jawa yang seharusnya sudah bergerak pada kegiatan yang bernilai tambah tinggi. Oleh karena itu skenario proses transformasi struktural dalam sektor pertanian di Indonesia memiliki beberapa track. Track pertama, perubahan dari kegiatan sektor pertanian yang bernilai tambah rendah ke kegiatan nilai tambah tinggi. Kegiatan ini terutama akan terlihat di daerah pantai utara Jawa terutama Banten, Jabotabek, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Track kedua, berupa peningkatan produktivitas pangan khususnya padi yang akan terjadi di sebagian Jawa dan luar Jawa. Kegiatan ini masih menghasilkan tambahan kesempatan kerja. Track ketiga, akan terjadi dalam bentuk perluasan kegiatan untuk tanaman perkebunan yang dampak tenaga kerjanya rendah. Kegiatan ini terutama terjadi di luar Jawa. Dengan memperhitungkan multiple tracks dari proses transformasi ini, pengurangan kemiskinan di Indonesia khususnya pedesaan Indonesia akan terjadi melalui baik proses peningkatan produktivitas dalam sektor pertanian sendiri dan melalui proses dinamika perubahan dalam ekonomi pedesaan dan transformasi ketenagakerjaan ke luar sektor pertanian.Proses perpindahan tenaga kerja ke luar sektor pertanian harus terjadi dan akan dominan dalam rangka untuk menurunkan tingkat kemiskinan melalui konvergensi produktivitas antar sektor. Sejumlah pertanyaan lainpatut dimunculkan berkaitan dengan proses transformasi struktural adalah bagaimana petani tersebut dapat melakukan pilihan‐pilihan rasional tanpa informasi yang memadai tentang berbagai kesempatan yang ada diluar kegiatan bercocoktanam (farming). Bagaimana seorang petani dapat bersaing dengan kawannya dari perkotaan jika mereka tidak punya pendidikan dan keahlian? Bagaimana suatu entreprenur bisa mengembangkan usahanya jika institusi termasuk aturan (rules) dan regulasi masih tidak lengkap bahkan kalaupun ada seringkali tidak dilaksanakan secara konsisten? Bagaimana pula pemerintah dapat mendisain suatu kebijakan jika pengambil keputusan atau birokrasinya tidak punya pengetahuan tentang pasar tenaga kerja di pedesaan? Kumpulan pertanyaan yang tidak terjawab di atas mungkin mendasari penjelasan tentang mengapa proses transformasi tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tulisan pendek ini akan mencoba mendiskusikan masalah‐masalah ini dan memberikan opsi kebijakan sederhana untuk mengatasi hal ini.
Halaman4
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Jalur Keluar Kemiskinan dari Sektor Pertanian dan Pendesaan: Tranformasi Ketenagakerjaan dan Dinamika Pasar Tenaga Kerja 6 Secara konseptual, ada tiga penyebab utama dari kemiskinan yaitu: pertama, berkaitan dengan masalah endowment, kapasitas dan aset. Masalah ini akan tercermin dari rendahnya nutrisi, rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian dan rendahnya pemilikan aset. Kekurangan atau ketiadaan kapasitas dan aset ini mempengaruhi prilaku pengambilan keputusan dan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru. Penyebab kedua berkaitan dengan masalah akses kepada pasar input seperti tenaga kerja, kapital atau kredit dan asuransi dan kemampuan pemasaran. Ketiadaan akses ini akan mempengaruhi kesempatan‐ kesempatan (opportunities) untuk berekspansi, mengambil resiko dan kemampuan untuk memproteksi dari berbagai goncangan baik yang bersifat individual (idiosyncratic) maupun global. Seringkali rumah tangga miskin juga menghadapi masalah social exclusion sehingga mereka praktis tidak punya akses untuk mempengaruhi keputusan pemerintah terutama dalam alokasi barang publik (voiceless dan powerless). Akibatnya, seringkali kebijakan pemerintah sering merugikan rumah tangga miskin. Masalah‐masalah yang demikian akan tercermin pula di sisi lain dalam kinerja sektor atau kinerja perekonomian secara keseluruhan dan secara dinamis akan mempengaruhi pula proses transformasi perekonomian. Di pedesaan, kemiskinan merupakan pula produk kombinasi dari kinerja di sektor pertanian dan interaksinya dengan dinamika ekonomi pedesaan khususnya pasar tenaga kerja serta migrasi penduduk ke perkotaan. Perbaikan dalam sektor (pertanian), ceteris paribus akan meningkatkan produktivitas dalam sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan yang juga pada gilirannya akan menimbulkan dampak multiplier pada sektor lain khususnya di daerah pedesaan. Studi yang dilakukan oleh Morley (1995) menunjukkan bahwa setiap juta rupiah yang dibelanja di daerah pedesaan akan menimbulkan dampak kenaikan pendapatan (PNB) sebesar Rp 3,3 juta – Rp 3,6 juta dan sebagian besar dampak ini akan tetap tinggal di daerah pedesaan. 7 6
Bagian ini hampir sepenuhnya diambil dari Ikhsan, forthcoming, Kemiskinan di Pedesaan Indonesia: Tren, Determinan dan Kebijakan Kemiskinan di Pedesaan, LPEM Working Paper 7
Dugaan spekulatif penulis jika studi serupa (Morley) dilakukan kembali dengan menggunakan data terbaru secara umumnya tidak mengubah kesimpulan tersebut. Namun demikian belum jelas apakah porsi yang tinggal di desa masih sama seperti masa
Halaman5
Mohamad Ikhsan
Ada dua jalur keluar dari kemiskinan bagi penduduk miskin di pedesaan akibat perubahan dalam sektor pertanian (within sector). Jalur pertama, melalui peningkatan produktivitas pada jenis tanaman yang sama. Peningkatan produktivitas per hektar lahan padi akan meningkatkan surplus usaha petani padi dan pada gilirannya meningkatkan pengeluaran keluarga tersebut. Jika peningkatan pengeluaran tersebut melebihi kenaikan biaya hidupnya yang dihitung dalam garis kemiskinan, maka keluarga tersebut mampu keluar dari perangkap kemiskinan. Dampak peningkatan produktivitas ini akan meningkat lagi dalam jangka panjang karena sebagian dari tambahan pendapatan ini juga dialokasikan dalam bentuk investasi human capital. Jalur kedua adalah perubahan komoditas. Petani padi misalnya beralih fungsinya melalui petani sayur atau tanaman lain yang bernilai tambah tinggi. Karena setiap hektar lahan yang dimiliki akan mempunyai tingkat pengembalian yang lebih tinggi, probabilitas petani untuk keluar dari perangkap kemiskinan akan meningkat pula. Kedua jalur keluar dari kemiskinan melalui pola ini dapat disebutkan sebagai akibat peningkatan produktivitas farming (farm productivity improvement induced poverty pathway) Perkembangan dalam ekonomi pedesaan juga akan memberikan dua dampak yang saling memperkuat. Pertama, ekspansi dalam ekonomi pertanian (farming) akan memberikan mendorong peningkatan permintaan lapangan kerja di daerah pedesaan baik untuk menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian maupun non pertanian. Kedua, tambahan ekspansi kegiatan bukan pertanian memberikan sumber pendapatan tambahan bagi pekerja di sektor pertanian dengan mengekonomiskan waktu mereka. Kedua‐duanya saling melengkapi dan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani dan memperbesar peluang mereka keluar dari kemiskinan. Jalur ini dapat kita namakan sebagai jalur keluar melalui penyesuaian di lapangan kerja di daerah pedesaan (labor market adjustment poverty pathway). Jalur ketiga migrasi ke daerah perkotaan di dorong oleh baik perbedaan upah di sektor perkotaan di bandingkan dengan di daerah pedesaan maupun aksesibilitas dalam pasar tenaga kerja. Jika upah mencerminkan marginal product of labor, migrasi tenaga kerja dari desa ke kota merefleksikan pula peningkatan produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan. Fenomena migrasi dari desa ke kota telah diangkat oleh Lewis dan kemudian dituangkan dalam model yang sederhana oleh Harris lalu. Perlu ada studi lebih lanjut mengingat terdapat kemungkinan terjadi capital outflows dari pedesaan melalui perbankan. Dana simpedes yang dikumpulkan oleh BRI kurang lebih 2 kali dari dana Kupedes. Artinya separuh dari Simpedes ditransfer ke kota. Sebagian proses transfer ini melalui transfer dana pendidikan dari anak penduduk desa yang bersekolah di kota. Adanya kebocoran ini menyebabkan sebagian dari koefisien multplier ini akan terjadi di daerah perkotaan.
Halaman6
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
dan Todaro (1976). Migrasi desa ke kota bisa berjalan dengan beberapa cara yaitu (i) yang paling sederhana dengan mencari pekerjaan pada sektor informal (umumnya non tradable) dengan insentif upah yang lebih tinggi atau memanfaatkan waktu luar (di luar musim panen). Sektor yang menjadi favorit adalah sektor konstruksi dimana para petani atau buruh tani akan mencari pekerjaan pada di luar musim panen. Kelompok ini dapat keluar dari perangkap kemiskinan karena mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi – akibat upah yang lebih tinggi – atau utilisasi waktu yang lebih panjang. Selama mereka bekerja di sektor informal, dimensi kemiskinan yang bisa dihindari kemungkinan hanya pada dimensi pengeluaran, sementara kebutuhan dasar lain seperti perumahan masih di bawah standar dan memberikan beban tambahan bagi daerah perkotaan (ii) melalui peningkatan keahlian (melalui pendidikan), penduduk desa mencari pekerjaan di kota terutama di sektor formal. Sebagian dari mereka langsung tertampung di sektor formal, sementara lainnya menggunakan sektor informal sebagai sektor transit sebelum mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Untuk yang terakhir, status kemiskinannya secara sementara belum berubah dan cenderung memindahkan kemiskinan ke perkotaan, dengan biaya penanggulangan kemiskinan yang lebih mahal. Secara teoritis, dampak keluar dari sektor pertanian (moving out of agriculture) akan mempunyai pengaruh lebih besar terhadap penurunan kemiskinan karena dampaknya bekerja secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, upah di sektor pertanian umumnya lebih rendah dibandingkan dengan upah di sektor non pertanian (lihat Gambar 3). Perpindahan rumah tangga miskin dari sektor pertanian ke sektor non pertanian akan meningkatkan probabilitas keluarga miskin keluar dari kemiskinan. Kedua, mengingat kegiatan non pertanian umumnya mempunyai pola laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian baik karena faktor‐faktor yang bekerja permintaan (Hukum Engel) maupun dari faktor –faktor di sisi penawaran. Teknologi non pertanian relatif tersedia dan mudah ditransfer dari suatu negara (daerah) ke negara lain. Teknologi ini juga umumnya tidak sensitif dengan faktor cuaca (climate) atau geografis. Sektor‐sektor non pertanian umumnya tidak tergantung pada faktor produksi yang tetap seperti halnya sektor pertanian yaitu tanah. Karakteristik yang demikian memungkinkan produktivitas sektor non pertanian untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Kenaikan produktivitas di sektor non pertanian ini akan meningkatkan value of marginal product dari tenaga kerja di sektor tersebut (VMPLNA). Kenaikan VMPLNA akan mendorong perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian dan akan meningkatkan rasio tanah terhadap tenaga kerja. Perpindahan ini akan berkurang dari waktu ke waktu mengingat adanya diminishing marginal returns terhadap tanah sebagai faktor produksi yang tetap, upah di sektor pertanian akan Halaman7
Mohamad Ikhsan
meningkat. Dampak kedua ini akan meningkatkan probabilita keluarga miskin yang tinggal di sektor pertanian untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Kenaikan tingkat upah tentunya sangat tergantung pada berapa banyak lapangan kerja baru tercipta di sektor non pertanian seperti yang dijelaskan di atas.
Skema 1 merangkum tiga jalur keluar dari kemiskinan tersebut. Tidak ada jalur yang superior dibandingkan dengan lainnya. Pengalaman sejarah menunjukkan adanya eksistensi ketiga jalur secara bersama dan saling melengkapi dalam proses pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) di banyak negara. Skema 1: Jalur Keluar dari Perangkap Kemiskinan Perkotaan Pedesaan Produktivitas Formal Non Farm Tinggi Enterprises
Produktivitas Tinggi Ppetani Komersial Formal Non Farm Petani Enterprises Komersial Rendah Non Tradable Non Farm Enterprises
Petani Gurem
Nontradable Non Farm Enterprises
Rendah
Pangsa Pendapatan dari Non‐Farm Rendah Tinggi
Halaman8
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Pertumbuhan Penduduk dan Penguasaan Lahan Bagian berikut ini akan melihat secara empiris dari proses transformasi ini khususnya di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dengan melihat perkembangan penguasaan lahan sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika dalam ekonomi pedesaan khususnya kegiatan bukan pertanian pangan. Yang terakhir sebetulnya sangat menarik khususnya melihat dinamika perkembangan di Jawa ‐ yang sampai sekarang masih menjadi penyumbang keluarga miskin dan nyaris miskin terbesar – terhadap upaya penurunan kemiskinan di Indonesia. Berbagai sensus ekonomi dan survey (ekonomi) menunjukkan rata‐rata pemilikan cenderung mengalami penurunan. Sensus Pertanian menunjukkan rata‐rata pemilikan lahan pertanian mengalami penurunan dari 0.9 hektar (1983) menjadi 0.78 (2003). Penurunan ini terjadi sebagai akibat jumlah rumah tangga pertanian meningkat sebesar 2.2 persen per tahun dimana RT pertanian di Jawa meningkat sebesar 2 persen dan di luar Jawa sebesar 2.6 persen jauh di atas laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.6 persen. Tetapi sebagian besar peningkatan ini disumbangkan oleh kegiatan‐kegiatan yang tidak menggunakan lahan seperti budi daya ikan di laut dan jasa pertanian yang meningkat lebih dari 10 persen dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Namun demikian kegiatan penggunaan lahan pertanian masih tetap tergolong tinggi yaitu tumbuh masing‐masing 1.8% untuk total Indonesia, 1.5% untuk Jawa dan 2,1 % untuk luar Jawa yang masih di atas laju pertumbuhan penduduk. Tidak mengherankan kemudian jumlah petani gurem meningkat sangat tajam dalam dekade terakhir. Di Jawa persentase petani gurem mencapai 75 % pada tahun 2003 meningkat dari 69% pada tahun 1993 sementara di luar Jawa terjadi pula peningkatan dalam persentase yang lebih besar yaitu dari 30 % tahun 1993 menjadi sekitar 34 % pada tahun 2003 atau meningkat 3,4 % per tahun. Secara keseluruhan jumlah petani gurem telah melebihi separuh petani pengguna lahan di Indonesia yaitu 56% pada tahun 2003 dari 52% pada tahun 1993. (lihat Gambar 4 dan 5 di bawah ini)
Sumber: diolah dari data BPS
Halaman9
Mohamad Ikhsan
Sumber: diolah data BPS
Disagregasi lebih lanjut menunjukkan sebagian besar peningkatan rumah tangga pertanian umumnya terjadi pada rumah tangga bukan pengguna lahan dan rumah tangga kegiatan pertanian bukan beras/palawija. Bahkan di luar Jawa rumah tangga pertanian penghasil besar mengalami penurunan 0,2 persen per tahun tetapi di Jawa masih meningkat sebesar 0,6% per tahun. Apa yang terjadi di Indonesia juga dialami oleh negara‐negara lain di dunia. Macours dan Sadoulet (2009) menunjukkan di Malawi, rata‐rata pemilikan lahan menurun menjadi 0,8 hektar pada tahun 1993 dibandingkan dengan 1,2 hektar pada tahun 1981. Keadaan serupa terjadi di India, rata pemilikan lahan menurunan dari 2,6 hektar pada tahun 1960 menjadi 1,4 hektar 2000 dan menurun lagi dalam tahun belakangan ini. Keadaan yang sama terjadi di Bangladesh yang mengalami penurunan rata‐rata pemilikan lahan yang lebih cepat. Apa yang terjadi di Indonesia dan negara berkembang lainnya sebagian merupakan proses dari budaya warisan. Dengan pertambahan penduduk – yang umumnya tergolong cepat di negara berkembang ‐, budaya warisan secara natural akan mengurangi pemilikan lahan. Penurunan pemilikan lahan ini, terlepas dari adanya kemungkinan hubungan terbalik dari ukuran pemilikan tanah dengan produktivitas, memberikan tekanan pada perekonomian dan kemiskinan di negara‐negara yang struktur perekonomian tergantung pada sektor pertanian. Masalah tanah ini sering menjadi sumber konflik sosial di masyarakat. Trend pemilikan tanah juga mengalami perkembangan yang tergolong paradoks dengan pada saat yang sama terjadi ekspansi pemilikan tanah pada petani besar. Dengan trend dimana terjadi penurunan pemilikan tanah pada petani kecil dan pada saat yang sama peningkatan lahan pada
Halaman10
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
petani besar menyebabkan terjadinya peningkatan dalam ketimpangan pemilikan lahan. 8 Mengatasi Dampak Penurunan Pemilikan Lahan dengan Peningkatan Produktivitas di Sektor Pertanian ternyata tidak cukup Dampak penurunan ukuran lahan ini sebagian bisa memang diatasi dengan perpindahan kegiatan ekonomi ke arah pertanian padat karya, seperti hortikultur, peternakan, perikanan darat dan kegiatan pertanian lain yang menghasilkan kesempatan kerja yang lebih banyak. Kegiatan‐ kegiatan ini sekaligus menghasilkan pendapatan per hektar yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan cocok tanam tradisional. Kegiatan produksi tomat misalnya membutuhkan 122 hari tenaga kerja per hektar. Data Sensus Ekonomi 2003 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja yang diukur dengan man/day tenaga hias sebanyak 762 hari tenaga kerja – yaitu lebih dari tiga kali lipat dari penyerapan tenaga kerja untuk padi. Begitu pula dengan buah‐buah dan sayuran musiman kebutuhan tenaga kerjanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan padi. Revolusi hijau di Indonesia dan negara Asia lainnya sebetulnya dengan mengandalkan ekspansi produksi padi berperan meningkatkan penggunaan tenaga kerja dengan peningkatan masa tanam (cropping system) yang pada gilirannya meningkatkan upah riil dan menurunkan tingkat kemiskinan. Padi jenis unggul memiliki waktu panen yang pendek dan memungkinkan ditanam lebih dari sekali per tahun. Pemendekan waktu panen ini memungkinkan pemanfaatan waktu buruh tani menjadi lebih ekonomis. Pengunaan input yang lebih intensif juga menyebabkan penggunaan man‐day lebih banyak. 9 Penggunaan bibit unggul melalui 8
Data Sensus Pertanian menunjukkan aglomerasi pemilikan lahan tidak terlalu signifikan terjadi di Jawa, tetapi cukup nyata terjadi di luar Jawa. Penyebabnya diduga berkaitan tanah pertanian yang tersedia di Jawa terbatas dan penurunan lahan pertanian terjadi akibat konversi untuk kepentingan luar pertanian seperti lahan perumahan dan industri. Sementara di luar Jawa peningkatan konsentrasi berkaitan dengan perluasan lahan perkebunan. 9 Penggunaan jenis pupuk juga menghasilkan jumlah man‐day yang berbeda. Pupuk urea yang disebarkan membutuhkan man‐day yang lebih sedikit dibandingkan pupuk majemuk yang diramu dalam bentuk kapsul – yang membutuhkan jumlah man‐day yang lebih banyak. Keberhasilan untuk mendorong petani untuk menggunakan pupuk majemuk secara rasional bukan hanya akan menjaga tingkat kesuburan tanah tetapi juga akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja (man‐day). Keputusan petani untuk beralih pada pupuk majemuk tablet sangat tergantung pada tambahan produktivitas (penerimaan marjinal) padi per hektar dibandingkan dengan biaya tenaga kerja plus biaya pupuk. Jika tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari tambahan biaya maka petani akan beralih pada pupuk majemuk pada setiap harga pupuk tertentu. Halaman11
Mohamad Ikhsan
revolusi hijau ini juga meningkatkan employment multiplier yang lebih tinggi karena penggunaan input dan kegiatan pendukung yang lebih tinggi.
Petani di Lembang Jawa Barat atau Malang Jawa Timur mengatasi persoalan sempitnya lahan ini dengan menanam sayur‐sayuran atau tanaman hias. Perkembangan tanaman hortikultur ini berkembang sejalan dengan peningkatan permintaan dan munculnya supply chain modern yang membayar petani dengan harga lebih mahal dan permintaan yang lebih pasti. Revolusi Supermarket tidak selamanya buruk. Dengan mendorong permintaan akan tanaman hortikultur, jaringan outlet pasar modern memberikan kontribusi yang positif terhadap permintaan lapangan kerja di tingkat petani. Jadi, peningkatan intensitas dalam sektor pertanian dapat sebagian menutupi atau mengkompensasikan penurunan ukuran lahan pertanian dan bahkan dalam banyak kasus meningkatkan permintaan kesempatan kerja. Riset yang ada juga menunjukkan bahwalebih separuh dari keluarga miskin pedesaan berhasil keluar dari perangkap kemiskinan tanpa mengubah status lapangan kerjanya. Artinya sepanjang ruang peningkatan produktivitas pada sektor pertanian tersedia, peningkatan produktivitas masih seperti halnya pada era 1970an masih menjadi opsi yang efektif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Ruang peningkatan produktivitas ini tidak terbatas pada peningkatan produktivitas satu jenis komoditas saja tetapi juga membuka kesempatan
Halaman12
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
petani untuk melakukan diversifikasi tanaman sehingga tidak tergantung pada satu tanaman saja. Transformasi Ketenagakerjaan Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa peningkatan intensitas kegiatan pertanian tidak sepenuhnya cukup untuk mengatasi masalah kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian (dan pedesaan) ini. Kelebihan tenaga kerja ini memerlukan outlet lain berupa kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Hal ini terlihat jelas pula dari Gambar 3 dimana ekspansi kegiatan perkebunan di luar Jawa tidak akan menghasilkan tambahan pekerjaan mengingat intensitas tenaga kerja per hektar untuk tanaman perkebunan – dengan perkecualian kopi – tergolong rendah. Ada tiga pola yang bisa mendorong proses ini. Pertama, tentunya dengan mendorong perpindahan secara penuh pekerja pertanian ke sektor lain. Perubahan ini tidak mudah mengingat komposisi ketrampilan dan tingkat pendidikan pekerja di sektor pertanian umumnya rendah. Akibatnya, mobilitas pekerja yang bekerja di sektor pertanian tergolong rendah. Yang mungkin adalah mendorong sebanyak mungkin generasi berikutnya dari sektor pertanian untuk bekerja di luar sektor pertanian. Pola kedua adalah dengan memberikan kesempatan bagi pekerja pertanian untuk memanfaatkan waktunya bekerja paruh waktu di sektor non pertanian. Gambar 3 menunjukkan 47 persen underempoyed workers adalah petani yang secara terpaksa tidak dapat mengekonomiskan waktunya untuk bekerja. Petani ini hanya bekerja 3‐5 jam sehari. Bagi yang dekat dengan perkotaan mereka bisa mengekonomiskan waktu senggang ini dengan bekerja di pasar tenaga kerja informal seperti sebagai buruh bangunan atau buruh angkut di sektor transportasi. 10 Pilihan bagi jalur ini berupa penciptaan lapangan kerja bagi kegiatan terutama pekerjaan unskill (blue collar jobs) dalam perekonomian. Peningkatan mobilitas ini bisa terjadi jika kegiatan non farm dapat berkembang di pedesaan sendiri, sehingga cross mobility antar sektor dapat berlangsung tanpa biaya yang terlalu besar. Kegiatan non farm tidak berarti tidak ada kaitan dengan sektor pertanian sendiri. Misalnya perluasan tanaman hortikultura atau tanaman hias memerlukan dukungan yang intensif dan ekstensif dari kegiatan non farm.Contoh kongkritnya penanaman sayuran memerlukan infrastruktur seperti cold 10
Beberapa waktu lalu, sebagian petani yang underemployed ini bekerja sebagai sopir ojek motor. Tetapi belakangan sejalan makin meluasnya pemilikan sepeda motor – terutama melalui perluasan kredit pemilikan sepeda motor oleh perusahaan pembiayaan bukan bank – di kalangan petani, kegiatan ojek sepeda motor pun tidak menarik lagi karena penurunan permintaan dan peningkatan supply. Halaman13
Mohamad Ikhsan
storage atau jasa logistik lainnya yang padat karya – yang sebagian bisa dikerjakan oleh tenaga kerja paruh waktu. Serupa pula ekspansi kegiatan perkebunan di luar Jawa telah menimbulkan kegiatan ekonomi baru – di luar kegiatan pertanian. di pedesaan. 11 Boom harga komoditas telah menimbulkan dampak peningkatan konsumsi barang tahan lama seperti elektronik dan alat transportasi (sepedamotor atau kenderaan roda 4). Kenaikan pemilikan alat elektronik dan transportasi kemudian menimbulkan permintaan akan jasa purna jual (jual beli pulsa misalnya) atau bengkel yang umumnya memiliki intensitas tenaga kerja yang tinggi. Untuk mendorong efisiensi kegiatan‐kegiatan seperti ini memerlukan aturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
Pilihan kedua seperti yang terjadi dewasa ini dimana banyak pekerja sektor pertanian bekerja paruh waktu sebagai buruh bangunan di kota. Mobilitas ini memerlukan biaya transaksi yang lebih tinggi karena pekerja ini harus mengeluarkan dana tambahan untuk biaya mobilitasnya seperti biaya transportasi dan biaya tempat tinggal selama tinggal di kota. Biaya mobilitas ini dapat dikurangi dengan menyediakan transportasi umum yang terjangkau. 12 13 11
Analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Suryahadi dkk (2009) menunjukkan bahwa perkembangan nilai tambah bruto sektor bukan pertanian di pedesaan mempunyai asosiasi yang positif dengan pertumbuhan sektor pertanian (di pedesaan sendiri). Artinya perkembangan positif sektor pertanian akan memberikan dampak komplemen dan merupakan prime mover terhadap sektor bukan pertanian di pedesaan. Pekerjaan di sektor bukan pertanian di pedesaan menjadi lebih sukar tercipta tanpa perkembangan positif dalam sektor pertanian. 12Pilihan subsidi angkutan umum masal adalah solusi ekonomi yang rasional mengingat eksternalitas positif yang dihasilkan akibat ketersediaan angkutan umum. Tantangannya adalah bagaimana memisahkan pengguna yang merupakan bagian dari pencipta
Halaman14
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Opsi kerja ganda (multiple jobs) ini dapat menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mendorong pekerja pertanian untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Sayang data Susenas dan Sakernas belum memungkinkan kita untuk menyelidiki lebih lanjut pengaruh pekerjaan ganda ini terhadap peluang petani (gurem) atau buruh tani untuk keluar dari kemiskinan. Tetapi informasi sumber pendapatan dari Susenas memberikan isyarat bahwa pekerja pertanian atau petani gurem yang memiliki sumber pendapatan dari sumber non pertanian mempunyai insidens kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan yang hanya mengandalkan dari satu sumber pendapatan saja. Kenyataan empiris menunjukkan bahwapilihan pertama dan pilihan kedua bukanlah opsi yang saling bersubstitusi. Hampir di semua negara mobilitas pekerja antar daerah perkotaan‐ tidak bisa dielakkan. Dalam banyak kasus membiarkan mobilitas pekerja secara harian secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkotaan. Gambar 8: Indonesia: Rasio Upah terhadap Nilai Tambah Per Tenaga Kerja
Walaupun data menunjukkan perbedaan yang signifikan antara upah sektor pertanian dan sektor non pertanian, tetapi perbedaan yang lebih eksternalitas dengan yang bukan. Fenomena free rider akan selalu merupakan tantangan. Di samping itu pemberiaan subsidi melalui mekanisme anggaran pemerintah tidak terlepas dari proses politik. Akibatnya, kemungkinan segala macam distorsi akan mudah terjadi yang pada gilirannnya hanya akan berakibat pada dua kemungkinan yaitu pembengkakan subsidi atau keberlangsungan pelayanan umum ini. 13Eksternalitas dari pelayanan transportasi umum ini antara berkurangnya tekanan atau kebutuhan pembangunan fasilitas umum akibat urbanisasi penduduk sementara ini. Halaman15
Mohamad Ikhsan
besar dijumpai antara tingkat pengembalian tenaga kerja di kedua sektor. Upah di sektor luar pertanian kira‐kira 80% lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, sementara rasionilai tambah per pekerja pada perusahaan non pertanian yang memperkerjakan 10 pekerja lebih dari 6 kali dari rasio yang sama pada unit usaha pertanian yang mempekerjakan 3 orang. Perbedaan yang besar ini merefleksikan perbedaan produktivitas pekerja dibandingkan perbedaan tingkat pengembalian antar sektor. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa perbedaan upah sektor pertanian dan non pertanian dengan tingkat keahlian atau pendidikan yang sama tidak terlalu besar. Hal ini memberikan implikasi bahwa transformasi ketenagakerjaan tidak akan mempunyai dampak yang berarti jika tidak diikuti oleh peningkatan tingkat pendidikan dan keahliaan dari tenaga kerja pertanian. Pilihan ketiga adalah meningkatkan partisipasi anggota keluarga di pasar tenaga kerja. Analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Ikhsan (1998) menunjukkan peluang keluar dari perangkap kemiskinan akan menurun jika jumlah anggota keluarga yang bekerja dalam suatu keluarga miningkat. Praktek ini sebetulnya telah terjadi dewasa ini dimana makin banyak anggota keluarga ikut berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Umumnya pekerja semacam ini tercatat sebagai pekerja paruh waktu yang sukarela. 14 Sebagian lagi dari mereka ini bekerja sebagai TKI atau pembantu rumah tangga atau baby sitter di kota. Upgrading Pendidikan dan tingkat Keahlian merupakan Kunci Perluasan lapangan kerja di kegiatan offfarm merupakan salah satu opsi yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan – dan merupakan jalan bagi penurunan kemiskinan. Namun bagi penduduk pedesaan, kesempatan ini dibatasi oleh rendahnya tingkat pendudikan dan besarnya perbedaan pencapaian pendidikan antara desa‐ kota. Yang membedakan antara highpaid job dengan low paid job adalah keahlian. Pekerja desa yang berpendidikan memiliki kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi di luar sektor pertanian. Data Susenas juga menunjukkan pula penduduk dengan pendidikan yang lebih baik mempunyai peluang keluar dari kemiskinan dibandingkan dengan yang tidak punya pendidikan. Penduduk dengan pendidikan dan keahlian lebih baik cenderung meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di kota. Tetapi terlepas dari dinamika tersebut kondisi tingkat pendidikan di desa tetap relatif rendah. 14
Dalam Sakernas, pekerja paruh waktu semacam ini menjawab tidak mau meningkatkan jam kerjanya walau jika kesempatan untuk menambah jam kerja tersedia.
Halaman16
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Data Susenas menunjukkan perbedaan tingkat pendidikan antar desa‐kota (dan miskin dan bukan miskin) makin membesar pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat SD terlihat perbedaan ini makin kecil, tetapi pada tingkat SMP ke atas, pencapaian tingkat pendidikan desa‐kota masih kentara dan cenderung lebar. Mobilitas tenaga kerja antar sektor memerlukan tenaga kerja yang fleksibel khususnya pada tahapan perekonomian dan (tingkat industrialisasi) telah mencapai tingkat sofistikasi tertentu. Mengacu pada pengalaman Cina, tingkat pendidikan minimal yang dibutuhkan adalah SMP plus training. Tingkat pendidikan minimal ini cukup untuk memindahkan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri padat karya seperti pekerja sektor tekstil, pakaian jadi dan sepatu olah raga. Proses peningkatan nilai tambah lebih lanjut tentu membutuhkan upgrading pendidikan lebih lanjut.Tanpa pendidikan yang memadai makin sukar bagi penduduk desa untuk bersaing pada kegiatan formal dan menyebabkan mereka harus menerima pekerjaan di sektor informal yang membayar upah yang rendah. Peningkatan tingkat pendidikan di daerah pedesaan menghadapi sejumlah persoalan. Dari sisi supply, akses penduduk desa dihalangi oleh berbagai kendala seperti jumlah sekolah yang terbatas, guru yang tidak cukup, tingkat kemungkiran guru yang tinggi, lokasi sekolah yang sukar dijangkau dari kediaman serta kualitas guru yang rendah. Dari sisi permintaan, kemiskinan telah menyebabkan opportunity costs untuk menempuh pendidikan menjadi sangat tinggi. Rendahnya partisipasi penduduk dari kelompok berpendapatan rendah ini seringkali menyebabkan di tengah kelangkaan sekolah kerap dijumpai banyak kelas yang tidak terisi dan kosong sehingga ongkos mendatangkan guru menjadi sangat mahal. Kondisi seperti ini menuntut intervensi pemerintah (pendekatan non market) yangtidak terbatas pada perbaikan di sisi penawaran (dalam menghilangkan atau minimal mengurangi kandala‐kendala di atas), tetapi juga intervensi di sisi permintaan. Kombinasi intervensi sisi penawaran dan permintaan merupakan jawaban. Intervensi dari sisi permintaan ditujukan untuk meningkatkan partisipasi keluarga miskin khususnya di pedesaan pada tingkat pendidikan SMP ke atas. Tanpa peningkatan partisipasi keluarga miskin (dan nyaris miskin), setiap transfer pemerintah dalam sisi penawaran hanya akan mendorong pemburukan distribusi pendapatan – seperti yang dialami oleh negara Amerika Latin
Halaman17
Mohamad Ikhsan
saat belum menerapkan program bantuan langsung bersyarat (conditional cash transfer). 15 16 Program Keluarga Harapan yang merupakan program CCT yang diperkenalkan tahun 2007 ‐ mengandung elemen permintaan dikombinasikan dengan program perbaikan akses dan kualitas pendidikan. Sejauh ini PKH masih merupakan pilot percontohan sesudah 3 tahun dirintis. Ekspansi program ini masih tergolong lambat yang sebagian akibat rendahnya komitmen di tingkat manajemen program (pemerintah pusat) dan implementasi di tingkat lokal. Pelaksanaan program PKH juga menuntut kerjasama dan koordinasi antara manajemen program (Kemensos) dan supplier (Kemendiknas dan Kemenkes). Di samping itu upgrading kemampuan manajemen pelaksana mulai dari Kemensos hingga pelaksana di lapangan menjadi mutlak bagi suksesnya program PKH ini. Terlepas dari keberhasilan program CCT ini, beberapa kalangan melontarkan pandangan skeptis terhadap program ini. Kritiknya terutama menyangkut cost effectiveness dari program ini. Program ini membutuhkan beberapa persyaratan yaitu : (i) kelengkapan sisi supply – sekolah dan guru dan (ii) kapasitas pelaksana. Keberhasilan di Mexico dan Brazil terutama karena jumlah sekolahnya cukup memadai. Serupa pula kemampuan pelaksanan. Mahalnya biaya administrasi ini membuat banyak kalangan menyarankan negara berkembang lebih mengutamakan pendekatan broad based terlebih dahulu sebelum mencoba mengaplikasikan program ini. Keberhasilan di Amerika Latin lebih disebabkan ibarat penyakit masalah ketimpangan di sana telah mencapai kanker stadium yang tinggi. Hanya terapi yang radikal seperti chemotherapy yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Dalam kasus Indonesia, pelaksanaan program ini memerlukan peningkatan kapasitas daerah. Di samping secara legal, tanggung jawab jasa publik bidang pendidikan dan kesehatan telah dilimpahkan ke daerah, karakteristik kemiskinan dewasa ini yang beragam memerlukan tindakan yang berbeda‐beda tergantung pada kondisi daerah. Perbedaan kapasitas dari sisi penawaran di setiap daerah tentu akan mempengaruhi keberhasilan program semacam ini. Kondisi sosial‐ekonomi masyarakat 15
Program ini memperbaiki distribusi pendapatan melalui dua saluran yaitu (1) meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin; dan (ii) mengurangi premium skill dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi akibat tambahan pasokan pekerja trampil 16 Keberhasilan Program CCT di Mexico dan Brazil telah mendorong banyak negara di semua benua termasuk Amerika Serikat untuk menerapkannya untuk menggantikan program proteksi sosial lainnya.
Halaman18
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
lokal juga akan menentukan intensitas program dan biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi di sisi penawaran dan permintaan ini tentu hanya bisa diatasi dengan pembangunan kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Perbaikan Akses kepada Pembiayaan elemen penting Lainnya untuk Mendorong Transformasi ini. Mengingat sebagian proses transformasi ketenagakerjaan ini terjadi melalui proses peningkatan nilai tambah di sektor pertanian sendiri, maka akses kepada pembiayaan menjadi salah satu elemen penting. Kegiatan pertanian dengan nilai tambah tinggi terjadi melalui penggunaan teknologi dan proses bisnis baru. Teknologi baru sepertinya hanya dengan revolusi hijau membutuhkan lebih banyak input – bibit dan pupuk misalnya. Semuanya membutuhkan modal yang lebih besar baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja. Masalah akses pembiayaan ini menjadi elemen penting dalam upaya untuk menjamin proses transformasi ini bisa berjalan baik.Survey Iklim Investasi Pedesaan 2006 menunjukkan petani/pengusaha di pedesaan menempatkan masalah pembiayaan sebagai hambatan utama dalam lingkungan bisnis pedesaan. Akses pembiayaan – walaupun dengan berbagai intervensi yang luas dari pemerintah – masih menjadi kendala . Kalaupun akses ada harganya masih sangat mahal – apalagi jika dibandingkan apa yang diperoleh pengusaha dengan skala besar sehingga cenderung memperburuk distribusi pendapatan. Kesemua ini membatasi kemampuan petani kecil untuk berkompetisi.Survey yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa masih terdapat 50‐58 persen usaha mikro dan kecil yang belum terlayani oleh lembaga keuangan.Bahkan, hanya 16‐20persensaja yang memiliki akses kepada lembaga keuangan formal.Survey tersebut menunjukkan perbedaan yang mencolok antara suku bunga yang harus dibayarkan nasabah skala kecil dengan nasabah besar; antara sektor formal dan nonformal. Sensus Pertanian Update 2009 dan Survey Biaya Pokok Pertanian menunjukkan kesimpulan yang sama. Petani umumnya mengandalkan modal sendiri sebagai sumber pembiayaannya. Lebih jauh lagi, Gambar 9 menunjukkan masih ada 45% petani di Indonesia yang tidak memiliki akses kepada sektor keuangan.
Halaman19
Mohamad Ikhsan
Bukti empiris di atas menunjukkan adanya persoalan kegagalan pasar dalam pasar keuangan pedesaan. Literatur – baik yang melihat dari aspek teoritis maupun pengujian empiris menunjukkan penyebab dari kegagalan pasar berasal dari sisi penawaran termasuk biaya transaksi yang tinggi hingga ketidaksempurnaan informasi dan juga dari sisi permintaan (moral hazard). Masalah akses ini bermula dari ketiadaan asset yang bisa berfungsi sebagai kolateral. Kemungkinan lain adalah walaupun petani mempunyai aset fisik berupa tanah, tetapi mereka enggan menempatkan asset tersebut sebagai kolateral karena aset ini merupakan benteng terakhir dari petani. (Morduch, 2007) Upaya untuk mengatasi akses pembiayaan ini telah dilakukan oleh banyak negara termasuk Indonesia. Bentuk intervensi pemerintah pun beragam mulai pemilikan bank, jaminan kredit, liabilities guarantee hingga regulasi alokasi kredit hingga subsidi bunga. Terlepas dari pembenaran teoritis dari intervensi tersebut yang relatif solid, kenyataan empiris menunjukkan hasil yang berbeda. Berbagai program intervensi pemerintah tidak mencapai tujuannya dan bahkan menimbulkan dampak sampingan yang tidak sedikit baik dalam distribusi pendapatan hingga fiscal drain. 17 17
Lihat de la Torre, Gozzi dan Schmukler (2007) untuk survey yang intensif terhadap program kredit yang disponsori oleh pemerintah. Walaupun mengkritik model intervensi pemerintah yang tradisional, penulis ini tetap menekankan pentingnya peran pemerintah dalam berkoloborasi dengan masyarakat untuk mendorong pengembangan sektor keuangan.
Halaman20
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Pemikiran yang berkembang sekarang adalah mendorong lembaga keuangan mikro yang diinisiasi oleh partisipasi masyarakat dan pemerintah dengan mendasari pemberian kredit berdasarkan proses bisnis biasa. 18 Lembaga keuangan mikro merupakan harapan tetapi bukan panaceakarena memberikan akses kepada petani. Tetapi pengalaman di banyak Negara termasuk di Indonesia lembaga keuangan tetapi belum menjangkau sebagian besar kegiatan sektor pertanian kecuali kegiatan yang memiliki perputaran yang tinggi, seperti peternakan dan horticultural. Meskipun demikian – walaupun dalam tahapan permulaan ekspansi sektor keuangan sudah berjalan bukan hanya memberikan kredit tetapi juga memobilisasi dana tabungan, jasa pengiriman uang, jasa‐jasa asuransi, dan opsi‐opsi leasing. Ekspansi lembaga keuangan sebetulnya makin terbuka dengan adanya teknologi komunikasi yang memungkinkan penurunan biaya transaksi.Contohnya Bank Danamon dan Bank BPTN menggunakan jasa telepon selular untuk mengirimkan informasi transaksi untuk mengurangi biaya transaksi.Grameen Telcom dan Grameen Bank menggunakan jasa terintegrasi bukan hanya melayani transaksi perbankan dan sekaligus memperluas jaringan pelanggan dari Grameen Telcom. Pola integrasi memungkinkan Grameen Bank berbagi biaya overhead dengan Grameen Telcom sehingga mengurangi biaya transaksi. Penggunaan kartu kredit juga alternative lain karena mempermudah proses penyaluran kredit.Dengan kartu kredit, proses screening nasabah cukup dilakukan sekali saja. Penurunan biaya transaksi juga dapat dilakukan dengan pendirian biro kredit.Dengan informasi tingkah laku nasabah yang diperoleh dari biro kredit, lembaga perbankan dapat membedakan nasabah yang patuh dan baik – resiko rendah – dan nasabah dengan resiko tinggi. 19 Perbaikan akses kepada petani memerlukan fleksibelitas dari sisi penawaran. Peningkatan secara dramatis pembiayaan kredit sepeda motor oleh perusahaan pembiayaan sebagian merupakan inovasi dari sisi penawaran dalam mengatasi masalah akses pembiayaan ini. 18
Sebetulnya tidak ada lembaga keuangan mikro yang tidak lepas dari subsidi. Tetapi umumnya termasuk Grameen tidak mensubsidi biaya pokok dananya (bunganya). Perbedaan satu sama lain terletak pada besarnya marjin keuntungan yang diambil. Umumnya lembaga keuangan mikro yang modalnya berasal dari partisipasi sosial atau bantuan donor dapat menutupi biaya overhead dari subsidi awal ini sehingga dapat menetapkan bunga yang lebih rendah. Lihat (Cull, Asli dan Morduch, 2008) 19 Lihat Jack dan, Suri (2010) tentang pengaruh teknologi komunikasi pada pengembangan lembaga keuangan (financial inclusion) di kenya. Pakistan juga menggunakan kombinasi teknologi dengan electronic single id dalam mengembangkan financial inclusion. Halaman21
Mohamad Ikhsan
Akses keuangan mencakup pula masalah manajemen resiko.Resiko di sektor pertanian lebih sukar dikendalikan. Eksposur kepada resiko yang tidak terasuransikan mempunyai dampak inefisiensi dan welfare costs yang besar bagi keluarga petani. Ketiadaan akses terhadap instrumen asuransi yang modern, banyak petani terpaksa melepaskan kesempatan aktivitas yang atraktif dan menjanjikan. Menjual asset untuk mengatasi guncangan dapat menimbulkan biaya dan akibat jangka panjang akibat dekapitalisasi (penjualan terpaksa ‐‐ pada harga rendah – tanah dari investor) menciptakan irreversibilities or slow recovery dalam kepemilikan asset pertanian. Walaupun banyak inisiatif yang muncul dari masyarakat dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro, driver utama tetap pada pemerintah. Beberapa kebijakan yang dapat diambil antara lain: pertama, untuk mendorong tumbuh berkembangnya inisiatif masyarakat dalam pengembangan lembaga keuangan mikro diperlukan payung hukum dan institusi regulatornya. Tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan mikro ini akan mendorong kompetisi dan dengan bantuan teknologi akan menurunkan biaya transaksi dan sekaligus ketidaksempurnaan informasi yang pada gilirannya menurunkan suku bunga. Kedua, Pemerintah sebagai pemilik BRI harus secara aktif mempromosikan perluasan akses ini. Langkah kongkrit misalnya dengan mengikuti jejak investor yang tidak mencari keuntungan dengan menginvestasikan kembali keuntungan untuk pengembangan jaringan dan upaya penurunan biaya transaksi. Pemerintah juga bisa meminta Pemda selaku pemilik Bank Pembangunan Daerah untuk mengembangkan unit keuangan mikro. Pengembangannya dapat dilakukan melalui pembentukan join venture beberapa BPD untuk menghindari penggunaan politik dalam alokasi kredit di tingkat akar rumput. Ketiga, menyempurnakan secara terus menerus pelaksanaan penjaminan kredit KUR dengan menfokuskan pada tujuan perluasan akses ketimbang menekan suku bunganya. Rekapulasi Pembahasan di atas menunjukkan secara garis besar pengurangan kemiskinan masih dapat dilakukan dengan kombinasi peningkatan produktivitas pada sektor‐sektor (pertanian dan jasa informal) yang insiden kemiskinan dan dikombinasikan dengan perpindahan penduduk pada sektor‐sektor yang tumbuh lebih cepat (industri dan jasa). Heterogenitas dari profil kemiskinan – yang dilihat dari berbagai aspek – memerlukan modifikasi yang fundamental dalam strategi penanggulangan kemiskinan. Pertama, program anti kemiskinan harus dilakukan pada sumbernya dan dikembangkan berdasarkan karakteristik lokal. Karenanya pendekatan top‐down – walaupun dalam beberapa kasus
Halaman22
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
masih tergolong efektif khususnya dalam masa transisi – harus diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dan bottom‐up yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku. Kesuksesan program pemberdayaan masyarakat seperti PNPM perlu dilanjutkan dengan modifikasi secara bertahap dan melibatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak secara gradual di masa mendatang. Kedua, proses transformasi ekonomi untuk pengurangan kemiskinan menuntut perbaikan kapasitas keluarga miskin yaitu pendidikan dan kesehatan dan sekaligus akses mereka terhadap pasar input terutama akses terhadap pembiayaan dan pasar output. Kesimpulan ini didasarkan – sekali lagi ‐ akibat heterogenitas dari kelompok miskin. Mayoritas dari mereka tetap menjadi pekerja atau obyek. Artinya mereka belum mampu menanggapi dengan baik perubahan sistem insentif dengan baik. Mereka pada dasarnya tidak sama dengan karakteristik pelaku ekonomi yang digambarkan dalam teori ekonomi neoklasik: unbounded rational, forward looking dan internally consistent. Behavioral economist seperti Mullainathan atau Development Economists seperti Ester Duflo dan Abhijit Banarjee dari MIT berpendapat manusia akan bertingkahlaku berbeda jika ia miskin dibandingkan jika ia tidak miskin. Ada tiga hal yang membuat orang miskin berdeviasi dari asumsi pelaku ekonomi dalam teori ekonomi standar yaitu: (i) Kemampuan mereka dalam menganalisis informasi, komputasi dan mengingat adalah terbatas; (ii) Keinginan (willpower)nya juga terbatas (bounded); sehingga mereka tidak selalu membuat keputusan dan pilihan pada hasil yang optimal pada jangka panjang; (iii) mereka tidak selalu purely self‐interested. 20 Mengikuti cara pandang ini, pendekatan dengan mengutamakan akses kepada pasar kredit tidak selalu efektif mengentaskan kemiskinan. Lagi pula lapisan entreprenur dalam suatu bangsa tergolong tipis. Karenanya, fokus pengentasan kemiskinan adalah bagaimana mendorong keluarga miskin mendapatkan pekerjaan. Karenanya upgrading pendidikan menjadi esensial mengingat proses screening pertama di pasar tenaga kerja berdasarkan kredensial (ijazah) dan kemudian kecakapan (skill) dalam praktek. 21 Tentu sebagian dari mereka akan menjadi entreprenur yang membutuhkan akses yang lebih baik kepada pasar input dan output. Untuk kelompok inilah yang jumlahnya cukup besar khususnya dalam menciptakan lapangan kerja baru, perluasan akses yang dimaksud diperlukan. 20
Lihat Duflo (2006), Banerjee (2008) dan Mullainathan and Thaler (2000) untuk diskusi lebih lanjut. Prilaku yang demikian menyebabkan asset market failures dan preferensi terhadap resiko sudah cukup menjelaskan mengapa pemilikan aset menjadi penting, mengapa transaksi‐transaksi bernilai dan investasi penting tidak selalu terwujud dan mengapa orang miskin tetap miskin. 21 Upgrading pendidikan memungkinkan keluarga miskin untuk menikmati wage premium yang relatif tinggi jika mampu menamatkan satu jenjang pendidikan. Halaman23
Mohamad Ikhsan
Terakhir, pelajaran dari sejumlah kegagalan intervensi pemerintah dalam memperluas akses keluarga miskin terhadap pembiayaan menuntut perubahan paradigma dalam mengatasi kegagalan pasar tersebut. Perubahan ini adalah dengan memberikan kesempatan seluas‐luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya menurunkan kemiskinan. Perubahan ini tidak berarti pengurangan peran pemerintah, tetapi lebih pada menekankan pada fokus pembangunan kelembagaan tersebut terutama pada penyediaan barang publik yang esensial yaitu : (i) market supporting public goods dan (ii) market augmented public goods 22 . Yang dimaksud dengan market supporting public goods adalah intervensi pemerintah yang memungkinkan rumah tangga berpendapatan rendah berpartisipasi dalam perekonomian dan mengambil manfaat yang maksimum dari pertumbuhan ekonomi. Adapun jenis barang publik penting dalam kelompok ini adalah iklim berusaha dan penegakan hukum (law and order). Ketiadaan barang publik ini menyebabkan terjadinya social exclusion terhadap kelompok rumah tangga miskin. Sementara kelompok market augmented public goods adalah jenis barang publik yang walau mekanisme pasar berjalan dengan baik, sektor privat tidak akan mampu menyediakan tingkat yang tepat dari jenis barang publik ini. Contoh dari kelompok barang publik ini adalah sejumlah merit goods seperti pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur dasar. Kasus penyediaan pendidikan misalnya intervensi pemerintah akan menentukan intensitas intervensi pemerintah. Misalnya dalam kasus pendidikan dasar dan menengah, tanpa intervensi dalam sisi permintaan menyebabkan partisipasi keluarga miskin akan tetap rendah dan menyebabkan walaupun akses di pasar tenaga kerja terbuka keluarga miskin akan tetap kalah dalam persaingan dan terus tertinggal. Oleh karenanya, ekspansi program conditional cash transfer – atau yang dikenal dengan program keluarga harapan – perlu dipercepat. Tetapi sekali lagi efektifitas program ini menuntut peningkatan kapasitas mulai dari perencana (pemerintah pusat) hingga pengelola (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) serta pelaksana di sekolah maupun puskemas. Peningkatan kapasitas ini juga dibutuhkan karena sebagian besar dari kebijakan kemiskinan Referensi Banerjee, Abhijit V, 2008, “Why Fighting Poverty is Hard?” BREAD Policy Paper. September Besley, Timothy and Maitreesh Ghatak, 2006, “Public Goods and Economic Development”, dalam dalam A.V. Benerjee, R. Benabou dan D. 22
Lihat Besley dan Ghatak (2009) untuk deskripsi lebih lanjut dari dua jenis barang publik ini.
Halaman24
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan
Mookherjee (eds) Understanding Poverty, New York, Oxford University Press. Cull, Robert, Asli Demirgüç‐Kunt & Jonathan Morduch, 2008, “Microfinance Meets the Market”, the Financial Access Intiatiative dan NYU Wagner Graduate School Duflo, Ester (2006) ,” Is Farmer rational?” dalam A.V. Benerjee, R. Benabou dan D. Mookherjee (eds) Understanding Poverty, New York, Oxford University Press. De la Torre, Ausguto, Juan Carlo Gozzi dan Sergio L. Schmukler, 2007, Innovative Experiences in Access to Finance: Market Friendly Roles for the Visible Hand, World Bank Policy Research Working Paper No 4326. Ikhsan, Mohamad (1999), "Disaggregation of Indonesian Poverty: Policy and Analysis", Unpublished dissertation, University of Illinois. Ikhsan, Mohamad, 2011,Kemiskinan di Pedesaan Indonesia: Tren, Determinan dan Kebijakan Kemiskinan di Pedesaan, LPEM Working Paper Jack, William dan Tavneet Suri, 2010, The Economics of M‐PESA, processed Lopez‐Calva, Luis Felipe, 2010, Declining Inequality in Latin America: A Decade of Progress, Brooking Institution Press, Washington D.C Macour, Karen dan Elisabeth Sadoulet. 2008, “Managing the Exodus: Helping some farmers get out of agriculture”, Development Outreach, World Bank Institute, October 2008 pp 23‐26 McCollough. Neil dan C Peter Timmer (special editors) 2008, “Rice Policy in Indonesia” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 44 No, 1 McCollough. Neil, 2008, “Rice Price and Poverty in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 44 No, 1 McCulloch, Neil, C. Peter Timmer and Julian Weisbrod,( 2006), “Pathways Out of Poverty During an Economic Crisis: An Empirical Assessment of Rural Indonesia”, Center for Global Development Working Paper No.115 Moeis, Jossy. 1989, “Sektor Informal: Aspek Penting dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia”, Skripsi tidak dipublikasikan, FEUI Morduch, Jonathan, 2007, “The Unbanked: Evidence from Indonesia”, the Financial Access Intiatiative dan NYU Wagner Graduate School., Maret Halaman25
Mohamad Ikhsan
‐‐‐‐‐‐, 2008 “Can the Poor Afford Microcredit?the Financial Access Intiatiative dan NYU Wagner Graduate School. May Morley, Samuel, 1995, “Keynes in the Country‐side: The Case for Increasing Rural Publicworks Expenditures”, Journal Asia Pasific Economics, Vol. 2 No 1. Mullainathan, Sendhil, dan Richard Thaler, 2000, “Behavioral Economics”, NBER working paper 7948 Suryahadi, Asep, Daniel, S, Sudarno, S. 2006, “Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia:The Effects of Location and Sectoral Components of Growth”, SMERU Working Paper, http://www.smeru.or.id/publicationdetail.php?id=88 Suryahadi, Asep, Daniel, S, Sudarno, S, Jack Molyneaux, 2009, “Agricultural Demand Linkages and Growth Multiplier in Rural Indonesia”, dalam Neil McMcCullogh (ed), Rural Investment Climate in Indonesia, ISEAS Timmer, Peter dan Selvin Akkus. 2008, The Structural Transformation as a Pathway out of Poverty: Analytics, Empirics and Politics, Center for Global Development Working Paper No 150, July World Bank. 2007, World Development Report 2008, New York: Oxford University Press
Halaman26