PERAN PERATURAN TATA RUANG DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI KABUPATEN CIREBON
TITIN HARTINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Peraturan Tata Ruang dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Cirebon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Februari 2016
Titin Hartini NIM P0541241
RINGKASAN TITIN HARTINI. Peran Peraturan Tata Ruang Dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan Di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh MUSA HUBEIS dan NURHENI SRI PALUPI. Kabupaten Cirebon telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun , dimana salah satunya mengembangkan kawasan agroindustri, serta industri kecil dan mikro, khususnya pengolahan hasil perikanan. Penetapan kawasan industri pengolahan hasil perikanan, diharapkan memacu dan mendorong tumbuhnya UKM di bidang kelautan dan perikanan, sehingga memberikan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir, serta mendukung perkembangan ekonomi Kabupaten Cirebon. Tujuan penelitian: (1) Menganalisis sebaran dan kondisi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di pesisir sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW Kabupaten Cirebon; (2) Menganalisis kontribusi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan terhadap pengembangan perekonomian secara regional di wilayah kajian; ( ) Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberadaan, kondisi dan perkembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon; dan (4) Menyusun strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan agar berdampak bagi pengembangan perekonomian Kabupaten Cirebon. Penelitian dilakukan dengan gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan UKM di wilayah kajian melalui metode analisis Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats (SWOT) dan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)dan pendekatan kuantitatif dengan analisis sistem informasi geografis (SIG). Hasil analisis menunjukkan bahwa strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan dapat dilakukan melalui variasi, jenis dan distribusi dari produk hasil perikanan. UKM PHP meningkatkan variasi produk, dan meningkatkan pendapatan pelaku usaha mencapai Rp2.000.000,- per bulan dengan omset mencapai Rp30.000.000,- per bulan dan memberikan kontribusi terhada PPDRB melalui ekspor produk senilai US$ 8.447.096,43, dengan prioritas utama pada pengembangan UKM adalah variasi produk.
Kata kunci: Peraturan tata ruang, strategi pengembangan, usaha kecil dan menengah, pengolahan hasil perikanan
SUMMARY TITIN HARTINI. The Roles of Spatial Planning for Developed Strategies of Small And Medium Enterprise on Fisheries Product Processing in Kabupaten Cirebon.Thesis supervised by MUSA HUBEIS and NURHENI SRI PALUPI. Kabupaten Cirebon was established of local law number 17 of 2011 about district spatial planing Kabupaten Cirebon (RTRW) for 2011-2013. A part of RTRW is developing of agroidustry area, small and medium enterprise (SME) especially processing industry of fisheries products. The establish of the area of processing industry have to drive force for SME growth, made of people prosperity, and support for economic growth in Kabupaten Cirebon. The objectives of research are: (1) to analyze the distribution and charateristis of SME processing fisheries product in before and after local law established. (2) to analyze of the contribution of processing industry of fisheries products to district economic development, (3) to analyze internal and external factors impact to distribution, conditions and developed of the processing industry of fisheries product in Cirebon districts, (4) to improve priority strategy of SME development for economic trigger in Kabupaten Cirebon. The research approach are merge of the qualitative and quantitive approach. Qualitative approach within analysis of dependent variable of the key factors correlated for economic development. With SWOT and AHP method. Quantitative approach within GIS analysis. Results of the research consists are priority strategy for developing of SME in processing industy of fisheries product could be improved by variety, chracteritics, and distributions. SME have been increased variety of fiseheries product, increased income of enterpreuner to Rp ,- per month and volume is Rp30.000.000,- per moth and contribute to PDRB with product export is US$ 8. . , . And variation of product is the first priority strategy to developed SME in Cirebon. Key word: law of spatial planning, development strategy, small and medium enteprise (SME), fisheries product
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERAN PERATURANTATA RUANG DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI KABUPATEN CIREBON
TITIN HARTINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Wini Trilaksani, MS
PRAKATA Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya penelitian dan penulisan Tesis yang berjudul “Peran PeraturanTata Ruang Dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil Dan MenengahPengolahan Hasil PerikananDi Kabupaten Cirebon” Penelitian tentang usaha kecil dan menengah (UKM) memfokuskan pada UKM pengolahan hasil perikananan, kajian tentang tata ruang sebagai sebuah kebijakan yang mendukung pengembangan UKM belum pernah dibahas dengan tuntas. Tata ruang selama ini juga hanya seolah diperuntukkan untuk pengembangan usaha besar atau industri dan pengembangan kota, namun Kabupaten Cirebon telah melakukan zonasi terhadap UKM dan meletakkan posisi UKM menjadi pilar ekonomi. Konteks itulah yang menarik penulis untuk mengkaji secara mendalam keterkaitan tata ruang dan pengembangan UKM di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon. Pendekatan kualitatif dengan metode SWOT dan Analytical Hierarchy Process (AHP)pada faktor internal dan faktor eksternal yang menentukan pengembangan UKM, menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah dalam kebijakan sangat menentukan pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon. Hasil analisis penelitian ini dapat digunakan juga untuk analisis di UKM pesisir di wilayah lain, dan dapat menjadi masukan perbaikan kebijakan dalam penentuan kluster industri kecil di wilayah pesisir dalam aturan tata ruang kabupaten/kota. Akhirnya penulis, memberikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Musa Hubeis dan Dr. Nurheni Sri Palupi selaku pembimbing yang telah mengarahkan agar tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon dan pelaku UKM pengolahan hasil perikanan Kabupaten Cirebon disampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan data dan menjadi narasumber dalam penelitian serta suami tercinta Dr. Miftahul Huda, S.Si, M.Si, atas segala dukungan dan pengertiannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pengambil kebijakan.
Bogor, Februari 2106 Titin Hartini
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Tata Ruang Wilayah sebagai Suatu Kebijakan Strategis Pengembangan Wilayah dan Pewilayahan Industri Pengembangan UKM Pemberdayaan Masyarakat Dampak Ekonomi Perananan Analisis SWOT untuk Menentukan Kinerja Peranan Analytical Hierarchy Process dalam Pengambilan Keputusan Integrasi AHP dan Analisis SWOT dalam Strategi Pengembangan UKM METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Kerangka Pikir Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografi Lokasi Penelitian Sebaran dan kondisi pengembangan UKM PHP Kontribusi pengembangan UKM terhadap perekonomian masyarakat Produk olahan yang berasal dari ikan laut Faktor-faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi pengembangan UKM PHP Bentuk dan strategi pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi xii xiii
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kriteria Usaha Mikro Kecil Menengah Matrik Analisis SWOT Data/Informasi Beserta Metode yang Digunakan Data Penelitian yang Dibutuhkan Deskripsi Peubah dan Indikatornya Pembobotan Kondisi UKM Definisi Operasional dari Struktur Hirarki Daftar Desa di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Karakteristik Fisik Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Karakteristik Penduduk, Sosial dan Budaya, Pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomidi Kabupaten Cirebon Hasil analisis zona/subzone industri di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon Jumlah jenis UMKM di Kabupaten Cirebon UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW Perubahan diversifikasi usaha UKM PHP Rata rata pendapatan, jumlah pekerja dan omset pelaku UKM Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon tahun Jumlah ekspor hasil komoditas perikanan dan kelautan tahun 2013 Produksi ikan olahan tahun 2008Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan Tahun 2008Luas Lahan dan Jumlah RTP Budidaya Air Payau Berdasarkan Desa di Kecamatan Gebang dan Mundu Tahun 2013 Jumlah Produksi dan Jumlah RTP Budidaya Air Tawar Berdasarkan Desa di Kecamatan Gebang dan Mundu Tahun 2013 Produksi Budidaya Per Jenis Usaha Tahun 2013 Produksi Perikanan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Tahun 2013 Sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon Fasilitas pendukung di pelabuhan perikanan di lokasi penelitian Pelayanan air bersih Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2010 Matriks SWOT strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan Matriks Hasil Olahan Data Expert Choice
DAFTAR GAMBAR
1. Kedudukan rencana zonasi dalam sistem penataan ruang dan sistem perencanaan pembangunan nasional 2. Struktur hirarki keputusan menggunakan metode SWOT 3. Kerangka pikir penelitian 4. Kerangka hirarki strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan 5. Struktur Hirarki Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4.
5.
6. 7. 8.
Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Cirebon Surat Izin Penelitian Panduan Wawancara Mendalam Kuesioner AHP Peran Peraturan Tata Ruang dan Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan Di Kabupaten Cirebon Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Peran Peraturan Tata Ruang dan Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan Di Kabupaten Cirebon Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Cirebon Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Cirebon Peta Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Cirebon
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Kabupaten Cirebon telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031. Perda menetapkan pola ruang kabupaten, yang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budidaya. Peruntukan ruang untuk budidaya menetapkan peruntukan kawasan-kawasan atau klaster-klaster pemanfaatan. Kebijakan penataan ruang Kabupaten Cirebon, salah satunya adalah menetapkan pengembangan kawasan industri, agroindustri, serta industri kecil dan mikro sesuai dengan potensi alam dan sumber daya manusia (SDM). Pengembangan kawasan/klaster ini sangat terkait dengan upaya pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) pengolahan hasil perikanan yang merupakan salah satu bagian dalam pemanfaatan sumber daya alam/sumber daya kelautan dan perikanan di Kabuapten Cirebon (Perda No. 17 Tahun 2011). Pengembangan wilayah kota di Indonesia sebagaimana Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dilakukan melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW di dalamnya memuat tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, kawasan strategik, rencana pemanfaatan ruang dan rencana pengendalian ruang. Penetapan RTRW suatu kabupaten/kota akan menjamin terselenggaranya rencanarencana pembangunan wilayah kabupaten/kota dalam jangka panjang (30 tahun). RTRW berisikan arahan pemanfaatan ruang wilayah darat suatu kabupaten/kota. RTRW perlu ditindaklanjuti dengan rencana aksi yang terwujud dalam rencana pembangunan sektor dan lintas sektor suatu kabupaten/kota. Industri perikanan merupakan bagian dari pengembangan kawasan industri yang tercantum di RTRW dan sebagai pencerminan melimpahnya sumber daya kelautan dan perikanan suatu wilayah. RTRW juga menegaskan terkait dengan pola pengaturan ruang, sehingga suatu kawasan pengembangan industri akan didukung melalui kebijakan pengembangan sarana dan prasarana, serta kebijakan pengembangan transportasi, maupun kawasan-kawasan strategik lain seperti pelabuhan. Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten dengan wilayah pesisir yang sangat luas, yang ditunjukkan oleh panjang garis pantai 54 km. Lahan yang digunakan untuk tambak ikan dan tambak garam mencapai 4.698 hektar, dan tempat pangkalan pendaratan ikan (PPI) sebanyak 16 unit serta tempat pendaratan ikan (TPI) sejumlah 4 unit (DKPK Cirebon, 2012). Kondisi alam dan prasarana yang cukup banyak tersebut, tentunya menghasilkan produksi perikanan yang melimpah, dan mampu memberikan kesejahteraan bagi nelayan. Namun, kebiasaan nelayan yang menjual hasil tangkap langsung kepada tengkulak tanpa dilakukan pengolahan mempengaruhi nilai ekonomi yang didapatkan nelayan. RTRW telah menetapkan kawasan industri pengolahan perikanan seluas kurang lebih 500 hektar, pada tujuh kecamatan yaitu: Losari, Gebang, Pangenan, Mundu, Gunungjati, Suranenggala, dan Kapetakan. Penetapan RTRW tersebut seharusnya mampu meningkatkan pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) pengolahan hasil perikanan, terlebih dalam penetapan kawasan untuk peruntukan industri yang sesuai dan akan didukung oleh sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air dan sistem jaringan prasarana lainnya. UKM merupakan penggerak ekonomi wilayah. UKM pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menggerakan perekonomian di wilayah dan memberikan dampak lebih luas (multiplier effect) terhadap wilayah sekitarnya. DKPK Cirebon (2012) menyebutkan bahwa pengolahan produk perikanan dilakukan oleh perorangan dan perusahaan dalam skala usaha bervariasi, dengan jumlah unit pengolah mencapai 1.683 unit, namun baru 40 unit yang memenuhi standar pengolahan/miniplant. UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon meliputi pengolahan rajungan, terasi, pindang bandeng, ikan asin, petis, kerang, dan ikan segar. Pemasaran hasil perikanan tidak saja mencakup pemasaran dalam negeri, tetapi produk perikanan Kabupaten Cirebon juga diekspor ke beberapa negara. Berdasarkan uraian di atas, maka kajian tentang peran RTRW terhadap pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon diperlukan, terutama untuk mengetahui dampak penetapan RTRW terhadap perkembangan UKM. Dampak penetapan RTRW perlu dibandingkan dengan kondisi sebelum dan sesudah adanya perbaikan RTRW, serta melakukan analisis kawasan terhadap dukungan pemerintah khususnya sarana dan prasarana/infrastrukur utama dan dampak ekonominya terhadap masyarakat menjadi penting, sehingga peran UKM pengolahan hasil perikanan terhadap ekonomi kawasan dapat diketahui. Perumusan Masalah Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Cirebon telah menetapkan kawasan peruntukan perikanan meliputi perikanan budidaya air tawar, perikanan budidaya air laut, perikanan budidaya air tambak, industri pengolahan ikan dan pelabuhan pendaratan ikan. Penetapan kawasan peruntukan untuk industri pengolahan hasil perikanan, diharapkan dapat memacu dan mendorong tumbuhnya UKM pengolahan hasil perikanan (UKM PHP), sehingga dapat memberikan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya pelaku usaha, serta mendukung perkembangan ekonomi Kabupaten Cirebon. Namun, kenyataannya penetapan kluster industri PHP belum menunjukkan peranannya dalam peningkatan ekonomi pelaku usaha dan ekonomi Kabupaten Cirebon. Untuk lebih memahami tentang peranan perda RTRW terhadap UKM pengolahan hasil perikanan dan perkembangannya secara lebih komprehensif, perlu dilakukan kajian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan UKM, sebaran, jenis, pelaku, dan nilai ekonomi keberadaan UKM terhadap kesejahteraan masyarakat dan ekonomi kawasan serta pengaruh Kabupaten Cirebon. Berdasarkan hal ini, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sebaran dan kondisi UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW?
2.
3.
4.
Bagaimanakah dampak keberadaan UKM pengolahan hasil perikanan berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian kawasan danperekonomian Kabupaten Cirebon ? Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap keberadaan, kondisi dan perkembangan UKM pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Cirebon ? Strategi apakah yang diperlukan untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan agar berdampak bagi pengembangan perekonomian Kabupaten Cirebon ? Tujuan
1.
2. 3.
4.
Tujuan penelitian adalah: Menganalisis sebaran dan kondisi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di pesisir Kota Cirebon sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW Kabupaten Cirebon. Menganalisis kontribusi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan terhadap pengembangan perekonomian secara regional di wilayah kajian. Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberadaan, kondisi dan perkembangan pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon. Menyusun strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil perikananagar berdampak bagi pengembangan perekonomian Kabupaten Cirebon. Manfaat Penelitian
1.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: Secara akademik sebagai bagian dari upaya mengkaji, menganalisis dan memberikan informasi data tentang sebuah kebijakan peraturan perundangundangan tentang tata ruang terhadap upaya pemberdayaan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon. Secara praktis menjadi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk memperbaiki peranserta masyarakat dalam menentukan langkahlangkah atau program pembangunan untuk melindungi pelaku UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan Tata Ruang Wilayah sebagai Suatu Kebijakan Strategis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah wujud formal kebijakan, rencana dan program (KRP) acuan yang mengatur penataan ruang sebuah wilayah tertentu. Dalam pelaksanaannya, perbedaan cara penanganan dan karakteristik khusus sebuah satuan wilayah membedakan jenis RTRW tersebut. Sebuah RTRW yang mengatur satuan wilayah yang luas memuat arahan dan acuan yang lebih strategis dan umum daripada RTRW yang mengatur satuan wilayah yang lebih kecil. Akibatnya, semakin luas wilayah yang diatur, semakin panjang dimensi kerangka waktu (time-frame) yang bisa dicakup aturan tersebut. Oleh sebab itu, hirarki RTRW yang disusun berdasarkan luasan wilayah sebenarnya juga mencerminkan hirarki operasionalitas arahan yang dimuat. Sebuah RTRW skala nasional sebenarnya memuat kebijakan-kebijakan, sementara RTRW skala kawasan lebih banyak memuat kumpulan program. Perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi pola pemahaman mengenai bagaimana aspek-aspek lingkungan hidup diterapkan dalam muatan RTRW yang berbeda jenjangnya (Sukaryono, 2009). Pasal 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: 1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan 2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia 3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Lahirnya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan yang saling terkait, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa RTRW yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW kabupaten/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Pada Undang-undang No. Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaanya diatur dengan undang-undang tersendiri (Pasal 6 ayat 5 UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini ditindaklanjuti ke dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Disebutkan di dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 ini pada Pasal 5, bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahun dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat ( ) disebutkan bahwa Pemerintah daerah wajib menyusun rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K) sesuai dengan kewenangan masing-masing. Berdasarkan penjelasan di atas segala jenis dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur dalam Undangundang No. 27 Tahun 2007 harus mengedepankan keterpaduan dan keselarasannya terhadap dokumen perencanaan pembangunan, guna menjamin keberfungsian dan keteralokasian anggaran dalam pelaksanaannya. Tata guna lahan adalah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan umum (public policy) dan program tata ruang untuk memperoleh manfaat total sebaik-baiknya secara berkelanjutan dari kemampuan total lahan yang disediakan. Jadi, tata ruang adalah sarana untuk menerapkan tata guna lahan sebagai konsep. Dalam kerangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari tiga proses utama(Notohadiprawiryo, ), yaitu: 1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability) 2. Proses pemanfaatan ruang yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri 3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuantujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Cirebon dituangkan dalam Perda Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon tahun 2011-2031. Kebijakan ini sinergi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Cirebon 20142019, pembangunan bidang kelautan dan perikanan diprioritaskan pada konservasi sumber daya kelautan melaluipemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya kelauatan. Sasaran yang akan dicapai adalah bertambahnya luas mangrove di wilayah pesisir menjadi 400 hektar,bertambahnya terumbu karang buatan yang ditenggalamkan menjadi 200 unit, dan persiapan
pengembangan tahap awal pelabuah pengumpan Gebang dan peningkatan kesejahteraan nelayan. RTRW dalam arah jangka panjang Kabupaten Cirebon, merupakan bagian dalam penataan lingkungan. RTRW bertujuan mewujudkan Kabupaten sebagai sentra pertanian, industri dan pariwisata sebagai pendukung Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Cirebon yang berkelanjutan.Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah kebijakan penataan ruang di Kabupaten Cirebon yang terkait dengan bidang kelautan adalah pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan terpadu. Strategi pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan terapadu ditegaskan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah No. 17 Tahun 2011 meliputi (a).Meningkatkan akses jalan dari sentra industri ke pusat pemasaran, (b) Mengembangkan kawasan agropolitan, (c).Mengembangkan kawasan minapolitan , dan (d). Mempertahankan luas pertanian tanaman pangan dan perikanan sebagai basis perekonomian kabupaten. Pegembangan UKM PHP merupakan bagian dari pengembangan kawasan minapolitan, dan sangat terkait dengan pengembangan kawasan industri kecil, yang antara lain optimalisasi dan penataan kawasan sentra industi, serta peningkatan infrastruktur penunjang kegiatan industri. Rencana pola ruang di Kabupaten Cirebon salah satunya memanfaatkan lahan untuk pengembangan perikanan. Kawasan peruntukan perikanan direncanakan ± 4.758 Ha meliputi peruntukan perikanan budidaya air tawar seluas 58 Ha, termasuk di wilayah Kecamatan Mundu, perikanan budidaya air laut seluas 3.500 Ha termasuk wilayah Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu, perikanan budidaya air tambak seluas 700 Ha, termasuk wilayah Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu, industri pengolahan ikan seluas 500 Ha, termasuk wilayah Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu, dan pelabuhan pendaratan ikan sebanyak 21 unit tersebar di wilayah Kecamatan Gebang 4 unit dan di Kecamatan Mundu juga 4 unit. Pengembangan Wilayah dan Pewilayahan Industri Terdapat beberapa pendekatan dan teori dalam pembangunan terutama untuk mengatasi ketertingalan suatu wilayah. Dawkins (2003) mengemukakan dalam pembangunan wilayah terdapat beberapa teori, yaitu growth theory, rural development theory, agro first theory, basic needs theory dan sebagainya. Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam (SDA) secara optimal melalui pengembangan ekonomi, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila hanya terjadikeseimbangan, sehingga harus terjadi ketidak seimbangan.Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan
yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor. Kajian pengembangan wilayah merupakan kajian tentang bagaimana mengkaji keterkaitan wilayah dalam skala lebih luas. Wilayah yang dikembangkan harus mampu mendukung wilayah lain. Terkait dengan penelitian ini, akan dianalisis kedudukan UKM pengolahan hasil perikanan terhadap pertumbuhan wilayah. Dalam konteks ini dibatasi dalam peningkatan kesejahteraan pelaku dan dukungan infrastruktur. Hubeis (2007) menyatakan bahwa pengembangan industri dilakukan melalui pewilayahan industri (industry estate). Pewilayahan industri atau sering disebut sebagai klaster industri merupakan aglomerasi dari industri-industri yang saling berkompetisi dan berkolaborasi dalam suatu wilayah yang terhubung dalam jaringan antar pejual dan pembeli secara vertikal dan horisontal, serta tergantung pada institusi perekonomian yang ada. Klaster industri yang berkembang di suatu tempat dan memiliki jaringan yang luas akan memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi wilayah. Pengembangan ideal suatu industri yang terpusat dalam suatu klaster wilayah dipengaruhi oleh beberapa hal yang saling terkait, diantaranya pasokan bahan baku, penjualan (ekspor), perusahaan distributor, manufaktur, penelitian dan pengembangan (litbang), jaringan pemasaran, transportasi, infrastruktur pendukung dan finansial. Kunci sukses untuk mengembangkan industri yang berbasis wilayah adalah kepemimpinan strategik, infrastruktur, jaringan pemasaran, kompetisi pasar, pengembangan kapasitas sumberdaya dan optimasi sumberdaya yangada(Hubeis, 2007). Menurut Tarigan (200 ), penetapan klaster industri atau industrial estate di suatu wilayah perlu memperhatikan peraturan yang telah ada (RTRW), perhitungan kerugian dan keuntungan, keamanan dan penerimaan masyarakat. Perlu diperhatikan kondisi daya dukung lahan termasuk jenis tanah, topografi, kerawanan bencana banjir, tanah longsor, tsunami, tingkat harga lahan, transportasi dan infrastruktur, tenaga kerja dan yang lain. Umumnya klaster industri atau industrial estate lebih dipilih di daerah pinggiran kota. Beberapa keuntungan pewilayahan industri, yaitu (a) skala ekonomi (economic scale), yaitu industri usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dapat berproduksi berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi lebih besar dan biaya per unitnya lebih efisien, (b) Economic of agglomeration, yaitu keuntungan karena industri di lokasi tersebut sudah memiliki berbagai fasilitas pendukung yang dapat digunakan (Glaeser, 2007) misalnya jasa perbankan yang melayani UMKM, asuransi, perusahaan listrik, air bersih dan lainnya. Selain itu, ketersediaan tenaga kerja sangat membantu UMKM dalam berdaya saing di tingkat regional. Selain itu, pewilayahan industri atau industrial estate diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan (growth pole) dari suatu wilayah. Pusat pertumbuhan tersebut dapat diartikan secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri, karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan, sehingga mampu menstimulasi ekonomi kedalam dan keluar. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah daerah yang memiliki banyak fasilitas dan kemudahan, sehingga dapat menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai usaha tertarik untuk berlokasi di wilayah tersebut. Pusat pertumbuhan
yang dipicu oleh adanya pewilayahan industri harus memiliki ciri, yaitu adanya hubungan internal antar berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomis, adanya multiplier effect, adanya konsentrasi geografi dan bersifat mendorong perekonomian ke belakang, sehingga diharapkan pusat industri yang berlokasi di suatu wilayah dapat beraglomerasi dan menjadi pusat pertumbuhan perekonomian regional. Pengembangan UKM Pengembangan UKM akan sangat terkait dengan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang didasarkan pada peraturan terutama Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang didefinisikan: 1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. 2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. 3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan . Sesuai Undang-undang No. 20 Tahun 2008, kriteria UMKM sepertidimuat pada Tabel Tabel 1. Kriteria usaha mikro kecil menengah No
Jenis Usaha Usaha mikro Usaha kecil Usaha menengah
Kriteria Aset (Rp) Omset (Rp) Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta > 50-500 juta > 300juta -2,5 milyar > 500 juta -10 milyar > 2,5 milyar-50 milyar
Sumber: UU No. 20 Tahun 2008 Kriteria UMKM dapat dijadikan juga sebagai kriteria Industri Kecil dan Menengah (IKM), karena industri pengolahan hasil perikanan banyak dilakukan dalam skala kecil atau rumah tangga. Secara teknis, pengembangan IKM hampir mirip dengan pengembangan UMKM yang dilakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Pasal 3 peraturan pemerintah ini, menyebutkan bahwa dalam pengembangan UMKM dilakukan melalui fasilitasi pengembangan usaha dan pelaksanaan pengembangan usaha.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yangmerangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yaitu yang bersifat people centred, participatory, empowering and sustainable (Chambers dalam Ginanjar 1997). Konsep ini lebih luas dari hanya pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Konsep pemberdayaan berkembang untuk mencapai alternative development, yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty (Ginanjar ) Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata danmenyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalamberbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Upaya pokok adalah peningkatan tarafpendidikan dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuanekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Masukanberupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisikseperti irigasi, jalan, listrik maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, sertaketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di perdesaan yangterkonsentrasi pendudukdengan tingkatkeberdayaannya amat kurang. Dampak Ekonomi Analisis dampak ekonomi merupakan kajian keterkaitan dan dampak keberadaan kegiatan dan pelaku ekonomi terhadap kegiatan dan pelaku ekonomi lain di suatu wilayah. Kriteria dan parameter yang digunakan dalam mengukur dampak suatu aktivitas industri akan meliputi skala ekonomi, tingkat penyerapan tenaga kerja, pemanfaaan sumberdaya sebagai bahan baku, maupun dukungan saranadan prasarana. Secara umum UKM dalam perekonomian nasional memiliki peran (Departemen Koperasi, 2008) adalah: 1. Sebagai pemeran utama dalam kegiatan ekonomi 2. Penyedia lapangan kerja terbesar 3. Pemain penting dalam pengembangan perekonomian lokal dan pemberdayaan masyarakat 4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi 5. Kontribusinya terhadap neraca pembayaran
Oleh karena itu, pemberdayaannya dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan dengan arah peningkatan produktivitas dan daya saing serta menumbuhkan wirausahawan baru yang tangguh. Salah satu keunggulan UKM adalah terkadang sangat baik mencari peluang untuk berinovasi untuk menerapkan teknologi baru dibandingkan perusahaan-perusahaan besar yang telah mapan. Dalam era persaingan global saat ini, banyak perusahaan besar yang bergantung pada pemasok-pemasok kecil menengah. Sesungguhnya ini peluang untuk pengembangan ekonomi di era global sekaligus menggerakkan sektor ekonomi riil (Zuhal, 2010). Peranan Analisis SWOT untuk Menentukan Kinerja Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats) biasa digunakan untuk mengevaluasi kesempatan dan tantangan di lingkungan bisnis maupun pada lingkungan internal perusahaan (Kuncorodalam Rahmana et al, 2012).Untukmemudahkan dalam implementasi analisis SWOT diperlukan konstruksi matriks SWOT, dengan mengkombinasikan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Analisis SWOT (SWOT analysis) yakni mencakup upaya-upaya untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang menentukan kinerja perusahaan. Informasi eksternal mengeni peluang dan ancaman dapat diperoleh dari banyak sumber, yaitu pelanggan, dokumen pemerintah, pemasok, kalangan perbankandan rekan diperusahaan lain. Banyak perusahaan menggunakan jasa lembaga pemindaian untuk memperoleh klipingsurat kabar, riset di internet dan analisis tren-trendomestik dan global yang relevan (Richard, ). Selanjutnya Rangkuti (2004) menjelaskan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian, perencanaan strategi harus menganalisa faktor-faktor strategi perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi saat ini. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weakness). Unsur-unsur SWOT kekuatan (strenghts), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), ancaman (threats) terdiri dari faktor eksternal dan internal (Tabel ). Untuk menganalisis secara lebih dalam tentang SWOT, maka perlu dilihat faktor eksternal dan internal sebagai bagian penting dalam analisis SWOT (Fahmi, ), yaitu: 1. Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya opportunities and threats (O dan T). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar perusahaan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan perusahaan. Faktor ini mencakup lingkungan industri dan lingkungan bisnis makro, ekonomi, politik, hukum, teknologi, kependudukan dan sosial budaya.
2.
Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya strenghts danweaknesses (S dan W). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi yang terjadi dalam perusahaan, dimana turut mempengaruhi terbentuknya pembuatan keputusan (decision making) perusahaan. Faktor internal ini meliputi semua macam manajemen fungsional yaitu pemasaran, keuangan, operasi, sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, sistem informasi manajemen dan budaya perusahaan (corporate culture) Tabel 2. Matrik analisis SWOT Faktor internal
STRENGHTS (S) WEAKNESS (W) (Daftar semua kekuatan (Daftar semua yang dimiliki) kelemahan yang dimiliki)
Faktor eksternal OPPORTUNITIES (O) Strategi SO (Daftar semua peluang (Growth) yang dapat diidentifikasi) THREATS (T) Strategi ST (Daftar semua (Diversification) tantangan yang dapat diidentifikasi) Sumber: Kuncoro dalam Rahmana et al, 2012
Strategi WO (Stability)
Strategi TW (Defend)
Dari matriks analisis SWOT seperti yang tersaji pada Tabel 2, dapat diidentifikasi empat strategi, yaitu pertama, strategi SO yang merupakan strategi untuk menggunakan semua kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Kedua,strategi WO yang merupakan strategi mengatasi semua kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Ketiga, strategi ST yang merupakan strategi menggunakan semua kekuatan untuk menghindari dari semua ancaman. Keempat, strategi WT yang merupakan strategi menekan semua kelemahan dan mencegah semua ancaman. Peranan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Pengambilan Keputusan Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode yang dikemukakan oleh Saaty (1980) dan paling umum digunakan dalam analisis keputusan multi-kriteria.Proses keputusan dipandang sebagai suatu proses hirarki dengan beberapa tingkatan. Hirarkiteratas adalah tujuan dan tingkat hirarki berikutnya terdiri dari kriteria yang dipilih. Tingkat terendah terdiri dari kemungkinan alternatif strategi. AHP didasarkan pada perbandingan antar elemen pada tingkat hirarki tertentu kaitannya dengan elemen pada tingkat yang lebih tinggi. Jika kita melihat kasus umum dari hirarki tiga tingkat (tujuan-kriteria-alternatif), kriteria tersebut dibandingkan dengan objek untukmenentukan kepentingan bersama mereka dan alternatif untuk setiap pertanyaan kriteria.
Integrasi AHP dan Analisis SWOT dalam Strategi Pengembangan UKM SWOT (akronim dari kekuatan/strengths, kelemahan/weakness, peluang/ opportunities dan ancaman/threats) adalah alat yang telah diterapkan secara luas dalam analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mencapai pendekatan yang sistematis dan dukungan untuk situasi keputusan strategis. Faktor internal dan eksternal yang dimiliki suatu organisasi atau kelompok disebut juga sebagai faktor strategis. Faktor SWOT dikelompokkan menjadi empat kategori yang disebut kelompok SWOT, yaitukekuatan/strengths (S), kelemahan/weakness (W), peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T). Dengan menerapkan SWOT dalam proses perencanaan strategis, biasanya tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mengadopsi strategi sehingga cocok antara faktor internal dan eksternal yang ada. SWOT juga dapat digunakan ketika alternatif strategi tiba-tiba muncul dan konteks keputusan yang relevan dengannya harus dianalisis. Ketika digunakan dengan benar, SWOT dapat memberikan dasar yang baik bagi perumusan strategi. Bila menggunakan SWOT, analisis memiliki kemungkinan komprehensif dalam menilai situasi pengambilan keputusan strategis . Selanjutnya SWOT tidak berarti secara analitis menentukan pentingnya faktor atau menilai alternatif keputusan sehubungan dengan faktor. Pemanfaatan lebih lanjut dari SWOT terutama didasarkan pada analisis kualitatif yang dilakukan dalam proses perencanaan dan pada kemampuan dan keahlian dari orang-orang yang berpartisipasi dalam prosesnya. Seringkali hasil analisis SWOT terlalu sering hanya terpaku pada daftar atau pemeriksaan kualitatif lengkap dari faktor internal dan eksternal. Inilah sebabnya mengapa kadang-kadang disebut sebagai So WOT. Ide dalam memanfaatkan AHP (Saaty, 1980) dalam kerangka SWOT adalah untuk secara sistematis mengevaluasi faktor-faktor SWOT dan membuatnya sepadan dalam hal intensitasnya (Kangas, et al ). Kualitas AHP dapat dianggap sebagai karakteristik yang berharga dalam analisis SWOT. Nilai tambah dari analisis SWOT dapat dicapai dengan melakukan perbandingan berpasangan antara faktor-faktor SWOT dan kemudian menganalisanya dengan cara teknik eigenvalue seperti yang diterapkan dalam AHP. SWOT memberikan kerangka dasar dimana untuk melakukan analisis situasi terhadap keputusan dan membantu AHP dalam melaksanakan SWOT agar lebih analitis. Metode hybrid disebut A'WOT. Setelah melakukan perbandingan, informasi kuantitatif yang berguna dapat diperoleh tentang situasi pengambilan keputusan (Kangas, et al ). Selain itu, menggunakan A'WOT memungkinkan alternatif pilihan untuk dievaluasi sehubungan dengan setiap faktor SWOT dan setiap kelompok SWOT (Pesonen ). Ketika pentingnya kelompok SWOT yang berbeda juga telah ditentukan, alternatif pilihan dapat diprioritaskan sehubungan dengan situasi pilihan strategis secara keseluruhan. Langkah-langkah metode integrasi analisis AHP dalam analisis SWOT meliputi: 1. Melakukan analisis SWOT, yaitufaktor yang relevan dari lingkungan eksternal dan internal diidentifikasi dan dimasukkan dalam analisis SWOT.
2.
3.
4. 5.
Perbandingan berpasangan antara faktor-faktor SWOT yang dilakukan secara terpisah dalam setiap kelompok SWOT. Ketika membuat perbandingan, isu yang dipertaruhkan adalah mana dari dua faktor dibandingkan lebih penting dan bagaimana jauh lebih penting. Dengan perbandingan sebagai masukan, saling prioritas antar faktor dihitung. Nilai kepentingan antar kelompok SWOT ditentukan. Ada beberapa kemungkinannya,misalnya faktor dengan prioritas tertinggi dapat dipilih dari masing-masing kelompok dan keempat faktor ini kemudian dibandingkan berpasangan dan prioritas mereka relatif dihitung berdasarkan perbandingan. Setelah itu, faktor-faktor lain adalah skala relatif terhadap nilai-nilai prioritas masing-masing kelompok. Kemungkinan lain adalah untuk langsung membandingkan pentingnya seluruh kelompok. Selain dua cara sederhana tersebut, prosedur yang lebih rumit juga dapat diterapkan, jika diinginkan. Alternatif strategi dievaluasi sehubungan dengan setiap faktor SWOT seperti pada AHP. Menghitung skala prioritas dari alternatif strategis yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan struktur hirarki keputusan seperti disajikan pada Gambar 2.
Aplikasi integrasi AHP dalam analisis SWOT (A'WOT) awalnyahanya melakukan langkah pertama, kedua dan ketiga sebagaimana tahapan diatas (Kangaset al , Pesonen ). Tahapan proses perencanaan strategis biasanya didekati dengan menggunakan SWOT, tujuan yang paling mendesak tidak selalu membandingkan keputusan strategis alternatif. Sebaliknya SWOT sering diterapkan hanya dalam analisis faktor internal dan eksternal dari lingkungan operasional dimana keputusan harus dilaksanakan, yaitu pada tahap awal dari proses perencanaan strategis. Sehingga integrasi AHP dalam kerangka analisis SWOT (A'WOT) memperkuat dasar keputusan sekaligus juga mengkuantifikasi faktor SWOT. Namun tujuan akhir dari setiap proses perencanaan strategis secara keseluruhan adalah untuk mengembangkan dan mengadopsi strategi sehingga cocok antara faktor internal dan eksternal. Karena itu langkah-langkah (iv) dan (v) termasuk dalam proses integrasi AHP dalam kerangka analisis SWOT (A'WOT). Untuk A'WOT, faktor SWOT harus ditentukan dengan menanyakan yang merupakan faktor internal dan eksternal dari lingkungan operasional yang harus diperhitungkan dalam memilih alternatif strategi. Maka dimungkinkan untuk membandingkan alternatif strategi sehubungan dengan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya seperti yang tercantum dalam SWOT. Untuk mengambil contoh perbandingan berpasangan, mana dari dua alternatif strategi dibandingkan (ketika diimplementasikan) memungkinkan untuk lebih mengeksploitasi kesempatan tertentu dan berapa banyak yang lebih baik.
Operational environment
SWOT group
Stren ghts (S)
Weak ness (W)
Oppr otnities (O)
S1
S2
S3
Thre ats (T)
SWOT factors Strategy alternatives
Sn
Gambar 2. Struktur hirarki keputusan menggunakan metode SWOT (Sumber: Kangas, et al , Pesonen, ) Penggunaan analisis A'WOT dapat menjadi dasar informasi dari proses perencanaan strategis dibandingkan dengan yang diperoleh dengan menggunakan satu-satunya analisis SWOT biasa. Membuat perbandingan berpasangan memaksa pengambil keputusan untuk memikirkan bobot dari faktor dan untuk menganalisis situasi lebih tepat dan lebih mendalam.
3. METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon yang meliputi Kecamatan Gebang dan KecamatanMundu. Penelitian dilakukan di dua kecamatan ini karena dua kecamatan ini merupakan rencana sentra pengolahan hasil perikanan yang ada di Kabupaten Cirebon. Kecamatan Gebang merupakan wilayah kecamatan yang langsung berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah sedangkan Kecamatan Mundu merupakan wilayah yang langsung berbatasan dengan Kota Cirebon. Penelitian dilakukan pada tanggal 17 Februari sampai dengan 17 April 2015. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah peta rencana tata ruang, citra satelit, data sekunder berupa data demografi, RTRW, peta, dan citra. Data primer yang merupakan hasil survei berupa pendapatan pelaku usaha, jenis, skala, sebaran UMKM, dan respon masyarakat terhadap RTRW. Alat yang digunakan adalah kuisioner, alat untuk analisis AHP berupa software expert choice dengan klasifikasi data berdasarkan skala Saaty. Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir penelitian didasari pada pemikiran pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon yang merupakan implementasi pemberdayaan masyarakat. Masyarakat kecil diharapkan mempunyai akses dan mampu mengembangan diri dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kesejahteraannyamaka penelitian ini fokus terhadap langkah-langkah yang telah dilaksanakan ataupun yang perlu dilaksanakan untuk mendukung pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan seperti yang dimuat pada Gambar 3. Terkait dengan penelitian, analisis pemanfaatan ruang yang ada dan rencana pemanfaatan ruang sesuai RTRW akan dapat digunakan untuk analisis tingkat daya dukung lingkungan dalam pengembangan wilayah pesisir. Sebagai ilustrasi, kajian terhadap UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebonakan meliputi dua cara pengembangan UKM sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk analisis kebijakan pemerintah maupun langkah-langkah yang dilakukan masyarakat terhadap UKM yang ada. Fokus penelitian pada UKM pengolahan hasil perikanan yang keberadaannya sebagaimana terdapat pada peta tata ruang wilayah Kabupaten Cirebon.
Peraturan RTRW Jenis, Sebaran danKondisi UKM PengolahanHasil Perikanan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Analisis SWOT
AHP
Rekomendasi Gambar . Kerangka pikir penelitian
Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan UKM di wilayah kajian, sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan analisis spasial, yang dibantu dengan analisis sistem informasi geografis (SIG).Selanjutnya analisisStrengths, Weaknesses, Opportunities, dan Treats (SWOT) untuk mengetahui faktor kekuatan, kelemahan, keuntungan pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Hasil SWOT dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), untuk menentukan faktor dominan dan dampak utama sehingga dapat ditentukan rekomendasi yang tepat terkait peran tata ruang dan strategi pengembangan usaha kecil dan menengahpengolahanhasil perikanan di Kota Cirebon. Peubah-peubah yang diteliti sebagaimana pada Tabel . Populasi penelitian adalah masyarakat pesisir yang mempunyai usaha pengolahan hasil perikanan skala UKM di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon. Contoh ditentukan secara purposif sesuai kawasan peruntukan yang ada dan dengan kriteria nilai omset usaha kecil dan menengah. Pembagian omzet dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam hal ini, penentuan contoh dilakukan sesuai sebaran UKM di desa atau kelurahan yang berada di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu.Data untuk analisis sebagaimana dalam Tabel 4.
Tabel 3. No
Data/informasi beserta metode yang digunakan
Data/informasi yang Dibutuhkan Jenis, sebaran dan kondisi UKM pengolahan hasil perikanan Kondisi sosial dan ekonomi pelaku UKM Kesesuaian arah pengembangan UKM dengan kondisi yang ada Faktor internal
Faktor eksternal
Metode yang Digunakan Melakukan pemetaan dan identifikasi di lapangan kondisi UKM Pengumpulan data primer melalui survei dan wawancara mendalam Membandingkan SIG dengan peta UKM yang memuat jenis, sebaran dan kondisi dengan rencana pengembangan UKM dalam RTRW Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan UKM yang berasal dari pelaku UKM terdiri dari pekerja, modal, bahan baku, sarana dan prasarana produksi Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan UKM dari stakeholder terkait, dukungan kebijakan, infrstruktur, pemasaran, dan konsumen.
Tabel 4. Data penelitian yang dibutuhkan No
Data Penelitian Data sekunder
Data primer
Jenis Data 1. 2.
3. 4. 1.
2. 3.
Demografi wilayah penelitian Kebijakan dan aturan perundangan terkait RTRW dalam pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon Peta dan citra Perda RTRW Pendapatan masyarakat pesisir sebagai pelaku UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon Jenis, skala, sebaran dan harga pengolahan hasil perikanan Kabupaten Cirebon Respon masyarakat terhadap Perda RTRW terkait pengembangan UKM, pengadaan bahan baku untuk industri pengolahan hasil perikanan.
Data penelitian yang dikumpulkan melalui: 1. Survei lapangan, dilakukan untuk pemetaan lokasi sebaran UKM di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon. 2. Wawancara terhadap pelaku UKM pengolahan hasil perikanan dan stakeholder di Kabupaten Cirebon (lampiran 1). Sampel penelitian dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan (purposive sampling) untuk pelaku usaha 9 orang, sedangkan untuk expert ditetapkan sesuai klasifikasi yang ditetapkan yaitu pengambil kebijakan (camat, pegawai Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, pegawai Bappeda Kabupaten Cirebon), pelaku usaha, dan tenaga kerja. Pengolahan dan Analisis Data Peubah dan Indikator Berdasarkan Tabel , peubah yang diteliti dikategorikan untuk dianalisis secara deskriptif dan secara kuantitatif dengan memuat peubah yang diteliti beserta indikatornya seperti dimuat pada Tabel Tabel 5. Deskripsi peubah dan indikatornya No Peubah yang Diteliti Perda Tata Ruang
Mutu produk industri pengolahan hasil perikanan Harga produk industri hasil perikanan
Ketersediaan bahan bakuikan Pengembangan UKM
Indikator Spasial: - Pola pemanfaatan ruang - Ketersebaran lokasi kawasan industri - Luasan kawasan industri - Infrastruktur pendukung - Kesesuaian ruang Non spasial: - Arah dan kebijakan pemda terkait UKM sebelum dan sesudah perda tata ruang - Kondisi perekonomian - Tingkat kesejahteraan pelaku UKM - Tingkat kesegaran produk - Kebersihan - Pengemasan (bahan kemasan) - Penggunaan bahan pengawet - Harga dasar produk - Jarak rumah produksi ke konsumen (biaya transportasi pemasaran) - Penggunaan teknologi - Musim kemarau - Musim hujan (paceklik) - SDM - Teknologi - Pasar - Modal usaha
Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan analitik. Untuk deskriptif akan ditelaah kondisi UKM penjelasannya seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Pembobotan kondisi UKM No
Kondisi UKM Luas kawasan UKM Jenis UKM Omset UKM
Tenaga kerja
Lama usaha Infrastruktur pendukung Pemasaran dan pencatatan keuangan Akses perbankan
Kriteria Pembobotan (Skor) 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar 1. Padat karya 2. Padat modal 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar 1. < 5 tahun 2. > 5 tahun 1. Buruk 2. Sedang 3. Baik 1. Pemasaran tradisional 2. Pemasaran modern 1. 2.
Tidak menggunakan Menggunakan sistem perbankan
Analisis Multi-Kriteria dengan AHP Salah satu aplikasi analisis pengambilan keputusan multi kriteria di dalam penelitian menggunakan metode AHP. Urutan analisis multi-kriteria dalam penelitian ini dibagi atas tahapan berikut: Tahap 1: Menyusun struktur/level hirarki yang akan mencerminkan tingkat analisisnya. Adaenam level hirarki yang dianalisis, yaitu analisis tingkat 1 (pertama), adalah tujuan utama yang diinginkan di dalam penelitian ini adalah Peran Peraturan Tata Ruang dan Strategi Pengembangan UKM PengolahanHasilPerikanan di Kota Cirebon. Analisis tingkat ke-2 (kedua), mengkaji nilai penting dari 2 faktor yang menentukan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, yaitu faktor internal dan eksternal. Analisis pada tingkat ke-3 (ketiga), adalah kriteria yang diturunkan dari kedua faktor yang akan diintegrasikan. Analisis pada tingkat ke-4 (empat) adalah melihat nilai penting dari integrasi tiga karakteristik pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang meliputi sebaran lokasi spasial UKM, kondisi UKM dan jenis UKM. Tingkat ke-5 (kelima) kriteria yang diturunkan dari tiga karakter pengembangan UKM. Tingkat ke-6 (keenam) adalah stakeholders yang berperan dalam mendukung strategi pengembangan UKM. Selengkapnya dimuat pada Gambar 4 dan Tabel 7.
Tahap 2: Melakukan perbandingan berpasangan dari unsur pengembangan UKM. Terdapat dua langkah utama pada tahap ini, yaitu: 1. Pada setiap level hirarki setiap unsur keputusan dilakukan perbandingan berpasangan. Setiap unsur dibandingkan nilai relatif pentingnya dengan yang lain atas kontribusinya pada masing-masing level hirarkinya. Skala nilai pentingnya sesuai skala Saaty, yaitu kedua unsur sama penting (1), sama penting sampai agak penting (2), agak penting (3), agak penting sampai cukup penting (4), cukup penting (5), cukup penting sampai sangat penting (6), sangat penting (7), sangat penting sampai mutlak penting (8), mutlak penting ( ) 2. Selanjutnya menambahkan nilai dalam kolom dari matriks perbandingan berpasangan, lalu membagi setiap unsur dalam matriks perbandingan berpasangan dengan jumlah kolom tersebut dan terakhir menghitung rataan unsur disetiap baris dari matriks standar dengan membagi jumlah nilai standar untuk setiap baris dengan jumlah peubah; 3. Menentukan rasio konsistensi (Consistency Ratio atau CR) dari matriks perbandingan berpasangan. CR adalah ukuran berapa banyak perbedaan yang dapat diterima dan harus kurang dari atau sama dengan 0,1. Jika rasio konsistensi lebih besar dari 10%,matriks perbandingan berpasangan harus dihitung ulang. 4. Perhitungan indeks konsistensi (Consistency Ratio CI) didasarkan pada pengamatan bahwa λ adalah selalu lebih besar dari atau setara dengan sejumlah kriteria atau paramete r(n) di bawah pertimbangan untuk matriks timbal balik dan λ=n jika matriks perbandingan berpasangan terdiri matriks. Akibatnya, λ-n dianggap sebagai ukuran derajat dari inkonsistensi. Standarisasinya sebagai berikut: CI
λn n 1
Dimana CI mengacu pada indeks konsistensi memberikan ukuran dari konsistensi. Selain itu, rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dari matriks perbandingan berpasangan berikut: CI RI Dimana RI adalah indeks random (Random Index), yang memberikan indeks konsistensi dari sifat acak dari matriks perbandingan berpasangan. CR
Tahap 3: Membuat peringkat prioritas secara keseluruhan: pada tahap ini, bobot komposit dibuat. Bobot komposit diperoleh dengan mengalihkan bobot relatif matriks pada setiap tingkat hirarki. Bobot komposit menunjukkan peringkat alternatif sehubungan dengan tujuan secara keseluruhan dan juga merupakan alternatif skor dari keputusan yang diambil.
Tabel 7. Definisi operasional dari struktur hirarki Level Hirarki Level – (Tujuan Utama) Level –
Peubah Merumuskan pengembangan pengolahan perikanan
strategi UKM hasil
Faktor internal Faktor eksternal
Level –
Modal Tenaga kerja Bahan baku Sarana dan produksi Kebijakan
prasarana
Infrastruktur Pemasaran Konsumen Sebaran spasial UKM Level – Kondisi UKM Jenis UKM Level –
Pola pemanfaatan ruang
Level -
Produk bahan mentah
Produk olahan Pemerintah Daerah Pelaku UKM Lembaga keuangan
Definisi Operasional Cara yang dilakukan oleh stakeholder untuk mewujudkan KM pengolahan hasil perikanan dapat semakin meningkat mutu dan kuantitasnya dalam mendukung perekonomian masyarakat pesisir maupun perekonomian wilayah Faktor atau peubah yang terdapat di dalam UKM sendiri yang menentukan pengembangan UKM Faktor-faktor di luar UKM yang memengaruhi keberadaan dan pengembangan UKM Kemampuan finansial yang dimiliki oleh UKM untuk pengembangan usahanya Jumlah personel/tenaga kerja yang dimiliki untuk menjalankan UKM Ketersediaan jumlah dan mutu ikan yang digunakan dalam industri pengolahan Peralatan yang digunakan untuk menjalankan usaha Peraturan hukum pemerintah yang mendukung pengembangan UKM Ketersediaan infrastruktur dasar yang mendukung pengembangan UKM Cara agar produk UKM dapat dijual Orang/masyarakat yang mengkonsumsi atau membeli produk UKM Distribusi letak UKM-UKM pengolahan hasil perikanan di wilayah studi Tingkat skala produksi UKM Variasi tipe-tipe pengolahan hasil perikanan pada UKM-UKM yang ada Pengaturan kebijakan dalam rencana tata ruang tentang arahan pemanfaatan ruang wilayah dalam mendukung UKM pengolahan hasil perikanan UKM yang usahanya hanya menjual ikan tanpa pengolahan lebih lanjut seperti rajungan beku, teri, dll. UKM yang usahanya menjual produk olahan hasil perikanan seperti terasi, ikan kaleng, dll Kabupaten/Kota yang diwakili oleh Dinas yang mempunyai tugas dalam pengembangan UKM. Masyarakat perorangan atau badan usaha yang menjalankan UKM Lembaga keuangan yang secara formal (bank dan koperasi) maupun informal (tengkulak, bakul, dan pedagang) yang berperan dalam mendukung permodalan untuk usaha UKM
Strategi Pengembangan UKM Pengolaan Hasil Perikanan Level 1
Faktor eksternal
Faktor Internal
Level 2
Modal
Tenaga Kerja
Bahan Baku
Sarana dan Prasrana
Kebijakan
Infrastruktur
Pemasaran
Konsumen
Level 3
Sebaran/Lokasi Spasial UKM
Kondisi UKM
Jenis UKM
Level 4
Pola Pemanfatan Ruang
Daya Dukung Wilayah
Mutu Produk
Skala Produksi
Bahan Mentah
Olahan
Level 5
Pemerintah Daerah
Pelaku UKM
Lembaga Keuangan
Level 6 Keterangan: Level 1= tujuan Level 2= faktor Level 3= peubah Level 4= indikator Level 5= alternatif Level 6= aktor/stakeholder
Gambar . Kerangka hirarki strategi pengembangan UKM pengolahan hasil Perikanan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi geografi lokasi penelitian Luas wilayah Kabupaten Cirebon adalah 990,36 km2 yang terdiri dari 40 kecamatan. Berdasarklan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108 ’’ Bujur Timur dan ’’ Lintang Selatan yang dibatasi oleh: a. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu; b. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka; c. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan; d. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kota Cirebon dan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu merupakan bagian dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, dan merupakan kecamatan pesisir. Desa pantai dan desa bukan pantai di dua kecamatan tersebut disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Daftar Desa di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Desa Bukan No Kecamatan No Desa Pantai No Pantai Gebang Kalipasung Dompyong Kulon Gebang Kulon Dompyong Wetan Gebang Ilir Kalimekar Gebang Mekar Kalimaro Pelayangan Gagasari Melakasari Gebang Gebang Udik Mundu Waruduwur Setupatok Citemu Penpen Bandengan Mundu Mesigit Mundu Luwung Pesisir Suci Banjarwangunan Pamengkang Sinarrancang Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Karakteristik fisik Karakteristik fisik kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu disajikan pada Tabel 9 mencirikan topografi, jenis tanah, kelerangan, kondisi angin, bathimetri, dan kondisi geologi serta geomorfologi. Tabel 9. Karakteristik fisik Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu No
Karakteritik Fisik Topografi
Jenis Tanah
Kelerengan
Kondisi angin
Bathimetri
Geologi dan geomorfologi
Ciri-ciri Dataran rendah, ketingian 0-10 meter mdpal dan berada di jalur Pantai Utara Jawa. Bagian Selatan kecamatan Gebang dan Mundu berketinggian 11-130 mdpl. Terdapat 15 jenis tanah, dengan jenis alluvial kelabu persen luas kabupaten Cirebon atau 30.284,61 Ha. Kecamatan Gebang dan Mundu didominasijenis tanah alluvial kelabu. Wilayah pesisir Kecamatan Gebang dan Mundu merupakan dataran, dengan kemiringan 0-3 persen dan mempunyai ketinggian 0-25 mdpal. Kecepatan angin paling tinggi 11 m/detik, kondisi angin tenang berkisar 1-3 m/detik (data ECMWF, 2004-2014). Pada musim barat kecepatan angin 11 m/detik datang dari Barat Laut sedangkan musim timur kecepatan angin 5-7 m/detik arah dari tenggara. Kedalaman laut sampai jarak 4 mil mencapai 12 meter, dengan kondisi morfologis dasar laut relatif datar hingga bergelombang. Perairan di Kecamatan Gebang dan Mundu, kedalaman perairan pada jarak 4 mil bagian terdalam mencapai 10,5 meter berdasarkan surut terendah. Pada lokasi tanjung dan daerah dekat pantai, kontur kedalamanan laut semakin rapat dan semakin ke arah lepas pantai pola kontur kedalaman laut semakin renggang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, 2004). Bentuklahan di pesisir ini terdiri dari lahan fluvial dan marin, dengan morfologi dengan sebaran di wilayah pantai bagian Utara dengan ketinggian tidak lebih dari 15 mdpl dan dengan kemiringan lereng 0 - 3 persen. Pada satuan kawasan ini sering terdapat lapisan-lapisan horizontal dan batupasir tufa. Pola aliran sungai relatif lebih teratur arahnya yaituhampirsejajar ke arah Utara, walaupun pada kebanyakan sungai telah proses meandering
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Penduduk, sosial dan budaya Karakteristik penduduk, sosial dan budaya di Kabupaten Cirebon sebagaimana Tabel 10 yang mencirikan penduduk, sosial dan budaya, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi penduduk. Tabel 10. Karakteristik penduduk, sosial dan budaya, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di Kabupaten Cirebon No
Karakteritik Penduduk
Ciri-ciri Jumlah penduduk tahun 2013 sejumlah 2.293.397 jiwa dengan kepadatan rata-rata 2.316 jiwa/km , dengan jumlah penduduk perempuan 1.139.263 jiwa atau seks rasio 101,31.Penduduk pada Kecamatan Pesisir pada Kabupaten Cirebon pada tahun 2013 sebanyak 517.652 jiwa yang terdiri dari 259.615 laki-laki dan 258.037 perempuan yang tergabung dalam 141.090 keluarga.
Pendidikan
Jumlah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tahun 2013 di Kabupaten Cirebon 585 buah sekolah dengan jumlah murid sebanyak 13.246 orang dan jumlah guru sebanyak 2.728 orang. Jumlah Taman Kanak-kanak (TK) di Kabupaten Cirebon sebanyak 201 dengan murid sebanyak 10.122 orang dan guru 5 orang. Jumlah SD 916 sekolah dan terdapat 217.592 murid serta 8.709 orang guru. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) negeri dan swasta di Kabupaten Cirebon sebanyak 156 sekolah dengan 76.915 siswa dan 4.317 orang guru. Jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Cirebon terdapat 41 sekolah dan 17.973 orang siswa dan 1.235 orang guru, sedangkan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 91 sekolah dan 42.229 orang siswa dan 2.862 orang guru. Sarana Kesehatan di Kabupaten Cirebon terdapat delapan Rumah Sakit Umum (termasuk RS Paru-paru). Hampir semua kategori tenaga kesehatan terdapat di Kabupaten Cirebon, dari medis, paramedis, kefarmasian, kesehatan masyarakat, tenaga sanitasi, gizi, keterapian fisik maupun teknik medik. Dari 3.841 orang tenaga kesehatan, yang bekerja di unit kerja puskesmas (2.159 orang) dan rumah sakit (1.591 orang), sisanya bekerja di unit kerja dinas kesehatan dan sarana kesehatan lainnya
Kesehatan
No
Karakteritik Sosial dan budaya
Ekonomi
Kesejahteraan masyarakat
Ciri-ciri Dalam konteks budaya, sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai suku, agama dan bahkan antar bangsa. Menurut sejarah, pendatang yang menjadi penduduk Cirebon masa itu mencakup sembilan rumpun etnis, yaitu Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Persi, Syam (Siria), Arab dan Cina (Nurul et al ) Dalam konteks sosial masyarakat penghuni wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Dukuh Kebon Pesisir itu, secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di atas berbaur dan satu sama lainnya saling melengkapi. Secara kasat mata hal ini dapat dilihat dari adanya pengaruh-pengaruh Hindu, Budha, Cina, Islam dan Barat, disamping tetap adanya budaya leluhur, menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas. a. Dalam kepercayaan Masyarakat Cirebon, sekalipun atas kehebatannya Sunan Gunungjati yang telah menjadikan Islam sebagai basis religi, tetapi terlihat dalam berbagai peristiwa keadatan yang merupakan pengejewantahan budaya campuran budaya asli dan Hindu menjadi adat kebiasaan orang Cirebon hingga kini, termasuk masyarakat wilayah pesisir seperti upacara adat Ngunjung, Nadran, Bancakan, Mapag Sri, Bubarikan, Mider Tanah/Sedekah Bumi dan lain-lain. Suatu tradisi yang sampai saat ini dipertahankan dan dijalani oleh pewarisnya di berbagai wilayah Cirebon, secara sadar atau tidak mampu memunculkan pemandangan eksotisme (Muhaimin, 2002). Kegiatan perekonomian penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon sebagian besar bergerak di sektor primer (pertanian dan perikanan). Sedangkan di sektor sekunder dan tertier seperti jasa perdagangan dan lainlain hanya sebagian kecil saja. Hal ini dapat dilihat dari presentase lapangan usaha: 30,54 % bergerak di sektor pertanian. Kemudian disusul oleh sektor perdagangan (20,73 %), sektor industri (14,82 %) dan sektor jasa hanya 13,54 %. Berdasarkan data BPS 2014, Kecamatan Gebang mempunyai jumlah keluarga pra sejahtera 9.782 KK, keluarga sejahtera I 4.993 KK, keluarga sejahtera II 3.112 KK, keluarga sejahtera III 1.554 KK, dan keluarga sejahtera III + 79 KK. Sedangkan di Kecamatan Mundu, keluarga pra sejahtera 6,271 KK, keluarga sejahtera I 7.050 KK, keluarga sejahtera II 5.314 KK, keluarga sejahtera III 2.786 KK dan keluarga sejahtera III + 147 KK.
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa karakteristik sosial budaya Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu sebagai lokasi penelitian secara garis besar mempunyai potensi yang besar dalam jumlah sumberdaya manusia produktif, namun infrastuktur pendidikan dan kesehatan masih kurang, sehingga kesejahteraan masyarakat di 2 kecamatan masih banyak keluarga yang tergolong pra sejahtera hingga sejahtera III.
Sebaran dan kondisi pengembangan UKM PHP RTRW menetapkan zona dan sub zona (kluster) pengembangan industri pengolahan hasil perikanan dan sub zona sebagaimana Tabel 11 dan Gambar peta terlampir, menunjukkan bahwa Kecamatan Mundu merupakan kawasan yang diarahkan paling utama dengan 6 desa pesisir dibandingkan dengan kecamatan Gebang yang hanya 3 desa, walaupun Kecamaan Gebang juga dikembangkan untuk docking dan industri berbasis non kelautan. Hal ini menjadikan UKM PHP berkembang lebih banyak di Kecamatan Mundu. Dalam rangka mengembangkan pemberdayaan perekonomian masyarakat di Kabupaten Cirebon, khususnya usaha koperasi dan usaha kecil, maka pemerintah Kabupaten Cirebon mengeluarkan Perda Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2007 tentang Kredit Modal Bantuan Lunak bagi usaha koperasi dan usaha kecil tersebut. Peraturan daerah ini mengisyaratkan penyaluran bantuan lunak melalui perusahaan daerah badan perkreditan rakyat (PD BPR) yang dibentuk pemerintah kabupaten. Penetapan RTRW pada tahun 2011 membutuhkan sosialisasi untuk penerapannya. Secara umum ketegasan penerapan aturan hukum yang bersifat mengatur sektor diberlakukan setelah terdapatnya aturan turunan, walaupun secara formal yuridis dalam Perda tetap tertulis diberlakukan sejak tanggal pengesahan. Penetapan RTRW Kabupaten Cirebon, secara umum telah mempengaruhi peningkatan keberadaan UKM di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data Dinas UMKM (2014) peningkatan UKM dalam segala sektor dapat terlihat pada Tabel Tabel 12, menunjukkan bahwa setelah penetapan RTRW tahun 2011, perkembangan data koperasi maupun UMKM meningkat, namun terjadi penurunan pada usaha mikro kecil atau PKL. Penurunan usaha mikro dengan meningkatnya jumlah UMKM dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan kualitas usaha di Kabupaten Cirebon. Penetapan RTRW membawa konsekuensi hukum terhadap kluster-kluster suatu kawasan pengembangan. Penertiban kawasan yang tidak sesuai peruntukkannya dan mengalihkan pada kawasan yang sesuai di RTRW menjadikan usaha mikro kecil/PKL menyusut tetapi UKM meningkat jumlahnya.
Tabel 11. Hasil analisis zona/subzona industri di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon Zona
Subzona
Kecamatan
Industri
Industri Kapetakan Pengolahan Hasil Perikanan Gunungjati Mundu
Gebang
Losari Industri Berbasis Mundu Non Kelautan Astanajapura Pangenan Gebang Losari
Desa Bungko Lor Bungko Grogol Mertasinga Klayan Mundu Pesisir Bandengan Penpen Banjarwangun Citemu Waruduwur Kalipasung Gebangmekar Malakasari Ambulu Tawangsari Watuduwur Kulon Kanci Astanamukti Pangarengan Bendungan Pelayangan Panggangsari Barisan Losari Lor
Bengkel/docking Gebang Pergudangan Gebang Sumber: RTRW Kabupaten Cirebon, 2011
No
Tabel 12 Jumlah jenis UMKM di Kabupaten Cirebon Jenis usaha Tahun
Koperasi UMKM Mikro kecil/PKL Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Khusus UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW pada tahun 2011, menunjukkan perkembangan yang meningkat, juga dipengaruhi oleh
potensi hasil perikanan yang dapat berbentuk ketersediaan sumber daya ikan, lahan industri maupun akses transportasi. Pengolahan hasil perikanan merupakan tahapan lanjutan dalam proses industri perikanan pada umumnya. Pengolahan produk perikanan di Kabupaten Cirebon dilakukan oleh perorangan danperusahaan dengan skala usaha yang bervariasi. Perbandingan UKM PHP sebelum dan setelah penetapan RTRW sebagaimana Tabel 13.
Tabel 13 UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW No
Wilayah
Jumlah UKM PHP/Tahun
Total Cirebon Kecamatan Mundu Kecamatan Gebang Sumber:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014 Peningkatan jumlah UKM pengolahan hasil perikanan dari tahun 2012 ke 2013 di kecamatan Mundu mencapai 154%, dan kecamatan Gebang 9,4%, menunjukkan bahwa pemerintah fokus mengembangkan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kluster pengolahan hasil perikanan. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemeritah dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan (PUMP P2HP) dari KKP dimana setiap kelompok pengolahan mendapat bantuan mencapai Rp. 50 jutaan. Peningkatan jumlah kelompok pengolah juga didukung oleh diversivikasi usaha pengolahan. Beberapa hasil olahan telah berkembang sesuai tuntutan pasar seperti yang disajikan pada Tabel 14.
No
Wilayah
Tabel 14. Perubahan diversifikasi usaha UKM PHP Jenis Usaha/Tahun
Kecamatan Mundu
Rajungan, terasi, ikan asin, pindang bandeng dan kerang Rajungan, ikan asin, pindang
Ikan asin, bandeng presto, pindang, produk olahan, kerupuk ikan, petis Kecamatan Gebang Bakso, nugget, ikan asin, kerupuk rajungan, rajungan, bandeng tanpa duri, ikan bilis, ikan laut Sumber:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Kontribusi pengembangan UKM terhadap perekonomian masyarakat Pendapatan pelaku UKM PHP di lokasi penelitian berdasarkan hasil wawancara mendalam terahadap pelaku menunjukkan sebagaimana Tabel 15. Tabel 15. Rata rata pendapatan, jumlah pekerja dan omset pelaku UKM No
Lokasi
Pendapatan (Rp.)
Mundu Mundu Mundu Gebang udik Gebang udik Gebang Melaka Sari Gebang
Jenis usaha
Pindang Pindang bandeng Pindang bandeng Kerupuk rajungan dan terasi Jualan ikan segar Pengolahan rajungan Pengolahan bandeng
Lama usaha (tahun)
Luas lahan (ha)
-
Jumlah pekerja (orang)
Modal awal (juta)
Omset per bulan (juta)
-
480 m
-
-
Sumber: Survei, 2015 Tabel 15 berdasarkan wawancara mendalam menunjukkan bahwa UKM PHP dapat dijelaskan sebagai berikut: (1). usaha pindang bandeng dilakukan oleh pelaku UKM lebih 10 tahun namun pendapatan pelaku sangat kecil (<2 juta rupiah dengan omset per bulannya < 30 juta rupiah. (2). Jenis usaha olahan atau jualan ikan segar memberikan pendapatan pada pelaku UKM lebih tinggi. Bahkan pengolahan rajungan menjadi kerupuk dan terasi mampu menghasilkan omset per bulan 50 juta rupiah, dengan pekerja mencapai 80 orang. Profil UKM di 2 lokasi penelitian tersebut menunjukkan bahwa perubahan jenis usaha dengan memasukkan olahan-olahan baru seperti olahan untuk kerupuk, maupun nugget dan bakso akan meningkatkan nilai produk hasil perikanan. Peningkatan UKM PHP, juga berdampak terhadap perekonomian regional Kabupaten Cirebon yang ditunjukkan dari peningkatan PDRB sub sektor perikanan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16, sub sektor perikanan yang menjadi bagian dari sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Cirebon dalam nominal yang terus meningkat, walaupun secara persentase sub sektor perikanan masih dibawah 5%. Perhitungan PDRB atas harga berlaku, sumbangan sektor UKM pengolahan hasil perikanan untuk ekspor sebesar 3451280.12 Kg atau setara US$ 8447096.43.
Tabel 16. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon tahun PDRB (Juta Rupiah)
Sektor / Sub Sektor Perikanan
.
.
.
.
Total Kabupaten Cirebon
.
.
.
.
.
.
.
.
Persentase
.
Sumber: BPS Kabupaten Cirebon, 2012, 2013, dan 2014
Peningkatan PDRB Kabupaten Cirebon, menunjukkan bahwa sub sektor perikanan yang didalamnya termasuk pengolahan hasil perikanan. Peningkatan UKM PHP pada zona industri PHP sesuai RTRW juga seiring dengan keberadaan perusahaan pengolahan hasil perikanan industri sedang/besar produk yang dihasilkan berupa udang beku dan cumi beku. Perikanan yang masih menjadi sub sektor bagian dari sektor pertanian juga mempengaruhi penganggaran dan prioritas program bagi Kabupaten Cirebon. Apabila perikanan dijadikan sektor tersendiri dan terpisah dengan pertanian, upaya mengembalikan Cirebon sebagai penghasil udang (kota udang) dapat dilakukan, dan tentu saja meningkatkan PDRB dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Cirebon. Tabel 17. Jumlah ekspor hasil komoditas perikanan dan kelautan tahun 2013 Nama Eksportir PT Adijaya Guna Satwatama (Ds. Mundu Pesisir Kec Mundu)
Jumlah 1 PT Oreins Prima Lestari (Ds. Mundu Pesisir Kec Mundu) Jumlah 2 PT Sumber Laut Bengindo (Ds.Kalisapu Kec Gunungjati)
Jenis Komoditi
Volume (Kg)
Nilai ekspor (US$)
Tujuan Ekspor
-
Udang beku
USA dan Jepang,
-
Udang breeded
USA dan Jepang,
-
Nila Nila fillet
Jepang dan Belanda Belanda
-
Kodok beku
Belgia
-
Kurisi beku
Belgia
-
Kerang Beku
Belgia
-
Kerang beku Kodok beku Ikan remang Layur beku Cumi Beku
Australia Swiss dan Belgia China China China
Jumlah 3 Total Ekspor Hasil Perikanan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Produk hasil olahan tersebut dipasarkan secara lokal dan regional (luar kabupaten untuk produk industri rumahan serta ekspor ke luar negeri untuk produk industri sedang/besar). Tabel 17 menunjukkan bahwa peran Kecamatan Mundu yang dijadikan sub zona pengolahan hasil perikanan dalam RTRW ditunjukkan juga oleh keberadaan perusahaan eksportir olahan hasil perikanan di
lokasi ini. Sedangkan mengenai besaran produksi dan nilai produksi serta pengembangan produksi perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon pada Tabel 18.
Jenis Ikan Kering/Asin Pindang Terasi Peda Asapan/Panggang Lainnya Udang breded Pengalengan Rajungan Cirebon Kabupaten
Tabel 18 Produksi ikan olahan tahun 2008Produksi (Ton)
-
-
-
-
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 201 Peningkatan produksi olahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon, didukung oleh keberadaan bahan baku yang berasal dari penangkapan laut. Meningkatnya produksi perikanan tangkap pada Tabel 19, akan mendukung industri pengolahan hasil perikanan.
Produk olahan yang berasal dari ikan laut Produk olahan yang bahan bakunya berasal dari ikan laut mengalami peningkatan jumlah UKM dan jumlah tonase produknya dipengaruhi oleh produksi hasil tangkapan perikanan tangkap pada Tabel 19. Sebenarnya terdapat 46 jenis ikan yang di daratkan di Kabupaten Cirebon. Produksi perikanan di Kabupaten Cirebon mengalami penurunan mulai tahun 2008-2011 sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan. Tahun 2008 produksi perikanan tangkap mencapai 31.704,5 ton sedangkan pada tahun 2012 hasilnya mencapai 32.969,52 ton, pada rentang waktu lima tahun perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon meningkat 1.265,02 ton. UKM PHP di Kabupaten Cirebon sangat tergantung ketersediaan bahan baku. Kemelimpahan ikan teripada tahun 2010 yang mencapai .155 ton, dan tahun 2011 adalah rajungan dengan hasil tangkapan 8.137,4 ton, mempengaruhi jenis usaha UKM PHP. Industri terasi dan kerupuk rajungan maupun rajungan segar adalah produk olahan yang dipengaruhi melimpahnya hasil tangkapan. Produk-produk olahan yang berkembang seperti nugget dan bakso pada tahun 2013-2014, juga dipengaruhi oleh melimpahnya bahan baku yang perlu diolah sehinga meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Tabel 19. Produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis ikan tahun 2008 – Produksi (Ton)
JenisIkan Udang(putih) Udanglain Teri Teri nasi Tenggiri Petek Manyung Rajungan Kerangdara Udangwindu Udangdogol Layur Udangbarong Kepiting Rebon
-
-
-
-
-
-
... ... ...
... ... ...
-
-
Jumlah total tangkapan untuk 40 jenis ikan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2013 Terkait dengan UKM pindang bandeng dan pengolahan bandeng seperti bandeng tanpa duri maupun terasi ditentukan oleh jumlah dari budidaya perikanan air payau. Produksi dari budidaya air tawar seperti lele dalam perkembangannya banyak diolah dalam bentuk fillet maupun dijadikan nugget. Luas lahan budidaya mempengaruhi olahan yang dihasilkan. Kabupaten Cirebon mempunyai luas budidaya 998.583 m ,dengan pembudidaya .245 Rumah Tangga Perikanan (RTP), dengan luas lahan budidaya air tawar 99,33 persen sedangkan luas lahan budidaya air payau 0,67 persen. Pembudidaya air payau mencapai 4.355 RTP dan pembudidaya air tawar hanya 890 RTP. Budidaya air payau paling luas terdapat di Kecamatan Losari dengan luas lahan 2.628 m dengan jumlah pembudidaya sebanyak 2.244 RTP.Sedangkan budidaya air tawar paling luas terdapat pada Kecamatan Kapetakan dengan luas lahan 884.250 m dan pembudidaya 474 RTP. Luas lahan budidaya air payau di Kecamatan Mundu dan Gebang sebagaimana Tabel .
Tabel 20. Luas lahan dan jumlah RTP budidaya air payau berdasarkan desa di Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2013 Desa Luas Lahan Jumlah Perikanan Pemeliharaan RTP Budidaya (m ) (Orang) Mundu Waruduwur Citemu Bandengan Mundupesisir Jumlah Gebang Gebangmekar Melakasari Playangan Gebangilir Gebangkulon Kalipasung Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014 No Kecamatan
Produksi ikan dari budidaya tahun 2013 mencapai 28.281,48 ton meningkat 155,69 persen dari tahun 2012 yang mencapai 18.165,43 ton. Peningkatan produksi sangat nyata ini terjadi karena didukung program dan kegiatan tahun 2012 sedangkan panen hasil budidaya dilakukan pada tahun 2013, seperti kegiatan industrialisasi perikanan budidaya melalui demfarm budidaya udang vanname dan program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) perikanan budidaya, serta meningkatnya luas lahan budidaya yang termanfaatkan dan disertai peningkatan jumlah pembudidaya. Tahun 2013 produksi budidaya laut mengalami penurunan 62,37 persen, dimana produksi hanya 1.016,46 ton dibanding tahun lalu yang mencapai 2.701,18 ton. Penurunan terjadi karena semakin berkurangnya para pembudidaya kerang hijau, akibat gelombang pasang (rob) mengakibatkan kerusakan bagan kerang hijau dan pencemaran lingkungan yang tinggi di wilayah pantai pesisir yang berasal dari limbah rumah tangga maupun limbah pabrik/industri. Budidaya payau mengalami peningkatan produksi yang telah mencapai 190,05 persen dari tahun 2012 yang hanya mencapai 11.571 ton dibanding pada tahun sekarang yang dapat mencapai 21.991,41 ton. Peningkatan produksi ini didukung dari program demfarm budidaya udang vanname dan bandeng intensif yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu karena terdapat beberapa pembudidaya yang mulai beralih dari kegiatan budidaya tradisional menuju penerapan teknologi intensif.
Bahan baku produk olahan dari ikan tawar Produk olahan dengan bahan baku air tawar yang dihasilkan diantaranya fillet dan nugget yang merupakan diversifikasi produk olahan disebabkan keberadaan bahan baku hasil budidaya air tawar yang cukup banyak sebagaimana Tabel 21 Tabel 21. Jumlah produksi dan jumlah RTP budidaya air tawar berdasarkan desadi Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2013 Jumlah Jumlah Desa Perikanan No Kecamatan Produksi RTP Budidaya (Ton) (Orang) Mundu Setupatok Penpen Mundumesigit Luwung Banjarwangun Pamengkang Suci Citemu Jumlah Gebang Melakasari Playangan Gebangkulon Kalipasung Kalimaro Bompyongkulon Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014 Peningkatan produksi juga ditunjukkan pada budidaya air tawar yang bisa mencapai 5,273,63 atau terjadi peninngkatan produksi 135,49 persen dari tahun 2012 yang mencapai 3.892,31 ton. Meskipun terjadi peningkatan produksi tetapi masih banyak permasalahan dalam budidaya perikanan yang dihadapi di antaranya mahalnya sarana produksi dan harga pakan yang tidak diimbangi dengan peningkatan harga jual produk hasil budidaya ikan. Tabel 22. Produksi budidaya per jenis usaha tahun 2013 No
Usaha Budidaya
Produksi (Ton)
Laut Tambak Kolam Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Tabel 23 Produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis ikan tahun 2013
No
Jenis Produksi
Target (Ton) Realisasi (Ton)
Prosentase Pencapaian (Persen)
Udang Windu Udang Vanname Rumput Laut Bandeng Nila Patin Mas Gurame Lele Lainnya Total
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Faktor-faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi pengembangan UKM PHP Keberadaan sarana prasarana perikanan Keberadaan sarana dan prasarana perikanan merupakan faktor penunjang utama ketersediaan bahan baku untuk pengolahan hasil perikanan. Ketersediaan bahan baku untuk olahan ikan seperti bandeng, juga didukung keberadaan tambak udang dan tambak garam. Garam digunakan untuk pengasinan ikan. Tambak udang/bandeng mencapai 7.500 ha, sedangkan tambak garam mencapai 3.800 ha. Keberadaan sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon pada Tabel 24. Berdasarkan data menunjukkan bahwa PPI di Kecamatan Mundu berjumlah 5 unit yaitu Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, Waruduwur dan Pangarengan, sedangkan yang terdapat di Kecamatan Gebang berjumlah 6 unit yaitu Ender, Kalipasung, Maskumambang, Gebang Mekar, Balong dan Playangan. Status PPI yang ada di 2 kecamatan tersebut adalah PPI inti yang berarti ikan yang didaratkan mencapai >2.500 ton/tahun, sedangkan PPI plasma kapasitas pendaratan ikan <2.500 ton/tahun.Fasilitas pendukung yang terdapat di pelabuhan perikanan/tempat pendaratan ikan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 25.
Tabel 24 Sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon No
Sarana prasarana
Jumlah
PPP PPI TPI SPDN Perahu kapal Perahu motor tempel Perahu tanpa motor Kapal Keruk Pasar Ikan
1 unit 17 unit 4 unit 2 unit 7 unit 4.056 unit 37 unit 1 unit 3 unit
Keterangan
Karang Reja, Gebang, Mundu
Alat tangkap ikan 8.025 unit Bangsal pengolahan ikan unit Tambak udang/bandeng 7.500 Ha Tambak garam 3.800 Ha Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014 Tabel 25 Fasilitas pendukung di pelabuhan perikanan di lokasi penelitian No Kecamatan PPI Dermaga (m) Breakwater Status Kondisi (m) jalan masuk PPI Mundu Mundu Tidak ada Tidak aktif Baik Pesisir Bandengan Tidak aktif Baik Citemu Tidak aktif Rusak Waruduwur Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sedang data Pangarengan Tidak ada data Tidak ada Tidak ada Sedang Gebang Kalipasung Tidak ada Tidak ada Rusak Sedang Gebang 250+210 Aktif Baik Mekar (dermaga merak) Pelayangan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Rusak Sumber: Renstra Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon, 2011
Tabel 25, menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan terbesar di Kabupaten Cirebon berada di Gebang Mekar. Keberadaan pelabuhan Gebang Mekar denganfasilitas yang baik menjadikan tempat pendaratan ikan skala kecil di sekitarnya seperti di Kecamatan Mundu dan lokasi lain di Kecamatan Gebang kurang produktif. Nelayan lebih cenderung mendaratkan ikannya di Gebang Mekar atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Kejawan yang masuk Kota Cirebon dan hanya berjarak 5 km dari Kecamatan Mundu. PPN Kejawan merupakan pelabuhan perikanan yang skalanya dapat didarati oleh kapal-kapal perikanan besar diatas 30 GT, sehingga fasiltas pendukung pelabuhan lebih baik daripada PPP Gebang Mekar.
a.
Jalan
Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang dilewati jalan utama nasional yaitu jalan pantai utara Jawa (Pantura) yang menghubungkan dengan kota-kota di Porvinsi Jawa Tengah menjadikan posisi Cirebon sangat strategis dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2015, telah dioperasikan jalan tol baru Cikopo-Palimanan yang menyambung langsung ke Jakarta dan Bandung. Akibatnya, secara ekonomi Cirebon akan menjadi lokasi transit dan dalam proses distribusi barang termasuk hasil industri pengolahan perikanan akan semakin cepat dan lancar. Kawasan pesisir di lokasi penelitian, khusunya di kawasan tambak kondisi jalan kualitas jalan desa dan jalan setapak yang dipergunakan oleh para petambak untuk mengangkut hasil panen tambak (ikan bandeng, udang dan garam). Jalanjalan ini masih terbuat dari tanah biasa tanpa perkerasan/aspal. Di musim hujan, jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor karena licin berlumpur. b.
Air bersih
Pelayanan air bersih perpipaan yang belum memadai dimana cakupan pelayanan air bersih terhadap penduduk di wilayah pesisir baru 18,03 persen. Sisanya, penduduk memanfaatkan sumur gali, pelayanan perdagangan air bersih atau memanfaatkan sungai secara langsung. Penyediaan air bersih perpipaan dilayani oleh PDAM, WSLIC dan DCKTR dengan distribusi pelayanan masingmasing adalah 8,18 persen PDAM, 9,09 persen WSLIC dan 0,76 persen DCKTR. Kondisi ini menggambarkan bahwa permasalahan sanitasi lingkungan di wilayah pesisir belum cukup memadai, sehingga perlu langkah-langkah penangan secara lebih komprehensif. Tabel 26. Pelayanan air bersih Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2010 No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
PDAM (Jiwa)
Pelayanan Air Bersih WSLIC DCK & (Jiwa) TR (Jiwa)
Total (Jiwa)
Cakupan (%)
Gebang Mundu Prosentase Cirebon (persen)
Sumber: Renstra Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon, 2011
Bentuk dan strategi pengembangan UKM PHP Strategi pengembangan UKM PHP di Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang dianalisis dengan SWOT dan AHP. Analisis SWOT dilakukan untuk memperoleh pilihan-pilihan berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada di lapangan. AHP digunakan untuk memilih strategi terbaik berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan dianalisis secara bertingkat.
SWOT Hasil wawancara mendalam dengan para pengusaha olahan hasil perikanan, tokoh masyarakat, asosiasi pengolah hasil perikanan, pemerintah kecamatan dan dinas-dinas di lokasi penelitian mengetahui strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon, dapat diidentifikasi dua faktor yang berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal berikut: (1) modal; (2) tenaga kerja; (3) bahan baku; (4) sarana dan prasarana; (5) kebijakan; (6) infrastruktur; (7) pemasaran; dan (8) konsumen. Kedua faktor berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber untuk analisis SWOT, mempunyai kriteria yag mempengaruhi bentuk strategi pengembangan UKM. Kriteria faktor internal dan eksternal sebagai kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknessess), serta peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) sebagaimana pada Tabel 27. Bentuk strategi SWOT yang dilakukan dari kriteriakriteria strategi pengembangan UKM meliputi kriteria pengembangan berdasarkan sebaran l spasial UKM seperti: (1) Pola pemanfaatan ruang; dan (2) Daya dukung wilayah. Bentuk strategi SWOT berdasarkan kondisi UKM seperti: (1) Mutu produk; dan (2) Skala produksi. Bentuk strategi SWOT dengan melihat jenis UKM seperti: (1) Bahan mentah; dan (2) Olahan. Berdasarkan dua strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan tersebut, maka sebagaimana Tabel 33., faktor kekuatan (strength/S) adalah: (1) Ketersediaan bahan mentah yang memadai; dan (2) Ketersediaan tenaga kerja. Faktor kelemahan (weaknes/W) adalah: (1) Kurangnya modal bagi pengusaha; (2) Kurangnya sarana dan prasarana; dan (3) Lemahnya strategi pemasaran. Faktor kesempatan (opportunities/O) adalah: (1) Banyaknya konsumen dan (2) Adanya bantuan dari pemerintah daerah. Faktor ancaman (threat/T) adalah: (1) Banyak produk lain selain hasil perikanan yang ada di sekitar lokasi studi; (2) Belum adanya dukungan kebijakan dalam hal pemasaran; dan (3) kurangnnya infrastruktur infrastruktur. Hasil analisis SWOT memunculkan 4 strategi yaitu: (1) Strategi S-O; (2) Strategi W-O; (3) Strategi S-T; (4) Strategi W-T. Strategi S-O meliputi: (1) Peningkatan mutu produksi dengan memanfaatkan bahan mentah yang bermutu tinggi; dan (2) Melakukan pelatihan tenaga kerja dari bantuan dinas kelautan dan perikanan daerah untuk meningkatkan skala produksi. Strategi W-O meliputi: (1) Pemerintah daerah membantu pengusaha dengan memberikan bantuan kredit lunak sebagai modal awal dan modal pendukung usaha UKM pengolah hasil perikanan; dan (2) Pemberian bantuan peralatan teknologi tepat guna dalam proses produksi olahan hasil perikanan. Strategi S-T meliputi: (1) Kebijakan yang mempermudah pemasaran bagi pengusaha lokal untuk memasarkan hasil produknya ke pusat perbelanjaan atau swalayan-swalayan setempat sehingga bahan mentah yang memadai bisa diolah; dan (2) Pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya dukung wilayah dalam menyerap tenaga kerja. Strategi W-T meliputi: (1) Pembuatan kebijakan penggunaan lahan dan penataan UKM termasuk menyiapkan infrastruktur pendukung di lokasi-lokasi UKM.
Tabel 27 Matriks SWOT strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan Faktor Internal
Faktor Eksternal PELUANG (O)
O1 Banyaknya konsumen
O2 Adanya bantuan dari pemerintah daerah ANCAMAN (T) T1 Banyak produk lain selain hasil perikanan yang ada di sekitar lokasi studi T2 Belum adanya dukungan kebijakan dalam hal pemasaran T3 Kurangnnya infrastruktur
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
S1 W1 Ketersediaan bahan mentah yang Kurangnya modal bagi memadai pengusaha W2 Kurangnya sarana dan prasarana termasuk lahan S2 Ketersediaan tenaga kerja W3 Lemahnya strategi pemasaran STRATEGI S-O STRATEGI W-O 1.Meningkatkan mutu produksi 1. Pemerintah daerah dengan memanfaatkan bahan membantu pengusaha mentah bermutu tinggi untuk dengan memberikan memenuhi permintaan konsumen bantuan kredit lunak yang banyak (S1, O1) sebagai modal awal dan modal pendukung usaha UKM pengolah hasil perikanan (W2, O2) 2.Melakukan pelatihan-pelatihan 2. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja melalui peralatan teknologi bantuan dari dinas kelautan dan tepat guna dalam perikanan daerah untuk proses produksi olahan meningkatkan skala produksi hasil perikanan (W2, (S2, O2) O2) STRATEGI S-T STRATEGI W-T 1. Membuat kebijakan yang Membuat kebijakan mempermudah pemasaran bagi penggunaan lahan dan pengusaha lokal untuk penataan UKM termasuk memasarkan hasil produknya menyiapkan infrastruktur ke pusat perbelanjaan atau pendukung di lokasiswalayan-swalayan setempat, lokasi UKM (W3, W2, sehingga bahan mentah yang T3) memadai bisa diolah (S1, T2) 2. Pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya dukung wilayah dalam menyerap tenaga kerja (S1, T2)
AHP Bentuk-bentuk strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang dilakukan pengusaha kecil dan menengah dengan memperlihatkan sebaran lokasi spasial UKM, kondisi UKM dan jenis UKM dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT, sebagai dasar penetapan struktur hirarki pengembangan model kebijakan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Penetapan struktur hirarki oleh expert terpilih sesuai kriterianya, yaitu: asosiasi pengusaha, pejabat dinas kelautan dan perikanan daerah, pejabat dinas koperasi dan UKM daerah, Camat di dua lokasi penelitian yang memiliki keterkaitan terhadap tata kelola UKM, unsur pengusaha dan tokoh masyarakat. Sesuai dengan penjelasan pada metodologi penelitan, maka analisisnya dilakukan menurut level hirarki yang telah ditentukan sebelumnya dengan pendekatan AHP menurut penilaian pendapat responden pakar (expert judgment). Untuk analisis AHP, terlebih dahulu dilakukan analisis pendapat perorangan dengan melakukan analisis pendapat gabungan. Hasil analisis pendapat gabungan memiliki nilai Inconsistency Ratio (IC) = 0,01. Nilai ini merupakan nilai gabungan dari sembilan responden yang terdiri atas para pakar multi disiplin yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Masing-masing responden pakar memiliki derajat konsistensi IC < 0,01. Artinya, penyimpangan sangat kecil, karena para responden termasuk konsisten dalam memberikan nilai pembobotan. Berdasarkan pengolahan data dengan software expert choice, didapatkan hasil sebagaimana Tabel 28, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Pengaruh Kriteria Hirarki Faktor dalam Strategi Pengembangan UKM Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan aspek yang paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang terdiri atas pengaruh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts diketahui, faktor internal memiliki bobot prioritas 0,454 (45,4 persen), sedangkan faktor eksternal memiliki bobot 0,546 (54,6 persen) dalam mempengaruhi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah kebijakan, infrastruktur, pemasaran dan konsumen lebih memengaruhi dalam proses pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu nyata dibandingkan dengan faktor internal. Faktor internal yang terdiri dari peubah modal, tenaga kerja, bahan baku, sarana dan prasarana juga memiliki pengaruh yang besarannya hampir berimbang dengan faktor eksternal. Menurut para ahli, kebijakan pemerintah berupa dukungan infrastruktur, dukungan pemasaran dan dukungan kebijakan penambahan pemahaman konsumen akan pemakaian produk UKM hasil perikanan lokal sangat diperlukan.
Modal (1) Faktor Internal
Tenaga Kerja (4) Bahan Baku (2) Sarana dan Prasaranan (3)
Kebijakan (4) Faktor Eksternal
Infrastruktur (3) Pemasaran (2) Konsumen (1)
Masduki
McDanton
Supandi
Wahyu Irja Purnama
Yuliah Harwati
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Gabungan Pendapat AHP Software (Expert Choice 11)
Joko Utomo
Aspek Berpengaruh
Faktor Internal (2) Faktor Eksternal ( )
Joko Guruning Gemi
Kriteria Evaluasi
Dwi Sulistyorini
Level Hierarki
Camat Mundu
Tabel 28. Matriks Hasil Olahan Data Expert Choice
Indikator Strategi
Sebaran/Lokasi Spasial UKM (3) Kondisi UKM (2) Jenis UKM (1)
Sebaran/Lokasi Spasial UKM
Pola Pemanfaatan Ruang (2) Daya Dukung Wilayah (1)
Mutu Produk (1) Kondisi UKM Skala Produksi (2)
Joko Guruning Gemi
Joko Utomo
Masduki
McDanton
Supandi
Wahyu Irja Purnama
Yuliah Harwati
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Gabungan Pendapat AHP Software (Expert Choice 11)
Dwi Sulistyorini
Kriteria Evaluasi
Camat Mundu
Level Hierarki
Bahan Mentah (2) Jenis UKM Olahan (1)
Stakeholder yang berperan dalam menjalankan strategi Pengembangan UKM
Pemerintah Daerah (1) Pelaku UKM (2) Lembaga Keuangan (3)
Joko Guruning Gemi
Joko Utomo
Masduki
McDanton
Supandi
Wahyu Irja Purnama
Yuliah Harwati
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Gabungan Pendapat AHP Software (Expert Choice 11)
Dwi Sulistyorini
Kriteria Evaluasi
Camat Mundu
Level Hierarki
b.
Pegaruh Kriteria Hirarki Faktor dalam Strategi Pengembangan UKM Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan aspek yang paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang terdiri atas pengaruh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts diketahui, faktor internal memiliki bobot prioritas 0,454 (45,4 persen), sedangkan faktor eksternal memiliki bobot 0,546 (54,6 persen) dalam mempengaruhi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah kebijakan, infrastruktur, pemasaran dan konsumen lebih memengaruhi dalam proses pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu nyata dibandingkan dengan faktor internal. Faktor internal yang terdiri dari peubah modal, tenaga kerja, bahan baku, sarana dan prasarana juga memiliki pengaruh yang besarannya hampir berimbang dengan faktor eksternal. Menurut para ahli, kebijakan pemerintah berupa dukungan infrastruktur, dukungan pemasaran dan dukungan kebijakan penambahan pemahaman konsumen akan pemakaian produk UKM hasil perikanan lokal sangat diperlukan. c.
Pengaruh Hirarki Faktor Eksternal dalam Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan kriteria dari faktor eksternal yang paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang meliputi kebijakan, infrastruktur, pemasaran, dan konsumen.Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts, diketahui bahwa kriteria yang memiliki bobot tertinggi dalam menyusun faktor eksternal yang berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolah hasil perikanan adalah peubah konsumen dengan bobot 0,4331 (43,31 persen). Tidak dapat dipungkiri, jika konsumen di tengah dalam suatu kegiatan usaha memiliki pengaruh nyata. Konsumen merupakan merupakan peubah kunci bagi UKM, karena apabila hasil produk UKM tidak laku di pasaran, maka otomatis UKM yang bergerak dalam pengolahan hasil perikan ini tidak akan berkembang dan bahkan bisa tutup. Kriteria yang menyusun faktor eksternal urutan selanjutnya adalah peubah pemasaran dengan bobot 0,3087 (30,87 persen). Pemasaran juga merupakan salah satu peubah yang menentukan laku atau tidaknya suatu produk. Lemahnya manajemen pemasaran akan mengurangi pasokan produk di pasar, sehingga akan memengaruhi volume produksi. Rendahnya volume produksi akan memengaruhi omset UKM pengolahan hasil perikanan ini. Pemasaran juga dipengaruhi oleh mutu produk dan model kemasan suatu produk. Sesuai pengamatan di lapangan, UKM di lokasi penelitian memang terkendala dengan proses pemasaran. Bagi pelaku UKM di Kecamatan Mundu dan Gebang kesulitan memasarkan produknya.Dalam hal ini banyak diantaranya tidak memperbanyak volume produksi. Pelaku UKM hanya memproduksi untuk kebutuhan masyarakat sekitar lokasi UKM, karena belum mampu menjangkau konsumen dari daerah lain. Salah satu kelemahan pemasaran yang ada karena lemah dalam hal kemasan, disamping itu kesulitan masuk pada
pusat-pusat perbelanjaan akibat lemahnya dukungan modal untuk mendukung proses produksi. Hasil penjualan di pusat-pusat perbelanjaan menunggu waktu berbulanbulan untuk sampai kembali kepada pelaku UKM. Selanjutnya peubah infrastruktur menempati urutan ketiga dengan bobot 0,1573 (15,73 persen). Hal ini menunjukkan bahwa faktor infrastruktur tidak terlalu mempengaruhi berkembang atau tidaknya UKM pengolahan hasi perikanan. Memang sesuai pengamatan di lapangan, infrastruktur yang ada di Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang belum memadai untuk mendukung kemajuan UKM pengolah hasil perikanan di wilayah tersebut.Lokasi UKM yang masih berada di tengah-tengah permukiman tidak menyulitkan pelaku UKM untuk memasarkan produknya. Untuk memasarkan atau mengirim produk dari UKM, digunakan motor dan ada pula sebagiannya menggunakan mobil, namun tidak sedikit dari pelaku UKM juga menjual keliling perkampungan. Kriteria kebijakan merupakan peubah yang paling sedikit pengaruhnya dalam faktor eksternal. Peubah kebijakan ini hanya memiliki bobot prioritas sebesar 0,0829 (8,29 persen). Peubah kebijakan bagi para ahli merupakan faktor pendukung bagi perkembangan UKM pengolah hasil perikanan.Sesuai pengamatan di lokasi studi, kebijakan baik pemerintah daerah maupun kebijakan pemerintah pusat belum terlalu menyentuh pelaku UKM di wilayah studi. Selama ini bagi beberapa pelaku UKM sudah ada yang mendapat bantuan dari pemerintah daerah, yaitu dinas kelautan dan perikanan setempat, namun kebijakan bantuan itu belum terlalu berpengaruh pada kemajuan usahanya. d.
Pengaruh Kriteria Hirarki Faktor Internal dalam Strategi Pengembangan UKM Pengolah Hasil Perikanan Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan kriteria dari faktor internal mana yang paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang meliputi modal, tenaga kerja, bahan baku, dan sarana dan prasarana. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts diketahui, kriteria yang memiliki bobot tertinggi dalam menyusun faktor internal yang berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan adalah peubah modal dengan bobot 0,3274 (32,74 persen). Peubah modal dalam faktor internal sangat diperlukan karena modal merupakan nyawa dari sebuah usaha.Menurut pengamatan di beberapa UKM, kebanyakan UKM-UKM mikro yang ada di wilayah studi kesulitan untuk mendapatkan modal dalam usahanya.Selama ini, pelaku UKM hanya memutar modal yang ada dalam usahanya tanpa ada kemajuan nyata. Kriteria yang menyusun faktor internal urutan selanjutnya adalah bahan baku dengan bobot 0,2679 (26,79 persen). Kriteria bahan baku cenderung memiliki bobot yang tinggi dalam memengaruhi strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, karena bahan baku merupakan peubah utama dalam suatu usaha. Bahan baku bisa dikategorikan sebagai modal untuk menjalankan suatu usaha. Namun, di wilayah studi masalah bahan baku tidak terlalu bermasalah karena lokasi UKM
pengolahan hasil perikanan tersebut juga banyak terletak di pesisir, sehingga pasokan bahan baku bisa dibilang melimpah. Kriteria sarana dan prasarana memiliki bobot 0,2651 (26,51 persen) yang merupakan peubah ketiga yang memengaruhi strategi pengembangan UKM. Sarana dan prasarana merupakan penunjang proses produksi dan proses pemasaran produk UKM. Semua UKM yang ada di wilayah studi memiliki sarana dan prasarana sederhana.Peralatan produksi merupakan teknologi sederhana tepat guna yang bisa didapatkan di pasaran, maka faktor ini bisa dibilang tidak terlalu berpengaruh terhadap faktor internal untuk pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Kriteria terakhir yang menjadi faktor internal adalah tenaga kerja yang memiliki bobot prioritas 0,1396 (13,96 persen). Peubah ini memang tidak terlalu berpengaruh karena faktor tenaga kerja merupakan peubah yang melimpah di lokasi studi. UKM merupakan usaha sederhana yang membutuhkan tenaga kerja yang tidak membutuhkan keterampilan tingkat tinggi sehingga faktor tenaga kerja yang diperlukan dalam UKM, khususnya pengolahan hasil perikanan cukup dengan pelatihan sederhana sudah dapat bekerja. SDM di lokasi studi juga cukup banyak, sehingga faktor ini tidak terlalu mempengaruhi faktor internal dalam upaya pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. e.
Pengaruh Kriteria Hirarki Indikator Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan Pada kriteria hirarki ini, penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan indikator strategi dalam pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan terdiri dari sebaran atau lokasi spasial UKM, kondisi UKM dan jenis UKM. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts sebagaimana Gambar , terlihatindikator jenis UKM memiliki bobot tertinggi 0,3982 (39,82 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jenis UKM dalam mengolah hasil perikanan cukup menentukan walaupun dibandingkan dengan indikator lainnya tidak akan jauh berbeda. Pemilihan jenis UKM menentukan pengembangan UKM karena harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen yang banyak menggunakan jenis olahan hasil perikanan tersebut.Di wilayah studi banyak ditemukan jenis olahan hasil perikanan dari ikan dan rajungan.Ikan banyak yang dijadikan pindang, sementara rajungan hanya diolah dan dikemas untuk dikirim ke Gresik untuk selanjutnya dikemas dan diekspor ke Cina. Indikator strategi selanjutnya adalah kondisi UKM yang memiliki bobot prioritas 0,3349 (33,49 persen). Kondisi UKM juga menentukan dalam menilai bentuk strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan.Kondisi UKM ini dapat dilihat dari mutu produk yang dihasilkan dan besar kecilnya UKM yang dijalankan.Jenis UKM yang banyak tedapat di lokasi penelitian rataan relatif masih kecil, dan banyak ditemukan UKM mikro.Terakhir indikator strategi pengembangan UKM yang memiliki bobot prioritas terkecil adalah sebaran lokasi spasial UKM dengan bobot prioritas 0,2669 (26,69 persen). Indikator ini masih dapat dikatakan mencerminkan metode pemilihan strategi pengembangan UKM karena memiliki bobot prioritas yang tidak jauh berbeda dengan indikator lainnya.
f.
Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM berbasis Sebaran atau Lokasi Spasial UKM Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator sebaran dan lokasi spasial UKM yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi pola pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayah. Pola pemanfaatan ruang tercermin dalam strategi membuat kebijakan penggunaan lahan dan penataan UKM termasuk menyiapkan infrastruktur pendukung di lokasi-lokasi UKM, sedangkan daya dukung wilayah tercermin melalui strategi pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya dukung wilayah dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts, alternatif strategi pengembangan UKM berupa pengaturan daya dukung wilayahmemiliki bobot tertinggi 0,6953 (69,53 persen). Dengan adanya daya dukung wilayah yang baik, pengembangan UKM di wilayah penelitian akan mudah, akan tetapi harus ditunjang dengan pemanfaatan ruang yang baik. Saat ini pemerintah Kabupaten Cirebon sedang melakukan revisi peraturan daerah tentang tata ruangnya. Dengan adanya zonasi dan pola pengaturan ruang yang baik maka daya dukung wilayah untuk mendukung pengembangan UKM akan semakin tinggi. Untuk meningkatkan daya dukung wilayah, beberapa strategi yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Cirebon adalah melakukan penanggulangan abrasi, intrusi, sedimentasi dan pendangkalan. Strategi itu dilakukan melalui studi abrasi, intrusi, sidemantasi dan pendangkalan pantai, pembentukan tim terpadu penanggulangan abrasi, intrusi, pendangkalan dan sedimentasi, pembuatan bangunan pemecah dan penahan gelombang, monitoring dan evaluasi program. Strategi lainnya meningkatkan koordinasi antar sektor dan wilayah untuk menanggulangi abrasi, intrusi air laut, sedimentasi, dan pendangkalan, melalui program koordinasi antar sektor dan wilayah (kota dan kabupaten, provinsi dan pusat) dan kerjasama antar pemerintah daerah. Selanjutnya pemerintah daerah melakukan strategi dengan melibatkan stakeholder dalam setiap perencanaan penanggulangan kerusakan pantai melalui program pembentukan forum komunikasi antar stakeholders untuk perencanaan penanggulangan kerusakan pantai. Urutan selanjutnya adalah pola pemanfaatan ruang memiliki bobot prioritas 0,3047 (30,47 persen). Pola pemanfaatan ruang memang memiliki prioritas lebih rendah dari daya dukung wilayah. Pola pemanfaatan ruang merupakan derivatif dari daya dukung wilayah, sehingga menurut para ahli prioritas strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan sudah sepatutnya lebih rendah dari daya dukung wilayahnya. Salah satu program pemerintah daerah adalah melakukan kajian pemanfaatan ruang pantai (kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan budidaya kawasan industri, dan lain sebagainya). g.
Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM Berbasis Kondisi UKM Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator kondisi UKM yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi mutu produk dan skala produksi. Mutu produk tercermin dalam strategi meningkatkan mutu produksi dengan
memanfaatkan bahan mentah mutu tinggi untuk memenuhi permintaan konsumen yang banyak, sedangkan skala produksi tercermin melalui strategi melakukan pelatihan-pelatihan kepada tenaga kerja melalui bantuan dari dinas kelautan dan perikanan daerah untuk meningkatkan skala produksi. Alternatif strategi pengembangan UKM melalui kondisi UKM, bentuk strategi dengan melihat mutu produkmemiliki bobot tertinggi 0,8046 (80,46 persen).Hal ini menunjukkan bahwa mutu suatu produk sangat menentukan dalam hal pengembangan dan keberlanjutan suatu usaha, khususnya UKM yang bergerak dalam pengolahan hasil perikanan. Mutu produk yang jelek tidak akan banyak diterima oleh pasar, dan sebaliknya mutu produk yang baik akan banyak dicari dan dibutuhkan oleh pasar, sehingga bisa meningkatkan skala produksi. Urutan selanjutnya adalah skala produksi memiliki bobot prioritas 0,1954 (19,54 persen). Skala produksi produksi suatu produk ditentukan oleh banyak tidaknya produk yang dihasilkan.Skala produksi ini tentunya memang sangat ditentukan oleh permintaan pasar.Untuk konteks di wilayah studi, skala produksi UKM yang ada relatif kecil, sehingga pengembangan UKM yang ada di lokasi tersebut mengalami kesulitan. Hal itu disebabkan oleh mutu produksi yang belum banyak diterima oleh pasar, terkecuali produk rajungan yang dilakukan oleh beberapa UKM sudah memasuki pasar ekspor, namun harus melalui proses pengolahan lanjutan di daerah lain, semisal di Jawa Timur. h.
Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM Berbasis Jenis UKM Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator jenis UKM yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi bahan mentah dan olahan. Bahan mentah tercermin dalam strategi membuat kebijakan yang mempermudah pemasaran bagi pengusaha lokal untuk memasarkan hasil produknya ke pusat perbelanjaan atau swalayan-swalayan setempat, sehingga bahan mentah yang memadai bisa diolah, sedangkan olahan tercermin melalui strategi memberikan bantuan peralatan teknologi tepat guna dalam proses produksi olahan hasil perikanan.Alternatif strategi pengembangan UKM melalui jenis UKM, bentuk strategi dengan membuat olahanmemiliki bobot tertinggi 0,7813 (78,13 persen).Hal ini menunjukkan strategi pengembangan olahan melalui penerapan teknologi bisa membantu meningkatkan pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, semakin baik modifikasi teknologi untuk merekayasa jenis produk olahan hasil perikanan, maka UKM tersebut akan semakin berkesinambungan. Urutan selanjutnya adalah bahan mentah memiliki bobot prioritas 0,2187 (21,87 persen). Mengintervensi bahan mentah memang agak sedikit kesulitan, mutu produk memang ditunjang oleh mutu bahan mentah yang ada, akan tetapi mutu bahan mentah tersebut tidak serta merta membuat mutu produk baik, jika tidak tidak ditunjang dengan proses pengolahan yang baik dari bahan mentah tersebut. Oleh karena itu strategi pengembangan UKM dengan merekayasa bahan olahan akan lebih rendah bobotnya bila dibandingkan dengan merekayasa olahan yang ada.
i.
Peran Kriteria Hirarki Pemangku Kepentingan (Stakeholders) dalam Menjalankan Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan.
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan pemangku kepentingan (stakeholders) yang berperan dalam menjalankan strategi pengembangan UKM seperti yang telah ditentukan pada level hirarki sebelumnya. Para pemangku kepentingan (stakeholders) tersebut adalah pemerintah daerah, pelaku UKM dan lembaga keuangan. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts, menunjukkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang berperan dalam menjalankan strategi adaptasi yang telah ditentukan pada level hirarki sebelumnya didominasi oleh pemerintah daerah dengan bobot prioritas 0,523 (52,3 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa tanggungjawab pemerintah daerah untuk meningkatkan dan mengembangkan UKM pengolahan hasil perikanan sangat penting. Untuk itu, pemerintah daerah punya sumber daya dalam meningkatkan dan mengembangkan UKM tersebut, maka sumber daya tersebut sudah sepatutnya dicurahkan dan dimanfaatkan untuk memacu berkembanganya UKM pengolahan hasil perikanan ini. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan berupa Perda atau keputusan Bupati untuk mendongkrak pertumbuhan UKM pengolah hasil perikanan ini. Urutan pemangku kepentingan (stakeholders) selanjutnya yang berperan adalah pelaku UKM dengan bobot prioritas 0,260 (26,0 persen). Pelaku UKM juga senantiasa harus mengembangkan kemampuan manajemen dalam UKM yang dikelolanya, baik itu berupa mengatur manajemen keuangan yang ada dalam UKM itu ataupun mengatur proses pemasaran produk yang dihasilkan. Urutan selanjutnya adalah stakeholder lembaga keuangan memiliki bobot prioritas 0,218 (21,8 persen). Lembaga keuangan memiliki nilai bobot prioritas peringkat ketiga dalam urutan stakeholders yang paling berpengaruh dalam menentukan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Melalui peranannya dalam pemberian modal usaha mikro yang bersifat lunak kepada para pelaku UKM pengolahan hasil perikanan, maka lembaga keuangan berpengaruh dalam menentukan strategi pengembangan UKM untuk menghadapi perubahan musim. Jika pada saat musim paceklik, pelaku UKM mendapatkan bantuan modal usaha yang bersifat lunak disertai dengan pemberian pelatihan dan informasi mengenai peningkatan usaha.
Strategi Pengembangan UKM Pengolaan Hasil Perikanan Level 1
Faktor Internal (
Faktor eksternal (
)
)
Level 2
Modal ( )
Tenaga Kerja ( )
Bahan Baku ( )
Sarana dan Prasrana ( )
Kebijakan ( )
Infrastruktur ( )
Pemasaran ( )
Konsumen ( )
Level 3 Sebaran/Lokasi Spasial UKM ( )
Kondisi UKM (
)
Jenis UKM (
)
Level 4
Pola Pemanfatan Ruang ( )
Daya Dukung Wilayah ( )
Mutu Produk ( )
Skala Produksi ( )
Bahan Mentah ( )
Olahan ( )
Level 5
Pemerintah Daerah ( )
Pelaku ( )
UKM
Lembaga Keuangan ( )
Level 6
Gambar . Struktur Hirarki Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan
. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : UKM PHP di Kecamatan Mundu terdapat di 6 Desa, dan di Kecamatan Gebang terdapat 3 Desa. Jenis olahan ikan diproduksi UKM meliputi ikan asin, terasi, bandeng presto, kerupuk ikan, bandeng tanpa duri, kerupuk rajungan, serta produk olahan baru bakso dan nugget. UKM PHP di Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang, telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pelaku UKM dengan pendapatan 2 juta rupiahdan omset per bulannya 30 juta rupiah dengan pekerja mencapai 80 orang. Secara regional PDRB memberikan kontribusi, walaupun secara persentase sub sektor perikanan masih dibawah 5%. Perhitungan PDRB atas harga berlaku, sumbangan sektor UKM pengolahan hasil perikanan untuk ekspor sebesar kilogram. Faktor-faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan adalah modal 32. % sebagai bobot prioritas tertinggi, disusul bahan baku dengan bobot prioritas 26. %, sarana dan prasarana dengan bobot prioritas 26. % dan terakhir tenaga kerja dengan bobot prioritas 13. %. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah konsumen ( . %), pemasaran ( . %) infrastruktur ( . %), dan kebijakan ( . %). Strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan agar berdampak bagi pengembangan perekonomianKabupaten Cirebon adalah jenis UKM ( . %), kondisi UKM ( . %), dan sebaran atau lokasi spasial UKM ( . %). Saran Saran yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah: Perlu dilakukan pemodelan terkait tiga indikator pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan,yaitu jenis UKM, kondisi UKM dan pola sebaran lokasi spasial UKM, sehingga dapat dipilih skenario-skenario strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan lebih lanjut lagi. Secara praktis pemerintah Kabupaten Cirebon harus menyusun kebijakan praktis yang langsung menyentuh UKM, khususnya pengolahan hasil perikanan agar UKM-UKM yang ada saat ini dapat berkembang lebih pesat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon, 2014, Cirebon dalam Angak Dawkin, JC, 2003, Regional Development Theory:Conceptual Foundations, Classic Works, and Recent Developments, Journal of Planning Literature ( ) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2012, Laporan Tahunan 2012 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014, Laporan Tahunan 2014 Ellison G, Glaeser,EL, and Kerr, WK, 2010, What Causes Industry Agglomeration?Evidence from Coagglomeration Patterns, American Economic Review 100: (1195– ) Fornell, C “A Second Generation of Multivariate Analysis: Classification of Methods and Implications for Marketting Research. In M.J. Houston (ed), Review of Marketting.Chicago, American Marketting Association, pp. 407 – Glaeser , 2007, Agglomeration Economic: Introduction, The University Of Chicago Press, Ginanjar K, 1997, Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan :Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan, Bappenas. Harefa, M, 2008, Kebijakan Usaha Kecil dan Menengah dan Peranannya dalam Perkonomian, Kajian 14 (2): 29Hubeis,M, 2 Dasar-dasar Manajemen Industri, Jakarta: Inti Prima Kamil, I, dan Hapsari, 2007, Pengembagan Model Industri Kelautan Berbasisi Klaster di Kota Padang, Jurnal Optimasi Sistem Industri, 2: 287Kangas,J, Pesonen,M, Kurttila,M, and Kajanus ,M, 2001, A'WOT: Integrating The AHP With SWOT Analysis, IASH:Switzerland Kurniawati, T dan Lestari, EP, , The SME Development Based On Leading Commodities, diunduh Oktober 2014. Martinho, D, 20 , Polarization versus Agglomeration, Unidade del I&D do Instituto Politecnico de Viseu Muhaimin, 2002, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Logos, Ciputat Notohadiprawiro, T, 1990, Kriteria Penataan Ruang dan Implementasinya untuk Keberlanjutan Penggunaan Lahan Bermaslahat, Disampaikan dalam Seminar Nasional Penataan Ruang untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Efisien dan Berkesinambungan, HITI-UNHAS, Ujung Pandang 9-10 Oktober 1990 Nurul, D R, et al, 2013, Kerajaan Cirebon, Pusat Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI PP Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Perda Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011Perda Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 20 tentang Kredit Modal Bantuan Lunak
Pesonen, 2007, Sustainability WOTs–New Method for Summarizing Product Sustainability Information for Business Decision Making, Zurich: School Business and Economics Rahmana, A, Iriani, Y, dan Oktarina, R, 2012, Strategi Pengembangan Usaha Kecil MenengahSektor Industri Pengolahan, Jurnal Teknik Industri, 13 ( ): 14– Rangkuti F, 2004, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Rusdarti, 2010, Potensi Ekonomi Daerah Dalam Pengembangan UKM Unggulan Di Kabupaten Semarang, JEJAK, 3( ) Richard, LD, 2010, Era Baru Manajemen,Edward Tanujaya, Edisi 9, Jakarta: Salemba Empat Saaty, TL, ,The Analytic Hierarchy Process, New York: Mc-Graw Hill Sijabat, S, 2011, Dampak Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM Terhadap Pengembangan Kewirausahaan Bagi UMKM, INFOKOP19 Sukaryono, I, 2009, Integrasi Pertimbangan Lingkungan dalam Penataan Ruang, Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Tarigan, 2005, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Jakarta: Bumi Aksara Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Wibowo, Y, Maarif, MS, Fauzi, AM, dan Adrianto, L, 2011, Diagnosisi Kelayakan Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, AGROINTEK 5 (1) Zuhal, 2010, Knowledge and Information Platform Kekuatan Daya Saing, Jakarta: Gramedia