PERANAN PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI
Editor:
Nuhrison M. Nuh
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2010
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010 xvi + 159 hlm; 21 x 29 cm ISBN 978-979-797-281-3
Hak Cipta 2010, pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, September 2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama PERANAN PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI Editor: Nuhrison M. Nuh Desain cover dan Lay out oleh: Suka, SE Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Diterbitkan oleh: Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta Anggota IKAPI No. 387/DKI/09 Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620 Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI
P
ada saat ini, berbagai kalangan menyorot secara tajam fenomena munculnya Islam radikal di Indonesia. Sorotan secara tajam dari berbagai pihak tersebut perlu digarisbawahi dan direnungkan sebab tumbuhnya gerakan Islam radikal mempunyai dampak terhadap kerukunan umat beragama. Oleh sebab itu kami menyambut baik diterbitkannya buku: ”PERANAN PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI” ini, karena beberapa alasan: Pertama, penerbitan buku ini merupakan salah satu media untuk mensosialisasikan hasil-hasil pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kedua, dapat memberikan informasi tentang berbagai pandangan keagamaan yang bersifat moderat dan toleran. Selama ini masih terdapat perbedaan dalam masyarakat tentang makna jihad. Ada yang menafsirkan jihad sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. Untuk itu bidang jihad meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti mendirikan pesantren, membina rumah tangga, menegakkan amr ma’ruf dan nahi munkar dll. Sebagian yang lain menafsirkan jihad dengan makna tunggal yaitu qital dalam hal ini memerangi orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Untuk itu semua orang-orang kafir yang memusuhi Islam dimana saja ia berada harus dilawan, maka muncullah aktifitas aksi bom bunuh diri dibeberapa tempat termasuk di Indonesia. Aksi bom bunuh diri tersebut dianggap oleh mereka sebagai istisyhad (mencari mati syahid). Sudah barang tentu pendapat yang demikian perlu
i
diluruskan karena tidak sesuai dengan makna jihad menurut jumhur ulama. Melalui beberapa makalah yang dimuat dalam buku ini diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang makna jihad yang sebenarnya, dan bagaimana sebaiknya umat Islam menyikapi setiap perbedaan yang timbul dalam masyarakat. Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam membangun pemahaman masyarakat yang moderat, tawasuth, tawazun dan toleran. Dengan pemahaman seperti itu diharapkan dapat terwujud masyarakat yang rukun dan penuh persaudaraan.
Jakarta, September 2010 Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA. NIP: 19570414 198203 1 003
ii
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
M
enurut Azyumardi Azra kata radikal, mengacu kepada keadaan, orang, atau gerakan tertentu yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat dan menyeluruh, dan tidak jarang dilakukan dengan menggunakan cara-cara tanpa kompromi dan bahkan kekerasan, bukan dengan cara-cara damai (Azra: Konflik Antar Peradaban, Raja Grafindo Persadha). Dengan demikian radikalisme keagamaan berhubungan dengan cara memperjuangkan keyakinan keagamaan yang dianut oleh suatu kelompok dengan cara tanpa kompromi dan bila perlu dilakukan dengan cara anarkisme dan kekerasan. Diantara faktor-faktor yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Sedangkan bila radikalisme keagamaan dikaitkan dengan pondok pesantren, paling tidak ada dua ciri utama pesantren radikal. Pertama, pesantren-pesantren tersebut umumnya “impor” dari luar negeri (negara yang menjadi basis Islam radikal–red.). Dan kedua, corak pemikirannya tekstualskripturalistik, tidak memahami konteks di mana sebuah teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) itu turun. Radikalisme pesantren ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan lain sebagainya. Gerakan al-Ikhwanul al-Muslimun, sebuah organisasi ekstrim yang didirikan oleh Al-Banna di Ismailiyah
iii
adalah gerakan yang diilhami oleh pemikir-pemikir gerakan fundamentalisme Islam itu. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam dan penyangga utama syiar Islam di Nusantara, kini tengah dihadapkan pada ujian berat. Pesantren dituduh telah mendidik para santrinya untuk melakukan aksi radikal. Tentu saja, tuduhan buruk itu membuat masyarakat muslim resah. Pada hal sebenarnya pondok pesantren pada umumnya menganut paham moderat (ahl-Assunnah wa- Aljama’ah), hanya sebagian kecil pondok pesantren yang menganut paham radikal. Oleh sebab itu sebenarnya pondok pesantren mempunyai posisi yang strategis untuk menanggulangi paham radikal dalam masyarakat. Namun dirasakan bahwa dalam menanggulangi paham radikal tersebut masing-masing pondok pesantren masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan membangun jaringan antar pondok pesantren dalam menangulangi paham radikal yang berkembang dalam masyarakat. Dalam rangka itulah Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan menganggap perlu menyelenggarakan lokakarya tentang ”Peranan Pesantren Dalam Mengembangkan Budaya Damai”, di berbagai daerah di Indonesia. Dalam Lokakarya tersebut telah disampaikan beberapa makalah baik dari pusat maupun daerah setempat. Makalahmakalah tersebut paling tidak telah memberikan pencerahan terhadap para pimpinan pondok pesantren dan pemuka agama setempat akan makna radikalisme keagamaan dan bagaimana cara-cara untuk menanggulanginya. Karena dirasakan pentingnya isi yang terkandung dalam berbagai makalah tersebut bagi masyarakat luas, maka kami
iv
menganggap penting untuk mendiseminasikannya melalui sebuah buku. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang telah memberikan saran-sarannya dalam merancang kegiatan ini, dan dalam beberapa kesempatan sempat hadir dalam lokakarya tersebut. Selain itu kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para pelaksana lokakarya di daerah yang telah dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, semoga Allah membalas amal baik saudara dengan balasan yang berlipat ganda. Yang tak kalah pentingnya kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada saudara Nuhrison M. Nuh dan timnya yang telah bekerja keras menyukseskan kegiatan ini sejak dari merancang program sampai selesainya penulisan buku ini. Mudah-mudahan hal ini merupakan pembelajaran yang berharga bagi tim, dalam melaksanakan kegiatan serupa pada masa-masa yang akan datang. Demi sempurnanya buku ini, kami dengan senang hati akan menerima masukan dan kritik dari sidang pembaca sekalian. Semoga Allah selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amien. Jakarta, September 2010 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof.H.Abd Rahman Masud. Ph.D NIP: 19600416 198903 1 005
v
vi
PENGANTAR EDITOR
S
ejak era reformasi kita menyaksikan banyak muncul kelompok-kelompok keagamaan yang dalam memperjuangkan aspirasinya menggunakan kekerasan, bahkan lebih parah lagi melakukan teror dibeberapa tempat dengan meledakkan bom di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan Amerika yang dianggap musuh besar umat Islam dunia. Kegiatan tersebut dimaknai dengan jihad melawan musuh-musuh Islam, dan mereka yang mati dalam aksi tersebut dianggap sebagai mati syahid. Tumbuhnya berbagai gerakan radikal tersebut mempunyai dampak terhadap kerukunan umat beragama. Oleh sebab itulah Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2009 menganggap penting melaksanakan Lokakarya dengan tema: ” Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai”. Lokakarya ini bertujuan untuk : (1) Membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan; (2). Melakukan deradikalisasi paham keagamaan dikalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan yang moderat; (3). Memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa; (4). Merumuskan pandangan pondok pesantren tentang radikalisme keagamaan; (5). Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal. Sesuai dengan tema tersebut lokakarya ini menampilkan beberapa pemakalah yang membahas topik-topik sebagai berikut:
vii
1. Pandangan Komunitas Pondok “Radikalisme Keagamaan”.
Pesantren
2. Cara-cara Pondok Pesantren dalam Radikalisme Keagamaan.
tentang
Menanggulangi
3. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Menanggulangi Radikalisme Keagamaan.
Dalam
4. Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Teologi dan Politik, oleh Dr.H. Akhsin Sakho. 5. Meluruskan Makna Jihad menurut Islam, oleh KH. Ma’ruf Amin/ Prof.Dr. KH Ali Musthafa Ya’qub. 6. Konsep Wasathiyah menurut Islam, oleh Dr.H. Muchlis Hanafi/ Dr.Ali Nurdin. 7. Perkembangan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Prof.Dr.H.M.Atho’ Mudzhar. 8. Budaya Damai Dunia Pesantren, Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.
oleh
Prof.
H.
Lokakarya ini diadakan di Provinsi Lampung (Bandar Lampung), Provinsi Jawa Tengah (Semarang), Provinsi Jawa Timur (Jombang), Provinsi Banten (Serang), Provinsi Kalimantan Timur (Samarinda), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram), Provinsi Gorontalo (Gorontalo) dan Provinsi Sulawesi Tengah (Palu). Adapun rumusan hasil lokakarya di delapan provinsi tersebut, sebagai berikut: A. Pandangan Keagamaan.
Pimpinan
Pesantren
Tentang
Radikalisme
1. Pandangan agama yang radikal tidak sesuai dengan kultur pesantren, karena makna jihad yang diajarkan oleh
viii
pesantren mempunyai makna yang beragam, tidak semata-mata berarti perang (qital). 2. Radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan pola pendidikan yang selama ini dikembangkan di pondok pesantren yang bersifat terbuka dan moderat, dan juga bertentangan dengan budaya Islam Indonesia yang santun, tepo seliro dan kekeluargaan. 3. Radikalisme keagamaan merupakan reaksi umat beragama terhadap penguasa yang dianggap tidak adil terhadap umat Islam. 4. Radikalisme agama tumbuh dan berkembang akibat kedangkalan dalam memahami agama. 5. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama. 6. Terorisme merupakan tindakan kontraproduktif bagi eksistensi Islam dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, sebagai agama cinta kasih dan damai. 7. Segala bentuk kekerasan atas nama agama bertentangan dengan kepribadian muttaqin yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang mampu menahan amarah, terbebas dari sikap dendam dan senantiasa berpikir dan bertindak positif. 8. Terorisme bukan Jihad, karena jihad merupakan sarana untuk perbaikan bukan untuk merusak. 9. Radikalisme dapat mengganggu tatanan kehidupan keagamaan di Indonesia yang telah terjalin dengan penuh toleransi.
ix
10. Jihad fi sabilillah dalam konteks kekinian akan memberikan maslahat bila diaktualisasikan dengan memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Jihad dalam bentuk kekerasan fisik merupakan tindakan kontraproduktif dalam upaya penegakan ajaran Islam yang cinta kedamaian. B. Pola Penanganan Gerakan Radikal di Kalangan Pondok Pesantren. 1. Untuk menghindari tumbuhnya paham radikal dikalangan pondok pesantren perlu kiranya pimpinan pondok pesantren memiliki wawasan keislaman yang luas. 2. Syiar agama melalui jalur pesantren memilih jalur infiltrasi nilai-nilai Islam kedalam budaya sehingga tercipta kehidupan damai. Islam dalam posisi ini tidak tercerabut dari akar budaya ke-Indonesiaan. 3. Pimpinan Pondok Pesantren memberikan teladan berupa prilaku yang mencermimkan pelaksanaan ajaran Islam yang cinta damai. 4. Memberikan pemahaman kepada santri tentang nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, penyelamatan, dan cinta kasih, selain itu perlu pula ditingkatkan akan kesadaran hukum, penegakan keadilan, tolerans terhadap perbedaan dan moderasi dalam memandang berbagai permasalahan. 5. Mendeteksi secara dini para santri yang memiliki sikap temperamental, berkarakter keras, dan membimbing mereka agar tidak teracuni virus-virus radikalisme. 6. Meningkatkan kemandirian santri dengan memberikan ketrampilan kewirausahaan, karena keterhimpitan
x
ekonomi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal. 7. Perlu dikembangkan pengajaran agama yang humanis bagi kaum muda non pesantren dan masyarakat luas. 8. Mengupayakan adanya dialog antara pesantren yang dinilai radikal dan pesantren yang bercorak tradisonal. Dialog dilakukan tanpa pretensi untuk menghakimi, tetapi dengan menggunakan pendekatan empati. C. Meningkatkan Kerjasama Pondok Menanggulangi Gerakan Radikal.
Pesantren
Dalam
1. Dalam rangka mengembangkan budaya damai, perlu ditingkatkan jaringan kerjasama antar pondok pesantren. Jaringan kerjasama dapat dilakukan dengan memperkuat wadah yang sudah ada misalnya Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKPP), maupun membentuk wadah baru yang memungkinkan terjalinnya kerjasama antar-lembaga asosiasi pondok pesantren, antarpengasuh pondok pesantren, antarsantri dan alumni dan antarprogram/ kegiatan pondok pesantren. 2. Untuk penguatan jaringan dan kerjasama Pondok Pesantren, perlu dilakukan revitalisasi terhadap lembaga yang sudah ada. 3. Perlu kordinasi antara pondok pesantren dan pemerintah setempat dalam penyelenggaraan program deradikalisasi. 4. Perlu mengadakan kerjasama antarlembaga: dengan MUI tentang pelurusan makna jihad; dengan FSPP melalui halaqah dan penyuluhan; DKM berupa penyuluhan dalam
xi
taklim dan khutbah; dengan FKUB dalam mengadakan dialog lintas agama bersama ormas Islam. 5. Meluruskan kurikulum yang ada di pondok pesantren tentang makna jihad dan terorisme. 6. Merangkul organisasi yang dianggap ekstrim dengan melakukan dialog secara terbuka dengan pendekatan kekeluargaan. Mudah-mudahan buku ini ada manfaatnya bagi masyarakat umumnya, khususnya pimpinan pondok pesantren dalam menciptakan dunia yang penuh dengan kedamaian dan persaudaraan. Amin Jakarta, Juli 2010 Editor
Drs.H.Nuhrison M.Nuh. MA.APU NIP: 19510606 197903 1 006
xii
DAFTAR ISI Hal SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ...................................................
i
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN .................................................
iii
PENGANTAR EDITOR .............................................................
vii
DAFTAR ISI ................................................................................
xiii
BAB I Pendahuluan ................................................................
1
BAB II Paham Moderat Dalam Islam ....................................
11
1. Refleksi Pembaharuan dalam Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar ................................
11
2. Memahami Agama Damai Dunia Pesantren Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud,Ph.D. ....................... 3. Meluruskan Makna Jihad Dalam Islam
23
Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub ......................... 4. Sikap Moderat Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Masalah Teologi dan Politik
35
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA ................... 5. Konsep Wasathiyah Dalam Islam
49
Dr. H. Mukhlis Hanafi, MA .....................................
71
xiii
BAB III Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai .............................
93
1. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Lampung Dr. Arsyad Sobby Kesuma ........................................
93
2. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Jawa Tengah Mu’ammar Ramadhan ..............................................
103
3. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Nusa Tenggara Barat Nasihuddin Badri ......................................................
113
4. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Jawa Timur Purwanto ..................................................................
117
5. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Gorontalo Syawaluddin, S.Ag. ..................................................
131
6. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Sulawesi Tengah Asbar Tantu ..............................................................
135
7. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Kalimantan Timur Abdul Madjid ............................................................
139
xiv
8. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Banten H. Hasan Basri ..........................................................
147
BAB IV PENUTUP ....................................................................
157
xv
xvi
BAB I PENDAHULUAN
P
ada saat ini, berbagai kalangan menyorot secara tajam fenomena munculnya Islam radikal di Indonesia. Reaksi tersebut perlu digarisbawahi dan direnungkan. Sebab tumbuhnya gerakan Islam radikal mempunyai dampak terhadap kerukunan umat beragama. Radikalisme agama bukanlah merupakan fenomena yang berkembang hanya pada komunitas tertentu. Keberadaan radikalisme sudah berkembang dalam bentuk yang bercorak trans-nasional karena bisa dijumpai pada hampir di berbagai wilayah negara di muka bumi ini. Keberadaan radikalisme juga bercorak trans-relegion karena dialami oleh semua agama. Fenomena ini telah berlangsung lama dan tersebar pada semua agama yang ada di muka bumi ini, sehingga kajian tentang fenomena radikalisme keagamaan menjadi sesuatu yang menarik. 1 Dalam tataran empirik kelompok-kelompok yang oleh sebagian masyarakat maupun pemerintah diketegorikan radikal menunjukkan adanya peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Kelompok-kelompok tersebut dalam aktifitasnya senantiasa menggunakan simbol-simbol agama dengan dalih pemurnian atau purifikasi ajaran agama. Hal itu tidak hanya sebatas adanya perbedaan keyakinan, tetapi sudah menyentuh aspek-aspek kebudayaan yang oleh kelompok-kelompok tersebut dipandang sudah mengarah pada pelecehan agama, seperti kasus pornoaksi dan pornografi.
1 Lemlit Univ Muhammadiyah Malang, TOR Seminar: Tumbuhnya Gerakan Islam Radikal Dan Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama, 2009.
1
Perbedaan dalam cara memperjuangkan paham keagamaan yang dianut ternyata menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan, sehingga terjadi ketegangan yang cukup memprihatinkan. Ironisnya hal itu terjadi pula berupa perang pendapat dan statement di berbagai media massa antara tokoh agama yang dianggap moderat dengan kelompok-kelompok yang dicap sebagai ”radikal”. Akibat dari perang pendapat tersebut, akhirnya memunculkan konflik antara pendukung kedua belah pihak. 2 Terminologi tentang “radikalisme” memang beragam. Menurut Azyumardi Azra kata radikal, mengacu kepada keadaan, orang, atau gerakan tertentu yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat dan menyeluruh, dan tidak jarang dilakukan dengan menggunakan cara-cara tanpa kompromi dan bahkan kekerasan, bukan dengan caracara damai (Azra: Konflik Antar Peradaban, Raja Grafindo Persada). Dengan demikian radikalisme keagamaan berhubungan dengan cara memperjuangkan keyakinan keagamaan yang dianutnya dengan tanpa kompromi dan bila perlu dilakukan dengan cara anarkisme dan kekerasan. Adapun faktor-faktor yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat mereka 2 Balai Litbang Agama Semarang, Laporan Kegiatan Semiloka Pola Penyiaran Agama untuk Menanggulangi Kecendrungan Pemikiran dan Gerakan Radikal Di Jawa tengah, 2006.
2
termarginalisasikan, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satusatunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompokkelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidakmampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi. Sedangkan bila radikalisme keagamaan dikaitkan dengan pondok pesantren, berdasarkan analisis Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph. D. , paling tidak ada dua ciri utama pesantren radikal. Pertama, pesantren-pesantren tersebut umumnya “impor” dari luar negeri (negara yang menjadi basis Islam radikal–red). Dan kedua, corak pemikirannya tekstualskripturalistik, tidak memahami konteks di mana sebuah teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) itu turun. Radikalisme pesantren ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan lain sebagainya. Gerakan al-Ikhwanul al-Muslimun, sebuah organisasi ekstrim yang didirikan oleh Al-Banna di Mesir adalah gerakan yang diilhami oleh pemikir-pemikir gerakan fundamentalisme Islam itu. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam dan penyangga utama syiar Islam di Nusantara, kini tengah dihadapkan pada ujian berat. Pesantren dituduh telah mendidik para santrinya untuk melakukan aksi radikal. Tentu saja, tuduhan buruk itu membuat masyarakat muslim resah. Isu radikal yang dikait-kaitkan dengan pesantren telah membuat opini publik terhadap pesantren menjadi buruk. Tuduhan tersebut disebabkan karena beberapa tersangka pelaku tindakan radikal itu berasal dari komunitas santri, maka keberadaan kurikulum kemudian menjadi bidikan. Kurikulum yang berlaku di pesantren, dinilai sebagai faktor utama penyebab munculnya watak radikalisme keagamaan. 3
Pada hal sebenarnya pondok pesantren pada umumnya menganut paham moderat (ahl-assunnah wa-aljamaah), hanya sebagian kecil pondok pesantren yang menganut paham radikal. Jadi sebenarnya pondok pesantren memiliki posisi yang strategis untuk menanggulangi paham radikal dalam masyarakat. Karena pesantren sebagaimana diungkapkan oleh Sekjen Departemen Agama Dr. Bahrul Hayat dalam siaran pers-nya, Rabu (1/8/2007) menyatakan, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat yang dikelola secara swadaya dan telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Sistem pengajaran pesantren yang nonstop itu juga telah terbukti mencerdaskan santri secara utuh. Semua sasaran pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Benjamin S Bloom, yaitu kognitif (pikiran atau hafalan), afektif (feeling atau emosi), dan psikomotorik (tindakan) telah digarap dalam sistem pengajaran pesantren yang demikian baik. (Qodry A Azizy: 2000). Namun dirasakan bahwa dalam menanggulangi paham radikal tersebut masing-masing pondok pesantren masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan membangun jaringan antar pondok pesantren dalam menanggulangi paham radikal yang berkembang dalam masyarakat. Dengan tertanggulanginya radikalisme keagamaan, maka citra bangsa yang telah terpuruk ini dapat diangkat kembali sehingga lebih bermartabat di tengah-tengah pergaulan antar bangsa-bangsa di kemudian hari. Dalam rangka itulah Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan, menganggap perlu menyelenggarakan lokakarya tentang ”Peranan Pesantren Dalam Mengembangkan Budaya Damai”, di berbagai daerah di Indonesia.
4
Tujuan Lokakarya Lokakarya ini bertujuan untuk : 1. Membangun jaringan kerjasama Pondok Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan; 2. Melakukan deradikalisasi paham keagamaan dikalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan yang moderat; 3. Memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa; 4. Merumuskan pandangan radikalisme keagamaan;
pondok
pesantren
tentang
5. Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal. Target Yang Ingin Dicapai 1. Terbangunnya jaringan dan kerjasama antar Pondok Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan. 2. Tercapainya upaya deradikalisasi di kalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan yang moderat. 3. Diperolehnya cara-cara dalam menanggulangi paham radikal oleh pondok pesantren. 4. Tersusunnya buku: ”Peranan Mengembangkan Budaya Damai”.
Pesantren
Dalam
Tema Lokakarya Lokakarya ini mengambil tema: “Peranan Pesantren Dalam Pengembangan Budaya Damai”. Sesuai dengan tema tersebut diatas maka lokakarya ini menampilkan beberapa pemakalah yang membahas topik-topik yang spesifik yang terdiri dari pemakalah dari pusat dan daerah. Pemakalah inti 5
disampaikan oleh sebuah team dari Pusat, dan di sampaikan di delapan provinsi dimana provinsi tersebut melaksanakan lokakarya ini. Adapun narasumber terdeskripsikan berikut ini:
dari
pusat
sebagaimana
1. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar (Kepala Balitbang dan Diklat Dep. Agama) dengan judul: “Refleksi Pembaharuan Dalam Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah” 2. Prof Abdurrahman Mas’ud Ph. D. (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) dengan judul: “Memahami Agama Damai Dunia Pesantren” 3. Prof. Dr Akhsin Sakho/ Prof. Dr Ali Nurdin (Rektor dan dosen Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta) dengan judul: “Sikap Moderat Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah Teologi dan Politik” 4. KH Ma’ruf Amin/ Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub/ Prof. Dr. Utang Ranuwijaya (Majelis Ulama Indonesia) dengan judul: “Meluruskan Makna Jihad menurut Islam” 5. Dr. Mukhlish Hanafi (Kabid Pengkajian Al-Qur’an Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an) dan Prof. Dr. M. Thib Raya (Dosen UIN Jakarta) dengan judul: “Konsep Wasathiyah menurut Islam” Sedangkan pemakalah dari daerah membahas judul: 6
1. Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang “Radikalisme Keagamaan”, di sampaikan oleh salah seorang pimpinan pondok pesantren yang menaruh perhatian terhadap masalah tersebut. 2. Cara-cara Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan, disampaikan oleh seorang pakar/ cendekiawan yang mempunyai keahlian di bidang agama. 3. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan, disampaikan oleh seorang pakar/cendekiawan yang mempunyai keahlian di bidang ilmu-ilmu sosial (sosiolog). Setelah mendengarkan pemaparan dari para pemakalah maka peserta dibagi dalam tiga kelompok; (a) Kelompok yang membahas tentang Pandangan Komunitas Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan, (b) Cara-cara/bentuk-bentuk Penanggulangan Radikalisme Keagamaan Melalui Pondok Pesantren, (c) Membangun/ Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam Menanggulangi Radikalisme Kegamaan. Lokasi dan Waktu 1. Lokakarya ini diadakan secara berurutan dimulai dari Provinsi Lampung (Bandar Lampung), Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Jombang), Nusa Tenggara Barat (Mataram), Gorontalo (Gorontalo), Sulawesi Tengah (Palu), Kalimantan Timur (Samarinda), dan Banten (Serang). 2. Waktu pelaksanaan kegiatan antara bulan Juli s/d Oktober 2009. Kegiatan lokakarya dilaksanakan selama 2 (dua) hari. 3. Adapun jadwal kegiatan secara terperinci dilaksanakan sebagai berikut: 7
Waktu Pelaksanaan
Pelaksana
14-15 Juli 2009
PP Diniyah Putri Bandar Lampung
3-4 Agustus 2009
ELSEMM
9-10 Agustus 2009
Nahdlatul Wathon
11-12 Agustus2009
Univ. Darul Ulum
20-21 Agustus 009
Ponpes Al-Falah
15-16 Oktober 2009
Rabithah Ma’ahid Islamiyah
17-18 Oktober 2009
Al-Khairat
19-20 Oktober 2009
Institut Agama Islam Banten (IAIB)
Daerah Bandar Lampung Semarang Jawa Tengah Mataram Nusa T. Barat Jombang Jawa Timur Gorontalo Samarinda Kalimantan Timur Palu Sulawesi Tengah Serang Banten
Peserta Lokakarya Lokakarya disetiap daerah diikuti oleh peserta sebanyak 80 - 100 (delapan puluh - seratus orang), sesuai dengan jauhnya jarak antara kabupaten dengan ibukota provinsi. Peserta terdiri dari pimpinan Pondok-Pesantren (40 - 50 orang), sisanya berasal dari Lembaga Pendidikan Agama, Penyuluh Agama, Guru Agama di Sekolah Umum, Pakar ilmu sosial/cendekiawan, pimpinan organisasi keagamaan, pejabat dan peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Daerah), Kantor Wilayah Kementerian Agama dan berbagai instansi terkait lainnya. 8
Pelaksana. Untuk melaksanakan lokakarya ini ditunjuk panitya pada masing-masing daerah. Untuk Provinsi Lampung dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Diniyah Putri Lampung; di Provinsi Jawa Tengah oleh LSM ELSEM; Di Provinsi Jawa Timur oleh Universitas Darul Ulum Jombang; di Provinsi Nusa Tenggara Barat oleh Organisasi Islam Nahdlatul Wathan (NW); di Provinsi Gorontalo oleh Pondok Pesantren Al-Falah; di Provinsi Sulawesi Tengah oleh Universitas Islam Al-Khairat Palu; di Provinsi Kalimantan Timur oleh Rabithah Mahaidul Islamiyah (RMI) Samarinda; di Provinsi Banten oleh Institut Agama Islam Banten (IAIB). Sistematika Penulisan Buku Buku ini ditulis dengan menggunakan sistimatika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Berisi tentang latar belakang masalah, tujuan, target yang ingin di capai, peserta lokakarya, tema lokakarya, lokasi dan waktu, serta pelaksana lokakarya di daerah.
Bab II
Paham Moderat Dalam Islam Bab ini berisi makalah pokok yang disampaikan oleh team dari Jakarta (Pusat).
Bab III
Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai Bab ini merupakan ringkasan laporan panitia daerah pelaksana kegiatan ini dan intisari pemikiran para pemakalah daerah serta isu yang berkembang dalam diskusi.
Bab IV
Penutup 9
10
BAB II PAHAM MODERAT DALAM ISLAM REFLEKSI PEMBAHARUAN DALAM PEMIKIRAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
1
Oleh: Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar3
Pendahuluan
D
i dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang artinya: “... demi dzat yang nyawa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan akan masuk sorga, sedangkan 72 golongan lainnya akan masuk neraka. Lalu Beliau ditanya oleh sahabat, “siapa mereka ya Rasulallah?”, beliau menjawab: “Mā ana alaihi wa ash-hābi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa jawaban Nabi Muhammad itu singkat saja, satu kata, yaitu “al-Jamaah” Riwayat ini menjadi landasan utama dari kelompok-kelompok ini yang kemudian disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan lebih jauh mengklaim bahwa kelompoknyalah yang dimaksud dengan kelompok yang akan masuk surga itu. Sebuah klaim yang pasti tidak disukai oleh Nabi Muhammad seandainya beliau masih hidup. Sebabnya dalam pengembangan Islam masa Nabi dan Khulafaurasyidin belum dikenal kelompok Ahlu Sunnah wal Jama’ah, apalagi telah membelah diri secara sosiologis, sehingga sangat rawan dengan pertikaian antar umat Islam sendiri. Padahal jama’ah yang dimaksud dalam hadits Nabi di atas bukanlah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara sosiologis, tetapi 3
Mantan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
11
komprehensif seperti pemahaman salafus shalih, Oleh karena itu klaim-klaim bahwa dirinya paling benar dan masuk surga jelas tidak sesuai dengan maksud hadits Nabi di atas. Kelompok Islam Sunni sebagaimana kelompok Islam lainnya terlahir karena perkembangan masalah-masalah keagamaan, sosial, dan politik yang sebenarnay dimulai sejak wafat Nabi Muhammad saw. Kelompok Sunni ini tidak tunggal pula dalam peraktek sosial politik dan sosial keagamaan, karena di dalamnya terdapat aliran kalam dan madzhab hukum. Dua aliran kalam utama yang terus berkembang hingga hari ini adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiah. Sedangkan madzhab-madzhab hukum yang juga terus bertahan dan berkembang sekurang-kurangnya ada empat di dalamnya, yaitu Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hambali. Sementara itu dalam kelompok Ahlu Sunnah Wwal Jama’ah ini yang terkenal ada enam belas madzhab, Dua belas madzhab yang ada tidak berkembang, yang berkembang dan bertahan adalah Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hambali Beberapa peristiwa politik kunci yang melatarbelakangi lahirnya berbagai aliran adalah dimulai ketika Utsman bin Affan, Khalifah Rasyidin yang ketiga yang juga anggota dari Suku Umayyah, terbunuh pada tahun 656 M. Segera setelah itu, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, tetapi Muawiyah yang juga anggota Suku Bani Umayyah yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria, menolak mengakui kekhalifahan Ali, sebaliknya menuntut Ali untuk mengadili para pembunuh Utsman bin Affan. Sehingga terjadilah pertentangan antara kelompok Muawiyah dan kelompok Ali. Dalam proses itu, sekelompok kecil kelompok Ali kemudian keluar meskipun tidak bergabung dengan Muawiyah, sehingga
12
mereka ini disebut kelompok Khawarij, yang salah seorang daripadanya membunuh Ali bin Abi Thalib pada 661 M. Semula masalah-masalah pokok yang menjadi bahan perbincangan pokok kelompok-kelompok ini adalah soal-soal teologi, yaitu soal siapa orang yang beriman sejati, bagaimana status orang Islam yang melakukan dosa besar, bagaimana peran kebebasan manusia dalam perbuatannya, dan seberapa besar peran ketentuan Allah dalam menentukan kehidupan manusia. Belakangan kelompok ini tidak lagi terbatas pada perbedaan pandangan tentang kalam saja, tetapi juga menjadi kepompok-kelompok dalam pengertian sosiologis yang satu sama lain saling bersaing bahkan bertentangan dan berlawanan untuk saling menjatuhkan dalam berbagai kesempatan pertarungan sosial politik di berbagai tempat pada berbagai kurun perjalanan sejarahnya. Dinasti Bani Umayyah yang telah menjadi pendukung utama dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan para khalifahnya adalah termasuk kelompok Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kaum khawarij tidak pernah mendirikan suatu kerajaan atau memimpin tampuk kekuasaaan. Sedangkan para pendukung Ali yang berkembang menjadi kelompok Syiah, khususnya kelompok Syiah Dua Belas, pada tahun 945 M s. d. 1055 M mendirikan Dinasti Buwaihid di Baghdad, kemudian kelompok Syiah Ismailiyah pada tahun 910 mendirikan Daulat Fathimiyyah di Afrika Utara, yang selanjutnya menaklukkan Mesir pada tahun 969 M tetapi kemudian ditumbangkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1171 M. Kemudian pada tahun 1523 M sekali lagi kelompok Syiah Dua Belas mendirikan sebuah dinasti yaitu Dinasti Syafawiyah di Persia. Pada zaman modern sekarang, Iran menjadi tempat tinggal sebagian besar kelompok Syiah ini. Dari segi kalam dan tasawuf, posisi-posisi
13
teologis Ahlus Sunnah wal Jamaah dibela dan dikemas secara baik oleh Imam Ghazali (wafat 1111 M). Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa untuk memahami kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, perlu sekali dilihat perbandingannya dengan kelompok-kelompok lainnya, khususnya Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah, karena posisi-posisi dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan respon terhadap posisi kelompok-kelompok tersebut. Pemaparan di atas juga memperlihatkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah, bukanlah aliran-aliran teologi semata, melainkan telah menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung teologi tertentu, dan berhubungan dengan jatuh bangunnya sesuatu dinasti. Kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah berdiri dan berkembang karena didukung oleh dinasti Bani Umayyah, sebagian khalifah Bani Abbasiyah, dan Dinasti Turki Utsmani. Kaum Syiah, berkembang dengan berdirinya Bani Buwaihid, Daulat Fathimiyah, dan Dinasti Safawiyah. Sedangkan Mu’tazilah berkembang dan didukung oleh Khalifah Al-Mansur dari Daulat Bani Abbasiyah. Perlu juga ditegaskan bahwa pada dasarnya umat Islam di kawasan Melayu ini adalah penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sampai dengan awal 1990-an hampir tidak terdengar adanya penganut Syiah di Indonesia, misalnya. Baru belakangan ini mulai terdengar berita bahwa beberapa individu atau lembaga pendidikan tertentu adalah penganut Syiah, tetapi jumlah mereka dapat dihitung dengan jari.
Beberapa Posisi Dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah Pendiri aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah Abu Hasan Al-Asy’ari, lahir 260 H/873 M di Basrah, dan meninggal di Baghdad tahun 324 H/935 M. Semula beliau adalah murid dari al-Jubba-i, tokoh komunitas Mu’tazilah di 14
Basrah, yang kemudian keluar dari lingkungan Mu’tazilah dan mengikuti pendapat para penentang Mu’tazilah seperti Ahmad bin Hambal. Beberapa pendapatnya yang terpenting dari Abu Hasan Al-Asy’ari adalah sebagai berikut: 1.
Bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang kekal seperti sifat melihat, mendengar, berbicara, dan lain-lain; sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat yang berada di luar dzat-Nya.
2.
Bahwa ayat-ayat tajassum, seperti “tangan Allah”, dan lainlain, memang bukan bersifat jasmani, tetapi merupakan bagian dari atribut Allah yang hakikinya tidak diketahui; sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat seperti itu harus ditakwil menjadi kekuasaan Allah, dan sebagainya.
3.
Bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk; sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa AL-Qur’an adalah makhluk.
4.
Bahwa melihat Allah pada hari akhirat nanti adalah sesuatu yang akan menjadi kenyataan meskipun umat Islam tidak memahami bagaimana cara melihatnya; sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak akan dapat dilihat karena hal demikian berarti Allah itu mempunyai jasad seperti benda.
5.
Bahwa segala perbuatan manusia itu adalah ketentuan Allah, tetapi manusia diberi kekuatan akal untuk berikhtiar mengambil pilihannya sendiri (kasb); sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa setiap perbuatan manusia adalah pilihan manusia sendiri.
6.
Bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin tetapi di akhirat harus dihukum terlebih dahulu di neraka; sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang15
orang berdosa besar bukanlah orang beriman tetapi juga bukan orang kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Pendapat-pendapat Al-Asy’ari tersebut di atas kemudian menjadi posisi-posisi teologis yang diikuti oleh para penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tentu saja secara keseluruhan posisi dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah keharusan berpegang kepada nash Al-Quran dan hadits, mendahulukan nash daripada akal, dan kemudian pegangan ketiga adalah ijma. Kekuatan utama pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah terletak pada konsep teologinya yang memegang prinsip moderasi (moderation), sebagaimana terlihat pada pendapatnya mengenai kasb atau ikhtiar, dan tentang pelaku dosa besar. Konsep moderasi ini memelihara kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah dari sikap-sikap yang ekstrim, baik dalam mengikuti kekuatan akal, maupun menolaknya. Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah bersifat seimbang antara tekstualitas dan rasionalitas, sehingga pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak terjatuh pada rasionalisme atau liberalisme, juga tidak akan tenggelam dalam tradisionalisme (tekstualisme). Karena itulah, aliran pemikiran ini diikuti oleh lebih dari 90 persen umat Islam di dunia sekarang ini. Prinsip moderasi ini juga sangat penting apabila diterapkan dalam kehidupan hubungan antarumat beragama. Sikap toleransi umat Islam terhadap pemeluk agama lainnya juga berakar dari prinsip moderasi dalam teologi tersebut. Kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui keberadaan agamaagama lain di dunia ini, tetapi tetap meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, yang diturunkan oleh Allah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Ada pendapat yang mengatakan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah relevan mendorong perkembangan ilmu 16
pengetahuan modern. Dikatakan, bahwa teori penciptaan alam modern yang dimunculkan dalam teori Big Bang (ledakan besar) sejalan dengan konsep penciptaan model Asy’ari yang mengatakan alam diciptakan dari tiada kemudian menjadi ada (al-ijad min al-‘adam atau creation ex nihilo). Demikian juga dengan teori dualisme dzat dan sifat Allah dalam ketuhanan serta materi (al-maddah) dan aksiden (al-‘aradh) dalam sistem kealaman, dapat mendorong kajian bahwa elemen-elemen alam dapat dipisah dan dikembangkan sesuai dengan kerja sains.
Bidang-bidang Pembaharuan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah Posisi-posisi teologis kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berubah sepanjang masa, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa tidak ada dinamika atau pembaharuan dalam pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebabnya pertama-tama ialah karena prinsip-prinsip yang elastis dari pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah itu sendiri, kedua karena banyaknya kelompok-kelompok dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan ketiga, karena persentuhan dengan kelompok lain dan dengan tantangan kehidupan modern. Secara garis besar, pembaharuan-pembaharuan itu dapat ditemukan dalam pemikiran tentang Al-Quran dan syari’ah (politik, hukum keluarga, dan ekonomi). Pembaharuan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah tentang Al-Quran tidak lagi berkutat pada persoalan seperti apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan, melainkan tertuju kepada bagaimana memahami dan mengamalkan ajaran alQur’an sebagai pedoman utama bagi umat Islam. Dengan kata lain, bagaimana umat Islam kembali kepada Al-Qur’an. Untuk ini sejumlah tokoh pembaharu telah lahir.
17
Dimulai pada pertengahan abad ke-19, kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah mulai melakukan gerakan pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M) dan Rasyid Ridha dengan Tafsir Al-Manarnya. Tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang rasional, tetapi dalam waktu yang sama juga tekstual. Lebih daripada itu, tafsir ini juga kontekstual karena mencoba menjawab beberapa pertanyaan kekinian pada zamannya. Bintu al-Syati, si Anak Pantai, nama samaran dari Aisyah binti Abdurraman dari Damiyat, juga disebut orang termasuk pembaharu dalam bidang tafsir bersama Muhammad Ahmad Khalafallah, setelah mereka berguru kepada Amin alKhuli. Sayyid Ahmad Khan (1817M-1898M) dengan tafsirnya terhadap 17 pertama surat Al-Quran, juga dimasukkan dalam kelompok pembaharu pemahaman AL-Qur’an. Dalam bidang syari’ah, khususnya dalam hukum keluarga, telah terjadi pula pembaharuan yang luas, terutama sejak awal abad ke-20. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan, perceraian, dan kewarisan telah ditafsirkan ulang oleh para ulama dari berbagai negara, dan dituangkan menjadi akta atau Undang-undang di negerinya masing-masing. Hasilnya ialah perundang-undangan hukum perkawinan dan kewarisan yang memperkuat peranan keputusan peradilan, seperti yang terjadi di Indonesia, Mesir, Pakistan, Turki dan Tunisia. Adapula negara yang membuat UU perkawinan dengan hukuman tazir bagi pelanggarnya. Dalam bidang politik, variasi pembaharuan di kalangan kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah lebih bervariasi lagi. Sebagian kaum Sunni seperti Ali Abdur Raziq (1925M) berpendapat bahwa lembaga kekhalifahan tidak mempunyai pijakan dalam al-Qur’an. Menurut pendapatnya, kaum muslimin di berbagai negeri boleh memilih sistem pemerintahan yang mereka sukai 18
sesuai dengan tuntutan bangsa mereka, karena masalah sistem kekuasaan (politik) bukanlah bagian dari ajaran pokok Islam. Sebagai tanggapan atas pendapat seperti itu, dengan dipelopori gerakan Ikhwanul Muslimin (didirikan di Mesir tahun 1928) sebagian kaum Sunni lainnya berpendapat bahwa untuk mengamalkan syariat Islam diperlukan tatanan sosial yang Islami (an-nidzom al-Islamiy) dan hal itu hanya dapat diwujudkan dalam suatu negara Islam (ad-daulah al-Islamiyah). Bahkan sebagian kaum Sunni lainnya lebih maju lagi dan berkata bahwa daulah Islamiyah yang harus didirikan itu ialah berbentuk khilafah, dan hanya ada satu khalifah untuk seluruh umat Islam di dunia. Di anak Benua India, gerakan keharusan mendirikan negara Islam ini dikembangkan oleh Abu al-A’la Maududi (1903-1979 M) dengan Jamaat-i Islami-nya. Komplikasinya adalah sebagian kelompok-kelompok pengusung paham politik ini juga mengusung sebuah sistem teologi yang lebih puritan, sehingga di lapangan dapat berseberangan atau bahkan berbenturan dengan kaum Sunni lainnya yang lebih bersifat moderat. Di Indonesia, misalnya, kelompok-kelompok seperti itu pun berkembang. Contohnya di Indonesia ialah kelompok Darul Islam (DI) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1948, tetapi berhasil ditumpas oleh Pemerintah RI. Kemudian pada penghujung abad lalu dan awal abad ini, beberapa kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tergabung dalam ormas Islam tertentu, juga cenderung menjadi kelompok yang ekstrim di dalam upaya menegakkan syari’ah atau bahkan khilafah Islamiyyah. Meskipun gerakan DI/TII secara formal telah ditumpas, namun kelompok itu telah melakukan reproduksi dengan menjelma menjadi berbagai organisasi di belakangnya. Mereka bahkan mengklaim sebagai pengikut Salafiyah yang sejati. 19
Sebagian mereka mengklaim sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah pengikut Salafiyah haraki, dan mereka nampak radikal, ekstrim, dan militan. Sedangkan sebagian besar anggota kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang lain tetap pada ciri-ciri semula, yaitu: luwes, moderat, toleransi, kerjasama, atau bahkan kepatuhan dengan Pemerintah. Dengan kata lain, sebagian kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia bergerak pada pemeliharaan Islam konvensional atau kultural, sementara sebagian lainnya berkembang menjadi Islam syariat dan politik. Organisasiorganisasi Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, dan gerakan salafiharaki lainnya dapat dikatakan sebagai contoh dari kelompokkelompok Islam syariat dan politik itu. Sementara ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Tarbiyah dan lain-lain, dapat dikatakan sebagai kelompok Islam kultural Ahlus Sunnah wal Jamaah Indonesia. Sebagian kelompok Sunni lainnya melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang konsep shura dalam alQuran. Mereka mengatakan bahwa shura adalah embrionic concept yang dalam penjabarannya dapat kompatibel dengan sistem demokrasi, baik itu demokrasi presidentil, parlementer, maupun demokrasi berraja. Dalam bidang ekonomi, sejak tahun 1970-an telah muncul gerakan untuk menerapkan sistem perbankan Islam, tanpa bunga (riba). Tentu saja gerakan ini dimulai pertama-tama dengan memahami ulang ayat-ayat Al-Qur’an tentang riba. Sistem perbankan Islam dan sistem keuangan Islam sekarang telah tumbuh dan berkembang di berbagai negeri muslim.
20
Penutup Uraian di atas memperlihatkan bahwa sejumlah pembaharuan pemikiran telah terjadi di kalangan kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya di luar wilayah teologi. Pembaharuan itu terutama mengenai pemahaman tentang AlQur’an dan syariah. Isi pembaharuan-pembaharuan pemikiran itu bukan saja bervariasi tetapi juga saling bertentangan satu sama lain, sehingga belum diketahui ke arah mana pembaharuan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah ini akan berjalan. Ke depan, ada tiga tema yang mungkin sekali akan mendapatkan perhatian para pemikir kaum Sunni tentang AlQuran, yaitu mengenai masalah kesetaraan gender, Hak-hak Asasi Manusia, dan masalah tanggung jawab masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Tema-tema ini tentu saja belum termasuk tema-tema yang akan dihasilkan oleh interaksi dengan kelompok non-Sunni, karena hubungan dialektik dengan kaum Syiah pun tentu dapat melahirkan pemikiranpemikiran baru pula. Inilah keadaan atau lingkungan dimana kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah, harus membangun kembali prinsip moderasi pemikiran dan mempertahankan serta menerapkannya dalam kehidupan nyata.
21
22
2
MEMAHAMI AGAMA DAMAI DUNIA PESANTREN Oleh: Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud. Ph. D 4
A
gama di Jawa,5 berdasarkan pengamatan penulis pada masyarakat pesantren, tampak menjadi faktor utama yang mampu menggairahkan serta menginspirasikan kaum ulama untuk merespons tuntutan kultural dan agama. Penggerak utama ini di abad ke-19-20 telah berhasil mengirimkan santri-santri Jawa ke pusat dunia Islam: Mekkah-Madinah dan pada saat pulangnya, telah menjadikan mereka para pemimpin otoritatif yang mampu mencerahkan kehidupan sosial-agama. Transmisi ilmu pengetahuan dalam masyarakat ini dengan demikian lebih menekankan popularitas serta keahlian guru ketimbang lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, memberi hormat secara khusus kepada guru dan melakukan perjalanan dekat maupun jauh untuk mencari ilmu dipahami sebagai praktikpraktik pendidikan yang memiliki pembenaran keagamaan yang sangat kuat. Praktikpraktik ini berada di mana-mana: di tempat terbuka, sampai di madrasah-madrasah dan masjid yang bukan hanya menjadi pusat peribadatan tapi juga ajang transmisi ilmu-ilmu agama. 6
4 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 5 Agama sebagai kekuatan pendobrak di sini, meminjam cara pandang Durkheim, adalah sebuah agama sistem keimanan yang menyatukan serta praktikpraktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci. la adalah moral tunggal masyarakat bagi mereka pemeluk agama. Lihat, Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Lifes (New York: The Free Press, 1965), hal. 62. 6 Lihat, Abdurrahman Mas'ud, "The Pesantren Architects and Their SocioReligious Teachings" (Disertasi UCLA, 1997).
23
Komunitas pesantren tidak diragukan lagi adalah bagian dari masyarakat Sunni atau Ahl as- Sunnah wa-1Jamaah (Aswaja) yang bisa didefinisikan sebagai mayoritas Muslim yang menerima otoritas Sunnah Rasul dan seluruh generasi pertama (sahabat) serta keabsahan sejarah komunitas Muslim. Faham Sunni dalam konteks ini ditandai dengan kecenderungan orang menggunakan Qur'an Sunnah Nabi sebagai sumber utama untuk menyelesaikan debat ideologis serta untuk membimbing kehidupan mereka, bukan sebaliknya menggunakan logika yang bisa mengalahkan otoritas sunnah seperti yang dilakukan kaum Mu'tzilah, atau melakukan pertumpahan darah sebagaimana tercermin dalam gerakan kaum Khawarij dalam sejarah Islam klasik untuk meraih tujuan. Masyarakat Sunni termasuk komunitas pesantren, pada umumnya bebas dari fundamentalisme dan terorisme. Jamaah keagamaan mereka biasanya memiliki ciri: (1) tidak melawan penguasa atau pemerintah yang ada; (2) kekakuan atau rigiditas dalam menegakkan kesatuan vis-a-vis disintegrasi dan chaos; (3) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama'ah, mayoritas, dengan supremasi Sunni, dan layak dinamai Ahlussunnah wal Jama`ah; (4) tawassuth, tengah-tengah antara dua kutub dan antara dua ekstrem politik-teologis: Khawarij dan Shi`ah; (5) menampilkan diri sebagai "suatu komunitas normatif'; kokoh dan teguh menegakkan prinsip-prinsip kebebasan spiritual dan memenuhi serta melaksanakan standar etik syari`ah. 7 Didasarkan pada kode etik tersebut, tidak dapat dipahami bahwa komunitas ini terinspirasi oleh agama mereka untuk melakukan yang terlarang atau terorisme terhadap orang lain. Pesantren-pesantren di Indonesia adalah 7 Abd. Rahman Mas’ud, "Sunnism in the Eyes of Modern Scholars" (Paper Historiografi Islam UCLA, 1993).
24
kubu dan benteng utama Sunni, suatu institusionalisasi yang penuh kedamaian. Suatu studi lapangan menarik telah dilakukan oleh Ron Lukens-Bull (1997), yang memperlihatkan bahwa masyarakat pesantren telah memahat dan mengukir semacam identitas. Mereka menolak dua hal, yaitu: penganutan buta terhadap pengikut paham Ataturk dan penolakan buta terhadap pengikut paham Khomaeni, yang semua itu merupakan penolakan paham Barat dan Modern. Mereka berhati-hati terhadap globalisasi dan beberapa kecenderungan yang McWorldian; sekalipun demikian, mereka aktif mengisinya, yaitu melalui jihad yang damai dalam pendidikan pesantren. Cukuplah untuk mengatakan asalkan arus-utama Islam (semacam NU, Muhammadiyah: pesantren-pesantren besar) tidak mendukung radikalisme atau pemahaman apa pun yang terkait dengan kekerasan. Mereka yang memprovokasi teologi teror tidak akan berhasil di negara kepulauan dengan mayoritas Muslim ini. Ada benang merah tentang hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai entitas sosiokultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi peran-peran pesantren dalam segala dimensinya, di bawah ini adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik, yang lebih mendekati ke ideologi perdamaian dari kekerasan dan permusuhan. Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah: 1. Modeling Modeling di dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh, proses identifikasi diri pada seorang tokoh, sang 'alim: 25
Modeling remains a very significant concept in the leaderdisciple close relations of the pesantren community. The teaching of "watashabbahu in lam takunu mithlahum innattashabbuha birrijali falla-hu", (go emulate a role model unless you resemble him, because the act of modeling is an absolute victory has been largely socialized). 8 Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisanga yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal 1 Zul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum Negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari kegemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa dipahami bila sebagian besar 'ulama Jawa membenarkan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence. Dalam hal ini, yang termasuk modeling adalah tradisi amar ma`ruf nahi munkar di dunia pesantren. Dalam dunia pesantren, da`wah Islamiyyah atau amar ma`ruf nahi munkar tidak hanya diimplementasikan dalam kata tapi juga dengan tingkah laku, aksi atau da`wah bil hal. Dalam hal ini, dunia 8 Abdurrahman Masud, "The Pesantren Architects and Their SocioReligious Teachings" (Disertasi UCLA, 1997), hal. 258.
26
pesantren telah memainkan peran Islamisasinya dalam bidang pendidikan, budaya, sosioekonomik, serta transformasi. Potensi besar dunia pesantren untuk memberdayakan umatmasyarakat dengan demikian telah melahirkan kesempatankesempatan baru, dan dalam waktu yang sama memperkokoh posisi pesantren sebagai lembaga mandiri, tidak tergantung pada pihak luar termasuk pada pemerintah. Secara moral, pesantren adalah milik masyarakat di bawah kepemimpinan otoritas kiai yang sekaligus menjadi model, uswatun hasanah, serta rujukan etika sosio-politik. Di sini, yang perlu ditegaskan adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisanga yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value system Jawa yang mementingkan paternalism dan patronclient relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Walisanga selalu loyal pada misinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisanga yang diikuti para 'ulama di kemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisanga kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisanga, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam 27
Walisanga ditujukan pada massa bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisanga dewasa ini telah tersosialisasi secara lugas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya. lokal. Meskipun demikian, pendidikan Islam Walisanga juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisanga terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer "Sabdo Pandito Ratu" yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain, dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisanga. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini di kemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjidmasjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekadar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini9. Seperti disinggung di atas, pendidikan Walisanga mudah dipahami dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi ” wa khaatibinnas 'ala qodri `uqulihim.” Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa 9 Al-madinah al-fadilah adalah istilah yang dikembangkan oleh filosof Muslim al-Farabi yang mengacu pada kehidupan kota yang berperadaban atau semacam civil society yang diidealkan.
28
klasik "arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken" (Carilah ilmu yang bisa engkau praktikan, terapkan). 10 Pendekatan ini pula yang mengantarkan dasar ajaran Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, misalnya syahadatain dipersonifikasikan sebagai tokoh puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau "lips of faith " Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Model dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman. 2. Cultural Maintenance Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Dalam hal ini, sangat disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada dua aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahpahami oleh para sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindu-Buddha sebagai induk budaya Jawa, sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain, meskipun Islamisasi telah 10 GWJ Drewes, An Early Javanese Code ofMuslim Ethics (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978), hal. 19.
29
berlangsung di sini sejak abad ke-14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Islam Sunni. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian keislaman seperti Prof AH. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih apresiatif terhadap dinamika budaya Islam Jawa. Sekali lagi Walisanga dan para kiai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisanga dan 'ulama'ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence. Ide cultural maintenance juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subyek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiai sebagai guru utama atau irsyadu ustazin11 adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam 11 Meminjam istilah al-Zarnuji dengan kitabnya Ta’lim wal Muta'allim yang demikian populer di seluruh pesantren Jawa.
30
masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkret, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan. Karena konsepsi cultural maintenance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras: It is noteworthy that the more oppression the colonists offered the more repellent movement the pesantren community reacted. 12 Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran para kyai di masa penjajahan, serta kehatihatian para pemimpin Islam berlatar belakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan". Adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa dipahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mempertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi-'i-Asyari-Ghazalian- Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksanaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi'i dan Ghazali terlepas dari kata "Imam" di depan dua nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap dua tokoh ini dan cultural maintenance dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah dua konsep yang telah menyatu dalam ilustrasi terakhir ini.
12
8 Abdurrahman Masud, loc. cit.
31
3. Budaya Keilmuan yang Tinggi Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar. Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh ulama Jawa yang agung seperti Nawawi al-Bantani (meninggal 1897 M), Mahfudz al-Tirmizi (meninggal 1917 M), dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikansi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat alQur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. 13 Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideologis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat: The supreme value of religious knowledge and its transmission in Islam was thus never questioned. The Prophet guaranteed that those who were on the way to pursue knowledge
13
32
Al-Qur'an, 58:11.
would be much facilitated by God on the route to paradise. 14 Muhammad's disciples had successfully transformed and implemented his teaching about the great spirit of seeking knowledge. This religious motivation was also found as well in the tradition of rihlah. A major tradition which is called al-rihlah fi talab al-'ilm, "travel for seeking knowledge", was the evidence of such extensive curiosity among religious scholars. 15 Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rihlah fi talab al`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari,16 sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan dua tokoh utama pesantren: Al-Bantani dan Al-Tirmizi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatar belakang sosiokultural pesantren mampu menandingi 'ulama-'ulama mancanegara baik dalam kegiatan tulis-menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam. Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Prof. Dr. Dawam Rahardjo menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan pemerintah.17 Merujuk 14 Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Ghazali, Ayyuha al-Walad (Cairo: Dar alI'tisam, 1983), hal. 33. 15 Abdurrahman Masud, loc. cit. , hal. 32. 16 Penunjukan "Imam" Bukhari di sini sekali lagi membuktikan bahwa dunia pesantren sarat dengan tokoh-tokoh ideal yang selalu dijadikan model dalam proses identifikasi tokoh atau tasyabbuh. 17 Dawam sangat membanggakan Bachtiar Effendi, alumni pondok Pabelan,
33
pada dinamika keilmuan pesantren, istilah "konservatif' yang dialamatkan pada pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif' pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif' adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang: "Traditional" is not necessarily intellectually conservative, as has been proven by the steadfast tradition of the Islamic quest, namely the santri thirst for knowledge. The function of Islamic teaching at the hands of the 'ulama' shows that the intellectual dynamism in the community remained in essence, uninterrupted, throughout the centuries. 18
yang telah berhasil meraih doktor di Ohio University. (Wawancara Abdurrahman Masud saat Dawam berkunjung ke UCLA, AS tahun 1995). 18 Abdurrahman Mas'vtd, loc. cit. , hal. 258.
34
MELURUSKAN MAKNA JIHAD DALAM ISLAM
3
Oleh: Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub19
I
slam adalah agama yang diturunkan untuk umat manusia. Manusia di belahan bumi manapun, baik secara individu, kelompok, ataupun bangsa, niscaya akan menghadapi antara dua kondisi, yaitu perang atau damai. Melalui al-Qur’an dan Hadis, Allah SWT memberikan panduan kepada kaum muslimin bagaimana menghadapi salah satu dari dua keadaan tersebut. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang membicarakan tentang perang, dan banyak pula ayat yang berbicara tentang damai. Begitu pula dalam Hadis Rasulullah. Kaum muslimin harus menggunakan ayat atau Hadis tentang perang untuk keadaan perang, dan menggunakan ayat dan Hadis tentang damai untuk keadaan damai. Inilah ajaran Islam. Kondisi perang dan damai tercermin dalam firman Allah sebagai berikut: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan orang yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9)
19
Ketua Majelis Ulama Indonesia.
35
Adalah merupakan suatu kesalahan, jika ayat al-Qur’an dan Hadis tentang perang digunakan untuk keadaan damai, atau jika ayat al-Qur’an dan Hadis tentang damai digunakan untuk keadaan perang. Tiga Kategori Non-Muslim Islam membagi orang-orang non-muslim ke dalam tiga kategori: 1. Kafir Harbi Kafir Harbi adalah non-muslim yang memerangi kaum muslimin. 20 Dalam kondisi seperti ini, kaum muslimin mendapatkan perintah dari Allah untuk menghadapi peperangan yang dilakukan non-muslim. Kewajiban kaum muslimin adalah melawan musuh-musuh mereka dari kalangan non-muslim yang memerangi mereka. Ketika Islam memerintahkan kaum muslimin melawan musuhmusuh mereka, Islam tidak memberikan perintah secara mutlak. Islam membuat batasan, hanya non-muslim yang memerangi muslim sajalah yang boleh diperangi. Allah berfirman dalam al-Qur’an: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-Baqarah[2]: 190) Beberapa bulan yang lalu, orang-orang Yahudi Israel memerangi muslimin Palestina. Apakah kemudian, kaum muslimin di negara-negara lain boleh memerangi orang Yahudi yang berada di negara itu? Tentu saja tidak boleh
20 Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Dar al-Katib al-Arabi, Beirut, tth, I/276-227.
36
karena Islam melarang tindakan seperti ini. Allah berfirman: Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lainnya. (QS Al-Najm: 38) 2. Kafir Musta’man Kafir musta’man adalah non-muslim yang menetap dan tinggal di negara Islam untuk beberapa waktu. Dia bukan warga negara muslim tersebut. Dia hanya tinggal untuk urusan bisnis, kepentingan diplomatik, belajar, atau yang lain. Ajaran Islam mewajibkan setiap muslim untuk memberikan keamanan kepada non-muslim kategori ini, baik untuk hartanya maupun jiwanya. Sebab, dia datang ke negara muslim tidak untuk berperang melawan orang muslim, tetapi untuk menjalin hubungan baik antara mereka. 21 Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Mumtahanah: 8) 3. Kafir Dzimmi Jenis terakhir adalah non-muslim yang tinggal dan menetap bersama dengan orang-orang muslim sebagai penduduk di negara muslim. Sebagai warga negara, ia memiliki keterikatan untuk hidup secara damai dengan
21 Abd al-Qadir Audah, Loc. Cit; Syeikh Ibn Baz, Muraja’at fi Fiqh al-Waqi’ alSiyasi wa al-Fikri, Dar al-Mi’raj al-Dauliyyah, Riyadh, 1414 H. /1994 M. h. 29.
37
orang-orang muslim. Dalam istilah lain, non-muslim jenis ini juga disebut dengan mu’ahad. 22 Dalam ajaran Islam, orang Islam berkewajiban untuk memberi jaminan keamanan kepada kafir dzimmi, baik harta maupun nyawanya. Umumnya, non-muslim kategori ini merupakan minoritas dari suatu negara, di mana muslim menjadi mayoritas penduduknya. Muslim dan non-muslim di negara ini harus hidup berdampingan secara damai, bukan dalam peperangan dan pertempuran. Orang-orang muslim dilarang membunuh non-muslim kategori ini. Jika ada orang muslim membunuhnya, maka orang muslim tersebut tidak akan dapat masuk ke dalam surga. Nabi Muhammad bersabda: “Siapa yang membunuh seorang dzimmi (non-muslim yang berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan dapat mencium aroma surga. (HR Imam al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah)23 Satu Non-Muslim Yang Boleh Diperangi Jika dibandingkan antara ketiga kategori non-muslim ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya satu dari tiga kategori non-muslim ini yang boleh diperangi. Namun hal itu dengan syarat, non-muslim itu memerangi orang muslim. Jika ia tidak memerangi muslim, maka orang muslim tidak diperkenankan melawan mereka.
Abd al-Qadir Audah, Loc. Cit Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ii/429; al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, viii/24-25; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ii/896; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, ii/186. 22 23
38
Perang dalam Sejarah Islam Dalam sejarah Islam kaum muslimin pernah berperang melawan non-muslim. Bahkan banyak peperangan terjadi dalam sejarah Islam antara orang muslim dan orang nonmuslim. Peperangan itu juga terjadi di masa Rasulullah. Peperangan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan agama, melainkan oleh alasan-alasan lain. Diantara peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW: 1. Perang Melawan Orang Musyrik Di antara contohnya adalah perang Badr. Peperangan ini terjadi pada tahun kedua Hijri antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, dengan kaum musyrikin Makkah. Penyebab peperangan ini adalah orang muslim yang hijrah dari Makkah ke Madinah meminta harta mereka dikembalikan dari kaum musyrikin. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, mereka meninggalkan harta mereka di Makkah. Harta mereka ini, baik berupa tanah, rumah, maupun ternak dijarah oleh orang musyrikin Makkah. Oleh karena itu, ketika beberapa orang dari kaum musyrikin itu pergi untuk berdagang di Syam (Syiria), orang-orang muslim meminta mereka untuk mengembalikan harta kaum muslimin itu. Kaum musyrikin itu ternyata tidak mau mengembalikan harta itu kepada kaum muslimin. Mereka malah memberi tahu kepada kaum musyrikin yang ada di Makkah bahwa mereka berada dalam keadaan bahaya. Kemudian kaum musyrikin Makkah mengirim kurang lebih seribu tentara ke Madinah untuk membantu saudara-saudara mereka, kaum musyrikin yang akan kembali dari Syam itu. Maka
39
kemudian, peperangan terjadi di daerah Badr, sebelah selatan Madinah. 24 Dan kenyataannya, alasan yang menyebabkan terjadinya peperangan ini bukanlah perbedaan agama antara Islam dengan Paganis (agama kemusyrikan), melainkan karena kaum musyrikin Makkah hendak menyerang dan melawan kaum muslimin di Madinah. 2. Perang Melawan Orang Yahudi Contohnya adalah Perang Bani Quraidhah yang terjadi pada tahun kelima Hijri. Bani Quraidhah merupakan tempat domisili kaum Yahudi. Mereka memiliki perjanjian perdamaian dengan kaum muslimin. Namun, orang-orang Yahudi Bani Quraidhah membatalkan perjanjian itu secara sepihak. Maka Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah SWT untuk melawan orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai secara sepihak itu. 25 Lalu pecahlah Perang Bani Quraidhah setelah terjadinya Perang Khandaq atau Ahzab pada tahun kelima Hijri. Perang ini tidak disebabkan oleh perbedaan agama antara Islam dan Yahudi, namun karena pembatalan perjanjian perdamaian antara mereka, yang dilakukan oleh orangorang Yahudi secara sepihak. 3. Perang Melawan Orang Kristen Contohnya adalah Perang Tabuk yang terjadi pada tahun sembilan Hijri. Tabuk adalah kota kecil yang berlokasi di sebelah utara semenanjung Arab. Sebab yang melatarbelakangi terjadinya peperangan ini adalah adanya berita yang sampai kepada Rasulullah bahwa Bizantium 24 Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, tahqiq: Sa’id Muhammad al-Lahham, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H/1994 M, ii/211. 25 Ibnu Hisyam, Loc. Cit.
40
telah mengerahkan sejumlah besar pasukan di Syam, serta merekrut Kabilah Lakhm, Judzam, dan kabilah lainnya yang merupakan penganut Kristiani di semenanjung Arab. Kabilah-kabilah ini berada di bawah kekuasaan Imperium Bizantium. Sebagian dari mereka telah tiba di wilayah Balkan, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk pergi dan memberitahukan tempat perang agar mereka bersiap untuk peperangan itu. Ketika mereka telah sampai di Tabuk, mereka tidak melihat pasukan itu. Pasukan itu telah lari. Sejumlah besar orang yang telah berkumpul untuk melakukan peperangan itu tidak tampak batang hidungnya, dan perang pun tidak terjadi. Kemudian datanglah seorang walikota Aylah yang bernama Yuhanah, mengajukan perdamaian kepada Rasulullah dengan membayar jizyah. Hal yang sama juga dilakukan oleh penduduk Jarba’ dan Adzrah, mereka membayar jizyah kepada Rasulullah, Maka untuk itu Rasulullah menulis sebuah perjanjian. 26 Dapat terlihat di sini bahwa sebab peperangan Tabuk bukanlah perbedaan dua agama, Islam dan Kristen, akan tetapi sesuatu yang lain, yaitu maksud orang-orang Bizantium yang hendak menyerang kaum muslimin. Tiga peperangan ini hanya sebagai contoh saja. Banyak lagi peperangan lain di mana perbedaan agama bukan menjadi sebab umat Islam memerangi orang-orang non-Muslim, melainkan karena faktor-faktor lain. Agama Bukan Penyebab Perang Tiga peperangan di atas tidak disebabkan oleh perbedaan agama, namun disebabkan oleh beberapa alasan
26 Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah, Dar al-Fikr, Beirut, 1400 H/1980 M, h. 400
41
lain. Karenanya dapat dikatakan bahwa dalam sejarah Islam perbedaan agama bukanlah penyebab peperangan. Perbedaan agama, menurut ajaran Islam, bukanlah menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara penganut agama. Jika peperangan atau pertempuran terjadi pada masa yang akan datang antara mereka, alasannya adalah masalah lain, bukan perbedaan agama. Mertua Nabi adalah Yahudi Salah satu mertua Nabi adalah Huyay bin Akhtab alNadhari. Dia adalah pemimpin Bani Quraidhah dan beragama Yahudi. Putrinya yang bernama Shofiyah dinikahi oleh Nabi. Shofiyah masuk Islam, lalu menjadi Umm al-Mu’minin (ibu orang-orang mukmin). 27 Di sini ada pertanyaan, jika perbedaan agama menjadi pembenar bagi seorang muslim untuk membunuh nonmuslim, maka mengapa Nabi tidak membunuh mertuanya sendiri? Sampai meninggal dunia, mertua Nabi itu tetap memeluk agama Yahudi. Kenyataannya di Madinah, juga di banyak tempat di Jazirah Arab, non-muslim tetap ada. Di Madinah banyak tinggal orang Yahudi, begitu juga di kota Khaibar. Di Najran, sebelah selatan Jazirah Arab, banyak orang Kristen. Di Bahrain dan di daerah timur, banyak tinggal pemeluk agama Zoroaster (Majusi). Dan Umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad tidak pernah memerangi atau membunuh mereka.
27 Al-Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’a, Singapura, tth. , iii/52; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, Dar Shadir Mathba’ah alSa’adah, Mesir, 1328 H, iv/346-348; Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz alShahabah, Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir, 1328 H, iv/346-348; Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah, h. 332.
42
Ini merupakan bukti kuat bahwa dalam ajaran Islam perbedaan agama bukanlah alasan untuk memerangi atau membunuh penganut agama lain. Sekiranya perbedaan agama menjadi alasan yang membenarkan orang Islam membunuh atau memerangi kaum non-muslim, tentulah orang-orang Yahudi, Kristen, Majusi, dan Paganis yang lain yang ada pada waktu itu sudah dibunuh oleh Umat Islam pada masa Nabi. Dan ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Muslim Menolak Non-Muslim Banyak orang muslim menolak non-muslim. Mengapa hal ini terjadi? Umat Islam harus memahami Islam secara komprehensif, tidak parsial. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berbicara tentang perang. Di sisi lain, ada juga ayat-ayat atau Hadis Nabi yang berbicara tentang damai. Maka umat Islam harus mampu menempatkan ayat perang untuk kondisi perang, dan ayat damai untuk kondisi damai, bukan sebaliknya. Sebagai contoh, termaktub dalam al-Qur’an: “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS Al-Tahrim [66]: 9) Jika hanya mengambil ayat ini, kemudian menerapkannya dalam kehidupan masyarakat dalam situasi damai, maka yang terjadi kemungkinan adalah ekstrimis atau teroris. Ayat ini harus diterapkan hanya pada situasi perang. Harus dipahami bahwa Islam bukan hanya terdiri dari ayat ini. Banyak ayat yang bercerita tentang perdamaian antar sesama umat manusia.
43
Mungkin ada orang muslim yang menggunakan ayat perang ini untuk kondisi damai. Ini merupakan suatu kesalahan. Dan untuk memahami Islam, mesti melihatnya dari perilaku Rasulullah, bukan dari seorang muslim yang mungkin keliru dalam memahami ajaran Islam. Mungkin saja salah seorang muslim membuat kesalahan dalam menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, tidak boleh menggeneralisir bahwa Islam seperti itu. Itu hanya kasus personal yang keliru, bukan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam Memerangi Muslim Sebenarnya, berbicara tentang perang, Islam juga mengizinkan pemimpin negara muslim untuk memerangi muslim separatis (bughat), yaitu kelompok muslim yang ingin memisahkan diri dari negara muslim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hujurat: “Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Hujurat: 9) Islam Memerangi Pembangkang Zakat Islam juga mengizinkan pemerintah negara muslim untuk memerangi muslim reaksioner, seperti orang yang menolak membayar zakat. Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq pernah memerangi orang semacam ini. Meskipun mereka mengucapkan syahadat, jika mereka tidak mematuhi aturan Islam, maka pemimpin muslim diizinkan untuk memerangi 44
mereka. Apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq ini menjadi ijma (konsensus) para sahabat28 Dan ternyata kaum bughat (separatis) wajib diperangi oleh Islam, kendati mereka muslim. Dan para pembangkang zakat juga wajib diperangi, kendati mereka mengerjakan shalat lima kali sehari, berpuasa pada bulan Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah. Mereka diperangi oleh Islam bukan karena mereka muslim, tetapi karena mereka tidak taat kepada pemerintah Islam (Waliyyu Umur al-Mu’minin), atau aturan-aturan Islam. Kesimpulan dan Penutup 1. Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk manusia. Karakter manusia—individu, kelompok, atau bangsa—di manapun berada, selalu menghadapi salah satu dari dua keadaan, yaitu perang atau damai. 2. Sebagai agama bagi semua manusia, Islam memberi ajaran dan tuntunan kepada umat muslim bagaimana cara menghadapi situasi perang atau situasi damai. 3. Ajaran Islam tentang perang hanya boleh diterapkan dalam kondisi perang. Dan ajaran Islam tentang damai hanya boleh diterapkan dalam kondisi damai. 4. Perbedaan agama bukan dan tidak boleh dijadikan alasan bagi orang Islam untuk berperang melawan penganut agama lain. 5. Peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam tidak disebabkan oleh perbedaan agama, tapi disebabkan oleh alasan lain seperti masalah sosial.
28
Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, i/29-30
45
6. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam tidak hanya memberikan perlindungan keamanan bagi kaum muslimin, tetapi juga melindungi semua orang, baik muslim atau non-muslim. 7. Tidak diragukan bahwa segelintir orang muslim melakukan kesalahan dalam memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Namun, ini hanya sebatas kasus personal, tidak mencerminkan ajaran Islam sama sekali. 8. Islam memerintahkan pemimpin negara muslim untuk memerangi muslim reaksioner, yang tidak menaati ajaran atau aturan Islam seperti antara lain melakukan pemberontakan. Sebagaimana Islam juga memerintahkan pemimpin negara muslim untuk memerangi para pembangkang zakat, kendati mereka mengerjakan shalat lima kali sehari, berpuasa pada bulan Ramadhan dan berhaji ke Makkah. Sebagai penutup, jika tulisan ini benar maka itu bersumber dari petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah. Dan jika salah, maka hal itu berasal dari pribadi penulis sendiri dan dari setan. Allah SWT dan Rasulullah terbebas dari itu semua. Semoga tulisan ini dicatat oleh Allah sebagai amal shalih yang memperoleh ridha-Nya, karena Allah Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan Doa. Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.
46
DAFTAR PUSTAKA al-Qur’an al-Karim Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Dar al-Katib al-Arabi, Beirut, tth. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth. ttp. al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Sulaiman Mar’a, Singapura, tth.
Shahih
al-Bukhari,
al-Nasa’i, Ahmad bin Ali, Sunan al-Nasa’i, al-Maktabah al‘Ilmiyyah, Beirut, tth. Ibn Majah al-Qazwini, Muhammad Yazid, Sunan Ibn Majah, Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, ttp. tth. Ibn ‘Abd al-Barr, 1328 H, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, Mesir, Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah. Ibn Sa’d, Muhammad, 1400 H/1980 M, al-Thabaqat al-Kubra, Beirut, Dar Beirut. Ibn Baz, Syaikh ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah, 1414 H/1994 M, Muraja’at fi Fiqh al-Waqi’ al-Siyasi wa al-Fikri, Riyadh, Dar al-Mi’raj al-Dauliyyah. Ibn Hajar al-‘Asqalani, 1328 H, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Mesir,Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah. Ibn Hisyam, 1415 H/1994 M al-Sirah al-Nabawiyyah, tahqiq: Sa’id Muhammad al-Lahham, Beirut, Dar al-Fikr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, 1400 H/1980 M, Fiqh alSirah, Beirut,Dar al-Fikr. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, ttp, tth.
47
48
SIKAP MODERAT AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH TEOLOGI DAN POLITIK
4
Oleh: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA29
Pendahuluan
U
mat Islam yang ada sekarang ini dengan berbagai macam kelompoknya dari Ahlussunnah, Syi'ah dengan macam macam alirannya, Kawarij, Mu'tazilah, dan lainnya, adalah produk dari sejarah pergolakan umat pada masa lalu. Kelompok kelompok tersebut, karena proses alamiyah, ada yang masih eksis hingga saat ini dan terus melanjutkan visi dan misinya, seperti kelompok ahlussunnah wal jama'ah yang merupakan kelompok mayoritas umat Islam saat ini. Pada saat ini hampir diseluruh negara Islam baik di Asia maupun Afrika adalah penganut madzhab Sunni. Sehingga tidak berlebihan bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia adalah pemeluk Sunni. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Baret disebutkan bahwa jumlah kaum muslimin di seluruh dunia pada tahun 2000 adalah 1.188.000.000 orang. Dari jumlah tersebut 1.002.000.000 atau 84.34 % nya adalah pengikut ahlissunnah wal jama'ah. Sementara 15.65 % nya terdiri dari kelompok lain seperti Syi'ah dan lain lainnya. Bandingkan dengan pengikut Katolik Roma yang berjumlah 1.002.000.000 orang pada tahun 2000. (Lih. Ar. Wikipedia. org:ahlussunnah). Jumlah yang demikian besar dari pengikut Ahlus sunnah wal Jama'ah bisa dimaklumi, karena mengikutsertakan seluruh penganut empat madzhab fikih, ahli hadis, ahli tasawuf, dan
29
Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
49
lain lainnya yang tersebar luas di seluruh penjuru dunia, kecuali Iran. Kaum Syi'ah yang merupakan komunitas Islam yang cukup besar banyak berada di Iran (Imamiyah, Itsna 'Asyariyah), Pakistan, India (Imamiyah, Ismal'i-liyah), Yaman (Zaidiyah), beberapa negara teluk Arab, sekte Druz di Libanon dan Syria. Sekte Ahmadiyah banyak terdapat di India dan Pakistan dan negara negara yang ada komunitas India dan Pakistan, juga Indonesia. Diantara kelompok kelompok tersebut ada yang pengikutnya tinggal sedikit seperti sekte "Ibadliyah" dari kelompok kaum Khawarij di AlJazair dan bahkan ada yang sudah tinggal namanya saja seperti sekte sekte kecil dari pecahan kelompok kelompok besar diatas. Kelompok kelompok tersebut diatas hingga saat ini masih terus mempertahankan ideologi dan keyakinannya masing masing. Dalam era globalisasi sekarang ini, era kebebasan berfikir, era pertarungan gagasan dan ide, terkadang sebagian pemikiran dari kelompok kelompok Islam didukung oleh kelompok lainnya sehingga terkesan adanya pembauran ideologi. Dalam melihat persoalan diatas, dan mendudukkan setiap kelompok pada porsinya masing masing, dibawah ini akan penulis ketengahkan tentang kriteria yang mendekati dengan apa yang dikehendaki dengan sasaran hadis tersebut, dengan menggunakan rujukan baik dari Al-Qur'an, Hadis, riwayat Sahabat,dan kitab kitab tentang ajaran sekte sekte dalam komunitas umat Islam. Sebab Sebab Perpecahan Umat Islam Masa Lalu. Nabi Muhammad adalah sosok pemersatu umat, baik bangsa arab maupun umat Islam. Beliaulah yang mempersatukan Kabilah Aus dan Khazraj di Madinah yang telah berperang berkepanjangan selama 60 tahun atau 120 50
tahun. Ada beberapa kemelut kecil yang terjadi pada masa Nabi seperti akan meletusnya kembali pertikaian antara Aus dan Khazraj yang dipicu oleh kelompok Yahudi Madinah. Atau pada saat pembagian harta rampasan setelah perang Hunain, atau pada saat Nabi menghadapi cobaan tentang tuduhan keji orang munafik terhadap Siti 'Aisyah dengan Shafwan bin Mu'aththil dan lain sebagainya. Tapi semuanya bisa ditangani oleh Nabi sendiri. Dengan persatuan yang demikian kokoh atas dasar dasar prinsip akidah yang sama inilah, kaum muslimin sanggup menghadapi dua kekuatan besar pada saat itu yaitu bangsa Romawi dan Parsi. Betapapun Nabi bisa mempersatukan kaum muslimin, namun Nabi dalam salah atu sabdanya telah memprediksikan berdasarkan wahyu akan terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam menjadi 73 golongan/ kelompok, sebagaimana juga kaum Yahudi dan Nasrani pada masa lalu. Sabda beliau : Artinya: Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda : Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan masuk sorga, yang 70 golongan masuk neraka. Kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, yang 71 golongan masuk neraka, satu golongan masuk sorga. Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam genggamannya, umatku pasti akan terpecah menjadi 73 golongan, satu kelompok masuk sorga, 72 golongan (lainnya) akan masuk neraka. Nabi ditanya : siapa itu yang Rasulullah ? jawabnya : (mereka) adalah jama'ah. Dalam riwayat Tirmidzi Nabi menjawab : (mereka ) adalah orang yang tetap dengan ajaranku dan sahabat sahabatku. (H. R. Ibn Majah dan Tirmidzi). Dalam sejarah perjalanan umat islam, apa yang diprediksikan oleh Nabi karena berdasarkan wahyu betul betul terjadi. Walaupun untuk menentukan satu persatu dari jumlah diatas masih dalam perdebatan diantara ulama. Umat 51
islam terpecah menjadi beberapa golongan, setiap golongan mengaku bahwa merekalah yang paling benar, sementara yang lain salah. Sepeninggal beliau, terjadilah gesekan politik antara kaum Ansar dan Muhajirin untuk menentukan siapa pengganti beliau. Namun hal itu masih bisa diatasi. Karena masih banyak sahabat senior yang cepat tanggap mengatasi situasi saat itu. Abu Bakar terpilih sebagai pengganti Nabi dalam memimpin umat islam. Kemudian pada masa Umar bin Khaththab, hampir tidak ada pertikaian yang berarti, karena besarnya wibawa beliau dan ketegasannya dalam menghadapi setiap kemelut. Barulah pada saat Usman bin Affan menjadi khalifah, muncul gugatan terhadap Usman antara lain: Pertama : Usman telah menghapus sebagian ayat ayat AlQur'an, karena prakarsanya untuk menyalin Al-Qur'an kembali dan membakar mushaf milik para sahabat. Kedua : membikin kawasan terlarang untuk beternak hewan. Ketiga : terlibat dalam Nepotisme dengan menentukan keluarganya untuk menjadi gubernur di beberapa kawasan di Irak. Keempat: memberi Marwan bin Hakam uang 100 ribu dan lain sebagainya. Kelima: Usman sering mengkritik beberapa sahabat Nabi (Lih. Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi,juz 1/440, alMaktabah Syamilah) Sahabat Usman telah berusaha mengklarifikasi tuduhan tuduhan tersebut, tapi kecurigaan dan hasutan telah demikian besar dalam tubuh pembangkang (kaum revolusioner), mereka mengepung rumah sahabat Usman dan membunuhnya. Terbunuhnya sahabat Usman inilah yang menjadi pemicu besar bagi munculnya kelompok kelompok dalam Islam. Sahabat Ali juga akhirnya terbunuh. Dan banyak lagi para sahabat yang terbunuh dalam peperangan antar umat Islam sendiri. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada dua sebab signifikan yang menjadi pangkal perpecahan umat Islam pada masa lalu. Pertama : 52
karena faktor politik. Kedua : Pemahaman terhadap teks keagamaan. Faktor Politik Perpecahan dalam tubuh umat Islam ada yang disebabkan oleh unsur politik. Sebagai contoh adalah munculnya kaum syi'ah. Kemunculan kelompok ini jelas diwarnai oleh latar belakang politik. Kemelut yang terjadi setelah terbunuhnya sahabat Usman, yang berkembang menjadi perang Shiffin antara Sahabat Ali dan Mu'awiyah. Pada saat itu muncullah kaum Khawarij yang tidak setuju dengan pembentukan majlis Arbitrase untuk menengahi kedua kelompok tersebut. Mereka menyempal dari dua kekuatan besar tersebut. Pada tahap selanjutnya kelompok yang membela sahabat Ali dalam perang Shiffin akhirnya menjelma menjadi sebuah kelompok yang sangat loyal terhadap sahabat Ali. Tingkat loyalitas mereka berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang berlebihan seperti sekte yang melebih lebihkan sahabat Ali dari yang semestinya, dengan menuhankannya, atau yang sekedar melebihkan sahabat Ali dari yang lain sebagaimana sekte "Zaidiyah", walaupun mereka masih bisa menerima kedua khalifah sebelum sahabat Ali yaitu Abu Bakar dan Umar. Dan ada yang mempunyai sikap yang tidak bersahabat dengan sebagian sahabat Nabi karena dianggap tidak loyal kepada sahabat Ali. Sebagaimana sekte Imamiyyah atau Itsna 'Asyariyyah. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan umat islam setelah Nabi adalah ada ditangan sahabat Ali kemudian imam imam mereka yang ma'shum yang merupakan keturunan sahabat Ali. Disamping itu ada lagi keyakinan yang diusung oleh kelompok ini yang menjadi basis kepercayaan mereka seperti : Taqiyyah atau berpura pura terhadap penguasa, bolehnya nikah Mut'ah, dan lain sebagainya. 53
Sekte Syi'ah dengan kelompok kelompok sempalannya telah muncul dalam pentas sejarah umat Islam dan mewarnai kehidupan umat Islam hingga dewasa ini. Kaum Syi'ah mempunyai sandaran sendiri dalam memahami ajaran agama Islam. Mereka mempercayai Al-Qur'an dan hadis hadis Nabi, tapi mereka hanya mempercayai hadis yang diriwayatkan oleh ulama mereka. Mengarahkan teks teks keagamaan agar sesuai dengan keyakinan mereka yang telah mereka bangun sebelumnya berdasarkan proses dinamika politik pada masa lalu. Pemahaman Teks Keagamaan. Ada juga kelompok dalam umat Islam yang tidak ada sangkut pautnya dengan perpolitikan, tapi mempunyai pemahaman keagamaan yang berbeda dengan mayoritas umat Islam. Hal ini bisa terlihat dari pemahaman kaum Mu'tazilah yang mendahulukan rasio dari nash. Mu'tazilah dalam memahami teks keagamaan sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani. Mereka mendudukan akal dalam kedudukan yang tinggi, bahkan kadangkala sejajar dengan wahyu. Ada lima pilar yang menjadi landasan kaum Mu'tazilah yaitu : Tauhid, Keadilan, Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Manzilah baina Manzilatain, Janji dan Ancaman. Lima pilar ini dalam penjelasannya disesuaikan dengan pemahaman mereka yang telah mereka bangun sebelumnya yang berdasarkan rasio yang berbeda dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah. Sebagai contoh : 1) mereka tidak mengakui adanya sifat sifat Allah, karena jika Allah mempunyai sifat maka berarti sesuai dengan makhlukNya, sementara Allah tidak sama dengan makhlukNya dari semua segi. 2) mereka akan menakwili teksteks yang kelihatannya bertentangan dengan keyakinan mereka. 3)mereka tidak percaya terhadap Qadla' dan Qadar, karena berarti Allah menjadikan manusia seperti robot. 54
4)mereka meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat di surga, sebab jika bisa dilihat, berarti Allah menempati tempat dan berupa benda. Hal ini serupa dengan makhluk. 5)mereka juga meyakini bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan sesuatu yang hadis (baru). Sebab jika Al-Qur'an adalah "Kalam Qadim", kenapa ada cerita tentang kehidupan pada masa Nabi, seperti perang Badar, Uhud dan lain sebagainya. Pemahaman keagamaan yang diyakini oleh kelompok Mu'tazilah inilah yang menyebabkan timbulnya perpecahan dalam tubuh umat Islam. Kelompok Mu'tazilah telah berperan dalam sejarah dan menjadi kelompok yang disokong penuh oleh beberapa Khalifah Abbasiyyah pada abad ketiga hijriyah, seperti alMa'mun. Mereka mencoba memaksakan keyakinan mereka, terutama tentang keberadaan Al-Qur'an sebagai "kalamullah yang Hadis" melalui kekuasaan. Yang tidak setuju harus berhadapan dengan pengadilan. inilah sejarah kelabu umat Islam saat itu. Disamping kaum Mu'tazilah yang tidak mempunyai latar belakang politik tapi mempunyai latar belakang pemahaman keagamaan yang berbeda dengan kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok Ahmadiyah, pengikut Mirza Gulam Ahmad al-Qadiyani (1839-1908) yang meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi. Bahkan dialah yang dimaksud dengan al-Masih al-mau'ud atau Isa al-Masih yang dijanjikan turun di akhir zaman. Nabi Muhammad bukanlah Nabi terakhir. Ada lagi kelompok yang disebut kaum Baha'i yaitu kelompok yang muncul ke pentas sejarah pada abad ke 19. Kelompok ini didirikan oleh Ali Muhammad Ridla Syairazi (1819-1849). Mereka meyakini bahwa Imam mereka Mirza Ali 55
yang dijuluki al-Bab, adalah penyebab awal dari munculnya alam semesta. Mereka meyakini akidah "Hulul dan Ittihad" atau manunggaling kaula gusti. Mereka meyakini reinkarnasi. Mendewakan angka "19". Mengingkari bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, dan lain sebagainya. Masih banyak lagi kelompok sempalan dalam tubuh umat islam yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan apa yang diyakini oleh mayoritas kaum muslimin di dunia saat ini. Memahami teks keagamaan memang tidak bisa sepotong sepotong, tapi harus utuh, yaitu dengan melihat teks Al-Qur'an, Hadis, pandangan para sahabat, Tabi'in, dan para ulama ahli ijtihad. Yang fatal adalah jika seseorang mempunyai kecenderungan berfikir terlebih dahulu kemudian mencari justifikasi dari teks keagamaan, secara sembrono. Kemudian memaksakan kehendaknya dengan berbagai macam cara. Ahlussunnah dalam Berakidah dan Berpolitik/ Sosial Istilah Ahlussunnah ditujukan kepada mereka yang setia mengikuti sunnah Nabi Muhammad, dalam segala seginya, dan mengikuti secara konsisten, jejak para pendahulu kaum muslimin seperti para sahabat, tabi'in dan generasi penerus yang mengikuti jejak mereka, baik dari segi akidah, mu'amalah dan akhlak. Dalam hal ini Imam Abu al-Hasan alAsy'ari berkata : Artinya: “Keyakinan kami, adalah berpegang teguh dengan Al-Qur'an, Hadis”, H.R. para sahabat, Tabi'in, para Imam Ahli Hadis”. Dalam perspektif Ahlussunnah, dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya : 56
merekalah
yang
Artinya: “Ada sekelompok umatku yang terus berpegang teguh dengan kebenaran. Tidak berarti bagi mereka orang yang menghinakan mereka, sampai datang hari kiamat”. Imam Nawawi dalam mengomentari hadis ini berkata bahwa kelompok ini menyebar ke berbagai kelompok umat Islam yang terdiri dari kaum mujahidin, ahli hadis, ahli fikih, kaum sufi dan lainnya. Mereka tidak mesti mengumpul dalam satu kelompok saja, tapi menyebar ke berbagai kalangan kaum muslim. Perlu penulis kemukakan disini bahwa istilah yang dipergunakan oleh para ulama bukan "ahlul Qur'an" tapi istilah "ahlussunnah wal Jama'ah". Istilah terakhir ini digunakan untuk menentukan siapa golongan yang lebih cenderung dekat dengan praktik (hidayah) keislaman yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Untuk mengetahui hal tersebut seseorang bisa membandingkan antara pemikiran kelompok kelompok tersebut dengan hadis Nabi yang telah sampai kepada kaum Muslimin. Sunnah Nabi dan para sahabatnya adalah penjelas dari apa yang ada dalam AlQur'an. berbeda dengan Al-Qur'an dimana redaksinya sangat lentur untuk dipergunakan oleh golongan manapun untuk menjustifikasi keyakinan mereka masing masing. Dari sini bisa diketahui bahwa istilah Ahlussunnah tidak muncul pada masa Nabi, walaupun ada ungkapan yang mengarah kepada istilah ini, tapi muncul belakangan, persisnya setelah munculnya banyak ideologi atau keyakinan atau pemikiran yang tidak sama dengan apa yang diyakini oleh mayoritas umat Islam pada saat itu. Ibnu Sirin berkata :
57
Artinya: “Pada mulanya, mereka (tabi'in) tidak bertanya tentang perawi hadis (sanad), kemudian setelah terjadi "fitnah" mereka berkata : sebutkan nama perawi perawimu. Lalu dilihatlah orang orang dari kalangan "ahlussunnah", maka diterimalah periwayatan mereka. Dan dilihat orang orang dari pembikin bid'ah, periwayatan mereka ditolak. Dari perkataan Ibn Sirin diatas bisa diambil pengertian bahwa istilah "Ahlussunnah" muncul belakangan yaitu pada saat terjadi krisis yang menimpa umat Islam seperti krisis terbunuhnya sahabat Usman yang menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok, atau terbunuhnya Abdullah bin Zubair oleh Hajjaj bin Yusuf. Setelah terjadi krisis politik tersebut, maka muncul luapan pemikiran dari masing masing kelompok, setiap kelompok akan mencari pembenarannya dari Al-Qur'an atau Hadis, bahkan jika diperlukan akan membikin hadis palsu. Untuk menentukan siapa yang paling mendekati dengan perkataan Nabi : "Ma ana 'alaihi wa ashhabi" maka sunnah Nabi yang betul betul mempunyai kredibilitas yang tinggi dan didukung oleh perilaku para sahabatlah yang bisa menjadi barometer. Pandangan Ahlussunnah dalam Masalah Akidah dan Politik Sebelum penulis mengemukakan pendangan Ahlussunnah dalam persoalan Akidah dan Politik, perlu penulis kemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh para ulama dan penulis yang menjelaskan tentang sikap Alussunnah wal jama'ah, adalah sebagai reaksi atas munculnya paham baru dalam satu mas'alah, terutama mas'alah dasar dasar agama Islam, yang berbeda dengan pandangan mayoritas para ulama. Oleh karena itu pemaparan tentang identitas Ahlussunnah wal Jama'ah adalah terkait 58
dengan mas'alah yang berbeda tersebut. Namun secara garis besar, dasar dasar keyakinan Ahlussunah wal Jama'ah adalah berpegang dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabawi yang sahih, dan ijma' atau kesepakatan para sahabat Nabi. Al-Qur'an yang dimaksud adalah Al-Qur'an yang ditulis pada masa Usman bin Affan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang selanjutnya disampaikan melalui "talaqqi syafahi" kepada para ahli Al-Qur'an sampai saat ini. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang "tsiqah" untuk ukuran muhaddisin, yang tidak masuk dalam kelompok "ahli bid'ah". Untuk lebih jelasnya dibawah ini penulis akan menjelaskan tentang beberapa persoalan yang membedakan antara pandangan ahlussunnah dan lainnya. a. Dalam Mas'alah Akidah : Dalam mas'alah akidah mempercayai rukun Islam yang lima yaitu mengucapkan syahadatain, melaksanakan salat, zakat, puasa dan haji. Dan mempercayai rukun iman yang enam yaitu : beriman kepada Allah, Malaikat malaikatNya, Para Nabi. Kitab suci, Hari akhir. Qadla dan Qadar. Dalam mas'alah keimanan ini ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan disini: Pertama: Sifat Allah. Dalam pandangan Ahlussunnah, Allah adalah Zat yang wajib alwujud, yang satu, Esa, mempunyai Nama dan Sifat, yang secara hakiki berbeda dengan makhlukNya. Sifat Allah ada yang berupa sifat Zat dan sifat Fi'il. Sifat Zat adalah sifat yang terkait dengan Zat Allah seperti sifat Wajh (muka), Yadain (dua Tangan), Qabdlah (genggaman), ridla, mahabbah, farah (gembira), ghadlab (benci) dan lain sebagainya. Para ulama sunni berbeda pendapat tentang sifat Zat ini. Ulama salaf menetapkan semua sifat Allah yang ada dalam Al-Qur'an dan 59
Hadis apa adanya, tanpa takwil, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, dengan tetap mensucikanNya dari sifat sifat yang tercela. Sementara ulama khalaf menggunakan takwil terhadap sifat sifat Allah, terutama jika ada ungkapan bahasa arab yang tidak dikehendaki arti lahir. Tujuannya juga untuk mensucikan Allah dari sifat sifat yang tidak layak bagiNya. Pandangan kaum sunni diatas berbeda dengan pandangan kaum Mu'tazilah yang hanya mengisbatkan Nama bagi Allah, tapi mereka menafikan sifat sifatNya. Alasan mereka jika Allah mempunyai Sifat, maka menurut mereka, Allah sama dengan makhluk-Nya. Sudah tentu pandangan Mu'tazilah ini tidak sesuai dengan Al-Qur'an yang menetapkan adanya sifat bagi Allah seperti sifat Sami', Bashir, dan lain sebagainya. Perdebatan tentang sifat sifat Allah ini tidak pernah ada habis habisnya, dari dahulu sampai sekarang. Banyak energi yang terkuras, ribuan buku telah terbit. Semuanya masih tetap pada pendirian semula. Padahal agenda umat Islam sangat banyak. Inilah yang perlu difikirkan bersama. Kedua: Nabi Muhammad Nabi Terakhir Tentang keimanan kepada Nabi-nabi, kaum sunni meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, tidak ada lagi Nabi setelahnya. Karena jika masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad, berarti agama Islam belum sempurna, padahal Islam sudah sempurna. Nabi bersabda : Artinya: “Nabi berkata: kenabian sudah tidak ada lagi kecuali hal hal yang menyenangkan. Sahabat bertanya: apakah hal yang menyenangkan itu wahai Rasul ? jawab Nabi : mimpi yang baik”. (H. R. Bukhari dari Abu Hurairah). 60
Maksud dari hadis diatas adalah bahwa wahyu dari langit sudah tidak akan turun lagi. Jika masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad berarti wahyu masih turun lagi. Pandangan Ahlussunnah diatas berbeda dengan pandangan kaum Ahmadiyah yang meyakini bahwa pintu kenabian masih terbuka walaupun tidak membawa syari'at. Mereka meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah seorang nabi bahkan merupakan al-Masih al-Mau'ud (Nabi saw yang dijanjikan turun sebelum hari kiamat). Ketiga: Al-Qur'an Kaum sunni mempercayai bahwa Al-Qur'an adalah Kalamullah (Firman Allah), bukan makhluk. Kalamullah adalah sifatNya. Allah bisa berkata kapan saja, dimana saja, dengan cara yang dikehendakiNya. Diantara kaum sunni, seperti al-Maturidi dan Asy'ari, kalamullah adalah kalam nafsi (kata hati), tidak berupa huruf, dan tidak bersuara. Seperti seorang yang berkata sesuatu, sebelum dia berkata dalam hatinya sudah ada suatu perasaan yang kalau diungkapkan akan keluar kata kata tersebut. Sementara kaum Mu'tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, Hadis (baru), karena bisa dibaca, ada huruf dan suara, cerita yang ada didalamnya berkaitan dengan peristiwa yang baru. Keempat: Qadla - Qadar dan Perbuatan (kasb) manusia Kaum sunni mempercayai adanya Qadla' dan Qadar sesuai dengan hadis Nabi dan dari beberapa ayat Al-Qur'an. yaitu bahwa semua yang terjadi di dunia ini sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh Allah pada zaman azali di lauh mahfuzh. Betapapaun demikian manusia harus tetap berusaha. Manusia adalah makhluk yang mempunyai pilihan. Jika dia melakukan sesuatu maka hal itu karena kehendak Allah juga. Jika tidak ada kehendak Allah maka dia tidak akan 61
bisa melakukan apa yang dia kehendaki. Dia tidak boleh mengalamatkan semua tindakannya atas nama Qadla' dan Qadar. Hal ini berbeda dengan kaum Mu'tazilah yang meniadakan Qadla dan Qadar. Manusia kata Mu'tazilah menciptakan perbuatan mereka sendiri. Tidak ada campur tangan Allah. Sementara kaum Jabariyah meniadakan kasb (usaha) manusia. Manusia bagaikan robot, daun yang tertiup angin, tak mempunyai pilihan dalam menjalankan kehidupannya. Kelima : Bertambah dan berkurangnya Iman Kaum sunni meyakini bahwa keimanan seseorang bisa bertambah jika taat kepada Allah dan bisa berkurang jika bermaksiat kepadaNya. Sesuai dengan firman Allah: Sementara kaum Murji'ah mengatakan bahwa kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan seseorang. Keenam: Pendosa Besar Kaum sunni memandang bahwa "pendosa besar" adalah masih tetap menjadi muslim, selama dia tidak menganggap halal terhadap dosa yang dilakukannya, hanya saja kadar keimanannya telah berkurang. Imam Abul Hasan Asy'ari berkata : Hal ini berbeda dengan Mu'tazilah yang memasukkan "pendosa besar" sebagai orang yang tidak beriman, tapi tidak kafir. Dia diantara dua manzilah (manzilah bainal manzilatain". Sementara kaum khawarij memandangnya sebagai orang kafir. Sedangkan kaum "murji'ah" memandang bahwa "pendosa besar" imannya masih tetap utuh. Ketujuh: Allah Bisa Dilihat di Akhirat Inilah keyakinan kaum sunni. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi sendiri : 62
Artinya: “Ingat, sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana kamu melihat ini (bulan purnama), kamu tidak tertutup dalam melihatNya atau tidak ragu lagi melihatNya”. Sementara kaum Mu'tazilah mengingkari hal tersebut, dengan alasan : jika Allah bisa dilihat, maka berarti Allah menempati ruang dan waktu, padahal hal itu mustahil bagiNya. Dengan demikian Mu'tazilah lebih mendahulukan logika daripada Hadis Nabi. Kedelapan: Kaum Sunni Beriman terhadap Hari Akhir Termasuk didalamnya, adanya siksa kubur, adanya mungkar nakir, adanya syafa'at di hari kiamat, ada timbangan, mahsyar, telaganya Nabi Muhammad, sorga dan neraka, dan semua pengabaran tentang hari akhirat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Masalah Politik : Ahlussunnah mempunyai pandangan yang moderat dalam kehidupan berpolitik dan kehidupan sosial. Diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama: Khilafah Dalam hal khilafah. Kalangan sunni memandang mas'alah khilafah adalah persoalan kemasyarakatan yang bisa di musyawarahkan bersama, siapa yang bisa dijadikan khalifah, dan bagaimana bentuk suatu pemerintahan. Apa yang terjadi pada pergantian kepemimpinan pada masa Khulafa' Rasyidin, semuanya didasarkan asal keputusan musyawarah bersama. Nabi sendiri sebelum meninggal tidak menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya. Sebab jika hal itu terjadi, akan menjadi preseden buruk bagi sistim "syura" yang telah dicanangkan dalam Al-Qur'an. Hal ini berbeda dengan 63
kaum syi'ah yang mengatakan bahwa persoalan kepemimpinan politik adalah berdasarkan penentuan dari Allah (nash) kepada Nabi dan bersifat turun temurun. Kedua : Kepemimpinan Khulafa' Rasyidin. Khulafa Rasyidin yakni kepemipinan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah periode yang terbaik setelah masa Nabi. Kepemimpinan Abu Bakar sah dan syar'i begitu juga khilafah setelahnya. Perilaku keempat pemimpin tersebut bisa dijadikan panutan sebagaimana sabda nabi. Banyak hadis hadis yang memuji keempat khalifah diatas. Hal ini berbeda dengan kaum Syi'ah , terutama Syi'ah Imamiyah, Itsna 'Asyariyah, atau Isma'iliyah, yang mengatakan bahwa Abu Bakar menyerobot kepemimpinan sahabat Ali. Bahkan lebih dari itu kedua sahabat tersebut dikatakan sebagai orang yang sesat. Sahabat Ali lah yang mestinya menjadi khalifah, kemudian dilanjutkan oleh anak cucunya. Ali, menurut Sy'iah adalah imam yang ma'shum (terjaga dari melakukan dosa), bahkan lebih baik dari para Nabi kecuali Nabi Muhammad. Sementara kaum Khawarij mengatakan bahwa Ali mengkafirkannya. Ketiga : Khuruj 'alal Imam Kaum sunni memandang haramnya memberontak kepada kepemimpinan umat yang sah, karena akan mengakibatkan kerusakan yang fatal di tubuh umat, kecuali jika pemimpin tersebut sudah tidak lagi mau menegakkan salat terhadap umatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi : Artinya : “Nabi bersabda: akan ada pemimpin pemimpin, yang kulitmu menjadi lunak (tidak tegang), hatimu menjadi tenang, dan akan ada pemimpin yang hatimu menjadi takut dan kulitmu menjadi tegang. Sahabat bertanya : apakah boleh kami memerangi mereka ? Nabi 64
menjawab: tidak boleh, selama mereka (pemimpin pemimpin tersebut) masih menegakkan salat”. (HR. Ahmad) Semua rakyat harus tunduk kepada pemimpinnya selama tidak mengajak kepada kemaksiatan. Sahabat Ali memerangi kaum khawarij, bukan karena mereka kafir, tapi karena mereka dianggap membangkang (bughat) terhadap pemerintahan yang sah, perusak tatanan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum khawarij yang memberontak kepada Ali hanya karena setuju dengan arbitrase dua orang dari pihaknya dan dari pihak Mu'awiyah. Mereka menganggap bahwa hal itu sama dengan memberikan tahkim kepada manusia, padahal tahkim –kata mereka hanya kepada Allah. Pada saat kepemimpinan beralih dari sistim musyawarah seperti yang terjadi pada masa "Khulafa' Rasyidin" menuju kepada sistim "monarchi" seperti pada masa "Bani Umayah" dan setelahnya, para ulama membiarkannya. Sebab pemberontakan akan menyebabkan mafsadah yang lebih besar. Dari sisi lain, pemerintahan Bani Umayah mempunyai peranan yang besar dalam melakukan ekspansi da'wah pada masa itu. Keempat: Sistim Pemerintahan Kaum sunni memandang bahwa sistim kekhalifahan adalah instrumen dalam bernegara, tapi bukan satu satunya. Jika ada sistim lain seperti republik, monarchi, parlementer, atau lainnya, maka bisa diterima. Yang terpenting adalah bagaimana mengisi negara dengan nilai nilai keislaman, yaitu santun dan berakhlak/bermoral. Pada saat sistim pemerintahan umat Islam beralih dari sistim khilafah ke sistim negara bangsa, kaum sunni tidak menolak, walaupun ada gagasan "Pan Islamisme" oleh Jamaludin al-Afghani. Pada saat ini sistim pemerintahan di negara negara Islam berbeda-beda. 65
Ada yang berbentuk monarchi seperti di Saudi Arabia, Marokko, Yordan dan lain lainnya. Ada yang berbentuk Republik seperti kebanyakan negara Islam. Ulama Ahlussunnah tidak mempersoalkan bentuk negara karena hal itu sebagai wasilah saja bukan ghayah (tujuan). Kelima: Perbedaan Agama Kaum sunni memandang bahwa perbedaan agama diantara masyarakat adalah suatu keniscayaan, yang tidak bisa dielakkan. Adanya perbedaan agama, dan lainnya bukan untuk saling bermusuhan, tapi untuk saling memahami, saling mengenal (ta'aruf) kemudian bekerjasama dalam menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dengan tetap melakukan da'wah dengan bijak dan tanpa paksaan. Kaum sunni melihat sahabat Umar pada waktu memasuki Palestina, beliau tidak membongkar gereja yang ada disana, bahkan membiarkannya. Keenam: Amar Ma'ruf-Nahi Munkar Kaum sunni memandang bahwa "amar ma'ruf – nahi mungkar" harus ditempatkan pada bidangnya yang pas. Tidak boleh gegabah. Harus bertahap dan bijak. Jika tidak, akan berakibat fatal bagi kehidupan umat Islam. Amar ma'ruf harus lebih didahulukan dari Nahi munkar, dan dilakukan dengan cara yang bijak. Mencegah kemungkaran jika bisa menghilangkan kemungkaran tersebut atau meminimalisirnya, maka hal itu perlu dilakukan. Tapi jika menambah kemungkaran atau tidak ada faedahnya sama sekali, maka tak ada gunanya lagi melakukan hal tersebut. (Lih. I'lam alMuwaqqi'in, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah). Ketujuh: Bolehnya Berma'mum dibelakang Imam yang Zalim Kaum sunni membolehkan berma'mum dibelakang Imam yang zalim, banyak bermaksiat. Ibn Umar pernah salat 66
dibelakang Hajjaj bin Yusuf, seorang yang banyak membunuh kaum muslim dimasanya, karena kasus politik. Abul Hasan Asy'ari berkata : Artinya: ”Keyakinan kami adalah kami boleh melakukan salat, jum'at, hari raya, salat salat lainnya, dibelakang Imam yang saleh dan yang zalim”. Diriwayatkan bahwa sahabat Ibn Umar salat dibelakang Hajjaj bin Yusuf. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan sesama umat Islam harus didahulukan. Adanya pimpinan yang zalim tidak serta merta berbuat "mufaraqah" atau bersikap oposan. Kedelapan : Kewajiban Mensalati Setiap Mayit yang Muslim Kaum sunni berpendapat demikian, walaupun si mayit tersebut orang pendosa besar, zalim dan lain sebagainya. Dia masih tetap menjadi orang Islam. Imam Asy'ari berkata : Artinya: ”Kami meyakini untuk melakukan salat mayit terhadap setiap orang Islam (ahlul qiblah), baik yang saleh maupun yang lacur, dan mereka masih bisa saling waris mewarisi”. Hal ini menunjukkan bahwa ahlussunnah memandang baik terhadap sesama umat Islam, tidak mudah mengkafirkan. Penutup Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah, mempunyai pandangan yang moderat dalam berbagai macam segi baik yang berkaitan dengan akidah, politik maupun dalam sosial kemasyarakatan. Sangat wajar bahwa pengikut Ahlussunnah wal Jama'ah merupakan mayoritas umat Islam di dunia saat ini, karena ajarannya bersandar kepada dua sumber utama yang disepakati oleh 67
seluruh umat Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Ulama terkemuka umat Islam dalam berbagai bidang, seperti Hadis, Fikih, Tasawuf, Nahwu/Sharaf, Balaghah, sampai yang menggeluti ilmu umum, adalah mayoritas sunni. Ajaran sunni juga bisa diterima oleh orang awam sekalipun, karena rasional, tidak eksklusif, manusiawi, moderat, tasamuh, tawazun, ta'adul. Sikap keras terhadap lawan, mau menang sendiri, mudah mengkafirkan orang lain, adalah bukan watak kaum sunni. Penulis juga melihat bahwa adanya kelompok kelompok dalam tubuh kaum muslimin, adalah karena sebab sebab tertentu yang telah diketahui bersama. Hal itu sudah berlalu. Perpecahan akan melemahkan sendi sendi kekuatan kaum muslimin. Walaupun umat Islam pada saat ini mayoritas, tapi dalam percaturan dunia tidak memberikan sumbangan yang signifikan, baik dalam sektor ekonomi, ilmu pengetahuan, bahkan menjadi beban bagi bangsa lain. Mereka banyak yang masih dililit kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, masih terpecah belah, banyak memikirkan diri sendiri sendiri. Kaum muslimin tidak perlu lagi melihat kebelakang, yaitu membicarakan hal hal yang menjadikan mereka menguras banyak sekali energi, memperdebatkan hal hal yang sudah menjadi bagian masa lalu. Banyak hal yang tidak lagi signifikan dibicarakan pada masa kini. Kaum muslimin perlu melihat kedepan, bagaimana mengangkat harakat umat Islam dalam percaturan kehidupan dunia, yaitu dengan bersatu padu, bersama sama menggali potensi sumberdaya manusia, mengembangkan semua keilmuan yang dibutuhkan oleh manusia saat ini, dengan tetap menjaga nilai nilai Islam yang damai, sejuk, manusiawi, moderat, agar Islam betul betul menjadi agama yang Rahmatan lil 'alamin.
68
DAFTAR PUSTAKA Shahih al-Bukhari. Abul Hasan al-Asy'ari. Al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah, alMaktabah asy-Syamilah. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. I'lam al-Muwaqqi'in. Sa'id bin Ali al-Qahthani, Bayan Aqidah Ahlissunnah wal Jama'ah,. (al-Maktabah asy-Syamilah).
69
70
5
KONSEP WASATHIYAH DALAM ISLAM Oleh: Dr. H. Mukhlis Hanafi, MA 30
Pendahuluan
I
slam dan umat Islam saat ini menghadapi paling tidak dua tantanga: pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrim dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat Muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan. Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrim dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Kecenderungan pertama boleh jadi lahir karena melihat kenyataan Islam dan umat Islam saat ini yang berada dalam kemunduran dan keterbelakangan di segala bidang. Karena itu untuk meraih kebangkitan dan kejayaan seperti yang pernah dicapai generasi terdahulu dapat dilakukan dengan cara kembali kepada tradisi generasi terdahulu (al-salaf al-shâlih). Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (Al-Qur`an dan hadis) dan karya-karya ulama klasik (turâts) sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi dengan memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka tampak seperti “generasi yang terlambat lahir”, sebab hidup di tengah masyarakat modern dengan cara berpikir generasi terdahulu. Mereka tidak sadar bahwa zaman
30 Kepala Bidang Pengakajian Al-Qur’an Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
71
selalu berkembang dan telah berubah. Islam pun tampak sebagai ajaran yang eksklusif, jumud dan tidak bisa sejalan dengan modernitas. Di sisi lain, semangat untuk mengedepankan Islam sebagai agama yang selalu sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu telah mendorong sejumlah kalangan untuk mengimpor berbagai pandangan dan pemikiran dari budaya dan peradaban asing yang saat ini didominasi oleh pandangan materialistik. Bahkan tidak jarang dilakukan dengan mengorbankan teks-teks keagamaan melalui penafsiran kontekstual. Kedua sikap di atas tidak menguntungkan Islam dan umat Islam. Kecenderungan pertama telah memberikan citra negatif kepada Islam dan umat Islam sebagai agama dan komunitas masyarakat yang eksklusif dan mengajarkan kekerasan dalam dakwahnya. Sementara kecenderungan kedua telah mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya karena lebur dan larut dalam budaya dan peradaban lain. Yang pertama terlalu ketat bahkan cenderung menutup diri dalam sikap keberagamaan, dan yang kedua terlalu longgar dan terbuka sehingga mengaburkan esensi ajaran agama itu sendiri. Kedua sikap ini tentu bertentangan dengan karakteristik umat Islam yang dalam QS. Al-Baqarah : 143 disebut sebagai ummatan wasathan dengan pengertian tengahan, moderat, adil dan terbaik. Sifat wasath ini diperoleh karena ajaran yang dianutnya bercirikan wasathiyyah. Karakter dasar ajaran Islam yang moderat saat ini tertutupi oleh ulah sebagian kalangan umatnya yang bersikap radikal di satu sisi dan liberal di sisi lain. Kedua sisi ini tentu berjauhan dengan titik tengah (wasath). Mungkin ada benarnya ungkapan sementara kalangan yang menyatakan Islam tertutupi oleh umat Islam (al-Islâm mahjûbun bil Muslimîn). 72
Pengertian Secara bahasa al-wastahiyyah berasal dari kata wasath yang memiliki makna yang berkisar pada adil, baik, tengah dan seimbang31. Seseorang yang adil akan berada di tengah dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan. Bagian tengah dari kedua ujung sesuatu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata ini mengandung makna baik seperti dalam ungkapan “sebaik-sebaik urusan adalah awsathuha (yang pertengahan)” karena yang berada di tengah akan terlindungi dari cela atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir. Kebanyakan sifat-sifat baik adalah pertengahan antara dua sifat buruk, seperti sifat berani yang menengahi antara takut dan sembrono, dermawan yang menengahi antara kikir dan boros dan lainnya. Pandangan ini dikuatkan oleh ungkapan Aristoteles yang mengatakan, “sifat keutamaan adalah pertengahan di antara dua sifat tercela”32. Begitu melekatnya kata wasath dengan kebaikan sehingga pelaku kebaikan itu sendiri dinamai juga wasath dengan pengertian orang yang baik. Karena itu ia selalu adil dalam memberi keputusan dan kesaksian33. Dalam QS. Al-Baqarah : 143 umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka adalah umat yang akan menjadi saksi dan atau disaksikan oleh seluruh umat manusia sehingga harus adil agar bisa diterima kesaksiannya. Atau harus baik dan berada di tengah karena mereka akan disaksikan oleh seluruh umat manusia. Tafsir kata wasath pada ayat tersebut dengan adil diriwayatkan oleh Abu Sa`id al-Khudri dari Rasulullah SAW. Dari kata ini pula lahir kata wasit dalam bahasa Indonesia Ibnu Faris, Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, 1/522 Yusuf al-Qaradhawi, Al-Kahashâ`ish al-Âmmah li al-Islâm (Kairo : Maktabah Wahbah, Cet. IV, 1996), h. 121 33 Muhammad Ali Al-Najjar, Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm (Kairo : Majma` al-Lughah al-Arabiyyah, 1996), 6/248 31 32
73
yang bermakna ;1) penengah; perantara (dagang dsb); 2) penentu; pemimpin (dalam pertandingan sepakbola, bola voli dsb); 3) pemisah; pelerai (antara yang berselisih dsb)34. Dalam al-Qur`an kata wasath dan derivasinya disebut sebanyak lima kali dengan pengertian yang sejalan dengan makna di atas. Pakar tafsir Abu al-Su`ud menulis, kata wasath pada mulanya menunjuk pada sesuatu yang menjadi titik temu semua sisi seperti pusat lingkaran (tengah). Kemudian berkembang maknanya menjadi sifat-sifat terpuji yang dimiliki manusia karena sifat-sifat tersebut merupakan tengah dari sifat-sifat tercela35. Demikian pula makna kata tersebut dalam hadis. Pakar kosa kata hadis, Ibnu al-Atsir, ketika menjelaskan hadis yang berbunyi “Khayru al-Umûri Awsâthuha” menjelaskan bahwa setiap sifat terpuji memiliki dua sisi (ujung) yang tercela. Sifat dermawan adalah pertengahan antara kikir dan boros, berani pertengahan antara takut dan sembrono. Manusia diperintah untuk menjauhi segala sifat tercela yaitu dengan menjauhkan diri dari sifat tersebut. Semakin jauh dari sifat tersebut maka dia akan semakin terbebas dari sifat tercela itu. Posisi yang paling jauh dari kedua sisi/ujung itu adalah tengahnya. Karena itu yang berada di tengah akan terjauhkan dari sisi-sisi yang tercela36. Dari pengertian di atas tampak bahwa kata wasath (tengah) yang memiliki makna baik dan terpuji berlawanan dengan kata pinggir (al-tharf) yang berkonotasi negative, sebab yang berada di pinggir akan mudah tergelincir. Sikap keberagamaan yang tawassuth (tengahan) berlawanan dengan tatharruf (pinggiran/ berada di ujung), baik di ujung kiri maupun kanan. Dalam bahasa Arab modern kata tatharruf 34
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2005).
35
Abu al-Su`ud, Irsyâd al-Aql al-Salîm, 1/123 Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wal Atsar, 5/399
h. 1270 36
74
berkonotasi makna radikal, ekstrim dan berlebihan. Kata tatharruf yang menggambarkan sikap keberagamaan demikian tidak ditemukan dalam Al-Qur`an maupun hadis. Sikap seperti itu dalam al-Qur`an diungkapkan dengan kata alghuluww seperti dalam firman-Nya : Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". Kata ini digunakan sebanyak dua kali dalam al-Qur`an dengan pengertian melampaui batas (mujâwazat al-hadd)37. Makna ini juga digunakan dalam salah satu hadis Rasulullah yang berbunyi : “Wahai manusia, hindarilah sikap berlebihan (melampaui batas), sebab umat-umat terdahulu binasa karena sikap melampaui batas dalam beragama (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). Dalam hadis yang lain, sikap seperti itu disebut juga dengan tanaththu`. Dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah Ibn Mas`ud, Rasulullah mengingatkan bahwa mereka yang memiliki sifat tanaththu’ akan hancur atau binasa. Mereka itulah yang berlebihan dan melampaui batas dalam ucapan dan perbuatan. Untuk mengetahui lebih jauh karakteristik tawassuth dan tatharruf penulis akan uraikan dalam pembahasan berikut.
37
Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, 4/295
75
Antara al-Wasathiyyah dan al-Ghuluww Sebagai agama terakhir dan bersifat universal ajaran Islam bercirikan wasathiyyah. Dalam buku strategi alwasathiyyah yang dikeluarkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait, al-wasathiyyah didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas sikap tawâzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat38. Dengan pengertian ini sikap moderat akan melindungi seseorang dari kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan. Ulama terkemuka, Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, al-wasathiyyah dapat disebut juga dengan al-tawâzun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolakbelakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lainnya. Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit39. Wasathiyyah (moderasi) ajaran Islam tercermin antara lain dalam hal-hal berikut : 38 Dikutip dan diterjemahkan dari dokumen yang diterbitkan pemerintah Kuwait sebagai strategi untuk menyosialisasikan konsep al-wasathiyyah melalui pemahaman yang toleran dan moderat, tanpa tahun. 39 Yusuf al-Qaradhawi, 115
76
1. Akidah Akidah Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan, berada di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar, dan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik. Selain mengajak beriman kepada yang ghaib, Islam mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS. Al-Baqarah : 111), demikian prinsip yang selalu diajarkannya. Dalam keimanan Islam tidak sampai mempertuhankan para pembawa risalah dari Tuhan, karena mereka adalah manusia biasa yang diberi wahyu, dan tidak menyepelekannya bahkan sampai membunuhnya seperti yang dilakukan umat Yahudi. 2. Ibadah dan syiar agama Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas, misalnya salat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, haji sekali seumur hidup, agar selalu ada komunilkasi antara manusia dengan Tuhannya. Selebihnya Allah mempersilahkan manusia untuk berkarya dan bekerja mencari rezeki Allah di muka bumi. Kewajiban melaksanakan ibadah tidak banyak dan menyulitkan, juga tidak menghalangi seseorang untuk bekerja mencari nafkah. Moderasi dalam peribadatan ini tercermin sangat jelas dalam firman Allah : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
77
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Qs. AlJumu`ah : 9-10). Jika datang waktu salat jumat tinggalkan seluruh aktifitas dagang, dan bilamana salat usai maka lanjutkan aktifitas berdagang dengan tujuan memperoleh karunia Allah dan senantiasa ingat akan Allah agar mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat. 3. Akhlak Dalam pandangan Al-Qur`an manusia terdiri dari dua unsur; ruh dan jasad. Dalam proses penciptaan manusia pertama (Adam) dijelaskan bahwa Allah telah menciptakannya dari tanah kemudian meniupkan ke dalam tubuhnya ruh (QS. Shad : 71-72). Kedua unsur itu memiliki hak yang harus dipenuhi. Karena itu Rasulullah mengecam keras Sahabatnya yang dianggapnya berlebihan dalam beribadah dengan mengabaikan hak tubuhnya, keluarga dan masyarakatnya. Beliau bersabda: “Puasa dan berbukalah, bangun malam (untuk salat) dan tidurlah, sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, isterimu punya hak yang harus dipenuhi”. (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash) Unsur tanah mendorong manusia untuk selalu menikmati kesenangan dan keindahan yang dikeluarkan oleh bumi/ tanah, sementara unsur ruh mendorongnya untuk menggapai petunjuk langit. Unsur jasad membuatnya cocok untuk menerima tugas memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di muka bumi. Seandainya hanya unsur ruh yang dominan seperti malaikat maka manusia tidak akan terdorong melakukan aktifitas menggali kandungan bumi dan bekerja untuk memakmurkannya. Dan dengan unsur ruh yang dimilikinya manusia siap untuk menuju alam 78
kesempurnaan dan menjadi paripurna. Selain menyerukan manusia untuk bekerja dan beraktifitas di muka bumi, AlQur`an juga mengajak manusia untuk mempersiapkan diri dan berbekal menuju kehidupan akhirat, yaitu dengan keimanan, ibadah dan menjalin hubungan dengan Allah SWT. Kehidupan dunia bukanlah penjara tempat manusia disiksa, tetapi sebuah nikmat yang harus disyukuri dan sebagai ladang untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Karena itu kerja dunia tidak boleh mengabaikan akhirat. Kaseimbangan (tawâzun) ini bukan hanya berlaku dalam sikap keberagaman, tetapi di alam raya ini juga berlaku prinsip keseimbangan. Malam dan siang, cahaya dan gelap, panas dan dingin, daratan dan lautan diatur sedemikian rupa secara seimbang dan penuh perhitungan agar yang satu tidak mendominasi dan mengalahkan yang lain. Nafas yang menjadi kebutuhan setiap insan sesungguhnya juga merupakan bentuk keseimbangan antara menghirup dan menghembus. Maka tidak bisa dibayangkan seandainya proses menghirup nafas, atau sebaliknya proses menghembuskan nafas, masing-masing dilakukan dalam waktu lama, maka manusia akan mati, atau paling tidak menimbulkan ketidaknyamanan. Demikian pula antara pikiran dan perasaan yang memerlukan keseimbangan. Ketidakseimbangan antara keduanya, misalnya perasaan yang mendominasi akal, akan menyebabkan gangguan kejiwaan, seperti halnya pemikiran seseorang akan kacau manakala tidak diimbangi perasaan. Dalam QS. Al-Hadid : 25 Allah berfirman : ”Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”. 79
Al-mîzân atau al-wazn adalah alat untuk mengetahui keseimbangan barang dan mengukur beratnya. Biasa diterjemahkan dengan neraca/timbangan. Kata ini digunakan secara metafor untuk menunjuk keadilan dan keseimbangan yang menjadi kata kunci kesinambungan alam raya. Ketiga ayat di atas disebut dalam kontek surah al-Rahmân yang menjelaskan karunia dan nikmat Allah di dunia yang berada di darat, laut dan udara, serta karunia-Nya di akhirat. Konteks penyebutan yang demikian mengesankan bahwa kenikmatan dunia dan di akhirat hanya dapat diperoleh dengan menjaga keseimbangan (tawâzun, wasathiyyah) dan bersikap adil serta proporsional. Bencana alam yang belakangan ini sering terjadi disebabkan antara lain oleh adanya ketidakseimbangan dalam ekosistem di alam raya ini akibat meningkatnya gas emisi rumah kaca yang berdampak pada global warning, penebangan pohon di hutan secara liar, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya. Salah satu nikmat Allah yang terbesar adalah nikmat keberagamaan yang juga harus disikapi secara proporsional, tidak berlebihan. Dengan kata lain, ajaran agama akan berfungsi secara baik sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia manakala dipahami dengan tawassuth dan tawâzun. Bila tidak maka akan timbul persoalan besar seperti dialami oleh umat-umat terdahulu. QS. Al-Maidah : 77 di atas mengingatkan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) agar tidak bersikap ghuluww dalam beragama. Sikap ghuluww Yahudi tampak dalam bentuk keberanian/ kelancangan membunuh para Nabi, berlebihan dalam mengharamkan beberapa hal yang dihalalkan Tuhan, dan cenderung materialistic. Sementara Nasrani berseberangan dengan Yahudi dengan menuhankan Nabi, membolehkan segala sesuatu dan
80
cenderung mengedepankan spiritual40. Umat Islam tidak diperkenankan mengikuti jalan ghuluww yang menyimpang, tetapi diperintahkan untuk mengikuti jalan yang lurus dan benar (al-shirâth al-mustaqîm). Paling tidak tujuh belas kali dalam sehari, melalui surat al-fatihah ayat 6 dan 7, umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan lurus yang berada di tengah antara jalan-jalan yang menyimpang dari tujuan. Jalan lurus itu adalah jalan yang yang ditempuh oleh para nabi, shiddiqîn, syuhadâ dan shâlihîn, bukan jalan mereka yang dimurkai oleh Allah dan berada dalam kesesatan. Rasulullah SAW mencontohkan di antara mereka yang dimurkai itu adalah Yahudi, dan yang sesat itu adalah Nasrani. Sikap ghuluww itu terkadang bermula dari hal-hal kecil. Hadis Rasulullah SAW yang mengingatkan umat Islam akan bahaya sikap ghuluww di latarbelakangi oleh sebuah peristiwa sederhana. Ketika selesai melontar Aqabah pada hari kesepuluh Dzul Hijjah, Rasulullah meminta kepada sahabat dan sepupunya, Ibnu Abbas, untuk mengambilkan beberapa kerikil untuk keperluan melontar. Ibnu Abbas lalu memberikan beberapa kerikil kecil kepada Nabi dan saat itu beliau bersabda agar waspada terhadap sikap ghuluww. Relevansi peringatan tersebut dengan kerikil-kerikil kecil yang diberikan kepada beliau adalah karena melontar itu adalah simbol dari melempar setan, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim, maka boleh jadi akan ada yang berpikiran bahwa melempar dengan batu-batu yang besar akan lebih utama daripada kerikil kecil. Dengan ucapannya itu Rasulullah seakan ingin mengantisipasi sejak dini sikap berlebihan dalam beragama yang akan timbul di kalangan umatnya41. Yusuf al-Qaradhawi, h. 121 Yusuf al-Qaradhawi, Al-Shahwah al-Islâmiyyah Bayna al-Jumûd wa alTatharruf, (Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. I, 2001), h. 25 40 41
81
Al-ghuluww dalam beragama yang menjauh dari wasathiyyah ditandai dengan beberapa sikap, antara lain : 1. Fanatik terhadap Salah Satu Pandangan Sikap fanatik yang berlebihan ini mengakibatkan seseorang menutup diri dari pandangan-pandangan lain, dan menganggap pandangan yang berbeda dengannya sebagai pandangan yang salah atau sesat. Padahal para salaf shaleh bersepakat menyatakan, setiap orang dapat diambil dan ditinggalkan pandangannya kecuali Rasulullah SAW. Perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar membuat seseorang tidak bisa bertemu dengan lainnya, sebab pertemuan akan mudah terjadi jika berada di tengah jalan, sementara dia tidak tahu mana bagian tengah dan tidak mengakui keberadaannya. Seakan dia memposisikan dirinya berada di timur dan orang lain di barat. Akan lebih berbahaya lagi jika kemudian diikuti dengan pemaksaan pendapat atau pandangan yang dianutnya kepada orang lain dengan menggunakan kekerasan, atau dengan melempar tuduhan sebagai ahli bid`ah atau sesat atau bahkan kafir terhadap mereka yang berbeda pandangan dengannya. 2. Cenderung Mempersulit Dalam beragama seseorang boleh saja berpegangan pada pandangan yang ketat terutama dalam masalah-masalah fiqih, seperti tidak menggunakan rukhshah/ keringanan atau kemudahan padahal itu dibolehkan, sebagai bentuk kehati-hatian. Tetapi akan kurang bijak jika kemudian ia mengharuskan masyarakat mengikutinya padahal kondisi mereka tidak memungkinkan, atau berdampak menyulitkan orang lain. Sebagai contoh menganjurkan masyarakat untuk melakukan ibadah sunat seakan ibadah 82
wajib, atau sesuatu yang makruh diposisikan sebagai sesuatu yang haram. Apalagi hal itu dilakukan terhadap mereka yang baru mengenal Islam, atau baru bertobat dari kesalahan masa lampau. Secara pribadi, atau dalam kesendirian, Rasulullah adalah seorang yang sangat kuat dalam beribadah, sampai-sampai setiap salat beliau memanjangkan bacaan atau salatnya sehingga kedua kakinya bengkak (kapalan). Tetapi manakala mengimami salat di masjid beliau memperhatikan kondisi jamaah yang sangat beragam dan tidak memperpanjang bacaan. Dalam salah satu sabdanya beliau berpesan, “Jika seseorang mengimami orang lain maka berilah keringanan (dengan memperpendek bacaan), sebab boleh jadi di antara mereka ada orang sakit, orang yang lemah, dan orang tua/ renta. Dan jika ia salat sendirian maka perpanjanglah sesuai kehendak”. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Agama Islam itu penuh dengan kemudahan, dan tidak mempersulit manusia (QS. Al-Maidah : 6, QS. Al-Hajj : 78), karena itu “berikanlah kemudahan kepada orang lain, dan jangan persulit mereka”, demikian sabda Rasulullah (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik). 3. Berperasangka Buruk Kepada Orang Lain Sikap merasa paling benar menjadikan seseorang berperasangka buruk kepada orang lain, dan melihat orang lain dengan kaca mata hitam, seakan tidak ada kebaikan pada orang lain, serta tidak berusaha memahami dasar pemikiran orang lain yang berbeda dengannya. Sehingga bila ada yang berbeda denganya seperti dalam hal memegang tongkat saat khutbah, atau makan di lantai seperti yang Nabi lakukan, dianggap tidak mengikuti sunnah atau tidak mencintai Rasul. Atau bila mendapati 83
seorang ulama berfatwa dalam hukum yang memberi kemudahan dianggap telah menggampangkan atau sebagai sebuah keteledoran dalam beragama. Padahal salaf shaleh mengajarkan agar setiap Muslim selalu berperasangka baik kepada orang lain dan berusaha memahami alasannya sampai pun bila ada tujuh puluh indikator kesalahan, sebab boleh jadi masih ada satu indikator lain yang menunjukkan dirinya benar42. Sikap ini lahir dari rasa `ujub, atau merasa dirinyalah yang paling benar, dan itulah pangkal kebinasaan seperti kata Ibnu Mas`ud. Sufi terkemuka Ibnu Athaillah mengingatkan, “boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan kepada seseorang tetapi tidak dibukakan baginya pintu diterimanya sebuah amal, dan boleh jadi seseorang ditakdirkan berbuat maksiat tetapi itu menjadi sebab seseorang mencapai keridaan Allah. Kemaksiatan yang melahirkan kehinaan atau perasaan bersalah lebih baik dari pada ketaatan atau kebaikan yang melahirkan rasa bangga diri dan sombong”43. 4. Mengkafirkan Orang Lain Sikap ghuluww yang paling berbahaya manakala sampai pada tingkat mengkafirkan orang lain, bahkan menghalalkan darahnya. Ini pernah terjadi pada kelompok Khawarij di masa awal Islam yang sangat taat dalam beragama dan melaksanakan semua ibadah seperti puasa, salat malam dan membaca Al-Qur`an, tetapi karena pemikiran yang ghuluww mereka menghalalkan darah banyak orang Muslim. Sampai-sampai seorang ulama yang tertangkap oleh kelompok Khawarij agar terbebas dari pembunuhan mengaku dirinya sebagai seorang 42 43
84
Yusuf al-Qaradhawi, h. 43 Ibnu Ajibah, Îqâzh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, h. 112
musyrik yang mencari perlindungan dan ingin mendengar firman Allah. Sesuai QS. Al-Tawbah : 6 orang itu harus dilindungi sampai betul-betul merasa aman. Justru seandainya dia mengaku sebagai seorang Muslim maka mereka akan membunuhnya. Pandangan tatharruf atau ghuluww ini pula yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang khalifah; Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sayyiduna Usman dibunuh oleh sekelompok orang yang mengaku dirinya Muslim, dan melakukan pembunuhan atas dasar fatwa menyimpang yang menghalalkan darahnya karena dianggap kafir. Demikian pula Imam Ali yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij. Bahkan dengan bangganya setelah berhasil membunuh Imam Ali dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah terimalah jihadku, sesungguhnya saya melakukan itu demi Engkau dan di jalan Engkau”44. Apa yang dulu dillakukan kelompok Khawarij saat ini juga banyak ditemukan, yaitu dengan mengafirkan para penguasa di negara-negara Muslim dengan alasan tidak menerapkan hukum Tuhan, bahkan mengafirkan para ulama yang tidak mengafirkan para penguasa itu, dengan alasan mereka yang tidak mengafirkan orang kafir termasuk kafir45. Sesuai ajaran Rasul, seseorang tidak boleh dengan mudah mengafirkan orang lain, sebab berimplikasi hukum yang panjang seperti halal darahnya, dipisah dari isterinya (cerai paksa), tidak saling mewarisi, jika meninggal tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disalatkan dan tidak 44 Muhammad Habsy, Risalat `Ammân …. Limâdzâ? Fiqh al-Jihâd wa Bu`s alFitnah, dalam Awrâq al-Amal al-Muqaddamah fi Al-Mu`tamar al-Wathaniyy al-Awwal li Ta`shîl al-Fikr al-Tanwîriy ladâ al-Syabâb al-Urduniyy; Qirâ`ah fî Madhâmîn Risâlat `Ammân (Amman : Al-Majlis al-A`lâ li al-Syabâb, 2008), h. 171 45 Yusuf al-Qaradhawi, al-Shahwah al-Islamiyyah, h. 47
85
dikubur di pekuburan Muslim. Seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun dalam keadaan terpaksa, adalah Muslim yang harus dilindungi. Kemaksiatan, sampai pun itu dosa besar, tidak membuat seseorang keluar dari agama, selama tidak menolak hukum Allah. Demikian beberapa ciri dari sikap ghuluww atau tatharruf dalam beragama. Dengan mengetahui itu akan dengan mudah mengenali ciri-ciri wastahiyyah. Secara lebih rinci akan penulis urai dalam pembahasan berikut. Ciri-Ciri al-Wastahiyyah Sikap moderat dalam beragama, terutama dalam memahami dan mengamalkan teks-teks keagamaan, ditandai dengan beberapa ciri antara lain : 1. Memahami Realitas (fiqh al-wâqi`) Kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang tiada batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Karena itu ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tsawâbit (tetap), dan hal-hal yang dimungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu (mutaghayyirât). Yang tsawâbit hanya sedikit, yaitu berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, mu`malah dan akhlaq, dan tidak boleh diubah. Sedangkan selebihnya mutaghayyirât yang bersifat elastis/fleksibel (murûnah) dan dimungkinkan untuk dipahami sesuai perkembangan zaman. Kenyataan inilah yang mendasari beberapa lembaga fatwa terkemuka di negara-negara minoritas Muslim untuk mengambil pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dari kitab-kitab fiqih, misalnya membolehkan seorang wanita yang masuk Islam untuk mempertahankan perkawinannya sementara 86
suaminya tetap dalam agama semula, seperti yang difatwakan oleh Majlis Fatwa dan Riset Eropa. Segala tindakan hendaknya diperhitungkan maslahat dan madaratnya secara realistis, sehingga jangan sampai keinginan melakukan kemaslahatan mendatangkan madarat yang lebih besar. Contoh, menggulingkan seorang pemimpin yang zalim adalah sebuah keharusan, tetapi para fuqaha membolehkan untuk membiarkannya berkuasa manakala upaya penggulingan itu akan mengakibatkan bahaya atau madarat yang lebih besar. Atas dasar pertimbangan realistis pula para ulama merumuskan kaidah-kaidah seperti al-dhararu lâ yuzâlu bi al-dharar. Selama 13 tahun Nabi berdakwah dan mendidik generasi Islam di Mekah, beliau bersama pengikutnya hidup di tengah kemusyrikan. Tidak kurang dari 360 patung terpajang di sekeliling ka`bah sementara beliau salat dan tawaf di sekelilingnya. Tetapi tidak pernah terpikir olehnya atau pengikutnya untuk menghancurkan patung-patung yang melambangkan kemusyrikan karena Nabi merasa belum memiliki kekuatan untuk itu. 2. Memahami Fiqih Prioritas (fiqh al-awlawiyyat) Di dalam Islam perintah dan larangan ditentukan bertingkat-tingkat. Misalnya perintah ada yang bersifat anjuran, dibolehkan (mubâh), ditekankan untuk dilaksanakan (sunnah mu`akkadah), wajib dan fardhu (`ain dan kifâyah). Sedangkan larangan ada yang bersifat dibenci bila dilakukan (makruh) dan ada yang sama sekali tidak boleh dilakukan (haram). Demikian pula ada ajaran Islam yang bersifat ushûl (pokok-pokok/ prinsip), dan ada yang bersifat furû (cabang). Sikap moderat menuntut seseorang untuk tidak mendahulukan dan mementingkan hal-hal yang bersifat sunnah, dan meninggalkan yang wajib. 87
Mengulang-ulang ibadah haji adalah sunnah, sementara membantu saudara muslim yang kesusahan, apalagi tetangganya, adalah sebuah keharusan bila ingin mencapai kesempurnaan iman. Maka yang wajib seyogianya didahulukan dari yang sunnah. Demikian pula penentuan hilal puasa dan idul fitri adalah persoalan furûi’yyah yang tidak boleh mengalahkan dan mengorbankan sesuatu yang prinsip dalam ajaran agama yaitu persatuan umat. 3. Memahami Sunnatullâh dalam Penciptaan Sunnatullâh dimaksud adalah graduasi atau penahapan (tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan agama. Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam enam masa (sittati ayyâm), padahal sangat mungkin bagi Allah untuk menciptakannnya sekali jadi dengan “kun fayakûn”. Demikian pula penciptaan manusia, hewan dan tumbuhtumbuhan yang dilakukan secara bertahap. Seperti halnya alam raya, ajaran agama pun diturunkan secara bertahap. Pada mulanya dakwah Islam di Mekkah menekankan sisi keimanan/tauhid yang benar, kemudian secara bertahap turun ketentuan-ketentuan syariat. Bahkan dalam menentukan syariat pun terkadang dilakukan secara bertahap seperti pada larangan minum khamar yang melalui empat tahapan (baca : QS. Al-Nahl : 67, QS. AlBaqarah : 219, QS. Al-Nisa : 43, QS. Al-Maidah 90). Tahapan dalam ajaran agama terbaca jelas dalam ungkapan Sayyidah Aisyah : “Yang pertama kali turun dari Al-Qur`an adalah surah-surah yang menyebutkan surga dan neraka, kemudian ketika orang banyak masuk Islam turunlah ketentuan halal dan haram. Kalau yang turun pertama kali “jangan minum khamar”, maka mereka akan mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan khamar selamanya”, dan bila pertama kali turun “jangan berzina”, maka 88
mereka akan mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan perbuatan zina selamanya” (HR. Al-Bukhari dari Aisyah). Sunnatullah yang berbentuk tadarruj ini perlu mendapat perhatian dari mereka yang berkeinginan untuk mendirikan negara Islam demi tegaknya syariat/ hukum Tuhan. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan peta kekuatan dan hambatan yang ada. Keinginan sebagian kalangan untuk menegakkan negara Islam dengan menggunakan kekuatan atau kekerasan dalam sejarah di banyak negara Islam, termasuk Indonesia, justru merugikan dakwah Islam, sebab pemerintah negara-negara itu menghadapinya secara represif. 4. Memberikan Kemudahan Kepada Orang Lain dalam Beragama Memberikan kemudahan adalah metode al-Qur`an dan metode yang diterapkan oleh Rasulullah. Ketika mengutus Mu`adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy`ari ke Yaman, beliau berpesan agar keduanya memberi kemudahan dalam berdakwah dan berfatwa, dan tidak mempersulit orang (yassirâ walâ tu`assirâ) (HR. Al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy`ari). Ini tidak berarti sikap moderat mengorbankan teks-teks keagamaan dengan mencari yang termudah bagi masyarakat, tetapi dengan mencermati teks-teks itu dan memahaminya secara mendalam untuk menemukan kemudahan yang diberikan oleh agama. Bila dalam satu persoalan ada dua pandangan yang berbeda, yang satu lebih ketat dan yang lainnya lebih mudah, maka yang termudah itulah yang diambil sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah bahwa setiap kali beliau disodorkan dua pilihan beliau selalu mengambil yang paling mudah di antara keduanya.
89
5. Memahamai Teks Keagamaan Secara Komprehensif Syariat Islam akan dapat dipahami dengan baik manakala sumber-sumber ajarannya (Al-Qur`an dan hadis) dipahami secara komperhensif, tidak parsial (sepotongsepotong). Ayat-ayat Al-Qur`an, begitu pula hadis-hadis Nabi, harus dipahami secara utuh, sebab antara satu dengan lainnya saling menafsirkan (al-Qur`ân yufassiru ba`dhuhu ba`dhan). Dengan membaca ayat-ayat Al-Qur`an secara utuh akan dapat disimpulkan bahwa kata jihad dalam al-Qur`an tidak selalu berkonotasi perang bersenjata melawan musuh, tetapi dapat bermakna jihad melawan hawa nafsu dan setan46. Membaca al-Qur`an secara utuh dapat diibaratkan seperti melihat tahi lalat di wajah seorang perempuan yang memberinya nilai plus dan menambah daya tarik. Tetapi tidak akan menarik bilamana yang diperhatikan hanya tahi lalatnya. Demikian pula ajaran al-Qur`an akan tampak sebagai sebuah rahmatan lil âlamîn, berwatak toleran dan damai bila dicermati semangat umum ayat-ayatnya. Sebaliknya bila ayat-ayat qitâl (perang) yang diperhatikan, terlepas dari konteks dan kaitannya dengan ayat-ayat lain, maka alQur`an akan terkesan sebagai ajaran keras, kejam dan tidak toleran. 6. Terbuka dengan Dunia Luar, Mengedepankan Dialog dan Bersikap Toleran Sikap moderat Islam ditunjukkan melalui keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan, termasuk pilihan untuk beriman atau tidak (QS. Al-Kahf : 29). 46
90
Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, h. 101
Perbedaan sebagai sebuah keniscayaan dinyatakan dalam firman Allah : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. Ungkapan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki manusia satu pandangan, dan penggunaan bentuk kata kerja yang menunjuk pada masa mendatang (al-fi`l al-mudhâri`) menunjukan bahwa perbedaan di antara manusia akan terus terjadi. Karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama maupun dengan penganut agama lain, tidak sejalan dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan alQur`an. Selain itu dalam pandangan Al-Qur`an manusia secara keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrîm) dari Allah SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra : 70). Hubungan sesama manusia harus senantiasa dijaga. Maka ketika di hadapan Rasulullah melintas jenazah orang Yahudi, beliau berdiri memberi penghormatan dengan alasan, “bukankah ia juga manusia” (alaysat nafsan) (HR. Al-Bukhari). Keterbukaan dengan sesama mendorong seorang Muslim moderat untuk melakukan kerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan bersama dalam kehidupan. Prinsipnya adalah, bekerjasama dalam hal-hal yang menjadi 91
kesepakatan untuk diselesaikan secara bersama, dan bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada” (nata`âwanu fîmâ ittafaqnâ wa ya`dzuru ba`dhunâ ba`dhan fîmâ ikhtalafnâ). Bila dengan yang berbeda agama sikap moderasi Islam menuntut keterbukaan, kerjasama dan toleransi, maka tentu dengan sesama Muslim yang berbeda pandangan lebih patut ditegakkan sifat-sifat tersebut. Demikian antara lain beberapa ciri wastahiyyah. Khâtimah Al-Qur`an menyebut umat Islam sebagai umat terbaik yang akan menegakkan kebenaran dan menghalau kebatilan. Kebaikan tersebut diperoleh karena sifat moderat yang dimiliknya (ummatan wasathan) yang menuntut adanya keadilan dan kebaikan. Dunia internasional saat ini membutuhkan itu. Tetapi untuk mewujudkannya tidaklah mudah, dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Sebuah perubahan masyarakat akan terwujud jika dimulai dari upaya memperbaiki diri sendiri, maka mulailah dengan menerapkan konsep al-wasathiyyah dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran individu maupun kelompok. Semoga dengan begitu wajah Islam yang damai, moderat dan toleran akan mendatangkan rahmat dan kedamaian bagi umat manusia.
92
BAB III PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI PROVINSI LAMPUNG
1
Oleh: Dr. Arsyad Sobby Kesuma 47
P
ondok Pesantren pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa. Maka dalam konteks itu, dewasa ini pemberdayaan semakin dibutuhkan untuk pengembangan jaringan dan kerjasama antar pengasuh pondok pesantren. Memang merupakan perjuangan yang cukup berat bagi pesantren untuk mengembangkan eksistensinya, sehingga tidak mungkin dibiarkan berjalan sendiri tanpa kepedulian dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. Maka diperlukan “Forum Kerjasama” antar pesantren dengan cara melibatkan diri dalam agenda pemberdayaan pesantren yang ada di Lampung dengan mengadvokasi untuk memperkuatnya menjadi organisasi pesantren dan memberikan akses bagi mereka dalam mengembangkan komunitasnya ke berbagai aspek pendidikan, teknologi informatika, ekonomi, sosial-kultural hingga politik. 47
Pengasuh PP Diniyah Putri Lampung.
93
Untuk merancang agenda pemberdayaan di atas maka dilakukanlah kegiatan Lokakarya Peningkatan, Pengembangan Jaringan dan Upaya Menanggulangi Radikalisme Keagamaan. Dan kegiatan ini pulalah yang sekaligus menjadi tema pokok. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah; pertama, membangun jaringan kerja sama antar Pondok Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan; kedua, melakukan deradikalisasi paham keagamaan di kalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan yang moderat; ketiga, memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa; keempat, merumuskan pandangan pondok pesantren tentang radikalisme keagamaan; dan kelima, mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal. Secara teknis kegiatan ini dilaksanakan oleh Pondok Pesantrean Perguruan Diniyyah Putri Lampung di Hotel Nusantara Jalan Soekarno Hatta Bandar Lampung pada hari Selasa-Rabu tanggal 14-15 Juli 2009 atas kerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melalui Surat Perintah Kerja, Nomor: P1/KU.001.1/219.A/2009, tanggal 8 Juni 2009. Kegiatan Lokakarya ini dibuka oleh Gubernur Lampung yang diwakili oleh Asisten III dan ditutup oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung. Kegiatan ini diikuti sebanyak 100 orang peserta yang terdiri dari unsur perwakilan pondok pesantren sebanyak 64 orang (40 orang dari kalangan pesantren moderat dan 24 orang dari garis keras), dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam sebanyak 16 orang. Juga dihadiri oleh stakeholder dan unsur pemerintah yang memiliki perhatian pada perkembangan radikalisme keagamaan sebanyak 20 orang. 94
Untuk mencapai target dari kegiatan ini, panitia penyelenggara mengundang para narasumber, yang terdiri dari dari narasumber pusat (Jakarta) maupun daerah yang memiliki kualifikasi dan kompetensi mengenai tema-tema yang akan dibahas secara spesifik. Penyelenggaraan kegiatan Lokakarya ini didesain dalam tiga bentuk: Kegiatan Panel Seminar Kegiatan ini menampilkan enam narasumber, masingmasing membawakan topik persoalan yang spesifik. Narasumber daerah sebanyak tiga orang berasal dari provinsi Lampung yakni: a. Drs. Moh. Bahruddin, MA. menyampaikan materi dengan tema “Pandangan Komunitas Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan”. b. Dr. H. Fauzie Nurdin, MS, menyampaikan materi dengan tema “Peningkatan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”. c. Drs. H. Syarif Makhya, M.Si menyampaikan materi dengan tema “Cara-cara Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Gerakan Radikalisme Keagamaan”. Selama diskusi berlangsung, para peserta memperhatikan dengan antusias. Isu yang berkembang selama penyelenggaraan kegiatan ini adalah: 1. Radikalisme mencakup beberapa aspek, yakni faham, gerakan, aksi, tauhid. Yang umum terjadi selama ini adalah kesalahpahaman masyarakat pada makna yang terkandung dalam ayat dan hadits. Pelurusan makna yang tersurat dalam nash dapat dilakukan melalui sistem pendidikan.
95
2. Perlu menelaah kembali mengenai keberadaan kelompokkelompok yang telah muncul di masyarakat bahkan menjadi gerakan internasional. Kelompok-kelompok itu adalah kelompok radikal yang menjadi pokok perhatian di negara-negara Islam. Kelompok-kelompok itu diantaranya Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizb al-Tahrir. 3. Aksi dan gerakan radikal muncul diakibatkan oleh dua faktor: pengaruh global, dan internal ummat Islam. Dalam internal umat Islam, salah satunya adalah lembaga pendidikan Islam khas Indonesia (pesantren). 4. Upaya deradikalisasi dapat dilakukan melalui jalan dialog. Radikalisme dalam kehidupan agama ternyata tidak terjadi dalam Islam saja, dalam agama lain selain Islam radikalisme lintas agama pun terjadi. 5. Islam merupakan agama damai pemeluknya untuk bertindak baik
yang
menuntun
6. Peran pesantren, sejak berdirinya sampai saat ini, diakui oleh masyarakat, sebagai lembaga yang memiliki keunggulan, sangat potensial, dan responsif terhadap dinamika ilmu dan realitas di masyarakat. 7. Secara kelembagaan, Pondok Pesantren memiliki peran strategis, dapat memajukan dinamika sosial masyarakat yang heterogen, menjadi suatu sistem tatanan yang kondusif. Seorang kyai sebagai leader (tokoh sentral) di Pesantren cukup banyak memberikan kontribusi pemikiran dalam perkembangan sikap keberagamaan secara massive, dan bisa dirasakan pengaruhnya dalam kehidupan keberagamaan kita. 8. Pimpinan Pondok dapat bekerjasama dan memberdayakan potensi pesantren yang bertujuan 96
menjaga perdamaian dan merupakan visi dan misi pesantren. Inti dari kerjasama adalah kesadaran bersama. 9. Radikalisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai harus bekerjasama dalam menanggulangi radikalisme keagamaan. 10. Pemerintah perlu memposisikan kyai pesantren secara optimal dalam upaya pengembangan jaringan dan kerjasama secara partisipatif. 11. Pondok Pesantren memberi ruang besar bagi percepatan pembangunan daerah. Kerjasama Pondok Pesantren harus lebih cerdas dalam memanfaatkan peluang. Kerjasama antar pondok pesantren dalam menanggulangi radikalisme dilakukan secara optimal. 12. Jalur yang ditempuh oleh pesantren dalam menanggulangi radikalsime diantaranya melalui pendekatan politik, karena radikalisme merupakan faham gerakan keagaaman dengan jalur politik. Radikalisme keagamaan di Indonesia saat ini, lambat laun menjadi isu politik yang ikut mempengaruhi kondisi perpolitikan nasional. Pasalnya, gerakan yang cenderung keras tersebut. 13. Ukhuwah Islamiyah harus terpola dalam dinamika yang mengarah pada kemajuan umat. Maka umat Islam harus kerja keras untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang benar-benar dinamis. 14. Dinamika membangkitkan ukhuwah, namun hari ini dinamikanya berbeda, persoalan ummat relatif sama, kurangya semangat kerja. Kedua, Kyai perlu belajar politik, agar tidak dipolitisir. Tidak sekedar wacana, tapi aktion langsung. Ketiga, Tentang radikal, berangkat dari teori, 97
kemudian lahir pada konsep, kemudian definisi operasional, indikator, dan parameter. Keempat, Jangan bicara soal tentara muslim Lampung, jangan sampai loka karya ini seolah akan melahirkan wacana baru tentang gerakan. 15. Pondok Pesantren bukan simbol radikalisme Islam. Pesantren yang berhaluan radikal merupakan kelompok kecil, jadi tidak bisa digeneralisasi bagi kelompok besar pondok pesantren. 16. Pimpinan Pondok yang terjun ke dunia politik merupakan indikasi krisisnya idealisme kyai, karena dengan demikian Pimpinan Pondok memiliki kepentingan dengan politiknya tersebut. 17. Pondok Pesantren perlu mengkaji wilayah politik, tapi wujudnya bukan pemahaman politik secara praktis. Untuk menanggulangi sebuah gerakan politik, maka tidak keliru jika pesantren mengambil jaringan politik pula. Sidang Komisi Sidang komisi dibagi menjadi tiga, yakni Komisi A, Komisi B dan Komisi C. Sidang Komisi A. Komisi A menyimpulkan bahwa radikalisme keagamaan tidak ada di dalam kalangan pesantren. Karena Pesantren umumnya mengembangkan doktrin dan pemahaman Islam yang kaffah, ruhama, istiqomah dan tegas. Sidang Komisi B. Komisi B merekomendasikan beberapa hal, diantaranya: pertama, memasukkan materi dakwah tentang jihad yang benar ke dalam kurikulum pesantren; kedua, menjaga 98
semaksimal mungkin agar faham atau aliran radikal tidak masuk ke pondok pesantren atau lingkungannya; ketiga, memberikan pengertian tentang tasamuh sebagaimana yang dilakukan Rasulullah; keempat, meningkatkan kerjasama yang lebih baik antar pondok pesantren dengan pemerintah; kelima, memfungsikan kembali Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP); dan keenam, pimpinan pondok dan jajarannya harus menguasai teknologi. Sidang Komisi C. Komisi C merekomendasikan diantaranya; pertama, mendorong pengaktifan kembali BKPP Provinsi Lampung, sampai tingkat kecamatan. BKPP atau lembaga yang telah dibentuk menindaklanjuti hasil lokakarya pengembangan jaringan dan kerjasama pondok pesantren dalam mengantisipasi radikalisme keagamaaan ke pondok-pondok pesantren se-Provinsi Lampung; kedua, meminta pemerintah untuk mengalokasikan dana APBD untuk kegiatan BKPP; ketiga, meningkatkan aktifitas jaringan kerjasama pengurus pondok pesantren se-Provinsi Lampung secara berkesinambungan. Sidang Pleno Sidang ini mengeluarkan rekomendasi yang terhimpun dalam Executive Summary, sebagai berikut: 1. Komitmen kebangsaan untuk menciptakan kualitas kerukunan hidup beragama di era pembangunan bukan sekedar rutinitas untuk menanggulangi konflik melainkan sebagai pilar determinan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan aman, damai, dan bermartabat.
99
2. Perlu merevitalisasi peran agama secara komprehensif, proporsional, dan fungsional sebagai pandangan dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara. 3. Peran umat Islam sebagai elemen mayoritas bangsa dalam mewujudkan citra sejati Islam rahmatan lil ‘alamin dan amar ma’ruf nahi munkar bagi kemashlahatan bangsa dan tegaknya NKRI sebagai negara hukum yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, perlu mendapat dukungan segenap elemen bangsa; 4. Perbedaan pemahaman teks-teks keagamaan internal umat Islam merupakan persoalan metodologis. Perbedaanperbedaan itu adalah rahmat dan kekayaan khazanah intelektual yang tidak perlu dipertentangkan, apalagi dituduh menjadi penyebab radikalisme. 5. Metode pembelajaran di Pondok Pesantren adalah bagian utuh dari sistem pendidikan nasional dan perlu segera dilakukan rekonstruksi metodologi pembelajaran secara komprehensif dan revitalisasi pembaharuan kurikulum, membumikan Islam secara total. 6. Kurikulum pesantren dikembangkan ke arah keterpaduan dengan IPTEK dan IMTAK secara bersamaan. Dengan demikian out put dari pesantren adalah manusia yang memiliki sumberdaya yang shaleh lahir dan batin. 7. Radikalisme yang muncul di lingkungan sebagian umat Islam mengimplikasikan pada terkristalnya beberapa kelompok umat Islam, yakni Islam eksklusif, Islam inklusif dan Islam moderat. Pengkategorian menjadi “poros potensial” ke arah perbenturan kultural bagi disintegrasi dan disfungsional umat Islam itu sendiri. Untuk persoalan ini direkomendasikan; pertama, umat Islam hendaknya tidak terjebak dalam kristalisasi kategori. Islam yang dianut 100
merupakan Islam yang sejati, Islam rahmatan lil ‘alamin yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar. Dikotomi tiga hal tersebut sama sekali tidak menguntungkan umat Islam dalam mewujudkan harkat kehidupan kebangsaan lebih bermartabat. Eksklusivisme akan menyeret pada perilaku radikal (garis keras). Islam inklusif jika tidak ada kontrol justru akan melahirkan pemahaman Islam yang membingungkan, karena menerima doktrin “kebenaran” seluruh agama; kedua, diperlukan desain yang implementatif dan konsep yang terang bagi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara lebih sistemik dan komprehensif. 8. Gerakan radikal berkonotasi negatif, yaitu gerakan garis keras yang cenderung dilakukan dengan cara anarkis. Hal demikian tentunya tidak dibenarkan oleh Islam, apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta perdamaian. Untuk menanggulangi radikalisme, perlu dilakukan; pertama, segenap pengelola Pondok Pesantren perlu lebih mengedepankan soliditas kebersamaan dan komitmen kebangsaan, konsisten, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar; kedua, stigmatisasi gerakan Islam radikal perlu dicegah dan dieleminasi, dengan jalan memperkuat jaringan kerjasama secara produktif bagi kemashlahatan umat dan memberikan peran kontributif secara total bagi pembangunan; ketiga, memberdayakan Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP) agar lebih produktif untuk memenuhi hak-hak para santri. 9. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, Pondok Pesantren merupakan bagian utuh bagi dinamika kehidupan masyarakat dan menjadi benteng moralitas bangsa.
101
102
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI JAWA TENGAH
2
Oleh: Mu’ammar Ramadhan48
Pelaksanaan Lokakarya
L
okakarya Peningkatan Peran Pondok Pesantren dalam Pengembangan Budaya Damai di Semarang diikuti oleh 80 peserta yang terdiri dari pimpinan Pondok Pesantren (50 orang), pakar ilmu sosial/cendekiawan, pimpinan organisasi keagamaan, pejabat dan peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, Kantor Wilayah Departemen Agama, dan Perguruan Tinggi. Sesuai dengan tema tersebut, lokakarya ini menampilkan para pemakalah pusat (Jakarta), yaitu: Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar (key note speech), Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D (Memahami Budaya Damai Pesantren), Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad (Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Teologi dan Politik), Prof. Dr. H. Ali Musthofa Ya’qub (Meluruskan Makna Jihad menurut Islam), Dr. H. Mukhlish Hanafi (Konsep Wasathiyah menurut Islam). Tampil para pemakalah daerah adalah K.H. Dimyati Rois (Pandangan Pondok Pesantren tentang Keberagamaan yang Santun dan Damai), Dr. H. Abu Hapsin, M.A (Cara-cara Pengembangan Pengajaran Keagamaan yang berbasis Budaya Damai), dan Prof. Dr. H. Mudjahirin Tohir, M.A (Meningkatkan Kerjasama 48
Pimpinan LSM ELSEM Semarang
103
antar Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai). Acara dilaksanakan di hotel Muria Semarang, tanggal 34 Agustus 2009, yang dibuka oleh Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dan ditutup oleh Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Tengah. Pokok Pikiran selama Pelaksanaan Kegiatan Para pemakalah menyampaikan secara panel yang kemudian dibuka dialog dengan peserta. Setelah pemaparan makalah dan dialog, kemudian peserta dibagi dalam tiga kelompok untuk merumuskan hal-hal sebagai berikut : a) Membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren dalam mengembangkan budaya damai; b) Merumuskan pandangan radikalisme keagamaan;
pondok
pesantren
tentang
c) Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal. Secara institusional, baik pesantren bercorak tradisional maupun yang radikal, sepakat bahwa terorisme bukan berasal dari pesantren. Namun dari sisi pemahaman keagamaan, cara pandang dan respons terhadap terorisme, masing-masing berbeda. Cara pandang pesantren bercorak tradisional terhadap teks-teks keagamaan dipahami secara substansial dan kontekstual. Cara pandang pesantren tradisional lebih mengedepankan nilai-nilai Islam yang humanis sehingga membentuk karakteristik santri yang akomodatif, moderat, dan toleran. Pesantren tradisional cenderung adaptif dengan tradisi, memiliki komitmen kuat untuk menghadirkan Islam 104
sebagai ajaran sekaligus praktek keagamaan dan hasil tindakan keagamaan yang mengajarkan kasih sayang. Masyarakat dan komunitas pesantren di Jawa Tengah sepakat bahwa tindakan teror dengan bunuh diri sebagai tindakan yang menodai agama. Pemahaman agama berbuntut tindakan ini merupakan buah pemahaman keagamaan yang keliru, sempit, dan tidak sesuai dengan semangat Islam sebagai rahmatan lil alamin. Pemahaman keagamaan dan sikap keberagamaan yang moderat tidak lepas dari landasan teologi sunni. Pesantren tradisional di Jawa Tengah adalah pemegang dan penyebar paham sunni sekaligus melestarikan model dakwah Walisongo. Para wali merupakan sosok ideal muslim nusantara yang mampu menyebarkan Islam secara damai. Sedangkan pesantren yang radikal menafsirkan teks-teks keagamaan secara skripturalis formalistik tekstualis. Muatan kurikulum yang diajarkan di pesantren cenderung menanamkan semangat radikal. Namun pihak pesantren berkeyakinan bahwa kurikulum tersebut tidak menjadikan santrinya bersikap radikal. Mereka hanya menginginkan santri yang mempunyai ghirah keislaman yang kuat, khususnya dalam amar ma'ruf nahi munkar. Respons mereka terhadap terorisme bukan dipahami sebagai ‘kejahatan’. Di satu sisi mereka memang tidak menyetujui tindakan teror dengan bunuh diri. Namun mereka memahami bahwa tindakan teror adalah buah dari teror. Mereka memperjuangkan hak-hak kaum muslim yang dizalimi. Target dan tujuan mereka jelas. Pondok yang dinilai radikal sangat menghargai semangat dan perjuangan para pelaku teror. Inilah semangat perjuangan Islam sejati, meskipun cara-cara mereka salah. Penghargaan kepada
105
pelaku teror paling tidak ditunjukkan dengan kesediaan Abu Bakar Baasyir mensalati jenazah teroris. Kategorisasi respons di atas, bukannya pemisahan yang kedap air. Mengingat terdapat juga tokoh pesantren bercorak tradisional (baca: NU) yang memahami tindakan teror sebagai pelaksanaan asyiddau alal kuffar. Namun, cara yang digunakan para teroris tetap dinilai salah. Sikap terhadap orang kafir memang sudah selayaknya tegas, namun tidak harus dengan cara kekerasan. Sikap keberagamaan yang humanis, moderat, dan toleran di satu sisi dan sikap radikal di sisi lain tidak lepas dari pembacaan kepada teks-teks keagamaan. Menurut Abu Hapsin, model penafsiran terhadap teks-teks keagamaan mempengaruhi individu yang menafsiri. Penafsiran skripturalis cenderung menumbuhkan fundamentalisme agama, sikap yang kaku, hitam putih, dan salah benar. Sedangkan penafsiran agama secara substansial akan menumbuhkan sikap yang moderat dan humanis. Seharusnya Islam dipahami secara kontekstual di mana lahirnya teks keagamaan tidak lahir dari ruang hampa. Penafsiran terhadap teks inilah yang kemudian melahirkan justifikasi ideologis, yakni semacam kredo pembenaran pihaknya dan sekaligus penyalahan terhadap pihak lain. Dari sini lalu muncul watak naluriah, yakni kecurigaan, tuduhan, klaim dan labeling. Jika bukan karena alasan memperebutkan sumber-sumber kehidupan yang bercorak duniawi, bisa juga karena klaim-klaim kebenaran keagamaan yang bercorak ukhrawi, sehingga konflik bahkan tindakan-tindakan “anarkhis” bisa diacukan atas nama agama oleh para pelakunya.
106
Menurut Mudjahirin Tohir (2009: 3), istilah “bunuh diri” yang disandangkan kepada mereka yang ikut mati bersama bom yang diledakkannya, adalah istilah yang diberikan “pihak luar” (from the outsider’s looking), sementara mereka sendiri (pihak dalam; the insider’s looking) menyebut sebagai jihad fi sabilillah. Ungkapan perasaan yang dinyatakan dalam konsep “jihad fi sabilillah” merupakan wujud dari dorongan substantive, bukan instrumental. Jika dorongan instrumental bersifat duniawi, seperti materi (kekayaan), kekuasaan yang ditawarkan, dan peluang-peluang yang menyenangkan secara duniawi, sebaliknya, dorongan substantive bersifat akhirati menurut tafsir mereka. Memang harus diakui, terjadinya aksi terorisme yang melibatkan sejumlah alumni pesantren sedikit banyak membuat image pesantren sempat negatif. Pesantren dinilai sebagai pemasok ajaran agama yang radikal. Padahal sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren mengajarkan materi agama dan mempraktikkannya untuk mencetak generasi shaleh yang memahami agama. Karenanya, tidak mengherankan jika kehidupan pesantren merupakan salah satu potret kehidupan kelompok masyarakat agamis yang penuh kedamaian. Nilai-nilai kedamaian yang ada di pesantren ini merupakan perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin. Menurut Mudjahirin Tohir (2009: 3), Islam sebagai rahmatan lil alamin merupakan pijakan peace culture, sebagai “rumah kedamaian”, namun hal ini tidaklah mudah. Dalam ranah ilmu sosial misalnya, konsep budaya damai seringkali diacu dan mengacu pada teori-teori fungsional yang ketika mengambil sasaran masyarakat sebagai kajian teoritiknya, dibayangkan bahwa individu-individu sebagai warga 107
masyarakat (dalam arti sempit maupun arti luas) itu, berbagi peran dan tugas secara fungsional menurut kadar kemampuannya masing-masing guna mencapai tujuan bersama. Kondisi seperti ini sangat mulia karena inspirasi lahirnya teori itu bisa jadi bersumber dari ajaran agama. Tetapi dalam fakta sosial, pembayangan seperti itu menjadi bercorak sangat nisbi dan fluktuatif. Sama nisbinya dengan ajaran agama dalam satu sisi, dan praktik atau tindakan orang beragama dalam sisi lain. Agama mendamaikan, tetapi perang bisa terjadi oleh sebab orang beragama atau berbeda agama. Di sinilah letak perbedaan pensikapan keberagamaan -sebagaimana konsep radikalisme versus moderatisme—ketika agama dibawa masuk ke dalam realitas sosial. Karena itu, realitas sosial terasa lebih riil dikaji ketika dilihat dari teori konflik. Inti dari teori konflik ialah bahwa dalam kesatuan kehidupan manapun, selalu ada kebutuhan-kebutuhan memperebutkan sumber daya alam, memperebutkan peluang maupun keinginan yang berkait dengan kekuasaan, ekonomi, sosial, dan seterusnya yang terbatas yang tidak dapat terbagi habis kepada anggota-anggota kelompok itu. Upaya untuk memperebutkan itu memunculkan ketegangan. Kalau ketegangan-ketegangan itu tidak mendapat penyelesaian, maka yang muncul adalah kompetisi-kompetisi. Kalau dalam kompetisi itu tidak ada aturan main yang jelas dan adil, maka akan mudah memunculkan konflik. Dari sini lalu muncul faksi-faksi. Dalam konteks inilah, radikalisme agama merupakan salah satu faksi dalam komunitas masyarakat. Realitas inilah yang kemudian dinilai sebagai pemicu aksi teror bom bunuh diri. Dalam hal inilah kemudian perlu ditelisik lebih jauh penyebab penyebaran radikalisme agama dan perlu 108
diupayakan untuk membendungnya. pesantren sangat vital.
Di
sinilah
peran
Adapun peran pesantren dalam meminimalisir dan mengubah radikalisme agama adalah: 1. Perlunya mensosialisasikan pemahaman keagamaan yang moderat sebagai upaya counter culture terhadap budaya kekerasan atau cara pandang yang mentolelir kekerasan. 2. Pengajaran agama yang humanis bagi kaum muda non pesantren dan masyarakat luas pada umumnya. Sejumlah tulisan dan buku kaum fundamentalis banyak menjadi bahan bacaan kaum intelektual muda non santri pesantren atau masyarakat dalam mempelajari Islam. Sementara referensi dari dunia pesatren yang menawarkan Islam humanis kurang proporsional. 3. Meyiapkan kader pesantren yang menjadi agen perubahan, untuk mengkonstruk masyarakat yang beragama secara humanis dan mampu mengembangkan budaya damai di masyarakat. 4. Mengupayakan dialog antara pesantren yang dinilai radikal dan pesantren yang bercorak tradisional. Dialog dilakukan tanpa pretensi menghakimi, tetapi dengan menggunakan pendekatan empati. Dengan cara ini, maka bisa memahami apa yang menjadi pilihan antar kelompok. Dari sinilah antarkelompok akan merasa ‘saling masuk’ dalam wilayah patner dialognya. Dalam bahasa metodologi, cara demikian disebut fenomenologis, dan secara antropologis disebut dengan pandangan atau perspektif emic (to see from the inside looking). Dengan demikian, antarkelompok jika meman dang kelompok lain ‘menyimpang’, maka harus disadarkan (bukan 109
dikalahkan) lewat bahasa agama, bahwa “ada yang salah dalam menerapkan ajaran agama”. 5. Dalam rangka mengembangkan budaya damai, pondok pesantren perlu meningkatkan jaringan kerjasama antarpondok pesantren. Jaringan kerjasama dapat dilakukan melalui wadah yang sudah ada misalnya Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) maupun membentuk wadah lainnya yang memungkinkan terjalinnya kerjasama antar lembaga asosiasi pondok pesantren, antar pengasuh pondok pesantren, antarsantri dan alumni dan antarprogram/kegiatan pondok pesantren. Untuk memudahkan kordinasi maka diperlukan sekretariat dan kordinator zona di mana pesantren di wilayah Jateng bisa dibagi dalam tiga zona. Adapun bentuk kerjasama di bidang program atau kegiatan kerjasama di antaranya adalah sarasehan/ diskusi rutin, kemah santri baik di wilayah binaan (zona) maupun secara regional, pembuatan jaringan internet dan pengelolaan multimedia (ponpes online), serta revitalisasi forum ulama dan tokoh-tokoh agama di semua tingkatan. Untuk menunjang kerjasama program/kegiatan, sangat diperlukan adanya pelatihan, penelitian dan pengembangan yang relevan. Di bidang pelatihan perlu dilakukan pelatihan ketrampilan intensif yang relevan sesuai kebutuhan, pelatihan kewirausahaan dan mana jemen pemasaran, serta pelatihan manajemen kepemimpinan terpadu. Adapun di bidang penelitian dan pengembangan, perlu melakukan inventarisasi potensi pondok pesantren di Jateng. Di samping itu, diperlukan usaha ekonomi produktif, koperasi, dan pengembangan jaringan pemasaran produk lokal/pondok pesantren; dan 110
pengembangan energi alternatif nonmigas. Apa yang dilakukan Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren dengan menggelar pekan olahraga santri maupun kemah santri menjadi salah satu bentuk ikhtiar penguatan jejaring pesantren. Di sinilah diperlukan arahan dan fasilitasi dari pemerintah, di samping juga bantuan dana dan sarana prasarana.
111
112
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI NUSA TENGGARA BARAT
3
Oleh: Nasihuddin Badri49
L
okakarya diselenggarakan pada tanggal 9 – 10 Agustus 2009 di Mataram (Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat). Acara dibuka oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat dan ditutup oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Nusa Tenggara Barat. Nara Sumber berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas tiga Nara Sumber Pusat(Jakarta) dan empat Nara Sumber Lokal (Daerah NTB), dengan materi penyajiannya masing-masing; a). K.H. Ma'ruf Amin (Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat) dengan materi: Meluruskan Makna Jihad; b). Prof. H. Abdurrahman Mas'ud, Ph.D. (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) dengan materi: Memahami Budaya Damai Pesantren; c. Prof. DR. H.M. Ridwan Lubis, (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan materi: Pandangan Ahlusunnah Wal Jama'ah dalam Bidang Aqidah dan Politik; d. Al Hafidz TGH. Hudatullah Muhibuddin, MA. (Ro'is 'Am Dewan Mustasyar PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan) dengan materi: Pandangan Komunitas Pesantren tentang Budaya Damai; e. TGH. Sofwan Hakim (Ketua Forum Kerja Sama Pondok Pesantren Provinsi NTB) dengan materi: Peran Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai; f. Drs. H. Lalu Suhaimi Ismy (Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi NTB) dengan materi: Meningkatkan Kerja Sama Pondok
49
Pimpinan Najdhatul Wathan Nusa Tenggara Barat
113
Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai; g. H. Sirojul Munir, SH, MH, (Asisten Tata Praja Pemda NTB/Mantan Kepala Badan Kesbang Poldagri Provinsi NTB) dengan materi: Budaya Damai dan Harmoni Sosial. Dalam kegiatan ini, para peserta berasal dari beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang meliputi; Kabupaten Lombok Timur berjumlah 25 orang, dari Kabupaten Lombok Tengah berjumlah 12 orang, dari kabupaten Lombok Barat berjumlah 15 orang, dari Kota Mataram berjumlah 9 orang, dari kabupaten Sumbawa berjumlah 3 orang, dari kabupaten Sumbawa Barat berjumlah 1 orang, dari kabupaten Dompu berjumlah 4 orang, dari Kabupaten Bima berjumlah 2 orang dan dari Kota Bima berjumlah 1 orang. Total keseluruhan peserta yang hadir dalam kegiatan ini berjumlah 72 orang. Sedangkan unsur-unsur yang datang menghadiri lokakarya ini terdiri dari atas; a) dari unsur pondok pesantren sebanyak 40 orang (56%); b) dari unsur Perguruan Tinggi Islam berjumlah 5 orang (7%); c) dari unsur ormas Islam berjumlah 11 orang (15%); d) dari unsur TNI/POLRI 5 orang (7%) dan dari unsur aparat Pemerintah Sipil berjumlah 11 orang (15%). Jumlah keseluruhan yang hadir adalah 72 orang. Pokok-pokok pikiran para pemakalah daerah adalah: a. Misi Kerasulan Nabi SAW: Menebar pesona kedamaian di dunia (Rahmatan Lil 'alamin) b. Kepemimpinan Nabi SAW: Manciptakan masyarakat sipil Madinah (Madinan society) dan masyarakat yang majemuk dengan perjanjian damai (Piagam Madinah). Kepemimpinan Nabi SAW dicontoh oleh khalifah Umar bin Khatab dengan mempersatukan umat Yahudi, Nasrani dan Muslim di Yerussalem dengan perjanjian damai pula (sebagaimana termaktub dalam Piagam Alea). 114
c. Budaya damai harus diaktualisasikan oleh setiap muslim terhadap dirinya, keluarga, kerabat, tetangga dan semua umat manusia dengan cara; menebarkan salam (AlAn'am/6:54), mengembangkan sikap peduli terhadap fakir miskin/kaum dhuafa dan orang-orang yang tergolong penyandang masalah-masalah sosial, memberikan perlindungan terhadap keluarga dan kerabat dan membangun komunikasi yang ramah dan santun (persuasif); seperti: berbuat baik dengan tetangga, baik muslim maupun non muslim. Kemudian dengan sesama muslim dengan penuh semangat persaudaraan Islam, apapun mazhabnya, apapun parpolnya, apapun ormas yang diikuti, bahasa dan etnisnya selalu melakukan silaturrahim. Kemudian komunikasi dengan sesama manusia (apapun suku bangsa, agama, dan ras/keturunannya) selalu melakukan komunikasi yang harmonis. d. Jama'ah Keagamaan memiliki ciri khas; diantaranya: 1) tidak menentang penguasa; 2) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama'ah; 3) tawasuth, yakni berada tengah antara dua golongan, khawarij dan syi'ah; 4) menampilkan diri sebagai suatu komunitas normatif/legal; 5) arus utama umat Islam Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah serta pondok-pondok pesantren menentang radikalisme. e. perdamaian dan harmoni sosial adalah ajaran agama yang harus dibudayakan bagi seluruh umat manusia. f.
komunitas Islam (96%) di NTB merupakan modal besar pelopor perdamaian. Oleh karena itu, simbol-simbol keagamaan seperti masjid dan pesantren merupakan pilihan yang strategis sebagai basis perdamaian dan harmoni sosial. 115
g. pondok pesantren memiliki tradisi dan budaya intelektual, mendalami bidang agama, serta pembangunan aspek sosial pembangunan umat. h. kekerasan dengan mengatasnamakan agama hanyalah perbuatan yang melegalkan tindak kekerasan yang justru memperburuk citra agama. i.
kesederhanaan pesantren merupakan ciri khas yang dimiliki oleh pesantren.
Issue yang berkembang di kalangan peserta selama penyelenggaraan lokakarya ini adalah; a) JIL (Jaringan Islam Liberal) dan ajaran yang diusungnya wajib ditolak oleh lingkungan pesantren; b) bantuan finansial/materi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan (pesantren, masjid, dan ormas Islam) tidak boleh mencampuri urusan aqidah; c) pornografi pemicu dekadensi moral generasi dan masyarakat dan dapat mengakibatkan kerusakan akhlak umat, maka wajib ditolak; d) perilaku remaja yang ugalugalan dapat menganggu kedamaian, maka harus dicegah melalui institusi pendidikan formal dan rumah tangga; e) konflik internal (antar kampung) yang seringkali terjadi di NTB bermula dari hal dan persoalan yang sepele; f) masyarakat NTB menolak keberadaan pengikut Ahmadiyah karena mereka tidak mau berinteraksi dengan kelompok mayoritas.
116
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI JAWA TIMUR
4
Oleh: Purwanto50 Sketsa Lokakarya Nasional
P
uslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Fakultas Agama Islam UNDAR Jombang pada tanggal 12-13 Agustus 2009 di Aula Universitas Darul Ulum Jombang menyelenggarakan kegiatan lokakarya nasional. Lokakarya ini diikuti oleh sebanyak 85 (delapan puluh lima) orang, yang terdiri dari pimpinan Pondok-Pesantren (40 orang), dan yang lainnya berasal dari lembaga pendidikan agama, penyuluh agama, guru agama di sekolah umum, pakar ilmu sosial/cendekiawan, pimpinan organisasi keagamaan, pejabat dan peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, MUI daerah, pejabat Kanwil, Kandepag Jombang dan berbagai instansi terkait lainnya. Selain itu, lokakarya juga dihadiri oleh undangan khusus meliputi kalangan pers dan pemerhati pendidikan. Kegiatan ini mengambil tema, ”Peningkatan Peran Pondok Pesantren dalam Membangun Budaya Damai.” Hal ini terkait dengan tujuan diadakannya lokakarya, yaitu: Pertama; membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren seJawa Timur dalam menanggulangi radikalisme keagamaan, kedua; melakukan deradikalisasi paham keagamaan di kalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan 50
Dosen Universitas Darul Ulum Jombang, Jawa Timur
117
keberagamaan yang moderat, ketiga; memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa, keempat; merumuskan pandangan pondok pesantren se-Jawa Timur tentang radikalisme keagamaan, dan, kelima; mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal. Sesuai dengan tema tersebut, lokakarya ini dihadiri beberapa narasumber, pusat dan daerah. Para narasumber daerah yang tampil yakni: Prof. Dr. Tadjoer Ridjal Baidoeri, M.Pd. (Purek IV UNDAR Jombang) dengan makalah berjudul: ”Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-Ide Baru dalam Dunia Pesantren, dan Dr. KH. Ali Maschan Musa (Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya) dengan judul makalah: Kiprah Pendidikan Pesantren dalam Mengembangkan Harmoni Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Jawa Timur. Para peserta nampak antusias sekali mengikuti kegiatan terlihat dari pelaksanaan diskusi baik komisi maupun panel. Hasil diskusi pada kegiatan tersebut merupakan sumbangsih pemikiran para peserta berkaitan dengan peta pikir pesantren dalam merespon radikalisme agama, strategi tindakan untuk membangun budaya damai dan rekomendasi-rekomendasi meliputi rekomendasi kepada kelompok radikal, pondok pesantren dan masyarakat serta pada pemerintah. Untuk menindaklanjuti butir-butir kesepakatan tersebut, peserta lokakarya bersepakat tentang perlunya diadakan forum-forum lanjutan di antara stakeholders terkait untuk merumuskan kembali langkah teknis atau operasional dalam rangka mengimplementasikan hasil-hasil kesepakatan dalam lokakarya tersebut. The last but not least, kegiatan ini membawa manfaat besar baik untuk pelaksana maupun peserta itu sendiri. Forum ini betul-betul kondusif untuk menampung segala 118
aspirasi dari berbagai pihak, khususnya pondok pesantren itu sendiri. Selain berfungsi sebagai public sphere (ruang publik) untuk tindakan komunikasi bersama dan sharing of knowledge bagi para kyai maupun ustad, forum ini juga bisa menjadi sarana pertemuan antara guru dan murid, antara alumni dan lembaga, dan antara sesama teman sepondok pesantren. Islam: Antara Kekerasan dan Perdamaian Pemahaman keberagamaan adalah hasil dari konstruksi pada proses internalisasi terhadap teks dan landasan teologi agama. Hal ini berkaitan dengan realitas ajaran Islam yang disinyalir memiliki misi kuat baik yang mendukung kekerasan maupun tidak sama sekali. Pertama; kekerasan melekat pada Agama. Adapun ilustrasi hasil kajian dan amatan kekerasan agama adalah:
a. Teks dan landasan teologis dari kekerasan. Teks dan ajaran teologis menjadi landasan dari tindak kekerasan (atas nama) agama yang dilakukan pelaku kekerasan.
b. Tafsir atas teks sebagai landasan kekerasan. Tafsir (harfiah) atas teks menjadi landasan dari tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan pelaku kekerasan.
c. Pemaknaan sebagai landasan kekerasan. Pemaknaan ajaran menjadi landasan dari tindak kekerasan (atas nama) agama yang dilakukan pelaku kekerasan.
d. Tradisi sebagai landasan kekerasan. Tradisi / lembaga (agama) yang direproduksi secara sosial menjadi dasar dari tindakan pelaku kekerasan (agama). Kedua; Kekerasan tidak melekat pada agama. Ilustrasi hasil kajian dan amatan bahwa kekerasan tidak melekat pada agama adalah sebagai berikut: 119
a. Pilihan bebas dan tafsir. Teks atau doktrin normatif versus ragam tafsir. Agama (terutama agama profetis) harus berhadapan dengan ketegangan intrinsik yang dahsyat. Pada dasarnya nilai utama dalam agama menekankan keselamatan dan kedamaian seraya menolak kekerasan. (i) Individu dan komunitas penganut diyakini memiliki kebebasan dan kemampuan memilih dan menafsirkan teks atas dasar pendapat dan tanggung jawabnya sendiri sehingga terbuka peluang perbedaan tafsir dan doktrin atau ajaran yang dipilih oleh individu dan komunitas; (ii) Pelaku kekerasan menekankan bagian ajaran yang mengabsahkan dan membuka peluang tafsir kekerasan, setidaknya sebagai tanggapan atas ancaman terhadap diri/ kelompok/komunitas.
b. Agama anti kekerasan. Ada konsepsi moralitas dan aturan moral dasar (deep structure) yang sama dari tradisi keagamaan yang berbeda tentang yang baik bagi kehidupan manusia; kebenaran, kebahagiaan dan keselamatan. Agama tidak berkaitan dengan kekerasan: (i) tidak ada kekerasan agama; (ii) agama seringkali dima nipulasi penganutnya sebagai dasar dari tindak kekerasan. Kekerasan bersumber pada faktor non-agama atau di luar agama (beyond religion), baik struktural maupun nonstruktural (i) Kekerasan merupakan akibat dari perampasan nisbi (relative deprivation), ketimpangan sosial, perlakuan tidak adil dan timpangan sosial, perlakuan tidak adil dan jujur; penindasan (opresi), dan penghisapan (eksploitasi). (ii) Kekerasan merupakan perilaku (sosial) menyimpang yang bersifat patologis dari individu pelaku kekerasan terlepas dari agama dan keyakinannya.
120
Pondok Pesantren Mengusung Budaya Damai Menurut paparan KH Ali Maschan Moesa, konsep jihad yang dipahami oleh Kyai Jawa Timur mengacu pada hadist Nabi Muhammad SAW., “Assaa’i ‘alal armalati kal mujaahidi fi sabilillah: (Siapa yang membantu janda miskin (rondo mlarat / garing) seperti jihad fi sabilillah). Meskipun demikian, Moesa menegaskan bahwa kekerasan agama pernah terjadi dalam sejarah Islam. Kekerasan ini terjadi, setelah meninggalnya Nabi Muhammad Saw. tepatnya saat Utsman bin Affan menjadi khalifah mengganti seorang gubernur yakni Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan Uqbah bin Nafi’ yang masih saudaranya sendiri. Kebijakan ini dinilai tidak profesional dan proporsional di kalangan para sahabat dan umat. Beberapa sahabat yang tidak menyetujui kebijakan tersebut diantaranya Sayyidina Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Salman al Farisi. Perbedaan pendapat ini tidak sampai menimbulkan kekerasan. Kekerasan terjadi justru saat ketidaksetujuan tersebut disuarakan oleh 2000 orang dari Kufah dan Mesir yang pada akhirnya mengkafirkan Utsman bin Affan atas kebijakannya itu. Mereka mengepung khalifah sehingga terjadilah kekerasan yang mengakibatkan khalifah meninggal dunia. Menurut beberapa ulama, kekerasaan ini terjadi karena pemahaman para sahabat yang berjumlah kurang lebih 2000 tersebut masih juz’iyah atau parsial. Berbeda dengan pemahaman keagamaan empat (4) sahabat sebelumnya yang komprehensif sehingga perbedaan tersebut tidak sampai menyebabkan kekerasan. Dalam konteks politik disinyalir bahwa kekerasan terjadi karena memang sejak awal 2000 sahabat ini tidak menjagokan Khalifah Utsman bin Affan sebagai khalifah, akan tetapi memilih Ali bin Abi Thalib.
121
Meskipun kenyataannya Utsman bin Affanlah yang disepakati sebagai pengganti dari Umar bin Khattab. Terkait dengan fenomena di atas, setidaknya empat kenyataan yang menjadi sebab agama tidak bermakna dalam tatanan masyarakat global dewasa ini. Yakni, pertama, kecenderungan agama sebagai pilar perdamaian. Kedua, seringkali agama terlibat dalam konflik sosial. Yang pertama berangkat dari asumsi bahwa agama sebagai rahmatan li al‘alamin (Islam) dan cinta kasih (kristen). Sedangkan yang kedua berangkat dari asumsi bahwa agama sebagai institusi iman-ideologis, seperti tercermin dalam konsep Jihad (Islam). Yang pertama bersifat universal, inklusif; yang kedua bersifat partikular. Keterpilahan ini semakin tajam karena masingmasing asumsi tersebut mendapat pendasaran teologis. Ketiga, interest politik memungkinkan agama manjadi alat perburuan kekuasaan. Menjadi kian sulit ketika life-world masyarakat global dewasa ini tidak segera diidentifikasi. Life world adalah dunia kehidupan atau penghayatan yang dialami umat manusia sehari-hari. Dalam terminologi cendekiawan Jerman Jurgen Habermas, life-world masyarakat global dewasa ini telah tereduksi sedemikian rupa dalam proses rasionalisasi yang mengedepankan rasionalitas-bertujuan. Output-nya adalah terciptanya bentuk masyarakat satu dimensi (istilah Herbert Marcuse) dimana dimensi kritik, tidak berfungsi. Tidak berfungsinya dimensi ini mengakibatkan struktur dan pola pikir masyarakat global dewasa ini menjadi tumpul karena terfokus pada satu mainstream materialisme. Dan bila pola pikir semacam itu berobjek agama akan memunculkan kenyataan keempat, yakni pragmatisme-religius, artinya sikap religiusitas akan dilakukan manakala menguntungkan dan sebaliknya tidak dilakukan jika tidak menguntungkan. 122
Berkaitan dengan itu, perilaku keberagamaan seseorang tergantung dari pemahaman orang tersebut terhadap agamanya. Pada posisi ini, faham keagamaan di Indonesia, menurut Ali Maschan Musa dapat dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu: Indigineous moslem (Abangan), Tradisional (NU), Islam Modernis (Muhamadiyah), Islamisme (FPI) dan Neomodernisme (JIL). Kekerasan seringkali dilakukan oleh golongan Islam “Islamisme.” Faham ini berupaya menjadikan Islam sebagai ideologi dengan bentuk formalisasi Islam. Kekerasan ini semakin besar jika agama dan politik telah bercampur. Ada dua hal implikasi jika agama berkumpul dengan politik yaitu: Pertama; agama seringkali sebagai alat politik, dan; Kedua; terjadinya radikalisasi politik atas nama agama. Berbeda dengan itu, komunitas pesantren yang notabene sebagai “melting pot” masyarakat sunni ala Indonesia, menurut Abdurrahman Mas’ud, pada umumnya bebas dari fundamentalisme dan terorisme. Jamaah keagamaan mereka biasanya memiliki ciri khas, yakni: (1) tidak melawan penguasa atau pemerintah yang ada; (2) kekakuan atau rigiditas dalam menegakkan kesatuan vis-a-vis disintegrasi dan chaos; (3) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama'ah, mayoritas, dengan supremasi Sunni, dan layak dinamai Ahlussunnah wal Jama`ah; (4) tawassuth, tengah-tengah antara dua kutub dan antara dua ekstrem politik-teologis: Khawarij dan Shi`ah; (5) menampilkan diri sebagai "suatu komunitas normatif'; kokoh dan teguh menegakkan prinsip-prinsip kebebasan spiritual dan memenuhi serta melaksanakan standar etik syari`ah.51 51 Abdurrahman Mas’ud, "Sunnism in the Eyes of Modern Scholars" (Paper Historiografi Islam UCLA, 1993). Selain ciri-ciri di atas, pesantren memiliki kharekteristik lain yakni, Pertama; modeling yang di dalam ajaran Islam bisa
123
Respon Pesantren Di Jawa Timur Dalam Menanggapi Radikalisme Agama Secara garis besar pokok-pokok pikiran pondok pesantren Se-Jawa Timur dalam menanggapi dan menanggulangi maraknya radikalisme agama, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemahaman terhadap ajaran Islam bagi individu maupun kelompok dalam in group (komunitas agama) memiliki peran penting dalam mengejawantahkan kehidupan harmonis individu di masyarakat baik pada tataran regional, nasional maupun internasional. Pemahaman keberagamaan tersebut adalah hasil konstruksi pada proses internalisasi terhadap teks dan landasan teologi masing-masing aliran dalam Islam. 2. Mekanisme pengejawantahan diri agama dalam praktik tindakan kekerasan atau perdamaian (agama) adalah sebagai berikut: a. Fungsi ideologis; tatanan sosial yang dikehendaki Tuhan mengatur hubungan antar kelompok sosial sehingga dapat dijadikan sebagai pembenaran hubungan timpang. b. Identitas diri; agama menjadi identitas diri dan kelompok memberi tanggapan balik baik atas ancaman
diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Kedua; Cultural maintenance, yaitu mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ketiga; Budaya keilmuan yang tinggi, artinya dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. (Diambil dari makalah “Memahami Agama Damai Dunia Pesantren” Oleh : Prof. H. Abdurrahman Masud, Ph.D yang dipresentasikan pada Lokakarya Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12-13 Agustus 2009 di Aula Universitas Darul Ulum Jombang.
124
dengan kekerasan ataupun tindakan-tindakan yang mencerminkan kerukunan. c. Dasar legitimasi; agama menjadi dasar bagi legitimasi atau delegitimasi ketimpangan hubungan sosial. d. Model perilaku; perilaku kekerasan orang tua akan menjadi model untuk ditiru oleh anaknya. 3. Syiar agama melalui jalur pesantren memilih jalur infiltrasi nilai-nilai Islam kedalam budaya sehingga dapat tercipta kehidupan damai. Islam dalam posisi ini tidak tercerabut dari akar budaya ke-Indonesiaan. 4. Penegakan amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam seharusnya dilakukan dengan damai di atas prinsip hikmah, mau’izhah hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan. Tindakan radikalisme agama bertentangan dengan karakteristik budaya santri dan pesantren yang notabene inherent dengan keterbukaan dan kedamaian serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur persaudaraan dan kerukunan. 5. Radikalisme agama tumbuh dan berkembang akibat kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan dipicu pula oleh kondisi belum tegaknya keadilan sosial dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama. 6. Jihad fi sabilillah sebagai kewajiban dalam Agama Islam dalam konteks kekinian dan ke-Indonesiaan akan lebih memberikan kemaslahatan bila diaktualisasikan dengan memerangi hawa nafsu, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Jihad dalam bentuk kekerasan fisik dalam konteks kekinian merupakan tindakan kontra 125
produktif dalam upaya penegakan ajaran Islam yang cinta kedamaian. 7. Terorisme dan segala bentuk tindak kekerasan bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam yaitu sebagai agama cinta kasih dan perdamaian. Segala bentuk kekerasan atas nama agama bertentangan dengan kepribadian muttaqin yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang mampu menahan amarah, terbebas dari sikap dendam dan senantiasa berfikir dan bertindak positif. Berdasarkan peta pikir di atas, dibuat semacam kesepakatan bersama melalui bentuk rekomendasirekomendasi, yang isinya sebagai berikut: 1. Rekomendasi Kepada Kelompok Radikal a. Kelompok radikal diharapkan mau membuka diri untuk berdialog dengan seluruh komponen bangsa dari berbagai kelompok dalam penafsiran ‘jihad’ dan atau isu isu keagamaan yang berpotensi memunculkan disintregarsi bangsa. b. Kelompok radikal seyogyanya memahami/ mengkaji agama secara utuh. c. Kelompok radikal sebagai elemen bangsa harus bersama-sama membina umat dan membangun negeri ke arah yang diridhoi Allah Swt. d. Kelompok radikal sekali-kali tidak menjadikan agama sebagai landasan pembenaran sikap dan perilaku radikal untuk merusak peradaban damai di Indonesia. e. Kelompok radikal harus menfilter kembali cara dan tujuan tindakan mereka karena hal itu telah 126
meresahkan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. 2. Rekomendasi Kepada Pesantren Dan Masyarakat a. Pesantren dan masyarakat semestinya bisa memberikan teladan pada model prilaku yang mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam yang cinta damai. b. Meningkatkan pemahaman kepada santri dan masyarakat tentang nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, penyelamatan, dan cinta kasih, peningkatan kesadaran hukum, penegakan keadilan, toleransi terhadap perbedaan dan moderasi dalam memandang permasalahan. c. Mendeteksi santri tempramental, berkarakter keras, kemudian membimbing agar tidak teracuni virus-virus radikalisme. Serta meningkatkan kemandirian santri dengan mengembangkan wawasan dan ketrampilan enterpreneurship, karena keterhimpitan dalam ekonomi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan kelompok radikalisme agama. d. Pencitraan negatif terhadap pondok pesantren disikapi dengan pembuktian diri melalui peningkatan peran Ponpes dalam pengembangan budaya damai dengan meningkatkan kapasitas dalam menjawab permasalahan umat secara cepat dan tepat, agar perannya di masyarakat tidak diambil alih oleh kelompok radikalisme agama. Untuk itu pondok pesantren perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya laten dan sistematis dalam menghancurkan pesantren dari dalam.
127
e. Membangun komunikasi dan kerjasama antar pesantren dalam menanggulangi bahaya radikalisme agama dan menciptakan kondisi-kondisi yang dapat mempersempit ruang gerak mereka. f.
Membudayakan sharing pendapat dengan santri dan masyarakat sehingga terbentuk pemahaman komprehensif yang lebih menonjolkan pada nilai-nilai Islam yang penuh kemoderatan dan persaudaraan.
3. Rekomendasi Kepada Pemerintah a. Pembinaan kepada pesantren tidak hanya berwujud pengembangan wawasan budaya damai, melainkan perlu turut menutup celah-celah pesantren dalam ketidakberdayaan di bidang ekonomi dan peningkatan profesionalitas dalam penyelenggaraan pendidikan. b. Pemahaman - pemahaman keberagamaan adalah hasil dari konstruksi pada proses internalisasi terhadap teks dan landasan teologi masing-masing agama. Untuk itu pemerintah harus berani mengambil tindakan dengan opsi solusi dan implikasi sebagai berikut: 1) Menolak/menegasikan agama kekerasan. Jika itu dilakukakan maka perlu ada justifikasi “keluar (murtad)” dari agama dan menjadi tidak beragama apapun. 2) Meredam/membekukan/tidak memberlakukan doktrin sebagai dasar dari perilaku (sosial) tanpa membuangnya sebagai teks (al-kitabiyah) namun tidak mengamalkan doktrin/teks yang memerintahkan atau mendasari kekerasan tanpa keluar dari agama yang bersangkutan.
128
3) Menafsir-ulang dan menata-ulang doktrin/teks secara keseluruhan (reformasi agama) sehingga nilai-nilai agama konsisten dengan nilai antikekerasan. 4) Menegasikan/menghilangkan/membuang/delegitimasi doktrin/ teks (al-kitabiyah) yang dijadikan dasar bagi kekerasan di dalam agama, tanpa keluar dari agama yang bersangkutan. c. Pemerintah khususnya Kementerian Agama membuat buku panduan atau khutbah-khutbah Jum’at yang memuat ajaran-ajaran Islam yang penuh kedamaian dan toleransi untuk kalangan pelajar, guru, akademisi maupun masyarakat sebagai upaya kontra-hegemoni terhadap maraknya buku-buku yang lebih menonjolkan Islam radikal. d. Memberikan wadah baik berupa lokakarya maupun seminar yang pesertanya dari berbagai kelompok pesantren baik dari kalangan radikal maupun non radikal yang didalamnya terdapat proses interaksi sosial dimana proses eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi terbangun dengan baik. e. Pemerintah lebih intensif lagi dalam mengembangkan jaringan ponpes untuk memperkuat daya bendung terhadap arus gerakan radikalisme agama dan membangkitkan energi kesalehan sosial yang dapat memancarkan sinar kedamaian terhadap umatnya sekaligus menjadi sumberdaya penguatan ekonomi pesantren agar lebih mandiri. f.
Pemerintah menyerukan kepada masyarakat umum untuk meningkatkan kewaspadaan dengan terus memantau perkembangan yang terjadi di sekitarnya 129
terutama anggota keluarga yang secara tiba-tiba mengalami perubahan prilaku, sebab sel-sel terorisme terus berkembang dengan strategi awalnya adalah cuci otak. g. Pemerintah lebih bersikap adil dalam membantu ponpes dengan tidak hanya mem perhatikan ponpes yang memiliki potensi dan power dalam kepentingan politik agar terjadi perkembangan kekuatan yang berimbang dalam menghadapi gerakan radikalisme agama. h. Pemerintah memberi pemahaman kepada masyarakat baik nasional maupun Internasional untuk tidak menjeneralisir tuduhan terhadap pesantren sebagai sarang teroris hanya karena ada pembuktian bahwa diantara pelaku teror adalah alumni pesantren, karena pada dasarnya prilaku teror dan radikalisme agama merupakan bentuk deviasi dari budaya pesantren itu sendiri. i.
130
Pemerintah berpartisipasi aktif dalam membangun perdamaian dunia karena alasan munculnya kaum radikal adalah mereka akan kondisi ketertindasan umat Amerika Serikat dan Yahudi.
ikut serta salah satu keyakinan Islam oleh
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI PROVINSI GORONTALO
5
Oleh: Syawaluddin, S.Ag52.
Pelaksanaan Kegiatan
S
esuai dengan jadwal yang direncanakan, pelaksanaan kegiatan dilaksanakan pada tanggal 20-21 Agustus 2009 bertempat di Hotel Rahmat Inn Kota Gorontalo. Peserta kegiatan berasal dari unsur pondok pesantren, penyuluh agama, ormas Islam, guru agama dan dosen/akademisi. Acara pembukaan dihadiri pula wakil dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Drs.H.Nuhrison M.Nuh, MA, APU (Peneliti Utama). Acara dibuka oleh Kombes Pol. Drs. Burhanudin Hipy mewakili Kapolda Gorontalo. Secara pribadi dan lembaga, Kombes Pol. Burhanuddin Hipy memberikan apresiasi positif atas kegiatan tersebut. Bahkan beliau berharap jika masih ada kegiatan tidak segan-segan melakukan kerjasama dengan Polda Gorontalo. Para pemakalah lokal yang hadir dan menyampaikan makalah adalah Prof.Dr.H. Muh. Amin,M.Ag, Dr. Sofyan Kau ,M.Ag, KH. Ghofir Nawawi MA, Drs. H. Zainul Romiz Koesry,M.Ag. diantara pemikiran-pemikiran yang berlangsung selama pelaksanaan acara ini adalah bahwa radikalisme agama hakekatnya bukan hanya monopoli kelompok agama tertentu dan bukan pula hanya lahir di wilayah tertentu saja. Kelompok gerakan radikal yang 52
Dosesn STAIN Goronta;o
131
mengatasnamakan agama juga terdapat di India, dengan latar belakang agama Hindu. Gerakan radikal terdapat di Irlandia dari unsur Katolik maupun Kristen militan. Di Amerika, gerakan radikal keagamaan juga berkembang. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa gerakan radikal keagamaan merupakan gejala universal dan fenomena yang mungkin dapat berkembang pada semua tradisi kegamaan. Radikalisme dapat saja muncul karena banyak faktor. Namun faktor agama sebenarnya bukan menjadi faktor dominan. Selain faktor agama, radikalisme disebabkan oleh politik, sosial, ekonomi, psikis, pemikiran dan kolaborasi dari persoalan-persoalan tersebut. Gerakan radikal berlatar belakang agama dapat muncul karena: a). Lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama; b). memahami nash secara tekstual; c). Memperdebatkan persoalan-persoalan parsial, sehingga mengenyampingkan persoalan besar; d). Berlebihan dalam mengharamkan; e). kerancuan konsep; f). mengikuti ayat mutasyabihat, meninggalkan muhkamat; mempelajari ilmu hanya dari buku dan mempelajari Al-Quran hanya dari mushaf; g). lemahnya pengetahuan tentang syariah, realitas, sunnatullah dan kehidupan. Aksi radikal sering dibalut dengan sebutan ”jihad”, padahal terminologi jihad sangat banyak sekali definisinya, tidak dominan satu pengertian saja. Dengan kata lain, kata jihad dengan pengertian perang tidak relevan jika diterapkan di Indonesia. Peran Pondok Pesantren Pondok pesantren menerapkan prinsip tasamuh (toleran), tawasuth wal i’tidal (sederhana), tawazun (penuh pertimbangan) dan ukhuwah (persaudaraan). Peran 132
pimpinan/pengasuh pesantren sangat strategis terutama berkaitan dengan pelurusan makna jihad dari sudut pandangan pemahaman agama. Pondok pesantren dalam memandang isu gerakan radikal adalah:a) radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan pola pendidikan yang selama ini dijalankan oleh pesantren, hal ini juga bertentangan dengan budaya Islam Indonesia sebab Islam datang ke Indonesia bukan dengan kekerasan atau paksaan melainkan dengan penuh kesantunan, tepo seliro dan kekeluargaan; b) radikalisme dapat mengganggu tatanan kehidupan keagamaan di Indonesia yang telah terjalin dengan penuh toleransi; c) banyak orang yang berdalil Al Qur’an dan Hadis tetapi realitas amalannya tidak sesuai dengan doktri agama. Ia hanya memahami tekstual sementara kontekstualnya diabaikan. Pondok pesantren dikenal dan menonjol dengan tempat untuk tafaqquh fiddin dan takhalluq bi akhlaqil karimah. Tapi, bukan berarti pesantren tidak mampu mencetak kader potensial untuk mencetak orang-orang besar yang memiliki pengaruh signifikan di negeri ini. Banyak tokoh-tokoh nasional yang berangkat dari pendidikan pesantren. Sementara itu, Balitbang Kementerian Agama adalah lembaga pemerintah yang membatasi diri dalam bidang kajian dan pengembangan di bidang keagamaan. Peran Litbang adalah memberikan masukan kepada pemegang kebijakan (user) yang berdasarkan hasil riset (penelitian). Selanjutnya, Litbang melakukan sosialisasi hasil kajian itu dan menyampaikankannya kepada masyarakat luas bekerjasama dengan instansi-instansi pemerintah yang menaunginya. Ada pemahaman yang sempit tentang jihad yang terjadi di masyarakat. Banyak pelaku teroris terdiri dari orang-orang 133
yang pengetahuan Islamnya rendah, tapi memiliki semangat keislaman yang tinggi (berjiwa muda), mudah terperdaya oleh doktrin-doktrin yang disandarkan pada agama, termasuk melakukan aksi anarkhis. Kondisi dan fakta memang mengindikasikan terdapat oknum yang sengaja menciptakan situasi, mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian dan upaya mendiskreditkan Islam sebagai pelaku teroris. Tentu saja, hal tersebut ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam (musuh Islam). Untuk memberikan wawasan yang menyegarkan dan membimbing umat, maka perlu optimalisasi peran NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan umat Islam secara bersama-sama. Faktor pemicu aksi-aksi radikal karena eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti konspirasi global melalui pembentukan opini dengan berbagai macam media. Bagi internal umat Islam, harus melakukan introspeksi diri meluruskan pemahaman ajaran agama di tengah masyarakat melalui pendidikan Islam sejak dini, menuntaskan masalah kemiskinan dan lain-lain. Dari data yang disampaikan oleh kepolisian menunjukkan bahwa para pelaku bom dan mereka yang masuk jaringan teroris disebabkan oleh keterhimpitan faktor ekonomi.
134
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI SULAWESI TENGAH
6
Oleh: Asbar Tantu53 Pelaksanakan Lokakarya
L
okakarya Peranan Pondok Pesantren Dalam Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Sulawesi Tengah diselenggarakan di Universitas Al-Khairat Palu (Sulawesi Tengah) pada tanggal 10 s/d 11 Oktober 2009. Acara ini mendapat respon positif dari pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Respon positif juga datang dari pondok pesantren dan berbagai organisasi sosial keagamaan di Provinsi Sulawesi Tengah yang ditunjukkan dengan kesediaan para pimpinan dan pengurusnya memenuhi undangan undangan panitia, baik sebagai peserta lokakarya maupun peserta undangan. Para peserta terlihat antusias. Mereka mengemukakan pandangan yang faktual dan berbobot yang mengindikasikan bahwa para pimpinan pondok pesantren dan para pimpinan organisasi sosial keagamaan di provinsi Sulawesi Tengah selalu aktif mengikuti berbagai peristiwa yang berskala nasional, terutama terkait dengan berkembangnya faham dan praktek beragama yang bercorak radikal. Selama kegiatan berlangsung, beberapa pemikiran yang berkembang di antara para peserta; yaitu: a). Pondok pesantren diisukan menjadi sasaran terorisme; b). pondok pesantren diisukan menjadi sarang dan menampung terorisme dan radikalisme; c). 53
Dosen Universitas Al Khairat, Palu Sulawesi Tengah
135
pondok pesantren mengembangkan paham Islam yang moderat. Peserta Peserta lokakarya ini berjumlah 80 orang, 50 orang di antaranya adalah pimpinan pondok pesantren se-Sulawesi Tengah dan 30 orang peserta lainnya berasal dari lembaga pendidikan agama formal, penyuluh agama, guru, guru agama di sekolah umum, pimpinan organisasi keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dari 50 pimpinan pesantren yang diundang 2 (dua) di antaranya tidak menyatakan siap untuk menjadi peserta, sehinggga panitia mengundang 2 orang guru agama sekolah menengah di kota Palu sebagai pengganti. Pemakalah dan narasumber berasal dari pusat dan daerah. Para pemakalah daerah yaitu; Prof. Dr. HM. Noor Sulaiman, PL dengan judul makalah “Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan”. Kemudian Dr. H. Lukman S Taher, MA Cara-cara “Pondok Pesantren Menanggulangi Radikalisme Keagamaan dan Drs. Djamaluddin Mariadjang, M.Si dengan judul ”Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”. Ringkasan Makalah Daerah Para pemakalah daerah menyampaikan bahwa radikalisme dalam Islam yang pertama kali muncul adalah kelompok Khawarij, terjadi pada abad ke tujuh. Kejadian tersebut kemudian menginspirasi paham dan gerakan Wahabi yang terjadi di Hijaz pada akhir abad ke sembilan belas. Gerakan Wahabi dibangun atas prinsip dasar epistemologis kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, pemurnian tauhid,
136
menolak tawassul (perantara) dan bid’ah serta penafsiran madzhab. Dalam menanggulangi radikalisme, pesantren perlu memahami paham dan gerakan “keislaman” baru di Indonesia. Munculnya gerakan baru dalam Islam sering disebabkan oleh pengetahuan yang tidak lengkap mengenai ajaran Islam. Dalam menghadapi gerakan laten (radikalisme), umat Islam harus merapatkan barisan dan pesantren mengambil perannya sebagai representasi komunitas Islam akar rumput dengan cara membangun kerjasama pondok pesantren. Pandangan-pandangan yang muncul selama sidang komisi adalah; a). terorisme merupakan tindakan kontraproduktif bagi eksistensi Islam dan bertentangan dengan nilainilai dasar agama Islam; b). terorisme bukan jihad, jihad itu wajib hukumnya dan sarana untuk memperbaiki, bukan merusak; c). radikalisme keagamaan merupakan reaksi umat beragama akibat diperlakukan tidak adil baik oleh penguasa dalam negeri maupun secara global; d). radikalisme keagamaan bertentangan dengan karakteristik budaya pondok pesantren sebagai lembaga yang terbuka dan moderat; e). radikalisme keagamaan tumbuh dan berkembang akibat kedangkalan memahami agama. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi radikalisme keagamaan oleh pondok pesantren adalah: a). mengaktifkan forum komunikasi antar pondok pesantren seSulawesi Tengah; b). mengembangkan mainset pemikiran tasawuf, akhlak dan penguatan nilai-nilai akidah ahlussunnah wal jama’ah; c). telaah ulang dan penataan kurikulum pembelajaran agama Islam; d). meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren;
137
e). meningkatkan pemahaman kepada santri dan masyarakat tentang nilai agama yang menjadi rahmatan lil’alamin. Rekomendasi A. Kepada Pemerintah Rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah yakni; a). agar pemerintah melakukan pembinaan pondok pesantren tidak hanya berwujud pengembangan wawasan budaya damai, tetapi juga membangun kekuatan umat dalam pengertian luas; b). membina seluruh pondok pesantren secara adil dan merata; c) perlu dilakukan pencitraan kembali pondok pesantren sebagai lembaga pembinaan moral umat. B. Kepada Pengasuh Pondok Pesantren Rekomendasi untuk para pengasuh pesantren yakni; a). Meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar; b). meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya laten dan sistematis yang akan menghancurkan pondok pesantren; c) pondok pesantren perlu membuka diri untuk menerima tenaga pendidik yang professional. C. Kepada Masyarakat Rekomendasi untuk masyarakat luas yaitu; a). tidak memandang pesantren yang menyantuni korban kerusuhan sebagai sikap persetujuan terhadap terorisme. Pesantren senantiasa berada pada posisi melawan paham dan aksi teror; b). membentuk dan mengaktifkan majelis ta’lim dan organisasi remaja masjid dalam menanggulangi paham radikal.
138
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI KALIMANTAN TIMUR
7
Oleh: Abdul Madjid54 Pendahuluan
R
adikalisme keagamaan merupakan salah satu isu penting dan meresahkan seluruh elemen masyarakat Indonesia pasca munculnya beberapa kelompok yang melakukan aksi-aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Lokakarya diselenggarakan atas kerjasama antara Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Kalimantan Timur. Lokakakarya diadakan pada tanggal 13-14 Oktober di Gedung PKK Kota Samarinda. Pembukakaan dilaksanakan di Gedung Rui Rahayu Kantor Gubernur Kalimantan Timur dibuka oleh Wakil Gubernur yang diwakili Asisten III Bidang Sosial. Para pemakalah daerah adalah; a). H. M.Rasyid, M.Pd (Pimpinan Ponpes Mujahidin Samarinda) dengan judul: ”Pandangan Kalangan Pondok Pesantren tentang Radiikalisme Keagamaan”; b). M.Said Husin, MA (Dosen STAIN Samarinda) dengan judul ”Strategi Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”; c). Dr.H.Fakhrul Ghazi, MA (Dosen STAIN Samarinda) dengan judul: ”Peningkatan Jaringan dan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”. 54
Doses STAIN Samarinda
139
Pokok-Pokok Pikiran para Pemakalah Radikalisme keagamaan pada awalnya tidak selalu muncul dari paham keagamaan tetapi lebih banyak muncul dari akibat perbedaan pandangan atau bahkan pertikaian politik. Baru kemudian menembus kepada paham keagamaan, dan selanjutnya agama dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan agar mendapatkan dukungan, dan motivasi perjuangan. Radikalisme keagamaan berhubungan dengan memperjuangkan keyakinan/paham keagamaan dengan drastis, tanpa kompromi, bahkan dengan kekerasan. Pengikut radikalisme keagamaan pada umumnya berasal dari; a). keluarga miskin yang mengalami kekecewaan karena merasa terpinggirkan dalam peran sosial – ekonomi dan politik; b). Mereka yang memahami ajaran agama secara tekstual, tidak memahami konteks di mana sebuah teks keagamaan (alQur’an dan hadis) itu turun; c). Motto gerakannya adalah: pemurnian ajaran agama (dalam ibadah dan budaya/dan khilafah, dalam bidang politik). Gerakan radikalisme keagamaan di Indonesia: a. Bersifat transnasional berasal dari Timur Tengah. Berkembang pesat di awal era reformasi (sekitar tahun 1997 dan 1998), dengan nama yang beragam. Sampai sekarang menunjukan adanya peningkatan secara kuantitatif maupun kualitatif. b. Sasaran utamanya adalah generasi muda melalui kegiatan di sekolah, perguruan tinggi, dan rumah ibadah (mesjid, surau, mushalla). c. Bentuk kegiatannya antara lain: seminar (insidentil), taklim (rutin), siaran radio, bulletin, pendirian pondok pesantren dan lembaga pendidikan formal. 140
Bagaimana pondok pesantren yang menganut paham moderat/ahlussunnah wal jamaah menyikapi perkembangan radikalisme keagamaan di Indonesia: a. Meningkatkan fungsi pondok pesantren sebagai lembaga “tafaqquh fiddin” selain untuk para santri juga untuk masyarakat lingkungan pesantren. b. Mengadakan kegiatan berkala berupa: seminar, diskusi, halaqah, bahtsul masail antar pondok pesantren di bawah koordinasi RMI. c. Memposisikan/memerankan pondok pesantren sebagai agen pemberdayaan ekonomi masyarakat di lingkungan pondok pesantren. Peran ini memerlukan kemitraan dengan lembaga-lembaga pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah. d. Memfungsikan RMI sebagai lembaga kordinasi dan konsultasi kegiatan pondok pesantren. Ringkasan Makalah: Strategi Pondok Pesantren Radikalisme Keagamaan
dalam
Menanggulangi
Oleh: Drs.H.M.Said Husin, MA 1. Munculnya Gerakan Radikalisme Keagamaan disebabkan oleh faktor politik, pemahaman keagamaan yang dangkal dan kondisi sosial ekonomi. 2. Jenis-Jenis Radikalisme: Fisik dan Non fisik 3. Bentuk Radikalisme: Gerakan Massa, pengembangan paham dan ekstrimitas dan fanatisme 4. Dalam menanggulangi radikalisme Keagamaan, Ponpes dapat menempuh cara-cara berikut: 141
Secara internal: Penguatan ideologi, Penguatan institusi, Pengembangan wacana dan Sikap Islam Universal, antisipasi terhadap penetrasi paham dan wacana radikal. Secara Eksternal: Membangun kerja antar sesama ponpes, meminimalisir jaringan Kelompok Islam Radikal, Intensipkan pendekatan dialogis keagamaan, intensipkan kiprah pembangunan sosial keagamaan, mengembangkan wacana Islam Pluralis, Toleran, Inklusif dan Multi Kultural, dan meluruskan makna jihad, khilafah dan multi budaya 5. Perlu dibedakan antara agama dan keberagamaan. Dimensi pertama dipandang sebagai dinullah (doktrin/ajaran) yang bersifat mutlak dan absolute karena Islam diyakini sebagai syari’at atau ajaran Ilahi yang diturunkan kepada Rasul Muhammad SAW dan mencakup ajaran tentang aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq. Atau lebih dikenal sebagai ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Di sini dinullah bersifat suci, mutlak dan universal (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Sedangkan dimensi kedua dipandang sebagai dinul-ummat (keberagamaan) yang bersifat relatif dikarenakan pada tatanan praksis ini, keberagamaan Islam bisa dipandang sebagai suatu kondisi objektif perilaku seorang muslim di dalam: pertama, menjalankan dinullah seperti pada dimensi dan pengertian yang pertama, yaitu terikat dan bertindak menurut aturan Islam yang diyakini dan difahaminya, kedua pelaksanaan dinullah di bawah bingkai tujuan atau maksud diberlakukannya syari’at oleh Sang Syaari’ (maqashidus syari’ah). Tentu saja kondisi seorang muslim tersebut sangat tergantung pada dimensi 142
ruang dan waktu yang mengitarinya, antara lain kemampuan intelektual dalam memahami ajaran agama, kondisi sosial-budaya di mana seorang muslim dimaksud berkiprah, dan kondisi geografis-politik. Di sini keberagamaan sangatlah personal dan sektoral, bersifat profane dan dipengaruhi oleh faktor kultural. 6. Keberagamaan dapat dikembangkan melalui pemahaman, sikap, aplikasi dan pembelajaran
proses
Stategi Peningkatan Kerja sama Pondok Pesantren dalam Penanggulangan Radikalisme Keagamaan Oleh: Dr.H.Fakhrul Ghazi,MA Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim dari suatu aliran politik” Islam tidak pernah mengajarkan paham yang mengarah pada radikalisme keagamaan, baca al-Baqarah :143. Oleh sebab itu Pondok Pesantren perlu membuka jaringan ke pihak lain Beberapa issu yang berkembang 1. Makna Radikalisme. Pada sesi pertama, perdebatan alot tidak bisa dihindari seputar makna kata “radikalisme keagamaan” itu. Di satu sisi tema kegiatan adalah penanggulangan radikalisme keagamaan, namun di sisi lain, dalam persfektif sebagian peserta bahwa radikalisme keagamaan itu penting dalam 143
rangka tafaqquh fiddin. Menurut mereka, kemerdekaan Indonesia yang diraih justru merupakan hasil dari radikalisme, oleh karena itu radikalisme telah membuktikan kontribusinya. Namun pada perkembangan selanjutnya disepakati bahwa perlu dibedakan antara tafaqquh fiddin secara radikal, dalam arti mempelajari agama sampai ke akar-akarnya, dan bertindak secara radikal (kekerasan). Mempelajari agama secara radikal akan menggiring pada pemahaman keagamaan yang lebih komprehensif, toleran dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Sementara, tindakantindakan radikalisme yang sering terjadi pada umumnya dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki pemahaman keagamaan yang picik. 2. Selain makna term radikalisme keagamaan, hal yang muncul ke permukaan adalah pertanyaan mengapa kelompok seperti ini tumbuh dan semakin berkembang di tanah air. Di samping berbagai faktor yang disebutkan oleh para nara sumber seperti faktor politik, kemiskinan, kesenjangan sosial, pemahaman keagamaan yang dangkal, peserta menyebutkan bahwa ketidakjelasan hukum di Indonesia juga merupakan faktor mengapa kelompok seperti ini bisa berkembang. 3. Dalam konteks penanggulangan radikalisme keagamaan Program Pendampingan pondok pesantren dimunculkan sebagai salah satu strategi. Selama ini pendampingan ponpes di Kaltim sudah berjalan baik yang dilakukan oleh pemerintah (Kemenag) maupun oleh lembaga sosial. Bentuk pendampingannya berupa peningkatan SDM para pengelola, Peningkatan Mutu pengelolaan Ponpes, Workshop pengembangan wira usaha, dan lain sebagainya. Namun pendampingan yang dimaksud dalam 144
konteks ini adalah pemantauan, penataan kurikulum yang berwawasan toleran terhadap penganut agama lain dan sebagainya. Pendampingan juga bisa dimaknai dengan memfasilitasi pondok pesantren dalam menjalin komunikasi dan pembukaan jaringan ke berbagai pihak dalam rangka pengembangan pondok pesantren. 4. Gerakan Antisipatif Pondok Pesantren Di samping perlu dilakukan pendampingan dari pihak stakeholder, secara internal pondok pesantren juga perlu melakukan tindakan antisipatif ke arah itu. Di forum ini dibahas sebaiknya pondok pesantren melaksanakan manajemen terbuka, membuka diri dengan dunia luar agar tidak menimbulkan kecurigaan, menyusun formulasi kurikulum yang berwawasan kedamaian, dan toleran, serta mungkin perlu mengajarkan fiqhi jihad dan menyusun modul terkait dengan tema ini. Karena, selama ini yang diajarkan hanya seputar fiqhi ibadah 5. Pemberlakuan Syariat Islam secara Kaffah Issu ini muncul di sesi terakhir, pada saat penyajian materi yang berjudul Meluruskan Makna Jihad oleh Prof. Dr. KH. Mustafa Ali Ya’kub, MA., Konsep Wasathiyah dalam Islam oleh Dr. Ali Nurdin dan Sikap Moderat Aswaja dalam Teologi dan Politik oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad. Dengan berdasar pada ayat “Barangsiapa tidak berhukum pada apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka ia tergolong orang-orang yang kafir”. Bertolak dari ayat di atas, seorang peserta mempertanyakan urgensinya pemberlakuan syariat Islam secara kaffah. 145
6. Makna Jihad dan Kapan Harus Dilaksanakan Selain pemberlakuan syariat Islam secara kaffah, pertanyaan tentang makna jihad dan kapan harus dilaksanakan, sempat mencuat dalam forum. Hal ini terkait dengan terjadinya kasus penindasan umat Islam di Palestina dan Afghanistan misalnya, masalahnya adalah apakah boleh umat Islam Indonesia mengirim pasukan ke negara tersebut sebagai wujud solidaritas sesama muslim dengan berdasar pada ayat Al-Qur’an.
146
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI PROVINSI BANTEN
8
Oleh: H. Hasan Basri55 Pelaksanaan Lokakarya
K
egiatan ini di laksanakan pada tanggal 19-20 Oktober 2009, bertempat di Hotel Mahadria, sebelah utara alun-alun Kota Serang. Lokakarya dibuka oleh Bapak Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Peserta yang mengikuti lokakarya sebanyak 80 orang terdiri dari unsur pondok pesantren sebanyak 60 orang, sisanya 20 orang terdiri dari ormas Islam (termasuk MUI) dan unsur perguruan tinggi serta dari FKUB Provinsi Banten. Para nara sumbernya adalah: Dari Pusat 1. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar: Refleksi Pembaharuan dalam Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah. 2. Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D: Memahami Agama Damai dalam Dunia Pesantren 3. Dr.Mukhlis Hanafi: Konsep Wasathiyah dalam Islam. 4. Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub: Meluruskan Makna Jihad dalam Islam.
55
Dosen Institut Agama Islam Banten (IAIB)
147
5. Dr. H. Ali Nurdin: Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Teologi dan Politik. Dari Daerah 1. Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA (Dekan Fakultas TArbiyah IAIB Serang). Beliau menyampaikan materi dengan judul: Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan. 2. Prof. Dr. HMA. Tihami, MM, (Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten) dengan judul: Radikalisme Keagamaan dan Harmoni Sosial 3. Kapolda Banten yang disampaikan oleh Kompol Drs. Jonson yang menyampaikan materi dengan judul: “Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”. Kegiatan Lokakarya ini ditutup oleh Rektor IAIB Serang Bapak Prof. KH. A. Wahab Afif, MA. Isi Ringkasan Makalah Daerah A. Makalah dengan judul ”Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan oleh Prof. Dr. HM. Athoullah Ahmad, MA Model-model Pondok Pesantren: 1. Pesantren tradisional adalah sistem pendidikan tertua di Indonesia, ciri-cirinya: a. Pimpinan pondok pesantren pada umumnya Kyai kharismatik sekaligus pemilik pesantren. b. Mata pelajaran khusus agama, seperti Tafsir AlMunir, oleh Kyai Nawawi, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Fiqih (Taqrib, Fathul Mu’in), Hadits Arbain dan Ridyadhatus Shalihin, Tanqihul Qoul 148
dan lain-lain. Pelajaran alat (Nahu Sharaf, seperti Kitab Jurumiyah, ‘Amil, Imriti, Alfiah) dan lainlain. c. Pembelajaran tidak mengenal target waktu dan tidak mengenal kelas. Peningkatan dalam pembelajaran dilakukan jika kitab yang dikaji telah khatam (pembelajaran tuntas), maka dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab yang lebih besar dan lebih tinggi tingkatannya. d. Sarana dan fasilitas pembelajaran tidak ditentukan pada tempat yang baku, bisa dilakukan di masjid, surau atau di rumah kyai. e. Pemondokan diusahakan oleh santri sendiri sejak dari membuat gubug hingga perlengkapan tidur dan penyimpanan pakaian. f. Santri diajarkan untuk mandiri, dari memasak, mencuci pakaian hingga kepentingan lainnya seperti belanja di pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. g. Evaluasi pembelajaran kurang jika dibandingkan dengan sekolah 2. Pondok Pesantren Modern Pondok pesantren modern pada hakekatnya adalah madrasah yang memakai sistem dan metode pembelajaran diatur sesuai dengan kemajuan zaman dengan ciri-ciri: a. Pimpinan Pondok Pesantren Modern, bisa Kyai atau bukan. 149
b. Materi pembelajaran terdiri dari pelajaran agama dan umum. c. Sebagaimana sekolah, siswa terstruktur dan terevaluasi. d. Siswa/peserta (diasramakan).
didik
mengenal
mukim
di
kelas,
pesantren
B. Makalah Radikalisme Keagamaan dan Harmoni Sosial Oleh: Prof. Dr. HM. A Tihami, MA, MM Ada dua konsep pengertian tentang radikalisme dan harmoni: 1. Konsep radikal pengertian radikal secara bahasa: a. secara menyeluruh; habis-habisan b. amat keras, menuntut perubahan misalnya Undang-Undang Pemerintahan dan sebagainya, c. maju dalam berpikir/bertindak Sedangkan konsep radikalisme adalah: a. paham/aliran yang radikal dalam politik. b. paham/aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial politik dengan cara keras atau drastis. c. sikap ekstrim dalam suatu aliran politik. 2. Konsep harmoni sosial Yang dikatakan harmoni sosial adalah kesesuaian dan keserasian dalam kehidupan bermasyarakat. Karakteristik harmoni; 150
a. pasti banyak perbedaan-perbedaan. b. setiap unit perbedaan berkesanggupan bergerak sendiri-sendiri. c. Ada saling berhubungan yang menguntungkan antar umat yang berbeda d. Ada aliran universal untuk semua perbedaan dan ada aturan parsial bagi unit perbedaan tersebut. 3. Kekuatan yang menggerakkan harmoni adalah kebudayaan masing-masing unit. Perbedaan itu bergerak secara mandiri tetapi secara bersamasama dalam kesatuan wilayah kebudayaan. C. Makalah dengan tema: “Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan.Oleh: Kapolda Banten yang diwakili Oleh Kompol Drs. Jonson 1. Pengertian radikalisme keagamaan. Radikalisme adalah pemahaman sekelompok orang yang berimplikasi pada tindakan radikal atau menyimpang dengan memanfaatkan ajaran agamanya. Bila tidak diluruskan akan berpotensi menjadi gangguan Kamtibmas (kriminalitas, terorisme, dan lain-lain). Untuk meningkatkan kerjasama dalam menanggulangi radikalisme keagamaan dapat dilakukan dengan: a. membentuk wadah, yaitu Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM). Kemudian membentuk lagi Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang dipimpin oleh salah satu anggota
151
forum, sedangkan anggota Polisi Masyarakat/ Babinkamtibmas sebagai wakilnya.
c. Di lingkungan pesantren juga dibentuk BKPM dan FKPM. Duduk sebagai wakil ketua forum adalah Polmas khusus yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang komunitasnya.
d. Tugas FKPM selain sebagai “polisi” bagi dirinya sendiri/komunitas/kelompok juga memecahkan masalah Kamtibmas di lingkungannya. Isu yang Berkembang dalam Diskusi Kelompok A. Kelompok A: Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan 1. Ciri pondok pesantren salafiyah a. Memberantas kebodohan dan memberi pengetahuan (terutama ilmu agama)
ilmu
b. Figur sentral Kyai dalam komunitas pondok pesantren sebagai panutan. c. Tidak terpengaruh dengan aliran-aliran yang negatif (aliran sempalan). d. Santri diajarkan mandiri dengan tetap tunduk/ patuh pada pimpinan pondok. e. Tidak diajarkan paham-paham yang keras (radikal) f.
Tidak terpengaruh dengan pandangan politik praktis yang bersifat sesaat.
g. Pada umumnya belum mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat global. h. Tidak ikut meligitimasi gerakan-gerakan radikal. 152
2. Pandangan. a. Radikalisme keagamaan tidak cocok dengan kultur pesantren. Karena jihad yang diajarkan di pondok pesantren tidak semata-mata berarti perang (qital). b. Adanya diskriminasi terhadap lembaga pendidikan keagamaan dalam bantuan pembiayaan operasional. c. Figur kyai masih ada yang terjebak dalam permainan politik praktis. d. Kyai seyogyanya memiliki wawasan yang luas agar kuat dalam berzikir dan berpikir. e. Jalinan hubungan silaturrahmi antara ulama dan umara masih perlu ditingkatkan. f.
Badan Intelejen Negara (BIN) diharapkan dalam penanggulangan terorisme tidak mencurigai komunitas pesantren sebagai sarang teroris, sebab hanya beberapa pesantren yang terindikasi mengajarkan paham radikal.
B. Kelompok B: Cara-Cara/Bentuk-Bentuk Penanggulangan Radikalisme Keagamaan Melalui Pondok Pesantren. 1. Segi Politik: a. Memutuskan mata rantai jaringan aktor intelektual terorisme. b. Memberikan wawasan yang luas kepada santri dalam politik internasional. c. Mengintensifkan kewaspadaan dalam mengantisipasi berkembangnya paham ideologi internasional tentang terorisme. 153
2. Segi Ekonomi: a. Membangun komunikasi yang intensif antara pemerintah dengan pihak pondok pesantren untuk membuka peluang dan akses pemberdayaan ekonomi masyarakat. b. Membangun ekonomi pesantren berbasis koperasi dan usaha kecil dan menengah. 3. Segi Sosial a. Membangun dan memberdayakan forum kemitraan polisi masyarakat (FKPM) di setiap pesantren. b. Menanamkan sikap toleransi pada setiap santri sehingga tidak memicu sikap radikal. c. Mereposisi peran ulama sebagai qudwah hasanah dan uswatun hasanah. 4. Segi pemahaman terhadap teks keagamaan: a. Telaah ulang terhadap bahan ajar yang berkaitan dengan akidah. b. Memberi wawasan sosiologis kepada setiap santri. c. Meluruskan interpretasi terhadap ayat-ayat jihad. C. Kelompok C: Membangun/Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren dalam Penanggulangan Radikalisme Keagamaan. Hasil rumusan diskusi kelompok C adalah 1. Memanfaatkan Forum Silaturrahmi Pondok Pesantren (FSPP) untuk memprogramkan kegiatan rutin berupa halaqah, pengajian yang dilakukan majelis taklim, 154
untuk mengantisipasi dan menanggulangi radikalisme keagamaan. 2. Pesantren berperan aktif dalam penanggulangan/ penyebarluasan radikalisme keagamaan pada masyarakat sekitar. 3. Perlu koordinasi antara pesantren dan pemerintah setempat dalam penyelenggaraan program deradikalisasi. 4. Kerjasama antar lembaga; a. MUI mengadakan Bahtsul masail pelurusan makna jihad dan semacamnya.
tentang
b. FSPP melalui halaqah dan penyuluhan c. DKM berupa penyuluhan dalam taklim dan khutbah. d. FKUB mengadakan dialog lintas agama bersama Ormas Islam. e. Lembaga pendidikan dari SLTP sampai dengan perguruan tinggi dalam penanggulangan pemahaman radikal di bidang agama. f.
Partai politik yang berbasis Islam.
g. Melalui media, brosur-brosur dan lain-lain. 5. Meluruskan kurikulum yang ada di pondok pesantren tentang makna jihad dan terorisme. 6. Merangkul organisasi yang dianggap ekstrim dengan melakukan dialog secara terbuka dengan pendekatan kekeluargaan.
155
156
BAB IV PENUTUP
S
ebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren yang tersebar di berbagai belahan nusantara ini telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dan signifikan dalam upaya pemberdayaan sumberdaya manusia. Pesantren juga melahirkan santri-santri yang cerdas, terampil dan bermoral yang telah berjasa dalam perjuangan nasional. Pada masa pembangunan sekarang ini, pesantren telah mengembangkan pemikiran dan wawasan baru yang mendorong terjadinya perubahan, khususnya perubahan di bidang kehidupan sosial keagamaan yang lebih adil dan sejahtera. Selain itu, sebagai sub-sistem sosial, di samping berkiprah dan melakukan peran edukatif, pesantren juga memberikan kontribusi positif dalam upaya perwujudan situasi dan kondisi yang kondusif bagi kerukunan, kesatuan dan keutuhan bangsa. Membangun komunikasi dan interaksi sosial yang konstruktif, dinamis dan harmonis dalam berbagai aspek kehidupan; sosial, ekonomi, politik, budaya, kamtibmas, agama dan sub-sistem lainnya yang mengatur supaya keseimbangan masyarakat tetap terpelihara. Termasuk ikut mengendalikan, mencegah dan menanggulangi merebaknya paham dan perilaku radikalisme agama yang berkembang dan dapat merusak keseimbangan sosial. Pengembangan peran pesantren dalam penanggulangan radikalisme agama ini antara lain dapat dilakukan melalui “Jaringan Kerjasama Pondok Pesantren”. Sebagai sub-sistem sosial, pesantren bersama-sama dengan segenap lapisan dan kelompok sosial lainnya, senantiasa berupaya agar 157
keseimbangan sosial itu selalu terjaga. Beragam faktor yang merepresentasikan pelbagai kepentingan masyarakat, tidak jarang menimbulkan gangguan atau ancaman terhadap keseimbangan sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kesenjangan sosial, persaingan politik kurang sehat, tumpulnya penegakan hukum, rusaknya lingkungan dan lain sebagainya. Terganggunya keseimbangan sosial ini, berdampak pada munculnya berbagai tekanan sosial, baik yang bersifat individual maupun komunal. Selanjutnya dalam upaya melepaskan diri dan mengatasi berbagai tekanan dan kesulitan sosial itu, acapkali - disadari atau tidak – digunakan cara dan langkah yang kurang tepat dan berakibat destruktif. Kondisi seperti ini memberikan peluang berkembangnya perilaku radikal, termasuk radikalisme agama, baik dalam komunikasi internal maupun hubungan antar sub-sistem sosial. Terkait dengan upaya penanganan dampak ketidakseimbangan sosial, khususnya dalam penanggulangan radikalisme agama melalui jaringan kerjasama pondok pesantren harus komprehensif, tidak parsial, meliputi segenap aspek yang menjadi ancaman keseimbangan sosial. Di samping mengintegrasikan peran jaringan pesantren sekaligus juga mengeksplorasi dan mensinergikan potensi kelembagaan di luar pondok pesantren seperti lembaga politik, ekonomi, kamtibmas, perguruan tinggi, media massa dan asosiasiasosiasi lain yang potensial maupun berkontribusi menyelesaikan persoalan sosial yang dihadapi. Kerjasama komprehensif ini harus terarah dan fokus pada perwujudan dua target strategis; yaitu: a) menjernihkan paham dan perilaku yang menyesatkan masyarakat, b) pemberdayaan kemampuan masyarakat supaya survive secara 158
sosial ekonomi. Target strategis pertama merupakan fungsi utama jaringan pesantren sebagai “Lembaga Telaah Permasalahan Umat” (Bahtsul Masail). Sementara target strategis kedua adalah interaksi antara dunia pondok pesantren dengan lembaga-lembaga di luar dunia pondok pesantren untuk memformulasikan dan mensinergikan fungsi serta peran masing-masing menjadi tujuan bersama mengatasi pelbagai permasalahan kemanusiaan. Pondok pesantren bersama-sama dengan lembaga-lembaga sosial yang ada merumuskan agenda bersama yang dijabarkan dalam langkah-langkah programatik yang menyentuh permasalahan utama yang dihadapi, mensinergikan beragam potensi yang dimiliki, khususnya mengeliminasi berkembangnya radikalisme agama di republik ini.
159