PERANAN BELANDA DALAM PERANG SAUDARA ANTARA KAUM PADRI DAN KAUM ADAT DI MINANGKABAU PADA ABAD KE-19 Oleh: Maria Santi1, Sukardi2, Nelly Ermarita3 ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah peranan Belanda dalam perang saudara antara kaum Padri dan kaum Adat di Minangkabau abad ke-19?”, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Belanda dalam perang saudara antara kaum Padri dan kaum Adat di Minangkabau abad ke-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah (historis). Langkah-langkah yang digunakan dalam metode ini meliputi, heuristik, interpretasi, historiografi. Penelitian ini berhubungan dengan kenyataan yang terjadi pada masa lampau. Data-data yang terkumpul digambarkan dengan kata-kata atau kalimat kemudian dianalisis. Teknik pengumpulan data yaitu menggunakan teknik dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yaitu menggunakan teknik kualitatif. Pada awal abad ke-19 terjadi perang saudara di Minangkabau, antara kaum Padri (ulama) dan kaum Adat. Perang ini diakibatkan adanya kebiasaan-kebiasan buruk yang dilakukan oleh masyarakat, seperti main judi, minum-minuman dan menyabung ayam. Pada tahun 1803 pulang tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Peobang, melihat kebiasaan yang dilakukan masyarakat maka timbul suatu keinginan untuk mengadakan pembersihan yang berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Perang ini terjadi pada tahun 1803-1821 dari peperangan yang terjadi kaum Adat mulai terdesak, pada saat itu Sumatra Barat berada di bawah kekuasaan Inggris namun atas dasar perjanjian London, Inggris terpaksa menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda. Kaum Adat yang mulai terdesak mendatangi pemerintah Belanda untuk meminta bantuan dan pada tahun 1821 dimulainya perang antara kaum Padri dan Belanda, namun dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Belanda, kekuasaan Padri berhasil dipatahkan pada tahun 1838, pada saat itu juga kekuasaan Belanda berhasil ditanamkan. Kata kunci: perang saudara, kaum padri, kaum adat, Minangkabau.
A. PENDAHULUAN Sejak awal abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh sebagian masyarakat Minangkabau. Ada dua pola hidup yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, yaitu tetap melakukan adat-istiadat sekaligus melaksanakan ajaran agama Islam. Dua pola hidup itu berkembang selaras. Masyarakat saling hormat terhadap pola hidup sesama mereka, sehingga muncul istilah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Namun kehidupan dengan pola yang berdampingan secara damai ini tidak bertahan lama, karena di tanah Minangkabau ada seorang raja yang berkedudukan di Pagaruyung, raja ini memerintah dengan dibantu oleh empat orang penasehat. Di wilayah Minangkabau terdapat dua belas suku. Suku-suku tersebut mendiami wilayah-wilayah tertentu yang dekat dengan sumber kehidupan. Di setiap suku mempunyai
penghulu, penghulu-penghulu ini membentuk dewan yang disebut dewan penghulu. Dewan Penghulu inilah yang sebenarnya lebih memiliki kekuasaan dibandingkan raja. Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan, raja tidak mempunyai kekuasaan, tetapi hanya menjadi simbol dari kerajaan (kerajaan Pagaruyung). Para penghululah yang melaksanakan kegiatan pemerintahan secara adat-istiadat. Namun pemerintahan ini mulai mengalami kemunduran, hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan negatif di kalangan anak muda, bahkan di masyarakat luas. Masyarakat semakin sering mabuk-mabukan, berjudi, menyabung ayam. Tak jarang pihak penghulu dan para bangsawan ikut serta melakukan hal-hal tidak bermanfaat itu. Hal ini menyebabkan api perselisihan antara pihak adat dengan para ulama di Minangkabau (Praptanto, 2010:36).
_____________ 1 Mahasiswa Univ. PGRI Palembang Prodi. Pendidikan Sejarah 2 Dosen Univ. PGRI Palembang Prodi Pendidikan Sejarah 3 Dosen Univ. PGRI Palembang Prodi Pendidikan Sejarah
19
Awal abad ke-19 timbul pembaharuan Islam di daerah Sumatera Barat pengaruh Wahabi yang mengakibatkan terjadinya Perang Padri, yakni perang antara golongan Adat dan golongan Agama. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam dan minum-minuman keras. Pada saat itu kaum ulama yang kelak menamakan diri mereka kaum Padri berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Pada tahun 1803 tiga orang haji kembali dari Mekah, yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008:48-49). Pada suatu hari dengan bantuan seorang penghulu, Haji Miskin melarang penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Namun larangan ini tidak diperhatikan oleh penduduk. Haji Miskin menjadi kesal dan pada suatu malam Haji Miskin membakar balai tempat menyabung ayam. Kaum Adat marah, beberapa hari kemudian terjadi perkelahian antara Kaum Adat dengan beberapa orang yang menaruh simpati pada Haji Miskin. Akhirnya Haji Miskin menuju Kemang dan bertemu dengan Tuanku Nan Raceh, Tuanku Nan Raceh pun mengajak para Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan Kaum Adat. Delapan orang ulama itu adalah: Tuanku Nan Raceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biora dan Tuanku Kapau. Mereka mendapat julukan “Harimau Nan Selapan”. Harimau Nan Selapan ini diambil dari kepribadian yang dimiliki kedelapan Tuanku-tuanku yang memiliki keberanian, tegas bahkan mereka juga sering melakukan kekejaman kepada kaum Adat yang dianggap mereka telah menyelewengkan ajaran Agama Islam (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:169170). Perang saudara ini meluas dan kemudian mengalami campur tangan dari kekuasaan
asing. Pada waktu itu pantai Sumatera Barat berada di bawah kekuasaan Inggris, pada tahun 1818 Letnan Gubernur Thomas Stomford Raffles mengunjungi Padang. Kaum Adat mengharapkan bantuan dari Inggris, dua orang Tuanku dari Soroaso yang mewakili raja Minangkabau menghadap Raffles. Raffles melihat berbagai kemungkinan, menimbang untung rugi pada pihak lain Raffles juga menghubungi kaum Padri untuk menawarkan jasa baik, tetapi tidak ada persesuaian pendapat. Tujuan Raffles sebenarnya untuk memperoleh daerah subur, oleh karena itu hanya dengan daerah Minangkabau Raffles dapat mengadakan perjanjian setia kawan (Marzuki, 1994:22). Sebagai realisasi dari perjanjian London 13 Agustus 1814, Inggris terpaksa mengembalikan Indonesia kepada Belanda sebagai tukaran daerah Malaka dan Ceylon. Tanggal 22 Mei 1819 merupakan tanggal resmi berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda di kawasan pantai barat Sumatera. Penyerahan pantai barat kepada pemerintahan Hindia Belanda relatif terlambat bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Keterlambatan ini disebabkan oleh sikap penguasa Inggris (terutama Raffles) yang mengulur-ngulur waktu penyerahannya, daerah pantai Barat Sumatera yang diterima pemerintah Hindia Belanda mencakup kawasan yang merentang dari Singkel di Utara hingga Croe di Selatan. Oleh pemerintah Hindia Belanda daerah ini dibagi menjadi dua residentie Padang mencakup daerah-daerah antara Singkel di Utara hingga Indrapura di Selatan. Residentie Bengkulu mulai dari Indrapura di Utara hingga Croe Selatan. Keresidenan yang disebut terakhir ini hanya ada di atas kertas, sebab Inggris masih berkuasa di sana (Asnan, 2007:68). Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Belanda setelah menerima daerah ini adalah mengaktualisasikan kekuasan politiknya. Sebagaimana yang lazim terjadi di kawasan lain di Nusantara, konflik-konflik internal yang terjadi dikalangan elite pribumi, merupakan sarana yang sering dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk mencapai tujuannya. Dalam suasana konflik, kelompok20
kelompok yang bersengketa sering meminta bantuan kepada Pemerintah Belanda. Melalui bantuan ini penguasa pribumi yang lemah dapat diselamatkan posisi politiknya, namun statusnya segera dijadikan sebagai bagian atau bawahan dari struktur pemerintahan Belanda (Asnan, 2007:70). Pemerintah Belanda mengambil kesempatan yang sangat baik, dengan usaha ikut terlibat dalam perang saudara di daerah Minangkabau antara kaum Padri melawan kaum Adat. Pemerintahan Belanda memberi bantuan untuk kaum elite pribumi yang terjepit melawan kaum Padri, yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam memperbaiki adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Al- Qur’an dan Sunah Nabi. Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Du Puy bersama Tuanku Suruaso dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda, langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri, akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaanya. Pada tanggal 18 Februari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan seratus orang tentara. Sejak itulah dimulainya perang Padri melawan Belanda, peranan kaum Adat sebagai musuh utama kaum Padri digantikan oleh Belanda (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:171). Peperangan ini dapat dibagi menjadi tiga masa. Pertama berlangsung antara tahun 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat keseluruh daerah Minangkabau. Kaum Padri mulai menyerang pos Belanda pada bulan September 1821. Di daerah lain pasukan Padri juga aktif mengadakan penyerangan di sekitar Baso pasukan Tuanku Nan Ranceh pada tanggal 14 Agustus 1822. Dari beberapa pertempuran yang terjadi terlihat, bahwa pasukan Padri cukup kuat dan berada di daerah-daerah. Masa kedua berlangsung antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredamnya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan Padri pada tanggal 29 Oktober 1825 yang diwakili oleh Tuanku
Keramat, yang isinya menyebutkan Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku- tuanku di Lintau, L Kota, Telawas dan Luhak Agam. Masa ketiga berlangsung antara tahun 18301838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin Padri dengan penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 1837. Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda telah tertanam di Sumatera Barat. B. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan (Subagyo, 2006:2). Dalam penelitian yang berjudul “Peranan Belanda dalam Perang Saudara antara Kaum Padri dengan Kaum Adat di Minangkabau Pada Abad ke-19” ini peneliti menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi dan historiografi (Hamid dan Madjid, 2011:43). Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa dokumentasi. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Agama dan Kebudayaan Minangkabau Abad ke-19 Menurut Schrieke (1973:23-24) sesudah perang Padri masih terdapat suatu pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat, sebab ajaran Padri tidak membatasi dirinya pada daerah-daerah di mana mereka lebih unggul dalam memperoleh pengikut di tengah-tengah tiap keluarga telah tertanam perpecahan, karena pengaruh ortodoks-Mekah yang sebelumnya belum terasa kuat pada zamannya Padri, tetapi setelah itu di daerahdaerah pedalaman Padang Darat, dengan adanya alat-alat komunikasi yang lebih baik 21
dengan dunia luar, pengaruh itu dapat meluas, hal ini sangatlah menarik perhatian bahwa pengaruh itu pertama-tama berasal dari Tariqat Naqsyibandiyyah. Di Minangkabau terdengar sebuah syair “Martabat tujuh” yang dilarang di Mekah, dibawah pengaruh Padri di Sumatera Barat yang memerintahkan untuk mempelajari ilmu fiqih, yang juga menentang mistis popular yang kolot, yang bercorak bid’ah dan yang seolah-olah merupakan dasar Islam yang berpusat pada Tariqat Syattariyyah. Martabat tujuh dimaksudkan ajaran mengenai ketujuh tahap pancaran dari ada yang mutlak yang sekarang berlaku sebagai corak khas dari persaudaraan-persaudaraan mistik. Golongan ini di Sumatera Barat sejak dari dahulu berpusat di Ulakan (Pariaman). Kira-kira tujuh puluh tahun yang lalu Tariqat Naqsyibaniyyah untuk pertama kalinya muncul di Minangkabau, maka hal ini menjadi alasan untuk berbagai ketegangan dengan Syattariyaah dan tandatanda lama dari praktek Islam Indonesia. Keberatan-keberatan secara praktis ditujukan, terlepas dari pendapat yang bersifat mistik dan bid’ah dan tercela ditinjau dari sudut ortodoks, terutama terhadap lafal bahasa Arab yang kurang murni dari para Imam pada upacaraupacara keagamaan, kepada cara kuno yang kurang tepat dalam menentukan kiblat di masjid-masjid. Jadi masuknya tariqat Naqsyibandiyyah untuk Sumatera Barat berarti makin dikenalnya bentuk Islam ortodoksMekah itu. Menurut Marsden (2008:314) masyarakat Minangkabau pada abad ke-19 mayoritas sudah menganut agama Islam, hal ini dikarenakan Minangkabau mempunyai kedudukan politis kerajaan dan keramaian perdagangan emas dapat menjadi alasan kedatangan para mubalig di Minangkabau. Islam masuk ke daerah Minangkabau diperkirakan sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat lain ada juga yang mengatakan pada abad ke-13. Para sejarawan menyatakan bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur: pertama, melalui jalur dagang. Karena daerah Minangkabau selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan, juga merupakan penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera
yaitu, lada dan pala. Pedagang Persia dan Gujarat adalah salah satu saudagar yang intens melakukan hubungan dagang dengan pedagang Minangkabau, terutama di bagian Timur. Jalur yang ditempuh adalah Sungai Kampar Kanan, Kampar Kiri, Aliran Sungai Batang Hari dan Sungai Dareh. Pada dasarnya mereka telah melakukan interaksi ini sejak abad ke-7 M. Pada umumnya mereka juga telah memeluk agama Islam sekaligus berperan sebagai da’i. Ini menunjukan bahwa penyiaran Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum terencana dan terprogram. Dengan demikian banyak dari tokoh-tokoh Minang tertarik dengan agama yang mereka anut, apalagi praktik hidupnya. Salah satu yang mendorong dan mudahnya mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana dan mudah untuk dipahami. Selain itu budaya dan falsafah adat yang dianut, dan sifatnya yang terbuka menambah suasana menggembirakan bagi perkembangan Islam di wilayah itu. Kedua, penyiaran Islam pada tahap ini berlangsung pada saat pesisir Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522). Sebagai umat yang terlebih dahulu masuk Islam, para pedagang Aceh juga berperan sebagai mubalig. Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di daerah pesisir, mereka berdagang terutama wilayah di bawah pengaruh Aceh (Samudera Pasai). Sejak itu pengislaman Minangkabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Ini berlangsung pada abad ke15 M. Budaya minangkabau yang juga dikenal ialah sistem kekerabatan matrilineal, orang Minangkabau masih terikat oleh satu kesatuan keturunan yang ditarik menurut garis ibu, kesatuan atas dasar itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja, maka bentuk kesatuan keturunan itu disebut matrilineal, sistem kekerabatan di Minangkabau disebut matrichaat atau matriarki, Jika diperhatikan arti sebenarnya dari matrichaat yaitu kekuasaan, maka berarti di Minangkabau yang berkuasa ialah perempuan atau ibu dengan arti bahwa di samping perempuan sebagai penyambung keturunan, ia juga memiliki kekuasaan di dalam suatu keluarga atau di masyarakat. Bila 22
diperhatikan dari sejarah Minangkabau, terlihat bahwa yang memegang kekuasaan baik dari lingkungan bawah, tengah maupun atas, masih tetap laki-laki. Setiap rumah gadang dikepalai oleh laki-laki, sedangkan dalah suatu nagari yang berkuasa adalah penghulu. Dalam lingkungan Minangkabau juga berada dibawah kekuasaan Raja. Dengan ini dapat dikatakan bahwa semua kekuasaan yang ada di Minangkabau berada di bawah kekuasaan lakilaki, namun ada beberapa kekuasaan yang memang di bawah kekuasaan perempuan, minsalnya, dalam pengurusan harta pusaka dan dalam setiap upacara perkawinan. Namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut ternyata pada umumnya kekuasaanya itu mempunyai hubungan yang erat dengan perananya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menetapkanya pada pusat kekuasaan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adat Minangkabau menganut bentuk kekerabatan Matrilineal. Namun sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau telah banyak mengalami perubahan, faktor yang lebih banyak mempengaruhinya adalah ajaran Islam dan kemudian disusun oleh kehidupan modern sebagai pengaruh dari kebudayaan barat (Syarifuddin, 1982:182).
dilihat dari sudut status dan fungsi seseorang dalam suatu masyarakat tersebut. Semua individu harus berbuat dan bersikap sesuai dengan status dan fungsinya (Diradjo, 2014:334-335). Menurut Koentjaraningrat (2010:257) mengenai stratifikasi sosial ada tiga macam keadaan di daerah Minangkabau. Dalam beberapa masyarakat keadaan itu boleh dikatakan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, sebagaimana terdapat pada masyarakat di Padang dan Pariaman. Pada masyarakat ini golongan bangsawan betulbetul mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Seorang laki-laki bangsawan mendapat pelayanan yang istimewa, bila ia menikah mereka tidak perlu lagi memberi uang belanja kepada istrinya, bahkan untuk menikahi seorang gadis ia akan mendapat sejumlah uang yang besar sebagai uang jumputan. Ia dengan langsung akan memperbaiki kedudukan sosial dari keluarga istrinya, karena anaknya akan lebih tinggi lapisan sosialnya dari ibunya sendiri. Seorang bangsawan di Pariaman dapat dikatakan bangsawan itu rajo, yang menikah dengan wanita biasa, maka ankanya akan mendapat gelar kebangsawanan pula, yaitu “bagindo” yang lebih rendah dari “rajo”. Secara kasar, stratifikasi sosial dalam masyarakat Minangakabau yang hanya berlaku dalam kesatuan sebuah desa tertentu saja, membagi masyarakat kedalam tiga lapisan besar, seperti bangsawan, orang biasa dan orang yang paling rendah. Perbedaan lapisan sosial dapat dihubungkan denga perbedaan kedatangan suatu keluarga kedalam suatu tempat tertentu. Keluarga yang awalnya datang dianggap sebagai keluarga bangsawan. Karena itu, mereka dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal sebagai “urang asa” (orang asli). Keluarga yang datang kemudian, tetapi tidak terikat seluruhnya kepada keluarga asal, dapat menjadi orang biasa atau golongan pertengan dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun para bangsawan yang berada di Minangkabau ada juga yang dikenal mempunyai sifat yang tidak baik, dengan gelar kebangsawanan yang mereka miliki, mereka bertindak sewenang-wenang kepada masyarakat, adanya penindasan yang mereka
Sistem Sosial di Minangkabau Abad ke-19 Manusia sebagai individu ternyata tidak mampu hidup sendiri, manusia dalam menjalani hidupnya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainya. Hal ini dikarenakan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri, ia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan serta tujuan hidupnya (Herimanto dan Winarto, 2010:43). Manusia yang dikenal dengan mahluk sosial tidak dapat lepas dari masyarakat lainnya. Interaksi akan terjadi antara seseorang dengan masyarakatnya, untuk memperoleh keharmonisan dalam berintraksi ini perlu adanya tata-krama, etika sopan santun yang menjadi pegangan bersama dan sudah merupakan norma-norma yang harus dituruti dan diamalkan. Interaksi antara seseorang dengan orang lain ini dalam adat Minangkabau 23
lakukan kepada rakyat miskin, penyiksaan dan sebagainya, tindakan ini sayangnya tidak ada yang berani mengadukan mereka ke pemerintah akan tindakan-tindakan yang mereka terima. Menurut Schirieke (1973:14) dalam sistem pemerintahan setiap nagari juga ada peranan para ulama yang mempunyai peranan sangat penting di dalam pemerintahan suatu nagari. Biasanya jika ada permasalahan dalam suatu nagari masyarakat lebih mendengarkan nasehat ataupun pendapat dari para ulama, apa lagi setelah berakhirnya perang saudara yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19. Awal abad ke-16 masyarakat Minangkabau sebagian telah menganut agama Islam, pada saat itu terdapat dua pola hidup yang berlaku dalam masyarakat, yaitu tetap melakukan adat-istiadat dan sekaligus menjalankan ajaran agama (Islam). Hingga timbul istilah “adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Dari istilah ini dapat dilihat dua pola cara hidup yang berbeda ini hidup secara selaras serta tidak dapat dipisahkan, namun hidup yang selaras serta damai ini tidak bertahan lama. Awal abad ke-19 terjadi suatu konflik di Minangkabau, antara masyarakat yang masih mempertahankan adat-istiadat atau kebiasaan yang dikenal dengan kaum Adat, dengan para ulama, yang dikenal dengan kaum Padri. Menurut Schrieke (1973:14) Padri merupakan suatu gerakan yang terdiri dari orang-orang saleh yang menentang sistem matrikhat, kaum ini bertujuan ingin melakukan pembersihan dari praktek-praktek yang mereka anggap telah jauh dari kebenaran dari ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Adanya konflik ini mengakibatkan keadaan sosial masyarakat Minangkabau yang sebelumnya hidup secara damai serta serasi, kini mulai terpecah belah, antara kedua kaum ini saling memperjuangkan hak serta kewenangan mereka di daerah Mianagkabau. Perbenturan antara ajaran Islam dan ajaran adat Minangkabau muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama dalam bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem kekerabatan Matrilineal, sementara Islam menganut sistem kekerabatan Bilateral. Hal tersebut berdampak pada sistem
perkawinan, perwalian dan pewarisan. Pada tahap pertama satu sama lain berjalan tanpa saling mempengaruhi. Masyarakat menjalankan agama Islam dengan taat, sementara dipihak lain menjalani kehidupan sosial berdasarkan hukum adat, sehingga lahirlah pepatah “adat basandi alua jo patuik, syara bersandi dalil (adat bersandi alur dan patut, syara bersandi dalil)”. Artinya adat didasarkan kepada alur dan patut, sedangkan syara berdasarkan kepada dalil (yang terdaat dalam Al-Qur’an dan Hadis). Atau dengan kata lain adat dan syara di Minangkabau berjalan sendiri-sendiri, tidak ada yang saling mempengaruhi (Pialing dan Sungut, 2014:300). Sistem pemerintahan yang ada di Minangkabau adalah sistem Feodalistis, pangeran yang memerintah disebut Raja, Maharaja yang dipertuan, atau Sultan. Adapun golongan Bangsawan disebut orang kaya atau Datuk. Gelar Datuk mengandung makna bahwa orang yang menyandangnya merupakan pemimpin dari sejumlah orang-orang yang menguntungkan nasib kepada datuk dan merupakan abdinya. Gelar putra mahkota adalah Raja Muda. Sedangkan sultan mengangkat para pejabat Negara dari kalangan orang kaya. Anggota dewan kerajaan disebut mentri, wewenang serta jumlahnya tidak menentu, tergantung situasi kerajaan. Mentri yang paling utama disebut perdana mentri, mangkubumi, dan tak jarang disebut maharaja. Pejabat penting selanjutnya adalah bendahara, yang bertugas mengurus harta benda raja, kemudian laksmana dan tumenggung, panglima tertinggi angkatan laut dan angkatan darat, dan terakhir syahbandar yang bertanggung jawab atas bea di pelabuhan dan pengelola perdagangan raja. Gubernurgubernur provinsi di sebut panglima, sedangkan kepala departemen adalah penghulu. Hulubalang adalah perwira angkatan bersenjata dan merupakan pengawal raja, dan penduduk umum disebut rakyat kecuali yang telah disebut di atas (Marsden, 2013:415). Latar Belakang Perang Padri Pada abad ke-16 agama Islam sudah berkembang di Minangkabau, di daerah pedalaman Minangkabau agama Islam 24
berbenturan dengan adat Minangkabau yang diwariskan oleh Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang secara turun temurun. Dalam sejarah Minangkabau terjadilah percampuran yang serasi antara ajaran agama Islam dengan ajaran adat Minangkabau, namun keserasian ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1803 terjadi konflik antara kaum Adat dan kaum Ulama yang disebabkan adanya kebiasan-kebiasan buruk yang dilakukan masyarakat Minngkabau. Pada tahun itu juga pulang tiga orang Haji dari Mekah mereka adalah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Samanik. Mereka melihat serta menyaksikan kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau yang sudah sangat jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Semenjak itulah tiga haji ini berniat ingin melakukan pembersihan terhadap kebiasan buruk yang di lakukan Masyarakat Minangkabau. Pada mulanya dalam usaha mereka di kampung masing-masing mendapat kesukaran karena pengaruh para penghulu dengan hukum adatnya yang sangat kuat, terutama dalam masyarakat (Martamin, 1985:19). Selain tiga orang haji, ada juga dua ulama yang sangat prihatin terhadap kebiasan buruk masyarakat Minangkabau, mereka adalah Tuanku Kota Tua dan Muridnya Tuanku Nan Ranceh sangat pintar serta terkenal sebagai guru agama diseluruh Luhak Agam. Dengan tujuan yang diinginkan oleh para ulama yang kemudian dikenal dengan kaum Padri ini, mereka mulai mengajar dikampung-kampung. Pada suatu ketika Haji Miskin melarang penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Namun larangan ini jelas tidak diperhatikan oleh masyarakat, setelah itu Haji Miskin mulai kesal dan pada suatu malam Haji Miskin membakar balai tempat penyabungan ayam. Hingga menimbulkan kemarahan bagi kaum adat dan terjadilah peperangan antara kaum adat dengan para ulama yang menaruh perhatian terhadap Haji Miskin. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara antara kaum adat dan kaum Padri yang kemudian dikenal dengan perang Padri (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:169).
Kelompok yang Terlibat dalam Perang Padri Perang Padri terjadi pada tahun 18031838 di Minangkabau yang disebabkan adanya pertentangan antara dua golongan yang kemudian mengundang campur tangan dari kekuasaan asing. Dua golongan itu ialah kaum Adat dan kaum Padri. Kaum Adat merupakan sekumpulan orang yang masih sangat kuat mempertahankan adat istiadat dari nenek moyang mereka, adat ini mereka dapatkan dari Datuk Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan keturunan dari Ninik Sri Maharaja Diradja sebagai mana terdapat di dalam Tambo Minangkabau dia adalah anak ketiga dari Sultan Iskandar Zulkarnain. Kaum Adat ini biasanya menggunakan pakaian yang berwarna Hitam. Sedangkan Kaum Padri merupakan sekumpulan para ulama yang menggunakan pakain Jubah Putih, mereka sangat kuat dalam ilmu agama Islam, kaum Padri ini berniat mengadakan pembersihan dari kebiasan-kebiasan buruk yang biasa dilakukan masyarakat Minangkabau. Tujuan inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perang saudara antara kaum Adat dan kaum Padri pada awal abad ke-19 di Minangkabau, perang saudara atau yang dikenal dengan perang Padri ini terjadi dalam waktu yang cukup lama serta meluas ke daerah pedalaman Minangkabau hal ini diakibatkan adanya campur tangan dari kekuasan asing yaitu Belanda. Belanda datang ke pantai Barat Sumatera pada tahun 1819 sebagai dari realisasi perjanjian London antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814. Kedatangan Belanda ke pantai Barat Sumatera sangat membuka pikiran kaum Adat yang pada saat itu sedang terjepit kekuasaan politiknya oleh kaum Padri, kaum Adat mengharapkan bantuan dari pihak Belanda. Kesempatan inipun dimanfaatkan Pihak Belanda untuk menanamkan kekuasanya di daerah pedalaman pantai Barat Sumatera, kemudian perang saudara antara kaum Padri dan kaum Adat di Minangkabau ini berubah menjadi perang antara kaum Padri dan pihak Belanda yang menggantikan posisi kaum Adat (Martamin, 1985:26).
25
Jalannya Perang Padri Tahap I Pada tanggal 22 Mei 1819 merupakan tanggal resmi berkuasanya pemerintahan Belanda di di Pantai Barat Sumatera. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Belanda ialah mengaktualkan kekuasaan Politknya, konflik yang terjadi antara kaum Adat dan kaum Padri di Minangkabau di manfaatkan oleh pihak Belanda, mereka membantu kaum Adat yang pada saat itu posisi politiknya terjepit oleh kaum Padri, Belanda bersedia membantu kaum Adat dengan catatan kekuasaan politik kaum Adat berada dibawah naungan Belanda. Hingga pada saat itu konflik yang terjadi di Minangkabau antara kaum Padri dan kaum Adat berubah menjadi perlawanan kaum Padri kepada Belanda yang menggantikan posisi kaum Adat. Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa, masa pertama antara tahun 1821-1825. Kaum Padri mulai menyerang pos-pos Belanda, pada bulan September 1821 Soli Air Sipinang berkali-kali mendapat gangguan dari kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Paseman. Dari pertempuran yang terjadi antara pasukan Tuanku Paseman dan pasukan Belanda yang terdiri dari 200 orang yang dilengkapi 6 meriam. Tuanku Paseman menderita kerugian kurang lebih 350 orang gugur, diantaranya anak Tuanku Paseman, demikian pula pihak Belanda, pasukannya banyak tewas dan mengalami luka-luka. kemudian pasukan Tuanku Paseman mundur dan menuju kedaerah Lintau, dengan ini pihak Belanda berhasil menguasai seluruh Lembah Tanah Datar dan mendirikan benteng di Batu Sangkar yang diberi nama Fort Van Der Capellen. Sementara pasukan Tuanku Paseman dijaga ketat oleh pasukan Padri, pasukan Belanda yang berada dibawah pimpinan Raaff berusaha menyerang namun Raaff terpaksa mundur dan menuju ke Pagaruyung. Pada tanggal 10 Juni 1822 pasukan Padri menyerang pasukan Belanda disekitar Tanjong Alam, di daerah lainpun pasukan Padri juga aktif mengadakan penyerangan-penyerangan di sekitar Baso yang berada dibawah pimpinan Tuanku Nan Ranceh pada tanggal 14 Agustus 1822 pasukan Belanda terdesak bahkan Kapten
Goffinet yang memimpin menderita luka berat. Dari beberapa pertempuran yang terjadi mulai terlihat bahwa Kaum Padri cukup Kuat dan terpencar di daerah-daerah lain. Pada tanggal 24 September 1823 pasukan Padri menyerang pasukan Belanda di daerah Agam, namun dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan Belanda berhasil mendesak pasukan Padri hingga berhasil merebut pertahanan didaerah tersebut. Pada tanggal 22 Januari 1824 Letnan Kolonel Raaff berhasil mendekati kaum Padri di Padang dan daerah VI Kota (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:175). Usaha pasukan Belanda dalam mendekati pasukan Padri membuahkan hasil yang baik, hingga pada tanggal 29 Oktober 1825 usaha Perdamaian dan genjatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan syarat pihak Belanda mengakui kedaulatan para tuanku di Lintau, Talawas dan Agam. Perjanjian yang diadakan di daerah Masang itu ditandatangani pada tanggal 15 November 1825 dan diberi nama perjanjian Masang (Tim Grasindo, 2011:54). Jalannya Perang Padri Tahap II Perjanjian Masang antara Belanda dan kaum Padri pada tanggal 15 November 1825 ini dapat dilihat masa kedua peperangan antara pihak Padri dan pihak Belanda pada tahun 1825-1830 mulai mereda. Adapun tujuan dari pihak Belanda mengadakan perjanjian dengan pihak Padri tidak lain karena pihak Belanda ingin menarik mundur pasukan di daerah Sumatera Barat untuk dibawa ke Jawa karena pada masa itu pihak Belanda terlibat perang Diponoggoro (Tim Grasindo, 2011:55). Sudah tentu bahwa perdamaian antara Belanda dan kaum Padri ini mengecewakan kaum Adat, yang sudah dijanjikan dari Belanda untuk mendapatkan bantuan dalam melawan kaum Padri. Dalam hubungan ini Belanda mempunyai perhitungan lain, genjatan senjata ini justru sangat menguntungkan bagi pihak Belanda, karena dengan genjatan senjata ini sebagian dari pasukannya di daerah ini dapat digunakan untuk memperkuat pasukannya di Jawa dalam usahanya menindas perlawanan di Ponogoro. Dalam bulan September 1826 serdadu-serdadu Belanda di Minangkabau 26
sebanyak 5000 orang beserta 17 opsir berangkat ke Jawa, kekuatan Militer Belanda di Minangkabau tinggal 677 orang. Dengan kekuatan ini Belanda harus menjaga 17 pos yang letaknya tersebar di daerah-daerah. Kelemahan ini telah digunakan oleh sementara rakyat yang memihak kaum Padri untuk menentangnya. Penduduk kampung Mulik menentang komando Belanda di daerah itu memaksa mereka untuk membuat jalan. Kaum Padri mengambil kesempatan ini untuk memulai perlawanan lagi, mereka mengadakan serangan terhadap daerah-daerah pengikut kaum Adat seperti Suroso dan Tanah Datar, sehingga dengan kekuatan yang ada Belanda harus menghadapinya. Sementara itu kepalakepala Adat dari daerah XIII Kota dapat mempengaruhi rakyat untuk menentang Belanda dan tidak mau membayar cukai dan pajak pasar yang dibebenkan pada mereka. Kecurigaan akan perjanjian kaum Padri terhadap Belanda akhirnya terbukti tidak dapat ditepati oleh Belanda hingga menyebabkan tidak adanya kepercayaan lagi pada pihak Belanda (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:177). Selanjutnya menurut Poesponegoro dan Notosusanto (1993:178-180) didaerah VII Kota di Pariangan pengikut Padri mengadakan operasi, pada tanggal 12 Desember 1829 terjadi pertempuran antara kaum Padri yang berada di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik melawan pihak Belanda yang berada di bawah pimpinan Kapten De Richemont di daerah Naras, kaum Padri berhasil mengalahkan pihak Belanda. Kelemahan pasukan Belanda di berbagai daerah pertempuran membawa akibat makin meluasnya perlawanan kaum Padri. Di samping itu kaum Adat yang merasa telah dikecewakan oleh pihak Belanda berubah mengadakan perlawanan terhadap pihak Belanda, sebanyak kira-kira 70 orang penghulu adat dengan bantuan penduduk dalam penyerbuan ke Padang, tetapi kemudian mengundurkuan diri setelah kurang lebih 100 serdadu Belanda melawannya, sementara itu Padri yang bergerak di sebelah Utara Pasaman telah berhasil menduduki Air Bangis. Melihat dari beberapa peperangan yang terjadi nampak jelas kedudukan Belanda mulai melemah,
Residen Mac Gillavry memimpin militer De Richemont tidak berhasil melawan kaum Padri. Kaum Adat tidak seluruhnya memihak padanya, sedangkan kaum Padri makin berani menggangu daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda Gubernur Jendral Van Den Bosch karenanya memandang perlu untuk mengadakan mutasi pemimpin pemerintahan Belanda di Sumatra Barat. Pada tanggal 4 Maret 1831 Kolonel G.P.J Elout diangkat menjadi Residen merangkap pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat. Pada tanggal 14 September 1831 pertahanan kaum Padri di Sijantang mendapat serangan dari Belanda yang dibawah pimpinan Kolonel G.P.J Elout, namun pertahanan kaum Padri di sini cukup kuat, sehingga pihak Belanda harus menantikan bantuan pasukan lain untuk menghadapinya. Pada tanggal 22 September 1831 pertahanan Padri di Sijentang dapat dipatahkan oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik yang menyingkir setelah gagal dalam pertempuran di daerah Naras, mulai banyak beroperasi didaerah XII Kota. Ia mengadakan kerja sama dengan Tuanku Imam Bonjol dalam penyerangan terhadap pos-pos Belanda, Tuanku nan Cerdik pun berhasil menghimpun kekuatan untuk menyerang pos Belanda yang berada di V Kota dan VII Kota, mereka juga mulai mengadakan gerakan kearah Tiku akhirnya Tuanku nan Cerdik dan Tuanku Imam Bonjol berhasil menduduki Mengopo dan membuat markas disana. Pada tahun 1833 pertahanan kaum Padri disebelah Utara Tanjong Alam mendapat serangan dari Belanda yang pada saat itu mendapat bantuan dari para militer Jawa, kekuasaan Belanda pun semakin kuat hingga berberapa daerah yang dikuasai oleh kaum Padri berhasil diduduki Belanda. Sementara itu pertempuran yang terjadi di sekitar jurang antara Agam dan Mantua pada tanggal 10 September 1833 membawa kekalahan bagi kaum Padri, pertengahan Januari 1833 Tuanku Tanmusi memimpin pasukan untuk menyerang pihak Belanda di Gubuk Sigandang dan pada akhir Mei 1933 terjadi lagi penyerangan terhadap benteng Belanda di Pantar, serta pada tanggal 22 November 1833 benteng Belanda di
27
Amerongan diserang lagi pada tanggal 21 Oktober 1833.
dari pasukan Belanda dilakukan untuk mengacaukan penghuni benteng Bonjol. Pada tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol telah ditembaki meriam Belanda dan pada tanggal 21 Juni 1835 kubu pertahanan Belanda maju lagi dan sehingga mendekati Bonjol, dalam pertempuran yang terjadi sejak tanggal 11 Juni 1835 Belanda telah kehilangan 23 serdadu tewas dan 139 luka-luka, sedangkan di antara pasukan bantuan yang diperoleh telah terdapat korban 7 orang tewas dan 85 orang luka-luka menjadi korban dalam pertempuran tersebut. Pada tanggal 16 Agustus 1835 bukit yang terletak di dekat Bukit terjadi jatuh ketangan Belanda. Pada tanggal 8 Februari Tuanku Imam Bonjol menyatakan kepada Residen Belanda di Padang untuk mengadakan genjatan senjata. Untuk sementara waktu aktivitas gerakan pasukan Belanda dihentikan setelah adanya perjanjian genjatan senjata itu. Waktu Belanda mendesak Tuanku Imam Bonjol agar menyerah beserta pengikutnya mereka mendapat jawaban bahwa kaum Padri mau menyerah apabila pasukan Belanda ditarik dari daerah Alahan Panjang. Belanda tidak mau menyetujui usulan tersebut hingga akhirnya pada tanggal 25 November 1835 terjadi pertempuran lagi. Pada tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi mengadakan perundingan perdamaian lagi, Belanda berharap bahwa perundingan tersebut akan diikuti dengan kesedian Tuanku Imam Bonjol untuk menyerah, namun Belanda curiga dengan ajakan Tuanku Imam Bonjol hanyalah sebuah siasat untuk memperoleh waktu guna menggali lubang yang menghubungkan dalam dan luar benteng; di samping itu untuk mengetahui musuh yang berada di sekitar benteng Bonjol. Kegagalan usaha perundingan ini juga mengakibatkan pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837 pasukan Belanda berhasil menduduki Durian Tinggi dan Talu dan kampung-kampung di Lubuk Sikaping. Dalam pertempuran di bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda terhadap benteng Bonjol, pasukan Padri di Bonjol tidak berdaya sehingga terpaksa menyerah. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada
Akhir Perang Padri Pada akhir tahun 1834 Belanda mulai memusatkan kekuatannya untuk menyerang Bonjol, setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda. Pada akhir bulan September 1834 Belanda mulai menyiapkan pasukan untuk menyerang Bonjol. Di lihat dari gerakan-gerakan militer Belanda mulai tahun 1835 nampak jelas, bahwa kekuatan militernya sebagian besar dikerahkan untuk meruntuhkan kekuatan kaum Padri di Bonjol. Untuk tujuan ini daerah di sekitar Bonjol dicoba untuk dikuasainya. Misalnya dalam persiapan mereka untuk beroperasi ke daerah Alahan Panjang dengan menyerahkan pasukan yang sangat besar. Pada tanggal 21 April 1835 dua kelompok pasukan Belanda telah menyerang pertahanan kaum Padri di sekitar Semawang Gadang. Pasukan Padri setelah melakukan pertempuran ternyata tidak dapat kekuatan musuh, sehingga terpaksa menyingkir, pasukan tersebut kemudian bergerak maju sampai ke dekat kumpulan yang telah disambut oleh kaum Padri sebesar 12.000 orang di daerah itu akhirnya dapat memukul mundur pasukan musuh, sehingga pemimpin pasukan Belanda merasa perlu mendatangkan bantuan pasukan yang sedang berada di Batipo. Dalam menghadapi pasukan Belanda setelah mendapat itu pasukan Padri ternyata kalah kuat sehingga terpaksa mundur. Pertahanan Belanda yang berada di Batu Bendindit kemudian dikepung oleh pasukan Padri, tetapi usaha kaum Padri untuk menduduki daerah itu tidak berhasil (Poesponorogo dan Notosusanto, 1993:181). Pada tanggal 11 Mei 1835 benteng Padri dibukit dekat Bonjol berhasil diduduki pasukan Belanda, kesulitan yang diderita oleh kaum Padri berawal ditutupnya jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah lain oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 11 sampai 16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng Benjol dengan daerah sebelah Barat. Gangguan-gangguan 28
tanggal 25 Oktobor 1837. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah pada Belanda disekitar daerah Rao dan Mandailing. Belanda menugaskan Mayor van Bethoven untuk menghadapi Tuanku Tambusi. Pada bulan November dan Desember 1837, pasukan Belanda bergerak dan berhasil menduduki Poertibi, Kota Pinang, Angkola, Sipirok dan Padang Lawas. Pada bulan April 1838 Lubuk Antai ditinggalkan kaum Padri dan Dalu-Dalu diserang. Akhirnya Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan pada tanggal 28 Desember 1838 Tatipo masih timbul perlawanan Padri terhadap Belanda. Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir 1838. Maka kekuasaan Belanda pun tertanam di Sumatara Barat (Nizar, 2011:151).
ini mengakibatkan meluasnya berkepanjangan perang Padri. 2. Agama Latar belakang perang Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yaitu setelah pulangnya tiga orang Haji dari Mekah. Sebelumnya kehidupan di Minangkabau terdapat dua pola hidup yang serasi, yaitu masih mempertahankan adat-istiadat serta tetap melaksanakan agama Islam. Namun keserasian tersebut tidak bertahan lama, hingga mengakibatkan terjadinya perang saudara antara masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat, golongan ini dikenal dengan kaum adat dengan para ulama yang dikenal dengan kaum Padri. Konflik ini terjadi karena adanya kebiasaan buruk yang dilakukan masyarakat Minangkabau yang di anggap kaum ulama telah jauh dari ajaran AlQur’an serta Hadis. Melihat keadan ini kaum ulama berniat mengadakan pembaharuan. Perang Padri yang terjadi antara kaum Adat dan kaum Padri juga mengundang pihak Belanda dalam konflik tersebut, sementara itu perang yang akhirnya terjadi antara kaum Padri dan pihak Belanda mengakibatkan kesadaran bagi kaum Adat yang semula telah dijanjikan posisi politiknya di Minangkabau berubah menjadi kecewa kepada Belanda. Akhirnya timbul kesadaran untuk mengadakan perlawanan terhadap pihak Belanda, sedangkan saat perang terjadi di berbagai daerah pedalaman semakin meluasnya ajaran agama Islam yang diajarkan oleh para kaum Padri. 3. Sosial dan Budaya Terjadinya perang Padri sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya bagi masyarakat Minangkabau, dari segi sosial mulai timbulnya rasa Nasionalisme di antara masyarakat Minangkabau dalam mengusir kekuasaan asing yang berusaha menanamkan kekuasanya di Sumatera Barat khususnya di Minangkabau. Dari segi budaya di pengaruhinya adat istiadat atau kebiasaan yang mereka lakukan, dalam hal ini masyarakat mulai mengutamakan agama, hingga timbul sebuah istilah dalam Tambo Minangkabau “Adat bersandi syara, syara bersandi kitabullah syara mengato, adat
Pengaruh Perang Padri Terhadap Masyarakat Minangkabau Perang Padri yang terjadi di Minangkabau meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama perang itu berlangsung banyak orang yang terbunuh, yakni sesama orang Minang, peperangan yang awalnya timbul atas dasar keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk mengadakan pembersihan dari prektek-praktek yang biasa di lakukan oleh masyarakat Minangkabau yang dianggap para ulama telah jauh dari ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadis (Nizar, 2011:144). Menurut Piliang dan Sungut (2014:386) perang Padri yang terjadi di Minangkabau sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau, adapun pengaruh yang ditimbulkan saat perang Padri terjadi, sebagai berikut: 1. Politik Perang Padri yang terjadi di Minangkabau awalnya terjadi antara kaum Padri dan kaum Adat, adanya perselisihan antara kedua kaum ini mengakibatkan timbul suatu keinginan untuk mempertahankan kekuasaan politik di Minangkabau, antara kaum Padri dan kaum Adat ini berusaha mencari cara untuk merebut wilayah kekuasan lawanya, berbagai cara di lakukan oleh kedua pihak termasuk melibatkan kekuasaan asing (Belanda) dalam konflik antara sesama masyarakat Minangkabau. Hal 29
memakai”. Dari istilah ini dapat dilihat bahwa kehidupan budaya masyarakat Minangkabau harus dilihat dulu dari sisi agama.
ayah, saudara kandung, saudara seibu atau saudara seayah dan sebagainya. Perkenalan dengan hal-hal yang terbawa oleh kebudayaan Barat dan Pendidikan Belanda lebih memperhebat tantangan terhadap sistem Minangkabau. Salah satu sifat yang penting dari pendidikan yang berpusat di kota untuk sekolah lepas dari lingkungan kehidupan tradisional. Perlu diingat, bahwa setiap desa di Minangkabau merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, orang yang berasal dari luar itu dianggap sebagai orang asing. Persoalan moderenisasi bukan lagi persoalan baru pada masyarakat Minangkabau, dan kemajuan pendidikan sebagai salah satu aspek dari moderenisasi itu, adalah salah satu hal yang sudah sejak lama berlangsung pada masyarakat Minangkabau. Namun sebagai juga dengan kebanyakan tempat di Indonesia, kemajuan pendidikan telah menyebabkan urbanisasi, yang di Minangkabau mengambil bentuk “perantauan”. Banyak putera Minangkabau pergi ke Jawa, dan terutama ke Jakarta untuk menetap. Ini adalah suatu persoalan yang gawat dalam rangka pembangunan daerah Minangkabau (Koentjaraningrat, 2010:263-264).
Minangkabau Pasca Perang Padri Pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat merupakan suatu proses yang berlangsung cukup lama dalam masyarakat Minangkabau. Perang Padri di Minangkabau pada awal abad ke-19 pada mulanya berupa pertentangan kaum Padri dan kaum Adat, yang kemudian menjelma menjadi persoalan politik. Ketika itu kaum Padri telah melihat bahwa agama Islam yang telah dijalankan di Minangkabau telah menjadi satu dengan adat, sehingga telah kehilangan hal-hal yang utama dari Islam. Mereka berusaha memurnikan agama Islam dengan reformasi, dan ini menimbulkan reaksi dari kaum adat. Pertentangan lama dan baru ini juga berlangsung dalam abad ke-20, dengan makin terdesaknya kaum adat, kaum Padri yang agresif berhasil memoderenisasi sistem sekolah agama yang ada, sehingga muridmurid juga diberi pengetahuan umum dan bukan hanya persoalan agama saja. Agama bagi mereka bukan lagi persoalan yang harus diterima begitu saja, tapi hal yang boleh juga diperdebatkan. Proses perubahan ini berpengaruh terhadap keseluruhan sistem kemasyarakatan Minangkabau. Justru perjuangan mereka itulah yang merupakan aspek dari proses moderenisasi akibat banyakanya pengaruh lain, menyebabkan seorang anak dapat mewarisi kekayaan pencarian ayahnya. Hal ini juga berpengaruh terhadap makin hilangnya gejala endo-gami lokal dalam masyarakat Minangkabau. Islam telah menimbulkan kesadaran pada masyarakat Minangkabau untuk lebih mementingkan Agama dari pada Adat untuk lebih menimbulkan suatu kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau. Kalau kedudukan ayah dalam sistem Minangkabau boleh dikatakan tidak tentu, maka agama Islam dengan jelas memberikan kekuasaan kepada ayah untuk mengawasi keluarga itu. Disamping itu, dalam Islam tidak ada halangan untuk mengawini siapa saja asal beragama Islam dan asal jangan orang-orang tertentu, seperti ibu,
Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial di Sumatra Barat Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi yang mempunyai sifat mengikat serta mengatur prilaku dengan tujuan menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat, kebijakan kelak akan menjadi rujukan utama para anggota dari suatu organisasi atau anggota masyarakat. kebijakan berbeda dengan hukum, sebab kebijakan lebih bersifat adaftif dan intepratatif. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum namun tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Pada tahun 1838 merupakan tahun akhir dari perang Padri serta tahun tertanamnya kekuasaan Belanda di wilayah Sumatra Barat.Lembaran baru dalam sejarah Minangkabau, kedaulatan dan kebebasan kehidupan rakyat Minangkabau sedikit-demi sedikit dihilang musnahkan oleh pemerintah Belanda. Satu demi satu nagari-nagari di Minangkabau dengan sangat terpaksa 30
menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Belanda, bagi masyarakat Minangkabau yang tidak rela daerahnya dikuasai dan dikuras kekayaannya oleh pemerintah Hindia Belanda, pada akhirnya dengan perasaan yang sangat berat juga menyerah kepada pemeritah Hindia Belanda. Walaupun daerah mereka telah dikuasai Belanda dan secara fisik tidak mampu lagi mengusir Belanda, tetapi di dalam hati mereka tetap melakukan perlawanan terhadap tindakan Belanda yang melakukan pengisapan terhadap kekayaan Minangkabau. Perlawanan ini terlihat pembangkangan-pembangkangan misalnya tidak mau kerja rodi, atau kalau dipaksa bekerja mereka bekerja dengan malasmalasan. Setelah Belanda resmi menguasai daerah Minangkabau pemerintah Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan, salah satunya di bidang ekonomi (Martamin, 1985:104). Berikut kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang Ekonomi sebagai berikut: 1. Selama Hindia Belanda berkuasa di Minangkabau, Indonesia khususnya Minangkabau menjadi lebih terbuka bagi penanaman modal Asing perekonomian dunia mengalami pergeseran, komoditas rempah-rempah dan barang-barang berharga yang sebelumnya menjadi barang perdagangan utama, beralih pada hasil-hasil industri agraris. Dengan latar belakang tersebut, pemerintah Belanda menginginkan hasil-hasil industrinya di bidang agraris. Salah satunya dengan menyewakan tanah-tanah pertanian yang ada di desa kepada pihak swasta. Langkah tersebut berhasil mendatangkan keuntungan bagi Belanda, biasanya penyewaan tanah terjadi dengan penentuan batas waktu tertentu. Selama waktu itu, pihak penyewa memiliki kekuasaan menarik penghasilan desa. 2. Terjadi perluasan kegiatan ekonomi kolonial salah satu contoh perluasan kegiatan ekonomi adalah proses penggilingan dan pengangkutan tebu dari lahan ke pabrik gula. Untuk menunjang pengangkutanya di bangun sarana dan prasarana transportasi, transportasi darat misalnya pembangunan jalan dan di
bangunnya rel-rel kereta api, adapun peningkatan transportasi laut dilakukan dengan membuat jaringan hubungan antar pulau. 3. Munculnya bank di bidang permodalan ketika tanam paksa telah dihapuskan. 4. Munculnya perdagangan perantara perluasan produksi tanaman dagangan untuk ekspor telah mengakibatkan perdagangan internasional mengalami kemajuan, ramainya perdagangan Hindia Belanda adalah munculnya perdagangan perantara terutama di daerah pedalaman Pulau Jawa. Perdagangan perantara ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai perdagangan distribusi dan perdagangan koleksi. Perdagangan distribusi bertujuan menyebarkan barang-barang konsumsi yang di impor kepada penduduk pedesaan. Sedangkan perdagangan koleksi bertujuan untuk mengumpulkan hasil-hasil tanaman dagangan dari para petani dan meneruskanya kepada para pedagang besar. 5. Pergeseran kepemilikan tanah dan mata pencaharian penyewaan tanah dan penetrasi ekonomi Liberal juga mengakibatkan peralihan kegiatan ekonomi masyarakat. Para usahawan asing yang menanamkan modal dan menyewa tanah-tanah untuk dijadikan perkebunan besar tidak hanya menyewa tanah-tanah sawah penduduk. Dengan demikian, terjadilah pergeseran kepemilikan tanah dan mata pencaharian penduduk setempat. Rakyat yang dahulunya mengerjakan tanah pertanian untuk kepentingan diri sendiri beralih menjadi buruh mengerjakan tanah pertanian yang telah disewa pengusaha asing untuk perkebunan. Menurut Schrieke (1973:52) selain dari bidang ekonomi, adapun kebijakan pemerintah Hindia Belanda selama berkuasa di Minangkabau adalah di bidang Pendidikan. Terjadinya perang Padri di Minangkabau menyadarkan masyarakat Minangkabau, bahwa perang saudara yang terjadi antara sesama masyarakat Minangkabau disebabkan oleh kurangnya pendidikan serta pengetahuan 31
di masyarakat pada waktu itu dan setelah berakhirnya perang Padri, para ulama menyadari perlunya ilmu pengetahuan dimasyarakat dan agar tidak terulang lagi kejadian pada awal abad ke19, kekuasaan Hindia Belanda di Minangkabau dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meminta didirikanya sekolah-sekolah di Minangkabau yang mereka anggap sebagai salah satu dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda selama berkuasa di Minangkabau.
diundang oleh kaum Adat yang merupakan musuh awal dari kaum Padri. 3) Peranan Belanda dalam perang saudara antara kaum Padri dan kaum Adat di Minangkabau yaitu di bidang Politik dan Militer dengan kemampuan yang dimiliki oleh Belanda dalam bidang Politik dan kemiliteran akhirnya pada tahun 1838 kekuasaan kaum Padri berhasil dipatahkan oleh pemerintah Belanda, dan semenjak tahun itu juga kekuasaan Belanda berhasil ditanamkan di Minangkabau. 4) Perang saudara atau perang Padri yang terjadi di Minangkabau pada abad ke-19 banyak mengakibatkan perubahan, seperti dari segi Politik, terjadinya suatu keinginan untuk mempertahankan kekuasaan antara kaum Padri dan kaum adat di Minangkabau dan inipun mengakibatkan terlibatnya kekuasaan asing seperti Belanda dalam perang saudara di Minangkabau. Dari segi agama mengakibatkan meluasnya ajaran agama Islam di daerah pedalaman Minangkabau. dari segi sosial, timbulnya rasa Nasionalisme di antara masyarakat Minangkabau dan dari segi budaya mulai ditinggalkanya adat serta tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka yang mereka anggap telah jauh dari ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.
D. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Latar belakang perang saudara yang terjadi di Minangkabau pada abad ke-19 adalah adanya kebiasaan buruk yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, seperti Minum-minuman, main judi dan menyabung ayam, kebiasaan ini mengakibatkan terjadinya konflik antara sesama masyarakat Minangkabau. Pada tahun 1803 pulang tiga orang Haji dari Mekah, yaitu: Haji Miskin, Haji Peobang dan Haji Sumanik, melihat kebiasaan-kebiasaan tersebut maka timbul suatu keinginan untuk mengadakan pembersihan dari kebiasaan buruk yang dianggap para ulama (Padri) telah jauh dari ketentuan Al-Qur’an dan Hadis. 2) Kelompok yang terlibat dalam perang saudara, awalnya perang terjadi antara sesama masyarakat Minangkabau, yaitu antara kaum adat dan kaum ulama (Padri). Sumatera Barat pada saat itu berada dibawah kekuasaan Inggris, namun dasar perjanjian London pada tahun 1814, Inggris menyerahkan Sumatera Barat ke tangan Belanda. Pada tahun 1819 Belanda menguasai Sumatra Barat, untuk lebih mudah dalam menanamkan kekuasanya Belanda memberikan bantuan kepada golongan yang saat itu kekuasaan politiknya terancam di Minangkabau, dan kaum Adat merupakan golongan yang meminta bantuan kepada pemerintah Belanda, sejak 1821 tahun dimulainya perang antara kaum Padri melawan Belanda yang sengaja
DAFTAR PUSTAKA Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Ombak. Diradjo, Ibrahim Dt Sanggoeno. 2014. Tambo Alam Minangkabau. Sumatra Barat: Kristal Multimedia. Hamid, Abd. Rahman dan Muhamad Saleh Madjid. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Herimanto dan Winarno.2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Marsden, William. 2013. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu.
32
Martamin, Mardjani. 1985. Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nizar, Imam Ahmad Ibnu. 2011. Orang-orang Muslim Berjasa Besar Pada Dunia. Jogjakarta: Laksana. Piliang, Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. 2014. Tambo Minangkabau Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau. Sumatra Barat: Kristal Multimedia Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka. ------------------. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Praptanto, Eko. 2010. Sejarah Indonesia IV masa kedatangan Kolonial BangsaBangsa Barat. Jakarta: Bina Sumber Daya Mipa. Schrieke.1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat. Jakarta: Bhrtara. Subagyo, Joko. 2006. Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Syarifuddin, Amir. 1982. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: PT Gunung Agung.
33