PERANCANGAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)
SAHIRMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009
Sahirman NIM F361040141
i
ABSTRACT
SAHIRMAN. Process Design of Biodiesel Production from Alexandrian Laurel Seed Oil (Calhyllum inophyllum L.). Supervised by ANI SURYANI, DJUMALI MANGUNWIDJAJA, R. SUDRADJAT and SUKARDI. Biodiesel that can be used directly or mixed with diesel oil is a promising alternative diesel fuel obtained from vegetable oils, animal fats, or waste oils by transesterifying the oil or fat with an alcohol such as methanol. The aim of this research was to design a process of biodiesel production by esterification and transesterification of Alexandrian laurel seed oil. Results show that the best esterification process is obtained at the temperature of 58.1oC, stirring speed of 300 rpm, HCl catalyst of 5.9% from FFA content, and the methanol-FFA molar ratio of 22.2:1. Under this esterification condition, the resulted pseudo second-order kinetics are constant of reaction rate (k) = 0.1733 (liter/mol minutes), activation energy (Ea) = 5.202 kcal/mol (21.7 kJ/mol), and rate of esterification reaction (res) = 537.4 exp2618/T [FFA]t2. The best transesterification process is obtained at the temperature of o 60 C, stirring speed of 400 rpm, NaOH catalyst of 1.1% from oil, and the methanol – oil molar ratio of 6.3:1. Under this transesterification condition, the resulted second order kinetics are constant of reaction rate (k) = 0.025 liter / mol minutes, activation energy = 3.7352 kcal/mol (15.6 kJ/mol) and rate of transesterification reaction (rt) = 6.9 exp (-1879.8/T) ([TG]o – x) ([M]o-3x). The results show that Alexandrian laurel seed biodiesel oil properties including flash point, water and sediment content, sulfur content, copper strip corrosion, cetane number, free glycerin content, total glycerin content, phosphorus content, 90% recovery distillation temperature (T90), iodine number, and ester of alkyl content satisfy the SNI 04-7182-2006 standards where are kinematics viscosity, cloud point, acid number, carbon residue, and sulfated ash content deviate slightly. The results of stationer performance test indicated that the consumptions of biodiesel-solar mixture from 0% to 30% biodiesel (liter/hour) are not different but the consumption level increase when biodiesel concentration is more than 30%. The test on the effects of biodiesel on engine performance indicated that the amount of deposit found in cylinder head and piston in 0-30% biodiesel mix is slightly different. Meanwhile, in 50% biodiesel mix, the amount of deposit is significantly high indicating an imperfect combustion. Financial analysis at the optimum production capacity of 93.46 kg biodiesel/hour, 16 percent of interest rate, and 10 years of project lifetime showed that biodiesel production is feasible with PBP of 4 years and 11 months; NPV of Rp366,166,219; IRR of 33.54%; net B/C ratio of 2.1; and ROI of 0.23. Keywords: Biodiesel, Alexandrian laurel seed oil, Esterification,Transesterification
ii
RINGKASAN SAHIRMAN. Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calhyllum inophyllum L.). Dibimbing oleh ANI SURYANI, DJUMALI MANGUNWIDJAJA, R. SUDRADJAT dan SUKARDI. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Pokja Bahan Bakar Nabati (BBN) menargetkan produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2005-2009 adalah 2 % dari solar (0,72 juta kl) dan pada tahun 2010-2015 sebesar 3 % dari solar (1,5 juta kl). Penggunaan minyak jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel masih bermasalah karena rendahnya produktivitas tanaman jarak pagar sedangkan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel bermasalah karena berkompetisi penggunaannya sebagai bahan pangan. Kondisi tersebut memacu pencarian bahan baku lain yang juga kompetitif, salah satunya adalah minyak biji nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Target produksi biodiesel 0,72 juta kl diperkirakan dapat dipenuhi oleh produksi sekitar 352 ribu ha nyamplung, yang lebih rendah dari jarak pagar yaitu 480 ribu ha namun masih lebih tinggi dari kebutuhan areal kelapa sawit yaitu 160 ribu ha. Akan tetapi permasalahannya adalah apakah minyak biji nyamplung dapat diproses menjadi biodiesel yang dapat memenuhi standar dan bagaimana rancangan prosesnya yang sesuai? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi sehingga dapat menghasilkan produk yang mempunyai kelayakan teknis maupun finansial. Perancangan proses terdiri atas: analisis peluang dan permasalahan; kreasi proses (sintesis proses) dan pengembangan proses. Analisis peluang dan permasalahan dilakukan melalui survei liteteratur. Kreasi proses pada dasarnya adalah sintesis proses yang dilakukan melalui pengumpulan data dasar dan percobaan laboratorium. Pengembangan proses adalah pembuatan rancangan rinci (detail desain) berdasarkan data sintesis proses melalui integrasi proses, simulasi model, optimasi dan analisis kelayakan teknis dan finansial terhadap rancangan yang dikembangkan. Sintesis proses yang dilakukan meliputi pemilihan jalur proses, optimasi kondisi proses, analisis pemodelan kinetika dan analisis produk. Pemilihan jalur proses didasarkan pada karakteristik bahan baku. Optimasi proses dilakukan untuk mendapatkan respon optimum menggunakan metode permukaan respon (Surface Respon Methode). Pengolahan data optimasi proses menggunakan program Minitab 14 dan SAS V6.12. Analisis pemodelan kinetika digunakan untuk menentukan waktu optimum dan nilai konversi produk yang digunakan untuk perancangan proses. Analisis produk biodiesel yang dihasilkan meliputi pengujian fisiko-kimia, kinerja biodiesel dan pengaruh biodiesel terhadap mesin dilakukan untuk menentukan kelayakan teknis dari biodiesel yang dihasilkan. Integrasi proses dilakukan dengan mengkombinasikan seluruh tahapan proses sehingga dihasilkan diagram alir (flowsheet) yang utuh dilengkapi dengan neraca massa dan energi. Hasil dari integrasi proses adalah diagram alir kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya dilakukan simulasi model proses dengan menggunakan program Hysis. Hasil simulasi model digunakan untuk menyusun PEFD dan optimasi kapasitas produksi untuk menentukan biaya produksi minimum. Pada kapasitas optimum proses dilakukan analisis kelayakan aspek finansial. iii
Penelitian ini menghasilkan rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang terdiri atas proses degumming, esterifikasi dan transesterifikasi. Degumming dilakukan pada suhu 80 oC dengan asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 0,3% dari berat minyak dilanjutkan dengan pencucian dengan air hangat suhu 60oC dan pengeringan suhu 105 0C selama 120 menit dan pengeringan vakum suhu 80 oC tekanan 16 cm Hg. Esterifikasi pertama dilakukan pada kecepatan pengadukan 300 rpm, suhu 58,1 oC, nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1 dan katalis HCl 5,9% dari ALB. Tetapan laju reaksi esterifikasi (k) pseudo orde dua pada suhu 343 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturutturut adalah 0,221 liter/ mol menit, 0,173 liter/ mol menit, 0,133 liter/ mol menit dan 0,076 liter/ mol menit, energi aktivasi (Ea) sebesar 5,202 kcal/mol (21,7 kJ/mol), dan laju reaksi esterifikasi (rEs)=537,4 exp - 2618/ T [ALB]t2. Esterifikasi kedua dilakukan pada kecepatan pengadukan 300 rpm, suhu 60 oC, nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, katalis HCl 10% dari ALB. Transesterifikasi dilakukan pada suhu 60 oC, nisbah molar metanol terhadap minyak 6,3:1, katalis NaOH 1,1% dari berat minyak, kecepatan pengadukan 400 rpm dan waktu transesterifikasi 22 menit. Tetapan laju reaksi transesterifikasi (k) orde dua pada suhu 301 K, 318 K, 333K dan 341 K masing-masing berturut-turut adalah 0,014 (liter/mol menit), 0,018 (liter /mol menit), 0,025 (liter /mol menit) dan 0,029 (liter /mol menit), energi aktivasi (Ea) 3735,2 cal/ mol K dan laju reaksi transesterifikasi (rt)= 6,9 exp (-1879 ,8 /T) ([TG]o – x) ([M]o-3x). Rancangan proses tersebut menghasilkan biodiesel sebesar 15,62% dari berat biji atau 83,4% dari berat minyak kasar. Rancangan proses menghasilkan biodiesel yang telah memenuhi kelayakan teknis sesuai dengan SNI 04-7182-2006 meliputi massa jenis pada 40 oC, angka setana, titik nyala mangkok tertutup, korosi kepingan tembaga, air dan sedimen, suhu distilasi 90%, kandungan belerang, kandungan fosfor, gliserol total, gliserol bebas, ester alkil, dan angka iodium akan tetapi belum memenuhi terhadap parameter angka asam, viskositas pada 40 oC, abu tersulfatkan, titik kabut dan residu karbon. Pada kondisi demikian penggunaan biodiesel nyamplung hingga campuran 30% disarankan karena dari tes kinerja menunjukkan bahwa konsumsi tidak berbeda dengan solar, kinerja mesin tidak terganggu dan deposit pada kepala silinder dan piston tidak berbeda nyata dengan solar. Penggunaan campuran biodiesel ≥ 50% tidak bisa dilakukan karena konsumsi bahan bakar lebih besar, deposit pada kepala silinder dan piston sangat tebal dan kinerja mesin sudah terganggu. Berdasarkan basis perhitungan produksi biodiesel sebesar 100 kg/jam, biaya produksi minimum diperoleh pada kapasitas produksi 386 ton biodiesel /tahun atau 93,46 kg per jam (1,31 ton/hari). Hasil analisis finansial pada kapasitas produksi optimum menunjukkan bahwa kondisi BEP diperoleh pada produksi biodiesel 70,8 ton/tahun atau setara dengan hasil penjualan produk biodiesel dan produk sampingnya sebesar Rp 541.860.269,6 per tahun. Produksi biodiesel pada kapasitas produksi 1,31 ton/hari adalah layak dengan Net B/C 2,1, PBP 4,9 tahun, ROI 0,226, IRR 33,54% dan NPV Rp 366.166.218,8. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung masih layak dengan kenaikan harga bahan baku 10%, atau kenaikan harga bahan kimia 10%, atau kenaikan bunga bank 10% namun tidak layak jika kenaikan tersebut terjadi bersama atau harga jual turun 5 %.
iv
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyebutkan sumber, a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan dengan wajar IPB.
2.
Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
v
PERANCANGAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)
SAHIRMAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 vi
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sahirman F361040141
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA Anggota
Dr. Ir. Sukardi, MM Anggota
Prof. Riset Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Tekonologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 26 November 2008
Tanggal Lulus: vii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNya sehingga disertasi dengan judul “Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) ini dapat diselesaikan. Sholawat dan Salam, semoga Allah SWT curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW dan seluruh ummatnya. Amiin. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan
kapada: 1.
Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, Bapak Prof. Riset. Dr. Ir. H. R. Sudradjat, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM masing-masing selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, saran, dan dorongan moral yang diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi.
2.
Dr. Ir. Sapta
Raharja, DEA di Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB selaku penguji dari luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan pada saat ujian tertutup, Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja dari Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc. dari Direktorat Energi Terbarukan dan Konversi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas masukan yang disampaikan pada saat ujian terbuka. 3.
Dr. Ir. Sam Herodian dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. selaku Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian dan Dr. Ir. Muhammad Romli selaku Kepala Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan S3.
4.
Drs. Dedy H. Karwan, MM selaku Kepala Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti pendidikan S3 di IPB Bogor.
5.
Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Penelitian dan Pengemngan Kehutanan, Kepala Laboratorium Kimia dan Energi Pusat Penelitian dan Pengembangan viii
Hasil Hutan Bogor, Kepala Laboratorium Pengujian Mutu VEDCA PPPPTK Pertanian Cianjur, dan Kepala Laboratorium Proses Lemigas Jakarta
atas
bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan almarhumah Ibu Padmosihono, Bapak dan Ibu Ishaq Hasbulloh atas doa, nasehat dan bimbingan yang diberikan kepada penulis. Penghargaan dan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada istri tercinta Dra. Sri Harini, MSi dan anakanak tercinta Daffa Amarul Mufflih
dan Almira Zada Nurulita atas segala
pengertian, kesabaran dan dorongan yang diberikan
selama penulis mengikuti
pendidikan S3. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Departemen Ilmu Dasar dan Laboratorium Pengujian atas semangat yang diberikan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal. Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, namun demikian penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2009
Sahirman
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 17 April 1964 sebagai anak bungsu dari pasangan Padmosihono dan Almarhumah Ngatiyem. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1992 penulis diterima pada Program Studi Pascasarjana Teknologi Pasca Panen Universitas Brawijaya Malang dan menamatkannya pada tahun 1994. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusat Pengembangan Penataran Guru Pertanian Cianjur Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai Widyaiswara Madya di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur. Karya ilmiah berjudul Perbaikan kualitas minyak nabati sebagai bahan biodiesel melalui proses esterifikasi (studi kasus minyak nyamplung) dan Kinetika reaksi esterifikasi minyak biji nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) untuk meningkatan kualitas bahan baku biodiesel telah diterbitkan dalam jurnal, Pengujian sifat fisikokimia, kinerja dan pengaruh biodiesel terhadap mesin telah dipresentasikan pada seminar nasional dan diterbitkan dalam bentuk prosiding sedangkan dan Kinetika reaksi transesterifikasi minyak biji bintangur (Calophyllum inophyllum L.) pada proses produksi biodiesel sudah dinyatakan diterima menunggu diterbitkan dalam jurnal nasional terakriditasi. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi S3 penulis.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...…………………………………………………...........…... xiii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….............. xv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………........... xvii I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………...…………................ 1 1.2 Tujuan Penelitian …………….…..……………………….….……........ 4 1.3 Ruang Lingkup ………….…………………………………….……......... 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) …………...……...... 6 2.2 Biodiesel ................................................................................................... 11 2.3 Kualitas Biodiesel ………………………………………………….......... 21 2.4 Pengujian Karakteristik Biodiesel .............................................................. 30 2.5 Pengujian Kinerja Biodiesel .……...………………….……………........ 30 2.6 Perancangan Proses Produksi Biodiesel ....…….....………..................... 32 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran …..............………………………………………..... 53 3.2 Waktu dan Tempat …..………..……...………….……………................. 55 3.3 Bahan dan Peralatan ………………...……………..………...................... 55 3.4 Metode Penelitian ……………………...………….………...............….. 55 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Peluang dan Permasalahan ........................................................... 78 4.1.1 Analisis Peluang ..................................………………….…...…..... 78 4.1.2 Analisis Permasalahan ..................................................................... 78 4.2 Kreasi Proses .............................................................................................. 79 4.2.1 Pengepresan dan Degumming ………………….……................... 79 4.2.2 Karakterisasi Minyak Nyamplung ................................................... 82 4.2.3 Pemilihan Proses .............................................................................. 84 4.2.4 Optimasi Proses Esterifikasi ............................................................ 85 4.2.5 Analisis Model Kinetika Reaksi Esterifikasi ………....................... 97 4.2.6 Optimasi Proses Transesterifikasi .................................................... 104 4.2.7 Analisis Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi …………..…..... 118 4.2.8 Analisis Kualitas Produk ……..………………………………........ 124 4.2.9 Analisis Keuntungan Kasar ……..……………………………….... 143 4.3 Pengembangan Proses ................................................................................ 143 4.3.1 Integrasi Proses ………………………………………………........ 143 4.3.2 Simulasi Model Proses …………………………………………..... 151 4.3.3 Optimasi Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung ........... 155 4.3.4. Analisis Kelayakan Teknis dan Finansial Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung........................................................... 160 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………………..…………...............………………..….….... 167 5.2 Saran ……………..………………………………………................….... 169 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….…... 170 LAMPIRAN ………………………………………………………………….…... 177 xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Kondisi lingkungan untuk pertumbuhan nyamplung ……………………. Karakteristik fisiko-kimia minyak Calophyllum inophyllum L. ................. Perbandingan sifat biodiesel dan petrodiesel .............................................. Perbedaan karakteristik emisi bahan bakar diesel dan biodiesel e-Oil ...... Pabrik Biodiesel di beberapa negara ........................................................... Komposisi asam lemak beberapa jenis sumber minyak nabati .................. Sifat-sifat fisiko-kimia beberapa minyak yang digunakan sebagai bahan dasar biodiesel............................................................................................. Ringkasan beberapa proses esterifikasi dengan katalis asam .................... Ringkasan beberapa proses transesterifikasi dengan katalis basa. ............. Standar kualitas bahan bakar biodiesel SNI 04-7182:2006…..................... Standar Biodiesel menurut ASTM 6751-3 ………………......................... Sifat bahan bakar dilihat dari komposisi asam lemak ................................ Sifat-sifat fisik biodiesel yang dapat digunakan untuk memprediksi angka setana................................................................................................. Sifat fisik beberapa metil ester .................................................................. Karakteristik metil ester minyak sawit dan campurannya........................... Tetapan laju reaksi (k) hidrolisis trigliserida, digliserida monogliserida dan pada berbagai perbedaan suhu ............................................................ Nilai tetapan laju transesterifikasi pada beberapa kondisi proses.............. Faktor, kode dan taraf kode pada percobaan proses esterifikasi................. Nilai taraf kode dan nilai taraf aktual optimasi proses esterifikasi ............. Faktor, kode dan taraf kode pada percobaan proses transesterifikasi.......... Nilai taraf kode dan nilai taraf aktual optimasi proses transesterifikasi ..... Komposisi inti nyamplung ……………...………………………………... Sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung dari Kebumen……...............… Karakteristik minyak nyamplung hasil degumming ................................... Komposisi asam lemak minyak nyamplung dibandingkan minyak lain.... Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai nisbah molar metanol terhadap ALB ………………………………………………...... Hasil optimasi respon permukaan kadar ALB akhir esterifikasi ............... Data konversi (bagian) asam lemak bebas menjadi metil ester................... Kadar ALB minyak biji nyamplung akhir esterifikasi hasil percobaan selama 30 menit dibandingkan prediksi................................................... Rata-rata kadar ALB, viskositas, berat jenis dan rendemen biodiesel dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu transesterifikasi ...................... Rata-rata kadar ALB, viskositas, rendemen, dan kadar metil ester hasil percobaan dan perhitungan model pada optimasi proses transesterifikasi Rendemen dan kadar ALB biodiesel rata-rata dari proses esterifikasi dan transesterifikasi yang dihitung berdasarkan minyak nyamplung kasar....... Konversi trigliserida menjadi metil ester selama proses transesterifikasi .. Prediksi kadar metil ester minyak biji nyamplung setelah transesterifikasi dibandingkan dengan kadar metil ester hasil percobaan .. Komposisi metil ester biodiesel dari minyak nyamplung hasil analisis GCMS.......................................................................................................... xii
7 10 13 14 14 15 16 20 22 23 24 27 27 28 31 44 45 63 64 70 71 79 82 83 84 89 95 98 103 109 111 117 119 123 125
36. Karakteristik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar ASTM D6751-3 ………………………………............................. 126 37. Karakteristik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar SNI 04-7182-2006 ......................................................................... 127 38. Analisis sensitivitas produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung ....... 168
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Tanaman dan buah nyamplung…………………………………….……. Diagram alir proses produksi biodiesel (Soedradjat et al. 2005) .............. Reaksi transesterifikasi (Ma et al. 1999 ;Van Gerpen et al. 2004)............ Model proses perancangan (Roy dan Cross 1983 diacu dalam Johnston et al. 2000)…………………...………………………………………….. Model proses perancangan interaktif (Sinnot 1999) ………………….... Perancangan proses melalui tahapan analisis sistem proses (Hartmann dan Kaplick 1990) ………………………………………………………. Tahap dalam perancangan proses kimia (Seider et al. 1999)................... Plot hubungan seper konsentrasi asam (1/C) dengan waktu selama proses esterifikasi (Guner et al. 1996) ..................................................... Kerangka pemikiran perancangan proses esterifikasi dan transesterifikasi produksi biodiesel dari minyak nyamplung..................... Skema tahapan penelitian ……………………………………………….. Foto minyak biji nyamplung …………………………………………..... Kromatogram dari analisis GC minyak biji nyamplung (a standar dan b minyak biji nyamplung) .................................................................. Hasil proses esterifikasi minyak nyamplung dengan metanol dan katalis asam klorida ……………………………………………….... Kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai suhu esterifikasi ................ Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai kecepatan pengadukan ………………………………………………....................... Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai konsentrasi katalis HCl ………………………………………………..... Hubungan antara kadar ALB bahan baku dengan kadar ALB produk esterifikasi pada suhu 60 oC, nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1 dan katalis HCl 6 % dari ALB .................................................................. Plot permukaan optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi ………….. Plot kontur optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi ………………………......... Hubungan antara kadar ALB dengan waktu reaksi pada berbagai suhu esterifikasi.........................................................................................…..... Hubungan antara waktu esterifikasi dengan 1/([ALB]t -1/([ALB]o ........ Grafik hubungan antara 1/([ALB]t -1/([ALB]o dengan waktu reaksi untuk penentuan nilai k reaksi esterifikasi ................................................ Plot -ln k dengan 1/T pada proses esterifikasi minyak biji nyamplung pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K............................................... Hasil proses transesterifikasi minyak nyamplung hasil esterifikasi (a: sebelum pemisahan gliserol dan b: setelah pemisahan gliserol, pencucian dan pengeringan) ..................................................................... Rata-rata viskositas biodeiesl hasil proses transesterifikasi pada berbagai nisbah molar metanol ................................................................ Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai kecepatan pengadukan …………………………….................. xiv
8 17 20 34 35 35 37 40 54 56 81 84 86 86 87 90 92 95 96 98 99 99 100 104 106 107
27. Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai konsentrasi katalis…………………………………………....... 28. Optimasi proses transesterifikasi berdasarkan respon kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester ………………….................…… 29. Pengaruh kadar ALB awal terhadap rendemen biodiesel pada proses transesterifikasi ……………………………………………………….... 30. Kadar metil ester dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu dan waktu .……………………………………………………………............ 31. Grafik hubungan 1/((3[T]o-[Mo]) ln([M]o[T]/[[M][To] dengan waktu.. 32. Hubungan antara –ln k dengan 1/T pada proses transesterifikasi minyak biji nyamplung ……………………………………………….................. 33. Kromatogram analisis GCMS biodiesel dari minyak nyamplung …….... 34. Hasil pengukuran konsumsi biodiesel dari biji nyamplung dengan menggunakan generator 7,5 pK dan kecepatan putaran 700 rpm pada kondisi stasioner ………………………………………........………..... 35. Pengaruh penggunaan beberapa campuran biodiesel nyamplung terhadap piston dan kepala silinder (a: awal, b: solar, c: 10% biodiesel, d: 30% biodiesel dan e: 50% biodiesel) .................................................... 36. Diagram alir kualitatif produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung.... 37. Diagram alir kualitatif yang dilengkapi pengaturan suhu dan tekanan ..... 38. Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g biji nyamplung ................................... 39. Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g minyak nyamplung..... 40. Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui esterifikasi dan transesterifikasi ................................................................ 41. Process Engineering Flow Diagram (PEFD) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung ............................................................................. 42. Biaya variabel fungsi kapasitas produksi .................................................. 43. Biaya tetap fungsi kapasitas produksi ....................................................... 44. Biaya total fungsi kapasitas produksi ........................................................
xv
108 112 115 119 120 121 125 137 140 145 147 148 149 155 156 158 158 158
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Prosedur analisis biji nyamplung, minyak biji nyamplung dan biodiesel dari minyak biji nyamplung ................................................. Hasil Analisis ragam (ANOVA) dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai suhu esterifikasi ............... Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai kecepatan pengadukan ...................... Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai nisbah molar metanol ........................ Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai konsentrasi katalis HCl ...................... Hasil analisis respon regresi permukaan, plot residiual, dan optimasi input variabel pada proses esterifikasi .................................. Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi ................................... Perhitungan waktu tinggal esterifikasi .................................................. Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB dan viskositas biodiesel hasil transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai nisbah molar metanol .................................................. Hasil Analisis ragam dilanjutkan uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai kecepatan pengadukan .......................................................................... Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai konsentrasi katalis ................................................................. Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi pada berbagai suhu................ Hasil analisis respon regresi permukaan, plot residiual dan optimasi input variabel proses transesterifikasi ………………………………... Penentuan laju reaksi transesterifikasi .................................................. Perhitungan waktu tinggal proses transesterifikasi ............................... Hasil pengujian karakteristik biodiesel dari minyak biji nyamplung di Lemigas Jakarta dan Laboratorium Pengujian VEDCA ....................... Data dasar untuk perancangan proses ................................................... Neraca masssa proses produksi biodiesel …………………...……….. Perhitungan energi proses produksi biodiesel .................………........ Perincian modal tetap produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan asumsi kapasitas peralatan 1,31 ton/hari ............. Ringkasan biaya operasional ……………………………..………...... Kebutuhan modal kerja awal ................................................................ Jadwal pembayaran kredit modal ……………………………………. Proyeksi rugi laba ……………………………………………………. Aliran kas …………………………………………………………….. Analisis kelayakan finansial ………………………………………….
xvi
180 191 191 192 192 192 194 198 199 199 200 200 201 205 210 211 213 215 218 226 227 228 228 229 230 231
1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 menyatakan bahwa pada tahun 2025 ditargetkan tercapai komposisi sumber energi yang optimal dengan bahan bakar nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan
Pokja Bahan Bakar Nabati menargetkan produksi biodiesel
Indonesia pada tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2015 dan 2025 masingmasing adalah 0,110, 0,263 0,415, 0,568, 0,720, 1,500 dan 4,700 milyar liter. Biodiesel diharapkan dapat berperan sebagai sumber energi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan bahan bakar diesel nasional. Menurut Soerawidjaja et al. (2005) jika Indonesia berhasil mensubstitusi 2 % biodiesel berarti diperlukan 720 ribu ton CPO yang dapat membuka lapangan pekerjaan di sektor perkebunan sebesar 100 ribu orang dan di pabrik 5 ribu orang serta mengurangi devisa negara 216 juta US $ (asumsi harga solar 30 sen dolar AS/liter). Potensi pengembangan biodiesel Indonesia cukup besar karena disamping sebagai penghasil CPO terbesar pertama di dunia, Indonesia juga memiliki banyak spesies tanaman yang minyaknya dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Soerawidjaja et al. 2005). Produksi biodiesel skala besar masih bermasalah khususnya berkaitan dengan belum tersedianya bahan baku dalam jumlah yang besar dengan harga yang murah. Penggunaan minyak jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel bermasalah berkaitan dengan produksi biji jarak yang rendah, hal ini berdampak pada pendapatan petani. Produksi biji jarak rata-rata pada tahun kelima menurut Francis dan Becker (2001) adalah 5 ton/hektar per tahun. Produksi minyak jarak per hektar per
tahun termasuk rendah hanya 1.590 kg atau 1.892 liter
sementara untuk minyak sawit mencapai 5.000 kg atau 5.950 liter (http:// www. journeytoforever.org /biodiesel). Jika harga biji jarak per kg Rp1000 dengan ratarata produksi per tahun 5 ton /ha maka pendapatan kotor petani per ha hanya
2
Rp5.000.000 / tahun atau Rp416.000 / bulan. Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel bermasalah karena berkompetisi penggunaanya sebagai bahan pangan dan oleokimia lain. Adanya permasalahan tersebut memacu pencarian bahan baku lain yang kompetitif salah satunya adalah minyak biji nyamplung / minyak biji bintangur (Calophyllum inophyllum L.). Inti (kernel) nyamplung
mempunyai kandungan minyak yang sangat
tinggi yaitu sebesar 75% (Dweek dan Meadows 2002), 71,4% pada inti yang kering dengan kadar air 3,3% (Heyne 1987), 40-73 % (Soerawidjaja et al. 2005), 55,5% pada inti yang segar dan
70,5% pada inti yang benar-benar kering
(Greshoff dalam Heyne 1987). Tanaman nyamplung
setiap tahun dapat
menghasilkan 100 kg biji per pohon (Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005) dan 40-150 kg biji perpohon (Balitbang Kehutanan 2008). Apabila tanaman nyamplung mempunyai jarak tanam
5 x 5 m2
dan apabila dari areal
tanam terdapat 80% tanaman nyamplung maka dalam satu hektar ada sekitar 320 tanaman dan apabila satu tanaman menghasilkan 50 kg biji /pohon (Balitbang Kehutanan 2008) dengan rendemen minyak 17,5% maka diperoleh 14.000 kg biji/tahun setara dengan 2450 kg minyak /tahun. Target produksi 0,72 milyar liter biodiesel pada tahun 2010 diperkirakan dapat dipenuhi oleh 352 ribu ha lahan nyamplung. Kebutuhan areal tersebut lebih rendah dari jarak pagar yaitu sebesar 480 ribu ha (asumsi produksi 6 ton biji jarak per hektar/tahun setara dengan 1892 kg minyak /ha-tahun) namun lebih tinggi dari kelapa sawit 160 ribu ha (asumsi produksi 5000 kg minyak /ha-tahun). Permasalahannya adalah apakah minyak biji nyamplung dapat diproses menjadi biodiesel yang dapat memenuhi standar dan bagaimana rancangan prosesnya yang sesuai? Tanaman nyamplung tersebar di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai dengan Papua dengan luas areal tegakan nyamplung mencapai 255,3 ribu ha
3
(Balitbang Kehutanan 2008). Tanaman nyamplung mempunyai sifat-sifat: pembudidayaanya mudah; tumbuh baik pada ketinggian 0-800 meter; curah hujan 1000-5000 mm; pada pH 4,0 - 7,4; tahan pada tanah tandus bahkan tumbuh baik di daerah pantai berpasir kering atau digenangi air laut akan tetapi kelemahannya baru dapat menghasilkan setelah berumur 7 tahun (Friday dan Okano 2005). Tanaman nyamplung berproduksi setahun dua kali (Joker 2004; Friday dan Okano 2005). Tanaman nyamplung berproduksi pada bulan Februari-Maret dan Agustus– September (Sutarno 2008, komunikasi pribadi), di Hawai pada bulan April–Juni dan Okotober-Desember (Friday dan Okano 2005) dan di Orissa pada bulan MeiJuni dan Oktober –November (Joker 2004). Karena tanaman nyamplung tidak dapat berbuah sepanjang tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan industri harus dilakukan penyimpanan dan penggudangan. Akibat dari proses penyimpanan maka terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) yang cukup besar. Kondisi ALB yang tinggi pada minyak nyamplung disebabkan pula oleh karakteristik biji nyamplung itu sendiri. Buah nyamplung yang telah tua dengan kulit berubah dari hijau menjadi coklat dan mengeriput, untuk dapat diambil minyaknya harus dilakukan pengupasan dan pengeringan inti terlebih dahulu. Menurut Dweek dan Meadows (2002) dan Friday dan Okano (2005) pengeringan inti nyamplung dilakukan dengan sinar matahari sampai kering dan berminyak kemudian dilakukan pengepresan. Pada saat pengeringan biji tersebut terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang cukup besar. Minyak biji nyamplung secara sederhana diproduksi oleh petani dari daerah Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang biasa digunakan untuk pelapisan genting dan sebagai bahan bantu pada pembuatan batik. Minyak tersebut mempunyai kenampakan hijau gelap dan kotor serta berkualitas jelek dengan kadar asam lemak bebas (ALB) sangat tinggi mencapai 30 %. Minyak
4
nyamplung selain mengandung lemak netral juga mengandung fosfolipid, glikolipid dan fraksi lemak tidak tersabunkan seperti sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isoptalat dan lain-lain (Kilham 2004). Kadar asam lemak bebas yang sangat tinggi disebabkan karena karakteristik dari biji nyamplung dan penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani tersebut. Karena tanaman nyamplung hanya berbuah setahun dua kali maka untuk memenuhi permintaan minyak nyamplung diluar masa panen, petani menyimpan biji nyamplung yang telah kering diantara masa panen tersebut. Adanya permasalahan tersebut maka perlu dirancang teknologi produksi biodiesel yang tepat sesuai dengan karakteristik minyak biji nyamplung tersebut. Minyak nabati dengan kadar ALB yang tinggi
tidak dapat diproses
menjadi biodiesel dengan proses transesterifikasi karena akan terbentuk emulsi sabun sehingga menyulitkan proses pemisahan metil ester (Canakci dan Van Gerpen, 2001; Tyson 2004; Lele 2005). Persyaratan minyak nabati pada transesterifikasi dengan katalis basa adalah ≤ 5% (Canakci dan Van Gerpen 1999). Apabila dilakukan netralisasi terlebih dahulu akan berakibat pada kenaikan biaya produksi dan rendahnya rendemen. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan proses produksi biodiesel melalui proses dua tahap yaitu esterifikasi yang bertujuan untuk menurunkan ALB sekaligus mengkonversi ALB tersebut menjadi metil ester dan transesterifikasi untuk mengubah trigliserida, monogliserida dan digliserida menjadi metil ester. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan proses produksi biodiesel
dari
minyak
biji
nyamplung
melalui
reaksi
esterifikasi
dan
transesterifikasi sehingga dapat menghasilkan produk yang mempunyai kelayakan teknis maupun finansial.
5
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 1.
Analisis peluang produksi biodiesel dengan bahan baku minyak biji nyamplung dan analisis permasalahannya.
2.
Kreasi proses, meliputi: karakterisasi bahan baku, penentuan jalur proses, penentuan kondisi proses degumming, optimasi proses esterifikasi, kinetika proses esterifikasi, optimasi proses transesterifikasi dan pengujian produk terdiri atas pengujian sifat fisiko-kimia, kinerja biodiesel dan pengaruh biodiesel terhadap mesin serta analisis keuntungan kasar.
3.
Pengembangan proses meliputi integrasi proses (penyusunan diagram alir kualitatif, penyusunan neraca massa dan energi serta penyusunan diagram alir kuantitatif), simulasi model (penyusunan Process Enginerering Flow Diagram (PEFD)), optimasi kapasitas produksi dan penilaian kelayakan teknis dan finansial terhadap rancangan yang dihasilkan.
6
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) 2.1.1 Sifat-Sifat Tanaman Nyamplung Nyamplung mempunyai nama daerah bintangor, bintol, mentangur, penanga di Sumatera, bunut, nyamplung, bintangur, sulatri, punaga di Jawa, bataoh, bentangur, butoo, jampelung, jinjit, mahadingan, maharunuk di Kalimantan, betau, bintula, dinggale, pude, wetai di Sulawesi, balitoko, bintao, bitaur, petaule di Maluku, dan bentango, gentangir, mantau, samplong di NTT (Martawijaya et al. 1981). Negara Malaysia mengenal nyamplung sebagai bintangor, bakokol, entangor, mentangor dan penanga laut (Martawijaya et al. 1981). Calophyllum inophyllum L. atau Calophyllum bintangor Roxb.) di Inggris diketahui sebagai Alexandrian Laurel, Tamanu, Pannay Tree, Sweet Scented Calophyllum (Dweek dan Meadows 2002). Daerah penyebaran di Indonesia meliputi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur (Martawijaya et al. 1981). Taksonomi nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) adalah sebagai berikut: • • • • • • • • •
dunia : Plantae (tumbuhan) super divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) divisi: Magnoliophyta (berbunga) kelas:Magnoliopsida (berkeping dua) subkelas: Dilleniidae ordo: Theales famili: Clusiaceae genus: Calophyllum spesies: Calophyllum inophyllum L.
Kayu nyamplung dapat digunakan untuk berbagai keperluan yaitu: tiang layar, dayung, balok, tiang rumah, papan lantai perumahan, peti, tiang listrik, roda, sumbu gerobak, kano, tong dan kepala pemukul golf (Martawijaya et al. 1981). Tanaman nyamplung tumbuh di hutan tropis dengan curah hujan A dan B, pada
7
tanah berawa dekat pantai sampai pada tanah kering berbukit-bukit sampai ketinggian 800 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1981). lingkungan
pertumbuhan tanaman nyamplung
Kondisi
dapat dilihat pada Tabel 1
sedangkan tanaman dan buah nyamplung dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1 Kondisi lingkungan untuk pertumbuhan nyamplung No Parameter 1 Iklim
2
3
Kondisi lingkungan yang sesuai Suhu sedang (moderat) sampai basah dan tidak cocok pada kondisi sangat dingin 0-800 m dari permukaan laut • Ketinggian 1000-5000 mm (40-200 inci) • Curah hujan • Lama musim kering dengan 5 bulan curah hujan < 40 m 33 0C (91 0F) • Suhu rata-rata tahunan 0 0 • Suhu maksimum rata-rata 37 C (99 F) pada bulan paling panas 120C (540F) • Suhu minimum rata-rata pada bulan paling dingin Tanah Tumbuh baik pada tanah berpasir dengan hujan yang cukup di pantai tetapi toleran pada tanah lempung (clay) dan tanah berbatu (rocky soils), tanah yang dangkal (shallow) dan tanah asin (saline soils) Toleran pada tanah sands, sandy loams, • Tekstur tanah loams dan sandy clay loams Toleran pada drainase jelek • Drainase tanah pH 7,4 - 4,0 • Keasaman Toleransi kondisi ekstrim Merupakan pohon keras yang tumbuh pada daerah pantai, toleran terhadap angin, air laut, dan kekeringan Toleran pada kemarau selama 5 bulan • Kekeringan Lebih cocok pada sinar matahari penuh • Sinar Matahari dan dapat tumbuh baik pada tempat teduh Tidak toleran pada kondisi beku • Pembekuan Toleran pada kondisi dikelilingi air • Waterlogging (waterlogging) pada area pantai.
Sumber: Friday dan Okano 2005.
Buah nyamplung berbentuk bulat seperti peluru dengan ujung berbentuk lancip berwarna hijau terusi selama masih bergantung pada pohon tetapi menjadi kekuning-kuningan atau berwarna seperti kayu
yang
sudah luruh setelah
8
masak, daging buahnya tipis yang lambat laun menjadi keriput, rapuh dan mengelupas, di dalamnya terdapat sebuah inti yang berwarna kuning terutama jika dijemur (Heyne 1987). Biji digunakan untuk mengobati kudis, bila dimakan akan mengakibatkan mabuk bahkan kematian akan tetapi minyaknya dapat digunakan untuk menyembuhkan borok dan penumbuh rambut dan untuk penerangan (Heyne 1987). Inti nyamplung mengandung abu 1,7%, protein kasar 6,2%, minyak 55,5 %, pati 0,34%, air 10,8%, hemiselulosa 19,4 %, dan selulosa 6,1% (Wilde et al. 2004).
Sumber: http://www.aromatrading.co.uk/calophyl [26 Juni 2005].
Gambar 1 Tanaman dan buah nyamplung.
2.1.2 Minyak Biji Nyamplung Inti (kernel) nyamplung mempunyai kandungan minyak yang sangat tinggi yaitu sebesar 75% (Dweek dan Meadows 2002), 71,4% pada inti yang kering dengan kadar air 3,3% (Heyne 1987), 40-73 % (Soerawidjaja 2005), 55,5% pada
9
inti yang segar dan 70,5% pada inti yang benar-benar kering
(Greshoff dalam
Heyne 1987). Pada inti yang kering proses pengepresan dapat menghasilkan minyak 60% (Dweek dan Meadows 2002). Produksi biji nyamplung mencapai 100 kg per pohon (Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005). Minyak dapat diperoleh dengan pengepresan dingin (dari 100 kg buah akan dihasilkan 18 kg minyak) kemudian dijernihkan sehingga dihasilkan minyak yang berwarna kuning kehijauan serupa dengan minyak olive dengan aroma dan rasa yang hambar (Dweek dan Meadows 2002). Buah yang matang tapi belum bertunas dipecah tanpa merusak inti kemudian secara cepat dipindahkan dan disusun dalam lapisan yang tipis dan dibeberkan pada matahari (jika tidak segera dibeberkan maka akan ditumbuhi jamur) selanjutnya dilakukan proses pengeringan inti sampai kehilangan bobot 2,5 gram dari setiap 7 gram inti segar sehingga bobot kering menjadi kirakira 4,5 gram dan setelah kering inti menjadi kecoklatan dan kandungan minyaknya akan naik (Dweek dan Meadows 2002).
Selama pengeringan akan terjadi
kehilangan kemampuan bertunas, dan pengeringan secara sempurna dengan kondisi cuaca cukup kering inti dapat disimpan pada waktu lama (Dweek dan Meadows 2002). Menurut Heyne (1987) minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles terhadap encok dan telah dipasarkan ke Eropa dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung
di beberapa daerah digunakan untuk penerangan (Dweek dan
Meadows 2002 ; Lele 2005). Bau minyak nyamplung yang tidak sedap dapat dihilangkan dan kegunaanya dapat ditingkatkan setelah dinetralkan pada suhu 60oC dengan alkali (Heyne 1987). Tidak seperti kebanyakan minyak sayur, minyak nyamplung (tamanu oil) tidak terkandung dalam buah yang segar akan tetapi terbentuk selama proses pengeringan biji (Dweek dan Meadows 2002). Minyak
10
nyamplung (Tamanu oil) adalah minyak yang berharga dan merupakan minyak kental berwarna coklat kehijauan beraroma seperti karamel didapat dari buah yang telah matang dari pohon Callophyllum inophyllum L.
mempunyai fungsi
penyembuhan yang signifikan khususnya untuk jaringan terbakar (Kilham 2003). Minyak nyamplung mempunyai karakteristik spesifik yaitu berwarna hijau tua kental, dan mempunyai aroma yang menyengat. Karakteristik minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik fisiko-kimia minyak Calophyllum inophyllum L. Karakteristik Warna Kondisi cairan Bilangan Iod Densitas pada suhu 20 oC Indek Refrasi Bilangan Peroksida Fraksi lipid Komposisi asam lemak • Asam palmitoleat (C16:1) • Asam palmitat (C16) • Asam oleat (C 18:1) • Asam linoleat (C 18:2) • Asam stearat (C18:0) • Asam arakidat (C20) • Asam Gadoleat (C19:1) • Komponen tidak tersabunkan (unsaponifiable): Fatty alkohol, sterol, xanton, turunan koumarin, calophilic, isocalophilic, isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilic,dan penyusun triterpenoat
Komposisi Hijau kental 100-115 0,920-0,940 1,4750-1,4820 < 20,0 meq 98-99,5% 0,5-1 % 15-17 % 30-50 % 25-40 % 8-16 % 0,5-1 % 0,5-1 % 0,5-2%
Sumber : Debaut et al. 2005.
Menurut Lele (2005) biodiesel dapat dibuat dari minyak non edible yang diperoleh dari Jatropha curcas, Pangamia pinnata, Calophyllum inophyllum L. (Nagchampa), Havea brasiliensis (biji karet) dan sebagainya.
Hal itu sesuai
dengan Soerawidjaja (2001) yang menyatakan bahwa terdapat 30 jenis tanaman
11
yang memilki potensi minyak yang dapat digunakan sebagai biodiesel diantaranya adalah kelapa (Cocos nusifera), kecipir (Psophocarpus tetrag), kelor (Moringa olifera), nimba (Azadirachta indica), saga hutan (Adenathera pavonina), nyamplung
(Calophyllum inophyllum L.), dan lain-lain. Kadar minyak inti
nyamplung relatif tinggi (40-73%) dibanding dengan jarak pagar (40-60%), saga utan (14-28%), kapok (24-40%), kesumba (30-60%), kelor (30-49%), kemiri (5769%) dan daging buah kelapa sawit (45-70%).
2.2 Biodiesel 2.2.1
Biodiesel dan Manfaat Penggunaannya Biodiesel secara kimia didefinisikan sebagai metil ester atau monoalkil ester
yang diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan atau minyak goreng bekas yang dapat digunakan langsung atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples 1988 ; Darnoko et al. 2001). Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif yang terdiri dari alkil monoester asam lemak dari minyak sayur atau lemak hewan (Canakci & Van Gerpen 2003). Metil ester atau etil ester merupakan senyawa yang relatif stabil, berupa cairan pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18 oC), non korosif, titik didihnya rendah. Metil ester lebih disukai daripada etil ester untuk alasan ekonomis dan stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional (Herawan dan Sadi 1997). Penggunaan CPO sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel mempunyai keuntungan karena biodiesel yang dihasilkan mempunyai bilangan setana yang tinggi yaitu 62 lebih tinggi dari persyaratan minimal yaitu 45 (Darnoko et al. 2001). Negara-negara Eropa seperti Austria, Perancis dan Itali memproduksi metil ester dari biji bunga lobak dikenal dengan istilah RME (rapeseed oil methyl ester),
12
metil ester dari minyak kedele dikenal dengan SME (soybean oil methyl ester) dan methyl ester dari minyak sawit dikenal dengan POME (palm oil methyl ester) (Nakazono 2001). Keuntungan penggunaan biodiesel diantaranya adalah: sifat bahan bakunya dapat diperbarui (renewable), penggunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak ada modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/ pancaran gas yang menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif dan mudah digunakan (Tyson 2004). Emisi gas buang dari uji ketahanan mesin motor diesel selama 250 jam dari penggunaan B30 dibandingkan dengan solar menunjukkan bahwa kadar CO < 7,3%, CO2 < 3,7%, NOx < 3,2%, HC lebih rendah 11,4%, SO2 < 20,9% dan opasitas gas buang < 27,8% (Legowo et al. 2006). Emisi gas buang dari uji jalan dari penggunaan B30 dibandingkan dengan solar menunjukkan bahwa kadar CO < 2,06%, CO2 < 3,22%, NOx < 7,82%, HC < 4,73%, SO2 < 6,33% dan opasitas gas buang lebih rendah 23,18% (Legowo et al. 2006). Penggunaaan biodiesel akan menurunkan biaya pemeliharaan (penggantian filter oli, penggantian filter bahan bakar, penggantian filter udara) dan peningkatan kualitas udara emisi cerobong (ammonia, free chlorine, NO2 dan Hidrolic acid) (Pakpahan 2001). Perbandingan sifat biodiesel dan petrodiesel disajikan pada Tabel 3. Menurut Fajar et al. (2003) penggunaan biodiesel dengan campuran 20% PME, 30 % PME dan 40 % PME pada mesin satu silinder (engine single cylinder Hydra) di Pusat Termodinamika Motor dan Propulsi BPPT menunjukkan bahwa
13
biodiesel 30 % (30% PME) mempunyai emisi asap CO dan HC paling rendah, keperluan bahan bakar emisi NO sama dibandingkan dengan bahan bakar diesel, dengan demikian biodiesel 30 % merupakan pencampuran biodiesel yang paling optimum. Tabel 3 Perbandingan sifat biodiesel dan petrodiesel Sifat-sifat Komposisi Densitas, g/ml Viscositas, cSt Titik nyala, oC Bilangan setana Kadar air, % Produksi energi Torsi mesin Modifikasi mesin Konsumsi bahan bakar Lubrikasi Emisi Penanganan Lingkungan Ketersediaan
Biodiesel Metil ester dari asam lemak 0,8624 5,55 172 62,4 0,1 128.000 BTU Serupa Tidak perlu
Petrodiesel Hidrokarbon 0,8750 4,0 98 53 0,3 130.000 BTU Serupa
Serupa
Serupa
Tinggi Emisi CO, hidrokarbon total, SO2 dan NOx lebih kecil Tidak mudah terbakar Toksisitas rendah Terbarukan
Rendah Emisi CO, hidrokarbon total tinggi dan SO2 lebih besar Mudah terbakar Toksisitas 10 kali lebih tinggi Tidak terbarukan
Sumber : Pakpahan 2001.
Dengan menggunakan biodiesel akan meningkatkan kualitas emisi udara dilihat dari parameter hidrokarbon, gas CO, CO2, NOx, SOx (Legowo et al. 2001 dan Nakazono 2001) seperti tercantum pada Tabel 4.
2.2.2
Produksi Biodiesel Melalui Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi Proses produksi biodiesel dikembangkan oleh beberapa negara maju di
dunia, contoh industri biodiesel di beberapa negara disajikan pada Tabel 5.
14
Tabel 4 Perbedaan karakteristik emisi bahan bakar diesel dan biodiesel e-OIL Emisi CO (ppm) HC (ppm) NOx (ppm) SOx (ppm) CO2 (%) O2 (%) Asap (%) Metanal (ppm) Etanal (ppm) Acroilena (ppm) Propanal (ppm)
Biodiesel 219 39 125 <0,2 3,2 16,6 6 8,8 1,5 0,05 0,07
Diesel 466 33 135 22 3,6 16,1 18 6,9 1,2 <0,05 <0,05
Kecepatan kendaraan = 35 km/h (2500 rpm). Sumber : Nakazono 2001.
Tabel 5 Pabrik biodiesel di beberapa negara No
Perusahaan
Kota
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13
Biodiesel Industries Biodiesel Industries Biodiesel Industries Biodiesel Industries Biodiesel Industries Impersial Western Product Ag Enviromental Products West Central Soy Lurgi Life Science Fortum Argent Energy Biofuel corp
Las Vegas California Colorado New South Wales Texas Coachelia Sergeant Bluff Ralston Marf Porvoo Motherwell Tesside
USA USA USA Australia USA USA USA USA Germany Finland UK UK
Kapasitas terpasang (ton/tahun) 40.000 3.500 10.000 20.000 10.000 40.000 100.000 40.000 100.000 170.000 35.000 250.000
Menurut Lele (2005) proses produksi biodiesel dapat dilakukan dengan proses transesterifikasi secara batch pada suhu kamar, tekanan 1 atm dan katalis KOH seperti yang dilakukan di Comprimo/Vogel and Noot, Idaho University Conemann/Cold and Hann ataupun pada transesterifikasi secara kontinyu pada suhu 60-70
O
C dengan katalis NaOH seperti dilakukan oleh Lurgi dan
IFP/Sofiprotest. Di Indonesia biodiesel diproduksi di beberapa perusahaan/instansi diantaranya adalah PT Tracon Industri (500 liter/hari), PT Pindad (500 liter/hari), PT Energi Alternatif (1500 liter hari), ITB (500 liter/hari), BPPT (3.000 kg / hari),
15
PT Ganesha Energy (6.000 ton/tahun), PT Eterindo Wahanatama (100.000 ton/tahun) dan PT Sumiasih (36.000 ton/tahun). Kebanyakan biodiesel di Indonesia diproduksi dari minyak sawit dan minyak jarak pagar pada hal menurut Soerawidjaja (2001) dan Lele (2005), biodiesel dapat dibuat dari berbagai jenis minyak dan lemak lain salah satunya adalah minyak nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Dalam lemak/minyak, yang memegang peranan penting dalam menentukan kualitas biodiesel adalah komposisi asam lemaknya. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar (CPO), minyak nyamplung dan minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 6. Terdapat empat jenis asam lemak penyusun utama CPO dan minyak jarak pagar yaitu asam palmitat, asam stearat, asam oleat, dan asam linoleat yang mempunyai kemiripan dengan minyak nyamplung. Sifat-sifat fisiko kimia minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusun minyak tersebut. Sifat-sifat beberapa jenis minyak sebagai bahan baku biodiesel dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6 Komposisi asam lemak beberapa jenis sumber minyak nabati Komponen
Minyak Nyamplung (%)
a
Minyak Jarak pagarb (%)
CPOc (%)
Minyak Kanolad (%)
Minyak Jagungd (%)
Asam n-Kaprilat (C8) 0,1 Asam Kaprat (C10) 0,1 Asam Laurat (C12) 0,9 Asam Miristat C14) 1,3 0,3 Asam Palmitat (C16) 17,1 11,9 43,9 3,0 9,9 Asam stearat (C18) 9,05 5,2 4,9 1,8 2,0 Asam Oleat (C 18:1) 50,8 29,9 39,9 58,0 28,7 Asam Linoleat (C 18:2) 20 46,1 9,5 21,0 56,9 Asam Linolenat (C 18:3) 4,7 0,3 11,1 1,1 Asam Arachidat (C20) 0,7 0,5 Asam Erukat (C20:1) 3,3 1,7 0,4 a: Soerawidjaja et al. 2005, b: Haas & Mittelbach 2000, c: Allen et al. 2000, d: Hui 1996.
Minyak Kedeled (%)
0,1 10,3 3,9 22,1 54,1 8,3 0,3 0,4
Minyak Kelapad (%) 7,7 6,0 46,7 18,3 9,2 2,9 6,9 1,7 -
Teknologi proses produksi biodiesel satu tahap tidak cocok digunakan untuk memproduksi bahan yang mempunyai bilangan asam tinggi. Menurut Lele (2005)
transesterifikasi hanya bekerja secara baik terhadap minyak yang
mempunyai kualitas baik, apabila minyak
mengandung asam lemak bebas
16
melebihi 1 % maka akan membentuk formasi emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan biodiesel yang dihasilkan.
Minyak yang mengandung asam lemak
bebas lebih dari 2 % proses tidak dapat dilaksanakan (Lele 2005). Menurut Canakci dan Van Gerpen (2001) terbentuknya sabun pada proses produksi biodiesel dari minyak yang mempunyai kadar air dan kadar ALB tinggi akan menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna, alternatifnya dilakukan dengan dua tahap reaksi dengan menggunakan katalis asam dan katalis basa. Tabel 7 Sifat-sifat fisiko-kimia beberapa jenis minyak nabati yang digunakan sebagai bahan dasar biodiesel Karakteristik
Densitas pada suhu 15 OC (kg/l) Viskositas pada suhu 20 OC (cSt) Nilai panas (MJ/kg) Titik nyala (OC) Bilangan Setana Titik didih (OC) Air (%) Sulfur (%)
Minyak Minyak sawit inti (CPO) sawit (PKO) 0,920,90 0,95 88,6 66,3
Minyak Kelapa
Minyak biji kapok
Minyak jarak
Minyak mete
Bahan bakar diesel
0,920,94 51,9
0,920,93
0,962
0,920,98 150160
0,800,86 2-8
39,5
39,7
37,5
3,7
314
<260
270300
25-30 0,3-0,4
22-60 <0,25
293
45,2 >55
42 0,1
>45 17 <0,25
<0,20 <0,30
Sumber : Legowo et al. 2001.
Rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masing-masing berturut-turut 10 % menjadi 0,23 % dan 0,2 % menjadi 0,02 % (Lee et al. 2002). Menurut Tyson (2004) minyak yang mengandung asam lemak bebas 10 % akan kehilangan rendemen biodiesel sebesar 30 % apabila diproses menjadi biodiesel dengan cara transesterifikasi. Proses pembuatan biodiesel menurut Nakazono (2001) dilakukan dengan perlakukan pendahuluan untuk mengurangi kadar air dan kotoran kurang dari
17
0,05% dengan metode fisik misalnya filtrasi, pemisahan dengan spesific grafity dan evaporasi, selanjutnya dilakukan reaksi singkat (waktu < 5 menit, menggunakan penambahan NaOH atau KOH yang dilarutkan dalam metanol (MeOH), pemisahan gliserol dilakukan berdasarkan perbedaan secara spesifik grafity atau menggunakan sentrifugasi sehingga dihasilkan produk akhir biodiesel. Proses pembuatan biodiesel minyak jarak melalui proses transesterifikasi (proses satu tahap) dengan menggunakan katalis basa dihasilkan bilangan asam dan kekentalan yang tinggi, sehingga tidak sesuai dengan persyaratan ASTM yaitu sebesar 0,8 dan kekentalan 4 – 5 cSt, sedangkan dengan katalis asam, bilangan asam menjadi lebih rendah tetapi kekentalan tidak mengalami penurunan oleh karena itu dilakukan proses dua tahap dengan esterifikasi-transesterifikasi (Sudradjat et al. 2005). Esterifikasi betujuan menurunkan kandungan asam lemak bebas dan transesterifikasi bertujuan mengubah trigliserida menjadi metil ester, proses dua tahap ini menghasilkan biodiesel dengan bilangan asam dan viskositas yang memenuhi standar ASTM dan biodiesel komersial. (Sudradjat et al. 2005). Proses produksi biodiesel dari minyak jarak disajikan pada Gambar 2.
Biji jarak
Pengupasan
Pencucian
Penggilingan
Transesterifikasi • NaOH • Metanol • Suhu 60 oC
Pengepresan
Pencucian
Esterifikasi • Asam klorida • Metanol • Suhu 60 oC
Biodiesel (metil ester)
Gambar 2 Diagram alir proses produksi biodiesel (Soedradjat et al. (2005). Esterifikasi. Deasidifikasi adalah tahapan penting dalam persiapan produksi biodiesel dengan katalis basa karena asam karboksilat bebas pada proses transesterifikasi membentuk sabun dengan katalis basa sehingga menurunkan aktivitas katalitik dan menyulitkan pemisahan gliserol karena membentuk emulsi.
18
Minyak mengandung lebih dari 5 % asam lemak bebas akan terbentuk gel setelah penambahan KOH atau KOH (Canakci dan Van Gerpen 1999). Minyak yang mengandung 0,5 - 4 % akan menyebabkan kehilangan hasil transesterifikasi dan apabila minyak mengandung ALB sekitar 4% maka minyak tersebut sulit diproses menjadi biodiesel (Haas et al. 2005). Deasidifikasi dapat dilakukan dengan proses netralisasi atau dengan esterifikasi. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi antara metanol atau etanol dengan asam lemak bebas sehingga terbentuk metil ester atau etil ester dengan katalis asam dan pemberian panas. Reaksi kimia esterifikasi adalah sebagai berikut:
R1COOH Asam lemak bebas
+
CH3OH Metanol
R1COOCH3 Metil ester
+
H2O Air
Katalis asam dan suhu
Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jumlah pereaksi, (metanol dan asam lemak bebas), waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis, dan kandungan air pada minyak (Guner et al. 1995; Kirbaslar et al. (2000); Canakci dan Van Gerpen 2001; Oluwaniyi et al. 2003). Deasidifikasi adalah proses penting karena asam lemak bebas akan membentuk sabun dan dengan gliserol akan membentuk emulsi yang sukar dipisahkan pada proses transesterifikasi (Canakci dan Van Gerpen 1999). Menurut Sudradjat et al. (2005) perlakuan terbaik proses esterifikasi minyak jarak yang mengandung kadar air 1,54 %, bilangan asam 39,02 mg KOH/g minyak, bilangan penyabunan 186,08 mg KOH/g minyak dan bilangan ester teoritis sebesar 147,06 mg KOH/g minyak diperoleh pada penggunaan katalis HCl 1% (v/v), waktu reaksi 120 menit dan jumlah metanol sebanyak 10 % (v/v). Asam laurat, asam stearat, atau asam oleat secara lengkap dilakukan esterifikasi
19
dengan gliserol pada suhu 230-400 oC selama 3 jam jika menggunakan suhu 170180 oC menjadi lebih lama (Hui 1996). Menurut Haas et al. (2002) air yang dihasilkan selama proses esterifikasi menghambat reaksi esterifikasi lebih lanjut. Menurut Oluwaniyi et al. (2003) esterifikasi dengan katalis HCl dan H2SO4 mempunyai kecenderungan yang sama, akan tetapi penggunaan katalis H2SO4 dengan nisbah molar asam lemak bebas terhadap alkohol 1:1 kurang
baik
dibandingkan dengan HCl. Katalis asam selain mengesterifikasi asam lemak bebas juga mengkonversi trigliserida menjadi metil ester tetapi kecepatan lebih rendah dibandingkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis basa (Freedman et al. 1984). Menurut Van Gerpen et al. (2004) esterifikasi dengan katalis asam terhadap minyak kadar ALB tinggi dan telah dikeringkan terlebih dahulu memerlukan alkohol tinggi 20:1, suhu 60 oC,
waktu 1-2 jam.
Menurut Canakci dan Van
Gerpen (2001) esterifikasi minyak kedele yang mengandung ALB asam palmitat 20% dengan menggunakan nisbah molar metanol 9:1 dan katalis asam sulfat 5 % dan 15% menunjukkan bahwa semakin lama waktu esterifikasi sampai dengan 0,5 jam penurunan kadar ALB semakin besar, akan tetapi antara 0,5 jam dengan 1 jam tidak ada perbedaan. Ringkasan beberapa proses esterifikasi dengan katalis asam dapat dilihat pada Tabel 8. Transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi disebut juga reaksi alkoholisis atau metanolisis karena menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dengan katalis asam atau basa (Hui 1996). Katalis basa lebih banyak digunakan karena reaksinya sangat cepat, sempurna dan dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Transesterifikasi dengan katalis basa berlangsung antara metanol dan trigliserida melalui pembentukan berturut-turut
digliserida dan monogliserida
menghasilkan metil ester pada setiap tahapnya. Gambar reaksi transesterifikasi ditunjukkan pada Gambar 3.
20
Tabel 8 Ringkasan beberapa proses esterifikasi dengan katalis asam No Ringkasan proses esterifikasi 1. Nisbah molar metanol terhadap ALB 10:1, waktu 30 menit, katalis asam sulfat 15% dari berat ALB menurunkan bilangan asam 41,33 mgKOH /gram menjadi 1,37 mgKOH /gram. 2. Nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1 , waktu 1 jam, katalis asam sulfat 5% dari ALB, suhu 55-60 oC menurunkan bilangan asam yellow grease dari 18,03 mgKOH /gram menjadi 4,26 mgKOH /gram, dilanjutkan esterifikasi ke dua dengan nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, waktu, katalis, suhu yang sama dapat menurunkan bilangan asam dari 4,26 mgKOH /gram menjadi 0,85 mgKOH /gram 3. Nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1 , waktu 1 jam, katalis asam sulfat 10% dari ALB suhu 55-60 oC dapat menurunkan bilangan asam yellow grease dari 79,2 mgKOH /gram menjadi 6,96 mgKOH /gram dilanjutkan dengan esterifikasi kedua dengan nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, waktu, katalis, suhu yang sama dapat menurunkan bilangan asam dari 6,96 mgKOH /gram menjadi 1,54 mgKOH /gram 4. Nisbah molar metanol terhadap ALB 10:1, katalis HCl 0,1 mol, waktu 105 menit menghasilkan konversi 84% 5. Nisbah molar terhadap ALB 20:1, suhu 60 oC, waktu 1-2 jam .
O H2C
OC O OC
HC H2C
OC
Trigliserida
Sumber Canakci dan Van Gerpen 2001 Canakci dan Van Gerpen 2003
Canakci dan Van Gerpen 2003
Oluwaniyi et al. 2003 Van Gerpen et al. 2004
O CH3OC
R'
R'' + 3 CH3OH O
Katalis Kalor
CH3OC
O
R''
3 Metanol
+
HC
OH OH
O
CH3OC
R'''
H2C
R'
3 Metil ester
R'''
H2C
OH
Gliserol
Gambar 3 Reaksi transesterifikasi (Ma et al. 1999 ;Van Gerpen et al. 2004). Reaksi transesterifiksi dipengaruhi oleh faktor internal misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat terlarut maupun tak terlarut dan faktor internal seperti suhu, waktu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis dan jumlah nisbah molar metanol terhadap minyak (Ma dan
21
Hanna 1999; Darnoko dan Cheryan 2000; Cheng et al. 2004). Reaksi metanolisis mempunyai syarat yaitu minyak harus bersih, tanpa air dan netral, minyak yang mempunyai kandungan asam lemak bebas yang tinggi akan menghasilkan sabun yang akan mengurangi kebasaan katalis dan membentuk lapisan gel yang dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Canaki dan Van Gerpen 2001). Kandungan asam lemak bebas dan air yang masing-masing lebih dari 0,5% dan 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al. 1986). Produksi
minyak
menjadi
metilester
dilakukan
melalui
reaksi
transesterifikasi menggunakan metanol dengan katalis basa atau asam pada suhu 50-70 0C (Darnoko et al. 2001). Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung (kontinyu) pada suhu 50-70 0C (Darnoko et al. 2001). Metilasi minyak sawit mencapai kesetimbangan setelah 60 menit pada suhu reaksi 50 0C (Darnoko dan Cheryan 2000). Menurut Freedman et al. (1984), katalis NaOH yang dapat dipakai adalah 1,0% dari bobot minyak atau kurang dan nisbah molar terhadap minyak adalah 6:1, tidak ada peningkatan rendemen yang signifikan jika kedua variabel tersebut ditingkatkan dan reaksi ini menghasilkan 95% metil ester dalam waktu 1 jam pada suhu 650C. Ringkasan proses transesterifikasi dengan katalis basa dari beberapa sumber disajikan pada Tabel 9. 2.3 Kualitas biodiesel Kualitas biodiesel sebagai produk bahan bakar mesin diesel ditentukan oleh beberapa parameter penting antara lain bilangan setana, viskositas, titik nyala, titik kabut, kandungan sulfur, kandungan fosfor, air dan endapan, residu karbon, kadar gliserol bebas, bilangan asam, kadar gliserol total dan lain-lain. Standar biodiesel menurut SNI 04-7182:2006 ditampilkan pada Tabel 10, sedangkan menurut ASTM D6751 ditampilkan pada Tabel 11.
22
Tabel 9 Ringkasan beberapa proses transesterifikasi dengan katalis basa No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
9. 10. 11.
2.3.1
Ringkasan proses transesterifikasi Minyak kedele, NaOH 1%, suhu 600C, nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1 dan konversi 93-98%. Minyak kedele, suhu 65 OC, nisbah molar metanol/minyak /NaOH 6/1/0,08, waktu 35 menit dan konversi 98,10% Nisbah molar metanol 6:1 dan katalis basa NaOH 0,9% dari berat minyak kedele, suhu 50 oC dan konversi 90% Minyak kasar dari Pongamia pinata, suhu 60 oC, nisbah molar metanol terhadap minyak 10:1, waktu 60 menit dan konversi 85% Minyak sawit, katalis KOH 1%, suhu 60 0C, nisbah metanol: minyak 6:1, waktu 30 menit, reaktor batch dan konversi 90-98% Minyak nabati, KOH atau NaOH 0,5-1%, suhu 60-80 oC, tekanan 1 atmosfer, nisbah molar metanol minyak 6:1, pengaduan 5-10 menit setelah penambahan metanol dan konversi 94-98% Lemak dari restoran bebas ALB, nisbah molar metanol terhadaplemak 6:1, waktu 60 menit, katalis NaOH dan konversi 96% Minyak goreng yang mengandung ALB 5.6% dan air 0,2%, suhu 65 oC, nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, NaOH 1,5% dari berat minyak dilarutkan, waktu 1 jam dan konversi 94.1% Nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, suhu 65 oC, katalis NaOH 1,5% menghasilkan konversi 94% Minyak goreng, nisbah molar butanol terhadap minyak 6:1, suhu 72 oC, waktu 3 jam, katalis alkali 0,2% dari berat minyak dan konversi 96% Minyak kelapa sawit, nisbah molar metanol 6:1 dan katalis basa NaOH 0,125 mol /kg minyak sawit, waktu 15 menit dan konversi 99%
Sumber Freedman et al. 1984. Filippis et al. 1995. Noureddini dan Zhu 1997. Karmee dan Chandha 2005. Darnoko dan Cheryan 2000. Lele 2005.
Lee et al. 2002. Kusdiana dan Saka 2003. Van Gerpen et al. 2004 Lang et al. 2001. Cheng et al. 2004.
Titik Nyala Persyaratan titik nyala diperlukan untuk keamanan bahan bakar biodiesel
selama penyimpanan, transportasi dan penggunaan. Titik nyala adalah suhu paling rendah terbentuknya asap pada saat tes pengapian (flame test) (Kinast dan Tyson 2003). Menurut standar ASTM D975 persyaratan titik nyala B 100 adalah 150 0C lebih tinggi dari titik nyala bahan bakar diesel yaitu 70 0C. Titik nyala berkaitan dengan residu metanol yang tertinggal dalam biodiesel. Residu metanol dalam jumlah kecil mengurangi flash point ( metanol mempunyai titik nyala 11,11 oC) sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers dan dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004).
23
Tabel 10 Standar Biodiesel menurut SNI 04-7182:2006 No. 1. 2.
Satuan kg/m3 mm2/s (cSt) o C
Metode ASTM D 1298 ASTM D445
Syarat 850-890 2,3-6,0
ASTM D 613 ASTM D 93
min. 51 min. 100
o
ASTM D 2500 ASTM D 130
maks. 18 maks. no. 3
8.
Parameter Massa jenis pada 40 oC Viskositas kinematik pada 40 oC Bilangan setana Titik nyala (mangkok tertutup) Titik kabut Korosi kepingan tembaga (3 jam pada 50 oC) Residu karbon (mikro) - dalam contoh asli - dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen
9. 10.
Suhu distilasi 90% Abu tersulfatkan
o
3. 4. 5. 6. 7.
C
%massa
ASTM D 4530
% -vol
ASTM D 2709 atau ASTM 1796 ASTM D 1160 ASTM D 874
Maks 0.05 maks. 0,30 maks. 0,05 *
C maks. 360 %maks. 0,02 massa 11. Belerang ppm atau ASTM D 5453 atau maks. 100 (mg/kg) ASTM D-1296 12. Fosfor ppm atau AOCS Ca 12-55 maks. 10 (mg/kg) 13. Bilangan asam mgAOCS Cd 3d-63 Maks 0,8 KOH/g atau ASTM D 664 14. Gliserol bebas %AOCS Ca 14-56 atau maks.0,02 massa ASTM D 6584 15. Gliserol total %AOCS Ca 14-56 maks.0,24 massa ASTM D 6584 16. Kandungan ester alkil %Dihitung ** min. 96,5 massa 17. Bilangan Iodium % massa AOCS Cd 1-25 maks. 115 (g-I2 / 100 g) 18. Uji Helphen AOCS Cb 1-25 Negatif * : dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0,01%-vol 100(As-Aa-4,57Gt ) ** : Kadar ester (%-massa) = --------------------------As As adalah bilangan penyabunan yang ditentukan dengan metode AOCS Cd 3-25 (mg KOH/g biodiesel) A a adalah bilangan asam yang ditentukan dengan metode AOCS Cd 3-63 atau ASTM D-664 (mg KOH/g biodiesel) Gt adalah kadar gliserol total dalam biodiesel yang ditentukan dengan metode AOCS Ca 14-56 (% massa) Sumber : BSN 2006.
24
2.3.2
Air dan Sedimen Air dan sedimen harus sekecil mungkin (standar ASTM D6751 max 0,05%
vol). Air dalam biodiesel akan menyebabkan kekeruhan yang mengindikasikan adanya kontaminan seperti surfaktan (Kinast dan Tyson 2003). Pengukuran air dan sedimen dilakukan dengan sentrifugasi. Menurut Tyson (2004) teknik pengeringan yang kurang baik selama proses atau adanya kontak bahan bakar dengan air selama transportasi dan penyimpanan dapat menyebabkan Biodiesel 100% (B 100) tidak memenuhi persyaratan dilihat dari kandungan air dan sedimen.
Air akan
mengkibatkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme. Tabel 11 Standar biodiesel menurut ASTM D6751-3 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kreteria mutu bahan bakar biodiesel Titik nyala (oC) Air dan sedimen (% vol) Viskositas kinematik 40oC (mm2/s) Abu sulfat (% massa) Sulfur (% massa) Korosi kepingan tembaga Bilangan setana Titik kabut (oC) Residu karbon * (% massa) Bilangan asam (mg KOH/gram) Gliserol bebas (% massa) Gliserol total (% massa) Kandungan fosfor (% massa) Suhu distilasi memperoleh kembali 90 % (T 90) ** (oC)
Cara Uji D93 D2709 D445 D874 D5453 D130 D 613 D2500 D 4530 D664 D6584 D6584 D4951 D1160
Standar min 130 maks 0,050 1,9-6,0 maks 0,02 maks 0,05 maks No. 3 min 47 Laporan konsumen
maks 0,05 maks 0,80 maks 0,020 maks 0,240 maks 0,001 maks 360
* Residu karbon saat kendaraan berjalan pada 100% sampel ** Ekivalen dengan suhu atmosfer
2.3.3
Viskositas. Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam
mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari mulut pipa semprot (nozzle) menuju ruang bakar (Soerawidjaja et al.
2005).
Minimum viskositas diperlukan untuk beberapa mesin, karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Persyaratan
25
viskositas biodiesel dibuat sama dengan persyaratan viskositas petroleum diesel. Viskositas yang tidak terlalu kecil akan menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel walaupun bilangan yang tinggi (di atas 5,5 cSt) tidak diharapkan karena akan menghambat jalannya mesin karena terlalu kental. Bahan bakar yang mempunyai viskositas yang lebih besar menyebabkan pembakaran bahan bakar rendah oleh karena itu perlu pengenceran (Tyson viskositas pada suhu 40 0C
2004). Berdasarkan standar ASTM 975
maksimum 4,1 mm/s dan minimum 1,3 mm/s.
Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Pada umumnya, kontaminan bahan bakar dari proses pengolahan seperti residu gliserida akan berpengaruh terhadap visositas (Allen dan Watts 2000). 2.3.4
Abu Sulfat Abu tersulfatkan menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti
NaOH. Dengan demikian abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan pencucian biodiesel kurang sempurna. Abu sulfat mempunyai kontribusi dalam injector atau terjadinya penyumbatan (fouling) pada sistem bahan bakar (Tyson 2004). 2.3.5
Sulfur. Sulfur dibatasi untuk mengurangi emisi polutan asam sulfat dan SO2 serta
untuk melindungi pengeluaran sistem katalis ketika bahan bakar disebarkan dalam sistem engine (Tyson
2004). Korosi yang disebabkan oksida belerang dapat
menyebabkan keausan mesin karena setelah mesin berhenti terjadi kondensasi oksida dan dengan adanya air akan terbentuk asam sulfat yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang kendaraan bermotor (Surono dan Batti. 1980). Biodiesel pada umumnya mengandung kurang dari 15 ppm sulfur
26
(Tyson 2004) sehingga memenuhi standar ASTM D 6751 yaitu maksimum 0,05% atau 500 ppm. 2.3.6
Pengujian Korosi Kepingan Tembaga Uji ini dilakukan untuk mengukur tingkat korosi tembaga oleh biodiesel
yang berkaitan dengan kadar asam lemak bebas biodiesel tersebut (Kinast dan Tyson 2003). Korosi kepingan tembaga mengindikasikan kesulitan potensial Cu dan Br oleh pengaruh komponen biodiesel, dengan demikian diharapkan biodiesel tidak menyebabkan rusaknya Cu dan Br pada saat kontak dalam waktu yang lama (Tyson 2004). Penggunaan bahan bakar biodiesel B 100 sesuai standar D6751 selalu lolos dalam uji ini (Tyson 2004). 2.3.7
Bilangan Setana
Bilangan setana diperlukan untuk keperluan engine yang baik. Bahan bakar diesel konvensional harus mempunyai bilangan setana paling kecil 40 di Amerika Serikat. Bilangan setana yang lebih tinggi akan menolong memastikan start yang baik dan meminimumkan pembentukan asap putih (Tyson 2004). Batas bilangan setana untuk B 100 adalah 47 yang disebut dengan bahan bakar diesel premium. Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat, miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi mempunyai bilangan setana sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi
mempunyai bilangan setana yang rendah (Tyson
2004). Komposisi asam lemak dalam biodiesel mempengaruhi sifat-sifat bilangan setana, titik awan, stabilitas dan emisi NOx seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.
27
Tabel 12 Sifat bahan bakar dilihat dari komposisi asam lemak Jenuh Asam lemak Bilangan setana Titik kabut Stabilitas Emisi NOx
12:0,14:0, 16:0, 18:0, 20:0 dan 22:0 Tinggi Tinggi Tinggi Reduksi
Satu ikatan rangkap 16:1, 18:1, 20:1, 22:1
Dua atau lebih ikatan rangkap 18:2, 18:3
Sedang Sedang Sedang Kenaikan tipis
Rendah Rendah Rendah Kenaikan besar
Sumber : Tyson 2004.
Menurut Soerawidjaja et. al. (2005) bilangan setana dari biodiesel dapat diprediksi dengan menentukan sifat fisik biodiesel seperti titik didih, viskositas, titik leleh, panas penguapan, dan densitas. Beberapa persamaan untuk menentukan bilangan setana disajikan pada Tabel 13 dan sifat-sifat fisik beberapa metil ester yang digunakan sebagai dasar penentuan bilangan setana dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 13 Sifat-sifat fisik biodiesel yang dapat digunakan untuk memprediksi bilangan setana Sifat fisik
Persamaan
R2
Titik didih (oC) Viskositas (cSt)
Y= (41,3) +0,2785X + 0,001209X 2 + 3E-06X3 Y = (-23,48) + 61,6828X + (-12,7738X2) + 0,8769 X3 Y = (-1054,9) + 32,324X + (-0,23097X2)
0,9999 0,9985
Standar kesalahan 0,1 1,4
0,9930
1,4
Y=(-62,96)+0,097X-1,69E-0,5X2
0,9921
2,6
Y = (-57,26) +14,892X-0,4149X2
0,9919
2,6
Y = 58,22 + 0,556X Y (-2107,38) + 1522,21X Y= 7216,14 + (-8848,96X)
0,9822 0,9805 0,9799
3,4 3,5 3,6
Panas penguapan (Cal/gr) Nilai kalor netto (kCal/mol) Banyak atom C asam Titik leleh (oC) Indeks bias Densitas (g/cm3)
Sumber : Soerawidjaja et al. 2005.
2.3.8
Titik Kabut Titik kabut penting untuk memastikan kinerja pada suhu yang dingin. Titik
kabut B 100 lebih tinggi daripada titik kabut diesel konvensional (Tyson 2004). Titik kabut berhubungan dengan komposisi asam lemak yang ada dalam biodiesel.
28
Tabel 14 Sifat fisik beberapa metil ester Metil ester
Metil laurat Metil miristat Metil palmitat Metil stearat Metil oleat Metil linoleat Metil linolenat
Bilangan Titik Viskositas Bobot Titik leleh o setana didih pada 40 C molekul (OC) O ( C) (cSt) 60,8 224 1,69 214,35 5 73,5 262 2,28 242,41 18,4 74,3 323 3,23 270,46 28 75,6 330 4,32 298,51 39 55 356 5,79 296,49 -20 33 218,5 4,47 294,48 -35 13 215 3,68 292,46 -57
Sumber : Soerawidjaja et al. 2005.
Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat, miristat, palmitat, stearat, arakhidat) yang tinggi mempunyai titik kabut yang tinggi, yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap satu
(palmitoleat, oleat dan
erukat) yang tinggi mempunyai titik kabut sedang, serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap dua atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi mempunyai titik kabut yang rendah (Tyson 2004). 2.3.9
Residu Karbon Karbon residu mempunyai tendensi untuk terbentuknya deposit karbon
dalam engine, untuk bahan bakar diesel konvensional residu karbon diukur pada residu destilasi 10 % (Tyson 2004). Pengotoran ruang bakar dan mesin diesel disebabkan oleh deposit karbon yang dapat terjadi dengan cepat jika kadar fraksifraksi yang memiliki titik didih tinggi dalam bahan bakar cukup besar atau jika bahan bakar mengandung komponen yang tidak dapat terbakar sempurna pada kondisi mesin berjalan normal (Surono dan Batti 1980). Sisa katalis mempunyai pengaruh terhadap nilai residu karbon yang lebih besar dibandingkan dengan asam lemak bebas dan gliserida (Schindlbauer 1998).
29
2.3.10 Bilangan Asam Bilangan asam disebut juga bilangan netralisasi karena ukuran yang dipakai adalah jumlah basa (KOH) yang diperlukan untuk menetralisasi kandungan asam. Bilangan asam
biodiesel menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari
degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi lebih dari 0,8 diasosiasikan terjadi deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson 2004). 2.3.11 Bilangan Gliserin Total dan Bebas Bilangan gliserin total diukur dari jumlah seluruh gliserin yang ada dalam bahan bakar baik dalam bentuk terikat maupun bebas. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi disinyalir membahayakan mesin terutama karena adanya gugus OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom selain itu juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al. 2005). Konversi yang tidak sempurna dari minyak atau lemak menjadi biodiesel dan pencucian terhadap crude biodiesel yang tidak sempurna dapat membuat gliserin total yang tinggi. Gliserin total yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tanki penyimpanan sistem bahan bakar dan engine. Kadar gliserol bahan bakar yang melebihi batas minimum menyebabkan terjadinya plug pada filter dan masalah lainya (Tyson 2004). Menurut ASTM, jumlah senyawa gliserol total harus kurang dari 0,24% b/b. 2.3.12 Kandungan Fosfor Kandungan fosfor dibatasi maksimum 10 ppm dalam biodiesel sebab fosfor dapat merusak catalytic converters dan fosfor diatas 10 ppm dapat dihasilkan dari beberapa minyak sayur (Tyson 2004). Kandungan fosfor biasanya muncul dalam bentuk zat yang bersifat seperti perekat yang dapat merusak katalis yang terdapat
30
pada mesin diesel sehingga dapat meningkatkan jumlah emisi partikulat ke udara (Soerowidjaja et al. 2003). Kandungan fosfor selain dipengaruhi oleh fosfor dari bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila kedua proses tersebut menggunakan katalis asam fosfat. 2.4 Pengujian Karakteristik Biodiesel Biodiesel minyak sawit B30 memenuhi peryaratan spesifikasi solar meliputi: spesific grafity, viskositas kinematik, index setana, kandungan sulfur, korosi keping tembaga, kandungan air, kandungan abu, titik nyala dan suhu distilasi 300 oC (Legowo et al. 2006). Parameter lain tidak memenuhi persyaratan yaitu conradson carbon residue dan bilangan asam total. Menurut Sudradjat et al. (2005)
parameter kualitas yang penting dari biodiesel jarak pagar memenuhi
ASTM PS-121 meliputi indek setana, viskositas kinematik, densitas, bilangan asam, abu tersulfatkan, air dan sedimen, residu karbon, kandungan sulfur dan titik nyala. Legowo et al. (2001) menyatakan bahwa beberapa parameter kualitas biodiesel sawit
yang penting seperti titik nyala, air & sedimen, viskositas
kinematik 40 oC, abu tersulfatkan, kandungan sulfur, korosi keping tembaga dan bilangan setana, memenuhi standar biodiesel ASTM D6751-3 (lihat Tabel 15).
2.5 Pengujian Kinerja Biodiesel Biodiesel digunakan sebagai bahan bakar motor diesel secara langsung tanpa
pencampuran
ataupun
dengan
perbandingan. Menurut Legowo et al.
pencampuran
solar
pada
berbagai
(2006) motor diesel diklasifikasikan
menjadi tiga jenis yaitu motor diesel putaran tinggi (≥ 1000 rpm) dengan bahan bakar minyak solar, putaran sedang (400 sampai < 1000 rpm) dengan bahan bakar minyak diesel dan putaran rendah (<400 rpm) dengan bahan bakar minyak bakar.
31
Tabel 15 Karakteristik metil ester minyak sawit dan campurannya No. Karakteristik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11
Spec. Gravity 60/60 oF (g/ml) Bilangan setana Viskositas kinematik 40 o C (CSt) Pour Point (oC) Residu konsentrasi karbon (%-wt) Kandungan sulfur (%-wt) Copper Strip Corr. 100 oC 2 hrs Warna ASTM Bilangan netralisasi • SAN (mg KOH/g) • TAN (mgKOH/g) • TBN( mg KOH/g) Titik nyala COC ( oC) • Distilation ( oC) • IBP ( oC) • Rec. 5% Vol ( oC) • Rec. 10% Vol ( oC) • Rec. 60% Vol ( oC)
• Rec. 70% Vol ( oC) • Rec. 80% Vol ( oC) 12 Kandungan abu (%-wt) 13 Kandungan air (%-vol) 14 Nilai kalori (Btu/lb) 15 Ekstrak sedimen (%-wt) 16 BS&W (%-vol) Sumber : Legowo et al. 2001.
Metil Ester 0,88
Produk Diesel : Metil Ester 70:30 0,85
Spesifikasi Diesel Indonesia Diesel Min Max Methode ASTM 0,83 0,82 0,87 D1298
53,5 4,97
60,2 4,07
63 3,78
48 1,6
5,8
D976 D445
12 0,03
6 0,02
3 0
-
18 0,1
D97 D189
0,03 IA
0,1 IA
0,14 IA
-
0,5 No.1
D1551 D130
5
4
3,5
-
3
D 1500 D664
nil 10,6 nil 186 305 319 320 321 340
nil 2,98 nil 192 225 243 272 328,5
nil 0,15 0,27
nil 2,42 -
nil -
346 0,01 Trace 16,83 0,01 Trace
338,5 356 0 Trace 20,764 nil Trace
342 368 nil Trace 22,45 nil nil
D92 D 86
187 201 227 250 324
nil -
0,01 nil -
D482 D95 D240 D473 D1796
Spesifikasi mutu minyak bakar lebih rendah daripada minyak diesel dan minyak diesel lebih rendah daripada solar (Legowo et al. 2006). Motor diesel putaran tinggi digunakan untuk otomotif, traktor dan mesin gergaji, motor diesel putaran sedang digunakan pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan kapal laut sedangkan motor diesel putaran rendah digunakan untuk PLTD dan kapal laut berukuran besar (Legowo et al. 2006). Uji coba penggunaan campuran biodiesel Methyl Ester Rapeseed Oil (RME) 27,9% dengan 2-D diesel (2D) 82,1% pada kendaraan truk terbuka (pickup truck)
32
dengan mesin diesel 5,9 L pada jarak 161000 km (100000) mil menunjukkan bahwa
pemakian RME menghasilkan penurunan tenaga 5% dan penurunan
densitas asap 32% sedangkan untuk pemakaian 20RME menghasilkan penurunan tenaga
1,5% dan penurunan densitas asap 6,6% dari 2-D serta tidak terjadi
kerusakan mesin (Peterson et al. 1999). Uji kinerja mesin stasioner type 4-stroke diesel engine, No. Cylender 4, displacement 2,238 cm3, ratio kompresi 21:1, bore stroke 88 x 92 mm menunjukkan bahwa torsi mesin menurun ketika kandungan ester dinaikkan, dan torsi mesin maksimum untuk minyak diesel diperoleh pada kecepatan 2500 rpm yaitu 117nM lebih tinggi pada penggunaan campuran minyak diesel dan metil ester 70/30 yaitu 114nM (Legowo el al. 2001). Uji ketahanan mesin selama 250 jam terhadap biodiesel sawit B30 dibandingkan dengan bahan bakar solar (B00) adalah torsi motor lebih rendah 2,77%, daya lebih rendah 2,77%, konsumsi bahan bakar lebih tinggi 5,94% deposit nosel injektor lebih tinggi 3,2%, deposit piston lebih tinggi 4,20%, deposit klep lebih tinggi 0,85%, deposit kepala silinder lebih tinggi 30,84% dan deposit pada saringan bahan bakar lebih tinggi 57,3% (Legowo et al. 2006). Menurut Reksowardojo (2006) pada umumnya hasil pengujian bed test dan road test menunjukkan bahwa bahan bakar biodiesel yang diproduksi memenuhi standar FBI-S01-03 (SNI 04-7182-2006) tidak signifikan merubah kinerja mesin, gas emisi, dari mesin baik kondisi mesin diesel stasioner maupun mesin diesel kendaraan bermotor. 2.6 Perancangan Proses Produksi Biodiesel
2.6.1 Perancangan Proses Perancangan merupakan proses kreatif dan berdisiplin untuk memecahkan masalah mencakup pendefinisian dan penyelesaian masalah dengan menggunakan
33
prinsip metode ilmiah dan seni, informasi teknis, dan imajinasi menentukan struktur, mesin, proses atau sistem baru yang memenuhi fungsi yang diinginkan dengan nilai ekonomis dan efisiensi tinggi (Johnston et al. 2000). Proses perancangan pada intinya merupakan kegiatan berurutan secara sistematis dan terpadu dalam bentuk sintesis yaitu bagaimana suatu masalah yang sulit dan kompleks diurai menjadi beberapa masalah yang lebih mudah kemudian dilanjutkan dengan menggabungkan masing-masing pemecahan masalah menjadi pemecahan masalah aslinya (Johnston et al. 2000). Skema proses perancangan menurut Roy dan Cross dalam Johnston et al. (2000) dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber ide: • Kreativitas individu/tim • Penelitian pasar • Masukan konsumen • Produk pesaing • Komponen/material baru • Penelitian dasar • Masalah yang harus diselesaikan • Tantangan • Kemampuan teknologi, pengetahuan, material termasuk keterampilan Engineering science
invensi
Sketsa model / pola Pengembangan percobaan Spesifikasi dan disain prototipe Pengembangan manufacturing Rancangan produk dan peralatan
Pengembangan bertahap
Inovasi tambahan dan pengembangan rancangan
Produksi Pemasaran
Science
Engineering design
Inovasi
Maturity
Penurunan / penggantian
Gambar 4 Model proses perancangan (Roy dan Cross 1983 diacu dalam Johnston et al. 2000).
34
Dua teknik dasar dalam sintesis proses adalah teknik heuristik dan algoritma. Teknik algoritma adalah analisis sederhana untuk menganalisis masalah komplek
dengan cara pengamatan susunan terstruktur (structural array)
(sedangkan teknik heuristik adalah teknik pemilihan proses berdasarkan logika dan informasi dasar (Ruud dan Watson 1973). Sintesis proses
secara heuristik
merupakan pengambilan keputusan berdasarkan teori dan penyelesaian yang dapat dipercaya: rule of thumb, spekulasi, dan subyektif ( Seider et al. 1999). Teknik heuristik dalam sintesis proses adalah proses penjabaran sejumlah langkah praktis untuk mencapai tujuan kegiatan. Beberapa teknik heuristik dalam sintesis proses dikembangkan oleh Rudd dan Watson (1973), Douglas (1988) dan Seider et al. (1999). Sintesis proses menurut Ruud dan Watson (1973) meliputi: (1) pemilihan jalur reaksi proses, (2) alokasi bahan atau pereaksi, (3) pertimbangan teknik pemisahan atau proses hilir (4) pemilihan operasi pemisahan dan (5) pemaduan atau integrasi rancangan satu sampai empat. Sedangkan menurut Douglas (1988) sintesis proses meliputi: (1) teknis reaksi/proses (2) analisis input-output (3) pengalokasian output dan (4) operasi pemisahan dan jaringan penukar panas. Sintesis proses menurut Seider et al. (1999) meliputi: penghilangan / memperkecil perbedaan (2) distribusi bahan (3) teknik pemisahan (4) eliminasi dan (5) integrasi. Perancangan proses yang bersifat interaktif juga dikembangkan oleh Sinnot (1999) seperti disajikan pada Gambar 5. Tahapan penting dalam perancangan tersebut adalah pengumpulan data, sifat fisika, dan metoda dan pemilihan dan evolusi proses (optimasi) seperti data kinetika reaksi. Perancangan proses melalui analisis sistem proses disampaikan oleh Hartmann dan Kaplick (1990) seperti disajikan pada Gambar 6.
35
Tujuan (Spesifikasi rancangan) Pengumpulan data,rancangan) sifat fisika, Tujuan (spesifikasi (metoda perancangan sifat fisik) Generalisasi dari perekaan rancangan yang mungkin Seleksi dan evaluasi (optimisasi) Rancangan akhir Gambar 5 Model proses perancangan interaktif (Sinnot 1999).
Sintesis (perancangan sistem) Analisis / Modeling dan Simulasi
Tujuan, spesifikasi kebutuhan
Sistem yang ada
Optimasi dan Evaluasi (Multiobjective)
tidak
Apakah properties sistem tercapai
ya Rancangan proses akhir Gambar 6 Perancangan proses melalui tahapan analisis sistem proses (Hartmann dan Kaplick 1990). Tahapan perancangan proses kimia untuk menghasilkan rancangan rinci (detailed design) dikembangkan oleh Seider et al. (1999) pada dasarnya terdiri atas peluang dan permasalahan, kreasi proses dan pengembangan proses seperti disajikan pada Gambar 7.
36 Peluang (Opportunity) Menganalisis permasalahan
Survei literatur Kreasi database awal (Preliminary Databse Creation)
Kreasi proses (Process creation)
Percobaan
Sintesis proses awal: reaksi, separasi, perubahan operasi, integrasi tugas, seleksi peralatan Apakah ada keuntungan kasar?
tdk
ya Pengembangan proses berdasarkan kasus Menciptakan flowsheet proses
tolak
Proses rinci Sintesis – Metode Algoritma Sintesis separasi
Integrasi proses Analisis hukum / aturan
` a detailed Create database
Simulasi model
Pengetesan Pilot-Plant Modifikasi flowsheet
Integrasi panas dan daya
Penilaian pengendalian : Sintesis struktrur pengendalian, Analisis pengendalian, Simulasi dinamik
Apakah proses menjanjikan ?
tdk
ya
Rancangan rinci (Detailed Design): kondisi optimum proses, ukuran alat & estimasi biaya modal
tdk tolak
Apakah proses feaseble? ya
Laporan perancangan proses Rancangan akhir: gambar peralatan, diagram perpipan, diagram instrumentasi, lay out peralatan, skala model konstruksi,
Penilaian start up Peralatan tambahan Simulasi dinamik • Analisis keamanan dan uji ketahanan • Pengetesan pilot plant
Konstruksi Startup Operasi
Gambar 7 Tahap perancangan proses kimia (Seider et al. 1999).
37
Perancangan proses dilakukan karena adanya peluang Opportunity) untuk menghasilkan produk yang menguntungkan dan
memuaskan serta adanya
permasalahan langsung dari masyarakat (Seider et al. 1999). Permasalahan dirumuskan secara spesifik berdasarkan informasi dari survei literatur. Informasi yang dimaksud berkaitan dengan bahan baku, skala proses, permintaan pasar, harga jual produk dan lain-lain. Invensi dalam perancangan proses dimulai dengan membuat pernyataan masalah sederhana (statemen problem primitif), kemudian dilanjutkan pembentukan tim perancang, pengumpulan informasi, kreasi proses untuk menyelesaikan masalah spesifik. Kreasi proses dilakukan setelah permasalahan dirumuskan dan survei literatur dilaksanakan. Kreasi proses dilakukan melalui pengumpulan data sifatsifat termofisika bahan kimia dan percobaan laboratorium. Kegiatan terpenting dari kreasi proses adalah sintesis yang terdiri atas eliminasi perbedaan tipe molekul, pencampuran, pemisahan, eliminasi perbedaan suhu, tekanan dan fase dan integrasi proses (Seider et al. (1999). Kreasi proses diakhiri dengan analisis keuntungan kasar. Proses dihentikan ketika harga produk melebihi harga bahan baku. Pengembangan proses hanya dilakukan terhadap proses yang memberikan keuntungan. Tim perancang membuat diagram alir (flowsheet) proses yang detail disertai dengan neraca masa, neraca energi dan daftar peralatan. Beberapa kasus dapat diselesaikan dengan kumputer program HYSYS. Tiga alternatif kegiatan ditambahkan meliputi kreasi data rinci (Create a detailed database), pengetesan Pilot-Plant dan simulasi model. Kreasi data rinci dilakukan untuk medetailkan rancangan, seperti reaksi kinetik, fisibilitas pemisahan, ukuran peralatan dan lainlain. Pengetesan pilot plant dilakukan untuk mengkonfirmasi variasi peralatan yang akan dioperasikan dan untuk menghaluskan data. Simulasi model proses dilakukan untuk generalisasi data berkaitan dengan komposisi dan sifat fisik bahan kimia, tahapan proses, kondisi operasi dan lain-lain. Simulasi dapat menggunakan data hasil regresi dari percobaan di laboratorium. Akhir kegiatan pengembangan adalah
38
analisis fisibilitas, jika diketemukan tidak fisibel maka kembali pada tahapan kreasi proses atau integrasi proses. Inti dari perancangan proses adalah menemukan pilihan-pilihan proses yang layak untuk dikembangkan sehingga pemilihan proses merupakan titik awal yang cukup menentukan (Suryani dan Mangunwidjaja 2002). Perancangan proses berhubungan erat dengan kegiatan sintesis yang merupakan kegiatan yang berurutan dan terpadu. Dalam sintesis dilakukan pemilihan proses
dengan
mengikuti kaidah umum (heuristik) seperti mempertimbangkan biaya rendah, aman, memenuhi persyaratan lingkungan dan mudah mengoperasikannya. Proses perancangan dan penilaian teknologi produksi biodiesel dilakukan oleh Zhang et al. (2003) dengan menggunakan empat alternatif yaitu (1) bahan baku minyak sayur asli dengan katalis basa; (2) bahan baku minyak goreng bekas dengan katalis basa ; (3) bahan baku minyak goreng bekas dengan katalis asam; dan (4) bahan baku ekstraksi heksan dengan katalis asam dengan. 2.6.2 Kinetika Reaksi pada Proses Pembuatan Biodiesel Kinetika reaksi kimia adalah ilmu yang mempelajari laju reaksi kimia secara kuantitatif serta faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi kimia tersebut. Kinetika reaksi dalam reaksi kimia adalah laju perubahan konsentrasi pereaksi atau hasil reaksi pada suatu periode waktu tertentu (Petrucci 1992). Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi dari suatu proses kimia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang reaktor yang sesuai (Petrucci 1992). Menurut Wallas
(1981) kinetika reaksi mempunyai beberapa fungsi utama yaitu: (1)
menentukan mekanisme reaksi kimia; (2) mengumpulkan data percobaan secara matematis atau membuat persamaan matematik untuk mewakili data percobaan; (3) merancang reaktor yang sesuai
dan (4) menetapkan kondisi operasi, cara
pengontrolan dan alat-alat bantunya. Laju reaksi kimia dinyatakan dengan satuan mol /liter-detik adalah jumlah mol reaktan per satuan volume yang bereaksi dalam
39
waktu tertentu. Syarat terjadinya reaksi kimia adalah energi kinetik molekul harus melebihi energi aktivasi. Energi kinetik ditingkatkan dengan meningkatkan suhu reaksi dan pengadukan, sedangkan katalis berperan untuk mendapatkan jalan reaksi alternatif yang mengarahkan pada reaksi dengan energi aktivasi lebih rendah (Petrucci 1992). 2.6.2.1 Kinetika Reaksi Esterifikasi. Reaksi esterifikasi antara metanol dengan asam lemak bebas secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: R1COOH + R2OH
k1
d[ALB] / dt
R1COO –R2 + H2O k2 = - k 1[ALB][A] + k 2 [H2O] [E]
d[E]/dt
= - k 1[ALB][A] + k 2[H2O] [E]
d[ALB] / dt
= d[E]/dt
Menurut Hangx et al. (2001) kinetika reaksi esterifikasi antara etanol dengan asam asetat dengan katalis asam membentuk etil asetat menunjukkan bahwa tetapan laju reaksi pembentukan etil asetat (k1) jauh lebih besar daripada tetapan laju reaksi penguraian (k2), nilai k1 65 oC adalah 0,147 mol/kg-s sedangkan k2 65 oC adalah 0,0268 mol/kg-s. Kondisi tersebut juga ditemukan oleh Nijhuis et al. (2001) yang menyatakan bahwa tetapan laju reaksi pembentukan ester dari asam heksanoat dengan etanol (k1) jauh lebih besar daripada tetapan laju reaksi penguraian ( k2), nilai k1 = 0,46 l/g katalis- menit sedangkan k2 adalah 0,l/g katalismenit. Pola grafik konsentrasi asam dengan waktu selama proses esterifikasi berdasarkan penelitian Kirbaslar et al. (2000); Guner et al. (1996); Oluwaniyi et al. (2003) adalah turun sebanding dengan peningkatan konsentrasi alkil ester sampai dengan waktu tertentu kemudian konstan. Berdasarkan pola hubungan konsentrasi asam asetat dan waktu, dengan menggunakan metode integrasi dengan asumsi reaksi berjalan secara irreversibel menunjukkan bahwa laju reaksi orde dua
40
merupakan plot yang paling baik dari seluruh percobaan (Guner et al. 1996) seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Grezik et al. (2003) yang menyatakan bahwa reaksi esterifikasi antara alkohol berupa n-heksanol dengan asam malat anhidrid dengan katalis tetrabutil titanat mempunyai orde reaksi dua. 1/C
0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
25
50
75
100
125
150
175
Waktu (Menit)
Gambar 8 Plot hubungan seperkonsentrasi asam (1/C) dengan waktu reaksi selama proses esterifikasi (Guner et al. 1996). Penetapan kinetika reaksi esterifikasi asam malat anhidrat dengan nheksanol menggunakan katalis asam sulfat anhidrat 0,05%-0,2% dan tetrabutil titanat anhidrat pada suhu 383-433 K dengan perbandingan alkohol dan asam malat anhidrat 3:1, 5:1, dan 10:1 melalui reaksi dua tahap yaitu pembentukan monoester dan diester dilakukan oleh Gresik et al. (2003) sebagai berikut: •
Katalis asam sulfat r = k CCat Cm
k = 4,63 10 5 exp(-14400±200/RT) [m3/(mol/min)]
•
Katalis tributil titanat r = k CACm
k = 1,86 10 3exp(-17200±400/RT) [m3/(mol/min)]
•
Tidak menggunakan katalis k = 1,20 10 4exp(-18000±400/RT) [m3/(mol/min)] r = k Cm 2 Kinetika reaksi esteririfikasi asam lemak bebas dari minyak biji Thevetia
Peruviana dengan metanol pada orde satu menunjukkan bahwa nilai tetapan laju reaksi dipengaruhi oleh nisbah molar asam lemak bebas dengan metanol, tetapan
41
laju reaksi nisbah molar metanol 1:1 adalah 0,0017/menit dan nisbah molar metanol 1:3 adalah 0,0076 /menit (Oluwaniyi dan Ibiyemi 2003). Menurut Guner et al. (1996) tetapan laju esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol dengan katalis asam sulfat tidak ada perbedaan yang nyata terhadap pengaruh konsentrasi katalis, namun ada perbedaan yang nyata terhadap pengaruh suhu, nilai k pada suhu 180 oC adalah 1,6334 x10-4 % /menit, pada suhu 200 oC adalah 2,7556 x 10-4 % /menit, suhu 220 oC adalah 6,9700 x 10-4% /menit dan pada suhu 240 oC adalah 2,1292 X 10-3% /menit. 2.6.2.2 Kinetika Reaksi Transesterifikasi. Menurut Freedman et al. (1986); Noureddini dan Zhu (1997) ; Darnoko dan Cheryan (2000), reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut: Reaksi keseluruhan: TG + 3 ROH
3RCO2 –R + GL
(1)
DG + 3RCO2 –R
(2)
MG + 3RCO2 –R
(3)
GL + 3RCO2 –R
(4)
Reaksi secara bertahap adalah : TG + 3 ROH
TG-DG (k1) DG-TG (k2)
DG + 3 ROH
DG-MG (k3)
(k4) (k5)
MG-DG MG-Gl
MG + 3 ROH
Gl-MG ( k6)
d[TG] / dt = - k1[TG][A] +k 2[DG] [E] d[DG] / dt = k1[TG] [A] - k 2[DG] [E] - k 3[DG][A] + k 4[MG] [E] d[MG] / dt = k3[DG] [A] - k 4[MG] [E] - k 5[MG][A] + k 6[GL] [E] d[GL] / dt = k5[MG][A] - k 6[GL] [E] d[E] / dt = k1[TG][A]-k2[DG] [E] + k3[DG][A]-k 4[MG] [E]+k5[MG][A]-k 6[GL] [E] d[A] / dt = - d[E] / dt
[TG] [DG] [GL]
: konsentrasi molar triglirida : konsentrasi digliserida : konsentrasi gliserol
[MG] [A] [E]
: : :
konsentrasi monogliserida konsentrasi metanol konsentrasi ester
Menurut Darnoko dan Cheryan (2000) reaksi hidrolisis pada orde dua adalah : d[TG] / dt = k [TG] 2
(5)
42
Integrasi dari persamaan 5 menghasilkan: kTG t = 1/[TG] – 1/ [TG0]
(6)
diaplikasikan pada persamaan 3 dan 4 menjadi kDG t = 1/[DG] – 1/ [DG0]
(7)
kMG t = 1/[MG] – 1/ [MG0]
(8)
Notasi k merupakan
tetapan
laju reaksi keseluruhan (overall pseudo rate
constant), t adalah waktu reaksi, TG0 konsentrasi trigliserida awal paling tinggi, DG0 konsentrasi digliserida awal paling tinggi dan MG0 konsentrasi monogliserida awal paling tinggi. Pola
grafik
hubungan
antara
konsentrasi
trigliserida,
digliserida,
monogliserida dan metil ester dengan waktu selama proses transesterifikasi berdasarkan penelitian Freedman et al. (1986); Noureddini dan Zhu (1997); Darnoko dan Cheryan (2000); dan Cheng (2003) adalah serupa yaitu selama proses transesterifikasi konsentrasi trigliserida
turun sampai mencapai level konstan,
konsentrasi monogliserida dan digliserida naik kemudian turun sampai mencapai level konstan sedangkan konsentrasi metil ester naik sampai mencapai level konstan. Berdasarkan
pola
hubungan
konsentrasi
trigliserida,
digliserida,
monogliserida dan metil ester dengan waktu, Freedman (1986); Darnoko dan Cheryan (2000) menghitung tetapan laju reaksi transesterifikasi secara bertahap berdasarkan perubahan konsentrasi reaktan yaitu perubahan trigliserida menjadi digliserida,
perubahan
digliserida
menjadi
monogliserida
monogliserida menjadi gliserol, sedangkan Nourdinni dan Zhu
dan
perubahan
(1997) selain
menghitung laju reaksi transesterifikasi secara bertahap juga menghitung tetapan laju reaksi transesterifikasi pembentukan metil ester secara keseluruhan. Karena penurunan tigliserida sebanding dengan peningkatan metil ester selama proses
43
transesterifikasi maka Cheng (2003) melakukan pengukuran kinetika reaksi transesterifikasi berdasarkan fungsi konversi trigliserida, sedangkan Sofiah (1999) melakukan pengukuran tetapan laju reaksi transesterifikasi berdasarkan gliserol yang dibentuk karena didasarkan bahwa mol konversi trigliserida sebanding dengan mol gliserol yang dibentuk. Menurut Freedman (1986) nilai tetapan laju reaksi transesterifikasi minyak kedele dipengaruhi oleh katalis. Nilai k orde dua untuk reaksi TG menjadi DG pada 1 % katalis sodium butoxide (NaoBu) adalah 3,822 x 10-3 mmol/ menit dan pada 0,5% katalis NaoBu adalah 26,626 x 10-3 mmol/ menit, untuk reaksi DG menjadi MG pada 1 % katalis NaoBu adalah 1,215 x 10-3 mmol/ menit dan pada 0,5% katalis NaoBu adalah 3,584 x 10-3 mmol/ menit, energi aktivasi reaksi perubahan TG menjadi GL adalah 22,022 Cal/mol. Menurut Noureddini dan Zhu (1997) reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh kecepatan pengadukan dan suhu dan mekanisme reaksi transesterifikasi mengikuti orde reaksi dua. Dijelaskan pula bahwa nilai tetapan laju reaksi orde dua untuk reaksi perubahan TG menjadi DG adalah 0,049 % b/b /menit sedangkan arah sebaliknya 0,102 % b/b /menit, untuk reaksi perubahan DG menjadi MG adalah 0,218 % b/b /menit reaksi sebaliknya % b/b /menit, untuk reaksi perubahan MG menjadi Gliserol 0,239 % b/b /menit, reaksi sebaliknya 0,007 % b/b /menit dan untuk reaksi keseluruhan dari TG menjadi ME adalah 7,84 x 10-5 % b/b /menit dan reaksi sebaliknya 1,58 x 10 -5 % b/b /menit. Menurut Canacki dan Van Gerven (2003) dan konversi trigliserida (TG) digliserida (DG) dan monogliserida (MG) sampai dengan reaksi 30 menit memiliki orde dua (pseudo second-order model) namun setelah 30 menit memiliki orde satu. Grafik hubungan antara waktu reaksi (t) dengan 1 / [TG] dalam bentuk garis lurus (persamaan 6) sampai dengan waktu reaksi 30 menit digunakan untuk menentukan
44
kTG (% b/b-menit)-1 yang merupakan slope dari garis lurus tersebut. Cara tersebut sama untuk menentukan kMG dan kDG. Darnoko dan Cheryan (2000) menentukan nilai k pada berbagai suhu reaksi transesterifikasi
yang dilakukan dengan
menggunakan katalis KOH 1 %, nisbah molar metanol : minyak 6:1 pengamatan dilakukan setiap 5 menit sekali selama 30 menit seperti ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 Konstata laju reaksi (k) hidrolisa trigliserida, digliserida monogliserida dan pada berbagai perbedaan suhu Suhu (OC)
Gliserida TG
DG
DG
MG
DG
MG
50 55 60 65 50 55 60 65 50 55 60 65
Tetapan laju reaksi R2 (% b/b-menit)-1 0,018 0,9865 0,024 0,9966 0,036 0,9822 0,048 0,9903 0,036 0,9940 0,051 0,9974 0,070 0,9860 0,094 0,9678 0,112 0,9733 0,156 0,9619 0,141 0,9862 0,191 0,9843
Sumber: Darnoko dan Cheryan 2000.
Penentuan tetapan laju reaksi transesterifikasi oleh Cheng et al. (2004) berdasarkan reaksi transesterifikasi secara keseluruhan sebagai berikut: TG + 3ML 3 ME + Gl r = - d [TG]/ dt = k [TG ] [ML] r = laju reaksi (rate of reaction), k = tetapan [TG] = konsentrasi minyak dan [ML] = konsentrasi metanol
laju reaksi,
kt = 1/[ML] – 3 [TG] ln [ML]/[TG]- ln {[ML]0/[TG]0 XTG ={ [TG0] – [TG] } / [TG] t = 1 /k f(XTG) Tetapan
laju reaksi (k) untuk setiap reaksi ditentukan dari slope antara f(XTG)
versus waktu reaksi (t). Cheng et al. (2004) mempelajari kinetik transesterifikasi
45
minyak sawit (palm oil) dengan menggunakan katalis sodium hidroksida dan sodium methoksida menghasilkan tetapan kinetik yang tinggi dalam pembentukan metil ester dengan konversi 99% yaitu 0,163 liter / mol menit yang diperoleh dari nisbah molar metanol minyak 10:1, konsentrasi katalis 0,125 mol/kg minyak pada suhu 60 oC dan nilai k untuk kondisi yang lain dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai tetapan laju transesterifikasi pada beberapa kondisi proses Nisbah molar minyak dan metanol 1:10 1:10 1:10 1:6 1:8 1:10
Kecepatan pengadukan (rpm) 350 350 350 350 350 350
Suhu (0C) 60 60 60 60 60 70
Konsentrasi katalis (mol/kg oil) 0,1250 0,1875 0,2500 0,1250 0,1250 0,1250
Tetapan laju reaksi k (liter / mol menit) 0,163 0,313 0,526 0,097 0,147 0,309
Sumber: Cheng et al. 2004.
Energi aktivasi pada reaksi transesterifikasi ditentukan menggunakan persamaan arrhenius log10 k = (-Ea/2,303R)T +C, Ea energi aktivasi, R tetapan gas constan dan C adalah tetapan maka untuk trigliserida menjadi digliserida adalah 14,7 k Cal /mol, digliserida menjadi monogliserida 14,2 k Cal /mol dan untuk monogliserida menjadi gliserol 6,4 k Cal /mol (Darnoko dan Cheryan 2000). 2.6.3 Optimasi Proses dengan Response Surface Methodology (RSM) Metodologi permukaan respon (Response Surface Methodology) terdiri atas sekelompok teknik yang digunakan untuk studi empirik yang berkaitan dengan satu atau lebih respon pengukuran seperti hasil, indek warna, viskositas, disamping itu sejumlah input variabel seperti waktu, suhu, tekanan, konsentrasi dan lain-lain (Box et al. 1978). Metodologi permukaan respon merupakan kumpulan teknikteknik statistik dan matematika yang berguna untuk menganalisis permasalahan tentang beberapa variabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas (respon)
46
serta bertujuan mengoptimumkan respon (Gaspersz 1995). Dengan demikian metodologi permukaan respon dapat dipergunakan peneliti untuk mencari fungsi pendekatan yang cocok untuk meramalkan respon yang akan datang serta menentukan nilai-nilai dari variabel bebas yang mengoptimumkan respon yang dipelajari. Metode permukaan respon telah digunakan oleh Wu et al. (1999) untuk optimasi produksi etil ester dari lemak menggunakan 95 % etanol. Langkah-langkah prosedural untuk analisis permukaan respon serupa dengan analisis regresi yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least squares method) hanya saja pada analisis permukaan respon, diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik optimum agar ditemukan respon yang optimum (Gaspersz 1995). Penggunaan metode RSM untuk optimasi dalam proses kimia, bioproses dan pengembangan pengolahan pangan telah banyak dilaporkan. Menurut Montgomery (1991) RSM adalah suatu kumpulan teknik penyelesaiaan masalah dengan menggunakan matematika dan statistik dalam bentuk model matematika atau fungsi dan menganalisis masalah tersebut, respon yang ingin dicapai dipengaruhi oleh beberapa peubah sehingga respon tersebut berada pada titik optimumnya. Sebelum melakukan percobaan dengan rancangan komposit pusat yang digunakan untuk optimasi dengan RSM, daerah optimum dari masing-masing variabel (faktor) perlakuan harus diketahui terlebih dahulu. Penetapan daerah optimum dapat dilakukan berdasarkan studi pustaka
atau dengan melakukan
percobaan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan daerah optimum adalah metode dakian tercuram (steepest ascent method) (Gaspersz 1995). Metode dakian tercuram dilakukan dengan cara melakukan percobaan untuk
47
mempelajari pengaruh variabel terhadap hasil. Proses percobaan harus dilakukan pada berbagai variabel perlakuan sampai didapatkan hasil respon yang tidak meningkat lagi (konstan atau turun). Berdasarkan data percobaan maka ditentukan model persamaannya dilanjutkan dengan analisis ragam untuk menentukan ketepatan model persamaan tersebut. Daerah optimum didapatkan pada kondisi respon tidak ada peningkatan sekalipun dilakukan peningkatan variabel. Berdasarkan daerah optimum maka selanjutnya dilakukan percobaan dengan menggunakan rancangan komposit pusat (central composite design) untuk menentuan
kondisi
operasi
optimum
(titik
optimum
variabel)
untuk
mengumpulkan data percobaan. Pada dasarnya rancangan komposit pusat adalah rancangan faktorial 2k atau faktorial sebagian dimana terdapat dua taraf dari setiap variabel yang diberi kode sebagai -1 dan +1 serta diperluas. Untuk model polinomial orde 2 agar dapat dibangun dengan ketepatan model maka perlu dilakukan pengulangan titik pusat (X1 = 0, X2=0…Xk = 0) sedangkan yang lain tidak. Untuk kasus percobaan tiga faktor (k=3) maka matriks rancangan komposit pusat diberikan sebagai berikut: Langkah-langakah operasi optimasi rancangan respon adalah sebagai berikut: (1)
menentukan taraf-taraf faktor percobaan. Untuk pengaruh 3 faktor (k=3), setiap faktor ditetapkan taraf-tarafnya yang merupakan daerah optimum misalnya faktor A tarafnya : a1 dan a2, faktor B : b1 dan b2 dan faktor C : c1 dan c2. Taraf a1, b1 dan c1 merupakan daerah optimum minimum dan b1,b2 dan b3 adalah daerah optimum maksimum.
(2)
menentukan taraf faktor yang bersesuaian dengan titik pusat X1= 0, X2=0 dan X3=0 yang merupakan taraf optimum dengan jalan mengambil titik tengah diantara dua taraf faktor yang telah dispesifikasi dalam langkah pertama.
48
0 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
X1 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 -1,682 1,682 0 0 0 0
X2 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 -1,682 1,682 0 0
X3 -1 1 -1 -1 -1 1 -1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -1,682 1,682
Matriks rancangan faktorial 2k = 23
pengulangan titik pusat (X1 = 0, X2=0…Xk = 0) sebanyak 6 kali
Parameter α = 2 k/4 untuk ulangan penuh
W 1+ W2 W (X1 = 0, X2= 0 ...Xk=0) = ------------2 W (X
1
= 0, X2= 0 ...Xk=0) = Wopti, W1: daerah optimum terendah, W2=
daerah optimum tertinggi Menentukan taraf – taraf percobaan W (X 1, X2 ...Xk=1, X 1 , X2 ...Xk = -1, X 1 X2 ...Xk= α dan X 1 X2 ...Xk= -α) W1 – W Opt X1 = ---------- atau W1 = 0,5rX1 + W opt ,--- begitu pula untuk X2, X3.Xk 0,5 r r = adalah jarak antara taraf tertinggi dan taraf terendah = W2-W1 (3)
Melakukan pengumpulan data percobaan berdasarkan pengamatan matrik atau pada taraf faktor yang bersesuian dengan nilai-nilai X1, X2 dan X3 dan pengulangan pada titik pusat
(4)
Membuat Model permukaan respon, untuk kasus percobaan orde dua dengan k=3 dirumuskan : Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 +β11X1 2+ β22X22 + β33X32 + β12X1 X2 + β13X1X3+ β23X2X3+ ε
49
(5)
Melakukan analisis regresi dan komputasi secara komputer. Menentukan pendugaaan hasil berdasarkan data dan perhitungan nilai R2.
(6)
Pengujian model persamaan orde kedua untuk menentukan ketepatan model.
(7)
Menentukan titik optimum variabel yang dipelajari berdasarkan model yang ditemukan.
(8)
Melakukan validasi titik optimum yang diperoleh dari model.
2.6.4 Optimasi Kapasitas Produksi untuk Meminimumkan Total Biaya Jumlah produksi per satuan waktu (kecepatan produksi) tergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah jam operasi, beban alat, ketersediaan alat dan ketersediaan bahan. Biaya produksi total per satuan waktu dibagi menjadi dua yaitu biaya operasi yang tergantung pada kecepatan produksi misalnya tenaga kerja, bahan baku, utilitas, dan biaya organiasasi yang tidak tergantung pada kecepatan produksi misalnya personel direksi, peralatan fisik, perawatan peralatan, pelayanan dan lain-lain. Biaya produksi total (ct) menurut Peters dan Timmerhaus ( 1980) merupakan total biaya operasi dan biaya organisasi. n
Qc ct = h + mP + ─── n
P
ct Qc P m &n mPn h h + mPn
= Biaya produksi total (Rp) = Biaya organisasi per satuan produk = Kapasitas produksi yaitu total satuan produk persatuan waktu. = Tetapan = Biaya super produksi per satuan produk = Biaya produksi tetap per satuan produk = Biaya operasi per satuan produk n
Qc n Ct = ct P = (h+ mP + ───) P P = Biaya produksi total satuan/ waktu (Rp kg /hari) Ct Plot antara Ct dengan P akan diperoleh suatu persamaan hubungan antara kapasitas produksi dengan biaya produksi total per waktu. Optimasi kecepatan produksi
50
dilakukan untuk mendapatkan laju produksi optimum (Po) sehingga menghasilkan biaya satuan produksi total per waktu (Ct.) minimum. Penyelesaian optimasi ini menggunakan beberapa hasil perhitungan / persamaan neraca massa, neraca panas dan spesifikasi alat. Metode optimasi yang digunakan adalah metode analitis. Biaya produksi total persatuan waktu minimum diperoleh apabila turunannya sama dengan 0.
dCt ────
dP
n-1
= 0 = nmPo Qc
Qc ─ ─── 2
Po
1/ (n+1)
Po = [ ───]
nm Po = Produksi optimum yang memberikan biaya minimum per satuan produk.
2.6.5 Analisis Kelayakan Finansial Pada umumnya aspek yang paling penting diperhitungkan dalam menentukan kalayakkan rancangan proses adalah penilaian aspek teknis dan aspek ekonomi (kelayakan finansial) (Zhang et al. 2003). Analisis kelayakan finansial dapat digunakan untuk memperkirakan keutungan yang akan diperoleh. Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam analisis finansial adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Nisbah net B/C dan Payback Period (PBP) (Gray et al. 1992 dan Sutojo 2000). 2.6.5.1 Net Present Value (NPV). Net Present Value adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang (present value) seluruh net cast flow yang akan diterima investor di masa mendatang selama umur ekonomis proyek dengan nilai investasi proyek dan tingkat suku bunga tertentu. Jika NPV > 0 maka proyek
51
dinyatakan layak (Gray et al. 1992 dan Sutojo 2000). Rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: (C1)t (Co)t NPV = ∑(---------) - ∑ (------- ) t t (1+i) (1+i) NPV = net present value (nilai sekarang neto) = aliran kas masuk tahun ke-t (C1)t (Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t i = arus pengembalian (rate of return) = tingkat bunga bank t = periode waktu Dapat digunakan rumus lain yaitu: n Bt-Ct
Yt NPV = ∑ ----- = ∑ ------t t=0 (1+i) (1+i)t NPV = nilai dekarang neto Bt = benefit bruto pada tahun ke t Ct = biaya bruto pada tahun ke t Yt = aliran kas bersih pada akhir periode t t = periode investasi n = umur usaha investasi i = arus pengembalian (rate of return) 2.6.5.2. Internal Rate of Return (IRR). Internal Rate of Return adalah merupakan tingkat bunga (i) yang menyebabkan nilai NPV sama dengan nol sehingga nilai sekarang (present value) dari aliran uang tunai yang masuk sama dengan nilai sekarang dari aliran uang tunai yang keluar. Jika IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku maka investasi dinyatakan layak. Rumus yang digunakan: NPV2 IRR = I1 + [--------------] (I2─ I1) NPV1 – NPV2 IRR I1 I2 NPV1 NPV2
= Internal Rate of Return = tingkat bunga yang kecil = tingkat bunga yang besar = nilai sekarang bersih yang diperoleh dari faktor I2 (positif) = nilai sekarang bersih yang diperoleh dari faktor I1 (negatif)
2.6.5.3 Net Benefit –Cost Ratio (Net B/C). Nisbah net B/C adalah bilangan perbandingan antara jumlah present value positif dengan present value negatif.
Rancanga ya Konstruksi tdk Startup n detail, Ukuran peralatan, Estimasi
52
Nilai Net B/C nisbah lebih besar dari atau sama dengan satu proyek dinyatakan layak, sebaliknya jika net B/C nisbah kurang dari satu proyek dinyatakan tidak layak. Untuk menghitung indeks ini terlebih dahulu dihitung selisih antara keuntungan dan biaya untuk setiap tahun t. Rumus yang digunakan adalah: n
∑ (Bt-Ct) / (1 + i ) t untuk Bt-Ct > 0
t=0
Net B/C nisbah = -------------------------n
∑ Bt-Ct) / (1 + i ) t untuk Bt-Ct < 0
t=0
Bt Ct n i
= Benefit bruto pada tahun ke t = Biaya bruto pada tahun ke t = Umur ekonomis proyek = tingkat bunga
2.6.5.4 Payback Period (PBP). Payback Period adalah periode atau jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi semula. Jika payback period lebih pendek waktunya daripada maximum payback period maka usulan investasi dapat diterima (layak). Rumus yang digunakan untuk menghitung PBP adalah sebagai berikut: P PBP = --------Y P = nilai investasi Y = aliran kas masuk bersih setiap tahun 2.6.5.5
Break Event Point (BEP). Break event point adalah adalah jumlah hasil
penjualan pada saat proyek tidak rugi dan tidak untung dengan kata lain titik impas atau BEP adalah jumlah penjualan pada saat total biaya produksi sama dengan pendapatan. Untuk mendapatkan keuntungan maka industri yang direncanakan harus memproduksi dan memasarkan hasil produknya lebih besar daripada BEP. Rumus yang digunakan untuk menghitung BEP adalah: BEP
Biaya tetap per tahun = -----------------------------------------(1_ Biaya variabel /nilai penjualan)
53
III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Perancangan proses dalam penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rancangan proses rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung mengacu pada Seider et al. (1999) yang terdiri atas tiga tahap yaitu 1) analisis peluang dan permasalahan, 2) kreasi proses (sintesis proses) dan 3) pengembangan proses. Analisis peluang dan permasalahan dilakukan dengan cara menganalisis peluang produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung di Indonesia dilanjutkan dengan perumusan permasalahannya. Kreasi proses dilakukan melalui pengumpulan data dasar melalui percobaan laboratorium. Pengembangan proses dilakukan melalui integrasi proses, simulasi model, optimasi kapasitas dan analisis teknis dan finansial terhadap rancangan yang dikembangkan. Sintesis proses dilakukan untuk mendapakan rangkaian proses (Flowsheet) yang sesuai sehingga dihasilkan biodiesel yang memenuhi persyaratan. Optimasi kondisi proses dilakukan untuk mendapatkan kondisi operasi terbaik sehingga dihasilkan konversi optimum. Analisis pemodelan kinetika dilakukan untuk mendapatkan data dasar dalam perancangan reaktor dan simulasi proses. Analisis produk dilakukan dengan melakukan pengujian sifat fisiko-kimia biodiesel, kinerja biodiesel dan pengaruh biodiesel terhadap mesin untuk mengetahui kelayakan teknis penggunaan produk yang dihasilkan dan untuk penilaian teknis terhadap rancangan
proses
yang
dihasilkan.
Integrasi
proses
bertujuan
untuk
mengintegrasikan seluruh tahapan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung sehingga dihasilkan flowsheet yang utuh. Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dilakukan dengan membuat flowsheet yang utuh menggunakan program komputer sehingga dihasilkan Process Engineering Flow Diagram (PEFD) yang merupakan gambaran lengkap proses produksi biodiesel yang melibatkan rangkaian peralatan. PEFD
54
dibuat dengan paket program HYSYS yang dilengkapi dengan kondisi operasi setiap aliran proses. Optimasi rancangan dilakukan untuk mengetahui kapasitas optimum yang dapat menghasilkan biaya minimum. Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan rancangan proses produksi biodiesel pada skala optimum untuk menilai rancangan yang dihasilkan. Kerangka pemikiran produksi biodiesiel dari minyak biji nyamplung ditampilkan pada Gambar 9. KEGIATAN 1. Analisis peluang dan permasalahan 2. Kreasi proses (sintesis proses): karakterisasi bahan baku, penentuan jalur proses, penentuan kondisi pra proses, optimasi proses esterifikasi dan transesterifikasi, kinetika proses esterifikasi dan transesterifikasi dan pengujian produk. 3. Pengembangan proses meliputi integrasi proses, simulasi model dan optimasi kapasitas produksi.
4. Penilaian aspek teknis dan finansial terhadap rancangan proses yang dihasilkan.
HASIL 1. Informasi peluang pengembangan biodiesel dan rumusan permasalahan. 2. Informasi sifat fisiko-kimia bahan baku, jalur proses, kondisi proses terbaik, parameter kinetika dan hasil pengujian sifat fisiko-kimia, kinerja biodiesel dan pengaruh biodiesel terhadap mesin 3. Diagram alir kualitatif, hasil perhitungan neraca massa dan energi, diagram alir kuantitatif, simulasi model proses dalam bentuk PEFD dan kapasitas produksi optimum 4. Kelayakan proses secara teknis dan finansial
Rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung
Gambar 9
Kerangka pemikiran perancangan proses produksi biodiesel dari minyak nyamplung.
Penelitian perancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung merupakan hal baru dilihat dari bahan baku dan jalur proses. Jalur proses esterifikasi dan transesterifikasi dikembangkan oleh Sudradjat et al. (2005) pada produksi biodiesel jarak pagar sedangkan esterifikasi ganda dan transesterifikasi belum dikembangkan. Optimasi kondisi proses menggunakan RSM belum dilakukan,
penentuan kondisi terbaik biasa dilakukan dengan
percobaan satu faktor dan faktorial 2n. Kinetika reaksi proses transesterifikasi dilakukan Nourdinni dan Zhu (1997) ; Darnoko dan Cheryan (2000) tetapi untuk
55
kinetika esterifikasi pada pada produksi biodiesel belum dilakukan. Simulasi HYSYS produksi biodiesel dari minyak murni dan minyak jelantah dilakukan oleh Zhang et al. (2003)
tetapi simulasi HYSYS
melalui jalur esterifikasi ganda
dilanjutkan transesterifikasi untuk biodiesel nyamplung belum dilakukan. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2006 sampai dengan Februari 2008 di Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor, Laboratorium Pengawasan Mutu Teknologi Industri Pertanian IPB, Laboratorium Pengujian Mutu VEDCA Cianjur dan Lembaga Penelitian dan Pengujian Minyak dan Gas (Lemigas-Jakarta). 3.3 Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak dan biji nyamplung
berasal dari Kebumen Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan:
metanol pa,
asam sulfat pa, asam klorida pa, natrium hidroksida pa, kalium
hidroksida pa, asam fosfat, natrium sulfat anhidrat, natrium karbonat dan bahan kimia lain untuk analisis. Peralatan yang digunakan: satu rangkaian reaktor esterifikasi-transesterifikasi (terdiri atas: labu mulut dua, pendingin balik, termometer, pengaduk, statif, klem penjepit dan hot plate stirrer), mesin pengepres biji nyamplung
bekerja secara hidrolik, pompa vakum, alat distilasi, kompor
listrik, pengaduk, erlenmeyer, tabung reaksi, desikator, penangas air, labu ukur, pH meter, neraca sartorius, oven, pendingin balik, pipet, corong pemisah, buret, viskosimeter, GC dan alat analisis lain. 3.4 Metode Penelitian Metode perancangan proses bertujuan untuk menghasilkan rancangan rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung mengacu pada Seider et al. (1999) yang terdiri atas tahapan analisis peluang dan permasalahan, kreasi proses dan pengembangan proses seperti disajikan pada Gambar 10.
56
Analisis peluang dan permasalahan Analisis peluang Analisis permasalahan Kreasi Proses Sintesis Proses
Biji nyamplung
Pengepresan, degumming dan karakterisasi
Pemilihan Proses Optimasi kondisi esterifikasi Analisis pemodelan kinetika esterifikasi Optimasi proses transesterifikasi Analisis pemodelan kinetika transesterifikasi Analisis produk : sifat fisiko-kimia, kinerja dan pengaruh terhadap mesin
Apakah ada keuntungan kasar
Tdk, Tolak
Ya
Pengembangan Proses Integrasi Proses Simulasi model dan Optimasi biaya produksi Tdk Kelayakan teknis dan finansial Ya
Rancangan proses rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung rinci
Gambar 10 Metode perancangan proses. 3.4.1. Analisis Peluang dan Permasalahan 3.4.1.1 Analisis Peluang Analisis peluang usaha produksi biodiesel dilihat dari permintaan pasar, kebijakan pemerintah terhadap penggunaan biodiesel, target produksi nasional dan
57
penggunaan minyak biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel alternatif. Analisis peluang menggunakan metode studi literatur. 3.4.1.2 Analisis Permasalahan Analisis permasalahan penggunaan minyak biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel dilihat dari karakteristik tanaman nyamplung khususnya musim panen dan pasca panen serta komposisi minyak biji nyamplung itu sendiri. Analisis permasalahan menggunakan metode studi literatur. 3.4.2 Kreasi Proses Kreasi proses pada dasarnya adalah sintesis proses yang dilakukan melalui pengumpulan data sifat-sifat termofisika bahan kimia dan percobaan laboratorium. Metode yang digunakan adalah studi literatur dan eksperimen. Kreasi proses diakhiri dengan analisis keuntungan kasar. 3.4.2.1 Pengepresan dan Degumming Analisis inti Nyamplung. Tujuan utama analisis inti nyamplung adalah untuk mengetahui kandungan minyak dalam ini biji tersebut. Analisis dilakukan dengan metode ekstraksi langsung dengan alat soxhlet (SNI 01-2891-1992). Prosedur analisis lemak biji nyamplung dapat dilihat pada Lampiran 1.1. Analisis minyak biji nyamplung dengan menggunakan pelarut dilakukan untuk mengetahui potensi minyak dalam biji nyamplung sehingga dapat ditentukan efektivitas proses pengepresan. Analisis biji nyamplung juga dilakukan terhadap kadar air dengan metode oven (SNI 01-3555-1998), protein dengan metode semimikro Kjeldahl (SNI 01-2891-1992) dan arbohidrat dengan metode titrasi iodometri (SNI 01-28911992) yang dapat dilihat pada Lampiran 1.2, 1.3 dan 1.4. Pengepresan. Proses ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pengepresan dibandingkan dengan ekstraksi dengan pelarut. Proses pengepresan menggunakan alat pengepres tradisional yang terbuat dari kayu melalui tahapan: (1) pengumpulan biji nyamplung
tua yang sudah rontok dari pohon; (2) pengupasan kulit
58
(cangkang); (3) perajangan inti nyamplung ; (4) penjemuran dengan sinar matahari 2-3 hari sampai kelihatan berminyak (Oilness); (5) penumbukan inti sampai agak halus; dan (6) pengepresan dengan alat pengepres tradisional dari kayu sehingga diperoleh minyak. Proses pengepresan dengan alat kempa hidrolik dilakukan terhadap inti nyamplung yang telah kering. Biji nyamplung yang telah kering kulitnya dikupas, dikeluarkan intinya, dirajang dan kemudian dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 50 0C selama 8 jam sampai kelihatan berminyak. Selanjutnya inti digiling sampai halus. Pengepresan minyak nyamplung dilakukan dengan alat kempa hidrolik berkekuatan maksimum 20 ton (200 kilo Newton). Kondisi operasi pengepresan dilakukan pada
suhu 60oC dan rentang massa beban berkisar antara
10 – 15 ton. Setiap kali pengepresan digunakan 150 gr biji nyamplung terkupas yang telah dihaluskan. Biji tersebut dimasukkan dalam alat kempa hidrolik manual berkekuatan 20 ton yang memiliki alat pemanas pada landasan tekan. Alat kempa dipanaskan pada suhu 60 OC kemudian tuas hidrolik ditekan berulang-ulang sampai dicapai tekanan piston maksimum. Bersamaan dengan penekanan, minyak akan keluar melalui lubang-lubang pinggir blok piston. Selanjutnya ditampung dengan menggunakan gelas piala. Bungkil yang dikeluarkan digiling kembali selanjutnya dilakukan pengempaan tahap dua (II) dan tiga dengan cara yang sama. Hasil minyak pada pengepresan 1, 2 dan 3 dicampur ditimbang untuk mengetahui rendemennya. Efektivitas ditentukan dengan membandingkan rendemen minyak dari metode pengepresan dibandingkan dengan ekstraksi dengan pelarut. Proses Degumming. Proses degumming bertujuan untuk menghilangkan gum berupa fosfolipid, glikolipid, liprotein dan resin. Minyak kasar ditimbang 400 gram kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai 80 oC sambil diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer. Ditambahkan larutan asam fosfat konsentrasi 20 % sebanyak 0.2-0.3% (v/w) dan diaduk selama 15 menit. Minyak dimasukkan dalam
59
corong pemisah 500 ml dan ditambahkan air hangat dengan disemprotkan. Corong pemisah digoyang sebentar agar air menyebar mengikat gum lalu didiamkan agar air dengan gum yang terikat turun dan terpisah dari minyak. Penyemprotan air dilakukan hingga air buangan yang diukur dengan kertas pH pada kisaran pH 6.5-7. Air yang tersisa dihilangkan dengan pengeringan dengan pemanasan hot plate pada suhu 105 oC selama 20 menit kemudian dilanjutkan dengan pengeringan vakum pada suhu 80 oC sampai tidak terdapat gelembung uap air (±10 menit). 3.4.2.2 Karakterisasi Minyak Biji Nyamplung . Karakterisasi Minyak Biji Nyamplung Kasar (crude oil). Karakterisasi ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat khas dari minyak biji nyamplung. Minyak nyamplung yang digunakan dalam penelitian dilakukan analisis kadar air (SNI 01-3555-1998), bilangan asam (SNI 01-3555-1998), kadar asam lemak bebas (SNI 01-3555-1998), bilangan penyabunan (SNI 01-3555-1998), bilangan iod (SNI 01-3555-1998), densitas (SNI- 06-4085-1996) dan viskositas ( Codex, 1992). Prosedur analisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan penyabunan, bilangan iod, densitas, dan viskositas berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1.5, 1.6, 1.7, 1.8, 1,9 dan 1.10. Karakterisasi Minyak Biji Nyamplung
Hasil Proses Degumming.
Minyak biji nyamplung hasil proses degumming dilakukan pengujian kadar air, densitas, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, indek refraksi dan viskositas. Berdasarkan penelitian pendahuluan minyak nyamplung hasil proses degumming mempunyai kadar asam lemak bebas sangat tinggi (± 30%). Minyak hasil degumming dilakukan analisis komposisi asam lemak bebas dengan menggunakan Gas khromatografi (GC). Sebelum diinjeksikan pada GC, sampel dimetilasi terlebih dahulu. Analisis komposisi asam lemak bebas bertujuan untuk membandingkan komposisi asam lemak bebas minyak biji nyamplung dengan komposisi asam lemak bebas sumber lainnya yang sudah terbukti dapat digunakan
60
sebagai bahan baku biodiesel. Prosedur analisis asam lemak bebas dapat dilihat pada Lampiran 1.11. 3.4.2.3 Pemilihan Proses Pemilihan jalur proses didasarkan pada karakteristik bahan baku. Untuk menentukan jalur proses yang sesuai dilakukan survei literatur mengacu pada Seider et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebelum kreasi proses dilakukan survai literatur. 3.4.2.4 Optimasi Proses Esterifikasi Esterifikasi
bertujuan
untuk
mengurangi
ALB
minyak
sekaligus
mengkonversi ALB tersebut menjadi metil ester. Esterifikasi juga berfungsi untuk membersihkan minyak dari pengotor bersifat polar yang masih tertinggal dari proses degumming seperti resin turunan koumarin. Penetapan Jenis Kondisi Proses. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses esterifikasi yang akan digunakan untuk proses optimasi. Kondisi proses yang optimum diperlukan untuk menentukan kinetika reaksi yang diperlukan dalam perancangan proses. Faktor-faktor yang dimaksud meliputi suhu, kecepatan pengadukan, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis. Percobaan mempelajari pengaruh perlakuan suhu esterifikasi, kecepatan pengadukan, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis dilakukan secara terpisah menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Parameter pengukuran untuk empat perlakuan tersebut adalah sama yaitu kadar asam lemak bebas akhir esterifikasi yang diambil dari bagian lapisan bawah hasil esterifikasi setelah didiamkan selama 2 jam. Model matematika untuk rancangan acak satu faktor menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut : a.
Penetapan suhu Yij = µ + Ti + Єij Yij = Kadar asam lemak bebas pada perlakuan suhu esterifikasi kei dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ
61
Ti Єij
= Pengaruh perlakuan suhu esterfikasi ke-i = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
b.
Penetapan kecepatan pengadukan Yij = µ + Ri + Єij Yij = Kadar asam lemak bebas pada perlakuan kecepatan pengadukan ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ = Pengaruh kecepatan pengadukan ke-i Ri = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Єij
c.
Penetapan nisbah molar metanol Yij = µ + Mi + Єij Yij = Kadar asam lemak bebas pada perlakuan nisbah molar metanol terhadap ALB ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ Mi = Pengaruh perlakuan nisbah molar metanol terhadap ALB ke-i = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Єij R x M1 x A Gram metanol = --------------M2 ml metanol = gram metanol / 0,7918 R M1 A M2
d.
= = = =
Nisbah molar metanol terhadap ALB BM metanol = 32 Bobot ALB dalam minyak (gram) BM asam lemak bebas yang dinyatakan dari BM asam lemak bebas dominan yaitu asam oleat = 282
Penetapan konsentrasi katalis Yij = µ + Ki + Єij Yij = Kadar asam lemak bebas pada perlakuan konsentrasi katalis ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ Ki = Pengaruh perlakuan konsentrasi katalis ke-i Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j gram HCl pekat = % Katalis x Bobot ALB dalam minyak (gram) ml HCl pekat = gram HCl / 1,19 Masing-masing percobaan di atas diulang tiga kali dengan analisis keragaman satu arah dan untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda digunakan uji Duncan. Suhu esterifikasi yang digunakan ada empat taraf yaitu 50, 60, 70 dan 80 0C. Kecepatan pengadukan yang digunakan ada lima taraf yaitu 100
62
rpm, 200 rpm, 300 rpm, 400 rpm dan 500 rpm. Nisbah molar metanol terhadap ALB yang digunakan ada 11 taraf yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50. Konsentrasi katalis HCl terhadap berat ALB yang digunakan ada tujuh taraf yaitu 0%, 3%, 6%, 9%, 12%, 15% dan 18%.
Optimasi Kondisi Proses. Optimasi proses esterifikasi bertujuan untuk menentukan kondisi proses optimum yang dapat menghasilkan respon optimum. Optimasi dilakukan untuk mendapatkan rancangan yang paling menguntungkan. Kondisi proses yang paling optimum (respon permukaan optimum) digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Optimasi respon esterifikasi dilakukan
berdasarkan pengaturan kondisi proses dengan cara
menentukan titik-titik optimum pada setiap variabel (perlakuan) proses dengan menggunakan metode permukaan respon (Surface Respon Methode) (Box et al. 1978, Montgomery 1991 dan Gaspers 1996). Parameter respon hasil esterifikasi yang dioptimasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas (ALB). Pengolahan data optimasi respon hasil esterifikasi menggunakan program Minitab 14 dan SAS V6.12. Taraf percobaan yang diambil didasarkan pada hasil penelitian kajian pengaruh dan dikaitkan dengan hasil studi pustaka. Rentang nisbah molar mempertimbangkan hasil penelitian Canacki dan Van Gerpen (2003); Van Gerpen et al. (2004); Zhang et al. (2004) yaitu antara 20:1– 40:1 berdasarkan bobot ALB. Rentang katalis mempertimbangkan hasil penelitian Canacki dan Gerpen (2003) yaitu 5-10% dari ALB yang diberikan 2 kali, Canacki dan Gerpen (2001) yaitu 15 % dari ALB, Sudradjat et al. (2005) yaitu 1% dari jumlah minyak. Rentang suhu mempertimbangkan hasil penelitian Van Gerpen et al. (2004) ; Canacki dan Van Gerpen (2003); dan Sudradjat et al. (2005) yaitu sekitar 60 oC. Waktu esterifikasi dan kecepatan pengadukan ditetapkan sama untuk seluruh perlakuan.
63
Optimasi respon hasil esterifikasi terdiri dari
3 variabel bebas yang
dicobakan pada proses esterifikasi yaitu: nisbah molar metanol terhadap asam lemak bebas (ALB) sebagai X1, konsentrasi katalis terhadap ALB sebagai X2 dan suhu esterifikasi sebagai X3. Langkah-langkah dalam percobaan optimasi respon ini adalah sebagai berikut: a. Menentukan taraf-taraf faktor percobaan. Faktor, kode dan taraf kode yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Tabel 18 Faktor, kode dan taraf kode pada percobaan proses esterifikasi No. Faktor 1 2 3
Nisbah molar metanol terhadap ALB Konsentrasi katalis terhadap ALB Suhu esterifikasi
Kode X1
α
(-1.682) 3
Taraf kode Rendah Tengah Tinggi (-1) (0) (+1) 10 20 30
α
(+1.682) 37
X2 .
1
3
6
9
11
X3 .
35
45
60
75
85
Nilai faktor yang dikodekan dihitung dengan cara sebagai berikut: W – W tengah X = --------------atau W = 0.5 r X + W tengah 0.5 r r = adalah selisih taraf kode aktual tertinggi dan terendah X = nilai taraf kode = -1,682, -1, 0, +1, dan +1,682. W = taraf kode aktual yang dicari W tengah = Taraf kode aktual tengah b. Melakukan pengumpulan data percobaan berdasarkan matrik pengamatan c. Melakukan pengujian orde satu jika hasil pengujian menunjukan berbeda nyata secara statistik maka dilanjutkan dengan membuat model permukaan respon orde dua dengan k=3 yaitu : Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β11X1 2+ β22X22 + β33X32 + β12X1 X2 + β13X1X3+ β23X2 X3 + ε
64
Pengujian model orde satu dan dua menggunakan analysis of variance (ANOVA) d. Melakukan pengujian model
persamaan orde kedua untuk menentukan
ketepatan model melalui pengujian lack of fit. Tabel 19 Nilai taraf kode dan nilai taraf aktual pada percobaan esterifikasi Matrik rancangan
No
Faktorial 23
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tambahan faktorial α=2k/4
Pengulangan titik pusat
Nilai taraf kode Nisbah Konsen- Suhu molar trasi metanol katalis terhadap ALB -1 -1 -1 1 -1 -1 -1 1 -1 1 1 -1 -1 -1 1 1 -1 1 -1 1 1 1 1 1 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Nilai taraf aktual Nisbah Konsentrasi Suhu molar katalis metanol terhadap ALB 10 3 45 30 3 45 10 9 45 30 9 45 10 3 75 30 3 75 10 9 75 30 9 75 3 6 60 37 6 60 20 1 60 20 11 60 20 6 35 20 6 85 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60
e. Menentukan pendugaaan hasil berdasarkan data yang dimiliki dan perhitungan nilai R2. f. Melakukan analisis kanonik untuk menentukan peubah pada titik stasioner. g. Melakukan validasi model dengan percobaan dengan data laboratorium. 3.4.2.5 Analisis Pemodelan Kinetika Reaksi Esterifikasi Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi proses (Petrucci 1992). Penentuan kinetika reaksi esterifikasi dengan menggunakan metode isolasi juga dilakukan
65
oleh Guner et.al. (1996) dan Breitenlechner dan Bach (2006). Data yang diperoleh dari pemodelan kinetika yang akan digunakan dalam proses perancangan adalah nilai tetapan laju reaksi, model laju reaksi berdasarkan suhu, konversi, waktu tinggal dan energi aktivasi. Pengukuran kinetika dilakukan pada kondisi proses optimum khususnya untuk faktor nisbah molar metanol terhadap kadar ALB dan konsentrasi katalis yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Sebanyak 300 ml minyak nyamplung dimasukkan dalam reaktor berupa labu mulut ganda 500 ml yang sudah dilengkapi dengan kondesor yaitu untuk mengkondensasi uap metanol agar masuk kembali ke dalam reaktor kemudian ditambahkan larutan metanol dan HCl. Campuran tersebut direaksikan pada suhu dan kecepatan pengadukan tertentu dengan pengadukan kecepatan 400 rpm. Setiap 5 menit sampel diambil untuk dilakukan pemeriksaan kadar asam lemak bebas. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan penentuan orde reaksi, tetapan laju reaksi dan energi aktivasi. Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan metode isolasi (Atkins
1999) yang dikombinasikan dengan metode integral (Laidler
Metode isolasi dilakukan dengan membuat
1979).
konsentrasi suatu reaktan berlebihan
sehingga dianggap konstan selama reaksi. Pemilihan orde reaksi yang paling tepat dilakukan dengan metode integral. Metode ini merupakan metode empiris yakni perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu dan harga k dihitung dengan menggunakan persamaan terintegrasi berbeda untuk orde reaksi yang berbeda. Orde reaksi dapat diperoleh secara grafik dari persamaan yang memberikan nilai k yang konsisten. •
Penentuan tetapan laju reaksi (k). Jika reaksi menunjukkan orde pertama dilakukan dengan membuat persamaan linier ln C = - kt + ln Co . Kurva hubungan antara t dan ln C:
66
ln C ln Co Slope = _ k t Jika reaksi menunjukkan orde dua dilakukan dengan membuat persamaan linier:1/C = kt + 1/Co Kurva hubungan antara t dan ln 1/C: 1/C
Slope = k
1/Co
T •
Penentuan energi aktivasi (Ea). Berdasarkan nilai k dari beberapa suhu reaksi maka dengan menggunakan persamaan Arrhenius ditentukan energi aktivasinya yang merupakan gradien (slope) grafik antara k dengan (1/T). k = A exp(-Ea/RT) k Ea R T A
= tetapan laju reaksi = Energi aktivasi = tetapan gas = suhu mutlak = frekuensi faktor atau tetapan proporsionalitas besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekol selama tumbukan.
ln k = ln A –
Ea RT
ln k = ln A – (Ea/R)
1 T
67
ln k ln A Slope = _ Ea/R 1/T • Penentuan waktu batch ideal untuk proses esterifikasi berdasarkan neraca massa dalam reaktor batch isotermal (endotermis/ eksotermis) Perry (1988); Richardson and Peacock (1994) : Rate of input – rate of output – Rate of Reaction
= Rate of accumulation
0
= d [ME] / dt
-
0
-
V. r ME
d [ME] V . (- r ME ) = ----------dt Volume (V) konstan, sehingga : d [ME] ----------- = (- r ME ) dt d [ALB] / dt = d [ME]/dt d [ALB] ----------- = (- r ALB ) dt d [ALB] ----------- = dt - r ALB Waktu untuk mencapai [ALB] pada kondisi isothermal adalah : CALB d [ALB] t= ---------- rALB CALBo t = (1/k ) x ln ([ALB] o/ [ALB]t)
68
3.4.2.6 Optimasi Proses Transesterifikasi Penetapan Jenis Kondisi Proses. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan kondisi proses transesterifikasi yang akan digunakan untuk proses optimasi. Kondisi proses yang dimaksud meliputi suhu, kecepatan pengadukan, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis. Percobaan dilakukan secara terpisah menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Parameter empat perlakuan tersebut adalah viskositas mengacu De Filippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan metil ester selama transesterifikasi berkorelasi positif dengan penurunan viskositas dan densitas. Pengukuran viskositas dilakukan terhadap metil ester setelah dipisahkan dari gliserol. Dengan menggunakan corong pemisah metil ester dipisahkan dari gliserol. Metil ester yang diperoleh dicuci dengan air panas bersuhu 60-70 oC yang telah ditambahkan asam asetat sebanyak 0,03% dari volume minyak. Pencucian dilakukan sampai air cucian jernih dan mempunyai pH netral. Selanjutnya metil ester dikeringkan dengan menggunakan pemanasan suhu 105 oC selama 20 menit dilanjutkan dengan pengeringan vakum suhu 80 oC selama sampai tidak terbentuk gelembung uap air lagi (± 10 menit). Model matematika untuk rancangan acak kelompok (Mattjik dan Sumertajaya 2002) adalah sebagai berikut : a. Penetapan nisbah molar metanol terhadap minyak Yij = µ + Mi + Єij Yij = Viskositas pada perlakuan nisbah molar metanol transesterifikasi ke-i, dan ulangan ke j = Nilai rata-rata sebenarnya µ Mi = Pengaruh nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein ke-i Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Perhitungan gram metanol pada setiap percobaan mengikuti rumus berikut: R x M1 x A Gram metanol = --------------M2 ml metanol = gram metanol / 0,7918
69
R M1 A M2
= Nisbah molar metanol terhadap minyak yang dihitung sebagai triolein = BM metanol = 32 = Bobot trigliserida dalam minyak (gram) = BM trigliserida minyak dinyatakan sebagai triolein = 885,46
b. Penetapan kecepatan pengadukan Yij = µ + Ri + Єij Yij = Viskositas pada perlakuan kecepatan pengadukan ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ = Pengaruh kecepatan pengadukan ke-i Ri = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Єij c. Penetapan katalis Yij = µ + Ki + Єij Yij = Viskositas pada perlakuan konsentrasi katalis ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata sebenarnya µ Ki = Pengaruh perlakuan konsentrasi katalis ke-i Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Perhitungan NaOH pada setiap percobaan mengikuti rumus berikut: gram NaOH = % Katalis x Bobot minyak (gram) d. Penetapan suhu transesterifikasi Yij = µ + Ti + Єij Yij = Viskositas pada perlakuan suhu transesterifikasi ke-i, ulangan ke k = Nilai rata-rata sebenarnya µ Ti = Pengaruh perlakuan suhu tranesterfikasi ke-i = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Єij Masing-masing percobaan di atas diulang tiga
dan
kali dengan analisis
keragaman satu arah dan untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda digunakan uji Duncan. Nisbah molar metanol yang digunakan ada 3 taraf yaitu 3, 6, dan 9. Kecepatan pengadukan yang dicobakan ada lima taraf yaitu 100 rpm, 200 rpm, 300 rpm, 400 rpm dan 500 rpm. Suhu transesterifikasi yang dicobakan ada tiga taraf yaitu 45, 60, 75 0C. Konsentrasi katalis terhadap minyak sebagai triolein yang dicobakan ada 4 taraf yaitu 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2%.
70
Optimasi Kondisi Proses. Optimasi proses transesterifikasi (optimasi respon proses transesterifikasi) dilakukan berdasarkan pengaturan kondisi proses dengan cara menentukan titik-titik optimum pada setiap variabel (perlakuan) proses dengan menggunakan metode permukaan respon (Surface Respon Methode) (Box et al. 1978, Montgomery
1991 dan Gaspers
1996). Optimasi dilakukan untuk
mendapatkan rancangan yang paling menguntungkan. Kondisi proses yang paling optimum digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Respon hasil transesterifikasi yang dioptimasi meliputi : kadar asam lemak bebas, rendemen biodiesel dan viskositas. Pengolahan data optimasi respon menggunakan program Minitab 14. Faktor, kode dan taraf kode yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21. Taraf percobaan yang diambil didasarkan pada hasil penelitian kajian pengaruh dan dikaitkan dengan hasil studi pustaka. Rentang nisbah molar metanol terhadap minyak mempertimbangkan hasil penelitian Freedman et al. (1984); Darnoko dan Cheryan (2000); Lele (2005); Van Gerpen et al. (2004) yaitu sekitar 6:1. Rentang katalis mempertimbangkan hasil penelitian Darnoko dan Cheryan (2000); Lele (2005); Canacki dan Van Gerpen (2003); Van Gerpen et al. (2004) yaitu sekitar yaitu 1% dari jumlah minyak. Suhu esterifikasi, waktu esterifikasi dan kecepatan pengadukan ditetapkan sama untuk seluruh perlakuan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Tabel 20 Faktor dan taraf kode pada percobaan proses transesterifikasi No. Faktor 1
2
Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein. Konsentrasi katalis terhadap minyak sebagai triolein
Kode X1
α (-1.414) 1,8
Rendah (-1) 3
X 2.
0,3
0,5
Taraf kode Tengah Tinggi (0) (+1) 6 9
1
1,5
α (+1.414) 10,4
1,7
71
Optimasi respon hasil transesterifikasi terdiri dari 2 variabel bebas yang dicobakan yaitu: nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai X1 dan konsentrasi katalis terhadap minyak X2 . Model permukaan respon orde dua dengan k = 2 adalah Y = βo + β1X1 + β2X2 + β11X1 2+ β22X22 + β12X1 X2 + ε. Tabel 21 Nilai taraf kode dan nilai taraf aktual optimasi proses transesterifikasi Matrik rancangan
Faktorial 23
Tambahan faktorial α=2k/4 Pengulangan titik pusat
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nilai taraf kode X1 X2
-1 -1 1 1 1,414 -1,414 0 0 0 0 0 0 0
1 -1 1 -1 0 0 -1,414 1,414 0 0 0 0 0
Nilai taraf aktual Nisbah molar Kosentrasi katalis metanol terhadap terhadap minyak minyak
3,0 3,0 9,0 9,0 10,4 1,8 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
1,5 0,5 1,5 0,5 1,0 1,0 0,3 1,7 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
3.4.2.6 Analisis Pemodelan Kinetika Reaksi Transesterifikasi Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan metode integral (Laidler 1979). Metode tersebut juga digunakan untuk penentuan kinetika reaksi transesterifikasi oleh Freedman et al. 1986; Noureddini & Zhu (1997); Darnoko dan Cheryan (2001). Data yang diperoleh dari pemodelan kinetika yang akan digunakan dalam proses perancangan adalah nilai tetapan laju reaksi, model laju reaksi berdasarkan suhu, konversi, waktu tinggal dan energi aktivasi. Sebanyak 300 ml minyak nyamplung hasil proses esterifikasi dimasukkan dalam reaktor 500 ml kemudian ditambahkan larutan metanol dan NaOH. Campuran tersebut direaksikan pada suhu tertentu dengan pengadukan kecepatan tinggi. Setiap lima
72
menit diambil sampelnya untuk pemeriksaan kadar metil ester dan viskositas. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan penentuan tetapan laju reaksi seperti yang dilakukan pada proses esterifikasi. Penentuan energi aktivasi dilakukan dengan mengukur tetapan laju reaksi pada beberapa suhu reaksi, kemudian dibuat grafik hubungan antara k dengan 1/T dan energi aktivasi ditentukan dari slope grafik tersebut.
Cara penentuan energi aktivasi reaksi transesterifikasi sama
dengan yang dilakukan pada esterifikasi. Berdasarkan kinetika reaksi, dilakukan perancangan kondisi operasi reaktor
yaitu menentukan waktu operasi (waktu
tinggal) optimum yang berkaitan dengan volume reaktor. Rate of input – rate of output – Rate of Reaction
= Rate of accumulation
0
= d [ME] / dt
-
0
-
V. r T
d [ME] ----------dt
V . (-r T) =
Volume (V) konstan, sehingga : d[ME] −−−−− = - rT, karena d[ME]/dt = dx/dt dt dx ----------- = dt - rT Waktu untuk mencapai [ME] pada kondisi isothermal adalah : x dx t= ---------0 - rT - rT =k ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) t = 1/k
-1 3 [TG]o -1 [M]o
ln
1 ( [TG]o - x )
ln
1 ( [M]o - 3x )
73
3.4.2.7 Analisis Produk Pengujian Sifat Fisiko-Kimia Biodiesel. Biodiesel dilakukan pengujian komposisi metil ester dengan Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS) (prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran
1.12) dan dilakukan
pengujian sifat fisiko-kimia sesuai standar SNI 04-7182:2006 meliputi analisis: 1. Massa jenis pada suhu 40 oC dalam satuan kg/m3 (ASTM D 1298), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.13. 2. Viskosistas kinematik pada 40 oC dalam satuan mm2/s atau cSt (ASTM D 445), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.14. 3. Bilangan setana minimum 51, (ASTM D 613), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.15. 4. Titik nyala (mangkok tertutup) dalam satuan OC (ASTM D93), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.16. 5. Titik kabut dalam satuan OC (ASTM D 2500), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.17. 6. Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 oC) (ASTM D 130), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.18. 7. Residu karbon dalam contoh asli dalam satuan % b/b (ASTM D 4530), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.19. 8. Air dan Sedimen dalam satuan % v/v (ASTM D 2709 atau (ASTM D-1796), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.20. 9. Suhu distilasi 90% dalam satuan OC (ASTM D 1160), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.21. 10. Abu tersulfatkan dalam satuan % b/b (ASTM D 874), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.22. 11. Belerang dalam satuan ppm-b atau mg/kg (ASTM D 5453) atau (ASTM D 1296), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.23.
74
12. Fosfor dalam satuan ppm atau mg/kg (AOCS Ca 12-55), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.24. 13. Bilangan asam dalam satuan mgKOH/g minyak (SNI 01-3555-1998), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.5. 14. Gliserol total dan gliserol bebas dalam satuan % b/b (AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.25 15. Kadar ester alkil dalam satuan % b/b penentuan sesuai dengan SNI 04-71822006, ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.26. 16. Bilangan Iod dalam satuan % b/b atau gram I2 /100 gram (SNI 01-3555-1998). Pengujian Kinerja Biodiesel. Pengujian kinerja biodiesel dilakukan dengan mencobakan biodiesel tersebut pada motor diesel statis untuk menentukan konsumsi biodiesel. Pengujian kinerja biodiesel dilakukan terhadap campuran biodiesel dan solar: 0 %, 10 %, 20%, 30%, 40%, 50% dan 60 %. Pengujian kinerja biodiesel menggunakan mesin diesel putaran tinggi dengan karakteristik sebagai berikut: Jenis Jumlah selinder Diameter x langkah (displacement) Putaran Perbandingan kompresi Tekanan injeksi Daya nominal
: Mesin diesel 4 langkah :1 : 443 cm 3 (443 CC) : 700 rpm : 20 :1 : 230 kg/ cm 2 : 7,5 pK
Pengujian Pengaruh Bahan Bakar Terhadap Mesin. Pengujian pengaruh bahan bakar terhadap mesin dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung terhadap mesin diesel khususnya pada bagian kepala selinder dan piston. Pengujian performansi mengacu pada Reksowardojo et al. (2005) yang dilakukan dalam waktu 17 jam. Campuran biodiesel yang digunakan adalah solar 0 %, 10 %, 30% dan 50 % masing-masing sebanyak 4 liter. Mesin diesel yang digunakan mempunyai spesifikasi yang sama dengan mesin diesel yang digunakan dalam pengujian kinerja.
75
3.4.2.8 Analisis Keuntungan kasar Pada tahapan ini dilakukan analisis keuntungan secara kasar dengan cara menghitung laba yang akan didapat apabila minyak nyamplung diproses menjadi biodiesel. 3.4.3 Pengembangan Proses 3.4.3.1 Integrasi Proses Integrasi proses yang dilakukan mengacu pada Rudd dan Watson (1973); Seider et al. (1999) dengan cara menggabungkan dan mengintegrasikan semua tahapan proses yang telah dihasilkan pada tahap sintesis proses sebelumnya sehingga dihasilkan flowsheet yang utuh. Seider et al. (1999) menjelaskan bahwa flowsheet berisikan semua tipe proses yang dibutuhkan, aliran bahan, kondisi dan neraca massa dan energi semua tahap proses. Dengan demikian hasil dari integrasi proses ini adalah diagram alir kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperlukan untuk melakukan integrasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas: jenis tahapan proses, kondisi
proses (suhu dan tekanan), waktu proses,
komposisi masukan (nisbah molar metanol terhadap kadar ALB dan konsentrasi katalis terhadap berat ALB untuk proses esterifikasi dan nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak
untuk
proses transesterifikasi), komposisi keluaran, laju reaksi atau konversi pada setiap tahapan proses (neraca massa) dan neraca energi. 3.4.3.2 Simulasi dan Optimasi Biaya Produksi Simulasi Proses. Setelah tahap sintesis proses dilakukan pengembangan proses untuk menghasilkan flowsheet yang lebih rinci Seider (1999) dalam bentuk . Process Engineering Flow Diagram (PEFD) (Peters dan Timmerhaus, 1980). Flowsheet disertai neraca massa dan energi dan daftar peralatan. Neraca massa ditunjukkan pada setiap aliran, dilengkapi dengan suhu, tekanan dan komposisi aliran dan properties lain yang cocok.
Simulasi proses dalam penelitian ini
76
dilakukan dengan menggunakan program Hysys. Data yang diperlukan untuk membuat simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas: jenis tahapan proses, kondisi
proses (suhu dan tekanan), waktu proses,
komposisi masukan (nisbah molar metanol terhadap kadar ALB dan konsentrasi katalis terhadap berat ALB untuk proses esterifikasi dan nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak
untuk
proses transesterifikasi), komposisi keluaran, laju reaksi dan konversi pada setiap tahapan proses (neraca massa). Optimasi Biaya Biaya Produksi. Optimasi dilakukan untuk menentukan kapasitas produksi optimum yang dapat menghasilkan biaya minimum (Petters dan Timmerhaus 1980). Biaya produksi dihitung berdasarkan konversi biaya bahan baku, biaya bahan kimia untuk proses, biaya air dan listrik yang digunakan, biaya tenaga kerja dan biaya tetap proses tersebut. Tahapan optimasi biaya produksi dilakukan menurut Sinnot (1999) dengan meliputi menentukan tujuan, menentukan persamaan fungsi dan menentukan variabel yang dapat menghasilkan nilai optimum. Optimasi yang dimaksudkan dalam peneltian ini adalah melakukan optimasi kapasitas produksi (Po) sehingga dihasilkan biaya satuan produksi total per waktu (CT.) minimum
(Peters dan
Timmerhaus 1981). n
Qc n cT = (h + mP )+ ───
P
n
Qc CT= cT P = (h+ mPn + ───) P P h + mPn
= biaya operasi per satuan produk ( Variable Cost) dengan h = biaya operasi variabel tetap per satuan produk, mPn = biaya operasi superproduksi per satuan produk,
Qc cT
= biaya organisasi per satuan waktu (Fixed Cost) = biaya produksi total per satuan produk (Rp/satuan produk)
Optimasi Proses Esterifikasi
77
= biaya produksi total / waktu (Rp /waktu) = laju produksi (satuan produk / waktu). = tetapan.
CT P m dan n
Karena biaya produksi total per satuan produk per satuan waktu (Ct) adalah : CT = cT P maka Qcn CT = (h+ mP +───) P P n
Biaya produksi total satuan perwaktu minimum diperoleh apabila turunannya sama dengan 0.
d CT ────
dP
Po =
n-1
= 0 = nmPo Qc
Qc ─ ─── 2
Po
1/ (n+1)
───
nm
Po = Produksi optimum yang memberikan biaya minimum per satuan produk. 3.4.3.3 Analsis Kelayakan Teknis dan Finansial. Aspek penting yang diperhitungkan dalam menentukan kalayakan rancangan proses adalah penilaian aspek teknis dan aspek ekonomi khususnya finansial (Zhang et al. 2003). Analsis kelayakan teknis rancanngan produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dihasilkan meliputi sifat fisiko-kimia biodiesel sesuai standar SNI 04-7182:2006, kinerja biodiesel dan
pengaruh
biodiesel terhadap mesin. Analisis Kelayakan finansial meliputi Break Even Point (BEP), Pay Back Period (PBP), Net Benefit / Cost (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan Return on Investment (ROI).
78
IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan proses pada penelitian ini mengacu pada Seider et al. (1999) yang terdiri atas tiga tahap yaitu 1) analisis peluang dan permasalahan, 2) kreasi proses dan 3) pengembangan proses. 4.1. Analisis Peluang dan Permasalahan 4.1.1 Analisis peluang Peluang usaha produksi biodiesel cukup baik karena adanya Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati oleh Pemerintah Rebublik Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) dan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Departemen
Energi
dan Sumber
Daya
Mineral
(ESDM) menargetkan produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2009, 2010, 2015 dan 2025 masing-masing adalah 0,568, 0,720, 1,500 dan 4,700 milyar liter. Peluang usaha produksi biodiesel juga dapat dilihat dari harga biodiesel. Harga biodiesel berdasarkan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian mencapai 1035 US $/mt (http://www.depperin.go.id, 25 April 2008). Salah satu bahan baku biodiesel potensial adalah biji nyamplung dengan kandungan minyak mencapai 75% (Dweek dan Meadows 2002) dan taksiran produksi minyak per hektar per tahun mencapai 2,45 ton melebihi tanaman jarak pagar. 4.1.2 Analisis Permasalahan Tanaman nyamplung hanya berproduksi setahun dua kali (Joker 2004; Friday dan Okano 2005; Sutarno 2008, komunikasi pribadi). Karena kondisi demikian, maka
untuk memenuhi kebutuhan industri harus dilakukan
penyimpanan akibatnya terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) yang cukup tinggi. Kondisi ALB yang tinggi disebabkan pula oleh karakteristik biji nyamplung itu sendiri. Untuk dapat diambil minyaknya dengan pengepresan, inti
79
nyamplung harus dikeringkan terlebih dahulu (Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005). Pada saat pengeringan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang cukup besar. Minyak biji nyamplung secara sederhana diproduksi oleh petani dari Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang mempunyai kenampakan hijau gelap kotor serta kadar asam lemak bebas (ALB) sangat tinggi mencapai 30%. Minyak nabati dengan kadar ALB tinggi tidak dapat diproses menjadi biodiesel dengan transesterifikasi karena akan terbentuk emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester (Canakci dan Van Gerpen, 2001; Lele 2005, Tyson 2005). Persyaratan minyak nabati pada transesterifikasi dengan katalis basa adalah ≤ 5% (Canakci dan Van Gerpen, 1999). Dengan kondisi demikian maka rumusan masalahanya adalah bagaimana rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang mempunyai kenampakan kotor dan kadar ALB sangat tinggi ? 4.2 Kreasi Proses 4.2.1 Pengepresan dan Degumming Analisis Biji Nyamplung. Hasil analisis komposisi biji nyamplung tanpa kulit (inti atau kernel) dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Komposisi inti nyamplung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komponen Minyak Protein Karbohidrat Air Serat kasar Abu
Hasil analisis (%) 49,43 7,49 5,38 23,04 13,26 1,4
Inti nyamplung apabila dikonversi pada kondisi kering dengan kadar air 3,3 % maka kandungan minyak mencapai 61,20%. Kandungan minyak tersebut jauh lebih kecil dari informasi pustaka yang menyebutkan bawa biji nyamplung yang kering dengan kadar air 3,3% mempunyai kandungan minyak 71,4%
Heyne (1987),
80
namun sesuai dengan Soerawidjaja et al. (2005) yang menyatakan bahwa kadar minyak inti (kernel) biji nyamplung antara 40-73%. Perbedaan kandungan minyak pada inti kemungkinan disebabkan oleh perbedaan cara budidaya, perbedaan varietas, iklim, curah hujan dan sebab-sebab lainnya. Berdasarkan pengujian laboratorium, pemilihan biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel adalah tepat mengingat kadar minyak inti nyamplung mencapai 49,43% pada kadar air 23,4% atau 61,20% pada kadar air 3,3 %. Pengepresan. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan alat pres hidrolik berkekuatan 20 ton. Rendemen minyak nyamplung dari proses pengepresan tersebut adalah 17,5 % dari bobot biji atau 48,6% dari bobot inti kering. Rendemen tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu mencapai 61,20% (analisis dengan pelarut hexan metode soxhlet). Rendahnya rendemen minyak nyamplung kemungkinan disebabkan oleh sifat fisis dari minyak dalam biji nyamplung itu sendiri. Minyak dalam biji nyamplung tergolong kental dan mempunyai sifat lengket (melekat cukup kuat pada inti) sehingga saat dilakukan pengepresan masih banyak minyak yang tertingggal pada bungkil hal itu terbukti pada analisis kadar minyak dalam bungkil menunjukkan bahwa kadar minyak masih relatif tinggi mencapai 19,6%.
Rendahnya hasil
ekstrak minyak dari inti nyamplung secara mekanis juga dilaporkan oleh Dweek dan Meadows (2002) yang menyatakan bahwa dari 100 kg biji diperoleh 18 kg minyak, dengan kata lain rendemen minyak tersebut adalah 18% dari biji atau sekitar 40 % dari inti. Untuk meningkatkan rendemen minyak nyamplung perlu dilakukan penelitian lanjutan diantaranya adalah dengan cara kombinasi pengepresan dengan ekstraksi dengan menggunakan pelarut. Degumming. Perlakuan pendahuluan yang diberikan terhadap minyak nyamplung adalah proses degumming dengan menggunakan asam fosfat. Proses degumming
81
pada penelitian ini dilakukan pada suhu 80 oC selama 15 menit dilanjutkan dengan pencucian dengan air hangat pada suhu 60 oC sampai jernih. Diperlukan air sebanyak 1000 gram dan asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 0,3%. Pengeringan minyak setelah proses degumming dilakukan dengan pengering vakum pada suhu 80 oC untuk menguapkan air sebanyak 20 gram. Warna minyak nyamplung sebelum dan setelah proses degumming sangat berbeda. Perbedaan warna minyak nyamplung hasil proses degumming terhadap minyak awal disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Foto minyak biji nyamplung. Minyak nyamplung yang tadinya berwarna hijau gelap berubah menjadi kuning kemerahan hal itu diduga disebabkan karena hilangnya zat warna alami (pigmen) yang dominan pada minyak nyamplung tersebut. Disamping klorofil, minyak nyamplung diduga mengandung pigmen karotenoid sehingga pada waktu pigmen klorofil mengalami kerusakan saat proses degumming pigmen karotenoid menjadi dominan sehingga minyak nyamplung hasil degumming berwarna kuning kemerahan. Menurut Hui (1996) klorofil merupakan pigmen warna hijau yang terdapat pada kloroplas bersama-sama dengan karoten dan xantofil merupakan senyawa yang tidak stabil. Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa proses degumming efektif untuk menghilangkan kotoran yang ada pada minyak nyamplung sehingga ditetapkan pada perancangan proses.
82
4.2.2 Karakterisasi Minyak Nyamplung Pengujian Sifat Fisiko Kimia Minyak Biji Nyamplung. Minyak nyamplung yang digunakan dalam percobaan diperoleh dari pengrajin minyak nyamplung dari Kecamatan Ambal Kebumen Jawa Tengah. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung tersebut disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sifat fisiko-kimia minyak biji nyamplung dari Kebumen Karakteristik fisiko-kimia Kadar air Densitas pada suhu 20 0C 0
Hasil nalisis 0,25 % 0,944 g/ml
Viskositas suhu 40 C Bilangan asam
60,96 cSt 59,94 mg KOH/g
Kadar asam lemak bebas Bilangan penyabunan Bilangan Iod
29,53 % 198,1 mg KOH/g 86,42 mg/g
Indek refraksi
1,477
Pustaka 0,920-0,940 g/ml (Debaut et al. 2002) Kental (Debaut et al. 2002) 14,65 mg KOH/g (Kilham 2004) 7,4% (Debaut et al. 2002
100-115 mg/g (Debaut et al. 2002
1,4750-1,4820 Debaut et al. 2002
Penampakan
Hijau gelap dan kental Hijau dan kental bau dengan bau menyengat seperti olive oil (Debaut et al. 2002)
Minyak biji nyamplung yang dihasilkan dengan pengepresan menggunakan alat kempa hidrolik di Puslitbang Kehutanan Bogor mempunyai karakteristik fisikokimia yang hampir sama dengan minyak nyamplung dari Kebumen. Ada perbedaan karakteristik minyak nyamplung hasil percobaan dengan kajian pustaka khususnya mengenai kadar ALB, hal ini disebabkan karena perbedaan perlakuan penanganan pasca panen. Minyak nyamplung hasil pengepresan mempunyai kategori bermutu rendah dan tidak bisa diproses menjadi biodiesel dengan proses satu tahap (transesterifikasi). Pengujian Fisiko-Kimia Minyak Biji Nyamplung setelah Degumming. Walaupun penampakan minyak nyamplung
sebelum dan setelah degumming
sangat berbeda sekali akan tetapi karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan sebelum degumming. Karaktekteristik minyak nyamplung hasil degumming dapat dilihat pada Tabel 24.
83
Tabel 24 Karakteristik minyak nyamplung hasil degumming Karakteristik
Hasil Analisis
Air Densitas pada suhu 20 0C Bilangan asam Kadar asam lemak bebas Indek refraksi Viskositas suhu 40 0C
0,58 % 0,940 gr/ml 54,1792 mg KOH/g 27,21% 1,478 57,42 cSt
Proses degumming hanya menghilangkan kotoran yang berupa koloid seperti gum, fosofolipid dan lipoprotein pada minyak sehingga tidak berdampak banyak pada bilangan asam, viskositas dan karakteristik yang lain. Adanya sedikit penurunan viskositas kemungkinan disebabkan oleh hilangnya gum dan kotoran lain karena proses degumming. Sejumlah kecil asam lemak bebas rantai pendek kemungkinan ikut tercuci sehingga terjadi penurunan bilangan asam dalam jumlah yang kecil. Peningkatan kecil terhadap kadar air diduga disebabkan karena pengaruh adanya proses pencucian. Pengujian Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Nyamplung. Minyak nyamplung
mengandung asam lemak yang terdiri
asam lemak jenuh (tidak
mempunyai ikatan rangkap) dan asam lemak tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Komposisi asam lemak penyusun minyak nyamplung
dibandingkan
asam lemak bahan baku biodiesel lain dapat dilihat pada Tabel 25 sedangkan kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 12. Minyak nyamplung tersusun oleh empat
jenis asam lemak utama
yaitu asam palmitat (14,26%), asam stearat
(19,96%), asam oleat (37,57%) dan asam linoleat (26,33%). Total keseluruhan dari empat jenis asam lemak utama tersebut mencapai 98,12%. Jumlah empat jenis asam lemak utama yaitu asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat pada minyak jarak pagar 93,1%, minyak kelapa sawit 97,7% dan minyak kedele 90,4%, dengan demikian minyak mempunyai kemiripan dengan minyak-minyak tersebut.
nyamplung
84
Tabel 25 Komposisi asam lemak minyak nyamplung dibandingkan minyak lain Komponen Asam Palmitat (C16:0) Asam stearat (C18:0) Asam Oleat (C 18:1) Asam Linoleat (C 18:2) Asam Linolenat (C 18:3) Asam Arachidat (C20:0) Asam Erukat (C20:1) Asam Behenat (C22:0)
Minyak Nyamplung (%)a
Minyak Jarak Pagar (%)b
14,26 19,96 37,57 26,33 0,27 0,94 0,32 0,53
11,9 5,2 29,9 46,1 4,7 0,15 -
CPO (%)c
Minyak Kedele (%)d
43,79 4,42 39,9 9,59 0,17 0,38 -
10,3 3,9 22,1 54,1 8,3 0,3 0,4
a: hasil analisis b: Haas & Mittelbach 2000, c: Darnoko et al. (2001), d: Hui (1996)
Minyak jarak pagar, CPO dan minyak kedele sudah terbukti dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan karena minyak nyamplung mempunyai kemiripan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
Gambar 12 Kromatogram metil ester dari analisis GC minyak biji nyamplung. 4.2.3 Pemilihan Proses Minyak nyamplung dari pengrajin di Kabupaten Kebumen maupun hasil pengepresan di Badan Litbang Hasil Hutan Bogor mempunyai kualitas rendah dilihat dari kadar ALB dan penampakannya. Kadar ALB minyak tersebut sangat tinggi dan mempunyai kenampakan tidak menarik karena adanya kotoran di dalamnya. Oleh karena itu salah satu tahapan proses yang dipilih adalah degumming yang bertujuan menghilangkan kotoran (gum) pada minyak
85
nyamplung tersebut. Proses bleaching tidak relevan diberikan karena berdasarkan SNI biodiesel, tidak ada persyaratan warna biodesel. Netralisasi dengan basa juga tidak dilakukan karena
asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak
nyamplung justru akan dikonversi menjadi metil ester pada proses esterifikasi dan jika dilakukan netralisasi dengan basa akan merendahkan rendemen karena asam lemak bebas akan dikonversi menjadi sabun. Proses produksi biodiesel dilakukan melalui proses dua tahap yaitu esterifikasi yang bertujuan untuk menurunkan ALB dan sekaligus mengonversi ALB tersebut menjadi metil ester dan transesterifikasi untuk mengubah trigliserida, digliserida dan monogliserida menjadi metil ester. 4.2.4 Optimasi Proses Esterifikasi Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium untuk menentukan kondisi proses operasi terbaik. Optimasi kondisi proses dilakukan agar diperoleh hasil konversi (yield) yang optimum. Kondisi proses yang paling optimum (respon permukaan optimum) digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (RSM) oleh karena itu sebelum percobaan optimasi dilakukan maka perlu ditetapkan variabel proses yang berpengaruh nyata dan rentang titik-titik optimum pada setiap variabel berpengaruh nyata tersebut. 4.2.4.1 Penentuan Kondisi Operasi Karena proses esterifikasi dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu esterifikasi, nisbah molar metanol terhadap ALB, kecepatan pengadukan, waktu esterifikasi dan konsentrasi katalis, maka untuk keperluan optimasi proses esterifikasi kisaran titik optimum proses tersebut harus ditetapkan. Penentuan kondisi operasi esterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium.
86
Penentuan Suhu Esterifikasi. Proses esterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat kontras sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah metanol sedangkan lapisan bagian bawah adalah minyak yang merupakan campuran antara trigliserida, metil ester dan sisa asam lemak bebas. Produk hasil proses esterifikasi minyak nyamplung dapat dilihat pada Gambar 13. Keberhasilan proses esterifikasi ditentukan oleh penurunan ALB, oleh karena itu dilakukan pengukuran kadar ALB hasil esterifikasi pada bagian bawah setelah proses esterifikasi selesai. Agar terjadi proses pemisahan secara sempurna diperlukan pengendapan selama 2 jam.
Gambar 13 Hasil proses esterifikasi minyak nyamplung dengan metanol dan katalis asam klorida. Hasil esterifikasi biji nyamplung dengan kadar ALB awal 28,7% yang dilakukan pada nisbah molar metanol terhadap ALB 30:1, katalis HCl terhadap ALB 6%, waktu 60 menit, kecepatan pengadukan 400 rpm pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 14 dan hasil analisis Analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2.
87
6.0 Kadar ALB (%)
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 50
60
70
80 suhu esterifikasi (o C)
Gambar 14 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai suhu. Ada kecenderungan semakin tinggi suhu estrifikasi kadar ALB akhir esterifikasi semakin kecil, tetapi perbedaan antara suhu esterifikasi 60, 70 dan 80oC relatif kecil sehingga tidak berbeda nyata perbedaannya. Suhu esterifikasi 60 oC lebih efektif dibandingkan dengan 50 oC namun tidak ada perbedaan yang nyata dengan suhu 70 dan 80oC, dengan demikian suhu esterifikasi 60 oC dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Suhu esterifikasi 60 oC digunakan untuk esterifikasi minyak kedele oleh Canakci dan Van Gerpen (2001), minyak jarak oleh Sudradjat et al. (2005) dan suhu esterifikasi 55-60 oC digunakan untuk esterifikasi minyak kedele dan lemak oleh Canakci dan Van Gerpen (2003). Penentuan Kecepatan Pengadukan. Kadar ALB akhir esterifikasi yang dilakukan pada nisbah molar metanol 30:1, katalis HCl terhadap ALB 6 %, waktu 60 menit, suhu 60 oC pada berbagai kecepatan pengadukan dapat dilihat pada Gambar 15 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan Uji Duncan dapat dilihat
ALB (%)
pada Lampiran 3. 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 100
200
300 400 500 Kecepatan pengaduan (rpm)
Gambar 15 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai kecepatan pengadukan.
88
Ada kecenderungan semakin tinggi kecepatan pengaduaan sampai dengan 300 rpm kadar ALB akhir esterifikasi semakin kecil akan tetapi perbedaan antara kecepatan pengadukan 300, 400 dan 500 rpm tidak berbeda nyata (lihat Lampiran 3). Dengan demikian kecepatan pengadukan 300 rpm dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan
terhadap hasil proses transesterifikasi menggunakan
kecepatan pengadukan 150 dan 300 rpm akan tetapi antara 300 rpm dengan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit bahkan antara 600 dan 900 rpm tidak ada perbedaan sama sekali. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan pengadukan sampai dengan kecepatan tertentu akan meningkatkan hasil reaksi akan tetapi seteleh itu tidak berpengaruh. Penentuan Nisbah Molar Metanol. Kadar ALB pada akhir esterifikasi yang dilakukan pada suhu 60 oC, katalis HCl terhadap ALB 6%, waktu 60 menit, kecepatan pengadukan 300 rpm pada berbagai nisbah molar metanol terhadap ALB dapat dilihat pada Tabel 26 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4. Perlakuan
nisbah
molar
metanol
pada
proses
esterifikasi
yang
menghasilkan kadar ALB pada level yang paling rendah menurut uji statistik adalah yang dipilih. Ada kecenderungan semakin tinggi nisbah molar metanol terhadap ALB semakin rendah kadar ALB akhir esterifikasi yang dihasilkan, tetapi apabila diamati secara seksama penurunan kadar ALB setelah
nisbah molar
metanol terhadap ALB 20:1 tidak berbeda nyata dengan nisbah molar yang lebih besar sehingga digunakan untuk proses optimasi. Kadar ALB akhir esterifikasi pada nisbah molar metanol terhadap ALB 45:1 dan 50:1 tidak nyata dibandingkan dengan nisbah molar yang lebih kecil sehingga kondisi tersebut tidak dipilih. Nisbah molar metanol terhadap ALB 15:1 tidak dipilih karena masih mengahasilkan kadar ALB akhir esterifikasi pada level yang relatif tinggi sehingga belum memenuhi syarat untuk proses transesterifikasi berikutnya.
89
Penelitian pengaruh
nisbah molar metanol terhadap ALB terhadap
penurunan kadar ALB akhir esterifikasi dilakukan oleh Oluwaniyi et al. (2003) pada minyak biji Thevetia peruviana dengan menggunakan nisbah molar metanol terhadap ALB terhadap ALB 1:1, 3:1 dan 10:1 yang menunjukkan bahwa semakin besar nisbah molar yang digunakan, penurunan kadar ALB semakin besar. Tabel. 26 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai nisbah molar metanol terhadap ALB No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nisbah molar metanol 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Kadar ALB akhir esterifikasi (%) 31,0655 12,3464 9,3171 6,0509 4,8843 4,6457 3,9155 3,8284 3,7254 3,2926 3,3247
Pengaruh nisbah molar metanol terhadap ALB antara 20:1 sampai dengan 40:1 terhadap proses esterifikasi dipelajari oleh Canakci dan Van Gerpen (2001) menunjukkan bahwa semakin besar nisbah molar metanol terhadap ALB yang digunakan penurunan bilangan asam semakin besar. Berdasarkan kajian pustaka biasanya cukup tinggi, seperti esterifikasi yang dilakukan oleh Canakci dan Van Gerpen (2003) terhadap lemak dengan ALB 39,6% adalah dengan nisbah molar metanol 20:1 kemudian dilanjutkan dengan dengan esterifikasi tahap kedua dengan nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, Zhang et al. (2003) menggunakan nisbah molar metanol terhadap ALB 50:1. Berdasarkan hasil penelitian ini maka nisbah molar metanol terhadap ALB yang dipilih adalah 20:1. Penentuan Konsentrasi Katalis. Kadar ALB pada akhir esterifikasi yang dilakukan pada suhu 60 oC, nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, waktu 60
90
menit, dan kecepatan pengadukan 300 rpm pada berbagai konsentrasi katalis dapat dilihat pada Gambar 16 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan uji
Kadar ALB (%)
Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5.
16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0
3
6
9
12
15
18
Katalis HCl (% dari ALB)
Gambar 16 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai konsentrasi katalis HCl. Katalis sangat diperlukan dalam proses esterifikasi dibuktikan dengan perbedaan yang signifikan antara penggunaan katalis 3 % dengan tanpa katalis. Keperluan katalis untuk proses esterifikasi sangat kecil hal itu dibuktikan tidak ada perbedaan yang nyata penggunaan katalis 6 -15 % (lihat Lampiran 5), akan tetapi penggunaan katalis 6 % dari ALB lebih baik dari penggunaan katalis 3 % dan penggunaan katalis 18 % justru menunjukkan kadar ALB akhir esterifikasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu penggunaan katalis 6 % dari bobot ALB dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Canakci dan Van Gerpen (2001) yang menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi katalis yang digunakan pada proses esterifikasi sampai dengan konsentrasi 15% dari ALB penurunan kadar ALB semakin besar
akan tetapi
penggunaan konsentrasi katalis 18 % dari ALB untuk esterifikasi minyak dengan kadar ALB 40% selama 30 menit dan 60 menit justru menunjukkan penurunan kadar ALB yang lebih kecil. Esterifikasi terhadap minyak kedele yang
91
mengandung ALB 20 % dengan menggunakan nisbah molar metanol: ALB = 9:1 yang dilakukan pada suhu 60 oC selama 1 jam dan menggunakan katalis asam sulfat 5 % dari ALB dapat menurunkan bilangan asam 41,33 menjadi 1,77 sedangkan apabila kadar ALB awal 40 % bilangan asam menjadi 18,82 (Canakci dan Van Gerpen 2001). Toleransi Variasi Kadar ALB Bahan Baku. Nisbah molar metanol yang ditetapkan pada proses esterifikasi untuk menurunkan kadar ALB minyak nyamplung setelah proses degumming adalah 20:1 dan dengan menggunakan BM asam lemak bebas yang paling dominan dalam minyak biji nyamplung yaitu asam oleat (BM = 282) maka gram metanol yang dibutuhkan adalah nisbah molar metanol terhadap ALB dikalikan berat molekul metanol dibagi berat molekul asam lemak sebagai asam oleat dikalikan berat ALB (2,2695 x gram ALB). Katalis asam klorida pekat yang diperlukan adalah 6% dari gram ALB. Proses esterifikasi ditetapkan menggunakan suhu 60oC, kecepatan pengadukan 300 rpm, dan waktu 30 menit. Esterifikasi dengan dengan kondisi tersebut dapat menurunkan kadar ALB dari 27-33.% menjadi sekitar 4,5%. Proses esterifikasi yang dilakukan dengan perhitungan nisbah molar metanol terhadap ALB mempunyai keuntungan yaitu perbedaan kadar ALB bahan baku sampai kadar tertentu (7 %) tidak mempengaruhi hasil esterifikasi secara nyata seperti yang diperlihatkan pada Gambar 17. Sisa (ecsess) reaktan dengan menggunakan perhitungan ini adalah nisbah molar metanol terhadap ALB yang digunakan dikurangi dengan nisbah molar untuk reaksi secara stokiometri (2,156 x gram ALB).
92
Kadar ALB Produk (%)
5,50 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 26,8
27,2
28,6
29,9
31,6
33,1
Kadar ALB bahan baku (%)
Gambar 17 Hubungan antara kadar ALB bahan baku dengan kadar ALB produk esterifikasi pada suhu 60 oC, nisbah molar metanol 20:1, kecepatan pengadukan 300 rpm dan katalis 6 % dari ALB. Penelitian ini ada kesesuaian dengan hasil penelitian Canacki dan Van Gerpen (2003) yang menunjukkan bahwa bilangan asam awal lemak sebagai bahan baku sebesar 18,03 KOH/g setelah esterifikasi menjadi 4,26 mg dan pada saat bilangan asam dinaikkan sekitar empat kalinya menjadi 79,2 mgKOH/g setelah esterifikasi dengan waktu, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis yang sama bilangan asamnya menjadi 6,96 mg KOH/g. Hal ini menunjukkan bahwa hasil esterifikasi dengan pendekatan perhitungan
nisbah molar metanol terhadap ALB dan
konsentrasi katalis terhadap kadar ALB tidak banyak dipengaruhi oleh mutu bahan baku sampai batas tertentu (7%), sehingga cara perhitungan ini dapat digunakan. 4.2.4.2 Optimasi Proses Esterifikasi Menggunakan Respon Surface Method Optimasi proses esterifikasi diperlukan untuk menentukan kondisi proses yang paling sesuai sehingga diperoleh hasil yang optimum. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari sintesis proses khususnya mengenai kondisi proses esterifikasi yang telah dibahas sebelumnya. Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon (Respon Surface Method). Dalam optimasi permukaan respon ini digunakan perancangan faktorial (23=8) ditambah titik pusat (6) dan titik observasi (6). Dipilih tiga faktor untuk dioptimasi didasarkan pada tingkat
93
pengaruh faktor dan pertimbangan ekonomi. Faktor proses optimum digunakan untuk pengukuran kinetika reaksi pada tahap berikutnya. Titik tengah dari masingmasing faktor adalah suhu esterifikasi 60 oC, konsentrasi katalis terhadap ALB 6%, nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1,
sedangkan faktor lain tetap yaitu
kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu esterifikasi 30 menit. Hasil estimasi koefisien regresi dan analisis varian dari optimasi respon pengukuran kadar ALB akhir esterifikasi oleh tiga input variabel masing-masing yaitu nisbah molar metanol, katalis HCl dan suhu yang dilakukan pada kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu esterifikasi 30 menit disajikan pada Tabel 27, sedangkan respon regresi permukaan ALB versus
nisbah molar metanol,
konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan analisis Analisis ragam menunjukkan bahwa nilai F model kuadratik adalah 28,57 (P-value = 0,000) sehingga signifikan (P-value < α = 0,05), dengan demikian model kuadratik adalah tepat. Adapun persamaan model kuadratik pengaruh nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi terhadap kadar ALB akhir esterifikasi sebagai berikut: Y = 4,75199 - 0,850067M + 0,187544K + 0,456206S + 0,721867M2 + 0,202320K2 + 0,367783 S2 - 0,197375 MK - 0,0926250 MS + 0,0906250 KS. dengan : M = nisbah molar metanol terhadap ALB, K = persentase katalis HCl terhadap ALB dan S = suhu esterifikasi Hasil uji kesahihan model menunjukkan bahwa model kuadratik mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) relatif tinggi yaitu 95,6%. Hal itu menunjukkan bahwa 95,6% dari keragaman pada parameter optimasi dapat dijelaskan dengan model.
94
Uji lack of fit yang digunakan untuk menguji kecukupan model berdasarkan tabel Analisis ragam menunjukkan bahwa P-value lack of fit = 0,202 > α = 0,05 maka tidak signifikan atau tidak ada lack of fit artinya model yang dibuat telah sesuai dengan data. Hasil uji residual menunjukkan bahwa plot residual menyebar acak
sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi cukup tepat dengan data.
Disamping itu plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi normal. Uji kecukupan model juga dilakukan dengan cara menganalisis residual yaitu menguji kenormalan residual dengan menggunakan statistik Kolmogorov-Smirnov. Nilai Statistik Kolmogorov-Smirnov adalah 0,159 < nilai statistik (Tabel Kolmogorov-Smirnov) dengan 20 pengamatan yaitu 0,294. Kesimpulan dari uji kenormalan residual adalah model regresi linier yang dibuat telah mengikuti distribusi normal sehingga kenormalan residual pada suatu model regresi telah dipenuhi sehingga model bisa digunakan. Uji parameter model menunjukkan bahwa variabel
nisbah metanol,
konsentrasi katalis, suhu, kuadrat nisbah metanol, kuadrat konsentrasi katalis dan kuadrat suhu memiliki pengaruh penting terhadap penurunan kadar ALB dikarenakan p-value variabel-variabel tersebut cukup kecil. P-value
nisbah
Metanol =0,000, p- value Katalis = 0,058, p- value Suhu = 0,000, p- value Metanol*Metanol = 0,000, p- value Katalis*Katalis = 0,039 dan p- value Suhu*Suhu =0,002. Kontur respon kadar ALB yang merupakan fungsi dari
nisbah molar
metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18 dan 19. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi optimum proses esterifikasi dapat diperoleh dengan mengatur suhu, konsentrasi katalis dan nisbah molar metanol.
95
Tabel 27 Hasil optimasi respon permukaan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi Nisbah molar No metanol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
-1,000 1,000 -1,000 1,000 -1,000 1,000 -1,000 1,000 -1,682 1,682 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Katalis -1,000 -1,000 1,000 1,000 -1,000 -1,000 1,000 1,000 0,000 0,000 -1,682 1,682 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Suhu -1,000 -1,000 -1,000 -1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 0,000 0,000 0,000 0,000 -1,682 1,682 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Kadar ALB (%) Hasil Perhitungan Percobaan Model * 6,15 6,05 4,64 4,93 6,22 6,64 4,95 4,73 6,70 6,97 5,85 5,48 8,16 7,92 5,49 5,64 8,41 8,22 5,25 5,36 5,04 5,01 5,68 5,64 5,23 5,02 6,42 6,56 4,74 4,75 4,84 4,75 4,94 4,75 4,25 4,75 4,84 4,75 4,90 4,75
*Y = 4,75199-0,850067M+0,187544K+0,456206S+0,721867M2+ 0,202320K2+ 0,367783S20,197375MK-0,0926250 MS+0,0906250 KS. M = nisbah molar metanol K = katalis dan S = Suhu esterifikasi
Gambar 18 Plot permukaan optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi.
96
Hasil analisis kanonik yang digunakan untuk menentukan titik optimum adalah penentuan titik stasioner yang terjadi nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi. Hasil analisis kanonik titik optimum diperoleh pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1, konsentrasi katalis HCl terhadap ALB 5,9% dan suhu esterifikasi 58,1oC.
Gambar 19 Plot kontur optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi. Model kadar ALB akhir esterifikasi dilakukan validasi laboratorium sebanyak 5 kali ulangan. pada kondisi nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi optimum. Kadar ALB yang diperoleh dari 5 kali ulangan tersebut adalah 4,74, 4,50, 4,9721, 4,51, dan 4,58% dengan rata-rata 4,67 % berdekatan dengan hasil perhitungan model yaitu 4,75 %. Dengan demikian suhu esterifikasi 58,1 oC,
nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1, konsentrasi
katalis HCl terhadap berat ALB 5,9% yang dilakukan pada pengadukan 300 rpm adalah kondisi yang sesuai untuk esterifikasi minyak biji nyamplung .
97
4.2.5 Analisis Model Kinetika Reaksi Esterifikasi Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi dari suatu proses kimia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang reaktor (Petrucci, 1992). Pengukuran kinetika reaksi esterifikasi digunakan untuk perancangan reaktor batch khususnya waktu tinggal sesuai dengan Hill (1977); Perry (1988), Richardson and Peacock (1994) yang menyatakan bahwa dalam perancangan reaktor batch harus diketahui waktu yang diperlukan untuk mengkonversi sejumlah bahan pada kondisi reaksi spesifik. Pengukuran kinetika reaksi esterifikasi dilakukan pada kondisi optimum yang diperoleh pada optimasi proses pada tahap sebelumnya yaitu pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1 dan konsentrasi katalis HCl terhadap ALB 5,9%. 4.2.5.1 Tetapan Laju Reaksi Esterifikasi Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan metode isolasi (Atkins 1999) yang dikombinasikan dengan metode integral (Laidler 1979) dengan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel (lihat pada Lampiran 7). k1 RCOOH + CH3OH
RCOO– CH3 + H2O
Hubungan konsentrasi asam lemak bebas dengan
waktu esterifikasi
ditampilkan pada Gambar 20 dan data konversi (perubahan kadar ALB sebelum dan setelah esterifikasi dibagi kadar ALB awal dinyatakan dalam persen) dapat dilihat pada Tabel 28.
98
Kadar ALB 30,00 (%)
25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Waktu (menit)
28 oC
Gambar 20
45 oC
60 oC
70 oC
Hubungan antara kadar ALB dengan waktu reaksi pada berbagai suhu esterifikasi.
Tabel 28 Data konversi (bagian) asam lemak bebas menjadi metil ester Waktu (menit) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
o
28 C 0,00 0,38 0,46 0,58 0,59 0,65 0,69 0,71 0,72 0,71 0,74 0,77 0,79
Konversi (bagian) 45 oC 60 oC 70oC 0,00 0,00 0,00 0,35 0,50 0,67 0,61 0,73 0,75 0,67 0,76 0,78 0,73 0,78 0,82 0,78 0,81 0,84 0,79 0,83 0,85 0,80 0,83 0,85 0,81 0,83 0,86 0,81 0,84 0,86 0,81 0,83 0,86 0,81 0,83 0,85 0,82 0,83 0,86
Pola hubungan antara kadar ALB dengan waktu reaksi menyerupai hasil penelitian Guner et al. (1996); Oluwaniyi dan Ibiyemi (2003) dan Sendzikiene et al. (2004). Kadar ALB turun secara bertahap sampai dengan 15 menit pertama kemudian sangat lambat dan setelah 30 menit mendekati konstan. Hubungan antara 1/([ALB]t – 1/ ([ALB]0 dengan
waktu pada esterifikasi dengan nisbah molar
metanol 22,2:1, katalis HCl 5,9 % keduanya dihitung berdasarkan jumlah ALB,
99
kecepatan pengadukan 300 rpm, suhu 28 oC, 45 oC, 60 oC dan 70 oC ditampilkan pada Gambar 21. 1/[ALBt1/[ALB]o
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
Waktu es terifikas i (m enit)
28 oC
45 oC
60 oC
70 oC
Gambar 21 Hubungan antara waktu reaksi esterifikasi dengan 1/([ALB]t -1/([ALB]o. Melihat fenomena hubungan antara t dengan nilai 1/([ALB]t -1/([ALB]o yang tidak linier maka nilai k dihitung berdasarkan slope (kemiringan) garis awal sesui dengan Goud et al. (2006). Nilai k ditentukan dengan metode integral sampai didapat nilai k yang konsisten atau linearitas paling tinggi yaitu pada pseudo orde dua (lihat lampiran 7). Menurut Sanchez et al. (1997) kinetika reaksi esterifikasi mengikuti orde dua semu (pseudo second order). Grafik hubungan antara 1/([ALB]t -1/([ALB]o dengan waktu pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 22. 1/[ALB]t1/[ALB]o 7,0000
70 oC y = 0,2515x R2 = 0,9019
6,0000 5,0000 4,0000
60 oC y = 0,2093x R2 = 0,9215 45 oC y = 0,1515x R2 = 0,985
3,0000
28 oC y = 0,0866x R2 = 0,9674
2,0000 1,0000 0,0000 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (menit)
Gambar 22 Grafik hubungan antara 1/([ALB]t -1/([ALB]o dengan waktu reaksi untuk penentuan nilai k reaksi esterifikasi.
100
Berdasarkan Gambar 22 maka tetapan laju reaksi esterifikasi pseudo orde dua (k1) pada suhu 343 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,252 liter/ mol menit, 0,209 liter/ mol menit, 0,152 liter/ mol menit dan 0,087 liter/ mol menit. Guner et al. (1996) mengukur tetapan laju esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol dengan katalis asam sulfat pada suhu 180 oC dengan orde 2 yaitu 1.633 x 10-4 wt%-1menit-1., 4.2.5.2 Model Kinetika Reaksi Esterifikasi Orde Dua Semu (pseudo- second order) Berdasarkan Persamaan Arhenius Hubungan antara tetapan laju reaksi dengan energi aktivasi berdasarkan persamaan Arhenius adalah sebagai berikut: k1 -ln k Y
= A exp(Ea/RT) = (Ea/R) 1/T - ln A = ax +b
Grafik hubungan antara -ln k1 dengan 1/T proses esterifikasi pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K dapat dilihat pada Gambar 23 sedangkan penentuan energi aktivasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
-ln k1
3,0000 2,5000 2,0000
y = 2618x - 6,2868 R2 = 0,9908
1,5000 1,0000 0,5000 0,0000 0,0028
0,0029
0,0030
0,0031
0,0032
0,0033
0,0034
1/T
Gambar 23 Plot -ln k dengan 1/T pada proses esterifikasi minyak biji nyamplung pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K.
101
Dari persamaan -ln k = (Ea/R) 1/T - ln A
diperoleh persamaan
y = 2618x -6,2868 dengan R2 = 0,9908 dengan demikian : ln A = 6,2868, A = 537,4 liter / mol menit. Ea/R = 2618, Ea = 5201,97 cal/ mol K= 5,202 kcal/mol (21,7 kJ/mol). Hangx et al.(2001) memperoleh energi aktivasi pada reaksi esterifikasi etanol dan asam asetat sebesar 48,3 kJ/mol. Sendzikiene et al. (2004) melakukan esterifikasi asam lemak bebas dengan metanol pada suhu 20-60 oC memperoleh energi aktivasi sebesar 13,3 kJ/mol. Guner et al. 1996 melakukan esterifikasi asam oleat dengan gliserol pada suhu 180-240 oC memperoleh energi aktivasi 21.32 k cal/mol (89,1 kj/mol). Nilai k1 pada berbagai suhu esterifikasi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan Arrhenius k1 = A exp(-Ea/RT) k1 = 537,4 exp - 5202 /1,987T k1 = 537,4 exp - 2618/ T sehingga model laju reaksi esterifikasi (rEs ) adalah : d[ALB] rEs =
_____
= – k1 [ALB]2
dt rEs= –537,4 exp - 2618/ T [ALB]t2 –537,4 exp - 2618/ T ([ALB]0 -x) 2 Dengan model tersebut dapat ditentukan nilai k1 pada berbagai suhu dalam kisaran suhu percobaan (301–343 K) misalnya apabila digunakan suhu 340 K maka diperoleh nilai k sebesar 0,243 liter/ mol menit.
102
4.2.5.3 Perancangan Waktu Reaksi Ideal Waktu reaksi batch ideal proses esterifikasi
dihitung berdasarkan neraca massa
dalam reaktor batch isotermal (endotermis) mengacu pada Perry (1988); Richardson and Peacock (1994) sebagai berikut: Laju alir reaktan masuk
− laju alir reaktan – laju alir penghilangan keluar reaktan
= laju akumulasi
Karena reaktor batch, maka laju alir reaktan masuk dan laju alir reaktan keluar = 0 0
–0
d [ALB] dt
–V.r[ALB]
= d [ALB] / dt
= (– r [ALB] ) V
Pada volume (V) konstan: d [ALB] dt
= (– r [ALB] )
[ALB]t
d [ALB] =
dt
(– r [ALB] ) [ALB]o
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi asam lemak bebas sebesar [ALB]t pada kondisi isotermal adalah: [ALB]t
t= [ALB]o
d [ALB]t -----------(– r [ALB] )
r [ALB] = k [ALB]2 [ALB]t
t= [ALB]o
d [ALB]t -----------–k [ALB]2
103
[ALB]t
1 ------------ d [ALB] –k [ALB]2
t= [ALB]o
t=
1 ----k
1 1 ------- – --------[ALB]t [ALB] o
t = 25,62 menit Pada kondisi isotermal suhu 60 °C dan harga k = 0,209 liter/ mol menit, untuk mendapatkan kadar ALB minyak nyamplung hasil esterifikasi sebesar 0,154 mol/liter (4,65%) dari bahan baku minyak nyamplung yang mengandung ALB 0,890 mol/liter (26,76%) diperlukan waktu 25,62 menit. Jika menggunakan waktu esterifikasi 25 menit maka diprediksi akan diperoleh minyak nyamplung dengan konsentrasi ALB sebesar 0,157 mol/liter (4,73%). Konsentrasi ALB akhir esterifikasi hasil perhitungan dari model kinetika mendekati hasil validasi melalui percobaan laboratorium seperti ditampilkan pada Tabel 29. Tabel 29 Kadar ALB minyak biji nyamplung akhir esterifikasi hasil percobaan selama 25 menit dibandingkan prediksi Ulangan
Kadar ALB minyak nyamplung akhir esterifikasi Hasil Percobaan (% berat)
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
Perhitungan kinetika (% berat) 4,86 5,84 4,75 4,91 4,84 4,75 4,99
4,73
104
4.2.6 Optimasi Proses Transesterifikasi Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium untuk menentukan kondisi proses operasi terbaik. Optimasi kondisi proses dilakukan agar diperoleh hasil konversi (yield) yang optimum. Kondisi proses yang paling optimum (respon permukaan optimum) digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon, oleh karena itu faktor eksternal yang meliputi suhu transesterifikasi, nisbah
molar metanol, kecepatan pengadukan,
waktu transesterifikasi dan konsentrasi katalis, harus ditentukan. Proses transesterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat kontras sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah metil ester sedangkan lapisan bawah adalah gliserol dan sisa metanol. Produk hasil proses transesterifikasi ditampilkan pada Gambar 24.
Gambar 24
Biodiesel hasil proses transesterifikasi minyak nyamplung (a: minyak hasil esterifikasi dan b: biodiesel setelah pemisahan gliserol, pencucian dan pengeringan).
105
Diperlukan waktu
dua jam agar terjadi pengendapan gliserol secara
sempurna hal ini merujuk pada Canakci dan Van Gerpen (2003) yang menyatakan bahwa setelah pengendapan selama 1,2 dan 3 jam total gliserin dalam biodiesel berturut-turut menjadi 1,09%, 0,79% dan 0,69% dari kadar gliserin awal 11.07%. Keberhasilan proses transesterifikasi ditentukan oleh beberapa parameter diantaranya adalah penurunan viskositas, penurunan densitas dan peningkatan kandungan metil ester. Penurunan kadar gliserida berkorelasi positif dengan peningkatan kadar metil ester dan peningkatan kadar metil ester tersebut berkorelasi dengan penurunan viskositas dan densitas (De Filippis et al. 1995). AlWidyan dan Al-Shyoukh (2002) mengukur keberhasilan proses transesterifikasi berdasarkan penurunan spesific grafity (massa jenis). Beberapa peneliti menggunakan parameter penurunan kadar gliserida dan peningkatan kadar metil ester untuk mengukur keberbasilan proses transesterifikasi (Freedman et al. (1986): Noureddini dan Zhu (1997); Cheng et al. (2004). Pengukuran parameter proses transesterifikasi dilakukan terhadap biodiesel setelah dilakukan pengendapan, pemisahan, pencucian dan pengeringan. Penelitian pengaruh kondisi proses terhadap hasil transesterifikasi telah banyak dilakukan misalnya Freedman et al. (1986) dan Noureddini dan Zhu (1997) terhadap minyak kedele, Darnoko dan Cheryan (2000) dan Cheng et al. (2004) terhadap minyak kelapa sawit, Sudradjat et al. (2005) terhadap minyak jarak dan Van Garpen et al. (2005) terhadap minyak kedele dan lemak. Penelitian pengaruh kondisi proses transesterifikasi bertujuan untuk memastikan kondisi proses transesterifikasi
yang
sesuai
untuk
minyak
biji
nyamplung,
dengan
mempertimbangkan kondisi proses transesterifikasi minyak nabati lain hasil kajian pustaka.
106
4.2.6.1 Penentuan Jenis Kondisi Operasi Karena proses transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu, nisbah molar metanol terhadap ALB, kecepatan pengadukan, waktu dan konsentrasi katalis, maka untuk keperluan optimasi, kisaran titik optimum kondisi proses tersebut
harus diketahui. Penentuan kondisi proses transesterifikasi
didasarkan pada viskositas biodiesel sesuai De Filippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan kadar metil ester selama transesterifikasi berkorelasi positif dengan penurunan viskositas. Penentuan kondisi operasi transesterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium. Penetapan Nisbah Molar Metanol. Nisbah molar metanol terhadap minyak pada proses transesterifikasi yang dicobakan mengacu pada penelitian Freedman et al. (1984); Filippis et al. (1995); Karmee dan Chandha (2005) yaitu 2:1, 3:1, 6:1 dan 9:1 dengan waktu transesterifikasi 30 menit, kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu 60oC, dan katalis NaOH 1 % terhadap jumlah minyak. Hasil pengukuran viskositas akhir proses transesterifikasi disajikan pada Gambar 25 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 9. Ada perbedaan yang nyata pengaruh penggunaan nisbah molar metanol dalam proses transesterifikasi terhadap kadar ALB dan viskositas produk.
Viskositas (cSt)
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 2
3
4
5
6
7
8
Nisbah m olar m etanol terhadap m inyak sebagai triolein
9
107
Gambar 25 Rata-rata viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi pada berbagai nisbah molar metanol. Nisbah molar metanol 2:1 dan 3:1 menghasilkan viskositas produk yang tinggi dibandingkan dengan nisbah molar metanol 6:1 dan 9:1 dengan demikian nisbah molar metanol 6:1 yang dipilih. Hasil penelitian Cheng et al. (2004) menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan penggunaan nisbah molar metanol 6:1-10:1 tidak berbeda nyata hal ini sesuai dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian De Fillippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan nisbah molar metanol sampai dengan 6:1 menyebabkan peningkatan konversi metil ester secara nyata akan tetapi peningkatan
nisbah molar 6:1-12:1 tidak
mempengaruhi hasil konversi metil ester. Nisbah molar metanol 6:1 digunakan untuk proses transesterifikasi oleh Freedman et al. (1986) dan Noureddini dan Zhu (1997), Darnoko dan Cheryan (2000) dan Cheng et al. (2004). Penetapan Kecepatan Pengadukan. Kecepatan pengadukan berkaitan dengan kebutuhan energi untuk proses tumbukan agar reaksi dapat berlangsung dengan sempurna. Kecepatan pengadukan yang dicobakan adalah 100 rpm, 200 rpm, 300 rpm, 400 rpm dan 500 rpm pada suhu, waktu reaksi, nisbah molar metanol, dan konsentrasi katalis yang sama masing-masing adalah 60oC, 30 menit, 6:1 dan 1% seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26 sedangkan hasil analisis
Viskositas (cSt)
Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 10.
8.80
8.40
8.00
7.60 100
200
300
400
500
Kecepatan pengadukan (rpm)
108
Gambar 26
Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai kecepatan pengadukan.
Pengadukan sampai dengan 400 rpm menghasilkan viskositas biodiesel semakin kecil akan tetapi antara 400 rpm dan 500 rpm tidak ada perbedaan yang nyata. Dengan demikian kecepatan pengadukan 400 rpm dipilih untuk optimasi proses transesterifikasi. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan terhadap hasil proses transesterifikasi menggunakan kecepatan pengadukan 150 dan 300 rpm akan tetapi antara 300 rpm dengan 600 rpm perbedaannya kecil, bahkan antara 600 dan 900 rpm tidak ada perbedaan sama sekali. Kecepatan pengadukan yang digunakan untuk proses transesterifikasi Cheng et al.(2004) adalah 350 rpm. Penetapan Konsentrasi Katalis. Konsentrasi katalis yang dicobakan adalah
0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% pada suhu, waktu, nisbah molar metanol,
kecepatan pengadukan yang sama masing-masing adalah 60oC, 30 menit, 6:1 dan 400 rpm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27, hasil analisis Analisis ragam
Viskositas (cSt)
dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 11. 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0
0,5
0,75
1
1,25
1,5
1,75
2
Konsentrasi katalis (%)
Gambar 27 Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai konsentrasi katalis. Ada perbedaan nyata pemakaian katalis NaOH 0,5% dengan pemakaian katalis 1%, 1,5% dan 2% namun pemakaian katalis 1%, 1,5% dan 2 % tidak berbeda. Dengan demikian pemakaian katalis 1% adalah paling sesuai. Hasil
109
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Cheng et al. 2004 yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hasil konversi metil ester terhadap perbedaan penggunaan katalis 0,5%-1% begitu pula Canakci dan Van Garpen (2001) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan katalis KOH 1 % dan 0,5%. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena kadar asam lemak bebas bahan baku pada penelitian ini jauh lebih besar. Konsentrasi katalis NaOH 1% disarankan untuk proses transesterifikasi oleh Freedman et al. (1984), Noureddini dan Zhu (1997), Sudradjat et al. (2005), Gerpen et al. (2004) dan Lele (2005). Penetapan Suhu. Suhu transesterifikasi yang dicobakan mengacu pada Cheng et al. (2004); Noureddini dan Zhu (1997) yaitu 45oC, 60oC dan 75 oC. Konsentrasi katalis, waktu reaksi,
nisbah
molar metanol, dan kecepatan
pengadukan sama masing-masing berturut-turut adalah 1%, 30 menit, 6:1 dan 400 rpm. Rata-rata hasil pengamatan viskositas, ALB dan rendemen yang ditunjukkan pada Tabel 30 dan hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 30 Rata-rata kadar ALB, viskositas, bobot jenis dan rendemen biodiesel dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu transesterifikasi Parameter Viskositas (cSt) ALB (%) Massa jenis (g/cm3) Rendemen (%)
45 oC 8,9 0,661 0,889 66,4
Suhu 60 oC 8,4 0,643 0,886 69,8
75 oC 10,3 0,615 0,880 68,0
Berdasarkan pengolahan data secara statistik, pengaruh perbedaan suhu transesterifikasi terhadap kadar ALB, bobot jenis dan rendemen
tidak nyata.
Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Cheng et al. 2004 yang menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan suhu transesterifikasi yaitu 50–70 oC tidak berpengaruh terhadap hasil setelah transesterifikasi selama 20 menit begitu
110
pula hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang nyata pengaruh suhu terhadap hasil metil ester antara 30-60 oC akan tetapi antara 60 - 70 oC tidak ada perbedaan nyata. Sedangkan untuk viskositas ada perbedaan yaitu transesterifikasi suhu 45 oC dan 60 oC menunjukkan perlakuan yang lebih baik dari pada suhu 75 oC. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian pustaka maka suhu 60 oC dipilih sebagai suhu transesterifikasi. Suhu 60oC digunakan untuk transesterifikasi oleh Darnoko dan Cheryan (2000), Cheng et al. (2004), Sudradjat et al. (2005) dan Van Garpen et al. (2005). 4.2.6.2 Optimasi Proses Transesterifikasi Optimasi proses transesterifikasi diperlukan untuk menentukan kondisi proses yang paling sesuai sehingga diperoleh hasil yang optimum. Tahapan ini merupakan lanjutan sintesis hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap proses transesterifikasi yang telah dibahas sebelumnya. Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon. Pada optimasi respon ini digunakan perancangan faktorial (22=4) ditambah titik pusat (5) dan titik observasi (4). Titik tengah dari
konsentrasi katalis terhadap minyak 1%, nisbah
molar metanol
terhadap minyak ( sebagai triolein) 6:1, sedangkan faktor lain dibuat tetap yaitu kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu transesterifikasi 60
o
C dan waktu
transesterifikasi 30 menit. Dipilih dua faktor yang dioptimasi yaitu nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut dan pertimbangan ekonomi. minyak dan konsentrasi
Nisbah molar metanol terhadap
akan menjadi variabel tetap pada penentuan kinetika
reaksi pada tahap berikutnya. Hasil estimasi koefisien regresi dan analisis varian dari optimasi respon produk oleh dua input variabel yaitu nisbah molar metanol terhadap minyak dan
111
katalis NaOH terhadap minyak yang dilakukan pada kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu 60oC dan waktu 30 menit terhadap parameter kadar ALB, rendemen, viskositas dan kadar metil ester disajikan pada Gambar 28 dan Tabel 31, sedangkan hasil analisis regresi respon permukaan, Analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 31 Rata-rata kadar ALB, viskositas, rendemen, dan kadar metil ester hasil percobaan dan perhitungan model pada optimasi proses transesterifikasi Met
Kat
-1 1 -1 1 -1,414 1,414 0 0 0 0 0 0 0
-1 -1 1 1 0 0 -1,414 1,414 0 0 0 0 0
*1 *2 *3 *4
Kadar ALB (%) Hasil Model*1 1,243 1,292 1,332 1,378 1,479 1,434 1,043 0,996 1,276 1,273 1,023 1,024 1,552 1,485 1,251 1,316 0,725 0,831 0,841 0,831 0,880 0,831 0,819 0,831 0,891 0,831
Viskositas (cSt) Hasil Model*2 16,950 16,712 20,040 19,151 20,600 19,466 14,600 12,815 17,900 18,451 14,000 15,472 18,000 18,378 14,200 15,845 9,410 11,140 10,250 11,140 11,040 11,140 11,850 11,140 13,150 11,140
Rendemen biodiesel (%) Hasil Model*3 68,40 66,83 58,60 60,74 66,70 66,03 60,50 63,55 64,50 66,39 63,70 60,33 64,60 64,50 67,30 65,92 70,40 70,50 70,00 70,50 69,10 70,50 70,10 70,50 72,90 70,50
Kadar metil ester (%) Hasil Model*4 71,55 74,04 51,43 54,39 76,32 73,92 90,08 88,16 69,18 69,23 66,03 65,41 69,77 66,03 86,66 89,83 93,24 93,12 95,42 93,12 91,82 93,12 90,80 93,12 94,31 93,12
: Y = 0,831-0,088M-0,059K +0,159M2 +0,285K2 + -0,131MK : Y = 11,140-1,053M -0,896K+2,911M2+2,986K2-2,273MK : Y = 70,500-2,141M +0,502K-3,569M2-2,643K2-0,900MK : Y = 93,118-1,352M +8,413K-12,898M2-7,593K2-8,470MK
Berdasarkan analisis of varians (Analisis ragam) kadar ALB, viskositas, rendemen, dan metil ester khususnya dilihat dari nilai p ternyata model
regresi
kuadratik menunjukan nilai peluang (p) < 0,05. Nilai p model regresi kuadratik kadar ALB, viskositas, rendemen, dan metil ester masing-masing berturut-turut adalah 0,000, 0,0018, 0,008 dan 0,000, hal tersebut menunjukkan bahwa model regresi kuadratik adalah tepat.
112
Kadar ALB
Viskositas
Rendemen
Metil ester
113
Gambar 28 Optimasi proses transesterifikasi berdasarkan respon permukaan dan kontur terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester. Adapun persamaan model kuadratik pengaruh nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester adalah sebagai berikut: Y1 = 0,831-0,088M-0,059K +0,159M2 +0,285K2 + -0,131MK Y2 = 11,140-1,053M -0,896K+2,911M2+2,986K2-2,273MK Y3 = 70,500-2,141M +0,502K-3,569M2-2,643K2-0,900MK Y4 = 93,118-1,352M +8,413K-12,898M2-7,593K2-8,470MK Dengan : Y1 = kadar ALB, Y2 = viskositas, Y3 = rendemen, Y4 = kadar metil ester M = nisbah molar metanol terhadap minyak, K = konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak Hasil uji kesahihan model menunjukkan bahwa model kuadratik kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) relatif tinggi masing-masing yaitu 96,0%, 97,3%. Hal itu menunjukkan bahwa 96,0%,
88,3%, 89,7%, dan
88,3%, 89,7%, dan 97,3%.dari
keragaman pada parameter optimasi dapat dijelaskan dengan model. Uji lack of fit yang digunakan untuk menguji kecukupan model berdasarkan tabel Analisis ragam menunjukkan bahwa P-value lack of fit kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester masing masing berturut-turut adalah = 0,383, 0,304, 0,066 dan 0,084 > α = 0,05 maka tidak ada lack of fit artinya model yang dibuat telah sesuai dengan data. Hasil uji residual menunjukkan bahwa plot residual menyebar acak
sehingga
dapat disimpulkan bahwa model regresi cukup tepat dengan data. Disamping itu plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi normal. Uji kecukupan model juga dilakukan dengan cara menganalisis residual yaitu menguji kenormalan residual dengan menggunakan
114
statistik Kolmogorov-Smirnov. Nilai Statistik Kolmogorov-Smirnov untuk kadar ALB, rendemen dan viskositas masing-masing berturut-turut adalah 0,202, 0,110, 0,094 dan 0,0110 < nilai statistik tabel Kolmogorov-Smirnov dengan 13 pengamatan yaitu 0,361. Kesimpulan dari uji kenormalan residual adalah model regresi linier yang dibuat telah mengikuti distribusi normal sehingga kenormalan residual pada suatu model regresi telah dipenuhi sehingga model bisa digunakan. Uji parameter model menunjukkan bahwa kuadrat nisbah molar metanol dan kuadrat konsentrasi katalis memiliki pengaruh penting terhadap model kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester dibandingkan dengan variabel nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis. Nilai p dari pengaruh variabel kuadrat nisbah molar metanol terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester masing-masing berturut-turut adalah 0,001, 0,002, dan 0,006 dan 0,000 sedangkan untuk pengaruh variabel
kuadrat katalis masing-masing berturut-turut adalah
0,000, 0,002, 0,025 dan 0,000. Dengan demikian kuadrat varibel mempunyai pengaruh nyata terhadap model persamaan regresi. Hasil analisis kanonik yang digunakan untuk menentukan titik optimum adalah penentuan titik stasioner terhadap nisbah molar metanol terhadap minyak dan persentase katalis NaOH terhadap minyak. Hasil analisis kanonik titik optimum diperoleh pada nilai kode peubah nisbah molar metanol terhadap minyak 0,1121 atau nilai aktual 6,3 :1 dan kode persentase katalis NaOH terhadap berat minyak 0,1785 atau nilai aktual persentase katalis NaOH terhadap berat minyak sebesar 1,1% dari berat minyak.
115
Model hasil percoban dilakukan validasi laboratorium dengan cara melakukan proses transesterifikasi sebanyak 5 kali pada kondisi optimum. Hasil pengukuran parameter proses transesterifikasi rata-rata adalah kadar ALB 0,623 % (model 0,831 %), rendemen 70,64% (model 70,50 %), kadar metil ester 95,7% (model 93,12%) dan viskositas 12,3 cSt (model 11,14 cSt). Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil validasi model melalui percobaan mendekati hasil perhitungan model.
4.2.6.3 Peningkatan Rendemen Biodiesel Kadar ALB minyak nyamplung hasil esterifikasi ternyata masih tergolong besar (4,3 % - 4,7%), syarat minyak nabati dapat diproses menjadi biodiesel harus mempunyai kadar ALB yang rendah yaitu ≤ 5 % (Canakci dan Van Gerpen 1999), ≤ 2 % (Lele 2005) bahkan ≤ 1 % Tyson (2005). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun minyak nyamplung hasil esterifikasi masih sekitar 4,3% - 4,7%, ternyata dapat diproses menjadi biodiesel dengan proses transesterifikasi pada nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis NaOH 1%, kecepatan pengadukan 400 rpm, dan waktu 30 menit menghasilkan rendemen yang
masih relatif rendah seperti ditunjukkan pada
Gambar 29.
Rendemen (%)
80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 4,22
akan tetapi
4,37
4,47
4,56
4,64
KadarALB (%)
116
Gambar 29 Pengaruh kadar ALB awal terhadap rendemen biodiesel pada proses transesterifikasi. Rendemen biodiesel sangat dipengaruhi oleh kadar ALB sebelum proses transesterifikasi, hal tersebut sesuai dengan Tyson (2005)
yang menyatakan
bahwa minyak yang mengandung asam lemak bebas 10 % apabila diproses menjadi biodiesel dengan transesterifikasi akan kehilangan rendemen sebesar 30 %. Lee et al. (2002) menyatakan bahwa rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masingmasing berturut-turut 10 % menjadi 0,23 % dan 0,2 % menjadi 0,02 %. Usaha meningkatkan rendemen biodiesel dilakukan dengan memperbaiki bahan baku proses transesterifikasi dengan cara melakukan esterifikasi ulang, netralisasi atau dengan transesterifikasi ulang. Esterifikasi ganda dilakukan oleh Canacki dan Van Garven (2003) pada proses pembuatan biodiesel dari lemak. Dengan melakukan esterifikasi ulang ternyata dapat meningkatkan rendemen biodiesel secara signifikan seperti ditampilkan pada Tabel 32. Rendahnya rendemen biodiesel disebabkan oleh terbentuknya sabun selama proses transesterifikasi. Sabun dalam biodiesel akan menarik metil ester selama proses pencucian.
Dengan demikian semakin banyak sabun yang terbentuk, semakin
besar penurunan rendemen. Usaha lain untuk meningkatkan rendemen dapat dilakukan dengan dua kali proses transesterifikasi atau dengan proses netralisasi. Transesterifikasi pertama bertujuan untuk
mengurangi kadar ALB sekaligus
menkonversi sebagian trigliserida menjadi metil ester sedangkan transesterifikasi kedua lebih difokuskan untuk menkonversi sisa trigliserida menjadi metil ester. Proses netralisasi secara laboratorium belum bisa menghasilkan ALB yang rendah kurang dari 1% dan kehilangan selama proses netralisasi cukup besar karena sebagian metil ester yang terbentuk terikut oleh sabun pada saat dilakukan
117
pencucian. Proses netralisasi untuk meningkatkan rendemen biodiesel kurang efektif dibanding dengan esterifikasi ulang. Esterifikasi ulang dengan nisbah molar metanol terhadap minyak 40:1 dan katalis HCl terhadap minyak 10% dapat meningkatkan rendemen biodiesel dari 71,6% menjadi sekitar 83,4%. Usaha untuk menurunkan kadar ALB dengan
melakukan esterifikasi berikutnya dilakukan
namun tidak signifkan menurunkan kadar ALB. Tabel 32 Rendemen dan kadar ALB biodiesel rata-rata dari proses esterifikasi dan transesterifikasi yang dihitung berdasarkan minyak nyamplung kasar No.
Variasi
Kondisi Proses
Biodiesel Kadar ALB Rendemen* (%) rata(%) rata E: 4,45 71,6 T: 0,44
1.
ET
2.
E1E2T
• E : nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, persentase katalis HCL terhadap berat ALB 6 %, suhu 60oC, pengadukan 300 rpm dan waktu 30 menit. • T: nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis NaOH terhadap berat minyak 1%, suhu 60 oC, pengadukan 400 rpm dan waktu 30 menit. E1 = 4,65 • E1: nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, persentase katalis HCL E2 = 2,32 terhadap ALB 6 %, suhu 60 oC, T = 0,36 pengadukan 300 rpm dan lama 30 menit. • E2: nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, persentase katalis HCL dari berat ALB 10%, suhu 60 oC, pengadukan 300 rpm dan lama 30 menit. • T1: nisbah molar metanol 6:1, persentase katalis NaOH terhadap minyak 1%, suhu 60 oC, pengadukan 400 rpm dan lama 30 menit.
83,4
E: Esterifikasi, T: Transesterifikasi *: Rendemen dihitung berdasarkan bobot minyak kasar
Rendemen tersebut mendekati hasil penelitian Canacki dan Van Garven (2003) yang menyatakan bahwa proses produksi biodiesel dari yellow grease dengan kadar ALB 9% melalui proses esterifikasi pertama dengan katalis asam sulfat 5% dan
118
nisbah molar metanol 20:1, esterifikasi dua dengan katalis asam sulfat 5 % dan nisbah molar metanol 40:1 berdasarkan jumlah ALB kemudian transesterifikasi dengan katalis NaOCH3 0,82% dan nisbah molar metanol 6:1 berdasarkan jumlah trigliserida menghasilkan biodiesel dengan rendemen 90,2% akan tetapi untuk bahan baku brown grease dengan kadar ALB awal 39,6 % rendemen turun menjadi 73,9%. 4.2.7 Analisis Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi dari suatu proses kimia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang reaktor (Petrucci, 1992). Pengukuran kinetika reaksi transesterifikasi digunakan untuk perancangan reaktor
batch khususnya
waktu tinggal Hill (1977); Perry (1988), Richardson and Peacock (1994). Pengukuran kinetika reaksi transesterifikasi dilakukan pada kondisi optimum yang diperoleh pada optimasi proses pada tahap sebelumnya yaitu pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap minyak 6,3:1 dan konsentrasi katalis NaOH terhadap minyak 1,1%.
4.2.7.1 Penetapan Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Penentuan tetapan laju reaksi transesterifikasi menggunakan metode isolasi (Atkins 1999 yang dikombinasikan dengan metode integral (Laidler 1979) dengan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel (lihat lampiran 14). Hubungan konsentrasi metil ester hasil transesterifikasi
dengan waktu
transesterifikasi disajikan pada Gambar 30 sedangkan konversi gliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada Tabel 33.
KadarMetil ester (mol/L
119
3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (menit) 28 oC
45 oC
60 oC
70oC
Gambar 30 Kadar metil ester dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu dan waktu. Tabel 33 Konversi trigliserida menjadi metil ester selama proses transesterifikasi Waktu (menit) 0 5 10 15 20 25 30
o
28 C 0,000 0,089 0,236 0,359 0,494 0,588 0,622
Konversi (mol/liter) 45 oC 60 oC 0,000 0,000 0,127 0,259 0,314 0,467 0,450 0,653 0,580 0,666 0,636 0,690 0,679 0,700
70 oC 0,000 0,323 0,560 0,668 0,679 0,687 0,696
Pola hubungan peningkatan kadar metil ester selama transesterifikasi menyerupai hasil penelitian Freedman et al. 1986; Sofiah, (1999); Darnoko dan Cheryan, (2000) ; Cheng et al. (2004). Penentuan orde reaksi dilakukan dengan metode integral, merupakan metode trial and error (empiris) yakni perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu dan harga k dihitung dengan menggunakan persamaan terintegrasi berbeda untuk orde reaksi yang berbeda yang memberikan nilai k yang konsisten. Nilai k yang paling konsisten diperoleh pada orde total dua. Grafik hubungan antara 1/(3[T]o-[Mo]) ln ([M]o[T]/[[M][To]) dengan waktu pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 31. Hubungan antara Nilai ln([ME]o /[ME]t) dengan waktu reaksi menunjukkan tidak linier, maka
120
nilai k diambil pada kemiringan garis awal yang mendekati linier sesuai dengan Goud et al. (2006). 1/(3[T]o-[Mo]) ln ([M]o[T]/[[M][To]) 0,0000 0
5
10
15
20
25
30
35
-0,1000 o
28 C y = -0,0136x 2 R = 0,9395
-0,2000 -0,3000
45 o C y = -0,0182x R2 = 0,9598
-0,4000 -0,5000 -0,6000 o
70 C y = -0,0287x 2 R = 0,9185
-0,7000 -0,8000
60 o C y = -0,0251x R2 = 0,9313
Waktu (menit)
Gambar 31 Grafik hubungan 1/((3[T]o-[Mo]) ln([M]o[T]/[[M][To] dengan waktu. Tetapan laju reaksi transesterifikasi pada suhu 341 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,014 liter /mol menit, 0,018 liter / mol menit, 0,025 liter /mol menit dan 0,029 liter / mol menit. Cheng et al. (2004) mengukur tetapan laju reaksi transesterifikasi pada minyak sawit dengan nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1. suhu 60 oC, kecepatan pengadukan 350 rpm dan katalis NaOH 0.125 mol/kg dengan menggunakan orde dua diperoleh nilai k sebesar 0.097 liter /mol menit. 4.2.7.2 Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Orde Dua Berdasarkan Persamaan Arhenius k1 = A exp(-Ea/RT). ln k1 = ln A –
Ea RT
EA /R -ln k1 = Y k1 Ea R T
-C
T = ax - C dengan gradien (a) = -Ea/R dan x = 1/T. = tetapan laju reaksi = energi aktivasi = tetapan gas= 1,987 cal/ g mol K = suhu mutlak
121
A
= tetapan proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan
Berdasarkan persamaan di atas maka energi aktivasi suatu reaksi kimia adalah slope (kemiringan) dari grafik linier antara ln k dengan 1/T. Penentuan energi aktivasi proses transesterifikasi antara minyak sawit dan metanol dengan katalis NaOH menggunakan grafik linier hubungan antara ln k dengan 1/T dilakukan oleh Noureddini dan Zhu (1997), Darnoko dan Cheryan, (2000) dan Cheng et al. (2004). Grafik hubungan antara -ln k dengan 1/T proses transesterifikasi pada suhu 303 K,
-ln k
318 K dan 333 K sebagai berikut:
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 0,0028
y = 1879,8x - 1,9355 R2 = 0,9949
0,0029
0,0030
0,0031
0,0032
0,0033
0,0034
Waktu (menit)
Gambar 32 Hubungan antara –ln k dengan 1/T pada proses transesterifikasi minyak biji nyamplung. Berdasarkan gambar tersebut diperoleh persamaan y =1879,8x – 1,9355 dengan R2 = 0,9949 dengan demikian diperoleh ln A = 3,473 dan nilai Ea/R adalah 1879,8 maka: Ea A
= 3735,2 cal/ mol K = 3,752 k cal / mol K = 6,9 liter / mol menit
Sehingga persamaan tetapan laju reaksi (k) dan laju reaksi (r) transesterifikasi minyak nyamplung adalah : -ln k1 k1
= (Ea/R) 1/T - ln A = A exp(Ea/RT)
122
k1 k1
= 6,9 exp(-Ea/RT) = 6,9 exp (-1879 ,8 /T)
karena rT = k1 [TG] [M] rT = 6,9 exp (-1879 ,8 /T) [TG] [M] = 6,9 exp (-1879 ,8 /T) ([TG]o – x) ([M]o-3x) Dengan model tersebut dapat ditentukan nilai k pada berbagai suhu dalam kisaran suhu percobaan (301 K- 343 K) misalnya apabila digunakan suhu 325 K maka diperoleh nilai k sebesar 0,0213 liter /mol menit.
4.2.7.3 Perancangan Waktu Reaksi Ideal dalam Reaktor Batch Massa dalam reaktor batch isotermal (endotermis/ eksotermis) digunakan untuk menentukan waktu reaksi batch ideal : Rate of input – rate out put –rate of reaction = rate of accumulation 0
-
0
- V rT
= d [ME]/ dt
Volume (V) konstan, sehingga : d[E] −−−−− = rT, karena d[ME]/dt = dx/dt dt d[x] r = −−−−− = k1 ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) dt Waktu reaksi yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi metil ester [ME] pada kondisi isothermal adalah : x t=
1/k1
d[x]
( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) 0
-1 1 t = 1/k1 ln ln 3 [TG]o -1 [M]o ( [TG]o - x )
1 ( [M]o - 3x )
123
Karena [TG = [TG]o –x dan [M] = [M]o – 3 x maka persamaan menjadi: -1 [TG] [M]o t = 1/k1 ln 3 [TG]o -1[M]o ( [TG]o [M] t = 21,01 menit.
Pada kondisi isotermal suhu 60 °C, untuk mendapatkan konsentrasi ME sebesar 2,659 mol /liter (95,25 %) dari minyak hasil esterifikasi yang mengandung 0,751 mol/liter (25,339%) metil ester atau untuk menurunkan trigliserida dari 0,791 mol/liter menjadi 0,10 mol/liter diperlukan waktu reaksi sebesar 21,01 menit. Perhitungan waktu ideal reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 15. Jika menggunakan waktu esterifikasi 20
menit maka diprediksi konsentrasi
trigliserida menjadi 0,105 mol/liter dan konsentrasi metil ester yang diperoleh menjadi 2,53 mol/liter atau 90,7 %. Konsentrasi metil ester akhir transesterifikasi hasil perhitungan menggunakan kinetika reaksi (prediksi) dengan
validasi
percobaan laboratorium ditampilkan pada Tabel 34 yang menunjukkan bahwa kadar metil ester hasil percobaan mendekati hasil perhitungan. Tabel 34 Prediksi kadar metil ester minyak biji nyamplung setelah transesterifikasi dibandingkan hasil percobaan Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
Hasil Percobaan (%) 92.17 92.46 91,36 91.84 91.62 92.02
Perhitungan kinetika (%) 90,7
90,7
124
4.2.8 Analisis Kualitas Produk 4.2.8.1 Pengujian Komposisi Asam Lemak dengan GC MS Komposisi kimia biodiesel dari minyak biji nyamplung dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas serapan massa atau Gas Chromatography Mass Spectrofotometer (GCMS). Hasil pengujian komposisi kimia biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan GCMS ditampilkan Tabel 35 sedangkan kromatogramnya ditampilkan pada Gambar 33. Biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas metil ester yang berasal dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh (C:8-C:22) dengan metil ester yang dominan adalah metil palmitat, metil stearat, metil oleat dan metil linoleat. Sejumlah kecil metil ester yang berasal dari asam lemak rantai pendek diantaranya adalah metil kaprilat dan metil pelargonat. Metil ester yang berasal dari lemak jenuh rantai panjang diantaranya adalah metil arakhidat, metil erukat, dan metil behenat. 4.2.8.2 Pengujian Sifat Fisiko-Kimia Uji karakterisitik biodiesel dari minyak biji nyamplung mengacu pada ASTM D6751-3 dan SNI 04-7182-2006. Pengujian karakteristik biodiesel dari minyak biji nyamplung dilakukan di Pusat Pengembangan dan Penelitian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Jakarta dan Laboratorium Pengujian Mutu VEDCA (Lampiran 16). Hasil pengujian biodiesel dari minyak biji nyamplung dibandingkan dengan standar ASTM D6751-3 dan SNI 04-7182-2006 disajikan pada Tabel 36 dan Tabel 37.
125
Gambar 33 Kromatogram metil ester dari biodiesel minyak biji nyamplung hasil analisis GCMS. Tabel 35 Komposisi metil ester dari biodiesel minyak biji nyamplung hasil analisis GCMS No
RT (menit)
Area (%)
Nama Sistematik
Nama dagang
Karbon
1.
3,90
0,06
5,99
0,04
3.
7,03
0,09
4.
7,91
14,67
5.
8,03
0,43
6.
8,53
0,24
7.
9,55
24,34
8.
9,73
33,59
Metil kaprilat Metil miristat Metil pelargonat Metil palmitat Metil palmitoleat Metil margarat Metil stearat Metil oleat
C8:0
2.
9.
10,15
23,94
10.
10,65
0,23
11.
11,34
1,27
12.
11,54
0,29
13.
13,33
0,44
14.
13,48
0,02
Metil ester asam Oktanoat Metil ester asam Tetradekanoat Metil ester asam Nonanoat Metil ester asam Hexadekanoat Metil ester asam 9Hexadesenoat Metil ester asam Heptadekanoat Metil ester asam Octadekanoat Metil ester asam 8Octadesenoat Metil ester asam 10,13 Octadekadienoat Metil ester asam 9,12,15, Octadekatrinoat Metil ester asam Eikosanoat Metil ester asam 11Eikosanoat Metil ester asam Dokosanoat Metil ester asam 9Oktadecanoat
Titik leleh (oC) Asam Metil lemak ester 16,7 -29
C14:0
54,4
18,4
C9:0
12,5
-34,5
C16:0
62,9
30,5
C16:1
30
-
C17:0
61,3
29,7
C18:0
69,6
39
C18:1
16
-19,9
Metil linoleat Metil linolenat
C18:2
-5
-35
C18:3
-11
-52
Metil arakhidat Metil erukat
C20:0
75,4
45,8
C20:1
-
-
Metil behenat Metil vaccenat
C22:0
80,0
53,2-
C18:1
44
-
126
Tabel 36 Karakterisitik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar ASTM D6751-3 No.
Kreteria mutu bahan bakar biodiesel
1 2
Titik nyala (Flash point) (oC) Air dan sedimen (Water (% vol) & sediment) mm2/s Viskositas kinematik (cSt) (kinematic viscosity), o 40 C Abu sulfat (Sulfated ash) (% massa) Belerang (Sulfur) ( % massa) Korosi kepingan tembaga (Copper Strip corrosion) Bilangan setana (Cetane number) Titik kabut (Cloud point) (oC)
D93 D2709
Residu karbon (Carbon (% massa) residue ) Bilangan asam (Acid (mg number) KOH/g) Gliserol total (Total (% massa) glycerin) Kandungan fosfor ( % massa) (Phosphorus content ) Suhu distilasi (Distilation ( oC) temperature, 90 % recovered) (T 90)
D 4530
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Satuan
Cara Uji
D445
Standar Biodiesel ASTM dari minyak nyamplung D6751-3 min. 130 151 max. 0,05 0 1,9-6,0
7,724
D874 D5453 D130
max 0,02 max 0,05 Max No. 3
0,026 0,0016 Ib (No 2)
D 613
min 47
51,9*1
D2500
Report to cosumer max 0,05
38 0,434*2
max 0,8
0,96
D6584
max 0,240
0,2
D4951
max 0,001
0,0000223
D1160
max 360
336
D664
Keterangan : *1
*2
: Diukur pada pencampuran 30 % biodiesel dan 70 % solar, pengukuran pada 100 % dan 50 % biodiesel tidak dapat dilakukan : Diukur dengan metode ASTM D 189 sebagai Conradson Carbon Residue
127
Tabel 37 Karakterisitik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar SNI 04-7182-2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter
Satuan
MetodeUji
Nilai
Massa jenis pada 40 oC Viskositas kinematik pada 40oC Bilangan setana Titik nyala (mangkok tertutup) Titik kabut Korosi kepingan tembaga ( 3 jam pada 50 oC) Residu karbon dalam contoh asli atau dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen
kg/m3 mm2/s (cSt) o C
ASTM D 1298 ASTM D445
850-890 2,3-6,0
Biodiesel nyamplung 888,6 7,724
ASTM D 613 ASTM D 93
min, 51 Min. 100
51,9 *1 151
ASTM D 2500 ASTM D 130
38 Ib
16
o
9. Suhu distilasi 90 % 10. Abu tersulfatkan
o
C % massa
ASTM D 1160 ASTM D 874
11. Belerang
ASTM D-1266 ASTM D 1091
maks. 10
0,223*4
13. Bilangan asam 14. Gliserol total
ppm-m (mg/kg) Ppm –m (mg/kg) mg-KOH /g %- massa
maks. 18 maks. no. 3 maks. 0,05 maks. 0,30 maks. 0,05 maks. 360 maks. 0,02 Maks 100
AOCS Cd 3d-63 AOCS Ca 14-56
0,96*5 0,232
15. Kadar ester alkil
%- massa
Maks 0,8 maks. 0,24 min. 96,5
16. Bilangan Iodium
%- massa (g12/100 g)
maks. 115
85*5
7.
8.
12. Fosfor
C
%-massa
ASTM D 4530
% -vol
ASTM D-1796
SNI 04-71822006 AOCS Cd 1-25
0,434*2
0 340*3 0,026
96,99
Keterangan :
*1: Diukur pada pencampuran 30 % biodiesel dan 70 % solar *2 : Diukur dengan metode ASTM D 189 *3 : Diukur dengan metode ASTM D 86 *4 : Diukur dengan metode ASTM D 1091 *5 : Diukur dengan metode SNI-3555-1998
Massa Jenis. Massa jenis biodiesel
dari minyak biji nyamplung hasil
pengujian pada suhu 60 oF (15 oC) adalah 888,6 kg/m3 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel
yaitu 850-890 kg/m3. Massa jenis biodiesel dari biji
nyamplung tersebut sedikit lebih tinggi dari massa jenis biodiesel sawit yaitu 880 kg/m2 (Legowo et al. 2001) dan biodiesel jarak pagar 879 kg/m2 (Francis dan Becker 1999). Perbedaan massa jenis biodiesel berkaitan dengan komposisi asam
128
lemak dan tingkat kemurnian dari biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Dijelaskan pula bahwa massa jenis naik dengan penurunan panjang rantai karbon dan peningkatan ikatan rangkap. Massa jenis metil ester dari asam lemak C6:0 (889 kg/m2), C12:0 (873 kg/m2 ), C18:1(874 kg/m2 ) C18:2 (894 kg/m2) dan C18:3 (904 kg/m2) (Mittelbach dan Remschmidt 2004) dan karena komposisi asam lemak C18:2, C18:3 dan C20:1 dari minyak biji nyamplung lebih tinggi dari CPO (lihat Tabel 25) maka massa jenis biodiesel yang dihasilkan lebih besar pula. Viskositas. Viskositas kinematik biodiesel dari minyak biji nyamplung pada suhu 40 oC adalah 7,724 cSt sehingga tidak memenuhi persyaratan SNI yaitu 2,3-6,0 cSt. Viskositas biodiesel dari minyak biji nyamplung lebih tinggi dari viskositas dari minyak sawit (3,5-5,0 mm2/s) (Legowo et al. 2001) sedangkan biodiesel jarak (4,84 mm2/s). Viskositas merupakan faktor yang penting dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar dalam ruang bahan bakar (Soerawidjaja et al. 2005). Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Disebutkan pula bahwa viskositas akan naik dengan kenaikan panjang rantai karbon asam lemak jenuh, kenaikan panjang rantai karbon alkohol, penurunan panjang rantai karbon asam lemak tidak jenuh dan adanya kenaikan sisa monogliserida, digliserida dan trigliserida dalam biodiesel. Viskositas metil ester yang dibuat dari asam lemak C14:0 (3,24 mm2/s), C16:0 (4,32 mm2/s),
C18:0 (5,56 mm2/s),
C18:1 (4,45
mm2/s), C18:2 (3,64 mm2/s) dan C18:3 (3,27 mm2/s) (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Viskositas biodiesel minyak biji nyamplung relatif tinggi kemungkinan disebabkan karena kandungan asam lemak jenuh yang mempunyai rantai karbon panjang lebih tinggi yaitu asam stearat, asam palmitat dan asam arakhidat dan
129
mempunyai asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap 2 dan 3 yaitu asam linoleat dan linolenat yang rendah (lihat Tabel 25). Karena viskositas biodiesel dari minyak nyamplung tidak memenuhi kualifikasi SNI biodiesel maka penggunaan biodiesel dari minyak nyamplung 100% (B100) tidak mungkin sehingga
dilakukan pencampuran dengan solar
sampai memenuhi persyaratan yang dikehendaki. Pembuatan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan viskositas 5,997 cSt dilakukan dengan mencampur solar dengan viskositas kinematik 4,27 cSt sebanyak 50%. Beberapa mesin diesel menghendaki persyaratan minimal viskositas, karena viskositas biodiesel yang tinggi akan menyebabkan atomisasi yang jelek dan diasosiasikan dengan kenaikan deposit pada mesin (Kinast dan Tyson 2003). Titik Nyala. Titik nyala mangkok tertutup biodiesel dari minyak nyamplung adalah 151 oC lebih besar dari persyaratan minimal SNI biodiesel yaitu 100 oC. Titik nyala yang tinggi diperlukan untuk keamanan dari kebakaran selama proses penyimpanan, transportasi (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Titik nyala berkaitan dengan residu metanol dalam biodiesel karena metanol mempunyai titik nyala yang rendah yaitu 11,11 oC. Residu metanol dalam jumlah kecil menurunkan flash point yang berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers serta dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004). Titik Kabut. Titik kabut biodiesel dari minyak nyamplung adalah 38 oC sedangkan persyaratan SNI biodiesel maks.18 oC dengan demikian tidak memenuhi persyaratan. Titik kabut yang tinggi berkaitan dengan jumlah atom karbon asam lemak jenuh yang besar pada biodiesel yang menyebabkan kristalisasi (Soerawidjaja et al. 2005) terutama metil ester dari asam stearat dan pamitat (Kinast dan Tyson, 2003). Biodiesel dari biji nyamplung mempunyai titik kabut
130
yang tinggi karena mengandung metil ester yang mempunyai titik kabut tinggi seperti metil palmitat (30,5 oC), metil stearat (39 oC), metil arakhidat (45,8 oC) dan metil behenat (53,2 oC). Penggunaan biodiesel dengan titik kabut yang tinggi dapat mengurangi sifat-sifat keenceran (lubrisitas) dan menyebabkan penyumbatan filter oleh karena itu biodiesel yang demikian perlu dilakukan pengendapan sehingga masalah keenceran biodiesel dapat teratasi (Kinast dan Tyson 2003). Selain dengan cara pemisahan metil stearat dan metil palmitat, permasalahan tingkat keenceran biodiesel dari minyak nyamplung diatasi dengan mencampur minyak diesel atau solar
atau memerlukan pemanas (Converter) sebelum dikabutkan. Titik kabut
penting untuk memastikan kinerja biodiesel pada suhu yang dingin. Korosi Kepingan Tembaga. Korosi kepingan tembaga (Cooper Strip corrosion=CCR) biodiesel dari minyak nyamplung 3 jam pada 50 oC adalah no 2 atau I B sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maks. no 3 atau 1 C. Tes ini dilakukan untuk mengukur pengaruh bahan bakar terhadap tingkat korosi tembaga yang berkaitan dengan kadar asam lemak bebas biodiesel. (Kinast dan Tyson, 2003). Tingkatan korosi kepingan tembaga tergantung dari kadar asam lemak bebas, gliserida, logam alkali sebagai katalis yang sudah dalam bentuk sabun (Soerawidjaja et al. 2005) dan dari ketiga penyebab tersebut pengotor dari sisa katalis lebih banyak berpengaruh terhadap nilai CCR. Disamping komponen tersebut menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) nilai CCR ditentukan pula oleh metil ester dari asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap lebih dari satu (polyunsaturated fatty acid methyl esters) dan polimer. Kandungan Air dan Sedimen. Air dan sidemen biodiesel dari minyak biji nyamplung menunjukkan 0 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,05%. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004)
metil ester asam
131
lemak bersifat higroskopis dan dapat mengandung air sampai dengan 1000 ppm selama penyimpanan. Air dalam biodiesel ada sebagai akibat teknik pengeringan yang kurang (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Air akan mengkibatkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisma sehingga akan mendorong terjadinya oksidasi yang dapat menaikan sedimen dan bilangan asam selama penyimpanan (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Kandungan Abu Tersulfatkan. Abu tersulfatkan biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,026% sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI biodiesel yaitu 0,02%. Kandungan abu tersulfatkan menunjukkan kontaminan materi anorganik seperti
residu katalis dan sabun yang teroksidasi dalam proses
pembakaran sehingga membentuk deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Dengan demikian abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan pencucian biodiesel yang kurang sempurna. Abu tersulfatkan mempunyai kontribusi dalam injector atau terjadinya penyumbatan (fouling) pada sistem bahan bakar (Tyson 2004). Kandungan Belerang. Belerang yang terkandung dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,0016 % atau 16 ppm memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,05% atau 500 ppm. Korosi yang disebabkan oksida belerang dapat menyebabkan keausan mesin karena setelah mesin berhenti terjadi kondensasi oksida dan dengan adanya air akan terbentuk asam sulfat yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang kendaraan bermotor (Surono dan Batti. 1980). Sulfur dalam bahan bakar akan dikonversi menjadi sulfur oksida, asam sulfat yang berpengaruh pada emisi mesin (Kinast dan Tyson 2003). Biodiesel dengan sulfur tinggi akan berpengaruh pada kesehatan manusia dan lingkungan
karena akan
dikonversi menjadi sulfur oksida yang berpotensi
132
menyebabkan proses mutagenik,
disamping akan mengurangi masa kerja dari
converters, mengurangi keenceran dan dapat menyebabkan gagalnya proses injeksi (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) biodiesel tradisional yang diproses tanpa menggunakan asam sulfat bebas dari sulfur, jika ada dalam jumlah yang sangat kecil disebabkan oleh adanya bahan mengandung sulfur dalam bahan baku yang terikut. Kandungan Fosfor. Kandungan fosfor dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,223 ppm sehingga memenuhi persyaratan SNI biodesel yaitu 10 ppm. Fosfor dalam biodiesel berasal dari fosfolipid yang terkandung dalam bahan baku atau asam fosfat yang digunakan untuk proses degumming (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Fosfor dalam biodiesel dibatasi maksimal 10 ppm, karena kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak catalytic converters (Tyson 2004). Kandungan fosfor biasanya muncul dalam bentuk yang bersifat seperti perekat (muncilaginous substances) yang dapat merusak katalis pada mesin diesel sehingga akan meningkatkan jumlah emisi partikulat (Soerawidjaja et al. 2005). Kandungan fosfor selain dipengaruhi oleh fosfor dari bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila menggunakan katalis asam fosfat. Bilangan Asam. Bilangan asam biodiesel dari minyak biji nyamplung menunjukkan 0,96 mg KOH/gram sedikit lebih tinggi dari persyaratan biodiesel yaitu 0,8 mg KOH/gram. Bilangan asam biodiesel menunjukkan asam lemak bebas (degradasi minyak atau lemak secara natural). Bilangan asam dari biodiesael tergantung dari berbagai faktor diantaranya adalah tipe bahan baku yang digunakan, tingkat rafinasi, katalis asam yang digunakan dan asam lemak bebas yang dihasilkan selama proses produksi (Mittelbach dan Remschmidt 2004).
133
Bilangan asam yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan standar SNI kemungkinan disebabkan oleh kadar asam lemak bahan baku yang masih relatif tinggi (sekitar 4%) dan adanya degradasi dari lemak atau minyak akibat proses produksi maupun penyimpanan. Bilangan asam yang tinggi diasosiasikan terjadi korosi dan deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004) disamping itu juga dapat mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson 2004). Bilangan Setana. Bilangan setana biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan campuran 30 % biodiesel dan 70% solar adalah 51,9 jika minyak diesel yang dicampurkan mempunyai bilangan setana 51,5 Reksowardojo (2006) maka bilangan setana biodeisel dari minyak biji nyamplung adalah 52,8 lebih besar persyaratan SNI Biodiesel 100% yaitu minimal 51. Biodiesel dari berbagai minyak nabati ≥ 51 seperti biodiesel dari minyak sawit (62), biodiesel dari minyak jarak (51) dan biodiesel dari minyak kelapa (62,7) (Soerawidjaja et al. 2005). Bilangan setana berkaitan dengan kandungan kalor dalam bahan yang diperlukan untuk menggerakkan mesin diesel agar dapat bekerja dengan baik. Bilangan setana yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap waktu singkat yang diperlukan antara bahan bakar diinjeksikan dengan inisiasi sehingga menyebabkan start yang baik dan suara yang halus pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Bilangan setana yang lebih tinggi akan menolong memastikan start yang baik dan meminimalkan pembentukan asap putih (Tyson 2004). Bilangan setana biodiesel berkaitan dengan komposisi asam lemak yang terkandung dalam biodiesel tersebut. Biodiesel yang mengandung metil ester asam lemak jenuh dengan rantai karbon panjang yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi (metil laurat (60,5), metil miristat (73,5), metil palmitat (74,3), metil stearat (75,6) dan lain-lain) sedangkan yang mengandung metil asam lemak dengan ikatan rangkap satu
yang tinggi
134
mempunyai bilangan setana sedang (metil oleat (55)) serta yang mengandung metil asam lemak dengan ikatan rangkap dua atau lebih yang tinggi mempunyai bilangan setana yang rendah (metil linoleat (33) dan metil linolenat (13)) (Tyson 2004). Bilangan setana biodiesel dari minyak biji nyamplung termasuk tinggi ≥ 51 dibandingkan dengan biodiesel dari jarak pagar karena mengandung asam lemak jenuh yang tinggi khususnya asam palmitat dan stearat dan mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap satu yaitu asam oleat yang tinggi pula (lihat Tabel 25). Residu Karbon. Residu karbon biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,434 % lebih tinggi dari persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,30%. Pengujian ini mencakup penentuan jumlah residu karbon yang tersisa setelah evaporasi dan pirolisis minyak (Soerawidjaja et al. 2005, Mittelbach dan Remschmidt 2004). Residu karbon terjadi karena terbentuknya deposit karbon dalam mesin (Tyson 2004). Residu karbon biodiesel yang tinggi berkaitan dengan sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, mestil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Biodiesel dari minyak biji nyamplung mengandung asam lemak yang mempunyai banyak ikatan rangkap seperti linoleat dan linolenat sehingga menyebabkan residu karbon relatif tinggi dibandingkan dengan standar SNI biodiesel. Bilangan Gliserol Total. Gliserol total pada biodiesel
dari minyak biji
nyamplung adalah 0,232 % lebih rendah dari persyaratan SNI yaitu 0,24%. Keberadaan gliserol
dan sisa gliserida yang belum terkonversi disinyalir
membahayakan mesin terutama karena adanya gugus OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom selain itu juga
135
menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al. 2005). Jika gliserol total dalam biodiesel tinggi maka dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tanki penyimpanan sistem bahan bakar dan mesin. Menurut Tyson (2004) bahan bakar biodiesel yang mempunyai kadar gliserol yang melebihi batas minimal menyebabkan terjadinya penyumbatan (plug) pada filter bahan bakar dan masalah lainya. Kandungan Alkil Ester. Kandungan alkil ester biodiesel dari minyak nyamplung adalah 96,99% sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yang ditetapkan yaitu minimal 96,5 %. Kandungan ester alkil biodiesel merefleksikan konversi bahan mentah menjadi biodiesel (Soerawidjaja et al. 2005), khususnya tingkat metilasi atau pemisahan gliserol dari gliserida pada proses transesterifikasi. Kadar metil ester yang rendah disebabkan oleh proses yang tidak sempurna atau disebabkan oleh tingginya konsentrasi komponen tidak tersabunkan seperti sterol, residu alkohol dan gliserida yang tidak terpisahkan (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Menurut Debaut (2005) minyak nyamplung mengandung komponen tidak tersabunkan 0,5-2% sehingga hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kandungan metil ester yang dihasilkan hanya mencapai 97%. Bilangan Iod. Bilangan Iod biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 85 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 115. Biodiesel dengan bilangan iod lebih dari 115 jika digunakan untuk bahan bakar mulai terbentuk deposit pada lubang saluran injeksi, piston ring, dan kanal piston ring hal ini diperkirakan terjadi karena ikatan rangkap terjadi ketidakstabilan karena suhu panas (Soerawidjaja et al. 2005). Bilangan Iodium berkaitan dengan stabilitas biodiesel terutama berkaitan dengan potensi terjadinya oksidasi asam lemak sehinga akan meningkatkan bilangan asam. Oksidasi asam lemak pada biodiesel
136
yang mempunyai bilangan iodium tinggi dimungkinkan terjadi selama proses penyimpanan dan transportasi. 4.2.8.2 Pengujian Kinerja Biodiesel Pengujian kinerja biodiesel dari minyak nyamplung menggunakan mesin diesel (generator) stasioner merek kobota dengan data teknik: jenis motor diesel 4 langkah, jumlah silinder 1, displacement 443 cm3, perbandingan kompresi 20:1, daya nominal 7,5 pK, tekanan injeksi 230 kg/ cm2, output maksimal daya/speed = 5,5 KW /36,7 PS / 2200 rpm, out put kontinyu daya/speed: 4,8KW/36,7PS/2200 rpm, yang biasa diaplikasikan pada gilingan padi, pompa air dan untuk penerangan. Uji coba biodiesel dari minyak biji nyamplung dilakukan kondisi tanpa beban dengan putaran tetap 700 rpm menggunakan bahan bakar campuran biodiesel dan solar 0% sampai dengan 60 % masing-masing sebesar 0,1 liter diulang sebanyak 5 kali. Pengendalian kecepatan putaran dilakukan dengan menggunakan tatsometer. Hasil pengukuran konsumsi bahan bakar biodiesel dari minyak biji nyamplung disajikan pada Gambar 34. Konsumsi bahan bakar atau konsumsi energi biasanya diekspresikan dari efisiensi pemanasan yang ditentukan oleh konversi energi kimia dalam mesin, efisiensi termal yang tinggi berkaitan dengan adanya unsur oksigen yang terkandung dalam bahan bakar sehingga meningkatkan pembakaran (Mittelbach dan Remschmidt 2004).
Konsumsi bahan bakar (L /jam)
137
0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 0
10
20
30
40
50
60
Campuran biodiesel dari bintangur (%)
Gambar 34 Hasil pengukuran konsumsi biodiesel dari biji nyamplung dengan menggunakan generator 7,5 pK dan kecepatan putaran 700 rpm pada kondisi stasioner. Karena kondisi demikian maka biodiesel mempunyai bilangan setana yang tinggi dari pada minyak diesel). Berdasarkan pengukuran konsumsi biodiesel, menunjukkan bahwa konsumi bahan bakar campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung dan solar tidak berbeda nyata sampai dengan campuran 30 % dan mulai pada campuran 40% konsumsi biodiesel sedikit lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa pencampuran sampai dengan 30 % tidak berpengaruh terhadap kinerja mesin. Konsumsi bahan bakar pada campuran biodiesel dari biji nyamplung 30% sedikit lebih rendah dari pada solar juga ditemukan oleh Legowo et al. (2006) pada penggunaan campuran bahan bakar minyak kelapa 30%. Menurut Reksowardojo (2006) pada umumnya hasil pengujian bed test dan road test menunjukkan bahwa bahan bakar biodiesel yang diproduksi memenuhi standar FBI-S01-03 (SNI 047182-2006) tidak signifikan merubah performance, gas emisi, dari mesin baik kondisi mesin diesel stasioner maupun mesin diesel kendaraan bermotor. Konsumsi bahan bakar biodiesel dari minyak biji nyamplung yang lebih tinggi dari pada solar sesuai dengan Legowo et al. (2006) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan bakar selama uji jalan 250 jam terhadap biodiesel sawit B30
138
dibandingkan dengan bahan bakar solar (B00) menunjukkan peningkatan konsumsi bahan bakar sebesar 5,94%. Menurut Mittelbach (1989) dalam Mittelbach dan Remschmidt (2004) menyatakan bahwa konsumsi bahan bakar RME naik 5,6% dibandingkan dengan bahan bakar diesel. Hasil pengujian dengan mesin stasioner pada 35,2-38,3 KW terhadap biodiesel sawit 100% terjadi penurunan tenaga 8% dan konsumsi bahan bakar naik 24% sedangkan pada penggunaan biodiesel 30% terjadi penurunan tenaga 2% dan konsumsi bahan bakar naik 11% (Legowo et al. 2006). Pencampuran biodiesel
minyak biji nyamplung
mulai dari 50% diduga
berpengaruh negatif terhadap kinerja mesin karena viskositas bahan bakar tersebut terlalu tinggi sehingga menyebabkan konsumsi bahan bakar menjadi lebih besar. Viskositas biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 7,724 cSt jauh lebih besar dari viskositas solar yaitu 4,27 cSt, kondisi demikian meyebabkan pengabutan (atomisasi) semakin berat dan terjadi pembakaran yang tidak sempurna dibuktikan adanya deposit karbon yang sangat tebal dalam ruang pembakaran dan adanya sisa bahan bakar pada knalpot. 4.2.8.3 Pengujian Pengaruh terhadap Mesin. Pengujian kinerja mesin menggunakan spesifikasi generator dan kondisi operasi yang sama seperti yang digunakan pada pengujian konsumsi bahan bakar. Percobaan dilakukan dengan menggunakan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung 0%, 10 %, 30% dan 50 % sebanyak 4 liter. Waktu yang diperlukan untuk menghabiskan bahan bakar
tersebut masing-masing berturut-turut adalah
16,9 jam 18,5 jam, 16,7 jam dan 15,9 jam atau setara dengan konsumsi bahan bakar 237,3 ml/jam, 216,1 ml/jam 239,2 ml/jam dan 251,9 ml/jam. Kenampakan
139
mesin biodiesel setelah menggunakan tiga jenis bahan bakar
yang berbeda
disajikan pada Gambar 35. Deposit karbon pada cylinder head dan piston pada penggunaan bahan bakar campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung sebesar 50% jauh lebih besar dibandingkan dengan penggunaan campuran biodiesel 0%, 10% dan 30% sedangkan antara 0%, 10% dan 30%
sedikit perbedaannya.
Pencampuran
biodiesel minyak biji nyamplung sebesar 50% terlalu pekat sehingga terjadi proses pembakaran tidak sempurna dibuktikan adanya residu biodiesel nyamplung pada knalpot. Deposit pada permukaan piston akan berpengaruh pada dinding silinder (tabung silinder) dan ring karena dapat membentuk kerak sehingga menyebabkan keausan ring dan piston tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Legowo et al. (2006) yang menyatakan bahwa setelah uji jalan 250 jam penggunaan biodiesel 30% menyebabkan deposit nosel injektor lebih tinggi 3,2%, deposit piston lebih tinggi 4,20%, deposit klep lebih tinggi 0,85%, deposit kepala silender lebih tinggi 30,84% dan deposit pada saringan bahan bakar lebih tinggi 57,6% dan tidak ada pengaruh negatif terhadap minyak pelumas. Deposit pada mesin diesel berkaitan dengan komponen kimia dari biodiesel itu sendiri diantaranya adalah residu gliserol dan gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, abu sulfat yang tinggi, metil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Karena biodiesel dari minyak biji nyamplung mengandung metil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap linoleat dan linolenat dan abu sulfat relatif tinggi maka deposit pada mesin pada penggunaan campuran biodiesel 50% tinggi.
140
a
b
c
d
e Gambar 35
Pengaruh penggunaan beberapa campuran biodiesel nyamplung terhadap piston dan kepala silinder (a: awal, b: solar, c: 10% biodiesel, d: 30% biodiesel dan e: 50% biodiesel).
141
Analisis pengembangan proses untuk mencapai persyaratan SNI Berdasarkan pengujian laboratorium ternyata dari tujuh belas parameter, lima diantaranya belum mencapai persyaratan SNI biodiesel yaitu viskositas kinematik, bilangan asam, residu karbon, titik kabut dan abu tersulfatkan. Viskositas kinematik yang terlalu tinggi disebabkan oleh metil ester dari asam lemak jenuh berantai panjang misalnya metil stearat, metil arakidat dan metil behenat. Oleh karena itu untuk mencapai persyaratan viskositas biodiesel, perlu dilakukan pemisahan asam lemak jenuh tersebut. Pemisahan asam lemak jenuh juga akan dapat menurunkan titik kabut. Titik leleh metil palmitat (30,5oC), metil stearat (39oC), metil arakhidat (45,8oC) dan metil behenat (53,2oC) sedangkan titik leleh metil oleat (-19,9oC), metil linoleat (-35oC) dan metil linolenat (-52oC). Viskositas yang terlalu tinggi kemungkinan disebabkan oleh komponen dasar dari minyak nyamplung itu sendiri. Menurut Kilham (2004) selain lemak netral sebesar 92%, minyak nyamplung kasar juga mengandung fosfolipid 1,6% dan glikolipid 6,4% sedangkan menurut Debaut et al. (2005) minyak nyamplung mengandung fraksi lemak antara 98-99,5% dan minyak tidak tersabunkan seperti sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan lain-lain sebesar 0,5-2% yang dapat dihilangkan pada saat degumming. Akan tetapi dalam penelitian tidak melakukan optimasi proses degumming sehingga diduga masih ada komponen fosolipid, glikolipid dan bahan tidak tersabunkan yang terikut pada biodiesel. Oleh karena itu perbaikan proses dapat dilakukan dengan cara optimasi degumming. Proses penggukusan sebelum pengepresan ternyata dapat memperbaiki kenampakan dan sifat fisiko-kimia dari minyak nyamplung. Komponen-komponen minyak yang larut dalam pelarut polar seperti fosfolipid, glikolipid dan komponen lainnya diduga akan terpisahkan pada saat pengukusan. Bilangan asam sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI disebabkan karena kadar asam lemak bebas hasil esterifikasi masih relatif tinggi yaitu 2,32% dan adanya
142
komponen fosfolipid, glikolipid maupun minyak senyawa tak tersabunkan yang masih tersisa sehingga menggangu proses transesterifikasi. Untuk mengatasi hal tersebu dapat dilakukan dengan optimasi proses degumming ataupun netralisasi. Abu tersulfatkan sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI. Kandungan abu
tersulfatkan menunjukkan kontaminan materi anorganik seperti residu katalis dan sabun yang teroksidasi dalam proses pembakaran sehingga membentuk deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Sabun terbentuk selama proses transesterifikasi karena kadar asam lemak bebas dari minyak nyamplung hasil esterifikasi masih relatif tinggi yaitu 2,32%. Penurunan kadar abu tersulfatkan dapat dilakukan dengan melakukan optimasi proses degumming. Degumming yang optimum akan menghasilkan kadar ALB yang lebih rendah pada proses esterifikasi sehingga sabun yang terbentuk lebih rendah pula. Residu karbon terjadi karena terbentuknya deposit karbon dalam mesin (Tyson 2004). Residu karbon biodiesel yang tinggi berkaitan dengan sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, mestil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Untuk menurunkan residu karbon dalam mesin dapat dilakukan dengan optimasi proses degumming dan meningkatkan intensitas proses pencucian. Perbaikan proses melalui pengukusan inti sebelum dipres, pemisahan asam lemak jenuh, optimasi proses degumming dan peningkatan proses pencucian diduga dapat memperbaiki viskositas, titik kabut, bilangan asam, residu karbon dan abu tersulfatkan. Produksi biodiesel dengan penambahan proses pengukusan terhadap
inti sebelum dipres, pemisahan minyak dari asam lemak jenuh dan peningkatan konsentrasi fosfat pada proses degumming dapat menghasilkan biodiesel yang lebih baik. Uji jalan (road tes) penggunaan 100% biodiesel dari biji nyamplung yang telah dilakukan perbaikan proses antara Bogor dan Cibinong pulang pergi dengan mobil diesel daihatsu taft menunjukan bahwa mobil berkinerja baik.
143
4.2.9 Analisis Keuntungan Kasar Analisis keuntungan kasar dilakukan dengan asumsi tanaman nyamplung sudah ada atau telah diadakan oleh Departemen Kehutanan sehingga biaya biji nyamplung merupakan biaya pemanenan/pengumpulan yaitu Rp 600/kg setara dengan harga minyak nyamplung Rp 3500/kg. Asumsi lain adalah biaya bahan baku dari feed stock 72,1% dari biaya produksi total (Pruszko, 2005). Dengan rendemen biodiesel 14,6% dari biji atau 83,4% dari minyak kasar maka untuk memproduksi 1 kg biodiesel diperlukan biji nyamplung 6,8 kg dengan biaya Rp 4100 atau minyak kasar 1,2 kg dengan biaya yang sama. Jika biaya proses adalah Rp 1654/kg (29,1% dari biaya produksi) maka biaya produksi total adalah Rp5754/kg. Dengan harga jual ke Pertamina Rp 6000 /liter atau Rp 6830/kg maka keuntugan kasar adalah Rp 1076,7/kg biodiesel. 4.3. Pengembangan Proses 4.3.1 Integrasi Proses Tahapan integrasi proses dalam sintesis disampaikan oleh Rudd dan Watson (1973) dan Seider et al. (1999). Integrasi proses adalah mengkombinasikan proses menjadi satu kesatuan sehingga hasil dari integrasi proses adalah diagram alir yang rinci dilengkapi dengan neraca massa dan energi (Seider et al. 1999). Integrasi proses disusun berdasarkan data dasar yang diperoleh dari percobaan laboratorium. Data dasar yang dimaksud terdiri atas tahapan proses produksi, kondisi proses, komposisi reaktan, waktu proses, data konversi, neraca massa, dan kebutuhan energi. Data tersebut diperoleh dari tahapan penelitian optimasi proses dan kinetika reaksi sebelumnya yang dapat dilihat pada Lampiran 17. Diagram Alir Proses Kualitatif. Diagram alir proses kualitatif berisikan seluruh tahapan proses yang diperlukan dalam produksi biodiesel dari minyak nyamplung dari proses awal sampai dengan proses akhir seperti yang ditampilkan pada Gambar 36.
144
Biji nyamplung
Kulit
Pengupasan kulit Inti biji (kernel) basah
Pengeringan dengan oven
air
Inti biji kering
Pengepresan
Ampas (bungkil)
Minyak kasar (trigliserida, asam lemak bebas, dan gum) Asam fosfat
Degumming Minyak degumming kotor (trigliserida dan asam lemak bebas, gum, asam fosfat sisa dan air)
Air hangat
Gum, air dan fosfat
Pencucian Minyak degumming bersih (trigliserida, asam lemak bebas dan air)
Pengeringan
Uap air
Minyak degumming kering (trigliserida dan asam lemak bebas)
Metanol dan HCl
Esterifikasi 1
Minyak esterifikasi 1 (metil ester, trigliserida asam lemak bebas)
Metanol, HCl dan air
145
Metanol dan HCl
Metanol, HCl dan air.
Esterifikasi 2 Minyak esterifikasi 2 (metil ester, trigliserida asam
Metanol dan NaOH
Transesterifikasi
Gliserol dan metanol
Biodiesel kotor (metil ester, trigliserida, sabun dan asam lemak bebas sisa). Air hangat dan asam asetat
Pencucian Pengeringan
Air kotor (sabun, sisa katalis, air, asam asetat) Uap Air
Biodiesel (metil ester dan asam lemak bebas sisa).
Gambar 36 Diagram alir kualitatif produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung. Secara garis besar diagram alir kualitatif terdiri dari tiga tahapan penting yaitu proses pendahuluan yang terdiri dari pengupasan kulit, pemanasan, ekstraksi minyak, dan degumming dilanjutkan dengan esterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak kemudian tranesterifikasi untuk menghasilkan metil ester (biodiesel). Diagram alir proses produksi biodiesel melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi juga dilakukan oleh Canacki dan Van Gerpen (2001) ; Zhang et al. (2003) dalam memproduksi biodiesel dari minyak dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Menurut Seider et al. (1999) dalam sintesis salah satu tahapan penting yang dilakukan adalah mengeliminasi perbedaan suhu, tekanan dan fase oleh karena itu diagram alir alir kualitatif
proses produksi biodiesel yang telah dibuat perlu
dilengkapi dengan suhu dan tekanan pada semua tahapan proses seperti yang ditampilkan pada Gambar 37.
146
Biji nyamplung
Pengupasan kulit
Kulit
E1 Inti biji (kernel) basah
Pengeringan
`
( 60 oC, 1 atm )
air
E2 Inti biji kering
Pengepresan
( 60 oC, 20 ton)
Ampas (bungkil)
E3 Minyak kasar Asam fosfat (larutan asam fosfat sebanyak 0,3% (v/w)
E4
Air
Degumming
(80oC, 15 menit, 1 atm)
Minyak degumming kotor
Pencucian
(60oC, 1 atm)
E5 Pengeringan
( 80 oC, 16 cm Hg)
E6
Nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2: 1 Konsentrasi HCl 5,9% dari berat ALB
Gum, air dan fosfat i
Uap air
Minyak hasil degumming
Esterifikasi 1
(60 oC, 300 rpm, 1 atm dan 25,2 menit
Minyak esterifikasi 1
Metanol, HCl dan air
147
E7 Nisbah molar metanol terhadap ALB 40: 1 Konsentrasi HCl 10 % dari berat ALB
Esterifikasi 2
(60 oC, 1 atm, 300 rpm dan 25,2 menit
E8 Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein 6: 1 dan konsentrsi NaOH 1,1 %
Minyak esterifikasi 2
Transesterifikasi (60 oC, 1 atm, 22 menit, 400
Gliserol dan metanol
rpm)
E9 Air dan asam asetat 0,03%
Metanol, HCl dan air.
Biodiesel kotor
Pencucian
(60 oC, 1 atm)
Air kotor
E10 Pengeringan ( 80oC, 16 cm Hg)
Uap Air
Biodiesel Gambar 37 Diagram alir kualitatif yang dilengkapi pengaturan kondisi operasi. Waktu yang dibutuhkan untuk proses diperlukan untuk penjadwalan kerja. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan biodiesel dari minyak nyamplung kasar adalah sekitar 3,5 jam (210 menit) yang terdiri atas degumming 15 menit, pencucian dan pengeringan minyak setelah degumming 30 menit,
esterifikasi
pertama 26 menit, esterifikasi kedua 26 menit, transesterifikasi 20 menit, dekantasi 90 menit, pencucian 15 menit dan pengeringan produk 15 menit. Diagram Alir Kuantitatif. Menurut Rudd dan Watson (1973) dan Seider et al. (1999) bahwa hasil integrasi proses adalah flowsheet yang rinci. Pembuatan diagram alir kuantitatif (neraca massa) proses pembuatan biodiesel dengan basis
148
perhitungan 1000 gram bahan baku didasarkan pada uji coba produksi biodiesel skala laboratorium (5 kg bahan baku). Tahapan proses yang digunakan meliputi pemecahan
kulit,
pengeringan,
pengepresan,
degumming,
esterifikasi,
transesterifikasi, pencucian dan pengeringan. Proses pengepresan dilakukan dengan alat kempa hidrolik 20 ton, degumming dilakukan dengan asam fosfat, esterifikasi dilakukan dengan metanol dan katalis HCl dan transesterifikasi dilakukan dengan metanol dan katalis NaOH. Yield dari masing-masing proses tersebut dapat dilihat pada Lampiran 18. Diagram alir kuantitatif produksi minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g biji nyamplung ditampilkan pada Gambar 38 dan diagram alir kuantitatif produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g ditampilkan pada Gambar 39 sedangkan dalam bentuk tabel input dan output dapat dilihat pada Lampiran 18. Biji Nyamplung
1.000,0 g
PENGUPASAN
Kernel basah (Biji lepas Kulit)
Kulit 475,0 g 47,5 % biji
PENGERINGAN
Kernel kering PENGEPRESAN
Minyak Kasar (crude Oil)
525,0 g 52,5 % biji
Air
114,713 g
360,3 g 36 % biji 76 % kernel basah Ampas Endapan (palmitin
173,80 g 11,21 g
175,2 g 17,52 % biji 48,6 % inti biji kering
Gambar 38 Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g biji nyamplung. Perhitungan kebutuhan metanol dilakukan dengan memanfaatkan metanol hasil distilasi baik dari sisa esterifikasi maupun transesterifikasi. Metanol hasil distilasi digunakan kembali untuk proses esterifikasi (methanol recovery), selisih antara kebutuhan metanol untuk proses esterifikasi dengan metanol hasil distilasi
149
ditambahkan sebagai metanol baru. Kondisi tersebut dilakukan pula pada proses transesterifikasi. Minyak nyamlung kasar 1.000,0 g Asam fostat ir Hangat 60 oC Metanol baru
Metanol HCl
7,06 g 2.000 m liter 33,910 g
583,0 g 15,4 g
DEGUMMING PENGERINGA N
981,7 g
Degumming Oil
960,0 g ALB =26,75% Tg=73,28%
Air kotor
2.025,3 g
Air
21,7 g
Metanol kotor
628 g
256,9 g 703,1 g
ESTERIFIKASI 1
DISTILASI
Minyak esterifikasi 1 945,6 g ALB =4,46% ME=22,3% Tg=72,21% Metanol baru
4,40 g
Metanol HCl
191,4 g 4,22 g
Kotoran
Metanol kotor
ESTERIFIKASI 2
79,461 g
945,6 g ALB =2,32% ME =24,4% Tg = 71,9%
23 g 238,9 t 715 g
Metanol
Kotoran
Metanol
150,19 g
NaOH
9,456 g
1.792,9 g 0,033 g
Gliserol kotor
TRANSESTERIFIKA SI
Biodiesel kotor
Air Asam asetat
549 90 95 101
g % metanol awal % metanol sisa g
204,7 g
DISTILASI
Minyak esterifikasi 2
Metanol baru
Metanol 42,2 g 210,9 g 692,6 g
188,5 94 97 18
g % metanol awal % metanol sisa g
184,20 g
DISTILASI
896,4 g
PENCUCIAN
Gliserol Metanol
115,1 70,7 47 94
g g % metanol awal % metanol sisa
Air Kotor
1.839 g
Air
16,0 g
850,5 g
PENGERINGAN Biodiesel
834,5 g
ME =96,1%* 88,2 % minyak esterifikasi 1 83,4 % minyak kasar 14,6 % biji
Tg: Triglserida ME: Metil ester ALB: Asam Lemak Bebas
*: Diukur dengan GC, jika dengan titrasi (SNI 04-7182) diperoleh 96,99%
Gambar 39 Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g minyak nyamplung. Berdasarkan penelitian laboratorium menunjukkan bahwa metanol sisa esterifikasi dapat didistilasi menghasilkan 90,4% dari metanol awal atau 95,2% dari sisa metanol yang bereaksi secara kimia (stokiometri). Hasil distilasi metanol yang tinggi disebabkan karena nisbah molar metanol terhadap kadar ALB yang digunakan pada proses esterifikasi sangat besar
yaitu 20:1 pada hal yang
diperlukan untuk reaksi kimia hanya 1 molar untuk setiap 1 molar asam lemak
150
bebas yang dihitung sebagai asam oleat sehingga sisa metanol yang tidak bereaksi adalah 19 molar atau 95 % dari metanol awal. Dari sisa metanol yang tidak bereaksi tersebut dapat diambil kembali 95% sedikit lebih tinggi dari Zhang et al. (2003) yaitu 94%. Berdasarkan penelitian laboratorium menunjukkan bahwa campuran glycerol dan metanol dari proses transesterifikasi dapat didistilasi menghasilkan metanol sebesar 40,4%. Hasil perhitungan tersebut setara dengan 47,9% dari metanol awal atau 94,% dari sisa metanol yang bereaksi secara kimia (stokiometri). Hasil distilasi metanol relatif tinggi disebabkan karena nisbah molar metanol terhadap minyak yang dihitung sebagai triolein pada proses transesterifikasi mencapai 6:1 pada hal yang diperlukan untuk reaksi kimia hanya 3 molar sehingga sisanya 3 molar atau 50%. Dari sisa metanol yang tidak bereaksi tersebut dapat diambil kembali 94 % sama dengan Zhang et al. (2003). Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa metanol yang disirkulasikan pada proses esterifikasi dan transesterifikasi menunjukkan kinerja yang sama dengan metanol baru. Penggunaan metanol hasil distilasi dilakukan untuk menghemat biaya karena keperluan metanol pada proses esterifikasi dan transesterifikasi sangat besar. Mengingat kadar ALB hasil esterifikasi masih terlalu tinggi yaitu 4,46% yang berdampak pada rendemen biodiesel yang masih rendah yaitu 76% dari minyak kasar atau 13 % dari biji nyamplung maka dilakukan proses esterifikasi ganda. Esterifikasi kedua dilakukan dengan menggunakan metanol dengan nisbah molar 40:1 dari kadar ALB dan katalis HCl 10 % dari kadar ALB. Pada kasus ini diperlukan metanol 20 gram pada setiap 100 gram minyak dan HCl yang dibutuhkan adalah 0,046 gram. Setelah dilakukan esterifikasi ganda maka diperoleh kadar ALB 2,31 % yang berdampak pada kenaikan rendemen biodiesel menjadi 14,6% dari biji atau 83,4% dari minyak kasar.
151
Perhitungan neraca energi pada pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung terbagi menjadi enam tahap yaitu proses pengeringan dan pengepresan biji (E1 dan E2), degumming (pemanasan dan pengadukan (E3), pencucian (E4) dan pengeringan (E5)), esterifikasi (Esterifikasi satu (E6) dan Esterifikasi dua (E7), transesterifikasi (pemanasan dan pengadukan (E8), pencucian (E9) dan pengeringan ( E10)). Energi pada tahap degumming digunakan untuk menaikkan suhu minyak dan mempertahankan suhu minyak selama proses degumming dan energi pada proses pencucian dan pengeringan minyak setelah degumming digunakan untuk menaikan suhu air pencuci dan menguapkan sisa air yang ada pada minyak. Energi pada proses esterifikasi dan transesterifikasi digunakan untuk menaikan suhu reaktan dan untuk reaksi pembentukan metil ester. Energi pada proses pencucian dan pengeringan biodiesel digunakan untuk menaikkan suhu air pencuci dan menguapkan sisa air pada biodiesel. Perhitungan energi yang diperlukan untuk proses pembuatan biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 19. Proses pembuatan biodiesel dengan basis 1000 g minyak nyamplung
sehingga dihasilkan biodiesel
834 g diperlukan energi 1623536,2 J terdiri dari atas kebutuhan energi untuk proses pengeringan inti 331412 J, proses degumming
572.554,0 J, proses
esterifikasi satu 184.299,3 J dan proses esterifikasi dua 134166,6 J. 4.3.2 Simulasi Model Proses Menurut Seider et al. (1999) simulasi model dilakukan dalam perancangan setelah melakukan integrasi proses dan sebelum melakukan analisis kelayakan rancangan yang dihasilkan. Dijelaskan pula bahwa terdapat tiga alternatif kegiatan setelah perancang melakukan integrasi proses yaitu kreasi data dasar yang rinci (create a detailed database), simulasi model dan pengetesan skala pilot plant. Pada penelitian ini dipilih simulasi model karena verifikasi data laboratorium
152
masih menggunakan skala peralatan 10 liter jauh lebih kecil dibandingkan dengan skala pilot plant (± 100 liter). Simulasi model dilakukan karena penting untuk menguji perubahan-perubahan parametrik proses (Seider et al. 1999). Disamping itu simulasi model dilakukan karena pengetesan pilot plant memerlukan biaya yang mahal. Simulasi proses dapat memperlihatkan flowsheet proses detail (rinci) disertai dengan neraca massa dan energi dan daftar peralatan. Neraca massa ditunjukkan pada setiap aliran, dilengkapi dengan suhu, tekanan dan komposisi aliran dan properties lain yang cocok. Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung
pada penelitian ini disusun menggunakan program
HYSYS. Simulasi proses disusun dengan menggunakan basis perhitungan minyak nyamplung hasil degumming sebesar 1000 kg/jam. Kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan basis perhitungan neraca massa minyak hasil degumming antara 876 gram dengan 1000 kg diasumsikan tidak ada karena dalam perhitungan neraca massa telah menggunakan data kinetika reaksi dan telah divalidasi. Simulasi model proses hanya dilakukan pada tahapan esterifikasi dan transesterifikasi yang menjadi fokus pada penelitian ini. Data yang diperlukan untuk membuat simulasi program HYSYS ini adalah data hasil percobaan laboratorium meliputi: data kondisi proses khususnya tekanan dan suhu, kondisi spesifik dari reaktan berat molekul, titik didih, densitas dan kapasitas panas (Cp), data konversi tiap-tiap proses, dan data kinetika reaksi khususnya tetapan laju reaksi. Hasil simulasi proses
produksi biodiesel dari
minyak biji nyamplung melalui tahap esterifikasi dan transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 40.
153
Simulasi produksi biodiesel dengan HYSYS melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi dilakukan juga oleh Zhang et al. (2003) dengan menggunakan bahan baku minyak bekas dengan kadar asam lemak bebas 6%. Simulasi pada produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung penelitian ini dilakukan dengan esterifikasi dua kali kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi dan akhirnya dilakukan pencucian dan pengeringan. Esterifikasi pertama dengan ester reactor A dengan aliran masuk dua yaitu aliran asam oleat dan metanol. Aliran asam oleat merupakan minyak yang akan diesterifikasi dan aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi. Esterifikasi kedua dengan ester reactor B dengan aliran masuk dua yaitu under fraction E1 dan aliran metanol. Aliran under fraction E1 merupakan minyak yang telah diesterifikasi pertama dan akan diesterifikasi kedua dan aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi. Hasil esterifikasi dua adalah est liq fraction 2 yang akan ditransesterifikasi. Terdapat dua aliran yang masuk dalam trans ester reactor yaitu aliran metanol dan Under fraction E 2. Aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi dan aliran Under fraction E 2 merupakan minyak yang telah diesterifikasi ke dua. Aliran keluar dari trans ester reactor adalah trans liq fraction yang terdiri atas fraksi berat yaitu gliserol kotor dan fraksi ringan yaitu biodiesel kotor. Gliserol kotor mengandung metanol yang akan didistilasi. Metil ester selanjutnya dicuci dan dikeringkan masing-masing menggunakan washing colum dan dying vacum. Simulasi produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan program HYSYS dilengkapi dengan neraca massa dan neraca energi yang ditampilkan dibawah plug flow diagram (PFD). Neraca massa yang ditampilkan pada simulasi proses ini sama dengan sama dengan data pada diagram alir kuantitatif pada bagian
154
integrasi proses. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa dari 1000 kg/jam minyak nyamplung yang telah dilakukan degumming dengan komposisi asam lemak bebas sebagai asam oleat 267,6 kg/jam dan trigliserida sebagai triolein 735kg/jam akan dihasilkan biodiesel 885,6 kg/jam. Biodiesel yang dihasilkan dari simulasi HYSYS sedikit lebih tinggi dari pada diagram alir kuantitatif yaitu 869,2 kg/jam karena dalam simulasi ini diasumsikan tidak ada triolein yang hilang selama proses esterifikasi satu dan dua. Keuntungan dari simulasidengan program HYSYS adalah didapatkan kondisi operasi masing-masing reactor dan energi yang dibutuhkannya. Simulasi proses di atas masih terbatas pada proses esterifikasi dan transesterifikasi, oleh karena itu sesuai dengan Seider et al. (1999) bahwa simulasi proses merupakan proses rinci sampai dengan spesifikasi peralatan maka disusun Process Enginering Flow Diagram (PEFD) seperti ditunjukkan pada Gambar 41. Pembuatan
PFFD didasarkan pada simulasi HYSYS yang telah dibahas pada
bagian sebelumnya.
Penyusunan PFFD merupakan tahap awal dari analisis
ekonomi sehingga disusun menyeluruh dimulai dari proses penggudangan bahan baku sampai dengan proses penampungan biodiesel dan gliserol. Berdasarkan diagram alir kualitatif dan kuantitatif disusun dari percobaan laboratorium selanjutnya disusun Process Enginering Flow Diagram (PEFD) dilengkapi dengan daftar peralatan yang diperlukan dalam produksi biodiesel.
Gambar 40 Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi 155
Biodiesel kotor Gliserol, sisa NaOH metanol
156
Gambar 41 Process Engineering Flow Diagram (PEFD) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung. 1. Gudang bahan baku 2. Mesin pengupas kulit 3. Mesin pengering 4. Pengepres dan penyaring 5. Tangki timbun minyak 6. Reaktor degumming 7. Tangki pencampur metanol dan HCl 8. Reaktor esterifikasi 9. Tangki penampung minyak hasil esterifikasi 10. Tangki pencampur metanol dan NaOH 11. Reaktor transesterifikasi 12. Tangki pemisah gliserol dan biodiesel 13. Distilator metanol esterifikasi 14. Distilator metanol transesterifikasi 15. Tangki pencuci dan pengering biodiesel 16. Tangki timbun biodiesel 17. Tangki timbun gliserol 18. Generator 19. Boiler
157
4.3.3
Optimasi Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung
Kapasitas produksi tergantung pada beberapa faktor, yaitu jumlah jam operasi per hari, per minggu, per bulan atau per tahun; beban alat;
ketersediaan bahan.
Optimasi produksi biodiesel dilakukan dengan menentukan kapasitas produksi optimum yang memberikan biaya per satuan produk minimum (Peters dan Timmerhaus 1980). Model persamaan biaya produksi total (cT) per unit produk didapatkan dari hasil perhitungan neraca massa, neraca energi, alat, dan analisis finansial. Model untuk biaya variabel per unit produk dihitung dengan metoda kuadrat terkecil regresi polinomial adalah : vc = 0,0174x2 - 11,022x + 7710 Koefisien determinasi (R2) adalah 0,9634 Model untuk biaya tetap per unit produk adalah : 355512 fc = 355512x-1 atau fc =
dengan R2 = 1 x
Model untuk biaya total per unit produk adalah : CT = vc + fc 355512 ct = 0,0174x2 - 11,022x + 7710 + x Keterangan : x
= Kapasitas Produksi
cT
= Biaya produksi total per unit produk per unit waktu
vc
= Biaya variabel per unit produk per unit waktu
fc
=Biaya tetap per unit produk
Berikut ini grafik biaya variabel, biaya total, dan keuntungan fungsi kapasitas produksi.
158
Biaya variabel per unit (Rp/kg)
8.000 7.500
y = 0,0174x2 - 11,022x + 7710 R 2 = 0,9634
7.000 6.500 6.000 5.500 5.000 4.500 4.000 -
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
Kapas itas (ton/tahun)
Gambar 42 Biaya Variabel fungsi kapasitas produksi.
Biaya tetap satuan (Rp/kg)
10.000 9.000 8.000 7.000 6.000
y = 355512x -1 R2 = 1
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
100
200
300
400
500
600
700
Kapasitas (ton/tahun)
Gambar 43 Biaya tetap fungsi kapasitas produksi.
Biaya total satuan (Rp/kg)
18.000 16.000 14.000
ct = 0,0174x2 - 11,022x + 7710 + 35551 x-1
12.000 10.000 8.000 6.000 -
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
Kapasitas (ton/tahun)
Gambar 44 Biaya total fungsi kapasitas produksi.
600
650
159
Optimasi kapasitas produksi dilakukan untuk mendapatkan biaya total per-satuan produksi minimum. Penyelesaian optimasi ini menggunakan beberapa hasil perhitungan/ persamaan neraca massa, neraca panas, spesifikasi alat, dan lain sebagainya. Metoda optimasi yang digunakan adalah metoda analitis : ct = 0,0174x2 - 11,022x + 7710 + 35551 x-1
dcT =0 dx 0,348x-11,022-35551x-2 =0 x
= 386 ton biodiesel/tahun.
= 2640,2 ton biji nyamplung / tahun
= 1,31 ton biodiesel/hari
= 9,0 ton biji nyamplung / hari
= 93,46 kg biodiesel / jam
= 639 kg biji nyamplung / jam
x = kapasitas optimum untuk mendapatkan biaya minimum per satuan produksi
Pabrik biodiesel dari biji nyamplung pada skala produksi 1,31 ton per hari memungkinkan didirikan di Kebumen Jawa Tengah mengingat berdasarkan ketersediaan bahan baku. Di Kebumen terdapat pohon nyamplung yang telah berproduksi sebanyak 50 ribu tanaman (Sutarno 14 Mei 2008, komunikasi pribadi). Jika satu tanaman menghasilkan 55 kg (menurut Dweek dan Meadows mencapai 100 kg) maka perkiraan produksi biji nyamplung mencapai 2750 ton per tahun lebih besar dari kebutuhan 2640,2 ton/tahun. Selain di Kebumen daerah lain sekitar Kebumen juga terdapat populasi tanaman nyamplung atau nyamplung cukup besar. Menurut
Suratno (2007), di Cilacap terdapat 350 hektar tanaman nyamplung
dengan populasi sebanyak 6500 batang (www.kr.co.id, 5 April 2008). Menurut Gunadi (2007), di Kebumen telah mengembangkan lahan tanaman nyamplung baru yang dipadukan dengan ketapang dan cemara laut sebesar 287 Hektar [www.bernas .co.id, 3 April 2008).
160
4.3.4 Analisis Kelayakan Teknis dan Finansial Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung Aspek penting yang diperhitungkan dalam menentukan kalayakan rancangan proses adalah penilaian kelayakan teknis dan penilaian kelayakan finansial (Zhang et al. 2003) 4.3.4.1 Kelayakan Teknis. Rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dihasilkan memenuhi kelayakan teknis karena dapat menghasilkan biodiesel yang secara teknis layak digunakan. Biodiesel yang dihasilkan sebagian besar telah memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006 yaitu untuk parameter massa jenis, angka setana, titik nyala mangkok tertutup, korosi kepingan tembaga, air dan sedimen, suhu distilasi 90%, kandungan
belerang,
kandungan fosfor, kadar
gliserol total, kadar gliserol bebas, kadar alkil ester, dan angka iodium. Uji kinerja khususnya konsumsi bahan bakar pada mesin diesel statis dari biodiesel yang dihasilkan menunjukkan bahwa penggunaan biodiesel dari biji nyamplung hingga campuran 30% tidak berbeda nyata dengan solar. Uji pengaruh biodiesel terhadap mesin menunjukkan bahwa deposit pada kepala silinder dan piston tidak berbeda nyata dengan solar dan kinerja mesin tidak terganggu pada penggunaan biodiesel dari biji nyamplung hingga campuran 30%.
4.3.4.2 Kelayakan Finansial. Menurut Zhang et al. (2003) selain penilaian teknis, perancangan proses perlu dilakukan penilaian finansial dan analisis sensitivitas. Kreteria finansial yang dimaksud diantaranya meliputi harga produk biodiesel pada skala BEP dan keuntungan yang dihitung berdasarkan
analisis total biaya produksi dan total
pendapatan dari penjualan produk. Penilaian aspek finansial dalam penelitian ini ditekankan pada analisis finansial. Basis perhitungan yang digunakan untuk
161
analisis finansial adalah kapasitas produksi optimum yaitu 93,46 kg/jam. Penilaian kelayakan finansial menggunakan kriteria kelayakan yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C rasio),
Payback Period (PBP), dan Break Event Point (BEP). Asumsi. Analisis finansial produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: 1.
Basis perhitungan adalah 93,46 kg/jam atau 386 ton biodiesel/tahun (2472 ton biji nyamplung / tahun) atau setara dengan 1308 kg biodiesel/hari (8379 kg biji nyamplung / hari).
2.
Biaya investasi langsung dan tidak langsung disusun menurut Peters dan Timmerhaus (1980). Biaya investasi langsung terdiri atas biaya pembelian peralatan (PEC) 100% ditambah dengan pemasangan peralatan (10% PEC), instrumen dan kontrol (3% PEC), perpipaan (5% PEC), listrik (2% PEC), pembelian tanah (2% PEC), bangunan (5% PEC),
fasilitas industri (5%
PEC). Biaya investasi tidak langsung dihitung berdasarkan biaya investasi langsung (DC) terdiri atas engineering dan supervisi (1% DC), biaya konstruksi (5% DC) dan kontingensi (5% DC). 3.
Biaya investasi digunakan untuk pendirian usaha baru.
4.
Proses pembangunan dimulai pada tahun ke 0 dan pada tahun pertama proyek berproduksi sebesar 75%, tahun kedua 90% dan mulai tahun 3 sebesar 100%.
5.
Persentase kredit terhadap modal sendiri adalah sebesar 70:30.
6.
Biaya investasi dikeluarkan pada tahun 0 dan pabrik mulai berproduksi pada tahun ke 1.
7.
Umur ekonomi proyek 10 tahun disesuaikan dengan umur ekonomi mesin.
162
8.
Pembayaran angsuran kredit investasi dan kredit modal kerja dimulai pada tahun-1 dengan jangka waktu pembayaran kredit selama lima tahun dan tingkat suku bunga tetap sebesar 16 %.
9.
Biaya penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa mesin dan peralatan sebesar 10 persen dari nilai investasi awal.
10. Masa ekonomis bangunan 20 tahun, mesin dan peralatan 10 tahun, peralatan kantor 5 tahun dan kendaraan 8 tahun. 11. Harga biji nyamplung Rp. 600 setara dengan kernel basah Rp 1260, kernel kering Rp1660 dan minyak nyamplung kasar Rp 3500, harga bahan baku sama selama 10 tahun. 12. Biaya pemeliharaan 2,5% pertahun dari nilai investasi awal. 13. Jumlah hari produksi dalam satu tahun adalah 295 hari atau 26 hari dalam 1 bulan dengan libur setahun maksimum 17 hari. Dalam sehari ditetapkan 2 shift kerja. 14. Kredit modal kerja disediakan untuk 3 bulan proses awal. 15. Biaya investasi dan biaya operasional konstan berdasarkan harga-harga yang berlaku pada bulan Maret 2008. 16.
Harga produk biodiesel Rp 7200 / kg atau (Rp 6300 /liter) mengacu pada harga
biodiesel yang dibeli pertamina dan harga biodiesel yang dibeli
transpakuan di Bogor yaitu Rp6500. Harga produk samping terdiri atas : fraksi padat dari minyak nyamplung (stearin dan palmitin) Rp3000 / liter, gliserol
kotor
Rp1000,
kulit biji Rp195/kg dan bungkil nyamplung
Rp195/kg. Produk terjual 100% dan harga produk sama selama 10 tahun. 17.
Metanol yang digunakan kembali (recovery) pada proses esterifikasi 1 dan 2 masing-masing adalah 92% dan 97% sedangkan pada transesterifikasi adalah
163
94%. Kondisi hasil percobaan tersebut mendekati Chang et al. (2003) yaitu sebesar 94%. 18.
Harga mesin dan bahan kimia ditentukan berdasarkan hasil survey pada Maret tahun 2008.
19.
PBP dinyatakan layak apabila kurang dari 6 tahun
20.
Perhitungan
pajak
dilakukan
berdasarkan
ketentuan
undang-undang
perpajakan nomor 17 tahun 2000 yaitu keuntungan kurang dari 25 juta rupiah dikenakan pajak sebesar 10 % dan keuntungan antara 25-50 juta rupiah dikenakan pajak sebesar 10 % keuntungan
pada 25 juta dan 15 persen sisanya,
di atas 50 juta rupiah dikenakan pajak 10 % pada 25 juta
pertama, 15 % pada 25 juta kedua dan sisanya dikenakan pajak 30%.
Investasi (Fixed Cost). Modal investasi atau modal tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan harta tetap, pembiayaan kegiatan praoperasi serta biaya lain yang berkaitan dengan pembangunan pabrik sampai pabrik siap beroperasi. Modal tetap meliputi biaya pengadaan lahan, biaya bangunan serta fasilitas penunjang, biaya pengadaan mesin dan peralatan produksi, sarana distribusi produk, peralatan kantor dan biaya persiapan. Adapun modal tetap yang dibutuhkan untuk investasi industri produksi biodiesel skala 1,31 ton biodiesel/hari sebesar RP
2.455.192.000 termasuk bunga yang
harus dibayar selama masa
pendirian usaha (Interest During Constructions (IDC)). Perincian modal investasi industri biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 21.
Biaya Operasional. Biaya operasional terdiri atas dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas gaji karyawan, penyusutan, perbaikan dan perawatan dan administrasi kantor dan telpon. Biaya variabel terdiri atas biaya bahan baku, bahan kimia, tenga kerja langsung, bahan bakar dan kemasan.
Biaya tetap per tahun adalah Rp
164
370.424.885 dan biaya variabel per tahun adalah Rp 2.400.974.564. Data biaya operasional dapat lihat pada lampiran 22.
Modal kerja awal. Modal kerja awal adalah dana awal yang dibutuhkan agar pabrik dapat beropersi setelah pabrik selesai dibangun. Modal kerja digunakan untuk proses produksi seperti pengadaan bahan baku, bahan pembantu, biaya tenaga kerja, biaya pemeliharaan dan biaya administrasi. Modal kerja yang diperlukan selama 3 bulan adalah Rp 587.215.000. Rincian modal kerja awal dapat dilihat pada Lampiran 23.
Struktur Pembiyaan. Sumber dana investasi dan modal kerja untuk industri menengah berasal dari pinjaman bank dan modal sendiri dengan sebesar 70:30. Tingkat suku bunga kredit investasi adalah 0,16 dan kredit modal kerja yang berlaku sebesar 0,16. Struktur pembiayaan industri untuk modal investasi adalah Rp 2.348.862.500 yang terdari atas
Rp704.569.200 modal sendiri dan Rp
1.644.203.000 pinjaman bank sedangkan struktur pembiayaan untuk modal kerja selama 3 bulan adalah Rp 587.215.000 yang terdiri atas Rp 176.165.000 modal sendiri dan Rp 411.051.000 dari pinjaman. Rencana pengembalian
kredit investasi dan bunga dibayarkan jangka
waktu 10 tahun sedangkan untuk modal kerja dibayarkan jangka waktu 5 tahun. Pembangunan industri biodiesel dilakukan pada tahun ke 0. Pengembalian angsuran kredit investasi dan modal kerja dibayarkan pada awal tahun 1, untuk modal investasi dilunasi pada tahun ke 10 dan untuk modal kerja
dilunasi pada
tahun ke 5. Besarnya pembayaran kredit investasi dan modal kerja yang dibayarkan setiap tahun dapat dilihat pada Lampiran 24.
Perkiraan Rugi Laba. Perkiraan rugi laba merupakan ringkasan penerimaan dari hasil penjualan produk dan seluruh biaya yang dikeluarkan pabrik setiap tahun dalam jangka waktu tertentu (10 tahun). Laba bersih adalah nilai yang
165
diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan total pengeluaran, termasuk bunga pinjaman dan pajak penghasilan.
Perkiraan pendapatan merupakan
penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan Biodiesel dan produk samping dengan jumlah dan harga seperti yang tercantum pada Lampiran 25. Perkiraan pendapatan per tahun pada tahun ke tiga yang akan diperoleh industri biodiesel adalah Rp 3.314.139.619. Perkiraan laba adalah total penerimaan dikurangi biaya operasional. Terdapat dua katagori laba yaitu sebelum dikurangi pajak dan setelelah dikurangi pajak. Berdasarkan asumsi yang ditetapkan, maka diperkirakan laba operasi maksimum akan diperoleh laba pada tahun ke tiga
sebesar Rp
542.623.619 per tahun dan laba bersih per tahun pada tahun ke tiga adalah Rp 259.060.405. Laba tersebut didapatkan apabila selain biodiesel pabrik juga menjual produk sampingnya yaitu gliserol kasar, fraksi padat minyak (stearin kasar) dan kulit biji nyamplung. Apabila pabrik hanya memproduksi dan menjual biodiesel saja maka secara ekonomi tidak layak karena biaya produksi per kg mencapai Rp 7298 dan harga jual biodiesel mencapai Rp 8600. Jika pabrik selain biodiesel (385.990 kg) juga menjual produk samping yang dihasilkan yaitu gliserol (52.609 kg), stearin kasar (29.603 kg) maka biaya produksi biodiesel dapat ditekan menjadi Rp 5982/kg dan harga jual biodiesel menjadi Rp 7200/kg atau Rp 6300/liter. Proses produksi biodiesel melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi dari minyak bekas dengan kadar ALB tinggi memerlukan biaya produksi paling tinggi yaitu 0,776 $ dibandingkan dengan produksi biodiesel dari bahan baku minyak murni melalui satu tahap transesterifikasi yaitu 0,759 $, dan produksi biodiesel dari minyak bekas melalui proses transesterifikasi dengan katalis basa dan asam masing-masing yaitu 0,592 $ dan 0,635 $ (Zhang et al. 2003).
166
Perkiraan Aliran Kas. Aliran kas merupakan laporan penerimaan dan total pengeluaran kas tahunan, yang menunjukkan transaksi uang tunai yang berlangsung selama periode kajian tertentu. Berdasarkan aliran kas maka dapat diketahui kondisi kas perusahaan pada setiap akhir tahun. Aliran kas masuk meliputi laba bersih penyusutan, nilai sisa modal, modal sendiri dan modal pinjaman yang masuk ke kas perusahaan. Aliran kas keluar meliputi biaya investasi, biaya modal kerja, biaya penggantian fasilitas dan pembayaran pinjaman. Berdasarkan hasil perkiraan aliran kas seperti yang disajikan pada Lampiran 26, akumulasi aliran kas industri biodiesel mencapai nilai positif pada tahun ke lima sebesar Rp 23.522.632.
Kriteria Kelayakan. Kreteria kelayakan yang digunakan dalam analisis finansial adalah BEP, NPV, IRR, net B/C, PBP dan ROI. Nilai-nilai kriteria tersebut
menggambarkan
apakah
rancangan
produksi
biodiesel
yang
dikembangkan layak dari aspek finansial. 1. Break Even Point (BEP). BEP terjadi jika total pengeluaran (total cost) sama dengan total pendapatan (total revenue). Skala BEP diperoleh pada produksi biodiesel 70,8 ton/tahun, stearin 5,4 ton/tahun, dan gliserol kasar
9,6 ton
kg/tahun dengan nilai penjualan biodiesel dan produk sampingnya sebesar Rp 541.860.269,6 per tahun. Proses produksi biodiesel melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi dari minyak bekas dengan kadar ALB tinggi mempunyai skala BEP harga paling tinggi yaitu 884 $/ton dibandingkan dengan produksi biodiesel dari bahan baku minyak murni melalui satu tahap transesterifikasi yaitu 857 $/ton dan produksi biodiesel dari
minyak bekas melalui proses
transesterifikasi dengan katalis basa dan asam masing-masing yaitu 644 $/ton dan 702 $/ton (Zhang et al. 2003).
167
2. Net Present Value (NPV). NPV selisih antara nilai sekarang dengan investasi awal. Jika NPV positif maka usaha dinyatakan layak. NPV = Nilai sekarang – Investasi awal.
NPV dari hasil perhitungan adalah
Rp
366.166.218,8
sehingga dinyatakan layak. 3. Interest Of Return (IRR). IRR adalah nilai tingkat bunga (discount rate) yang membuat nilai NPV = 0. Jika nilai IRR lebih besar dari nilai suku bunga yang berlaku (IRR> I ) maka suatu perencanaan usaha dinyatakan layak. Nilai IRR dari perhitungan adalah 33,5% sehingga dinyatakan layak karena lebih besar dari tingkat bunga bank yaitu 16%. 4. Net Benefit –Cost Ratio (Net B/C).
Nisbah Net B/C
adalah angka
perbandingan antara jumlah present value positif dengan present value negatif. Nilai nisbah net B/C lebih besar dari atau sama dengan satu proyek dinyatakan layak, sebaliknya jika nisbah net B/C kurang dari satu proyek dinyatakan tidak layak. Nilai Net B/C dari analisis finansial ini adalah 2,1 sehingga dinyatakan layak. 5. Pay Back Period (PBP). Pay back period merupakan perbandingan antara investasi awal dengan keuntungan. Usaha dinyatakan layak apabila PBP lebih kecil dari pay back yang ditetapkan. Hasil analisis PBP adalah 4,9 tahun dinyatakan layak karena lebih kecil dari PBP yang ditetapkan yaitu 6 tahun. 6. Return on Investment (ROI). ROI adalah perbandingan antara laba usaha dengan modal usaha. Nilai ini digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ROI adalah kemampuan pengusaha menghasilkan laba dan kemampuan mengembalikan modal. Hasil perhitungan ROI diperoleh nilai 0,23 artinya modal sebesar Rp100 diperoleh keuntungan sebesar Rp23.
168
Analisis Sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa simulasi kenaikan harga bahan baku 10%, kenaikan harga bahan kimia 10%, kenaikan suku bunga bank 10%
yang dilakukan simulasi secara terpisah
menunjukkan masih layak. Akan tetapi jika kenaikan bahan kimia dan bahan baku dua-duanya sebesar 10 % atau harga jual turun 5% usaha produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung tidak layak. Hasil analisis sensitivitas
selengkapnya
disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Analisis sensitivitas produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung Simulasi Kondisi normal (harga biodiesel Rp.6300) Harga biodiesel mendekati harga solar industri (Rp 8200/liter) Kenaikan bahan baku 10 % Kenaikan bahan kimia 10 % Kenaikan suku bunga 10% Kenaikan bahan baku 5 % dan bahan kimia 5 % Kenaikan bahan baku 10 % dan bahan kimia 10 % * Penurunan harga jual 5%* Harga biodiesel sama dengan harga solar subsidi (Rp 5500/liter) *
* : Tidak layak
Net B/C 2,1
PBP ROI IRR NPV (Rp) (tahun) 4,9 0,226 33,54 366.166.218,8
12,06 1,11 2,33 2,31
2,72 6,53 4,70 4,53
0,34 0,17 0,11 0,24
173,9 26,90 19,50 26,46
1.790.825.453 41.782.922 78.885.214 435.541.798
2,06
4,76
0,23 23,04
363.280.327
0,18 0,80
11,48 7,48
0,11 0,19 0,16 12,41
(393.741.761) (83.710.757)
(0,47)
54,02
0,07
(815.968.386)
0,12
169
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1.
Penelitian ini menghasilkan satu rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung sebagai berikut. Minyak nyamplung dilakukan degumming dengan larutan asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 0,3% dari berat minyak, suhu 80 oC dan waktu 15 menit dilanjutkan dengan pencucian air hangat suhu 60 oC, pengeringan suhu 105 oC selama 20 menit dan pengeringan vakum suhu 80 oC selama 10 menit. Minyak hasil degumming dilakukan esterifikasi
pertama pada suhu 60 oC, nisbah molar metanol
terhadap ALB 22,2:1, katalis HCl 5,9% dari ALB, kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu 26 menit. Tetapan laju reaksi esterifikasi orde dua semu suhu 333 K adalah 0,173 liter/ mol menit. Selanjutnya dilakukan esterifikasi kedua pada nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, katalis HCl 10% dari ALB, kecepatan pengadukan 300 rpm, suhu 60 oC dan waktu 26 menit. Minyak hasil esterifikasi dilakukan transesterifikasi pada nisbah molar metanol terhadap minyak 6,3:1, katalis NaOH 1.1% dari berat minyak, suhu 60 oC, kecepatan pengadukan 400 rpm dan waktu 22 menit
dilanjutkan dengan proses
pencucian pada suhu 60 oC, pengeringan suhu 105 oC selama 20 menit dan pengeringan vakum transesterifikasi
suhu 80 oC selama 10 menit.
orde dua suhu 333 K
Tetapan laju reaksi
adalah 0,025 liter/ mol menit.
Rancangan proses menghasilkan biodiesel sebesar 15,62 % dari berat biji atau 83,4% dari berat minyak kasar. Energi yang diperlukan untuk menghasilkan 834 gram biodiesel dari 1000 gram minyak kasar adalah 1623,5 kJ. 2.
Biodiesel yang dihasilkan memenuhi kelayakan teknis sesuai persyaratan SNI 04-7182-2006 untuk parameter massa jenis, angka setana, titik nyala mangkok tertutup, korosi kepingan tembaga, air dan sedimen, suhu distilasi 90%, kandungan belerang, kandungan fosfor, kadar gliserol total, kadar gliserol
170
bebas, kadar alkil ester, dan angka iodium, tetapi belum memenuhi untuk viskositas kinematik 40oC, residu karbon, titik kabut, abu tersulfatkan dan bilangan asam belum memenuhi standar. Pada kondisi demikian penggunaan biodiesel nyamplung hingga campuran 30% dapat dilakukan, karena konsumsi bahan bakar tidak berbeda nyata dengan solar, deposit pada kepala silinder dan piston tidak berbeda nyata dengan solar dan kinerja mesin tidak terganggu. Penggunaan campuran biodiesel ≥ 50% tidak disarankan karena boros bakar, deposit pada piston dan kepala silinder sangat tebal dan kinerja mesin sudah tergannggu. 3.
Berdasarkan basis perhitungan produksi biodiesel sebesar 100 kg/jam, biaya produksi minimum diperoleh pada kapasitas produksi 386 ton biodiesel /tahun atau 1,31 ton biodiesel /hari. Hasil analisis finansial pada kapasitas produksi optimum menunjukkan bahwa kondisi BEP diperoleh pada produksi biodiesel 70,8 ton/tahun atau setara dengan hasil penjualan produk biodiesel dan produk sampingnya sebesar Rp 541.860.269,6 per tahun. Produksi biodiesel pada kapasitas produksi optimum adalah layak dengan Net B/C 2,1, PBP 4,9 tahun, ROI 0,23, IRR 33,54% dan NPV Rp 366.166.218,8. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung masih layak dengan kenaikan harga bahan baku 10%, atau kenaikan harga bahan kimia 10%, atau kenaikan bunga bank 10% namun tidak layak jika kenaikan tersebut terjadi bersama atau penurunan harga jual 5%.
5.1 Saran 1.
Pemerintah perlu memprogramkan penanaman nyamplung khususnya pada daerah pantai karena selain bermanfaat untuk penghijauan, buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel.
171
2.
Penelitian ini perlu dilanjutan untuk mengatasi lima parameter persyaratan SNI biodiesel yang belum terpenuhi yaitu viskositas kinematik, residu karbon, titik kabut, abu tersulfatkan dan bilangan asam dengan penambahan proses pengukusan sebelum pengepresan, optimasi degumming dan pemisahan asam lemak jenuh serta mempelajari pengaruh
kadar air, kadar ALB, glikolipid
dan fraksi tidak tersabunkan terhadap kualitas dan kuantitas biodiesel yang dihasilkan.
172
DAFTAR PUSTAKA Allen, C.A.W. and Watts K.C., 2000. Comparative analysis of the atomization characteristics of fifteen biodiesel fuel types. Trans. ASAE 43, 207-211. Al-Widyan, M. I. and Al-Shyoukh A.O., 2002. Experimental evaluation of the transesterifikcation of waste palm oil into biodiesel. Bioresource Technology 85, 253-256. Atkins, P. W., 1999. Kimia Fisika. Kartodiprodjo I.I., penerjemah; Indarto P.W., Editor. Terjemahan dari: Physical Chemistry. Erlangga, Jakarta. [Balitbang Kehutanan] Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008. Nyamplung Callophyllum inophyllum L. sumber energi biofuel yang potensial. Departemen Kehutanan, Jakarta. Box, G.E.P., Hunter W.G. and Hunter J.S., 1978. Statistics for Experimenters. John Wiley & Son, New York. Breitenlechner, S. and Bach T., 2006. Kinetics study on esterification of hexanoic acid with N,N-dialkylamino alcohols (Abstract). Di dalam: Z. Naturforsch. 61b, 583-588. Brezonik, P.L., 1993. Chemical kinetics and process dynamics in aquatic system. Lewis Publishers, London. [BSN] Badan Standardisasi Nasional, 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomer 04-7182:2006 tentang Biodiesel. BSN, Jakarta. Cheng, S.F., Choo V.M., Ma A.N. and Chuah C.H., 2004. Kinetics study on transesterification of palm oil. J. Oil Palm Res 16, 19-29. Canakci, M. and Van Gerpen J., 1999. Biodiesel production via acid catalysis. Trans. ASAE 42, 1203-1210. Canakci, M. and Van Gerpen J., 2001. Biodiesel from oils and fats with high free fatty acids. Trans. ASAE 44, 1429-1436. Canakci, M. and Van Gerpen J., 2003. A pilot plant to produce biodiesel from high free fatty acid feedstocks. Trans. ASAE 46, 945-954. Darnoko, D. and Cheryan M., 2000. Kinetics of palm oil transesterification in a batch reactor. JAOCS 77, 1263-1267. Darnoko, Herawan T. dan Guritno P., 2001. Teknologi produksi biodiesel dan prospek pengembangannya di indonesia. Warta PPKS 9(1):17-27.
173
Debaut, V.J., JeanY.B. and Greentech S.A., 2005. Tamanol.-a stimulant for collagen synthesis for use in anti-wrinkle and anti-stretch mark products. Cosmetics and Toiletries manufacture Worldwide. Greentech SA. France. De Filippis, P., Giavarini C., Scarsella M., and Sorrentino M., 1995. Transesterification Processes for Vegetable Oils: A simple control method of methyl ester content. JAOCS 72, 1399-1404. Douglas, J.M., 1988. Conceptual Design of Chemical Process. Mc Graw Hill. New York. Dweek, A.C. and Meadows T., 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum) the Africa, Asian Polynesian and Pasific Panacea. Int. J. Cos. Sci. 24:1-8. Fajar, R., Lukman S.P., Hari S.T., Haryati T. dan Elisabeth J., 2003. Indonesian experience in using biodiesel emission and performance testing on engine test bed and chassis dynamometer. Puspitek Serpong-Tangerang: Center for Thermodidynamics, Motor and Propulation, BPPT Tangerang. Fillieres, R., Mlayah B.B. and Delmas M., 1995. Ethanolysis of Rapeseed oil : Quantization of ethyl esters, mono, di, and triglycerides and glycerol by high-performance size–exclusion chromatography. JAOCS 72, 427-432. Foidl, N., Foidl G., Sanchez M., Mitelbach M., and Hackel S., 1996. Jatropha curcas L as a source for the production of biodiesel in Nicaragua. Bioresource Technology 70, 78-82. Francis, G. and K. Becker, 2001. Development, mobility and environment. A case for production and use of biodiesel from Jatropha plantations in India. University of Hohenheim, Stugart. http//:www.upi-hohenheim [27 Januari 2005]. Freedman, B., Pryde E.H. and Mounts, T.L., 1984. Variables affecting the yields of fatty esters from transesterified vegetables oils. JAOCS 61, 1338-1343. Freedman, B., Butterfield R.O. and Pryde E.H., 1986. Transesterification kinetics of soybean oil. JAOCS 63, 1375-1380. Friday, J.B. and Okano D., 2005. Calophyllum inophyllum (kamani) Species Profiles for Pacific Island Agro forestry. http//:www.tradionaltree.org [2 Januari 2007]. Gaspers, V., 1996. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung.
Transito.
Grzesik, M., Skrzypek J. and Lachowska M., 2003. Kinetics of esterification of maleic anhydride with n-hexanol using selected catalysts. Gliwice Poland: Institute of Chemical Engineering. Goud, V.V., Patwardhan A.V. and Pradhan N.C., 2006. Studies on the epoxidation of mahua oil (Madhumica indica) by hydrogen peroxide. Bioresource Technology 97, 1365-137.
174
Gray, C., Simanjutak P., Sabar L.K., Maspaitella P.F.L. and Varley R.C.G., 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gramedia Utama. Guner, F.S., Sirkecioglu A., Yilmaz S., Erciyes A.T. and Erdem-Senatalar A., 1996. Esterification of oleic with glycerol in the presence of sulfated iron oxide catalyst. JAOCS 73, 347-351. Haas, M.J., Scoot B. and Scoot K.M., Penemu; Oreland. 4 Juni 2002. Process for the production of fatty acid alkyl esters. US Patent 6,399,800. Haas, M. and Mitterlbach. M., 2000. Detoxification experiments with the seed oil from Jatropha curcas L. Indus Crops Prod 12, 111-118. Haas M. and Foglia T., 2005. Alternate feedstocks and technologies for biodiesel production. Di dalam : Knothe G., Van Gerpen J., Krahl J., editor. The Biodiesel Handbook. AOCS Press. Champaign, illions. Hal. 42-61 Hangx, G., Kwnt G., Maessen H., Markusse P. and Urseanu I., 2001. Reaction kinetics of the esterification of ethanol and acetic acid towards ethyl acetate. Intelligent Column Internals for Reactive Separations. Frederic Gouarderes, European Commission. Hartmann, K. and Kaplick K., 1990. Analysis and synthesis of chemical process systems. Elsevier, Amsterdam. Herawan, T. dan Sadi S., 1977. Sifat fisiko-kimia dan beberapa jenis alkil ester asam lemak sawit dan kemungkinan aplikasinya. Warta PPKS 5, 131-136. Hill, C.G., 1977. An introduction to chemical engineering kinetics & reactor design. John Wiley & Sons, New York. Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Hui, Y.H., 1996. Bailey’s industrial oil and fat products Ed 5(1). John Wiley &Sons, New York. Johnston, S.F., Gostelow J.P., King W. J., 2000. Engineering & Society. Prentice Hall, London Joker D., 2004. Calophyllum inophyllum L. Forest http://www.SL.kvl.dk [17 Juli 2005].
dan Landscape Denmark,
Journey to Forever, 2005. Oil yield and characteristics http://journeytoforever.org/ biodiesel_yield.html [17 Juli 2005]. Karmee, S.K. dan Chandha A., 2005. Preparation of biodiesel from crude oil of Pongamia pinnata. Bioresource Technology 96, 1425-1429. Kilham, C., 2004. Oil of Tamanu (Calophyllum inophyllum) http://www. Newchapter.info/media [27 Januari 2005]. Kinast, J.A., Tyson K.S., 2003. Production of Biodiesel from Multiple Feedstocks and properties of biodiesel and biodiesel/diesel blends. NREL US Department of Energy Laboratory.
175
Kirbaslar, S.I.,. Baykal Z B and Dramur U., 2000. Esterification of acetic acid with ethanol catalyzed an acidic ion-exchange resin. Indus. Turk J. Engine Environ. Sci 25, 569-577. Kusdiana, D. And Saka S., 2004. Effects of water on biodiesel fuel production by supercritical methanol treatment. Bioresource Technology 91, 289-295. Laider, K.J., 1979. Chemical Kinetics. TATA McGraw-Hill Publishing Company LTD, New Delhi. Lang, X., Dalai A.K, Bakhshi N.N., Reany M.J. and Hert P.B., 2001. Preparation and characterization of biodiesel from various bio–oils. Bioresource Technology 80, 53-62. Lee, K.T., Foglia T.A. and Chang K.S., 2002. Production of alkyl ester as biodiesel from fractioned lard and restaurant grease. JAOCS 79, 191-195. Lele, S., 2005. Biodiesel in India . htttp//www.svlele.com/biodiesel [27 Juli 2005]. Legowo, E., Gafar A., Sijabat O., La Pupung P. and Arfan Z., 2001. Experience in palm biodiesel application for transportation. Di dalam: Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Enhancing Biodiesel Development and Use. Medan Oktober 2-4, 2001. Ministry of Agriculture RI, Jakarta. Legowo, E., Aziz L., Puppung P.L. dan Anwar C., 2006. Pengalaman Lemigas dalam proses pembuatan biodiesel. M & E. 4, 21-31. Ma, F. dan Hanna M.A., 1999. Biodiesel production a review. Bioresource Technology 70, 1-15. Martawijaya, A., Kartasujana I., Kadir K. dan Prawiro S.A., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta. Mattjik, A. A. dan Sumertajaya I.M., 2002. Perancangan Percobaan. IPB Press. Bogor. Montgomery, D.C., 1991. Design and Analysis of Experiments. John Wiley & Sons, New York. Mittelbach, M. and Remschmidt C., 2004. Biodiesel. Boersedruck Ges.m.b.H., Viena Austria. Nakazono, Y., 2001. Biodiesel Fuel e-oil in Japan. Di dalam: Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Enchancing Biodiesel Development and Use. Medan Oktober 2-4, 2001. Ministry of Agriculture RI, Jakarta. Nijhuis, T.A., A.E.W. Beers, F. Kapteijn, 2001 Reaction kinetics of the esterification of hexanoic acid with octanol intelligent column internals for reactive separations. Frederic Gouarderes, European Commission.
176
Noureddini, H, and Zhu, 1997. Kinetics of transesterification of soybean oil. JAOCS 74, 1457-1463. Oluwaniyi, O.O. and S.A. Ibeyemi, 2003. Efficacy of catalyst in the batch esterification of the fatty acids of Thevetia Peruviana. J. Appl.Sci.Environ 7, 15-17. Pakpahan, A., 2001. Palm biodiesel: Its potency, technology, business prospect, and environmental implication in Indonesia. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Enhancing Biodiesel Development and Use Medan Oktober 2-4, 2001. Ministry of Agriculture RI, Jakarta. Peeples, J.E., 1988. Biodiesel development in United States: Meeting economic, policy & technical challenge. Di dalam: Proceedings of the 1988 PORIM International Biofuel and Lubricant Conference. 4-5 May 1998. Malaysia. Petrucci, R.H., 1992. Kimia Dasar: Prinsip dan Terapan Modern. Terjemahan dari Basic chemistry and modern application. Jakarta: Erlangga. Peterson, C. L., Thomson J. C., Taberski J. S., Reece D.L. and Fleischman G., 1999. Long-range on-road test with twenty-percent rapeseed biodiesel. Applied Eng. In Agric 15, 91-101. Peters, M.S. and Timmerhaus K.D., 1980. Plant Design and Economics for Chemical Engineers, Auckland: McGraw-Hill Book Company. Perry, R.H., Green D.W., Maloney J.O., 1985. Perry’s Chemical Engineering’ Handbook Sixth Edition. Mgraw-Hill Book Company, New York. Pruszko, R., 2005. Biodiesel as a business. Center for Industrial Research and Service IOWA State University, http:/
[email protected] [24 Maret 2007] Reksowardojo, I.K., 2006. Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol untuk Transportasi. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia. KADIN-IPB. Jakarta, 21 November 2006. Reksowardojo, I.K., Kusuma R.P.B., Mahendra I.M., Brojonegoro T.P., Soerawidjaja T. H., Syaharuddin I. dan Arismunandar W., 2006. The effect biodiesel fuel from physics nut (Jatropha Curcas) on a direct injection (DI) diesel engine. Chemical Engineering Departement. IPB Indonesia. Richardson, J.F. and Peacock D.G. 1994. Chemical & Biochemical Reaktors & Process Control. Pergamon, New York. Rudd, D.F. and C.C. Watson, 1968. Strategy of Process Engineering Synthesis. John Wiley & Sons, New York.
177
Sanchez N., Martinez M., and Aracil J., 1997. Selective esterification of glycerol Monooleat [abstrak]. Di dalam: Ind. Eng. Chem. Res., 36 (5), 1524 – 1528. Schindlbauer, H., 1998. Standardization and analysis of biodiesel: What specifications are important, Proceeding of the 1998 PORIM International Biofuel Conference, Kuala Lumpur, and 4-5 May 1998. Seider, W.D., Seader J.D. and Lewin D.R., 1999. Process Design Principles (Synthesis, Analysis and Evaluation). John Wiley & Sons Inc, New York. Sendzikiene, E., Makareviciene V., Janulis P. and Kitrys S., 2004. Kinetics of free fatty acids esterification with methanol in the production biodiesel (abstract). European J. Lipid Sci. and Technol 106, 831-836. Sinnot, RK., 1999. Chemical Engineering. Vol. 6. 3rd edition. Oxford: Pergamon Soerawidjaja, T.H., 1999. Sistem ekstraksi minyak lemak nabati berskala kecil /Koperasi. Di dalam: Prosiding Seminar Rekayasa dan Proses Kimia 2002. UNDIP. Semarang, 27-28 Juli 1999. Soerawidjaja, T.H., 2001. Memanfaatkan Peluang yang Dibuka oleh Penghapusan Subsidi Harga pada Energi Berbasis Fosil. Bandung: Pusat Penelitian Material dan Energi ITB. Soerawidjaja, T.H., T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakoso, I.K. Reksowardojo, K.S. Permana, 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Di dalam: P Hariyadi, N. Andarwulan, L. Nuraida, Y. Sukmawati. editor. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. Kementerian Ristek dan Teknologi RI – MAKSI IPB Bogor. Sofiah, 1999. Alkoholisis Minyak Biji Nyamplung dengan Katalisator Natrium Hidroksida dan Asam Sulfat. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses. Semarang, 27-28 Juli 1999. Semarang: Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Diponegoro A4.1-A4.6. Surono, D. and F. Batti (1980). Spesifikasi Solar dan Pengaruhnya terhadap Performance Motor. Lembaran Publikasi Lemigas No. 2/1980 Tahun XIV. Sudradjat, R., I. Jaya dan D. Setiawan, 2005. Optimalisasi Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi pada Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). J. Penelit. Has. Hut 23, 239-337. Sutojo, S., 2000. Studi Kelayakan Proyek:Konsep, Teknik dan Kasus. Damar Mulia Pustaka, Jakarta. Suryani, A. dan Mangunwidjaja D., 2002. Rekayasa Proses. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Tyson, K.S., 2004. Energy Efficiency and Renewable Energy. U.S. Department of Energy. http://www.osti.gov/bridge [24 May 2006].
178
Zhang, Y., Dube M.A., McLean D.D. and Kates M., 2003. Biodiesel production from waste cooking oil assessment. Bioresource Technology 99, 1-16. Van Gerpen, J., Shanks B., Pruszko R., Clements D. and Konthe G., 2004. Biodiesel production technology. http://www.nrel.gov [24 May 2006]. Wallas, S.M., 1981. Reaction kinetics for chemical engineering. McGraw Hill Book Company, New York. Wu, W.H. and Foglia T.A., Marmer W.N., Philips J.G., 1999. Optimizing production of ethyl esters of grease using 95% ethanol by response surface methodology. JAOCS 76,517-523. http://www.esdm.go.id/berita [9 Januari 2008]
LAMPIRAN
180
Lampiran 1 Prosedur analisis biji dan minyak biji nyamplung serta biodiesel yang dihasilkan. Lampiran 1.1 Prosedur analisis kadar lemak metode ekstraksi langsung dengan alat soxhlet (SNI 01-2891-1992). Prinsip analisis kadar lemak metoda ekstraksi lemak secara langsung dengan alat soxhlet adalah ekstraksi lemak bebas dengan pelarut non polar yaitu heksana atau pelarut lemak lainya. Ditimbang 1-2 gram contoh kemudian dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi kapas. Selongsong kertas berisi contoh tersebut disumbat dengan kapas, dikeringkan pada suhu 80 oC selama lebih kurang satu jam kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Contoh diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Heksana dipisahkan dari labu lemak dengan cara distilasi labu lemak yang berisi ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 oC. Labu lemak didinginkan dan ditimbang. Diulangi pengeringan ini hingga tercapai bobot tetap. Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut: W2 – W1 % lemak = -------------- x 100 % W : W : bobot contoh (gram) W2 : bobot labu contoh sesudah ekstraksi W1 : bobot labu contoh sebelum ekstraksi Lampiran 1.2 Prosedur analisis kadar air metode oven (SNI 01-3555-1998). Prinsip analisis kadar air metoda oven adalah kehilangan bobot pada pemanasan 105 C dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada contoh. Botol timbang kuarsa/kertas saring berlipat dan pengaduk dipanaskan pada oven pada suhu 105 OC selama satu jam. Botol timbang didinginkan dalam eksikator selama ½ jam kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya. Pekerjaan ini diulangi sampai didapatkan bobot konstan. Contoh minyak atau lemak ditimbang sebanyak 5 gram pada botol timbang yang sudah didapat bobot konstannya. Botol timbang berisi contoh dipanaskan dalam oven pada suhu 105 OC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam eksikator ½ jam. Botol timbang yang berisi contoh tersebut ditimbang. Pekerjaan tersebut diulangi sampai didapat bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus berikut : o
(m1-m2) ----------- x 100 % m
m m1 m2
: bobot contoh (g) : bobot contoh sebelum dikeringkan (g) : bobot contoh setelah dikeringkan (g)
Lampiran 1.3 Prosedur analisis kadar protein metode semimikro Kjeldahl (SNI 01-2891-1992). Prinsip analisis protein dengan metode Semimikro Kjeldhal adalah senyawa nitrogen diubah menjadi amonium sulfat oleh H2SO4 pekat, dan amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan NaOH menjadi amoniak dalam bentuk gas. Amoniak yang dibebaskan diikat dengan asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan baku asam. Contoh ditimbang 0.51 gram kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml. Ditambahkan 2 gram campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Contoh didetruksi dengan cara memanaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih selama 2
181 jam dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan. Dibiarkan dingin kemudian encerkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 ml sampai tanda garis. Dipipet 5 ml larutan dan dimasukkan ke dalam alat distilasi dengan ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Contoh didistilasi selama 10 menit sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2 % yang telah dicampur indikator. Dibilas ujung pendingin dengan aquades. Dititrasi dengan larutan HCl 0.01 N. Dilakukan pula pengerjaan blanko. Kadar protein dihitung dengan rumus berikut : (V1-V2) x N x 0.014 x fk x fp w ------------------------------------- V1 V2 w N fk fp
: : : : : :
bobot contoh (g) ml HCL 0.01 N untuk tirasi contoh ml HCL 0.01 N untuk tirasi contoh normalitas HCl faktor konversi = 6,25 faktor pengenceran
Lampiran 1.4 Prosedur analisis kadar karbohidrat metode titrasi iodometri (SNI 01-2891-1992). Prinsip analisis karbohidrat adalah menghidrolisa karbohidrat menjadi monosakarida yang dapat mereduksikan Cu2+ menjadi Cu1+ dan kelebihan Cu2+ dititar secara iodometri. Ditimbang sekitar 5 gram contoh kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml. Dipipet 25 ml larutan Luff kemudian ditambahkan 3 g KI dan 25 ml H2SO4 6 N. Ditambahkan 200 ml larutan HCl 3% kemudian dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30% (dengan lakmus atau PP) dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3 % agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Dipindahkan isinya kedalam labu ukur 500 ml dan ditambah aquades hingga tanda garis kemudian disaring. Dipipet 10 ml saringan ke dalam erlenmeyer 500 ml ditambahkan 25 ml larutan luff (dengan pipet) dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan dengan nyala yang tetap. Usahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (digunakan stop watch). Larutan dididihkan terus selama 10 menit (dihitung saat mulai mendidih) kemudian didinginkan dengan cepat dalam bak berisi es. Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% perlahan-lahan. Dititrasi secepatnya dengan larutan tio 0,1 N dengan indikator larutan kanji 0,5%. Dikerjakan juga blanko. Dihitung kadar karbohidrat dengan rumus berikut: Kadar karbohidrat = 0.9 x Kadar glukosa w1 x f p Kadar glukosa = ----------------- x 100 % w w : bobot contoh (mg) w1 : glukosa yang terkandung untuk ml tio yang dilihat dari daftar (mg). Jumlah mg glukosa dalam daftar setara dengan (blanko-titer) x N tio x 10. fp : faktor pengenceran Lampiran 1.5 Prosedur analisis bilangan asam (SNI 01-3555-1998). Prinsip analisis bilangan asam adalah pelarutan contoh lemak/minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96% netral) dilanjutkan dengan penitaran dengan basa (NaOH atau KOH). Ditimbang 2-5 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan 50 ml etanol 95 %. Ditambahkan 3-5 tetes indikator PP. Dititrasi dengan larutan NaOH 0.1N hingga warna merah muda tetap bertahan selama 15 detik. Dilakukan penetapan blanko. Dihitung bilangan asam / kadar asam lemak bebas / derajat asam dalam contoh.
182
Bilangan asam (mg KOH/ gram minyak) = V T m M
V x T x 56,1 m
: volume NaOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) : normalitas : bobot contoh (gram) : bobot molekol asam lemak yang dinyatakan sebagai asam oleat 282
Lampiran 1.6 Prosedur analisis asam lemak bebas (SNI 01-3555-1998). Prinsip analisis bilangan asam lemak bebas adalah pelarutan contoh lemak/minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96% netral) dilanjutkan dengan penitaran dengan basa (NaOH atau KOH). Ditimbang 2-5 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan 50 ml etanol 95 %. Ditambahkan 3-5 tetes indikator PP. Dititrasi dengan larutan NaOH 0.1N hingga warna merah muda tetap bertahan selama 15 detik. Dilakukan penetapan blanko. Dihitung kadar asam lemak bebas / derajat asam dalam contoh. Kadar asam lemak bebas (%) = V T m M
VxT xM 10 m
: volume NaOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) : normalitas : bobot contoh (gram) : bobot molekol asam lemak yang dinyatakan sebagai asam oleat 282
Lampiran 1.7 Prosedur analisis bilangan penyabunan (SNI 01-3555-1998) Prinsip analisis bilangan penyabunan adalah penyabunan contoh dengan larutan kalium hidroksida dalam etanol di bawah pendingin tegak dan penitaran kelebihan kalium hidroksida dengan asam klorida dengan indikator PP. Ditimbang minyak atau lemak dengan teliti sekitar 2 gram dengan ketelitian 0.0001 gram dan dimasukkan dalam labu erlenmeyer 250 Ml. Ditambahkan 25 ml KOH 0,5N dalam etanol 95% yang dibuat dari 40 gram KOH dalam 1 liter alkohol. Setelah itu ditutup dengan pendingin balik dididihkan dengan hati-hati selama 30 menit. Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan beberapa tetes indikator phenophtalein (PP) dan kelebihan larutan KOH dititrasi dengan larutan standar 0,5 N HCl. Untuk mengetahui kelebihan larutan KOH ini perlu dibuat titrasi blanko yaitu dengan prosedur yang sama tetapi tanpa bahan lemak atau minyak. Bilangan penyabunan dinyatakan sebagai banyaknya mg KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan lemak secara sempurna dari 1 gram lemak atau minyak. Perhitungan: ml (blanko – contoh) x N Bilangan Penyabunan = ------------------------------------- x 56,1 Bobot contoh ( gram lemak) Lampiran 1.8 Prosedur analisis bilangan iod (SNI 01-3555-1998) Prinsip penentuan bilangan iod adalah penambahan larutan iodium monoklorida dalam campuran asam asetat dan karbontetrakhlorida ke dalam contoh. Setelah melewati waktu tertentu dilakukan penetapan halogen yang dibebaskan dengan penambahan kalium iodida (KI). Banyaknya iod yang dibebaskan ditrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat dan indikator kanji. Ditimbang dengan teliti sejumlah contoh berdasarkan bilangan iod dari contoh tersebut kedalam erlenmeyer 500 ml bertutup.
183
Nilai bilangan iod <5 5-20 21-50
Contoh (gram) 3,00 1,00 0,4
Nilai bilangan iod 51-100 101-150 151-200
Contoh (gram) 0,2 0,13 0,1
Ditambahkan 15 ml karbon tetraklorida dengan menggunakan gelas ukur untuk melarutkan lemak. Ditambahkan dengan tepat 25 ml larutan wijs dengan menggunakan pipet gondok kemudian erlenmeyer tersebut ditutup. Disimpan selama 1-2 jam dalam tepat / ruang gelap. Untuk contoh yang mempunyai bilangan iod diatas 50 disimpan selama 2 jam. Ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 100 ml air suling. Erlenmeyer ditutup dengan segera kemudian dikocok dan dititrasi dengan larutan thiosulfat 0.1N dan larutan kanji sebagai indikator. Bilangan iod contoh ditentukan dengan rumus sebagai berikut: 12,69xTx (V1-V2) Bilangan Iod = ------------------------m T : normalitas larutan standar natrium thiosulfat 0,1N V1 : volume larutan tio 0,1N yang diperlukan dalam titrasi blanko (ml) V2 : volume larutan tio 0,1N yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) m : bobot contoh Lampiran 1.9 Prosedur analisis densitas (SNI- 06-4085-1996) Prinsip penentuan densitas adalah menentukan massa contoh tanpa udara pada suhu dan volume tertentu dibandingkan dengan massa aquades pada suhu dan volume yang sama. Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan dengan oven. Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu tepat 20 oC dihindari adanya gelembunggelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera. Piknometer dimasukkan kedalam penangas air pada suhu 20 oC selama 30 menit. Suhu penangas air diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air dibagian luar keringkan dengan kertas saring sampai betul-betul kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus berikut: m2-m Densitas = ----------- (gr/ml) m1-m Jika penentuan contoh tidak menggunakan suhu 20 oC maka densitas dihitung dengan menggunakan rumus = m2-m Densitas = F x ----------- (gr/ml) m1-m F adalah faktor koreksi dibaca dari Theisen, Scheel dan Diesselhorst Lampiran 1.10 Prosedur analisis viskositas ( Codex, 1992 ) Prinsip penentuan viskositas adalah memutar bandul di dalam selinder yang berisi contoh. Waktu yang diperlukan untuk mencapai jumlah putaran tertentu berbeda karena pengaruh gesekan contoh yang menunjukkan viskositas contoh tersebut. Bahan / cairan minyak dimasukkan ke dalam tabung selinder sampai tanda tera. Bandul dengan ukuran tertentu dimasukkan berdasarkan kekentalan cairan yang akan diukur kekentalannya. Pengadukan diatur mulai dari kecepatan rendah sampai dengan kecepatan tinggi sampai 1500 putaran per menit dan dihindari terjadinya gelembung
184 udara. Pengaduan dari motor dilepaskan tanpa mengeluarkan pengaduk tersebut kemudian dipindahkan ke dalam penangas. Selinder dari penangas air diangkat dan kekentalan larutan zat ditetapkan dengan menggunakan viskosimeter dengan bandul yang sesuai pula. Kekentalan (sntipose) 10-100 100-200 200-1000 1000-4000 4000-10000
Bandul (spindel) 1 1 2 3 4
Kecepatan (rpm) 60 30 30 30 30
Skala
Faktor (K)
100 100 100 100 100
1 2 10 40 200
Perhitungan: Viskositas (V) = K . t V : kekentalan dalam sentipoise K : tetapan viskosimeter t : rata-rata waktu yang digunakan cairan bergerak Viskositas kinematik adalah V/densitas. Lampiran 1.11 Prosedur analisis komposisi asam lemak metode kromatografi gas (GC) (AOAC, 1995) Dua gram contoh ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu didih. Kemudian ditambahkan larutan 6-8 ml NaOH-metanol, dipanaskan sampai tersabunkan lebih kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya ditambahkan 5 ml n-heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 gr Na2SO4. Larutan tersebut (bagian atas) adalah larutan yang siap diinjeksikan ke kromatografi gas. Pada karakterisasi asam lemak, digunakan kondisi sebagai berikut : Suhu detektor : 230°C Suhu injektor : 225°C Suhu awal : 70°C , waktu pada suhu awal = 2 menit Laju : 8 C/menit, attenuasi : 128 Kolom : Glass Coloumn Panjang kolom : 2 meter, diameter kolom : 2 mm Gas pembawa : He Fase diam : Dietilen glikol suksinat Cromosorb : 0 HP = 80 – 100 mesh Jenis detektor : FID ( Flame Ionization Detector) Lampiran 1.12 Prosedur analisis komposisi metil ester dengan dan Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS) (AOAC, 1995) Contoh sebanyak 200 miligram ditambahkan 5 ml n-heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 gr Na2SO4. Larutan tersebut (bagian atas) adalah larutan yang siap diinjeksikan ke kromatografi gas.
185 Pada karakterisasi metil ester, digunakan kondisi sebagai berikut : Injektor : Split 1:30, 250 oC Oven : 40 oC untuk 0,5 menit , 40-195 oC pada 25 oC /menit, 195-205 pada 3 oC/menit , 205-230 oC pada 8 oC/ menit dan 230 selama 1 menit. Kolom : DB-WAX 10 m x 0.1 mm, diameter dalam 6,10 μm P/N : 127-7012 Gas pembawa : Hidrogen pada 77 cm/detik diukur pada suhu 40 oC Jenis detektor : MS ( Mass spectrofotometry) 250 oC Lampiran 1.13 Prosedur analisis massa jenis pada suhu 40 oC (ASTM D 1298) Massa jenis adalah massa dari cairan pada kondisi vakum per unit volume yang dinyatakan dalam suhu yang sama misalnya 40 oC. Hidrometer yang sessuai dicelupkan dalam contoh dan dibiarkan mengambang. Sesudah dicapai suhu kesetimbangan skala hidrometer dibaca dan suhu contoh dicatat. Bila diperlukan, selinder dan isinya dapat diletakkan dalam penangas suhu konstan untuk mencegah perubahan suhu berlebihan. Ujung bawah hidrometer perlahan-lahan dimasukkan ke dalam contoh dan dicegah tangkai hidrometer tenggelam sehingga basah oleh contoh. Contoh diaduk dengan termometer agar seluruh pita air raksa tetap tenggelam dan batang hidrometer diatas batas penenggelaman. Tekan hidrometer hingga kira-kira dua bagian skala dalam cairan dan kemudian dilepaskan. Batang hidrometer bagian atas harus selalu kering agar tidak mempengaruhi pembacaan. Bila hidrometer telah diam dan bebas dari sentuhan, dinding selinder pembacaan skala hidrometer diamati sampai ketelitian 0,0001. Segera setelah pengamatan nilai skala hidrometer, contoh diaduk secara hati-hati dengan termometer yang bagian air raksanya separuh tenggelam. Catat suhu contoh sampai ketelitian 0,2 oC. Lampiran 1.14 Prosedur analisis viskosistas kinematic pada 40 oC (ASTM D 445). Viskositas kinematik diukur dengan alat viskosimeter yang telah dikalibrasi sampai volume cairan tertentu mengalir dibawah pengaruh grafitasi pada suhu yang ditentukan dimana contoh masih dapat mengalir dalam pipa viskosimeter kering. Viskosimeter yang sudah diisi contoh ditempatkan dalam bak dan didinginkan sampai suhu air dan cairan sama. Contoh dipompa ke dalam kapiler dan dibiarkan contoh turun dan dihitung waktu sampai tanda. Bak viskosimeter diatur pada suhu uji yang diperlukan dalam limit yang diberikan. Untuk setiap seri pengukuran, suhu aliran rendaman harus dikontrol sehingga berada dalam kisaran 15 – 100 oC, suhu media perendam tidak boleh bervariasi lebih dari ± 0,02 oC. Viskosimeter dipilih yang bersih dan kering dan telah diklibrasi mencakup viskositas kinematik dan waktu alir harus tidak kurang dari 200 detik. Jika contoh mengandung partikel padat dilakukan penyaringan. Viskosimeter dibiarkan dalam bak cukup lama untuk mencapai suhu uji. Karena waktu untuk berbagai instrumen bervariasi maka dibuat waktu kesetimbangan sekitar tiga puluh menit. Digunakan pompa isap untuk mengatur level kepala contoh uji ke suatu posisi. Dengan pengaliran contoh yang bebas, waktu yang diperlukan miniskus untuk bergerak sampai tanda tera diukur dalam detik sampai ketelitian 0,1 detik. Bila dua pengukuran bersesuaian maka digunakan rata-ratanya diantara penetapan yang berturutan viskosimeter dibersihkan dengan pelarut diikuti dengan pengeringan. Viskosimeter dicuci secara berkala dengan laruan pencuci untuk menghilangkan sisa residu. Viskosimeter dibersihkan dengan larutan asam hidroklorat apabila dicurigai adanya
186 keberadaan garam-garam barium. Viskositas kinemetik dihitung dengan rumus sebagai berikut : V=Cxt V : viskositas kinematik mm2 / detik C : konstanta kalibrasi dari viskosimeter (mm2 / detik)/detik t : waktu alir rata-rata (detik) Viskositas dinamik dihitung menggunakan rumus berikut: η = V x ρ x 10 3 η : viskositas dinamik, mpa.detik V : densitas, kg/m3 pada suhu yang sama digunakan untuk penentuan viskositas kinematik ρ : viskositas kinematis (mm2 / detik) Lampiran 1.15 Prosedur analisis Bilangan setana (ASTM D 613) Bilangan setana adalah suatu ukuran berkaitan dengan mutu pengapian bahan bakar diesel, ditentukan dengan mesin pengujian terstandar yang ditetapkan (ASTM D613). Mutu pengapian ditentukan dengan mengukur waktu penundaan pengapian (ignition delay), yaitu periode antara waktu injeksi dan mulai terbakar (start combustion). Bilangan setana yang tinggi menunjukkan waktu yang lebih pendek antara injeksi bahan bakar dan pengapian (ignition delay). Bilangan setan yang lebih tinggi dihubungkan dengan kekasaran mesin yang dikurangi, suhu pengapian atau penghidupan mesin (starting) lebih rendah dan memperlancar operasi dengan knocking characteristics yang lebih rendah. Bilangan setana yang lebih rendah menyebabkan pengapian lemah sehingga menyebabkan macet, keausan ( tarnish) piston, deposit pada mesin, suara mesin keras/kasar dan knocking yang lebih tinggi sehingga mengganggu. Mutu pengapian dari bahan bakar diesel tergantung pada komposisi molekularnya. Sebagian dari komponen molekular yang lebih sederhana seperti n-paraffins dapat menyala dalam suatu mesin diesel dengan mudah, tetapi senyawa aromatik memerlukan temperatur dan tekanan yang lebih tinggi. Metode pengujian ASTM D6131 mendifinisikan bahwa bilangan setana dari suatu bahan bakar diesel adalah persentase volume setana normal ( C16H34) di dalam campuran 2,2,4,4,6,8,8-heptamethylnonane (HMN atau isosetana) yang memenuhi mutu pengapian yang sama dengan bahan bakar biodiesel yang sedang diukur. Menurut definisi setana normal mempunyai bilangan setana 100 sedangkan isosetana mempunyai bilangan setana 15. Metode ASTM D613 menguji bahan bakar dengan mesin single-cylinder compression-ignition dengan kompresi yang dapat diatur dan dikondisikan tetap. Pengujian ini memerlukan bahan 1 liter dan waktu beberapa jam. Skala bilangan setana dalam rentang 0 sampai dengan 100 tetapi biasanya pengujian bilangan setana dalam rentang 35 sampai dengan 65. Lampiran 1.16 Prosedur analisis titik nyala (mangkok tertutup) (ASTM D93). Titik nyala adalah suhu terendah dengan tekanan barometrik 101,3 kPa (760 mmHg) dimana dengan menggunakan suatu sumber penyalaan akan menyebabkan uap contoh menyala pada kondisi uji. Mangkok uji diisi contoh uji hingga tanda batas. Cahaya nyala dihidupkan dan sumber nyala elektrik diatur intensitasnya. Digunakan panas sesuai dengan kecepatan pengaturan suhu 5-6 0C/menit. Alat pengaduk dihidupkan dengan kecepatan 90-120 rpm dengan arah pengadukan langsung ke bawah. Dicatat hasil pembacaan titik nyala yang dilakukan pada alat pengukur suhu pada waktu sumber penyalaan dipergunakan.
187
Lampiran 1.17 Prosedur analisis titik kabut (ASTM D 2500) Titik kabut diukur pada saat suhu kristal wax (lilin) atau yang lain mulai membentuk cairan yang menyebabkan kekabutan pada contoh yang didinginkan. Dalam biodiesel kekabutan disebabkan oleh molekol spesifik seperti metil ester stearat dan metil ester palmitat. Penggunaan produk di bawah titik kabut akan menurunkan kecairan (lubrikasi) bahan bakar sehingga menyebabkan masalah seperti penyumbatan filter namun hal ini bisa diatasi dengan pencampuran. Suhu contoh dinaikan paling tidak 14 0C diatas perkiraan suhu titik kabut Air dikeluarkan dari bahan dengan filtrasi kertas saring sampai minyak benar-benar jernih. Contoh didinginkan pada kecepatan tertentu dan secara periodik diuji. Titik kabut diukur pada saat suhu dimana kabut mulai muncul. Lampiran 1.18 Prosedur analisis korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 oC) (ASTM D 130) Sulfur pada bahan bakar mempunyai pengaruh terhadap logam karena dapat mengkorosi. Pengujian korosi lempeng tembaga dirancang untuk memberikan akses tingkat korosi relatif dari bahan bakar. Sepotong lempeng tembaga dicelupkan dalam contoh kemudian dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu sesuai dengan kharakteristik contoh. Setelah selesai, lempeng tembaga dipindahkan, dicuci dan dibandingkan dengan standar korosi lempeng tembaga ASTM. Standar korosi lempeng tembaga ASTM terdiri dari reproduksi warna, kenaikan tarnish dan korosi sehinga membentuk plag yang plastik Intepretasi hasil dilakukan berdasarkan kenampakan lempeng tembaga dibandingkan dengan standar ASTM. Laporan hasil berdasarkan klasifikasi berikut: Klasifikasi Pnunjukkan Uraian 1 Tarnih tipis • Kuning cerah hampir sama dengan lempeng tembaga digosok • Kuning gelap 2 Tarnish • Merah anggur (Claret red) sedang • Lembayung muda (Lavender) • Warna campuran: biru lavender, silver, atau keduanya, lapisan (overlaid) on Claret red • Silvery • Brassy atau gold 3 Tarnish • Magenta overcast on brassy strup gelap • Campuran warnad dengan merah dan hijau tapi tidak abu-abu 4 Korosi • Hitam transparan Lampiran 1.19 Prosedur analisis residu karbon dalam contoh asli (ASTM D 18995) Residu karbon adalah residu yang terbentuk karena penguapan dan degradasi panas dari bahan-bahan mengandung karbon. Kadar residu karbon dari bahan bakar menunjukkan perkiraan kasar kecenderungan minyak membentuk deposit. Karbon dari minyak diesel berkorelasi dengan pembentukan deposit dalam ruang bahan bakar. Sejumlah contoh di dalam cawan abu didetruksi dengan distilasi. Residu terjadi karena reaksi perengkahan dan pengarangan selama waktu tertentu pada kondisi pemanasan tinggi. Pada akhir masa pemanasan, cawan abu berisi residu karbon didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang. Residu yang tertinggal
188 dihitung dalam persen terhadap bobot contoh mula-mula dan dilaporkan sebagai Residue Carbon Conradson. Residu karbon dihitung : (A x 100)/W A : bobot residu karbon (g) W : bobot contoh (g) Lampiran 1.20 Prosedur analisis air dan sedimen (ASTM D 2709) Metode ini untuk menentukan air bebas dan sidemen dalam bahan bakar. Air dan sedimen bahan bakar menyebabkan penyumbatan (fouling) sehingga menyebabkan masalah pada sistem bahan bakar khususnya pada pembakaran dan mesin. Akumulasi sedimen pada tangki penyimpanan dapat menghalangi aliran minyak dari tangki bahan bakar ke ruang pembakaran (combustor). Air dalam bahan bakar dapat menyebabkan korosi tangki dan peralatan dan air dalam residual bahan bakar dapat menyebabkan emulsi. Metode ini digunakan untuk 100 ml contoh bahan bakar disentrifus pada suhu 70 sampai 90 oF (21-32 oC) Pengendalian suhu, suhu contoh dan wadahnya diseimbangkan antara suhu 2132 oC. Temperatur bahan bakar dijaga selama pengujian. Tabung sentrifus diisi 100 ml contoh bahan bakar kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan tertentu tergantung diameter tabung sentrifus dengan menggunakan rumus berikut: rpm = 265 √(rcf/d). rcf = gaya sentrifugal relatif. d = diamter ayunan (swing) yang diukur dari ujung tabung dengan tabung yang berlawanan pada saat rotasi dengan alat sentrifugasi. jika diamter swing 15 in maka rcf 1530 dan rpm 500 dan apabila rcf 1930 maka rpm 800. Volume dari air dan sedimen dihitung dalam persen dari total contoh (100 ml). Lampiran 1.21 Prosedur analisis suhu distilasi 90% (ASTM D 1160) Sebelum penentuan, contoh dikendalikan secara akurat pada tekanan antara 1-50 mm Hg (0.133–6.65 kPa). Diperoleh data hubungan antara volume distilasi dan suhu equivalen titik didih atmosfer. Metode tes ini menyediakan penentuan karakteristik distilasi empiris dari produk bahan bakar dan fraksinya yang terdekomposisi pada tekanan asmosfer. Suhu pendingin balik (condenser coolant) diatur paling tidak 28 oC dibawah suhu uap. Densitas relatif minyak ditentukan dengan D1298. Densitas relatif contoh ditentukan. Pompa vakum dihidupkan dan diamati adanya kilat dari buih. Jika contoh berbuih tekanan alat dinaikan sedikit sampai buih hilang. Tekanan alat diatur hingga mencapai tekanan disitilasi yang diinginkan. Catat tekanan uap, waktu dan tekanan observasi ketika volume prosentasi distilasi terkumpul 5, 10, 20,30,40, 60,70,80,90, dan 95 %. Hasil pembacaan potensiometer dirubah menjadi suhu. Suhu observasi dirubah menjadi suhu ekuivalen atmosfer. Suhu equivalen atmosfer dalam oF atau oC bersesuaian dengan prosentase liquid yang diperoleh. Lampiran 1.22 Prosedur analisis abu tersulfatkan (ASTM D 874) Ukuran krus atau cawan dipilih menurut jumlah contoh. Krus dipanaskan pada suhu 775 0C selama 10 menit, kemudian didinginkan sampai mendekati suhu kamar selanjutnya ditimbang dengan ketelitian 0,1 mg. Contoh yang ditimbang ditentukan bobotnya mengikuti rumus: W = 10 x a, W = gram contoh, a = perkiraan % abu sulfat. Misalnya: contoh mengandung kadar abu 0,1 % dan bobot abu 0,1 gram, maka bobot contoh adalah 1 gram. Contoh dibakar dengan api dan dijaga agar contoh terbakar merata. Pembakaran dilanjutkan sampai timbul asap. Contoh didinginkan pada
189 suhu ruang kemudian ditambahkan asam sulfat dengan hati-hati beberapa tetes sampai kelihatan basah kemudian dilanjutkan pembakaran kembali. Contoh dipanaskan pada furnace 775 ± 25 oC dan diteruskan sampai terjadi oksidasi sempurna. Contoh didinginkan dan ditambahkan 3 tetes air dan 10 tetes asam sulfat. Contoh dipanaskan pada furnace 775 ± 25 oC selama 30 menit kemudian didinginkan sampai pada suhu ruang kemudian timbang dengan ketelitian timbangan 0,1 mg. Pekerjaan tersebut diulangi sampai perbedaan bobot 1 mg = 0,001 gram. Untuk contoh yang diprediksi mengandung abu sulfat 0,02 % b/b atau kurang maka perlu blanko. Penentuan abu sulfat blanko dilakukan dengan cara penambahan 1 ml asam sulfat pada krus yang sudah diketahui bobotnya kemudian panaskan sampai terbakar dan selanjutnya diabukan dalam furnace 775 ± 25 oC selama 30 menit. Kemudian dinginkan sampai dengan suhu ruang. Selanjutnya dilakukan pekerjaan seperti di atas. Bobot abu sulfat contoh dikoreksi dengan blanko. Perhitungan kadar abu sulfat = (w/W) x 100 % W : bobot contoh w : bobot abu sulfat Lampiran 1.23 Prosedur analisis belerang (ASTM D 1266) Metode pengujian ini mencakup penentuan total sulfur di dalam contoh. Contoh dibakar dengan sistem tertutup menggunakan lampu yang sesuai dan kondisi atmosfer diatur 70% CO2 dan 30 % O2 untuk mencegah terbentuknya NO. Oksidasi sulfur diserap dan dioksidasi membentuk asam sulfat dengan adanya H2O2 dan dibuang sebagi CO2. Sulfur sebagai sulfat diserap ditentukan dengan titrasi acidimetri dengan larutan standar NaOH atau presipitasi sebagai barium sulfat. Alternatif lain contoh dibakar di udara dan sulfur sebagai sulfat diserap ditentukan dengan penggumpalan sebagai barium sulfat dengan penimbangan. Untuk kandungan sulfur di bawah 0,01 % perlu ditentukan kandungan sulfat di dalam larutan penyerap sebagai barium sulfat. Lampiran 1.24 Prosedur analisis fosfor (AOCS Da 20a-46) Prinsip analisis fosfor adalah menentukan seluruh fosfor sebagai fosfor pentoksida (P2O5). Ditimbang contoh 2 ± 0,01 gram kemudian dilarutkan dan disaring dengan air suling. Dipipet secara kualitatatif larutan yang mengandung 0,05-0,1 gram P2O5 dalam 250 ml beaker. Dinetralkan dengan HNO3 dan ditambahkan 5 ml untuk setiap 100 ml larutan. Dididihkan selama 15 menit, ditampahkan NH4OH sampai larutan sedikit alkali kemudian diaduk dan ditambahkan HNO3 untuk proses presipitasi (pengendapan). Ditambahkan 15 gram NH4NO3 atau larutan yang mengandung sejumlah tersebut. Dipanaskan pada suhu 60 oC dan ditambahkan 70 ml molibdat setiap 0,1 gram P2O5. Dipanaskan kira-kira 65 oC selama 1 jam dan diperiksa kesempurnaan penggumpalan dengan penambahan 1-2 ml larutan molibdat. Contoh larutan harus kelihatan jernih. Disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air suling dingin. Dilarutkan endapan pada kertas saring dengan NH4OH (1:1) kemudian cuci dengan air suling. Filtrat dikumpulkan dengan gelas beker, total larutkan tidak lebih dan tidak kurang dari 100 ml. Contoh dinetralkan dengan HCl (1:1) menggunakan kertas pH atau kertas lakmus. Contoh didinginkan dan ditambahkan tetes demi tetes kira-kira satu tetes setiap detik dengan buret 15 ml larutan magnesium, untuk setiap 0,1 gram P2O5. Biarkan 15 menit dan kemudian ditambahkan 12 ml NH4OH. Dibiarkan sampai larutan supernatan bersih kemudian dibiarkan selama 2 jam. Disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan larutan NH4OH sampai cucian bebas dari klorid (tes dengan larutan AgNO3). Kertas
190 saring dan endapan dibakar dengan mufel suhu 900-1000 oC. Kemudian didinginkan dengan desikator sampai dingin pada temperatur ruang. Perhitungan P2O5 dalam % adalah = Berat Mg2P2O7 x 63,744 Berat contoh Lampiran 1.25 Prosedur analisis gliserol bebas (AOCS Ca 14-56) dan kadar ester (SNI 04-7182:2006 Metode ini untuk menentukan α-monogliserida berdasarkan asam periodat (HIO4) dibutuhkan dalam oksidasi kelompok hydroxyl. Metode ini diterapkan pada lemak dan minyak atau campurannya. Ditimbang sekitar 6 gram contoh, jika contoh mengandung 5% monogliserida secara akurat (±0,004 g) kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 50 ml khloroform. Campuran kloroform dan contoh digojok, ditambahkan 25 ml aquades kemudian digojok selama 30-60 detik kemudian dipisahkan. Ekstraksi air tersebut dilakukan sebanyak tiga kali atau lebih kemudian ditambahkan kloroform sampai 100 ml sehingga terbentuk dua lapisan. Ekstrak yang dihasilkan dilakukan analisis kadar gliserol bebasnya. Dipipet 50 ml asam periodat ke dalam gelas beker 400 ml kemudian ditambahkan 50 ml kloroform dan 50 ml contoh air. Kemudian dilakukan pengenceran dengan kloroform murni. Dipipet 50 ml larutan contoh-kloroform ke dalam 400 ml gelas beker yang mengandung 50 ml asam periodat kemudian digojok. Ditambahkan 20 ml KI kemudian digojok 1-5 menit, ditambahkan 100 ml air dan dititrasi dengan 0,1N Na2S2O3. (B-S) x Nx 2.30 Free glyserol % = B S N W 2,3
W : titrasi blanko yang mengandung 50 ml air : titrasi contoh : normalitas Na2S2O3 : berat contoh : berat molekol gliserol (92): 40.
Lampiran 1.26 Prosedur analisis kadar ester (SNI 04-7182:2006 Penentuan kadar ester dilakukan secara tidak langsung berdasarkan kadar gliserol, bilangan penyabunan dan bilangan asam contoh. Agar kadar ester dapat ditentukan, maka bilangan penyabunan, bilangan asam dan kadar gliserol diukur terlebih dahulu. 100(As-Aa-4,57Gt ) Kadar ester (%-massa) = --------------------------As As : bilangan penyabunan, ditentukan dengan metode AOCS Cd 3-25 (mg KOH/g) A a : bilangan asam, ditentukan dengan metode AOCS Cd 3-63 (mg KOH/g ) Gt : kadar gliserol total dalam biodiesel dengan metode AOCS Ca 14-56 (% massa)
191
Lampiran 2 Hasil Analisis ragam (ANOVA) dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai suhu esterifikasi One-way ANOVA: kadar ALB versus suhu esterifikasi Source DF SS MS F P C1 3 0,7254 0,2418 11,65 0,003 Error 8 0,1660 0,0208 Total 11 0,8915 P =0,003berarti ada perbedaan antar perlakuan S = 0,1441 R-Sq = 81,38% R-Sq(adj) = 74,39%
Uji Jarak Duncan unutuk perlakuan suhu esterifiaksi Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0,0208/3) = Q*0,0833
Keterangan Q value untuk 2 rata Q value untuk 3 rata Q value untuk 4 rata
Q Range = 3,113 0,259 = 3,256 0,271 = 3,342 0,278
Pengaruh perbedaan nisbah molar terhadap penurunan kadar ALB (%) Suhu Rata-rata kadar ALB esterifikasi setelah esterifikasi (%) 50 5,4935 a 60 5,0519 b 70 4,9735 b 80 4,8370 b Bilangan dengan kode huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata.
Lampiran 3 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai kecepatan pengadukan One-way ANOVA: Kadar ALB (%) versus Kec. Pengadukan (rpm) Source DF SS MS RPM 4 0,36638 0,09160 Error 10 0,07896 0,00790 Total 14 0,44534 S = 0,08886 R-Sq = 82,27%
F 11,60
P 0,001
R-Sq(adj) = 75,18%
P =0,001 berarti ada perbedaan antar perlakuan Uji jarak Jarak Duncan unutuk perlakuan Suhu Esterifiaksi Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0,0079/3) = Q*0,0513 Keterangan Q Range Q value untuk 2 rata = 3,151 0,1616 Q value untuk 3 rata = 3,293 0,1689 Q value untuk 4 rata = 3,376 0,1732 Q value untuk 5 rata = 3,430 0,1760 Pengaruh perbedaan nisbah molar terhadap penurunan kadar ALB (%) Kec pengadukan (rpm) Kadar ALB (%) 100 4,3618 a 200 4,2709 a 300 3,9574 b 400 4,0789 b 500 4,0024 b Bilangan dengan kode huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata.
192
Lampiran 4 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai nisbah molar metanol one-way ANOVA: Kadar ALB (%) versus nisbah molar Source DF SS MS F P ras molar 10 2012,41 201,24 101,92 0,000 Error 22 43,44 1,97 Total 32 2055,85 S = 1,405 R-Sq = 97,89% R-Sq(adj) = 96,93% P =0,000 berarti ada perbedaan antar perlakuan Duncan,s test terhadap kadar ALB akhir esterifikasi Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (1,97 /3) = Q * 0,810 Keterangan Q value untuk 2 rata-rata Q value untuk 3 rata -rata Q value untuk 4 rata-rata Q value untuk 5 rata-rata Q value untuk 6 rata-rata Q value untuk 7 rata-rata Q value untuk 8 rata-rata Q value untuk 9 rata-rata Q value untuk 10 rata-rata Q value untuk 11 rata-rata
= = = = = = = = = =
Q 2,935 3,082 3,175 3,241 3,290 3,327 3,357 3,381 3,399 3,416
Range 2,377 2,496 2,572 2,625 2,665 2,695 2,719 2,739 2,753 2,767
Pengaruh perbedaan nisbah molar terhadap penurunan kadar ALB (%) Nisbah molar 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
rata-rata kadar ALB (%) 31,0655 12,3464 9,3171 6,0509 4,8843 4,6457 3,9155 3,8284 3,7254 3,2926 3,3247
a b c d de de de de de e e
Ket: Bilangan dengan kode huruf sama tidak berbeda nyata,.
Lampiran 5 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi pada berbagai konsentrasi katalis HCl one-way ANOVA: Kadar ALB (%) versus % katalis Source DF SS MS F P % katalis 6 257,344 42,891 214,15 0,000 Error 14 2,804 0,200 Total 20 260,148 S = 0,4475 R-Sq = 98,92% R-Sq(adj) = 98,46% Duncan.s test terhadap kadar ALB akhir esterifikasi Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0,200/3) = Q* 0,2582 Keterangan Q Range Q value untuk 2 rata-rata = 3,033 0,783 Q value untuk 3 rata-rata = 3,178 0,821 Q value untuk 4 rata-rata = 3,268 0,844 Q value untuk 5 rata-rata = 3,329 0,860 Q value untuk 6 rata-rata = 3,372 0,871 Q value untuk 7 rata-rata = 3,403 0,879
193
Pengaruh perbedaan nisbah molar terhadap kadar ALB akhir esterifikasi (%) Katalis HCl Rata-rata kadar ALB (% dari ALB minyak) setelah esterifikasi (%) 0 14,3232 a 18 5,0762 b 3 4,6169 b 15 4,3024 bc c 12 4,1016 c 6 4,0455 c 9 4,0659 Ket: Bilangan dengan kode huruf sama tidak berbeda nyata.
Lampiran 6 Hasil analisis respon regresi permukaan, plot residiual, dan optimasi input variabel pada proses esterifikasi Response Surface Regression: ALB versus metanol; katalis; suhu The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for ALB Term Coef SE Coef T P Constant 4,75199 0,13175 36,068 0,000 Metanol -0,85007 0,08741 -9,725 0,000 Katalis 0,18754 0,08741 2,145 0,058 Suhu 0,45621 0,08741 5,219 0,000 Metanol*Metanol 0,72187 0,08510 8,483 0,000 Katalis*Katalis 0,20232 0,08510 2,378 0,039 Suhu*Suhu 0,36778 0,08510 4,322 0,002 Metanol*Katalis -0,19738 0,11421 -1,728 0,115 Metanol*Suhu -0,09263 0,11421 -0,811 0,436 Katalis*Suhu 0,09063 0,11421 0,793 0,446 S = 0,3230 R-Sq = 95,6% R-Sq(adj) = 91,6% Analysis of Variance for ALB Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Regression 9 22,5814 22,5814 2,50905 24,04 0,000 Linear 3 13,1913 13,1913 4,39710 42,14 0,000 Square 3 8,9441 8,9441 2,98138 28,57 0,000 Interaction 3 0,4460 0,4460 0,14866 1,42 0,293 Residual Error 10 1,0436 1,0436 0,10436 Lack-of-Fit 5 0,7190 0,7190 0,14381 2,22 0,202 Pure Error 5 0,3245 0,3245 0,06490 Total 19 23,6250 Estimated Regression Coefficients for ALB using data in uncoded units Term Coef Constant 4,75199 Metanol -0,850067 Katalis 0,187544 Suhu 0,456206 Metanol*Metanol 0,721867 Katalis*Katalis 0,202320 Suhu*Suhu 0,367783 Metanol*Katalis -0,197375 Metanol*Suhu -0,0926250 Katalis*Suhu 0,0906250
194
Stand
Run
PtType
Blocks
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 1 1 1 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Nilai taraf kode Metanol Katalis Suhu -1 -1 -1 1 -1 -1 -1 1 -1 1 1 -1 -1 -1 1 1 -1 1 -1 1 1 1 1 1 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 -1,682 0 0 1,682 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Nilai taraf aktual Metanol Katalis Suhu 10 3 45 30 3 45 10 9 45 30 9 45 10 3 75 30 3 75 10 9 75 30 9 75 3 6 60 37 6 60 20 1 60 20 11 60 20 6 35 20 6 85 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60 20 6 60
ALB
FITS1
6.146 4,643 6,221 4,953 6,695 5,846 8,157 5,494 8,412 5,245 5,042 5,676 5,232 6,422 4,739 4,837 4,940 4,249 4,835 4,900
6,05090 4,93077 6,63949 4,72985 6,96731 5,47668 7,91840 5,63826 8,22337 5,36410 5,00883 5,63964 5,02499 6,55948 4,75199 4,75199 4,75199 4,75199 4,75199 4,75199
Y = 4,75199-0,850067M+0,187544K+0,456206S+0,721867M2+0,202320K2+ 0,367783 S2-0,197375 MK-0,0926250 MS+0,0906250 KS
Lampiran 7 Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi Reaksi esterifikasi antara metanol dengan asam lemak bebas digambarkan sebagai berikut: k1 RCOO– CH3 + H2O (1) RCOOH + CH3OH k2 ALB + M ME + H2O d[ALB] / dt
= - k1[ALB][M] + k2 [H2O] [ME]
d[E]/dt d[ALB] / dt
= - k1[ALB][M] + k2[H2O] [ME] = d[ME]/dt
(2)
Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel sehingga k2 diabaikan. Nilai k2 sangat kecil dibandingkan k1 (k2 <<< k1), nilai k2 diabaikan (Nijhuis et al. 2001); Grzesik 2003). Nilai k2 esterifikasi asam asetat dengan etanol pada suhu 65 oC yaitu nilai k1 = 0,147 mol/kg-detik dan nilai k2= 0,0268 mol/kg-detik (Hangx et. al. 2001). RCOOH + CH3OH d[ALB] / dt
k1
= - k 1[ALB][M]
RCOO– CH3 + H2O
(3) (4)
Penentuan tetapan laju reaksi menggunakan metode isolasi yang dikombinasikan dengan metode integral (Atkins 1999; Laidler 1979). Metode isolasi dilakukan dengan membuat konsentrasi suatu reaktan berlebihan sehingga dianggap konstan. Metode integral
195
merupakan metode empiris yakni perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu dan harga k dihitung dengan menggunakan persamaan terintegrasi berbeda untuk orde reaksi yang berbeda. Orde reaksi dapat diperoleh secara grafis dari persamaan yang memberikan nilai k konsisten (linearitas paling tinggi).
Penentuan kinetika reaksi esterifikasi dengan metode isolasi menggunakan rasio molar metanol terhadap asam lemak bebas sangat tinggi yaitu 20:1. Jika orde reaksi total 2 – d [ALB]/dt = k [ALB] [M] [M]o dibuat berlebihan yang bereaksi sangat kecil dibandingkan dengan metanol sisa [M] = [M]o – d [ALB]/dt = k [ALB] [M]o k1 = k [M]o – d [ALB]/dt = k1 [ALB] k1 dt = – d [ALB]/ [ALB] k1 dt = – d [ALB]/ [ALB] k1t = ln ([ALB]t – ln [ALB]o (orde satu semu pseudo- first- order) Jika orde reaksi total 3
(5)
– d [ALB]/dt = k [ALB]2 [M] [M]o dibuat berlebihan sehingga metanol yang bereaksi <<<< metanol sisa [M] = [M]o – d [ALB]/dt = k [ALB]2 [M]o k1 = k [M]o – d [ALB]/dt = k [ALB]2 k1 dt = – d [ALB]/ [ALB]2 k1 dt = – d [ALB]/ [ALB]2 k1t
= 1/ [ALB]t –1/[ALB]o (orde dua semu (pseudo–second- order)
(6)
Dilakukan perhitungan nilai k1 dengan metode integral yaitu perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu, orde reaksi diperoleh secara grafis dari persamaan yang memberikan nilai k yang konsisten. Studi reaksi orde dua dimana konsentrasi reaktan dibuat konstan dengan menggunakan konsentrasi reaktan jauh lebih besar dengan yang lain maka diperoleh orde reaksi satu semu (Laidler 1979; Brezonik 1993; Atkins 1999). Perhitungan kinetika reaksi esterifikasi orde satu semu (pseudo- first- order) dilakukan oleh Breitenlechner dan Bach (2006); sedangkan perhitungan kinetika reaksi esterifikasi orde dua semu (pseudo–second- order) dilakukan oleh Sanches et al. (1997).
196
Data percobaan rata-rata kadar ALB pada berbagai suhu dan waktu esterifikasi waktu 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
28 oC (%) mol/L 26,76 0,890 16,67 0,554 14,32 0,476 11,35 0,377 10,95 0,364 9,25 0,308 8,28 0,275 7,64 0,254 7,49 0,249 7,69 0,256 6,95 0,231 6,26 0,208 5,75 0,191
45 oC (%) mol/L 26,76 0,890 17,32 0,576 10,46 0,348 8,89 0,295 7,32 0,243 5,77 0,192 5,57 0,185 5,33 0,177 5,13 0,170 5,13 0,171 5,15 0,171 5,04 0,167 4,92 0,164
60 oC (%) mol/L 26,76 0,890 13,27 0,441 7,26 0,241 6,44 0,214 5,91 0,196 5,10 0,170 4,64 0,154 4,52 0,150 4,45 0,148 4,35 0,145 4,46 0,148 4,58 0,152 4,47 0,149
70oC (%) mol/L 26,76 0,890 8,88 0,295 6,74 0,224 6,03 0,201 5,01 0,166 4,37 0,145 4,08 0,136 3,96 0,132 3,89 0,129 3,78 0,126 3,88 0,129 4,01 0,133 3,91 0,130
Basis perhitungan 1000 ml = 1000 ml x 0,9375 gram/ml = 937,5 gram Kadar ALB (molar) = ((D x 937,5)/282) dengan D = Kadar ALB (%) dan 282 = BM asam oleat. Metanol (mol/liter) = rasio molar x 32 x berat ALB/282 = (20 x 32 x 26,76/100*937,5 )/282 =18 mol/L Dilakukan perhitungan nilai k1 dengan metode integral sampai mendapatkan nilai k1 yang paling konsisten (grafik paling linier). Dicoba dari mulai orde nol semu sampai dengan dua. 1. Orde satu semu ln [FFA]t/[FFA]0
2,5000
60 oC y = 0,0797x R2 = 0,7392
70 oC y = 0,0886x R2 = 0,5874
2,0000
45oC y = 0,0672x R2 = 0,9302
1,5000 1,0000
28 oC y = 0,0479x 2 R = 0,8379
0,5000 0,0000 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (menit)
Nilai k11 yang paling konsisten diperoleh pada orde dua semu. Tetapan laju reaksi orde dua semu (k1) pada suhu 343 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,2515 liter/ mol menit, 0,2093 liter/ mol menit, 0,1515 liter/ mol menit dan 0,0866 liter/ mol menit.
197
2. Orde dua semu 1[FFA]t-1/[FFA]o
7,0000
70 oC y = 0,2515x 2 R = 0,9019
6,0000 5,0000 4,0000
60 oC y = 0,2093x R2 = 0,9215 45 oC y = 0,1515x 2 R = 0,985
3,0000
28 oC y = 0,0866x R2 = 0,9674
2,0000 1,0000 0,0000 0
5
10
15
20
25
30
Wa ktu (menit)
Model Kinetika Reaksi Berdasarkan Berdasarkan Persamaan Arhenius k1 = A exp(Ea/RT) -ln k1 = (Ea/R) 1/T - ln A Y = ax +b k1 Ea R T A
= tetapan laju reaksi (mol/menit) = energi aktivasi (cal/mol K) = tetapan gas = 1,987 cal/mol K = suhu mutlak ( K) = tetapan proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekol selama tumbukan ( l / mol menit)
Karena R dan A adalah suatu tetapan maka Energi aktivasi dapat ditentukan dari slope atau gradien grafik hubungan - lnk1 dengan 1/T. Cara penentuan energi aktivasi proses esterifikasi tersebut juga dilakukan oleh Kirbaslar et al. (2000) dan Hangx et al. (2001). Dibuat grafik hubungan antara -lnk1 dengan 1/T proses esterifikasi pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K. Diperoleh persamaan y = 2618x -6,2868 dengan R2 = 0,9908 maka : ln A = 6,2868, A = 537,4 liter / mol menit. Ea/R = 2618, Ea = 5201,97 cal/ mol K= 5,202 kcal/mol (21,7 kJ/mol). Nilai k pada berbagai suhu esterifikasi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan Arrhenius k1 = A exp(-Ea/RT) sebagai berikut:
k1 = A exp(-Ea/RT) k1 = 537,4 exp - 5202 /1,987T rEs= –537,4 exp - 2618/ T [ALB]t2 –537,4 exp - 2618/ T ([ALB]0 -x) 2
198
Lampiran 8 Perhitungan waktu tinggal k1 RCOOH + ROH RCOO–R + H2O ALB
+M
ME
+ H2O
Mengacu pada Richardson and Peacock (1994) ; Perry et al. (1985) Laju alir input (1) – Laju alir output (2) – Reaksi (3) = Akumulasi (4) Laju alir reaktan masuk (1)
− laju alir reaktan – laju alir penghilangan keluar (2) reaktan (3)
= laju akumulasi (4).
Karena reaktor bath maka 1 dan 2 = 0 0
–0
laju akumulasi reaktan d [ALB]
–V.r[ALB]
= d [ALB] / dt
= – laju penghilangan reaktan = (– r [ALB] ) Vr
dt
Pada Volume (V) konstan, sehingga: d [ALB]
= (– r [ALB] ) dt Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi asam lemak bebas sebesar [ALB] : [ALB]t
t= [ALB]o
d [ALB] -----------(– r [ALB] )
r [ALB] = k1 [ALB]2 [ALB]t
t= [ALB]o
d [ALB]t -----------–k1 [ALB]2
[ALB]t
t= [ALB]o
t=
1 ----k1
1 -----------d [ALB] –k1 [ALB]2 1 1 ------- – --------[ALB]t [ALB] o
= 0,2093 k1 = = 0,154 [ALB]t = 0,890 [ALB]o 1 t = 1/ k * (/[ALB]t -1/ [ALB]o) = 1/[ALB]o 1,1241 = 1/[ALB]t 6,49 = 1/[ALB]t -1/[ALB]o 5,36 1 = 1/k 4,78 = 25,62 menit t=
199
Lampiran 9 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai nisbah molar metanol One-way ANOVA: Viskositas versus nisbah molar metanol Source DF Nisbah molar Error 8 Total 11 S = 1.345
SS MS 3 48.44 16.15 14.47 1.81 62.92
R-Sq = 87.00%
F 8.93
P 0.006
R-Sq(adj) = 78.37%
α = 0.05
F > Ft (3. 8) (8.93 > 4.07) berarti ada perbedaan antar perlakuan Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (1.81/3) = Q*0.246 t= ulangan Keterangan Q value untuk 2 rata-rata Q value untuk 3 rata-rata Q value untuk 4 rata-rata
= = =
Q 3.261 3.399 3.475
Range 0.802 0.836 0.855
Nisbah molar metanol
2:1
3:1
9:1
6:1
Viskositas
12.9
9.7
8.1
7.8
a
b
c
Lampiran 10 Hasil Analisis ragam dilanjutkan uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai kecepatan pengadukan One-way ANOVA: Viskositas versus pengadukan Source Pengadukan Error Total S = 0.1645
DF 4 10 14
SS MS F P 2.4196 0.6049 22.35 0.000 0.2707 0.0271 perlakuan 2.690348
R-Sq = 89.94%
R-Sq(adj) = 85.92%
F > Ftα = 0.05 (4. 10) (22.35 > 3. Berarti ada perbedaan antar perlakuan Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0.0271/3) = Q*0.095 t= ulangan Keterangan Q value untuk 2 rata-rata Q value untuk 3 rata-rata
Pengadukan Viskositas
100 8.6373
a
= =
Q 3.261 3.399
Range 0.301 0.323
=
3.475
0.330
200 8.4967
300 8.0495 b
400 7.687 c
500 7.667
200
Lampiran 11 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi minyak nyamplung pada berbagai konsentrasi katalis One-way ANOVA: Viskositas versus katalis Source Katalis Error Total
DF 3 8 11
SS 54.112 1.295 55.407
S = 0.4023
MS 18.037 0.162
R-Sq = 97.66%
F 111.42
P 0.000
R-Sq(adj) = 96.79%
α = 0.05
F > Ft (3. 8) (111.42 > 4.07 berarti ada perbedaan antar perlakuan Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0.162/2) = Q*0.285 t= ulangan Keterangan Q value untuk 2 rata-rata Q value untuk 3 rata-rata Q value untuk 4 rata-rata Katalis Viskositas
= = =
Q 3.261 3.399 3.475
Range 0.929 0.969 0.990
0.5
1
2
1.5
12.897
8.004
8.019
7.959
a
b
Lampiran 12 Hasil Analisis ragam dilanjutkan Uji Duncan terhadap viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi pada berbagai suhu One-way ANOVA: Vis versus suhu Source DF Suhu 2 Error 6 Total 8 S = 0.2828
SS 5.3889 0.4800 5.8689 R-Sq = (33.68
MS 2.6944 0.0800
F 33.68
91.82%
P 0.001
R-Sq(adj) = 89.10%
F > Ftα = 0.05 (2. 6) > 5.14) berarti ada perbedaan antar perlakuan Range = Q √ ( MS (E)/t) = Q√ (0.0800/2) = Q*0.2 t= ulangan Keterangan Q value untuk 2 rata-rata Q value untuk 3 rata-rata Q value untuk 4 rata-rata Suhu Viskositas
= = =
Q 3.261 3.399 3.475
Range 0.929 0.969 0.990
60 oC
45 oC
75 oC
8.44
8.93
10.26
a
b
201
Lampiran 13 Hasil analisis respon regresi permukaan, plot residiual dan optimasi input variabel proses transesterifikasi A. Kadar ALB Response Surface Regression: Kadar ALB versus metanol. katalis Estimated Regression Coefficients for Kadar ALB Term Coef SE Coef T P Constant 0.83120 0.03156 26.338 0.000 Metanol -0.08810 0.02495 -3.531 0.010 Katalis -0.05983 0.02495 -2.398 0.048 Metanol*Metanol 0.15884 0.02676 5.937 0.001 Katalis*Katalis 0.28484 0.02676 10.646 0.000 Metanol*Katalis -0.13125 0.03528 -3.720 0.007 S = 0.07057 R-Sq = 96.0% R-Sq(adj) = 93.1% Analysis of Variance for Kadar ALB Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Regression 5 0.82883 0.82883 0.165766 33.29 0.000 Linear 2 0.09073 0.09073 0.045367 9.11 0.011 Square 2 0.66919 0.66919 0.334594 67.19 0.000 Interaction 1 0.06891 0.06891 0.068906 13.84 0.007 Residual Error 7 0.03486 0.03486 0.004980 Lack-of-Fit 3 0.01738 0.01738 0.005793 1.33 0.383 Pure Error 4 0.01748 0.01748 0.004370 Total 12 0.86369 Estimated Regression Coefficients for ALB using data in uncoded units Term Coef Constant 0.831200 Metanol -0.0880995 Katalis -0.0598348 Metanol*Metanol 0.158838 Katalis*Katalis 0.284838 Metanol*Katalis -0.131250 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Metanol -1.000 1.000 -1.000 1.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Katalis -1.000 -1.000 1.000 1.000 0.000 0.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Kadar ALB 1.243 1.332 1.479 1.043 1.276 1.023 1.552 1.251 0.725 0.841 0.880 0.819 0.891
FITS1 1.292 1.378 1.434 0.996 1.273 1.024 1.485 1.316 0.831 0.831 0.831 0.831 0.831
RESI1 -0.049 -0.046 0.045 0.047 0.003 -0.001 0.067 -0.065 -0.106 0.010 0.049 -0.012 0.060
202
B. VISKOSITAS Response Surface Regression: Viskositas versus metanol; katalis The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for Viskositas Term Coef SE Coef T P Constant 11.1400 0.7363 15.130 0.000 Metanol -1.0532 0.5821 -1.809 0.113 Katalis -0.8955 0.5821 -1.538 0.168 Metanol*Metanol 2.9106 0.6242 4.663 0.002 Katalis*Katalis 2.9856 0.6242 4.783 0.002 Metanol*Katalis -2.2725 0.8232 -2.761 0.028 S = 1.646 R-Sq = 88.3% R-Sq(adj) = 79.9% Analysis of Variance for Viskositas Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Regression 5 142.940 142.940 28.588 10.55 0.004 Linear 2 15.289 15.289 7.644 2.82 0.126 Square 2 106.994 106.994 53.497 19.74 0.001 Interaction 1 20.657 20.657 20.657 7.62 0.028 Residual Error 7 18.974 18.974 2.711 Lack-of-Fit 3 10.635 10.635 3.545 1.70 0.304 Pure Error 4 8.339 8.339 2.085 Total 12 161.914 Estimated Regression Coefficients for Viskositas using data in uncoded units Term Coef Constant 11.1400 Metanol -1.05318 Katalis -0.895501 Metanol*Metanol 2.91062 Katalis*Katalis 2.98563 Metanol*Katalis -2.27250 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Metanol -1.000 1.000 -1.000 1.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Katalis -1.000 -1.000 1.000 1.000 0.000 0.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Viskositas 16.950 20.040 20.600 14.600 17.900 14.000 18.000 14.200 9.410 10.250 11.040 11.850 13.150
FITS1 16.712 19.151 19.466 12.815 18.451 15.472 18.378 15.845 11.140 11.140 11.140 11.140 11.140
RESI1 0.238 0.889 1.134 1.785 -0.551 -1.472 -0.378 -1.645 -1.730 -0.890 -0.100 0.710 2.010
203
C. RENDEMEN Response Surface Regression: REND versus nisbah molar metanol; katalis The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for REND Term Coef SE Coef T P Constant 70.5000 1.0923 64.540 0.000 nisbah molar metanol -2.1414 0.8636 -2.480 0.042 Katalis 0.5023 0.8636 0.582 0.579 nisbah molar metanol*nisbah molar metanol-3.5687 0.9261 -3.854 0.006 Katalis*Katalis -2.6438 0.9261 -2.855 0.025 nisbah molar metanol*Katalis 0.9000 1.2213 0.737 0.485 S = 2.443 R-Sq = 89.7% R-Sq(adj) = 85.2% Analysis of Variance for REND Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Regression 5 164.121 164.121 32.824 5.50 0.023 Linear 2 38.704 38.704 19.352 3.24 0.101 Square 2 122.177 122.177 61.088 10.24 0.008 Interaction 1 3.240 3.240 3.240 0.54 0.485 Residual Error 7 41.762 41.762 5.966 Lack-of-Fit 3 33.622 33.622 11.207 5.51 0.066 Pure Error 4 8.140 8.140 2.035 Total 12 205.883 Estimated Regression Coefficients for REND using data in uncoded units Term Coef Constant 70.5000 nisbah molar metanol -2.14142 Katalis 0.502297 nisbah molar metanol*nisbah molar metanol -3.56875 Katalis*Katalis -2.64375 nisbah molar metanol*Katalis 0.900000 No Metanol Rendemen FITS1 RESI1 -1.000 -1.000 68.40 66.83 1.573 1.000 -1.000 58.60 60.74 -2.144 -1.000 1.000 66.70 66.03 0.669 1.000 1.000 60.50 63.55 -3.048 -1.414 0.000 64.50 66.39 -1.891 1.414 0.000 63.70 60.33 3.366 0.000 -1.414 64.60 64.50 0.098 0.000 1.414 67.30 65.92 1.377 0.000 0.000 70.40 70.50 -0.100 0.000 0.000 70.00 70.50 -0.500 0.000 0.000 69.10 70.50 -1.400 0.000 0.000 70.10 70.50 -0.400 0.000 0.000 72.90 70.50 2.400
204
D. ME Response Surface Regression: ME versus metanol. katalis The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for ME Term Coef SE Coef T P Constant 93.118 1.337 69.638 0.000 Metanol -1.352 1.057 -1.279 0.242 Katalis 8.413 1.057 7.959 0.000 Metanol*Metanol -12.898 1.134 -11.377 0.000 Katalis*Katalis -7.593 1.134 -6.698 0.000 Metanol*Katalis 8.470 1.495 5.665 0.001 S = 2.990 R-Sq = 97.3% R-Sq(adj) = 95.4% Analysis of Variance for ME Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Regression 5 2272.30 2272.30 454.460 50.83 0.000 Linear 2 580.88 580.88 290.442 32.49 0.000 Square 2 1404.45 1404.45 702.225 78.55 0.000 Interaction 1 286.96 286.96 286.964 32.10 0.001 Residual Error 7 62.58 62.58 8.940 Lack-of-Fit 3 48.79 48.79 16.263 4.72 0.084 Pure Error 4 13.79 13.79 3.448 Total 12 2334.88 Unusual Observations for ME Obs StdOrder ME Fit SE Fit Residual St Resid 7 7 69.770 66.034 2.364 3.736 2.04 R Estimated Regression Coefficients for ME using data in uncoded units Term Coef Constant 93.1180 Metanol -1.35185 Katalis 8.41326 Metanol*Metanol -12.8977 Katalis*Katalis -7.59275 Metanol*Katalis 8.47000 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Metanol -1.000 1.000 -1.000 1.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Katalis -1.000 -1.000 1.000 1.000 0.000 0.000 -1.414 1.414 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
ME 71.55 51.43 76.32 90.08 69.18 66.03 69.77 86.66 93.24 95.42 91.82 90.80 94.31
FITS1 74.04 54.39 73.92 88.16 69.23 65.41 66.03 89.83 93.12 93.12 93.12 93.12 93.12
RESI1 -2.486 -2.962 2.397 1.921 -0.054 0.619 3.736 -3.171 0.122 2.302 -1.298 -2.318 1.192
205
Lampiran 14 Penentuan tetapan laju reaksi transesterifikasi Reaksi keseluruhan transesterifikasi antara metanol (M) dengan trigliserida (TG) menghasilkan gliserol (G) dan metil ester (E) digambarkan sebagai berikut:
TG + 3 M
k1
G + R1COOR1 + R2COOR1 + R3COOR1
(1)
k2 R1, R2, dan R3 adalah alkil dari asam lemak dan R1 adalah alkil dari metanol. Bila ester-ester masing-masing dinyatakan dalam E dan apabila E diasumsikan sama sebagai metil oleat (E1 = E2 = E3) maka persamaan 1 menjadi:
TG + 3M
k1
G+3E
(2)
k2 Penentuan tetapan laju reaksi transesterifikasi menggunakan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel (Darnoko dan Cheryan, 2000 ; Cheng sit foon et al. 2004; Sofiah, 1999).
TG + 3M
k1
G+3E
(3)
Penentuan tetapan laju reaksi menggunakan metode integral (Laidler 1979). merupakan metode empiris yakni perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu dan harga k dihitung dengan menggunakan persamaan terintegrasi berbeda untuk orde reaksi yang berbeda. Ordo reaksi dapat diperoleh secara grafik.dari persamaan yang memberikan nilai k yang konsisten. Reaksi transesterifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan rasio molar metanol yang besar dibandingkan dengan trigliserida (6:1). 1. Apabila reaksi transesterifikasi tersebut mengikuti ordo total dua d[E] r = − −−−−− = k1 [TG] [M] = k1 [E] [G] dt
(4)
karena d[E]/dt = dx/dt dan jika konsentrasi [TG] dan [M] awal masing-masing adalah [TG]o dan [M]o, maka ketika konsentrasi [TG]o turun menjadi [TG]o –x, maka [M]o akan turun menjadi [M]o – 3 x (karena setiap kehilangan 1 mol TG memerlukan 3 mol M dengan demikian:
206
d[x] r = −−−−− = k1 ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) dt karena x = 0 jika t = 0, maka
(5)
d[x] −−−−− = k1 ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) dt t x d[x] k1dt = ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) 0 0 -1 1 1 k1t = ln ln 3 [TG]o -1 [M]o ( [TG]o - x ) ( [M]o - 3x )
(6)
Karena [TG = [TG]o –x dan [M] = [M]o – 3 x maka persamaan 6 menjadi: k1t
-1
=
ln
3 [TG]o -1[M]o
[TG] [M]o
(7)
( [TG]o [M]
2. Apabila reaksi transesterifikasi mengikuti ordo total tiga ( dua terhadap trigliserida dan satu terhadap metanol
r=−
d[E] dt
= k1 [TG]2 [M]
(8)
diintegralkan menjadi: k1t =
-1
1 [M]o [TG] + 2 ln ([M]o-[TG]o)([TG]-[TG]o) [TG]o-[M]o [TG]o [M]
(9)
3. Apabila reaksi transesterifikasi mengikuti ordo total tiga ( satu terhadap trigliserida dan dua terhadap metanol
r=−
d[E] dt
= k1 [TG] [M] 2
(10)
diintegralkan menjadi: k1t =
-1 ([TG]o-[M]o)([M]-[M]o)
+
1
[TG]o [M] 2 ln [M]o-[TG]o [M]o [TG]
(11)
207
Penentuan ordo reaksi dilakukan berdasarkan persamaan 7, 8 dan 11 sampai didapatkan nilai k1 yang konsisten atau linearitas yang paling tinggi. Perhitungan tetapan laju reaksi yang dicobakan dari orde total 2 dan 3. Data percobaan pengukuran kadar metil ester pada berbagai waktu dan suhu : Waktu (menit) 0 5 10 15 20 25 30
30 oC % mol / L 24,34 0,751 34,39 1,019 49,26 1,460 61,71 1,828 75,32 2,232 84,88 2,515 88,33 2,617
45 oC % mol / L 24,34 0,751 38,19 1,132 57,17 1,694 70,91 2,101 84,07 2,491 89,73 2,659 94,07 2,787
60 oC % mol / L 24,34 0,751 51,51 1,526 72,66 2,153 91,50 2,711 92,77 2,749 95,25 2,822 96,18 2,850
70 oC % mol / L 24,34 0,751 58,09 1,721 82,00 2,429 92,94 2,754 94,10 2,788 94,94 2,813 95,78 2,838
Basis percobaan 1000 ml = 1000*0,911 = 911 gram Kadar gliserida = 0,76*911/885,46 = 0,79 mol /L Metanol (gram) = Rasio molar x 32 x berat trigliserida/885,46 = 6x32x0,76*911/885, 46= 150,13 gram = 4,7 mol /L Kadar ME (molar) = ((MEx911)/296) ME = Kadar ME (%), 296 = BM ME sebagai metil oleat Dilakukan perhitungan nilai k dengan trial and error sampai mendapatkaan nilai k yang paling konsisten (grafik paling linier). Dicoba pada ordo total dua dan tiga. Berdasarkan pengukuran kadar metil ester maka dengan persamaan 1 ditentukan kadar trigliserida dan metanol sehingga diperoleh sebagai berikut:
[TG] mol/L 0,790 0,701 0,554 0,431 0,297 0,202 0,168
28 oC [M] mol/L 4,743 4,475 4,034 3,665 3,262 2,979 2,876
[TG] mol/L 0,790 0,664 0,476 0,340 0,210 0,155 0,112
45 oC [M] mol/L 4,743 4,362 3,800 3,393 3,003 2,835 2,706
[TG] mol/L 0,790 0,532 0,323 0,137 0,125 0,100 0,091
60 oC [M] mol/L 4,743 4,362 3,800 3,393 3,003 2,835 2,706
TG = Trigliserida M = Metanol Dilakukan perhitungan nilai k1 pada ordo total dua dan tiga,
[TG] mol/L 0,790 0,467 0,231 0,123 0,111 0,103 0,095
70 oC [M] mol/L 4,743 3,967 3,341 2,782 2,745 2,671 2,644
208
1. dx/dt = k1 [TG] [M] 1/(3[T]o-[Mo]) ln ([M]o[T]/[[M][To]) 0,0000 0
5
10
15
20
25
30
35
-0,1000 o
28 C y = -0,0136x 2 R = 0,9395
-0,2000 -0,3000
45 o C y = -0,0182x R2 = 0,9598
-0,4000 -0,5000
60 o C y = -0,0251x R2 = 0,9313
-0,6000 70 o C y = -0,0287x R2 = 0,9185
-0,7000 -0,8000
Waktu (menit)
2. dx/dt = k1 [TG]2 [M] 1/(Mo-To)(1/T-1/To) +1/(To-Mo) 2ln(MoT/ToM) 0,00 0
5
10
15
20
25
30 35 28 o C y = 0,0309x R2 = 0,8615
-0,50 -1,00
45 o C y = 0,049x R2 = 0,8562
-1,50
60 o C y = 0,0805x R2 = 0,9049
-2,00 70 o C y = 0,083x R2 = 0,9164
-2,50 -3,00
Waktu (menit)
3. dx/dt = k1 [TG] [M] 1/(To-Mo)(1/M1/Mo) + 1/(Mo-To) 2ln(ToM/MoT) 0,00 0
5
2
10
15
20
25
-0,50
-1,50
45 o C y = -0,0545x R2 = 0,8687
-2,00
-3,00
35
28 o C y = -0,035x R2 = 0,8718
-1,00
-2,50
30
70 o C y = -0,0881x R2 = 0,9216
60o C y = -0,0909x R2 = 0,9044 Waktu (menit)
209
Suhu (oC) 28 45 60 70
nT =1 dan nM=1 k1 (liter /mol menit) 0,0136 0,0182 0,0251 0,0287
R2
0,9395 0,9598 0,9313 0,9185
nT =2 dan nM=1 k1 (liter /mol menit) 0,0309 0,0490 0,0805 0,0830
R2 0,8615 0,8562 0,9049 0,9164
nT =1 dan nM=2 k1 (liter /mol menit) 0,0350 0,0545 0,0909 0,0881
R2 0,8718 0,8687 0,9044 0,9116
Berdasarkan gambar dan tabel tersebut nilai k dan R2 yang paling konsisten diperoleh pada ordo dua. Tetapan laju reaksi transesterifikasi pada suhu 341 K, 333K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,0287 (liter / mol menit), 0,0251 (liter / mol menit), 0,0182 (liter / mol menit ) dan 0,0136 (liter / mol menit). Cheng et al. (2004) mengukur tetapan laju reaksi transesterifikasi pada minyak sawit dengan nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1. suhu 60 oC, kecepatan pengadukan 350 rpm dan katalis NaOH 0.125 mol/kg dengan menggunakan ordo dua diperoleh nilai k sebesar 0.097 liter /mol menit. Model Kinetika Transesterifikasi Berdasarkan Persamaan arhenius k1 ln k1 -ln k1 Y k1 Ea R T A
= A exp(–Ea/RT). Ea = ln A – RT EA /R = –C T = a x – C dengan gradien (a) = –Ea/R dan x = 1/T. : tetapan laju reaksi : energi aktivasi : tetapan gas= 1,987 cal/ g mol K : suhu mutlak : tetapan proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekol selama tumbukan
Berdasarkan persamaan di atas maka energi aktivasi suatu reaksi kimia adalah slope (kemiringan) dari grafik linier antara -lnk1 dengan 1/T. Penentuan energi aktivasi proses transesterifikasi antara minyak sawit dan metanol dengan katalis NaOH menggunakan grafik linier hubungan antara ln k1 dengan 1/T dilakukan oleh Noureddini dan Zhu (1997), Darnoko dan Cheryan, (2000) dan Cheng et al. (2004). Grafik hubungan antara -ln k1 dengan 1/T proses transesterifikasi pada suhu 303 K, 318 K dan 333 K sebagai berikut:
-ln k
210
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 0,0028
y = 1879,8x - 1,9355 R2 = 0,9949
0,0029
0,0030
0,0031
0,0032
0,0033
0,0034
Waktu (menit)
Hubungan antara –ln k1 dengan 1/T pada proses transesterifikasi minyak biji nyamplung Berdasarkan gambar tersebut diperoleh persamaan y =1879,8x – 1,9355 dengan R2 = 0,9949 dengan demikian diperoleh ln A = 3,473 dan nilai Ea/R adalah 1879,8 maka: Ea A
= 3735,2 cal/ mol K = 3,752 k cal / mol K = 6,9 liter / mol menit
Sehingga persamaan tetapan laju reaksi (k) dan laju reaksi (r) transesterifikasi minyak nyamplung adalah : -ln k1 = (Ea/R) 1/T - ln A = A exp(Ea/RT) k1 k1 = 6,9 exp(-Ea/RT) k1 = 6,9 exp (-1879 ,8 /T), Dengan model tersebut dapat ditentukan nilai k1 pada berbagai suhu dalam kisaran suhu percobaan (301 K- 343 K) misalnya apabila digunakan suhu 325 K maka diperoleh nilai k1 sebesar 0,0213 liter mol/ menit. ` Lampiran 15 Perhitungan waktu tinggal proses transesterifikasi -1 1 1 t = 1/ k1 ln ln 3 [TG]o -1 [M]o ( [TG]o - x ) ( [M]o - 3x ) A
k1 Mo [TG]o [TG] M ME A B kt t
= = = = = = = = = =
0.0251 4.7429 0.7905 0.100 2.099 2.659 0.42168527 1.252205448 0.528036592 21.03731
B
menit
211
Lampiran 16 Hasil pengujian karakteristik biodiesel dari minyak biji nyamplung di Lemigas Jakarta dan Laboratorium Pengujian VEDCA
212
213
Lampiran 17 Data dasar untuk perancangan proses A. Data produk berdasarkan model kinetika esterifikasi Model tetapan laju reaksi yang diperoleh tahapan penelitian esterifikasi = k = A exp(-Ea/RT) -k = 537,4 Ekp (2618/T) atau -ln k = (Ea/R) 1/T - ln A = (2618)/T -6,286 Berdasarkan model, maka dapat ditentukan nilai k pada berbagai rentang suhu percoaan misalnya : T 2618/T
= 333 K = 7,862
T = 318 K 2618/T = 8,233
-lnk
= 1,58
-lnk
= 1,95
ln k k
= -1,58 = 0,207 l/mol K
ln k k
= -1,95 = 0,143 l/mol K
Jika menggunakan suhu 333 K maka diperoleh nilai k = 0,207 liter /mol K sedangkan apabila digunakan suhu 318 K maka diperoleh nilai k = 0,143 l/mol K Nilai k dimasukkan pada persamaan kinetika reaksi ordo dua konsentrasi produk (Kadar ALB akhir esterifikasi)
untuk memperoleh
kt = 1/ [ALB]t - 1/ALB]o 1/ [ALB]t = kt+ 1/ALB]o [ALB]t = 1/ (kt+ 1/ALB]o) T t k [ALB]o [ALB]t
= 333 K = 25,0 menit = 0,2093 l/mol-menit = 0,890 mol = 26,76 % = 0,1573 mol = 4,46 %
T t k [ALB]o [ALB]t
= 318 = 25,0 menit = 0,1427 l/mol-menit = 0,890 mol = 0,89 % = 0,2131 mol = 6,41 %
Apabila menggunakan suhu esterifikasi 333 K maka akan diperolah konsentrasi ALB akhir esterifikasi 4,73% data ini dimasukkan dalam pembuatan diagram alir kuantittatif maupun simulasi proses dengan HYSYS. B. Data produk berdasarkan model kinetika tranesterifikasi
k = A exp(-Ea/RT) -k = 6,9 exp -1879/T atau -ln k = (Ea/R) 1/T - ln A = 1879//T - 1,9355 T 1947,9/T -lnk ln k k
= = = = =
333 -1879,8 -5,64505 6,9 0,0245
K
liter mol / menit -1
T 1947,9/T -lnk ln k k
= = = = =
318 -1879,8 -5,91132 6,927507 0,0188
K
liter mol menit -1
Jika menggunakan suhu 333 K maka diperoleh nilai k = 0,0245 liter mol / menit sedangkan apabila digunakan suhu 318 K maka diperoleh nilai k = 0,0188 menit -1
-1
214
Dari tahapan penelitian kinetika juga telah diperoleh data bahwa ordo reaksi dua maka konsentrasi trigliserida setelah transesterifikasi dapat dihitung dengan rumus berikut:
-1 [TG] [M]o ln k1t = 1/k 3 [TG]o -1[M]o ( [TG]o [M] [TG = [TG]o –x, [M] = [M]o – 3 x dan x adalah konversi (mol/liter) Suhu k Mo TGo TG
333 0,0245 4,7429 0,7905 ?
K liter mol/menit liter / mol liter / mol liter / mol
Diperoleh TG = 0,0948 mol /liter (x = 0,6957 mol/liter) setara dengan pembentukan kadar metil ester 2,087 mol/liter. Karena kadar metil ester awal sebesar 0,75 mol/liter maka kadar metil ester akhir transesterifikasi sebesar 2,838 mol/liter (96%). Data ini dimasukkan dalam pembuatan diagram alir maupun simulasi proses dengan HYSYS. C. Ringkasan data yang digunakan untuk perancangan No 1 2 3
4
5
6
Data Pengeringan biji 50-60 oC, 1 atm selama 8 jam Pengepresan suhu 60 oC, tekanan 20 ton diulang dua kali Kondisi proses degumming: • Suhu 80 oC, waktu 15 menit, asam fosfat 20% sebanyak 0,3 % v/b, pencucian. • Suhu pencucian air hangat 60 oC • Pengeringan vakum 80 oC tekanan 15 cm Hg (0,21 atm) • Neraca massa dan Kebutuhan energi Esterifikasi (1): • Nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2: 1, Konsentrasi HCl 6% dari berat ALB • 60 oC, 300 rpm, 1 atm • Waktu 25,2 menit • Kadar ALB akhir esterifikasi • Metanol recovery • Neraca massa dan Kebutuhan energi Esterifikasi (2): • Nisbah molar metanol terhadap ALB 40: 1, Konsentrasi HCl 10% dari berat ALB • 60 oC, 300 rpm, 1 atm • Kadar ALB akhir esterifikasi • Metanol recovery • Neraca massa dan Kebutuhan energi Transesterifikasi • Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein 6,3: 1, Konsentrasi NaOH1 % • 60 oC, 400 rpm, 1 atm • Waktu 15,2 menit • Kadar metil ester akhir transesterifikasi • Metanol recovery • Neraca massa dan Kebutuhan energi
Sumber Data Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan Perhitungan Optimasi proses Kinetika reaksi Kinetika reaksi Penelitian Pendahuluan Perhitungan
Optimasi proses Penelitian Pendahuluan Perhitungan Optimasi proses Kinetika reaksi Kinetika reaksi Penelitian Pendahuluan Perhitungan
215
Lampiran 18. Neraca massa proses produksi biodiesel 18.1 Yield masing-masing tahapan proses No 1.
2.
3.
4.
5.
Tahapan Proses Pengepresan Dengan alat kempa hidrolik kekuatan 20 ton Proses Deguming: Minyak 500 gram Pereaksi : asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 3,5% v/b (17,5 ml) Proses esterifikasi (1) Minyak 500 gram kadar ALB =26,76% Nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1 Metanol =303,7 gram, HCl : 8,3 gram
Pemisahan dan pemurnian 5000 gram biji menghasilkan 2375 gram kernel basah atau 1781 gram kernel kering atau 876 gram minyak Pencucian dengan air hangat suhu 60 oC dan pengeringan vakum Air 1752 gram
Dekantasi dan pengeringan vakum Metanol bereaksi = 32 x (26,76 % x 500)/ 282 = 15,18 gram Metanol sisa = (20-1) x 32 x (26,76 % x 500)/ 282 = 288,5 gram Hasil distilasi metanol 279,5 gram Metanol hilang = 288,5 – 279,5 gram = 9 gram Proses esterifikasi (2) Dekantasi dan pengeringan Minyak 500 gram vakum kadar ALB = 4,46% Metanol bereaksi = 32 x (4,46 Metanol 104,4 gram, % x 500)/ 282 = 2,53 gram HCl : 18,4 gram Metanol sisa = (40-1) x 32 x (4,46 % x 500)/ 282 = 101,8 gram Hasil distilasi metanol = 96 gram Metanol hilang = 101,8 – 96 gram = 5,8 gram Proses transesterifikasi Dekantasi dan pengeringan Minyak 500 gram vakum kadar ALB = 2,32% Metanol bereaksi = (3x 32 x Kadar Metil oleat 0,7343*500)/ 885,46 = 39,85 24,4% gram Kadar trigliserida Metanol sisa = ((6-3) x 32 x x sebagai triolein 73,43% 500))/ 282 = 39,85 gram Metanol 79,61 gram, Hasil distilasi metanol = 35,9 NaOH: 3,7 gram gram Metanol hilang = 39,85 – 35,9 gram = 3,95 gram
Volume Produk Dihasilkan minyak kasar 876 gram. Yield = 17,52 %. Dihasilkan minyak degumming 480 gram Yield = 480/500*100% = 96% Dihasilkan minyak 489 gram (97,8%) dengan kadar ALB 4,46% dan metil ester 22,3% Yield = ( 26,7622,3)/26,76 *100% =83,3% Recovery metanol = 90% dari metanol awal atau 95% dari metanol sisa Dihasilkan minyak 489 gram (97,8%) dengan kadar ALB 2,32% dan metil ester 24,4 %. Yield = (4,462,32)*100% = 47,9% Recovery metanol = 94% dari metanol awal atau 97% dari metanol sisa. Dihasilkan biodiesel 441 gram (84,8%) dengan kadar metil ester 96 % Yield = (441/500)*100%=88,3% Recovery metanol = 47% dari metanol awal atau 94 % dari metanol sisa.
216
18.2.Neraca massa proses ekstraksi minyak secara mekanis Tahapan Proses Pengupasan Biji nyamplung Kulit Kernel basah Pengeringan Kernel basah Air Kernel kering Pengepresan Kernel kering Ampas Endapan (palmitin & stearin) Minyak Nyamplung
Input (g)
Output (g)
1000 525 475 475 114,7 360,3 360,3
173,8 11,2 175,2
18.3.Neraca massa proses produksi biodiesel dari minyak nyamplung kasar Tahapan Proses Degumming Minyak Nyamplung Asam fosfat Air Hangat 60 oC Minyak Nyamplung bersih Air kotor Pengeringan Minyak Nyamplung bersih Air Minyak nyamplung kering Esterifikasi 1 Gliserida (Fraksi minyak selain ALB dan ME) Asam lemak bebas (asam oleat) HCl Metanol Metil oleat Asam oleat sisa Air Metanol sisa Kotoran ( katalis, pewarna, air dll) Gliserida
Input (g)
Output (g)
1.000,0 7,1 2.000,0 981,7 2.025,3 981,7 21,7 960,0 703,1 256,9 15,4 583,0 210,9 42,2 526,9 100,5 692,6 210,9
217
Tahapan Proses Esterifikasi 2
Input (g)
Gliserida
693
Asam lemak bebas (asam oleat) HCl Metanol Metil oleat Asam oleat sisa Air Metanol sisa Kotoran ( katalis, pewarna, air dll) Gliserida hasil Transesterifikasi
42 211 4 191
Metil oleat
231 22 691 7 150
Asam oleat sisa Gliserida hasil
NaOH Metanol Gliserol Metanol resirkulasi Biodiesel kotor Kotoran (sabun, sisa katalis) Pencucian Biodiesel kotor Air suhu 60 oC Asan asetat Air kotor Biodiesel bersih Pengeringan Biodiesel bersih basah Air Biodiesel
Output (g)
231 22 180 17 691
113 71 896 19 896,4 1.792,9 0,033 1.838,6 850,5 0,00
0,00
850,5 -
16,0 834,5
218
Lampiran 19 Perhitungan energi proses produksi biodiesel 19.1 Pengeringan biji
Kadar air awal Kadar akhir Umpan Produk T.umpan masuk T. udara pengering Suhu operasi Data udara :
= = = = = = = Cp Densitas
Data Uap air 60oC Enthalphi Densitas uap 60oC Uap air Jumlah Panas yang dibutuhkan Q = Lamda*Mair 79,21 331.412,3
28 6 475 360 30 60 60
% % g g o C o C o C
= = = = = =
0,237 Kcal/kgoC 1,1493 kg/m3 575,42 Kcal/kg 0,0511 kg/m3 0,1147 Kg
Kcal J
19.2 Proses Degumming
E3
Minyak nyamplung Minyak kasar
Asam fosfat (larutan asam fosfat sebanyak 0,3% (v/w)
1 = Pemanasan & pengaduan
(80oC, 15 menit, 1 atm)
E4 Air
E5
Minyak degumming kotor
2 = Pencucian o
(60 C, 1 atm)
3 = Pengeringan ( 80 oC, 16 cm Hg)
Minyak hasil degumming Asumsi : • •
Suhu air, minyak nyamplung awal 30 oC Degumming dilakukan pada suhu 80 oC
Gum, air dan fosfat i
219
• •
Tekanan proses degumming, pencucian 1 atm dan pengeringan 0,21 atm (16 cm Hg) Panas reaksi total (Q) ditentukan dengan menggunakan hukum Hess
Perhitungan energi dilakukan dengan menggunakan persamaan= panas masuk + Q panas = panas keluar + panas reaksi Q panas = panas keluar − panas masuk + panas reaksi = ΔHout+ ΔHin+ ΔHreaksi Proses degumming ΔHreaksi antara fosfat dengan gum sangat kecil sehingga diabaikan. Energi digunakan untuk menaikan suhu minyak pada proses pemanasan, menaikan suhu air pada proses pencucian dan penguapan air pada proses pengeringan. Q panas = ΔHout − ΔHin
n
n
1
1
∑ moCPoΔto − ∑ miCPiΔti
=
o
Δt = T−Tref, Tref = 25 C 80oC
30 oC
25 oC
Pemanasan dan pengaduan 60oC 30 oC 25 oC
Pencucian 80oC 30 oC
25 oC
Pengeringan
220
Pemanasan dan pengadukan Pemanasan minyak Panas masuk heater Komponen Minyak nyamplung Asam fosfat Total Panas keluar heater Minyak nyamplung Asam fosfat Total Kebutuhan Panas (Q) Pencucian Panas masuk heater Komponen Air Panas keluar heater
Massa (g)
Cp (J/g oC)
ΔT(oC)
ΔH (J)
1000 7,1
3,45 1,522
5 5
17.250,0 53,7 17.303,7
1.000,0 7,1
3,45 1,522
55 55
189.750,0 590,9 190.340,9 173.037,2
4,1856
5
52.307,4
2.499,4
4,1856
30
313.844,7 261.537,2
21,7 960,0
4,1856 3,45
5 5
453,9 16.560,0
21,7 960,0
4,1856 3,45
50 50
4.539,2 151.073,8 155.613,0 137.979,6 572.554,0
2.499,4
Air Kebutuhan panas (Q) Pengeringan Panas masuk heater Komponen Air Minyak nyamplung Panas keluar heater Air Minyak nyamplung Total Kebutuhan panas (Q) Kebutuhan panas (Q) degumming
2. Proses Esterifikasi ME, triolein dan sisa asam lemak bebas
Asam oleat, triolein,
Reaktor esterifikasi
Metanol + HCl
Metanol, air, komponen terlarut
221
Asumsi : • Reaksi berlangsung pada suhu 60 oC • Tekanan 1 atm • Panas reaksi total (Q) ditentukan dengan menggunakan hukum Hess Perhitungan energi dilakukan dengan menggunakan persamaan= panas masuk + Q panas = panas keluar + panas reaksi Q panas = panas keluar + panas reaksi − panas masuk = ΔHout −ΔHin+ ΔHreaksi` n
n
n
n
1
1
1
1
∑ moCPoΔto − ∑ mjCPiΔti + [ ∑ mpCPpΔtp − ∑ mrCPrΔtr] Δt = T-Tref, Tref = 25 oC Panas digunakan untuk menaikan suhu dan untuk reaksi. 2.1. Esterifikasi 1 Umpan masuk: Gliserida 0,79 mol 703,1 g ALB sebagai asam oleat 0,91 mol 256,9 g Metanol 18,22 mol 583,0 g HCl 0,41 mol 15,4 g Produk keluar ALB sebagai asam oleat 0,16 mol 42,2 g Metanol 16,47 mol 526,9 g Air dan kotoran lain 5,58 mol 100,5 g Metil ester sebagai metil oleat 0,71 mol 210,9 g Gliserida 0,78 mol 692,6 g Menaikkan suhu reaktan Komponen Panas masuk heater Minyak nyamplung Metanol Asam klorida Total Panas keluar heater Minyak nyamplung Metanol Asam klorida Total Kebutuhan panas (Q) Panas reaksi
Massa (g)
Cp (J/goC)
ΔT(oC)
ΔH (J)
960,00 582,99 15,41
3,45 2,533 1,522
5 5 5
16.560,0 7.383,5 117,3 24.060,8
960,00 582,99 15,41
3,45 2,533 1,522
35 35 35
115.920,0 51.684,5 821,0 147.540,8 123.480,0
222
Menaikkan suhu reaktan Massa (g) Komponen Panas masuk reaktor ALB sebagai asam oleat 293,24 HCl 17,59 Metanol 665,51 Total Panas keluar reaktor Metil ester sebagai metil oleat 240,72 Asam oleat sisa 48,14 Metanol risirkulasi 601,47 Kotoran (katalis, pewarna, air dll) 114,68 Total Kebutuhan panas reaksi (Q) Kebutuhan panas esterifikasi
Cp (Cal/g C)
ΔT(oC)
ΔHr (J)
2,19868 0,545118 2,533
35 35 35
22.565,9 335,7 59.000,6 81.902,2
4,835215 2,19868 4,185599
35 35 35
40.737,3 3.704,8 88.112,8
2,533
35
10.166,6 142.721,5 60.819,3 283.052,06
2.1. Esterifikasi 2 Umpan awal : Gliserida
0,78 mol 692,6 g
Asam lemak bebas sebagai asam oleat
0,69 mol
Metanol Metil ester sebagai metil oleat
5,98 mol 191,5 g 0,71 mol 210,9 g
HCl
21,9 g
0,113 mol
4,2 g
asam oleat
0,08 mol
21,9 g
Metanol
0,64 mol
180,4 g
Air dan kotoran lain
0,06 mol
17,1 g
Metil ester sebagai metil oleat Gliserida
0,82 mol 230,7 g 2,45 mol 690,7 g
Setelah bereaksi
Menaikkan suhu reaktan Komponen
Massa (g)
Cp (J/goC) ΔT(oC)
ΔH (J)
Panas masuk heater Minyak nyamplung
945,60
3,45
5
16.311,6
Metanol
191,49
2,533
5
2.425,2
4,22
1,522
5
32,1
Asam klorida Total
20.859,7
Panas keluar heater Minyak nyamplung
945,60
3,45
Metanol
191,49
2,533
35 114.181,2 35
16.976,6
223
Menaikkan suhu reaktan Massa (g)
Komponen Asam klorida
4,22
Cp (J/goC) ΔT(oC) 1,522
35
ΔH (J) 224,7
Total
131.382,5
Kebutuhan panas (Q)
110.522,9
Panas reaksi Panas masuk reaktor ALB sebagai asam oleat
42,17
2,199
35
3.245,4
HCl
15,41
0,545
35
294,1
191,49
2,533
35
16.976,6
Metanol Total
20.516,1
Panas keluar reaktor Metil ester sebagai metil oleat
19,86
4,835
35
3.360,6
ALB sebagai asam oleat sisa
21,94
2,199
35
1.688,2
Air
17,12
4,186
35
2.508,5
Metanol sisa
180,38
2,533
35
15.991,9
Metanol bekas distilasi
100,46
2,533
35
8.906,0
Gliserida hasil
690,65
1,934
35
46.752,4
Total
79.207,5
Kebutuhan panas (Q)
58.691,4
Kebutuhan panas esterifikasi
169.214,3
3. Proses Transesterifikasi Minyak (gliserida)
ME
Reaktor Transesterifikasi Metanol + NaOH
Glierol
Asumsi : • Reaksi berlangsung pada suhu 60 oC • Tekanan 1 atm • Panas reaksi total (Q) ditentukan dengan menggunakan hukum Hess Perhitungan energi dilakukan dengan menggunakan persamaan=
panas masuk + Q panas = panas keluar + panas reaksi Q panas = panas keluar + panas reaksi − panas masuk = ΔHout −ΔHin+ ΔHreaksi`
224
n
n
n
n
1
1
1
1
∑ moCPoΔto − ∑ mjCPiΔti + [ ∑ mpCPpΔtp − ∑ mrCPrΔtr] Δt = T-Tref, Tref = 25 oC Panas digunakan untuk menaikan suhu dan untuk reaksi. Umpan awal : Gliserida Metanol NaOH Setelah bereaksi Biodiesel kotor
0,78 4,69 0,17
mol mol mol
690,7 150,2 6,9
g g g
3,03
mol
896,4
g
Metanol
2,21
mol
70,7
g
Gliserol kotor
3,55
mol
113,5
g
Menaikkan suhu reaktan Komponen Panas masuk heater (30oC) Minyak nyamplung Metanol NaOH Total Panas keluar heater (oC) Minyak nyamplung Metanol NaOH Total Kebutuhan panas (Q) Panas reaksi Komponen Panas masuk reaktor Minyak NaOH Metanol Total Panas keluar reaktor Biodiesel (Metil oleat) Metanol sisa Metanol bekas distilasi Gliserol
Massa (g)
Cp (J/goC)
ΔT(oC)
ΔH (J)
945,60 150,19 6,91
1,934 2,533 0,385
5 5 5
9.144,4 1.902,2 13,3 11.059,8
946 150 7
1,934 2,533 0,385
35 35 35
64.010,5 13.315,3 93,0 77.418,8 66.358,9
Massa (g)
Cp (Cal/g C)
ΔT(oC)
ΔHr (J)
691 7 150
1,934 0,385 2,533
35 35 35
46.752,4 93,0 13.315,3 60.160,6
896,4 70,7 19,5 113,5
4,835 2,533 2,533 3,265
35 35 35 35
151.704,9 6.270,6 1.725,5 12.967,0
225
Total Proses Pencucian Panas masuk heater Komponen Air Panas keluar heater Air Kebutuhan Panas (Q) Proses Pengeringan Panas masuk heater Komponen Air Minyak nyamplung Panas keluar heater Air Minyak nyamplung Kebutuhan Panas (Q) Kebutuhan panas transesterifikasi
Kebutuhan panas total
Massa (g)
Cp (J/g C)
ΔT( C)
172.668,1 ΔH (J)
1562
4,1856
5
32.693,6
1562
4,1856
30
Massa (g)
Cp (J/gC)
ΔT(oC)
196.161,8 163.468,2 ΔH (J)
48 0
4,1856 3,45
5 5
1.001,2 11.684,0
48 0
4,1856 3,45
50 50
10.012,3 116.840,1 114.167,1 456.501,8
1.623.536,2 388.034,5 450.982,3 1,62354 solar = 42.7 MJ/kg Kebutuhan solar 0,0456 Batubara 23MJ/kg Keb batubara 0,0383
o
o
Joule 1.623,5 kJ Cal 388,0 kCal Whatt 450,9 KWh MJ kg kg
0,0524
liter
Lampiran 20 Perincian modal tetap produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan asumsi kapasitas peralatan 1,31 ton/hari.
A 1 1.1
1.2
1.3
2
3
Biaya langsung (DC) Peralatan Peralatan penyimpanan Peralatan gudang bahan baku Tangki timbun biodiesel Tangki timbun gliserol kotor Peralatan pemuatan dan pembongkaran Pompa penyimpanan dan pemuatan Peralatan Proses Timbangan manual Mesin pengupas kulit Pengering Pengepres dan penyaring Tangki minyak kasar Reaktor degumming Tangki minyak hasil deguming Tangki metanol Tangki pencampur metanol dan katalis Reaktor esterifikasi Reaktor transesterifikasi Distilator metanol esterifikasi Tangki minyak hasil esterifikasi Distilator metanol transesterifikasi Pompa pemindah minyak Tangki pencuci dan pengering biodiesel Peralatan pengujian (FFA dan viskositas) Perlengkapan bengkel Peralatan utilitas Alat pamadam Generator Boiler Jumlah sub total Pengadaan Tanah
Bangunan dan fasilitas industri
9600 l/minggu l/minggu
500 700 3000 285,7 17656,6 125 17656,6 117,46 127,46 200 150 125 229 100
kg kg/jam kg/proses kg/jam liter kg/jam liter liter liter kg/jam kg/jam kg/proses lt kg/proses
250 lt/prosses
Pemasangan peralatan Pekerjaan listrik Instrumentasi dan kontrol Perpipan
B
Total DC = Biaya Tidak Langsung (IDC) Enginering dan supervisi Biaya konstruksi Kontingensi Total Investasi (FCI)
Total
(Rp 000)
1 1 1 1 2
unit unit unit unit unit
4000 16.893 1500 1040 1600
4.000 16.893 1.500 1.040 3.200
1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 7 1 1 1
unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit set set
5.000 60.000 30.000 45.000 8.447 180.000 8.447 1.056 1.066 300.000 300.000 75.000 1005 75.000 908 33.500 5900 15.458
5.000 60.000 30.000 45.000 8.447 180.000 8.447 1.055,8 2.131,6 600.000 300.000 75.000 1.005 75.000 6.356 33.500 5.900 15.458
2 set 1 unit 1 unit
5.417 35.800 150.000
10.833 30.000 150.000 1.674.641
309 m2
125
38.625
8 10 100 8 10 10 10 10 10 6 9 9 9 209 100
951 951 951 951 951 951 951 951 951 951 951 951 951
7.605 9.506 95.060 7.605 9.506 9.506 9.506 9.506 9.506 5.704 8.555 8.555 8.555
56
5.600 204.275 1.674.641
2 % dari PEC
10 % dari PEC
Laboratorium Bagian Penerimaan dan pemuatan Gudang (Warehouse ) bahan baku dan produk Bagian Pengupasan Bagian Pengeringan Bagian Ekstraksi Bagian Pemurnian Bagian Esterifikasi Bagian Transesterifikasi Bagian Generator (Powerhouse ) Bengkel (Workshop ) Mushola dan MCK Dapur Luas bangunan total Area Parkir Jumlah sub total Pembelian peralatan (PEC) 4 5 6 7
Harga Satuan (Rp 000)
Jumlah
Uraian
10% 2% 3% 5%
PEC PEC PEC PEC
1 1 1 1
m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2
Paket Paket Paket Paket
167.464 33.493 50.239 83.732 2.252.470
1% DC 5% DC 5% DC
1 Paket 1 Paket 1 Paket
22.525 90.099 90.099 202.722 2.455.192,0
226
Lampiran 21 Ringkasan biaya operasional Uraian Biaya Tetap Gaji karyawan (tak langsung) Penyusutan Pemeliharaan dan perbaikan Biaya administrasi Pajak bumi dan bangunan Ansuransi Biaya beban air, listrik dan telpon Total Biaya Tetap Biaya Variabel Bahan baku biji nyamplung Bahan kimia pembantu Bahan bakar (solar) Listrik penerangan Air untuk proses dan MCK Telpon Tenaga kerja langsung Laboratorium dan riset Biaya penjualan Total Biaya Variabel
Tahun 1 (75%)
Tahun 2 (90%)
Tahun 3 (100%)
Tahun 4 (100%)
Tahun 5 (100%)
Tahun 6 (100%)
Tahun 7 (100%)
Tahun 8 (100%)
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
108.000.000 159.910.092
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
46.972.913 18.000.000 12.275.960 24.551.920
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
714.000 370.424.885
1.188.067.100 351.326.437 103.033.791 2.945,568
1.425.680.520 421.591.725 123.640.549 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
1.584.089.466 468.435.249 137.378.388 3.534,681
733.993,2 9.320.690 103.500.000 20.819.682 20.819.682 1.797.624.321
733.993,2 13.421.794 124.200.000 24.983.618 24.983.618 2.159.239.352
978.657,5 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
978.658 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
978.658 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
978.658 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
978.658 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
978.658 16.570.116 138.000.000 27.759.576 27.759.576 2.400.974.564
227
Lampiran 22 Kebutuhan modal kerja awal
Uraian Bahan baku dan Pembantu Biji nyamplung Asam fosfat teknis Metanol esterifikasi HCl Metanol transesterifikasi NaOH Biaya utilitas Biaya bahan bakar (solar) Air Listrik penerangan (10 watt/m2) Biaya administrasi Biaya penjualan (1% dari penjualan) Biaya laboratorium (1% dari penjualan) Biaya pemeliharaan dan suku cadang (2,5% dari harga peralatan) Gaji/Upah Tenaga kerja tak langsung Tenaga kerja langsung Total Modal Kerja 1 tahun Modal kerja sendiri 30 % Modal kerja pinjaman 70 % Total Modal Kerja 3 bulan Modal kerja sendiri 30 % Modal kerja pinjaman 70 %
Jumlah
Harga Satuan (Rp 000)
2.640.149 3.264 44.573 6.975 38.074 4.374
kg liter liter liter liter kg
21238 liter 912 m3 8631,7 kwatt
Total (Rp 000)
0,6 13 5,0 2 5,0 7
1.584.089 41.946 222.863 13.950 190.372 31.142
6,15 1,09 0,5
128.497 979 3,93 18.000 27.760 27.760 50.224
27.000 34.500 2.348.862 704.659 1.644.203 587.215 176.165 411.051
Lampiran 23 Jadwal pembayaran kredit modal A. Jadwal Pembayaran Kredit Modal Tetap No Jumlah Kredit Bunga Pokok Sisa 0 1.718.634.400 1.718.634.400 1 549.963.008 171.863.440 1.546.770.960 2 247.483.354 171.863.440 1.374.907.520 3 219.985.203 171.863.440 1.203.044.080 4 192.487.053 171.863.440 1.031.180.640 5 164.988.902 171.863.440 859.317.200 6 137.490.752 171.863.440 687.453.760 7 109.992.602 171.863.440 515.590.320 8 82.494.451 171.863.440 343.726.880 9 54.996.301 171.863.440 171.863.440 10 27.498.150 171.863.440 B. Jadwal pembayaran kredit modal kerja No Jumlah Kredit Bunga Pokok 1 407.033.347 65.125.336 81.406.669 2 52.100.268 81.406.669 3 39.075.201 81.406.669 4 26.050.134 81.406.669 5 13.025.067 81.406.669
Sisa 325.626.678 244.220.008 162.813.339 81.406.669 -
228
Lampiran 24 Proyeksi rugi laba Ribuan No . A 1
Uraian
Tahun 2(90%)
Tahun 4(100%)
Tahun 5(100%)
Tahun 6(100%)
Tahun 7(100%)
Tahun 8(100%)
Tahun 9(100%)
Thn 10(100%)
Penerimaan Produksi (kg) a. Biodiesel b. Stearin dan palmitin c. Gliserol d. Ampas e. Cangkang
2
Tahun 1(75%)
Tahun 3(100%)
289.492
347.391
385.990
385.990
385.990
385.990
385.990
385.990
385.990
385.990
22.203 39.457 344.127 1.039.559
26.643 47.348 412.953 1.247.470
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078
29.603 52.609 458.836 1.386.078 2.775.957.584
Penjualan (Rp) a. Biodiesel
2.081.968.188
2.498.361.825
2.775.957.584
2.775.957.584
2.775.957.584
2.775.957.584
2.775.957.584
2.775.957.584
2.775.957.584
b. Gliserol
39.456.730
47.348.076
52.608.974
52.608.974
52.608.974
52.608.974
52.608.974
52.608.974
52.608.974
52.608.974
c. Ampas
67.104.806
80.525.767
89.473.074
89.473.074
89.473.074
89.473.074
89.473.074
89.473.074
89.473.074
89.473.074
202.713.949
243.256.739
270.285.265
270.285.265
270.285.265
270.285.265
270.285.265
270.285.265
270.285.265
270.285.265
94.361.041
113.233.250
125.814.722
125.814.722
125.814.722
125.814.722
125.814.722
125.814.722
125.814.722
125.814.722
2.485.604.714
2.982.725.657
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
3.314.139.619
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
370.424.885
d. Cangkang e. Stearin Total Penerimaan B
Pengeluaran
1
Biaya tetap
2
Biaya variabel
1.797.624.321
2.159.239.352
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
2.400.974.564
Total pengeluaran
2.168.049.206
2.529.664.237
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
2.771.399.449
317.468.187
452.956.635
542.623.742
542.623.742
542.623.742
542.623.742
542.623.742
542.623.742
542.623.742
542.623.742
549.963.008 65.125.336
247.483.354 52.100.268
219.985.203 39.075.201
192.487.053 26.050.134
164.988.902 13.025.067
137.490.752 -
109.992.602 -
82.494.451 -
54.996.301 -
549.963.008 65.125.336
615.088.344 (297.620.156) (297.620.156)
299.583.622 153.373.012 46.011.904 107.361.109
259.060.405 283.563.337 85.069.001 198.494.336
218.537.187 324.086.555 97.225.966 226.860.588
178.013.970 364.609.772 109.382.932 255.226.840
137.490.752 405.132.990 121.539.897 283.593.093
109.992.602 432.631.140 129.789.342 302.841.798
82.494.451 460.129.290 138.038.787 322.090.503
54.996.301 487.627.441 146.288.232 341.339.209
615.088.344 515.125.591 154.537.677 360.587.914
C
Laba Operasi
D
Bunga Pinjaman
1
Kredit investasi
2
Kredit modal kerja Total Bunga Pinjaman
E
Laba sebelum pajak
F
Pajak 30 % Laba Bersih
G
229
Lampiran 25 Aliran kas ribuan No.
Uraian
A 1 2 3
Kas masuk Laba bersih Penyusutan Modal sendiri Modal Pinjaman Total kas masuk Kas keluar Biaya Investasi Biaya modal kerja Pengantian fasilitas Pembayaran pinjaman investasi Total kas keluar Aliran kas bersih Akumulasi
4
B 1 2 3 4
C D
Tahun 1 (75%)
Tahun 0
Tahun 2 (90%)
Tahun 3 (100%)
Tahun 4 (100%)
Tahun 5 (100%)
Tahun 6 (100%)
Tahun 7 (100%)
Tahun 8 (100%)
Tahun 9 (100%)
Tahun 10 (100%)
-
(297.620.156)
107.361.109
198.494.336
226.860.588
255.226.840
283.593.093
302.841.798
322.090.503
341.339.209
360.587.914
-
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
159.910.092
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
267.271.201
358.404.428
386.770.681
415.136.933
443.503.185
462.751.890
482.000.596
501.249.301
520.498.006
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
697.771.452
174.442.863
1.628.133.389
407.033.347
2.325.904.841
443.766.146
2.325.904.841
-
-
581.476.210
-
-
-
-
-
-
-
253.270.109
253.270.109
253.270.109
253.270.109
253.270.109
171.863.440
171.863.440
171.863.440
171.863.440
171.863.440
2.325.904.840,92
834.746.320
253.270.109
253.270.109
253.270.109
253.270.109
171.863.440
171.863.440
171.863.440
171.863.440
171.863.440
-
(390.980.174)
14.001.092
105.134.319
133.500.571
161.866.823
271.639.745
290.888.450
310.137.156
329.385.861
348.634.566
-
(390.980.174)
(376.979.082)
(271.844.763)
(138.344.192)
23.522.632
295.162.377
586.050.827
896.187.983
1.225.573.844
1.574.208.410
230
Lampiran 26 Analisis kelayakan finansial NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Pay Back Period (Tahun) ARR (Average rate of Return) dalam % ROI
366.166.218,8 33,54 2,1 4,9 32,65 0,226
BEP
No. 1 2 3
Uraian Biaya Tetap (Rp) Biaya Variabel (Rp) Produksi (kg) a.Biodiesel b. Stearin c. Gliserol 4 Harga per Unit a. Biodiesel b. Stearin c. Gliserol 5 BEP Produksi biodiesel (kg) Produksi Sterin (kg) Produksi gliserol (kg) Penjualan (Rp)
370.424.885,0 1.797.624.320,9 289.492,4 22.202,6 39.365,2 7.191,8 4.250,0 1.000,0 70.796,9 5.429,8 9.627,0 541.860.269,6
`
231