Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Kolonial di Hindia Belanda Achmad Sunjayadi* 1. Pendahuluan Dalam turisme kolonial di Hindia Belanda ada berbagai pihak yang ikut berperan menjadi pendukung. Mereka mendukung berbagai aspek turisme, seperti akomodasi, transportasi, konsumsi, dan obyek turisme. Berbagai pihak itu, misalnya pihak pemerintah dan swasta. Dari pihak swasta ini dapat dibedakan lagi misalnya kalangan Eropa, Tionghoa dan pribumi. Dari kajian sebelumnya ditemukan peran berbagai pihak tersebut dalam turisme kolonial di Hindia Belanda. Peran yang dimaksud adalah peran pemerintah dan swasta yang menjadi anggota Vereeniging Toeristenverkeer Batavia (Perhimpunan turisme Batavia). Perhimpunan ini dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1908 yang ketika itu berada di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Van Heutsz. Tujuan perhimpunan ini seperti yang tercantum dalam buku laporan tahunan perhimpunan (Jaarverslag Vereeniging Toeristenverkeer 1909) dan aturan dasar VTV dalam besluit 13 April 1908 No.9 adalah mengembangkan dan mendorong turisme di Hindia Belanda dengan mendirikan sebuah bureau (kantor) yang memberikan informasi mengenai turisme di Hindia.1 Dalam kajian mengenai perhimpunan tersebut pihak yang berperan (swasta) tidak disebutkan secara khusus apakah orang Eropa, Tionghoa atau pribumi. Misalnya dalam sebuah laporan rapat pembentukan perhimpunan VTV hanya disebutkan jenis perusahaan yang berhubungan dengan turisme seperti hotel, bank, asuransi dan transportasi (Sunjayadi 2007:32) Secara khusus belum ada kajian yang membahas kaum Tionghoa dalam turisme kolonial di Hindia Belanda. Michel Picard (2006) hanya menyinggung mengenai sebuah buku panduan turisme mengenai Bali yang ditulis oleh seorang Tionghoa dari Jawa, Soe Loe Pit (Picard 2006:33) Kajian yang ditemukan lebih banyak membahas peran kaum Tionghoa dalam sejarah perekonomian di Hindia Belanda. Dari masa VOC sampai *
Pengajar Program Studi Belanda, anggota Departemen Sejarah, FIB UI Lihat kajian perhimpunan ini dalam tesis Achmad Sunjayadi di Program Pascasarjana FIB UI Perhimpunan Turisme Batavia (1908-1942): Awal Turisme Modern di Jawa (2006), hal.67 1
1
pemerintah Hindia Belanda. Seperti yang diungkapkan Mely G. Tan dalam kata pengantarnya di Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (1981) bahwa sudah cukup banyak ditulis mengenai fungsi ekonomi dari golongan ini (kebanyakan oleh orang asing dan dalam bahasa asing). Golongan yang disebut memiliki fungsi perantara, fungsi yang tidak hanya terlihat di Indonesia tetapi juga di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya (Tan 1981:ix) Kajian-kajian tersebut misalnya kajian Fokkens (1897), Phoa Liong Gie (1936), W.J.Cator (1936), Peter Carey (1984), J.L.Vleming jnr (1926), Ong Eng Die (1943), Liem Twan Djie (1947). Fungsi ‘perantara’ yang berada di tengah, seperti kaum Tionghoa ini, dalam ilmu sosial dikenal dengan konsep ‘minoritas perantara (middlemen minority). Istilah ini pertama kali dipakai oleh sosiolog Amerika Howard P. Becker (1940). Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok etnis dominan dan kelompok etnis subordinat dalam masyarakat yang multietnis. Kelompok minoritas perantara ini biasanya menduduki ceruk perantara dalam sistem ekonomi. Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian sebagai pedagang, pemilik toko, pembunga uang, profesional independen. Dapat dikatakan kelompok minoritas perantara melayani kelompok dominan dan subordinat. Posisi mereka sangat rentan terhadap permusuhan dari luar kelompok etnis mereka, baik dari kelompok dominan maupun subordinat (Kwartanada 2008: xii) Oleh karena itu sebelum membahas kaum Tionghoa dalam turisme kolonial diberikan uraian mengenai peran kaum Tionghoa dalam perekonomian di Hindia Belanda. Dengan adanya
uraian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kaum Tionghoa secara utuh. Makalah ini membahas peran kaum Tionghoa dalam turisme kolonial di Hindia Belanda dalam kurun waktu 1830-1940. Dengan menitik-beratkan pada hal tersebut diharapkan mampu menjawab berbagai pertanyaan berikut. Di bidang apakah para kaum Tionghoa itu berperan?, mengapa mereka turut berperan dalam turisme kolonial?, bagaimana pengaruh peranan kaum Tionghoa terhadap perkembangan turisme kolonial di Hindia Belanda? Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, maka sebagai bahan analisa
2
digunakan berbagai buku catatan perjalanan, buku panduan turisme. Di samping itu digunakan pula koleksi foto, poster, brosur, majalah serta kartu pos. Bahan-bahan ini berguna untuk memberikan gambaran situasi turisme pada masa itu. Sumber-sumber resmi tercetak berupa buku panduan turisme, laporan tahunan VTV dan buku panduan resmi pemerintah juga digunakan untuk mendapatkan informasi resmi dari pemerintah mengenai obyek yang diteliti.
2. Peran Kaum Tionghoa dalam Sejarah Perekonomian di Hindia 2.1 Kaum Tionghoa Pendatang dan Peranakan Dalam makalah ini digunakan istilah Tionghoa, bukan Cina atau China dengan mengacu pada penggunaan secara formal istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” pada tahun 1928 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada 1900 (Kwartanada 2004: 3)2 Sementara itu sumber-sumber primer dan sekunder yang digunakan dalam makalah ini menggunakan istilah yang bervariasi misalnya “Cina”, “Tionghoa”, “Chinees”, “Chinese”, dan “Chineezen”. Demi konsistensi, maka dalam makalah ini digunakan istilah “Tionghoa”, begitupula dengan terjemahan dari sumber yang berbahasa asing. Dalam makalah ini juga tidak dibedakan antara kaum Tionghoa pendatang dan Peranakan.
3
Jadi, hanya digunakan istilah Tionghoa. Namun, perlu juga diungkapkan
latar-belakang mereka karena orang Tionghoa yang datang ke Nusantara berasal dari daerah yang berbeda. G. William Skinner dalam artikelnya “The Chinese Minority” (1963) memberikan gambaran serta analisa sosial-historis mengenai kedatangan, perkembangan pemukiman dan peranan orang-orang Tionghoa di Indonesia sampai tahun 60-an (Tan 1981:1-29) Gambaran dan analisa Skinner tersebut berguna dalam makalah ini, khususnya analisa 2
Mengutip Lea E. Williams Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe: 1960), hal.61 dan Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: 2002), hal.372 3 Para pendatang disebut Hsinkeh (xinke), lalu pada akhir abad ke-19 mulai dipakai istilah Hoaqiau (Hoakiau) untuk orang Tionghoa perantauan Denys Lombard Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia Jilid 2 (Jakarta:2000), hal.69-70
3
mengenai asal orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara beserta ketrampilan mereka. Skinner membagi daerah asal orang Tionghoa itu seperti orang Hokkian yang berasal dari provinsi Fukien, orang Teociu berasal dari sebelah selatan asal orang Hokkian, orang Hakka dari pedalaman Kwangtung, orang Kanton berasal dari sebelah barat orang Hakka dan selatan Tiongkok (Tan 1981:6-8) Orang Hokkian memiliki kemampuan berdagang dan menyebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Pantai Barat Sumatera dan Indonesia Timur. Orang Teociu menyebar di luar Jawa, seperti Pantai Timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat (Pontianak). Mereka biasanya bekerja di perkebunan. Lalu orang Hakka yang menyebar di Kalimantan Barat, bekerja di pertambangan emas. Sejak akhir abad ke-19 mereka datang ke Jawa Barat karena tertarik pada pertumbuhan kota Batavia dan Priangan. Sementara itu orang Kanton menyebar di Sumatera. Misalnya bekerja di pertambangan di Bangka, Sumatera Tengah (Sekarang provinsi Riau, Jambi dan Sumbar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Namun, ada pula yang menyebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlah mereka jauh lebih kecil daripada kelompok orang Tionghoa lainnya (Tan 1981:6-8) Hal yang menarik adalah meskipun secara jumlah jauh lebih kecil, orang Kanton datang dengan modal besar serta ketrampilan untuk bertukang dan berusaha dalam industri. Dengan demikian orang Kanton menempatkan dirinya di kota-kota di Indonesia sebagai tukang yang mahir, pekerja mesin, pemilik toko besi atau industri kecil. Mereka juga bekerja sebagai pengurus restoran atau hotel. Modal dan ketrampilan mereka ini karena mereka memanfaatkan hubungan yang erat antara daerah asal mereka dengan orang-orang Eropa, baik di Kanton maupun Hongkong (Tan 1981:8)
2. 2 Ragam pekerjaan kaum Tionghoa di Hindia Bila kita membicarakan masalah turisme, kita tidak dapat lepas dari aspek ekonomi. Walau aspek lain seperti sosial, budaya dan keamanan juga tak kalah penting. Dalam sejarah perekonomian di Hindia kaum Tionghoa sudah sejak lama memegang peranan penting. Bahkan jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kaki di Nusantara. Di kehidupan perekonomian di Hindia, T.S Raffles dalam The History of Java
4
(1817) mengatakan bahwa orang Tionghoa adalah “the life and soul of the commerce of the country (kehidupan dan jiwa perdagangan di negeri ini)”. Mereka memainkan peran yang sangat penting. Orang Tionghoa banyak yang berperan sebagai “perantara”. Berbagai kajian dan tulisan mengungkapkan hal tersebut. Didi Kwartanada dalam kata pengantar untuk buku Peter Carey mengungkapkan peran golongan Tionghoa sebagai perantara atau ‘mesin pencetak uang, baik oleh para raja maupun penguasa kolonial. Belanda yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia melihat bahwa golongan Tionghoa dapat menjadi ‘perantara’ antara golongan mereka (Belanda) dan pribumi. Maka, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai kepada pengusaha Tionghoa (Carey 2008: x-xi) Dalam artikelnya “Changing Javanese Perception of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825” (1984) 4, Peter Carey membahas dua institusi pacht yang sangat dibenci rakyat yaitu gerbang tol dan candu (opium)5. Sementara itu Onghokham dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa sesungguhnya kedudukan Tionghoa perantauan di Asia Tenggara sudah sejak lama dimanfaatkan oleh orang Eropa sebagai bagian terpenting dalam rantai distribusi, perdagangan eceran maupun sebagai pembeli hasil pertanian untuk kemudian dijual kepada perusahaan Eropa (Onghokham 2008:39) Ong Eng Die dalam disertasinya Chineezen in Nederlandsch-Indie: Sociografie van een Indonesische Bevolkingsgroep (1943) mengutip Pernitzsch menyatakan bahwa peranan orang Tionghoa yang paling penting adalah dalam perdagangan perantara (dengan ini termasuk perdagangan kecil) dan kerajinan tangan. Mereka ini tidak bisa tidak, harus ada (Die 1943:108) Pada masa pra-kolonial pun, orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar. Claude Guillot menyebut seorang ’tukang insinyur’ dari abad ke-17 di Banten. Ia adalah Kiyai Ngabehi Cakradana yang namanya kerap disebut oleh para pendatang Eropa yang singgah dan berniaga di Banten 4
Terjemahan artikel dalam majalah Indonesia 37, April 1984 (hal.1-47) tersebut diterbitkan oleh Pustaka Azet 1985 dan diterbitkan kembali dengan judul Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2008) 5 Lihat kajian mengenai perdagangan candu (opium) di Hindia pada paruh abad ke-19 hingga awal abad ke20 oleh James R. Rush Opium to Java; Jawa dalam cengkeraman banda-bandar opium Cina, Indonesia kolonial 1860-1910 (Yogyakarta: Matabangsa, 2000)
5
pada masa itu (Guillot 2008:351). Dari berbagai sumber diketahui jika Kiyai Ngabehi Cakradana mengawali karirnya dari seorang “Touckan Bessi” (Tukang Besi) dan Syahbandar. Menurut Guilhen, kepala loji Prancis di Banten, jabatan syahbandar adalah sebagai kepala pelabuhan sekaligus kepala umum perdagangan (Guillot 2008:91). Hal menarik dari sumber yang lain diketahui bahwa ternyata Cakradana adalah seorang keturunan China dengan nama “Tantseko” yang beragama Islam (Guillot 2008:353).6 Pada masa VOC, Gubernur Jenderal J.P Coen pada 1623 memuji orang Tionghoa sebagai bangsa yang rajin, “daer is geen volck in de wereld, die ons beter dienen dan Chineezen” -Tak ada bangsa di dunia yang melayani kita dengan lebih baik daripada bangsa Tionghoa (Ong 1943:63). Leonard Blusse dalam Strange Company (1986) menulis bahwa J.P Coen, Gubernur Jenderal
VOC 1619-1623 menganggap orang
Tionghoa di Batavia yang baru didirikan sebagai aset ekonomi yang penting. Pendapat dan pujian J.P Coen ini kelak menjadi ironi ketika pada 1740, bangsa Tionghoa dibantai oleh VOC. Dari uraian sebelumnya dapat diketahui berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh orang Tionghoa sejak kedatangan mereka ke Hindia seperti buruh (kuli), tukang, pedagang. Ong Eng Die membahas hal tersebut secara khusus dalam bab II disertasinya Het Economisch Leven. Ong memaparkan perkembangan kehidupan perekonomian mereka sejak pertama kali mereka datang sebelum datangnya bangsa Belanda di Hindia. Peran pertama kebanyakan sebagai pedagang, khususnya barang-barang dari China. Pada masa VOC, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, orang Tionghoa berperan sebagai tusschenpersoon (perantara) antara VOC dan pihak pribumi, baik itu sebagai pedagang perantara (tusschenhandelaar) maupun pengumpul hasil bumi (Ong 1943:57). Namun, ada pula yang ‘dipaksa’ didatangkan untuk ditempatkan di Batavia, Banda, dan Ambon (Ong 1943:58). Di Batavia, orang Tionghoa ini bekerja di industri pengolahan gula dan arak. Pada 1710 ketika industri gula berada pada posisi puncak, tidak lebih 7000 orang Tionghoa bekerja di sektor ini (Ong 1943:59) Jabatan lain adalah sebagai pachter yang bekerja sama dengan pihak penguasa baik Belanda maupun
6
Sumber-sumber yang digunakan adalah Dagh-register 14.03.1667- 25.04.1680, arsip Mission Etrangeres Paris Memoires de B. Vachet Jilid II
6
pribumi.7 Perdagangan merupakan bidang pekerjaan terpenting bagi orang Tionghoa di Hindia. Berdasarkan keterangan-keterangan dalam Volkstelling 1930, jilid VIII disebutkan bahwa persentase jumlah orang Tionghoa di Hindia dalam perdagangan adalah 35,4 %, orang Eropa 13,4% dan pribumi 5,4% (Ong 1943:104) Perdagangan ini dapat dibagi dua perdagangan besar dan kecil. Perdagangan besar termasuk produksi hasil bumi, pembuatan barang jadi, keuangan) Tidak hanya persentase jumlah dibandingkan dengan orang Eropa dan pribumi. Bila melihat tabel persentase pengusaha dalam pelbagai bidang usaha di Hindia Belanda, tampak bahwa perdagangan menduduki posisi pertama (Lihat Tabel 1)
Tabel 1. Persentase Pengusaha dalam pelbagai bidang usaha di Hindia Belanda 1930 Orang
Tionghoa
kelahiran
Belanda
Hindia
Orang
Tionghoa
kelahiran
di
Hindia Belanda
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
perempuan
21,7
13,2
36,2
23,7
Kerajinan tangan
14,8
20,5
22,2
19,2
Pengangkutan
5,7
0,5
1,6
0,8
Perdagangan
44,1
54,2
32,1
37,5
Bidang usaha lain
13,7
11,6
7,9
18,8
100
100
100
100
131.889
22.856
307.468
6.164
Produksi
luar
pertanian/perkebunan
Jumlah total pengusaha
Sumber: Ong Eng Die (1943:105) mengutip Volkstelling 1930, Jilid VII, hal.129
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa kaum Tionghoa peranakan lebih banyak berkecimpung di dalam perdagangan dan pengangkutan daripada yang lahir di luar Hindia. Hal ini jelas, khususnya dalam bidang produksi pertanian dan perkebunan, kaum Tionghoa yang lahir di luar Hindia Belanda bekerja sebagai buruh/kuli. Berikut tabel jumlah pengusaha Tionghoa dalam pelbagai bidang perdagangan. Data dari tabel tersebut digunakan untuk mengetahui bidang perdagangan apa saja yang 7
Lihat uraian Denys Lombard mengenai jenis pekerjaan kaum Tionghoa di Batavia setelah peristiwa 1740 (Lombard II:2000, 245)
7
ditekuni oleh orang Tionghoa di Hindia Belanda.
Tabel 2. Jumlah pengusaha Tionghoa dalam pelbagai bidang perdagangan di Hindia 1930 Bidang perdagangan
Jumlah total di Hindia Belanda Kelahiran Hindia
Bahan makanan dan barang-barang mewah Bahan sandang Keramik, kayu, bambu, pakaian Perdagangan kecil campuran Perdagangan besar dan perantara Perdagangan lainnya
17.348
Kelahiran lain 19.784
tempat
Jumlah keseluruhan
5.788
14.022
19.882
2.354
2.652
5.018
37.051
55.160
92.583
2.634
815
3.456
4.007
4.037
8.078
37.279
Sumber: Ong Eng Die (1943:106-107) mengutip Volkstelling 1930, Jilid VII, tabel 14
Dari tabel 2 diketahui hampir semua orang Tionghoa yang bekerja dalam bidang perdagangan terlibat dalam perdagangan kecil. Di dalamnya termasuk pedagang keliling, khususnya yang lahir di luar Hindia Belanda. Dalam tabel, pedagang keliling dimasukkan dalam perdagangan kecil campuran. Dalam perdagangan kecil campuran, pedagang keliling dan pembeli barang loak (tukang loak) termasuk didalamnya. Menurut Vleming (1926) pedagang keliling Tionghoa tersebut disebut “dagang klontong” (mengacu pada bunyi alat yang terdengar ketika mereka menjajakan barangnya). Mereka juga disebut “dagang langsam” (berbagai macam barang). Pedagang klontong ini biasanya menjajakan barang-barang jadi. Tidak hanya berkeliling kota-kota tapi juga desa-desa dan kampung terpencil menawarkan barang kepada penduduk. Terkadang mereka menyewa kuli pribumi untuk memikul barang-barang mereka, atau menggunakan sepeda. Kebanyakan para pedagang klontong ini adalah bukan Tionghoa peranakan tapi kaum imigran/orang Hakka (Ong 1943:116117; Fernando 1992:171) Bersamaan dengan perdagangan klontong adalah pemberian pinjaman/kredit kepada penduduk pribumi. Barang yang dijual, dijual secara kredit bahkan ada pula yang meminjamkan
uang
kontan.
Pedagang-pedagang
klontong
ini
pun
terkadang
mendapatkan nama buruk di kalangan penduduk karena bunga kredit yang dibebankan
8
sangat tinggi. Pedagang klontong Tionghoa juga dinamakan “Tukang mindring” atau “Cina mindring”. Kata mindring berasal dari inmindering (mengurangi). Maksudnya jumlah yang dipinjam dibayar secara cicilan, baik itu harian, mingguan atau bulanan (Ong 1943:117-118; Fernando 1992:189) Dalam bidang transportasi, orang Tionghoa yang bekerja di bidang ini tidak banyak, hanya sekitar 12.754 atau 2,7 % dari bidang lainnya. Tabel 3. Jumlah orang Tionghoa yang bekerja di bidang transportasi di Hindia 1930 Bidang transportasi
Jawa dan Madura
Luar Jawa
Hindia Belanda
Kereta dan trem
439
514
953
Pos, telegram dan telefon Verkeer langs de wegen (Taksi/mobil sewaan, bis, becak) pelayaran dan kapal udara Jumlah
142
56
198
3.966
4.628
8.594
631
2.378
3.009
5.178
7.576
12.754
Sumber: Ong Eng Die (1943:142) mengutip Volkstelling 1930, jilid VII, tabel 14
Jumlah terbesar dari semua bidang transportasi dalam tabel 3 adalah verkeer langs de wegen. Bidang transportasi verkeer langs de wegen, biasanya dimanfaatkan oleh hotelhotel dan pension. Di luar Jawa, khususnya untuk pelayaran, jumlah orang Tionghoa yang bekerja cukup banyak. Mereka terutama bekerja di kapal-kapal KPM yang melayari jalur pantai-pantai di luar Jawa dan Singapura. Ada sekitar 800 orang Tionghoa yang bekerja di KPM, tetapi mereka menetap di Singapura. Selain itu orang Tionghoa juga memiliki pelayaran, khusus yang menyusuri sungai-sungai besar di Sumatra dan Kalimantan (Ong 1943: 143) Tidak semua orang Tionghoa mengandalkan perdagangan sebagai mata pencahariannya. Orang Tionghoa pun digunakan tenaganya di pertambangan di luar Jawa. Seperti pertambangan timah di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, pertambangan emas di Kalimantan Barat, pertambangan minyak di Palembang, Balikpapan, Tarakan (Ong 1943:69-94) Ada pula yang menjadi kuli perkebunan tembakau di Deli, lada di Bangka, karet di Pantai Timur Sumatra (Ong 1943:163-167) Sementara itu dalam hal ketrampilan yang kerap disebut ‘tukang’, orang
9
Tionghoa ada yang bekerja sebagai pembuat baju, tukang kayu, tukang mebel, tukang sepatu, tukang emas, pandai besi (Ong 1943:170). Pekerjaan ini sudah ada sejak masa VOC. Bidang industri juga menjadi salah satu pekerjaan yang ditekuni kaum Tionghoa. Terutama yang berhubungan dengan kerajinan (Lihat tabel 1 dan 2). Misalnya industri batik yang sebelumnya hanya menjadi usaha kaum pribumi, selanjutnya juga menjadi salah satu bidang usaha kaum Tionghoa serta kelompok masyarakat lainnya di Hindia. Berikut tabel perbandingan perusahaan batik di Jawa pada 1931.
Tabel 4. Jumlah industri batik di Jawa pada 1931 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jumlah
Pribumi
Tionghoa
Arab
Eropa
Jumlah
1.472
285
-
-
1.757
1.804
418
113
12
2.347
239
24
17
-
280
3.519
727
130
12
4.384
Sumber: Ong (1943:153) mengutip De Kat Angelino, Batikrapport 1931, bagian I, hal.203; bagian II, hal.321; bagian III, hal.172 Industri batik ini kebanyakan dijumpai di Jawa Tengah dan berpusat di Pekalongan, Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta) dan Lasem. Di Jawa Barat, hampir semua industri batik Tionghoa berada di Batavia. Sedangkan industri batik kaum pribumi berada di Tasikmalaya dan Cirebon (Ong 1943:152)
3. Kaum Tionghoa dalam turisme kolonial Menurut Robert Christie Mill dalam Tourism: the International Business (1990) dalam turisme ada empat dimensi utama yaitu atraksi (obyek), fasilitas, transportasi dan keramahan. Atraksi atau obyek misalnya keindahan alam, budaya etnisitas setempat dan hiburan (Mill 1990: 22). Pada masa lalu (kolonial) dimensi yang mendukung turisme mungkin belum ditentukan dan dirumuskan. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat dalam turisme kolonial mungkin tidak secara eksplisit merumuskan dimensi tersebut. Seperti yang terdapat dalam buku panduan resmi yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dalam bagian 10
turisme menyebutkan ada empat hal yang akan ditanyakan oleh seorang calon turis mengenai sebuah negeri yang akan dikunjunginya: cuaca dan sanitasi (kebersihan), fasilitas transportasi, hotel dan obyek yang dapat dilihat (Handboek of the Netherlands East-Indies 1930: 421) Tiap bagian dari empat dimensi dari R.C Mill tadi tentunya dapat saja bergeser, tergantung dari periode, kapan turisme itu berlangsung. Namun, batasan dimensi ini berguna dalam membahas makalah ini. Pada uraian sebelumnya telah diungkapkan berbagai pihak yang ikut mendukung turisme kolonial, termasuk kaum Tionghoa. Berikut uraian mengenai kaum Tionghoa dalam turisme kolonial, baik yang menjadi subyek atau obyek turisme tersebut.
3.1 Kaum Tionghoa sebagai atraksi (obyek) a. Pemukiman dan tempat ibadah orang Tionghoa Sumber yang berguna untuk mengetahui hal ini adalah buku panduan turisme, terutama yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Di samping itu kesan para turis yang datang, apalagi jika buku panduan turisme belum ada, akan sangat berguna untuk memberikan gambaran mengenai obyek tersebut. Beberapa turis pun memberikan kesannya mengenai obyek ini. Seorang turis Belanda asal Amsterdam, Justus van Maurik yang berkunjung ke Hindia pada akhir abad ke-19 (1897) menceritakan kesannya dalam Indrukken van een Totok mengenai pemukiman kaum Tionghoa di Batavia yang juga menjadi tempat usaha mereka (toko). Tempat itu berbatasan dengan kali dan sangat ramai (Maurik 1897:107) Sebelumnya Maurik menggambarkan toko-toko milik orang Tionghoa di sebuah pasar di Padang yang menurutnya jorok dan kotor (Maurik 1897:16). Sementara itu ketika berkunjung di Surabaya, Maurik memberikan kesannya mengenai toko-toko milik orang Tionghoa yang berada di jalan yang sempit. Toko-toko itu berdempetan, berdesakan, seperti dalam labirin. Daerah itu ramai dengan orang-orang yang hilir-mudik (Maurik 1897:267). Ketika di Surabaya Maurik juga mengamati rumah milik seorang Letnan Tionghoa, The Toan Ing yang penuh hiasan keramik dan porselen dari China. Menurutnya rumah itu sangat indah. Meskipun di halamannya bergaya Tionghoa tetapi ketika berada di dalam justru bergaya Eropa (Maurik 1897:282-283)
11
Eliza R. Scidmore, seorang turis Amerika yang berkunjung ke Jawa pada periode yang sama dengan Maurik juga memberikan kesannya tentang pemukiman Tionghoa. Scidmore menyebutkan adanya kampung Tionghoa yang diawasi oleh seorang Kapitein. Para Kapitein itu bertanggung jawab pada pemerintah kolonial untuk menjaga keamanan dan ketertiban di daerah yang menjadi tanggung jawab mereka (Scidmore 1984:37)8 Obyek yang serupa juga ditunjukkan oleh Augusta de Wit, seorang turis perempuan asal Belanda yang berkunjung ke Jawa pada 1895-1896. Ia juga menggambarkan pemukiman Tionghoa di Kampung Baru Batavia. Menurutnya ada tiga atau empat pemukiman serupa yang khusus didiami oleh orang Tionghoa. Secara khusus ia mengamati beberapa rumah orang Tionghoa kaya yang menurutnya sangat indah dan nyaman (de Wit 1987:51) Seorang prajurit yang ditugaskan di Hindia pada awal abad ke-20 juga memberikan kesannya tentang pemukiman orang Tionghoa di Batavia. Melalui surat cerita bersambung yang disunting oleh H.C.C Brousson dan dimuat di Bandera Wolanda 1910-1912, prajurit itu menceritakan kampung Tionghoa dengan jalan-jalan kecil, sempit berliku tanpa ujung serta deretan pohon di sepanjang kanal. Rumah-rumah orang Tionghoa itu juga menjadi obyek amatannya (Brousson 2007:79-80) Pada periode yang berbeda, beberapa turis juga memberikan kesan mereka tentang pemukiman Tionghoa yang sekaligus sebagai tempat usaha mereka. H.W. Ponder yang berkunjung dan tinggal di Jawa pada tahun 1920 sampai 1930-an memberikan kesannya dalam Java Pageant: Impressions of the 1930’s (1989) tentang tempat usaha Tionghoa di Pasar Baru, Weltevreden. Menurutnya tempat itu biasanya menjadi tempat pertama yang dikunjungi orang asing (Ponder 1989:28) Sebaliknya, ada pula turis lain memberikan kesan yang berbeda. Muriel Stuart Walker, seorang turis Amerika yang berkunjung pada tahun 1932 kemudian menetap di Bali dan namanya menjadi K’tut Tantri menyayangkan keindahan Bali di Denpasar yang lenyap berganti dengan deretan toko milik orang Tionghoa dan Arab serta rumah-rumah milik orang Belanda. Meskipun semuanya rapi tapi itu menjemukan, kaku. Serupa dan tanpa beda. Ia pun tidak melihat adanya kehidupan pribumi di Denpasar. Ia hanya melihat
8
Lihat kajian Mona Lohanda tentang kapitan Tionghoa di Batavia, The Kapitan Cina of Batavia 18371943: A History of Chinese Establishment in Colonial Society (Jakarta: Djambatan, 1996)
12
orang Belanda, hotel, kantor-kantor bank dan toko-toko orang Tionghoa (Tantri 2006:29) Seorang turis yang juga seorang seniman Belanda, Jan Poortenaar yang berkunjung ke Hindia pada akhir tahun 20-an menuliskan kesannya tentang pemukiman Tionghoa di Makassar (Poortenaar 1989:135) Suasana pemukiman sekaligus tempat usaha orang Tionghoa juga digunakan sebagai obyek kartu pos yang terbit pada masa kolonial . Misalnya suasana Keaswan [Kesawan] Straat di Medan 1913 (Haks 2004:35), kelenteng di Medan (Haks 2004:56), Pintu Kecil di Batavia (Haks 2004: 80, 103), Glodok (Haks 2004:83), Pasar Baroe (Haks 2004:84), kelenteng di Batavia tahun 1917 (Haks 2004:94), Pemukiman Tionghoa/Batavia Chineesche Wijk/Glodok (Haks 2004:101), kelenteng di Bandung (Haks 2004:162), Pemukiman Tionghoa di Makassar ‘Makassar. Chineesche Straat: Straat Kampong Endeh’ (Haks 2004: 251), kelenteng di Makassar (Haks 2004:261), klenteng di Surabaya (Boomgaard 2001:63) Penanda berupa pemukiman orang Tionghoa ternyata juga dimasukkan dalam Gids voor Indië (1933), buku panduan turisme resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah bekerja sama dengan swasta. Dalam buku itu terdapat foto sebuah pemukiman Tionghoa yang diberi judul Oud Batavia Kali besar Tjina (Gids voor Indië 1933: 40). Dalam buku panduan itu juga ditemukan foto kelenteng Tionghoa (Gids voor Indië 1933: 40). Klenteng Tionghoa di Bandung juga disebut dalam Hotelblad 1941 yang merupakan salah satu obyek yang ditawarkan oleh Bandung Vooruit (Hotelblad 1941:153). Demikian pula dalam Bandoeng: The mountain City of Netherlands India (Reitsma 192x :5) terdapat foto klenteng. Penanda dalam bentuk pemukiman juga dicantumkan dalam Gedenkboek voor Nederlandsch-Indië ter gelegenheid van het regeeringsjubileum van H.M. De Koningin 1898-1923 (1923), buku resmi pemerintah memperingati 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina. Dalam buku itu terdapat foto daerah pemukiman sekaligus tempat usaha kaum Tionghoa di Batavia, “Een Chineesche handelswijk te Batavia” (Gedenkboek 1923 foto no.48) dan foto yang diambil dari arah kali (Ciliwung) memperlihatkan bagian belakang dari pemukiman Tionghoa. “Een achterbuurt te Batavia” (Gedenkboek 1923, foto no.49)
13
b. Budaya Tionghoa Obyek budaya yang menjadi pengamatan para turis antara lain adalah pertunjukan wayang Tionghoa (sandiwara Tionghoa). Justus Maurik ketika itu dijamu sebuah pertunjukan wayang oleh Letnan Tionghoa, The Toan Ing di Surabaya. Maurik menggambarkan panggung yang sederhana tanpa tirai penutup atau layar. Panggung itu penuh dengan hiasan dan dominasi warna merah tua, biru dan kuning dengan hiasan emas serta gambar naga yang dibordir. Ketika mendengar musik pengiring yang ramai, Maurik teringat pada pandai besi ketika menempa besi (Maurik 1897:285-289) Jan Poortenaar yang berkunjung ke Hindia pada akhir tahun 20-an menuliskan kesannya dalam satu bab secara khusus dan membuat sketsa mengenai sebuah acara festival kaum Tionghoa. Ia menggambarkan suasana festival tersebut di Sumatra. Ramainya suara musik pengiring yang mengarak sebuah naga, bunyi petasan, kembang api dan ramainya orang digambarkan olehnya (Poortenaar 1989: 157-161) Seni budaya dan adat istiadat kaum Tionghoa juga menjadi obyek kartu pos masa kolonial. Misalnya gambar dua orang Tionghoa berpakaian pemain sandiwara ‘Chineesche Wajang Wong, Batavia’ dan festival Tionghoa ‘Chineesche- Offerfeest’ (Haks 2004:108), iring-iringan pemakaman orang Tionghoa di Jawa (Haks 2004:174), pesta Cap Go Meh di Bogor tahun 1903 (Boomgaard 2001:62), pesta upacara Tahun Baru Tionghoa di Pantai Timur Sumatra (Boomgaard 2001: 243) Obyek budaya Tionghoa yang serupa juga digunakan oleh pemerintah HindiaBelanda. Obyek itu berupa foto tiga pemain sandiwara Tionghoa (“Chineesch tooneel” foto no.111). Dalam foto itu ada dua pria berdiri mengapit seorang perempuan yang duduk. Mereka mengenakan kostum, lengkap dengan hiasan di kepala. Foto itu dimuat dalam buku resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Gedenkboek voor Nederlandsch-Indië ter gelegenheid van het regeeringsjubileum van H.M. De Koningin 1898-1923 (1923)
c. Pemilik toko dan pedagang kelontong Berbagai pedagang dan toko milik orang Tionghoa juga turut memberikan andilnya dalam turisme kolonial. Gambaran tentang pedagang dan toko Tionghoa diberikan dalam catatan para turis dan buku panduan turisme resmi yang dikeluarkan dalam pemerintah.
14
Selain itu mereka muncul sebagai obyek dalam kartu pos. Justus van Maurik menceritakan tentang toko besar maupun kecil yang dimiliki oleh orang Tionghoa di Padang (Maurik 1879:29). Maurik juga menyebutkan bahwa orang Tionghoa adalah pedagang yang pintar (Maurik 1879:12). Selain itu toko-toko milik orang Tionghoa biasanya dekat dengan hotel (Maurik 1879: 164). Ketika sedang beristirahat di hotel pada siang hari usai makan siang, Maurik dikejutkan dengan kedatangan pedagang kelontong Tionghoa yang menawarkan barang dagangannya (Maurik 1879:177) Obyek berupa toko dan pedagang Tionghoa ini juga dikemukakan oleh Augusta de Wit. Ia menggambarkan pedagang kelontong di Jawa yang berkeliling menawarkan dagangannya (De Wit 1987:52). Selain itu ada pula pemilik toko Tionghoa yang berada di kota-kota (De Wit 1987:120). Sementara itu H.W. Ponder (1990) menceritakan tentang pemilik toko Tionghoa yang seperti pemilik toko lainnya mempromosikan Mr. Wood “obat pepermin” yang konon dijamin dapat menyembuhkan ‘penjakit roepa-roepa’. Menurut pemilik toko Tionghoa tersebut permintaan akan obat itu sangat tinggi (Ponder 1990:77). Selain pemilik toko, orang Tionghoa di kota-kota besar membuka toko emas (Ponder 1990:146). Tidak hanya pemilik toko, pedagang kelontong yang berkeliling dengan bunyi khasnya menjadi figur populer di Jawa (Ponder 1990:257-258) Dalam kartu pos yang diterbitkan oleh pemerintah dan swasta, baik pedagang keliling maupun toko milik orang Tionghoa menjadi obyek. Misalnya pedagang kain sutera keliling di Jawa (Haks dan Wachlin 2004:185), toko barang-barang kebutuhan sehari-hari (Haks dan Wachlin 2004: 183), toko barang-barang dari besi di Batavia (Boomgaard 2001:91) Sedangkan dalam buku panduan turisme resmi terdapat saran bagi para turis pria untuk menjahit kemeja katun untuk sore hari dan celana panjang drill warna khaki atau putih di penjahit Tionghoa seharga 18 sampai 25 gulden. Pakaian-pakaian kotor , khususnya yang berenda dapat dicuci oleh penatu Tionghoa dan kembali dalam waktu seminggu (Reitsma 1930: 13-14). Buku panduan turisme lainnya juga menyarankan para turis untuk mengunjungi toko-toko Tionghoa di Pasar Baru, Batavia (Tourist Guide 1922:4)
15
3.2 Kaum Tionghoa sebagai penyedia fasilitas turisme Sebenarnya jauh sebelum turisme dikenal sebagai salah satu sumber perekonomian, kaum Tionghoa telah turun berperan dalam bidang perekonomian di Hindia (lihat bahasan ‘Peran Kaum Tionghoa dalam Sejarah Perekonomian di Hindia’). Hal yang menarik adalah mungkin pada awalnya kaum Tionghoa tidak bermaksud menjadi bagian dari turisme di Hindia (hanya alasan ekonomi), namun justru peran mereka ini tidak dapat dikatakan kecil. a. Akomodasi Hotel, losmen, pension atau penginapan adalah bagian dari fasilitas akomodasi dalam turisme. Liem Thian Joe dalam Riwayat Semarang (2004) menuturkan pada tahun 1880, Tuan Kwee Kiem Yong membuka sebuah rumah penginapan di ujung Gang Besen, dekat sumur umbul, Semarang. Rumah penginapan itu diberinama Tjia Tjia Kie dan merupakan hotel Tionghoa pertama di Semarang. Nama penginapan itu diambil dari kata Kin cia wat, wan cia lay artinya yang dekat senang, yang jauh datang. Beberapa tahun kemudian muncul hotel kedua yaitu Djioe Wan Tjai di samping belumbang Gang Blakang (Joe 2004:186). Sebenarnya belum diketahui pasti berapa jumlah hotel yang dimiliki oleh orang Tionghoa. Namun, dari data yang dibuat oleh J.L Vleming jnr (eds.) dalam Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch-Indië (1926) di Batavia terdapat 20 hotel (Fernando 1992:170). Data di luar Jawa belum diketahui. Mungkin saja orang Tionghoa hanya memiliki penginapan kecil yang biasanya didatangi oleh sesama Tionghoa. Hal tersebut mungkin dapat dikaitkan dengan adanya passenstelsel dan wijkenstelsel yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda kepada orang Tionghoa sebagai Vreemde Oosterlingen - Timur Asing. Seperti yang diuraikan Skinner mengutip Wouter Brokx dalam Recht tot wonen en reizen in Nederlandsch-Indië (Skinner 1981:5)9 9
Passenstelsel yang berlaku sejak 1816 (Staatsblad van Nederlandsch Indië No. 25) adalah peraturan yang meharuskan orang Tionghoa membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Wijkenstelsel adalah pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1835 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 37 (selanjutnya Staatsblad 1866 No. 57). Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah
16
Dari daftar nama pemilik hotel yang menjadi anggota Algemeenen Bond van Hotelhouders in Nederlandsch-Indië10 hanya tercatat satu nama yaitu Mevrouw de Wed. H.T Liem-Koo yang memiliki hotel Midden-Java di Bojonegoro (Hotelblad 1938:271). Kemungkinan besar hal ini disebabkan orang Tionghoa yang memiliki penginapan belum terdaftar atau tidak menjadi anggota perhimpunan ini. Sementara itu menurut Kelling, hotel di Sumatra yaitu Medan Hotel memiliki pelayan yang sebagian besar adalah orang Tionghoa (Indische Gids 1929:755). b. Konsumsi Urusan perut tak kalah penting dengan unsur turisme lainnya. Masalah kuliner menjadi daya tarik bagi para turis yang akan mengunjungi suatu tempat.11 Kuliner Tionghoa pun menjadi daya tarik tersendiri dalam turisme masa kolonial. Hal tersebut tidak hanya terdapat dalam catatan perjalanan para turis yang pernah melihat dan mengamati atau mencobanya tetapi urusan kuliner ini juga dicantumkan dalam buku panduan turisme resmi yang diterbitkan pemerintah. Mulai dari penjaja makanan, restoran hingga pabrik, urusan kuliner Tionghoa ini menjadi daya tarik menarik bagi para turis, bahkan dijadikan salah satu dari upaya promosi. Aspek konsumsi di sini meliputi makanan dan minuman, baik yang belum diolah maupun yang sudah siap santap. Justus van Maurik menuliskan kesannya tentang penjual makanan keliling Tionghoa yang menggunakan pikulan. Makanan itu disebutnya kimlo atau sop tjina. Disajikan dengan mangkok dan sendok porselen berwarna biru, para pembelinya jongkok di sekitar penjual. Makanan lezat itu dapat dinikmati dengan beberapa sen saja (Maurik 1897:110). Berbagai makanan dan minuman juga dapat dijumpai di warung-warung kecil di pemukiman Tionghoa. Maurik menyebutkan walau warung itu kecil tapi menyediakan beraneka hidangan dan makanan seperti nasi, ikan goreng, ikan asap, dendeng, sambal,
ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal (Fernando 1992:12) 10 A.B.H.N.I. merupakan perhimpunan pemilik hotel di Hindia Belanda yang meliputi kring (daerah) Priangan, Batavia, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan buiten kring (di luar daerah) Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku (Hotelblad, Juni 1938, 271-271). A.B.H.N.I merupakan salah satu pihak yang bekerja sama dengan VTV dan memberikan sumbangan yang besar. 11 Lihat kajian Achmad Sunjayadi tentang hal ini “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda” dalam Djoko Marihandono (ed.) Titik Balik Historiografi di Indonesia (Depok: Wedatama & Dep. Sejarah FIB UI, 2008), hal. 29-41
17
kembang gula (buatan pabrik orang Tionghoa), aneka macam kue. Maurik tertarik pada beragam minuman sirup rasa buah-buahan dalam botol. Mengenai hal itu Maurik berkomentar bahwa orang Tionghoa itu sangat pandai membuat tiruan minuman Eropa (Maurik 1897:112)12 Maurik juga menceritakan tentang hidangan Tionghoa lain yang disukainya yaitu bakmi. Ia menikmati bakmi di roemah makan di Glodok. Menurutnya bakmi adalah: ‘hidangan sejenis macaroni tipis denga berbagai macam bumbu, ditambah kuah kaldu yang dicampur jamur, hati ayam, lada, irisan bawang, potongan daging babi atau paha kodok’ (Maurik 1897:114) Pengalaman kuliner yang sama juga dialami oleh prajurit yang kisahnya ditulis oleh Brousson. Ketika berjalan-jalan di daerah Senen, melewati warung-warung Tionghoa hidung mereka membaui aroma yang menerbitkan air liur. Campuran antara minyak kelapa dan lemak babi (Brousson 2007:27) Sementara itu H.W. Ponder mengamati penjual es Tionghoa yang berjualan di depan pagar sebuah sekolah. Dengan sebuah tabung hampa besar, pedagang itu membuat beraneka warna es, merah muda, kuning dan hijau yang menyerupai lilin. Es dinikmati dengan stik dari bambu dan harganya satu sen (Ponder 1990:122) Mengenai es ini tidak lepas dari peran orang Tionghoa. Pada abad ke-19 es merupakan barang langka. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es ke beberapa pelabuhan besar di Hindia. Sekitar tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia hanya minum air yang berasal dari es mencair yang didatangkan dari Boston. Akhirnya ditemukan cara pembuatan amonial di Eropa yang merupakan salah satu bahan pembuat es. Dengan segera temuan teknologi itu diimpor ke Jawa. Pada awalnya, perusahaan es adalah milik bangsa Eropa namun dengan cepat orang Tionghoa memanfaatkan temuan baru ini. Salah satu pelopornya adalah pengusaha dari Semarang, Kwa Wan Hong. Pada tahun 1895, ia mendirikan N.V.Ijs Fabriek Hoo Hien di Semarang. Lalu ia mencoba membuka pabrik limun lalu percetakan dan kembali ke usaha es tahun 1910 dengan membangun tiga pabrik di Semarang, Tegal, 12
Berdasarkan data dari “Directory of Industries in Netherlands India” mengenai perusahaan industri di Hindia Belanda yang dibuat oleh J.L. Vleming jnr (1926) ada 2 perusahaan kembang gula milik orang Tionghoa dan ada 71 pabrik limun dan sirup (termasuk air mineral) milik orang Tionghoa (Fernando 1992: 254-255)
18
dan Pekalongan. Hasilnya sangat menggembirakan hingga ia membangun dua pabrik lagi di Surabaya pada 1924 lalu 1926. Pada 1928, “raja es” ini menetap di Batavia di Rawa Bangke. Di sini ia membangun pabrik es yang diberinama N.V.Ijs Fabriek Rawa Bening (Lombard II 2000:322-323)13 Orang Tionghoa sebagai penjaja makanan dan minuman ini juga menjadi obyek dalam kartu pos yang dicetak pada masa kolonial. Misalnya gambar penjual makanan yang dibuat oleh Woodbury & Page (koleksi KITLV No.30536), penjual itu sedang berdiri bertopang dagu di atas kayu di antara dua keranjang pikulannya. Di salah satu keranjang ada penuh makanan dan sebuah botol. Kemungkinan ia adalah penjaja sejenis kue atau gorengan. Contoh lain adalah penjual daging babi di Jawa (koleksi KITLV No.85076). Dalam foto itu tampak seorang pria Tionghoa dengan thau-chang yang diikat rapi berdiri di antara dua keranjangnya. Berikutnya adalah berupa gambar cetakan (koleksi KITLV No.110974) seorang penjaja lemak babi Tionghoa sedang memikul dua keranjang. Obyek lainnya adalah warung makanan Tionghoa di depan rumah di Batavia (koleksi KILTV No.110965). Dalam foto itu menggambarkan dua pria Tionghoa yang sedang sibuk di warung mereka. Keduanya masih mengenakan thau-chang. Pria yang satu tanpa baju sedang memotong sesuatu dan yang lainnya sedang menggantungkan sesuatu. Berbagai obyek para penjaja makanan Tionghoa yang bagi para turis asing sangat eksotis itu tentu menarik minat para turis untuk dapat melihat langsung dan jika mereka berani dapat mencicipinya. Keeksotisan kuliner Tionghoa juga diungkapkan oleh J. Oliver Jz seorang pegawai Algemene Secretarie sampai jenjang commies di Batavia pada 1821. Sebagai salah seorang pegawai pemerintah ia menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke wilayah Jawa pada pertengahan tahun1830-an. Oliver mengatakan bahwa orang Tionghoa sangat menggemari daging anjing yang dinikmati sebagai lauk dengan aneka bumbu dan berbagai sayuran. Selain daging anjing Oliver juga menyebutkan hidangan ajam-arak yaitu ayam jago yang dimasak dengan arak. (Oliver 2001:179) Urusan kuliner ini rupanya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Khususnya dalam untuk promosi. Ini dapat dibuktikan dengan dicantumkannya urusan kuliner baik 13
Berdasarkan data dari “Directory of Industries in Netherlands India” mengenai perusahaan industri di Hindia Belanda yang dibuat oleh J.L. Vleming jnr (1926) ada 36 pabrik es milik orang Tionghoa (Fernando
19
dalam bentuk iklan maupun artikel di buku panduan turis yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya dalam buku panduan turisme Bandoeng: The mountain City of Netherlands India (192…) dituliskan ada sebuah restoran Tionghoa yang sangat baik di sebelah mesjid, dekat alun-alun (Reitsma 192..: 19). Demikian halnya dalam sebuah artikel di Hotelblad (1939) diceritakan meskipun para tamu yang menginap di hotel mahal tapi tetap urusan makan mereka memilih makanan yang murah namun lezat yaitu makan nasi goreng di Glodok (Hotelblad 1939: 312). Begitupula dalam majalah Tourism in the Netherlands East Indies (1938), edisi khusus Yogyakarta di bawah judul Some Interesting Facts about Jogja and its environs mencantumkan restoran Tionghoa sebagai salah satu pilihan bagi para turis. Promosi iklan restoran, toko makanan dan minuman milik orang Tionghoa juga gencar dilakukan di buku panduan resmi pemerintah dan majalah khusus. Misalnya dalam Hotelblad (1941) ada iklan restoran Tionghoa “New China” Surabaya yang baru dibuka. Restoran itu berlokasi di Palmenlaan yang dimiliki oleh T.T.T, pemilik restoran di Tanjung Perak (Hotelblad Maret 1941, 78). Berbagai iklan restoran, toko makanan dan minuman terdapat dalam Gids voor Indië (1933). Misalnya iklan “Restaurant Erotjin di Senen, Batavia-Centrum” yang menyediakan masakan Eropa dan Tionghoa (Gids 1933:42). Di lokasi yang sama (Pasar Senen, Gang Kenanga) juga ada “Toko P& D (Provisien en Dranken) Li Liong Hin” yang menyediakan minuman, mentega, keju, daging, biscuit, permen coklat dan kembang gula (Gids 1933, sisipan). Masih di wilayah yang sama Laan Dierentuin, BataviaCentrum terdapat “Toko Tjo Tiang Boo” yang menjual kudapan, minuman dan beraneka buah-buahan segar (Gids 1933:70). Di Bandung di dekat alun-alun terdapat “Indisch Restaurant” yang menyediakan masakan Tionghoa dan Eropa serta sajian khusus musik dansa setiap Sabtu malam (Gids 1933:91). Di Semarang ada “Toko P&D Hioe Foeng Tjhong” di Pasar Peterongan yang menyediakan daging segar dan kopi gilingan (Gids 1933:103), “Toko P&D Centrum milik Ong Tjin Tjoen” di Bodjong dekat Sositet Harmoni (Gids 1933:105), “Maison Delicacy” (cabang dari toko roti dan kue Nyonya Goei Sam Ho) di Doewet yang 1992:254)
20
menyediakan bermacam-macam biscuit, roti, kue, coklat, kembang gula, es krim (Gids 1933:106), “Toko P&D Tan Kong Kien” di Pekodjan (Gids 1933:109), “Restoran Kiet Wan Kie” sebuah restoran Tionghoa yang besar dan terkenal di seluruh Hindia (Gids 1933:113). Di Surabaya terdapat “Toko P&D Keng Soerabaia” di Bilitonstraat (Gids 1933:116) Berbagai iklan restoran, toko makanan dan minuman milik orang Tionghoa dalam buku panduan turisme ini pada satu sisi memperlihatkan bahwa pemerintah Hindia Belanda berupaya meyakinkan para turis bahwa kebutuhan mereka untuk makanan dan minuman selama berkunjung di Hindia dapat tercukupi. Pada sisi lain kontribusi para pemilik restoran dan toko makanan-minuman Tionghoa itu sangat besar sebagai imbalan atas dipasangnya iklan restoran dan toko mereka. c. Transportasi Dalam bidang transportasi peran orang Tionghoa sangat kecil sekali (lihat uraian sebelumnya Ragam Pekerjaan Kaum Tionghoa dan Tabel 3. Jumlah Pengusaha Transportasi Tionghoa di Hindia tahun 1930). Dalam bidang ini biasanya mereka berperan sebagai pemilik penyewaan mobil/taksi atau supir taksi, pemilik penyewaan bis. Khususnya di Medan ada persewaan riksaw, semacam becak yang ditarik oleh kuli Tionghoa dan pemilik riksawnya pun orang Tionghoa (Die 1943:142-143; Fernando 1992:207). Sementara itu dalam usaha pelayaran jumlah orang Tionghoa yang berperan sangat sedikit. Bahkan jumlah orang Tionghoa yang bekerja di perusahaan kereta api pemerintah sangat sedikit. d. promosi Aspek promosi merupakan ujung tombak dari setiap usaha. Dalam turisme kolonial peran kaum Tionghoa dalam promosi, baik sebagai pelaku maupun obyek sangatlah besar. Berikut berbagai aktivitas orang Tionghoa yang berhubungan dengan promosi. -
Juru foto/ studio foto
Salah satu bentuk promosi yang efektif adalah dengan menampilkan gambar yang akan dipromosikan. Baik orang, tempat, maupun budayanya. Dalam hal ini peran juru foto sangat penting. Hampir di seluruh Hindia tercatat banyak juru foto dan studio foto milik orang Tionghoa yang tersebar di kota-kota besar maupun kecil. Tercatat mulai dari ujung Barat pulau Sumatra hingga Makassar, tersebar studio foto dan para fotografer Tionghoa.
21
Berikut daftar studio foto milik orang Tionghoa yang tersebar di Hindia berdasarkan pulau dan nama kota sampai tahun 1940. Pulau
Kota
Jumlah
Sumatera
Lhokseumawe Langsa Kutaraja Kualasimpang [Krueng] Idi Takengon Medan Binjai Padang Palembang Pangkalanbrandan Pematang Siantar Tebingtinggi Tanjungbalai Sigli Batavia Meester Cornelis Bogor Bandung Cirebon Indramayu Garut Serang Sukabumi Tasikmalaya Cianjur Tegal Purwokerto Semarang Pekalongan Kudus Yogyakarta Magelang Surakarta Salatiga Blora Cepu Surabaya Nganjuk Madiun Malang Blitar Bojonegoro Bondowoso Jember Pasuruan Probolinggo Makassar Manado Ambon
1 1 3 2 1 1 12 1 6 2 1 5 1 5 2 21 1 3 4 4 1 1 1 7 1 1 5 1 9 2 1 11 4 4 1 1 1 10 1 3 4 2 1 1 1 1 1 5 2 3
Jawa
Sulawesi Maluku
22
Sumber: Diolah dari Groeneveld (eds.) Toekang Potret: 100 Jaar Fotografie in NederlandsIndie 1839-1939 (Amsterdam: Fragment,1989) Banyaknya studio dan juru foto Tionghoa memperlihatkan kemungkinan digunakannya karya mereka sebagai bahan promosi dalam bentuk kartu pos. Banyaknya studio foto dan juru foto Tionghoa dapat juga menunjukkan alternatif pilihan bagi para turis untuk menggunakan jasa mereka. Namun, dari sejumlah studio foto dan juru foto tersebut belum ditemukan adanya juru foto yang hasil karyanya digunakan untuk dijadikan kartu pos. Kemungkinan hanya nama-nama besar dan terkenal saja, seperti Woodburry& Page, Cephas, Kinsbergen, Kurkdjian, Nieuwenhuis, Thilly Weissenborn, yang hasil karya mereka dimanfaatkan dalam promosi turisme. Vickers (1989:102) menyebutkan pesaing dari Thilly Weissenborn, juru foto perempuan yang mendirikan Lux Photo Studio dan banyak menghasilkan foto berobyek Bali adalah studio-studio foto kecil milik orang Jepang dan Tionghoa di Singaraja dan Denpasar. - Percetakan kartu pos Foto-foto yang dihasilkan oleh para juru foto professional dipilih dan digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk mempromosikan turisme.14 Bonnef dan Grant (1994:56) menyebutkan ada beberapa percetakan besar yang ikut andil mencetak kartu pos ini, baik dalam satu seri maupun lepas. Percetakan milik orang Tionghoa yang tercatat adalah Liem Sioe Yaam di Fort de Kock-Bukit Tinggi dengan 32 gambar dan Tio Tek Hong sebanyak 72 gambar. Foto-foto yang digunakan dalam kartu pos itu memang reproduksi hasil karya para juru foto terkenal, seperti Woodburry& Page di Batavia dan Cephas Yogyakarta. Selain Tio Tek Hong dan Liem Sioe Yaam, tercatat percetakan lainnya seperti Tan Bie Je di Yogyakarta, Tjan Djoe Sien di Padang, Loa Po Seng di Weltevreden dan Meester Cornelis, Kwee Tjoon Ho di Ambarawa dan Liem Ka Soet di Gorontalo (Haks dan Wachlin 2004). Khusus untuk percetakan Tio Tek Hong, pada awal abad kedua puluh menjadi percetakan kartu pos terkemuka. Mereka mengeluarkan seri kartu pos 14
Pada tahun 1930-an Pemerintah Hindia-Belanda telah menyeleksi sekitar 12.000 lembar foto yang akan disajikan dalam buku panduan wisata serta kartu pos untuk dikirim ke 30 pusat turisme di seluruh dunia. Lihat artikel Achmad Sunjayadi “Mengabadikan estetika, fotografi dalam promosi pariwisata kolonial di Hindia Belanda” Wacana, Vol 10. No.2 Oktober 2008, hal.301-316
23
Batavia dan Buitenzorg yang dijual mulai 5 sen sampai 75 sen (Haks dan Wachlin 2004:24) Berbagai obyek ditampilkan dalam kartu pos tersebut. Mulai dari berbagai profil penduduk pribumi beserta aktivitasnya, berbagai bentuk rumah dan tempat ibadah, aneka tumbuhan, upacara adat dan budaya (Haks dan Wachlin 2004) - Buku panduan turisme dan roman tentang etnografi Nusantara Ada hal yang menarik sehubungan dengan buku panduan turisme ini. Adalah Soe Lie Piet seorang Tionghoa dari Jawa yang menulis sebuah buku panduan turisme berbahasa Melayu untuk para turis Nusantara pada tahun 1930-an. Buku yang berjudul Pengoendjoekan Poelo Bali Atawa Gids Bali (193..) berisi data-data tentang Pulau Bali dan penduduknya. Sebagian besar isi buku itu diambil dari buku-buku pedoman turisme karya penulis Belanda (Picard 2006:32-33). Menurut Salmon, kemungkinan buku panduan itu merupakan panduan turisme pertama dalam bahasa Melayu yang terbit bersamaan dengan novel Lejak (Salmon 1999:376) Selain menulis buku panduan turisme, Soe Lie Piet juga menulis sebuah roman (1935) berlatar Bali dengan judul Lejak (Salmon 1996:168). Soe Lie Piet menetap di Bali selama setahun, sepertinya untuk pekerjaannya. Waktu setahun rasanya cukup baginya untuk mengenal kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Roman ini bercerita tentang Bali di masa lampau (tidak dijelaskan kapan tepatnya) tentang dendam, ilmu hitam (santet). Sebagai tokoh pahlawan adalah seorang Tionghoa beragama Tao yang tinggal di sebuah kuil di Kuta (Salmon 1999:370-371) Selain Soe Lie Piet ada pula penulis-penulis Tionghoa lain yang menulis roman tentang etnik lain di Nusantara. Sepertinya yang pertama kali tertarik untuk menggali kisah etnik masyarakat lain adalah Liem Khing Hoo, khususnya masyarakat terasing di Jawa dan Bali. Pada bulan Oktober 1929, dalam majalah Liberty terbit cerita pendek berjudul “Anjasari” dengan latar belakang masyarakat Tengger. Pada tahun yang sama di bulan Desember muncul cerita pendek lainnya berjudul “Gandroeng”. Cerita pendek ini tentang penari-penari dari daerah Banyuwangi dan Bali. Selanjutnya pada bulan Mei 1932, Liem mempublikasikan cerita pendek “Oedjoeng” yang menceritakan permainan ritual ujung, ritual masyarakat Tengger pada waktu tertentu. Pada tahun yang sama di bulan Juli, muncul cerita pendek “Dewa Poetih” yang berlatar belakang pegunungan
24
Rangkasbitung, Jawa Barat tempat tinggal suku Baduy (Salmon 1999:366-367) Pada bulan Desember 1934, Liem Khing Hoo menulis sebuah roman berlatar belakang Bali dengan judul Brangti yang juga merupakan tokoh utama. Pada bulan Maret 1936, Liem mempublikasikan roman Gowok. Roman ini mendapatkan banyak tanggapan dari pers karena menceritakan kebiasaan lama di Jawa yaitu perempuan yang mendapat tugas untuk ‘menguji’ seorang pria yang akan menikah (Salmon 1999:369) Penulis Tionghoa lain yang juga menulis tentang etnik di Nusantara adalah Njoo Cheong Seng. Ia adalah seorang penulis yang sangat produktif. Pada bulan April 1935 ia menerbitkan roman berlatar belakang Irian berjudul Tjinggalabi Aoeah, Papoeasche Zeden Romans (Kembalilah Tjinggalabi! Sebuah roman tentang adat istiadat Irian). Cerita ini konon pernah dipentaskan oleh rombongan Dja’s Dardenella dengan judul Afgoed van Papoea – Berhala dari Papua (Salmon 1999:371). Roman-roman Liem Khing Hoo, Soe Lie Piet dan Njoo Cheong Seng ini diterbitkan dalam majalah Tjerita Roman yang sejak tahun 1935 dipimpin oleh Liem Khing Hoo. Ketika Lejak terbit pada 1935, majalah ini bertujuan membuat para pembacanya mengenal keanekaragaman budaya Nusantara dengan menerbitkan romanroman berlatar belakang masyarakat di luar masyarakat Jawa sehingga pembaca mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang negeri mereka. Selain masyarakat ‘terasing’ terdapat pula cerita masyarakat yang dianggap ‘beradab’ misalnya karya Njoo Cheong Seng sebagai kenang-kenangan ketika berkunjung ke Medan dan Aceh yaitu Bertjerai Kasih (1931) yang berlatar belakang Kesultanan Deli, Balas Membalas (1931) yang berlatar belakang masyarakat Aceh pada akhir abad kesembilan belas, dan karya N.N Lambat-Laoen Tentoe Mendjadi (1935), suatu kisah asmara di Bukittinggi (Salmon 1996:158-163) Roman-roman yang diterbitkan pada masa ini jelas membuat para pembaca merasa ikut ‘bepergian’ sambil tetap duduk di bangkunya. Tanpa harus meninggalkan rumah atau menjelajah ke belantara Papua misalnya. Mereka cukup membaca roman Njoo Cheong Seng seperti yang diungkapkannya dalam catatan di Lejak (hlm 20)“Tiada oesah bersiar sendiri”. Seperti yang ditulis oleh Claudine Salmon, mungkin ini juga salah satu cara untuk memuaskan hasrat masyarakat kota kecil perkotaan yang ingin bepergian tetapi tidak mempunyai biaya (Salmon 1999:376)
25
Apabila dilihat dari bahasa yang digunakan (bahasa Melayu), roman dan buku panduan turisme tersebut ditujukan untuk masyarakat pribumi yang mampu membaca. Memang kemampuan untuk berwisata dari masyarakat pribumi masih rendah, kecuali kalangan tertentu. Namun, roman dan buku panduan turisme ini dapat dikategorikan sebagai alat promosi turisme kolonial di Hindia-Belanda.
e. Pemandu Turis Pemandu turis merupakan salah satu unsur penting dalam turisme, terutama jika para turis ingin mengetahui lebih jauh tentang obyek yang dilihat dan dikunjungi olehnya. Peran pemandu turis dari kalangan Tionghoa tidak dapat dikatakan kecil. Misalnya di Bali yang sejak tahun 1920-an menjadi daerah tujuan turisme selain Jawa, para pemandu turis kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Bali. Mereka paham bahasa Bali sekaligus Inggris (22ste Jaarverslag VTV 1929:5) Jasa pemandu turis Tionghoa di Bali juga disebutkan oleh A. Mörzer Bryuns seorang pegawai turisme KPM di Bali (1931). Di Singaraja, para turis dapat menggunakan jasa para pemandu turis Tionghoa yang mampu berbahasa Bali dan Inggris denga tarif yang tidak terlalu mahal (Hamilton 1931: 68)
f. Atraksi hiburan Pada tahun 1895, seorang pengusaha Tionghoa, Gan Kam menghidupkan kembali wayang wong gaya Istana Mangkunagaran dengan menggubahnya untuk atraksi hiburan (San 2008:9) 15 Gan Kam, pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang leluhurnya seorang perempuan Jawa serta mempunyai hubungan dengan keraton Mangkunegara. Kondisi keuangan keraton yang tidak memungkinkan mempertunjukkan wayang orang membuat Gan Kam berhasil merayu Mangkunagara V untuk memboyong wayang orang dipentaskan di luar tembok istana. Istilahnya menjadi wayang orang panggung. Tujuannya selain untuk dipasarkan adalah supaya dapat dinikmati oleh orang kebanyakan 15
Lihat R.M.Soedarsono Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997), hlm.92; R.M. Soedarsono Seni pertunjukan dan perspektif politik, sosial, dan ekonomi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003), James R. Brandon Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara (Bandung: P4ST Universitas Pendidikan Indonesia, 2003), hlm.71; Hersapandi Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana menjadi Seni Komersial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999).
26
dan penduduk kota. 16 Gan Kam membentuk rombongan wayang orang komersil pertama yang sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang wong Mangkunagara yang diberhentikan. Atas izin Mangkunagara V, Gan Kam mengemas pertunjukan wayang orang dalam durasi yang agak pendek, lebih mementingkan dialog dibandingkan tarian dan pemainnya ada pemain perempuan. Sebelumnya semua pemain adalah pria. Langkah Gan Kam ini kemudian diikuti oleh orang-orang Tionghoa lainnya, antara lain Lie Sien Kuan, W.D. Lie, Yap Kam Lok, Lo Tik Wan, Lo Tong Sing, dan Tan Tjek Lee yang merekrut para penari, dalang dan pengrawit untuk mendukung usaha entertainment wayang orang yang dipimpinnya. Dapat dibayangkan bahwa pada awal abad ke-20, di kota Surakarta dan sekitarnya semarak dengan pertunjukan wayang orang panggung yang digerakkan oleh orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1930-an, pertunjukan wayang orang menjadi terkenal dan disukai siapa pun yang menonton, termasuk orang Tionghoa. Tidak mustahil di antara penonton juga terdapat para turis asing. Seperti pengalaman Raja Siam, Raja Chulalongkorn yang berkunjung ke Jawa pada 1896. Ketika berada di Magelang, raja dijamu pertunjukan wayang orang (Jawa) oleh seorang Tionghoa Magelang (Pattajoti-Suharto 2001:61-80)
4. Kesimpulan Dalam turisme kolonial, orang Tionghoa tidak hanya berperan dalam bidang ekonomi. Mereka juga berperan dalam bidang budaya. Meskipun dalam bidang ekonomi dapat dikatakan mereka melakukan apa yang telah lama mereka lakukan. Misalnya pengusaha transportasi, pengusaha pabrik, pemilik penginapan, toko dan restoran. Ada pula yang menjadi pemandu turis dan pelayan hotel. Namun, ada pula bidang lain, seperti budaya di mana mereka ikut aktif dan menjadi salah satu perintisnya. Misalnya yang dilakukan oleh Gan Kam perintis wayang orang panggung di Surakarta dan beberapa penulis roman etnografi Nusantara. Dalam hal ini orang Tionghoa menjadi subyek turisme kolonial. Peranan orang Tionghoa dalam bidang ekonomi juga dijadikan obyek turisme kolonial. Aktivitas mereka, misalnya sebagai pedagang keliling dan pemilik toko serta
16
Lihat Rustopo Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998 (Yogyakarta: Ombak, 2007).
27
kekayaan kuliner mereka dijadikan obyek untuk kartu pos yang merupakan salah satu sarana promosi turisme kolonial.
Demikian pula dengan pemukiman serta budaya
mereka. Keeksotisan inilah yang dijual pada turis asing sehingga mereka tertarik untuk datang berkunjung ke Hindia. Dari data yang dianalisa, alasan orang Tionghoa ikut berperan dalam turisme kolonial, misalnya dari iklan-iklan yang mereka pasang di buku panduan turisme resmi dari pemerintah adalah jelas alasan ekonomi. Di samping itu upaya mereka sejalan dengan tujuan pemerintah Hindia-Belanda untuk membuat para calon turis akan merasa nyaman dan tidak ragu untuk berkunjung dengan menyediakan beragam makanan dan minuman seperti di negara asal para turis. Terlepas dari alasan ekonomi, tujuan penerbitan roman-roman yang berlatarbelakang etnografis Nusantara untuk memperkenalkan budaya masyarakat di Nusantara dapat dikatakan baik. Penerbitan ini secara tidak langsung ikut mempromosikan turisme kolonial, meskipun bukan untuk turis asing. Pengaruh peranan kaum Tionghoa sebagai minoritas perantara terhadap perkembangan turisme kolonial dapat dikatakan adalah secara langsung dan tidak langsung. Namun, indikator mengenai pengaruh ini perlu diteliti lebih lanjut.
Daftar Pustaka Boomgaard, Peter (red). 2001. Het Indië Boek. Zwolle: Waanders uitgever. Bonnef, Marcell dan Stephen Grant. 1994. “Bonser baiser de Batavia: Cartes postales des Indes Nééerlandaises”, Archipel 47:53-85. Brousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia awal abad 20: gedenkschriften van een oudkoloniaal. Diterjemahkan oleh Achmad Sunjayadi. Depok: Masup Jakarta. (cetakan pertama 2004, Jakarta: Komunitas Bambu). Blusse, Leonard. 1986. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Woman and the Dutch in VOC Batavia. Dordrecht: Foris Publication. Carey, Peter. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825. Depok: Komunitas Bambu. Die, Ong Eng. 1943. Chineezen in Nederlandsch-Indië: Sociografie van een Indonesische Bevolkingsgroep. Assen: Van Gorcum.
28
Faber, Paul et al. (red.). 1988. Toekang Potret: 100 jaar fotografie in Nederlands-Indie 1839-1939. Amsterdam: Fragment. Gedenkboek voor Nederlandsch-Indië ter gelegenheid van het regeeringsjubileum van H.M. De Koningin 1898-1923. Batavia: G. Kolff & Co. 1923 Gids voor Indië: handleiding en hotel, pension, toko en dienstgids voor newcomers en toeristen in Nederland-Indië. Batavia: Vereenigde Uitgevers-Bedrijven. 1933 Guillot,Claude. 2008. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII. Jakarta: KPG Haks, Leo dan Steven Wachlin. 2004. Indonesia: 500 early postcard. Singapore: Archipelago Press. Hamilton, A.H. 1931. Bali. Batavia: De Officieele Vereeniging voor Toeristenverkeer in Nederlandsch-Indië. Handboek of The Netherlands East-Indies. 1930. Buitenzorg: Departement of Agriculture, Industry and Commerce. Hotelblad Januari 1938, Februari 1941. Indische Gids: Staatkundig, Economisch en Letterkundig Tijdschrift. Amsterdam: NV. Drukkerij en uitgeverij J.H. De Bussy. 1929 Jaarverslag Vereeniging Toeristenverkeer No.1 (1909). Weltevreden: G. Kolff & Co. Jaarverslag Vereeniging Toeristenverkeer No.22 (1929). Weltevreden: G. Kolff & Co Joe, Liem Thian. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana. (cetakan pertama Semarang-Batavia: Boekhandel Ho Kim Joe 1931) Kwartanada, Didi. 2004. “Tionghoa dalam dinamika sejarah Indonesia modern: Refleksi seorang sejarawan peranakan”. Makalah tidak diterbitkan. ______________. 2008. “Perang Jawa (1825-1830) dan implikasinya pada hubungan Cina-Jawa”. Kata pengantar di dalam Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825. Depok: Komunitas Bambu. Lohanda, Mona. 1996. The Kapitan Cina of Batavia 1837-1943: A History of Chinese Establishment in Colonial Society . Jakarta: Djambatan. Lombard, Denys.2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian II. Jaringan Asia. Penerjemah Winarsih Arifin dkk. Jakarta: Gramedia.
29
Maurik, Justus van. 1897. Indrukken van een totok. Amsterdam: van Holkema & Warendorf. Mill, Robert Christie.1990. Tourism: The International Business. Singapore: PrenticeHall. Olivier Jz, J. 2001. Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost Indië. Leiden:KITLV [cetakan pertama 1836, 1838] Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG Ponder, H.W. 1989. Java Pageant. Impressions of the 1930s. Singapura: Oxford University Press. __________ . 1990. Javanese Panorama. More impressions of the 1930s. Singapura: Oxford University Press. Poortenaar, Jan. 1989. An Artist in Java and Other Island of Indonesia. Singapura: Oxford University Press. Raffles, T.S. 1817. The history of Java. London: Murray. 2 jilid. Reitsma, S.A. 1930. Van Stockum’s Travellers’ Handboek for The Dutch East Indies. The Hague: Van Stockum. Rush, James. R. 2000. Opium to Java; Jawa dalam cengkeraman banda-bandar opium Cina, Indonesia kolonial 1860-1910. Diterjemahkan oleh E. Setiyawati Alkhatab. Yogyakarta: Matabangsa. San, Go Tik. 2008. Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, seperti yang dituturkan kepada Rustopo. Yogyakarta: Ombak & Yayasan Nabil. Salmon, Claudine.1996. “Masyarakat pribumi Indonesia di mata penulis keturunan Tionghoa (1920-1941)” di dalam Leo Suryadinata (red), Sastra Peranakan Tionghoa di Indonesia, hlm.131-179. Jakarta: Gramedia. ______________. 1999. “Fiksi Etnografis dalam kesusastraan Melayu Peranakan” di dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (red), Panggung Sejarah, persembahan Prof. Denys Lombard.hlm. 365-381. Jakarta: YOI Scidmore, Eliza.R. 1984. Java: the garden of the East. Singapora/Oxford: Oxford University Press.
30
Skinner, William. G. 1981. “Golongan minoritas Tionghoa” di dalam Mely G. Tan (red), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, hlm. 1-29. Jakarta: Yayasan Obor Sunjayadi, Achmad. 2006. “Perhimpunan Turisme Batavia (1908-1942): Awal Turisme Modern di Jawa”. Tesis S2, Program Pascasarjana Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. _______________. 2007. Vereeniging Toeristenverkeer Batavia (1908-1942) : Awal Turisme Modern di Hindia Belanda. Depok: FIB UI _______________. 2008. “Kuliner dalam pariwisata kolonial di Hindia-Belanda” di dalam Djoko Marihandono (red.), Titik Balik Historiografi di Indonesia, hlm. 2941. Depok: Wedatama & Dept. Sejarah FIB UI. _______________. 2008. “Mengabadikan estetika: Fotografi dalam promosi pariwisata Kolonial di Hindia-Belanda”. Wacana Vol 10 No.2, hlm. 301-316. Tantri, K’ tut. 2005. Revolusi di Nusa Damai. Jakarta: Gramedia. Vickers, Adrian. 1989. Bali a Paradise Created. Singapara: Periplus Editions. Vleeming jnr, J.L. 1992. “The Chinese business community today in the various parts of Netherlands-India” di dalam M.R. Fernando dan David Bulbeck (red), Chinese economic activity in Netherlands-India: Selected Translations from the Dutch. H hlm. 167-259. Singapore: ISEAS Wit, Augusta de. 1987. Java Facts and Fancies. Cetakan pertama 1912. Singapura: Oxford University Press.
31