Peranan Inggris dalam pembentukan negara Israel di tanah Palestina tahun 1920-1948
SKRIPSI
OLEH : Tomy Eko Setyawan K.4405036
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
PERANAN INGGRIS DALAM PEMBENTUKAN NEGARA ISRAEL DI TANAH PALESTINA TAHUN 1920-1948
OLEH : TOMY EKO SETYAWAN K 4405036
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar sarjana pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
ii
Halaman Persetujuan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Persetujuan Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Syaiful Bachri, M.Pd NIP. 19520603 198503 1 001
Musa Pelu, S.P.d, M.Pd NIP. 19730403 200604 1 025
iii
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Djono, M.Pd
………………
Sekretaris
: Dra. Sri Wahyuni, M.Pd
………………
Anggota I
: Drs. Syaiful Bachri, M.Pd
………………
Anggota II
: Musa Pelu, S.Pd, M.Pd
……………...
Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1001
iv
Abstrak Tomy Eko Setyawan. PERANAN INGGRIS DALAM PEMBENTUKAN NEGARA ISRAEL DI TANAH PALESTINA TAHUN 1920-1948. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Perkembangan nasionalisme bangsa Yahudi, (2) Usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1920-1948, (3) Reaksi Bangsa Arab Palestina setelah berdirinya negara Israel, (4) Sikap negara-negara Timur Tengah terhadap pembentukan negara Israel. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber buku literatur dan surat kabar. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Dalam sejarah bangsa Yahudi kerap mengalami penindasan di negara tempat bangsa Yahudi berdiam sehingga menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah yang dianggap sebagai tanah leluhurnya yaitu Palestina. Nasionalisme bangsa Yahudi diwujudkan melalui gerakan Zionisme. Zionisme adalah gerakan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya Palestina. (2) Usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1920-1948, antara lain pemerintah Inggris membantu dan memberi kemudahan kaum Yahudi dari berbagai dunia untuk pindah ke Palestina, membantu orang-orang Yahudi untuk mengambil tanah dari rakyat Arab Palestina, terus menekan rakyat Arab Palestina agar orang-orang Yahudi menguasai ekonomi Palestina, melakukan tekanan kepada gerakan-gerakan rakyat Arab Palestina yang menentang Zionisme bahkan dengan kekerasan fisik, pemerintah Inggris lebih memberi dukungan kepada kaumYahudi setiap terjadi konferensi antara Arab dan Yahudi tentang Palestina. (3) Reaksi bangsa Arab Palestina setelah terbentuknya negara Israel adalah membentuk organisasi-organisasi perlawanan untuk menentang eksistensi negara Zionis Israel, misalnya Al Fatah, PLO, Hamas. Setelah berdirinya negara Israel bangsa Arab Palestina terusir dari tanah Palestina dan menjadi pengungsi di negara-negara arab lain. Hal ini menimbulkan semangat nasionalisme dari bangsa Arab Palestina untuk berjuang membebaskan tanah air mereka dari Zionis Israel. (4) Sikap negara-negara Timur Tengah terhadap pembentukan negara Israel, segera melakukan perlawanan menolak keberadaan negara Israel di Palestina. Alasan mereka melakukan perlawanan, orang-orang Arab memandang Zionisme sebagai gerakan kolonial atau memandang Israel sebagai alat Imperialisme Barat. Dalam perhitungan strategi politik dan keamanan, mereka juga merasa khawatir dengan kemungkinan aksi serangan Israel ke daerah-daerah perbatasan. Dalam perkembangannya sikap negara-negara Timur Tengah terhadap negara Israel ada yang bersikap radikal dan tidak mau mengakui Israel dan Moderat terhadap Israel.
v
Abstrack Tomy Eko Setiawan. English’s Rule Toward The Formation of Israel Country in Palestina Land at 1920-1948. Thesis, Surakarta: Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, October 2009. The aim of this research is to describe: (1) the development of Jewish’s nationalism, (2) the efforts done by English in assisting the formation of Israel country in the year of 1920-1948, (3) the reaction of Arabian Palestina after the establishment of Israel country, (4) the attitude of Middle East country toward the formation of Israel country. This research uses historical method. Data source used is literature book and newspaper. The technique of data collection is by using library study. Data analysis technique used is historical analysis, that is the analysis giving priority of sharpness in managing a historical data. The research procedure is by employing four-stages activity that are heuristic, critic, interpretation, and historiography. Based on the result of the research, it can be concluded that: (1) During its history, Jewish was often subjected to suppression in the country where Jewish live so that it give rise to nationalism spirit of Jewish for coming back to the land once considered belong to their ancestors that is Palestina. The nationalism of Jewish is manifested through Zionism movement. Zionism is Jewish movement for coming back to their ancestor’s land Palestina. (2) the effort performed by English in assisting the formation of Israel in 1920-1948, for example are the English government assisted and facilitated the Jewish from every part of the world for moving to Palestina, helped Jewish to take over the land from ArabianPalestina people, continuously suppressed Palestina people so that the Jewish can dominate Palestina’s economy, gave a suppression to the Arabian-Palestina people movement opposing Zionism even by physical abuse, then the English government tended to give support toward Jewish people in each conference held by Arabian and Jewish about Palestina. (3) the reaction of Arabian-Palestina pople after the formation of Israel is that they formed opposing organizations for defying the existence of Zionis Israel, for example are Al Fatah, PLO, Hamas. After the establishment of Israel, Arabian-Palestina people are driven out from Palestina land and they become refugees in other Arabian country. It caused a nationalism of Arabian-Palestina people to struggle for liberating their homeland from Zionis Israel. (4) the attitude of Middle East countries toward the establishment of Israel country is that they immediately made a oppression for rejecting the existence of Israel in Palestina. The reasons the do oppression is that Arabian people see Zionism as a colonial movement and see Israel as Western imperialism tool. In the matter of political and safety strategy, they also worried about the possibility of Israel invasion action to the border region. In its development, the attitude of Middle-East country toward Israel is that there is a radical one who do not want to admit Israel and also moderate one toward Israel.
vi
MOTTO
Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan yang tidak benar, perjuangan melawan kebodohan dan ketidaktahuan. (Pramodya Ananta Toer dalam “Anak Semua Bangsa”)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil sesungguhnya Allah memberi pengarahan yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
(Q.S. An-Nissa ayat 58)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:. 1. Ayah dan Ibu tercinta, yang selalu mendukungku 2. Adik tersayang Dian Anggrani 3. Seluruh keluarga besarku 4. Sahabat-sahabat tersayang 5. Almamater
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dapat teratasi berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Musa Pelu, S.Pd, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati. 7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan selama ini. 8. Teman-teman Sejarah ’05: Masdar, Yudi, Nanang, Wahyu, Gagus, Fuad, Bakat, Arif, Franco, Agus, Anton, Andri, Didik, Kusnandar, Ulis, Ika, Nita, Dina, Elyas, Heru, Riyani, Watik, Novi, Ana, Tumiyati, Atin, Tata, Sinta, Erna, Tami, Titis, Fitria, Devi terima kasih atas persahabatan dan dukungannya selama ini. 9. Arfan Bayu (Gendut) atas bantuan dan dukungannya dalam mencari sumber untuk penelitian ini.
ix
10. Teman-teman pengurus perpustakaan prodi sejarah terima kasih atas persahabatan dan dukungannya selama ini. 11. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Oktober 2009
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..............................................................................................
i
Halaman Pengajuan.......................................................................................
ii
Halaman Persetujuan.....................................................................................
iii
Halaman Pengesahan ....................................................................................
iv
Abstrak..................….. ..................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ix
DAFTAR ISI.................................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xiii
DAFTAR TABEL.........................................................................................
xiv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
10
C. Tujuan Penelitian ................................................................
10
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
10
LANDASAN TEORI A. Kajian Teori ........................................................................
12
1. Nasionalisme ..................................................................
12
2. Konflik ............................................................................
20
3. Negara .............................................................................
28
4. Primordial........................................................................
34
B. Kerangka Berfikir ................................................................
38
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
41
B. Metode Penelitian ................................................................
41
C. Sumber Data .........................................................................
43
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................
45
xi
E. Teknik Analisis Data ............................................................
46
F. Prosedur Penelitian ..............................................................
47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Nasionalisme Bangsa Yahudi.......................
50
1. Sejarah Singkat Bangsa Yahudi......................................
50
2. Latar Belakang Nasionalisme Yahudi.............................
55
a). Perasaan Superioritas …….........................................
55
b). Gerakan Anti Semitisme……………………............
56
3. Zionisme Sebagai Wujud Nasionalisme Bangsa Yahudi.
61
B. Usaha-Usaha Yang Dijalankan Inggris Dalam Membantu Pembentukan Negara Israel Tahun 1920-1948 .........………
66
1. Pada Awal Mandat Sampai Tahun 1939 …….......……
67
2. Pada Masa Perang Dunia II ………................................
80
3. Pada Pasca Perang Dunia II……………….. ..................
83
a). Komisi Penyelidikan Inggris-Amerika Serikat ……
83
b). Masalah Palestina Dalam PBB Dan Berdirinya Negara Israel ………………………………...…...
85
C. Reaksi Bangsa Arab Palestina Setelah Berdirinya Negara Israel......................................................................................
91
1. Bangsa Arab Palestina Kehilangan Palestina…….………
91
2. Nasionalisme Palestina Hidup Kembali………………....
95
D. Sikap Negara-Negara Timur Tengah Terhadap Pembentukan Negara Israel …… ................................................................
101
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ...........................................................................
110
B. Implikasi................................................................................
114
C. Saran......................................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
117
LAMPIRAN........ .........................................................................................
122
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Pembagian Misi Peel tahun 1937 ........................................
122
Lampiran 2. Peta Pembagian Grandy Morrisan tahun 1946............................
123
Lampiran 3. Peta Pembagian Palestina pada 29 November 1947....................
124
Lampiran 4. Kamp Pengungsi Palestina di Israel dan Yordania......................
125
Lampiran 5. Kamp Pengungsi Palestina di Suriah dan Libanon......................
126
Lampiran 6. Deklarasi Balfour 1917................................................................
127
Lampiran 7. Resolusi Majelis Umum PBB Tentang Palestina 29 November 1947 (Resolusi Pembagian)..................................
128
Lampiran 8. Bendera Israel..............................................................................
130
Lampiran 9. Foto tokoh Gerakan Zionisme dan Perdana menteri Inggris tahun 1917...................................................................................
131
Lampiran 10. Foto Presiden dan Perdana Menteri Pertama Israel...................
132
Lampiran 11. Lambang Organisasi Perlawanan Palestina ..............................
133
Lampiran 12. Jurnal Asing (The Collusion that Never Was: King Abadallah, the Jewish Agency and the Partition of Palestina)....................
134
Lampiran 13. Surat permohonan ijin menyusun skripsi ..................................
143
Lampiran 14. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan skripsi .
144
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2
: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1920- 1928.................................................................................70 : Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939…….....................................................….......... ……73
Tabel 3
: Pengungsi Rakyat Arab Palestina Tahun 1949......…….............93
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Timur Tengah adalah terjemahan dari “Middle East”, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan oleh orang-orang Inggris dan Amerika Serikat untuk menyebut kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat dan Afrika Timur Laut. Istilah ini berasal dari perluasan wilayah komando militer Inggris, yang mula-mula mencakup negara-negara di sebelah Timur Terusan Suez. Dalam perang itu istilah tersebut menjadi lazim menggantikan istilah-istilah yang lebih tua seperti “Near East” dan “Levant” (Kirdi Dipoyudo, 1981: 4). Timur Tengah adalah sebuah wilayah yang secara politis dan budaya merupakan bagian dari benua Asia atau Afrika-Eurasia. Pusat dari wilayah ini adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Area Timur Tengah juga meliputi wilayah dari Afrika Utara di sebelah barat sampai dengan Pakistan di sebelah timur dan Kaukasus atau Asia Tengah di sebelah utara. Media massa dan beberapa organisasi internasional seperti PBB umumnya menganggap wilayah Timur Tengah adalah wilayah Asia Barat Daya (termasuk Siprus dan Iran) ditambah dengan Mesir (http://id.wikipedia.org/2009/04/28). Timur Tengah dapat dibagi menjadi dua yaitu Dunia Arab dan Dunia non Arab. Yang pertama terdiri atas 21 negara yang bersama-sama meliputi wilayah seluas 13.398.134 km2. Kedua terdiri atas Iran, Turki, Siprus dan Israel yang wilayahnya seluas 2.457.403 km2 (Kirdi Dipoyudo, 1981 : 5). Menurut World Factbook, Amerika Serikat Central Intelligence Agency (CIA), tahun 2008 total jumlah
penduduk
Timur
Tengah
adalah
354.499.056
penduduk
(http://en.wikipedia.org/2009/04/28). Timur Tengah sejak dahulu adalah salah satu kawasan yang penting, sehingga barang siapa menguasainya maka mempunyai kedudukan strategis di dunia. Berkat letaknya yang berada pada pertemuan Eropa, Asia dan Afrika,
xv
kawasan itu menguasai jalan masuk ketiga benua itu. Timur Tengah berbatasan dengan Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hitam, Laut Kaspi, Teluk Parsi dan Samudra Hindia. Baik lewat daratan maupun perairan kawasan itu memandang ke banyak penjuru dan sejak fajar sejarah keunikan geostrateginya itu diakui oleh negara-negara besar. Arti Timur Tengah itu menjadi jauh lebih besar dengan penemuan minyak dalam jumlah yang luar biasa. Seperti diketahui minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan dalam peradapan industrial kontemporer. Terlepas dari faktor-faktor lain, hal itu cukup untuk menjadikan Timur Tengah kawasan yang paling penting di dunia. Dengan demikian Timur Tengah mempunyai potensi ekonomi dan politik yang besar (Kirdi Dipoyudo, 1981: 8). Kawasan Timur Tengah sejak lama menjadi fokus perhatian dunia. Beberapa kejadian di Timur Tengah, mulai dari konflik dalam suatu negara, konflik antar negara di kawasan, sampai konflik yang melibatkan negara-negara luar yang mempunyai kepentingan di kawasan, menjadikan setiap persoalan yang muncul di kawasan itu sebagai isu internasional. Masalah Palestina merupakan isu yang paling lama di Timur Tengah. Masalah Palestina yang merupakan inti dan dasar sengketa Arab Israel adalah sengketa atas tanah Palestina antara penduduk Arab Palestina dan penduduk Yahudi, yang keduanya merasa berhak atas negeri itu dan berusaha untuk menguasainya dan mengembangkan kehidupan nasionalnya. Dengan demikian kedua masyarakat nasional itu berhadapan satu sama lain sebagai lawan. Yang pertama mendapat dukungan dan bantuan dari negara-negara Arab, yang kedua dari gerakan Zionis sedunia dan beberapa negara terutama Inggris dan Amerika Serikat. Sengketa Arab-Yahudi dimulai sesudah Perang Dunia I ketika masyarakat Arab Palestina memberikan perlawanan terhadap imigrasi Yahudi yang meningkat berkat politik Inggris yang mendukung usaha kaum Zionis untuk mendirikan suatu kediaman nasional ”national home” bagi umat Yahudi di negeri leluhur mereka (tanah Palestina). Politik kolonial Inggris itu didasarkan atas pengakuan
xvi
bahwa bangsa Yahudi mempunyai suatu ikatan historis dengan Palestina dan atas perhitungan bahwa kedua masyarakat nasional itu akan dapat hidup berdampingan secara damai dan bekerja sama untuk membangun negeri itu (Kirdi Dipoyudo, 1982: 116-117). Sejak pertengahan abad ke 16 Inggris menaruh perhatian besar terhadap Palestina dan negeri-negeri Arab lain sekitarnya. Pada masa itu negeri-negeri itu berada di bawah kekuasan Turki Ottoman. Inggris menempuh politik membiarkan terus
berlangsungnya
kekuasaan
Ottoman
atas
Palestina
dan
bahkan
mempertahankannya, sampai tiba suatu saat yang dipandangnya tepat untuk mengakhiri sama sekali. Berdasarkan strategi politik, militer dan ekonomi, Inggris
merencanakan
pemisahan
Palestina
di
kemudian
hari
dan
menempatkannya di bawah kekuasan imperium Britania Raya. Inggris memberi perhatian besar kepada Dunia Arab karena kedudukan negeri itu sangat strategis, sehingga dapat menguasai kontrol atas tiga benua yang ada di sekelilingnya, yaitu Eropa, Asia dan Afrika (Muhammad Tohir, 1980: 39-40). Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 bangsa-bangsa barat, terutama Inggris dan Perancis berhasil menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Orang Inggris membanggakan dirinya sebagai pembebas bangsa-bangsa dari penjajahan Turki, tetapi bangsa Arab menganggap Inggris dan Perancis sebagai bangsa Turki (penjajah) baru. Munculnya nasionalisme Arab ditujukan untuk melawan Inggris dan Perancis (G Moejanto, 1957: 1). Pada tahun 1897, berlangsung konggres Yahudi sedunia yang pertama di Basel, Swiss. Dalam konggres itu para pemimpin Zionis sedunia sepakat untuk mendirikan gerakan Zionisme. Pencetus ide Zionisme adalah Theodore Herzl. Doktrin-doktrin Theodore Herzl (1860-1904) yang disusunnya sejak tahun 1882 di Wina, dan disistematikannya pada tahun 1896 lalu di bukukan dengan judul negara Yahudi (Der Judenstaat) (R. Garaudy, 1988: 2-3). Gerakan Zionisme merupakan wujud dari nasionalisme bangsa Yahudi yang dilatar belakangi oleh perasaan Superioritas atau merasa unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dan adanya gerakan anti Semitisme yang tumbuh di Eropa. Gerakan Zionisme bertujuan untuk mendirikan suatu negara Yahudi di Palestina. Bangsa Yahudi
xvii
menganggap Palestina adalah negeri leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya (Kirdi Dipoyudo, 1982: 98). Pada tahun 1903, penganiayaan besar-besaran terhadap orang Yahudi terjadi di Kishinev dan di Gomel Rusia. Membuat masalah Yahudi menjadi lebih parah daripada sebelumnya. Herzl berunding dengan pemerintah Inggris dan memperoleh tawaran Uganda sebagai wilayah mereka. Tawaran tersebut ditolak dalam konggres ketujuh organisme zionisme dunia (1904) yang tidak menginginkan alternatif lain kecuali Palestina (George Lenczowski, 1992: 235) Pada tahun 1908 di negeri-negeri Arab timbul gerakan kebangsaan untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Di dalam konferensi Nasional Arab yang pertama di Paris pada tahun 1913, antara lain diputuskan untuk mengajukan keinginan-keinginan bangsa Arab ini kepada pemerintah Turki. Tuntutan nasional ini ditentang oleh kaum reaksioner Turki yang tergabung dalam partai Al-Ittihad wal-Traqqi yang pada waktu itu memegang kendali pemerintahan (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 5). Pada saat meletus Perang Dunia I (1914-1918), memberi peluang bagi bangsa Arab untuk menggapai cita-citanya. Pada Perang Dunia I Turki memihak kepada Jerman melawan sekutu (Inggris). Untuk melumpuhkan gerakan tentara Turki di medan perang sebelah timur, Inggris mengutus kolonel Lawrece ke jazirah Arab buat membujuk bangsa Arab agar mengangkat senjata terhadap Turki dan berperang di pihak sekutu. Setelah itu, Sir Henry Mc Mahon raja muda Inggris di Mesir mengadakan perundingan dengan raja Syarif Husein wali dari wilayah Hejaz. Perjanjian di sepakati antara Inggris dan Syarif Husein. Sir Henry Mc Mahon atas instruksi pemerintahan Inggris, berjanji memberi kemerdekaan kepada negara-negara Arab termasuk Palestina. Syarif Husein berjanji memihak Inggris dengan mengobarkan revolusi Arab dan berperang melawan Turki. Pada waktu bersamaan Inggris juga mengadakan perjanjian rahasia dengan Perancis (perjanjian Sykes-Picot) untuk membagi-bagi negeri Arab yang barada dibawah kekuasaan Turki. Menurut perjanjian Sykes-Picot ini, Suriah dan Libanon akan dijadikan daerah pengaruh Perancis, Irak akan dijadikan daerah pengaruh Inggris,
xviii
sedangkan Palestina dijadikan daerah internasional, dengan ketentuan bahwa pelabuhan Heifa dan Akka menjadi kepunyaan Inggris. Bahwa isi dari perjanjian Sykes-Picot ini bertentangan sama sekali dengan persetujuan yang telah tercapai antara Syarif Husein dan Sir Henry Mc Mahon raja muda Inggris di Mesir (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 7). Perang Dunia I sudah berjalan dua setengah tahun namun Jerman dan Turki belum dapat dikalahkan oleh Sekutu, Inggris berusaha membujuk Amerika Serikat untuk terjun ke dalam kancah perang. Inggris mengetahui bahwa Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh anasir Yahudi. Inggris juga mengetahui bahwa kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya mempunyai keinginan di Palestina. Untuk memikat hati bangsa Yahudi, pada tanggal 2 November 1917 Inggris mengeluarkan Deklarsi Balfaur (Balfour Deklaration) yang diprakarsai oleh menteri luar negeri Inggris, Sir Arthur Balfour yang simpati terhadap kaum Zionis. Didalam deklarasi itu pemerintah Inggris berjanji akan mendirikan kediaman nasional “ a national home” untuk bangsa Yahudi di Palestina. Janji ini pulalah yang menjadi dasar pergerakan Zionis sedunia, yang bermaksud mendirikan negara Yahudi merdeka di Palestina (Husein Yahya, 1950: 8). Pasca Perang Dunia I, Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah. Orang-orang Yahudi mendominasi pemerintahan di Inggris kemudian mendukung gagasan Theodore Herzl. Pada tanggal 24 April 1920 konferensi perdamaian berlangsung di Sam Remo. Para negarawan dari
Eropa
menandatangani perjanjian tentang mandat. Dewan tertinggi sekutu memberikan mandat atas Palestina kepada Inggris. Untuk menjalankan pemerintahan mandat, pemerintah Inggris mengangkat Sir Hebert Samuel seorang Yahudi Inggris menjadi komisaris tinggi Inggris yang pertama di Palestina. Pada 24 Juli 1922 Inggris secara formal dinyatakan sebagai penguasa mandat yang sah oleh Liga Bangsa-Bangsa. Inggris yang sejak semula telah membantu pihak Yahudi lewat Deklarasi Baulfournya semakin membuka bagi imigran Yahudi ke Palestina. Akibatnya, jumlah penduduk Yahudi di Palestina menjadi semakin besar. Selama sepuluh
xix
tahun pertama (1920-1929) jaringan imigran Yahudi ke Palestina, menurut angka resmi berjumlah 77.063 (M Riza Sihbudi dan Achmad Hadi, 1992: 54). Herbert Samuel bekerja sekuat tenaga untuk menarik simpati dan minat orang-orang Yahudi agar berhijrah ke negeri Palestina. Samuel telah menggunakan pemerintahan Inggris yang ada di dalam kekuasaannya untuk memberi segala kemudahan, dispensasi dan kesempatan-kesempatan hidup terhadap para imigran Yahudi itu. Didirikanlah perumahan-perumahan dan pabrik-pabrik untuk mereka dan berlatih menggunakan senjata-senjata modern (Ahmad Shalaby, 1991: 84). Sebagai pejabat tinggi, Herbert Samuel memberlakukan kebijakan agar petani meminjam uang dari rentenir untuk modal tanaman mereka. Setelah panen Samuel melarang menjual hasil panennya ke orang lain. Sehingga harga panen hancur dan para petani kecil tidak bisa membayar hutangnya, kemudian semua hasil panennya disita dan akhirnya tanahnya dijual untuk membayar hutanghutangnya menurut cara-cara Yahudi. Setelah Herbert Samuel menjatuhkan mental orang-orang Arab Palestina dan merampas tanah-tanah mereka, mulailah hasil orang Yahudi berkembang dan memperkuat ekonomi Palestina. Hal ini terjadi berkat berlakunya undang-undang Palestina ketiga belas khususnya bagi para pejabat tinggi untuk memiliki atau menyewakan tanahnya kepada siapa saja yang mau (Ismail Yaghi, 2001: 76). Arus imigran Yahudi dan jumlah penduduk Yahudi yang semakin besar, diperkuat lagi kebijakan pemerintah Inggris yang banyak membantu bangsa Yahudi dalam merealisasikan gerakan Zionisme menimbulkan kekhawatiran bagi penduduk Arab Palestina. Penduduk Arab Palestina khawatir akan terbentuknya negara Yahudi di Palestina dan nasib penduduk Arab Palestina di masa mendatang. Melihat keadaan yang demikian, semangat kebangsaan Arab bertambah lama bertambah meluap. Seperti yang terjadi pada tahun 1929 meletuslah suatu pemberontakan yang banyak memakan korban, baik pihak bangsa Arab maupun dipihak Yahudi. Pemberontakan itu akhirnya dapat ditindas oleh Inggris dengan kekuatan senjata (M.Nur El Ibrahimy, 1955:16).
xx
Pada tahun 1931, Dunia Islam mulai menaruh konsentrasi terhadap masalah Palestina, hingga digelarlah Konferensi Umat Islam di Yerusalem. Konferensi Umat Islam ini terhitung sebagai langkah maju, meskipun pada saat itu keberuntungan belum memihak muslim. Negara mereka juga dalam cengkraman Inggris. Berbagai putusan hasil konferensi pun tidak dapat diimplementasikan karena Inggris selalu memberi tekanan. Pada tahun 1932, muslim Palestina berhasil mendirikan Partai Kemerdekaan. Tetapi akibat tekanan Inggris, partai ini tidak dapat bertahan lebih dari setahun (Abu Bakar, 2008: 244) Pada tahun 1935 partai-partai politik Palestina dengan maksud untuk membulatkan perjuangan nasional telah bergabung dalam suatu front yaitu Panitia Arab Tertinggi. Pada tanggal 26 November 1935, panitia ini mengajukan suatu nota tentang masalah zionisme kepada pemerintah Inggris, berisi tuntutantuntutan diantaranya membentuk suatu pemerintahan nasional, menghentikan pemindahan kaum Yahudi ke Palestina, melarang penjualan tanah pada Yahudi. Tetapi tuntutan itu tidak disetujui oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1936 muncul kembali suatu pemberontakan antar rakyat dengan alat-alat kekuasaan negara, terjadi bentrokan dan perkelahian yang banyak memakan korban. Setelah enam bulan pemberontakan berlangsung dengan sengitnya akan tetapi belum dapat dipadamkan oleh Inggris meskipun mempergunakan cara-cara kekejaman yang luar biasa. Kekerasan tidak membawa hasil, Inggris berusaha meredam suasana dengan cara yang lain. Pada tanggal 27 Agustus 1936 pemerintah Inggris mengirim suatu misi ke Palestina yang terkenal dengan Misi Peel. Setelah mengadakan peninjauan beberapa bulan di Palestina, misi ini menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Misi Pell ini mengusulkan supaya pembagian wilayah Palestina harus dibagi ke dalam negara Arab, negara Yahudi dan daerah netral di sekitar Yerusalem, Nazaret dan Bethlehem yang berada di bawah pengawasan Inggris. Usulan Misi Pell itu ditolak oleh penduduk Arab dan negara-negara Arab. Inggris hampir berada diambang pintu Perang Dunia II dan menginginkan ketentraman di Palestina ini, maka pada tahun 1939 Inggris menerbitkan ”Buku Putih” yang isinya mengakui prinsip pembentukan ”Negara Kesatuan Palestina”
xxi
yang akan mendapatkan kemerdekaannya dalam waktu 10 tahun serta menentukan segera dimulainya pembentukan suatu majelis legislatif, pembatasan imigrasi orang-orang Yahudi penetapan peraturan-peraturan yang melarang penjualan tanah-tanah rakyat Palestina kepada pendatang-pendatang Yahudi di beberapa daerah Palestina. Buku putih diterima bangsa Arab dengan perasaan curiga, sedangkan bangsa Yahudi menolak keras Buku Putih Inggris itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Presiden Truman (Amerika Serikat) mengumumkan suatu keterangan bahwa negerinya menginginkan pemindahan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi ke Palestina dan menginginkan pula pembangunan suatu negara Yahudi di Palestina. Keterangan Truman ini sangatlah melukai hati bangsa Arab. Pada tanggal 31 Agustus 1945 Presiden Truman mengajukan permintaan kepada perdana menteri Inggris Atlee, untuk memasukan 100.000 pelarian Yahudi ke Palestina. Didalam jawabannya kepada Truman, Atlee menganjurkan supaya dibentuk panitia bersama Inggris-Amerika untuk menyelidiki masalah Yahudi (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 25-26). Pada tahun 1946 timbul kerusuhan Arab dan Yahudi lagi. Pada tanggal 2 April 1947 Inggris secara resmi meminta kepada sekretariat sidang umum PBB supaya mencantumkan soal Palestina, dalam agendanya Inggris memutuskan untuk melepas mandatnya. Dengan demikian, Inggris dengan bantuan Amerika Serikat telah memainkan peranannya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh gerakan Zionisme (H. Chefik Chehab, 1980: 14). Akibat mendapatkan desakan dari Amerika Serikat, Inggris mulai menginternasionalkan masalah Palestina. Pada tahun 1947, Palestina di masukan dalam rancangan sidang PBB. Sebelum disidangkan, PBB membentuk badan Investigasi untuk masalah Palestina. Setelah beberapa bulan, badan tersebut merekomendasikan dua hal. Pertama, penghentian pemerintahan Inggris di Palestina. Hal ini dilakukan untuk memberikan jalan serta memperlancar kemerdekaan Israel Yahudi sebagaimana digagas Zionisme. Kedua, Tanah Palestina dibagi menjadi dua negara, Israel dan Palestina. Negara Isarel meliputi Safad, Triberias, Beisan, Haifa, Tilkaram, Sahara Negeb dan Jaffa. Sementara Palestina meliputi Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramallah, Hebron dan Jalur
xxii
Gaza serta meletakkan Yeruzalem karena menjadi tanah suci bagi tiga agama, sebagai zona internasional yang dikenal juga dengan istilah Corpus Separatum. Pada 29 November 1947 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi No. 181 (Abu Bakar, 2008: 251-252). Resolusi No. 181 tersebut menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua, yaitu untuk Yahudi dan Arab, serta memberi jangka waktu kekuasaan pemerintahan protektorat Inggris di tanah Palestina sampai bulan Agustus 1948. Perlu ditegaskan, bahwa badan investigasi internasional untuk masalah Palestina tidak pernah mengakomodasi aspirasi bangsa Palestina. Pada batasan inilah, PBB telah menzalimi Palestina, dan tidak lebih dari alat Amerika Serikat untuk mendukung Zionisme Herzl (Abu Bakar, 2008: 252). Pada tanggal 14 Mei 1948 penguasa Inggris secara resmi menanggalkan mandatnya atas tanah Palestina. Pada hari yang sama Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv memproklamirkan terbentuknya negara Israel dengan Chaim Weizman sebagai presiden dan David Gurion sebagai perdana menteri, dengan berpijak pada legitimasi resolusi No. 181 pada 29 November 1947. Beberapa jam kemudian negara baru itu diakui secara de facto oleh Amerika Serikat dan kemudian diikuti oleh Uni Soviet. Dengan pengakuan negara besar ini negara Israel mempunyai kedudukan yang kuat dalam dunia internasional. Selanjutnya negara baru Israel tersebut berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Adapun politik Uni Soviet mengakui kemerdekaan Palestina adalah dengan jatuhnya Palestina dalam kekuasaan Yahudi, Soviet hendak mencoba mempergunakannya sebagai batu loncatan ke daerah-daerah pedalaman Timur Tengah yang lain, yang kaya dengan minyak ataupun dengan tempat-tempat yang strategis (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 33). Sehubungan dengan uraian dan persoalan yang dipaparkan di atas, maka penulis akan melakukan penelitian yang berjudul Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920 – 1948
xxiii
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain : 1. Bagaimana perkembangan nasionalisme bangsa Yahudi? 2. Bagaimana usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1920-1948? 3. Bagaimana reaksi bangsa Arab Palestina setelah berdirinya negara Israel? 4. Bagaimana sikap negara-negara Timur Tengah terhadap pembentukan negara Israel?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan perumusan masalah di atas, yaitu untuk mengetahui : 1. Perkembangan nasionalisme bangsa Yahudi. 2. Usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1920-1948. 3. Reaksi bangsa Arab Palestina setelah berdirinya negara Israel. 4. Sikap negara-negara Timur Tengah
terhadap pembentukan negara
Israel.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis a. Dapat menambah pengetahuan sejarah kepada penulis dan pembaca khususnya yang berkaitan dengan Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920 - 1948.
xxiv
b. Penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman secara obyektif Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920 - 1948. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Dapat dipakai sebagai karya ilmiah yang dapat melengkapi penelitian yang lebih lanjut.
xxv
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Nasionalisme
a. Pengertian Nasionalisme Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) atau natie (Belanda), yang berarti bangsa (Leo Agung S, 2002: 31). Miriam Budiardjo (2004: 44) menyatakan nasionalisme merupakan suatu perasaaan subyektif pada sekelompok manusia bahwa mereka merupakan satu bangsa dan cita-cita serta aspirasi mereka bersama hanya dapat tercapai jika mereka tergabung dalam satu negara atau nasion. Menurut L. Stoddard (1966: 137) bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan sehingga mereka membentuk suatu ”kebangsaan”. Pada tingkat terakhir, nasionalisme adalah sesuatu di atas segalanya yang menjelmakan dirinya dalam suatu sintese yang baru dan lebih tinggi. Menurut Anthony D. Smith (2003: 11) bahwa nasionalisme sebagai suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau negara yang potensial. Isjwara (1982: 126-127) mendefinisikan nasionalisme sebagai rasa kesadaran yang kuat yang berlandaskan atas kesabaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu di masa depan. Slamet Mulyana yang dikutip oleh Leo Agung S (2002: 31) menyatakan bahwa nasionalisme adalah manifestasi kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara. Sukarna (1990: 57) mengemukakan bahwa nasionalisme
xxvi
ialah kesetiaan dari setiap individu atau bangsa ditujukan kepada kepribadian bangsa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1989: 610) yang dimaksud nasionalisme adalah keanggotaan dalam satu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu “semangat kebangsaaan”. Hans Kohn (1984: 11-12) mengatakan bahwa yang dimaksud nasionalisme adalah suatu faham yang berpendapat bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa merupakan sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Boyd C. Shafer yang dikuti oleh Sutarjo Adisusilo (2006: 41) nasionalime antara lain dimengerti sebagai berikut: (1) nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama; (2) nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa; (3) nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri; (4) nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsa sendirilah yang harus Dominan di antara bangsa-bangsa lain harus bertindak agressif. Fukuyama (1988: 15) mendefinisikan nasionalisme menurut pengertian yang sesungguhnya tidak hanya memperluas pengakuan atas para anggota dari suatu kelompok bangsa atau etnik tertentu. Sikap ini tercakup dengan lebih tepat menuntut pengakuan hanya atas para anggota perorangan dari suatu kelompok bangsa atau etnik tertentu. Yang dituntut adalah pengakuan atas bangsa secara keseluruhan, yang berarti memperoleh tanda umum kebangsaan : status hukum sebagai
sebuah
negara
merdeka
(sebanding
dengan
status
hukum
kewarganegaraan secara individu) dan penerimaan sebagai anggota yang sederajad ”keluarga bangsa-bangsa”. Dari berbagai pendapat tentang pengertian nasionalisme di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisasi adalah suatu rasa kesadaran yang kuat dan
xxvii
kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus diserahkan kepada kebangsaan berlandaskan atas kesabaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu di masa depan.
b. Faktor Penyebab Munculnya Nasionalisme Munculnya nasionalisme disebabkan oleh berbagai faktor, yang antara bangsa satu dengan bangsa yang lain, antara jaman yang satu dengan jaman yang lain dapat berbeda. Menurut Carlton J.H. Hayes menyebutkan bahwa ada faktorfaktor obyektif seperti faktor politik (penjajahan), faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya dll. Serta faktor subyektif seperti dogma dan ide pemikiran (Sutarjo Adisusilo (2006 :1). Menurut Boyd C. Shafer yang dikutip oleh Sutarjo Adisusilo (2006: 41) bahwa nasionalisme mangandung aspek subyektif dan aspek obyektif. Aspek subyektif nasionalisme dapat muncul dari rasa cinta tanah air dan keinginan untuk merdeka serta dogma dan doktrin yang diajarkan oleh seseorang atau lembaga tertentu. Nasionalisme juga mengandung aspek obyektif, yaitu aspek obyektif yang ikut berperan dalam menimbulkan nasionalisme, yang dirasakan sama oleh seluruh bangsa seperti kondisi politik (penjajahan), kondisi kultural (bahasa dan sejarah budaya), kondisi fisis (tanah air dan ras). Baik unsur subyektif maupun obyektif tersebut akan memberi warna khusus terhadap nasionalisme suatu bangsa. Dalam kenyataannya setiap bangsa yang mempunyai rasa kebangsaan akan memelihara nilai-nilai kepribadiannya, nilai-nilai sejarahnya, agamanya, ideologinya dan berjuang memperbaiki nasib. Dengan demikian setiap bangsa mempunyai kepentingan yang berlainan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Hertz yang dikutip oleh Djokosutono (1958: 9) bahwa ada empat unsur nasionalisme yaitu (1) hasrat untuk mencapai kesatuan (2) hasrat untuk mencapai kemerdekaan (3) hasrat untuk mencapai keaslian (4) hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Menurut Sutarjo Adisusilo (2006 :1) unsur yang sama dalam nasionalisme dari
xxviii
dulu sampai sekarang adalah memelihara, melestarikan dan memajukan identitas, integritas serta ketangguhan bangsa tersebut. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda. Tetapi baru pada akhir abad kedelapan belas Masehi nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum (Hans Kohn, 1984: 1). Lahirnya paham nasionalisme ini diikuti dengan terbentuknya negara-negara kebangsaan. Pada mulanya terbentuknya negara kebangsaan dilatar belakangi oleh faktor-faktor obyektif seperti: persamaan keturunan, persamaan bahasa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradisi atau juga karena persamaan agama. Kebangsaan yang dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan (Leo Agung S, 2002: 32). Dengan demikian nasionalisme telah ada sepanjang sejarah, dengan bentuk yang berbeda. Nasionalisme muncul dibelahan dunia. Akan tetapi, faktor penyebab timbulnya nasionalisme di setiap benua berbeda. Nasionalisme Eropa muncul disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Munculnya nasionalisme Eropa didahului dengan lahirnya liberalisme dan kapitalisme. Lahirnya liberalisme dan kapitalisme karena pengaruh Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Dengan demikian timbulnya nasionalisme di Eropa karena pengaruh Revolusi Industri dan Revolusi perancis (Leo Agung S, 2002: 32). 2. Nasionalisme juga disebabkan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan
pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan
politik ini juga dimaksudkan untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional (Cahyo Budi Utomo, 1995: 18) Nasionalisme Asia Afrika muncul disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut (Leo Agung S, 2002: 32-33):
xxix
1. Kenangan kejayaan masa lampau Sebelum datangan imperialisme barat, bangsa-bangsa Asia pada umumnya memiliki negara kebangsaan jaya dan berdaulat. Misalnya Indonesia, masa Sriwijaya dan Majapahit, India masa Ashoka dan sebagainya. Kejayaan itu menimbulkan kenangan akan masa lampau, sehingga mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kepada penjajahan. 2. Adanya penderitaan akibat imperialisme dan kolonialisme Adanya imperialisme mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan bangsa-bangsa terjajah. Hal inilah yang menimbulkan perlawanan nasional. 3. Kemajuan di bidang politik,ekonomi dan budaya Nasionalisme suatu bangsa dapat juga muncul karena perkembangan beberapa aspek kehidupan, seperti: a. Aspek politik Nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial. b. Aspek Sosial Ekonomi Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial dan bertujuan menghentikan eksploitasi ekonomi. c. Aspek Budaya Nasionalisme bersifat menghilangkan pengaruh kebudayaan asing yang
buruk
dan
bertujuan
menghidupkan
kebudayaan
yang
mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain (http://www.e-dukasi.net/2009/05/30). 4. Timbulnya golongan terpelajar Golongan cendekiawan muncul di mana-mana akibat perkembangan dan peningkatan pendidikan. 5. Kemenangan Jepang atas Rusia Kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, mendorong semangat bangsa Asia untuk bangkit menentang imperialisme barat.
xxx
Hal diatas tidak lepas dari pentingnya nasionalisme sebagai menifestasi kesadaran nasional mengandung cita-cita yang merupakan ilham yang mendorong dan merangsang sesuatu bangsa. Hertz menyebutkan empat macam cita-cita nasionalisme, yaitu : 1) Perjuangan untuk mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas. 2) Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari penguasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebabasan dari kekuatan-kekuatan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak menyampingkan bangsa dan negara. 3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separatenses), pembedaaan (distictivenses), individualitas, keaslian (orginality) atau keistimewaan. 4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaaan di antara bangsa-bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh (Isjwara, 1982: 127). Semangat nasionalisme orang-orang Yahudi muncul, disebabkan karena orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia ingin kembali ke tanah leluhur mereka yaitu tanah Palestina yang telah dijanjikan Tuhan dan tempat kelahirannya (kondisi fisis), spiritual, religius, dan nasionalnya (kondisi kultural). Munculnya nasionalisme bangsa Yahudi juga didorong adanya paham Antisemitisme (anti bangsa Yahudi) yang tumbuh di Eropa sehingga menimbulkan pengusiran terhadap kaum Yahudi dan perasaan Superioritas dari bangsa Yahudi (merasa unggul dibandingkan bangsa lain) (kondisi politik).
c. Nasionalisme Bangsa Yahudi Nasionalisme Yahudi pertama kali muncul pada akhir abad ke 19 sebagai akibat paham Anti semitisme (anti bangsa Yahudi) yang tumbuh di Eropa dan perasaan superioritas atau merasa unggul dibandingkan bangsa-bangsa lain. Nasionalisme Yahudi diawali dengan penulisan buku Der Yudenstaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896 oleh Theodore Herzl (1860-1904), seorang keturunan
xxxi
Yahudi yang berprofesi sebagai responden pada harian Nimsawiya di Wina (Austria). Ia menuntut bagi “bangsa tanpa tanah air” suatu “tanah air tanpa bangsa”. Kaum Hoveve Zion (pecinta zion) menunut kembalinya bangsa Yahudi ke tanah nenek moyangnya di Palestina dan peritis-perintis pertama telah berangkat ke negeri itu untuk menempati kembali tanah airnya. Zion yang terkenal dalam sejarah menjadi tujuan nasionalisme bangsa Yahudi modern (Hans Kohn, 1984: 97). Zion adalah sebuah kata sinonim untuk nama kota suci Yeruzalem. Zion adalah istilah bahasa Inggris yang barasal dari bahasa latin “sion”, terambil dari bahasa Ibrani, yaitu ”tyson”. Sementara “tyson” memiliki konotasi makna bukit suci di Yerusalem. Menurut kepercayaan bangsa Israel Yahudi, bukit suci Zion adalah tempat tinggal sesembahan mereka, tuhan Yahweh di muka bumi. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam perjanjian lama (Abu Bakar, 2008: 212). Pada tanggal 29 Agustus 1897 orang-orang Yahudi menyelenggarakaan konggres zionis yang pertama di Basel (Swiss), di bawah prakarsa Theodore Herzl. Ia berkesimpulan bahwa satu-satunya penyelesaiaan yang memungkinkan kaum Yahudi melakukan praktek-praktek mereka tanpa mendapat reaksi dari negara-negara tempat mereka berdiam ialah bahwa kaum Yahudi harus memiliki suatu daerah tempat tinggal yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai suatu bangsa (Chefik Chehab, 1980: 10). Konggres memutuskan untuk menuntut pembentukan tanah air Yahudi di Palestina, yang dilindungi oleh undang-undang internasional. Palestina ketika itu adalah daerah kekuasaan Turki, penduduknya sebagian terbesar bangsa Arab (Hans Kohn, 1984: 97). Dalam konggres itu para pemimpin Zionis sedunia sepakat untuk mendirikan gerakan Zionisme. Gerakan Zionisme ialah gerakan orang-orang Yahudi yang bersifat ideologis untuk menetap di Palestina, yakni di bukit Zion dan sekitarnya. Gerakan Zionisme bertujuan untuk mendirikan suatu negara Yahudi di Palestina. Bangsa Yahudi menganggap Palestina adalah negeri leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya.
xxxii
Dalam Perang Dunia I, dua puluh tahun setelah Konggres pertama, Sir Arthur Balfour menteri luar negeri Inggris, atas nama pemerintah Inggris menjanjikan akan sedapat mungkin mengusahakan pelaksanaan pendirian suatu tanah air di Palestina bagi bangsa Yahudi dengan pengertian bahwa hak-hak sipil dan keagamaan masyarakat-masyarakat bukan Yahudi di Palestina atau hak-hak dan status politik Yahudi di negeri-negeri lain tidak di ganggu. Antara tahun 1919 dan 1933 imigran-imigran Yahudi di Palestina tak banyak. Keadaan ini berubah dalam Perang Dunia II. Paham anti Semitisme Hitler setelah tahun 1933 mengakibatkan banyak orang-orang Yahudi yamg ingin lari ke Palestina. Pembunuhan berjuta-juta orang-orang Yahudi secara besar-besaran oleh kaum Nazi memperkuat nasionalisme Yahudi (Hans Kohn, 1984: 98). Penghuni-penghuni baru itu berhasil menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa nasional, dan meskipun tak ada harapan bangsa Yahudi akan menjadi mayoritas di Palestina, namun kebudayaan Yahudi tumbuh subur dan berkembang. Hal itu di tambah lagi dengan bantuan pemerintahan Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina. Pemerintah mandat Inggris mendukung gerakan bangsa Yahudi untuk melakukan imigrasi ke Palestina dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya sangat membantu pihak Yahudi, sehingga membuat rakyat Palestina merasa di rugikan. Adanya mayoritas Arab, yang ingin dan berhasrat mempertahankan watak nasional tanah airnya dan menjalankan hak menentukan nasib sendiri merupakan rintangan utama untuk mendirikan negara Yahudi. Bangsa Arab Palestina disokong oleh negara Arab tetangganya dan oleh bangsa-bangsa Islam lain. Sengketa itu akhirnya melahirkan suatu konflik dan peperangan antar Yahudi Palestina yang mendapat bantuan dari Inggris dengan
rakyat Palestina yang
mendapat bantuan dari negara-negara Arab. Melalui resolusi No. 181 tahun 1947, Dewan Umum PBB menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua, yaitu untuk Yahudi dan Arab Palestina, serta memberi jangka waktu kekuasaan pemerintahan mandat Inggris di tanah Palestina sampai bulan Agustus 1948. Setelah melalui proses yang amat panjang akhirnya pada 14 Mei 1948 kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel.
xxxiii
2. Konflik
a. Pengertian Konflik Istilah konflik berasal dari bahasa latin “conflege” yang berarti “saling memukul”. Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya (D. Hendro Puspito OC, 1989: 247). Maswadi Rauf (2001: 2) mengemukakan bahwa konflik dapat diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok. Menurut Abu Ahmadi (1975: 93) konflik pada dasarnya adalah usaha yang disengaja untuk menentang, melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. Namun ada istilah lain yang mempunyai arti atau makna yang sama dengan istilah konflik ialah istilah pertikaian. Menurut Soerjono Soekanto ( 1990: 98-99) pertentangan atau pertikaian (konflik) adalah suatu proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannnya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Menurut Ramlan Surbakti (1992: 149) konflik mengandung pengertian ”benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dengan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Alo liliweri MS (2005: 146) mengemukakan bahwa konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok atau kelompok yang berbeda etnik (suku bangsa, ras, agama, golongan) karena diantara mereka memiliki pebedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Seringkali konflik itu dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih etnik (individu dan kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.
xxxiv
Dari berbagai pendapat tentang pengertian konflik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan, pertikaian, dan perbedaan pendapat antara dua orang atau kelompok tentang tuntutan terhadap suatu nilai tertentu antara pihak-pihak yang sedang berselisih, sehingga menimbulkan usaha untuk menjatuhkan pihak lawan guna mencapai perubahan yang dikehendaki kelompoknya. Konflik yang terjadi antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi disebabkan karena adanya keinginan bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah Palestina. Bangsa Yahudi menganggap Palestina merupakan tanah leluhur mereka yang telah dijanjikan Tuhan dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Tanah Palestina telah di tempati oleh bangsa Arab Palestina sejak berabad-abad lamanya. Keinginan dari bangsa Yahudi untuk datang dan menetap di tanah Palestina selalu mendapat tentangan keras dari bangsa Arab Palestina, karena bangsa Arab Palestina menganggap bahwa Palestina merupakan tanah air mereka. Konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi, juga melibatkan negaranegara Arab dan Inggris yang merupakan pemegang mandat di Palestina kala itu. Pemerintahan Inggris membantu dan mendukung gerakan yang dilakukan bangsa Yahudi. Sehingga terjadi konflik antara bangsa Arab Palestina yang mendapat bantuan negara-negara Arab dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari pemerintahan Inggris.
b. Sebab-sebab Timbulnya Konflik Menurut Soerjono Soekanto (1990: 107-108) yang menunjukkan sebab atau akar dari konflik adalah: 1) Perbedaan antara individu-individu atau kelompok Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan suatu konflik diantara mereka.
xxxv
2) Perbedaan Kebudayaan Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari polapola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. 3) Perbedaan Kepentingan Perbedaan kepentingan individu atau antar kelompok baik itu berwujud kepentingan politik, ekonomi, sosial dapat pula menjadi sumber adanya konflik. 4) Perubahan Sosial Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat akan mengubah nilainilai yang ada dalam masyarakat. Karena perubahan ini menyebabkan terjadinya
golongan-golongan
yang
berbeda
pendirian
mengenai
reorganisasi dari sistem nilai. Menurut Abu Ahmadi (1975: 93), konflik biasanya ditimbulkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan. Konflik yang terjadi antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat bantuan dan dukungan dari Inggris disebabkan karena adanya kepentingan bangsa Yahudi di Palestina. Bangsa Yahudi yang tersebar ke seluruh dunia menganggap bahwa tanah Palestina merupakan tanah tuhan yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi. Bangsa Yahudi juga menganggap Palestina adalah negeri leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Sehingga menimbulkan semangat nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya yaitu Palestina. Semangat nasionalisme bangsa Yahudi juga didorong adanya paham Antisemitisme (anti bangsa Yahudi) di Eropa sehingga menimbulkan pengusiran terhadap kaum Yahudi dan perasaan Superioritas dari bangsa Yahudi (merasa unggul dibandingkan bangsa lain). Gerakan bangsa Yahudi selalu mendapat rintangan dari bangsa Arab Palestina, karena bangsa Arab Palestina menganggap bahwa tanah Palestina merupakan tanah air mereka yang sudah mereka tempati berabad-abad lamanya.
xxxvi
c. Bentuk Konflik Soerjono Soekanto (1990: 111-112) menyebutkan bahwa konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain : 1) Konflik pribadi Konflik ini berupa pertentangan antar individu yang terjadi dalam suatu hubungan sosial. 2) Konflik rasial Konflik ini terjadi karena perbedaan pada ciri-ciri fisik, perbedaan kepentingan dan kebudayaan diantara kelompok atau golongan. 3) Konflik antara kelas-kelas sosial Konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikan dengan buruh. 4) Konflik politik Konflik ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat maupun antara negara-negara yang berdaulat. 5) Konflik yang bersifat internasional Konflik ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara. Mengalah berarti mengurangi kedaulatan negara dan itu berarti kehilangan muka dalam forum internasional. K. J. Holtsi (1988: 174) menyebutkan ada enam bentuk utama dari konflik, antara lain : 1) Konflik wilayah terbatas di mana terdapat pandangan yang tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian khusus wilayah atau hak-hak yang dinikmati oleh suatu negara di atau dekat wilayah negara lain. 2) Konflik yang berkaitan dengan komposisi pemerintah. Tipe konflik ini sering mengandung nada tambahan ideologis yang kuat, maksudnya adalah menjatuhkan suatu rezim dan sebagai gantinya mendirikan satu pemerintahan yang cenderung lebih menguntungkan kepentingan pihak yang melakukan intervensi. 3) Konflik kehormatan nasional, di mana pemerintah mengancam atau bertindak untuk membersihkan pelanggaran tertentu yang telah diduga.
xxxvii
4) Imperialisme regional, di mana suatu pemerintah berusaha untuk menghancurkan kemerdekaan negara lain, biasanya demi suatu kombinasi tujuan ideologi, keamanan dan perdagangan. 5) Konflik pembebasan atau perang revolusioner yang dilakukan satu negara untuk membebaskan “ rakyat negara lain , biasanya karena alasan-alasan etnis atau ideologis. 6) Konflik yang timbul dari tujuan suatu pemerintah untuk mempersatukan suatu negara yang pecah. Menurut Ramlan Surbakti ( 1992: 243 ) konflik dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik non kekerasan. Konflik yang mengandung kekerasan biasanya terjadi dalam masyarakat negara yang belum memiliki konsensus bersama tentang dasar, tujuan negara dan lembaga pengatur atau pengendali konflik yang jelas. Pemberontakan, sabotase merupakan contoh konflik yang mengandung tidak kekerasan. Konflik yang terwujud non kekerasan biasanya terjadi pada masyarakat yang telah memiliki dasar tujuan yang jelas sehingga penyelesaian konflik sudah bisa ditangani melalui lembaga yang ada. Konflik non kekerasan biasanya berwujud perbedaan pendapat antar kelompok atau individu dalam rapat, pengajuan petisi kepada pemerintahan, dan Polemik melalui surat kabar. Konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi merupakan konflik politik yang berujung pada tindakan kekerasan dalam wujud pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Arab Palestina terhadap bangsa Yahudi yang melakukan imigrasi besar-besaran ke Palestina dan pemerintahan Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina yang mendukung gerakan yang dilakukan kaum Yahudi. Pemberontakan yang dilakukan bangsa Arab Palestina dihadapi oleh pemerintah Inggris dengan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.
d. Cara Penyelesaian konflik Ada sejumlah cara penyelesain konflik yang lazim digunakan. K.J Holtsi (1988: 185) menyebutkan ada tiga prodoser pokok untuk mengatur kompromi dan
xxxviii
keputusan, yaitu: (1) Perundingan bilateral dan multilateral di antara berbagai pihak yang terlibat langsung; (2) Mediasi, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam proses perundingan; (3) Keputusan, di mana suatu pihak independen memutuskan suatu penyelesaian melalui jenis imbalan tertentu. Menurut D. Hendropuspito OC (1989: 250-256) cara penyelesaiaan konflik yang lazim dipakai yakni: 1) Konsolidasi Konsiliasi berasal dari kata latin “conciliation” atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. 2) Mediasi Mediasi berasal dari kata latin mediation, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang perantara (mediator) 3) Abitrasi Arbitrasi berarti dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan, Arbitrasi baerbeda dengan konsiliasi dan mediasi. 4) Paksaan (Coerion) Paksaan ialah suatu cara menelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik fisik atau psikologis. Bila paksaan secara psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. 5) Detente Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegangan antara dua pihak yang bertikai. Menurut Mawasdi Rauf (2001: 8-12) penyelesaian konflik adalah usahausaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah : (1) semakin mendalamnya
xxxix
konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik ; (2) semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik yang berakibat konflik semakin mendalam dan meluas, bahkan menimbulkan disintergrasi masyarakat yang dapat menghasilkan dua kelompok masyarakat yang terpisah dan bermusuhan. Ada dua cara penyelesaian konflik yaitu : 1) Secara persuasif, yaitu menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mecari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Pihak-pihak yang berkonflik melakukan perundingan, baik antara mereka saja maupun manggunakan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator atau juru damai. 2) Secara koersif, yaitu menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihakpihak yang terlibat konflik. Cara penyelesaian konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari Inggris yang memegang mandat di Palestina sering diupayakan secara koersif yakni dengan menggunakan kekerasan fisik.
Kedua
belah
pihak
yang
berkonflik
terlibat
peperangan
guna
mempertahankan kepentingan masing-masing. Penyelesaian konflik secara persuasif atau perundingan antara kedua belah pihak juga sudah diupayakan, seperti di tahun 1936 mengeluarkan Misi Peel, Misi ini mencoba mendekati bangsa Arab Palestina akan tetapi tidak berhasil. Kemudian Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Konferensi London tahun 1939 dengan mendatangkan delegasi Yahudi dan Arab Palestina karena tidak menghasilkan suatu kemufakatan sehingga konferensi dibubarkan.
xl
e. Akibat Konflik Menurut Soerjono Soekanto (1990: 112-113) akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya pertentangan atau konflik adalah : 1) Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan bertambah erat. Mereka bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya. 2) Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut. 3) Perubahan kepribadian para individu. Pertentangan yang berlangsung di dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa tertekan, sehingga merupakan penyiksaan terhadap mentalnya. 4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu bentuk konflik yakni peperangan telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, baik dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa raga manusia. 5) Akomodasi, dominasi dan takluknya salah-satu pihak. Apabila kekuatan fihak-fihak yang bertentangan seimbang maka mungkin timbul akomodasi. Ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan fihak-fihak yang mengalami bentrok, akan menyebabkan dominasi oleh satu fihak terhadap lawan. Kedudukan fihak yang didominasi tadi adalah sebagai fihak yang takluk terhadap kekuasaan lawannya secara paksa. Menurut D. Hendropuspito OC (1989: 249), konflik fisik berupa bentrokan antara individu dengan individu, kerabat dengan kerabat, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan agama yang satu dengan yang lain, umumnya mendatangkan penderitaan bagi kedua pihak yang terlibat, seperti korban jiwa, material dan spiritual serta berkobarnya kebencian dan balas dendam. Apabila konflik terjadi di suatu negara yang terdiri dari berbagai suku
xli
bangsa dan bersifat separatif, konflik juga menghambat persatuan bangsa serta integrasi sosial dan nasional. Akibat dari konflik bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi yang mendapat dukungan dari pemerintah Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina yang sering berujung pada peperangan antara kedua belah pihak adalah jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak. Seperti, pada tahun 1929 terjadi perselisihan antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi di Tembok Ratapan. Dalam kerusuhan tersebut tercatat 133 orang Yahudi tewas dan 339 orang cedera. Sementara di pihak muslim Palestina, tercatat 110 orang tewas dan 232 orang luka-luka. Pada tahun 1948 terjadi perang Arab-Israel (Yahudi) yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa juga membawa penderitaan bagi bangsa Arab Palestina yang mengungsi ke Libanon, Yordania, Syiria dan negara-negara tetangga lainnya. Mereka meninggalkan rumah dan harta benda untuk hidup di kamp-kamp pengungsian. Konflik bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi masih berlangsung sampai saat ini.
3. Negara
a. Pengertian Negara Menurut G. Pringgodigdo yang dikutip oleh Kansil CST (1994: 12) negara ialah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi unsur-unsur tertentu, yaitu harus ada pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat, teratur sehingga merupakan suatu nation (bangsa). Sedangkan Mohammad Hatta dkk (1984 : 18) mengemukakan bahwa negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggota yang berhubungan erat satu sama lain dan merupakan masyarakat yang organis. Inu Kencana Syafiie (2003: 10) mendefinisikan negara adalah suatu kelompok persekutuan, alat organisasi kedaerahan dan kewilayahan, yang memiliki sistem politik yang melembaga dari rakyat, keluarga, desa, dan pemerintah lebih tinggi; terdiri dari orang-orang yang kuat memiliki monopili,
xlii
kewibawaan, daulat, hukum, dan kepemimpinan yang bersifat memakasa sehingga pada akhirnya memperoleh keabsahan dari luar dan dalam; selanjutnya organisasi ini memiliki kewenangan untuk membuat rakyatnya tentram, aman, terkendali di satu pihak dan dipihak lain melayani kesejahteraan dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dikutip oleh Winarno (2006: 35) negara mempunyai dua pengertian sebagai berikut : a. Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. b. Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai satu kesatuan politik, kedaulatan sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Menurut Hegel yang dikutip oleh Marsillam Simanjuntak (1997: 168) bahwa negara adalah aktualisasi kehendak dari kesadaran universal, yang ke dalamnya telah bersatu dan menjadi satu, seluruh kehendak masing-masing yang khusus (kesadaran partikular) dari perorangan. Menurut Miriam Budiardjo (2004: 38-39) Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Menurut Eksiklopedie Britnica yang dikutip oleh Frans S. Fernandes (1988: 7) negara merupakan suatu organisasi sosial politik, atau suatu badan politik atau suatu lembaga pemerintahan. Menurut Sudarisman Purwokusumo (1950: 6) negara adalah suatu susunan masyarakat yang teratur untuk menyempurnakan masyarakat. Jadi adanya negara, oleh adanya masyarakat dan adanya masyarakat oleh peranan adanya orang. Memang negara bukan hanya menjadi tujuan, melainkan dengan membentuk suatu negara ini akan dipakai sebagai alat (Middel) untuk menyempurnakan hubungan antara individu dan masyarakat Dari berbagai pendapat tentang pengertian negara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang terorganisasi mempunyai lembaga pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menetapkan
xliii
tujuan-tujuan nasionalnya. Tokoh-tokoh Zionisme ingin mendirikan suatu negara (kediaman nasional “a national home”) buat orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia. Wilayah yang mereka kehendaki adalah tanah Palestina. Di Palestina mereka ingin membentuk negara bagi orang-orang Yahudi yang tersebar diseluruh dunia sebagai tempat mengatur diri dan mempertahankan identitas spiritual, religius, dan nasionalnya.
b. Unsur-unsur Negara Menurut Miriam Budiardjo (2004: 42-45) negara terdiri dari beberapa unsur yang dapat diperinci sebagai berikut : 1) Wilayah Setiap negara menduduki tempat tertentu di muka bumi dan mempunyai perbatasan tertentu. Kekuasaan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi laut di sekelilingnya dan angkasa di atasnya. 2) Penduduk Setiap negara mempunyai penduduk, dan kekuasaan negara menjangkau semua penduduk di dalam wilayahnya. Dalam mempelajari soal penduduk ini, maka perlu diperhatikan faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat pembangunan, tingkat kecerdasan, homogenitas, dan masalah nasionalisme. 3) Pemerintahan Setiap negara mempunyai suatu organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputuisan-keputusan ini antara lain berbentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lain. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dalam negara. 4) Kedaulatan Kedaulatan adalah kekuasaan yang yang tertinggi untuk membuat undangundang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi ini untuk
xliv
memaksa semua penduduknya agar mentaati undang-undang serta peraturan-peraturannya (kedaulatan kedalam). Di samping itu negara mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-serangan dari negara lain dan mempetahankan kedaulatan ke luar. Untuk itu negara menuntut loyalitas dari warga negaranya. Menurut Inu Kencana Syariie (2003: 10-13) ada empat unsur negara di dunia yang wajib dipenuhi, yaitu sebagai berikut : 1) Adanya wilayah Wilayah adalah daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat yang dapat dimanfaatkan mulai dari darat, laut dan udara, baik yang sifatnya fisik atau non fisik. 2) Adanya pengakuan Adanya pengakuan dari dalam dan luar negeri tentang eksisnya suatu negara adalah sangat penting, bagaimana jadinya suatu negara yang sah tidak diakui. Ada dua jenis pengakuan, yaitu dari dalam negeri sendiri dan dari luar negeri. 3) Adanya Pemerintahan Apabila tidak dibentuk pemerintahan dalam suatu negara maka masyarakat akan seenaknya bertindak tanpa hukum (anarkis). Dalam arti luas pemerintahan adalah eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga tinggi lainnya, sedangkan dalam arti sempit hanyalah lembaga eksekutif. 4) Adanya rakyat Rakyat adalah keseluruhan orang-orang baik yang berada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri dan mempunyai hak pilih atau dicabut hak pilihnya untuk waktu tertentu, atau belum mempunyai hak pilih karena persyaratan tertentu. Dalam pendirian suatu negara harus memperhatikan beberapa unsur-unsur negara. Para tokoh zionisme dalam upayanya membangun negara Yahudi memilih suatu wilayah yaitu Tanah Palestina. Bangsa Yahudi menganggap Palestina adalah negeri leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di
xlv
negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Suatu negara pastilah mempunyai wilayah yang merupakan tempat tinggal dari manusia warga negara tersebut. Karena tidak bisa tidak setiap negara harus ada wilayahnya. Selanjutnya para tokoh zionisme mendorong orang-orang Yahudi yang melakukan imigrasi besar-besaran ke Palestina, karena negara dibentuk oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan bersama, oleh karenannya dapat dikatakan bahwa tidak ada negara tanpa manusia. Manusia yang merupakan anggota dari suatu negara itulah yang kita sebut dengan penduduk atau lebih tepatnya rakyat atau warga negara.
c. Tujuan Negara Tujuan negara menurut Charles E. Merriam yang di kutip oleh Isjwara (1982: 174-176) adalah sebagai berikut : 1) Keamanan eksteren Dengan
keamanan
eksteren
dimaksudkan
seluruh
tugas-tugas
perlindungan negara terhadap serangan-serangan dari luar terhadap kelompok sendiri. 2) Ketertiban intern Pemeliharaan ketertiban intern dimaksudkan sistim dalam mana dapat diadakan perkiraan-perkiraan yang layak tentang apa yang akan dilakukan dalam bidang sosial dan siapa yang akan melakukannya. Dalam masyarakat yang tertib terdapat pembagian kerja dan tanggung jawab atas pelaksanaan peraturan-peraturan pada segenap funksionaris negara, terdapat pula badan-badan, prosedur-prosedur dan usaha-usaha yang di mengerti oleh seganap warga negara dan dianggap dilaksanakan untuk memajukan kebahagiaan bersama. 3) Keadilan Keadilan dalam sistem di mana terdapat saling pengertian dan prosedurprosedur yang memberikan kepada setiap orang yang telah disetujui dan telah dianggap patut. Keadilan mengumpamakan adanya sistim nilai dalam
xlvi
perhubungan individu, agar setiap orang memperoleh bagiannya berdasarkan nilai-nilai itu. 4) Kesejahteraan umum Menurut Charles E. Merriam pengertian kesejahteraan ini meliputi keamanan, ketertiban, keadilan,dan kebebasan. Tetapi lebih daripada itu, kesejahteraan meliputi jaga tugas-tugas preventif seperti pencegahan ancaman-ancaman bahaya alam meliputi juga seperti kelaparan, banjir, kebakaran dan lain-lain. 5) Kebebasan Yang dimaksud dengan kebebasan ialah kesempatan mengembangkan dengan kebebasan dengan bebas hasrat-hasrat individu akan ekspresi kepribadiannya yang harus disesuaikan dengan gagasan kemakmuran umum. Kebebasan bukan hanya tujuan tersendiri, tetapi juga alat untuk mencapai sesuatu, yaitu kemampuan untuk mengembangkan kepribadian individu. Menurut CST Kansil (1994: 19-20) ada beberapa tujuan negara, antara lain: 1) Di dalam teori kenegaraan kelompok pertama dari teori mengenai tujuan negara ialah yang menganggap tujuan negara adalah memperoleh, mencapai, mempertahankan kekuasaan orang atau kelompok yang berkuasa. Jadi tujuan negara ialah kekuasaan. 2) Yang kedua ialah kelompok teori-teori yang mengutamakan kemakmuran “negara”, bahwa yang penting adalah negara. Negara itu adalah tujuan sendiri, dan bukan alat untuk mencapai kemakmuran rakyat. 3) Yang ketiga ialah kelompok teori-teori mengutamakan kemakmuran orang seorang (individu). Kebebasan untuk mencapai kemakmuaran ini dijamin dengan undang-undang. Jadi ada kebebasan sepenuhnya untuk mencapai kemakmuran tanpa memperhatikan yang tidak mampu. 4) Yang keempat ialah kelompok yang mengutamakan kemakmuran rakyat dicapai secara adil, sebagai tujuan bernegara.
xlvii
Menurut Philipus, Ng dan Nurul Aini (2004: 301) Tujuan negara yang utama adalah memenuhi kebutuhan yang banyak yang tidak dapat dipenuhi sendiri
secara
individual.
Selain
itu,
negara
juga
bertujuan
untuk
menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warganegaranya. Dalam Mariam Budiarjo (2004: 45), menurut Roger H. Soltau tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya cipta sebebas mungkin. Dan menurut Harold J. Laski tujuan negara menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal. Pendirian negara Yahudi di Palestina karena ingin menyatukan kembali orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia. Pada akhir abad ke 19 muncul Paham Antisemitisme (anti bangsa Yahudi) khususnya di Eropa. Gerakan Antisemitisme ini mendorong munculnya nasionalisme orang-orang Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya yaitu tanah Palestina. Gerakan Antisemitisme masyarakat Eropa itu menimbulkan tekanan-tekanan terhadap bangsa Yahudi yang tinggal disana, antara lain : mereka ada yang di buang untuk bisa keluar dari negara, dimasukkan ke penjara, penganiayaan, disita harta bendanya dan bahkan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi. Sehingga tujuan dari berdirinya negara Yahudi Israel adalah untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan (keamanan, ketertiban, keadilan, dan kebebasan) bagi orang-orang Yahudi yang mendapat perlakuan yang kurang baik di negara-negara yang ditempatinya dulu.
4. Primordial
Menurut Clifford Geertz (1992: 82) etnis asing di setiap Negara di bedakan menurut teori primordial, yaitu suatu teori yang membedakan masyarakat-masyarakat/ penduduk-penduduk/ bangsa-bangsa dengan penduduk pribumi berdasarkan ikatan darah yang diterima, ras, bahasa, daerah, agama dan adat istiadat. Menurut Winarno (2006: 33) faktor primordial meliputi: ikatan kekerabatan (darah dan keluarga), kesamaan suku bangsa, daerah asal (homeland),
xlviii
bahasa dan adat istiadat. Faktor primordial merupakan identitas yang menyatukan masyarakat sehingga mereka dapat membentuk bangsa- negara. Menurut Maswadi Rauf (2001: 62), kelompok primordial adalah kelompok yang lebih besar dari keluarga yang lebih kecil dari bangsa yang didasarkan atas ikatan primordial, sedangkan ikatan primordial adalah keterikatan seseorang terhadap kelompoknya yang didasarkan atas nilai-nilai yang given (yang telah terbentuk dan diterima sebagaimana adanya campur tangan orang bersangkutan) yang di sebabkan hubungan darah dan persamaan dalam hal agama, suku, bahasa, asal daerah dan adat istiadat. Menurut Clifford Geertz (1992: 79), ikatan primordial dimaksudkan sebagai ikatan yang berasal dari “unsur-unsur bawaan” atau lebih persis lagi, karena kebudayaan tak bisa tidak mencakup soal-soal semacam itu, “unsur-unsur bawaan” yang diandaikan dari kehidupan sosial: hubungan langsung terutama hubungan kekerabatan, namun melampui itu keadaan bawaan yang berasal dari keadaan terlahir ke dalam sebuah komunitas religius tertentu, bertutur dengan sebuah kata tertentu atau bahkan suatu dialek bahasa tertentu dan mengikuti praktek-praktek sosial tertentu. Kesesuaian-kesesuaian darah, tuturan, dan adatkebiasaan memiliki sesuatu kekuatan yang memaksa. Clifford Geertz (1992: 82) mengelompokkan ikatan primordial menjadi enam, yaitu : 1) Ikatan-ikatan darah yang diterima. Unsur yang mengidentifikasi adalah kuasi-keluarga. “Kuasi” karena unitunit kekeluargaan yang terbentuk di sekitar hubungan biologis yang dikenali (keluarga-keluarga yang diperluas, silsilah-silsilah) terlalu kecil bahkan bagi ikatan tradisi yang paling erat untuk memandang unit-unit itu sebagai suatu yang memiliki lebih daripada makna terbatas, dan akibatnya pada sebuah pandangan tentang kekeluargaan yang tak dapat ditelusuri namun masih nyata secara sosiologis, seperti dalam sebuah suku. 2) Ras Ras serupa dengan kekeluargaan yang diterima, sehingga ras mencakup sebuah teori etnobiologis. Acuannya pada ciri-ciri fisis yang bersifat
xlix
fenotipis, khusus warna kulit, bentuk muka, sosok, jenis rambut dan seterusnya. 3) Bahasa Bahasa dalam setiap bangsa itu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahasa dapat dipegang sebagai poros yang sama sekali hakiki bagi konflik-konflik kebangsaan. Seperti kekeluargaan, ras dan faktor-faktor lain,perbedaan bahasa pada sendirinya pasti bersifat memecah belah. 4) Daerah Merupakan sebuah faktor yang hampir ada dimana-mana, daerah-isme (regionalisme) sebenarnya cenderung sangat mengganggu di dalam daerah-daerah yang secara geografis heterogen. 5) Agama Agama sebagai pegangan hidup yang selalu dapat dijadikan benteng suatu konflik atau pun sebaliknya dapat juga menjadikan timbulnya konflik. Konflik agama dalam negara dapat menghancurkan atau menghambat jalannya pemerintahan. 6) Adat-istiadat Perbedaan-perbedaan dalam adat-istiadat membentuk suatu basis untuk sejumlah keterpecahan nasional tertentu dan secara khusus mencolok dalam kasus-kasus di mana sebuah kelompok yang secara intelektual atau secara artistik agak rumit melihat dirinya sebagai pengemban sebuah “peradaban” di tengah-tengah suatu penduduk yang sebagian besar bersifat biadab yang akan menjadikan dirinya sebagai contoh. Primordial
mengandung
nilai
solidaritas
terhadap
kelompoknya.
Kelompok yang didasarkan atas persamaan ras atau suku dan agama sudah dapat dikategorikan sebagai ikatan primordial. Persamaan bahasa, adat istiadat dan kedaerahan sebagai sifat dari kelompok primordial. Nilai agama sebenarnya sedikit berbeda dari ras atau suku, karena seseorang dapat memilih agama sesuai keyakinannya tidak harus seagama dengan keluarga dimana seseorang dilahirkan. Nilai agama berbeda berbeda dengan nilai budaya meskipun nilai agama terdapat
l
unsur budaya, tetapi agama mempunyai nilai yang berasal dari Tuhan yang tidak dihasilkan dari interaksi sosial. Menurut Geertz dalam Maswadi Rauf (2001: 62) sifat-sifat alamiah dari ikatan suku atau ras dari sifat-sifat alamiah dari ikatan agama, sebenarnya ada perbedaan antara keduanya dalam hal sumber loyalitas atau kesetiaan. Pada kedua ikatan primordial tersebut membentuk sentimen dan loyalitas primordial yang atas dasar ras atau suku ditimbulkan karena adanya persamaan nilai-nilai budaya. Semua persamaan akan menghasilkan solidaritas yang amat kuat diantara anggota-anggota yang membuat mereka bersedia membela kelompok mereka dengan pengorbanan apapun. Dalam kelompok primordial atas agama , solidaritas ditimbulkan oleh persamaan keimanan kepada Tuhan dan kepercayaan kepada ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh agama. Keyakinan akan kebenaran ajaran agama menghasilkan solidaritas diantara penganut agama bersangkutan yang menimbulkan kerelaan untuk membela agama tersebut dari ancaman kelompok lain dengan pengorbanan apa pun. Solidaritas dalam kelompok primordial menghasilkan fanatisme kesetiaan yang amat kuat kepada kelompok dan anggota-anggota kelompok serta penghormatan yang tinggi terhadap nilai budaya kelompok. Fanatisme ini memperkuat integrasi kelompok, namun sebaliknya, mempermudah terjadinya konflik dengan orang lain diluar kelompok dengan sepenuh hati, bahkan tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri. Oleh karena itu pengorbanan baik harta atau maupun nyawa, dapat saja terjadi. Itu terjadi dengan kesadaran dan tanpa paksaan. Bangsa Yahudi merupakan suatu bangsa yang tersebar di seluruh penjuru dunia akan tetapi pada 14 Mei 1948 berhasil mendirikan negara di tanah Palestina yaitu negara Israel. Faktor primordial merupakan identitas yang menyatukan orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia sehingga mereka dapat membentuk bangsa-negara (bangsa Yahudi membentuk negara Israel). Faktorfaktor primoldial ini meliputi Pertama, bangsa Yahudi merupakan suatu bangsa yang merupakan keturunan dari bani Israel (Yakub) sehingga mereka merasa satu keluarga (ikatatan kekerabatan ”darah dan keluarga”). Kedua, bangsa Yahudi
li
baranggapan bahwa tanah palestina merupakan tanah leluhurnya (daerah asal ”homeland”). Ketiga, orang-orang Yahudi adalah penganut agama Yahudi, orang Yahudi beranggapan bahwa di tanah palestina mereka dapat menghidupkan nilainilai religiusnya (Agama ”kepercayaan”). Keempat orang Yahudi mempunyai bahasa yang dari jaman Yakub sudah digunakan oleh orang-orang Yahudi yaitu bahasa Ibrani, sehingga mereka ingin menghidupkan kembali bahasa Ibrani di tanah leluhurnya palestina (Bahasa). Dari hal tersebut maka timbul solidaritas dan kesetiaan dari bangsa Yahudi untuk mendirikan sebuah negara di tanah Palestina.
B. Kerangka Berpikir
Tanah Palestina
Bangsa Yahudi
Diaspora
Bangsa Arab Palestina
Bangsa Yahudi Tersebar di Seluruh Dunia
Nasionalisme Bangsa Yahudi
Zionisme
Berdirinya Negara Israel Tahun 1948
lii
Deklarasi Balfour
Mandat Palestina Kepada Inggris
Keterangan : Tanah Palestina pada awalnya memang pernah menjadi tempat tinggal bangsa Yahudi. Dengan berlalunya waktu, tanah Palestina pernah berada di bawah kekuasaan beberapa kerajaan. Pada saat tanah Palestina di bawah kekuasaan bangsa Babilonia dan Romawi, kaum Yahudi mengalami pengusiran besarbesaran dari Palestina, mulailah bangsa Yahudi bersebaran kemana-mana, banyak dari orang-orang Yahudi yang keluar meninggalkan tanah Palestina untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran ke negara-negara lain (Diaspora). Beberapa abad setelah itu, kekuasaan bangsa Romawi berhasil di taklukan oleh ‘Umar ibn al-Chattab ra kemudian Palestina menjadi tanah air orang Islam (bangsa Arab). Karena dilatar belakangi oleh rasa superioritas dan adanya gerakan anti Semitisme di Eropa, maka muncullah rasa Nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke negeri asalnya Palestina. Bangsa Yahudi beranggapan tanah Palestina adalah tanah leluhur bangsa Yahudi dan tempat kelahirannya dalam arti bahwa di negeri itu bangsa Yahudi membentuk identitas spiritual, religius, dan nasionalnya. Untuk merealisasikannya, pada tahun 1897 berlangsung konggres Yahudi sedunia yang pertama di Basel Swiss. Dalam konggres itu para pemimpin bangsa Yahudi sedunia sepakat untuk mendirikan gerakan Zionisme. Pencetus ide Zionisme adalan Theodore Herzel. Gerakan Zionisme mencita-citakan berdirinya sebuah negara bagi kaum Yahudi di tanah Palestina. Pada waktu meletus Perang Dunia I, Inggris menghadapi musuh-musuh yang tangguh, yakni Jerman, Turki dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam blok sentral. Pada kala itu kawasan Timur Tengah berada di bawah kekuasan Turki (Utsmaniah). Untuk melumpuhkan gerakan tentara Turki di medan perang, Inggris membujuk bangsa Arab mengangkat senjata terhadap Turki dan berperang di pihak Inggris (sekutu). Inggris berjanji untuk membebasakan Palestina dan negara-negara Arab dari perbudakan Turki serta memberi kemerdekaan kepada negara-negara Arab termasuk Palestina. Meskipun sudah dua setengah tahun peperangan berjalan akan tetapi Jerman dan Turki belum dapat dikalahkan. Inggris berusaha melibatkan Amerika Serikat ke dalam perang dan berada dipihaknya. Inggris mengetahui bahwa Amerika Serikat sangat di pengaruhi oleh
liii
anasir Yahudi dan Inggris mengetahui pula bangsa Yahudi dengan gerakan Zionismenya mempunyai keinginan di Palestina. Untuk memikat hati bangsa Yahudi pada tanggal 2 November 1917 Inggris mengeluarkan Balfour Deklaration (Deklarsi Balfaur). Di dalam deklarasi itu pemerintah Inggris berjanji akan sekuat-kuatnya untuk mendirikan kediaman nasional ”national home” bagi kaum Yahudi di Palestina. Pasca Perang Dunia I, Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah. Pada tanggal 24 April 1920, konggres perjanjian sedunia yang diselenggarakan di Sanremo Italia menetapkan Palestina menjadi daerah mandat Inggris. Setelah Palestina di bawah kekuasaan mandat Inggris lebih banyak arus imigran bangsa Yahudi ke tanah Palestina dan banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh
Inggris
dalam
menanggapi
masalah
Zionisme
yang
menguntungkan pihak Yahudi. Karena makin banyaknya arus imigrasi orangorang Yahudi ke Palestina dan kebijkan-kebijakan Inggris yang sangat membantu Yahudi dalam mendirikan suatu kediaman nasional ”national home” di tanah Palestina,
menimbulkan
kecemasan
dikalangan
rakyat
Arab
Palestina.
Menanggapi masalah tersebut rakyat Arab Palestina melakukan aksi-aksi yang ditujukan untuk Pemerintah Inggris dan orang Yahudi. Aksi-aksi itu juga berkembang menjadi konflik antara rakyat Palestina dengan pemerintah Inggris maupun orang Yahudi. Aksi-Aksi yang dilakukan oleh rakyat Arab Palestina itu selalu mendapat tekanan dan ditindas oleh Inggris dengan kekuatan senjata. Dengan ini baik langsung maupun tidak langsung Inggris memberi jalan kearah terbentuknya negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948.
liv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian Dalam penelitian yang berjudul “Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920-1948”, penulis melaksanakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat penelitian, yaitu: 1. Perpustakaan Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 2. Perpustakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta 4. Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta 5. Perpustakaan Monumen Press Surakarta 6. Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta. 7. Perpustakaan Islam Surakarta
2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk penelitian ini dimulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu bulan Maret 2009 sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Oktober 2009.
B. Metode penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah selalu diperlukan suatu metode tertentu yang berkaitan dengan obyek atau pemasalahan yang akan diteliti. Metode berasal dari kata Yunani “methodos” yaitu jalan sampai dan “hodos”yang berarti jalan. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan
lv
dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian (Kartini Kartono, 1990: 20). Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 43) metode berarti cara, jalan, atau cara petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Dalam kamus The New Lexion Webster’s Dictionary of the English Language, metode adalah suatu cara untuk berbuat sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu; keteraturan dalam berbuat, berencana (Helius Sjamsuddin, 2007: 13). Menurut Helius Sjamsudin (2007: 13) metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyilidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti. Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920-1948. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Berdasarkan metode sejarah penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Louis Gottschalk (1975: 32) mengemukakan bahwa metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43), bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Menurut Lucey yang dikutip Helius Sjamsudin dan Ismaun (1996: 16), metode sejarah adalah seperangkat sistem yang berisi asas-asas atau normanorma, aturan-aturan dan prosedur, metode dan teknik yang harus diikuti untuk mengumpulkan segala kemungkinan saksi mata (witness) tentang suatu masa atau peristiwa, untuk mengevaluasi kesaksian (testimony) tentang saksi-saksi tersebut, untuk menyususun fakta-fakta yang telah diuji dalam hubungan-hubungan
lvi
kausalnya dan akhirnya menyajikan pengetahuan yang tersusun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Kesimpulannya, metode sejarah merupakan metode pemecahan masalah lewat pengumpulan sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pemakaian metode sejarah akan membantu memahami kejadian masa lalu, kemudian diuji dan dianalisis secara kritis. Setelah itu dibuat sintesis dari sumber sejarah dalam bentuk tertulis agar dapat dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber sejarah sering kali disebut juga “data sejarah”. Perkataan “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum” (bahasa Latin), yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94 dalam Dudung Abdurahman, 1999: 30). Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian (Dudung Abdurahman, 1999: 30). Menurut Helius Sjamsudin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Helius Sjamsuddin (2007: 95) mengemukakan bahwa sumber sejarah yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Adapun macam-macam sumber sejarah itu dapat dibedakan menurut bahannya, asal usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis. Sumber-sumber demikian menurut asal usul atau urutan penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Menurut
lvii
tujuannya, sumber-sumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber formal dan informal (Dudung Abdurahman, 1999: 31). Sumber tertulis dibedakan menjadi sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis Gottschalk (1975: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada paristiwa yang diceritakan. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumber sejarah yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Dalam penelitian ini, digunakan sumber tertulis sekunder yang berupa buku-buku yang ditemukan di dalam perpustakaan-perpustakaan tempat penelitian dilakukan, karena sumber primer ditemukan dalam jumlah terbatas. Disamping itu, banyaknya sumber primer yang berada di negara lain, sehingga tidak mampu dijangkau. Hal ini disebabkan adanya kendala yaitu jauhnya mendapatkan sumber primer. Dalam penelitian ini lebih banyak digunakan sumber sekunder, antara lain: (1) Berebut Tanah Suci Palestina, karangan Abu Bakar, (2) Perbandingan Agama Yahudi, karangan Ahmad Shalaby terjemahan A Wijaya, (3) Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, karangan George Lenczowski, (4). Tragedi Palestina, karangan M. Nur El Ibrahimy, (5) Israel dan Praktek-praktek Zionisme, karangan R.Garaudy, (6) Terorisme Dalam Otak Zionis, karangan Ismail Yaghi terjemahan Asep Muhadin, (7). Palestina 1 ”Zionisme dan Terosisme Israel, karangan Harun Yahya, (8) Perang Suci ”Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk”, karangan Karen Armstrong terjemahan Hikmat Darmawan, dan sebagainya
lviii
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka. Studi pustaka ini diperlukan peneliti untuk menggali teori-teori yang telah ada, agar memperoleh orientasi yang luas dalam permasalahan yang dipilih. Menurut Koenjaraningrat (1986: 19), keuntungan dari studi pustaka adalah: 1) memperdalam pengetahuan tentang masalah yang dipilih, 2) menegaskan landasan teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran, 3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan, 4) menghindari terjadinya pengulangan dari suatu penelitian. Penelitian perpustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang perpustakan, misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-dokuman dan lain-lain (Kartini Kartono, 1990: 33). Data tersebut berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas dalam penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi maka peneliti juga bisa memanfaatkan internet dalam rangka studi pustaka untuk mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan dengan sistem kartu atau menggunakan katalog dengan cara mencatat beberapa sumber tertentu mengenai masalah yang diteliti dengan mencantumkan keterangan mengenai nama pengarang, judul buku maupun subyek yang dicari. Oleh karena itu perlu mengingat kata kunci yang terdapat dalam subyek yang dibahasnya sehingga dapat menemukan buku dan artikel yang dimaksud dalam katalog. Selanjutnya dilakukan teknik resume yaitu membaca dan memahami sumber-sumber yang ditemukan di perpustakaan, membuat catatan-catatan penting serta membuat ringkasan hal-hal yang relevan dengan pemasalahan yang diteliti. Sumber yang berupa buku-buku dapat dipinjam di perpustakaan-perpustakaan tempat melakukan penelitian, sedangkan sumber-sumber yang tidak bisa dipinjam,
lix
peneliti memfotocopynya. Dengan demikian diperoleh data yang akan digunakan dalam penulisan skipsi ini.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurahman (1999: 64), Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun keduanya, analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Nugroho Notosusanto (1978: 38) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumbersumber yang dibutuhkan guna mengadakan penulisan sejarah. Berkhofer dalam Alfian yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 64) berpendapat bahwa analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teoriteori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Backer fakta-fakta sejarah dapat dibedakan menjadi; (a) faktafakta keras (hard facts), yaitu fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya; dan (b) fakta-fakta lunak (cold facts), fakta-fakta yang belum dikenal dan masih perlu diselidiki kebenarannya (Dudung Abdurahman, 1999: 39). Di dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti melakukan analisis data dan membandingkan data satu dengan yang lain sesuai data yang diinginkan sehingga didapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar relevan, fakta-fakta itu kemudian di seleksi, diklarifikasi dan ditafsirkan, baru kemudian merangkaikan fakta-fakta tersebut untuk dijadikan bahan penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.
lx
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu persiapan membuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan: 1. Heuristik Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penulisan sejarah yaitu heuristik. Heuristik berasal dari kata Yunani heurisheim, artinya memperoleh. Menurut G. J. Renier yang dikutip oleh Dudung Abdurhman (1999: 55), heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Oleh karena itu heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum. Heuristik sering kali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan memperinci bibliografi, atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan Pada tahap ini diusahakan untuk mencari dan mengumpulkan sumbersumber yang sesuai dengan penelitian. Sumber-sumber tersebut berupa buku-buku literatur, majalah, sumber tertulis lain yang peneliti gunakan untuk penelitian sesuai dengan tema “Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920-1948”.
lxi
2. Kritik Setelah data berhasil dikumpulkan, maka tahap berikutnya ialah kritik sumber. Kritik sumber adalah kegiatan dalam metode historis untuk memilih, menyeleksi, meneliti, mengidentifikasi, menilai, dan membandingkan sumber sejarah yang akan digunakan dalam penulisan sejarah secara kritis. Kritik terhadap sumber sejarah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ektern dan kritik intern. Kritik ekstern dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui sumber tersebut asli atau tidak (ountentisitas), dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menyeleksi bentuk fisik sumber data sejarah. Aspek fisik yang dimakud disini adalah bahan yang digunakan, teks, tahun dan tempat penulisan atau penerbitan suatu orisinalitas penulisan. Kritik intern digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan sumber dapat dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern digunakan untuk menguji kredibilitas sumber (kesahihan sumber), apakah isinya dapat dipercaya kebenarannya. Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain (studi komparatif). Kebenaran isi dari sumber dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Langkah yang ditempuh untuk menyoroti pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksianya dapat dipercaya. Hasil dari kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan interprestasi.
3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut juga dengan analisa sejarah. Analisis sejarah itu sendiri bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta sejarah bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Kegiatan interpretasi dalam penelitian ini
lxii
menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodesasi sejarah. Fakta yang telah diseleksi dihubungkan satu sama lain sehingga fakta tersebut menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh. Dalam melakukan interpretasi peneliti menghilangkan unsur subyektifitas yang disebabkan data yang diperoleh dari berbagai buku dengan cara membandingkan sumber yang satu dengan yang lain yang bersifat obyektif. Dalam tahap ini langkah-langkah yang dilakukan adalah membaca bukubuku yang berisi tentang peristiwa yang berkaitan dengan penelitian, kemudian dimulai mencari faktor-faktor yang tidak relevan. Terakhir disimpulkan dan ditafsirkan semua hasil data yang telah dibuat untuk dihubungkan antara sumber yang satu dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian menjadi satu fakta sejarah.
4. Historiografi Historigrafi merupakan langkah terakhir dalam penulisan sejarah. Dudung Abdurrahman (1999: 67) menyatakan bahwa historiografi sebagai cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Dalam kegiatan ini sumber-sumber sejarah dikumpulkan, dianalisis, ditafsir dan dirangkaikan dengan menggunakan bahasa ilmiah, komunikatif dan efektif yang berwujud skripsi berjudul “Peranan Inggris Dalam Pembentukan Negara Israel di Tanah Palestina Tahun 1920-1948”.
lxiii
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Perkembangan Nasionalisme Bangsa Yahudi
1. Sejarah Singkat Bangsa Yahudi Bangsa Yahudi atau Israel merupakan cabang rumpun keluarga Semit. Rumpun lain keluarga Semit adalah bangsa Babilonia, Abissinia, Kaldea, Assiria, Aramia, Phoenesia, dan Arab. Semit adalah saudara dari Ham, leluhur bangsabangsa Afrika yang juga bersaudara dengan Yaphet anak tertua nabi Nuh yang menjadi leluhur bangsa di Eropa. Dibandingkan Israel atau Yahudi, bangsa Arab merupakan rumpun keluarga paling kentara identitas Semit nya, baik dari segi bahasa, ciri-ciri fisik, maupun budaya. Namun istilah anti Semit, yang muncul di belahan benua Eropa dan Amerika, lebih dimaksudkan sebagai kebencian terhadap bangsa Israel Yahudi, tidak meliputi Abissinia, Arab dan lainnya. Bangsa Semit ini mendiami daerah-daerah di kawasan Timur Tengah, terutama daerah bulan sabit subur masa sekarang, mereka adalah penduduk Yaman, Arab Saudi, Irak, Syria, Libanon, Yordania, Mesir dan negara lainnya (Abu Bakar, 2008: 10). Bangsa Yahudi atau Israel juga dikenal dengan nama Ibrani, Ibri dan Hebrew. Menurut sejumlah ahli sejarah, Ibrani barasal dari bangsa Arab ’Abara, yang berarti melakukan pejalanan melalui lembah atau sungai. Para sarjana telah bersepakat bahwa nama Ibrani merujuk pada sebuah rumpun keluarga anak keturunan nabi Ibrahim. Alasannya, salah satu anak keturunan Ibrahim yaitu Ishak beserta keluarganya gemar melakukan pengembaraan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melalui arti inilah Ibrani memiliki kesejajaran makna dengan Badui di gurun pasir (Abu Bakar, 2008: 9-10). Dalam sejarah dunia, Nabi Ibrahim dianggap sebagai bapak dari bani Ishak (kemudian bani Israel) dan bani Ismail (kini bangsa Arab). Nabi Ibrahim pada mulanya berasal dan tinggal di desa Ur di wilayah Khaldea (Irak Selatan). Beliau meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke arah barat sampai tiba di wilayah Kana’an (orang-orang Romawi kemudian menamakan Palestina). Di
lxiv
tanah air yang baru itu beliau bertemu dengan penduduk pribumi, yakni suku bangsa Ammonit, Kanaan, Filistin dan lain-lain. Nabi Ibrahim serta pengikutpengikutnya disebut orang ”Ibri” (orang sebrang perantau) atau juga orang ”Ibrani” yang berasal dari dua patah kata ”ibr nahrain” yang artinya menyeberangi dua sungai, yakni sungai-sungai Eufrat dan Tigris (Chefik Chehab, 1980: 6). Nabi Ishak kemudian berputera Nabi Ya’qub, Nabi Ya’qub diberi gelar Israel, sehingga anak cucu Nabi Ya’qub kelak dipanggil dengan bani Israel. Diantara keturunan nabi Ya’qub adalah nabi Yusuf. Setelah nabi Yusuf menjadi pembesar di Mesir menjadi pejabat kementerian urusan ekonomi dalam kerajaan Fir’aun, Nabi Ya’qub beserta seluruh keluarganya hijrah ke Mesir. Di Mesir mereka mengalami kemajuan dan perkembangan, baik dari segi jumlah orang, maupun kekayaan dan kedudukan. Setelah Nabi Yusuf meninggal dunia, kondisi sosial dan ekonomi mereka yang semula terhormat mulai bergeser, karena mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta jauh dari syariat Nabi Yusuf. Kerajaan Mesir yang tadinya mereka kuasai, diambil alih kembali oleh penduduk asli Mesir. Sejak itulah bangsa Yahudi mengalami nestapa, mereka diperbudak berabad-abad lamanya oleh bangsa Hykhos ”nama suku dari Asia” dan bangsa Mesir sendiri. Sesuai dengan kehendak Allah kemudian Nabi Musa lahir, Musa keturunan bani Israel dari suku Levi, beliau menjadi putra angkat Fir”aun sampai menginjak dewasa. Karena membunuh orang Mesir untuk membela orang Yahudi, Nabi Musa melarikan diri ke Madyan dan menikah dengan seorang puteri Nabi Syu’aib. Setelah selama sepuluh tahun bersama keluarga besar Nabi Syu’aib, beliau kembali ke Mesir, sebagai seorang rasul yang diutus Allah kepada bani Israel. Nabi Musa pun berdakwah menyebarkan risalah agama Ibrahim, sampai beliau bersama sejumlah pengikutnya harus hijrah kembali ke Palestina, karena dibawah perintah Fir’aun Ramses II berkehendak membersihkan keturunan bani Israel dari Mesir (http://kaunee.com/2009/03/09). Nabi Musa beserta pengikutnya meninggalkan negeri itu untuk menyelamatkan diri dari dari kejaran Fir’aun Ramses II dan bala tentaranya menuju Palestina. Ketika nabi Musa wafat, mereka belum bisa memasuki pintu
lxv
wilayah Palestina. Fakta sejarah menunjukkan bahwa hampir dua ratus tahun (1210 SM – 1000 SM) bangsa Yahudi menderita di tengah padang Tiih (kawasan tidak bertuan) dan sekitarnya. Pada masa Nabi Daud, orang-orang Yahudi bisa memasuki tanah Palestina dan menguasai Yerusalem kira-kira pada tahun 1000 SM, setelah mengalahkan bangsa Ammonit (Amaliqah) dan Filistin dari negeri Palestina. Nabi Daud berserta putranya Nabi Sulaiman berhasil mendirikan kerajaan di Palestina. Kerajaan purba inilah yang sekarang dijadikan alasan historis untuk mengeklaim sahnya negara Yahudi di Palestina sekarang (William G. Carr 1991: 14). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan di Palestina. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari sungai Nil di Selatan hingga sungai Eufrat di negara Syiria sekarang. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara luar biasa (kuil Sulaiman). Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Setelah kematian Sulaiman, Kerajaan Yahudi terbelah menjadi dua di utara Israel dengan ibukota Samarria dan di Selatan dengan Ibukota Yerusalem (http://blogspot.com /2009/03/09). Berlalunya waktu, tanah Palestina jatuh di bawah kekuasaan kerajaankerajaan lain. Dalam sejarah tercatat bahwa beberapa kali bani Israel (keturunan dari nabi Ibrahim melalui Ishak dan Ya’qub) mengalami peperangan dan pembuangan. Dalam rentan waktu yang lama negeri Palestina pernah berada di bawah kekuasaan beberapa kerajaan. Pada tahun 721 SM, kerajaan Israel ditaklukkan oleh Tiglath-Pileser III, raja Assyiria. Pada tahun 586 SM Nebuchadrezzar II dari Babilonia menguasai Suriah dan Palestina. Nebuchadrezzar II dari Babilonia menyerbu kerajaan Israel yang beribu kota di Yerusalem, kemudian menghancurkan kuil Sulaiman. Orang-orang Yahudi ditawan dan digiring ke Babilonia kemudian mulai orang Yahudi tersebar ke seluruh dunia (diaspora). Di sinilah para tokoh Yahudi membesarkan hati kaumnya dengan konsep janji Tuhan dan bumi nenek moyang. Sejak itu, dalam perjalanan mereka selalu berusaha untuk bisa kembali ke Palestina dengan berbagai cara dan upaya. Namun mereka selalu menemui kegagalan, meskipun
lxvi
telah mencoba berkali-kali. Akibatnya justru membuat mereka bertambah ketat di bawah pengawasan penguasa menjadi penderitaan rutin yang mereka alami, dan mengakibatkan kegiatan eksodus dan diaspora orang-orang Yahudi makin meluas ke seluruh penjuru bumi untuk menyelamatkan diri. Dari tanah Babilonia para pemuka Yahudi menemukan ide dan konsep bumi yang dijanjikan dan konsep bangsa pilihan Tuhan, dengan harapan ide semacam itu akan bisa melestarikan persatuan kemurnian ras Yahudi, dan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Yahudi (William G. Carr 1991: 16). Pada tahun 550 SM, hampir seluruh kawasan Palestina diintegrasikan kedalam kekuasaan kerajaan Achaemanid Persia. Pada masa kekuasaan kerajaan Persia mengizinkan orang-orang Yahudi kembali dari pelarian mereka, tetapi banyak orang Yahudi yang tidak kembali. Ketika Alexander the greath menguasai Palestina pada tahun 334 SM, Alexander membawa bangsa Yahudi ke Yunani, dari sini mereka kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Eropa pada masa kekuasaan Alexander juga terjadi diaspora. Setelah itu Palestina berada dibawah Ptolemy dari Mesir dan dinasti Seleucid dari Asia Kecil bagian barat. Kira-kira tahun 100 SM Romawi muncul dalam arena percaturan politik. Tahun 63 SM Palestina diintegrasikan kedalam kekaisaran Romawi dengan rajanya Herod Agung setelah menaklukkan kerajaan Seleucid dari Asia Kecil. Sejak itu Palestina diintegrasikan kedalam kekuasaan kekaisaran Romawi. Raja Herod Agung membangun Kuil Sulaiman kembali, disamping memberikan kebebasan kepada penduduk Yahudi. Tahun 66 M di Palestina timbul pemberontakan oleh orang-orang Yahudi. Pada tahun 67 M Raja Romawi pada saat itu Titus, membantai puluhan ribu orang Yahudi untuk memadamkan pemberontakan. Setelah pemberontakan orang Yahudi terhadap penguasa Romawi gagal, pengungsian besar-besaran bangsa Yahudi terjadi lagi pada tahun 67 M sampai tahun 70 M. Pada tahun 70 M penguasa Romawi di Palestina memusnahkan Baitul Maqdis (kota Yerusalem). Kemudian raja mengeluarkan peraturan melarang orang Yahudi berdiam di Yerusalem, sehingga menimbulkan tersebarnya bangsa Yahudi kepenjuru dunia. Pengungsian orang-orang Yahudi berulang kembali pada masa kekuasaan Kerajaan Romawi.
lxvii
Bangsa Yahudi yang tersebar di dunia dapat digolongkan dalam tiga golongan besar. Golongan pertama bangsa Yahudi yang tinggal di dunia Arab dan Afrika Utara disebut juga golongan Sefardim. Golongan kedua yang tinggal di Amerika, Kanada dan Eropa Barat dan golongan ketiga adalah tinggal di Eropa Timur, golongan kedua dan ketiga ini disebut juga golongan Ashkenazim. Golongan Sefardim
ini berbahasa dan berbudaya arab, mereka mengalami
perlakuan yang sama oleh penguasa setempat. Nasib mereka adalah baik sekali dan mereka bebas menjalankan ibadahnya dan syariat agamanya. Betapa tidak, karena mereka dianggap oleh orang-orang Islam sebagai Ahli-Kitab. Orang-orang Yahudi yang tinggal di benua Amerika dan Eropa Barat pada akhir abad ke 19 telah mencapai taraf emansipasi dengan orang-orang Eropa Barat dan Amerika. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama. Umumnya mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kapital yang besar dan juga berasimilasi dengan penduduk asli. Mereka yang tinggal di Eropa Timur, nasib mereka buruk sekali. Nasib buruk yang mereka alami adalah hanya sebagian akibat dari kerakusan mereka dan ketidak setiaan mereka kepada penguasa tempat mereka berdiam. Akibatnya mereka diharuskan tinggal di perkampungan khusus yang dinamakan Ghetto (Chefik Chehab, 1980: 7). Pada tahun 637 M kekuasaan bangsa Romawi berhasil di taklukan oleh ‘Umar ibn al-Chattab ra dan Palestina menjadi tanah air orang Islam (bangsa Arab). Larangan terhadap Yahudi yang diam di Palestina, dihapuskan oleh mereka dan oleh kemurahan hati bangsa Arab itu, dapatlah bangsa Yahudi kembali tinggal di Palestina. Selama jaman pertengahan (middeleeuwen) bangsa Yahudi berdatangan ke Palestina oleh karena mereka ditindas, diburu, dan dikejar oleh bangsa-bangsa barat yang tidak menyukai mereka (HSA Bachtiar 1848: 3). Sampai kepada waktu meletusnya Perang Dunia I Palestina berada dibawah kekuasan Islam (bangsa Turki) (1517-1917) yang memerintah negeri itu selama 400 tahun lamanya (M.Nur El Ibrahimy, 1955 : 5). Dalam naungan Islam, negeri Palestina dan kehidupan antar bangsa Yahudi serta bangsa Arab mengalami perdamaian sampai negeri Palestina lepas dari naungan Islam pada tahun 1918 setelah Inggris (Sekutu) mengalahkan bani Ustmaniyyah (Turki) dalam Perang
lxviii
Dunia I. Setelah Perang Dunia I panglima-panglima sekutu yang berkonferensi di San Remo pada bulan April 1920 memutuskan untuk meletakan Palestina di bawah mandat Inggris. Pembela Palestina yang utama hilang bersamaan dengan runtuhnya bani Ustmaniyyah pada tahun 1924.
2. Latar Belakang Nasionalisme Yahudi Latar belakang timbulnya nasionalisme Yahudi disebabkan oleh dua faktor yaitu : (1) Perasaan Superioritas bangsa Yahudi atas bangsa lain dan (2) Gerakan Antisemitisme yang tumbuh di Eropa. a. Perasaan Superioritas Bangsa Yahudi merupakan suatu bangsa yang mempunyai karakteristik yang khas di bandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Yahudi berkeyakinan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, mereka adalah suci, mereka adalah manusia sedangkan bangsa yang lain adalah hewan yang berwujud manusia yang diciptakan untuk menjadi budak mereka. Sumber pembenaran dan yang menimbulkan keyakinan itu adalah adalah kitab suci agama Yahudi, yaitu Taurat yang menyebut Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Sebagai bangsa pilihan mereka beranggapan bahwa secara kualitatif dan normatif bangsa Yahudi berbeda dengan bangsa-bangsa non Yahudi berbeda dalam arti lebih unggul. Bangsa Yahudi juga berkeyakinan bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih Tuhan untuk memimpin dunia dan merasa diistimewakan dengan kelebihan ilmu dan kecerdasan. Hak itu menurut mereka telah dirampas oleh rakyat selain mereka (ghoyyim). Karena dosa rakyat yang amat besar itulah, maka Tuhan lalu dianggap mengijinkan mereka (Yahudi) untuk mengambil jalan apa saja yang bisa ditempuh demi mengembangkan keistimewaan yang telah diperoleh itu setelah dirampas oleh manusia selain Yahudi (Majid Kailani 189: 25). Orang Yahudi dari dulu hingga sekarang memiliki satu pandangan superioritas yang tinggi sekali, hingga melebihi peranan sosial mereka diantara bangsa lain. Sehingga karena pandangan mereka seperti itu, mereka dikucilkan dari komunitas dunia. Karena merasa ekskusif, tidak bisa membaur dengan
lxix
komunitas di sekitarnya. Mereka hidup di negeri orang, namun mereka hidup menyendiri dalam perkampungan tersendiri, dengan gaya hidup tersendiri, bahkan ada pekerjaan-pekerjaan yang khusus dilakukan oleh bangsa Yahudi. Ini terutama terjadi ketika bangsa Yahudi masih tersebar di berbagai negara di dunia, sebelum negara Israel terbentuk (Usep Romli dkk 2003: 53-54). Pernyataan bangsa Yahudi bahwa mereka bangsa yang terpilih oleh Tuhan, maka memunculkan rasa superioritas terhadap bangsa-bangsa lain. Dari rasa superioritas atas bangsa lain itu menimbulkan nasionalisme yang khas dari bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi mempunyai kesadaran diri sebagai suatu bangsa, mempunyai kecintaan yang mendalam terhadap bangsanya dan tidak lupa disertai mengecilkan arti dan sifat bangsa-bangsa lain. b. Gerakan Anti Semitisme Akhir abad ke 19 mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu-ilmu biologi. Dalam bentuknya yang kasar, ilmu-ilmu itu bersama-sama dengan teori Darwin tentang ”perjuangan untuk mempertahankan hidup”, banyak berpengaruh kepada nasionalisme. Dimana pengertian barat tentang kebangsaan adalah suatu pengertian politik berdasarkan perorangan yang bebas, maka sekarang paham kesukubangsaan ”kodrati” kuno hidup kembali dalam bentuk-bentuk modern. Kebangsaan, kesetiaan politik dan rohani didasarkan kepada asal-usul atau ”darah”, yang dianggap sebagai hakikat yang menentukan sifat manusia (Hans Kohn, 1984: 95). Teori tentang jenis bangsa (rasialisme) di Eropa teristimewa menjelma sebagai anti Semitisme, dalam arti khusus terhadap bangsa Yahudi. Hal ini diiringi dengan penolakan individualisme dan liberalisme, yang dianggap bertanggung jawab atas kejatuhan Eropa dan membuat orang Yahudi bertambah merdeka dan maju. Kaum anti Semit menganggap orang Yahudi sebagai orang asing dalam tanah air Eropa. Seiring terciptannya negara-negara bangsa baru di Eropa, masyarakat barat berupaya menciptakan identitas nasional baru bagi mereka sendiri dan dalam rangka itu mereka menjadikan kaum Yahudi sebagai musuh bagi karakter nasional tersebut. Masyarakat yang sedang terbakar oleh patriotisme kemudian
lxx
menyalahkan kaum Yahudi sendiri lantaran mereka tidak memiliki tanah air (Karen Armstrong, 2006: 137). Gerakan anti Semitisme masyarakat Eropa itu menimbulkan tekanantekanan terhadap bangsa Yahudi yang tinggal disana, antara lain mereka ada yang dibuang untuk bisa keluar dari negara, dimasukkan ke penjara, penganiayaan, disita harta bendanya dan bahkan ada pembunuhan-pembunuhan terhadap orangorang Yahudi. Gerakan anti Semitisme Eropa tersebut menimbulkan tumbuhnya rasa nasionalisme di kalangan bangsa Yahudi untuk keluar dari negara yang menerapkan anti Semitisme, untuk pindah ketanah air mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa Palestina adalah tanah air mereka, pendapat orang Yahudi tentang tanah Palestina adalah bahwa Palestina adalah tanah Tuhan yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi. Dalam iklim nasionalistik tersebut, wajar bagi kaum Yahudi untuk mencari sebuah solusi nasional bagi mereka sendiri. Banyak dari para pemukim Yahudi generasi awal yang percaya hanya dengan membangun kembali kontak fisik dengan tanah leluhur mereka (Palestina) maka mereka dapat menemukan kembali jiwa sejati mereka. Beberapa gerakan anti Semitisme di Eropa antara lain, sebagai berikut : 1) Anti Semitisme di Perancis Pada tahun 1854, seorang penulis Prancis, K. Gobineau menurunkan tulisannya yang berjudul, “Essai Sur I’inegalite desraces humaines”, persamaan antara umat manusia. Dalam tulisan itu ia membedakan antara jenis bangsa Aria (Indo German) dan bangsa Semitis atau Yahudi. Dengan itu K. Gobineau menyerang kegiatan orang-orang Yahudi di lapangan politik. Kemudian menyusul pula penulis lainnya bernama Gionioda Musso, seorang rohaniawan yang menyerang bahaya kaum Yahudi dari segi agama dan kebudayaan. Gionioda Musso menyatakan bahwa bangsa Yahudi itu tidak pernah mengindahkan kebenaran, tidak pernah merasa terdorong untuk berlaku benar dan ikhlas terhadap non Yahudi meskipun dilakukan dengan sumpah. Ia selanjutnya mengungkakan bahwa sumber bahaya terbesar mereka tersembunyi dalam usaha untuk meleyapkan kegiatan kerohanian (spiritual) dari dunia keagamaan, dan mengutamakan benda daripada rohani.
lxxi
Maka seluruh Eropa terancam oleh ajaran Yahudi yang merusak itu. Dalam Masyarakat abad XIX, reaksi terhadap bangsa Yahudi hampir serupa dan nampak lebih terbuka, sehingga banyak bentuk letupan gerakan yang merakyat melawan Yahudi di Jerman, Perancis, Austria, Hungaria dan Rusia (Asy. Saek As Bayudhattamimi, 1992: 58-59). Kaum anti Semit di Perancis mencurigai adanya komplotan Yahudi, yang sering bekerjasama dengan Anglo Saxon, Jerman, atau protestan untuk menghancurkan Perancis yang asli dan agama Katolik. Agitasi ini memuncak dalam peristiwa Dreyfus. Kapten Alfred Dreyfus, perwira Yahudi satu-satunya di staf umum angkatan perang Perancis pada tahun 1894 dijatuhi hukuman, dituduh menjadi mata-mata Jerman. Maka timbullah pertentangan yang sengit untuk membuktikan bahwa sebenarnya Alfred Dreyfus tidak bersalah. Penentanganpenentanganya menyatakan bahwa kepentingan nasional dan keamanan harus diutamakan daripada keadilan yang abstrak dan pertimbangan-pertimbangan obyektif (Hans Kohn, 1984: 96). 2) Anti Semitisme di Jerman Di Jerman seniman-seniman dan sarjana-sarjana yang terkemuka memeluk paham anti Semit. Richard Wagner (1813-1883) banyak jasanya dalam menyebarkan paham anti Semitisme dan ahli sejarah yang termasyur pada tahun itu 1879 menerbitkan suatu karangan berjudul “Bangsa Yahudi Adalah Sebab Kemalangan Kita”. Karangan ini benar-benar merupakan panji yang mengerahkan tenaga gerakan anti Semit di Jerman. Jerman
menjadi
tanah
air
anti
Semit
modern,
disana
sistem
diperkembangkan dan semboyan-semboyannya diciptakan. Kesusastraan Jerman adalah yang paling banyak mengandung tulisan-tulisan yang bersifat anti Yahudi. Pada tahun 1815 Friedrich Rush, seorang profesor dalam ilmu sejarah di Universitas Berlin, sudah menuntut supaya orang-orang Yahudi di Jerman harus memakai suatu tanda istimewa pada pakaiannya supaya mudah dikenali (Hans Kohn, 1984: 99). Ada kelompok pemujaan baru yang terdiri atas rakyat yang mengaitkan jiwa orang-orang Jerman dengan tanah air mereka. Jiwa ini, menurut kepercayaan
lxxii
mereka dibentuk oleh pandangan alam Jerman dan ini berarti bahwa semangat Jerman bersifat asing terhadap kota dan terhadap peradaban (yang diartikan sebagai kebudayaan kota), membawa orang-orang Jerman pada kesimpulan bahwa orang-orang Yahudi adalah musuh esensial jiwa Jerman. Mereka tak mempunyai pandangan alam mereka sendiri sehingga jiwa orang-orang Yahudi tidak bisa berkembang secara alamiah, hal ini menyebabkan mereka menjadi manusia cacat. Lebih jauh lagi karena orang-orang Yahudi hidup bekerja di kotakota, maka mereka dipandang sebagai lambang paradaban (Karen Armstrong 2006: 138). Pada tahun (1933-1945), saat Adolf Hitler berkuasa gerakan Anti Semitisme atau anti Yahudi di Jerman mencapai puncaknya. Karena Hitler ingin menjaga kemurnian rasnya yaitu ras suku bangsa Aria (Indo German) dan kaum Yahudi dituduh hendak menghancurkan Jerman. Sehingga orang-orang Yahudi menjadi sasaran penangkapan, penyiksaan dan pembantaian secara besar-besaran. 3) Anti Semtisme di Hungaria dan Austria Di Hungaria, pastur Katolik Roetbach, membongkar lebih banyak penyakit yang terdapat dalam ajaran Yahudi kuno, terutama apa yang terkandung dalam Tamlud yang menyerukan penghancuran semua di luar Yahudi. Pikirannya itu dimuat dalam bukunya yang berjudul “Yahudi Talmud” yang diterbitkan pada tahun 1871. Begitu dia diangkat menjadi dosen agama Katolik pada Universitas Praha, namanya semakin terkenal, ajarannya disambut hangat oleh masyarakat dan ternyata ia selaras dengan pergerakan politik yang memusuhi Yahudi di Praha. Di Ausria lebih tenang dan stabil keadaannya dari segi politik, karena masyarakat sudah mulai bangkit di Wina dan menyadari peran kerusakan dan pengeksploitasian yang dilakukan orang Yahudi di seluruh kawasan kerajaan. Lalu mereka menyusun program gerakan yang memusuhi orang Yahudi yang paling menonjol diantaranya yang dipimpin oleh Dr. Louges, yang partainya mendapat restu Paus pada tahun 1895. Pada tahun yang sama ia menjadi calon walikota Wina, namun raja menolak pemilihan dan pencalonannya menduduki jabatan tersebut. Sang raja baru menyetujuinya sesudah pemilihannya diulang
lxxiii
sampai empat kali. Kekerasan penduduk kota Wina untuk mengangkat Dr. Louges tidak disetujui raja, menunjukan besarnya kekuatan rakyat dan para pimpinannya dalam kegiatan memerangi orang-orang Yahudi Terjadi skandal politik dan keuangan yang melibatkan tiga tokoh terkenal Yahudi, sehingga lebih menyakinkan rakyat terhadap kebenaran seruan pimpinannya. Ditambah lagi dengan perwira Yahudi ”Diraivoes” yang dituduh telah bersekongkol dengan Jerman dan memindahkan dokumen-dokumen rahasia Jerman. Peristiwa ini terutama di Prancis telah meruncingkan situasi dan menambah kedengkian orang Nasrani terhadap orang Yahudi (Asy. Saek As Bayudhattamimi, 1992: 63-64). 4) Anti semitisme di Rusia Orang-orang Yahudi yang menetap di Rusia juga pernah menjalankan provokasi yang sama di negeri itu. Pada abad ke 19 Rusia telah melindungi lebih dari setengah bangsa Yahudi di dunia. Tetapi mereka hidup tercecer tidak menentu. Diantara mereka ada yang hidup dengan cara meminta-minta sedekah, kotor dan lusuh. Ada yang menjadi penghianat dan selalu melanggar undangundang negara (Ahmad Shalaby 1991: 83). Di Rusia, anti Semit muncul setelah terbunuhnya Alexander II di tahun 1881. Kasus pembunuhan Alexander tersebut diduga kuat melibatkan seorang Yahudi revolusioner. Sebagai akibat terbunuhnya Alexander muncullah aksi dari kaum tani dan penduduk kota bangkit serentak menyerbu orang-orang Yahudi untuk melampiaskan dendam atas kematian raja mereka. Aksi ini dilancarkan secara rapi dan terorganisir. Sejumlah elite pemerintahan dan politisi Rusia turut terlibat, meskipun mereka berada di balik layar. Bangsa Israel Yahudi di Rusia menjadi dibuat kalang kabut cemas, takut, serta sangat terancam. Diberbagai pelosok kota di negeri Rusia, bangsa Israel Yahudi benar-benar dibawah ancaman maut. Mereka dikejar-kejar untuk kemudian disiksa dan dibunuh. Harta benda mereka juga musnah di jarah. Sejumlah peraturan segara dikeluarkan bagi Israel Yahudi untuk membawa harta mereka keluar kota, diharuskan tinggal di ghetto dan larangan menjadi pagawai pemerintahan. Sebagai akibat aksi tersebut, bangsa
lxxiv
Israel Yahudi terpaksa harus meninggalkan Rusia menuju ke Eropa Barat, Amerika dan Palestina (Abu Bakar, 2008: 79-80). Penderitaan-penderitaan yang dialami oleh bangsa Yahudi akibat adanya sikap dan Gerakan Anti Semitisme. Mereka menjadi sasaran penganiaan, pengusiran,
pengejaran
dan
pembantaian.
Penderitaan-penderitaan
ini
memperkuat persatuan diantara bangsa Yahudi, menumbuhkan kesadaran sebagai bangsa, menumbuhkan tekad yang kuat untuk mewujudkan sebagai bangsa yang utuh dan menumbuhkan tekad untuk memilik suatu kediaman nasional, terpisah dari bangsa dan negara lain. Dalam iklim nasionalistik tersebut, wajar bagi kaum Yahudi mencari sebuah solusi nasional bagi mereka sendiri. Banyak dari pemukim Yahudi generasi awal yang percaya bahwa hanya dengan membangun kembali kontak fisik dengan tanah leluhur mereka maka dapat menemukan kembali jiwa sejati mereka (Karen Armstrong 2006: 138).
3. Zionisme Sebagai Wujud Nasionalisme Bangsa Yahudi Secara bahasa Zionisme berasal dari kata Zion. Zion adalah istilah bahasa Inggris yang barasal dari bahasa latin “sion”, terambil dari bahasa Ibrani, yaitu “tyson”. Sementara “tyson” memiliki konotasi makna bukit suci di Yerusalem. Zion adalah sebuah bukit yang terletak di sebelah selatan Baitul Maqdis (Yerusalem). Nabi Daud pernah menyerbu pada masa pemerintahannya, merebut dari kekuasaan kaum Yabus yang mendiaminya. Nabi Daud telah menaklukan benteng Zion, tinggal di dalam benteng itu dan dinamakan bandar Daud (Ahmad Shalaby, 1990: 99). Sejak itu nama Zion menjadi tempat yang suci. Menurut kepercayaan bangsa Israel Yahudi, bukit suci Zion adalah tempat tinggal sesembahan mereka, tuhan Yahweh di muka bumi (Abu Bakar, 2008: 212). Zionisme dalam pengertiannya yang simpel ialah menempatkan kaum Yahudi di Palestina, yakni di bukit Zion dan sekitarnya. Pemahaman utama dalam Zionisme adalah bahwa alternatif satu-satunya untuk permasalahan Yahudi adalah kembalinya Yahudi ke tanah Israel (Palestina) dengan mendirikan negara Yahudi. Untuk menempuh hal itu, perlu dilaksanakan hijrah dari berbagai pelosok dunia ke tanah Israel (Usep Romli H.M dkk 2003:
lxxv
63). Zionisme sebagai sebuah faham dan juga sebagai sebuah institusi atau organisasi internasional, dia memiliki kekuatan utama pada orang-orang Yahudi. Sehingga dalam Zionisme ini orang-orang Yahudilah yang merupakan inti dari gerakan itu. Dalam pembentukannya sesungguhnya gerakan Zionisme ini relatif baru. Zionisme sebagai salah satu gerakan politik di zaman modern ini, menuntut penetapan kembali orang-orang Yahudi di Palestina yang dianggap sebagai tanah yang di janjikan Tuhan. Para tokoh zionis telah mengubah makna religius kepada makna politik, sebagaimana mereka juga mengubah simbol dan slogan-slogan religius menjadi simbol atau slogan-slogan politik (Haitsam Al-Kailani, 2001: 41). Di sini ada dua hal yang membedakan antara Zionisme religius dan Zionisme politik, yaitu : 1. Zionisme religius Nilai keagamaan bukit suci Zion tersebut melatar belakangi kemunculan gerakan zionisme keagamaan di tengah bangsa Israel Yahudi. Mereka percaya dan siap pergi ke Palestina untuk menyambut kedatangan sang juru selamat di atas tanah suci Zion. Sementara, bagi Kristen Protestan Millenaria, kedatangan massal bangsa Israel di Palestina adalah pertanda kedatangan Yesus untuk kali kedua di muka bumi. Oleh sebab itu, mereka siap turut menyukseskan proses kepindahan bangsa Israel Yahudi ke Palestina (Abu Bakar, 2008: 212-113), Zionisme religius sering juga disebut sebagai mistik Yahudi. Hal ini dihubungkan dengan harapan messianik pada Yudaisme, yaitu datangnya messiah dari kerajaan Tuhan di akhir zaman, untuk mengumpulkan seluruh keluarga di bumi, yang akan menyempurnakan seluruh umat manusia. Kerajaan itu akan berpusat di tempat berlangsunnya kisah-kisah Ibrahim dan Musa. Zionisme religius inilah yang membangkitkan tradisi ziarah kaum Yahudi ke tanah suci dan bahkan membentuk komunitas spiritual yang mantap, terlebih di Safed, ketika dikejar-kejar raja-raja katholik yang fanatik
lxxvi
dari Spanyol (setelah hidup berdampingan lama dan menyenangkan antara bangsa Yahudi dan kaum Muslim di negeri itu) yang memaksa beberapa orang saleh mengungsi ke Palestina agar dapat hidup sesuai dengan agama mereka (R Garaudy 1983: 2). Zionisme keagamaan ini hanya menginginkan sebuah pusat kegiatan spiritual yang memungkinkan tersebarnya agama dan kebudayaan Yahudi ke seluruh dunia. Mereka tidak menghendaki sebuah agama tersendiri. Oleh karena itu, kehadiran mereka tidak menyebabkan keresahan. Bahkan mereka bisa bergaul dengan penduduk lainnya yang beragama Islam atau Kristen secara damai (M Riza Sihbudi dkk 1993: 107). 2. Zionisme politik Zionisme dalam pengertian politik memiliki arti lain dan menjadi ancaman serius bagi muslim di Timur Tengah. Zionisme dalam pengertian ini lebih berarti sebagai sebuah ideologi ”pulang kampung” bangsa Israel Yahudi dari negeri rantauan ke tanah Israel (Palestina). Mereka berusaha untuk mengorganisasi bangsa Israel Yahudi yang ada di Asia, Afrika, Eropa, Amerika dan Ausralia untuk menduduki dan mendirikan negara bangsa di atas tanah milik muslim Palestina. Dalam rangka melaksanakan usaha-usaha tersebut, apapun caranya, semua dianggap halal tanpa pengecualian. Pada batas-batas inilah zionisme lebih tepat digambarkan sebagai bentuk kolonialisme kuno di abad modern (Abu Bakar, 2008: 213), Zionisme politik bermula dari doktrin-doktrin Theodore Herzl (18601904) yang disusun tahun 1882 di Wina, dan di sistematikannya pada 1896 lalu dibukukan dengan judul Negeri Yahudi (Der Judenstaat). Kemudian, mulai di terapkan secara nyata pada Konggres Zionis Dunia di Basle pada tahun 1897 (R Garaudy 1983: 3). Pertama-tama pandangan Herzl seorang aquastik (tidak peduli agama), berbeda dengan Zionisme religius, dan bahkan menentang dengan sengit siapa saja yang mengatakan Yudaisme sebagai agama. Dalam pandangan Zionisme politik, bangsa Yahudi lebih unggul daripada seluruh bangsa.
lxxvii
Konferensi Zionisme pertama kali diadakan di Basel, Swiss pada tahun 1897 merupakan lembaran baru dalam sejarah gerakan Zionisme. Konferensi tersebut memutuskan untuk menetapkan tujuan utama gerakan zionisme yaitu mendirikan negara Israel dan menciptakan komunitas Yahudi yang mempunyai kekuasaan independen di atas tanah Palestina yang diakui sebagai tanah leluhur bangsa Yahudi. Caranya dengan mengembangkan tanah Israel secara sistematis dengan memindahkan orang-orang Yahudi yang tersebar dipenjuru dunia ke Palestina (Haitsam Al-Kailani, 2001: 54) Untuk merealisasikan tujuannya mereka telah sepakat dengan menempuh dua jalan yaitu : 1. Usaha dari dalam, yaitu bahwa orang-orang Zionis akan bekerja keras untuk menyusun barisan mereka dan menyediakan untuk tujuan menjajah Palestina. 2. Usaha keluar, yaitu bahwa mereka akan mencari sebuah kerajaan yang dapat menyokong mereka dalam merealisasikan cita-cita itu. Untuk melaksanakan cara yang pertama itu mereka telah membentuk jetera-jetera pengendali yang teratur untuk mengumpulkan uang. Kemudian dibentuknya suatu organisasi simpatisan zionis untuk mengajarkan bahasa Ibrani dan selanjutnya mengajarkan bahasa Ibrani dan selanjutnya menyeru untuk mendirikan daerah-daerah kekuasaan Yahudi dari ladang-ladang tanaman di Palestina. Hal ini dapat dicapai dengan membeli ladang milik bangsa Arab, tidak peduli berapa harganya. Kemudian menggalakkan bangsa Yahudi untuk hijrah ke Palestina sebanyak mungkin agar populasi mereka lebih besar dari populasi bangsa Arab dalam waktu yang secepat-cepatnya. Banyak dari para hartawan Yahudi yang dengan suka rela mendermakan hartanya demi tercapainya proyekproyek ini. Terutama sekali Lord Walter Rotsheld, seorang milioner Yahudi yang telah membuka kantongnya selebar-lebarnya untuk tujuan ini tanpa perhitungan lagi. Untuk melaksanakan cara yang kedua, mereka terpaksa harus mempelajari butir-butir mengenai kekuatan penjajahan yang sering berbentrokan agar mereka dapat mendompleng dengan kekuatan yang mempunyai tujuan sama dengan cita-
lxxviii
cita mereka. Menurut mereka, Inggris adalah pilihan yang paling tepat untuk bekerjasama. Maka Weizmann, ketua organisasi Zionisme yang menggantikan Theodore Herzl mengumumkan bahwa kepentingan-kepentingan Yahudi akan disatukan dengan kepentingan-kepentingan Inggris. Kemudian Weizmann secara terang-terangan menyatakan bekerja sama dengan pihak Inggris (Ahmad Shalaby 1991: 76). Para Zionis mampu mempengaruhi semua masyarakat Yahudi di segala penjuru dunia untuk masuk dalam barisan Zionisme. Setelah berhasil merekrut sejumlah besar dari masyarakat Yahudi ke dalam barisan Zionisme, maka para Zionis mewajibkan mereka yang datang ke Palestina untuk berpegang pada prinsip-prinsip Zionisme dan mereka berhasil merelokasikan sejumlah orang Yahudi yang menolak ajakan Zionisme. Mereka juga berhasil memiliterkan orang-orang Yahudi yang dulu menentang ide-ide, filosofis dan tujuan-tujuan politisnya. Mereka di beri penjelasan bahwa bangsa Yahudi merupakan bangsa merdeka yang terbuang dari tanah airnya dan hidup dalam pembuangan, bangsa yang terjaga dengan segala karakteristik kebangsaannya kecuali negerinya. Dengan hanya mendapatkan tanah airnya kembali, maka kembali semua karakteristiknya dan menjadi kesempurnaannya. Prinsip ini menuntut adanya gerakan memerangi pembaharuan Yahudi dalam masyarakat dimana mereka hidup, menimbulkan rasa terisolasi dan memperkokoh nasionalisme Yahudi dikalangan orang-orang yang berada di pembuangan untuk mendirikan tanah air bangsa Yahudi. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, para Zionis bekerja keras menghidupkan bahasa Ibrani (Yahudi) dan menjadikannya sebagai bahasa pemersatu untuk komunikasi dikalangan imigran, disamping juga digunakan di sekolah-sekolah Yahudi. Faktor pendorong untuk menghidupkan bahasa ini adalah sebagai propaganda nasionalisme. Diantara kepentingan yang sangat mendesak adalah orang-orang Yahudi yang datang ke Palestina berbicara dengan bahasa dan dialek Ibrani. Oleh karena itu harus ada bahasa pemersatu yang digunakan oleh semua orang, sehingga bisa mempersatukan mereka.
lxxix
Gerakan Zionisme lewat yayasan-yayasannya secara pelan masuk ke dalam pelajaran di sekolah-sekolah Yahudi. Pendidikan dijadikan sebagai sarana menciptakan sebuah generasi Yahudi yang militan terhadap Zionis, berjuang dan berkorban dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan Zionis, serta berusaha keras mendirikan negara Yahudi (Ismail Yaghi 2001: 70-71). Lewat pendidikan ini bisa dijadikan media untuk menanamkan jiwa nasionalisme kepada siswa sekolah dan kepada para pemuda Yahudi sehingga mempunyai fanatisme yang kuat terhadap sukunya. Gerakan Zionisme berhasil menanamkan semangat nasionalisme dalam jiwa orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai dunia, disamping menanamkan pada diri mereka bahwa bangsa Arab merupakan rintangan yang sulit diatasi yang menghalangi tujuan mereka. Oleh karena itu, pandangan mereka terhadap Arab semakin menunjukan permusuhan.
B. Usaha-UsahaYang Dijalankan Inggris Dalam Membantu Pembentukan Negara Israel Tahun 1920-1948
Sejak tiga belas abad lebih Palestina menjadi tanah air orang Islam (bangsa Arab), yaitu sejak Palestina dapat ditaklukan dari kekuasaan bangsa Romawi oleh Chalifah ’Umar ibn al-Chattab r.a pada 637 M sampai dengan meletusnya Perang Dunia I (1914-1918). Palestina berada di bawah kekuasaan orang Islam (bangsa Turki) (1617-1917) yang memerintah bangsa itu selama 400 tahun lamanya. Pada Perang Dunia I Sekutu (Inggris) dapat mengalahkan Jerman dan Turki. Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah, yang kala itu berada di bawah kekuasaan bangsa Turki. Setelah Perang Dunia I selesai, dibentuklah pemerintahan administrasi militer
antara
tahun
militer di Palestina. Selama periode administrasi
1918-1920,
tampaknya
Inggris
cenderung
untuk
menyingkirkan Deklarasi Balfour yang dikeluakan Inggris tahun 1917. Di dalam deklarasi itu pemerintah Inggris berjanji akan mendirikan a national home (kediaman nasional) untuk bangsa Yahudi di Palestina. Janji ini pulalah yang menjadi dasar pergerakan Zionis sedunia, yang bermaksud mendirikan negara
lxxx
Yahudi merdeka di Palestina. Alasan Inggris menyingkirkan Deklarasi Balfour adalah kecenderungan orang Inggris untuk memihak kaum tertindas. Sebagai mana kata seorang perwira Inggris di Palestina ”orang-orang Yahudi begitu pintar dan orang-orang Arab begitu bodoh dan kekanak-kanakan, hingga sungguh adil jika kami memihak pada orang-orang Arab”. Situasi di Palestina tersebut amat asing bagi kebanyakan pejabat Inggris di sana, mereka terbiasa membela hak-hak orang Inggris melawan sebuah mayoritas penduduk kolonial dan itu terasa saat mereka di Palestina. Namun, di Palestina mereka diminta untuk memenuhi keinginan bangsa Yahudi untuk mendesak hak-hak bangsa Arab dan mereka banyak yang merasa sulit memahami hal ini (Karen Armstrong, 2006: 167) Pada tahun 1918 Inggris membatasi imigrasi dan menahan peralihan kepemilikan wilayah Palestina kepada orang-orang Yahudi, atas dasar bahwa penyerahan itu akan melanggar status quo. Inggris juga melarang lagu kebangsaan Yahudi ”Hatikvah” dinyayikan di depan umum dan menolak untuk mengakui bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi (Karen Armstrong, 2006: 167-168). Setelah Palestina di bawah mandat Inggris pada tahun 1920, maka Inggris benar-benar melaksanakan janji mereka yang terdapat pada Deklarasi Balfour untuk membantu bangsa Yahudi mendirikan negara nasional di tanah Palestina.
1. Pada Awal Mandat Sampai Tahun 1939 Pada tanggal 25 April 1920, panglima-panglima tentara sekutu yang berkonferensi di San Remo Italia menetapkan bahwa Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Ketetapan ini menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Piagam Lembaga Bangsa-Bangsa mengenai sistem mandat. Dengan menyingkirkan sama sekali adpis-adpis komisi King Crane, konferensi memutuskan untuk meletakan Palestina di bawah mandat Inggris (Daliman, 1998: 134). Menurut Piagam Lembaga Bangsa-Bangsa, bahwa bangsa-bangsa yang tadinya di bawah kekuasaan Turki, yang telah mencapai suatu taraf kemajuan dengan mana mereka layak untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, bangsabangsa itu diletakkan di bawah mandat untuk sementara waktu. Kewajiban negara
lxxxi
yang diserahi mandat adalah semata-mata memberi adpis dan bantuan, sehingga bangsa-bangsa itu sanggup berdiri sendiri. Komisi King Crane adalah suatu komisi yang dibentuk oleh sekutu setelah Perang Dunia I berakhir, untuk menyelidiki pendapat-pendapat dan keinginankeinginan bangsa Arab. Di dalam laporan komisi King Crane diperingatkan membuka pintu untuk pemindahan kaum Yahudi ke Palestina. Demikian Juga di peringatkan perbedaan antara hak kaum Yahudi untuk membangun tempat kediaman di Palestina dengan keinginan mereka untuk mendirikan negara disana. Selanjutnya komisi tersebut menegaskan bahwa mendirikan negara Palestina membahayakan hak-hak dari anasir-anasir yang bukan Yahudi, baik mengenai agama maupun yang mengenai hak-hak sipil (M.Nur El Ibrahimy, 1955: 11-12). Untuk menjalankan pemerintahan mandat dan melaksanakan janji Balfour, pemerintahan Inggris pada tahun 1920 mengangkat Sir Herbert Samuel seorang Yahudi Inggris dan orang yang punya peranan penting di dalam mendeklarasikan perjanjian Balfour, diangkat sebagai komisaris Inggris yang pertama di Palestina dan mengggantikan administrasi militer. Herbert Samuel segera mendirikan sebuah kantor sipil di Palestina yang beranggotakan oleh kaum Yahudi, menerima bahasa Ibrani menjadi bahasa resmi, disamping bahasa Inggris dan Arab. Herbert Samuel juga telah memberikan peluang kepada kaum Yahudi untuk berindustri, serta menyerahkan kementerian pelajar kepadanya (Ahmad Shalaby, 1991: 83). Dalam kondisi demikian, bangsa arab Palestina telah sadar bahwa tanah mereka sedang dijajah oleh bangsa Eropa Kristen sekaligus diancam Yahudi. Sebagai akibatnya, ketegangan muslim dan Yahudi pun tidak terelakkan. Pada tahun 1920, muslim di bawah komando Musa an Nabil melakukan penyerangan terhadap kelompok Yahudi di Yerusalem sehingga menewaskan 5 orang dan mencederai 211 orang. Sementara di pihak muslim pun 4 orang tewas dan 211 luka-luka. Selang setahun kemudian, di Yafa muncul aksi kekerasan susulan. Dalam aksi ini, 47 orang Yahudi tewas dan 147 luka-luka. Sementara, di pihak muslim ada 48 orang tewas dan 73 orang cedera (Abu Bakar, 2008: 243). Inggris pada tanggal 27 Februari 1921 juga telah mengeluarkan undangundang yang memperbarui syariat Utsmani (bangsa Turki) yang mengatur segala
lxxxii
hal yang berhubungan dengan tanah kosong dan menetapkan tentang pencaplokan tanah kosong dari orang yang tidak punya hak kepemilikan. Maksud dari semua itu tidak lain bahwa pemerintah berusaha untuk menguasai tanah dari para petani sebagai langkah awal untuk dihadiahkan kepada Yahudi (Ismail Yaghi, 2001: 44). Akibatnya ribuan petani Arab yang memiliki tanah itu secara waris mewaris selama ratusan tahun terusir setelah orang-orang Yahudi yang menguasai tanah mareka. Pada tanggal 24 Juli 1922 Inggris mengajukan proyek mandatarinya kepada Liga Bangsa-Bangsa sebagaimana yang diinginkan oleh Zionis. Liga Bangsa-Bangsa memutuskan penempatan Palestina di bawah Mandat Inggris serta mensahkan dokumen mandat yang telah di susun oleh Inggris yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi zionisme yang pada waktu itu diwakili oleh seorang Yahudi Amerika, yakni Benyamin Cohen. Inggris berhasil mendapatkan legalitas negara untuk menjalankan pemerintahan mandatnya. Dengan diserahkannya mandat Palestina kepada pemerintah Inggris maka mulailah kaum Yahudi dari berbagai dunia secara besar-besaran pindah ke Palestina. Selama tahun pertama mandat itu dasar-dasar negara Yahudi Jewish nasional home (rumah nasional Yahudi) didirikan dengan tegas. Imigrasi Yahudi mulai meningkat hingga mencapai puncaknya tahun 1925. Dari 7.400 orang pada tahun 1923 menjadi 12.800 orang pada tahun 1924 dan 23.800 orang pada tahun 1925. Dengan demikian penduduk Palestina bertambah dengan amat cepat, sehingga merupakan suatu bahaya bagi bangsa Arab (M. Nur El Ibrahimy, 195 : 15). Tahun 1925 adalah tahun yang menarik, pada tahun ini membanjirlah imigran Yahudi ke Palestina terutama para pengungsi dari Polandia. Merupakan awal gelombang imigrasi yang terkenal sebagai Aliyah keempat, yang membuat Tel Aviv menjadi sebuah kota yang relatif padat penduduknya. Menurut catatancatatan resmi, jumlah imigran Yahudi ke Palestina pada tahun 1920 sampai 1929 adalah 100.000 orang (Harun Yahya, 2005: 53). Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1920-1929 dapat di gambarkan sebagai berikut (lihat tabel 1):
lxxxiii
Tabel 1: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1920-1929 Tahun
Jumlah Orang Yahudi yang Pindah
1920 (Sept-Okt)
5.514
1921
9.149
1922
7.844
1923
7.421
1924
12.856
1925
33.801
1926
13.081
1927
2.713
1928
2.178
1929
5.249
Sumber: Harun Yahya, Palestina Zionisme dan Terorisme Israel, 2005, hal. 54. Herbert Samuel bekeja sekuat tenaga untuk menarik simpati dan minat orang-orang Yahudi agar berhijrah ke negeri Palestina. Dia telah menggunakan pemerintahan Inggris yang ada didalam kekuasaannya untuk memberi segala kemudahan, dispensasi dan kesempatan-kesempatan hidup terhadap para imigran Yahudi itu. Didirikanlah perumahan-perumahan dan pabrik-pabrik untuk mereka dan berlatih menggunakan senjata-senjata modern (Ahmad Shalaby,1991: 84). Orang Yahudi yang pindah ke Palestina itu tidak datang dengan badan bulat saja, akan tetapi bersama mereka mengalir pula dolar atau kapital raksasa dari kapitalis-kapitalis Yahudi di seluruh dunia. Mereka membeli tanah sebanyakbanyaknya, mendirikan berbagai perusahaan, membuka rumah-rumah tambang dan koloni-koloni sehingga dapat dikatakan seluruh lapangan ekonomi dan keuangan diduduki mereka, hal ini sangatlah membahayakan bangsa Arab. Semua ini terjadi dengan bantuan Inggris, kerena Inggris ingin melaksankan janji Baulfournya kepada kaum Yahudi. Pemerintahan Inggris menetapkan undang-undang tentang larangan pembukaan tanah baru. Barang siapa melanggar akan dihukum dan dirampas
lxxxiv
tanahnya. Karena pada undang-undang Utsmani (Turki) membolehkan petani memiliki tanah yang telah dibukanya setelah membayar uang ganti yang seharga (Ismail Yaghi, 2001: 78). Pada kesempatan yang sama, pemerintah Inggris juga mulai menekan kaum Arab dengan menaikkan berbagai macam cukai yang tinggi. Suplai air untuk tanah-tanah kepunyaan warga Arab Palestina dikurangi. Pemilikpemilik tanah yang bukan warga Palestina diintimidasi agar menjual tanah dan harta bendanya kepada kaum Yahudi saja. Dibuat suatu larangan bagi orang-orang Arab untuk kembali ke negara Palestina dan bagi mereka dilarang memanggul senjata atau memilikinya (Ahmad Shalaby, 1991: 84). Herbert Samuel adalah Figur orang yang begitu rela dan tepat janji kepada gerakan Zionis. Antara tahun 1920-1925 Samuel telah mengerahkan segala tenaganya untuk mencari jalan keluar yang efisien untuk memotivasi orang-orang Yahudi, dan sangat memperhatikan mereka dengan mendengarkan segala perkataan para pemimpin mereka, dan memenuhi segala keinginannya dan kesukaannya.
Dia
juga
menyusun
segala
rencana
yang
cocok
untuk
memprovokator dan mempermudah hijrah mereka. Jumlah orang Yahudi meningkat pesat sejak diberlakukannya undang-undang Herbert Samuel, dari lima puluh lima ribu orang sampai seratus delapan ribu. (Ismail Yaghi, 2001: 44). Pemerintah Inggris terus menekan rakyat Palestina agar gerakan Zionisme menguasai ekonomi Palestina dan menghancurkan rakyatnya. Pada tahun 1926 keluarlah undang-undang tentang pecabutan kepemilikan. Dengan undang-undang ini diperkenalkan kepada petugas perundang-undangan untuk mengambil hak kepemilikaan tanah jika diperlukan untuk proyek. Dengan itu pula orang-orang Yahudi dengan bantuan pejabat tinggi Inggris bisa menguasai tanah walaupun sepetak. Berdasar itu pula petugas perundang-undangan bisa merampas tanah milik orang yang tidak mau diberi harga murah dan kemudian diserahkan kepada pejabat Yahudi (Ismail Yaghi, 2001: 79). Perpindahan orang Yahudi yang diorganisir oleh Zionis atas bantuan Inggris dengan mantap mengubah keadaan demografi Palestina dan telah menjadi sebab terpenting berkepanjangannya konflik. Peningkatan penduduk Yahudi secara langsung membuktikan kenyataan bahwa kekuatan penjajahan, kekuatan
lxxxv
hukum atas tanah tersebut, datang untuk merampok hak-hak penduduk Arab Palestina. Bangsa Yahudi di Paletina berhasil membuat undang-undang dan segala peraturan yang sesuai dengan cita-cita mereka dalam berbagai aspek, mereka menikmati fasilitas istimewa dan hak otonom. Melihat keadaan yang demikian, semangat kebangsaan Arab bertambah lama bertambah meluap sehingga pada tahun 1929, muncul aksi kekerasan orang Arab Palestina kepada orang Yahudi terkait masalah Tembok Ratapan pada perayaan Yon Kippur. Tembok Ratapan adalah tempat suci orang Yahudi juga merupakan tempat suci bagi kaum muslim, walaupun nilainya kurang penting dibandingkan bagi kaum Yahudi. Tembok Ratapan diyakini kaum muslim sebagai tempat Muhammad menambatkan kudanya selama Isra Mikraj. Tembok Ratapan menjadi tempat suci orang Yahudi karena letaknya sangat dekat dengan tempat kudus di Temple Mount, yang merupakan tempat Maha Kudus (bagian dari Kenizah Allah) dalam Yudaisme. Kepercayaan di kalangan orang Yahudi, yaitu mereka berdoa di Tembok Ratapan karena percaya bahwa di tempat itulah Yang Ilahi Hadir (Shekhinah) bertakhta diatasnya dan pintu surga persis di atasnya, sejak ratusan tahun yang lalu orang-orang Yahudi yang berdoa di tempat itu menyelipkan sepotong kertas di antara celah dinding batu. Mereka mengirim surat kepada Tuhan menyampaikan keluhan, harapan, dan berterima kasih (Trias Kuncahyono, 2008: 207-210). Aksi kekersan pun semakin meluas di sejumlah kota di Palestina terutama di Hebron. Aksi kekersan di Hebron pada Agustus 1929 itu meninggalkan bekas yang tidak terhapus pada kedua belah pihak. 133 orang Yahudi terbunuh oleh orang-orang Arab Palestina dan 339 terluka. Dalam meredam serangan tersebut, polisi Inggris menewaskan 110 orang Arab dan 232 terluka. Peristiwa mengerikan ini tidak merugikan orang Arab dalam hubungannya dengan Inggris, tapi tentu saja mengeraskan sikap permusuhan orang Yahudi kepada orang Arab Palestina (Karen Armstrong, 2006: 174). Pada awal tahun 1930-an Gerakan Zionis di tanah Palestina berhasil mendapat persetujuan pemerintah protektoral Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke tanah Palestina secara besar-besaran. Imigran yang terbesar pada waktu itu berasal dari Jerman, karena pemerintah Jerman kala itu gencar-gancarnya
lxxxvi
mendengungkan gerakan anti Semitisme. Sebagai contoh pernyataan Glubb, seorang sejarawan Inggris menyebutkan, pada tahun 1932 imigran Yahudi Jerman ke Palestina tercatat sebanyak 9.000 orang. Pada tahun 1933, saat Adolf Hitler berkuasa dan memimpin Nazi jumlah imigran Yahudi Jerman meningkat beberapa kali lipat menjadi 33.000 orang. Tahun berikutnya, kembali bertambah menjadi 40.000 orang. Tahun 1935, meningkat sangat besar menjadi 61.000 orang. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang keras dari bangsa Arab Palestina terhadap pemerintah protektoral Inggris (Herry Nurdi, 2009: 47). Di bawah ini adalah Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939 sebagai berikut (lihat tabel 2): Tabel 2: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939 Tahun
Jumlah Orang Yahudi yang Pindah
1930
4.944
1931
4.075
1932
9.553
1933
30.327
1934
42.359
1935
61.854
1936
29.727
1938
10.536
1937
12.868
1939
16.405
Sumber: Harun Yahya, Palestina Zionisme dan Terorisme Israel, 2005, hal. 55. Pada tahun 1931, Dunia Islam mulai menaruh konsentrasi terhadap masalah Palestina, hingga digelarlah Konferensi Umat Islam di Yerusalem. Dalam konferensi ini hadir 22 delegasi dari berbagai daerah, termasuk diantaranya M. Rasyid Ridha dari Mesir, Shakib dari Arslan dari Libahon, Muhammad Iqbal dari Pakistan, Syaukat Ali dari India, Abdul Aziz ats Tsalibi dari Tunisia, Djia ad Din al Thabathaba’i dari Iran, dan Syukri al Kutili dari Syiria. Konferensi Umat Islam
lxxxvii
ini terhitung sebagai langkah maju, meskipun pada saat itu keberuntungan belum memihak muslim. Sebab negara mereka juga dalam cengkraman Inggris. Berbagai putusan hasil konferensi pun tidak dapat diimplementasikan karena Inggris selalu memberi tekanan. Pada tahun 1932, muslim Palestina berhasil mendirikan Partai Kemerdekaan, tetapi akibat tekanan Inggris partai ini tidak dapat bertahan lebih dari setahun (Abu Bakar, 2008: 244-245). Pada tahun 1935 partai-partai politik Palestina dengan maksud untuk membulatkan perjuangan nasional telah bergabung dalam suatu front yaitu panitia Arab tertinggi. Pada tanggal 26 November 1935, panitia ini memajukan suatu nota kepada pemerintah Inggris, berisi tuntutan-tuntutan sebagai berikut : (1) Membentuk suatu pemerintahan nasional yang bertanggung jawab kepada parlemen. (2) Menghentikan sama sekali pemindahan kaum Yahudi ke Palestina. (3) Melarang penjualan tanah kepada kaum Yahudi. Sebagai jawaban atas nota Arab ini, menteri jajahan Inggris mengusulkan sebagai langkah pertama menuju pemerintahan demokrasi, supaya dibentuk suatu dewan Legislatif yang terdiri dari 28 anggota: 5 dari kalangan pegawai, 2 dari kalangan pedagang, 11 dari kalangan Islam di antaranya 8 dipilih dan 3 diangkat, 7 dari golongan Masehi diantaranya 5 dipilih dan 2 diangkat. Akan tetapi usul ini ditolak Inggris (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 16). Mereka juga mulai menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyuarakan hak keadilan kepada pemerintah Inggris. Mereka mulai menempatkan Inggris sebagai musuh Palestina. Pada bulan April tahun 1936 Panitia Arab tertinggi memajukan lagi pada pemerintah Inggris tuntutan-tuntutannya seperti yang telah dimajukannya pada bulan November 1935. Pada kali ini tuntutan-tuntutanya itu diiringi dengan suatu pemogokan umum di seluruh Palestina. Pada tanggal 5 Mei 1936 pemogokan ini berubah menjadi bentrokan. Antara rakyat dengan alat-alat kekuasaan negara terjadi bentrokan dan perkelahian yang menumpahkan darah. Untuk memadamkan pemberotakan bersenjata ini, pemerintah Inggris disamping menurunkan kekuatan polisi biasa, telah menurunkan pula pasukan-pasukan polisi istimewa yang kebanyakan orang-orang Yahudi dan 100.000 tentara Inggris yang diperlengkapi dengan alat-alat senjata modern termasuk pesawat udara, tank, dan sebagainya.
lxxxviii
Telah enam bulan pemberontakan berlangsung dengan sengitnya akan tetapi belum dapat dipadamkan, meskipun Inggris mempergunakan cara-cara kekejaman yang luar biasa (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 17). Untuk memadamkan pemberontakan itu, permintahan Inggris membujuk pemimpin spiritual Palestina Muhammad Amien Husein agar menginstrusikan kepada rakyat Palestina mengakhiri aksinya. Pemerintah protektoral Inggris waktu itu juga menjanjikan akan menyelesaikan masalah Palestina bila Amien Husein bersedia menggunakan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina. Amien Husein, dengan jaminan Inggris dan atas nama solidaritas dengan negara Arab, memenuhi permintaan tersebut dan aksipun kemudian berhenti. Untuk meredakan perlawanan bangsa Arab Palestina yang menentang imigrasi Yahudi dan menuntut berdirinya negara Arab Palestina merdeka Inggris menggunakan kebijakan lain. Oleh karena dengan cara kekerasan fisik tidak membawa hasil, maka untuk menyelesaikan masalah Palestina,
pemerintah
Inggris mencoba meredakan suasana dengan cara-cara lain, diantaranya: a) Mengirim Misi Peel Reaksi resmi Inggris terhadap manifestasi nasionalisme Arab tetap tidak berubah. Setelah datangnya krisis yang bertubi-tubi, sebuah Komisi dikirim ke Palestina untuk melakukan penyelidikan. Pada tanggal 27 Agustus 1936 pemerintah Inggris mengirimkan ke Palestina suatu misi yang terkenal dengan Misi Peel, untuk menyelidiki sebab-sebab terjadi keributan dan mengajukan usulusul kepada pemerintah Inggris mengenai masalah Palestina. Misi ini mencoba mendekati bangsa Arab akan tetapi tidak berhasil. Kaum pemberontak tidak mau meletakkan sejatanya. Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Kaum pembrontak yang yang dipimpin oleh Fauzi Al Qauqji terus mengangkat panji-panji Jihad untuk mencapai kemerdekaan Palestina. Akan tetapi, atas seruan raja-raja Arab untuk menghentikan penumpahan darah dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dengan cara
lxxxix
damai, bangsa Arab terpaksa meletakkan senjata tanggal 13 Oktober 1936. Hasil dari usaha-usaha raja-raja Arab ini menimbulkan kepuasan dan kelegaan di pihak Inggris, karena berlarut-larutnya pemberontakan di Palestina bukan tidak mungkin akan mengancam kedudukan Inggris, tidak saja di Palestina akan tetapi juga di daerah-daerah Timur Tengah yang lain (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 18). Setelah Misi Peel mengadakan peninjauan beberapa bulan di Paletina, misi ini menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Misi Peel ini mengusulkan supaya Palestina dibagi menjadi tiga daerah (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 19) : 1. Daerah tepi pantai sebelah utara (daratan rendah yang amat subur) mulai dari Tel Aviv dan daerah Galilea utara termasuk pelabuhan Heifa dan Akka, dijadikan negara Yahudi. 2. Daerah lain yang tidak termasuk dalam daerah yang tersebut diatas, digabungkan dengan Yordania menjadi satu negara Arab. 3. Tempat suci di Yerusalem, Betlehem dan Nazaret dengan suatu coridor ke Jaffa, merupakan daerah yang berlangsung dibawah mandat Inggris. Diusulkan juga supaya negara Arab dan negara Yahudi yang akan dibentuk itu harus terikat dengan pemerintah Inggris dengan dua perjanjian yang terpisah-pisah, dengan perjanjian kedua negara tersebut tetap berada dibawah mandat Inggris. Pada waktu diumumkan usul Misi Peel, penolakan orang-orang Arab terhadap rencana pemisahan itu langsung terjadi, dan salah satu alasan mereka adalah pengalihan tersebut dilakukan secara paksa. Orang-orang Yahudi setuju pada rencana pemisahan tersebut, walaupun negara kecil yang diberikan pada mereka amat terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan mereka (Karen Amstrong, 2006: 179). Pada tanggal 7 Juni 1937 usulan Misi Peel disampaikan kepada Panitia Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa. Panitia ini pada prinsipnya juga memperkuat usul untuk meletakan negara Arab dan negara Yahudi dibawah mandat Inggris dan menunda kemerdekaan negera-negara tersebut untuk sementara waktu. Panitia
xc
Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa tersebut meminta kepada Pemerintah Inggris untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu buat melaksanakan prinsip pembagian Palestina itu. Untuk ini pemerintah Inggris membentuk suatu komisi dibawah pimpinan Woodhead (komisi Woodhead) untuk mempelajari rencana Misi Peel mengenai pembagian Palestina itu (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 20). Sebagai reaksi atas rencana pembagian itu, di sana timbul lagi huru-hara yang lebih dasyat dari huru-hara yang terjadi pada tahun 1936. Pergerakan muslim Palestina semakin memuncak dalam sebuah aksi massal, hingga membuat kalang kabut Inggris di Palestina. Aksi ini di gelar tahun 1938 yang dikenal dengan nama ”Revolusi Kubra”. Akan tetapi Huru-Hara ini akhirnya dapat ditindas juga oleh Inggris dengan kekerasan dan kekejaman. Pada bulan Oktober 1938 komisi Woodhead menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Menurut pendapat komisi ini bahwa penyelesaian masalah Palestina yang didasarkan atas pokok pikiran membagi-bagi Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena komisi Woodhead melihat ada tentangan yang amat hebat dari pihak Arab terhadap pembagian Palestina. Akhirnya pemerintah Inggris terpaksa mencabut kembali ketetapannya untuk membagi-bagi Palestina (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 21). b) Konferensi London Konferensi berlangsung di London ( Februari dan Maret 1939). Para delegasi Arab dan Yahudi mengadakan pertemuan terpisah karena delegasi Arab Palestina menolak duduk dengan delegasi Yahudi. Namun, konferensi ini tidak menghasilkan kesepakatan karena pihak masing-masing tetap teguh pada pendiriannya. Para delegasi Arab mengulangi tuntutan mereka atas kemerdekaan dan penghentian imigrasi Yahudi. Delegasi Yahudi menekankan diteruskannya pelaksanan imigrasi. Proposal Inggris yang bersifat kompromis ditolak kedua belah pihak sehingga konferensi dibubarkan tanpa menghasilkan suatu kemufakatan (George Lenczowski, 1993: 243). Dalam konferensi itu delegasi Yahudi tidak hanya terdiri atas Zionis dan Agen Yahudi, tetapi juga para tokoh Yahudi yang terkemuka lainnya dari Inggris,
xci
Amerika Serikat, dan Eropa. Delegasi bangsa arab Palestina terdiri dari wakilwakil negara-negara Arab merdeka, yaitu Mesir (Amir Abd al Mun’in), Saudi Arabia (Amir Faisal), Yaman ( Saiful Islam Amir Husein), Irak (Nurl as Said) dan Yordania (Taufiq Abu Al Huda). c) Naskah Putih Inggris Tahun 1939 Oleh karena pada waktu itu Inggris hampir diambang pintu Perang Dunia II dan menginginkan adanya ketentraman di Palestina, maka pada tanggal 17 Mei 1939 pemerintah Inggris mengeluarkan ”Buku Putih”(Naskah Putih) yang kesimpulannya ada sebagai berikut : 1) Dengan terang dan tegas bahwa pemerintah Ingris tidak mempunyai maksud untuk mendirikan negara yahudi di Palestina. Disamping ini pemerintah membantah anggapan bahwa pemerintah Inggris mepunyai maksud untuk menggabungkan Palestina kepada salah satu negara Arab. 2) Pemerintah Inggris bermaksud akan mendirikan di Palestina suatu pemerintahan yang merdeka yang terdiri dari Arab dan Yahudi, dengan kepentingan kedua belah pihak dapat terjamin. Pemerintah ini akan didirikan dalam waktu sepuluh tahun, atas dasar suatu perjanjian yang diikat dengan Inggris, dimana kepentingan dari kedua belah pihak dapat terjamin, baik mengenai strategi maupun mengenai perdagangan. Untuk mencapai maksud ini, pemerintah Inggris berusaha supaya rakyat Palestina dapat turut serta dalam memikul tanggung jawab dalam
sebagian
besar
jabatan-jabatan
pemerintah.
Apabila
keamanan dan ketentraman sudah cukup terpelihara, akan diserahkan pada rakyat Palestina sendiri nanti departemendepartemen pemerintah dengan mendapat petunjuk-petunjuk dari penasehat-penasehat Inggris, di bawah pengawasan komisaris tinggi Inggris. Dari bibit-bibit inilah nanti akan dapat ditumbuhkan suatu dewan menteri. Sesudah lima tahun keadaan berjalan dengan baik, suatu komisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat Palestina
xcii
dan pemerintah Sri Baginda akan berkumpul untuk menyusun undang-undang dasar negara. Apabila timbul sesuatu kejadian yang memaksa pemerintah Inggris untuk menunda pembentukan suatu pemerintah yang merdeka. Pemerintah Inggris harus bermusyawah lebih dulu, dengan wakilwakil rakyat Palestina, Lembaga Bangsa-Bangsa dan negaranegara Arab, sebelum mengambil sesuatu keputusan untuk menunda pembentukan itu. 3) Ditetapkan untuk memberi keizinan kepada 100.000 orang Yahudi untuk pindah ke Palestina dalam masa lima tahun, yaitu antara tahun 1939 dan tahun 1944. Sesudah tahun 1944 dilarang sama sekali pemindahan orang-orang Yahudi ke Palestina. 4) Dilarang menjual tanah kepada orang-orang Yahudi di daerahdaerah yang padat penduduknya. Dan akan ditentukan beberapa daerah penduduk diberi izin untuk menjual tanah-tanahnya kepada orang-orang Yahudi di bawah pengawasan pemerintah, apabila penjualan itu membawa keuntungan kepada kedua belah pihak. Dan akan ditentukan pula daerah-daerah dimana penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi diizinkan dengan tidak bersyarat (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 22-24). Menanggapi kebijakan ini, bangsa Palestina tetap menaruh keraguan, sebab setiap kali Inggris berjanji selalu mengingkari, mereka juga tidak puas dengan British White Paper yang dikeluarkan. Yahudi dengan serta merta juga langsung menolak mentah-mentah keputusan British White Paper tersebut. Kebijakan Inggris menjadi sia-sia, sehingga situasi politik di Palestina pun semakin keruh dan memanas (Abu Bakar, 2008: 245). Diambang pecahnya perang dunia ketergantungan internasional memuncak dan membuat Inggris mencoba menerapkan politik rekonsiliasi terhadap dunia Arab untuk menjaga keutuhan garis kehidupan imperium Inggris yang rawan (George Lenczowski, 1993: 244).
xciii
2. Pada Masa Perang Dunia II Pada saat pecahnya Perang Dunia II, September 1939 kedua belah yang bertentangan Yahudi dan Arab Palestina belum dapat dirujukan dan Inggris lebih bertekad untuk menjalankan kebijakan baru di Palestina dan mencegah pecahnya pemberontakan Arab di Timur Tengah. Dalam Perang Dunia II ini Inggris terlibat perang besar menghadapi Jerman. Mufti al Hajj Amin (pemimpin spiritual Palestina) mulai melirik Jerman sebagai negara musuh Inggris dan paling anti semit di Eropa. Dalam usaha tersebut, Amin berhasil melibatkan 100 pemuda Palestina dalam latihan perang bersama Jerman. Di sisi lain, ia juga berhasil menyelundupkan 30.000 senapan ke Libya untuk perang mengadapi Inggris dan Yahudi di Palestina. Namun, pihak Sekutu terutama Prancis, berhasil menghancurkan Jerman dan Italia pada Perang Dunia II. Hal ini tentu tidak menguntungkan posisi Palestina, sehingga cukup mudah Inggris mementahkan gerakan Amin. Pada saat yang bersamaan, Zionisme telah memanfaatkan isu anti Semit di Jerman untuk memperoleh simpati internasional, terutama dari Amerika (Abu Bakar, 2008: 245-246). Pada Perang Dunia II Inggris dalam menghadapi Jerman (pihak poros) melibatkan bangsa Arab Palestina maupun Yahudi untuk berperang di pihak Sekutu (Inggris). Selama Perang Dunia II ada 12.000 orang Arab Palestina yang terdaftar dan masuk angkatan bersenjata Inggris guna memerangi pihak poros. Bantuan yang diberikan bangsa Arab Palestina kapada Inggris dalam Perang Dunia II dikarenakan pemerintah Inggris berjanji kepada bangsa Arab Palestina untuk mengakui prinsip pembentukan ”Negara Kesatuan Palestina” yang akan mendapatkan kemerdekaannya dalam waktu 10 tahun seraya menentukan segera dimulainya pembentukan suatu majelis legislatif, pembatasan orang-orang Yahudi dan penetapan peraturan-peraturan yang melarang penjualan tanah-tanah rakyat Arab Palestina kepada pendatang-pendatang Yahudi di beberapa daerah Palestina. Akan tetapi Inggris tidak sungguh-sungguh dalam janjinya, maka Inggris tidak melaksanakan apa dari rekomendasi yang ia buat sendiri itu (Chefik Chehab, 1980: 12).
xciv
Perang Dunia II ini menyebabkan Palestina berada dalam keadaan gencatan senjata buatan, terutama karena kehadiran banyak divisi sekutu di Palestina. Bila rakyat Arab Palestina memutuskan perang gerilyanya, itu akan berarti tindakan bunuh diri bagi mereka, karena mereka akan menghadapi tentara sekutu. Di tengah kemelut Perang Dunia II dan krisis Timur Tengah, organisasi Zionisme mulai melakukan perampasan tanah penduduk Palestina. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan serta menggantikan bangsa Arab dengan orang Yahudi. Pada 11 Mei 1942 organisasi Zionis Amerika bersidang di New York dan menghasilkan Program Baltimore yang diajukan oleh David Ben Gurion, ketua komisi eksekutif agen Yahudi. Zionis berhasil memperoleh dukungan partai Republik dan partai Demokrat di Amerika Serikat. Program Biltimore berisi (1) pendirian negara Yahudi mencakup seluruh Palestina, (2) pembentukan militer Yahudi dan (3) penolakan naskah putih 1939 dan diteruskannya imigrasi tak terbatas ke Palestina yang tidak hanya di awasi oleh Inggris, tetapi juga oleh Agen Yahudi (George Lenczowski, 1993: 245). Dengan demikian menunjukan betapa besar pengaruh Zionisme atas penguasa-penguasa pemerintahan Amerika Serikat, sampai ke tingkat tinggi yaitu parleman. Tindaklah sulit untuk di mengerti bahwa mulai ada kerjasama antara Amerika Serikat dan Inggris dalam pembentukan negara Israel. Pada tahun 1943 Perdana Menteri Inggris, Winston Churchil merestui pembentukan suatu pasukan Yahudi yang ditempatkan dalam tentara Inggris sebagai satuan tersendiri. Hal ini adalah langkah pertama untuk memungkinkan kaum zionis mempersiapkan diri secara militer guna merebut tanah Palestina dari bangsa Arab Palestina pada kesempatan nanti. Winston Churchil pulalah yang menyetujui di bentuknya pasukan-pasukan komando yang terkenal dengan nama ”Palmach” yang dilatih keras dalam berbagai macam sabotase dan pengrusakan (Chefik Chehab, 1980: 14). Gencatan senjata berakhir sampai tahun 1943. Pada tahun itu Palestina dilanda terorisme baru, namun kali ini Yahudilah yang melakukan serangan. Sasaran utamanya ialah pemerintah Inggris. Ada dua faktor yang menyebabkan
xcv
timbulnya pergolakan ini. Pertama adanya peningkatan luar biasa imigrasi Yahudi ilegal dari Eropa ke Palestina. Para korban akibat penyiksaan Nazi berdatang ke Palestina. Pemerintah Inggris melarang mereka masuk ke Palestina, sehingga para imigran itu diungsikan ke kamp-kamp perkampungan di Siprus dan wilayah seberang lainnya. Kadang usaha Inggris untuk membantu kaum Zionis itu berkurang, disebabkan tekanan-tekanan yang datang dari bangsa Arab, kaum muslim dan reaksi internasional terhadap Inggris. Peristiwa tragis kemudian terjadi ketika kapal yang mengangkut Imigran ”Struma” karam di dekat pantai Turki (Inggris sebelumnya telah melarang kapal itu berlabuh di Palestina). Bangsa Yahudi kehilangan kesabarannya dan memaksa Inggris agar memudahkan undang-undang imigrasinya. Kedua, tekanan yang meningkat bagi pemecahan sikap pro Zionis yang dilakukan oleh Zionis Amerika (George Lenczowski, 1993: 245). Pada tahun 1943, Menacnem Begin mengambil alih komando Irgum Zvai Leumi tentara militer kaum Revolusioner, dan dua bulan kemudian memulai serangkaian kegiatan teroris melawan pemerintah Inggris. Begin menolak label teroris itu, walaupun ia mengutuk pembunuhan, ia meledakkan kantor-kantor CID (Criminal Investigation Department, Departemen Investigasi Kriminal), pusatpusat pajak dan gedung imigrasi, menanam bom-bom, memimpin berbagai serbuan yang menewaskan banyak penduduk sipil maupun Arab. Organisasi teroris yang lain adalah Lehi, dipimpin oleh Avra Stern dan oleh Inggris disebut ”Stern Gang”, Stern sendiri terbunuh pada tahun 1942. Tapi Yitzhak Shamir, yang kemudian menjadi perdana menteri Israel di tahun 1986, terus bekerja untuk organisasi tersebut. Begin membenci kelompok Stern karena metode-metodenya kasar. Begin tidak sama sekali memiliki kaitan opperasioperasi dengan Lehi. Namun, Kedua kelompok segera bergerak bersama-sama menyusul sebuah pembunuhan di tahun 1944 oleh Stern Gang terhadap Lord Moyne menteri Inggris untuk urusan Timur Tengah (Karen Amstrong, 2006: 181). Penyerangan yang terus menerus dilakukan oleh Irgum dan Stern terhadap markas besar polisi dan pemerintahan sipil maupun militer Inggris mengakibatkan merosotnya keamanan dan ketertiban di tanah Palestina. Tindakan teror ini
xcvi
dikutuk oleh badan resmi Zionis dan para rabbi Yahudi. Situasi yang kian memburuk itu membuat mata dunia tertuju ke Palestina dan mendesak Inggris dan Amerika agar melaksanakan politik mereka terhadap zionisme (George Lenczowski, 1993: 246).
3. Pada Pasca Perang Dunia II a. Komisi Penyelidikan Inggris – Amerika Serikat Pada tanggal 31 Agustus 1945 Presiden Truman mengajukan permintaan kepada perdana menteri Inggris Clement Attle, untuk memasukan 100.000 pelarian Yahudi ke Palestina. Dalam tanggapannya, Inggris mengusulkan untuk membentuk komisi penyelidik Inggris-Amerika guna mempelajari masalah Yahudi, jadi mengalihkan sebagian dari beban tanggung jawab Inggris kepada Amerika. Anjuran Inggris ini diterima baik oleh Washington. Kedua pemerintah membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota-anggota yang bukan pegawai kedua negara itu. Komisi gabungan itu mengadakan dengar pendapat di London dan Washington, mengunjungi kamp-kamp orang terlantar di Amerika, Jerman Barat dan Austria serta melakukan perjalanan ke negara-negara Arab. Setelah mengadakan peninjauan di Amerika, Eropa, dan negara-negara Arab, maka pada tanggal 20 April 1946 panitia tersebut mengajukan usul-usul mengenai penyelesaian masalah Yahudi itu. Kesimpulan dari usul-usul itu adalah sebagai berikut: (1) Palestina diletakkan dibawah perwalian PBB, sementara itu pemerintah mandat yang sekarang diteruskan, (2) Pemasukan 100.000 Yahudi korban Nazi dan Fasis diteruskan dan (3) Pembatalan peraturan untuk membatasi penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 26-27). Amerika Serikat dan Inggris tidak menerima atau menolak rekomendasi tersebut. Kemudian kedua pemerintah itu membentuk sebuah komisi InggrisAmerika baru yang terdiri dari pejabat tinggi untuk mencari jalan bagi pelaksanaan rekomendasi itu. Sebagai hasilnya panitia ini telah mengajukan suatu rencana yang terkenal dengan Grandy Morrison Plan.
xcvii
Pokok pikiran yang dipakai oleh komisi Inggris-Amerika ini untuk memecahkan masalah Palestina adalah pembagian Palestina seperti yang pernah dikemukakan Misi Peel dahulu. Lebih jelas komisi ini mengusulkan supaya di Palestina dibentuk suatu negara Federal yang terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi. Sedangkan masalah pemindahan kaum Yahudi ke Palestina bergantung atas persetujuan bersama, pihak Arab dan pihak Yahudi Sudah tentu karena penyelesaian ini berdasar atas pembagian, rencana Grady Morrison itu tidak dapat diterima oleh bangsa Arab. Pihak Yahudi sendiri rupanya sangat kecewa dengan usulan penyelidikan Inggris-Amerika ini. Setelah gagalnya usaha panitia penyelidikan Inggris –Amerika itu, Lembaga Arab menuntut kepada pemerintah Inggris untuk membuka suatu perundingan untuk menyelesaikan masalah Palestina, dengan sugesti harapan bahwa apabila didalam perundingan itu tidak bisa juga dicapai persetujuan, maka baiklah masalah itu dimajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usulan lembaga Arab ini diterima baik oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1946 berlangsunglah konferensi antara pemerintah Inggris dan wakil-wakil negara-negara Arab. Dalam konferensi itu pemerintah Inggris memajukan rencana yang berdasar atas (1) pembagian Palestina (pembentukan suatu negara ini terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi ), (2) pembukaan terus pintu Palestina kepada imigran Yahudi dan (3) diteruskanya mandat Inggris atas Palestina. Rencana Inggris ini ditolak oleh pihak Arab. Kemudian pihak Arab memajukan usulan balasan yang berdasar atas pokok-pokok yang tersebut ini : (1) kemerdekaan Palestina, (2) penghapusan mandat, (3) turutnya bangsa Arab dan Yahudi yang telah menjadi warga negara Palestina dalam pemerintahan yang baru atas dasar perimbangan jumlah penduduk, (4) jaminan yang cukup terhadap gologan-golongan kecil (minoritas) mengenai agama dan hak-hak sipil, demikian juga terhadap tempat-tempat suci, (5) pemberhentian imigrasi ke Palstina dan (6) larangan menjual tanah dari orang-orang Arab kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 28). Usulan pihak Arab ini ditolak oleh Inggris. Kalau sekiranya Inggris memang benar-benar jujur dan betul-betul hendak ingin menyelesaikan masalah
xcviii
Palestina, sudah selayaknya usul pihak itu diterima, karena usul ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan rencana Inggris yang telah ditetapkan dalam naskah putih Inggris 1939. Hal ini menunjukan bahwa Inggris tidak menghendaki berdirinya negara Palestina merdeka, tetapi Inggris lebih mendukung pihak Yahudi yang ingin mendirikan tanah airnya di tanah Palestina. Inggris memajukan usul balasan sebagai berikut (1) pemindahan Yahudi ke Palestina diterusakan menurut kesanggupan Palestina untuk menerimanya, dengan ketentuan bahwa 200.000 orang Yahudi harus dimasukan ke Palestina dalam masa dua tahun dan (2) Palestina akan merdeka dalam masa lima tahun, dengan syarat harus terdapat persetujuan antara bangsa Arab dan Yahudi mengenai undang-undang dasar. Usul Inggris yang baru ini ditolak oleh pihak Arab. Dengan kata lain konferensi ini mengami kegagalan (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 29). Pada tahun 1946, presiden Amerika Serikat Harry S Truman terus menekan Inggris agar memberikan izin masuk bagi 100.000 Yahudi korban Nazi Hitler di Jerman. Inggris tetap menolak, tentunya demi kepentingan politik dan ekonomi di Timur Tengah. Disisi lain, Yahudi mulai melakukan pemberontakan dan perlawanan melalui aksi terorisme terhadap kepentingan Inggris, seperti kelompok Irgum dan Lehi atau Stern Gang. Pada tahun tersebut, Stern Gang melakukan aksi pengeboman di King David Hotel. Dilaporkan, aksi teror ini telah menewaskan sebanyak 91 orang yang terdiri atas 41 orang Arab, 28 orang Inggris, 17 orang Yahudi serta korban lain. Setahun kemudian, mereka kembali melemparkan bom ke Semiramis Hotel dan berhasil membunuh 22 muslim dan membantai 254 penduduk Deir Yasin. Mereka juga membunuh Count Folke Bernadotte, seorang wakil khusus PBB di Palestina. Bangsa Yahudi benar-benar telah menciptakan masalah berskala internasional dan menjadi biang masalah di Palestina (Abu Bakar, 2008: 246). b. Masalah Palestina Dalam PBB dan Berdirinya Negara Israel Terdorong oleh tekanan Amerika Serikat dan karena terdesak dalam persengketaannya, baik oleh pihak Arab maupun oleh pihak Yahudi ditambah pula oleh keadaan keamanan Palestina yang makin hari makin buruk, akhirnya
xcix
pemerintah Inggris memutuskan akan mengajukan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam keterangan dimuka balai rendah Inggris pada tanggal 18 Februari 1947, Mr Bevin menteri luar negeri Inggris mennyatakan sebagai berikut “Ternyata bahwa mandat tidak dapat diteruskan lagi di Palestina dan bahwa masalah Palestina mau tidak mau harus diserahkan kepada PBB” (Daliman, 1998: 144). Pada tanggal 2 April 1947, Inggris membawa masalah Palestina ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inggris memohon seksi khusus Majelis umum untuk menangani masalah ini. Majelis yang bersidang antara 28 April dan 15 Mei 1947, membentuk komisi khusus PBB bagi Palestina (UNSCOP). Komisi ini, yang terdiri atas sebelas negara untuk mempelajari masalah Palestina dan mengemukakan pendapatnya kepada sidang umum yang akan datang. Panitia itu terdiri dari negara-negara kecil yaitu Austria, Kanada, Chekoslovakia, Swedia, Uruguai, Guatemala, India, Iran, Belanda, Peru dan Yugoslavia dibawah pimpinan delegasi Swedia. Pada bulan September 1947 panitia istimewa PBB untuk Palestina memajukan laporannya kepada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan komisi menyarankan pembentukan segera Palestina yang bersatu secara ekonomi dan merdeka dan akan melewati masa transisi dibawah pengawasan PBB. Disini aklamasi berakhir dan laporan itu kemudian dibagi ke dalam rencana mayoritas dan rencana minoritas. Rencana mayoritas yang disokong oleh Kanada, Cekoslovakia, Guatemala, Belanda, Peru, Swedia dan Uruguay mengusulkan untuk membagi Palestina menjadi negara Arab, negara Yahudi, dan meletakkan Yerusalem (Baitul Maqdis) dibawah perwalian PBB. Rencana minoritas disokong oleh India, Iran dan Yugoslavia mengusulkan negara federasi Palestina yang terdiri atas dua negara yaitu negara Arab dan negara Yahudi, masing-masing mendapat otonomi lokal. Imigrasi ke negara Yahudi akan diizinkan selama tiga tahun sampai mencapai daya serapannya, yang akan ditetapkan oleh tiga wakil Arab, tiga wakil Yahudi dan tiga dari PBB. Negara-negara Arab lebih setuju pada rencana minoritas ini karena dianggap memuaskan kehendak dasar mereka, yaitu sebuah negara merdeka dengan
c
mayoritas Arab dan pembatasan imigrasi Yahudi. Zionis, walau keberatan menerima rencana mayoritas. Hal ini tidak memuaskan para ekstrimis, namun setidak-tidaknya menjanjikan kemerdekaan negara Yahudi (George Lenczowski, 1993: 248-249). Pada tanggal 8 Oktober 1947 dengan tidak diduga-duga sama sekali, Uni Soviet menyatakan pendiriannya mengenai penyelesaian masalah Palestina ini, yaitu menyokong rencana pembagian Palestina. Pernyataan Uni Soviet ini menimbulkan keheranan dan kekecewaan yang amat besar dikalangan bangsa Arab. Adapun faktor-faktor yang menjadi Back Ground dari pada politik Soviet ini, diantaranya sebagai berikut Pertama, Rusia ingin supaya secepatnya kekuasaan Inggris lenyap dari Palestina dengan tujuan bahwa vaccum di Palestina itu kalau-kalau dapat diisinya. Kedua, Rusia yakin bahwa rencana pembagian itu tentu tidak akan diterima oleh bangsa Arab. Dengan demikian suatu pertempuran bersenjata pasti akan terjadi antara bangsa Arab dan Yahudi. Didalam keadaan kacau nanti Rusia akan mengambil kesempatan untuk mengirim pasukanpasukannya ke Palestina, untuk membantu Yahudi Palestina pada taraf pertama dan untuk menjadi pelopor dari pada infiltrasi politiknya pada taraf kedua. Ketiga, dengan diletakkannya Yerusalem atau Baitul Maqdis dibawah pengawasan internasional, Rusia ingin mengambil kesempatan untuk menanam kukuhnya disana dengan legitimasi PBB. Pendeknya dengan jatuhnya Palestina kedalam kekuasaan Yahudi, Rusia hendak mencoba mempergunakannya sebagai batu loncatan kedaerah-daerah pedalaman Timur Tengah yang lain yang kaya minyak ataupun dengan tempat-tempat yang strategis. Disusul pada tanggal 21 Oktober 1847 Mr. Herschel Jonson wakil tetap Amerika Serikat dalam PBB dalam suatu rapat panitia Ad Hoc sidang umum PBB menyatakan bahwa pemerintahan Amerika Serikat menyokong rencana pembagian Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi. Pada hari itu juga enam orang dari wakil-wakil negara Arab mengeluarkan suatu statement dimana mereka menyatakan keheranannya terhadap sikap Amerika Serikat mengenai penyelesaian masalah Palestina yang tidak adil. Dengan tercapainya persetujuan antara kedua negara besar ini, sudah dapat dikatakan bahwa rencana pembagian
ci
Palestina itu akan mendapat persetujuan sidang umum PBB (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 32-34). Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama memberi suara dukungan terhadap resolusi mengenai pembagian dengan penyatuan secara ekonomi. Kesepakatan seperti ini tidaklah biasa. Inggris mengumumkan pihaknya tidak akan menerima tanggung jawab menjalankan rencana apapun yang tidak bisa diterima baik pihak Arab maupun pihak Yahudi. Perwakilan Inggris mengatakan pada komite Majelis Umum bahwa pasukannya akan segera dievakuasi tidak lebih dari tanggal 1 Agustus 1948. Disetujui bahwa mandat tersebut akan berakhir pada tanggal tersebut, tapi dipikirkan bahwa usul pengakuan bagi negara Arab dan Yahudi tersebut tidak akan diberikan hingga dua bulan kemudian. Selama masa itu, bagaimanapun PBB yang akan bertanggung jawab dan Majelis Umum memintan pada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan seperlunya untuk mengimplementasikan rencana pemisahan tersebut (Philip G. Jessup, 2006: 353). Pada bulan November 1947 usul-usul UNSCOP mengenai penyelesaian masalah Palestina diperdebatkan dalam panitia Ad Hoc sidang umum PBB mengenai rencana mayoritas dan minoritas. Pada tanggal 25 November 1947 panitia ini menyetujui rencana pembagian Palestina yang diusulkan oleh rencana mayoritas dari UNSCOP. Pada tanggal 29 November 1947, tanggal kemenangan dalam sejarah bangsa Yahudi, Majelis Umum memutuskan pembagian Palestina berdasarkan kesatuan ekonomi seperti yang dilaporkan oleh rencana mayoritas Hasilnya dikeluarkanlah resolusi PBB No. 181 tahun 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian yaitu negara Arab dan Yahudi. Negara Arab mencakup bagian tengah dan bagian timur Palestina, dari Lembah Esdraelon ke Beersheba, Galilea Barat dan sepanjang Mediterania dan Gaza Selatan serta sepanjang perbatasan Mesir sampai Laut Merah. Negara Yahudi mencakup Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke selatan Yaffa dan sebagian besar Negeb. Yerusalem dan Bethlehem tidak termasuk dalam kedua negara, dan berada dibawah pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwalian PBB. Majelis Umum juga
cii
memperhatikan keputusan Inggris untuk mengakhiri mandat
pada 1 Agustus
1948. Menetapkan pendirian kedua negara dalam waktu dua bulan setelah kepergian Inggris. Membentuk Komisi Palestina PBB ( UNPAC) United Nations Palestine Commission terdiri dari anggota-anggota dari 5 negara, untuk melaksanakan resolusi dan meminta Dewan Keamanan untuk membantu pelaksanan resolusi memerintahkan menafsirkan setiap upaya untuk mengubah rencana pembagian ini dengan kekerasan sebagai ancaman perdamaian (George Lenczowski, 1993: 249). Pada acara pemungutan suara yang dilakukan, resolusi tersebut praktis tidak menemui hambatan yakni tercatat 33 negara mendukung, 13 menolak dan 10 abstain, sedang satu anggota tidak menghadiri sidang. Adapun negara-negara yang menyetujui rencana pembagian Palestina itu ialah Australia, Belgia, Bolivia, Brazilia, Rusia Putih, Kanada, Kostarika, Chekoslovakia, Denmark, San Domingo, Equador, Prancis, Haiti, Guatemala, Islandia, Liberia, Luxemburg, Belanda, New Zealand, Nikaraguai, Norwegia, Panama, Paraguai, Peru, Philipina, Polandia, Swedia, Ukraina, Afrika Selatan, Uni Soviet, Amerika Serikat, Uruguai dan Venezuela. Negara yang menolak ialah Mesir, Afganistan, Kuba, Yunani, India, Iran, Irak, Suria, Libanon, Pakistan, Saudi Arabia, Yaman,dan Turki. Negara yang abstain ialah Argentina, Chili, Tiongkok, Kolombia, El Savador, Ethiopia, Honduras, Mexico, Inggris dan Yugoslavia. Sedangkan anggota yang tidak menghadiri sidang adalah Siam (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 38). Bangsa Arab merasa sangat kecewa terhadap Amerika Serikat karena kehadiran atau pengaruhnya membantu mengumpulkan suara yang cukup untuk menyokong pembagian Palestina itu. Amerika Serikat juga dicela “berkianat” terhadap banyak janjinya bahwa tidak akan ada keputusan tentang Palestina yang diambil tanpa persetujuan kedua belah pihak yang terlibat. Bangsa Arab meragukan kesahihan daya mengikat resolusi pembagian Palestina 29 November 1947 itu dari segi hukum. Mereka berargumentasi bahwa berdasarkan piagam PBB, majelis tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan yang mengikat tetapi hanya untuk memberikan rekomendasi.
ciii
Dalam sidang 29 November 1947 itu telah dibentuk United Nations Palestine Commission ( UNPAC), untuk melaksanakan keputusan PBB itu. Pada Desember 1947 mulailah terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi. Keadaan ini menyebabkan UNPAC tidak dapat melaksanakan tugasnya (Daliman, 1998: 150). Menghadapi kekerasan antara bangsa Arab Palestina dan Yahudi ini, pada 1 Januari 1948 Inggris menyatakan bahwa karena Arab dan Yahudi tidak menyetujui penyelesaian, ia tidak akan membantu PBB dalam melaksanakan rencana pembagian Palestina, akan mengakhiri mandatnya pada 15 Mei 1948, dan akan menentang masuknya komisi Palestina PBB ke negara ini (George Lenczowski, 1993: 251). Pada bulan Februari 1948 Inggris sudah melakukan evakuasi dari sebagian besar daerah-daerah yang bagi orang-orang Yahudi, seraya menyerahkan daerahdaerah itu kepada penguasa-penguasa Yahudi. Inggris telah pula memberikan bantuan-bantuan yang lengkap dengan segala persenjataan kepada kaum Yahudi. Pelabuhan Tel Aviv jatuh ke tangan Yahudi, dimana ribuan imigran-imigran baru serta sejumlah senjata-senjata dan perlengkapan perang yang tak terhitung banyaknya telah masuk(Chefik Chehab, 1980: 14-15). Oposisi Arab juga mempengaruhi Amerika Serikat. Pada 19 Maret Amerika Serikat menyatakan didepan Dewan Keamanan PBB bahwa bila pembagian Palestina tidak dapat dilaksanakan, Palestina seharusnya diawasi oleh perwalian sementara PBB. Berarti dalam masalah ini Amerika serikat mencoba menjilat ludahnya kembali yang sebelumnya setuju terhadap rencana pembagian Palestina. Keadaan Palestina pada waktu itu terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi, rupanya telah membuat pendirian Amerika Serikat manjadi goyah. Perubahan politik ini mendatangkan protes dari Zionis. Sidang khusus Dewan Keamanan lainya pada 16 April dan 15 Mei 1947 memperbincangkan proposal Amerika Serikat, namun gagal menghasilkan kesepakatan. Soviet, khususnya bersikeras atas pelaksanaan resolusi pembagian 29 November 1947. Akhirnya Majelis Umum menyarankan penunjukan mediator dan PBB bagi Yerusalem (George Lenczowski, 1993: 251).
civ
Pada tanggal 14 Mei 1948 Inggris secara resmi mengakhiri mandatnya atas Palestina kemudian menarik pasukan terakhir dari negara ini. Pada hari yang sama Dewan Nasional di Tel Aviv memproklamasikan negara Yahudi Israel, dengan Chaim Weizmann sebabagai Presiden dan David Ben Gurion sebagai perdana menteri dengan berpijak pada legitimasi resolusi No. 181 pada 29 November 1947. Deklarasi itu di dihadiri sekitar 37 orang Yahudi. Satu hal menarik bahwa di antara 37 orang hanya seorang Yahudi lahir di Palestina, 35 kelahiran Eropa dan seorang lagi kelahiran Yaman (Abu Bakar, 2008: 252). Beberapa jam kemudian negara baru itu diakui oleh presiden Truman atas nama pemerintah Amerika Serikat kemudian diikuti pula oleh Uni Soviet dan negara-negara barat lainnya, seperti Inggris dan Prancis sebagai sebuah negara merdeka. Dengan pengakuan negara-negara besar ini negara Israel mempunyai kedudukan yang kuat dalam dunia internasional. Selanjutnya negara baru Israel tersebut berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Dengan berdirinya negara Israel tanggal 14 Mei 1948 di negara Palestina, maka perjuangan rakyat Palestina makin bertambah sulit. Apalagi negara Israel selalu mengintai untuk meluaskan daerahnya. Negara Arab waktu itu tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara (M Riza Sihbudi dan Achmad Hadi, 1992: 61).
C. Reaksi Bangsa Arab Palestina Setelah Berdirinya Negara Israel
1. Bangsa Arab Palestina Kehilangan Palestina Pada tanggal 29 November 1947, dengan diakui resolusi PBB No. 181 tentang pembagian tanah Palestina, menjadikan ratusan warga Palestina tiba-tiba tidak berwarganegara ditanahnya sendiri. Menurut resolusi ini, menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian, yaitu 55 persen untuk orang Yahudi dan 45 persen untuk Arab. Rencana pembagian itu diterima oleh kaum zionis, bahkan setelah itu pasukan-pasukan bersenjata Yahudi langsung terjun mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukan bagi negara Yahudi, sementara bangsa Arab Palestina menolak rencana tersebut. Sebelum rencana itu dilaksanakan, bangsa Arab Palestina langsung terjun menghadapi tentara-tentara
cv
Yahudi yang berusaha merampas kampung-kampung warga Palestina, bangsa Arab Palestina berjuang sebagai gambaran dari keinginan mereka mengusir pengungsi-pengungsi Yahudi Eropa yang berdatangan ke tanah Palestina. Perang bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi pun tidak dapat terelakkan lagi. Para sukarelawan dari negara-negara Arab direkrut untuk mempertahankan Palestina, dan setelah Januari 1948 detaseman bersenjata Arab mulai memasuki Palestina dan menyerang perkampungan Yahudi. Hingga 1 Februari bentrokan ini telah menelan korban lebih dari 2.500 orang, dan tiap hari korban lainnya berjatuhan. Komisi Arab Palestina pada tanggal 6 Februari 1948 menyatakan bahwa setiap usaha Yahudi atau negara lain atau kelompok negara untuk membentuk negara Yahudi di wilayah Arab merupakan penindasan akan dilawan dengan kekerasan sebagai upaya membela diri (George Lenczowski, 1993: 251). Pada 14 Mei 1948 Dewan Kebangsaan Yahudi di Tel Aviv memprokamirkan negara Zionis Israel, sebelumnya diawali dengan tindakan pengusiran terhadap bangsa Arab Palestina dari kampung-kampung halamannya. Liga Arab memutuskan untuk mengirimkan tentara ke Palestina untuk menyelamatkan bangsa Arab Palestina dari kekejaman bangsa Yahudi. Negaranegara Arab muslim Timur Tengah secara serentak menolak keberadaan negara Israel di Palestina. Mesir, Yordania, Syria, Libanon, Irak dan kelompok-kelompok pejuang Palestina segera berkosolidasi untuk menghadapi tantangan Israel, sekutu Amerika Serikat (Abu Bakar, 2008: 253). Saat perang berakhir bulan Desember 1948, negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina tidak berhasil mengalahkan Israel. Dengan demikian intervensi militer negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina itu juga gagal menyelesaikan persoalan. Sebagai akibat kekalahan Arab itu terjadi suatu tragedi yang sampai sekarang belum dapat diatasi. Rakyat Arab Palestina tidak hanya gagal mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara, tetapi juga kehilangan wilayah, terpecah dalam berbagai kelompok dan tersebar di banyak negara, sebagaian besar sebagai pengungsi (Kirdi Dipoyudo, 1982 :118). Pada akhir perang itu penduduk Yahudi
cvi
Palestina memiliki suatu negara nasional Israel dan menguasai wilayah yang lebih luas daripada yang dimaksud dalam resolusi pembagian PBB No. 181 tahun 1947. Israel mendapatkan sekitar 50 persen tanah lebih banyak dibandingkan yang telah dibagi menurut keputusan PBB, termasuk seluruh tanah Galilea, tanah berpantai, serta bagian barat laut Yerusalem, dan hanya meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza (Harun Yahya, 2005: 104-105). Dari Pencaplokan wilayah teretorial penduduk Palestina, menimbulkan akibat lebih dari 750.000 orang Arab Palestina meninggalkan segalanya yang mereka miliki, seperti rumah, tanah dan harta benda lainnya dan memilih keluar dari negaranya. Sehingga menimbulkan masalah pengungsian dari penduduk Arab Palestina secara besar-besaran dan cukup tragis. Sekitar sepertiga dari mereka tinggal di Tepi Barat, sepertiga lainnya di Jalur Gaza, dan sisanya menempati pengungsian di negara-negara Arab tetangga, khususnya Yordania, Suriah dan Libanon. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dan diluar kamp, namun tanpa kewarganegaraan. PBB telah mencatat bahwa terdapat 726.000 yang melakukan pengungsian atau sekitar dua pertiga dari total penduduk Israel berkebangsaan Palestina, akibat kebrutalan negara Zionis. Sementara, 25.000 orang Palestina terdaftar sebagai pengungsi kasus perbatasan. Sumber Arab bahkan mencatat ada hampir satu juta rakyat Palestina sebagai pengungsi. Intelejen Israel mencatat 800.000 telah kehilangan harta benda serta rumah mereka alibat kebrutalan zionis Israel pada perang Arab Pertama 1948. Rakyat Arab Palestina pecah menjadi beberapa kelompok, yaitu 623.000 orang di Tepi Barat, 277.000 orang di Jakur Gaza, 120.000 orangdi Israel, 127.000 orang di libanon, 94.000 orang di Yordania dan 78.000 di Suriah. Antara mereka itu sekitar 940.000 orang terdaftar sebagai pengungsi (lihat tabel 3) (Kirdi Dipoyudo, 1981: 99). Tabel 3: Rakyat Arab Palestina Tahun 1949 Negara
Pengungsi
Bukan Pengungsi
Jumlah
Israel
37.600
82.400
120.000
Jalur Gaza
245.000
32.000
227.000
Tepi Barat
357.000
265.600
623.000
cvii
Yordania
94.000
94.000
Libanon
127.800
127.800
Suriah
78.200
78.200
Jumlah
940.000
280.000
1.320.000
Sumber : Kirdi Dipoyudo, Timu Tengah Pusaran Strategi Dunia, 1981 hal. 100. Masalah pengungsian Arab yang tragis merupakan sumber gangguan yang berkepanjangan
bagi
pemerintahan-pemerintahan
negara
Arab
sehingga
menyulitkan dan membahayakan posisi mereka. Di satu pihak, mereka tetap menuntut hak pengungsi untuk kembali ke kampung halamannya. Sikap ini membuat mereka menolak mempelajari setiap proyek pemukiman jangka panjang yang konstruktif. Namun, mereka tidak mampu menyokong tuntutan mereka dengan kekuatan senjata sehingga akhirnya tidak berdaya memecahkan masalah itu. Di pihak lain, struktur sosial dan ekonomi mereka terganggu oleh membanjirnya pengungsi sehingga dana masyarakatnya dialihkan untuk menolong keselamatan hidup pengungsi. Kebijakan negara-negara Arab terhadap pengungsi ini tidak seragam. Yordania, misalnya memberi kewarganegaraan kepada pengungsi, Mesir berada di pihak ekstrim dengan melarang memberi hak bekerja kepada pengungsi sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. PBB sendiri tidak mampu mencurahkan lebih dari $ 50.000.000 setahun bagi para pengungsi, apalagi pada saat yang sama, organisasi pengungsi internasional harus memberi dana bagi orang-orang di Eropa. Dengan demikian, bangsa Arab Palestina semakin sengsara. Pada musim panas 1949 komisi perukunan PBB untuk Palestina merancang perundingan dengan delegasi Israel dan Arab di Lausanne (Swiss) guna mencapai kesepakatan atas masalah pengungsian. Namun, hingga tahun berganti tahun, konperensi tersebut menemukan jalan buntu karena sikap Israel dan Arab tidak dapat di kompromikan. Israel menolak masuknya kembali pengungsi sebelum dicapainya perjanjian perdamaian secara resmi, sedangkan delegasi Arab bersikeras menyatakan bahwa prinsip utama setiap penyelesaian
cviii
perdamaian ialah diterimanya kembali semua pengungsi di kampung halamannya (George Lenczowski, 1993: 258). Ditolak masuknya para pengungsi di kampung halamannya, ditambah lagi oleh stabilitas politik negara-negara yang menjadi tempat pengungsian yang kurang stabil mengakibatkan penderitaan bagi para pengungsi Arab Palestina. Misalnya, Pengungsi di Libanon merupakan pengungsi yang paling mengalami pederitaan akibat perang saudara di negeri tersebut selama 15 tahun. Namun mereka hidup di lingkungan yang memberi keleluasaan tertentu secara politik di bandingkan pengungsi Palestina di negara Arab lain. Nasib pengungsi di Suriah sangat tergantung pada masa depan proses perdamaian Israel-Suriah. Pengungsi Palestina di Yordania yang merupakan terbesar (37 persen dari presentasi keseluruhan pengungsi Palestina di luar negeri), secara politik jauh lebih stabil dan tidak terlalu gelisah dengan hak kembali ke kampung halamannya. Pengungsi Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat merupakan pengungsi yang paling menderita karena hidup dibawah pendudukan Israel serta hidup dalam kepungan tentara Israel (Mustafa Abd Rahman, 2002: 250). Orang-orang Arab Palestina yang tersebar itu harus berjuang mati-matian untuk kelangsungan hidup mereka. Penderitaan yang dialami oleh para pengungsi Palestina juga masih terasa hingga saat ini. Sebagai akibat fragmentasi penyebaran itu, rakyat Arab Palestina mengalami suatu kemunduran sebagai bangsa. Perhatian mereka untuk soal-soal politik menjadi minim dan gerakan nasional Arab Palestina merana. Dalam sengketa Arab-Israel mereka dilihat sebagai pengungsipengungsi yang hak-haknya diperjuangkan negara-negara Arab (Kirdi Dipoyudo, 1981: 100).
2. Nasionalisme Palestina Hidup Kembali Kegagalan negara-negara Arab dalam menyelesaikan permasalahan Palestina, ditandai dengan kekalahan-kekalahan perang melawan negara Zionis Israel, telah menimbulkan kesadaran dikalangan bangsa Arab Palestina, bahwa masalah Palestina hanya bisa diselesaikan oleh bangsa Palestina sendiri. Para pemuda Palestina yang hidup di daerah-daerah pengungsian mulai menyadari
cix
eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Kondisi hidup sulit sebagai pengungsi serta kesadaran bahwa hak dan milik serta tanah air mereka telah dirampas oleh kaum Zionis
Israel
dengan
bantuan negara-negara Barat.
Kondisi
itu
telah
membangkitkan kesadaran semangat Nasionalisme. Biarpun terpecah dan tersebar dalam pengungsian di berbagai negara, orang Arab Palestina tetap merasa terikat merindukan negara asal mereka. Mereka merasa dirinya sebagai orang Palestina, yang pada suatu ketika akan kembali ke tanah air mereka. Biarpun orang Arab Palestina merana, nasionalisme Palestina tetap hidup dan lambat laun berkembang lagi, terutama setelah kalangan mereka muncul pemimpin-pemimpin baru yang menjadi perintis gerakan nasional Palestina baru. Mereka ini memperjuangkan pembebasan negeri mereka dari kekuasaan Israel dan dalam rangka itu berusaha mengobarkan semangat nasional dan menyusun suatu kekuatan sosial (Daliman, 1998: 161-162). Semangat Nasionalisme telah membangkitkan semangat perjuangan bangsa Arab Palestina untuk membebaskan tanah air mereka dari kekuasaan dan pendudukan Zionis Israel, sehingga muncul organisasi perlawanan terhadap negara Zionis Israel, seperti: a) Al Fatah Al Fatah atau Fatah yang dalam bahasa Arab berarti ”penaklukan” merupakan kebalikan dari akronim Haradat al-Tahrir al-Falastin atau Gerakan Pembebasan Palestina. Organisasi ini dibentuk oleh para warga Palestina yang tinggal di Kuwait pada tahun 1958. Tokoh utama berdirinya organisasi ini adalah Yasser Arafat (Musthafa Abd. Rahman, 2002: xxv-xxvi). Fatah memiliki tujuan untuk untuk memerdekakan setiap jengkal wilayah Palestina dari penjajahan Israel. Organisasi ini menjadi organisasi pertama yang punya agenda besar dan mendapat dukungan elit-elit politik Arab secara umum untuk mengusir penjajah Zionis Israel dan mendirikan sebuah negara Palestina merdeka. Fatah didirikan oleh sekelompok warga Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir; seperti Yasser Arafat, Halil Wasir (nama perjuangannya Abu Jihad), Saleh Halif, dan Hani Hasan. Para mahasiswa Palestina yang menempuh studi di Mesir merasa bahwa mereka seringkali hanya
cx
dimanfaatkan oleh Gamal Abdul Nasser demi tujuan politiknya, seperti ketika mereka dipaksa membawa bendera Pan Arabismenya Nasser untuk melawan Israel dan imperialisme Barat dalam Perang Suez 1956. Namun, Mereka menganggap Nasser tidak mungkin memperjuangkan masa depan tanah Palestina. Mereka kemudian berpaling ke Kuwait, dan bergabung bersama dengan Organisasi yang baru tumbuh, yaitu Fatah (Musthafa Abd. Rahman, 2002: xxv). Pada awalnya perjuangan Fatah menggunakan cara kekerasan (non kooperatif), banyak anggota Fatah yang berasal dari Ihwanul Muslimin sebuah organisasi jihad Islam yang tumbuh di Mesir tahun 1928. Operasi-operasi militer yang dilakukan Fatah sering memancing timbulnya bentrokan antara tentara Arab dan tentara Israel. Presiden Nasser dari Mesir yang merasa khawatir dengan perkembangan militerisasi Fatah, pada tahun 1964 Naseer mengumpulkan 13 pemimpin Arab dalam KTT Arab pertama. Dalam pertemuan puncak itulah pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) digulirkan oleh para pemimpin Arab, mereka sengaja mendirikan PLO dengan maksud agar menyaingi sekaligus mengendalikan beberapa organisasi perlawanan Palestina yang telah ada termasuk Fatah. Rezim-rezim Arab khawatir apabila organisasi perlawanan itu tumbuh besar akan merusak stabilitas wilayah Arab. Oleh karena itu diciptakan PLO yang nantinya diharapkan menjadi organisasi alternatif yang tidak merugikan kepentingan Arab. Bahkan Fatah dengan pemimpinnya Yasser Arafat bergabung dalam PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), kemudian Fatah berubah menjadi organisasi yang moderat. Fatah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab moderat, seperti Arab Saudi, Kuwait dan Aljazair. Di dalam Fatah sendiri kemudian muncul kelompok radikal atau garis keras yang antara lain dipimpin oleh Abu Nidal dan kelompok yang dipimpin oleh Abu Musa (M. Riza Sihbudi, 1991: 76). b) PLO (Palestine Liberation Organization) Pada 2 Juni 1964 para pemimpin Arab menggelar konferensi tingkat tinggi di Kairo, Mesir. Melalui konferensi ini lahirlah PLO (Palestine Liberation Organization atau Organisasi Pembebasan Palestina). Keanggotaan Organisasi PLO mencakup hampir semua organisasi gerilyawan dan organisasi massa seperti
cxi
serikat buruh, pelajar, guru, perempuan , penulis, perkumpulan pembisnis dan sejumlah LSM. Meskipun sebagai organisasi milik bangsa Palestina, kantor PLO berpusat di Yordania. Kiprah PLO semakin berpengaruh ketika Yasser Arafat yang berasal dari organisasi Al Fatah, menduduki kursi kepemimpinan. Melalui kepemimpinan Arafat, Palestina sebagai sebuah bangsa mulai diakui di mata dunia internasional (Abu Bakar, 2008: 264). PLO didirikan oleh para pemimpin Arab dengan maksud agar dapat menyaingi dan sekaligus mengendalikan beberapa organisasi perlawanan Palestina yang telah ada. PLO dianggap sebagai payung dari organisasi perlawanan. Di dalamnya ada Fatah, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Demokratik untuk pembebasan Palestina (PDFLP), Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina-Komando Umum (PFLP-GC), Al-Saiqah, Front Pembebasan Arab (ALF) dan lainnya. Tetapi dalam kegiatan operasinya, organisasi-organisasi itu tidak selalu sependapat dengan kebijakan PLO. Sehingga dalam PLO timbul kelompok-kelompok radikal yang ingin menggunakan kekuatan senjata untuk menyelesaikan masalah Palestina dan kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Palestina dengan cara diplomasi. Termasuk kelompok radikat antara lain PFLP, PFLP-GC, Al-Saiqah, ketiga kelompok ini mendapat dukungan dari Suriah. Termasuk kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Palestina dengan cara diplomasi antara lain PDFLP dan Fatah. PDFLP mandapatkan dukungan dari kaum komunis Arab dan Uni Soviet. Perbedaan pendapat ini sedikit banyak mempengaruhi pejalanan hidup PLO, PLO sempat terancam pecah ketika kelompok ”radikal”di bawah George Habash (pemimpin PFLP) membentuk organisasi baru, yaitu front penyelamat Nasional (NST). Pembentukan NST merupakan reaksi terhadap tindakan Arafat yang menandatangani ”Persetujuan Amman” dengan raja Hussein dari Yordania pada Februari 1985. Persetujuan antara lain berisi kesepakatan kerjasama ini, ditentang keras oleh kelompok George Habash. Mereka menganggap hal itu akan mengurangi keberadaan Palestina. Namun, sewaktu diadakan sidang Parlemen Palestina (PNC) ke-18 di Aljazair, April 1987, George Habash bersedia
cxii
membubarkan NSF, setelah Arafat bersedia membatalkan ”Persetujuan Amman” (M. Riza Sihbudi, 1991: 76). Sesuai dengan namanya, PLO memperjuangkan pembebasan palestina dan membentuk negara demokrasi dengan persamaan kedudukan bagi semua penduduk tanpa membedakan ras maupun agama, karena PLO ingin membentuk negara Palestina yang nantinya menjadi negara sekuler dan demokrasi. Dalam melaksanakan pejuangannya PLO bergerak dalam bidang politik dan militer. Dalam bidang politik untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa perjuangan melawan zionis Israel adalah suatu perang pembebasan adil yang harus dilancarkan rakyat Arab Palestina dengan dukungan negara-negara Arab. Dalam bidang militer untuk menyiapkan rakyat Palestina bagi perang pembebasan nasional dan pemimpinnya. Dalam perjuangan militer PLO memiliki tentara pembebasan Palestina dan organisasi-organisasi gerilyawan. Pada tahun 1974, PLO diakui oleh Liga Arab dan kebayakan negara Arab sebagai satu-satunya wakil sah seluruh rakyat Arab Palestina. PLO mempunyai kantor pewakilan di semua negara Arab dan di berbagai negara lain. Pejabat-pejabatnya di beri status diplomatik. Wakilnya di New York diterima PBB sebagai peninjauan dan bekerja sama dengan delegasi –delegasi Arab untuk hak-hak rakyat Arab Palestina (Kirdi Dipoyudo, 1982: 87-88). c) Hamas Hamas merupakan akronim dari bahasa Arab yaitu "Harakat Al Muqawamah Al Islamiyyah”
atau Gerakan Perlawanan Islam. Harakah Al-
Muqawamah Al-Islamiyyah disingkat Hamas didirikan oleh Syekh Ahmad Isma’il Yassin kepala pusat Islam (Islamic Center) di Gaza. Syekh Ahmad Isma’il Yassin juga dikenal sebagai pemimpin spiritual Hamas. Hamas adalah sebuah pergerakan rakyat Palestina yang berusaha untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajahan Zionis Israel yang menjadikan Islam sebagai asas pergerakan. Hamas resmi dideklarasikan pada 14 Desember 1987. Setelah dideklarasikan, Hamas segara memperoleh simpati di tengah bangsa Palestina. Hal ini sangat terkait dengan ketokohan sang pemimpin yaitu Syekh Ahmad Isma’il Yassin (Abu Bakar, 2008: 268).
cxiii
Hamas
memang
dideklarasikan
pada
tahun
1987,
akan
tetapi
keberadaannya di Palestina dengan nama yang lain telah ada sebelum tahun 1948, yang mana keberadaannya dianggap sebagai keturunan dari Jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928. Sebelum Hamas dideklarasikan pada tahun 1987, gerakan ini telah ada di bumi Palestina dengan nama “ Al-Muraabitun ‘ala Ardhi Al-Isra” dan “Harakah Al-Kifah Al-Islami”. Syekh Ahmad Isma’il Yassin mendirikan pergerakan Hamas bersama sahabatsahabatnya dari unsur Ikhwanul Muslimin yang juga berjuang untuk Palestina seperti DR. Abdul Aziz Rantisyi, DR. Mahmud Zhihar dan lainnya (http://lamanislami.blogspot.com/2009/08/10). Munculnya Hamas disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor dalam negeri dan regional. Menjadi faktor dalam negeri adalah karena semakin ganasnya penjajahan Zionis Israel terhadap Palestina yang disertai tindakan-tindakan mereka yang memancing amarah warga Palestina. Adapun yang menjadi faktor regionalnya (seluruh kawasan Arab) adalah akibat dari kekalahan Perang 1967 dan berubahnya ide perlawanan menjadi perjanjian damai, ditambah lesunya semangat kebangkitan Islam pada masyarakat Palestina. Semuanya ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap munculnya pergerakan Hamas. Tujuan utama Hamas adalah untuk kemerdekaan bangsa dan warga Palestina dari penjajahan Zionis Israel, mendirikan Negara berdasarkan Islam, dan membangun pendidikan muslim guna mewujudkan cita-cita. Dalam anggapan Hamas , keberadaan negara Zionis Israel harus ditolak kerena mereka tidak lebih dari sekedar penjajah di negeri Palestina (Abu Bakar, 2008: 268-269). Hamas berusaha melakukan perlawanan terhadap penjajahan Zionis Israel yang didukung oleh kekuatan penjajah Amerika Serika dan sekutunya. Untuk menyukseskan tujuan itu diperlukan perlawanan bersenjata jihad dengan mengikut sertakan bukan saja muslim Palestina tapi muslim seluruh dunia. Gerakan militer dalam pandangan Hamas merupakan sebuah strategi untuk menghadapi rencana Zionis Israel dalam eksistensi di dunia Arab dan Islam secara keseluruhan. Hamas meyakini bahwa cara tersebut bisa mencegah peluang ekspansi Israel terhadap dunia Arab dan Islam (http://bloraku.com/2009/08/10)
cxiv
Lahirnya Hamas telah memicu kematangan tekad pelawanan Palestina terhadap kolonialis Zionis Israel. Aksi massa Palestina pun terus meluas di sejumlah daerah, kemudian dikenal gerakan intifadhah. Gerakan ini tidak hanya melibatkan pemuda Palestina Tetapi juga kaum ibu, gadis, dan anak-anak. Mereka menggelar aksi demonstrasi, pemogokan, dan pemboikotan secara massal sehingga sangat meresahkan dan merugikan kepentingan Zionis Israel
D. Sikap Negara-Negara Timur Tengah Terhadap Pembentukan Negara Israel
Pada 14 Mei 1948 diprokamirkan kemerdekaan negara Israel diatas tanah Palestina oleh Dewan Kebangsaan Yahudi di Tel Aviv. Setelah beberapa jam Amerika Serikat dan Uni soviet disusul juga sejumlah negara lain mengakui keabsahan Israel sebagai negara merdeka. Berbeda dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet, negara-negara Arab muslim di Timur Tengah secara serentak menolak keberadaan negara Israel di Palestina. Mesir, Yordania, Syiria, Libanon, Irak dan kelompok-kelompok pejuang Palestina segera berkonsolidasi untuk menghadapi Zionis Israel dan sekutu Amerika Serikat untuk mempertahankan Palestina. Perang pun tidak dapat terelakan yang selanjutnya dikenal dengan perang Arab pertama (Abu Bakar, 2008: 253). Alasan negara-negara Timur Tengah melakukan perlawanan terhadap Yahudi setelah berdirinya negara Israel adalah negara-negara Arab ingin mempertahankan Arabisme Palestina. Hilangnya tanah Palestina bernilai simbolis dan amat penting bagi dunia Arab, bukan cuma masalah teritorial tapi dapat dipandang sebagai bentuk penghinaan kaum kolonial. Orangorang Arab memandang Zionisme sebagai gerakan kolonial atau memandang Israel sebagai alat Imperialisme Barat. Orang-orang Arab juga memandang Israel sebagai makluk asing, sebuah kehadiran baru di Timur Tengah. Israel dipandang sebagai perwakilan Amerika Serikat di wilayah Timur Tengah. Ada kebenaran dalam anggapan itu jika melihat bantuan yang besar dari Amerika Serikat kepada berdirinya negara Israel (Karen Armstrong, 2006: 207).
cxv
Terjadinya perang Arab pertama tahun 1948 juga dikarenakan aksi provokator dari pihak Zionis Israel. setahun sebelum resolusi PBB No. 181 tahun 1947, Ben Gurion (nantinya menjadi perdana menteri pertama Israel) telah mendapat bocoran dari agen Zionis dan memerintahkan kepada tentara Israel untuk mangamankan daerah yang diperuntukan bagi bangsa Yahudi dengan mencaplok bagian bangsa Palestina. Aksi pencaplokan ini diikuti dengan pembantaiaan
dan
pengusiran
secara
besar-besaran.
Sebuah
sumber
menginformasikan, sekitar 300.000 muslim Palestina dipaksa meninggalkan harta benda dan rumah serta kampung halaman mereka untuk mengungsi ke daerahdaerah di perbatasan. Hal ini menimbulkan kerepotan dan keresahan bagi negaranegara tetangga, seperti Libanon, Syiria, Yordania dan Mesir. Pada saat yang bersamaan negara-negara itu tetangga merasa dituntut menunjukan aksi solidaritas muslim terhadap Palestina. Dalam perhitungan strategi politik dan keamanan, mereka juga merasa khawatir dengan kemungkinan aksi serangan Israel ke daerah-daerah perbatasan (Abu Bakar, 2008: 253). Segera setelah itu, tentara Arab dari Suriah, Libanon, Yordania, Irak dan Mesir memasuki Palestina. Di antara negara itu, Legium Arab dari Yordania, dipimpin oleh Brigadir John Bagot Gulbb Pasha, tentara ini memiliki empat puluh perwira Inggris dalam posisi utama dan berperan yang sangat penting dibanding jumlah penduduk Yordania yang kecil sekali. Tentara Irak yang harus melintasi gurun Suriah yang panjang sebelum mencapai Palestina. Tentara Mesir dalam perang ini menunjukan sedikit kelemahan. Tentara reguler Suriah dan Libanon di lengkapi dengan pasukan sukarelawan, tentara pembebas Arab dibawah komando Fauzi al-Kawukji yang telah berdinas pada Jerman Nazi selama Perang Dunia II. Bangsa Arab Palestina membentuk apa yang disebut tentara Yudea, di komandoi oleh Abdul Kadir al Hussaini, sepupu mufti Agung. Di belakang tentara Arab ini berdiri Liga Arab, yang tampaknya bersatu dan bertekad untuk menghancurkan Israel (George Lenczowski, 1993: 251-252). Ikhwatul Muslimin (IM) Mesir juga merupakan para militer muslim terpenting pada perang Arab pertama tahun 1948 menghadapi Zionis Israel. IM didirikan oleh Hasan al Banna pada tahun 1928. Awal mulanya IM berkonsentrasi
cxvi
di bidang sosial kemasyarakatan. Seiring kerumitan masalah, terutama berkaitan masa depan kaum muslim, IM pun melibatkan diri dalam politik Islam. Para militer IM memiliki semangat juang tinggi dalam menghadapi tentara Israel yang membuktikan diri sebagai pelaku jihad. Hasan al Banna tercatat mengerahkan 10.000 para militer untuk menghadapi tentara Zionis Israel dalam perang Arab pertama (Abu Bakar, 2008: 256). Saat perang berakhir pada bulan Desember 1948, negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina tidak berhasil mengalahkan Zionis Israel. Pada tanggal 12 Januari 1949 dimulailah perundingan peletakan senjata antara Mesir dan Israel di pulau Rhodes. Pada tanggal 24 Februari 1949 ditanda tanganilah persetujuan peletakan senjata antara Israel dan Mesir. Pada 22 Maret 1949 di tandatangani pula persetujuan peletakan senjata antara Israel dan Libanon. Persetujuan peletakan senjata ditandatangani pula antara Israel dan Yordania pada 3 April 1949. Pada 10 Juli 1949 Suriah juga menandatangani peletakan senjata dengan Israel (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 55-56). Meskipun mayoritas negara-negara Timur Tengah terlibat dalam perang Arab-Israel dan berada di pihak Arab Palestina. Tapi bantuan yang diberikan negara-negara itu kebanyakan hanya setengah hati, walaupun para pemimpin Arab lantang dalam menyatakan simpati. Seperti, Yordania mempunyai sikap mendukung berdirinya negara Israel. Sikap ini dilatar belakangi pertemuan raja Abdullah dari Yodania dengan Ben Gurion yang kemudian menjadi perdana menteri Israel pada bulan Maret 1948 di suatu tempat yang bernama Ardad di Yordania. Dalam pertemuan itu telah di dapat kata sepakat untuk membagi Palestina kepada daerah Arab dan daerah Yahudi, dengan ketentuan bahwa daerah Arab harus digabungkan kepada Yordania. Raja Abdullah (Yordania), mempunyai cita-cita untuk membangunkan kerajaan Arab Raya di bawah pimpinan keluarga Hasjimij. Untuk ini, sebagai langkah pertama ia menciptakan rencana Suria Raya yang bertujuan menggabungkan Suriah, Libanon dan Palestina dengan Yordania menjadi negeri Arab di bawah nama Suria Raya. Oleh karena Israel Raya itu meliputi Palestina, maka raja Abdullah menjalankan siasat tertentu mengenai penyeleaiaan masalah
cxvii
Palestina. Ia dapat menerima prinsip pembagian Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi, dengan syarat bahwa daerah Palestina yang direncanakan menjadi negara Arab yang digabungkan dengan Yordania. Berlainan dengan pendirian negara-negara Arab lain, yang sama sekali tidak mau menerima prinsip pembagian Palestina. Dukungan Yordania terhadap Yahudi dapat dilihat dari tindakan-tindakan tentara Yordania yang terkenal dengan tentara Legium Arab dalam perang ArabIsrael. Legium Arab lebih bersikap pasif dalam perang tersebut. Misalnya, pada waktu tentara pejuang Arab di dalam kota Yerusalem sedang bertempur dengan pasukan-pasukan Yahudi yang sangat kuat. Meskipun tentara pejuang Arab yang pada ketika menyerang perkampungan Yahudi di kota lama Yerusalem telah meminta antuan kepada Legium Arab, akan tetapi Legium Arab tetap menonton saja dari jarak 5 Km selama tanggal 15, 16, 17 dan 18 Mei 1948. Setelah sebagian dari pasukan-pasukan Yahudi dikota lama Yerusalem itu dapat dihancurkan oleh tentara Pejuang Arab, barulah Legium Arab masuk ke kota itu untuk mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 63-69). Negara Arab yang relatif tidak menyulitkan Israel ialah Yordania. Yordania setuju dalam beberapa hal terhadap tuntutan Israel sementara ia sendiri berselisih paham dengan negara-negara Arab lain. Sebagai contoh ialah berubahnya posisi wilayah Arab Palestina akibat perang yang menjadikan masalah Arab Yahudi dan telah menjadi masalah antar Arab. Oleh karena itu, negaranegara Arab lain mengancam aneksasi unilateral Yordania atas wilayah itu. Kepentingan Yordania dalam rute transit bebas perdagangan ke Mediterania menyebabkan ia masuk dalam perundingan fakta lima tahun dengan Israel. Akan tetapi, pada musim semi tahun 1950, karena gencarnya tekanan negara-negara Arab lainnya, Yordania terpaksa membatalkan perundingan tersebut (George Lenczowski, 1993 : 259). Pada tahun 1967, Yordania ikut dalam perang melawan Israel sebagai akibat kehilangan Tepi Barat dan kota lama Darusalam. Karena yakin perang itu akan merupakan bencana bagi Yordania, maka sikapnya terhadap Israel melunak kembali (Kirdi Dipoyudo, 1982: 91)
cxviii
Mesir merupakan negara Arab yang paling dominan dalam sengketa ArabIsrael berkisar pada Palestina dan hak rakyat Arab Palestina. Mesir tampil kemuka sebagai lawan Israel dan pembela hak-hak rakyat Palestina, khususnya ketika kepemimpinan presiden Gamal Abdul Nasser Mesir tidak menginginkan eksistensi negara Zionis Israel yang ingin merebut daerah kekuasaan negaranegara Arab. Hal ini terbukti Mesir terlibat dalam perang melawan Zionis Israel pada tahun 1948, 1956, 1967 dan perang Yon Kippur tahun 1973, pada perang ini Mesir bersama Suriah berhasil memukul mundur tentara Zionis Israel. Sikap Mesir berubah menjadi lebih lunak kepada Israel pada masa presiden Anwar Sadat, ditandai dengan kunjungan presiden Anwar Sadat ke Yerusalem tahun 1977. Pada persetujuan Camp David tahun 1979, Mesir mengakhiri permusuhan dengan Israel dan mengadakan hubungan diplomatik dengan Israel. Mesir sudah bosan karena terus menerus telah mengorbankan jiwa dan harta dalam berperang melawan Israel (Bintarto Bandoro, 1991: 27). Pada tanggal 6 Oktober 1981 Anwar Sadat tertembak mati dalam sebuah parade militer di Kairo, presiden Mesir diambil alih oleh wakil presidennya yaitu Housni Mubarak. Berbeda dengan Anwar Sadat, Housni Mubarak lebih memproritaskan kebijakan luar negari yang berorientasi pada kepentingan Arab kendati tetap menjalin hubungan dengan Israel. Pada tahun 1987 terjadi gerakan intifadhah yang dilakukan oleh rakyat Arab Palestina untuk menentang Zionis Israel, tidak lama setelah terjadi intifadhah, Mubarak menarik duta besar Mesir dari Tel Aviv. Alasan yang dikemukakan Housni Mubarak “untuk apa mempertahankan duta besar di Israel selama Israel masih terus membunuhi bangsa Arab Palestina”. Sikap mubarak itu disambut hangat oleh negara-negara Arab garis keras (M. Riza Sihbudi, 1991: 108-109) Suriah merupakan negara Arab yang radikal selain Mesir untuk menentang negara Israel. Suriah adalah pendukung gigih gerakan perlawanan Palestina. Suriah terlibat dalam perang melawan Israel pada tahun 1948, 1967 dan perang Yon Kippur tahun 1973. Sejak Mesir berdamai dengan Israel, Suriah merasakan beban sebagai negara garis depan paling utama dalam menhadapi Israel, karena negara-negara Arab hanya membantu dengan dana atau restorika belaka. Presiden
cxix
Suriah Hafez Al Assad memulai program akselerasi pembangunan angkatan bersenjatanya dengan mengandalkan bantuan Uni Soviet. Suriah menandatangani Trety of Friendship and Coperation dengan Soviet dan membelanjakan milyaran US dollar untuk mendatangkan berbagai macam peralatan perang mutakhir bagi peralatan bersenjatanya. Jumlah personil militer Suriah berlipat ganda selama pemerintahan presiden Suriah Hafez Al Assad. Aliansi strategi dengan Uni Soviet itu memang telah dapat mengurangi superioritas mutlak Israel atas Suriah, sehingga Suriah memiliki posisi tawar menawar yang menentukan dalam setiap upaya perdamaian Arab-Israel (Bintarto Bandoro, 1991: 11). Sejak awal 1980-an, kebijakan Suriah dalam konflik Arab-Israel didasarkan pada apa yang disebut sebagai doktrin Strategic Paraty (keseimbangan strategis), yaitu bahwa kekuatan militer Suriah harus terus dibangun sampai pada tingkat mampu mengimbangi kekuatan militer Israel sekalipun tanpa bantuan dari negara-negara Arab lainnya. Itulah yang menjadi salah satu obsesi utama Hafez Al Assad (M. Riza Sihbudi, 1991: 116) Libanon ikut serta dalam perang Arab-Israel tahun 1948, tetapi sesudah itu menjauhkan diri dari sengketa, biarpun mengikuti politik Arab pada umumnya yaitu tidak mengakui Israel dan memboikotnya. Sikap Libanon terhadap Israel termasuk yang moderat dalam arti bahwa dia sudah tidak maksud berperang melawannya dan pada waktunya bersedia mengakui eksistensi Israel. Biarpun demikian, Libanon terseret juga dalam pemusuhan dengan Israel, karena gerilyawan-gerilyawan Libanon mempunyai pangkalan-pangkalan tempat mereka mengadakan latihan dan menyiapkan rencana-rencana aksi melawan Israel. Berkali-kali Israel melancarkan serangan pembalasan ke wilayahnya dan mengancam akan mengambil tindakan lebih tegas kalau Libanon tidak menghentikan aksi-aksi itu. Pemerintah Libanon berusaha membatasi gerak para gerilyawan, tetapi tidak sepenuhnya berhasil terutama para gerilyawan mendapat dukungan dari negara-negara Arab lain dan sebagian dari rakyat Libanon sendiri. Dengan demikian kedudukan Libanon tetap sulit. Membiarkan para gerilyawan berarti memancing serangan-serangan Israel, tetapi bila melarang berarti bentrok dengan para gerilyawan dan negara-negara Arab yang mendukung para
cxx
gerilyawan (Kirdi Dipoyudo, 1982: 92). Bahkan sebagian rakyat Libanon Kristen (Partai Kristen Phalangist) pro tehadap Israel, mereka membantu Israel menghantam PLO di Libanon Selatan sewaktu Israel menyerbu negeri itu pada tahun 1982 (Bintarto Bandoro, 1991: 27). Turki meskipun menentang pembagian wilayah Palestina, tidak pernah menunjukkan permusuhan terhadap Israel. Bahkan ia merupakan negara pertama di Timur Tengah yang memberikan pengakuan diplomatik kepada negara Yahudi yang baru itu. Pertimbangan agama tidak merusak hubungaan persahabatan pada umumnya karena Turki sendiri mempunyai kebijaksan sekuler. Turki, yang merasa lebih makmur dan membarat daripada kebanyakan tetangga timurnya, bahkan memiliki beberapa kesamaan dengan Israel. Perbedaan utamanya ialah bahwa Turki dengan tegas berada di pihak dunia bebas dalam pesaingan timurbarat, sementara Israel masih hati-hati menentukan sikapnya untuk memilih salah satu dari dua blok politik tersebut. Ikatan solidaritas Islam Iran lebih sensitif ketimbang Turki, karena itu sikapnya terhadap Israel lebih berhati-hati. Selama kunjungan ke Amerika Serikat pada akhir 1950, Syah (penguasa Iran saat itu) langsung ditanya oleh wartawan tentang pengakuan terhadap Israel. Dalam jawabannya ia menyatakan bahwa Iran, sebagai negara Islam, tidak bertindak tanpa memperhatikan perasaan negaranegara Islam lainnya dan menangguhkan keputusan hingga dilakukannya konsultasi yang tepat. Namun akhirnya Iran memberikan pengakuan secara de Facto kepada Israel (George Lenczowski, 1993: 256-257). Selama dasawarsa 50an Iman Khomeini, pembangunan Republik Islam Iran, muncul di panggung politik Iran dan melakukan perjuangan menentang rezim Syah (monarki Iran). Salah satu kecaman yang dilontarkan Iman Khomeini terhadap rezim Syah adalah dukungan rezim Syah kepada negara Zionis Israel. Iran pada masa rezim Syah (Mohammad Reza Pahlevi) dipandang sebagai sebagai satu-satunya teman Israel di Timur Tengah. Disamping kerjasama di bidang politik dan intelijen., keduanya judga menjalin kerjasama yang erat dalam bidang-bidang lain. Sekitar 60% dari minyak dan energi yang dikonsumsi Israel disediakan oleh pemerintahan Iran. Sejumlah besar senjata dan amunisi Israel
cxxi
dijual ke Iran. Produk pertanian Israel tersebar luar di seluruh Iran, dan beberapa basis Argo industri patungan telah di bangun. Warga Iran yang Ingin pergi ke luar negari untuk berobat, didorong dan diberi kemudahan-kemudahan untuk pergi ke Israel. Pemerintahan Iran pada masa rezim Syah juga memberi bantuan kepada Israel selama perang antara Israel dan negara-negara Arab di tahun 1967 dan 1973, cukup banyak indikasi kuat bahwa Syah telah memerintahkan pejabat berwenang untuk menyediakan bahan bakar pesawat tempur Isarel yang sedang tejun dalan perang Melawan negara-negara Arab. Sejak Iran di bawah Imam Khomeini pada tahun 1979 adalah salah satu negara Timur Tengah yang menentang keberadaan negara Zionis Israel. Pemerintahan Khomeini berupaya menjalin kontak dengan negara-negara Islam dan Arab dengan tujuan mengadakan kembali Konferensi Internasional Islam bagi pembebasan Palestina dari cengkraman Zionis Israel. Pada masa Khomeini ekspor minyak Iran ke Israel dan Hubungan diplomatik maupun Konsulat dengan rezim Zionis Israel dihentikan. Produk-produk Israel, khususnya produksi pertanian dan barang-barang konsumsi, dipaksa meninggalkan Iran dan semua organisasi dan lembaga keuangan Zionis Israel di Iran di tutup. Semua perjanjian militer dan pertahanan antara Iran dan Israel yang telah ditandatangani oleh rezim Syah dinyatakam tidak berlaku lagi. Iman Khomeini menetapkan hari jum’at terakhitr bulan ramadhan sebagai hari Al Quds dan meminta kepada mereka mengangkat suara menentang Zionisme dan menyerukan persatuan dan solidaritas rakyat Palestina dalam perjuangan mereka melawan kaum Zionis. Pada tahun 1982 terjadi invasi militer Israel ke Libanon, pemerintah Iran mengumumkan dukungan mereka bagi bagi perlawanan terhadap Agresi tersebut dan bahkan mengirimkan tentara ke Libanon untuk bertempur melawan Israel. Pada tahun 1990 Parlemen Iran dalam sidang istimewa mengesahkan satu resolusi untuk mendirikan suatu komite untuk mendukung Intifadha dan perjuangan Palestina (M. Riza Sihbudi dan Achmad Hadi,1992: 217-222). Negara-negara Arab lain sedikit banyak memberikan sumbangan bagi usaha untuk mengalakan Israel, baik berupa satuan-satuan militer maupun dana. Negara-negara yang tetap radikal dan tidak mau mengakui Israel, misalnya Libya
cxxii
dan Irak. Libya mendukung perjuangan bangsa Palestina sebaliknya mereka yang mendukung Zionis Israel di anggap sebagai musuh Libya. Irak juga merupakan negara di Timur Tengah yang radikal terhadap Israel. Pada Perjanjian Camp David tahun 1979 antar Mesir, Israel, dan Amerika Serikat, presiden Saddam Hussein adalah salah satu pemimpin Arab yang mementang perjanjian itu dan bersikap anti Mesir. Bangsa Palestina yang pada masa itu merasa kecewa terhadap tingkah laku politik rezim moderat (Mesir), seolah-olah menemukan tokoh idola baru pada diri Saddam. Apalagi setelah melihat kenyataan bahwa yang dihadapi Saddam adalah Amerika Serikat yang tidak lain dari sekutu terpenting Israel, musuh bebuyutan bangsa Palestina. Pada bulan Maret 1990, Saddam berencana memusnahkan separuh bumi Israel dengan menggunakan senjata mutakhirnya. Tapi Saddam cepat-cepat sadar bahwa Israel bukan sebuah negara yang kekuatan militernya lemah dan bisa dilecehkan begitu saja, rencana Saddam itu membuat Tel Aviv ketakutan (M. Riza Sihbudi, 1991: 178). Negara yang mengambil sikap moderat terhadap Israel, misalnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Dengan syarat-syarat tertentu mereka mau berdamai dengan Israel.
cxxiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bangsa Yahudi dikenal dengan nama Ibrani. Ibrani barasal dari bangsa Arab ’Abara, yang berarti melakukan perjalanan melalui lembah atau sungai. Nama Ibrani merujuk pada sebuah rumpun anak keturunan nabi Ibrahim. Diantara keturunan nabi Ibrahim adalah nabi Ya’qub (anak dari Ishak) diberi gelar Israel, sehingga anak cucunya Ya’qub kelak dipanggil bani Israel. Diantara keturunan nabi Ya’qub adalah nabi Yusuf, setelah nabi Yusuf menjadi pembesar di Mesir, sehingga anak cucu Ya’qub berdiam di Mesir hingga masa nabi Musa. Nabi Musa mengajak bani Israel keluar dari Mesir, untuk menyelamatkan diri dari penindasan Fir’aun menuju Palestina. Ketika nabi Musa wafat mereka belum bisa memasuki Palestina, sampai pada masa nabi Daud dan nabi Sulaiman berhasil mendirikan kerajaan di Palestina. Kerajaan purba inilah yang sekarang dijadikan alasan historis untuk mengklaim tanah Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi sampai sekarang. Dalam rentan waktu yang lama negeri Palestina pernah berada di bawah kekuasaan beberapa kerajaan,
sehingga
orang-orang
Yahudi
mengalami
penindasan
dan
pembuangan, misalnya pada 586 SM Palestina di kuasai Nebuchadrezzar II dari Babilonia orang-orang Yahudi ditawan dan digiring ke Babilonia. Pada tahun 70 M penguasa Romawi di Palestina memusnahkan Yerusalem. Kemudian raja mengeluarkan peraturan melarang orang Yahudi berdiam di Yerusalem, sehingga terulang kembali bangsa Yahudi bersebaran ke penjuru dunia. Karena mendapat penganiaan, pengusiran, dan pembantaian di negaranegara tempat mereka berdiam, maka menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya Palestina. Nasionalisme bangsa Yahudi diwujudkan melalui gerakan Zionisme. Zionisme dalam
cxxiv
pengertiannya yang simpel ialah menempatkan kaum Yahudi di Palestina. Konferensi pertama Zionisme pertama kali diadakan di Basel, Swiss pada tahun 1897 merupakan lembaran baru dalam sejarah gerakan Zionisme. Konferensi tersebut memutuskan untuk menetapkan tujuan utama gerakan Zionisme yaitu mendirikan negara Israel di tanah Palestina yang diakui sebagai tanah leluhur bangsa Yahudi. 2. Usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel dimulai setelah panglima-panglima tentara sekutu yang berkonferensi di San Remo Italia pada tahun 1920, menetapkan bahwa Palestina berada di bawah mandat Inggris. Pada tanggal 24 Juli 1922 Inggris berhasil mendapatkan legalitas
dari
Liga Bangsa-Bangsa untuk menjalankan
pemerintahan mandat di Palestina. Setelah Palestina di bawah mandat Inggris, maka Inggris benar-benar melaksanakan janji mereka yang terdapat pada Deklarasi Balfour tahun 1917 yaitu untuk membantu bangsa Yahudi mendirikan negara nasional di tanah Palestina. Pemerintah Inggris membantu orang-orang Yahudi untuk mengambil hak-hak rakyat Arab Palestina, antara lain pemerintah Inggris mulai membantu dan memberi kemudahan kaum Yahudi dari berbagai dunia untuk pindah ke Palestina, membantu orang-orang Yahudi untuk mengambil tanah dari rakyat Arab Palestina, terus menekan rakyat Arab Palestina agar orang-orang Yahudi menguasai ekonomi Palestina, melakukan tekanan kepada gerakan-gerakan rakyat Arab Palestina yang menentang Zionisme bahkan dengan kekerasan fisik sehingga gerakangerakan itu tidak berjalan lama. Sehingga sering muncul konfik antara bangsa Yahudi yang mendapat dukungan Inggris dengan bangsa Arab Palestina. Oleh karena dengan cara kekerasan fisik tidak membawa hasil untuk menyelesaikan masalah Palestina, maka pemerintah Inggris mencoba meredakan suasana dengan
cara-cara
lain,
seperti
mengirim
Misi
Peel,
konferensi
mempertemukan Para delegasi Arab dan Yahudi (konferensi London), mengeluarkan ”Buku Putih”(Naskah Putih) tahun 1939. Pada tahun 1945 membentuk komisi penyelidik Inggris-Amerika guna mempelajari masalah Yahudi. Pada setiap perundingan yang diadakan pemerintah Inggris antara
cxxv
bangsa Arab Palestina dan Yahudi selalu tidak menemui kesepakan antara kedua belah karena pemerintahan Inggris lebih memberi dukungan kepada bangsa Yahudi dalam konferensi antara bangsa Arab dan Yahudi tentang masalah Palestina, maka perundingan-perundingan itu mengalami kegagalan. Karena tekanan Amerika Serikat maupun pihak Arab Palestina dan Yahudi, akhirnya
pemerintah
Perserikatan
Inggris
Bangsa-Bangsa.
mengajukan Pada
masalah
tanggal
29
Palestina
kepada
November
1947,
dilangsungkanlah sidang Majelis Umum PBB, hasilnya dikeluarkanlah resolusi No. 181 yang menegaskan membagi tanah Palestina menjadi dua wilayah untuk bangsa Arab dan Yahudi, serta memberi jangka waktu pemerintah mandat Inggris di Palestina sampai Agustus 1948. Pada tanggal 14 Mei 1948 Inggris secara resmi mengakhiri mandatnya atas Palestina kemudian menarik pasukan terakhir dari Palestina. Pada hari yang sama Dewan Nasional di Tel Aviv memproklamasikan negara Yahudi Israel, dengan Chaim Weizmann sebagai Presiden dan David Ben Gurion sebagai perdana menteri, dengan berpijak pada legitimasi resolusi PBB No. 181. 3. Reaksi bangsa Arab Palestina setelah terbentuknya negara Israel tahun 1948 adalah dengan membentuk organisasi-organisasi perlawanan untuk menentang eksistensi negara Zionis Israel. Setelah berdirinya negara Israel rakyat Arab Palestina kehilangan wilayah, terpecah dalam berbagai kelompok dan tersebar di banyak negara Arab, antara lain Yordania, Libanon, Suriah sebagai pengungsi. Orang-orang Arab Palestina yang tersebar itu harus berjuang matimatian untuk kelangsungan hidup mereka. Hal ini menimbulkan semangat nasionalisme dari para pemuda Palestina yang hidup di daerah-daerah pengungsian untuk berjuang membebaskan tanah air mereka dari kekuasaan dan pendudukan Zionis Israel, maka muncullah organisasi perlawanan Palestina, misalnya Al Fatah, PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), Hamas. 4. Sikap negara-negara Timur Tengah terhadap pembentukan negara Israel pada 14 Mei 1948, negara-negara Arab serentak menolak keberadaan negara Zionis Israel di Palestina. Negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang
cxxvi
Palestina segera berkonsolidasi untuk berperang melawan Zionis Israel mempertahankan Palestina. Pertempuran ini terkenal dengan perang Arab pertama. Alasan negara-negara Timur Tengah melakukan perlawanan terhadap Yahudi dengan adanya negara Israel adalah negara-negara Arab ingin mempertahankan Arabisme Palestina. Hilangnya Palestina bernilai amat penting bagi dunia Arab, bukan hanya masalah teritorial tapi dapat dipandang sebagai bentuk penghinaan kaum kolonial. Orang-orang Arab memandang Zionisme sebagai gerakan kolonial atau memandang Israel sebagai alat Imperialisme Barat. Pencaplokan wilayah Palestina oleh Yahudi menimbulkan pengungsian dari orang Arab Palestina menuju ke daerah-daerah perbatasan. Hal ini menimbulkan kerepotan dan keresahan bagi negara-negara tetangga, seperti Libanon, Syiria, Yordania dan Mesir. Pada saat yang bersamaan negara-negara tetangga itu merasa dituntut menunjukan aksi solidaritas muslim terhadap Palestina. Dalam perhitungan strategi politik dan keamanan, mereka juga merasa khawatir dengan kemungkinan aksi serangan Israel ke daerah-daerah perbatasan. Pertempuran berakhir Desember 1948, negaranegara Arab dan kelompok-kelompok pejuang Palestina tidak berhasil mengalahkan Zionis Israel. Dalam perkembangannya sikap negara-negara Timur Tengah terhadap negara Israel ada yang bersikap radikal dan tidak mau mengakui Israel, misalnya Suriah, Mesir, Iran, Libya dan Irak dan Moderat terhadap Israel, misalnya Libanon, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Sikap negara-negara Timur Tengah terhadap negara Zionis Israel juga sering berubah tergantung kepentingan pemerintahan yang berkuasa pada negara tersebut, misalnya Mesir dan Iran. Mesir pada masa pemeritahan Gamal Abdul Nasser menentang negara Zionis Israel tetapi kebijakan itu berubah setelah pada masa Anwar Sadat yang menjalin hubungan baik dengan Israel, kebijakan berubah lagi setelah masa Housni Mubarak yang lebih bersikap moderat, sikap Mubarak berubah agak radikal terhadap Israel setelah pada tahun 1987 muncul gerakan intifadhah dari rakyat Arab Palestina. Iran pada masa rezim monarki Shah menyatakan mendukung negara Zionis Israel
cxxvii
tetapi kebijakan Iran berubah pada masa Imam Khomeini yang bersikap radikal menentang negara Zionis Israel.
B. Implikasi
1. Metodologis Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Historis. Metode historis adalah metodologi yang berusaha untuk merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam hal ini berusaha merekonstruksi peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan peranan Inggris dalam pembentukan negara Israel di tanah Palestina tahun 1920-1948. Dalam penelitian ini, peneliti mengalami kesulitan dalam sumber Primer. Karena sumber primer sulit di temukan di perpustakaan tempat peneliti melakukan penelitian.
2. Teoritis Adanya gerakan anti Semitisme di Eropa dan perasaan Superioritas bangsa Yahudi atas bangsa lain sebagai latar belakang nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah Palestina yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka. Nasionalisme Yahudi diwujudkan dengan gerakan Zionisme, yaitu gerakan orangorang Yahudi untuk kembali ke tanah leluhurnya Palestina. Zionisme bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Masuknya orang-orang Yahudi secara besar-besaran ke Palestina dengan bantuan Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina menimbulkan konflik antara bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi. Bangsa Arab menganggap bahwa Palestina adalah tanah air mereka, semenjak Chalifah Umar ibn al-Chattab dapat menaklukan kekuasaan bangsa Romawi pada 637 M. Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bangsa Yahudi dalam rangka mewujudkan negara Yahudi, sehingga hal ini juga banyak menimbulkan konflik antara bangsa Yahudi dengan bantuan Inggris dan bangsa Arab Palestina. Pada 29 November 1947 dikeluarkan Resolusi No. 181 yang menegaskan pembagian palestina menjadi dua yaitu wilayah Yahudi dan Arab. Pada 14 Mei
cxxviii
1948 di proklamasikan berdirinya
negara
Yahudi Israel, dengan Chaim
Weizmann sebagai Presiden dan David Ben Gurion sebagai perdana menteri. Setelah beberapa jam diakui pemerintah Amerika Serikat kemudian diikuti pula oleh Uni Soviet dan negara-negara besar, seperti Inggris dan Prancis sebagai sebuah negara merdeka. Dengan berdirinya negara Israel di Palestina menimbulkan penderitaan bangsa Arab Palestina karena kehilangan wilayahnya sehingga menimbulkan pengungsian dari bangsa Arab Palestina, hal ini menumbuhkan semangat nasionalisme dari bangsa Arab Palestina untuk menentang eksistensi negara Israel.
3. Praktis Penelitian ini telah memunculkan suatu nilai yang perlu diteladani yaitu nilai-nilai semangat juang yang tinggi dari bangsa Arab Palestina dalam mempertahankan tanah air dan hak-haknya di Palestina yang telah dirampas oleh bangsa Yahudi. Meskipun dalam setiap kali pejuangannya menghadapi bangsa Yahudi selalu mengalami kegagalan tetapi semangat bangsa Arab Palestina tidak pernah padam. Oleh karena itu implikasi praktis
yang bisa
diambil dalam
penelitian ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran seseorang mewarisi nilainilai semangat juang yang diperlihatkan oleh bangsa Arab Palestina dalam mempertahankan tanah airnya tanpa pernah menyerah walaupun sering mengalami kegagalan.
C. Saran
1. Bagi Mahasiswa Sejarah Peneliti mengharapkan bagi mahasiswa sejarah hendaknya dapat melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai sejarah Timur Tengah khususnya tentang bangsa Yahudi dan negara Israel yang masih sedikit kajiaannya. Hendaknya mahasiswa lebih selektif dalam memilih tema penelitian sebelum penelitian di buat. Selain itu, para mahasiswa juga di sarankan untuk memperbanyak sumber-sumber, terutama sumber primer yang sesuai dengan tema
cxxix
penelitian mengenai bangsa Yahudi dan Negara Israel, dapat di cari dengan cara melakukan kontak langsung maupun tidak langsung dengan kedutaan negaranegara Timur Tengah.
2. Bagi Para Pendidik Inggris sebagai pemegang mandat di Palestina mempunyai peran yang cukup besar dalam pembentukan negara Israel di Palestina. Berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948 merupakan akar dari masalah Palestina yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Masalah Palestina termasuk di dalam pelajaran IPS sejarah yang diajarkan di kelas 3 SMA. Pada umumnya masalah Palestina hanya diterangkan tentang konflik-konflik setelah berdirinya negara Israel, organisasi perlawanan bangsa Arab Palestina untuk melawan eksistensi negara Israel, perundingan-perundingan antara Israel dengan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), seringkali lupa membicarakan latar belakang berdirinya negara Israel, khususnya usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1948. Seharusnya para guru pengampu mata pelajaran bidang studi sejarah bisa menerangkan tentang usaha-usaha yang dijalankan Inggris dalam membantu pembentukan negara Israel tahun 1948.
cxxx
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Abu Ahmadi. 1975. Pengantar sosiologi. Semarang: Ramadhani. Abu Bakar. 2008. Berebut Tanah Suci Palestina. Yoyakarta: Pusaka Insani Madani. Abu Daud Busroh. 2001. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Ahmad Shalaby. 1991. Perbandingan Agama Yahudi (Penterjemah A Wijaya). Jakarta: Bumi Aksara. Alo Liliweri MS. 2005. Prasangka dan konflik. Yogjakarta: LkiS Pelangi. Anthony D. Smith. 2003. Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga. Asy. Saekh As’As Bayudhattamimi. 1992. Impian Yahudi dan Kehancurannya Menurut Al-Qur’ an. Jakarta: Gema Insani. Bintarto Bandoro. 1991. Timur Tengah Pasca Perang Teluk. Jakarta: CSIS. Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press. Chefik Chehab. 1980. Sejarah Tragedi Palestina. Jakarta: Kedutaan Besar Arab Saudi. Daliman. 1998. Sejarah Asia Barat Daya. Surakarta: UNS. Djokosutono. 1958. Ilmu Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Dudung Abdurrahman. 1999. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Fukuyama. 1988. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung: ITB. Frans S. Fernandes. 1988. Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Dirjen Dikti. Garaudy R. 1988. Israel dan Praktek-praktek Zionisme. Bandung: Pustaka. Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
cxxxi
George Lenczowski. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Gottschalk Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Harun Yahya. 2005. Palestina 1 ”Zionisme dan Terosisme Israel”. Bandung: Dzikra. Hans Kohn 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga. Hatsam Al-Kailani. 2001. Siapa Teroris Dunia ? (penterjemah Muhammad Zainal) Jakarta: Pustaka Al Kausar. Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. _______________ dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hendropuspito D. OC. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius. Holsti, K.J. 1988. Politik Internasional. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Inu Kencana Syafiie. 2003. Sistem Administarasi Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta. Ismail Yaghi. 2001.Terorisme Dalam Otak Zionis (Penterjemah Asep Muhadin). Jakarta: Pustaka Azam. Jessup Philip G. 2006. The Birth of Nations : Sejarah Kelahiran Negara-Negara Pasca Perang Dunia. Yogyakarta : Center for Information Analysis. Kansil CST. 1994. Latihan Ujian Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Kartini Kartono.1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Bandar Maju. Karen Amstrong. 2006. Perang Suci Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. (Penterjemah Hikmat Darmawan). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Kirdi Dipoyudo. 1982. Timur Tengah Dalam Pergolakan. Jakarta: CSIS. ____________ . 1981. Timur Tengah Pusaran Strategi Dunia. Jakarta: CSIS. Koenjaraningrat. 1986. Gramedia.
Metode-Metode
cxxxii
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Leo Agung S . 2002. Sejarah Intelektual. Salatiga: Widyasari Press. Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta : Panitia. Maswadi Rauf. 2001. Konsensus Dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Depdiknas. Marsillam Simanjuntak. 1997. Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Pustakan Utama Grafiti. Masjid kailani.1989. Bahaya Zionisme Terhadap Islam (Penterjemah Abdullah Baraja). Solo : Pustaka Mantiq. Miriam Budiardjo. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moejanto G. 1971. Sejarah Timur Tengah. Yogyakarta : Sanata Darma. Muhammad Hatta dkk. 1984. Uraian Pancasila. Jakarta: Mutiara. Musthafa Abd. Rahman. 2002. Jejak-Jejak Pelestina Oslo Hingga Intifada Al Aqsa. Jakarta: Kompas. Muhammad Tohir. 1980. Palestina ”Beginilah ia hilang beginilah dan beginilah ia kembali”. Bandung: Alma’Arif. Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontenporer. Jakarta: Yayasan Idayu. Nur El Ibrahimy M. 1955. Tragedi Palestina. Bandung : Alma’Arif. Philipus, Ng dan Nurul Aini. 2004. Sosiologi Politik. Jakarta : Raya Grafindo Persada. Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rafael Raga Maram. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Riza Sihbudi M. 1991. Bara Timur Tengah. Jakarta: Mizan. _____________dan dan Achmad Hadi. 1991. Palestina ”Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru”. Jakarta: Pustaka Hidayah.
cxxxiii
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudarisman Purwoko. 1952. Maksud Membentuk Negara. Jakarta: Pendidikan. Sukarna. 1990. Pembangunan Politik. Bandung: Mandar Maju. Sutarjo Adisusilo. 2006. Nasionalisme di Berbagai Negara. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem ”Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas. Usep Romli HM dkk. 2003. Zionisme Israel di Balik Invasi AS ke Irak Upaya Menciptakan Israel Raya. Bandung: Muhajid. Winarno. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Dirjen Dikti. Majalah dan Koran Adhes Satria. 2009. 26 Februari. “Membongkar Rencana Besar Israel Raya”. Sabili. hal 28-49. Husein Jahja. 1950. 10 Djuni. “Bangsa dan Negara Janji (Palestina”). Mimbar Indonesia. hal 8. Bactiar HSA. 1948 28 Februari. “Konfrontasi Dengan Bangsa-bangsa Internasional Bangsa Yahudi”. Mimbar Indonesia. hal 3-4. Jurnal Efraim Karsh. 1999 Oktober. “The Collusion that Never Was: King Abadallah, the Jewish Agency and the Partition of Palestina”. Journal of Contemporary History. 34 (4), 567-585. Internet Amir
Syammakh. 2009. Lahirnya Pergerakan Hamas. http://lamanislami.blogspot.com/lahirnya-pergerakan-hamas.html . Diakses Tanggal 10 agustus 2009.
Admin. 2002. Hammas, Harakat Al-Muqowamah Al-Islamiyya (slamic Resistance Movement). http://bloraku.com/forums/politik/1545-kenalan-ha. Diakses Tanggal 10 agustus 2009. WorldFactbook.2008.Southwest Asia. http://en.wikipedia.org/wiki/Southwest_Asia
Diakses tanggal 4 April 2009.
cxxxiv
Memed Sosiawan. 2001. Sejarah berdirinya negara Israel. http://kaunee.com/:selintas-sejarah-yahudi-dan-zionisme. Diakses Tanggal 27 April 2009. Sheikh Mahmud Siyam. 2008. Menelusuri Sejarah Yahudi dan Negara Haram Israel. http://blogspot.com/sejarah-yahudi-israel. Diakses Tanggal 9 Maretl 2009. Isnani Murti. 2008. Lahirnya nasionalisme Indonesia. http://www.edukasi.net/mol/mo_full. Diakses tanggal 30 mei 2009. Timur Tengah. http://id.wikipedia.org/wiki/Timur_tengah. Diakses tanggal 28 April 2009. Zulham Effendi. 2009. Arti dari Bendera Israel. http://sykumal.blogspot.com /2009/01/arti-dari-bendera-israel.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2009. http://www.tragedipalestina.com/yudaisme.html dounlod harun yahya. Diakses pada tanggal 14 September 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Balfour_declaration_unmarked.jpg. pada tanggal 6 September 2009.
Diakses
http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_State_of_Israel. Diakses pada tanggal 6 September 2009.
http://www.zionism-israel.com/maps/Israel_Maps.htm. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2009. http://ivarfjeld.wordpress.com/2009/08/31/us-president-eisenhow. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2009. http://www.infopalestina.com/ms/default.aspx?xyz. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2009.
cxxxv