PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN
MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Muhammad Mirrza Alam Akbar NIM I34120053
iii
ABSTRAK MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan. Dibawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dengan tingkat kohesi sosial yang ada pada masyarakat dalam pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun kohesi sosial tersebut dianalisis hubungannya terhadap keberhasilan program pemberdayaan. Program pemberdayaan dalam penelitian ini adalah program air bersih PLPBK dimana program pemberdayaan yang menekankan masyarakat atau warga komunitas untuk terlibat secara partisipatif dari tahap perencanaan hingga keberlanjutan program. Metode penelitian dilakukan secara survey dan teknik pengambilan sampel yaitu cluster random sampling. Jumlah sampel sebanyak 60 responden dengan mengambil masingmasing 15 responden di empat wilayah bak-bak penampungan dari program air bersih PLPBK. Hasil penelitian menunjukan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin tidak mempunyai korelasi pada tingkat kohesi sosial warga komunitas. Akan tetapi, tingkat kohesi sosial warga komunitas memiliki hubungan yang positif dan signifikan dalam keberhasilan program air bersih PLPBK. Kata kunci: gaya kepemimpinan, kohesi sosial, partisipasi, pemberdayaan masyarakat
ABSTRACT MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Role of Leader, Social Cohesiveness and Success of the Program for Community Empowerment in Rural Areas. Under the guidance of NURMALA K. PANDJAITAN This study aimed to analyze relationship between a leadership style of lead figur with level of community social cohesion in the implementation of empowerment program. As for social cohesion were analyzed relation to success of empowerment program. The empowerment program in this study is a clean water program PLPBK where empowerment programs that emphasize community or members of community to engage in a participatory planning phase to the sustainability of the program. The research method is survey and sampling technique that is cluster random sampling. Total sample of 60 respondents to take each of 15 respondents in the four regions of the storage tanks of clean water program PLPBK. Results showed prominent leader leadership style, has no correlation to level of social cohesion community residents. However, level of social cohesion community members have a positive and significant in the success of clean water program PLPBK. Keywords: leadership style, social cohesive, participation, community empowerment
iv
PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN
MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan masukan selama proses penulisan hingga selesai. Penulis juga menyampaikan penuh rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak (Alm.) Syamsir Alam Achmad dan Ibu Winarsih karena mereka berdualah penulis bisa terus melangkah sampai saat ini. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada teman seperjuangan penulis yaitu Vany Ardianto dan Hana Hilaly serta sahabat penulis yaitu Astrid Putri Indirawardani dan Bob Andri Nasution. Terimakasih juga penulis ucapkan untuk Rezka Hanandya yang selalu menyemangati penulis setiap harinya, teman-teman kontrakan penulis (The Kons Balio) dan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) 49. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kesalahan untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Bogor, Juli 2016
Muhammad Mirrza Alam Akbar
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Kohesi Sosial Aksi Kolektif Komunitas Pedesaan Pemberdayaan Masyarakat Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Jenis dan Sumber data Lokasi dan Waktu Teknik Pemilihan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data Definisi Operasional Gaya Kepemimpinan Tingkat Kohesi Sosial Tingkat Keberhasilan Program GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN PROGRAM AIR BERSIH PLPBK HASIL DAN PEMBAHASAN Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dalam Program Air Bersih PLPBK Gaya Kepemimpinan Konsultatif Gaya Kepemimpinan Delegatif Gaya Kepemimpinan Instruktif Tingkat Kohesi Sosial Sense of Community Aksi Kolektif Tingkat Keberhasilan Program Partisipasi Keberlanjutan Program Hubungan Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dan Tingkat Kohesi Sosial
viii viii ix 1 1 2 3 3 4 4 4 5 7 8 8 9 10 11 12 12 12 12 12 13 13 13 14 16 18 20 23 27 27 30 31 31 32 32 39 44 44 46 47
viii
Hubungan Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keberhasilan Program KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
49 52 52 52 53 57 76
DAFTAR TABEL 1 Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015 2 Prasarana sanitasi dan irigasi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015 3 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015 5 Jumlah dan persentase prasarana pendidikan Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat sense of community 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan indikator pada sense of community 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberhasilan program 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberlanjutan program 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan partisipasi 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan keberlanjutan program 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan partisipasi 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan keberlanjutan program
20 20 21 22 22 29 32 33 33 40 44 45 46 49 49 50 50
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan 2 Bagan organisasi panitia program air bersih PLPBK Desa Tugu Jaya 3 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator pemenuhan kebutuhan 4 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator keterlibatan menjadi anggota 5 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator pengaruh 6 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator berbagi kontak emosional 7 Grafik jenis keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK
11 26 34 36 37 39 41
ix
8 Grafik bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK 9 Grafik peran warga komunitas dalam program air bersih PLPBK
42 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Lokasi Penelitian 2 Kerangka Sampling 3 Hasil Olahan Data 4 Instrumen Pengukuran Kinerja Pembukuan Sekretariat BKM / LKM 5 Dokumentasi Penelitian 6 Catatan Tematik
58 59 66 67 72 73
PENDAHULUAN Latar Belakang Program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu program yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dengan mengintegrasikan potensi dan masalah yang terdapat di masyarakat. Adanya program pemberdayaan masyarakat tidak lepas dari permasalahan utamanya yaitu belum berdayanya masyarakat terhadap kondisi ideal yang diharapkan seperti permasalahan kemiskinan. Pemerintah sendiri sudah banyak memberikan bantuan program pemberdayaan seperti penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), Tabungan Keluarga Sejahtera (TAKESRA) ataupun Inpres Desa Tertinggal (IDT). Akan tetapi, program-program tersebut relatif belum berhasil menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang ada disebabkan pendekatan yang selama ini dilakukan condong kepada pendekatan top down. Masyarakat merasa tidak dilibatkan sepenuhnya dalam program sehingga masyarakat merasa kurang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program. Hal ini menunjukkan pendekatan secara partisipatif perlu dilakukan guna menunjang keberhasilan program pemberdayaan. Contoh lain kegagalan program pemberdayaan dapat dilihat pada program UPP/P2KP (Urban Proverty Project) di daerah Aceh. Permasalahan utama terletak pada rusaknya struktur pemimpin informal akibat konflik yang berkepanjangan pasca tsunami. Selain itu, masyarakat sudah tidak percaya pada integritas pemerintah formal. Pada dasarnya, masyarakat Aceh sudah memiliki struktur sosial pada figur pemimpin informal yang telah terbukti mampu menghadapi berbagai konflik. Pak Geuchik (Kepala Desa), Tuha Peut (empat Petua Kampung) dan Tengku Imeum (Imam Menasah Kampung) merupakan tokoh-tokoh informal dengan gaya kepemimpinan yang sesuai keinginan masyarakat Aceh. Kenyataannya, potensi tersebut malah termarjinalkan dengan pemilihan para elit baru yang justru menjauhkan para tokoh informal dari masyarakat dan cenderung mengkebiri kearifan lokal yang ada.1 Maka pemberdayaan masyarakat berbasis kebutuhan masyarakat menjadi sebuah kegiatan yang strategis. Selain itu, kasus program UPP/P2KP di Aceh menunjukkan bahwa program pemberdayaan memerlukan tokoh pemimpin. Peranan tokoh pemimpin menjadi sangat penting terutama dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakan seluruh warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan suatu program (Yuliana 2013). Hal ini diperkuat asumsi bahwa seorang tokoh pemimpinlah yang memiliki wewenang di suatu desa atau komunitasnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2014 pasal 1 Bab 1 no. 2 menjelaskan bahwa “Kewenangan desa adalah kewenangan yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan
1
Gagalnya Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pendekatan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan di Aceh. Muamar Vebry. 2009
2
pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa.” Pemimpin menjadi seseorang yang mengetahui secara jelas tentang keadaan komunitasnya sehingga pemimpin mampu bertindak sesuai dengan pemahaman yang didapat dari komunitasnya. Tidak hanya itu, pemimpin dirasa mampu menciptakan keakraban dengan para warga komunitas. Bernadine R. Wirjana dan Susilo Supardo (2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009) mendefinisikan kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas ataupun sasaran, dengan mengarahkan secara lebih kohesif. Hal ini membuat warga komunitas dapat bertindak secara lebih kohesif dan bersatu. Semua itu tidak lepas dari peran pemimpin yang mampu memupuk serta memelihara kebersamaan warga komunitas. Dengan adanya kebersamaan, keinginan warga komunitas untuk berperan dalam kemajuan komunitasnya menjadi lebih besar. Maka dari itu, pertanyaan dasar dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan peranan pemimpin dan kohesi sosial warga komunitas dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat? Masalah Penelitian Banyaknya masyarakat yang masih belum mampu mengakses potensi yang mereka miliki menjadi permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan sepenuhnya. Pemerintah pun sudah mencoba berbagai cara dengan memberikan berbagai program pemberdayaan. Namun program pemberdayaan yang selama ini terlaksana cenderung gagal disebabkan program berjalan tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan yakni “community based concept”. Masyarakat perlu dilibatkan sebab masyarakat merupakan komponen terpenting di dalam program pemberdayaan. Selain itu pemberdayaan akan berhasil jika masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk bersama-sama mengubah keadaan lingkungannya saat ini menjadi lebih baik. Perasaan tersebut yang membentuk kohesi sosial di dalam masyarakat. Kohesi sosial tersebut tidak serta muncul begitu saja. Adapun terdapat faktor pemimpin dengan gaya kepemimpinan tertentu secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi kohesi sosial yang ada di masyarakat maka bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan dan kohesi sosial? Pada pelaksanaannya, program pemberdayaan masyarakat memerlukan kesadaran masyarakat yang tinggal di komunitas tersebut untuk mau terlibat secara aktif maupun sukarela. Hal ini dilakukan guna meningkatkan keberhasilan program pemberdayaan yang sedang berlangsung ataupun keberlanjutan dari program tersebut. Kesadaran ini juga menunjukkan bahwa masih adanya kohesi sosial di masyarakat maka bagaimana hubungan kohesi sosial dan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat?
3
Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas maka penulisan skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” memiliki beberapa tujuan: 1. Menganalisis hubungan antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial 2. Menganalisis hubungan tingkat kohesi sosial dan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain: 1. Peneliti dan Akademisi Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait program pemberdayaan masyarakat yang terjadi di lapangan. Selain itu, untuk menambah wawasan peneliti dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dalam program pemberdayaan masyarakat sehingga mampu membentuk kohesi sosial dari para anggotanya. Sedangkan untuk akademisi, hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai hubungan gaya kepemimpinan yang berhubungan dengan tingkat kohesi sosial dalam program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai program pemberdayaan masyarakat. 3. Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai tingkat kohesi sosial dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan.
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kepemimpinan Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan. Pemimpin berfungsi untuk memupuk dan memelihara kebersamaan anggota-anggota di dalam komunitasnya. Jika ada kebersamaan diantara anggota komunitas maka dalam melaksanakan pekerjaan pada komunitas akan terasa lebih mudah. Bernadine R. Wirjana dan Susilo Supardo (2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009) kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau sasaran, dan mengarahkan dengan cara yang lebih kohesif dan masuk akal. Berdasarkan definisi diatas maka kita dapat simpulkan bahwa kepemimpinan mempunyai sebuah peran sebagai pemberi arahan dalam kegiatan-kegiatan komunitasnya. Menurut Wahjosumijo (1984) seperti yang dijelaskan oleh Randhita (2009) dalam prakteknya, memimpin mengandung konotasi yaitu menggerakkan, mengarahkan, membina, melindungi, memberi teladan, serta memberikan bantuan. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi melalui pendekatan berbasis masyarakat dan pemberian motivasi yang tepat, sehingga mereka sebagai pengikut dapat bergerak tanpa adanya rasa takut, mau bekerja sama, dan dapat mencapai segala yang menjadi tujuan-tujuan komunitas. Maka disinilah, kepemimpinan menjadi kunci keberhasilan suatu komunitas dalam usaha mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan merupakan suatu aspek yang penting dalam upaya pengelolaan komunitas, sebab kemampuan untuk memimpin sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunitas dalam mencapai tujuan. Kotter (1990) seperti yang dijelaskan oleh Utami (2007) menyebutkan bahwa memimpin harus dimulai dari menetapkan arah dan merancang visi komunitas. Pemimpin harus mampu menyatukan langkah orang-orang dibawahnya dengan cara mengomunikasikan dan mendorong mereka untuk mengatasi rintanganrintangan yang ada. Semua dapat dilakukan tanpa harus bersikap instruktif. Pemahaman tersebut juga terdapat pada hasil jurnal Utami (2007) yang menjelaskan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk perubahan. Perilaku kepemimpinan semestinya berorentasi pada pengembangan masyarakat serta dapat melahirkan pendekatan baru terhadap masalah. Selain itu, untuk mendorong para anggotanya untuk memulai kegiatan-kegiatan yang baru. Fiedler (1967) seperti yang dijelaskan oleh Yudhaningsih (2010) juga menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah pola hubungan antar individu dimana pemimpin menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap orang-orang agar mau bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan. Pemimpin tersebut harus mampu menciptakan kesatuan di antara anggotaanggota komunitas sehingga dapat diperoleh pemahaman bersama, bagaimana seharusnya membentuk kerjasama yang harmonis di dalam komunitas.
5
Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah suatu cara, tindakan maupun tingkah laku tokoh pemimpin yang dapat terlihat secara keseluruhan dalam mempengaruhi orang lain. Setiap pemimpin pastilah memiliki cara atau gaya tertentu dalam mengarahkan dan memimpin anggotanya untuk mencapai suatu tujuan di dalam komunitasnya. Terdapat tiga klasifikasi gaya kepemimpinan menurut White dan Lippit (1960) seperti yang telah dijelaskan oleh Rakhmat (2005), yaitu: a. Gaya kepemimpinan otokratis Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan dilakukan oleh pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggota. Gaya kepemimpinan ini menimbulkan suasana permusuhan dan ketergantungan yang besar dari anggota kepada pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut: 1. Pemimpin menentukan segala sesuatu secara sepihak 2. Anggota sama sekali tidak diikutsertakan dalam proses perumusan tujuan ataupun aktivitas untuk mencapai tujuan 3. Pemimpin tidak terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota dan seolah-olah terpisah dari anggota b. Gaya kepemimpinan demokratis Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pemimpin membantu, mengarahkan dan membimbing anggota dalam memutuskan kebijakan. Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut: 1. Pemimpin mengajak anggota dalam merumuskan tujuan dan langkahlangkah untuk mencapainya 2. Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk 3. Pemimpin mengikutsertakan anggota dalam kegiatan-kegiatan dan terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota c. Gaya kepemimpinan laissez faire Gaya kepemimpinan yang ditandai dengan pemimpin memberikan kebebasan penuh kepada anggota untuk mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan ini hanya ada sedikit partisipasi dari pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan laissez faire adalah sebagai berikut: 1. Pemimpin menjalankan perannya secara pasif 2. Penentuan tujuan dan langkah-langkah untuk mencapainya dilakukan oleh anggota sepenuhnya. Pemimpin hanya menyediakan sarana dan prasaranan yang dibutuhkan 3. Pemimpin tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan komunitas Pada dasarnya, pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan orang lain untuk mau terlibat di dalam suatu perubahan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Ardilah et al. (2014) yang menjelaskan bahwa faktor kepemimpinan merupakan faktor yang mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan dalam lingkungan desanya. Pembangunan yang akan berjalan dengan baik dan efektif bila pemimpin mampu mengarahkan orang-orang dibawahnya kepada kebutuhan yang
6
harus segera terpenuhi. Ibrahim (2002) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang pemimpin akan berjalan efektif jika disesuaikan dengan keadaan dalam berkomunikasi dengan bawahan. Kepemimpinan tersebut dikenal sebagai kepemimpinan situsional dimana kepemimpinan yang menekankan kepada perilaku antara pemimpin dan bawahannya. Terdapat beberapa gaya kepemimpinan situsional (Ibrahim 2002) seperti: 1. Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) Pemimpin memberikan instruksi atau petunjuk tentang tujuan dan peranan bawahannya. Pemimpin mengawasi tugas yang dilakukan bawahan secara ketat. Proses komunikasi antara pimpinan dengan bawahan banyak didominasi oleh komunikasi satu arah. 2. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) Pemimpin menjelaskan keputusan dan kebijakan yang diambil tetapi pemimpin juga mau menerima pendapat bawahan. Pengarahan dan pengawasan tetap dilakukan secara ketat. Gaya konsultasi ini dilakukan karena bawahan mempunyai tingkat kematangannya yang cukup baik. 3. Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) Pemimpin menyusun keputusan secara bersama-sama dengan bawahan dan mendukung usaha-usaha para bawahannya dalam menyelesaikan suatu tugas. Peran pemimpin menjadi aktif ketika mendengarkan pendapat para bawahannya. 4. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi Pemimpin memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada bawahan untuk memecahkan masalah dan menjalankan tugasnya. Pemimpin mendelegasikan keputusan dan tanggung jawab secara penuh pelaksanaan tugas kepada bawahan. Pada prakteknya di dalam program pemberdayaan masyarakat, pemimpin menjadi tokoh yang mampu menjalankan program gaya kepemimpinan yang telah diterapkan oleh pemimpin. Gaya kepemimpinan pun dapat diukur dari kemampuan pemimpin, diantaranya seperti kemampuan pemimpin dalam menampung aspirasi dan memberikan instruksi sesuai dengan situasi dan kebutuhan anggotanya (Mutmainah dan Sumardjo 2014). Adapun dalam pengambilan keputusan tetap ditentukan oleh pemimpin setelah dimusyawarahkan bersama masyarakat. Pada gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan), pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggota atau bawahannya. Pemimpin hanya memberikan perintah saja kepada bawahan sehingga hubungan sosial yang dibangun oleh pemimpin buruk dan cenderung tidak memahami kondisi anggotanya. Keadaan tersebut akan sulit membangun kohesi sosial di dalam komunitas. Berbeda dengan gaya kepemimpinan partisipatif dimana pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut berperan di dalamnya. Pemimpin juga mengambil keputusan setelah adanya saran ataupun pendapat dari para bawahan. Hubungan sosial dengan bawahan terjalin dengan baik dan sangat memungkinkan untuk terciptanya rasa saling memiliki dan saling mempercayai. Munculnya kohesi sosial karena usaha pemimpin mau menampung aspirasi dan memberikan arahan sesuai dengan situasi dan kebutuhan anggotanya.
7
Kohesi Sosial Kohesi sosial dapat dipahami sebagai kesatuan, keutuhan dan kepaduan dalam suatu upaya agar anggota kelompok tetap bertahan di dalam komunitas. Kohesi sosial merupakan bagian dari modal sosial. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Pranadji (2006) yang menjelaskan kekuatan modal sosial menjadi faktor penting masyarakat di pedesaan masih bisa bertahan. Modal sosial masyarakat setempat bukan saja bisa menjadi inti kekuatan dalam program pemberdayaan namun juga mampu mengatasi masalah secara kolektif. Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson dan Johnson (1991) seperti yang dijelaskan oleh Noorkamilah (2008) bahwa kohesi sosial dalam sebuah komunitas dapat terjadi ketika anggota-anggota komunitas saling menyukai dan menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kohesi sosial juga dapat terbentuk dari rasa saling percaya diantara anggota komunitas. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan (trust) ini dalam hubungan sosial masyarakat adalah pemeliharaan kohesi sosial (Mollering 2001 seperti yang dijelaskan oleh Primadona 2001). Kepercayaan merekatkan setiap komponen sosial yang ada pada masyarakat sehingga komunitas dapat menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Selain itu menurut Faturochman (2006) seperti yang dijelaskan oleh Yuasidha dan Nurul Rhamadani (2014) terdapat faktor-faktor yang membentuk kohesi sosial yakni setiap anggota memiliki komitmen tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, dan mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya. Tujuan yang sudah dirumuskan bersama-sama dapat meningkat sesuai dengan perkembangan jaman dan adanya ketertarikan antar anggota komunitas untuk berkembang. Ketertarikan ini menguatkan jaringan atau relasi sosial di dalam komunitas. Kohesi sosial juga dapat diartikan sebagai kekuatan baik positif maupun negatif, yang menyebabkan anggota komunitas tetap bertahan (Taylor et al. 2009 seperti yang dijelaskan oleh Wulansari et al. 2012). Kohesi sosial pun dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota. Hal ini didukung pada hasil penelitian Ramdhan dan Matono (1996) mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin. Tingkat kohesi sosial yang paling tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) selama dua tahun dibandingkan dengan anggota yang baru saja ikut dan belum ikut KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial tersebut karena adanya pembinaan dari sukarelawan, lamanya anggota tergabung dalam kelompok dan saling ketergantungan antara mereka. Prinsip tanggung renteng yang diterapkan dalam rangka mempererat saling ketergantungan antara anggota kelompok atau komunitas yang telah mengakar sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat. Sense of Community Rasa komunitas atau sense of community merupakan perasaan yang dimiliki oleh masyarakat atau warga komunitas selama tinggal di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Perasaan yang membuat warga komunitas sadar akan memiliki komunitasnya. Sense of community juga dapat dipahami sebagai
8
perasaan “we’re feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas (Myers 2010 seperti yang dijelaskan oleh Kaslan 2009). Rasa memiliki yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Teori rasa komunitas (sense of community) ini dibawakan oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa komunitas memiliki persepsi dengan empat unsur yaitu keanggotaan, pengaruh, penguatan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Hasil studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa sense of community menjadi indikator yang kuat dari suatu perilaku dari masyarakat. Aksi Kolektif Aksi kolektif merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dalam rangka mencapai suatu tujuan. Hal ini membutuhkan kerja sama antar masyarakat, pemangku kepentingan dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Aksi kolektif menjadi salah satu penilaian dalam kohesi sosial dimana aksi kolektif menunjukkan keterlibatan masyarakat untuk menjadikan komunitasnya lebih baik lagi. Hasil penelitian Ramdhan dan Martono (1996) menambahkan bahwa saat masyarakat sudah berkohesif maka kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi dan kebutuhan kelompok menjadi utama. Kohesi sosial yang terbentuk mampu meningkatkan kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas yang dilaksanakan bersama. Kemauan yang timbul karena adanya ikatan yang kuat di dalam komunitas. Adapun aksi kolektif dapat dipengaruhi dari faktor intrinsik seperti kepemimpinan. Faktor kepemimpin (leadership) memegang peran untuk menarik partisipasi masyarakat dalam suatu aktivitas kolektif. (Sukamana, 2013) Komunitas Pedesaan Komunitas adalah suatu kesatuan yang mempunyai batas geografi yang sama dan cenderung memiliki nasib yang sama. Komunitas juga dapat diasumsikan sebagai suatu organisasi sosial yang dibangun oleh lingkungan alam, sosial, dan ekonomi yang saling mempengaruhi (Norris et al. 2007). Istilah komunitas pun merujuk pada warga desa ataupun suku tertentu yang menempati suatu wilayah. Apabila anggotaanggota di dalam suatu wilayah tersebut mampu hidup bersama serta dapat memenuhi kepentingan hidup mereka maka kelompok tersebut dapat disebut komunitas (Nasdian 2006). Pedesaan adalah suatu sistem sosial yang dibangun oleh berbagai komponen seperti komponen ekonomi dan sosial yang saling terkait sehingga menciptakan karakteristik yang khas. Komunitas pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda dari komunitas lainnya seperti komunitas perkotaan. Komunitas pedesaan memiliki latar belakang yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan, dan etnik masyarakat tertenut yang berada dalam komunitas tersebut (Kulig et al. 2008). Homogenitas ini membuat kohesi sosial pada komunitas pedesaan relatif lebih tinggi daripada komunitas perkotaan. Homogenitas tersebut juga mampu membentuk rasa kepedulian antara anggota komunitas dan berbagai
9
proses sosial yang asosiatif masih dapat sering ditemukan di komunitas pedesaan. Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada tiga komunitas yaitu komunitas petani, komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan. Hasil menunjukkan bahwa pada komunitas petani, rasa memiliki lebih tinggi dibandingkan dengan kedua komunitas lain. Komunitas petani memiliki inisiatif yang tinggi dalam mengatasi masalah, sering membantu menanam dan panen serta interaksi sosial yang tinggi. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kesadaran masyarakat untuk mengaktualisasikan segala potensi yang mereka miliki. Pemberdayaan masyarakat menekankan pentingnya masyarakat untuk mandiri sebagai suatu unit yang dapat mengorganisir dirinya sendiri. Pemberdayaan masyarakat yang demikian perlu memberikan peran kepada setiap individu. Bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek dalam menentukan arah perubahan dalam komunitasnya. Hal ini didukung dengan pernyataan Surochiem (2001) yang menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep tersebut mencerminkan paradigma baru yakni people centered, participatory, empowering, dan sustainable. Program pemberdayaan perlu melibatkan masyarakat sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, dengan membebaskan diri mereka dari segala peraturan (birokrasi) yang kaku. Proses inilah yang membuat masyarakat berdaya dengan mengembangkan pilihan-pilihan yang ada. Sementara penyusunan program pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara menggali konsep pembangunan yang mandiri serta menumbuhkan nilai-nilai yang telah ada, sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai bentuk konflik kepentingan dan ketimpangan. Maka program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu bagian dari keikutsertaan masyarakat yang nyata dimana pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses dari tidak berdaya masyarakat menjadi mampu dan berdaya. Konsep empowerment juga dapat dipahami secara tepat melalui pemahaman pemberdayaan yang bersentuhan langsung dengan konsep kekuasaan, dimana pemberdayaan masyarakat dari masa ke masa masih banyak diakomodir oleh kepentingan-kepentingan yang ada. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesiapan masyarakat desa untuk menjalani program serta kurangnya sosialisasi mengenai program tersebut. Secara konseptual, program pemberdayaan membahas bagaimana individu ataupun suatu unit komunitas berusaha untuk mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan berusaha untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan keinginan mereka (Nasdian 2014). Prinsip ini mendorong masyarakat untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi, sehingga masyarakat mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk masa depan komunitasnya. Nasdian (2014) juga menyatakan bahwa selama ini, peran masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya masyarakat hanya dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Kondisi tersebut membuat partisipasi masyarakat terbatas pada implementasi program. Masyarakat tidak dikembangkan dayanya untuk menjadi kreatif dari dalam dirinya
10
dan harus menerima keputusan saja yang sudah diambil pihak luar sehingga partisipasi dapat dikategorikan pasif. Adanya pemberdayaan yang sesuai kehidupan masyarakat dapat membuat program pemberdayaan menjadi lebih baik disebabkan pemberdayaan tersebut bertujuan pada peningkatan kesadaran dan kekuatan masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang sebelumnya. Masyarakat juga dapat belajar untuk bertanggung jawab akan memanfaatkan potensi yang ada di desanya. Kesadaran masyarakat akan berkembang saat mereka mampu menerapkan pemberdayaan yang telah dilakukan. Kesadaran ini terjalin karena adanya rasa memiliki untuk saling menjaga lingkungan sekitar tanpa harus merusaknya. Hal tersebut menimbulkan kepercayaaan antar warga dalam menyikapi segala kejadian ataupun hambatan yang akan atau sedang dialami. Selain itu, antar pihak masyarakat mau bersinergi untuk melakukan pembangunan yang lebih baik. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mengikut program pemberdayaan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu kepemimpinan, dimana dalam menggerakkan partisipasi masyarakat perlu adanya pimpinan (Tjokroamidjojo 1979). Faktor kepemimpinan juga disinggung dalam hasil penelitian Girsang (2011) yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan lokal merupakan faktor strategis dari keikutsertaan masyarakat. Peranan pemimpin seperti pemerintah, pengurus kelurahan (RT/RW), dan tokoh-tokoh masyarakat merupakan faktor eksternal yang mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam program pemberdayaan. Kerangka Pemikiran Pada program pemberdayaan masyarakat diperlukan seorang tokoh pemimpin yang mampu mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah disepakati bersama. Adanya tokoh pemimpin dapat membawa dampak baik kepada berjalannya program pemberdayaan dimana peranan tokoh pemimpin menjadi jelas saat tokoh pemimpin telah menerapkan gaya kepemimpinan tertentu. Gaya kepimpinan yang diterapkan oleh tokoh pemimpin ini akan membentuk respon tertentu pada masyarakat. Gaya instruktif yang cenderung hanya memerintah saja tentu hasilnya akan berbeda dengan gaya kepemimpinan yang partisipatif. Respon masyarakat pun bisa beragam. Ada yang memilihi untuk acuh dan ada juga yang memilihi untuk tetap bersama-sama menjalankan program. Perasaan yang menyatukan masyarakat ini dapat terbentuk dari rasa komunitas (sense of community) yang dimiliki dan aksi kolektif yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial. Kohesi sosial juga menentukan keberhasilan program. Ketika sebuah komunitas tersebut sudah dikatakatan kohesif maka program pemberdayaan masyarakat dapat berhasil dengan baik.
11
Tingkat Kohesi Sosial Gaya Kepemimpinan Gaya Instruktif Gaya Konsultatif Gaya Partisipatif Gaya Delegatif
Sense of Community Pemenuhan kebutuhan Keterlibatan menjadi anggota Memberikan pengaruh Berbagi kontak emosional Aksi Kolektif Jenis keterlibatan Bentuk keterlibatan Peran
Tingkat Keberhasilan Program Partisipasi Keberlanjutan program
Keterangan : berhubungan
Gambar 1. Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan
Hipotesis Penelitian 1. 2.
Diduga terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan partisipatif dan tingkat kohesi sosial Diduga terdapat hubungan positif antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat
12
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan kuisioner kepada responden. Kuesioner disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya. Data kualitatif diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang merupakan tokohtokoh masyarakat untuk memperjelas informasi dan gambaran tentang keadaan sosial di lapangan. Jenis dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui metode survey dengan alat instrumen berupa kuisioner. Kuisioner diisi responden dengan pendampingan. Data sekunder juga diperlukan seperti profil desa, data monografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistik mengenai potensi desa. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Tugu jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian tersebut dipilih secara sengaja (purposive). Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas berbentuk program air bersih PLPBK (Penataan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas). Program pemberdayaan dari pemerintah dimana air bersih menjadi kebutuhan bersama masyarakat yang ingin segera terpenuhi. Masyarakat ikut terlibat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan pembangunan hingga pengelolaan hasil dari program ini. Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi penelitian adalah masyarakat Desa Tugu jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kerangka sampling dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang diprioritaskan mendapatkan air bersih dalam program air bersih PLPBK. Responden berasal dari masyarakat berusia diatas 30 tahun dengan asumsi pada usia tersebut, responden sudah mampu untuk terlibat dalam program dan masih bisa mengingat pelaksanaan program. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik cluster random sampling dimana terdapat empat wilayah bak penampungan dalam program air bersih PLPBK di Desa Tugu Jaya. Jumlah responden yang akan diambil sebanyak 15 responden pada tiap wilayah bak-bak penampungan sedangkan informan adalah tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui program air bersih PLPBK.
13
Teknik Pengumpulan Data Responden diwawancarai dengan menggunakan kuisioner, namun untuk mengatasi kesulitan responden dalam memahami data yang diminta maka dalam mengisi kuisioner didampingi bersama peneliti. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan wawancara pada beberapa informan yang tahu mengenai program air bersih PLPBK. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas dan data diperoleh dari rumah tangga. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan aplikasi SPSS for windows 20.0 dengan pengodean dan memberikan nilai dari jawaban-jawaban yang terdapat dalam kuisioner. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial. Kemudian hubungan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk memperdalam analisis pada data-data kuantitatif. Definisi Operasional 1. Usia adalah lamanya hidup seseorang dan terhitung sejak ia dilahirkan sampai pada saat menjadi responden dalam penelitian ini. Pembulatan angka usia dihitung sejak hari kelahiran sampai saat ulang tahun terakhir responden yang dinyatakan dalam satuan tahun. 2. Tingkat pendidikan adalah jenjang proses belajar formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan responden dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur dalam skala ordinal menjadi: a. Tidak sekolah b. Tamat SD c. Tamat SMP d. SMA keatas 3. Jenis pekerjaan adalah sumber nafkah bagi suatu keluarga. Jenis pekerjaan akan dibagi dua bagian menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. 4. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh responden dalam sebulan. Tingkat pendapatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur dalam skala ordinal menjadi: a.
Rp. 1.500.000,000
14
Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau pola tindakan seorang pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu komunitas. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan menjadi gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan), gaya konsultasi (menjajakan), gaya partisipasi (mengikutsertakan) dan delegasi. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi: a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2) c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) 1. Gaya kepemimpinan instruktif Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) dicirikan dengan tokoh pemimpin tidak melibatkan masyarakat dalam pengambil keputusan dan pemimpin hanya sekedar memberikan instruksi tentang pelaksanaan tugas. Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) ditandai oleh: a. Pemimpin memberikan instruksi tanpa mendengarkan keluhan dan pendapat warga komunitas dan cenderung memerintah saja b. Hanya pemimpin yang merancang program c. Pengambilan keputusan hanya berasal dari usulan pemimpin d. Dalam forum diskusi, pemimpin lebih banyak menguasai pembicaraan e. Pemimpin membatasi hubungan sosial dengan warga komunitas Hasil pengukuran gaya kepemimpinan instruksi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi: Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 2. Gaya kepemimpinan konsultatif Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) dicirikan dengan tokoh pemimpin mengambil keputusan dan kebijakan setelah berkonsultasi dan menerima pendapatan masyarakat. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) ditandai oleh: a. Pemimpin memberikan instruksi setelah mau mendengar keluhan dan pendapat warga komunitas b. Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas terjadi dua arah c. Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin setelah berkonsultasi dengan para warga komunitas d. Hubungan interaksi dengan warga komunitas lebih banyak mengarahkan daripada memerintah e. Pemimpin menanyakan permasalahan yang dihadapi warga komunitas
15
Hasil pengukuran gaya kepemimpinan konsultasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi: Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 3. Gaya kepemimpinan partisipatif Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) dicirikan dengan tokoh pemimpin melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta menerima adanya saran, pendapat dan keluhan dari masyarakat. Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) ditandai oleh: a. Pemimpin memberikan kesempatan warga komunitas untuk berpendapat sebelum memberikan instruksi b. Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas lebih banyak dengan bermusyawarah c. Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin dengan melibatkan warga komunitas d. Pemimpin memberikan aspirasi kepada warga komunitas e. Pemimpin sering melakukan pendekatan dengan warga komunitas Hasil pengukuran gaya kepemimpinan partisipasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi: Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 4. Gaya kepemimpinan delegatif Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi dicirikan dengan tokoh pemimpin memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memutuskan masalah dan menjalankan tugasnya. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi ditandai oleh: a. Pemimpin lebih banyak memberikan saran daripada terjun ke lapangan b. Proses komunikasi dengan warga komunitas jarang c. Pemimpin memberikan wewenang penuh kepada warga komunitas untuk mengambil keputusan d. Hubungan interaksi dengan warga komunitas pasif e. Pemimpin menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan program kepada warga komunitas Hasil pengukuran gaya kepemimpinan delegasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi: Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20
16
Tingkat Kohesi Sosial Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas. Tingkat kohesi sosial dilihat rasa komunitas (sense of community) dan aksi kolektif dari masyarakat. Hasil pengukuran tingkat kohesi sosial dapat dikategorikan dengan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari sense of community dan aksi kolektif menjadi: Rendah : jumlah skor 2-3 Tinggi : jumlah skor 4-5 Sense of Community Sense of community diukur dengan menggunakan empat indikator yaitu Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan), Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), Influence (memberikan pengaruh) dan Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional). Terdapat 24 pernyataan yang disadur dari teori Sense of Community Index version 2 (SCI-2) (Chavis et al. 2008) pada penelitian ini dengan dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi: a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2) c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) a. Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan) adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Indikator pemenuhan kebutuhan memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator pemenuhan kebutuhan dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi: Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24 b. Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas) adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Indikator keterlibatan menjadi anggota memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator keterlibatan sebagai anggota komunitas dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi: Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24 c. Influence (pengaruh) adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. Indikator pengaruh memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator pengaruh dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:
17
Rendah Tinggi
: skor 6-15 : skor 16-24
d. Shared Emotional Connection (berbagai kontak emosional) adalah anggotaanggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagai kejadian penting bersama seperti syukuran. Indikator berbagi kontak emosional memiliki enam buah pernyataan Adapun hasil pengukuran indikator berbagai kontak emosional dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pertnyataan menjadi: Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24 Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada rasa komunitas (sense of community) dapat dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (2447) diberi skor 1, sedang (48-71) diberi skor 2, dan tinggi (72-96) diberi skor 3. Aksi Kolektif Aksi kolektif adalah tindakan bersama yang dilakukan oleh warga komunitas selama program. Dalam mengukur aksi kolektif dapat jenis keterlibatan dalam aksi kolektif, bentuk keterlibatan dalam aksi kolektif dan peran warga komunitas dalam aksi kolektif. Aksi kolektif dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi: a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2) c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) Jenis keterlibatan dalam aksi kolektif adalah jenis kegiatan yang dilakukan oleh warga komunitas secara bersama-sama dalam komunitas. Terdapat jenis-jenis aksi kolektif sebagai berikut. a. Gotong royong b. Musyawarah c. Tolong menolong d. Lainnya …. Bentuk keterlibatan adalah keikutsertaan atau suatu tindakan yang dilakukan oleh warga komunitas dalam kegiatan komunitas. Bentuk keterlibatan dicirikan dengan: a. Menyumbangkan uang b. Menyumbangkan tenaga c. Menyumbangkan ide atau gagasan d. Lainnya ….
18
Peran adalah tindakan maupun posisi warga komunitas selama pelaksanaan program ini. Peran dalam aksi kolektif dicirikan dengan: a. Mengumpulkan para warga untuk ikut serta dalam kegiatan program b. Terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan program c. Hanya hadir dalam pelaksanaan kegiatan program d. Pulang sebelum kegiatan program selesai Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada aksi kolektif dapat dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (10-24) diberi skor 1 dan tinggi (25-40) diberi skor 2. Tingkat Keberhasilan Program Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah suatu kondisi dimana seluruh tujuan dari adanya kegiatan pemberdayaan dapat tercapai. Pada program pemberdayaan, terdapat keikutsertaan masyarakat untuk menjalankan program serta adanya manfaat program yang terus dirasakan hingga sekarang. Dalam mengukur keberhasilan program dapat dilihat dari beberapa indikator seperti partisipasi dan kerlanjutan program yang dirasakan oleh masyarakat. Keberhasilan program dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi: a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2) c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) 1. Partisipasi Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat selama pelaksanaan program. Pada variabel partisipasi terdapat tahap pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi. Indikator partisipasi memiliki delapan buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator partisipasi dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi: Rendah : skor 8-19 Tinggi : skor 20-32 2. Keberlanjutan program Keberlanjutan program adalah kondisi dimana program tersebut dapat terus beroperasi dan outputnya dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat. Indikator keberlanjutan program memiliki lima buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator keberlanjutan dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi: Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20
19
Hasil pengukuran variabel keberlanjutan program dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal dengan berdasarkan jumlah skor dari semua pertanyaan menjadi: Rendah : skor 13-32 Tinggi : skor 33-52
20
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Desa Tugu Jaya merupakan salah satu desa yang secara administrasi masuk di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 505.643 Ha. Desa Tugu Jaya sendiri terbagi menjadi 11 rukun warga (RW) dan 44 rukun tetangga (RT). Batas wilayah desa pada bagian utara dibatasi dengan Desa Cisalada dan Desa Pasirjaya, bagian selatan berbatasan dengan Desa Kutajaya, Kec. Cicurug, Kab. Sukabumi, bagian barat berbatasan dengan kawasan Gunung Salak, dan bagian timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Cigombong. Desa Tugu Jaya terletak pada jarak dua km dari Kecamatan Cigombong. Perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh dengan waktu sepuluh sampai lima belas menit. Jarak dari Desa Tugu Jaya ke pusat pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu 50 km. Adapun pembagian lahan di Desa Tugu Jaya tahun 2015 sebagai berikut. Tabel 1. Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Pembagian Lahan Lahan Sawah Lahan Perkebunan Waduk/Danau/Situ Tanah Kas Desa Lainnya Total
Jumlah (Ha)
Persentase (%)
113.643 193.752 898 4.565 306.335 505.643
22.47 38.32 0.17 9.02 60.58 100.0
Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Tabel 1 menunjukkan lahan perkebunan menjadi lahan paling luas di Desa Tugu Jaya sebesar 193.752 Ha. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat memanfaatkan pekarangan rumah mereka sebagai kebun dengan sebagian hasilnya dijual ataupun untuk konsumsi rumah tangga. Pembagian lahan lainnya sebesar 306.335 Ha digunakan untuk rumah-rumah warga dan jalan utama di dalam desa. Selain itu, Desa Tugu Jaya juga memiliki prasarana sanitasi dan irigasi untuk persawahan masyarakat sebagai berikut. Tabel 2. Prasarana sanitasi dan irigasi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Prasarana Sanitasi & Irigasi MCK Umum (buah) Jamban Keluarga (buah) Saluran Drainase (meter) Saluran Irigasi (meter) Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Jumlah 10 115 6 4
21
Tabel 2 menunjukkan Desa Tugu Jaya sangat sedikit memiliki MCK umum sebanyak 10 buah saja. Jumlah MCK umum yang sedikit ini disebabkan mayoritas penduduk Desa Tugu Jaya sudah memiliki MCK pribadi di dalam rumahnya. Sementara itu saluran irigasi hanya sepanjang empat meter dimana panjang saluran irigrasi tersebut tergolong kecil dibandingkan dengan luas lahan persawahan di Desa Tugu Jaya. Kondisi Sosial Berdasarkan Data Potensi Desa Tugu Jaya tahun 2015, jumlah penduduk desa sebanyak 15.051 jiwa. Sebaran penduduk meliputi laki-laki sebanyak 7.761 orang dan perempuan sebanyak 7.290 orang. Usia 0-17 tahun berjumlah 5.136 jiwa dan usia 18-56 tahun berjumlah 7.865 jiwa serta usia diatas 56 tahun berjumlah 934 jiwa. Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah 15.450 jiwa. Kemudian untuk kepala keluarga (KK) berjumlah 3.627 KK. Adapun jenis pekerjaan masyarakat Desa Tugu Jaya umumnya sebagai petani, buruh tani dan pedagang berupa warung, dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015
Mata Pencaharian Petani Buruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pedagang TNI/POLRI Pensiunan Pengusaha kecil dan menengah Jasa Lainnya Total
Jumlah (orang) 2.985 6.955 79 898 18 31 16 835 3.343 15.051
Persentase (%) 19.83 46.21 0.52 5.96 0.12 0.20 0.10 5.55 15.67 100.00
Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Berdasarkan data dari Tabel 3 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Desa Tugu Jaya bermata pencaharian sebagai buruh yakni sebanyak 6.955 orang dan petani sebanyak 2.985 orang. Hal ini disebabkan masih banyaknya lahan kebun yang sering digarap oleh masyarakat. Kemudian pedagang masuk pada urutan ketiga terbesar setelah buruh dan petani sebanyak 898 orang. Selain mengelola lahan yang ada, masyarakat memilihi profesi sebagai pedagang disebabkan berdagang bisa dilakukan dengan membuka warung di depan rumahnya. Kondisi Pendidikan Tingginya jumlah petani dan buruh tani salah satu faktornya disebabkan oleh tingkat pendidikan mereka, dimana mayoritas masyarakat hanya lulusan pendidikan
22
Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Tugu Jaya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015
Lulusan Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Tidak sekolah Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
6.450 3.169 1.200 135 4.097 15.051
42.85 21.05 7.97 0.89 27.22 100.00
Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah lulusan tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 6.450 orang. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah fasilitas sekolah seperti SMP dan SMA yang masih sedikit di Desa Tugu Jaya. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan persentase prasarana pendidikan Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Prasarana Pendidikan PAUD Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Total
Jumlah (buah)
Persentase (%)
4 4 8 4 0 20
20.00 20.00 40.00 20.00 0.00 100.0
Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Tabel 5 menunjukkan bahwa prasarana pendidikan di Desa Tugu Jaya paling banyak terdapat pada bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak delapan buah, sedangkan untuk bangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak ada dan bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP), PAUD, dan Taman Kanak-kanak berjumlah empat buah. Jumlah prasarana pendidikan yang masih sedikit dan tidak menunjang menjadi salah satu penyebab para remaja desa jarang untuk melanjutkan pendidikan dan memilihi untuk bekerja.
23
PROGRAM AIR BERSIH PLPBK Program PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan lanjutan transformasi sosial dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). P2KP dan PLPBK adalah agenda pembangunan masyarakat dimana fokus utama program guna menanggulangi kemiskinan melalui pembangunan pada bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Program PLPBK fokus kepada kegiatan penataan lingkungan permukiman melalui pendekatan secara komprehensif dan terpadu.2 Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas atau PLPBK pertama kali digulirkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya pada tahun 2008. Secara umum, program dijalankan berdasarkan petunjuk teknis yang diperuntukkan bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, konsultan dan masyarakat yang digunakan sebagai acuan proses seleksi sasaran program PLPBK. Menurut Petunjuk Teknik, pelaksanaan program PLPBK memiliki tujuan yaitu mewujudkan proses pemilihan dan penetapan lokasi penerima kegiatan sesuai kriteria lokasi yang dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun tahapan persiapan dan kriteria lokasi penerima program PLPBK dilakukan dengan penyiapan Surat Pemberitahuan dan Pengumuman Seleksi. Kemudian pembentukan TS (Tim Seleksi) tingkat pusat dan sosialisasi pelaksanaan melalui kegiatan seleksi yang akan diselenggarakan bersama. Hal ini melibatkan jajaran pemerintah daerah, KMW dan Korkot (Koordinator Kota) serta perwakilan dari calon lokasi penerima program PLPBK.3 Program pun diberikan kepada wilayah yang kumuh dan padat penduduk dengan jumlah keluarga miskin masih tinggi. Total bantuan sebesar satu miliar yang berasal dari pemerintah pusat. PLPBK juga merupakan program reward bagi BKM atau LKM yang terpilih dengan pembukuan keuangan PNPM Mandiri yang baik dalam pengelolaannya serta peran aktif BKM atau LKM dalam mengelola dana bantuan program PNPM Mandiri yang telah diberikan. Desa Tugu Jaya terpilih untuk mendapatkan program PLPBK disebabkan kinerja BKM Tugu Jaya Mandiri dalam mengelola keuangan PNPM Mandiri paling baik se-Kabupaten Bogor.4 “Jadi ini kan program reward untuk BKM-BKM di Kabupaten Bogor yang ditinjau pertama kali dari setiap adanya pinjaman bergulir nah kami masuk tingkat pengembaliannya bagus. BKM Tugu Jaya Mandiri itu masuk kategori terbaik dari lainnya (desa lain) maka kami masuk calon mendapatkan program ini. Setelah itu, tentu ada tim penilai yah dari tingkat provinsi sampai bagian infrastruktur turun. Hasilnya alhamdulillah Tugu Jaya itu dari sekian yang masuk nominasi dari beberapa kecamatan, beberapa desa juga se-Kabupaten Bogor kami 2
Berdasarkan keterangan pada www.p2kp.org/datapnpmdetail.asp?mid=41&catid=29& Tersedia pada: http://www.p2kp.org/pustaka/files/FA_Juknis_Tata_Cara_Seleksi_PLPBK_Mei_ 2013_rev050613.pdf 4 Terdapat Instrumen Pengukuran Kinerja Pembukuan Sekretariat BKM / LKM pada Program PLPBK di Lampiran 4. 3
24
masuk jadi nomor satu mendapatkan program PLPBK dengan skor 8 dari 10 maka dari itu, masyarakat disuruh mengusulkan program apa yang mereka butuhkan maka perwakilan-perwakilan di masing-masing wilayah mengadakan konsolidasi dengan warga, dicrosscheck apa kira-kira kebutuhan yang paling prioritas. Data itu dikumpulkan berbarengan dengan perwakilan di setiap RT/RW datang ke balai desa. Disana dipilih kebutuhan yang sangat mendesak ternyata hasilnya masyarakat butuh air bersih.” (YD, 52 tahun, Ketua UPL (Unit Pengelolaan Lingkungan) Desa Tugu Jaya) Program LPBK sendiri tidak langsung diputuskan oleh pihak BKM Tugu Jaya Mandiri namun diadakan rembug desa yang dihadiri oleh setiap perwakilan RW/RT dan tokoh-tokoh masyarakat di balai desa. “Awalnya gak langsung dikasih mas, jadi ditanya ‘siap gak nih Desa Tugu Jaya buat program PLPBK ini?’” (SN, 47 tahun, Koordinator BKM Tugu Jaya Mandiri). Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor menjadi desa yang pertama kali mendapatkan bantuan program PLPBK di Kabupaten Bogor.5 “Desa Tugu Jaya, desa percobaan mas. Desa lain mah gak rumit, kita doang (yang rumit). Tapi itu jadi panutan buat desa lain.” (NND, 56 tahun, Ketua BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) Desa Tugu Jaya) Setelah perwakilan masyarakat menyatakan siap, tidak serta merta bantuan berbentuk dana satu miliar dari pemerintah langsung datang. Awal berjalannya PLPBK, pihak BKM mengikuti prosedur yang sudah dibuat dari pemerintah pusat dengan membentuk beberapa kelompok kerja seperti TIPP (Tim Inti Perencanaan Partisipatif), perekrutan TAP (Tenaga Ahli Perencanaan), dan pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) yang terdiri dari Pokja Lingkungan Hidup, Pokja Pendidikan dan Kesehatan, Pokja Sarana dan Prasarana, dan Pokja Pelayanan Publik. BKM bersama kelima Pokja melakukan transek sosial dan musyawarah di tingkat RT maupun RW. Transek sosial dilakukan untuk melihat potensi dan masalah yang ada di masyarakat. Hasil dari transek sosial menunjukkan bahwa air bersih menjadi kebutuhan utama masyarakat. Saat itu, masyarakat merasa sulit untuk memperoleh air bersih khususnya pada RW 02, RW 03, dan RW 04. Memang tidak semua RW (rukun warga) atau kampung yang mengusulkan air bersih disebabkan beberapa RW atau kampung sudah memiliki sumber air bersihnya sendiri seperti dari sumur namun atas kesepakatan bersama, akhirnya masyarakat Desa Tugu Jaya memutuskan air bersih sebagai prioritas utama mereka dalam program PLPBK.
5
Hasil wawancara dengan Ketua BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) di Desa Tugu Jaya
25
RW-RW yang mendapatkan bantuan air bersih dalam program PLPBK yaitu RW 2, RW 3, RW 4, RW 6, RW 10, dan RW 11. Pada RW 10 dan RW 11, masyarakat sudah memiliki sumber air tetapi kualitas airnya tidak memenuhi standar baik atau kualitas air tanahnya sangat buruk. “Dari warga airnya banyak zat besi, kuning gitu mas kalau diangkat abis dicuci nguning gitu, makanya air bersih dipasang. Ngobrol sama bapak-bapak di kampung ini bair langsung pasang.” (SPT, 42 tahun, responden) Terpilihnya air bersih sebagai kebutuhan pada program PLPBK merupakan hasil kesepakatan bersama masyarakat Desa Tugu Jaya. Masyarakat melihat masih banyak yang sangat kesulitan untuk menjangkau air bersih. Program PLPBK di Desa Tugu Jaya telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk menikmati air bersih dari potensi lingkungan atau komunitasnya sendiri secara lebih luas. “Disini 20 meter digali juga gak keluar airnya. Susah air mas.” (ARS, 46 tahun, responden) Tidak adanya sungai di Desa Tugu Jaya juga menjadi salah satu kendala. Maka kegiatan pemberdayaan pun difokuskan pada pembangunan jalur air bersih dari Gunung Salak langsung dan membangun swadaya masyarakat untuk mau menyumbangkan dana ataupun tenaga. Dana yang datang secara berskala dan tidak secara penuh membuat masyarakat berswadaya agar program air bersih PLPBK ini tetap dapat berjalan. Pemasangan paralon sendiri di rumah-rumah warga memakan biaya sebesar seratus ribu rupiah. “Warga pinginnya air bersih. Jadinya diajuin ke balai desa, seratus ribu buat masangnya dulu di rumah-rumah warga.”(EKM, 52 tahun, responden) Selanjutnya, TPP (Tim Pelaksana Pembangunan) melakukan tugasnya dalam pelaksanaan langsung di lapangan seperti pemasangan pipa langsung dari Gunung Salak dan melakukan berbagai pendekatan dengan masyarakat seperti masalah perizinan tanah yang bisa digunakan. “Cari sumber air lain, dulu SGT sama saya yang turun langsung ke lapangan, minta konfirmasi dulu yang punya disitu. Di kampung ini (Kampung Batu Karut) gak bisa sembarangan karena harus minta izin sama masyarakat yang udah biasa ngambil air disitu maka diaturlah baiknya gimana.” (DD, 47 tahun, relawan desa) Pada pelaksanaannya, tidak hanya TPP yang terjun ke lapangan tetapi dibantu juga oleh TP dan kelima Pokja. TP (Tim Pemasaran) sendiri memiliki tugas utama yakni mencari stakeholder lainnya untuk menbantu dari segi bentuk pendanaan dalam program air bersih PLPBK. BKM Tugu Jaya Mandiri pun membentuk kepengurusan BPAB (Badan Pengelola Air Bersih) agar output dari program air bersih PLPBK
26
dapat terus dimanfaatkan masyarakat. Berikut adalah bagan kepanitian program air bersih PLPBK Desa Tugu Jaya. (Gambar 2) [Koordinator BKM] Hj. Samani
Sekretaris Umum : Dini Mardianti Bendahara Umum : Siti Holisoh
TPP (TIM TP (TIM PEMASARAN) PELAKSANA Ketua : Hj. Samani PEMBANGUNAN) Anggota-anggota: Ketua : Sugandi Sigit - Mumu Apek (sekretaris) Anggota-anggota: - Syarif Najamuddin - Nanda (Ketua BPAB) - Deni Saputra - Yudi (Ketua UPL, - Imang Irawan Unit Pengelolaan - Siti Juariah Lingkungan) - Daud (tokoh pemuda) - Nanang - masyarakat lainnya.. Sumber: Hasil kepanitiaan wawancaraprogram dengan air Kordinator BKMDesa Tugu Jaya Mandiri Gambar 2. Bagan bersih PLPBK Tugu Jaya (Sumber: Hasil wawancara dengan Koordinator BKM Tugu Jaya Mandiri)
Kemudian agar program ini dapat terus berjalan, setiap bulan masyarakat atau masyarakat atau warga komunitas perlu menyisihkan uang mereka sebesar tiga ribu rupiah dan membayar tujuh ratus rupiah per kubiknya. Besarnya biaya tersebut merupakan hasil musyawarah warga komunitas. Dana yang sudah terkumpul dipergunakan oleh BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) untuk biaya operasi mesin dan perbaikan paralon bila terdapat kerusakan dan lainnya. Keberhasilan program PLPBK hanya dapat diperoleh dengan adanya komitmen penuh dari semua pihak.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dalam Program Air Bersih PLPBK Pada dasarnya, tokoh pemimpin merupakan orang yang telah dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin dalam rangka mencapai suatu tujuan. Tokoh pemimpin ini dipilih karena tokoh pemimpin memiliki karakter yang arif dan sudah begitu dikenal oleh warga komunitas. Berbicara tokoh pemimpin dalam rangka program pemberdayaan masyarakat pada komunitas terdapat asumsi bahwa tokoh pemimpin harus mampu melibatkan partisipasi masyarakat atau warga komunitas selama pelaksanaan program. Biasanya tokoh pemimpin tersebut merupakan orang lokal yang lahir dan besar di dalam komunitas tersebut. Tokoh pemimpin dalam program ini adalah SGT (50 tahun). Tokoh pemimpin SGT merupakan pemimpin lokal yang lahir dan besar di Desa Tugu Jaya. Pada program air bersih PLPBK, tokoh pemimpin SGT menjabat sebagai Ketua Tim Pelaksana Pembangunan atau disingkat TPP. Sebelum menjadi Ketua TPP, tokoh pemimpin SGT merupakan mantan Ketua RW 06 di Desa Tugu Jaya. Tokoh pemimpin SGT dikenal baik oleh warga komunitas Desa Tugu Jaya, sebagai sosok yang memiliki kepemimpinan yang bagus dan aktif selama di karang taruna. Sewaktu muda, tokoh pemimpin SGT sering tergabung di dalam acara-acara kepemudaan. “Pak SGT memang bagus kerjanya. Alhamdulillah di lurah sebelumnya juga dia yang pegang. Ikut kepemudaan dari dulu dia, disegani juga sama para warga.”(SS, 57 tahun, mantan Ketua RW 01) Tokoh SGT sangat dikenal, terutama pada RW 02. Hal ini disebabkan RW 02 merupakan RW yang paling banyak mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK. Warga komunitas RW 02 juga termasuk aktif dalam pelaksanaan program ini. Hal tersebut membuat warga komunitas RW 02 memiliki kedekatan dengan tokoh SGT. Peranan tokoh pemimpin SGT lebih banyak dirasa warga komunitas ketimbang Kepala Desa Tugu Jaya saat itu disebabkan pendekatan kepada warga lebih sering dilakukan oleh tokoh SGT ketimbang tokoh-tokoh formal di dalam desa. Pendekatan yang dilakukan pun tidak sebatas pada RW-RW yang mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK tetapi kepada RW-RW lain juga sehingga warga menaruh harapan kepada sosok SGT. “Alhamdulillah diterima baik sama warga sini. Biasanya Pak SGT itu sudah dekat sekali dengan para warga di kampung ini dan banyak sodaranya. Jadi saking dekatnya, warga udah biasa saja gitu, seperti sodara sendiri.” (DNJ, 63 tahun, Ketua RW 09) Adanya tokoh pemimpin SGT membuat warga komunitas Desa Tugu Jaya percaya bahwa sosok SGT sudah dirasa tepat menjadi Ketua TPP (Tim Pelaksana Pembangunan) pada pelaksanaan program air bersih PLPBK.
28
”Nah lihat sikap Pak SGT kayak gitu, respon masyarakat bagus. Yah makanya lihat atasannya kerja, masyarakat yang gak mau turun juga jadi kerja bareng, malu gitu mas. Jadinya kerja beresnya lebih cepet. Masyarakat merespon, Ketua RT/RW juga datang ke balai desa buat rapat. Kalau gak ada rapat di balai desa, masyarakat kumpul di rumah koordinator.” (ARY, 57 tahun, Ketua RW 03) Tokoh SGT tergabung dalam BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) Tugu Jaya Mandiri selama kurang lebih 10 tahun. BKM Tugu Jaya Mandiri merupakan lembaga masyarakat yang mewadahi dan menindaklanjuti segala bentuk bantuan program dari pemerintah untuk Desa Tugu Jaya. Hal ini membuat tokoh pemimpin SGT sudah memahami tata cara pelaksanaan suatu program pemberdayaan untuk Desa Tugu Jaya. “Dia aktif selama di BKM. Dia sebagai ketua pelaksana program ini ke masyarakat, menjelaskan masalah lingkungan, masalah ekonomi juga. SGT orangnya berpengaruh di mata masyarakat, ke tokoh-tokoh juga. Jadi banyak yang berharap sama dia pada program ini. Turun langsung dia. Disamping itu, dia melakukan pendekatan-pendekatan ke tiap RT/RW.” (MAP, 67 tahun, mantan Kepala Desa Tugu Jaya) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tokoh pemimpin SGT merupakan tokoh pemimpin lokal di Desa Tugu Jaya. Pada program pemberdayaan masyarakat, tokoh pemimpin lokal dirasa paling memiliki pengaruh di mata warga komunitas ketimbang pemimpin yang berasal dari luar. Hal ini disebabkan pemimpin lokal sudah memiliki kedekatan yang kuat dengan warga komunitas dan paling mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh warga komunitas. Pemimpin lokal dirasa paling mengetahui potensi dan permasalahan yang terdapat di dalam komunitas dengan mampu menyesuaikan dengan kehidupan sosial warga komunitas. Keterlibatan pemimpin lokal dalam kehidupan sosial warga dapat menempatkan posisinya untuk mengajak warga komunitas berpartisipasi selama pelaksanaan program. Hal ini juga dapat memperluas segala bentuk bantuan dari warga komunitas baik dari segi material, tenaga maupun usulan selama pelaksanaan program. Tokoh pemimpin telah menerapkan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Gaya kepemimpinan inilah yang paling dirasakan oleh warga komunitas dibanding gaya kepemimpinan lainnya. Berikut adalah penilaian dari 60 responden terhadap gaya kepemimpinan tokoh pemimpin SGT, selaku Ketua TPP (Tim Pelaksana Pembangunan) dalam program air bersih PLPBK yang ditunjukkan pada Tabel 6.
29
Tabel 6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dalam program air bersih PLPBK Gaya Kepemimpinan Kategori Gaya Kepemimpinan
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
n
%
n
%
n
%
n
%
Rendah
60
100.0
16
26.7
4
6.7
58
96.7
Tinggi
0
0.0
44
73.3
56
93.3
2
3.3
Total
60
100.0
60
100.0
60
100.0
60
100.0
Hasil Tabel 6 menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan instruktif memiliki persentase terbesar pada kategori rendah sebesar 100 persen sedangkan pada gaya kepemimpinan partisipatif memiliki persentase terbesar pada kategori tinggi sebesar yaitu 93.3 persen. Gaya kepemimpinan konsultatif memiliki presentase terbesar pada kategori tinggi sebesar 73.3 persen dan gaya kepemimpinan delegatif memiliki presentase terbesar pada kategori rendah sebesar 96.7 persen. Hal ini menunjukkan gaya kepemimpinan instruktif paling tidak tampak dan gaya kepemimpinan partisipatif paling dirasakan oleh warga komunitas dalam kepribadian tokoh pemimpin, maka dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan yang telah diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT adalah gaya kepemimpinan partisipatif dan berkolaborasi dengan gaya kepemimpinan konsultatif. Tokoh pemimpin SGT menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif pada pelaksanaan program air bersih PLPBK. Gaya kepemimpinan partisipatif menjadi sangat jelas dalam membangun hubungan kerja dengan warga komunitas. Tokoh pemimpin SGT bersama-sama warga komunitas terlibat di dalam musyawarah maupun terjun ke lapangan. Selain itu, tokoh pemimpin SGT menggunakan gaya kepemimpinan konsultatif untuk menanyakan kebutuhan warga komunitas di dalam program dan mengetahui kondisi warga komunitas di lapangan. Gaya kepemimpinan konsultatif ini memberikan kesempatan kepada warga komunitas untuk memberi masukan dan keluhan kepada tokoh pemimpin SGT. Penerapan gaya kepemimpinan konsultatif oleh tokoh pemimpin SGT menekankan kesempatan bagi warga komunitas untuk berinteraksi secara langsung dengan tokoh pemimpin SGT. Hal ini dilakukan agar terciptanya kenyamanan dengan warga komunitas serta terpenuhinya kebutuhan warga komunitas. Pada pelaksanaan program, tokoh pemimpin SGT membangun hubungan sosial yang baik dengan para warga komunitas dimana tokoh pemimpin SGT menginginkan warga komunitas terlibat dalam pelaksanaan program air bersih PLPBK seperti pemasangan pipa langsung dari gunung. Tokoh pemimpin SGT pun membagi pemasangan pipa per wilayah sesuai dengan kemampuan warga komunitas di wilayah tersebut. Hal ini membuktikan tokoh pemimpin SGT tidak selalu mendelegasikan sepenuhnya pelaksanaan program air bersih PLBK kepada warga komunitas. Kemudian hal lain yang perlu dibahas dalam memahami gaya kepemimpinan tokoh pemimpin SGT adalah dalam pengambilan keputusan. Pada
30
pengambilan keputusan, tokoh pemimpin SGT menanyakan terlebih dahulu apakah air bersih dibutuhkan di lingkungan tersebut. “Ditanya dulu ke warganya. Yah instalasi dari usaha warga juga. Jadi pas pemasangan suka nanya dia ‘mau gak nih (airnya)?’” (HSN, 47 tahun, responden) Tokoh pemimpin SGT mengajak warga komunitas yang tinggal di lingkungan tersebut untuk bermusyawarah. Musyawarah dilakukan guna keputusan dalam program tidak hanya berasal dari usulan tokoh pemimpin SGT namun kesepakatan bersama-sama dengan warga komunitas, sehingga manfaat dari program dapat tepat sasaran dan memenuhi kebutuhan warga komunitas. Tokoh pemimpin SGT juga mengajak warga komunitas untuk membuat jalur air bersih di rumah-rumah warga agar bisa dijangkau sampai lingkungan itu. Gaya Kepemimpinan Konsultatif Gaya kepemimpinan konsultatif merupakan gaya kepemimpinan dari tokoh pemimpin dengan cara berkonsultasi kepada warga komunitas sebelum melaksanakan program. Hal ini dilakukan guna mempertimbangkan semua masukan atau usulan dari warga komunitas atau warga komunitas. Program air bersih PLPBK merupakan program pemberdayaan warga komunitas berbasis komunitas dimana warga komunitas menentukan sendiri kebutuhan apa yang paling mendesak untuk segera dipenuhi. Gaya kepemimpinan konsultatif dirasa perlu untuk dilakukan. Seorang tokoh pemimpin akan bias dalam mengetahui kebutuhan warga komunitasnya jika tidak berkonsultasi atau berdiskusi dengan warga komunitas terlebih dahulu. Hasil pada Tabel 7 telah menunjukkan gaya kepemimpinan konsultatif menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT dengan persentase sebesar 73.3 persen. Pada pelaksanaannya, tokoh pemimpin SGT lebih banyak mengarahkan daripada memerintah. Warga komunitas diberikan kesempatan untuk berpendapat atau hanya sekedar memberikan masukan. Masukan yang disampaikan oleh warga komunitas ditampung dengan baik dan yang nantinya keputusan akhir tetap di tangan SGT. Tokoh pemimpin SGT juga sering menanyakan apa yang dibutuhkan para warga komunitas selama pelaksanaan program. Disinilah terjadi komunikasi dua arah antara pemimpin dan warga komunitas. Namun tidak semua warga komunitas dapat berinteraksi secara langsung dengan tokoh pemimpin SGT. Biasanya tokoh pemimpin SGT menanyakan kebutuhan yang belum terpenuhi dalam pelaksanaan program kepada perwakilan-perwakilan di setiap RT atau RW. Hal itu tentu tidak membatasi hubungan tokoh pemimpin SGT dengan para warga komunitas. “Masukan sering dari warga, pemasangan instalasi dari usaha warga sama dia juga. Pas pemasangan suka nanya dia, ‘masih butuh apa disini?’” (AJH, 46 tahun, responden)
31
Gaya Kepemimpinan Delegatif Gaya kepemimpinan delegatif termasuk pada kategori rendah dengan presentase sebesar 96.7 persen. Gaya kepemimpinan delegatif merupakan gaya kepemimpinan dimana tokoh pemimpin menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan program kepada warga komunitas. Peran tokoh pemimpin menjadi pasif disebabkan berjalannya program sudah diserahkan kepada warga komunitas. Program air bersih PLPBK sendiri dilaksanakan di empat lokasi atau kampung yang membutuhkan. Hal ini membuat tokoh pemimpin SGT tidak mampu mengurusi semua lokasi pembangunan. Akhirnya tokoh pemimpin SGT beserta perwakilan setiap RT/RW menyekapati dibentuknya kepanitiaan dalam program. Namun selama pelaksanaan tidak sepenuhnya dilepaskan oleh SGT begitu saja. “Emang SGT gak bisa mantauin semua, soalnya masang paralon, pipa itu dari gunung langsung dan di banyak lokasi. Jadi dibagi-bagi ke warga, diserahin juga tuh ke RT/RW buat ngurusin air ini. Tapi gak sepenuhnya SGT lepas tangan, dia bareng warga masang-masang.” (UPN, 46 tahun, responden) Pernyataan diatas menunjukkan tokoh pemimpin SGT memang menyerahkan pelaksanaan program kepada warga komunitas. Akan tetapi, tidak sepenuhnya SGT lepas tangan dari pelaksanaan program. Tokoh pemimpin SGT juga tidak hanya sekedar memberikan saran tetapi ikut terjun ke lapangan juga. Tokoh pemimpin SGT dapat dikatakan tidak pasif selama program berlangsung. Pada pengambilan keputusan, tokoh pemimpin SGT memberikan wewenang kepada para warga komunitas untuk mengambil keputusan yang mereka perlukan saat program air bersih PLPBK berlangsung. Gaya Kepemimpinan Instruktif Gaya kepemimpinan instruktif merupakan gaya kepemimpinan yang dirasa warga komunitas tidak diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT selama pelaksanaan program air bersih PLPBK. Seluruh responden atau warga komunitas masuk pada kategori rendah dalam penilaian gaya kepemimpinan instruktif. Pada gaya kepemimpinan ini, tokoh pemimpin mempengaruhi warga komunitas dengan cara memerintah tanpa adanya proses komunikasi dua arah antara pemimpin dan warga komunitas atau warga komunitas. Pemimpin membatasi berhubungan dengan warga komunitas dan cenderung hanya memerintah saja (top down). “Dia orangnya gak sombong dek. Semua untuk warga. Gak pernah ngebatasi hubungan sama warganya.” (EN, 35 tahun, responden) Hubungan sosial tokoh pemimpin SGT dengan warga komunitas bisa dikatakan harmonis disebabkan pada kesehariannya, tokoh pemimpin SGT sering ikut
32
terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun bila ada acara kematian. Warga komunitas pun merasa sudah sangat dekat dengan tokoh pemimpin SGT. Warga komunitas juga jarang melihat hanya tokoh pemimpin SGT yang merumuskan rancangan dalam program ini. Tokoh pemimpin SGT sangat memperhatikan para warga komunitas yang membutuhkan manfaat dari program air bersih PLPBK. Tingkat Kohesi Sosial Kohesi sosial dapat dipahami sebagai kesatuan dari warga komunitas dalam komunitasnya. Kesatuan yang menunjukkan adanya rasa komunitas (sense of community) yang dimiliki warga komunitas dan aksi kolektif warga komunitas dalam suatu kegiatan. Kegiatan yang dimaksud adalah program air bersih PLPBK. Kohesi sosial dalam sebuah komunitas dapat terjadi ketika warga komunitas masih saling peduli dan saling percaya satu sama lainnya. Kepercayaan (trust) inilah yang menjadi salah satu faktor yang memperkuat kohesi sosial dan menjadikan kesatuan tidak tercerai-berai. Kohesi sosial juga dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa komunitas (sense of community) antar warga komunitas dan keterlibatan aksi kolektif warga komunitas. Tabel 7. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial Tingkat Kohesi Frekuensi (n) Persentase (%) Sosial Rendah 11 18.3 Tinggi
49
81.7
Total
60
100.0
Hasil dari Tabel 7 menunjukkan tingkat kohesi sosial pada warga komunitas di Desa Tugu Jaya masih tergolong tinggi dengan persentase terbesar pada kategori tinggi sebesar 81.7 persen. Presentase tersebut menjelaskan bahwa warga komunitas memiliki rasa komunitas (sense of community) yang kuat selama tinggal di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Keterlibatan dalam aksi kolektif warga komunitas selama pelaksanaan program air bersih PLPBK juga cukup sering atau intens. Kohesi sosial ini sangat penting guna memperkuat kebersamaan warga komunitas dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama selama program air bersih PLPBK ini. Sense of Community Rasa komunitas atau sense of community merupakan perasaan saling memiliki warga komunitas selama tinggal di dalam komunitas. Adapun perasaan sense of community mampu memunculkan keyakinan warga komunitas untuk menetap di dalam komunitas. Sense of community juga menimbulkan perasaan yang saling menghubungkan antar warga komunitas. Perasaan inilah yang membentuk kesadaran warga komunitas untuk menjadikan komunitasnya lebih baik lagi. Berdasarkan data
33
yang diperoleh dari 60 responden, menunjukkan bahwa sense of community warga komunitas Desa Tugu Jaya dominan tinggi. Hasil tersebut menggambarkan warga komunitas merasa terpenuhi kebutuhan pentingnya melalui komunitas tempat mereka tinggal. Warga komunitas merasa masih memiliki kesamaan nilai-nilai dengan warga komunitas lainnya dalam komunitas seperti kesamaan nilai kepercayaan ataupun nilai moral. Kesamaan nilai itu pula yang membuat kebutuhan yang muncul menjadi sama seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Warga komunitas juga merasa saling terhubung. Rasa saling terhubung membuat warga komunitas dapat menyelesaikan masalah di antara mereka secara kekeluargaan. Tingginya rasa keterhubungan ini yang membuat warga komunitas beranggapan bahwa komunitasnya adalah bagian dari identitas dirinya. Berikut adalah tabel frekuensi dan persentase rasa komunitas (sense of community) dari para responden atau warga komunitas. Tabel 8. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat sense of community Sense of Community Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah 0 0.0 Sedang
13
21.7
Tinggi
47
78.3
Total
60
100.0
Hasil dari Tabel 8 menunjukkan bahwa seluruh responden masih memiliki rasa komunitas. Hal ini terlihat dari tidak adanya warga komunitas yang masuk pada kategori rendah. Rasa komunitas yang dimiliki warga komunitas masuk pada kategori sedang dan kategori tinggi. Adapun warga komunitas dengan rasa komunitas yang tinggi sebanyak 47 responden (78.3 persen) dan sebanyak 13 responden (21.7 persen) masuk pada kategori sedang. Hasil ini juga menunjukkan bahwa rasa komunitas yang dimiliki warga komunitas masih kuat sehingga rasa kebersamaan dan sikap saling peduli masih sangat terasa. Rasa komunitas (sense of community) sendiri mempunyai empat dimensi persepsi yaitu pemenuhan kebutuhan, keterlibatan menjadi anggota, pengaruh dan berbagi hubungan emosional. Berikut adalah frekuensi dan presentase setiap indikator pada rasa komunitas (sense of community). Tabel 9. Jumlah dan persentase responden berdasarkan indikator pada sense of community Sense of Community Kategori Sense of Community
Pemenuhan Kebutuhan
Keterlibatan menjadi Anggota
Pengaruh
Berbagi Kontak Emosional
n
%
n
%
n
%
n
%
Rendah
17
28.3
2
3.3
18
30.0
0
0.0
Tinggi
43
71.7
58
96.7
42
70.0
60
100.0
Total
60
100.0
60
100.0
60
100.0
60
100.0
34
Hasil dari Tabel 9 menunjukkan indikator berbagi kontak emosional memiliki persentase terbesar pada kategori tinggi sebesar 100 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa warga komunitas sering berbagi perasaan suka duka dan peristiwa-peristiwa penting di dalam komunitas. Selain itu, warga komunitas menikmati kebersamaan dengan para warga komunitas lainnya selama tinggal di dalam komunitas atau lingkungan mereka tempat tinggal. Kemudian persentase terbesar selanjutnya terdapat pada indikator keterlibatan menjadi anggota sebesar 96.7 persen. Warga komunitas merasa sering meluangkan atau menghabiskan banyak waktu untuk menjadi bagian dari komunitasnya dengan terlibat banyak kegiatan di dalam komunitasnya. Indikator pemenuhan kebutuhan juga masuk pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 71.7 persen. Hasil ini juga menunjukkan bahwa warga komunitas mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti membeli sayur mayur sehingga tidak perlu lagi keluar dari komunitas. a. Pemenuhan Kebutuhan Indikator ini menggambarkan warga komunitas merasa telah menjadi bagian dari komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Warga komunitas menilai kebutuhan mereka dapat terpenuhi selama tinggal di dalam komunitas. Faktor komunitas atau lingkungan juga menjadi bagian dari penilaian sense of community dimana lingkungan tempat mereka tinggal mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari warga komunitas. Kemudian penilaian warga komunitas terhadap rasa nyaman selama menjadi bagian dari komunitas dan dapat saling membicarakannya ketika ingin menyelesaikan suatu masalah. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada indikator Pemenuhan Kebutuhan
Gambar 3. Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator Pemenuhan Kebutuhan 1: Terpenuhinya kebutuhan terpenting warga melalui komunitas
35
2: Adanya kesamaan nilai-nilai sebagian besar warga di dalam komunitas 3: Komunitas dapat memenuhi kebutuhan para warga 4: Warga komunitas merasa nyaman menjadi bagian dari komunitas 5: Jika terdapat masalah di komunitas, warga komunitas dapat saling membicarakannya 6: Adanya kesamaan kebutuhan para warga komunitas Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, sebanyak 37 responden (61.7 persen) menilai kebutuhan warga komunitas dapat terpenuhi selama tinggal di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Hal tersebut diperkuat pada item 3 dimana frekuensi terbesar masuk pada kategori tinggi sebanyak 32 responden (53.3 persen). Kemudian pada item 2 menunjukkan sebanyak 38 responden (63.3 persen) masuk pada kategori tinggi. Warga komunitas melihat terdapat kesamaan nilai-nilai dengan sebagian besar warga di lingkungannya. Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai kepercayaan ataupun nilai-nilai moral. Item 4 menunjukkan mayoritas warga komunitas telah merasa nyaman menjadi bagian dari komunitas sebanyak 52 responden (86.7 persen). Item 5 menunjukkan sebanyak 36 responden (60.0 persen) lebih memilihi untuk membicarakan masalahnya (pribadi atau umum) dengan suami atau istrinya terlebih dahulu ketimbang dengan warga komunitas lain. Pada item 6 menunjukkan sebanyak 44 responden (73.3 persen) menyatakan warga di lingkungan tempat mereka tinggal mempunyai kesamaan kebutuhan seperti papan, sandang dan pangan. b. Keterlibatan menjadi Anggota Indikator ini mengenai kepercayaan dan keterikatan warga komunitas dengan komunitasnya. Pada indikator ini dapat terlihat bahwa warga komunitas saling percaya dan mengenali sebagian besar warga komunitas lain yang tinggal di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Warga komunitas masih memiliki pemahaman lingkungan tempat mereka tinggal tersebut telah menjadi bagian dari identitas diri mereka. Warga komunitas juga menilai ada kesamaan simbol-simbol ekspresi di dalam komunitasnya. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada indikator Keterlibatan menjadi Anggota.
36
1 2 3 4 5
6 0
10 Tinggi
20
30
40
50
60
70
Rendah
Gambar 4. Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator Keterlibatan menjadi Anggota 1: Warga komunitas dapat saling mempercayai 2: Warga komunitas dapat saling mengenali 3: Hampir semua warga dapat mengenali saya 4: Komunitas memiliki kesamaan simbol-simbol ekspresi 5: Warga komunitas menghabiskan waktu dan tenaga untuk menjadi bagian dari komunitas 6: Komunitas menjadi bagian dari identitas diri Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Pada indikator keterlibatan menjadi anggota, terlihat 5 dari 6 item memiliki frekuensi lebih dari 50 responden pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa warga komunitas dapat saling mempercayai dan saling mengenali satu sama lain sebagai warga komunitas. Berdasarkan data diatas, sebanyak 52 responden (86.7 persen) pada item 1 menilai warga komunitas dapat mempercayai para warga komunitas lain di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Item 2 dan 3 memperjelas bahwa warga komunitas memang sudah saling mengenali sejak lama dengan frekuensi sebanyak 56 responden pada item 2 dan 57 responden pada item 3. Pada item 4 sebanyak 38 responden (63.3 persen) menilai komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal masih memiliki kesamaan simbol-simbol ekspresi. “Pengajian sih kalau disini. Banyak yang bilang dari nenek moyang dulu, disini pusat pesantren.” (DDN, 52 tahun, responden) Pernyataan diatas menjelaskan bahwa di dalam komunitas atau lingkungan mereka tinggal masih ditemui kesamaan simbol-simbol seperti pengajian. Pada item 5 sebanyak 52 responden (86.7 persen) menyatakan sering menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menjadi bagian dari lingkungan tempat mereka tinggal. Hal ini dipertegas pada item 6 yang menunjukkan sebanyak 59 responden (98.3 persen)
37
merasa lingkungan atau komunitas mereka telah menjadi bagian dari identitas diri. Sebagian besar warga komunitas memang sejak kecil atau sudah puluhan tahun tinggal di dalam lingkungan tersebut sehingga rasa komunitas (sense of community) masih sangat begitu kuat. c. Pengaruh Indikator pengaruh merupakan indikator yang menggambarkan komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal dapat mempengaruhi kehidupan warga komunitas selama tinggal di dalam komunitas. Perasaan yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh komunitas. Indikator ini juga mempunyai enam item. Selain itu, penilaian warga komunitas terhadap kepedulian akan apa yang dipikirkan warga komunitas lainnya. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari responden pada indikator Pengaruh.
1 2 3 4 5 6 0
10 Tinggi
20
30
40
50
Rendah
Gambar 5. Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator Pengaruh 1. Menyesuaikan diri dengan komunitas adalah hal yang penting 2. Komunitas mampu membawa pengaruh pada komunitas lainnya 3. Warga komunitas peduli akan apa yang dipikirkan warga lainnya 4. Warga komunitas memiliki pengaruh di dalam komunitas 5. Bila ada masalah di dalam komunitas, para warganya dapat menyelesaikannya 6. Komunitas mempunyai pemimpin yang bagus Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
60
38
Berdasarkan data diatas, pada item 1 menunjukkan warga komunitas menilai penting untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal sebanyak 56 responden (93.3 persen). Kemudian pada item 2 menunjukkan warga komunitas menilai lingkungan tempat mereka tinggal mampu membawa pengaruh kepada lingkungan sekitarnya dengan frekuensi sebanyak 33 responden (55.0 persen) pada kategori tinggi. Item 3 menunjukkan sebagian besar warga komunitas tidak terlalu memperdulikan apa yang dipikirkan warga lainnya. Indikator pengaruh juga melihat sebagian besar warga komunitas menilai tidak berpengaruh di dalam lingkungan atau komunitasnya. Pada item 5 terdapat sebanyak 44 responden (73.3 persen) menilai warga komunitas masih dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di dalam komunitas atau lingkungannya dengan cara kekeluargaan. “Di kampung ini kalau ribut apa-apa bisa diselesaiin dengan kekeluargaan.” (TTK, 42 tahun, responden) Penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan inilah yang membentuk rasa komunitas (sense of community). Hal ini menunjukkan sense of community yang dimiliki warga komunitas Desa Tugu Jaya masih tergolong kuat. Selanjutnya pada item 6 merupakan penilaian warga komunitas terhadap pemimpin yang ada di dalam lingkungan tempat mereka tinggal. Pemimpin yang dipahami adalah Ketua RT/RW dengan sebanyak 49 responden (81.7 persen) menilai pemimpin di dalam lingkungan tempat mereka tinggal bagus. Jadi dapat disimpulkan pada indikator ini, sebagian besar warga komunitas merasa penting untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka tinggal dan hidup bertetangga sehingga warga komunitas memiliki kedekatan dengan komunitas dan warga komunitas lainnya. d. Berbagi Kontak Emosional Indikator berbagi kontak emosional mengenai pentingnya menjadi bagian dari komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Warga komunitas menikmati kebersamaan dengan warga komunitas lainnya selama tinggal di dalam komunitas. Warga komunitas berharap selamanya menjadi bagian dari komunitas. Warga komunitas juga menilai rasa kepedulian antar warga komunitas.“Pas saya hamil ada pungutan setiap rumah, ditarikin seribu-seribu.”(YT, 34 tahun, responden) Pada indikator ini juga dapat terlihat warga komunitas berharap akan masa depan yang lebih baik terhadap komunitasnya dan masih mempunyai ikatan batin dengan warga komunitas lainnya. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada indikator Berbagi Kontak Emosional.
39
1 2 3 4 5 6 0
10 Tinggi
20
30
40
50
60
70
Rendah
Gambar 6. Grafik frekuensi indikator rendah dan tinggi Berbagi Kontak Emosional 1: Sangat penting menjadi bagian dari komunitas 2: Warga komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas 3: Warga komunitas berharap selamanya menjadi bagian dari komunitas 4: Warga komunitas selalu berbagi (sharing) perasaan suka duka 5: Warga komunitas berharap masa depan yang lebih baik di dalam komunitas 6: Warga komunitas memiliki kepeduliaan satu sama lainnya Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Pada indikator berbagi kontak emosional, seluruh item memiliki frekuensi terbesar pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan rasa komunitas atau sense of community warga komunitas tergolong kuat dengan sering terlibat secara emosional dengan warga komunitas lain. Berdasarkan data diatas, sebanyak 55 responden (91.7 persen) pada item 1 dan 4 menilai warga komunitas sangat penting menjadi bagian dari komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal dan sering berbagi (sharing) perasaan suka duka. Item 2 memperkuat pernyataan tersebut dengan sebanyak 58 responden (96.7 persen) menikmati kebersamaan dengan para komunitas lain serta 56 responden (93.3 persen) berharap selamanya menjadi bagian dari komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal. Kemudian pada item 5 sebanyak 59 responden (98.3 persen) berharap akan masa depan yang lebih baik di lingkungan ini. Indikator ini melihat perasaan saling peduli antar warga komunitas dan hasil di lapangan menunjukkan sebanyak 46 responden (76.7 persen) pada item 6 merasa kepeduliaan di dalam komunitas atau lingkungan tempat mereka tinggal masih sangat kuat. Aksi Kolektif Aksi kolektif adalah tindakan bersama yang dilakukan oleh warga komunitas dengan tujuan tertentu. Aksi kolektif membutuhkan kesadaran dan kerja sama antar
40
warga komunitas untuk mau terlibat dalam rangka mencapai suatu tujuan di lingkup komunitasnya. Dalam hal ini, tujuan yang ingin dicapai bersama adalah terpenuhinya air bersih sebagai kebutuhan mendesak warga komunitas melalui program air bersih PLPBK. Program yang diharapkan akan terus berjalan (substain) dalam memenuhi kebutuhan air bersih warga komunitas. Keterlibatan dalam aksi kolektif meliputi kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh warga komunitas secara bersama-sama dalam program air bersih PLPBK seperti gotong royong, musyawarah maupun tolong menolong. Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif Aksi Kolektif Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah 46 76.7 Tinggi
14
23.3
Total
60
100.0
Hasil dari Tabel 10 menunjukkan keterlibatan dalam aksi kolektif warga komunitas selama pelaksanaan program air bersih PLPBK masuk pada kategori rendah dengan persentase sebesar 76.7 persen. Rendahnya keterlibatan aksi kolektif warga komunitas ini disebabkan sebagian besar warga komunitas tidak hanya hadir saja selama pelaksanaan program dan jarang mengajak warga komunitas lainnya untuk terlibat di dalam pelaksanaan program. Selain itu, mayoritas warga komunitas mengikuti kegiatan program ini hingga selesai. Bentuk keterlibatan dalam aksi kolektif yang dilakukan oleh warga komunitas menunjukkan masih adanya kohesi sosial diantara mereka. Warga komunitas menyumbangkan uang atau tenaga ataupun usulan dan sebagian besar warga komunitas memberikan partisipasinya dalam bentuk tenaga. Usulan juga termasuk yang paling banyak diberikan warga komunitas dengan mengikuti musyawarah di tingkat RT ataupun RW. “Kalau disini pada bantu-bantu masang pipa, di rumah-rumah warga. Pada ngusulin buat dipasang air bersih di kampung ini.” (NRN, 48 tahun, responden) Hal tersebut menggambarkan warga komunitas sadar akan kebutuhan air bersih dan ikut bantu membantu di dalam pelaksanaan program. Kondisi yang timbul disebabkan warga komunitas masih memiliki keterikatan satu sama lain. Adanya kemauan mereka untuk berpartisipasi. Berikut adalah grafik jenis keterlibatan warga komunitas dalam aksi kolektif pada program air bersih PLPBK. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada jenis keterlibatan dalam aksi kolektif.
41
Jenis Keterlibatan dalam Aksi Kolektif 50 40 30 20 10 0 Gotong Royong
Musyawarah Rendah
Tolong Menolong
Tinggi
Gambar 7. Grafik jenis keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Gambar 7 menunjukkan bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK paling sering dengan mengikuti gotong royong dengan frekuensi sebanyak 33 responden (55 persen) pada kategori tinggi. Pada bagian gotong royong, tidak semua warga komunitas bisa ikut serta disebabkan gotong royong biasanya adalah bagian bapak-bapak yang mengerjakan. “Kalau gotong royong itu mah bapakbapaknya.” (DM, 31 tahun, responden) Kemudian kegiatan musyawarah menjadi jenis keterlibatan dalam aksi kolektif yang paling sering dilakukan oleh warga komunitas dengan frekuensi sebanyak 29 responden (48.3 persen) pada kategori tinggi. Hal ini disebabkan musyawarah adalah bagian terpenting dalam menentukan pembagian air bersih melalui rumah-rumah warga komunitas. Item tolong menolong masuk pada kategori rendah sebanyak 21 responden (35.0 persen). Warga komunitas tidak semua ikut membantu pemasangan paralon dan pipa di rumah warga lainnya. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada bentuk keterlibatan dalam aksi kolektif.
42
Bentuk Keterlibatan dalam Aksi Kolektif 60 50 40 30
20 10 0 Menyumbang Uang
Menyumbang Tenaga Rendah
Menyumbang Usulan
Lainnya
Tinggi
Gambar 8. Grafik bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Gambar 8 menunjukkan bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK lebih sering dengan menyumbangkan tenaga dengan frekuensi sebanyak 35 responden (58.3 persen) ketimbang menyumbangkan uang atau usulan. Item menyumbangkan uang termasuk pada kategori rendah sebanyak 53 responden (88.3 persen) dan usulan juga termasuk pada kategori rendah sebanyak 45 responden (75.0 persen). Tenaga adalah sesuatu yang dianggap selalu mereka punyai dan bisa diberikan dalam pelaksanaan program. “Kalau saya mah bisanya bantuin tenaga. Yah kalau ada rejeki yah ngasih, kalau gak ada yah gak.” (SGN, 35 tahun, responden) Pernyataan diatas menggambarkan warga komunitas merasa lebih sanggup menyumbangkan bantuan tenaga ketimbang bantuan uang. Hal ini disebabkan rejeki yang tidak menentu. Bantuan uang biasanya digunakan untuk membeli paralon atau pipa yang masih kurang, disebabkan bantuan dari program tidak datang secara penuh maka dari itu, memerlukan swadaya warga komunitas. Beberapa warga komunitas menganggap dengan mengikuti musyawarah, mereka sudah memberikan tenaganya. Selama pelaksanaan program, tidak hanya ikut gotong royong dan musyawarah, beberapa warga komunitas ada juga yang memberikan bantuan berupa konsumsi seperti makan siang atau rokok ataupun kopi untuk warga komunitas lain yang sedang bekerja dengan frekuensi delapan responden pada kategori rendah dan satu responden pada kategori tinggi. Peran dalam aksi kolektif merupakan posisi warga
43
komunitas dalam pelaksanan program air bersih PLPBK. Peranan tersebut berbentuk warga komunitas sering mengumpulkan warga komunitas lainnya untuk berkumpul atau mengikuti kegiatan dan aktif selama kegiatan. Kemudian pada setiap kegiatan program apakah warga komunitas hanya hadir saja dan pulang sebelum kegiatan program selesai. Berikut adalah grafik frekuensi tinggi dan rendah dari 60 responden pada peran dalam aksi kolektif. 60
Peran dalam Aksi Kolektif 50 40
30 20 10 0
1 Rendah
2
3
4
Tinggi
Gambar 9. Grafik peran warga komunitas dalam program air bersih PLPBK 1: Warga komunitas mengumpulkan para warga lain untuk ikut serta dalam kegiatan program 2: Warga komunitas terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan program 3: Warga komunitas hanya hadir dalam pelaksanaan kegiatan program 4: Warga komunitas pulang sebelum kegiatan program selesai Keterangan Rendah untuk jawaban dengan skor 1 dan 2 Tinggi untuk jawaban dengan skor 3 dan 4
Berdasarkan data dari Gambar 9 dapat terlihat sebanyak 28 responden (46.7 persen) masuk pada kategori tinggi dalam item 1. Hasil tersebut juga menunjukkan sebagian besar warga komunitas masih jarang untuk mengumpulkan atau mengajak warga komunitas lain untuk ikut terlibat dalam kegiatan program. Namun pada item 2, frekuensi terbesar masuk pada kategori tinggi sebanyak 31 responden (51.7 persen). Item 2 menggambarkan sebagian besar warga komunitas aktif selama pelaksanaan program air bersih PLPBK. Hal tersebut didukung dalam item 3 dimana sebanyak 47 responden (78.3 persen) masuk pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan sebagian besar warga komunitas tidak hanya sekedar hadir saja tetapi juga aktif turun tangan dan saling membantu dalam pelaksanaan kegiatan program. Kemudian pada item 4 sebanyak 54 responden (90 persen) tidak pernah ataupun
44
jarang untuk pulang sebelum kegiatan program selesai. Hal ini juga menunjukkan warga komunitas masih sangat peduli dengan perubahan yang ada di dalam komunitasnya sehingga mereka mengikutinya sampai selesai. Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang merujuk kepada keadaan ideal yang ingin dicapai oleh warga komunitas. Pemberdayaan juga menjadi sebuah sarana bagi warga komunitas untuk mengubah lingkungan atau komunitasnya menjadi lebih baik. Perubahan yang tidak sebatas kepada bentuk fisik tetapi juga pada keberhasilan warga komunitas untuk bisa mengakses potensi yang mereka miliki di dalam komunitas. Pada program pemberdayaan diharapkan semua elemen yang ada dapat berpartisipasi guna memenuhi kebutuhan yang telah mereka sepakati bersama. Pada kasus ini, kebutuhan yang telah mereka sepakati bersama adalah kebutuhan air bersih. Keberhasilan program diukur dari dua indikator yakni partisipasi dan keberlanjutan program. Pada partisipasi, warga komunitas dinilai dari keterlibatan mereka dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program. Warga komunitas sebagai subjek perubahan memegang peran penting dalam proses pemberdayaan tersebut. Maka partisipasi warga komunitas menjadi bagian dari keberhasilan program. Kemudian pada indikator keberlanjutan program dilihat dari penilaian warga komunitas yang merasa-kan manfaat program berupa air bersih hingga sekarang. Tabel 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberhasilan program Keberhasilan Program Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah 38 63.3 Tinggi
22
36.7
Total
60
100.0
Hasil dari Tabel 11 menunjukkan tingkat keberhasilan program air bersih PLPBK dominan rendah dengan persentase sebesar 63.3 persen. Pada penelitian ini diketahui bahwa rendahnya penilaian keberhasilan program ditentukan dari tinggi rendahnya partisipasi warga komunitas selama pelaksanaan program air bersih PLPBK. Rendahnya keberhasilan program disebabkan kurangnya partisipasi warga komunitas pada tahap perencanaan program. Perencanaan program lebih banyak dilibatkan kepada tokoh-tokoh masyarakat ataupun perwakilan Ketua RT/RW saja. Maka dari itu, mayoritas warga komunitas masuk pada kategori rendah dalam variabel tingkat keberhasilan program. Partisipasi Partisipasi merupakan suatu inisiatif warga komunitas yang diarahkan kepada tujuan bersama. Partisipasi juga dapat dipahami sebagai kesediaan warga komunitas untuk ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat dicirikan dengan
45
keterlibatan warga komunitas dalam penyusunan rancangan program hingga ikut serta dalam pelaksanaan program. Partisipasi warga komunitas menjadi penilaian dasar untuk variabel tingkat keberhasilan program. Pada pelaksanaannya, pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja, perlunya kerja sama dari setiap komponen warga komunitas agar dapat mencapai suatu tujuan. Program pemberdayaan masyarakat sebisa mungkin untuk melibatkan warga komunitas dimana dalam partisipasi tersebut akan menunjukkan adanya kohesi sosial berupa kesatuan tujuan dan interaksi positif diantara warga komunitas. Beranjak dari kesatuan tujuan ini, terbentuklah kohesi sosial yang dibutuhkan untuk memperkuat rasa kebersamaan warga komunitas. Rasa kebersamaan inilah yang membuat tujuan pemberdayaan lebih mudah untuk tercapai. Berikut adalah jumlah dan persentase responden berdasarkan partisipasi. Tabel 12. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi Partisipasi Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah 39 65.0 Tinggi
21
35.0
Total
60
100.0
Tabel 12 menunjukkan sebanyak 39 responden (65.0 persen) termasuk kategori rendah dalam mengikuti kegiatan program air bersih PLPBK. Partisipasi yang rendah disebabkan warga komunitas tidak banyak ikut serta di dalam tahap perencanaan program. Perencanaan program lebih banyak dilibatkan kepada tokohtokoh masyarakat maupun perwakilan tiap RT dan RW. Namun hal ini membuat warga komunitas tetap berpartisipasi dalam pada saat pelaksanaan program. “Saling membantu mas masyarakat, ngelibatin orang banyak program ini. Dibantu swadaya masyarakat soalnya dana gak langsung turun.. Semua turun tangan, bantu-bantu.” (MM, 47 tahun, responden) Warga komunitas tetap berpartisipasi dalam program ini disebabkan mereka merasa bahwa program air bersih PLPBK penting bagi mereka. Air bersih menjadi kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Warga komunitas percaya dan berharap akan manfaat yang dihasilkan dari program ini. Tanpa adanya partisipasi warga komunitas, program air bersih PLPBK tidak bisa mencapai hasil yang diinginkan. Partisipasi warga komunitas menjadi salah satu kunci keberhasilan program. Adanya partisipasi warga komunitas selama pelaksanaan program ini merupakan bentuk kesadaran dari warga komunitas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka ke arah yang lebih baik. Hal tersebut akan menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab warga komunitas terhadap pembangunan yang telah dilakukan sehingga keberhasilan program dapat tercapai.
46
Keberlanjutan Program Program pemberdayaan umumnya bertujuan agar warga komunitas dapat terus berdaya walaupun program telah selesai. Konsep ini memberikan makna bahwa ketika warga komunitas telah selesai, sebisa mungkin warga komunitas mendapatkan manfaat dari program dan merasa memiliki terhadap program pemberdayaan. Adapun program pemberdayaan diharapkan mampu membuat warga komunitas dapat terus aktif untuk melanjutkan apa yang sudah dilaksanakan dalam program. Keberlanjutan program menjadi bagian penilaian dari variabel tingkat keberhasilan program. Dalam pengertian yang lebih luas keberlanjutan program merupakan proses yang mendorong warga komunitas untuk mampu menempatkan diri mereka sebagai pelaku utama dalam mengelola potensi komunitasnya. Tabel 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberlanjutan program Keberlanjutan Program Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah 17 28.3 Tinggi
43
71.7
Total
60
100.0
Tabel 13 menunjukkan bahwa keberlanjutan program air bersih PLPBK tergolong berhasil dengan sebanyak 43 responden (71.7 persen) masuk pada kategori tinggi. Hasil ini menggambarkan sebagian besar warga komunitas menilai program air bersih PLPBK dapat terus berlanjut. Warga komunitas juga masih merasakan manfaat dari program berupa air bersih. Keberhasilan program tidak lepas dari peran warga komunitas untuk mau mengontol pemanfaatan air bersih dengan penjadwal bila terjadi kekeringan dan juga merawat infrastuktur yang dibangun dalam program. Keberlanjutan menjadi salah satu kunci keberhasilan program pemberdayaan dimana program pemberdayaan tidak hanya untuk mencapai tujuan masa sekarang tetapi diharapkan dapat terus digunakan untuk masa mendatang.
47
Hubungan Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dan Tingkat Kohesi Sosial Suatu komunitas umumnya memiliki kordinator atau pemimpin yang berusaha agar suatu program pemberdayaan di dalam komunitas tersebut dapat berjalan sebaik mungkin. Hal ini disebabkan pada program pemberdayaan dalam suatu komunitas tidak dapat dilakukan oleh sekumpulan orang saja. Pada prosesnya, memberdayakan warga komunitas berkaitan erat dengan hubungan antar individu di dalam komunitas. Setiap individu tersebut mempunyai kekuatan (power). Namun kadar kekuatan itu bisa berbeda-beda. Salah satu faktor penyebabnya yakni faktor tokoh pemimpin yang memiliki peranan dan wewenang di dalam komunitas untuk mau melibatkan warga komunitas pada pemberdayaan yang sedang berlangsung. Pada penelitian ini, tokoh pemimpin adalah SGT selaku Ketua Tim Pelaksana Pembangunan dan merupakan tokoh masyarakat di lingkungan Desa Tugu Jaya. Selama pelaksanaan program, tokoh pemimpin SGT mengarahkan warga komunitas untuk bekerja sama agar program air bersih PLPBK dapat berjalan dengan baik. Manfaat dari program pun diprioritaskan kepada kampung-kampung yang masih sulit untuk menjangkau air bersih seperti Kampung Batu Karut dan Kampung Pasir Pacar. Hal tersebut disebabkan terbatasnya dana bantuan program dan beberapa kampung yang memang sudah memiliki sumber air bersih sendiri seperti di Kampung Cinangka. Awal berjalannya program tidaklah mudah. Dana bantuan sebesar satu miliar tidak langsung turun kepada BKM Tugu Jaya Mandiri. Hal ini membuat warga komunitas berswadaya berupa tenaga maupun uang dalam melaksanakan program. Namun tidak semua warga komunnitas sadar untuk mau terlibat dalam program air bersih PLPBK. Sebagian besar warga komunitas bersikap apatis karena mereka menganggap program ini datang berbentuk dana atau uang. “Warga taunya bantuan datang bentuknya uang jadi mereka kadang masa bodo.” (OYN, 47 tahun, relawan desa dan tokoh masyarakat) Namun atas inisiatif tokoh pemimpin SGT serta beberapa relawan desa yang tergabung dalam kepanitiaan mengajak warga komunitas datang ke balai desa untuk mensosialisasikan program. Warga komunitas diundang guna membahas apa saja kebutuhan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK ini. Warga komunitas pun mulai terbuka dengan memberikan pendapat, usulan ataupun tenaga. Inisiatif inilah yang membuat warga komunitas bisa menerima informasi yang baru tentang program. Warga komunitas menyadari mereka butuh akan manfaat dari program. Pada tahapan ini, terbentuklah rasa kebersamaan, dan sepenanggungan dari para warga komunitas. Hasil uji korelasi rank spearman antara gaya kepemimpinan partisipatif dan tingkat kohesi sosial menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.229 dan bernilai positif. Nilai signifikansi atau p value sebesar 0.078 dan lebih besar dari 0.05 artinya H0 diterima, H1 ditolak. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dan tingkat kohesi sosial warga komunitas dalam program air bersih PLPBK. Hal ini tidak sesuai dengan penyataan Sukamana (2013) dimana kepemimpinan mampu menarik partisipasi masyarakat dalam menciptakan suatu aktivitas kolektif. Partisipasi yang dilakukan oleh warga komunitas disebabkan warga komunitas sudah memiliki kohesi sosial yang tinggi di
48
dalam komunitas. Kohesi sosial yang dimiliki oleh warga komunitas tidak didorong dari bentuk gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dalam komunitas. Peranan tokoh pemimpin menjadi tidak bisa dirasakan secara menyeluruh oleh warga komunitas. Selama pelaksanaan program, tokoh pemimpin SGT melibatkan tokoh-tokoh pemimpin formal seperti Ketua RT, Ketua RW dan tokoh-tokoh masyarakat sebagai sarana untuk berinteraksi sosial dengan warganya, seperti penyampaian usulan atau pendapat warga komunitas. Namun hal ini tidak membuat tokoh pemimpin SGT tidak hadir sebagai figur bagi warga komunitas. Peranan tokoh pemimpin SGT sangatlah penting terutama dalam mengarahkan warga komunitas untuk mencapai tujuan bersama.“Dia turun kebawah, jadi figur mas. Dia gak lepas dari masyarakat.”(MN, 46 tahun, responden) Tokoh pemimpin dapat dikatakan berhasil apabila dapat menjalankan program sesuai kebutuhan warga komunitasnya. Hal ini dapat tercapai bila adanya hubungan yang baik antara tokoh pemimpin dan warga komunitas. Hal ini juga memudahkan warga komunitas untuk menyampaikan segala keluhan selama pelaksanaan program sehingga warga komunitas merasa memiliki komunitasnya dan keberhasilan program dapat lebih mudah tercapai. Tokoh pemimpin tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk kekuasaan tetapi yang terpenting tokoh pemimpin mampu menjadi figur bagi warga komunitasnya. Tokoh pemimpin SGT tidak menerapkan gaya kepemimpinan secara otoriter. Pada pengambilan keputusan, tokoh pemimpin SGT bermusyawarah terlebih dahulu dengan para warga komunitas. Begitu juga pada pelaksanaan program tokoh pemimpin SGT tidak hanya sekedar memerintah tetapi terjun langsung juga bersama warga komunitas. “Pak SGT sering pendekatan ke masyarakat mas. Kalau ada gotong royong, masyarakat yang malas-malasan Pak SGT yang ajak jadi aktif untuk ikut gotong royong.” (SM, 31 tahun, responden) Pendekatan yang dilakukan tokoh pemimpin SGT bermaksud agar terwujud kerjasama antar warga komunitas dan membentuk partisipasi warga komunitas. Maka kohesi sosial pada warga komunitas secara tidak langsung memiliki hubungan dengan upaya pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Kohesi sosial tersebut membuat warga komunitas menjadi sukarela untuk bekerja sama selama pelaksanaan program. Kohesi sosial ini juga dipandang sebagai suatu perasaan yang membuat setiap warga komunitas merasa telah menjadi bagian dari komunitasnya dan saling membantu di dalam program air bersih PLPBK.
49
Hubungan Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keberhasilan Program Program pemberdayaan berbasis komunitas dapat berhasil jika warga di dalam komunitas tersebut memiliki kesadaran untuk mau bergerak secara bersama-sama dan terlibat langsung. Program pemberdayaan berbasis komunitas yang dimaksud adalah program air bersih PLPBK dimana program tersebut menekankan partisipasi warga komunitasnya untuk ikut serta. Berikut adalah tabel jumlah dan persentase responden berdasarkan antara sense of community dan partisipasi pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan partisipasi
Partisipasi Sense of Community Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 0 11 28 39
% 0.0 28.2 71.8 100.0
Total
Tinggi n 0 2 19 21
% 0.0 9.5 90.5 100.0
N 0 13 47 60
% 0.0 21.7 78.3 100.0
Tabel 14 menunjukkan bahwa sense of community berhubungan langsung terhadap partisipasi warga komunitas dimana persentase terbesar terdapat pada partisipasi dan sense of community dengan kategori tinggi sebesar 90.5 persen. Hal ini disebabkan sebagian besar responden yang berpartisipasi dalam pelaksanan program ini telah memiliki sense of community yang termasuk kategori tinggi juga. Adapun sebesar 71.8 persen memiliki sense of community yang tinggi namun partisipasi yang dimiliki tergolong rendah. Kemudian sebesar 28.2 persen, warga komunitas memiliki partisipasi yang rendah disebabkan sense of community-nya pun tidak begitu kuat atau sedang saja. Hasil diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi sense of community diikuti dengan peningkatan partisipasi warga komunitas dalam program air bersih PLPBK. Sense of community yang membentuk kesadaran warga komunitas untuk berpartisipasi di dalam program. Berikut adalah tabel jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan keberlanjutan program (Tabel 15). Tabel 15. Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan keberlanjutan program
Sense of Community Rendah Sedang Tinggi Total
Keberlanjutan Program Rendah Tinggi n % n % 0 0.0 0 0.0 3 17.6 10 23.3 14 82.4 33 76.7 17 100.0 43 100.0
Total N 0 13 47 60
% 0.0 21.7 78.3 100.0
Tabel 15 menunjukkan persentase terbesar terdapat pada sense of community yang tinggi namun keberlanjutan program tergolong rendah sebesar 82.4 persen. Adapun sebesar 76.7 persen warga komunitas memiliki sense of community dan
50
keberlanjutan yang tinggi juga. Hasil lainnya sebesar 23.3 persen, warga komunitas mempunyai sense of community yang tidak begitu tinggi atau sedang namun keberlanjutan programnya masuk pada kategori tinggi. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa rasa komunitas (sense of community) yang dimiliki warga komunitas tidak berdampak terhadap keberlanjutan program air bersih PLPBK. Adapun program ini dapat terus berlanjut disebabkan partisipasi warga komunitas yang secara aktif mencari sumber air bersih lain di Desa Tugu Jaya. Berikut adalah jumlah dan persentase responden berdasarkan antara aksi kolektif dan partisipasi pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan partisipasi
Partisipasi Aksi Kolektif Rendah Tinggi Total
Rendah n 32 7 39
% 82.1 17.9 100.0
Total
Tinggi n 14 7 21
% 66.7 33.3 100.0
N 46 14 60
% 76.6 23.4 100.0
Tabel 16 menunjukkan partisipasi berhubungan langsung terhadap aksi kolektif warga komunitas selama pelaksanaan program air bersih PLPBK dimana aksi kolektif dan partisipasi masuk pada kategori rendah sebesar 82.1 persen. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan langsung terhadap partisipasi warga komunitas dalam aksi kolektif. Adapun berikut jumlah dan persentase responden berdasarkan antara aksi kolektif dan keberlanjutan program pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan keberlanjutan program
Aksi Kolektif Rendah Tinggi Total
n 13 4 17
Keberlanjutan Program Rendah Tinggi % n % 76.5 33 76.7 23.5 10 23.3 100.0 43 100.0
Total N 46 14 60
% 76.6 23.4 100.0
Tabel 17 menunjukkan persentase paling tinggi terdapat dalam variabel aksi kolektif dengan kategori rendah dan variabel keberlanjutan program dengan kategori tinggi sebesar 76.7 persen. Kemudian persentase paling rendah terdapat dalam aksi kolektif dan keberlanjutan program sama-sama tinggi sebesar 23.3 persen. Hal ini membuktikan tidak terdapat hubungan antara aksi kolektif warga komunitas dalam keberlanjutan program. Kohesi sosial mengarah kepada ketertarikan sosial, dimana warga komunitas akan tertarik untuk terlibat dalam suatu kegiatan di dalam komunitasnya. Dalam hal ini, kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan program air bersih PLPBK. Program pemberdayaan masyarakat seperti program air bersih PLPBK perlu melibatkan warga komunitas selama pelaksanaan program. Hal tersebut dapat menunjukkan masih ada
51
rasa kebersamaan dari para warga komunitas. Rasa kebersamaan yang memperkuat kohesi sosial warga komunitas. Kohesi sosial dipandang sebagai alat penyatu warga komunitas untuk mencapai tujuan bersama. Ketika warga komunitas ingin mencapai suatu tujuan maka kohesi sosial membuat warga komunitas sadar untuk bersatu dan bertindak secara kolektif. Apabila komunitas sudah memiliki kohesi yang tinggi, maka warga komunitas akan memiliki partisipasi atau keterlibatan dalam aksi kolektif yang tinggi di dalam program. Hasil uji korelasi rank spearman antara tingkat kohesi sosial dan keberhasilan program menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.387 dan bernilai positif. Selain itu, nilai signifikansi (p value) sebesar 0.002 dan lebih kecil dari 0.05 artinya H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program air bersih PLPBK. Maka dapat dikatakan bahwa kohesi sosial memang diperlukan dalam pelaksanaan program pemberdayaan berbasis komunitas. Dengan kohesi sosial yang tinggi, ikatan warga komunitas dengan komunitasnya semakin kuat. Ikatan inilah yang membentuk kesadaran warga komunitas untuk menjadikan komunitasnya lebih baik.“Yah air bersih ini untuk kita juga mas.”(SP, 45 tahun, responden) Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Ramdhan dan Martono (1996) yang menyatakan bahwa saat masyarakat atau warga komunitas sudah berkohesif maka kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi dan kebutuhan kelompok menjadi utama. Kohesi sosial yang ada mampu meningkatkan kemauan warga komunitas untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas bersama. Kemauan tersebut timbul disebabkan adanya ikatan yang kuat diantara warga komunitas. Jika dibandingkan dengan hubungan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dengan keberhasilan program menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dari tokoh pemimpin yang ada di dalam komunitas belum tentu dapat menunjang keberhasilan program. Berdasarkan hasil uji korelasi rank spearman antara gaya kepemimpinan dan keberhasilan program menunjukkan nilai koefisien korelasi yang positif sebesar 0.023 dan tidak bernilai signifikan. Artinya tidak adanya korelasi antara gaya kepemimpinan tokoh pemimpin terhadap keberhasilan program. Pada program pemberdayaan umumnya warga komunitas cenderung pasif dan hanya menunggu bantuan datang saja. Hal ini membuat program pemberdayaan tidak berhasil dikembangkan untuk kehidupan warga komunitas selanjutnya. Pemenuhan kebutuhan bersama yang ingin dicapai pada program air bersih PLPBK menggambarkan kohesi sosial warga komunitas Desa Tugu Jaya tergolong tinggi. Kohesi sosial yang tinggi tersebut membentuk kesadaran dan kemauan warga komunitas untuk mau bekerja sama dalam menyukseskan program.
52
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada pelaksanaan program air bersih PLPBK di Desa Tugu Jaya, tokoh pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif dan konsultatif dimana tokoh pemimpin mengikutsertakan warga komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam musyawarah dan bekerja sama-sama untuk terpenuhinya kebutuhan berupa air bersih. Pelaksanaan program pun dilakukan warga komunitas secara berswadaya baik dalam bentuk menyumbangkan dana, tenaga ataupun berupa konsumsi. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kohesi sosial warga komunitas masuk kategori tinggi. Kemudian hasil uji korelasi rank spearman antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosian menunjukkan tidak terdapat korelasi antara gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dan kohesi sosial warga komunitas. Hal tersebut disebabkan warga komunitas sudah memiliki kohesi sosial yang kuat dan tidak berhubungan dengan gaya kepemimpinan dari tokoh pemimpin. Gaya kepemimpinan tokoh pemimpin juga tidak dapat dirasakan oleh seluruh warga komunitas serta tokoh pemimpin tidak bisa selalu mengunjungi warga komunitas. Kohesi sosial yang terbentuk pada warga komunitas dalam program air bersih PLPBK disebabkan warga komunitas memang sudah sadar akan kebutuhan air bersih. Kesadaran ini yang membuat warga komunitas berswadaya. Pada awal pelaksanaan program dana bantuan program datang secara berskala membuat pelaksanaan program menggunakan hasil swadaya warga komunitas. Hasil lain dalam penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program. Hal ini disebabkan program berbasis komunitas seperti program air bersih PLPBK perlu melibatkan warga komunitas dalam merumuskan rancangan program dan melaksanakan program. Hubungan yang signifikan tersebut membuktikan warga komunitas percaya pada manfaat dari program air bersih PLPBK sehingga mereka mau berpartisipasi untuk meningkatkan keberhasilan program. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dengan tingkat kohesi sosial. Hal ini perlu untuk dikaji lebih dalam mengenai faktor-faktor apa saja yang mampu meningkatkan kohesi sosial pada warga komunitas sehingga bisa mendorong keberhasilan program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas seperti program air bersih PLPBK. 2. Tokoh pemimpin diharapkan mampu meningkatkan partisipasi warga komunitas dan keberhasilan program air bersih PLPBK. Kemudian, pemerintah dan pembuat kebijakan diharapkan mampu memperbaiki pelaksanaan program di desa lainnya.
53
DAFTAR PUSTAKA Ardilah T, Makmur M, Hanafi I. 2014. Upaya Kepala Desa Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (Studi di Desa Bareng Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Jurnal Administrasi Pembangunan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Oktober 15]; 2 (01): 71-77. Tersedia pada: http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/34 5/200 Chavis D, Lee KS and Acosta JD. 2008. The Sense of Community (SCI) Revised: The Reliability and Validitu of the SCI-2. [Internet]. Paper pesented at the 2nd International Community Psychology Conference. Lisboa (PR), hlm. 1-4; [Diunduh 2016 Februari 29]. Tersedia pada: http://www.community science.com/pdfs/Sense%20of%20Community%20Index-2(SCI-2).pdf Fitriyanti N. 2014. Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-Mandiri Di Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/70545 Girsang L. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Perbaikan Prasarana Jalan. [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh 2016 Januari 25]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/49980 Hadipranata A, Sudardjo. 1999. Pengaruh Pembentukan Komunitas (Team Building) terhadap Etos Kerja dan Kontribusinya bagi Produktivitas Kerja Insani. Jurnal Psikologi. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; No. 1: 18 – 28. Tersedia pada: http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/ 141 Ibrahim J. 2002. Sosiologi Pedesaan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Isransyah M. 2014. Kepemimpinan Kepala Desa Dalam Menggerakkan Pembangunan Di Desa Kota Bangun Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal Ilmu Pemerintahan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 2 (01): 2008-2021. Tersedia pada: http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/03/eJournal%20Muhammad%20Isransyah%20Jurnal% 20(03-07-14-04-34-16).pdf Kaslan B. 2014. Kohesivitas Kelompok. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/250553704/KohesivitasKelompok-Komunitas#scribd Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Petunjuk Teknis Tata Cara Seleksi PLPBK, 2013. [Internet]. [Diunduh 2016 April 4]. Tersedia pada: http://www.p2kp.org/pustaka/files/FA_Juknis_Tata_Cara_Seleksi_PLPBK_ Mei_2013_rev050613.pdf Kulig J, Edge DS, Dana SE, and Joyce B. 2008. Understanding Community Resiliency in Rural Communities Through Multidimethod Research. Journal of Rural and Community Development. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]; 3(3) : 77-94. Tersedia pada: http://www.jrcd.ca/viewarticle. php?id=181
54
Mutmainah R, Sumardjo. 2014. Peran Kepemimpinan Komunitas Tani Dan Efektivitas Pemberdayaan Petani. Jurnal Sosiologi Pedesaan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 2(3) : 182-199. Tersedia pada: http://ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/343 Nasdian F. 2006. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Noorkamilah. 2008. Kohesivitas Remaja Islam Di Kampung Sayidan, Prawirodirjan, Yogyakarta. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 15]; 9 (01). Tersedia pada: http://digilib.uinsuka.ac.id/8368/1/NOORKAMILAH%20KOHESIVIT AS%20REMAJA%20ISLAM%20DI%20KAMPUNG%20SAYIDAN,%20P RAWIRODIRJAN,%20YOGYAKARTA.pdf Norris F, Stevens SP, Pfefferbaum B, Wyche KF, and Pfefferbaum RL. 2007. Community Resiliensce as a Methaphor, Theory, Set of Capacities, and Strategy for Disaster. Journal of Community Psychology. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29];41 : 127-150. Tersedia pada: http://www. emergencyvolunteering.com.au/ACT/Resource%20Library/CR_metaphor_the ory_capacities.pdf Olivianti B, Kolopaking LM. 2014. Hubungan Gaya Kepemimpinan Lurah Dengan Kualitas Pelayanan Kelurahan (Studi di Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan). Jurnal Sosiologi Pedesaan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 2 (03): 135-145. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index .php/sodality/article/viewFile/9421/7384 Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pengelolaan Agroekowisata Lahan Kering. Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 24 (02): 176-206. Tersedia pada: pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf Prayoga Y, Herdiyanto YK. 2015. Hubungan Antara Rasa Komunitas Dengan Motivasi Kerja Pengurus Subak. Jurnal Psikologi. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 1(02): 372-380. Tersedia pada: ojs.unud.ac.id/index.php/ psikologi/article/download/8551/6410 Primadona. 2001. Peran Penting Trust Sebagai Energi Pembangunan Masyarakat. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]; 03 (01). Tersedia pada: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=58207&val=4377 Purwaningtyastuti, Wismanto B, Suharsono M. 2012. Kohesivitas Ditinjau Dari Komitmen Terhadap Organisasi Dan Komunitas Pekerjaan. Jurnal Kajian Ilmiah Psikologi. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 2 (01): 179-182. Tersedia pada: journal.unika.ac.id/index.php/pre/article/download/ 245/236 Putri A. 2014. Iklim Komunikasi Serta Hubungannya Dengan Tingkat Kohesivitas Tani Bina Tani Mandiri. [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/70521 Rakhmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ramdhan N, Martono. 1996. Kohesivitas Pada Masyarakat Miskin. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]; 2: 84-94. Tersedia pada: i-lib.ugm.ac.id/jurnal/ detail.php?dataId=4232
55
Randhita R. 2009. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Dalam Organisasi Pemerintah Kelurahan (Kasus Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh 2015 Desember 15]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/ 12555/I09rra.pdf?sequence=1&isAllowed=y Setiawan A. 2013. Peran Kepala Desa Terhadap Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan Di Desa Bumi Rapak Kecamatan Kaubun Kabupaten KutaiTimur. Jurnal Ilmu Pemerintahan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Oktober 15]; 1(3): 1095-1109. Tersedia pada: http://ejournal.ip.fisipunmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/09/Anggi%20Setiawan%20(09-0413-01-32-29).pdf Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Sukamana O. 2013. Konvergensi antara Resource Mobilization Theory dan IdentityOriented Theory dalam Studi Gerakan Sosial. Jurnal Sosiologi Reflektif. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]; 8(1): 39-62. Tersedia pada: ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/download/524/465 Surochiem. 2001. Dimensi-Dimensi Penting Monitoring Pelaksanaan Program Pemberdayaan Dan Partisipasi Pada Masyarakat Pesisir. Jurnal Neptunus. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2016 Januari 25]; 8(1): 50-56. Tersedia pada: http://library.unej.ac.id/client/en_US/default/search/detailnonmodal/ent:$002f $002fSD_ILS$002f285$002fSD_ILS:285281/ada;jsessionid=B59A4CEBB08 5CFC93E4CAF9AA8309518?qu=BIOLOGI&qf=PUBDATE%09Publication +Date%092001%092001&ic=true&ps=300 Suryowati E. 2015 Oktober 20. 20.168 Desa di Indonesia Masih Tertinggal. Kompas. Ekonomi/Makro. Diunduh pada tanggal 20 Desember 2015. Bisa diakses pada: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/20/141445026/20.168. Desa.di.Indonesia.Masih.Tertinggal Tjokroamidjojo B. 1979. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT. Gunung Agung Tousignant M, Sioui N. 2009. Resilience and Aboriginal Communities in Crisis: Theory and Intervention. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]; 5 (1): 43-61.Tersedia pada: http://journals.uvic.ca/index.php/ijih/issue/view/690 Utami S. 2007. Pengaruh Kepemimpinan Dalam Perubahan Organisasi. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2016 Januari 25]; 7(02): 124-129. Tersedia pada: http://download.portalgaruda.org/article.php? article=115100&val=5259 Vebry M, A Rizardi Lubis. Tidak ada tahun. Gagalnya Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Pendekatan Rekonstruksi Dan Rehabilitasi Perumahan Di Aceh. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Oktober 15]. Tersedia pada: http://web. iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Social-Welfare/Disaster/A6_Muammar%20 Vebri_Rekonstruksi_dan_Rehabilitas_Perumahan2.pdf Wahyuni S. 2009. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Lazis (UII) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh 2015 Desember 20]. Tersedia pada: http://digilib.uin-suka.ac.id/3360/1/BAB %20I,IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
56
Wulansari, Hertina, Hardjajani, Tuti, Nugroho, dan Arista Adi. 2012. Hubungan Antara Komunikasi Yang Efektif Dan Harga Diri Dengan Kohesivitas Kelompok Pada Pasukan Suporter Solo Sejati (Pasoepati). [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]. Tersedia pada: http://candrajiwa.psikologi.fk. uns.ac.id/index.php/candrajiwa/article/download/35/27 Yuasidha, Nurul Rhamadani. 2014. Kohesivitas Penduduk Asli Dan Pendatang Dalam Multikulturisme. [Internet]. Jurnal. [Diunduh2015 Desember 20]; 3(1): 1-35. Tersedia pada: http://journal.unair.ac.id/kohesivitas-penduduk-asli-danpendatang-dalam-multikulturalisme-article-6602-media-135-category-.html Yudhaningsih R. 2010. Kontribusi Pemimpin Dalam Pembentukan Budaya Organisasi. Jurnal Pengembangan Humaniora. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 15]; 10(2) : 85-91. Tersedia pada: http://www.polines.ac.id/ ragam/index_files/jurnalragam/paper_5%20aug_200.pdf Yuliana E. 2013. Peranan Kepala Adat Dalam Sosialisasi Program Keluarga Berencana di Pampang, Kelurahan Sungai Siring, Samarinda. Jurnal Ilmu Komunikasi. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2016 Februari 2016]; 1 (2) :95 108.Tersedia pada: http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/upl oads/2013/04/eJournal%20Ilmu%20Komunikasi%20(04-30-13-05-03-56).pdf Yulianti Y. 2012. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota Solok. Jurnal Penelitian. [Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 29]; 1 : 1-23 Tersedia pada: http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/ ANALISIS-PARTISIPASI-MASYARAKAT.pdf
57
LAMPIRAN
58
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
59
Lampiran 2. Kerangka Sampling Bak Penampungan di RW 4 (Kampung Batu Karut) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama Husen/Oncom Paya Kunang Hj. Sunardi Aja S. Kadis Danil M. Jamal M. Hapi Agus Dalimi Siti A. Ernawati Edi S. Sanudin Tinah Hj. Adang Yanah Udin Siti Fatimah Hj. Muhtar Kuswandi Mumuh/Cucun Topan Hj. Saswita Endang Ajie Mi'an Ahmad S. Hasan K. Kamal Mustofa Lilis S. Agus Sutarman Uwen Juweni Ejeh Kimin Ayut Djuhari
Kampung (RW/RT) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01) Babakan Cipulus (02/01)
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Hj. Gandi Hengki Yondi Rohimah Rahmat Holis Sastra Atma/Abu Toni Nasih Iis Diningsih Iwan Saepah Babas Dede Asep Mumuh Andriansyah Otiah Ade R./Kocen Esa Omin Akil Adang G. Dedi.Sebrot Arip Usep Dodo Hj. Tholib Basirin Dudih Iyang Aan Ahyani Dudung Amir Edo Yayan Hj. Jajang Maman Kunir Edi Rosa Nunuh Ade Ata
Babakan Cipulus (02/01) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/02) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03)
60
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119
Odih Adang Enoh Eem Mumuh Apek Onih Anna Sulaeman/Iis Saefulloh Ahyadin Sanafiyah Hj. Gini Dedi Idim Abang Supratman Julakarnaen Otoy Ijam Yadi Abil Asep Ojak Ikin Kiman Dayat Aeh Eman Apid Maman Suparman Adang Etang Hendra Topan Panda Komarudin Didih Daros Eros Bae Aah
Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Pasir Pacar (02/03) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04)
120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160
Irin SDN Batukarut Dede Nengrat Heni Udin Jarkasih Sanah Yayas E. Faridah Muksin Mahpud Muhidin Ahmad L. Hj. Neneng Syarif Fatimah Saif Asep Ahong Ukar Abi Hasan Alif Abang M. Deni B. Sanika Irat Herman Uyun R. Aah Igun Obet Hj. Amir Wahyu Encu Acim Aman Budi A. Abadan Hardi C. Eliem M. Sholeh
Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Duren Gede (02/04) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05)
61
161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201
Dahrom M. Oding Chepy Zaelani Ani S. Rudi Imas Komar Ajat M. Nur Hj. Atikah Usep Saripudin Suparman Domuroh Wawan Aang Wahyudin Jejen Komarudin Masjid Batukarut Acep Kurniawan Aep Samsudin Hudri Agus Miftahul Aziz Abdul Nasir Kabul Suminta M. Supandi Suhanda Herman K. Jaem Habudin Hj. Sujatma Oman Supril Osik Sobandi Linda Imansyah Sutini Hamdani
Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Cipetir (03/05) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01)
202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242
SMP PGRI 2 Sukardi Hj. Deden Hamdani W. Sutarlan Harun PUSKESMAS Samsuri Handayani SDN CIPETIR 02 Hj. Neneh Ihsan Mulyadi Ade Reni Rusyanto Ai Emil Muklis Mitra Maulana Ust. Wawi Enjar Ismat Aip/Hendra Aam Empur Amir Mahmud Awaludin Dedi Ecin K. Bibin Jarkasih Apen Eroh Ahmad Hj. Jani Achmad Ubaedillah Sutirja Yeti Yayat Rosadi/Oom
Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/01) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02)
62
243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259
Nining Aisyah Suhendi Oleh Nasir Pudin Pendi Ridwan Jenar Itoh Suken Misbah Subki Juardi Lukman Mamas Iskandar
Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02) Batu Karut (04/02)
Bak Penampungan di RW 6 (Kampung Cibogoh) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Muhdor Ratna Mugiono Didin Edi Suryadi Mulyati Yati Ata Anto Badrudin Ajat Supandi Enung S. Irawan Adang Sukma Sobar Yasip Ade
Kampung (RW/RT) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03)
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Anda Sahi Sugandi Pardi Soleh Jiji Jejen Holik Nuryadi Jaji Umar Unang Yayat Apid Kunir Hj. Ukar Hoerudin Eneng Pudin Halimi Aepudin Jumer Iwan D. Apandi Irma Mami Icih Iwan S.
Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/03) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04) Cibogoh (06/04)
Bak Penampungan di RW 10 (Kampung Sukamana) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Tati Rusmiati Usup Ajip Oyan Royandi Sudin Cucup Aan Nasroh Rina
Kampung (RW/RT) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01)
63
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Multadin Yadi Tata K. Suhanda Bibin Usup B. Icah Ikah Abdul Kodir Uhoy Hj. Ohan Hindun Uun Ukar Nurdin Aming Hj. Bubung Hj. Miftah Endeng Aep Zaenal Ius Tamrin Gofar Duloh Acep Kaneng Mabubilah Ufar Hamid Nurdin Ace Utom Baban Hj. Atikah Icih Dadan
Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/01) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/02) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03) Sukamana (10/03)
Bak Penampungan di RW 11 (Kampung Citugu) No. Nama 1 Ahmad Evi 2 Endeh
Kampung (RW/RT) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
3 Jayan
Citugu (11/02)
4 Agus Bahtiar
Citugu (11/02)
5 Asep Tinah 6 Barok 7 Indra
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
8 Acon
Citugu (11/02)
9 Ujang Ojak
Citugu (11/02)
10 Hariyanto T.
Citugu (11/02)
11 Abak
Citugu (11/02)
12 Ahmad
Citugu (11/02)
13 Adul 14 Ismail S. 15 Yati
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
16 Waseh S.
Citugu (11/02)
17 Samsul
Citugu (11/02)
18 Papat
Citugu (11/02)
19 20 21 22
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
Enjoh Euis Sholahudin Dedi Sutendi
23 Eep Saepudin
Citugu (11/02)
24 25 26 27
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
Iim Emus Kartikah Oleh
28 Iban Abidin
Citugu (11/02)
29 Daenuri
Citugu (11/02)
30 Kholidah
Citugu (11/02)
31 Oha Engkus
Citugu (11/02)
32 Enjah
Citugu (11/02)
33 34 35 36
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
Emun Deden Hj. Jaenudin Mulkah
64
37 Utom 38 Hambali
Citugu (11/02) Citugu (11/02)
76 Eva Ibrohim 77 Emboy
Citugu (11/03) Citugu (11/03)
39 Ajid
Citugu (11/02)
78 Mamah
Citugu (11/03)
40 Hasan Sandra
Citugu (11/02)
79 Peter Laila
Citugu (11/03)
41 Gandi
Citugu (11/02)
80 Nenda
Citugu (11/03)
42 Nyai Eben
Citugu (11/02)
81 Hendi
Citugu (11/03)
43 Muhaemin
Citugu (11/02)
82 Pardi
Citugu (11/03)
44 Hj. Jamawi
Citugu (11/02)
83 Sukri
Citugu (11/03)
45 Enoh
Citugu (11/02)
84 Walidin
Citugu (11/03)
46 Nia
Citugu (11/02)
85 Endang
Citugu (11/03)
47 Didin
Citugu (11/02)
86 Kobtiah
Citugu (11/03)
48 Abidin
Citugu (11/02)
87 Hj. Daik
Citugu (11/03)
49 Alwi
Citugu (11/02)
88 Titib
Citugu (11/03)
50 Hj. Fatimah
Citugu (11/02)
89 Mukti Ali
Citugu (11/03)
51 Dadi 52 Isoh 53 Wawan
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
54 Hj. Ifah
Citugu (11/02)
55 56 57 58
Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02) Citugu (11/02)
90 91 92 93 94
Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03)
Dayat Odek Ust. Shobur Syafei
Bubun Masnur Irah Idah Ita
95 Roy/Toha
Citugu (11/03)
96 Sukesno
Citugu (11/03)
97 Wayarno 98 Iding 99 Dadah
Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03)
59 Endang
Citugu (11/02)
60 Usuf
Citugu (11/02)
61 62 63 64 65
Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03)
100 Anang 101 Falah 102 Encih
Citugu (11/03) Citugu (11/04) Citugu (11/04)
103 Nendi
Citugu (11/04)
104 Umam
Citugu (11/04)
66 Parto
Citugu (11/03)
105 Hajar
Citugu (11/04)
67 Jaeroh
Citugu (11/03)
106 Mausul
Citugu (11/04)
68 Agus N.
Citugu (11/03)
69 Udin Patim
Citugu (11/03)
70 71 72 73
Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03) Citugu (11/03)
107 108 109 110
Citugu (11/04) Citugu (11/04) Citugu (11/04) Citugu (11/04)
Muji Turmuji Jamilah Nana Heri Darjo
Nyi Lilih Iwan Hj. Dedeh Eeng/Erni
Ayus Nanang AN. Nyi Ulfah Putri
111 Umi
Citugu (11/04)
112 Hj. Dayar
Citugu (11/04)
74 Gotis
Citugu (11/03)
113 Baedowi
Citugu (11/04)
75 Awang
Citugu (11/03)
114 Deni Umam
Citugu (11/04)
65
115 Aep 116 Aas Mulyadi 117 Hj. Dedah S.
Citugu (11/04) Citugu (11/04) Citugu (11/04)
142 Maman
Citugu (11/05)
143 Munir
Citugu (11/05)
Citugu (11/04)
144 145 146 147
Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05)
118 Pandi
Citugu (11/04)
119 Oka
Citugu (11/04)
120 Basyir 121 Yubi
Citugu (11/05)
148 Enjang
Citugu (11/05)
122 Ros
Citugu (11/05)
149 Warja
Citugu (11/05)
123 Ance/Tana
Citugu (11/05)
150 Wildan
Citugu (11/05)
124 Yaya
Citugu (11/05)
151 Enur
Citugu (11/05)
125 Said
Citugu (11/05)
152 Uwen
Citugu (11/05)
126 Bae
Citugu (11/05)
153 Hotimah
Citugu (11/05)
127 128 129 130 131 132
Maman Jupri Hj. Jajang Yayah Yunus Mamas
Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05)
154 Ajid
Citugu (11/05)
155 Jenab
Citugu (11/05)
156 Kamal
Citugu (11/05)
157 Umed
Citugu (11/05)
158 Hasyim
Citugu (11/05)
159 Hj. Iyoh
Citugu (11/05)
133 Hj. Ujang 134 Kohar 135 Pian
Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05)
160 Harun
Citugu (11/05)
161 Nanang
Citugu (11/05)
162 Habib
Citugu (11/05)
136 Suhaebah
Citugu (11/05)
137 Jujun/Imas 138 Julkarnaen 139 Bibin
Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05)
163 164 165 166
Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05) Citugu (11/05)
140 Ojak 141 Dede Ronal
Citugu (11/05) Citugu (11/05)
Hadi Romi Yasin Iik
Ucup Tajudin Dedi Ina
66
Lampiran 3. Hasil Olahan Data Hasil uji korelasi rank spearman antara gaya kepemimpinan partisipatif dan tingkat kohesi sosial dalam program air bersih PLPBK
Correlation Coefficient Gaya Kepemimpinan Sig. (2-tailed) N Spearman'sPartisipatif rho Correlation Coefficient Tingkat Kohesi Sig. (2-tailed) Sosial N
Gaya Kepemimpinan Tingkat Kohesi Partisipatif Sosial 1.000 .229 . .078 60 60 .229 1.000 .078 60
. 60
Hasil uji korelasi rank spearman antara gaya kepemimpinan dan tingkat keberhasilan program air bersih PLPBK
Correlation Coefficient Gaya Kepemimpinan Sig. (2-tailed) N Spearman'sPartisipatif rho Correlation Coefficient Tingkat Kohesi Sig. (2-tailed) Sosial N
Gaya Kepemimpinan Tingkat Kohesi Partisipatif Sosial 1.000 .023 . .860 60 60 .023 1.000 .860 60
. 60
Hasil uji korelasi rank spearman antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program air bersih PLPBK
Spearman's rho
Tingkat Kohesi Sosial Keberhasilan Program
Tingkat Kohesi Sosial Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed) . N Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Keberhasilan Program .387** .002
60 .387**
60 1.000
.002 60
. 60
67
Lampiran 4. Instrumen Pengukuran Kinerja Pembukuan Sekretariat BKM / LKM pada Program PLPBK
68
69
70
71
72
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
(Bak Penampungan di Kampung Batu (Bak penampungan di Kampung Citugu) Karut)
(Bak penampungan di Kampung Sukamana)
(Wawancara dengan informan)
(Saluran air bersih di rumah warga)
(Wawancara dengan responden)
73
Lampiran 6. Catatan Tematik Program PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan program lanjutan dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Program PLPBK fokus kepada kegiatan penataan lingkungan permukiman masyarakat melalui pendekatan secara partisipatif. Program PLPBK mulai berjalan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor sejak tahun 2011. Langkah awal program PLPBK diawali dengan pembentukan kelompok kerja seperti TPP (Tim Pelaksana Pembangunan), TP (Tim Pemasaran) serta kelima Pokja (Kelompok Kerja) lainnya seperti Pokja Lingkungan Hidup, Pokja Pendidikan dan Kesehatan, Pokja Sarana dan Prasarana, dan Pokja Pelayanan Publik yang menunjang kinerja TPP dan TP. Bentuk bantuan dalam program PLPBK berupa dana sebesar satu miliar rupiah namun dana tersebut datang secara berskala dan baru dapat dicairkan bila disertai dengan rincian dana yang sudah dibuat. Pada pelaksanaannya, anggota-anggota BKM Tugu Jaya Mandiri dan kelima Pokja melakukan transek sosial untuk melihat potensi dan masalah yang ada di masyarakat. Hasil dari transek sosial menunjukkan bahwa warga komunitas Desa Tugu Jaya memerlukan air bersih sebagai kebutuhan yang ingin segera terpenuhi di dalam program PLPBK. Pada program PLPBK juga terdapat kelompok kerja, yakni Badan Pengelolaan Air Bersih (BPAB) yang merupakan kelompok kerja yang memiliki tugas untuk menjaga output dari program ini agar dapat tetap berlanjut untuk menunjang kehidupan masyarakat Desa Tugu Jaya. Adapun Ketua BPAB ini adalah bapak NND (56 tahun). Bapak NND menyatakan bahwa Desa Tugu Jaya merupakan desa pertama di Kecamatan Cigombong yang mendapatkan program PLPBK tersebut. “Desa Tugu Jaya, desa percobaan mas. Desa lain mah gak rumit, kita doang (yang rumit). Tapi itu jadi panutan buat desa lain.” (NND, 56 tahun, Ketua BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) Desa Tugu Jaya) Hal ini disebabkan Desa Tugu Jaya memiliki pembukuan PNPM Mandiri paling baik se-Kabupaten Bogor. Dalam program ini, beberapa RW atau kampung memang ada yang sudah memiliki sumber air bersih sendiri seperti dari sumur namun atas kesepakatan bersama, akhirnya warga komunitas Desa Tugu Jaya memutuskan air bersih sebagai prioritas utama mereka. Kampung-kampung yang mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK diantaranya Kampung Bubukan Cipulus, Kampung Pasir Pacar, Kampung Cipetir, Kampung Batu Karut, Kampung Cibogoh, Kampung Sukamana dan Kampung Citugu. Tokoh pemimpin dalam program ini adalah SGT (50 tahun). Tokoh pemimpin SGT merupakan pemimpin lokal yang lahir dan besar di Desa Tugu Jaya. Pada program air bersih PLPBK, Tokoh pemimpin SGT menjabat sebagai Ketua Tim Pelaksana Pembangunan atau disingkat TPP. Tokoh pemimpin SGT sering melakukan pendekatan dengan masyarakat dimana program air bersih PLPBK ini sangat mengutamakan peran serta masyarakat secara langsung. Sebelum menjadi Ketua TPP, tokoh pemimpin SGT merupakan mantan Ketua RW 06 di Desa Tugu
74
Jaya. Tokoh pemimpin SGT dikenal baik oleh warga komunitas Desa Tugu Jaya, sebagai sosok yang memiliki kepemimpinan yang bagus dan aktif selama di karang taruna. Sewaktu muda, tokoh pemimpin SGT sering tergabung di dalam acara-acara kepemudaan. “Pak SGT memang bagus kerjanya. Alhamdulillah di lurah sebelumnya juga dia yang pegang. Ikut kepemudaan dari dulu dia, disegani juga sama para warga.”(SS, 57 tahun, mantan Ketua RW 01) Tokoh SGT sangat dikenal, terutama pada RW 02. Hal ini disebabkan RW 02 merupakan RW yang paling banyak mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK. Warga komunitas RW 02 juga termasuk aktif dalam pelaksanaan program ini. Hal tersebut membuat warga komunitas RW 02 memiliki kedekatan dengan tokoh SGT. Peranan tokoh pemimpin SGT lebih banyak dirasa warga komunitas ketimbang Kepala Desa Tugu Jaya saat itu disebabkan pendekatan kepada warga lebih sering dilakukan oleh tokoh SGT ketimbang tokoh-tokoh formal di dalam desa. Pendekatan yang dilakukan pun tidak sebatas pada RW-RW yang mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK tetapi kepada RW-RW lain juga sehingga warga menaruh harapan kepada sosok SGT. “Alhamdulillah diterima baik sama warga sini. Biasanya Pak SGT itu sudah dekat sekali dengan para warga di kampung ini dan banyak sodaranya. Jadi saking dekatnya, warga udah biasa saja gitu, seperti sodara sendiri.” (DNJ, 63 tahun, Ketua RW 09) Adanya tokoh pemimpin SGT membuat warga komunitas Desa Tugu Jaya percaya bahwa sosok SGT sudah dirasa tepat menjadi Ketua TPP (Tim Pelaksana Pembangunan) pada pelaksanaan program air bersih PLPBK. ”Nah lihat sikap Pak SGT kayak gitu, respon masyarakat bagus. Yah makanya lihat atasannya kerja, masyarakat yang gak mau turun juga jadi kerja bareng, malu gitu mas. Jadinya kerja beresnya lebih cepet. Masyarakat merespon, Ketua RT/RW juga datang ke balai desa buat rapat. Kalau gak ada rapat di balai desa, masyarakat kumpul di rumah kordinator.” (ARY, 57 tahun, Ketua RW 03) Tokoh SGT tergabung dalam BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) Tugu Jaya Mandiri. BKM Tugu Jaya Mandiri sendiri merupakan badan yang mewadahi dan menindaklanjuti segala bentuk bantuan program dari pemerintah untuk Desa Tugu Jaya. Tokoh SGT pun sudah dianggap mampu melaksanakan program ini. Tokoh SGT sudah dianggap sebagai tokoh pemimpin oleh warga komunitas di Desa Tugu Jaya. Keterlibatan tokoh SGT yang sering dalam kegiatan-kegiatan keagamaan membawa kesan yang baik pada kehidupan sosial warga komunitas. Hal ini membuat tokoh SGT sangat dekat dengan warga komunitas Desa Tugu Jaya. Secara tidak langsung, hal tersebut membawa dampak baik dalam pelaksanaan program air bersih
75
PLPBK. Pengaruh tokoh pemimpin SGT telah dirasakan oleh warga komunitas Desa Tugu Jaya. “Masyarakat berharap banget sama program PLPBK ini. Pergaulan SGT dengan masyarakat bener-bener. Gak peduli dia keluarganya kaya atau miskin, menjunjung tinggi ke masyarakat. Waktu muda juga banyak bertindak dia.” (OYN, 47 responden, relawan desa dan tokoh masyarakat Warga komunitas yang umumnya sedikit malas untuk terlibat dalam program pemberdayaan namun pada kasus ini, warga komunitas mau ikut turun tangan di dalam pelaksanaan program. Hal tersebut disebabkan peranan tokoh pemimpin selama pelaksanaan program mampu menggerakkan warga komunitas. Tidak hanya di lingkup warga komunitas saja, tokoh pemimpin bertindak sesuai dengan aturan (rules) yang sudah dibuat. “Emang perlu dilihat, SGT selaku ketua pelaksananya PLPBK sangat aktif dalam kegiatan. Di masyarakat dia sebagai panutan, dia juga ngikuti aturan yang sudah dibuat. Buat masyarakat, pokoknya gimana caranya semua dilakuin.” (MAP, 67 tahun, mantan Kepala Desa Tugu Jaya) Tanggapan dari warga komunitas pun positif menerima adanya program air bersih PLPBK. Namun dalam pelaksanaan program, ada saja kendala yang pernah dirasakan oleh kordinator program saat itu. ”Kita (selaku BKM dulu) susah untuk bicara dengan masyarakat yang awam tapi dengan inisiatif, kita undang masyarakat ke desa. Mereka (masyarakat awam) itu ke desa untuk kita fasilitasi.” (SMN, 64 tahun, mantan kordinator BKM Tugu Jaya) SGT bersama para tokoh masyarakat desa mengajak warga komunitas untuk datang ke balai desa guna mensosialisasikan program air bersih PLPBK. Hal ini memunculkan berbagai respon dari warga komunitas. Ada yang memilihi untuk mau terlibat aktif di dalam program, ada juga yang masih tidak peduli. Adanya keinginan warga komunitas untuk berpartisipasi dalam program dibentuk dari kesadaran mereka untuk menjadikan komunitasnya lebih baik. Kesadaran komunitas tersebut juga yang membentuk rasa kebersamaan dalam mencapai keberhasilan program.
76
RIWAYAT HIDUP Muhammad Mirrza Alam Akbar lahir di Jakarta, 03 Agustus 1994. Penulis merupakan anak pertama dari (Alm.) Syamsir Alam Achmad dan Winarsih. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Tunas Karya 1 Kelapa Gading, Sekolah Menengah Pertama di SMP Don Bosco 1 Kelapa Gading dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 72, Jakarta Utara serta melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor pada jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur undangan. Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa dan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi pengurus Rumah Harapan BEM KM 2013/14 dan menjadi Kepala Divisi Kreativitas. Selain itu, penulis masih menjadi pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Inovasia, Divisi Pendanaan dan komunitas Pengusaha Kampus Regional Bogor serta pernah mengikuti kepanitiaan seperti Gebyar Nusantara 2015. Berbagai penghargaan pernah diraih oleh penulis seperti Finalis 10 besar Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional “TechoFair 2015” Universitas Sebelas Maret.