Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
PERANAN MEDIA UNTUK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SETELAH ERA REFORMASI (Studi Kasus: Majalah Suara Baru Tahun 2000-2001) Mia Yuniartie* email :
[email protected]
Abstrak: Minority media, such as the Suara Baru magazine, always play significant role due to their importance in bridging the communication gap between the underrepesented ethnic group and other communities. The Suara Baru magazine was initially designed as an internal publication of the Association of Indonesian-Chinese (INTI), but later on it also publishes other common issues. The author who conducts a content anaysis over the media believing that such a publication can become a gizmo in eradicating wrong stigma regarding Indonesian-Chinese population in this country. Keywords: minority media, Indonesian-Chinese. Pendahuluan Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
I
ndonesia adalah negara yang begitu kaya akan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai macam suku bangsa, bahasa, agama, ras, dan adatistiadat hidup dan berkembang di sini. Salah satunya adalah etnis keturunan Cina atau dikenal dengan sebutan etnis Tionghoa. Leo Suryadinata, dalam bukunya yang berjudul Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China, mendefinisikan etnis Tionghoa sebagai berikut: istilah etnis CinaIndonesia digunakan di sini untuk merujuk pada etnis Cina di Indonesia yang memiliki nama keluarga/marga tanpa memandang kewarganegaraannya. Menurut catatan sejarah, seperti yang ditulis kembali oleh Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul Tionghoa Dalam Pusaran Politik, eksistensi orang Tionghoa pertama kalinya di Indonesia tidak terlalu jelas. Mereka tersebar di berbagai tempat, termasuk daerah pesisir dan pedalaman, dan hidup serta berbaur dengan baik dengan penduduk setempat. Namun kedatangan Belanda ke Indonesia mulai mengubah peta politik di negeri ini. Dengan tujuan untuk memecah-belah kekuatan rakyat Indonesia, Belanda kemudian mulai menjalankan politik yang terkenal dengan nama devide et impera atau politik pecah-belah. Antara lain, dengan menempatkan posisi etnis Tionghoa menjadi Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang berarti, secara kedudukan mereka berada di atas warga Pribumi (Inlander), mengeksklusifkan tempat tinggal mereka, dan memberi mereka hak untuk memungut pajak, menjual candu, dan membuka rumah judi bagi warga pribumi. Sejak saat itulah, hubungan antara etnis Tionghoa * Penulis adalah dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Novelis dan editor paruh waktu di Penerbit Buku Kompas
16
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
dengan penduduk pribumi Indonesia lainnya mulai merenggang. Dan sejak itu pulalah, dimulai peristiwa demi peristiwa yang mendiskriminasi etnis Tionghoa. Contohnya, penentuan tempat tinggal mereka dan surat ijin yang harus diurus setiap kali hendak keluar dari daerah tempat tinggal mereka, yang dikenal dengan sebutan wijkenstelsel dan passenstelsel. Pada awal masa penjajahan Jepang di Indonesia, yang dimulai pada 14 Februari 1942, pemerintahan Jepang membubarkan partai-partai politik dan organisasi massa, dan juga penerbitan pers. Para pemimpin dan tokoh Tionghoa ditangkap. Namun pada saat yang sama, Jepang juga mengijinkan dibentuknya sebuah organisasi Tionghoa bernama Hua Ch‘iao Tsung Hui, yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari orang Tionghoa. Setelah Jepang menyerah, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Negeri ini kemudian memasuki masa revolusi. Namun, bagi etnis Tionghoa, revolusi artinya penghancuran besar-besaran terhadap kehidupan dan harta-benda mereka. Pada 30 Mei hingga 4 Juni 1946, terjadi satu insiden yang menyerang etnis Tionghoa di Tangerang yang dikatakan sebagai insiden yang paling parah sepanjang masa revolusi. Kemudian pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan terjadi terus-menerus di Pulau Jawa dan Sumatera. Yang terparah adalah di Jawa Timur. Dengan menggunakan para tahanan Kalisosok, Surabaya, sebagai alat, mereka melakukan politik bumi hangus. Yang maksudnya adalah untuk mengosongkan kota dari para etnis Tionghoa. Masa pemerintahan Soekarno ditandai dengan percobaan untuk mengembangkan kebijakan kelas bisnis Indonesia, yang dikenal dengan nama ‗Sistem Benteng‘ pada tahun 1950. Program ini merupakan program kerjasama antara warga Pribumi dengan etnis Tionghoa, yang disebut dengan Ali Baba Firms. Ali maksudnya adalah warga pribumi Indonesia yang berperan sebagai importir nasional, sedangkan Baba adalah etnis Tionghoa pelaksananya. Tahun 1959, dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang melarang orang Cina asing berada di daerah pedesaan. Pada tahun 1963, sering terjadi ketegangan rasial, terutama di kota-kota di Jawa Barat, seperti Bandung. Akhir kepemimpinan Presiden Soekarno ditandai dengan peristiwa Gerakan 30 September atau G30S/PKI pada tahun 1965. Pembersihan berdarah terhadap partai-partai dan organisasi-organisasi yang berbau komunis menandai pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Di bawah rezim Orde Baru, dengan Soeharto sebagai Presiden, ditandai dengan dilarangnya semua kebudayaan, simbol, dan adat-istiadat etnis Tionghoa, termasuk sekolah, organisasi, dan media massa Tionghoa. Pada tahun 1966, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang menganjurkan agar etnis Tionghoa di Indonesia mengubah namanya menjadi nama Indonesia, sebagai salah satu bukti kesetiaan mereka terhadap negeri ini. Kebijakan lainnya yang juga dilakukan pemerintah adalah kebijakan di bidang ekonomi untuk memulihkan keadaan ekonomi negara. Dalam kebijakan ini, para pebisnis etnis Tionghoa diberi kesempatan untuk bekerjasama dengan investor asing. Dalam pelaksanaan kebijakannya, rezim Orde Baru ternyata tidak selalu konsisten. Sistem pendidikan dan peraturan penggantian nama dilaksanakan dengan tujuan untuk membaurkan etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Pribumi Indonesia. Tetapi, pemerintah sendiri tetap membeda-bedakan status kewarganegaraan mereka secara umum, misalnya pemberian kode khusus dalam ISSN : 2085 1979
17
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) para warga yang disebut nonpribumi itu. Lalu pembedaan ekonomi lemah dan kuat yang didasarkan pada pribumi dan nonpribumi. Pemerintahan di masa Orde Baru ini konsekuen dalam mengambil kebijakan yang menghilangkan semua hal yang membedakan antara etnis Tionghoa dengan warga Pribumi Indonesia lainnya, termasuk pelarangan sekolahsekolah alien dan mendorong seluruh etnis Tionghoa untuk mengikuti sekolahsekolah nasional Indonesia. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan instruksi pelarangan terhadap peribadatan cara Tionghoa dan berbagai bentuk kebudayaan lainnya. Pada tahun 1976, mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, Bank Indonesia juga melakukan hal yang serupa dalam memberikan kredit bagi pribumi dan nonpribumi. Etnis Tionghoa harus memperlihatkan surat bukti kewarganegaraannya untuk mengurus berbagai ijin ataupun dokumen-dokumen resmi, sementara syarat ini tidak berlaku bagi warga pribumi. Selain itu, mereka juga didiskriminasi dari pemerintahan dan militer, khususnya di posisi puncak. Kedekatan hubungan antara konglomerat dengan rezim pemerintahan saat itu menyebabkan kecemburuan masyarakat umum. Kemarahan rakyat bukan hanya tertumpah pada para konglomerat itu, tetapi juga menyebar ke seluruh etnis Tionghoa, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar. Sebelumnya, pada tahun 1973, di bawah kontrol Bakin, dibentuklah Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Tugasnya adalah mengawasi seluruh gerak-gerik dan kegiatan etnis Tionghoa. Di akhir masa Orde Baru, setelah 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto, ditandai dengan terjadinya kerusuhan di berbagai tempat di negara ini. Kejatuhan Presiden Soeharto didahului dengan banyaknya pergolakan sosial dan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari sejak Januari 1998. Ketika itu, krisis moneter benarbenar memukul Indonesia, dan situasinya semakin meruncing dengan terjadinya pembunuhan terhadap empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Tragedi ini kemudian berlanjut dengan kerusuhan selama tiga hari penuh. Di berbagai tempat di Indonesia, orang-orang menjarah toko-toko milik para etnis Tionghoa. Ratusan orang dibunuh. Dan wanita-wanita Tionghoa banyak yang diperkosa. Era Reformasi Setelah jatuhnya Presiden Soeharto, situasi politik di Indonesia juga berubah. Demikian pula kebijakan-kebijakannya. Asimilasi total dihapus. Dan, etnis Tionghoa memperoleh kembali kebebasannya setelah terkungkung selama 32 tahun. Walaupun belum sepenuhnya selesai, namun etnis Tionghoa mulai mendapat jaminan pemerintah dari segi hukum. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dikeluarkan oleh Presiden BJ. Habibie. Inpres ini berisi penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua pembuatan dan penerapan kebijakan atau penerapan kegiatan negara, memberikan perlakuan dan pelayanan yang sama kepada semua warganegara Indonesia tanpa diskriminasi yang didasarkan pada etnisitas, agama atau asal, dan terakhir, kaji ulang dan sesuaikan semua undang-undang dan peraturan, kebijakan, program yang telah dibuat dan diterapkan selama ini, termasuk dalam pemberian ijin usaha, kesempatan kerja, dan menentukan gaji 18
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
atau pendapatan atau hak pekerjaan lain sesuai dengan Instruksi Presiden tersebut. Kemudian pemerintahan BJ. Habibie beralih ke pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Di era pemerintahannya yang pendek, yaitu 20 Oktober 1999—23 Juli 2001, Gus Dur banyak memberikan angin segar bagi masyarakat etnis Tionghoa. Salah satunya adalah Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang pembatasan agama, keyakinan, dan adat-istiadat Tionghoa. Pada saat itulah, kebudayaan Tionghoa yang selama ini dibungkam dengan keras seperti hidup kembali. Bukan hanya atraksi seperti barongsai dan liong yang boleh dipertontonkan di muka publik, namun juga barang-barang cetakan dalam bahasa Mandarin, koran, dan majalah-majalah Tionghoa pun mulai bermunculan dimanamana. Selain itu, kursus bahasa Mandarin mulai menjamur. Bahkan sekolahsekolah, termasuk pesantren, mulai memasukkan kurikulum bahasa Mandarin ke dalamnya. Lalu, melalui Menteri Agama Republik Indonesia, Gus Dur juga melengkapi kebijakannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Namun kebebasan yang benar-benar terlepas dari masalah identitas dan etnisitas masih menjadi perjalanan panjang bagi etnis Tionghoa. Contohnya, permasalahan birokrasi seperti masalah SBKRI masih tetap menghantui. Juga, walaupun saat itu UU No. 12/2006 tentang kewarganegaraan sudah dikeluarkan. Sulitnya proses pembuatan SBKRI ini benar-benar tidak pandang bulu. Bahkan, hal ini juga menimpa para atlet bulutangkis Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa, seperti Hendrawan, Susy Susanti, Ivana Lie, dan masih banyak lagi atlet bulutangkis yang beretnis Tionghoa. Contoh nyata lainnya tentang permasalahan SBKRI bisa dilihat pada berita di harian Kompas, selasa 22 Agustus 2006. Seperti yang tertulis: ―... Roni akhirnya mengatakan kepada petugas tentang adanya UU Kewarganegaraan baru yang tidak lagi mensyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan sejenisnya, cukup akta lahir. Namun, petugas itu malah mengkritik Roni. ― Denger dari mana itu? Yang ngomong
itu Presiden Indonesia atau Presiden RRC? Dengar itu harus jelas gak bisa sembarangan. Belum ada itu,‖ gertak sang petugas. Roni merasa tak berdaya dan pergi...‖
Setelah itu, masih dikeluarkan juga UU No. 23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan, yang menghapus Reglemen Segregatif warisan kolonial Belanda. Namun, hal ini pun masih mempunyai rintangannya. Contohnya, seorang WNI Tionghoa yang akan mencatatkan anaknya yang baru lahir tetap diperlakukan seperti WNA China (karena staatsblad didasarkan atas etnisitas, bukan kewarganegaraan), yang kemudian akan diragukan kewarganegaraannya dan dituntut untuk menunjukkan SBKRI atau paling tidak berdasarkan penetapan pengadilan. Permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika politik yang memang erat kaitannya dengan persoalan ini. Selain itu, permasalahan etnis Tionghoa juga berkaitan dengan kekuatan luar negeri, dalam hal ini China, dan sektor ekonominya. Namun bagaimanapun, Era Reformasi ini merupakan era yang jauh lebih baik etnis Tionghoa, terutama setelah
ISSN : 2085 1979
19
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
Amandemen UUD 1945 dan dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Didirikan di Jakarta, di hadapan Notaris James Herman Rahardjo pada 5 Februari 1999 oleh 18 Warga Negara Republik Indonesia yang peduli terhadap penyelesaian ―Masalah Tionghoa‖, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) adalah organisasi yang bersifat kebangsaan sesuai semangat Mukadimah UUD 1945, bebas, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, tidak bernaung atau mengikatkan diri kepada salah satu partai politik dan terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia yang setuju pada anggaran dasar, anggaran rumah tangga, serta tujuan Perhimpunan INTI. Menyadari sepenuhnya bahwa ―masalah Tionghoa‖ di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, Perhimpunan INTI didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain menyelesaikan ―Masalah Tionghoa‖ di Indonesia menuju terwujudnya Kebangsaan Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai, dan saling percaya. Perhimpunan INTI berkeyakinan, usaha penyelesaian ―Masalah Tionghoa‖ di Indonesia harus diletakkan di atas landasan usaha penyelesaian seluruh permasalahan nasional yang tengah dihadapi Bangsa dan Negara Indonesia, dan bahwa pengikutsertaan seluruh WNRI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak penyelesaian ―masalah Tionghoa‖ di Indonesia. Dideklarasikan pada 10 April 1999, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Perhimpunan INTI, mulai bulan Februari 2007 telah terbentuk 12 Pengurus Daerah (tingkat Provinsi) dan 38 Pengurus Cabang (tingkat kota/kabupaten) Perhimpunan INTI di seluruh Indonesia. Sebagai hasil Musyawarah Nasional I mulai Desember 2005, Pengurus Pusat Perhimpunan INTI masa bakti 2005-2009 dipimpin oleh Rachman Hakim dan Budi Santoso Tanuwibowo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan INTI masa bakti 1999-2005 dipimpin oleh Drs. Eddie Lembong dan Drs. Michael Utama Purnama, MA masingmasing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Gambar 1. Logo Perhimpunan INTI 20
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
Media-Media Tionghoa dan Peranannya Dalam bukunya yang berjudul Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Benny G. Setiono menuliskan bahwa etnis Tionghoa, khususnya Tionghoa Peranakan, mempunyai peranan sebagai salah satu perintis awal kesusasteraan dan jurnalistik Melayu-Tionghoa. Dalam sejarahnya ini, tersebutlah nama Lie Kim Hok sebagai pelopornya. Lie Kim Hok adalah seorang putera Tionghoa yang dianggap sebagai redaksi Tionghoa-Melayu pertama di Hindia Belanda (Indonesia). Pers Melayu dimulai pada abad ke-19 dengan terbitnya majalah Kristen Bianglala. Setelah itu, bermunculan pula surat-surat kabar lainnya. Dan, Lie Kim Hok banyak menulis untuk surat-surat kabar Melayu dan Belanda ini. Penerbitan pers Tionghoa sendiri baru mulai bermunculan pada awal abad ke-20. Tercatat nama-nama seperti Sin Po, Keng Po, Perniagaan atau Siang Po, Soeara
Poeblik, Pewarta Soerabaya, Sin Tit Po, Warna Warta, Djawa Tengah, Sin Bin, Li Po, Tjin Po, Pelita Andalas, Sinar Sumatra, dan Han Po, yang semuanya ini berbahasa Melayu-Tionghoa. Selain itu ada juga pers dalam bahasa Tionghoa, seperti Thien Sung Yit Po, Kong Siang Djit Po, Sin Po, Chuan Min
Yit Po, Hok Suk Min Kok Yit Po, Soe Pin Sin Po, Tay Kong Siang Po, Tiong Nam Yit Po, Se Kang Yit Po, Lam Yang Djit Po, dan Sumatera Bin Po.
Pada masa itu, Tionghoa Peranakan lebih banyak menulis karya-karya mereka dalam bahasa Melayu-Tionghoa. Hal ini disebabkan, karena kebanyakan para Tionghoa peranakan tersebut sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Sastra Melayu-Tionghoa mulai menemui akhir perjalanannya pada tahun 1960-an ketika rezim Orde Baru mulai berkuasa di negeri ini. Dengan dikeluarkannya berbagai pelarangan yang mendiskreditkan masyarakat etnis Tionghoa, termasuk bahasa dan budaya, saat itulah perkembangan budaya dan sastra Tionghoa mulai mati. Satu-satunya media Tionghoa yang terbit pada saat itu adalah harian Suara Indonesia, dibawah kontrol BAKIN. Dalam isinya, media ini dilarang keras untuk memberitakan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan citra rezim Orde Baru kepada publik, apalagi berita yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Adat-istiadat (SARA). Harian Suara Indonesia ini merupakan koran yang isinya merujuk pada liputan kantor berita ANTARA sebagai sumber utama. Tujuan diterbitkannya harian ini adalah untuk mengontrol dan menjinakkan etnis Tionghoa. Setelah pemerintahan Orde Baru berakhir, dan Presiden BJ. Habibie naik menggantikan Presiden Soeharto, banyak media mulai bermunculan, seperti majalah TEMPO, harian Sinar Harapan, Duta Masyarakat, dan Abadi. Dua media yang terakhir adalah media lama yang sempat dibredel di masa pemerintahan sebelumnya. Pembengkakan angka media naik hingga hampir mencapai 1000 persen. Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika Departemen Penerangan beserta Lembaga SIUPP-nya dicabut dan dikeluarkannya Keppres No. 6/2000, media-media Tionghoa mulai bermunculan kembali, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, harian Indonesia Shang Bao, tabloid SuaR 168, dan lainlain. Di bawah ini jumlah keseluruhan media yang terbit mulai tahun 1999: ―Jumlah Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada akhir 1999 mencapai sekitar 1.600 media. Jumlah ini merupakan ledakan ―dahsyat‖ dibanding era ―Pers Pancasila‖ di jaman Soeharto yang membatasi media hanya boleh ada ISSN : 2085 1979
21
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
180 saja. Sedang organisasi kewartawanan yang tadinya hanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dulu lebih merupakan organ Partai Golkar kini telah menjadi 33 organisasi. Kini, pada 2008, angka media cetak yang masih terbit di seluruh Indonesia menyusut hingga hanya sekitar 800 media saja‖ (Prasetyo, 2008, hlm. 1). Berdasarkan buku yang ditulis oleh Stanley Yosef Adi Prasetyo, pawa awal masa reformasi tercatat sekitar sepuluh media Tionghoa yang terbit. Namun kebanyakan media ini tidak bertahan lama. Bahkan hingga akhir April 2008 hanya ada delapan media cetak bahasa Mandarin dan satu media on-line yang masih tetap bertahan. Sayangnya, media-media Tionghoa yang ada saat ini lebih banyak menekankan pada bisnis dan hiburan yang tujuannya adalah untuk meraih pasar. Di bawah ini adalah tabel media-media Tionghoa yang masih ada hingga April 2008. Tabel 1.2. Media Bersegmentasi Tionghoa Hingga April 2008 (Prasetyo, 2008, hlm. 3) No
Nama Media
Bentuk/Bahasa
1
Indonesia Shang Bao
2
Guo Ji Ri Bao Cetak (Mandarin)
3
Suara Indonesia
7
Harian Indonesia (Re Ji Ri Bao) Kun Dian Ri Bao The Universal Daily News Sinergi
8
Suara Baru
9
Era Baru (The Epoch Times)
4
5 6
Cetak (Mandarin)
Cetak (Mandarin)
Alamat Redaksi Jl. Raden Saleh Raya No 1B-1D, Cikini, Jakarta 10430 Jl. Gunung Sahari XI No. 23, Jakarta Pusat – 10720 ?
Grup Penerbitan Sinar Harapan Jawa Pos Republika (?)
Cetak (Mandarin)
Cetak (Mandarin) Cetak (Inggris) Cetak (Indonesia)
Jl. Gajah Mada No 3-4, Pontianak Jl. Batu Tulis Raya No 41, Jakarta
Jl. Arwana No. 38, Jembatan II, Jakarta Pusat 14450 Cetak Superblok Mega Glodok (Indonesia/Mandari) Kemayoranm, Office Tower 8 No 10, Jl. Angkasa Kav. B-6, Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta 10610 Cetak Jl. Tubagus Angke 11 F, (Indonesia/Mandarin) Grogol, Petamburan
Pontianak Post Tak ada Tak ada Tak ada
Tak ada
Media-media Tionghoa seperti Harian Indonesia Shang Bao, Guo Ji Ri Bao, Re Ji Ri Bao, Kun Dian Ri Bao, dan The Universal Daily News merupakan media yang menitikberatkan pada bisnis. Mereka berusaha mengambil pasar iklan yang bisa diperoleh dari para pengusaha etnis Tionghoa. 22
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pula, media-media elektronik berlomba-lomba mengeluarkan program siaran berbahasa Mandarin. Salah satunya Metro TV, salah satu media televisi swasta di Indonesia, yang menayangkan acara berita Metro Xinwen dengan bahasa Mandarin sebagai pengantarnya. Hal ini kemudian diikuti oleh media lainnya, seperti radio. Majalah Suara Baru Berdasarkan penuturan Benny G. Setiono, salah seorang yang memprakarsai terbentuknya Perhimpunan INTI dan majalah Suara Baru, dalam wawancaranya, mulanya beliau diminta untuk menerbitkan sebuah media yang sederhana, seperti sebuah bulletin untuk mendukung Perhimpunan INTI. Tetapi Benny G. Setiono lebih tertarik untuk menerbitkan sebuah majalah daripada hanya sekedar bulletin. Akhirnya, pada bulan Februari 2000, terbitlah sebuah majalah bulanan sederhana yang dinamakan Suara Baru. Diberi nama seperti itu karena majalah Suara Baru terbit pada Era Reformasi di mana peraturan mengenai SIUPP baru saja dicabut sehingga media-media dapat terbit dengan bebas. Majalah Suara Baru mempunyai tujuan untuk menyuarakan perhimpunan itu sendiri. Selain itu, juga berperan sebagai alat komunikasi antara pengurus INTI pusat dengan cabang-cabangnya. Setiap kali terbit, majalah ini dicetak sebanyak 5000 eksemplar dan didistribusikan bukan hanya kepada para anggota INTI sendiri, tetapi juga kepada lembaga-lembaga pemerintahan, mahasiswamahasiswa yang mempelajari tentang etnis Tionghoa, dan juga atas permintaan dari masyarakat umum. Dan karena majalah ini bukan media yang dijual bebas, dari segi finansialnya, majalah Suara Baru lebih banyak bergantung pada iklan dan sponsor. Meskipun berada di bawah naungan Perhimpunan INTI, dalam sistem manajemennya, Suara Baru sama sekali tidak berpihak pada etnis Tionghoa saja. Kebanyakan stafnya merupakan etnis non-Tionghoa. Bahkan pemimpin redaksinya saat ini, Lisa Suroso, yang menggantikan Benny G. Setiono, pemimpin redaksi yang lama, berasal dari etnis Jawa.
Gambar 2. Majalah Suara Baru Peranan Majalah Suara Baru Sebagai Media Etnis Tionghoa
ISSN : 2085 1979
23
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
Pada Era Reformasi, ketika Menteri Penerangan mempermudah proses pembuatan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), mulai bermunculan mediamedia, termasuk media-media minoritas berbasis Tionghoa. Keadaan ini berbeda jauh sekali dengan masa Orde Baru yang membatasi keberadaan dan isi suatu media, baik elektronik maupun cetak. Majalah Suara Baru merupakan salah satu dari sekian banyak majalah yang baru saja terbit di Era Reformasi. Majalah ini termasuk dalam kategori media minoritas, dan merupakan media dari Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) yang banyak menyuarakan tentang etnis Tionghoa. Dalam wawancaranya, Lisa Suroso, Pemimpin Redaksi majalah Suara Baru, mengatakan bahwa tujuan dari majalah ini adalah sebagai alat komunikasi di antara para anggota Perhimpunan INTI. Selain itu, Lisa juga menambahkan tujuan lain dari majalah Suara Baru, yaitu untuk merealisasikan reformasi itu sendiri dan untuk menyalurkan aspirasi. Lisa menjelaskan, masalah kecil biasanya datang ketika majalah ini mengangkat tema tentang salah satu etnis tertentu. Adanya perbedaan pandangan orang-orang yang berperan di dalamnya seringkali menyulitkan proses penerbitan dan pendistribusian majalah ini. Yosep Adi Prasetyo, seorang Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia, mengakui kendala-kendala itu terjadi karena kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang fungsi media sesungguhnya. Dengan kata lain, tidak memiliki konsep bermedia yang jelas. Majalah Suara Baru, meskipun termasuk media minoritas yang banyak menyuarakan tentang etnis Tionghoa, tidak banyak menonjolkan identitas ketionghoaan dalam penampilannya. Ciri-ciri ketionghoaan tersebut hanya ada di halaman tengah. Salah satunya adalah artikel berbahasa Mandarin. Begitupun dalam sistem manajemennya. Majalah Suara Baru terbuka bagi siapa saja tanpa memandang etnisitas seseorang. Nyatanya, sebagian dari tim redaksi majalah ini bukan berasal dari etnis Tionghoa. Kebanyakan dari mereka adalah relawan, termasuk Lisa Suroso sendiri, yang berasal dari etnis Jawa. Singkatnya, untuk menjadi jurnalis di sini tidak diperlukan seseorang yang profesional. Cukup asal memiliki pengetahuan tentang politik luar-negeri dan permasalahan etnis Tionghoa, orang sudah dapat bergabung dengan Suara Baru. Dalam analisis tekstual Suara Baru, yang dimulai dari edisi no. 1/ 2000 sampai dengan edisi no. 9/ 2001, terdapat empat frame utama yang dapat diambil, yaitu diskriminasi, asimilasi, sejarah, dan kebudayaan. Keempat frame tersebut digolongkan kembali menjadi beberapa kategori, seperti sejarah etnis Tionghoa di masa lalu yang menyebabkan timbulnya permasalahan tentang identitas dan etnisitas, seni dan budaya etnis Tionghoa, tragedi kerusuhan Mei 1998, masalah identitas dan etnisitas warga Tionghoa, serta situasi politik di Indonesia dalam hubungannya dengan masyarakat etnis Tionghoa. Penggolongan kategori-kategori tersebut dibuat berdasarkan berita atau artikel yang paling banyak dimuat. Pada dasarnya, topik dan ulasan yang dimuat dalam majalah Suara Baru cukup bagus. Banyak ilmu pengetahuan yang bisa diambil dari artikel-artikel yang dimuatnya. Seperti di awal-awal masa penerbitannya, majalah Suara Baru banyak sekali mengungkap sejarah tersembunyi etnis Tionghoa. Seperti sejarah tentang Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di masa kolonial Belanda yang dimuat dalam 24
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
majalah Suara Baru edisi no. 2/2000 dengan judul artikel ―100 Tahun THHK: Buruk Rupa Cermin Dibelah‖. Artikel lainnya tentang THHK juga masih dibahas di edisi yang sama, dengan judul ―THHK, Baperki dan ―Nation Building‖‖. THHK adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh beberapa tokoh Tionghoa di Batavia, yang bertujuan untuk mengubah kondisi terbelakang warga etnis Tionghoa pada masa itu. Kondisi ini termasuk dalam hal pendidikan. Etnis Tionghoa dilarang bersekolah di sekolah Bumiputera karena dianggap sebagai Timur Asing, tetapi juga tidak pernah disediakan sekolah khusus bagi mereka. Karena itulah didirikan THHK. Pada Suara Baru edisi no. 5/2000, dalam artikel yang berjudul ―Pembauran? Perlukah Ganti Nama?‖, menuliskan tentang sejarah etnis Tionghoa di Pulau Jawa yang telah melakukan pembauran massal sebanyak tiga kali dengan etnis Jawa. Artikel berjudul ―Serpihan Terpendam Sejarah Indonesia‖ terdapat dalam Suara Baru edisi no. 9/2001. Artikel ini menceritakan tentang masa pendudukan Jepang di Indonesia. Di masa itu, sekolah-sekolah Tionghoa terbagi dalam tiga golongan, yaitu sekolah golongan kiri yang berorientasi pada Mao Zedong yang beraliran komunis, golongan netral, dan golongan kanan yang berorientasi pada Guomindang yang membentuk negara Taiwan. Konflik ini menyebabkan sekolahsekolah menjadi ajang peperangan. Selain sejarah, Suara Baru juga mengulas tentang seni dan budaya etnis Tionghoa, seperti tahun baru Imlek. Dalam artikel yang dimuat di edisi perdana ini dijelaskan, tahun baru Imlek mulanya merupakan perayaan untuk menyambut datangnya musim semi di negeri China. Tujuannya, sebagai ungkapan syukur atas datangnya awal musim yang membahagiakan. Di Indonesia, Imlek juga menjadi tradisi bagi etnis Tionghoa yang selalu dirayakan setiap tahun sampai diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang pelarangan pelaksanaan tata cara ibadat Cina, termasuk pesta-pesta agama dan adat-istiadat Cina di muka umum. Dalam artikel ini juga dijelaskan, efek dari pelarangan-pelarangan di masa tersebut, sebagian besar generasi muda Tionghoa saat ini kebanyakan tidak tahu-menahu tentang Inpres tersebut. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa kondisi diskriminatif seperti ini memang sudah ada sejak dahulu. Selanjutnya, dalam Suara Baru edisi no. 3/2000 terdapat ulasan tentang kesenian Gambang Kromong yang merupakan perpaduan antara seni etnis Tionghoa dan Betawi, termasuk sejarahnya. Ritual ―menginjak bara‖ diceritakan di Suara Baru edisi no. 4/ 2000. Dalam majalah tersebut dikatakan, tujuan menginjak bara ini adalah untuk membersihkan diri secara spiritual dari segala hal yang dianggap kotor. Majalah Suara Baru edisi no. 5/2000 mengajak pembacanya untuk semakin mengenali seluk-beluk perayaan Pe Cun di masyarakat Cina Benteng, Tangerang. Selain itu, majalah Suara Baru juga mengangkat topik tentang fashion etnis Tionghoa pada abad 19, permainan wayang dari Surakarta dan wayang Pou Te Hi, serta perayaan kue bulan. Tragedi kerusuhan Mei dibahas dalam majalah Suara Baru edisi no. 4/tahun 2000 dan edisi no. 6/2000. Dari artikel-artikel tersebut dapat dilihat bahwa kerusuhan Mei membawa dampak negatif, seperti kesan pengeksklusifan diri dari
ISSN : 2085 1979
25
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
etnis Tionghoa. Hal ini tampak dari penjagaan ketat yang terkesan berlebihan di pintu-pintu masuk ke perumahan yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Masalah identitas dan etnisitas etnis Tionghoa juga menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Dalam edisi no. 3/2000 disebutkan, permasalahan yang dialami etnis Tionghoa bukan hanya bersifat eksternal, tetapi juga internal. Internal di sini maksudnya, antara sesama etnis Tionghoa sendiri. Masyarakat etnis Tionghoa yang sangat heterogen dapat memicu permasalahan di antara mereka sendiri, terlebih dengan melekatnya stereotipe yang berbeda-beda di masingmasing suku. Artikel-artikel lain seperti tentang diskriminasi dan pernikahan campur juga banyak dibahas dalam majalah Suara Baru. Dalam salah satu artikel yang berjudul ―Rasisme—Sebuah Introspeksi‖, dituliskan adanya pembedaan perlakuan ternyata bukan hanya pribumi terhadap etnis Tionghoa, tetapi juga sebaliknya. Etnis Tionghoa terhadap warga Pribumi. ―Kita tidak mau disebut Cina, karena kata Cina ini oleh rejim Orde Baru telah digunakan sebagai alat untuk memojokkan dan merendahkan etnis Tionghoa. Tetapi sebaliknya kita juga harus menentang dan memerangi orang-orang Tionghoa yang menggunakan sebutan-sebutan fan-qui, ti-ko, hoan-na, dan sebutan kotor lainnya untuk merendahkan etnis lain‖ (Suara Baru no. 5, 2000, hlm. 13). Secara keseluruhan, majalah Suara Baru dapat berperan penting sebagai alat komunikasi dan jembatan yang menghubungkan serta membuat saling pengertian di antara sesama etnis Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Hal ini terlihat dari artikel-artikel yang ada dalam majalah Suara Baru, yang tidak hanya berfokus pada etnis Tionghoa saja, tetapi juga yang berhubungan dengan Pribumi Indonesia. Penutup Media minoritas, seperti majalah Suara Baru, sebenarnya sangat berperan penting dalam menjembatani hubungan antara sesama etnis Tionghoa, dan juga dengan etnis lainnya di Indonesia. Setelah era keterbukaan di mana arus berita dan informasi tidak lagi ditutup-tutupi, masyarakat etnis Tionghoa tentu haus akan informasi-informasi yang selama ini tidak bisa mereka peroleh dengan mudah. Di sinilah peran media minoritas bermain. Melalui majalah seperti Suara Baru, masyarakat etnis Tionghoa, terutama kaum mudanya, dapat mengakses pengetahuan baru akan sejarah dan kebudayaan leluhur mereka yang selama berpuluh-puluh tahun dibungkam paksa oleh rezim-rezim yang berkuasa. Media-media seperti ini juga dapat pelan-pelan meluruskan stigma yang salah kaprah yang berkembang di antara sesama etnis Tionghoa maupun antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya di Indonesia. Sebagai media berbasis etnis Tionghoa, majalah Suara Baru sudah cukup baik meskipun dari segi pemberitaan masih belum memadai. Majalah Suara Baru harus mempunyai nilai berita, bukan hanya menceritakan tentang kegiatan INTI, juga walaupun ini adalah medianya Perhimpunan INTI. Ditilik dari sisi penulisan berita pun, majalah ini seharusnya mulai banyak melakukan pembenahan. Sebab, seringkali terlihat tidak relevan antara judul dengan isi berita di dalamnya. Atau penulisan suatu laporan atau artikel yang terlampau panjang, sehingga semakin ke bawah beritanya semakin tidak fokus. Di 26
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
sinilah ―gunting editor‖ berkuasa penuh untuk memangkas dan memoles berita sedemikian rupa sehingga isinya mengerucut ke bawah dan enak dibaca oleh khalayak umum. Majalah Suara Baru sebenarnya mempunyai prospek yang baik untuk berkembang menjadi sebuah media profit dan dijual bebas, asal manajemennya ditangani dengan baik dan tidak terlalu dicampuri oleh organisasi yang melahirkannya. Daftar Referensi: Alia, Valerie & Simone Bull, 2005. Media and Ethnic Minorities. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd. Babbie, Earl, 1995. The Practice of Social Research. California: Wadsworth Publishing Company. Berger, Arthur A. 2000. Media and Communication Research Methods: An Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publication, Ltd. Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: The Press Syndicate of the University of Cambridge. Blank, Rebecca M., Dabady, Marylin, & Constance F. Citro, Eds., 2004. Measuring Racial Discrimination. The National Academies Press, Washington DC. Bradley, Nigel. 2007. Marketing Research Tools and Techniques. Oxford University Press. Castells, Manuel, 1997. The Information Age: Economy, Society, and Culture, The Power of Identity. Vol. II, Massachussetts: Blackwell Publishers, Ltd. Daymon, Christine & Immy Holloway, 2002. Qualitative Research Methods in
Public Relations and Marketing Communications.
Dines, G. & Jean M. Humez, 2003. Gender, Race, and Class in Media: A Text Reader. London: Sage Publication Ltd. Effendy, W. & Prasetyadji, 2008. Tionghoa dalam cengkeraman SBKRI. Jakarta: Transmedia Pustaka. Intisari, 2008. Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta: PT. Intisari Mediatama dan Komunitas Lintas Budaya Indonesia. Jenkins, Richard. 1996. Social Identity. New York: British Library Cataloguing in Publication Data. Liem, Yusiu, 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Penerbit Jambatan bekerjasama dengan Penerbit Pena Klasik. Littlejohn, Stephen W., 2002. Theories of Human Communication. Albuquerqe: Wadsworth Group. McCullagh, Ciaran. 2002. Media Power: A Sociological Introduction. New York: Palgrave, McMillan Press, Ltd. Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Texas A&M University: McGraw-Hill Companies. Neuman, W. Lawrence. 1991. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Needham Heights: A Viacom Company. Onghokham, 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. ISSN : 2085 1979
27
Mia Yuniartie.: Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi
Prasetyo, Stanley A. 2008. Adakah Media Untuk Keturunan Tionghoa. Jakarta. Prasetyo, Stanley Adi. 2006. Intelijen, Sensor, dan Negeri Kepatuhan, dalam Andi Widjajanto (ed.), Negara, Intel, dan Ketakutan. Jakarta: Pacivis Universitas Indonesia. Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia. Suhandinata, J. 2008. WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi & Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suryadinata, Leo. 1992. Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China. Singapore: Octopus Publishing Asia PTE Ltd. Tan, Melly G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. JURNAL: Chan, Lih Shing. 2006. The Representation of Chinese Identity Through Chinese Ethnic Minority Media in Japan. Journal of Human Rights, Diversity, and Social Justice, June. Georgiou, Myria. 2005. Diasporic Media Across Europe: Multicultural Societies and The Universalism-Particularism Continuum. Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 31, May. Husband, Charles. 2005. Minority Ethnic Media As Communities of Practice: Professionalism and Identity Politics in Interaction. Journal of Ethnic and Migrations Studies, Vol. 31, May. Scheufele, Dietram A. 1999. Framing as a Theory of Media Effects. Journal of Communication, Winter. Sreberny, Annabelle. 2005. ‗Not Only, But Also‘: Mixedness and Media. Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 31, May. Suryadinata, Leo. 1998. Anti-Chinese riots in Indonesia Perennial problem but major disaster unlikely. A commentary in Straits Times, p. 36, p. 25, January. de Vreese, Claes H. 2005. News Framing: Theory and Typology. Information Design Journal+Document Design, John Benjamin Publishing Company. Le, C.N. 2009. Assimilation and Ethnic Identity. The Landscape of Asian America. KORAN/SITUS: Bubas, 2001. Computer Mediated Communication Theories and Phenomena: Factors that Influence Collaboration Over The Internet. www.cuc.carnet.hr. Dawis, Aimee. 2007. Chinese language profiency and the politics of identity. The JakartaPost.com, July 28. Dawis, Aimee. 2008. I am a Chinese-Indonesian. The JakartaPost.com, February 6. Hariyono, Paulus. 2003. Persoalan Etnis Cina di Indonesia. Harian Suara Merdeka, 13 Mei. Perhimpunan INTI. 2008. Redefining The Chinese Problem in Indonesia. inti.or.id, 21 April.
28
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
Kusno, Malikul. 2006. UU Kewarganegaraan dan etnis Tionghoa. Sinar Harapan, 9 Desember. Kwartanada, Didi. 2004. Tionghoa dalam dinamika sejarah Indonesia modern: Refleksi seorang Sejarawan peranakan. Forum Budaya Tionghoa, 5 Juni. Majalah Suara Baru edisi no. 1/2000, Februari. Majalah Suara Baru edisi no. 2/2000, Maret. Majalah Suara Baru edisi no. 3/2000, April. Majalah Suara Baru edisi no. 4/2000, Mei. Majalah Suara Baru edisi no. 5/2000, Juni. Majalah Suara Baru edisi no. 6/2000, Juli-Agustus. Majalah Suara Baru edisi no. 7/2000, September. Majalah Suara Baru edisi no. 8/2000, Desember. Majalah Suara Baru edisi no. 9/2001, Januari. Suryadinata, Leo. 2006. Etnis Tonghoa, pribumi Indonesia dan kemajemukan: peran negara, sejarah dan budaya dalam hubungan antar etnis. Forum Budaya Tionghoa. Edisi 27 Januari. Suryadinata, Leo. 1998. Pemikiran politik minoritas Tionghoa di Indonesia. inti.or.id. Harian Suara Pembaruan, 26 Jan. 2006. Imlek, kebangkitan etnis Tionghoa di Indonesia. Edisi 26 Januari. Trisnanto, A.M. Adhy. 2007. Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia. Suara Merdeka edisi Minggu, 18 Februari.
ISSN : 2085 1979
29