Peranan Partisipasi Politik dalam Demokrasi Abstract
Oleh: Riska Bahar
Politics is a daily human life. Through the media or a daily practice, politics are always made a comment, critics, and condemn from all side. Politics is a tool to balancing power and maintaining a better life for many people so the issues become more sensitive and bigger if this is being held in a public forum. In politics there are government as a sovereign holder and a citizen as an owner of all the sovereignity that has been held by government. In the dawn of modern era, the government are a person who have a literaly strong physic and wide influence, or they are claimed as a God representative on earth. This was happened until French Renaissance. The result has been many way of abusing power that took many lives of people. The necessity of bringing back a basic value of humanity and existence by leaving them to explore their own potential power then were the consciousness of this modern century. The government as a sovereign holder are being more open and involving the society. The balance of power is on the move and shaping an organization based on govermental itself or social to be a member of balancing control every policy then has been and will be produced by the government. This will influence to the way of think and act. The problems are blew up when there are miss perception between the goverment and the society after the idea of involving society on the governmental interest was held. The effects has been various, in 2008 the hurricane of middle east politics is taking a number of lives, scepticism is become virus that invected the sociey in Indonesia after the political and economical crisis on 1997-‐1998. The purpose of this article are reminding the importance of poilitical participation if a hope of a better nation, advancing nation, free corruption, and become a wealthy nation entirely. Keywords: participation, democracy, sovereignity, influence, rational choices, self-‐responsibility political knowledge.
1. Pendahuluan Demokrasi merupakan sebuah sarana politik menuju kebaikan bersama. Bicara politik tentu saja bicara kekuasaan, kekuatan (power), dan pengaruh. Namun, dalam proses penguasaan tersebut bukan dengan cara memaksa melainkan menajamkan kemampuan satu individu untuk mempengaruhi individu lain sehingga satu paham yang disebarkan memiliki kekuatan untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat baru.1 Penyebaran sebuah paham bernegara bukanlah hal mudah karena setiap individu memiliki ketertarikannya sendiri berkaitan dengan kepentingannya dan pandangan hidup yang diyakininya. Demokrasi dalam hal ini memberi jaminan kepada setiap individu untuk menentukkan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Baik buruknya pilihan setiap 1
Disampaikan pada kuliah Pengantar Ilmu Politik oleh Ihsan Ali Fauzi pada 25 Nopember 2011 1
individu terpulang kepada mereka yang memilihnya. Dengan demokrasi setiap individu diminta untuk bertanggungjawab atas segala pilihan dan keputusan yang telah dibuat. Individu yang demokratis dituntut untuk bersifat terbuka dan menerima hal-‐hal baru sekalipun bertentangan dengan prinsipnya sendiri karena dalam demokrasi penghargaan atas setiap pilihan seluruh individu wajib dijunjung tinggi. Sehingga muncul semacam konsekuensi untuk tidak berupaya menghalangi individu lain menentukan pilihannya apalagi sampai menyalahkan pilihan tersebut dengan berbagai alasan. Implikasi dari kebebasan yang diberikan oleh demokrasi kepada individu adalah peranan aktif dari individu untuk mengiringi jalannya paham yang telah dipilih oleh mayoritas. Karena tanpa peranan aktif dari pemilih yang yakin akan satu paham maka paham tersebut berpotensi menjadi destruktif dan cenderung mampu mengembalikan demokratisasi kepada penguasaan penuh tanpa batas seperti paham kenegaraan otoritarianisme dan totaliarianisme. Tanpa iringan tersebut pula demokrasi tidak berjalan dengan baik karena peranan aktif dari individu pemilihnya merupakan sumber penting untuk melahirkan keputusan-‐ keputusan bersama, yang lebih dikenal dengan kebijakan, demi memajukan suatu bangsa. Partisipasi politik merupakan komponen penting untuk membangun demokrasi yang sehat. Demokrasi yang terlaksana dengan baik adalah demokrasi yang telah memiliki sistem distribusi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan dengan baik diterima oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Indikasi yang paling nyata adalah kebijakan-‐kebijakan pemegang kekuasaan yang diambil dari suara-‐suara masyarakat. Jika tidak lahir suatu kebijakan yang baik dan berpihak kepada masyarakat umum dapat dikatakan distribusi kebutuhan rakyat tidak terlaksana. Sistem distribusi kebutuhan masyarakat ini ini menjadi amunisi bagi pemerintah untuk terus menghasilkan kebijakan demi terwujudnya kepentingan bersama berbangsa dan bernegara. Rantai pembuatan kebijakan ini akan 2
terputus dan mengakibatkan tidak berjalannya demokrasi jika sumber suara yang berasal dari kebutuhan setiap masyarakat tidak tersampaikan atau bisa jadi tidak ada. Absennya aspirasi bisa ditelusuri melalui pemerintah sebagai pendengar dari aspirasi dan masyarakat sebagai pemilik aspirasi. Kekeringan pemerintah atas aspirasi bisa terjadi karena situasi sosial masyarakat yang terdiri dari beberapa faktor. Pertama, pengetahuan dasar tentang politik tidak dimiliki oleh agen-‐agen sosialisasi politik seperti keluarga, akibatnya kebijakan dan kebutuhan mereka sendiri sebagai pemilik aspirasi dan bagian dari negara tidak tersalurkan dengan baik. Kedua, keengganan masyarakat untuk mengetahui kerja pemerintah karena kesadaran yang masih rendah dikalangan masyarakat sendiri. Jika partisipasi adalah bagian penting dari demokrasi, apa yang perlu diketahui lebih dalam tentang sistem distribusi kebutuhan masyarakat agar tercapai targetnya, yaitu memberi masukan kepada pemerintah yang kemudian di olah dan hasilnya adalah kebijakan publik untuk kepentingan masyarakat sendiri. Darimana kebutuhan masyarakat ini bisa tersalurkan? Bagaimana skemanya dalam masyarakat sendiri? Para sarjana politik sepakat ada tujuh agen sosialisasi dalam hubungannya dengan partisipasi politik. (1) Keluarga, memiliki peranan penting dalam menanamkan pengetahuan dasar politik dan sesesorang cenderung tidak berubah orientasi politiknya mulai sejak dari masa kanak-‐kanak hingga dewasa. (2) Sekolah, dalam hubungannya dengan orang lain sekolah merupakan tempat yang penting bagi seorang anak untuk bisa memberikan pengetahuan tambahan tentang orientasi politik. (3) Media massa, berlaku sebagai informan kepada individu untuk mengetahui perkembangan terkini dan secara tidak langsung bisa mengetahui apakah kepentingannya terwakili oleh pemerintah melalui kebijakannya. (4) Teman dekat, manusia sebagai mahkluk sosial tentu membutuhkan orang lain untuk tetap membuat dirinya sendiri hidup baik secara fisik maupun mental. Tukar pikiran dan diskusi dengan teman dekat ternyata mampu memberikan sumbangan penilaian terhadap orientasi politik seseorang. 3
(5) Agama, memiliki peran yang cukup besar pula karena dalam kebanyakan agama rata-‐rata terdapat aturan hubungan antar individu dan hal ini tentu memberikan pengaruh kepada individu untuk memilih orientasi politiknya. (6) Partai politik, melalui partai politik individu turut terlibat dalam sebuah proses politik negara dan peran sertanya tentu setelah menemukan koneksi dengan orientasi partai tersebut. (7) Pemerintah, pemerintah berlaku sebagai muara dari agen-‐agen sosialiasi karena pemerintah melahirkan kebijakan-‐kebijakan setelah mendapat aspirasi dari masyarakat.2 Dari ke tujuh agen sosialisasi di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat memiliki skemanya sendiri, di luar partai politik dan pemerintah, untuk membangun orientasi politiknya dan memberikan putusan mana yang dianggapnya benar dan harus diperjuangkan. Ada keluarga, sekolah, media massa, teman dekat, dan agama menjadi bagian yang saling terhubung. Sementara partai politik dan pemerintah dapat dikatakan sebagai pelaku dari seluruh rangkuman orientasi politik yang telah dibangun dari lima agen yang terletak dalam masyarakat. Dari hubungan di atas dapat ditelusuri letak kesalahan dalam pelaksanaanya ketika sebuah upaya untuk mewujudkan negara yang baik bagi semua pihak terhambat. Sebuah sosialisasi mungkin tidak menemukan hambatan dalam proses berjalannya proses pembentukan orientasi politik, namun di dalam agen-‐agen sosialisasi ini tentu akan membentuk hambatan baik secara sadar maupun tak sadar. Hambatan yang paling nyata terlihat sering kali dipusatkan kepada pemerintah karena pemerintah sebagai garda depan pengambil kebijakan yang sudah tentu menjadi garda depan pula ketika sebuah kesalahan terjadi. Partisipasi politik dan agen-‐agen politik ini akan menemukan keutuhannya dalam demokrasi namun tidak dalam bentuk paham macam otoritarianisme apalagi totalitarianisme. 2
Miriam Budiharjo, “Dasar-‐Dasar Ilmu Politik,” ed Revisi: Cetakan ke -‐2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 350.
4
Dalam demokrasi yang sehat seharusnya sudah terlihat dari masyarakatnya yang lebih aktif dalam politik negaranya sendiri karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan ketidakinginan untuk di atur oleh pemerintah dalam arti positif ketika berhubungan dengan kepentingan bersama untuk mewujudkan negara yang baik. Jadi bukan hanya pandangan lurus yang menyatakan bahwa kesalahan adalah mutlak milik pemerintah melainkan ada juga andil kepasifan yang terjadi dikalangan masyarakat sendiri. Sarjana politik menyatakan bahwa partisipasi politik adalah inti dari demokrasi itu sendiri. Artinya demokrasi itu bergantung pada partisipasi politik ketimbang kehadiran pemerintah sebagai penghasil kebijakan. Tidak ada partisipasi politik berarti tidak berjalannya demokrasi. Oleh karena itu agen-‐agen sosialisasi menjadi gerbang penting untuk mewujudkannya. Membangun kesadaran dari seluruh agen-‐agen untuk terlibat harus menjadi alat bersama untuk membangun negara demokrasi. Dengan kesadaran akan partisipasi politik inilah kesehatan demokrasi bisa dirasakan. Hal lain yang abstrak dapat terlihat adalah keingintahuan dari masyarakat yang lebih tinggi secara langsung dapat memengaruhi kecerdasan masyarakat sendiri karena pemerintah tidak akan mudah memberikan kenyataan dan janji-‐janji kosong yang membuat pemerintahnya sendiri justru akan terjebak pada protes masyarakat. Ketika kesadaran akan partisipasi politik sudah tinggi masyarakat akan lebih peka terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hasilnya hubungan harmonis antara pemerintah dan masyarakatnya untuk mencapai tujuan bernegara bersama terwujud.
2. Teori-‐teori Partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok yang terlibat secara langsung (aktif) maupun tidak 5
langsung (non aktif) dalam proses politik. Kegiatan itu seperti keikutsertaan dalam pemilihan umum (Pemiliu) untuk memilih pemimpin negara, membuat atau menghadiri organisasi-‐organisasi berbasis politik, pembicaraan atau diskusi mengenai politik dengan siapa pun, hingga masuk ke dalam partai politik dan terjun ke kehidupan sosial untuk mendapatakan atau justru menyebarkan suatu orientasi politik.3 Herbert McClosky seoarang ahli partisipasi politik berpendapat bahwa: Partisipasi politik adalah kegiatan-‐kegiatana sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. (The term political participation will refer to those valuntary activities by which members of a societyshare in the election of rulers and, directly or indorectly, in the formation of public policy).4 McClosky telah secara langsung menyakatan definisi partisipasi politik namun fokusnya adalah masyarakat dan bagaimana warga masyarakat terlibat dalam kegiatan politik. Ini akan terwujud pada sebuah tatanan masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi dalam suatu negara. Warga masyarakatnya telah memiliki otoritas tersendiri dalam kehidupan bernegara dan berpolitik. Cakupannya luas dan sekaligus abstrak karena menyangkut penerapan dan pemberian nilai-‐nilai terhadap kepentingan warga masyarakat itu sendiri. Dari definisi McClosky di atas dapat dikatakan bahwa seluruh partisipasi politik sifatnya adalah sukarela. Artinya, masyarakat tidak mendapatkan paksaan sedikitpun untuk bertindak memengaruhi yang lain dan memutuskan pilihan politik. Pengaruh yang ditimbulkan dari setiap partisipasi politik juga sudah jelas yaitu untuk turut memiliki andil dalam memengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. 3 4
Ibid., hlm. 367. Herbert McClosky, “Political Participation,” International Encyclopedia of the Social Sciences, ed -‐2 (New York: The McMillan Company, 1972), XII, hlm. 252. 6
Berbeda dengan McClosky yang menjelaskan partisipasi politik dari kacamata masyarakat. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson menjelaskan paritisipasi politik dari kacamata negara-‐negara baru. Mereka mengatakan: Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-‐pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).5 Melalui pengertian Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson di atas dapat dilihat bahwa paritisipasi politik bukan hanya sebuah kegiatan yang berbasis politik, damai, dan positif semata. Melainkan, karena berkaitan dengan proses pembentukan negara baru, dapat berbentuk negatif, sporadis, dan melalui cara-‐ cara kekerasan. Proses pembentukan negara ini biasanya dapat terlihat dari negara-‐negara yang baru merdeka atau terlepas dari penjara otoritarian dan totalitarian. Karena prosesnya yang demikian ini demokrasi menemukan wajah yang mungkin tidak dapat dikatakan baru melainkan hanya memperoleh proses pembenahan dari penerapan sebelumnya. Negara dalam paham non demokrasi dipahami sebagai sebuah kekuasaan tanpa batas dan memaksa. Masyarakatnya tidak diberi hak untuk menyuarakan pendapatnya dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak karena seluruh kebijakan dan keputusan diambil langsung oleh pemilik kekuasaan, seperti raja atau ratu, presiden, dan masih banyak bentuk kepemimpinan yang lain. Oleh karena itu masyarakatnya cenderung pasif dan secara otomatis 5
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, “No Easy Choice: Political participation in Developing Countries (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1977), hlm. 3. 7
memisahkan antara negara dengan dirinya. Artinya negara bukanlah bagian dari kehidupan mereka yang harus mereka berikan sumbangan baik pemikiran maupun kegiatan politik yang konkret. Demokrasi berkata lain dengan menganggap negara adalah juga diri masyarakat sendiri. Negara-‐negara yang telah lebih maju sistem demokrasinya justru tidak berpaku pada pada pemahaman seperti non demokrasi. Negara dianggap sebagai diri warga masyarakat sendiri oleh karena itu apapun akan dilakukan dan diupayakan untuk membuat suara mereka didengarkan oleh pemengang kekuasaan. Selain itu dalam partisipasi politik kesadaran masyarakat untuk merasa bahwa mereka adalah bagian dari pemerintahnya sendiri akan memunculkan perasaan diperintah.6 Perasaan diperintah inilah kemudian berdampak kepada kebutuhan dasar dari manusia itu sendiri untuk tidak ingin seluruh hidupnya diatur oleh kekuasaan, sebagai sesuatu yang berada di atas kekuasaan dirinya yang memiliki sifat memaksa melalui peraturannya, yang tidak lebih teratur dari hidup mereka sendiri sebagai individu. Dari sinilah muncul perasaan untuk turut memiliki partisipasi dalam politik karena negara adalah diri mereka sendiri. Seperti pendapat di atas “Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,...” mengindikasikan bahwa jika menurut McClosky partisipasi selalu bersifat positif dan membangum maka menurut Huntington dan Joan justru sebaliknya, ada pula hal yang bersifat negatif dalam sebuah partisipasi politik. Terbukti bahwa partisipasi tidak saja hanya bersifat individual melainkan juga dapat kolektif yang bukan hanya secara sukarela membentuk aliansi melainkan juga bisa kolektif yang dimobilisasi oleh satu kelompok politik tertentu. 3. Analisis 6
Miriam Budiharjo, “Dasar-‐Dasar Ilmu Politik,” ed Revisi: Cetakan ke -‐2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 369. 8
Kedua teori yang diutarakan oleh para ahli politik merupakan dasar penilaian dari mana dan apa yang dimaksud dengan partisipasi politik. Sudah terbukti bahwa partisipasi politik memiliki wajah baik sekaligus wajah buruk. Artinya sebagai upaya mendirikan demokrasi yang sehat memang berlandaskan partisipasi politik dari masyarakatnya untuk menentukan arah pergerakanya. Namun, dibalik partisipasi sebagai hal yang nampak ada hal yang tersirat untuk menuju partisipasi yang tidak bergantung pada sebuah kekuatan politik tertentu. Masyarakat secara otonom menentukan pilihannya tanpa dibayangi kepentingan-‐kepentingan tertentu. Masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang tidak berpangku apapun kepada kepentingan politik manapun.7 Konsekuensinya dalam membentuk masyarakat yang demikian adalah pembentukan karakter yang kuat secara pribadi dan pembelajaran politik yang mampu dijadikan sebagai sebuah orientasi politik sepanjang hidupnya. Artinya, kesadaran politik itu perlu dibangun sebagai sebuah bangunan dasar untuk membangun negara demokrasi yang sehat dan kokoh. Kesalahan yang terjadi bukan lagi menggunakan logika yang deduktif dimana kesalahan dalam pengelolaan negara merupakan kesalahan pemimpin melainkan sudah harus berada pada posisi yang lebih induktif dimana keberhasilan yang diraih oleh satu negara adalah berkat kegiatan-‐kegiatan politik yang mampu memberi pengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Keterlibatan masyarakat suatu negara adalah sebuah aktifitas baik formal maupun non formal dari fenomena politik itu sendiri bukan hadir diluar dari kenyataan hidup masyarakat. Partisipasi politik, diluar kenyataan bahwa kegiatan tersebut sukarela atau dapat dimobilisasi oleh kepentingan politk tertentu, adalah sebuah kegiatan yang menjadikan demokrasi menemukan bentuk-‐bentuk baru dan memberikan kesempatan antar individu untuk saling berinteraksi dalam kehidupan. Upaya 7
Ibid, hlm. 368 9
untuk memengaruhi orang lain tentu bukan dilakukan dengan paksaan atau bahkan kekerasan melainkan dengan menggunakan pendekatan yang lebih komperhensif dan face-‐to-‐face. Hal ini tentu menuntut keterampilan para pelakunya dan ketelitian para pendengarnya, semakin peka masyarakat pada kenyataan politik negaranya maka semakin kuat demokrasi itu terbangun. Interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok masyarakat menjadi semakin kerap terjadi karena kepentingan partisipasi politik. Pendekatan dan lobbying adalah hal yang mutlak ada sehubungan dengan penyebaran pengaruh itu sendiri. Masyarakatnya menjadi semakin aktif dan tergerak dengan sendirinya karena tidak ingin mendapatkan perintah yang buruk dari pemerintahnya sebagai pemegang kekuasaan. Dari sini terdapat dua hal positif yang akan didapat sekaligus yaitu masyarakat yang peka terhadap fenomena politik karena kesadaran yang timbul dan demokrasi yang sehat karena roda demokrasi berputar mulai dari proses pengambilan keputusan berdasar dari kebutuhan masyarakat oleh pemerintah dan selanjutnya pemerintah melahirkan kebijakan-‐kebijakan publik demi kepentingan bersama bernegara. 4. Kesimpulan Partisipasi politik adalah dasar dari demokrasi. Keterbukaan yang diberikan oleh demokrasi tidak serta merta menjadikan masyarakat dalam satu wilayah negara menjadi lalai akan tanggungjawabnya sendiri untuk memberikan pengawasan kepada pemerintah yang berkuasa. Definisi demokrasi tentang pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat bisa terjadi dengan model pengawasan semacam ini. Mulai dari keikutsertaan dalam pemilu sebagai sebuah keaktifan yang langsung dan memengaruhi orang lain melalui pembicaraan baik yang disengaja seperti rapat-‐rapat resmi membicarakan politik hingga pembicaraan sehari-‐hari dalam keluarga dan pergaulan dengan teman sebagai bentuk partisipasi tidak langsung. 10
Hal yang harus dibangun adalah kesadaran baik yang bersifat sistematik maupun yang bersifat otodidak. Kesadaran politik yang bersifat sistematik artinya adalah sebuah kesadaran yang telah dimiliki oleh masyarakatnya secara alami lalu diperkuat dengan kerja partai politik untuk memberi penjelasan dan pendasaran terhadap suatu orientasi politik. Sementara kesadaran yang bersifat otodidak adalah kesadaran yang terbentuk karena sejarah dan bukan melalui kerja partai politik.8 Ruang-‐ruang pembicaraan mengenai politik ternyata tidak bisa dibungkam dari masyarakat jika mendambakan sebuah demokrasi yang berjalan dengan sistem yang telah terintegrasi. Partisipasi politik secara formal memang dapat dilihat dalam pemilu atau bergabung dengan partai politik. Tapi jika hanya mengikuti partisipasi yang formal pun tidak juga membuat demokrasi menjadi sehat. Justru hal-‐hal yang bersifat informal dan merupakan kegiatan keseharian kesadaran politik menjadi berkembang dan dapat dipahami dengan bahasa-‐bahasa yang mudah pula. Diskusi-‐diskusi warung kopi yang oleh Jurgen Habermas digambarkan sebagai awal dari perubahan di Jerman adalah hal yang kira-‐kira bisa berarti sama dengan partisipasi politik. Bukan dari hal besar sesuatu itu dibangun melainkan di era demokratisasi ini justru hal kecil yang mampu menjadikan perubahan berarti asal konsisten dan tak patah semangatnya. Partai politik sebagai sebuah sarana untuk memunculkan kesadaran politik baik secara formal maupun informal pun agaknya menjadi penting dalam upaya melahirkan sistem demokrasi yang apik dan tertata. Masyarakat yang berkembang kesadaran politknya bukan karena peranan partai biasanya akan cenderung meninggalkan partai poilitik karena mereka telah mampu berpikir tentang politik tanpa jasa dari partai politik. Sebuah demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang saling bersambut antara kesadaran masyarakatnya tentang politik kemudian kesadaran itu 8
Hasil penelitian oleh Litbang Kompas, Ruang Publik Minus Partai Politik. Diterbitkan tanggal 6 Desember 2011. hlm. 5 11
disambut dengan kehadiran partai politik sebagai arena pertarungan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan muaranya adalah pemerintah yang melahirkan kebijakan-‐kebijakan yang berpihak kepada kepentingan bersama bukan kepentingan kelompok. Arah demokrasi yang demikian memiliki dampak luas mulai dari kecerdasan masyarakat dan secara otomatis menaikkan taraf hidup warga masyrakatnya sendiri. Jika ini menjadi tujuan bersama maka semua moda penggeraknya wajib untuk bekerja dan perkejaan itu berawal dari masyarakat melalui sebuah partisipasi politik aktif baik formal maupun non formal. 12
Daftar Bacaan Budiardjo, Miriam. Dasar-‐dasar Ilmu Politik. Ed. Rev. Ke-‐2. Jakarta: PT Gramedia, 2010. Huntington, Samuel P. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press, 1968. __________ dan Joan M. Nelson. No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Cambridge, Mass,: Harvard University Press, 1977. McClosky, Herbert. “Political Participation.” International Encyclopedia of the Social Sciences. Ed. Ke-‐2. New York: The Macmillan Company, 1972. Kompas, “Ruang Publik Minus Partai Politik: Artikel hasil penelitian Litbang Kompas.” 6 Desember 2011
13