eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 195-208 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PERAN WORLD WIDE FUND FOR NATURE ( WWF ) DALAM KONSERVASI GAJAH SUMATERA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, RIAU SYARIFATUL ZANNAH1 NIM. 0802045173
Abstract: WWF as international organizations enganged in the protection or conservation of biodiversity and natural resources in implementing its work program Tesso Nilo National Park are concerned with environmental issues, especially the extinction of elephants. Based on this situation, WWF Indonesia - Riau Elephant Conservation make elephant rescue strategy in Tesso Nilo National Park. Tesso Nilo is a 86,932 hectare Nation Park reserve for Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus Temminck) natural habitat. In addition to wild elephants, the area is also the place for elephants from the Elephant Training Center. In general, the population of the Sumatran elephants have been decreasing annually due to less habitat for them as the change in land use for settlements and non forestry developments continue. Habitat factor is one of the most important aspects in Nation Park management. Therefore, a good strategy pof Sumatran elephant conservation at the Tesso Nilo Nation Park Reserve according to the habitat carrying capacity is necessary. Keywords: WWF, Elephant Conservation, Teso Nilo Nation Park Pendahuluan Wilayah Sumatera merupakan kepulauan terbesar keenam di dunia, berisi hutan hujan dataran rendah tropis dengan biodiversitas sangat tinggi. Hutan hujan tropis di Sumatera telah rusak sejak beberapa dekade yang lalu sebagai akibat dari kegiatan ekploitasi dan konversi secara besar-besaran untuk pertanian, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri serta kebakaran hutan. Kondisi ini juga dipercepat secara mengkhawatirkan karena meningkatnya pasar global untuk segala rupa komoditi, pertambahan populasi manusia yang cepat di Indonesia dan perubahan politik lokal. Sehingga berimplikasi hilangnya habitat satwa untuk mamalia besar. Salah satunya ialah hewan Endemik Sumatera yaitu gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman. Email :
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
Sejak tahun 1985 hingga tahun 2005 tutupan hutan alam di Riau telah berkurang dari 6.415.655 ha menjadi 2.743.198 ha atau berkurang sebanyak 57,2 %, di tahun 2006 tutupan hutan di Riau diperkirakan sebanyak 22% dan saat ini tersisa hanya 42,8%). Perubahan fungsi hutan alam menjadi penggunaan lain di satu sisi meningkatkan ekonomi secara makro, namun juga menimbulkan berbagai permasalahan. Berbagai peristiwa bencana alam juga meningkat. Nilai kerugian yang timbul, mungkin tidak lebih besar dibandingkan hasil yang didapatkan secara ekonomi, seperti banjir, kebakaran lahan/hutan, konflik lahan diantara masyarakat, atau konflik dengan satwa liar terutama gajah serta lainnya.(Dishut Provinsi Riau:2006:40) Akibat tutupan hutan tersebut, memberikan ancaman yang besar bagi habitat dan populasi gajah Sumatera. Menurut laporan Departemen Kehutanan tahun 2007 menyebutkan 65 % populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia. Sekitar 30 % pembunuhan dilakukan dengan racun.( http://lipsus.kompas.com) Gajah Sumatera merupakan sub spesies dari gajah asia Penyebaran gajah asia di Indonesia terdapat di kepulauan sumatera dan Kalimantan bagian timur. Berdasarkan ordonansi perlindungan binatang liar nomor 134 dan 226 Tahun 1951 gajah merupakan satwa liar yang dikhawatirkan akan punah sehingga secara resmi telah dilindungi sejak 1951. Kemudian diperkuat dengan SK Menteri Pertanian RI Nomor 234/Kpts/Um/1972. Berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta menurut Peraturan Perundangan RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa gajah merupakan satwa langka. Dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), dengan upaya pengawasan perdagangan satwa lintas negara, maka semua jenis gajah termasuk dalam daftar Appendix 1. (http://alamendah.org) Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka pelestarian satwa langka, khususnya gajah Sumatera, melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera 2007-2017. Dan juga Pembangunan infrastruktur Pusat Konservasi Gajah di Taman Nasional Tesso Nillo didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. P.54/Menhut-II/2006 tentang penetapan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus temminck). Diantara Organisasi internasional yang memusatkan perhatian terhadap masalah lingkungan dan konservasi global mandiri adalah World Wide Fund For Nature (WWF) didirikan tahun 1961 di Gland swiss, dengan hamper 5 juta supporter dan memiliki jaringan aktif di lebih dari 100 negara dan mulai bekerja di Indonesia sejak awal 1960-an sebagai Country Program dari WWF Internasional yang bemitra dengan Departemen Kehutanan, untuk upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam Indonesia. Kerjasama WWFIndonesia Program Tesso Nilo di Riau diluncurkan pada tahun 2004 untuk
196
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
memonitor keberadaan dan status hutan bernilai konservasi tinggi di provinsi Riau. WWF-Program Tesso Nilo berjuang untuk melestarikan Hutan Tesso Nilo dan menjadikannya sebagai contoh bentang alam hutan dataran rendah Sumatera yang luas dan merupakan salah satu dari 200 Ecoregion WWF Global. Visi WWF di Tesso Nilo adalah untuk menghubungkan hutan-hutan yang terdapat di antara kelima kawasan lindung di Tesso Nilo – Bukit Tiga puluh (TNBT) Landscape ( termasuk Kawasan Konservasi Tesso Nilo yang sedang diusulkan ) untuk menyedikan habitat yang layak bagi gajah sehingga menjadikan area tersebut menjadi kawasan yang aman bagi spesies-spesies lain yang langka dan terancam punah. (http://www.wwf.or.id) Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah secara nasional sudah tersedia, tentu hal ini perlu dijabarkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah dan diterapkan sedemikian rupa, suksesnya kerjasama antar pemerhati gajah, penguatan penegakan hukum yang berkaitan dengan perdagangan illegal gading gajah, serta hasil lokakarya yang menjanjikan yang telah diadakan WWF Indonesia dengan menggalang aksi nasional untuk mendukung perlindungan gajah dan Mengimplementasi dari strategi dan rencana ini akan menjadi solusi terhadap permasalahan konflik manusia-gajah khususnya di Riau. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan peran WWF dalam konservasi gajah umatera di Taman Nasional Tesso Nilo. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dan teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui library research yaitu berdasarkan dari buku dan media internet. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan metode content analysis. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan metode analisis dan kajian sejarah yaitu menjelaskan dan menggambarkan data bedasarkan sumber-sumber tertulis yang ada. Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini yaitu Gajah Sumatera dan Peran Organisasi Internaional WWF dalam konservasi gajah Sumatera Landasan Teori dan Konseptual 1. Konsep Non Governmental Organization (NGO) Defenisi “internasional NGO” (INGO) pertama kali diberikan dalam resolusi 288 (X) ECOSOC pada 27 Pebruari 1950: “setiap organisasi internasional yang tidak didirikan atas dasar sebuah perjanjian internasional.” Wold Bank, medefenisikan NGO sebagai “organisasi swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan penderitaan, mengentaskan kemiskinan, memelihara lingkungan hidup, menyediakan layanan sosial dasar atau melakukan kegiatan pengembangan masyarakat”. Dalam sebuah dokumen penting Wold Bank, Working With NGOs, disebutkan, “dalam konteks yang lebih luas, istilah NGO dapat diartikan sebagai semua organisasi nirlaba (non-profit organization) yang tidak terkait dengan pemerintah.(Niniek Suparni, 1994:17)
197
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
Dari sekian banyak peran dimainkan oleh NGOs, 6 hal berikut ini merupakan yang penting : a) Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur Non Government Organization sebagai mediasi atas aspirasi masyarakat akan terlaksananya suatu proyek untuk membuat suatu wilayah tersebut maju dalam hal ekonomi. Seperti halnya, membangun perumahan, membangun jalan raya, menyediakan infrastruktur seperti sumur atau toilet umum, penampungan limbah padat dan usaha berbasis masyarakat lain. b) Mendukung inovasi, ujicoba dan proyek percontohan Non Government Organization memiliki kelebihan dalam perancangan dan pelaksanaan proyek yang inovatif dan secara khusus menyebutkan jangka waktu mereka akan mendukung proyek tersebut. NGO dapat juga mengerjakan percontohan untuk proyek besar pemerintah karena adanya kemampuan bertindak yang lebih cepat dibandingkan dengan pemerintah dengan birokrasinya yang rumit. c) Memfasilitasi Komunikasi Non Government Organization dapat memfasilitasi komunikasi ke atas, dari masyarakat kepada pemerintah, dan kebawah, dari pemerintah kepada masyarakat. Komunikasi ke atas mencakup pemberian informasi kepada pemerintah tentang apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh masyarakat, sedangkan komunikasi ke bawah mencakup pemberian informasi kepada masyarakat tentang apa yang direncanakan dan dikerjakan oleh pemerintah. NGO juga dapat memberikan informasi secara horizontal dan membentuk jejaring (networking) dengan organisasi yang melakukan pekerjaan yang sama. d) Bantuan Teknis dan Pelatihan Institusi pelatihan dan NGO dapat merancang dan memberikan suatu pelatihan dan bantuan teknis untuk organisasi berbasis masyarakat dan pemerintah. Seperti halnya, suatu organisasi internasional memberikan sebuah pelatihan di suatu wilayah dalam rangka pelatihan sewaktu terjadinya gempa bumi, langkah-langkah yang harus diambil untuk keselamatan jiwa. e) Penelitian, Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi yang efektif terhadap sifat partisipatif suatu proyek akan memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat dan staf proyek itu sendiri. Seperti halnya, organisasi lingkungan yang melakukan monitoring dalam suatu permasalahan tersebut, kemudian dilakukanlah penelitian tersebut. Evaluasi untuk melihat perusahaan atau masyarakat kah yang melakukan pencemaran tersebut dan didalam pencemaran tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya atau tidak bagi masyarakat atau bagi yang mengkonsumsinya. f) Advokasi untuk dan dengan Masyarakat Miskin Non Government Organization menjadi juru bicara dan perwakilan orang miskin dan mencoba untuk mempengaruhi kebijakan dan program pemerintah. Ini dapat dilakukan melalui berbagai cara mulai dari unjuk rasa, proyek percontohan, keikutsertaan dalam forum publik untuk memformulasi kebijakan dan rencana pemerintah, hingga mengumumkan hasil penelitian dan studi kasus terhadap orang miskin. Jadi, NGO memainkan peran mulai dari advokasi kepada orang
198
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
miskin hingga implementasi program pemerintah; dari penghasut (pembuat opini) dan pengkritik hingga rekan kerja dan penasehat; dari sponsor proyek percontohan hingga mediator. Tujuan utamanya adalah perancangan dan implementasi proyek pengembangan. Kelompok ini menggerakkan sumber daya dalam bentuk keuangan, material atau tenaga relawan, untuk menjalankan proyek dan program mereka. Proses ini umumnya membutuhkan organisasi yang kompleks. NGO operasional ini masih dapat dibagi atas 3 kelompok besar 1. Organisasi berbasis masyarakat – yang melayani suatu populasi khusus dalam suatu daerah geografis yang sempit. 2. Organisasi Nasional – yang beroperasi dalam sebuah negara yang sedang berkembang. 3. Organisasi Internasional – yang pada dasarnya berkantor pusat di negara maju dan menjalankan operasi di lebih dari suatu negara berkembang. Dari definisi di atas WWF termasuk katagori INGO’s (International Non Governmental Organization) dan merupakan organisasi internasional yang bergelut di bidang low politics yakni pada isu lingkungan hidup. Aktivitasaktivitas yang dijalankan oleh organisasi low politic adalah juga yang merupakan aktivitas yang bersifat fungsional. Organisasi Fungsional adalah suatu organisasi yang didalamnya tidak terlalu menekankan pada hirarki struktural, akan tetapi lebih banyak berdasarkan kepada sifat dan macam fungsi yang dijalankannya. (Sondang P. Siagian, 1986:125) 2. Konsep Konservasi Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.(KEHATI, 2000:08) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya. (Departemen Pendidikan Nasional, 2005:589) Pengertian ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1 Nomor 5 Tahun 1990 yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. (Dephut, 2000:21) Pada dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan maka dengan
199
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
sendiri akan terwujud kelestarian. Konservasi dapat diwujudkan dengan melalui : (KEHATI) a. Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak. b. Terhindarnya bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguangangguan terhadap flora fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut. c. Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguangangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali. d. Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan lingkungannya. e. Mampu memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana pengawetan dan pelestarian flora fauna merupakan penunjang budidaya, sarana untuk mempelajari flora fauna yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun penggunaannya. f. Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai saran rekreasi atau wisata alam. Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batasbatas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu. a) Konservasi insitu (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi insitu dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. b) Konservasi eksitu (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpualn jenis, pemeliharaaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi eksitu dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman burung. Cara eksitu merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. c) Regulasi dan penegakan hukum adalah upaya-upaya mengatur pemanfaatan flora dan fauna secara bertanggung jawab. Kegiatan kongkritnya berupa pengawasan lalu lintas flora dan fauna, penetapan quota dan penegakan hukum serta pembuatan peraturan dan pembuatan undang-undang di bidang konservasi.
200
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
d) Peningkatan peran serta masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan. Dalam hubungan ini dikenal adanya kelompok pecinta alam, kader konservasi, kelompok pelestari sumber daya alam, LSM dan lain lainnya. (Sukamade. 1997:49) Hasil Penelitian Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan hutan dataran rendah yang dibebani oleh IUPHHK-HA PT Nanjak Makmur seluas ± 44.978 hektar. Sedangkan luas kawasan yang diarahkan untuk dikaji dalam rangka memberikan masukan terhadap penerapan tata ruang hutan alam yang terintegrasi dengan kepentingan TN Tesso Nilo adalah kawasan yang dibebani IUPHHK-HA PT Inhutani IV seluas ± 57.873 hektar. Areal ini walaupun dulunya merupakan areal kerja IUPHHK-HA tetapi pada kenyataannya tidak seluruhnya berupa hutan. Berbagai penggunaan lahan (landuse) telah terjadi di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut. Letak dari TNTN ini dikelilingi oleh vegetasi hutan alam, hutan akasia, pemukiman dan perkebunan kelapa sawit. Berbagai macam kegiatan yang dilakukan manusia yang berdekatan dengan TNTN mengakibatkan terjadinya perubahan pada komponen ekosistem baik komponen biotik maupun komponen abiotik. Salah satunya adalah perkebunan kelapa sawit. Adanya kegiatan perkebunan dapat memberikan pengaruh terhadap keberadaan satwa liar di kawasan tersebut khusunya satwa gajah. Habitat gajah di kawasan TNTN telah terfragmentasi menjadi habitat-habitat kecil dan sempit, antara satu habitat dengan yang lainnya tidak berhubungan, menyebabkan daerah home range semakin sempit. Hal ini membuat kecenderungan gajah akan keluar dari habitat alaminya untuk mencari pakan. Persaingan antara manusia dan gajah di dalam memanfaatkan ruang dan makanan tidak terelakan, sehingga sering menimbulkan konflik gajah-manusia sehingga dapat mempercepat proses penurunan populasi gajah. Pada tahun 1985 ditetapkan kebijakan pengelolaan gajah Sumatera dengan membangun PLG (Pusat Latihan Gajah) yang pertama kali didirikan di Taman Nasional Way Kambas dan berubah nama menjasi PKG (Pusat Konservasi Gajah) oleh Kepala Balai Konservasi Sumaber Daya Alam II Tanjung Karang. Namun kondisi PKG masih sangat membebani pemerintah karena operasional PKG membutuhkan anggaran cukup besar. Pada tahun 2006, Budget untuk PKG diseluruh Sumatera sebesar Rp. 2,1 milyar per tahun, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 7,8 milyar. (http://lingkarhayati.wordpress.com) Organisasi Internasional yang memusatkan dirinya kepada masalah lingkungan adalah organisasi WWF (World Wide Fund for Nature) yang didirikan pada tahun 1961 kemudian berupah menjadi WWF-Indonesia pada tahun 1998 dengan status yayasan. Wilayah kerja WWF kemudian tersebar di 17 provinsi, salah satunya
201
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
yaitu Provinsi Riau yang memiliki bentang alam hutan dataran rendah yang sangat luas dengan tugas memonitor keberadaan dan status hutan bernilai konservasi tinggi. WWF berusaha mencegah pembunuhan harimau dan gajah dengan cara mengurangi perdagangan bagian tubuh satwa dilindungi dan memperkecil konflik manusia dan satwa liar. WWF Indonesia – Riau Elephant Conservation (WWFID-REC) di Riau, membuat strategi penyelamatan gajah ke depan. Strategi ini adalah segala tindakan yang dilakukan untuk membuat gajah aman hidup di habitatnya. Ruang lingkupnya mulai dari Pengelolaan habitat gajah, Pengurangan konflik gajah dan manusia serta aksi untuk penangan insiden-insiden yang mencelakai gajah di habitatnya, Pengelolaan pusat konservasi gajah. Strategi ini merupakan satu rangkaian kegiatan yang saling terkait serta saling mendukung. (http://www.wwf.or.id) Peran WWF dalam pembentukkan kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo, diawali dengan melakukan kerjasama bersama stakeholder diantaranya BKSDA provinsi Riau, Pemda Provinsi Riau dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Pemda Kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten provinsi Riau, masyarakat setempat dan berbagai perusahaan yang beroperasi di daerah terkait. Setidaknya terdapat peran penting yang dilakukan WWF yaitu : a. Advokasi Upaya advokasi WWF sebagai sarana perundingan untuk menghasilkan keputusan bersama dalam pengelolaan habitat gajah di TNTN dengan pemerintah kabupaten Riau dan lembaga terkait menghasilkan beberapa program kegiatan dan kebijakan pemerintah yaitu : 1. Dideklarasikannya Taman Nasional Tesso Nilo pada tahun 2004 tahap satu seluas 38,576 ha dan menjadi Pusat Konservasi Gajah Sumatera dan ditetapkannya provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi gajah Sumatera melalui Permenhut No.5/2006. 2. Usulan Perluasan TNTN yang dilakukan WWF bersama BTNTN dan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan dikeluarkannya Surat Rekomendasi dari Gubernur Riau nomor : 522.Ekbang/66.30 pada tanggal 21 November 2007 3. Rencana Aksi Pengelolaan habitat gajah (SOP pengelolaan flying squad Pos Monitoring kawasan. 4. Draf kesepakatan tentang pencegahan dan penanggulangan perambahan hutan, illegal loging, kebakaran hutan dan lahan di kawasan Tesso Nilo. 5. Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts : 271.a/VII/2007 tentang pembentukan tim penanggulangan perambahan hutan & lahan tentang perluasan Taman Nasional Tesso Nilo. 6. Pengembangan ekowisata di Taman Nasional Tesso Nilo.
202
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
b. Monitoring, Penelitian dan Evaluasi 1. Monitoring WWF bersama BKSDA dan BTNTN melakukan monitoring di 2 kantong gajah yang terdapat di kawasan Tesso Nilo dengan menggunakan SIG (System Informasi Geografis) untuk melihat keberadaan gajah-gajah di kawasan Tesso Nilo, sekurangnya 2 kelompok gajah hidup dengan rata-rata satu kelompok gajah berjumlah 50 – 100 individu. Jumlah individu dalam kelompok gajah dapat terlihat di satu jalur jelajah di wilayah konsesi PT. Rimba Lazuardi di sebelah Selatan-Timur Tesso Nilo (di luar kawasan taman nasional) dan jalur jelajah di wilayah Gunung Saelan untuk clan lainnya. Laporan hasil terbaru dilaporkan 58 individu terlihat dan terhitung di wilayah konsesi Rimba Lazuardi di bulan Mei 2009.(Desai & Samsuardi:2009) Dari hasil studi kotoran dan sebaran jejak gajah terlihat bahwa konsentrasi kotoran dan jejak gajah berada di wilayah Selatan-Timur (Tenggara) Tesso Nilo dan di wilayah HPH Siak Raya (Utara-Barat atau Barat Laut) Tesso Nilo. Di lihat dari sebarannya dengan menggunakan GPS collar tahun 2007 dan tahun 2009 terlihat bahwa sebaran satu kelompok gajah di Dalam eks konsesi Dwi Marta (Inhutani IV) dimana tahun 2004 dialihfungsikan lahan menjadi taman nasional Tesso Nilo (sekitar 38,000 ha), PT Rimba Lazuardi dan Rimba Pranap dan eks HPH Nanjak Makmur yang saat ini telah dialihfungsikan lahan menjadi taman nasional perluasan Tesso Nilo. Satu pemasangan GPS colar tahun 2009 juga menyatakan wilayah sebaran satu kelompok gajah lagi di wilayah eks Siak Raya (Utara TNTN perluasan) sampai ke wilayah Rantau Kasih, Mantulik, Gunung Sailan dan konsesi RAPP disebelah Utara – Barat.Wilayah sebaran satu kelompok gajah.(WWF/BTNTN:2000) WWF menemukan beberapa kematian gajah, diantaranya diduga kuat akibat perburuan karena pada bangkai gajah ditemukan lubang bekas peluru senjata api dan sebagian besar merupakan konflik dengan masyarakat setempat. Dari informasi sejak tahun 2001, sebaran konflik gajah – manusia di wilayah Tesso Nilo tercatat di desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Air Hitam, Desa Bagan Limau, Desa Situgal, Desa Pontian Mekar, Desa Gondai, Desa Segati, Desa Rantau Kasih dan beberapa lokasi lain di wilayah sekitar TNTN (termasuk perluasan). 2. Penelitian Menurut penelitian yang dilakukan, WWF mengemukakan perambahan yang terjadi kawasan Tesso Nilo dipicu oleh dua buah koridor dikawasan hutan tersebut oleh PT. RAPP yaitu disebelah barat dan timur. Akses koridor RAPP yang dimaksud adalah jaringan jalan di sebelah barat dan timur yang membelah kawasan Tesso Nilo dari Utara ke Selatan. Jaringan jalan yang masuk dalam kawasan saja sepanjang 40 km di sebelah barat (sektor Baserah) dan 13 Km di sebelah timur (dari Pangkalan Gondai menuju Ukui) dengan lebar 20 meter (14 meter badan jalan dan 6 meter untuk saluran). Koridor ini digunakan oleh RAPP untuk membawa hasil tebangan akasia di sekitar Tesso Nilo menuju pabrik di Pangkalan Kerinci. Namun kenyataan dilapangan, keberadaan koridor ini telah
203
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
membuka peluang besar bagi kegiatan pembalakan liar dan perambahan karena membuat kawasan Tesso Nilo dapat dengan mudah dijangkau. Hingga tahun 2009 terdapat 14 lokasi perambahan di TNTN yang luasnya telah mencapai 28.606,08, atau 34,5% dari luas TNTN. Empat lokasi perambahan terluas adalah Koridor RAPP Ukui–Gondai (8.242,34 ha), Kuala Onangan Toro Jaya (7.769,27 ha), Bagan Limau (3.852,21ha), dan Toro Makmur (2.440 ha).(http://www.wwf.or.id/) Dari penelitian WWF, permintaan pasar illegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama terjadinya pemburuan gading gajah secara illegal. Kekhawatiran ini muncul setelah CITES membuka perdagangan gading secara legal untuk Negara-negara Afrika tersebut maka dapat mendorong masuknya gading gajah Asia secara illegal di pasar gelap. Seperti yang terjadi di Way Kambas, terdapat 19 orang pemburu, cukong, dan pengrajin gading yang mampu menjual 1.785 kg gading gajah sejak tahun 2003. Jumlah ini setara dengan membunuh 52 ekor gajah. 3. Evaluasi Dari hasil studi yang didapat kematian-kematian gajah di kawasan hutan tesso nilo sebagian besar karena konflik dengan perambahan yang mendiami kawasan tersebut. Terutama akibat alih fungsi hutan menjadi peruntukan lain seperti aspek konsesi HPH dan HTI, perkebunan dan pemukiman yang menjadi pemicu menurunnya daya dukung habitat bagi kelangsungan populasi gajah. Terbukanya kawasan hutan menjadi peruntukkan lain semakin meningkatnya pertemuan gajah: a. Aspek Konsesi HPH dan HTI TNTN sebelumnya kawasan HPT dengan pemegang konsesi PT. Inhutani IV dan PT.Nanjak Makmur, namun sebelum ditunjuk menjadi TNTN dari tahun 20002003 kedua perusahaan tersebut tidak melakukan operasional dilapangan sehingga dengan sendirinya menurunkan kegiatan pengamanan atau perlindungan hutan, mengakibatkan peluang bagi perambah untuk masuk, menduduki dan menggunakan kawasan hutan. Kemudian adanya akses jalan koridor yang dibuat oleh HTI PT. RAPP koridor Baserah dan Koridor Ukui-Gondai melalui koridor tersebut pelaku perambah memanfaatkan membuat jalan logging atau akses kelokasi perambah. b. Perkebunan oleh masyarakat, pelaku perambahan pada umumnya juga masyarakat setempat yang karena kondisi ekonominya terbatas sehingga masyarakat memperluas kebun mereka sebagai sandaran hidupnya. Harga tandan buah sawit yang semakin meningkat juga membuat keinginan kelompok masyarakat dan pengusaka mengembangkan perkebunan sawit dengan pola PIR dengan perkebunan Plasma (Kredit Pemilikan Primer Anggota) KKPA yang dibina oleh perusahaan. Peraturan Pola KKPA ini terdapat di Surat Keputusan Bersama menteri pertanian, menteri koperasi, dan Pembina pengusaha kecil. Dengan pola ini sehingga perambah dapat leluasa mengembangkan kebun sawitnya dengan penjaminnya adalah perusahaan. c. Pemukiman Kawasan perambahan yang menjadi pemukiman tersebut ditempati … 946 Kepala Keluarga (KK) namun belum termasuk kelompok perambahan yang berada di
204
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
Koridor RAPP Ukui-Gondai. Sebagian besar pengguna lahan yang menetap di lokasi perambahan adalah masyarakat pendatang. Sementara lahan yang dikuasai sebagian besar diperoleh dengan cara membeli. Hal ini menunjukkan faktor yang mendorong percepatan terjadinya perambahan di areal ini adalah adanya praktik jual beli lahan yang melibatkan oknum pemerintah desa dan tokoh adat/ masyarakat yang memiliki hak ulayat oleh kelompok etnik Petalang. Peran kelembagaan lokal adat dalam persoalan perambahan TNTN adalah adanya kelompok atau individu yang mengatasnamakan kelompok atau tokoh adat yang kemudian melakukan “Pengalihan Hak” lahan di Tesso Nilo. Selain mengatasnamakan tokoh adat, praktek jual beli lahan dikawasan Tesso Nilo juga mengatasnamakan kepala dusun yang didukung oleh tokoh masyarakat. Bagan Liman merupakan salah satu lokasi perambahan terbesar di TNTN yakni seluas 3.852 ha kawasan ini telah dirambah menjadi kebun sawit dan pemukiman. Menurut data tahun 2009, WWF menemukan sebanyak 495 KK menetap dilokasi perambahan yang terdiri 43 KK dari masyarakat tempatan dan 452 KK lainnya merupakan pendatang. Kawasan ini merupakan pemekaran Dusun Bagan Liman menjadi Desa Bagan Liman melalui terbitan Perda Kabupaten Pelalawan No. 11 tahun 2007. Dengan demikian dengan adanya perda tersebut, masyarakat di Dusun Bagan Liman seolah-olah mendapat dukungan legalitas untuk meneruskan penguasaan dan pengolahan lahan dikawasan TNTN. Dari hasil evaluasi WWF, sebagaimana diketahui bahwa perambahan kawasan hutan akan membawa konsekuensi ekologi, maka degradasi kawasan TNTN seluas 28.606,08 ha oleh aktifitas perambahan merupakan ancaman utama bagi upaya konservasi pada luas kawasan TNTN 83.068 ha. Setidaknya lebih dari 30% kawasan konservasi TNTN dapat dikatakan dalam kondisi yang rusak. Pada konteks ini menjadi menurunnya kuantitas dan kualitas ekosistem yang pada gilirannya berdampak bagi keberadaan habitat spesies yang dilindungi di TNTN adalah realitas yang harus dihadapi. Ancaman populasi spesies gajah Sumatera di TNTN yang tinggal 100-200 ekor ini selanjutnya merupakan justifikasi bagi gerakan konservasi oleh kelembagaan taman nasional di sini. Pada tahun 2007, WWF beserta stakeholder mengadakan pertemuan di Tesso Nilo dengan menghasilkan beberapa masukkan teknik dalam mitigasi konflik gajah – manusia disesuaikan dengan lokasinya masing-masing atau spesifikasi di tiap-tiap kantong gajah. Teknik-teknik mitigasi dan solusi terhadap konflik meliputi upaya penanganan dan mempertahankan populasi gajah dihabitat yang sudah mengalami kerusakan parah atau sebagai besar hilang oleh pemukiman dan perkebunan atau lahan untuk peruntukan yang lain. Salah satu bentuk lokakarya WWF dalam penanganan mitigasi konflik gajah dan manusia yaitu Strategi pengembangan Elephant flying squad atau mitigasi dan patroli konflik dengan gajah yang mulai beroperasi pada tanggal 26 April 2004 di desa Lubuk Kembang Bunga Kec. Ukui Kabupaten Pelalawan, salah satu pendekatan atau tekhnik yang dapat dilakukan untuk mengurangi konflik gajah.
205
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
Cara yang dilakukan adalah mengusir atau menggiring kembali gajah liar yang masuk kawasan pertanian dan perkebunan masyarakat kembali ke habitatnya dengan tanpa mencederai gajah liar tersebut atau melakukan penjagaan pada daerah pertanian masyarakat sehingga gajah liar tidak masuk. c. Fasilitas Komunikasi Dalam hal ini pemerintah menetapkan kebijakan tiga liman yang terdiri dari bina liman, tata liman dan guna liman yang telah ditetapkan sejak tahun 1970 berjalan hingga sekarang, kebijakan ini gajah-gajah liar ditangkap kemudian ditempatkan di Pusat latihan Gajah (PLG) di Sumatera. Di Taman Nasional Tesso Nilo, kebijakan ini diterapkan dengan menangkap gajah yang berkonflik contoh kasus pada tahun 2007 konflik gajah-manusia di desa Sering kec. Pangkalan Kuras Kab. Pelalawan kemudian ditempatkan di Pusat Latihan Gajah (PLG) yang berada di Minas. Kemudian gajah – gajah yang sudah terlatih tersebut dapat diberdayakan untuk melakukan pengusiran atau penggiringan gajah liar untuk kembali kehabitatnya, serta mengangkat ekowiata TNTN dengan mengelilingi TNTN menggunakan gajah-gajah latih tersebut. Pemerintah juga menggalang kerjasama bersama Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan WWF Indonesia pada tanggal 5 desember 2009 dalam upaya restorasi hutan Tesso Nilo yang dilakukan bersama 104 siswa-siswi dari delapan SLTA di pekanbaru dengan menanam 3.600 bibit dikawasan hutan Tesso Nilo. Keterlibatan WWF menjadi fasilitas komunikasi ke atas di TNTN berupa dialog antara masyarakat dan perusahaan yang berada diwilayah TNTN. WWF sebagai fasilitas komunikasi melalui pendekatan terhadap pemerintah, perusahaan dan masyarakat dengan menerapkan bentuk penanganan konflik manusia dan gajah dengan menggunakan teknik flying squad yang dimulai sejak tahun 2004 di desa Libuk Kembang Bunga. Pada tahun 2006 WWF bersama BKSDA melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan yang berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yaitu PT. Inti Indosawit Subur, PT. Musim Mas, dan PT. Riaupulp dan telah bekerjasama dalam pengoprasian teknik Flying Squad menggunakan gajahgajah latih untuk menggiring gajah liar keluar dari area perusahaan. Kesimpulan Penulis mencoba memberi kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang penulis teliti, yaitu : 1. Keterlibatan WWF adalah perwujudan dari upaya serta peran aktif sebagai organisasi Internasional yang memusatkan perhatian terhadap lingkungan hidup dan telah turut serta membantu pemerintah kabupaten Berau mengatasi permasalahan Gajah. 2. Peran yang dilakukan oleh WWF Indonesia dalam membantu konservasi gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau adalah sebagai motivator serta mediator. WWF memfasilitasi, menangani dan mempertemukan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan program atau
206
Peran WWF dalam Konservasi Gajah di TN Tesso Nilo (Syarifatul Zannah)
3.
tindak konservasi juga mencari jalan keluar pada setiap permasalahan gajah yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo. WWF telah menjalankan peran dan fungsinya sebagai organisasi Internasional, dimana WWF yang bertindak sebagai organisasi Internasional yang peduli terhadap sumberdaya hayati dan ekosistem khususnya kehidupan gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Blouch, R.A and Haryanto. 1984. Elephant in Southern Sumatera. IUCN/WWF. Report 3. Project 3033. Bogor. Departemen Kehutanan. 2000. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Konservasi Sumber daya Alam, Surabaya: BKSDA Jawa timur 1. Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka cet.3. Desai, A. A. & Samsuardi. 2009. Status of Elephants in Riau Province, Sumatera. WWF Indonesia program Riau. Riau. KEHATI, 2000, Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri, Malang. ___________, 1997, Kumpulan Materi MBC IX Meru Betiri Service Camp, SukaMade. Siagian, Sondang P. 1986. Filsafat Administrasi, PT. Gunung Agung, Jakarta. Suparni Niniek, 1994, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, SinarGrafika, Jakarta. Internet: Hewan mamalia Indonesia dalam CITES Appendix 1, dalam http://alamendah.org/2011/05/08/hewan-mamalia-indonesia-dalamdaftar-cites-apendiks-i/. Dampak Negatif Perlindungan Gajah Sumatera terhadap keberadaan Manusia, terdapat di http://zahijri.blogspot.com/2012/08/review-dampak-negatifperlindungan.html. Upaya Kami, terdapat di http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/upaya_ka mi/index.cfm.
207
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, :195-208
Elephants, terdapat di http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/wherewe work/tessonilobukittigapuluh/focal_species/elephants/index.cfm, Populai Gajah Riau Semakin Menurun, Terdapat di http://isearch.avg.com?pid=avg&sg=0&cid=%7B41b6346d-ba8a-417bb64a-e95d527a7cd1%7D&mid=625cbc06b1554c0f9ae87b56f89fb474d8e5aa9664fea3a6842e8ee1c3cdbe8a9c16edad&ds=AVG&v=15.5.0.2&l ang=us&pr=pa&d=2012-07-15%2013%3A35%3A16&sap=hp Strategi Konservasi Gajah Sumatera (E. Maximus Sumatranus), terdapat di http://lingkarhayati.wordpress.com/2010/03/28/strategi-konservasi-gajahsumatera-e-maximus-sumatranus/.
208