PERANCANGAN ALAT BANTU PENGENALAN DAN PEMBUATAN BANGUN RUANG BAGI SISWA TUNANETRA DI SLBN A KOTA BANDUNG Brian Eric Chance, Kristiana Asih Damayanti, S.T., M.T. Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penyandang tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan, yaitu totally blind, partially sighted dan low vision. Pada tingkat sekolah dasar, anak tunanetra cenderung tidak memahami konsep yang dasar terutama bentuk benda yang terdapat di lingkungan sekitar sehingga dibutuhkan alat peraga terhadap bentuk dasar untuk membantu proses pemahaman konsep dasar. Oleh karena itu, dilakukan perancangan sebuah alat peraga untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang. Tahap awal perancangan adalah mengidentifikasikan kebutuhan terhadap 6 guru sekolah dasar dan 4 anak sekolah dasar. Selanjutnya dilakukan perancangan konsep sesuai dengan kebutuhan yang didapatkan dan dihasilkan 1 konsep untuk alat peraga mengenal bentuk bangun ruang dan 4 konsep untuk alat peraga membuat bentuk bangun ruang. Kemudian dilakukan penilaian terhadap 4 konsep untuk alat peraga membuat bentuk bangun ruang dan didapatkan 1 konsep yang terpilih. Lalu pembuatan prototipe berdasarkan konsep terpilih dengan jenis prototipe High-Fidelity. Setelah itu, dilakukan evaluasi terhadap prototipe dengan melakukan pengujian dan penilaian prototipe tersebut kepada 8 anak sekolah dasar. Penilaian menggunakan System Usability Scale, perbandingan jumlah waktu pengujian dengan waktu rata-rata, dan jumlah error yang terjadi selama pengujian. Hasil penelitan ini adalah sebuah alat peraga yang digunakan untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang berbentuk kubus, balok, limas dan prisma. Hasil evaluasi berdasarkan penilaian SUS oleh 8 responden didapatkan nilai yang lebih besar dari nilai 68 yang menyatakan bahwa rancangan produk tersebut dapat digunakan dalam membantu pembelajaran dalam mengenal serta membuat bentuk bangun ruang bagi anak penyandang tunanetra. Kata kunci: tunanetra, alat peraga, bentuk dasar, bangun ruang, perancangan produk.
Tunanetra dapat didefinisikan sebagai individu yang mengalami suatu kecacatan pada indera penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatannya seperti umumnya. Dampak dari kecacatan pada indera penglihatan bagi tunanetra mengakibatkan dalam menjalani aktivitas sehari-hari menggunakan indera-indera lain yang masih berfungsi dengan baik pada dirinya. Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), klasifikasi tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatannya terbagi menjadi 3 yaitu tunanetra ringan (defective vision/low vision) dimana individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi masih dapat mengikuti kegiatan pendidikan dan mampu melakukan kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan, tunanetra setengah berat (partially sighted) dimana individu yang kehilangan sebagian daya penglihatan, dan tunanetra berat (totally blind) dimana individu yang sama sekali tidak dapat melihat.
Berdasarkan badan pusat statistik (2010), sensus penduduk pada tahun 2010 diantara jumlah penduduk Indonesia yang banyak terdapat beberapa penduduk yang mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari atau disabilitas, yaitu kesulitan melihat, kesulitan mendengar, kesulitan berjalan, kesulitan mengingat, berkonsentrasi, atau berkomunikasi, dan kesulitan mengurus diri sendiri. Penduduk yang mengalami kesulitan dalam melihat dibandingkan dengan kesulitan lainnya. Berikut Gambar 1 merupakan presentase penduduk penyandang disabilitas di indonesia.
%
Pendahuluan
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2003
2006
2009
2012
Tahun
Gambar 1. Presentase penduduk penyandang disabilitas di indonesia
Berdasarkan Gambar 1, penduduk penyandang disabilitas di Indonesia terjadi peningkatan prevalansi setiap tahunnya terutama pada tahun 2012 peningkatan terjadi secara drastis. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2012), penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97% diikuti dengan keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga dan lain-lain. Berikut Gambar 2 merupakan distribusi penyandang disabilitas di Indonesia menurut jenis disabilitas.
Gambar 2. Distribusi penyandang disabilitas di indonesia
Adapun usaha penanganan yang dilakukan pemerintah untuk pemenuhan akan adanya fasilitas khusus untuk penyandang tunanetra dalam bentuk mendirikan sekolah luar biasa, panti sosial untuk tunanetra dan fasilitas pendidikan terpadu lainnya baik formal maupun informal. Namun pada kenyataannya tidak semua penyandang tunanetra dapat belajar pada pendidikan terpadu dan SLB, hal ini dikarenakan kurangnya jumlah fasilitas yang tersedia bagi penyandang tunanetra di Indonesia untuk mendapatkan pendidikan formal maupun informal. Padahal pendidikan ini diperlukan untuk kelak mereka dapat berkontribusi dalam masyarakat demi kesejahteraan hidup mereka. Berikut Gambar 3 merupakan jumlah siswa tunanetra di Indonesia dan Jawa Barat.
SISWA TUNANETRA
Jawa Barat 6000
Indonesia 5446
4007
3507
4000 2000
660
1055
617
0 2 0 1 2 / 2 0 1 32 0 1 4 / 2 0 1 52 0 1 5 / 2 0 1 6
PERIODE PENDIDIKAN Gambar 3. Jumlah siswa tunanetra
Berdasarkan Gambar 3, jumlah siswa tunanetra yang belajar pada pendidikan terpadu di Indonesia dan Jawa Barat mengalami kenaikan pada periode 2012/2013 ke periode 2014/2015 akan tetapi terjadi penurunan pada periode selanjutnya, hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti kurangnya fasilitas yang disediakan pemerintah, faktor ekonomi yang menyebabkan beberapa anak tunanetra tidak dapat menempuh pendidikan dan sebagainya. Pada umumnya, usia anak tunanetra untuk masuk sekolah berbeda dengan anak lainnya karena kebutuhan khusus tersebut yang dapat menjadi faktor terlambatnya memperoleh pendidikan. Usia perkembangan kognitif, siswa SD khususnya anak tunatera masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Anak tunanetra memiliki sifat yang lebih sensitif dibandingkan anakanak pada umumnya sehingga dalam proses mengajarkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini harus secara pelanpelan dan spesifik tanpa menyinggung kekurangan mereka. Anak tunanetra khususnya pada tingkat dasar cenderung tidak memahami konsep bentuk benda yang tergolong asing bagi mereka tanpa dijelaskan maupun diberikan media peraga terhadap bentuk tersebut sehingga merupakan tantangan bagi guru-guru yang mengajarkan mereka. Dengan memahami konsep bentuk benda yang terdapat di lingkungan sekitar pada tingkatan pendidikan dasar dapat mempermudah mereka untuk melakukan kegiatan belajar pada tingkatan pendidikan selanjutnya. Konsep dasar mengenai bentuk dasar inilah yang akan selalu diingat oleh anak tunanetra, apabila terjadi kesalahan dalam memahami konsep bentuk tersebut maka anak tunanetra seterusnya akan berpikir bahwa konsep bentuk yang salah tersebut. Oleh karena itu, dalam mengenalkan suatu bentuk benda apapun harus diberikan “instruksi” dan “penjelasan” yang benar sehingga anak tunanetra dapat memahami dengan benar tanpa terdapat kesalahpahaman mengenai bentuk benda yang akan dikenalkan kepada anak tunanetra tersebut. Dijelaskan bahwa setiap anak tunanetra dapat membuat bentuk benda apapun apabila mereka sudah mengenali konsep awalnya terlebih dahulu. Akan tetapi, dalam proses membuat bentuk kubus harus disediakan
beberapa persegi terlebih dahulu untuk anak tunanetra membentuknya sendiri menjadi kubus karena sulit bagi mereka untuk membuat bentuk kubus sendiri dengan membuat bentuk persegi terlebih dahulu. Berikut Gambar 4 merupakan proses pengajaran siswa tunanetra kelas I di SLBN A Kota Bandung.
Gambar 4. Proses pengajaran untuk siswa tunanetra
Berdasarkan gambar di atas, guru sedang mengajarkan siswa tunanetra dalam hal menyusun tingakatan balok menjadi bentukbentuk lainnya sesuai keinginan siswa. Berikut Gambar 5 merupakan alat dan media peraga yang terdapat di SLBN A Kota Bandung.
Gambar 5. Alat dan media peraga
Berdasarkan gambar tersebut, alat dan media peraga yang terdapat di SLBN A Kota Bandung masih tergolong sedikit dalam jumlah dan variasi alat dalam hal mengenal bentuk maupun membuat bentuk sehingga menimbulkan kesulitan bagi para guru untuk menyampaikan materi-materi pendidikan yang memerlukan alat peraga khusus. Pada kondisi pembelajaran di SLBN A Kota Bandung saat ini menggunakan alat peraga yang hanya terdapat di sekolah tersebut. Pada kelas 1 sampai 3, pembelajaran untuk bentuk bangun dasar hanya sekedar untuk dikenalkan bagi siswa tunanetra kelak untuk kelas berikutnya mereka sudah memahami bentuk bangun dasar tersebut dan kemudian mereka dapat mulai menghitung luas, volume, keliling dan sebagainya mengenai bentuk bangun dasar tersebut. Pada kelas 4 sampai 6, siswa tunanetra diajarkan mengenai perhitungan
seperti volume, luas, keliling dan sebagainya pada bentuk-bentuk bangun dasar. Dalam proses perhitungan bangun dasar tersebut, guru hanya dengan menjelaskan rumus-rumus yang dibutuhkan dalam suatu bentuk bangun dasar, misal untuk bentuk balok rumus yang digunakan untuk mencari volume adalah panjang x lebar x tinggi. Penggunaan alat peraga bentuk bangun dasar untuk setiap tingakatan sama, namun penyampaian materi pelajarannya saja yang berbeda. Dari hasil wawancara terhadap guru SLBN A Kota Bandung dapat disimpulkan bahwa hal utama yang diperlukan dalam proses pendidikan bagi siswa tunanetra adalah alat dan media peraga agar mempermudah proses penyampaian materi pendidikan terutama dalam pelajaran matematika. Dengan adanya alat peraga untuk mengetahui bentuk bangun ruang, siswa tunanetra dapat mengetahui dan membayangkan bentuk tersebut ketika mereka sedang mengerjakan soal-soal yang berhubungan bentuk tersebut dan siswa tunanetra juga dapat membuat bentuk bangun ruang tersebut secara mandiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu media atau alat peraga untuk membantu penyampaian konsep bentuk benda dasar kepada siswa tunanetra. Penelitian yang dilakukan di sekolah luar biasa negeri A kota Bandung ini memiliki beberapa tujuan untuk dicapai. Tujuan penelitian tersebut antara lain: 1. Mengidentifikasi kebutuhan yang perlu diakomodasikan dalam perancangan alat bantu pengajaran untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang. 2. Merancang alat bantu pengajaran yang akan diterapkan untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang. 3. Mengevaluasi rancangan alat bantu pengajaran yang akan diterapkan untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang bagi siswa tingkat dasar di SLBN A kota Bandung. Data dan Pengolahan Data Proses pengembangan konsep mencakup beberapa kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan pengguna, penetapan spesifikasi target, penyusunan konsep, pemilihan konsep, pengujian konsep, penentuan spesifikasi akhir, pemodelan dan pembuatan prototipe (Ulrich dan Epingger, 2001). Pada penelitian ini, tahap awal yang dilakukan adalah observasi dan
melakukan wawancara kepada 6 guru dan 4 siswa tunanetra di SLBN A Kota Bandung. Setelah melakukan wawancara kepada sepuluh orang responden, sudah tidak ditemukan adanya kebutuhan baru sehingga wawancara untuk identifikasi kebutuhan dihentikan dengan jumlah responden sepuluh. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan alat bantu pengajaran. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan setelah pewawancara memperkenalkan dirinya dan menerangkan maksud dari wawancara tersebut: 1. Mata pelajaran apa yang paling membutuhkan alat peraga? 2. Apakah alat peraga sekarang sudah memadai untuk pelajaran yang ada di sekolah ini? 3. Apa kesulitan yang sering ditemui dengan menggunakan alat peraga sekarang? 4. Bagaimana menanggulangi kesulitan tersebut? 5. Apa perbaikan yang ingin dilakukan untuk alat peraga sekarang? Setelah dilakukan wawancara, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan hasil wawancara tersebut menjadi kebutuhan pengguna dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. List kebutuhan pengguna No. Kebutuhan 1 Alat peraga yang memberikan informasi/instruksi yang jelas dalam suara 2 Alat peraga yang mempunyai bentuk jelas sehingga mudah dipahami dan dikenali Alat peraga yang portable dan tahan 3 lama 4 Alat peraga yang dapat menggambarkan benda-benda asli di lingkungan sekitar 5 Alat peraga yang mempunyai berbagai warna kontras yang jelas
Setelah didapat list kebutuhan dari pengguna, selanjutnya dibuat beberapa list metrik yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti pada kebutuhan no. 1 maka list metrik yang sesuai adalah kejelasan informasi, volume suara dan lain-lain. Berdasarkan hasil dari daftar kebutuhan pengguna dan daftar metrik maka dapat dibuat hubungan antar kedua hal tersebut menjadi matriks kebutuhan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Matriks kebutuhan pengguna
Rancangan dan Evaluasi Konsep produk alat peraga yang dibuat berdasarkan hasil spesifikasi target yang telah dibuat. Pembuatan alternatif konsep produk ini melibatkan 4 orang designer dengan menggunakan workshop. Alat peraga yang dibuat terbagi menjadi 2 yaitu alat bantu pengajaran untuk mengenal bentuk bangun ruang dan alat bantu pengajaran untuk membuat bangun ruang. Hal ini dikarenakan siswa tunanetra harus terlebih dahulu mengenali dan memahami bentuk bangun ruang sebagai konsep kemudian baru dapat membentuk bangun ruang tersebut. Berikut Gambar 7 merupakan konsep alat bantu pengajaran untuk mengenal bentuk bangun ruang.
Gambar 7. Alat peraga mengenal bangun ruang
Alat bantu pengajaran untuk membuat bentuk bangun ruang ini dibuat agar siswa tunanetra dapat berinteraksi dengan alat peraga tersebut dan dapat mengeluarkan ideide kreatif mereka dalam membuat suatu bangunan tersebut. Berikut Gambar 8,9,10 dan 11 merupakan alternatif konsep produk untuk alat peraga membuat bangun ruang.
konsep model yang menjadi referensi. Penilaian ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria dimana setiap kriteria ini memiliki bobot penilaian yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan kriteria tersebut. Pemberian bobot setiap kriteria dilakukan oleh perancang dan guru SLBN A Kota Bandung. Berikut Tabel 2 merupakan hasil dari penilaian konsep rancangan. Gambar 8. Konsep rancangan ke-1
Gambar 9. Konsep rancangan ke-2
Gambar 10. Konsep rancangan ke-3
Tabel 2. Hasil Penilaian Konsep Rancangan Konsep 1 2 3 4 Penilaian Nilai Nilai Nilai Nilai oleh Bobot Bobot Bobot Bobot R1 92 85 85 95 R2 75 88 85 93 R3 75 92 85 90 R4 75 88 95 95 Rata-rata 79.25 88.25 87.5 93.25 Peringkat 4 2 3 1 Lanjutkan? Tidak Tidak Tidak Lanjut
Berdasarkan hasil penilaian gabungan untuk konsep rancangan alat peraga membuat bentuk bangun ruang, konsep yang terpilih adalah konsep ke-4 dengan nilai sebesar 93,25. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah membuat protipe dari konsep ke-4 sesuai dengan konsep produk tersebut yaitu bahan menggunakan kayu dan mekanisme yang digunakan adalah magnet serta dilakukan beberapa uji coba alat peraga tersebut kepada siswa tunanetra di SLBN A Kota Bandung. Pembuatan prototype dilakukan pada konsep rancangan alat peraga untuk mengenal bentuk bangun ruang dan konsep terpilih rancangan alat peraga untuk membuat bentuk bangun ruang yaitu konsep ke-4. Jenis prototype yang digunakan adalah high fidelity prototype. Berikut Gambar 12 merupakan prototipe rancangan alat peraga pengenalan bangun ruang.
Gambar 11. Konsep rancangan ke-4
Setelah dilakukan pembuatan beberapa rancangan konsep produk alat peraga untuk membuat bentuk bangun ruang, langkah selanjutnya adalah pemberian nilai terhadap masing-masing konsep produk tersebut untuk alat peraga membuat bentuk bangun ruang. Penialian dilakukan tanpa adanya rancangan
Gambar 12. Prototype alat peraga pengenalan bangun ruang
Prototype bangun ruang tersebut terbuat dari bahan kayu dan diberi warna setiap bangun ruang agar membantu tunanetra low vision dalam melihat warna serta diberikan modifikasi speaker untuk memberikan informasi mengenai bentuk bangun ruang tersebut. Sedangkan untuk prototype konsep rancangan alat peraga membuat bentuk bangun ruang dibuat serupa mungkin sesuai dengan fungsi-fungsi yang terdapat pada konsep yang telah dirancang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Prototype alat peraga pembuatan bangun ruang
Prototype bentuk bangun ruang yang terdiri dari 6 sisi berbentuk persegi dimana setiap persegi dilengkapi magnet di setiap sisi untuk dapat menempel satu sama lainnya sehingga membentuk sebuah bangun ruang yang dinamakan kubus. Akan tetapi pada prototype ini, kekuatan magnet yang digunakan tergolong lemah kadang tidak dapat menempel secara sempurna karena penggunaan magnet yang memiliki kekuatan lebih besar membutuhkan biaya yang lebih besar pula. Selanjutnya dilakukan pengujian protoype kepada 8 responden yang merupakan siswa tunanetra di SLBN A Kota Bandung dimana 4 orang tergolong tunanetra total blind (responden 1,2,3,dan 4) dan 4 orang tergolong tunanetra low vision (responden 5,6,7,dan 8). Pengujian dilakukan pada setiap responden secara satu per satu tanpa ada gangguan dari responden lainnya. Pemilihan responden dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pihak guru SD sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Responden yang melakukan pengujian berasal dari kelas 5 dan 6 karena responden sudah mengenali bentuk bangun dasar sehingga dapat memudahkan dalam proses pengujian tanpa menjelaskan secara detail mengenai bentuk bangun dasar terlebih dahulu sehingga hanya untuk melihat fungsi dari prototype sudah berjalan dengan baik atau
belum. Pengujian yang dilakukan oleh responden adalah dengan menyelesaikan task list yang diberikan oleh perancang sebanyak 1 kali. Task list digunakan untuk mengurangi variasi kegiatan yang dilakukan oleh responden dalam pelaksanaan pengujian prototype. Berikut Gambar 14 merupakan proses pengujian prototype terhadap siswa tunanetra.
Gambar 14. Proses pengujian prototype
Setelah dilakukannya pengujian, selanjutnya dilakukan perbandingan waktu pengerjaan task list oleh responden dengan waktu rata-rata. Waktu rata-rata didapatkan dari nilai rata-rata waktu pengerjaan setiap task list oleh responden tingkat total blind ditambah nilai toleransi sebesar 10 detik. Penambahan waktu toleransi ini dilakukan karena terdapat kegiatan lain yang dilakukan secara sengaja oleh responden ketika melakukan pengujian berdasarkan task list. Berikut Tabel 3 merupakan hasil pengujian prototype oleh responden dengan menyelesaikan task list. Tabel 3. Hasil waktu pengujian prototype Waktu Responden (detik) Rspnd Tas Tas Tas Tas Tas k1 k2 k3 k4 k5 1 71 152 233 81 25 2 41 246 279 58 85 3 47 29 74 58 72 4 161 60 213 158 25 5 75 90 61 30 45 6 67 49 86 66 50 7 39 72 76 61 29 8 28 37 54 17 16 Wakt u 90 132 210 99 62 Ratarata
Tas k6 89 113 64 224 38 140 61 26 133
Waktu penyelesaian task list yang lebih lama disebabkan karena responden belum terbiasa menggunakan alat tersebut dan terdapat kesalahan/error yang terjadi selama
pengujian. Berikut Tabel 4 merupakan perbandingan waktu antara tunanetra total blind dengan tunanetra low vision. Tabel 4. Perbandingan waktu pengujian prototype Task List Respo Totnden al 1 2 3 4 5 6 Total 121 199 88, 51, 12 664 80 Blind ,75 ,75 75 75 2,5 ,5 Low 52, 69, 43, 66, 328 62 35 vision 25 25 5 25 ,25
Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan signifikan terhadap pengujian prototype antar kedua golongan tunanetra tersebut dimana responden total blind memerlukan waktu 2x lebih lama dibandingkan responden low vision. Hal ini dikarenakan responden low vision masih dapat melihat sedikit cahaya atau warna yang terdapat pada prototype yang dapat membantu mereka lebih cepat dalam mengerjakan task list yang diberikan terhadap prototype. Berikut Tabel 5 merupakan hasil dari jumlah kesalahan atau error yang terjadi selama pengujian. Tabel 5. Jumlah error hasil pengujian prototype Error Respon Tas Tas Tas Tas Tas Tas -den k1 k2 k3 k4 k5 k6 1 0 1 5 0 0 2 2 0 3 7 0 1 1 3 0 1 3 0 1 2 4 0 3 3 0 0 1 5 0 2 6 0 0 8 6 0 0 2 0 0 4 7 0 2 3 0 0 3 8 0 1 2 0 0 2 Total 0 13 31 0 2 23
Berikut beberapa kesalahan yang dapat terjadi pada setiap task list : 1. Error pada task list 2 dan 5 adalah kesalahan dalam pengambilan bentuk bangun datar (persegi/persegi panjang) yang tidak sesuai dengan bentuk bangun ruang sebelumnya (kubus/balok). Misal untuk bangun ruang kubus, responden salah mengambil bentuk bangun datar yaitu bentuk persegi panjang sehingga dihitung dalam jumlah kesalahan yang dilakukan. 2. Error pada task list 3 dan 6 adalah kesalahan yang dilakukan responden selama pengujian dalam hal menyusun bentuk bangun datar menjadi bentuk bangun ruang. Kesalahan tersebut berupa kesalahan peletakan posisi bangun datar yang tidak memiliki magnet sehingga tidak
dapat menempel dengan bentuk bangun datar lainnya. Setelah menyelesaikan pengujian, setiap responden akan mengisi SUS. Dalam proses pengisian SUS ini dibantu oleh penguji agar responden dapat memahami pertanyaanpertanyaan yang terdapat pada SUS tersebut. Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai SUS dapat dilihat pada Tabel 6. Penghitungan dilakukan dengan cara dari pernyataan nomor ganjil (1,3,5,7,9), range yang didapatkan dari responden dikurangi 1 hasilnya menjadi score untuk pernyataan nomor ganjil. Selanjutnya untuk pernyataan nomor genap (2,4,6,8,10) score didapatkan dari 5 dikurangi range yang didapatkan dari responden. Selanjutnya score pernyataan nomor 1 sampai dengan 10 dijumlahkan lalu dikalikan dengan 2,5 sehingga didapatkan nilai SUS. Apabila hasil nilai SUS yang didapatkan lebih besar dari 68 maka produk dapat digunakan oleh responden (Brooke, 1996). Tabel 6. Hasil rekapan penilaian SUS Responden Nilai SUS Rata-rata 1 2 3 4 5 6 7 8
75 85 72,5 75 70 82,5 72,5 72,5
75,625
Berdasarkan penilaian SUS, semua responden memberikan penilaian puas terhadap kemampuan pakai produk. Setelah memberikan pengujian dan penilaian berdasarkan SUS, responden memberikan beberapa komentar positif dan negatif mengenai prototype ini. Berikut merupakan komentar positif yang didapatkan dari responden : 1. Suara atau informasi yang diberikan sangat membantu dalam membuat bentuk-bentuk tersebut. 2. Dapat dibentuk apa saja. 3. Membantu dalam memahami bentuk bangun ruang. Sedangkan untuk komentar negatifnya yang didapatkan dari responden adalah sebagai berikut : 1. Magnet yang digunakan kurang menempel. 2. Kayu yang terlalu berat. 3. Bingung dalam menempelkan sisi satu bangun datar ke bangun datar lainnya untuk menjadi bangun ruang.
Berikut beberapa evaluasi yang dapat diterapkan pada alat peraga untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang bagi siswa tunanetra tingkat dasar di SLBN A Kota Bandung : 1. Bahan atau material alat peraga dapat diganti menjadi bahan atau yang lebih ringan seperti plastik atau kayu ringan. 2. Sistem mekanisme penggabungan salah satu sisi bangun datar dengan bangun datar lainnya harus menggunakan magnet yang lebih kuat daya tariknya, namun dapat diubah juga dengan menggunakan mekanisme lainnya seperti menggunakan prepetan, penjepit, dan lain-lain. 3. Posisi bentuk bangun datar yang memiliki sisi untuk melekat dengan sisi lainnya harus diberi petunjuk agar tidak terjadi kebingungan antara sisi yang ada magnet dan sisi yang tidak memiliki magnet. Kesimpulan Berdasarkan hasil penilitian, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai peracangan alat peraga untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang bagi siswa tunanetra di SLBN A kota Bandung antara lain: 1. Kebutuhan yang perlu diakomodasikan dalam rancangan alat bantu pengajaran untuk mengenal dan membuat bentuk bangun ruang berdasarkan hasil wawancara terhadap guru dan siswa tunanetra di SLBN A kota Bandung terdapat 5 kebutuhan yang menjadi spesifikasi untuk rancangan tersebut. 2. Rancangan alat bantu pengajaran yang dibuat terbagi menjadi 2 yaitu konsep rancangan untuk mengenal bentuk bangun ruang hanya dilakukan modifikasi dalam suara pada bentuk bangun ruang yang telah ada dan konsep rancangan membuat bentuk bangun ruang yang terpilih adalah konsep ke-4 dimana menggunakan mekanisme magnet pada setiap sisi bangun datar yang dapat dibentuk menjadi bangun ruang yang diinginkan. 3. Dari hasil pengujian dan penilaian prototype, penilaian oleh 8 responden berdasarkan SUS dinyatakan produk dapat digunakan karena nilai penilaian lebih besar dari nilai rata-rata SUS yaitu 68. Protoype masih terdapat kekurangan yaitu kekuatan magnet yang digunakan masih tergolong lemah sehingga terjadi kesulitan dalam
menempel antar sisi prototype dan bahan yang digunakan pada prototype terlalu berat bagi siswa tunanetra. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik (2010). Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Melihat di Indonesia. Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id /index.php/site /tabel?searchtabel=Penduduk+Menurut+Ke lompok+Umur+dan+Tingkat+Kesulitan+Meli hat&tid=273&search-wilayah = Indonesia & wid = 0000000000&lang=id Badan Pusat Statistik (2012). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Brooke, J. (1996). System Usability Scale (SUS). Diunduh dari https://www. usability. gov/how-to-and-tools/methods/system usability-scale.html Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004), Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu / Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Direktorat Pendidikan Luar Biasa. Ulrich, K. T. & Eppinger, S. D. (2001), Perancangan & Pengembangan Produk, Salemba Teknika, Jakarta.