Peran Jerusalem Link dalam Upaya Peacebuilding di Israel dan Palestina (2003-2008) Ayu Mellisa – 210000009 Abstract This thesis discusses the role of the Jerusalem Link, an international non-state organization composed of Israeli and Palestinian women, in peacebuilding efforts related to the conflict between Israel and Palestine in 2003-2008. Jerusalem Link is an umbrella for Israeli women's organizations on the west side of Jerusalem, Bat Shalom and the Palestinian women's organizations on the eastern side of Jerusalem, the Jerusalem Center for Women (JCW) that support the peace efforts in the Israeli-Palestinian conflict, particularly to maximize women‟s role in peace. The discussion focused on the contribution of the Jerusalem Link in peacebuilding or related to Israeli-Palestinian conflict resolution and the strengthening of the role or the empowerment of women as well as how to build peace in society. It also discussed the problems or obstacles faced by the Jerusalem Link in carrying out peacebuilding efforts in Israel-Palestine. The period is limited to year 2003-2006 when Jerusalem Link experienced a new era in the movement. 2003 seemed to be a new era for the Jerusalem Link to restart its activities. In subsequent years, there was a socio-political dynamics of Israel and Palestina, related the changes in leadership that influence the Jerusalem Link and finally stop its activities in 2008. The analysis of Jerusalem Link's role in peacebuilding is using the descriptive analysis method. Sources used are secondary data in the form of news, articles, journals, theses, evaluations, interviews, and previous research related to the topic. The role and barriers of Jerusalem Link in peacebuilding will be analyzed through a pluralist perspective with gender mainstreaming framework in accordance to UN Resolution 1325, the concept of international non-governmental organizations, peacebuilding, and theory of constraints. Kata-kata kunci: perempuan, perdamaian, Jerusalem Link, peacebuilding, Israel, Palestina
Pendahuluan Gender menjadi isu hangat dan makin berkembang dalam studi hubungan internasional sejak abad ke-20 pasca Perang Dunia ke-1 yang ditandai dengan keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat.1 Bahkan feminisme telah mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, jika sebelumnya lebih fokus pada upaya memperjuangkan hak-hak politik dan legal perempuan, kini berfokus pada perjuangan martabat dan membebaskan perempuan dari belenggu struktur
1
Jacqui True, Feminisme, dalam Teori-Teori Hubungan Internasional, ed. Scott Burchill & Andrew Linklater (Bandung, 2009), hlm. 283.
1
atau sistem yang subordinatif atau merendahkan perempuan.2 Padahal sebelumnya, adanya asosiasi bahwa laki-laki lebih kuat dengan aktifitas-aktifitas membela negara dan mempertahankan kepentingan nasional, baik sebagai tentara maupun diplomat3 serta penyamaan identitas negara dengan sifat maskulin seperti sifat kompetitif, rasional, egois, dan mencari kekuasaan4 membuat perempuan sulit untuk memasuki ranah ini. Namun dengan berkembangnya teori dan kajian feminisme, keterlibatan perempuan dalam ranah hubungan internasional menguat dan upaya ini juga didorong oleh PBB yang mulai membawa perspektif gender dalam hubungan internasional. Dalam mewujudkan kesetaraan gender ini, PBB menghasilkan The Convention on the Status of Women (CSW) di tahun 1946 untuk memonitor kondisi perempuan dan mempromosikan hak perempuan dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang diadopsi pada tahun 1979 makin mempertegas bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam berbagai kegiatan. Terobosan penting juga dihasilkan dengan dibentuknya adanya UNIFEM (United Nations Development Fund for Women), yang kini disebut UN Women (United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women), sebagai organisasi otonom yang berkolaborasi dengan UNDP (United Nations Development Programme) dalam gender mainstreaming, strategi pemberdayaan perempuan, mendukung partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan di pemerintah, mempromosikan hak perempuan, dan membuat perspektif perempuan lebih berpusat pada perdamaian.5 Upaya PBB untuk membawa perspektif gender dalam kerangka PBB terkait pencegahan dan resolusi konflik, bina-damai (peacebuilding), penjagaan perdamaian (peacekeeping), rehabilitasi, dan rekonstruksi ini kemudian dirumuskan dalam Security Council resolution 1325 on women, peace, security yang diadopsi pada Oktober 2000. Sejalan dengan resolusi ini, di beberapa wilayah konflik perempuan terlibat aktif dalam upaya perdamaian, baik secara formal maupun informal. Aktivitas perempuan ini didukung dengan fakta bahwa menurut data dari Bank Dunia masih ada 1,5 juta orang hidup di negara yang sangat rentan dengan konflik dan kekerasan6 dimana 90% korban adalah warga sipil dan
2
Sukawarsini Djelantik, Gender dalam Hubungan Internasional, dalam Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari Tradisional ke Kontemporer), ed. Asrudin & Mirza Jaka Suryana (Yogyakarta, 2009), hlm. 234. 3 Sukawarsini Djelantik, Gender dalam Hubungan Internasional, hlm. 233. 4 .Ibid., hlm. 91. 5 Elisabeth Porter, Peacebuilding: Women in international perspective (New York, 2007), hlm. 12. 6 Data berdasarkan pernyataan yang diambil dari halaman: Center on Conflict, Security, and Development, “Fragility, Conflict, and Violence: Overview”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/PROJECTS/STRATEGIES/EXTLICUS/0,,menuPK:511784~
2
perempuan dan anak-anak menjadi korban utama. Keterlibatan perempuan, yang juga didukung oleh UN Women, dalam peacebuilding ini terjadi di Uganda, Sudan, Repulik Kongo, Afghanistan, Kolombia, Kepulauan Solomon, dan Burundi.7 Para perempuan di Israel dan Palestina juga terlibat dalam upaya perdamaian dengan melakukan protes atas eskalasi militerisme dari konflik yang sudah berlangsung sejak abad ke-20 hingga kini.
8
Hal ini mulai terlihat sejak munculnya pemberintakan Palestina atau
intifada pertama di tahun 1987 dimana para perempuan (kaum feminis), baik dari Palestina maupun Israel, yang makin menyadari dampak dari okupasi dan pentingnya menghentikan kekerasan kemudian turun ke jalan dan menyerukan penghentian okupasi dan mendesak para pemimpin untuk melakukan negosiasi terkait konflik ini.9 Dalam Intifada pertama ini, ketika sebagian proses dialog ditutup, para perempuan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan perempuan Yahudi Israel saling membuka kesempatan untuk diskusi kelompok, mengadakan konferensi perempuan untuk perdamaian, proyek kolaboratif, dan prakarsa solidaritas.10 Keterlibatan para perempuan dari dua negara ditunjukkan dalam berbagai konferensi perdamaian internasional, bahkan jauh sebelum proses perundingan Madrid dan Oslo dilakukan. Sekitar 50 perempuan dari Palestina, Israel-Yahudi, dan Palestinian Liberation Organization (PLO) bertemu pertama kali dalam konferensi berjudul Give Peace a Chance: Women Speak Out di Brussel pada bulan Mei 1989. Dalam kesempatan ini para perempuan membicarakan konflik, upaya negosiasi dan meneruskan upaya peacebuilding dengan menggalang dukungan masyarakat. Pasca pertemuan ini, di bulan Desember 1989, perwakilan dari the Palestinian Women„s Working Committees dan the Israeli Women„s Peace Coalition mengadakan hari perempuan untuk perdamaian. Di hari itu, terkumpullah 6.000 perempuan dari barat hingga timur Jerusalem melakukan gerakan (march) Women Go for Peace.11 Diskusi para perempuan ini terus berjalan hingga pada tahun 1994 dibentuklah Jerusalem Link yang menjadi payung bagi dua organisasi perempuan Israel di sisi barat Jerusalem, Bat Shalom dan organisasi perempuan Palestina di sisi timur Jerusalem, the pagePK:64171540~piPK:64171528~theSitePK:511778,00.html diakses pada Minggu, 3 Maret 2013 – 22:21 WIB. 7 UN Women,” Peacebuilding”, dalam http://www.unifem.org/gender_issues/women_war_peace/peacebuilding.html diakses pada 11 Maret 2013 – 14:58 WIB. 8 Jacqui True, Feminisme, hlm. 300. 9 Simona Sharoni, Gender and Conflict Transformation in Israel/Palestine, Journal of International Women„s Studies Vol 13 #4 September 2012, hlm. 113. 10 Janet M. Powers, Blossoms on the olive tree : Israeli and Palestinian women working for peace (Westport, 2006), hlm. 5. 11 Ibid., hlm. 115.
3
Jerusalem Center for Women (JCW). Kedua organisasi ini muncul bersamaan pasca adanya dialog pada tahun 1994 dengan adanya inisiatif dari perwakilan para perempuan yang mengikuti proses ini sejak awal. Jerusalem Link yang dirancang sebagai fondasi model kerjasama antara Palestina dan Israel menggunakan strategi melaksanakan kegiatan gabungan sekaligus kegiatan per-organisasi yang saling mendukung upaya perdamaian di kawasan konflik ini terutama memaksimalkan peran dan hak perempuan. Kedua organisasi ini walaupun memiliki kepengurusan organisasi yang berbeda namun saling terhubung dalam Jerusalem Link, baik secara kegiatan dan pelaporannya. Sebagai gerakan feminis untuk perdamaian, Jerusalem Link menjadi salah satu dari sedikit jalur yang bisa mempertemukan perwakilan dari Israel Yahudi, orang Palestina yang menjadi warga negara Israel, dan warga negara Palestina. Jerusalem Link juga menjadi organisasi yang membangun opini publik untuk mempromosikan perdamaian bersama. Organisasi ini berhasil mendapatkan sorotan media, bahkan secara internasional dan menerima pendanaan untuk berbagai kegiatannya. Semangat Jerusalem Link juga sejalan dengan Resolusi 1325 yang mengedepankan peran perempuan dalam upaya perdamaian. Bekerja sesuai dengan Jerusalem Link Principles, organisasi ini menjadi payung bagi dua organisasi dengan latar belakang berbeda juga mengembangkan studi komparatif dalam menemukan solusi bagi penyelesaian konflik di Israel dan Palestina, peacebuilding, serta memperkuat peran perempuan dalam masyarakat. Jerusalem Link menjadi peluang bagi perempuan untuk bersuara dan berkontribusi bagi perdamaian meskipun dalam prakteknya masih terdapat banyak halangan untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina. Jerusalem Link mengalami dinamika beragam sejak awal pendiriannya dimana dalam konteks pra kesepakatan Oslo, kesempatan untuk menjalin relasi Israel-Palestina terbuka lebar. Namun dinamika konflik dan politik yang terjadi juga membuat Jerusalem Link harus menghadapi hambatan berat seperti dengan adanya intifada kedua (Al-Aqsa Intifada) pada tahun 2000 menyebabkan Jerusalem Link harus menghentikan sementara aktivitas kolektifnya. Kevakuman ini kemudian berakhir setelah pertemuan 35 anggota dewan Jerusalem Link pada Mei 2003 dimana disepakati bahwa akan dibentuk strategi media yang konkrit untuk menunjukkan suara perempuan serta memperluas jaringannya dengan menyertakan pendukung dan kawan baik lokal maupun internasional terutama lebih banyak perempuan muda. Berjalannya reformasi dalam tubuh Jerusalem Link ini juga dipengaruhi oleh dinamika sosial politik di Israel dan Palestina yang cukup signifikan pada periode 2003-2008. Adanya peristiwa penting dari tahun ke tahun seperti kematian Yasser Arafat pada 11 4
November 2004 yang diikuti dengan terpilihnya Mahmoud Abbas yang merupakan seorang negosiator yang berorientasi pada perdamaian dari partai Fatah sebagai pemimpin baru Palestina pada bulan Januari 2005. Sementara itu di tahun 2006 selain terjadi perang Lebanon antara Israel dan Lebanin, konflik Israel-Palestina kembali memanas pasca berkuasanya partai radikal Hamas yang menolak mengakui Israel dan terus melancarkan aksi kekerasan. 12 Pada tahun 2007 terjadi perebutan Jalur Gaza antara partai Hamas dan Fatah yang berujung pada penetapan kebijakan Israel untuk untuk membatasi pergerakan manusia dan barang dari dan menuju Gaza yang membuat 70% tenaga kerja di daerah Hamas menjadi pengangguran dan 80% penghuni Gaza hidup dalam kemiskinan.13 Kondisi ini memuncak pada tahun 2008 dimana terjadi perang Gaza antara Israel dan Palestina yang penuh dengan pelanggaran perang dan menyebabkan banyak rakyat sipil menderita.14 Hal ini tentu saja mempersulit dan mempersempit ruang gerak pihak-pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian diantara Israel dan Palestina, termasuk para perempuan yang tergabung dalam Jerusalem Link. Eksistensi Jerusalem Link menunjukkan peran perempuan sebagai agen perdamaian sejalan dengan Resolusi 1325 yang secara konsep mendukung adanya aktivitas perempuan dalam perdamaian. Meskipun demikian perlu dilihat sejauh mana kontribusi perempuan secara pasifis dalam menyelesaikan sebuah permasalahan sekaligus bagaimana upaya perempuan dalam menciptakan perdamaian di masyarakat sipil. Israel menjadi negara yang pertama meratifikasi resolusi ini15 namun dalam implementasinya masih mengalami berbagai dilema yang pada akhirnya membatasi gerak para perempuan dan masih mengutamakan lakilaki dalam proses negosiasi. Sementara itu, para perempuan di Palestina, yang esksitensinya sebagai negara masih belum jelas, justru dalam implementasinya lebih intensif dalam melakukan pergerakan untuk perdamaian namun harus menghadapi kultur patriarki. Melihat bagaimana aktifitas dan peran perempuan dalam upaya pembangunan perdamaian di Israel dan Palestina dalam kerangka organisasi internasional non pemerintah tidak bisa diabaikan. Dijalankannya upaya perdamaian di Palestina-Israel juga menjadi hal penting untuk dilihat sebagai salah satu upaya resolusi konflik. Munculnya peacebuilding 12
Scott Wilson, “Hamas Sweeps Palestinian Elections, Complicating Peace Efforts in Mideast”, dalam http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/01/26/AR2006012600372.html diakses pada 12 Maret 2013 – 22:34 WIB. 13 Saree Makdisi, “Israel's war on Gaza's children”, dalam http://articles.latimes.com/2007/sep/22/news/OEMAKDISI22 diakses pada 9 Oktober 2013 – 20:54 WIB. 14 Human Rights Watch, “COMPLETE COVERAGE OF ISRAEL/GAZA: Israel – Gaza Conflict, December 2008 – January 2009”, dalam http://www.hrw.org/features/israel-gaza diakses pada 9 Oktober 2013 – 21:00 WIB. 15 Heinrich Böll Stiftung, “Gender Equality in Israel: Implementing UN Security Council Resolution 1325”, dalam http://www.gwi-boell.de/web/un-resolutions-1325-ten-years-conference-saragusti-2210.html diakses pada 12 Maret 2013 – 20:58 WIB.
5
atau bina damai sebagai salah satu perhatian masyarakat menjadi harapan sekaligus dorongan untuk menciptakan keadaan masyarakat yang lebih damai. Insiatif baik dari para perempuan ini tidak hanya menunjukkan bahwa perempuan makin aktif dalam masyarakat namun juga mampu berkarya bagi masyarakat bahkan lintas batas negara. Dengan keterlibatan para perempuan dalam Jerusalem Link menunjukkan bahwa perempuan dan INGO sebagai aktor non negara sudah terlibat dalam memperjuangkan perdamaian, kesetaraan, dan memberikan kontribusi di lingkup lokal bahkan internasional.
Permasalahan Pembahasan mengenai upaya Jerusalem Link dalam peacebuilding ini penting karena perlu dilihat bagaimana partisipasi perempuan dalam upaya perdamaian di Israel-Palestina. Hal ini akan menambah wacana baru dalam melihat konflik ini dimana terjadi perubahan dengan adanya upaya perdamaian (peacebuilding) oleh aktor-aktor non negara, seperti INGO atau bahkan perempuan. Sehingga aspek permasalahan yang akan dibahas adalah kontribusi perempuan (Jerusalem Link) dalam pembangunan perdamaian ini dikhususkan dalam upaya menciptakan perdamaian terkait konflik Israel-Palestina atau resolusi konflik dan upaya memperkuat peran atau pemberdayaan perempuan serta bagaimana Jerusalem Link membangun perdamaian dalam masyarakat, khususnya perempuan. Permasalahan yang juga penting dibahas adalah mengenai tantangan atau hambatan yang dihadapi oleh Jerusalem Link dalam menjalankan aktivitasnya. Perlu diketahui sejauh mana hambatan yang ada mempengaruhi kinerja Jerusalem Link dan imbasnya dalam upaya peacebuilding di IsraelPalestina. Dengan mengetahui hambatan tersebut, ini hal ini akan menjadi evaluasi sekaligus pertimbangan dalam gerakan perempuan serupa. Dengan pembatasan periode dari tahun 2003 hingga 2008 yang sarat dengan berbagai perubahan politik dan konflik sehingga diharapkan dapat memperlihatkan dinamika, tantangan, dan juga evaluasi bagi Jerusalem Link dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sementara tahun 2003 dipilih karena menjadi awal baru bagi Jerusalem Link, tahun 2008 dipilih karena pada tahun ini merupakan tahun terakhir Jerusalem Link menjadi payung koordinasi kerjasama Bat Shalom dan JCW dalam peacebuilding. Usaha bersama Bat Shalom dan JCW dihentikan karena adanya Perang Gaza yang membuat kedua organisasi ini memutuskan untuk fokus pada urusan internal di masing-masing wilayah. Bat Shalom dan JCW tetap menjalankan usaha-usaha peacebuilding secara paralel dimana setiap organisasi bekerja secara terpisah. 6
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk: 1.
Mengetahui peran Jerusalem Link dalam upaya peacebuilding di Paletina dan Israel pada periode 2003-2008.
2.
Mengetahui hambatan yang dihadapi Jerusalem Link dalam upaya peacebuilding di Israel dan Palestina pada periode 2003-2008.
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan menggunakan studi kasus. Metode deskripsi akan digunakan untuk menjelaskan peran perempuan dalam upaya peacebuilding di Israel dan Palestina, khususnya yang tergabung dalam Jerusalem Link serta untuk menganalisa tantangan yang dihadapi oleh mereka. Metode studi kasus memperkenankan peneliti untuk menangkap ciri peristiwa kehidupan nyata, misalnya lingkaran kehidupan individu, proses pengaturan dan organisasi, perubahan tetangga, hubungan internasional, dan perkembangan industri, secara holistik dan mendalam. 16 Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif yang berorientasi pada proses untuk akhirnya menghasilkan data yang bersifat deskriptif. Sebagai upaya untuk memperoleh makna verstehen atau pemahaman maka digunakanlah penggambaran atau deskripsi terhadap realita yang kompleks, bukan sekadar menggunakan angka-angka. 17 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan yang menggunakan data sekunder sebagai bahan analisis. Jenis data yang digunakan berdasarkan sumbernya adalah data sekunder berupa berita, artikel, jurnal, tesis, evaluasi, wawancara maupun penelitian terdahulu terkait topik yang diangkat. Penggunaan sumber informasi tidak hanya berasal dari buku (cetak), laporan organisasi namun juga internet (website).
Hasil Penelitian Konflik antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung hampir 10 dekade ini menjadi salah satu konflik yang paling lama dan menyita perhatian publik. Sejarah konflik yang panjang dan penuh perdebatan membuat upaya penyelesaian konflik ini tidak mudah. Meskipun dipenuhi dengan sentimen agama namun bisa dilihat bahwa konflik yang 16
Robert K. Yin, Case Study Reasearch: design and methods (California, 2003), hlm. 1-2. Andrew Schrank, Case-Based Research dalam A handbook for social science field research: Essays & bibliographic sources on research design and methods, ed. Ellen Perecman and Sara R. Curran (California, 2006), hlm. 22 17
7
berlangsung berakar dari persoalan politis. Pertikaian yang berlangsung antara Israel dan Palestina berakar pada perjuangan antara dua bangsa atas wilayah, identitas nasional, kekuatan politik, dan politik menentukan nasib sendiri (politics of self determination).18 Imbas dari konflik ini adalah tidak terpenuhinya kebutuhan rakyat di dua belah pihak. Muncul berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini berikut dampaknya ke masyarakat, mulai dari jalur diplomatik, bantuan internasional hingga melalui aktor-aktor non negara seperti Jerusalem Link. Dalam upaya mewujudkan perdamaian di Israel dan Palestina, keterlibatan setiap aktor, baik negara ataupun non-negara, tidak bisa diabaikan. Peran aktor negara yang diwujudkan dengan peacemaking berupa perundingan dan kesepakatan damai melalui jalur diplomatik serta peacekeeping berupa intervensi negara lain atau PBB untuk mewujudkan perdamaian Israel dan Palestina pada kenyataannya belum mencapai keberhasilan. Sementara itu munculnya organisasi non negara seperti Jerusalem Link sebagai inisiatif perempuan bagi perdamaian Israel dan Palestina dalam upaya peacebuilding menunjukkan bahwa keberadaan aktor non-negara tidak bisa dilepaskan dari proses perdamaian. Kontribusi Jerusalem Link dalam peacebuilding yang dilakukan dengan membawa perspektif gender ini juga difokuskan pada upaya untuk mengedepankan peran dan memperjuangkan hak perempuan di Israel dan Palestina. Jerusalem Link melalui JCW memainkan strategi yang fokus pada pemilik hak (rakyat, khususnya perempuan) seperti upaya meningkatkan kesadaran perempuan terhadap isu perdamaian, krisis HAM, pemberdayaan perempuan, mengorganisasikan upaya pengakuan hak, dan memobilisasi upaya dari komunitas internasional untuk pengakuan hak perempuan, serta membangun jaringan dengan perempuan lain dan organisasi HAM dan hukum. Sementara itu melalui Bat Shalom, Jerusalem Link memfokuskan strategi yang diarahkan pada pemegang kekuasaan melalui protes terhadap insiden atau kebijakan, meningkatkan kesadaran publik Israel, dan membangun jaringan dengan organisasi HAM dan organisasi politik dalam isu hukum dan HAM.19 Sementara itu Jerusalem Link, baik itu JCW maupun Bat Shalom, juga menjalankan strategi yang sama antara lain: strategi reaksi yakni beragam aktifitas yang didedikasikan untuk perkembangan politik yang memiliki karakter sebagai aksi dan respon terhadap perkembangan politik atau pelanggaran HAM; meningkatkan kesadaran melalui pernyataan publik, panggung politik, perjalanan, publikasi, dan grup perempuan muda; advokasi 18
Beverley Milton-Edwards, The Israeli-Palestinian conflict: a people‟s war (Oxon, 2009), hlm. 9. Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report (Maret, 2008), hlm. 32. 19
8
internasional yang diwujudkan melalui partisipasi di konferensi internasional, pertemuan dengan pemegang kekuasaan internasional, pernyataan ke kedutaan, dan sebagainya; protes berupa mengorganisasi demonstrasti atau kegiatan unjuk rasa; dan koalisi yang diwujudkan melalui penciptaan atau partisipasi dalam koalisi.20 Jerusalem Link menunjukkan upayanya untuk menciptakan perdamaian melalui upaya menghentikan okupasi dan kekerasan di Israel dan Palestina. Upaya ini dilakukan melalui dialog politik yang tidak hanya melibatkan perempuan Israel dan Palestina namun juga pihak internasional. Tidak hanya itu hal ini juga berkaitan dengan advokasi dan kampanye HAM, khususnya permasalahan tahanan dan penghancuran rumah. Untuk memperkuat upaya ini, Jerusalem Link juga memainkan peran dalam pemberdayaan perempuan sebagai aktor penting dalam peacebuilding. Dengan menjalankan kegiatan ini, sebagai sebuah organisasi Jerusalem Link telah memainkan peran sebagai instrumen dan arena bagi para perempuan Israel dan Palestina untuk mencapai perdamaian, memperjuangkan HAM dan hak rakyat, serta pemberdayaan perempuan. Kontribusi ini menunjukkan peran Jerusalem Link sebagai aktor independen yang menyuarakan kepentingan rakyat tanpa pengaruh pihak manapun. Menghadirkan perdamaian dalam masyarakat merupakan agenda utama dari peacebuilding sehingga menghentikan konflik atau kekerasan terbuka dalam menjadi hal yang sangat penting. Kegagalan negosiasi damai yang memicu kekecewaan yang berujung pada meningkatnya konflik dan kekerasan, mempersulit terwujudnya upaya perdamaian dan berdampak pada masyarakat di kedua pihak. Hal ini membuat Jerusalem Link yang berkomitmen untuk bekerjasama dalam menciptakan perdamaian abadi diantara rakyat Israel dan Palestina selalu berusaha untuk mendesak dan menemukan solusi yang sesuai dengan norma demokrasi dan non kekerasan seperti melalui dialog, aksi demonstrasi damai, kampanye, dan berkomunikasi atau masuk ke dalam pemerintahan masing-masing. Sejak kembali beraktifitas di tahun 2003, Jerusalem Link secara berkelanjutan mengeluarkan pernyataan dan kegiatan untuk mendesak penghentian konflik terbuka dan okupasi, dan konflik lain yang berkembang seperti perang Irak dan perang Lebanon. Melalui pendiriannya, Jerusalem Link menjadi media bagi perempuan Israel dan Palestina untuk bertemu, berdialog dan berjejaring sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian di Israel dan Palestina. Salah satu kegiatan rutin Jerusalem Link adalah membahas isu-isu politik terkait upaya perdamaian dan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam upaya tersebut. Hal ini menjadi bagian dari reformasi politik sebagai
20
Ibid., hlm. 12.
9
agenda penting peacebuilding yang mendukung terciptanya kondisi politik yang demokratis dan anti kekerasan dimana perempuan dapat berkontribusi di dalamnya. Dialog politik ini menunjukkan peran Jerusalem Link dalam mengupayakan peacebuilding berperspektif gender karena dengan menyertakan perempuan dalam diskusi politik akan mendukung partisipasi perempuan secara penuh dan setara dalam peacebuilding dan proses pengambilan keputusan serta memastikan bahwa pemulihan politik dan sosial dijalankan dengan kesetaraan dan memengaruhi hubungan gender secara positif. Melalui upaya ini, Jerusalem Link berhasil memunculkan politisi perempuan seperti Zahira Kamal (sekretaris umum Palestinian Democratic Union party), Naomi Chazan (anggota Knesset, presiden New Israel Fund), dan Tamar Gozanski (anggota Knesset, tokoh Israeli Communist Party).21 Selain itu, para tokoh JCW juga memegang posisi penting dalam masyarakt sipil dan politik seperti halnya Zahira Kamal (Minister for Women's Affairs, Palestina), Salwa Hdeib (Deputy Minister for Women's Affairs), Hanan Ashrawi (anggota Palestinian Legislative Council) yang kemudian mengembangkan NGO MIFTAH, Lamis Alami (Education Minister of the Interim Government), dan Maha Abu Dayyeh serta Amal Khreishe yang menjadi pemimpin dalam organisasi lain.22 Keberhasilan dialog politik ini juga diwujudkan melalui pendirian IWC (International Women‟s Commission) pada tahun 2005 yang merupakan buah dari dialog politik dan upaya negosiasi panjang perempuan Israel dan Palestina melalui Jerusalem Link sejak tahun 2003. Pendirian IWC yang didasari oleh terbatasnya kesempatan perempuan dalam negosiasi perdamaian menjadi model dialog politik yang ditujukan agar perempuan dapat lebih berkontribusi bagi upaya perdamaian terutama dalam proses pengambilan keputusan sesuai dengan Resolusi 1325. Tidak hanya itu, Jerusalem Link juga secara berkelanjutan memantau kondisi politik dan konflik Israel-Palestina, seperti melalui pembahasan politik terkait konflik di Jalur Gaza dan dampaknya terhadap Jerusalem Link. Kedua organisasi sepakat untuk terus melanjutkan usaha mewujudkan solusi dua negara serta melakukan penguatan dan revitalisasi organisasi secara politik dan kelembagaan melalui dialog politik dan kampanye advokasi. Selain melalui pertemuan dialog dua pihak, baik Bat Shalom dan JCW mengadakan program-program diskusi politik yang mengajak masyarakat di wilayah masing-masing untuk terlibat. Bat Shalom memiliki komite politik yang secara rutin mendiskusikan perkembangan 21
Ibid., hm. 33. Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Keeping Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link, Ms. Thesis, University of Helsinki (Mei 2008), hlm. 47. 22
10
politik dan memutuskan aktifitas sebagai respon atas perkembangan tersebut. Selain itu, Bat Shalom juga memiliki Political House yang merupakan program mingguan dimana dilaksanakan kuliah, diskusi politik, dan pemutaran film yang menarik sekitar 40-50 perempuan dan laki-laki tiap minggunya. Bat Shalom menggunakan area publik seperti kafe kopi, stasiun bus, toko, dan sebagainya untuk acara ini. Hal ini dilakukan untuk mengundang partisipan baru di luar Bat Shalom dan membantu menyebarkan pemikiran dan agenda politiknya secara lebih luas.23 JCW juga aktif dalam mengadakan pelatihan untuk memberdayakan perempuan dalam hal partisipasi politik sekaligus memperkenalkan Resolusi 1325. Sejak 2006 JCW memiliki unit media yang fokus dalam menjangkau dan membangun jaringan secara lokal, regional dan internasional, melalui semua media cara yang mungkin visual dan terdengar (media cetak, radio, televisi, website dan email, publikasi). Departemen media ini berhasil menjadi salah satu penyedia informasi, melengkapi tulisan jurnalis yang mengkritisi kebijakan okupasi, yang opresif terkait efek dari okupasi terhadap status dan kehidupan perempuan serta terkait isu penghancuran rumah, pemenjaraan, titik pengawasan, penangkapan massal, dan pelecehan. Melalui cara ini, JCW berhasil menunjukkan kredibilitasnya sebagai media tulisan, audio, dan visual lokal. Hal ini telah memberikan kontribusi dalam upaya mendukung perempuan Palestina di berbagai tingkatan politik dan sosial di Yerusalem dengan cara yang berbeda. Unit ini juga memainkan peran besar dalam kampanye untuk menghentikan yahudisasi kota Yerusalem. Selain berkontribusi dalam isu-isu politik, Jerusalem Link juga telah memainkan peran signifikan dalam menciptakan jaringan antara perempuan Israel dan Palestina serta pihak internasional. Jerusalem Link telah menjadi salah satu dari sedikit jaringan yang dapat mempertemukan perempuan di kedua belah pihak, memberikan informasi yang faktual, sekaligus membuka akses kepada masyarakat secara umum. Melalui hubungannya dengan JCW, Bat Shalom menunjukkan bahwa ada suara alternatif dalam tubuh Israel dimana “tidak semua orang Israel adalah penjajah dan fasis” serta membawa realitas kehidupan perempuan Palestina ke publik Israel. Sementara itu bagi JCW, hubungan ini penting untuk menunjukkan pada publik Israel bahwa mereka ada sebagai rekan untuk diskusi perdamaian dan menginformasikan pada publik Israel mengenai pengalaman dan kehidupan orang Palestina di bawah okupasi.24 23
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hm. 10. 24 The Jerusalem Center for Women, Annual Report 2004, hlm. 50-51.
11
Jerusalem Link juga memperluas hubungannya dengan keterlibatan Bat Shalom dan JCW dalam berbagai koalisi dan jaringan untuk mendukung terwujudnya agenda-agenda perdamaian dan pemberdayaan perempuan. Selain membangun jaringan secara lokal, Jerusalem Link secara aktif membangun jaringan dengan masyarakat internasional. Upaya ini dilakukan tidak hanya sebagai upaya untuk mempromosikan perjuangan perdamaian Jerusalem Link tapi juga menghubungkan Jerusalem Link dengan perempuan dari daerah konflik lain dan aktor penting internasional. Kehadiran Jerusalem Link yang terdiri dari perempuan Israel dan Palestina menunjukkan bahwa Israel dan Palestina memiliki kesempatan untuk bisa hidup berdampingan dengan damai. Jerusalem Link juga mendapatkan sambutan yang baik dari komunitas internasional yang dibuktikan dengan para anggota Jerusalem Link menjadi pembicara yang cukup populer dan sering diundang dalam konferensi internasional terkait dengan perempuan, perang, perdamaian, dan resolusi konflik. Fakta ini cukup ironis manakala Jerusalem Link lebih terkenal di luar negeri dibandingkan di Israel dan Palestina dimana Jerusalem Link mengalami banyak permasalahan.25 Jerusalem Link juga memainkan peran dalam kampanye dan advokasi HAM di tataran akar rumput, terutama pada kaum perempuan (tahanan perempuan) dan dalam permasalahan penghancuran rumah (house demolitions). Salah satu fokus dan keberhasilan Jerusalem Link dalam memperjuangkan hak atas pemukiman yang dilanggar dengan adanya house demolitions sebagai bagian dari kebijakan okupasi Israel adalah kasus Silwan. Pada tahun 2005, Jerusalem Link bekerjasama dengan para perempuan di Silwan dan beberapa organisasi HAM dalam membentuk Silwan Women‟s Committee. Jerusalem Link dan koalisi ini juga menerbitkan pernyataan bersama yang menolak kebijakan Israel terkait penghancuran rumah di Jerusalem Timur, terutama di Silwan. Untuk mendukung upaya ini, Jerusalem Link juga mendekati konsulat negara-negara penandatangan Konvensi Jenewa ke-4 dan negara-negara Uni Eropa lainnya untuk meminta mereka menegakkan hukum internasional tentang penghancuran rumah dan jenis-jenis penghancuran paksa di Jerusalem Timur dan di tempat lain dalam teritori okupasi. Sementara itu Bat Shalom juga mengadvokasikan hal ini ke pemerintah Jerusalem, kementerian dalam negeri, dan kantor perdana menteri. Selain itu dalam tataran akar rumput, Jerusalem Link mendirikan tenda solidaritas dan unjuk rasa di wilayah tersebut yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya aktivis, aksi solidaritas, jurnalis, menjadi pusat sumber informasi dalam tiga bahasa, serta menjadi tempat mengorganisir surat unjuk rasa bagi pemegang
25
Ibid., hlm. 55.
12
kekuasaan Israel. Upaya koalisi ini juga dilakukan melalui pertemuan dengan beberapa diplomat dan kedutaan, aksi kebudayaan, dan unjuk rasa bersama ini membuahkan hasil dimana walikota Jerusalem mengumumkan untuk membatalkan rencana penghancuran rumah Silwan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha dengan target yang fokus dengan melibatkan aktivis akar rumput, membangun solidaritas dengan korban dan memberdayakan masyarakat untuk memperjuangkan haknya, serta memberikan tekanan pada pemegang kekuasaan akan memberikan hasil positif. Sementara terus memasukkan perspektif gender dalam upaya peacebuilding, Jerusalem Link juga melakukan upaya pemberdayaan perempuan. Dengan mempertahankan eksistensinya Jerusalem Link telah memberdayakan perempuan dalam lingkup internal dan melalui pelatihan dan workshop Jerusalem Link secara berkelanjutan memberdayakan perempuan secara umum atau lingkup yang lebih luas. Jerusalem Link mengadakan berbagai kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan program peacebuilding untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan perempuan dalam hal sosial, politik, dan ekonomi. Pelatihan dan upaya meningkatkan kesadaran akan perdamaian dan HAM dikaitkan dengan isu perempuan dan Resolusi 1325. Hal ini juga menjadi salah satu upaya Jerusalem Link untuk mengkaderisasi dan mempersiapkan perempuan muda dimana selain melibatkan mereka dalam pelatihan dan membekali kemampuan fasilitasi dengan TOT (training of trainers), perempuan muda ini juga dilibatkan dalam forum publik dan konferensi internasional. Baik Bat Shalom maupun JCW mengadakan program pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kemampuan perempuan terkait isu HAM, demokrasi, dan advokasi. Jerusalem Link merancang kelompok diskusi perempuan yang diorganisir oleh Bat Shalom dan JCW untuk kemudian saling bertemu. Bat Shalom membuat 4 kelompok diskusi untuk meningkatkan kesadaran (raising awareness groups) yang terdiri dari 12-15 anggota tiap kelompoknya. Kelompok ini terbuka bagi perempuan muda dari wilayah Yerusalem, Tel Aviv, dan wilayah utara Israel, anggota sebagian besar merupakan perempuan Palestina yang menjadi warga negara Israel. Setiap minggu, kelompok ini adalah mendiskusikan isu mengenai realitas mereka dalam kaitannya dengan isu sosial, ekonomi, dan politik. Kegiatan ini bermanfaat bagi perempuan muda yang awalnya tidak aktif dalam politik untuk membekali diri dan beberapa anggota mulai terlibat aktif dalam kegiatan Bat Shalom. Kegiatan ini juga mempersiapkan para perempuan Israel untuk membekali diri dengan
13
pengetahuan politik dan gender agar lebih siap dalam menghadapi realitas dan ekspektasi dari perempuan Palestina.26 Sebagai bagian dari program pemberdayaan perempuan dilakukan proses rehabilitasi atau penyembuhan trauma dari para korban okupasi, terutama tahanan. Dilakukan program voice therapy projects yang diarahkan pada ibu, anak perempuan, dan istri dari tahanan politik; ibu dari “martir” atau orang yang dibunuh Israel atau pelaku bom bunuh diri; pelajar; dan ibu rumah tangga. Dalam program ini peserta diarahkan oleh pekerja sosial dan psikolog dalam proses konseling, membangun kepercayaan diri, dan belajar bagaimana menghadapi kehilangan. Melalui kegiatan ini dapat dilihat bagaimana ibu dari “martir”mengalami penderitaan akibat kematian anaknya dan membenci “pemuliaan” atas kematian anaknya.27 Hal yang bisa dilihat dari testimoni para ibu “martir” ini adalah ada gambaran palsu yang dipublikasikan oleh media bahwa para ibu ini mendukung kematian anaknya dan hal ini sangat berpotensi menyulut kebencian bukan perdamaian. Dengan melakukan pemberdayaan perempuan, Jerusalem Link telah menjalankan satu tugas penting dari peacebuilding yaitu membekali korban sekaligus aktor dari peacebuilding dengan keterampilan untuk memperjuangkan hak perempuan dalam konflik sekaligus mendukung terciptanya perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Sebagai sebuah organisasi, Jerusalem Link menunjukkan perannya sebagai instrumen dan arena bagi para perempuan untuk mengembangkan dirinya demi terwujudnya perdamaian di Israel dan Palestina. Selain itu hal ini juga mendukung reformasi sosial dimana perempuan yang awalnya menjadi warga negara kelas dua pada akhirnya dapat mengembangkan dirinya dan menunjukkan kontribusinya bagi perkembangan masyarakat yang demokratis dan non-kekerasan. Dalam menjalankan perannya ini, Jerusalem Link mengalami berbagai tantangan yang menghambat kinerjanya dalam upaya peacebuilding. Sebagai organisasi, Jerusalem Link mengalami dua macam diskriminasi yaitu sebagai suara alternatif bagi rakyat serta sebagai suara perempuan yang menginginkan perdamaian. Beranggotakan perempuan dari dua negara, Jerusalem Link tidak hanya mengalami hambatan internal yang berasal dari dalam organisasi, namun juga hambatan eksternal yang berkaitan dengan kondisi politik Israel dan Palestina yang terus bergejolak. Kesulitan dalam merumuskan strategi yang menghubungkan dan menyeimbangkan pendekatan terhadap pemegang kekuasaan dan masyarakat akar rumput merupakan salah satu 26
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 9-10. 27 Janet M. Powers, Blossoms on the olive tree : Israeli and Palestinian women working for peace, hlm. 9-10.
14
hambatan internal Jerusalem Link. Terkait dengan kurangnya strategi ini, Jerusalem Link juga mengalami hambatan dalam merencanakan strategi yang berjangka panjang dan berkelanjutan. Sehingga aktivitas yang dijalankan oleh Jerusalem Link rentan untuk mengalami stagnansi akibat dinamika konflik Israel-Palestina. Hal ini terbukti dengan kembali vakumnya Jerusalem Link pasca konflik Israel-Palestina memanas di tahun 2008. Adanya perbedaan pendapat dan tidak terencananya strategi jangka panjang juga berpengaruh pada pendanaan dimana donor sulit untuk menganalisa pengaruh yang ditunjukkan oleh Jerusalem Link. Masih terdapat jarak atau kesenjangan dalam strategi yang ditujukan ke pemegang kekuasaan untuk mendesak mereka dalam menjalankan tugas dan kewajiban dimana hubungan kekuasaan antara pemegang kekuasan dan masyarakat akar rumput tidak terlihat karena kurangnya strategi untuk membawa suara akar rumput dalam tataran politik untuk membawa perubahan terkait hak mereka.28 Walaupun banyak kegiatan yang ditujukan kepada masyarakat sipil namun tidak terdapat strategi yang efektif untuk melibatkan masyarakat akar rumput dalam kegiatan politik yang dapat memengaruhi proses pembuatan kebijakan dan sangat sedikit kegiatan yang dijalankan yang berkaitan langsung dengan pemegang kekuasaan. Hal ini membuat strategi yang dijalankan oleh Jerusalem Link seolah hanya bersifat “menambal” (band-aid) dimana kegiatan yang dilakukan dalam tataran akar rumput mengupayakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya sementara tidak ada perubahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan lantaran ketidakmampuan untuk mendesak pemegang kekuasaan dan mengembalikan upaya perjuangan hak kepada pemegang hak, bukan pada pemegang kekuasaan.29 Dengan permasalahan ini, Jerusalem Link mengalami kesulitan untuk memengaruhi proses pembuatan keputusan yang mendukung upaya peacebuilding di Israel dan Palestina. Keanggotaan yang terus menurun dari Bat Shalom dan JCW serta kurangnya partisipasi kaum muda dalam organisasi juga menjadi hambatan internal Jerusalem Link dalam menjalankan agenda peacebuilding. Keanggotaan Jerusalem Link diisi oleh perwakilan dari Bat Shalom dan JCW, sementara baik Bat Shalom dan JCW memiliki struktur dan keanggotaan yang independen dimana jumlah anggota yang menurun berdampak pada minimnya staff yang kemudian harus menghadapi permasalahan lain yakni menangani tanggungjawab yang beragam 28
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 32. 29 Ibid.
15
Permasalahan staf yang terbatas ini terjadi di tubuh Bat Shalom yang membuat staff Bat Shalom memiliki tugas yang berlipat antara lain direktur organisasi yang juga berperan penting sebagai pencari dana, asisten administratif sekaligus yang mengaktif mimbar politik, koordinator kelompok Tel Aviv, koordinator kelompok Yerusalem sekaligus koordinator politik, koordinator kelompok utara, dan seorang akuntan lepas (freelance).30Selain itu mayoritas staff merupakan pekerja paruh waktu sehingga sulit untuk mengadakan pertemuan secara rutin karena membutuhkan usaha koordinasi yang tidak mudah. Hal ini kemudian memengaruhi perencanaan organisasi dimana staff tidak memiliki pengetahuan akan rencana organisasi maupun kerangka pendanaan yang jelas bahkan tidak mengetahui jumlah dana yang dimiliki. Imbasnya adalah muncul ketergantungan mutlak pada Direktur yang memiliki kewenangan tunggal untuk mengambil keputusan.31 Sementara itu di tubuh JCW pembagian tugas lebih jelas walaupun jumlah anggota juga mengalami penurunan. Permasalahan yang muncul berkaitan majelis umum (general assembly) yang seolah tidak terlihat akibat jarangnya dilakukan pertemuan umum. Hal ini berpengaruh pada demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi internal organisasi karena mempersulit koordinasi seluruh anggota JCW. Akan tetapi kondisi ini justru mendorong motivasi para staff JCW yang harus menghadapi berbagai isu penting karena status majelis umum yang tidak jelas ini memberikan ruang bagi staff JCW untuk mengambil keputusan dan melakukan perencanaan.32 Permasalahan internal lain yang dihadapi adalah melibatkan kaum muda dalam keanggotaan Jerusalem Link melalui Bat Shalom dan JCW. Secara umum, anggota dari Bat Shalom dan JCW adalah perempuan paruh baya yang rata-rata berusia 40-60 tahun. Para anggota Bat Shalom berusia rata-rata 55-60 tahun, sedangkan usia anggota JCW berkisar pada 40-50 tahun.33 Walaupun hal ini menunjukkan komitmen anggota untuk terus terlibat untuk mempertahankan eksistensi Jerusalem Link, namun hal ini memperlihatkan kesulitan Jerusalem Link dalam menarik perempuan muda untuk terlibat dalam Jerusalem Link. Hal ini juga memunculkan kesan bahwa Jerusalem Link merupakan merupakan organisasi perempuan elit yang eksklusif dimana para “founding mothers” merupakan tokoh-tokoh yang cukup penting dan terkenal dalam gerakan masyarakat untuk perdamaian dan politik. Di sisi lain, keterlibatan para tokoh politik juga sering disalagunakan untuk agenda dan pertarungan 30
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report., hlm. 8. 31 Ibid. 32 Ibid., hlm. 23 33 Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Keeping Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link, hlm. 43.
16
politik. Hal ini tidak ditujukan untuk mendorong perubahan dan tidak pula berpengaruh signifikan karena keterlibatannya hanya ditujukan untuk memgumupulkan suara. 34 Hal ini menimbulkan keengganan baik bagi perempuan akar rumput maupun perempuan muda untuk ikut bergabung dalam Jerusalem Link. Keterlibatan perempuan muda disadari sebagai agenda penting untuk mendukung proses peacebuilding melalui kaderisasi generasi muda yang sensitif dengan isu perdamaian dan gender. Akan tetapi permasalahan yang muncul kemudian adalah para perempuan ini tidak menunjukkan komitmennya untuk ikut terlibat dalam kegiatan atau struktur organisasi selanjutnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya partisipasi perempuan muda dalam struktur JCW sementara terdapat beberapa perempuan muda yang muncul dalam struktur Bat Shalom.35 Kurangnya perencanaan yang jelas untuk mengintegrasikan generasi muda terutama di tengah kondisi yang penuh dengan pembatasan dan sulitnya bertemu dengan perempuan Palestina membuat partisipasi perempuan muda Palestina tidak semudah perempuan muda Israel.36 Hambatan dari segi komunikasi juga muncul dalam tubuh Jerusalem Link berkaitan dengan bahasa dan media komunikasi yang digunakan Jerusalem Link yang berimbas pada ketidaktahuan masyarakat akan Jerusalem Link. Bahasa menjadi hambatan bagi perempuan Israel dan Palestina untuk berkomunikasi dalam pertemuan Jerusalem Link. Para perempuan Bat Shalom dan JCW yang menggunakan bahasa Arab dan Ibrani (Hebrew) dalam kegiatannya sehari-hari mengalami kesulitan untuk menggunakan bahasa Inggris yang dijadikan bahasa utama dalam pertemuan bersama Jerusalem Link. Para perempuan yang tidak mahir berbahasa Inggris kemudian tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan ini. Padahal bagi mayoritas peserta pertemuan, kecuali perempuan-perempuan dari Bat Shalom yang berlatar belakang imigran dari negara-negara berbahasa Inggris, bahasa Inggris merupakan bahasa kedua atau bahkan ketiga. Hal ini sangat mempersulit perempuanperempuan ini untuk berdialog dan mengekspresikan diri terutama pada isu-isu yang sensitif.37 Kendala dalam komunikasi juga dialami dalam upaya untuk terlibat dalam masyarakat umum. Hal ini terkait dengan ketidakmampuan Jerusalem Link untuk mengartikulasikan diri dalam masyarakat sebagai organisasi yang memperjuangkan perdamaian, termasuk 34
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 34. 35 Ibid., hlm. 33. 36 Ibid., hlm. 9. 37 Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link, hlm. 47-48.
17
normalisasi politik yang memperhatikan hak rakyat. Permasalahan media komunikasi juga memengaruhi hal ini dimana penggunaan media massa menjadi hal yang vital untuk mengubah opini publik. Sementara JCW mulai menggiatkan media internet, Bat Shalom mengalami kesulitan untuk masuk dalam media massa Israel. Kesulitan Bat Shalom diakibatkan kurangnya dana untuk menggunakan media massa Israel yang relatif mahal. Media massa di Israel juga cenderung menghalangi pemberitaan mengenai gerakan perdamaian. Ironisnya, satu-satunya kesempatan Bat Shalom untuk mendapatkan perhatian media adalah ketika terjadi demonstrasi yang diorganisir Bat Shalom mengalami penyerangan secara brutal oleh pihak kepolisian.38 Dana menjadi salah satu hambatan yang harus dihadapi oleh Jerusalem Link. Permasalahan dana ini juga memengaruhi jumlah kegiatan dan staff yang harus dikurangi akibat keterbatasan dana. Tidak adanya sumber pendanaan lain selain donor membuat Jerusalem Link sangat bergantung pada donor asing. Biaya keanggotaan yang rendah atau bahkan tidak ada membuat Bat Shalom maupun JCW harus bekerja keras dalam mencari pendanaan bagi kegiatan mereka. Permasalahan keuangan yang dihadapi Jerusalem Link ini juga diakibatkan kurangnya perencanaan keuangan dan tidak adanya inisiatif dari para perempuan untuk menggalang dana dengan cara lain. Ketergantungan akan donor dan tidak terencananya keuangan membuat eksistensi dan kegiatan Jerusalem Link dipertaruhkan. Isu hubungan asimetri antara perempuan Israel dan Palestina menjadi tantangan berat dalam proses rekonsiliasi dan peacebuilding yang dihadapi Jerusalem Link. Hubungan yang seolah timpang ini berkaitan dengan kondisi politik Israel dan Palestina dimana hubungan dua negara ini adalah sebagai occupier (yang menduduki) dan occupied (yang diduduki). Kondisi yang tidak bisa diabaikan ini sangat memengaruhi kepercayaan di kedua belah pihak dan membuat keduanya sulit untuk merasa sejajar. Dimensi occupier dan occupied ini sangat berpengaruh terhadap cara pandang mengenai isu-isu terkait eksistensi Israel, right of return, kekerasan, dan keamanan. Bagi perempuan Israel, eksistensi Israel sebagai sebuah negara merupakan hal yang tidak bisa kemudian dihilangkan begitu saja ketika perempuan Palestina menuntut haknya atas wilayah yang diokupasi oleh Israel. Bagi perempuan Palestina, hal yang kemudian penting adalah mendapatkan pengakuan atas right of return dimana Israel seharusnya bertanggungjawab atas pemenuhan hak tersebut. Perempuan Palestina kecewa terhadap perempuan Israel yang dianggap tidak mengakui hak mereka sesuai dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang sesuai dengan prinsip Jerusalem Link. Pertentangan 38
Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 11.
18
akan isu ini kemudian berakhir dengan kesepakatan untuk mencantumkan dua pandangan yang berbeda dalam prinsip Jerusalem Link terkait isu right to returns. Hal ini juga mempersulit upaya untuk menyepakati frasa yang tepat dalam menanggapi isu kekerasan dan keamanan. Perempuan Israel secara umum tidak masalah untuk mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh Israel di wilayah okupasi namun mereka keberatan dengan pernyataan yang mengabaikan pengalaman orang Israel yang juga tertekan akan ketakutan dan kekerasan. Menurut Bat Shalom dengan memuat pengutukan akan kekerasan yang juga dirasakan oleh rakyat Israel akan menguntungkan bagi Jerusalem Link sendiri di mata publik Israel. Terkait hal ini, perempuan Israel menganggap bahwa perempuan Palestina belum juga menyadari dampak dari “terorisme” terhadap publik Israel dan hal ini mempersulit upaya untuk memobilisasi rakyat Israel untuk melawan tindakan pemerintah.39 Keenganan perempuan Palestina untuk mengecam tindakan kekerasan orang Palestina terhadap rakyat sipil Israel sangat disayangkan oleh beberapa anggota Bat Shalom.40 Selain dikejutkan dengan konsep insekuritas Israel, perempuan Palestina juga mengalami permasalahan terkait pengecaman kekerasan oleh Palestina. Kekerasan, tidak termasuk bom bunuh diri, dianggap sebagai cara yang sah dalam pertempuran melawan okupasi.41 Selain itu perempuan Palestina juga menyatakan ketidaknyamanannya dengan penggunaan kata terorisme dimana di Israel kata terorisme mengacu pada semua tindakan yang dilakukan orang Palestina terhadap orang Israel, terutama terkait pada pengeboman. Sementara itu hambatan eksternal juga muncul berkaitan dengan kebijakan okupasi Israel yang meningkatkan isolasi dan pengamanan di wilayah kekuasaan Israel yang diwujudkan dengan pembangunan separation walls (tembok pemisah) dan lebih dari 563 blokade dan titik pengawasan (checkpoint) di Tepi Barat.42 Pembatasan ini juga ditunjukkan dengan larangan penududuk Palestina untuk menggunakan beberapa jalan dan jalan raya utama di Tepi Barat sehingga menghalangi akses rakyat Palestina ke wilayah seperti Jerusalem Timur, Lembah Yordan, daerah sekitar tembok pemisah, dan Hebron.43 Kondisi ini menjadi tantangan baru bagi Jerusalem Link untuk dapat menjalankan proses peacebuilding dimana sebagian perempuan Palestina juga harus menghadapi kondisi mengenaskan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan sulitnya akses ini, kemampuan Jerusalem Link 39
Ibid., hlm 73. Ibid., hlm. 74. 41 Ibid. 42 Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 13. 43 B‟Tselem, “Restriction of movement: Background on the restriction of movement”, dalam http://www.btselem.org/freedom_of_movement diakses pada 21 November 2013 pukul 20:28 WIB. 40
19
untuk menjangkau berbagai daerah sangat terbatas dan masyarakat sulit untuk dapat terlibat langsung dalam kegiatan yang diorganisir oleh Jerusalem Link. Kondisi ini sangat menghambat proses peacebuilding bagi masyarakat akar rumput. Hal ini juga mempersulit terwujudnya solusi dua negara karena pembatasan ini akan mempersulit kehidupan rakyat Palestina dan memicu kebencian dan kemarahan dari pihak Palestina. Munculnya tembok pemisah dan titik pengawasan ini sangat mempersulit izin bagi perempuan Palestina untuk memasuki kawasan Jerusalem. Sementara dengan meningkatnya kekerasan, sangat beresiko bagi perempuan Israel untuk keluar dari wilayah Jerusalem. Hal ini sangat mempersulit kedua pihak untuk dapat menjalankan aktifitas bersama bahkan hanya untuk bertatap muka. Kondisi ini juga membuat perempuan Palestina merasa memiliki prioritas lain yakni bekerjasama dengan NGO di Palestina untuk merespon konflik yang makin memanas serta kebijakan okupasi yang makin membatasi hak-hak rakyat Palestina. Di sisi lain, perempuan Israel juga terkejut dengan keputusan pemerintah Israel dan kesulitan untuk menentukan langkah yang tepat untuk menghadapi kebijakan ini. Sementara itu memburuknya kondisi politik pasca kemenangan partai garis keras Hamas yang menolak untuk mengakui Israel dan pada akhirnya tidak hanya bersitegang dengan partai Fatah namun juga melancarkan aksi kekerasan ke Israel44 juga menjadi hambatan yang dihadapi Jerusalem Link. Kondisi ini memuncak pada tahun 2008 dimana terjadi perang Gaza antara Israel dan Palestina yang penuh dengan pelanggaran perang dan menyebabkan banyak rakyat sipil menderita.45 Hal ini juga mempersulit dan mempersempit ruang gerak pihak-pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian diantara Israel dan Palestina, termasuk para perempuan yang tergabung dalam Jerusalem Link. Tidak hanya itu, mereka juga harus mempertaruhkan nyawa dalam upaya peacebuilding ini karena dapat dianggap sebagai pengkhianat oleh Hamas dan menjadi sasaran kekerasan karena Hamas tidak segan menggunakan paramiliternya dan mempraktikkan pembunuhan tanpa proses peradilan (extrajudicial killing). Meningkatnya kekerasan dan militerisasi di Jalur Gaza ini membuat kedua belah pihak kebingungan dan kehilangan rasa saling percaya karena sulitnya akses untuk berdialog dan bekerjasama. Selain militerisasi, ancaman bom bunuh diri juga menjadi permasalahan dalam mengupayakan kerjasama antara perempuan Israel dan Palestina. Ketika kondisi makin 44
The National Counterterorism Center, “Hamas”, dalam http://www.nctc.gov/site/groups/hamas.html diakses pada 12 Maret 2013 – 22:45 WIB. 45 Human Rights Watch, “COMPLETE COVERAGE OF ISRAEL/GAZA: Israel – Gaza Conflict, December 2008 – January 2009”, dalam http://www.hrw.org/features/israel-gaza diakses pada 9 Oktober 2013 – 21:00 WIB.
20
memburuk, hubungan komunikasi sangat terbatas dan hanya dilakukan oleh para pemimpin Bat Shalom dan JCW. Para perempuan Israel sendiri merasa malu untuk menghubungi rekannya di Palestina akibat tindakan pemerintah Israel untuk menggunakan militer dalam menghadapi rakyat sipil Palestina sehingga perempuan Israel. Selama dua bulan, perempuan Israel tidak menghubungi perempuan Palestina dan hal ini sangat menyakitkan bagi perempuan Palestina yang merasa diabaikan. Muncul pula kekecewaan karena perempuan Israel dianggap tidak dapat menunjukkan ketegasan sikap sejak dimulainya intifada kedua. 46 Konsekuensi akibat pengalaman akan kekerasan dan militerisasi ini adalah sulit menemukan kesepakatan terkait isu ini karena kedua belah pihak juga menjadi korban namun serta merta meningkatkan hubungan asimetri antara perempuan Israel dan Palestina. Ketidakmampuan menemukan kesepakatan untuk menanggapi kekerasan yang dihadapi kedua belah pihak kemudian menimbulkan perpecahan yang mengurangi rasa percaya. Meningkatnya kekerasan juga berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi, dimana perempuan langsung menjadi korban dan seringkali tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik dan perdamaian. Para perempuan juga harus menghadapi kekerasan dalam upaya menyuarakan perdamaian karena ketika demonstrasi, ancaman gas air mata dan penjagaan dari militer bersenjata menjadi hal yang tidak dapat ditolak. Diskursus militer merupakan hal yang didominasi oleh maskulinitas dan secara mental perempuan kekurangan kepercayaan diri untuk menentang. Hal ini, disamping kurangnya keamanan secara personal, mengurangi motivasi perempuan untuk terlibat dalam diskursus anti militerisme dan kekerasan.47 Kondisi politik dan konflik Israel-Palestina yang terus bergejolak membuat opini publik yang berkembang dalam masyarakat sangat beragam. Krisis kepercayaan publik yang disertai dengan pembatasan gerak dan kurangnya strategi yang efektif ini membuat langkah Jerusalem Link untuk menjalankan upaya peacebuilding semakin terhambat. Kondisi ini kemudian menciptakan kategorisasi biner dalam masyarakat sipil di Israel berdasarkan tanggapan dari rencana ini yakni dimana orang dapat dikatakan sebagai “patriot” atau “pengkhianatan”. Kategorisasi ini tentu membuat masyarakat Israel yang lebih berorientasi pada stabilitas kehidupannya secara personal kemudian enggan untuk memberikan perhatian pada penyelesaian konflik Israel-Palestina. Adanya militerisasi ini membuat minat dan keinginan untuk terlibat dalam isu politik menurun. Jika pun ada reaksi terhadap hal ini 46
Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Keeping Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link, hlm. 86. 47 Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. A annex 3.
21
hanyalah bersifat sementara dan kemungkinan untuk terlibat lebih jauh terkait konflik sangat kecil.48 Sementara itu, kondisi perpecahan internal di Palestina antara partai Hamas dan Fatah mengurangi kepercayaan publik Israel akan kemungkinan untuk mencapai solusi perdamaian. Kondisi menurunnya kepercayaan masyarakat akan proses perdamaian juga terjadi di kalangan rakyat Palestina akibat kegagalan pertemuan Annapolis dan opresi oleh Israel juga terus dijalankan.49 Putus asanya rakyat Palestina akan proses perdamaian membuat JCW kesulitan untuk mengajak rakyat terlibat dalam kegiatan mereka. Dengan minimnya kepercayaan publik ini, para perempuan Israel di Jerusalem Link harus menghadapi kritikan tajam dari sesama warga Israel dan seringkali dituduh sebagai pengkhianat bangsa karena percaya akan kata-kata dan dimanfaatkan sebagai “kuda Trojan” orang Palestina. Penolakan adalah konsekuensi yang harus dihadapi oleh aktivis kiri Israel yang mengalami dua penolakan, di komunitasnya sendiri dan di Palestina. Tidak hanya itu, perempuan Israel harus mengalami penghinaan secara verbal seperti diejek dengan istilah “pelacur Arafat”, sulit untuk masuk bahkan mengungkapkan identitas dalam masyarakat.50 Konsekuensi ini yang harus dihadapi, menjadi vokal namun tidak dekat dengan komunitasnya sendiri. Tidak hanya itu, mereka juga harus menghadapi ancaman terhadap nyawanya melalui ancaman bom. Sehingga perempuan Israel Jerusalem Link, khususnya Bat Shalom sulit untuk masuk dalam tataran masyarakat serta harus tinggal dalam ancaman. Ancaman serius yang dihadapi harus membuat Bat Shalom sangat waspada hingga bahkan kantor Bat Shalom tidak memiliki tanda identifikasi khusus dan selalu terkunci untuk menghindari tamu yang tak diundang.51
Kesimpulan dan Saran Berdirinya Jerusalem Link menjadi sumbangsih penting dalam upaya peacebuilding di Israel dan Palestina dimana peran perempuan dalam proses perdamaian ditingkatkan sesuai dengan Resolusi 1325. Selama 2003-2008, Jerusalem Link telah berperan dalam mendesak penghentian okupasi dan kekerasan di Israel dan Palestina; menjadi media dan jaringan dalam dialog politik; advokasi dan kampanye HAM, khususnya terkait perempuan dan penghancuran rumah; dan memberdayakan perempuan sebagai upaya mendukung proses peacebuilding. Melalui perannya ini, Jerusalem Link menunjukkan bahwa eksistensi 48
Ibid. Randa Hilal dan Aida Touma, Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, hlm. 6. 50 Heidi Marja Kaarina Kumpulainen, Keeping Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link, hlm. 61. 51 Ibid. 49
22
perempuan dan aktor non negara dalam proses perdamaian tidak bisa diabaikan. Jerusalem Link sebagai organisasi internasional non negara telah memainkan perannya sebagai instrumen, arena, sekaligus aktor dalam menjalankan peacebuilding di Israel dan Palestina. Sementara itu, Jerusalem Link juga harus menghadapi hambatan yang membuat upaya peacebuilding tidak maksimal. Hambatan internal yang dihadapi oleh Jerusalem Link terkait dengan kurangnya strategi yang efektif untuk menyeimbangkan pendekatan terhadap pemegang kekuasaan dan masyarakat akar rumput; permasalahan SDM dalam organisasi terkait keanggotaan dan generasi muda; hubungan asimetri antara perempuan Israel dan Palestina; permasalahan dana; dan permasalahan komunikasi. Sementara itu hambatan eksternal yang dihadapi berkaitan dengan instabilitas politik Israel dan Palestina yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan okupasi terkait pembangunan tembok pemisah dan titik pengawasan yang mempengaruhi pergerakan perempuan di Israel dan Palestina; kemenangan partai Hamas yang memperkeruh perpolitikan Palestina dan mengganggu upaya perdamaian Israel dan Palestina; militerisasi dan kekerasan; dan kondisi serta pendapat publik yang berbeda di Israel dan Palestina. Walaupun Jerusalem Link kembali vakum pada tahun 2008, setidaknya pembelajaran penting bisa didapat terkait memajukan isu gender dalam perdamaian. Dengan mengetahui hambatan yang ada, bisa diketahui bahwa perencanaan dan strategi yang efektif dalam menghubungkan antar anggota, organisasi dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses peacebuilding. Sementara itu juga diperlukan dukungan dari pemerintah untuk dapat memajukan peran perempuan dalam perdamaian, baik melalui memperluas kesempatan maupun kebijakan. Mewujudkan perdamaian di Israel dan Palestina memang bukan hal yang mudah namun dengan munculnya gerakan-gerakan perdamaian yang mempertemukan orang Israel dan Palestina seperti Jerusalem Link membuktikan bahwa selalu ada harapan untuk hidup berdampingan dalam perdamaian.
Daftar Pustaka Buku, jurnal, laporan: Djelantik, Sukawarsini. “Gender dalam Hubungan Internasional,” Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari Tradisional ke Kontemporer), ed. Asrudin & Mirza Jaka Suryana. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
23
Edwards, Beverley Milton, The Israeli-Palestinian conflict: a people‟s war. Oxon: Routledge, 2009. Hilal, Randa dan Aida Touma. Jerusalem Link: Bat Shalom and Jerusalem Center for Women: The Evaluation Report, Maret 2008. Kumpulainen, Heidi Marja Kaarina. “Keeping Alive The Symbol: A Case Study of the Israeli and Palestinian Women of the Jerusalem Link.” Ms. Thesis, University of Helsinki, 2008. Porter, Elisabeth. Peacebuilding: Women in international perspective. New York: Routledge, 2007. Powers, Janet M. Blossoms on the olive tree : Israeli and Palestinian women working for peace. Westport: Praeger, 2006. Sharoni, Simona. “Gender and Conflict Transformation in Israel/Palestine.” Journal of International Women„s Studies Vol 13 #4 September 2012: 113-128. Schrank, Andrew. “Case-Based Research,” A handbook for social science field research: Essays & bibliographic sources on research design and methods, ed. Ellen Perecman and Sara R. Curran. California: Sage Publications Inc, 2006. The Jerusalem Center for Women. Annual Report 2004. True, Jacqui. “Feminisme,” Teori-Teori Hubungan Internasional, ed. Scott Burchill & Andrew Linklater. Bandung: Nusa Media, 2009. Yin, Robert K. Case Study Reasearch: design and methods. California: Sage Publications Inc., 2003. Sumber Internet: B‟Tselem, “Restriction of movement: Background on the restriction of movement”, dalam http://www.btselem.org/freedom_of_movement diakses pada 21 November 2013 pukul 20:28 WIB
Center on Conflict, Security, and Development, Fragility, Conflict, and Violence: Overview, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/PROJECTS/STRATEGIES/EXTLI CUS/0,,menuPK:511784~pagePK:64171540~piPK:64171528~theSitePK:511778,00. html diakses pada Minggu, 3 Maret 2013 – 22:21 WIB. Heinrich Böll Stiftung. “Gender Equality in Israel: Implementing UN Security Council Resolution 1325”, dalam http://www.gwi-boell.de/web/un-resolutions-1325-ten-yearsconference-saragusti-2210.html diakses pada 12 Maret 2013 – 20:58 WIB. Human Rights Watch. “COMPLETE COVERAGE OF ISRAEL/GAZA: Israel – Gaza Conflict, December 2008 – January 2009”, dalam http://www.hrw.org/features/israelgaza diakses pada 9 Oktober 2013 – 21:00 WIB.
24
The
National Counterterorism Center. “Hamas”, dalam http://www.nctc.gov/site/groups/hamas.html diakses pada 12 Maret 2013 – 22:45 WIB
Human Rights Watch. “COMPLETE COVERAGE OF ISRAEL/GAZA: Israel – Gaza Conflict, December 2008 – January 2009”, dalam http://www.hrw.org/features/israelgaza diakses pada 9 Oktober 2013 – 21:00 WIB. Makdisi,Saree. “Israel's war on Gaza's children”, http://articles.latimes.com/2007/sep/22/news/OE-MAKDISI22 diakses Oktober 2013 – 20:54 WIB.
dalam pada 9
UN Women, “Peacebuilding”, dalam http://www.unifem.org/gender_issues/women_war_peace/peacebuilding.html diakses pada 11 Maret 2013 – 14:58 WIB Wilson, Scott. “Hamas Sweeps Palestinian Elections, Complicating Peace Efforts in Mideast”, dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/01/26/AR2006012600372.html diakses pada 12 Maret 2013 – 22:34 WIB.
25