PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
ETIK SULISTIOWATI NINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peranan Kelembagaan dan Tindakan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Ujung Kulon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2008 Etik Sulistiowati Ningsih P054050081
ABSTRACT ETIK SULISTIOWATI NINGSIH. Role of institutions and Communication action on Conflict Resolution in National Park of Ujung Kulon. Under direction of SJAFRI MANGKUPRAWIRA and TOHA NURSALAM. The objectives of this research are (1) to analyze the correlation of institutions transparency and accountability to communication actions; (2) to analyze the correlation of institutions transparency and accountability to conflict resolutions; (3) to analyze the correlation of communication actions to conflict resolutions. This research used quantitative approach. The method used questioner, interview, deep interview, and observation. The research had been done in Kampung Legon Pakis, Kampung Cikawung Girang at Desa Ujung Jaya and Kampung Kopi at Desa Kertajaya, Sumur, Pandeglang, Banten. Data was analyze by Correlation of Rank Spearman. The result show that (1) institutions transparency, accountability correlate positively with trend of asking, discussion, and informing action (2) institutions transparancy correlate positively with trend of agree with concensus and disagree with collaborative management, while accountability correlate positively with trend of agree with community empowerment. (3) asking and discussing action correlate positively with trend of agree with concensus, and disagree with collabotative management. While asking and informing action correlate positively with trend of agree with community empowerment Keyword: institutions, communication action, conflict resolution, national park of Ujung Kulon.
RINGKASAN
ETIK SULISTIOWATI NINGSIH. Peranan Kelembagaan dan Tindakan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Ujung Kulon. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan TOHA NURSALAM. Indonesia merupakan negara yang mempunyai biodiversitas tinggi yang tersimpan didalam hutan tropis. Upaya konservasi kekayaan hutan Indonesia sudah dimulai sejak masa Belanda hingga saat ini. Pengelolaan kawasan konservasi mengalami evolusi seiring dengan rangkaian perkembangan kebijakan di sektor kehutanan maupun kebijakan yang langsung berkenaan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan status kawasan Ujung Kulon dari hutan alam menjadi taman nasional menyisakan konflik antara masyarakat dan TNUK. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan tindakan komunikasi, 2) menganalisis hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan penyelesaian konflik, dan 3) menganalisis hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuisioner, wawancara, wawancara mendalam dan pengamatan lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Girang Desa Ujung Jaya serta Kampung Kopi Desa Kertajaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) pengetahuan mengenai perencanaan, pelaksanaan, sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif dengan tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi yang dilakukan dan kelembagaan; (2) pengetahuan mengenai rencana penyelesaian konflik, pelaksanaan penyelesaian konflik, sumber dana penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif dengan pengetahuan mengenai kesepakatan penyelesaian konflik. Pengetahuan mengenai rencana penyelesaian konflik, pelaksanaan penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif dengan sikap tidak setuju dengan pengelolaan kolaboratif. Pengetahuan mengenai pengelolaan dana penyelesaian konflik berhubungan positif dan nyata dengan sikap setuju terhadap pemberdayaan masyarakat; dan (3) intensitas bertanya dan berdiskusi berkorelasi positif dengan pengetahuan mengenai kesepakatan. Tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan sikap tidak setuju dengan pengelolaan kolaboratif. Tindakan bertanya dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan pemberdayaan masyarakat. Kata kunci: kelembagaan, tindakan komunikasi, penyelesaian konflik, Taman Nasional Ujung Kulon.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
ETIK SULISTIOWATI NINGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis
Judul Tesis Nama NRP
: Peranan Kelembagaan dan Tindakan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Ujung Kulon : Etik Sulistiowati Ningsih : P054050081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira Ketua
Ir. Toha Nursalam, M.Si Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 9 September 2008
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirabbil’aalamiin atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah penyelesaian konflik, dengan judul “Peranan Kelembagaan dan Tindakan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Ujung Kulon. Tesis ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira dan Bapak Ir. Toha Nursalam, M.Si, yang telah banyak mencurahkan waktu, sumbangan pemikiran, penuh perhatian dan kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis guna penyelesaian tesis ini. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis yang telah berkenan sebagai Penguji Luar Komisi. Terima kasih juga ditujukan kepada Mas Shohib, Mas Eko Cahyono dan Abah Suhaya dan keluarga yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung. Penulis menyampaikan terima kasih kepada suamiku tercinta Maryanto atas segala pengertian, pengorbanan dan kasih sayangnya. Terima kasih saya haturkan kepada Ayahanda Sipin dan Ibunda Siti Aminah, Sutra Adi Kusuma atas, doa dan kasih sayangnya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kepada temanteman KMP 2005 (Mb Selly, Mb Farida, Mb Ana, Pak Ponti, Alif, Haris, Ihsan, Ucok, Firman, Fahir, Pak Fuad, Pak Deny, Farfar, Badri) atas dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga tesis ini bermanfaat. Amin.
Bogor, September 2008 Etik Sulistiowati Ningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan, pada tanggal 10 Desember 1981 dari ayah bernama Sipin dan Ibu bernama Siti Aminah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa program Pasca Sarjana (S2) pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB. Selama kuliah penulis aktif di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB (Forum WACANA 2006/2007) dan berkecimpung dalam Kelompok Diskusi Ekologi, Kebudayaan dan Pembangunan (Ekbudbang).
1
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xv
PENDAHULUAN .......................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................ Rumusan Masalah................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Kegunaan Penelitian ............................................................................... Kerangka Penelitian ................................................................................ Hipotesis .................................................................................................
1 1 5 7 7 7 11
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Kelembagaan .......................................................................................... Tindakan Komunikasi............................................................................. Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon ................................................... Penyelesaian Konflik .............................................................................. Penelitian Terdahulu ...............................................................................
12 12 14 17 20 26
METODE PENELITIAN ............................................................................. Tempat dan Waktu Penelitian................................................................. Populasi dan Sampel ............................................................................... Desain Penelitian .................................................................................... Pengumpulan Data .................................................................................. Analisis Data........................................................................................... Definisi Operasional ............................................................................... Validitas ................................................................................................. Reliabilitas ..............................................................................................
29 29 30 30 30 31 33 37 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... Karakteristik Responden......................................................................... Gambaran Umum Lokasi Penelitian....................................................... Aktivitas Keseharian Responden ............................................................ Pengetahuan Responden Mengenai Kelembagaan ................................. Transparansi .................................................................................... Akuntabilitas ................................................................................... Persepsi Responden Mengenai Tindakan Komunikasi .......................... Persepsi Responden Mengenai Penyelesaian Konflik ............................ Hubungan Kelembagaan dengan Tindakan Komunikasi ....................... Hubungan Kelembagaan dengan Penyelesaian Konflik ......................... Hubungan Tindakan Komunikasi dengan Penyelesaian Konflik ...........
39 39 39 43 45 45 49 51 56 61 63 65
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
69
Kesimpulan ............................................................................................. Saran .......................................................................................................
69 70
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
71
LAMPIRAN....................................................................................................
75
DAFTAR TABEL Halaman
1 Interpretasi koefesien korelasi ...................................................................
32
2 Data produksi dan nilai penjualan komoditas dari Kampung Kopi ..........
44
3 Data produksi dan nilai penjualan komoditas dari Kampung Cikawung ..
44
4 Skor pengetahuan responden mengenai perencanaan dan pelaksanaan penyelesaian konflik .................................................................................
46
5 Skor pengetahuan responden mengenai sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik .........................................................................
50
6 Skor tindakan bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik ...
52
7 Skor persepsi responden mengenai tindakan memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik oleh kelembagaan ...................................
54
8 Skor persepsi responden mengenai penyelesaian konflik ........................
57
9 Hubungan kelembagaan dan tindakan komunikasi ..................................
61
10 Hubungan kelembagaan dengan penyelesaian konflik ............................
64
11 Hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik ................
66
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Evolusi Rejim Pengelolaan Kawasan Konservasi Ujung Kulon .................
4
2 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................
11
3 Zonasi BTNUK ...........................................................................................
41
4 Lokasi Penelitian .........................................................................................
42
5 Skema Saluran Informasi Penyelesaian Konflik di TNUK .........................
47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuesioner ....................................................................................................
74
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai biodiversitas tinggi, yang tersimpan di dalam hutan tropis. Upaya konservasi kekayaan hutan Indonesia sudah dimulai sejak masa Belanda yaitu sejak tahun 1900-an. Setelah kemerdekaan upaya konservasi terus dilakukan dan hingga saat ini telah ada 47 kawasan konservasi yang bersifat sektoral dan terpusat. Pengelolaan kawasan konservasi mengalami evolusi seiring dengan rangkaian perkembangan kebijakan di sektor kehutanan maupun kebijakan yang langsung berkenaan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan kebijakan penataan dan penetapan status suatu teritori sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan pengelolaan kawasan konservasi dan akses masyarakat pada kawasan konservasi. Materi kebijakan meliputi berbagai pengelolaan diantaranya mengatur hak akses masyarakat terhadap kawasan konservasi. Perubahan bentuk pengelolaan mencerminkan perubahan fungsi kawasan dan batas-batas masyarakat dalam mengakses kawasan konservasi. Berdasarkan kilas pandang Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA, 2004), taman nasional daratan maupun perairan memiliki ciri khas tertentu, dan mempunyai multi fungsi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian sumber daya, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, kebudayaan dan pariwisata atau rekreasi alam. Sistem zonasi merupakan penataan kawasan taman nasional berdasarkan fungsi dan peruntukannya sesuai kondisi, potensi dan perkembangan yang ada. Secara umum pembagian zona pada setiap taman nasional mencakup zona inti, zona rimba atau bahari, zona pemanfaatan dan atau zona-zona lain yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati (PHKA, 2004). Zona inti merupakan kawasan taman nasional yang berfungsi untuk perlindungan mutlak dan tidak diperkenankan adanya perubahan apapun oleh kegiatan manusia, serta perubahan dan perkembangan yang terjadi berjalan secara
2
alami tanpa campur tangan manusia, kecuali kegiatan untuk penelitian, pemantauan, perlindungan dan pengamanan. Zona rimba (daratan) atau zona bahari (perairan laut) merupakan kawasan taman nasional di daratan atau perairan laut yang berfungsi untuk penyangga zona inti dan di dalamnya hanya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana pada zona inti, serta dapat dikunjungi oleh pengunjung untuk kegiatan rekreasi terbatas. Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan di dalam zona rimba maupun bahari seperti pembinaan habitat dan populasi satwa atau tumbuhan, pembuatan jalan setapak, menara pengintai, pondok jaga, sarana kemudahan wisata dan lain-lain. Zona pemanfaatan merupakan kawasan taman nasional yang diperuntukan untuk menampung pengunjung maupun pengelolaan. Di dalam Zona pemanfaatan dapat dibangun sarana akomodasi untuk keperluan
pengunjung (bumi
perkemahan, wisma tamu, jalan dan tempat parkir, pusat informasi dan lain-lain) dan sarana pengelolaan taman nasional (kantor, stasiun penelitian, dan lain-lain). Sarana yang dapat dibangun dibatasi luasnya maksimum 10 persen dari luas zona pemanfaatan. Daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan taman nasional, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan taman nasional. Penetapan daerah penyangga didasarkan pada kondisi geografis yang berbatasan dengan kawasan taman nasional dan secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan taman nasional (BTNUK, 2007). Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada pemegang hak. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan: (a) peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, (b) peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (c) rehabilitasi lahan, (d) peningkatan produktivitas lahan, dan (e) kegiatan lain yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan dan pengelolaan tersebut berhadapan dengan kenyataan bahwa taman nasional berbatasan dengan kawasan permukiman masyarakat. Masyarakat
3
sudah bermukim di wilayah tersebut sebelum pendeklarasian Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan sebelum Belanda menetapkan Ujung Kulon sebagai Suaka Alam. Beberapa desa yang berada dalam zona rimba TNUK berdiri sejak sebelum penjajahan Belanda. Beberapa desa lainnya masuk ke dalam zona rimba akibat perluasan TNUK yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa secara sosial ekonomi masyarakat mempunyai ketergantungan yang tinggi pada hutan yang kini ditetapkan sebagai TNUK. Masyarakat mencukupi nafkahnya dari tanah-tanah warisan yang sudah ditinggali nenek moyang mereka sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Penetapan tanah mereka menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional tentu mengubah hak mereka atas tanah dan apa yang terkandung dan apa yang ada di atas tanah mereka. Penetapan kawasan permukiman dan pertanian masyarakat ke dalam kawasan TNUK niscaya tidak menimbulkan konflik jika pihak pemerintah tidak menghilangkan hak milik mereka atas tanah. Salah satu desa yang ditetapkan sebagai bagian dari TNUK adalah Kampung Legon Pakis, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur. Sejak penetapan Kampung Legon Pakis sebagai bagian dari kawasan TNUK pemerintah berencana merelokasi masyarakat Kampung Legon Pakis ke Desa Pematang Laja. Masyarakat menolak untuk direlokasi karena mereka berpendapat bahwa Kampung Pematang Laja Desa Karangbolong Kecamatan Cigeulis Kabupaten Pandeglang kurang cocok untuk lahan pertanian (Tim Peneliti SAINS, 2007). Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan TNUK mengalami intimidasi dari petugas TNUK. Intimidasi-intimidasi yang dilakukan seperti pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan diganggu, serta lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap, dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah
4
berdiri sejak tahun 1950-an harus melalui perundingan yang alot (Tim Peneliti SAINS, 2007). Tim Peneliti SAINS (2007) menemukan bahwa proses penetapan kawasan yang kini menjadi TNUK ini sebagai kawasan konservasi tidaklah berlangsung serentak. Sebagian wilayahnya sejak masa kolonial memang telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, sebelum kemudian menjadi kawasan konservasi. Namun ada sebagian wilayah yang status awalnya adalah kawasan hutan produksi, kemudian dengan selang waktu yang lama baru ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, dan terakhir baru ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Mekanisme evolusi rejim pengelolaan kawasan konservasi Ujung Kulon disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Evolusi rejim pengelolaan kawasan konservasi Ujung Kulon (Tim Peneliti SAINS, 2007). Puncak konflik terjadi pada tanggal 4 November 2006 ketika seorang petugas TNUK menembak seorang petani warga Kampung Cikawung Girang Desa Ujung Jaya yang sedang mencari jengkol ke dalam kawasan TNUK. Kampung Cikawung Girang merupakan kampung yang bersebelahan dengan Kampung Legon Pakis, berjarak kira-kira setengah jam perjalanan. Ketika mendengar berita mengenai kematian petani tersebut, seketika itu juga masyarakat mendatangi pos penjagaan yang berada di perbatasan Kampung Legon Pakis dan
5
Kampung Cikawung Girang dan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas pos penjagaan (Tim Peneliti SAINS, 2007). Dampak konflik dirasakan oleh masyarakat dan TNUK. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat adalah mereka tidak bisa menggarap tanah mereka secara leluasa karena ancaman intimidasi sehingga kehilangan mata pencaharian. Sementara dampak konflik juga dirasakan oleh TNUK adalah berubahnya fungsi hutan konservasi menjadi sawah dan lahan tumpang sari di kawasan Sumur dan Handeluem akibat perambahan yang dilakukan masyarakat. Dampak lain yang dialami TNUK adalah berubahnya fungsi hutan konservasi menjadi kawasan permukiman dengan hadirnya 195 kepala keluarga pemukim liar. Permasalahan lain yang dirasakan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) adalah terjadinya penebangan hutan liar, konflik batas hutan, pencurian ikan dan biota laut, pengangkatan timah hitam, ancaman penambangan emas, dan ancaman eksploitasi migas. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat konflik tersebut, studi ini bermaksud mengkaji penyelesaian konflik di TNUK ditinjau dari aspek kelembagaan dan aspek tindakan komunikasi. Perumusan Masalah Penyelesaian konflik selalu diupayakan oleh pihak BTNUK, diantaranya: BTNUK
pernah
mengundang
tokoh-tokoh
Desa
Ujung
Jaya
untuk
mengkomunikasikan alternatif-alternatif penyelesaian konflik. Pihak BTNUK juga sering mengunjungi desa untuk mengetahui aspirasi warga desa. Upaya penyelesaian konflik terbaru yang akan dilakukan adalah melakukan penetapan batas-batas TNUK dengan tanah warga dengan disaksikan oleh pihak-pihak yang berniat turut serta dalam penyelesaian konflik, diantaranya adalah pihak dari perguruan tinggi. Penyelesaian konflik tanpa menyentuh akar permasalahan menyebabkan penyelesaian
konflik
semu.
Banyak
faktor
yang
menyebabkan
tidak
terselesaikannya akar permasalahan konflik, diantaranya adalah tidak utuhnya proses komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Proses komunikasi yang utuh antar pihak yang terlibat konflik efektif dapat digunakan untuk melihat akar
6
permasalahan yang berupa perbedaan kepentingan. Pihak BTNUK dapat menggagas beberapa alternatif penyelesaian konflik, namun yang menjadi pertanyaan,
apakah
penyelesaian
tersebut
benar-benar
yang
diinginkan
masyarakat? Menggali keinginan masyarakat yang sesungguhnya penting dilakukan sehingga konflik dapat diselesaikan secara utuh. Namun, masyarakat akan mengungkapkan keinginannya jika mereka mempunyai kesempatan yang besar untuk mengungkapkan keinginannya tersebut. Oleh karenanya diperlukan kesempatan yang besar untuk mengkomunikasikan kepentingan mereka. Kemudian patut dianalisis apakah upaya komunikasi penyelesaian konflik yang digagas oleh BTNUK sudah memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginan mereka? Serta kelembagaan apa yang memberikan kesempatan yang luas pada semua pihak untuk mengkomunikasikan kepentingannya? Sementara kesempatan komunikasi dalam suatu kelembagaan akan terbuka jika kelembagaan transparan dan akuntabel. Transparansi berkaitan dengan keterbukaan kelembagaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan penyelesaian konflik. Akuntabilitas berhubungan dengan keterbukaan kelembagaan terhadap sumber dana dan pengelolaan dan untuk penyelesaian konflik. Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan inilah yang dapat merangsang masyarakat untuk melakukan tindakan komunikasi. Oleh karenanya perlu dianalisis bagaimana transparansi dan akuntabilitas kelembagaan yang terlibat penyelesaian konflik di TNUK. Selain permasalahan-permasalahan di atas, dalam rangka penyelesaian konflik, perlu juga diketahui bahwa proses komunikasi bisa menghantarkan pada tercapainya penyelesaian konflik. Kepentingan dan keinginan pihak yang berkonflik adalah pesan komunikasi, dalam penyelesaian konflik pesan komunikasi inilah yang diperjuangkan semua pihak dalam suatu proses komunikasi. Untuk memperjelas tujuan penelitian ini, maka permasalahanpermasaahan di atas dirumuskan menjadi pertanyaan penelitian berikut ini: a)
Bagaimana hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan tindakan komunikasi yang terjadi di dalamnya?
7
b) Bagaimana hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan penyelesaian konflik? c)
Bagaimana hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menganalisis hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan tindakan komunikasi. b. Menganalisis hubungan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dengan penyelesaian konflik. c. Menganalisis hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia yang tersimpan di dalam TNUK. Hasil studi ini juga diharapkan mampu memperkaya khasanah studi komunikasi, kelembagaan, dan penyelesaian konflik di Indonesia. Kerangka Pemikiran Proses penetapan kawasan yang kini menjadi TNUK ini sebagai kawasan konservasi tidaklah berlangsung serentak. Pada awalnya kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai suaka alam, yaitu pada tahun 1921. Pada tahun 1937 kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai suaka marga satwa dan kemudia dirubah lagi menjadi cagar alam Ujung Kulon pada tahun 1958. Pada akhirnya, kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai taman nasional Ujung Kulon pada tahun 1992 (BTNUK, 2007). Perubahan-perubahan status Ujung Kulon pada awalnya tidak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Namun perubahan status Ujung Kulon sebagai taman nasional membuahkan konflik karena adanya perluasan tapal batas kawasan. Puncak konflik terjadi pada tanggal 4 November 2006. Setelah puncak konflik tersebut, hubungan antara masyarakat dan BTNUK tidak berjalan harmonis.
8
Penyelesaian konflik telah diupayakan oleh TNUK dan masyarakat, namun hingga sekarang belum membuahkan hasil. Hal ini diduga terjadi karena belum terungkapnya dan belum terakomodirnya kepentingan dan aspirasi pihak-pihak yang berkonflik. Penyeleselaian konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan mencari kesempatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Penyelesaian konflik yang telah diupayakan adalah pembentukan kesepakatan, pemindahan penduduk, pengembalian tanah, pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian melalui jalur musyawarah atau pun jalur hukum. Sedangkan rencana yang akan dilakukan dalam penyelesaian konflik adalah pengelolaan kolaboratif dalam bentuk ekowisata berbasis masyarakat. Pengembalian tanah adalah upaya yang dilakukan oleh kelembagaan dan masyarakat untuk mengembalikan status tanah masyarakat sebagai tanah milik. Pemindahan penduduk adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh BTNUK untuk memindahkan warga yang bertempat tinggal di dalam zona rimba dan zona inti ke daerah di luar kawasan TNUK. Kesepakatan adalah hal-hal yang diputuskan bersama oleh BTNUK, masyarakat dan pihak lain dimana masing-masing pihak saling berkomitmen menjaganya. Pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara BTNUK dan masyarakat untuk mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Pengungkapan dan pengakomodasian kepentingan dan aspirasi adalah syarat utama dalam penyelesaian konflik. Hal ini berguna untuk mengantisipasi terjadinya penyelesaian konflik secara semu. Perbenturan kepentingan dan aspirasi yang tidak terungkap ke permukaaan bisa memicu terulangnya konflik. Musyawarah merupakan forum untuk merembukkan sesuatu dan berakhir pada pengambilan kesepakatan atau pengambilan keputusan bersama. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan potensi masyarakat secara mandiri melalui pelatihan dan pembiayaan usaha mandiri. Sebagai pelayan masyarakat, kelembagaan pemerintahan yang berada dalam kawasan
TNUK
bertanggungjawab
untuk
mampu
menjembatani
dan
berkomunikasi antara kepentingan warga desa di satu pihak dan kepentingan elit politik serta elit dunia usaha dari pihak lain. Fungsi pelayanan pada kelembagaan
9
pemerintah akan terlaksana jika kelembagaan pemerintah menganut prinsip tata pemerintahan yang baik yaitu transparan dan akuntabel. Kelembagaan pemerintahan yang terkait dengan penyelesaian konflik di TNUK adalah BTNUK, DPRD, Kecamatan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan kelembagaan pemerintahan desa. Mengingat kelembagaan pemerintahan desa merupakan ujung tombak pelaksanaan kebijakan pemerintah, maka dalam penelitian ini personal aparat pemerintahan desa dilihat secara terpisah. Dalam arti bahwa penelitian ini melihat Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), RT, RW sebagai pihak yang mempunyai fungsi pelayanan yang berbeda, sehingga pihak-pihak tersebut dianggap sebagai suatu kelembagaan yang berdiri sendiri. Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Ketika suatu masyarakat desa masih dalam keadaan bersahaja, desa yang masih bersahaja tersebut belum memerlukan lembaga-lembaga yang kompleks dan terdiferensiasi. Lembaga yang dominan di desa adalah lembaga adat (Rahardjo, 1999). Lembaga adat merupakan kelembagaan non formal yang berada di luar kelembagaan formal. Lembaga adat dipimpin oleh pimpinan non formal yang mengemuka dengan istilah tokoh masyarakat. Lembaga-lembaga baru yang tumbuh dan berkembang di desa bukan hanya bentukan pemerintah, melainkan juga ada yang berasal dari badan-badan non pemerintah. Lembaga-lembaga non-pemerintah ini yang terkenal dengan sebutan Lembaga
Swadaya
keberadaannya
Masyarakat
karena
(LSM)
peran-perannya
semakin yang
harus
semakin
dipertimbangkan besar
di
tengah
perkembangan yang terjadi (Rahardjo, 1999). Berdasarkan uraian di atas, kelembagaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini kelembagan formal dan non formal yang terkait dengan penyelesain konflik di TNUK. Sebagai suatu lembaga sosial, kelembagan-kelembagaan tersebut di atas semestinya bersungguh-sungguh menyelesaikan konflik ditengahtengah masyarakat dengan menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses bagi setiap orang untuk memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan kelembagaan, diantaranya adalah
mengenai
akuntabilitas adalah
perencanaan
dan
pelaksanaan
kebijakan.
Sedangkan
tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik
10
pertanyaan-pertanyaan
yang
berhubungan
dengan
bagaimana
mereka
menggunakan wewenang mereka, termasuk cara memperoleh dana dan pengelolaan dana kelembagaan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan desa adalah partisipasi.
Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat
agar
masyarakat
senantiasa
memiliki
dan
turut
serta
bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Mengingat penyelesaian konflik merupakan proses yang dijalankan secara multipihak, maka diperlukan adanya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelesaian konflik. Partisipasi nampak dari keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam komunikasi. Menurut Habermas, komunikasi merupakan prosedur penyelesaian konflik yang terbaik. Dan partisipasi tidak terjadi jika tidak ada komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik terjadi jika semua pihak memahami dan menerima konsensus dengan tanpa paksaan. Ini terjadi jika semua pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi yang diperlukan untuk mencapai konsensus adalah bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi. Tindakan komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan mengkomunikasikan penyelesaian konflik antara responden dengan kelembagaan yang terkait penyelesaian konflik. Tindakan komunikasi tersebut meliputi tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi. Tindakan bertanya adalah tindakan menanyakan penyelesaian konflik. Tindakan berdiskusi adalah tindakan mendiskusikan penyelesaian konflik. Tindakan memberikan informasi adalah tindakan memberikan informasi perihal penyelesaian konflik.
Adapun alur kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2.
11
Kelembagaan: 1. Transparansi 2. Akuntabilitas
Penyelesaian Konflik: 1. Pengembalian Tanah 2. Pemindahan Penduduk 3. Kesepakatan 4. Musyawarah/hukum 5. Pengelolaan Kolaboratif 6. Pemberdayaan Masyarakat
Tindakan Komunikasi: 1. Bertanya 2. Berdiskusi 3. Memberikan Informasi
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Peranan Kelembagaan dan Tindakan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Ujung Kulon Hipotesis 1.
Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berhubungan nyata positif dengan tindakan komunikasi
2.
Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berhubungan nyata positif dengan penyelesaian konflik
3.
Tindakan komunikasi konflik.
berhubungan nyata positif dengan penyelesaian
TINJAUAN PUSTAKA Kelembagaan Kelembagaan merupakan aturan main (rules of the game) atau prosedur yang
mengatur
interaksi
antar
masyarakat
dan
organisasi
yang
mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Institusi dapat memberikan insentif bagi pelaku organisasi atau individu. Aturan main tersebut terdiri dari aturan formal (sistem kontrak, undang– undang, hukum, regulasi) dan aturan informal (konvensi, kepercayaan dan norma sosial dan budaya) beserta aturan penegakan (enforcement) yang menfasilitasi atau membentuk perilaku (behaviour) individu atau organisasi di masyarakat (ICNIE, 2007). Pada level makro, kebijakan kelembagaan disebut dengan lingkungan institusi (institutional environment) pada level mikro disebut kesepakatan kelembagaan (institutional arrangement). Di dalam masyarakat peranan institusi adalah mengurangi ketidakpastian dengan cara membentuk struktur interaksi masyarakat yang stabil (ICNIE, 2007). Beberapa asumsi mengenai bentuk dari institusi formal dan informal, yaitu a) institusi informal memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap fungsional dari organisasi formal, b) institusi formal mempengaruhi core dari institusi informal, c) institusi formal dapat disusun dengan baik ketika institusi informal dijalankan secara berkelanjutan, dan d) institusi formal dan informal memiliki tahapan yang berbeda dalam melakukan perubahan (ICNIE, 2007). Kasryno dalam Syahyuti (2002) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu perangkat aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sedangkan menurut Uphoff dalam Syahyuti (2002), lembaga adalah himpunan perilaku dan norma yang tetap yang berlaku dari waktu ke waktu melayani beberapa tujuan sosial yang baik. Penyelenggaraan kelembagaan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik menimbulkan berbagai masalah, bahkan menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah dan berbagai bidang (Krina P, 2003). Menurut World Bank, karakteristik tata pemerintahan yang baik adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi,
13
eksekutif yang bertanggungjawab, birokrasi yang professional dan aturan hukum (World Bank dalam Krina P, 2003). Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) menyebutkan sejumlah indikator tata pemerintahan yang baik seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, serta kesinambungan. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka (MTI dalam Krina P, 2003). Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi (Krina P, 2003). Akuntabilitas mencakup dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability) yaitu berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumberdaya telah dipergunakan dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumberdaya tersebut, dan (2) konsekuensi (consequences) (Krina P, 2003). Menurut Budiardjo dalam Krina P (2003), akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Guy Peter dalam Krina P (2003) menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu:
(1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas
administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. Studi Dharmawan (2006) di dalam mengkaji permasalahan otoritas kelembagaan desa dalam reformasi tata-kelola pemerintahan desa, menemukan permasalahan: (1) lemahnya atau tidak efektifnya kinerja sistem tatapemerintahan yang mewadahi beragam kepentingan di tingkat lokal (desa) sebagai akibat akumulasi kekuatan kewenangan kelembagaan di hierarki atas-desa maupun
dalam-desa;
(2)
ketidakmandirian
desa dalam
menopang
dan
14
mewujudkan masyarakat desa yang berdaya dalam menghadapi segala persoalan sosial-ekonomi-kemasyarakatan, (3) tidak kondusifnya tata-pemerintahan desa sebagai akibat berbagai persoalan yang melekat secara struktural seperti dominasi kekuasaan oleh otoritas atas-desa serta adanya faktor kultural lainnya, (4) ketiadaan wadah kebersamaan yang bisa menjadi infrastruktur sosial kelembagaan penyambung kepentingan atau aspirasi di tingkat lokal maupun regional untuk menekan munculnya ketidakselarasan dalam tata-pengaturan desa. Tindakan Komunikasi Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt, Habermas dalam (Hardiman, 1993) tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai
ilmu-ilmu
memperlihatkan
bahwa
sosial tujuan
itu
keliru
ilmu-ilmu
dan
berbahaya,
kritis
dengan
tapi
juga
kepentingan
emansipatorisnya adalah membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan. Ditunjukkan juga bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Sampai tahun 80-an, Habermas dalam Hardiman (1993) mengandaikan bahwa konsensus semacam itu bisa dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Di dalam komunikasi itu, para partisipan ingin membuat lawan bicaranya mengerti maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya sebagai klaim-klaim kesahihan (validity claims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Dalam The Theory of Communication Action, Habermas dalam Hardiman (1993) menyebut empat macam klaim. Kalau kita bisa sepakat tentang dunia alamiah dan obyektif, kita mencapai klaim kebenaran (truth). Kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, kita mencapai klaim ketepatan (rightness). Kalau sepakat tentang kesesuaian dunia batiniah dan ekspresi seseorang, kita mencapai klaim autentitas atau kejujuran (sincerety). Akhirnya kalau kita bisa menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya, kita mencapai klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai klaim ini. Orang-orang yang
15
mampu berkomunikasi dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebut sebagai memiliki kompetensi komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi dengan kekerasan, melainkan melalui argumentasi. Habermas dalam
Hardiman
(1993)
membedakan
dua
macam
argumentasi
yaitu,
perbincangan atau diskursus (discourse) dan kritik. Perbincangan dilakukan jika mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus rasional. Meskipun dilakukan untuk mencapai konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga tidak perlu mengandaikan konsensus. Tindakan komunikatif selalu merujuk pada wilayah komunikasi dimana setiap klaim kebenaran dilakukan dalam keterlibatan dan pengujian timbal balik dalam rangka saling-pengertian (mutual understanding). Habermas dalam (Robet, 2004) berkeyakinan bahwa bahwa prosedur penyelesaian perselisihan nilai dan moral kolektif serta pertengkaran sosial dan politik yang terbaik adalah dengan maksimalisasi argumentasi publik yang rasional dan terbuka, makin luas pihakpihak yang berpartisipasi dalam proses tersebut, semakin kuat legitimasi politik yang terbentuk. Habermas dalam Robet (2004) mengatakan bahwa dalam usaha menyelesaikan tes dialogisnya kemudian menurunkan argumen tersebut dan menyatakannya sebagai situasi pembicaraan yang ideal. Dia merumuskan kondisi ideal ini sebagai berikut: 1. Seluruh partisipan yang potensial harus memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan tindakan pembicaraan komunikatif melalui pertanyaan dan jawaban. 2. Seluruh
partisipan
mengemukakan
harus
interpretasi,
memiliki
kesempatan
pernyataan,
yang
rekomendasi,
sama
penjelasan
untuk dan
pembenaran, dan mempermasalahkan klaim validitas mereka, mendirikan atau menolaknya, sehingga tidak ada opini yang dikonsepsikan sebelumnya luput dari pembahasan atau kritik untuk jangka waktu apa pun, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk memulai pembicaraan sebagai tindakan, untuk menanyakan, menginterogasi, dan membuka perdebatan;
16
3. Semuanya memiliki hak menanyakan topik percakapan yang ditetapkan; dan semuanya memiliki hak memprakarsai argumen reflektif mengenai aturan prosedur dan cara di mana aturan tersebut diterapkan atau dilaksanakan. 4. Hanya memperkenankan pembicara yang memiliki kesempatan yang sama sebagai subyek aktif untuk menggunakan tindakan pembicaraan regulatif, yaitu, untuk mengajukan dan menentang, mengizinkan dan melarang, membuat dan menarik kembali janji, mempertanggungjawabkan sesuatu dan berhutang penjelasan. Tidak ada aturan yang jelas yang membatasi agenda percakapan, atau identitas partisipan, selama setiap kelompok atau orang yang dikecualikan dapat menunjukkan bahwa mereka secara relevan dipengaruhi oleh norma yang diusulkan yang sedang dipersoalkan. Habermas dalam Bari (2007) mengungkapkan bahwa dalam paradigma komunikasi,
situasi subyek-obyek bisa dihindarkan.
Sebab, komunikasi
mengandaikan dua hal: Pertama, manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat; Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dipaksakan. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi (Hardiman, 2004). Terdapat dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita: Tipe pertama adalah ruang publik autentik yaitu ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi
yang
diselenggarakan
oleh
institusi
nonformal
yang
mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi disini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik; Tipe kedua adalah ruang publik tak autentik yaitu kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya memakai ruang publik
17
yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya (Hardiman, 2004). Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Taman Nasional Ujung Kulon merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa Barat, serta merupakan habitat terakhir bagi kelangsungan hidup satwa langka Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan satwa langka lainnya. Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional sebagian besar adalah suku Sunda Banten yang terkenal dengan kesenian saktinya, yaitu Debus. Masyarakat tersebut pemeluk agama Islam yang kuat, namun mereka masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan kebudayaan nenek moyang mereka (PHKA, 2004). Sejak jaman Belanda, wilayah yang saat ini dikukuhkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) telah didiami oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada tahun 1977 (Tim Peneliti SAINS, 2007). Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5 kampung, yaitu: Kampung Cikawung Sabrang, Kampung Legon Pakis, Kampung Cikawung Girang, Kampung Sempur, Kampung Taman Jaya Girang telah berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah lahan pertanian (sawah dan kebun). Sebagian besar penduduk hingga saat ini menjadi petani. Dari penuturan masyarakat, Kampung Cikawung Girang, Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Sabrang merupakan hadiah (upah kerja) dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja pembuatan Lapangan Banteng dan jalan (Tim Peneliti SAINS, 2007). Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran Desa Taman Jaya pada tahun 1982, terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diakui milik TNUK. Berdasarkan catatan yang dimiliki oleh BTNUK mengenai sejarah Ujung Kulon,
18
kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna Ujung Kulon pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli botani Jerman, F. Junghun pada tahun 1846. Pada waktu itu ujung kulon merupakan tempat berburu bagi pejabat Belanda yang datang dari Batavia (Tim Peneliti SAINS, 2007). Tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari perhimpunan The Netherlands Indies Society For The Protection of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK. Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921. Tahun 1932, diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui Peta Tanah Milik (PTM) tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik (cap singa) bagi masyarakat. Tahun 1937, dengan Keputusan Pemerintah No. 17 tanggal 24 Juni 1937 status Suaka Alam tersebut kemudian diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Tahun 1958, oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda (Tim Peneliti SAINS, 2007). Sejak tahun 1965 masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum, yaitu Pulau Boboko dan Pulau Pamanggan (Tim Peneliti SAINS, 2007). Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas dengan SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/UM/1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang
19
terbagi dalam beberapa desa di kecamatan Cimanggu ke dalam kawasan Cagar Alam (Tim Peneliti SAINS, 2007). Tahun 1984 dibentuklah kelembagaan Taman Nasional Ujung Kulon, melalui SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha (BTNUK, 2007). Tahun 1984 saat program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke Kampung Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga (rumah, tanah pertanian, sekolah dsb). Emil Salim menjanjikan akan melindungi warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi (Tim Peneliti SAINS, 2007). Tahun 1990 berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 44/Kpts/DJ/1990 tanggal 8 Mei 1990, Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mangalami pengurangan yaitu Kepulauan Krakatau pengelolaannya diserahkan kepada Badan Koordinasi Sumber Daya Alam (BKSDA) II Tanjung Karang, Hutan Wisata Carita diserahkan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha, yang terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha. Meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Pulau Handeuleum dan Gunung Honje. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409 (BTNUK, 2007). Perubahan bentuk pengelolaan kawasan mulai menimbulkan ketegangan. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan atau lahan sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan permukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman
20
nasional menjadi permukiman yang mula-mula akan direlokasi (Tim Peneliti SAINS, 2007). Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang awalnya berada di Cilintang, dimana di tempat tersebut telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, juga ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Kampung Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan (Tim Peneliti SAINS, 2007). Masyarakat Kampung Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Desa Pamatang Laja. Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertanian atau lahan sawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional mengalami intimidasi, kekerasan dari petugas Balai Taman Nasional. Pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap (Tim Peneliti SAINS, 2007). Di Kampung Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduk menyusut menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya, dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot (Tim Peneliti SAINS, 2007). Penyelesaian Konflik Menurut Rauf (2001), konflik adalah pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok.
Menurut Fuad dan Maskanah
(2000), konflik adalah benturan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Ted Robert Gurr dalam Rauf (2001), menyebut ada paling tidak
21
empat ciri konflik, yaitu (1) ada dua atau lebih pihak yang terlibat, (2) mereka terlibat
dalam
tindakan-tindakan
yang
saling
memusuhi,
(3)
mereka
menghancurkan, melukai, dan menghalang-halangi lawannya, dan (4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh pada pengamat yang independen. Pengamat yang independen yang berinisiatif untuk turut serta dalam menyelesaikan konflik disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ke-3 yang netral, artinya terlibat secara aktif di dalam konflik sebagai penengah, adanya empati, kemauan untuk mendengarkan, mengikuti proses pembicaraan, melihat sesuatu secara jernih, tidak langsung secara gegabah menentukan keputusan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan psikologi konflik merupakan hal-hal yang sangat diperlukan bagi seorang penengah. Selama proses penyelesaian konflik dialog interaktif antara pihak-pihak yang berkonflik secara terbuka amat diperlukan, sehingga dalam hal ini suatu proses komunikasi dapat berjalan secara intensif. Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu (Rauf, 2001). Oleh karenanya konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah, 2000). Menurut Fisher et al. (2000), terdapat beberapa teori yang menerangkan pemicu konflik yaitu: (1) teori kebutuhan manusia yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia –fisik, mental, dan sosial- yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan yang paling sering menjadi pemicu konflik adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi; (2) teori tranformasi konflik yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Konflik yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi mengandung perhitungan-perhitungan yang rasional, untung-rugi, menuntut adanya keadilan distributif. Oleh karena itu langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan melalui perhitungan-perhitungan rasional. Contoh sederhana sebagai ilustrasi konflik yang rasional adalah pertentangan mengenai
22
perebutan lahan usaha yang dapat diselesaikan melalui langkah-langkah kompromi antara dua pihak yang bertikai dengan membagi lahan usaha menurut proporsi yang disepakati (Chalid, 2005). Untuk memahami dinamika konflik, Fisher menyarankan menggunakan alat bantu berupa pemetaan konflik untuk menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya untuk: (1) memperoleh pemahaman terhadap situasi dengan lebih baik; (2) melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas; (3) menjelaskan dimana letak kekuasaan; (4) memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi; (5) melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada dimana; (6) mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan; (7) mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik. Penjelasan konflik dari sisi ekonomi, Stewart dalam Chalid (2005) mengemukakan empat hipotesis. Hipotesis tersebut oleh Stewart dipakai untuk menganalisis sebab-sebab peperangan antar negara. Keempat hipotesis tersebut adalah, i) motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal; ii) motivasi perorangan; iii) Kontrak sosial yang gagal; iv) hipotesis perang hijau. Bertolak dari empat hipotesis di atas, kemudian Stewart dalam Chalid (2005) memformulasikan resolusi konflik melalui mekanisme politik yang inklusif dan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif. Politik inklusif bertujuan mengurangi dominasi politik satu kelompok dan mendistribusikannya kepada kelompok lain, dengan demikian membuka peluang partisipasi politik yang luas dari berbagai kelompok atau kalangan yang berbeda. Model kedua resolusi konflik adalah implementasi sistem sosial dan ekonomi inklusif. Sama halnya dengan politik inklusif, model ini bertujuan mengurang kesenjangan horisontal. Kebijakan sosial dan ekonomi inklusif mencakup sektor pemerintah dan sektor swasta. Dalam sektor pemerintahan, kebijakan
yang
dikeluarkan
diarahkan
untuk
mendistribusikan
manfaat
23
antarkelompok secara berimbang dalam hal bantuan dan pemberian layanan umum, seperti mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, layanan kesehatan, air dan sanitasi lingkungan, perumahan dan subsidi konsumen. langsung turut menciptakan diferensiasi kelompok (Chalid, 2005). Penyelesaian
konflik
adalah
usaha-usaha
yang
dilakukan
untuk
menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan mencari kesempatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik (Rauf, 2001). Sedangkan menurut FAO (2006), penyelesaian konflik berhubungan dengan semua strategi yang berorientasi kepada tercapainya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berkonflik yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan konflik, tanpa perlu menangani penyebab-penyebab yang mendasari konflik. Definisi penyelesaian konflik menurut FAO, disebut Coser dalam Jhonson (1981) sebagai katup pengaman. Katup pengaman merupakan suatu saluran alternatif untuk mengungkapkan perasaan bermusuhan dari sumber yang sebenarnya yang merupakan konsekwensi karena dipendamnya konflik. Alternatif seperti itu adalah sejenis katup pengaman dengan mana dorongan-dorongan agresif atau permusuhan bisa diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas. Tanpa memandang bentuknya yang khusus, mekanisme katup pengaman itu menguntungkan kelompok dengan membiarkan rendahnya ketegangan yang muncul dari antagonisme internal dan konflik dengan cara yang tidak terangterangan mengancam solidaritas itu. Tetapi mekanisme seperti itu tidak memungkinkan pengakuan secara eksplisit akan konflik atau perundingan yang realistik mengenai perbedaan-perbedaan mendasar yang berhubungan dengan itu. Perbedaan dan permusuhan yang mendasar tetap ada di bawah permukaan solidaritas dan kekompakan yang nampak (Jhonson, 1981). Berdasarkan analisa fungsional tentang konflik yang disumbangkan oleh Coser dalam Jhonson (1981), konsekwensi dipendamnya konflik atau dipendamnya kepentingan-kepentingan yang berlawanan atau perasaan-perasaan bermusuhan hasilnya akan bermacam-macam, tergantung pada keterlibatan timbal-balik, intensitas hubungan emosional, besarnya kelompok, dan faktor lainlain. Tetapi umumnya ada dua konsekwensi dipendamnya konflik: 1)
24
dipendamnya
konflik
dapat
mengakibatkan
putusnya
hubungan.
Kalau
keterlibatan emosional pihak yang yang terlibat dalam konflik sudah tinggi, berakhirnya hubungan itu mungkin dipercepat dengan meledaknya konflik secara tiba-tiba dan parah, dimana ketegangan dan permusuhan yang menggunung sejak masa lampau meledak dalam bentuk amukan yang keras. Dalam situasi seperti itu, peristiwa yang mempercepat meledaknya konflik mungkin remeh, pentingnya faktor pencetus harus dimengerti latar belakang sejarah terakumulasinya permusuhan yang terpendam itu. Sebaliknya kalau hubungan itu bersifat sekunder, putusnya hubungan yang ditimbulkan oleh konflik yang terpendam mungkin hanya berupa sikap apatis yang semakin bertambah dan akhirnya mundur; 2) yang mungkin terjadi karena dipendamnya konflik adalah mengelakkan perasaan bermusuhan itu dari sumber yang sebenarnya, dan mengembangkan suatu saluran alternatif untuk mengungkapkannya. Alternatif seperti itulah yang disebut sebagai katup pengaman (Jhonson, 1981). Menurut Fisher et al, (2000), penyelesaian konflik mengacu pada strategistrategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri konflik, tetapi juga mencapai suatu penyelesaian dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian. Menurut Rauf (2001), ada dua cara penyelesaian konflik yaitu penyelesaian konflik secara persuasif dan penyelesaian konflik secara kekerasan atau koersif. Cara penyelesaian konflik secara persuasif menghasilkan penyelesaian konflik secara tuntas, artinya tidak ada lagi perbedaan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik karena titik temu telah dihasilkan atas keinginan sendiri. Cara koersif menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas rendah karena konflik sebenarnya belum selesai secara tuntas. Titik temu atau mufakat terbentuk secara terpaksa. Banyak cara untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan warga, baik melalui peradilan maupun tanpa melalui peradilan dengan melakukan musyawarah, tawar-menawar, dan kesepakatan-kesepakatan informal lainnya. Mengingat tujuan awal penyelesaian konflik adalah menemukan suatu
25
pilihan yang menjamin akses pada keadilan, maka diperlukan adanya suatu proses komunikasi dan empati. Selama proses tersebut dialog yang interaktif antara pihak-pihak yang berkonflik secara terbuka amat diperlukan, sehingga dalam hal ini suatu proses komunikasi dapat berjalan secara intensif (Fuad dan Maskanah, 2000). Dalam konteks konflik kehutanan, UU N0. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur penyelesaian konflik kehutanan, yaitu terdapat dalam pasal 74 dan 75. Disebutkan dalam pasal 74 ayat 1) bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, 2) apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dapat dilakukan setelah tidak dicapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam pasal 75 disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana. Penyelesaian di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Selain hal-hal di atas, konflik juga bisa diselesaikan melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan mempunyai relevansi penting dengan penyelesaian konflik dalam rangka mewujudkan perdamaian di Papua (Marvic, 2008). Penekanan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa hal, pertama, adanya kemampuan menyeluruh dari masyarakat dalam mempengaruhi lingkungan mereka, dan hal ini dapat dicapai jika proses pengembangan masyarakat merupakan proses pengembangan kemandirian mereka. Kedua, peningkatan pendapatan sebagai akibat peningkatan kemampuan menguasai lingkungan tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja atau kelompok masyarakat yang kuat, melainkan harus merata ditiap penduduk (Chalid, 2005). Pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan negara sebagai sistem yang lebih luas yang berfungsi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, struktur masyarakat Indonesia yang paternalistik menempatkan tokoh masyarakat dalam posisi yang penting. Untuk itu, keterlibatan tokoh masyarakat menjadi faktor yang cukup menentukan dalam proses pemberdayaan (Chalid, 2005).
26
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Wulan et al (2003) di Kalimantan Timur mengenai konflik di Taman Nasional Kutai menyimpulkan bahwa penyebab konflik bisa digolongkan menjadi lima kategori, yaitu,
perambahan hutan,
pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas atau akses dan alih fungsi kawasan. penyebab yang paling menonjol ditingkat nasional dan terutama terjadi di Kalimantan Timur (dengan mayoritas 8%) adalah karena ketidakjelasan tata batas kawasan dan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Anau et al (2002) mengenai pembuatan kesepakatan antar stakeholder hutan mengambil beberapa kesimpulan utama sebagai berikut: dalam era desentralisasi, adanya manfaat baru dari hutan telah mendorong desa-desa untuk mengadakan negosiasi satu sama lain, tetapi lembaga-lembaga untuk memfasilitasi negosiasi mereka belum berkembang; Ketidakpastian dan perubahan yang cepat dalam kesempatan ekonomis dan politik membuat desa-desa sulit untuk mencapai
kesepakatan yang stabil mengenai
batas-batas lahan; Perbedaan dalam kekuasaan dan pengaruh di antara warga desa adalah penyebab utama apakah suatu perjanjian atau kesepakatan yang stabil dalam diwujudkan, tetapi hanya ada sedikit perlindungan untuk memastikan keterwakilan secara adil dan peran serta kelompok yang lebih lemah; Kesepakatan yang dicapai biasanya tidak adil bagi suatu kelompok. Membangun masyarakat politik yang mendukung pada kedua desa dan desa-desa berpengaruh lainnya melalui konsultasi dan pengambilan keputusan yang
transparan
adalah
penting
bagi
desa-desa
untuk
mencapai
dan
mempertahankan suatu perjanjian. Bila para stakeholder tidak bisa membangun masyarakat itu, fokus dalam mengatasi konflik secara
konstruktif bisa lebih
produktif daripada memaksakan suatu perjanjian yang lemah. Suatu pihak ketiga dengan kewenangan dan kekuasaan di atas tingkat desa perlu ada untuk menetapkan kriteria untuk mengatasi konflik dan untuk mengesahkan dan memberlakukan perjanjian yang sah (Anau et al, 2002). Dharmawan (2006) telah melakukan analisis konflik sosial dengan fokus kajian di Kalimantan Barat. Dari analisis tersebut, Dharmawan membuat kerangka umum penyelesaian konflik. Jika konflik Negara vis a vis Masyarakat maka
27
penyelesaian konflik sebaiknya berbasis atau berorientasi nilai-kultural (etik, norma) yaitu melalui edukasi publik sebagai pendekatan penerapan etika pemihakan (affirmative action) kepada pihak yang lemah. Penyelesaian konflik sebaiknya juga berbasis atau berorientasi pada pengembangan struktur kelembagaan, forum komunikasi dan memberdayakan “ruang komunikasi publik” dan pengembangan kelembagaan kolaboratif atau kemitraan. Studi kelembagaan yang dilaksanakan oleh Dharmawan (2003) mengenai pengelolaan DAS Citanduiy, menyimpulkan bahwa ruang masyarakat sipil bukanlah ”ruang homogen” dimana semua komponen kelembagaan dan organisasi sosial yang hidup di dalamnya berideologi dan berkepentingan sama. Komunitas desa dengan dinamika kelembagaannya merupakan ruang heterogen dimana tidak ada ideologi dan kepentingan yang seragam, selaras, sejajar dan harmonis di kalangan elemen-elemen pembentuknya. Pada aras grass-root, konflik-konflik kepentingan dan friksi sosial juga berlangsung sangat tajam, sehingga mengantarkan sistem ekologi DAS memasuki konflik sosial yang sangat beresiko terhadap ancaman disintegrasi sosial atau konflik sosio-ekologi. Untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut, pendekatan kolaboratif ditempuh. Kajian Dharmawan (2003) mengemukakan bahwa konsekuensi dinamika di ruang masyarakat sipil mengharuskan tiga kelembagaan yang sepantasnya segera bermitra, yaitu: kelembagaan produksi desa, kelembagaan konservasi termasuk kelompok tani dan kelembagaan koperasi yang memiliki peran khas. Pada aras lokal, kelembagaan (NGO/non governmental organization), CSA/Civil Society Association dan organisasi natural resources users) dianggap sebagai asset kelembagaan komunitas lokal penting dan dapat dipandang sebagai stok modal sosial (sosial capital) yang dimiliki oleh komunitas desa. Kekuatan sinergis ketiga organisasi sosial itu diperlukan untuk mengimbangi kekuatan negara dan swasta yang selama ini mendominasi kekuasaan dan menentukan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Dewantama et al (2007) mengenai efektivitas pengelolaan kolaboratif kawasan perairan Taman Nasional Bali Barat terhadap tutupan Karang Hidup dan Sosial Ekonomi masyarakat menemukan bahwa Pengelolaan kolaboratif di kawasan perairan TNBB berjalan efektif dengan
28
indikator terjadinya peningkatan kualitas ekosistem terumbu karang (peningkatan tutupan karang hidup) dari 3,72% pada tahun 1998 menjadi 37,1% pada tahun 2006, yang didukung (berkorelasi) oleh fakta kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sistem pengaturan proses pengelolaan melalui kerjasama antara Balai TNBB dan FKMPP. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pengelolaan kolaboratif melalui kegiatan patroli dan kegiatan pariwisata mempunyai korelasi yang negatif dengan tutupan karang hidup. Berdasarkan
pengalaman
CIFOR,
kolaborasi
sebaiknya
dilakukan
berdasarkan ikatan antara para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dirumuskan bersama. Adanya tujuan yang jelas dan mudah dicapai dapat dipandang sebagai tali pengikat untuk secara bersama-sama melakukan kegiatan. Bentuk-bentuk ikatan formal sebaiknya dilakukan jika kolaborasi
melibatkan
lembaga-lembaga.
Umumnya
pimpinan
lembaga
membutuhkan formalitas agar prosedur birokrasi dan administrasi tidak dilanggar. Kondisi Taman Nasional Danau Sentarum sangat kompleks karena merupakan kawasan transisi antara ekosistem akuatik dan daratan. Model-model kolaboratif untuk menangani permasalahan akuatik akan
berbeda dengan model-model
kolaboratif untuk menangani permasalahan yang dijumpai pada ekosistem daratan. Teknik berkolaborasi dengan suku Dayak juga akan berbeda dengan teknik berkolaborasi dengan suku Melayu. Untuk mengurangi biaya transaksi dan komunikasi yang terlalu mahal, kolaborasi dapat dilaksanakan oleh 2 sampai 3 pemangku kepentingan (Anshari. 2006).
29
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kampung yaitu: Kampung Legon Pakis da Kampung Cikawung Girang Desa Ujung Jaya serta Kampung Kopi Desa Kertajaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2008. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang terkena dampak penetapan TNUK. Secara geografis TNUK terletak di Kabupaten Pandeglang, yang terdiri dari 35 kecamatan, secara administratif TNUK terletak di dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumur dan Cimanggu. Oleh karena itu, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang tinggal di Kecamatan Sumur dan Cimanggu. Dari seluruh populasi tersebut kemudian ditentukan sampel dengan tahap berikut: 1.
Pengambilan sampel kecamatan dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling) yaitu Kecamatan Sumur. Penentuan kecamatan ini sebagai sampel, karena kecamatan ini terdiri dari tujuh desa.
2.
Pengambilan
sampel
desa
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), yaitu Desa Ujung Jaya (terdiri dari 5 kampung) dan Desa Kertajaya (terdiri dari 5 kampung). Dua desa ini dipilih karena sebagian dari desa tersebut merupakan bagian dari kawasan TNUK. 3.
Pengambilan sampel kampung dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), yaitu Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Girang yang terletak di Desa Ujung Jaya. Dua kampung ini dipilih karena termasuk wilayah yang diklaim sebagai kawasan TNUK. Sampel lainnya adalah Kampung Kopi yang terletak di Desa Kertajaya. Sampel ini dipilih, karena juga termasuk wilayah yang terklaim sebagai kawasan TNUK.
30
4.
Kampung Legon Pakis terdiri dari 85 kepala keluarga (KK), Kampung Cikawung Girang 123 KK dan Kampung Kopi terdiri dari 41 KK. Dari jumlah KK tersebut diambil 15 responden yang mewakili 15 KK dari Kampung Legon Pakis, 15 responden yang mewakili 15 KK dari Kampung Cikawung Girang dan 16 responden yang mewakili 16 KK dari Kampung Kopi. Penetapan jumlah sampel tersebut didasarkan pada asumsi bahwa jumlah sampel minimal yang dibutuhkan oleh alat analisis yang digunakan adalah 30. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan Singarimbun dan Effendi (1995), bahwa penentuan jumlah sampel tergantung pada analisis yang digunakan. Bila analisis yang dipakai adalah teknik korelasi, maka sampel yang harus diambil minimal 30 responden. Dari asumsi tersebut, kemudian ditetapkan jumlah sampel minimal dalam satu kampung adalah 12% dan tidak ada jumlah sampel maksimal. Dengan cara ini didapatkan 15 responden (17,6%) dari Kampung Legon Pakis, 15 responden (12%) dari Kampung Cikawung Girang dan 16 responden (39%) dari Kampung Kopi.
5.
Pengambilan sampel responden dilakukan secara aksidental, yaitu setiap yang kebetulan ada, misalnya menanyakan siapa saja yang pertama kali ditemui pada saat penelitian (Nasution, 2003). Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survey explanatory, yaitu
penelitian yang ditujukan untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang terjadi di masyarakat, dimana menyoroti hubungan antar variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan (Singarimbun dan Efendy, 1995). Dalam hal ini variabel-variabel yang akan diukur terdiri dari variabel independen yaitu, Kelembagaan (X1) dan tindakan komunikasi (X2) dan variabel dependen yaitu penyelesaian konflik (Y). Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui dokumen-dokumen,
31
laporan-laporan instansi terkait serta literatur lainnya yang dapat menjadikan penelitian lebih komprehensif. Selain responden juga dipilih sejumlah informan sebagai pemberi informasi yaitu tokoh masyarakat, Ketua RT, Kepala BTNUK dan Kepala Humas BTNUK. Analisis Data Berdasarkan pada tujuan penelitian, model teoritis yang dikembangkan dan hipotesis yang diajukan, maka untuk keperluan deskripsi penelitian dipergunakan interpretasi data dari masing-masing peubah. Dengan demikian pada penelitian ini dilakukan beberapa analisis: 1.
Untuk
melihat
akuntabilitas
pengetahuan
kelembagaan,
responden persepsi
mengenai
responden
transparansi
mengenai
dan
tindakan
komunikasi dan persepsi responden mengenai penyelesaian konflik metode analisis yang digunakan adalah metode tabulasi silang karena data yang dianalisis adalah data kategorikal (Singarimbun dan Effendi, 1995). Berikut ini adalah langkah-langkah analisis yang dilakukan: a. Menghitung total skor pada setiap butir pertanyaan dengan cara: 1. Mengalikan jumlah responden yang menjawab jawaban tertentu dengan skor jawaban tersebut. 2. Menjumlahkan seluruh hasil perkalian. b. Menghitung rataan skor, dengan cara membagi total skor dengan jumlah responden yang menjawab pada butir pertanyaan tertentu. c. Berdasarkan rataan skor dibuat rentang kriteria dengan rumus: Rentang Kriteria
Rataan skor
Jumlah Kategori 1 Jumlah Kategori
1 – 1,75
4
1 4
0,75
= sangat tidak tahu atau sangat tidak setuju atau tidak pernah
Rataan skor 1,76 – 2,50
= tidak tahu atau tidak setuju atau jarang
Rataan skor 2,51 – 3,25
= tahu atau setuju atau sering
Rataan skor 3,26 – 4,00
= sangat tahu atau sangat setuju atau sering sekali
32
2.
Untuk melihat hubungan antar peubah kelembagaan yang meliputi transparansi dan akuntabilitas dengan tindakan komunikasi dan penyelesaian konflik, serta hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik dianalisis dengan menggunakan Rank Spearman (Supranto, 2000), dengan rumus sebagai berikut: 6∑
1
rrank
= Nilai korelasi
di
= Selisih dari pasangan rank ke-i
n2
= Banyaknya pasangan rank
Penghitungan korelasi Rank Spearman dilakukan melalui langkah-langkah berikut: 1. Hipotesis statistik yang diuji adalah: H0 : terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel dependen dan independen Ha : tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel dependen dan independen 2. Menghitung thitung yang didapatkan dari rumus: 2 1
Dimana: thitung = thit yang dibandingkan dengan ttab N
= jumlah sampel
R
= koefesien korelasi Rank Spearman
3. Jika –ttabel
Sumber : Sugiyono, 2000
Tingkat Korelasi Sangat rendah Rendah Sedang Kuat Tinggi
33
Definisi Operasional 1.
Kelembagaan merupakan kelembagaan formal dan non formal yang terkait dengan penyelesaian konflik di TNUK. Kelembagaan yang berkontribusi dalam penyelesaian konflik adalah RT, RW, BPD, Desa, tokoh masyarakat, kecamatan, LSM, BPN, DPRD dan BTNUK. Indikator kelembagaan yang dilihat dalam penelitian ini adalah: a. Transparansi adalah pengetahuan responden mengenai rencana dan pelaksanaan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh RT, RW, Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, BTNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM. Untuk mengukur transparansi, maka setiap responden ditanyakan mengenai
rencana-rencana
penyelesaian
konflik
dan
pelaksanaan
penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen transparansi adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak tahu; 2 = tidak tahu; 3 = tahu; dan 4 = sangat tahu. b. Akuntabilitas adalah pengetahuan responden pada kelembagaan RT, RW, Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, BTNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM dalam memperoleh sumber dana untuk penyelesaian konflik dan cara mereka mengelola dana tersebut. Untuk mengukur akuntabilitas, maka setiap responden ditanyakan mengenai sumber dana penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen akuntabilitas adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak tahu; 2 = tidak tahu; 3 = tahu; dan 4 = sangat tahu. 2.
Tindakan Komunikasi adalah tindakan mengkomunikasikan penyelesaian konflik antara responden dengan kelembagan yang terkait penyelesaian konflik. Indikator tindakan komunikasi yang dilihat dalam penelitian ini adalah: a. Bertanya adalah persepsi responden terhadap tindakan menanyakan perkembangan penyelesaian konflik oleh responden kepada RT, RW,
34
Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, TNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM. Untuk mengukur tindakan bertanya, maka setiap responden ditanyakan mengenai apakah mereka pernah menanyakan perkembangan penyelesaian konflik kepada kelembagaan tersebut. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen bertanya adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = tidak pernah; 2 = jarang; 3 = sering; dan 4 = sering sekali. b. Berdiskusi adalah persepsi responden terhadap tindakan mendiskusikan perkembangan penyelesaian konflik oleh responden kepada RT, RW, Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, TNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM. Untuk mengukur tindakan berdiskusi, maka setiap responden ditanyakan
mengenai
apakah
mereka
pernah
mendiskusikan
perkembangan penyelesaian konflik kepada kelembagaan tersebut.Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen berdiskusi adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = tidak pernah; 2 = jarang; 3 = sering; dan 4 = sering sekali. c. Memberikan informasi adalah persepsi responden terhadap tindakan memberikan informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik oleh RT, RW, Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, TNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM kepada responden. Untuk mengukur tindakan memberikan informasi, maka setiap responden ditanyakan mengenai apakah mereka pernah memperoleh informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik dari kelembagaan tersebut.Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen memberikan informasi adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = tidak pernah; 2 = jarang; 3 = sering; dan 4 = sering sekali. 3.
Penyelesaian
konflik
adalah
usaha-usaha
yang
dilakukan
untuk
menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan mencari kesempatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Indikator penyelesaian konflik yang dilihat dalam penelitian ini adalah:
35
a. Pengembalian tanah adalah persepsi responden terhadap upaya yang dilakukan oleh kelembagaan dan masyarakat untuk mengembalikan status tanah masyarakat sebagai tanah milik. Untuk mengukur pengembalian tanah, maka setiap responden ditanyakan berapa lama tinggal di kampung mereka, menggarap tanah mereka, pendapat mereka bila BTNUK mengakui tanah yang mereka tempati dan mereka garap sebagai milik BTNUK. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen pengembalian tanah adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju; 3 = setuju; dan 4 = sangat setuju. b. Pemindahan penduduk adalah persepsi responden terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh BTNUK untuk memindahkan warga yang bertempat tinggal di dalam zona rimba dan zona inti ke daerah di luar kawasan TNUK. Untuk mengukur pemindahan penduduk, maka setiap responden ditanyakan pendapat mereka jika dipindahkan dengan beberapa janji yaitu dipindahkan ke daeraa yang lebih subur, diberikan fasilitas yang layak, diberikan pekerjaan dan dicukupi kebutuhannya sampai bisa hidup mandiri. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen pemindahan penduduk adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju; 3 = setuju; dan 4 = sangat setuju. c. Kesepakatan adalah persepsi responden terhadap hal-hal yang diputuskan bersama oleh BTNUK, masyarakat dan pihak lain dimana masing-masing pihak saling berkomitmen menjaganya. Untuk mengukur kesepakatan, maka setiap responden ditanyakan mengenai zonasi TNUK, dasar penetapan zonasi, batas zona pemanfaatan dan zona penyangga, kategori zona desa, sanksi pelanggaran dan pelapor pelanggaran. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen kesepakatan adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak tahu; 2 = tidak tahu; 3 = tahu; dan 4 = sangat tahu. c. Pengelolaan kolaboratif adalah persepsi responden terhadap kemitraan antara BTNUK dan masyarakat untuk mengembangkan ekowisata berbasis
36
masyarakat. Untuk mengukur pengelolaan kolaboratif, maka setiap responden ditanyakan mengenai pendapat mereka jika kampung mereka dijadikan daerah ekowisata dan jika hal tersebut dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak swasta dan BTNUK. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen pemindahan penduduk adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju; 3 = setuju; dan 4 = sangat setuju. d. Musyawarah atau hukum merupakan persepsi responden terhadap jalur penyelesaian konflik yang dipilih oleh responden, dimana musyawarah merupakan forum untuk merembukkan sesuatu dan berakhir pada pengambilan
kesepakatan
atau
pengambilan
keputusan
bersama.
Sedangkan penyelesaian konflik melalui jalur hukum dilakukan melalui pengadilan. Untuk mengukur musyawarah atau hukum, maka setiap responden ditanyakan pendapat mereka jika konflik diselesaikan melalui jalur musyawarah atahu hukum. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen musyawarah atau hukum adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju; 3 = setuju; dan 4 = sangat setuju. e. Pemberdayaan masyarakat adalah persepsi responden terhadap upaya meningkatkan potensi masyarakat secara mandiri melalui pelatihan dan pembiayaan usaha mandiri. Untuk mengukur pemberdayaan masyarakat, maka setiap responden ditanyakan mengenai pengetahuan mereka mengenai kelembagaan yang memberikan pelatihan dan modal dan bagaimana pendapat mereka mengenai hal tersebut. Cara pengukuran yang digunakan pada instrumen pemberdayaan masyarakat adalah skala Likert, dimana responden diminta memilih salah satu tanggapan yang sudah disediakan, yaitu 1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju; 3 = setuju; dan 4 = sangat setuju.
37
Validitas Instrumen Validitas ialah mengukur apa yang ingin diukur (Usman dan Akbar, 2003). Sebuah instrumen dikatakan valid, jika instrumen itu mampu mengukur apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan tujuan tertentu (Danim, 2004). Pada umumnya dikenal dua macam standar validitas, yaitu validitas internal dan eksternal. Validitas internal mempertanyakan sampai seberapa jauh alat ukur berhasil mencerminkan obyek yang akan diukur pada suatu setting tertentu. Sementara itu, validitas eksternal lebih terkait dengan keberhasilan suatu alat ukur untuk diaplikasikan pada setting yang berbeda, artinya alat ukur yang cukup valid mengukur obyek pada suatu setting tertentu, apakah juga valid untuk mengukur obyek yang sama pada setting yang lain (Bungin, 2006). Menurut Usman dan Akbar (2003), validitas instrument penelitian dapat dicek melalui analisis daya pembeda dengan menggunakan uji t terhadap 27% skor jawaban kelompok tinggi dan 27% skor jawaban kelompok rendah. Rumusnya: x1 − x 2
t = s gab
2 = S gab
1 1 + n1 n 2 ( n 1 − 1) S 2 1 + ( n 2 − 1) S 2 2 n1 + n 2 − 2
Reliabilitas Instrumen Reliabilitas menunjuk pada keterandalan alat ukur atau instrumen penelitian (Bungin, 2006). Sedangkan menurut Usman dan Akbar (2003), reliabilitas adalah mengukur instrument terhadap ketepatan. Standar reliabilitas mencakup tiga aspek yaitu, kemantapan ketepatan atau akurasi dan homogenitas (Bungin, 2006 dan Kerlinger, 1996). Reliabilitas, meski bukan segi terpenting dalam pengukuran, tetap sangat penting. Keandalan yang tinggi bukanlah jaminan bagi dihasilkannya hasil-hasil ilmiah yang bagus, tetapi tidak akan ada hasil ilmiah tanpa reliabilitas ini (Kerlinger, 1996).
38
Menurut Usman dan Akbar (2003) alpha cronbach dapat digunakan untuk menguji reliabilitas instrument Skala Likert. Rumusnya adalah:
⎛ k ⎞⎛⎜ ∑ s ⎟⎟ 1 − 2 α = ⎜⎜ s i ⎝ (k − 1) ⎠⎜⎝
2
i
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
Dimana: k = jumlah item S2i = jumlah varians skor total S2i = varians responden untuk item ke i Metode yang digunakan untuk mengukur reliabilitas dalam penelitian ini adalah menggunakan metode alpha cronbach dengan program SPSS 13 for Windows. Hasil perhitungan alpha cronbach memperoleh nilai reliabilitas keseluruhan 0,99 sehingga kuesioner yang digunakan dianggap andal sebagai instrumen penelitian, karena nilai reliabilitas > 0,80-1,0 dinyatakan reliable (Usman dan Akbar, 2003).
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari jenis pekerjaan, usia, luas lahan dan kepemilikan lahan. Mayoritas responden berusia 20-49 tahun yaitu sebanyak 38 orang (82,6%). Sebagian besar responden berprofesi sebagai petani 31 orang (67,4%) dan sisanya berprofesi sebagai pegawai BTNUK 3 orang (6,5%), buruh tani 7 orang (15,2%), pedagang 2 orang (4,4%), nelayan 3 orang (6,5%) dan tukang bengkel 1 orang (2,2). Seluruh tanah yang berada di Kampung Cikawung Girang adalah tanah bersertifikat, kecuali tanah garapan warga yang berada di luar tanah kampung. Seluruh tanah di Kampung Legon Pakis adalah tanah BTNUK yang telah didiami warga sejak zaman Belanda sehingga warga menganggap bahwa tanah mereka adalah tanah warisan dari nenek moyang mereka. Sedangkan warga Kampung Kopi yang dipindahkan dari zona rimba ke tanah kampung yang sedianya bersertifikat tetapi kenyataannya warga harus mengurus sendiri jika ingin mendapatkan sertifikat. Dari keseluruhan lahan sawah dan kebun, sebagian besar adalah lahan warisan (65,15%), sisanya adalah lahan yang dibuka oleh warga di dalam zona rimba yaitu 7,5 ha (17,44%) dan lahan hasil pembelian seluas 7,48 ha (17,4%). Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi TNUK terletak di Kecamatan Cimanggu dan Sumur serta semenanjung Ujung Kulon dan beberapa pulau-pulau kecil, diantaranya adalah Pulau Panaitan, Peucang dan Handeuleum. Secara administratif TNUK termasuk ke dalam Kecamatan Cimanggu dan Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. TNUK dikelola berdasarkan sistem zonasi, yaitu zona inti, zona rimba, zona khusus dan zona tradisional (BTNUK, 2007). Desa-desa yang berada di Kecamatan Sumur dan Cimanggu merupakan desa yang menjadi kawasan penyangga TNUK. Kecamatan Sumur terdiri dari tujuh desa dan Kecamatan Cimanggu terdiri dari 12 desa. Beberapa kampung dalam desa-desa tersebut sejak
40
penetapan Ujung Kulon sebagai taman nasional dikategorikan ke dalam zona rimba, diantaranya adalah
Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung
Girang yang berada di Desa Ujung Jaya Kecamatan Sumur dan Kampung Kopi yang terletak di Desa Kertajaya Kecamatan Sumur. Kampung Legon Pakis berdiri di tengah-tengah ribuan perkebunan kelapa dan di kelilingi oleh sawah yang sangat subur, tidak heran jika setiap hari truk pengangkut buah kelapa membawa kelapa dan hasil bumi lainnya menuju berbagai kota. Berdiri di atas lahan seluas 228 ha, Kampung Legon Pakis berbatasan dengan Kampung Cikawung Girang dan Cikawung Seberang. Ketiga kampung tersebut beserta Sempur dan Taman Jaya Girang merupakan kampung yang berada di Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur. Berdasarkan zonasi TNUK, Kampung Legon Pakis dikategorikan ke dalam zona khusus. Zona khusus adalah bagian dari zona inti yang diperlakukan secara khusus karena zona tersebut sudah menjadi kawasan permukiman sejak sebelum penetapan Ujung Kulon menjadi taman nasional. Pada tahun penetapan TNUK, yaitu pada tahun 1992 seluruh warga Kampung Legon Pakis direlokasi ke Pematang Laja Kecamatan Cigeulis. Namun warga kembali lagi ke Kampung Legon Pakis karena tidak menemukan kondisi yang diharapkan. Sampai saat ini, pihak BTNUK berusaha untuk merelokasi warga Kampung Legon Pakis karena menempati zona inti. Kondisi Kampung Cikawung Girang sedikit berbeda dengan Kampung Legon Pakis, kampung ini berdiri di atas persawahan yang dialiri air sungai dari pegunungan yang tidak kering di musim kemarau. Tidak banyak pohon kelapa dan tanaman perkebunan lainnya di tengah kampung, tanaman tersebut ditanam oleh penduduk di areal perkebunan yang berada dalam zona rimba. Permukiman Kampung Cikawung Girang terbelah menjadi dua bagian, satu bagian
dikategorikan
sebagai
kawasan
penyangga
dan
bagian
lainnya
dikategorikan ke dalam zona rimba. Bagi bagian yang terkategori ke dalam zona rimba, pihak BTNUK juga menerapkan kebijakan relokasi, sedangkan bagi bagian yang dikategorikan sebagai kawasan penyangga, BTNUK mengizinkan warga untuk menggarap tanah garapan yang berada dalam zona rimba. Namun sampai
41
saat ini BTNUK belum berhasil merelokasi warga karena warga mempunyai bukti kepemilikan yang sah atas lahan perkampungan dan lahan garapan. Berbeda halnya dengan
Kampung Kopi, kampung ini berada di Desa
Kertajaya Kecamatan Sumur. Kampung ini terletak tepat di perbatasan Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cimanggu. Sedikit sama kondisinya dengan Kampung Cikawung Girang, kampung ini dahulunya terbelah menjadi dua, satu bagian permukiman berada di dalam zona rimba dan bagian lainnya berada dalam daerah penyangga. Pada tahun 2000 BTNUK berhasil merelokasi permukiman yang berada dalam zona rimba ke dalam daerah penyangga yang terletak di sebelah jalan. Di kampung ini, zona rimba dan kawasan penyangga dibatasi oleh jalan raya. Zonasi dalam kawasan TNUK bisa dilihat dalam Gambar 3 berikut:
Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian
Gambar 3 Zonasi Balai Taman Nasional Ujung Kulon (Sumber: BTNUK, 2007) Sedangkan desa yang menjadi desa penyangga bisa dilihat dalam gambar berikut:
42
Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian
Gambar 4 Lokasi Penelitian (Sumber: BTNUK, 2007) Mengingat status permukiman Kampung Legon Pakis yang berada di dalam zona inti yang diberi perlakuan khusus, sarana dan prasarana kampung berbeda dengan kampung atau desa yang berada dalam kawasan penyangga. Jalan kampung hanya berupa jalan tanah yang jika hujan turun menjadi becek. Penerangan pada malam hari menggunakan lampu yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Dalam satu kampung hanya terdapat satu televisi milik seorang juragan yang menyalurkan aliran listrik dari Cikawung Seberang. Tidak ada sarana pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya. Tiga kampung ini berada dalam kawasan TNUK sejak adanya perubahan terbaru berkenaan tapal batas. Sebelum adanya perubahan, tiga kampung ini berada dalam kawasan penyangga. Perubahan tapal batas dilakukan pada tahun 1992, pada saat penetapan status TNUK. Sebelum adanya perubahan tapal batas pada tahun 1992, tapal batas berada di ujung barat Desa Ujung Jaya berada di sungai Cihujan, sehingga Kampung
43
Legon Pakis maupun Kampung Cikawung Girang tidak termasuk dalam kawasan TNUK. Setelah adanya perubahan tapal batas, tapal batas bergeser keluar TNUK yaitu ke perbatasan antara Kampung Legon Pakis dan Cikawung Seberang. Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa dalam TNUK terdapat pembagian zonasi yang jelas. Gambar tersebut menunjukkan betapa dekatnya daerah penyangga yang didiami warga dengan zona rimba, padahal ketentuan-ketentuan dalam dua zona tersebut berbeda jauh. Jika daerah penyangga tidak terdapat larangan melakukan aktivitas budidaya, berbeda halnya dengan zona rimba, dalam zona rimba aktivitas budidaya termasuk yang dilarang. wilayah perbatasan langsung antara zona rimba dan daerah penyangga inilah yang menimbulkan gesekan antara warga yang berada dalam daerah penyangga dan petugas BTNUK. Padahal desa yang berada dalam daerah penyangga tidaklah sedikit, yaitu sebanyak 19 desa (Gambar 4). Aktivitas Keseharian
Masyarakat di tiga kampung penelitian adalah masyarakat agraris, dimana kehidupannya berpusat pada kegiatan pertanian. Keunikan ketiga kampung ini adalah mereka bercocok tanam hanya pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau sawah diberakan. Pada musim hujan, warga bertanam padi sedangkan pada musim kemarau warga mengandalkan kehidupannya dari hasil kebun yang ditanami kopi, lada, pisang, dan lain-lain. Nampak terasa bahwa semua warga ditiga kampung ini sangat menggantungkan kehidupan mereka kepada hasil bumi yang diperoleh dari kebun dan sawah yang berada dalam zona rimba. Untuk mencukupi kebutuhan makan misalnya, warga hanya mengkonsumsi hasil bumi mereka. Mereka tidak mendapatkan suplai bahan makanan dari para pedagang karena untuk mengakses dua kampung ini pedagang harus melewati jalan rusak yang tidak layak. Untuk memenuhi kebutuhan ikan, warga Kampung Cikawung Girang mengambilnya dari pesisir pantai Kampung Legon Pakis. Meskipun demikian hasil penelitian Tim Peneliti Sains (2007) menunjukkan tingginya hasil bumi Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Girang yang bisa dilihat dalam Tabel 2 berikut:
44
Tabel 2 Data produksi dan nilai penjualan komoditas Kampung Legon Pakis tahun 2007 Jenis Komoditas
Volume Produksi per tahun
Gabah
320,8 ton
Kelapa
Frekuensi Produksi per tahun
Nilai Produksi per tahun (Rp)
Keterangan
1-2 kali
705.760.000
Harga gabah Rp 2.200 per kg
752.840 buah
6 kali
376.420.000
Harga kelapa per butir Rp 500
Kopi
5.930 kg
1 kali
118.600.000
Harga Kopi Rp 20.000 per kg
Pete
26220 papan
1 kali
5.240.000
Harga pete Rp 20.000 per 100 papan
280 kg
1 kali
840.000
Harga Melinjo Rp 3000 per kg
Jengkol
161 kg
1 kali
322.000
Harga jengkol Rp 2000 per kg
Mahoni
20 papan
1 kali
400.000
Harga mahoni Rp 20.000 per papan
Melinjo
Jumlah (bruto)
1.207.582.000
Sumber: Tim Peneliti SAINS (2007)
Tabel 3 Data produksi dan nilai penjualan komoditas Kampung Cikawung Girang tahun 2007 Jenis Komoditas
Volume Produksi per tahun
Gabah
183,100 ton
Kelapa Kopi
Frekuensi Produksi per tahun
Nilai Produksi per tahun (Rp)
Keterangan
1-2 kali
250.800.000,-
Harga gabah Rp 2.200 per kg
168.400 buah
6 kali
72.000.000,-
Harga kelapa per butir Rp 500
50 kg
1 kali
1000.000,-
Harga Kopi Rp 20.000 per kg
5-10 tahun
5000.000,-
Harga Papan per Pohon Rp 200.000,-
Albasia
25 pohon
Mangga
10 kg
1 kali
15000
Harga Mangga Rp 1500 per kg
Melinjo
10 kg
1 kali
30.000,-
Harga Melinjo Rp 3000 per kg
Jengkol
161 kg
1 kali
322.000
Harga jengkol Rp 2000 per kg
Mahoni
1200 papan
1 kali
240.000.000
Harga mahoni Rp 20.000 per papan
Bambu
20 pohon
200.000,-
Harga Per pohon Rp 10.000,-
Jumlah (bruto)
1
569.367.000
Sumber: Tim Peneliti SAINS (2007)
Dalam menjalankan aktivitas keseharian, warga Kampung Legon Pakis mengikuti figur sentral kampung yaitu Abah Suhaya. Abah Suhaya membimbing warga dalam merencanakan tanaman apa yang ditanam pada musim tertentu, ia juga yang memimpin warga untuk memulai aktivitas bercocok tanam. Ia menjadi tempat bertanya dan tempat bercerita bagi warga mengenai kehidupan, termasuk mengenai konflik tapal batas antara warga dan BTNUK.
45
Pengakuan masyarakat atas kepemimpinan non formal Abah Suhaya didasarkan pada keyakinan warga bahwa Abah Suhaya adalah titisan dari Abah Pelen. Abah Pelen merupakan tokoh yang merintis pembukaan Kampung Legon Pakis. Dikarenakan pengetahuan Abah Suhaya yang sangat mendalam mengenai sejarah Ujung Kulon, terlebih Kampung Legon Pakis dan Desa Ujung Jaya maka Abah Suhaya tidak hanya menjadi figur sentral di Kampung Legon Pakis tetapi Abah Suhaya juga ditokohkan oleh warga Kecamatan Sumur. Bahkan ia dijadikan sebagai Ketua Serikat Tani Ujung Kulon oleh 19 warga desa yang termasuk dalam kawasan penyangga. Pengetahuan Responden mengenai Kelembagaan Transparansi
Salah satu prinsip transparansi adalah menjamin akses bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Melalui prinsip inilah semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik berhak mengetahui rencana dan pelaksanaan konflik yang dilakukan oleh pihak lainnya. Dalam penelitian ini, pengertian transparansi adalah pengetahuan responden mengenai rencana dan pelaksanaan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh RT, RW, Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, BTNUK, Kecamatan, DPRD, BPN dan LSM. Tabel 4 memperlihatkan bahwa rataan skor dari responden untuk perencanaan dan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kelembagaan RW, BPD, Desa, tokoh masyarakat dan BTNUK berkisar dari 1,60 sampai 1,86 untuk perencanaan dan 1,60 sampai 1,90 untuk pelaksanaan penyelesaian konflik. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak mengetahui perencanaan maupun pelaksanaan penyelesaian konflik yang disusun dan dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Rataan skor untuk RT, LSM, BPN dan DPRD berkisar dari 1,18 sampai 1,36 untuk perencanaan penyelesaian konflik, untuk pelaksanaan penyelesaian konflik rataan skor semua kelembagaan tersebut adalah 1,36. Hal ini
46
menunjukkan bahwa responden sangat tidak mengetahui perencanaan dan pelaksanaan konflik yang disusun dan dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Tabel 4 Skor pengetahuan responden mengenai perencanaan dan pelaksanaan penyelesaian konflik Kelembagaan RT RW BPD Desa Tomas Kecamatan LSM BPN DPRD BTNUK
Transparansi dalam Penyelesaian Konflik Perencanaan (Rataan Skor) Pelaksanaan (Rataan Skor) 1,18 1,36 1,71 1,76 1,76 1,76 1,67 1,67 1,71 1,71 1,60 1,60 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,36 1,86 1,90
Keterangan: Rataan skor 1 – 1,75 Rataan skor 1,76 – 2,50 Rataan skor 2,51 – 3,25 Rataan skor 3,26 – 4,00
= = = =
sangat tidak tahu tidak tahu tahu sangat tahu
Tabel 4 menunjukkan responden cenderung tidak tahu dan sangat tidak tahu tentang transparansi kelembagaan yang ada. Dari semua kelembagaan, nampak bahwa kelembagaan yang mempunyai
rataan skor tertinggi adalah BTNUK,
sedangkan kelembagaan yang mempunyai rataan skor terendah adalah RT. Kenyataan bahwa BTNUK mempunyai rataan skor tertinggi adalah karena secara kelembagaan, BTNUK menempati hirarki tertinggi yang mempunyai otoritas terbesar dalam penyelesaian konflik. Otoritas tersebut meniscayakan BTNUK untuk memproduksi gagasan-gagasan penyelesaian konflik yang kemudian disosialisasikan kepada kelembagaan yang secara hirarkis lebih rendah dibanding BTNUK. Besarnya otoritas tersebut juga meniscayakan BTNUK untuk menyebarkan gagasan tersebut secara luas kepada masyarakat melalui kelembagaan yang secara hirarkis lebih rendah. Karena gagasan tersebut adalah gagasan dari BTNUK, jadi meskipun gagasan tersebut yang menyampaikan adalah RT, namun masyarakat mengetahuinya sebagai gagasan dari BTNUK. Di sisi lain, kelembagaan yang mempunyai rataan skor terendah adalah RT. Hal tersebut disebabkan karena RT hanya menyampaikan rencana dan pelaksanaan penyelesaian konflik dari kelembagaan lainnya. Dalam kasus
47
Kampung Legon Pakis misalnya, RT nampak tidak mempunyai rencana penyelesaian konflik karena RT manut dengan tokoh masyarakat. Secara umum, kecenderungan responden tersebut bisa dikarenakan dua hal, yang pertama terkait dengan aspek intern kelembagaan dan yang kedua terkait dengan aspek komunikasi. Secara internal, kelembagaan-kelembagaan formal maupun nonformal pada dasarnya tidak mempunyai rencana yang pasti untuk menyelesaikan konflik. Ditinjau dari aspek saluran komunikasi penyelesaian konflik, kelembagaan tertinggi yang mempunyai wewenang khusus dalam kawasan TNUK adalah BTNUK. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut, BTNUK berkoordinasi dengan penguasa administratif kawasan TNUK yaitu DPRD Kabupaten Pandeglang yang juga mewakili Pemerintah Daerah Pandeglang. BTNUK juga berkoordinasi dengan Kecamatan Sumur dan Cimanggu yang juga penguasa administratif TNUK, BPN Pandeglang karena konflik dalam TNUK terkait erat dengan sengketa agraria dan LSM. Setelah
dikoordinasikan
dengan
kelembagaan
di
atas,
BTNUK
mensosialisasikannya kepada kepala desa. Oleh kepala desa informasi tersebut kemudian diteruskan kepada BPD, RW, RT dan tokoh masyarakat. Berikut ini adalah skema saluran informasi penyelesaian konflik di TNUK: BTNUK DPRD
LSM
BPN
Kecamatan
Tokoh Masyarakat
Desa BPD RW RT
Gambar 3 Skema Saluran Informasi Penyelesaian Konflik di TNUK Dari skema di atas, dapat dimengerti jika kelembagaan yang mempunyai rataan skor terendah adalah RT. Dalam perjalanan komunikasi dari hirarki teratas
48
sampai RT dapat dipastikan ada bias informasi, oleh karena itu informasi yang sampai di RT belum tentu sama dengan informasi pada BTNUK. Oleh karena itu pula meskipun RT adalah kelembagaan yang paling mudah diakses oleh masyarakat, namun RT tidak mampu memberikan keterangan yang memadai mengenai perencanaan dan pelaksanaan penyelesesaian konflik. Temuan di atas relevan dengan temuan Dharmawan (2006) dalam studi mengenai pemerintahan desa. Dharmawan menemukan bahwa aparat desa dan warga desa umumnya menghadapi kemiskinan dalam menggagas inisiatif-inisiatif perubahan yang bernas atau asli atau otentik sesuai dengan potensi, persoalan serta kebutuhan di tingkat lokalitas. Kemiskinan stok-gagasan tersebut telah menyebabkan dampak bolak-balik terhadap kelembagaan pemerintahan desa berupa ketidakberdayaan untuk berperan sebagai “mesin perubahan sosial”. Kemiskinan stok gagasan tersebut terlihat dari ketergantungan aparat desa terhadap pihak-pihak yang mempunyai kewenangan. Dharmawan (2006) mendeskripsikan hal tersebut sebagai meningkatnya derajat ketergantungan struktural pemerintahan desa (lokalitas desa) terhadap otoritas pemerintahan “atas-desa” yang semakin hari semakin menguat. Tokoh masyarakat, RT, BPD dan desa berharap bisa bermusyawarah dengan pihak-pihak tersebut untuk merumuskan kesepakatan yang mengakomodir kepentingan pihak yang terkait dengan TNUK. Kepala BTNUK menuturkan beberapa langkah penyelesaian konflik, diantaranya adalah rencana untuk membangun saluran irigasi di kawasan penyangga,
perencanaan
ekowisata
berbasis
masyarakat,
pemberdayaan
masyarakat melalui pelatihan dan pemberian modal kepada kelompok-kelompok sasaran, dan rencana untuk menindak tegas para pelaku illegal logging di zona inti dan zona pemanfaatan. Hanya saja rencana pihak BTNUK tersebut tidak banyak diketahui masyarakat. Sementara itu, kelembagaan nonformal yang sedianya diduga menjalankan fungsi sebagai ajang penyelesaian konflik ternyata tidak terbukti. Pada tahap uji validasi dan reliabilitas kuesioner, ditemukan bahwa peubah yang dikategorikan sebagai kelembagaan nonformal yaitu pengajian bapak-bapak atau ibu-ibu, perkumpulan masjid dan perkumpulan menjelang maghrib tidak menjalankan
49
fungsi sebagai ajang penyelesaian konflik. Kelembagaan tersebut hanya menjalankan fungsi edukasi spiritual. Satu-satunya kelembagaan nonformal yang menjalankan fungsi penyelesaian konflik adalah seorang tokoh masyarakat dan ini hanya terjadi di Kampung Legon Pakis. Dari diskusi mendalam dengan ketua RT, diketahui bahwa RT patuh dengan tokoh masyarakat, sehingga ketika ditanyakan mengenai rencana penyelesaian konflik ketua RT menyarankan untuk bertanya langsung ke tokoh masyarakat saja. Dari diskusi dengan responden lainnya diperoleh informasi bahwa pada dasarnya ketua RT memang tidak mempunyai rencana penyelesaian konflik. Hasil diskusi mendalam dengan responden, diperoleh informasi bahwa terdapat beberapa LSM yang pernah membantu masyarakat untuk menyelesaikan konflik, LSM tersebut adalah Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Sajogyo Institut (SAINS). Namun karena LSM tersebut datang secara temporer, maka masyarakat tidak mengetahui rencana dan pelaksanaan penyelesaian konflik yang dilaksanakan oleh LSM tersebut. Kelembagaan formal lainnya seperti DPRD dan BPN juga tidak pernah menyampaikan perencanaan penyelesaian konflik dikarenakan tidak mempunyai akses langsung ke masyarakat walaupun kelembagaan tersebut mempunyai rencana penyelesaian konflik. Hal tersebut diketahui dari draft raperda daerah penyangga yang sedang dibahas di DPRD, dimana BPN dan BTNUK adalah pihak yang turut membahas raperda tersebut. Akuntabilitas
Sumber dana penyelesaian konflik berkaitan dengan independensi kelembagaan dalam mengambil suatu keputusan. Dalam prinsip tata pemerintahan yang baik, kelembagaan harus mempertanggunggugatkan setiap keputusan yang diambil, termasuk memutuskan sumber dana untuk operasionalisasi kelembagaan. Dalam prinsip tersebut, setiap orang berhak memperoleh informasi mengenai sumber dana kelembagaan. Berikut ini adalah analisis data mengenai pengetahuan responden mengenai sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik kelembagaan yang diteliti:
50
Tabel 5 Skor pengetahuan responden mengenai sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik Kelembagaan
Akuntabilitas dalam Penyelesaian Konflik Sumber Dana (Rataan Skor) Pengelolaan Dana (Rataan Skor)
1,36 1,60 1,62 1,60 1,62 1,62 1,40 1,40 1,40 1,74
RT RW BPD Desa Tomas Kecamatan LSM BPN DPRD BTNUK Keterangan: Rataan skor 1 – 1,75 Rataan skor 1,76 – 2,50 Rataan skor 2,51 – 3,25 Rataan skor 3,26 – 4,00
= = = =
1,40 1,55 1,55 1,55 1,55 1,57 1,40 1,40 1,40 1,62
sangat tidak tahu tidak tahu tahu sangat tahu
Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan skor dari responden untuk sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik pada kelembagaan yang terkait menunjukkan rataan skor yang berkisar 1,36 sampai 1,74 untuk sumber dana dan 1,40 sampai 1,62 untuk pengelolaan dana penyelesaian konflik. Hal ini menunjukkan bahwa responden
tidak mengetahui sumber dana maupun
pengelolaan dana penyelesaian konflik pada kelembagaan terkait. Tabel 5 menunjukkan bahwa kelembagaan yang mempunyai rataan skor tertinggi (1,74) adalah BTNUK. Sedangkan kelembagaan yang mempunyai rataan skor terendah adalah RT (1,36). Hal tersebut dikarenakan responden mengetahui bahwa BTNUK mempunyai sumber dana penyelesaian konflik yang pasti, yaitu pemerintah. Sedangkan untuk RT, responden mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui dari mana RT memperoleh dana penyelesaian konflik. Responden hanya mengetahui bahwa RT tidak memperoleh dana dari siapapun. Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan RT hanya semata untuk mengabdi kepada masyarakat, tanpa imbalan apapun. Hasil diskusi mendalam dengan informan, diperoleh informasi bahwa pada dasarnya RT tidak mendapatkan dana dari siapapun, kelembagaan tersebut menggunakan uang pribadinya dalam keterlibatannya dalam penyelesaian konflik. Dikarenakan uang tersebut adalah uang pribadi, maka kelembagaan tersebut juga
51
mengelolanya
secara
pribadi
dan
tidak
mempunyai
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat luas. Kelembagaan formal seperti RT, RW, BPD dan Desa serta kelembagaan non formal yaitu tokoh masyarakat pada dasarnya memang tidak pernah menyampaikan secara terbuka mengenai sumber dana penyelesaian konflik kepada masyarakat luas. Dari hasil diskusi mendalam dengan para responden, responden menyatakan bahwa pada dasarnya RT, RW, BPD, Desa dan tokoh masyarakat tidak mempunyai anggaran dan pengelolaan khusus untuk dana penyelesaian konflik, karena kelembagaan tersebut menggunakan uang pribadi. Kelembagaan formal lainnya seperti DPRD dan BPN juga tidak pernah menyampaikan sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik. Dari diskusi mendalam dengan responden, terungkap bahwa sebagai kelembagaan formal pemerintah, maka kelembagaan tersebut memperoleh dana dari pemerintah dan mengelolanya sesuai standar yang berlaku dalam pemerintahan. Persepsi Tindakan Komunikasi Responden dalam Penyelesaian Konflik
Prosedur penyelesaian konflik yang terbaik adalah dengan maksimalisasi argumentasi secara rasional. Maksimalisasi argumentasi adalah melalui tindakan komunikatif.
Proses
penyampaian
argumen
merupakan
suatu
tindakan
komunikasi. Dalam penelitian ini, tindakan komunikasi yang dianggap paling mendasar dalam penyampaian argumen adalah tindakan bertanya, berdiskusi dan mendapatkan informasi. Tindakan bertanya dan mendapatkan informasi merupakan tindakan komunikasi satu arah, tetapi jika keduanya digabungkan dalam waktu yang sama maka akan menjadi komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah juga bisa terlihat dalam suatu proses diskusi. Tabel 6 memperlihatkan bahwa rataan skor tindakan responden untuk bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik kepada mayoritas kelembagaan yang terkait menunjukkan rataan skor yang berkisar dibawah 1,75, kecuali kepada BPD yaitu 1,91 untuk tindakan bertanya dan 2,05 untuk tindakan berdiskusi. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak pernah bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik kepada pada kelembagaan selain BPD.
52
Kepada BPD, responden terkategori jarang bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik. Tabel 6 Skor tindakan bertanya dan berdiskusi responden mengenai penyelesaian konflik Kelembagaan
Penyelesaian Konflik Bertanya (Rataan Skor) Berdiskusi (Rataan Skor)
1,60 1,73 1,91 1,68 1,48 1,14 1,14 1,14 1,23 1,23
RT RW BPD Desa Tomas Kecamatan LSM BPN DPRD BTNUK Keterangan: Rataan skor 1 – 1,75 Rataan skor 1,76 – 2,50 Rataan skor 2,51 – 3,25 Rataan skor 3,26 – 4,00
= = = =
1,64 1,75 2,05 1,66 1,55 1,18 1,14 1,16 1,23 1,25
tidak pernah jarang sering sering sekali
Mayoritas responden menyatakan tidak pernah bertanya mengenai penyelesaian konflik kepada kelembagaan-kelembagaan yang ada. Rataan skor tertinggi dimiliki oleh BPD yaitu 1,9. Ini bisa diartikan bahwa intensitas bertanya yang paling besar dilakukan kepada BPD. Rataan skor terendah dimiliki oleh BPN dan kecamatan yaitu 1,1. Kenyataan ini diduga disebabkan oleh faktor jarak, dimana untuk mencapai kantor kecamatan dan BPN responden harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan kondisi jalan yang rusak parah. Tindakan berdiskusi yang dilakukan masyarakat untuk mendiskusikan perkembangan konflik bersama dengan kelembagaan yang ada juga menunjukkan kecenderungan tidak pernah berdiskusi. Tidak ada satu pun kelembagaan yang menjadi tempat yang sering dijadikan tempat berdiskusi. Namun, dari kelembagaan-kelembagaan yang ada, kelembagaan yang memperoleh skor tertinggi sebagai tempat berdiskusi bagi masyarakat adalah BPD yaitu 2,0. Tingginya peran BPD dirasakan oleh responden Kampung Kopi dan sebagian kecil Kampung Legon Pakis. Sebelum dan sesudah relokasi penduduk Kampung Kopi, Pak Adna yang sekarang menjabat sebagai BPD adalah orang yang menghubungkan aspirasi warga Kampung Kopi dengan BTNUK. Responden
53
jarang bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik dengan BTNUK adalah dikarenakan hal-hal berikut: Responden jarang bertanya mengenai penyelesaian konflik kepada tokoh masyarakat karena masyarakat sudah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada tokoh masyarakat mengenai hal-hal yang terkait dengan penyelesaian konflik. Masyarakat percaya bahwa tokoh masyarakat memberikan yang terbaik untuk masyarakat sehingga mereka tidak perlu menanyakan rencana tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik. Responden yang lain menyatakan bahwa masyarakat mempercayakan nasib mereka kepada tokoh masyarakat. Masyarakat siap mengikuti keputusan tokoh masyarakat. Masyarakat tidak menganggap perlu untuk menanyakan dan mendiskusikan mengenai penyelesaian konflik. Responden tidak pernah bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik dengan LSM adalah karena berdasarkan pengakuan informan, terungkap bahwa pernah terdapat LSM yang membantu mengadvokasi masyarakat namun LSM tersebut sudah tidak beraktivitas di Desa Ujung Jaya. Kepindahan tersebut menyebabkan masyarakat tidak bisa bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik dengan LSM tersebut. Responden tidak pernah bertanya dan berdiskusi mengenai penyelesaian konflik kepada BPN dan DPRD karena kedua kelambagaan tersebut tidak mempunyai kewenangan khusus dalam menyelesaikan permasalahan konflik. Dari diskusi mendalam dengan responden, diperoleh informasi bahwa terdapat beberapa perwakilan masyarakat yang kebetulan menjadi responden penelitian ini pernah bertandang ke BPN dan DPRD untuk audiensi mengenai konflik tapal batas di TNUK. Hasil diskusi mendalam diperoleh informasi bahwa sampai sekarang masyarakat luas masih menunggu tindakan dari BTNUK. Mereka menganggap BTNUK masih memperlakukan masyarakat secara wajar, yaitu masyarakat masih diizinkan untuk menempati dan menggarap tanah. Masyarakat merasa tidak perlu menanyakan dan mendiskusikan nasib mereka, namun jika BTNUK melakukan hal yang ekstrim misalnya memindahkan masyarakat ke tempat lain, masyarakat menyatakan akan siap bertahan di kampung mereka sampai titik darah penghabisan.
54
Ditinjau dari persepsi responden mengenai tindakan memberikan informasi yang dilakukan oleh kelembagaan kepada responden, terdapat kelembagaan yang menurut responden sering memberikan informasi, yaitu RT, RW, BPD, Desa, tokoh masyarakat dan BTNUK. Tabel 7 memperlihatkan bahwa rataan skor dari tindakan memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut berkisar di bawah 1,75, kecuali desa (1,80) dan tokoh masyarakat (2,07). Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan tersebut tidak pernah memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik kepada responden, kecuali desa dan tokoh masyarakat yang terkategori jarang memberikan informasi. Tabel 7 Skor persepsi responden mengenai tindakan memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik oleh kelembagaan Kelembagaan RT RW BPD Desa Tomas Kecamatan LSM BPN DPRD BTNUK Keterangan: Rataan skor 1 – 1,75 Rataan skor 1,76 – 2,50 Rataan skor 2,51 – 3,25 Rataan skor 3,26 – 4,00
Memberikan Informasi (Rataan Skor) 1,66 1,66 1,68 1,80 2,07 1,30 1,20 1,23 1,23 1,66 = = = =
tidak pernah jarang sering sering sekali
Seperti halnya tindakan bertanya, responden cenderung berpersepsi bahwa kelembagaan yang ada tidak pernah memberikan informasi. Satu-satunya kelembagaan yang menurut responden pernah memberikan informasi hanyalah tokoh masyarakat. hal tersebut ditunjukkan oleh rataan skor tokoh masyarakat yang lebih besar dibanding kelembagaan yang lain yaitu sebesar 2,1.
Ini
menunjukkan bahwa kelembagaan yang dianggap masyarakat memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik adalah tokoh masyarakat. Intensitas memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik oleh tokoh masyarakat kepada responden yang terkategori jarang adalah dikarenakan tokoh masyarakat berperan sentral dalam kehidupan masyarakat. Selama observasi peneliti terlibat langsung dalam keseharian tokoh masyarakat. Setiap hari tidak
55
kurang dari lima warga mendatangi rumah tokoh masyarakat. Pagi hari sebelum berangkat ke sawah atau ke pesisir, warga mengunjungi rumah tokoh masyarakat untuk sekedar berbagi cerita mengenai kehidupan keseharian, keluarga dan lain sebagainya. Begitupun pada sore hari menjelang maghrib dan setelah maghrib hingga larut malam, satu sampai lima orang warga mengunjungi rumah tokoh masyarakat. Pada saat-saat tersebut peran sentral tokoh masyarakat adalah membimbing masyarakat dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam aspek menyelesaikan konflik dengan BTNUK. Hal ini menjadi kesempatan bagi tokoh masyarakat untuk memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik kepada masyarakat luas. Dari pengamatan di lapangan, tokoh masyarakat tidak hanya berperan sentral bagi masyarakat bahkan berperan sentral bagi elit desa yaitu RT, RW, BPD dan Desa. Tidak jarang pihak tersebut mengikut pendapat tokoh masyarakat, begitupun dalam hal penyelesaian konflik. Oleh karena itu tokoh masyarakat lebih diperhitungkan oleh BTNUK dibanding dengan tokoh formal desa. Oleh karena itu juga tokoh masyarakat relatif lebih mudah mengakses informasi mengenai penyelesaian konflik dibanding kelembagaan lainnya. RT, RW, BPD, Desa dan tokoh masyarakat sering memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik melalui pertemuan tingkat kampung yang dihadiri oleh laki-laki dewasa. Pertemuan biasanya diadakan di rumah tokoh masyarakat pada malam hari setelah sholat isya. Mengingat kelembagaan tersebut menyatu dengan keseharian masyarakat, kelembagaan tersebut juga memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik secara personal melalui kunjungan ke rumahrumah warga. Rataan skor tindakan memberikan informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik oleh kecamatan, LSM, BPN, DPRD berkisar 1,20 sampai 1,30. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan tersebut jarang memberikan informasi
mengenai
penyelesaian
konflik
kepada
responden.
Intensitas
memberikan informasi mengenai penyelesaian konflik oleh kelembagaan kepada responden yang relatif jarang atau mendekati jarang dan bahkan tidak pernah adalah dikarenakan hal-hal berikut:
56
a. Kelembagaan tersebut tersebut tidak mempunyai akses langsung kepada masyarakat desa. b. Kelembagaan tersebut tidak mempunyai kewenangan khusus dalam menyelesaikan konflik di TNUK. Persepsi Responden Mengenai Alternatif Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik di TNUK dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai alternatif, ada yang sudah direalisir dan ada yang baru direncanakan. Penyelesaian konflik yang telah dilakukan adalah pengembalian tanah, pemindahan penduduk, pembuatan kesepakatan, penyelesaian melalui jalur musyawarah atau hukum dan pemberdayaan masyarakat. Penyelesaian konflik yang direncanakan akan dilaksanakan adalah pengelolaan kolaboratif yang berupa pembangunan ekowisata berbasis masyarakat. Tabel 8 memperlihatkan bahwa rataan skor penyelesaian konflik untuk pengembalian tanah berkisar 1,82 sampai 2,70.
Data tersebut menunjukkan
bahwa: 1.
Responden telah tinggal di kampungnya antara 30 sampai 59 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden telah tinggal di kampungnya sebelum perubahan status Cagar Alam Ujung Kulon menjadi TNUK pada tahun 1992.
2.
Responden telah menggarap lahan garapan antara 10 sampai 29 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat responden yang membuka lahan garapan baru dalam zona rimba setelah penetapan TNUK pada tahun 1992.
3.
Responden tidak setuju jika TNUK mengakui tanah yang mereka tempati dan mereka garap sebagai tanah milik TNUK. Dari diskusi mendalam dengan para responden, responden menyatakan bahwa meskipun sebagian responden tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati dan mereka garap, namun responden menganggap tanah tersebut sebagai tanah milik yang diwarisi dari orang tua responden.
4.
Responden setuju untuk memperjuangkan tanah yang mereka tempati dan mereka garap. Dari diskusi mendalam dengan para responden, tercetus bahwa mereka sudah betah tinggal di kampung tersebut.
57
Tabel 8 Skor persepsi responden mengenai penyelesaian konflik Alternatif Penyelesaian Konflik Pengembalian Tanah Lama tinggal di kampung* Lama menggarap tanah* BTNUK mengakui tanah mereka sebagai tanah milik Memperjuangkan tanah mereka Pemindahan Penduduk Dipindahkan dari kampung Dipindahkan ke daerah subur Diberikan fasilitas layak Beralih profesi Dicukupi kebutuhan sampai mandiri Kesepakatan Zonasi TNUK** Dasar penetapan zonasi TNUK** Batas zona pemanfaatan dan daerah penyangga** Kategori zona kampung** Sanksi pelanggaran** Pelapor pelanggaran** Jalur Penyelesaian Konflik Jalur hukum Jalur musyawarah Pengelolaan Kolaboratif Menjadikan kampung sebagai daerah wisata Kerjasama dengan pihak lain Pemberdayaan Masyarakat Lembaga yang mengadakan pelatihan Mengembangkan usaha mandiri Beralih dari bertani ke mengembangkan usaha Lembaga yang mengadakan pelatihan** Lembaga yang memberikan modal**
Rataan Skor 2,11 1,96 1,82 2,70 2,11 2,14 2,11 2,11 2,11 2,72 2,40 2,58 2,65 2,70 2,47 2,89 3,26 2,32 2,27 3,05 3,00 2,93 1,76 1,64
Keterangan: Rataan skor 1 – 1,75 = sangat tidak setuju, 1,76 – 2,50 = tidak setuju, 2,51 – 3,25 = setuju, 3,26 – 4,00 = sangat setuju * Rataan skor 1 – 1,75 = <10 tahun, 1,76 – 2,50 = 10-29 tahun, 2,51 – 3,25 = 30-59 tahun, 3,26 – 4,00 = >60 tahun ** Rataan skor 1 – 1,75 = sangat tidak tahu, 1,76 – 2,50 = tidak tahu, 2,51 – 3,25 = tahu, 3,26 – 4,00 = sangat tahu
Rataan skor untuk alternatif pada penyelesaian konflik melalui pemindahan penduduk berkisar 2,11 sampai 2,14. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak setuju dipindahkan, baik dipindahkan ke daerah yang subur, diberikan fasilitas yang layak, diberikan pekerjaan dan dicukupi kebutuhannya sampai mampu hidup mandiri. Dalam hal pengetahuan responden mengenai kesepakatan yang berlaku di dalam TNUK, didapatkan rataan skor yang mengindikasikan bahwa responden mengetahui zonasi TNUK (2,72), batas zona pemanfaatan dan daerah penyangga
58
(2,58), kategori zona kampung (2,65) dan sanksi pelanggaran (2,70). Sedangkan unsur kesepakatan yang tidak diketahui responden adalah mengenai dasar penetapan zonasi TNUK (2,40) dan pelapor pelanggaran (2,47). Upaya pembentukan kesepakatan untuk menyelesaikan konflik telah dilakukan pihak yang terkait dengan TNUK. BTNUK telah mengupayakan beberapa kali kesepakatan dengan warga Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Girang. Di antara butir kesepakatan yang dibuat ditandatangani oleh Kepala Desa Ujung Jaya, Tokoh masyarakat Desa Ujung Jaya, Camat Sumur, Danramil Cimanggu, Kapolsek Sumur, Kepala Resort Kampung Legon Pakis, Kepala BTNUK pada 12 September 2007 adalah: 1. Taman Nasional Ujung Kulon mengakui dan menghormati hak-hak tradisional masyarakat Desa Ujung Jaya atas sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan TNUK. Demikian juga masyarakat Desa Ujung Jaya mengakui dan menghormati keberadaan TNUK sebagai kawasan hutan konservasi. Batas-batas wilayah garapan akan mendapat penegasan di lapangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh petugas Balai TNUK dan masyarakat Desa Ujung Jaya. 2. Masyarakat Desa Ujung jaya bertanggung jawab untuk mengawasi, melindungi, dan memelihara sumberdaya alam yang terdapat di dalam TNUK. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab tersebut, lembaga masyarakat desa dapat menjatuhkan sanksi kepada barang siapa yang terbukti melakukan pelanggaran di wilayah TNUK. 3. Sebagai komitmen pelestarian alam dan pengembangan kearifan Desa Ujung Jaya, BTNUK memberikan dukungan kepada lembaga masyarakat desa sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya. 4. Sebagai perwujudan sikap saling menghormati dan saling mengakui, BTNUK bersama masyarakat Desa Ujung Jaya melakukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Perencanaan tersebut dilaksanakan secara partisipatif dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekologi, hak asasi manusia, kondisi sosial ekonomi dan budaya, dan aspirasi masyarakat di Desa ujung Jaya serta masyarakat lain yang berbatasan dengan TNUK.
59
5. BTNUK bersama Masyarakat Desa Ujung Jaya melakukan pemantauan dan penilaian secara periodik (setiap 3 bulan) terhadap pengelolaan sumberdaya alam di TNUK. Kesepakatan diatas kemudian ditindaklanjuti dengan kesepakatan berikut yang ditandatangani oleh Kepala Desa Ujung Jaya, Tokoh masyarakat Desa Ujung Jaya (Abah Suhaya), dan disaksikan oleh unsur MUSPIKA Kecamatan Sumur. Berikut ini adalah kesepakatan yang dibuat: 1. Kami menyadari dan mengakui bahwa batas TNUK yang berada di Desa Ujung Jaya dimulai dari Pal Nomor CA/TN/494 sampai dengan CA/TN/546 hasil rekonstruksi batas tahun 2004 dimana berbatasan langsung dengan lahan masyarakat merupakan batas yang syah dan sudah mendapat pengesahan oleh Dirjen Kehutanan tanggal 02 Februari 1982. 2. Menghormati budaya masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian di dalam kawasan TNUK. 3. Saling
mendukung
dalam
pengamanan,
perlindungan
hutan
dan
pengawetan TNUK. 4. Bersama-sama dalam usaha pengembangan manfaat potensi TNUK dan lingkungan pedesaan sekitarnya. Rataan skor pada alternatif penyelesaian konflik melalui jalur hukum atau pengadilan dan jalur musyawarah atau luar pengadilan adalah 2,89 dan 3,26. Hal ini menunjukkan bahwa responden sangat setuju jika konflik diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan. Hal ini juga menunjukkan bahwa responden sangat setuju jika konflik diselesaikan melalui jalur musyawarah atau di luar pengadilan. Rataan skor pada alternatif penyelesaian konflik melalui pengelolaan kolaboratif berkisar 2,27 sampai 2,32. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak setuju jika kampung yang mereka tempati dijadikan sebagai daerah wisata berbasis masyarakat. Responden juga tidak setuju jika pengelolaan tersebut dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak lain, yaitu BTNUK dan perusahaan swasta. Dari diskusi mendalam dengan responden, sebagian besar responden merasa khawatir kampung mereka akan menjadi tempat maksiat, karena menurut mereka tempat wisata identik dengan tempat maksiat. Dari diskusi mendalam
60
terdapat responden yang menyatakan tidak setuju jika pengelolaan dilakukan dengan cara bekerjasama dengan BTNUK. Rataan skor pada alternatif penyelesaian konflik melalui pemberdayaan masyarakat mengindikasikan bahwa responden setuju jika terdapat kelembagaan yang memberikan pelatihan keterampilan (3,05). Responden juga setuju mengembangkan usaha sambil bertani (3,00), bahkan mereka sangat setuju untuk meninggalkan aktivitas bertani asalkan mereka diberi bekal mengembangkan usaha mandiri (2,93). Namun, dari rataan skor tersebut juga bisa dilihat bahwa responden tidak tahu adanya kelembagaan yang memberikan pelatihan keterampilan (1,76) dan memberikan modal usaha (1,64). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hingga saat ini upaya pemberdayaan masyarakat masih sangat minim. Dari tiga kampung sampel, hanya Kampung Cikawung Girang saja yang telah dilakukan pemberdayaan masyarakat, itupun hanya beberapa orang saja yang mendapatkannya. Pemberdayaan yang dilakukan di Cikawung adalah pelatihan lebah madu dan pemberian modal usaha sebesar 50 ribu untuk masing-masing orang. Kelembagaan yang pernah dan sedang melakukannya adalah BTNUK. responden menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada kelembagan lain yang melakukan upaya pemberdayaan masyarakat selain BTNUK. Selain penyelesaian konflik di atas, banyak pihak telah mengkaji akar permasalahan munculnya konflik atau sengketa pengelolaan hutan di Indonesia. Salah satu di antara kajian tersebut adalah kajian yang dilakukan oleh Fay dan Sirait (2006) mengenai kerangka hukum Negara dalam mengatur agraria dan kehutanan di Indonesia. Inti hasil kajian tersebut adalah bahwa inti dari berbagai permasalahan konflik antara masyarakat yang mengklaim hak atas tanah dan sumberdaya yang ada di kawasan hutan adalah ketidakjelasan “aturan main” antara Departemen Kehutanan dan BPN (Balai Pertanahan Nasional). Muara dari ketidakjelasan tersebut adalah belum adanya definisi yuridis mengenai hutan dan kawasan hutan. Kajian Fay dan Sirait (2006) tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa penyelesaian konflik yang di tengah-tengah masyarakat dan BTNUK tetap harus dilakukan sembari menunggu kepastian hukum atas tanah rakyat dan tanah
61
Negara. Langkah tersebut harus bersifat praktis dan mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan masyarakat di kawasan TNUK. Hal tersebut sesuai dengan UU Kehutanan No 41 tahun 1999 Pasal 68 tentang peran serta mayarakat, bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Hubungan Kelembagaan dengan Tindakan Komunikasi
Kelembagaan diduga berhubungan dengan tindakan komunikasi, yang meliputi: bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi. Pengujian hubungan tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Rank Spearman. Kelembagaan meliputi: transparansi dalam hal rencana penyelesaian konflik dan pelaksanaan penyelesaian konflik dan akuntabilitas dalam hal sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik. Tabel 9 Hubungan kelembagaan dengan tindakan komunikasi Tindakan Komunikasi Bertanya
Kelembagaan Transparansi Perencanaan Penyelesaian Konflik Pelaksanaan Penyelesaian Konflik Akuntabilitas Sumber Dana Penyelesaian Konflik Pengelolaan Dana Penyelesaian Konflik
Berdiskusi
Memberikan Informasi Koefesien Nilai p Korelasi
Koefesien Korelasi
Nilai p
Koefesien Korelasi
Nilai p
0,683** 0,641**
0,000 0,000
0,653** 0,611**
0,000 0,000
0,634** 0,586**
0,000 0,000
0,548**
0,000
0,515**
0,000
0,531**
0,000
0,482**
0,001
0,423**
0,003
0,484**
0,001
Keterangan: ** Nyata pada taraf α 0,01
Hasil analisis Rank Spearman
pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa
perencanaan, pelaksanaan, sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif pada taraf α 0,01 (tingkat kepercayaan 99%) dengan tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi yang dilakukan responden dan kelembagaan. Hal ini berarti bahwa semakin transparan dan
62
akuntabel suatu kelembagaan maka intensitas tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi yang dilakukan responden dan kelembagaan semakin bertambah. Hal ini karena transparansi dan akuntabilitas terkait dengan informasi mengenai penyelesaian konflik. Semakin tinggi transparansi dan akuntabilitas suatu kelembagaan, berarti semakin banyak informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Informasi yang terdapat dalam kelambagaan bisa diakses masyarakat melalui bertanya dan berdiskusi, atau kelembagan memberikan inforrmasi tersebut kepada masyarakat. Berdasarkan besaran nilai koefesien korelasi Rank Spearman urutan peringkat keeratan hubungan kelembagaan dan tindakan komunikasi (dari yang sangat rendah ke tinggi) adalah sebagai berikut: (1) perencanaan dan bertanya (0,683); (2) perencanaan dan berdiskusi (0,653); (3) pelaksanaan dan bertanya (0,641); (4) perencanaan dan memberikan informasi (0,634); (5) pelaksanaan dan berdiskusi (0,611); (6) pelaksanaan dan memberikan informasi (0,586); (7) sumber dana dan bertanya (0,548); (8) sumber dana dan memberikan informasi (0,531); (9) sumber dana dan berdiskusi (0,515); (10) pengelolaan dana memberikan informasi (0,484); (11) pengelolaan dana dan bertanya (0,482); (12) dan pengelolaan dana dan berdiskusi (0,423). Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa masyarakat sangat tidak mengetahui dan tidak mengetahui transparansi dan akuntabilitas kelembagaan. Sedangkan Tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah bertanya dan berdiskusi dengan kelembagaan yang ada kecuali BPD, sedangkan dari pihak kelembagaan sendiri juga tidak pernah memberikan informasi kecuali tokoh masyarakat. Penemuan tersebut jika dikaitkan penemuan bahwa transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berkorelasi positif tindakan bertanya berdiskusi dan memberikan informasi, konsisten dengan konsep yang dinyatakan oleh Hardiman (2004) bahwa ruang publik yang dominan di dalam yang menjalankan kesehariannya. Ruang publik yang dimaksudkan Hardiman (2004) adalah ruang publik tak autentik, yaitu ruang publik yang diselenggarakan oleh kelembagaan formal. Berdasarkan hal di atas bisa ditarik pengertian bahwa peranan kelembagaan formal maupun non formal dalam menciptakan suasana komunikasi dimana
63
masyarakat sering bertanya dan berdiskusi mengenai perkembangan penyelesaian konflik bisa dikatakan tidak ada. Hubungan Kelembagaan dengan Penyelesaian Konflik
Kelembagaan diduga berhubungan dengan penyelesaian konflik, yang meliputi: pengembalian tanah, pemindahan penduduk, kesepakatan, musyawarah atau hukum, pengelolaan kolabortatif dan pemberdayaan masyarakat. Pengujian hubungan tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Rank Spearman.
Kelembagaan
meliputi:
transparansi
yang
meliputi
rencana
penyelesaian konflik dan pelaksanaan penyelesaian konflik dan akuntabilitas yang meliputi sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik. Hasil analisis Rank Spearman
pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa
pengetahuan responden mengenai rencana penyelesaian konflik, pelaksanaan penyelesaian konflik, sumber dana penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif dengan pengetahuan responden mengenai kesepakatan
penyelesaian
konflik.
Pengetahuan
mengenai
perencanaan,
pelaksanaan dan pengelolaan dana berhubungan nyata pada taraf α 0,01 (tingkat kepercayaan 99%) dengan pengetahuan mengenai kesepakatan penyelesaian konflik sedangkan pengetahuan responden mengenai sumber dana penyelesaian konflik berhubungan nyata pada taraf α 0,05 (tingkat kepercayaan 95%). Hal ini berarti bahwa semakin bertambah pengetahuan responden mengenai rencana penyelesaian konflik, pelaksanaan penyelesaian konflik, sumber dana penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik, pengetahuan responden mengenai kesepakatan penyelesaian konflik juga semakin bertambah. Hal ini dikarenakan butir-butir kesepakatan merupakan perjanjian bersama tentang perencanaan dan pelaksanaan yang akan dilakukan bersama dan dievaluasi bersama. Kesepakatan diduga juga berkenaan dengan dana pelaksanaan kesepakatan tersebut. Sehingga ketika responden mengetahui kesepakatan penyelesaian konflik, secara tidak langsung responden juga mengetahui rencana, pelaksanaan, sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik.
64
Tabel 10 Hubungan kelembagaan dengan penyelesaian konflik Alternatif Penyelesaian Konflik Pengembalian Tanah Pemindahan Penduduk Kesepakatan Pengelolaan Kolaboratif Musyawarah atau Hukum Pemberdayaan Masyarakat
Transparansi Perencanaan Koefesien Nilai Korelasi p
Akuntabilitas
Pelaksanaan Koefesien Nilai Korelasi p
Sumber Dana Koefesien Nilai Korelasi p
Pengelolaan Dana Koefesien Nilai Korelasi p
0,088
0,56
0,09
0,55
0,208
0,165
-0,022
0,887
0,001
0,995
-0,016
0,916
0,101
0,505
0,105
0,488
0,419***
0,004
0,397***
0,006
0,233*
0,119
0,530***
0,000
0,423***
0,003
0,429***
0,003
0,468***
0,001
0,406***
0,005
0,66
0,665
0,089
0,557
0,116
0,442
0,02
0,894
0,155
0,304
0,176
0,243
0,049
0,746
0,262**
0,079
Keterangan: *** Nyata pada taraf α 0,01 ** Nyata pada taraf α 0,10 * Nyata pada taraf α 0,15
Pengetahuan
responden
mengenai
rencana
penyelesaian
konflik,
pelaksanaan penyelesaian konflik dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi positif dengan sikap responden yang tidak setuju dengan pengelolaan kolaboratif. Pengetahuan mengenai perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan dana penyelesaian konflik berkorelasi nyata pada taraf α 0,01 (tingkat kepercayaan 99%), sedangkan pengetahuan responden mengenai sumber dana penyelesaian konflik berkorelasi nyata pada taraf α 0,15 (tingkat kepercayaan 85%). Semakin bertambah pengetahuan responden mengenai perencanaan, pelaksanaan, sumber dana, dan pengelolaan dana penyelesaian konflik maka responden semakin tidak setuju dengan pengelolaan kolaboratif. Dari diskusi mendalam dengan responden diperoleh informasi bahwa masyarakat menganggap bahwa dengan dibukanya perkampungan mereka sebagai daerah wisata maka kampung mereka akan menjadi tempat kemaksiyatan. Pengetahuan mengenai pengelolaan dana penyelesaian konflik berhubungan positif dan nyata pada taraf α 0,10 (tingkat kepercayaan 90%) dengan sikap responden dalam menyetujui pemberdayaan masyarakat. Hal ini berarti semakin bertambah pengetahuan responden mengenai pengelolaan dana penyelesaian konflik,
responden
semakin
setuju
dengan
pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan pengetahuan responden mengenai pengelolaan dana penyelesaian konflik, diketahui bahwa selain mengetahui pengelolaan dana penyelesaian konflik di tingkat kelembagaan desa, responden hanya mengetahui pengelolaan
65
dana penyelesaian konflik pada BTNUK. Dari pernyataan responden, diketahui bahwa kelembagaan yang pernah melakukan pemberdayaan masyarakat hanyalah BTNUK. Hal ini mengindikasikan bahwa kelembagaan yang menyalurkan dana penyelesaian konflik melalui program pemberdayaan masyarakat hanyalah BTNUK, dan masyarakat setuju dengan hal tersebut. Berdasarkan penemuan di atas, bisa dikatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berperan dalam menentukan sikap masyarakat dalam menyetujui pemberdayaan masyarakat dan juga pengetahuan masyarakat mengenai kesepakatan. Berdasarkan besaran nilai koefesien korelasi Rank Spearman urutan peringkat keeratan hubungan kelembagaan dan tindakan komunikasi (dari yang sangat rendah ke tinggi) adalah sebagai berikut: (1) kesepakatan dan pengelolaan dana (0,530); (2) sumber dana dan pengelolaan kolaboratif (0,468); (3) pelaksanaan dan pengelolaan kolaboratif (0,429); (4) perencanaan dan pengelolaan kolaboratif (0,423); (5) kesepakatan dan perencanaan (0,419); (6) pengelolaan kolaboratif dan pengelolaan dana (0,406); (7) pelaksanaan dan kesepakatan (0,397); (8) sumber dana dan kesepakatan (0,233); (9) pengelolaan dana dan pemberdayaan masyarakat (0,262); (10) sumber dana dan pengembalian tanah (0,208); (11) pelaksanaan dan pemberdayaan masyarakat (0,176); (12) perencanaan dan pemberdayaan masyarakat (0,155); (13) sumber dana dan musyawarah atau hukum (0,116); (14) pengelolaan dana dan pemindahan penduduk (0,105); (15) sumber dana dan pemindahan penduduk (0,101); (16) perencanaan dan musyawarah atau hukum (0,66); (17) pelaksanaan dan pengembalian tanah (0,09); (18) pelaksanaan dan musyawarah atau hukum (0,089); (19) perencanaan dan pengembalian tanah (0,088); (20) sumber dana dan pemberdayaan masyarakat (0,049); (21) pengelolaan dana dan musyawarah atau hukum (0,02); (22) perencanaan dan pengembalian tanah (0,001); (23) pelaksanaan dan pemindahan penduduk (-0,016); dan (24) pengelolaan dana dan pengembalian tanah (-0,002). Hubungan Tindakan Komunikasi dengan Penyelesaian Konflik
Tindakan komunikasi diduga berhubungan dengan penyelesaian konflik, yang meliputi: pengembalian tanah, pemindahan penduduk, kesepakatan,
66
musyawarah atau hukum, pengelolaan kolabortatif dan pemberdayaan masyarakat. Pengujian hubungan tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Rank Spearman. Tindakan komunikasi meliputi: bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi. Tabel 11 Hubungan tindakan komunikasi dengan penyelesaian konflik Tindakan Komunikai Alternatif Penyelesaian Konflik
Pengembalian Tanah Pemindahan Penduduk Kesepakatan
Bertanya Koefesien Nilai Korelasi p -0,014 0,925
Berdiskusi Koefesien Nilai Korelasi p -0,074 0,623
Memberikan Informasi Koefesien Nilai Korelasi p -0,022 0,887
0,081
0,591
0,009
0,951
0,105
0,448
0,627***
0,000
0,569***
0,000
0,530***
0,000
Musyawarah atau Hukum
-0,031
0,837
-0,007
0,962
0,02
0,894
Pengelolaan Kolaboratif
0,319**
0,031
0,409***
0,005
0,406***
0,005
Pemberdayaan Masyarakat
0,304**
0,04
0,281
0,59
0,262*
0,079
Keterangan: *** Nyata pada taraf α 0,01 ** Nyata pada taraf α 0,05 * Nyata pada taraf α 0,10 Hasil
analisis Rank Spearman pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa
intensitas responden dalam bertanya dan berdiskusi berkorelasi positif pada taraf α 0,01 (tingkat kepercayaan 99%) dengan pengetahuan responden mengenai kesepakatan. Hal ini berarti bahwa semakin bertambah bertambah intensitas bertanya dan berdiskusi yang dilakukan oleh responden dengan kelembagaan terkait dan semakin bertambah intensitas kelembagaan dalam memberikan informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik kepada responden, maka pengetahuan responden mengenai kesepakatan penyelesaian konflik semakin bertambah. Hal ini diduga karena isi pesan dalam tindakan komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat dan kelembagaan adalah terkait dengan kesepakatan penyelesaian konflik. Tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan sikap responden dalam tidak menyetujui pengelolaan kolaboratif. Tindakan bertanya berkorelasi pada taraf α 0,05 (tingkat kepercayaan 95%), sedangkan memberikan informasi berkorelasi pada taraf α 0,10 (tingkat kepercayaan 90%). Hal ini berarti bahwa semakin bertambah intensitas bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik maka responden semakin tidak menyetujui pengelolaan kolaboratif. Dari
67
diskusi mendalam dengan responden diperoleh informasi bahwa masyarakat menganggap bahwa dengan dibukanya perkampungan mereka sebagai daerah wisata maka kampung mereka akan menjadi tempat kemaksiyatan. Menurut Kepala BTNUK, BTNUK memberi perhatian penuh pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat agar masyarakat tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam TNUK misalnya menebang pohon di dalam zona rimba untuk membuka lahan garapan baru. Salah satu upaya yang sedang dirancang BTNUK untuk meningkatkan kesejahteraan adalah melalui pengelolaan kolaboratif. Sedangkan menurut humas BTNUK, setiap lima tahun sekali BTNUK melakukan rezonasi, yaitu menetapkan kembali bentuk dan batas zonasi dalam TNUK. Kebijakan rezonasi ini diduga menjadikan BTNUK lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tindakan bertanya dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan pemberdayaan masyarakat. Tindakan bertanya berkorelasi pada taraf α 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sedangkan tindakan memberikan informasi berkorelasi pada taraf α 0,10 (tingkat kepercayaan 90%). Hal ini berarti semakin bertambah intensitas bertanya dan memberikan informasi mengenai perkembangan penyelesaian konflik, responden semakin menyetujui pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan besaran nilai koefesien korelasi Rank Spearman urutan peringkat keeratan hubungan kelembagaan dan tindakan komunikasi (dari yang sangat rendah ke tinggi) adalah sebagai berikut: (1) bertanya dan kesepakatan; (2) berdiskusi dan kesepakatan (0,569); (3) memberikan informasi dan kesepakatan (0,530); (4) berdiskusi dan pengelolaan kolaboratif (0,409); (5) memberikan informasi dan pengelolaan kolaboratif (0,46); (6) bertanya dan pengelolaan kolaboratif (0,319); (7) bertanya dan pemberdayaan masyarakat (0,304); (8) berdiskusi dan pemberdayaan masyarakat (0,281); (9) pengelolaan dana dan pemberdayaan masyarakat (0,262); (10) memberikan informasi dan pemindahan penduduk (0,105); (11) bertanya dan pemindahan penduduk (0,081);
(12)
memberikan informasi dan musyawarah atau hukum (0,02); (13) berdiskusi dan pemindahan penduduk (0,009); (14) memberikan informasi dan musyawarah atau hukum (-0,007); (15) bertanya dan pemindahan penduduk (-0,014); (16) memberikan informasi dan pengembalian tanah (-0,02); (17) bertanya dan
68
musyawarah atau hukum (-0,031); dan berdiskusi dan pengembalian tanah (0,074).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Masyarakat tidak mengetahui transparansi dan akuntabilitas kelembagaan RW, BPD, Desa, tokoh masyarakat, kecamatan dan BTNUK dalam melakukan penyelesaian konflik. 2. Masyarakat
tidak
pernah
melakukan
tindakan
bertanya
mengenai
perkembangan penyelesaian konflik kecuali kepada BPD. Sementara itu, kelembagaan
juga
tidak
pernah
memberikan
informasi
mengenai
perkembangan penyelesaian konflik kecuali tokoh masyarakat. 3. Alternatif
penyelesaian
konflik
yang
disetujui
masyarakat
adalah
pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik melalui jalur musyawarah atau hukum. Masyarakat mengetahui kesepakatan yang berlaku dalam TNUK. 4. Pengetahuan mengenai transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berkorelasi positif dengan tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi yang dilakukan oleh masyarakat dan kelembagaan. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berperan dalam menentukan sikap masyarakat untuk bertanya dan berdiskusi, serta menentukan sikap kelembagaan dalam memberikan informasi. 5. Pengetahuan mengenai transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berkorelasi positif dengan pengetahuan mengenai kesepakatan penyelesaian konflik. Pengetahuan mengenai transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berkorelasi positif dengan sikap tidak setuju dengan pengelolaan kolaboratif. Pengetahuan mengenai akuntabilitas kelembagaan berhubungan positif dan nyata dengan sikap menyetujui pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas kelembagaan berperan dalam menentukan sikap
masyarakat
dalam
menyetujui
pemberdayaan
masyarakat
dan
pengetahuan masyarakat mengenai kesepakatan. 6. Intensitas bertanya dan berdiskusi berkorelasi positif dengan pengetahuan mengenai kesepakatan. Tindakan bertanya, berdiskusi dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan sikap tidak setuju dengan pengelolaan
70
kolaboratif. Tindakan bertanya dan memberikan informasi berkorelasi positif dengan pemberdayaan masyarakat. Saran
1
Penyelesaian konflik sebaiknya dilakukan dengan melakukan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dalam perencanaan, pelaksanaan, sumber dana dan pengelolaan dana penyelesaian konflik karena hal tersebut bisa meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kesepakatan yang berlaku di dalam kawasan TNUK. Semakin masyarakat mengetahui kesepakatan tersebut, diharapkan masyarakat semakin patuh dengan kesepakatan tersebut.
2
Transparansi dan akuntabilitas juga meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk menyetujui pemberdayaan masyarakat. Melihat kecenderungan masyarakat
dalam
menyetujui
pemberdayaan
masyarakat,
sebaiknya
penyelesaian konflik dilakukan melalui dua hal tersebut. Selain bahwa masyarakat masih menunggu status tanah yang mereka tempati dan mereka garap. 3
Perlu dilakukan penelitian yang terkait dengan jenis konflik dan pada kelembagaan masyarakat serta lokasi yang berbeda.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anau, Njau et al. 2002. Membuat Kesepakatan Antara Stakeholder Hutan. Jakarta: Laporan Hasil Penelitian CIFOR Juli 2002 Anshari, G.Z. 2006. Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Taman Nasional Danau Sentarum?. CIFOR: Bogor. Bari, Syaiful. 2007. Pemikiran dan Pengaruh Habermas di Indonesia. Suara Merdeka, 3 Juni 2007. BTNUK. 2007. Mengenal Lebih Dekat Peraturan Kehutanan di Taman Nasional Ujung Kulon. Banten: Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta: Kemitraan. Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Dewantama, M.I et al. 2007. Studi Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Perairan Taman Nasional Bali Barat Terhadap Tutupan Karang Hidup Dan Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal. Ecotrophic Volume 2 NO. 2 November 2007 Dharmawan, A.H. 2003. Mewujudkan Good Ecological Governance dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam). http:www.pspipb.ac.id. (16 juni 2008) -----------------------, et al. 2004. Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem TataPemerintahan Sumberdaya Alam Daerah Aliran Sungai Citanduy. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. ------------------------, 2006. Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoritik dan Empirik. Bogor: PSP3-LPPM IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP. ---------------------------. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan. PSP3. IPB.http: www.psp3ipb.ac.id. 14 Juni 2007 --------------------------. 2006. Konflik-Sosial dan resolusi Konflik: Analalisis Sosio-Budaya (dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar PERAGI Pontianak 10-11 Januari 2006 FAO. 2006. Teknik-teknik Negoisasi dan Mediasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. www.recoftc.org. 18 Juni 2007
72
Fay, Chip dan Sirait, Martua. 2006. Kerangka Hukum Negara dalam Mengatur Agraria dan Kehutanan Indonesia. Bogor: Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria. Volume III/Tahun III/2006. Pustaka Utama Lapera. Fisher, Simon. Et al. 2000. Mengelola Konflik. UK: The Brithis Council. FPPI. 2008. Kronologis Perjuangan dan Penangkapan Petani Anggota Serikat Tani Ujung Kulon (STUK). www.fppi.blogspot.com (20 Agustus 2008). Fuad dan Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor:. Pustaka Latin. Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Juergen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. --------------------------. 2004. Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk. Yogyakarta: Bentara. ICNIE. 2007. Kelembagaan dan Perubahan Paradigma. www.icnie.web.id (20 Agustus 2008) Jebarus, Felix. 1999. Konflik dalam Organisasi sebagai Perilaku Komunikasi: Suatu Pendekatan Konseptual. Usahawan No. 02 TH XXVIII Februari 1999. Jhonson, Doyle Paul. 1981. Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspective. Jhon Wiley & Sons, Inc. diterjemahkan oleh Lawang, Robert M. Z. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II. Jakarta:. Gramedia Pustaka Utama. Kerlinger, Fred. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Krina P, L. L. 2003. Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi. Jakarta: Bappenas. Marvic, 2008. Pemberdayaan Anak Negeri Redam Konflik Papua. Deteksipos Papua. 27 Juni 208. Usman, H dan Akbar, P. S. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Nasution, S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara PHKA. 2004. 50 Taman Nasional di Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
73
Rauf, Maswardi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Dikti. Robet, Robertus. 2004 . Demokrasi Deliberatif Habermas: Argumen dan Kritik. Jurnaldiponegoro74.Th VIII/2004/no.11 Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Sugiyono, EW. 2000. Statistik untuk Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS 10.0 for Windows. Bandung: Alfabeta. Supranto, J. 2000. Statistik: Teori dan Aplikasi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Syahyuti, 2002. Penelitian Kelembagaan dan Organisasi Pertanian: Konsep, Metodologi dan Acuan Kerja. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE). Tim Peneliti SAINS. 2007. Riset dan Pendampingan ”Konflik Agraria“ di Kampung Legon Pakis Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Banten. Bogor: Laporan SAINS Usman H, Akbar PS. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta. Sinar Grafika Offset. Wulan Y. C et al. 2003. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: CIFOR
LAMPIRAN
75
Lampiran 1 Kuesioner.
KUESIONER PENELITIAN
PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Responden
Nama
: ………………………
Kantor
: ………………………
Alamat
: ………………………
Pewawancara
Tanggal Wawancara
: ……………………….
Nama
: ……………………….
Tanda Tangan
: ……………………….
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
76
I. Karakteristik Responden 1. Nama : 2. Jenis Pekerjaan : 3. Usia : 4. Jenis Kelamin : 5. Jumlah Keluarga: 6. Luas lahan/tanah yang dimiliki :………..ha/meter persegi 7. Kepemilikan tanah: a. Memiliki bukti sertifikat hak milik b. Warisan orang tua:………ha/meter persegi c. Beli:……..ha/meter persegi d. Menyewa: ……….ha/meter persegi e. Hak garap dari perhutani:…….ha/meter persegi II. Kelembagaan 1. Tahukah anda mengenai rencana-rencana penyelesaian konflik yang akan dilakukan oleh pihak-pihak berikut? Lembaga
Sangat tidak tahu
Kategori Tidak tahu
Tahu
Sangat tahu
RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK 2. Tahukah anda mengenai pelaksanaan penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh pihak berikut ini? Lembaga RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK
Sangat tidak tahu
Kategori Tidak tahu
Tahu
Sangat tahu
77
3. Apakah anda mengetahui dari mana pihak-pihak berikut ini memperoleh dana untuk penyelesaian konflik? Kategori Lembaga Sangat tidak tahu Tidak tahu Tahu Sangat tahu RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK 4. Apakah anda tahu bagaimana pihak-pihak ini mengelola dana penyelesaian konflik? Kategori Lembaga Sangat tidak tahu Tidak tahu Tahu Sangat tahu RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK III. Tindakan Komunikasi 1. Pernahkan anda menanyakan perkembangan penyelesaian konflik dari pihak berikut? Kategori Lembaga Tidak pernah Jarang Sering Sering sekali RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK 2. Pernahkan anda mendiskusikan perkembangan penyelesaian konflik kepada pihak berikut? Kategori Lembaga Tidak pernah Jarang Sering Sering sekali RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK
78
3. Pernahkan anda mendapatkan informasi perkembangan penyelesaian konflik dari pihak berikut? Kategori Lembaga Tidak pernah Jarang Sering Sering sekali RT RW BPD Desa Tokoh masyarakat Kecamatan LSM DPRD BPN BTNUK IV. Penyelesaian Konflik A. Pengembalian tanah 1. Sejak kapan anda tinggal di Kampung Legon Pakis atau Kampung Cikawung Girang atau Kampung Kopi? a. Kurang dari 10 tahun b. 10-29 tahun c. 30-59 tahun d. lebih dari 60 tahun 2. Sejak kapan anda menggarap tanah anda? a.Kurang dari 10 tahun b. 10-29 tahun c. 30-59 tahun d. lebih dari 60 tahun 3. Bagaimana pendapat anda bila BTNUK mengakui tanah anda sebagai milik TNUK? a. sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 4. Saya memperjuangkan agar tanah garapan saya menjadi tanah milik saya a. sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 5. Pemindahan Penduduk 1. Bagaimana pendapat anda jika dipindahkan dari Kampung Legon Pakis atau Cikawung atau Kampung Kopi? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 2. Bagaimana pendapat anda jika anda dipindahkan ke daerah yang lebih subur? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 3. Bagaimana pendapat anda jika diberikan fasilitas yang layak? a. sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 4. Bagaimana pendapat anda jika harus beralih profesi? a. sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 5. Bagaimana pendapat anda jika kebutuhan anda dicukupi sampai anda mandiri? a. sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 1. Kesepakatan 1. Sejauhmana pengetahuan anda mengenai zona-zona dalam TNUK? a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu 2. Sejauhmana pengetahuan anda mengenai dasar penetapan zona dalam TNUK? a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu 3. Sejauhmana anda mengenal batas zona pemanfaatan dan daerah penyangga dalam TNUK? a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu 4. Apakah anda mengetahui termasuk zona apakah desa a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu 5. Sejauhmana pengetahuan anda mengenai sanksi-sanksi jika melanggar ketentuan TNUK? a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu 6. Sejauhmana pengetahuan anda mengenai siapa yang berhak melaporkan pelanggaran dalam TNUK? a.sangat tidak tahu b. tidak tahu c. tahu d. sangat tahu
79
2. Musyawarah atau hukum 1.Bagaimana pendapat anda jika konflik diselesaikan lewat jalur hukum? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 2.Bagaimana pendapat anda jika konflik diselesaikan lewat jalur musyawarah? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 3. Pengelolaan Kolaboratif 1.Bagaimana pendapat anda jika kampung anda dijadikan daerah wisata? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 2.Bagaimana pendapat anda jika kampung anda bekerjasama dengan BTNUK dan perusahaan swasta untuk mengelola daerah anda menjadi daerah wisata? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 4. Pemberdayaan Masyarakat 1.Sejauhmana pengetahuan anda mengenai organisasi atau lembaga tertentu memberikan pelatihan atau kursus keterampilan atau kerajinan kepada anda? a.tidak pernah b. pernah c. jarang d.sering 2.Bagaimana pendapat anda jika ada lembaga tertentu memberikan latihan atau kursus keterampilan/kerajinan kepada anda? a.sangat tidak setuju b. tidak setuju c. setuju d. sangat setuju 3.Bagaimana kesediaan anda jika anda mengembangkan usaha mandiri? a. sangat tidak bersedia b. tidak bersedia c. bersedia d. sangat bersedia 4.Sejauhmana pengetahuan anda mengenai lembaga terentu memberikan atau meminjamkan dana untuk mengembangkan usaha? a. tidak pernah b. pernah c. jarang d. sering 5.Bagaimana kesediaan anda jika beralih pekerjaan dari bertani ke pengembangan usaha mandiri? a. sangat tidak bersedia b. tidak bersedia c. bersedia d. sangat bersedia