i
PERAN PREDATOR SERTA MUSUH ALAMI LAIN PADA AGROEKOSISTEM WORTEL DI WILAYAH CIKAJANG KABUPATEN GARUT
SITI SYARAH MAESYAROH
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
ABSTRAK SITI SYARAH MAESYAROH. Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA. Produktivitas wortel di Indonesia masih rendah yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam mengendalikan OPT, petani umumnya masih menggunakan pestisida sintetik yang menimbulkan efek negatif. Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia. Predator merupakan salah satu kelompok musuh alami yang sangat penting dalam pengendalian biologi dan merupakan komponen yang dapat membantu menurunkan populasi hama. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan dan kelimpahan musuh alami, khususnya predator yang dapat dijadikan komponen dalam strategi PHT. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama dan musuh alami lain yang berada pada pertanaman wortel dan sekitarnya secara langsung serta menggunakan pitfall trap. Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu dengan jumlah sampel sebanyak 25 yang ditentukan secara acak sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah predator dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dari mulai awal tanam sampai menjelang panen. Predator-predator yang dapat ditemukan umumnya dari kelompok Lycosidae dan Formicidae. Pengamatan langsung dan pitfall trap menghasilkan perbedaan komposisi arthropoda yang teramati. Pada pengamatan langsung, yang dominan teramati adalah hama Tagasta marginella, sementara pada pitfall trap adalah serangga lain Collembola. Secara umum, pertanaman wortel pada daerah pengamatan dalam kondisi daun yang rusak karena gejala dari Tagasta marginella, dengan hasil panen sebesar 2.02 kg /m2. Kata kunci: Wortel, Hama Wortel, Musuh Alami Wortel, PHT
3
PERAN PREDATOR SERTA MUSUH ALAMI LAIN PADA AGROEKOSISTEM WORTEL DI WILAYAH CIKAJANG KABUPATEN GARUT
SITI SYARAH MAESYAROH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
4
Judul Skripsi
: Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut
Nama Mahasiswa
: Siti Syarah Maesyaroh
NRP
: A34080010
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Dadan Hindayana NIP 19670710 199203 1 002
Diketahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001
Tanggal lulus :
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1990 di Garut, Jawa Barat. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak KH. Endang Yusuf Djunaedi, Lc dan Ibu Hj. Idos Firdausyah. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SD Negeri Keresek 1, Jawa Barat. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 1 Cibatu dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMU Negeri 1 Cibatu (SMAN 3 GARUT). Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Proteksi Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan skripsi berjudul Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di BEM A, HIMASITA (Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman), HIMAGA (Himpunan Mahasiswa Garut) IPB.
6
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas berkah dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Peran Predator serta Musuh Alami Lain pada Agroekosistem Wortel di Wilayah Cikajang Kabupaten Garut. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjunan kita Nabi Muhammad saw beserta seluruh keluarga dan para sahabat, termasuk kita umatnya yang setia melaksanakan sunah-sunahnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Abah
Endang, Mamah Idos, Aa Yufi, Teh Ima, Teh Novi, A Roni, Upah, Ajay, Akang Supyan, dan keluarga besar penulis atas motivasi baik secara moril maupun materi, bimbingan, dan do’a yang tidak bisa terbalas. Tidak lupa buat Pak Wawan dan Pak Soleh beserta keluarga yang sudah membantu dalam kerja di lapang dan laboratorium.
Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Asep,
Kunkun, Mila, Elisa, Eulis, Lani, Isma, Rizky Nazareta, Agus, Tia, Iky, Wulan, Innes, dan teman-teman Proteksi Tanaman angkatan 45. Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis sendiri.
Bogor, Juni 2012
Siti Syarah Maesyaroh
7
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
ix
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................
1
Tujuan Penelitian .........................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
4
Taksonomi Tanaman Wortel ........................................................
4
Morfologi Tanaman Wortel .........................................................
4
Varietas Wortel ............................................................................
5
Syarat Tumbuh Tanaman Wortel .................................................
5
Hama Utama Tanaman Wortel ....................................................
6
Pengendalian Hama Terpadu .......................................................
8
Budidaya Tanaman Sehat ............................................................
9
Pelestarian Musuh Alami .............................................................
10
Serangga Predator ........................................................................
11
BAHAN DAN METODE ........................................................................
13
Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................
13
Budidaya Wortel ..........................................................................
13
Pengamatan Hama dan Musuh Alami ..........................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
15
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...............................................
15
Komposisi dan Peran Arthropoda pada Agroekosistem Wortel ..
16
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
25
Kesimpulan ..................................................................................
25
Saran ............................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
26
LAMPIRAN ............................................................................................
28
8
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pengamatan secara langsung .........................................
16
2 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap .......................................................................
17
3 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap (tanpa serangga lain) ....................................
17
4 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung .....
19
5 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap ...................................
20
6 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pengamatan secara langsung ..................................................................
21
7 Perkembangan populasi predator , musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap................................................................................................
22
8 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola) .........................................................................
23
9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung..... 2 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap…....………............
30 30
3 Populasi predator dan musuh alami lain dengan pengamatan secara langsung…………………..…………………….………………......... 4 Populasi predator , musul alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap..
31 31
5 a. Gryllidae, b. Chelisochidae, c. Gryllotalpidae, d. Formicidae, e. Lycosidae, f. Acrididae, g. Muscidae, dan h. Cicadellidae..……......
32
6 a. Lahan pertanaman, b. Pemasangan pitfall trap, c. Pemindahan sampel, d. Pengamatan langsung, e. Pemanenan, f, g dan h. Hasil panen ......................................................................................
33
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Wortel merupakan salah satu sayuran yang ditanam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang bersuhu 15.6o C sampai dengan 21.1o C. Daerah tersebut umumnya berada pada kisaran ketinggian 1000 sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Suhu dingin diperlukan untuk pertumbuhan
yang
optimum karena wortel berasal dari wilayah subtropis. Daerah yang disinyalir sebagai asal-usul wortel adalah Timur Dekat (Asia Kecil, Traus-Caucasia, Iran, dan dataran tinggi Turkmenistan) dan Asia Tengah (Punjab, Kashmir, Afganistan, Tajikistan, dan bagian barat Tian-shan) (Rukmana 1995). Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, wortel telah dibudidayakan secara meluas. Menurut BPS (2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 ha yang tersebar di 21 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, NTB, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Papua, Maluku, Banten, dan Jambi. Meskipun demikian daerah sentra wortel yang termasuk kategori empat besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Produktivitas wortel di Indonesia masih rendah. Pada tahun 1985 hasil rata-rata wortel nasional baru mencapai 9.43 ton/ha, kemudian tahun 1986 hanya 8.90 ton/ha, dan tahun 1991 sekitar 12.89 ton/ha (Rukmana 1995). Produktivitas ini masih sangat mungkin untuk ditingkatkan bila berbagai faktor yang menjadi kendala dapat diatasi. Permasalahan yang umum ditemukan pada budidaya wortel adalah masih terbatasnya varietas wortel unggul, organisme pengganggu tanaman, dan teknik budidaya yang belum intensif. Di samping itu, paket teknologi budidaya hasil penelitian komoditas wortel relatif masih terbatas (Rukmana 1995). Organisme pengganggu tanaman yang menjadi bagian kendala adalah hama dan penyakit. Hama yang sering ditemukan menyerang pertanaman wortel menurut Pitojo (2006) adalah Hyposidra sp., Heliothis assulta Gn., Agrotis sp., Nezara viridula, dan Coccinella spp. Sedangkan beberapa penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah busuk pangkal batang, bercak daun
2
Cercospora, hawar daun, dan bengkak akar (Root Knot) wortel. Sejauh ini petani menggunakan pengendalian secara sintetik, yang menimbulkan efek negatif dan mulai dirasakan misalnya muncul resistensi hama, resurjensi, makhluk bukan sasaran binasa, ledakan hama sekunder, predator dan parasitoid ikut mati, mencemari lingkungan, meninggalkan residu di dalam dan bagian-bagian tanaman, pembesaran biologik, dan menimbulkan kecelakaan bagi manusia (Oka 1995). Oleh karena itu pendekatan lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama pengendalian hama dan penyakit di Indonesia (UU No 12 tahun 1992). Pengendalian hama terpadu (PHT) pada prinsipnya adalah berusaha untuk bekerjasama dengan alam, bukan melawannya, sedangkan aktivitas kelompok tani menggambarkan, bagaimana petani dalam kelompoknya merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekologi, sosial maupun ekonomi secara bersama (Efenly 2006). Komponen pengendalian hama secara terpadu salah satunya adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori dasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Musuh-musuh alami dimanfaatkan sebagai pengendali hama agar fluktuasi kepadatan rata-rata populasi hama selalu rendah. Musuh-musuh alami ini digolongkan menjadi predator, parasitoid, patogen serangga (jamur, bakteri, virus, nematoda), dan vertebrata (mamalia, burung, amphibia, ikan). Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama, ditinjau dari laju pertumbuhan dan kemampuan memangsa. Predator merupakan salah satu kelompok musuh alami yang sangat penting dalam pengendalian biologi. Predator dapat memangsa lebih dari satu mangsa dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya dan bersifat polyphagous, sehingga predator dapat melangsungkan hidupnya tanpa tergantung pada satu mangsa. Oleh karena itu, predator merupakan komponen yang dapat membantu menurunkan populasi hama (Laba 1999).
3
Informasi mengenai komposisi predator dan musuh alami lainnya yang dominan pada tanaman wortel belum diketahui secara detail. Oleh karena itu, penelitian mengenai peran predator serta musuh alami lainnya dilaksanakan pada pertanaman wortel di Kecamatan Cikajang. Kecamatan Cikajang
merupakan
salah satu sentra pertanian yang memiliki potensi dan keadaan wilayah yang sangat sesuai dalam penanaman sayuran, diantaranya wortel. Hasil panen dari wilayah ini sudah bisa mencukupi permintaan pasar di sekitar Garut, sehingga sebagian dipasarkan di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran predator serta musuh alami lainnya pada agroekosistem wortel di wilayah Cikajang Kabupaten Garut.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Wortel Taksonomi Tanaman Wortel Dalam taksonomi tumbuhan, wortel diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
: Dicotyledone (biji berkeping dua)
Ordo
: Umbelliferales
Famili
: Umbelliferae (Apiaceae)
Genus
: Daucus
Spesies
: Daucus corata L. Dari suku pegagan-pegagan (Umbelliferae) ini, kerabat dekat wortel
adalah seledri (Apium graveolens L.) dan petroseli atau Parsley (petroselinum crispum Mill.). Seledri dan petroseli sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara di dunia sebagai sayuran daun. Di Indonesia wortel dikenal dengan nama daerah, di antaranya disebut bortol (Sunda, Priangan), wertel, wertol atau bortol (Jawa), dan ortel (Madura) (Pitojo 2006).
Morfologi Tanaman Wortel Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang dan akar. Secara keseluruhan sosok tanaman wortel merupakan tumbuhan terna tahunan atau setahun, yang tumbuh tegak setinggi 30-100 cm atau lebih. Daun wortel bersifat majemuk menyirip ganda dua atau tiga, anak-anak daunnya berbentuk lanset atau garis dengan bagian pinggirnya bercanggap melekat pada tangkai daun yang ukurannya agak panjang. Batangnya sangat pendek seolah-olah tidak tampak. Sementara akar tunggangnya dapat berubah bentuk dan fungsinya sebagai penyimpan cadangan makanan atau disebut “umbi”. Bentuk umbi wortel sangat bervariasi, tergantung varietas atau kultivarnya. Meskipun demikian bentuk umbi wortel runcing, bulat panjang dengan ujung tumpul, dan bentuk peralihan dari kedua bentuk umbi tadi. Warna kulit dan daging umbi pada umumnya kuning
5
atau jingga. Secara alami tanaman wortel dapat berbunga dan berbuah (berbiji). Bunga wortel berbentuk payung berganda. Kuntum-kuntum bunganya terletak pada bidang lengkung yang sama, warnanya putih atau merah jambu agak pucat. Bunga-bunga wortel dapat menghasilkan buah dan biji yang ukurannya kecil-kecil dan berbulu. Biji-biji ini dapat digunakan sebagai alat (bahan) perbanyakan wortel secara generatif (Pitojo 2006).
Varietas Wortel Wortel memiliki banyak varietas, karena tiap tahun perusahaanperusahaan benih di dunia kontinu menghasilkan varietas baru. Meskipun demikian dari ragam varietas tersebut, Sunarjono (1984) mengelompokkan jenis wortel berdasarkan bentuk umbinya ke dalam 3 golongan, yaitu : 1. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut. 2. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar serabut. 3. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan antara tipe Imperator dan Chantenay.
Syarat Tumbuh Tanaman Wortel Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab. Di negara-negara sub-tropis perkecambahan benih wortel membutuhkan suhu udara antara 9o C – 20o C, sedangkan pada pertumbuhan dan produksi umbi optimal membutuhkan suhu udara antara 15.6o C – 21.1o C. Keadaan tanah yang cocok untuk tanaman wortel adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tata udara dan tata airnya berjalan baik (tidak menggenang), keasaman tanah (pH) antar 5.5 – 6.5 atau hasil optimal pada pH 6.0 – 6.8. Jenis tanah yang paling baik adalah Andosol. Jenis tanah demikian pada umumnya terdapat di daerah dataran tinggi (pegunungan) (Pitojo 2006).
6
Hama Utama Tanaman Wortel Hyposidra sp.. Spesies ini termasuk famili Geometridae dari genus Hyposidra. Serangga ini bertubuh kecil, berukuran panjang 40 mm, dan memiliki pelindung kulit berwarna abu-abu terang, seperti kulit kayu. Di bagian punggung terdapat bintik-bintik kecil, dan memiliki dua pasang kaki belakang dan tiga pasang kaki depan. Larva Hyposidra bersifat polifag, memakan daun muda dan bunga tanaman. Tanaman inangnya antara lain tanaman sayuran, termasuk tanaman wortel. Pupa (kepompong) berada di dekat permukaan tanah dan setelah beberapa hari berubah menjadi ngengat. Ngengat berukuran kecil, lembut, bertubuh ramping, bersayap agak lebar, dan ditandai dengan adanya garis bergelombang. Ujung antena tidak menggelembung, ngengat Hyposidra tertarik pada cahaya, terbang lemah, dan aktif pada malam hari. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat luka gigitan serangga pada daun muda (Pitojo 2006). Heliothis assulta Gn.. Spesies Heliothis assulta termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Heliothis. Hama ini dikenal sebagai ulat pupus. Telur ulat diletakkan secara tunggal di atas permukaan daun, sehingga pada satu tanaman biasanya hanya terdapat satu ulat. Warna larva beragam, tetapi kebanyakan hijau dengan strip membujur. Larva muda agak berambut. Ulat bersifat kanibal dan fitofag. Stadium larva berlangsung antara 2-3 minggu, sementara daur hidup berlangsung selama 4 minggu. Ngengat berupa kupu kecil, suka menghisap madu bunga, dan mampu memproduksi telur sebanyak 500-2000 butir. Tanaman inang
Heliothis assulta relatif terbatas dibandingkan dengan
Heliothis armigera. Beberapa tanaman inang hama ini yaitu tembakau, ceplukan, jagung, sorgum, kapas, kentang, jarak, dan kedelai. Gejala
serangan yang
ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat kerusakan pucuk tanaman karena ulat memakan pucuk daun yang mengakibatkan pertumbuhan daun salah bentuk. Daun-daun muda berlubang (Pitojo 2006). Agrotis sp.. Ulat tanah termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Agrotis. Hama ini dikenal dengan nama cut worm. Ulat tanah berukuran panjang sekitar 4-5 cm dan berwarna kelabu, cokelat, atau hitam. Pada siang hari larva bersembunyi di sekitar batang tanaman. Larva bersifat folifag. Stadium larva
7
berlangsung selama 18 hari, stadium pupa 6-7 hari, dan stadium telur hingga imago sekitar 45 hari. Tanaman inang hama ini antara lain jagung, kacangkacangan, dan tanaman sayuran. Hama ini menyerang bagian pucuk tanaman muda hingga putus sehingga tanaman layu dan terkulai (Pitojo 2006). Nezara viridula. Hama ini termasuk ordo Hemiptera, famili Pentatomidae, genus Nezara, dan spesies Nezara viridula. Kepik berwarna hijau polos, bagian kepala dan pronotum berwarna jingga atau kuning keemasan. Induk mampu menghasilkan telur sekitar 250 butir. Telur berwarna putih, diletakkan secara berkelompok 10-50 butir. Telur yang akan menetas berwarna merah bata. Nimfa mengalami pergantian kulit sebanyak 5 kali. Nimfa instar 1 dan 2 berwarna hitam dan berbintik-bintik putih. Instar 3, 4, dan 5 masing-masing berwarna hijau, berbintik-bintik hitam dan putih, serta berukuran semakin besar. Stadium imago maksimal berlangsung selama 47 hari, stadium telur 6 hari, dan stadium nimfa 23 hari. Gejala serangan hama ini berupa bintik coklat pada kulit batang muda dan daun (Pitojo 2006). Coccinella spp.. Kumbang Coccinella bertubuh besar dan berbentuk oval mendekati bulat. Kepala tersembunyi di bawah pronotum dan memiliki antena pendek. Serangga dewasa berwarna cerah, yaitu kuning, orange, atau merah dengan noda-noda hitam, kuning, atau merah. Serangga dewasa bertelur setelah kawin. Telur berwarna kuning, diletakkan pada permukaan daun dengan posisi berdiri. Larva berwarna gelap dan ada yang bebercak kuning. Coccinella memakan mesofil daun, meninggalkan daun berlubang seperti jendela kecil. Selain menyerang daun, serangga ini juga memakan tangkai daun (Pitojo 2006). Chrysodeixis chalcites. Serangga hama ini dikenal dengan ulat jengkal atau green semilooper, termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae dan mempunyai daerah penyebaran di Indonesia. Telur C. chalcites diletakkan pada daun, berwarna keputihan. Stadium telur 3-4 hari. Larvanya berwarna hijau dengan stadium larva 14-19 hari. Pupanya di daun dengan stadium 6-11 hari. Ngengat berwarna coklat tua. Daun yang terserang C. chalcites akan tampak tinggal epidermis dan tulang daunnya (Harnoto 1981) .
8
Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka
pengelolaan
agroekosistem
yang
berwawasan
lingkungan
yang
terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian. Smith (1983) mendefinisikan Pengendalian Hama Terpadu sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan
dan
dinamika
populasi
spesies
hama
yang
bersangkutan.
Pengendalian Hama Terpadu bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai. Oleh karena itu PHT tersebut secara global telah memperoleh penerimaan dan tanggapan yang positif dari para pengambil keputusan, para petani, dan tentunya para konsumen produk pertanian di seluruh dunia yang merindukan bahan makanan yang bebas residu (Untung 1993). Penggunaan pestisida masih diperbolehkan dalam PHT, tetapi aplikasinya menjadi alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi peledakan hama atau penyakit. Pestisida yang dipilih pun harus yang efektif dan diizinkan (Sabirin & Elfahmi 2010). Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada di atas suatu aras populasi hama yang dinamakan sebagai Ambang Ekonomi (AE). Sasaran PHT adalah: 1) Produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi hama dan kerusakan
9
tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani (Arifin 1999).
Budidaya Tanaman Sehat Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan adalah:
10
a. Penanaman varietas tahan Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan. b. Penanaman benih/bibit sehat Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria: bersertifikat dan sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama. c. Sanitasi Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal (Arifin 1999).
Pelestarian Musuh Alami Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok yang disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman. Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah tungau Amblyseius deleoni yang memangsa tungau jingga, Brevipalpus phoenicis pada teh. Parasitoid memiliki inang yang spesifik berukuran relatif kecil, sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa,
11
maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memarasit kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hamperi.
Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada
inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, virus Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida (Arifin 1999). Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2) Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali (Arifin 1999). Serangga Predator Predator adalah golongan serangga atau binatang yang memangsa serangga lain. Ukuran tubuh predator umumnya lebih besar dibandingkan ukuran mangsanya, dan memerlukan mangsa lebih dari satu ekor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya supaya dapat berkembang dengan normal. Sering kali fase larva dan dewasa sebagai pemangsa (predator) pada mangsa yang sama. Namun ada pula jenis predator yang fase larva dan dewasanya membutuhkan mangsa yang berlainan (Rahadian et al. 2009). Beberapa predator bersifat kanibal, terutama bila terjadi kekurangan makanan. Pada keadaan makanan yang terbatas, individu yang lemah akan dimangsa oleh individu yang kuat. Imago kumbang
12
Coccinellidae akan memakan telurnya sendiri yang baru diletakkan bila mangsanya yang berupa kutu-kutu tanaman tidak ditemukan (Borror et al. 1989).
13
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kampung Sukamukti RT 05 RW 09 Desa Cibodas Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut dari bulan November 2011 sampai Februari 2012. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Budidaya Wortel Penelitian dilaksanakan pada lahan petani milik Ahmad Soleh. Lahan yang menjadi lokasi penelitian terletak pada ketinggian sekitar 1700 m dpl yang terdiri dari 6 gundukan. Lokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah Cikajang. Pemilihan lokasi ini berdasarkan survei dengan pertimbangan luas lahan seluas 4200 m2 dan umur tanaman 2 MST. Wortel ditanam oleh petani dengan cara ditebar, varietas yang digunakan adalah varietas lokal. Budidaya tanaman yang dilakukan meliputi pembajakan tanah, pembersihan, pemupukan awal, penebaran benih, dan sanitasi. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang, EM4, dan urea. Tindakan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani adalah sanisati lahan dengan intensitas 2 minggu sekali.
Pengamatan Hama dan Musuh Alami Pengamatan hama dan musuh alami dilakukan mulai umur tanaman wortel 2
minggu
setelah
tanam
(MST).
Pengamatan
dilakukan
dengan
mengkombinasikan metode pengamatan langsung dan pemasangan perangkap jebakan (pitfall trap). a. Pengamatan Langsung Pengamatan langsung dilakukan untuk mengamati hama dan musuh alami yang berada di tanaman dan sekitarnya. Pengamatan dilakukan pada jumlah tanaman contoh yang ditentukan secara acak. Pengamatan dilakukan satu minggu sekali selama 3 bulan (12 kali). Hama dan musuh alami yang ada dihitung serta
14
dicatat, jika ada yang tidak diketahui maka dibawa dan diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga. b. Pemasangan Perangkap Jebakan (Pitfall trap) Pemasangan perangkap jebakan (pitfall trap) dilakukan mulai umur tanaman wortel 2 MST. Perangkap jebakan dilakukan untuk mengamati komposisi Arthropoda permukaan tanah. Jumlah perangkap yang dipasang adalah 10 buah. Pemasangan perangkap dilakukan disetiap gundukan dan diantara gundukan. Perangkap dibuat dari gelas plastik bekas minuman yang dipasang dengan cara meletakkan gelas plastik bekas pada lubang yang telah dibuat sehingga permukaan gelas rata dengan permukaan tanah. Gelas tersebut diisi air sabun sepertiganya. Gelas diberi atap yang terbuat dari seng dengan tujuan terhindar dari hujan. Perangkap dipasang 24 jam, kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi alkohol dan diberi label. Setelah itu hasilnya dibawa ke Laboratorium Ekologi Serangga untuk dihitung dan diidentifikasi.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Cikajang memiliki luas wilayah 12.495 ha yang terdiri dari sebelas desa, yaitu Desa Giriawas, Desa Cikajang, Desa Cikandang, Desa Margamulya, Desa Simpang, Desa Mekarjaya, Desa Cipangramatan, Desa Mekarsari, Desa Padasuka, Desa Cibodas, dan Desa Girijaya. Secara geografis, kecamatan ini dibatasi oleh Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Cigedug, Kecamatan
Banjarwangi,
Kecamatan
Pamulihan,
Kecamatan
Pakenjeng,
Kecamatan Cisompet, dan Kecamatan Cihurip. Sumber daya alam di Kecamatan Cikajang ini terdiri dari tujuh sektor, yaitu : sektor pertanian (cabe besar, kentang, kubis, petsay, tomat, wortel, labu siam, jeruk, alpukat), sektor peternakan (ternak besar, unggas), sektor perkebunan (kina, kopi, teh), sektor kehutanan (kayu pinus, kayu rimba, getah pinus), sektor perikanan (budi daya ikan air tawar), sektor kelautan, dan sektor pertambangan (toseki, emas, batu, andesit). Proporsi wilayah menurut penggunaan lahan di kecamatan ini adalah : perkampungan 8%, pesawahan 2%, tegalan/kering semusim 8%, kebun campuran 15%, perkebunan 37%, dan hutan 28%. Petani di desa ini sudah lama menanami lahannya dengan sayur-sayuran termasuk wortel. Berdasarkan profil desa di atas maka desa ini termasuk daerah yang memenuhi kriteria penanaman sayuran. Kebanyakan petani menggunakan budidaya yang konvensional dimana dalam aplikasi penggunaan pestisida dan pupuk dalam dosis yang cukup tinggi. Pada lahan sekitar tempat penelitian terdapat lahan lain yang ditanami berbagai sayuran seperti cabai, wortel, sawi, tomat, dan sayuran lainnya. Lahan wortel yang dipakai sebagai penelitian ini sama sekali tidak memakai pestisida. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan sanitasi lahan dengan frekuensi dua kali selama penelitian dan memanfaatkan musuh alami yang ada.
16
Komposisi dan Peran Arthropoda pada Agroekosistem Wortel Komposisi dan peran Arthropoda pada agroekosistem wortel selama 12 kali pengamatan dengan metode langsung ditunjukan pada gambar 1, sedangkan dengan pitfall trap pada gambar 2 dan 3.
Jumlah serangga (imago)
400 350
Hama
300
Predator
250
Pengurai
200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 1
Komposisi dan perkembangan populasi Arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pengamatan secara langsung
Melalui pengamatan langsung (Gambar 1) ditemukan bahwa hama mendominasi dari predator, dan pengurai. Keberadaan hama dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 23 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 366 imago. Keberadaan predator dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 40 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 56 imago. Sedangkan keberadaan pengurai dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 22 imago. Populasi predator dan hama terlihat tidak terkait erat dengan adanya waktu jeda antara kenaikan populasi hama dan predator. Ini diungkapkan karena predator yang ditemukan umumnya predator yang bersifat general.
17
Jumlah serangga (imago)
700 Hama
600
Predator
500
Pengurai
400
Parasitoid
300 200 100 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 2 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap Melalui pitfall trap (Gambar 2) yang mendominasi adalah pengurai dengan keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 622 imago. Di sini terlihat bahwa keberadaan pengurai jumlahnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama, predator, dan parasitoid. Untuk melihat keberadaan dari hama, predator, dan parasitoid dapat dilihat pada gambar 3. Jumlah serangga (imago)
60 Hama
50
Predator 40
Parasitoid
30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 3 Komposisi dan perkembangan populasi arthropoda pada agroekosistem wortel dengan pitfall trap (tanpa pengurai)
18
Gambar 3 menjelaskan keberadaan dari hama, predator, dan parasitoid. Keberadaan hama dimulai pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 7 imago. Keberadaan dan puncak populasi predator terdapat pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 50 imago. Sedangkan keberadaan hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 3, 5, dan 9 MST dengan jumlah 1 imago. Jika dirinci lebih lanjut berdasarkan pengamatan langsung hama-hama yang ditemukan pada pertanaman wortel adalah Acrididae, Gryllidae, Noctuidae, dan Cicadellidae (Gambar 4). Hama yang mendominasi adalah Acrididae (Tagasta marginella ), awal keberadaannya adalah pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 23 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur
9
MST dengan jumlah 265 imago. Serangga ini bersifat polifag,
terutama memakan daun sehingga daun berlubang-lubang tidak beraturan. Cicadellidae (Empoasca sp.) keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 13 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 90 imago. Kerusakan oleh Empoasca sp. disebabkan oleh : 1. Racun yang terkandung di dalam saliva diinjeksikan ke tanaman pada saat makan, 2. Terjadinya penyumbatan floem secara mekanik karena rusaknya sel-sel atau penumpukan saliva, dan 3. Senyawa tertentu di dalam saliva yang merangsang terjadinya hipertrofi pada sel-sel floem yang menyebabkan
penyumbatan
(Backus
&
Hunter
1989).
Gryllidae
awal
keberadaannya yaitu pada saat tanaman berumur 4 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 30 imago. Gryllidae (jangkrik) biasanya bila diganggu akan meloncat dari satu tanaman ke tanaman lain. Sedangkan Noctuidae (semilooper) keberadaannya hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 1 imago. Gejala yang ditimbulkan oleh semilooper ini adalah bercak-bercak putih karena hanya tinggal epidermis dan tulang daunnya saja, memakan daun dari arah pinggiran (Anonim 1992).
19
Jumlah serangga (imago)
300 Acrididae
250
Gryllidae 200
Cicadellidae
150
Noktuidae
100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 4 Perkembangan populasi hama dengan pengamatan secara langsung
Hama-hama yang ditemukan pada metode pitfall trap (Gambar 5) adalah Acrididae, Cicadellidae, Gryllotalpidae, Gryllidae, dan Crysomellidae. Hama yang mendominasi adalah Gryllidae dengan keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 6 MST dengan jumlah 2 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 7, 8, dan 12 MST dengan jumlah 3 imago. Acrididae keberadannya dimulai pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 dan 9 MST dengan jumlah 2 imago. Keberadaan Empoasca sp. terdapat pada saat tanaman berumur 4, 5, 7, 8, dan 9 MST dengan jumlah masing-masing 1 imago. Gryllotalpidae (orongorong) keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 6 dan 7 MST dengan jumlah masing-masing 1 imago. Orong-orong dapat merusak tanaman pada semua fase tumbuh, merusak akar muda dan bagian pangkal tanaman yang berada di bawah tanah. Sedangkan Crysomellidae keberadaannya hanya pada saat tanaman berumur 9 MST dengan jumlah 1 imago.
20
Jumlah serangga (imago)
4
Acrididae Cicadellidae
3
Grylotalpidae Gryllidae
2
Crysomelidae 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 5 Perkembangan populasi hama dengan pitfall trap
Hasil dari gambar 4 dan gambar 5 mempunyai kesamaan hama yang didapat, yaitu Acrididae, Cicadellidae, dan Gryllidae. Tetapi untuk mengetahui populasi hama lebih efektif menggunakan metode pengamatan langsung. Hal ini terlihat dari jumlah populasi antara hama yang sama dari hasil pengamatan langsung dan pitfall trap, di mana hasil pengamatan langsung jumlah populasinya lebih banyak. Predator serta musuh alami lain yang ditemukan pada pengamatan secara langsung adalah Formicidae, Lycosidae, Coccinellidae, Mantidae, dan Sphecidae. Populasi yang dominan pada hasil pengamatan adalah Formicidae dan Lycosidae. Sedangkan untuk Coccinellidae, Mantidae, dan Sphecidae populasinya rendah (Gambar 6). Formicidae keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 25 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 35 imago. Peran semut sangat beragam, yaitu sebagai pemakan bangai, cendawan, nektar, sekresi tumbuhan, biji, sekresi kutu daun (aphid), dan predator (pemangsa) artropoda lainnya (Holldobler & Wilson 1996). Sebagian besar spesies semut adalah sebagai predator, sehingga memiliki peran penting dalam ekosistem. Semut yang ditemukan pada pengamatan pun bersifat sebagai predator. Lycosidae (Lycosa pseudoannulata) keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 15 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 21
21
imago, mempunyai sifat kanibal bila tidak ada mangsa, mencari mangsa pada malam hari serta berpindah sangat cepat, dan siklus hidupnya 3-4 bulan (Kartohardjono et al., 1989). Laba-laba dapat berperan sebagai musuh alami hama hampir di semua ekosistem pertanian, walaupun kadang-kadang tidak mampu mengimbangi peningkatan kerapatan mangsa, selain itu merupakan predator yang memiliki beberapa kelebihan, yaitu mempunyai kemampuan memencar yang baik, mampu lebih awal mengkolonisasi ekosistem pertanian semusim, memakan mangsa baik yang terdapat dipermukaan tanah maupun yang terdapat pada tajuk tanaman, dan memakan mangsa pada siang hari dan malam hari (Busniah 1995). Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus) keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 2 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 3, 5, 7, dan 10 MST dengan jumlah 2 imago. Menochilus sexmaculatus adalah kumbang predator yang mempunyai bercak hitam dan hanya menangkap mangsa yang bergerak lambat, kumbang dewasa menjatuhkan diri dari tanaman dengan cepat atau terbang bila terganggu. Mantidae (belalang sembah) awal keberdaaannya pada saat tanaman berumur 6 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 9 dan 13 MST dengan jumlah 2 imago. Biasanya belalang sembah memakan banyak jenis serangga dengan cara menunggu sampai mangsa cukup dekat dan menangkap mangsa dengan gerakan cepat dengan menggunakan kedua kaki depannya yang dilengkapi duri kecil untuk menusuk mangsanya. Sphecidae keberadaaannya hanya pada saat tanaman berumur 4 MST dengan jumlah 1 imago. Sedangkan Muscidae keberadaannya dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 22 imago.
22
Jumlah serangga (imago)
40 35 30 Formicidae
25
Lycosidae
20
Coccinellidae
15
Muscidae
10
Mantidae Sphecidae
5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 6 Perkembangan Populasi predator musuh alami lain, dan pengurai dengan pengamatan secara langsung
Predator serta musuh alami lain yang ditemukan pada pengamatan dengan metode pitfall trap adalah Collembola, Muscidae, Formicidae, Braconidae, Chelisochidae, Carabidae, dan Lysocidae. Keberadaan Collembola dimulai pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 20 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 11 MST dengan jumlah 622 imago. Collembola memiliki kerapatan tertinggi pada metode ini, karena merupakan artropoda penghuni tanah dan serasah yang semakin tua umur tanaman serasah yang ada pada permukaan tanah juga semakin banyak (Johan 2011). Collembola mendominasi dari segi kelimpahan individu ini karena ordo Collembola merupakan penghuni tanah yang berukuran kecil antara 0,23-9 mm dan ordo ini makan bahan tumbuhan yang membusuk, jamur, bakteri , serta tinja arthropoda dan bahan lainnya (Rizali 2002). Menurut Boror et al. (1992) menyatakan bahwa populasi Collembola dalam tanah bisa mencapai 100.000 tiap m3, sehingga memungkinkan jumlah Collembola yang didapatkan dalam pitfall trap banyak. Secara tidak langsung Collembola berpengaruh dalam pelepasan karbon dan nitrogen dari bahan-bahan organik. Persebaran Collembola salah satunya dipengaruhi oleh faktor kelembapan relatif tanah. Ketika musim kemarau populasinya menurun karena terjadi peningkatan aktivitas Collembola untuk
23
mencari makan dan air pada keadaan kering dan meningkatnya pemangsaan Collembola, antara lain oleh pemangsa kelompok Arachnida.
Jumlah serangga (imago)
600 500
Formicidae Lycosidae
400
Braconidae 300
Collembola Muscidae
200
Carabidae 100
Chelisochidae
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 7 Perkembangan populasi predator , musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap
Gambar 8 menjelaskan Populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola). Formicidae awal keberadaan dan puncak populasinya terdapat pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 39 imago. Braconidae keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 3, 5, dan 9 MST dengan jumlah 1 imago. Lycosidae awal keberadaan dan puncak populasinya pada saat tanaman berumur 2 MST dengan jumlah 11 imago. Muscidae awal keberadaan pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago dan mencapai puncak populasi pada saat tanaman berumur 5 MST dengan jumlah 8 imago. Keberadaan Carabidae selama pengamatan hanya ditemukan pada saat tanaman berumur 3 MST dengan jumlah 1 imago. Fase imago Carabidae berbentuk pipih, berwarna metalik, dan memiliki mandibula yang kuat (Kalshoven 1981). Carabidae biasanya hidup dalam atau dekat tanah, aktif pada malam hari (nokturnal), pada siang hari serangga ini bersembunyi di bawah daun, di bawah batu ataupun di bawah batang tanaman. Larva maupun imago Carabidae merupakan musuh dari serangga terutama ulat dan kepompongnya. Sedangkan Chelisochidae (cecopet) keberadaannya ditemukan pada saat tanaman berumur 6, 7, dan 9 MST dengan jumlah masing-masing 1 imago. Cocopet aktif pada malam
24
hari dan bersembunyi di siang hari dalam celah-celah dan lubang-lubang kecil di bawah kulit kayu atau serasah. Biasanya memakan bagian tumbuhan yang mati dan busuk, tetapi beberapa jenis lainnya adalah pemangsa, dan beberapa jenis berasosiasi dengan mamalia.
40
Jumlah serangga (imago)
Formicidae 35
Lycosidae
30
Braconidae
25
Muscidae Carabidae
20
Chelisochidae 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Minggu stelah tanam (MST) Gambar 8 Perkembangan populasi predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola)
Hasil dari Gambar 6 dan gambar 7 mempunyai kesamaan predator, musuh alami lain, dan pengurai dengan pitfall trap (tanpa Collembola) yang didapat, yaitu Formicidae dan Lycosidae. Populasi Formicidae dan Lycosidae hasil pengamtan langsung dan pitfall trap tidak begitu beda jauh. Tetapi untuk mengetahui populasi Collembola lebih efektif menggunakan metode pitfall trap karena terlihat dari gambar 7 yang jumlahnya sangat jauh dari yang lain dan Collembola merupakan Arthropoda tanah. Hasil dari pengamatan dapat kita ketahui populasi hama pada pertanaman wortel tidak mencapai Ambang Ekonomi (AE) yang dapat menyebabkan kerusakan pada pertanaman wortel. Selain itu populasi predator dan musuh alami lain dapat menekan populasi hama, sehingga pengendalian sintetik tidak perlu dilakukan.
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah predator dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dari mulai awal tanam sampai menjelang panen. Predator-predator yang dapat ditemukan umumnya dari kelompok Lycosidae dan Formicidae. Pengamatan langsung dan pitfall trap menghasilkan perbedaan komposisi arthropoda yang teramati. Pada pengamatan langsung, yang dominan teramati adalah hama Tagasta marginella sementara pada pitfall trap adalah serangga lain Collembola. Secara umum, pertanaman wortel pada daerah pengamatan dalam kondisi daun yang rusak karena gejala dari Tagasta marginella, dengan hasil panen sebesar 2.02 kg /m2.
Saran Perlu dilakukan pengamatan lanjutan mengenai hama dan penyakit utama pada pertanaman wortel. Perlu juga dilakukan observasi mengenai potensi musuh alami hama dan agens hayati untuk menekan intensitas penyakit yang menginfeksi pertanaman wortel.
26
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Produksi sayuran holtikultura Indonesia. [internet]. [diunduh 2012 Maret 10]; Tersedia pada: http://www.bps.go.id.[16/. Anonim. 1992. Petunjuk bergambar untuk identifikasi hama dan penyakit kedelai Indonesia. Penerbit Prognas PHT, Puslitbangtan, Balittan, dan JIC. Jakarta. P. 43-83. Arifin M. 1999. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama utama tanaman teh, kopi, dan kelapa. Seminar Pemasyarakatan PHT Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan Kabupaten Bogor, 4-5 Agustus 1999. 19 p. Backus EA, Hunter WB. 1989. Comparison of feeding behavior of the potato leafhopper Empoasca fabae (Homoptera: Cicadellidae) on alfalfa and broad bean leaves. Environ Entomol. 18: 473-480. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Soetiono Porto Soejono, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect (Sixth Edition). Busniah M. 1995. Pengaruh Kerapatan dan Jenis Gulma Terhadap Arthropoda Predator Pada Pertanaman Kedelai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Efenly D. 2006. Analisis pelaksanaan sekolah lapang pengendalian hama terpadu dan hubungannya dengan aktivitas kelompok tani di Kabupaten Belitung [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Harnoto. 1981. Pengaruh beberapa formulasi insektisida terhadap biologi Plusia chalcites Esper. Thesis FPS-IPB. 61 p. Holldobler B, Wilson EO. 1996. The Ants. Cambridge: Belknap Press. Harvard University.
Johan. 2011. Kelimpahan Hama dan Musuh Alami serta Pengaruh Perlakuan Insektisida pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Fase Generatif [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
27
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Kartohardjono A, T Teryana, WR Atmadja dan Nursasongko. 1989. Peranan Predator Cyrtorhinus sp. dalam Memangsa Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Edisi Khusus No. 2. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Laba IW. 1999. Aspek biologi dan potensi beberapa predator hama wereng pada tanaman padi. Jurnal Litbang Pertanian 18 (2). Oka IN. 1995.Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pitojo S. 2006. Benih Wortel. Jakarta: Kanisius. Rahadian R, Tarwotjo U, Hadi MH . 2009. Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rukmana R. 1995. Bertanam Wortel. Yogyakarta: Kanisius. Sabirin Elfahmi M. 2010. Study dampak sekolah lapang pengendalian hama terpadu. Medan: Balai Besar P2TP. Santoso T. 1993. Dasar-dasar Patologi Serangga. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Kerjasama PEI Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian UGM dan Program Nasional PHT/BAPPENAS Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Smith Ray F. 1983. Multidisciplinary conceptual statement: Integrated Pest Control. An introductory statement from the FAO/UNEP Panel on Integrated Pest Control Consortium for Internatl Crop Protection. Berkeley, USA, 30 pp. Sunarjono Hendro. 1984. Kunci Bercocok Tanam Sayur-sayuran Penting di Indonesia. C.V Sinar Baru, Bandung. Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran 1 Perkembangan Populasi Hama dengan Pengamatan secara Langsung Famili Acrididae Gryllidae Cicadellidae Noktuidae
2 23 0 0 0
3 30 0 0 0
4 40 1 0 0
Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke5 6 7 8 9 65 61 150 115 265 17 17 19 10 10 13 62 43 60 90 0 0 0 0 1
10 95 20 20 0
11 134 30 25 0
12 150 14 45 0
13 240 5 25 0
10 0 0 0 2 0
11 0 0 0 0 0
12 1 0 0 3 0
13 0 0 0 2 0
Lampiran 2 Perkembangan Populasi Hama dengan Pitfall trap Famili Acrididae Cicadellidae Gryllotalpidae Gryllidae Crysomelidae
2 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0
4 0 1 0 0 0
Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke5 6 7 8 9 2 0 0 0 2 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 2 3 3 2 0 0 0 0 1
29
30
Lampiran 3 Perkembangan Populasi Predator dan Musuh Alami Lain dengan Pengamatan secara Langsung Famili Formicidae Lysocidae Coccinellidae Muscidae Mantodae Sphecidae
2 25 15 0 20 0 0
3 24 21 2 15 0 0
4 25 9 1 11 0 1
Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke5 6 7 8 9 9 14 4 3 8 16 17 10 10 15 2 1 2 1 1 22 15 6 20 14 0 1 0 1 2 0 0 0 0 0
10 9 17 2 2 0 0
11 35 20 0 5 1 0
12 33 16 0 2 0 0
13 22 7 0 1 2 0
10 22 2 0 355 0 0 0
11 6 1 0 622 0 0 0
12 8 1 0 470 0 0 0
13 20 1 0 540 0 0 0
Lampiran 4 Perkembangan Populasi Predator , Musul Alami Lain, dan pengurai dengan Pitfall trap
Famili Formicidae Lysocidae Braconidae Collembola Muscidae Carabidae Chelisochidae
Jumlah serangga (ekor) pada saat MST ke2 39 11 0 20 0 0 0
3 8 4 1 13 1 1 0
4 5 2 0 477 2 0 0
5 11 3 1 256 8 0 0
6 5 2 0 176 0 0 1
7 2 7 0 416 0 0 1
8 10 1 0 175 3 0 0
9 17 5 1 458 0 0 1
30
31
a
b
c
d
e
f
g
h
Lampiran 5 a. Gryllidae, b. Chelisochidae, c. Gryllotalpidae, d. Formicidae, e. Lycosidae, f. Acrididae, g. Muscidae, dan h. Cicadellidae
32
a
b
c
d
e
g
f
h
Lampiran 6 a. Lahan pertanaman, b. Pemasangan pitfall trap, c. Pemindahan sampel, d. Pengamatan langsung, e. Pemanenan, f, g dan h. Hasil panen