1 PERANG TERPANJANG
Bumi terbelah-belah, langit seolah runtuh, kemudian menimbun apa saja yang berada di bawahnya. Jerit tangis anak-anak dan kaum perempuan melumpuhkan hati. Kasih sayang di negeri itu benar-benar telah sirnah, berubah menjadi dendam tak berkesudahan. Masingmasing mengklaim, bahwa merekalah yang paling benar, merekalah yang paling berhak atas negeri itu. Bahkan salah satu pihak mengklaim, bahwa tanah tersebut, tanah yang telah dijanjikan Tuhan untuk bangsa mereka. Satu pernyataan yang membuat pihak lain marah, sebab mereka mendiami tanah tersebut sudah berabad-abad lamanya. Untuk itulah mereka berperang habis-habisan. Demi tanah tersebut, mereka telah kehilangan harta dan nyawa, bahkan kehilangan telah akal sehat. Peperangan itu berlangsung sudah berabad-abad lamanya. Ini perang terpanjang yang pernah ada di muka bumi. Mengukir sejarah kelam di tanah tandus bernama Palestina. Tetapi nampaknya Tuhan sengaja menciptakan perang itu, untuk menguji ketabahan dan kedewasaan manusia berpikir. Tentunya Tuhan pun sudah punya rencana lain di balik peperangan tersebut. Serangan dan gempuran yang mereka lakukan, tanpa pandang bulu. Mereka tak perduli lagi, berapa banyak
nyawa yang melayang. Asap hitam sisa letusan mesiu membutakan mata dan pikiran. Belum lagi hentakan meriam yang tak hentinya berdentum, menyesakan dada. Puluhan roket terbang yang jika meledak meciptakan getaran dan gelombang yang mematikan. Langit merah, diselubungi kobaran api dan cahaya warna-warni. Begitu ramai dan bising. Tetapi ini adalah perang, bukan pesta kembang api di malam tahun baru. Di sini, kecerdasan, ketangkasan dan keberanian para pejuang, benar-benar diuji. Seorang anak laki-laki terperangah menyaksikan kejadian tersebut, sungguh dia tak percaya. Sedih yang teraduk oleh rasa geram, membuat air matanya jatuh berderai. Dia tak sanggup melihat kenyataan biadab itu. Mungkin ini yang dinamakan neraka. Perang itu benarbenar telah memupus harapan tentang sebuah negeri yang damai dan merdeka. “Tuhan, Engkau di mana? Mengapa di dalam keadaan gawat dan kacau seperti ini, Engkau diam saja, berpangku tangan duduk manis. Tuhan, ternyata Engkau menyebalkan!” gerutu anak laki-laki itu kesal. Arena pertempuran semakin memilukan hati. Beberapa buah drone, berputar-putar mengancam. Lalu drone itu menjatuhkan bom mengandung gas beracun. Siapa pun yang menghirup gas itu akan langsung tewas dengan tubuh melepuh, kemudian hancur berkepingkeping. Nyawa mereka melayang seperti debu di dalam angin. Jangankan menulis pesan terakhir buat keluarga, menyebut nama Tuhan saja, mereka tak sempat. 2
Anak laki-laki itu terperangah, segumpal darah muncerat ke wajahnya. Darah itu adalah, darah para pejuang yang terkena bom tadi. Dia mengusap dan membersihkan darah itu dengan tubuh menggigil. “Semoga kalian gugur sebagai suhada, bukan tewas sia-sia. Semoga saja arwah kalian diterima Tuhan.” gumam anak laki-laki itu. Itu belum seberapa. Ada pemandangan lain yang lebih menghacurkan hati. Siapapun yang menyaksikan dan mendengar peristiwa itu, akan ikut terluka. Sebuah gedung rata dengan tanah dihantam beberapa buah roket. Puluhan wanita dan balita terkubur hidup-hidup di dalamnya. Mata dunia terbelalak. Satu duka yang akan selalu membekas di hati orang-orang yang berakal sehat. Peristiwa itu telah membangkitkan amarah dan kutukan jutaan umat di dunia. Satu kejahatan perang luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang tak memiliki hati nurani. Anehnya, negara-negara Arab seolah tutup mata oleh tragedi ini. Mereka membiarkan Palestina berjuang sendiri. Anak laki-laki itu kembali menyalahkan Tuhan. “Tuhan, mengapa tak Engkau hukum perbuatan keji mereka? Mengapa Engkau tak bergeming melihat kejadin itu. Apakah Engkau menunggu sampai bangsa itu musnah? Buatku Engkau tak sekedar menyebalkan, tapi juga brengsek!” gumam anak laki-laki itu geram.
3
Sebagus apa pun rencana Tuhan di kemudian hari, buat anak laki-laki itu tetap saja menyebalkan. Menurutnya Tuhan tak adil. Kegeramannya membuat pola pandangnya terhadap Tuhan semakin bergeser. Dia mulai membenci Tuhan. Dia mulai muak dengan semua perintah dan pernyataan-Nya yang tertulis dalam kitabkitab suci. Dia sebal dengan nasihat guru ngaji dan para ustadz yang sering bicara tentang Tuhan. Bahkan anak laki-laki itu mulai sebal dengan nasihat ibunya sendiri. Semua tidak benar. Semua dusta! Anak laki-laki itu adalah aku yang tengah serius mendengar cerita orang tua bernama Ki Rono Kentir. Saking seriusnya, aku seperti berada di arena perang itu. Perang terpanjang memperebutkan tanah tandus malang bernama Palestina. “Apa benar Tuhan menjanjikan tanah tersebut untuk mereka? Jika itu benar, ada dua kemungkinan. Tuhan yang salah menjanjikan atau mereka yang salah menafsirkan kitab suci atau sabda para nabi. Namun perlu diingat, Tuhan itu tak pernah salah dalam setiap tindakkan dan pernyataan-Nya. Tuhan juga tak pernah dusta dalam setiap janji-Nya. Janji Tuhan selalu benar. Tentunya dengan gaya bahasa yang halus dan sopan. Bahasa Tuhan yang tertulis dalam kitab suci harus dikaji dan benar-benar direnungkan, tak asal terjemahkan saja. Namun pada kenyataannya, manusia telah menafsirkan bahasa Tuhan secara tekstual saja atau sesuai dengan apa yang dibaca, bahkan terkadang dengan kemauannya sendiri. Manusia mencoba mengkondisikan kitab suci dengan nafsunya, tak melihat latar belakang turunnya 4
ayat-ayat dalam kitab suci. Padahal sebagian besar ayat yang diturunkan menggunakan bahasa siloka atau kias yang pengertiannya tersembunyi. Inilah yang membuat manusia kadang keliru. Jutaan umat telah terjebak oleh kitab sucinya sendiri. Kekeliruan tersebut menciptakan pergolakkan dan peperangan sengit yang menelan jutaan jiwa.Tanah dambaan yang dijanjikan Tuhan buat mereka semakin kelabu. Jika mereka mau berpikir secara cerdas, sebenarnya pertikaian panjang berdarah-darah itu tak perlu terjadi.” Ki Rono Kentir meneguk teh hangatnya. Aku sibuk mengunyah jagung rebus. Sejak aku mengenal orang tua itu, aku sering mendapat cerita yang asyik untuk didengar. Ada makna tersembunyi yang khusus ditujukkan padaku. Katanya, kelak jika aku dewasa, aku akan lebih memahami, terutama tentang Tuhan yang selama ini kucari. “Apa benar Tuhan telah menjanjikan Palestina kepada bangsa Yahudi? Jawabnya tidak. Tanah itu bukan Palestina!” kata Ki Rono lagi. Meskipun aku sibuk dengan jagung rebusku, tapi aku tetap mendengar kata-kata Ki Rono Kentir. Sesekali aku menatap wajahnya yang terlihat sejuk, tapi tegas. “Kau tahu, mengapa aku ada di daerah ini?” tanya Ki Rono Kentir. Aku menggeleng kepala. Sebab sejak aku lahir, orang tua itu sudah berada di ladang jagung ini. 5
“Aku berada di sini menunggu seorang anak yang terlahir sebagai Indigo. Anak yang memiliki kekuatan Ekstraordinaryr.” kata orang tua itu. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Apa itu Indigo dan apa Ekstraordinary? Sebab baru kali ini aku mendengar istilah itu. Sejauh ini aku sendiri tak pernah tahu siapa sebenarnya Ki Rono Kentir. Aku mengenalnya gara-gara aku digigit seekor anjing. Aku terluka parah dan orang tua inilah yang telah mengobati lukaku. “Ada yang akan aku jelaskan padamu soal Tanah Perjanjian tadi. Sebenarnya tanah perjanjian itu bukan di Palestina, tetapi di Nusantara ini. Memang tak banyak orang tahu soal dokumen itu, hanya iblis pendukung Yahudi saja yang mengetahuinya. Dokumen itu, sekarang berada di tanganku. Sejak jaman penjajah, mereka sudah berusaha menguasai negeri ini, tapi mereka selalu gagal. Tujuh tahun lalu mereka mengutus pasukan ke negeri ini, namun mereka kembali gagal. Tujuh tahun ke depan, nampaknya mereka akan datang lagi dengan pasukan yang lebih kuat. Pasukan itu dipimpin oleh iblis bernama Magda Aeron, iblis yang tak gampang ditaklukan. Satu-satunya orang yang dapat memusnahkan iblis tersebut adalah, anak indigo yang kukatakan tadi. Dia bukan anak sembarangan, dia titisan seorang laskar pejuang gagah berani.” Aku tak perduli apa yang dikatakan orang tua itu soal anak indigo tadi. Sebab aku sendiri sedang pusing memikirkan diriku. Kata orang, aku lahir membawa sial, membawa kutukkan. Selain aku dianggap tak waras, tiap 6
kali terjadi bencana di kampungku, selalu saja dikaitkan dengan diriku. Kalau hanya aku yang disalahkan, tak jadi masalah. Terkadang semua keluargaku ikut jadi sasaran. Itu yang membuat hidupku tak nyaman. Ketika usiaku sembilan bulan, kemarau panjang menyerang desaku. Selama tujuh bulan sawah-ladang tak bisa ditanami, harga bahan pangan membumbung tinggi. Kemiskinan tak dapat dihindari lagi dan banyak warga yang mati kelaparan, sementara bantuan dari pemerintah sengaja ditahan oleh oknum aparat di satu tempat. Seperti yang sudah kukatakan, warga desa langsung menuding, akulah menyebab kemarau itu. Kalau sudah begitu, ibuku hanya bisa menangis. Selain kemarau panjang, berbagai penyakit pun menyerang desaku. Setiap hari selalu saja ada orang yang dimakamkan karena terlambat diobati. Lengkap sudah penderitaan keluargaku. Itulah awal mengapa aku mulai membenci Tuhan. Buatku Tuhan tak adil. Mengapa aku diciptakan berbeda dengan anak lainnya? Tuhan pun tak pernah mendengar keluhanku? Seribu pertanyaan yang kuajukan tak pernah dijawab. Kekecewaanku terhadap Tuhan itu yang menjadikan aku semakin liar. Aku harus bertemu Tuhan. Aku ingin memprotes keberadaanku ini. “Magda Aeron adalah keturunan bangsa Yahudi yang mengetahui tentang dokumen Tanah Perjanjian itu. Berdasarkan dokumen itulah, dia dan pasukannya bernafsu untuk merampas dan menguasai negeri ini. Hanya anak indigo itulah yang sanggup melawannya.” kata Ki Rono Kentir. 7
Itu percakapanku dengan orang tua bernama Ki Rono Kentir tujuh tahun lalu. Tentang Tanah Perjanjian yang diceritakannya padaku, ternyata benar. Tanah yang dijanjikan Tuhan bagi bangsa Yahudi bukan Palestina, tapi Nusantara Raya ini. Dan sialnya, anak indigo yang tengah ditunggunya adalah aku. Aku tak bisa mengelak, apalagi membantah. Di usiaku yang baru 19 tahun, aku terlibat pertempuran sengit melawan pasukan iblis yang dipimpin Magda Aeron.
####
8