PERAN PMO DALAM PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA THE ROLE OF PMO IN PREVENTING TRANSMISSION OF TB PULMONARY IN THE WORK AREA OF PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA
Rahmawati1, Muhammad Syafar2, Arsunan Arsin2 1
2
Dinas Kesehatan, Provinsi Kalimantan Timur, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Rahmawati Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur Samarinda, HP: 081253890395 Email:
[email protected]
Abstrak Dukungan PMO penderita TB Paru sangat mempengaruhi kesembuhan dalam pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran PMO dalam pencegahan penularan TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi di wilayah kerja Puskesmas Remaja, dengan 7 PMO sebagai informan. Penelitian dilakukan dengan mengobservasi langsung kediaman tempat tinggal penderita dan keluarganya, melakukan wawancara pada informan, dan data sekunder diperoleh dari dokumen atau pencatatan dan pelaporan Puskesmas Remaja Samarinda. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbaikan Hygiene dan sanitasi lingkungan dalam peningkatan kesehatan (health promotion), Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit tuberkulosis (general and specific protection) berupa kesadaran untuk mendapatkan imunisasi BCG saat masih bayi dalam keluarga, penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis and prompt treatment) dengan pengenalan tanda gejala penyakit dan pencarian pengobatan yang tepat, pembatasan kecacatan (dissability limitation) dengan pengawas minum obat (PMO), dan pemulihan kesehatan (rehabilitation) dengan peningkatan asupan gizi seimbang. Disimpulkan bahwa peran PMO dalam pencegahan adalah dengan peningkatan upaya kesehatan masyarakat melalui promosi kesehatan, imunisasi, gizi keluarga dan pengobatan teratur. Kata Kunci
: PMO, pencegahan, TB Paru
Abstract Pulmonary Tuberculosis patient PMO support greatly affect healing in medication. This study aimed to determine the role of PMO in preventing pulmonary TB transmission in the Work Area of Puskesmas Remaja Samarinda. The type of research is a qualitative research with phenomenology approach in the Work Area of Puskesmas Remaja and 7PMO as informants. The study was conducted by direct observation of the patient and the PMO residence, interviewing informants and secondary data obtained from the documents or records and reports of Puskesmas Remaja Samarinda. The results showed and improvement of environmental sanitation and tableware in health promotion by improved environmental, general and specific protection by bring round BCG immunization for newborn in the PMO, early diagnosis and prompt treatment by identification of the signs and symptoms of pulmonary TB and the search prompt treatment, limitation disability by supervisors of taking medication (PMO), and rehabilitation by increasing balanced nutrition. It is concluded that the role of PMO in preventing public health improvement efforts by health promotion, vaccination, family’s nutrition and regular medication. Keywords
: PMO, prevention, pulmonary TB
PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular yang banyak menjangkit penduduk di negara berkembang. Penyakit TB paru sangat berhubungan dengan perilaku masyarakat dan keadaan lingkungan. Pada umumnya penyakit tuberkulosis menyerang golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Penyakit TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dan ditularkan melalui udara yaitu dengan percikan ludah, bersin dan batuk. Menurut WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB Paru sebanyak 583.000 kasus setiap tahunnya dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus dan 13/100.000 penduduk merupakan penderita baru. Menurut WHO 1997, terdapat 9 juta kasus tuberkulosis dengan 3 juta kematian setiap tahunnya. Kurang lebih 38 persen dari seluruh kasus tuberkulosis dunia terdapat di Asia Tenggara, dan 95 persen terjadi di negara berkembang seperti India, Indonesia, Bangladesh, Thailand dan Myanmar (Syafar M, 2011). Di negara Philipina 3,1 BTA (+) per 1.000 penduduk, dan Korea 70 BTA (+) per 100.000 penduduk, hasil Survey prevalensi TB Paru yang dilaksanakan pada tahun 1995, tahun 2000 di negara China sebanyak 122 per 100.000 penduduk dengan BTA (+). Dan pada tahun 2001 pada kelompok umur diatas 14 tahun di negara Ethiopia 189 per 100.000 penduduk dengan BTA (+), (Tony, 2009). Dari 22 negara yang diestimasi, Indonesia dengan insiden kumulatif TB Paru berkisar 48 persen. Di Indonesia setiap tahun diperkirakan 450.000 kasus baru TB Paru, dimana sekitar 1/3 penderita terdapat di Puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit, klinik pemerintah maupun swasta dan 1/3 ditemukan di unit pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau seperti pengobatan tradisional. Penderita TB Paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia produktif dan sosial ekonomi rendah (Depkes RI, 2008). Prevalensi TB paru pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus 46% diantaranya merupakan kasus baru atau kasus baru meningkat 104/100.000 penduduk (Depkes RI, 2002). Di Indonesia risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection= ARTI) dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Hal ini berarti pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, setiap tahun diantara 100.000 penduduk, 100 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk, HIV/AIDS. Di Provinsi Kalimantan Timur penyakit TB paru tahun 2011 diperkirakan BTA (+) sebanyak 7.456 kasus dan ditemukan 2.447 kasus BTA (+), dan kasus terbanyak di Kota Samarinda
dengan jumlah kasus sebanyak 1.525 orang dan kasus baru sebanyak 372 orang, kemudian Kabupaten Kutai Kartanegara dengan jumlah kasus 1.315 orang
dan Kota Balikpapan
dengan jumlah kasus 1.174 orang. Di Kota Samarinda tahun 2010, kasus TB Paru terbanyak di Puskesmas Temindung yaitu sebanyak 55 kasus, kemudian disusul Puskesmas Kampung Baka 49 kasus, dan di Puskesmas Remaja sebanyak 40 orang, laki-laki 21 dan perempuan 19 orang. Kasus baru TB Paru terbanyak di Puskesmas Remaja yaitu sebanyak 31 orang, kemudian Puskesmas Temindung sebanyak 23 orang dan Puskesmas Sidomulyo 21 orang. Penyakit Tuberkulosis membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk mencapai kesembuhan. Tipe pengobatan jangka panjang menyebabkan pasien tidak patuh dalam menjalani pengobatan. Perilaku yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru membuat bakteri TB paru menjadi resisten pada tubuh. Pasien tidak patuh dalam pengobatan adalah salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit TB Paru. Dukungan dari keluarga adalah merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung ketaatan dalam program pengobatan. Diharapkan partisipasi keluarga dan peranannya sebagai PMO dalam pengawasan minum obat yang akan meningkatkan kepatuhan minum obat pasien TB Paru (Kartikasari D, 2011). Penderita merasa pengobatan yang dijalani tidak memberikan dampak yang signifikan sebagai upaya penyembuhan penyakit TB paru yang diderita dalam waktu yang relatif singkat. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan berobat adalah ciri kesakitan dan ciri pengobatan, komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan, persepsi dan penghargaan pasien, ciri individual, dan dukungan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Wilayah keja Puskesmas Remaja yang ada di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yang bertujuan untuk mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada
beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Metode Pengumpulan Data Data Primer diperoleh secara langsung mendatangi responden (kunjungan rumah) dengan tehnik wawancara dan observasi pada subyek penelitian yaitu dengan Pengawas Minum Obat (PMO) penderita TB Paru yang turut berperan dalam mendukung dalam proses pengobatan dan kesembuhan penderita TB Paru Data primer diperoleh dengan mengunakan kuesioner yang telah disusun sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari dokumen yang tersedia seperti arsip, laporan dan sebagainya saat penelitian berlangsung yaitu berupa pencatatan data-data tertulis yang berada di Puskesmas Remaja Samarinda. Pengumpulan data menggunakan cara-cara atau tehnik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan dengan lancar. Sumber dan jenis data terdiri atas kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan lain-lain.
Wawancara
dilengkapi dengan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara, alat perekam, pencatatan. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Analisis Data Langkah-langkah
analisis
data
pada
studi
fenomenologi,
dimulai
dari
mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan, membaca data dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data, menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan), kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi, selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi), Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut, membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis.
HASIL Gambaran Umum Penelitian Dari 42 Kasus Baru Penyakit TB Paru yang ditemukan di Puskesmas Remaja terdapat 34 Penderita TB Paru Kategori I dengan 1 penderita dinyatakan hilang, 1 penderita pindah, dan 1 penderita masih dicari oleh pihak puskesmas, 1 penderita merupakan penderita TB Paru Kategori II, 7 Penderita Ekstra Paru dengan 1 Penderita Ekstra Paru pindah. Penderita yang berada di kelompok umur < 20 tahun sebanyak 4 orang, dalam kelompok umur 20 – 35 tahun sebanyak 15 orang, dan dalam kelompok umur > 35 tahun sebanyak 22 orang. Karakteristik Responden Karakteristik Informan, Informan dalam penelitian ini adalah PMO yang turut berperan dalam proses pengobatan dan kesembuhan penderita TB Paru, bersedia menjadi informan, berdomisili di wilayah kerja puskesmas Remaja, mempunyai anggota keluarga yang menderita TB Paru dan berobat di Puskesmas Remaja. Berdasarkan tabel 1, jumlah informan dalam penelitian ini adalah 7 (tujuh) orang informan yang terdiri dari orang tua (ibu), saudara (kakak) dan suami/isteri dari penderita. Adapun tingkat pendidikan informan yaitu SLTA (2 orang), SLTP (2 orang), SD (3 orang). Mata pencaharian informan meliputi ibu rumah tangga/tidak bekerja (1 orang), swasta (3 orang), pedagang (1 orang), dan wiraswasta, (2 orang). Pendapatan dalam keluarga yaitu < Rp 1.250.000,- (4 orang), Rp.1.250.000,- sampai dengan Rp.2.500.000,-. (2 orang) dan pendapatan > Rp.2.500.000,- (1 orang). Fokus Penelitian Peran PMO dalam Peningkatan Kesehatan (Health Promotion), dari tabel 2, ada 3 Rumah PMO yang memiliki jendela rumah/kamar yang selalu dibuka, 1 rumah PMO yang memiliki jendela rumah/kamar yang jarang dibuka, dan 3 rumah PMO yang kurang memiliki jendela rumah/kamar. Dari 3 rumah PMO yang memiliki jendela rumah/kamar yang selalu dibuka, 2 rumah PMO memiliki ventilasi kamar dan pencahayaan kamar yang baik sedangkan 1 rumah PMO memiliki ventilasi kamar yang baik namun pencahayaan kamar yang kurang. Rumah PMO yang memiliki jendela rumah/kamar yang jarang dibuka memiliki ventilasi kamar dan pencahayaan kamar yang baik. Sedangkan semua rumah PMO yang kurang memiliki jendela rumah/kamar memiliki ventilasi kamar dan pencahayaan kamar yang kurang pula. Peran PMO dalam Perlindungan Umum dan Khusus, didapatkan hasil bahwa 5 Penderita TB Paru dan Keluarganya memiliki status imunisasi BCG yang jelas, 1 Penderita
TB Paru memiliki status imunisasi BCG yang meragukan, dan 1 Penderita TB Paru tidak mendapatkan imunisasi BCG, dapat dilihat pada tabel 3. Peran PMO dalam penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, seluruh Penderita TB Paru dan Keluarganya pergi mencari pengobatan ke Puskesmas. Selain ke Puskesmas, 4 informan mengatakan pergi mencari pengobatan sendiri seperti membeli obat di warung, 1 informan pergi mencari pengobatan ke dokter praktek, dan 1 informan pergi mencari pengobatan ke manteri/bidan, dapat dilihat dalam tabel 4. Tanda Gejala TB Paru yang diketahui Penderita TB Paru dan PMO, 4 informan menyebutkan keringat pada malam hari dan demam sebagai tanda gejala Penyakit TB Paru, 1 informan menyebutkan keringat pada malam hari, demam dan batuk darah sebagai tanda gejala Penyakit TB Paru, dan 2 informan menyebutkan tidak ada nafsu makan, keringat pada malam hari, demam dan batuk darah sebagai tanda gejala Penyakit TB Paru, dapat dilihat dalam tabel 5. Pembatasan Kecacatan, sebagai Pengawasan Minum Obat (PMO) Penderita TB Paru, didapatkan hasil bahwa seluruh penderita TB Paru diawasi dalam mengkonsumsi obat pada pagi hari, dengan dosis tunggal tahap lanjutan yaitu sekali minum 3 tablet dalam seminggu 3 kali selama 16 minggu. Pemulihan Kesehatan, Pola Makan Penderita TB Paru, mengenai pola makan, seluruh informan menyatakan bahwa mereka makan dengan porsi nasi, sayur, dan lauk pauk, 5 informan diantaranya menyatakan jenis lauk yang dikonsumsi sehari-hari berkisar antara ikan, tempe dan tahu, sedangkan 1 informan menyatakan jenis lauk yang dikonsumsi seharihari berkisar antara ayam, ikan, tempe dan tahu, dan 1 informan yang menyatakan jenis lauk yang dikonsumsi sehari-hari berkisar antara ikan, tempe, tahu dan telur . Ditemukan pula 3 informan yang menyatakan frekuensi makan dalam satu hari adalah 3 kali, 3 informan menyatakan frekuensi makan 2 kali, dan 1 informan menyatakan frekuensi makan 1 kali – 2 kali sehari.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan Peran PMO dalam pencegahan penularan TB Paru sebagian besar PMO telah berupaya agar dapat meningkatkan derajat kesehatan bagi anggota keluarganya yaitu dengan pola hidup bersih dan sehat. sanitasi lingkungan dengan perbaikan sistem sirkulasi udara di dalam rumah dan ruang-ruang kamar. Keluarga juga telah melakukan perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, perlakuan terhadap alat-alat yang digunakan oleh penderita misalnya menjemur kasur tempat tidur, karena ventilasi kurang sehingga perputaran udara dan sinar matahari kurang masuk kedalam kamar. Terdapat rumah
keluarga yang memiliki jendela rumah/kamar yang kurang dan ventilasi dan pencahayaan yang kurang pula yang dapat mengakibatkan kelembaban dalam ruangan. Selain itu ditemukan pula rumah penderita yang berada di perumahan yang padat tanpa celah yang cukup untuk memaksimalkan pencahayaan masuk ke dalam rumah. Beberapa faktor yang memacu terjadinya penyakit TB Paru dan berhubungan dengan kejadian TB Paru, yakni kepadatan hunian, ventilasi rumah, kelembaban dan jenis rumah (Budi B. S,dkk 2005).Semua faktor tersebut mendukung perkembang biakan kuman bakteri Penyakit TB Paru yang apabila tidak segera ditangani dengan perbaikan sanitasi lingkungan rumah, maka penyebaran penyakit dan penularan mungkin akan meningkat. Hasil pemeriksaan dahak mikroskopis Tuberkulosis Paru berhubungan dengan ventilasi, pencahayaan alami, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, dan kontak serumah dengan penderita TB Paru (Wardiyah U 2011). Terdapat Keluarga yang tidak memisahkan peralatan makan/minum Penderita TB Paru dengan anggota keluarga lainnya. Keluarga mengaku tahu mengenai pentingnya menjaga peralatan makan/minum agar tidak digabung dengan peralatan makan/minum anggoa keluarga lainnya, namun terkadang mereka menganggap peralatan makan yang telah dicuci dengan sabun dapat digunakan secara bersama karena kuman telah mati. Peralatan makan/minum yang tidak dipisahkan merupakan salah satu penyebab tertularnya anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan penderita. Kuman yang berada di perlatan makan/minum belum tentu mati hanya dengan mencuci dengan sabun. Pentingnya mengingatkan kembali keluarga akan perlunya memisahan peralatan makan/minm perlu dilakukan karena ditakutkan penderita TB Paru dan keluarga menganggap sepele hal ini sehingga tidak terlalu memperhatikan atau mengabaikannya. Dengan memisahkan peralatan makan dan minum, keluarga telah menghilangkan salah satu rantai penularan yang mungkin muncul. Sebagian besar Penderita TB paru dan keluarganya telah mendapatkan vaksi BCG ketika mereka bayi, namun ada keluarga yang masih meragukan status imunisasinya. Selain dari itu ditemukan pula 1 (satu) keluarga dengan status imunisasi yang meragukan dan 1 (satu) keluarga tanpa imunisasi BCG. Hal tersebut menjadi jelas bahwa tanpa ada perlindungan khusus yang diberikan untuk mencegah penyakit, tubuh akan rentan terhadap penyakit tersebut. Ditambah lagi dengan berbagai faktor yang dapat membuat penyakit TB Paru yang diderita lebih parah. Perlunya mendapatkan proteksi atau perlindungan khusus sejak masih bayi ialah diharapkan dengan perlindungan tersebut tubuh manusia dapat membentuk antibodi dengan sendirinya dan meskipun telah terpapar dengan kuman penyakit, tubuh manusia tersebut dapat memberikan perlawan sehingga kuman penyakit tidak dapat masuk ke
dalam tubuh atau penyakit tidak menjadi lebih parah. Ada kaitan waktu pemberian imunisasi dengan kejadian TB Paru pada anak Balita (Prasojo 2006). Namun demikian Imunisasi BCG yang diberikan tidak selalu berhasil mencegah penyakit dikarenakan faktor host, agent, dan lingkungan yang mempengaruhi. Tanda atau gejala penyakit TB Paru hampir sama dengan tanda atau gejala penyakit yang biasa diderita masyarakat seperti batuk, demam, pilek, sehingga masyarakat menganggap hal ini adalah penyakit yang biasa diderita dengan membeli obat diwarung bisa sembuh, namun setelah seminggu kemudian ternyata tidak sembuh bahkan makin parah. Kemudian barulah berobat ke tenaga kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan. Peran keluarga dalam penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat pada penyakit TB Paru ialah dengan mengenali tanda dan gejala TB Paru sehingga keluarga sebagai orang yang paling rentan tertular penyakit TB Paru karena tinggal bersama dengan Penderita TB Paru, dapat dengan cepat dan tepat ditangani apabila tertular penyakit. Tindakan pertama perilaku pencarian pengobatan penderita TB Paru dewasa kasus baru adalah sebagian besar mencari pengobatan ke non Puskesmas. Ini terjadi pada kelompok dengan tingkat pengetahuan yang lebih dari pada kelompok yang lain (Vinoricka, 2012) Upaya pencarian pengobatan atas dugaan penularan dari anggota keluarga lain atau tetangga yang pernah menderita penyakit, beberapa keluarga sudah dapat menunjukkan partisipasi langsung untuk merujuk penderita ke Fasilitas kesehatan (Ribka L. M, 2007). Keluarga telah berperan sebagai PMO dengan baik yang membantu kedisiplinan Penderita TB Paru dalam menelan obat. Semua penderita TB Paru diawasi dalam mengkonsumsi obat oleh keluarganya. Peran keluarga sebagai PMO sangat baik karena dapat mengurangi resiko kegagalan dalam pengobatan dan membantu meningkatkan semangat dan kepercayaan diri penderita untuk dapat sembuh. Pasien yang memiliki kinerja PMO baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar dibandingkan pasien yang memiliki kinerja PMO buruk, dan secara statistik hubungan tersebut signifikan. Kinerja PMO berhubungan dengan keteraturan berobat pasien TB Paru Strategi DOTS (Juwita R.H, 2009). Sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) sangat berperan aktif dalam mendukung dan berpartisipasi langsung dalam mengawasi pengobatan anggota keluarga lainnya yang menderita TB Paru, agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberikan motivasi agar mau berobat secara teratur serta selalu mengingatkan penderita untuk mengambil obat dan jadwal kontrol. Mendukung terciptanya hidup sehat melalui pemahaman disability, berupaya hidup sehat seraya menjauhi penyakit dan deritanya. Oleh sebab itu
melalui uraian tentang “DOA” akan membawa masyarakat secara objektif melihat disability dan deritanya (Ngatimin, 2005). Keluarga dan PMO telah membantu penderita TB Paru untuk dapat kembali seperti semula sama seperti sebelum sakit. Dari segi rehabilitasi yang dilakukan dibantu oleh keluarga, yang pertama adalah rehabilitasi secara fisik, yaitu rehabilitasi yang dimaksudkan agar semua kecacatan yang terjadi ketika penyakit menyerang Penderita TB Paru dapat kembali seperti sebelum sakit. Semakin baik tingkat kecukupan kalori dan protein semakin baik pula status gizinya. Keluarga berusaha memperbaiki derajat kesehatannya dengan mencoba mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang sesuai yang dianjurkan oleh Puskesmas yaitu dengan mengkonsumsi karbohidrat, protein dan vitamin dalam makanan, agar dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Keluarga telah berupaya makanan dengan gizi seimbang, namun karena keterbatasan ekonomi sehingga keseimbangan gizi baik kualitas maupun kuantitasnya masih kurang. Dengan makan hanya 1 kali hingga 2 kali dalam sehari, keluarga pun dapat memenuhi gizi seimbang dengan meningkatkan asupan gizi yang bervariasi pada satu porsi makan. Untuk mendukung kesembuhan dari penyakit TB Paru, pemenuhan kebutuhan gizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman penyakit TB Paru.
KESIMPULAN DAN SARAN Peran PMO dalam pencegahan penularan penyakit TB Paru telah dilakukan dengan peningkatan kesehatan (health promotion) yaitu pola hidup bersih dan sehat, perlindungan khusus terhadap penyakit tuberkulosis (specific protection) dengan memberikan Imunisasi BCG, penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis and prompt treatment), dapat mengenali tanda dan gejala penyakit TB Paru dan pencarian pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan yang tepat, pembatasan kecacatan (dissability limitation), dan pemulihan kesehatan (rehabilitation), peningkatan gizi keluarga melalui makanan gizi seimbang. Bagi Puskesmas untuk mensosialisasikan promosi kesehatan (health promotion), peningkatan Gizi keluarga dalam pemulihan kesehatan (rehabilitation), serta jejaring bayi baru lahir yang harus mendapatkan imunisasi BCG (general and specific protection) kepada masyarakat. Bagi keluarga dan masyarakat agar mengetahui tanda dan gejala (early diagnosis and prompt treatment), serta pencarian pengobatan yang tepat dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA Budi B,S (2005), Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dengan Kejadian TB Paru Pada Pasien Yang Berobat di Balai Pencegahan dan Penyakit Paru Pati, dari http://eprints.undip.ac.id/4829/ diakses pada tanggal 20 Agustus 2012 Departemen Kesehatan RI (2002), Pedoman Nasional Program Imunisasi,Jakarta. Departemen Kesehatan RI (2008), Panduan Pengawas Menelan Obat, Jakarta Juwita RH (2009), Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Keteraturan Berobat Pasien TB Paru Strategi DOTS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dari http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=13525 diakses pada tanggal 25 Juli 2012 Kartika D (2009), Hubungan Peran Keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Puskesmas Kedungwuni Kabupaten Pekalongan, dari http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id dikases pada tanggal 20 Oktober 2012 Ngatimin R (2005), DOA, Disability Oriented Approach, Yayasan “PK-3” Makassar. Prasojo (2006), Kaitan Antara Waktu Pemberian Imunisasi BCG dengan Kejadian TB Paru pada Balita di Puskesmas Pituruh Kabupaten Purworejo, http://eprints.undip.ac.id/4754/1/2855.pdf diakses pada tanggal 20 Agustus 2012 Ribka L Marni (2007), Peran Keluarga Pengawas Minum Obat (PMO) dalam Mendukung Proses Pengobatan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Baumata Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang, dari http://wordpress.com/212/06/artikel131.do diakses pada tanggal 20 Agustus 2012 Syafar Muhammad (2011), Tuberkulosis:Sebuah Kajian Sosial Budaya, Nala Cipta Litera Tonny L. T (2009), Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Vinoricka. D.A (2012), Analisis Faktor Perilaku Pencarian Pengobatan Pertama Penderita TB Paru Dewasa Kasus Baru di Puskesmas Remaja dan Temindung Samarinda Wardiyah U (2010), Hubungan Sanitasi Dan Kontak Serumah Terhadap Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Pada TB-Paru Di Puskesmas Teja, Kabupaten Pamekasan
LAMPIRAN Tabel 1. Karakteristik Informan N o
Informan
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Hubungan
Pekerjaan
Pendapatan
1.
Ism/ Jk S
35 Th
Lk
SLTA
Kakak
Swasta
< Rp. 1.250.000,-
2.
Sam/Dwt
26 Th
Pr
SLTP
Isteri
Swasta
>Rp. 2.500.000,-
3.
End/ Spy
47 Th
Pr
SD
Ibu
Tdk bekerja/ Ibu Rumah Tangga
< Rp. 1.250.000,-
4.
Arb/ Mrd
55 Th
Pr
SD
Ibu
Swasta
5.
Rat/ Jl N
45 Th
Pr
SLTP
Isteri
Pedagang
6.
Sug/ Stn
44 Th
Lk
SD
Suami
Wiraswasta
Rp. 1.250.000 s/d Rp. 2.500.000,Rp. 1.250.000 s/d Rp. 2.500.000,< Rp. 1.250.000,-
7.
Amr/ Ttk
33 Th
Lk
SLTA
Suami
Wiraswasta
< Rp. 1.250.000,-
Tabel 2. Hygiene dan Sanitasi Penderita TB Paru dan Keluarga No
Rumah Informan
Jumlah Penghuni rumah
Jendela rumah/
Ventilasi
Pencahayaan
Kamar
Kamar
Kamar
1.
Ism/ Jk S
4 orang
Ada/buka
√
√
2.
Sam/Dwt
5 orang
Kurang
X
X
3.
End/ Spy
7 orang
Kurang
X
X
4.
Arb/ Mrd
6 orang
Ada/buka
√
X
5.
Rat/ Jl N
3 orang
Ada/buka
√
√
6.
Sug/ Stn
7 orang
Kurang
X
X
7.
Amr/ Ttk
4 orang
Ada tapi jarang buka
√
√
Tabel 3. Status Imunisasi BCG Penderita TB Paru dan Keluarga No
Informan
Jelas
1.
Ism/ Jk S
√
2.
Sam/Dwt
√
3.
End/ Spy
√
4.
Arb/ Mrd
√
5.
Rat/ Jl N
6.
Sug/ Stn
7.
Amr/ Ttk
Meragukan
Tidak
√ √ √
Tabel 4 Pencarian Pengobatan oleh Penderita TB Paru dan Keluarga No
Informan
Obat Sendiri
Manteri/Bidan
Dokter Praktek
Puskesmas
1.
Ism/ Jk S
2.
Sam/Dwt
3.
End/ Spy
4.
Arb/ Mrd
5.
Rat/ Jl N
6.
Sug/ Stn
√
√
7.
Amr/ Ttk
√
√
Rumah Sakit
√ √
√ √
√
√
√
√ √
√
Tabel 5. Tanda Gejala TB Paru yang diketahui Penderita TB Paru dan Keluarga No
Informan
Pilek
Tidak ada nafsu makan
Keringat malam hari
pada
Demam
Batuk darah
1.
Ism/ Jk S
√
√
√
√
2.
Sam/Dwt
√
√
√
√
3.
End/ Spy
√
√
√
√
4.
Arb/ Mrd
√
√
√
√
5.
Rat/ Jl N
√
√
√
√
√
6.
Sug/ Stn
√
√
√
√
√
7.
Amr/ Ttk
√
√
√
√
√