ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN
HANA HILALY ANISA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Alih fungsi lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Hana Hilaly Anisa
ABSTRAK Hana Hilaly Anisa. Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan. NURMALA K. PANDJAITAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan alih fungsi lahan dan hubungannya dengan tingkat kohesi sosial masyarakat pedesaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Mulyaharja mempengaruhi terhadap perubahan mata pencaharian dari sektor pertanian ke non pertanian dan perubahan pendapatan yang lebih rendah. Interaksi sosial yang mencakup intensitas dan bentuk interaksi memiliki hubungan yang lemah dengan kohesi sosial komunitas yang tergolong tinggi karena hubungan kekeluargaan yang sudah kuat. Tingkat kohesi sosial memiliki hubungan yang positif dalam kategori tinggi terhadap tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif. Kata kunci: Alih fungsi lahan, interaksi sosial, kohesi sosial, aksi kolektif ABSTRACT Hana Hilaly Anisa. Land Conversion and The Level of Rural Community Social Cohesion. NURMALA K. PANDJAITAN. This research aimed to analyze changes in land conversion and correlation the level of social cohesion of rural community.. The research was conducted using quantitative method and supported by qualitative data. The results of this study indicate that the land conversion that occurs in Mulyaharja influence to change livelihood from agriculture to non- agriculture and changes in lower revenues . The social interaction that includes the intensity and forms of interaction have a weak relationship with the community social cohesion is high because kinship is strong. The level of social cohesion has a positive relationship in the high category of the level of community involvement in collective action .
Key words: Land Conversion,, social interaction, social cohesion, collective action
v
ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN
Oleh HANA HILALY ANISA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan waktu selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi. Selain itu, ucapan terimakasih kepada Bapak Dr Satyawan Sunito sebagai dosen penguji utama dan Bapak Ir. Sutisna Riyanto, Ms sebagai dosen komdik akademik yang telah bersedia hadir pada sidang serta memberikan saran untuk perbaikan skripsi. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kedua orangtua tercinta, Ibu Nia Setiawati dan Bapak Nursamsi atas semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini. Adik-adik penulis, Asti Carissa Malinda, Mariska Putri, dan Syaza Nadiena Azzahra. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM angkatan 49, IPB maupun luar kampus IPB, Andi Putri Rezky Noviana, Nadya Apriella, Riza Ryanda, Tazkiyah Syakira, Almira Devina, Meliani Rosalina, Inez Kania, Vany Ardianto, Mirza Alam, Amanda Pradipto, Chairinnisa Salmanda Putri yang telah berkenan menjadi rekan bertukar pikiran dalam menyelesaikan skripsi ini serta para pihak yang telah membantu pada proses penyelesaian skripsi.
Bogor, Agustus 2016
Hana Hilaly Anisa NIM. I34120124
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
3
Tujuan Penelitian
3
Keguanaan Penelitian
4
PENDEKATAN TEORITIS
5
Komunitas Pedesaan
5
Kohesi Sosial
5
Aksi Kolektif
7
Alih Fungsi Lahan
8
Interaksi Sosial
11
PENDEKATAN LAPANG
18
Metode Penelitian
18
Jenis dan Sumber Data
18
Lokasi dan Waktu
18
Teknik Penentuan Responden dan Informan
19
Teknik Pengumpulan Data
19
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
20
GAMBARAN UMUM LOKASI
21
Kelurahan Mulyaharja
21
Kampung Pabuaran
23
KARAKTERISTIK RESPONDEN
25
Umur Responden
25
Jenis Kelamin Responden
25
Tingkat Pendidikan Responden
26
Penguasaan Lahan Sawah Responden
27
Tingkat Pendapatan
28
x
Jenis Mata Pencaharian Utama
28
Jenis Mata Pencaharian Sampingan
29
ALIH FUNGSI LAHAN YANG TERJADI DI PEDESAAN
31
Perubahan Mata Pencaharian
33
Perubahan Pendapatan
34
INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS
35
Intensitas Interaksi
36
Bentuk Interaksi
36
Tingkat Interaksi Sosial Komunitas
38
KOHESI SOSIAL KOMUNITAS
39
Tingkat Kohesi Sosial
39
Aksi Kolektif
42
Hubungan Antara Tingkat Interaksi Sosial dan Tingkat Kohesi Sosial
45
Hubungan Antara Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Aksi Kolektif SIMPULAN DAN SARAN
46 48
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
54
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
58
xi
DAFTAR TABEL 1
Tabel 1
Sebaran Luas Wilayah menurut penggunaan di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015
2
Tabel 2
Sebaran penduduk menurut tingkat usia di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015
3
Tabel 3
21 22
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pada tahun 2015
22
4
Tabel 4
Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama
23
5
Tabel 5
Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur
25
6
Tabel 6
Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin
26
7
Tabel 7
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
8
Tabel 8
Jumlah dan persentase responden berdasarkan penguasaan lahan
9
Tabel 9
27 27
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan
28
10 Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian utama
29
11 Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian sampingan
30
12 Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peruntukan alih fungsi lahan
32
13 Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah lahan yang dijual
32
14 Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan mata pencaharian sebelum dan sesudah terjadinya alih di
33
15 Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan
34
16 Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas interaksi 17 Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk
35
xii
interaksi
36
18 Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan interaksi dengan masyarakat setelah alih fungsi lahan 19 Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan total interaksi
37 38
20 Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial
40
21 Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam aksi kolektif
42
22 Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kegiatan dalam aksi kolektif
43
23 Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk keterlibatan warga komunitas Kampung Pabuaran
44
24 Tabel 24 Jumlah dan persentase berdasarkan peran warga komunitas Kampung Pabuaran
44
25 Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial
45
26 Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan dalam aksi kolektif
46
xiii
DAFTAR GAMBAR 1
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
2
Gambar 2
Persentase responden berdasarkan topik pembicaraan dalam interaski
13 36
DAFTAR LAMPIRAN 1
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
53
2
Lampiran 2 Tabel Correlation
54
3
Lampiran 3 Daftar Nama Responden
55
3
Lampiran 4 Dokumentasi
56
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,40 persen per tahun (Data BPS 2010). Kondisi penduduk seperti ini berpengaruh terhadap kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Selain itu, lahan menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni sebagai tempat manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Hal ini yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Berkembangnya bisnis perumahan di kota-kota besar termasuk di Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga ibukota mendorong developer untuk menanamkan investasi. Ekspansi properti dan perumahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2015 menunjukkan gejala peningkatan yang sangat pesat, terlebih dalam lima tahun terakhir ini. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Bogor setidaknya menyebutkan dalam lima tahun belakangan ini telah menerbitkan 382 izin untuk perumahan, jika dirataratakan ada 77 perumahan dibangun setiap tahun di Kabupaten Bogor (Gunawan 2015). Menurut Maxwell (2000) seperti yang dikutip Yuasidha (2014) kota telah begitu menarik, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun juga arus urbanisasi pun semakin tinggi. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan persaingan untuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat perkotaan lebih terlihat jelas dibandingkan di daerah pedesaan. Alih fungsi lahan berdampak pada menurunnya lahan pertanian. Alih fungsi lahan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain baik secara tetap maupun sementara, dan kondisi tersebut memiliki implikasiimplikasi baik umum maupun khusus. Proses konversi lahan saat ini berlangsung cepat, seolah-olah tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Pulau Jawa dan sekitar kotakota besar di luar Jawa. Pada tahun 1981-1999 di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,60 juta ha, dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et. al. 2004). Sebagian besar lahan tersebut dikonversi menjadi kawasan perumahan mewah. hal tersebut ditemukan fakta pula bahwa petani dipaksa untuk menjual lahannya kepada developer. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Perubahan pola pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian mempengaruhi perubahan di bidang lain, hal serupa seperti yang dikutip oleh
2
Ristawani (2013) yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya jalan dirasa penting karena membuka akses masyarakat kepada pelayanan pendidikan, kesehatan, dan informasi yang lebih baik. Namun karena alih fungsi lahan dapat mempengaruhi pola nafkah masyarakat menjadi berorientasi ekonomi sehingga menimbulkan norma atau nilai baru yang masuk ke suatu komunitas. Perubahan aspek perekonomian dalam suatu komunitas yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan akan menyebabkan perubahan pola interaksi sosial dalam komunitas tersebut (Handayani 1992). Interaksi dilihat sebagai sebuah proses sosial yang dihadapkan pada perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari alih fungsi lahan. Interaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas. Semakin tinggi interaksinya maka kohesi sosial tersebut semakin kuat (Faturochman 2006). Merujuk pada penelitian Umiyati (1994) alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian (perumahan) yang terjadi di Desa Padasuka mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Kehadiran pembangunan perumahan BTN di Desa Padasuka membawa dampak berkurangnya interaksi dalam keluarga sedangkan pada interaksi sosial dengan warga masyarakat di sekitarnya meningkat. Hal tersebut dipengaruhi oleh hadirnya perumahan BTN yang menyebabkan aspek perekonomian yang ada akan membawa perubahanperubahan di bidang lain seperti sarana dan prasarana transportasi, akses pendidikan, dan pola nafkah menjadi beragam di Desa Padasuka. Secara tidak langsung membuat hubungan dengan dunia luar, informasi yang diterima, banyaknya pendatang dan perubahan proses sosial menjadi ancaman eksternal pada masyarakat. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan masyarakat untuk menangkal pengaruh dari luar yang negatif melalui lembaga kemasyaratan keagamaan yaitu pengajian. Interaksi sosial yang dibangun adalah dengan frekuensi, intensitas, dan kualitas yang sering mereka lakukan dalam kegiatan pengajian tersebut. Adanya pengajian sebagai kegiatan atau wadah atau forum sosial bagi masyarakat untuk bersilahturahmi dan merekatkan hubungan diantara warga. Dengan demikian interaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas. Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di wilayah tersebut. Perubahan pada aspek ekonomi dan sosial seperti pola nafkah atau mata pencaharian dan proses sosial yang berlangsung dalam sebuah komunitas di pedesaan. Hendaknya tidak berpengaruh negatif terhadap kohesi sosial atau ikatan yang sudah ada pada komunitas. Myers (2010) menyatakan bahwa kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Kohesi sosial yang dapat dilihat dari rasa komunitas (sense of community). Teori rasa komunitas yang dibawa oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et
3
al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi di dalam komunitas sebagai akibat alih fungsi lahan yang berdampak pada aspek ekonomi dan sosial diharapkan tidak menggangu rasa memiliki dan rasa komunitas di Keluharan Mulyaharja. Penelitian ini akan melihat bagaimana alih fungsi lahan yang terjadi di komunitas dan hubungannya dengan tingkat kohesi sosial komunitasnya. Masalah Penelitian Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia khususnya di daerah padat penduduk seperti di kota tidak diiringi oleh ketersediaan tanah yang cukup. Tanah menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni sebagai tempat manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya. Penggunaan tanah yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain dapat menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit sehingga mendorong masyarakat mencari nafkah di luar pertanian. Bagaimana dampak ekonomi dan sosial dari alih fungsi lahan yang terjadi di pedesaan? Perubahan pada aspek perekonomian dapat menjadi ruang masuk bagi nilai atau norma baru ke dalam sebuah komunitas seperti akses pendidikan, informasi yang terbuka, dan mata pencaharian yang semakin beragam. Interaksi antara anggota komunitas yang berubah dapat menggangu hubungan antar anggota komunitas. Bagaimana kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan ? Kesamaan (homogenitas) antar warga membuat aksi kolektif dapat dengan mudah dilakukan dalam komunitas. Dengan masuknya akses terhada penghuni perumahan yang membawa nilai atau norma baru membawa perubahan pada kohesivitas antar anggota komunitas yang dapat berdampak pada keterlibatan warga pada aksi kolektif. Bagaimana hubungan antara tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif? Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan rumusan masalah maka penulisan skripsi berjudul “Perubahan Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Sosial Masyarakat Pedesaan” memiliki rumusan tujuan: 1. Menganalisis dampak ekonomi dan sosial alih fungsi lahan yang terjadi di pedesaan. 2. Menganalisis kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan. 3. Menganalisis hubungan antara tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif?
4
Kegunaan Penelitian 1. Bagi masyarakat: diharapkan dapat menjadi informasi dan wawasan untuk dapat meningkatkan kohesi sosial masyarakat (sense of community) dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar. 2. Bagi pemerintah: diharapkan menjadi acuan dalam mengambil kebijakan mengenai perubahan alih fungsi lahan dan pembangunanpembangunan lainnya, serta mengetahui dampak sosial dalam hal ini kohesi sosial bagi masyarakat yang mengalami. 3. Bagi peneliti: diharapkan dapat bergunan dalam mengembangkan kemampuan mengkaji studi kohesi sosial pada masyarakat dan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi. .
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Komunitas Pedesaan Menurut Norris et al. (2007) komunitas adalah suatu kesatuan yang mempunyai batas geografi yang sama dan berbagi nasib yang sama. Komunitas merupakan suatu organisasi sosial yang dibangun oleh lingkungan alam sosial dan ekonomi yang saling mempengaruhui. Pedesaan adalah suatu sistem sosial ekologi yang dibangun oleh berbagai komponen yang terdiri dari komponen ekologi, ekonomi, dan sosial yang terkait sedemikian rupa sehingga menciptakan karakteristik yang khas pedesaan (Schouten et al. 2009). Daerah pedesaan yang umumnya hidup dari pertanian adalah daerah yang sering terkena dampak terhadap berbagai gangguan eksternal seperti bencana alam maupun gangguan sosial. Keterbatasan kapasitas yang dimiliki anggota komunitas pedesaan menjadikan mereka menjadi kelompok yang rentan ketika menghadapi perubahan ataupun guncangan dalam kehidupan. Menurut Kulig et al. (2008) komunitas pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda dari komunitas lainnnya, yakni memiliki latar belakang belakang yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan, dan etnik, juga rentang waktu masyarakat berada dalam komunitas tersebut. Homogenitas ini mebuat kohesi sosial pada komunitas pedesaan relatif lebih tinggi daripada komunitas perkotaan. Kepedulian antara anggota komunitas, komunikasi antar komunitas, dan berbagai proses sosial yang asosiatif masih dapat ditemukan di komunitas pedesaan. Kohesi Sosial ini dapat menjadi dasar terpengaruhnya sense of community yang diukur melalui pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. sehingga ketika adanya gangguan eksternal komunitas dapat melakukan aksi kolektif sebagai strategi bertahan. Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada 3 komunitas menunjukkan bahwa pada komunitas petani ada rasa memiliki yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan. Komunitas petani memiliki inisiatif dalam mengatasi masalah, saling membantu menanam dan panen serta berinteraksi sebagai aksi kolektif. Hal tersebut menjadi aspek penting terbangunnya resiliensi komunitas. Namun sejalannya dengan terbukanya desa saat ini melalui maraknya pembangunan berbagai insfrastruktur dan perumahan serta perkembangan teknologi komunikasi bisa mendatangkan perubahan pada pola interaksi sosial dan nilai-nilai yang selama ini mengikat hubungan antara anggota komunitas. Perubahan tersebut dapat dilihat dari kerekatan antar anggota komunitas, bertahannya anggota dalam sebuah komunitas, serta keterlibatan anggota komunitas dalam melakukan aksi kolektif. Kohesi Sosial Komunitas memiliki modal sosial yang menunjukkan interaksi yang terjalin antar anggotanya. Modal sosial terdiri dari jaringan, norma-norma dan kepercayaan yang ada dalam komunitas. Modal sosial akan membentuk hubungan kohesi sosial di antara anggota komunitas. Kohesi sosial membuat anggota tidak
6
bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009). Penelitian Forrest et al (2009) di Amerika Serikat menyatakan bahwa kohesi sosial dan lingkungan perumahan sebagai unsur penting dalam identitas sosial. Kohesi sosial di tingkat masyarakat dapat berasal dari bentuk dan kualitas interaksi sosial di tingkat lokal. Di dalam model masyarakat modern, kohesi sosial dipandang sebagai proses bottom up. Pada modal sosial lokal, bukan dipandang sebagai proses top down. Pengamatan lain berpendapat bahwa semakin banyak orang Amerika yang tidak peduli dan menyebabkan penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Karena asumsinya bahwa keterlibatan masyarakat meningkatkan kohesi sosial. Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson and Johnson (1991) seperti yang dikutip oleh Noorkamilah (2008) menyatakan bahwa kohesi sosial dalam sebuah komunitas terjadi ketika anggota-anggota kelompok saling menyukai dan saling menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kemudian Noorkamilah (2008) menambahkan bahwa kohesi sosial dapat dilihat dari partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok. Selain itu, Mollering (2001) seperti yang dikutip oleh Primadona (2001) menyatakan bahwa salah satu fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan adalah pemeliharan kohesi sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Selain itu, menurut Faturochman (2006) seperti yang dikutip oleh Yuasidha (2014) faktor-faktor yang membentuk kohesivitas, yakni setiap anggota memiliki komitmen yang tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya, sesuai dengan perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan meningkat, terjadi pertukaran antar anggota yang sifatnya mengikat, dan ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di dalam komunitas. Menurut Taylor et al. (2009) seperti yang dikutip oleh Wulansari et al. (2012) menyatakan bahwa kohesi sosial diartikan sebagai kekuatan, baik positif maupun negatif, yang menyebabkan anggota tetap bertahan dalam komunitas. Kohesi sosial dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota. Anggota dapat saling menyukai ketika mereka saling menerima. Cartwright (1990) seperti yang dikutip oleh Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan bahwa kohesi sosial merupakan derajat kekuatan ikatan dalam satu kelompok yang masing-masing anggotanya secara psikologis menjadi saling tarik menarik dan saling tergantung. Hal tersebut digambarkan oleh Ramdhani dan Martono (1996) pada penelitiannya mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin. Tingkat kohesi sosial yang paling tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) selama 2 tahun dibandingkan dengan anggota yang baru saja ikut dan belum ikut KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial tersebut karena adanya pembinaan dari sukarelawan, lamanya anggota dalam sebuah kelompok, saling ketergantungan antara masing-masing anggota, dan kelompok-kelompok kecil yang sudah terdapat di dalam masyarakat. Prinsip tanggung renteng diterapkan dalam rangka mempererat saling ketergantungan antara masing-masing anggota kelompok yang telah mengakar pada diri anggota
7
sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat yang pada umumnya masih memegang teguh nilai-nilai adat luhur menjadikan tingkat kohesi sosial menjadi kuat. Menurut Myers (2010) kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Sense of community Index (SCI) adalah ukuran kuantitatif yang paling sering digunakan dalam mengukur rasa komunitas pada ilmu sosial. SCI berdasarkan teori rasa komunitas yang dibawa oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. pemenuhan kebutuhan adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Keterlibatan sebagai anggota komunitas adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Memberikan pengaruh adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. Berbagi kontak emosional adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun. Hasil studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa SCI menjadi indikator yang kuat dari suatu perilaku (seperti partisipasi) dan valid pengukurannya. Dengan demikian teori rasa komunitas relevan dengan kohesi sosial yang dimana melihat anggota komunitas dari rasa memiliki diantara anggota komunitas. Aksi Kolektif Kohesi sosial komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis serta mampu menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009). Aksi-aksi kolektif membutuhkan kerja sama antar pemangku kepentingan dan kekokohan kelembagaan dalam pengaturan komunitas. Faktor intrinsik komunitas yang terdiri dari kepemimpinan, aksi kolektif dan kekokohan kelembagaan serta kerja sama dengan pemangku kepentingan akan berpengaruh dalam pembentukan resiliensi komunitas namun harus di dukung juga oleh kebijakan yang dapat melindungi komunitas. Kebijakan di keluarkan oleh pemerintah untuk peningkatan kapasitas komunitas (Schouten et al. 2009). Kebijakan ini terkait kebijakan ekonomi, sosial budaya dan politik yang meningkatkan kapasitas komunitas untuk bertahan dalam menghadapi guncangan Dalam penelitian Umiyati (1994), pengajian dijadikan sebagai sebuah lembaga kemasyarakat yang berfungsi sebagai “penangkal” masyarakat dari pengaruh dunia luar. Selain itu, pengajian dijadikan sebagai wadah bagi masyarakat untuk mempererat tali silahturahmi serta sering diadakan pengumuman atau informasi tentang pembangunan. Menurut Soekanto (1970) seperti yang dikutip oleh Umiyati (1994) menyatakan bahwa lembaga kemasyarakatan adalah suatu sistem tata kelakukan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dan kehidupan masyarakat.
8
Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan bahwa masyarakat yang sudah berkohesi, kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi. Berbagai keadaan yang biasanya muncul sebagai akibat masyarakat yang berkohesi di antaranya adalah meningkatnya kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas yang dilaksanakan bersama. Kemauan ini timbul karena adanya keikatan dalam kelompok. Alih Fungsi Lahan Menurut Utomo et al. (1992) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensial lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh fakto-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu: 1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2. Konversi sistematik berpola „enclave‟; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. 3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan. 5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian. 7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh
9
pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia (Cristodoulou sebagaimana dikutip Wiradi 2000), yakni: 1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah. 2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas. 3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat. Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendirisendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah,yaitu: 1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan 3. Peningkatan jumlah penduduk Pakpahan, et al. (1993) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang. Alih fungsi lahan berarti juga suatu perubahan yang menyangkut aspek struktural hingga kultural suatu masyarakat. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dapat menyebabkan juga berbagai dinamika sosial didalamnya, penelitian yang dilakukan di Klaten pada Catur et al. (2010), dimana menunjukkan fakta bahwa lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi lahan perumahan dan lain sebagainya telah menyebabkan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten semakin menyusut (tingkat penyusutan lahan sawah = 0,53 persen/ tahun). Terjadinya penyusutan luas lahan sawah diikuti dengan pencetakkan lahan baru (tingkat pertumbuhan lahan tegal = 0,47 persen/ tahun). Penelitian yang dilakukan pada sekitar lima tahun lalu tersebut pada dasarnya menunjukkan, walaupun dalih pihak pemerintahn ingin mengembalikan wilayahnya pada sektor “pertanian”, alih fungsi lahan tetap terus berjalan dan
10
dalam persentase yang kerap lebih hebat. Contoh kasus di Klaten tersebut juga menunjukkan bagaimana pra dan pasca alih fungsi lahan ternyata menimbulkan dinamika sosial ekonomi yang kompleks, hal tersebut ditunjukkan dengan bagaimana suatu lahan yang dialihfungsikan menyebabkan masyarakatnya yang pada awalnya bertani harus berganti mata pencaharian menjadi sektor nonpertanian yang belum pasti. Kemudian Fahmi (2012) menambahkan bahwa proses alih fungsi lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang mempengaruhi pola nafkah seperti halnya yang terjadi di Kota Tangerang. Perubahan fungsi lahan berupa lahan pertanian menjadi rest area menyebabkan masyarakat yang dulunya petani berpindah menuju sektor perdagangan dan jasa. Proses perubahan mempengaruhi pola nafkah masyarakat, yaitu ada yang memilih untuk mencari pekerjaan tambahan, migrasi, atau bertahan dengan keterampilan yang dimiliki. Petani yang memilih mencari pekerjaan lain, pada umumnya melakukan pekerjaan pertanian dan non-pertanian (karyawan, tukang ojeg, dan lain sebagainya). Migrasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan petani. i Migrasi biasanya dilakukan secara keseluruhan oleh keluarga atau hanya kepala keluarga yang melakukan migrasi. Petani yang memiliki keterampilan rendah kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten. Alih fungsi lahan berarti juga suatu perubahan yang menyangkut aspek struktural hingga kultural suatu masyarakat. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dapat menyebabkan juga berbagai dinamika sosial didalamnya, penelitian yang dilakukan di Klaten pada Catur et al. (2010), dimana menunjukkan fakta bahwa lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi lahan perumahan dan lain sebagainya telah menyebabkan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten semakin menyusut (tingkat penyusutan lahan sawah = 0,53 persen/ tahun). Terjadinya penyusutan luas lahan sawah diikuti dengan pencetakkan lahan baru (tingkat pertumbuhan lahan tegal = 0,47 persen/ tahun). Penelitian yang dilakukan pada sekitar lima tahun lalu tersebut pada dasarnya menunjukkan, walaupun dalih pihak pemerintahn ingin mengembalikan wilayahnya pada sektor “pertanian”, alih fungsi lahan tetap terus berjalan dan dalam persentase yang kerap lebih hebat. Contoh kasus di Klaten tersebut juga menunjukkan bagaimana pra dan pasca alih fungsi lahan ternyata menimbulkan dinamika sosial ekonomi yang kompleks, hal tersebut ditunjukkan dengan bagaimana suatu lahan yang dialihfungsikan menyebabkan masyarakatnya yang pada awalnya bertani harus berganti mata pencaharian menjadi sektor nonpertanian yang belum pasti. Kemudian Fahmi (2012) menambahkan bahwa proses alih fungsi lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang mempengaruhi pola nafkah seperti halnya yang terjadi di Kota Tangerang. Perubahan fungsi lahan berupa lahan pertanian menjadi rest area menyebabkan masyarakat yang dulunya petani berpindah menuju sektor perdagangan dan jasa. Proses perubahan mempengaruhi pola nafkah masyarakat, yaitu ada yang memilih untuk mencari pekerjaan tambahan, migrasi, atau bertahan dengan keterampilan yang dimiliki. Petani yang memilih mencari pekerjaan lain, pada umumnya melakukan pekerjaan pertanian dan non-pertanian (karyawan, tukang ojeg, dan lain sebagainya). Migrasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan petani. Migrasi biasanya dilakukan secara keseluruhan oleh keluarga atau hanya kepala keluarga yang melakukan migrasi. Petani yang memiliki keterampilan rendah
11
kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten. Menurut Widjanarko. (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain: (1) Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. (2) Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial (3) Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya (4) Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah atau sengketa tanah (5) Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah tidak memuaskan hasilnya. Berdasarkan kelima poin tersebut, dapat terlihat bahwa tidak hanya terkait dengan aspek ekologis dan pangan, namun kembali isu alih fungsi lahan erat kaitannya dengan konflik dan segeregasi sosial. Interaksi Sosial Interaksi sosial dapat dipahami sebagai hubungan-hubungan sosial yang terbangun secara dinamis antar individu, antar kelompok, maupun antara individu dan kelompok (Soekanto 2010). Istilah interaksi sosial secara harfiah juga menunjukkan identitas hingga nilai-norma suatu kelompok. Interaksi tersebut kerap berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya atau antar masyarakat, konsep interaksi ini dapat bermakna sangat beragam. Interaksi antar komunitas atau masyarakat yang berbeda tidak akan lepas dari perbedaan penangkapan makna bersama (shared meaning), dan tidak jarang kondisi tersebut akan menimbulkan berbagai dinamika hingga konflik di dalamnya. Karena dalam proses interaksi sosial, ditunjukkan proses bagaimana suatu kelompok masyarakat memposisikan dirinya dihadapan kelompok yang lainnya, namun kerap kali suatu kelompok masyarakat tidak memperdulikan atau menganggap proses-proses dalam interaksi sosial sebagai suatu cara untuk memahami pihak lain dan upaya “menyatukan” diri mereka dalam kontruksi nilai dan norma bersama. Beberapa bentuk interaksi sosial yang terdapat dalam masyarakat (Soekanto 2010) sebagai berikut: 1. Interaksi Sosial Asosiatif, pada dasarnya merupakan interaksi sosial yang bermakna membangun atau saling menunjukkan peran dan kontribusi yang positif antar pihak yang berinteraksi. Interaksi asosiatif dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah kerjasama, yang dimaksudkan tersebut dapat berlangsung apabila individu dapat bergerak bersama lainnya untuk mencapai sebuah tujuan dan memiliki kesadaran bahwa tujuan tersebut memiliki manfaat bagi semua. Kerjasama dapat terjadi
12
dalam bentuk tolongmenolong, gotong-royong, dan musyawarah. Bentuk lainnya adalah asimilasi, atau sebuah proses yang ditandai dengan adanya usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses mental untuk mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perorang, antar kelompok dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama, kondisi tersebut dapat terbangun apabila salah satu pihak yang berasal dari berbeda kelompok saling berhubungan dan berkumpul bersama, sering mengikuti pola atau “gaya” kelompok tersebut, dan lain-lain. 2. Interaksi Sosial Disosiatif, pada dasarnya merupakan interaksi sosial yang bermakna destruktif atau saling menunjukkan peran dan kontribusi yang negatif antar pihak yang berinteraksi. Interaksi disosiafif erat kaitannya dengan persaingan, perselisihan halus akibat perbedaan pendapat atau dapat juga berbentuk pertikaian yang konfrontatif. Persaingan terjadi karena usaha untuk mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum. Sebuah persaingan berkaitan erat dengan kepribadian seseorang, kemajuan masyarakat, solidaritas kelompok, dan disorganisasi. Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau tindak kekerasan. Pada penelitian Handayani (1992), perubahan aspek perekonomian di Desa Karang Asem Timur kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor mengakibatkan perubahan pola interaksi masyarakat. Pada awalnya aspek perekonomian mereka agraris tetapi perlahan-lahan berubah menjadi industri karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (industri). Tejadi perubahan pola nafkah pada komunitas yang kemudian berimplikasi kepada berubahnya interaksi sosial pada komunitas. Interaksi dengan masyarakat lebih rendah dibanding dengan interaksi anggota komunitas dengan keluarganya sendiri. Pada penelitian (Umiyati 1994) menunjukkan bahwa interaksi dengan masyarakat di sekitar lebih tinggi daripada interaksi dengan keluarga. Disebabkan adanya mata pencaharian yang homogen, sehingga di tempat kerjapun mereka dapat berinteraksi. Mata pencaharian dan waktu luang yang dimilki relatif sama maka tingkat frekuensi dalam keluarga mereka tergolong tinggi Kuatnya interaksi dalam keluarga dibandingkan dengan masyarakat di sekitar (tetangga) menunjukkan bahwa di Desa Karang Asem Timur telah muncul sifat individualisme yang lebih mementingkan kehidupan pribadinya dibandingkan dengan masyarakat di sekitar. Di Desa Karang Asem Timur perasaan saling bergantung pada anggota masyarakat sudah mulai berkurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan norma atau sistem nilai dari sifat gotongroyong dan kebersamaan kepada sifat individualitis. Namun berbanding terbalik dengan kondisi di Desa Padasuka, justru interaksi dengan masyarakat di sekitar (tetangga) lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga. Dengan hadirnya pembangunan perumahan BTN menyebabkan aspek perekonomian menjadi maju, adanya pendatang, dan berdampak peningkatan taraf hidup serta mata pencaharian menjadi beragam sehingga menimbulkan nilai atau norma baru pada masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat terhadap kegiatan pengajian meningkat yang disebabkan oleh kesadaran untuk membentengi diri terhadap pengaruh dari luar. Frekuensi dan intensitas pengajian yang semakin sering dijadikan oleh
13
masyarakat sebagai wadah untuk bersilahturahmi dan berinteraksi dengan masyarakat di sekitar .
Kerangka Analisis Peningkatan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan
Alih Fungsi Lahan
Perubahan Pola Nafkah - Non Farm - Off Farm - On Farm
Interaksi Sosial Komunitas - Intensitas - Bentuk
-
Tingkat Kohesi Sosial (Sense Of Community) Pemenuhan Kebutuhan Keterlibatan Anggota Memberikan Pengaruh Berbagi Kontak Emosional
Aksi Kolektif -Jenis - Keterlibatan - Peran
: Berhubungan tanah dalam memenuhi kebutuhan penduduk atas tempat tinggal (pemukiman) menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hal tersebut disebabkan oleh kota tidak lagi dapat menampung jumlah penduduk yang padat sehingga pemerintah mengambil langkah dengan mengkonversi lahan pertanian ke non pertanian di daerah pedesaan. Hal tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Oleh karena itu, alih fungsi lahan berpengaruh pada perubahan pola nafkah komunitas pedesaan yang kemudian berdampak pada aspek perekonomian masyarakat sehingga dapat menjadi ruang masuk bagi nilai atau norma baru ke dalam sebuah komunitas. Perubahan tersebut mempengaruhi interaksi antar warga komunitas yang dilihat dari intensitas, frekuensi, dan kualitas interaksi. Interaksi sosial merupakan faktor yang membentuk kohesi sosial di antar komunitas. Tingkat kohesi sosial dyang dilihat dari (sense of community) dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan, keterlibatan
14
keanggotaan, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. Kohesi sosial yang telah terbentuk akan mempengaruhi pada keterlibatan anggota komunitas pada aksi kolektif.
Gambar 1 Kerangka Pemkirian
Hipotesis Diduga tingkat kohesi sosial memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif. Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Karakteristik komunitas adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada suatu komunitas. Karakter komunitas dapat dilihat dari: a. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun pada saat dilaksanakan penelitian. b. Jenis kelamin adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Jenis kelamin dinyatakan dalam dua jenis yaitu: 1. Laki-laki 2. Perempuan c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi: 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD/sederajat 3. Tamat SMP/sederajat 4. Tamat SMA/sederajat 5. Diploma/Sarjana d. Penguasaan lahan sawah adalah luas areal lahan sawah yang dikuasai oleh responden saat ini. Penguasaan lahan sawah dikategorikan menjadi: 1. Tidak mempunyai tanah 2. Berlahan sempit (0-0,25 ha) 3. Berlahan sedang (0,25-0,5 ha) 4. Berlahan luas (> 0,5 Ha) e. Jenis mata pencaharian utama adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden yang memberi pendapatan terbesar. Jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi: 1. Petani
15
2. Pedagang 3. Wiraswasta 4. PNS 5. Tukang Ojek f. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden selama bekerja. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi: 1. Rendah, pendapatan < Rp 1.000.000,2. Sedang, pendapatan antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000 3. Tinggi, pendapatan > Rp 2.000.000 2. Alih fungsi lahan adalah adanya penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian maupun seluruhnya. Alih fungsi lahan dikelompokkan menjadi: 1. Seluruhnya, responden menjual seluruh lahan yang dimiliki (skor 1) 2. Sebagian, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 2) 3. Seperempat, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 3) 3. Perubahan pola nafkah adalah perubahan jenis sumber nafkah dari pertanian ke non pertanian. Perubahan pendapatan adalah perubahan jumlah uang yang diterima oleh responden. Pendapatan dibedakan menjadi: 1. Lebih tinggi 2. Sama saja 3. Lebih rendah 4. Interaksi sosial adalah interaksi secara tatap muka yang terjadi di antara responden dengan lingkungan sosialnya dalam sebuah komunitas dan dilihat dari : 1. Intensitas interaksi adalah lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan interaksi tatap muka serta keterlibatannya antara responden dengan lingkungan sosial. Intensitas dikategorikan menjadi: 1) Intensitas interaksi rendah, satu kali dalam seminggu dan pada hari libur saja (skor 3) 2) Intensitas interaksi sedang, dua kali seminggu dan pada harihari terntentu saja (skor 4-5) 3) Intensitas interaksi tinggi, lebih dari dua kali seminggu dan pada hari kerja (skor 6) 2. Bentuk interaksi adalah aktivitas yang dilakukan anggota dalam komunitas. Dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu kerjasama, konflik, persaingan dengan jawabannya ya dan tidak. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Gambaran tentang total interaksi dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah, sebagai berikut : Tinggi : skor 11-21 Sedang : skor 22-32 Rendah: : skor 33-44
16
5.
Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas. Menurut Chavis et al. (2008) kohesi sosial diukur dengan menggunakan empat indikator yaitu Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan), Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), Influence (memberikan pengaruh) dan Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional). a. Reinforcement of needs (pemenuhan kebutuhan): kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. b. Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas): orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. c. Influence (memberikan pengaruh): kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. d. Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional): Anggotaanggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun. Terdapat 24 pernyataan pada Sense of Community Index version 2/SCI-2 (Chavis et al. 2008) yang digunakan pada penelitian ini. Kemudian diberikan skor sebagai berikut: 1. Tidak sama sekali (diberi skor 1) 2. Jarang (diberi skor 2) 3. Sering (diberi skor 3) 4. Selalu (diberi skor 4) Gambaran tentang kohesi sosial pada rasa kebersamaan (sense of community) dalam konteks alih fungsi lahan dapat dikategorikan berdasarkan rata-rata skor dari setiap indikatornya. Kemudian ratarata tersebut dijumlahkan dan dibagi 4. Jika hasil nilai diatas 2 maka kohesi sosial tinggi dan jika dibawah 2 maka kohesi sosial rendah. Tinggi : skor 24-59 Rendah : skor 60-96
6. Aksi Kolektif a. Aksi kolektif yaitu tindakan bersama yang diakukan oleh anggota komunitas. Aksi kolektif terdiri atas: 1. Jenis: bentuk kegiatan dari aksi kolektif yang dilakukan oleh anggota komunitas. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Terdapat jenis-jenis aksi kolektif sebagai berikut: a. Kerja bakti (gotong royong) b. Musyawarah c. Tolong menolong (kematian, kawinan, hajatan) d. Pengajian
17
e. Lainnya 2. Keterlibatan: keikutsertaan anggota komunitas pada aksi kolektif. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Keterlibatan dalam aksi kolektif sebagai berikut: a. Menyumbang uang, responden hanya menyumbangkan uang dalam setiap kegiatan b. Menyumbang tenaga, responden hanya menyumbangkan tenaga dalam setiap kegiatan c. Menyumbang ide, responden hanya menyumbangkan ide dalam setiap kegiatan 3. Peran: posisi anggota komunitas pada aksi kolektif. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Peran dalam aksi kolektif sebagai berikut: a. Inisiator, responden yang memiliki inisiatif b. Pengikut, responden hanya bertindak sebagai anggota yang mengikuti arahan Gambaran tentang aksi kolektif dapat dikategorikan menjadi tinggi dan rendah, sebagai berikut : Tinggi : skor 10-25 Rendah : skor 26-40
18
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian Pendekatan penelitian menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan kuisioner kepada responden. Kuesioner penelitian disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya. Data kualitatif dilaksanakan dengan observasi, dan studi dokumentasi terkait. Selain itu, untuk informasi lebih mendalam dan memperjelas gambaran tentang keadaan sosial dilakukan beberapa wawancara mendalam dengan informan yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RW, ketua RT, staff kelurahan, dan tetua di kampung. Jenis & Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan dan melalui metode survei dengan kuisioner. Kuisioner diisi responden dengan pendampingan. Selain itu, diperlukan juga data sekunder yakni data yang diperoleh melalui data-data yang sudah tersedia di desa seperti profil desa, data monografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistik mengenai potensi desa. Penelitian juga melakukan penelusuran pustaka dan dokumen lain yang terkait dengan topik penelitian.
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) karena beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: 1. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang jarang diteliti. 2. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah sub urban (transisi dari desa ke kota). Pada awalnya dibawah pemerintahan Kabupaten Bogor sebagai desa, namun dengan adanya pemekaran Kota Bogor dan Perda No. 9 tahun 2001, maka Desa Mulyaharja masuk ke dalam wilayah Kota Bogor dan berubah status menjadi Kelurahan. 3. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan perumahan mewah yakni BNR (Bogor Nirwarna Residence) milik developer PT. Bakrieland dan Perumahan Telkom. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu terhitung sejak awal bulan Februari 2016 sampai bulan Juli 2016. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Selama penelitian berlangsung, pengumpulan data dan informasi dilakukan oleh peneliti melalui interaksi
19
langsung dengan warga komunitas di Kampung Pabuaran yang menjadi responden dan berberapa pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini. Teknik Penentuan Responden dan Informan Populasi penelitian adalah masyarakat di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah warga komunitas yang pernah menjual lahan pertanian ke non pertanian dan berusia 40-50 tahun. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik accidental sampling, karena sulit mengetahui berapa besar populasi anggota yang pernah menjual lahan pertanian. Jumlah responden yang diambil adalah 35 responden, sedangkan informan adalah orang-orang di sekitar komunitas yang mengetahui tentang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti tokoh-tokoh masyarakat dan dinas terkait. Teknik Pengumpulan Data Responden diwawancarai dengan menggunakan kuisioner, namun untuk mengatasi kesulitan responden dalam memahami data yang diminta maka dalam mengisi kuisioner didampingi oleh peneliti. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan wawancara pada beberapa informan yang mengetahui mengenai alih fungsi lahan yang terjadi. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas meskipun data diperoleh dari individu. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan aplikasi SPSS for windows 20.0 dengan pengodean dan memberikan nilai dari jawabanjawaban yang terdapat dalam kuisioner. Untuk mengetahui hubungan tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif digunakan pengukuran dengan rank spearman. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk memperdalam analisis pada data-data kuantitatif dengan mereduksi hasil wawancara mendalam dengan para responden dan informan. Tujuan dari reduksi data ini adalah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tiak perlu. Penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca dalam sebuah laporan. Penyajian data berupa narasi, diagram, kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Verifikasi dilakukan dengan mendiskusikan hasil olahan data kepada responden dan informan. Seluruh hasil penelitian dituliskan dalam rancangan skripsi.
20
GAMBARAN UMUM LOKASI Kelurahan Mulyaharja Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan Mulyaharja memiliki ciri dan karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif territorial, kehidupan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimana Kelurahan Mulyaharja dulunya merupakan salah satu Desa dibawah pemeritahan Kabupaten Bogor. Dengan adanya pemekaran Kota Bogor (PP No. 2 tahun 995 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1995 pada tanggal 24 Agustus 1995 tentang perubahan batas-batas wilayah Kotamadya DT. II Bogor) dan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2001 tentang perubahan Desa menjadi Kelurahan, maka Desa Mulyaharja masuk ke dalam wilayah Kota Bogor dan berubah status menjadi Kelurahan pada tanggal 01 September 2001. Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 8 Km dengan jarak tempuh waktu 20 menit, sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 8 Km dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Jarak ke pusat Ibu Kota provinsi Jawa Barat yaitu 80 Km. Jarak ke pusat Ibu Kota Negara yaitu 60 Km. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat. Letak geografis di Kelurahan Mulyaharja dengan ketinggian tanah dari permukaan laut kurang lebih 1500 m dpl. Curah hujan sebesar 4000 mm. Suhu udara rata-rata mencapai 25-37o C. Kelurahan Mulyaharja luasnya kurang lebih 477 hektar. Berikut adalah Tabel 1 yang menunjukkan penggunaan lahan di Kelurahan Mulyaharja. Tabel 1 Sebaran Luas Wilayah menurut peggunaan di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015 Luas Wilayah Luas (Ha) Pemukiman 367 Pekuburan 5 Pertanian 90 Taman 5 Pekantoran 1 Total 477 Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015
Jumlah penduduk di Kelurahan Mulyaharja mencapai 17.658 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 9.082 jiwa dan perempuan sebanyak 8.576. Jumlah kepala keluarga di Kelurahan Mulyaharja mencapai 4.792 jiwa. Lembaga kemasyarakatan dalam bentuk rukun tetangga ada sebanyak 55 RT, sedangkan rukun warga ada sebanyak 12 RW. Namun usia produktif tidak sebanding dengan keterampilan yang dimiliki oleh penduduk di Mulyaharja, mayoritas warga disana
22
merupakan lulusan dibawah Sekolah Menengah Atas sebanyak 754 jiwa. Oleh karena itu pekerjaan disana tidak beragam. Tabel 2 Sebaran penduduk menurut tingkat usia dan jenis kelamin di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015 Umur L P Jumlah 0-14 tahun 2.968 2.905 5.873 15-64 tahun 5.801 5.492 11.302 >65 tahun 313 179 492 Jumlah 9.082 8.576 17.667 Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015
Berdasarkan tabel sebaran penduduk yang diolah menurut 3 golongan yakni usia muda dari 0-14 tahun sebanyak 5.873 jiwa, usia produktif dari 15-64 tahun sebanyak 11.302, dan usia tua sebanyak 492 jiwa. Dahulu, mata pencaharian warga komunitas Kelurahan Mulyaharja sebagian besar adalah petani. Tradisi pertanian pun masih terasa di wilayah ini, sebelum menanam dan pada saat panen biasanya petani sering mengadakan acara selamatan agar proses menananm dan panen berjalan lancar. Selain itu, ada tradisi yang dinamakan liuran. Liuran merupakan tradisi gotong royong diantara sesama petani dengan cara membantu pada saat menanam dan saat panen. Namun semakin lama tradisi tersebut hilang karena sudah tidak ada lahan untuk merayakannya. Alih fungsi lahan yang marak terjadi saat ini, menyebabkan banyak penduduk Kelurahan Mulyaharja yang beralih profesi ke sektor non-pertanian, seperti home industry, buruh, berdagang pertukangan, ojek dan lain-lain. Tabel 3
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kelurahan Mulyaharja pada tahun 2015
Bidang usaha
n
%
Buruh Wiraswasta Pegawai swasta Lain-lain PNS Pedagang Petani TNI/POLRI Belum bekerja
6.214 3.714 2.000 516 238 174 127 39 4.645
35,2 21,4 11,3 2,8 1,7 1,2 0,9 0,2 26,3
Total
17.667
100,0
Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015
Tabel 3 menunjukan bahwa 47,6 persen mayoritas mata pencaharian di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh. Wiraswasta (home industry) yang bergerak
23
di bidang pengrajin dan bengkel sandal menempati urutan kedua yakni sebesar 28,4 persen. Warga yang bekerja di swasta berada diurutan ketiga yakni sebesar 15,3 persen. Sedangkan warga komunitas yang berprofesi sebagai petani hanya 0,9 persen. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang mengakibatkan petani kehilangan lahannya, namun karena developer belum memaksimalkan lahan tersebut untuk pembangunan perumahan, petani masih dapat menggarap lahan seadanya atau bekerja menjadi buruh tani pada lahan orang lain. Selain itu, merubah cara pandang masyarakat dengan meninggalkan pekerjaan di sektor pertanian yang penghasilannya tidak cukup ke sektor non pertanian. Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama di Kelurahan Mulyaharja Agama n % Islam 16.339 96 Kristen 364 2 Katolik 175 1 Hindu 9 0,14 Budha 80 0,86 Total 17.667 100,0 Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015
Pada tabel 4 menjelaskan bahwa mayoritas komunitas di Kelurahan Mulyaharja menganut agama islam yakni sebesar 96 persen. Hampir sebagian besar warga komunitas masih menganut agama islam fanatik yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku mereka sehari-hari. Mereka juga berpegangan teguh dengan nilai-norma yang sudah diyakini dari leluhur mereka, seperti tidak memiliki televisi, tidak menggunakan alat-alat pengeras suara, wanita memakai celana masih dianggap tabu, dan lain-lain. Selain itu, hanya 2 persen warga komunitas yang menganut agama kristen dan 1 persen yang menganut agama kristen katolik. Selebihnya tidak mencapai dari 1 persen warga komunitas yang menganut agama hindu dan budha. Kampung Pabuaran Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, kampung Pabuaran dinamai oleh para leluhur yang berasal dari kata buyar yang meimiliki arti bubar, pecah, atau terpisah-pisah. Mereka meramalkan bahwa suatu saat kampung ini akan pecah atau terpisah-pisah, hal ini terbukti jika dikaitkan dengan kondisi kampung ini sekarang yang penduduknya terpisah-pisah akibat maraknya konversi lahan yang menyebabkan banyak penduduk yang pindah ke luar kampung dan ada pula yang terkena konversi lahan lalu pindah ke kampung pabuaran. Sebagian lahan pertanian yang ada di Kampung Pabuaran dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukahrja, Cikaret, Kota Batu, Pamoyanan, dan lain-lain. Dahulu, mayoritas penduduk di kampung ini bermata pencaharian sebagai petani, tetapi sekarang jumlah lahan pertanian pun semakin berkurang karena banyak lahan pertanian di wilayah ini sudah dimiliki oleh swasta, jumlah petani
24
pun semakin berkurang. Walaupun masih ada yang bertahan pada sektor pertanian, tapi jumlahnya sangat kecil dan mayoritas petani yang bertahan adalah petani penggarap. Mereka ada yang menggarap lahan milik swasta yang belum dibangun. Sebagian besar penduduk kampung ini beralih profesi ke sektor nonpertanian seperti home industry sandal, buruh, berdagag, ojek, dan pertukangan. Tahun 1994 PT XY mulai memasuki kampung ini. PT XY merupakan salah satu perusahaan terbesar yang bergerak di bidang property. Dalam menjalankan usahanya, PT Bakrieland membeli lahan-lahan yang ada di wilayah ini untuk dijadikan kawasan perumahan. Hal tersebut berdampak kepada harga lahan yang melonjak tajam, yang semula harganya murah hingga bisa menjadi 10 kali lipat. Namun letak tanah juga sangat berpengaruh pada harga jual, semakin strategis maka semakin mahal. PT XY melakukan segala cara untuk meyakinkan warga komunitas untuk dapat menjual tanah kepada mereka. Salah satunya adalah dengan membeli tanah yang berlokasi di pinggir kemudian bagian tersebut di tembok tinggi. Hal ini menyebabkan petani yang posisi lahannya berada di tengah-tengah akan terkurung yang berdampak kepada mereka tidak bisa menggarap lahan tersebut pada akhirnya ikut menjual lahannya. Kampung Pabuaran pada awalnya memiliki 5 RT, tetapi sekarang jumlah RT yang ada hanya 4, yaitu RT 01, RT 02, RT 03, RT 04 sedangkan RT 05 sudah tidak ada karena lahannya sudah habis terkena konversi yang menyebabkan warganya pindah bahkan keluar kampung. Kondisi lingkungan dari Kampung terlihat sangat berbanding terbaik dengan kemegahan dari perumahan BNR beserta fasilitas pendukung lainnya. Kampung Pabuaran terletak persis dibelakang dari restoran Rumah Air dan Junglefest yang merupakan fasilitas yang disediakan oleh BNR. Di RT 01 RW 06 yang dilalui oleh jalan aspal terlihat kondisi rumah yang sudah ditembok dan mayoritas adalah pengrajin sandal (home industry) jadi banyak ditemukan bengkel-bengkel sandal untuk berproduksi. Penduduk dengan ekonomi kalangan menengah keatas. Tetapi rumah tetap padat dan berdempetan. Sedangkan di RT 02 RW 06 dengan karateristik warganya ekonomi menengah tetapi tetap sama padat penduduk dan berdempetan rumah-rumahnya sudah masuk ke dalam gang dan berlantaikan semen. Di RT 03 RW 06 dengan penduduk yang ekonomi ke bawah sudah mulai memprihatinkan karena jalannya masih tanah dan terlihat seperti kumuh. Rumah-rumahnya pun ada beberapa yang masih memakai bambu dan disekitar sungai. Tingkat pendidikan penduduk Kampung Pabuaran mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar. Pedapatan di sektor pertanian pun tergolong rendah. Dahulu, walaupun pendapatan pada sektor pertanian tidak begitu tinggi, tapi orang yang bermata pencaharian petani masih tergolong banyak. Tetapi sekarang, orang banyak beralih profesi ke sektor non-pertanian seperti Home Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan, dan lain-lain. Home Industry sendal adalah bidng usaha yang paling banyak ditemukan di Kampung ini. Mereka menjadikan pertanian sebagai usaha sampingan.
25
“Disini mah sawahnya udah pada dijual ke BNR, lagian penghasilan dari sawah juga Cuma sedikit. Mendingan nerusin usaha sendal aja penghasilannya lumayan” (Ud, wiraswasta, 50 tahun)
26
KARAKTERISTIK RESPONEDEN Umur Responden Umur responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Umur responden dikategorikan menjadi kurang dari 40 tahun hingga lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, umur responden berada pada rentang 35 tahun hingga 80 tahun dengan rata-rata umur responden 55 tahun. Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur disajikan dalam tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur Umur n <40 5 40-50 9 >50 21 Jumlah 35
% 14,3 25,7 60 100,0
Sumber: Data Primer
Tabel 5 menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah kategori umur lebih dari 50 tahun yaitu 60 persen responden. Hal ini disebabkan masyarakat Kelurahan Mulyaharja ramai menjual tanah dalam 10 tahun terakhir yang menyebabkan pada tahun ini responden berada pada usia lanjut atau tua (> 40 tahun). Responden yang berumur 40-50 tahun sebanyak 25,7 persen, sedangkan yang kurang dari 40 tahun adalah yang jumlahnya paling sedikit yakni sebanyak 14,3 persen. Pada umumnya yang berusia pada kategori tersebut mempunyai lahan yang berasal dari warisan orang tua atau milik keluarga yang di kelola bersama yang kemudian dijual. Keadaan ini terjadi karena tuntutan ekonomi keluarga, mempertahankan status keluarga demi gengsi di mata masyarakat lainnya karena dengan memiliki lahan merupakan sebuah prestige yang dinilai oleh masyarakat lainnya., keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan bersamaan dengan adanya pembangunan perumahan BNR (Bogor Nirwarna Residence).
Jenis Kelamin Jenis kelamin responden adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Jenis kelamin digolongkan menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam data potensi desa sudah disebutkan bahwa di Kelurahan Mulyaharja penduduk paling tinggi adalah lakilaki.
27
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin n % 25 71,4 Laki-laki 10 28,6 Perempuan Jumlah 35 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 6 menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah laki-laki sebesar 71,4 persen sedangkan perempuan sebesar 28,6 persen. Kondisi tersebut disebabkan oleh sebagian besar dari warga komunitas yang pernah menjual lahan adalah laki-laki karena mereka merupakan kepala rumah tangga yang mengambil keputusan atas rumah tangganya serta perempuan menurut atas keputusan kepala rumah tangga. Namun persentase rendah terhadap perempuan disebabkan oleh mayoritas warga komunitas di Kampung Pabuaran memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan golongan ekonomi menengah ke bawah yang menyebabkan perempuan dianggap tidak bisa mengambil keputusan, bagi beberapa responden perempuan yang mampu menjual lahan. Lahan berasal dari warisan keluarganya atau suami mereka yang bekerja di luar kampung sehingga mengambil peran dalam pengambilan keputusan di rumah.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden adalah jenis pendidikan/sekolah yang pernah diikuti oleh responden. Sebanyak 74,3 % responden berada pada kategori tingkat pendidikan tamat SD. Tingkat pendidikan yang rendah di Kelurahan Mulyaharja disebabkan oleh pada umumnya masyarakat disana tidak memprioritaskan pendidikan karena tuntutan ekonomi dan pada masa itu sebagian besar memilih belajar di sekolah rakyat. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu alasan rendahnya tingkat pendidikan orang-orang disana. Masyarakat yang masih fanatik dengan agama yang lebih memilih mendalami ilmu agama dibandingkan dengan pendidikan sekolah formal sehingga kesadaran akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Masyarakat berpikir bahwa ketika sudah lulus SD dapat langsung bekerja di sawah atau membantu perekonomian keluarga. Kemudian responden dengan tidak sekolah memiliki nilai sebesar 11,4 persen. Selanjutnya responden dengan tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA ( Sekolah Menengah Atas) memiliki nilai persentase sebesar 5,7 persen. Sedangkan yang merupakan lulusan dari diploma/sederajat hanya pada 1 orang responden. Hal tersebut sejalan dengaan yang diungkapkan salah satu responden yang merupakan mantan ketua RT bahwa dahulu pada saat zaman kemerdekaan sekolah dasar bernama sekolah rakyat dan setelah lulus langsung bekerja membantu keluargaya.
28
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan n % Tidak sekolah 4 11,4 Tamat SD 26 74,3 Tamat SMP 2 5,7 Tamat SMA 2 5,7 Diploma/Sarjana 1 2,9 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Penguasaan Lahan Sawah Penguasaan lahan sawah adalah jumlah luas areal sawah yang dikuasai oleh responden saat ini. Kategori dalam penguasaa lahan ini didapatkan dari ukuran yang diperoleh dari data lapang. Responden yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar dianggap menjadi tuan tanah atau termasuk golongan orang kaya. Pola penguasaan lahan di Kelurahan Mulyaharja disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penguasaan lahan Penguasaan Lahan n % Tidak memiliki tanah 2 5,8 sempit (0-0,25 ha) 32 91,4 sedang (0,25-0,5 ha) 1 2,8 luas (> 0,5 ha) 0 0 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 8 menunjukan responden yang paling banyak adalah responden dengan kelompok bertanah sempit dengan ukuran 0 - 0,25 hektar sebesar 91,4 persen. Tidak ada responden yang mempunyai lahan dengan kategori luas di atas 0,5 hektar. Kondisi ini disebabkan oleh penguasaan lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja tidak terlalu luas karena lahannnya sudah dibagi-bagi kepada keluar atau saudara yang memiliki hubungan darah. Sedangkan bagi responden dengan kelompok tidak bertanah yakni orang-orang yang tidak lagi menjadikan lahan sawah sebagai tempat mata pencahariannya melainkan beralih kepada home industry sandal. Selain itu, mereka yang menjual lahannya dan tidak menginvestasikan pendapatannya pada lahan melainkan menjual untuk kepentingan bisnis dan kepentingan keluarga. Bagi responden yang memiliki luas lahan sedang yakni orang atau petani kaya umumnya suka membeli tanah dan jumlahnya bertambah setiap tahun.
29
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden selama bekerja. Tingkat pendapatan dikelompokkan berdasarkan data lapang yang diperoleh. Pendapatan utama berasal dari sektor pertanian yang jumlahnya tidak terlalu besar. Terutama bagi responden dengan kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki keterampilan lain di luar sektor pertanian. Hal ini karena luas lahan pertanian yang semakin sempit dan terkendala pada usia yang sudah tidak produktif untuk bekerja. Walapun pendapatan di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, namun masih ada warga yang tetap bertahan pada sektor ini.
Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan Tingkat Pendapatan n % Tinggi 10 28,5 Sedang 8 22,9 Rendah 17 48,6 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden yang paling banyak adalah tingkat pendapatan rendah kurang dari Rp 1.000.000, kondisi tersebut disebabkan oleh warga yang bekerja sebagai buruh tani atau serabutan serta usia yang sudah tidak produktif lagi. Sedangkan bagi responden dengan tingkat pendapatan warga komunitas yang paling sedikit yakni lebih dari Rp 2.000.000. Responden dengan pendapatan tersebut biasanya yang memiliki lahan di beberapa daerah, memiliki usaha sandal atau bengkel sandal yang sudah beproduksi dengan keuntungannya yang tinggi dan memperjual-belikan tidak hanya di Bogor melainkan daerah-daerah luar Bogor. Selain itu, responden dengan tingkat pendapatan sedang sebesar 8 persen. Responden dengan pendapatan tersebut mengakui memiliki usaha atau tingkat ekonomi yang sedang-sedang saja. Jenis Mata Pencaharian Utama Alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian. Sebagian besar responden yang dulunya bermata pencaharian utama sebagai pertani, sekarang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian. Jenis mata pencaharian utama adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden sebagai hasil pendapatan utama. Jenis pekerjaan dikelompokkan berdasarkan data yang diperoleh di lapang dengan mengacu pada data potensi desa yang dimiliki oleh Kelurahan Mulyaharja berdasarkan pada tahun 2015. Jenis pekerjaan utama responden dapat dilihat pada tabel berikut.
30
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian utama Mata Pencaharian Utama n % Wiraswasta 13 37,1 Petani/ Buruh 8 22,8 IRT 5 14,4 Pedagang 4 11,4 Serabutan 3 8,5 PNS/TNI/POLRI 1 2,9 Karyawan Swasta 1 2,9 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Wiraswasta atau pengrajin sendal merupakan mata pencaharian utama responden pertama bagi masyarakat kampung Pabuaran. Hal ini disebabkan oleh pengrajin sendal di Kampung Pabuaran merupakan pekerjaan yang turunmenurun. Selain itu, kondisi tersebut didukung oleh berkurangnya lahan pertanian bagi petani untuk menggarap sawah yang berubah menjadi perumahan BNR (Bogor Nirwarna Residence). Pada tahun 1994 sebelum Mulyaharja mengalami pembebasan lahan, responden bekerja sebagai petani atau buruh tani tetapi karena keadaan yang mendesak dan keterbatasan lahan sawah membuat mereka melakukan usaha lain untuk tetap memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga seharihari. Ibu rumah tangga dianggap juga sebagai pekerjaan karena melakukan pekerjaan domestik di rumah, bagi warga komunitas di Kampung Pabuaran dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kefanatikan pada agama masih tinggi, perempuan dianggap tidak boleh bekerja. Namun diperbolehkan untuk membuka warung atau berdagang. Pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang tinggi hanya dilakukan oleh sedikit warga komunitas. Pemilihan bidang pekerjaan ini didasarkan pada norma yang berlaku pada komunitas, walaupun di daerah Kampung pabuaran berbatasan langsung dengan tempat hiburan yang masuk dalam wilayah BNR tetapi menurut keterangan beberapa warga di komunitas tidak ada salah satu warganya yang ikut atau tergabung dalam tempat hiburan tersebut.
Jenis Mata Pencaharian Sampingan Alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian. Sebagian besar responden yang dulunya bermata pencaharian utama sebagai pertani, sekarang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian. Jenis mata pencaharian sampingan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden sebagai hasil pendapatan sampingan. Jenis pekerjaan dikelompokkan berdasarkan data lapang yang diperoleh. Jenis pekerjaan utama responden dapat dilihat pada tabel berikut.
31
Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian sampingan Mata Pencaharian n % Warung 4 11,4 Tukang bangunan 1 2,9 Lainnya 6 17,1 Tidak ada pekerjaan sampingan 24 68,6 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 11 menunjukan bahwa sebesar 68,6 persen responden tidak memiliki pekerjaan sampingan. Adapun yang memiliki pekerjaan sampingan seperti membuka warung, tukang bangunan, dan buruh tani. Dalam hal ini yang menjadikan usaha membuka warung sebesar 11,4 persen yang biasanya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan dari karakteristik usia yang sudah tidak produktif lagi dan merasa kecukupan dengan kondisi ekonomi yang ada. “Ya saya mah percaya aja sama rezeki dari Allah. Kalo ga ada rezeki ya udah, kalo ada rezeki ya besyukur aja lagian buat modal bikin usaha lagi ga ada” (UC, buruh, 51 tahun)
ALIH FUNGSI LAHAN DI PEDESAAN Menurut Utomo et al. (1992) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensial lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktofaktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Pada kasus di Kelurahan Mulyaharja faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan yakni menurut Pakpaham et al. (1993) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) adalah faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan peduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Dalam hal ini Kelurahan Mulyaharja yang merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2001, sebelumnya merupakan desa dan sekarang secara administratifsudah berubah menjadi kelurahan sedang berusaha menggiatkan pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. Alih fungsi lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja khususnya di Kampung Pabuaran dimulai sejak tahun 1987. Pada saat itu pembebasan lahan dilakukan oleh PT Pasir Wangun kurang lebih 90 hektar. Selain itu, pada tahun 1994 kembali ada PT yang memasuki wilayah Mulyaharja namun maraknya alih fungsi lahan terjadi di tahun 2007 dengan pengembang dari PT Bakrienland yang merupakan pengembang untuk perumahan Bogor Nirwarna Residence sebesar kurang lebih 90 hektar. Dalam melakukan transaksi jual beli lahan tersebut PT menggunakan perantara Biong sehingga dapat memuluskan proses transaksi jual beli lahan tersebut. Cara yang dilakukan dengan mengiming-imingi masyarakat untuk dapat menjual lahannya kepada mereka. “Dulu pas saya disuruh jual tanah ke BNR ya katanya sih anak-anak saya nanti dapet biaya sekolah gratis sama kalo punya keluarga yang kerja bisa kerja di BNR, tapi ini udah 10 tahunan hidup saya sama warga lainnya masih sama aja malah ga ada ngaruhnya dari BNR” (AS, Ibu rumah tangga, 48) Namun strategi yang dilakukan oleh pihak pengembang yakni dengan membeli tahan warga dengan nilai yang lebih tinggi dari seharusnya. Tuntutan ekonomi yang tinggi membuat warga mengambil keputusan untuk menjualnya, lagipula hasil pertanian menurut mereka tidak memberikan pendapatan yang tinggi bagi keluarga.
33
“Saya mau menjual tanah soalnya dibeli sama BNR mahal, kan uangnya bisa dipake buat benerin rumah, modal usaha, buat kebutuhan keluarga lainnya ya atau beli tanah lagi di daerah Cihideung yang lebih murah lumayan kan buat tabungan neng soalnya anak ibu ada 4.” (IM, ibu rumah tangga, 46 tahun) Pembangunan dimulai dengan pembangunan perumahan hingga fasilitas pendukung seperti tempat rekreasi jungle waterpark. Kemudian pada tahun 2010 disusul dengan beberapa fasilitas pendukung lainnya seperi hotel dan restaurant Rumah Air. Namun ada beberapa tanah kosong yang belum dibangun karena alasan yang tidak jelas dari pihak developer. Kondisi tersebut dimanfaatkan bagi warga komunitas untuk digunakan sebagai lahan pertanian walaupun kondisinya tidak sebagus dahulu. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peruntukan alih fungsi lahan Peruntukkan Lahan n % Perumahan 33 95 Lainnya 2 5 Total 35 100 Sumber: Data Primer
Tabel 12 menunjukkan bahwa lahan yang dijual oleh warga komunitas Kampung Pabuaran 95 persen diperuntukkan untuk perumahan BNR, namun hanya 5 persen yang diperuntukkan untuk lainnya seperti Jungle Waterpark, Jungle Fest hotel, dan restaurant yang merupakan fasilitas pendukung dari developer sebagai salah satu strategi yang dilakukan oleh BNR untuk menarik minat konsumen. Kondisi tersebut karena Kampung Pabuaran yang berbatasan langsung (ring 1) dengan perumahan BNR.
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah lahan yang dijual Jumlah Lahan n % Seluruhnya 35 100 Setengah 0 0 Seperempat 0 0 Total 35 100 Sumber: Data Primer
Tabel 13 menunjukkan bahwa adanya penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian (alih fungsi lahan) yang dilakukan oleh warga komunitas Kampung Pabuaran yakni seluruhnya. Warga komunitas Kampung Pabuaran menjual seluruh lahan yang dimiliki melalui biong atau langsung kepada pihak developer. Kondisi tersebut dapat terjadi karena desakan ekonomi dan iming-iming dari
34
pihak developer. Selain itu, karena karakteristik komunitas disana yang masih ada hubungan kekeluargaan maka mereka cenderung mengikuti anggota keluarga lainnya jika pindah. Warga komunitas yang terkena gusuran merupakan warga dari RT 04 RW 01 kemudian mereka pindah masih dalam RW yang sama atau pindah ke luar komunitas. Perubahan Mata Pencaharian Alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian. Perubahan tersebut ditandai dengan berkurangnya minat masyarakat pada pekerjaan di sektor pertanian yang dirasa kurang memberikan penghasilan yang mencukupi bagi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, Mulyaharja juga terkenal sebagai pemasok sandal-sandal ke berbagai pasar di Bogor maupun luar Bogor. Oleh karena itu banyak masyarakat yang melihat peluang tersebut. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan mata pencaharian sebelum dan sesudah terjadinya alih fungsi lahan di Sebelum Alih Sesudah Alih Mata Pencaharian Fungsi Lahan Fungsi Laham n % n % Petani 14 40,0 7 20,0 14,3 Pedagang 2 5,7 5 Wiraswasta 11 31,4 15 42,9 PNS/TNI/POLRI 1 2,9 1 2,9 Tukang Bangunan 1 2 5,7 2,9 Karyawan Swasta 1 1 2,9 2,9 Lainnya 5 4 11,4 14,3 Total 35 100,0 35 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 14 menunjukan bahwa sebelum terjadinya alih fungsi lahan, mayoritas warga komunitas di Kampung Pabuaran adalaah seorang petani dengan persentase sebesar 40 persen yang diikuti oleh wiraswasta atau warga komunitas sering menyebutnya sebagai pengrajin sendal yakni sebesar 31,4 persen. Namun setelah terjadinya alih fungsi lahan, mayoritas warga komunitas yang bermata pencaharian petani menurun menjadi 20 persen. Hal tersebut disebabkan karena setelah menjual lahan kepada swasta, sebagian besar dari mereka tidak membelikan lagi uang hasil penjualan ke bentuk lahan melainkan menggunakan uang hasil penjualan untuk naik haji, membuat usaha sandal (home industry), membuat bengkel, membuka warung, atau bahkan untuk pindah ke luar kampung, dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang menggunakan uang hasil penjualan lahan untuk membeli motor, membangun rumah, membiayai anak sekolah, membiayai pernikahan, dan lain-lain. Namun bagi yang menggunakan hasil uang penjualannya untuk membeli lahan lagi, kebanyakan mereka membeli lahan di luar Mulyaharja seperti di Cihideung, Ciapus, dan daerah sekitarnya yang harga lahannya masih relatif lebih murah.
35
Perubahan Pendapatan Perubahan mata pencaharian mengakibatkan pada perubahan pendapatan yang dirasakan bagi warga komunitas Kampung Perubahan. Hasil penjualan lahan tidak membantu dalam jangka waktu yang lama. Dampak dari adanya alih fungsi lahan begitu terasa bagi sebagian besar warga komunitas Kampung Pabuaran, karena letak rumah yang pada awalnya strategis dari segi ekonomi mengalami perubahan yang drastis ketika warga memutuskan untuk pindah ke lokasi yang kurang strategis. Hal tersebut berdampak langsung bagi kelangsungan usaha atau mobilitas yang akan dilakukan warga untuk bekerja. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan Perubahan Pendapatan n % Lebih Tinggi 11 31,4 Sama Saja 7 20,0 Lebih Rendah 17 48,6 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 15 menunjukkan bahwa adanya perubahan pendapatan yang diakibatkan oleh terjadinya alih fungsi lahan, warga komunitas Kampung Pabuaran merasa pendapatannya jauh lebih rendah sebesar 48,6 persen. Sedangkan bagi warga komunitas yang merasa pendapatnya lebih tinggi hanya sebesar 31,4 persen, dan yang merasa tidak merasa mengalami perubahan hanya 20 persen. Kondisi tersebut disebabkan oleh perubahan mata pencaharian utama dan perubahan kondisi sosial ekonomi akibat dari alih fungsi lahan menjadi perumahan BNR. Hal yang sebenarnya diharapkan dapat membantu ekonomi warga komunitas tetapi tidak dirasakan oleh sebagian besar warga komunitas. Permasalahannya yakni letak yang tidak strategis, persaingan yang ketat dikalangan pengrajin sandal, hingga sudah tidak adanya lahan untuk pertanian. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh salah satu warga komunitas Kampung Pabuaran (K, wiraswata) “Dulu saya punya sawah di deket Jungle, saya juga punya usaha bengkel sandal. Tapi setelah digusur usaha juga jadi mati, mau bikin usaha lagi sekarang tapi tempatnya kurang strategis. Pokoknya mah enakan dulu usaha juga lancar. BNR mah gak ngaruh apa-apa, paling cuma jadi ada hiburan aja.” (KR, buruh, 51 tahun)
INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS Intensitas Interaksi Intensitas interaksi menunjukan lamanya waktu yang digunakan responden untuk melakukan interaksi secara tatap muka serta keterlibatan responden dalam kegiatan yang ada di masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 16) menunjukan bahwa intensitas interaksi yang terjadi pada masyarakat cenderung rendah yakni sebesar 45,7 persen. Tatap muka yang dilakukan oleh responden hanya satu kali dalam seminggu dan terjadi pada hari libur saja. Kondisi tersebut terjadi karena sebagian besar dari warga komunitas memiliki mobilitas tinggi dengan pekerjaan sebagai pengrajin sandal dan buruh tani serta sudah berusia lanjut yang kemudian memutuskan untuk berada di dalam rumah. Namun sebesar 31,4 persen warga komunitas mengakui bahwa intensitas interaksinya sedang yakni dua kali seminggu dan terjadi pada hari-hari tertentu. Kemudian bagi warga komunitas yang memiliki intensitas interaksinya tinggi sebesar 22,9 persen mengakui bahwa dapat berinteraksi lebih dari dua kali dalam seminggu dan pada saat hari kerja, hal tersebut ditunjukkan bagi responden yang menyempatkan beinteraksi setelah pulang kerja dan mempunyai keakraban yang tinggi dengan masyarakat di sekitar. “Saya tiap hari ke mesjid jadi ketemu sama warga bisa setiap hari, kerjaan saya juga santai cuma ngurusin sawah aja. Saya juga ga betahan dirumah jadi saya sering keliling-keliling aja ngobrol sama tetangga” (Md, karyawan, 70 tahun) Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas interaksi Intensitas Interaksi n % Tinggi 8 22,9 Sedang 11 31,4 Rendah 16 45,7 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
Intensitas interaksi dapat dilihat dari topik-topik pembicaraan yang sering dibicarakan oleh warga komunitas. Beradasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada gambar 1. Dari sekian banyak topik yang ditemukan di lapang, topik keagamaan paling tinggi dibicarakan yakni sebesar 40 persen hal tersebut disebabkan oleh interaksi yang terjadi paling sering dilaksanakan di mesjid ketika pengajian satu kali dalam seminggu namun topik itu dimaknai sebagai topik yang penting karena sebagian besar masyarakat di Kampung Pabuaran masih fanatik terhadap agama islam. Kefanatikan terlihat dari dalam masing-masing rumah belum banyak yang mempunyai televisi bahwan Kampung Pabuaran dikenal sebagai kampung pesantren. Selain itu, topik pekerjaan sebesar 28,6 persen karena mayoritas merupakan pengrajin sandal sehingga mereka dapat bertukar pendapat
37
mengenai bahan baku bahkan proses produksinya. Untuk masalah komunitas sebesar 14,3 persen, biasanya hal ini dibicarakan terkait dengan adanya hiburan di BNR yang menurut mereka mengganggu kenyamaan warga di Kampung Pabuaran. Selebihnya adalah topik-topik mengenai kebutuhan sehari-hari,
kegiatan yang dilaksanakan di Kampung, dan humor yang hanya 5,7persen. Gambar 2 Persentase responden berdasarkan topik pembicaraan dalam interaksi
Bentuk Interaksi Bentuk interaksi menunjukan aktivitas yang dilakukan responden dalam masyarakat, aktivitas ini berupa kebiasaan sehari-hari masyarakat yang lazim dilakukan. Bentuk interaksi terdiri dari sembilan aktivitas yang berhubungan dengan cara berinteraksi kepada masyarakat, dengan kategori tidak pernah, jarang, sering, selalu. Tabel 17 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan bentuk interaksi Tidak KadangSering Selalu Pernah kadang Bentuk Interaksi n % n % n % n % Saling menyapa 0 0 2 5,7 3 8,6 30 85,7 Saling memberi bantuan 1 2,9 5 14,3 7 20 22 62,9 Saling tolong-menolong 0 0 1 2,9 6 17,1 28 80 Saling mengunjungi 0 0 6 17,1 12 34,4 17 48,6 Berkonflik 30 85,7 5 14,3 0 0 0 0,0 Saling bersaing 30 85,7 4 11,4 1 2,9 0 0,0 Tidak saling menyapa 34 97,1 0 0 1 2,9 0 0,0 Saling bekerjasama 0 0 0 0 9 25,7 26 74,3 Saling peduli 0 0 0 0 5 14,3 30 85,7 Sumber: Data Primer
38
Tabel 17 menunjukkan bahwa interaksi tatap muka warga komunitas dapat dikatakan cukup sering karena sebagian besar warga komunitas melakukan interaksi dengan warga lainnya meskipun hanya sekedar untuk saling menyapa (85,7 %). Selain itu, rasa kekeluargaan yang tumbuh dalam setiap warga komunitas dalam kategori tinggi karena masyarakat saling peduli satu sama lain, saling memberi bantuan, dan saling tolong-menolong ketika ada tetangga atau warga lain yang sedang mengalami kesulitan (85,7 %). Rasa kekeluargaan juga tercermin dari antar masyarakat saling mengunjungi untuk sekedar ngobrol dan rumpi (48,6 %). Hal tersebut diyakini sebagai salah satu cara untuk meningkatkan silahturahmi dianatara warga komunitas. Oleh karena itu, tingkat konflik di Kampung Pabuaran tergolong rendah dan tidak adanya persaingan walaupun masyarakat memiliki usaha yang sama dibidang pengrajin sandal. “Disini mah orang-orangnya saling mau bantu, emang dasarnya masih saudara sih yah. Sama semuanya juga kenal, anak tetangga juga kaya anak sendiri. Apalagi kalau ada nikahan rame deh, masak barengan kalau mau berangkat juga samper-samperan” (Rd, ibu rumah tangga, 45 tahun) Tabel 178 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan komunitas setelah alih fungsi lahan Sangat Berkurang Biasa saja Bertambah Hubungan berkurang dengan Orang n % n % n % n % Intensitas 0 0 7 20,0 21 60,0 5 14,3 Pertemuan Keakraban 0 0 6 171 22 62,9 5 14,3 Kedalaman 0 0 5 14.3 26 74,3 3 8,6 hubungan Keserasian 0 0 5 14,3 24 68,6 4 11,4 Kecocokan 0 0 5 14,3 24 68,6 5 14,3
antar warga Sangat bertambah n % 2 5,7 2 1
5,7 2,9
2 1
5,7 2,9
Sumber: Data Primer
Tabel 18 menunjukkan bahwa setelah adanya alih fungsi lahan melalui pembangunan perumahan, perubahan yang dirasakan dalam hubungan dengan orang-orang di sekitar responden yang dilihat dari intensitas pertemuan, keakraban, kedalaman hubungan, keserasian, dan kecocokan adalah biasa saja dengan kata lain tidak mengalami perubahan. Lebih dari 60 persen responden mengakui tidak mengalami perubahan, menurut mereka interaksi yang terjadi dengan sekitar berlangsung sama saja walaupun adanya alih fungsi lahan. Responden mengaku tidak merasa berubah dalam hal intesitas pertemuan dengan tetangga. Bila ada masalah pribadi mereka dapat enyelesaikannya sendiri. Tetapi apabila ada permasalahan komunitas mereka langsung menghubungi ketua RT atau ketua RW setempat untuk dapat menyelesaikannya. Tetapi ada sebagian responden yang mengakui berkurang dengan warga sekitar karena dengan adanya
39
alih fungsi lahan, beberapa warga pindah ke tempat lain bahkan ke luar kampung yang membuat responden harus kembali beradaptasi dengan sekitar atau tetangga baru. Bagi responden yang mengaku adanya alih fungsi lahan, intensitas pertemuan dan keakrabannya bertambah bahkan sangat bertambah. Mereka merasa dengan adanya alih fungsi lahan membuat mereka memiliki rasa yang sama yakni merasa senasib sepenanggungan sehingga memiliki hubungan emosional yang dekat dengan warga di sekitarnya. “Bapak mah hubungan sama tetangga ga ada yang berubah, tetap aja kaya dulu. Cuma ya bedanya ada yang pada pindah beberapa udah itu aja. Buktinya bapak jadi RW udah 2 periode”(OC, Ketua RW, 71 tahun) Tingkat Intensitas Interaksi Tabel 189 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat intensitas interaksi antar warga komunitas Total Interaksi n % Tinggi 20 57,1 Sedang 9 25,7 Rendah 6 17,2 Total 35 100,0 Sumber: Data primer
Total interaksi menunjukkan proses interaksi secara tatap muka yang terjadi di antara responden dengan lingkungan komunitasnya yang dilihat dari intensitas dan bentuk interaksi. Pada tabel 19 dapat dilihat bahwa total interaksi berada pada kategori tinggi sebesar 57,1 persen responden menyatakan bahwa intensitas dan bentuk interaksi tergolong tinggi yang disebabkan intensitas pertemuan terjadi lebih dari dua kali dalam seminggu dan dominannya pada hari kerja tetapi bagi sebagian responden juga menyatakan sering terjadi interaksi hanya pada hari libur. Pada saat mewawancara kuisioner dengan responden biasa dilakukan di teras rumah karena hampir semua masyarakat di Kampung Pabuaran menyenangi berkumpul dengan tetangga di depan teras sambil mengobrol santai mengenai masalah pekerjaan, keagamaan, dan masalah-masalah yang sering terjadi di komunitas. Total interaksi pada kategori sedang sebesar 25,7 persen dan pada kategori rendah sebesar 17,2 persen. Hal tersebut membuktikan bahwa interaksi di antara masyarakat Kampung Pabuaran masih tinggi. Alih fungsi lahan yang menjadi masalah bagi mastarakat disana tidak menghalangi intensitas maupun bentuk interaksi diantara masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat juga pada tabel 18 yang menyatakan bahwa hubungan dengan orang tidak mengalami perubahan karena adanya alih fungsi lahan. Umumnya interaksi pada sebelum adanya alih fungsi lahan masih tinggi hanya terjadi penurunan karena faktor kesibukan bekerja. Namun faktor masih adanya hubungan persaudaraan dan sudah lama tinggal di komunitas sejak lama yang membuat hubungan mereka masih kuat.
40
KOHESI SOSIAL KOMUNITAS Tingkat Kohesi Sosial Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam komunitas. Kohesi sosial menurut Johnson dan Johnson (1991) seperti yang dikutip oleh Noorkamilah (2008) menyatakan bahwa kohesi sosial dalam sebuah komunitas terjadi ketika anngotaanggota komunitas saling menyukai dan saling menginginkan lehadiran satu dengan yang lainnya. Selain itu, menurut Myres (2010) seperti yang dijelaskan oleh Kaslan (2009) bahwa kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Warga komunitas di Kampung Pabuaran memilikipola kedekatan atau kelekatan dalam interaksi sosial. Interaksi sosial telah terbentuk dari identitas hingga nilai-norma suatu komunitas yang telah disepakati. Tousignant dan Sioui (2009) menyatakan bahwa kohesi sosial komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana dalam mekanisme resiliensi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah adanya perumahan BNR yang menyebabkan pada perubahan nilai-nilai pada warga komunitas. Kohesi sosial pada komunitas di Kampung Pabuaran diukur berdasarkan teori rasa komunitas menurut Mc Milan dan Chavis (1986) seperti yang dikutip oleh Chavis et all. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. pemenuhan kebutuhan adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Keterlibatan sebagai anggota komunitas adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Memberikan pengaruh adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. Berbagi kontak emosional adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun. Semakin banyak yang berinteraksi maka semakin besar kemungkinannya untuk membentuk hubungan yang erat. Semakin positif interaksi ini, semakin kuat yang dikembangkan. Hasil penelitian yang ditampilkan pada tabel 20 menunjukan bahwa kohesi sosial warga komunitas Kampung pabuaran termasuk kategori tinggi karena hampir semua memberikan nilai 100 persen. Keempat komponen indikator sense of community yang merepresentasikan kohesi sosial dalam sebuah komunitas yakni pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. Indikator yang memiliki nilai paling tinggi adalah pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota dan berbagi kontak emosional yang semuanya memiliki nilai 100 persen. Sedangkan pada indikator memberikan pengaruh memiliki nilai kategori yang tinggi tetapi dengan jumlah responden yang lebih rendah yakni 91,8 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di
41
Kampung Pabuaran sebagian besar masyarakatnya memiliki rasa komunitas yang kuat dan mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain. Namun untuk indikator memberikan pengaruh diyakini hanya dimiliki bagi beberapa responden karena responden meyakini bahwa ada tokoh yang sudah mempunyai pengaruh di komunitas. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial Kategori Pemenuhan Keterlibatan Memberikan Berbagi Kontak Kebutuhan Anggota Pengaruh Emosial n % n % n % n % Tinggi 35 100,0 35 100,0 32 91,8 35 100,0 Rendah 0 0,0 0 0,0 3 8,2 0 0,0 Total 35 100,0 35 100,0 35 100,0 35 100,0 Sumber: Data Primer
Pemenuhan Kebutuhan adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Pemenuhan kebutuhan mencakup komunitas dapat memenuhi kebutuhan anggota dan komunitas, perasaan nyaman tinggal di komunitas, memiliki persamaan dalam menganut nilai yang ada di komunitas serta mempunyai kesamaan dalam kebutuhan, prioritas, dan tujuan hidup. Seluruh warga komunitas (100%) responden memiliki rasa komunitas dalam hal pemenuhan kebutuhan yang tinggi. Hal tersebut berasal dari keterikatan warga komunitas yang tinggal dalam satu lingkungan dan telah hidup bersama sejak generasi sebelumnya, dengan kata lain di Kampung Pabuaran masih memiliki keterikatan darah satu dengan lainnya. Mayoritas warga masih memiliki hubungan saudara dan sebagian lainnya warga pendatang namun menikah dengan warga asli kampung. Interaksi yang terbentuk karena hubungan saudara secara tidak langsung beimplikasi kepada kesamaan nilai-nilai yang anut, kebutuhan, prioritas, dan tujuan hidup. “Warga disini baik-baik jadi seneng tinggal disini nyaman, kalau ada apa-apa juga tinggal ke saudara ga usah jauh-jauh lagi. Disini juga fasilitasnya juga udah banyak” (OC, Ketua RW,70 tahun) Keterlibatan anggota adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk bagian dari komunitas. Keteribatan anggota dalam komunitas dapat dilihat dari saling percaya dianatara warga, mengenal satu sama lain anggota komunitas, memiliki kesamaan dalam simbol-simbol ekspresi yang khas, menggunakan banyak waktu dan tenaga untuk menjadi bagian dari komunitas, serta menjadikan komunitas sebagai indentitas pribadi anggota komunitas. Seluruh responden mengakui sepenuhnya terlibat dalam keanggotaan komunitas karena pada dasarnya warga asli yang mendiami kampung tersebut.
42
”Ya gimana lagi udah kenal dari dulu jadi percaya-percaya aja lah sama warga, lagian masih saudara juga pasti kenal semuanya. Disini paling warga pendatangnya satu dua orang doang jadi cepet kenalnya jadi udah pada tau warga RT 01 Kampung Pabuaran siapa aja”. (UY, buruh, 59 tahun) Memberikan pengaruh adalah kemampuan komunitas untuk mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh terhadap anggota komunitas lainnya. Pada sebuah komunitas bagaimana anggota dapat memberikan pengaruh dapat dilihat dari adapatasi merupakan hal penting bagi setiap anggota komunitas, lingkungan dapat ditiru oleh lingkungan komunitas lain, seorang anggota dapat memberikan pengaruh bagi komunitas, warga komunitas dapat menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi, dan di lingkungan komunitas mempunyai pemimpin yang baik. Sebesar 91.8 persen responden memiliki nilai yang tinggi pada indikator memberikan pengaruh, hal tersebut karena responden adalah orang-orang yang sudah lanjut usia dan biasanya sudah dianggap sesepuh di komunitas maka mereka diyakini dapat memberikan pengaruh pada kondisi lingkungan. Sedangkan 8.2 persen responden lainnya merasa tidak mempunya pengaruh pada kondisi lingkungan karena menganggap sudah ada pemimpin atau sesepih yang dapat memberikan pengaruh kepada kondisi lingkungan komunitas. “Pemimpin disini baik mau dikasih masukan kok, kalau ada apa-apa juga langsung diumumin ke warganya terus warga juga udah ngerti pasti langsung ikutan. Pengajian disini juga rame soalnya disini islamnya masih fanatik jadi ga ada yang macem-macem” (UC, buruh, 51 tahun) Berbagi kontak emosional adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama. Berbagi kontak emosial dapat dilihat dari anggota sering berkumpul dengan anggota lainnya, berharap selamanya untuk tinggal di lingkungan komunitas, setiap anggota komunitas memiliki saling kepedulian, para warga selalu berbagi peristiwa penting yang ada di komunitas. 100 persen responden mengakui bahwa dianatara mereka sudah memiliki kontak emosial yang tinggi yang terlihat dari ketika mereka harus digusur karena tanahnya dipaksa untuk dijual ke BNR, mereka memutuskan untuk pindah dan mencari tempat tinggal yang tidak jauh serta tidak ingin pindah ke luar komunitas karena alasan kenyamanan dan tidak perlu beradaptasi di lingkungan baru. Setiap ada acara yang dilaksanakan di Kampung Pabuaran dengan tanpa paksaan warga pasti ikut, seperti kerja bakti, pengajian, haul, pernikahan, melayat, 17 agustus, dan yang lainnya. “kalau ada tetangga yang kenapa-kenapa ga usah diminta juga saya bantu kok, soalnya udah ngerasa saudara sendiri. Kalau diminta bantuan juga kalau saya lagi ada rezeki pasti saya bantu. Enak deh tinggal disini, ga kepikiran juga buat pindah dari Pabuaran. Garagara
43
saya punya warung, ibu-ibu jadi suka ngumpul disini” (Im, Penjaga warung, 45 tahun) Keempat indikator dalam rasa komunitas yang merupakan ukuran dari kohesi sosial memiliki hubungan dalam membangun komunitas yang bersifat kohesif. Komunitas yang memili kohesi sosial yang tinggi membuat warga komunitasnya kompak dan akur. Interaksi yang berlangsung tidak berubah walaupun adanya gangguan seperti penggusuran karena pembangunan BNR. Pola kehidupan yang sudah ada tetap dijalani oleh warga komunitas. Oleh karena itu, setiap anggota komunitas dapat menerima perubahan nilai-nilai yang baru karena nilai-nilai yang terdahulu sudah dipegang kuat oleh mereka yang dalam hal ini dari sisi agama yang memberikan pengaruh kuat terhadap kondisi lingkungan komunitas di Kampung Pabuaran. Selain itu, penempatan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi, membuat warga semakin kompak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dibuat secara kolektif. Keterlibatan anggota yang snagat tinggi juga yang menentukan keerhasilan pada aksi kolektif yang sudah menjadi ciri khas di Kampung Pabuaran. Indikator pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota, dan berbagi kontak emosional dimiliki oleh seluruh responden 100 persen karea mereka pada satu komunitas dalam waktu yang lama, sudah memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, dan berlatar belakang yang sama sehingga memiliki tujuan yang sama. Sedangkan pada indikator memberikan pengaruh dimiliki 91.8 persen responden karena figur yang dapat memberikan pengaruh biasanya sudah ditetapkan oleh anggota komunitas yang lainnya dan diyakini mampu memberikan pengaruh terhadap anggota komunita yang lain. Namun karena sebagian besar responden berusia lanjut mereka meyakini bahwa diri mereka juga mempunya pengaruh yang sama pada komunitas ini. Aksi Kolektif Menurut Tousignant dan Sioui (2009) kohesi sosial komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana dalam mekanisme resiliensi. Aksi kolektif merupakan tindakan bersama yang dilakukan anggota masyarakat, tindakan ini berupa kegiatan-kegiatan yang diadakan yang berguna untuk menyatukan kekompakan warga komunitas. Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam aksi kolektif Keikutsertaan dalam Aksi Kolektif n % Tinggi 33 94,3 Rendah 2 5,7 Total 35 100,0 Sumber: Data Primer
44
Pada tabel 21 menunjukkan bahwa aksi kolektif di Kampung Pabuaran tergolong tinggi sebesar 94,3 persen. Data aksi kolektif diperoleh dari beberapa kategori yaitu jenis kegiatan, keterlibatan, dan peran. Masing-masing kategori tersebut menggambarkan aksi kolektif warga komunitas Kampung Pabuaran. Kondisi tersebut disebabkan oleh warga komunitas yang sudah kompak dan telah memiliki kesadaran untuk mengikuti berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan di komunitas. Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kegiatan dalam aksi kolektif Tidak pernah Jarang Sering Selalu Total Kegiatan n % n % n % n % n % Kerja bakti 5 14,3 2 5,7 4 11,4 24 68,6 35 100 Musyawarah 2 5,7 3 8,6 4 11,4 26 74,3 35 100 Tolong 1 2,9 0 0,0 0 0,0 34 97,1 35 100 menolong Pengajian 1 2,9 2 5,7 0 0,0 32 91,4 35 100 Sumber: Data Primer
Pada tabel 22 menunjukan bahwa kegiatan yang paling banyak diikuti oleh warga komunitas adalah tolong menolong sebesar 97,1 persen, kegiatan tolong menolong meliputi membantu dalam acara pernikahan, hajatan, dan acara kematian (melayat atau tahlilan). Pada sebagian besar warga komunitas meyakini bahwa salah satu bentuk untuk menjalin silahturahmi adalah dengan memberikan bantuan, mengunjungi dan menghargai undangan yang diberikan oleh tetangga sekitar ketika mereka sedang melakukan acara. Hal tersebut sudah merupakan bagian dari kesadaran untuk dapat menolong sesama. Kesadaran tersebut sudah terbangun sejak dahulu dan telah mengakar dari yang tua hingga anak-anak.dapat dilihat pada acara pernikahan, bagi ibu-ibu mereka saling membantu untuk memasak dan menyiapkan kue-kue yang akan disajikan. Sedangkan pada bapakbapak turut membantu dalam pemasangan tenda. Hal tersebut diyakini sudah tidak lagi dalam berbentuk ajakan melainkan kepedulian yang secara naluri sudah keluar. Selain itu, bentuk kepedulian yang terlihat pada interaksi yang masih kuat membuat masyarakat sudah tidak segan dalam tolong-menolong, tidak hanya dalam bentuk materi melainkan di luar materi pun sudah sejak lama dilakukan oleh responden. Kemudian pengajian yakni sebesar 91.4 persen, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak rutin melaksanakan pengajian yakni dalam seminggu ada satu kali pada hari kamis untuk bapak-bapak sedangkan pada hari jumat untuk ibu-ibunya. Agama merupakan hal yang penting bagi warga komunitas, dapat dilihat dari warga yang masih menjunjung tinggi nilai keagamaan dengan kegiatan pengajian, haul, isra mi‟raj, dan lain-lain. “Kalau ada acara pernikahan teh disini mah rame, beda sih di kampung-kampung lain mah ada organ tunggal kalo disini adanya qasidahan biasanya yang seneng ibu-ibu. Tinggal manggil aja ibu-ibu pengajian pasti langsung mau. Yang masak juga ibu-ibunya. Kalo
45
berangkat juga disinimah pasti samper-samperan” (IT, ibu rumah tangga, 50 tahun)
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk keterlibatan warga komunitas Kampung Pabuaran Tidak jarang Sering Selalu Total pernah Keteribatan n % n % n % n % n % Menyumbang 0 0,0 3 8.,6 7 20,0 25 71,4 35 100 uang Menyumbang 2 5,7 0 0,0 6 17,1 27 77,1 35 100 tenaga Menyumbang 9 25,7 8 22,9 2 5,7 16 45,7 35 100 ide Pada tabel 23 menunjukkan bahwa yang paling tinggi adalah bentuk keterlibatan dalam hal menyumbang tenaga yakni sebesar 77,1 persen karena khususnya pada warga komunitas ada rasa malu atau segan bila tidak mengikuti salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitas. Jika memang berhalangan hadir maka dapat digantikan dengan menyumbang uang atau ide. Selain itu, karena mereka kuat dalam tali persaudaraannya mereka juga bisa menitipkan kepada tetangga. Tabel 23 Jumlah dan persentase berdasarkan peran warga komunitas kampung pabuaran Rendah
Peran Memberikan ide Mengumpulkan warga Aktif Hadir sampai selesai Pulang sebelum acara selesai
Tinggi
Total
n 17 14
% 48,6 40,0
n 18 21
% 51,4 60,0
n 35 35
% 100,0 100,0
5 8 7
14,3 22,9 20,0
30 27 28
85,7 77,1 80,0
35 35 35
100,0 100,0 100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 18 responden (51,4 %) dalam perannya dalam memberikan ide masuk dalam kategori tinggi, namun tidak terlalu berbeda signifikan dengan yang berada dalam kategori rendah yakni sebanyak 17 responden (48,6 %). hal tersebut dapat terjadi karena bagi setiap
46
warga memiliki hak yang sama dalam mengeluarkan pendapat dan ide. Pada pernyataan mengumpulkan warga sebanyak 21 responden (60 %) masuk dalam kategori tinggi, hal tersebut menggambarkan bahwa masing-masing warga memiliki inisiatif untuk mengumpulkan warga agar mau mengikuti kegiatan. Pada pernyataan keaktifan warga dalam pelaksanaan maupun kegiatan sebanyak 30 responden (85,7 %) yang masuk dalam kategori tinggi menyatakan bahwa diri mereka aktif di komunitas. Selanjutnya, pada pernyataan hadir hingga kegiataan selesai yakni sebanyak 27 responden (77,1 %) masuk dalam kategori tinggi menyatakan akan hadir di kegiatan hingga selesai bila kegiatan tersebut menarik dan tidak memiliki kesibukan lainnya. Sedangkan, responden pula menyumbang nilai 80 persen untuk pernyataan pulang sebelum kegiatan selesai disebabkan oleh ada kesibukan lainnya namun tetap ingin terlibat dalam sebuah kegiatan di komunitas. Kesimpulannya adalah peran responden dalam kegiatan yang dilaksanakan di komunitas masih tinggi. Hubungan Antara Tingkat Interaksi Sosial dan Tingkat Kohesi Sosial Hubungan tingkat interaksi sosial dan kohesi sosial.menggunakan uji statistik korelasi non parametrik rank spearman karena kedua variabel tersebut memiliki data berskala ordinal. Pengujian hubungan antar variabel didukung oleh software SPSS 21. Nilai P-Value sebesar 0,376 dimana nilai tersebut lebih besar dari α 0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan bersifat lemah antara tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial, karena interaksi sosial yang sudah terbangun tidak mempengaruhi kohesi sosial pada warga komunitas. Interaksi yang sering dilakukan belum tentu meningkatkan kohesi sosial warga komunitas. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial Tingkat Kohesi Sosial Tingkat Interaksi Rendah Sedang Tinggi Total Sosial n % n % n % n % Rendah 0 0 0 0 1 2,8 1 2,8 sedang 0 0 6 17,2 0 0 6 17,2 Tinggi 0 0 0 0 28 80,0 28 80 Total 0 0 6 17,2 29 82,8 35 100,0 Sumber: Data Primer
Data diatas menunjukan bahwa persentase terbesar pada tabulasi silang tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial sebanyak 28 responden ( 80,0 %) masuk kedalam kategori tinggi. Sedangkan ada 1 responden (2,8 %) dengan kategori rendah namun tidak berpengaruh pada kohesi sosial pada komunitas karena tingkat kohesi sosialnya masih tinggi. kemudian pada tingkat interaksi sosial dalam kategori sedang yakni ada 6 responden (17,2 %) dengan tingkat kohesi sosial dalam kategori sedang juga. Dengan kata lain, interaksi sosial di Kampung Pabuaran sudah terbangun sejak lama sehingga tidak berhubungan dengan kohesi sosial. Pada dasarnya warga komunitas sudah memiliki rasa
47
komunitas terhadap Kampung Pabuaran yang masih kuat dan didorong oleh intensitas dan bentuk interaksi yang masih tinggi diantara responden yang tidak terpengaruh oleh adanya alih fungsi lahan. “saya udah dari lahir tinggi disini, sempet pas abis nikah ikut suami kerja tapi gatau kenapa ujungnya balik lagi ke Pabuaran. Orangorangnya lagian enakan di Pabuaran. Kalo di tempat baru mesti kenal lagi sama tetangga, kalo disini mah udah kenal semua lagian hubungannya juga baik-baik aja ga pernah berantem” (IM, penjaga warung, 45 tahun)
Hubungan Antara Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Aksi Kolektif Hubungan tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif menggunakan uji statistik korelasi non parametrik rank spearman karena kedua variabel tersebut memiliki data berskala ordinal. Pengujian hubungan antar variabel didukung oleh software SPSS 21. Nilai P-Value sebesar 0,02 dimana nilai tersebut lebih kecil dari α 0,05. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif. Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan dalam aksi kolektif Tingkat Keterlibatan dalam Aksi Kolektif Tingkat Kohesi Rendah Tinggi Total Sosial n % n % n % Rendah 0 0 1 2,9 1 2,8 Tinggi 2 5,8 32 91,4 34 97,2 Total 2 5,8 34 94,3 35 100,0 Sumber: Data Primer
Data diatas menunjukan bahwa persentase terbesar pada tabulasi silang sense of community dan aksi kolektif terdapat pada kategori tinggi di kedua variabel. Hal ini menjelaskan bahwa sense of community berhubung positif terhadap aksi kolektif dimana persentase tertinggi terdapat pada variabel kohesi sosial 91,4 persen. Selain itu, terdapat dua responden yang memiliki kohesi sosial tinggi namun tingkat keterlibatan dalam aksi kolektifnya rendah. Hal tersebut disebabkan oleh responden yang telah berusia lanjut yang sudah tidak mampu untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Oleh kare itu, responden memutuskan untuk tidak hadir atau mengikuti kegiatan bersama di komunitas melainkan hanya menyumbangkan uang secukupnya. “Disini mah warganya masih kompak, ga ngaruh mau ada BNR apa enggak. Lagian juga saya mah males ke jungle mending uangnya buat
48
belanja. Setiap hari kamis malem juga ada acara kumpul buat warga satu RT, emang wajib sama semua warga” (SL, 40, ibu rumah tangga) Tingkat kohesi sosial yang tinggi membuat masyarakat memiliki sense of community yang kuat, masyarakat di Kampung Pabuaran merasa nyaman berada di komunitas. Alih fungsi lahan yang memberikan dampak perubahan kepada komunitas tidak berpengaruh sama sekali terhadap kohesi sosial karena sebagian besar masyarakatnya pindah ke tempat yang berada di lingkungan yang sama sehingga memudahkan untuk beradaptasi. Selain itu, faktor masih kuatnya hubungan persaudaraan di Kampung Pabuaran yang membuat masyarakat memiliki nilai norma dan kebutuhan yang sama.
49
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil dekspriptif mengenai alih fungsi yang terjadi di pedesaan, tingkat kohesi sosial pada masyarakat pedesaan, dan hubungan tingkat kohesi sosial dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan di pedesaan terjadi pada tahun 1994, namun semakin besar-besaran terjadi pada tahun 2007. Warga komunitas terpaksa menjual tanahnya kepada pihak developer untuk pembangunan perumahan, developer membeli tanah warga dengan harga yang tinggi. Dampak alih fungsi lahan yakni terjadinya perubahan mata pencaharian. Perubahan mata pencaharian yang awalnya di sektor pertanian berubah menjadi di sektor non pertanian. Perubahan tersebut mengakibatkan pada perubahan pendapatan yang dialami oleh warga komunitas menjadi lebih rendah dibanding dengan pendapatan mereka terdahulu. Namun pada kalangan tertentu seperti wiraswasta (pengrajin sendal) pendapatan menjadi lebih tinggi. 2. Tingkat kohesi sosial pada warga komunitas tergolong tinggi. Interaksi sosial yang telah terbangun tidak berubah dengan adanya alih fungsi lahan karena sudah tinggal sejak lama, tali persaudaraan yang kuat, dan adanya hubungan darah yang membuat hubungan setiap warga komunitas menjadi kuat. Hubungan tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial bersifat lemah karena interaksi yang sering dilakukan belum tentu meningkatkan kohesi sosial warga komunitas. 3. Terdapat hubungan pada tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif karena rasa komunitas dan rasa memiliki antar warga komunitas yang masih kuat membuat tingkat kohesi sosial pada komunitas tergolong tinggi. Tingkat kohesi sosial yang tinggi menyebabkan anggota komunitas tidak bersifat individualis sehingga memudahkan pada meningkatkan keterlibatan pada aksi-aksi kolektif yang ada di komunitas seperti pada kegiatan tolong menolong yang berupa turut hadir dan menyumbang uang dan tenaga ketika ada tetangga yang meninggal (melayat) dan acara hajatan pernikahan.
Saran
50
Saran
1. Pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali mengenai implementasi kebijakan tentang tata ruang desa maupun kota. Bagi daerah-daerah pertanian seharusnya ada pengawasan yang ketat mengenai pembebasan lahan. 2. Penelitian selajutnya diharapkan lebih mempertajam bahasan mengenai dampak alih fungsi lahan dan pengaruhnya terhadap tingkat kohesi sosial masyarakat di sekitarnya. 3. Bagi masyarakat diharapkan lebih banyak mengadakan kegiatan-kegiatan bersama yang dapat meningkatkan kekompakan (kohesi sosial) agar tidak mudah terjadi konlik akibat adanya perubahan nilai atau norma yang masuk ke dalam lingkungan komunitas.
DAFTAR PUSTAKA Baron RA,Byrne, D. 2005. Social Psychology 10th Edition (Terjemahan Djuwita, R). Jakarta: Erlangga. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. [Internet]. [Dikutip pada 18 oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id842 Catur TB, Joko P, Rhina UF, Susi WA. 2010. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Sektor Non Pertanian Terhadap Ketersediaan Beras Di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Caraka Tani. [internet]. [dikutip 16 Januari 2016). Dapat diunduh dari: fp.uns.ac.id/jurnal/caraka%20XXV_1-38-42.pdf Cahyani RI. 2015. Resiliensi Komunitas Petani Menghadapi Serangan Hama Di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang. [Skirpsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor [ID] Chavis DM, Lee, KS, Acosta JD. (2008). The Sense of Community (SCI) Revised: The Reliability and Validity of the SCI-2. Paper presented at the 2nd International Community Psychology Conference, Lisboa, Portugal. Fahmi DS. 2012. Rest area : simbolisasi perubahan sosial ekonomi masyarakat (studi kasus perubahan mata pencaharian di RW. 008 Kelurahan Pinang Kecamatan Pinang Kota Tangerang). Scripta Societa.6(2):33-46. Faturcohman. Pengantar Psikologi Sosial (Intoduction to Social Psychology), Pustaka, Yogyakarta, 2006 Forrest R, Ade K. 2009. Social Cohesion, Social Capital, and the Neighbourhood?.[Internet]. [dikutip 22 Oktober 2015]. 38 (12): 2125214343. Dapat diunduh dari: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.119.1812&rep=r ep1&type=pdf Handayani D. 1992. Dampak Zona Industri terhadap Aspek Sosial Budaya Masyarakat. IPB. Bogor Irawan B, Husen E, Maswar RL, Watung, dan Agus F. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: Studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 21−43 Kadri MK. 2013. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Penghuni serta Fisik Perumahan Pinggir Kota dan Tingkat Kohesivitas Sosial. [Thesis]. [Internet]. [dikutip 10 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pen elitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=66243 Kaslan B. 2014.KOHESI SOSIAL.[Internet]. Jurnal. [Diunduh 2015 Desember 20]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/250553704/KOHESI SOSIAL-Komunitas#scribd Kulig JC, Edge DS, Dana SE, Joyce B. 2008. Understanding community ressiliency in rural communities through multidimethod research. Journal of Rural and Community Development [Internet]. [dikutip 18
53
November 2015]. 3(3) : 77-94. Dapat diunduh dari : http://www.jrcd.ca/viewarticle.php?id=181 Lestari T. 2010. Koversi Lahan pertanian dan perubahan taraf Hidup Rumah Tangga Petani (Kasus pembangunan perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 11 Januari 2016] Dapat diunduh dari: Martono N. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta [ID]: Rajawali Press. Munandar, AS. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Munir M. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mayo M, Geraldine B, John D, Jane F, Ben G, Kalbir S, Martin Y. 2009. Community empowerment and community cohesion:parallel agendas for community building in England?. [Internet]. [dikutip 10 Oktober 2015]. 18 Dapat diunduh dari: (1):23-43. http://www.journalsi.org/index.php/pad/article/view/122 Myers DG. 2010. Social Psychology (9thed.). [Internet]. [dikutip 8 januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://fmtigers.org/wpcontent/uploads/2015/08/Myers-D.-G.2010.-Psychology-9th-edition2.pdf Noorkamilah. 2008. Kohesivitas Remaja Islam di Kampung Sayidan, Prawirodirjan, Yogyakarta. [Internet]. [dikutip 15 Desember 2015]. 9 (01). Dapat diunduh dari: http://digilib.uinsuka.ac.id/8368/1/NOORKAMILAH%20KOHESIVITAS%20REMAJA% 20ISLAM%20DI%20KAMPUNG%20SAYIDAN,%20PRAWIRODIRJA N,%20YOGYAKARTA.pdf Norris FH, Stevens SP, Pfefferbaum B, Wyche KF, Pfefferbaum RL. 2007. Community resiliensce as a methaphor, theory, set of capacities, and strategy for disaster. Community Phsicology [Internet]. [dikutip pada 19 Mei 2014].41 : 127-150. Dapat diunduh dari: http://www.emergencyvolunteering.com.au/ACT/ Resource%20 Library/CR_metaphor_theory_capacities.pdf Pasandaran Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(4) 2006. Primadona. 2001. Peran Penting Trust sebagai Energi Pembangunan Masyarakat. [Internet]. [dikutip 16 Desember 2015]. 03 (01). Dapat diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=58207&val=4377 Purwanto. 2003. Perubahan Pola Pencaharian Nafkah Masyarakat Petani di Sekitar kawasan Industri (kasus di Desa Ngoro , Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur) [Internet]. [dikutip 9 Februari 2016]. Dapat diunduh darihttp://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7631/2003pur.p df?sequence=4&isAllowed=y Ramadhani N, Martono. 1996. Kohesivitas pada Masyarakat Miskin. [Internet]. [dikutip 18 Desember 2015]. 2:84-94. Dapat diunduh dari: http://ilib.ugm.ac.id.ezproxy.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4232
54
Ristawani. 2013. Dampak Pembangunan Jalan Baru terhadap Sosial Ekonomi Maysrakat di Desa Saureinu Kecamatan Sipora Selatan, kabupaten Kepulauan Mentawai [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 28 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://ejournal-s1.stkippgrisumbar.ac.id/index.php/geografi/article/view/582 Schouten M, Van Der Heide M, Heijman W. 2009. Resilience of Social Ecological Systems in European Rural Areas : Theory and Prospects. [Prociding Seminar]. Makalah disampaikan pada The 113 EAAE seminar; 9-11 Desember 2009; Republic of Serbia [internet]. [dikutip 20 Februari 2016]. Dapat diunduh dari : http://ageconsearch.umn.edu/bitstream Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Fakultas Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Silva Harsha de. 2011. Social Influence in Mobile Phone Adoption: Evidence From The Bottom Of The Pyramid In Emerging Asia. [Internet]. [dikutip 16 November 2015]. 7 (03): 1-18. Dapat diunduh dari http://itidjournal.org/itid/article/viewFile/757/317 Soekanto S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: Rajawali Press Sofiyana RJ. 2013. Pola toyuInteraksi Sosial Masyarakat dengan Waria di Pondok Pesantren Khusus Al-Fatah Senin Kamis (Studi kasus di Desa Notoyudan, Sleman, Yogyakarta. [Skripsi].[Internet]. [dikutip 28 Desember 2015]. Dapat diunduh dari: http://lib.unnes.ac.id/17149/1/1201408014.pdf Supriyadi A. 2004. Kebiajakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan Pertanian (Studi Kasus di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.[Skripsi]. [Internet]. [dikutip 11 Januari 2016] Dapat diunduh dari: Soemardjan S. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu Tousignant M, Sioui N. 2009. Resilience and aboriginal communities in crisis : theory and intervention [Internet]. [dikutip 18 Desember 2015]. 5 (1) : 4361. Dapat diunduh dari : http://journals.uvic.ca/index.php/ijih/issue/view/690 Umiyati. 1994. Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Aspek Sosial Ekonomi Petani ( Studi Kasus Padasuka dan Pegelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor). [Skripsi]. [Internet]. [dikutip 10 Oktober 2015]. Dapat diunduhdari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/38431/A94UMI.pd f?sequence=1&isAllowed=y Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta Wiradi G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset. Wulansari, Hertina, Hardjajani, Tuti, Nugroho, Arista A. Tidak ada tahun. Hubungan Antara Komunikasi Yang Efektif Dan Harga Diri Dengan Kohesivitas Kelompok Pada Pasukan Suporter Solo Sejati (Pasoepati). [internet]. [dikutip 28 Desember 2015]. Dapat diunduh di
55
http://candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/candrajiwa/article/downl oad/35/27 Yuasidha NR. 2014. Kohesivitas Penduduk Asli dan Pendatang dalam Multikulturisme. [Internet]. [dikutip 10 Oktober 2015]. 3 (1): 1-35. Dapat diunduh dari: http://journal.unair.ac.id/kohesivitas-penduduk-aslidanpendatang-dalam-multikulturalisme-article-6602-media-135category.html Zakiyah DN. 2012. Perubahan Sosial di Desa Linggarjati Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya pada Tahun 2006-2011. [Skripsi].[Internet]. [dikutip 28 Desember 2015]. Dapat diunduh dari: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24095/1/DARA %20NUR%20ZAKIYAH.pdf
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penelitia
57
Lampiran 2 Tabel Correlation Correlations kohesi Correlation Coefficient kohesi
aksikolektif
1,000
Sig. (2-tailed) N
aksikolektif
Sig. (2-tailed) N
**
.
,002
35
35
**
1,000
,002
.
35
35
Spearman's rho Correlation Coefficient
,500
,500
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations interaksi
Kohesi sosial
Correlation Coefficient i
1,000
,155
.
,376
35
35
Correlation Coefficient
,155
1,000
Sig. (2-tailed)
,376
.
35
35
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho kohesos
N
58
Lampiran 3 Daftar Nama Responden No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Nama CP BS UU IK IM SP IT HO UD MI SL KO RO AM OC HA AH UC AM JA YU KH KR UN MA UY MD SU SH DS NU SM SA YA SK
Usia 54 35 65 48 45 78 50 66 80 40 40 54 45 70 70 60 45 51 55 41 45 55 51 50 63 59 70 59 79 63 40 40 59 48 68
Alamat RT 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 01 02 02 02 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03 03
RW 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06 06
59
Lampiran 3 Dokumentasi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Hana Hilaly Anisa dilahirkan di Bogor, 16 November 1994. Penulis merupakan anak pertama dari Nursamsi dan Nia Setiawati. Penulis mempunyai 3 saudara perempuan yakni Asti Carissa Malinda, Mariska Putri, dan Syaza Nadiena Azzahra. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Pengadilan 5 Bogor, SMPN 1 Bogor, SMAN 5 Bogor dan melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) tertulis. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti organisasi sosial dan kepanitian. Penulis juga pernah menjadi Sekretaris Divisi Photocinema dalam Himpunan Profesi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang diberi nama Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA). Pada himpunan profesi penulis berada di divisi Photocinema pada periode 2014 dan periode 2015.