Peran Regioalisme ASEAN dalam Menanggulangi Drug Trafficing (Peredaran Narkoba Gelap) dan Eketifatsnya di Indonesia *Laode Muhamad fathun Abstrak Fenomen Globalisasi membawa dunia seolah tanpa batas kedaulatan menjadikan munculnya isu-isu baru dalam hubungan internasional.Ketidak mampuan Negara untuk berdiri sendiri dalam melihat komplkesnya masalah dalam negerinya di butuhkan sebuah intergrasi rule driven untuk menekan semakin masifnya isu kejahatan lintas Negara. Usaha Negara-negara dalam membentuk rule driven dalam bentuk kerjasama internasional inilah yang disebut global governance. Global governance berisi sejumlah norma , prinsip, aturan hukum, konvensi yang disepakati oleh sejumlah aktor baik Negara maunpun non Negara. Dalam aplikasi dari sejumlah norma dan prinsip atau rule driven tersebut salah satunya dalm bentuk integrasi regionalism kawasan. Adanya integrasi regionalism kawasan merupakan usaha membentuk sebuah kesamaan sikap politik, hukum, ekonomi, sosial budaya untuk mencapai tujuan bersama.ASEAN sebagai sebuah hasil dari integrasi regionalism kawasan Negara-negara kawasan Asia Tenggara memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi dan menanggulangi sejumlah masalah yang melingkupi kawasanya tersebut. Kejahatan Lintas Negara seperti drug trafficking( peredaran narkoba gelap) merupakan masalah yang kompleks yang di alami di kawasan region ASEAN. Adanya sejumlah konvensi yang telah di sahkan oleh Negara-negara ASEAN merupakan rule driven untuk menekan secara massif peredaran narkoba gelap.Namun, relaitasnya peredaran narkoba gelap di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Apakah kondisi ini menjadi bukti bahwa konvensi bukan menjadi first track yang ampuh untuk memberantas peredaran narkoba secara gelap terkhusus di Indonesia. Keywords: Fenomena Globalisasi, rule driven, global governance, integrasi regionalism, ASEAN, Indonesia dan efektifitas.
A. PENDAHULUAN Di era globalisasi ini peranan aktor dalam hubungan inetrnasional bukan hanya statis lagi terpusat pada negara tetapi muncul aktor- aktor selain negara seperti perusahaan multinasional, LSM, organisasi pemerintah seperti PBB yang menyemarakan dalam interaksi global dalam
politik internasional. Kompleksitas hubungan internasional telah mengakibatkan pola interaksi dalam hubungan internasional menjadi tidak hanya terbatas pada pola hubungan atau interaksi antarnegara saja, akan tetapi dapat pula terjadi antarnegara dan individu, kelompok etnik, organisasi profesi, teknologi, bisnis, kebudayaan, dan organisasi internasional maupun transnasional yang dikelompokkan ke dalam aktor-aktor bukan Negara (Jones, 1993:143). Tentunya dinamika ini dilihat bukan hanya sebagai salah satu menambah varian aktor hubungan internasional akan tetapi pengaruhnya dalam berbagai sendi kehidupan ekonomi, politik, bahkan stabilitas keamanan dan kedaulatan di berbagai negara dunia dalam konteksnya peranan aktor. Sehingga, globalisasi yang disertai dengan kemajuan teknologi komunikasi yang pesat menyebabkan hubungan antar bangsa, antar masyarakat dan antar individu semakin dekat, saling tergantung dan saling mempengaruhi sehingga tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world) yang seolah-olah telah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia. Hubungan interkasi antar negara pada masa lampau kita kenal dengan istilah “high Politic” yang fokus kajiannya pada studi perang dan perdamaian, yang mana kajian ini menjadi cerita kelam bagi studi hubungan internasional. Namun seiring berjalanya waktu dan dinamika permasalahan global isu –isunon-mainstream berubah menjadi ―lowpolitic” yang mana studi hubungan internasional kontemporer sudah memperluas kajiannya seperti gender, kemiskinan, interdepensi, lingkungan, hak asasi manusia, kejahatan lintas negara seperti cybercrime, money laundring,batas-batas negara geografis, isu lainya (Jackson dan Sorensen, 1999: 14-35). Dalam pola interaksi global tersebut tentunya baik aktor negara maupun non negara atau yang dikenal state actors dan non state actors ini akan membentuk pola–pola interkasi sifat hubungan internasional seperti cooperation (kerjasama), competision (persaingan) dan conflict
(konflik), sehingga dari pola tersebut seharusnya interaksi antar negara di upayakan lebih meminimalisir terjadinya persaingan antar aktor yang sudah pasti akan melahirkan konflik baik simetris maupun asimetris tetapi lebih memaksimalkan kerjasama antar Negara agar tercipta perdamaian dunia yang menjadi cita-cita masyarakat global (T. May Rudy, 2003: 2). Jadi sudah sewajarnya dari setiap para aktor berupaya untuk menciptakan pergaulan internasional yang menjunjung nilai-nilai dasar yang menjadi hak-hak masyarakat internasional seperti keamanan, kesejateraan, keadilaan, ketertiban, dan kebebasan, sehingga perdamaian bukan sekedar imajinasi utopisme (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 2005: 3-4). Salah satu isu yang sangat menyita perhatian dunia saat ini adalah munculnya isu-isu kejahatan lintas negara yang sangat meresahkan masyarakat internasional. Kejahatan lintas bukan hanya melibatkan aktor negara tetapi juga melibatkan aktor non negara. Ketidakmampuan negara dalam melindungi warga negaranya menjadi ketidaknyamanan kehidupan dunia internasional. Kejahatan lintas negara bukan kejahatan yang lahir begitu saja tetapi sangat terorganisir dan tersusun rapi dalam aktifitasnya. Ada banyak sebab yang mengakibatkan masalah ini ekonomi, politik, budaya, dan masih banyak lagi tetapi semua itu dikompleksitaskan dan dimudahkan oleh proses globalisasi. Dalam upaya mengatasi kejahatan tersebut beberapa negara sudah kewalahan dalam mencoba memberantas kejahatan lintas negara. Ketidakmampuan negara tersebut timbul kesadaran dari tiap negara untuk membentuk sebuah kerjasama internasional dalam bentuk organisasi internasional baik lingkup regional maupun rezim internasional. Akan tetapi banyaknya organisasi yang muncul baik organisasi pemerintah maupun non pemerintah ternyata juga masih lengah dengan makin meluasnya kejahatan lintas negara.
Sehingga, memungkinkan efeknya menjadi perluasan lembaga-lembaga pemerintahan, perluasan satu pasar dunia. Globalisasi membawa pemikiran negara bahwa bagaimana negara dengan mudah mengatasi kebutuhan internalnya dan ekternalnya. Sehingga menurut Nye pada dasarnya politik dunia itu berubah dan sudah semestinya berubah (Koehane, 2000: 104-119). Pada kesimpulanya globalisasi menyangkut seluruh episode-episode jaman, di mana proses politik dan hubungan sosial menjadi renggang tanpa terbatasi ruang dan waktu (Walter et al, 2013: 513-514). Akibat fenomena globalisasi menjadikan kejahatan lintas negara terkhusus perdaran narkoba secara gelap membuat perlunya sebuah tatanan global governance dengan asumsi bahwa ketika mampuan negara untuk mengurusi negara dengan banykanya masalah dunia internasional yang semakin kompleks. Pembentukan global governance baik dalam lingkup supranasional seperti PBB atau lingkup ASEAN dalam skala regionalisme kawasan di rasa sangat penting untuk menekan terjadinya peredaran narkoba gelap secara masif. Peran regionalisme ASEAN sebagai globalgovernance dalam skala regionalisme kawasan haruslah menjadi salah satu upaya untuk menciptakan regionalisme kawasan yang aman, damai, dari bisnis narkoba secara gelap. ASEAN sebagai katalisator regionalisme kawasan memiliki peran penting utnuk membentuk konvensi atau aturan dan norma sebagai instrumen yang bisa diratifikasi menjadi hukum nasional dalam menekan peredaran narkoba di kawasan. Oleh sebab itu diharapkan dengan adanya peran ASEAN bisa memberi efektifitas yang positif dalam menekan para kartel narkoba terkhusus Indonesia yang cenderung tiap tahunya semkin meningkat para penikmat bisnis haram tersebut. Untuk itulah menjadi pertnyaan penting bagi penulis “bagiamana peran ASEAN dalam menanggulangi drug trafficking (peredaran narkoba gelap) di kawasan regonalisme Asia Tenggara dan efektifitasnya di Indonesia?
B. KAJIAN PUSTAKA 1. Global Governance dan Regionalisme Berbicara dampak dari kejahatan seperti narkoba secara umum sudah diketahui seperti meusak generasi bangsa, menimbulkan kerugian ekonomi, menimbulkan penyakit HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan vaksin pemusnahnya, kerugian sosial, yang jelas ni bisa bersifat materil maupun non materil (Lihat di web Laporan kementrian Kesehatan, BNN dan Dinas Sosial). Oleh sebab itu akibat dampak tersebut mengancam human security setiap masyarakat terkhusus Indonesia yang memiliki generasi muda yang harus di selamatkan bukan hanya pemerintah nasional tetapi butuh kerjasama yang intens dari semua pihak karena kejahatan seperti ini adalah kejahatan extraordinarycrime. Akibatnya, pemerintah di setiap negara butuh membentuk lembaga non sentral di mana memiliki kewenangan yang sama dan untuk merespon segala permasalahan yang ada dalam negaranya maupun di dunia. Lembaga ini lah yang disebut sebagai “Global Governance “ Pendekaatan global governance bisa kita samakan dengan rezim internasional dalam yang dimana pada poinnya adalah melihat interaksi hubungan internasional yang anarki dari sudut pandang normatisme dan etika yang di awal sebenarnya pendekatan ini sudah dilakukan oleh Jerimi Bentham dimana hubungan internasional dari sudut pandang filsafat hukum ( lihat juga Bab 5, 7 dan 10 Handbook HI Carlesnaes). Lebih lanjut global governance ―as the sum of laws, norms, policies, and institutions that define, constitute, and mediate trans-border elations between states, cultures, citizens, intergovernmental and nongovernmental organizations, and the market. It embraces the totality of institutions, policies, rules, practices, norms, procedures, and initiatives by which states and their citizens (indeed, humanity as a whole) try to bring more predictability, stability, and order to their responses to transnational challenges—such as
climate change and environmental degradation, nuclear proliferation, and terrorism—which go beyond the capacity of a single state to solve (Thomas, 2009:1). Selain itu pula, bahwa global governance as the needs of "legitimacy" of the norms in force in the world at that time. Term of the legitimacy is the product of the politics that provide justification. Global governance is seen more as a political product rather than as a concept is useful as a source of legitimacy. Governance issues reduced a political as a concept, mechanism and process of reorganizing the world to be more open to the market (Robi Cahyadi, 2011: 1). Kemudian Rosenau (1995: 13), mengatakan bahwa global governance lebih dari institusi formal dan organisasi-organisasi di mana manajemen dalam peristiwa internasional terus-menerus berlangsung, membayangkan memasukkan sistem-sistem atas aturan dalam semua tingkatan pada aktivitas manusia dan terus mencari tujuan-tujuan pengawasan sebagai reaksi atau akibat transnasional. Pendekatan global governance merupakan hasil ide dari kaum kontsruksitivisme. Kaum kontruktrivisme mengangap bahwa pentingnya ide dan norma dalam hubungan internasional. Alexander Wendt dengan gagasan politik identitas, kemudian Kartocwil dengan gagasan normatismenya serta Nicolas Onouf dengan gagasan pengaruh linguistik dalam prilaku sosial merupakan sejumlah ahli yang menekankan bahwa hubungan internasional yang sifatnya anarkis hanyalah ciptaan aktor negara atau konstruksi sosial dan bukan sesuatu yang objektif. Dengan mengadopsi gagasan konstruktivisme maka diharapkan akan mengontrol dan menekan prilaku negara dalam politik internasional. Pembentukan institusi internasional merupakan salah satu cara untuk menyebarluaskan normatisme. Bagi kaum liberal institusi internasional merupakan instrument yang tepat untuk menyebarluasakan ide-ide perdamaian serta demokrasi. Dengan institusi internasional cenderung memudahkan aktor negara maupun non negara untuk membentuk konvensi–konvensi yang
bertaraf internasional yang bisa diratifikasi sebagai hukum nasional untuk menekan prilaku aktor dalam hubungan antar negera. Artinya global governance yang terbentuk adalah sebagai sebuah resolusi di saat dunia internasional yang dilingkupi oleh banyaknya masalah yang cenderung membuat Negara susah untuk mengontrol dan mengendalikannya. Oleh sebab itulah Konsep ini mengacu pada 3 asumsi yakni (1) Menejemen pemerintahan oleh pemerintah ( governance by government), (2) Menejemen pengelolaan pememerintahan dengan pemerintah ( governance with government) dan menejemen pemerintahan tanpa otoritas sentral artinya setara ( governance without government) (Carlesnaes et al, 2013: 512). Tindak lanjut global governance sebagai sebuah rezim merupakan integrasi nilai, norma prinsip aturan yang harus di taati secara bersama-sama di antara semua anggotanya. Dalam skala itu global governance bisa terbentuk dalam lingkup regionalismekawasan.Terbentuknya sebuah regionalism kawasan berdasarkan adanya integrasi internasional. Integrasi diartikan sebagai sebuah pencapaian kondisi supranasional yang dimana urusan-urusan semula di tangani oleh pemerintah nasional ke unit –unit politk yang lebih besar. Integrasi adalah sebuah sikap loyalitas pemerintah nasional terhadap kewenangan politik yuridiksinya yang diberikan kepada intitusi pusat baik dalam skala regional atau supra nasional. Integrasi dibentuk dalam model fungsionalisme menganggap bahwa integrasi dilakukan untuk mencapai kesesuaian secara bertahap dan pararel dalam sejumlah sektor akan menyatu dengan sebuah integrasi satu sektor secara holistik. Oleh sebab itu kaum noefungsionalisme mengatakan bahwa integrasi terbentuk atas dasar perjanjian-perjanjian internasional untuk mencapai tujuan bersama (T.May Rudy, 2002: 85-86). Intergasi yang terbentuk antara negara biasanya terakumulasi membentuk sebuah regionalism kawasan. Regionalisme banyak yang mengatakan terbentuk akibat kedekatan
gografis, akan tetapi sebenarnya lebih dari sekedar geografis semata. Apabila dilihat lebih jauh berdasarkan tingkat kohesi sosial (etnis, ras, agama, budaya, sejarah) kohesi ekonomi atau polapola perdagangan, kohesi politik dan ideologi atau berdasarkan tingkat orgnasasi internasional dalam region formal (T.May Rudi, 2002: 85-86). Andrew Hurrell, mengkategorikan regionalisme dibedakan sebagai berikut, Pertama, regionalization merupakan suatu bentuk perkembangan integrasi sosial dalam suatu kawasan, yang secara tidak langsung merupakan suatu proses interaksi sosial dan ekonomi. Kedua, kesadaran dan identitas regional (regional awareness and identity) merupakan suatu persepsi bersama (shared perception) yang dimiliki olehkomunitas khusus yang didasarkan oleh faktorfaktor internal, yang biasa didefinisikan sebagai suatu kesamaan budaya, sejarah maupun tradisi agama. Juga dapat didefinisikan sebagai bentuk ancaman keamanan maupun tantangan budaya sebagai pengaruh faktor eksternalnya. Ketiga dari suatu regionalisme yaitu, kerja sama antar negara dalam kawasan (regional interstate co-operation), merupakan kerja sama yang dibentuk untuk beberapa tujuan tertentu, seperti upaya menghadapi tantangan eksternal serta melakukan koordinasi terhadap kondisi regional dalam lembaga-lembaga internasional maupun dalam perundingan- perundingan internasional. Selain itu kerjasama regional akan dapat meningkatkan stabilitas keamanan, pemahaman terhadap nilai-nilai bersama serta mengatasi masalah-masalah bersama, khususnya masalah yang timbul akibat meningkatnya kesaling-tergantungan dalam suatu kawasan. Keempat yaitu integrasi regional yang dikembangkan oleh negara (state promoted regional integration) dalam hal ini ditekankan mengenai integrasi ekonomi regional. Integrasi regional meliputi suatu pengambilan kebijakan khusus oleh pemerintah-pemerintah suatu negara yang dibentuk untuk mengurangi hambatan-hambatan terhadap pergerakan barang, jasa, modal serta tenaga kerja. Kelima, kohesi regional, di mana penggabungan dari keempat
proses di atas akan menciptakan suatu kepaduaan (kohesi) serta konsolidasi suatu unit regional. Kohesi dapat dipahami melalui dua pengertian (two sense of cohesion) yaitu: (a) ketika suatu kawasan memainkan peranan penting bagi kawasan tersebut maupun terhadap kawasan lainnya, (b) ketika suatu kawasan membentuk suatu pengaturan yang didasarkan atas suatu kebijakan yang mencakup isu-isu di kawasan regional maupun internasional (Andrew Hurrell, 1995: 38). Peter Katzenstein menurutnya adanya suatu integrasi regionalisme berupa pengakuan kecenderungan konvergensi secara regional atau berbagai problem kebijakan dan merupakan nilai tambah dalam hubungannya dengan relisme maupun liberalisme untuk menangani masalah keamanan, ekonomi, dan budaya. Dia melanjutkan bahwa menarik melihat Asia sebagai sebuah integrasi regional yang baru di masa depan. Namun dia mengusulakan bahwa integrasi regionalism yang ada di Asia haruslah berkaca pada integrasi regionalisme yang ada di Eropa. Kekhasan Asia adalah memiliki latar belakang sejarah serta budaya yang berbeda dari Eropa terutama imperium Anglo –Saxon (Bambang Wahyu Nugroho dan Ahmad Hanafi Rais, 2012: 97). Salah satu integrasi regionalisme yang terbentuk di Asia adalah ASEAN. ASEAN (Association of South East Asian Nations) sebagai sebuah integrasi regionalisme kawasan yang merupakan perhimpunan negara-negara yang berada di lingkup wilayah Asia Tenggara. ASEAN didirikan melalui “deklarasi bangkok” pada tanggal 8 Agustus 1967. Tujuan didirikannya ialah membangun upaya-upaya rasa saling percaya (confidence building) antar negara anggota guna mengembangkan kerja sama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif. Sejarah keanggotaan 10 Negara ASEAN terbentuk tahun 1967 dengan pendiri Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, dan Filipina. Pada tahun 1984, menyusul Brunei Darussalam dan tahun 1995 menyulus Nehara Vietnam serta pada tahun 1997, Laos and Myanmar sepakat
menjadi anggota ASEAN dan akhirnya pada tahun 1999, Cambodia sebagai negara yang setuju menjadi anggota dalam integrasi regionalism ASEAN. ASEAN sebagai sebuah integrasi regionalism kawasan merupakan sebuah rule driven untuk memfasilitasi segala bentuk kebutuhan dari anggotanya. Dengan berdasar pada tujuan terbentukanya region tersebut yang berisi tentang prinsip, piagam ASEAN, merupakan tanggung jawab besar untuk tetap kuat menjadi sebuah intergrasi regionalism yang berbasis pada prinsip saling menghormatai, saling membantu, bertukar pikiran, saling berbagi, bernegosiasi harus menjadi agenada mutlak untuk merespon segala bentuk tantangan jaman baik isu konvensional sampai non konvensional. Menanggapi peran ASEAN dalam responya terhadap munculnya isu baru yang mengancam keamanan reginalisme kawasan maka peran ASEAN sebagai sebuah integrasi nilai, norma, prinsip, dan budaya serta sosial politik sangat penting untuk massif memberantas isu-isu yang meresahkan masyarakat kawasan regional. Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah kejahatan lintas negara yakni drug trafficking (peredaran narkoba gelap) yang mana struktur geopolitik ASEAN yang strategis menjadikan wilayah ini menjadi sasaran empuk bagi kartel narkoba.Yang menjadi masalah adalah sejumlah Negara ASEAN seperti Laos, Vietnam, dan Thailand merupakan bagian dari struktur segitiga emas peredaran narkoba internasional. Di satu sisi Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN merupakan sasaran empuk dari peredaran narkoba internasional yang banyak disuplai dari segitiga emas di ASEAN. Oleh sebab itu, ASEAN sebagai sebuah integrasi regionalisme kawasan harus menjadi inisiator dan mediator untuk masalah ini untuk membentuk rule driven untuk menekan terjadinya peredaran narkoba gelap di ASEAN terkhusus terhadap Indonesia.
2. Trnasnational Crime (Drug Trafficing)
Kejahatan lintas negara saat ini menjadi prioritas bagi negara-negara di dunia sebagai ancaman non konvensional negara. Pengertian kejahatan transnasional menurut Bambang Cipto (2007:224) adalah kelompok terorganisir yang tujuan utamanya mendapat uang baik secara legal maupun tidak legal dengan menjual barang dagangan apapun yang dapat memberikan keuntungan maksimal dengan resiko sesedikit mungkin. Kemudian Antonio Nicasso dan Lee Lemothe (2003:1) berpendapat, kejahatan transnasional adalah sindikat yang terorganisir tersusun secara rapi dengan berangotakan sebuah masyarakat rahasia yang berasal dari beberapa negara dengan tujuan untuk menjalankan operasi rahasia dan didukung oleh kemampuan informasi dan komunikaksi yang lengkap, guna melumpuhkan sistem yang menjadi sasarannya. Kejahatan lintas negara ini memang sangat susah dihentikan ataupun diberantas, karena dalam operasinya begitu terorganisir dan tersusun sangat rapi. Dengan demikian kejahatan seperti penyalagunaan narkoba tergolong dalam transorganized crime. Kejahatan terorganisir meredefinisi ancaman keamanan suatu negara. Keamanan tradisional diartikan sebagai sesuatu yang ditimbulkan oleh serangan dari luar baik aktor negara mapun aktor non negara. Dalam konsep keamanan dibagi tiga jenis yakni physical security (serangan militer ), rules and institution formality (aturan institusi ) dan prosperity (barang modal, sistem keuangan) (May Rudy, 2002:65). Namun kejahatan lintas negara adalah mengancam non tradisional security yakni mengancam seluruh warga masyarakat internasional atau dikenal dengan istilah human security. Kejahatan seperti money laundry, terorisme, illegal fishing, illegal loging, penjualan senjata, cybercrime, drugs trafficking, human trafficking, dan lainya merupakan kejahatan lintas negara yang sangat terorganisir.
Pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal business, corruption and bribery of public or party officials (Wagley, 2006:1-20). Drug Trafficing atau penyalagunaan narkoba sebagai salah satu kejahatan lintas negara narkoba umumnya terbagi menjadi dua, yaitu dari sisi media dan hukum. Menurut, UU Republik Indonesia tahun No. 22 Tahun 1997, UU. No.35/2009, “ Narkoba adalah zat obat yang berasal dari tanaman ataupun bukan tanaman, baik sintesis ataupun bukan sintesis yang dapat menyebabkan perubahan atau penurunan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan dari segi medis, WHO (1982) mendefinisikan narkoba adalah sebuah zat kecuali makanan, air dan oksigen yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat mengubah fungsi tubuh secara fisik dan atau psikologi. Secara etimologi, narkoba memiliki kepanjangan yaitu Narkotika, Psikotoprika dan Zat Adiktif. Definisi ketiganya cenderung berbeda. Definisi dari narkotika adalah sama dengan definisi yang dikeluarkan oleh WHO seperti di atas. Contoh dari narkotika yaitu Kokain/Crack, Ganja, Putauw, Opium, Metadon, dll. Sedangkan, psikotropika adalah zat/obat alamiah atau sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada perubahan aktifitas dan mental pelaku. Contohnya, adalah Shabu/metamfetamin, Estasi, Lisergida/LSD. Dan Zat Adiktif adalah, bahan
lain bukan narkotika ataupun psikotropika yang menimbulkan ketergantungan secara fisik ataupun mental. Contoh adalah rokok, minuman keras, kopi, teh, hingga lem dan bensin. Perdagangan illegal, secara definisi berarti perdagangan yang
melanggar ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran tersebut baik berupa aktor transaksi, cara transaksi ataupun barang yang ditransaksikan. Perdagangan illegal, hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sedangkan, transaksi obat-obatan terlarang merupakan salah satu bentuk dari perdagangan illegal. Perdagangan obat-obatan terlarang cenderung menjadi masalah yang sangat kompleks dan susah untuk dipecahkan. Karena, pemecahannya tidak hanya dapat dilihat dari satu sisi semisal penegakan hukum semata. Harus dipertimbangkan juga dari segi ekonomi, politik, sosiologi, dan budaya. Sebab, permasalahan ini, meskipun memiliki komoditi yang sama, metode serta latar belakang dari setiap daerah akan sangat berbeda. Contoh, Ladang Opium di Laos, dilatarbelakangi oleh tidak adanya komoditi lain yang bisa dibudidayakan di dataran tinggi. Selain itu, para pemberontak cenderung melindungi gerakan ini karena memberikan income untuk membiayai pergerakan mereka. Di tempat berbeda, kartel narkoba adalah masalah ekonomi dan politik. Para kartel mewarisi tradisi dan perusahaan dari keluarga mereka. Selain itu, perang antar kartel menandakan pertentangan antara hegemoni mereka. C. PEMBAHASAN 1. Struktur Geografi Politik Indonesia Dalam Peredaran Drug Trafficing di ASEAN Berdasarkan sejarahnya, sejak zaman romawi kuno, opium telah digunakan sebagai obat tidur. Sedangkan di kawasan asia sendiri, opium tersebar dengan dibawa oleh para pedagang yaitu sekitar abad satu SM. Untuk kemudian berikutnya tanaman obat bisu seperti opium dan ganja diperkenalkan oleh para negara-negara penjajah, mungkin kita pernah mendengar peristiwa perang candu di China. Di Indonesia sendiri, ganja pertama kali diperkenalkan pada abad ke 17
oleh Belanda. Tahun 1860 telah ditemukan perkebunan ganja di daerah Jawa dan Sumatera. Tahun 1960 heroin, morphine, amphetamine, dan cocain telah ditemukan di daerah Jakarta dan Bali. Tahun 1970-an ditandai dengan munculnya narkoba model suntik seperti putauw. Kemudian, pada tahun 1990-an terjadi gelombang besar-besaran golongan amphetamine semisal ekstasi. Dan terakhir di tahun 2000-an muncul shabu-shabu yang harganya lebih murah dari putauw, tidak menimbulkan bekas dan tidak menyebabkan sakau seperti Putauw. Golden Triangle atau Segitiga emas, adalah sebuah wilayah yang terletak di antara negara Myanmar, Laos, dan Thailand. Istilah ini pertama kali diberikan pada tahun 1971, mengacu pada letak ketiga negara penyusunnya. Daerah ini terkenal sebagai daerah produksi dan distribusi opium terbesar kedua di dunia setelah Afganishtan. Terutama wilayah Myanmar, daerah ini diprediksi memiliki ladang opium seluas 275 Km. Berkembang pesatnya peredaran narkoba di wilayah ini bukannya tanpa sebab. Pemimpin negara, terutama di Myanmar dan Laos menggunakan uang penjualan opium sebagai devisa negara. Sebagai contoh, di Myanmar perusahaan negara seperti Myanmar Oil and Gas Enterprise dicurigai sebagai tempat pencucian uang hasil perdagangan narkoba untuk kemudian dimasukkan dalam kas negara. Menurut UNODC, pada tahun 2002 produksi opium di Segitiga Emas (terutama Myanmar) mencapai 800 ton metrik. Golden Crescent atau Bulat Sabit Emas, merupakan wilayah penghasil opium terbesar di dunia. Tumpang tindih pada tiga wilayah teritorial negara yaitu Iran, Afganishtan, dan Pakistan. Sejarah menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu kala ketiga negara ini merupakan penghasil Opium terbesar. Hingga pada tahun 1955 Shah Iran melarang produksi opium. Pada tahun 1979, Pakistan melarang produksi opium. Meskipun demikian, Afganishtan mampu menjaga produksinya sehingga hamper tidak ada penurunan berarti produksi opium di Bulan Sabit Emas.
Menurut UNODC, pada tahun 2001 produksi opium Golden Crescent mencapai 3400 ton metrik. Secara geopolitik letak Indonesia merupakan sasaran empuk bagi bandar narkoba internasional. Bentuk negara yang luas, yang terdiri atas pulau-pulau kecil serta pelabuhan-pelabuhan yang tidak terdeteksi menjadikan Indonesia sebagai negara transit (transit–state) dan bahkan Indonesia sebagai the point of market countries.
2. Kasus Peredaran Drug Trafficing di Indoneisa Dalam kasus peredaran penyalagunaan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukan realitas peningkatan. Data BNN menunjukan dalam rentan waktu 2004 saja Indonesia mencapai kerugian sampai Rp. 23,6 Triliun, dalam kurun waktu empat
tahun
berikutnya
keugian
Indonesia
mencapai angka Rp. 32,4 Triliun pada tahun
oleh Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI
2008. Di tahun yang sama bahwa dari jumlah seluruh penduduk Indonesia 3,7-4,7 juta orang trinfeksi narkoba. Komposisi pecandu bervariasi.
narkoba
di
Indonesia
Mulai
27
persen
sangat mencoba
memakai, 45 persen teratur pakai, sisanya 27 persen pemakai suntik dan 2 persen bukan suntik, dengan estimasi pengguna laki-laki mencapai 81 persen dan wanita 19 persen. Data yang dirilis kemudian oleh BNN pada tiga tahun berikutnya kerugian Indonesia mencapai Rp. 48,2 Triliun artinya dengan kalkulasi 49 persen dari tahun 2008. Dengan estimasi Rp.44,4 Triliun jumlah kerugian pribadi, Rp.3,8 Triliun biaya sosial. Selain
Pada tahun 2013, BNN telah mengungkap
itu, diperkirakan perderan uang dalam bisnis
jaringan sindikat Narkotika dan berhasil
narkoba mencpai kenaikan Rp.12 Triliun
mengamankan : - 244 orang tersangka dari
pertahunnya (Lihat Hasil Survei Nasional
166 Laporan Kasus Narkotika, - Dengan
Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di
barang bukti : · 132.813,18 gram sabu; ·
Indonesia 2011). Data selanjutnya dibuat
215,9 gram heroin; · 179,8 gram serbuk ekstasi; · 26.937 butir pil ekstasi; · 13.522,8 gram ganja; · 35,75 gram prekursor; ·
146,38 gram ephedrine; · 85 butir tablet
AIDSnya.
methamphe tamine; · 588 butir tablet happy
penyalahgunaan narkoba menyentuh seluruh
five; · 323.726 mililiter prekursor cairan, -
lapisan
Dan telah dilakukan pemusnahan sebanyak
security). UNDP (1994) meggolongkan
31 kali (Tabloid Sinar BNN Edisi Januari
kemamanan manusia berupa hak-hak sesuai
2014). Untuk tahun 2014 menurut data BNN
deklarasi hak asasi manusia bahwa kemanan
banhwa pengguna narkoba mencapai 4 juta
manusai
lebih dan prevelensi 2015 mencapai 5,1 juta.
economic security, food security, health
Bahkan
security,
Kemenkeu
menjadi
saksi
Sehingga,
keamanan
dampak
manusia
mencaku,
human
community
security,
(human
security,
political
penangkapan peredaran sabu seharga 31
security, and personal security. Human
Miliar di bandara Soekarno-Hatta pada
security menekankan pada universalisme,
15/04/2015 (detik.com).
interdepend,non
Oleh sebab itu ini menjadi tugas berat bukan hanya BNN tetapi seluruh aspek masyarakat karena narkoba mengancam rusaknya generasi bangsa dengan HIV/
D. KONTEN ANALISIS
conte.
Dan
intervensi
oleh
sebab
dan itu,
people tindakan
penyalahgunaan narkoba cenderung akan menjadi ancaman kemanan non tradisional bagi Indonesia terutama genereasi muda.
1. Peran Regionalisme ASEAN Dalam
dilanjutkan pada sidang yang ke 17 pada
Pembentukan Konvensi Drug
tahun 1990 dan menetapkan bahwa pada
Trafficing
1991-2000
Dalam
konteks
berupaya
melakukan
ASEAN
pengawasan terhadap perdaran narkotika.
menanggulangi peredaran drug trafficing
Untuk itu dibentuk The United Nations
tidak lepas dari ratifikasi oleh ASEAN
Decade
dalam salah satu konevensi PBB yakni
membentuk The United Nations Drug
United
Single
Control Programme (UNDCP). Setelah itu
Convention on Narcotic Drugs 1961 di
PBB melakukan sidang ke VIII tentang
mana
menyangkut
Prevention of Crime and the Treament of
konevensi
Offenders pada 27 Agustus - 7 September
internasional yang berlaku global tentang
1990 di Hawana, Cuba, yang merupakan
peredaran
resolusi ke 13 di mana berisi tentang, (1)
The
United
konvensi
konvensi:
(1)
peran
PBB
Nation's
tersebut Menciptakan
narkotika
(2)
Melakukan
Againts
Drug
dengan
pengawasan penggunaan narkotika hanya
Melakukan
khus untuk pengobatan dan keperluan
keluarga,
IPTEK, dan (3) Mengadakan diplomasi dan
lembaga
negosiasi
Melakukan pengobatan baik secara medis,
peredaran
multilateral narkoba
untuk
mencegah
sebagaimana
sosialisasi
Abuse
terutama
sekola-sekolah tentang
bahaya
dan
psikologis,
psikiatris,
perbaharui dengan Protokol 1972 dan
pendekatan
hukum
Konvensi Psikotropika 1971. Kemudian
pemakai dan pencoba pemakai.
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances,
pada
tahun
1988
yang
lembaga-
narkoba,
telah
terbentuk Nations Convention Against Illicit
kepada
sampai untuk
(2)
pada
mencegah
Ratifikasi konvensi PBB oleh ASEAN sebagai tanggung jawab moral kepada anggotnya sehingga dibentuk ASEAN Drugs
Experts Meeting on the Prevention and
sejumlah Menteri Luar Negeri di ASEAN
Control of Drug Abuse yang pada tanggal
pada tanggal 25 Juli 1998 yang dilanjutkan
23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak
oleh pertemuan di Bangkok AMM ke-33
lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN
pada
Declaration of Principles to Combat the
mempercepat
Abuse
yang
ASEAN dari rencana tahun 2020 dan
ditandatangani oleh para Menteri Luar
dipercepat pada tahun 2015. Selanjutnya
Negeri negara-negara anggota ASEAN pada
terjadi pertemuan untuk Bali Concord III
tahun 1976. Kemudian dibentuk The ASEAN
yang dilaksanakan deklarasinya di Bali serta
Senior Officials on Drugs dan satu Forum
terbentukanya Community Blueprint pada
Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara
2015.
of
ASEAN.
Narcotic
Drugs,
Pada tahun 1992 dicetuskan
Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional. Tidak
berhenti
situ
2000
yang
silam
terbentukanya
untuk
komunitas
Pada tahun 2012 disahkan kembali Declaration on Drug-Free ASEAN 2015 untuk menyambut
masyarakat
ekonomi
ASEAN yang akan disahkan pada 2015. Deklarasi tersebut dilaksanakan di Kamboja pada tanggal 3-4 April dalam ASEAN pada Summit 2012 di mana setiap negara-negara
negara-negara
ASEAN sepakat memerangi peredaran narkoba
ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd
secara illegal. Kemudian dilanjutkan dengan
tugasnya adalah memeberikan bimbingan
Special ASEAN Ministerial Meeting on Drug
hukum,
Matters yang dihadiri oleh wakil-wakil tingkat
Selanjutnya
di
tahun
rehabilitasi, terjadi
pencegahan.
pertemuan
antara
mentri untuk membahas ASEAN bebas narkoba tahun 2015 yang ditindaklanjuti pada pertemuan
33rdASEAN Senior Official Meeting on Drugs
kekerasan atau pembunuhan akibat dari
(ASOD) di Kuala Lumpur, Malaysia pada
ketergantungan terhadap norkoba.
tanggal 25-27 September 2012.
2. Efektifitas Integrasi komunitas
reginalisme
ASEAN
pembentukan
pada
tahun
2015
Ratifikasi
Konvensi
Tentang Drug Trafficing(Perdagangan Narkoba Secara Illegal) Di Indonesia
peredaran narkoba secara illegal merupakan Praktek
penyelundupan
narkoba
salah satu agenda penting bagi negara secara illegal di Indonesia
merupakan
regionalisme ASEAN. Realitas ini sangat penting untuk menciptakan kawasan yang aman, damai, stabil, menjadi basis produksi
kejahatan lintas negara yang di akibatkan oleh perkara multi dimensi.Yang paling banyak terjadi dalam bisnis penyelundupan
di masa depan, serta untuk menciptakan pasar ekonomi yang kompetitif, bersaing dan terintegrasi berdasarkan nilai-nilai dan piagam
ASEAN.
Oleh
sebab
penyelundupan-penyelundupan
itu,
narkoba
secara massif dan illegal, sangat penting menjadi agenda rutin para mentri di ASEAN atau kepala negara melihat bahwa narkoba akan
berefek
pada
memunculkan
kecenderungan untuk terjadinya kejahatan lainya seperti perdagangan manusia, money laudrying, atau yang paling ekstrim adalah
narkoba ini adalah nilai ekonomis yang fantastis. Bisnis ini tergolong bisnis yang menguntungkan sebab bisa mendatangkan pendapatan hingga miliyaran rupiah. Faktor ekonomi menjadi daya tarik sendiri sehingga bisnis ini masih sangat massif terutama di kawasan regional ASEAN. Faktor lainya adalah sosial dan budaya. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup metropolis dan budya modern sehingga merubah prilaku sosial masyarakat agar terlihat lebih modern. Gaya hidup sosial masyarakat akibat pengaruh teman dan cenderung berawal dari coba-
coba menjadikan budaya ketergantungan
membuktikan bahwa Indonesia sebagai jalur
dan penghilang stress ketika beban hidup
perdagangan dunia di mana orang Eropa
semakin
lemahnya
begitu mudah menyandarkan kapalnya di
hukum nasional juga menjadi salah satu
nusantara. Keadaan-keadaan strategis inilah
alasan betapa bisnis narkoba secara illegal
yang dalam kajian hubungan internasional
masih massif terjadi salah satunya di
disebut sebagai kajian geografi politik.
meningkat.
Faktor
Indonesia. Namun lebih dari itu adalah Secara sederhana diartikan sebagai faktor struktur wilayah menjadi domain bagaimana
pengaruh
strutur
wilayah
yang sangat penting dalam mendukung dan terhadap kebijakan suatu negara dengan mempermudah peredaran narkoba secara melihat potensi yang dimiliki oleh negara illegal
di
regional
ASEAN
terkhusus tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Wijaya
Indonesia. bahwa Political geography means as a Indonesia merupakan negara yang sangat strategis. Dahulu
linkage
between
meaning,
value
and
yang sering kita
influence of geography on politics based on
dapati juga semasa itu terutama pelajaran
the consideration of benefit and loss toward
geografi yang menjelaskan bahwa Indonesia
the national interest of a nation (Jurnal
merupakan negara paling strategis, terbukti
Social Sciences. Vol. 2, No. 6, 2013).
Indonesia dikelilingi oleh benua, selat
Selanjutnya
bentang laut sebagai jalur perdagangan,
foreign policy practices, both material and
kondisi wilayah yang tropis, dikelilingi oleh
representational, of statecraft itself and
samudra, dilalui oleh garis khatulistiwa
performances that characterize the everyday
sehingga
life of states (Simon Daily, 1998: 1-3).
disandang.
wajar
jika
Sejarah
julukan masa
tersebut
lalu
pun
geopolitical
is
frames
all
Kesimpulannya bahwa geopolitik berkaitan
dengan cara pandang ruang hidup negara
komprehensif
dalam
potensinya
organisasi rezim tingkat nasional sebagai
maupun mewaspadai ancaman dari luar. Hal
tindak lanjut dari ratifikasi konvensi PBB.
ini sangat penting apa lagi konteks Indonesia
Tindak lanjut dari konvensi itu, maka
yang memiliki wilayah yang sangat luas
terbentuklah National Anti-Drugs Agency
memungkinkan ancaman baik serangan
(NADA) di Malaysia, Central Committee
militer, gerakan separatis, dan bahkan
for Drug Abuse Control (CCDAC) di
kejahatan lintas negara. Oleh sebab itu
Myanmar, Dangerous Drugs Board (DDB)
struktur kewilayah akses negara baik darat
di Filipina, Central Narcotics Bureau (CNB)
dan laut cenderung berepengaruh terhadap
di Singapora, Office of the Narcotics
munculnya akses kejahatan lintas negara.
Control Board (ONCB) di Thailand, dan
baik
memanfaatkan
terutama
membentuk
Standing Office on Drug Control (SODC) di Penyelundupan narkoba secara illegal Vietnam. Terkhusus Indonesia sejak tahun memang
yang
menyita
perhatian 2002 telah membuat suatu badan yang
internasional baik dari tingkat supranasional mengurusnya
yaitu
Badan
Narkotika
samapi regional bahkan nasional. Masalah Nasional (BNN) berdasarkan UU No 22 narkoba menjadi perhatian khusus juga bagi tahun 1997 pasal 54 serta Kepres No. 17 PBB sehingga di bentuk United Nations Tahun 2002. Tugas pokok BNN adalah General
Assembly
Special
Session mengkoordinasikan instansi terkait dalam
(UNGASS)
pada
tahun
1998
yang menyusun kebijakan dan pelaksanaannya di
mngisaratkan perlunya kesadaran bahwa bidang
penyediaan,
pencegahan,
penyelundupan narkoba merupakan masalah pemberantasan
penyalahgunaan,
dan
bersama dan harus menjadi tanggung jawab peredaran gelap narkoba serta diperkuat bersama. Oleh sebab itu perlu tindakan yang
legalitas hukum UU No 35 Tahun 2009
sebagai lahan peredaran narkoba, PBB
tentang Narkotika.
sebagai
Masalah ini bisa dilihat konten analisis
global
governance
tingkat
supranasional, dan ASEAN sebagai tingkat
dan
regional. (2) The shadow of the future
efektivitas. Rational choice menitik beratkan
(bayangan masa depan), maksudnya adalah
pada pilihan aktor dalam mengambil sebuah
(a) - Long Time Horizon, kerja sama terus
kebijakan berdasarkan pada untung dan rugi.
berlanjut dalam kurun waktu yang tak terhingga,
Pendekatan ini melihat bahwa jika ada suatu
(b) Regularity of Stakes, interaksi yang terus
masalah dalam lingkup sebuah negara maka
menerus, bukan a single-play, satu kali
negara tersebut berupaya untuk melakukan
permainan
kerja sama. Dalam kasus penyalahgunaan
Information about the Others’ Actions,
narkoba
sangat
informasi yang bisa diandalkan tentang
merugikan Indonesia baik ekonomi, sosial,
tindakan aktor lain, (d) Quick feedback
maupun kesehatan dan bidang lainya. Untuk
about changes in the others’ actions,
itu
global
feedback antara kebijakan dan hasil yang
governance dalam konteks regionalisme
cepat. (3) Number of actors maksudnya
ASEAN harus menjadi pilihan Indonesia
adalah sejumlah aktor yang terlibat dalam
walaupun tetap pemerintah nasional harus
menyelesaikan
lebih dominan. Koehane menjelaskan bahwa
konsistensi, keseriusan, dan seharusnya ada
kerjasama dengan asumsi, (1) Mutuality of
sangsi tertentu terhadap sejumlah aktor yang
interest, maksudnya adalah dari kasus
sudah menyelesaikan masalah tertentu dan
tersebut semua pihak berkepntingan untuk
meninggalkan masalah tersebut, terutama
menyelesaikannya, baik Indonesia sendiri
dalam konteks global governance yang
dari
pendekatan
jelas
kerjasama
rational
secara
dalam
choice
kalkulasi
bentuk
selesai,
(c)
Reliability
masalah
of
tersebut,
sasarannya oleh kepentingan bersama.
Harus disadari bahwa penyelundupan narkoba secara illegal yang terjadi di Indonesia sudah sangat massif dan sangat mengancam generasi bangsa. Dalam konteks ini bahwa tindakan regionalism ASEAN haruslah bersifat transformasi kekuaasan yang bersifat produktif dan dan kreatif. Tujuananya adalah untuk meminimalisir destruksi dari para kartel narkoba yang tidak melihat sama rata terhadap pasar dan penikmat narkoba. Sehingga, kerjasama regionalism ASEAN ditranformatif dalam konteks “saya dan kamu akan melakukan sesuatu yang menguntungkan untuk kita berdua” atau bisa lebih profokatif untuk sedikit
menekan pelaku kartel dengan
asumsi destruktif ”
saya akan memaksa
kamu melakukan sesuatu yang kamu tidak pikirkan sehingga kamu bisa patuh”. Dalam dua bentuk
teori game ini memang ada
saatnya
setiap
negara
bersifat
destruktif
region
sehingga
ASEAN konstruksi
kebijakan structural bikan sekedar konvensi yang tertanda hitam di atas putih. Setelah
melihat
seberapa
besar
kerjasama maka akan muncul pendekatan efektivitas. Pendekatan ini terdiri atas output berkaitan dengan keluaran dari prinsip kerjasama yang terbentuk, outome berkaitan dengan peran intitusi dalam perubahan prilaku intitusi, dan impact berkaitan dengan kegitan yang sudah dilakukan oleh intitusi dalam merubah prilaku. Dalam pendekatan ini tolok ukurnya adalah (1) Point of reference
yang
optimum kolektif
terdiri
atas
collective
maksudnya
adalah
kerjasama
yang
terjalain
harus
memperhitungkan nilai optimum yang bisa diselesaikan menyangkut masalah tersebut, seberapa sulit kerjasama
masalah itu, bagaimana
yang
terjalin,
sinergitas
kebijakan, merupakan beberapa poin penting yang harus dilihat dalam mencapai nilai optimum
dalam
menyelesaikan
msalah
melalui kerjasama (level of collaboration).
Sederhananya adalah nilai optimum harus
pencegahan kasus. Jadi minimal yang bisa di
disesuaikan dengan kemampuan aktor yang
berantas
bermain realitas dan idealitas. Kemudian
Sehingga, aktor yang bekerjasama harus
counter factual berkaitan dengan sejumlah
memiliki matriks untuk melihat
nilai kuantitatif yang ingin dicapai misalkan
masalah, situasi dan kerumitan masalah,
range antara realita dan idealitas dihitung
standar poin yang akan dicapai dalam
dalam bentuk kalkulasi angka antara 1-10.
menyelesaikan masalah serta peran teknikal
Dari sejumlah angka tersebut aktor harus
dan political actor dalam eksekusi collective
melihat tingkat kerumitan masalah seperti
action (problem solving) dalam bentuk
halnya penyalagunaan narkoba, dari range
institutional setting, distribution of power,
tersebut sampai angka berapa minimum dan
dan skill and energy merupakan penentu
maksimum
untuk
apabila prefilensi institusi tersebut dalam
menyelesaikan masalah. Misalkan pada
kinerjanya mendapat nilai “0” berarti bisa
tahun 2014 pengguna narkoba di Indonesia
dikatakan
mencapai 4,7 juta orang dengan varian
sebaliknya..Terutama kasus narkoba ini
umur, status, pekerjaan dan lainya, bisa
memang harus perlu perhitungan matang
dikalkulasi dengan angka tersebut. Misalkan
dalam prefilensinya karena dari data yang
prefilensi tahun 2015 mencapai 5,1 juta
ditampilkan oleh BNN dari tahun ke tahun
orang maka dari angka 4,7- 5,1 juta orang di
jumlah pemakai dan pengedar semakin
beri label angka 1-10 untuk nilai yang bisa
marak. Sehingga, dari teknik pendekatan ini
di berantas. Misalkan dengan kinerja yang
institusi bisa melihat bagaimana kinerjanya,
sudah memedai memberi angka 8 sebagai
keberhasilanya, serta dampak kebijakan
prefilensi
yang ditimbulkan dalam mengubah prilaku
yang
bisa
penyelesaian
dicapai
kasus
dan
sekitar
gagal
100-300
,
ribu
begitu
orang.
objek
juga
terutama pengguna dan pengedar narkoba
bukanlah hitam di atas putihnya tetapi
dari pendekatan
aplikasinya.Dua
mahzab itu
dalam konteks pendeatan ini berarti secara
Management
school.
institusional bisa dikatakan BNN “gagal”
menekankan bahwa dalam efektifitas sebuah
dalam meminimalisir peredaran narkoba di
perjanjian atau konvensi letak kesalahnya
Indonesia. Akan tetapi, yang perlu disadari
apabila tidak efektif terletak pada bagaimana
pula bahwa tingkat kerumitan masalah
menajemen dan tata kelola, serta detail
narkoba yang sangat terorganisir menjadi
prilaku struktural yang kurang detail dari
pertimbangan bahwa tidak bisa secara
setiap konvensi. Maksudnya adalah mahzab
mutlak mengatakan bahwa upaya BNN
ini menekankan bahwa dalam melihat
“gagal “ dalam memberantas peredaran
efektifnya sebuah konvensi internasional
narkoba di Indonesia. Kondisi ini perlu
harus di atur secara mendetail proses
kesadaran secara sosial budaya, politik
negosiasi serta penerapanya dalam ratifikasi
agama dan peran serta semua pihak untuk
sebuah negara. Kondisi ini sangat penting
menjadikan peredaran narkoba secara gelap
dengan melihat tingkat kerumitan masalah
sebagai musuh bersama dan harus menjadi
penyulundupan narkoba di Indonesia harus
agenda yang harus di musnahkan.
dibuat strategi-strategi komprehensif dengan
ini. Melihat hasil data
Selain itu pula, ada dua mahzab untuk menganalisa sebarapa efektif akan adanya konvensi ASEAN tentang penyelundupan narkoba di Indonesia. John F. Kennedy pernah
berucap
bahwa
pada
dasarnya
perjanjian internasional yang paling penting
yakni (1)
Konsep
ini
mengatur waktu, tata strategi, blue print agenda, detail masalah program kerja serta proses negosisasi dan komunikasi bersama aktor lainya. Sehingga, dengan semakin detail agenda yang ada diharapkan bisa diterapkan. Oleh sebab itu agenda yang di
lakukan oleh negara dalam pemberantasan
pada detail menejemen struktural. Artinya
penyelundupan narkoba secara gelap bukan
mahzab ini mengisaratkan bahwa penerapan
aagenda musimaan atau temporer semata.
undang-undang
(2) Mahzab enforcement school. Mahzab ini
memukul telak pelaku penyelundup narkoba
menekankan
atau
dengan tindakan dari aktor-aktor yang
implementasi dari setiap undang-undang
dipercaya untuk melaksanakan hal itu. Oleh
atau konvensi yang telah diratifikasi.Yang
sebab
menjadi masalah adalah apakah tingkat
konsistensi taat
status dari penyelundupan narkoba secara
agenda utama untuk menurunkan beban
gelap merupakan “bencana kemanusian atau
psikologis bagi para pelaku kartel narkoba
tidak”.
gelap.
Dalam
pada
pelaksanaan
peningkatan
status
ini
penting, sebab jika hanya sebatas agenda temporer saja maka cenderung susah untuk di musnahkan. Oleh sebab itulah, mahzab ini menekankan bahwa menajeman struktural yang detail tidak terlalu menjadi poin utama yang terpenting adalah bagaimana efektifitas dari konvensi dan undang-undang yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional. Mahzab ini menekankan bahwa konvensi atau setelah ratifikasi menjadi legalitas hukum nasional menjadi goal dan strategi implementasi sangat penting bukan terpatok
itu,
nasional
hukuman
yang
harus
bisa
berat
hukum harus
atau
menjadi
Namun yang harus diperhatikan pula adalah rational actiontheory, di mana ketika enforcement undang-undang tidak efektif cenderung akan memjadikan budaya tidak taat hukum atau hukum bukan menjadi instrumen yang bisa menekan prilaku kartel narkoba.
Artinya
enforcement
hukum
hanyalah sebatas tulisan di atas kertas. Enforcement undang-undang yang paling berat dalam di Indonesia adalah hukuman mati. Akan tetapi konsistensi negara akan adanya hukum ini perlu dipertanyakan
mengingat banyaknya tekanan dari negara
sejumlah
luar akan domain hak asasi manusia
dipertanyakan kembali akan konsistensinya.
sehingga
dominasi
Dengan banyaknya konvensi yang lahir
manusia.
untuk
hukum
bisa
mengaburkan
terhadap
hak
asasi
negara
anggotanya
menekan
terjadinya
harus
peredaran
Konsistensi ini perlu di pertahankan tentang
narkoba
dalam
lingkup
seberapa kuat negara dalam menerima
ASEAN
belum
cukup
tekanan dari luar terhadap intervensi hukum
menekan masifnya peredaran narkoba di
nasional. Karena hukum nasional adalah
lingkup region ASEAN. Kondisi ini, bisa di
sesuatu yang berdaulat dan mempertahankan
sebabkan
hukum nasional adalah kebijakan berdaulat
ekonomi, sosial budaya, faktor hukum atau
secara politik. Pada poinya adalah “ketika
juga letaks struktur wilayah ASEAN yang
para
gelap
sangat strategis sehingga memudahkan para
narkoba di Indonesia dengan berbagai cara,
kartel untuk menjadikan bisnis narkoba
apakah mereka memikirkan akan dampak
gelap
yang ditimbukan oleh prilaku tersebut?
internasional
Bukan hanya itu, apakah konsistensi hukum
pendapatan ekonomi yang fantastis.
kartel
menghalakan
bisnis
nasional sudah bisa menjadi deterrence diplomacy tentang hukuman mati yang ada di KUHP sebagai tekanan psikologis?
faktor
bisnis dengan
baik
yang
untuk
faktor
berskala
iming-iming
Dalam merespon konvensi yang sudah disepakati oleh sejumlah negara ASEAN,
hukum menjadi hukum nasional dalam
Peran regionalisme ASEAN dalam
internasional
sebagai
ampuh
Indonesia sendiri dalam penerapan ratifikasi
E. PENUTUP
pembentukan
berbagai
regionalisme
sejumlah yang
di
konvensi
disepakati
oleh
melihat efektifitasnya perlu di pertanyakan konsistensinya. Hukum yang ada cenderung tidak terlalu konsisten ketika mendapat
tekanan dari negara lain yang menggunakan
itulah melihat efektifitas peredaran narkoba
domain ham sebagai counter issue terhadap
secara gelap di Indonesia walaupun data
intervensi hukum dan politk nasional.
menunjukan bahwa Indonesia setiap tahunya
Adanya
penikmat
hukuman
mati
dalam
KUHP
narkoba
meningkat
dan
sebenarnya bisa menjadi firstattack untuk
kebanyakan adalah remaja, harus menjadi
menekan psikologis dari para kartel narkoba
agenda nasional bahwa “peredaran narkoba
gelap.
secara gelap adalah bencana nasional”. Oleh
Namun
demikian,
efektifitasnya
aapabila hanya sebatas deterence diplomacy
sebab itulah, development assistance
cenderung
antara semua pihak harus sinergis dan
susah
untuk
meminimalisir
masalah
berdarnya narkoba di Indonesia secara
menjadi
masif. Mengingat Indonesia adalah pasar
memberantasnya
yang potensial bagi para kartel untuk
bukan sekedar agenda
menghalalkan bisnis ini dengan sasaran
agenda holisticpolicy untuk menciptakan
banykanya generasi muda yang masih labil
nation building dan state building yang
dan memasuki masa modernitas. Untuk
sehat
secara
dan
bersama
di
dan
bersama-sama wholistic tetapi
aman.
References Alexandroff, Alan S. (2010). Challenges in Global Governance: Opportunities for G-x Leadership. The Staley Foundation. Betts, Alexander. (2013). Transforming Global Governance for the 21st Century, Report UNDP. Cahyadi, R.K. (2011). Global Governance: Perspektif Liberalisme, Volume 4, No. 8, Desember. Carlesnaes, Walter et al. (2013). Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Nusamedia.
Cipto, Bambang. (2007). Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, , Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daily, Simon. (2013). Jurnal Social Sciences. Vol. 2, No. 6. Holsti, K.J. (1988). Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis., Jakarta: PT. Erlangga. Hurrell, Andrew. (1995). Regionalisms in Theoritical Precpective, dalam Louise Fawcett and Andrew Hurrell (Eds.), Regionalism in Word Politics: Regional Organization and International Order. New York: Oxford University Press Inc. Jackson, Robert, G.J. (1999). Introduction to International Relation. New York: Oxford University. _______. (2005). Pengatar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jones, Walter. (1993). Logika Hubungan Internasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Koehane, Robert, Nye, and Joseph. Globalization: What is New , What Is Not, ( And So What ) Foreign Policy. Boston and Toronto : Little Brown. May, Rudy T. (2003). Hubungan Internasional dan Masalah-Masalah Global. Bandung: PT. Rafika Aditama. _______. (2002). Studi Strategis, Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Rafika Aditama. Rosenau, James N. (1995). “Governance In Twenty First Century”. Global Governance. Vol. 1, No. 1, 13-43. Rosenau, James N & Wang Hongyin. (2001). “Transparency International and Corruption as an Isue of Global Governance”.Global Governance. Vol. 7, No.1, 25-50.
Wagley, John R. (2006). Transnational Organized Crime:Principal Threats and U.S. Responses, Congressional Research Service ˜ The Library of Congress. Foreign Affairs, Defense, and Trade Division. Wahyu Nugroho, Bambang dan Hanafi, Ahmad Rais, Theory Talsk: Perbincangan Pakar Sedunia Tentang Teori Hubungan InternasionalAbad Ke 21. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan, Penelitian dan Masyarakat (LP3M) dan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan ( PPSK). Weiss, Thomas G. (2009) The UN’s Role in Global Governance. UN Intellectual History Project.