perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
BAB III PROSES KAWIN CAMPUR ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS JAWA DI SURAKARTA TAHUN 1980-1998
A. Tradisi Campuran Etnis Tionghoa Dengan Jawa Orang-orang Tionghoa dari masa ke masa selalu bertemu menyatu dan menjadi Jawa, diantaranya melalui perkawinan. Beberapa di antara keturunan mereka ada yang tampil sebagai tokoh-tokoh utama dalam pengislaman Jawa, misalnya: Cheng Ho yang masih keturunan etnis Tionghoa ini mampu menyebarkan agama Islam di Indonesia. Dalam bidang pemerintahan, kerajaan Islam pertama di Jawa juga dipimpin oleh seorang raja keturunan Tionghoa. Seperti, kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah alias Tjin Bun Cek Ko Po.1 Dalam bidang bahasa orang Tionghoa juga meninggalkan warisan yang abadi hingga kini yang berupa pengetahuan akan bahasa Mandarin. Barang-barang cetakan dalam bahasa Mandarin seperti koran, dan majalah-majalah Tionghoa pun mulai bermunculan dimana-mana. Selain itu, kursus bahasa Mandarin mulai menjamur. Bahkan sekolah-sekolah, termasuk pesantren, mulai memasukkan kurikulum bahasa Mandarin ke dalamnya.2 Contoh tradisi campuran etnis Tionghoa dengan Jawa yang 1
http://m.merdeka.com/peristiwa/perjalanan-orang-tionghoa-sebarkanagama-islam-di-pulau-jawa.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2014 2 Mia Yuniartie., Peranan Media Untuk Masyarakat Etnis Tionghoa Setelah Era Reformasi Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, tahun III, nomor 1,2011, hlm. 19. commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
lain adalah bidang pertanian. Dalam bidang pertanian etnis Tionghoa banyak memberikan ilmu mengenai teknologi pengolahan dan peralatan pertanian dengan berbagai macam tanaman sayur-mayuran dan buah-buahan serta berbagai macam makanan dan cara membuatnya.3 Teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian itu seperti pembuatan gula tebu, tanaman jati, dan teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, kecap, dan tauco.Teknik-teknik tersebut yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara.4 Salah satunya teknik pengelohan tahu pertama kali berada di kota Kediri5 kemudian menyebar keseluruh
Jawa. Pertama kali orang-orang
Tionghoa di Banten dibawah pimpinan Souw Beng Kong juga mengajarkan petanipetani setempat untuk menanam padi di sawah-sawah berpetak dengan menggunakan pematang dan membajak serta mengairinya.6 Orang-orang Tionghoa juga mewariskan keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya (terutama batik).7 Cikal bakal batik Tionghoa peranakan (atau populer dengan batik encim ) berada di Pekalongan. Salah satu pembatiknya bernama Oey Kiem Boen. Secara turun temurun mewariskan usaha batik encim sebagai tradisi. 3
Rustopo., Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 5. 4 http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg10670.html, diakses pada tanggal 19 Januari 2014. 5 Aji Chen Bromokusumo, Peranakan Tionghoa Dalam Kuliner Nusantara (Jakarta : Kompas,2011), hlm.24. 6 Ignas Praditya Putra, Cerita tentang Bangsa Perantau, http://kreasidg09.blogspot.com/2008/09/warisan-negeri-seberang.html, diakses pada tanggal 19 Juni 2014. 7 Peter Carey., Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1985), hlm. 28. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
yang masih bertahan hingga sekarang dan mampu membuktikan bahwa keluarga ini bertekad untuk terus melestarikan batik encim. Pusat pembuatan batiknya menggunakan nama Liem Ping Wie, yang merupakan keturunannya yang ketiga. Kini, Rumah Batik Liem Ping Wie dikelola oleh putri keenamnya, atau keturunan keempat Oey Kiem Boen, yaitu Liem Poo Hien.8 Meskipun antara etnis Tionghoa dengan Jawa mengalami tradisi campuran yang beraneka ragam tetapi dalam perkembangannya masyarakat etnis Tionghoa ini seolah-olah terbentuk menjadi kelas sosial tertentu yang mengakibatkan adanya kesenjangan hubungan antara Tionghoa dengan Jawa, tetapi hal itu tidak berlaku untuk semua orang Tionghoa. Beberapa orang-orang Tionghoa yang berada di kota Surakarta, baik secara perorangan maupun kelompok-kelompok kecil ini mampu berinteraksi
dengan
orang-orang
Jawa
di
Surakarta.
Hubungan
mereka
diimplementasikan melalui seperti dalam kegiatan seni dan kegiatan-kegiatan budaya lainnya. Misalnya, kegiatan-kegiatan tari, karawitan, wayang, dhagelan, batik, keris, arsitektur, ukir-ukiran, kepurbakalaan, permuseuman, bahasa, dan lain-lainnya. Dalam konteks realitas sosial yang dibayangi oleh pandangan stereotip,9 keberadaan etnis Tionghoa di Surakarta menjadi unik.10 Keunikan tersebut semakin menonjol ketika diantara etnis Tionghoa ada yang ditarik ke dalam lingkungan 8
Kompasiana, Liem Poo Hien, Penjaga Tradisi Batik Encim di Kedungwunim, http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/01/liem-poo-hien-penjagatradisi-batik-encim-di-kedungwuni-454230.html, diakses pada tanggal 19 Juni 2014. 9 Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe, diakses pada tanggal 25 Februari 2014. 10 Rustopo., op.cit., hlm. 6. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
keraton, diberi penghargaan, gelar keningratan seperti Go Tik Swan yang mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari PB XII. Sejak ditetapkan sebagai Bupati Anom, Go Tik Swan resmi sebagai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang wajib mengabdikan diri ke Keraton.11
Gambar 2. Kelompok karawitan dari Paguyuban Pedagang Pasar Gede pada perayaan Grebeg Sudiro sebagai suara gending dan lagu yang terus diperdengarkan untuk menemani persiapan para peserta kirab. (Sumber:Dok.Pribadi 26/01/2014)
11
Ibid., hlm.305.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Gambar 3. Kirab dhagelan mengenakan pakaian jawa dan bersanggul sebagai penghibur untuk memeriahkan Grebeg Sudiro (Sumber:Dok.Pribadi 26/01/2014) Melihat kebersamaan antara etnis Tionghoa dengan Jawa yang berada di kota Surakarta itu membuat daya tarik bagi para wisatawan negara dan mancanegara. Pembuktian kebersamaan tersebut bisa dilihat saat perayaan Grebek Sudiro yang biasanya diselenggerakan oleh semua rakyat di Surakarta. Tradisi Grebek Sudiro ini menjadi penanda bahwa kelurahan Sudiroprajan itu pembauran sangat alami sekali dan pembaurannya sangat bagus sekali, artinya mereka mampu bertoleransi satu sama lain.12
12
Wawancara dengan Sumartono Hadinoto tanggal 3 Oktober 2013 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
Gambar 4. Iring-iringan prosesi Liong Barongsai Pada Grebek Sudiro (Sumber:Dok.Pribadi 26/01/2014) Tradisi campuran antara etnis Tionghoa dengan Jawa yang ada di kota Surakarta merupakan pembuktian bahwa orang-orang Tionghoa yang menjadi Jawa itu mampu mengadopsi, menggunakan, dan memproduksi simbol-simbol kebudayaan Jawa. Sebagaimana yang dapat dipahami dari pernyataan Clifford Geertz yang menjelaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang bertindak dan bertingkah laku haruslah menurut pola-pola kebudayaan Jawa beserta sistem-sistem maknanya.13 Tindakan atau tingkah laku setiap orang, menurut teori konvergensi dari William Stern terjadi karena eksistensi budaya yang mempengaruhi hasil pertemuan antara faktor pribadi dam faktor lingkungan. Faktor pribadi orang-orang Tionghoa yang menjadi Jawa antara lain dapat dilacak melalui silsilah, dan faktor lingkungan dapat dilacak mulai dari lingkungan keluarga, tetangga, hingga lingkungan budaya.Dalam hal ini keberadaan etnis Tionghoa di kota Surakarta telah menjadi realitas budaya dan 13
65-66.
Cllifford Geertz., Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta:Kanisius,1992), hlm. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
realitas sosial yang merupakan dua dimensi kehidupan yang tidak saling bertemu atau bahkan bisa menjadi bertolak belakang. Dalam realitas budaya hampir tidak pernah terjadi konflik dan kerusuhan, sedangkan realitas sosialnya tidak sepi dari konflikkonflik antargolongan, antarpartai, yang seringkali pecah menjadi kerusuhan.14
B. Perkawinan Campur Antara Etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta Menurut Tseng menyebutkan bahwa perkawinan antar etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.15Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku yang berbeda.16Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga.17
14
Rustopo.,op.cit.,hlm. 14. McDermott, J.F., & Maretzki, T.W., Adjustment Intercultural Marriage,(Honolulu : The University of Hawaii,1977), hlm. 25. 16 Koentjaraningrat.,Manusia Kebudayaan di Indonesia,(Jakarta: Jambatan,1981), hlm. 60. 17 Wawancara dengan Sunardi Darma Sukha atau Ko Asun tanggal 28 Oktober 2013 commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Ketika masa pemerintahan kolonial Belanda perkawinan campur berarti perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia.18 Akan tetapi perkawinan campuran bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraannya, maka salah satu pihak dapat memperoleh kewarganegaraan dari si suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Perolehan
kewarganegaraan
yang
diatur
dalam
Undang-Undang
Kewarganegaraan Indonesia No. 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa si suami atau isteri kehilangan kawarganegaraannya sendiri tergantung kepada Undang-Undang kewarganegaraan dari negeri si suami atau isteri. Berlangsungnya perkawinan campur tersebut membuat si isteri berlaku hukum perdata yang berlaku bagi suami. Artinya tidak memberikan status kewarganegaraan Indonesia secara otomatis bagi wanita WNA yang menikah dengan pria WNI, tetapi apabila wanita WNA tersebut ingin menjadi WNI maka ia harus mengajukan permohonan resmi sesuai peraturan yang berlaku. Demikian juga wanita WNI yang menikah dengan seorang pria WNA dapat tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia, bila ia hendak mengikuti kewarganegaraan suami menjadi WNA, maka wanita tersebut diharuskan untuk
18
Martiman Prodjohamidjojo.,Tanya-Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan diserta Yurisprudensi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm.45 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
mengajukan permohonan sesuai peraturan yang berlaku seperti tertuang dalam Pasal 7 dan 8 UU Kewarganegaraan Indonesia tahun 1958.19 Hal yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan kewarganegaraan dalam keluarga suatu perkawinan campuran. Perbedaan kewarganegaraan tidak saja terjadi antara pasangan suami istri dalam suatu perkawinan campuran, tetapi juga terjadi pada anak-anak hasil perkawinan campuran. Menurut UU Kewarganegaraan tahun 1958, kewarganegaraan untuk anak hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan ayahnya, apabila anak yang lahir dalam suatu perkawinan campuran dari ibu WNI dan ayahnya WNA, anak tersebut secara otomatis menjadi WNA, sehingga terjadi perbedaan kewarganegaraan antara anak yang lahir tersebut dengan ibunya yang WNI. Perbedaan kewarganegaraan antara anak WNA dengan ibunya WNI menimbulkan banyak masalah hukum, baik selama masa perkawinan campuran itu berlangsung maupun setelah putusnya perkawinan campuran. Terdapat banyak kasus yang muncul, dimana UU Kewarganegaraan tahun 1958 dapat melindungi anak-anak yang lahir dari seorang ibu WNI suatu perkawinan campuran, teristimewa saat putusnya perkawinan dan anaknya yang WNA harus berada dalam pengasuhan ibunya WNI serta bertempat tinggal di Indonesia. Hal tersebut menjadi perubahan besar sekali bagi isteri, karena perlu penyesuaian terhadap hukum perdata yang 19
Leonora Bakarbessy&Sri Handajani, Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campur Dan Implikasinya Dlam Hukum Perdata Internasional,Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Volume XVII, nomor 1, Januari 2012,hlm.2 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
berlaku bagi suaminya. Anak-anaknya pun yang lahir dari perkawinan campur memperoleh kedudukan hukum publik dan hukum perdata bapaknya.20 Pada dasarnya perkawinan campuran di Indonesia ini dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan sebelumnya telah diatur dengan Koninklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896 No.23. Peraturan ini disebut Regeling op de Gemengde Huwelijken yang lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling, dengan singkatan G.H.R. atau biasa disebut sebagai Peraturan Perkawinan Campuran.21 G.H.R selesei dirancang pada tahun 1896 dan diundangkan pada tahun 1898. Pada tahun 1898 dalam bidang hukum perkawinan yang perlu diperhatikan ialah apakah yang berkepentingan itu penduduk atau bukan penduduk Indonesia. Perkawinan campuran menurut bunyi pasal 1 G.H.R. adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Bunyi pasal satu ini sama dengan bunyi peraturan undang-undang perkawinan campuran tahun 1974. Definisi keduanya memberikan pemahaman bahwa pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.22 Selanjutnya perkawinan campuran yang terjadi ditahun-tahun berikutnya akibat dampak dari berlangsungnya interaksi sosial antara Jawa dengan etnis 20
Ibid., hlm. 3. R Soetojo Prawirohamidjojo., Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia, (Surabaya:Universita Airlangga, 1988), hlm. 89. 22 Ibid., hlm. 90. commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Tionghoa ini, didasari pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Keempat faktor ini mendorong seseorang untuk melakukan kontak sosial dan komunikasi dengan orang lain. Bila kontak ini terjadi antara kedua etnis dan jenis kelamin yang berbeda maka akan dimungkinkan untuk mereka menerima perkawinan campur (amalgamasi).23 Asimilasi perkawinan atau amalgamasi merupakan penyatuan beragam kelompok etnik yang berbeda secara biologis.24Perkawinan antaretnis disini adalah perkawinan orang Jawa dengan orang Tionghoa keturunan yang ada di wilayah Surakarta. Memang di sekitar wilayah Surakarta banyak hal yang menjadi perekat pembauran antara Tionghoa dengan Jawa. Salah satu perekat pembauran yang paling efektif adalah dengan perkawinan antar etnis antara Tionghoa dengan Jawa. Bisa dikatakan bahwa adanya perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa ini terjadi karena adanya kesamaan nasib yakni sebagai buruh lepas yang tidak dapat dikatakan sebagai orang yang kaya. Menurut Rustopo, mudahnya terjadi perkawinan antaretnis yang dilakukan di wilayah sekitar Surakarta itu, karena adanya kemiskinan bersama yang memungkinkan terjadinya komunikasi sosial sehingga proses pembauran berlangsung secara alami.25 Sampai abad ke 20, perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa tetap terjadi, namun yang menjadi penyebab bukan lagi kemiskinan akan tetapi lebih pada dampak interaksi multi etnis. Keadaan 23
P Hariyono., op.cit., hlm. 174. Abdulla Idi., Asimilasi Cina-Melayu Di Bangka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 130. 25 Rustopo., op.cit., hlm. 64. commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
yang multi etnis ini, masyarakat kota Surakarta cenderung mewujudkan sebagai masyarakat multi bahasa.26 Hal ini disebabkan karena setiap etnis memiliki bahasa sendiri. Namun demikian pemakaian bahasa Jawa justru ada dikalangan etnis pendatang. Bila berbicara masalah kehidupan sehari-hari orang-orang Tionghoa di kota Surakarta justru lebih supel berbahasa Jawa dibanding Tionghoa didaerah lainnya. Sebagai contoh, daerah pecinan pasar Gede yang berdagang itu berbicaranya justru memakai bahasa Jawa karma.27Penggunan bahasa jawa tersebut justru menjadi peluang bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan penduduk Jawa yang ada di kota Surakarta. Ada reaksi yang berlebihan dari para pelaku perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa ketika identitas mereka terbuka oleh publik. Mereka menilai perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa adalah sesuatu yang wajar dan tidak pernah merugikan pihak manapun. 1. Perkawinan Campur Antar Etnis Seagama Perkawinan campur antar etnis Tionghoa dengan Jawa yang seagama tentu tidak ada masalah secara hukum. Perkawinan memiliki makna baik secara agama maupun kultural, terutama pada masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan dan adat istiadat sangat berkaitan erat
26
Triyoga Dharma Utami., Pemakaian Bahasa Komunitas Pedagang Etnik Jawa dengan Mitra-Tutur Etnik Jawa dan Non-Jawadi Pasar Klewer Sala (Kajian Sosiolinguistik). (Tesis (tidak dipublikasikan) Universitas Negeri Semarang,2004),hlm.4 27 Wawancara dengan Adjie Chandra 11 Oktober 2013 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
dengan sistem nilai-nilai budaya dan sistem nilai-nilai agama. Perkawinan bukanlah semata-mata hanya kehidupan bersama antara pria dan wanita saja, tetapi perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin dalam membina kehidupan keluarga yang bahagia berlandaskan iman dan agama. Perkawinan campur antar etnis seagama justru menjadi faktor pendorong bagi perkawinan campur. 2. Perkawinan Campur Antar Etnis Beda Agama Penghambat yang paling utama bagi perkawinan campur antara etnis Tionghoa dengan Jawa adalah permasalahan beda agama. Biasanya orang Tionghoa yang masih memegang erat pada kebudayaannya (biasa disebut orang totok) masih menganut agama Konghucu sedangkan pribumi menganut berbagai macam agama yang lain. Peraturan yang mengharuskan perkawinan secara seagama dilakukan sebelum catatan sipil menjadi faktor penghambat dalam pernikahan campur.28 Pada dasarnya didalam agama, perkawinan hanya mengatur sesama penganut agama.Artinya pernikahan sah bila kedua pasangan tersebut seagama bukan berbeda agamanya.29 Karena aturan itu sering kali pasangan etnis Tionghoa dengan Jawa tidak jadi nikah karena selain beda suku seringnya beda agama juga, dan masing-masing tidak merasa rela untuk berpindah agama hanya karena perkawinan. Perkawinan campuran beda agama bisa dilakukan di gereja Khatolik, gereja Kristen serta Vihara dengan catatan harus mematuhi aturan-aturan gereja dan vihara. Artinya pihak gereja dan pihak vihara hanya sah ketika melakukan pemberkatan saja 28
29
Wawancara dengan Sunardi Darma Sukha tanggal 28 Oktober 2013 Wawancara dengan Virakusalo Sektiono tanggal 28 Januari 2014 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
bukan berarti sah secara hukum karena pihak gereja dan pihak vihara bukan bertugas mensahkan secara hukum yang berhak memutuskan sah secara hukum hanya pihak pencatatan sipil saja.30 Pernikahan campuran yang terjadi karena beda agama dilakukan dalam keadaan sadar dan sukarela bukan dalam keterpaksaan. Dalam pandangan Katolik,Kristen, maupun Budha perkawinan yang didasarkan pada hubungan cinta kasih sejati tanpa ada kaitannya dengan agama apapun tetap harus diterima sebagai bagian suci karena berdasarkan pada berkat Allah kepada manusia yaitu laki-laki dan perempuan.31 Apapun permasalahan yang terjadi dalam perkawinan semuanya karena maksud Tuhan dalam hidup dan panggilan Tuhan.32 Pada dasarnya banyak diantara pasangan sering tidak dapat melanjutkan hubungan mereka dalam suatu rumah tangga karena adanya perbedaan agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Diantara mereka sendiri banyak pertimbangan yang menjadi alasan apabila hubungan itu dilanjutkan dalam suatu perkawinan. Pertimbangan yang paling mencolok adalah tentang proses penyesuaian dari agama yang satu dengan agama lainnya. Penyesuaian perkawinan sangat penting dilakukan dan diupayakan demi mencapai kebahagiaan, sebagaimana maksud dijalankannya suatu perkawinan. Penyesuaian
30
perkawinan juga
dimaksudkan untuk mendapatkan
Wawancara dengan Sunardi Darma Sukha tanggal 28 Oktober 2013 Ahmad Baso&Ahmad Nurcholis., Pernikahan Beda Agama : Kesaksian, Argumen Keagamaan & Analisis Kebijakan, (Jakarta:KOMNAS HAM,2005), hlm. 208. 32 Wawancara dengan Pdt.Granos Grodasinon tanggal 12 Februari 2014 commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
kedamaian.33 Sebab tanpa penyesuaian terhadap perubahan-perubahan dan perbedaanperbedaan yang ada akan sangat sulit dicapai kebahagiaan dan sulit pula mempertahankan kelangsungan lembaga perkawinan dalam jangka waktu panjang. Selain itu, penyesuaian perkawinan merupakan fondasi dimungkinkannya menjalankan fungsi-fungsi sosial perkawinan, terutama fungsi pengasuhan anak dan mendidik generasi. Kegagalan penyesuaian perkawinan dapat berujung pada perceraian.34 Kalaupun mereka yang berbeda agama ini berhasil memasuki perkawinan dan membentuk suatu rumah tangga, masalah yang dikhwatirkan muncul dari kedua belah pihak yang akan muncul yaitu dampak psikologis yang diakibatkan oleh adanya tawar-menawar dan tarik-menarik tentang suatu agama yang harus dianut.
Hukum yang berlaku pada perkawinan lelaki etnis Tionghoa beragama Kristen dengan wanita Jawa beragama Islam tergantung pada kehendak pihak masing-masing. Dalam Undang-Undang perkawinan Indonesia No. 1 th 1974 menyebutkan bahwa setiap perkawinan sah bila sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Kasus ini terjadi karena sang lelaki maupun sang wanita sama-sama dilarang agamanya untuk menikah dengan orang beda agama, yang berarti bila mereka tetap menikah, pernikahan
33
Bonar Hutapea, Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan Berbeda Agama(The Dynamics Of Marital Adjustment InThe Interfaith Marriage), Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16, nomor 1, Tahun 2011,hlm.102 34 Ibid.,hlm. 104. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
mereka tetap akan dikategorikan tidak sah. Pernikahan mereka akan berlanjut bila saja salah satu dari mereka pindah agama, sehingga sama dengan agama pasangannya.35
Perkawinan lelaki Tionghoa beragama kristen dengan perempuan Jawa beragama islam adalah suatu contoh perkawinan antar agama yang pada kenyataannya sangat sering terjadi di Indonesia. Meski begitu, karena UU Perkawinan tidak mengatur pasal pernikahan beda agama, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah bila tidak sesuai dengan ketentuan agama masing- masing. Dengan demikian, apabila akan melangsungkan suatu perkawinan, kedua belah pihak tetap mempertahankan agamanya masing-masing maka perkawinan tersebut akan berakibat dalam memiliki keturunan, jika memiliki anak maka anak tersebut akan bingung dalam memiliki keyakinan. Perkawinan ini tidak ada kepastian hukum dan hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan beda Agama.36
3. Perkawinan Campur Antar Etnis Kelompok Menengah Kebawah dan Menengah Keatas Perkawinan campur antar etnis kelompok menengah kebawah dengan perkawinan campur antar etnis yang kelompok menengah keatas merupakan pembuktian bahwa salah satu stereotype mengenai etnis Tionghoa yang ada ditengahtengah masyarakat umum selama ini khususnya masyarakat Jawa bahwa etnis Tionghoa itu merupakan orang-orang yang tidak semua hidup mapan secara ekonomi. Begitu kuat 35
Dara Hapsari Nastiti., Perkawinan (Jakarta:Kumpulan Artikel Hukum, 2011), hlm. 5. 36 Ibid., hlm.132 commit to user
Antar
Agama
Dan
Etnis.,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
stereotype kaum Tionghoa menengah keatas sehingga mengubur dalam-dalam realitas yang lain bahwa banyak juga kaum Tionghoa yang dari golongan menengah kebawah.37
Kasus yang dapat dilihat adalah ketika para informan dalam kehidupan perkawinannya juga berasal dari kelas yang sederajad. Misalnya, perkawinan Kong Hing dengan Winda Ayu yang menikah di lingkungan Sudiroprajan kampung Kepanjen. Kong Hing bekerja sebagai karyawan sedangkan Winda Ayu juga bekerja sebagai karyawan.38 Kampung Kepanjen merupakan pemukiman yang terlihat berbeda dibandingkan kampung
RE Martadinata. Meskipun kampung Kepanjen terlihat
berbeda tetapi ada rasa solidaritasnya dan saling gotong royong. Dibandingkan dengan pemukiman Tommy Widodo dan Anastasyia tentu jauh berbeda, karena mereka tinggal di Sudiroprajan kampung RE Martadinata.39 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Kong Hing dengan Winda Ayu berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah. Sedangkan Tommy Widodo dan Anastasyia berasal dari golongan menengah keatas.
37
Stefanus Rahoyo., Dilema Tionghoa Miskin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hlm. 1. 38 Wawancara dengan Kong Hing dan Winda Ayu tanggal 9 Februari 2014. 39 Wawancara dengan Tommy Widodo tanggal 5 Februari 2014. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
Gambar 5.Kondisi Perkampungan Menengah Keatas (Sumber:Dok.Pribadi 16/02/2014)
Gambar 6.Kondisi Perkampungan Menengah Keatas (Sumber:Dok.Pribadi 16/02/2014)
Pinggir Riani Susilowati bekerja sebagai penjaga toko dan suaminya bekerja sebagai karyawan, hingga kini memiliki rumah sederhana dan cukup memberikan bukti bahwa suaminya tersebut bukan orang yang mapan secara ekonomi.40 Rumah mereka
40
Wawancara dengan Pinggir Susilowati tanggal 7 Februari 2014. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
bertetangga dengan rumah Winda Ayu dan Kong Hing bisa dikatakan bahwa ada kecenderungan orang-orang Tionghoa yang menikah campur beda etnis yang hidup secara sosial ekonominya berasal dari golongan menengah kebawah.
Gambar 7. Kong Hing dan Winda Ayu (Sumber:Dok.Pribadi 09/02/2014) Berbeda dengan Yusuf juwono yang masih satu RT dengan Kong Hing dan Pinggir. Yusuf Juwono bukan termasuk golongan menengah kebawah.41 Hal ini terjadi karena rumah kediaman Yusuf berada di pinggir jalan. Ini merupakan pembuktian bahwa terdapat keluarga campuran Tionghoa Jawa yang tergolong menengah kebawah dan golongan menengah keatas tercatat sebagai warga Kelurahan Sudiroprajan, Surakarta.
41
Wawancara dengan Yusuf Juwono tanggal 4 Februari 2014. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
Gambar 8. Kondisi Perkampungan Menengah kebawah (Sumber:Dok.Pribadi 09/02/2014) Perkawinan campur etnis Tionghoa dan Jawa golongan menengah kebawah termasuk karena faktor pilihan hidup atau keadaan yang memaksa mereka untuk menjalani kehidupan yang sekarang ini. Sebenarnya dalam diri etnis Tionghoa masih terdapat jiwa kewirausahaan dan mampu bekerja secara mandiri. Kalaupun pada kenyataannya mereka tidak bisa merintis usaha baru atau mengembangkan usaha yang sudah ada, hal itu mereka akui di samping lantaran ketiadaan modal juga dikarenakan tiadanya akses terhadap modal.42
Satu hal yang menarik diantara mereka terdapat kecenderungan untuk lebih nyaman berada didalam atau bergaul dengan lingkungan sosial yang secara ekonomi juga termasuk golongan menengah kebawah. Ini dapat dilihat dari pola hidup
42
Wawancara dengan Kristanti tanggal 2 Februari 2014 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
perkawinan mereka yang umumnya kawin dengan orang yang sama-sama dari golongan menengah kebawah.
Berbeda dengan Tommy Widodo dengan Anastasyia ataupun perkawinan Yusuf Juwono, mereka memang mendapatkan istri dengan status sosial menengah kebawah. Kehidupan istri-istri mereka justru menjadi semakin mapan. Lebih dari itu, para pelaku yang berasal dari golongan menengah kebawah bahkan memiliki sikap a priori atau prasangka buruk terhadap sesama yang berasal dari golongan menengah keatas, yaitu bahwa orang-orang yang menikah campur antara etnis Tionghoa dengan Jawa yang pemukimannya jauh lebih mapan dan berasal dari golongan menengah keatas, kecenderungan mereka untuk menutup diri dan tidak mau bergaul karena kesibukan mereka yang bekerja.43 Dengan prasangka tersebut, mereka cenderung mengasingkan diri dari sesama mereka.
43
Stefanus Rahoyo.,op.cit., hlm. 97. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
Bagan 1. Lingkaran Kondisi Golongan Menengah Kebawah Perkawinan campuran pada Etnis Tionghoa dengan Jawa Kelurahan Sudiroprajan. Kondisi Golongan Menengah Kebawah Redefinasi Identitas
Tidak ada kemampuan untuk mentas dari kondisi tersebut
Pengasingan diri Tertutupnya akses terhadap informasi dan modal
Tidak adanya Guanxi
Sumber: Stefanus Rahoyo, Dilema Tionghoa Miskin, (Yogyakarta:Tiara Wacana,2010),hlm.177-178.
Keterangan: Kondisi perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan Jawa dari golongan menengah kebawah kecenderungan menganggap sebagai pasangan yang melakukan redefinisi44 identitas sosial dari identitas etnis ke identitas
44
Redefinasi adalah memikirkan kembali segala hal yang menurut kita sudah benar, kearah yang lebih sesuai dengan semangat jaman dan cita-cita. Stefanus Rahoyo, op.cit, hlm. 38-40. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
kelas. Mulai mendefinisikan diri sebagai kelas golongan menengah kebawah dan cenderung mengasingkan diri dari golongan menengah keatas. Mengasingkan diri dari golongan menengah keatas ini, maka mereka tidak memiliki guanxi. Tanpa guanxi, mereka tidak akan menerima bantuan dan tidak akan ada akses terhadap informasi serta modal pun menjadi tertutup. Dalam hal ini guanxi45 sebagai bentuk relasi khas antar sesama untuk saling membaur satu sama lainnya. Artinya mampu menjadi modal dan informasi bagi orang-orang dari golongan menengah kebawah guna menolong dirinya supaya mentas dari status sosial ekonomi menengah kebawah. Sebagai modal nonekonomi ini guanxi diperkokoh oleh kuatnya ikatan antar etnis diantara kaum Tionghoa dengan Jawa.46
C. Alasan Perkawinan Campur Yang Terjadi Di Surakarta Prinsip-prinsip
atau
asas-asas
perkawinan
menurut
Undang-Undang
Perkawinan tahun 1974, yang pertama adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing
dapat
45
mengembangkan
kepribadiannya
membantu
dan
mencapai
Guanxi dapat pula diartikan sebagai hubungan dasar dalam suatu jaringan yang dipengaruhi oleh hubungan pribadi. Hubungan pribadi yang dimaksud dapat didasari dari berbagai macam-macam hubungan, seperti hubungan keluarga, hubungan pertemanan, dan masih banyak lagi yang dapat dijadikan dasar guanxi. Bai Faze., Guanxi Dalam Jaringan Bisnis Cina, (Jakarta:Puksipuksi,2011), hlm. 2. 46 Stefanus Rahoyo.,op.cit.,hlm.38 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
kesejahteraan spiritual dan material. Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami-istri itu harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Keempat adalah hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.47 Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai atau mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu: 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
47
Soemiyati.,Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan:Undang-Undang no. 1, tahun 1974, tentang Perkawinan, (Yogyakarta:Liberty,1986), hlm.6. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah
ada hukum-hukumnya.
3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Yunanto Nugroho St perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta antara tahun 1980-1998 sudah dipastikan bahwa banyak yang menikah hanya secara sah dimata agama dan sedikit yang sah secara hukum.Penyebabnya karena bagi mereka yang masih berstatus kewarganegaraan asing untuk menikah dengan pribumi Jawa pasti akan dipersulit proses administrasinya.48 Sah secara agama tidak sah secara hukum bukan berarti alasan dalam perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Jawa di kota Surakarta ini selalu sama. Maka dengan itu dapat dibuktikan dengan pengelompokan sebagai berikut: 1. Faktor Sukarela Faktor sukarela pertama ialah karena cinta. Dalam hal ini perkawinan dimaksudkan untuk membentuk dan mengatur rumahtangga atas dasar cinta dan rasa kasih sayang terhadap pasangan. Ikatan perkawinan bila dibandingkan dengan ikatanikatan yang lain biasanya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, merupakan ikatan yang paling teguh dan paling kuat. Satu-satunya alat untuk memperkokoh 48
Wawancara dengan Yunanto Nugroho St tanggal 28 Januari 2014 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
ikatan perkawinan tersebut adalah rasa cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan wanita secara timbal-balik. Di atas dasar cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu berusaha membentuk rumahtangga yang bahagia. Seperti yang terjadi pada perkawinan Suprapto dengan Kristanti menikah atas dasar cinta bukan karena alasan yang lain. Rasa cinta Suprapto kepada Kristanti tanpa memandang perbedaan Kristanti yang beretnis Tionghoa, beragama berbeda, jarak umur yang terlalu banyak, dan status Kristanti sebagai janda. Perbedaan tersebut bukan menjadi penghambat bagi perkawinan Suprapto dan Kristanti. Semua karena cinta yang mampu melumpuhkan segala perbedaan Suprapto dengan Kristanti. Alasan kedua dari perkawinan campur antar etnis secara sukarela adalah karena faktor bisnis.Ini terjadi saat suami istri itu masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain. Berbeda dengan harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak dalam masa pernikahan yang bukan merupakan usaha dari pasangan. Misalnya: menerima warisan, hibah, dan hadiah. Harta kekayaan dalam perkawinan ini terjadi karena harta masing-masing suami atau istri yang telah dimilikinya sebelum kawin baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usahausaha lainnya, disebut sebagai harta bawaan. Contoh kasus, ketika ada pasangan yang menikah campur antar etnis di Surakarta mempunyai usaha toko besar. Kemudian, ternyata pria yang beretnis Tionghoa tersebut masih mempunyai anak di negara Cina tetapi sang istri di negara Cina sudah meninggal ingin mewarisi usaha toko yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
besar itu kepada anaknya yang masih di negara Cina, sang ayah pun meminta anaknya ke Indonesia khususnya ke Surakarta untuk tinggal dan bertempat tinggal. Anaknya pun mau dan akhirnya lama tinggal di Surakarta sang anak mendapatkan jodoh pribumi Jawa dan menikah. Mengenai harta suami atau istri yang telah dimiliki sebelum terjadinya perkawinan atau harta yang diperolehnya selama dalam perkawinan, yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tetapi didapat karena warisan atau pemberian yang diperuntukkan khusus bagi masing-masing, ini semua dapat tetap menjadi milik sendiri-sendiri setelah menikah tetapi dapat pula dicampurkan menjadi milik bersama dengan suatu perjanjian yang dibuat dengan cara-cara tertentu.49 Adapun terjadinya percampuran harta kekayaan suami istri itu dapat dilaksanakan dengan mengadakan perjanjian secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya perkawinan, baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri ataupun harta pencaharian.50 Perkawinan campur antara etnis Tionghoa dengan Jawa karena faktor bisnis memang terjadi di kota Surakarta. Pembagian harta juga mempengaruhi perkawinan antar etnis tersebut. Dengan cara diam-diam memang telah terjadi percampuran harta kekayaan suami dan istri, apabila kenyataannya bersatu dalam mencari hidup.
49 50
Soemiyati.,op.cit.,hlm. 101. Wawancara dengan Yusuf Juwono tanggal 4 februari 2014 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
Mencari hidup disini bukan berarti mencari nafkah saja, tetapi juga dilihat dari sudut pembagian kerja dalam berumahtangga. Alasan ketiga dari pernikahan campur yang terjadi karena pelampiasan hawa nafsu itu tidak masuk di ranah Undang-Undang pernikahan di Indonesia karena itu termasuk kesalahannya diri sendiri.51 Jika pria dan wanita berhubungan intim tanpa ada status yang sah antara agama dan hukum maka telah melakukan zinah dan melanggar hukum kesusilaan, kesopanan, agama. Tuntutan pertama dalam sebuah pernikahan bukan seksual. Tetapi indikator pertama dalam pernikahan adalah rasa cinta untuk membentuk satu keluarga yang baru, menurunkan keturunan keluarga, Memuaskan hawa nafsu sesaat, memenuhi hasrat biologi saja, tidak ada faktor kedepan, seseorang menunjukkan atau mengeksplor faktor hawa nafsunya. Sifat keberahian yang biasanya didapati dari dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah merupakan tabiat kemanusiaan. Perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan itu
disalurkan secara
sukarela. Ini terjadi karena ketertarikan itu timbul saat pria dan wanita seringnya bertemu dan saling menyukai.52 Misalnya, pria yang belum menikah yang mempunyai toko kelontong melampiaskan nafsunya ke wanita yang notabene bekerja sebagai karyawan tokonya. Kejadian seperti itu memang benar-benar terjadi pada perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Jawa yang terjadi antara tahun 1980 sampai tahun 1998 di Kota Surakarta. 51 52
Wawancara dengan Sunardi Darma Sukha tanggal 28 Oktober 2013 Wawancara dengan Joko Riyanto tanggal 12 Februari 2014 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
2. Faktor Paksaan Faktor paksaan dalam perkawinan campur antar etnis bisa juga terjadi karena bisnis dan pelampiasan hawa nafsu. Alasan pertama karena faktor bisnis terjadi saat kedua belah memaksakan perkawinan antar etnis untuk melancarkan bisnis yang dikelolanya. Alasan karena faktor bisnis ini memang perkawinannya dimaksudkan untuk menumbuhkan aktifitas dalam berusaha mencari rezeki dan memperbesar rasa tanggungjawab. Selain itu ada hal yang menarik dari pernikahan campur antar etnis karena faktor bisnis. Terjadi karena adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria bagi warga negara asing yang tidak berhak memiliki hak atas tanah.53 Alasan dari peraturan itu semata supaya terdapat tertib hukum dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, maka diperlukan perangkat hukum yang mengaturnya, guna menghindari pengunaan tanah yang tidak sesuai dengan ijin peruntukan, pembatasan kepemilikan tanah tempat tinggal, perbuatan hukum berupa jual beli, hibah, warisan, pembebanan jaminan hutang atas tanah, terutama apabila berkenaan dengan kepemilikan atau peralihan hak dari dan untuk warga negara asing atau badan hukum asing di Indonesia. Oleh karena itu, investor-investor asing hanya berhak menerima eksporan barang atau menerima barang saja. Investor asing tidak kurang akal lalu menikahi pribumi daerah tersebut untuk memperoleh status kependudukan di daerah tersebut 53
Arsensius,SH., Pengaturan Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal Bagi Warga Negara Asing Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Agraria.,Makalah disampaikan dalam jurnal.untan.ac.id/index.php/civika/article/view/398/403, hlm. 2. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
dan akhirnya membangun dan menginvestasikan. Keadan seperti itu digunakan sebagai kedok untuk bisa mendirikan suatu usaha serta memperoleh keuntungan di daerah tersebut. Kehidupan perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Jawa tersebut selanjutnya mengalami keharmonisan secara materi. Artinya sang pria yang beretnis Tionghoa membangun dan menginvestasikan daerah tersebut kemudian kembali ke negara Cina. Sang istri orang Jawa yang dinikahinya itu dicukupi secara materi saja atau dicukupkan dengan banyaknya uang.54 Alasan kedua dari perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Jawa terjadi karena faktor pelampiasan hawa nafsu secara paksaan dapat terjadi bila tidak ada ikatan yang sah sebagai pasangan suami istri yang terjadi adalah dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat. Salah satu contoh kasus adalah ketika ada majikan pria sudah menikah melampiaskan nafsunya kepada wanita yang pembantunya. Kehidupan perkawinan antar etnis tersebut sama halnya didasari karena paksaan. Alasannya karena pria tersebut sudah menikah tetapi masih memenuhi tuntutan tabiat kemanusiaan kepada pembantunya.
54
Wawancara Sunardi Darma Sukha tanggal 28 Oktober 2013 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
Tabel 2 Kasus perkawinan campur etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta tahun 1980-1998 yang terjadi karena faktor sukarela dan faktor paksaan dari dua puluh informan. Alasan
Faktor Sukarela
Faktor Paksaan
Cinta
7 Pasangan
-
Bisnis
3 Pasangan
1 Pasangan
Pelampiasan
5 Pasangan
4 pasangan
Perkawinan Campur
Hawa Nafsu
Perkawinan campur etnis Tionghoa dan Jawa yang terjadi karena faktor sukarela lebih banyak daripada faktor paksaan. Hal ini terjadi pada faktor sukarela yang lebih banyak karena setiap pasangan yang menikah campur menganggap bahwa keduanya saling membutuhkan, persamaan nasib, dan saling berkomunikasi setiap hari (misal:menjadi pembantu,karyawan atau buruh ditempat majikan yang beretnis tionghoa atau orang Jawa). Faktor paksaan jauh lebih sedikit karena kondisi dan situasi yang membuat salah satu pihak untuk dipaksa melakukan. Faktor paksaan yang terjadi pada pelampiasan hawa nafsu dan faktor sukarela beda tipis karena pada tahun 1980-1985 banyak yang menikah campur karena dulunya pembantu atau karyawan atau buruh ditempat majikan yang beretnis tionghoa atau orang Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
D. Perkembangan Perkawinan Campur Etnis Tionghoa dan Jawa Di Surakarta Tahun 1980-1998 Berdasarkan aturan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang ada di
Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Melalui Keputusan Presiden No.13 tahun 1983 mengenai Undang-Undang Kewarganegaraan dan warga etnis Tionghoa hanya bisa menjadi Warga Negara Indonesia dengan proses naturalisasi.55 Peraturan ini muncul sebagai sebagai kelanjutan Peraturan Dwikewarganegaraan pada masa Orde Lama. Dasar hukum SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) masa Orde Lama adalah Undang-Undang No.62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
dan
menyeleseikan
Indonesia
(RI)
-
Republik
permasalahan Rakyat
Dwikewarganegaraan
Tiongkok
(RRT).
Setelah
Republik perjanjian
Dwikewarganegaraan tersebut berhasil dibatalkan maka permasalahan status etnis Tionghoa tidak lagi Dwikewarganegaraan tetapi sudah WNI (Warga Negara Indonesia) tunggal. Keputusan Presiden No.13 mulai menegaskan bahwa semua etnis Tionghoa baik peranakan yang sudah menetap di Indonesia melewati beberapa generasi maupun Tionghoa Totok harus memiliki SBKRI. Pada Keppres No.13 ini mewajibkan pemohon menyertakan surat pernyataan bahwa ia bersedia melepas 55
Leo Suryadinata.,Etnis Tionghoa (Jakarta:LP3ES,1999), hlm.216 commit to user
dan
Pembangunan
Bangsa,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
kewarganegaraan asalnya. Pelaksanaan Keppres ini ternyata kurang lancar karena berbagai sebab. Salah satunya adalah biaya yang mahal. Peraturan ini jelas bersifat diskriminatif karena pemberlakuan peraturan hanya dikenakan pada etnis Tionghoa dan tidak pada etnis lainnya, seperti Arab. Pemberlakuan SBKRI terhadap etnis Tionghoa diperlukan untuk memproses dokumen-dokumen lain, termasuk paspor, izin usaha, mengajukan kredit, dan bahkan ke universitas. Etnis Tionghoa tidak punya pilihan lain selain harus berjuang untuk memperoleh SBKRI, kalau tidak mereka akan menghadapi kesulitan sampai akhir hayat mereka.56 Perkawinan campur etnis Tionghoa dan Jawa tahun 1980-1983 mengalami kendala saat etnis Tionghoa masih berkewarganegaraan RRT. Posisi yang masih berkewarganegaraan RRT sesuai Keputusan Presiden No.13 tahun 1983 mengenai Undang-Undang Kewaraganegaraan justru menjadi penghambat bagi etnis Tionghoa dan Jawa yang menikah. Selain biaya yang ditempuh mahal untuk memperoleh SBKRI, proses pencatatan sipil untuk perkawinan pun juga dipersulit. Bagi yang melangsungkan perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa tahun 1980-1983 ini biasanya berasal dari golongan menengah keatas. Pada tahun 1983-1986 proses menikah campur etnis Tionghoa dan Jawa kebanyakkan dilangsungkan secara siri. Hal itu terjadi karena etnis Tionghoa ada yang masih berkewarganegaraan asing dan termasuk golongan menengah kebawah yang untuk mengurus SBKRI serta perkawinan masih perlu pertimbangan biaya. 56
Justian Suhandinata., WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm.329-330. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Permasalahan tahun 1986-1990 terjadi ketika pasangan antara etnis Tionghoa dan Jawa dilangsungkan di Kantor Urusan Agama supaya lebih mudah dan cepat diterima oleh keluarga besar serta mengambil jalan pintas dalam proses pencatatan sipil. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang mencatatkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pemberlakuan Undang-Undang tersebut membuat pasangan yang beretnis Tionghoa dan Jawa mengubah agamanya dan melangsungkan perkawinan di Kantor Urusan Agama. Pemberlakuan Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa berdampak pada tahun 19901993 etnis Tionghoa dan Jawa yang beragama Khonghucu tidak dapat melangsungkan perkawinan campur. Hal tersebut membuat pasangan ini untuk sementara pindah beragama Islam dan melangsungkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama. Pada masa pemerintahan Soeharto tahun 1996 mengeluarkan sebuah keputusan tentang pembatalan persyaratan SBKRI. Sebagai gantinya, warga Indonesia keturunan Tionghoa dapat menggunakan KTP (Kartu Tanda Penduduk), akte lahir dan Kartu Keluarga untuk urusan bisnis dan pendidikan. Tahun 1996 juga, ada Instruksi Presidium Kabinet No.31/U/IN/2/1996 yang menyatakan untuk tidak lagi menggunakan penggolongan dalam pencatatan sipil. Perkawinan etnis Tionghoa dan Jawa tahun 1993-1996 sudah dimudahkan dalam proses pencatatan sipil tetapi pada kenyataannya menimbulkan diskriminasi terselubung. Etnis Tionghoa diperlakukan berbeda dalam pelayanan publik. Bukan hanya diperlakukan secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
tidak adil sewaktu mengurus pencatatan sipil tetapi sang anak yang lahir dari perkawinan campur dalam proses pencatatan sipil pun juga diperlakukan diskriminatif. Terbukti pada pencatatan akte kelahiran salah satu orangtuanya yang beretnis Tionghoa tidak dicantumkan pada akte kelahiran sang anak. Pada
tahun
1998,
Habibie
mengeluarkan
sebuah
Keputusan
yang
memerintahkan pejabat pemerintah memperlakukan semua warga negara secara sama.57 Hal ini membuat pembauran bagi pasangan etnis Tionghoa dan Jawa, pasalnya tidak ada keengganan untuk menikah karena proses pencatatan sipil mulai dipermudah. Selain itu, pencatatan akte kelahiran bagi anak-anaknya pun sudah tidak lagi dibedakan. Kondisi ini berbeda saat memasuki era reformasi ada pandangan lebih positif terhadap etnis Tionghoa. Perkawinan campur etnis Tionghoa dan Jawa sudah diterima masyarakat sebagai sebuah kewajaran.58 Pemahaman budaya antara Tionghoa dengan Jawa semakin terus berkembang lebih baik, apalagi ditahun 1999 Habibie telah mengeluarkan Keputusan yang melarang diskriminasi terhadap warga negara Indonesia berdasarkan asalnya.
57 58
Ibid., hlm. 131. Radar Solo 18 November 2012
commit to user